jurnal bu sarinah am

61
Distribusi Kandungan Kimia Kayu Kelapa (Cocos nucifera L) Distribution of Chemical Compounds of Coconut Wood (Cocos nucifera L) Isna Yuniar Wardhani, Surjono Surjokusumo, Yusuf Sudo Hadi dan Naresworo Nugroho Abstract Within a tree from base to top (longitudinal) and dermal to core (lateral), the chemical compounds of wood such us celluloses, lignin, holocelluloses, ash content and extractives are different. The distribution should be known to process the wood, including coconut wood, easily and to utilize the wood optimally. The objective of this study was to determine the distribution of chemical compound of coconut wood within a tree. The analysis was conducted according to TAPPI Standard with three replications for each sample. Average values and graphs were use to analyze the results. The results indicated that coconut wood contains of wood extractives that soluble in hot water of 3.75 ~ 8.92%; alcohol benzene of1.88 ~ 8.78%; 1% NaOH of 18.76 ~ 33.61%; ash content of 0.75 ~ 4.08%; celluloses of 28.1 ~ 36.55%; holocelluloses of 69.51 ~ 80.07% and lignin of 26.58 ~ 36.35%. From base to top, wood extractives soluble in 1% NaOH increased but in other solutions did not have uniform distributions. Laterally, only holocelluloses and lignin did not have uniform distributions, whereas the others increased from dermal to core. Key words: chemical compound, coconut wood, hemicelluloses, celluloses, extractives, ash content, lignin. Pendahuluan Pohon kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman tropis yang penting bagi negara Asia dan Pasifik terutama sebagai penghasil kopra. Kelapa disebut pohon kehidupan karena kelapa merupakan tumbuhan serba guna yang hampir semua bagiannya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Menurut Arancon (1997) dan APCC (2000), di Indonesia terdapat perkebunan kelapa seluas 3.7 juta hektar dan 95% merupakan tanaman rakyat. Lebih kurang 25% dari luas areal tersebut merupakan tanaman yang telah berumur diatas 50 tahun dan perlu diremajakan, karena produktifitas buahnya semakin menurun seiring dengan bertambah tuanya umur pohon tersebut. Pohon kelapa yang berumur diatas 60 tahun dapat mencapai tinggi hingga 25 m dengan diameter rata-rata 40 cm (Killmann 1988) dan kerapatan berkisar antara 0.20 ~ 1.20 g/cm 3 (Fruhwald et.al. 1992). Dengan diameter yang cukup besar, maka batang kelapa sebenarnya sangat potensial sebagai penghasil kayu untuk dimanfaatkan antara lain sebagai bahan bangunan. PT. Selotani Kayu Kelapa merupakan salah satu perusahaan yang mengolah kayu kelapa menjadi barang jadi seperti komponen rumah dan mebel (Ninuk 2001). Secara fisis kayu kelapa mempunyai kerapatan yang sangat beragam baik dari pangkal ke ujung maupun dari tepi ke dalam. Pada bagian pangkal dan tepi mempunyai kerapatan yang tinggi dan didominasi oleh ikatan pembuluh dewasa sedangkan bagian tengah dan ujung lebih banyak mengandung jaringan dasar berupa parenkim serta ikatan pembuluh muda dengan kerapatan yang lebih rendah. Kerapatan yang beragam dalam satu pohon kemungkinan diikuti dengan variasi kandungan kimia kayu karena menurut Tsoumis (1991) dan Walker (1993) kandungan komponen kimia kayu berpengaruh terhadap kerapatan kayu. Pada umumnya kayu kelapa terutama yang berkerapatan tinggi dan sedang lebih banyak diolah secara fisik mekanik seperti pembuatan mebel, komponen rumah, barang kerajinan, sedangkan pemanfaatan secara kimia terbatas misalnya pada pembuatan arang, briket arang, pulp, kertas atau arang aktif. Hal ini disebabkan distribusi kandungan komponen kimia kayu dalam satu pohon belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati distribusi komponen kimia kayu yaitu holoselulosa, selulosa, lignin, zat ekstraktif (larut dalam air panas, alkohol benzena dan NaOH 1%) dan abu dalam satu pohon. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang dipakai adalah satu pohon kelapa hijau (Cocos nucifera L) berumur diatas 50 tahun berasal dari Pandeglang, Banten; dan bahan kimia seperti asam sulfat, alkohol, asam asetat, natrium hidroksida, dan sebagainya. Peralatan yang dipakai antara lain gergaji, mesin menggiling kayu, timbangan, oven, soklet, botol timbang, penangas air, erlenmeyer, kertas saring, corong dan sebagainya. Prosedur Diambil potongan setebal 50 cm pada tiap ketinggian 2 m. Dalam satu pohon didapat 7 lempengan. 1 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2No.12004

Upload: frans-licardo-saragih

Post on 04-Aug-2015

172 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Bu Sarinah Am

Distribusi Kandungan Kimia Kayu Kelapa (Cocos nucifera L) Distribution of Chemical Compounds of Coconut Wood (Cocos nucifera L)

Isna Yuniar Wardhani, Surjono Surjokusumo, Yusuf Sudo Hadi dan Naresworo Nugroho

Abstract

Within a tree from base to top (longitudinal) and dermal to core (lateral), the chemical compounds of wood such us celluloses, lignin, holocelluloses, ash content and extractives are different. The distribution should be known to process the wood, including coconut wood, easily and to utilize the wood optimally.

The objective of this study was to determine the distribution of chemical compound of coconut wood within a tree. The analysis was conducted according to TAPPI Standard with three replications for each sample. Average values and graphs were use to analyze the results.

The results indicated that coconut wood contains of wood extractives that soluble in hot water of 3.75 ~ 8.92%; alcohol benzene of1.88 ~ 8.78%; 1% NaOH of 18.76 ~ 33.61%; ash content of 0.75 ~ 4.08%; celluloses of 28.1 ~ 36.55%; holocelluloses of 69.51 ~ 80.07% and lignin of 26.58 ~ 36.35%. From base to top, wood extractives soluble in 1% NaOH increased but in other solutions did not have uniform distributions. Laterally, only holocelluloses and lignin did not have uniform distributions, whereas the others increased from dermal to core. Key words: chemical compound, coconut wood, hemicelluloses, celluloses, extractives, ash content, lignin.

Pendahuluan

Pohon kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman tropis yang penting bagi negara Asia dan Pasifik terutama sebagai penghasil kopra. Kelapa disebut pohon kehidupan karena kelapa merupakan tumbuhan serba guna yang hampir semua bagiannya bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Menurut Arancon (1997) dan APCC (2000), di Indonesia terdapat perkebunan kelapa seluas 3.7 juta hektar dan 95% merupakan tanaman rakyat. Lebih kurang 25% dari luas areal tersebut merupakan tanaman yang telah berumur diatas 50 tahun dan perlu diremajakan, karena produktifitas buahnya semakin menurun seiring dengan bertambah tuanya umur pohon tersebut.

Pohon kelapa yang berumur diatas 60 tahun dapat mencapai tinggi hingga 25 m dengan diameter rata-rata 40 cm (Killmann 1988) dan kerapatan berkisar antara 0.20 ~ 1.20 g/cm3 (Fruhwald et.al. 1992). Dengan diameter yang cukup besar, maka batang kelapa sebenarnya sangat potensial sebagai penghasil kayu untuk dimanfaatkan antara lain sebagai bahan bangunan. PT. Selotani Kayu Kelapa merupakan salah satu perusahaan yang mengolah kayu kelapa menjadi barang jadi seperti komponen rumah dan mebel (Ninuk 2001).

Secara fisis kayu kelapa mempunyai kerapatan yang sangat beragam baik dari pangkal ke ujung maupun dari tepi ke dalam. Pada bagian pangkal dan tepi mempunyai kerapatan yang tinggi dan didominasi oleh ikatan pembuluh dewasa sedangkan bagian tengah dan ujung lebih banyak mengandung jaringan dasar berupa parenkim serta ikatan pembuluh muda dengan

kerapatan yang lebih rendah. Kerapatan yang beragam dalam satu pohon kemungkinan diikuti dengan variasi kandungan kimia kayu karena menurut Tsoumis (1991) dan Walker (1993) kandungan komponen kimia kayu berpengaruh terhadap kerapatan kayu.

Pada umumnya kayu kelapa terutama yang berkerapatan tinggi dan sedang lebih banyak diolah secara fisik mekanik seperti pembuatan mebel, komponen rumah, barang kerajinan, sedangkan pemanfaatan secara kimia terbatas misalnya pada pembuatan arang, briket arang, pulp, kertas atau arang aktif. Hal ini disebabkan distribusi kandungan komponen kimia kayu dalam satu pohon belum banyak diketahui.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati distribusi komponen kimia kayu yaitu holoselulosa, selulosa, lignin, zat ekstraktif (larut dalam air panas, alkohol benzena dan NaOH 1%) dan abu dalam satu pohon.

Bahan dan Metode Bahan dan Alat

Bahan yang dipakai adalah satu pohon kelapa hijau (Cocos nucifera L) berumur diatas 50 tahun berasal dari Pandeglang, Banten; dan bahan kimia seperti asam sulfat, alkohol, asam asetat, natrium hidroksida, dan sebagainya. Peralatan yang dipakai antara lain gergaji, mesin menggiling kayu, timbangan, oven, soklet, botol timbang, penangas air, erlenmeyer, kertas saring, corong dan sebagainya. Prosedur • Diambil potongan setebal 50 cm pada tiap ketinggian

2 m. Dalam satu pohon didapat 7 lempengan.

1 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 2: Jurnal Bu Sarinah Am

• Tiap potongan diambil bagian tengah yang melalui pusat pohon dan dipotong-potong dengan panjang 2 cm.

• Potongan tersebut selanjutnya dibuat serbuk dengan ukuran 40 mesh.

Analisa Kandungan Kimia Kayu

Komponen kimia kayu dianalisa secara kuantitatif yang mengacu pada TAPPI Volume 1 (1999). Komponen kimia kayu yang dianalisa meliputi kelarutan zat ekstraktif dalam air panas (TAPPI T 207 om-88), kelarutan dalam alkohol benzena (TAPPI T 204 om-88), kelarutan dalam NaOH 1% (TAPPI T 212 om-88), abu (TAPPI T 211 om-85), lignin (TAPPI T 222 om-88), holoselulosa (TAPPI T 9 m-54) dan selulosa (TAPPI T 17 om-55). Tiap analisa dilakukan dengan 3 ulangan.

2 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

y = 1.1608x + 0.9686r = 0.988**

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Dermal to Core

Hot W

ater S

oluble

Extr

activ

es (%

)

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Base to Top

Hot W

ater S

oluble

Extr

activ

es (%

)

Analisis Data

Hasil analisa komponen kimia kayu selanjutnya dihitung nilai rataan dan disajikan dalam bentuk grafik. Untuk mengetahui kecenderungannya dari pangkal ke ujung dan dari tepi ke dalam maka dilakukan analisa regresi.

Hasil dan Pembahasan

Kandungan Zat Ekstraktif dan Abu

Zat ekstraktif merupakan komponen non-struktural pada kayu dan kulit tanaman terutama berupa bahan organik yang terdapat pada lumen dan sebagian pada dinding sel. Dengan menggunakan air dingin atau panas dan bahan pelarut organik netral seperti alkohol atau eter maka dapat dilakukan ekstraksi. Jumlah dan jenis zat ekstraktif terdapat tanaman tergantung pada letaknya dan jenis tanaman. Pada kayu konvensional, zat ekstraktif banyak terdapat pada kayu teras. Getah, lemak, resin, gula, lilin, tanin, alkaloid merupakan beberapa contoh zat ekstraktif (Higuchi 1985; Tsoumis 1991; Walker 1993).

Selain bahan organik, pada kayu juga terdapat bahan anorganik berupa mineral dan silika yang tidak larut dalam air atau pelarut organik (Tsoumis 1991). Komponen utama abu adalah kalium, kalsium dan magnesium sedangkan pada kayu dari daerah tropis yang terbanyak adalah silika. Umumnya kayu lunak dan kayu keras dari daerah iklim sedang mempunyai kandungan abu yang sangat rendah, sedangkan kayu keras dari daerah tropis mengandung abu yang cukup tinggi (Fengel dan Wegener 1995). Zat Ekstraktif Larut dalam Air Panas: Zat ekstraktif larut dalam air panas yang terdapat dalam batang kayu kelapa berkisar antara 3.75 ~ 8.92% dengan nilai rataan 6.06%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan kayu kelapa dari Philipina dengan nilai rataan sebesar 2.8% (Anonim 1995, Rojo et. al. 1988, Palomar 1990 dan Arancon

1997) dan kayu kelapa dari Kaltim (Suwinarti 1993) yang berkisar 3.18 ~ 8.47%.

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa dari pangkal ke ujung, distribusi zat ekstraktif larut dalam air panas mempunyai kecenderungan yang tidak beraturan dengan nilai rataan tertinggi pada bagian ujung (7.18%). Sedangkan dari tepi ke dalam, distribusinya berupa garis linier positif dengan persamaan y = 1.1608x + 0.9686 dengan nilai korelasi 0.988 (sangat signifikan). Semakin ke dalam maka kandungan zat ekstraktif larut dalam air panas semakin tinggi. Nilai rataan tertinggi terdapat pada bagian dalam batang (core) yaitu 8.23%. Figure 1. Distribution of extractives soluble in hot water

on coconut stem.

Dalam proses ekstraksi dengan air panas, maka yang akan terlarut antara lain tanin, getah, gula, bahan pewarna dan pati (Fengel dan Wegener 1995, Anonim 1996). Batang kelapa bagian atas dan bagian dalam banyak mengandung gula dan pati sehingga proses ekstraksi tersebut membuat sebagian besar gula dan pati akan terlarut. Ini menunjukkan bahwa bagian dalam batang kelapa terutama pada ketinggian di atas 15 meter berpotensi untuk diekstraksi gulanya atau

Page 3: Jurnal Bu Sarinah Am

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Base to Top

A

lcoho

l Be

nze

ne S

o

l. Ex

tracti

v

es

(%)

dilakukan isolasi pati untuk dapat dimanfaatkan. Rojo et.al. (1988) menjelaskan bahwa gula dari batang kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan untuk pakan ternak seperti lembu. Zat Ekstraktif Larut dalam Alkohol Benzena: Zat ekstraktif yang dapat larut dalam pelarut organik seperti larutan alkohol benzena antara lain lilin, lemak, resin, minyak dan tanin serta komponen tertentu yang tidak larut dalam eter (Anonim 1996). Zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzena pada batang kelapa berkisar antara 1.88 ~ 8.79% dengan nilai rataan 5.11%. Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Suwinarti (1993) yaitu sebesar 1.1 ~ 3.57% serta Anonim (1985), Rojo et. al. (1988), Palomar (1990) dan Arancon (1997) dengan nilai rataan 2.6% yang disebabkan perbedaan tempat tumbuh pohon.

Secara longitudinal, distribusi kandungan zat ekstraktif larut dalam alkohol benzena cenderung tidak beraturan (Gambar 2). Secara lateral terjadi kecenderungan berupa garis linier positif dengan persamaan y = 0.9042x + 1.3001 dan nilai korelasi 0.968 (sangat signifikan) yang berarti semakin ke dalam maka kandungannya semakin tinggi.

Nilai rataan tertinggi secara longitudinal terdapat pada ketinggian 15 m sebesar 7.09% dan secara lateral terdapat pada bagian dalam batang sebesar 6.87% (Gambar 2). Menurut Rojo et.al (1988) kandungan tanin pada batang kelapa sebesar 2.10% dan pada bagian dalam sebesar 3.30% serta non-tanin sebesar 3.50%, dapat berupa lilin, lemak, minyak atau resin. Hal ini berarti bahwa kandungan tanin kayu kelapa yang rendah (kulit 6.16%; serbuk serabut 8.64%) tidak potensial bila akan diisolasi taninnya.

Bahan non-tanin yang terdapat dalam batang kelapa yang utama adalah lemak dan lilin karena menurut Sjöstrom (1998) lilin dan lemak merupakan konstituen utama yang terdapat dalam sel-sel parenkim. Pada kayu kelapa, parenkim merupakan jaringan dasar yang lebih banyak terdapat pada bagian atas dan bagian dalam batang.

Zat Ekstraktif Larut dalam NaOH 1%: Zat ekstraktif yang larut dalam NaOH 1% pada batang kelapa mempunyai nilai tertinggi 33.61% dan terendah 18.76% dengan nilai rataan 21.04%. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa distribusi zat ekstraktif larut dalam NaOH 1% pada batang kelapa yang mempunyai kecenderungan berupa garis linier positif. Ini berarti semakin ke atas dan ke dalam maka kandungannya akan semakin tinggi. Secara longitudinal, persamaan regresinya adalah y = 0.8656x + 20.967 dengan nilai korelasi 0.890 (sangat signifikan) dengan nilai rataan tertinggi sebesar 28.51% terdapat pada bagian ujung.

y = 0.9042x + 1.3001r = 0.941**

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Dermal to Core

Alco

hol B

enze

ne S

ol. E

xtrac

tives

(%)

Figure 2. Distribution of extractives soluble in alcohol benzene solution on coconut stem.

Secara lateral, garis regresi mempunyai persamaan y = 1.6952x + 16.85 dan nilai korelasi 0.941 (sangat signifikan) dengan nilai rataan tertinggi berasal dari bagian dalam sebesar 26.93%.

Soda (NaOH) panas yang digunakan dapat mengekstrak karbohidrat berbobot rendah dan merusak selulosa. Besarnya bahan yang terlarut dalam NaOH juga dapat digunakan sebagai indikator tingkat kerusakan kayu akibat pelapuk (decay), panas, cahaya, oksidasi dan sebagainya. Semakin tinggi tingkat kerusakan atau serangan pelapuk kayu maka kelarutannya akan semakin tinggi pula (Anonim 1996). Pada bagian atas dan juga pada bagian dalam batang kelapa, jaringan parenkimatis merupakan jaringan dasar yang dominan. Selain itu, ikatan pembuluh yang terdapat pada bagian tersebut umumnya berwarna terang dengan pori yang besar. Hal ini menyebabkan bagian tersebut lebih mudah terdegrasi oleh larutan NaOH panas menjadi fraksi yang lebih pendek dan lebih ringan.

3 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 4: Jurnal Bu Sarinah Am

y = 0.8656x + 20.967r = 0.892**

18,0

20,0

22,0

24,0

26,0

28,0

30,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Base to Top

1% N

aOH

Solub

le Ex

tracti

ves (

%)

4 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

y = 1.6952x + 16.85r = 0.941**

18,0

20,0

22,0

24,0

26,0

28,0

30,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Dermal to Top

1% N

aOH

Solub

le Ex

tracti

ves

(%)

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

0 1 2 3 4 5 6 7 8Base to Top

A

s h con

tent (

%)

Figure 3. Distribution of extractives soluble in 1% sodium hydroxide (NaOH) solution on coconut stem. Abu: Abu merupakan komponen kimia kayu yang tidak dapat larut dalam air atau pelarut organik. Kandungan abu batang kelapa cukup tinggi, berkisar antara 0.75 ~ 4.08% dengan nilai rataan sebesar 1.97% namun lebih rendah dari kandungan abu kayu Cholophora excelsa Benth. et Hook (3.4%) dan Terminalia superba Engl. et Diels. (3.1%) (Fengel dan Wegener 1995).

Distribusi abu dari pangkal ke ujung (Gambar 4) cenderung tidak beraturan. Dari tepi ke dalam terdapat hubungan linier positif dengan y = 0.4408x + 0.1191 dan nilai korelasi 0.960 (sangat signifikan). Kandungan abu tertinggi terdapat pada bagian dalam batang (2.849%). Menurut Butterfield and Meylan (1980), kayu kelapa banyak mengandung kristal berupa kalsium oksalat yang biasanya terdapat pada sel parenkim. Pada kayu kelapa, sel parenkim merupakan jaringan dasar yang dominan terdapat pada bagian dalam batang (core).

Kandungan abu yang cukup tinggi pada bagian tengah ke atas dan bagian dalam batang kelapa merupakan kendala bila akan digunakan sebagai bahan baku arang, walaupun nilai kalornya (6.422Kkal/kg) lebih

tinggi dari Ipil-ipil berumur 7 tahun (6.161Kkal/kg) karena arang yang baik tidak mengandung abu lebih dari 5% (Anonim 1995; Rojo et. al. 1988).

y = 0.4408x + 0.1191r = 0.960**

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

0 1 2 3 4 5 6 7 8Dermal to Core

Ash c

onten

t (%

) Figure 4. Distribution of ash content on coconut stem.

Holoselulosa dan Selulosa

Semua karbohidrat (selulosa, hemiselulosa dan pektin) dalam kayu dikenal sebagai holoselulosa yang merupakan komponen utama kayu. Menurut Tsoumis (1991) dan Fengel dan Wegener (1995) delignifikasi kayu dengan larutan natrium klorit yang diasamkan yang dikenal dengan Metoda Jayne dan Wise, akan menghasilkan holoselulosa yang apabila direaksikan dengan larutan NaOH 17.5% akan terurai menjadi α-selulosa, β- selulosa dan γ-selulosa.

Kandungan holoselulosa batang kelapa berkisar antara 69.51 ~ 80.07% dengan nilai rataan 73.49%, sedangkan Anonim (1985) dan Rojo et. al. (1988) menyatakan holoselulosa batang kelapa sebesar 66.7% dan lebih tinggi dari bagian lain seperti kulit, serabut dan pelepah daun.

Distribusi holoselulosa pada batang kelapa, baik secara longitudinal maupun lateral (Gambar 5) mempunyai kecenderungan tidak beraturan. Hal ini disebabkan holoselulosa merupakan komponen utama

Page 5: Jurnal Bu Sarinah Am

5 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

y = -0.3138x2 + 3.0366x + 26.335r = 0.850*28,0

29,030,031,032,033,034,035,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Base to Top

Cellu

lose (

%)

y = 0.8827x + 28.146r = 0.923**

28,029,030,031,032,033,034,035,0

kayu yang merupakan gabungan hemilselulosa dan selulosa dan terdapat pada semua bagian pohon.

71,0

72,0

73,0

74,0

75,0

76,0

77,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Base to Top

Holoc

ellulo

ses (

%)

0 1 2 3 4 5 6 7 8Dermal to Core

Cellu

lose (

%)

71,0

72,0

73,0

74,0

75,0

76,0

77,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Dermal to Core

Holoc

ellulo

ses (

%)

Figure 5. Distribution of holocelluloses on coconut stem.

Kisaran kandungan selulosa pada batang kelapa adalah 28.10 ~ 36.55% dan nilai rataannya sebesar 31.95%. Gambar 6 memperlihatkan distribusi selulosa dalam batang kelapa dari pangkal ke ujung berupa kurva polinomial dengan persamaan y = -0.3138x2 + 3.0366x + 26.335 dengan nilai korelasi 0.850 (signifikan) dan dari tepi ke dalam berbentuk garis linier positif dengan y = 0.8827x + 28.146 (nilai korelasi 0.923, sangat signifikan) yang berarti semakin ke dalam maka kandungan selulosanya makin tinggi.

Pada ketinggian 7 m hingga 15 m dalam batang, kandungan selulosa lebih tinggi dibandingkan bagian pangkal dan ujung, serta pada 2/3 bagian ke dalam juga mengandung selulosa yang lebih tinggi dari bagian tepi. Hal ini disebabkan kayu kelapa bagian pangkal dan tepi telah mengalami proses lignifikasi sehingga tidak seluruh selulosa dapat terisolasi.

Holoselulosa yang cukup tinggi dalam batang kelapa, terutama pada ketinggian antara 7 ~ 15 m, memungkinkan bila digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Namun Rojo et. al. 1988 menyatakan

bahwa proses pulping soda dingin dari batang kelapa menghasilkan pulp sebesar 58.2% lebih rendah hasil proses pulping kayu konvensional. Misalnya kayu Endospermum peltatum dengan kerapatan 0.31 g/cm3 (kerapatan bagian dalam dan atas batang kelapa rata-rata 0.30 g/cm3) menghasilkan pulp sebesar 85 ~ 95%.

Figure 6. Distribution of celluloses on coconut stem.

Rendemen pulp yang rendah dari kayu kelapa

disebabkan jaringan dasar kayu kelapa adalah jaringan parenkimatis yang mempunyai dinding sel yang tipis dan banyak mengandung gula dan pati. Hal ini dapat dilihat dari nilai rataan selulosa (31.95%) yang lebih rendah dari kebanyakan kayu konvensional, baik kayu lunak maupun kayu keras (Fengel dan Wegener 1995; Sjöstrom 1998) walaupun kandungan holoselulosanya cukup tinggi. Ini berarti kandungan hemiselulosa dan gula dalam batang kelapa cukup tinggi walaupun belum diketahui bentuk dari hemiselulosa tersebut, apakah seperti hemiselulosa pada kayu daun jarum atau kayu daun lebar. Lignin

Lignin merupakan komponen kimia kayu yang selalu bergabung dengan selulosa dan bukan merupakan karbohidrat, melainkan didominasi oleh

Page 6: Jurnal Bu Sarinah Am

28,029,030,031,032,033,034,035,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8Base to Top

Lignin

(%)

gugus aromatis berupa fenilpropan. Di dalam kayu, lignin terutama terdapat dalam lamela tengah dan dinding sel primer (Kollmann and Côté 1984; Higuchi 1985; Tsoumis 1991; Fengel dan Wegener 1995; Sjöstrom 1998). Menurut TAPPI (1999), salah satu cara untuk mengisolasi lignin adalah pemberian asam sulfat 72% (metoda Klason) dan didapat bahan yang berwarna hitam.

Kandungan lignin dalam batang kelapa berkisar 26.58 ~ 36.35% dengan nilai rataan 30.99%. Distribusi lignin dalam batang kelapa secara lateral (Gambar 7) membentuk kurva polinomial. Persamaan kurva distribusi lignin secara lateral adalah y = 0.3044x2 – 2.3269x + 34.751 (nilai korelasi = 0.859, signifikan).

Figure 7. Distribution of lignin on coconut stem

Kandungan lignin bagian pangkal (31.88%) lebih

tinggi dari bagian di atasnya kecuali pada ketinggian 12 m (33.94%) dan pada bagian tepi batang mengandung lignin yang lebih tinggi (33.12%) dibandingkan bagian di dalamnya. Hal ini terjadi karena sel-sel yang terdapat pada bagian pangkal dan tepi telah mengalami lignifikasi sehingga lignin tidak saja terdapat pada lamela tengah tetapi juga pada dinding sel primer dan sekunder.

Secara visual ini dapat dilihat dari warna ikatan pembuluh pada bagian tersebut yang lebih gelap dengan pembuluh yang lebih kecil bila dibandingkan ikatan pembuluh pada bagian atas dan dalam.

Kandungan lignin yang tinggi dapat menjadi kendala dalam proses pulping sehingga bagian tersebut tidak cocok jika akan dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp atau kertas, disamping umumnya kerapatannya juga tinggi. Bagian atas mengandung lignin lebih rendah namun banyak mengandung gula. Secara longitudinal, bila dilihat dari kandungan ligninnya maka bagian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp adalah bagian tengah batang (tinggi antara 5 ~ 12 m) dan pada kedalaman 5 ~ 12 cm dari tepi batang (bagian sub-dermal).

