jurnal hukum argumentum, vol 7-1 desember 2007 33. h achmad marbaie

Download Jurnal Hukum Argumentum, Vol 7-1 Desember 2007 33. H Achmad Marbaie

If you can't read please download the document

Upload: jurnal-hukum-argumentum

Post on 21-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ilmu Hukum

TRANSCRIPT

  • 33

    SAKSI DARI KALANGAN ANGGOTA KELUARGA DEKAT DALAM PERKARA PERCERAIAN

    DENGAN ALASAN SYIQAQ Oleh:

    H. ACHMAD MARBAIE *

    ABSTRAK Kedudukan keluarga atau orang-orang dekat dengan suami-istri sebagai saksi, maka Hakim harus mendudukkan mereka secara formal dan materiil sesuai dengan Pasal 145 dan 146 H.I.R atau Pasal 173 dan 174 RBg. Oleh karena itu, sebelum mereka memberi keterangan di muka persidangan harus disumpah terlebih dahulu. Beberapa keluarga sebagai saksi hanya berlaku dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus, dan ada unsur dharar, serta pecahnya tali perkawinan (syiqaq). Ketentuan itu tidak bisa diterapkan pada semua perkara perceraian yang diajukan karena perselisihan dan pertengkaran, karena tidak mengandung unsur-unsur syiqaq dan pecahnya tali perkawinan di antara mereka. Dalam perkara ini, kepada mereka cukup diminta keterangan saja, serta usaha perdamaian agar pihak-pihak yang beperkara dapat rukun kembali. Kata Kunci: Saksi keluarga, Perceraian, Syiqaq.

    PENDAHULUAN

    Keberagaman beragama bagi penduduk Indonesia, dan merupakan bagian terbesar warga Negara Indonesia pemeluk agama Islam. Hal ini mengharuskan adanya perlakuan khusus bagi warga yang beragama Islam dalam bidang hukum. Asas itu adalah lex spesialis derogate legi generali dan asas personalitas keislaman. Implementasi dari asas-asas tersebut jumpai dalam Undang-undang tentang Peradilan Agama.

    Pasal 54 UU No. 7/1989 jo UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada Penadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, kecuali ketentuan yang telah diatur secara khusus dalam Undag undang yang bersangkutan.

    * Dr. H. Achmad Marbaie, SH., MS. adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum

    Universitas Jember, Jember.

  • 34

    KEDUDUKAN SAKSI DARI KALANGAN KELURGA DEKAT Bilamana pihak istri merasa bahwa perkawinannya tidak dapat

    dipertahankan lagi dan dia memutuskan untuk bercerai, langkah pertama yang dapat dilakukannya adalah mengajukan gugatan perceraian. Bagi yang beragama Islam, gugatan ini dapat diajukan ke Pengadilan Agama1.

    Dalam proses persidangan dalam rangka mencari jalan perdamaian dan kembali rukunnya rumah tangga yang bersangkutan, maka Hakim mengangkat Hakamain yaitu dua orang yang berasal dari keluarga pihak suami satu orang dan keluarga pihak istri satu orang. Hakamain2 ini berfungsi membantu Hakim dalam mendamaikan suami-istri yang sedang berperkara.

    Dalam perkara gugatan perceraian dengan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami-istri. Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami-istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam. Istri atau kuasa hukumnya wajib membuktikan di pengadilan kebenaran dari alasan-alasan yang menyebabkan terjadi syiqaq tersebut; Dengan salinan putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat hukuman 5 (lima tahun) atau lebih3. Dengan bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasannya adalah suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tak mampu memenuhi kewajibannya4.

    Keterangan berasal dari saksi-saksi, baik yang berasal dari keluarga atau orang-orang dekat yang mengetahui terjadinya pertengkaran atau perselisihan antara istri dengan suami yang sedang berperkara. Di Pengadilan Agama khusus untuk perceraian karena alasan syiqaq Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 hurul (f) K.H.I ketentuan mengenai kesaksian, umumnya mengenai pembuktian, sebagaimana diatur dalam H.I.R/R.Bg. juga diatur oleh ketentuan khusus.

    1 Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan

    UNDANG UNDANG No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 2 Penjelasan Pasal 76 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989. Hakamain

    (Hakam) ialah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau

    pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perseisihan

    terhadap syiqaq. Kedua orang ini berfungsi sebagai Juru Pendamai antara suami-

    istri yang sedang berperkara. 3 Pasal 74 Undang Undang Nomor 7/1989 jo KHI Pasal 135.

    4 Pasal 75 Undang Undang Nomor 7/1989.

  • 35

    Ketentuan itu sebagaimana tersebut dalam Pasal 76 Undang Undang Nomor7 Tahun 1989 yang menentukan;

    (1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami-istri.

    (2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami-istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam5.

    Juga Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 19756 serta Pasal 134 K.H.I (Inpres No. 1 Tahun 1991)7. Ketentuan khusus itu menjelaskan bahwa, jika perceraian terjadi karena alasan Syiqaq (Perselisihan dan pertengkaran) sebelum menjatuhkan putusan, Hakim terlebih dahulu mendengar keterangan saksi dari pihak keluarga atau orang dekat dengan suami-istri yang bersangkutan.

    Syiqaq sebagaimana telah dirumuskan dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami dan istri, kejadian atau kondisi mana dijadikan alasan bagi istri untuk melakukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Sumber hukum syiqaq adalah Al Quran8 Surat An Nisa' ayat 35 yang merupakan langkah sistematis dari ayat sebelumnya yang

    5 Pasal 76 Undang Undang Nomor 7/1989 jo Pasal 134 KHI.

    6 Pasa1 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;

    (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan

    kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.

