jurnal eko.pembangunan
DESCRIPTION
THE IMPACT INTEREST RATE AND EXCHANGE RATE US DOLLAR OF INFLATION IN INDONESIA PERIOD 2002-2012TRANSCRIPT
![Page 1: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/1.jpg)
THE IMPACT INTEREST RATE AND EXCHANGE RATE US DOLLAR OF INFLATION IN INDONESIA
PERIOD 2002-2012
Disusun oleh :
Genta Noer Kahar
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan FE Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Email : [email protected]
Pembimbing :
Tony S Chendrawan, ST.,SE.,M.Si
Dr.H.M., Kuswantoro., Msi
Abstract
Inflation is one of the important indicators of the economy, inflation has always strived low and stable. High
inflation and unstable is a reflection of the trend of rising price level of goods and services in general and
continuously so that it will weaken the purchasing power of the community which will have an impact on the
decline in national income. It is therefore expected that the inflation rate control lately chart shows the rise.
The purpose of this research to knows the impact and correlation between interest rate and exchange rate of
inflation. The results of this study indicate that the interest rate has significant effect on inflation in Indonesia.
On the other hand Exchange Rate U.S. Dollar is have not significant effect on inflation rate in Indonesia.
Keyword : INFLATION, EXCHANGE RATE, INTEREST RATE
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit kronis dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di
Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali pada zaman Presiden Soekarno,
karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman
Soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi - akan tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata,
antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang
bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru pada zaman reformasi, mulai pada zaman Presiden Habibie
maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena
inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka
“inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.
Bila ditinjau dalam jangka panjang, sejak kemerdekaan, upaya Pemerintah Indonesia menjaga
kestabilan mata uang telah menuju kearah yang lebih baik. Prof. M. Sadli, 2005, mengungkapkan “Inflasi di
Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak
prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi
tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda,
antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman
reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai
rupiah.”
Pada tahun 1990-an, Pemerintahan Soeharto juga sebenarnya telah mampu menjaga tingkat inflasi
dengan rata-rata di bawah 10%. Hanya saja ketika memasuki masa krisis moneter Indonesia (dan Asia) 1997
Inflasi kembali meningkat menjadi 11,10% dan kemudian melompat menjadi 77,63% pada tahun 1998, di mana
saat itu nilai tukar rupiah juga anjlok dari Rp 2.909,- per dolar AS (1997) menjadi Rp 10.014,- per dolar AS
(1998). Setelah itu Pemerintahan Habibie melakukan kebijakan moneter yang sangat ketat dan menghasilkan
tingkat inflasi yang (paling) rendah yang pernah dicapai yaitu sebesar 2,01% pada tahun 1999.
![Page 2: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/2.jpg)
Selanjutnya pada tahun 2000 hingga 2006 Inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang tinggi, yaitu
dengan rata-rata mencapai 10%. Inflasi tahun 2005 dengan nilai sebesar 17,11% adalah inflasi tertinggi pasca
krisis moneter Indonesia (1997/1998), tekanan akan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM)
diperkirakan menjadi faktor utama tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga minyak di pasar internasional
menyebakan Pemerintah berusaha untuk menghapuskan subsidi BBM. Hal tersebut sangat mempengaruhi
kondisi makro ekonomi Indonesia mengingat konsumsi BBM mencapai 47.4 % (tahun 2000) dari total
konsumsi energi Indonesia.
Pemerintah (pasca reformasi) sepertinya telah berusaha keras menjaga tingkat inflasi, namun berbagai
tekanan dari dalam dan luar negeri pasca reformasi (1997) masih sangat tinggi mempengaruhi pergerakan
perekonomian Indonesia. Inflasi yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan
tingkat inflasi Malaysia dan Thailand yang berkisar 2%, bahkan Singapura yang berada di bawah 1%. Bila
sektor-sektor riil dalam negeri tidak dibangkitkan maka upaya di sektor moneter menjaga kestabilan makro
ekonomi dalam jangka panjang hanya akan menjadi hal yang sia-sia.
Perkembangan suku bunga yang tidak wajar secara langsung dapat mengganggu perkembangan
perekonomian. Karena disatu sisi, suku bunga yang tinggi akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk
menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat. Sementara itu, di sisi lain suku bunga yang tinggi
akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh dunia usaha sehingga mengakibatkan penurunan kegiatan
produksi di dalam negeri. Menurunnya produksi pada gilirannya akan menurunkan pula kebutuhan dana oleh
dunia usaha. Hal ini berakibat permintaan terhadap kredit perbankan juga menurun sehingga dalam kondisi suku
bunga yang tinggi, yang menjadi persoalan adalah ke mana dana itu akan disalurkan (Pohan, 2008 : 53).
Disisi perbankan, dengan bunga yang tinggi maka bank mampu menghimpun dana untuk disalurkan
dalam bentuk kredit kepada dunia usaha. Namun disisi lain dunia usaha, kendati dana kredit perbankan tersedia,
beban bunga yang harus mereka tanggung lebih tinggi sehingga dunia usaha cenderung mencari alternatif
pendanaan yang lebih murah. Dalam keadaan seperti ini, yang menjadi persoalan bagi perbankan adalah mereka
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dana dunia usaha. Dapat ditambahkan, kecepatan dan
ketepatan pelayanan juga merupakan faktor penting yang menentukan permintaan akan kredit. Oleh karena itu,
pada saat sekarang ini peran pemerintah juga sangat diperlukan untuk menstabilkan tingkat suku bunga, agar
hasrat masyarakat untuk menabung tidak bekurang dan dunia usaha tetap bisa mendapatkan penambahan modal
dengan beban bunga yang kecil.
Untuk melihat perkembangan suku bunga di Indonesia tahun 1992-2008 dapat di lihat pada Tabel
berikut :
Perkembangan Suku Bunga di Indonesia,
Tahun 1992-2008
Tahun Suku Bunga
(%)
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
14.46
8.26
11.2
15.21
14.4
19.74
41.24
12.52
12.05
16.59
12.84
6.61
6.17
11.84
8.71
8
9.25
Sumber : Statistik Indonesia Dari Berbagai Edisi (diolah)
![Page 3: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/3.jpg)
Pada tahun 1992, suku bunga Bank Indonesia sebesar 14,46 persen dan pada tahun 1993 menurun
menjadi 8,26 persen sehingga para investor sangat terbantu dengan penurunan suku bunga ini. Pada tahun-tahun
berikutnya suku bunga mengalami fluktuasi karena keadaan perekonomian Indonesia yang tidak stabil.
