jurnal hukum argumentum, vol. 14 no. 1, desember 2014, (15-26), jati nugroho

12
 15 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014 DINAMIKA HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI MASYARAKAT PETANI PEMAKAI AIR BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN SOSIAL (STUDI KASUS DI LUMAJANG JAWA TIMUR) Jati Nugroho - Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman - Jl. Mahakam No. 7 Lumajang email:  [email protected]  ABSTRAK Sebelum disahkan UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Irigasi, sistem pengairan tradisional di Jawa Timur diperankan oleh ulu-ulu dengan diberi hak otonom. Masa Orde Baru terjadi sentralisme hukum dan Pemerintah membentuk wadah  pengelolaa n kelembagaan pe tani pemakai air tung gal dalam bentuk Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) sementara keberaan ulu-ulu sebagai bagian teknis mengatur irigasi saja. Di era reformasi kelembagaan P3A dinamakan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) yang diatur dalam Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2009. HIPPA yang dibentuk secara demokratis tidak secara tegas mengakui keberadaan ulu-ulu. Ini berarti mengingkari keberadaan  pluralisme hukum seperti ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Untuk itu, paradigma hukum pengelolaan hukum sumber daya air yang berkeadilan sosial dibutuhkan dengan mereformulasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang akan datang. Kata Kunci: Dinamika Hukum Pengelolaan Sumber Daya  Air, Masyarakat Petani Pemakai Air, Prinsip Keadilan Sosial  A. PENDAHULUAN Sejarah irigasi yang panjang di Indonesia telah memberikan kesempatan bagi petani untuk menumbuhkan kelembagaan-kelembagaan pengelola air irigasi secara tradisional. Lembaga-lembaga yang dikembangkan oleh petani itu merupakan sumber daya nasional yang sangat, yang patut dipelajari dan

Upload: jurnal-hukum-argumentum

Post on 01-Jun-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 1/12

  15ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

DINAMIKA HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

DI MASYARAKAT PETANI PEMAKAI AIR BERDASARKAN

PRINSIP KEADILAN SOSIAL

(STUDI KASUS DI LUMAJANG JAWA TIMUR)

Jati Nugroho

- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman -

Jl. Mahakam No. 7 Lumajang

email: [email protected] 

ABSTRAK

Sebelum disahkan UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Irigasi,

sistem pengairan tradisional di Jawa Timur diperankan oleh

ulu-ulu dengan diberi hak otonom. Masa Orde Baru terjadi

sentralisme hukum dan Pemerintah membentuk wadah pengelolaan kelembagaan petani pemakai air tunggal dalam

bentuk Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) sementara

keberaan ulu-ulu sebagai bagian teknis mengatur irigasi

saja. Di era reformasi kelembagaan P3A dinamakan

Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) yang diatur dalam

Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2009. HIPPA yang

dibentuk secara demokratis tidak secara tegas mengakui

keberadaan ulu-ulu. Ini berarti mengingkari keberadaan

 pluralisme hukum seperti ditegaskan dalam Pasal 18B ayat

(2) UUD NRI 1945. Untuk itu, paradigma hukum pengelolaan

hukum sumber daya air yang berkeadilan sosial dibutuhkan

dengan mereformulasi ketentuan peraturan perundang-

undangan yang akan datang.

Kata Kunci: Dinamika Hukum Pengelolaan Sumber Daya

 Air, Masyarakat Petani Pemakai Air, Prinsip

Keadilan Sosial  

A.  PENDAHULUAN

Sejarah irigasi yang panjang di Indonesia telah

memberikan kesempatan bagi petani untuk menumbuhkan

kelembagaan-kelembagaan pengelola air irigasi secara tradisional.Lembaga-lembaga yang dikembangkan oleh petani itu merupakan

sumber daya nasional yang sangat, yang patut dipelajari dan

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 2/12

 16 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

dipahami agar potensi air irigasi dan kemakmuran petani dapat

ditingkatkan.1 

Sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

1974 sebenarnya keberadaan sistem pengairan tradisional yang

diperankan ulu-ulu  di Jawa Timur dengan diberi hak otonom

mengatur air irigasi. Lembaga ulu-ulu2  desa merupakan lembaga

yang telah ada sejak sebelum jaman penjajahan Belanda.