    (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi

    Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan penengkaran itu dan setelah

    mendengar pihak keluarga serta orangorang yang dekat dengan suami-istri itu. 7 Pasal 134 K.H.I(Inpres No. 1 Tahun 1991); Gugatan perceraian karena

    alasan tersebut dalam Pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas

    bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu

    dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan siani-

    isteri tersebut. 8 Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan

    antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang

    hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud

    mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.

    Sesungguhma Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal

  • 36

    mengatur tentang kedudukan suami dalam keluarga dan masalah nusyuz-nya9 istri.

    Para praktisi hukum mempermasalahkan pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam penjelasan Pasal 76 ayat (1), Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 apakah sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam surat an Nisa' ayat 35 dan pendapat para ahli fiqh (fuqaha) yang berkembang dalam masyarakat. Juga masih terdapat perbedaan pendapat di antara para praktisi hukum tentang prosedur pemeriksaan syiqaq, terutama tentang kedudukan saksi-saksi dan pengangkatan hakam serta siapa yang memutus cerai karena alasan syiqaq ini, apakah Hakim atau hakam yang ditunjuk oleh Hakim.

    Sementara ini dalam praktik, karena prosedur syiqaq dianggap rumit dan lama penyelesaiannya, syiqaq cenderung dikesampingkan oleh para praktisi hukum dalam penyelesaiannya dan dialihkan pada alasan yang lain, meskipun banyak ahli fiqh yang mewajibkan pemeriksa perkara perceraian dengan alasan syiqaq sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al Quran10.

    Syiqaq dalam pandangan perundang-undangan nasional, dalam Pasal 38 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Selanjutnya dalam Pasa1 39 ayat 1 dan 2 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut juga dikemukakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan (majelis Hakim) tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, serta cukup alasan bagi mereka untuk bercerai karena tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam suatu rumah tangga, perkawinan mereka betul-betul sudah pecah.

    Gugatan perceraian dapat diajukan oleh pihak suami atau oleh pihak istri dengan alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu alasan perceraian sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan, pertengkaran, dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Berikutnya Pasa1

    9 Nusyuz = meninggalkan kewajiban bersuami-istri, misalnya meninggalkan

    Departemen Agama

    RI Proyek Pengadaan Kitab Suci , Al-Quran dan Terjemahannya,

    Departemen Agama RI, Jakarta, 1984, hal. 123. 10

    Abdul Manan, Op. Cit., hal. 386.

  • 37

    22 ayat 2 menyebutkan bahwa gugatan perceraian karena alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf f PP Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itu baru dapat diterima oleh Pengadilan, apabila telah cukup jelas mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkarannya itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri yang mengajukan perceraian itu.

    Peradilan Agama dalam praktiknya, bahwa alasan perceraian sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf f Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itu tidak selalu disebut syiqaq. Dikatakan syiqaq kalau gugatan perceraian itu dengan alasan telah terjadi pertengkaran yang mengandung unsur-unsur yang membahayakan kehidupan suami-istri dan sudah terjadi pecahnya perkawinan (broken marriage) berakhirnya perkawinan mereka dengan putusan pengadilan. Sedangkan alasan perceraian yang didasarkan kepada perselisihan dan pertengkaran yang tidak mengandung unsur-unsur membahayakan dan belum sampai kepada tingkat darurat, maka hal tersebut belum bisa dikatakan syiqaq. Hal yang terakhir ini gugatan diajukan oleh salah satu pihak dengan alasan perselisihan dan pertengkaran itu dengan alasan perceraian yang lain, seperti salah satu pihak melakukan zina, mabuk, dan main judi. Terhadap hal ini putusnya perkawinan bisa berupa perceraian dan bisa dengan putusan pengadilan.

    Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memantapkan bahwa syiqaq merupakan alasan cerai yang diajukan kepada Pengadilan Agama sebagai perkara tersendiri. Mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama sejak awal sudah merupakan perkara perceraian dengan alasan syiqaq, bukan perkara lain yang kemudian di-syiqaq-kan setelah berlangsungnya pemeriksaan perkara dalam persidangan sebagaimana lazimnya yang dilaksanakan oleh para Hakim sebelum berlaku Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut. Substansial dari syiqaq ini adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sepanjang mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan pecahnya perkawinan. Perkara perceraian dengan alasan syiqaq yang diajukan sejak awal ke Pengadilan Agama akan memudahkan pengisian laporan L. 1/PA8 Pola Bindalmin.

    Alasan syiqaq11 yang diatur dalam Pasal 76 ayat 1 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 beserta penjelasannya sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam surat an-Nisa' ayat 3, juga sama makna dan hakikatnya dengan apa yang dirumuskan pada penjelasan Pasa139 ayat 2

    11

    Yahya Harahap, 1989, Kedudukan Kewenangan Eksekusi Bidang

    Perdata, Pustaka Kartini, Jakarta, hal. 265.

  • 38

    hmuf (f) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasa1 19 ayat 2 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Oleh karena itu, tata cara pemeriksaannya di samping tunduk kepada ketentuan umum Hukum Acara Perdata, sekaligus harus menurut tata cara mengadili yang digariskan oleh Pasal 76 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 itu sendiri. Kelalaian mempergunakan tata cara yang telah ditentukan itu mengakibatkan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim batal demi hukum atau sekurang-kurangnya dalam tingkat banding harus diadakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan pemeriksaan tersebut.