Pada tahun 1998, suku bunga Bank Indonesia meningkat drastis menjadi sebesar 41,24 persen sehingga
para investor mengurangi investasinya. Hal ini disebabkan terjadinya krisis moneter yang dihadapi Indonesia
dan negara-negara berkembang lainnya, sehingga mata uang dalam negeri mengalami depresiasi terhadap mata
uang asing yaitu USD. Dan pada tahun-tahun berikutnya suku bunga mengalami kenaikan dan penurunan yang
diakibatkan oleh gejolak-gejolak yang dihadapi dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun 2008
perekonomian Indonesia mendapatkan ujian yang cukup besar lagi, karena terjadinya krisis ekonomi global
yang melanda Amerika Serikat, sahingga berdampak kepada negara-negara sedang berkembang seperti di
Indonesia. Dengan terjadinya krisis finansial di Amerika Serikat berdampak kepada anjloknya nilai sekuritas
yang ada di pasar modal dan banyak perusahaan besar yang ada di pasar modal mengalami kebangkrutan dan
menyebabkan banyaknya terjadi pemberhentian perkerjaan (PHK) bagi para tenaga kerja sehingga
meningkatnya angka pengangguran.
Dalam perkembangannya nilai tukar yang belum stabil dan inflasi yang masih tinggi memaksa Bank
Indonesia, sebagi otoritas moneter untukmempertahankan uang ketat, yang beraldbat tingginya suku bunga
didalam negeri.Disisi lain tingginya suku bunga yang berlebihan telah berdampak negatif terhadap dunia usaha.
Suatu negara didefmisikan mengalami krisis mata uangapabila nilai tukarnya mengalami perubaban yang besar,
disamping itu negara yang mengalami krisis mata uang umumnya ditandai dengan adanya perubaban
kebijakan mengenai sistim penetapan nilai tukar (ljahjono 1998:2).
Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan perkembagan laju inflasi. Sedangkan
kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan perkembangn nilai tukar rupiah terhadap
mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu tugas Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang No
23 tahun 1999 pasal 7 adalah untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga
kelancaran sisem pembayaran dan mengatur dan mengawasi bank. Tujuan tersebut perlu ditopang dengan tiga
pilar utama yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta
sistem perbankan dan keuangan yang sehat.
Pencapaian kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan sebagian prasyarat bagi
tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada gilirannya akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Hal ini juga sekaligus meletakkan landasan yang kukuh bagi pelaksanaan dan
pengembangan perekonomian Indonesia di tengah tengah perekonomian dunia yang semakin kompetitif dan
terintegrasi. Sebaliknya, jika upaya untuk menjaga kestabilan nilau rupiah ini gagal, hal ini dapat merugikan
karena berakibat menurunnya pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya saing perekonomian nasional
dalam kancah perekonomian dunia.
II Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Inflasi
Banyak pengertian inflasi yang disampaikan para ahli. Inflasi menurut A.P. Lehnerinflasi adalah
keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian
secara keseluruhan. Ahli yang lain yaitu Ackley memberi pengertian inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang
terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat).
Nanga (2001: 237) menyatakan bahwa inflasi adalah suatu gejala di mana tingkat harga umum
mengalami kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan tingkat harga umum yang terjadi sekali waktu saja
tidaklah dapat dikatakan sebagai inflasi. Menurut Rahardja (1997: 32) inflasi adalah kecenderungan dari harga-
harga untuk meningkat secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak
disebut inflasi, tetapi jika kenaikan meluas kepada sebagian besar harga barang-barang maka hal ini disebut
inflasi.
Sementara itu Eachern (2000: 133) menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan terus-menerus dalam
rata-rata tingkat harga. Jika tingkat harga berfluktuasi, bulan ini naik dan bulan depan turun, setiap adanya
kenaikan kerja tidak berarti sebagai inflasi. Sedangkan Sukirno (2004: 27) memberikan definisi bahwa inflasi
adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Selanjutnya BPS (2000: 10)
mendefinisikan inflasi sebagai salah satu indikator untuk melihat stabilitas ekonomi suatu wilayah atau daerah
![Page 4: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/4.jpg)
yang menunjukkan perkembangan harga barang dan jasa secara umum yang dihitung dari indeks harga
konsumen. Dengan demikian angka inflasi sangat mempengaruhi daya beli masyarakat yang berpenghasilan
tetap, dan di sisi lain juga mempengaruhi besarnya produksi barang.
Sedangkan menurut Boediono, inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara
umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila
kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang lain.
Proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus selama peride tertentu
Menurut Nopirin (1987:25). Sedangkan Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998: 578-603) Inflasi dinyatakan
sebagai kenaikan harga secara umum. Jadi tingkat inflasi adalah tingkat perubahan harga secara umum.
Definisi atau pengertian inflasi (inflation) adalah suatu periode di mana kekuatan membeli kesatuan
moneter turun. Inflasi (inflation) dapat timbul bila jumlah uang atau uang deposito dalam peredaran lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah barang-barang serta jasa-jasa yang ditawarkan. Hal ini seringkali didukung
dengan kehilangan kepercayaan masyarakat dalam negeri terhadap mata uang nasional yang kemudian
menimbulkan gejala yang meluas untuk menukar uang dengan barang-barang. Winardi (1995 : 235).
Menurut Bodie dan Marcus (2001 : 331) definisi atau pengertian inflasi (inflation) merupakan suatu
nilai di mana tingkat harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan, sedangkan menurut Weston dan
Copeland (1998 : 250), definisi atau pengertian inflasi (inflation) adalah suatu keadaan ekonomi yang
mengalami kenaikan tingkat harga tertinggi dan tidak bisa dicegah atau dikendalikan lagi
JENIS INFLASI
Berikut adalah rangkuman mengenai beberapa hal tentang inflasi yang dirangkum pembahasan Sadono
Sukirno(1998):
i. Jenis inflasi dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 pandangan yaitu:
Berdasarkan atas besarnya tekanan inflasi atau berdasarkan atas laju pertumbuhan inflasi, maka
inflasi dapat dibedakan atas:
Inflasi ringan (creeping inflation) di mana laju pertumbuhan inflasi adalah dibawah 10% per
tahun.
