jurnal etika kewanitaan dalam serat centhini
TRANSCRIPT
KONSEP WANITA UTAMA MENURUT SERAT CENTHINI
Purwadi
ABSTRACT
Serat Centhini gives moral education for women. Generally, the women conception in Serat Centhini classified as three fields : spirituality, sociality and personality. In the spiritual field, Serat Centhini teach relation between women and God. Women ought to pray to her God as her religious doctrin. In sociality field, the classic book teach relation between women and social environment, so that reach live harmony. Last, in the personality field, women have to do ethical norms. There are children, family and brotherhood ethics. This study aims to describes about concept of good women in Serat Centhini that created by Sunan Paku Buwana V in Surakarta Kingdom.
Keywords : Serat Centhini, women, personality
A. Pendahuluan
Serat Centhini merupakan karya yang diciptakan oleh Sinuwun Paku
Buwana V. Beliau adalah raja Kraton Surakarta Hadiningrat yang memerintah
antara tahun 1820-1823 (Darsiti Soeratman, 1989: 66). Dalam tradisi
kesusastraan, Serat Centhini juga mendapat julukan sebagai ensiklopedi
kebudayaan Jawa yang memberi deskripsi mengenai berbagai macam ilmu
pengetahuan.
Kajian ini akan membahas tentang seluk-beluk etika kewanitaan yang
tercantum dalam Serat Centhini. Masalah kewanitaan banyak yang tersirat dan
tersurat dalam karya para pujangga Jawa. Konsep wanita utama berkaitan dengan
istilah ayu, hayu dan rahayu yang berarti bahwa seorang wanita yang cantik
mesti mempunyai keselarasan antara cipta, rasa dan karsanya. Sebuah ajaran luhur
yang diutamakan dalam kebudayaan Jawa.
Nilai luhur yang terkandung dalam berbagai kebudayaan daerah harus
diangkat dan disajikan di tengah-tengah masyarakat Indonesia agar dapat
dipelajari dan diketahui oleh seluruh warga negara. Kegiatan memupuk dan
membina budaya daerah merupakan program yang penting untuk memelihara ke-
bhineka-tunggal-ikaan dan merupakan kekayaan budaya. Serat Centhini yang
banyak mengandung nilai etika ini, sangat relevan untuk membangun kualitas
kepribadian bangsa.
B. Landasan Teori dan Metode Penelitian
Sastra Jawa merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang telah
mengakar jauh ke masa lalu, yang sampai saat ini sudah banyak mengalami
pertumbuhan dan penyempurnaan. Khasanah sastra Jawa banyak jumlahnya dan
sangat beraneka ragam isinya. Beberapa di antaranya terkandung ajaran moral
yang cukup tinggi nilainya yang dapat dijadikan pegangan hidup dan pedoman
bagi masyarakat pada masanya dan masih dapat berguna untuk menunjang usaha-
usaha pembinaan jiwa dan pengembangan kepribadian dalam kehidupan
masyarakat di masa sekarang dan masa yang akan datang. Sastra Jawa merupakan
salah satu sumber sarana pembangunan mental bangsa dapat berperan apabila
dibaca, ditelaah, dan dikaji.
Pembahasan terhadap Serat Centhini ini penting karena bahwa dewasa ini
telah terjadi berbagai pergeseran dalam memahami budaya Jawa. Pergeseran itu
adalah pertama, pergeseran dalam memberikan arti dan makna terhadap simbol-
simbol budaya Jawa dan kedua, pergeseran dalam menerapkan laku budaya Jawa.
Pergeseran ini kadangkala menimbulkan persepsi dan interpretasi yang tidak sama
bahkan bertentangan dengan maksud dan pengertian sesungguhnya.
Karya sastra Jawa sejak kemunculannya hingga sekarang terdapat nilai-
nilai luhur yang disebut nilai religius yakni nilai-nilai yang berkaitan dengan
keagamaan atau kepercayaan. Nilai religius yang terkandung dalam Serat
Centhini mencerminkan konsep-konsep yang bersifat akulturatif. Berkaitan
dengan analisis religius, terdapat beberapa butir darma bakti dalam etika wanita
utama sebagai dasar kepribadian. Untuk membahas Serat Centhini yang berkaitan
dengan nilai keutamaan wanita, ditinjau dari perspektif moral atau kesusilaan.
Moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan
kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan manusia sebagai manusia.
Kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia (Marbangun Mangkurejo, 1977: 25).
Pada umumnya manusia mempunyai pengetahuan adanya baik dan buruk.
