jurnal etika kewanitaan dalam serat centhini

30
KONSEP WANITA UTAMA MENURUT SERAT CENTHINI Purwadi ABSTRACT Serat Centhini gives moral education for women. Generally, the women conception in Serat Centhini classified as three fields : spirituality, sociality and personality. In the spiritual field, Serat Centhini teach relation between women and God. Women ought to pray to her God as her religious doctrin. In sociality field, the classic book teach relation between women and social environment, so that reach live harmony. Last, in the personality field, women have to do ethical norms. There are children, family and brotherhood ethics. This study aims to describes about concept of good women in Serat Centhini that created by Sunan Paku Buwana V in Surakarta Kingdom. Keywords : Serat Centhini, women, personality A. Pendahuluan Serat Centhini merupakan karya yang diciptakan oleh Sinuwun Paku Buwana V. Beliau adalah raja Kraton Surakarta Hadiningrat yang memerintah antara tahun 1820-1823 (Darsiti Soeratman, 1989: 66). Dalam tradisi

Upload: kikit-tutian

Post on 05-Aug-2015

108 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

KONSEP WANITA UTAMA MENURUT SERAT CENTHINI

Purwadi

ABSTRACT

Serat Centhini gives moral education for women. Generally, the women conception in Serat Centhini classified as three fields : spirituality, sociality and personality. In the spiritual field, Serat Centhini teach relation between women and God. Women ought to pray to her God as her religious doctrin. In sociality field, the classic book teach relation between women and social environment, so that reach live harmony. Last, in the personality field, women have to do ethical norms. There are children, family and brotherhood ethics. This study aims to describes about concept of good women in Serat Centhini that created by Sunan Paku Buwana V in Surakarta Kingdom.

Keywords : Serat Centhini, women, personality

A. Pendahuluan

Serat Centhini merupakan karya yang diciptakan oleh Sinuwun Paku

Buwana V. Beliau adalah raja Kraton Surakarta Hadiningrat yang memerintah

antara tahun 1820-1823 (Darsiti Soeratman, 1989: 66). Dalam tradisi

kesusastraan, Serat Centhini juga mendapat julukan sebagai ensiklopedi

kebudayaan Jawa yang memberi deskripsi mengenai berbagai macam ilmu

pengetahuan.

Kajian ini akan membahas tentang seluk-beluk etika kewanitaan yang

tercantum dalam Serat Centhini. Masalah kewanitaan banyak yang tersirat dan

tersurat dalam karya para pujangga Jawa. Konsep wanita utama berkaitan dengan

Page 2: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

istilah ayu, hayu dan rahayu yang berarti bahwa seorang wanita yang cantik

mesti mempunyai keselarasan antara cipta, rasa dan karsanya. Sebuah ajaran luhur

yang diutamakan dalam kebudayaan Jawa.

Nilai luhur yang terkandung dalam berbagai kebudayaan daerah harus

diangkat dan disajikan di tengah-tengah masyarakat Indonesia agar dapat

dipelajari dan diketahui oleh seluruh warga negara. Kegiatan memupuk dan

membina budaya daerah merupakan program yang penting untuk memelihara ke-

bhineka-tunggal-ikaan dan merupakan kekayaan budaya. Serat Centhini yang

banyak mengandung nilai etika ini, sangat relevan untuk membangun kualitas

kepribadian bangsa.

B. Landasan Teori dan Metode Penelitian

Sastra Jawa merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang telah

mengakar jauh ke masa lalu, yang sampai saat ini sudah banyak mengalami

pertumbuhan dan penyempurnaan. Khasanah sastra Jawa banyak jumlahnya dan

sangat beraneka ragam isinya. Beberapa di antaranya terkandung ajaran moral

yang cukup tinggi nilainya yang dapat dijadikan pegangan hidup dan pedoman

bagi masyarakat pada masanya dan masih dapat berguna untuk menunjang usaha-

usaha pembinaan jiwa dan pengembangan kepribadian dalam kehidupan

masyarakat di masa sekarang dan masa yang akan datang. Sastra Jawa merupakan

salah satu sumber sarana pembangunan mental bangsa dapat berperan apabila

dibaca, ditelaah, dan dikaji.

Page 3: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

Pembahasan terhadap Serat Centhini ini penting karena bahwa dewasa ini

telah terjadi berbagai pergeseran dalam memahami budaya Jawa. Pergeseran itu

adalah pertama, pergeseran dalam memberikan arti dan makna terhadap simbol-

simbol budaya Jawa dan kedua, pergeseran dalam menerapkan laku budaya Jawa.

Pergeseran ini kadangkala menimbulkan persepsi dan interpretasi yang tidak sama

bahkan bertentangan dengan maksud dan pengertian sesungguhnya.