Namun lembaga tradisional ini sering tidak dimengerti

oleh mereka-mereka yang bukan anggotanya, terutama jika

organisasi tersebut tidak berbentuk formal seperti organisasi-

organisasi yang dipromosikan oleh pemerintah.Saat ini lembaga

petani pengelola air tradisional yang paling terkemuka di Indonesia

adalah subak   di Bali, dan kemampuannya dalam mengelola air

dengan efisien telah lama diakuikarena konsep Tri Hita Karana.

Tetapi, subak hanya merupakan salah satu jenis organisasi

pengelola tradisioanl yang telah berkembang di Indonesia. Tradisidan adat di setiap provinsi lain juga telah memupuk berdirinya

organisasi-organisasi yang mampu menangani tugas keirigasian

sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

B.  METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empirik

(sociological/empirical legal research). Penelitian hukum empirik

diawali dengan pemahaman terhadap aspek normatif dalam kaitan

dengan penerapan hukum secara praktis.

Penggunaan pendekatan sosio-legal dalam studi inidimaksudkan untuk memperoleh penjelasan tentang perilaku

1John S. Ambler, “Dinamika Irigasi Petani: Kerangka dan Prinsip -Prinsip

Kelembagaan”. Makalah, John S. Ambler (editor), Irigasi di Indonesia

 Dinamika Kelembagaan Petani, (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 1.2 Nama lembaga ini berasal dari nama jabatan seorang pamong desa yang

diserahi tugas mengurus masalah pengairan di desa yang bersangkutan termasuk

mengatur pembagian air ke sawah petani, mengorganisir gotong royong,

memelihara saluran dan bangunan pengairan, serta melakukan komunikasi dan

melaporkan kepada Kepala Desa serta petugas pengairan. Ulu-ulu yang telah

dijelaskan sebelumnya dapat dikatagorikan sebagai lembaga tradisional yang

 bersifat non formal karena tidak memiliki susunan organisasi yang rapi, ketentuanserta sanksi yang jelas.Berbeda dengan subak  dapat dikatakan sebagai lembaga

tradisional yang formal, karena memenuni ketentuan-ketentuan suatu organisasi

 pada umumnya. 

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 3/12

  17ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

hukum masyarakat berdasarkan dinamika hukum kelembagaan

HIPPA yang sesuai sosio-kultural petani kemudian diteruskan

dengan mencari gambaran sekaligus penjelasan terkait dengan

masalah pengaruhnya di ranah empirik yang dikaitkan

implementasi kelembagaan HIPPA mendapat resistensi dari ulu-ulu 

serta pengabaian keadilan. Penelitian dengan pendekatan

antropologi hukum ini bersifat lokalitas dengan fokus lokasi di

Kabupaten Lumajang dan Subak di Bali sebagai pembanding.

C. KELEMBAGAAN PETANI PEMAKAI AIR DALAM PERSPEKTIF

HISTORIS

Pengelolaan air irigasi di Jawa Timur saat ini tidak dapat

dilepaskan keberadaannya dengan Kerajaan Majapahit,

masyarakat petani terbiasa menggunakan kearifan lokal dalam

mengelola sumber daya air terutama irigasi yang sudah turun-

temurun diperankan ulu-ulu.3  Sistem ini bahkan berkembang diBali dengan nama subak, terjadi sejak abad ke IX akibat imigrasi

secara besar-besaran dari Jawa ke Bali sampai abad ke XVI.4 

Keberadaan subak   berkembang secara baik tidak dapat

dilepaskan dari sifat kegotong-royongan masyarakat Bali yang

sangat tinggi serta tradisi turun-temurun raja-raja di Bali yang

mengakui hak atas tanah dan perolehan airnya serta aturan-aturan

agama Hindu dipakai sebagai dasar tuntunan (awig-awig) dalam

melaksanakan kegiatannya.

