jurnal iptek pertanahan bpn vol. 2 no. 1 - mei 2012
DESCRIPTION
Jurnal Iptek Pertanahan. Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Volume 2, Nomor 1, Mei 2012.TRANSCRIPT
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Penanggung Jawab
Redaktur
Mitra Bestari
Penyunting Pelaksana
Desain Grafis & Fotografer
Sekretariat
Pusat Penelitian dan PengembanganBadan Pertanahan Nasional Republik IndonesiaJl. H. Agus Salim No.58 Jakarta PusatTelp./Fax. (021) 3909016, www.bpn.go.ide-mail : [email protected] terbit dua kali setahun, setiap bulan Mei dan Nopember
Sekretaris Utama BPN RI
Ilmu Tanah dan Pertanahan
Fotogrametry dan Pengindraan Jarak Jauh
Politik Agraria
Hukum Administrasi Negara
Politik Agraria
Hukum Pertanahan
Manajemen Pertanahan
Manajemen Pertanahan
Ekonomi Pembangunan Sumber Daya Agraria
Hukum Bisnis
Pelayanan Publik di Bidang Pertanahan
Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc
Efendi, SH., MH
Ir. H. M. Najib Taufieq, MM
Dr. Ir. Irawan Sumarto, M.Sc
Dr. Noer Azam Achsani
Dr. Budi Djatmiko, SH., MH
Usep Setiawan, S.Sos., M.Si
Ir. Sri Yatno, MM
Munsyarief, A.Ptnh., M.Si
Rahman Yuliardhi Sukamto, SH., M.Hum
Arditya Wicaksono, S.IP
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI
Kepala Bidang Kajian Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RIKepala Bidang Kajian Kebijakan Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI
Umiyati, S.Si.T
Robin Tua Halomoan Sijabat, S.Kom
Eri Khaeruman Khuluki, SP
Tri Siwi Kurniasari, A.Md
Shofiatul Munawaroh, S.Kom
Riska Aidina Pristiria, ST
Dyah Ayu Mariana Handari, SE
PENGANTAR REDAKSI
Pembaca yang terhormat, selamat bertemu kembali dalam Jurnal IPTEK Pertanahan Volume II Nomor 1 Tahun 2012 mengambil tema ”Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. ”Dalam rangka menyambut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, kami mengusung tema ”Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”.
Kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan sejak lama telah dikeluarkan baik oleh pemerintah Hindia Belanda maupun oleh Pemerintah Indonesia. Dimulai dengan Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 nomor 574) sampai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.
Dalam Jurnal ini disajikan beberapa tulisan: Pertama oleh Ratna Indriyastuti dengan judul “Rekam Jejak Kebijakan Peksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembanguanan Untuk Kepentingan Umum”. Penulis menguraikan kebijakan pengadaan tanah dari masa ke masa yang diatur dalam Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 nomor 574), Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Mencermati tulisan ini diharapkan dapat menambah pengayaan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Tulisan kedua berjudul “Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Berperikemanusiaan, Demokrasi dan Adil”, ditulis oleh Munsyarief. Penulis mengurai berbagai konflik dalam pengadaan tanah, diharapkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum Untuk Pembangunan dapat dilakukan sesuai azas-azas yang tercantum di dalam undang-undang antar lain berperikemanusiaan, demokratis dan adil, sehingga cita-cita pengadaan tanah yang akan dilakukan secara cepat tetap memperhatikan hak-hak dari pemegang hak atas tanah yang terkena dampak pembangunan.
Tulisan ketiga berjudul “Strategi Penyederhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, ditulis oleh Ika Dini Haryanti. Penulis memaparkan kritik dari berbagai kalangan yang mengkritisi peraturan yang ada selama ini hanya mementingkan kelompok pemodal besar dan mengabaikan hak-hak orang miskin. Hal tersebut ditandai dengan belum ditemukannya rumusan yang dapat memuaskan para pihak yang berkepentingan mengenai ganti rugi yang adil baik terhadap faktor fisik maupun non fisik. Penulis mencoba membangun dan mengembangkan kebijakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yang dilakukan secara sederhana dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Tulisan keempat berjudul “Analisis Yuridis, Ekonomi, dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”, ditulis oleh Melia Yusri. Dalam tulisan ini Penulis menguraikan kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan yang dianalisa dari segi yuridis yang pada saat itu belum didasari oleh Undang-Undang. Tinjauan aspek ekonomi hampir selalu muncul rasa tidak puas terhadap ganti kerugian, disamping tidak berdaya di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan tersebut. Dari aspek politik kebijakan pengambilalihan hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum, sering mengalami perubahan sejalan dengan rejim pemerintah yang sedang berkuasa. Diharapkan tulisan ini dapat menyumbangkan pemikiran bagi penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dari aspek pembangunan yang berkelanjutan (sustainable).
Tulisan kelima berjudul “Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)”, ditulis oleh Umiyati. Penulis menguraikan pengadaan tanah untuk kepentingan umum khususnya dalam skala besar mengalami beberapa kendala dan permasalahan sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus, diantaranya berkaitan dengan implikasi yuridis pengambilalihan tanah yang kurang memperhatikan hak-hak atas tanah masyarakat. Pengalaman pelaksanaan pengadaan tanah sekala besar ini dapat memberikan masukan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Tulisan keenam berjudul ”Pelaksanaan Pengadaan Tanah Dan Kesiapan Pemerintah Daerah”, ditulis oleh Trie Sakti. Penulis mencoba melihat kesiapan pihak Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Substansi yang menjadi fokus bahasan dikupas mulai dari tahapan awal sampai dengan tahap penyelesaiannya. Disamping itu, pada rekomendasinya, pelaksanaan kegiatan ini menitikberatkan fungsi koordinatif baik dari instansi yang memerlukan tanah, Pemerintah Daerah, BPN maupun instansi terkait lainnya. Terkait hal itu, pembagian tugas perencanaan dan persiapan yang ada menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah, adapun institusi BPN RI hanya pada lingkup tugas pelaksanaan dan penyerahan hasil kepada instansi yang memerlukan tanah.
Tulisan ketujuh berjudul “Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”, ditulis oleh Arditya Wicaksono. Penulis menguraikan tentang pengadaan tanah merupakan solusi praktis akan tetapi pengadaan tanah memerlukan prosedur dan pelaksanaan yang konkrit riil. Undang-undang pengadaan tanah No 2 Tahun 2012 merupakan jawaban pemerintah. Poin penting undang-undang ini adalah musyawarah untuk penentuan ganti rugi sebagai alternatif kebijakan apabila proses ganti rugi mengalami kebuntuan.
Semoga Jurnal Iptek Pertanahan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta penyebarluasan hasil penelitian, pemikiran dan kajian yang dilaksanakan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI.
Terimakasih dan Selamat membaca
Salam dari Redaksi
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
DAFTAR ISI
1. Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah BagiPembangunan Untuk Kepentingan Umum ......................................... 1 - 16Lusia Tri Harjanti
2. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil ..................... 17 - 42Munsyarief
3. Strategi Penyederhanaan Pelaksanaan Pengadaan TanahUntuk Kepentingan Umum .................................................................. 43 - 58Ika Dini Haryanti
4. Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan TanahTanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk KepentinganUmum ................................................................................................. 59 - 72Melia Yusri
5. Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan(Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta HektarDi Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah) ..................................................... 73 - 88Umiyati
6. Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan PemerintahDaerah ................................................................................................ 89 - 112Trie Sakti
7. Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan UntukKepentingan Umum ............................................................................ 113 - 120Arditya Wicaksono
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)REKAM JEJAK KEBIJAKAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 1 - 16
ABSTRAKKebijakan pengadaan tanah dari masa ke masa yang diatur dalam Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 Nomor 574), Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Mencermati tulisan ini diharapkan dapat menambah pengayaan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.Kata kunci : ontegenings ordonantie stb.1920/574, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012.
Munsyarief (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM YANG BERPERIKEMANUSIAAN, DEMOKRATIS DAN ADIL
Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 17 - 42
ABSTRAKBerbagai konflik dalam pengadaan tanah diharapkan mampu diminimalisir dengan munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Bagi Pembangunan, sehingga pengadaan tanah dapat dilakukan secara cepat namun tetap dengan memperhatikan hak-hak dari pemegang hak atas tanah secara berperikemanusiaan, demokratis dan adil.Kata kunci : pengadaan tanah, berperikemanusiaan, demokratis dan adil.
Ika Dini Haryanti (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta) STRATEGI PENYERDERHANAAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 43 - 58
ABSTRAKKritik dari berbagai kalangan yang mengkritisi peraturan yang ada selama ini hanya mementingkan kelompok pemodal besar dan mengabaikan hak-hak orang miskin. Hal tersebut ditandai dengan belum ditemukannya rumusan yang dapat memuaskan para pihak yang berkepentingan mengenai ganti rugi yang adil baik terhadap faktor fisik maupun non fisik. Strategi pembangunan dan pengembangan kebijakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yang dilakukan secara sederhana dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kata kunci : strategi , pengadaan tanah, ganti kerugian.
Melia Yusri (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)ANALISIS YURIDIS, EKONOMI DAN POLITIK DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 59 - 72
ABSTRAKKegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan yang dianalisa dari segi yuridis yang pada saat itu belum didasari oleh Undang-Undang. Tinjauan aspek ekonomi hampir selalu muncul rasa tidak puas terhadap ganti kerugian, disamping tidak berdaya di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan tersebut. Dari aspek politik kebijakan pengambilalihan hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum, sering mengalami perubahan sejalan dengan rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Diharapkan tulisan ini dapat menyumbangkan pemikiran bagi penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dari aspek pembangunan yang berkelanjutan (sustainable).Kata kunci : pengadaan tanah, analisis yuridis, ekonomi, politik
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Umiyati (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)PENGADAAN TANAH SKALA BESAR UNTUK PEMBANGUNAN (STUDI KASUS PENGADAAN TANAH LAHAN GAMBUT SATU JUTA HEKTAR DI KALIMANTAN TENGAH DAN WADUK KEDUNG OMBO DI WILAYAH KABUPATEN BOYOLALI, JAWA TENGAH)
Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 73 - 88
ABSTRAKPengadaan tanah untuk kepentingan umum khususnya dalam skala besar mengalami beberapa kendala dan permasalahan sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus, diantaranya berkaitan dengan implikasi yuridis pengambilalihan tanah yang kurang memperhatikan hak-hak atas tanah masyarakat. Pengalaman pelaksanaan pengadaan tanah skala besar ini dapat memberikan masukan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.Kata kunci : pengadaan tanah, lahan gambut, kepentingan umum
Trie Sakti (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH DAN KESIAPAN PEMERINTAH DAERAH
Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 89 - 112
ABSTRAKSelama ini pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh Pemerintah dianggap kurang memberikan keadilan pada masyarakat terutama dalam hal penilaian atas ganti kerugian, kurangnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, fluktuasi harga yang tidak menentu serta tenggang waktu pengadaan tanah yang tidak pasti. Sehubungan dengan hal itu maka Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Dalam UU ini, Pengadaan Tanah dilaksanakan dalam 4 tahapan, pertama tahap perencanaan, setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum membuat rencana pengadaan tanah dalam bentuk dokumen perencanaan, yang kemudian disampaikan kepada Gubernur; kedua, tahap persiapan, setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah, Gubernur membentuk tim persiapan; ketiga tahap pelaksanaan, pelaksanaan pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala BPN, yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua pelaksana pengadaan tanah; dan tahap penyerahan hasil, ketua pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pelepasan hak objek pengadaan tanah.Kata kunci : pelaksanaan, pengadaan tanah, pemerintah daerah.
Arditya Wicaksono (Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jakarta)POTRET PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Jurnal IPTEK Pertanahan, Volume 2, Nomor 1, Mei 2012, Halaman : 113 - 120
ABSTRAKTanah merupakan aspek penting dalam pembangunan. Pengadaan tanah merupakan solusi praktis akan tetapi pengadaan tanah memerlukan prosedur dan pelaksanaan yang konkrit riil. Undang-undang pengadaan tanah No 2 Tahun 2012 merupakan jawaban pemerintah. Poin penting undang-undang ini adalah musyawarah untuk penentuan ganti rugi sebagai alternatif kebijakan apabila proses ganti rugi mengalami kebuntuan.Kata kunci : pengadaan tanah, undang-undang dan masyarakat
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti (Research and Development Center, National Land Agency Republic of Indonesia, Jakarta)TracK rEcord of IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 1 - 16
absTracTIt consists policy of Land’s Procurement from time to time which been regulated in Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 No. 574), Presidential Regulation No. 36 in 2005, Presidential RegulationNo. 65 in 2006, and National’s Law No. 2 in 2012. This article could be a good consideration in process making of Head National Land Agency’s Regulation.Keywords : Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 No. 574), Presidential Regulation No. 36 in 2005, Presidential
RegulationNo. 65 in 2006, and National’s Law No. 2 in 2012.
Munsyarief (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)laNd’s ProcurEMENT PolIcy for aN aPProPrIaTE, dEMocraTIc aNd faIr PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 17 - 42
absTracTConflicts in land acquisition is expected to be minimized with the advent of Law Number 2 Year 2012 on Land Acquisition for Public Interest for Development, so that land acquisition can be performed quickly while still taking into account the rights of the holders of land rights is inhuman, undemocratic and fair.Keywords : land’s procurement, appropriate, democratic and fair way.
Ika Dini Haryanti (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta) sIMPlIfIcaTIoN sTraTEgy for IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 43 - 58
absTracTCritics who come from various segment of society said that the regulation only favors capitalist and big cooperation and marginalize the poor. It’s been marking the absence of formulation in calculating fair compensation, both physical and non-physical. Development and establishment strategy for implementation land’s procurement policy for public interest development are needed in the purpose of prosperity and commonwealth of society.Keywords : strategy, land’s procurement, compensation.
Melia Yusri (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)JurIdIcTIoN aNalysIsT, EcoNoMy aNd PolITIc IN IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 59 - 72
absTracTIt analyze land’s procurement activity from jurisdiction point of view, which been done before the publicity of National’s Law. In economy’s aspect, there’s always dissatisfaction in compensation been given and a feeling of powerless from land owner whom their rights been taken by the development’s project. In political aspect, the policy of land’s ownership takeover in land’s procurement for public interest development has change parallel with the change of government’s regime. This article hopefully could be a good consideration in process making of Head National Land Agency’s Regulation, from sustainable development aspect.Keywords : land’s procurement, jurisdiction analyst, economy, politic
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Umiyati (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)bIg scalE of laNd’s ProcurEMENT for dEVEloPMENT (casE of sTudy : oNE MIllIoN HEcTarE Turf’s ProcurEMENT IN cENTral KalIMaNTaN aNd WaduK KEduNg oMbo IN boyolalI, cENTral JaVa)
Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 73 - 88
absTracTLand’s procurement for public interest, especially in the big scales, is facing few obstacles and problems so it needs special attention. It’s related with jurisdiction implication of land’s takeover, which not pay attention to people’s right of land. Experience in this implementation of big scale land’s procurement could give suggestion in process making of Head National Land Agency’s Regulation.Keywords : land’s procurement, turf, public interest
Trie Sakti (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT aNd local goVErNMENT rEadINEss
Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 89 - 112
absTracTThe land acquisition implemented by the Government was not give justice to the people, especially in the assessment of damages, the lack of participation and empowerment, an erratic price fluctuations as well as land acquisition period is uncertain. According to that, the Government has issued Law no. 2 Year 2012 on Land Concerning Acquisition of Land for Development in Public Interest. The aims to provide land for the implementation of development in order to improve the welfare and prosperity of the people, the state, and society by guaranteeing the legal interest of the entitled party. Land Acquisition can be divided into 4 stages, i.e planning, each agency needs the land for public land acquisition apply in the form of planning documents, then submitted to the Governor, second, the preparation, after receiving the documents procurement planning ground, the Governor formed a team preparation; third, execution, held by the Head of BPN, which is implemented by the Head Office of the Chief executive BPN as land acquisition; fourth, delivery, the chairman of the land acquisition submit results to the agency with the data of land not more than 7 (seven) days after the release of land acquisition rights object.Keywords : implementation, acquisition of land, regional government.
Arditya Wicaksono (research and development center, National land agency republic of Indonesia, Jakarta)PorTraIT of laNd ProcurEMENT for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Journal IPTEK Pertanahan, Volume 2, No. 1, May 2012, Page : 113 - 120
AbstractLand is an important aspect of development. Land acquisition is a practical solution but it requires land acquisition procedures and the implementation of concrete and real. Land Acquisition Act No. 2 of 2012 is the government’s response. An important point of this law is a consensus for the determination of damages as an alternative if the compensation policy deadlock.Keywords : land acquisition, regulation of act and civil society
1
Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti
PENDAHULUAN
latar belakangTanah merupakan bagian penting yang tidak
dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Tanah
merupakan tempat untuk hidup bagi manusia, tumbuh-
tumbuhan dan hewan. Adanya jumlah penduduk yang
semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran
yang semakin baik, akan membutuhkan berbagai
fasilitas umum seperti jaringan/transportasi, fasilitas
pendidikan, peribadatan, sarana olahraga, fasilitas
keselamatan umum dan sebagainya. Pembangunan
fasilitas-fasilitas umum tersebut, memerlukan tanah
sebagai wadahnya. Apabila persediaan tanah masih
luas, penambahan pembangunan untuk fasilitas
umum tersebut tidak memiliki masalah. Namun, yang
menjadi masalah disini adalah bahwa tanah tersebut
merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas
dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang
tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak
atas tanah, dan tanah negara sudah sangat terbatas
persediannya.
Perkembangan hubungan manusia dengan tanah
semakin lama semakin luas dan kompleks dimulai
dengan tahap penguasaan individu terhadap tanah
REKAM JEJAK KEBIJAKAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN
UNTUK KEPENTINGAN UMUM
TracK rEcord of IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for
PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Lusia Tri HarjantiPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan H. Agus Salim Nomor 58, Jakarta,
ABSTRAKKebijakan pengadaan tanah dari masa ke masa yang diatur dalam Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 nomor 574),
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 hingga Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012. Mencermati tulisan ini diharapkan dapat menambah pengayaan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Kata kunci : ontegenings ordonantie stb.1920/574, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012.
absTracTIt consists policy of Land’s Procurement from time to time which been regulated in Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920
No. 574), Presidential Regulation No. 36 in 2005, Presidential RegulationNo. 65 in 2006, and National’s Law No. 2 in 2012.
This article could be a good consideration in process making of Head National Land Agency’s Regulation.
Keywords : Onteigenings Ordonantie (Staatblad 1920 No. 574), Presidential Regulation No. 36 in 2005, Presidential
Regulation No. 65 in 2006, and National’s Law No. 2 in 2012.
2
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1
sampai corak yang diciptakan oleh negara. Secara
konstitusional di Negara Indonesia masalah tanah
di permukaan bumi diatur dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat Indonesia yang mempuyai
wewenang untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubun-
gan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubun-
gan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Bertolak dari konsep hak menguasai Negara sesuai
dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor
5 Tahun 1960, Negara mempunyai kewenangan
untuk membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya meliputi :
1. Untuk keperluan Negara;
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-
keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa;
3. Untuk Keperluan pusat-pusat kehidupan ma-
syarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kes-
ejahteraan;
4. Untuk keperluan perkembangan produksi per-
tanian, peternakan dan perikanan serta sejalan
dengan itu;
5. Untuk keperluan perkembangan industri, trans-
migrasi dan pertambangan.
Peruntukan tanah dalam pembangunan pada
kenyataannya banyak menimbulkan konflik
kepentingan yang menyangkut kepemilikan dan
penguasaan tanah menyebabkan permasalahan
tanah menjadi masalah yang lintas sektoral, bukan
saja menyangkut bidang pertanahan melainkan di
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan pertahanan keamanan, sehingga diperlukan
upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Pelaksanaan kebijakan tersebut harus disesuaikan
dan memperhatikan perencanaan tata ruang,
tata guna tanah yang meliputi pemanfaatan yang
terkoordinasi dengan berbagai kepentingan dan
jenis penggunaannya, pelestarian lingkungan dan
pencegahan penggunaan tanah yang merugikan
kepentingan masyarakat dan kepentingan
pembangunan yang berkesinambungan serta
kepastian hukum hak atas tanahnya. Upaya
mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan
tanah selain berdasarkan ketentuan-ketentuan
teknis dan pengaturan penguasaan tanahnya juga
harus selalu dikaitkan dengan aspek-aspek hukum
serta perundang-undangan yang sesuai dengan
kepentingan umum.
Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit
melakukan pembangunan untuk kepentingan umum
diatas tanah Negara, dan sebagai jalan keluar yang
ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah
hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah
dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut
dengan pengadaan tanah (pasal 1 Keppres No. 55
Tahun 1993). Kegiatan pengadaan tanah ini sudah
sejak lama dilakukan, bahkan sudah dikenal sejak
jaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings
Ordonantie (Staatblad 1920 nomor 574).
Makna kepentingan umum menurut J.J. Rosseau,
hak-hak individu yang diserahkan kepada penguasa
untuk dilaksanakan yang meliputi, hak untuk hidup
3
Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti
tentram, hak ketertiban, hak perlindungan hukum.
Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat
yang setiap individu tidak dapat melaksanakannya
sendiri-sendiri. Menurut Van Wijk, kepentingan
umum adalah tuntutan hukum masyarakat yang
harus dilayani oleh pemerintah, demi terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Koentjoro Poerbopranoto,
mengartikan kepentingan umum meliputi kepentingan
bangsa, masyarakat dan Negara. Kepentingan
umum mengatasi kepentingan individu, kepentingan
golongan dan daerah. Meskipun kepentingan umum
untuk mengatasi kepentingan individu sebagai
hakekat pribadi manusia, justu dalam kepentingan
umum terletak pembatasan terhadap individu, tetapi
kepentingan individu tercakup dalam kepentingan
umum atau kepentingan masyarakat dan nasional
yang bertumpu atas keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Undang-Undang Pokok Agraria melalui Pasal 18,
memberikan landasan hukum bagi pengambilan
tanah hak ini dengan menentukan untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian
yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-
Undang. Kemudian dikeluarkan Undang-Undang No.
20 Tahun 1961. Undang-Undang ini mengartikan
kepentingan umum secara luas yaitu :
1. Kepentingan bangsa dan Negara;
2. Kepentingan bersama dari rakyat;
3. Kepentingan Pembangunan (Pasal 1);
Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan
kepentingan umum tidak hanya terbatas pada
kegiatan yang dilakukan Pemerintah tetapi juga
oleh swasta, asal usaha itu benar-benar untuk
kepentingan umum. Inpres No. 9 Tahun 1973 beserta
lampirannya memberikan pedoman-pedoman dalam
pelaksanaan pencabutan hak dan benda-benda yang
ada di atasnya, juga memberikan arti kepentingan
umum secara luas dengan menambah daftar bidang
kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum,
namun masih membuka kemungkinan penafsiran
lebih lanjut (Pasal 1 Ayat (1) dan (2)).
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun
1975 tidak memberikan batasan yang jelas tentang
kepentingan umum, dan berdasarkan Permendagri
Nomor 2 Tahun 1976 yang dikeluarkan kemudian,
ketentuan mengenai acara pembebasan tanah untuk
kepentingan pemerintah menurut Pemendagri Nomor
15 Tahun 1975 diberlakukan juga untuk kepentingan
swasta. Keluarnya Keppres No. 55 Tahun 1993
membawa pengaturan yang jauh berbeda dengan
yang diatur dalam peraturan-peraturan perundang-
undangan sebelumnya baik tentang pengertian
kepentingan umum proses musyawarah maupun
tentang bentuk dan cara penentuan besarnya ganti
kerugian. Untuk melaksanakan Keppres tersebut
telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Selanjutnya
diperbaharui lagi dengan lahirnya Peraturan
Presiden No. 36 Tahun 2005 yang diubah oleh
Perturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Dengan berlakunya
Keppres ini, maka Permendagri Nomor 15 Tahun
1975 dan Permendagri Nomor 2 Tahun 1976 serta
Permendagri Nomor 2 Tahun 1985 yang mengatur
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan
swasta dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 yang diubah oleh Peraturan
Presiden No. 65 Tahun 2006 untuk pengadaan yang
bersifat kepentingan umum ditempuh dengan dua
cara :
1. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
oleh yang berhak atas tanah.
2. Jual beli, tukar menukar atau dengan cara lain
4
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1
yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pi-
hak yang bersangkutan (pihak yang berhak atas
tanah dengan pihak-pihak yang memerlukan).
Menurut Budi Harsono, baik Keppres No. 55
Tahun 1993 maupun Perpres No. 36 Tahun 2005
yang substansinya adalah mengatur pengadaan
tanah untuk pembangunan, dinilai sama-sama
belum memenuhi asas-asas umum yang berlaku.
Perpres No. 36 Tahun 2005 mengintroduksi kata-
kata ‘pencabutan hak atas tanah’ yang sebelumnya
tidak dikenal dalam Keppres No. 55 Tahun 1993.
Berpedoman kepada Perpres dengan alasan
pembangunan untuk kepentingan umum, pemerintah
melalui panitia pengadaan tanah dapat serta merta
mencabut hak atas tanah seseorang yang tidak
mau pindah dari tanah yang ditempati. Pencabutan
hak atas tanah adalah mekanisme yang dianut oleh
Perpres apabila tetap mengedepankan asas hukum
dan musyawarah. Berhasil tidaknya musyawarah
seharusnya tetap tidak melegalkan pencabutan
tanah dengan paksa oleh pemerintah.
Seiring dengan perkembangan, untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan
umum, diperlukan tanah yang pengadaannya
dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip
kemanusiaan, demokratis, dan adil. Peraturan
perundang-undangan di bidang pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum
dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan
pembangunan dan belum mengikat pada hukum
perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena
itu, disusunlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum yang diharapkan dapat
mencakup ranah hukum yang lebih tinggi.
Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang sebagaimana telah
diutarakan maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan pelaksanaan pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 2 Ta-
hun 2012?
2. Bagaimana pengaturan penetapan harga ganti
rugi tanah dalam pengadaan tanah bagi pem-
bangunan untuk kepentingan umum berdasar-
kan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005,
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012?
Tujuan PenelitianSesuai dengan permasalahan yang dirumuskan,
maka penelitian ini bertujuan :
1. Mengetahui kebijakan pelaksanaan pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum berdasarkan Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Ta-
hun 2006 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012.
2. Mengetahui pengaturan penetapan harga ganti
rugi tanah dalam pengadaan tanah bagi pem-
bangunan untuk kepentingan umum berdasar-
kan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005,
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.
HASIL DAN PEMBAHASAN
analisis Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan TanahPengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau yang
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah.
Pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden
5
Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti
No. 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 untuk pengadaan tanah yang bersifat
kepentingan umum ditempuh dengan tiga cara :
1. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
Konsep dasar pengadaan tanah melalui
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
dilakukan atas dasar musyawarah untuk
mencapai kesepakatan diantara pihak pemilik
tanah dan pihak yang membutuhkan tanah.
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 6 Perpres
36 Tahun 2005 yaitu kegiatan melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas
tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan
memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
Pengadaan tanah dengan menggunakan tata
cara ini dilakukan oleh panitia pengadaan tanah,
baik di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi, atau
pusat sesuai dengan areal tanah yang akan
dilepaskan haknya dengan menerapkan prinsip
penghormatan hak atas tanah.
2. Pencabutan Hak Atas Tanah
Pengadaan tanah melalui pelepasan atau
penyerahan hak tidak berhasil dalam arti tidak
diperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi maka dapat dilakukan
pencabutan hak atas tanah. Upaya ini jika
lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak
dapat dipindahkan ke tempat lain. Pengadaan
tanah melalui pencabutan hak dilakukan oleh
Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri Dalam
Negeri sesuai kewenangannya kepada
Presiden melalui Kepala Badan Pertanahan
Nasional dengan tembusan kepada Menteri dan
Instansi yang memerlukan tanah dan Menteri
Hukum dan Hak Azasi Manusia. Pencabutan
hak atas tanah berdasarkan UU No. 21 Tahun
1961 dilakukan dalam keadaan yang sangat
mendesak, yakni Proyek pembangunan tidak
mungkin dipindahkan ke tempat lain.
3. Jual beli, tukar menukar atau dengan cara lain
yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pi-
hak yang bersangkutan (pihak yang berhak atas
tanah dengan pihak-pihak yang memerlukan).
Pasal 20 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 menyebutkan bahwa pembangunan untuk
kepentingan umum yang memerlukan tanah yang
luasnya tidak lebih dari 1 (satu) Hektar dapat
dilakukan secara langsung oleh Instansi Pemerintah
yang memerlukan tanah dengan para pemegang
hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukar
menukar atau cara lain yang disepakati oleh kedua
belah pihak. Dari ketentuan tersebut dapat terlihat
bahwa jika tanah yang diperlukan kurang dari 1
(satu) Hektar maka pelaksanaan pengadaan tanah
“dapat” dilakukan secara langsung melalui transaksi
yang lazim terjadi dalam lapangan hukum perdata.
Apabila ditempuh upaya jual beli atau tukar menukar
maka ketentuan yang berlaku bagi kedua belah pihak
adalah hukum perdata.
Undang-Undang Pokok Agraria merupakan
perundang-undangan yang dibentuk sebagai
penyempurna perundang-undangan sebelumnya
harus mampu memberikan keadilan bagi masyarakat
diseluruh wilayah Republik Indonesia. Tujuan
utamanya menciptakan kemakmuran yang adil dan
merata. Salah satu cara yang ditempuh adalah
dengan membentuk konsep fungsi sosial hak
atas tanah yang mewajibkan setiap pemegang
hak atas tanah untuk senantiasa memperhatikan
keseimbangan antara penggunaan tanahnya.
Undang-Undang Pokok Agraria menjembatani
keharmonisan hubungan antara individu yang satu
dengan individu yang lainnya.
Fungsi sosial hak atas tanah dinyatakan tentang
penguasaan oleh Negara antara lain:
1. Fungsi sosial hak milik bertujuan untuk menca-
pai kesejahteraan diri sendiri dan kesejahteraan
bersama harus diwujudkan dengan terpelihara
kelestarian tanah, setiap perbuatan merusak
barang atau benda yang berfungsi sosial di
dalamnya termasuk tanah adalah perbuatan
6
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1
tercela yang harus diberi sanksi (Pasal 15 jo.
Pasal 52 UUPA).
2. Perwujudan fungsi sosial bahwa untuk semen-
tara dalam kaitannya untuk kepentingan umum,
hendaknya dijaga agar kepentingan diri mereka
yang ekonominya lemah mendapat perlindun-
gan secara wajar.
3. prinsip suatu kegiatan dinyatakan benar-benar
untuk kepentingan umum, yaitu:
a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh
Pemerintah dengan kata lain pihak swasta
dan perorangan tidak dapat memiliki
jenis-jenis kegiatan kepentingan umum
yang membutuhkan pengadaan tanah,
pembebasan tanah dan pencabutan hak
atas tanah.
b. Kegiatan pembagunan dilakukan oleh
pemerintah bahwa proses pelaksanaan
dan pengelolaan suatu kegiatan untuk
kepentingan umum hanya dapat
diperankan oleh pemerintah.
c. Tidak mencari keuntungan bahwa fungsi
suatu kegiatan untuk kepentingan umum
benar-benar berbeda dengan kepentingan
swasta yang bertujuan mencari keuntungan
sehingga terkualifikasi kegiatan untuk
kepentingan umum sama sekali tidak boleh
mencari keuntungan.
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian
baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat
pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah,
bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan
kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat
kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena
pengadaan tanah. Klasifikasi Kepentingan Umum
meliputi :
1. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (diatas
tanah, diruang atas tanah, ataupun diruang
bawah tanah), saluran air minum/air bersih, sal-
uran pembuangan air dan sanitasi);
2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan ban-
gunan pengairan lainnya;
3. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api
dan terminal;
4. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul
penanggulangan banjir, lahar, dan lain-lain ben-
cana;
5. Tempat pembuangan sampah; Cagar alam dan
cagar budaya;
6. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Berikut ini adalah tabel yang membandingkan antara
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum dan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Berdasarkan dari tabel tersebut
dalam UU No. 2 Tahun 2012 sudah dicantumkan
tentang asas-asas dan tujuan pengadaan tanah
secara jelas pada Pasal 2 dan 3 sedangkan dalam
Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65
Tahun 2006 belum disebutkan secara jelas pada
pasal-pasalnya. Selain itu, terdapat pula perbedaan
pada Ketentuan Umum, pelaksanaan pengadaan
tanah dan fasilitas-fasilitas umum yang memerlukan
pengadaan tanah.
Keberadaan Perpres No. 65 Tahun 2006 bukanlan
mencabut atau menggantikan keberadaan Perpres
No. 36 Tahun 2005 tetapi sekedar mengubah dan/
atau menyempurnakannya. Dengan demikian
materi yang diatur dalam Perpres No. 36 Tahun
2005 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan materi yang diatur dalam Perpres No.
65 Tahun 2006. Dalam Pasal 2 Perpres No. 65
7
Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti
Tahun 2006 disebutkan bahwa pengadaan tanah
dapat dilakukan untuk kepentingan umum maupun
selain kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilakukan dengan cara pelepasan
hak atau penyerahan hak, sedangkan yang selain
untuk kepentingan umum dilakukan dengan cara jual
beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh para pihak yang bersangkutan.
Walaupun Perpres No. 65 tahun 2006 menyebut
adanya 2 (dua) macam pengadaan tanah yaitu
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan
selain kepentingan umum. Pengadaan tanah selain
untuk kepentingan umum dalam pelaksanaannya
menggunakan prosedur yang diatur dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang ijin lokasi serta
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 1994 tentang
tata cara perolehan tanah bagi perusahaan dalam
rangka penanaman modal.
Tabel 1 : Matriks Perbandingan Pengadaan Tanah Menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan UU Nomor 2 Tahun 2012
No Muatan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
1. Ketentuan umum tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengada-an tanah.
Terdapat pada Pasal 1, dia-tur tentang pengertian Pemerin-tah Pusat, Pemerintah Daerah, Pengadaan tanah, Rencana Tata Ruang Wilayah, Kepentingan umum, pelepasan atau penyera-han hak atas tanah, pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah, hak atas tanah, panitia pengadaan tanah, musyawarah, ganti rugi dan lembaga/tim peni-lai harga tanah.
Terdapat pada Pasal 1, dengan muatan sama dengan pada Per-pres No. 36 Tahun 2005, peru-bahan hanya pada definisi peng-adaan tanah.
Terdapat pada Pasal 1, diatur tentang pengerti-an instansi, pengadaan tanah, pihak yang ber-hak, objek pengadaan tanah, hak atas tanah, kepentingan umum, hak pengelolaan, konsulta-si publik, pelepasan hak, ganti kerugian, penilai pertanahan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Dae-rah dan Lembaga Per-tanahan, dengan muatan dan pengertian yang ber-beda dengan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Per-pres No. 65 Tahun 2006.
2. Asas-asas peng-adaan tanah un-tuk kepentingan umum.
Tidak disebutkan secara jelas da-lam pasal-pasalnya
Tidak disebutkan secara jelas dalam pasal-pasalnya.
Pada Pasal 2, berdasar-kan asas : kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutser-taan, kesejahteraan, ke-berlanjutan dan kesela-rasan.
3. Tujuan penga-daan tanah un-tuk kepentingan umum.
Tidak disebutkan secara jelas da-lam pasal-pasalnya.
Tidak disebutkan secara jelas dalam pasal-pasalnya.
Pada Pasal 3, pengada-an tanah untuk kepen-tingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangu-nan guna meningkatkan kesejahteraan dan ke-makmuran bangsa, Ne-gara dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
8
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1
No Muatan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
4. Cara melakukan pengadaan tanah bagi pelaksana-an pembangu-nan untuk ke-pentingan umum dan pengada-an tanah selain bagi pelaksana-an pembangunan untuk kepenting-an umum.
Terdapat pada Pasal 2, ayat (1) pengadaan tanah bagi pelak-sanaan pembangunan untuk ke-pentingan umum oleh Pemerin-tah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pe-lepasan atau penyerahan hak atas tanah atau pencabutan hak atas tanah; ayat (2) pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepenting-an umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar me-nukar atau cara lain yang disepa-kati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan
Sama dengan muatan pada Per-pres No. 36 Tahun 2005, peru-bahan ada pada Pasal 2 ayat (1) sehingga berbunyi penga-daan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepenting-an umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksana-kan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Pasal 6, Pengadaan Tanah untuk Kepenting-an Umum diselenggara-kan oleh PemerintahPasal 13, Pengadaan Tanah untuk Kepenting-an Umum diselenggara-kan melalui tahapan: a. perencanaan; b. persiapan; c. pelaksanaan; dan d. penyerahan hasil.
5. Penjabaran Fasili-tas Umum.
Pasal 5, Pembangunan untuk ke-pentingan umum yang dilaksana-kan Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi: e. jalan umum, jalan tol, rel kereta
api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
f. waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
g. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
h. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
i. peribadatan;j. pendidikan atau sekolah;k. pasar umum;l. fasilitas pemakaman umum;m. fasilitas keselamatan umum;n. pos dan telekomunikasi;o. sarana olahraga;p. stasiun penyiaran radio, televisi
dan sarana pendukungnya;q. kantor Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
r. fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
s. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
t. rumah susun sederhana;u. tempat pembuangan sampah; v. cagar alam dan cagar budaya;w. pertamanan;x. panti sosial;y. pembangkit, transmisi,
distribusi tenaga listrik.
Pasal 5, Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaks-anakanPemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksuddalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :a. jalan umum dan jalan tol,
rel kereta api (di atas tanah, diruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e. tempat pembuangan sampah;f. cagar alam dan cagar budaya;g. pembangkit, transmisi,
distribusi tenaga listrik.”
Pasal 10, Tanah untuk Kepentingan Umum se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan :a. pertahanan dan
keamanan nasional;b. jalan umum, jalan
tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendungan irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. j a r i n g a n t e l e k o m u n i k a s i dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit P e m e r i n t a h /Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
9
Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti
No Muatan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. p r a s a r a n a pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga P e m e r i n t a h /Pemerintah Daerah; dan pasar umum dan lapangan parkir umum.
6. Panitia Pengada-an Tanah
Pasal 6, (1) Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota
(2) Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait.
Pasal 6, (1) Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota
(2) Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait.
7. Pemberian Ganti Rugi
Pasal 12, Ganti rugi dalam rang-ka pengadaan tanah diberikan untuk:a. hak atas tanah;b. bangunan;c. tanaman;d. benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah.
Pasal 12, Ganti rugi dalam rang-ka pengadaan tanah diberikan untuk:a. hak atas tanah;b. bangunan;c. tanaman;d. benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah.
Pasal 33, Penilaian be-sarnya nilai Ganti Kerugi-an oleh Penilai sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dilaku-kan bidang per bidang tanah, meliputi:a. tanah; b. ruang atas tanah dan
bawah tanah;c. bangunan;d. tanaman;e. benda yang berkaitan
dengan tanah; dan/atau
f. kerugian lain yang dapat dinilai.
10
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1
No Muatan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
8. Ganti Rugi Pasal 13 ayat (1) Bentuk ganti rugi dapat berupa:a. uang; dan/ataub. tanah pengganti; dan/ atauc. pemukiman kembali.
Pasal 13, Bentuk ganti rugi da-pat berupa:a. uang; dan/ataub. tanah pengganti; dan/atauc. pemukiman kembali, dan/ataud. gabungan dari dua atau
lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 36, Pemberian Ganti Kerugian dapat di-berikan dalam bentuk:a. uang;b. tanah pengganti;c. permukiman kembali;d. kepemilikan saham;
ataue. bentuk lain yang
disetujui oleh kedua belah pihak.
9. Jumlah Bab dan pasal
Ada 6 Bab dan 24 Pasal Tidak terdiri dari Bab-bab, langs-ung terdiri dari pasal-pasal, ada 18 pasal
Terdiri dari 8 Bab dan 61 Pasal
Sedangkan keberadaan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 dengan sendirinya dapat menghapus
keberadaan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan
Perpres No. 65 Tahun 2006 karena Undang-undang
mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Peraturan Presiden.
Pengaturan dan pengertian kepentingan umum
dalam pengadaan tanah sebelunnya dapat dilihat
dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 Pasal 1 angka
(5), Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa
kepentingan umum adalah kepentingan sebagian
besar lapisan masyarakat. Kata sebagian besar
ini mempunyai makna dan ruang lingkup yang
tidak menjangkau semua masyarakat, masih ada
sebagian masyarakat yang tidak ikut atau tidak bisa
menikmati hasil atau fasilitas yang dihasilkan dari
pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan
demikian kepentingan umum menurut Perpres No. 36
Tahun 2005 bermakna General dan bukan bermakna
Universal. Ini berbeda dengan makna kepentingan
umum yang ada dalam Keppres No. 55 Tahun 1993
yang memberi makna kepentingan umum dalam
artian Universal seperti yang diatur dalam Pasal 1
angka (3) dengan uraian kepentingan umum sebagai
kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Pengaturan kepentingan umum dalam Pasal
1 angka (3) Perpres No. 36 Tahun 2005 dalam
pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari
pengaturan pasal 5 Perpres No. 65 Tahun 2006 yang
menentukan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah
harus dilaksanakan dan selanjutnya harus dimiliki
oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Lebih
lanjut pengertian pemerintah diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
2007 yang keberadaannya merupakan Peraturan
Pelaksana dari Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres
no. 36 Tahun 2005.
Pengaturan dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo
Perpres No. 36 Tahun 2005 menunjukkan bahwa
subjek pengadaan tanah untuk kepentingan umum
adalah pemerintah (baik pusat maupun daerah)
tanpa mempersoalkan apakah kegiatan tersebut
mendatangkan atau berorientasi pada pencarian
keuntungan atau tidak. Kalau hal ini yang menjadi
kriteria maka kemungkinan yang timbul adalah :
1. Pemerintah atau pemerintah daerah setelah
memperoleh tanah-tanah hak kemudian me-
ngalihkan tanah-tanah tersebut kepada pihak
lain (perusahaan swasta).
2. Pihak perusahaan swasta dapat memperoleh
tanah dengan berlindung dibalik kepentingan
umum.
3. Perusahaan swasta dapat memanfaatkan
pemerintah atau pemerintah daerah untuk
memperoleh tanah guna kepentingannya.
Jika dibandingkan dengan pengaturan kepentingan
11
Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti
ini yang ada dalam Perpres No. 65 tahun 2006 jo.
Perpres No. 36 Tahun 2005 dengan Perpres No.
55 Tahun 1993 nampak pengertian dan pengaturan
kepentingan umum yang ada dalam Keppres No.
55 tahun 1993 jauh lebih mendekati rasa keadilan
masyarakat, karena menempatkan posisi pemerintah
sebagai public service karenanya pengadaan tanah
yang dilakukan oleh pemerintah dengan maksud
untuk mencari keuntungan tidak dapat dikategorikan
sebagai pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Proses pembebasan tanah erat kaitannya dengan
permasalahan HAM. Kepemilikan tanah seseorang
nantinya harus direlakan untuk kepentingan yang
lebih besar lagi yang disebut sebagai kepentingan
pembangunan. Proses pembebasan tanah atau
sampai pada tahap yang terburuk yaitu pencabutan
hak atas tanah milik seseorang merupakan hal yang
bertalian erat dengan persoalan Hak Asasi Manusia
(HAM).
Secara sosial ekonomis, maka dalam proses
perencanaan diharapkan mempertimbangkan
beberapa hak dan sekaligus faktor penyeleksi dalam
penetapan program antara lain:
1. Kegiatan pelaksanaan pembangunan harus
merupakan pelaksanaan dan fungsi pemerintah
daerah dalam pelaksanaan otonomi di bidang
pembangunan.
2. Program yang dapat memacu laju perkemban-
gan kawasan.
3. Program yang dalam pelaksanaannya melibat-
kan masyarakat.
4. Program yang dalam pekasanaannya melibat-
kan masyarakaat.
5. Program yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
6. Program yang berhubungan dengan kegiatan
penataan ruang penyediaan kebutuhan ruang.
7. Program yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan penduduk yang mendesak.
Berdasarkan dari kriteria diatas selanjutnya
diimplementasikan melalui penyusunan tata ruang
kawasan yang dalam penyusunannya melibatkan
banyak intansi terkait dan harus komprehensif dalam
menyelesaikan setiap permasalahan daerah.
analisis Penetapan Harga ganti rugi Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan umumArti ganti rugi menurut Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (12) : “Ganti rugi
adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat
fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan
tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan,
tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah yang dapat memberi kelangsungan
hidup yang lebih dari tingkat kehidupan sosial
ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah”.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2005 dasar penetapan ganti rugi
dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak
atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah. Adapun dasar
perhitungan besarnya ganti rugi adalah :
1. Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai nyata/sebena-
rnya dengan memperhatikan nilai jual obyek pa-
jak tahun berjalan berdasarkan penetapan lem-
baga tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh
panitia/penilaian lembaga atau tim penilai harga
tanah yang ditunjuk oleh panitia pengadaan ta-
nah;
2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perang-
kat daerah yang bertanggung jawab/bergerak
dibidang pembangunan;
3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat
daerah yang bertanggungjawab di bidang per-
tanian.
Penetapan ganti rugi secara normatif yang berlaku
hanya memberi ganti rugi kepada tanah, bangunan,
12
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1
tanaman dan benda-benda lain yang terkait oleh
pemerintah dengan harga standar yang ditetapkan
oleh Panitia Pengadaan Tanah. Pemberi ganti
rugi hanya bersifat material terhadap benda yang
dipergunakan oleh pemerintah, sedangkan yang
berbentuk kerugian akibat pengadaan tanah seperti
sisa tanah yang tidak bisa dimanfaatkan secara
ekonomi maupun sosial tidak termasuk perhitungan
dalam pemberian ganti rugi.
Dasar penetapan besarnya ganti rugi berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65
Tahun 2006 Pasal 15 huruf a adalah “Gabungan
yaitu harga nilai jual obyek pajak, dan nilai harga riil
dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak pada
tahun yang berjalan, dengan memperhatikan hasil
tim penilai harga tanah sedangkan yang menyangkut
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada
diatas tanah tidak disebutkan standar yang pasti.
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum melalui pencabutan hak atau
pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak
sebaiknya juga memperhatikan hak-hak pribadi.
Pelaksanaan kepentingan yang lebih luas atau
kepentingan Negara dalam pelaksanaan pengadaan
tanah harus memperhatikan asas-asas hukum yang
berlaku.Asas-asas hukum tersebut antara lain:
Asas KesepakatanSeluruh kegiatan pengadaan tanah terutama dalam
bentuk pelepasan hak atas tanah beserta segala
aspek hukumya seperti persoalan harga ganti
rugi, bentuk ganti rugi harus didasarkan pada asas
kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah
dengan pemegang hakatas tanah. Kesepakatan
dilakukan atas dasar penyesuaian kehendak kedua
belah pihak tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan
dan penipuan serta dilakukan dengan itikad baik.
Hal ini perlu dilakukan karena hubungan antara
kedua belah pihak adalah hubungan keperdataan
yang berasal dari perjanjian sehingga semua
unsur kesepakatan harus terpenuhi. Apabila dalam
pencapaian kesepakatan tersebut terdapat unsur
kekhilafan, paksaan dan penipuan maka kesepakatan
dapat dibatalkan.