Secara umum distribusi kandungan kimia kayu kelapa yang diteliti dari bagian pangkal ke ujung cenderung tidak beraturan karena nilai rataan yang disajikan merupakan nilai rata-rata dari nilai contoh uji dari tepi ke dalam. Pada batang kelapa terdapat keragaman sifat yang tinggi antara bagian tepi dan dalam sehingga nilai rataan yang didapat juga mempunyai keragaman yang tinggi. Selain itu, jumlah sampel yang berbeda pada tiap ketinggian karena perbedaan diameter batang.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Suwinarti (1993) serta Anonim (1995), Rojo et. al. (1988), Palomar (1990) dan Arancon (1997) karena perbedaan asal dari pohon yang diteliti. Kayu kelapa yang diteliti berasal dari Pandeglang, Banten sedangkan Suwinarti mengambil sampel dari Samboja, Kaltim dan Rojo, Palomar dan Arancon melakukan penelitian terhadap kayu kelapa dari Philipina tanpa penjelasan metoda pengambilan contoh uji. Selain itu, metoda pengambilan contoh uji juga berbeda. Suwinarti hanya mengambil contoh uji dari bagian pangkal, tengah dan ujung, serta secara lateral diambil berdasarkan perbedaan kerapatan sedangkan pada penelitian ini dilakukan secara detail dari pangkal ke ujung dan dari tepi ke dalam tanpa melihat perbedaan kerapatan.

y = 0.3055x2 - 2.3269x + 34.751r = 0.859*

28,00

29,00

30,00

31,00

32,00

33,00

34,00

35,00

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Walaupun secara teknis, kayu batang kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp dan kertas, namun secara ekonomis kurang menguntungkan karena rendemen pulp yang rendah disebabkan adanya jaringan parenkimatis yang mudah larut pada saat proses pulping dan kandungan lignin yang cukup tinggi.

Kesimpulan dan Saran

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah:

1. Distribusi zat ekstraktif dan abu batang kelapa dari pangkal ke ujung cenderung tidak beraturan kecuali zat ekstraktif larut dalam NaOH 1% yang mempunyai kecenderungan berbentuk linier positif dan nilai korelasi sangat signifikan.

Dermal t

Lignin

(%)

o Core

6 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 7: Jurnal Bu Sarinah Am

Fruhwald A, Peek RD and Schulte M. 1992. Utilization of Coconut Timber from North Sulawesi, Indonesia. Research Report. Hamburg. 352 p.

2. Secara lateral, distribusi zat ekstraktif dan abu batang kelapa berupa garis linier positif dengan nilai korelasi sangat signifikan.

3. Distribusi holoselulosa baik secara longitudinal maupun lateral cenderung tidak beraturan, sedangkan selulosa mempunyai distribusi yang teratur (nilai korelasi signifikan) yang berbentuk polynomial (longitudinal) dan garis linier positif (lateral).

Higuchi T. 1985. Biosynthesis and Biodegradation of Wood Component. Academic Press, Inc. Tokyo. p. 1-287

Killmann W. 1988. How to Process Coconut Palm Wood. Vieweg Verlag. Braunschwerg. 76 p.

4. Distribusi lignin secara longitudinal cenderung tidak teratur dan secara lateral membentuk kurva polinomial yang mempunyai nilai korelasi signifikan. Berdasarkan distribusi kandungan kimia batang

kelapa, disarankan bagian atas dan bagian dalam batang kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada pakan ternak, namun tidak efisien bila akan digunakan sebagai bahan baku arang atau bila akan diisolasi taninnya. Juga tidak cocok bila akan dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp atau kertas karena tidak efisien disebabkan kandungan lignin dan pati yang tinggi. Akan lebih baik bila kandungan patinya diisolasi sehingga dapat dimanfaatkan.

Kollmann FFP and WA Côté, Jr. 1984. Principles of Wood Science and Technology, Vol. 1. Solid Wood. Springer-Verlag Berlin Hiedelberg New York. p. 55-75.

Ninuk MP. 2001. Hastjarjo Sumardjan : Bagai Kelapa, Makin Berumur Makin Berguna. Kompas 25 September 2001:12 (kolom 3-6)

Palomar RN. 1990. Coconut Wood Utilization. Proceeding of the Workshop for Policy Maker. Zamboanga. Philippines. p 1-45.

Rojo JP, FO. Tesoro, SKS Lopez and ME Dy. 1988. Coconut Wood Utilization, Research and Development: The Philippine Experience. FPRDI and IDRC. Canada.

Daftar Pustaka

Anonim. 1985. The Philippines Recommends for Coconut Timber Utilization. PCARRD Tech. Bullt. Series No. 80. Philippine.

Sjöstrom E. 1998. Kimia Kayu; Dasar-Dasar dan Penggunaan. Ed. 2. (Terjemahan) Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 390 p.

Anonim. 1996. Annual Books of ASTM Standards, Volume 14.10 Wood. West Conshohocken. Suwinarti W. 1993. Analisis Kandungan Abu, Zat

Ekstraktif dan Lignin pada Kayu Kelapa (Cocos nucifera L) Berdasarkan Kerapatan dan Letak Kayu dalam Batang [Skripsi]. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (tidak dipublikasikan)

APCC. 2000. Annual Report of APCC. Jakarta. p. 93-94.

Arancon RN Jr. 1997. Asia Pacific Forestry Sector Outlook: Focus on Coconut Wood. Working Paper Series. Asian and Pacific Coconut Community. Bangkok. p 1-36.

TAPPI. 1999. Tappi Standards Volume I.

Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York. 494 p.

Butterfield BG and BA Meylan. 1980. Three Dimensional Structural of Wood; An Ultrastructural Approach. Second Ed. Chapman and Hall. London New York. 103 p. Walker JCF. 1993. Basic Wood Chemistry and Cell Wall

Ultra structure, Primary Wood Processing. Chapman and Hall. London. p. 23 – 64. Fengel D dan G Wegener. 1995. Kayu: Kimia,

Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. (Terjemahan) Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 730 p.

Diterima tanggal 2 Desember 2003

Isna Yuniar Wardhani Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman (Department of Forest Products, Faculty of Forestry, Mulawarman University) Jl. Ki Hajar Dewantara, Kampus Gunung Kelua, Samarinda 75123 Tel. 0541-749068, Fax. 0541-741003 e-mail : [email protected]

Surjono Surjokusumo, Yusuf Sudo Hadi dan Naresworo Nugroho Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (Dept. of Forest Products Technology, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University) Kampus IPB Darmaga, PO BOX 168, Bogor 16001 Tel. 0251-621285; 621677, Fax. 0251-621285; 621256

7 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 8: Jurnal Bu Sarinah Am

Sifat Antirayap Resin Damar Mata Kucing dari Shorea javanica K. et V. Antitermic Properties of Resin from Shorea javanica K. et V.

Rita Kartika Sari, Wasrin Syafii, Kurnia Sofyan dan Muhammad Hanafi

Abstract

This study was undertaken primarily to isolate and identify substances from resin of Shorea javanica K. et. V. that might be responsible to inhibit the termite activity of Coptotermes curvignathus Holmgren. Approximately 500 gram of dried-resin was extracted with acetone solvent. The acetone extract was then fractionated into n-hexane, diethyl ether, ethyl acetate, and insoluble fraction (residue). The no-choice bioassay test was carried-out by treating paper discs with extracts at the concentration of 2.0%, 4.0%, 6.0%, 8.0%, 10.0%, 12.0% (W/W), and 0.0 % as control. The bioassay test showed that n-hexane and diethyl ether soluble fraction exhibited highest antitermic properties at Lethal Concentration (LC)50 value of 1.62% and continuation fraction showed N3 of n-hexane fraction an EE1 of diethyl ether fraction exhibited highest toxicity at LC50 value of 1.23 % and 1.65%. Further investigation of the n-hexane soluble fraction by using CC, GC-MS, FTIR, UV-Vis, and NMR led to the isolation and identification of the main compound, namely friedelin, while the diethyl ether soluble fraction contains vulgarol B; 3,4-Secodamar-4(28)-en-3-oic acid; (7R,10S)-2,6,10-Trimethyl-7, 10–epoxy-2,11-dodecadien; and junipene (decahydro-4,8,8-trimethyl-1,4-methanoazulene)

Key words : resin of Shorea javanica K. et. V, antitermic properties, chemical compounds identification.

Pendahuluan

Dimasa depan diperkirakan suplai kayu akan didominasi oleh jenis-jenis kayu yang berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI). Seperti telah diketahui bahwa kayu dari HTI dan hutan rakyat yang berdaur pendek umumnya mempunyai keawetan alami rendah (Abdurrohim 2000). Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan umur pakai kayu tersebut adalah melalui pengawetan kayu. Namun demikian pada saat ini bahan pengawet yang digunakan pada umumnya berupa bahan kimia hasil sintesis yang berpotensi sebagai pencemar lingkungan karena selain bersifat tidak terurai di alam (non-biodegradable) juga bukan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (non renewable resources). Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mengembangkan bahan pengawet alternatif yang ramah lingkungan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengembangkan pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang memiliki aktifitas insektisida sebagai bahan baku pengawet kayu.

Salah satu sumberdaya alam hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami adalah resin damar mata kucing yang diperoleh sebagai eksudat dari pohon S. javanica K. et V. Resin ini dapat dikembangkan sebagai bahan baku pengawet alami, karena diduga memiliki aktivitas insektisida yang efektif. Dugaan tersebut didasarkan pada fenomena yang terjadi di alam bahwa ketika pohon tersebut terluka maka akan mengalir resin yang bersifat antiseptik yang melindungi pohon dari serangan hama atau penyakit (Harborne 1996). Hal ini dipertegas oleh beberapa hasil penelitian yang membuktikan bahwa resin yang berasal

dari tumbuhan famili Dipterocarpaceae menunjukkan aktivitas antirayap yang tinggi. Resin dari Dipterocarpus kerii, D. retusus, D. intricatus, D. haseltii dan D. grandiflorius diketahui mengandung senyawa bioaktif yang bersifat antirayap Neutermes spp. dan anti-jamur Cladosporium cucumerinum seperti humelene, caryophyllene, caryophylene oxide, α-gurjunene, alloaromadendrene dan calarene (Messer et al. 1990 dan Richardson et al. 1989). Setiawati et al. (2001) juga melaporkan bahwa ekstrak kloroform dan ekstrak petroleum eter dari damar mata kucing memiliki sifat antirayap yang cukup tinggi.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat antirayap dari ekstrak resin damar mata kucing terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren. Disamping itu bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak tersebut yang diduga berperan terhadap aktivitas antirayap.

Bahan dan Metode

Ekstraksi dan Fraksinasi Bertingkat Resin S. Javanica K.et.V

Sebanyak 500 gram resin hasil sadapan diekstraksi dengan 3 x 1 liter aseton, masing-masing selama 24 jam pada suhu kamar, kemudian disaring. Ekstrak aseton yang diperoleh selanjutnya difraksinasi secara bertingkat ke dalam fraksi n-heksana, dietil eter, etil asetat, dan fraksi tak terlarut (residu). Larutan hasil fraksinasi bertingkat diuapkan pelarutnya menggunakan evaporator pada suhu 30 ∼ 400C kemudian dikeringkan pada suhu 40 ∼ 600C lalu ditimbang untuk memperoleh rendemennya.

8 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 9: Jurnal Bu Sarinah Am

Acetone 3 x 1 litre, evaporation

n-hexane : methanol-water (1:1) 100 ml, evaporation diethyl ether, 3 x 50 ml, evaporation

ethyl acetate 3 x 50 ml, evaporation

Further fractionation Isolation of single compound

Residue

Diethyl ether soluble fraction *

Residue

Insoluble fraction * Ethyl acetate soluble fraction *

Active fraction

1* 2 * 3* 4* ...

Identification by UV, FT-IR, GC-MS and NMR

Single compound

n-hexane soluble fraction *

Acetone extract *

Resin of S. javanica 500 g

Figure 1. Extraction and fractionation of resin S. javanica K.et.V * Anti-termite bio-assay test (Ohmura et al. 2000)

9 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 10: Jurnal Bu Sarinah Am

Pengujian Sifat Antirayap Pengujian sifat antirayap ekstrak aseton dan hasil fraksinasinya (ekstrak uji) dilakukan dengan menggunakan uji no-choice bio-assay (Ohmura et al. 2000). Seberat lebih kurang 0.5 gram kertas uji Whatman No. 41 berdiameter 25 mm ditambahkan ekstrak uji yang telah dilarutkan dalam aseton dengan konsentrasi 0% (kontrol), 2%; 4%; 6%; 8%; 10% dan 12% (w/w). Untuk kontrol hanya menggunakan pelarut aseton. Seluruh kertas uji yang mengandung aseton dikeringkan pada suhu kamar selama 1 hari. Setelah pelarutnya menguap, kertas uji dimasukkan ke dalam botol uji bersama 50 ekor rayap C. curvignathus Holmgren sehat dan aktif (45 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit). Indikator yang digunakan untuk mengetahui sifat antirayap adalah nilai mortalitas dan nilai penghambatan aktifitas makan (antifeedant) yang dinilai pada akhir pengamatan. Mortalitas rayap dalam perlakuan dikoreksi dengan mortalitas kontrol dan aktifitas setiap contoh uji dinilai semakin besar mortalitas maka aktifitas antirayap semakin tinggi. Kemudian hasil mortalitas diregresikan untuk mendapatkan LC50 (Lethal Concentration 50), yaitu konsentrasi zat ekstraktif yang dapat mematikan 50% rayap. Antifeedant rayap dalam perlakuan juga dikoreksi dengan antifeedant kontrol dan aktifitas dinilai semakin tinggi antifeedant maka aktifitas antirayap semakin tinggi (Ohmura et al. 2000) Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif Fraksi yang telah diketahui mempunyai sifat antirayap tertinggi selanjutnya difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan silika gel sebagai fasa diam. Senyawa tunggal yang diperoleh diidentifikasi melalui spektrofotometri UV, FT-IR, GC-MS, dan NMR. Prosedur ekstraksi, fraksinasi serta isolasi dan indentifikasi komponen bioaktif dari fraksi teraktif secara skematis ditunjukkan pada Gambar 1.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi Resin S. Javanica K.et. V

Hasil ekstraksi menunjukan bahwa dari 500 gram resin diperoleh ekstrak aseton sebanyak 299.59 gram (62.13%). Meskipun tidak seperti pelarut kloroform,

benzena, dan toluena yang dapat melarutkan resin dengan sempurna, namun aseton lebih aman bagi kesehatan dibandingkan ketiga pelarut di atas, dimana aseton memiliki toksisitas yang lebih rendah (1000 ppm) dibandingkan pelarut benzena (8 ppm), kloroform (10 ppm) dan toluena (200 ppm) (Reichardt 1988).

Setiawati et al. (2001) melaporkan bahwa ekstrak resin dari S. javanica dan S. leprosula dalam pelarut petroleum eter dan kloroform memiliki sifat antirayap yang tinggi, meskipun petroleum eter dan kloroform dapat melarutkan senyawa-senyawa yang tidak toksik seperti lemak dan lilin (Houghton 1998). Oleh karena itu, ekstraksi resin tersebut dengan aseton diharapkan dapat mengurangi kelarutan lilin dan lemak, sehingga toksisitas ekstrak aseton meningkat. Selain itu aseton juga dapat melarutkan senyawa-senyawa terpena (Harborne 1996), dimana senyawa-senyawa tersebut dilaporkan memiliki toksisitas yang cukup tinggi terhadap rayap Neotermes sp. (Messer et al. 1990).

Hasil fraksinasi menunjukkan bahwa ekstrak aseton resin S. javanica sebagian besar mengandung senyawa-senyawa yang cenderung bersifat non polar. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar dari senyawa yang terdapat dalam ekstrak aseton terlarut dalam fraksi n-heksana yaitu sekitar 70.34%, sedangkan yang terlarut dalam fraksi dietil eter dan fraksi etil asetat hanya masing-masing hanya sekitar 13.60% dan 9.48% (Tabel 1). Sifat Antirayap Nilai Mortalitas Rayap: Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak aseton resin S .javanica dan keempat fraksinya memberikan nilai mortalitas yang beragam. Fraksi yang memiliki sifat antirayap terbesar adalah fraksi dietil eter (LC50 = 1.62%) dan fraksi n-heksana (LC50 = 1.62%), diikuti ekstrak aseton (LC50 = 5.06%), fraksi etil asetat (LC50 = 8.27%),dan fraksi residu (LC50 := 12.20%). Semua fraksi yang diuji menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam contoh uji menghasilkan nilai mortalitas rayap yang semakin besar (Gambar 2).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara bahwa semua fraksi yang diuji, khususnya fraksi n-heksana dan fraksi dietil eter diduga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat racun

Table 1. The acetone extraction yields and their fractionation of resin S. javanica

Fractionation yield Weight (gram)

Percentage based on acetone extract (%)

Percentage based on resin (%)

n-heksana soluble fraction Diethyl-ether soluble fraction Ethyl-acetate soluble fraction

Insoluble fraction

210.72 40.75 28.40 19.72

70.34 13.60 9.48 6.58

43.70 8.45 5.89 4.09

Acetone extract 299.59 100.00 62.13

10 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 11: Jurnal Bu Sarinah Am

11 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

0

2 0

4 0

6 0

8 0

1 0 0

2 4 6 8 1 0 1 2C o n c e n t r a t io n ( % )

Antife

edan

t (%

)

Figure 2. Effects of aceton extracts of resin S. javanica and their fraction on mortality of subterran termite C. curvignathus Holmg.

Note: yAs = 7.79x + 10.57 yN-h = 6.52x + 39.46 yEE = 6.68x + 39.21

yEA = 4.84x + 9.96 yRes = 3.41x + 8.39

terhadap rayap. Senyawa bioaktif yang terkandung dalam kedua fraksi tersebut diduga memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan sifat antirayap ekstrak kasar aseton dalam mematikan rayap. Ada beberapa kemungkinan mekanisme kematian rayap yang diakibatkan oleh senyawa bioaktif yang terdapat dalam zat ekstraktif. Kemungkinan pertama adalah senyawa bioaktif mematikan protozoa yang merupakan simbion rayap dalam mendekomposisi selulosa di dalam perut rayap. Apabila protozoa mati maka aktifitas enzim selulase yang dikeluarkan protozoa tersebut terganggu, hal ini dapat menyebabkan rayap tidak memperoleh makanan dan energi yang dibutuhkan sehingga rayap tersebut mati. Sementara itu, Yamaguchi et al. (1999) melaporkan bahwa β-thujaplicin, senyawa aktif dari kultur jaringan Cupressus lusitanica mampu menghambat aktifitas enzim ATP-ase yang selanjutnya dapat menyebabkan rayap tidak memperoleh energi yang dibutuhkan sehingga rayap tersebut mati. Selain itu senyawa-senyawa bioaktif tersebut dapat merusak sistem syaraf rayap yang menyebabkan sistim syaraf tidak berfungsi dan pada akhirnya dapat mematikan rayap. Kemungkinan lain pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian rayap dan serangga lainnya adalah sebagai penghambat sintesis protein khususnya dari kelompok tanin, stilben, quinon, alkaloid dan resin, sedangkan kelompok terpenoid dapat merusak fungsi sel (integritas membran sel) rayap yang pada akhirnya

menghambat proses ganti kulit rayap (Sastrodihardjo 1999).

0

50

100

0 2 4 6 8 10 12

Concentration (%)

Morta

lity (%

)

As(Aseton) N-h(N-heksan) EE(Dietil eter)EA(Etil asetat) Res(Residu)

Sifat Penghambat Aktifitas Makan (Antifeedant): Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak aseton resin S. javanica dan keempat fraksinya memberikan nilai penghambat aktifitas makan beragam. Fraksi dietil eter memiliki nilai penghambat aktifitas makan tertinggi, diikuti fraksi n-heksana, ekstrak aseton, fraksi etil asetat dan residu. Semua jenis ekstrak yang diuji menunjukkan pola yang sama, dimana semakin tinggi konsentrasi menghasilkan nilai penghambat aktifitas makan rayap yang semakin besar (Gambar 3). Dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa fraksi n-heksana dan fraksi dietil eter mempunyai sifat antirayap yang cukup tinggi dibandingkan fraksi lainnya.

Figure 3. Effects of aceton extracts of resin S. javanica

and their fraction on antifeedant of subterran termite C. curvignathus Holmg. corrected with control antifeedant

Legend: see Fig. 2. Analisis Lanjutan Fraksi Aktif

Dari pengujian sifat antirayap, baik dengan menggunakan indikator nilai mortalitas rayap maupun nilai antifeedant, diketahui bahwa dari 5 fraksi yang diuji terdapat 2 fraksi yang mempunyai sifat antirayap tinggi yaitu fraksi n-heksana dan fraksi dietil eter. Untuk mengetahui komponen-komponen aktif yang terdapat di dalam fraksi n-heksana dan fraksi dietil eter, maka terhadap kedua fraksi tersebut dilakukan fraksinasi lanjutan dengan menggunakan kolom kromatografi dan silika gel sebagai fasa diam serta campuran n-heksana-etil asetat sebagai fasa gerak dielusi secara gradient (kepolaran dinaikkan secara bertahap). Berdasarkan hasil identifikasi dengan TLC (Thin Layer Chromatography) terhadap hasil kolom kromatografi menunjukan bahwa dari fraksi n-heksana diperoleh 5

Page 12: Jurnal Bu Sarinah Am

0

5 0

1 0 0

0 2 4 6 8

C o n c e n tra tio n (% )

Morta

lity (%

)fraksi lanjutan yaitu fraksi N1, N2, N3, N4, dan N5, sedangkan dari fraksi dietil eter diperoleh 4 fraksi lanjutan yaitu fraksi EE1, EE2. EE3, dan EE4. Kesembilan fraksi lanjutan tersebut bukan merupakan single compounds tetapi merupakan gabungan dari beberapa senyawa yang mempunyai Rf (Retention factor) berdekatan. Rf merupakan perbandingan jarak yang ditempuh suatu senyawa dengan jarak yang ditempuh pelarut dalam lempeng kromatografi lapis tipis (TLC). Nilai Rf biasanya berkisar antara 0.01 ∼ 1.99. Rf merupakan peubah untuk menentukan suatu senyawa dan merupakan ciri terpenting untuk membedakan senyawa-senyawa yang berbeda.

Sifat Antirayap Fraksi Lanjutan Nilai Mortalitas Rayap: Pada pengujian sifat antirayap ini konsentrasi yang digunakan adalah 2%, 4% dan 6%. Penentuan konsentrasi ini didasarkan pada hasil pengujian sifat antirayap fraksi n-heksana dan fraksi dietil eter yang menunjukkan bahwa pada konsentrasi 6% ke atas menunjukan mortalitas 100% (Gambar 2). N 1

N 2N 3N 4N 5E 1E 2E 3E 4

Figure 4. Effects of further fraction of n-hexane fraction

and diethyl ether fraction on mortality of subterran termite C. curvignathus Holmgren.

Note: yN1 = 9.88x + 8.43 yN2 = 8.75x + 17.16 yN3 = 14.00x + 32.83 yN4 = 7.02x + 7.03 yN5 = 10.40x + 15.46 yEE1 = 2.75x + 28.99 yEE2 = 10.85x + 11.36 yEE3 = 9.55x + 11.76 yEE4 = 13.56x + 18.96

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kesembilan

fraksi memberikan nilai mortalitas yang beragam. Data ini juga menunjukkan bahwa semua fraksi yang terkandung di dalam damar memiliki sifat antirayap

dengan tingkat yang berbeda. Fraksi N3 memiliki aktifitas antirayap tertinggi (LC50 = 1.23%), diikuti fraksi EE1 pada ranking kedua (LC50 = 1.65%) dan selanjutnya aktifitas antirayap berkurang berturut-turut pada Fraksi EE4, N5, EE2, N2, N1, EE3 dan terakhir N4 dengan nilai LC50 berturut-turut 2.29%; 3.32%; 3.56%; 3.75%; 4.21%; 4.00% dan 6.12% (Gambar 4). Sifat Penghambatan Aktifitas Makan (Antifeedant): Penghambatan aktifitas makan (antifeedant) diindikasikan oleh adanya kehilangan berat kertas uji. Apabila kehilangan berat kertas uji kecil maka berarti penghambat aktifitas makannya tinggi. Nilai rata-rata persentase penghambat aktifitas makan rayap dapat dilihat pada Tabel 2. Table 2. Effects of further fraction of n-hexane fraction

and diethyl ether fraction on antifeedant of subterran termite C. curvignathus Holmg.

Consentration (%, w/w) Fraction

2 4 6 Average N1 18 31 33 27 N2 16 21 36 24 N3 54 63 78 65 N4 0 0 15 5 N5 23 27 54 35

EE1 29 54 60 48 EE2 31 38 48 39 EE3 25 33 40 33 EE4 33 40 57 43

Note : antifeedant values have been corrected with antifeedant control.

Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif

Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dilakukan terhadap fraksi-fraksi yang memiliki sifat antirayap tinggi. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan diketahui bahwa fraksi N3 yang berasal dari fraksi n-heksana dan fraksi EE1 dari fraksi dietil eter memiliki sifat antirayap yang sangat kuat. Oleh karena itu isolasi dan identifikasi senyawa aktif hanya dilakukan pada fraksi N3 dan fraksi EE1. Isolasi senyawa aktif dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom.

Dengan metoda kromatografi kolom, dari fraksi N3 diperoleh senyawa utama berbentuk kristal berwarna bening sebanyak 50.3 mg dan mempunyai bercak tunggal dengan Rf 0.67 (eluen n-heksana : etil asetat = 8 : 1) yang berekor dan menandakan senyawa tersebut belum murni. Senyawa utama ini selanjutnya disebut senyawa DN3-1. Pemurnian senyawa DN3-1 dilakukan pencucian dengan menggunakan metanol, dan direkristalisasi dengan n-heksana : kloroform. Dari rekristalisasi tersebut dihasilkan senyawa murni DN3-1

12 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 13: Jurnal Bu Sarinah Am

sebanyak 17.54 mg. Senyawa DN3-1 tersebut selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan berbagai spektrometer.

Berdasarkan data dari spektroskopi UV senyawa DN3-1 mengandung gugus keton atau aldehida terkonjugasi (Pavia et al. 1996) karena menunjukkan absorbsi maksimal pada panjang gelombang 277 nm dengan nilai absorbsi rendah (0.275). Hasil interpretasi spektroskopi IR senyawa DN3-1 diperkirakan mengandung gugus keton (Pavia et al. 1996) karena menunjukkan puncak absorbsi yang kuat pada bilangan gelombang 1716 cm-1 dan adanya puncak tambahan yang lemah pada bilangan gelombang 3460 cm-1. Berdasarkan interpretasi spektroskopi NMR senyawa DN3-1 termasuk ke dalam golongan triterpenoid (Pavia et al. 1996) karena munculnya puncak-puncak pada pergeseran kimia 0.772 ~ 1.212 ppm sebagai proton dari gugus metil (-CH3) sebanyak delapan puncak yaitu pada 0.772 ppm (doublet), 0.929 ppm (singlet), 0.961 ppm (singlet), 1.004 ppm (singlet), 1.025 ppm (singlet), 1.075 ppm (singlet), 1.181 ppm (singlet) dan 1.212 ppm (singlet). Berdasarkan interpretasi spektroskopi 13 C NMR dapat diketahui bahwa senyawa DN3-1 mempunyai 30 buah atom karbon (satu diantara merupakan gugus karbonil –C=O), dan 50 buah atom hidrogen. Dengan demikian senyawa tersebut mempunyai rumus molekul C30H50O dengan bobot molekul 426. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa senyawa DN3-1 kemungkinan mempunyai jumlah ikatan rangkap/cincin sebanyak 6 buah. Berdasarkan data di atas diketahui bahwa telah terdapat sebuah ikatan rangkap, yaitu gugus karbonil. Sehingga jumlah cincin dapat ditentukan yaitu sebanyak 5 buah. Sedangkan berdasarkan interpretasi GC-MS melalui penelusuran data base WILEY 275 L senyawa DN3-1 mempunyai pola fragmentasi yang mirip dengan senyawa friedelin (C30H50O). Adanya kesamaan fragmentasi tersebut pada m/z 109, 137, 163, 179, 205, 218, 246, 257, 273, 302, 341, 411, 424 dengan limpahan relatif 100% sama-sama pada m/z 109.

Hasil analisis baik berdasarkan spektrum UV, IR, GC-MS, maupun NMR senyawa DN3-1 memiliki struktur molekul yang mirip dengan senyawa friedelin yang telah diisolasi dan diidentifikasi oleh Agrawal dan Jain (1992) karena friedelin merupakan senyawa triterpenoid yang memiliki 8 gugus metil (-CH3), dengan 5 buah cincin karbon, dan mengandung sebuah gugus keton. Kemiripan senyawa DN3-1 dengan friedelin ini dipertegas dengan hasil pengukuran titik leburnya, dimana senyawa DN3-1 memiliki titik lebur 2630C ~ 2650C mendekati titik lebur friedelin 2670C ~ 2690C (Buckingham 1992). Kemiripan ini diperkuat dengan adanya data perbandingan (13C NMR) senyawa DN3-1 dengan friedelin, seperti terlihat pada Tabel 3. Berdasarkan perbandingan pola fragmentasi ion dan data spektrum 13C NMR, maka diduga bahwa senyawa DN3-1 adalah senyawa friedelin dengan struktur kimia seperti dapat dilihat pada Gambar 5.

