jurnal eko.pembangunan

18
THE IMPACT INTEREST RATE AND EXCHANGE RATE US DOLLAR OF INFLATION IN INDONESIA PERIOD 2002-2012 Disusun oleh : Genta Noer Kahar Mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan FE Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Email : [email protected] Pembimbing : Tony S Chendrawan, ST.,SE.,M.Si Dr.H.M., Kuswantoro., Msi Abstract Inflation is one of the important indicators of the economy, inflation has always strived low and stable. High inflation and unstable is a reflection of the trend of rising price level of goods and services in general and continuously so that it will weaken the purchasing power of the community which will have an impact on the decline in national income. It is therefore expected that the inflation rate control lately chart shows the rise. The purpose of this research to knows the impact and correlation between interest rate and exchange rate of inflation. The results of this study indicate that the interest rate has significant effect on inflation in Indonesia. On the other hand Exchange Rate U.S. Dollar is have not significant effect on inflation rate in Indonesia. Keyword : INFLATION, EXCHANGE RATE, INTEREST RATE I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit kronis dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali pada zaman Presiden Soekarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi - akan tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru pada zaman reformasi, mulai pada zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun. Bila ditinjau dalam jangka panjang, sejak kemerdekaan, upaya Pemerintah Indonesia menjaga kestabilan mata uang telah menuju kearah yang lebih baik. Prof. M. Sadli, 2005, mengungkapkan “Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah.” Pada tahun 1990-an, Pemerintahan Soeharto juga sebenarnya telah mampu menjaga tingkat inflasi dengan rata-rata di bawah 10%. Hanya saja ketika memasuki masa krisis moneter Indonesia (dan Asia) 1997 Inflasi kembali meningkat menjadi 11,10% dan kemudian melompat menjadi 77,63% pada tahun 1998, di mana saat itu nilai tukar rupiah juga anjlok dari Rp 2.909,- per dolar AS (1997) menjadi Rp 10.014,- per dolar AS (1998). Setelah itu Pemerintahan Habibie melakukan kebijakan moneter yang sangat ketat dan menghasilkan tingkat inflasi yang (paling) rendah yang pernah dicapai yaitu sebesar 2,01% pada tahun 1999.

Upload: gentanoer

Post on 19-Jan-2016

40 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

THE IMPACT INTEREST RATE AND EXCHANGE RATE US DOLLAR OF INFLATION IN INDONESIA PERIOD 2002-2012

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Eko.Pembangunan

THE IMPACT INTEREST RATE AND EXCHANGE RATE US DOLLAR OF INFLATION IN INDONESIA

PERIOD 2002-2012

Disusun oleh :

Genta Noer Kahar

Mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan FE Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Email : [email protected]

Pembimbing :

Tony S Chendrawan, ST.,SE.,M.Si

Dr.H.M., Kuswantoro., Msi

Abstract

Inflation is one of the important indicators of the economy, inflation has always strived low and stable. High

inflation and unstable is a reflection of the trend of rising price level of goods and services in general and

continuously so that it will weaken the purchasing power of the community which will have an impact on the

decline in national income. It is therefore expected that the inflation rate control lately chart shows the rise.

The purpose of this research to knows the impact and correlation between interest rate and exchange rate of

inflation. The results of this study indicate that the interest rate has significant effect on inflation in Indonesia.

On the other hand Exchange Rate U.S. Dollar is have not significant effect on inflation rate in Indonesia.

Keyword : INFLATION, EXCHANGE RATE, INTEREST RATE

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit kronis dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di

Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali pada zaman Presiden Soekarno,

karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman

Soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi - akan tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata,

antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang

bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru pada zaman reformasi, mulai pada zaman Presiden Habibie

maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena

inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka

“inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.

Bila ditinjau dalam jangka panjang, sejak kemerdekaan, upaya Pemerintah Indonesia menjaga

kestabilan mata uang telah menuju kearah yang lebih baik. Prof. M. Sadli, 2005, mengungkapkan “Inflasi di

Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak

prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi

tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda,

antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman

reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai

rupiah.”

Pada tahun 1990-an, Pemerintahan Soeharto juga sebenarnya telah mampu menjaga tingkat inflasi

dengan rata-rata di bawah 10%. Hanya saja ketika memasuki masa krisis moneter Indonesia (dan Asia) 1997

Inflasi kembali meningkat menjadi 11,10% dan kemudian melompat menjadi 77,63% pada tahun 1998, di mana

saat itu nilai tukar rupiah juga anjlok dari Rp 2.909,- per dolar AS (1997) menjadi Rp 10.014,- per dolar AS

(1998). Setelah itu Pemerintahan Habibie melakukan kebijakan moneter yang sangat ketat dan menghasilkan

tingkat inflasi yang (paling) rendah yang pernah dicapai yaitu sebesar 2,01% pada tahun 1999.

Page 2: Jurnal Eko.Pembangunan

Selanjutnya pada tahun 2000 hingga 2006 Inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang tinggi, yaitu

dengan rata-rata mencapai 10%. Inflasi tahun 2005 dengan nilai sebesar 17,11% adalah inflasi tertinggi pasca

krisis moneter Indonesia (1997/1998), tekanan akan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM)

diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga minyak di pasar internasional

menyebakan Pemerintah berusaha untuk menghapuskan subsidi BBM. Hal tersebut sangat mempengaruhi

kondisi makro ekonomi Indonesia mengingat konsumsi BBM mencapai 47.4 % (tahun 2000) dari total

konsumsi energi Indonesia.

Pemerintah (pasca reformasi) sepertinya telah berusaha keras menjaga tingkat inflasi, namun berbagai

tekanan dari dalam dan luar negeri pasca reformasi (1997) masih sangat tinggi mempengaruhi pergerakan

perekonomian Indonesia. Inflasi yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan

tingkat inflasi Malaysia dan Thailand yang berkisar 2%, bahkan Singapura yang berada di bawah 1%. Bila

sektor-sektor riil dalam negeri tidak dibangkitkan maka upaya di sektor moneter menjaga kestabilan makro

ekonomi dalam jangka panjang hanya akan menjadi hal yang sia-sia.

Perkembangan suku bunga yang tidak wajar secara langsung dapat mengganggu perkembangan

perekonomian. Karena disatu sisi, suku bunga yang tinggi akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk

menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat. Sementara itu, di sisi lain suku bunga yang tinggi

akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh dunia usaha sehingga mengakibatkan penurunan kegiatan

produksi di dalam negeri. Menurunnya produksi pada gilirannya akan menurunkan pula kebutuhan dana oleh

dunia usaha. Hal ini berakibat permintaan terhadap kredit perbankan juga menurun sehingga dalam kondisi suku

bunga yang tinggi, yang menjadi persoalan adalah ke mana dana itu akan disalurkan (Pohan, 2008 : 53).