Karya sastra Jawa sejak kemunculannya hingga sekarang terdapat nilai-

nilai luhur yang disebut nilai religius yakni nilai-nilai yang berkaitan dengan

keagamaan atau kepercayaan. Nilai religius yang terkandung dalam Serat

Centhini mencerminkan konsep-konsep yang bersifat akulturatif. Berkaitan

dengan analisis religius, terdapat beberapa butir darma bakti dalam etika wanita

utama sebagai dasar kepribadian. Untuk membahas Serat Centhini yang berkaitan

dengan nilai keutamaan wanita, ditinjau dari perspektif moral atau kesusilaan.

Moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan

kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan manusia sebagai manusia.

Kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia (Marbangun Mangkurejo, 1977: 25).

Pada umumnya manusia mempunyai pengetahuan adanya baik dan buruk.

Pengakuan manusia mengenai baik dan buruk itu disebut kesadaran moral atau

moralitas (Poedjawijatna, 1983: 130). Kriteria perbuatan susila adalah kehendak

yang baik, keputusan akal yang baik dan penyesuaian dengan hakikat manusia

(Fudyartanta, 1974: 18). Poerwadarminta mengatakan bahwa moral mempunyai

arti ajaran tentang baik buruk perbuatan, kelakuan, akhlak, dan kewajiban. Di

samping itu, moral juga berarti kesusilaan yang terbentuk dari kata sila berasal

Page 4: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti berbagai ragam. Sedang menurut

Sunoto bahwa moral, dari kata mores yang berarti adat istiadat, ialah sesuatu yang

ada di luar diri manusia dan memberi pengaruh ke dalam.

Pengertian moral di sini masih berkaitan dengan adat istiadat masyarakat

tradisional. Teori ini menjelaskan tentang penafsiran terhadap karya sastra yang

dilakukan oleh penafsir dengan menyadari bahwa dirinya sendiri di tengah-tengah

sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran, cara dia mengerti

sebuah teks yang turut dihasilkan tradisi. Selain itu, dia ditentukan oleh

individualitas dan masyarakatnya. Penafsiran terjadi sambil meleburkan

cakrawala masa silam dan masa kini, selain yang tejadi adalah si juru tafsir

memahami teksnya dan menerapkan teks yang kaku dan lepas dari keterkaitan

waktu pada situasinya sendiri (Shah, 1986: 62-63). Untuk mendukung teori

hermeneutik ini, ini digunakan pula teori semantik yang menelaah tentang makna.

Semantik juga menelaah lambing-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan

makna, hubungan makna yang satu dengan makna yang lainnya serta pengarunya

terhadap manusia dan masyarakatnya.

Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang artinya

menafsirkan. Kata hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran

atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh Mitologis bernama

Hermes, seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada

manusia. Tugas mahapenting Hermes ini bisa berakibat fatal bagi umat manusia

jika ia keliru menafsirkan pesan dari para dewa. Sejak saat itu, Hermes menjadi

simbol seorang utusan yang dibebani misi penerjemahan dan penafsiran.

Page 5: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

Hermeneutik merupakan pendekatan yang sudah lazim digunakan dalam

metodologi ilmu sosial untuk mengkaji teks. Teks di sini adalah dalam arti karya

sastra.

C. Kandungan Spiritual

Secara etimologis, iman mempunyai pengertian kepercayaan dan

keyakinan terhadap Tuhan, sedangkan tauhid berarti keesaan. Dengan demikian,

keimantauhidan dapat diartikan kepercayaan terhadap kemahatunggalan Tuhan

(Badudu, 1996: 52). Unsur paling utama dalam setiap religiositas, termasuk

religiositas Jawa adalah kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Orang Jawa, Tuhan

itu tan kena kinaya ngapa atau tak dapat dibayangkan keadaannya.

Orang Jawa dapat meyakini bahwa adanya Tuhan karena bagi orang Jawa

keyakinan itu tidak semata-mata diperoleh hanya melalui rasio atau penalaran

tetapi juga melalui rasa. Cipta, rasa dan karsa merupakan tiga anugerah Tuhan

yang berfungsi untuk memahami seluruh kebenaran yang ada, baik tentang alam

semesta ciptaan Tuhan maupun Sang Maha Pencipta itu sendiri (Simuh, 1995: 7).