Dari fraksi EE1 sulit diperoleh senyawa tunggal walaupun sudah dilakukan beberapa kali pemisahan/pemurnian. Oleh karena itu, identifikasi yang dilakukan terhadap fraksi EE1 adalah dengan membandingkan hasil analisis GC-MS dengan chemical library dalam data base WILEY 275 L. Hasil analisis GC-MS menunjukan bahwa fraksi EE1 mengandung sekitar 12 jenis senyawa kimia. Dengan menggunakan pola fragmentasi ion dari masing-masing senyawa yang dibandingkan dengan pustaka, maka diperoleh 4 jenis senyawa utama. Tabel 4 menunjukkan beberapa senyawa kimia, rumus dan berat molekulnya yang terkandung dalam fraksi EE1 damar, sedangkan struktur molekulnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa sesquiterpen yang terdapat dalam resin tumbuhan famili Dipterocarpaceae memiliki aktifitas insektisida (Richardson et al. 1989; Messer et al. 1990). Selain dari golongan sesquiterpen, senyawa golongan triterpen juga dilaporkan memiliki aktivitas biologis. Triterpen pentasiklik, α-amirin dan β-amirin serta turunannya terbukti memiliki kemampuan menolak serangga dan mikroba (Das dan Mahotta 1993 dalam Harborne 1996)

O

OH

OH

O

Friedelin Vulgarol Junipene (7R,10S)-2,6,10-Trimethyl-7,

10 –epoxy-2,11-dodecadien Figure 5. Prediction of molecular structure of chemical compound in n-hexane and diethyl ether fraction of S. javanica

resin (chemical library WILEY 275 L and Agrawal and Jain 1992).

13 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 14: Jurnal Bu Sarinah Am

Table 3. The comparison of 13C NMR spectrum data of friedelin and DN3-1 compound

Chemical shift (ppm) Carbon

number Friedelin*) DN3-1 compound 1. 22.3 22.26 2. 41.5 42.12 3. 212.9 - 4. 58.2 58.21 5. 42.1 41.49 6. 41.3 41.27 7. 18.2 18.22 8. 53.1 53.08 9. 37.4 37.43 10. 59.5 59.46 11. 35.6 35.61 12. 30.5 30.48 13. 39.7 39.68 14. 38.3 38.28 15. 32.4 32.40 16. 36.0 36.00 17. 30.0 29.98 18. 42.8 42.78 19. 35.3 35.32 20. 28.1 28.14 21. 32.8 32.76 22. 39.2 39.23 23. 6.9 6.79 24. 14.6 14.63 25. 17.9 17.92 26. 20.2 20.23 27. 18.6 18.63 28. 32.1 32.07 29. 31.8 31.77 30. 35.0 35.00

Note: *) source : Agrawal and Jain (1992) Table 4. The chemical compounds of EE1 fraction

No. Chemical compound

Molecule Formulas

Moleculeweight

1. Vulgarol B C15H24O 220

2. 3,4-Secodamar-4(28)-en-3-oic

acid C30H50O4 474

3. (7R,10S)-2,6,10-Trimethyl-7, 10 –

epoxy-2,11-dodecadien

C15H26O2 238

4. Junipene

(decahydro-4,8,8-trimethyl- 1,4-

Methanoazulene) C15H24 204

Kesimpulan

1. Resin damar mata kucing hasil sadapan dari Shorea javanica K.et V mengandung 62.13% ekstrak yang larut dalam aseton. Dari ekstrak aseton tersebut, 70.34% larut dalam n-heksana, 13.60% larut dalam dietil eter, 9.48% larut dalam etil asetat, dan 6.58% termasuk fraksi yang tidak larut (residu).

2. Diantara fraksi-fraksi tersebut, fraksi yang memiliki sifat antirayap tertinggi adalah fraksi n-heksana dan dietil eter.

3. Dari fraksi n-heksana diperoleh senyawa tunggal yang identik dengan senyawa friedelin, sedangkan dari fraksi dietil eter diperoleh 4 senyawa yang diduga masing-masing adalah vulgarol B; 3,4-Secodamar-4(28)-en-3-oic acid; (7R,10S)-2,6,10-Trimethyl-7,10–epoxy-2,11dode- cadien; dan junipene.

Daftar Pustaka

Abdurrohim, S. 2000. Manfaat Pengawetan Kayu

Perumahan dan Gedung. Prosiding Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu. Maret 2000. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor.

Agrawal, P.K. and D.C. Jain. 1992. 13C-NMR Spectrum of Oleanane and Triterpenoids. Progress in Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy. Vol 24 (1) : 55-56.

Buckingham, J. Ex. Ed. 1992. Dictionary of Natural Product, Vol 1 – 7. Type of Compound Index, Species Index,. Chapman & Hall. London.

Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. ITB Press. (Terjemahan)

Houghton, P.J. A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural extracts. Chapman & Hall. London.

Messer, A.C., J. Meinwald and D.P. Richardson. 1990. Anti-insectan Compounds from he Tropical Tree Family Dipterocarpaceae. Final Report, United States Agency for International Development, Program in Science and Technology Cooperation, Cornell University.

Ohmura, W., S. Doi, M. Aoyama and S. Ohara. 2000. Antifeedant Activity of Flavonoids and Related Compounds Againts the Subterranean Termite Coptotermes formosanus Shiraki. J. Wood Sci (2000) 46 :149-153.

Pavia, D.L., G.M. Lampman, G. S. Kriz. 1996. Introduction to Spectroscopy. A guide for Students

14 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 15: Jurnal Bu Sarinah Am

of Organic Chemistry. Saunders College Publishing. USA.

Reichardt, C. 1988. Solvents and Solvent Effects in Organic Chemistry. VCH Verlags Weinheim, Germany.

Richardson, D.P., A.C. Messer, S. Greenberg, H.H. Hagedorn, and J. Meinwald. 1989. Defensive Sesquiterpen from a Dipterocarp (Dipterocarpus kerii) Journal of Chemical Ecology, Vol 15.(2) : 731-747.

Sastrodihardjo, S. 1999. Arah Pengembangan dan Strategi Penggunaan Pestisida Nabati. Makalah pada Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan

Pestisida Nabati; Bogor, 9 – 10 Nopember 1999. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.

Setiawati, T., Purwatiningsih, E.A. Husaeni. 2001. Penapisan Senyawa Antirayap dari Getah S. javanica dan S. leprosula. Buletin Kimia 1 : 101-105.

Yamaguchi, T., K. Fujita, and K. Sakai. 1999. Biological Activity of Extracts from Cupressus lusitanica Cell Culture. J. Wood Science. Vol. 45 (2) : 170-173.

Diterima tanggal 14 Oktober 2003 Rita Kartika Sari, Wasrin Syafii, Kurnia Sofyan Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (Chemistry Laboratory, Faculty of Forestry, Dept. of Forest Products Technology, Bogor Agricultural University) Kampus IPB Darmaga, PO BOX 168, Bogor 16001 Tel. 0251-621285; 621677, Fax. 0251-621285; 621256 Muhammad Hanafi Pusat Penelitian Kimia – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Research Centre for Chemistry, Indonesian Institute of Sciences) Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15310.

15 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 16: Jurnal Bu Sarinah Am

Daya Racun Ekstraktif Kulit Kayu Pucung terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light.

Toxicity of Pucung-wood Bark Extractives to Dry Wood Termite Cryptotermes cynocephalus Light.

Laila Sari dan Sutjipto A. Hadikusumo

Abstract

Wood preservation using chemicals may pollute the environment. One of the efforts to reduce the effect is using naturally constituents from plants as preservative. The purpose of this study was to observe the effectiveness of soluble fraction in n-hexane, diethyl ether and ethyl acetate of pucung-wood bark after extracted in acetone to dry wood termite attack on paper disc. Pucung-wood (Pangium edule Reinw.) barks were dried and powdered and then cold-extracted with acetone. Thick extract solution in acetone was extracted in n-hexane solution. Soluble fraction in n-hexane was separated. Remained solution was extracted in diethyl ether. Soluble fraction was separated. Remained solution was extracted in ethyl acetate. Soluble fraction in ethyl acetate was separated. Each of soluble fractions was separated from the solution using evaporation method to obtain dry extracts. Each dry extracts were dissolved in each solution to make solutions with concentration of 2.5%, 5%, 7.5% and 10%. Filter paper was used as sample and soaked in the extract solution for 24 hours. After air-dried, filter paper was placed on petri dish and feed to 50 dry termites for 4 weeks. Results shown that 2.5% extract solution in n-hexane or in ethyl ether, or 5% in acetone or 10% in ethyl acetate were effectively inhibiting dry wood termite attack with mortality of 95 ∼ 100%. Key words: soluble fraction, pucung-wood bark, dry wood termite

Pendahuluan

Sebagian besar kayu termasuk ke dalam kayu yang kurang awet atau bahkan tidak awet. Dalam pemakaian kayu sangat rentan terhadap serangan organisme perusak kayu, baik berupa jamur, cendawan ataupun serangga, khususnya rayap dan kumbang bubuk. Usaha pencegahannya adalah dengan menggunakan kayu yang awet dan mampu bertahan terhadap serangan organisme perusak kayu dalam jangka waktu yang sangat lama karena kandungan ekstraktifnya (Haygreen dan Bowyer 1982) atau dengan pengawetan sebelum kayu digunakan.

Pengawetan yang biasa dilakukan menggunakan bahan kimia sebagai bahan pengawet, yaitu garam-garam larut air yang mengandung tembaga, chrom, arsen, phenol, seng atau khlor atau senyawa berupa minyak seperti kreosot ter batubara, tembaga naftenat dan pentakhlorophenol. Semua bahan ini berpotensi mencemari lingkungan karena sulit dihancurkan. Salah satu upaya untuk menghindari pencemaran ini ialah penggunaan bahan-bahan alami dari tumbuh-tumbuhan sebagai bahan pengawet. Ekstrak dari tumbuh-tumbuhan, seperti dari kayu, kulit, daun, bunga, buah atau biji, diyakini berpotensi mencegah pertumbuhan jamur ataupun menolak kehadiran serangga perusak. Beberapa contoh (Othmer, 1966) misalnya nikotin dari daun tembakau, rotenoid dengan bahan aktif rotenon dari banyak spesies dari genus Tephrosia, Derris, Lonchocarpus, Miletia dan Mundilea, kemudian ekstrak dari biji Schoenocaulon

officinale. Veratrine dari biji S. drummondii dan S. texanum adalah bahan-bahan beracun dari grup alkaloid. Ryania dari akar dan batang Ryania speciosa familia Flacourtiaceae, dengan bahan aktif alkaloid ryanodine, merupakan racun perut dan kontak bagi serangga, sifatnya lebih stabil daripada rotenon dan veratrine. Syafii (2000) melaporkan dari beberapa pustaka bahwa ekstrak air panas kayu mahoni, ekstrak metanol kayu ekaliptus, ekstrak metanol dan eter kayu jati mengandung bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan organisme. Rumphius dalam Heyne (1987) menyatakan bahwa kulit kayu pucung apabila diremas-remas atau ditumbuk halus kemudian ditaburkan di perairan akan mematikan ikan. Oleh karena itu kulit tanaman ini sering digunakan sebagai racun (tuba) untuk menangkap ikan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa cairan dari remasan daun pucung jika diteteskan pada luka yang mengandung ulat atau organisme lainnya, maka hewan parasit itu akan mati. Kemampuan untuk membunuh organisme dari tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk memberantas serangga perusak tanaman budidaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas fraksi terlarut dalam n-heksana, dalam dietil eter dan dalam etil asetat dari kulit kayu pucung setelah diekstrak dingin dalam aseton terhadap serangan rayap kayu kering pada paper disk.

16 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 17: Jurnal Bu Sarinah Am

Pucung-wood bark ⇓

air-dried ⇓

powdered ⇓

2000 g powder ⇓

cold extraction with acetone (3 times of powder weight) (extractions repeated several times until clear solution obtained)

⇓ ⇓ acetone soluble fraction residue ⇓ evaporated ⇓ 1000 ml acetone soluble fraction ⇓ ⇓ 500 ml evaporated 500 ml oven-dried ⇓ ⇓ 100 ml acetone soluble fraction dry extracts ⇓

added 75 ml n-hexane + 20 ml aquadest (cold extraction) (extractions repeated 3 times) ⇓ ⇓

n-hexane soluble fraction solution residue ⇓ ⇓ oven-dried added 75 ml diethyl ether (cold extraction) (extractions repeated 3 times) ⇓ ⇓ diethyl ether soluble fraction solution residue ⇓ ⇓ added 75 ml ethyl acetate (cold extraction) (extractions repeated 3 times) oven-dried ⇓ ⇓ ethyl acetate soluble fraction solution residue ⇓ oven-dried dry extracts

n-hexane soluble fraction dry extracts diethyl ether soluble fraction dry extracts ethyl acetate soluble fraction solved in n-hexane

(concentrations of 2.5%, 5%, 7.5%, 10%)

solved in diethyl ether solved in ethyl acetate (concentrations of 2.5%, 5%, 7.5%, 10%) (concentrations of 2.5%, 5%, 7.5%, 10%)

used on paper disc for test of dry wood termite attack

Figure 1. Diagram of extraction and isolation of Pucung-wood bark

17 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 18: Jurnal Bu Sarinah Am

Bahan dan Metode

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ialah kulit kayu pucung, aseton, n-heksana, etil eter, etil asetat dan nympha rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Isolasi dan fraksinasi kulit kayu Pucung disajikan pada Gambar 1. Kulit kayu dikeringkan hingga mencapai kering udara lalu diserbukkan dan disaring dengan saringan 40 mesh, tertahan 60 mesh, sebanyak 2000 gram. Serbuk kemudian direndam di dalam aseton dengan perbandingan berat serbuk dan berat aseton 1 : 3 dan diaduk-aduk sesering mungkin. Setelah 48 jam, filtrat disaring dengan kertas saring. Ekstraksi dilakukan berulang kali sehingga diperoleh filtrat atau larutan ekstrak yang jernih. Larutan ekstrak dalam aseton ini kemudian dievaporasikan pada suhu 40°C hingga larutan yang diperoleh tinggal sebanyak 1000 ml. Separuh dari volume ini dievaporasikan di dalam oven pada suhu 103 ± 2° C dan diperoleh ekstrak kering yang terlarut di dalam aseton. Separuh dari volume sisanya dievaporasikan sehingga diperoleh volume larutan sebanyak 100 ml. Ke dalam larutan ini ditambahkan 75 ml larutan n-heksana dan akuades 20 ml lalu dikocok sehingga terjadi pemisahan. Fraksi terlarut n-heksana dipisahkan. Fraksinasi dilakukan sebanyak 3 kali.

Residu hasil fraksinasi n-heksana dimasukkan corong pemisah dan ditambahkan dietil eter sebanyak 75 ml, dikocok dan didiamkan sehingga terjadi pemisahan. Fraksi terlarut dietil eter dipisahkan dan fraksinasi diulang 3 kali.

Residu hasil fraksinasi dietil eter dimasukkan corong pemisah dan ditambahkan etil asetat 75 ml, dikocok dan didiamkan sehingga terjadi pemisahan. Fraksi terlarut etil asetat dipisahkan dan fraksinasi diulang 3 kali. Masing-masing fraksi terlarut diuapkan dan diperoleh ekstrak kering. Dari ekstrak kering ini lalu dibuat larutan di dalam pelarutnya masing-masing dengan konsentrasi menurut perbandingan berat 2.5%, 5%, 7.5% dan 10%. Sebagai contoh uji digunakan kertas saring. Kertas saring direndam di dalam larutan ekstrak selama 24 jam lalu dikering-udarakan. Kertas saring lalu diletakkan di dalam cawan petri dan ke dalamnya dimasukkan 50 ekor nympha rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Cawan petri ditutup dengan kasa dari plastik. Penyerangan dilakukan selama 4 minggu.

Hasil dan Pembahasan

Kandungan zat ekstraktif, mortalitas rayap dan pengurangan berat contoh uji disajikan pada Table 1 s/d 5. Dari hasil penelitian di atas ternyata bahwa dengan konsentrasi yang cukup, ekstrak kulit kayu pucung mampu membunuh rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Fraksi terlarut di dalam n-heksana memberikan konsentrasi terkecil 2.5% yang mengakibatkan mortalitas mendekati 100% dibandingkan fraksi terlarut di dalam pelarut-pelarut yang lain.

Table 1. Extractives contents of 2000 g of pucung-wood bark at air dry

Fraction soluble in Solid weight of extractives (g) Soluble percentage based on oven-dried weight (%)

n-Hexane Diethyl ether Ethyl acetate

Residue

12.26 6.25 2.74 8.12

0.68 0.35 0.15 0.45

Total 29.37 1.63 Table 2. Average of dry wood termite mortality in four weeks

Mortalility (%) Concentration of Extract (%) Acetone n-Hexane Ethyl ether Ethyl acetate Untreated

0.0 2.5 5.0 7.5

10.0

15 21 a 83 c 99 gh 100 gh 100 gh

15 22 ab 98 fg 100 gh 100 gh 100 gh

15 21 ab 95 fg 97 g 100 gh 100 gh

15 25 b 90 de 90 d 89 d 95 fg

Notes: - Average value followed by the same letter means not significantly different at LSD test - Untreated: untreated paper disc directly feed to termite - Concentration of extract 0%: paper disc soaked in each solutions without addition of pucung-wood extract

18 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 19: Jurnal Bu Sarinah Am

Table 3. Average of dry wood termite mortality in four weeks, completely due to the extracts

Mortality (%) Concentration of extract (%) Acetone n-Hexane Diethyl ether Ethyl acetate 2.5 5.0 7.5

10.0

62 78 79 79

76 78 78 78

74 76 79 79

65 65 64 70

Note: Effect of solution on termite mortality was shown by termite mortality at concentration of 0%, therefore termite mortality completely due to the extracts was termite mortality in Table 2 minus termite mortality due to the solution at concentration of 0%

Table 4. Average of sample weight loss

Weight loss (%) Concentration of Extract (%) Acetone n-Hexane Diethyl ether Ethyl acetate

Untreated 0.0 2.5 5.0 7.5

10.0

25 20 13 11 8 5

25 14 13 11 9 5

25 20 13 12 9 6

25 15 15 13 10 9

Table 5. Average of relative weight loss of sample to control

Relative weight loss of sample (%) Concentration of Extract (%) Acetone n-Hexane Diethyl ether Ethyl acetate 0.0 2.5 5.0 7.5

10.0

80 52 44 32 20

56 48 44 36 20

80 52 48 36 24

60 60 52 40 36

Syafii (2000) melaporkan bahwa fraksi terlarut

dalam n-heksana dari kayu sonokembang dan eboni pada konsentrasi 2% dengan pelarut aseton telah menyebabkan mortalitas rayap C. curvignanthus sebesar 100%. Kematian rayap dapat disebabkan oleh dua hal, pertama bahwa ekstrak kulit kayu atau kayu tersebut menyebabkan kematian protozoa di dalam perut rayap dan/atau kedua bahwa ekstrak tersebut telah menyebabkan rusaknya sistem syaraf pada rayap (Othmer 1966). Protozoa di dalam perut rayap menghancurkan sellulosa yang tidak dapat dihancurkan oleh rayap atau enzim yang terdapat di dalam perut rayap itu sendiri, sehingga dengan kematian protozoa di dalam perut rayap, rayappun menjadi mati karena umpan yang dimakan rayap yang terutama terdiri dari sellulosa tidak dapat diserap oleh tubuh rayap. Dilihat dari pengurangan berat contoh uji, fraksi terlarut di dalam n-heksana pada konsentrasi 2.5% dengan pelarut n-heksana mampu melindungi sampai separuh kerusakan yang disebabkan oleh rayap tanpa perlakuan.

Kesimpulan

Dari penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ekstrak kulit kayu pucung mampu menghambat serangan rayap kayu kering. Konsentrasi terendah yang sudah cukup efektif diperoleh pada fraksi terlarut di dalam n-heksana atau dietil eter yaitu 2.5%, kemudian 5% di dalam aseton dan 10% di dalam etil asetat.

Permanensi ekstrak belum diketahui, diperkirakan tidak terlalu lama karena diduga ekstrak hanya menempel pada paper disc atau substrat dan tidak bereaksi dengannya.

Pustaka

Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1982. Forest Products and Wood Science, An Introduction. The Iowa University Press. Ames. p. 259

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

19 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 20: Jurnal Bu Sarinah Am

Othmer, K. 1966. Encyclopaedia of Chemical Technology. Vol. 11. pp. 683-684

Syafii, W. 2000. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Beberapa Jenis Kayu Daun Lebar Tropis. Buletin Kehutanan No. 42. Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.

Diterima tanggal 10 Nopember 2003 Laila Sari dan Sutjipto A. Hadikusumo Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (Faculty of Forestry, Gadjah Mada University) Kampus Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Tel. 0274-901401, Fax. 0274-901420

20 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 21: Jurnal Bu Sarinah Am

Keterawetan dan Ketahanan Enam Jenis Kayu yang Diawetkan dengan CKB terhadap Rayap Tanah dan Bubuk Kayu Kering

Treatability and Durability of Six Wood Species Treated by CKB Against Subterranean Termite and Powder Post Beetle

Mohammad Muslich dan Jasni

Abstract

This paper discusses a study on the treatability and durability of six wood species treated by CKB preservative by full cell process against subterranean termite and powder post beetle. Six wood species measuring 5 cm by 5 cm by 60 cm were treated with 7% CKB preservative by full cell process for 1 hour, 2 hours and 4 hours in 150 psi. The treated and untreated wood samples were tested against subterranean termite and powder posts beetle for 8 months. The results of the study indicated that full cell process with CKB were able to prevent insect attack. Untreated woods specimens were susceptible to subterranean termite and powder post beetle attack. The results, after taking both retention and penetration showed that sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) were permeable; while cempaka (Elmerillia ovalis Dandy), surian (Toona sureni Merr.) and durian (Durio zibethinus Merr.) were moderately resistant. While mersawa (Anisoptera costata Korth.) and Palado (Aglaia sp.) were extremely resistant. Key words: treatability, durability, CKB, subterranean termite, powder post beetle.

Pendahuluan

Kecenderungan pemakaian kayu sebagai bahan bangunan pada saat ini dan masa yang akan datang terus meningkat, terutama untuk keperluan bangunan rumah tinggal dan konstruksi ringan seperti BTN dan Perumnas. Hal ini perlu diimbangi dengan umur bangunan yang memadai. Bertambah panjang umur bangunan terutama dari aspek penggunaan kayunya, berarti akan mengurangi kebutuhan kayu. Selanjutnya akan mempengaruhi keselamatan lingkungan dengan menekan penebangan kayu di hutan. Peranan pengawetan kayu akan terasa lebih penting lagi karena dikhawatirkan produksi kayu awet dalam waktu mendatang tidak dapat memenuhi kebutuhan. Maka jenis kayu yang mempunyai kelas awet rendah perlu diawetkan sebelumnya sehingga umur pakainya akan menjadi lebih panjang. Oleh karena itu jenis kayu yang mempunyai kelas awet rendah tersebut tentunya akan dapat dipergunakan sebagai pengganti dan mendapat pasaran yang layak.

Menurut Nandika dalam Supriana (2002), mengatakan bahwa pada tahun 1995 bangunan yang diserang rayap di Indonesia mengalami kerugian diperkirakan mencapai Rp. 1.67 triliyun, jumlah tersebut meningkat berturut-turut menjadi Rp. 2.52 triliyun dan Rp. 2.80 triliyun pada tahun 1999 dan 2000. Selanjutnya Supriana (2002) mengatakan bahwa bila angka-angka tersebut dihubungkan dengan biaya pembangunan HTI yang diperkirakan Rp 4 juta/ha pada tahun 1999 dan Rp 5 juta/ha pada tahun 2000, maka kerugian akibat rayap sama dengan biaya pembangunan 613.000 Ha HTI untuk tahun 1999 (Rp. 252 milyar) dan 560.000 Ha untuk tahun 2000 (Rp 400 milyar).

Pengawetan kayu secara teknis mudah dilaksanakan oleh masyarakat, namun masih banyak dijumpai hasil yang diperoleh tidak memenuhi persyaratan. Hal tersebut karena kurangnya pengetahuan mengenai sifat-sifat kayu. Salah satu sifat kayu yang berhubungan dengan pengawetan adalah sifat keterawetan. Keterawetan merupakan sifat kayu yang penting, menunjukkan mudah tidaknya suatu jenis kayu dimasuki larutan bahan pengawet.

Pada kesempatan ini telah dicoba 6 jenis kayu Sulawesi yang diawetkan dengan Tembaga-Khrom-Boron (CKB) melalui proses sel-penuh. Kemudian diteliti sifat keterawetannya serta diuji ketahanannya terhadap rayap tanah dan bubuk kayu kering. Bahan pengawet CKB adalah salah satu bahan pengawet yang telah diijinkan oleh komisi pestisida dan bersifat pencegahan bukan pemberantasan. Kayu yang diawetkan dengan CKB, bila telah terjadi fiksasi dengan komponen kayu akan sulit larut terhadap air sehingga sedikit kemungkinannya untuk mencemari lingkungan. Lain halnya dengan penggunaan pestisida yang bersifat pemberantasan, dimana kemungkinan mencemari lingkungan sangat besar. Pertimbangan memakai CKB, karena bahan pengawet tersebut sangat efektif untuk mencegah serangga penggerek kayu sebagai pengganti CCA yang telah dilarang.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sifat keterawetan dan ketahanan kayu terhadap organisme perusak. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi yang bermanfaat bagi para pengguna.

21 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 22: Jurnal Bu Sarinah Am

Bahan dan Metode Bahan Bahan Kayu: Kayu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bagian teras, tanpa cacat kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), cempaka (Elmerillia ovalis Dandy), surian (Toona sureni Merr), durian (Durio zibethinus Murr.), mersawa (Anisoptera costata Korth.) dan palado (Aglaia sp.). Jenis-jenis kayu tersebut berasal dari Sulawesi, masing-masing berumur diatas 30 tahun. Bahan Pengawet: Bahan pengawet yang digunakan adalah Tembaga-Khrom-Boron berupa pasta yang mengandung 93% bahan aktif garam dengan formulasi asam borat 25%, kalium bikhromat 15% dan tembaga sulfat 34% (CKB). Konsentrasi bahan pengawet yang digunakan adalah 7%. Konsentrasi tersebut digunakan agar pada perlakuan pengawetan dengan metode yang dipakai diharapkan dapat mencapai retensi dan penetrasi bahan pengawet sesuai standar yang diperlukan. Sebagai pereaksi indikator digunakan Chrome Azurol S dan sodium acetat yang dicairkan dengan aquades. Metode Metode Sel-Penuh: Masing-masing jenis kayu diambil pada bagian terasnya dan tanpa cacat, kemudian dibuat contoh uji berukuran 5 cm (R/T) x 5 cm R/T) x 60 cm (L), dimana R = Radial; T = Tangesial; L = Longitudinal, sebanyak 40 buah dan dikeringkan sampai mencapai kadar air 10 ∼ 15%. Kemudian kedua ujung contoh uji ditutup cat duko untuk mencegah masuknya bahan pengawet dari arah longitudinal. Contoh uji ditimbang dan setiap perlakuan diperlukan 10 buah sebagai ulangan.

