intrinsic value dari pelaporan keanekaragaman hayati

20
207 Abstrak: Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati. Pe- nelitian ini berusaha untuk memahami model pengungkapan informasi keanekaragaman hayati oleh industri ekstraktif dan mengevaluasi kese- suaian dengan tujuan regulasi yang mendasarinya. Analisis isi berbasis konsep deep ecology digunakan sebagai metode pada laporan berkelan- jutan PT ANTAM periode 2006-2017. Hasil penelitian menunjukkan bah- wa pelaporan keanekaragaman hayati dapat dievaluasi dalam kategori sasaran, implementasi, dan evaluasi di mana informasi tentang imple- mentasi menjadi fokus pelaporan. Prinsip-prinsip deep ecology sangat relevan bagi korporasi karena memandu pemikiran dan tindakan manu- sia ke arah hubungan yang lebih harmonis dan konsisten dengan alam. Abstract: Intrinsic Value of Biodiversity Reporting. This study seeks to understand the biodiversity information disclosure model by the ex- tractive industry and evaluate its compliance with the underlying regulato- ry objectives. Content analysis is used based on deep ecology concept used as a method in the ongoing report of PT ANTAM for the period 2006-2017. This study indicates that biodiversity reporting can be evaluated in the target, implementation, and evaluation categories where information about implementation is the focus of reporting. The principles of deep ecology are very relevant to corporations because they guide human thoughts and actions toward more harmonious and consistent relationships with nature. Organisasi sebagai human constructs bertanggung jawab kepada masyarakat luas ataupun para pemangku kepentingan atas pengelolaan lingkungan. Mereka sangat la- yak berharap kepada organisasi agar menye- diakan informasi yang cukup atas aktivitas- nya yang berdampak pada keanekaragaman hayati/kehati/biodiversitas (Bordt, 2018 Jo- nes, 2010). Sebagai bagian dari manajemen impresi, pengungkapan tentang lingku- ngan meningkat (Dosinta, Brata, & Heniwa- ti, 2018; Larrinaga, Bebbington, & Moneva, 2008) meskipun yang fokus pada dampak aktivitas pada kehati atau yang mengomuni- kasikan hubungan antara pemanfaatan ke- hati dengan aktivitas manusia belum banyak (Mårtensson, 2009; Werastuti, 2017). Ini ter- jadi karena sulit mengukur nilai kehati dan dampak aktivitas manusia terhadap kehati (Samkin, Schneider, & Tappin, 2014). Periode 2011-2020 yang didedikasikan sebagai the UN Decade on Biodiversity menargetkan bahwa perencanaan strategis biodiversitas 2011-2020 dan sasaran biodi- Volume 10 Nomor 2 Halaman 207-226 Malang, Agustus 2019 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Mengutip ini sebagai: Heniwati, E., & Asni, N. (2019). Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekara- gaman Hayati. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(2), 207-226. https://doi.org/10.18202/ja- mal.2019.08.10012 INTRINSIC VALUE DARI PELAPORAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Elok Heniwati 1 , Nur Asni 2 1 Universitas Tanjungpura, Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak 78124 2 Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma, Kendari 93232 Tanggal Masuk: 06 Juli 2019 Tanggal Revisi: 09 Agustus 3029 Tanggal Diterima: 31 Agustus 2019 Surel: [email protected] Kata kunci: keberlanjutan, nilai ekologi, pengungkapan Jurnal Akuntansi Mulparadigma, 2019, 10(2), 207-226

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

207

Abstrak: Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati. Pe-nelitian ini berusaha untuk memahami model pengungkapan informasi keanekaragaman hayati oleh industri ekstraktif dan mengevaluasi kese-suaian dengan tujuan regulasi yang mendasarinya. Analisis isi berbasis konsep deep ecology digunakan sebagai metode pada laporan berkelan-jutan PT ANTAM periode 2006-2017. Hasil penelitian menunjukkan bah-wa pelaporan keanekaragaman hayati dapat dievaluasi dalam kategori sasaran, implementasi, dan evaluasi di mana informasi tentang imple-mentasi menjadi fokus pelaporan. Prinsip-prinsip deep ecology sangat relevan bagi korporasi karena memandu pemikiran dan tindakan manu-sia ke arah hubungan yang lebih harmonis dan konsisten dengan alam.

Abstract: Intrinsic Value of Biodiversity Reporting. This study seeks to understand the biodiversity information disclosure model by the ex-tractive industry and evaluate its compliance with the underlying regulato-ry objectives. Content analysis is used based on deep ecology concept used as a method in the ongoing report of PT ANTAM for the period 2006-2017. This study indicates that biodiversity reporting can be evaluated in the target, implementation, and evaluation categories where information about implementation is the focus of reporting. The principles of deep ecology are very relevant to corporations because they guide human thoughts and actions toward more harmonious and consistent relationships with nature.

Organisasi sebagai human constructs bertanggung jawab kepada masyarakat luas ataupun para pemangku kepentingan atas pengelolaan lingkungan. Mereka sa ngat la-yak berharap kepada organisasi agar menye-diakan informasi yang cukup atas aktivitas-nya yang berdampak pada keanekaraga man hayati/kehati/biodiversitas (Bordt, 2018 Jo-nes, 2010). Sebagai bagian dari manajemen impresi, pengungkapan tentang lingku-ngan meningkat (Dosinta, Brata, & Heniwa-ti, 2018; Larrinaga, Bebbington, & Moneva,

2008) meskipun yang fokus pada dampak aktivitas pada kehati atau yang mengomuni-kasikan hubungan antara pemanfaatan ke-hati dengan aktivitas manusia belum ba nyak (Mårtensson, 2009; Werastuti, 2017). Ini ter-jadi karena sulit mengukur nilai ke hati dan dampak aktivitas manusia terhadap kehati (Samkin, Schneider, & Tappin, 2014).