Asas KeadilanKeadilan merupakan salah satu cita-cita hukum
yang berangkat dari nilai-nilai moral manusia.Dalam
rangka pengadaan tanah asas keadilan diletakkan
sebagai dasar penentuan bentuk dan besarnya
ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilik tanah
dan orang-orang yang terkait dengan tanah yang
dibebaskan haknya untuk kepentingan umum.
Asas keadilan dikongkritkan dalam pemberian ganti
rugi, artinya dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi
mereka minimal setara atau setidaknya masyarakat
tidak menjadi lebih miskin dari sebelumnya.
Prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang
membutuhkan tanah agar dapat memperoleh
tanah sesuai dengan rencana peruntukkannya dan
memperoleh perlindungan hukum.
Asas KemanfaatanPelepasan hak atas tanah pada prinsipnya harus
dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
membutuhkan tanah dan masyarakat yang tanahnya
dilepaskan.Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dapat terwujud sehingga pembangunan
dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana untuk
berbagai fasilitas kepentingan umum.Disamping
itu pihak masyarakat pemilik tanah dapat diberikan
ganti rugi yang layak atau dapat diberikan tanah
pengganti dan pemukiman kembali sehingga tingkat
kehidupan sosial ekonominya dapat menjadi lebih
baik atau setidaknya tidak menjadi lebih miskin dari
sebelum tanah dilepaskan.Pada akhirnya kegiatan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat
bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Asas Kepastian HukumPelaksaanaan pengadaan tanah harus memenuhi
asas kepastian hukum yakni dilakukan dengan
13
Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti
cara yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan dimana semua pihak dapat mengetahui
dengan pasti hak dan kewajibannya masing-
masing. Disamping itu kepastian hukum juga harus
tertuju terhadap pemberian ganti rugi kepada pihak
pemilik tanah yang telah menderita kerugian atas
lepasnya hak atas tanahnya akibat dilepaskan
untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Disisi
lain, pihak yang membutuhkan tanah juga harus
memperoleh kepastian untuk dapat menikmati atau
mengusahakan tanah tersebut tanpa mendapat
gangguan dari pihak manapun.
Asas MusyawarahMusyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan
di antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan
pengadaan tanah untuk pembangunan bagi
kepentingan umum. Musyawarah menunjuk pada
pembentukan kehendak bersama dalam urusan
mengenai kepentingan hidup bersama dalam
masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan,
sedangkan mufakat menunjuk pada pembentukan
kehendak bersama antara 2 orang atau lebih, dimana
masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk
melindungi kepentingan masing-masing.
Asas KeterbukaanPeraturan mengenai pengadaan tanah harus
dikomunikasikan kepada masyarakat sehingga
masyarakat memperoleh pengetahuan mengenai
isi peraturan tersebut. Demikian pula mengenai
rencana pengadaan tanah untuk pembangunan
demi kepentingan umum harus dikomunikasikan
kepada masyarakat pemilik tanah mengenai tujuan,
peruntukan tanah dan besarnya ganti rugi, serta
tata cara pembayaran ganti rugi kerugian dan
seluruh proses administrasi atas pelepasan tanah
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kesalahpahaman diantara semua pihak sehingga
dapat mencegah terjadinya kekeliruan yang dapat
menimbulkan konflik. Penyampaian informasi
mengenai rencana pengadaan tanah untuk
pembangunan bagi kepentingan umum dapat
dilakukan melalui penyuluhan hukum dan media
informasi yang dapat dijangkau oleh masyarakat
secara luas.
Asas PartisipasiPeran serta semua pihak yang terkait secara aktif
dalam proses pelepasan hak akan menimbulkan rasa
ikut memiliki dan dapat memperkecil kemungkinan
timbulnya penolakan terhadap kegiatan pengadaan
tanah untuk pembangunan bagi kepentingan
umum. Masyarakat pemilik tanah, masyarakat yang
terkena dampak yang ada di lokasi pengadaan
tanah dilibatkan dalam tahap awal sampai akhir
pelaksanaan proyek. Komunikasi dan konsultasi
dengan pihak yang terkait harus dilakukan secara
intensif dan berkesinambungan untuk memberi
masukan yang diperlukan.
Asas KesetaraanAsas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi
pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang
tanahnya akan dilepaskan harus diletakkan secara
sejajar dalam seluruh proses pengambilalihan
tanah. Pihak yang membutuhkan tanah harus
menempatkan pemilik tanah pada posisi sederajat.
Apabila terdapat kesetaraan posisional antara pemilik
tanah diharapkan akan berhasil dengan baik karena
masing-masing pihak dapat mengajukan keinginan
dan menyampaikan tawaran sesuai kesederajatan
posisi mereka.
Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan EkonomiPengadaan tanah dilakukan dengan upaya untuk
meminimalkan dampak negatif atau dampak penting
yang mungkin timbul dari kegiatan pembangunan
tersebut. Disamping itu, juga harus diupayakan untuk
memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena
proyek pembangunan atau yang tanahnya dilepaskan
haknya. Kesejahteraan ekonomi masyarakat yang
terkena proyek pembangunan minimal harus sama
14
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 1-16Vol. 2 No. 1
dengan sebelum terkena pengadaan tanah. Kalau
perlu, terjadi peningkatan taraf hidup masyarakat
menjadi lebih baik antara yang berkonsekuensi pada
hak atas tanah. Bentuk ganti rugi dapat berupa:
1. Uang dan/atau;
2. Tanah pengganti dan/atau;
3. Pemukiman kembali;
4. Gabungan dua atau lebih dari satu pihak-pihak
yang bersangkutan.
Sebagai upaya mewujudkan penghormatan kepada
hak-hak dan kepentingan perseorangan yang
telah dikorbankan untuk kepentingan umum harus
terdapat keseimbangan secara keseluruhan, jadi
ganti rugi tersebut dikatakan adil bila tidak membuat
seseorang menjadi lebih kaya atau lebih miskin dari
keadaan semula.
Dalam pemberian ganti rugi harus dipertimbangkan
beberapa hal yang diperkirakan justru akan
memperburuk keadaan dan taraf kehidupan
orang-orang yang tanahnya dibebaskan tersebut.
Seyogyanya dipikirkan agar kualitas kehidupan
mereka meningkat dan diupayakan agar ganti rugi
diberikan dalam bentuk yang tidak mengubah pola
hidup masyarakat dengan alih pemukiman ke lokasi
yang sesuai. Pemukiman dapat dilihat sebagai
dunia tersendiri tempat dimana warga-warganya
menentukan identitas mereka merasa sebagai
mahkluk sosial dan aman. Selain hal-hal yang
sungguh diderita dalam pemberian ganti rugi yang
harus dipertimbangkan juga faktor-faktor non fisik
atau immateril. Faktor yang bersifat non fisik atau
immaterial yang dapat memperburuk keadaan jika
tidak dipertimbangkan dalam menentukan besarnya
ganti rugi misalnya biaya pindah tempat atau pindah
pekerjaan, turunnya penghasilan pemegang hak
karena proses pengambilalihan yang lama dan
kerugian dalam hal tanah yang dibebaskan hanya
sebagian sehingga tanah yang tersisa sulit dijual.
Penentuan nilai tanah dan harga tanah yang layak
merupakan salah satu masalah dalam pelaksanaan
ganti kerugian. Biasanya harga atau nilai tanah
disuatu daerah hampir tidak diketahui dengan pasti
berapa besarnya walaupun harga tanah dipasar
dapat dimonitor perdaerah, hal tersebut terjadi
karena cara menentukan harga tanah baru dilakukan
bila ada permohonan dari pihak yang memerlukan
tanah untuk membebaskan tanah tersebut.
Secara formal sudah dijelaskan oleh beberapa
peraturan mengenai langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh PPT dalam menentukan harga tanah,
namun harga yang ditetapkan PPT tersebut hanyalah
nilai tanah dalam lingkup yang sempit, yaitu harga
pasar dalam jual beli yang merupakan nilai fisik-
ekonomis tanah tersebut.
Selain itu, masalah yang umum terjadi adalah tidak
disepakatinya bentuk dan jenis ganti rugi tanah
antara pemegang hak atas tanah dengan instansi
yang memerlukan tanah. Dalam kasus tanah yang
diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak dapat dipindahkan
lokasinya ke tempat lain sedangkan tidak ada
kesepakatan mengenai bentuk, jenis maupun
besarnya ganti rugi, maka ganti ruginya dititipkan ke
Pengadilan Negeri setempat. Tindakan pemerintah
tersebut sebagaimana yang sering dipublikasikan
dalam berbagai media masa, dianggap bertentangan
dengan hak asasi manusia. Masyarakat umumnya
merasa bahwa penguasa mengambil tanahnya
dengan cara tidak layak.
KESIMPULAN Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang ada dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo
Perpres No. 36 Tahun 2005 jo UU No. 2 Tahun 2012
berbeda dengan kepentingan umum yang diatur
dalam Keppres No. 55 Tahun 1993. Pengaturan
yang ada dalam Perpres tidak mensyaratkan adanya
prinsip, tidak berorientasi pada pencapaian yang
mencari keuntungan, sehingga bisa jadi tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah yang mencari
15
Rekam Jejak Kebijakan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Lusia Tri Harjanti
keuntungan dapat dipahami sebagai tindakan yang
berdasarkan pada kepentingan umum sepanjang
bidang-bidang yang dilakukan sesuai dengan Pasal
5 Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Pasal 10 UU No. 2
Tahun 2012.
Penentuan bentuk dan besar ganti rugi dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus
dilakukan melalui proses musyawarah mufakat
jika bentuk dan besar ganti ruginya berupa uang
maka musyawarah tentang besar ganti rugi harus
didasarkan pada hasil dari lembaga/tim penilai
khusus terhadap pengadaan tanah kepentingan
umum yang tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain,
konsinyasi terhadap ganti rugi dapat dilakukan pada
mereka yang berkeberatan dengan besarnya ganti
rugi yang ditetapkan oleh panitia pengadaan tanah.
SARAN1. Pengaturan terhadap pelaksanaan pembangu-
nan untuk kepentingan umum yang ada dalam
Perpres No. 65 Tahun 2006 Jo Perpres No. 36
Tahun 2005 perlu ditinjau kembali mengingat
kata kepentingan umum semestinya menem-
patkan pemerintah selaku public service sehing-
ga prinsip non profit orientation harus menjadi
syarat yang mutlak dalam pengaturannya.
2. Untuk meminimalisir masalah dalam rangka
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk ke-
pentingan umum, maka sebaiknya pemerintah
menetapkan harga tanah secara aktual tidak
hanya pada saat dilaksanakan pengadaan ta-
nah tetapi jauh sebelumnya. Dalam menetapkan
harga tanah PPT harus melakukannya secara
objektif dengan pertimbangan-pertimbangan
mengenai faktor sosial, ekonomi dan budaya
sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Faktor bu-
daya perlu diperhatikan dalam ganti rugi karena
jangan sampai dengan diadakan pembebasan
tanah untuk kepentingan umum budaya yang
tumbuh dalam suatu masyarakat menjadi hilang
karena tercerai berainya masyarakat tersebut.
Dengan demikian ganti rugi yang diberikan tidak
merugikan masyarakat pemegang hak atas ta-
nah tersebut.
3. Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tersebut dalam
Pasal 10 ayat (2) tampak adanya keputusan
sepihak mengenai harga tanah dan dengan
mudahnya dapat menitipkan uang ganti rugi ke
Pengadilan Negeri setempat, hal ini merupakan
suatu pemaksaan terhadap hak-hak masyara-
kat yang juga merupakan pelanggaran terhadap
hak asasi manusia walaupun ganti rugi diberi-
kan diatas NJOP sehingga perlu untuk ditinjau
kembali.
UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terimakasih kepada Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia atas bimbingan dalam
penyusunan artikel ini.
DAFTAR ACUANKeputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
17
PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM YANG
BERPERIKEMANUSIAAN, DEMOKRATIS DAN ADIL
laNd’s ProcurEMENT PolIcy for aN aPProPrIaTE, dEMocraTIc aNd faIr
PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
MunsyariefPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan Agus Salim Nomor 58, Jakarta, [email protected]
ABSTRAKBerbagai konflik dalam pengadaan tanah diharapkan mampu diminimalisir dengan munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Bagi Pembangunan, sehingga pengadaan tanah dapat dilakukan
secara cepat namun tetap dengan memperhatikan hak-hak dari pemegang hak atas tanah secara berperikemanusiaan,
demokratis dan adil.
Kata kunci : pengadaan tanah, berperikemanusiaan, demokratis dan adil.
absTracTAny conflicts in land’s procurement hopefully could be minimalized by the emerge of National’s Law No. 2 in 2012 about
Land’s Procurement Policy for Public Interest Development. By this law, land’s procurement not only could be done faster, but
also it will put more attention to land’s owner’ rights in appropriate, democratic and fair way..
Keywords : land’s procurement, appropriate, democratic and fair way.
PENDAHULUAN
latar belakangSetelah sekian lama menuai banyak kritik akibat
tidak tepatnya wadah pengaturan bagi pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
yang hanya diatur dalam Peraturan Presiden,
akhirnya pada Januari 2012 RUU Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Undang-Undang
tentang Pengadaan Tanah yang telah disahkan
tersebut secara filosofis diharapkan memberi
angin segar bagi pelaksanaan pengadaan tanah
di Indonesia. Berbagai konflik dalam pengadaan
tanah diharapkan mampu diminimalisir dengan
munculnya Undang-Undang ini sehingga pengadaan
tanah dapat dilakukan secara cepat namun tetap
dengan memperhatikan hak-hak dari pemegang
hak atas tanah yang tanahnya terkena pengadaan
tanah. Sudah barang tentu, berbagai pendapat
pro dan kontra yang dikeluarkan oleh berbagai
elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar
alasan, argumentasi. Salah satu di antara pendapat
yang menolak saat Rancangan Undang-Undang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum ini dibahas di DPR-RI adalah
Idham Arsyad yang intinya menyatakan: pembahasan
Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
18
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur
agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan
reforma agraria1. Sebelumnya, harian Kompas juga
mewartakan bahwa Undang-Undang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum merupakan ancaman hak atas tanah karena
rawan diselewengkan untuk kepentingan bisnis
yang justru meminggirkan akses publik terhadap
hasil pembangunan, sehingga dinilai tidak berpihak
kepada kepentingan rakyat2.
Permasalahan Apakah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum tersebut merupakan produk
hukum yang responsif ataukah represif?
TujuanMengetahui dan menganalisis Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum tersebut
merupakan produk hukum yang responsif ataukah
represif. Tujuan diciptakannya hukum dalam negara
adalah untuk menciptakan stabilitas dan keteraturan.
HASIL DAN PEMBAHASANKonstruksi hukum penguasaan dan pemilikan tanah
di Indonesia berbeda dengan Negara-negara lain.
Pendekatan yang berbeda di setiap negara dalam
kebijakan pertanahan mencerminkan variabel
nasional, termasuk perencanaan sistem, struktur
kelembagaan dan kewenangannya, sosial-budaya
karakteristik, tekanan penduduk dan lingkungan.
Contoh-contoh kebijakan pertanahan di negara-
negara lain adalah sebagai berikut :
1 Periksa Idham Arsyad, Sesat Pikir RUU Pengadaan Tanah, KOMPAS, Jum’at 18 Maret 2011, hlm.6
2 Kompas Ancaman Hak Atas Tanah, Jum’at 11 Maret 2011 hlm.4
Pengelolaan Pertanahan di Amerika SerikatKewenangan pertanahan di Amerika Serikat berada
pada sebuah lembaga bernama The Bureau of Land
Management (BLM). Lembaga ini merupakan bagian
dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat
yang mengelola tanah publik Amerika, dengan total
nilai sekitar 253 juta hektar (1.020.000 km2), atau
seperdelapan dari luas daratan Amerika Serikat.
BLM juga mengelola 700 juta hektar (2.800.000
km2) mineral bawah permukaan yang mendasari
pemerintah federal, negara bagian, dan tanah
pribadi. Sebagian besar tanah publik yang terletak
di bagian barat negara bagian, termasuk Alaska
dengan sekitar 10.000 karyawan tetap dan hampir
2.000 karyawan musiman, ini berhasil menjadi lebih
dari 21.000 hektar (85 km2) per karyawan. anggaran
badan tersebut adalah US $960.000.000 untuk tahun
2010 ($3,79 per hektar permukaan, $9,38 per hektar).
Misi BLM adalah untuk mempertahankan kesehatan,
keragaman dan produktivitas tanah publik untuk
penggunaan dan kenikmatan generasi sekarang dan
mendatang.
BLM menjalankan aturan perundangan pertanahan
Amerika Serikat yang termaktub dalam The
Federal Land Policy and Management (FLPMA),
yang merupakan hukum federal yang mengatur
cara di mana tanah publik yang dikelola oleh BLM
dikelola. Hukum disahkan pada tahun 1976 oleh
Kongres 94 dan ditemukan di Amerika Serikat
Code bawah Judul 43. Kongres mengakui nilai dari
tanah publik, menyatakan bahwa tanah ini akan
tetap dalam kepemilikan umum. National Forest
Service, National Park Service, dan sekarang, Biro
Manajemen Tanah, yang ditugaskan pada FLPMA
untuk memungkinkan berbagai penggunaan di tanah
mereka (yang menjadi perhatian lebih besar untuk
BLM, yang adalah membatasi paling tidak dalam
hal penggunaan) sementara secara bersamaan
mencoba untuk melestarikan sumber daya alam di
dalamnya. Konsep ini paling baik diringkas dengan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
19
istilah ‘ganda digunakan.’ “Beberapa penggunaan
‘didefinisikan dalam UU sebagai” pengelolaan tanah
publik dan nilai-nilai berbagai sumber daya mereka
sehingga mereka digunakan dalam kombinasi yang
terbaik akan memenuhi kebutuhan sekarang dan
masa depan rakyat Amerika. “ FLPMA membahas
topik seperti perencanaan penggunaan lahan,
pembebasan lahan, biaya dan pembayaran,
administrasi tanah federal, manajemen jangkauan,
dan hak pakai di atas tanah federal. FLPMA memiliki
tujuan tertentu dan jangka waktu di mana untuk
mencapai tujuan tersebut, memberikan kewenangan
yang lebih dan menghilangkan ketidakpastian
seputar peran BLM dalam penunjukan padang gurun
dan manajemen.
Bagian dari FLPMA berkaitan khusus untuk hutan
ditemukan di bawah pos manajemen yg telah
ditunjuk. Di sini, BLM juga diberikan kekuasaan
untuk menunjuk hutan dan diberikan 15 tahun untuk
melakukannya. BLM adalah untuk melakukan studi,
mengelompokkan daerah sebagai ‘daerah hutan
studi. “ Daerah ini bukan area hutan resmi tetapi,
untuk semua maksud dan tujuan, diperlakukan
seperti itu sampai adopsi formal sebagai hutan oleh
Kongres. Sekitar 8,8 juta hektar padang gurun BLM
saat ini termasuk dalam Sistem Pelestarian Hutan
Nasional sebagai hasil dari review padang gurun
diamanatkan oleh FLPMA. Mereka diperintahkan
untuk melaksanakan kebijakan dari FLPMA adalah
karyawan pemerintah yang terlatih menggunakan
pedoman secara tegas dinyatakan dalam tindakan
itu sendiri.Selanjutnya FLPMA yang digunakan untuk
mengatasi masalah-masalah pertanahan sebagai
kebutuhan orang-orang Amerika Serikat, telah
diperluas untuk mencakup sumber daya alam seperti
minyak di Tanah Federal.
Pengelolaan Pertanahan di ChinaYang terjadi di China adalah perubahan hukum-hukum
tanah dapat memberikan substantif pelajaran yang
mungkin berguna bagi negara lain untuk mencoba
menanggapi dengan cara yang konstruktif terhadap
tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan kondisi
ekonomi dan sosial dan kelangkaan lahan. Mengingat
kompleksitas isu dan kebutuhan untuk menemukan
solusi yang dapat secara fleksibel merespon
kebutuhan lokal yang mungkin berbeda secara luas
di seluruh daerah yang berbeda, pendekatan yang
dipilih oleh China didasarkan pada bertahap dan agak
pragmatis dalam pendekatannya, bersama dengan
pelaksanaan desentralisasi di tingkat lokal. Di Cina,
penekanan pada eksperimentasi dan percontohan
yang kemudian dapat dimodifikasi dan ditingkatkan
atau dibuang tergantung pada hasil yang dicapai.
Meskipun memerlukan pemerintah pusat dan
birokrasi untuk melepaskan banyaknya kekuasaan
diskresi, tampak bahwa pemberian tanggung jawab
kepada pemerintah daerah dengan cara ini telah
memberikan tidak hanya menggunakan fleksibilitas
yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan spesifik
lokasi tetapi juga memberikan dasar untuk bergerak
maju dengan penerapan yang jauh lebih cepat
daripada mencoba mengembangkan sebuah “ideal”
hukum yang tidak sinkron dengan realitas tanah.
China pernah mencoba untuk mendesentralisasikan
administrasi tanah tanpa mekanisme yang memadai
akuntabilitas dan kontrol dapat meningkatkan
daya diskresioner elit lokal, bukan penguatan hak
atas tanah. Bukti dari China, seperti dalam kasus
pembatasan secara bertahap kekuatan-kekuatan
pemerintah lokal untuk sewenang-wenang mengambil
tanah, menggambarkan bahwa desentralisasi tidak
sama dengan tidak adanya aturan pusat yang
dikenakan, bahkan itu adalah sebaliknya. Bukti
menunjukkan bahwa memiliki aturan yang jelas dan
menegakkannya sangat diperlukan.
Pengelolaan Pertanahan di GhanaAdministrasi pertanahan di Ghana diatur oleh praktek
adat dan undang-undang berlaku. Pada dasarnya
ada dua jenis kepemilikan tanah: publik atau negara
tanah dan tanah pribadi. Tanah publik atau negara
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
20
didefinisikan sebagai tanah diperoleh secara wajib
oleh pemerintah melalui seruan undang-undang yang
sesuai, berada di tangan Presiden dan diadakan
diakui oleh Negara untuk seluruh rakyat Ghana.
Sebaliknya, lahan pribadi di sebagian besar negara
tersebut dalam kepemilikan komunal, diadakan di
percaya untuk komunitas atau kelompok sebagai
simbol otoritas tradisional, atau dengan keluarga.
Adapun di antara tanah publik dan swasta adalah
lahan pribadi, yang merupakan bentuk kepemilikan
yang memisakan antara negara dan para pemilik
tradisional.
Di seluruh Ghana tersebar sejumlah kelompok
tradisional yang melambangkan milik tanah komunal.
Pada dasarnya, kepemilikan tanah berdasarkan
kepemilikan mutlak atau permanen untuk,
kepentingan, atau hak atas tanah berasal. Dalam
hal ini pemerintah Ghana membentuk kerangka
administratif formal terdiri dari sejumlah lembaga
bidang pertanahan, terutama di bawah Departemen
Tanah dan Kehutanan, untuk memfasilitasi sistem
yang rasional dan tertib administrasi pertanahan.
Sistem ini diaktifkan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan melakukan fungsi-fungsi
berikut :
1. Pemberian tanah publik,
2. Administrasi tanah pribadi,
3. Administrasi tanah adat/pemangku,
4. Penyelesaian sengketa tanah,
5. Pengumpulan dan penyaluran pendapatan ta-
nah adat/pemangku.
Pengelolaan Pertanahan di JermanJerman adalah negara yang sangat federal 16
negara bagian (Länder), Jerman memiliki batas-
batas tanah dengan delapan Anggota Uni Eropa
dan Swiss. Jerman pulih dari kehancuran Perang
Dunia II di Eropa untuk menjadi industri yang paling
menjadi pemimpin dalam pencapaian teknologi, kuat
di sektor manufaktur kendaraan, teknik, perbankan,
dan asuransi. Dengan berakhirnya Perang Dingin
reunifikasi dicapai sangat cepat, tapi masih ada
perbedaan standar hidup antara timur dan barat
dan pengangguran tetap merupakan masalah
utama di Timur. Sistem federal Jerman menawarkan
model yang relatif canggih untuk mendistribusikan
tanggung jawab antara tingkat pusat dan daerah,
yang mencoba untuk memberikan banyak daya dan
tetap menjaga kebijakan nasional yang koheren.
Tingkat pemerintahan di Jerman meliputi Pemerintah
Federal atau pusat kemudian di bawahnya ada
Negara Bagian (Länder) kemudian Pemerintah
Daerah dan kota/kabupaten. Dalam hal wewenang
perencanaan pertanahan pemerintah pusat sebagai
koordinator, pemerintah negara bagian berperan
membangun prinsip-prinsip dasar perencanaan
negara bagian, pemerintah daerah berperan dalam
mengkoordinasi dan membangun prinsi-prinsip
perencanaan di daerah, dan kota/kabupaten
berperan dalam merencanakan penataan skala kecil
di dalam ditail. Di Jerman tidak ada Departemen
Khusus yang membidangi perencanaan spasial yang
harus bertanggung jawab atau setidaknya menjadi
Departemen yang memimpin kebijakan pertanahan.
Kebijakan pertanahan di Jerman didasarkan kepada
undang-undang yang menandai kerangka kerja
hukum untuk hak penggunaan dan disposisi atas
tanah.
Pengelolaan Pertanahan di SwediaSalah satu negara yang paling maju di dunia,
masyarakat pasca-industri, dengan kemitraan publik-
swasta sebagai inti dari “Model Swedia”. Swedia
merupakan negara yang jarang penduduknya,
dengan 85 persen dari sembilan juta penduduk
sekarang tinggal di kota-kota. Banyak di daerah
terpencil terancam oleh stagnasi ekonomi dan
penurunan populasi. Kehutanan adalah penggunaan
lahan yang paling penting di Swedia, meliputi 55
persen luas lahan Swedia, dan kayu, pulp dan kertas
industri secara ekonomi signifikan. Tradisi lama yang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
21
hidup dari tanah dan sumber daya alam dapat
membantu menjelaskan secara luas komitmen
terhadap lingkungan. Swedia adalah salah satu
negara pertama menjadi aktif dalam kebijakan
lingkungan, dan benar-benar direformasi undang-
undang lingkungan pada tahun 1999 dengan tujuan
mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Kewenangan pertanahan di Swedia berada pada
Kementerian Lingkungan, yang bertanggung
jawab dalam membuat acuan perencanaan
nasional yang digunakan dalam pelaksanaan
kegiatan pertanahan untuk wilayah administrasi
di bawahnya. Struktur organisasi untuk kebijakan
lingkungan di Swedia dapat dinilai dalam dua
dimensi. Dimensi pertama adalah mengenai
hubungan antara kebijakan lingkungan dan
kekuatan modernisasi dalam industri, pertanian,
kehutanan, perencanaan fisik, transportasi dan
sebagainya.
Dimensi kedua menyangkut struktur undang-
undang lingkungan, kebijakan organisasi berhasil
ketika telah memiliki regulasi yang unik. Tidak ada
kebijakan tanpa organisasi dan tidak ada kebijakan
publik tanpa undang-undang. Organisasi dan teks
hukum menyatakan tentang realitas kebijakan.
Kenyataan ini muncul hanya dalam rincian praktek
operasi dan praktek hukum.
Kebijakan lingkungan Swedia didasarkan pada
empat karakteristik :
1. Sebuah platform pengetahuan disandarkan
pada dasar akademis yang kuat dari ilmu pen-
getahuan alam dan teknologi.
2. Aturan hukum seperti yang didefinisikan
dalam suatu sistem hukum independen, den-
gan transparansi, dasarnya tidak ada korupsi,
dan sarana yang kredibel penegakan dan pe-
mantauan.
3. Sebuah konsensus nasional yang luas ten-
tang pentingnya melindungi kesehatan manu-
sia dan lingkungan alam.
4. Pandangan masyarakat bersama tentang
perlunya sebuah negara kecil dengan pereko-
nomian terbuka berada di garda depan mod-
ernisasi ekonomi.
Pengelolaan Pertanahan di PerancisPerancis, meskipun menunjukkan tren terakhir
menuju regionalisasi, tetap menjadi pemerintahan
yang sentralistik. Untuk lingkungan, seperti subyek
lain, hukum dibahas dan dipilih oleh parlemen,
sesuai peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah
dengan nasional validitas. Perbedaan utama dengan
negara-negara Eropa lainnya tentang pelaksanaan
kerangka hukum tentang kebijakan pertanahan
terkait dengan prinsip dasar pendekatan Perancis:
yaitu, agar efektif, implementasi harus melibatkan
secara kooperatif seluruh pihak.
Organisasi administratif di Perancis didasarkan
pada tingkat nasional dan regional, yang
menunjukkan variasi yang signifikan dalam
pengambilan keputusan dalam kebijakan
pertanahan di Perancis. Di Perancis pada kurun
waktu tahun 1982-1983 mengalami desentralisasi
secara prerogatif dalam hal perencanaan kota.
Tahun 1980-an adalah dekade perubahan besar
dalam konteks kebijakan tanah. Perubahan
drastis ekonomi dan lingkungan perkotaan, serta
pengalihan hak istimewa perencanaan kota kepada
pihak berwenang setempat, secara bertahap
menghancurkan konsepsi tradisional kebijakan
pertanahan, dan kebijakan yang cenderung untuk
menghilangkan tanah dari ekonomi pasar dengan
mengerahkan kontrol publik yang kuat atas
penggunaan lahan. Konteks baru membawa akhir
dari proyek-proyek besar diimplementasikan di
pinggiran kota. Hal ini mengakibatkan pemerintah
lokal tidak bisa menjalankan aturan yang sudah
ada walaupun memiliki kontrol atas tanah, mereka
tidak memiliki sarana keuangan untuk menegakkan
aturan yang sudah ada. Untuk memperkuat kontrol
tanah pemerintah daerah, maka pemerintah
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
22
Perancis membentuk Lembaga Tanah tingkat supra-
kota. Di daerah metropolitan di mana kerja sama kota
kurang, pemerintah pusat dapat mengambil inisiatif
dalam menciptakan lembaga-lembaga tersebut.
Pengelolaan Pertanahan Tentang Pendaftaran Kawasan Hutan di TurkiSalah satu yang paling berharga dan sumber-sumber
kekayaan yang paling penting dari negara adalah
tanah. Tanah selalu memiliki hubungan material
dan spiritual terkuat yang mengikat dengan fakta
kepemilikan. Oleh karena itu hubungan antara tanah
dan orang sangat berhubungan dengan masalah
sosial, politik dan ekonomi negara. Kadaster telah
menjadi alat utama untuk menentukan hubungan
antara tanah dan orang. Untuk menggunakan
pendaftaran tanah dan informasi kadaster sebagai
dukungan dasar tentang cara “ manajemen
pertanahan” adalah subjek utama. Hal ini perlu
memeriksa kadaster dan kepemilikan di pedesaan
daerah dari sudut pandangan pembangunan
berkelanjutan karena kepentingan dalam pertanian,
wilayah hutan dan padang rumput yang dikenal
sebagai daerah pedesaan telah meningkat dengan
meningkatnya populasi, teknologi berkembang,
urbanisasi berkembang, industri dan komersial
investasi.
Di Turki hutan adalah salah satu sumber daya alam
yang paling penting. Oleh karena itu salah satu mata
pelajaran dasar untuk pembangunan berkelanjutan
di daerah pedesaan. Hal kedua mempengaruhi
pedesaan pengembangan proses dan dipengaruhi
dari ini. Pada setiap istilah itu mencoba untuk
menyelamatkan hutan dan mengambil tindakan
untuk risiko pada kehabisan mereka dengan
pengaturan hukum dan aplikasi. Dalam penelitian
ini hukum pengaturan pada Periode Republik Turki,
khususnya hukum infrastruktur hutan setelah tahun
1960 ditinjau.
Menurut Pasal 168 dalam UUD 1982, “hutan”
adalah dalam kategori kekayaan alam dan sumber
daya alam, dan dalam kepemilikan pemerintah.
Konstitusi juga memiliki bagian khusus untuk
hutan dan kewajiban penduduknya untuk
melindungi dan mengembangkan hutan. Meskipun
demikian “Deforestasi” adalah masalah utama di
Turki. Pengelolaan hutan berkelanjutan adalah
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sosial,
ekonomi, ekologi, budaya dan spiritual generasi
berikutnya. “Untuk melindungi dan mengamankan
kawasan hutan” adalah studi awal yang harus
dilakukan untuk pengelolaan hutan lestari.
Menurut Konstitusi dan Hukum Hutan, tanah
yang kehilangan karakteristik ilmiah hutan akan
dibawa ke luar kawasan hutan. Misalnya pertanian
bidang seperti lapangan, kebun anggur, taman,
kebun, kebun zaitun, daerah kemiri, kacang tanah
daerah, atau tanah yang berguna bagi ternak
seperti padang rumput, tempat terlindung, rumput
gunung, atau pemukiman daerah yang memiliki
kota, kota kecil dan struktur desa, ini berarti bahwa
tanah tidak dapat dipulihkan dan ditingkatkan
sebagai hutan sehingga tempat-tempat ini
sehingga dikeluarkan dari wilayah hutan dan bisa
didaftarkan.
Pengelolaan Pertanahan di IsraelHukum pertanahan Israel memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan dengan hukum-hukum
pertanahan di negara-negara lain. Hal ini tentu
saja menjadi perhatian dari para peneliti masalah
pertanahan di dunia. Ada empat hukum Israel
yang membentuk dasar hukum dalam kebijakan
pertanahan :
1. Hukum Dasar: Pertanahan Israel (1960) me-
nyatakan bahwa semua tanah milik negara
Israel akan tetap dalam kepemilikan negara,
dan tidak akan dijual atau diberikan kepada
siapapun.
2. Hukum Pertanahan Israel (1960) rincian
pengecualian beberapa hukum dasar.
3. Israel Hukum Administrasi Pertanahan (1960)
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
23
menjelaskan rincian membentuk dan mengop-
erasikan Administrasi Tanah di Israel.
Kewenangan pertanahan di Israel berada pada
lembaga yang bernama Israel Land Administration
(ILA). Tujuan keseluruhan dari ILA adalah untuk
menjamin ketersediaan lahan yang diperlukan untuk
pembangunan negara dan penyerapan imigran, dan
untuk berkontribusi pelestarian lahan pertanian dan
keamanan nasional. Wewenang pertanahan di Israel
sebelumnya berada pada kementerian pertanian
yang menekankan kebijakan pengadaan tanah
untuk pembangunan perkotaan dan perumahan,
khususnya, bagi imigran baru dan kelompok sasaran
lainnya.
Prinsip dasar yang mengatur kebijakan pertanahan
oleh ILA adalah tanah yang tidak dapat dijual. Ini
hanya dapat disewakan, tanpa apakah pengguna
adalah orang pribadi, bisnis, atau sebuah publik
(Hukum Tanah Israel; Israel, 1960). Para pengguna
tanah statusnya sewa dengan jangka waktu selama
49 tahun dengan opsi perpanjangan selama periode
yang sama. Mengikuti rekomendasi dari Komite
Weitz (1963), sejumlah aturan yang dilembagakan
tentang tanah perkotaan , yang telah diatur kebijakan
pengelolaan ILA ini sampai sekarang. Tanah hanya
dapat disewa setelah selesainya proses perencanaan
dan setelah persetujuan diperbolehkannya
penggunaan. Selain itu, 91% dari nilai properti harus
prabayar, yang kemudian pembayaran sewa dibayar
sampai akhir masa sewa.
Pengelolaan Pertanahan di IndonesiaMenjelang akhir abad 20, masalah tanah makin
menjadi isu sentral bagi kehidupan masyarakat
Indonesia. Hampir setiap hari berita-berita di media
massa melaporkan konflik-konflik pertanahan yang
terjadi. Konflik-konflik ini adalah hasil dari perubahan-
perubahan cepat dalam struktur ekonomi sejak
pertengahan 1980-an. Dibandingkan dengan yang
terjadi di masa lalu, konflik-konflik yang terjadi saat ini
tidak hanya terjadi pada tanah yang digunakan untuk
pertanian, tetapi juga pada tanah yang digunakan
untuk semua jenis proyek pembangunan, seperti
kehutanan, real estate, pariwisata, pertambangan,
bendungan, kawasan industri, padang golf, dan
sebagainya. Kebanyakan dari konflik tersebut
dapat diartikan sebagai pertentangan hak dan
kepentingan antara penduduk lokal dengan
kekuatan-kekuatan luar yang berusaha keras
mencari keuntungan komersil dari proyek-proyek
tersebut. Dalam banyak kasus, kepentingan
penduduk lokal yang menetap atau menggarap
tanah yang bersangkutan dikorbankan atas
nama kepentingan umum demi pembangunan,
karena lemahnya atau kurangnya pengakuan
hukum terhadap tanah tersebut serta lemahnya
pengakuan hak-hak rakyat akan tanah.
Kebijakan agraria Masa Kekuasaan Kolonial
Para petani di Indonesia pertama kali diakui secara
formal oleh negara sebagai pemilik tanah individual
adalah ketika T. S. Raflles memperkenalkan
sistem sewa tanah di Jawa selama periode 1810-
an. Raflles menganggap bahwa negara sebagai
pemegang kedaulatan adalah pemilik tanah satu-
satunya di Jawa dan para petani adalah penggarap
tanah negara. Dengan pikiran ini, dia bermaksud
menciptakan suatu sistem perpajakan baru
dengan memungut sewa tanah dari petani sebagai
penggarap dan menghapuskan sistem yang telah
ditetapkan oleh penguasa Belanda sejak VOC.
Penetapan nilai pajak dilakukan untuk membuat
nilai tanah dengan mengukur tanah tiap penggarap
dan produktivitasnya. Sawah dan tegalan dipilah
dalam tiga kelas, yakni setengah, dua perlima
atau sepertiga hasil panen harus dikumpulkan
dari setiap kelas sawah, sementara dua perlima,
sepertiga atau seperempat hasil panen harus
dikumpulkan dari setiap kelas tegalan. Namun
demikian, karena kurangnya waktu dan tenaga
personil, survei yang akurat tak pernah dilakukan.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
24
Akibatnya, pemungutan pajak dilakukan secara
sembarangan berdasarkan penilaian fiktif. Selain
itu, kebanyakan penggarap yang didaftar sebagai
pembayar pajak pemilik tanah dalam survei
penetapan nilai pajak ini adalah penduduk desa
kelas atas. Dengan kata lain, para petani kelas
bawah tidak diakui sebagai pemegang tanah, karena
itu dikeluarkan dari sasaran pajak langsung. Bahkan
setelah pemulihan kekuasaan Belanda, sistem sewa
tanah itu tetap dipertahankan oleh pemerintah.
Namun demikian, informasi akurat mengenai luas
dan produktivitas pertanahan maupun luas usaha
dari tiap-tiap penggarap tetap saja tidak memadai.
Sebuah ordonansi pemerinah kolonial secara
terbuka menegaskan bahwa aturan-aturan Raflles
tidak pernah dijalankan sebagaimana mestinya,
namun diterapkan secara berubah-berubah atau
kadang-kadang sepenuhnya diabaikan oleh pejabat-
pejabat lokal dalam penilaian dan pemungutan pajak
sesungguhnya. Pemerintah kolonial menetapkan
bahwa sewa tanah harus dinilai berdasarkan
keseluruhan desa bukan berdasarkan penggarap-
penggarap individual sepanjang pengukuran dan
penilaian tanah yang akurat tidak bisa dilakukan.
Dalam sistem ini, jumlah sewa tanah yang dipungut
atas suatu desa harus ditetapkan berdasarkan
kontrak-kontrak dengan kepala-kepala desa lokal
dan tetua-tetua desa. Dengan kata lain, karena
kekurangan standar universal, maka ditetapkan
secara lokal setiap tahun melalui negosiasi dengan
kepala-kepala lokal tersebut.
Penilaian dan pengumpulan sewa tanah dengan
metode semacam ini dijalankan selama beberapa
dekade sejak saat itu. Alhasil, penerimaan
pemerintah dari pengumpulan sewa tanah sangat
tidak stabil, dan keadilan dalam perpajakan tidak
pernah terealisir. Hal ini disebabkan oleh variasi lokal
yang besar dalam penerapannya. Di sisi lain, para
petani juga harus dibebani oleh sistem tanam paksa
maupun berbagai jenis kerja bakti (heerendiensten)
oleh Belanda.3
Pada tahun 1854, diputuskan oleh pemerintah
kolonial yang baru bahwa sistem sewa tanah yang
berlaku saat itu adalah sistem sementara, dan
sebuah sistem yang lebih kuat akan diperkenalkan
di masa depan. Pada sisi yang lain, kecaman
publik Belanda terhadap sistem tanam paksa di
Indonesia bertambah keras. Akibatnya, peraturan-
peraturan agraria yang baru, diumumkan dalam
tahun 1870, yakni Agrarische Wet (Undang-
Undang Agraria) dan Agrarische Besluit (Peraturan
Agraria) untuk menjamin kebebasan ekonomi bagi
perusahaan–perusahaan perkebunan swasta dan
secara perlahan-perlahan menghapuskan sistem
tanam paksa yang berada di bawah monopoli
negara.4
Meskipun demikian, aturan-aturan ini tidak
pernah mengakui hak milik indvidual para petani.
Sebaliknya, mereka menyatakan bahwa semua
tanah tanpa kepemilikan yang disertifikasi, menjadi
milik negara (domein van den staat). Dalam hal
ini, tanah-tanah petani dianggap sebagai tanah
negara tak bebas, sementara semua tanah tak
bertuan/terlantar digolongkan sebagai tanah
negara bebas.
Walaupun dalam Undang-Undang Agraria
pemerintah dilarang untuk menjual tanah,
pemerintah dapat menyewakan tanah negara
bebas. Pada sisi yang lain, pemilikan tanah komunal
yang telah berkembang di sebagian besar wilayah
Jawa Tengah dan Jawa timur masih tetap berlaku
bahkan setelah penghapusan sistem tanam
paksa. Dalam pemilikan komunal ini, kebanyakan
tanah yang digarap adalah milik komunitas desa
dan dibagikan ke petani-petani baru yang disebut
dengan berbagai nama lokal seperti, sikep, kuli
kenceng, gogol dan lain sebagainya. Lembaga
semacam ini juga menghambat perkembangan 3 Prof. DR. Gunawan Wiradi, M. Soc. , 2000, Reforma Agraria
(Perjalanan yang belum berakhir), Pustaka Pelajar, Jogja-karta, hal 33
4 Sudargo Gautama, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta, hal 110
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
25
hak milik individual para petani.5
Kebijakan agraria Masa orde lama
Setelah kemerdekaan nasional dan pembentukan
negara Republik Kesatuan, tuntutan-tuntutan untuk
pembaharuan peraturan-perturan dalam persoalan
agraria makin keras. Akibatnya, penataan kembali
hubungan-hubungan antara negara, perkebunan,
dan petani dengan pembaharuan perundang-
undangan agraria menjadi tak terelakkan. Lalu
dirumuskanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). Perumusan UUPA itu sendiri melalui proses
yang panjang selama 12 tahun dengan lima kali
pergantian panitia perumus peraturan keagrariaan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perumusan
peraturan agraria dibuat secara serius dan hati-hati
di tengah-tengah situasi politik yang masih penuh
gejolak pada masa awal Indonesia merdeka.
UUPA 1960 dibuat bukan oleh Komisi DPR, tetapi oleh
panitia negara yang melibatkan berbagai pihak. Hal
ini mencerminkan betapa sangat pentingnya agraria
sebagai kebutuhan paling mendasar dari rakyat.
Pada tahun 1960, RUU Agraria yang sudah disiapkan
oleh panitia keempat di bawah pimpinan Sunaryo
diserahkan kepada Presiden Sukarno, namun
Presiden meminta RUU itu diuji dulu oleh perguruan
tinggi. Selanjutnya, DPR membentuk Panitia Ad Hoc
yang bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada.
Tim kerjasama inilah yang disebut dengan Panitia
Lima, yang hasilnya kemudian diserahkan kepada
presiden, dan biasa disebut sebagai Rancangan
Soedjarwo. Setelah disetujui oleh presiden, lalu
dilontarkan kepada DPR untuk disahkan pada
tanggal 24 September 1960.
Dilatarbelakangi oleh kejadian ini, Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) yang diumumkan pada tahun
1960, menghapuskan Agrarische Wet dan Agrarische
Besluit Tahun 1870. Dengan perundang-undangan 5 Darsono, 1962, Dasar-Dasar Ekonomi-Politik Marxis, Ali Archam
Institute, Jakarta, hal 45
baru ini, dualisme dalam masalah-masalah agraria
diakhiri dan hukum-hukum adat lokal tunduk pada
kesatuan hukum nasional. Dalam hal penggunaan
tanah oleh perusahaan perkebunan, disatukan
ke dalam sebuah bentuk hak guna usaha baru
dan hanya diberikan kepada warga negara
Indonesia atau perusahaan domestik. Pemilikan
tanah komunal di desa-desa di Jawa juga
diakhiri dengan undang-undang atau peraturan
yang mengikutinya. Akibatnya, tanah desa yang
sebelumnya merupakan hak komunal berubah
menjadi tanah milik yang dimiliki oleh petani-petani
secara individual. Akan tetapi, hak milik tanah
tersebut sangat ketat dibatasi dengan ketentuan
bahwa hak milik tersebut dapat diambilalih negara
jika berlawanan dengan kepentingan umum.
Semua jenis tanah dianggap sebagai tanah milik
negara, walaupun itu bukan tanah milik negara.
Dalam pengertian ini, jiwa dari pernyataan negara
tetap diwarisi dari periode kolonial meskipun
peraturan agraria yang lama telah dihapuskan.
Di dalam UUPA itu sendiri, terkandung tujuan
‘landreform’ sebagai satu konsepsi struktur
agraria yang di dalamnya terdapat usulan
tentang perombakan dan penggunaan tanah.
Dewan Pertimbangan Agung menyatakan bahwa
landreform bertujuan untuk mencapai masyarakat
adil dan makmur, meningkatkan taraf hidup
penggarap tanah khususnya, dan rakyat jelata
pada umumnya, dan bertujuan untuk memperkuat
dan memperluas kepemilikan tanah bagi seluruh
rakyat Indonesia, terutama kaum tani.
Dengan landasan filosofi yang disebut konsepsi
tanah untuk rakyat, UUPA 1960 bertujuan bukan
saja demi kepastian hukum, atau jika dirumuskan
dengan istilah yang berbeda ‘unifikasi hukum’,
tetapi tujuan yang hakiki adalah mengubah
susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan
stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
26
masyarakat yang adil dan sejahtera. Mengingat
UUPA baru berisi peraturan-peraturan dasar dan
hanya mengenai hal-hal pokok, maka Undang-
Undang tersebut perlu dilengkapi dengan perangkat
peraturan dan perundang-undangan lanjutan. Oleh
karena itu, lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960
tentang penetapan luas tanah pertanian. Undang-
undang Nomor 56 Tahun 1960 ini secara populer
dikenal sebagai Undang-Undang Landreform.
Sesuai dengan tujuan tersebut, maka upaya untuk
mengubah susunan masyarakat itu dilakukan melalui
agenda landreform.
Dalam pidato pengantarnya pada pengesahan
UUPA tanggal 24 September tahun 1960 di hadapan
Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong, Menteri Agraria, Soedjarwo, antara lain
menyatakan bahwa tujuan landreform di Indonesia
adalah untuk mengadakan pembagian yang adil
atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah,
dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil
pula. Merombak struktur pertahanan sama sekali
secara revolusioner guna merealisir keadilan sosial,
untuk melaksanakan prinsip tanah bagi kaum petani.