Inflasi sedang, di mana pertumbuhan inflasi antara 10% - 30% per tahun.
Inflasi berat (galloping inflation) di mana laju pertumbuhan inflasi antara 30% - 100% per tahun.
Hiper inflasi (run away inflation) di mana laju pertumbuhan inflasi diatas 100% per tahun.
Berdasarkan Asal Inflasi
Domestik Inflation atau inflasi yang berasal dari dalam negeri. Inflasi ini terjadi karena
pengaruh kejadian ekonomi yang terjadi di dalam negeri, misalnya terjadinya defisit anggaran
belanja negara yang secara terus menerus di atas dengan mencetak uang. Hal ini menyebabkan
jumlah uang yang dibutuhkan di masyarakat melebihi transaksinya dan ini menyebabkan nilai
uang menjadi rendah dan harga barang meningkat.
Imported Inflation atau inflasi yang tertular dari luar negeri. Inflasi ini disebabkan oleh
kenaikan harga barang ekspor seperti teh dan kopi di luar negeri (negara tujuan ekspor), harganya
mengalami kenaikan dan ini membawa pengaruh terhadap harga di dalam negeri.
PENGUKURAN INFLASI
Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga. Indeks
harga tersebut di antaranya:
1. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI), adalah indeks yang mengukur
harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
2. Indeks Biaya Hidup atau Cost-Of-Living Index (COLI).
3. Indeks Harga Produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang
dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan
![Page 5: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/5.jpg)
tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang
kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
4. Indeks Harga Komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.
5. Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi
lokal, barang jadi, dan jasa.
Dari indeks tersebut di atas yang sering dipakai untuk menghitung tingkat inflasi adalah Indeks Harga
Konsumen. Rumus untuk menentukan indek harga konsumen.
Faktor – faktor Penyebab Inflasi
Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998:587), ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
inflasi:
a) DemandPull Inflation
Timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif
perekonomian, menarik harga ke atas untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan agregat.
Terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya
likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga.
Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa
mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya
permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.
b) Cost Push Inflation or Supply Shock Inflation
Inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan biaya selama periode pengangguran tinggi dan penggunaan
sumber daya yang kurang efektif. Terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk
adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat
secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia
dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum
permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap
produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru.
Faktor penyebab lainnya :
Inflasi dapat terjadi ketika pemerintah mencetak kelebihan uang untuk menangani krisis.
Akibatnya, harga akhirnya meningkat pada kecepatan yang sangat tinggi untuk bersaing dengan
surplus mata uang.
Penyebab umum lainnya dari inflasi adalah kenaikan biaya produksi, yang menyebabkan kenaikan
harga produk akhir.
Inflasi juga bisa disebabkan oleh pemberi pinjaman internasional dan hutang nasional. Negara
meminjam uang, mereka harus berurusan dengan kepentingan, yang pada akhirnya menyebabkan
harga naik. Nilai tukar juga dapat menyebabkan inflasi, karena pemerintah akan harus berurusan
dengan perbedaan dalam impor / tingkat ekspor.
Perang pun juga sering menyebabkan inflasi, karena pemerintah harus mengembalikan uang yang
dihabiskan dan mengembalikan dana yang dipinjam dari bank sentral. Perang sering
mempengaruhi segala sesuatu dari perdagangan internasional untuk biaya tenaga kerja untuk
permintaan produk, sehingga pada akhirnya selalu menghasilkan kenaikan harga.
Meningkatnya Kegiatan Ekonomi. Meningkatnya kegiatan ekonomi mendorong peningkatan
permintaan agregat yang tidak diimbangi dengan meningkatnya penawran agregat karena adanya
kendala struktural perekonmian.
Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Kebijakan pemerintah dalam menaikkan
harga barang dan jasa seperti BBM, listrik, air miinum dan rokok serta menaikkan upah minimum
tenaga kerja swasta dan gaji pegawai negeri diperkirakan memberikan tambahan inflasi IHK.
Tingginya ekspektasi inflasi masyarakat. Tingginya inflasi IHK tidak lepas dari pengaruh
ekspektasi inflasi oleh produsen dan pedagang serta konsumen.
Melemahnya Nilai Tukar Rupiah. Pengaruh kuat depresiasi nilai tukar rupiah diketahui dari
hasik penelitian bank Indonesia, antara lain :
o Perilaku harga cenderung mudah meningkat karena pengaruh melemahnya nilai tukar
rupiah Perilaku harga cenderung sulit untuk turun apabila nilai tukar rupiah menguat
![Page 6: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/6.jpg)
Tingkat Suku Bunga SBI (BI Rate).
Menurut Karl dan Fair suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam
bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan
jumlah pinjaman. Pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Suku bunga
dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga sumber daya
yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur.
Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah :
a. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.
b. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan
uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor
industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah
memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain.
c. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah
dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian.
Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu : penawaran tabungan dan permintaan investasi
modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada
dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan
ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat
masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya.
Tinggi rendahnya penawaran dana investasi ditentukan oleh tinggi rendahnya suku bunga tabungan masyarakat.
Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 471) suku bunga adalah harga yang dibayarkan untuk satuan mata
uang yang dipinjam pada periode waktu tertentu.
Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi dua yaitu suku
bunga nominal dan suku bunga riil. Dimana suku bunga nominal adalah rasio antara jumlah uang yang
dibayarkan kembali dengan jumlah uang yang dipinjam. Sedang suku bunga riil lebih menekankan pada rasio
daya beli uang yang dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam. Suku bunga riil adalah selisih
antara suku bunga nominal dengan laju inflasi. Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998) suku bunga adalah
pembayaran yang dilakukan atas penggunaan sejumlah uang.
Menurut Nopirin (1992:176) fungsi tingkat bunga dalam perekonomian yaitu alokasi faktor produksi untuk
menghasilkan barang dan jasa yang dipakai sekarang dan di kemudian hari.