Kepercayaan orang Jawa tampak pada penyebutan Tuhan dengan berbagai

sebutan sesuai dengan sifat yang ada pada-Nya. Dalam Serat Wulang wanita ini

Tuhan disebut dengan Hyang Kang Murbeng Titah 'Tuhan sebagai Pencipta

segala makhluk, Hyang Widhi, Hyang Suksma, Allah dalam kata takdirollah,

Gusti Kang Maha Mulya, dan Jawata. Manusia harus beriman/tauhid kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Maksudnya manusia harus percaya penuh bahwa Tuhan

Page 6: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

itu nyata Maha Ada. Manusia juga harus percaya penuh dengan kebulatan tekad,

bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh Maha Esa.

Kepercayaan manusia terhadap Tuhan harus meresap dan meliputi

pikirannya, perasaannya, perkataannya dan perbuatannya (Damardjati Supajar,

1985: 5). Orang Jawa menyebut Tuhan dengan berbagai sebutan sesuai dengan

sifat yang ada pada-Nya. Dalam Serat Centhini, Tuhan disebut dengan Hyang

Kang Murbeng Titah 'Tuhan sebagai Pencipta segala makhluk', Hyang Widhi,

Hyang Suksma, Allah dalam kata takdirollah, Gusti Kang Maha Mulya, dan

Jawata. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewariskan beraneka ragam seni

budaya adi luhung yang dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang

beraneka macam ragamnya. Penggalian budaya-budaya yang tersebar di daerah-

daerah akan menghasilkan ciri-ciri khas budaya daerah, meliputi pandangan hidup

dan landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Kandungan nilai spiritual

yang berkaitan dengan ajaran agama Islam tersebut dalam tembang kinanti Serat

Centhini:

Yen sira winengku kakung, ywa tilar lanjaran nguni, tetuladan kuna-kuna, kadising Rasullulahi, kang amrih utamaning dyah, antuka sawarga adi.

Kang kekal salaminipun, langgeng boya owah gingsir, budinen nganti sampurna, Anyingkirana saliring, kang wus ingaranan cacad, tanduk tindaking pawestri.

Terjemahan:

Jika kamu telah bersuami, janganlah kamu tinggalkan alur ajaran-ajaran lama. Teladan yang terdapat dalam Hadis Rasulullah hanya demi keutamaan wanita, agar dapatlah mencapai surga yang abadi,

Page 7: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

Tak berbeda selama-lamanya, abadi tanpa berganti-ganti. Usahakanlah itu hingga tercapai. Jauhkanlah dirimu dari segalanya yang dipandang tercela bagi tingkah laku kaum wanita.

Ajaran tersebut menghendaki agar para wanita senantiasa menjunjung

tinggi teladan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh agama melalui hadis Nabi

Muhammad. Khasanah sastra Jawa yang akan diangkat dalam pembahasan ini

adalah sastra piwulang yaitu Serat Centhini yang ditinjau dari aspek moralnya.

Naskah wulang mempunyai ciri khas berisi suatu jenis pelajaran yang umumnya

di bidang moral. Piwulang-piwulang itu diangkat dari naskah yang lebih besar dan

disajikan secara terpisah berdasarkan kegunaan didaktisnya. Naskah wulang pada

umumnya ditulis dalam irama puisi dan dinyanyikan dalam pertemuan-pertemuan

yang akrab. Ajaran ini ditujukan kepada para muda, wanita, pejabat, prajurit, dan

juga orang biasa. Kegunaannya adalah untuk mengungkapkan cita-cita orang Jawa

tentang konsep pria, wanita, raja atau pejabat idaman.

Serat Centhini berisi ajaran yang ditujukan kepada wanita bahwa seorang

wanita hendaknya mengetahui hakikat hidup. wanita hendaknya bertingkah laku

menyenangkan, mengerti dan memahami sikap hidup yang baik seperti sopan,

sabar, halus perangainya dan tidak putus berdoa dalam mengharap rahmat Tuhan

agar menjadi wanita yang berbudi luhur. Dunia kewanitaan ini telah mendapat

perhatian istimewa dari pujangga dan budayawan Jawa, terutama pada masa

kejayaan kraton terdahulu. Nilai-nilai etik religius yang menghendaki wanita

selalu tampil bekti ‘berbakti’, gemati ‘perhatian’, alus ‘halus’, dan luwes ‘ramah’

memang dipandang sangat penting.

Page 8: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

Ajaran dalam Serat Centhini menunjukkan ciri khusus wanita yang

berjiwa religius dalam masyarakat Jawa saat itu. Ciri khusus itu alangkah baiknya

bila diangkat sebagai identitas wanita Indonesia dengan catatan diambil unsur

yang selaras dengan situasi aktual. Hal ini seiring dengan adanya perubahan dan

perkembangan peranan dan kedudukan wanita dalam perjalanan sejarah hingga

saat ini. Mula-mula wanita hanya dipuja sebagai dewi ibu, melahirkan anak,

kemudian wanita hanya dianggap sebagai kanca wingking. Wanita hanya sebagai

objek bukan sebagai subjek. Selanjutnya muncul emansipasi sehingga kedudukan

wanita setaraf dengan pria. Hal ini memungkinkan adanya pergeseran nilai-nilai

kewanitaan dalam menyikapi perjuangan emansipasi wanita.