Agar tanah tidak menjadi alat pemerasan, dan untuk
memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah
bagi setiap warga Indonesia. Suatu pengakuan dan
perlindungan terhadap hak milik yang merupakan
hak yang terkuat yang bersifat perorangan dan turun
temurun, untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan
menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara
besar-besaran dengan cara menyelenggarakan
batas maksimum dan batas minimum untuk tiap
keluarga. Dengan demikian, dalam UUPA tersebut
ada pemberian perlindungan terhadap golongan
ekonomi lemah.
Hal ini juga diperkuat oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara di dalam ketetapannya, yaitu
TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-
garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahun Pertama, 1961-1969. Pada pasal
4 ayat 3 TAP MPRS tersebut, disebutkan bahwa
landreform sebagai bagian mutlak dari revolusi
Indonesia adalah basis pembangunan semesta
yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat
produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan. Di
dalam kerangka meningkatkan pertanian rakyat,
maka UUPA menjadi pijakan kebijakan yang
penting dalam memperbesar kepastian hukum
mengenai kepemilikan tanah untuk para petani,
sehingga dengan demikian akan meningkatkan
produktivitas hasil pertanian. Memang diakui
sesuai dengan kondisi dan situasi pada waktu itu,
maka prioritas dalam menindaklanjuti UUPA 1960
itu adalah pada masalah pertanian rakyat, sehingga
yang dikenal sebagai landreform tersebut seolah-
olah hanya menyangkut pertanian rakyat. Sejak
awal sudah disadari bahwa sebenarnya landreform
tersebut mencakup semua sumber-sumber
agraria (perkebunan, kehutanan, pertambakan,
pertambangan, dan lain-lain). Hanya saja, sekali
lagi tahapan pertama dalam sebuah pelaksanaan
pembaharuan dalam bidang agraria meliputi
wilayah pertanian rakyat.
Perpu Nomor 56 Tahun 1960 itu sendiri kemudian
diperlengkapi dengan suatu perangkat atau
landasan hukum bagi langkah turunannya,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun
1961 tentang Objek Landreform, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pengukuran Desa Lengkap6. Oleh karena itu, dalam
perumusannya pada masa pemerintahan Sukarno,
UUPA tersebut dapat berjalan dengan baik, namun
hal yang tersulit adalah melaksanakan UUPA itu
dalam kehidupan masyarakat. Pada masa-masa
sangat awal umur negara kita, ketika pemerintah
Republik Indonesia melakukan langkah-langkah
pendahuluan dalam perumusan UUPA 1960,
semuanya justru berjalan dengan lancar, karena
semua partai politik mendukungnya. Walaupun
masih dalam situasi politik yang bergejolak dalam
rangka konflik dengan Belanda, semua itu tetap
6 Gautama, Sudargo, Op Cit, hal 96
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
27
dapat dilaksanakan. Namun justru pada saat reforma
agraria yang sesungguhnya sudah dapat dirumuskan
dan tinggal pelaksanaannya yang dilandasi oleh
suatu perundang-undangan yang lebih bersifat
nasional dengan status hukum yang lebih kuat yakni
UUPA tahun 1960, pelaksanaanya justru mengalami
hambatan.
Berbagai hambatan dalam pelaksanaan pembaruan
agraria tersebut antara lain berasal dari perlawanan
tuan-tuan tanah yang memiliki tanah secara luas,
belum tuntas dan belum meratanya sosialisasi
mengenai konsep landreform dan UUPA 1960 dalam
kehidupan masyarakat, bahkan aparat pemerintah
dalam melaksanakan UUPA ataupun landreform
tersebut belum siap, apalagi wilayah geografis
Indonesia beragam dan luas. Ditambah lagi gejolak
politik akibat dinamika politik dalam pemerintahan
Sukarno menyebabkan konsentrasi pemikiran atau
perhatian terhadap pelaksanaan landreform menjadi
terpecah. Dinamika politik dunia dalam konteks
perang dingin yang makin menajam pada waktu itu
berdampak terhadap percaturan politik domestik,
sehingga sikap partai-partai politik terhadap
pelaksanaan landreform menjadi sangat beragam.
Aksi sepihak yang dilancarkan oleh PKI saat itu
menambah runyam keadaan, sehingga tercipta
suatu persepsi bahwa seolah-olah UUPA adalah
produk politik PKI.
Kebijakan Politik Pertanahan Pada Masa orde baru
Masalah landreform adalah salah satu isu pertama
yang muncul manakala pemerintah Orde Baru
ternyata menganut kebijaksanaan yang berbeda dari
rezim sebelumnya. Dalam beberapa tahun pertama,
ketika pemerintah secara bertahap mengembangkan
kebijaksanaan baru di segala bidang, rezim Orde
Baru lebih bersikap curiga dalam memandang
UUPA 1960. Meskipun demikian, pemerintah Orde
Baru membuat beberapa keputusan mendasar
menyangkut pemanfaatan tanah sebagai aset
nasional. Menghadapi kebutuhan mendesak
dalam pangan yang selama beberapa tahun
selalu diimpor dalam jumlah besar, pemerintah
memalingkan perhatiannya kepada teknologi
Revolusi Hijau. Revolusi hijau ini dilakukan dalam
rangka memenuhi kepentingan pangan, dengan
melakukan intensifikasi pertanian, investasi
besar-besaran dalam merehabilitasi irigasi, serta
teknik-teknik baru yang mencakup penggunaan
pupuk kimia dan penanaman varietas baru padi.
Pada kebijakan kedua menyangkut pemanfaatan
tanah, pemerintah Orde Baru melaksanakannya
dengan bentuk transmigrasi. Kebijakan tersebut
dilaksanakan secara hati-hati dalam skala kecil
sebagai program perluasan tanah yang akan
menarik tenaga kerja untuk meningkatkan produksi
pertanian, dan dengan demikian, mendorong
pertumbuhan ekonomi di luar Jawa.
Berdasarkan asumsi pemerintah Orde Baru,
pengembangan sumber daya manusia demi
kepentingan ekonomi nasional dapat berjalan
terus, walaupun tak ada perhatian pejabat
pemerintah terhadap tanah sebagai satu sumber
daya yang penting. Bahkan pertanyaan tentang
status hukum pemilikan tanah individual, di daerah
perkotaan dan pedesaan, tidak dipedulikan. Sangat
kecil perhatian pemerintah terhadap pencatatan
pemilikan dan perubahan kepemilikan tanah.
Undang-Undang Kehutanan Tahun 1967 yang
dikeluarkan oleh pemerintah memang berhasil
menambah pendapatan negara yang memang
diperlukan. Sayangnya, perencanaan tata guna
tanah yang efektif tetap tidak diperhatikan.
Telah dikemukakan di atas bahwa kebijakan
pembangunan Orde Baru lebih menitikberatkan
pembangunan berdasar pada pertumbuhan
ekonomi7. Oleh karena itu, kebijakan pertanahan
pun ditujukan dalam menyukseskan pertumbuhan
ekonomi. Sejak Orde Baru berkuasa, kebijakan 7 Endang Suhendar, 2002, Menuju Keadilan Agraria (70 tahun
Gunawan Wiradi), Akatiga, Bandung, hal 115
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
28
pertanahan lebih dititikberatkan kepada upaya
mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditujukan
untuk pemenuhan kepentingan dan kebutuhan
pembangunan sektoral (pertanian dan industri).
Dalam hal ini telah terjadi pergeseran fokus
kebijakan yang semula lebih ditujukan untuk
memfasilitasi pemodal dalam rangka mengejar
pertumbuhan ekonomi. Terutama pada tahun 80-
an, fokus kebijakan pertanahan lebih ditujukan
untuk memecahkan persoalan pertanahan yang
menghambat pelaksanaan kebijakan pembangunan.
Pemerintah Orde Baru memandang bahwa
peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih
penting dibandingkan dengan pelaksanaan
landreform. Landreform sebagai instrumen utama
dalam mencapai keadilan sosial tidak mendapatkan
tempat yang penting pada masa Orde Baru.
Dengan pendekatan ekonomi yang cenderung
kapitalistik dan rente, maka tanah dipandang sebagai
komoditi strategis yang terutama ditujukan bagi
tersedianya tanah yang sesuai bagi setiap sektor
pembangunan, sehingga dapat mendorong investasi
seluas-luasnya dan sebesar-besarnya dalam rangka
menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
eksploitasi laba bagi kepentingan kroni. Hal ini berarti
bahwa tanah dipandang sebagai barang dagangan,
siapa yang memiliki uang dapat membelinya tanpa
harus dibatasi. Berarti pula para pemilik modal akan
menanamkan modalnya dalam bentuk tanah, karena
pada kondisi luas tanah yang semakin terbatas,
investasi berupa tanah sangat menguntungkan.
Yang paling penting adalah bahwa pada prinsipnya
pembangunan Orde Baru bukan didasarkan pada
penguasaan teknologi, tetapi pada tanah dan buruh
murah sebagai alat produksi. Sebagai konsekuensi
dari orientasi kebijakan pertanahan pada masa Orde
Baru, terdapat ciri umum sebagai berikut:8
1. Inkonsistensi dan ambivalensi.
Orientasi kebijakan pertanahan lebih cenderung 8 Endang, Suhendar, Ibid, hal 135
bercorak kapitalis, sementara dasar acuan
kebijakan pertanahan yang ada dan masih diakui
adalah UUPA yang bercorak populis, maka
terjadilah inkonsistensi kebijakan. Di satu pihak
pemerintah secara yuridis mengacu pada UUPA,
sementara subtansi dari kebijakan yang diambil
berbeda, bahkan bertentangan dengan jiwa dan
semangat UUPA sendiri.
2. Administratif dan legalistik.
Dalam arah kebijakan pertanahan yang berkaitan
dengan hukum pertanahan ditegaskan bahwa
pembangunan hukum pertanahan ditujukan
dalam rangka memantapkan dan mengamankan
pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya,
dilaksanakan dengan mengembangkan dan
membina kelengkapan perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan,
dilaksanakan dengan menyelenggarakan “Catur
Tertib Pertanahan”, yaitu tertib hukum pertanahan,
tertib admnistrasi pertanahan, tertib penggunaan
tanah, dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan
hidup. Dalam konteks tersebut, jelas bahwa
pembangunan hukum pun lebih menitikberatkan
pada pengamanan pelaksanaan pembangunan,
yang berarti bahwa tertibnya hukum pertanahan
akan memudahkan pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi. Pembangunan hukum
tidak ditujukan untuk melindungi kepentingan rakyat
dan kepastian hukum.
Konsepsi Hukum Pengadaan TanahDalam konsep berhukum, Philippe Nonet dan
Philip Selznick membedakan tiga jenis hukum,
yaitu hukum represif (repressive law), hukum
otonom (autonomous law), dan hukum responsif
(responsive law). Titik berat dari konsep berhukum
yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick tersebut
adalah aspek Jurisprudence and Social Sciences
dengan bertumpu pada Sociological Jurisprudenc.
Tujuan hukum represif menurut Nonet dan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
29
Selznick adalah ketertiban. Peraturan perundang-
undangan pada hukum represif bersifat keras dan
rinci, namun tingkat keberlakuannya pada pembuat
hukum sangat lemah. Contoh hukum represif yang
dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yaitu
hukum yang menyalahi moral konstitusionalisme
yang pengelolaan hukumnya berada di tangan para
pejabat pemerintah dan digunakan sebagai instrumen
legal untuk menjamin keutuhan dan keefektifan
kekuasaan pemerintah berdasarkan sanksi-sanksi
pemaksa. Tipe hukum represif banyak mengandalkan
penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan
yang ada di pihak rakyat.
Pada hukum otonom, peraturan perundang-
undangan dibuat luas dan terinci serta mengikat
penguasa maupun yang dikuasai. Tujuan dari hukum
otonom adalah sebuah legitimasi. Sifat-sifat dari
hukum otonom adalah penekanan pada aturan-
aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi
kekuasaan resmi, serta adanya manipulasi oleh
kekuasaan politik dan ekonomi.
Pada tataran hukum responsif, tujuan hukum yang
hendak dicapai adalah kompetensi. Pada perspektif
hukum responsif, hukum yang baik seharusnya
menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar
keadilan prosedural. Hukum yang baik harus
berkompeten dan juga adil, mampu mengenali
keinginan publik dan memiliki komitmen bagi
tercapainya keadilan substantif.
Hukum responsif merupakan hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat. Dalam proses pembuatan produk hukum
responsif, kelompok-kelompok sosial atau individu
dalam masyarakat diberikan peranan besar dan
partisipasi penuh. Hasil dari proses tersebut adalah
produk hukum yang bersifat respon terhadap seluruh
kepentingan, baik masyarakat maupun Pemerintah.
Karakteristik yang menonjol dari konsep hukum
responsif adalah pergeseran aturan penekanan dari
aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan, serta
pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan maupun
cara untuk mencapainya.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum responsif
merupakan hukum yang lebih peka terhadap
masyarakat. Dalam upaya mewujudkan kepastian
hukum, perlindungan hukum, dan keadilan dalam
pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum, hendaknya pemikiran
untuk menerapkan hukum responsif menjadi
pertimbangan pada saat penyusunan RUU
Pengadaan Tanah serta meninggalkan cara-cara
penormaan yang bersifat represif dan otonom
sehingga undang-undang pengadaan tanah yang
baru saja disahkan tersebut merupakan produk
hukum yang responsif.
Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan
pada Pancasila, maka sekiranya pelaksanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum harus pula memperhatikan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penjabaran
nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan suatu keharusan
dan harus dilakukan secara holistik, tidak hanya
dari segi substansi, namun juga dari segi struktur
dan budaya hukumnya.
Pancasila merupakan bintang pemandu yang
berfungsi menguji dan memberi arah bagi hukum
positif. Nilai-nilai Pancasila mempunyai fungsi
konstitusif yang menentukan apakah tata hukum
Indonesia merupakan tata hukum yang benar,
serta mempunyai fungsi regulatif yang menentukan
apakah hukum positif di Indonesia merupakan
hukum yang adil atau tidak (A. Hamid S. Attamimi,
1991 : 24).
Produk Hukum responsif
Saat ini rancangan mengenai undang-undang
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum telah disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
30
Berkaitan dengan Pancasila sebagai paradigma
pengembangan hukum, maka sekiranya undang-
undang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum yang dibentuk tersebut tidak
boleh bertentangan dengan sila-sila yang terdapat
dalam Pancasila. Substansi hukumnya harus
merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila
yang terkandung dalam Pancasila, sehingga hal
tersebut berarti bahwa substansi undang-undang
pengadaan tanah yang dibentuk tersebut nantinya
merupakan karakter produk hukum yang responsif,
yakni untuk kepentingan rakyat dan merupakan
perwujudan aspirasi rakyat.
Berdasarkan Amanat Presiden (Ampres) No R-98/
Pres12/2010 tgl 15 Desember 2010. RUU Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum menjadi Undang
Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Salah satu implikasi dari
perubahan judul itu adalah ‘diselipkannya’ pengaturan
pengadaan tanah untuk swasta. Kepala BPN RI
menyatakan bahwa pengaturan pengadaan tanah
untuk swasta dalam Undang Undang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum tersebut tidak mengurangi tujuan substansial
RUU, yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan
umum. Selain itu, pengaturan pengadaan tanah
untuk swasta tersebut tidak perlu dikhawatirkan
karena pengadaan tanah untuk usaha swasta tetap
dilakukan dengan cara sukarela melalui mekanisme
peralihan hak, seperti: cara jual beli, pelepasan,
penyerahan atau cara lain sesuai kesepakatan
dengan pemilik tanah. Ditegaskan oleh Kepala BPN
RI: “Klausul tentang usaha swasta dalam draf RUU
hanya untuk mengatur wilayah publik yang tidak
boleh diganggu atau dilanggar dalam pengadaan
tanah untuk usaha swasta”9
Pokok-pokok gagasan mengenai operasionalisasi
tersebut terutama dikaitkan dengan penyempurnaan
dan dinamika yang berkembang dalam pembahasan 9 http://www.mataelang.net/2011/04/menguasai-tanah-atasnama-
kepentingan-umum, diunduh 17 Juli 2011
Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di DPR
RI, penulis memutuskan beberapa poin yang perlu
mendapat pembahasan dalam PK ini adalah seputar:
hakikat pelepasan hak sebagai cara pengadaan
tanah, penetapan lokasi sebagai tahapan kunci,10
lembaga pertanahan sebagai penanggung jawab
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, dan ganti-kerugian dalam
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Pelepasan Hak sebagai cara Pengadaan Tanah
Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak
dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960, karena berdasarkan Pasal 27, Pasal 34 serta
40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya
dikenal perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah
dan penyerahan hak atas tanah. Disamping itu
berdasar Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum
pencabutan hak atas tanah. Perbuatan pelepasan
hak atas tanah dilakukan bilamana subyek hak
atas tanah mendapatkan permintaan dari negara
yang dilakukan oleh pemerintah/ pemerintah daerah
yang menghendaki hak atas tanah untuk kegiatan
pembangunan bagi kepentingan umum (public
interests) berdasarkan ketentuan Pasal 6 bahwa
semua hak atas tanah berfungsi sosial. Sedangkan
penyerahan hak atas tanah terjadi bilamana hak
atas tanah selain hak milik diserahkan oleh subyek
haknya kepada negara (pemerintah) sebelum jangka
waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.
Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum
pelepasan hak atas tanah maupun pelepasan hak
atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah
dari subyek hukum yang bersangkutan dan status
hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai
oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo Pasal 4 10 Penulis memberanikan diri menyebutkan sebagai ‘tahapan kun-
ci’, oleh karena fungsi Penetapan Lokasi (PL) dalam RUU PTUP ini menjadi syarat untuk bisa melakukan tindakan perolehan ta-nah. Itu tersirat dari ketentuan yanga menyatakan bahwa jika PL sudah ditetapkan, maka tahapan PTUP selanjutnya menjadi bersifat imperatif.
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
31
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. Disamping itu
hal terpenting dari aktifitas atau perbuatan hukum
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
harus berpijak pada dasar konstitusional yakni
Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
dan Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan:” setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun11. Secara teoritis,
pengadaan tanah (land acquisition) terdiri atas
pengadaan tanah secara sukarela (voluntary
acquisition of land) dan pengadaan tanah secara
wajib (compulsory acquisition of land).12 Di Indonesia
sekarang ini, Pengadaan Tanah Secara Sukarela
(selanjutnya disingkat PTSS) meliputi, antara lain:
pemindahan hak dan penyerahan hak/pemindahan
hak (sebelumnya diistilahkan dengan ‘pembebasan
tanah’); sedangkan yang termasuk Pengadaan
Tanah Secara Wajib (selanjutnya disingkat PTSW)
adalah pencabutan hak atas tanah. Sejarah hukum
di Indonesia menunjukkan bahwa dinamika hukum
pengadaan tanah secara wajib (pencabutan hak atas
tanah) tidak berlangsung intensif. Perkembangan
hukum pengadaan tanah yang pesat terjadi pada
dimensi hukum pengadaan tanah secara sukarela
melalui cara pelepasan hak.
Kalau konsisten dengan UUPA sesungguhnya ‘cara’
pengadaan tanah yang ditempuh dalam PTSS
tidak hanya cara pelepasan hak, tetapi juga cara
11 Imam KoeswahyoNomor, Melacak Dasar Konstitusional Pen-gadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, dalam Jurnal Konstitusi PPK-FH Univ.Brawijaya Vol I Nomor 1 Agustus 2008, hlm.34-36
12 Perhatikan Douglas Brown Brown, “Land Acquisition An exami-nation of the principles of law governing the compulsory acquisi-tion of resumption of land in Australia and New Zealand”, Edisi Keempat, Penerbit Butterworths, Sydney-Adelaide-Brisbane-Canberra-Melbourne-Perth., 1996, hlm 1, yang mengatakan bahwa di Australia “The land may be acquired in one of two ways: by agreement with the owner; or by taking without the agreement of the owner. In the latter case the land is compulsory acquired. Dalam Di Indonesia, pengadaan tanah secara wajib disebut ‘Pencabutan Hak atas Tanah’, sedangkan dalam Bahasa Belanda diistilahkan dengan onteigening. Dalam perkemban-gan, dimungkinkan untuk memadukan cara pengadaan tanah secara sukarela dengan pengadaan tanah secara wajib di dalam suatu pengaturan yang diakomodasi dalam suatu ketentuan. Sekarang ini kecenderungan untuk memadukan pengaturan itu ditempuh berbagai negara. Douglas Brown, ibid, hlm 20, men-gatakan: “In the earlier resumption statutes purchase agreement was regarded as wholly separate from compulsory acquisition. The current land acquisition statutes recognise that land may be acquired in either way. In some instances the voluntary purchase of land is brought under the umbrella of the acquisition statute.”
penyerahan hak. Memang, terminologi pelepasan
atau penyerahan hak sebagai cara pengadaan
tanah sama sekali tidak memiliki perbedaan
pengertian. Keduanya merupakan perbuatan
hukum yang hakikatnya sama. Tentu menjadi
pertanyaan, jika hakikatnya sama, mengapa harus
menggunakan istilah yang berbeda? Oleh karena,
di dalam Pasal 27 UUPA dinyatakan bahwa
salah satu sebab hapusnya hak milik adalah
disebabkan karena ‘penyerahan sukarela’ oleh
pemiliknya. Selanjutnya, di dalam Pasal 34 dan
40 UUPA disebutkan bahwa salah satu penyebab
berakhirnya Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak
Guna Bangunan (HGB) adalah karena ‘dilepaskan’
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir. Tegasnya, walaupun kedua cara itu
menggunakan terminologi hukum yang berbeda,
namun merupakan tindakan hukum yang hakikatnya
sama, yakni sama-sama cara pengadaan tanah
yang mensyaratkan adanya persetujuan dari yang
empunya tanah. Perbedaannya, adalah bahwa
‘penyerahan hak’ merupakan cara pengadaan
tanah jika status tanah yang akan diperoleh adalah
Hak Milik sedangkan ‘pelepasan hak’ dilakukan jika
status tanah yang akan diperoleh adalah HGU dan
HGB.
Istilah pelepasan atau penyerahan hak sebagai
terminologi hukum dalam pengadaan tanah barulah
secara tegas diintroduksi oleh Keppres No. 55
Tahun 1993.13 Dapat dikatakan bahwa oleh Keppres
tersebut, istilah pembebasan tanah telah diubah
menjadi pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah. Namun itu hanya perubahan istilah, bukan
perubahan hakikat sebagai perbuatan hukum.14
13 Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum , yang ditetapkan 17 Juni 1993, mencabut : (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah; (b) Per-aturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta; dan (c) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 ten-tang Tata Cara Pengadaaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.
14 Mungkin perubahan itu perlu, karena sebelum berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993, rakyat yang akan “diambil” ta-nahnya seakan-akan trauma bila mendegar istilah pembe-basan tanah.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
32
Oleh karena, segi-segi hukum pelaksanaan
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah pada
dasarnya sama dengan pembebasan tanah.
Tegasnya, dasar hukum material pelepasan atau
penyerahan hak sama dengan dasar hukum material
pembebasan tanah, yaitu: hukum perdata dalam hal
ini hukum perikatan. Kiranya dapat dikatakan bahwa
perbedaan penyerahan atau pelepasan hak dengan
pembebasan tanah hanyalah perbedaan sudut
pandang. Dilihat dari perbuatan yang memperoleh
tanah tindakan perolehan tanah itu merupakan
kegiatan ‘pembebasan tanah’; sedangkan dilihat
dari sisi yang empunya tanah merupakan tindakan
penyerahan atau pelepasan hak. Namun, oleh karena
persepsi masyarakat sejak tahun 1975 sampai 1993
terhadap istilah ‘pembebasan tanah’ tampaknya
tampaknya cenderung negatif, bahkan traumatis,
maka istilah pembebasan tanah akhirnya secara
tegas ditinggalkan. Selanjutnya, istilah hukum yang
resmi digunakan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993
adalah istilah pelepasan atau penyerahan hak.15
Dibandingkan dengan penggunaan istilah ‘pelepasan
hak’ dalam aturan sebelumnya, penulis mensinyalir
ada “rasa hukum” yang berbeda ketika menggunakan
istilah pelepasan hak dalam RUU dan Draf Perkaban
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Di dalam Pasal 1 butir 7
RUU dan Draf Perkaban Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dinyatakan
bahwa pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan
hubungan hukum antara pihak yang berhak kepada
negara melalui Lembaga Pertanahan. Definisi itu
terkesan mengirit(asi) makna pelepasan hak pada
rumusan pada aturan sebelumnya, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 butir 2 Keppres No.
55 Tahun 1993 dan Pasal 1 butir 6 Perpres No.
36 Tahun 2005. Sebab, di dalam RUU dan Draf
PerKaban Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, tidak ditegaskan bahwa
15 Pasal 1 butir 2 Keppres No. 55 Tahun 1993 merumuskan: “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti keru-gian atas dasar musyawarah.”
pelepasan hak itu harus dilakukan berdasarkan
musyawarah. Di dalam Pasal 1 butir 2 Keppres
No. 55 Tahun 1993 dinyatakan bahwa pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak
atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan
memberikan ganti-kerugian atas dasar musyawarah.
Demikian pula di dalam Pasal 1 butir 6 Perpres No.
36 Tahun 2005 juga dirumuskan bahwa pelepasan
(atau penyerahan hak atas tanah) adalah kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak
atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan
memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
Artinya, ditekankan bahwa pelepasan hak atas tanah
dilakukan atas dasar musyawarah. Musyawarah
dimaksud untuk mencapai kesepakatan mengenai
pelaksanaan pengadaan tanah tersebut, termasuk
tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Dengan demikian, maka dasar hukum material dari
tindakan hukum pelepasan hak (atau penyerahan
hak) dalam pengadaan tanah adalah Hukum
Perikatan atau Hukum Perjanjian. Artinya, keabsahan
atau ketidakabsahan pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah sebagai cara pengadaan tanah ditentukan
oleh ada tidaknya kesepakatan diantara kedua belah
pihak. Dengan perkataan lain, bagi sah tidaknya
perbuatan hukum yang bersangkutan berlaku antara
lain syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum
perjanjian (lihat Pasal 1320 KUHPerdata). Hak-hak
dan kewajiban para pihak, termasuk perlindungan
hukum yang tersedia bagi mereka masing-masing
diatur dalam hukum perjanjian.16 Tegasnya, cara
memperoleh tanah melalui acara pelepasan atau
penyerahan hak didasarkan pada persetujuan
bersama antara yang mempunyai tanah dengan
pihak yang memerlukan. Persetujuan tersebut harus
diperoleh melalui musyawarah untuk mencapai kata
sepakat, baik mengenai penyerahan tanah yang
bersangkutan maupun pemberian imbalannya. Boedi
16 Boedi Harsono, “Aspek-aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan Nasional”, Makalah, 1990, hlm. 5.
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
33
Harsono menegaskan bahwa mengenai tercapainya
dan sahnya kesepakatan bersama itu berlaku asas-
asas dan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian.
Dengan demikian, pihak yang mempunyai tanah dan
pihak yang memerlukan tanah merupakan pihak-
pihak, yang dalam musyawarah untuk mencapai
kesepakatan bersama tersebut mempunyai
kedudukan hukum sederajat. Sekalipun pihak yang
memerlukan adalah suatu instansi Pemerintah.17
Douglas Brown menegaskan: “…a voluntary
agreement entered into by two parties with equal
rights and bargaining power…”.18
Di dalam RUU dan Draf Perkaban Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, tampaknya ada perubahan sikap hukum
dalam menempatkan si empunya tanah dengan
pihak yang membutuhkan tanah sebagai para
pihak yang mempunyai hak hukum yang sederajat
tampaknya. Hal itu, antara lain, terindikasi dari
rumusan pelepasan hak dalam Pasal 1 butir 7
RUU dan Draf Perkaban Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yakni
‘kegiatan pemutusan hubungan hukum antara
pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga
Pertanahan’. Di dalam rumusan tersebut sudah tidak
ditekankan lagi bahwa pemutusan hubungan hukum
itu dilakukan berdasarkan musyawarah. Ketiadaan
keberanian atau tekad atau komitmen Undang
Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum untuk menegaskan bahwa
pemutusan hubungan hukum dalam pelepasan hak
harus dilakukan dengan musyawarah inilah yang
membuat penulis memberanikan diri untuk menduga,
bahwa rasa-bahasa mengenai terminologi hukum
‘pelepasan hak’ dalam Undang Undang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum ini telah mengalami pengirit(asi)an makna.
Ketentuan yang menguatkan juga terindikasi dari 17 Boedi Harsono, Kasus-kasus Pengadaan Tanah Dalam Putu-
san Pengadilan Suatu Tinjauan Yuridis, Makalah pada Seminar Nasional “Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum, Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Pemecahan-nya)”, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan Badan Pertanahan Nasional di Hotel Horison, Jakarta, 3 Desem-ber 1994, 1994, hlm. 7.
18 Douglas Brown, op. cit., hlm 20.
ketentuan Pasal 6 Undang Undang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum yang menyatakan bahwa pihak yang berhak
atas tanah ‘wajib melepaskan tanahnya’ pada saat
pelaksanaan pengadaaan tanah untuk kepentingan
umum. Artinya, pelepasan hak adalah sesuatu
yang wajib, bukan lagi sesuatu yang berdasarkan
kesepakatan.
Sikap hukum dalam rumusan Pasal 1 butir 7
RUU dan Draf Perkaban Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan
Pasal 6 Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut
kiranya akan berimplikasi terhadap aspek hukum
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum dalam Undang Undang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum ini. Dapat dikatakan bahwa
aspek hukum Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum dalam RUU ini lebih
bernuansa publik, sehingga meskipun dinyatakan
bahwa cara yang ditempuh untuk memutus hubungan
antara si empunya tanah dengan tanahnya adalah
cara pelepasan hak, namun pelepasan hak itu tidak
lagi sepenuhnya dibangun atas kesepakatan antara
yang empunya tanah dengan yang membutuhkan
tanah. Pelepasan hak itu lebih merupakan instrumen
pengadaan tanah yang dilakukan Pemerintah dalam
bingkai dan semangat yang bernuansa publik. Hal ini
menjadi lebih jelas ketika dicermati fungsi penetapan
lokasi sebagai suatu tahap kunci dalam Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
menurut Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut.
Penetapan lokasi sebagai Tahapan Kunci
Dalam Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terdapat
ketentuan yang menjadikan Penetapan Lokasi (PL)
sebagai titik-penentu dalam tahapan pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Jika PL
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
34
sudah ditetapkan oleh lembaga pertanahan (Pasal
26 ayat (2)), maka adalah wajib bagi pemilik tanah
atau yang menguasai tanah untuk melepaskan
atau menyerahkan tanahnya bagi kepentingan
umum. Dalam konteks inilah dipahami ketentuan
Pasal 6 Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang
menyatakan bahwa pihak yang berhak atas tanah
‘wajib melepaskan tanahnya’ pada saat pelaksanaan
pengadaaan tanah untuk kepentingan umum.
Ketentuan Pasal 6 inilah, antara lain, sesuatu yang
baru dari Undang Undang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yakni
dijadikannya PL sebagai unsur kunci dalam proses
pengadaan tanah. Setelah PL, tahapan selanjutnya
adalah sesuatu yang bersifat imperatif.
Setelah Dokumen Pengadaan Tanah disusun
oleh Instansi Yang Membutuhkan Tanah (IYMT),
maka dokumen itulah yang digunakan IYMT
untuk memberitahukan rencana pembangunan,
pendataan awal lokasi rencana pembangunan, dan
konsultasi publik rencana pembangunan. Konsultasi
publik (rencana pembangunan) dimaksudkan
untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana
pembangunan dari pihak yang berhak. Kesepakatan
itu dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan
(Pasal 22 ayat (1) dan (4) Undang Undang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum). Keberatan terhadap lokasi
rencana pembanguna.n dilaporkan oleh IYMT
kepada Menteri yang bertanggungjawab terhadap
perencanaan pembangunan nasional atau kepada
Gubernur (apabila IYMT adalah Pemerintah
Daerah). Untuk merespon keberatan tersebut,
Menteri atau Gubernur membentuk Tim Kajian Atas
Keberataan Lokasi Rencana Pembangunan. Hasil
kajian tim itu berupa rekomendasi mengenai diterima
tidaknya keberatan rencana lokasi pembangunan.
Berdasarkan rekomendasi itu, Menteri atau
Gubernur mengeluarkan penetapan diterima atau
tidak keberatan atas rencana pembangunan.19
Pertanyaannya, jika penetapan Menteri atau Gubernur
terhadap keberatan atas rencana pembangunan
diterima, apakah rencana pembangunan tetap bisa
berlangsung kepada PL? Pasal 17 Draf PerKaban
menyatakan bahwa apabila keberatan diterima,
maka Menteri atau Gubernur menyarankan kepada
IYMT untuk melakukan penyesuaian atau perubahan
sebagian rencana lokasi pembangunan. Selanjutnya,
berdasarkan saran Menteri atau Gubernur, IYMT
melakukan pengkajian ulang terhadap kelayakan
rencana lokasi pembangunan. Hasil pengkajian
ulang dapat berupa: (a) penyesuaian atau perubahan
rencana lokasi pembangunan dengan mengurangi
luas rencana lokasi pembangunan; (b) penyesuaian
atau perubahan rencana lokasi pembangunan
dengan mengadakan penggantian sebagian/
seluruh rencana lokasi pembangunan. Tentu, dalam
hal penyesuaian atau perubahan rencana lokasi
pembangunan dengan mengadakan penggantian
tanah rencana lokasi pembangunan, IYMT akan
menempuh lagi tahapan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dari
awal. Pertanyaan yang masih perlu untuk dicarikan
solusinya adalah, bagaimana jika rencana lokasi
tidak bisa dipindahkan?
Pasal 26 Undang Undang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
tampaknya memberi sinyal bahwa meskipun
penetapan Menteri atau Gubernur menerima
keberatan terhadap rencana lokasi pembangunan,
IYMT tetap menyerahkan rencana pengadaan tanah
kepada lembaga pertanahan. Rencana pengadaan
tanah tersebut dilengkapi dengan: dokumen rencana
pengadaan tanah, berita acara kesepakatan,
dan penetapan Menteri atau Gubernur terhadap
keberatan rencana lokasi pengadaan tanah. Setelah
19 Sebelum September 2010, sesungguhnya ada juga alternatif pe-mikiran agar keberatan terhadap rencana lokasi pembangunan itu diputuskan oleh pengadilan. Namun, pemikiran yang men-guat kemudian adalah, keberatan itu dilaporkan kepada otoritas perencanaan pembangunan.
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
35
itu, lembaga pertanahan menetapkan Lokasi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Pasal
26 ayat (3) Undang Undang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum)
sebagai dasar proses pelaksanaan pengadaan
tanah. Ini pun berarti bahwa meskipun masih ada
yang keberatan terhadap rencana lokasi, hal itu
tidak menjadi penghalang bagi lembaga pertanahan
untuk menetapkan lokasi Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Sekali lagi ditegaskan bahwa konsultasi publik
dimaksudkan untuk mendapatkan kesepakatan
lokasi rencana pembangunan dari pihak yang
berhak. Jika sudah diperoleh maka, kesepakatan itu
dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan (Pasal
22 ayat (1) dan (4) Undang Undang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum). Keberatan yang sekiranya masih ada dalam
konsultasi publik diselesaikan oleh Menteri atau
Gubernur dengan penetapan terhadap keberatan.
Hal itu terindikasi dari ketentuan dari Pasal 26 ayat
(1) dan (2) Undang Undang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
yang menyatakan bahwa IYMT menyerahkan
rencana pengadaan tanah yang dilengkapi dengan:
dokumen rencana pengadaan tanah, berita acara
kesepakatan, dan penetapan Menteri atau Gubernur
(terhadap keberatan atas rencana pembangunan).
Dilengkapinya rencana pengadaan tanah dengan
‘penetapan Menteri atau Gubernur’ (terhadap
keberatan atas rencana pembangunan) menunjukkan
bahwa keberatan sebagian dari masyarakat terhadap
rencana pembangunan bukanlah sesuatu yang dapat
menghambat pembangunan untuk kepentingan
umum. Sebab, sudah menjadi keniscayaan hukum
bahwa kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi maupun golongan.20
Namun demikian, untuk mendapatkan kepastian
mengenai derajat akseptasi masyarakat terhadap
rencana pembangunan, kiranya RUU dan Ranc.
Perkaban Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum ini menentukan berapa
besar persentase dari pemilik/luas tanah yang telah
menyetujui rencana pembangunan tersebut, agar
suatu rencana lokasi pengadaan tanah dapat terus
dilanjutkan? Tegasnya, berapa besar persentase
yang sudah memberikan persetujuan rencana
pembangunan, agar lembaga pertanahan memiliki
otoritas untuk menerbitkan PL? Urgensi logika hukum
seperti inilah kiranya yang ditempuh oleh Pasal 34
PerKaban No. 3 Tahun 2007, yang menyatakan:
“Musyawarah rencana pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a dianggap telah tercapai kesepakatan, apabila paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen), dari :
a. luas tanah yang diperlukan untuk pembangunan telah diperoleh, atau
b. jumlah pemilik telah menyetujui bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.”
Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
adalah suatu bentuk kebijakan pertanahan dalam
perolehan tanah. Ketika akan mengimplementasikan
kebijakan tersebut, lembaga pertanahan lebih
memilih jalur Hukum Perikatan (Hukum Perdata)
daripada semata-mata secara sepihak dengan
20 Perhatikan Om Prakash Aggarwala, dkk “Compulsory Acquisi-tion of Land in India Commentary on the Acquisition of Land Act, I of 1894”, Penerbit The University Book Agency, New Delhi, In-dia, 1993, hlm. 16-17 dan Hendry Campbell Black, “Black’s Law Dictionary Definitions of the Terms and Phrases of American an English Jurisprudence, Ancient and Modern, Edisi Keenam, Penerbit West Publishing Co, St. Paul, Minn., USA., 1990, hlm. 16-17., yang menyatakan bahwa kewenangan untuk mem-peroleh tanah demi pelaksanaan pembangunan untuk kepentin-gan umum sesungguhnya bersifat universal. Prinsip-prinsip yang mendasari pengadaan tanah oleh pemerintah tersebut mengacu pada peribahasa (maxim): (a) ‘salus papuli est suprema lax’ (ke-sejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi); (b) ‘necessitas publica major est quam privata’ (kepentingan umum lebih be-sar daripada kepentingan pribadi); (c) ‘princeps et respublica ex justa causa possunt rem meam auferre/the prince and the com-monwealth, for a just cause, can take away my property’ (pen-guasa dan negara, dengan alasan yang layak/memadai, dapat mengambilalih kepentingan pribadi); (d) “The Law imposeth it on every subject that he prefers the urgent service of his Prince and Country, before the safety of his life” (hukum mewajibkan seseorang untuk mendahulukan kepentingan negara daripada keselamatan pribadinya).
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
36
Hukum Administrasi Negara, melalui pranata
hukum ‘Pencabutan Hak’. Secara teoretis, hal itu
merupakan salah satu strategi penerapan kebijakan
pemerintah dengan harapan agar dapat ditingkatkan
derajat akseptasi masyarakat terhadap rencana
pembangunan yang akan dilaksanakan di atas
lokasi pembangunan.21 Dengan demikian, tindakan
perolehan tanah ini merupakan merupakan kebijakan
pertanahan yang diperjanjikan. Perjanjian sebagai
landasan pelaksanaan kebijakan itu diistilahkan oleh
D.A. Lubah dalam disertasinya sebagai perjanjian
kebijakan (beleidsovereenkomst).22 Selanjutnya,
dilihat dari pihak yang melakukan perjanjian dan sifat
perjanjiannya, kesepakatan yang akan dibangun
dalam konsultasi publik rencana pembangunan
juga kiranya dapat dikategorikan sebagai perjanjian
dengan penguasa (contracten met de overheid)23
Dalam perjanjian kebijakan atau perjanjian dengan
penguasa ini, kiranya dapat dipahami dan diterima
akal sehat, jika terdapat indikasi “sifat sepihak” dari
persyaratan itu kesepakatan, yaitu bahwa meskipun
tidak semua pemilik atau yang empunya tanah
menyetujui rencana pengadaan tanah, PL tetap
dapat diterbitkan oleh lembaga pertanahan. Sikap
hukum yang demikian perlu ditempuh mengingat
ada kepentingan yang lebih besar, yakni keinginan
mayoritas pemilik tanah (calon peserta) yang
sudah memberi persetujuan, agar lokasi rencana
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk 21 Indroharto, Perbuatan-perbuatan pemerintahan Menurut Hu-
kum Publik dan Hukum Perdata, Bahan Kuliah kepada angka-tan pertama Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang Peradilan Tata Usaha Negara pada Universitas Indonesia, 1992, hlm. 101, menyatakan bahwa keuntungan-keuntungan yang diperoleh jika memanfaatkan lembaga-lembaga keperdataan dalam mengimplementasikan kebijakan publik adalah: i) lebih dapat diterima, karena warga masyarakat, pengaturan perun-dang-undangan, dan bahkan yurisprudensi sejak dahulu sudah biasa berkecimpung dan menggunakan bentuk-bentuk lembaga keperdataan itu; ii) dapat diterapkan untuk segala keperluan dan kebutuhan, karena sifatnya yang sangat dapat fleksibel dan jelas sebagai suatu instrumen, seperti perhatikan perjanjian-perjanjian tak bernama (onbenoemde overeenkomsten), dan karena adanya kebebasan dalam menentukan isi perjanjian; iii) dapat memberi jalan keluar ketika jalur Hukum Publik menemui jalan buntu; iv) terkuranginya ketegangan yang disebabkan oleh tindakan yang selalu bersifat sepihak dari pemerintah; v) ham-pir selalu dapat memberikan jaminan-jaminan kebendaan (lihat pemberian ganti kerugian pada pencabutan izin atau dalam hal pemerintah tidak dapat memenuhi isi perjanjian yang telah dis-epakati.
22 D.A. Lubach sebagaimana dikutip H.M. Laica Marzuki, op. cit., hlm. 116.
23 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan, Edisi Pertama Cetakan Pertama, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 95.
Kepentingan Umum ditetapkan.
Sesuai Pasal 26 ayat (1) Undang Undang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
kewenangan PL berada pada lembaga pertanahan.
Ketentuan ini kelak akan mengoreksi berbagai
ketentuan mengenai penetapan lokasi dalam rangka
pengadaan tanah. Sebagaimana ditentukan Pasal
5 PerKaban No. 3 Tahun 2007, PL diterbitkan oleh
Bupati/ Walikota (atau Gubernur untuk wilayah DKI
Jakarta), atas rekomendasi instansi terkait dan
Kantor Pertanahan. Dengan demikian, RUU dan Draf
PerKaban Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum memberikan kewenangan
yang semakin besar kepada lembaga pertanahan
dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, khususnya dalam hal dalam
PL. Oleh karena itu, sebelum PL diterbitkan kiranya
konsultasi publik perlu dilakukan secara efektif,
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.
Dalam konteks itulah, dipandang tepat ketentuan
Pasal 10 dan 11 Draf PerKaban Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum yang menyatakan bahwa konsultasi publik
rencana pembangunan dilaksanakan bersama
Pemda (Pemerintah Kabupaten/Kota setempat dan
Pemerintah Provinsi bila meliputi 2 (dua) Kabupaten/
Kota atau lebih).
lembaga Pertanahan : Tanggungjawab lebih besar
Semangat dan ketentuan Undang-Undang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum dan Draf PerKaban Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
tampak ingin memberikan tanggungjawab yang
lebih besar kepada lembaga pertanahan, sehingga
baik penetapan lokasi dan pelaksanaan pengadaan
tanah bisa dikatakan hampir semuanya berada pada
tanggung jawab lembaga pertanahan.
Pasal 31 Undang Undang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
37
menyatakan bahwa berdasarkan PL lembaga
pertanahan melaksanakan pengadaan tanah.
Pelaksanaan pengadaan tanah dimaksud meliputi:
inventarisasi dan identifikasi P4T, penilaian ganti
kerugian, musyawarah penetapan ganti kerugian,
dan pembayaran ganti kerugian. Pasal 26 Draf
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum menyatakan bahwa dalam
rangka pelaksanaan pengadaan tanah dibentuk
Panitia Pengadaan Tanah dengan keputusan Kepala
Kantor Pertanahan. Keanggotaan Panitia Pengadaan
Tanah (Panitia Pengadaan Tanah) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berjumlah paling banyak 7
(tujuh) orang, dengan susunan sebagai berikut:
1. Kepala seksi yang membidangi pengadaan ta-
nah atau kepala seksi lain yang ditunjuk di ling-
kungan Kantor Pertanahan yang bersangkutan,
sebagai Ketua merangkap Anggota;
2. Kepala seksi yang membidangi pengukuran
atau kepala seksi lain yang ditunjuk di lingkun-
gan Kantor Pertanahan yang bersangkutan, se-
bagai Wakil Ketua merangkap Anggota;
3. Kepala Sub Bagian Tata Usaha atau pejabat
yang ditunjuk di lingkungan Kantor Pertanahan
yang bersangkutan, sebagai Sekretaris merang-
kap Anggota;
4. Pejabat/staf di lingkungan Kantor Pertanahan
yang bersangkutan, yang ditunjuk sebagai Ang-
gota.
Tampaknya, keanggotaan para anggota Panitia
Pengadaan Tanah pun hanya terdiri atas jajaran
lembaga pertanahan. Namun, penulis berpandangan
kiranya masih diperlukan Kepala Desa atau Lurah
dalam Panitia Pengadaan Tanah. Bukankah Kepala
desa ataupun lurah akan selalu dibutuhkan ketika
akan melakukan sosialisasi ataupun penyuluhan
dengan masyarakat yang terkena dampak
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum?24 Lagi pula, bukankah setiap
rencana lokasi pembangunan berada di desa atau
kelurahan? Kepala Desa atau lurahlah ujung tombak
dari setiap implementasi kebijakan pemerintah di
lapangan. Masuknya Kepala Desa atau lurah dalam
Panitia Pengadaan Tanah tampaknya cenderung
akan lebih bersifat melancarkan kegiatan pengadaan
tanah itu. Selain itu, kiranya camat pun perlu
dimasukkan dalam Panitia Pengadaan Tanah.
Dimasukkannya Camat dan Kepala Desa/Lurah
sebagai anggota dengan alasan bahwa tanah
di wilayah RI belum seluruhnya terdaftar sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Masih banyak tanah-tanah yang
dikuasai masyarakat berupa tanah milik adat, tanah
negara dan tanah-tanah lainnya. Dengan kondisi
tersebut perlu adanya Surat Keterangan serta
mungkin adanya warisan, jual beli yang belum tuntas
dengan diperlukan penandantanganan Kepala Desa/
Lurah dan Camat sebagai kelengkapan administrasi.