Periode 2011-2020 yang didedikasikan sebagai the UN Decade on Biodiversity menargetkan bahwa perencanaan strategis biodiversitas 2011-2020 dan sasaran biodi-

Volume 10Nomor 2Halaman 207-226Malang, Agustus 2019ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

Mengutip ini sebagai: Heniwati, E., & Asni, N. (2019). Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekara-gaman Hayati. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(2), 207-226. https://doi.org/10.18202/ja-mal.2019.08.10012

INTRINSIC VALUE DARI PELAPORAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Elok Heniwati1, Nur Asni2

1Universitas Tanjungpura, Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak 781242Universitas Halu Oleo, Kampus Hijau Bumi Tridharma, Kendari 93232

Tanggal Masuk: 06 Juli 2019Tanggal Revisi: 09 Agustus 3029Tanggal Diterima: 31 Agustus 2019

Surel: [email protected]

Kata kunci:

keberlanjutan,nilai ekologi,pengungkapan

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2019, 10(2), 207-226

208 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

versitas Aichi dapat diimplementasikan pada level nasional, regional, dan internasional (Liempd & Busch, 2013). Di Indonesia hal itu disikapi dengan menerbitkan Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020, yaitu pedoman tentang strategi nasional serta rencana tindakan pengelolaan kehati di Indonesia. Salah satu isu yang di-bahas adalah nilai intrinsik (nilai inheren) dan nilai eks trinsik (nilai manfaat atau nilai instrumen) kehati. Nilai intrinsik adalah titik sentral konsep ekologi mendalam (deep eco-logy). Filosofi ini memandang bahwa alam semesta memiliki nilai intrinsik. Atas dasar prinsip itu, Sessions & Naess (1986) mengu-sulkan delapan kata kunci yang saling ter-kait dan membentuk deep ecology platform. Platform tersebut menetapkan kerangka kon-septual di mana kebijakan ekonomi, teknolo-gi, dan politik dapat dikelola untuk mening-katkan kualitas hidup di atas peningkatan standar hidup (Gibassier & Alcouffe, 2018; Perkiss & Tweedie, 2017). Misalnya, pertum-buhan ekonomi dapat digantikan dengan ekonomi berkelanjutan (Anvari & Turkay, 2017; Cuadrado-Ballesteros, Martínez-Fer-rero, & García-Sánchez, 2017). Sementara itu, fokus konsep ekologi dangkal (shallow) adalah antroposentris (manusia sebagai pu-sat segalanya) sehingga tujuan konservasi adalah untuk kesejahteraan manusia saat ini dan masa depan. Pandangan ekologi me-nengah (intermediate) sama seperti ekologi dangkal namun ia mempertimbangkan bah-wa fauna dengan level atas memiliki nilai dalam haknya sendiri dan manusia adalah fokusnya (Cooper & Morgan, 2013; Phan, Baird, & Su, 2017).

Kajian tentang kehati dari perspektif ilmu akuntansi telah dilakukan sejak dua dekade yang lalu. Pilot studi tentang sistem akuntansi untuk biodiversitas Jones (2010) yang menawarkan konsep natural invento-ry model dan operasionalisasinya di indus-tri sering menjadi rujukan peneliti lain yang fokus pada kehati (Adler, Mansi, & Pandey, 2018; Corazza, 2017; Cuckston, 2013; Fer-reira, 2017; Freeman & Groom, 2013; Lanka, Khadaroo, & Böhm, 2017; Liempd & Busch, 2013; Lueg, Lueg, Andersen, & Dancianu, 2016; McNally & Maroun, 2018; Rambaud & Richard, 2015; Rimmel & Jonäll, 2013; Sid-diqui, 2013). Dengan menggunakan ragam pendekatan, para peneliti mengkaji pelapo r- an dan pengungkapan informasi biodiversi-tas dari sisi konseptual dan implementasi-nya pada balai konservasi ataupun industri.

Namun, kajian tentang kehati di Indonesia masih sedikit. Penelitian Khan (2014) dan Veltri & Silvestri (2015) tidak fokus pada bagaimana perusahaan melaporkan kehati. Penelitian ini fokus pada pelaporan kehati oleh perusahaan dan pertama dilakukan da-lam konteks Indonesia. Samkin, Schneider, & Tappin (2014) menyarankan penelitian se-lanjutnya tentang kehati mengembangkan kerangka konseptual pelaporan kehati de-ngan memasukkan unsur kualitas sehingga nilai manfaatnya semakin meningkat.

Untuk mencapai maksud penelitian, tujuan pertama studi adalah mengem-bangkan kerangka analisis untuk pelapor-an kehati. Perencanaan strategis berguna bagi stakeholders untuk menilai isu atau tantang an yang dihadapi oleh organisasi dan tidak fokus pada hal-hal yang bersifat teknis (Bose, Podder, & Biswas, 2017; Cuck-ston, 2017 Lisi, 2015; Nazari, Hrazdil, & Mahmoudian, 2017). Analisis internal dan eksternal lingkungan operasi diperlukan untuk meyakinkan bahwa sumber daya te-lah digunakan dengan baik (Riduwan & An-dayani, 2018). Kinerja/implementasi menya-jikan informasi khusus tentang bagaimana organisasi meraih tujuan perencanaan stra-tegis yang telah diartikulasikan oleh mana-jemen. Ia fokus pada aktivitas yang telah atau saat ini sedang dilakukan, termasuk indikator pengukuran untuk me ngevaluasi kinerja organisasi. Pengungkapan informa-si ini berguna bagi stakeholders untuk me-nilai bagaimana tindakan, rencana, proyek, dan kebijakan spesifik organisasi terkait de­ngan tujuan yang telah ditetapkan, menilai metode yang digunakan oleh organisasi saat mencapai tujuan, dan menilai apakah ak-tivitas yang dijalankan bermanfaat atau ti-dak membahayakan kehati (Abdo, Mangena, Needham, & Hunt, 2018; Arnold, Benford, Canada, & Sutton, 2015; Hope, Thomas, & Vyas, 2017). Evaluasi fokus pada relevansi dan ketepatan waktu penyajian informasi. Ia membantu stakeholders menilai efektifitas individual proyek, program, jasa, kebijakan, atau organisasi dan merupakan catatan per-tanggungjawaban (Cabral & Santos, 2018; El-Bassiouny & Letmathe, 2018) yang ber-guna bagi stakeholders untuk mengevalu-asi proyek atau tindakan individual terkait restorasi atau pemeliharaan kehati. Tujuan kedua adalah menerapkan kerangka yang dibangun dalam konteks industri ekstrak-tif karena aktivitasnya berdampak langsung pada kehati. Ketiga, mengevaluasi sampai

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 209

sejauh mana pengungkapan kehati oleh in-dustri ekstraktif mencerminkan konsep nilai deep ecology, konsep yang mendasari un-dang-undang kehati di Indonesia.

Mengingat bahwa bangsa Indonesia di-anugerahi kekayaan alam yang berlimpah, kajian tentang pengungkapan informasi ke-hati sangat diperlukan. Kontribusi praktis kajian adalah memberi masukan pada stake-holders dalam mengevaluasi bagaimana in-dustri memanfaatkan kehati secara berke-lanjutan, melestarikan, serta memulihkan jasa ekosistem di sekitarnya. Dalam jangka panjang pengelolaan kehati yang berkelan-jutan akan sejalan dengan target yang hen-dak dicapai dalam Sustainable Development Goals (SGDs) di Indonesia. Kontribusi pene-litian pada dunia akademisi adalah memper-kaya literatur di Indonesia tentang praktik pengungkapan keanekaragaman hayati dan

menjadi referensi bagi akademisi yang fokus pada isu ini.