Disisi perbankan, dengan bunga yang tinggi maka bank mampu menghimpun dana untuk disalurkan

dalam bentuk kredit kepada dunia usaha. Namun disisi lain dunia usaha, kendati dana kredit perbankan tersedia,

beban bunga yang harus mereka tanggung lebih tinggi sehingga dunia usaha cenderung mencari alternatif

pendanaan yang lebih murah. Dalam keadaan seperti ini, yang menjadi persoalan bagi perbankan adalah mereka

mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dana dunia usaha. Dapat ditambahkan, kecepatan dan

ketepatan pelayanan juga merupakan faktor penting yang menentukan permintaan akan kredit. Oleh karena itu,

pada saat sekarang ini peran pemerintah juga sangat diperlukan untuk menstabilkan tingkat suku bunga, agar

hasrat masyarakat untuk menabung tidak bekurang dan dunia usaha tetap bisa mendapatkan penambahan modal

dengan beban bunga yang kecil.

Untuk melihat perkembangan suku bunga di Indonesia tahun 1992-2008 dapat di lihat pada Tabel

berikut :

Perkembangan Suku Bunga di Indonesia,

Tahun 1992-2008

Tahun Suku Bunga

(%)

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

14.46

8.26

11.2

15.21

14.4

19.74

41.24

12.52

12.05

16.59

12.84

6.61

6.17

11.84

8.71

8

9.25

Sumber : Statistik Indonesia Dari Berbagai Edisi (diolah)

Page 3: Jurnal Eko.Pembangunan

Pada tahun 1992, suku bunga Bank Indonesia sebesar 14,46 persen dan pada tahun 1993 menurun

menjadi 8,26 persen sehingga para investor sangat terbantu dengan penurunan suku bunga ini. Pada tahun-tahun

berikutnya suku bunga mengalami fluktuasi karena keadaan perekonomian Indonesia yang tidak stabil.

Pada tahun 1998, suku bunga Bank Indonesia meningkat drastis menjadi sebesar 41,24 persen sehingga

para investor mengurangi investasinya. Hal ini disebabkan terjadinya krisis moneter yang dihadapi Indonesia

dan negara-negara berkembang lainnya, sehingga mata uang dalam negeri mengalami depresiasi terhadap mata

uang asing yaitu USD. Dan pada tahun-tahun berikutnya suku bunga mengalami kenaikan dan penurunan yang

diakibatkan oleh gejolak-gejolak yang dihadapi dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun 2008

perekonomian Indonesia mendapatkan ujian yang cukup besar lagi, karena terjadinya krisis ekonomi global

yang melanda Amerika Serikat, sahingga berdampak kepada negara-negara sedang berkembang seperti di

Indonesia. Dengan terjadinya krisis finansial di Amerika Serikat berdampak kepada anjloknya nilai sekuritas

yang ada di pasar modal dan banyak perusahaan besar yang ada di pasar modal mengalami kebangkrutan dan

menyebabkan banyaknya terjadi pemberhentian perkerjaan (PHK) bagi para tenaga kerja sehingga

meningkatnya angka pengangguran.

Dalam perkembangannya nilai tukar yang belum stabil dan inflasi yang masih tinggi memaksa Bank

Indonesia, sebagi otoritas moneter untukmempertahankan uang ketat, yang beraldbat tingginya suku bunga

didalam negeri.Disisi lain tingginya suku bunga yang berlebihan telah berdampak negatif terhadap dunia usaha.

Suatu negara didefmisikan mengalami krisis mata uangapabila nilai tukarnya mengalami perubaban yang besar,

disamping itu negara yang mengalami krisis mata uang umumnya ditandai dengan adanya perubaban

kebijakan mengenai sistim penetapan nilai tukar (ljahjono 1998:2).

Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan perkembagan laju inflasi. Sedangkan

kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan perkembangn nilai tukar rupiah terhadap

mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan

dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu tugas Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang No

23 tahun 1999 pasal 7 adalah untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga

kelancaran sisem pembayaran dan mengatur dan mengawasi bank. Tujuan tersebut perlu ditopang dengan tiga

pilar utama yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta

sistem perbankan dan keuangan yang sehat.

Pencapaian kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan sebagian prasyarat bagi

tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada gilirannya akan meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Hal ini juga sekaligus meletakkan landasan yang kukuh bagi pelaksanaan dan

pengembangan perekonomian Indonesia di tengah tengah perekonomian dunia yang semakin kompetitif dan

terintegrasi. Sebaliknya, jika upaya untuk menjaga kestabilan nilau rupiah ini gagal, hal ini dapat merugikan

karena berakibat menurunnya pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya saing perekonomian nasional

dalam kancah perekonomian dunia.

II Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Inflasi

Banyak pengertian inflasi yang disampaikan para ahli. Inflasi menurut A.P. Lehnerinflasi adalah

keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian

secara keseluruhan. Ahli yang lain yaitu Ackley memberi pengertian inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang

terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat).

Nanga (2001: 237) menyatakan bahwa inflasi adalah suatu gejala di mana tingkat harga umum

mengalami kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan tingkat harga umum yang terjadi sekali waktu saja

tidaklah dapat dikatakan sebagai inflasi. Menurut Rahardja (1997: 32) inflasi adalah kecenderungan dari harga-

harga untuk meningkat secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak

disebut inflasi, tetapi jika kenaikan meluas kepada sebagian besar harga barang-barang maka hal ini disebut

inflasi.

Sementara itu Eachern (2000: 133) menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan terus-menerus dalam

rata-rata tingkat harga. Jika tingkat harga berfluktuasi, bulan ini naik dan bulan depan turun, setiap adanya

kenaikan kerja tidak berarti sebagai inflasi. Sedangkan Sukirno (2004: 27) memberikan definisi bahwa inflasi

adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Selanjutnya BPS (2000: 10)

mendefinisikan inflasi sebagai salah satu indikator untuk melihat stabilitas ekonomi suatu wilayah atau daerah

Page 4: Jurnal Eko.Pembangunan

yang menunjukkan perkembangan harga barang dan jasa secara umum yang dihitung dari indeks harga

konsumen. Dengan demikian angka inflasi sangat mempengaruhi daya beli masyarakat yang berpenghasilan

tetap, dan di sisi lain juga mempengaruhi besarnya produksi barang.