Dalam keadaan tertentu kiranya juga diperlukan
Satuan Tugas untuk membantu Panitia Pengadaan
Tanah. Dalam pelaksanaan inventarisasi di lapangan
atas bidang tanah perlu dibentuk satuan tugas untuk
mendukung kelancaran baik pengukuran, pemetaan
bidang serta status hak atas tanahnya yang terdiri
dari petugas dari BPN ditambah pegawai Desa/
Kelurahan sehigga akan memperoleh data bidang
tanah baik yang sudah didaftar maupun yang belum
terdaftar dengan status haknya.
ganti Kerugian
Pihak yang akan menerima ganti-kerugian
dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum adalah pihak yang
24 Selain, ada juga pemikiran bahwa pihak kecamatan pun dibu-tuhkan untuk masuk dalam Panitia Pengadaan Tanah, sebab akan ada kemungkinan, untuk kelancaran pelaksaaan, di dalam proses pengadaan tanah itu dibutuhkan informasi/ keterangan dari Camat. Namun, kalau Camat ditempatkan sebagai anggota Panitia Pengadaan Tanah, mungkin akan ada kendala psikologis karena posisinya sebagai Pejabat Esolon III, sedangkan Ketua Panitia Pengadaan Tanah adalah salah satu Pejabat Eselon IV.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
38
menguasai/memiliki objek Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut
(Pasal 1 butir 3 Undang Undang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).
Dengan demikian, pihak yang dapat menerima ganti
kerugian adalah pemegang hak atas tanah (terdaftar
maupun belum terdaftar) dan pihak yang menguasai
tanah negara. Penjelasan Pasal 44 Undang Undang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum merinci bahwa pihak yang
berhak atas ganti kerugian adalah: pemegang hak
atas tanah, pemegang hak pengelolaan, nadzir untuk
tanah wakaf, pemilik tanah milik adat, masyarakat
hukum adat, pihak yang menguasai tanah negara
dengan itikad baik, pemegang dasar penguasaan
tanah, dan pemilik bangunan, tanaman atau benda-
benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Menyebutkan ‘yang menguasai tanah negara dengan
itikad baik’ sebagai salah satu pihak yang berhak atas
ganti kerugian adalah suatu perkembangan sikap
hukum yang realistis dan progresif. Disebut ‘realistis’
karena fakta menunjukkan bahwa kenyataan hukum
sekarang ini masih lebih banyak/luas tanah belum
terdaftar daripada sudah terdaftar. Sebagian dari
tanah yang belum terdaftar itu merupakan tanah yang
berstatus sebagai tanah negara. Namun, meskipun
berstatus tanah negara, pihak yang menguasai
tanah negara itu sudah banyak yang menguasainya
dalam jangka panjang dengan itikad baik, bahkan
dengan izin atau persetujuan otoritas pemerintahan
(desa atau kecamatan). Di Provinsi Sumatera Utara
misalnya, akan ditemukan banyak masyarakat
yang menguasai tanah negara berdasarkan ‘akta
pelepasan hak dan ganti rugi’, yang diterbitkan
oleh Camat. Di dalam akta itu dinyatakan secara
tegas bahwa status tanahnya adalah tanah negara.
Padahal, sudah merupakan kenyataan hukum bahwa
tanah yang demikian terus mengalami perpindahan
penguasaan. Perpindahan itu dilakukan oleh dan
di hadapan camat. Penguasaan tanah atas tanah
negara yang seperti ini bahkan banyak yang jangka
waktunya sudah lebih dari 20 tahun.
Pemberian ganti kerugian terhadap pihak ‘yang
menguasai tanah negara dengan itikad baik’ adalah
suatu sikap progresif dari Undang Undang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
ini. Bermaksud untuk memberikan ganti kerugian bagi
pihak ‘yang menguasai tanah negara dengan itikad
baik’, adalah suatu lompatan besar politik hukum
nasional. Lompatan besar ini secara simultan akan
menggapai nilai dasar hukum, yakni keadilan bagi
masyarakat yang menguasai tanah negara tersebut
dan kepastian hukum bagi otoritas pertanahan
yang akan melaksanakan ketentuan Undang
Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum ini. Kepastian hukum ini
akan melindungi otoritas pertanahan ketika akan
memberikan keadilan-substantif bagi masyarakat
yang menguasai tanah negara dengan itikad baik.
Pertanyaannya, bagaimanakah menilai itikad baik
penguasaan tanah negara ini? Menurut Pasal 8 Draf
PerKaban Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Pihak yang menguasai
tanah negara dengan itikad baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf f, antara lain:
1. bekas pemegang hak yang telah habis jangka
waktunya yang masih menggunakan atau me-
manfaatkan tanah yang bersangkutan;
2. pihak yang menguasai tanah negara berdasar-
kan hubungan hukum dengan instansi pemerin-
tah/pemerintah daerah; atau
3. pihak yang menggunakan atau memanfaatkan
tanah negara minimal 20 (dua puluh) tahun se-
cara turun temurun, baik secara terus menerus
atau karena peralihan penguasaan, dengan ti-
dak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan, yang dibuktikan dengan surat ket-
erangan penguasaan fisik yang ditandatangani
oleh kepala desa/lurah, dan 2 (dua) orang saksi.
Terhadap Poin a di atas, selain memenuhi syarat
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
39
’masih menggunakan atau memanfaatkan tanah’,
kiranya peru memberikan batas waktu penguasaan
tanah negara tersebut. Batas waktu dimaksud adalah
jangka waktu yang patut untuk dapat memperoleh
hak atas tanahnya kembali. Bukankah dengan tidak
menindaklanjuti perolehan hak dari tanah negara
bekas tanah hak itu, berarti pihak yang menguasainya
sudah tidak beritikad baik?
Secara umum, untuk membangun tolok ukur
yang dapat digunakan bagi penentuan kelayakan
hukum pihak yang menguasai tanah negara
sebagai penerima ganti kerugian, kiranya perlu
dipertimbangkan apakah penguasaan tanah negara
itu termasuk dalam konsep land tenure dan land
tenancy. Kalau penguasaan tanah negara itu
termasuk dalam konsep land tenure, kiranya dapat
diberikan ganti kerugian. Tetapi kalau penguasaan
tanah negara (untuk kondisi tertentu demikian pula
tanah milik), masih terkategori sebagai land tenancy,
hal itu seyogianya tidak perlu mendapat ganti
kerugian.
KESIMPULANPelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun
2012 sudah memenuhi responsif dari kepentingan
masyarakat dan instansi yang membutuhkan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum, hal ini
di akomodir dalam tahapan konsultasi publik dengan
format musayawarah yang ditandai dengan:
1. kesepakatan bersama antara pihak yang ber-
hak yang menguasai obyek dengan pihak yang
membutuhkan tanah;
2. penetapan lokasi pembangunan oleh pejabat
pelaksana pembangunan di daerah (Gubernur
dan Bupati/Walikota) sebagai tahapan kunci
yang bersifat sangat penting (imperatif);
3. Kewenangan pelaksanaan pengada an tanah
yang dibebankan kepada Lembaga Pertanahan
dalam hal ini Bdan Pertanahan Nasional.
SARAN1. Kesepakatan dalam konsultasi publik yang
merupakan hasil musyawarah harus benar-
benar dilaksanakan beberapa kali agar terjadi
kesepakatan yang utuh dan tidak menimbulkan
gejolak sosial.
2. Penetapan loksai sebagai kunci pelaksanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk ke-
pentingan umum, selain sebagai keputusan pe-
jabat publik juga merupakan keputusan politis.
Sehingga pada tahap perencanaan pembangu-
nan yang membutuhkan tanah perlu dilibatkan
lembaga legislatif sebagai lembaga politik.
3. Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga
pertanahan sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat
(16) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
dengan tanggung jawab yang besar sebagai pe-
nyelenggara pengadaan tanah, harus dilibatkan
dari mulai tahap persiapan sampai dengan ta-
hap penyerahan hasil.
UCAPAN TERIMA KASIHPenulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh
pihak yang terlibat dalam penerbitan karya tulis
ilmiah in.
DAFTAR ACUAN
buku
Aminuddin Salle, Hukum Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum, Kreasi Total Media,
Yogyakarta, 2007.
Boedi Harsono, Kasus-kasus Pengadaan Tanah
Dalam Putusan Pengadilan Suatu Tinjauan
Yuridis, Makalah pada Seminar Nasional
“Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
(Konsepsi Hukum, Permasalahan dan
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 17-42Vol. 2 No. 1
40
Kebijaksanaan Dalam Pemecahannya)”,
Kerjasama Fakultas Hukum Universitas
Trisakti dengan Badan Pertanahan
Nasional di Hotel Horison, Jakarta, 3
Desember 1994, 1994, hlm. 7.
Imam KoeswahyoNomor, Melacak Dasar
Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Pembangunan Bagi Umum,
dalam Jurnal Konstitusi PPK-FH Univ.
Brawijaya Vol I Nomor 1 Agustus 2008,
hlm.34-36
Indroharto, Perbuatan-perbuatan pemerintahan
Menurut Hukum Publik dan Hukum
Perdata, Bahan Kuliah kepada angkatan
pertama Program Pendidikan Lanjutan
Ilmu Hukum Bidang Peradilan Tata Usaha
Negara pada Universitas Indonesia,
1992, hlm. 101, menyatakan bahwa
keuntungan-keuntungan yang diperoleh
jika memanfaatkan lembaga-lembaga
keperdataan dalam mengimplementasikan
kebijakan publik adalah:
Muhammad Yamin Lubis, Pencabutan Hak,
Pembebasan, dan Pengadaan Tanah, CV.
Mandar Maju, Bandung, 2011
Om Prakash Aggarwala, dkk “Compulsory Acquisition
of Land in India Commentary on the
Acquisition of Land Act, I of 1894”, Penerbit
The University Book Agency, New Delhi,
India, 1993.
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan
Perjanjian Pemborongan Bangunan, Edisi
Pertama Cetakan Pertama, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 95
SKH Kompas, Ancaman Hak Atas Tanah, Jum’at 11
Maret 2011 hlm.4
Douglas Brown Brown, “Land Acquisition An
examination of the principles of law
governing the compulsory acquisition
of resumption of land in Australia and
New Zealand”, Edisi Keempat, Penerbit
Butterworths, Sydney-Adelaide-Brisbane-
Canberra-Melbourne-Perth., 1996.
Idham Arsyad, Sesat Pikir RUU Pengadaan Tanah,
SKH KOMPAS, Jum’at 18 Maret 2011,
hlm.6
Dalam pembahasan dengan DPR-RI Sebelum
September 2010, ada alternatif pemikiran
agar keberatan terhadap rencana lokasi
pembangunan itu diputuskan oleh
pengadilan. Namun, pemikiran yang
menguat kemudian adalah, keberatan itu
dilaporkan kepada otoritas perencanaan
pembangunan yaitu Menteri atau Gubernur.
http://www.mataelang.net/2011/04/menguasai-
tanah-atasnama-kepentingan-umum,
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang
Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang ada di atasnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum.
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk kepentingan Umum
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang Berperikemanusiaan, Demokratis dan Adil
Munsyarief
41
Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007
tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Juncto
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 tentang pengadaan tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Ika Dini Haryanti
43
STRATEGI PENYERDERHANAAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
sIMPlIfIcaTIoN sTraTEgy for IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT PolIcy for
PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Ika Dini HaryantiPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan H. Agus Salim Nomor 58, Jakarta,
ABSTRAKKritik dari berbabgai kalangan yang mengkritisi peraturan yang ada selama ini hanya mementingkan kelompok pemodal
besar dan mengabaikan hak-hak orang miskin. Hal tersebut ditandai dengan belum ditemukannya rumusan yang dapat
memuaskan para pihak yang berkepentingan mengenai ganti rugi yang adil baik terhadap faktor fisik maupun non fisik.
Strategi pembangunan dan pengembangan kebijakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, yang dilakukan secara
sederhana dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Kata kunci : strategi , pengadaan tanah, ganti kerugian.
absTracTCritics who come from various segment of society said that the regulation only favors capitalist and big cooperation and
marginalize the poor. It’s been marking the absence of formulation in calculating fair compensation, both physical and
non-physical. Development and establishment strategy for implementation land’s procurement policy for public interest
development are needed in the purpose of prosperity and commonwealth of society.
Keywords : strategy, land’s procurement, compensation.
Dalam hal membangun dan mengembangkan
sejatinya dilakukan untuk kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Namun sebagian
kalangan mengkritisi dan menilai peraturan ini
sebaliknya, yaitu menuding pemerintah hanya
mementingkan kelompok modal besar dan
mengabaikan hak-hak orang miskin.
Dalam rangka pelaksanaan proses pengadaan
tanah, baik prosedur serta langkah-langkah
yang diambil pemerintah terlalu berbrlit-belit dan
birokratis mengenai pemeberian hak atas tanah
untuk masyarakat, badab hukum, baik swasta
maupun BUMN/ BUMD, belum ada aturan yang
jelas mengenai prosedur serta pembiayaan dalam
PENDAHULUAN
latar belakang MasalahDengan terbitnya peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 yang mengatur soal tanah sebagai
pengganti Keppres 55 tahun 1993, pemerintah boleh
mengambil tanah masyarakat, yakni mengatur tanah
agar bisa bermanfaat bagi kepentingan banyak orang,
sebab betapa banyak fasilitas umum yang mau tidak
mau, akan melewati tanah milik masyarakat. Dalam
kata untuk kepentingan umum, terkandung dua
makna yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu
pembangunan dan pengembangan.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1
44
rangka pelaksanaan kegiatan penyelesaian masalah
pertanahan.
Ditetapkan bahwa ganti kerugian (imbalan) dalam
rangka pengadaan tanah diberikan untuk hak atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah. Bentuk ganti kerugian
dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman
kembali, gabungan dari dua atau lebih untuk ganti
kerugian, dan bentuk lain yang disetujui oleh pihak-
pihak yang bersangkutan. Selanjutnya ditegaskan
bahwa cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan
atas dasar harga tanah yang didasarkan atas nilai
nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan Nilai
Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir
untuk tanah yang bersangkutan. Akan tetapi sampai
saat ini belum dapat ditemukan suatu rumus yang
dapat memuaskan para pihak yang berkepentingan
yang dapat mengganti kerugian yang dialami pemilik
tanah baik atas faktor yang bersifat fisik maupun non
fisik.
Perumusan MasalahDengan adanya permasalahan di atas, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini:
1. Bagaimanakah proteksi yuridis terhadap hak-
hak atas penguasaan tanah menurut sistem hu-
kum pertanahan?
2. Bagaimana implementasi yuridis dalam prose-
dur pengadaan tanah bagi pelaksanaan pem-
bangunan untuk kepentingan umum?
TujuanAdapun tujuan yang dikehendaki dalam penelitian ini:
1. Untuk mengetahui proteksi yuridis terhadap
hak-hak atas penguasaan tanah menurut sitem
hukum pertanahan;
2. Ingin mengetahui lebih jauh mengenai imple-
mentasi yuridis dalam prosedur pengadaan ta-
nah bagi pelaksanaan pembangunan untu ke-
pentingan umum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancanaan strategiMenurut Rangkuti (2004) strategi merupakan alat
untuk mencapai tujuan. Strategi dapat dikelompokkan
menjadi tiga tipe strategi :
1. Strategi manajeman yaitu strategi yang dapat
dilakukan oleh manajemen dengan orientasi
pengembangan strategi secara makro.
2. Strategi investasi merupkan kegiatan yang ber-
orientasi pada inventasi.
3. Strategi bisnis yaitu strategi yang berorientasi
pada fungsi-fungsi kegiatan manajemen.
Sedangkan menurut Muljadi (2006) perencanaan
strategik (RENSTRA) merupakan suatu cara untuk
mengendalikan “organisasi” secara efektif dan
efisien, sampai pada implementasi paling depan
dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang
bersangkutan. Dalam penyusunan rencana strategi
oraganisasi, harus memuat :
1. rumusan visi organisasi;
2. rumusan misi oraganisasi;
3. rumusan misi organisasi;
4. rumusan sasaran;
5. rumusan kebijakan;
6. rumusan program;
7. rumusan kegiatan.
Peruntukan Tanah untuk Kepentingan umumTata ruang merupakan hasil dari proses perencanaan
ruang yang dijabarkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana tata ruang
wilayah Provinsi (RTRWN), dan Rencana tata Ruang
Wilayah Kabupaten/ Kota (RTRWK) (BPN : 2004).
Kemudian dalam upaya memberikan kepastian
lokasi dari ruang yang dapat dimanfaatkan, RTRWK
dirinci lebih lanjut dalam bentuk Rancana Detail Tata
Ruang (RDTR).
Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Ika Dini Haryanti
45
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) digunakan oleh
sebagian besar kawasan perkotaan seperti Ibukota
Kabupaten/ Kota dan Ibukota kecamatan. Hal ini
dikarenakan di dalam RDTR tersebut telah memuat
arahan peruntukan dan kepastian penggunaan
tanah baik bagi perorangan, badan hukum yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah maupun
fasiitas untuk kepentingan umum.
Dalam rangka penyediaan dan peruntukan tanah
untuk kepentingan umum telah diterbitkan Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum. Namun dalam pelaksanaannya
pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya
dapat dilaksanakan apabila penetapan rencana
pembangunan untuk kepeningan umum sesuai
dengan Rencana Tata Ruang dalm hal ini Rencana
Tata Ruang Detail (RDTR).
Masalah penting yang selalu aktual dalam kegiatan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah
pengertian mengenai “kepentingan umum”.
Dalam UU No.20 Tahun 1961 yang merupakan
pelaksanaan Pasal 18 UUPA menyandingkan kata
kepentingan umum dengan kata pembangunan.
Kedua undang-undang tersebut mengatur
kepentingan umum suatu pedoman umum.
Sedangkan Inpres No. 9 Tahun 1973 sebagai
pedoman pelaksanaan UU No. 20 Tahun1961
mengenai dua pendekatan, yakni pedoman umum
(Pasal 1 ayat 1) dan 13 daftar kegiatan (Pasal 1 ayat
2 Lampiran inpres). Pasal 18 UUPA berbunyi : “untuk
kepentingan umum, termasuk bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan undang-undang”.
Pasal 1 ayat 1 UU No. 20 tahun 1961 menyebutkan :
Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama
rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka presiden dalam keadaan yang memaksa telah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman
yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
Pasal 1 ayat 1 Lampiran Inpres No. 9 Tahun 1973
menyebutkan :
Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan
pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum,
apabila kegiatan tersebut menyangkut :
1. Kepentingan bangsa dan negara, dan/ atau
2. Kepentingan masyarakat luas
3. Kepentingan rakyat banyak/ bersama, dan/ atau
4. Kepentingan pembangunan.
Selanjutnya pasal 1 ayat 2 Lampiran Inpres No. 9
Tahun 1973 menyebutkan :
Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang
mempunyai sifat kepentingan umum sebagai
dimaksud dalam ayat 1 pasal ini meliputi bidang-
bidang :
1. Pertanahan
2. Pekerjaan umum
3. Perlengkapan umum
4. Jasa umum
5. Keagamaan
6. Ilmu pengetahuan dan seni budaya
7. Kesehatan
8. Olahraga
9. Keselamatan umum terhadap bencana alam
10. Kesejahteraan sosial
11. Makam/ kuburan
12. Pariwisata dan rekreasi
13. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan umum
Keppres 55 Tahun 1993 memberikan batasan berbeda
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1
46
mengenai kepentingan umum. Kepentingan umum
adalah kepentinngan seluruh lapisan masyarakat
dimana kegiatan yang dilakukan dan selanjutnya
dimiliki oleh pemerintah, serta tidak digunakan untuk
mencari keuntungan (pasal 1 angka 3). Meskipun
pengertian pengadaan tanah yang dirumuskan oleh
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Pasal 1, akan tetapi
lingkup pengadaan tanah tidak cukup hanya berhenti
sampai pada proses pemberian ganti rugi kepada
yang berhak atas tanah tersebut.
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagai suatu
pedoman bagi pelaksanaan pengadaan tanah
bagi kepentingan umum harus memperhatikan
kepentingan warga masyarakat yang terkena
dampak atas pelaksanaan pengadaan tanah
tersebut. Lingkup kegiatan pengadaan tanah harus
meliputi pula pada proses dimana mereka yang
terkena proyek pembangunan untuk kepentingan
umum tersebut tetap terpelihara kesejahteraan hidup
seperti semula bahkan lebih baik daripada sebelum
dilakukannya proyek tersebut.
Perkembangan selanjutnya Perpres No. 36 Tahun
2005 diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006.
Perpres 36 tahun 2005 membuka peluang pengadaan
tanah bagi pembangunan yang dilakukan oleh swasta
dengan difasilitasi oleh pemerintah. Hal inilah yang
kemudian banyak dikritik oleh berbagai kalangan,
karena pengertian kepentingan dikhawatirkan dapat
diartikan secara luas, sehingga dapat melanggar
hak-hak atas tanah, padahal sistem hukum
tanah Indonesia belum sepenuhnya memberikan
perlindungan yang maksimal bagi hak-hak atas
tanah. Selain itu hukum tanah Indonesia belum
dapat mengakomodasi kepentingan pembangunan.
Perpres No. 36 Tahun 2005 merupakan wadah
atau pedoman pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan yang berkaitan dengan hak-hak
dasar manusia. Perubahan yang terpenting adalah
mengenai pedoman kepentingan umum atau kriteria
dan daftar kegiatan.
Pengertian kepentingan umum dalam Perpres No 65
tahun 2006 adalah kepentingan sebagian besar lapisan
masyarakat dan pembangunan untuk kepentingan
umum selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh
pemerintah atau pemerintah daerah. Dalam perpres
No. 65 Tahun 2006, kriteria kepentingan umum pada
dasarnya sudah menampakkan batasan yang tegas,
dengan hanya memberikan ruang bagi pemerintah
atau pemerintah daerah sebagai operator atau
sebagai pemilik dari pembangunan yang dilakukan.
Walaupun tidak secara tegas dinyatakan bahwa
kegiatan pembangunan tidak digunakan untuk
mencari keuntungan.
Adapun pembangunan untuk kepentingan umum
berdasarkan pasal 5 angka 1 Perpres Nomor 36
Tahun 2005 dibatasi untuk :
1. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api ( diatas
tanah, diruang atas tanah, maupun diruang
bawah tanah ) saluran air minum/ air bersih, sal-
uran pembuangan air dan sanitasi.
2. Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pen-
gairan lainnya.
3. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan
masyarakat.
4. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api,
terminal
5. Peribadatan.
6. Pendidikan atau sekolahan.
7. Pasar umum.
8. Fasilitas pemakaman umum.
9. Fasilitas keselamatan umum.
10. Pos dan telekomunikasi.
11. Sarana olahraga
12. Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana
pendukungnya.
13. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, per-
wakilan negara asing, perserikatan bangsa-
bangsa, dan/ atau lembaga-lembaga interna-
sional dibawah naungan perserikatan bangsa-
Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Ika Dini Haryanti
47
bangsa.
14. Fasilitas TNI dan Polri sesuai dengan tugas po-
kok dan fungsinya.
15. Lembaga permasyarakatan dan rumah taha-
nan.
16. Rumah susun sederhana.
17. Tempat pembuangan sampah.
18. Cagar alam dan cagar budaya.
19. Pertamanan.
20. Panti sosial.
21. Pembangkit transmisi, distribusi tenaga listrik.
Penafsiran yang ketat tersebut diharapkan dapat
memberikan keadilan dan kepastian hukum karena
mengurangi kebebasan untuk menafsirkan yang
dapat berdampak merugikan para pemegang
hak. Dengan demikian dapat diharapkan adanya
penyederhanaan sistem pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
Rumusan definisi kepentingan umum harus lebih
terbuka dan menyuarakan aspirasi dari masyarakat
di mana pembangunan akan dilaksanakan
melalui peraturan Daerah yang ditetapkan
bersama Pemerintah Daerah dan DPRD yang
bersangkutan untuk menentukan apakah suatu
kegiatan itu tergolong kepentingan umum atau
bukan. Kepentingan umum didefinisaikan sebagai
kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak, berfungsi melayani dan memnuhi kebutuhan
masyarakat di mana hal-hal mengenai fungsi, kontrol,
tarif, pembagian keuntungan dan kepemilikannya
diatur dengan Peraturan Daerah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum adalah :
1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam
perauran perundang-undangan, sehingga
semua pihak yang terkait dapat mengetahui hak
dan kewajiban masing-masing.
2. Diperlukan komunikasi dan konsultasi dian-
tara masyarakat dengan pihak (instansi) yang
memerlukan tanah secara intensif dan ber-
kesinambungan untuk saling memberikan ma-
sukan yang diperlukan sehingga masyarakaat
mengetahui informasi
3. Berkenaan dengan perencanaan pelaksanaan
dan pemantauan pengadaan tanah. Dengan
demikian peran serta masyarakat ini dilakukan
mulai tahap inventarisasi, penyuluhaan, dan
konsultasi, pelaksanaan pemberian imbalan.
4. Peran serta semua pihak (masyarakat dan pi-
hak yang memerlukan tanah secara aktif dalam
proses pengadaan tanah akan menimbulkan
rasa ikut memiliki dan dapat memperkecil ke-
mungkinan timbulnya penolakan terhadap ke-
giatan pengadaan tanah untuk pembangunan.
5. Musyawarah harus sungguh-sungguh dijadi-
kan sarana untuk mempertemukan perbedaan
kepentingan dan keinginan dari pihak yang me-
merlukan tanah dan pihak yang tanahnya diper-
lukan untuk kepentingan umum. Oleh karena
itu musyawarah dalam pengertian sebagai keg-
iatan yang mengandung proses saling menden-
gar, saling memberi dan menerima pendapat,
seta keinginan atas dasar kesukarelaan dan ke-
setaraan anatara pihak harus dilaksanakan se-
cara sukarela dan menjauhkan kondisi psikologi
yang menghalangi terjadinya proses tersebut.
6. Jenis imbalan harus memperhatikan faktor-fak-
tor yang bersifat fisik, seperti tanah, bangunan,
tanaman, benda-benda lain yang berkaitan den-
gan tanah dan bersifat non fisik. Bentuk imbalan
harus sesuai dengan kesepakatan yang dica-
pai dalam musyawarah. Dengan diterimanya
imbalan tersebut, maka kehidupan pihak yang
melepaskan tanah, menjadi lebih baik atau
minimal setara dengan tingkat kehidupan sosial
ekonomi sebelum tanahnya dilespakan untuk
pembangunan.
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1
48
umum menurut Keppres No. 55 tahun 1993 jo
Peraturan Menteri Agraria/ Ka BPN nomor 1/ 1994:
1. Penetapan lokasi pembangunan
Instansi pemerintah yang memerlukan tanah
mengajukan permohonan penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum kepada
Bupati/ Walikota melalui Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/ kota. Permohonan ini dilengkapi dengan
keterangan mengenai:
a. Lokasi tanah yang dimohon.
b. Luas dan gambar kasar tanah yang
diperlukan
c. Penggunaan tanah pada saat permohonan
diajukan
d. Uraian rencana proyek yang akan
dibangun disertai keterangan mengenai
aspek pembiayaan, lamanya pelaksanaan
pembangunan.
Apabila permohonan diajukan kepada Bupati/
Walikota, setelah menerima permohonan itu, Bupati/
walikota memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kota untuk mengadakan koordinasi
dengan Ketua Bapeda (kabupaten/ kota), Asisten
Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Ketataprajaan
dan instansi terkait untuk secara bersama-sama
melakukan penelitian mengenai kesesuaian
peruntukan tanah yang dimohon dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ada.
Apabila permohonan diajukan kepada Gubernur,
setelah menerima permohonan, Gubernur
memerintahkan Kepala Kantor Wilayah BPN untuk
mengadakan koordinasi dengan Ketua Bapeda
(provinsi) atau dians tata kota, Asisten Sekretaris
Wilayah Daerah Bidang Ketataprajaan dan instansi
terkait bersama-sama melakukan penelitian
mengenai kesesuaian peruntukan tanah yang
dimohon dengan RTRW yang telah ada.
Gubernur memberikan persetujuan penetapan
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum yang
dipersiapakan oleh kepala kantor Wilayah BPN
Provinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/
Kota setempat, sepanjang rencana penggunaan
tanahnya sesuai dengan dan berdasarkan pada
RTRW.
2. Panitia Pengadaan Tanah
Adapun keanggotaan panitia pengadaan tanah
terdiri dari unsur daerah terkait dan dari unsur Badan
Pertanahan Nasional. Dengan berlakunya Perpres
No. 65 Tahun 2006,susunan dan keberadaan panitia
pengadaan tanah diatur dalam peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
No.3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum.
Susunan panitia Pengadaan Tanah dibagi menjadi
Panitia Pengadaan tanah propinsi dan panitia
pengadaan tanah kabupaten/ kota. Kepanitiaan
tersebut terbentuk atas dasar wilayah tanah
yang akan menjadi obyek pembangunan untuk
kepentingan umum. Panitia pengadaan tanah
propinsi dibentuk apabila tanah yang menjadi obyek
pembangunan terletak di lebih dari satu Kabupaten/
Kota dalam propinsi yang sama. Sedangkan panitia
pengadaan tanah kabupaten/kota dibentuk bila tanah
yang diperlukan untuk pembangunan hanya berada
di kabupaten/ kota yang bersangkutan.
Dalam tahap ini panitia pengadaan tanah yang telah
dibentuk membantu pemerintah atau pemerintah
daerah untuk mempertemukan dengan masyarakat.
Bantuan pada tahap awal dilakukan dengan
memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada
masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/
atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana
dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk
konsultasi publik baik melalui tatap muka, media
cetak, maupun media elektronik. Tujuannya agar
dapat diketahui masyarakat yang terkena rencana
pembangunan dan/ atau pemegang hak atas tanah.
Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Ika Dini Haryanti
49
Kemudian melakukan penelitian dan inventarisasi
atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda
lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya
akan dilepas; mengadakan penelitian mengenai
status hukum tanah yang hanya akan dilepas atau
diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang
haknya akan dilepaskan/ diserahkan; mengadakan
musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah
dan instansi pemerintah dan/ atau pemerintah daerah
yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan
bentuk dan/ atau ganti rugi; menyaksikan pelaksanaan
penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak
atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda
lain yang ada di atas tanah; membuat berita acara
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan
mengadministrasikan dan mendokumentasikan
semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan
kepada pihak yang berkompeten.
Tahap PenyuluhanMengenai penyuluhan ini diatur dalam peraturan
Kepala BPN No.3 Tahun 2007. Dalam tahap
ini Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/ Kota
bersama instansi pemerintah yang memerlukan
tanah melakukan penyuluhan untuk menjelaskan
manfaat, maksud, dan tujuan pembangunan kepada
masyarakat serta dalam rangka memperoleh
kesediaan dari pihak pemilik. Dalam hal penyuluhan
diterima oleh masyarakat, pengadaan tanah
dilanjutkan dan bila tidak diterima, maka panitia
melakukan penyuluhan kembali. Setelah dilakukan
penyuluhan kembali, tetapi tetap tidak diterima oleh
75 % dari pemilik tanah, sedangkan lokasi dapat
dipindahkan, instansi pemerintah yang memerlukan
tanah mengajikan alternatif lokasi lain. Bila lokasi
tidak dapat dipindahkan, maka panitia pengadaan
tanah menggunakan lembaga pencabutan hak atas
tanah.
Setelah penyuluhan diterima maka selanjutnya
Panitia Pengadaan Tanah melaksanakan identifikasi
dan inventarisasi. Hasil identifikasi dan inventarisasi
dituangkan dalam peta bidang tanah. Peta bidang
tanah diumumkan di kantor Lurah/ Desa dan Kantor
Pertanahan setempat atau melalui mass media.
Setelah pengumuman selasai, Peta bidang tanah
disahkan oleh panitia pengadaan tanah.
Untuk membantu tugas panitia, maka ditunjuklah
tim penilai harga tanah yang independen, yang
berwenang melakukan penilaian harga tanah
termasuk harga bangunan, tanamn, dan/ benda-
benda lain yang ada di atas tanah.
Adapun susunan anggota panitia pengadaan tanah
tingkat provinsi, menurut pasal 4 Peraturan Menteri
Agraria/ Ka BPN No. 1/ 1994 terdiri dari :
1. Ketua merangkap anggota: Gubernur atau peja-
bat yang ditunjuk
2. Wakil Ketua merangkap anggota: Kepala Kantor
Wilayah BPN provinsi
3. Anggota (Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jen-
deral Pajak, Kepala Instansi Pemerintah Provin-
si yang bertanggung jawab di bidang bangunan,
Kepala Instansi Pemerintah Provinsi yang ber-
tanggung jawab di bidang pertanian, Kepala In-
stansi Pemerintah Provinsi lainnya yang diang-
gap perlu)
4. Sekretaris I bukan anggota: Kepala Biro Tata
Pemerintahan
5. Sekretaris II: Kepala Bidang Hak-Hak Atas Ta-
nah Kantor Wilayah BPN
Tugas Panitia Pengadaan Tanah Provinsi :
1. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas Panitia
Pengadaan Tanah (Kabupaten/ Kota) apabila
lokasi pembangunan terletak di dua wilayah ka-
bupaten/ kota atau lebih;
2. Membantu Gubernur dalam mengambil keputu-
san mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
(imbalan) dalam hal ada keberatan terhadap
keputusan Panitia Pengadaan Tanah Provinsi.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1
50
Sedangkan susunan anggota Panitia Pengadaan
Tanah Kabupaten/ Kota menurut Pasal 7 Keppres 55
Tahun 1993 terdiri dari:
1. Ketua merangkap anggota: Bupati/ Walikota
2. Wakil Ketua merangkap anggota: Kepala Kantor
Pertanahan Kabu paten/Kotamadya
3. Anggota Kepala Instansi Pemda Bidang Bangu-
nan, Kepala Instansi Pemda Bidang pertanian,
Camat, Lurah/ Kepala Desa
4. Bukan Anggota (Asisten Sekretaris Wilayah
Daerah, Sekwilda/Kabag Bidang Pemerintahan
pada Kantor Bupati, Kepala Seksi pada Kantor
Pertanahan kabupaten/ Kotamadya.
Tahap Musyawarah, Penetapan, Pemberian ganti rugiMenurut Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993
musyawarah adalah proses atau kegiatan saling
mendengar dengan sikap saling menerima pendapat
dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan
antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak
yang memerlukan tanah, untuk memperoleh
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/ Kepala BPN No. 1 tahun 1994
diatur proses musyawarah itu yaitu diawali dengan
pengadaan penyuluhan kepada masyarakat yang
terkena lokasi pembangunan dengan maksud dan
tujuan pembangunan tersebut, di tempat yang
ditentukan Panitia Pengadaan Tanah, dan dalam
pembangunan tersebut mempunyai dampak yang
penting dan mendasar pada kehidupan masyarakat,
maka penyuluhan dilakukan dengna melibatkan
peran serta tokoh masyarakat dan pimpinan informal
setempat.
Sesuai dengan keperluannya, penyuluhan dapat
dilakksanakan lebih dari satu kali. Musyawarah yang
intinya untuk mencapai kesepakatan tentang bentuk
dan besarnya ganti kerugian (imbalan) tersebut
dilakukan secara langsung antara instansi yang
memerlukan tanah dengan para pihak setelah tahap
penyuluhan dan inventarisasi mengenai bidang
tanah yaang bersangkutan dilakukan.
Tahap musyawarah ini dilakukan antar pemegang
hak atas tanah, bangunan, tanaman, benda-benda
yang berkaitan dengan tanah dengan pemerintah
atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah
yang difasilitasi oleh panitia pengadaan tanah.
Musyawarah yang diadakan oleh panitia pengadaan
tanah dilakukan untuk memperoleh kesepakatan
mengenai pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum di lokasi tersebut dan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi.
Dalam tahap ini, apabila jumlah pemegang hak
atas tanah tidak memungkinkan atau dengan kata
lain, pemegang hak atas tanah sangat banyak
jumlahnya, sehingga diangggap tidak akan efektif
bila melibatkan seluruhnya dalam musyawarah,
maka panitia pengadaan tanah mengadakan
musyawarah antara pemerintah atau pemerintah
daerah yang memerlukan tanah dengan perwakilan
para pemegang hak atas tanah yang bertindak untu
dan atas nama pemegang hak atas tanah lainnya,
berdasarkan surat kuasa yang dibuat secara tertulis
dan memenuhi syarat lainnya, seperti diketahui oleh
Kepala Desa atau surat dibuat dihadapan pejabat
yang berwenang dalam hal ini notaris.
Bila seluruh proses dalam melaksanakan musyawarah
telah dipenuhi, maka ketua panitia pengadaan tanah
memimpin jalannya musyawarah. Musyawarah ini
dilakukan dalam jangka waktu 120 hari, bila lokasi
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum
tidak dapat dipindahkan atau dialihkan secara teknis
tata ruang ke lokasi lain 120 hari dihitung sejak tanggal
undangan musyawarah untuk pertama kali. Panitia
pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti rugi
hak atas tanah yang dilakukan oleh lembaga atau
tim penilai tanah yang didasari oleh NJOP atau nilai
nyata yang sebenarnya. Sedangkan untuk besarnya
ganti rugi bengunan dinilai atau ditaksir oleh
Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Ika Dini Haryanti
51
perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang
bangunan, dan untuk menaksir tanaman dilakukan
oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di
bidang pertanian. Berdasarkan taksiran nilai jual
tanah, bangunan dan tanaman tersebut, panitia
pengadaan tanh menetapkan besarnya ganti rugi
yang akan disampaikan kepada pemegang hak atas
tanah atau kuasanya untuk dimusyawarahkan.
Apabila jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan
selama 10 hari telah dilewati, dan kesepakatan
belum tercapai, maka panitia pengadaan tanah
menetapkan besarnya ganti rugi dalam bentuk
uang dan menitipkannya kepada Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang
bersangkutan. Namun sebaliknya bila dalam proses
musyawarah telah dicapai kesepakatan antara
pemegang hak atas tanah dengan pemerintah
atau pemerintah daerah yang memrlukan tanah,
panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan
mengenai penetapan bentuk dan besarnya ganti rugi
sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai yang
sifatnya hanya memperkuat hasil musyawarah.
Pemegang hak atas tanah yang telah sepakat
mengenai pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, akan
mendapatkan ganti rugi sesuai dengan nilai
dan bentuknya yang telah disepakati bersama
berdasarkan surat keputusan panitia pengadaan
tanah. Adapun bentuk ganti rugi selain uang, tanah,
pemukiman kembali dan/ atau gangguan dua atau
lebih bentuk ganti rugi dan ganti rugi dapat ditentukan
juga sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Keputusan panitia pengadaan tanah yang tidak
diterima oleh pemegang hak atas tanah dapat diajukan
keberatan kepada Bupati/ Walikota atau Gubernur
atau Menteri Dalam Negeri disertai penjelasan
mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan. Bupati/
Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri
melakukan upaya penyelesaian mengenai bentuk
dan besarnya ganti rugi dengan mempertimbangkan
pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah
atau kuasanya. Setelah mendengar dan mempelajari
pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanh
dan pertimbangan panitia pengadaan tanah, Bupati/
Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan keputusan yang dapat mengubah atau
mengukuhkan keputusan panitia pengadaan tanah.
Apabila uapaya ini belum juga membuahkan hasil,
maka pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan.
Penolakan ganti rugiMengenai pihak yang dapat menerima imbalan/
ganti rugi, Keppres Nomor 55 Tahun 1993 jo PMNA/
Ka BPN Nomor 1 Tahun 1994 menentukan pada
garis besarnya hanya ada tiga subyek yang dapat
menerima ganti kerugian, yaitu :
1. Pemegang hak atas tanah/ ahli warisnya yang
sah.
2. Nadzir, bagi tanah wakaf.
3. Mereka yang ditetapkan dalam pasal 20 PMNA/
Ka BPN/ 1994, yaitu :
a. Mereka yang memakai tanah sebelum
tanggal 16 Desember 1960 dimaksud UU
Nomor 51 Prp Tahun 1960.
b. Mereka yang memakai tanah bekas hak
berat, dimaksud dalam pasal 4 dan 5
Keppres 32/ 1979.
c. Bekas pemegang HGB yang tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam pasal 17 angka 3 huruf b.
d. Bekas pemegang HP yang tidak memenuhi
syarat sebagaiman dimaksud Pasal 17
angka 4 huruf c.
Masyarakat yang terkena dampak pembangunan,
yaitu orang-orang, badan hukum, lembaga atau
unit usaha yang kerena pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum mengalami atau akan
mengalami dampak pada :
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1
52
1. Faktor fisik (materiil) berupa hak dan pemilikan
atas sebagian atau seluruh tanah dan/ atau
bangunan dan/ atau benda-benda yang ada di
atasnya, untuk sementara atau selamanya.
2. Faktor non fisik (immaterial) yaitu keuntungan,
kenikmatan, atau manfaat/ kepentingan yang
sebelumnya diperoleh oleh masyarakat berupa
antara lain penghasilan dan tingkat kehidupan,
tempat kerja, unit usaha, lahan usaha dan atau
sarana lingkungannya, fasilitas umum dan tem-
pat ibadah.
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dan peraturan
pelaksanannya belum sepenuhnya menjamin
keamanan bagi pemegang hak yang tanahnya
terkena proyek pembangunan. Untuk memperoleh
suatu proses penegakan hukum yang baik dan
berjalan lancar, senantiasa tergantung dari kaitan
sedikitnya 4 fakta :
1. Ketentuan-ketentuan yang ada.
2. Kepribadian dan mentalitas penegak hukum.
3. Fasilitas pendukung penegakan hukum.
4. Tingkat ketaatan masyarakat dengan segenap
fakta yang mempengaruhinya.
Beberapa saat sejak terbitnya peraturan ini, muncul
berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Reaksi
tersebut diwujudkan dalam bentuk tulisan maupun
demonstrasi. Hal-hal yang dikemukakan oleh pihak
yang berkeberatan antara lain :
1. Keluarnya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 mem-
perlihatkan kecenderungan hukum yang gagal.
Secara subtantif, Perpres ini meneruskan per-
masalahan yang sama yakni Keputusan Pres-
iden Nomor 55 Tahun 1993 tentang pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum, dimana dalam Keppres ini
pengadaan tanah untuk pembangunan men-
gahdirkan dua persoalan yakni metode pem-
bebasan tanah dan untuk apa pembebasan
dilakukan. Pada tingkat metode negosiasi
pembebasan tanah lebih merupakan tindakan
tunggal pemerintah karena apa pun bukti atau
alasan yang dipresentasikan oleh rakyat tidak
bisa mengalahkan proyek pembangunan yang
digagas oleh pemerintah. Sementara alasan un-
tuk kepentingan umum didefinisaikan sebagai
kepentingan seluruh rakyat, tetapi pada giliran
praksis selalu sulit menjelaskan kehadiran raky-
at dalam pembangunan yang justru mengaki-
batkan banyak orang kehilangan tanah.
2. Kedua persoalan lama itu dijabarkan hampir
sama dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005.
Pertama, metode pengadaan tanah. Perpres
ini tidak menyebut musyawarah sebagai salah
satu cara pengadaan tanah (Pasal 1angka 3).
Musyawarah baru disebutkan dalam definisi
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Dalam hal ini, metode ini masih menyimpan
dua permasalahan pokok, yakni pengadaan ta-
nah merupakan monopoli pemerintah di mana
musyawarah dengan pemegang hak atas tanah
diabaikan. Berikutnya, musyawarah hanya di-
perlukan dalam pembahasan ganti rugi. Keten-
tuan ini kembali menegaskan bahwa rakyat tidak
berhak terlibat dalam diskusi perencanaan teta-
pi diminta dukungannya untuk mengesahkan
hasil (ganti rugi) akibat pembangunan. Kedua,
pembuat Perpres ini kelihatannya paham benar
bahwa dalam proses pelepasan atau penyerah-
an hak atas tanah hampir pasti terjadi deadlock.
Karena itu, perlu dikondisikan sedemikian rupa
agar negosiasi diarahkan pada persetujuan
pelepasan tanah (pasal 8 menyatakan bahwa
musyawarah dilakukan di tempat yang diten-
tukan dalam surat undangan). Ketiga, Perpres
ini melanggengkan konflik di tingkat praksis, di
mana aparat koersif negara selalu bertindak se-
bagai penjaga proses pembebasan tanah.
3. Dalam perpres Nomor 36 Tahun 2005 kekuasan
Presiden sangat besar, yakni presiden berhak
mencabut hak atas tanah yang dimiliki ses-
eorang atau kelompok, jika tak diperoleh kes-
epakatan antara pemegang hak atas tanah dan
Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Ika Dini Haryanti
53
pengembang.
Hanya saja dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan melakukan pembangunan yang
diperuntukkan bagi kepeningan masyarakat umum
sering dihadapi adanya kendala dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan tersebut. Dengan adanya
Perpres ini pemerintah ingin mendapatkan cara
terbaik bagi pengadaan tanah tersebut tanpa
merugikan siapapun. Pemerintah melalui pemerintah
daerah akan berhubungan langsung dengan para
pemilik tanah, untuk menentukan nilai ganti rugi
yang pantas dan tidak membuat pemilik tanah
hidup sengsara. Pemerintah tidak menginginkan
masyarakat yang diminta untuk menyerahkan
tanahnya bagi kepentingan pembangunan ini
kemudian hidupnya menjadi lebih sengsara. Mereka
justru harus memperoleh ganti kerugian yang
memungkinkan untuk hidup lebih baik.
Pasal 10 ayat 2 Perpres No. 65 Tahun 2006
menentukan bahwa apabila musyawarah yang
dilaksanakan telah melewati jangka waktu 120 hari
dan kesepakatan belum juga tercapai, maka panitia
pengadaan tanah menetapakan besarnya ganti
rugi dalam bentuk uang dan menitipkannya kepada
Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi
lokasi tanah yang bersangkutan.
Bupati/ Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam
Negeri setelah mempertim bangkan pendapat
dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau
kuasanya dan pertimbangan panitia pengadaan
tanah, mengeluarkan keputusan yang dapat
mengukuhkan atau merubah keputusan panitia
pengadaan tanah yang mengenai bentuk dan/ atau
besarnya ganti rugi yang akan diberikan . Apabila
upaya penyelesaian yang telah dilakukan oleh
Bupati/ Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam
Negeri tidak diterima juga oleh pemegang hak atas
tanah, dan dengan mengingat lokasi pembangunan
yang tidak dapat dipindahkan, Bupati/ Walikota atau
Gubernur atau Menteri Dalam Negeri mengajukan
usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas
tanah yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang
No. 20 Tahun 1961.
Menurut pasal 2 PP no. 39 Tahun 1973, permintaan
banding tersebut diajukan kepada Pengadilan Tinggi
yang daerah kekuasannya meliputi tanah dan atau
benda-benda yang haknya dicabut, selambat-
lambatnya dalam waktu 1 bulan terhitung sejak
tanggal keputusan presiden dimaksud dalam pasal
5 dan 6 UU no. 20 Tahun 1961 tersebut disampaikan
kepada yang bersangkutan. Permintaan banding
tersebut harus disampaikan secara tertulis atau
dengan lisan kepada panitera Pengadilan Tinggi,
dengan membayar biaya yang ditetapkan Ketua
Pengadilan Tinggi.
Permohonan banding tersebut selambatnya 1 bulan
setelah diterimanya permohonan, perkara tersebut
harus sudah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi,
Pemeriksaan dan putusan dijatuhkan dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya. Dalam pemeriksaan
permohonan banding, Pengadilan Tinggi dapat
mendengar secara langsung semua pihak yang
bersangkutan dengan pencabutan hak atas tanah.