Pengakuan manusia mengenai baik dan buruk itu disebut kesadaran moral atau
moralitas (Poedjawijatna, 1983: 130). Kriteria perbuatan susila adalah kehendak
yang baik, keputusan akal yang baik dan penyesuaian dengan hakikat manusia
(Fudyartanta, 1974: 18). Poerwadarminta mengatakan bahwa moral mempunyai
arti ajaran tentang baik buruk perbuatan, kelakuan, akhlak, dan kewajiban. Di
samping itu, moral juga berarti kesusilaan yang terbentuk dari kata sila berasal
dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti berbagai ragam. Sedang menurut
Sunoto bahwa moral, dari kata mores yang berarti adat istiadat, ialah sesuatu yang
ada di luar diri manusia dan memberi pengaruh ke dalam.
Pengertian moral di sini masih berkaitan dengan adat istiadat masyarakat
tradisional. Teori ini menjelaskan tentang penafsiran terhadap karya sastra yang
dilakukan oleh penafsir dengan menyadari bahwa dirinya sendiri di tengah-tengah
sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran, cara dia mengerti
sebuah teks yang turut dihasilkan tradisi. Selain itu, dia ditentukan oleh
individualitas dan masyarakatnya. Penafsiran terjadi sambil meleburkan
cakrawala masa silam dan masa kini, selain yang tejadi adalah si juru tafsir
memahami teksnya dan menerapkan teks yang kaku dan lepas dari keterkaitan
waktu pada situasinya sendiri (Shah, 1986: 62-63). Untuk mendukung teori
hermeneutik ini, ini digunakan pula teori semantik yang menelaah tentang makna.
Semantik juga menelaah lambing-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan
makna, hubungan makna yang satu dengan makna yang lainnya serta pengarunya
terhadap manusia dan masyarakatnya.
Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang artinya
menafsirkan. Kata hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran
atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh Mitologis bernama
Hermes, seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada
manusia. Tugas mahapenting Hermes ini bisa berakibat fatal bagi umat manusia
jika ia keliru menafsirkan pesan dari para dewa. Sejak saat itu, Hermes menjadi
simbol seorang utusan yang dibebani misi penerjemahan dan penafsiran.
Hermeneutik merupakan pendekatan yang sudah lazim digunakan dalam
metodologi ilmu sosial untuk mengkaji teks. Teks di sini adalah dalam arti karya
sastra.
C. Kandungan Spiritual
Secara etimologis, iman mempunyai pengertian kepercayaan dan
keyakinan terhadap Tuhan, sedangkan tauhid berarti keesaan. Dengan demikian,
keimantauhidan dapat diartikan kepercayaan terhadap kemahatunggalan Tuhan
(Badudu, 1996: 52). Unsur paling utama dalam setiap religiositas, termasuk
religiositas Jawa adalah kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Orang Jawa, Tuhan
itu tan kena kinaya ngapa atau tak dapat dibayangkan keadaannya.
Orang Jawa dapat meyakini bahwa adanya Tuhan karena bagi orang Jawa
keyakinan itu tidak semata-mata diperoleh hanya melalui rasio atau penalaran
tetapi juga melalui rasa. Cipta, rasa dan karsa merupakan tiga anugerah Tuhan
yang berfungsi untuk memahami seluruh kebenaran yang ada, baik tentang alam
semesta ciptaan Tuhan maupun Sang Maha Pencipta itu sendiri (Simuh, 1995: 7).
Kepercayaan orang Jawa tampak pada penyebutan Tuhan dengan berbagai
sebutan sesuai dengan sifat yang ada pada-Nya. Dalam Serat Wulang wanita ini
Tuhan disebut dengan Hyang Kang Murbeng Titah 'Tuhan sebagai Pencipta
segala makhluk, Hyang Widhi, Hyang Suksma, Allah dalam kata takdirollah,
Gusti Kang Maha Mulya, dan Jawata. Manusia harus beriman/tauhid kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Maksudnya manusia harus percaya penuh bahwa Tuhan
itu nyata Maha Ada. Manusia juga harus percaya penuh dengan kebulatan tekad,
bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh Maha Esa.