METODEIntensive case study membingkai pe-

nelitian ini karena relevan dengan tujuan penelitian yaitu mengeksplorasi konteks secara mendalam dan holistik serta mem-peroleh penafsiran yang bermakna di balik suatu peristiwa (Eriksson & Kovalainen, 2016; Seuring & Gold, 2012; Vourvachis & Woodward, 2015). Selanjutnya, analisis isi kualitatif untuk menganalisis teks (data) dikembangkan untuk mengekplorasi pe ng-ungkapan informasi tentang kehati dan me-mahami nilai filosofi yang mendasari nya. Metode ini tepat karena memungkinkan sumber informasi publikasi dapat dianalisis secara sistematis, objektif, dan diandalkan (Goebel, 2015; Krippendorff, 2013; Mir, Lu,

Perencanaan StrategisPeran organisasi Peran yang dilakukan perusahaan dalam melestarikan kehati, termasuk

pernyataan visi, misi dan strategiStatus kehati Deskripsi status kehati saat ini dan/atau isu yang mempengaruhi

Arti penting kehati Deskripsi nilai dan arti penting kehati, termasuk alasan ia harus dilestari-kan

Tujuan/sasaran/hasil Identifikasi tujuan/target/hasil yang telah direncanakan perusahaan ter-kait tindakan, proyek dan riset kehati

Rencana pendanaan Referensi rencana perusahaan dalam mendanai tindakan, rencana, riset atau proyek kehati, termasuk detail dana yang ada

Kinerja/ImplementasiPengukuran kehati Referensi suatu kerangka kerja, database, atau metode pengukuran sta-

tus kehati atau jumlah spesiesRencana/proyek khu-sus

Diskusi tentang tindakan, proyek, dan program yang telah dilakukan atau diawasi perusahaan, termasuk tujuan atau sasaran dari tindakan, proyek, dan program

Program kemitraan dan komunitas

Deskripsi tentang program komunitas atau kemitraan bisnis yang telah dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan kesadaran, mengemba-likan, atau menjaga kehati

Kontribusi ke konfe-rensi, kelompok dan legislatif

Deskripsi tentang kontribusi perusahaan pada konvensi, konferensi dan forum nasional atau internasional, termasuk kontribusi laporan, legislasi, dan prosedur nasional

Informasi terkait kehati Informasi umum yang fokus pada kehatiEvaluasi

Evaluasi kinerja Evaluasi tindakan perusahaan dalam upaya pelestarian kehati, termasuk bahasan tentang hasil/output yang dicapai

Biaya implementasi Referensi biaya untuk mendanai tindakan, proyek, dan riset atau identifi-kasi bagaimana tindakan, proyek, atau riset didanai

Tindakan di masa depan

Diskusi tentang proyek, tindakan, atau rencana potensial untuk dilaku-

kan di masa depan sebagai hasil dari kinerja masa lalu

Tabel 1. Kerangka Kerja Pengungkapan Keanekaragaman Hayati

Sumber: Diadaptasi dari Samkin, Schneider, & Tappin (2014)

210 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

Cantor, & Hofer, 2018; Rahman, 2016). Ko-difikasi analisis mengikuti kerangka analisis yang dikembangkan Samkin, Schneider, & Tappin (2014).

Data penelitian adalah laporan keber-lanjutan ANTAM periode 2006-2017. Tahun 2006 adalah tahun pertama laporan diterbit-kan secara terpisah dari laporan tahunan. ANTAM dipilih sebagai sumber data karena ia bergerak di bidang yang terkait langsung dengan lingkungan, bereputasi dan berpe-ngalaman dalam konteks keberlanjutan. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pengakuan yang diberikan oleh pihak eksternal dengan memberikan penghargaan kepada ANTAM sejak awal perusahaan menerbitkan laporan keberlanjutan. Unit analisis adalah paragraf, frase, grafik, atau tabel yang me nyajikan in-formasi tentang kehati. Keuntung an dari pengukuran unit analisis seperti ini adalah pemaknaan dapat disimpulkan dari ber-bagai ukuran (panjang) teks, bergantung pada tempat diskusi dari subkategori itu berawal dan berakhir (Campbell & Rahman, 2010; Davis & Bisman, 2015; Gong & Cor-tese, 2017).

Proses penjaringan data dimulai dari identifikasi unit teks terkait kehati dari unit analisis. Kedua, mencatat unit teks

teridentifikasi ke dalam kertas kerja berko-de yang dikelompokkan dalam tiga kategori dan 13 subkategori (lihat Tabel 1). Langkah ini menghasilkan unit teks individual yang ukurannya bervariasi dari kalimat tunggal pendek sampai dengan paragraf substansial. Jika pengungkapan dapat diklasifikasikan dalam dua atau lebih subkategori, hierarki struktur keputusan diadopsi. Ide yang di-anggap paling dominan dalam unit teks itu digunakan sebagai dasar untuk mengode peng ungkapan. Ini terjadi saat mengode peng ungkapan kategori “evaluasi” untuk menilai tindakan pemeliharaan atau restora-si kehati, yaitu saat menjaring data subka-tegori “evaluasi kinerja”. Misalnya, jika pe-ng ungkapan memuat referensi pembiayaan proyek atau bagaimana proyek didanai, maka pengungkapan tersebut dicatat dalam subkategori “biaya implementasi”. Hal sama juga dilakukan pada subkategori “proyek po-tensial atau tindakan masa depan” sebagai hasil dari kinerja masa lalu yang dikategori-kan dalam subkategori “tindakan masa de-pan”. Ketiga, unit teks individual selanjut-nya dikategorikan dalam ekologi mendalam, dangkal, dan menengah (lihat Tabel 3). Pada umumnya unit-unit teks dapat dikategori-kan baik dalam ekologi dangkal maupun

Tabel 2 Konsep Ekologi MendalamNilai Ekologi

Nilai intrinsik Kesejahteraan dan pertumbuhan kehidupan manusia dan nonmanusia di bumi memiliki nilai yang melekat di dirinya sendiri di mana ia tidak bergan-tung pada kegunaan dunia nonmanusia demi tujuan manusia

Keberagaman Ragam kehidupan berkontribusi pada realisasi nilai-nilai tersebut dan juga pada nilai-nilai itu sendiri

Kebutuhan vital Manusia tidak berhak untuk mengurangi keberagaman tersebut kecuali untuk memenuhi kebutuhan vitalnya