Menurut Ramirez dan Khan (1999) ada dua jenis faktor yang menentukan nilai suku bunga, yaitu faktor internal
dan eksternal. Faktor internal meliputi pendapatan nasional, jumlah uang beredar, dan inflasi. Sedang faktor
eksternal merupakan suku bunga luar negeri dan tingkat perubahan nilai valuta asing yang diduga.
Menurut Prasetiantono (2000) mengenai suku bunga adalah : jika suku bunga tinggi, otomatis orang akan lebih
suka menyimpan dananya di bank karena ia dapat mengharapkan pengembalian yang menguntungkan. Dan pada
posisi ini, permintaan masyarakat untuk memegang uang tunai menjadi lebih rendah karena mereka sibuk
mengalokasikannya ke dalam bentuk portfolio perbankan (deposito dan tabungan). Seiring dengan
berkurangnya jumlah uang beredar, gairah belanja pun menurun. Selanjutnya harga barang dan jasa umum akan
cenderung stagnan, atau tidak terjadi dorongan inflasi. Sebaliknya jika suku bunga rendah, masyarakat
cenderung tidak tertarik lagi untuk menyimpan uangnya di bank.
Beberapa aspek yang dapat menjelaskan fenomena tingginya suku bunga di Indonesia adalah tingginya suku
bunga terkait dengan kinerja sektor perbankan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi (perantara),
kebiasaan masyarakat untuk bergaul dan memanfaatkan berbagai jasa bank secara relatif masih belum cukup
tinggi, dan sulit untuk menurunkan suku bunga perbankan bila laju inflasi selau tinggi ( Prasetiantono, 2000 :
99-101)
.Menurut Keynes dalam wardane (2003), tingkat bunga ditentukanoleh permintaan dan penawaran akan uang
(ditentukan dalam pasar uang).Suku bunga dibedakan menjadi dua , yaitu :
![Page 7: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/7.jpg)
1. Suku bunga nominal adalah suku bungan dalam nilai uang. Suku bunga ini merupkan yang dapat
dibaca secara umum. Suku bungaini dapat menunjukan sejumlah rupiah utuk setiap satu rupiah yang
diinvestasikan.
2. Suku bunga rill adalah suku unga yang mengalami koreksi akibatinflasi dan didefinisikan sebagai suku
bunga nominal dikurangilaju inflasi.
Suku Bunga Menurut Karl dan Fair (2001:635) suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu
pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun
dibagi dengan jumlah pinjaman. Pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari
pinjaman. Suku bunga dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu
ukuran harga sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur. Adapun fungsi
suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah : a. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai
dana lebih untuk diinvestasikan. b. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka
mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah
mendukung pertumbuhan suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut
akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain. c.
Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah
dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian. Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan,
yaitu : penawaran tabungan dan permintaan investasi modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah
selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar
masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga.
Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya.
Nilai Tukar.
Kurs merupakan salah satu indicator yang mempengaruhi aktivitasdi pasar saham maupun di pasar uang karena
investor akan cenderung berhati-hati untuk melakukan investasi pada bursa efek di Negara
tersebut.Terdepresiasinya kurs rupiah terhadap mata uang asing khususnyakhususnya dolar amerika memiliki
pengaruh negative terhdapa ekonomidan pasar modal (sitinjak dan Kurniasari, 2003).Perubahan suatu variable
makro ekonomi memiliki dampak yang berbeda terhdapa harga saham yaitu suatu saham dapat terkena
dampak positif sementara saham lainnya terkena dampak negative.Misalnya, perusahaan yang berorientasi
impor, depresiasi kursrupiah terhdap kurs dollar maka akan berdampak negative pada perusahaan tersebut
karena dengan terdepresiasinya nilai kurs rupiah maka perusahaan pengimpor itu membayarkan dengan jumlah
uang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kurs sebelumnnya saat kurs yang belumterdepresiasi.
Sementara itu, perusahaan yang berorientasi ekspor,terdepresiasinya kurs rupiah terhadap kurs dollar akan
berdampak positif pada perusahaan tersebut karena dengan terdepresiasinya nilai kurs rupiahmaka perusahaan
pengekspor itu mendapatkan rupiah dengan jumlah uangyang lebih banyak jika dibandingkan dengan kurs
sebelumnnya saat kursyang belum terdepresiasi. Dan hal ini juga akan mempengaruhi indeksharga saham yang
ada di Indonesia jika perusahan tersebut mendapatkandampak positif maka harga saham perusahaan tersebut
akan meningkat, sedangkan perusahaan yang mendapatkan dampak negative akibatterdepresiasinya kurs rupiah
maka harga saham perusahaan tersebut akanmenurun.
Penentuan nilai tukar
Ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi pergerakan nilaitukar yaitu (Madura ,1993):
1. Faktor Fundamental.Faktor fundamental berkaitan dengan indicator ekonomiseperti inflasi, suku
bunga, perbedaan relative antar Negara,ekspektasi pasar dan intervensi bank sentral.
2. Faktor Teknis.Faktor teknis berkaitan dengan kondisi permintaan dan penawaran devisa pada saat
tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap , maka harga valutaasing akan
terapresiasi, sebaliknya apabila ada kekuranan permintaan, sementara penwaran tetap maka nilai vauta
asingakan terdepresiasi.
Sentiment Pasar.Sentiment pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor berita politik yang bersifak
insidentil, yang dapat mendorongharga valuta asing naik atau turun secara tajam dalam jangka pendek.
Apabila rumor atau berita sudah berlalu, maka nilaitukar akan kembali normal.
Menurut Musdholifah & Tony (2007), nilai tukar atau kurs adalah perbandingan antara harga mata uang suatu
negara dengan mata uang negara lain. Misal kurs rupiah terhadap dollar Amerika menunjukkan berapa rupiah
yang diperlukan untuk ditukarkan dengan satu dollar Amerika.
Menurut Triyono (2008), kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu
merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut.
![Page 8: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/8.jpg)
Heru (2008) menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing pun mempunyai pengaruh negatif
terhadap ekonomi dan pasar modal. Dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan
mengakibatkan meningkatnya biaya impor bahan-bahan baku yang akan digunakan untuk produksi dan juga
meningkatkan suku bunga. Walaupun menurunnya nilai tukar juga dapat mendorong perusahaan untuk
melakukan ekspor.