Kepercayaan manusia terhadap Tuhan harus meresap dan meliputi
pikirannya, perasaannya, perkataannya dan perbuatannya (Damardjati Supajar,
1985: 5). Orang Jawa menyebut Tuhan dengan berbagai sebutan sesuai dengan
sifat yang ada pada-Nya. Dalam Serat Centhini, Tuhan disebut dengan Hyang
Kang Murbeng Titah 'Tuhan sebagai Pencipta segala makhluk', Hyang Widhi,
Hyang Suksma, Allah dalam kata takdirollah, Gusti Kang Maha Mulya, dan
Jawata. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewariskan beraneka ragam seni
budaya adi luhung yang dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang
beraneka macam ragamnya. Penggalian budaya-budaya yang tersebar di daerah-
daerah akan menghasilkan ciri-ciri khas budaya daerah, meliputi pandangan hidup
dan landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Kandungan nilai spiritual
yang berkaitan dengan ajaran agama Islam tersebut dalam tembang kinanti Serat
Centhini:
Yen sira winengku kakung, ywa tilar lanjaran nguni, tetuladan kuna-kuna, kadising Rasullulahi, kang amrih utamaning dyah, antuka sawarga adi.
Kang kekal salaminipun, langgeng boya owah gingsir, budinen nganti sampurna, Anyingkirana saliring, kang wus ingaranan cacad, tanduk tindaking pawestri.
Terjemahan:
Jika kamu telah bersuami, janganlah kamu tinggalkan alur ajaran-ajaran lama. Teladan yang terdapat dalam Hadis Rasulullah hanya demi keutamaan wanita, agar dapatlah mencapai surga yang abadi,
Tak berbeda selama-lamanya, abadi tanpa berganti-ganti. Usahakanlah itu hingga tercapai. Jauhkanlah dirimu dari segalanya yang dipandang tercela bagi tingkah laku kaum wanita.
Ajaran tersebut menghendaki agar para wanita senantiasa menjunjung
tinggi teladan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh agama melalui hadis Nabi
Muhammad. Khasanah sastra Jawa yang akan diangkat dalam pembahasan ini
adalah sastra piwulang yaitu Serat Centhini yang ditinjau dari aspek moralnya.
Naskah wulang mempunyai ciri khas berisi suatu jenis pelajaran yang umumnya
di bidang moral. Piwulang-piwulang itu diangkat dari naskah yang lebih besar dan
disajikan secara terpisah berdasarkan kegunaan didaktisnya. Naskah wulang pada
umumnya ditulis dalam irama puisi dan dinyanyikan dalam pertemuan-pertemuan
yang akrab. Ajaran ini ditujukan kepada para muda, wanita, pejabat, prajurit, dan
juga orang biasa. Kegunaannya adalah untuk mengungkapkan cita-cita orang Jawa
tentang konsep pria, wanita, raja atau pejabat idaman.
Serat Centhini berisi ajaran yang ditujukan kepada wanita bahwa seorang
wanita hendaknya mengetahui hakikat hidup. wanita hendaknya bertingkah laku
menyenangkan, mengerti dan memahami sikap hidup yang baik seperti sopan,
sabar, halus perangainya dan tidak putus berdoa dalam mengharap rahmat Tuhan
agar menjadi wanita yang berbudi luhur. Dunia kewanitaan ini telah mendapat
perhatian istimewa dari pujangga dan budayawan Jawa, terutama pada masa
kejayaan kraton terdahulu. Nilai-nilai etik religius yang menghendaki wanita
selalu tampil bekti ‘berbakti’, gemati ‘perhatian’, alus ‘halus’, dan luwes ‘ramah’
memang dipandang sangat penting.
Ajaran dalam Serat Centhini menunjukkan ciri khusus wanita yang
berjiwa religius dalam masyarakat Jawa saat itu. Ciri khusus itu alangkah baiknya
bila diangkat sebagai identitas wanita Indonesia dengan catatan diambil unsur
yang selaras dengan situasi aktual. Hal ini seiring dengan adanya perubahan dan
perkembangan peranan dan kedudukan wanita dalam perjalanan sejarah hingga
saat ini. Mula-mula wanita hanya dipuja sebagai dewi ibu, melahirkan anak,
kemudian wanita hanya dianggap sebagai kanca wingking. Wanita hanya sebagai
objek bukan sebagai subjek. Selanjutnya muncul emansipasi sehingga kedudukan
wanita setaraf dengan pria. Hal ini memungkinkan adanya pergeseran nilai-nilai
kewanitaan dalam menyikapi perjuangan emansipasi wanita.