Populasi Pertumbuhan kehidupan manusia dan budaya adalah sepadan dengan substansi populasi manusia yang lebih kecil. Pertumbuhan kehidupan non manusia memerlukan populasi manusia yang lebih kecil

Campur tangan ma-nusia

Campur tangan manusia dengan dunia nonmanusia telah melampaui batas dan situasi ini semakin parah

Perubahan kebijakan Untuk itu, kebijakan harus diubah sehingga dapat mempengaruhi struktur dasar ekonomi, teknologi, dan ideologi. Kondisi hasil dari perubahan akan berbeda jauh dengan kondisi yang ada di saat ini

Kualitas kehidupan Perubahan ideologi mengarah pada menghargai kualitas hidup (memikirkan situasi yang memiliki nilai inheren) daripada mematuhi standar kehidupan yang semakin tinggi. Akan ada kesadaran mendalam mengenai perbedaan antara kebesaran (bigness) dengan keagungan (greatness)

Kewajiban untuk bertindak

Mereka yang memiliki akses pada poin-poin di atas berkewajiban untuk me-nerapkan perubahan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak

Sumber: Sessions & Naess (1986)

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 211

menengah. Ini terjadi jika unit teks tersebut berkaitan dengan pengelolaan atau kon-servasi spesies yang bernilai bagi manusia. Jika unit pengungkapan berkaitan dengan hie rarki fauna level atas, pengungkapan dikategorikan dalam ekologi menengah. Ta-bel 4 mengilustrasikan proses dari langkah kedua dan ketiga. Untuk menjaga konsis-tensi dalam pengodean, dua peneliti melaku-kan proses coding untuk laporan yang sama menggunakan taksonomi yang dijelaskan dalam Tabel 1 dan 3. Jika saat dibandingkan ada perbedaan maka kedua peneliti berdis-kusi untuk menentukan klasifikasi yang te-pat. Proses ini diulang untuk unit sampling yang sama dan hasilnya dibandingkan dan didiskusikan lebih lanjut untuk meyakin kan konsistensi. Setelah disepakati, unit sam-pling lain dikode menggunakan dasar yang telah disepakati tersebut. Hasil dari kegiatan

koding tersebut selanjutnya dimaknai de-ngan menggunakan konsep ekologi menda-lam (lihat Tabel 2) seperti telah disinggung dalam poin pendahuluan.

HASIL DAN PEMBAHASANAnalisis pengungkapan keanekara­

gaman hayati. Untuk menjawab perma-salahan pertama dan kedua, seperangkat kerangka analisis yang dibangun berdasar-kan literatur manajemen strategis dan kinerja diguna kan untuk menganalisis pengungka p an kehati oleh ANTAM selama periode peng amatan. Pengungkapan yang dikodifikasi dalam tiga kategori dan 13 sub-kategori menghasil kan level pengungkapan informasi kehati oleh industri.

Selama periode amatan struktur pe-laporan kehati berubah mengikuti panduan yang dirujuk. Hal ini berdampak pada level

Ekologi mendalam atau ekosentrisme

Ekologi menengah atau biosentrisme

Ekologi dangkal atau antroposen­trisme

Non-anthropocentric Anthropocentric AnthropocentricSemua kehidupan (manu sia dan nonmanusia) me miliki nilai intrinsik.

Fauna pada tingkatan yang lebih tinggi memiliki nilai da-

lam hak mereka sendiri.

Manusia dianggap terpisah dari alam dan merupakan satu-satu nya sum-

ber nilai.Nilai biodiversitas tidak ber-gantung pada manfaat

Nilai biodiversitas bergantung pada manfaat bagi ma nusia.

Nilai biodiversitas bergantung pa da manfaat bagi manusia.

Kekayaan dan kebera gam an bentuk kehidupan berkon-tri-busi pada nilai dan dengan sendirinya berharga.

Alam dinilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan ma-

nusia konservasi untuk kes-ejahteraan ge nerasi saat ini dan yang akan datang.

Alam dinilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan manusia–konserva-

si untuk kesejahteraan generasi saat ini dan yang akan datang.

Campur tangan manusia di dunia nonmanusia terus ter-jadi dan semakin parah seh-

ingga perlu diubah.

Manusia harus mempertah-ankan gaya hidup nya saat ini tanpa gangguan, selain mem-

buat perubahan kecil.

Manusia harus mempertahan -kan gaya hidupnya saat ini tanpa gang-

guan, selain membuat bebe rapa pe-

rubahan kecil.Fokus pada memperbaiki penyebab ketimbang gejala

Dapat mengarah pada fokus jangka pendek perbaikan ge-jala ketimbang penyebab yang menda sarinya.

Dapat mengarah ke fokus jangka pendek perbaikan gejala, bukan penyebabnya. Bergantung perbaikan teknologi pe ngendalian polusi, regu-lasi industri, daur ulang, penggan-tian bahan bakar fosil ke biofuel. Meluaskan moral komunitas dengan memasukkan spesies yang disukai dan penting bagi manusia

Pelestarian hutan belum ter-jamah & restorasi area den-gan spesies asli dan hutan terdegradasi.

Konservasi biodiversitas di-lakukan karena nilai nya sendiri, bukan karena dapat dikompromi dengn manusia

Konservasi biodiversitas dilakukan bukan karena dirinya sendiri, me-lainkan karena nilainya bagi manu-sia.

Keberlanjutan ekonomi Pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan ekonomiKepentingan manusia ver sus nilai lingkungan.

Kepentingan manusia a da lah yang paling utama.

Kepentingan manusia adalah yang pa ling utama.

Tabel 3 Taksonomi Konsep Nilai Ekologi

Sumber: Diadaptasi dari Samkin, Schneider, & Tappin (2014)

212 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

pengungkapan yang cenderung meningkat selama kurun waktu tersebut. Tahun 2006 adalah tahun pertama kali Laporan Keber-lanjutan tersendiri disusun berdasarkan GRI versi G3, dan ini berlangsung sampai tahun 2008. Setelah itu, struktur pengung-kapan mengikuti standar GRI G3.1 dan G4 yang memasukkan standar tambahan khu-sus industri sehingga meningkatkan level pengungkapan. Secara umum tren pengung-kapan mengalami peningkatan dari masa ke masa (lihat Gambar 1).