Penentuan Nilai Tukar
Perubahan dalam permintaan dan penawaran sesuatu valuta, yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam
kurs valuta, disebabkan oleh banyak faktor seperti yang diuraikan dibawah ini (Sukirno, 2004:402).
1. Perubahan dalam cita rasa masyarakat.
2. Perubahan harga barang ekspor dan impor.
3. Kenaikan harga umum (inflasi).
4. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi.
5. Pertumbuhan ekonomi.
HUBUNGAN TINGKAT SUKU BUNGA SBI DAN NILAI TUKAR US DOLLAR TERHADAP INFLASI
Dalam jurnal yang disusun oleh Edri, Institut PERBANAS Jakarta menjelaskan bahwa dengan
menggunakan variance decomposition, terlihat bahwa dalam jangka pendek, laju inflasi secara berturut-turut
banyak dipengaruhi oleh suku bunga SBI, nilai tukar, output gap, inflasi luar negeri dan GDP. Dan dalam jangka
panjang inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh kebijakan moneter (dalam hal ini adalah tingkat suku bunga
SBI). Yang berarti kenaikan suatu tingkat suku bunga SBI secara signifikan positif menaikan laju inflasi
Kerangka Pemikiran
III METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan tiga variabel yakni satu variabel dependen dan dua variabel
independen. Variabel dependennya adalah Inflasi dan variabel independennya adalah:Tingkat Suku Bunga SBI,
dan Nilai Tukar US Dollar. Agar lebih mudah memahami tentang penggunaan variabel-variabel dalam
penelitian ini,maka lihat tabel operasional variabel berikut ini :
Tabel 2
Tabel Operasional Variabel
Variabel Definisi Skala
Tingkat Suku Bunga (X1)
Karl dan Fair
Nilai Tukar (X2)
Musdholifah & Tony
Inflasi (Y)
Nopirin, Sadono Sukirno, Nanga
![Page 9: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/9.jpg)
Inflasi Sukirno (2004: 27) memberikan
definisi bahwa inflasi adalah suatu
proses kenaikan harga-harga yang
berlaku dalam suatu perekonomian.
Rasio
Tingkat Suku Bunga Menurut Sunariyah (2004:80)
adalah harga dari pinjaman. Suku
bunga dinyatakan sebagai
persentase uang pokok per unit
waktu. Bunga merupakan suatu
ukuran harga sumber daya yang
digunakan oleh debitur yang harus
dibayarkan kepada kreditur..
Rasio
Nilai Tukar Menurut Paul R Krugman dan
Maurice (1994 : 73) adalah Harga
sebuah Mata Uang dari suatu
negara yangdiukur atau dinyatakan
dalam mata uang lainnya.
Rasio
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari
lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti, Bank Indonesia (BI), dan Badan Pusat Statistik
(BPS). Tidak jarang pula menggunakan pencarian melalui internet salah satunya adalah situs google.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi, yaitu pengumpulan data
dilakukan dengan kategori dan klasifikasi data-data tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian baik
dari sumber dokumen/buku-buku, koran, majalah, website dan lain-lain. Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data tahunan dari tahun 2002-2012. Data inflasi menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Sedangkan data tingkat suku bunga dan nilai tukar diperoleh dari Bank Indonesia
3.3 Jenis dan Sumber data
Jenis penilitian dari segi pendekatan dibagi menjadi dua macam yaitu, pendekatan kualitatif dan
pendekatan kuantitatif. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.Dalam penelitian
ini data dihimpun dengan menggunakan data sekunder dengan jenis data time series, data yang diperoleh dari
Bank Indonesia(BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Penelitian Kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif
terhadap fenomena social. Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap fenomena sosial di jabarkan kedalam
beberapa komponen masalah, variable dan indicator. Setiap variabel yang di tentukan di ukur dengan
memberikan simbol – simbol angka yang berbeda – beda sesuai dengan kategori informasi yang berkaitan
dengan variable tersebut. Dengan menggunakan symbol – symbol angka tersebut, teknik perhitungan secara
kuantitatif matematik dapat di lakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di
dalam suatu parameter. Tujuan utama data metodologi ini ialah menjelaskan suatu masalah tetapi menghasilkan
generalisasi. Generalisasi ialah suatu kenyataan kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu
masalah yang di perkirakan akan berlaku pada suatu populasi tertentu. Generalisasi dapat dihasilkan melalui
suatu metode perkiraan atau metode estimasi yang umum berlaku didalam statistika induktif. Metode estimasi
itu sendiri dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap keadaan nyata yang lebih terbatas lingkupnya yang juga
sering disebut sample dalam penelitian kuantitatif. Jadi, yang diukur dalam penelitian sebenarnya ialah bagian
![Page 10: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/10.jpg)
kecil dari populasi atau sering disebut data. Data ialah contoh nyata dari kenyataan yang dapat diprediksikan ke
tingkat realitas dengan menggunakan metodologi kuantitatif tertentu. Penelitian kuantitatif mengadakan
eksplorasi lebih lanjut serta menemukan fakta dan menguji teori-teori yang timbul.
3.4 Analisis Data
1. Model Analisis
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda, dikarenakan
penelitian ini menggunakan lebih dari satu variabel independen.
Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel
independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel
independen berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen
apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Data yang digunakan
biasanya berskala interval atau rasio.
Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:
Dimana : = Variabel Independen ( INFLASI)
= Variabel independen (SBI dan NT)
a = Konstanta (nilai Y’ apabila )
b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)
2. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear
berganda yang berbasis ordinary least square (OLS). Jadi analisis regresi yang tidak berdasarkan
OLS tidak memerlukan persyaratan asumsi klasik, misalnya regresi logistik atau regresi ordinal.
Demikian juga tidak semua uji asumsi klasik harus dilakukan pada analisis regresi linear, misalnya
uji multikolinearitas tidak dapat dipergunakan pada analisis regresi linear sederhana dan uji
autokorelasi tidak perlu diterapkan pada data cross sectional.