D. Partisipasi Sosial
Dalam masyarakat Jawa diutamakan sebuah tertib sosial yang berdasarkan
pada nilai kesusilaan. Kesusasteraan Jawa, khususnya Serat Centhini memuat
nilai-nilai yang sifatnya memberikan arahan, bimbingan, dan pengajaran terhadap
pembentukan sikap wanita yang luhur. Nilai-nilai etis dalam Serat Centhini
dikupas dan diambil nilai-nilainya yang positif, dengan harapan dapat dijadikan
landasan dan pegangan hidup bagi generasi saat ini dan yang akan datang,
terutama sebagai pertimbangan dan pembinaan sikap wanita yang luhur.
Berbijak pada pengertian tersebut di atas, wanita pertama-tama harus
dilihat sebagai pribadi mandiri dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan
sumber daya manusia yang mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang
sama dengan pria dalam pengembangan potensi dan pencerdasan diri (Dadang S.
Anshori, dkk., 1997: 144). Pembahasan ini bertujuan untuk: melakukan
inventarisasi terhadap konsep-konsep kemasyarakatan bagi wanita yang
terkandung dalam Serat Centhini, sehingga moralitas wanita dalam Serat Centhini
tersebut memiliki kejelasan yang memungkinkan untuk dikembangkan.
Mendapatkan suatu pemahaman tentang moralitas wanita dalam Serat Centhini
yang nantinya dapat disumbangkan untuk kepentingan bangsa.
Secara moral wanita sebagaimana juga laki-laki tentunya mempunyai
tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan hidup dalam keluarga
maupun masyarakat. Persamaan ini bukanlah diartikan identik, yang artinya sama
persis. Persamaan mempunyai arti kesederajatan dan kesebandingan. Kata
persamaan telah mencakup pengertian keadilan dan tidak adanya diskriminasi,
apalagi bila dikaitkan dengan kata persamaan hak (Zaitunnah, 1999: 157).
Usaha melahirkan generasi yang unggul, perlu dimulai sejak kecil dengan
mendidik generasi muda dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan
masyarakatnya. Nilai merupakan pembentukan mental yang dipengaruhi oleh
pendidikan, pengetahuan, pengalaman warisan, dan suasana, interaksi sosial dan
sebagainya. Nilai-nilai luhur itu salah satunya dapat digali dari warisan budaya
yang berupa hasil karya sastra dari pujangga-pujangga. Pujangga kraton dihormati
karena dipercayai oleh raja-raja untuk menerima dan menyimpan rahasia kraton
(Darsiti Soeratman, 1989: 112). Secara tradisional, kraton sangat akrab dengan
penguasaan serat-serat. Penggubahan terhadap serat-serat wulang oleh para
pujangga mengungkapkan bahwa raja ingin memasyarakatkan kembali ajaran
tradisional Jawa yang sakral, suci, dan mulia (Sadewa, 1996: 49). Berkaitan
dengan nilai kemasyarakatan, Serat Centhini dalam tembang kinanthi
menguraikan sebagai berikut:
Tan kurang tuladan luhung, anggon-anggoning pawestri. Janji temen linampahan, ingkang wus kasebut tulis, tanggung kang padha iyasa, yen nganti tumekeng nisthip.
Nanging kudu wruh panuju, watek kabeneran Nini, ywa nganggo bener kewala. Iku angeling dumadi, empan papan duga-duga, tangi turu away lali.”
Terjemahan: Beragam suri teladan yang utama, yang pantas menjadi pedoman para
wanita. Asal benar-benar dipatuhi, segala yang tertulis dalam ajaran para penciptanya, tidaklah mungkin akan menemui cela.
Akan tetapi harus pula mengerti apa yang menjadi tujuanmu, ialah menyenangkan hati sesamamu. Pantaslah berpegang pada kebenaran, tetapi jangan ingin benar sendiri. Memang sulit hidup ini. Harus tahu keadaan masyarakat, dan senantiasa harus ingat akan waktu, saat, dan tempatnya. Bangun tidur, itulah yang harus diperhatikan.”
Wanita memang dianjurkan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan tertib
sosial sehingga perjalanan masyarakat tanpa gangguan dan hambatan. Para
pujangga Jawa menyelipkan ajaran kemasyarakatan ini dalam karya-karyanya.
Wanita Jawa pada umumnya masih mempunyai sifat-sifat sebagaimana
dilukiskan stereotip mengenai kelompoknya yaitu menerima, pasrah, halus, sabar,
setia, bakti, dan sifat-sifat lain seperti cerdas, kritis dan berani menyatakan
pendiriannya (Sapartinah, 1982: 155). Kepribadian itu dibentuk dalam lingkungan
keluarga yang telah dipengaruhi oleh sistem nilai budaya.