Pendengaran pihak-pihak tersebut dapat dilimpahkan
oleh pengadilan Tinggi kepada Pengadilan Negeri.
Putusan Pengadilan Tinggi selambatnya 1 bulan
setelah tanggal putusan perkara diberitahukan kepda
pihak-pihak yang bersangkutan.
Sejak tanggal 23 Oktober 1993, yaitu dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993 yang kemudian
dilengkapi dengan keputusan Menteri Negara
Agraria/ Kepala BPN Nomor 21 Tahun 1994, tata cara
perolehan tanah mengalami deregulasi. Menurut
ketentuan tersebut ada 2 cara perolehan tanah yang
dapat dilakukan terhadap sebidang tanah hak yang
tersedia, yaitu :
1. Pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah
dengan pemberian ganti kerugian kepada yang
berhak. Pada hakekatnya tata cara melepaskan
hak ini sama dengan pembebasan hak. Dimak-
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1
54
sud dengan penyerahan atau pelepasan hak ini
adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum
antara pemegang hak atas tanah dngan tanah
yang dikuasainya dengan pemberian imbalan
yang layak atas dasar musyawarah.
2. Pemindahan hak (yang didahului dengan pe-
rubahan hak)
Pemindahan hak biasanya dilakukan apabila status
tanah yang tersedia sesuai dengan status hukum
calon pemegang haknya. Berdasarkan ketentuan
yang baru ini, apabila status tanah yang tersedia
tidak sesuai dengan status hukum calon penerima
hak (misalnya status tanahnya hak milik dan status
hukum calon subyek pemegang haknya Perseroan
terbatas), para pihak diberikan pilihan apakah akan
melakukan pelepasan hak (yang sama dengan
pembebasan hak), atau akan melakukan pemindahan
hak.
Jika calon pemindahan hak yang dipilih maka terlrbih
dahulu harus dilakukan perubahan hak terhadap
tanah yang tersedia (misalnya tanah yang tersedia
berstatus hak milik, diubah terlebih dahulu menjadi
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, sesuai dengan
keperluannya). Tata cara pemindahan hal yang
didahului dengan permohonan perubahan hak ini
dilakukan agar tidak menyalahi/ melanggar ketentuan
Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria.
Adapun yang dimaksud dengan perubahan hak
adalah penetapan pemerintah mengenai penegasan
bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan
sesuatu hak, atas permohonan pemegang haknya
menjadi tanah negara dan sekaligus memberikan
tanah tersebut kepadanya dengan hak yang lain
jenisnya daripada hak semula. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa perubahan hak hak itu terjadi atas
dasar adanya permohonan dari pemilik tanah. Tata
cara pemindahan hak yang didahului oleh perubahan
hak ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
bagi suatu pengembang atau penyelenggara
pembangunan suatu proyek yang memerlukan tanah
yang luas, sementara tanah yang tersedia berstatus
Hak milik.
Dengan dilakukannya tata cara ini, penyelenggara
pembangunan akan memperoleh keuntungan
baik dari segi penghematan biaya maupun waktu
yang diperlukan, dengan tetap memperhatikan
aturan-aturan hukum. Sebagaimana ketentuan
dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 21 Tahun
1994 menyebutkan langkah-langkah pemindahan
hak yang didahului dengan perubahan hak yang
dapat dilakukan oleh suatu pengembang atau
penyelenggara proyek diantaranya :
1. Penguasaan tanah oleh pengembang didahului
dengan pembayaran harga tanah yang telah
disepakati kepada pemilik tanah. Perbuatan
hukum ini dinyatakan dalam “Surat Pengikatan
Akan Jual Beli dan Pemberian Kuasa”.
2. Adapun isi dari Pengikatan akan jual beli dan
pemberian kuasa adalah :
a. Pemilik tanah menyerahkan tanahnya
kepada pihak pengembang/ penyelenggara
pembangunan.
b. Pemilik tanah bersedia mengajukan
permohonan kepada negara agar haknya
diubah menjadi Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai, kemudian menjual tanah Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut
kepada pihak pengembang/ penyelenggara
pembangunan.
c. Jual beli Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai tersebut terjadi dengan harga yang
telah disepakati bersama.
d. Pemilik tanah memberikan kuasa kepada
pihak pengembang/ penyelenggara
pembangunan untuk dan atas nama pemilik
tanah mengajukan dan menandatangani
surat permohonan perubahan hak milik
menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak
pakai.
e. Apabila proses perubahan hak selesai
Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Ika Dini Haryanti
55
dan tanah telah terdaftar atas nama
pemilik tanah, pemilik tanah memberikan
kuasa kepada pihak pengembang/
penyelenggara pembangunan untuk dan
atas nama pemilik tanah menandatangani
Akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
f. Pemilik tanah juga memberikan kuasa
kepada pihak pengembang/ penyelenggara
pembangunan untuk dan atas namanya
melakukan perbuatan-perbuatan hukum
lainnya yang dipandang perlu, yang
kesemuanya dalam rangka pemindahan
hak yang disertai dengan perubahan hak
tersebut.
3. Apabila permohonan perubahan hak disetujui,
maka Kepala Kantor Pertanahan akan melaku-
kan pencatatan pada Buku Tanah Hak Milik dan
sertipikat hak milik.
4. Setelah proses perubahan hak di Kantor Perta-
nahan selesai barulah dilakukan pemeindahan
hak (jual beli) di hadapan pejabat pembuat akta
tanah.
Setelah itu dilakukanlah pendaftaran jual beli tanah
hak tersebut di Kantor Pertanahan setempat.
Dengan demikian nama pemilik tanah dicoret dan
diganti dengan nama pemilik yang baru dalam hal ini
pengembang atau penyelenggara pembangunan.
Apabila tanah yang diperoleh dimaksudkan untuk
memenuhi keperluan pribadi (membangun rumah
tinggal), tidak diperlukan persyaratan tertentu
sebelum tata catra perolehan tanah dilalui. Lain
halnya dengan apabila tanah yang diperoleh
untuk kegiatan usaha (biasanya bentuk usahanya
Perseroan terbatas, yang sahamnya dimiliki swasta,
baik perusahaan dalam rangka penanaman modal
asing maupun penanaman modal dalam negeri) maka
sebelum melakukan kegiatan perolehan tanah itu,
diperlukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.
Persyaratan tertentu itu adalah pemilikan izin prinsip
dan izin lokasi. Tanpa izin-izin tersebut, perusahaan
yang bersangkutan dilarang melakukan kegiatan
memperoleh tanah bagi keperluan usahanya.
Pemerintah harus memberikan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas tanah terhadap
kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dalam
rangka memperoleh tanah yang diperlukan, agar
tidak terjadi tindakan yang bertentengan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
misalnya adanya unsur paksaan ataupun penipuan.
Jika terbukti adanya hal tersebut, maka kesepakatan
yang dicapai oleh pemegang hak dan perusahaan
tersebut dibatalkan.
Pemerintah daerah hendaknya mengawasi agar
perusahaan yang melakukan kegiatan perolehan
tanah melaksanakannya secara musyawarah dan
tanpa ada paksaan maupun penipuan. Dan proses
pelepasan hak atas tanah tersebut hendaknya
berpatokan pada harga setempat, nilai jual obyek
pajak, serta memperhatikan kepantasan dan
keadilan dalam masyarakat karena masyarakat
yang yang terkena dampak dari proses pelepasan
hak atas tanahnya bagi proyek pembangunan untuk
kepentingan umum sulit mencari tanah pemukiman
baru karena melambungnya harga tanah sekarang.
KESIMPULANTerhadap perlindungan hukum kepada masyarakat
hak-hak atas tanh sertipikat memberikan bera gai
manfaat, dapat mengurangi kemungkinan timbulnya
sengketa dengan pihak lain, memperkuat posisi
tawar menawar apabila hak atas tanah diperlukan
pihak lain untuk kegiatan pembangunan serta
mempersingkat proses peralihan serta pembebanan
hak atas tanah, dibandingkan dengan alat bukti tulis
lain.
Hak menguasai negara atas tanah adalah hubungan
hukum yang kongkrit anatara ngara dengn tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia yang meliputi
baik tanah-tanah yang belum maupun yang sudah
memperoleh status hak dengan hak-hak perorangan.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 43-58Vol. 2 No. 1
56
Dalam prosedur pendaftaran tanh menurut sistem
hukum tanah nasional stelsel pendaftaran tanh yang
dgunakan dalam Peratutan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 adalah sama seperti yang digunakan
dalam pendaftaran tanah menurut Peraturan
Pemeintah Nomor 10 tahun 1961, yaitu stelsel
negatif yang mengandung unsur positif karena
kan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
sebagaimana dinyatakan dalam UUPA.
Dalam prose elepasan hak atas tanah bagi
pembangunan, dimaksudkan pembebasan hak
adalah setiap perbuatan untuk melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak dan tanah
haknya dengan disertai pemberian imbalan yang
disepakati bersama atas dasar musyawarah secara
langsung antara pihak yang memerlukan dengan
pemilik tanah mengenai besarnya imbalan atas
bidang tanah berikut bangunan ataupun benda-
benda yang melengkapi bangunan dimaksud. Pada
kenyataannya dalam proses pelepasan hak atas
tanh masih bertele-tele.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tergolong
sebagai keputusan yang mengatur umum (besluiten
van algemene strekking), karena memenuhi unsur
umum, konkret, dan berlaku terus menerus. Ditinjau
dari segi fungsinya maka Perpres ini berfungsi
menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam
rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Sedangkan ditinjau dari materi muatannya,
Perpres ini tergolong sebagai peraturan yang
materi muatannya bersifat antribusian. Dari hal ini
kiranya dapat dikatakan bahwa Perpres Nomor 36
Tahun 2005 merupakan peraturan yang berisikan
pedoman melaksanakan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Perpres ini tidak mempunyai
daya ikat keluar, tetapi justru kedalam, sehingga
yang wajib menaatinya adalah pelaksana pengadaan
tanah, yang disebut sebagai Panitia Pengadaan
Tanah, sedangkam masyarakat yang tanahnya
akan dilepaskan guna pembangunan proyek untuk
kepentingan umum tidak terikat pada ketentuan
tersebut.
SARAN1. Diperlukan komunikasi dan konsultasi diantara
masyarakat dengan pihak (instansi) yang memr-
lukan tanah secara intensif dan berkesinambun-
gan untuk saling memberikan masukan yang
dipelukan, sehingga masyarakat mengetahui in-
formasi berkenaan dengan perencanaan pelak-
sanaan dan pemantauan pengadaan tanah.
Dengan demikian peran serta masyarakat ini
dilakukan mulai tahap inventarisasi, penyuluhan
dan konsultasi, pelaksanaan pemberian imba-
lan.
2. Hendaknya diperlukan peran serta semua pi-
hak (masyarakat dan pihak yang memerlukan
tanah) secara aktif dalam proses pengadaan
tanah akan menimbulkan rasa ikut memiliki dan
dapat memperkeil kemungkinan timbulnya pe-
nolakan terhadap kegiatan pengadaan tanah
untuk pembangunan.
3. Hendaknya musyawarah harus sungguh-sung-
guh dijadikan saran untuk mempertemukan
perbedaan kepentingan dan keinginan dari pi-
hak yang memerlukan tanah dan pihak yang
tanhnya diperlukan untuk kepentingan umum.
4. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini
perlu dikaji ulang. Meskipun ketentuan ini tidak
mengikat rakyat, dan hanya sebagai instruksi
atau pedoman bagi pelaksanaan pengadaan
tanah, namun karena pelaksanaannya sendiri
akan bersentuhan dengan masyarakat, keten-
tuan tersebut mengandung suatu keseimban-
gan antara hak-hak penguasaan atas tanah
yang berada di tangan rakyat dengan keperluan
pemerintah dalam mengadakan pembangunan
untuk kepentingan umum. Serta hendaknya
panitia dalam pengadaan tanah susunan ke-
anggotaannya adalah orang-orang yang inde-
penden yang melibatkan lembaga swadaya ma-
Strategi Penyerderhanaan Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Ika Dini Haryanti
57
syarakat (LSM), Dewan Perwakilan Desa dan
panitia yang sudah ada agar penyerderhanaan
sistem pengadaan tanah untuk pembangunan
demi kepentingan umum dapat dilaksanakan.
UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan kepada Pusat
Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan
peluang untuk ikut serta berpartisipasi menulis karya
ilmiah untuk Jurnal IPTEK Pertanahan 2012. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang terlibat dalam penerbitan jurnal ini.
DAFTAR ACUANPeraturan Menteri Agraria Nomor 21 Tahun 1994
tentang pemindahan hak atas tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN
Nomor 2 Tahun 1993 juncto Keputusan
Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN
Nomor 21 Tahun 1994 tentang tata cara
perolehan tanah.
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
Peraturan Pemeintah Nomor 10 tahun 1961 juncto
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak Atas Tanah
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum
Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Melia Yusri
59
PENDAHULUAN
latar belakangDalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pemerintah
perlu menyeleggarakan pembangunan. Salah
satu kerangka pembangunanan nasional yang
diselenggarakan Pemerintah adalah pembangunan
untuk kepentingan umum yaitu berupa pembangunan
infrastruktur berbagai fasilitas kepentingan
umum. Pembangunan infrastuktur merupakan hal
yang sangat penting dan sangat strategis dalam
perkembangan suatu wilayah guna menggerakkan
perekonomian masyarakat dan mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Seiring dengan pesatnya
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah,
kebutuhan akan tanah di Indonesia terus mengalami
peningkatan. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi
dengan mudah oleh pemerintah. Hal ini disebabkan
karena terbatasnya jumlah tanah negara yang
ANALISIS YURIDIS, EKONOMI DAN POLITIK DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
JurIdIcTIoN aNalysIsT, EcoNoMy aNd PolITIc IN IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT
PolIcy for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Melia YusriPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan H. Agus Salim Nomor 58, Jakarta, [email protected]
ABSTRAKKegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan yang dianalisa dari segi yuridis yang pada saat itu belum didasari oleh
Undang-Undang. Tinjauan aspek ekonomi hampir selalu muncul rasa tidak puas terhadap ganti kerugian, disamping tidak
berdaya di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek pembangunan tersebut. Dari aspek politik kebijakan
pengambilalihan hak atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum, sering mengalami perubahan sejalan
dengan rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Diharapkan tulisan ini dapat menyumbangkan pemikiran bagi penyusunan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dari aspek pembangunan yang berkelanjutan (sustainable).
Kata kunci : pengadaan tanah, analisis yuridis, ekonomi, politik
absTracTIt analyze land’s procurement activity from jurisdiction point of view, which been done before the publicity of National’s Law.
In economy’s aspect, there’s always dissatisfaction in compensation been given and a feeling of powerless from land owner
whom their rights been taken by the development’s project. In political aspect, the policy of land’s ownership takeover in
land’s procurement for public interest development has change parallel with the change of government’s regime. This article
hopefully could be a good consideration in process making of Head National Land Agency’s Regulation, from sustainable
development aspect.
Keywords : land’s procurement, jurisdiction analyst, economy, politic
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1
60
tersedia. Agar pembangunan dapat terus berjalan,
khususnya pembangunan berbagai fasilitas
kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka
upaya pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah
tersebut adalah dengan cara melakukan pengadaan
tanah yang menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 pelaksanaannya harus mengedepankan
prinsip yang terkandung di dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dan hukum tanah nasional antara
lain prinsip kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan,
kepastiaan, keterbukaan, kesepakatan,
keikutsertaan, kesejahterahan, keberlanjutan dan
keselarasan.
Pengadaan tanah yang diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, dan saat ini telah direvisi ke
dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 3
dan 6, pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
pengadaaan tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak-pihak yang berhak yaitu
pihak yang menguasai atau pemilik objek pengadaan
tanah.
Dalam setiap kegiatan pengadaan tanah untuk
pembangunan hampir selalu muncul rasa tidak puas
terhadap ganti kerugian, disamping tidak berdaya
di kalangan masyarakat yang hak atas tanahnya
terkena proyek tersebut. Tampaknya yang sering
dilupakan bahwa interpretasi asas fungsi sosial hak
atas tanah, disamping mengandung makna bahwa
hak atas tanah harus digunakan sesuai sifat dan
tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si
pemegang hak dan masyarakat, juga berarti bahwa
harus terdapat keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum, dan
bahwa kepentingan perseorangan itu harus dihormati
dalam rangka kepentingan masyarakat secara
keseluruhan. Dalam kaitannya dengan masalah ganti
kerugian, tampak bahwa menemukan keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dan kepentingan
masyarakat tidaklah mudah.
UUPA sebagai produk hukum pertanahan yang
pertama, walaupun falsafah dan orientasinya bersifat
populis, tetapi sebagian prinsip dasarnya belum
dioperasikan secara efektif. Salah satu contoh
belum optimalnya implementasi prinsip dasar UUPA
adalah perlindungan terhadap hak seseorang yang
tanahnya diambil oleh pihak lain, yakni instansi
pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan
umum. Korban penggusuran ini pada umumnya
belum dapat merasakan makna keadilan sesuai
dengan pengorbanannya, karena peraturan yang
ada belum dapat memberikan jaminan terhadap
kesetaraan kualitas hidup mereka sebelum dan
sesudah terjadinya pengambilalihan tersebut.
Oleh karena itu penulis mencoba melihat pelaksanaan
implementasi pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang ditinjau dari aspek yuridis ekonomi dan
politik.
rumusan Masalah Kajian1. Bagaimana pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum di In-
donesia?
2. Bagaimana implementasi pengadaan tanah
ditinjau dari aspek yuridis, ekonomi dan politik?
3. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah agar
proses pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dapat
terlaksana dengan baik dan berjalan optimal?
Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Melia Yusri
61
Tujuan Kajian1. Mengetahui pelaksanaan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum di
Indonesia.
2. Menganalisis implementasi pengadaan tanah
dari tinjauan aspek yuridis, ekonomi dan politik.
3. Mengetahui dan menganalisa pelaksanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk ke-
pentingan umum di Indonesia serta upaya-upa-
ya yang dilakukan pemerintah agar proses
pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangu-
nan untuk kepentingan umum dapat terlaksana
dengan baik dan berjalan optimal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan umum di IndonesiaPengadaan tanah di Indonesia telah dilaksanakan
dalam kurun waktu yang lama. Terkait hal ini
sudah banyak peraturan yang sudah diterbitkan
oleh pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan
pengadaan tanah. Untuk menjamin terselenggaranya
kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan
sebagai fasilitas kepentingan umum yang
memerlukan bidang tanah, maka upaya hukum
yang dilakukan pemerintah untuk memperoleh atau
menguasai tanah yang diperlukan dilakukan melalui
5 (lima) cara, yaitu:
1. permohonan hak khusus untu tanah negara;
2. perjanjian dengan pemegang hak atas tanah,
misalnya sewa menyewa;
3. pemindahan hak yang dapat berupa jual beli,
tukar menukar maupun hibah;
4. pelepasan hak atas tanah;
5. pencabutan hak.
Pelaksanaan perolehan tanah tersebut telah diberi
pedoman pada Garis-Garis besar Haluan Negara
(GBHN) dimasa lalu yang memuat hal-hal sebagai
berikut :
1. pengadaan tanah harus memenuhi syarat-
syarat tata ruang dan tata guna tanah;
2. pengadaan tanah tidak mengakibatkan keru-
sakan atau pencemaran terhadap kelestarian
alam dan lingkungan;
3. pembangunan tanah tidak merugikan kepent-
ingan masyarakat dan kepentingan pembangu-
nan;
4. penggunaan tanah oleh negara tidak menim-
bulkan sengketa tanah.
Secara teoritis, pengadaan tanah (land acquisition)
terdiri atas pengadaan tanah secara sukarela
(voluntary acquisition of land) dan pengadaan tanah
secara wajib (compulsory acquisition of land).1 Di
Indonesia sekarang ini, Pengadaan Tanah Secara
Sukarela (selanjutnya disingkat PTSS) meliputi,
antara lain: pemindahan hak dan pelepasan atau
penyerahan hak (sebelumnya diistilahkan dengan
‘pembebasan tanah’); sedangkan yang termasuk
Pengadaan Tanah Secara Wajib (selanjutnya
disingkat PTSW) adalah pencabutan hak atas tanah.
Sejarah hukum di Indonesia menunjukkan bahwa
dinamika hukum pengadaan tanah secara wajib
(pencabutan hak atas tanah) tidak berlangsung
intensif. Perkembangan hukum pengadaan tanah
yang pesat terjadi pada dimensi hukum pengadaan
tanah secara sukarela melalui cara pelepasan hak.
Pelepasan hak atas tanah tersebut dilakukan atas
dasar musyawarah. Musyawarah dimaksud untuk
mencapai kesepakatan mengenai pelaksanaan
pengadaan tanah tersebut, termasuk tentang bentuk
dan besarnya ganti kerugian. Pemerintah tidak
diperkenankan melakukan unsur paksaan dalam
bentuk apapun baik dalam penyerahan tanah oleh
masyarakat maupun dalam ganti kerugiannya.
1 Oloan Sitorus dan Yahman. Paper Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Pem-bangunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI. Jakarta. 2011.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1
62
Proses Pelaksanaan Kegiatan Pengadaan Tanah di Indonesia1. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah (P2T).
Berdasarkan Pasal 14 s/d 18 Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007,
Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah dengan
keputusan Bupati/Walikota jumlah anggota maksimal
9 (Sembilan) orang dengan ketentuan :
a. Sekretaris merangkap anggota P2T adalah
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/
Kota atau pejabat Kantor Pertanahan
yang ditunjuk;
b. Pembentukan Sekretaris P2T dibentuk
dengan Keputusan Ketua P2T dengan
jumlah anggota maksimal 4 orang yang
terdiri dari 1 orang unsur Pemerintah
Kabupaten/Kota dan 3 orang dari unsur
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
c. Pembentukan satuan tugas (satgas) yang
dibentuk dengan Keputusan Ketentuan
Ketua P2T dengan jumlah disesuaikan
kebutuhan.
Secara operasional pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum
dilaksanakan oleh P2T Kabupaten/ Kota setempat.
Sedangkan tugas P2T Provinsi memberikan arahan,
petunjuk, mengkoordinasikan, memaduserasikan
pelaksanaan pengadaan tanah serta melakukan
pengawasan dan pengendalian.
2. Penyuluhan
Setelah permohonan pengadaan tanah diterima
oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah,
P2T bersama sama dengan instansi pemerintah
yang memerlukan tanah mengadakan penyuluhan
secara langsung kepada masyarakat pemilik tanah,
bangunan, dan/atau tanaman dan benda-benda
lain yang ada diatasnya yaitu menjelaskan manfaat,
maksud dan tujuan pembangunan serta dalam
memperoleh kesediaan dari pemilik.
3. Identifikasi dan Inventarisasi
P2T membuat daftar identifikasi dan inventarisasi
tanah, bangunan, dan/atau tanaman dan benda-
benda lain berdasarkan identifikasi dan inventarisasi
satgas meliputi : penunjukan batas, pengukuran
rincian bidang tanah dan/ atau bangunan, pemetaan
bidang tanah dan/atau bangunan, pendataan
penggunaan dan pemanfaatan tanah, pendataan
penguasaan dan pemilikan tanah dan/atau
bangunan dan/atau tanaman, pendataan bukti-bukti
penguasaan dan pemilikan tanah dan/ atau bangunan
dan/atau tanaman, dan lain-lain yang dianggap perlu.
4. Pengumuman
Hasil identifikasi dan inventarisasi tersebut
diumumkan di kantor desa/ kelurahan atau di Kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kota untuk memberikan
kesempatan bagi pihak berkepentingan untuk
mengajukan keberatan
5. Pengesahan Hasil Pengumuman
Setelah jangka waktu pengumuman berakhir dan
tidak terdapat keberatan, maka dibuatkan Berita
Acara Pengesahan Hasil Pengumuman yang
ditandatangani oleh seluruh anggota P2T yang
diketahui oleh Kepala Kantor Pertanahan kabupaten/
Kota, Kepala Desa/Lurah dan Camat dan/atau
pejabat yang terkait.
6. Penunjukan Lembaga Penilaian Tanah
Penentuan Lambaga Penilai Harga Tanah (Apraisal)
yang sudah mendapat lisensi dari Kepala BPN
dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah
berpedoman pada Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003.
7. Penilaian
Tim Penilai harga Tanah melakukan penilaian
harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai nyata/
sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun
berjalan dan dapat berpedoman pada variabel-
variabel yaitu berupa : lokasi dan letak tanah, status
tanah, kesesuaian penggunaan tanah dan tata ruang,
Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Melia Yusri
63
dan faktor lain yang mempengaruhi nilai tanah.
8. Musyawarah untuk menentukan bentuk dan
ganti rugi
9. Keputusan Panitia Pengadaan Tanah (P2T)
Berdasarkan hasil pelaksanaan musyawarah, P2T
menerbitkan keputusan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi dan dafar nominatif pembayaran.
10. Pembayaran Ganti Rugi dan Pelepasan Hak
11. Pelaksanaan Pembangunan Fisik.
12. Pemberkasan Dokumen Pengadaan Tanah
13. Evaluasi dan Supervisi
analisis yuridis Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umumPenggunaan tanah untuk pembangunan sejalan
dengan ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sudargo Gautama (1997:57) dalam Supriandi (2009)
memberikan komentar atas pasal tersebut bahwa
“bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara bukan dimaksudkan
sebagai pemilik, melainkan terkandung suatu
dinamika bahwa negara hanya mengatur dalam
penguasaan dan pengunaaan tanahnya untuk
rakyat banyak agar dapat terwujud kemakmuran dan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Pasal 2, atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, adanya hak
menguasai oleh negara terhadap bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya. Hak menguasai negara tersebut
memberi wewenang untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubun-
gan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubun-
gan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Pada pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960, pemerintah dalam rangka sosialisme
Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai
persediaan, peruntukan, dan penggunaaan bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya untuk :
1. keperluan negara;
2. keperluan peribadatan dan keperluan suci lain-
nya sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa;
3. keperluan pusat-pusat penghidupan masyara-
kat sosial, kebudayaan dan lain-lain kese-
jahterahan;
4. keperluan mengembangkan produksi pertanian,
peternakan dan perikanan serta sejalan dengan
itu;
5. keperluan mengembangkan industri, transmi-
grasi dan pertambangan.
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum secara formal telah ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelaksanaannya, yaitu dimulai dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun
1975 tentang Pembebasan Tanah. Selanjutnya
peraturan tersebut disempurnakan dengan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993.
Dalam upaya mengakomodir berbagai tuntutan
masyarakat dan para pemangku kepentingan serta
atas pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis
bahwa Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993
dipandang tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum
dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1
64
kepentingan umum, maka peraturan tersebut diganti
dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum. Begitu pula halnya
dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005,
menuai kontroversi yang bersumber pada definisi
kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan
bagi kompensasi masyarakat yang tanahnya diambil
alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan
umum. Untuk mengatasi perdebatan mengenai
substansi Peraturan Presiden tersebut dan untuk
lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap
hak-hak atas tanah yang sah maka pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.2
Definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan
berkepastian hukum pada Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006. Peraturan Presiden tersebut
mempersempit lingkup kepentingan umum, yaitu (1)
jalan umum, jalan tol, rek kerete api (di atas tanah,
di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah),
saluran air minum/air bersih, saluran pembangunan
air dan sanitasi; (2) waduk bendungan, bendungan
irigasi dan bangunan perairan lainnya; (3)
pelabuhan, bandar udara stasiun kereta api dan
terminal; (4) fasilitas keselamatan umum seperti
tanggul dan pengagulangan bahaya banjir, lahar
dan lain-lain; (5) tempat pembuangan sampah; (6)
cagar alam dan cagar budaya; serta (7) pembangkit,
transmisi, distribusi tenaga listrik. Penyempitan
definisi kepentingan umum tersebut ditujukan untuk
menghindari terjadinya polemik dalam pengadaan
tanah untuk pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah. Untuk mengatur ketentuan teknis
pelaksanaan Peraturan Presiden tersebut, ditetapkan
peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007.
Kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi
kepentingan umum sering mengalami permasalahan 2 Supriandi K. Tine. Analisis Hukum tentang Pelaksanaan Pen-
gadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembanguanan Untuk Kepent-ingan Umum di Kabupaten Gorontalo. Makassar 2009.hal 14
hukum, seperti halnya permasalahan dalam
pemberian ganti rugi atas tanah-tanah masyarakat
yang dibebaskan untuk pembangunan. Dalam
prakteknya mekanisme ganti rugi sering mengalami
kemandegan karena tidak tercapainya kesepakatan
diantara para pihak mengenai nilai tanah yang
akan diganti. Selain itu, penyimpangan prosedur
dan penyalahgunaan anggaran ganti rugi harga
tanah (mark up) yang sengaja dilakukan oleh aparat
birokrasi (penanggungjawab kegiatan dan panitia
pengadaan tanah) sehingga merugikan negara dan
masyarakat yang berakibat macetnya pembangunan
untuk kepentingan umum.
analisis Ekonomi Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umumLambatnya proses penyelesaian pengadaan tanah
dapat menyebabkan kerugian baik bagi masyarakat
maupun bagi pemerintah. Dengan berlarut-larutnya
penyelesaian pengadaan tanah menunjukkan bahwa
pemerintah belum dapat menjalankan fungsinya
dengan baik karena masih ditemukan ketidakpuasan
dari masyarakat. Hal ini salah satunya disebabkan
aturan yang ada belum bisa diterapkan secara
optimal. Meskipun ganti rugi sudah dikonsinyasikan,
pelaksanaan pembangunan fisik belum dapat
dilaksanakan mengingat masih belum ada kesamaan
persepsi diantara instansi pelaksana, apakah
dikonsinyasikan ganti rugi di pengadilan sudah lepas
hubungan hukum antara orang dengan tanah yang
dimilikinya. Kerugian lain adalah bilamana terjadi
peralihan tahun maka akan selalu diikuti perubahan
harga pasaran.
Beberapa fenomena yang diamati menyangkut
implementasi kebijakan pemerintah mengenai
pengadaan tanah untuk pembangunan ditinjau dari
analisis Ekonomi dan Politik adalah3:
3 Karsono. Analisis Ekonomi Politik Pengadaan Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Ruas Semarang-Bawen di Provinsi Jawa Ten-gah. Semarang 2010
Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Melia Yusri
65
Perubahan Sosial MasyarakatPerubahan sosial ini dapat terjadi secara alamiah
maupun didorong dari kegiatan pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah sehingga perubahan
menjadi semakin cepat. Secara teori masyarakat
akan berkembang sesuai dengan tuntutan
jaman dan lingkungan, namun hal yang harus
diperhatikan adalah jangan sampai pembangunan
yang dilakukan pemerintah yang semula bertujuan
untuk menyejahterakan rakyatnya justru sebaliknya
membawa kemunduran bagi masyarakat, terutama
masyarakat yang tanahnya terkena proyek
pembangunan.
Tawar Menawar Masyarakat dengan Pihak yang Memerlukan TanahDalam setiap pengadaan tanah harus dilakukan
tawar menawar secara langsung antara pihak-
pihak yang berkepentingan dan dihindari campur
tangan dari spekulan tanah atau pihak lain yang
tidak mempunyai kepentingan langsung. Oleh
karena itu prosedurnya harus ditempuh dengan
benar dan transparan. Dalam bermusyawarah tidak
boleh dilakukan cara-cara kotor seperti intimidasi,
teror, pemaksaan kehendak dll. Oleh karena itu
peran panitia pengadaan tanah sangat penting di
dalam menjembatani kepentingan berbagai pihak.
Masyarakat tidak boleh diperlakukan sebagai korban/
obyek dari pembangunan, tetapi ditempatkan harkat
dan martabatnya sebagai pelaku dari pembangunan
itu sendiri. Untuk musyawarah guna menentukan
besarnya ganti rugi tidaklah mudah. Pemerintah
dibatasi oleh anggaran sementara masyarakat
menghendaki harga yang setinggi-tingginya, yang
berakibat pada pembangunan seringkali tidak
berjalan sesuai target waktu yang telah ditentukan.
Negara mempunyai peran yang penting dalam
mengelola kepentingan para pemilik modal, namun
dalam pelaksanaannya harus dapat melindungi
kepentingan masyarakat yang lebih luas dengan
membuat regulasi yang dapat memberikan
perlindungan dan jaminan kepastian hukum kepada
masyarakatnya. Para penganut Marxisme ada
yang memandang politik sebagai pemisah antara
masyarakat sipil dengan wilayah publik. Politik
sebagai peran negara dalam mengelola kepentingan
dan urusan kapital. Jaminan politik yaitu jaminan
negara terhadap hak kepemilikan dan politik sebagai
tawar menawar antara kaum pekerja dengan kaum
kapitalis untuk mengendalikan surplus ekonomi.
Jadi tawar menawar yang terjadi antara masyarakat
dengan para pemilik modal sepenuhnya mengikuti
mekanisme pasar. Artinya pemerintah tidak boleh
terlalu jauh mencampuri kepentingan para pihak.
analisis Politik Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umum
Peran Politis Masyarakat Tanpa peran serta masyarakat, pemerintah tidak
dapat melaksanakan pembangunan. Dibutuhkan
kesediaan masyarakat untuk melepaskan tanahnya
guna kepentingan pembangunan. Dalam teori,
masyarakat adalah pelaku pembangunan yang
semata-mata bertindak demi satu tujuan yaitu
kesejahteraan. Pemerintah tidak boleh terlalu
mengintervensi hubungan antara pasar dengan
pilihan.
Sebagian kegiatan dalam proses politik dan
kenegaraan dilakukan dengan tujuan untuk
memaksakan keinginan dari kelompok yang satu
terhadap kelompok yang lain. Namun ekonomi-
politik neoklasik lebih memfokuskan pada pertukaran
sukarela dan optimalisasi pareto. Jadi tidak boleh
ada pemaksaan kehendak, tapi dilakukan atas dasar
kesepakatan bersama dan oleh karenanya perlu
peran serta masyarakat untuk mencapai hasil yang
optimal.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1
66
Peran Politis PemerintahPemerintah mempunyai peran yang strategis dalam
proses pengadaan tanah untuk pembangunan
sebagai regulator. Pemerintah semestinya
menjembatani kepentingan kedua belah pihak
dan tidak boleh berpihak kepada pemilik modal
dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan
didasarkan pada norma-norma hukum yaitu
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo.
Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 serta
Peraruran Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007,
meskipun peraturan ini dalam implementasinya di
lapangan masih terdapat kelemahan seperti ganti
rugi tanah yang tidak membedakan Hak Milik/Hak
Guna Bangunan/Hak Pakai, ganti rugi Tanah Negara,
serta tidak efektifnya lembaga konsinyasi sehingga
timbul kriminalisasi terhadap aparat pelaksana.
Menurut pandangan ekonomi klasik, dalam
kaitannya dengan wilayah urusan pribadi, negara
memiliki 3 tugas yang harus dijalankannya yaitu
melindungi kepentingan masyarakat dari kekerasan
yang dilakukan oleh masyarakat lainnya, melindungi
dengan sedapat mungkin semua anggota
masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan, serta
membangun fasilitas-fasilitas umum dan mendirikan
lembaga-lembaga publik tertentu. Yang dimaksud
dengan fasilitas umum dan lembaga publik adalah
fasilitas atau lembaga yang berguna bagi kelancaran
perdagangan seperti jalan raya, jembatan, kanal, dan
peningkatan interaksi antar anggota masyarakat.
Para pemikir ekonomi klasik tidak membantah bahwa
ada sebuah kepentingan publik tertentu yang tidak
dapat dipandang sebagai kumpulan dari kepentingan
pribadi atau beberapa individu.
upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan umum Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah
agar proses pelaksanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dapat
terlaksana dengan baik dan berjalan optimal adalah
sebagai berikut:
Membentuk Panitia Pengadaan Tanah yang Profesional dan Tim Penilai Harga Tanah yang Independen.Dalam rangka melindungi hak-hak rakyat dari
penguasa dan pihak swasta dengan bersumber UUPA
telah dibuat perangkat ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang bagaimana penguasa dan swasta
dapat menguasai tanah yang diperlukan apabila
tanah tersebut dikuasai rakyat. Ketentuan-ketentuan
itu pada awalnya dikenal dengan Pembebasan Hak
Atas Tanah atau lebih dikenal dengan Pembebasan
Tanah yang diatur dengan PMDN Nomor 15 Tahun
1975 dan PMDN Nomor 2 Tahun 1976.
Selanjutnya sesuai dengan perkembangan dan
perubahan atas kebutuhan tanah untuk pembangunan
dan tuntutan masyarakat akan keadilan, diterbitkan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, maka sejak itu semua
pengadaan tanah/pengambilalihan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan
berdasarkan peraturan ini. Berdasarkan Keppres ini
berarti bahwa pihak swasta untuk kepentingan bisnis
tidak dapat lagi menggunakan fasilitas pemerintah
untuk pembebasan tanah yang dikuasai masyarakat,
sehingga masyarakat tidak lagi mendapat tekanan
maupun intimidasi untuk melepas hak tanahnya
kepada swasta dan mendapat ganti rugi yang lebih
adil dan layak.
Dalam Keppres ini tidak digunakan lagi istilah
Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Melia Yusri
67
Pembebasan Tanah sebagaimana lazimnya dikenal
dalam praktek sebagai salah satu pranata hukum
alternatif dari pencabutan hak atas tanah (UU Nomor
20 Tahun 1961). Dengan demikian penggunaan istilah
pembebasan tanah yang mengandung konotasi
negatif mulai dihindari. Hal ini didasari pengalaman
yang terjadi pada kasus-kasus sebelumnya yang
melibatkan Panitia Pengadaan Tanah dalam posisi
yang tidak seimbang dengan pihak pemilik tanah
yang notabene lemah hukum dan lemah perlindungan
dari aksi-aksi oknum aparat dan mafia tanah yang
diciptakan pihak swasta. Hal ini merupakan salah satu
kelemahan sebagai ekses dalam peranan Panitia
Pengadaan Tanah berdasarkan PMDN Nomor 15
Tahun 1975 dan PMDN Nomor 2 Tahun 1976. Istilah
Pembebasan Tanah diganti dengan istilah Pelepasan
Hak atau Penyerahan Hak, yang pengertiannya
adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum
antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang
dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas
dasar musyawarah.
Berdasarkan pengalaman empirik, berbagai kasus
yang mengiringi proses pengadaan tanah di masa
lalu hendaknya mengingatkan kembali pada 2 hal.
Pertama, bahwa walaupun orientasi kebijakan
ekonomi saat ini masih bertumpu pada pertumbuhan,
namun tercapainya keadilan sosial tetaplah harus
menjadi tujuan utama. Kedua, bahwa tanah
mempunyai fungsi ekonomi, sosial, politik, dan budaya
dan masih akan tetap berperan dalam kehidupan
sosial politik di Indonesia. Pengalaman di masa lalu
menunjukkan ekses-ekses pengambilalihan tanah
untuk berbagai kepentingan itu sebagian disebabkan
oleh kesenjangan antara “das solen” sebagaimana
tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dengan “das sein” berupa kenyataan yang
terjadi di lapangan.
Dalam rangka meminimalisir dampak-dampak
negatif pengadaan tanah di masa lalu dan semakin
derasnya tuntutan reformasi terutama hak-hak
atas tanah masyarakat yang akan diambil alih oleh
pemerintah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum, pada tahun 2005 pemerintah menerbitkan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang
direvisi dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006, pemerintah makin
memperkuat posisi tawar pemilik tanah melalui
musyawarah atas dasar sukarela dan kesetaraan
antara masyarakat dengan pemerintah yang berarti
penghormatan terhadap hak-hak masyarakat.
Disamping itu juga dibentuk lembaga/tim penilai
harga tanah yang profesional dan independen
untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan
dipergunakan sebagai dasar kesepakatan sehingga
dapat memenuhi rasa keadilan dan kelayakan bagi
masyarakat yang terkena lokasi pengadaan tanah.
Untuk mengatur ketentuan teknis pelaksanaannya
diatur dengan Perkaban Nomor 3 Tahun 2007.
Namun mengingat bahwa pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum memiliki
dampak yang luas dan berimplikasi hukum yang
sangat kompleks, maka sebaiknya pengaturannya
diatur tidak hanya melalui Perpres tetapi dengan
Undang-Undang melalui kebijakan politik, sehingga
peraturan tersebut mengikat seluruh lembaga
pemerintahan dan memiliki legitimasi yang kuat
di masyarakat. Kemudian dalam pelaksanaan
dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Daerah. Dengan demikian diharapkan
proses-proses pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dapat disesuaikan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, partisipatif, pemerataan keadilan, serta
potensi dan keanekaragaman daerah.
Melaksanakan Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas TanahHak atas tanah yang dipunyai seseorang sesuai
dengan hukum tanah nasional dilindungi dari
gangguan pihak lain tanpa ada hak yang sah.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1
68
Demikian juga hak atas tanah seseorang tidak
boleh dirampas dengan sewenang-wenang dan
secara melawan hukum, termasuk oleh pemerintah.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM, semakin tampak usaha untuk
memberikan keseimbangan antara kepentingan
perorangan dengan kepentingan umum.
Selama ini peraturan perundang-undangan
yang berlaku terhadap pengadaan tanah belum
mengakomodai paradigma pembangunan ini. Hal
ini tampak dari ketidaksesuaian antara bentuk
pengaturan dan materi muatannya, karena materi
muatan terkait dengan hak dasar manusia terhadap
tanah yang dijamin oleh UUD Tahun 1945, maka
bentuk peraturannya yang tepat adalah Undang-
Undang.
Peraturan perundang-undangan yang ada juga
belum mengakomodasi peran aktif masyarakat dalam
proses pengadaan tanah. Keterlibatan masyarakat
hanya tampak pada tahap pelaksanaan kegiatan,
khususnya dalam proses musyawarah tentang
bentuk dan besarnya ganti kerugian. Jaminan
bahwa musyawarah berjalan sebagai proses untuk
tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas
dari tekanan juga belum nampak. Hal ini disebabkan
karena syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah
secara sukarela dan bebas itu belum ditetapkan.
Persyaratan yang diperlukan untuk tercapainya
musyawarah secara sukarela dan bebas menurut
Maria S.W. Sumandjono (2008) adalah:
1. Ketersediaan informasi yang jelas dan menyelu-
ruh tentang kegiatan tersebut
2. Suasana yang kondusif untuk musyawarah
3. Keterwakilan para pihak
4. Kemampuan para pihak untuk melakukan nego-
siasi
5. Jaminan bahwa tidak ada tipuan, kecurigaan
aparat, paksaan, intimidasi, atau kekerasan
dalam proses musyawarah dan pembayaran
ganti rugi
Bila hal-hal tersebut di atas dilanggar, maka yang
terjadi adalah kesepakatan semu. Belajar dari masa
lalu dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-
undangan yang ada belum mengakomodasi
beberapa hal penting. Oleh karena itu, di dalam
Undang-Undang tentang pengadaan tanah yang
akan datang, sebaiknya memperhatikan hal-hal
berikut:
1. Perlunya penetapan asas-asas pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum untuk melaksanakan seluruh proses pen-
gadaan tanah
2. Diperlukan survei dasar dan survei sosial eko-
nomi dalam kegiatan awal pengadaan tanah
yang diikuti dengan inventarisasi aset dan pene-
tapan lokasi pembangunan
3. Menetapkan syarat-syarat agar musyawarah
dapat terjadi secara sukarela dan bebas tekan-
an
4. Ganti kerugian tidak hanya terhadap kerugian
yang bersifat fisik tetapi juga meliputi ganti keru-
gian yang bersifat non fisik
5. Perlu disiapkan alternatif ganti rugi dalam ben-
tuk pemukiman kembali yang menyeluruh
6. Perlu dirinci bentuk ganti kerugian yang bersi-
fat non fisik, misalnya penyediaan lahan usaha
pengganti, persiapan alih kerja dan lapangan
kerja, bantuan pelatihan, fasilitas modal usaha
dll.
Dengan dimasukannya BPN dalam unsur Panitia
Pengadaan Tanah menunjukan peran BPN sangat
besar dalam menyukseskan kegiatan pengadaan
tanah, karena BPN yang mampu melakukan
pengukuran dengan cermat bidang-bidang tanah,
menafsir harga tanah, mengetahui asal usul tanah
sehingga mempelancar tugas panitia pengadaan
tanah.
BPN berperan terhadap penyediaan tanah untuk
pembangunan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Melia Yusri
69
ijin lokasi. Dalam konsep hukum administrasi,
kegiatan tersebut harus diikuti dengan pengawasan.
Pengawasan pada dasarnya diarahkan kepada
pembentukan sistem yang mampu mengarahkan
dan membimbing pelaksanaan tugas serta mampu
mencegah terjadinya penyimpangan mengenai
pemanfaatan/peruntukan tanah yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sehingga merugikan masyarakat.
KESIMPULANPengadaan tanah di Indonesia telah dilaksanakan
dalam kurun waktu yang lama. Untuk menjamin
terselenggaranya kegiatan pembangunan di
Indonesia, khususnya pembangunan sebagai fasilitas
kepentingan umum yang memerlukan bidang tanah,
maka upaya hukum yang dilakukan pemerintah untuk
memperoleh atau menguasai tanah yang diperlukan
dilakukan melalui 5 (lima) cara, yaitu: permohonan
hak khusus untuk tanah negara; perjanjian dengan
pemegang hak atas tanah, misalnya sewa menyewa;
pemindahan hak yang dapat berupa jual beli, tukar
menukar maupun hibah; pelepasan hak atas tanah;
dan pencabutan hak.
Implementasi pengadaan tanah ditinjau dari aspek
yuridis, ekonomi dan politik.
Aspek yuridis, Pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum secara formal telah
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
yang mengatur pelaksanaannya. Kegiatan pengadaan
tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum
sering mengalami permasalahan hukum, seperti
halnya permasalahan dalam pemberian ganti rugi
atas tanah-tanah masyarakat yang dibebaskan untuk
pembangunan.
Aspek Ekonomi, pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah bertujuan untuk memberikan
perubahan kepada masyarakat menuju kehidupan
yang lebih baik. Pembangunan yang dilakukan
melalui pengadaan tanah tersebut diharapkan
tidak membawa kemunduran bagi masyarakat,
terutama masyarakat yang tanahnya terkena proyek
pembangunan.
Aspek Politik, peran serta masyarakat sangat
dibutuhkan, terutama kesediaan dalam melepaskan
tanah guna kepentingan pembangunan. Pelepasan
tanah dilakukan atas dasar kesepakatan bersama
dan tidak boleh ada pemaksaaan kehendak.
Pemerintah mempunyai peran yang stategis dalam
proses pengadaan tanah untuk pembangunan
yaitu sebagai regulator. Pemerintah harus
menjembatani kepentingan kedua belah pihak dan
tidak boleh berpihak kepada pemilik modal dengan
mengorbankan kepentingan masyarakat.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam
pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum adalah membentuk panitia
pengadaan tanah yang profesional dan tim penilai
harga tanah yang independen dan melaksanakan
prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. BPN
selaku lembaga non kementerian yang diamanatkan
oleh UU untuk mengurusi masalah pertanahan
memiliki peranan yang sangat penting dalam
mensukseskan kegiatan pengadaan tanah, karena
BPN yang mampu melakukan pengukuran dengan
cermat bidang-bidang tanah, menafsir harga tanah,
mengetahui asal usul tanah sehingga mempelancar
tugas panitia pengadaan tanah.