Uji asumsi klasik juga tidak perlu dilakukan untuk analisis regresi linear
yang bertujuan untuk menghitung nilai pada variabel tertentu. Misalnya nilai return saham yang
dihitung dengan market model, atau market adjusted model. Perhitungan nilai return yang
diharapkan dilakukan dengan persamaan regresi, tetapi tidak perlu diuji asumsi klasik. Setidaknya
ada lima uji asumsi klasik, yaitu uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, uji normalitas, uji
autokorelasi dan uji linearitas. Tidak ada ketentuan yang pasti tentang urutan uji mana dulu yang
harus dipenuhi. Analisis dapat dilakukan tergantung pada data yang ada. Sebagai contoh,
dilakukan analisis terhadap semua uji asumsi klasik, lalu dilihat mana yang tidak memenuhi
persyaratan. Kemudian dilakukan perbaikan pada uji tersebut, dan setelah memenuhi persyaratan,
dilakukan pengujian pada uji yang lain.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak.
Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Jadi uji
normalitas bukan dilakukan pada masing-masing variabel tetapi pada nilai residualnya. Sering
terjadi kesalahan yang jamak yaitu bahwa uji normalitas dilakukan pada masing-masing variabel.
Hal ini tidak dilarang tetapi model regresi memerlukan normalitas pada nilai residualnya bukan
pada masing-masing variabel penelitian.
Pengertian normal secara sederhana dapat dianalogikan dengan sebuah kelas. Dalam kelas
siswa yang bodoh sekali dan pandai sekali jumlahnya hanya sedikit dan sebagian besar berada
pada kategori sedang atau rata-rata. Jika kelas tersebut bodoh semua maka tidak normal, atau
![Page 11: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/11.jpg)
sekolah luar biasa. Dan sebaliknya jika suatu kelas banyak yang pandai maka kelas tersebut tidak
normal atau merupakan kelas unggulan. Pengamatan data yang normal akan memberikan nilai
ekstrim rendah dan ekstrim tinggi yang sedikit dan kebanyakan mengumpul di tengah. Demikian
juga nilai rata-rata, modus dan median relatif dekat.
Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji histogram, uji normal P Plot, uji Chi Square,
Skewness dan Kurtosis atau uji Kolmogorov Smirnov. Tidak ada metode yang paling baik atau
paling tepat. Tipsnya adalah bahwa pengujian dengan metode grafik sering menimbulkan
perbedaan persepsi di antara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji
statistik bebas dari keragu-raguan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji
statistik lebih baik dari pada pengujian dengan metode grafik. Jika residual tidak normal tetapi
dekat dengan nilai kritis (misalnya signifikansi Kolmogorov Smirnov sebesar 0,049) maka dapat
dicoba dengan metode lain yang mungkin memberikan justifikasi normal. Tetapi jika jauh dari
nilai normal, maka dapat dilakukan beberapa langkah yaitu: melakukan transformasi data,
melakukan trimming data outliers atau menambah data observasi. Transformasi dapat dilakukan ke
dalam bentuk Logaritma natural, akar kuadrat, inverse, atau bentuk yang lain tergantung dari
bentuk kurva normalnya, apakah condong ke kiri, ke kanan, mengumpul di tengah atau menyebar
ke samping kanan dan kiri.
2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas adalah untuk melihat ada atau tidaknya korelasi yang tinggi antara
variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi linear berganda. Jika ada korelasi yang tinggi di
antara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel
terikatnya menjadi terganggu. Sebagai ilustrasi, adalah model regresi dengan variabel bebasnya
motivasi, kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan variabel terikatnya adalah kinerja. Logika
sederhananya adalah bahwa model tersebut untuk mencari pengaruh antara motivasi,
kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja. Jadi tidak boleh ada korelasi yang tinggi
antara motivasi dengan kepemimpinan, motivasi dengan kepuasan kerja atau antara kepemimpinan
dengan kepuasan kerja. Alat statistik yang sering dipergunakan untuk menguji gangguan
multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF), korelasi pearson antara variabel-
variabel bebas, atau dengan melihat eigenvalues dan condition index (CI). Untuk mendeteksi ada
atau tidaknya multikoliniearitas didalam model ini adalah sebagai berikut : (a) Nilai R2 sangat
tinggi, tetapi secara individual variabel‐variabel bebas banyak yang tidak signifikan mempengaruhi
variabel terikat. (b) Menganalisa matrik korelasi antar variabel bebas. Jika terdapat korelasi antar
variabel bebas yang cukup tinggi (> 0,9), hal ini merupakan indikasi adanya multikolenaritas. (c)
Dilihat dari nilai VIF dan Tolerance. Nilai cut off Tolerance < 0.10 dan VIF > 10, berarti terdapat
multikolinearitas. Jika terjadi gejala multikolinearitas yang tinggi, standard error koefisien regresi
akan semakin besar dan mengakibatkan confidence interval untuk pendugaan parameter semakin
lebar. Dengan demikian terbukakemungkinan terjadinya kekeliruan yaitu menerima hipotesis yang
salah. Uji multikolinearitas dapat dilaksanakan dengan jalan meregresikan model analisis dan
melakukan uji korelasi antar independen variabel dengan menggunakan variance inflating factor
(VIF). Batas VIF adalah 10 apabila nilai VIF lebih besar dari pada 10 maka terjadi
multikolinearitas (Ghozali dalam Thobarry, 2009).
Beberapa alternatif cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah sebagai berikut:
1. Mengganti atau mengeluarkan variabel yang mempunyai korelasi yang tinggi.
2. Menambah jumlah observasi.
3. Mentransformasikan data ke dalam bentuk lain, misalnya logaritma natural, akar kuadrat atau
bentuk first difference delta.
4. Dalam tingkat lanjut dapat digunakan metode regresi bayessian yang masihjarang sekali
digunakan.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas adalah untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari
residual satu ke pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang memenuhi persyaratan
![Page 12: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/12.jpg)
adalah di mana terdapat kesamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain
tetap atau disebut homoskedastisitas.Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode
scatter plot dengan memplotkan nilai ZPRED (nilai prediksi) dengan SRESID (nilai residualnya).
Model yang baik didapatkan jika tidak terdapat pola tertentu pada grafik, seperti mengumpul di
tengah, menyempit kemudian melebar atau sebaliknya melebar kemudian menyempit. Deteksi ada
atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya pola tertentu
pada grafik scatterplot antara SPREDSID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah
diprediksi dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang telah di‐ studentized.
Apabila ada pola tertentu, seperti titik‐titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur
(bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi
heteroskedastisitas. Apabila pola yang jelas, serta titik‐titik menyebar diatas dan dibawah angka 0
pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas. (Ghozali dalam Thobarry, 2009).