    Penyelesaian perkara perceraian dengan alasan syiqaq merupakan pemeriksaan secara khusus (lex spesialis derogate legi generali) dan agak menyimpang dari asas-asas umum Hukum Acara Perdata, oleh karena perceraian dengan alasan syiqaq ini merupakan perceraian karena adanya mudharat yang menimpa pihak istri dan pecahnya tali pernikahan, maka Hakim wajib mengkonfirmasi benar tidaknya peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang beperkara tersebut, kemudian, mengkualifisir peristiwa tersebut, dan akhirnya memberikan hukumnya (mengkonstitusikannya) terhadap peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang berperkara.

    Kedudukan keluarga atau orang-orang dekat dengan suami-istri itu sebagai saksi, maka Hakim harus mendudukkan mereka secara formal dan materiil sesuai dengan Pasal 145 dan 146 H.I.R atau Pasal 173 dan 174 RBg. Oleh karena itu, sebelum mereka memberi keterangan di muka persidangan harus disumpah terlebih dahulu. Beberapa keluarga sebagai saksi hanya berlaku dalam perkara perceraian yang didasarkan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus, dan ada unsur dharar, serta pecahnya tali perkawinan (syiqaq). Ketentuan itu tidak bisa diterapkan pada semua perkara perceraian yang diajukan karena perselisihan dan pertengkaran, karena tidak mengandung unsur-unsur syiqaq dan pecahnya tali perkawinan di antara mereka. Dalam perkara ini, kepada mereka cukup diminta keterangan saja, serta usaha perdamaian agar pihak-pihak yang beperkara dapat rukun kembali.

    Berkenaan dengan pengangkatan hakam, para ahli hukum Islam sepakat tentang perlunya pengangkatan hakamain dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq, tetapi mereka berselisih pendapat tentang hukum mengangkat hakam itu. Ibnu Rusyd12 berpendapat bahwa pengangkatan hakamain ini tidak wajib tetapi jawaz (boleh). Pendapat ini yang diikuti oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sayid

    12

    Ibnu Rusyd, 1960, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, Mustafa al Baby al

    Halaby, Cairo, Mesir. 98-99.

  • 39

    Sabiq13 tidak mensyaratkan hakamain itu dari keluarga istri. Adapun perintah mengangkat hakamain dari pihak keluarga suami-istri sebagaimana disebutkan dalam ayat 35 surat An Nisa' itu adalah bersifat anjuran saja, karena keluarga dipandang lebih mengetahui situasi rumah tangga pihak yang berperkara tersebut.

    Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 ayat 2 menentukan bahwa hakam tersebut tidak harus dari keluarga suami-istri, diperbolehkan mengangkat hakam dari pihak lain. Apa yang tersebut dalam penjelasan Pasal 76 ayat 2 itu tidaklah menjadi persoalan asalkan dalam batas -pengertian bahwa rumusannya sengaja diperluas oleh pembuat undang-undang dengan tujuan agar rumusan dalam ayat 35 surat anNisa' dapat dikembangkan untuk mengakomodasi dan menampung berbagai problem dalam kehidupan masyarakat sepanjang dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung dalam ayat tersebut. Adapun tujuan penunjukan hakam adalah membentuk juru damai apabila terjadi perselisihan dan pertengkaran yang membahayakan kehidupan suami-istri yang bersangkutan, sama sekali tidak dipersoalkan siapa yang ditunjuk untuk menjadi hakam itu.

    Tentang berapa jumlah hakam yang ideal, Pasal 76 ayat 2 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak menentukan secara rinci, hanya menyebut seorang atau lebih dari keluarga masing-masing suami-istri atau boleh juga orang lain ditunjuk untuk menjadi hakam. Ketentuan ini adalah sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh ayat 35 surat An Nisa' yakni sekurang-kurangnya terdiri dari dua orang. Meskipun sebaliknya ditunjuk beberapa hakam, tetapi secara kasuistik tidak menutup kemungkinan menunjuk seorang hakam saja. Hal ini dengan pertimbangan semakin banyak orang yang ikut campur, semakin kacau permasalahannya dan dalam hal yang demikian lebih efektif apabila hakam hanya mencari upaya penyelesaian perselisihan saja, bukan untuk mengambil keputusan dalam perkara yang sedang diadili oleh majelis Hakim itu.14

    Mengenai kewenangan hakam dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq terdapat beberapa pandangan yaitu ; (1). Hakam berasal dari kalangan keluarga suami-istri, oleh karena itu penunjukan hakam itu harus seizin suami-istri masing masing, hakam sama sekali tidak mempunyai wewenang menceraikan mereka. Hakam hanya terbatas peranannya pada hal-hal yang diberi wewenang mewakili Hakim untuk mengupayakan perdamaian di antara suami-istri yang berperkara. (2). Hakam adalah orang

    13

    Sabiq, as Sayid, 1971, Fiqhus Sunnah, Juz III, Darul Kitab Al-Arabiyah,

    Beirut, hal. 159. 14

    Abdul Manan, Op. Cit., hal. 392.