Dengan menggunakan kerangka anali-sis yang telah dibangun, pengungkapan ke-hati selama periode amatan dikumpulkan dan digabung dalam matriks dua dimensi menurut kategori dan fokus ekologi (lihat Ta-bel 4). Mayoritas pengungkapan adalah in-formasi tentang kinerja/implementasi (1375) dan diikuti oleh evaluasi (833) dan rencana strategis (737). Dapat dilihat perusahaan

fokus pada pengungkapan kinerja/imple-mentasi (lihat Tabel 5). Samkin, Schneider, & Tappin (2014) menyatakan bahwa hal ini disebabkan perusahaan beranggapan bahwa fungsi laporan keberlanjutan adalah sebagai dokumen akuntabilitas untuk melaporkan informasi secara komprehensif mengenai kondisi, kinerja, aktivitas, dan perkembang-an organisasi ke pemangku kepentingan.

Pengungkapan tertinggi dalam kategori perencanaan strategis berasal dari subkate-gori tujuan/sasaran/hasil. Pada dua tahun awal periode amatan, pengungkapan sub-kategori ini relatif sedikit karena laporan belum sepenuhnya mengikuti panduan (PT ANTAM, 2006, 2007, 2008). Terjadi pening-katan pengungkapan yang relatif saat ma-ster plan CSR mulai disusun dan ini semakin signifikan saat standar acuan penyusunan laporan keberlanjutan beralih dari versi G3.1 ke G4 di tahun 2013 di mana versi G4

Tabel 4 Contoh Pengungkapan Dimensi Ekologis dari Tiga Subkategori Terpilih Kerangka Pelaporan Kehati

Fokus Ekologi Kerangka Kerja Kategori dan SubkategoriPerencanaan Strategi Kinerja/Implementasi Evaluasi

Ekologi Menda-lam (Deep Eco-logy)

“Kami secara aktif ter-libat dengan pemangku ke pentingan me laku kan ber bagai inisiatif dan pro-gram di bidang pelestari -an lingkungan hidup se-bagai wujud kepedulian dan tanggung jawab Pe-rusahaan…” (PT ANTAM 2017:191).

“ANTAM juga melakukan konservasi fauna terancam punah, secara eks-situ atau in-situ. ANTAM memi-lih satwa endemik yang langka, kemudian melaku-kan pengembangbiak an, pelepasan, dan pemantau-an...” (PT ANTAM 2016:95).

“Hasil pemantau atas ke-giatan tersebut menun-juk kan bahwa pada lo-ka si…sering ditemui he wan pelagis pantai...Artinya, ini adalah bukti bahwa kehadiran mang-rove telah menjadi tem-pat perkembangbiakan ekosistem bagi biota-bi-ota pantai” (PT ANTAM 2015:123).

Ekologi Mene-ngah (Intermedi-ate Eco logy)

“Unit bisnis ANTAM te-lah memiliki strategi pe-ngelolaan kehati yang di susun sesuai RKL-RPL dan disinergi kan dengan strategi pengelola an ke-hati dalam rangka pelak-sanaan PROPER…” (PT ANTAM 2016:94)

“Pada konsep ini ANTAM membangun eks Area Unit… menjadi tempat pem belajaran dan wisa-ta tambang bawah tanah yang sejalan dengan ke-giatan ekonomi berbasis pertanian melalui sumber daya lokal dan kegiatan peles tarian lingkungan” (PT ANTAM 2016:6)

“Pengembangan Ka-wasan Wisata ini men-jadi salah satu cluster AgroGeo-EduTourism ANTAM …yang mengede-pankan konsep penata-an area dengan mengin-tegrasikan aspek… dan lingkungan” (PT ANTAM 2017:127)

Ekologi Dangkal (Shallow Ecology)

“…Kampung Ciguha,...di kenal dengan aktivitas ilegal PETI. Memahami potensi risiko…terhadap kualitas lingkungan…AN-TAM membangun Kam-pung Ciguha menjadi destinasi wisata…” (PT ANTAM 2017:127)

“Di Unit Bisnis Pertam-bangan Emas implemen-tasi program CSR bidang pendidikan untuk men-dukung PKKH diwujud-kan dengan Pembentukan Kader Konservasi…ber-anggotakan siswa-siswi…” (PT ANTAM 2014:437)

“Program ini [agrofor-estri] juga mendapat apresiasi dari pemda karena dapat memberi-kan manfaat bagi mas-yarakat dalam rangka peningkatan ekonomi...” (PT ANTAM 2017:192).

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 213

Tabel 5 Pengungkapan Subkategori Keanekaragaman Hayati selama Periode Amatan

Kategori Total % Sub Kategori Total %Perencanaan strategis

737 25,03 Peran perusahaan 157 21,30Status kehati 141 19,13Pentingnya kehati 198 26,86Tujuan/sasaran/hasil 217 29,44Rencana pendanaan 24 3,27

Kinerja/implemen-tasi

1375 46,69 Pengukuran kehati 221 16,07Rencana/proyek khusus 355 25,82Program kemitraan dan komunitas 664 48,29Kontribusi pada konferensi, kelompok dan legislatif

87 6,33

Informasi umum terkait kehati 48 3,49Evaluasi 833 28,29 Evaluasi kinerja 758 90,99

Biaya implementasi 18 2,16Tindakan masa depan 57 6,85

ini menghendaki adanya pengungkapan se-cara mendalam atas aspek material (PT AN-TAM, 2013:11). Selain itu, adanya tambahan ruang lingkup cakupan pelaporan yaitu Unit Bisnis Pertambangan Bauksit (UBP Bauksit) di Tayan Kalimantan Barat juga berdampak pada perbandingan agregat data dan ana-lisis yang disajikan (PT ANTAM, 2015:35). Tren ini terus terjaga sampai tahun 2017.

Subkategori peran organisasi dalam melestarikan kehati, yang merupakan ar-tikulasi dari visi dan misi perusahaan dan master plan CSR, menempati porsi ketiga terbanyak pengungkapan, yaitu sebanyak 157 informasi. Meskipun tema CSR berubah dari tahun ke tahun, peran yang dilakukan perusahaan terkait kehati sama yaitu peles-tarian lingkungan berkelanjutan yang man-faatnya dapat dipetik pada saat ini dan masa depan. Pernyataan peran ini diungkapkan dalam bentuk narasi yang menjelaskan strategi yang dilakukan perusahaan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan yang disesuaikan dengan karakteristik cakupan unit pelaporan serta alasan mengapa strate-gi tersebut dilakukan. Misalnya:

“Kami berfilosofi bahwa sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Mahakuasa dan ke-hadiran Antam membantu untuk pemanfaatannya. Kami berupaya untuk menjadi perusahaan yang berkelanjutan yang akan terus mengelola sumber daya alam de-ngan memastikan generasi yang

akan datang dapat memenuhi kebutuhannya dan memperoleh kualitas kehidupan yang lebih baik” (PT ANTAM, 2017:42).