Contoh uji disusun di dalam silinder pengawet, kemudian pintu ditutup dengan rapat. Pompa vakum dijalankan sampai mencapai 500 mm Hg selama 15 menit. Saat vakum dilepas, bahan pengawet yang ada di bak pencampur masuk ke dalam silinder pengawet. Kemudian diberikan tekanan sebesar 150 psi dan dipertahankan selama 1 jam, 2 jam dan 4 jam. Tekanan dilepas, larutan bahan pengawet dialirkan kembali ke dalam bak pengawet. Selanjutnya diberikan vakum akhir seperti pada vakum awal untuk membersihkan contoh uji kayu dari sisa bahan pengawet yang berlebihan. Kemudian contoh uji yang diawetkan diambil, ditiriskan dan ditimbang kembali untuk menentukan retensi bahan pengawet. Retensi bahan pengawet dapat dihitung berdasarkan selisih berat sebelum dan sesudah pengawetan dengan rumus sebagai berikut:

B

R = ----- x K V

dimana: R = retensi bahan pengawet (kg/m3) B = selisih berat kayu sebelum dan sesudah pengawetan (kg) V = volume kayu (m3) K = konsentrasi larutan (kg/kg)

Selain retensi juga diukur penetrasi bahan pengawet, setiap contoh uji dipotong pada bagian tengahnya. Pada salah satu bidang potongan dilabur dengan pereaksi 5 g Chrome Azurol S yang ditambah 50 g natrium asetate dan dicairkan dengan 800 ml aquadestilata. Pada bidang potongan yang ditembus bahan pengawet akan terjadi perubahan yang berwarna biru. Hasil pengukuran penetrasi setiap contoh uji dibuat klasifikasi keterawetan menurut Pfeiffer (1917) dalam Martawijaya (1988) dan Smith dan Tamblyn (1970) sebagai berikut:

Class Treatability Penetration (%) I Easy Over 90 II Moderate 50 ∼ 90 III Difficult 10 ∼ 50 IV Very Difficult Below 10

Efikasi Bahan Pengawet Pengujian terhadap Rayap Tanah: Contoh uji yang sudah diawetkan, kemudian ditanam atau dikubur dalam tanah sedalam 30 cm dan dibiarkan 30 cm tetap muncul dipermukaan tanah, cara ini disebut dengan graveyard test. Jarak tanam antara satu contoh uji dengan contoh uji lainnya adalah 15 cm dan dibiarkan selama 8 bulan. Pada akhir penelitian, kerusakan kayu ditentukan berdasarkan kriteria menurut Martawijaya dan Sumarni (1978), sebagai berikut: 100 = Utuh (tidak ada gigitan) 90 = Serangan sedikit (hanya pada permukaan) 70 = Serangan sedang (masuk dalam kayu tetapi tidak

meluas) 40 = Serangan hebat (masuk dalam kayu dan meluas) 0 = Serangan hebat sekali (hancur) Pengujian terhadap Bubuk Kayu Kering: Contoh uji yang sudah diawetkan, kemudian diletakkan dalam ruangan uji. Ruang uji tersebut berupa ruangan berukuran 2 m x 2 m x 2 m, penuh dengan kayu yang diserang bubuk kayu kering yaitu Heterobostrychus aequalis Wat., temperatur ruangan 50°C dan kelembabannya sekitar 65%. Setelah 8 bulan pengujian kayu terhadap bubuk kayu kering dihentikan dan dihitung tingkat kerusakan kayu. Analisa Data

Analisis data dilakukan untuk melihat perbedaan retensi bahan pengawet terhadap pengaruh lamanya

22 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 23: Jurnal Bu Sarinah Am

tekanan yang diberikan pada proses pengawetan. Kemudian dilakukan uji sidik ragam, bila terjadi perbedaan nyata dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1993).

Hasil dan Pembahasan Retensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa retensi bahan pengawet meningkat dengan bertambahnya lama tekanan yang diberikan. Retensi tertinggi terdapat pada kayu sengon (Paraserianthes falcataria L. Nelsen.) dengan lama tekanan 4 jam mencapai 30.28 kg/m3, dan retensi terendah dengan lama waktu tekan 4 jam adalah kayu palado (Aglaria sp.) yaitu 3.56 kg/m3 (Tabel 1).

Menurut Hunt dan Garrat (1986), besarnya tekanan yang dipakai dan lamanya tekanan yang diberikan, merupakan faktor penting dalam pengawetan kayu (impregnasi), apabila satu faktor atau kedua faktor tersebut dinaikkan maka hasil peresapan dan absorbsi juga naik.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kayu dan lama tekanan masing-masing berpengaruh nyata terhadap retensi bahan pengawet. Untuk mengetahui pengaruh tersebut maka dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan seperti tercantum pada Tabel 1.

Adanya perbedaan anatomi pada tiap jenis kayu akan berpengaruh terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet. Kayu yang mempunyai diameter pori besar dan tidak dijumpai adanya tilosis akan memudahkan masuknya larutan bahan pengawet kedalam kayu, namun apabila kayu mempunyai pori kecil dan ditemukan tilosis maka akan sulit dilalui larutan bahan pengawet (Hant dan Garrat 1986; Muslich 1994).

Persyaratan retensi minimum bahan pengawet CKB untuk pemakian kayu di bawah atap dan di udara terbuka tanpa berhubungan dengan tanah masing-masing 8.2 kg/m3 dan 11.3 kg/m3 (Anonim 1994 dalam Abdurrohim 1996). Berdasarkan ketetapan di atas maka kayu sengon, cempaka dan surian sudah memenuhi persyaratan untuk digunakan di bawah atap misalnya digunakan untuk jendela, pintu dan furniture. Pada hasil penelitian yang dilakukan Abdurrohim (1996), menunjukkan retensi kayu sengon yang diawetkan dengan CKB dengan konsentrasi 10% melalui metode rendaman dingin selama 5 hari mencapai 13.6 kg/m3, sedangkan retensi kayu surian dengan konsentrasi dan waktu yang sama mencapai 6.9 kg/m3. Dengan demikian pengawetan melalui metode vakum tekan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat mempersingkat waktu pengawetan dan memperbesar retensi bahan pengawet.

Table 1. Retention (kg/m3) Impralit CKB on 6 wood species by full-cell process

Wood species Treatment 1 hour 2 hours 4 hours Retention Retention Retention

Sengon 11.89 A a 15.75 B a 30.28 C a Cempaka 8.27 A b 10.78 B b 21.35 C b

Surian 2.06 A c 6.14 B c 20.29 C c Durian 2.03 A c 3.10 B d 7.56 C d

Mersawa 1.69 A c 2.65 B d 4.80 C e Palado 1.29 A c 1.78 A d 3.56 C f

Note: 1. Mean value at each line followed by the same capital letter means not significantly difference 2. Mean value at each coloumn followed by the same small letter means not significantly difference Table 2. Penetration (%) CKB on 6 wood species by full-cell process

Treatment 1 hour 2 hours 4 hours

Wood species

Penetration Penetration Penetration Sengon 100 100 100

Cempaka 50 70 85 Surian 18 39 80 Durian 20 35 75

Mersawa 19 26 45 Palado 14 18 35

Note: Average of 10 replications

23 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 24: Jurnal Bu Sarinah Am

Table 3. Treatability classification of 6 wood species by full-cell process

Wood species Treatibility Sengon Easy

Cempaka Moderate Surian Moderate Durian Moderate

Mersawa Difficult Palado Difficult

Note: Average of 10 replications Table 4. Intensity of damage of 6 wood species to subterranean termite

Wood damage No Wood species Control Preservation 1 Sengon 0 100 2 Cempaka 40 100 3 Surian 70 100 4 Durian 70 100 5 Mersawa 90 100 6 Paldo 90 100

Note: Average of 10 replications Penetrasi

Hasil penetrasi bahan pengawet CKB pada jenis-jenis kayu dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan kelas keterawetan dari 6 jenis kayu yang diteliti, sengon termasuk kayu yang paling mudah diawetkan dan palado yang sulit diawetkan. Klasifikasi keterawetan dari 6 jenis kayu dapat dilihat pada Tabel 3. Perbedaan penetrasi dari setiap jenis kayu disebabkan karena adanya variasi dari struktur anatomi misalnya bentuk noktah, bidang perforasi dan arah serat (Hunt dan Garrat 1986).

Pada dasarnya kayu dibentuk oleh sel-sel sehingga bahan pengawet akan masuk melalui aliran dari arah radial dan tangensial. Kemudian dari sel ke sel, aliran tersebut hanya dimungkinkan melalui dinding sel pada pasangan noktah. Arah memanjang pada trakeida, serat dan pori kayu lebih banyak dialiri fluida dibandingkan dengan arah transversal. Aliran fluida di dalam kayu daun lebar terjadi melalui pori. Ujung pori tersebut berlubang sehingga merupakan saluran yang berhubungan satu dengan lainnya. Apabila fluida berada di pori tersebut, aliran ke arah lateral terjadi melalui noktah ke sel yang berdekatan. Sedangkan serat, trakeida dan parenkim memanjang juga mempengaruhi laju aliran fluida. Demikian pula variabilitas total aliran terjadi disebabkan adanya jari-jari empulur yang dapat berbentuk lebar (multiseriat) atau satu seri (uniseriat). Pada jenis kayu yang mempunyai endapan damar, endapan zat ekstraktif lainnya atau tilosis dan silika akan mengurangi permeabilitas bahan pengawet dalam kayu. Wilkinson (1979) menyatakan bahwa substansi ekstraktif berupa tilosis maupun silika adalah salah satu faktor penghambat permeabilitas masuknya bahan

pengawet di dalam kayu. Agar retensi dan penetrasi bahan pegawet pada jenis kayu yang sukar diawetkan dapat menjadi lebih tinggi, maka dilakukan dengan penambahan waktu tekan. Efikasi Bahan Pengawet Pengujian terhadap Rayap Tanah: Berdasar hasil penelitian ini, kayu sengon paling rentan terhadap serangan rayap tanah, menyusul kayu cempaka, durian, surian, mersawa dan palado. Namun dengan pemberian bahan pengawet Impralit CKB dengan konsentrasi 7% semua jenis kayu, keawetannya menjadi meningkat. Hal ini disebabkan karena bahan pengawet CKB yang bersifat racun masuk ke dalam kayu. Semakin besar retensi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet, maka ketahanan kayu akan semakin tinggi. Tingkat serangan dari 6 jenis contoh uji kayu yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4, pada pengujian graveyard test selama 8 bulan menunjukkan bahwa kayu sengon dan cempaka sangat rentan terhadap rayap tanah, kemudian menyusul surian, durian, mersawa dan palado. Sebagaimana diketahui jenis kayu sengon, cempaka dan surian mempunyai kelas awet IV ∼ V, namun setelah diawetkan dengan CKB dapat menahan serangan rayap tanah. Hasil penelitian terdahulu (Afifuddin 2000) terhadap kayu sengon yang diawetkan dengan Impralit CKB 3% dengan vakum tekan 1 jam dan secara laboratorium diuji terhadap rayap tanah Coptotermes cynocephalus Homgren, menunjukkan bahwa mortalitas rayap mencapai 100% dan kelas

24 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 25: Jurnal Bu Sarinah Am

Table 5. Intensity of damage of 6 wood species to powder post beetle

Wood damage No Wood species Control Preservation 1 Sengon 0 100 2 Cempaka 90 100 3 Durian 90 100 4 Surian 100 100 5 Mersawa 100 100 6 Palado 100 100

Note: Average of 10 replications ketahanan kayu termasuk kelas tahan. Selanjutnya penelitian Hadi et.al. (2002) menunjukkan bahwa kayu pinus dan sengon yang diawetkan dengan Impralit CKB 3% dengan metode vakum tekan, setelah 12 bulan diujikan di laut ternyata tidak diserang binatang laut. Dengan demikian untuk memperpanjang umur kayu harus dilakukan pengawetan. Sedangkan Muslich (1995) menyatakan kayu pinus, sengon dan kemiri menggunakan bahan pengawet CKB konsentrasi 5% dengan metode vakum tekan selama 2 jam, setelah dipasang 18 bulan di dalam laut masih belum diserang penggerek. Pengujian terhadap Bubuk Kayu Kering: Hasil penelitian menunjukan bahwa serangan tertinggi bubuk kayu kering tanpa pengawetan adalah pada kayu sengon, sedangkan yang terendah terdapat pada kayu palado (Tabel 5).

Berdasarkan Tabel 5, kayu sengon yang paling rentan terhadap serangan bubuk kayu kering, sebagaimana diketahui kayu sengon termasuk kayu lunak dengan kelas awet rendah, yaitu IV ∼ V. Kayu sengon selain dipergunakan untuk bahan bangunan, banyak juga digunakan sebagai perkakas rumah tangga, tangkai payung dan barang kerajinan. Namun kayu sengon tidak tahan terhadap serangan bubuk kayu kering.

Pada penelitian ini bubuk kayu kering dapat bebas memilih kayu yang disukainya. Kayu sengon yang kelas awetnya rendah tentu akan lebih disukai dibandingkan jenis kayu lainnya. Bilamana ada jenis kayu yang mempunyai kelas awet hampir sama pada tempat tersebut, bubuk kayu kering akan tetap menyerang kayu sengon sampai habis. Setelah kayu sengon hancur, bubuk kayu kering baru akan mencari jenis kayu lain yang kelas awetnya mendekati kayu sengon.

Mudah atau tidaknya kayu diserang oleh bubuk sangat tergantung dari kadar pati yang ada dalam kayu tersebut. Pati merupakan makanan utama bagi bubuk kayu kering. Semakin tinggi kadar pati dalam kayu, maka akan semakin rentan terhadap serangan bubuk kayu kering. Bubuk betina tidak akan meletakkan telurnya pada kayu yang mempunyai kandungan pati dibawah 3% (Anonymus 1961).

Kesimpulan dan Saran

Sengon termasuk jenis kayu yang mudah diawetkan; cempaka, surian, durian termasuk jenis yang agak mudah diawetkan; sedangkan mersawa dan palado termasuk jenis kayu yang sukar diawetkan.

Menambah waktu tekan pada proses pengawetan sel-penuh dapat memperbesar retensi dan memperdalam penetrasi pada jenis kayu yang sukar diawetkan. Kayu yang diawetkan dengan CKB dapat menahan serangan rayap tanah maupun bubuk kayu kering. Pada jenis-jenis kayu yang mempunyai keawetan rendah, disarankan agar diawetkan terlebih dahulu sebelum digunakan, supaya umur pakai kayu akan menjadi bertambah panjang.

Daftar Pustaka Abdurrohim, S. 1996. Pengawetan Tujuh Jenis Kayu

Secara Rendaman Dingin dengan Bahan Pengawet Impralit 16 SP dan Impralit CKB. Buletin Penelitian Hasil Hutan: 14(10) 467-479.

Afifuddin, Y. 2000. Keawetan Kayu Plastik Polivinil Stirena terhadap Serangan Rayap Kayu Kering (Cyptotermes cynocephalus Light.) dan Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Skripsi Si. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor (Tidak diterbitkan).

Anonymus. 1961. Lyctid Powder-Post Beetle their Biology and Control. Technical Release National Pest Control Assosiation, Number 19-61, 17 pp.

Hadi, Y.S.; N. Hadjib and Jasni. 2002. Resistance of Polystyrene Wood to Marine Borer and Subterranean Termite. Proceedings of The 6th Pacific Rim Bio-Based Composites Symposium and Workshop on The Chemical Modification of Cellulosics. Portland, Oregon, USA. Vol 2, pp 528-534.

Hunt, G.M. and G.A. Garrat. 1986. Wood Preservation. McGraw-Hill Book Company, New York.

25 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 26: Jurnal Bu Sarinah Am

Martawijaya, A. and G. Sumarni. 1978. Resistance of A Number of Indonesian Woods Species Against Cryptotermes cynocephalus Light. Report No. 129. Forest Product Research Institute, Bogor.

Martawijaya, A. 1988. Keawetan Beberapa Jenis Kayu Dipterocapaceae. Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI Vol. I, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

Muslich, M. 1994. The Preservative Treatment of Mahogany Lumber (Swietenia macrophylla King.) Againt Marine Borers. M.S.Thesis, UPLB.

Muslich, M. 1995. Perlakuan Pengawetan Kayu dalam rangka Peningkatan Umur Pakai Kayu Bangunan Kelautan. Laporan Penelitian Tingkat Peneliti. Tidak dipublikasikan.

Pfeiffer, J.Ph. 1917. DeWaarde Van Wetenschappelijk OnderzoekVoor de Vaststelling Van Technische

Eigeschappen Van Hout. Thesis Technishe Hoogeschool, Delft.

Smith, D.N.R. and N. Tamblyn. 1970. Proposed

Scheme for an International Standard Test for the Resistance of Timber to Impregnation with Preservatives. Ministry of Technology, Forest Product Research Laboratory.

Steel, R.J.D. and Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan dari Principles and Procedures of Statistics oleh Bambang Sumantri. IPB. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Supriana, N. 2002. Kajian Peran Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam rangka Pengolahan Hutan Lestari. Laporan Hasil Penelitian . Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Tidak diterbitkan.

Wilkinson, J.G. 1979. Industrial Timber Preservation. Associated Business press. London.

Diterima tanggal 20 Oktober 2003 Mohammad Muslich dan Jasni Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor (Research and Development Center for Forest Products Technology) Jl Gunung batu 5, PO.Box 182 Bogor Telpon 251-633378 E-mail: [email protected]

26 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 27: Jurnal Bu Sarinah Am

Aplikasi Panas sebagai Alternatif untuk Mengawetkan Kayu Heat Treatment as an Alternative for Wood Preservation

Jasni, Pipin Permadi, Didik A. Sudika dan Rusti Rushelia

Abstract

Most of Indonesian wood species are classified as less durable, so preservation is needed. Wood preservation in Indonesia mainly depends on imported preservatives. The preservatives are not only toxic to wood destroying organism but also to humans and the environments. Therefore alternative to treat wood should be sought and developed in term of the preservatives used as well as the methods. One that can be proposed is treating wood at high temperature combine with environmentally friendly preservatives, as tried in this experiment.

The wood species used in this experiment were rubber wood (Hevea brasilliensis) and pine (Pinus merkusii). Both woods were treated with borax at two concentrations (3% and 5%) by cold-soaking method for 24 hours. The treated woods were subsequently air dried. Then those woods were treated at three levels of high temperature (180ºC, 200ºC, and 220ºC) in an oven for one hour. Finally, the treated wood samples were laboratory-tested by assessing their resistance to dry wood termites (Cryptotermes synocephalus Light.) and powder-post beetles (Heterobostrychus aequalis Wat).

The results revealed that increases of heating temperature and concentration of preservatives resulted in more durable woods. In this regard their resistance to dry wood termite and powder-post beetles was increased as shown by smaller weight loss. Treating wood at temperature of 180ºC combined with borax at concentration of 3% resulted in 100% termite mortality on rubber wood and pine. Key words: wood preservation, borax, high temperature, dry wood termite, powder-post beetle

Pendahuluan

Kayu sebagai hasil metabolisme dari pohon mempunyai banyak kelemahan terutama terhadap biodeteriorasi. Kayu sudah dikenal sebagai bahan bangunan sejak berabad-abad yang lalu, tetapi disamping itu diketahui pula bahwa tidak semua jenis kayu memiliki keawetan yang baik. Indonesia terkenal sebagai penghasil kayu, dimana terdapat sekitar 4000 jenis kayu. Akan tetapi dari 4000 jenis kayu tersebut hanya 14.3% saja yang termasuk jenis kayu awet I-II. Sisanya terdiri dari jenis kayu kurang atau tidak awet, yaitu sebanyak 85.7% termasuk kelas awet III-IV-V, sehingga untuk dapat dipergunakan dengan memuaskan harus diawetkan (Martawijaya 1996).

Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa, selain menguntungkan karena mempunyai sumber daya alam flora dan fauna yang beraneka ragam, juga mempunyai resiko berupa terdapatnya berbagai jenis hama terutama yang banyak menimbulkan kerusakan pada bangunan, seperti rayap, jamur, dan binatang laut. Diperkirakan kerugian akibat serangan rayap saja pada bangunan gedung milik pemerintah per tahunnya mencapai 100 milyar rupiah (Supriana 2002). Sedangkan kerugian akibat serangan pada bangunan rumah milik masyarakat diperkirakan telah mencapai 1.67 triliyun per tahunnya (Rachmawati 1996).

Penggunaan kayu kurang awet akan merugikan karena umur pakainya yang singkat sehingga kayu harus sering diganti yang berarti perlu biaya untuk membeli kayu dan ongkos pemasangannya. Untuk itu

perlu adanya upaya pengawetan kayu untuk memperpanjang umur pakai kayu tersebut. Pengawetan kayu Indonesia selama ini banyak menggunakan bahan pengawet yang masih diimpor dan mahal harganya. Disamping itu bahan pengawet tersebut selain beracun bagi organisme perusak kayu juga banyak yang beracun bagi manusia dan lingkungan. Hal tersebut di atas mendorong upaya pencarian alternatif pengawetan kayu yang dapat dilakukan melalui pencarian alternatif bahan pengawet atau alternatif metode pengawetan kayu. Salah satu metode alternatif yang cukup menjanjikan adalah dengan menggunakan panas (suhu tinggi).

Dalam penelitian ini dicoba pengaruh aplikasi panas yang dikombinasikan dengan pemberian boraks dalam mengawetkan kayu dan sebagai indikasi keberhasilan metode ini adalah dengan menguji efikasinya terhadap organisme perusak kayu.

Bahan dan Metode

Bahan

Kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu karet (Hevea brasiliensis) dan pinus (Pinus merkusii) yang diperoleh dari daerah Sukabumi. Kedua kayu yang digunakan tidak dibedakan gubal atau teras namun campuran. Kayu tersebut dipotong-potong menjadi contoh uji yang berukuran 5 cm (R/T) x 5 cm (R/T) x 40 cm (L) dimana R/T = Radial/Tangensial dan L = Longitudinal. Bahan pengawet yang digunakan adalah boraks yang terdiri dari campuran boraks dengan asam borat dengan perbandingan 1.54 : 1.

27 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 28: Jurnal Bu Sarinah Am

Metode Proses penambahan boraks dilakukan dengan

tahapan sebagai berikut. Pada kedua ujung contoh uji kayu ditutup dengan pyroxylin laquer, kemudian ditimbang dan setelah itu direndam dalam larutan boraks dengan konsentrasi 3% dan 5% selama 24 jam. Setelah itu dikeluarkan dan ditiriskan; kemudian ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai retensi sebagai berikut:

W1 – W0

R = ------------- x C V

dimana : W0 = berat contoh uji sebelum diawetkan (kg) W1 = berat contoh uji sesudah diawetkan (kg) V = volume contoh uji (m3) C = konsentrasi larutan bahan pengawet (%) R = retensi (kg/m3)

Setelah kering udara, kayu tersebut dipotong

sepanjang 5 cm x 5 cm x 20 cm dan dilanjutkan dengan tahapan proses pemanasan. Pada proses aplikasi panas, contoh uji yang telah diberi perlakuan ditumpuk dalam oven, kayu tersebut selanjutnya dipanaskan sampai mencapai suhu 180ºC, 200ºC dan 220ºC, kemudian suhu tersebut dipertahankan sampai waktu pemanasan yang diinginkan, yaitu 1 jam. Setelah proses selesai kayu dikeluarkan dan didinginkan. Sebelum dan sesudah proses pemanasan kayu ditimbang, sehingga diperoleh nilai penyusutan berat sesudah pemanasan sebagai berikut:

Bp1 – Bp0

P1 = ------------- x 100 Bp1

dimana: P1 = penyusutan berat akibat pemanasan (%) Bp0 = berat contoh uji sebelum dipanaskan (kg) Bp1 = berat contoh uji sesudah dipanaskan (kg)

Untuk mengetahui keberhasilan upaya pengawetan dengan menggunakan metode ini dilakukan pengujian efikasi terhadap rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light) dan bubuk kayu kering (Heterobostrychus aequalis Wat). Pengujian Efikasi terhadap Rayap Kayu Kering: Uji terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Contoh uji yang berukuran 5 cm x 5 cm x 20 cm tersebut dipotong-potong menjadi ukuran 5 cm x 2.5 cm x 2 cm dengan ulangan 5 kali. Cara pengujiannya yaitu salah satu sisi terlebar pada masing-masing contoh uji dipasang tabung gelas berdiameter 1.8 cm dengan tinggi 3.5 cm (Gambar 1). Ke dalamnya dimasukkan 50 ekor rayap pekerja yang sehat dan aktif. Contoh uji yang sudah diisi rayap disimpan di tempat yang gelap selama 12 minggu, lalu diamati apakah contoh uji diserang atau tidak dengan catatan bahwa gigitan tipis tidak dianggap sebagai serangan nyata. Pengukuran dilakukan terhadap derajat kerusakan contoh uji; jumlah kematian (mortalitas) rayap dan penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap. Derajat serangan ditentukan dengan skala nilai seperti tercantum pada Tabel 1.

Untuk menghitung penurunan berat akibat serangan rayap pada contoh uji digunakan rumus :

Br1 - Br0

P2 = ------------- x 100 Br1

dimana: P2 = penurunan berat akibat serangan rayap (%) Br0 = berat contoh uji sebelum pengujian (kg) Br1 = berat contoh uji sesudah pengujian (kg)

Table 1. Degree of drywood termite attack (Padlinurjaji et al. 1988)

Class Sample Condition Rating A Sound, no attack 0 B Little bites 1 ∼ 20 C Light attack, with swallow and narrow tunels 21 ∼ 40 D Heavy attack, with deep and wide tunels 41 ∼ 60 E Failure, more than 50% of sample is damage 61 ∼ 80

28 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 29: Jurnal Bu Sarinah Am

Figure 1. Dry wood termite test

Place of powder-post bettles larvae

Figure 2. Powder post bettle test Pengujian Efikasi terhadap Serangga Bubuk Kayu Kering.

Untuk pengujian terhadap bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis. Contoh uji yang berukuran 5 cm x 5 cm x 20 cm tersebut dipotong-potong menjadi ukuran 5 cm x 1.5 cm x 7.5 cm dengan ulangan 5 kali. Cara pengujiannya yaitu: pada salah satu sisi terlebar pada masing-masing contoh uji dibuat lubang yang berdiameter 2 mm dengan kedalaman ¼ cm sebanyak 10 buah pada jarak yang sama antara satu lubang dengan lubang lainnya (Gambar 2). Ke dalam masing-masing lubang dimasukkan seekor larva bubuk kayu kering yang berumur 1.5 bulan. Contoh uji yang sudah diisi larva disimpan di tempat yang gelap selama 6 minggu, kemudian pada akhir pengujian diamati apakah menyerang kayu atau tidak. Dengan catatan bahwa adanya tepung hasil penggerekan dianggap sebagai tanda adanya serangan. Bersamaan dengan itu dihitung juga jumlah larva yang masih hidup. Pengamatan dilakukan terhadap derajat serangan dan mortalitas serangga. Penilaian dilakukan dengan pemberian nilai berdasarkan skala seperti rayap di atas (Padlinurjaji et.al. 1988). Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh kadar boraks, waktu dan suhu pemanasan terhadap ketahanan kayu maka dilakukan sidik ragam menggunakan program mikrostat (Steel dan Torrie 1993). Pengaruh terhadap serangan rayap kayu kering dianalisis secara statistik non parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis menggunakan program mikrostat (Mustafa 1990).

Hasil dan Pembahasan

Retensi

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa retensi bahan pengawet pada kayu karet dan pinus semakin besar dengan meningkatnya konsentrasi larutan bahan pengawet seperti terlihat pada Tabel 2. Retensi tertinggi pada kayu pinus (Pine) dengan konsentrasi 5% boraks dan terendah pada kayu karet (Rubber wood) dengan konsentrasi boraks 3%.

Table 2. Retention of preservatives before drying.

Rubber wood Pine Concentration (%) kg/m3 kg/m3

Control - - 3 4.59 4.83 5 8.68 10.35

Note: Average of 5 replications

Tabel 2 menunjukkan bahwa retensi kayu pinus lebih tinggi dibandingkan kayu karet. Hunt dan Garrat (1986) menyebutkan bahwa kayu pinus termasuk kayu daun jarum dan terdapat noktah dalam trakeid. Trakeid yang merupakan bagian terbesar kayu dari spesies kayu daun jarum, adalah pipa-pipa memanjang dan berongga, meruncing pada kedua ujungnya, dengan bagian–bagian tipis (noktah) pada dinding selnya. Di dalam batas noktah terdapat satu lubang sempit yang menghubungkan rongga noktah dengan rongga sel yang disebut saluran noktah. Selaput noktah berfungsi sebagai sekat yang

Glass tube Cotton

Termite

Wood sample

29 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 30: Jurnal Bu Sarinah Am

permeable, sehingga mudah dilalui bahan pengawet dari trakeid ke trakeid lainnya.