  • 40

    yang bertindak dan menjalankan fungsi Hakim dan bebas untuk mengambil keputusan, mendamaikan atau menceraikan. Hakam tersebut harus laki-laki dan pengangkatannya tidak memerlukan persetujuan dari pihak suami-istri. Hakam bebas untuk bertindak dalam rangka mengadakan upaya perdamaian dan apabila tidak berhasil, berwenang untuk menceraikan (attafriq) suami-istri yang berselisih itu. Hakam yang ditunjuk harus seorang ahli hukum Islam (Faqih), karena ia sebagai Hakim harus mempunyai pengetahuan di bidang hukum.15

    Sejalan dengan jiwa Pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI cenderung kepada pandangan yang pertama tersebut di atas. Fungsi hakam di sini adalah sebagai wakil Hakim yang diharapkan dapat mendamaikan suami-istri yang berperkara dan tidak mempunyai wewenang untuk menceraikan suami-istri tersebut sama sekali. Dalam putusan Nomor 18/K/AG/1979 tanggal 19 Mei 1979 Mahkamah Agung RI membenarkan putusan Mahkamah Provinsi Aceh dalam perkara banding atas putusan Mahkamah Sabang Nomor 3/1978 tanggal 10 Januari 1978, tetapi Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa acara syiqaq yang tersebut dalam ayat 35 surat An Nisa' itu tidak mutlak harus dijalankan, setelah mendengar keterangan orang tua para pihak dan orang lain yang dekat dengan para pihak, Pengadilanlah yang memutus perkara tersebut, bukan hakam yang ditunjuk. Fungsi hakam hanya terbatas pada upaya mendamaikan saja.

    Meskipun negara Indonesia tidak menganut asas strare decisis sesuai dengan Pasa1 23 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat 1 H.I.R, dan Pasal 195 serta Pasal 618 RBg. tetapi demi adanya kepastian hukum sebaiknya para praktisi di lingkungan Peradilan Agama mengikuti langkah Mahkamah Agung RI dalam menerima, memeriksa, dan mengadili serta memutuskan perkara perceraian dengan alasan syiqaq yang diajukan kepadanya dan meninggalkan kebisaan lama yang berpegang teguh kepada fiqh tradisional dalam hal memeriksa dan memutuskan perkara perceraian dengan alasan syiqaq ini.

    Hal ini bukan berarti apa yang sudah dilaksanakan oleh para ahli fiqh dan Hakim Peradilan Agama terdahulu semuanya keliru, anjuran ini semata-mata mengikuti perkembangan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama saat ini, sepanjang tidak meninggalkan inti sari yang terkandung dalam surat an-Nisa' ayat 35. Dengan demikian akan terwujud legal frame work (kesatuan kerangka ) dan adanya unifiet legal oponion (kesatuan persepsi ) dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama. Hal

    15

    Ibid., hal. 392.

  • 41

    ini penting dilaksanakan agar ada keseragaman dalam pelaksanaan dan penerapan Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama di masa mendatang.

    Mengenai kapan sebaiknya para hakam itu memeriksa perkara perceraian dengan alasan syiqaq, hal ini kembali pada Pasal 76 ayat 2 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menentukan bahwa para hakam itu harus memeriksa setelah tahap pembuktian diperiksa oleh Hakim. Dengan demikian hasil pemeriksaan pembuktian dapat diinformasikan secara lengkap kepada hakam yang ditunjuk, terutama tentang sifat dari perselisihan dan persengketaan yang terjadi di antara suami-istri tersebut. Informasi tersebut dapat dipergunakan oleh hakam dalam usaha mendamaikan para pihak dan mengakhiri sengketa mereka. Hakim Peradilan Agama yang menangani perkara perselisihan itu haruslah memberikan pengarahan seperlunya kepada hakam yang ditunjuk tentang cara-cara yang harus ditempuh dalam melaksanakan tugasnya, juga ditetapkan kapan para hakam itu harus melaporkan upaya yang dilaksanakan itu kepada Hakim dan batas waktu tugas yang diberikan oleh Hakim kepada para hakam untuk melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu hakam yang diangkat itu haruslah orang yang arif, disegani oleh kedua belah pihak yang bersengketa dan dapat dipercaya.

    Ketentuan yang mengharuskan pengangkatan hakam setelah pemeriksaan terhadap pembuktian tidak bersifat imperative. Sekiranya dalam tahap replik dan duplik Hakim sudah mendapat gambaran yang jelas tentang sifat perselisihan dan pertengkaran suami-istri tersebut, dan Hakim sudah mempunyai keyakinan bahwa mereka bisa didamaikan dengan cara mengangkat hakam, maka Hakim dapat menyimpang dari ketentuan tersebut asalkan kemaslahatan para pihak untuk rukun kembali dapat terwujud. Pengangkatan hakam itu bersifat insidental sebelum putusan akhir dijatuhkan, maka tata cara yang tepat untuk itu adalah dengan putusan sela, bukan dengan cara mengeluarkan penetapan.

    Bentuk putusan akhir adalah putusan (vonis). Putusan dijatuhkan oleh Hakim setelah mendengar laporan hakam tentang upaya maksimal yang mereka laksanakan dalam upaya mereka mengakhiri sengketa. Apabila menurut para hakam perselisihan dan pertengkaran mereka sudah sangat memuncak dan tidak mungkin didamaikan lagi, dan jalan satu-satunya bagi mereka adalah cerai, maka Hakim wajib menceraikan suami-istri tersebut sesuai dengan usul para hakam, usulan mereka itu haruslah menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara. Hakimlah yang menceraikan suami-istri tersebut, bukan para hakam yang menceraikannya.16

    16

    Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 266.

  • 42

    Dalam yurisprudensi Peradilan Agama yang lama, hampir pada semua putusannya dijumpai di mana yang mengikrarkan talak dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq adalah hakam, sedangkan dalam yurisprudensi yang baru dijumpai bahwa putusan cerai syiqaq adalah putusan Hakim, Hakimlah yang menceraikan para pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perkaranya, bukan hakam.