Pengungkapan mengenai arti penting kehati fokus pada pentingnya menjaga ke-lestarian kehati serta manfaat berwujud maupun tak berwujud yang bisa dipetik dari kehati. Informasi tersebut secara eksplisit diakui dalam laporan.

“Dunia mengakui kekayaan kea-nekaragaman hayati Indonesia penting bagi keseimbangan eko-sistem global… Di UBP Nikel Ma-luku Utara konservasi keane-karagaman hayati difokuskan di wilayah pesisir. Sejak tahun 2009 Antam menanami pesisir wilayah operasi dengan mangrove untuk melindungi ekosistem pesisir…” (PT ANTAM, 2017:163)

“Antam juga menjaga kelestarian kehati dengan penanaman mang-rove jenis Rhizopora mucronata sekitar 180 ribu pohon di wilayah operasi UBPN Malut sejak tahun 2008. Hasil pemantau atas kegia-tan tersebut menunjukkan bah-wa pada lokasi mangrove tersebut saat ini sering ditemui hewan pe-lagis pantai seperti kerang, kepi-ting, ikan buntal, dan ikan glodok. Artinya, ini adalah bukti bahwa kehadiran mangrove telah menja-

214 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

di tempat perkembangbiakan eko-sistem bagi biota-biota pantai” (PT ANTAM, 2015:123).

“Mangrove Forests in Indonesia have been experiencing degrada-tion from year to year… This situ-ation is very dreadful considering Mangrove Forests are vital to the environment. Locally, they act as the ecosystem provider that sup-ports life, while globally they have very important roles to lessen glo bal warming” (PT ANTAM, 2007:56).

Pengungkapan mengenai status kehati ber fokus pada ragam spesies asli yang ada di setiap unit pelaporan, permasalahan yang di hadapi terkait spesies di wilayah tersebut, dan konservasi yang dilakukan atas spesies. Ung kapan disajikan dalam pendekatan kualitatif baik dalam bentuk naratif diser-tai gambar (studi kasus) maupun kuantitatif dalam bentuk tabel. Berikut ini adalah con-toh peng ungkapan tentang status kehati:

“…Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keane-karagaman hayati tertinggi di dunia. Sebanyak lebih dari 25.000 jenis mewakili 10% jenis flora dunia dapat ditemukan di Indone-sia. Begitu juga untuk fauna, se-banyak 515 spesies mamalia atau 781 spesies ular, dan 35 spesies primata tinggal di Indonesia…ba-nyak dari spesies-spesies itu ada-lah spesies endemik atau spesies yang hanya ditemukan di daerah tersebut…Turut serta dalam upa-ya nasional dan global untuk me-

lestarikan kekayaan keaneka-ra-gaman hayati Indonesia, ANTAM terus konsisten dalam mengem-bangkan upaya konservasi se-jumlah spesies flora dan fauna endemik Indonesia” (PT ANTAM, 2017:165).

Rencana pembiayaan terkait keha-ti diungkapkan sebagai investasi tanggung jawab sosial yang diakui secara eksplisit di setiap laporan. Pengungkapan informasi ini relatif stabil (total 24). Ungkapan difokuskan pada bagaimana pendanaan untuk kegiatan konservasi kehati di wilayah operasional pe-rusahaan dianggarkan dari anggaran opera-sional ataupun laba perusahaan.

Sebanyak 355 ungkapan tentang ki-nerja/implementasi menjelaskan sub-kategori rencana/ proyek khusus untuk melestarikan kehati. Pada awalnya fokus pengungkapan menyajikan informasi me-ngenai berbagai program yang berhubungan dengan konservasi individual spesies seper-ti Jalak Putih dan Elang Jawa. Akan tetapi, tren tersebut berubah pada akhir periode amatan. Pengungkapan fokus pada program konservasi secara umum seperti konservasi situs lahan basah dan pada Pengembangan Pusat Konservasi KeHati (PKKH). Hal yang meningkatkan level pengungkapan di sub-kategori ini adalah adanya pengungkapan secara mendalam dan dilengkapi dengan studi kasus dan tabel pendukung untuk se-tiap cakupan unit pelaporan.

Subkategori program kemitraan dan komunitas terkait kehati menempati posi-si pertama dari pengungkapan (664). Pe-ngungkapan menyajikan informasi berbagai metode yang dilakukan oleh perusahaan dalam membangun program kemitraan dan

Gambar 1 Jumlah Pengungkapan Kehati selama Periode Amatan

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 215

komunitas seperti forum bi partit dan tri par-tit untuk meningkatkan kesadaran, melin-dungi, dan melestarikan kehati, seperti di-contohkan dalam cuplikan berikut ini.

“Antam yang diwakili oleh UBPP LM bekerja sama dengan Taman Safari Indonesia Cisarua, Bogor berupaya melakukan konservasi satwa langka. Hal ini dimaksud-kan agar masyarakat sadar akan penting nya satwa langka yang hampir punah dan perlu dilindung i. Salah satu bentuk ker-ja sama adalah Program Orang Tua Asuh Satwa (OTAS) bagi Gajah Sumatera” (PT ANTAM, 2015:124).

Tren pengungkapan pengukuran keha-ti relatif stabil di angka (221) selama periode amatan. Perusahaan menyebutkan bahwa sistem pengukuran menggunakan standar GRI sejak awal pelaporan. Akan tetapi, pe ng- ukuran kehati masih sedikit diungkapkan sampai dengan tiga tahun pertama pelapor-an. Pengungkapan pengukuran kehati se-makin meningkat sejak perusahaan mengin-tegrasikan beberapa framework sistem pengukuran internasional seperti Mining and Metal Sector Disclosure/MMSD (PT AN-TAM, 2009, 2010, 2013), The International Conservation of Nature (IUCN), IFC Perfor-mance Standards on Environmental and So-cial Sustainability (PT ANTAM, 2011, 2012) maupun nasional seperti PROPER, Rencana Pe ngelolaan lingkungan dan Rencana Peman-tauan Lingkungan (RKL-RPL), dan AMDAL. Melalui sistem yang terintegrasi ini diharap-kan program yang direncanakan menjadi terukur dan terarah serta bersinergi dengan baik guna mencapai tujuan ANTAM CSR Ex-cellence. Semua itu dapat dicapai melalui dukungan SDM yang andal, lingkung- an yang lestari, dan masyarakat yang se-jahtera dan mandiri di masa mendatang (PT ANTAM, 2015; 2016; 2017).