Disamping itu kayu pinus mempunyai saluran damar; karena sifatnya serupa saluran, saluran damar ini dapat dipandang sabagai saluran potensial untuk melancarkan gerakan bahan pengawet ke dalam kayu selama proses pengawetan. Dengan banyaknya saluran damar ini, serta tersebar baik dan terbuka, maka akan mempercepat pengaliran bahan pengawet di bawah permukaan kayu dan penyebarannya ke sel-sel di dekatnya.

Sedangkan kayu karet termasuk kayu daun lebar. Ukuran noktah yang terdapat dalam pembuluh dan serabut jauh lebih kecil, tidak teratur dalam penyebarannya, tidak ada torus serta tidak mempunyai lubang-lubang dalam selaputnya. Perbedaan ini menyebabkan volume bahan pengawet yang diterima oleh kayu pinus lebih banyak dari kayu karet.

Permadi dan Barly (1989) menyatakan bahwa kayu pinus termasuk kelas keterawetan mudah yang berarti mudah ditembus oleh bahan pengawet, sedangkan kayu karet termasuk kelas keterawetan sedang (moderately resistant) yang berarti memiliki sifat tidak mudah ditembus oleh bahan pengawet.

Selain retensi, juga dilakukan pengamatan penyusutan berat kayu setelah dipanaskan dengan suhu yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa makin tinggi suhu pemanasan, maka makin besar penyusutan beratnya (Tabel 3). Hal ini kemungkinan disebabkan

terdegradasinya hemiselulosa dalam kayu. Panas tinggi selain dapat mendegradasi hemiselulosa juga dapat mendegradasi komponen lainnya (Stamm 1964, Avat 1993).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kayu, suhu pemanasan dan konsentrasi boraks masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap penyusutan berat kayu akibat pemanasan. Untuk mengetahui perbedaan tersebut maka dilakukan uji lanjut, seperti tercantum pada Tabel 3. Uji Efikasi. Pengujian Efikasi terhadap Rayap Kayu Kering (Cryptotermes cynocephalus Light): Ada beberapa faktor untuk menilai hasil penelitian keampuhan bahan pengawet terhadap serangan rayap kayu kering, yaitu jumlah kematian (mortality), penurunan berat (weight loss) dan derajat serangan. Untuk mengetahui pengaruh bahan pengawet terhadap kematian dan penurunan berat kayu akibat serangan rayap kayu kering dilakukan analisis sidik ragam. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan antara jenis kayu karet dengan kayu pinus. Pengaruh nyata terjadi pada perbedaan suhu pemanasan kayu (F hitung yaitu 19,44** untuk kayu karet, sedang untuk kayu pinus tidak berbeda), namun berbeda nyata pula dengan perbedaan konsentrasi boraks terhadap kematian rayap. Untuk mengetahui perbedaan tersebut maka dilakukan uji lanjut dan hasilnya tercantum pada Tabel 4. Pada kayu

Table 3. Average of weight loss (%) of rubber wood and pine after heating.

Rubber wood Pine 180ºC

A 200ºC

B 220ºC

C 180ºC

A 2000C

B 2200C

C Concen tration

(%) X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * Control 2.39±0.28 a 3.62±0.63 a 6.22±1.04 a 3.36±1.24 a 5.40±1.16 a 7.80±0.67 a

3 2.72±0.63 a 4.70±1.52 ab 6.34±0.66 a 4.35±1.80 a 5.39±0.92 a 8.04±1.26 a 5 3.63±0.70 a 5.24±2.59 b 6.88±0.95 a 4.54±0.93 a 6.45±0.39 a 7.84±1.35 a

Notes *: 1. Mean value at each line followed by the same capital letter means not significantly difference 2. Mean value at each coloumn followed by the same small letter means not significantly difference Table 4. Average of mortality (%) of dry wood termite.

Rubber wood Pine

1800C A

2000C B

2200C C

1800C A

2000C A

2200C A

Concen tration

(%) X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * Control 40±4.62 a 43.6±2.58 a 69.6±5.37 a 66±6.21 a 68.8±5.88 a 71.2±5.84 a

3 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 5 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b

Notes *: 1. Mean value at each line followed by the same capital letter means not significantly difference 2. Mean value at each coloumn followed by the same small letter means not significantly difference

30 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 31: Jurnal Bu Sarinah Am

kontrol (tanpa bahan pengawet), kematian rayap meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan. Sedangkan pada kayu yang diawetkan, semua rayap mati pada semua perlakuan suhu pemanasan.

Matinya rayap disebabkan akibat pemanasan kayu yang dikombinasikan dengan boraks. Pemanasan menyebabkan terjadinya degradasi selulosa yang ada dalam kayu. Roberts dalam Permadi (2000) menyatakan bahwa kayu yang dipanaskan pada suhu di atas 1800C akan mulai tergredasi kandungan kimianya, dalam hal ini yang akan tergredasi pertama kali adalah hemiselulosa. Sebagai mana diketahui hemiselulosa atau selulosa adalah merupakan makanan utama rayap. Menurut Jasni dan Supriana (1992), percobaan dianggap berhasil jika jumlah mortalitas tidak kurang dari 55%.

Selain jumlah kematian (mortalitas), penurunan berat juga merupakan salah satu faktor untuk menentukan kelas ketahanan (keawetan) kayu.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kayu tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan berat kayu akibat serangan rayap kayu kering. Suhu pemanasan dan konsentrasi boraks masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan berat kayu akibat serangan rayap kayu kering. Untuk mengetahui perbedaan tersebut maka dilakukan uji lanjut dan hasilnya tercantum pada Tabel 5. Penurunan berat kayu akibat serangan rayap meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan dan meningkatnya konsentrasi boraks.

Terjadinya penurunan berat kayu setelah pengujian disebabkan hilangnya hemiselulosa atau selulosa yang ada dalam kayu akibat terdegradasi oleh panas; selain

itu juga dimakan oleh rayap sebelum rayap itu mati. Pada pengujian ini rayap dipaksa makan, sehingga rayap akan memakan kayu terlebih dulu kemudian baru mulai mati.

Parameter lain yang penting untuk menilai keampuhan bahan pengawet terhadap serangan rayap adalah derajat serangan rayap kayu kering. Makin tinggi konsentrasi bahan pengawet, maka makin ringan serangan rayap kayu kering (Tabel 6). Pada Tabel 6 terlihat bahwa contoh uji kontrol dengan suhu 1800C terdapat serangan ringan berupa saluran-saluran yang tidak dalam dan lebar (Tingkat C, Tabel 1), baik kayu karet maupun pinus; kecuali untuk contoh uji kayu pinus pada suhu 2200C (Tingkat B) yang hanya ada bekas gigitan rayap. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya hemiselulosa dalam kayu yang sudah terdegradasi oleh panas, sehingga rayap kurang mendapat makanan lalu cepat mati, seperti kalau dilihat mortalitas rayap pada perlakukan ini, dimana mortalitas rayap 71.2% (Tabel 4). Perlakuan pemanasan 1800C dengan kombinasi boraks 3% sudah cukup efektif menahan serangan rayap kayu kering pada kayu karet maupun kayu pinus. Hasil uji Kruskal-Wallis, menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan pemanasan dengan kombinasi boraks sebagai pengawet kayu terhadap kerusakan contoh uji kayu karet (F hitung>F tabel yaitu 461>43.2), contoh uji kayu pinus (F hitung>F table yaitu 430.55>43.2), sedangkan antara jenis kayu tidak berbeda (F hitung<F tabel yaitu 0.005<43.2).

Table 5. Weight loss (%) of rubber wood and pine due to termite attack

Rubber wood Pine 1800C

A 2000C

A 2200C

A 1800C

A 2000C

A 2200C

C Concen tration

(%) X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * Control 9.01±1.11 a 7.94±1.84 a 7.42±1.54 a 9.85±0.59 a 8.80±1.08 a 7.68±2.04 a

3 6.19±1.31 b 5.88±1.99 b 4.84±1.56 b 6.85±1.47 b 5.52±1.36 b 4.91±1.28 b 5 5.22±1.30 c 4.84±2.54 b 3.75±1.35 c 5.51±0.49 c 4.68±1.26 b 3.98±0.47 b

Notes *: 1. Mean value at each line followed by the same capital letter means not significantly difference 2. Mean value at each coloumn followed by the same small letter means not significantly difference Table 6. Average degree of dry wood termite attack.

Rubber wood Pine 1800C 2000C 2200C 1800C 2000C 2200C

Concen tration

(%) V L V L V L V L V L V L Control 38.4 C 33.6 C 17.5 B 37 C 24.4 C 19.6 B

3 14.4 B 14 B 2.8 B 17.6 B 10.2 B 3.4 B 5 9 B 8.4 B 2 B 6.2 B 8.4 B 2.6 B

Notes: V=Value, L=Level

31 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 32: Jurnal Bu Sarinah Am

Berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa pemanasan kayu dengan kombinasi boraks 3% cukup efektif mencegah serangan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.). Sedangkan di Finlandia VTT juga menggunakan suhu antara 1800C ∼ 2200C dan dengan menambahkan uap untuk menghasilkan kayu yang lebih awet, lebih stabil dan warna kayu tidak terlalu gelap (Vitanen dan Jamsa 1994). Pengujian Efikasi terhadap Bubuk Kayu Kering (Heterobostrychus aequalias Wat.): Ada beberapa faktor untuk menilai hasil penelitian keampuhan bahan pengawet dan terhadap serangan bubuk kayu kering, yaitu jumlah kematian (mortalitas) dan derajat serangan.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kayu tidak berpengaruh nyata terhadap kematian bubuk kayu kering. Suhu pemanasan dan konsentrasi boraks masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap kematian bubuk kayu kering. Untuk mengetahui perbedaan tersebut maka dilakukan uji lanjut dan hasilnya tercantum pada Tabel 7. Kematian bubuk meningkat dengan meningkatnya suhu pemanasan dan meningkatnya konsentrasi boraks. Panas yang tinggi selain dapat mendegradasi hemiselulosa juga dapat mendegradasi komponen kayu lainnya. Hemiselulosa bersifat higroskopis (mudah menyerap air) sehingga kayu menjadi mudah diserang jamur pelapuk (Stamm 1964). Dengan terdegradasinya hemiselulosa akibat aplikasi panas maka sifat higroskopis kayu dapat dikurangi sehingga menjadikan

kayu lebih tahan terhadap serangan jamur dan serangga sehingga kayu menjadi lebih awet (Avat 1993).

Parameter lain yang penting untuk menilai keampuhan bahan pengawet terhadap serangan bubuk adalah derajat serangan bubuk kayu kering. Makin tinggi konsentrasi bahan pengawet dan makin tinggi suhu pemanasan, maka makin ringan serangan bubuk kayu kering (Tabel 8). Berdasarkan Tabel 8, bahwa pada contoh uji kontrol suhu 1800C dan 2000C terdapat serangan ringan berupa saluran-saluran yang tidak dalam dan lebar (Tingkat C, Tabel 1) baik kayu karet maupun pinus. Sedangkan contoh uji kayu karet dan pinus pada suhu 2200C hanya ada bekas gigitan rayap (Tingkat B). Hal ini mungkin disebabkan banyaknya pati atau amilase dalam kayu yang sudah terdegradasi oleh panas, sehingga bubuk kurang mendapat makanan lalu cepat mati, seperti kalau dilihat mortalitas bubuk pada perlakukan ini dimana mortalitas bubuk paling tinggi terdapat pada kayu pinus suhu 2200C, yaitu 84% (Tabel 7). Perlakukan pemanasan 1800C dengan kombinasi boraks 3% sudah cukup efektif menahan serangan rayap kayu kering pada kayu karet maupun kayu pinus karena mortalitas sudah mencapai 100%. Hasil uji Kruskal-Wallis, menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan pemanasan dengan kombinasi boraks sebagai pengawet kayu terhadap kerusakan contoh uji kayu karet (F hitung>F tabel yaitu 504.06>43.2), contoh uji kayu pinus (F hitung>F tabel yaitu 379.21>43.2), sedangkan antara jenis kayu tidak berbeda (F hitung<F tabel yaitu 1.01<43.2).

Table 7. Average of mortality (%) of powder post beetle

Rubber wood Pine 1800C 2000C 2200C 1800C 2000C 2200C

A B B A B B Concen tration

(%) X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd * X ± Sd *

Control 64±4.73 a 74±3.26 a 82±3.25 a 72±2.66 a 82±3.25 a 84±3.98 a 3 98±7.31 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 5 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b 100±0 b

Notes *: 1. Mean value at each line followed by the same capital letter means not significantly difference 2. Mean value at each coloumn followed by the same small letter means not significantly difference Table 8. Average degree of powder post beetle attack.

Rubber wood Pine 1800C 2000C 2200C 1800C 2000C 2200C Concen

tration (%) V L V L V L V L V L V L Control 36 C 30.4 C 16 B 29.6 C 23.3 C 19.8 B

3 15.2 B 14.4 B 10.6 B 15.2 B 12 B 3.4 B 5 13.2 B 10.8 B 3.4 B 11.4 B 7.4 B 2.8 B

Notes: V=Value, L=Level

32 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 33: Jurnal Bu Sarinah Am

Berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa pemanasan kayu dengan kombinasi boraks 3% cukup efektif mencegah serangan bubuk kayu kering (Heterobostrychus aequalis Wat).

Kesimpulan

1. Pengawetan kayu menggunakan boraks dengan

konsentrasi minimal 3% yang dikombinasikan dengan pemanasan suhu 1800C selama 1 jam dapat menahan serangan rayap kayu kering dan bubuk kayu kering pada kayu karet maupun kayu pinus

2. Aplikasi pemanasan yang dikombinasikan dengan bahan pengawet dapat dijadikan alternatif pengawetan kayu yang ramah lingkungan.

Daftar Pustaka

Avat, F. 1993. These. Contribution a Petude des

traitemiques du bois (20 ∼ 3000C). Transformations chimiques et caracterisastion physico-chemiques. Ecole de Mines de Paris et de St.Etienne.

Hunt, G.M. and G.A Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta.

Jasni dan Supriana. 1992. Pencegahan Rayap dan Bubuk Perusak Kayu dengan Pestisida Berbahan Aktif Phoxim dan Cyfluthrin. Kongres Entomologi IV. Yogyakarta.

Martawijaya, A. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Mustafa, Z.E.Q. 1990. Panduan Mikrostat untuk Mengelola Data Statistik. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.

Padlinurjaji, I.M.; D. Nandika dan A.Setiawan. 1998. Efikasi Bahan Pengawet Lentrek 400 EC dan Sarmix 1200 AS terhadap Rayap Tanah Melalui Uji Kuburan (Grave Yard Test). Buletin Jurusan Teknologi Hasil Hutan. 2(2):20-25.

Permadi, P dan Barly. 1989. Pengawetan Kayu Karet, Agathis dan Tusam dengan Metode Tekanan Berganti. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 6(3):160-162. Bogor.

Permadi, P. 2000. Optimasi Thermal Treatment pada Kayu Pertukangan untuk Memperbaiki Mutu Kayu yang Tidak Awet. Universite de Technologie de Compiegne.

Rachmawati. 1996. Prakiraan Kerugian Ekonomis akibat Serangan Rayap pada Bangunan Perumahan di Indonesia. Skipsi Jurusan THH. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan.

Stamm, A.J. 1964. Wood and Cellulose Science. Ed. Ronald Press.

Steel, R.J.D. and Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan dari Principles and Procedures of Statistics oleh Bambang Sumantri. IPB. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Supriana, N. 2002. Kajian Peran Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam rangka Pengelolaan Hutan Lestari. Laporan Hasil Penelitian (Tidak diterbitkan).

Vitanen, H. and Jamsa, S. 1994. Document no IRG/WP 94-40032. The Effect of Heat treatment on the Properties of Spruce.

Diterima tanggal 2 Oktober 2003 Jasni, Pipin Permadi, Didik A. Sudika dan Rusti Rushelia Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor (Research and Development Center for Forest Products Technology) Jl. Gunung Batu. PO.Box 182 Telpon 251-633378: Email: [email protected] atau [email protected]

33 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 34: Jurnal Bu Sarinah Am

Tingkat Stabilisasi Dimensi Delapan Jenis Kayu Indonesia Dimensional Stability Of Eight Indonesian Species

Zahrial Coto

Abstract

This study is intended to find out the volumetric shrinkage from green to a certain moisture content due to drying process and the rate of shrinkage or swelling for each percent of Moisture Content Change (Rate of Dimensional Change = RDC) when the wood were used. Samples, from 8 species of woods, about 15 cm length, 10 cm width and 1.5 cm thickness, tangentially and radially, were produced from green boards or logs. Samples were randomly divided into 4 sets and dried at 30°C (room temperature), 55°C, 85°C and 105°C. All samples were then stored in a tight glass box, with relative humidity (RH) set at about 50%, until their weight were constant. Samples were then conditioned at room temperature. After all samples reached constant weight, then they were oven dried. At all stages of condition, the width of all samples were measured to the nearest 0.01 mm and weighted to the nearest 0.01 g. The last measurement and weighing were done after the samples were conditioned at room temperature after oven dried. Length and thickness were also measured at the green stage for volume calculation. Moisture content and shrinkage were calculated at all stages of conditions. RDC (shrinkage divided by MC) was also calculated for all samples. Result of the study showed that Teak has the highest dimensional stability, followed by Albizia. Kamper has the lowest dimension stability. In general, the highest the temperature used for drying, the highest the shrinkage. The RDC of all wood are not influenced by the drying temperature.

Key words: drying temperature, rate of dimensional change, Indonesian woods.

Pendahuluan

Kayu yang berasal dari pohon hidup mengandung air, baik di rongga sel (air bebas) maupun terikat di daerah amorf di dinding sel. Susut terjadi apabila air terikat keluar dari dinding sel. Papan atau sortimen lain yang dihasilkan (digergaji) dari batang pohon mengandung banyak air atau kadar air (KA) tinggi. Suatu saat kayu tersebut akan kering ke Kadar Air Keseimbangan (KAK) baik secara alami, maupun dengan proses pengeringan. Akibatnya papan tersebut akan susut karena sebagian air terikat keluar dari dinding sel.

Dalam penggunaannya, kayu yang telah kering dapat berubah dimensinya yang disebabkan oleh perubahan KA karena perubahan kelembaban udara dan temperatur. Perubahan dimensi, terutama susut dapat mengganggu fungsi dan keragaan dari produk yang dibuat dari kayu. Perubahan dimensi berupa susut atau kembang tergantung atau dipengaruhi terutama oleh perubahan KA. Secara umum dipercayai bahwa susut volume yang terjadi setara dengan volume air yang keluar dari dinding sel (Skaar 1972). Dengan demikian makin tinggi Berat Jenis (BJ) kayu semakin besar susut yang terjadi untuk suatu perubahan KA. Susut juga dipengaruhi oleh temperatur yang digunakan dalam pengeringan.

Dalam proses pengeringan diperlukan data susut dari basah ke KA tertentu agar dapat diperkirakan kehilangan volume oleh proses pengeringan. Besarnya susut dipengaruhi oleh jenis kayu, tegangan dan regangan yang terjadi selama proses pengeringan. Tegangan dan regangan ini dipengaruhi oleh arah lebar

papan, tebal kayu serta temperatur dan kelembaban udara atau relatif humidity (RH) yang digunakan. Data besarnya susut untuk tiap perubahan KA atau disebut Tingkat Perubahan Dimensi (TPD) diperlukan untuk mengetahui perubahan dimensi bila kondisi RH tempat kayu tersebut berada berubah secara nyata sehingga mengubah KAK.

Data yang tersedia umumnya hanya total susut arah Tangensial (T) dan Radial (R) dari keadaan basah kekering tanur (Martawijaya et al. 1981 dan 1989; Wood handbook 1974). Susut dari basah ke KA tertentu dan TPD dihitung dengan asumsi KA Titik Jenuh Serat (TJS) kayu atau Fiber Saturation Point (FSP) 30% (Tabel 1).

Berbagai penelitian (Higgins 1957 dalam Skaar 1972), menunjukkan bahwa KA-TJS kayu tidak sama dan umumnya jauh di bawah 30%, terutama untuk kayu tropis dengan BJ dan kandungan ekstraktif tinggi. Hal yang sama didapat pada percobaan yang dilakukan oleh mahasiswa PS-IPK, IPB (Tabel 2).

Agar perkiraan besarnya susut yang terjadi akibat pengeringan dan besarnya TPD dapat diperkirakan dengan tepat diperlukan penelitian stabilitas dimensi untuk kayu-kayu tersebut.

Secara umum susut atau kembang (%) yang terjadi setara dengan H2O yang keluar/masuk ke dalam dinding sel, yang dinyatakan dalam % volume kayu dan besarnya dipengaruhi oleh BJ kayu (G):

S = m G

dimana: S = susut/kembang (%) m = KA (%) G = BJ

34 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 35: Jurnal Bu Sarinah Am

Untuk selang KA tertentu (2 % s/d (TJS ~ 2 %)), TPD (S/KA) besarnya konstan (Skaar 1972). Oleh sebab itu TPD dapat dicari dengan mengamati perubahan dimensi pada selang KA tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap besarnya susut dan tingkat stabilitas dimensi delapan jenis kayu Indonesia.

Bahan dan Metode

Contoh uji berupa papan Tangensial (T) dan Radial (R) berukuran panjang sekitar 15 cm, lebar 10 cm dan tebal sekitar 1.5 cm, dibuat dari kayu bulat atau papan yang masih basah. Jenis yang digunakan adalah Mindi (Melia azedarach), Kamper (Dryobalanops sp.), Meranti Merah 1 ( Shorea leprosula), Gmelina (Gmelina arborea), Meranti Merah 2 (Shorea palembanica), Keruing (Dipterocarpus sp), Jati (Tectona grandis) dan Albisia (Paraserianthes falcataria). Pengeringan dilakukan dengan temperatur 30°C atau temperatur kamar (1), 55°C (2), 80°C (3) dan 105°C (4),

sampai beratnya konstan. Contoh uji kemudian dimasukkan ke dalam kotak kaca kedap udara dengan RH sekitar 50% sampai beratnya konstan. Selanjutnya contoh uji dianginkan di ruang laboratorium, sehingga beratnya konstan (kering udara = KU). Terakhir contoh uji di kering tanurkan dengan temperatur 103 ± 2°C. Contoh uji dibiarkan mengalami keseimbangan dengan temperatur dan RH ruangan selama 2 minggu sampai beratnya konstan.

Pada setiap tahapan dari keadaan basah ke KU, seluruh contoh uji (masing-masing dengan 3 ulangan) ditimbang beratnya dengan ketelitian 0.01 g dan diukur lebarnya (arah Tangensial/Radial) dengan ketelitian 0.01 mm. Kadar air pada kondisi tertentu (KAx) dihitung dengan rumus :

%100xBKT

BKTBxKAx −=

Table 1. Fiber saturation points (FSP) of several wood species.

FSP No. Name of Wood Species % Sources

1. Mexican mahogany (Mahoni) Swietenia macrophylla 15.6 Skaar (1972) 2. Teak (Jati) Tectona grandis 17.9 Skaar (1972) 3. E. Indian rooswood (Sonokeling) Dalbergia latifolia 16.1 Skaar (1972) 4. Afrika Maesopsis eminii 21 Experiment of S-2 student, IPK-IPB 5. Durian Durio carinatus 22 Experiment of S-2 student, IPK-IPB

Table 2. Shrinkage from green/wet to oven dried of several Indonesian wood species and similar woods from other

countries.

Shrinkage from wet to oven dry (%) No. Name of Wood Species T R

Sources

1. Apitong (Keruing) Dipterocarpus spp. 8.8 5.2 Wood handbook (1972) 2. Lauan (Meranti) Shorea sp. 8.0 3.8 Wood handbook (1972) 3. Mahogany (Mahoni) Swietenia macrophylla 5.1 3.7 Wood handbook (1972) 4. Ramin Gonystylus sp. 5.2 3.1 Wood handbook (1972) 5. Teak (Jati) Tectonaa grandis 4.0 2.2 Wood handbook (1972) 6. Sonokeling Dalbergia latifolia 6.4 2.9 Martawijaya et al. 1981 7. Jati Tectona grandis 5.2 2.8 Martawijaya et al. 1981 8. Kapur*) Dryobalanops spp. 3.8 1.2 Martawijaya et al. 1981 9. Keruing Dipterocarpus lowii 10.2 6.6 Martawijaya et al. 1981 10. Meranti merah Shorea leprosula 3.5 2.2 Martawijaya et al. 1981

Shorea palembanica 7.5 3.4 Martawijaya et al. 1981 11. Jeungjing (Albisia) Paraserianthes falcataria 5.2 2.5 Martawijaya et al. 1989 12. Mindi Melia azedarach 4.1 3.3 Martawijaya et al. 1989

*) Wet to 12% MC

35 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 36: Jurnal Bu Sarinah Am

Susut dari basah ke KA tertentu (Sx) dihitung dengan rumus :

%100xBasah Lebar

xLebarBasah Lebar(Sx)Susut −=

dimana: x = kondisi pada tahapan penelitian; B = berat; BKT = berat kering tanur

Grafik hubungan antara Susut dan Kadar Air dibuat untuk tiap jenis kayu.

Hasil dan Pembahasan Kadar Air dan Susut arah tangensial dan radial untuk tiap perlakuan dan kondisi dari 8 jenis kayu yang diteliti terlihat pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 serta Grafik 1 dan 2 terlihat bahwa temperatur pengeringan mempengaruhi susut yang terjadi secara umum tidak mempunyai pola yang tegas.

Table 3. Specific gravity and shrinkage for each drying temperature, Rate of Dimensional Change (RDC) or TPD and T/R ratio.

Tangential Radial

T OD 50% RH AD OD 50% RH AD No. Wood

Species °C SG MC wet S MC S MC S

RDC

SG

MC wet S MC S MC S

RDC T/R

30 0.44 68.49 7.81 7.75 6.13 12.66 5.13 0.21 0.46 60.25 3.15 7.64 2.13 11.82 1.54 0.14 2.48 55 0.45 61.52 7.64 8.13 5.70 12.33 4.67 0.25 0.46 56.43 3.59 7.71 2.41 11.85 1.84 0.14 2.13 80 0.42 58.37 6.23 7.27 4.93 10.75 4.13 0.23 0.47 57.74 3.91 7.63 2.29 11.36 1.74 0.15 1.59

1. Mindi

105 0.44 68.68 7.08 6.81 5.89 11.27 4.71 0.26 0.45 57.90 2.92 7.48 2.29 11.93 1.85 0.10 2.42 30 0.61 21.60 6.71 9.86 3.60 13.37 2.62 0.28 0.61 17.19 2.58 8.60 1.38 11.59 0.92 0.16 2.60 55 0.60 20.24 5.61 9.93 3.08 12.86 2.27 0.28 0.61 17.28 2.02 8.40 0.89 11.24 0.44 0.16 2.78 80 0.58 22.45 6.14 8.22 4.21 10.79 3.47 0.29 0.60 17.84 2.22 6.90 1.22 9.37 0.84 0.16 2.76

2.