Sikap wanita Jawa di atas berarti mengajak hidup mundur beberapa puluh
bahkan ratusan tahun yang lalu dan bahwa nilai-nilai tradisional yang dapat
ditemukan harus dapat dilaksanakan tanpa mengingat situasi dan kondisi. Sikap-
sikap tersebut di atas apabila dikupas akan ditemukan nilai-nilai yang berharga
dalam kehidupan. Sebagai contoh sikap pasrah, sikap ini tidaklah diartikan
perasaan malas atau enggan berusaha, tetapi sikap ini harus ditandai dengan
pemikiran dan perencanaan yang masak, keuletan dan ketabahan berusaha,
aktivitas kerja yang tinggi dengan segala perhitungan yang teliti dan rasional
(Soetrisno, 1977: 49). Demikian juga ungkapan-ungkapan yang lain, selain
diambil sisi negatif juga harus diteliti sejauhmana segi positifnya berguna bagi
kehidupan bangsa.
E. Membina Kepribadian Wanita
Kepribadian wanita menjadi topik yang sangat penting di dalam karya
sastra Jawa dengan tujuan untuk membina budi pekerti dan tata susila. Kegiatan
sastra di Kraton Surakarta pada hakikatnya merupakan reaksi terhadap perubahan
masyarakat yang disebabkan oleh masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi
baru. Pujangga Jawa berperan untuk mengaktualisasikan tradisi di dalam
perubahan zaman (Sadewa, 1996: 50). Bagi masyarakat Jawa pergaulan yang baik
harus tetap bersandarkan atas sikap yang pada hakikatnya berlandaskan nilai-nilai
religius dan moral. Istilah seperti sing ngerti suba sita lan duga watara
menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai tersebut diperhatikan baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat (Sunoto, 1989. 19).
Masyarakat memberikan penghargaan yang tinggi terhadap keberadaan
anak karena sebagaimana dikatakan bahwa anak merupakan kunci kebahagiaan
orang tua. Anak mempunyai kedudukan penting di dalam hati orang tua karena
merupakan tali pengikat yang kokoh terhadap ayah ibunya. Hal ini sebagaimana
terdapat dalam ungkapan Jawa anak iku dadi ganthelaning ati 'anak itu selalu ada
dalam hati orang tuanya'. Oleh karena itulah merupakan kewajiban bagi seorang
anak perempuan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Kepribadian seorang
wanita dijelaskan dalam Serat Centhini:
Ingkang dhingin darah bangsaning ngawirya, ing tegese trahing para luhur Jawa, ingkang misih, kadrajatan uripira.
Kang kapindho darahe agama mulya, tegesira terahe para ngulama, ingkang alim, ahli kitab trusing rahsa.
Kaping telu darahing wong maratapa, ing tegese trahing kang para pandhita, ingkang ulah pepujabrata lekasana.
Ping pat darah sujana ing tegesira, trah linangkung ulah pangawikan budya, kalantipan, lan marang kawicaksanan.
Kaping lima yeku darahing aguna, ing tegese pinter samubarang karya, ingkang ulah kalimpadan kabangkitan.
Kaping nenem darahe para prawira, tegesira trahing prajurit kang ulah kawentaran, kasub ing kasudiranira.
Kaping sapta darahing janma supatya, teges ingkang trah para tani, ingkang wekel mantep sarta tyase tuhu setya.
Terjemahan:
Garis keturunan bangsawan ngawirya, maksudnya: keturunan bangsawan atau pemuka yang masih terpandang keluarganya;
Garis keturunan ulama mulya, ialah anak cucu kaum ulama atau ahli kitab yang menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran kenabian;
Garis keturunan wong mratapa, ialah keturunan mereka yang mempunyai darah pertapa. Suka berlaku semedi pujabrata;
Garis keturunan kaum sujana, ialah anak-anak orang pandai, terkenal di kalangan para cendekiawan. Cerdas, dan masih terus meningkatkan ilmu pengetahuannya serta kebijaksanaan.
Garis keturunan kaum aguna, ialah yang pandai dalam segala bidang, baik yang bersifat lahir batin.
Garis keturunan para prawira, maksudnya ialah mereka yang datang dari keluarga yang berkiprah dalam bidang keprajuritan; yang mengutamakan ulah kawanteran, berani membela kebenaran dan keadilan.
Garis keturunan janma supatya, ialah mereka yang berwatak dan bersikap tegas, yakin dalam segala perbuatan, setia dalam kata dan tindak-tanduknya.