Sedangkan menurut Boediono, inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara

umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila

kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang lain.

Proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus selama peride tertentu

Menurut Nopirin (1987:25). Sedangkan Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998: 578-603) Inflasi dinyatakan

sebagai kenaikan harga secara umum. Jadi tingkat inflasi adalah tingkat perubahan harga secara umum.

Definisi atau pengertian inflasi (inflation) adalah suatu periode di mana kekuatan membeli kesatuan

moneter turun. Inflasi (inflation) dapat timbul bila jumlah uang atau uang deposito dalam peredaran lebih

banyak dibandingkan dengan jumlah barang-barang serta jasa-jasa yang ditawarkan. Hal ini seringkali didukung

dengan kehilangan kepercayaan masyarakat dalam negeri terhadap mata uang nasional yang kemudian

menimbulkan gejala yang meluas untuk menukar uang dengan barang-barang. Winardi (1995 : 235).

Menurut Bodie dan Marcus (2001 : 331) definisi atau pengertian inflasi (inflation) merupakan suatu

nilai di mana tingkat harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan, sedangkan menurut Weston dan

Copeland (1998 : 250), definisi atau pengertian inflasi (inflation) adalah suatu keadaan ekonomi yang

mengalami kenaikan tingkat harga tertinggi dan tidak bisa dicegah atau dikendalikan lagi

JENIS INFLASI

Berikut adalah rangkuman mengenai beberapa hal tentang inflasi yang dirangkum pembahasan Sadono

Sukirno(1998):

i. Jenis inflasi dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 pandangan yaitu:

Berdasarkan atas besarnya tekanan inflasi atau berdasarkan atas laju pertumbuhan inflasi, maka

inflasi dapat dibedakan atas:

Inflasi ringan (creeping inflation) di mana laju pertumbuhan inflasi adalah dibawah 10% per

tahun.

Inflasi sedang, di mana pertumbuhan inflasi antara 10% - 30% per tahun.

Inflasi berat (galloping inflation) di mana laju pertumbuhan inflasi antara 30% - 100% per tahun.

Hiper inflasi (run away inflation) di mana laju pertumbuhan inflasi diatas 100% per tahun.

Berdasarkan Asal Inflasi

Domestik Inflation atau inflasi yang berasal dari dalam negeri. Inflasi ini terjadi karena

pengaruh kejadian ekonomi yang terjadi di dalam negeri, misalnya terjadinya defisit anggaran

belanja negara yang secara terus menerus di atas dengan mencetak uang. Hal ini menyebabkan

jumlah uang yang dibutuhkan di masyarakat melebihi transaksinya dan ini menyebabkan nilai

uang menjadi rendah dan harga barang meningkat.

Imported Inflation atau inflasi yang tertular dari luar negeri. Inflasi ini disebabkan oleh

kenaikan harga barang ekspor seperti teh dan kopi di luar negeri (negara tujuan ekspor), harganya

mengalami kenaikan dan ini membawa pengaruh terhadap harga di dalam negeri.

PENGUKURAN INFLASI

Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga. Indeks

harga tersebut di antaranya:

1. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI), adalah indeks yang mengukur

harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.

2. Indeks Biaya Hidup atau Cost-Of-Living Index (COLI).

3. Indeks Harga Produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang

dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan

Page 5: Jurnal Eko.Pembangunan

tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang

kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.

4. Indeks Harga Komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.

5. Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi

lokal, barang jadi, dan jasa.

Dari indeks tersebut di atas yang sering dipakai untuk menghitung tingkat inflasi adalah Indeks Harga

Konsumen. Rumus untuk menentukan indek harga konsumen.

Faktor – faktor Penyebab Inflasi

Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998:587), ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya

inflasi:

a) DemandPull Inflation

Timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif

perekonomian, menarik harga ke atas untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan agregat.

Terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya

likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga.

Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa

mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya

permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.

b) Cost Push Inflation or Supply Shock Inflation

Inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan biaya selama periode pengangguran tinggi dan penggunaan

sumber daya yang kurang efektif. Terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk

adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat

secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia

dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum

permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap

produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru.

Faktor penyebab lainnya :

Inflasi dapat terjadi ketika pemerintah mencetak kelebihan uang untuk menangani krisis.

Akibatnya, harga akhirnya meningkat pada kecepatan yang sangat tinggi untuk bersaing dengan

surplus mata uang.

Penyebab umum lainnya dari inflasi adalah kenaikan biaya produksi, yang menyebabkan kenaikan

harga produk akhir.

Inflasi juga bisa disebabkan oleh pemberi pinjaman internasional dan hutang nasional. Negara

meminjam uang, mereka harus berurusan dengan kepentingan, yang pada akhirnya menyebabkan

harga naik. Nilai tukar juga dapat menyebabkan inflasi, karena pemerintah akan harus berurusan

dengan perbedaan dalam impor / tingkat ekspor.

Perang pun juga sering menyebabkan inflasi, karena pemerintah harus mengembalikan uang yang

dihabiskan dan mengembalikan dana yang dipinjam dari bank sentral. Perang sering

mempengaruhi segala sesuatu dari perdagangan internasional untuk biaya tenaga kerja untuk

permintaan produk, sehingga pada akhirnya selalu menghasilkan kenaikan harga.

Meningkatnya Kegiatan Ekonomi. Meningkatnya kegiatan ekonomi mendorong peningkatan

permintaan agregat yang tidak diimbangi dengan meningkatnya penawran agregat karena adanya

kendala struktural perekonmian.

Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Kebijakan pemerintah dalam menaikkan

harga barang dan jasa seperti BBM, listrik, air miinum dan rokok serta menaikkan upah minimum

tenaga kerja swasta dan gaji pegawai negeri diperkirakan memberikan tambahan inflasi IHK.

Tingginya ekspektasi inflasi masyarakat. Tingginya inflasi IHK tidak lepas dari pengaruh

ekspektasi inflasi oleh produsen dan pedagang serta konsumen.

Melemahnya Nilai Tukar Rupiah. Pengaruh kuat depresiasi nilai tukar rupiah diketahui dari

hasik penelitian bank Indonesia, antara lain :

o Perilaku harga cenderung mudah meningkat karena pengaruh melemahnya nilai tukar

rupiah Perilaku harga cenderung sulit untuk turun apabila nilai tukar rupiah menguat

Page 6: Jurnal Eko.Pembangunan

Tingkat Suku Bunga SBI (BI Rate).

Menurut Karl dan Fair suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam

bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan

jumlah pinjaman. Pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Suku bunga

dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga sumber daya

yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur.

Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah :

a. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.

b. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan

uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor

industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah

memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain.

c. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah

dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian.

Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu : penawaran tabungan dan permintaan investasi

modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada

dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan

ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat

masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya.

Tinggi rendahnya penawaran dana investasi ditentukan oleh tinggi rendahnya suku bunga tabungan masyarakat.

Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 471) suku bunga adalah harga yang dibayarkan untuk satuan mata

uang yang dipinjam pada periode waktu tertentu.

Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi dua yaitu suku

bunga nominal dan suku bunga riil. Dimana suku bunga nominal adalah rasio antara jumlah uang yang

dibayarkan kembali dengan jumlah uang yang dipinjam. Sedang suku bunga riil lebih menekankan pada rasio

daya beli uang yang dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam. Suku bunga riil adalah selisih

antara suku bunga nominal dengan laju inflasi. Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998) suku bunga adalah

pembayaran yang dilakukan atas penggunaan sejumlah uang.

Menurut Nopirin (1992:176) fungsi tingkat bunga dalam perekonomian yaitu alokasi faktor produksi untuk

menghasilkan barang dan jasa yang dipakai sekarang dan di kemudian hari.

Menurut Ramirez dan Khan (1999) ada dua jenis faktor yang menentukan nilai suku bunga, yaitu faktor internal

dan eksternal. Faktor internal meliputi pendapatan nasional, jumlah uang beredar, dan inflasi. Sedang faktor

eksternal merupakan suku bunga luar negeri dan tingkat perubahan nilai valuta asing yang diduga.

Menurut Prasetiantono (2000) mengenai suku bunga adalah : jika suku bunga tinggi, otomatis orang akan lebih

suka menyimpan dananya di bank karena ia dapat mengharapkan pengembalian yang menguntungkan. Dan pada

posisi ini, permintaan masyarakat untuk memegang uang tunai menjadi lebih rendah karena mereka sibuk

mengalokasikannya ke dalam bentuk portfolio perbankan (deposito dan tabungan). Seiring dengan

berkurangnya jumlah uang beredar, gairah belanja pun menurun. Selanjutnya harga barang dan jasa umum akan

cenderung stagnan, atau tidak terjadi dorongan inflasi. Sebaliknya jika suku bunga rendah, masyarakat

cenderung tidak tertarik lagi untuk menyimpan uangnya di bank.

Beberapa aspek yang dapat menjelaskan fenomena tingginya suku bunga di Indonesia adalah tingginya suku

bunga terkait dengan kinerja sektor perbankan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi (perantara),

kebiasaan masyarakat untuk bergaul dan memanfaatkan berbagai jasa bank secara relatif masih belum cukup

tinggi, dan sulit untuk menurunkan suku bunga perbankan bila laju inflasi selau tinggi ( Prasetiantono, 2000 :

99-101)

.Menurut Keynes dalam wardane (2003), tingkat bunga ditentukanoleh permintaan dan penawaran akan uang

(ditentukan dalam pasar uang).Suku bunga dibedakan menjadi dua , yaitu :

Page 7: Jurnal Eko.Pembangunan

1. Suku bunga nominal adalah suku bungan dalam nilai uang. Suku bunga ini merupkan yang dapat

dibaca secara umum. Suku bungaini dapat menunjukan sejumlah rupiah utuk setiap satu rupiah yang

diinvestasikan.

2. Suku bunga rill adalah suku unga yang mengalami koreksi akibatinflasi dan didefinisikan sebagai suku

bunga nominal dikurangilaju inflasi.

Suku Bunga Menurut Karl dan Fair (2001:635) suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu

pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun

dibagi dengan jumlah pinjaman. Pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari

pinjaman. Suku bunga dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu

ukuran harga sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur. Adapun fungsi

suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah : a. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai

dana lebih untuk diinvestasikan. b. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka

mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah

mendukung pertumbuhan suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut

akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain. c.

Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah

dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian. Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan,

yaitu : penawaran tabungan dan permintaan investasi modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah

selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar

masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga.

Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya.

Nilai Tukar.

Kurs merupakan salah satu indicator yang mempengaruhi aktivitasdi pasar saham maupun di pasar uang karena

investor akan cenderung berhati-hati untuk melakukan investasi pada bursa efek di Negara

tersebut.Terdepresiasinya kurs rupiah terhadap mata uang asing khususnyakhususnya dolar amerika memiliki

pengaruh negative terhdapa ekonomidan pasar modal (sitinjak dan Kurniasari, 2003).Perubahan suatu variable

makro ekonomi memiliki dampak yang berbeda terhdapa harga saham yaitu suatu saham dapat terkena

dampak positif sementara saham lainnya terkena dampak negative.Misalnya, perusahaan yang berorientasi

impor, depresiasi kursrupiah terhdap kurs dollar maka akan berdampak negative pada perusahaan tersebut

karena dengan terdepresiasinya nilai kurs rupiah maka perusahaan pengimpor itu membayarkan dengan jumlah

uang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kurs sebelumnnya saat kurs yang belumterdepresiasi.

Sementara itu, perusahaan yang berorientasi ekspor,terdepresiasinya kurs rupiah terhadap kurs dollar akan

berdampak positif pada perusahaan tersebut karena dengan terdepresiasinya nilai kurs rupiahmaka perusahaan

pengekspor itu mendapatkan rupiah dengan jumlah uangyang lebih banyak jika dibandingkan dengan kurs

sebelumnnya saat kursyang belum terdepresiasi. Dan hal ini juga akan mempengaruhi indeksharga saham yang

ada di Indonesia jika perusahan tersebut mendapatkandampak positif maka harga saham perusahaan tersebut

akan meningkat, sedangkan perusahaan yang mendapatkan dampak negative akibatterdepresiasinya kurs rupiah

maka harga saham perusahaan tersebut akanmenurun.

Penentuan nilai tukar

Ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi pergerakan nilaitukar yaitu (Madura ,1993):

1. Faktor Fundamental.Faktor fundamental berkaitan dengan indicator ekonomiseperti inflasi, suku

bunga, perbedaan relative antar Negara,ekspektasi pasar dan intervensi bank sentral.

2. Faktor Teknis.Faktor teknis berkaitan dengan kondisi permintaan dan penawaran devisa pada saat

tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap , maka harga valutaasing akan

terapresiasi, sebaliknya apabila ada kekuranan permintaan, sementara penwaran tetap maka nilai vauta

asingakan terdepresiasi.

Sentiment Pasar.Sentiment pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor berita politik yang bersifak

insidentil, yang dapat mendorongharga valuta asing naik atau turun secara tajam dalam jangka pendek.