    Ada putusan Pengadilan Agama Jember No. 1340/Pdt.G/2005/ PA.Jr., tanggal 24 Agustus 2005 bertepatan dengan tanggal 19 Rajab 1426 H., memeriksa perkara antara Dwi Astutik Any binti A. Niolik (istri) sebagai Penggugat melawan suaminya Basuki Fuji Wahyudi bin Moch. Syafrani sebagai Tergugat. Dalam persidangan dan pemeriksa kasus ini didengar kesaksian dua orang saksi di bawah sumpah berasal dari kalangan keluarga Penggugat, yaitu Ibu kandung dari Penggugat dan adik kandung dari Penggugat dan dua orang saksi keluarga Tergugat, yaitu anak pertama dari Penggugat dan Tergugat dan keponakan Pengugat.

    Penggugat mendasari gugatannya pada, bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah tidak harmonis karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena Tergugat tidak dapat memberikan nafkah secara layak kepada Penggat. Tergugat suka menceritakan keadaan Penggugat kepada orang lain dan setiap terjadi pertengkaran Tergugat sering melontarkan kata-kata kotor/kasar kepada Penggugat. Oleh karena itu Penggugat pergi meninggalkan Tergugat dengan tanpa ijin yang hingga sekarang ini (putusan dijatuhkan) sekurang-kurangnya selama 3 bulan dan selama hidup berpisah tersebut antara Penggugat dan Tergugat tidak pernah lagi hidup bersama sebagaimana layaknya suami istri. Gugatan cerai Penggugat a-quo dikualisir kedalam alasan-alasan perceraian sebagaimana yanq dimaksud oleh Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hdup rukun lagi dalam rumah tangga.

    Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 15K/AG/1980 tangga1 2 Desember 1981 dapat ditarik abstrak hukum bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu : Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam dalam rumah tangga. Juga berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 15K/AG/1980 tangga1 2 Desember 1981 dapat ditarik abstrak hukum bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah : tidak memberi nafkah isteri atau tidak menyerahkan gaji, telah kawin dengan wanita lain, terjadi

  • 43

    keributan, memaki-maki di depan umum, sering tidak pulang kerumah, dan pernah memukul isteri. Bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut menurut Majelis bersifat alternatif dan bukan bersifat kumulatif, sehingga dengan telah terpenuhinya salah satu unsur tersebut maka ketentuan Pasal 19 huruf (f) tcrsebut te1ah terbukti adanya.

    Untuk memenuhi maksud Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 197517 dan Pasal 76 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Majelis Hakim telah pula mendengar keterangan saksi keluarga Pengguat, yakni Maryatun (ibu dari Penggugat) dan Tri Murdiyanto (adik dari Penggugat). Begitu pula telah didengar juga kesaksian yang diajukan oleh Tergugat, yaitu Riska Yuniasti (anak pertama dari Tergugat dan Penggugat) dan Erik Efridistianto (keponakan Tergugat). Kesemuanya kesaksian yang diberikan para saksi tersebut diatas berkesesuaian adanya, yaitu berkisar pada masalah kecemburuan, karena Penggugat telah mempunyai teman akrab bernama P. Edi yang sering datang kerumahnya mengunjungi Penggugat. Penggugat dan Tergugat telah saling menceritakan kejelekan dan kekurangan masing-masing kepada orang lain. Para saksi telah berusaha mengadakan perdamaian diatara mereka tapi tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Masing-masing pihak (suami-istri) bersikeras untuk memutuskan hubungan perkawinan mereka atau bercerai.

    Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim dapat menemukan adanya fakta hukum sehingga dapat menyimpulkan bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perpecahan keluarga sekurang-kurangnya selama 3(tiga) bulan dan tidak pernah hidup rukun kembali. Maka berdasarkan fakta hukum tersebut di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat telah memenuhi unsur-unsur alasan perceraian sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 19 hurut (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI18, Begitu pula dengan telah terpenuhinya alasan perceraian tersebut maka berarti tujuan

    17

    Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 :

    (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan

    kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.

    (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi

    Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah

    mendengar pihak keluarga serta orangorang yang dekat dengan suami-istri itu. 18

    Perceraian dapat terjadi karena alasan atau

    alasan-alasan:

    Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

    tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

  • 44

    perkawinan sebagaimana yanq tercantum dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 1 tahun 197419 dan Al Quran surat Ar Rum ayat 2120 tidak tercapai.

    Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, dan ketentuan Pasal 39 ayat 121 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Pesal 65 Undang Undang Nomor 7 Tahun 198922, maka gugatan Penggugat cukup beralasan untuk dikabulkan.

    Ketentuan khusus tersebut diatur juga dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 197523 serta Pasal 134 K.H.I (Inpres No. 1 Tahun 1991)24. Hal ini menjelaskan bahwa, jika perceraian terjadi karena alasan Syiqaq (perselisihan dan pertengkaran) sebelum menjatuhkan putusan, Hakim terlebih dahulu mendengar keterangan saksi dari pihak keluarga atau orang dekat dengan suami-istri yang bersangkutan. Padahal H.I.R25 melarang

    19

    Perkawinan ialah ikatan

    lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

    tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

    Ketuhanan Yang Maha Esa 20

    QS. Ar Rum (30 : 21) Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia

    menciptakan untukmu isteri-isteri dan jenismu sendini, supaya kamu cenderung dan

    merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

    Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum

    yang berfikir . 21

    Perceraian hanya

    dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

    berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak . 22

    Perceraian hanya dapat

    dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

    berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak 23

    Pasa1 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;

    (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan

    kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.