SARAN1. Peranan pemerintah dalam pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum
tidak hanya bersifat normatif tetapi lebih kepada
sifat operasionalnya guna tercapainya pemban-
gunan bagi masyarakat yang sesuai dengan pe-
runtukannya.
2. Perlu dibentuk lembaga yang berfungsi untuk
memberikan pengawasan secara ketat kepada
lembaga penilai harga tanah (apraisal). Lemba-
ga ini berada di bawah jajaran Mahkamah Agung
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 59-72Vol. 2 No. 1
70
RI. Apraisal harus betul-betul obyektif di dalam
penilaiannya mengingat masalah besaran ganti
rugi tanah, bangunan, dan tanaman merupakan
masalah utama yang terjadi dalam pengadaan
tanah di Indonesia. Terhadap orang-orang yang
terkena dampak langsung pengadaan tanah
untuk kepentingan umum, kehidupannya harus
menjadi lebih baik.
3. Perlu mengakomodir di dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2010 untuk membentuk panitia
pengadaan tanah yang profesional, tim peni-
lai harga tanah yang independen dan melak-
sanakan prinsip penghormatan hak atas tanah.
UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia beserta jajarannya,
mitra bestari dan penyunting atas pendampingan
dan masukannya untuk tulisan ini, juga kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam proses
penyempurnaan sehingga tulisan ini layak untuk
diterbitkan.
DAFTAR ACUAN
buku
Abdurachman (1978) Aneka Masalah Hukum Agraria
Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni,
Bandung.
Adrian, Sutedi (2007) Implementasi Prinsip
Kepentingan Umum Dalam Pengedaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Aminuddin, Salle (2007) Hukum Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total
Media, Jakarta.
Imroni (2009) Analisis Yuridis pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Tesis, Universitas Bandarlampung, Bandar
Lampung.
Karsono (2010) Analisis Ekonomi Politik Pengadaan
Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Ruas
Semarang-Bawen di Provinsi Jawa
Tengah, Tesis, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Sudargo, Gautama (1997) Tafsiran Undang-Undang
Pokok Agraria, Alumni, Bandung
Sudargo, Gautama dan Ellyda T. Soetiyanto (1996)
Komentar Atas Peraturan-Peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Pokok
Agraria. Citra Aditya Bakti, Bandung
S.W. Sumardjono, Maria (2007) Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi.
Tine, Supriadi K (2009) Analisis Hukum Tentang
Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum di Kabupaten
Gorontalo, Tesis, Universitas Muslim
Indonesia, Makassar.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang
Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang ada di atasnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum.
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk kepentingan Umum
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang
Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Melia Yusri
71
Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007
tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Juncto
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 tentang pengadaan tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
Umiyati
73
PENDAHULUANMasalah tanah adalah masalah yang menyangkut
hak rakyat yang paling mendasar. Tanah disamping
mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh
karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut
dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan
dengan pelepasan hak atas tanah dengan mendapat
ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi
juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan
untuk memperlancar jalannya pembangunan untuk
kepentingan umum, di satu pihak pemerintah
memerlukan areal tanah yang cukup luas. Pada
pihak lain pemegang hak atas tanah yang akan
digunakan tanahnya oleh pemerintah untuk
kepentingan pembangunan tidak boleh dirugikan.
Untuk mengatur hal tersebut diperlukan adanya
suatu peraturan hukum yang dapat diterima oleh
masyarakat.
Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah
untuk memperoleh tanah untuk berbagai kepentingan
pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum.
Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan
cara musyawarah antar pihak yang memerlukan
tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya
PENGADAAN TANAH SKALA BESAR UNTUK PEMBANGUNAN
(Studi Kasus Pengadaan Tanah Lahan Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo
Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
ProcurEMENT of largE laNd for dEVEloPMENT(land acquisition case study one Million Hectare Peatland in central
Kalimantan and Kedung ombo In region boyolali district, central Java)
UmiyatiPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan Agus Salim Nomor 58, Jakarta, [email protected]
ABSTRAKPengadaan tanah untuk kepentingan umum khususnya dalam skala besar mengalami beberapa kendala dan permasalahan
sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus, diantaranya berkaitan dengan implikasi yuridis pengambilalihan tanah yang
kurang memperhatikan hak-hak atas tanah masyarakat. Pengalaman pelaksanaan pengadaan tanah sekala besar ini dapat
memberikan masukan dalam penyusunan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Kata kunci : pengadaan tanah, lahan gambut, kepentingan umum
absTracTLand’s procurement for public interest, especially in the big scales, is facing few obstacles and problems so it needs special
attention. It’s related with jurisdiction implication of land’s takeover, which not pay attention to people’s right of land. Experience
in this implementation of big scale land’s procurement could give suggestion in process making of Head National Land
Agency’s Regulation.
Keywords : land’s procurement, turf, public interest
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1
74
diperlukan untuk kegiatan pembangunan.
Proses pembebasan tanah tidak akan pernah lepas
dengan adanya masalah ganti rugi. Bila telah tercapai
suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti rugi, maka baru dilakukan pembayaran ganti
rugi kemudian dilanjutkan dengan pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan.
Apabila pembebasan tanah melalui musyawarah
tidak mendapatkan jalan keluar antara pemerintah
dengan pemegang hak atas tanah, sedangkan tanah
tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum,
maka dapat ditempuh dengan cara pencabutan
hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 20 Tahun 1961.
Dalam perkembangannya, pengadaan tanah untuk
kepentingan umum khususnya dalam skala besar
mengalami beberapa kendala dan permasalahan
sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus.
Adapun permasalahan yang perlu mendapat perhatian
diantaranya yaitu berkenaan dengan implikasi yuridis
dari pengadaan tanah bagi pelaksanaan kegiatan
pembangunan Pengembangan Lahan Gambut Satu
Juta Hektar di Kabupaten Kapuas dan Pembangunan
Waduk Kedung Ombo di Wilayah Kabupaten
Boyolali. Dimana, dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan lahan gambut pembangunan fisik
di lapangan belum sempat dilakukan inventarisasi
dan pendataan yang lengkap tentang kepemilikan
tanah telah tertutup bangunan saluran primer,
sekunder, tersier dan lahan transmigrasi berupa
lahan pekarangan dan lahan usaha. Disamping
masalah tersebut, dalam kasus pembangunan
Waduk Kedung Ombo di Wilayah Kabupaten Boyolali
dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi, ada pihak
masyarakat yang tidak dapat menerima besaran ganti
rugi yang diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu
menjadi penting untuk dilakukan pengkajian masalah
pengadaan tanah sekala besar.
Perumusan MasalahRumusan masalah pengadaan tanah skala luas yang
besar pada proyek pengembangan lahan gambut
satu juta hektar di Kabupaten Kapuas dan proyek
pembangunan Waduk Kedung Ombo di wilayah
Kabupaten Boyolali, adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah akibat hukum dari pengadaan
tanah skala besar untuk pembangunan?
2. Bagaimana hambatan yang timbul dalam
pengadaan tanah skala besar untuk
pembangunan?
Tujuan 1. Mengetahui akibat hukum dari pengadaan ta-
nah skala besar untuk pembangunan.
2. Mengetahui hambatan yang timbul dalam pe-
ngadaan tanah skala besar untuk pembangu-
nan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implikasi yuridis Hak atas Tanah Terhadap Pengembangan lahan gambut satu Juta Hektar di Kabupaten Kapuas dan Waduk Kedung ombo di Wilayah Kabupaten boyolali
Kedudukan Hak Atas Tanah Sebelum Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan UmumKondisi penguasaan masyarakat Kabupaten
Kapuas adalah tanah-tanah yang dikuasai atau
dilakukan pembukaan setelah tahun 1960. Apabila
berpijak kepada UUPA Nomor 5 Tahun 1960 maka
penguasaan masyarakat Kabupaten Kapuas dapat
digolongkan kepada penguasaan atas tanah negara.
Kondisi garapan masyarakat yang dikategorikan
kepada penggarapan atas tanah dan sistem pertanian
pasang surut yang menciptakan pola pertanian tidak
Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
Umiyati
75
menetap/ladang berpindah (bero) akan menciptakan
kondisi ketidakpastian pemilikan hak atas tanah.
Maka penguasaan masyarakat tersebut tidak dapat
digolongkan kepada Tanah Ulayat dan kelompok
masyarakat handel/padang tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat
sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999.
Kondisi penguasaan pemilikan tanah di lokasi
sebelum waduk di bangun adalah tanah-tanah hak
milik adat yang dikuasai pemiliknya dan merupakan
garapan masyarakat setempat. Waduk mulai diari
pada 14 Januari 1989 menenggelamkan 37 desa,
7 kecamatan di 3 kabupaten (Sragen, Boyolali dan
Grobogan). Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan
tanahnya akibat pembangunan waduk ini.
Kedudukan Hak Atas Tanah Sesudah Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan UmumBerpangkal pada Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960
(UUPA), perkataan dikuasai dalam pasal ini bukanlah
berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang
memberi wewenang kepada negara, sebagai
organisasi kekuasaan bangsa Indonesia, untuk pada
tingkatan tertinggi mengatur, menyelenggarakan,
menentukan peruntukan dan pemanfaatan tanah
pada masyarakat Indonesia dimana segala
sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur.
Selanjutnya pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA)
dinyatakan bahwa untuk kepentingan umum
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan Undang-undang. Pencabutan
hak atas tanah, akan tetapi terikat dengan syarat-
syarat yaitu harus disertai ganti rugi yang layak
atau penunjukkan tanah negara sebagai ganti yang
sepadan, ditinjau dari nilai, manfaat dan kemampuan
tanahnya.
Dalam PMDN No. 15/1975 tidak dikenal adanya istilah
Pengadaan tanah melainkan pembebasan tanah.
PMDN ini juga mengatur pelaksanaan atau tata cara
pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah
dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.
Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan
pemerintah, dibentuk Panitia Pembebasan Tanah
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PMDN No.
15/1975. Sedangkan menurut Pasal 11 PMDN No.
15/1975 untuk kepentingan swasta tidak dibentuk
panitia khusus, pemerintah hanya mengawasi
pelaksanaan pembebasan tanah tersebut antara
para pihak yaitu pihak membutuhkan tanah dengan
pihak yang mempunyai tanah.
Sesuai dengan Keppres Nomor 55 tahun 1993 jo
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, dalam rangka pengadaan tanah
untuk kepentingan umum telah memberi perlindungan
hukum dan jaminan hak bagi warga pemilik tanah
yang terkena pembebasan. Hal ini berarti bahwa
keberadaan Keppres tersebut secara yuridis telah
mengikat dan menjadi dasar hukum yang kuat bagi
pemerintah untuk melaksanakan pengadaan tanah.
Pelaksanaan Pengadaan tanah menurut Keppres
No. 55 Tahun 1993 belum dapat mencerminkan
asas penghargaan terhadap hak-hak pemilik
tanah yang menjadi dasar dan atau pokok-
pokok kebijaksanaannya sendiri; karena belum
menempatkan rakyat pemilik tanah sebagai
unsur penting yang harus terlibat dalam susunan
kepanitiaan.
Esensi lain materi Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang
perlu mendapat telaah yuridis ialah dimungkinkannya
untuk dilakukan jual beli dan tukar menukar antara
instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan
pihak pemilik tanah. Hal ini secara jelas ditegaskan
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1
76
dalam Pasal 23 Keppres No. 55 Tahun 1993 bahwa
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak
lebih dari satu hektar, dapat dilakukan langsung oleh
instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan
para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli
atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh
kedua belah pihak. Peraturan mengenai pengadaan
tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum
sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 55 Tahun
1993 dinilai mengandung beberapa kelemahan
sehingga diganti dengan Perpres Nomor 36 Tahun
2005.
Implementasi dari Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan UmumTerlaksananya pembangunan secara efektif dan
efisien tidak terlepas dari efektifitasnya peraturan
hukum yang berlaku. Khusus bagi Kabupaten
Kapuas yang menjadi lokasi pembangunan lahan
gambut satu juta hektar menerima akibat dari
pergesekan kepentingan antara pemerintah dengan
masyarakat yang terkena lokasi tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari besarnya jumlah tuntutan yang
diajukan masyarakat, tidak selesainya pembangunan
yang sudah direncanakan di lokasi lahan gambut
satu juta hektar tersebut dengan banyaknya warga
transmigrasi yang pergi atau keluar dari lokasi untuk
mencari nafkah penghidupannya.
Pembayaran santunan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat diharapkan sebagai langkah
kedepan untuk lebih maju meneruskan rencana-
rencana pembangunan kembali lahan gambut satu
juta hektar di Kabupaten Kapuas. Masyarakat
diharapkan tidak lagi berpikir hanya menuntut hak
atas ganti rugi lahan tetapi menuntut supaya lokasi
tersebut direhabilitasi dan dikelola kembali sehingga
apa yang telah ditetapkan dalam tata ruang lokasi
PLG tersebut dapat terwujud.
Hukum Pengadaan tanah yang berlaku di Kabupaten
Kapuas adalah sesuai dengan Keppres Nomor
55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005 belum dilaksanakan secara penuh
karena belum ada peraturan pelaksanaan sebagai
ganti PMNA/Ka. BPN No. 1 Tahun 1994. Sedangkan
dasar hukum untuk Pengadaan Tanah Kedung Ombo
di Kabupaten Boyolali dengan PMDN No. 15/1975.
akibat Hukum dari Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Proyek Pengembangan lahan gambut (PPlg) Waduk Kedung ombo
Sinkronisasi Aturan Hukum Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan UmumSalah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
mencapai keberhasilan suatu pekerjaan dalam
mencapai tujuan yang diinginkan ialah harus adanya
sinkronisasi didalam aturan perundang-undangan.
Sinkronisasi yang dimaksud dalam konteks penulisan
ini diartikan sebagai kesesuaian atau keselarasan
yang bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan
sampai sejauhmana perundang-undangan tertentu
serasi secara vertikal (pelbagai perundang-
undangan yang berbeda derajat yang mengatur
bidang kehidupan tertentu/yang sama), atau yang
mempunyai keserasian secara horizontal apabila
menyangkut perundang-undangan yang sederajat
mengenai bidang yang sama.
Sinkronisasi vertikal diartikan sebagai kesesuaian
atau keselarasan materi tentang pengadaan tanah
yang terdapat dalam UUD, Ketetapan MPR, UU
(Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan
Presiden serta Peraturan Daerah. Sementara
Sinkronisasi Horizontal diartikan sebagai kesesuaian
atau keselarasan materi Keppres Nomor 82 Tahun
1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut Untuk
Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah
dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
Umiyati
77
Keppres Nomor 82 Tahun 1995 tentang
Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian
Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah merupakan
dasar hukum yang dikeluarkan pemerintah dalam
melakukan pembangunan lokasi eks PLG tanpa
dilakukannya terlebih dahulu pendataan dan
inventarisasi hak atas tanah. Pembangunan
dilakukan dalam bentuk pembangunan lahan
transmigrasi, saluran primer, sekunder, tersier, dan
sarana penunjang lainnya.
Memperhatikan dikeluarkannya Keppres Nomor
82 Tahun 1995 tersebut apabila dicermati tidak
ada mencantumkan pemberian ganti rugi terhadap
tanah-tanah milik masyarakat yang terkena kegiatan
PLG satu juta hektar di Kabupaten Kapuas. Hal
ini bertentangan dengan Keppres Nomor 55 Tahun
1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam hal ini, telah terjadi dissinkronisasi dalam
penerbitan Keppres Nomor 82 Tahun 1995 dengan
Keppres Nomor 55 Tahun 1993. Dimana Keppres
Nomor 82 Tahun 1995 telah mengenyampingkan
aturan/prosedur didalam pengadaan tanah bagi
kepentingan umum. Memperhatikan tindakan hukum
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Kapuas atas konflik kepentingan antara pemerintah
dengan masyarakat tetap melalui Keppres No. 55
Tahun 1993. Pilihan hukum ini sudah benar karena
sesuai dengan asas hukum Lex Spesialis Derogat
Lex Generalis, bahwa Keppres Nomor 82 Tahun
1995 hanya mengatur tentang penetapan kawasan
tersebut menjadi lokasi pembangunan lahan
pertanian. Sedangkan prosedur hukum pengadaan
tanahnya adalah melalui Keppres No. 55 Tahun 1993.
Pemerintah Daerah Kapuas sesuai dengan
Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor
16/580.1.BPN.42.2001 melakukan penambahan
struktur kepanitiaan dalam pengadaan tanah.
Hal ini dilakukan untuk menjalankan asas umum
pemerintah yang baik dimana salah satu unsurnya
adalah kecermatan. Mengingat lokasi yang akan
dilakukan ganti rugi sudah selesai dibangun
(karakteristik khusus, dan luas wilayah yang akan
diganti rugi tidak lagi memungkinkan hanya ditangani
oleh kepanitiaan sebagaimana yang diatur oleh
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 juncto Permenag/Ka.
BPN No.1 Tahun 1994). khusus untuk pembangunan
Waduk Kedung Ombo pelaksanaannya dimulai
dengan menggunakan landasan hukum PMDN
No.15/1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai
Tata Cara Pembebasan Tanah yang pada prinsipnya
proses pembebasan tanah dilakukan dengan jalan
musyawarah. Apabila tidak terjadi kesepakatan
antara pemerintah dengan pihak pemilik tanah
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka
menurut ketentuan lokasinya dipindahkan ketempat
lain. Dengan berlakunya Keppres No.55/Tahun
1993, maka PMDN No.15/1975 telah disempurnakan/
diperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat
didalamnya. Pasal 1 butir 7 Keppres No.55/1993
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ganti
rugi adalah penggantian atas nilai tanah dan/atau
benda-benda lain yang terkait dengan sebagai akibat
dari pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Pembebasan tanah ini dilakukan oleh Panitia
Pembebasan Tanah yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
ditetapkan sebagai bagian dari kegiatan Proyek Induk
Pengembangan Wilayah Sungai (PWS) Jragung,
Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana (Jratunseluna).
Panitia Pengadaan Tanah di Pandang Dari Sudut Hukum PertanahanDengan pertimbangan terdapatnya lahan dengan
hamparan yang sangat luas (± 1,4 juta hektar) dalam
satu kesatuan yang tidak terpisah, ketersediaan air
dan akses transportasi (air), maka ditetapkan Propinsi
Kalimantan Tengah menjadi lokasi Pengembangan
lahan gambut untuk pertanian tanaman pangan
berdasarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1995.
Berdasarkan Keppres tersebut ditetapkan lahan
Proyek Pengembangan Lahan Gambut seluas
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1
78
1.475.000 Ha yang meliputi wilayah Kabupaten
Kapuas (Sebagian besar wilayah PLG), Kab.
Barito Selatan dan Kota Palangkaraya. Pada
mulanya wilayah yang dipilih menjadi lokasi Proyek
Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) diperkirakan
oleh Pemerintah Pusat masih berstatus tanah negara
kosong tanpa pemilik. Kondisi nyata dilapangan
disebagian lahan yang digunakan untuk lokasi
PPLG, terutama di sepanjang pinggir sungai telah
digarap/dikuasai oleh masyarakat untuk lokasi kebun
rotan, karet, purun, buah-buahan, beje, tatah dan lain
sebagainya sebelum PPLG dilaksanakan.
Dengan terganggu atau hilangnya sumber pendapatan
tempat usaha masyarakat, maka mereka menuntut
ganti kerugian kepada pemerintah dan mengancam
pada saat itu untuk menyetop dan mengusir warga
transmigrasi yang telah ditempatkan dilokasi UPT-
UPT tersebut. Tuntutan masyarakat tersebut di
atas, serta sejalan dengan Keppres Nomor 55 Tahun
1993 yang menetapkan bahwa dalam kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum harus ada
ganti kerugian atas tanah, bangunan, tanaman dan/
atau benda-benda lain yang ada kaitannya dilakukan
pendataan dan inventarisasi pada tahun 2001.
Pelaksanaan Pengembangan lahan gambut untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Kapuas dan Pembangunan Waduk Kedung ombo di Wilayah Kabupaten boyolaliIsfarianto (2012) menyatakan bahwa Bentuk
pelaksanaan mekanisme ganti rugi yang sah secara
yuridis dalam proses pengadaan tanah untuk
pembangunan sarana umum yakni meliputi:
1. Penyuluhan
Panitia pengadaan tanah bersama instansi yang
memerlukan tanah melaksanakan penyuluhan
untuk menjelaskan manfaat, maksud dan tujuan
pembangunan kepada masyarakat dalam rangka
memperoleh kesediaan dari para pemilik tanah. Dari
hasil penyuluhan, ada dua kemungkinan yang akan
terjadi, yakni bila diterima oleh masyarakat, maka
kegiatan pengadaan tanah ditindaklanjuti. Bila tidak
diterima masyarakat, maka dilakukan penyuluhan
ulang. Hasil penyuluhan ulang membuka adanya dua
kemungkinan, yaitu : (a) tetap ditolak oleh 75 persen
pemegang hak atas tanah dan lokasi tidak dapat
dipindahkan, dicari alternatif lokasi lain; (b) tetap
ditolak pemegang hak atas tanah, dan lokasi tidak
dapat dipindah, maka Panitia Pengadaan Tanah
mengusulkan kepada Bupati/Wali Kota/Gubernur
untuk menggunakan acara pencabutan hak atas
tanah menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961. Hasil pelaksanaan penyuluhan dituangkan
dalam Berita Acara Hasil Penyuluhan.
2. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah
3. Identifikasi dan Inventarisasi
4. Pembayaran Ganti Rugi. Yang berhak meneri-
ma ganti rugi adalah pemegang hak atas tanah,
nazir bagi tanah wakaf, ganti rugi untuk Hak
Guna Bangunan/hak Pakai yang diberikan di
atas tanah Hak Milik/Hak Pengelolaan diberikan
kepada pemegang Hak Milik/hak Pengelolaan,
ganti rugi bangunan dan/atau tanaman dan/atau
benda-benda yang ada di atas Tanah Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai yang diberikan di atas ta-
nah Hak Milik/Hak Pengelolaan, diberikan ke-
pada pemilik bangunan dan/atau tanaman dan/
atau benda-benda tersebut.
Ganti rugi dalam bentuk uang diberikan dalam waktu
paling lama 60 hari sejak tanggal keputusan, untuk
ganti rugi yang tidak berupa uang, penyerahannya
dilakukan dalam jangka waktu yang disepakati para
pihak. Ganti rugi yang dititipkan atau tidak langsung
diserahkan karena sebab-sebab tertentu selain
karena pemegang hak atas tanah tetap menolak,
yaitu: (a) yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui
keberadaannya; (b) tanah, bangunan, tanaman
dan/atau benda lain terkait dengan tanah sedang
menjadi objek perkara di pengadilan; (c) sengketa
Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
Umiyati
79
pemilikan yang masih berlangsung dan belum ada
penyelesainnya; (d) tanah, bangunan tanaman dan
benda-benda lain yang terkait dengan tanah sedang
diletakkan sita oleh pihak yang berwenang. Penitipan
ganti rugi dilakukan dengan permohonan penitipan
kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Khusus untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo
pelaksanaannya dimulai dengan menggunakan
landasan hukum PMDN No.15/1975 tentang
Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara
Pembebasan Tanah yang pada prinsipnya proses
pembebasan tanah dilakukan dengan jalan
musyawarah. Apabila tidak terjadi kesepakatan
antara pemerintah dengan pihak pemilik tanah
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka
menurut ketentuan lokasinya dipindahkan ketempat
lain. Dengan berlakunya Keppres No.55/Tahun
1993, maka PMDN No.15/1975 telah disempurnakan/
diperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat
didalamnya. Pasal 1 butir 7 Keppres No.55/1993
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ganti
rugi adalah penggantian atas nilai tanah dan/atau
benda-benda lain yang terkait dengan sebagai akibat
dari pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Pembebasan tanah ini dilakukan oleh Panitia
Pembebasan Tanah yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
ditetapkan sebagai bagian dari kegiatan Proyek Induk
Pengembangan Wilayah Sungai (PWS) Jragung,
Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana (Jratunseluna).
Panitia Pembebasan Tanah telah mengadakan
musyawarah dengan sejumlah warga akan tetapi
tidak semua warga menyepakati hasil-hasil
musyawarah. Dari 100 responden, 60% menjawab
bahwa penduduk dipaksa menandatangani hasil
pendataan tanah, rumah dan bangunan, mereka
sama sekali tidak diajak bermusyawarah. Sedangkan
40 % responden menjawab tidak pernah diajak
bermusyawarah untuk membicarakan nilai ganti rugi,
warga hanya diundang kemudian disodori sebuah
amplop yang berisi uang serta tulisan ”jer basuki
mawa beya”.
Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan
pemberian ganti rugi untuk pembebasan tanah dalam
rangka pembangunan Waduk Kedung Ombo (WKO)
dilaksanakan dengan cara antara lain pembayaran
melalui panitia pembebasan tanah yang dituangkan
dalam suatu berita acara pembayaran ganti rugi
dan pemberian konsinyasi yang dititipkan kepada
Pengadilan Negeri Boyolali.
Hambatan-hambatan yang Timbul dalam Pelaksanaan Pengembangan lahan gambut untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Kapuas dan Pembangunan Waduk Kedung ombo di Wilayah Kabupaten boyolali
Penyebab Ketidaksepakatan Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Skala BesarPada akhir bulan September 1996 Pemerintah
Pusat memutuskan bahwa tidak ada ganti rugi
tanam tumbuh yang terkena kegiatan pembuatan
saluran PPLG. Sejak awal bulan Oktober 1996
kegiatan pendataan/inventarisasi tanam tumbuh
dihentikan dan bahkan hasil pendataan sementara
yang belum dibukukan juga tidak ditangani/diproses
lagi. Sedangkan kegiatan pembangunan PLG terus
berlangsung bahkan cenderung semakin luas.
Selanjutnya Bupati Kapuas membentuk Panitia
Pengadaan Tanah dengan Keputusan Bupati Kapuas
Nomor 132/580.1/BPN.42.2000 tanggal 29 November
2000 yang selanjutnya surat keputusan tersebut
direvisi beberapa kali dan terakhir direvisi dengan
Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor 16/580.1/
BPN.42.2001 tanggal 24 Maret 2001 tentang
Revisi Susunan Keanggotaan Panitia Pengadaan
Tanah dan Tim Pemeriksaan Lapangan dengan
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1
80
Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor 151/580.1/
BPN.42.2000 tanggal 16 Desember 2000, yang
selanjutnya surat keputusan tersebut direvisi kembali
dan terakhir direvisi dengan Surat Keputusan Bupati
Kapuas Nomor : 17/580.1/BPN.42.2001 tentang
Revisi Susunan Keanggotaan Tim Pemeriksaan
Lapangan.
Adapun komposisi Panitia Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum dan Penyelesaian Masalah Tuntutan
Santunan Tanam Tumbuh Milik Masyarakat Yang
Terkena Kegiatan PPLG 1 Juta Hektar di Kabupaten
Kapuas Provinsi Kalteng sesuai dengan Surat Bupati
Kapuas Nomor : 16/580.1/BPN.42.2001 tanggal
24 Maret 2001 adalah sebagai berikut : 1) Wakil
Bupati Kab. Kapuas, 2) Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Kapuas, 3) Asisten Tatapraja pada
Setda Kab. Kapuas, 4) Ketua Tim Penyelesaian
Santunan Tanam Tumbuh Yang Terkena Kegiatan
Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1
Juta Hektar Kabupaten Kapuas (Tim 20), 5) Kepala
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten
Kapuas, 6) Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten
Kapuas, 7) Kepala Dinas Perikanan Kabupaten
Kapuas, 8) Kabag Hukum Direktorat Sumber Daya
Air Wil. Tengah Dep. Pemukiman dan Prasarana
Wilayah RI, 9) Kasubdit Sumber Daya Air Wilayah
Tengah Direktorat Sumber Daya Air Departemen
Pemukiman dan Praswil RI, 10) Pemimpin Proyek
Pengembangan Daerah Rawa Lamunti – Dadahup
Kalteng, 11) Camat Kepala Wilayah setempat, 12)
Lurah/Kades setempat, 13) Kabag. Tapem Setda
Kab. Kapuas, 14) Kepala Seksi Hak-Hak Atas
Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kapuas
(Sumber : Laporan Akhir Pelaksanaan Inventarisasi
dan Pembayaran Santunan pada Lokasi Eks PPLG 1
Juta Hektar di Kabupaten Kapuas).
Diketahui bahwa konsentrasi permasalahan
pembebasan tanah (sekarang pelepasan atau
penyerahan hak) terletak pada besarnya ganti
kerugian. Di satu sisi pihak pemilik/yang menguasai
tanah menginginkan besarnya ganti-kerugian sesuai
dengan harga pasar setempat, sementara di sisi lain
masih terbatasnya dana Pemerintah yang tersedia
untuk pembebasan tanah.
Selama ini yang menjadi permasalahan dalam
pembebasan tanah bukanlah mengenai ada tidaknya
kesediaan pemilik atas tanah untuk melepaskan hak
atas tanahnya kepada pemerintah untuk kepentingan
umum, melainkan karena pemegang hak atas tanah
menganggap bahwa ganti kerugian yang ditawarkan
kepada mereka tidak sesuai dengan harga pasar
setempat (umum), sehingga dinilai terlalu rendah
atau tidak wajar.
Rendahnya jumlah ganti kerugian yang ditawarkan
dalam setiap pelaksanaan pembebasan tanah
selama ini (sebelum berlakunya Keppres
No.55/1993), karena memang PMDN No.15/1975
menyatakan bahwa dasar perhitungan ganti-
kerugian dalam musyawarah dengan memperhatikan
harga dasar. Padahal sebagaimana diketahui,
harga dasar selalu jauh dari harga pasar setempat.
Menyadari ketidakcocokan dasar perhitungan itulah,
maka Keppres No.55/1993 mengadakan perubahan
dengan menentukan bahwa dasar perhitungan ganti-
kerugian sekarang ini adalah musyawarah yang
didasarkan atas nilai nyata dan memperhatikan Nilai
Jual Obyek Pajak.
Penyelesaian KetidaksepakatanPenyelesaian ketidaksepakatan mengenai ganti-
kerugian menurut Keppres No.55/1993 pada
dasarnya dilakukan dengan 3 (tiga) tahap, yakni
: melalui keputusan Panitia, keputusan Gubernur
dan Usul Pencabutan Hak. Keputusan Panitia
pasal 19 Keppres No.55/1993 menyatakan bahwa
”Apabila musyawarah telah diupayakan berulangkali
dan kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti-kerugian tidak tercapai, Panitia Pengadaan
tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk
dan besarnya ganti-kerugian, dengan sejauh
Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
Umiyati
81
mungkin memperhatikan pendapat, keinginan,
saran dan pertimbangan yang berlangsung dalam
musyawarah”.
Ketentuan di atas hanya memberi wewenang
kepada panitia Pengadaan Tanah membuat
keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti-
kerugian manakala musyawarah telah diupayakan
berulangkali namun tidak tercapai kesepakatan.
Keputusan Panitia tentang bentuk dan besarnya
ganti-kerugian yang bermaksud menyelesaikan
ketidaksepakatan mengenai ganti kerugian, bukan
merupakan keputusan yang bersifat final dan dapat
dipaksakan kepada pemegang hak. Oleh karena
itu, terhadap putusan panitia tersebut dapat diajukan
keberatan kepada gubernur.
Tegasnya Pasal 20 ayat (1) Keppres No. 55 tahun
1993 menyatakan : “Pemegang hak atas tanah yang
tidak dapat menerima keputusan Panitia Pengadaan
Tanah dapat mengajukan keberatan kepada
Gubernur KDH Tk. 1 disertai dengan penjelasan
mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan
tersebut”.
Setelah menerima keberatan yang dinyatakan secara
tegas oleh pihak yang tidak menyetujui ganti kerugian
atau laporan keberatan (bagi pihak yang “hanya
menolak saja”), gubernur meminta pertimbangan
Panitia Pengadaan Tanah Propinsi. Sebelum
Panitia Pengadaan Tanah Propinsi mengajukan usul
penyelesaian terhadap keberatan atas keputusan
panitia, maka Panitia Pengadaan Tanah Propinsi
meminta penjelasan kepada Panitia mengenai
proses pelaksanaan pengadaan tanah terutama
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan
bilamana dianggap perlu dapat melakukan penelitian
ke lapangan.
Gubernur mengupayakan pemegang hak atas
tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau
benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang
bersangkutan menyetujui bentuk dan besarnya ganti-
kerugian yang diusulkan Panitia Pengadaan Tanah
Propinsi. Namun apabila masih terdapat yang tidak
menyetujui penyelesaian sebagaimana diusulkan
Panitia Pengadaan Tanah Propinsi, gubernur
mengeluarkan keputusan bagi mereka dengan
mengukuhkan atau mengubah keputusan Panitia.
Kemudian para pihak (yang tidak menyetujui
keputusan panitia) menyampaikan pendapatnya
secara Tertulis kepada gubernur mengenai putusan
yang “mengukuhkan atau mengubah keputusan
Panitia” tersebut. Apabila masih terdapat pemegang
hak atas tanah, pemilik bangunan, tanaman dan/
atau benda-benda lain yang keberatan terhadap
keputusan Gubernur itu, instansi Pemerintah yang
memerlukan tanah melaporkan keberatan tersebut
dan meminta petunjuk mengenai kelanjutan rencana
pembangunan kepada Pimpinan Departemen/
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
membawahinya. Nantinya, Pimpinan Departemen/
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
membawahi instansi Pemerintah yang membutuhkan
tanah segera memberikan tanggapan secara tertulis
mengenai bentuk dan besarnya ganti-kerugian
tersebut serta mengirimkannya kepada Instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah, dengan
ditembuskan kepada gubernur yang bersangkutan.
Apabila Pimpinan Departemen/Lembaga Pemerintah
Non Departemen dari Instansi Pemerintah yang
memerlukan tanah menyetujui permintaan pemegang
hak atas tanah, pemilik bangunan, tanaman dan/atau
benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang
bersangkutan, Gubernur mengeluarkan keputusan
mengenai revisi bentuk dan besarnya ganti-kerugian
sesuai kesediaan atau persetujuan tersebut.
Dengan demikian, ada 2 (dua) keputusan Gubernur
tentang penyelesaian keberatan mengenai ganti-
kerugian yang diputuskan Panitia yakni :
1. Keputusan yang mengukuhkan atau mengubah
keputusan Panitia;
2. Keputusan mengenai revisi bentuk dan be-
sarnya ganti-kerugian sesuai dengan kesediaan
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1
82
atau persetujuan pimpinan Departemen/Lem-
baga Pemerintah Non Departemen yang mem-
bawahi instansi Pemerintah yang memerlukan
tanah.
Sesungguhnya keputusan Gubernur baik berupa
keputusan yang mengukuhkan atau mengubah
keputusan Panitia, ataupun keputusan revisi bentuk
dan besarnya ganti-kerugian, bukan merupakan
keputusan yang bersifat final dan dapat dipaksakan
kepada para pemegang hak atas tanah, pemilik
bangunan, tanaman dan/atau benda-benda lain yang
terkait dengan tanah yang bersangkutan.
Keppres No. 55 tahun 1993 menunjukan secara
jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh Gubernur
dalam acara pelepasan atau penyerahan hak itu
bukanlah keputusan yang final. Dalam keadaan
yang mempunyai tanah tetap menolak, pilihan
adalah : proyek dibatalkan, dicarikan lokasi lain,
atau kalau tidak dapat diselenggarakan di lokasi lain
ditempuh acara pencabutan hak ditegaskan dalam
Pasal 21 ayat (1) Keppres No. 55 Tahun 1993. Pasal
27 PMNA/K.BPN No. 1 Tahun 1994 menambahkan
bahwa usul pencabutan hak atas tanah bisa, jika :
1. Lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan;
2. Sekurang-kurangnya 75% dari luas tanah yang
diperlukan atau 75% dari jumlah pemegang hak
telah dibayar ganti ruginya;
3. Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) Keppres No. 55
Tahun 1993 menentukan secara garis besar
tahapan usul pencabutan hak atas tanah sam-
pai dengan permintaan untuk melakukan pen-
cabutan hak atas tanah.
Pemikiran Penyelesaian lainSebelum Keppres No. 55 Tahun 1993
diberlakukan ada pemikiran Komisi II DPR yang
intinya menyarankan bahwa untuk mengatasi,
ketidaksepakatan mengenai besarnya ganti-kerugian
dalam pembebasan tanah, maka perlu diperbaiki
komposisi panitia Pengadaan tanah. Para pemilik
tanah atau kuasa hukumnya perlu diikutsertakan
dalam Panitia Pembebasan Tanah, menghindari
kesan bahwa dalam pembebasan tanah para pemilik
tanah menjadi pihak yang dirugikan (karena kecilnya
ganti-kerugian).
Boedi Harsono menyatakan bahwa mendudukkan
rakyat atau wakilnya sebagai anggota panitia
Pembebasan Tanah secara yuridis akan
memperlemah kedudukan para pemilik tanah, sebab
putusan Panitia Pembebasan Tanah akan mengikat
mereka selaku anggota.
Keppres No. 55 Tahun 1993 menyadari aspek hukum
pelepasan atau penyerahan itu, sehingga di dalam
komposisi keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah
tidak ditemukan wakil dari pemilik tanah. Sebab,
fungsi Panitia Pengadaan Tanah saat ini adalah
sebagai mediator antara pihak yang akan diambil
tanahnya dengan pihak yang akan memperoleh
tanah. Sesuatu misplace secara hukum jika
menempatkan pihak yang empunya tanah sebagai
mediator.
Selanjutnya, beberapa pelaksanan pembebasan
tanah yang menyelesaikan ketidaksepakatan ganti-
kerugian dengan menerapkan lembaga penawaran
yang diikuti dengan konsinyasi sudah mendapat
legitimasi dalam praktek pelaksanaan pembebasan
tanah, dapat dilihat dari Surat Edaran Dirjen
Anggaran No. SE. 124/A/1988 tanggal 1 Desember
1988 yang menyatakan agar bukti penitipan uang
ganti-rugi kepada Pengadilan Negeri dilampirkan
pada Surat Pertanggungjawaban (SPJP), sebagai
bukti pengeluaran uang proyek.
Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
Umiyati
83
upaya Hukum yang dilakukan Pemerintah Maupun Masyarakat dalam Pelaksanaan Pengembangan lahan gambut untuk Tanaman Pangan di Kabupaten Kapuas dan Pembangunan Waduk Kedung ombo di Kabupaten boyolali
Upaya Hukum yang Dilakukan PemerintahMemperhatikan Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994, susunan Panitia
Pengadaan Tanah untuk lokasi PLG satu juta hektar
telah mengalami perubahan berupa penambahan
jumlah keanggotaan kepanitiaan. Sebagaimana
disebutkan dalam Permenag/Ka.BPN tersebut hanya
berjumlah 9 orang tetapi menurut SK Bupati Nomor
16/580.1/BPN.42.2001 menjadi 14 orang. Adapun
susunan Panitia Pengadaan Tanah Sesuai dengan
Permenag/Ka.BPN No. 1 Tahun 1994 adalah : Wakil
Bupati Kabupaten Kapuas, Kepala Kantor Pertanahan
Kab. Kapuas, Kadis Pertanian dan Tanaman Pangan
Kab. Kapuas, Kadis. Perkebunan Kab. Kapuas, Kadis.
Perikanan Kab. Kapuas, Lurah/Kades Setempat,
Kepala Bagian Tapem Setda Kab. Kapuas, Kepala
Seksi Hak-Hak Atas Tanah pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Kapuas. Membandingkan susunan
Kepanitiaan Pengadaan Tanah sebagaimana yang
diatur dalam Surat Keputusan Bupati Kapuas No.
16/580.1/BPN.42.201 dengan yang diatur dalam
Permenag/Ka.BPN No. 1 Tahun 1994 telah terjadi
penambahan dan perubahan jumlah keanggotaan
Panitia Pengadaan Tanah tersebut. SK. Bupati
No. 16/580.1/BPN.42.201 merupakan Keputusan
adminstrasi negara yang dibentuk sehubungan
adanya kebutuhan yang sangat mendesak akan
penyelesaian masalah tuntutan santunan tanam
tumbuh milik masyarakat yang terkena kegiatan
PLG satu juta hektar. SK tersebut dapat diasumsikan
sebagai Perda atas dasar pemenuhan tuntutan Surat
Menteri Pemukiman dan Praswil RI, kebutuhan
Pemda Kapuas untuk segera menyelesaikan tuntutan
masyarakat dan prinsip kebebasan bertindak yang
dibuat untuk mencapai suatu tujuan pemerintah yang
dibenarkan secara hukum. Aturan kebijakan lebih
bertolak pada aspek pencapai tujuan atau manfaat
(doelmatigheid) daripada dasar pembenaran secara
hukum. Tujuan manfaat (doelmatigheid) yang
hendak dicapai disini mengingat kondisi Lahan Satu
Juta Hektar yang telah terbangun sehingga akan
sulit untuk melakukan inventarisasi dan penelitian
lapangan untuk mengecek kebenaran tuntutan
masyarakat.
Adanya faktor kewenangan (bevoegheid) pada Bupati
sesuai dengan semangat otonomi daerah saat itu
(UU No. 22 Tahun 1999 sebelum diganti dengan UU
No. 32 Tahun 2004) yang memberikan kewenangan
yang luas dalam melakukan kebijakan di wilayahnya.
Kebijakan tersebut diterapkan oleh Bupati Kapuas
dengan menambah jumlah keanggotaan Panitia
Pengadaan Tanah dalam melakukan inventarisasi
dan pemeriksaan lapangan tuntutan masyarakat
yang diajukan kepada Pemerintah Pusat.
Salah satu model penyelesaian masalah
Kedungombo yang dilakukan Pemerintah Propinsi
Jawa Tengah adalah dengan cara merelokasi warga
ke lahan pengganti. Kebijakan ini bersifat spesifik,
karena hanya diberlakukan bagi warga kedungombo
yang belum bersedia/tidak mau menerima konsinyasi
ganti rugi. Sedangkan untuk kelompok warga lainnya
yang sebagian besar sudah menerima uang ganti rugi,
Pemerintah memberlakukan kebijakan rehabilitasi
yaitu memperbaiki atau membangun infrastruktur
di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial-
budaya, dan sebagainya.
Hal yang wajar apabila pemerintah lebih
memprioritaskan kebijakan relokasi ini bagi warga
yang belum bersedia menerima ganti rugi. Sebab,
seiring dengan penolakan tersebut, mereka
memutuskan hidup dikawasan sabuk hijau selama
belasan tahun. Padahal kawasan ini terlarang
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1
84
sebagai tempat hunian, sesuai aturan internasional
bahwa kawasan sabuk hijau terlarang untuk tempat
hunian, yang juga dipersyaratkan oleh Bank Dunia.
Pemerintah dimasa lalu sudah punya komitmen
dengan Bank Dunia dan tidak bisa diingkari oleh
pemerintah sekarang, sebab berdampak luas
terhadap perekonomian nasional.
Dari pertimbangan di atas tersaji dua fakta
sekaligus : kawasan sabuk hijau tak boleh dihuni,
tetapi pemerintah tidak boleh menyia-nyiakan
warga yang terlanjur tinggal di kawasan terlarang
itu. Dari bingkai inilah Pemerintah Propinsi Jawa
Tengah bergerak untuk mencari penyelesaian
yang bersifat menguntungkan kedua belah pihak
(win-win solution). Apabila kemudian Pemerintah
Propinsi Jateng memilih kebijakan relokasi, itu terjadi
secara bottom-up melalui forum rembug desa yang
menyerap aspirasi mayoritas warga kedungpiring.
Lebih dari itu, program relokasi menjadi solusi yang
menggambarkan win-win solution.
Untuk menjalankan konsep relokasi terhadap warga
kedungpring tersebut, Pemerintah yang didukung
sejumlah instansi terkait membagi tugas yang pada
intinya mencakup 3 kegiatan operasional, yakni :
1. Kegiatan Administratif
2. Identifikasi dan Peninjauan Lapangan
3. Penyusunan Rencana Aksi Persiapan Relokasi
Kegiatan administratif
1. Tanggal 24 April 2001 digelar rapat kajian ren-
cana relokasi bagi warga kedungpring, yang
berlangsung di kantor Kecamatan Kemusu.
2. Tanggal 4 April 2001 berlangsung rapat kajian
aspek hukum terhadap sikap warga yang me-
nolak uang konsinyasi. Forum ini menyepakati
bahwa secara prinsip (fakta hukum) ganti rugi
tanah telah selesai dengan adanya putusan MA
Reg. No. 650 PK/Pdt/1994.
3. Data per Mei 2001, jumlah uang ganti rugi yang
dikonsinyasikan di PN Boyolali dan belum diam-
bil tercatat Rp. 678.114.882, yang meliputi 642
bidang
Identifikasi dan Peninjauan Lapangan
1. Tanggal 8 mei 2001 diadakan identifikasi dan
peninjauan lapangan.
2. Lokasi yang dipilih Kelompok Mbah Jenggot
berada pada sisi tenggara dari dusun kedung-
pring, dan termasuk dalam petak 158 BKPH
Grenjengan, KPH Telawa, Desa Kedungrejo,
Kemusu. Lahan yang diperlukan sekitar 20 Ha.
Sedangkan lokasi yang dipilih Kelompok Darso-
no berada pada sisi utara Dusun Kedungpring,
termasuk dalam petak 143 BKPH Granjengan,
KPH Telawa, dengan luas lahan yang diperlu-
kan sekitar 14,5 Ha.
Penyusunan rencana aksi Persiapan relokasi
Program-program aksi yang dijalankan menggunakan
berbagai konsep pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Kelompok Mbah Jenggot
a. Alokasi bantuan maksimal yang
diberikan pada kelompok ini sebesar Rp.
275.775.000,-
b. Kegiatan aksi lapangan yang dapat
dibiayai dengan dana tersebut adalah
: (a) bantuan biaya pindah bagi 24 KK
sebesar Rp. 36.000.000,-; (b) Bantuan
untuk pembangunan pondasi rumah 24
unit sebesar Rp. 70.625.000,-; (c) bantuan
perbaikan dan pembangunan kembali
rumah warga sebesar Rp. 169.150.000,-
2. Pendekatan Kelompok Darsono
a. Alokasi bantuan maksimal yang diberikan
kepada kelompok ini sebesar Rp.
809.100.000,-
b. Kegiatan aksi lapangan yang dapat
dibiayai dengan dana tersebut adalah
(a) bantuan biaya pindah bagi 62 KK
sebesar Rp. 93.000.000,-; (b) bantuan
Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
Umiyati
85
untuk pembangunan pondasi rumah 62
unit sebesar Rp. 155.280.000,; (c) bantuan
perbaikan dan pembangunan kembali
rumah warga sebesar Rp. 560.820.000,-
Namun upaya untuk merealisasi rencana relokasi
mengalami beberapa kendala yang tidak ringan.
Misalnya pada tanggal 22 Januari 2002 Gubernur
mengirim surat kepada Menteri Kehutanan yang
isinya meminta izin membuka lahan di areal milik
perhutani. Namun sampai sekian lama belum ada
jawaban dari menhut, sehingga relokasi belum juga
bisa dilaksanakan. Akhirnya, Gubernur secara
tertulis mengeluarkan izin yang mendahului izin
Menteri Kehutanan.
upaya yang dilakukan Masyarakat Kedung ombo dalam PembelaanOleh karena belum semua warga menyepakati
nilai ganti rugi, maka masalah pembebasan tanah
mengalami hambatan yang serius. Oleh sebab itu,
Menteri PU mengeluarkan Surat Nomor –TN 01.20
Mn/725 tertanggal 29 Oktober 1988 yang ditujukan
kepada Mahkamah Agung (MA), untuk memohon
petunjuk pelaksanaan ganti rugi dalam rangka
pembebasan tanah untuk kepentingan proyek
pembangunan Waduk Kedungombo.