Kelembagaan petani pemakai air direkayasa dan dibangun

oleh para petani sendiri, bukan hanya kumpulan benda saja,melainkan cerminan dari kesepakatan sosial antara sesama

3 Berdasarkan produk dan karakter budaya, Provinsi Jawa Timur dapat

dibagi menjadi 10 (sepuluh) wilayah kebudayaan, yaitu kebudayaan Jawa

Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (sedulur Sikep), Tengger, Osing

(Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kangean.

Masing-masing komunitas kebudayaan tersebut memiliki keunggulan atau

kelebihan terkait produk maupun kinerja kulturalnya, Ayu Sutarto, “Pendekatan

Kedudayaan: Wacana Tandingan untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi

Jawa Timur”, dalam  Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi

 Jawa Timur , editor Ayu Sutarto, Setya Yuwana Sudiman, (Pemerintah Provinsi

Jawa Timur bekerjasama dengan Kompyawisda, 2004), hlm. 1. 4 Robequqin, C., Malaya, Indonesia, Borneo and The Philippines. A

Geographical, Economic and Political, (New York: Logmans, Green and Co.,

1959), hlm. 240-241. 

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 4/12

 18 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

petani.Pola pikir patani dengan melihat sebuah bangunan saluran

tradisional semestinya bukan dipandang dari materi bahannya atau

efisiensi teknis saja, tetapi juga sebagai hasil musyawarah atau

kesepakatan mengenai hak masing-masing petani yang dibagi oleh

alat tersebut.Tercerminhirarki organisasi petani pemakai air tidak

perlu berlapis-lapis dengan struktur kepemimpinan dalam irigasi

petani yang mempunyai hanya satu atau dua lapisan: yaitu ketua

(lapisan satu) dan ketua blok (lapisan kedua).5 

D. POLITIK HUKUM PENGATURAN HIMPUNAN PETANI PEMAKAI

DARI MASA ORDE BARU HINGGA ORDE REFORMASI

Masa Orde Baru pengaturan kelembagaan6  terjadi

sentralisme hukum yaitu semua hukum negara seragam sesuai

amanat dalam UU No. 11 Tahun 1974 Pemerintah membentuk

wadah pengelolaan kelembagaan petani pemakai air tunggal

dalam bentuk Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Karakteristikdan substansi produk hukum selama orde baru menghendaki

hukum negara diberlakukan secara seragam (legal uniformity).

Akibatnya kelembagaan lokal atau kearifan lokal tidak diberi ruang

hidup di wilayah negara Indonesia.7 

Akibatnya, dalam rangka mencapai tujuan tersebut

pembentukan P3A terjebak kepada kelembagaan sebagai sistem

yang menyangkut infrastruktur, struktur, sumber daya dan

5  Nyoman Sutawan. Dkk. “Pilot proyek Pengembangan sistem Irigasi

yang Menggabungkan Beberapa empelan/Subak di Kabupaten Tabanan dan

Buleleng,” Sub dinas Pengairan DPU Provinsi Bali Bekerjasama dengan

Iniversitas Udaya, 1989. ambler, 186 Pengaturan kelembagaan dimaksudkan peneliti adalah hal yang berkaitan

dengan perbuatan atau tindakan untuk melakukan pembentukan aturan yang

menyangkut aspek proses, fungsi dan hasil atau produk hukum berupa aturan

 berkaitan HIPPA. Dengan demikian dari pengaturan kelembagaan dapat diketahui

tingkat efektivitasnya (daya guna) pembentukannya.7 I Nyoman Nurjaya, “Rekonstruksi Politik Hukum Otonomi Daerah yang

Berbasis pada Kemandirian dan Demokratisasi di Daerah”, Makalah disampaikan

 pada Semiloka yang diselenggarakan PP Otoda Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya pada tanggal 18-20 Februari 2001 di Agro Wisata Hotel, Batu,Malang. Otonomi Daerah: Menuju Tata Hukum Daerah yang Berbasis Kearifan

 Lokal, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, 

(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008), hlm. 39.