    (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi

    Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan penengkaran itu dan setelah

    mendengar pihak keluarga serta orangorang yang dekat dengan suami-istri itu. 24

    Pasal 134 Kompilasi Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991); Gugatan

    perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila

    telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan

    pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang

    dekat dengan siani-isteri tersebut. 25

    Pasal 145 H.I.R ; (1) Yang tidak boleh didengar sebagai saksi, yaitu;

    le. keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari

    salah satu pihak;

    2e. isteri atau laki salah satu pihak, meskipun sudah bercerai;

    3e. anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui benar, bahwa mereka sudah

    cukup lima belas tahun.

  • 45

    atau tidak membolehkan Hakim menggunakan saksi yang berasal dari keluarga baik dari pihak suami maupun istri yang sedang berperkara. Sesuai dengan bunyi teks dari ketentuan khusus tersebut, secara imperatif kedudukan pihak keluarga atau orang dekat dengan suami -istri adalah sebagai saksi, sehingga segala ketentuan yang mengatur saksi sebagaimana tersebut dalam H.I.R maupun R.Bg. juga berlaku terhadapnya.

    Meskipun demikian, dengan adanya ketentuan khusus tersebut di atas keluarga sedarah atau semenda yang menurut Pasal 145 ayat (1) H.I.R atau Pasal 172 ayat (1) dikelompokkan sebagai orang yang tidak boleh didengar kesaksiannya, sesuai dengan asas lex spesialis derogate legi generalis, dapat dikesamping-kan untuk perkara perceraian dengan alasan Syiqaq. Bilamana pihak keluarga, dalam hal ini baik keluarga sedarah maupun keluarga semenda, didudukkan sebagai alat bukti saksi, dipertanyakan apakah tidak akan berpengaruh terhadap objektivitas kesaksiannya. Pada kenyataannya, jika dihadapkan pada masalah ini, umumnya pihak keluarga tidak menginginkan terjadinya perceraian diantara anggota keluarga mereka, bahkan akan berusaha agar para pihak yang berperkara tetap utuh membina rumah tangga, kecuali jika perceraian dipandang lebih baik sebagai jalan keluar kemelut rumah tangga mereka.

    Suami atau isteri yang sedang mengalami persengketaan dalam rumah tangga mereka karena perselisihan atau pertengkaran bisanya akan lari ke pihak ketiga, baik keluarga atau orang lain yang dipercaya dapat menampung keluh-kesah mereka sebagai kompensasi dari konflik yang sedang mereka alami. Di sinilah letak pentingnya peranan keluarga yang mengetahui kejelasan mengenai masalah sekitar terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut yang diharapkan akan dapat membantu mempercepat penyelesaian perkara. Dimungkinkannya menampilkan saksi dari kalangan keluarga dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq, dapat membantu menyelesaikan konflik rumah tangga para pihak, yang dapat menghindarkan mereka dari perceraian.

    Diajukannya kalangan keluarga sebagai saksi perkara perceraian dengan alasan syiqaq dapat diterima, karena menurut perspektif fiqh oleh kebanyakan Ulama tidak diperkenankan

    4e. orang gila, meskipun kadang2 ingatannya terang.

  • 46

    meragukan objektivitas kalangan keluarga dalam memberikan kesaksiannya, seperi orang tua terhadap anaknya atau sebaliknya. 26 PENGANGKATAN HAKAM

    Mengenai Pengangkatan Hakam, Para Fuqaha sepakat tentang perlunya pengangkatan hakamain dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq, tetapi mereka berselisih pendapat tentang hukum mengangkat hakam itu. Dalam kitab Syarqawi al At-Thahrir27 diterangkan bahwa jika perselisihan antara suami istri dapat memuncak yakni mengarah pada kondisi yang membahayakan maka perlu diangkat hakamain dan hukumnya wajib. Sedangkan Ibnu Rusyd28 berpendapat bahwa pengangkatan hakamain tidak wajib tetapi jawaz (boleh). Pendapat Ibnu Rusyd ini diikuti oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sayid Sabiq29 tidak mensyaratkan hakamain itu dari keluarga istri. Adapun perintah mengangkat hakamain dari pihak keluarga suami istri sebagaimana disebutkan dalam ayat 35 surat An Nisa30 adalah bersifat anjuran saja, karena keluarga dipandang lebih mengetahui situasi dan kondisi rumah tangga pihak yang perkara itu. Namun demikian Syarwani al At Tuhfah31 mensunahkan pengangkatan hakam itu dari pihak keluarga suami istri, dan yang mengangkat itu hakim.

    Pengangkatan hakam dilaksanakan apabila perselisihan dan pertengkaran suami istri sudah sangat memuncak dan membahayakan kelangsungan kehidupan rumah tangganya. Menurut Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 ayat (2) hakam tersebut tidak harus dari keluarga suami istri, melainkan diperbolehkan mengangkat hakam dan pihak lain. Apa yang tersebut dalam penjelasan Pasal 76 ayat (2) itu tidaklah menjadi persoalan asalkan dalam batas-batas pengertian bahwa rumusannya sengaja diperluas oleh pembuat Undang Undang dengan tujuan agar rumusan dalam ayat 35 surat An Nisa dapat dikembangkan untuk menampung berbagai

    26

    Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd a1-

    Curthubiy, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, Usaha Keluarga, Semarang, tt. hal.