Atas permohonan tersebut, MA mengeluarkan fatwa
Nomor : 578/1320/88/11/UMTU/Pdt tertanggal 16
November 1988, yang menyatakan bahwa uang
ganti rugi tanah milik penduduk yang tidak atau belum
diambil warga dari Panitia Pelaksana Pembebasan
Tanah/Pemimpin Proyek, pelaksanaannya dilakukan
dengan menggunakan Lembaga Penawaran
Pembayaran, yang diikuti dengan konsinyasi lewat
Pengadilan Negeri (PN) terdekat.
Fatwa MA dan putusan yang diambil PN Boyolali soal
nilai ganti rugi dan sistem konsinyasinya ditentang
habis-habisan oleh sejumlah warga yang tergabung
dalam Paguyuban Warga Kedungombo (PWK), yang
saat itu dikomandani Darsono. Bahkan pada tanggal
13 Juni 1999, 54 warga Kedungpring yang mewakili
500 rekan-rekan senasib mengajukan permohonan
ganti rugi ke PN Semarang.
Substansi gugatan adalah Gubernur mengeluarkan
SK. No. 593.8/105/1988 tentang pedoman
penetapan nilai ganti rugi. Surat Keputusan yang
diterbitkan per tanggal 2 mei 1988 itu dianggap tanpa
sepengetahuan para penggugat. Padahal, ketika
itu belum ada persetujuan ganti rugi antara tergugat
dengan para penggugat. Tetapi PN. Semarang
mengambil putusan menolak permohonan pihak
Penggugat. Atas Putusan ini, warga mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi Semarang. Dalam
putusan tertanggal 19 April 1991, PT Semarang justru
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Semarang.
Selain daripada itu perlawanan rakyat tanpa
kekerasan dilakukan secara simbolik dalam bentuk
menolak mengambil ikan dari waduk, serta menolak
pindah ke permukiman pengganti yang disediakan
pemerintah. Mereka juga melancarkan protes politis,
misalnya berunjuk rasa ke kantor Gubernur dan
Gedung DPRD Jawa Tengah, Kantor Bupati Boyolali,
dan berdemonstrasi di lokasi Waduk.
KESIMPULANBerdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa akibat hukum dari pengadaan
tanah terhadap hak atas tanah yang terdapat pada
areal PLG satu juta hektar terdiri dari tanah negara,
dikuasai secara Adat dan Tanah Ulayat dimana ganti
rugi yang diberikan berupa pembangunan Fasilitas
umum. Sedangkan pengadaan tanah yang telah
berstatus hak diberikan ganti rugi sesuai hak atas
tanah yang dimilikinya. Sedangkan untuk waduk
kedung ombo dengan cara merelokasi warga ke
lahan pengganti dan kebijakan rehabilitasi.
Pelaksanaan pengembangan lahan sejuta hektar di
Kapuas dan pembangunan Waduk Kedung Ombo di
Boyolali dilaksanakan dengan beberapa cara antara
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 73-88Vol. 2 No. 1
86
lain :
1. Dasar Hukum yang dipakai untuk pembangunan
waduk kedung ombo dalam pembebasan tanah
adalah PMDN No. 15/1975 tentang Ketentuan-
ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan
Tanah, sedangkan untuk lahan gambut sejuta
hektar dengan Keppres No. 55 tahun 1993 dan
PP No.36 Tahun 2005;
2. Bentuk-bentuk atau cara yang digunakan dalam
pemberian ganti rugi adalah (a) pemberian ganti
kerugian berupa uang; (b) merelokasi masyara-
kat ketempat yang telah disediakan.
3. Bagi para pemilik tanah yang belum atau tidak
mengambil uang ganti kerugian maka uang
tersebut dititipkan ke Pengadilan Negeri (Kon-
sinyasi).
SARAN1. Pada hakekatnya pada saat terjadi pembangu-
nan yang memerlukan tanah yang luas dilaku-
kan dengan pembebasan tanah, maka saat itu
pula telah tercipta masalah yang jauh lebih be-
sar dibidang pertanahan. Hal ini dikarenakan
pemilik tanah yang dibebaskan akan mencari
tempat baru untuk hidup dan berinteraksi den-
gan lingkungan barunya yang tentunya memba-
wa masalah yang lebih kompleks lagi. Sehingga
alangkah baiknya merelokasi masyarakat yang
tanahnya terkena pengadaan tanah.
2. Perlu dibuat aturan khusus di bidang Hukum
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pemban-
gunan Untuk Kepentingan Umum dimana pem-
bangunan dilakukan proses Inventarisasi dan
Pendataan hak atas tanah.
UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepada kepada
tim redaksi atas bimbingannya sehingga tulisan ini
layak untuk diterbitkan.
DAFTAR ACUAN
buku
Ginting, J., 2006. Aspek Prosedural Pada Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum (Studi Terhadap
Proyek Pengembangan Lahan Gambut
Satu Juta Hektar). Tesis Program Pasca
Sarjana Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarmasin.
Isfariyanto, 2012. Aspek Hukum Pemberian Ganti
Rugi Dalam Peraturan-peraturan Tentang
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Kepentingan Umum., http://usfariyanto.
blogspot.com/2012/04/aspek-hukum-
pemberian-ganti-rugi-dalam.html, Diakses
tanggal 27 April 2012
Karmono, 2005. Pelaksanaan Pemberian Ganti Rugi
Dalam Rangka Pengadaan Tanah Untuk
Proyek Pembangunan Waduk Kedung
Ombo di Wilayah Kabupaten Boyolali
(Kajian Sosio-Yuridis pada efektifitas
hukum guna melindungi golongan yang
lemah dalam masyarakat., Tesis Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
Semarang.
Karsono (2010) Analisis Ekonomi Politik Pengadaan
Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Ruas
Semarang-Bawen di Provinsi Jawa
Tengah, Tesis, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Sudargo, Gautama (1997) Tafsiran Undang-Undang
Pokok Agraria, Alumni, Bandung
Sudargo, Gautama dan Ellyda T. Soetiyanto (1996)
Komentar Atas Peraturan-Peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Pokok
Agraria. Citra Aditya Bakti, Bandung
S.W. Sumardjono, Maria (2007) Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi.
Tine, Supriadi K (2009) Analisis Hukum Tentang
Pengadaan Tanah Skala Besar Untuk Pembangunan (Studi Kasus Pengadaan Tanah Gambut Satu Juta Hektar Di Kalimantan Tengah dan Waduk Kedung Ombo Di Wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)
Umiyati
87
Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum di Kabupaten
Gorontalo, Tesis, Universitas Muslim
Indonesia, Makassar.
Peraturan dan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang
Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang ada di atasnya.
Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk kepentingan Umum
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
89
PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH DAN KESIAPAN PEMERINTAH DAERAH
IMPlEMENTaTIoN laNd’s ProcurEMENT aNd local goVErNMENT rEadINEss
Trie SaktiPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan H. Agus Salim Nomor 58, Jakarta, [email protected]
ABSTRAKSelama ini pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh Pemerintah dianggap kurang memberikan keadilan pada masyarakat
terutama dalam hal penilaian atas ganti kerugian, kurangnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, fluktuasi harga
yang tidak menentu serta tenggang waktu pengadaan tanah yang tidak pasti. Sehubungan dengan hal itu maka Pemerintah
telah mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan. masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum
Pihak yang Berhak. Dalam UU ini, Pengadaan Tanah dilaksanakan dalam 4 tahapan, pertama tahap perencanaan, setiap
instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum membuat rencana pengadaan tanah dalam
bentuk dokumen perencanaan, yang kemudian disampaikan kepada Gubernur; kedua, tahap persiapan, setelah menerima
dokumen perencanaan pengadaan tanah, Gubernur membentuk tim persiapan; ketiga tahap pelaksanaan, pelaksanaan
pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala BPN, yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua
pelaksana pengadaan tanah; dan tahap penyerahan hasil, ketua pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil pengadaan
tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pelepasan
hak objek pengadaan tanah.
Kata kunci : pelaksanaan, pengadaan tanah, pemerintah daerah.
absTracTDuring this far, land’s procurement by government, been considered less fair to community, especially in compensation’s
value, lacking of community’s participation and empowerment, price fluctuation, and uncertain land’s procurement time.
Based on that situation, Government has published National’s Law No. 2 in 2012 about Land’s Procurement Policy for Public
Interest Development. It aims to provide land for development activity to enhance people’s prosperity by ensure legal rights of
land owner. In this Law, Land’s Procurement been enrolled in four steps. First, Planning; every institution who needs land for
their development make planning in form of planning’s documentation which be sent to Governor. Second, Preparation; after
receive the document, Governor arranges Preparation Team. Third, Action; land is been procured by Head of National Land
Agency, and been run by Head of Regional Bureau of National Land Agency as Head Operation Land’s Procurement. Fourth,
Results Submission; Head Operation Land’s Procurement submit land’s procurement result to the institution whom needed,
completed with land’s procurement data, at least in seven working days after the object rights of land procurement been given.
Keywords : action, land’s procurement, local government.
PENDAHULUANSetiap rencana pembangunan fisik yang
direncanakan Pemerintah sudah pasti diperlukan
bidang tanah, baik dalam skala besar, menengah atau
kecil. Namun kenyataan di lapangan membuktikan
bahwa Pemerintah selalu dihadapkan pada banyak
hambatan untuk memperoleh atau mendapatkan
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
90
bidang tanah dimaskud. Sudah terlalu sulit untuk
memperoleh atau mendapatkan bidang tanah
berstatus tanah Negara bebas, terutama diwilayah
perkotaan. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk
Indonesia yang berdasarkan berita mencapai kurang
lebih sebanyak 220 juta jiwa, berakibat diseluruh
wilayah pedesaan pun sudah padat dengan
penduduk, kecuali bidang tanah yang dikuasai
langsung oleh lembaga pemerintah sendiri. Hak-
hak atas tanah milik penduduk sudah barang tentu
dilindungi oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Hak-hak atas tanah milik penduduk tentunya
dilindungi oleh UUD 1945 setelah amandemen,
dinyatakan dalam pasal 28 H ayat (4) sebagai Hak
Asasi manusia, bahwa ”setiap orang mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Oleh
karenanya, tindakan pengurangan atau peniadaan
hak seseorang atas tanah karena diperlukan pihak
lain harus diatur dalam undang-undang.
Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional,
serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan
tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola
secara cermat pada masa sekarang maupun
untuk masa yang akan datang. Masalah tanah
adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang
paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai
ekonomis juga berfungsi sosial. Fungsi sosial disini
dimaksudkan apabila Pemerintah membutuhkan
tanah untuk kepentingan pembangunan maka
masyarakat harus memberikan tanahnya yang
kemudian akan diberikan ganti kerugian.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan
pembangunan, dan untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan
tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan
mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis,
dan adil. Selama ini pengadaan tanah yang
dilaksanakan oleh Pemerintah dianggap kurang
memberikan keadilan pada masyarakat terutama
dalam hal penilaian atas ganti kerugian, kurangnya
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, fluktuasi
harga yang tidak menentu serta tenggang waktu
pengadaan tanah yang tidak pasti.
Oleh karena itu Pemerintah menganggap penting
untuk segera menyusun UU tentang Pengadaan
Tanah, dengan berprinsip pada a) Pemerintah
dan Pemda menjamin ketersediaan tanah untuk
kepentingan umum, b) hak masyarakat diakui dan
diperlakukan secara adil, c) mengatasi spekulasi
tanah.
Selama ini berbagai peraturan telah dikeluarkan
Pemerintah untuk mengatur pembebasan tanah,
yang kemudian istilah pembebasan tanah ini direvisi
dengan istilah pengadaan tanah sejak dikeluarkannya
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk kepentingan Umum. Keppres Nomor 55
tahun 1993 mendefinisikan kepentingan umum
sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat,
sedangkan lingkup pembangunan untuk kepentingan
umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang
dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta
tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam
bidang-bidang yang meliputi 14 item
Dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 34
tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan, dimana dalam salah satu pasalnya
menyatakan :
1. sebagian kewenangan Pemerintah di bidang
pertanahan berupa penyelenggaraan pen-
gadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten;
2. pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan oleh
Bupati/Walikota;
3. BPN menetapkan standar dan norma pelaksa-
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
91
naan pengadaan tanah;
4. Panitia Pengadaan wajib melaporkan hasil
pelaksanaan kepada BPN.
Dengan demikian maka penyelenggaraan
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten.
Kemudian hal ini diatur pula dalam PP No. 34 tahun
2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 tahun
2005 untuk menyempurnakan Keppres Nomor 55
tahun 1993 karena Keppres tersebut dianggap
belum memenuhi kebutuhan pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum.Dalam konsiderans menimbang disebutkan
bahwa latar belakang diterbitkannya Perpres Nomor
36 tahun 2005 yaitu, a)dengan meningkatnya
pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah, maka pengadaannya prlu
dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap
memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-
hak yang sah atas tanah;b)bahwa pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum sebagaimana telah ditetapkan dengan
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 sudah
tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka
melaksanakan pembangunan untuk kepentingan
umum.
Pengadaan Tanah yang diatur dalam Perpres Nomor
36 tahun 2005 ada tiga jenis, yaitu 1) pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah yang luas tanahnya lebih dari satu hektar
disebut pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
dilaksanakan dengan bantuan Panitia Pengadaan
Tanah; 2) pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang luas
tanahnya kurang dari satu hektar disebut Pengadaan
tanah berskala kecil, dilaksanakan tanpa bantuan
Panitia Pengadaan Tanah dan; 3) pengadaan
tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli,
tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara
suka rela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Adanya kontroversi mengenai Perpres Nomor
36 tahun 2005 yang dinilai sangat merugikan
masyarakat, terutama mengenai persepsi
kepentingan umum, proses musyawarah dan
pencabutan hak mengakibatkan terjadinya revisi
terhadap Perpres tersebut dengan keluarnya Perpres
Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap
Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Dalam Perpres ini terdapat beberapa perubahan
terutama mengenai materi kepentingan umum
mengalami pengurangan menjadi 7 (tujuh) item
meliputi a)jalan umum dan jalan tol, kereta api,
saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan
air dan saniatasi; b) waduk, bendungan, bendungan
irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c)pelabuhan,
bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
d)fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar danlain-lain
bencana; e) tempat pembuangan sampah; f) cagar
alam dan cagar budaya dan g) pembangkit,transmisi,
distribusi tenaga listrik.
Mekanismenya pun mengalami perubahan yakni
terdapat unsur Lembaga Penilai Independen
yang dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 dapat
menetapkan harga namun dalam revisinya lembaga
Independen hanya melakukan penilaian dasar ganti
rugi sedangkan penetapan besarnya ganti rugi
ditetapkan oleh Panitia pengadaan Tanah. Komposisi
Panitia Pengadaan Tanah juga mengalami perubahan
dengan masuknya unsur Badan Pertanahan Nasional
dalam keanggotaan Panitia Pengadan Tanah.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
92
Selama ini peraturan mengenai pengadaan
tanah dianggap belum mampu mengoptimalkan
pelaksanaan pengadaan tanah sehingga proyek
pembangunan banyak yang terhenti. Oleh karenanya
Pemerintah menganggap penting untuk segera
menyusun UU tentang Pengadaan Tanah, dengan
berprinsip pada a) Pemerintah dan Pemda menjamin
ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, b) hak
masyarakat diakui dan diperlakukan secara adil, c)
mengatasi spekulasi tanah.
Sehubungan dengan hal itu maka Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara,
dan. masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum Pihak yang Berhak
Dasar konstitusional dan yuridis dari UU
Pengadaan Tanah adalah disusun dengan
memperhatikan :
1. Pemerintah atau Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan tanah untuk kepentingan umum.
a. pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi,
air dan kekayaan alam dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat;
b. pasal 28 ayat 2 UUD 1945 bahwa dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan Undang-Undang
dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis;
c. pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial.
2. Hak Masyarakat diakui dan diperlakukan secara
adil.
a. Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945
Negara mengakui dan menghormati kesa-
tuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepan-
jang masih hidup dan sesuai dengan per-
kembangan masyarakat dan prinsip Ne-
gara kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam UU.
b. Pasal 28 G ayat 1 UUD 1945
Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan harta benda yang dibawah kekuasa-
annya, serta berhak atas rasa aman, dan
perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.
c. Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945
Setiap orang berhak untuk mempunyai hak
milik pribadi.
3. Pencegahan Spekulasi karena spekulasi ber-
tentangan dengan pancasila dan Pembangunan
UUD 1945.
ISTILAH DAN PENGERTIAN PENGADAAN TANAH SECARA KRONOLOGISSetiap rencana pembangunan fisik yang dilakukan
oleh Pemerintah pasti memerlukan bidang
tanah dalam skala besar maupun kecil. Dalam
praktek Pemerintah menjumpai banyak kesulitan
mendapatkannya, oleh karena minimnya tanah
negara, terutama di wilayah perkotaan, pada
umumnya bidang tanah sudah dibebani dengan
sesuatu jenis hak atas tanah oleh pihak ketiga.
Mengenai bagaimana tata cara memperoleh bidang
tanah yang telah dikuasai pihak ketiga itu, telah
banyak peraturan perundangan dikeluarkan oleh
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
93
Pemerintah, namun dengan istilah yang berbeda-
beda walaupun dengan tujuan yang sama. Apabila
dikaji, perbedaan istilah itu timbul karena adanya
pangkal berpikir atau maksud perbuatan untuk
memperoleh bidang tanah itu berbeda.
Dalam tinjauan pustaka ini, pengertian mengenai
istilah pengadaan tanah dibatasi dalam lingkup tata
cara perolehan bidang tanah secara musyawarah.
Di zaman Pemerintahan Hindia Belanda, masalah
tata cara memperoleh bidang tanah untuk
kepentingan pemerintah, diatur dalam Bijblad
(Tambahan Lembaran Negara) 11372 jo. 12746 yang
berjudul “Het verkrijgen van de vrije beschikking over
ten behoeve van de lande benoodigde gronden”. Ada
yang menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
sebagai berikut: “pengambilan tanah untuk keperluan
Pemerintah”.
Di dalam surat Menteri Keuangan tgl 25 Agustus
1957 No. 158641/G.T. dan surat Menteri Agraria tgl
27 Januari 1958 No.Ka.34/I/14, terdapat penggunaan
istilah “pembelian tanah untuk keperluan dinas”.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria,
yang diatur adalah mengenai pencabutan hak atas
tanah, ialah diatur dalam Pasal 18.
Oleh karena Undang-undang Pokok Agraria tidak
secara khusus mengatur masalah pengambilan
tanah secara musyawarah, maka pada saat itu tetap
berlaku ketentuan dalam Bijblad 11372 jo.12746.
Hal ini didasarkan pada Pasal 58 Undang-Undang
Pokok Agraria yang berbunyi:
“Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai
dengan itu.”
Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut Pasal 58
di atas, maka Bijblad 11372 jo 12746 tetap berlaku
sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah
Setelah berlakunya Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tersebut, istilah yang
dipergunakan adalah berubah. Pasal 1 ayat 1
berbunyi :
“Yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.”
Dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Agraria
Departemen Dalam Negeri tgl.3 Desember 1975
No.Ba.12/108/12/75 sebagai pengantar peraturan
tersebut di atas dinyatakan mengenai pengertian
“pembebasan tanah” itu, sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak/penguasa atas tanah itu.”
Istilah yang digunakan di sini ialah “pembebasan
tanah”, tidak lagi menggunakan istilah pengambilan
atau pembelian tanah, walaupun tujuannya sama.
Selanjutnya dengan berlakunya Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum, istilah yang digunakan adalah “pengadaan
tanah”, bukan lagi dengan pembebasan tanah.
Adapun pengertian pengadaan tanah terdapat dalam
Pasal 1 angka 1 dan 2 yang berbunyi :
1. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah
tersebut.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
94
2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum
antara pemegang hak atas tanah dengan tanah
yang dikuasainya dengan memberikan ganti
rugi atas dasar musyawarah.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993
ini dibedakan mengenai pengadaan tanah berskala
besar dan skala kecil. Adapun mengenai pengadaan
tanah dengan skala kecil diatur dalam pasal 21 yang
berbunyi:
“Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) Ha, dapat dilakukan langsung oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukra menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak”. Sedangkan yang skala besar yaitu lebih dari satu hektar dilakukan melalui Panitia Pengadaan Tanah.
Mengenai pengadaan tanah skala kecil selanjutnya
diperjelas dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun
1994 pasal 41 sebagai peraturan pelaksanaan, yang
berbunyi :
“apabila tanah yang diperlukan luasnya tidak lebih dari 1 (satu) Ha, setelah menerima persetujuan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 3, instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dapat melaksanakan pengadaan tanah tersebut secara langsung dengan pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan atas dasar kesepakatan”.
Berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Presiden
Nomor 53 Tahun 1993 dan Peraturan Menteri Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
1994 diatur 3 (tiga) jenis tata cara pengadaan tanah
sebagai berikut :
1. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pemban-
gunan untuk kepentingan umum oleh Pemerin-
tah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah.
2. Pengadaan tanah oleh instansi Pemerintah yang
bukan untuk kegiatan pembangunan kepentin-
gan umum, dilaksanakan secara langsung oleh
instansi Pemerintah yang memerlukan tanah
atas dasar musyawarah dengan pemegang hak
atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/
atau benda-benda lain yang terkait dengan ta-
nah yang bersangkutan.
3. Pengadaan tanah dalam skala kecil yang luas-
nya tidak lebih dari 1 (satu) Ha.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 itu dicabut
kembali dengan keluarnya Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum.
Adapun yang menjadi latar belakang dicabutnya
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 itu, oleh
karena dianggap sudah tidak sesuai lagi sebagai
landasan hukum dalam rangka melaksanakan
pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan
tanah perlu dilakukan secara cepat dan transparan
dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan
terhadap hak-hak yang sah atas tanah.
Namun demikian pengertian dan rumusan
pengadaan tanah berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 pada hakekatnya adalah sama
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993. Perbedaan yang ada terletak
pada ketentuan tentang penitipan uang ganti rugi
kepada Pengadian Negeri.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005,
soal pengadaan tanah dan pencabutan hak dirangkai
dalam satu ayat, tetapi dalam Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993 kedua materi hukum itu
dipisah dalam 2 pasal. Pasal 1 angka 3 berbunyi:
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
95
yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Pasal 2 ayat 1 berbunyi:
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara: a) pelepasan atau penyebaran hak atas tanah, atau; b) pencabutan hak atas tanah
Adanya berbagai reaksi terhadap pengertian
pengadaan tanah pada akhirnya melahirkan
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Perubahan yang dilakukan antara lain meliputi
ketentuan :
1. pasal 1 angka 3 diubah sehingga berbunyi :
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang melepaskan atau meny-
erahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah”.
2. Pasal 2 ayat 1 diubah sehingga berbunyi : “Peng-
adaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”.
3. Pasal 3 sehingga berbunyi : “pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah sebagaimana di-
maksud dalam pasal 2 dilakukan berdasarkan
prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah”.
4. Pasal 5 sehingga berbunyi : “Pembangunan un-
tuk kepentingan umum yang diaksanakan Pe-
merintah atau Pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimi-
liki atau akan dimiliki oleh Pemerintah Daerah,
meliputi :
a. jalan umum dan jalan tol, kereta api (di
atas tanah, diruang atas tanah, ataupun
di ruang bawah tanah), saluran air minum/
air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan
bangunan pengairan lainnya;
c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta
api dan terminal;
d. fasilitas keselamatan umum, seperti
tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar dan lain-lain bencana;
e. tempat pembuangan sampah;
f. cagar alam dan cagar budaya; dan
g. pembangkit,transmisi, distribusi tenaga
listrik.
TAHAPAN PELAKSANAAN PENGADAAN TANAHPelaksanaan Undang-Undang Pengadaan Tanah
dilakukan berdasarkan asas:
1. kemanusiaan;
2. keadilan;
3. kemanfaatan;
4. kepastian;
5. keterbukaan;
6. kesepakatan;
7. keikutsertaan;
8. kesejahteraan;
9. keberlanjutan; dan
10. keselarasan.
Adapun Tanah untuk Kepentingan Umum yang akan
digunakan untuk pembangunan meliputi :
1. pertahanan dan keamanan nasional;
2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta
api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi
kereta api;
3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air
minum, saluran pembuangan air dan sanitasi,
dan bangunan pengairan lainnya;
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
96
4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan dis-
tribusi tenaga listrik;
7. jaringan telekornunikasi dan inforrnatika Pemer-
intah;
8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
9. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
10. fasilitas keselamatan umum;
11. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemer-
intah Daerah;
12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang ter-
buka hijau publik;
13. cagar alam dan cagar budaya;
14. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
15. penataan perrnukiman kurnuh perkotaan dan/
atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dengan sta-
tus sewa;
16. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/
Pemerintah Daerah;
17. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah
Daerah; dan
18. pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
sebagaimana dimaksud diatas wajib diselenggarakan
oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki
Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Dalam hal
Instansi yang memerlukan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum adalah Badan Usaha Milik
Negara, tanahnya menjadi milik Badan Usaha Milik
Negara. Pembangunan untuk Kepentingan Umum
wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja
sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta.
Dalam hal pembangunan pertahanan dan keamanan
nasional maka pembangunannya diselenggarakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
diselenggarakan melalui tahapan perencanaan,
persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.
PerencanaanInstansi yang memerlukan tanah membuat
perencanaan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum menurut ketentuan peraturan
perundangundangan. Perencanaan tersebut harus
didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah
dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah,
Rencana Strategis, Rencana Kerja Pernerintah
Instansi yang bersangkutan.
Perencanaan tersebut disusun dalam bentuk
dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, yang
paling sedikit rnemuat:
1. maksud dan tujuan rencana pembangunan;
2. kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional
dan Daerah;
3. letak tanah;
4. luas tanah yang dibutuhkan;
5. gambaran umum status tanah;
6. perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Ta-
nah;
7. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pemban-
gunan;
8. perkiraan nilai tanah; dan
9. rencana penganggaran.
Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah
sebagaimana di atas disusun berdasarkan studi
kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan, dan
ditetapkan oleh Instansi yang memerlukan tanah
serta diserahkan kepada pemerintah provinsi.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
97
PersiapanLangkah yang harus dilakukan oleh Instansi yang
memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
berdasarkan dokumen perencanaan Pengadaan
Tanah melaksanakan:
1. pemberitahuan rencana pembangunan;
2. pendataan awal lokasi rencana pembangunan;
dan
3. Konsultasi Publik rencana pembangunan.
Pemberitahuan Rencana PembangunanPemberitahuan rencana pembangunan disampaikan
kepada masyarakat pada rencana lokasi
pembangunan untuk Kepentingan Umum, baik
langsung maupun tidak langsung
Pendataan Awal Lokasi Rencana PembangunanPendataan awal lokasi rencana pembangunan
sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan
pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek
Pengadaan Tanah. Pendataan awaI dilaksanakan
daIam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil
pendataan awal lokasi rencana pembangunan
digunakan sebagai data untuk pelaksanaan
Konsultasi Publik
Konsultasi Publik Rencana PembangunanKonsultasi Publik rencana pembangunan
sebagaimana dimaksud dilaksanakan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana
pembangunan dari Pihak yang Berhak. Konsultasi
Publik dilakukan dengan melibatkan Pihak yang
Berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta
dilaksanakan di tempat rencana pembangunan
Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati.
Pelibatan Pihak yang Berhak dapat dilakukan melalui
perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak
yang Berhak atas lokasi rencana pembangunan
Kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk
berita acara kesepakatan. Atas dasar kesepakatan
maka Instansi yang memerlukan tanah mengajukan
permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
Dalam hal ini maka Gubernur menetapkan lokasi
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan
penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
Konsultasi Publik rencana dilaksanakan dalam waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. Apabila
sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh)
hari kerja pelaksanaan Konsultasi Publik rencana
pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana
lokasi pembangunan, dilaksanakan Konsultasi Publik
ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja.
Apabila dalam Konsultasi Publik ulang masih
terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana
lokasi pembangunan, Instansi yang memerlukan
tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada
gubernur setempat.
Gubernur membentuk tim untuk melakukan kajian
atas keberatan rencana lokasi pembangunan. Tim
tersebut terdiri atas:
1. sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang di-
tunjuk sebagai ketua merangkap anggota;
2. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Na-
sional sebagai sekretaris merangkap anggota;
3. instansi yang menangani urusan di bidang per-
encanaan pembangunan daerah sebagai ang-
gota;
4. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia sebagai anggota;
5. Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjukseb-
agai anggota; dan
6. akademisi sebagai anggota.
TugasTim di atas antara lain :
1. menginventarisasi masalah yang menjadi ala-
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
98
san keberatan;
2. melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan
pihak yang keberatan; dan
3. membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya
keberatan.
Hasil kajian tim berupa rekomendasi diterima atau
ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak diterimanya permohonan oleh
gubernur. Gubernur berdasarkan rekomendasi
mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya
keberatan atas rencana lokasi pembangunan.
Jika keberatan atas rencana lokasi pembangunan
ditolak maka Gubernur menetapkan lokasi
pembangunan. Jika keberatan atas rencana
lokasi pembangunan diterima maka gubernur
memberitahukan kepada Instansi yang memerlukan
tanah untuk mengajukan rencana lokasi
pembangunan di tempat lain.
Jika setelah penetapan lokasi pembangunan masih
terdapat keberatan, Pihak yang Berhak terhadap
penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya
penetapan lokasi.
Mekanisme gugatan
1. Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diteri-
ma atau ditolaknya gugatan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya
gugatan.
2. Pihak yang keberatan terhadap putusan Penga-
dilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimak-
sud dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
3. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putu-
san pengadilan yang telah mempunyai kekua-
tan hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau
tidaknya Pengadaan Tanah bagi pembangunan
untuk Kepentingan Umum.
Pengumuman
Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan
Umum diberikan dalam waktu 2 (dua) tahun dan
dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun.
Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi
pembangunan untuk Kepentingan Umum
sebagaimana dimaksud dalam tidak terpenuhi,
penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan
Umum dilaksanakan proses ulang terhadap sisa
tanah yang belum selesai pengadaannya.
Gubernur bersama Instansi yang memerlukan tanah
mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Pengumuman dimaksudkan
untuk pemberitahuan kepada masyarakat bahwa di
lokasi tersebut akan dilaksanakan pembangunan
untuk Kepentingan Umum.
PelaksanaanBerdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk
Kepentingan Umum, Instansi yang memerlukan
tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah
kepada Lembaga Pertanahan.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah meliputi:
1. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pe-
milikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
2. penilaian Ganti Kerugian;
3. musyawarah penetapan Ganti Kerugian;
4. pemberian Ganti Kerugian; dan
5. pelepasan tanah Instansi.
Setelah penetapan lokasi pembangunan untuk
Kepentingan Umum, Pihak yang Berhak hanya
dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada
Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga
Pertanahan. Beralihnya hak dilakukan dengan
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
99
memberikan Ganti Kerugian yang nilainya ditetapkan
saat nilai pengumuman penetapan lokasi.
Inventarisasi dan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan TanahInventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi
kegiatan:
1. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang
tanah; dan
2. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Ob-
jek Pengadaan Tanah.
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
sebagaimana dimaksud wajib diumumkan di kantor
desa/kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat
Pengadaan Tanah dilakukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja.
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
wajib diumumkan secara bertahap, parsial, atau
keseluruhan. Pengumuman hasil inventarisasi
dan identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
meliputi subjek hak, luas, letak, dan peta bidang
tanah Objek Pengadaan Tanah.
Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, Pihak
yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada
Lembaga Pertanahan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak diumumkan
hasil inventarisasi.
Jika terdapat keberatan atas hasil inventarisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan
verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya
pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi.
Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan
ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan dan selanjutnya
menjadi dasar penentuan Pihak yang Berhak dalam
pemberian Ganti Kerugian.
Penilaian Ganti KerugianLembaga Pertanahan menetapkan Penilai sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
hasilnya kemudian diumumkan untuk melaksanakan
penilaian Objek Pengadaan Tanah.
Penilai yang ditetapkan wajib bertanggung jawab
terhadap penilaian yang telah dilaksanakan.
Pelanggaran terhadap kewajiban Penilai dikenakan
sanksi administratif dan/ atau pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:
1. tanah;
2. ruang atas tanah dan bawah tanah;
3. bangunan;
4. tanaman;
5. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
6. kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai
merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan
lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil
penilaian Penilai disampaikan kepada Lembaga
Pertanahan dengan berita acara. Nilai Ganti Kerugian
berdasarkan hasil penilaian Penilai menjadi dasar
musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena
Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
100
dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan
penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta
penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam
bentuk:
1. uang;
2. tanah pengganti;
3. permukiman kembali;
4. kepemilikan saham; atau
5. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pi-
hak.
Musyawarah Penetapan Ganti KerugianLembaga Pertanahan melakukan musyawarah
dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari
Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan
untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti
Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi
dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang
Berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.
Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/
atau besarnya Ganti Kerugian :
1. Pihak yang Berhak dapat mengajukan ke-
beratan kepada pengadilan negeri setempat
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja setelah musyawarah penetapan Ganti
Kerugian .
2. Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya
pengajuan keberatan.
3. Pihak yang keberatan terhadap putusan penga-
dilan negeri dalam waktu paling lama 14 (em-
pat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan kasasi diterima.
Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi
dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak
yang mengajukan keberatan.
Pemberian Ganti KerugianPemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan
Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang
Berhak. Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang
Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan
dalam musyawarah dan/atau putusan pengadilan
negeri/Mahkamah Agung.
Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang
Berhak menerima Ganti Kerugian wajib:
1. melakukan pelepasan hak; dan
2. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemi-
likan.
Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang
memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
Bukti penguasaan atau kepemilikan sebagaimana
dimaksud di atas merupakan satu-satunya alat bukti
yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu
gugat di kemudian hari.
Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan
bukti penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan.
Tuntutan pihak lain atas Objek Pengadaan Tanah
yang telah diserahkan kepada Instansi yang
memerlukan tanah menjadi tanggung jawab Pihak
yang Berhak menerima Ganti Kerugian.
Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/
atau besamya Ganti Kerugian berdasarkan hasil
musyawarah atau putusan pengadilan negeri/
Mahkamah Agung, Ganti Kerugian dititipkan di
pengadilan negeri setempat.
Penitipan Ganti Kerugian juga dilakukan terhadap:
1. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
101
tidak diketahui keberadaannya; atau
2. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan
Ganti Kerugian:
a. sedang menjadi objek perkara di
pengadilan;
b. masih dipersengketakan kepemilikannya;
c. diletakkan sita oleh pejabat yang
berwenang; atau
d. menjadi jaminan di bank.
Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian
dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan atau
pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di
pengadilan negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah
dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat
bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya
inenjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian atau
Instansi yang memperoleh tanah dalam Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum dapat diberikan
insentif perpajakan.
Pelepasan Tanah InstansiPelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum yang dimiliki pemerintah
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur pengelolaan
barang milik negara/ daerah.
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum yang dikuasai oleh pemerintah
atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/
Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan
Undang-Undang ini. Pelepasan Objek Pengadaan
Tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang
atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan
untuk itu. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah tidak
diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
1. Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri ban-
gunan yang dipergunakan secara aktif untuk pe-
nyelenggaraan tugas pemerintahan;
2. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai
oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah; dan I atau
3. Objek Pengadaan Tanah kas desa.
Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah
diberikan dalam bentuk tanah dan/ atau bangunan
atau relokasi. Nilai Ganti Kerugian tersebut
didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian.
Pelepasan objek Pengadaan Tanah dilaksanakan
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak
penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Apabila pelepasan objek Pengadaan Tanah
belum selesai dalam waktu yang telah ditentukan
maka tanahnya dinyatakan telah dilepaskan dan
menjadi tanah negara dan dapat langsung digunakan
untuk pembangunan bagi Kepentingan Umum.
Lembaga Pelaksana Pengadaan TanahPelaksanaan pengadaan tanah dilaksanakan oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang dapat
dilaksanakan oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi
selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.
Susunan keanggotaan pelaksanaan pengadaan
tanah berunsurkan paling kurang :
1. Pejabat yang membidangi urusan pengadaan
tanah di lingkungan Kanwil BPN Provinsi;
2. Kepala kantor Pertanahan setempat pada lokasi
pengadaan tanah;
3. Pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi
yang membidangi urusan pertanahan;
4. Camat setempat pada lokasi pengadaan tanah;
5. Lurah/kepala desa atau nama lain pada lokasi
pengadaan tanah.
Adapun Kakanwil BPN Provinsi dapat menugaskan
Kepala kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana
Pengadaan tanah dengan mempertimbangkan
efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, dan sumber
daya manusia. Dalam melaksanakan penyiapan
pelaksanaan Pengadaan Tanah dimaksud,
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
102
Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan kegiatan,
antara lain:
1. membuat agenda rapat pelaksanaan;
2. membuat rencana kerja dan jadwal kegiatan;
3. menyiapkan pembentukan satuan tugas yang
diperlukan dan pembagian tugas;
4. memperkirakan kendala-kendala teknis yang
mungkin terjadi dalam pelaksanaan;
5. merumuskan strategi dan solusi terhadap ham-
batan dan kendala dalam pelaksanaan;
6. menyiapkan langkah koordinasi ke dalam mau-
pun ke luar di dalam pelaksanaan;
7. menyiapkan administrasi yang diperlukan;
8. menyiapkan anggaran atau pembiayaan yang
diperlukan;
9. mempersiapkan pelaksanaan lelang Penilai;
10. membuat dokumen hasil rapat.
Penyiapan pelaksanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), berupa rencana kerja yang memuat
antara lain:
1. rencana pendanaan pelaksanaan;
2. rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan;
3. rencana kebutuhan tenaga pelaksanaan;
4. rencana kebutuhan bahan dan peralatan Unit
Pelaksanaan;
5. inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor
penghambat dalam pelaksanaan;
6. sistem monitoring pelaksanaan.
Dalam melaksanakan kegiatannya Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah dapat membentuk satuan tugas
yang membidangi inventarisasi dan identifikasi :
1. data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah;
2. data pihak yang berhak dan obyek pengadaan
tanah.
Penyiapan pelaksanaan Pengadaan Tanah oleh
Satgas sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan:
1. penyusunan rencana jadwal kegiatan;
2. penyiapan bahan;
3. penyiapan peralatan teknis;
4. koordinasi dengan perangkat kecamatan dan
desa/kelurahan;
5. penyiapan peta;
6. pemberitahuan kepada Pihak yang Berhak me-
lalui Kepala Desa/Lurah; dan
7. pemberitahuan rencana dan jadwal pelaksa-
naan pengumpulan data Pihak yang Berhak dan
Objek Pengadaan Tanah.
Satgas yang membidangi inventarisasi dan
identifikasi melaksanakan pengumpulan data Pihak
yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah, meliputi:
1. nama, pekerjaan, dan alamat Pihak yang Ber-
hak;
2. Nomor Induk Kependudukan Pihak yang Ber-
hak;
3. bukti penguasaan dan/atau pemilikan tanah,
bangunan, tanaman, dan/atau benda yang
berkaitan dengan tanah;
4. letak tanah, luas tanah dan nomor identifikasi
bidang;
5. status tanah dan dokumennya;
6. jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah;
7. pemilikan dan/atau penguasaan tanah dan/atau
bangunan dan/atau benda lain yang berkaitan
dengan tanah;
8. pembebanan Hak Atas Tanah; dan
9. ruang atas dan ruang bawah tanah;
Hasil inventarisasi dan identifikasi data Pihak yang
Berhak dan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud dibuat dalam bentuk peta bidang tanah
dan daftar Nominatif dan ditandatangani oleh Ketua
Satuan Tugas, daftar nominatif ini yang digunakan
dalam proses penentuan nilai Ganti Kerugian.
Dalam hal Pihak yang Berhak tidak menerima hasil
inventarisasi dan identifikasi, dapat mengajukan
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
103
keberatan kepada Pelaksana Pengadaan Tanah
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi.
Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan
oleh Ketua Pelaksana Pengadaan tanah berdasarkan
hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik. Penilai
bertugas melakukan penilaian besarnya Ganti
Kerugian bidang per bidang tanah, meliputi:
1. tanah;
2. ruang atas tanah dan bawah tanah;
3. bangunan;
4. tanaman;
5. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
6. kerugian lain yang dapat dinilai.
Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil
penilaian oleh Penilai, oleh Penilai disampaikan
kepada Pelaksana Pengadaan Tanah dengan Berita
Acara Penyerahan Hasil Penilaian.
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai
merupakan nilai pada saat Pengumuman Penetapan
Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud
merupakan nilai tunggal untuk bidang per bidang
tanah.
Nilai Ganti Kerugian berdasarkan penilaian Penilai
dijadikan dasar musyawarah mengenai Bentuk Ganti
Kerugian.
Jika terdapat sisa tanah yang tidak lagi dapat
difungsikan sesuai dengan peruntukan dan
penggunaannya, pihak yang berhak dapat meminta
penggantian secara utuh atas bidang tanahnya
MusyawarahPelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan
musyawarah mengenai bentuk Ganti Kerugian
dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari
Penilai diterima oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah. Pelaksana Pengadaan Tanah mengundang
Pihak yang Berhak untuk pelaksanaan musyawarah
melalui undangan yang harus disampaikan
paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal
pelaksanaan musyawarah penetapan ganti kerugian.
Musyawarah dilaksanakan secara langsung antara
Pelaksana Pengadaan Tanah dengan Pihak yang
Berhak.untuk menentukan bentuk ganti kerugian
berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian.
Dalam hal Pihak yang Berhak berhalangan hadir
dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 ayat (2), dapat memberikan kuasa kepada:
1. seorang dalam hubungan darah ke atas, ke
bawah atau ke samping sampai derajat kedua
atau suami/istri bagi Pihak yang Berhak bersta-
tus perorangan; atau
2. seseorang yang ditunjuk sesuai dengan keten-
tuan anggaran dasar bagi pihak yang berhak
berstatus badan hukum,
3. Pihak yang berhak lainnya
Pihak yang berhak dapat memberikan kuasa kepada
1 (satu) orang penerima kuasa atas 1 (satu) atau
beberapa bidang tanah yang terletak pada 1 (satu)
lokasi pengadaan tanah. Dalam hal pihak yang
Berhak telah diundang secara patut tidak hadir dan
tidak memberikan kuasa, pihak yang berhak dianggap
menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian
yang ditetapkan oleh Pelaksana Pengadaan Tanah.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi
dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang
Berhak yang dituangkan dalam bentuk Berita Acara
Kesepakatan Bentuk Ganti Kerugian.
Berita acara kesepakatan ganti kerugian memuat :
1. Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya,
yang setuju beserta bentuk ganti kerugian yang
disepakati;
2. Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya,
yang tidak setuju; dan
3. Pihak yang berhak yang tidak hadir dan tidak
memberikan kuasa.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
104
Pemberian Ganti Kerugian
1. Ganti kerugian berupa uang diberikan dalam
bentuk mata uang rupiah, pemberiannya di-
lakukan oleh instansi yang memerlukan tanah
berdasarkan validasi dari Ketua Pelaksana Pen-
gadaan Tanah atau pejabat yang ditunjuk,
2. Ganti kerugian dalam bentuk tanah pengganti
diberikan untuk dan atas nama pihak yang
berhak oleh instansi yang memerlukan tanah
setelah mendapat permintaan tertulis dari Ketua
pelaksana pengadaan tanah,
3. Ganti kerugian dalam bentuk pemukiman kem-
bali diberikan untuk dan atas nama Pihak yang
berhak oleh instansi yang memerlukan tanah
setelah mendapat permintaan tertulis dari Ket-
ua pelaksana pengadaan tanah. Pemberian
ganti kerugian ini dilakukan bersamaan dengan
pelepasan hak oleh pihak yang berhak tanpa
menunggu selesainya pembangunan permu-
kiman kembali, dana penyediaan pemukiman
kembali dititipkan pada bank oleh dan atas
nama instansi yang memerlukan tanah. Pelak-
sanaan peneydiaan pemukiman kembali dilak-
sanakan paling lama satu tahun sejak peneta-
pan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pen-
gadaan tanah;
4. Ganti kerugian dalam bentuk kepemilikan sa-
ham diberikan oleh Badan Usaha Milik Neg-
ara yang berbentuk perusahaan terbuka dan
mendapat penugasan khusus dari Pemerintah,
pemberian ganti kerugian diberikan bersamaan
dengan pelepasan hak oleh pihak yang berhak;
5. Ganti kerugian dalam bentuk lain yang disetujui
oleh kedua belah pihak dapat berupa gabungan
dua atau lebih bentuk ganti kerugian.
Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana dibuat
dalam Berita Acara Pemberian Ganti Kerugian. Berita
Acara Pemberian Ganti Kerugian dilampiri :
1. daftar Pihak yang Berhak penerima Ganti Keru-
gian;
2. bentuk dan besarnya Ganti Kerugian yang telah
diberikan;
3. daftar dan bukti pembayaran/ kwitansi; dan
4. Berita Acara Pelepasan hak Atas Tanah atau
Penyerahan Tanah.
Pemberian Ganti Kerugian dalam Keadaan KhususPihak yang Berhak membutuhkan ganti kerugian
dalam keadaan mendesak, maka pelaksana
Pengadaan Tanah memprioritaskan untuk menerima
Ganti Kerugian. Keadaan mendesak dimaksud
dibuktikan dengan surat keterangan dari Lurah /
Kepala Desa atau nama lain.
Penitipan Ganti KerugianPenitipan Ganti Kerugian dilakukan pada pengadilan
negeri tempat lokasi Pengadaan Tanah apabila:
1. Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil
musyawarah, dan tidak mengajukan keberatan
ke pengadilan dalam waktu setelah 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak musyawarah
penetapan Ganti Kerugian selesai dilaksanakan;
2. Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian berdasarkan putu-
san Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3. Pihak yang Berhak tidak diketahui keberadaan-
nya; atau
4. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan
Ganti Kerugian sedang menjadi objek perkara
di pengadilan, masih dipersengketakan kepemi-
likannya, diletakkan sita oleh pejabat yang ber-
wenang, atau menjadi jaminan di bank.
Ganti Kerugian yang dititipkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk mata uang
rupiah, pelaksanaannya dibuat dalam bentuk berita
acara penitipan ganti kerugian.
Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
105
atau besarnya Ganti Kerugian dan tidak mengajukan
keberatan maka Ganti Kerugian dapat diambil dalam
waktu yang dikehendaki oleh Pihak yang Berhak
dengan surat pengantar dari Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah.
Dalam hal Pihak yang Berhak menerima Ganti
Kerugian tidak diketahui keberadaannya, Pelaksana
Pengadaan Tanah menyampaikan pemberitahuan
mengenai ketidakberadaan Pihak yang Berhak
secara tertulis kepada Camat dan Lurah /Kepala
Desa atau nama lainnya.