Sebanyak 87 ungkapan menyajikan informasi tentang kontribusi ANTAM pada komunitas lokal ataupun internasional yang terkait kehati. Perusahaan menjaga hubung-an dengan para pemangku kepentingan de ngan memberi masukan pada pemerin-tah untuk beragam kebijakan dan regula-si melalui asosiasi terkait (IMA, PERHAPI, FRHLBT), menyajikan laporan rutin tentang ANDAL, memberi konsultasi kepada K/L

dan dinas, publik, RUPK, dan lain-lain, yang dilakukan sesuai kapasitasnya” (PT ANTAM, 2017).

Pengungkapan informasi umum ten-tang kehati menyajikan informasi yang tidak berkaitan langsung dengan kehati. Namun, informasi tersebut berdampak pada penge-lolaan kehati. Misalnya penyusunan mas ter plan CSR untuk kantor pusat dan setiap unit bisnis memperhatikan karakteristik wilayah masing-masing. Rencana tersebut diselaras-kan dengan berbagai pendekatan seperti ICMM Stakeholder Toolkit 2015 untuk me-mahami masyarakat dan relasinya dengan perusahaan, Sustainable Livelihoods Frame-work untuk mengidentifikasi ra gam jenis modal atau kapital di masyarakat dan peng-ukurannya, PROPER Kementerian Lingku ng- an Hidup dan Kehutanan sebagai dasar pe-nilaian kebutuhan dan aset masyarakat, dan Sustainable Development Goals/SGDs (Tujuan Pembangungan Berkelanjutan) un-tuk memastikan kesesuaian antara program yang telah direncanakan dengan salah satu tujuan SGDs (PT ANTAM, 2017).

Pengungkapan sebanyak 833 disajikan untuk mendiskusikan informasi kehati da-lam kategori evaluasi. Subkategori evaluasi kinerja adalah pengungkapan yang menyum-bang porsi terbanyak, yaitu sebesar (758). Evaluasi kinerja program kehati dilakukan dengan cara membandingkan antara kinerja aktual dengan serangkaian tujuan/sasar-an/hasil yang telah direncanakan dan disa-jikan dalam tabel, diagram, atau pernyataan naratif deskriptif tentang kinerja program. Selain itu, pengungkapan juga menyajikan berbagai penghargaan yang diberikan lem-baga independen atas program kehati yang dilakukan oleh perusahaan.

Rencana untuk masa depan tentang kehati banyak diungkapkan dalam narasi kualitatif dalam bentuk komitmen perusaha-an untuk terus menjaga kelestarian kehati secara keberlanjutan. Sementara itu, pe ng-ungkapan biaya implementasi untuk akti-vitas terkait kehati tidak disajikan secara terpisah. Ia disajikan dalam kategori biaya lingkungan secara umum.

Diskusi tentang pengungkapan keha-ti menyajikan gambaran tentang bagaima-na sebuah kerangka kerja didesain untuk menganalisis pengungkapan informasi ten-tang kehati. Penerapan kerangka kerja pada Laporan Keberlanjutan yang diterbitkan oleh ANTAM berguna untuk memahami se-

216 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

cara mendalam tentang level pengungkap-an informasi kehati. Ini dapat menggam-barkan secara terperinci tentang kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan khususnya yang berhubungan dengan kehati, baik yang dilakukan dalam level strategis, kinerja/im-plementasi, maupun evaluasi.

Berdasarkan pada informasi yang di-ungkapkan dalam Laporan Keberlanjutan selama masa pengamatan, dapat dilihat bahwa ANTAM menyajikan informasi ten-tang rencana strategis terkait konservasi ke-hati, implementasi atau kinerja melalui ren-cana dan program yang dilaksanakan secara detail, dan evaluasi melalui self-evaluation terhadap berbagai rencana ataupun pro-gram yang telah dijalankan. Dari ketiga ka-tegori informasi tersebut informasi tentang implementasi dan evaluasi menempati por-si yang lebih banyak dibandingkan dengan informasi dalam kategori perencanaan stra-tegis. Dari persepktif pertanggungjawaban publik penyajian secara komprehensif atas informasi seperti ini dimaksudkan untuk memberi informasi kepada para pemangku kepentingan agar mereka paham mengapa perusahaan mengambil berbagai tindak-an yang dimaksud, bagaimana cara me-ngelola dampak, dan evaluasi atas tindakan yang diambil (Amos, 2018; Curran, 2017; Singh, Holvoet, & Pandey, 2018). Artinya, dalam konteks pertanggungjawaban publik, tindak an dan evaluasi dianggap lebih kritis ketimbang perencanaan strategis meskipun ia merupakan hal yang penting (Samkin, Schneider, & Tappin, 2014).

Dari perspektif praktis, yaitu pengguna dan penyusun laporan, kategori yang dikem-bangkan dalam kerangka kerja ini memung-kinkan mereka untuk menjawab sejumlah pertanyaan mendasar tentang kegiatan pe-ngelolaan kehati yang dilakukan oleh se-buah perusahaan. Apa tujuan yang hendak dicapai oleh perusahaan dengan melindungi, melakukan konservasi dan mengelola keha-ti? Bagaimana perusahaan mencapai tujuan tersebut? Seberapa baik upaya yang dilaku-kan oleh perusahaan dalam melaksanakan berbagai kegiatan tersebut?

Analisis pengungkapan nilai ekologi mendalam, dangkal, dan menengah ke­hati. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1994 tentang pengesahan kon-vensi PBB mengenai keanekaragaman ha-yati mengakui bahwa kehati memiliki nilai bawaan atau intrinsik ataupun nilai ekolo-gi, genetik, ekonomi, sosial, ilmiah, pendi-

dikan, budaya, rekreasi, dan estetis beser-ta komponen-komponennya. Tujuan kedua penelitian adalah menganalisis kedalaman pengungkapan informasi kehati yang disa-jikan oleh ANTAM, yang diukur berdasar-kan konsep nilai yang mendasarinya yaitu undang-undang konservasi yang berlaku di Indonesia. Dengan menggunakan kerangka kerja nilai ekologi, informasi yang terungkap pada analisis tahap pertama dikoding lebih lanjut agar memungkinkan penulis untuk melihat sampai sejauh mana pengungkapan tersebut telah mencerminkan undang-un-dang konservasi. Menurut Samkin, Schnei-der, & Tappin (2014), pengodean ini berguna untuk mengidentifikasi masalah dan akar penyebabnya, yaitu masalah yang terkait antara kegiatan pelestarian dan penggunaan wilayah konservasi. Tabel 3 menyajikan tak-sonomi pengungkapan informasi terkait ke-hati menurut konsep nilai ekologi mendalam (deep ecology).