Ilmu pengetahuan bisa membuat manusia mempunyai martabat sebagai
makhluk yang terpintar, bila Manusia menjadi bodoh maka martabatnya akan
jatuh. Manusia mengemban suatu fungsi sebagai khalifatullah. Fungsi ini tidak
akan dapat dilaksanakan tanpa ilmu yang banyak. Yang menyebabkan orang dapat
mendengar, berbicara dan berfikir itu ialah ilmu yang banyak. Semakin banyak
ilmu seseorang, maka akan semakin nyaringlah pendengarannya, semakin banyak
yang dapat dibicarakan dan dipikirkan (Syahminan Zaini, 1982 - 57).
Ilmu pengetahuan juga dapat menambah produktivitas kerja. Kerja ini pula
merupakan kebutuhan bagi seorang wanita, maksudnya bahwa orang hidup di
dalam masyarakat harus mempunyai harta benda yang cukup guna
menyelenggarkan hidupnya sehari-hari. Seseorang dalam hidupnya jangan sampai
terpaksa meminjam harta kepada tetangga dan sanak saudara karena hal itu akan
mengurangi harga dirinya (Damardjati Supadjar, 1985: 20). Masyarakat Jawa
Baru juga selalu mempertimbangkan kriteria bagi seorang wanita yang baik yakni
bobot yaitu pertimbangan dikaitkan dengan keturunan garis ayah, bebet yaitu
melihat kemampuan dan kekayaan ayah calon istri, bibit yaitu berkaitan dengan
kecantikan seorang gadis dilihat dari segi lahiriah maupun rohaniah.
Bahasa dan budaya Indonesia menjunjung tinggi kehormatan wanita
sebagai suatu kualitas kepribadian. Kaum wanita memikul amanat sosial pada
masyarakatnya (Damardjati Supadjar, 1993: 179). Masyarakat Jawa pada
umumnya masih menilai tinggi bahwa wanita sesudah menikah sebaiknya tinggal
di rumah, mengurus rumah tangga, mendidik anak-anak. Hal ini sudah merupakan
kodrat bagi wanita yakni menikah, melahirkan, dan merawat anak-anak
(Gandarsih Mulyowati, t.t.: 5). Tidak mengherankan apabila peranan wanita lebih
terikat pada lingkungan keluarga dan rumah tangga, sehingga terlihat istilah yang
dipakai oleh para suami kanca wingking ‘teman belakang’ (Sartono Kartodirdjo,
1993: 92). Uraian di atas apabila diterapkan dalam masyarakat masa kini yang
sudah diliputi mitos globalisasi, industri, komunikasi, dan juga kecantikan
dapatlah dipastikan akan mendapat kesulitan. Namun justru itulah semua
hambatan mesti diselesaikan dengan cara yang bernalar dan terbuka.
Pengaruh tersebut mengakibatkan adanya pergeseran nilai dan cara
berfikir bagi kaum wanita. Karena nilai dan cara berfikir model lama masih juga
belum ditinggalkan, maka akibatnya dari masyarakat terdapat sikap mendua.
wanita harus tetap lemah lembut di satu pihak, dan di pihak lain wanita harus
berperan aktif bagi kehidupan masyarakat dan keluarganya (Soedarsono, dkk.,
1985: 4). Adanya perkembangan peran wanita tersebut, maka diperlukan adanya
usaha untuk menemukan dan merumuskan kembali etika bagi wanita. Usaha itu
antara lain dengan memunculkan kembali nilai-nilai lama yang tersimpan dalam
naskah-naskah karya pujangga-pujangga.
Serat Centhini berisi tentang ajaran yang ditujukan kepada para putra-
putri dengan harapan dapat mencapai manusia sempurna (insan kamil) yakni
dengan senantiasa menjaga dan mengusahakan adanya keseimbangan dan
keselarasan lahir batin. Wanita hendaknya mengetahui dan memahami hakikat
hidupnya. Seorang wanita diharapkan pula pandai bersyukur kepada Tuhan,
ikhlas, sabar, menjaga segala tindak tanduknya. Tingkah laku yang diutamakan
seperti sopan santun, mempunyai duga watara ‘sebelum bertindak hendaknya
dipikirkan masak-masak’, satiti ‘teliti, hati-hati, teratur’, mempunyai pendirian
yang teguh jangan sampai seperti ungkapan anut ombaking jaladri ‘hanya
mengikuti arus laut’ serta mempunyai tepa slira ‘tenggang rasa’.