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 5/12

  19ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

mekanisme bersifat formal.8  Intervensi hukum negara terhadap

lembaga lokal terlalu besar yang menyebabkan sistem pengairan

tidak selalu efektif.

Hal itu tentu sangat bertentangan dengan lembaga lokal

yaitu ulu-ulu  yang sebelumnya telah ada dan hidup yang lebih

menekankan gotong royong dalam pengelolaan irigasi, sedangkan

P3A tidak.Pembentukan kelembagaan P3A dikaitkan dengan tujuan

pokok hukum dibuat yaitu keadilan (justice), kepastian (certainly) 

dan kebergunaan (utilty)9yang hanya mengakui keberadaan dan

keberlakuan subak.10

 

Masa Orde Reformasi, sebagai konsekuensi dari hak

menguasai negara dalam mengatur air11

  dalam Pasal 41 ayat (3)

UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air beserta

penjelasannya, Pemerintah melakukan upaya dengan dibentuknya

lembaga formal pengelola air yaitu P3A (Perkumpulan Petani

Pemakai Air) dalam pengembangan sistem irigasi tersier yangmengakomodasi kearifan lokal dalam Pasal 34 huruf (b)

12.

8 Menurut Pasal 26 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2006, ada

3 aspek yang dikembangkan adalahkemampuan kelembagaan, teknis dan

 pembiayaan. Kemampuan kelembagaan ini diindikasikan melalui status hukum

organisasi, kemampuan manajerial, keaktifan pengurus dan jumlah anggota yang

aktif.9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 9.10 Sebagai catatan menurut van Vollenhoven bahwa di wilayah Nusantara

(negeri Multikultural), terdapat 19 wilayah hukum (rechtsringen), yaitu wilayah

hukum adat (1) Aceh; (2) Gayo Alas Batak, dan Nias; (3) Minangkabau,Mentawai; (4) Sumatra Selatan, Enggano; (5) Melayu; (6) Bangka, Balitung; (7)

Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Toraja; (11) Sulawesi Utara; (12)

Kepulauan Ternate; (13) Maluku; (14) Irian Barat; (15) Kepulauan Timor; (16)

Bali, Lombok; (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura; (18) Solo, Yogyakarta;

(19) Jawa Barat, Jakarta, sebagaimana dikutip Ade Saptomo, Hukum dan

 Kearfian Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, (Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 13, 14.11 Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

 pokok Agraria (Lembaran Negara (LN) 1960 No.104; Tambahan Lembaran

 Negara (TLN) No. 2043, selanjutnya disebut UUPA) yang memberi kewenangan

negara untuk mengatur peruntukan, penyediaan dan penggunaan atas bumi, air

dan ruang angkasa (wewenang regulasi). 12

 Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 34 huruf (b) UU No. 7 Tahun 2004dinyatakan Kelembagaan perkumpulan petani pemakai air di atas dalam

 pengembangannya memperhatikan kekhasan kelembagaan seperti: Subak  di Bali,

Tuo Banda di Sumatera Barat, Dharma Tirta di Jawa Tengah, dan Mitra Cai di

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 6/12

 20 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

Perubahan paradigma hukum menunjukkan konsep hukum

responsif lebih menekankan pluralisme hukum sehingga hukum

sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan

aspirasi sosial.13

 

Namun politik tingkat mikro berupa Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2009 dan Keputusan Gubernur

Jawa Timur Nomor 77 Tahun 1995 bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang mengatur irigasi lebih tinggi (conflict of

norms)  termasuk dengan konstitusi berkaitan hak konstitusional

rakyat atas sumber daya air yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3)

dan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang tetap mengakomodasi

dengan cara memperhatikan dan mengakui kelembagaan lokal.