Uji statistik yang dapat digunakan adalah uji Glejser, uji
Park atau uji White Beberapa alternatif solusi jika model menyalahi asumsi heteroskedastisitas
adalah dengan mentransformasikan ke dalam bentuk logaritma, yang hanya dapat dilakukan jika
semua data bernilai positif. Atau dapat juga dilakukan dengan membagi semua variabel dengan
variabel yang mengalami gangguan heteroskedastisitas.
4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode t dengan
periode sebelumnya (t -1). Secara sederhana adalah bahwa analisis regresi adalah untuk melihat
pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat, jadi tidak boleh ada korelasi antara
observasi dengan data observasi sebelumnya. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem
autokorelasi. Model regresi yang baik adalah yang bebas autokorelasi. Untuk mendeteksi
autokorelasi, dapat dilakukan uji statistik melalui uji Durbin-Watson (DW test) (Ghozali dalam
Thobarry, 2009). Menurut Santoso (dalam Thobarry, 2009) jika angka Durbin Watson berkisar
antara –2 sampai dengan +2 maka koefisien regresi bebas dari gangguan autokorelasi sedangkan
jika angka DW dibawah –2 berarti terdapat autokorelasi positif dan jika angka DW diatas +2
berarti terdapat autokorelasi negatif. Sebagai contoh adalah pengaruh antara tingkat inflasi bulanan
terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Data tingkat inflasi pada bulan tertentu, katakanlah
bulan Februari, akan dipengaruhi oleh tingkat inflasi bulan Januari. Berarti terdapat gangguan
autokorelasi pada model tersebut. Contoh lain, pengeluaran rutin dalam suatu rumah tangga.
Ketika pada bulan Januari suatu keluarga mengeluarkan belanja bulanan yang relatif tinggi, maka
tanpa ada pengaruh dari apapun, pengeluaran pada bulan Februari akan rendah.
Uji autokorelasi hanya dilakukan pada data time series (runtut waktu) dan tidak perlu
dilakukan pada data cross section seperti pada kuesioner di mana pengukuran semua variabel
dilakukan secara serempak pada saat yang bersamaan. Model regresi pada penelitian di Bursa Efek
Indonesia di mana periodenya lebih dari satu tahun biasanya memerlukan uji autokorelasi
Beberapa uji statistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson, uji
dengan Run Test dan jika data observasi di atas 100 data sebaiknya menggunakan uji Lagrange
Multiplier. Beberapa cara untuk menanggulangi masalah autokorelasi adalah dengan
mentransformasikan data atau bisa juga dengan mengubah model regresi ke dalam bentuk
persamaan beda umum (generalized difference equation). Selain itu juga dapat dilakukan dengan
memasukkan variabel lag dari variabel terikatnya menjadi salah satu variabel bebas, sehingga data
observasi menjadi berkurang 1.
5. Uji Linearitas
Uji linearitas dipergunakan untuk melihat apakah model yang dibangun mempunyai hubungan
linear atau tidak. Uji ini jarang digunakan pada berbagai penelitian, karena biasanya model
dibentuk berdasarkan telaah teoretis bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel
terikatnya adalah linear. Hubungan antar variabel yang secara teori bukan merupakan hubungan
linear sebenarnya sudah tidak dapat dianalisis dengan regresi linear, misalnya masalah elastisitas.
Jika ada hubungan antara dua variabel yang belum diketahui
apakah linear atau tidak, uji linearitas tidak dapat digunakan untuk memberikan adjustment bahwa
hubungan tersebut bersifat linear atau tidak. Uji linearitas digunakan untuk mengkonfirmasikan
apakah sifat linear antara dua variabel yang diidentifikasikan secara teori sesuai atau tidak dengan
![Page 13: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/13.jpg)
hasil observasi yang ada. Uji linearitas dapat menggunakan uji Durbin-Watson, Ramsey Test atau
uji Lagrange Multiplier.
3. Pengujian Hipotesis
1.) Analisis koefisien determinasi (R2)
Untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen yaitu PDB (X1) dan SBDB (X2)
terhadap variabel dependen dalam hal ini IHSG (Y) maka digunakan analisis koefisien
determinasi (R2). Koefisien Determinasi (R2) yang kecil atau mendekati nol berarti
kemampuan variabel – variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen
amat terbatas. Nilai R2 yang mendekati satu berarti variabel – variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel – variabel
dependen. Akan tetapi ada kalanya dalam penggunaan koefisisen determinasi terjadi bias
terhadap satu variabel indipenden yang dimasukkan dalam model. Setiap tambahan satu
variabel indipenden akan menyebabkan peningkatan R2, tidak peduli apakah variabel tersebut
berpengaruh secara siginifikan terhadap variabel dependen (memiliki nilai t yang signifikan).
2.) Uji Statistik t
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara
sendiri-sendiri mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Dengan
kata lain, untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen dapat menjelaskan
perubahan yang terjadi pada variabel dependen secara nyata. Untuk mengkaji pengaruh
variabel independen terhadap dependen secara individu dapat dilihat hipotesis berikut: H0 : ß1
= 0
negatif.
Dimana ß1 adalah koefisien variabel independen ke-1 yaitu nilai parameter hipotesis.
Biasanya nilai ß dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh variable X1 terhadap Y. Bila thitung
> ttabel maka Ho diterima (signifikan) dan jika thitung < ttabel Ho ditolak (tidak signifikan).
Uji t
digunakan untuk membuat keputusan apakah hipotesis terbukti atau tidak,
dimana tingkat signifikan yang digunakan yaitu 10%.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bedasarkan model regresi yang telah dijelaskan bedasarkan analisis menggunakan SPSS, hubungan antara
tingkat suku bunga dan kurs terhadap Inflasi dapatdisimpulkan persamaan garis regresi dari tabel 3 coefficient
sebagai berikut :
4.1 Uji Asumsi Klasik
4.1.1 Uji Normalitas
Bedasarkan gambar 3, dapat dilihat bahwatitik-titik tidak menyebar disekitar garis diagonal dan penyebarannya
tidak mengikuti garis diagonal.Dengan demikian penyebaran data Harga Saham tidak mengikuti asumsi
normalitas.