Dalam hal Objek Pengadaan Tanah sedang menjadi
objek perkara di pengadilan, Ganti Kerugian dapat
diambil oleh Pihak yang Berhak setelah putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
atau putusan perdamaian (dading).
Dalam hal Objek Pengadaan Tanah masih
dipersengketakan kepemilikannya maka
pengambilan Ganti Kerugian dilakukan setelah
adanya berita acara perdamaian (dading).
Dalam hal Objek Pengadaan Tanah diletakkan sita
jaminan oleh pengadilan, Ganti Kerugian dapat
diambil oleh Pihak yang Berhak setelah adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan pengangkatan sita jaminan.
Dalam hal Obyek Pengadaan Tanah menjadi jaminan
di bank, Ganti Kerugian dapat diambil setelah adanya
surat pengantar dari Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah dengan persetujuan dari pihak bank.
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110,
dilaksanakan oleh Pihak yang Berhak kepada negara
dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat,
dan dibuat dalam berita acara pelepasan hak obyek
pengadaan tanah. Kegiatan Pelaksana Pengadaan
Tanah dalam Pelepasan Hak Objek Pengadaan
Tanah antara lain :
1. menyiapkan surat pernyataan pelepasan/peny-
erahan hak atas tanah atau penyerahan tanah
dan/atau bangunan dan/atau tanaman dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;
2. menarik bukti penguasaan atau kepemilikan ob-
jek Pengadaan Tanah dari Pihak yang Berhak;
3. memberikan tanda terima pelepasan; dan
4. membubuhi tanggal, paraf, dan cap bahwa
telah dilepaskan kepada negara pada sertipikat
dan buku tanah bukti kepemilikan yang sudah
dilepaskan kepada negara.
Dalam Pelepasan Hak, penerima Ganti Kerugian
atau kuasanya wajib:
1. menanda tangani surat pernyataan Pelepasan/
penyerahan Hak atas tanah atau penyerahan
tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman
dan/atau benda-benda lain yang ada di atasnya;
2. menanda tangani berita acara Pelepasan Hak;
3. menyerahkan bukti-bukti penguasaan atau
kepemilikan Obyek Pengadaan Tanah kepada
Instansi yang memerlukan tanah melalui Pelak-
sana Pengadaan Tanah; dan
4. menyerahkan salinan/fotokopi identitas diri atau
identitas Kuasanya.
Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diberikan kepada:
1. seorang dalam hubungan darah ke atas atau
ke bawah sampai derajat kedua atau suami/istri
bagi Pihak yang Berhak berstatus perorangan;
atau
2. seorang yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar bagi Pihak yang Berhak bersta-
tus badan hukum.
Dalam hal Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah
merupakan milik atau dikuasai instansi, Ketua
Pelaksana Pengadaan tanah membuat berita acara
pelepasan hak objek pengadaan tanah.
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
106
Pemutusan Hubungan Hukum antara Pihak yang berhak dengan Objek Pengadaan TanahObjek Pengadaan Tanah telah diberikan Ganti
Kerugian atau Ganti Kerugian telah dititipkan di
pengadilan negeri atau yang telah dilaksanakan
pelepasan hak objek pengadaan tanah, hubungan
hukum antara Pihak yang Berhak dan tanahnya
hapus demi hukum. Kepala Kantor Pertanahan
karena jabatannya, melakukan pencatatan hapusnya
hak pada buku tanah dan daftar umum pendaftaran
tanah lainnya selanjutnya memberitahukan kepada
para pihak terkait.
Dalam hal objek Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud belum terdaftar, Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah menyampaikan pemberitahuan
tentang hapusnya hak dan disampaikan kepada
Kepala Desa/Lurah/Camat dan pejabat yang
berwenang yang mengeluarkan surat untuk
selanjutnya dicatat dan dicoret dalam buku
administrasi Kantor Kelurahan/ Desa atau nama lain
atau Kecamatan.
Dalam hal objek Pengadaan Tanah sedang menjadi
objek perkara di pengadilan dan Ganti Kerugian
dititipkan di pengadilan negeri, Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah menyampaikan pemberitahuan
kepada ketua pengadilan dan pihak-pihak yang
berperkara tentang hapusnya hak dan tidak
berlakunya alat bukti penguasaan/kepemilikan
serta putusnya hubungan hukum antara Pihak yang
Berhak dengan tanahnya.
Alat bukti penguasaan/kepemilikan sebagaimana
dimaksud di atas tetap berlaku sebagai pembuktian di
pengadilan sampai memperoleh putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pendokumentasian Peta Bidang, Daftar Nominatif dan Data Administrasi Pengadaan TanahTugas pelaksana pengadaan tanah melakukan
pengumpulan, pengelompokan, pengolahan,
penyimpanan data pengadaan tanah, yang meliputi :
1. Peta bidang tanah;
2. Daftar nominatif;
3. Data administrasi.
Data pengadaan tanah sebagaimana dimaksud di
atas antara lain:
1. Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah;
2. Surat pemberitahuan rencana pembangunan;
3. Data Awal subyek dan Obyek;
4. Undangan dan Daftar hadir Konsultasi Publik;
5. Berita Acara Kesepakatan Konsultasi Publik;
6. Surat keberatan;
7. Rekomendasi Tim kajian;
8. Surat Gubernur (hasil rekomendasi);
9. Surat Keputusan Penetapan Lokasi Pembangu-
nan;
10. Pengumuman Penetapan Lokasi Pembangu-
nan;
11. Surat Pengajuan Pelaksanaan Pengadaan Ta-
nah;
12. Berita Acara Inventarisasi dan Identifikasi;
13. Peta Bidang Obyek Pengadaan Tanah dan Daf-
tar nominatif;
14. Pengumuman Daftar Nominatif;
15. Berita Acara Perbaikan dan Verifikasi;
16. Daftar Nominatif yang sudah disahkan;
17. Dokumen Pengadaan Penilai;
18. Dokumen Hasil Penilaian Pengadaan Tanah;
19. Berita Acara Penyerahan Hasil Penilaian;
20. Undangan dan daftar hadir Musyawarah Pene-
tapan Ganti Kerugian;
21. Berita Acara Kesepakatan Musyawarah Peneta-
pan Ganti Kerugian;
22. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung;
23. Berita Acara Pemberian Ganti Kerugian dan
Pelepasan hak;
24. Alat bukti penguasaan dan pemilikan Obyek
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
107
Pengadaan Tanah;
25. Surat Permohonan Penitipan Ganti Kerugian;
26. Penetapan Pengadilan Negeri Penitipan Ganti
Kerugian;
27. Berita Acara Penitipan Ganti Kerugian;
28. Berita Acara Penyerahan Hasil Pengadaan Ta-
nah.
29. Dokumentasi dan rekaman;
Data Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dijilid/dibundel dan disimpan,
didokumentasikan dan diarsipkan oleh Kepala Kantor
Pertanahan setempat, serta dapat dilaksanakan
digitalisasi untuk disimpan dalam bentuk data
elektronik untuk keperluan informasi Lembaga
Pertanahan.
Penyerahan HasilKetua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan
hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang
memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah
dalam 2 (dua) rangkap paling lama 7 (tujuh) hari
kerja. Penyerahan hasil Pengadaan Tanah dimaksud
berupa bidang tanah dan dokumen Pengadaan
Tanah, dan dilakukan dengan Berita Acara untuk
selanjutnya dipergunakan oleh Instansi guna
pendaftaran/pensertipikatan.
Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil Pengadaan
Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah
setelah:
1. pemberian Ganti Kerugian kepada Pi-
hak yang Berhak dan Pelepasan Hak telah
dilaksanakan;dan/atau
2. pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di
pengadilan negeri
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai
melaksanakan kegiatan pembangunan setelah
dilakukan serah terima hasil Pengadaan Tanah.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum karena
keadaan mendesak akibat bencana alam, perang,
konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit
dapat langsung dilaksanakan pembangunannya
setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan
untuk Kepentingan Umum. Sebelum penetapan
lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum
terlebih dahulu disampaikan pemberitahuan kepada
Pihak yang Berhak. Dalam hal terdapat keberatan
atau gugatan atas pelaksanaan Pengadaan Tanah,
Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat
melaksanakan kegiatan pembangunan.
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKATDalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah :
1. Pihak yang Berhak mempunyai hak :
a. mengetahui rencana penyelenggaraan
PengadaanTanah; dan
b. memperoleh informasi mengenai
Pengadaan Tanah.
2. setiap orang wajib mematuhi ketentuan Pen-
gadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Ke-
pentingan Umum.
3. masyarakat dapat berperan serta, an tara lain:
a. memberikan masukan secara lisan atau
tertulis mengenai Pengadaan Tanah; dan
b. memberikan dukungan dalam
penyelenggaraan Pengadaan Tanah.
KESIAPAN PEMERINTAH DAERAH MELAKSANAKAN PENGADAAN TANAHDari UU Nomor 2 tahun 2012 mengamanatkan tugas
pada tahapan perencanaan dan persiapan berada
pada Pemerintah Daerah.
Hal ini dijabarkan dalam pasal-pasal antara lain :
1. Pasal 19 ayat 4 menyatakan bahwa Dokumen
perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
108
pemerintah provinsi.
2. Pasal 19 ayat 6 menyatakan bahwa Gubernur
menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (em-
pat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya
pengajuan permohonan penetapan oleh Instan-
si yang memerlukan tanah.
3. Pasal 21 ayat 2, mengamanatkan Gubernur
membentuk tim untuk melakukan kajian atas
keberatan rencana lokasi pembangunan seb-
agaimana dimaksud pada ayat (1).
4. Pasal 21 ayat 6, Gubernur berdasarkan reko-
mendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya ke-
beratan atas rencana lokasi pembangunan.
5. Pasal 26, Gubernur bersama Instansi yang me-
merlukan tanah mengumumkan penetapan lo-
kasi pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pada dasarnya kegiatan pengadaan tanah untuk
pembangunan sudah diserahkan kepada Pemerintah
daerah berdasarkan Keputusan Presiden No. 34
tahun 2003 yang kemudian dikuatkan dengan PP Np.
38 tahun 2007.
Dengan lahirnya UU ini maka tupoksi dari Pemerintah
daerah lebih ditekankan pada tahapan perencanaan
dan persiapan pengadaan tanah, untuk itu perlu
adanya kesiapan aparat Pemerintah daerah untuk
melaksanakan UU Pengadaan Tanah.
Untuk mendukung kegiatan pengadaan tanah maka
Pemerintah Daerah perlu melakukan langkah-
langkah sebagai berikut :
1. Melakukan sosialisasi UU No. 2 tahun 2012 ter-
utama materi yang terkait dengan kesesuaian
dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang
harus memuat antara lain :
a. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b. Kesesuaian dengan RTRW dan prioritas
pembangunan;
c. Letak tanah;
d. Luas tanah yang dibutuhkan;
e. Gambaran umum status tanah;
f. Perkiraan Jangka waktu pelaksanaan
pengadaan tanah;
g. Perkiraan Jangka waktu pelaksanaan
pembangunan;
h. Perkiraan nilai tanah;
i. Rencana penganggaran;
Dokumen perencanaan pengadaan tanah
sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan
studi kelayakan yang mencakup :
a. survey sosial ekonomi;
b. kelayakan lokasi;
c. analisis biaya dan manfaat pembangunan
bagi wilayah dan masyarakat;
d. perkiraan nilai tanah;
e. dampak lingkungan dan dampak sosial
yang mungkin timbul akibat dari pengadaan
tanah dan pembangunan;
f. studi lain yang diperlukan.
2. Pelaksanaan sosialisasi, dengan melibatkan
masyarakat dimana hasilnya dituangkan dalam
bentuk notulen pertemuan;
3. Pemberitahuan melalui media cetak maupun
media elektronik;
4. Ketersediaan prasarana dan sarana serta sum-
ber daya manusia (SDM) yang akan mendu-
kung pelaksanaan pengadaan tanah;
Hal ini berkaitan dengan pembentukan :
a. Tim Persiapan, tugas dari tim ini adalah
melakukan kegiatan pendataan awal lokasi
rencana pembangunan (terhitung mulai
tanggal notulen pertemuan) yang hasilnya
dituangkan dalam bentuk daftar sementara
lokasi rencana pembangunan yang
ditanda tangani Ketua Tim Persiapan dan
konsultasi publik di kantor kelurahan/desa
atau nama lain atau kantor kecamatan di
tempat rencana lokasi pembangunan atau
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
109
di tempat yang telah disepakati oleh Tim
Persiapan dan Pihak yang berhak.
b. Penjelasan Tim persiapan dalam
konsultasi publik mengenai : i) maksud
dan tujuan rencana pembangunan untuk
kepentingan umum; ii) tahapan dan waktu
proses penyelenggaraan pendaftaran
tanah; iii) Peran Penilai dalam menentukan
nilai ganti kerugian; iv) Insentif yang akan
diberikan kepada pemegang hak; v) obyek
yang dinilai ganti kerugian; vi) bentuk ganti
kerugian; vii) hak dan kewajiban pihak
yang berhak
c. sekretariat persiapan pengadaan tanah
yang berkedudukan di sekretariat daerah
provinsi,
d. Tim kajian keberatan untuk melakukan
kajian atas keberatan lokasi rencana
pembangunan, dimana tugasnya antara
lain : i) Menginventarisasi masalah
yang menjadi alasan keberatan, berupa
klasifikasi jenis dan alasan keberatan,
klasifikasi pihak yang keberatan dan
klasifikasi usulan pihak yang keberatan.
Inventarisasi ini disusun dalam bentuk
dokumen keberatan; ii) melakukan
pertemuan atau klarifikasi dengan pihak
yang keberatan, yang intinya : menyamakan
persepsi tentang materi/alasan keberatan
pihak yang keberatan dan menjelaskan
kembali maksud dan tujuan rencana
pembangunan. iii) membuat rekomendasi
diterima atau ditolaknya keberatan, yang
didasarkan atas hasil kajian dokumen
keberatan yang diajukan oleh pihak yang
berkebaratan terhadap : rencana tata ruang
wilayah dan prioritas pembangunan yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan
jangka Menengah, rencana strategis dan
rencana kerja Pemerintah instansi yang
bersangkutan
e. Pengumuman penetapan lokasi
Pengumuman Penetapan Lokasi
Pembangunan memuat nomor dan tang-
gal Keputusan Penetapan Lokasi, Peta
Lokasi Pembangunan, maksud dan tujuan
pembangunan, letak dan luas tanah yang
dibutuhkan, perkiraan waktu pelaksanaan
pengadaan tanah dan perkiraan jangka
waktu pembangunan.
Pengumuman Penetapan Lokasi
Pembangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47, dilaksanakan di kantor
desa/kelurahan atau nama lain, kantor ke-
camatan, dan/atau kantor kabupaten/kota
dan di lokasi pembangunan; dan melalui
media cetak atau media elektronik.
5. Pembiayaan dan Pengendalian
Perlunya kesiapan yang terkait dengan
pendanaan yang dibutuhkan serta pihak-pihak
yang akan mengontrol dan mengendalikan
hasil-hasil kegiatan tersebut
6. Dapat dilakukan pendelegasian persiapan pe-
ngadaan tanah dari Gubernur kepada Bupati /
Walikota.
KESIMPULANPelaksanaan pengadaan tanah bagi Pembangunan
untuk kepentingan Umum merupakan kegiatan yang
harus dilakukan secara koordinatif baik dari instansi
yang memerlukan tanah, Pemerintah Daerah, BPN
maupun instansi terkait lainnya.
Dalam Undang-undang ini mengamanatkan
pembagian tugas perencanaan dan persiapan
ada pada Pemerintah Daerah, sedangkan BPN
melaksanakan tugas pelaksanaan dan penyerahan
hasil kepada instansi yang memerlukan tanah.
SARANUntuk dapat terwujudnya pengadaan tanah
berdasarkan asas-asas yang dimuat dalam UU ini,
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 89-112Vol. 2 No. 1
110
maka penting untuk dilakukan sosialisasi terhadap
substansi UU baik kepada Pemerintah daerah, BPN,
Instansi yang memerlukan tanah, akademisi maupun
masyarakat luas.
UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih yang tak terhingga kepada Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan
Nasional RI atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis atas penerbitan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
buku
Adrian, Sutedi (2007) Implementasi Prinsip
Kepentingan Umum Dalam Pengedaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Cetakan Ke-1, Bandung, Penerbit PT Citra
Adtya Bakti,1994.
Badrulzaman, Mariam Darus, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Buku III tentang Hukum
Perikatan dengan Penjelasan, Bandung,
Penerbit Alumni, 1983
Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia,
Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Agraria Indonesia, Jakarta: Penerbit
Djambatan,2000.
Aminuddin, Salle (2007) Hukum Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total
Media, Jakarta.
Imroni (2009) Analisis Yuridis pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Tesis, Universitas Bandarlampung, Bandar
Lampung.
Karsono (2010) Analisis Ekonomi Politik Pengadaan
Tanah Jalan Tol Semarang-Solo Ruas
Semarang-Bawen di Provinsi Jawa
Tengah, Tesis, Universitas Diponegoro,
Semarang.
Sudargo, Gautama (1997) Tafsiran Undang-Undang
Pokok Agraria, Alumni, Bandung
Sudargo, Gautama dan Ellyda T. Soetiyanto (1996)
Komentar Atas Peraturan-Peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Pokok
Agraria. Citra Aditya Bakti, Bandung
S.W. Sumardjono, Maria (2007) Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi.
Tine, Supriadi K (2009) Analisis Hukum Tentang
Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum di Kabupaten
Gorontalo, Tesis, Universitas Muslim
Indonesia, Makassar.
Laporan Penelitian Penyelesaian Masalah
Pertanahan, Jakarta, Puslibang BPN,
2005.
Peraturan dan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang
Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang ada di atasnya.
Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk kepentingan Umum
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang :
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah dan Kesiapan Pemerintah Daerah
Trie Sakti
111
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Arditya Wicaksono
113
POTRET PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
PorTraIT of laNd ProcurEMENT for PublIc INTErEsT dEVEloPMENT
Arditya WicaksonoPusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, Jalan Agus Salim Nomor 58, Jakarta,
ABSTRAKTanah merupakan aspek penting dalam pembangunan. Pengadaan tanah merupakan solusi praktis akan tetapi pengadaan
tanah memerlukan prosedur dan pelaksanaan yang konkrit riil. Undang-Undang Pengadaan Tanah Nomor 2 Tahun 2012
merupakan jawaban pemerintah. Poin penting undang-undang ini adalah musyawarah untuk penentuan ganti rugi sebagai
alternatif kebijakan apabila proses ganti rugi mengalami kebuntuan.
Kata kunci : pengadaan tanah, undang-undang dan masyarakat
absTracTLand is an important aspect of development. Land acquisition is a practical solution but it requires land acquisition procedures
and the implementation of concrete and real. Land Acquisition Act No. 2 of 2012 is the government’s response. An important
point of this law is a consensus for the determination of damages as an alternative if the compensation policy deadlock.
Keywords : land acquisition, regulation of act and civil society
PENDAHULUAN Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga
di muka bumi ini, yang dalam sepanjang sejarah
peradaban umat manusia tak henti-hentinya
memberikan problema-problema rumit. Indonesia,
yang memiliki daratan (tanah) yang sangat
luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai
salah satu persoalan yang paling urgen diantara
persoalan lainya. Pembangunan fasilitas-fasilitas
umum memerlukan tanah sebagai wadahnya.
pembangunan fasilitas umum tersebut tidak
menemui masalah apabila persediaan tanah masih
luas. Namun, yang menjadi permasalahan adalah
tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya
terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya.
Tanah yang tersedia saat ini telah banyak dilekati
dengan hak (tanah hak), sementara tanah negara
sudah sangat terbatas persediaannya. sangat sulit
melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di
atas tanah negara, oleh karena itu jalan keluar yang
ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah
hak.
Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah
dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut
dengan pengadaan tanah. UUPA sendiri memberikan
landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini
dengan menentukan: Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak menurut cara yang diatur dengan Undang-
UndangPembangunan yang tengah giat dilakukan
pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 113-120Vol. 2 No. 1
114
masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar
hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti
dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip
kepentingan umum (public interest) sesuai dengan
ketentuan hukum. Tulisan ini ingin mengungkap dua
pokok persoalan pertama, dampak terbitnya undang-
undang pengadaan tanah Nomor 2 Tahun 2012 dan
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012; kedua
kesiapan kelembagaan badan pertanahan nasional
untuk melaksanakan peraturan baru tersebut dengan
pendekatan hukum empiris yang memadukan telaah
yuridis kemudian dianalisis dengan kemampuan
lembaga dalam membentuk format secara
kelembagaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persoalan Tanah di Indonesia Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2012 yang
dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi
ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak. Berkaca hal tersebut maka telah
terjadi pemutusan hubungan keperdataan antara
subyek dan obyek yang dikenai, atau istilah
umumnya pelepasan hak disertai biaya ganti rugi.
Untuk mensuport program strategis nasional dan
pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Indonesia undang-undang ini dan perangkat
pelaksananya merupakan jawaban atas persoalan
tersendatnya pembangunan akibat kurangnya tanah
hasil kajiang yang dilakukan oleh bank dunia tahun
2009 menyatakan1:
1. Infrastructure Indonesia is missing, or gets later
than otherwise, because of the land problem.
Although land is needed for new ports, airports,
railways, water-drainage canals, power plants,
and power-transmission lines, we simplify by
ignoring everything but roads. We consider a
road building program and suppose that the 1 Compiled Reports of World Bank Land Acquisition Research in
Indonesia, Working Paper, 1 of 1, pg 1-18, 2007/11/01 http://www-wds.worldbank.org
new roads would be built more quickly if the land
problem were solved. Specifically, we assume
that it would take 10 years for Indonesia to in-
crease its stock of roads by 5 percent under cur-
rent policy and that it would take only 5 years if
the land problem were solved. Thus we assume
that the problem of land acquisition delays but
doesn’t permanently prevent the construction of
roads.
2. the legal system in Indonesia is still emphasizes
the social aspect of the culture in which the state
does not have the full power to deprive the land
used for the implementation of land acquisition.
belumlagi compensation process protracted
create infrastructure and spatial acceleration
becomes constrained
Akibat dari mandeknya pembangunan dapat kita
rasakan bahwa dampak dari mandeknya pengadaan
tanah di indonesia berakibat pada Infrastructure
Competitiveness Index (ranking) indonesia yang
tidak begitu baik lihat Gambar 12.
Beberapa praktik di negara-negara lain dapat
disimpulkan tidak ada negara yang tidak
memiliki kewenangan untuk mengambil tanah
untuk kepentingan pembangunan. Kecepatan
pertumbuhan ekonomi di the new emerging market
tidak terlepas dari proses pengambilan tanah untuk
pembangunan infrastruktur dan wilayah perkotaan.
Negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, dan
Singapura melakukan pembebasan tanah secara
masif untuk kepentingan transportasi, perkantoran,
fasilitas energi dan infrastruktur lainnya.
Beberapa literatur juga menujukkan trend penurunan
pengambilan tanah oleh pemerintah (Azuela,
2007). Pengambilan tanah oleh pemerintah bukan
saja makin menurun tapi juga semakin sulit untuk
dilakukan. Menurut Azuela, terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan makin sulitnya pengambilan
tanah oleh pemerintah yaitu:
1. meluasnya ketidakpuasan masyarakat terhadap 2 World Economic Forum GCR 2011-2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Arditya Wicaksono
115
praktik-praktik pengambilan tanah oleh pemer-
intah,
2. meningkatnya independensi lembaga peradilan,
Gambar 1 : Infrastructure Competitiveness Index (ranking)
3. menguatnya tekanan dari pemberitaan media
massa, dan
4. dampak implementasi perjanjian internasional.
Analisa terhadap masalah pengadaan tanah
untuk pembangunan di berbagai negara, dapat
disimpulkan: Pertama, hampir di seluruh negara
pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi
semakin sulit dilakukan. Ketidakpuasan masyarakat,
makin independennya lembaga peradilan, tekanan
pers, dan perjanjian internasional menjadi faktor-
faktor sulitnya pembebasan tanah. Untuk Indonesia,
diperkirakan trend ini juga akan terjadi. Kedua, tidak
ada praktik pengadaan tanah untuk pembangunan
yang benar-benar sempurna. Hampir di semua negara
yang menjadi sampel mengalami permasalahan.
Hanya saja, tingkat kerumitan permasalahan dan
dampaknya pada penundaan proyek berbeda-beda.
Untuk Indonesia, saat ini adalah momentum untuk
perbaikan terhadap kebijakan, prosedur, dan praktik-
praktik pengadaan tanah untuk pembangunan.
Ketiga, pelaksanaan pembebasan tanah dapat
dipermudah dengan dua pendekatan. Yaitu dengan
meningkatkan keberpihakan dan penghormatan
terhadap pemilik hak atas tanah. Pendekatan ini
dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi,
negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih
komprehensif. Pendekatan lainnya adalah dengan
memperkuat kewenangan negara untuk mengambil
tanah pada harga yang ditetapkan walaupun tanpa
kerelaan pemilik tanah. Pendekatan ini dilakukan
dengan menggunakan kewenangan yang diberikan
undang-undang. Pendekatan yang mengedepankan
sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi
yang lebih komprehensif memiliki konsekuensi pada
ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi
secara komprehensif membutuhkan dana yang besar.
Dengan demikian, penetapan kebijakan terhadap
komponen apa saja yang akan diperhitungkan
dan bagaimana metode perhitungannya harus
memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Pendekatan yang mengedepankan kewenangan
pencabutan hak membutuhkan ketegasan sikap dan
wibawa pemerintah dan aparatnya. Penggunaan
kewenangan pencabutan hanya efektif dilaksanakan
oleh pemerintah dan aparatnya yang dikenal memiliki
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 113-120Vol. 2 No. 1
116
Gambar 2 : Penggunaan Kewenangan
integritas dan tidak memiliki vested interest dalam
setiap tindakannya. Rendahnya integritas dan
buruknya reputasi pemerintah dan aparatnya di
mata masyarakat akan menyebabkan resistensi dari
masyarakat. Mencapai titik optimal dari penghormatan
terhadap hak-hak pemilik tanah dengan kewenangan
untuk mencabut hak pemilik adalah salah satu titik
kritis dalam peraturan pengadaan tanah untuk
pembangunan.
Dari Grafik diatas, Indonesia sudah dalam posisi
yang moderat penggunaan kewenangan untuk
pencabutan hak atas tanah. Namun demikian, dalam
hal penghormatan terhadap hak-hak atas pemilik
tanah, kondisi di Indonesia belum sebaik di negara-
negara lain. Tata cara perhitungan kompensasi
Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara
lainnya3. Ada beberapa hal yang menyebabkan aspek
pemberian kompensasi dalam sistem Indonesia
belum sebaik negara lain. Pertama, dari sisi
komponen yang dijadikan perhitungan kompensasi
hanya hak atas tanah dan bangunan serta benda-
benda di atasnya. Kedua, berdasarkan NJOP atau
nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan 3 Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Mencari Solusi Perma-
salahan Pertanahan, Mempercepat Proses Pembangunan Nasi-onal Paramadina Public Policy Institute hal 3
NJOP tahun berjalan.
Berdasarkan tersebut, upaya pembenahan
pengadaan tanah untuk pembangunan sebaiknya
memberikan fokus pada peningkatan penghormatan
terhadap hak-hak atas tanah dan kewenangan
pencabutan hak atas tanah dengan prosedur
yang transparan, berwibawa, berintegritas, dan
memiliki kepastian hukum. Pembenahan tersebut
dapat dicapai dengan perbaikan pada peraturan
perundangan, sistem pengelolaan proses, serta
peningkatan integritas dan kapasitas aparat
pemerintah, baik secara keseluruhan maupun
yang terlibat langsung dalam pengadaan tanah
untuk pembangunanKegiatan pembangunan
yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum
maupun swasta selalu membutuhkan tanah sebagai
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Arditya Wicaksono
117
wadah pembangunan. Saat ini pembangunan terus
meningkat sedangkan persediaan tanah tidak
berubah. Keadaaan ini berpotensi menimbulkan
konflik karena kepentingan umum dan kepentingan
perorangan saling berbenturan.
Keluarnya undang-undang 2 tahun 2012 dan perpres
71 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum hendaknya mampu membawa
perubahan mendasar dimana dampak yang ada selain
mempercepat proses pelaksanaaan pembangunan
infrastruktur tetapi disisi lain perlu melindungi warga
negara yang tanah nya menjadi lokasi pengadaan
tanah, sebab persoalan pengadaan tanah apabila
tidak menguntungkan pemilik tanah sebelumnya
bisa saja pemilik tanah melakukan banding,
sehingga sebelum proses pelaksanaan pemerintah
daerah hendaknya mampu untuk melakukan dialog,
sosialisasi dan musyawarah agar pelaksanaan
pengadaan tanah tanpa mengalami kendala berarti.
Masalah utamanya adalah karena tanah dan
kekayaan alam tidak menjadi alat bagi kesejahteraan
rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa hal
: Pertama, reduksionisme persoalan tanah yang
hanya dipandang sebagai masalah ekonomi, tanpa
melekatkan dimensi sosial, kultural dan politik
di dalamnya. Artinya nilai tanah lebih ditentukan
melalui mekanisme pasar, akibatnya makna tanah
mengalami depolitisasi dan desosialisasi, sehingga
pembangunan terhambat tetapi kepemilikan tanah
tidak dapat dikontrol sehingga muncul kesenjangan
disisi lain kriteria tentang kepentingan umum juga
semakin rumit jika penguasaanya terbatas kepada
segelintir orang saja, pada dasarnya telah banyak
didiskusikan oleh para pakar pembangunan.
Setidaknya ada dua hal yang paling mendasar, yakni
: 1) bahwa manfaat dari objek kepentingan umum
tersebut harus dapat diakses oleh rakyat secara
merata dan melintasi batas-batas segmen sosial,
bukan untuk kepentingan sekelompok orang. 2)
Objek dari kepentingan umum tersebut tidak untuk
kepentingan komersial atau bisnis semata4. Padahal
dalam pasal 18 UUPA Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-
undang.4 Gunawan Wiradi 2009
Tabel 1 : Perbandingan tingkat kenyamanan bagi pemilik tanah
Sumber : Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Mencari Solusi Permasalahan Pertanahan, Mempercepat Proses Pembangunan Nasional Paramadina Public Policy Institute hal 5
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 113-120Vol. 2 No. 1
118
Perlu mendapat perhatian pemerintah terkait yakni
pemerintah provinsi dan kabupaten karena ikatan-
ikatan non-ekonomis tidak lagi menjadi dasar
pertimbangan dalam menentukan harga tanah.
Karenanya tidak mengherankan bila pembangunan
sering diikuti dengan konflik agraria yang terbuka
dan tidak gampang mencari solusi penyelesaiannya.
Kedua, tanah sebagai alat spekulasi akumulasi kapital.
Tanah menjadi salah satu faktor produksi utama
menjadi sarana investasi. Bagi investor, pemilikan
atau penguasaan tanah merupakan investasi jangka
panjang yang sangat menguntungkan. Tentu saja,
berbagai upaya akan dilakukan oleh para ivestor
untuk melakukan penguasaan langsung tanah, baik
melalui intervensi aktif terhadap regulasi maupun
penguasaan melalui mekanisme perdagangan
produksi, barang dan jasa. Ketiga, konsentrasi
pemilikan dan penguasaan tanah semakin tidak
terkontrol, dan di sisi lain terjadi marginalisasi bagi
petani dan rakyat kecil pada umumnya. Salah satu
pemicunya adalah kewajiban bagi pemerintah untuk
mengakomodasi tuntutan investor asing dalam hal
pembangunan untuk pengembangan mesin-mesin
produksi kapitalisme.
Berbagai dimensi persoalan tersebut di ataslah yang
menurut para pakar menjadi pemicu konflik atas
tanah yang terjadi sepanjang masa. Dalam konteks
ini, makna pembangunan kemudian direduksi
maknanya dari apa yang telah dirumuskan oleh
tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dimana
pembangunan bermakna sebagai :1) membangkitkan
semangat kemandirian, membangun jiwa merdeka,
membebaskan diri dari mentaliras penjajah. 2)
Membangun susunan masyarakat baru yang bebas
dari penindasan, adil dan demokratis. 3) Membangu
secara fisik bagi kesejahteraan rakyat. (Gunawan
Wiradi;2000). Justru yang kita saksikan sebeliknya
bahwa pembangunan menjadi instrument pemiskinan
rakyat dan pengusuran. Proses pemahaman histori
penguasaan tanah ini penting sebab pemerintah di
luar BPN yang menjadi perencana awal pengadaan
tanah hendaknya mengetahui disparitas penguasaan
dan kepemilikan tanah yang timpang sehingga
kebijakan yang diambil setidaknya mampu mereduksi
persoalaan ini.
Posisi bPN dalam Pengadaan TanahAuthority (wewenang) juga didefinisikan sebagai
kekuasaan yang dilembagakan,5 sementara Lasswel
dan Kaplan mengartikan authority (wewenang)
sebagai kekuasaan formal dan menurut Andrain
wewenang mempunyai hubungan erat dengan nilai,
norma dan simbol-simbol eksploitatif masyarakat
berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2012
sebagaimana diatur dalam pasal 27 hanya sebagai
pelaksana hanya memberikan pertimbangan terkait
P4T, dan penilaian ganti kerugian, proses perubahan
dan pencabutan hak serta potensi kelayakan
sebuah tanah. Merujuk pada pandangan Maria
SW Sumardjono sudah waktunya dalam kebijakan
pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip
demokrasi dan menjunjung tinggi HAM (Human
Rights) dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. pengambilalihan tanah merupakan perbuatan
hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-
hak seseorang yang bersifat fisik maupun non
fisik dan hilangnya harta benda untuk semen-
tara waktu atau selama-lamanya;
2. ganti kerugian yang diberikan harus memperhi-
tungkan: 1.hilangnya hak atas tanah, bangunan,
tanaman, 2.hilangnya pendapatan dan sumber
kehidupan lainnya,3 bantuan untuk pindah ke
lokasi lain dengan memberikan alternative lo-
kasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang
layak, 4.bantuan pemulihan pendapatan agar
dicapai keadaan setara dengan keadaan sebe-
lum terjadinya pengambilalihan
3. mereka yang tergusur karena pengambilalihan
tanah harus diperhitungkan dalam pemberian
ganti kerugian harus diperluas.
4. untuk memeperoleh data yang akurat tentang 5 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta,
1992, hal 96
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Arditya Wicaksono
119
mereka yang terkena penggusuran dan be-
sarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan sur-
vai dasar & sosial ekonomi;
5. perlu diterapkan instansi yang bertanggung-
jawab untuk pelaksanaan pengambilalihan dan
pemukiman kembali;
6. cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan
harus ditumbuhkembangkan
7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan
dan menyelesaikan perselisihan yang timbul
dalam proses pengambilalihan tanah
Sebagai suatu panduan agar maksud sebagaimana
diutarakan Sumardjono di muka, maka dalam
kontek sistem hukum dicantumkan azas/ prinsip
agar bilamana di dalam sistem hukum terjadi
sengketa, maka azas bertugas untuk menyelesaikan.
Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka
menurut Boedi Harsono terdapat enam azas hukum
pengadaan tanah yakni:
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh sia-
papun dan untuk keperluan apapun harus ada
landasan haknya;
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun
tidak langsung bersumber pada hak bangsa;
3. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki se-
seorang harus melalui kata sepakat antara para
pihak yang bersangkutan;
4. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan
musyawarah tidak dapat menghasilkan kata
sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa
dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh
hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan
secara paksa
5. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata
sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak,
kepada pihak yang telah menyerahkan tanahn-
ya wajib diberikan imbalan yang layak;
6. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya
untuk proyek pembangunan berhak untuk mem-
peroleh pengayoman dari pejabat birokrasi
Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28 H Ayat
(4) Undang-undang Dasar 1945, maka perbuatan
hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan
untuk kepentingan pemerintah atas nama negara
dengan motif untuk kepentingan umum apalagi
untuk kepentingan swasta harus menghormati
hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak
perorangan atau individual merupakan sebuah
keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara
khususnya kepada warga negara yang aset atau
miliknya hanya sebidang tanah tersebut. Hal inilah
merupakan persoalan esensial sepanjang sejarah
berdirinya negara Indonesia
Skelcher6 menyatakan bahwa dari sejumlah konsep
yang berkembang, terdapat 3 konsep yang sangat
penting dalam mengukur implementasi kebijakan
publik temasuk pertanahan, yaitu:
Economy - This refers to the standardized cost of resource inputs, including employees, buildings, equipment and supplies, to any focal authority activity. The Ausit Commission regards an economical operation as one which acquires these resources in the appropriate quantity and quality at the lowest cost”.
Efficiency- This concerns the relationship between the services or other outputs of the local authority’s activities and resources necessary to produce them. An efficient operation results in the maximum output for a given resource input, for example the quickest and most accurate assessment of housing benefit claims per staff member; or a given level of output for the minimum resource input, for Instance attaining the same quality of office cleaning while using a cheaper floor polish,
Effectiveness - This is a measure of the extent to which the organization is achieveing its objectives. It is an assessment of the relationship between the intentions of the authority and the effects or outcomes of its activity.
Konsep dalam mengukur implementasi kebijakan
publik yang dikemukakan oleh Skelcher7, yaitu
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, merupakan 3 hal
6 C.Skelcher. (1992). Managing For Service Quality. Essex : Long-man Group U.K. Ltd.
7 C.Skelcher, Ibid
JURNAL IPTEK PERTANAHAN Mei 2012 113-120Vol. 2 No. 1
120
utama yang tak dapat diabaikan dalam merumuskan
dan mengukur sebuah dampak kebijakan. Ketiga
hal ini merupakan bagian penting dalam sebuah
pelaksanaan kebijakan.
KESIMPULANProses Musyawarah menjadi point utama dan
pembeda dalam proses pengadaan tanah sehingga
perlu adanya pendekatan yang lehi humanis\
Pengadaan tanah ini merupakan uapaya pemerintah
untuk mempercepat laju pembangunan disertai
dengan infrastruktur
Perencanaan, pelaksanaan, pemberian ganti
rugi, dan penyediaan tanah harus menempatkan
masyarakat sebagai obyek yang mendapat manfaat
lebih bukan sebaliknya
UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia beserta jajarannya,
mitra bestari dan penyunting atas pendampingan
dan masukannya untuk tulisan ini, juga kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam proses
penyempurnaan sehingga tulisan ini layak untuk
diterbitkan.
DAFTAR ACUAN
buku
Abdurrahman, Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Cetakan Ke-1, Bandung, Penerbit PT Citra
Adtya Bakti,1994.
Badrulzaman, Mariam Darus, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Buku III tentang Hukum
Perikatan dengan Penjelasan, Bandung,
Penerbit Alumni, 1983
Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia,
Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Agraria Indonesia, Jakarta: Penerbit
Djambatan,2000.
Laporan Penelitian Penyelesaian Masalah
Pertanahan, Jakarta, Puslibang BPN,
2005.
Peraturan dan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang Tentang
Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Benda-benda yang ada di atasnya.
Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk kepentingan Umum
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang :
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
PEDOMAN PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH (KTI) DALAM PENERBITAN JURNAL IPTEK PERTANAHAN1. Standar Umum Penulisan Makalah Lengkap/Monografi/Komunikasi Pendek
a. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris;b. Judul, Abstrak dan Kata kunci harus ditulis dalam dua versi bahasa (Indonesia dan Inggris);c. Abstrak ditulis dalam satu paragraf dan paling banyak memuat 250 kata dalam bahasa Indonesia,
serta 200 kata dalam bahasa Inggris;d. Abstrak untuk Komunikasi Pendek paling banyak memuat 100 kata dan tidak mencantumkan kata
kunci;e. Ditulis dengan menggunakan MS Word pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm), font Arial ukuran
10, spasi 1,15, kecuali tabel (spasi 1). Batas atas 2,0 cm, bawah 2,0 cm, tepi kiri 2,5 cm dan kanan 2,0 cm. Jumlah maksimal tulisan adalah 20-25 halaman isi. Jumlah halaman tersebut tidak termasuk lampiran;
f. Penyebutan istilah di luar bahasa Indonesia atau Inggris harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic);
g. Editor berhak mengedit, mengurangi, menambah (bila perlu) tanpa mengurangi pengertian yang sebenarnya;
h. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
2. Sistematika Karya Tulis llmiah
Sistematika KTI yang disusun dalam format Makalah Lengkap dan Monografi memiliki unsur dan tersusun
menurut urutan sebagai berikut:a. Judul;b. Nama dan Alamat Penulis;c. Abstrak dan Kata Kunci;d. Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan atau rumusan masalah, tujuan dan teori [opsional]);e. Metode (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data);f. Hasil dan Pembahasan;g. Kesimpulan;h. Saran [opsional];i. Ucapan Terima Kasih;j. Daftar Acuan;k. Lampiran [opsional].
Sistematika KTI yang disusun dalam format Komunikasi Pendek memiliki unsur dan tersusun menurut
urutan sebagai berikut:a. Judul;b. Nama dan Alamat Penulis;c. Abstrak;d. Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan atau rumusan masalah, tujuan dan teori [opsional]);e. Metode (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data);f. Hasil dan Pembahasan;g. Ucapan Terima Kasih;h. Daftar Acuan.
3. Cara Penulisan Judul
Judul diketik dengan huruf kapital tebal (bold) dan mencerminkan inti tulisan. Apabila Judul ditulis dalam
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
bahasa Indonesia maka dibawahnya ditulis ulang dalam bahasa Inggris; begitu juga sebaliknya,
4. Cara Penulisan Nama dan Alamata. Nama penulis diketik di bawah Judul, ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar;b. Alamat penulis (nama dan alamat instansi tempat bekerja) ditulis lengkap dengan jarak satu spasi
beserta e-mail di bawah nama penulis;c. Jika alamat lebih dari satu, maka harus diberi tanda asterisk * dan diikuti alamat sekarang. d. Jika penulis terdiri lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ‘dan’ (bukan
lambang ‘&’).
5. Cara Penulisan Abstrak dan Kata Kuncia. Abstrak ditulis dalam satu paragraf, berjarak satu spasi;b. Maksimal 200 kata dalam bahasa Inggris, atau 250 kata dalam bahasa Indonesia;c. Kata kunci terdiri dari tiga sampai lima kata, ditulis dengan huruf cetak miring (italic);d. Jika Abstract dalam bahasa Inggris maka diikuti Keywords dalam bahasa Inggris;e. Jika Abstrak dalam bahasa Indonesia maka diikuti Kata kunci dalam bahasa Indonesia.
6. Cara Penyajian Tabela. Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri (bukan center), ditulis menggunakan font
Arial ukuran 12;b. Tulisan ‘Tabel’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal;c. Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran judul tabel;d. Tabel ditampilkan rata kiri halaman (bukan center);e. Jenis dan ukuran font untuk isi tabel bisa disesuaikan menurut kebutuhan (Arial ukuran 8-10) dengan
jarak spasi tunggal;f. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, menggunakan font Arial
ukuran 10.
7. Cara Penyajian Gambar, Grafik, Foto, atau Diagrama. Keterangan gambar, grafik, foto, atau diagram ditulis di bawah ilustrasi, menggunakan font Arial
ukuran 12, ditempatkan di tengah (center);b. Tulisan ‘Gambar, Grafik, Foto, atau Diagram’ dan ‘nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan isi keterangan
ditulis normal;c. Gunakan angka Arab (1, 2, 3, dst.) untuk penomoran gambar, grafik, foto, atau diagram;d. Gambar, grafik, foto, atau diagram ditampilkan di tengah halaman (center);e. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah ilustrasi, rata kiri, rnenggunakan font Arial
ukuran 10;f. Gambar, grafik, foto, atau diagram dalam format file .jpg warna hitam putih, kecuali jika warna
menentukan arti.
8. Cara dan Contoh Penulisan Daftar Acuana. Urutan dalam daftar acuan ditulis berdasarkan alfabetis;b. Berikut adalah contoh cara penulisan Daftar Pustaka dari berbagai sumber yang berbeda.
1) Buku (satu penulis)Hasan, S. H. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2) Buku (dua hingga empat penulis) Bambang, D. dan R. Riana. 2005. Teknik Menulis Karya Tuiis llmiah. Jakarta: Rhineka Cipta. Ostergren, R. Clifford, C. L. Kluge, and H. Bungert. 2006. Wisconsin German Land and Life. Ma-dison: University of Wisconsin.
JURNAL
IPTEK PERTANAHAN
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
ISSN 1411-1101
Vol. 2No. 1Mei 2012
Potret Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
3) Buku (lebih dari empat penulis)Maryanto, I. Dkk. 2007. Nama Daerah Mamalia di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.Turabian, K.L. et al. 2007. A Manual for Writers of Research Paper, Theses, and Dissertations (7th ed.). Chicago: University of Chicago Press.
4) Buku yang ditulis atas nama lembagaLembaga llmu Pengetahuan Indonesia. 2009, Standar Kompetensi Jabatan Fungsiona! Peneliti. Jakarta: LIPI.
5) Bunga RampaiImron, M. B. 2005. Pola Komunikasi Kepemimpinan Taufik Abdullah. Dalam M, Hisyam dkk. (Ed.). Sejarah dan Dialog Peradaban: 81—92. Jakarta: LIPI Press.
6) Majalah ilmiah dengan volume dan nomorKriswati, E. 2008. Detormasi Gunung Api Bromo pada Peningkatan Aktivitas Vulkanik 2006 – 2007. Widyariset, 11(1): 27-36.
7) ProsidingTang, M. 2007. Nilai-Nilai Budaya di dalam Sastra Daerah yang Mendasari Sekuritas Sosial Tra-disional Etnis Bugis. Presiding Kongres Intemasionat Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan Tahun 2007: 219—232. Makassar, 22-25 Juli 2007: Pusat Bahasa Sulawesi Selatan.
8) Skripsi, tesis, dan disertasiWijana, I. D. P. 2007. Bias Gender pada Bahasa Majalah Remaja. Tesis, Fakultas llmu Budaya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
9) Laporan penelitianSumaryanto. 2008. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai Agroekosistem. Laporan Penelitian, Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: Kementerian Pertanian.
10) Media massa (tanpa nama penulis)Kambing Hitam Kemiskinan. 2006. Kompas, 25 November: 33.
11) Media massa (terdapat nama penulis)Abimanyu, A. 2010. Kontroversi Dana Dapil, Republika, 7 Juni: 1
12) Tulisan bersumber dari internet (tanpa nama penulis)Guidelines for Proper Scientific Conduct in Research. 2010. (http://www.imperialac,uk/ secreta-riat/policiesandpublications/otherpoticies/properscientificconduct, diakses 25 Juni 2010).
13) Tulisan bersumber dari internet (terdapat nama penulis)Rustandy, T. 2006. Tekan Korupsi Bangun Bangsa. (http://www.kpk.qo.id/ modutes/ news/article.php?storyid=1291, diakses 14 Januari 2007).
14) Makalah dalam pertemuan ilmiah, kongres, simposium, atau seminar yang belum diterbitkanDarsono, P. 2004. Teripang Perlu Dilindungi. Makalah dalam Lokakarya Usulan Jenis Satwa dan Tumbuhan yang Perlu Dilindungi di Indonesia. Bogor, 8 Desember: Pusat Penelitian Biologi LIPI.