Pengakuan pemerintah daerah melalui Keputusan Gubernur Jawa

Timur Nomor 77 Tahun 1995 terhadap konsep pengakomodasian

kearifan lokal saat ini nampak dalam kepengurusan ulu-ulu  di

bawah sub ordinasi, tanpa mencermati aturan hukum danpelaksanaan riil dalam pengelolaan air irigasi jelas membuat

eksistensi kearifan lokal terabaikan.14

 

E.  REALITAS SOSIAL BEKERJANYA HUKUM KELEMBAGAAN

HIPPA

Pada tataran implementatif kelembagaan P3A di Jawa

Timur dinamakan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) yang

diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3

Tahun 200915

  tidak secara tegas mengakui keberadaan ulu-ulu.

HIPPA merupakan sebuah organisasi pengelola irigasi yang

Jawa Barat. Dengan demikian pada prinsipnya terjadi harmonisasi hukum secara

vertikal pengakuan kelembagaan di luar perkumpulan petani pemakai air (P3A). 13Phillips Nonet & Phillips Selznick  , Op. Cit., hlm. 88.14 Dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 77 Tahun 1995 tentang

Pembentukan dan Pembinaan HIPPA Provinsi Jawa Timur, sistem irigasi tersier

terdiri dari unsur: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, Pelaksana Teknis

(Ulu-ulu P3A) dan Ketua-Ketua Petak/blok kuarter. Pasal 3 Keputusan Gubernur

Jawa Timur Nomor 77 Tahun 1995 tentang Pembentukan dan Pembinaan HIPPA

Provinsi Jawa Timur HIPPA sebagai organisasi bersifat sosial bertujuan

meningkatkan kesejahteraan anggotanya dengan memperhatikan kepengurusan

air tradisonal yang telah ada.Dengan demikian nampak bahwa model pengakuan

 bersifat kooptasi hukum negara yang dengan begitu saja hukum rakyat dijadikan bagian hukum negara. 15Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur No. 3 Tahun 2009

menggantikan Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2003.

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 7/12

  21ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

dibentuk oleh pemerintah (top-down approach)  sebagai

penggganti organisasi pengelola irigasi tradisional oleh ulu-ulu.

Prinsip partisipasi dalam pembentukan kelembagaan

pengelola air irigasi tidak dilakukan karena dalam hasil penelitian

terhadap HIPPA di Kecamatan Lumajang dan kecamatan Sukodono,

karena dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 77 Tahun

1995 tentang Pembentukan dan Pembinaan HIPPA Provinsi Jawa

Timur, pada prinsipnya mengakui dengan melegalkan keberadaan

ulu-ulu dengan ditempatkan sebagai pelaksana teknis, oleh hukum

negara dianggap sebagai bentuk harmonisasi hukum.

Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 10 Tahun

1997 tentang Pembentukan dan Pembinaan HIPPA di Kabupaten

Lumajang dan Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 10

Tahun 1999 tentang Irigasi di Kabupaten Lumajang mengadopsi

Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 77 Tahun 1995 yang

pembentukan HIPPA harus diformalkan sebagai organisasi sosialbukan personal.