Apabila rumor atau berita sudah berlalu, maka nilaitukar akan kembali normal.

Menurut Musdholifah & Tony (2007), nilai tukar atau kurs adalah perbandingan antara harga mata uang suatu

negara dengan mata uang negara lain. Misal kurs rupiah terhadap dollar Amerika menunjukkan berapa rupiah

yang diperlukan untuk ditukarkan dengan satu dollar Amerika.

Menurut Triyono (2008), kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu

merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut.

Page 8: Jurnal Eko.Pembangunan

Heru (2008) menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing pun mempunyai pengaruh negatif

terhadap ekonomi dan pasar modal. Dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan

mengakibatkan meningkatnya biaya impor bahan-bahan baku yang akan digunakan untuk produksi dan juga

meningkatkan suku bunga. Walaupun menurunnya nilai tukar juga dapat mendorong perusahaan untuk

melakukan ekspor.

Penentuan Nilai Tukar

Perubahan dalam permintaan dan penawaran sesuatu valuta, yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam

kurs valuta, disebabkan oleh banyak faktor seperti yang diuraikan dibawah ini (Sukirno, 2004:402).

1. Perubahan dalam cita rasa masyarakat.

2. Perubahan harga barang ekspor dan impor.

3. Kenaikan harga umum (inflasi).

4. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi.

5. Pertumbuhan ekonomi.

HUBUNGAN TINGKAT SUKU BUNGA SBI DAN NILAI TUKAR US DOLLAR TERHADAP INFLASI

Dalam jurnal yang disusun oleh Edri, Institut PERBANAS Jakarta menjelaskan bahwa dengan

menggunakan variance decomposition, terlihat bahwa dalam jangka pendek, laju inflasi secara berturut-turut

banyak dipengaruhi oleh suku bunga SBI, nilai tukar, output gap, inflasi luar negeri dan GDP. Dan dalam jangka

panjang inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh kebijakan moneter (dalam hal ini adalah tingkat suku bunga

SBI). Yang berarti kenaikan suatu tingkat suku bunga SBI secara signifikan positif menaikan laju inflasi

Kerangka Pemikiran

III METODE PENELITIAN

Variabel Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan tiga variabel yakni satu variabel dependen dan dua variabel

independen. Variabel dependennya adalah Inflasi dan variabel independennya adalah:Tingkat Suku Bunga SBI,

dan Nilai Tukar US Dollar. Agar lebih mudah memahami tentang penggunaan variabel-variabel dalam

penelitian ini,maka lihat tabel operasional variabel berikut ini :

Tabel 2

Tabel Operasional Variabel

Variabel Definisi Skala

Tingkat Suku Bunga (X1)

Karl dan Fair

Nilai Tukar (X2)

Musdholifah & Tony

Inflasi (Y)

Nopirin, Sadono Sukirno, Nanga

Page 9: Jurnal Eko.Pembangunan

Inflasi Sukirno (2004: 27) memberikan

definisi bahwa inflasi adalah suatu

proses kenaikan harga-harga yang

berlaku dalam suatu perekonomian.

Rasio

Tingkat Suku Bunga Menurut Sunariyah (2004:80)

adalah harga dari pinjaman. Suku

bunga dinyatakan sebagai

persentase uang pokok per unit

waktu. Bunga merupakan suatu

ukuran harga sumber daya yang

digunakan oleh debitur yang harus

dibayarkan kepada kreditur..

Rasio

Nilai Tukar Menurut Paul R Krugman dan

Maurice (1994 : 73) adalah Harga

sebuah Mata Uang dari suatu

negara yangdiukur atau dinyatakan

dalam mata uang lainnya.

Rasio

Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari

lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti, Bank Indonesia (BI), dan Badan Pusat Statistik

(BPS). Tidak jarang pula menggunakan pencarian melalui internet salah satunya adalah situs google.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi, yaitu pengumpulan data

dilakukan dengan kategori dan klasifikasi data-data tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian baik

dari sumber dokumen/buku-buku, koran, majalah, website dan lain-lain. Data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data tahunan dari tahun 2002-2012. Data inflasi menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Sedangkan data tingkat suku bunga dan nilai tukar diperoleh dari Bank Indonesia

3.3 Jenis dan Sumber data

Jenis penilitian dari segi pendekatan dibagi menjadi dua macam yaitu, pendekatan kualitatif dan

pendekatan kuantitatif. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.Dalam penelitian

ini data dihimpun dengan menggunakan data sekunder dengan jenis data time series, data yang diperoleh dari

Bank Indonesia(BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Penelitian Kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif

terhadap fenomena social. Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap fenomena sosial di jabarkan kedalam

beberapa komponen masalah, variable dan indicator. Setiap variabel yang di tentukan di ukur dengan

memberikan simbol – simbol angka yang berbeda – beda sesuai dengan kategori informasi yang berkaitan

dengan variable tersebut. Dengan menggunakan symbol – symbol angka tersebut, teknik perhitungan secara

kuantitatif matematik dapat di lakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di

dalam suatu parameter. Tujuan utama data metodologi ini ialah menjelaskan suatu masalah tetapi menghasilkan

generalisasi. Generalisasi ialah suatu kenyataan kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu

masalah yang di perkirakan akan berlaku pada suatu populasi tertentu. Generalisasi dapat dihasilkan melalui

suatu metode perkiraan atau metode estimasi yang umum berlaku didalam statistika induktif. Metode estimasi

itu sendiri dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap keadaan nyata yang lebih terbatas lingkupnya yang juga

sering disebut sample dalam penelitian kuantitatif. Jadi, yang diukur dalam penelitian sebenarnya ialah bagian

Page 10: Jurnal Eko.Pembangunan

kecil dari populasi atau sering disebut data. Data ialah contoh nyata dari kenyataan yang dapat diprediksikan ke

tingkat realitas dengan menggunakan metodologi kuantitatif tertentu. Penelitian kuantitatif mengadakan

eksplorasi lebih lanjut serta menemukan fakta dan menguji teori-teori yang timbul.

3.4 Analisis Data

1. Model Analisis

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda, dikarenakan

penelitian ini menggunakan lebih dari satu variabel independen.

Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel

independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel

independen berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen

apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang digunakan

biasanya berskala interval atau rasio.

Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:

Dimana : = Variabel Independen ( INFLASI)

= Variabel independen (SBI dan NT)

a = Konstanta (nilai Y’ apabila )

b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)

2. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear

berganda yang berbasis ordinary least square (OLS). Jadi analisis regresi yang tidak berdasarkan

OLS tidak memerlukan persyaratan asumsi klasik, misalnya regresi logistik atau regresi ordinal.