D. Partisipasi Sosial

Dalam masyarakat Jawa diutamakan sebuah tertib sosial yang berdasarkan

pada nilai kesusilaan. Kesusasteraan Jawa, khususnya Serat Centhini memuat

nilai-nilai yang sifatnya memberikan arahan, bimbingan, dan pengajaran terhadap

pembentukan sikap wanita yang luhur. Nilai-nilai etis dalam Serat Centhini

dikupas dan diambil nilai-nilainya yang positif, dengan harapan dapat dijadikan

landasan dan pegangan hidup bagi generasi saat ini dan yang akan datang,

terutama sebagai pertimbangan dan pembinaan sikap wanita yang luhur.

Berbijak pada pengertian tersebut di atas, wanita pertama-tama harus

dilihat sebagai pribadi mandiri dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan

sumber daya manusia yang mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang

sama dengan pria dalam pengembangan potensi dan pencerdasan diri (Dadang S.

Anshori, dkk., 1997: 144). Pembahasan ini bertujuan untuk: melakukan

Page 9: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

inventarisasi terhadap konsep-konsep kemasyarakatan bagi wanita yang

terkandung dalam Serat Centhini, sehingga moralitas wanita dalam Serat Centhini

tersebut memiliki kejelasan yang memungkinkan untuk dikembangkan.

Mendapatkan suatu pemahaman tentang moralitas wanita dalam Serat Centhini

yang nantinya dapat disumbangkan untuk kepentingan bangsa.

Secara moral wanita sebagaimana juga laki-laki tentunya mempunyai

tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan hidup dalam keluarga

maupun masyarakat. Persamaan ini bukanlah diartikan identik, yang artinya sama

persis. Persamaan mempunyai arti kesederajatan dan kesebandingan. Kata

persamaan telah mencakup pengertian keadilan dan tidak adanya diskriminasi,

apalagi bila dikaitkan dengan kata persamaan hak (Zaitunnah, 1999: 157).

Usaha melahirkan generasi yang unggul, perlu dimulai sejak kecil dengan

mendidik generasi muda dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan

masyarakatnya. Nilai merupakan pembentukan mental yang dipengaruhi oleh

pendidikan, pengetahuan, pengalaman warisan, dan suasana, interaksi sosial dan

sebagainya. Nilai-nilai luhur itu salah satunya dapat digali dari warisan budaya

yang berupa hasil karya sastra dari pujangga-pujangga. Pujangga kraton dihormati

karena dipercayai oleh raja-raja untuk menerima dan menyimpan rahasia kraton

(Darsiti Soeratman, 1989: 112). Secara tradisional, kraton sangat akrab dengan

penguasaan serat-serat. Penggubahan terhadap serat-serat wulang oleh para

pujangga mengungkapkan bahwa raja ingin memasyarakatkan kembali ajaran

tradisional Jawa yang sakral, suci, dan mulia (Sadewa, 1996: 49). Berkaitan

dengan nilai kemasyarakatan, Serat Centhini dalam tembang kinanthi

menguraikan sebagai berikut:

Page 10: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

Tan kurang tuladan luhung, anggon-anggoning pawestri. Janji temen linampahan, ingkang wus kasebut tulis, tanggung kang padha iyasa, yen nganti tumekeng nisthip.

Nanging kudu wruh panuju, watek kabeneran Nini, ywa nganggo bener kewala. Iku angeling dumadi, empan papan duga-duga, tangi turu away lali.”

Terjemahan: Beragam suri teladan yang utama, yang pantas menjadi pedoman para

wanita. Asal benar-benar dipatuhi, segala yang tertulis dalam ajaran para penciptanya, tidaklah mungkin akan menemui cela.

Akan tetapi harus pula mengerti apa yang menjadi tujuanmu, ialah menyenangkan hati sesamamu. Pantaslah berpegang pada kebenaran, tetapi jangan ingin benar sendiri. Memang sulit hidup ini. Harus tahu keadaan masyarakat, dan senantiasa harus ingat akan waktu, saat, dan tempatnya. Bangun tidur, itulah yang harus diperhatikan.”

Wanita memang dianjurkan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan tertib

sosial sehingga perjalanan masyarakat tanpa gangguan dan hambatan. Para

pujangga Jawa menyelipkan ajaran kemasyarakatan ini dalam karya-karyanya.