16 

Dengan demikian keberadaan ulu-ulu17 

  yang merupakan

manifestasi kelembagaan lokal yang sudah berjalan turun-temurun

diintervensi hukum negara dengan cara mengkooptasi dianggap

mengakomodasi hukum lokal terutama peraturan perundang-

undangan yang mengatur air irigasi di tingkat Provinsi Jawa Timur

dan Kabupaten Lumajang merupakan pengabaian pluralisme

hukum. Jelas pengakuan dan penghargaan terhadap pluralisme

16 Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 10 Tahun 1997 dan

Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 77 Tahun 1995 dinyatakan

 pembentukan HIPPA harus memenuhi syarat: 1) dibentuk oleh dan untuk petani

 pemakai air (pemilik, penggarap, penyakap kolam ikan atau tambak atau badan

usaha yang mendapat pelayanan irigasi, 2) memiliki Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), 3) berstatus badan hukum, dan 4)

ditetapkan dengan Keputusan Bupati.17 Pasal 3 Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 77 Tahun 1995

tentang Pembentukan dan Pembinaan HIPPA Provinsi Jawa Timur dinyatakan

 bahwa HIPPA sebagai organisasi bersifat sosial bertujuan meningkatkan

kesejahteraan anggotanya dengan memperhatikan kepengurusan air tradisonal

yang telah ada. Bentuk Pengakuan pemerintah daerah terhadap konsep

 pengakomodasian kearifan lokal saat ini nampak pada kepengurusan HIPPAuntuk sistem irigasi tersier terdiri dari unsur: Ketua, wakil Ketua, Sekretaris,

Bendahara, Pelaksana Teknis (Ulu-ulu P3A) dan Ketua-Ketua Petak/blok kuarter

(mengacu Inpres No. 2/1984). 

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 8/12

 22 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

hukum masih sebatas sebagai “weak legal   pluralism”, hukum

pengelolaan irigasi lokal tradisional inferior.18

 

Kelembagaan HIPPA tidak direspon petani mengakibatkan

HIPPA tidak dapat menjalankan tugasnya karena mendapatkan

resistensi dari masyarakat petani.Perkembangannya saat ini di

kecenderungan pilihan hukum bila terjadi konflik antara HIPPA

sebagai manifestasi hukum negara dan ulu-ulu dalam pengelolaan

air irigasi di masyarakat petani maka pengurus HIPPA mengunakan

cara penyelesaian sengketa dengan cara membiarkan saja (lumping

it ) ataupun penghindaran (avoidance) dianggap bentuk

perlindungan hukum masyarakat petani.

Intervensi hukum negara dalam mengatur kelembagaan

pengelolaan air irigasi melalui HIPPA justru membuat kurang

efektif ketika berhadapan dengan kearifan lokal. Hal itu karena

nilai-nilai lokal yang diperankan ulu-ulu jauh memberi nilai keadilan

sebagai pencerminan perlindungan hak hidup bagi petani dari padasaat munculnya kelembagaan HIPPA.

19 

F.  MODEL PENGAKUAN KEARIFAN LOKAL UNTUK MENDUKUNG

KELEMBAGAAN TRADISIONAL DI LUMAJANG

Secara faktual tersebut dapat diketahui berdasarkan data

awal di beberapa media massa tahun 2012 di Kabupaten Lumajang

bahwa pilihan tindakan masyarakat dalam hal terjadi konflik antara

petani lebih memandang yang bersangkutan sebagai ulu-ulu

sebagai makna simbol yang berorientasi pada nilai-nilai horisontal

berupa kekeluargaan, gotong royong, dan mampu memberikankeadilan atas peran yang dilakukan dalam pengelolaan air irigasi.

Hal ini bisa diketahui jumlah HIPPA yang berbadan hukum sesuai

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2009

18Model pengakomodasian hukum rakyat ke dalam hukum negara yang

demikian merupakan bentuk kooptasi berupa penerimaan unsur-unsur baru

dalam kepemimpinan suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari

terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan. Dalam

 posisi ini hukum negara berkedudukan lebih tinggi dari hukum rakyat sehingga

muncul resistensi dari masyarakat petani pemakai air. 19 Jati Nugroho (2005) “Pelaksanaan Pengelolaan Air Irigasi oleh HIPPA

Setelah Berlakunya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air diKecamatan Lumajang (Studi terhadap Interaksi Hukum Negara dan Kearifan