Demikian juga tidak semua uji asumsi klasik harus dilakukan pada analisis regresi linear, misalnya

uji multikolinearitas tidak dapat dipergunakan pada analisis regresi linear sederhana dan uji

autokorelasi tidak perlu diterapkan pada data cross sectional.

Uji asumsi klasik juga tidak perlu dilakukan untuk analisis regresi linear

yang bertujuan untuk menghitung nilai pada variabel tertentu. Misalnya nilai return saham yang

dihitung dengan market model, atau market adjusted model. Perhitungan nilai return yang

diharapkan dilakukan dengan persamaan regresi, tetapi tidak perlu diuji asumsi klasik. Setidaknya

ada lima uji asumsi klasik, yaitu uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, uji normalitas, uji

autokorelasi dan uji linearitas. Tidak ada ketentuan yang pasti tentang urutan uji mana dulu yang

harus dipenuhi. Analisis dapat dilakukan tergantung pada data yang ada. Sebagai contoh,

dilakukan analisis terhadap semua uji asumsi klasik, lalu dilihat mana yang tidak memenuhi

persyaratan. Kemudian dilakukan perbaikan pada uji tersebut, dan setelah memenuhi persyaratan,

dilakukan pengujian pada uji yang lain.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak.

Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Jadi uji

normalitas bukan dilakukan pada masing-masing variabel tetapi pada nilai residualnya. Sering

terjadi kesalahan yang jamak yaitu bahwa uji normalitas dilakukan pada masing-masing variabel.

Hal ini tidak dilarang tetapi model regresi memerlukan normalitas pada nilai residualnya bukan

pada masing-masing variabel penelitian.

Pengertian normal secara sederhana dapat dianalogikan dengan sebuah kelas. Dalam kelas

siswa yang bodoh sekali dan pandai sekali jumlahnya hanya sedikit dan sebagian besar berada

pada kategori sedang atau rata-rata. Jika kelas tersebut bodoh semua maka tidak normal, atau

Page 11: Jurnal Eko.Pembangunan

sekolah luar biasa. Dan sebaliknya jika suatu kelas banyak yang pandai maka kelas tersebut tidak

normal atau merupakan kelas unggulan. Pengamatan data yang normal akan memberikan nilai

ekstrim rendah dan ekstrim tinggi yang sedikit dan kebanyakan mengumpul di tengah. Demikian

juga nilai rata-rata, modus dan median relatif dekat.

Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji histogram, uji normal P Plot, uji Chi Square,

Skewness dan Kurtosis atau uji Kolmogorov Smirnov. Tidak ada metode yang paling baik atau

paling tepat. Tipsnya adalah bahwa pengujian dengan metode grafik sering menimbulkan

perbedaan persepsi di antara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji

statistik bebas dari keragu-raguan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji

statistik lebih baik dari pada pengujian dengan metode grafik. Jika residual tidak normal tetapi

dekat dengan nilai kritis (misalnya signifikansi Kolmogorov Smirnov sebesar 0,049) maka dapat

dicoba dengan metode lain yang mungkin memberikan justifikasi normal. Tetapi jika jauh dari

nilai normal, maka dapat dilakukan beberapa langkah yaitu: melakukan transformasi data,

melakukan trimming data outliers atau menambah data observasi. Transformasi dapat dilakukan ke

dalam bentuk Logaritma natural, akar kuadrat, inverse, atau bentuk yang lain tergantung dari

bentuk kurva normalnya, apakah condong ke kiri, ke kanan, mengumpul di tengah atau menyebar

ke samping kanan dan kiri.

2. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas adalah untuk melihat ada atau tidaknya korelasi yang tinggi antara

variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi linear berganda. Jika ada korelasi yang tinggi di

antara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel

terikatnya menjadi terganggu. Sebagai ilustrasi, adalah model regresi dengan variabel bebasnya

motivasi, kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan variabel terikatnya adalah kinerja. Logika

sederhananya adalah bahwa model tersebut untuk mencari pengaruh antara motivasi,

kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja. Jadi tidak boleh ada korelasi yang tinggi

antara motivasi dengan kepemimpinan, motivasi dengan kepuasan kerja atau antara kepemimpinan

dengan kepuasan kerja. Alat statistik yang sering dipergunakan untuk menguji gangguan

multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF), korelasi pearson antara variabel-

variabel bebas, atau dengan melihat eigenvalues dan condition index (CI). Untuk mendeteksi ada

atau tidaknya multikoliniearitas didalam model ini adalah sebagai berikut : (a) Nilai R2 sangat

tinggi, tetapi secara individual variabel‐variabel bebas banyak yang tidak signifikan mempengaruhi

variabel terikat. (b) Menganalisa matrik korelasi antar variabel bebas. Jika terdapat korelasi antar

variabel bebas yang cukup tinggi (> 0,9), hal ini merupakan indikasi adanya multikolenaritas. (c)

Dilihat dari nilai VIF dan Tolerance. Nilai cut off Tolerance < 0.10 dan VIF > 10, berarti terdapat

multikolinearitas. Jika terjadi gejala multikolinearitas yang tinggi, standard error koefisien regresi

akan semakin besar dan mengakibatkan confidence interval untuk pendugaan parameter semakin

lebar. Dengan demikian terbukakemungkinan terjadinya kekeliruan yaitu menerima hipotesis yang

salah. Uji multikolinearitas dapat dilaksanakan dengan jalan meregresikan model analisis dan

melakukan uji korelasi antar independen variabel dengan menggunakan variance inflating factor

(VIF). Batas VIF adalah 10 apabila nilai VIF lebih besar dari pada 10 maka terjadi

multikolinearitas (Ghozali dalam Thobarry, 2009).

Beberapa alternatif cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah sebagai berikut:

1. Mengganti atau mengeluarkan variabel yang mempunyai korelasi yang tinggi.

2. Menambah jumlah observasi.

3. Mentransformasikan data ke dalam bentuk lain, misalnya logaritma natural, akar kuadrat atau

bentuk first difference delta.

4. Dalam tingkat lanjut dapat digunakan metode regresi bayessian yang masihjarang sekali

digunakan.

3. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas adalah untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari

residual satu ke pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang memenuhi persyaratan

Page 12: Jurnal Eko.Pembangunan

adalah di mana terdapat kesamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain

tetap atau disebut homoskedastisitas.Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode

scatter plot dengan memplotkan nilai ZPRED (nilai prediksi) dengan SRESID (nilai residualnya).