    347. 27

    Syarqawi al At-Thahrir, tp., tt, hal. 372. 28

    Ibnu Rusyd, Op. Cit., hal. 98-99. 29

    Sayid Sabiq, Op. Cit., hal. 159. 30

    Dan jika kamu khawatirkan ada persengetaan

    antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluanga laki-laki dan

    seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud

    mengadakan perbaikan, niscayaAllah membeni taufik kepada suami-isteri itu.

    Sesungguhnya Allah Maha Mengetaui lagi Maha Mengenal 31

    Syarwani al At Tuhfah, tp., tt, hal. 457.

  • 47

    problem dalam kehidupan masyarakat sepanjang dalam batas-batas jiwa dan semangat yang terkandung dalam ayat tersebut.

    Adapun tujuan penunjukan hakam adalah membentuk juru damai apabila terjadi perselisihan dan pertengkaran yang membahayakan kehidupan suami istri sama sekali tidak dipersoalkan siapa yang ditunjuk untuk menjadi hakam itu. Tentang berapa jumlah hakam yang ideal, pasal 76 ayat (2) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak menentukan secara rinci, hanya menyebut seorang atau lebih dari keluarga masing-masing suami istri atau boleh juga orang lain ditunjuk untuk menjadi hakam. Ketentuan mi adalah sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh ayat 35 surat An Nisa yakni sekurang-kurangnya terdiri dan dua orang saksi. Meskipun sebaliknya ditunjuk beberapa hakam, tetapi secara kasuistik tidak menutup kemungkinan menunjuk seorang hakam saja. Hal ini dengan pertimbangan semakin banyak orang yang ikut campur, semakin kacau permasalahannya dan dalam hal yang demikian lebih efektif apabila hakam hanya mencari upaya penyelesaian perselisihan saja, bukan untuk mengambil keputusan dalam perkara yang sedang diadili oleh Majelis Hakim itu.

    Adapun kewenangan hakam dalam perkara perceraian karena alasan syiqaq terdapat beberapa pandangan yaitu Pertama; Hakam adalah wakil dari pihak suami istri, oleh karena itu penunjukan hakam itu harus seizin suami istri masing-masing. Hakam sama sekali tidak mempunyai wewenang menceraikan mereka. Peranan hakam hanya terbatas kepada hal-hal yang diberi wewenang untuk mewakili mereka di muka Majelis Hakim32. Kedua; Hakam adalah orang yang bertindak dan menjalankan fungsi hakim dan bebas untuk mengambil keputusan. mendamaikan atau menceraikan33. Hakam tersebut harus laki-laki dan pengangkatannya tidak memerlukan persetujuan dan pihak suami istri34. Hakam bebas untuk bertindak dalam rangka mengadakan upaya perdamaian dan apabila tidak berhasil berwenang untuk menceraikan (attafriq) suami istri yang berselisih itu35. Hakam yang ditunjuk harus seorang ahli hukum Islam (Faqih), karena ia sebagai hakam harus mempunyai pengetahuan di bidang hukum36.

    Mahkamah Islam Tinggi Surakarta mengikuti pandangan yang kedua, yakni Hakam adalah orang yang bertindak dan menjalankan fungsi hakim dan bebas untuk mengambil keputusan, mendamaikan atau menceraikan. Dalam

    32

    As Sarbaini, tp., 1956, hal. 307. 33

    Qalyubi Wa Umairah, Op. Cit., hal. 307. 34

    Abu Zahrah, 1957, hal. 422. 35

    Asy Sarbaini, Op. Cit., hal. 307. 36

    Ibnu Katsir, 1993, , Bina Ilmu,

    Surabaya, hal. 278-279.

  • 48

    sebuah putusannya Nomor 8 tanggal 12 Mei 1951 dengan mendasarkan pertimbangannya pada ayat 35 surat An Nisa dan dalil dalam kitab At Tanbih lis Syairazi halaman 102 serta dalil dalam kitab Ghayatul Maram lis Syaikh Muhyidin, Mahkamah Islam Tingi Surakarta membenarkan prosedur syiqaq yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Magetan dengan putusannya Nomor 16 tanggal 26 Februari 1951.

    Dalam putusan Mahkamah Islam Tinggi Surakarta ini fungsi hakam adalah sebagai hakim, oleh karena itu mempunyai wewenang yang sangat luas termasuk menceraikan Penggugat dengan Tergugat, meskipun dalam hal mi Tergugat sama sekali tidak merelakannya dengan alasan masih mencintai Penggugat dan masih ingin rukun kembali. Pemandangan ini pula yang diikuti oleh sebagian besar para praktisi hukum di lingkungan Peradilan Agama pada saat ini. Sejalan dengan jiwa Pasal 76 ayat (2) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan Mahkamah Agung RI cenderung kepada pandangan yang pertama tersebut di atas, yakni Hakam adalah wakil dari pihak suami istri, oleh karena itu penunjukan hakam itu harus seizin suami istri masing-masing. Hakam sama sekali tidak mempunyai wewenang menceraikan mereka. Fungsi hakam di sini adalah sebagai wakil suami istri yang diharapkan untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak mempunyai wewenang untuk menceraikan suami istri tersebut sama sekali.

    Dalam putusan Nomor 18/K/AG/1979 tanggal 19 Mei 1979 Mahkamah Agung RI membenarkan putusan Mahkamah Provinsi Aceh dalam perkara banding atas putusan Mahkamah Sabang Nomor 3/1978 tanggal 10 Januari 1978, tetapi Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa acara syiqaq yang tersebut dalam ayat 35 surat An Nisa itu tidak mutlak harus dijalankan. Setelah mendengar keterangan orang tua para pihak dan orang lain yang dekat dengan para pihak, Pengadilan yang memutus perkara tersebut, bukan hakam yang ditunjuk. Fungsi hakam hanya terbatas pada upaya mendamaikan saja.