Wanita Jawa pada umumnya masih mempunyai sifat-sifat sebagaimana

dilukiskan stereotip mengenai kelompoknya yaitu menerima, pasrah, halus, sabar,

setia, bakti, dan sifat-sifat lain seperti cerdas, kritis dan berani menyatakan

pendiriannya (Sapartinah, 1982: 155). Kepribadian itu dibentuk dalam lingkungan

keluarga yang telah dipengaruhi oleh sistem nilai budaya.

Sikap wanita Jawa di atas berarti mengajak hidup mundur beberapa puluh

bahkan ratusan tahun yang lalu dan bahwa nilai-nilai tradisional yang dapat

ditemukan harus dapat dilaksanakan tanpa mengingat situasi dan kondisi. Sikap-

sikap tersebut di atas apabila dikupas akan ditemukan nilai-nilai yang berharga

dalam kehidupan. Sebagai contoh sikap pasrah, sikap ini tidaklah diartikan

Page 11: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

perasaan malas atau enggan berusaha, tetapi sikap ini harus ditandai dengan

pemikiran dan perencanaan yang masak, keuletan dan ketabahan berusaha,

aktivitas kerja yang tinggi dengan segala perhitungan yang teliti dan rasional

(Soetrisno, 1977: 49). Demikian juga ungkapan-ungkapan yang lain, selain

diambil sisi negatif juga harus diteliti sejauhmana segi positifnya berguna bagi

kehidupan bangsa.

E. Membina Kepribadian Wanita

Kepribadian wanita menjadi topik yang sangat penting di dalam karya

sastra Jawa dengan tujuan untuk membina budi pekerti dan tata susila. Kegiatan

sastra di Kraton Surakarta pada hakikatnya merupakan reaksi terhadap perubahan

masyarakat yang disebabkan oleh masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi

baru. Pujangga Jawa berperan untuk mengaktualisasikan tradisi di dalam

perubahan zaman (Sadewa, 1996: 50). Bagi masyarakat Jawa pergaulan yang baik

harus tetap bersandarkan atas sikap yang pada hakikatnya berlandaskan nilai-nilai

religius dan moral. Istilah seperti sing ngerti suba sita lan duga watara

menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai tersebut diperhatikan baik dalam

keluarga maupun dalam masyarakat (Sunoto, 1989. 19).

Masyarakat memberikan penghargaan yang tinggi terhadap keberadaan

anak karena sebagaimana dikatakan bahwa anak merupakan kunci kebahagiaan

orang tua. Anak mempunyai kedudukan penting di dalam hati orang tua karena

merupakan tali pengikat yang kokoh terhadap ayah ibunya. Hal ini sebagaimana

terdapat dalam ungkapan Jawa anak iku dadi ganthelaning ati 'anak itu selalu ada

Page 12: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

dalam hati orang tuanya'. Oleh karena itulah merupakan kewajiban bagi seorang

anak perempuan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Kepribadian seorang

wanita dijelaskan dalam Serat Centhini:

Ingkang dhingin darah bangsaning ngawirya, ing tegese trahing para luhur Jawa, ingkang misih, kadrajatan uripira.

Kang kapindho darahe agama mulya, tegesira terahe para ngulama, ingkang alim, ahli kitab trusing rahsa.

Kaping telu darahing wong maratapa, ing tegese trahing kang para pandhita, ingkang ulah pepujabrata lekasana.

Ping pat darah sujana ing tegesira, trah linangkung ulah pangawikan budya, kalantipan, lan marang kawicaksanan.

Kaping lima yeku darahing aguna, ing tegese pinter samubarang karya, ingkang ulah kalimpadan kabangkitan.

Kaping nenem darahe para prawira, tegesira trahing prajurit kang ulah kawentaran, kasub ing kasudiranira.

Kaping sapta darahing janma supatya, teges ingkang trah para tani, ingkang wekel mantep sarta tyase tuhu setya.

Terjemahan:

Garis keturunan bangsawan ngawirya, maksudnya: keturunan bangsawan atau pemuka yang masih terpandang keluarganya;

Garis keturunan ulama mulya, ialah anak cucu kaum ulama atau ahli kitab yang menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran kenabian;

Garis keturunan wong mratapa, ialah keturunan mereka yang mempunyai darah pertapa. Suka berlaku semedi pujabrata;

Garis keturunan kaum sujana, ialah anak-anak orang pandai, terkenal di kalangan para cendekiawan. Cerdas, dan masih terus meningkatkan ilmu pengetahuannya serta kebijaksanaan.

Garis keturunan kaum aguna, ialah yang pandai dalam segala bidang, baik yang bersifat lahir batin.