4.1.2 Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
![Page 14: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/14.jpg)
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 (Constant)
SBI ,949 1,054
KURS ,949 1,054
a. Dependent Variable: INFLASI
Berdasarkan tabel tersebut diperoleh bahwa semua variabel bebas memiliki nilai tolerance diatas 0,1
dan nilai VIF kedua variabel independent dalah 1,054 lebih kecil dari 5. Dengan demikian tidak
terdapat masalah multikolonieritas dalam model regresi. Jadi dapat disimpulkan tidak terdapat
korelasi antara variabel-variabel independent.
4.1.3 Uji Heterokedastisitas
Dengan melihat gambar tersebut tidak terdapat pola yang jelas serta titik-titik menyebar diatas dan
dibawah angka 0,sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadiheteroskedestisitas pada model regresi
ini.
4.1.4 Uji Auto korelasi
Model Summaryb
Model
R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1 ,879a ,772 ,715 2,17767 2,068
a. Predictors: (Constant), KURS, SBI
b. Dependent Variable: INFLASI
![Page 15: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/15.jpg)
Berdasarkan tabel diperoleh nilai Durbin-Watson sebesar 2,068 dengan derajat kepercayaan 5%, berarti tidak
terdapat kesimpulan autokorelasi.
4.2 Koefisien Determinasi
Model Summaryb
Model
R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1 ,879a ,772 ,715 2,17767 2,068
a. Predictors: (Constant), KURS, SBI
b. Dependent Variable: INFLASI
Berdasarkan table diatas bahwa nilai R2 sebesar 0,715, hal tersebut berarti 71,5% variabel Inflasi dapat
dijelaskan oleh variabel independentnya yaitu kurs dan SBI. Sisanya sebesar 28,5% dijelaskan oleh variabel-
variabel lain diluar persamaan.
4.3 Uji T
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -18,140 10,015 -1,811 ,108
SBI 1,126 ,251 ,777 4,487 ,002
KURS ,002 ,001 ,270 1,556 ,158
![Page 16: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/16.jpg)
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -18,140 10,015 -1,811 ,108
SBI 1,126 ,251 ,777 4,487 ,002
KURS ,002 ,001 ,270 1,556 ,158
a. Dependent Variable: INFLASI
Terlihat nilai signifikan untuk variable SBI adalah 0,002. Nilai signifikan lebih kecil dari nilai
probabilitas 0,05, atau nilai 0,002 < 0,05, maka H1 diterima dan H0 ditolak. Variabel X1 mempunyai
thitung yakni 4,487 dengan ttabel=1,86. Jadi thitung > ttabel dapat disimpulkan bahwa variabel X1
memiliki kontribusi terhadap Y. Nilai t positif menunjukkan bahwa variabel X1 mempunyai
hubungan yang searah dengan Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa SBI memiliki pengaruh signifikan
terhadap inflasi.
Terlihat nilai signifikan untuk variable SBI adalah 0,158. Nilai signifikan lebih besar dari nilai
probabilitas 0,05, atau nilai 0,158 > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Variabel X1 mempunyai
thitung yakni 1,556 dengan ttabel=1,86. Jadi thitung < ttabel dapat disimpulkan bahwa variabel X1 tidak
memiliki kontribusi terhadap Y. Jadi dapat disimpulkan bahwa kurs tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap inflasi
4.4 Uji F
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 128,563 2 64,282 13,555 ,003a
Residual 37,938 8 4,742
Total 166,501 10
a. Predictors: (Constant), KURS, SBI
b. Dependent Variable: INFLASI
Dari tabel diperoleh nilai Fhitung sebesar 13,555 dengan nilai probabilitas (sig) = 0,003. Nilai Fhitung
(13,555) > Ftabel (3,113), dan nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 atau nilai 0,003 <
0,05; maka H1 diterima, berarti secara bersama-sama (simultan) SBI dan Kurs memiliki pengaruh
signifikan terhadap inflasi
V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian yang dilakukan variabel Tingkat Suku bunga memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap inflasi dan memiliki hubungan yang berlawanan arah.
2. Dari hasil penelitian yang dilakukan variabel Kurs memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap
inflasi.
3. Dari hasil penelitian yang dilakukan variabel Tingkat Suku Bunga dan Kurs memiliki pengaruh yang
![Page 17: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/17.jpg)
signifikan terhadap inflasi
Jadi, dari hasil hipotesis tersebut dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara Tingkat Suku Bunga terhadap inflasi. Hasil tersebut sesuai dengan teori Tingkat Suku bunga
dimana jika Suku Bunga Indonesia mengalami kenaikan maka inflasi cenderug naik. Lalu tidak
terdapat pengaruh secara signifikan antara Kurs terhadap inflasi.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan, terdapat banyak keterbatasan. Berikut
saran – saran bagi peneliti :
1. Bagi peneliti agar dapat menambah data yang diamati agar dapat memperoleh hasil penelitian yang
akurat.
2. Bagi peneliti agar dapat menambah variabel agar dapat memperoleh ramalan dan hasil yang lebih
baik..
3. Bagi peneliti agar dapat menggunakan data yang tepat agar dapat memperkecil error.
![Page 18: Jurnal Eko.Pembangunan](https://reader034.vdocuments.us/reader034/viewer/2022051517/55cf96c7550346d0338dbc05/html5/thumbnails/18.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/medan/index.php?option=com_content&view=article&id=144:-menguji-
kekuatan-rupiah-mengenang-kembali-65-tahun-oeang-repoeblik-indonesia
http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/perkembangan-suku-bunga-di-indonesia.html
http://muhammadsoleh.blogspot.com/2008/02/perkembangan-moneter-inflasi-indonesia.html
Pengaruh Tingkat Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Dan Nilai Tukar Us Dollar Terhadap Inflasi Di
Indonesia Tahun 2002
http://www.informasiku.com/2011/04/teori-suku-bunga-dan-inflasi.html?m=1
http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab4/2011-2-00397-mc%204.pdf
http://www.academia.edu/4836753/BAB_II_LANDASAN_TEORI
http://darmawanachmad.wordpress.com/2010/02/28/kumpulan-teori-tentang-suku-bunga/
http://imamsetiyantoro.wordpress.com/2012/02/03/nilai-tukar-rupiah/
http://journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/47/144