Kamper

105 0.59 23.38 6.11 6.76 4.78 10.00 3.81 0.30 0.62 18.11 2.15 5.41 1.33 8.57 1.06 0.09 2.84 30 0.35 36.98 5.26 8.50 3.33 13.29 2.34 0.21 0.40 29.01 4.68 8.18 3.21 12.74 1.99 0.27 1.12 55 0.39 40.08 4.87 8.46 3.06 12.32 2.20 0.22 0.43 29.13 5.12 8.61 2.92 12.64 1.86 0.26 0.95 80 0.42 50.96 5.89 7.07 4.40 10.32 3.69 0.22 0.39 29.23 4.70 6.97 3.18 10.69 2.20 0.26 1.25

3. Meranti Merah 1

105 0.42 45.32 5.06 5.92 4.03 10.43 2.93 0.24 0.39 29.26 4.48 5.95 3.26 10.84 1.94 0.27 1.13 30 0.48 116.1 5.48 8.54 3.75 12.00 3.09 0.19 0.49 118.2 3.10 11.00 1.27 12.50 1.14 0.09 1.77 55 0.43 142.0 6.37 7.94 4.91 11.78 4.09 0.21 0.50 109.8 2.66 11.68 0.87 12.79 0.65 0.20 2.39 80 0.45 133.0 6.50 7.26 5.10 10.19 4.57 0.18 0.46 120.2 3.35 11.47 2.03 12.66 1.90 0.11 1.94

4. Gmelina

105 0.43 173.5 6.63 5.63 5.59 9.46 4.82 0.20 0.43 141.7 3.14 12.25 2.44 15.38 2.08 0.12 2.11 30 0.30 95.05 8.89 8.68 7.40 12.85 6.44 0.23 0.33 117.1 1.83 9.23 1.25 13.18 0.92 0.09 4.85 55 0.30 96.94 8.85 7.82 7.47 11.92 6.53 0.23 0.34 122.1 1.89 8.08 1.37 11.88 1.07 0.08 4.68 80 0.29 98.45 8.48 6.71 7.46 11.09 6.53 0.21 0.35 126.0 2.32 6.77 1.91 11.07 1.49 0.10 3.65

5. Meranti Merah 2

105 0.30 82.75 8.96 6.57 7.92 11.04 6.81 0.25 0.35 121.2 2.14 6.51 1.67 10.90 1.31 0.08 4.18 30 0.67 28.22 7.34 8.45 4.92 12.40 3.64 0.33 0.64 28.45 4.21 7.42 2.85 11.01 2.24 0.17 1.74 55 0.65 31.43 7.87 6.92 6.07 10.83 4.79 0.33 0.63 21.24 4.25 7.14 2.90 10.83 2.19 0.19 1.85 80 0.64 32.37 8.06 5.61 6.68 9.94 5.16 0.35 0.66 25.82 4.27 5.69 3.51 9.80 2.82 0.17 1.89

6. Keruing

105 0.65 33.25 8.20 5.03 7.14 9.26 5.55 0.37 0.62 28.33 4.20 4.64 3.49 8.88 2.74 0.18 1.95 30 0.56 90.49 2.75 5.64 1.93 9.23 1.33 0.17 0.61 77.32 1.33 5.95 1.47 9.12 1.00 0.15 2.07 55 0.59 79.32 2.89 4.89 2.15 7.59 1.66 0.18 0.56 62.60 1.79 5.30 1.47 8.25 1.02 0.15 1.61 80 0.57 87.87 2.13 3.80 2.08 6.60 1.66 0.15 0.57 69.17 1.62 3.88 1.63 6.55 1.27 0.13 1.31

7. Jati

105 0.58 84.87 2.38 2.97 2.13 5.58 1.78 0.14 0.58 72.98 1.53 2.98 1.34 5.77 1.09 0.09 1.56 30 0.22 55.97 4.15 8.22 3.10 13.12 2.38 0.15 0.22 57.26 1.80 8.44 1.17 13.21 0.84 0.07 2.31 55 0.22 62.38 5.27 8.40 4.18 12.70 3.48 0.16 0.20 54.40 1.59 8.40 1.09 12.75 0.74 0.08 3.31 80 0.22 58.40 4.10 7.58 3.22 11.45 2.56 0.17 0.21 56.57 1.59 7.67 1.08 11.31 0.74 0.09 2.57

8. Albisia

105 0.23 57.06 4.27 6.95 3.43 11.72 2.57 0.18 0.22 45.85 1.41 6.79 0.92 11.12 0.62 0.07 3.02

36 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 37: Jurnal Bu Sarinah Am

b. Kamper

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 5 10 15

Moisture content %

Figure 1. Relationship between shrinkage and moisture content of each drying conditions for Mindi (a), Kamper (b),

Meranti Merah 1 (c) and Gmelina (d) Legend: ♦ = T 30ºC; ■ = T 55ºC; ▲= T 80ºC; ● = T 105ºC ◊ = R 30ºC; □ = R 55ºC; ∆ = R 80ºC; ○ = R 105ºC T = Tangensial R = Radial

Shrin

kage

%

a. Mindi

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 5 10 15Moisture content %

Shrin

kage

%

d. Gmelina

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 5 10 15Moisture content %

Shrin

kage

%

c. Meranti Merah (1)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 5 10 15Moisture content %

Shrin

kage

%

37 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 38: Jurnal Bu Sarinah Am

b. Keruing

0123456789

0 5 10 15Moisture content %

Shrin

kage

%c. Jati

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 5 10 15Moisture content %

Shrin

kage

%

d. Albisia

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 5 10 15Moisture content %

Shrin

kage

%

a. Meranti Merah (2)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 5 10 15Moisture content %

Shrin

kage

%

Figure 2. Relationship between shrinkage and moisture content of each drying conditions for Meranti Merah 2 (a),

Keruing (b), Jati (c) and Albisia (d) Legend: see Fig. 1.

Pada Tabel 4 terlihat bahwa untuk 6 jenis kayu yang diteliti (Mindi, Kamper, Albisia, Meranti Merah 1, Keruing dan Jati), Tingkat Perubahan Dimensi (TPD) hasil penelitian lebih tinggi dibanding TPD yang dihitung dengan asumsi KA-TJS = 30%. Hal ini menunjukkan bahwa KA-TJS dari kayu-kayu tersebut di bawah 30%. Sedangkan untuk Gmelina dan Meranti Merah 2 nilai hasil TPD dengan asumsi TJS = 30% hasil penelitian lebih rendah dibanding hasil asumsi TJS. Hal ini

disebabkan KA-TJS jauh di atas 30 % (lGambar 1a dan 1c). Hasil penelitian menunjukkan susut dari basah ke kering tanur yang tinggi tidak selalu diikuti oleh TPD yang tinggi, seperti terlihat pada kayu Mindi (Tabel 3). Dengan demikian data susut dari basah ke kering tanur tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur tingkat stabilitas dimensi suatu kayu. Nilai tersebut hanya dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya susut yang

38 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 39: Jurnal Bu Sarinah Am

terjadi pada kayu dalam proses pengeringan, baik susut arah Tangensial, susut arah Radial maupun susut Volume. Table 4. Comparison between Rate of Dimensional

Changes calculated from shrinkage to oven dried and figure from Martawijaya et al. (1981) divided by 30 (Fibre Saturation Point = 30%)

Rate of Dimensional Changes (T)

No. Wood species Experiment

results Exp. results

Assume FSP = 30 %

Martawijaya et al. 1982 Assume

FSP = 30 % 1. Mindi 0.26 0.24 0.137 2. Kamper 0.30 0.20 - 3. Meranti

Merah 1 0.24 0.17 0.11

4. Gmelina 0.20 0.22 - 5. Meranti

Merah 2 0.25 0.30 0.25

6. Keruing 0.37 0.27 0.34 7. Jati 0.14 0.14 0.17 8. Albisia 0.18 0.14 0.17

Kesimpulan

1. Nilai Tingkat Perubahan Dimensi (TPD), yaitu

besarnya susut atau kembang yang terjadi oleh penurunan KA, tidak dapat dihitung dari total susut dari basah ke kering tanur dibagi 30%, karena

sebagian besar kayu mempunyai KA-TJS di bawah atau di atas 30%.

2. Nilai TPD yang didasarkan atas perhitungan menggunakan hubungan susut dan KA untuk beberapa kondisi RH (KAK), besarnya tetap walaupun temperatur pengeringan yang digunakan berbeda dalam selang 30°C ∼ 105°C.

3. Dari 8 jenis kayu yang diuji, Jati merupakan kayu yang mempunyai stabilitas dimensi tertinggi (nilai TPD terendah), diikuti oleh Albisia. Rendahnya nilai TPD Jati diperkirakan disebabkan adanya zat ekstraktif yang berada di dinding sel, dan bersifat bulking agent. Kayu Albisia mempunyai stabilitas dimensi tinggi karena Berat Jenis yang sangat rendah.

Daftar Pustaka

Forest Products Laboratory. 1974. Wood Handbook:

Wood as an Engineering Material. US Department of Agriculture Handbook No. 72.

Martawijaya A., I. Kartasujana, K. Kadir dan Among Prawira S. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan LitBang Kehutanan, Departemen Kehutanan.

. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan LitBang Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Skaar C. 1972. Water in Wood. Syracuse University Press, New York.

Diterima tanggal 12 Nopember 2003 Zahrial Coto Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (Dept. of Forest ProductsTechnology, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University) Kampus IPB Darmaga, PO BOX 168, Bogor 16001 Tel. 0251-621285; 621677, Fax. 0251-621285; 621256

39 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 40: Jurnal Bu Sarinah Am

Fiksasi Bambu Gombong dan Tali Fixation of Gombong and Tali Bamboos

Wahyu Dwianto, Toshiro Morooka dan Misato Norimoto

Abstract

This research describes stress relaxation measurement to understand the fixation mechanism of compressive

deformation of water saturated Gombong bamboo (Gigantochloa pseduarundinaceae) and Tali bamboo (Gigantochloa apus). Stress relaxations are measured by compressing the specimens in radial direction to 0.2 strains between 110ºC and 190ºC for various periods of time in electro oil hydraulic testing system equipped with an autoclave, which was heated by high temperatures saturated steam. The stress approximately disappears in 60min at 170ºC, in 30min at 180ºC, and in 20 min at 190ºC for Gombong bamboo. On the other hand, the fastest release of stress is found for Tali bamboo. The plots of relationship between residual stress and strain recovery of Gombong and Tali bamboos lay on a single curve, respectively. The relationship is similar to that of Sugi wood by heating. However, the weight loss of the two bamboos is extremely higher than that of wood. The fixation is achieved at a weight loss of 20% for Gombong and Tali bamboos. From these results, the fixation mechanism is considerably dominated by the decomposition of hemicelluloses and lignin. Key words: fixation, bamboo, water saturated, stress relaxation, residual stress, strain recovery, weight loss

Pendahuluan Jika kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya dipres pada suhu dibawah 100°C, maka deformasi yang terjadi hanya bersifat sementara dan cenderung untuk pulih ke ketebalan semula (recovery) melalui perendaman air panas. Kondisi deformasi sementara ini disebut drying set (Norimoto dan Gril 1989). Densifikasi kayu yang bersifat permanen (fiksasi) dapat diusahakan dengan mengunakan metode perekatan; perlakuan suhu tinggi pada kondisi kering (heat treatment); dan perlakuan uap panas pada kondisi basah (steam treatment).

Fiksasi kayu dan mekanismenya telah banyak dipelajari dan dilaporkan sebelumnya. Steam treatment merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat deformasi kayu menjadi permanen. Hsu et al. (1988) memperkirakan bahwa perlakuan uap panas mengakibatkan sebagian hemiselulosa terhidrolisa tanpa adanya perubahan pada lignin ataupun selulosa, diikuti dengan meningkatnya kemudahan kayu terdeformasi dan mengurangi tegangan dalam (internal stress) yang tersimpan di dinding sel selama pembebanan. Tanahashi et al. (1989) melaporkan bahwa perlakuan uap panas terhadap kayu pada suhu 210ºC selama 1 menit mengakibatkan dekomposisi baik hemiselulosa maupun lignin dan hampir seluruh bagian dari hemiselulosa menjadi larut air. Untuk mencapai deformasi yang permanen, Inoue et al. (1993) memberi perlakuan uap panas terhadap kayu pada suhu 180ºC selama 8 menit atau suhu 200ºC selama 1 menit dimana kayu dalam keadaan terkompresi. Morooka et al. (1994)

menyatakan bahwa degradasi panas masih dapat diabaikan pada suhu 140ºC selama 20 menit, tetapi degradasi mulai berpengaruh nyata setelah perlakuan uap panas pada suhu 180ºC selama 4 menit.

Dwianto et al. (1999, 2000) mengukur relaksasi tegangan dan creep kayu dengan perlakuan uap panas dan memperkirakan bahwa fiksasi kayu diakibatkan oleh perubahan struktur kayu pada tingkat molekuler. Perubahan struktural ini dapat dibagi menjadi tiga proses tergantung dari tingkat pemulihan regangan (strain recovery): a) degradasi hemiselulosa, b) meningkatnya keteraturan jarak gugus kristal dari mikrofibril atau terbentuknya cross-link antara polimer dinding sel, dan c) dekomposisi lignin dan hemiselulosa. Penelitian tersebut dilanjutkan oleh Higashihara et al. (2000) dan menemukan bahwa deformasi masih dapat pulih dengan merendam ke dalam larutan tertentu (swelling agents: pyridine, dimethyl sulfoxide, atau 4% sodium hydroxide). Mereka berpendapat bahwa fiksasi akibat perlakuan uap panas tidak dihasilkan dari perubahan struktural polimer dinding sel, seperti cross-link atau kristalisasi, tetapi terbebasnya tegangan yang tersimpan di dalam dinding sel dan terbentuknya beberapa struktur kohesif yang tidak bersifat permanen.

Informasi di atas masih sangat sedikit untuk bambu. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fiksasi bambu jenuh air dengan mengukur relaksasi tegangannya akibat perlakuan uap panas. Dengan mengetahui pengetahuan dasar mengenai bambu tersebut, khususnya dari segi kestabilan dimensinya, maka akan dapat dikembangkan teknologi yang tepat dalam usaha pemanfaatannya.

40 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 41: Jurnal Bu Sarinah Am

Bahan dan Metode

Jenis bambu yang digunakan adalah bambu Gombong (Gigantochloa pseduarundinaceae) dan bambu Tali (Gigantochloa apus) dengan rata-rata kerapatan kering oven yang sama, yaitu 0.83 g/cm3. Ukuran akhir contoh uji pada kondisi kering udara adalah 10 mm (L) x 10 mm (T) x 10 mm (R), dimana L = Longitudinal; T = Tangensial; R = Radial. Untuk mendapatkan contoh uji dengan ketebalan (R) 10 mm, dua potongan bambu dengan kerapatan yang sama direkatkan dengan mengunakan perekat epoxy.

Sebelum diuji, contoh uji direndam di dalam air sehingga mencapai jenuh air. Relaksasi tegangan (stress relaxation) diukur dengan membebani contoh uji pada arah radial (R) sampai tingkat regangan (strain) 0.2 di dalam sebuah autoclave yang dilengkapi dengan alat pres hidrolik (Dwianto et al. 1998). Uap panas (steam) dimasukkan ke dalam autoclave dengan pengaturan suhu 110ºC ∼ 190ºC dan periode waktu 0 ∼ 60 menit.

Figure 1. Stress relaxation curve (upper) and its normalized (lower) of Gombong bamboo at 140ºC ∼ 190ºC.

Pengukuran relaksasi tegangan dilakukan pada tingkat regangan 0.2 dengan pertimbangan bahwa pembebanan belum mengakibatkan kerusakan pada dinding sel bambu mengingat kerapatan bambu yang tinggi. Sisa tegangan (residual stress) didefinisikan sebagai tegangan pada saat pengukuran relaksasi berakhir. Pemulihan regangan (strain recovery = Sr) setiap contoh uji pada suhu dan waktu tertentu dihitung berdasarkan rumus:

Sr = (Tr – Tc) / (To – Tc),

dimana To adalah ketebalan (R) contoh uji di dalam autoclave sebelum pembebanan; Tc adalah ketebalan contoh uji pada saat pembebanan dan perlakuan uap panas di dalam autoclave; dan Tr adalah ketebalan contoh uji setelah pengujian air panas (boiling test). Pengujian air panas dilakukan dengan merendam contoh uji di dalam air selama 30 menit pada kondisi Figure 2. Stress relaxation curve (upper) and its

normalized (lower) of Tali bamboo at 150ºC ∼ 190ºC.

0

5

10

15

0 10 20 30 40 50 6

T i m e ( m i n u t e s )

Stre

ss (k

gf/cm

2)

0

140ºC 150ºC

160ºC170ºC

180ºC190ºC

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 10 20 30 40 50 60

T i m e ( m i n u t e s )

Norm

alize

d stre

ss

0

1

2

3

4

5

0 10 20 30 40 50 60

T i m e ( m i n u t e s )

Stre

ss (k

gf/cm

2)

150ºC

160ºC180ºC 190ºC

170ºC

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 10 20 30 40 50 60

T i m e ( m i n u t e s )

Norm

alize

d stre

ss

140ºC150ºC

1

11

160ºC50ºC190ºC 170ºC180ºC

70ºC60ºC

180ºC190ºC

41 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 42: Jurnal Bu Sarinah Am

42 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

0.0

0.2

0.4

0.6

0

5

10

15

20

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2Strain recovery

Resid

ual s

tress

(kgf/

cm2)

110C (0;60min) 120C (0;60min)130C (0;60min) 140C (0;60min)150C (0;60min) 160C (0;30;60min)170C (0;20;30;60min) 180C (0;5;10;20;30min)190C (0;2;5;10;20min)

0.8

0

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2Strain recover

1.

Norm

alize

d res

idual

stres

s

tekanan hampa (vacuum pressure), setelah itu direndam selama 210 menit pada tekanan udara normal; dan selanjutnya direndam di dalam air panas selama 30 menit (Inoue et al. 1993). Prosentase kehilangan berat (WL) dihitung dengan menggunakan rumus:

WL = [(Wo – Wc) / Wo] x 100,

dimana Wo dan Wc adalah berat kering oven contoh uji sebelum pembebanan dan sesudah pengujian air panas.

Hasil dan Pembahasan Gambar 1 dan 2 menunjukkan kurva relaksasi tegangan dan nilai normalisasinya terhadap tegangan awal (initial stress) bambu Gombong dan Tali pada suhu 140ºC ∼ 190ºC.

Tegangan awal bambu Gombong pada suhu 150ºC dimulai dari 12 kg/cm2, sedangkan bambu Tali 4 kg/cm2. Hasil ini menunjukkan bahwa bambu Tali lebih mudah terpengaruh oleh perlakuan uap panas daripada bambu Gombong, walaupun kedua bambu tersebut memiliki kerapatan yang relatif sama.

Secara keseluruhan, nilai tegangan kedua bambu tersebut menurun dengan meningkatnya suhu perlakuan. Penurunan nilai tegangan bambu ini lebih cepat jika dibandingkan dengan kayu Sugi (Dwianto et al. 1999). Nilai tegangan ini menuju ke nol atau mencapai fiksasi setelah 60 menit pada suhu 170ºC; 30 menit pada suhu 180ºC; atau 20 menit pada suhu 190ºC untuk bambu Gombong. Sedangkan penurunan nilai tegangan dan fiksasi bambu Tali lebih cepat.

Gambar 3 dan 4 menunjukkan hubungan antara sisa tegangan dan pemulihan regangan pada suhu antara 110ºC ∼ 190ºC dan periode waktu 0 ∼ 60 menit kedua bambu tersebut. Seluruh plot membentuk kurva tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan regangan dapat dideteksi hanya oleh sisa tegangan pada saat berakhirnya relaksasi dan tidak tergantung pada waktu dan suhu uap panas. y

Dwianto et al. (1999) melaporkan bahwa mekanisme fiksasi kayu oleh perlakuan uap panas tergantung dari tingkat pemulihan regangan, yaitu a) degradasi hemiselulosa pada pemulihan regangan >0.6, b) meningkatnya keteraturan jarak gugus kristal dari mikrofibril atau terbentuknya cross-link antara polimer dinding sel pada pemulihan regangan antara 0.6 ~ 0.2, dan c) dekomposisi lignin dan hemiselulosa pada pemulihan regangan <0.2.

110C (60min) 120C (60min)130C (60min) 150C (60min)160C (30;60min) 170C (20;30min)180C (10min) 190C (2;5;10min)

Pada kedua bambu tersebut, kurva hubungan antara sisa tegangan dan pemulihan regangan serupa dengan kurva kayu Sugi yang mengalami perlakuan panas (heat treatment) (Higashihara et al. 2001). Penurunan nilai sisa tegangan pada pemulihan regangan >0.8 terutama disebabkan oleh pelunakan

Figure 3. Relationship between residual stress (upper)

or its normalized (lower) and strain recovery for Gombong bamboo at 110ºC ∼ 190ºC from 0 ∼ 60 minutes.

hemiselulosa dan lignin yang terdapat pada dinding sel. Pada daerah pemulihan regangan antara 0.8 ~ 0.5, perlakuan uap panas menyebabkan degradasi

Page 43: Jurnal Bu Sarinah Am

hemiselulosa sehingga mengakibatkan terbebasnya tegangan (stress release). Pada pemulihan regangan <0.5, penurunan pemulihan regangan yang tajam diikuti oleh penurunan sisa tegangan. Sisa tegangan mencapai 0 kg/cm2 pada saat pemulihan regangan sekitar 0.1 ~ 0.2. Figure 4. Relationship between residual stress (upper) or

its normalized (lower) and strain recovery for Tali bamboo at 110ºC ∼190ºC from 0∼60 min.

Figure 5. Relationship between strain recovery (upper)

or normalized residual stress (lower) and weight loss for Gombong bamboo at 110ºC ∼ 190ºC from 0 ∼ 60 minutes.

0.0

2

4

6

8

1.0

1.2

0 5 10 15 20 25

Weight loss (%)

Strai

n rec

overy

0.

0.

0.

0.

110C (0;60min) 120C (0;60min) 130C (0;60min) 140C (0;60min) 150C (0;60min) 160C (0;30;60min) 170C (0;20;30;60min) 180C (0;5;10;30min) 190C (0;2;5;10;20min)

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

0 5 10 15 20 25

Weight loss (%)

Norm

alize

d res

idual

stres

s

110C (0;60min) 120C (0;60min) 130C (0;60min) 140C (0;60min) 150C (0;60min) 160C (0;30;60min) 170C (0;20;30;60min) 180C (0;5;10;30min) 190C (0;2;5;10;20min)

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2

Strain recovery

0

2

4

6

8

10

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2Strain recovery

Norm

alize

d res

idual

stres

sRe

sidua

l stre

ss (k

gf/cm

2)

110C (0;60min) 120C (0;60min)130C (0;60min) 150C (0;60min)160C (0;30;60min) 170C (0;20;30min)180C (0;10min) 190C (0;2;5;10min)

110C (60min) 120C (60min) 130C (60min)150C (60min) 160C (30;60min) 170C (20;30min)180C (10min) 190C (2;5;10min)

43 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 44: Jurnal Bu Sarinah Am

Figure 6. Relationship between strain recovery (upper)

or normalized residual stress (lower) and weight loss for Tali bamboo at 110ºC ∼ 190ºC from 0 ∼ 60 minutes.

Pengaruh prosentase kehilangan berat terhadap pemulihan regangan dan sisa tegangan kedua bambu tersebut dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. Bambu Gombong telah mengalami prosentase kehilangan berat

sekitar 5% dan bambu Tali 8% sebelum perlakuan uap panas. Pemulihan regangan menurun dengan meningkatnya prosentase kehilangan berat dan kurva tersebut juga serupa dengan kurva kayu Sugi yang mengalami perlakuan panas (Higashihara et al. 2001). Tetapi prosentase kehilangan berat akibat perlakuan uap panas ini sangat lebih tinggi jika dibandingkan dengan kayu (Inoue et al. 1996). Fiksasi tercapai pada saat prosentase kehilangan berat sekitar 20%, sehingga diperkirakan mekanisme fiksasi kedua bambu tersebut didominasi oleh dekomposisi dinding sel.

Kesimpulan Telah diteliti mekanisme fiksasi bambu Gombong (Gigantochloa pseduarundinaceae) dan Tali (Gigantochloa apus) jenuh air dengan mengukur relaksasi tegangannya akibat perlakuan uap panas. Fiksasi dicapai setelah perlakuan uap panas selama 60 menit pada suhu 170ºC; 30 menit pada suhu 180ºC; atau 20 menit pada suhu 190ºC untuk bambu Gombong. Sedangkan fiksasi pada bambu Tali dicapai lebih lebih cepat. Fiksasi dicapai pada saat prosentase kehilangan berat 20%, sehingga mekanisme fiksasi diperkirakan didominasi oleh dekomposisi hemiselulosa dan lignin.

Daftar Pustaka Dwianto, W., Morooka, T., Norimoto, M. 1998. A Method

of Measuring Viscoelastic Properties of Wood under High-Temperature and High-Pressure Steam Conditions. Mokuzai Gakkaishi 44(2):77-81.

Dwianto, W., Morooka, T., Norimoto, M., Kitajima, T. 1999. Stress Relaxation of Sugi (Cryptomeria japonica D. Don) wood in Radial Compression under High Temperature Steam. Holzforchung 53(5):541-546.

Dwianto, W., Morooka, T., Norimoto, M. 2000. Compressive Creep of Wood under High Temperature Steam. Holzforchung 54(1):104-108.

Higashihara, T., Morooka, T., Norimoto, M. 2000. Permanent Fixation of Transversely Compressed Wood by Steaming and Its Mechanism. Mokuzai Gakkaishi 46(4):291-297.

Higashihara, T., Morooka, T., Norimoto, M. 2001. Permanent Fixation of Transversely Compressed Wood by Heating and Its Mechanism. Mokuzai Gakkaishi 47(3):205-211.

Hsu, W.E., Schwald, W., Schwald, J., Shields, J.A. 1988. Chemical and Physical Changes Required for Producing Dimensionally Stable Wood-Based Composites. Part I. Steam Presteaming. Wood Science and Technology 22:281-289.

0.0

2

4

6

8

0

2

0 5 10 15 20 25

Weight loss (%)

Stra

in re

cove

ry

0.

0.

0.

0.

1.

1.

110C (0;60min) 120C (0;60min)130C (0;60min) 140C (0;60min)150C (0;60min) 160C (0;30;60min)170C (0;20;30min) 180C (0;5;10min)190C (0;2;5;10min)

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

0

0 5 10 15 20 25Weight loss (%)

1.

Norm

alize

d res

idual

stres

s

110C (60min) 120C (60min)130C (60min) 150C (60min)160C (30;60min) 170C (20;30min)180C (10min) 190C (2;5;10min)

44 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 45: Jurnal Bu Sarinah Am

Inoue, M., Norimoto, M., Tanahashi, M., Rowel, R.M. 1993. Steam or Heat Fixation of Compressed Wood. Wood Fiber Sci. 25(3):224-235.

Inoue, M., Sekino, N., Morooka, T., Norimoto, M. Dimensional Stabilization of Wood Composites by Steaming I. Fixation of Compressed Wood by Pre-steaming. Proceeding of the Third Pacific Rim Bio-Based Composites Symposium. Kyoto, Japan, December 2-5, 1996, pp 15-21.

Morooka, T., Inoue, M., Kawai, S., Norimoto, M. 1994. Rheological Properties of Wood under High Temperature Steam Condition. In: Properties and

Utilization of Fast Growing Trees. China Forestry Publishing House, Beijing, China, p 65-71.

Norimoto, M., Gril, J. 1989. Wood Bending using Microwave Heating. Journal of Microwave Power and Electromagnetic Energy 24 (4):203-212.

Tanahashi, M., Goto, T., Hori, F., Hirai, A., Higuchi, T. 1989. Characterization of Steam-Exploded Wood III. Transformation of Cellulose Crystals and Changes of Crystalinity. Mokuzai Gakkaishi 35(7):654-662.