Garis keturunan para prawira, maksudnya ialah mereka yang datang dari keluarga yang berkiprah dalam bidang keprajuritan; yang mengutamakan ulah kawanteran, berani membela kebenaran dan keadilan.

Garis keturunan janma supatya, ialah mereka yang berwatak dan bersikap tegas, yakin dalam segala perbuatan, setia dalam kata dan tindak-tanduknya.

Page 13: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

Ilmu pengetahuan bisa membuat manusia mempunyai martabat sebagai

makhluk yang terpintar, bila Manusia menjadi bodoh maka martabatnya akan

jatuh. Manusia mengemban suatu fungsi sebagai khalifatullah. Fungsi ini tidak

akan dapat dilaksanakan tanpa ilmu yang banyak. Yang menyebabkan orang dapat

mendengar, berbicara dan berfikir itu ialah ilmu yang banyak. Semakin banyak

ilmu seseorang, maka akan semakin nyaringlah pendengarannya, semakin banyak

yang dapat dibicarakan dan dipikirkan (Syahminan Zaini, 1982 - 57).

Ilmu pengetahuan juga dapat menambah produktivitas kerja. Kerja ini pula

merupakan kebutuhan bagi seorang wanita, maksudnya bahwa orang hidup di

dalam masyarakat harus mempunyai harta benda yang cukup guna

menyelenggarkan hidupnya sehari-hari. Seseorang dalam hidupnya jangan sampai

terpaksa meminjam harta kepada tetangga dan sanak saudara karena hal itu akan

mengurangi harga dirinya (Damardjati Supadjar, 1985: 20). Masyarakat Jawa

Baru juga selalu mempertimbangkan kriteria bagi seorang wanita yang baik yakni

bobot yaitu pertimbangan dikaitkan dengan keturunan garis ayah, bebet yaitu

melihat kemampuan dan kekayaan ayah calon istri, bibit yaitu berkaitan dengan

kecantikan seorang gadis dilihat dari segi lahiriah maupun rohaniah.

Bahasa dan budaya Indonesia menjunjung tinggi kehormatan wanita

sebagai suatu kualitas kepribadian. Kaum wanita memikul amanat sosial pada

masyarakatnya (Damardjati Supadjar, 1993: 179). Masyarakat Jawa pada

umumnya masih menilai tinggi bahwa wanita sesudah menikah sebaiknya tinggal

di rumah, mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak. Hal ini sudah merupakan

kodrat bagi wanita yakni menikah, melahirkan, dan merawat anak-anak

Page 14: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

(Gandarsih Mulyowati, t.t.: 5). Tidak mengherankan apabila peranan wanita lebih

terikat pada lingkungan keluarga dan rumah tangga, sehingga terlihat istilah yang

dipakai oleh para suami kanca wingking ‘teman belakang’ (Sartono Kartodirdjo,

1993: 92). Uraian di atas apabila diterapkan dalam masyarakat masa kini yang

sudah diliputi mitos globalisasi, industri, komunikasi, dan juga kecantikan

dapatlah dipastikan akan mendapat kesulitan. Namun justru itulah semua

hambatan mesti diselesaikan dengan cara yang bernalar dan terbuka.

Pengaruh tersebut mengakibatkan adanya pergeseran nilai dan cara

berfikir bagi kaum wanita. Karena nilai dan cara berfikir model lama masih juga

belum ditinggalkan, maka akibatnya dari masyarakat terdapat sikap mendua.

wanita harus tetap lemah lembut di satu pihak, dan di pihak lain wanita harus

berperan aktif bagi kehidupan masyarakat dan keluarganya (Soedarsono, dkk.,

1985: 4). Adanya perkembangan peran wanita tersebut, maka diperlukan adanya

usaha untuk menemukan dan merumuskan kembali etika bagi wanita. Usaha itu

antara lain dengan memunculkan kembali nilai-nilai lama yang tersimpan dalam

naskah-naskah karya pujangga-pujangga.

Serat Centhini berisi tentang ajaran yang ditujukan kepada para putra-

putri dengan harapan dapat mencapai manusia sempurna (insan kamil) yakni

dengan senantiasa menjaga dan mengusahakan adanya keseimbangan dan

keselarasan lahir batin. Wanita hendaknya mengetahui dan memahami hakikat

hidupnya. Seorang wanita diharapkan pula pandai bersyukur kepada Tuhan,

ikhlas, sabar, menjaga segala tindak tanduknya. Tingkah laku yang diutamakan

seperti sopan santun, mempunyai duga watara ‘sebelum bertindak hendaknya

Page 15: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

dipikirkan masak-masak’, satiti ‘teliti, hati-hati, teratur’, mempunyai pendirian

yang teguh jangan sampai seperti ungkapan anut ombaking jaladri ‘hanya

mengikuti arus laut’ serta mempunyai tepa slira ‘tenggang rasa’.