Model yang baik didapatkan jika tidak terdapat pola tertentu pada grafik, seperti mengumpul di

tengah, menyempit kemudian melebar atau sebaliknya melebar kemudian menyempit. Deteksi ada

atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya pola tertentu

pada grafik scatterplot antara SPREDSID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah

diprediksi dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang telah di‐ studentized.

Apabila ada pola tertentu, seperti titik‐titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur

(bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi

heteroskedastisitas. Apabila pola yang jelas, serta titik‐titik menyebar diatas dan dibawah angka 0

pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. (Ghozali dalam Thobarry, 2009).

Uji statistik yang dapat digunakan adalah uji Glejser, uji

Park atau uji White Beberapa alternatif solusi jika model menyalahi asumsi heteroskedastisitas

adalah dengan mentransformasikan ke dalam bentuk logaritma, yang hanya dapat dilakukan jika

semua data bernilai positif. Atau dapat juga dilakukan dengan membagi semua variabel dengan

variabel yang mengalami gangguan heteroskedastisitas.

4. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode t dengan

periode sebelumnya (t -1). Secara sederhana adalah bahwa analisis regresi adalah untuk melihat

pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat, jadi tidak boleh ada korelasi antara

observasi dengan data observasi sebelumnya. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem

autokorelasi. Model regresi yang baik adalah yang bebas autokorelasi. Untuk mendeteksi

autokorelasi, dapat dilakukan uji statistik melalui uji Durbin-Watson (DW test) (Ghozali dalam

Thobarry, 2009). Menurut Santoso (dalam Thobarry, 2009) jika angka Durbin Watson berkisar

antara –2 sampai dengan +2 maka koefisien regresi bebas dari gangguan autokorelasi sedangkan

jika angka DW dibawah –2 berarti terdapat autokorelasi positif dan jika angka DW diatas +2

berarti terdapat autokorelasi negatif. Sebagai contoh adalah pengaruh antara tingkat inflasi bulanan

terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Data tingkat inflasi pada bulan tertentu, katakanlah

bulan Februari, akan dipengaruhi oleh tingkat inflasi bulan Januari. Berarti terdapat gangguan

autokorelasi pada model tersebut. Contoh lain, pengeluaran rutin dalam suatu rumah tangga.

Ketika pada bulan Januari suatu keluarga mengeluarkan belanja bulanan yang relatif tinggi, maka

tanpa ada pengaruh dari apapun, pengeluaran pada bulan Februari akan rendah.

Uji autokorelasi hanya dilakukan pada data time series (runtut waktu) dan tidak perlu

dilakukan pada data cross section seperti pada kuesioner di mana pengukuran semua variabel

dilakukan secara serempak pada saat yang bersamaan. Model regresi pada penelitian di Bursa Efek

Indonesia di mana periodenya lebih dari satu tahun biasanya memerlukan uji autokorelasi

Beberapa uji statistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson, uji

dengan Run Test dan jika data observasi di atas 100 data sebaiknya menggunakan uji Lagrange

Multiplier. Beberapa cara untuk menanggulangi masalah autokorelasi adalah dengan

mentransformasikan data atau bisa juga dengan mengubah model regresi ke dalam bentuk

persamaan beda umum (generalized difference equation). Selain itu juga dapat dilakukan dengan

memasukkan variabel lag dari variabel terikatnya menjadi salah satu variabel bebas, sehingga data

observasi menjadi berkurang 1.

5. Uji Linearitas

Uji linearitas dipergunakan untuk melihat apakah model yang dibangun mempunyai hubungan

linear atau tidak. Uji ini jarang digunakan pada berbagai penelitian, karena biasanya model

dibentuk berdasarkan telaah teoretis bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel

terikatnya adalah linear. Hubungan antar variabel yang secara teori bukan merupakan hubungan

linear sebenarnya sudah tidak dapat dianalisis dengan regresi linear, misalnya masalah elastisitas.

Jika ada hubungan antara dua variabel yang belum diketahui

apakah linear atau tidak, uji linearitas tidak dapat digunakan untuk memberikan adjustment bahwa

hubungan tersebut bersifat linear atau tidak. Uji linearitas digunakan untuk mengkonfirmasikan

apakah sifat linear antara dua variabel yang diidentifikasikan secara teori sesuai atau tidak dengan

Page 13: Jurnal Eko.Pembangunan

hasil observasi yang ada. Uji linearitas dapat menggunakan uji Durbin-Watson, Ramsey Test atau

uji Lagrange Multiplier.

3. Pengujian Hipotesis

1.) Analisis koefisien determinasi (R2)

Untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen yaitu PDB (X1) dan SBDB (X2)

terhadap variabel dependen dalam hal ini IHSG (Y) maka digunakan analisis koefisien

determinasi (R2). Koefisien Determinasi (R2) yang kecil atau mendekati nol berarti

kemampuan variabel – variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen

amat terbatas. Nilai R2 yang mendekati satu berarti variabel – variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel – variabel

dependen. Akan tetapi ada kalanya dalam penggunaan koefisisen determinasi terjadi bias

terhadap satu variabel indipenden yang dimasukkan dalam model. Setiap tambahan satu

variabel indipenden akan menyebabkan peningkatan R2, tidak peduli apakah variabel tersebut

berpengaruh secara siginifikan terhadap variabel dependen (memiliki nilai t yang signifikan).

2.) Uji Statistik t

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara

sendiri-sendiri mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Dengan

kata lain, untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen dapat menjelaskan

perubahan yang terjadi pada variabel dependen secara nyata. Untuk mengkaji pengaruh

variabel independen terhadap dependen secara individu dapat dilihat hipotesis berikut: H0 : ß1

= 0

negatif.

Dimana ß1 adalah koefisien variabel independen ke-1 yaitu nilai parameter hipotesis.

Biasanya nilai ß dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh variable X1 terhadap Y. Bila thitung

> ttabel maka Ho diterima (signifikan) dan jika thitung < ttabel Ho ditolak (tidak signifikan).

Uji t

digunakan untuk membuat keputusan apakah hipotesis terbukti atau tidak,

dimana tingkat signifikan yang digunakan yaitu 10%.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bedasarkan model regresi yang telah dijelaskan bedasarkan analisis menggunakan SPSS, hubungan antara

tingkat suku bunga dan kurs terhadap Inflasi dapatdisimpulkan persamaan garis regresi dari tabel 3 coefficient

sebagai berikut :

4.1 Uji Asumsi Klasik

4.1.1 Uji Normalitas

Bedasarkan gambar 3, dapat dilihat bahwatitik-titik tidak menyebar disekitar garis diagonal dan penyebarannya

tidak mengikuti garis diagonal.Dengan demikian penyebaran data Harga Saham tidak mengikuti asumsi

normalitas.