Lokal di Masyarakat Petani Kelurahan Ditotrunan dan Jogotrunan Lumajang)”, 

Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 9/12

  23ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

misalnya Kabupaten Kediri 338 HIPPA dari keseluruhan 6.651

HIPPA yang berarti ada keengganan masyarakat petani untuk tidak

memformalkan HIPPA.20

 

Sebagai perbandingan praktek prinsip partisipasi

pengelolaan air irigasi di luar Jawa Timur di desa Ciburuy, Jawa

Barat, sarana fisik jaringan di sana masih tergolong sangat

tradisional. “Cowal”   sebagai instrumen pembagian air, tetap

dipertahankan. Namun demikian sistem pengelolaan irigasnya

dapat diandalkan, berhubung dukungan faktor kemampuan para

pengurus P3A “Silih Asih”, struktur masyarakat yang paternalistik,

dan mutu gotong royong yang tinggi. Keberhasilan P3A dalam

mengerakkan partisipasi petani setempat, tidak terlepas dari peran

para  janggol , yaitu lembaga pengelolaan irigasi tradisional yang

digaji oleh petani dari iuran terkumpul. Lembaga formal bisa

bersimbiosis-mutualisme  dengan lembaga tradisional, sehingga

diterima petani dan cocok sebagai lembaga pengelola irigasi.21 Dikaitkan dengan tipologi Jawa Timur khususnya

Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember merupakan wilayah

kebudayaan yang memiliki keunggulan atau kelebihan kinerja

kulturalnya berbasis  pandalungan. Secara horisontal sebuah

kebersamaan dan secara vertikal memiliki rasa erat terkait dengan

ke-Tuhanan masing-masing (religius) yang telah dijadikan landasan

hidup berbangsa dan bernegara dalam dasar negara Pancasila.

Seperti dikatakan oleh Blumer,22

  manusia berinteraksi dengan

manusia lainnya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan

makna yang terdapat dalam simbol yang mereka ciptakan.Paradigma sentralistik kelembagaan pengelolaan sumber

daya air pada saat ini tidak sejalan dengan dinamika masa Orde

Reformasi, maka diubah sejalan dengan era otonomi daerah

menuju paradigma baru yang bersifat bottom up approach, maka

setiap perencanaan pembangunan harus multi dimensi

20 http://www.dpuairjatim.com, diakses tanggal 15 April 2013.21 Agustin dkk. (1992) “Sistem Irigasi Masyarakat Pedesaan: Studi Kasus

Desa Ciburuy Jawa Barat”, Prosiding Irigasidi Indonesia Dinamika Kelembagaan Petani. LP3ES, Jakarta, hlm. 151-174.22 George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2004) Teori Sosiologi Modern,

Terjemahan oleh Alimandan. Kencana, Jakarta, hlm. 176.

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 10/12

 24 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

menyangkut sosial, ekonomi, budaya, lingkungan hukum dan

kelembagaan.23

 

G.  KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan disimpulkan bahwa

dinamika hukum dalam pengaturan hukum pengelolaan sumber

daya air sebagaimana manisfestasi UU Nomor 7 Tahun 2004 di

Jawa Timur khususnya di Kabupaten Lumajang masih

menggunakan sentralisme hukum meskipun mengakui kearifan

lokal. Namun keberadaan kearifan lokal melalui ulu-ulu  masih

sebatas diakui saja tanpa memberikan ruang sehingga kedudukan

tetap termarginalkan oleh keberadaan HIPPA. Pengakuan masih

sebatas weak legal pluralism  yang tetap bermuara keberadaan

kearifan local tetap lemah ketika berhadapan dengan lembaga

formal yaitu HIPPA yang dibentuk melalui hukum negara.

Adapun saran atau rekomendasi adalah keberadaankearifan lokal oleh ulu-ulu  tetap menjadi perhatian dalam

pengelolaan air irigasi artinya adanya pilihan bagi masyarakat

petani untuk memilih ikut HIPPA atau kearifan lokal karena yang

terpenting efektivitas berfungsinya lembaga. 