Seorang wanita raja hendaknya mengetahui empat macam ajaran yaitu
hendaknya senantiasa bertawakal dan sabar apabila mendapat cobaan, tabah,
mengetahui laku jiwa yang suci dan halus, dan mengetahui laku rahsa yakni
mengetahui kodrat Tuhan dan takdir hidup yang penuh suka dan duka (Hemas,
1992: 110). wanita di dalam Serat Centhini tidak ditempatkan dalam kerangka
yang sempit, yakni wanita dianggap sebagai kanca wingking belaka. Akan tetapi,
wanita dijabarkan dalam kerangka keuniversalannya sebagai manusia. Ilmu
pengetahuan, kemuliaan, kekayaan juga menjadi hak dan kewajiban wanita,
disamping kemuliaan khusus, yakni melahirkan anak.
Hal tersebut dimaksudkan agar manusia dapat mengembangkan bakat etis
yang tertanam dalam kodratnya sampai menjadi manusia yang sempurna (Magnis
Suseno, 1997: 40). Empat perkara di atas pada kenyataannya tidak semua orang
mampu mencapainya karena tidak mampu menanggulangi apa yang dinamakan
panca wisaya yakni rogarda artinya jiwa yang kacau, sararda artinya
kesengsaraan hidup, wirangarda yaitu sakitnya hati, cuwarda artinya kekecewaan
hati dan durgarda artinya rintangan yang menghadang hati (Hadiyah Salim, 1995:
113). Bila kelima hal itu terjadi pada seorang wanita maka hendaklah bersikap
legawa ‘rela’, betah ngangkah lembah manah ‘teguh dan sabar’, titi – tata – teteg
– ngati-ati ‘teliti – teratur – teguh – hati-hati’, eneng – ening – awas – eling
‘tenang – diam – waspada – ingat’ angandel kandel-kumandel netel santosa
‘menebalkan hati demi kesantosaan’ (Haidar Nashir, 1999: 12).
Karya-karya pujangga itu mengungkapkan pelbagai ukuran atau model
perilaku yang ideal, terutama dalam kaitannay dengan kewanitaan (Sartono
Kartodirdjo, dkk., 1993: 204). Kepada para wanita diajarkan wulang wanita atau
wulang reh karya raja-raja yang lebih dulu. Inti ajaran itu menunjukkan bahwa
kedudukan istri sangat rendah, karena wanita harus ingat akan tiga hal yakni
berbakti, berhati-hati dalam menghadapi suami dan takut kepada suami. Seorang
istri harus menganggap suami sebagai tuannya walaupun istri itu wanita raja dan
suaminya seorang punakawan (Darsiti Soeratman, 1989: 118). Wanita juga
dihargai dari segi reproduksinya. Hal ini dilatarbelakangi penghargaan terhadap
anak yang merupakan kunci kebahagiaan orang tuanya. Sejalan dengan nilai
reproduksi itu dari pihak wanita dituntut untuk setia kepada suami.
F. Penutup
Wanita utama ditandai dengan senantiasa berbakti kepada Tuhan, orang
tua, keluarga dan masyarakat. Tingkah lakunya senantiasa mengikuti norma susila
sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kepribadian. Serat Centhini
menghendaki agar wanita menghindari berbagai macam sifat yang kurang terpuji,
misalnya dengki dan suka membenci, kemeren lawan dahwen artinya iri hati dan
suka mencampuri urusan orang lain, kumingsun artinya sombong, ewan cekak
artinya mudah tidak senang dan berpikiran sempit dan rupak artinya picik.
Sebagai sarana untuk mencapai ketaatan kepada Tuhan manusia
hendaknya memahami dan mengamalkan apa yang disebut dengan tapa brata,
puja mantra yang terdiri dari lima hal yakni mengurangi makan dan tidur,
mengurangi nafsu syahwat, mengurani perkatan yang tidak berguna dan pandai
menyembunyikan dan menghilangkan duka. Konsep wanita utama itu senantiasa
mengasah ketajaman rohani dengan ingat kepada Tuhan. Bahwa sikap budi luhur
dalam Serat Centhini tercermin dalam tindakan yang dilandasi oleh suatu
ketenangan, keteguhan, kewaspadaan dan kehati-hatian dalam mempergunakan
akal dan budinya.