4.1.2 Uji Multikolinearitas

Coefficientsa

Page 14: Jurnal Eko.Pembangunan

Model Collinearity Statistics

Tolerance VIF

1 (Constant)

SBI ,949 1,054

KURS ,949 1,054

a. Dependent Variable: INFLASI

Berdasarkan tabel tersebut diperoleh bahwa semua variabel bebas memiliki nilai tolerance diatas 0,1

dan nilai VIF kedua variabel independent dalah 1,054 lebih kecil dari 5. Dengan demikian tidak

terdapat masalah multikolonieritas dalam model regresi. Jadi dapat disimpulkan tidak terdapat

korelasi antara variabel-variabel independent.

4.1.3 Uji Heterokedastisitas

Dengan melihat gambar tersebut tidak terdapat pola yang jelas serta titik-titik menyebar diatas dan

dibawah angka 0,sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadiheteroskedestisitas pada model regresi

ini.

4.1.4 Uji Auto korelasi

Model Summaryb

Model

R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

d

i

m

e

n

s

i

o

n

0

1 ,879a ,772 ,715 2,17767 2,068

a. Predictors: (Constant), KURS, SBI

b. Dependent Variable: INFLASI

Page 15: Jurnal Eko.Pembangunan

Berdasarkan tabel diperoleh nilai Durbin-Watson sebesar 2,068 dengan derajat kepercayaan 5%, berarti tidak

terdapat kesimpulan autokorelasi.

4.2 Koefisien Determinasi

Model Summaryb

Model

R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

d

i

m

e

n

s

i

o

n

0

1 ,879a ,772 ,715 2,17767 2,068

a. Predictors: (Constant), KURS, SBI

b. Dependent Variable: INFLASI

Berdasarkan table diatas bahwa nilai R2 sebesar 0,715, hal tersebut berarti 71,5% variabel Inflasi dapat

dijelaskan oleh variabel independentnya yaitu kurs dan SBI. Sisanya sebesar 28,5% dijelaskan oleh variabel-

variabel lain diluar persamaan.

4.3 Uji T

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) -18,140 10,015 -1,811 ,108

SBI 1,126 ,251 ,777 4,487 ,002

KURS ,002 ,001 ,270 1,556 ,158

Page 16: Jurnal Eko.Pembangunan

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) -18,140 10,015 -1,811 ,108

SBI 1,126 ,251 ,777 4,487 ,002

KURS ,002 ,001 ,270 1,556 ,158

a. Dependent Variable: INFLASI

Terlihat nilai signifikan untuk variable SBI adalah 0,002. Nilai signifikan lebih kecil dari nilai

probabilitas 0,05, atau nilai 0,002 < 0,05, maka H1 diterima dan H0 ditolak. Variabel X1 mempunyai

thitung yakni 4,487 dengan ttabel=1,86. Jadi thitung > ttabel dapat disimpulkan bahwa variabel X1

memiliki kontribusi terhadap Y. Nilai t positif menunjukkan bahwa variabel X1 mempunyai

hubungan yang searah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa SBI memiliki pengaruh signifikan

terhadap inflasi.

Terlihat nilai signifikan untuk variable SBI adalah 0,158. Nilai signifikan lebih besar dari nilai

probabilitas 0,05, atau nilai 0,158 > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Variabel X1 mempunyai

thitung yakni 1,556 dengan ttabel=1,86. Jadi thitung < ttabel dapat disimpulkan bahwa variabel X1 tidak

memiliki kontribusi terhadap Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa kurs tidak memiliki pengaruh

signifikan terhadap inflasi

4.4 Uji F

ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 128,563 2 64,282 13,555 ,003a

Residual 37,938 8 4,742

Total 166,501 10

a. Predictors: (Constant), KURS, SBI

b. Dependent Variable: INFLASI

Dari tabel diperoleh nilai Fhitung sebesar 13,555 dengan nilai probabilitas (sig) = 0,003. Nilai Fhitung

(13,555) > Ftabel (3,113), dan nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 atau nilai 0,003 <

0,05; maka H1 diterima, berarti secara bersama-sama (simultan) SBI dan Kurs memiliki pengaruh

signifikan terhadap inflasi

V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian yang dilakukan variabel Tingkat Suku bunga memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap inflasi dan memiliki hubungan yang berlawanan arah.

2. Dari hasil penelitian yang dilakukan variabel Kurs memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap

inflasi.

3. Dari hasil penelitian yang dilakukan variabel Tingkat Suku Bunga dan Kurs memiliki pengaruh yang

Page 17: Jurnal Eko.Pembangunan

signifikan terhadap inflasi

Jadi, dari hasil hipotesis tersebut dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan

antara Tingkat Suku Bunga terhadap inflasi. Hasil tersebut sesuai dengan teori Tingkat Suku bunga

dimana jika Suku Bunga Indonesia mengalami kenaikan maka inflasi cenderug naik. Lalu tidak

terdapat pengaruh secara signifikan antara Kurs terhadap inflasi.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan, terdapat banyak keterbatasan. Berikut

saran – saran bagi peneliti :

1. Bagi peneliti agar dapat menambah data yang diamati agar dapat memperoleh hasil penelitian yang

akurat.

2. Bagi peneliti agar dapat menambah variabel agar dapat memperoleh ramalan dan hasil yang lebih

baik..

3. Bagi peneliti agar dapat menggunakan data yang tepat agar dapat memperkecil error.

Page 18: Jurnal Eko.Pembangunan

DAFTAR PUSTAKA

http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/medan/index.php?option=com_content&view=article&id=144:-menguji-

kekuatan-rupiah-mengenang-kembali-65-tahun-oeang-repoeblik-indonesia

http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/perkembangan-suku-bunga-di-indonesia.html

http://muhammadsoleh.blogspot.com/2008/02/perkembangan-moneter-inflasi-indonesia.html

Pengaruh Tingkat Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Dan Nilai Tukar Us Dollar Terhadap Inflasi Di

Indonesia Tahun 2002

http://www.informasiku.com/2011/04/teori-suku-bunga-dan-inflasi.html?m=1

http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2011-2-00397-mc%204.pdf

http://www.academia.edu/4836753/BAB_II_LANDASAN_TEORI

http://darmawanachmad.wordpress.com/2010/02/28/kumpulan-teori-tentang-suku-bunga/

http://imamsetiyantoro.wordpress.com/2012/02/03/nilai-tukar-rupiah/

http://journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/47/144