-----

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku

George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 2003.

Lawrence M. Friedman.Legal System : A Sosial Science Perspective. 

New York: Russel Foundation, 1986.

Phillips Nonet & Phillips Selznick.Law and Societies in Trasition :

Toward Responsif Law.Harper Tosch Books, 1978.

Robequqin, C. Malaya, Indonesia, Borneo and The Philippines. A

Geographical, Economic and Political.New York: Logmans,

Green and Co., 1959.

Robert J Kodoatie. Paradigma Pengelolaan Sumber Daya Air

Menyongsong Era Otonomi Daerah.Yogyakarta: Andi, 2002.

23 Robert J. Kodoatie, R.J. (2002)  Paradigma Pengelolaan Sumber Daya

 Air Menyongsong Era Otonomi Daerah. Andi, Yogyakarta, hlm. 41.

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 11/12

  25ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

Suteki. Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat .

Malang: Surya Pena Gemilang Publishing, 2010.

Hasil Penelitian

Jati Nugroho, “Pelaksanaan  Pengelolaan Air Irigasi oleh HIPPA

Setelah Berlakunya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air di Kecamatan Lumajang (Studi terhadap Interaksi

Hukum Negara dan Kearifan Lokal di Masyarakat Petani

Kelurahan Ditotrunan dan Jogotrunan Lumajang)”,  Tesis 

Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas

Brawijaya,2005.

Sudjito. “Hukum Pengelolaan Irigasi: Suatu Percobaan Untuk

Melakukan Pengaturan Secara Holistik”. Ringkasan Disertasi  

Program Doktor Ilmu Hukum Undip. Semarang. 20 April

2005.

Jurnal dan Makalah

Dewa Agung. “Terbentuknya Organisasi Subak (Dalam Perspektif

Historis)”. Jurnal Subak , Vol. 8, No. 2 September 2004.

I Nyoman Nurjaya.“Rekonstruksi Politik Hukum Otonomi Daerah

yang Berbasis pada Kemandirian dan Demokratisasi di

Daerah”, Makalah  disampaikan pada Semiloka yang

diselenggarakan PP Otoda Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya pada tanggal 18-20 Februari 2001 di Agro Wisata

Hotel, Batu, Malang. Otonomi Daerah: Menuju Tata Hukum

Daerah yang Berbasis Kearifan Lokal, Pengelolaan SumberDaya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum.  Jakarta:

Prestasi Pustaka Publisher, 2008.

Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Pengairan.UU Nomor

11 Tahun 1974.

Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Sumber Daya Air.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Irigasi.  PPNomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi.

8/9/2019 Jurnal Hukum Argumentum, Vol. 14 No. 1, Desember 2014, (15-26), Jati Nugroho

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-hukum-argumentum-vol-14-no-1-desember-2014-15-26-jati-nugroho 12/12

 26 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 1, Desember 2014

Republik Indonesia. Peraturan Daerah Jatim tentang Irigasi .

Peraturan Daerah Jatim Nomor 6 Tahun 2003.

Republik Indonesia. Keputusan Gubernur Jatim tentang

Pembentukan dan Pemibinaan HIPPA Propinsi Jawa Timur .

Keputusan Gubernur Jatim No. 77 Tahun 1995.

Republik Indonesia. Peraturan Daerah Tk. II Lumajang tentang

Pembentukan dan Pembinaan HIPPA di Kabupaten Dati II

Lumajang. Peraturan Daerah Tk. II Lumajang No. 10 Tahun

1997.

Internet

Ayu Sutarto. “Budaya Pandalungan”, http://www.bpsnt-jogja.info/

bpsnt/download  / MASYARAKAT_PANDHALUNGAN.Pdf.

Diakses pada tanggal 24 Desember 2011.