Diterima tanggal 18 Nopember 2003 Wahyu Dwianto UPT Balai Litbang Biomaterial – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Research and Development Unit for Biomaterials - Indonesian Institute of Sciences) Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor Telp. 021-87914511; Fax. 021-87914510 E-mail: [email protected] Toshiro Morooka dan Misato Norimoto Property Enchancement Laboratory, Wood Resaerch Institute, Kyoto University Gokasho Uji Kyoto - Japan

45 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 46: Jurnal Bu Sarinah Am

Sifat Ketahanan Api Lima Jenis Kayu dengan Pelapisan Carbon Phenolic Spheres (CPS) yang Diuji dengan Cone Calorimeter

Fire Resistance Properties of Five Wood Species Laminated with Carbon Phenolic Spheres (CPS) Tested by Cone Calorimeter

Subyakto dan Wahyu Dwianto

Abstract

In all aspects of wood utilization their fire resistance properties are very important; therefore efforts to enhance those properties are needed. In the previous study, graphite phenolic spheres (GPS) laminated on woods and plywood enhanced their fire properties. Carbon phenolic spheres (CPS) is a new material made from a mixture of wood char and phenolic resin, this material is cheaper than GPS. In the present experiment, CPS sheet was laminated on five wood species and their fire resistance properties were evaluated using cone calorimeter. The five wood species are randu (Bombax ceiba L.), angsana (Pterocarpus indicus Jacq.), mindi (Melia azedarach L.), puspa (Schima wallichii DC Korth), and mahoni (Swietenia mahagony L. Jacq). The specimen was 100 mm x 100 mm with thickness of 30 mm tested with cone calorimeter in accordance with ISO 5660 standard. Using cone calorimeter a homogenous heat was exposed to the surface of wood specimen, and ignited with igniter. About 1 mm thick of CPS sheet was laminated on the wood surface (100 mm x 100 mm). Specimen was tested at horizontal position and at heat flux of 40 kW/m2. On the unexposed wood surface, thermocouple was attached to measure increases of temperature. Results showed that five species of wood laminated with CPS have higher fire properties compared with control wood, however compared with woods laminated with GPS those results were lower. Key words: fire resistance properties, five wood species, Carbon Phenolic Spheres, laminated, cone calorimeter

Pendahuluan

Kasus kebakaran perumahan dan gedung merupakan masalah yang serius karena banyak membawa kerugian baik materiil maupun korban jiwa. Data statistik menunjukkan bahwa peristiwa kebakaran di Jakarta sekitar 4 kasus setiap harinya (Kompas 2000), sementara di Tokyo sekitar 11 kasus kebakaran per hari (Anonymous 2000). Telah banyak dilakukan usaha untuk mencegah kebakaran terutama ditujukan pada kayu yang merupakan komponen utama dari bangunan perumahan dan gedung. Sifat ketahanan api dari kayu bisa ditingkatkan dengan diberi perlakuan bahan kimia penghambat api atau bahan-bahan lain yang tahan terhadap api. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pelapisan graphite phenolic spheres (GPS) pada kayu dan kayu lapis bisa meningkatkan sifat ketahanan apinya (Subyakto dan Dwianto 2001). Carbon phenolic spheres (CPS) merupakan bahan baru yang dikembangkan dari campuran serbuk arang kayu dan penol, bahan ini lebih murah dibandingkan GPS. Bahan ini menunjukkan sifat perambatan termal yang lebih besar pada arah horizontal dibandingkan arah vertikal (Subyakto et al. 2000). Dengan dipunyainya sifat ini maka CPS bisa dimanfaatkan sebagai bahan penghambat api. Penambahan CPS berupa serbuk pada permukaan papan partikel telah terbukti meningkatkan ketahanan apinya (Ide et al. 1993).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati pengaruh pelapisan bahan CPS pada permukaan lima

jenis kayu terhadap sifat ketahanan apinya yang diuji dengan alat cone calorimeter.

Bahan dan Metode

Bahan Penelitian dan Persiapan Contoh Uji

Bahan yang diuji adalah kayu randu (Bombax ceiba L.), angsana (Pterocarpus indicus Jacq), mindi (Melia azedarach L), puspa (Schima wallichii DC Korth), dan mahoni (Swietenia mahagony L. Jacq) dengan kerapatan berturut-turut adalah 0.27, 0.45, 0.46, 0.70 dan 0.65 g/cm3. Contoh uji dalam keadaan kering udara dipotong dengan ukuran 100 mm x 100 mm dengan ketebalan yang sama yaitu 30 mm. Contoh uji dikeringkan di dalam oven pada suhu 103 ± 2°C selama 24 jam kemudian dimasukkan ke dalam desikator. Setelah satu hari diukur berat dan tebal masing-masing contoh uji.

Lembaran Carbon phenolic spheres (CPS) yang digunakan, diperoleh dari Lygnite Co. Japan setebal 1 mm. Komposisi bahan untuk membuat CPS berdasarkan persentase berat adalah sebagai berikut: arang kayu yang dikarbonisasi pada suhu 1600°C (55%), penol resin (20%), serat keramik (19%), serat organic (4%), poli vinil asetat resin (2%). Lembaran CPS dipotong dengan ukuran 100 mm x 100 mm sesuai dengan ukuran permukaan contoh uji. Lembaran CPS ini dilapiskan pada bagian permukaan atas contoh uji dengan cara dipres panas pada suhu 160°C dan

46 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 47: Jurnal Bu Sarinah Am

tekanan 2 kg/cm2 selama 1 menit, sehingga melekat karena adanya kandungan perekat penol pada CPS. Metode Pengujian Sifat Ketahanan Api

Sifat ketahanan api kayu diuji dengan alat cone calorimeter. Cone calorimeter akhir-akhir ini banyak digunakan untuk pengujian ketahanan api dari berbagai bahan karena hasil pengujiannya dapat dipakai untuk memprediksi pengujian skala penuh (Ostman dan Tsantaridis 1995). Pengujian dengan alat cone calorimeter (Fire Testing Technology – UK) dilakukan menurut standar ISO 5660-1 (1993): Fire tests – Reaction to fire. Pengujian ini berdasarkan prinsip bahwa panas hasil pembakaran sebanding dengan jumlah oksigen yang diperlukan untuk pembakaran (Babrauskas 1984). Contoh uji diuji pada keadaan kering oven. Sebelum diuji, kayu ditimbang dan diukur tebalnya kemudian dibungkus dengan aluminium foil pada ketiga sisi permukaan dengan sisi permukaan atas terbuka untuk menerima panas. Permukaan contoh uji diberi radiasi panas yang seragam di seluruh permukaannya serta bersamaan dengan itu diberi percikan api tepat di bagian tengahnya. Pengujian dilakukan pada posisi horizontal dengan jumlah panas (heat flux) yang diberikan sebesar 40 kW/m2. Waktu menyala (ignition time) yaitu waktu yang diperlukan mulai dari awal pengujian sampai timbul nyala api pada permukaan kayu, dan kecepatan kehilangan berat (mass loss rate) yaitu banyaknya massa yang hilang per satuan waktu dicatat selama pengujian. Disamping itu pada permukaan bagian bawah contoh uji, yaitu bagian yang tidak terkena panas langsung (unexposed surface), dipasang satu termokopel (tepat di bagian tengah) untuk mencatat kenaikan suhu per satuan waktu.

Hasil dan Pembahasan

Pengujian kayu maupun komposit kayu dengan alat cone calorimeter adalah dengan memberikan panas yang seragam pada permukaan kayu dan diberikan

semacam pemantik. Mula-mula permukaan kayu menjadi panas, mengeluarkan asap yang semakin tebal dan akhirnya terjadi penyalaan oleh pemantik. Kayu terbakar dengan api yang besar, kemudian berangsur-angsur api mengecil, setelah itu api membesar kembali untuk kedua kalinya dan berangsur-angsur mengecil kembali sampai tidak ada nyala api (kayu terbakar habis). Pola di atas adalah sama untuk semua jenis kayu maupun komposit kayu yang digambarkan dari hasil kecepatan kehilangan berat (mass loss rate) yaitu terjadi puncak pertama kemudian konstan, setelah itu naik lagi menghasilkan puncak kedua dan perlahan-lahan mengecil. Pola ini menggambarkan proses terbakarnya kayu. Jadi parameter yang diamati pada uji cone calorimeter ini adalah waktu menyala dan kecepatan kehilangan berat. Semakin lama waktu menyala maka kayu tersebut semakin tidak mudah terbakar terutama pada awalnya. Sedangkan semakin tinggi kecepatan kehilangan berat maka semakin tidak tahan bahan tersebut terhadap api atau semakin cepat terbakar. Di samping itu diamati juga suhu pada permukaan yang tidak terkena api (permukaan bawah contoh uji) untuk mengamati suhu kritis terdegradasinya selulosa yaitu pada suhu 260°C.

Hasil pengujian waktu menyala pada 5 jenis kayu yang diteliti (kontrol dan dilapisi CPS), dan dibandingkan dengan kayu lapis, kayu agathis dan kayu karet (kontrol dan dilapisi GPS) disajikan pada Tabel 1. Waktu nyala dipengaruhi oleh jenis kayu, kerapatan dan kekerasan permukaan kayu (Harada 1996, Dwianto dan Subyakto 2000). Dapat dilihat pada Tabel 1 bahwa tanpa pelapisan CPS, waktu nyala paling lama adalah kayu puspa, diikuti oleh kayu mahoni, mindi, angsana dan paling pendek kayu randu. Pada bahan komposit kayu seperti papan partikel, kayu lapis maupun papan serat berkerapatan sedang (MDF), sifat waktu nyala juga dipengaruhi oleh kerapatan dan struktur bahan (Subyakto et al. 1999). Pelapisan dengan CPS pada lima jenis kayu yang diteliti menghasilkan waktu nyala yang lebih panjang, meskipun besarnya kenaikan

Table 1. Ignition times of five wood species laminated with CPS compared with woods and plywood laminated with

GPS

Ignition time (sec) No. Wood Species

Thickness (mm)

Density (g/cm3) Control CPS Laminated Increased (%)

1. Randu 30 0.27 21 31 48 2. Angsana 30 0.45 28 31 11 3. Mindi 30 0.46 29 37 28 4. Puspa 30 0.70 42 51 21 5. Mahoni 30 0.65 37 66 78 6. Plywood 18 0.58 20 44* 120 7. Agathis 18 0.42 21 42* 100 8. Karet 18 0.67 37 50* 35

Note: * laminated with Graphite Phenolic Spheres/GPS (Subyakto and Dwianto 2001)

47 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 48: Jurnal Bu Sarinah Am

Table 2. Mass loss rates of five wood species control and laminated with CPS.

Wood species MLR at peak I (g/sec)

MLR at peak II (g/sec)

Time to reach MLR peak II (sec)

Control: 1. Randu 0.141 0.080 985 2. Angsana 0.125 0.096 1280 3. Mindi 0.091 0.082 1435 4. Puspa 0.133 0.101 1585 5. Mahoni 0.102 0.070 1855 With CPS: 1. Randu 0.073 0.071 1015 2. Angsana 0.066 0.121 1410 3. Mindi 0.081 0.081 1390 4. Puspa 0.082 0.155 1560 5. Mahoni 0.080 0.130 1495

Note: MLR= Mass Loss Rate

0.00

0.02

0.04

0.06

0.08

0.10

0.12

0.14

0 300 600 900 1200 1500 1800 2100

Time (sec)

MLR(

g/sec Angsana

Angsana+CPS

MLR

(g/se

c)

Figure 1. Mass loss rate of angsana wood control and laminated with CPS

waktu nyala berbeda-beda untuk masing-masing jenis kayu. Persentase kenaikan waktu nyala untuk kayu randu adalah sebesar 48%, mindi 11%, angsana 28%, puspa 21%, dan mahoni 78%. Pengaruh pelapisan dengan CPS ini lebih kecil dibandingkan dengan pelapisan Graphite Phenolic Spheres (GPS) pada kayu lapis (120%), kayu agathis (100%), dan kayu lapis (35%) (Subyakto dan Dwianto 2001). CPS berbahan baku utama arang kayu dengan suhu karbonisasi 1600°C, sedangkan GPS bahan baku utamanya adalah grafit yang dihasilkan dari proses pada suhu lebih dari 2000°C (Subyakto et al. 2001). Baik CPS maupun GPS mempunyai sifat anisotropis yaitu merambatkan panas

lebih besar ke arah memanjang/horisontal dibandingkan dengan arah tebal/vertikal (Subyakto et al. 2001, Subyakto et al. 2000), sehingga bahan-bahan ini sangat baik sebagai penghambat api.

Hasil pengujian kecepatan kehilangan berat pada lima jenis kayu baik tanpa pelapisan CPS (kontrol) maupun dengan pelapisan CPS disajikan pada Tabel 2. Salah satu contoh grafik kecepatan kehilangan berat yaitu kayu angsana kontrol dan dilapisi CPS dapat dilihat pada Gambar 1. Di sini terlihat pola kecepatan kehilangan berat yaitu puncak I (api membesar), kemudian konstan (dimana energi panas dipakai untuk menguapkan air di dalam kayu) dan diikuti

48 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 49: Jurnal Bu Sarinah Am

puncak II (api membesar untuk kedua kalinya) kemudian berangsur-angsur mengecil (api padam). Pada kayu control terlihat bahwa kecepatan kehilangan berat pada puncak I dari kayu randu adalah paling besar, diikuti berturut-turut kayu puspa, angsana, mahoni dan mindi. Kayu randu mempunyai kerapatan paling rendah sehingga pada awalnya terbakar lebih banyak dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Hal ini dapat dilihat juga pada waktu yang diperlukan untuk mencapai kecepatan kehilangan berat puncak II. Terlihat bahwa semakin tinggi kerapatan kayu maka memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai puncak II. Dengan dilapisi CPS pada permukaan lima jenis kayu, maka kecepatan kehilangan berat pada puncak I lebih kecil dibandingkan dengan tanpa pelapisan. Hal ini berarti bahwa jumlah bahan kayu yang terbakar pada saat itu lebih sedikit dengan dilapisi CPS pada permukaan kayu. Demikian juga waktu yang diperlukan untuk mencapai kecepatan kehilangan berat puncak II juga semakin lama dengan adanya pelapisan CPS, kecuali pada kayu puspa dan mahoni. Di sini terlihat bahwa pengaruh pelapisan CPS hanya efektif pada waktu permulaan kayu terbakar, sedangkan setelah terbakar lembaran CPS ikut terbakar sehingga tidak bisa lagi melindungi kayu. Table 3. Time to reach temperature of 100°C and

260°C at unexposed surface of woods

Wood species Time to reach 100°C (sec.)

Time to reach 260°C (sec.)

Control: 1. Randu 669 1033 2. Angsana 856 1387 3. Mindi 609 1522 4. Puspa 843 1840 5. Mahoni 957 1849 With CPS: 1. Randu 701 1143 2. Angsana 908 1453 3. Mindi 823 1534 4. Puspa 918 1996 5. Mahoni 941 1847

Pengamatan suhu pada permukaan yang tidak

terkena api (permukaan bagian bawah) dilakukan untuk melihat pengaruh pelapisan CPS terhadap kenaikan suhu yang terjadi, hasilnya disajikan pada Tabel 3. Pengamatan difokuskan pada waktu yang diperlukan untuk mencapai suhu 100°C dan 260°C. Suhu 100°C merupakan suhu dimana air pada kayu akan menguap seluruhnya, sedangkan suhu 260°C adalah suhu kritis dimana selulosa kayu terdegradasi. Pada lima jenis kayu tanpa pelapisan CPS (kontrol) terlihat adanya pengaruh

kerapatan kayu, semakin tinggi kerapatan kayu maka waktu yang diperlukan semakin lama. Hal ini dapat dipahami karena panas merambat lebih cepat pada kayu dengan kerapatan lebih rendah. Dengan adanya pelapisan dengan CPS maka waktu yang diperlukan untuk mencapai suhu 100°C lebih lama dibandingkan dengan kayu tanpa pelapisan, kecuali untuk kayu mahoni. Demikian pula pelapisan dengan CPS memberikan pengaruh pencapaian suhu 260°C lebih lama. Pada kayu mahoni pemberian pelapisan CPS tidak memberikan perbedaan dibandingkan tanpa pelapisan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kerapatan kayu mahoni yang cukup tinggi serta struktur anatomi kayunya.

Kesimpulan

Pelapisan CPS pada permukaan lima jenis kayu yang diteliti dapat meningkatkan sifat ketahanan apinya dibandingkan dengan tanpa pelapisan. Meskipun demikian dibandingkan dengan pelapisan GPS pelapisan dengan CPS memberikan pengaruh yang lebih kecil.

Daftar Pustaka

Anonymous. 2000. Cases and Damage of Fires by Prefectures in Japan. Fire Defence Agency Japan.

Babrauskas, V. 1984. Development of the Cone Calorimeter - A Bench Scale Heat Release Rate Apparatus Based on Oxygen Consumption. Fire and Materials Journal 8:81-95.

Dwianto, W., Subyakto. 2000. Fire Performance of Albizzia Compressed Wood using Cone Calorimeter. Proceedings of the Third International Wood Science Symposium, Kyoto, Japan, November 1-2, 2000, pp. 31-36.

Harada, T. 1996. Charring of Wood with Thermal Radiation II. Charring Rate Calculated from Mass Loss Rate. Journal of the Japan Wood Research Society 42:194-201.

Ide, I., Ishihara, S., Kawai, S., Yoshida, Y., Nakaji, M., Takamatsu, A. 1993. Fire-resistant Carbon-board Materials III. Thermal Decomposition of Constituents of Particleboards Overlaid with Graphite Phenolic Spheres. Journal of the Japan Wood Research Society 39:1449-1457.

International Organization for Standardization.1993. Fire tests – Reaction to Fire. ISO 5660-1. International Organization for Standardization, Geneva, Switzerland, pp.30.

Kompas. 2000. Jakarta. Tiada Hari Tanpa Kebakaran. Harian Kompas, 21 Maret 2000, hal. 18.

49 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 50: Jurnal Bu Sarinah Am

Ostman, B.A.L. and Tsantaridis, L.D. 1995. Heat Release and Classification of Fire Retardant Wood Products. Fire and Materials Journal 19: 253-258.

Subyakto, Firmanti, A., Subiyanto, B., Yusuf, S. 1999. Sifat Ketahanan Api Beberapa Jenis Panel Kayu Komersial. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI II, Yogyakarta, 2-3 September 1999, pp.83-92.

Subyakto, Hata, T., Kawai, S., Imamura Y., Ide, I. 2000. Anisotropic Thermal Properties of Molded Carbon Phenolic Spheres. Journal of Wood Science 46:16-21.

Subyakto, Dwianto, W. 2001. Pengaruh Pelapisan Graphite Phenolic Spheres (GPS) terhadap Sifat Ketahanan Api Kayu dan Kayu Lapis. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI IV, Samarinda, 6-9 Agustus 2001, pp.IV.159-166.

Subyakto, Hata, T., Ide, I., Kawai, S. 2001. Fire Resistant Performance of a Laminated Veneer Lumber Joint with Metal Plate Connectors Protected with Graphite Phenolic Spheres Sheeting. Journal of Wood Science 47: 199-207.

Diterima tanggal 18 Nopember 2003 Subyakto dan Wahyu Dwianto UPT Balai Litbang Biomaterial – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Research and Development Unit for Biomaterials – Indonesian Institute of Sciences) Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911 Telp. 021-87914511, Fax. 021-87914510 Email: [email protected] atau [email protected]

50 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 51: Jurnal Bu Sarinah Am

Keandalan Papan Lapis dari Kayu Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) Terpadatkan sebagai Pelat Buhul pada Arsitektur Konstruksi Atap Kayu

The Strength of Densified Agathis (Agathis loranthifolia Salisb.) Plyboard as Gusset in Wood Roof Construction

James Rilatupa, Surjono Surjokusumo dan Dodi Nandika

Abstract

The aim of this research is to know the densified agathis plyboard characteristics and reliability is used for semi isotropic gusset in wood roof construction, and also to look for suitable models of its connectors for roof construction. The material use for this research is agathis board with dimension of 36 cm (L) x 12 cm (T) x 2 cm (R). This board has been densified until it reached 1 cm in thickness (R). Glue used for this research is epoxy with the trade name Eurepox-710 (resin) and mixed with Euredur-140 (hardener). The bolt used for the testing of embedded strength is bolt St.37 with diameter of 11.12 mm.

The result showed that densification could increase physical nature and mechanical strength. The physical nature and mechanical strength also indicated that densified agathis board could be used as gusset in wood roof construction. Results of bolt embedded strength and its ANOVA showed that the gusset of densified agathis plyboard will be reliable for each connection angles, and indicated that the Hankinson theory could not be implemented to forecast the bolt embedded strength for another connection angles. Based on questioners model of the gusset will revealed which is in accordance with the roof construction as issued for the second drawing of the gusset for each connection type. This model has been considered to posses aesthetical and harmonically features wood roof construction of a building.

Key words: densified agathis plyboard, semi isotropic, aesthetical feature

Pendahuluan Atap merupakan salah satu elemen utama dalam

konstruksi bangunan gedung di wilayah tropis. Selain itu keberadaan atap dalam bangunan sangat penting, karena dapat meningkatkan nilai arsitektur bangunan. Keberadaan elemen atap tidak hanya sebagai respon terhadap kondisi iklim geografis (terutama pada kawasan iklim tropis), tetapi juga mendukung karakter dan bentuk arsitektur suatu bangunan. Dengan kata lain suatu konstruksi atap tidak hanya berperan untuk menyalurkan air hujan yang jatuh di atasnya, melindungi dari angin, atau sebagai suatu tempat berteduh (shelter); tetapi juga harus ikut meningkatkan kenyamanan udara di dalam ruangan.

Konstruksi atap dengan bentangan yang relatif lebar (lebih dari 12 meter) membutuhkan alat sambung untuk menyambung balok-balok kayu pada konstruksinya. Umumnya sistem sambungan pada konstruksi atap bangunan di Indonesia cenderung menggunakan alat sambung dari bahan logam, kalaupun kayu yang digunakan terbuat dari kayu keras (kayu komersial dengan Kelas Kuat I-II), karena akan dibebani dengan tekanan dan geseran. Dengan ketersediaan kayu komersial yang semakin terbatas mengakibatkan pemikiran tentang penggunaan kayu non - komersial sebagai alat sambung perlu dipertimbangkan untuk mengatasi kekurangan tersedianya jenis-jenis kayu keras di masa mendatang.

Penentuan pemanfaatan kayu damar sebagai alat sambung karena merupakan pohon cepat tumbuh dan sedang dipromosikan oleh pemerintah untuk menggantikan jenis-jenis kayu keras. Namun demikian, kayu damar tergolong berkerapatan rendah dan termasuk Kelas Kuat III. Peningkatan kualitas kayu damar perlu dilakukan termasuk memperbaiki sifat-sifat mekanisnya; salah satunya dengan penerapan teknologi pemadatan. Di Amerika Serikat, kayu terpadatkan yang dikenal dengan nama staypak telah digunakan sebagai pelat buhul (Anonymous, 1999). Di Indonesia sendiri pelat buhul yang terbuat dari kayu terpadatkan belum dikenal. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan penjajagan kemungkinan pemanfaatan papan lapis dari kayu damar terpadatkan sebagai pelat buhul pada konstruksi atap bangunan.

Bahan dan Metode

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah kayu damar (Agathis loranthifolia Salisb) tanpa cacat yang berbentuk papan tangensial dengan tebal (R) 2 cm dan lebar (T) 12 cm, kemudian dipotong menjadi contoh uji yang berukuran 36 cm (L) x 12 cm (T) x 2 cm (R), dimana L = Longitudinal, T = Tangesial dan R = Radial.

Perekat yang digunakan adalah epoxy dengan nama dagang Europox-710 (resin) ditambah dengan Euredur-140 (hardener), dan baut yang digunakan untuk

51 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 52: Jurnal Bu Sarinah Am

pengujian daya dukung baut adalah baut St.37 dengan diameter 11.12 mm.

Alat utama yang digunakan adalah mesin kempa kayu (Cold and Hot Press) rakitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan LIPI dengan luas press 40 cm x 40 cm dan kemampuan tekanan hidrolis maksimum 700 kg/cm2 (1000 psi), serta suhu maksimum 250ºC. Peralatan lain yang digunakan adalah mesin Amsler dan Baldwin, mesin uji tekan kayu (Universal Testing Machine merk TORSEE), gergaji, oven, jangka sorong, moisture-meter, pelat baja, desikator, bor, seng aluminium, tabung bertekanan (autoclave) dan waterbath. Metode I. Papan Terpadatkan Pembuatan Sortimen Uji: Papan dengan ukuran tersebut di atas direndam dalam air selama 7 hari, kemudian direbus dalam tabung bertekanan selama + 1 jam. Setelah itu papan dipadatkan dengan mesin kempa pada arah tebal/radial (suhu 150ºC ∼ 175ºC) selama 1 ∼ 1½ jam hingga ketebalannya mencapai 50% dari tebal semula (ketebalan tercapai 1 cm). Selama proses pemadatan, seng aluminium digunakan sebagai wadah papan yang digenangi air secukupnya pada bagian sisinya secara kontinu (untuk mencegah keretakan/melunakkan kayu). Papan yang telah dipadatkan tersebut dibiarkan selama 1½ ∼ 2 jam pada mesin kempa dengan suhu 150ºC, kemudian dikeluarkan dari mesin kempa dan dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50ºC. Pemadatan

dengan proses ini bertujuan untuk membentuk kayu yang bersifat anisotropis menjadi kayu bersifat semi isotropis (kekuatan hampir merata pada setiap bidang papan atau mendekati sifat baja/isotropis) dan mencapai fiksasi ketebalan (tidak mudah kembali ke ketebalan semula).

Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis: Sortimen uji yang berukuran 36cm (L) x 12cm (T) x 1cm (R) digergaji menjadi potongan-potongan untuk pengujian sifat fisis dan mekanis papan damar terpadatkan. Pengujian sifat fisis meliputi berat jenis, kerapatan dan kadar air. Sifat mekanis yang diuji pada papan damar terpadatkan meliputi pengujian modulus elastisitas (MOE), modulus patah (MOR), keteguhan tekan sejajar serat, serta kekerasan sisi tangensial dan radial. Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis papan damar terpadatkan akan dibandingkan dengan sifat fisis dan mekanis papan damar solid (tanpa pemadatan) dengan masing-masing pengujian dilakukan lima ulangan.

II. Papan Lapis Terpadatkan Pembuatan Papan Lapis Terpadatkan: Proses pembentukan papan lapis terpadatkan dilakukan dengan menempelkan sembilan buah papan damar terpadatkan dengan lem epoxy menjadi tiga susun (lihat Gambar 1), sehingga diperoleh pelat sambung yang berukuran 36 cm (L) x 36 cm (T) x 3 cm (R). Setelah selesai dilem, pelat sambung tersebut dipres dengan pelat baja selama 7 hari dan dikeringkan (kering udara), kemudian dirapikan ukurannya.

(b)

Figure 1. Process of densified plyboard forming: (a) before formation and (b) after formation of densified board

52 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 53: Jurnal Bu Sarinah Am

Pengujian Keteguhan Geser dan Daya Dukung Baut: Setelah papan lapis dirapikan ukurannya, kemudian dilakukan pembuatan contoh uji untuk pengujian keteguhan geser dan daya dukung baut. Pengujian keteguhan geser papan lapis diambil pada arah sejajar serat dan tegak lurus serat dengan mesin uji Baldwin. Pembacaan nilai beban maksimum dilakukan pada saat benda uji mengalami kerusakan. Pengujian daya dukung baut pada pelat buhul papan lapis terpadatkan disesuaikan dengan besar sudut sambungan yang telah ditentukan, yaitu: 0º (sejajar serat), 30º, 45º, 60º, dan 90º (tegak lurus serat) dengan lima ulangan. Prinsip pengujian adalah membenamkan baut St.37 berdiameter 11.12 mm dengan menggunakan alat uji desak baut dan mesin Baldwin. Pengujian daya dukung baut dianalisa dengan menggunakan model Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Studi Bentuk dan Komposisi Pelat Buhul pada Konstruksi Atap: Untuk mendapatkan nilai estetika pelat buhul pada arsitektur konstruksi kayu menggunakan faktor komponen garis yang lebih dari satu komposisi bentuk. Penilaian arsitektur ini dicapai dengan menggunakan metode kuisioner pada 115 mahasiswa arsitektur di Jakarta.

Hasil dan Pembahasan Sifat Fisis Papan Damar Terpadatkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat proses pemadatan rata-rata berat jenis papan damar meningkat dari 0.41 menjadi 0.80; sedang kerapatannya meningkat dari 0.46 g/cm3 menjadi 0.83 g/cm3. Kadar airnya menurun dari 13.16% menjadi 4.76% (Tabel 1). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa pemadatan ternyata dapat memperbaiki sifat fisis kayu damar.