Seorang wanita raja hendaknya mengetahui empat macam ajaran yaitu

hendaknya senantiasa bertawakal dan sabar apabila mendapat cobaan, tabah,

mengetahui laku jiwa yang suci dan halus, dan mengetahui laku rahsa yakni

mengetahui kodrat Tuhan dan takdir hidup yang penuh suka dan duka (Hemas,

1992: 110). wanita di dalam Serat Centhini tidak ditempatkan dalam kerangka

yang sempit, yakni wanita dianggap sebagai kanca wingking belaka. Akan tetapi,

wanita dijabarkan dalam kerangka keuniversalannya sebagai manusia. Ilmu

pengetahuan, kemuliaan, kekayaan juga menjadi hak dan kewajiban wanita,

disamping kemuliaan khusus, yakni melahirkan anak.

Hal tersebut dimaksudkan agar manusia dapat mengembangkan bakat etis

yang tertanam dalam kodratnya sampai menjadi manusia yang sempurna (Magnis

Suseno, 1997: 40). Empat perkara di atas pada kenyataannya tidak semua orang

mampu mencapainya karena tidak mampu menanggulangi apa yang dinamakan

panca wisaya yakni rogarda artinya jiwa yang kacau, sararda artinya

kesengsaraan hidup, wirangarda yaitu sakitnya hati, cuwarda artinya kekecewaan

hati dan durgarda artinya rintangan yang menghadang hati (Hadiyah Salim, 1995:

113). Bila kelima hal itu terjadi pada seorang wanita maka hendaklah bersikap

legawa ‘rela’, betah ngangkah lembah manah ‘teguh dan sabar’, titi – tata – teteg

– ngati-ati ‘teliti – teratur – teguh – hati-hati’, eneng – ening – awas – eling

Page 16: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

‘tenang – diam – waspada – ingat’ angandel kandel-kumandel netel santosa

‘menebalkan hati demi kesantosaan’ (Haidar Nashir, 1999: 12).

Karya-karya pujangga itu mengungkapkan pelbagai ukuran atau model

perilaku yang ideal, terutama dalam kaitannay dengan kewanitaan (Sartono

Kartodirdjo, dkk., 1993: 204). Kepada para wanita diajarkan wulang wanita atau

wulang reh karya raja-raja yang lebih dulu. Inti ajaran itu menunjukkan bahwa

kedudukan istri sangat rendah, karena wanita harus ingat akan tiga hal yakni

berbakti, berhati-hati dalam menghadapi suami dan takut kepada suami. Seorang

istri harus menganggap suami sebagai tuannya walaupun istri itu wanita raja dan

suaminya seorang punakawan (Darsiti Soeratman, 1989: 118). Wanita juga

dihargai dari segi reproduksinya. Hal ini dilatarbelakangi penghargaan terhadap

anak yang merupakan kunci kebahagiaan orang tuanya. Sejalan dengan nilai

reproduksi itu dari pihak wanita dituntut untuk setia kepada suami.

F. Penutup

Wanita utama ditandai dengan senantiasa berbakti kepada Tuhan, orang

tua, keluarga dan masyarakat. Tingkah lakunya senantiasa mengikuti norma susila

sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kepribadian. Serat Centhini

menghendaki agar wanita menghindari berbagai macam sifat yang kurang terpuji,

misalnya dengki dan suka membenci, kemeren lawan dahwen artinya iri hati dan

suka mencampuri urusan orang lain, kumingsun artinya sombong, ewan cekak

artinya mudah tidak senang dan berpikiran sempit dan rupak artinya picik.

Page 17: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

Sebagai sarana untuk mencapai ketaatan kepada Tuhan manusia

hendaknya memahami dan mengamalkan apa yang disebut dengan tapa brata,

puja mantra yang terdiri dari lima hal yakni mengurangi makan dan tidur,

mengurangi nafsu syahwat, mengurani perkatan yang tidak berguna dan pandai

menyembunyikan dan menghilangkan duka. Konsep wanita utama itu senantiasa

mengasah ketajaman rohani dengan ingat kepada Tuhan. Bahwa sikap budi luhur

dalam Serat Centhini tercermin dalam tindakan yang dilandasi oleh suatu

ketenangan, keteguhan, kewaspadaan dan kehati-hatian dalam mempergunakan

akal dan budinya.