Dalam kehidupannya, wanita mengalami banyak cobaan dalam menjalani
keseharian sehingga setiap individu membutuhkan satu kekuatan dan kestabilan
yaitu sikap sabar, ikhlas, rela berkorban dan berjuang dengan mengkonsentrasikan
pada batin untuk lebih menyempurnakan derajat kemanusiaannya. Konsep
kewanitaan Jawa merupakan kerangka hubungan segitiga antara harapan,
keteladanan, dan kenyataan yang akan muncul. Wanita Jawa diharapkan
mempunyai keutamaan-keutamaan sebagai sosok pelahir generasi bangsa yang
tangguh baik lahir maupun batin yaitu bersikap eudamonistis dengan sikap utama
sabar, ikhlas, rela berkorban, berjuang untuk kesempurnaan batin dan derajat
kewanitaan.
Keluarga menjadi bahagia apabila wanita merealisasikan diri secara
sempurna dengan mengaktifkan kekuatan hakikatnya. Kekuatan-kekuatan itu
adalah kemampuan jiwa yang berakal budi murni yang mengangkat diri ke
kontemplasi hal-hal abadi dan akal budi praktis yang terlaksana dalam kehidupan
aktif di tengah masyarakat. Serat Centhini telah menunjukkan perilaku wanita
yang berkaitan dengan nilai etis filosofis, kesetiaan, kesabaran, ketabahan dan
kegigihan dalam mengarungi samudra kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu-Zein, 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Dadang S. Anshori, Engkos Kosasih, Farida Sarimaya. 1997. Membicangkan Kecantikan. Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita. Pustaka Hidayah, Bandung.
Damardjati Supadjar, 1985. Etika dan Tata Krama Jawa Masa Lalu dan Masa Kini. Depdikbud, Yogyakarta.
________________, 1993. Nawangsari. Media Widya Mandala, Jakarta.Darsiti Soeratman, 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939.
Tamansiswa, Yogyakarta._______________, 1991. Wanita Indonesia Lampau, Kini, dan Mendatang. PPS
UGM, Yogyakarta.Fudyartanta, 1974. Etika Intisari Filsafat Kesusilaan dan Moral. Warawidyani,
Yogyakarta.Frans Magnis Suseno, 1997. 13 Model Pendekatan Etika Bunga Rampai Teks-teks
Etika dari Plato sampai dengan Nietzche. Kanisius, Yogyakarta.Gandarsih Mulyawati Retno Santosa, t.t. Wanita Jawa dan Kemajuan Jaman.
Javanologi, Yogyakarta.Hadiyah Salim, 1995. Wanita Islam Kepribadian dan Perjuangannya. Remadja
Karya, Bandung.Haidar Nashir, 1999. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Pustaka Pelajara,
Yogyakarta.Hemas, 1992. Wanita Indonesia Suatu Konsepsi dan Obsesi. Liberty, Yogyakarta.Marbangun Mangkurejo, 1977. Manusia Jawa. Inti Idayu Press, Jakarta.Poedjawijatna, 1983. Etika Filsafat Tingkah Laku. Obor Indonesia, Jakarta.Sadewa, 1996. Wanita Jawa Antara Tradisi dan Transformasi. Dalam Citra
Wanita dan Kekuasaan Jawa. Kanisius, Yogyakarta.Sapartinah Sadli, 1985. Kepribadian Wanita Jawa dalam Kepribadian dan
Perubahannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.Sartono Kartodirjo, 1985. Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa. Laporan
Penelitian Fakultas Sastra Universias Gadjah Mada, Yogyakarta._______________, 1988. Modern Indonesia, Tradition and Transformation A
Socio Historical Perspective. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Shah, 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Obor, Jakarta.
Simuh, 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Bentang Budaya, Yogyakarta.
Soedarsono, Djoko Sukiman, Retno Astuti. 1985. Wanita, Kekuasaan dan Kejahatan Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa. Proyek Javanologi, Yogyakarta.
Soetrisno, 1977. Falsafah Hidup Pancasila sebagaimana Tercermin dalam Falsafah Hidup Orang Jawa. Lembaga Pengembangan Masyarakat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sunoto, 1983. Menuju Filsafat Indonesia Negara-Negara di Jawa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Hanindita, Yogyakarta.
______, 1989. Nilai-nilai Luhur yang Terkandung dalam Ajaran yang Terdapat dalam Keluaga dan Masyarakat Jawa dan Manfaatnya bagi Pembangunan Nasional. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Syahminan Zaini, 1982. Arti Anak Bagi Seorang Muslim. Al-lkhlas, Surabaya.
Zaitunnah Subhan, 1999. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Quran. LKIS, Yogyakarta.
BIOGRAFI SINGKAT
DR. PURWADI, M.HUM lahir di Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16
September 1971. Kini bertugas sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap
Raya 36 Minomartani Yogyakarta.