    Meskipun negara Indonesia tidak menganut asas strare decisis sesuai dengan Pasal 23 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat (1) HIR, dan Pasal 195 serta Pasal 618 R.Bg., tetapi demi adanya kepastian hukum sebaiknya para praktisi hukum di lingkungan Peradilan Agama mengikuti langkah Mahkamah Agung RI dalam menerima, memeriksa, dan mengadili serta memutuskan perkara perceraian karena alasan syiqaq yang diajukan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan lama yang berpegang teguh kepada fiqh tradisional dalam hal memeriksa dan memutuskan perkara syiqaq ini. Hal ii bukan berarti apa yang sudah dilaksanakan oleh para ahli fiqh dan hakim Peradilan Agama terdahulu

  • 49

    semuanya keliru, anjuran ini semata-mata mengikuti perkembangan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama saat ini, sepanjang tidak meninggalkan semangat dan jiwa yang terkandung dalam surat An Nisa ayat 35. Dengan demikian akan terwujud legal frame work (kesatuan kerangka hukum) dan adanya unified legal oponion (kesatuan persepsi hukum) dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama. Hal ini penting dilakukan untuk mewujudkan keseragaman dalam pelaksanaan dan penerapan Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama di masa yang akan dating.

    Tentang kapan sebaiknya para hakam itu diperiksa, hal ini kembali pada Pasal 76 ayat (2) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 di mana dikemukakan bahwa para hakam itu harus diperiksa setelah tahap pembuktian itu diperiksa oleh hakim. Dengan demikian hasil pemeriksaan pembuktian dapat diberitahukan secara lengkap kepada hakam yang ditunjuk, terutama tentang sifat dari perselisihan dan persengketaan yang terjadi di antara suami istri tersebut. Pemberitahuan tersebut dapat dipergunakan oleh hakam dalam usaha mendamaikan para pihak dan mengakhiri persengketaan mereka. Untuk itu hakim Peradilan Agama yang menangani perkara perselisihan itu harus memberikan pengarahan seperlunya kepada hakam yang ditunjuk, tentang cara-cara yang harus ditempuh dalam melaksanakan tugasnya, juga ditetapkan kapan para hakam itu harus melaporkan upaya yang dilaksanakan itu kepada hakim dan batas waktu tugas yang diberikan oleh hakim kepada para hakam untuk melaksanakan tugasnya. Sehubungan dengan hal ini hakam yang diangkat itu harus orang yang arif, disegani oleh kedua belah pihak yang bersengketa, dan dapat dipercaya.

    Ketentuan yang mengharuskan pengangkatan hakam setelah pemeriksaan terhadap pembuktian tidak bersifat imperatif.37 Jika dalam tahap replik dan duplik hakim dah mendapat gambaran yang jelas tentang sifat perselisihan dan pertengkaran suami istri tersebut, dan hakim sudah mempunyai keyakinan bahwa mereka bisa didamaikan dengan cara mengangkat hakam, maka hakim dapat menyimpang dari ketentuan tersebut asalkan kemaslahatan para pihak untuk rukun kembali dapat terwujud. Selanjut Yahya Harahap mengemukakan bahwa oleh karena pengangkatan hakam itu bersifat insidental sebelum putusan akhir dijatuhkan, maka tata cara yang tepat untuk itu adalah dengan putusan sela, bukan dengan cara mengeluarkan penetapan.

    37

    M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal. 266.

  • 50

    Bentuk putusan akhir adalah putusan (vonis). Putusan dijatuhkan oleh hakim setelah mendengar laporan dari hakam tentang upaya maksimal yang mereka laksanakan dalam upaya mereka mengakhiri persengketaan. Jika menurut para hakam perselisihan dan pertengkaran mereka sudah sangat memuncak dan tidak mungkin didamaikan lagi, dan jalan satu-satunya bagi mereka adalah cerai, maka hakim wajib menceraikan suami istri tersebut sesuai dengan usul para hakam. Usulan mereka itu harus menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara. Hakim yang memiliki kewenangan menceraikan suami istri tersebut, bukan para hakam yang menceraikannya.

    Dalam yurisprudensi Peradilan Agama yang lama, hampir pada semua putusannya dijumpai, bahwa yang mengikrarkan talak dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq adalah hakam, sedangkan dalam yurisprudensi yang baru dijumpai bahwa putusan cerai syiqaq adalah putusan Hakim, Hakimlah yang menceraikan para pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perkaranya.

    -------

    DAFTAR BACAAN

    Abu Zahrah, tp., 1957. Al Mahalli, tt., Qalyubi wal Umairoh, Juz IV, Musthafa al Babi al Halabi,

    Cairo, Mesir. As Sarbaini, tp., 1956

    Harahap, Yahya, 1989, Kedudukan Kewenangan Eksekusi Bidang Perdata, Pustaka Kartini, Jakarta.

    Ibnu Katsir, 1993, , Bina Ilmu, Surabaya. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd a1-Curthubiy,

    tt, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, Usaha Keluarga, Semarang. Rusyd, Ibnu, 1960, Bidayah al Mujtahid, Jilid II, Mustafa al Baby al Halaby,

    Cairo, Mesir. Sabiq, as Sayid, 1971, Fiqhus Sunnah, Juz III, Darul Kitab Al-Arabiyah,

    Beirut. Syarqawi al At-Thahrir, tp. tt. Syarwani al At Tuhfah, tp., tt.