Dalam kehidupannya, wanita mengalami banyak cobaan dalam menjalani

keseharian sehingga setiap individu membutuhkan satu kekuatan dan kestabilan

yaitu sikap sabar, ikhlas, rela berkorban dan berjuang dengan mengkonsentrasikan

pada batin untuk lebih menyempurnakan derajat kemanusiaannya. Konsep

kewanitaan Jawa merupakan kerangka hubungan segitiga antara harapan,

keteladanan, dan kenyataan yang akan muncul. Wanita Jawa diharapkan

mempunyai keutamaan-keutamaan sebagai sosok pelahir generasi bangsa yang

tangguh baik lahir maupun batin yaitu bersikap eudamonistis dengan sikap utama

sabar, ikhlas, rela berkorban, berjuang untuk kesempurnaan batin dan derajat

kewanitaan.

Keluarga menjadi bahagia apabila wanita merealisasikan diri secara

sempurna dengan mengaktifkan kekuatan hakikatnya. Kekuatan-kekuatan itu

adalah kemampuan jiwa yang berakal budi murni yang mengangkat diri ke

kontemplasi hal-hal abadi dan akal budi praktis yang terlaksana dalam kehidupan

aktif di tengah masyarakat. Serat Centhini telah menunjukkan perilaku wanita

Page 18: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

yang berkaitan dengan nilai etis filosofis, kesetiaan, kesabaran, ketabahan dan

kegigihan dalam mengarungi samudra kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Badudu-Zein, 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Dadang S. Anshori, Engkos Kosasih, Farida Sarimaya. 1997. Membicangkan Kecantikan. Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita. Pustaka Hidayah, Bandung.

Damardjati Supadjar, 1985. Etika dan Tata Krama Jawa Masa Lalu dan Masa Kini. Depdikbud, Yogyakarta.

________________, 1993. Nawangsari. Media Widya Mandala, Jakarta.Darsiti Soeratman, 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939.

Tamansiswa, Yogyakarta._______________, 1991. Wanita Indonesia Lampau, Kini, dan Mendatang. PPS

UGM, Yogyakarta.Fudyartanta, 1974. Etika Intisari Filsafat Kesusilaan dan Moral. Warawidyani,

Yogyakarta.Frans Magnis Suseno, 1997. 13 Model Pendekatan Etika Bunga Rampai Teks-teks

Etika dari Plato sampai dengan Nietzche. Kanisius, Yogyakarta.Gandarsih Mulyawati Retno Santosa, t.t. Wanita Jawa dan Kemajuan Jaman.

Javanologi, Yogyakarta.Hadiyah Salim, 1995. Wanita Islam Kepribadian dan Perjuangannya. Remadja

Karya, Bandung.Haidar Nashir, 1999. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Pustaka Pelajara,

Yogyakarta.Hemas, 1992. Wanita Indonesia Suatu Konsepsi dan Obsesi. Liberty, Yogyakarta.Marbangun Mangkurejo, 1977. Manusia Jawa. Inti Idayu Press, Jakarta.Poedjawijatna, 1983. Etika Filsafat Tingkah Laku. Obor Indonesia, Jakarta.Sadewa, 1996. Wanita Jawa Antara Tradisi dan Transformasi. Dalam Citra

Wanita dan Kekuasaan Jawa. Kanisius, Yogyakarta.Sapartinah Sadli, 1985. Kepribadian Wanita Jawa dalam Kepribadian dan

Perubahannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.Sartono Kartodirjo, 1985. Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa. Laporan

Penelitian Fakultas Sastra Universias Gadjah Mada, Yogyakarta._______________, 1988. Modern Indonesia, Tradition and Transformation A

Socio Historical Perspective. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Shah, 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Obor, Jakarta.

Page 19: Jurnal Etika Kewanitaan Dalam Serat Centhini

Simuh, 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Bentang Budaya, Yogyakarta.

Soedarsono, Djoko Sukiman, Retno Astuti. 1985. Wanita, Kekuasaan dan Kejahatan Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa. Proyek Javanologi, Yogyakarta.

Soetrisno, 1977. Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa. Lembaga Pengembangan Masyarakat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sunoto, 1983. Menuju Filsafat Indonesia Negara-Negara di Jawa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Hanindita, Yogyakarta.

______, 1989. Nilai-nilai Luhur yang Terkandung dalam Ajaran yang Terdapat dalam Keluaga dan Masyarakat Jawa dan Manfaatnya bagi Pembangunan Nasional. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Syahminan Zaini, 1982. Arti Anak Bagi Seorang Muslim. Al-lkhlas, Surabaya.

Zaitunnah Subhan, 1999. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran. LKIS, Yogyakarta.

BIOGRAFI SINGKAT

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16

September 1971. Kini bertugas sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa,

Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap

Raya 36 Minomartani Yogyakarta.