Dalam hal ini papan damar tanpa pemadatan tergolong ke dalam Kelas Kuat III; tetapi setelah dipadatkan dapat digolongkan menjadi Kelas Kuat II. Wiryomartono (1977) menjelaskan bahwa kayu dengan berat jenis minimal 0.60 dapat digunakan sebagai alat sambung (pasak) dengan kekuatan ijin tertentu. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka papan damar terpadatkan dengan berat jenis 0.83 dapat digunakan sebagai alat sambung pada konstruksi kayu.

Tomme et al. (1998) melaporkan bahwa pemadatan dengan suhu tinggi dapat meningkatkan berat jenis kayu. Dalam penelitian ini, papan dipadatkan pada suhu 150ºC ∼ 175ºC pada kondisi basah, sehingga tidak menyebabkan terjadinya keretakan pada papan yang dipadatkan.

Sifat Mekanis Papan Damar Terpadatkan Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat proses

pemadatan, modulus elastisitas (MOE), modulus patah (MOR), kekuatan tekan sejajar serat, serta kekerasan sisi tangensial dan radial papan damar meningkat (Tabel 2). Dengan demikian, papan damar terpadatkan lebih kaku dan dapat menahan beban lebih besar dibandingkan dengan papan damar tanpa pemadatan.

Peningkatan MOE dan MOR pada papan damar terpadatkan terjadi karena adanya kristalisasi molekul-molekul selulosa dalam daerah amorf atau parakristalin dari mikrofibril (Dwianto et al. 1998).

Sementara itu peningkatan kekuatan tekan sejajar serat menunjukkan bahwa dengan pemadatan diduga struktur sel kayu menjadi lebih padat dan merata pada setiap bagian papan damar yang dipadatkan. Kekuatan tekan sejajar serat juga mencerminkan tegangan maksimum kayu. Tegangan maksimum tersebut juga mengindikasikan kekuatan daya dukung baut,

Table 1. Spesific gravity, density and moisture content of densified agathis board compared with non-densified agathis board.

No. Physical properties Non-Densified Agathis Board Densified Agathis Board 1. Specific gravity 0.41 0.80 2. Density (g/cm³) 0.46 0.83 3. Moisture Content (%) 13.16 4.76

Table 2. Modulus of elasticity (MOE), modulus of rupture (MOR), shear parallel to grain, side hardness of densified agathis board compared with non-densified agathis board

No. Mechanical properties Non-Densified Agathis Board Densified Agathis Board 1. Modulus of elasticity (kg/cm²) 65628.12 136615.93 2. Modulus of rupture (kg/cm²) 450.50 1562.31 3. Shear parallel to grain (kg/cm²) 268.36 637.48 4. Side hardness (kg/cm²) - tangential 190.40 600.00 - radial 190.20 402.40

53 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 54: Jurnal Bu Sarinah Am

dimana menurut penelitian Wiryomartono (1977) tegangan maksimum kayu damar adalah 300 kg/cm2. Meningkatnya kekerasan sisi terjadi akibat lumen dan rongga sel kayu menyempit, lebih merata, dan merapat akibat pengaruh pemadatan.

Pemadatan pada suhu yang cukup tinggi (150ºC ∼ 175ºC) sangat mempengaruhi peningkatan sifat mekanis kayu damar. Menurut Wiryomartono (1977) kayu yang memiliki MOE ≥ 125000 kg/cm2 tergolong dalam kayu Kelas Kuat I. Berdasarkan pernyataan tersebut papan damar terpadatkan dengan MOE 136615.93 kg/cm2 pada penelitian ini dapat digolongkan Kelas Kuat I dan dapat digunakan sebagai alat sambung. Keandalan Papan Lapis dari Kayu Damar Terpadatkan sebagai Pelat Buhul Keteguhan Geser Rekat: Hasil penelitian menunjukkan bahwa keteguhan geser rekat sejajar serat untuk pelat buhul papan lapis dari kayu damar terpadatkan mencapai 102.08 kg/cm2, sedangkan keteguhan geser tegak lurus serat adalah 61.87 kg/cm2. Nilai keteguhan geser rekat ini mengindikasikan bahwa daya dukung baut pada sambungan sejajar serat (0º) akan lebih tinggi daripada sudut sambungan tegak lurus serat (90º), berarti pelat buhul ini lebih kuat menahan beban pada sudut sambungan sejajar serat.

Daya Dukung Baut: Sesaran 1.5 mm adalah batas maksimal persyaratan sesaran menurut Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PPKI)(Anonymous 1961). Perlunya pembatasan sesaran, karena sesaran yang lebih besar akan menimbulkan tegangan sekunder. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa sudut sambungan pada pelat buhul papan lapis terpadatkan tidak memiliki hubungan yang linear dengan daya dukung baut pada sesaran 1.5 mm (Tabel 3). Berdasarkan hal tersebut, diduga untuk pelat buhul papan lapis terpadatkan tidak dapat dibandingkan dengan persamaan PKKI (1961) atau teori Hankinson untuk mengetahui daya dukung baut pada sudut-sudut sambungan lainnya (Soltis dalam Anonymous 1999).

PKKI dan Hankinson menjelaskan bahwa sudut sambungan 0º (sejajar serat) memiliki daya dukung baut yang tertinggi dan dua kali lebih besar dari sudut sambungan 90º (tegak lurus serat), kenyataannya hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung baut

pada sudut sambungan 90º (tegak lurus serat serat) hampir sama daya dukungnya dengan sudut sambungan 0º (sejajar serat). Hal ini menunjukkan juga bahwa susunan struktur persilangan papan yang dilapiskan menyebabkan daya dukung baut pada sudut sambungan 90º hampir setara dengan sudut sambungan 0º. Demikian pula terjadi pada sudut sambungan 30º yang hampir setara dengan sudut sambungan 60º. Dengan demikian pendugaan sudut-sudut sambungan lainnya baik menurut PKKI maupun Hankinson tidak dapat diterapkan pada pelat buhul papan lapis terpadatkan. Table 3. The bolt embedded strength densified agathis

plyboard for connection angles 0º, 45º, 60º and 90º.

No. Connection angle (º)

Bolt Embedded Strength (kg)

1. 0 1199.00 2. 30 717.92 3. 45 951.66 4. 60 793.76 5. 90 1080.43

Bila dibandingkan dengan tegangan desak ijin pada

kayu golongan Kelas Kuat I menurut PKKI (1961), Wiryomartono (1977), dan Nugrowarsito (1992) seperti tersaji pada Tabel 4; ternyata pelat buhul papan lapis terpadatkan masih lebih tinggi tegangan desak ijinnya, baik pada sudut sambungan sejajar serat maupun tegak lurus serat.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka pelat buhul papan lapis dari kayu damar terpadatkan dengan tegangan desak ijin 357.01 kg/cm2 (sejajar serat) dan 321.56 kg/cm2 (tegak lurus serat) tergolong Kelas Kuat I, sehingga dapat diandalkan sebagai alat sambung pada struktur konstruksi kayu.

Hasil anova juga menegaskan tidak ada perbedaan nyata dari perlakuan sudut sambungan terhadap daya dukung baut, sehingga pelat buhul papan lapis dari kayu damar terpadatkan dapat digunakan pada setiap sudut sambungan. Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan alat sambung kayu lainnya (bersifat anisotropis) yang menyatakan semakin besar sudut sambungan

Table 4. The allowance bearing stress of strength class wood version PKKI (1961), Wiryomartono (1977), and

Nugrowarsito (1992) compared with gusset of densified agathis plyboard for parallel grain and perpendicular grain.

The Allowance Bearing Stress (kg/cm²) Connection angle PKKI

(1961) Wiryomartono

(1977) Nugrowarsito

(1992) Densified Agathis

Plyboard Parallel grain 141.67 ∼ 216.67 166.67 131.04 357.01

Perpendicular grain 56.67 ∼ 86.67 88.67 66.70 321.56

54 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 55: Jurnal Bu Sarinah Am

Figure 2. Type of densified agathis plyboard as gusset and its connection details on wood roof construction

Figure 3. Placement the type of gusset in wood roof construction.

maka akan semakin lemah daya dukung bautnya. Dengan demikian pelat buhul papan lapis dari kayu damar terpadatkan (bersifat semi isotropis) dapat diandalkan sebagai alternatif, khususnya pada struktur konstruksi kayu. Nilai Arsitektur Pelat Buhul Papan Lapis pada Konstruksi Atap Bentuk sebagai Unsur Rancangan: Dalam arsitektur tata ruang, peranan pelat buhul papan lapis terpadatkan pada konstruksi atap dapat menampilkan suatu estetika, sehingga bentuk-bentuk pelat buhul harus sesuai dan harmonis dengan penempatannya pada konstruksi atap. Broadbrent (1973) menjelaskan bahwa suatu bentuk terjadi karena adanya perpaduan unsur garis-garis bidang. Dalam pengertian rancangan garis, bidang dan bentuk adalah merupakan unsur-unsur dari suatu perancangan.

Hasil kuisioner dari 115 responden mahasiswa Arsitektur mengenai bentuk pelat buhul sesuai penempatannya menunjukkan 70% memilih bentuk seperti terlihat pada Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa mereka melihat adanya keserasian dan keharmonisan pada bentuk-bentuk pelat buhul tersebut dan dianggap paling sesuai bagi konstruksi kuda-kuda atap suatu bangunan. Komposisi sebagai Prinsip Perancangan: Komposisi merupakan pengulangan secara sistematis dari unsur-unsur yang mempunyai hubungan yang sama yang lebih dari satu, dalam hal ini adalah komponen garis (Ching

1985). Hal ini menegaskan sesuai dengan pilihan responden komposisi pelat buhul seperti pada Gambar 2 dianggap komposisi yang mempunyai nilai estetika terbaik bagi konstruksi kuda-kuda atap suatu bangunan seperti yang terlihat pada Gambar 3 dengan masing-masing penempatan pelat buhul pada konstruksi atap tersebut.

Pelat buhul dalam keadaan terpasang pada konstruksi atap akan memberikan ekspresi yang memiliki nilai estetika tersendiri dan menampilkan konstruksi atap yang unik, tampil beda dengan karakter konstruksi alami. Salah satu kelebihan pelat buhul ini adalah dapat diandalkan pada setiap sudut sambungan, sehingga penggunaannya tidak perlu diragukan untuk konstruksi-konstruksi kayu lainnya. Bentuk pelat buhul ini juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan konstruksi atapnya (khususnya pertemuan titik simpul) seperti tersaji pada Gambar 3 dan mudah dibentuk secara manual dengan peralatan sederhana.

Kesimpulan

Pemadatan dengan teknik pengempaan dapat

meningkatkan kualitas (fisis dan mekanis) papan damar dari Kelas Kuat III menjadi Kelas Kuat II. Perlakuan pendahuluan berupa rendaman dingin yang dilanjutkan dengan rendaman panas, serta pemadatan pada suhu tinggi (150ºC ∼ 175ºC) dan beban tekan kempa 12 kg/cm2 mampu menghasilkan kestabilan bentuk papan damar.

55 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 56: Jurnal Bu Sarinah Am

Papan lapis dari kayu damar terpadatkan dapat diandalkan sebagai alat sambung pelat buhul pada konstruksi atap kayu. Keandalan sebagai pelat buhul tersebut antara lain adalah kuat, bersifat semi isotropis, dapat digunakan pada berbagai sudut sambungan, estetis (unik), mudah dibentuk dan dapat dikerjakan secara manual. Selain itu pelat buhul yang terbuat dari bahan kayu dapat menyatu dengan konstruksi kayu yang disambungnya.

Daftar Pustaka

Anonymous. 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia

NI-5. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. Bandung.

Anonymous. 1999. Wood Handbook: Wood as Engineering Material. USDA Department of Agriculture. Washington.

Broadbrent, G. 1973. Design in Architecture. John Wiley & Sons. London.

Ching, F.D.K. 1985. Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Susunannya. PT Erlangga. Jakarta

Dwianto, W., M. Inoue and M. Norimoto. 1998. Permanent Fixation of Compressive Deformation of Albizia Wood (Paraserianthes falcataria) by Heat Treatment. Journal of Tropical Forest Product No. 4(1): 59-67.

Nugrowarsito. 1992. Studi mengenai Sambungan Baut pada Kayu dari Beberapa Kelas Kerapatan. Tesis. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Tomme, F., F. Girardet, B. Gfeller and P. Navi. 1998. Densified Wood : An Innovative Product with Highly Enhanced Characters. Proceeding The 5th World Conference on Timber Engineering Vol.2. Montreux, Switzerland:640-647.

Wiryomartono. 1977. Konstruksi Kayu. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Diterima tanggal 12 Nopember 2003 James Rilatupa Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Indonesia (Faculty of Technic, Dept. of Architecture, University of Kristen Indonesia) Jl. Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur 13630 E-mail: [email protected] Surjono Surjokusumo dan Dodi Nandika Fakultas Kehutanan, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Insttitut Pertanian Bogor (Faculty of Forestry, Dept. of Forest Products Technology, Bogor Agricultural University) PO BOX 168, Bogor 16001. Tel.: (0251) 621285, 621677 ; Fax.: (0251) 621285, 621256

56 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 57: Jurnal Bu Sarinah Am

The Alleviation of Discoloration in Teak (Tectona grandis L.f.) Wood Through Drying and Chemical Treatments

Efrida Basri, Dede Rohadi, Trisna Priadi and Imam Wahyudi

Abstract

Teak wood is well known as one of the important wood species from Indonesia. The properties of this wood are quite good and delighted by many people. However, the wood processing may cause discoloration on some pieces or boards of this wood. This degrades the wood performance. The wood surface is slightly darkened. Dark-brown streaks often arise distinctly on the brown color of wood surface. Moreover, when the kiln-dried wood is re-exposed in the further process with a planner or a molder, the discoloration may still exist. The aim of this study was to find out an appropriate technique to alleviate discoloration on teak wood. The result showed that drying temperature was the most important factor in the discoloration of teak wood. Among chemical treatments in this experiment, the use of 3% Na2SO3 solution was the most effective way to alleviate discoloration on teak wood. Key words: Teak, discoloration

Introduction

Discoloration problem due to drying was found in some commercial wood species, for example, ilomba (Pycnanthus angolensis Exell), oak (Quercus robur), hem-fir, redwood (Sequoia sempervirens) and white pine (Pinus strobus L.). The type and characteristics of wood discoloration vary among wood species. Millet (1952) reported that factors influencing brown stains (discoloration) of wood were age of wood, drying conditions, and extractives. In ilomba wood, discoloration was characterized by a reddish-brown color which was developed during drying, particularly at the area in contact with other sapwood, was caused by chemical reactions of extraneous compounds in the parenchyma cells (Bauch et al. 1985). In oak, brown discoloration developed at the beginning of kiln drying (Bauch et al. 1991), but in European oak, brown discoloration developed during kiln drying, particularly in a kiln schedule which applied high moisture content and high temperature (Charrier et al. 1992). The case of discoloration that occurred in oak wood as reported by Dujesiefken et al. (1984) might be explained as the result of chemical reactions in the xylem, including the formation of phenols and other components, followed by oxidation process as the wood tissue exposed to the air.

To prevent or alleviate the discoloration on woods could be done by some treatments, such as using low temperature (above the fiber saturation point) and using higher temperatures thereafter diminishing discoloration (Tarvainen 1994 in Tarvainen et al. 2001; Basri et al. 2001), steaming treatment before drying on red wood (Anderson et al. 1960) and kumia wood (Basri et al. 1998), chemical treatment on Eastern white pine wood before kiln drying (Shields et al. 1973), manipulation of kiln drying schedules on the drying of hem-fir (Avramidis et al. 1993), and vacuum process on European oak wood (Charrier and Haluk 1992).

Normally, fresh teak (Tectona grandis L.f.) wood has a uniform light-brown color. The sapwood is light and can clearly be distinguished from the brown heartwood. The discolored wood, on the other hand, is characterized by blotchy orange and dark-brown marks, which degrade the color uniformity of the wood surface. Sometimes these blotchy marks appear in green or black colors. Unless the wood is kiln dried, the blotchy marks will remain within one or two months.

In the drying of some teak wood pieces or boards, however, dark-brown streaks often arise in contrast to the brown color of the wood surface. Moreover, when the surface of kiln dried wood is re-exposed in further process with a planner or a molder, all discolorations reappear on the wood surface.

Various efforts in alleviating discoloration of teak wood have been done. But, the results have not been satisfied yet. Furthermore, though discoloration problem has been studying by many researchers, related problem to discoloration in teak wood especially the main influencing factors and efforts to minimize the problem are still unclear and limited. Therefore, to share the knowledge relating to this matter, we report our study on quality improvement of discolored teak wood.

Materials and Methods Materials

Teak wood of 55 years old from Cepu, Central Java, Indonesia was used in this research since the woods from this region often produce discoloration during drying. The sample size (thickness, width, and length) for moisture content determination was 2 cm x 2 cm x 10 cm; for drying schedule determination was 2 cm x 10 cm x 20 cm; and for the alleviation experiment of discoloration was 2 cm x 10 cm x 40 cm.

57 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 58: Jurnal Bu Sarinah Am

Methods Determination of moisture content (MC) was

conducted following gravimetric procedure. The wood samples were oven-dried at (103 ± 2)oC until their weight was constant. The MC was then calculated based on their weight before and after oven-drying. To minimize drying defects during kiln drying, an optimum drying schedule by Terazawa (1965) was applied. This research consisted of two steps. The first step was studying the mechanism of discoloration on teak wood, and the second one was the color equalization of the wood surface. Presteaming treatment before drying could successfully prevent discoloration (Anderson et al. 1960). But, this technique does not work on teak since it still exists even though the wood surface was planned. Therefore, the equalization in this study was done by combining drying technique and chemical treatments; after and before drying. Physical appearance and the color were evaluated qualitatively using naked eye.

In this experiment, five treatments were applied and compared in terms of their effectiveness in the alleviation of discoloration on teak wood: 1st treatment: Eight fresh teak wood samples were dried in a kiln with a suitable drying schedule to reach 8% MC. After the discoloration occurred, all wood were soaked in 1% H2O2 an hour and then divided into two groups of drying treatment. One group was dried under direct sunshine (without shade), while the other group was air dried under shed at room temperature. The physical appearance and their color were recorded and evaluated regularly. 2nd treatment: Thirty-two fresh teak wood samples were dried in a kiln to 8% MC. Afterwards, all samples were 1 mm-planned. The surface part that experienced discoloration was grouped into four. Three groups were soaked in 5% Na2SO3, 5% Na2CO3, and 5% sodium borate respectively an hour each, and the remaining group was as control. After the treatments, all samples divided into two groups to be dried. One group was air dried without shed. The other group was air dried under shed. The physical appearance and their color were recorded regularly. 3rd treatment: Twenty-four fresh teak wood samples were dried in a kiln to 8% MC. Afterwards, all samples were 1 mm-planned. The surface part that experienced discoloration was grouped into three and then was soaked in 3% Na2SO3, 3% Na2CO3, and 3% sodium borate respectively, an hour each. All samples divided into two groups to be dried in air dried without shed and under shed. The physical appearance and their color were recorded regularly.

4th treatment: Twelve fresh teak wood samples were used. Their initial MC was determined. Then they were grouped into three. The 1st group was soaked in 3% sodium borate, the 2nd with 3% Na2CO3, while the 3rd was soaked in 3% Na2SO3. Each treatment was done several times until the wood could not absorb the chemical solution. The samples then were dried to 8% MC. The observation of MC was done with moisture meter and weight measurement. After the drying process, the physical quality and the color were evaluated. Then they were planned about 1 mm before being evaluated again. 5th treatment: Twenty-four fresh teak wood samples were dried to 8% MC. After the discoloration occurred, all samples divided into three groups, which were treated separately with different chemical solution (diluted of 3% Na2CO3, 3% Na2SO3, and 3% sodium borate). After that, all samples were divided into two groups to be air dried with and without the shed respectively. The physical appearance and the color were recorded regularly.

Results and Discussion

The MC of teak wood samples before drying was between 50% and 60%. The drying temperatures used in this experiment were between 50ºC and 77ºC according to the drying schedule in Table 1. These temperatures were still under allowable temperature limit (55ºC ∼ 85ºC). Drying with this schedule did not cause physical drying defects, except, their color became darker. In average, drying all wood samples from fresh to ± 8 % MC took 4 days. Table 1. Drying schedule of teak wood

Moisture Content (%)

Dry Bulb Temperature (ºC)

Relative Humidity (%)

Initial ∼ 40 40 ∼ 35 35 ∼ 30 30 ∼ 25 25 ∼ 20 20 ∼ 15 ≤ 15

50 50 50 60 60 70 77

71 66 50 48 43 40 30

During drying, some extractives from inside of wood were moving out to wood surface. It was found that wood surface became greenish at the beginning, and then turned to dark brown or black at the end of drying process. It showed that due to heat influences, the greenish color of extractives was oxidized. This phenomenon produced discoloration in teak. Figure 1 shows the dried teak wood samples without chemical treatment (control). It showed that the

58 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 59: Jurnal Bu Sarinah Am

wood color is uneven where blotchy orange and dark brown marks present at some parts, as a consequence of discoloration.

Figure 1.Teak Wood After Kiln Drying It could be deduced that the color of extractive in teak was greenish since the wood color surface at the beginning of drying process turned from brown to greenish. And under heat influence, the extractives became dark brown to black. This result similar to that in mangium (Basri et al. 2001).

In the trial of 1st treatment, the discoloration on the wood samples after drying was cleaned with 1% H2O2 technical solution followed by open air drying (under direct sunshine) for 6 ~ 8 hours. The discolored wood surface with brown marks changed uniformly to a bright yellowish brown color. On the other hand, the samples that air dried under shed at room temperature after treated with 1% H2O2 solution changed to a pale brown color.

It probably related to the H2O2 effect as bleaching agent and oxidation by sunshine. In the trial of 2nd treatment, the discolored surface was still present after 1 mm-planning. Then after chemical treatments of 5% Na2SO3, 5% Na2CO3 and 5% sodium borate respectively for a few hours air drying without shed and 3-5 days air drying under shed, the color of wood surfaces became uniformly brighter without brown streaks/marks compared to that before chemical treatments. This phenomenon probably also relating to the chemicals effect as bleaching agent. In the trial of 3rd and 4th treatments, the brown streaks were cleaned after chemical treatments. The

treatments with 3% Na2SO3, 3% Na2CO3 and 3% sodium borate respectively for a few hour air drying without shed and 3 ~ 5 days air drying under shed resulted in brighter surface color compared to that of the 2nd treatment method. But, when the samples were re-dried in a kiln or re-planned, the discoloration reoccurred. It showed that lower concentration of the chemicals will lower the reaction during bleaching.

Figure 2. Teak Wood After 5th Treatment Method. In the trial of 5th treatment, the discoloration on wood surface after drying were cleaned by chemical treatments (with Na2SO3, Na2CO3 and sodium borate less than 3% respectively), followed with air drying under shed for ± 5 days. The color quality was better and more uniform compared to the other treatments. The treatment with diluted 3% Na2SO3 solution resulted in the best result, which fulfilled required color quality standard. The color was light and bright brown with oily surface that was specific character of teak wood (Fig. 2).

When these treated wood samples were re-dried in a kiln, the discoloration reoccurred. So, the temperature

59 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 60: Jurnal Bu Sarinah Am

in the kiln seemed to be the dominant factor in the discoloration on teak wood.

Based on the above results, the best treatment for improving the color quality of teak wood was the 5th

treatment. There were several steps done in this treatment; drying the fresh wood, planning and treating them with diluted 3 % Na2SO3 solution before air drying at room temperature for 5 days. The condition of air drying room should be dry and clean since wet condition could reduce the process of treatment.

Chemical treatment effectively eliminated the surface discoloration only. The discoloration might reappear when the wood was planned. Therefore, it was suggested that the treated wood should not be planned or the chemical treatment should be applied after planning. The use of 1% H2O2 could also improve the color quality of teak wood. But, it caused the reduction of oil content on the wood surface. This might be solved by reducing the concentration of H2O2 solution to be less than 1%.

Conclusions

This research concluded that discoloration on teak wood could be alleviated by the combination of chemical treatment and preliminary kiln drying on fresh teak wood. Diluted 3% Na2SO3 is the best solution used in this experiment. Using this solution, the color of treated wood was light brown and bright with oily surface. Chemical treatment equalized only the color of wood surface. Therefore the treatment should be applied after planning. H2O2 solution could also be used to equalize the surface color of wood. But, the concentration should be less than 1%. So the surface color was not too yellow and the surface was still oily.

References

Anderson, A.B.; Elwood, E.L.; Zavarin, E. and Erickson, R.W. 1960: Influence of Extractives on Seasoning Stain of Redwood Lumber. Forest Prod. Journal April: 212-218.

Avramidis, S.; Ellis, S.; Liu, J. 1993: The Alleviation of Brown Stain in Hem-fir through Manipulation of Kiln-Drying Schedules. Forest Prod. Journal 43 (10): 65-69.

Basri, E.; Roliadi, H.; Rahmat. 1998: Drying Technique for Kumia (Manilkara sp) wWood. Proceedings. The Second International Wood Sci. Seminar. LIPI- JSPS Core University Program In The Field of Wood Sci. pp. C46-C56. Serpong, Indonesia.

Basri, E.; Hayashi, K.; Rahmat. 2001: The Combination of Shed and Kiln Drying resulted in Good Quality of Mangium (Acacia mangium) Lumbers. Proceedings. The Fourth International Wood Sci. Symposium. LIPI – JSPS Core University Program In The Field of Wood Sci. pp. 101-106. Serpong, Indonesia.

Bauch, J.; Schmidt, O.; Yazaki, O.; Starck, M. 1985: Significance of Bacteria in the Discoloration of Ilomba Wood (Pycnanthus angolensis Excell). Holzforschung 39: 249-252.

Bauch, J.; Hundt, H.V.; Weibmann, G. ; Lange, W.; Kubel, H. 1991: On the Cause of Yellow Discolorations of Oak Wood (Quercus robur) during Drying. Holzforschung 45 (2): 79-85.

Charrier, B.; Haluk, J.P. 1992: Prevention of Brown Discoloration in European Oak Wood Occurring during Kiln Drying by a Vacuum Process: Colorimetric Comparative Study with a Traditional Process. Holz als Roh-und Werkstoff 50: 433-437.

Dujesiefken, D.; Liese, W; Bauch, J. 1984. Discoloration in the Heartwood of Oak Trees. In: Bauch, J. and Baas, P. Development and Characteristics of Disclored Wood. Reprinted from IAWA Bulletin n.s. 5 (2). International Association of Wood Anatomists. Rijksherbarium, Leiden, Netherlands, pp. 105-109.

Millet, M.A. 1952. Chemical Brown Stain in Sugar Pine. Journal of Forest Products Research Society. December, pp 232-236.

Shields, K.J.; Desai, R.L.; Clarke, M.R. 1973: Control of Brown Stain in Kiln Dried Eastern White Pine. Forest Prod. Journal 23 (10): 28-30.

Tarvainen, V. 1994: High Temperature Drying of Softwood Timber. Pp. 797:1-94+app. 31 p. In: Tarvainen, V.; Saranpaa, P.; Repola, J. 2001: Discoloration of Norway Spruce and Scots Pine Timber during Drying. 7th International IUFRO Wood Drying Conference. Pp. 294-299. Tsukuba, Japan.

Terazawa, S. 1965. An Easy Methods for the Determination of Wood Drying Schedule. Wood Industry Vol. 20 (5), Wood Technological Association of Japan.

60 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004

Page 61: Jurnal Bu Sarinah Am

Diterima tanggal 23 Oktober 2003 Efrida Basri Research and Development Center for Forest Products Technology Jl Gunung batu 5, PO.Box 182 Bogor Telpon 251-633378 E-mail: [email protected] Dede Rohadi Forest Research Institute of Ujung Pandang Trisna Priadi and Imam Wahyudi Dept. of Forest Products Technology, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University Kampus IPB Darmaga, PO BOX 168, Bogor 16001 Tel. 0251-621285; 621677, Fax. 0251-621285; 621256 E-mail: [email protected]

61 J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 2• No.1• 2004