Prinsip pertama konsep deep ecology membahas tentang kehidupan di alam se-mesta, yakni semua kehidupan baik ma-nusia maupun nonmanusia memiliki nilai yang melekat dalam dirinya (memiliki nilai intrinsik). Laurila-Pant, Lehikoinen, Uusita-lo & Venesjärvi (2015) berargumentasi bah-wa nilai intrinsik adalah nilai yang ada pada dirinya sendiri, yaitu lebih menitikberatkan pada konsep filosofis kehati itu sendiri. Se­ssions & Naess (1986) mendefinisikan ke-hidupan (life) sebagai suatu aktivitas yang meliputi unsur individual, spesies, populasi, habitat serta budaya manusia dan nonma-nusia. Lebih lanjut Session & Naess (1986) menyatakan bahwa kehidupan tidak dimak-nai secara sederhana tetapi mengacu pada apa yang dimaknai oleh para pakar biologi sebagai non-living, yaitu sungai (daerah ali-ran sungai/DAS), lanskap, ekosistem, bu-daya, bumi yang menjadi tempat tinggal. Persepktif biocentric dari konsep deep eco-logy menyatakan bahwa nilai kehati tidak bergantung pada kemampuan kehati dalam memberi manfaat bagi manusia (Samkin, Schneider, & Tappin, 2014).

Dengan mendasarkan pada konsep nilai PIONEER (Professionalism, Integrity, glObal mentality, harmoNy, ExcEllence, Re putation), ANTAM berusaha mencapai salah satu mi-sinya yaitu “mengoptimalkan sumber daya dengan mengutamakan keberlanjutan, kese-lamatan kerja, dan kelestarian lingku ngan”. Meskipun penulis tidak menemukan refe-rensi yang secara eksplisit mendefinisikan

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 217

nilai intrinsik, informasi terkait dengan misi secara konsisten dinyatakan dalam laporan keberlanjutan selama masa pengamatan. Dalam konteks kegiatan konservasi, yang dilakukan oleh perusahaan adalah untuk pelestarian dan perlindungan sumber daya alam dan historisnya, agar kandungan nilai intrinsiknya tetap terjaga. Atas dasar hal tersebut, penulis menganggap bahwa tujuan kegiatan itu sejalan dengan konsep deep eco-logy yang pertama, yaitu pengakuan adanya nilai intrinsik dari kehati. Selain itu, penu-lis juga melihat bahwa istilah “nilai intrin-sik” sebenarnya dapat dilihat secara regu-ler dalam laporan keberlanjutan. Misalnya, pada pengungkapan studi kasus tentang ‘ruang terbuka hijau bagi masyarakat Ko-laka’ tahun 2014, disebutkan bahwa ber-bagai program pascatambang dan reklamasi Antam bukan hanya demi kepatuhan pada UU semata, melainkan juga memberi nilai tambah bagi masyarakat setempat dari ke-giatan yang dilakukan perusahaan terse-but (PT ANTAM, 2014:95). Nilai tambah ini dapat dimaknai sebagai ungkapan lain un-tuk menyebutkan keberadaan nilai intrinsik kehati. DOC juga menggunakan istilah yang berbeda untuk menyatakan makna nilai in-trinsik kehati, misalnya, “nilai konservasi yang melekat,” “nilai kehati,” dan konservasi kehati “demi kepentingannya sendiri” (Sam-kin, Schneider, & Tappin, 2014). Ini konsis-ten dengan Sessions & Naess (1986), yang menggunakan sinonim “inherent worth” atau “values independent of the usefulness of the human world” sebagai ganti dari istilah nilai intrinsik.

Prinsip kedua konsep deep ecology mengakui bahwa kekayaan dan kebera-gaman semua bentuk kehidupan adalah penting dan dengan sendirinya memiliki nilai (Sessions & Naess, 1986). Cakupan konsep keberagaman ini cukup luas sehingga dapat memasukkan semua bentuk keragaman dan kompleksitas, mulai dari tumbuhan primitif dan spesies hewan yang sederhana sampai dengan mamalia yang berkembang (baca: manusia) (Halati & He, 2018; Sessions & Naess, 1986); dan mereka saling berkaitan satu sama lainnya. Dengan mendasarkan pada logika ini, konservasi seharusnya le-bih fokus pada ekosistem ketimbang pada spesies atau organisme secara individual (Samkin, Schneider, & Tappin, 2014).

Keberagaman spesies merupakan salah satu platform utama deep ecology. ANTAM mengungkapkan informasi tentang kebe-

ragaman secara konsisten di laporan keber-lanjutan selama periode amatan. Perubah-an fokus dari konservasi individual spesies (seperti Jalak Putih dan Elang Jawa) ke kon-servasi secara umum mencerminkan konsep ini. Contoh konservasi umum adalah:

“...lokasi mangrove tersebut saat ini telah kerap ditemui hewan pelagis pantai seperti kerang, ke-piting, ikan buntal, dan ikan glo-dok. Keberadaan berbagai hewan pelagis itu membuktikan bahwa mangrove telah menjadi tempat perkembangbiakan ekosistem bio-ta pantai” (PT ANTAM, 2013; 2014; 2015; 2016).

Tujuan utama dari penanaman ma ng-rove adalah untuk mematuhi perunda ngan pascatambang yang berlaku. Akan tetapi, dampak kegiatan berguna untuk menja-ga ekosistem di wilayah itu. Hal ini sejalan dengan pandangan Gillet-Monjarret (2018) dan Tufa (2015) yang menyebutkan bahwa konsep deep ecology mencakup restorasi kehati asli (native biodiversity) dalam kon-teks bioregional. Peningkatan dan restorasi melalui tindakan pengendalian hama, pem-batasan akses publik ke lepas pantai dan pulau utama, dan pengembalian spesies dari kepunahan juga konsisten dengan konsep deep ecology yang mengakui kekayaan dan keragaman bentuk kehidupan (Guha, 1989; Hsu, 2018; Sessions & Naess, 1986).

Platform kebutuhan vital berargumen bahwa manusia tidak berhak mengura ngi ragam kehidupan kecuali hanya untuk me-menuhi kebutuhan utama (Atkins & Ma-roun, 2018; Haller, Van-Staden, & Landis, 2018). Peningkatan ragam kehidupan akan meningkatkan realisasi diri. Sebaliknya, penurunan keberagaman akan membata-si realisasi diri karena ia akan membatasi cara-cara individu dan masyarakat, bahkan bentuk spesies dan kehidupan saat merea-lisasi diri (Kopnina, 2015). Sessions & Naess (1986) sengaja tidak memberikan klarifikasi dan perincian secara detil atas platform ke-butuhan vital ini agar publik memiliki ruang yang luas untuk membuat penilaian dan diperlukan sejumlah faktor untuk mengin-terpetasikan platform ini, termasuk isu cli-mate change dan perubahan struktur ma-syarakat (Naess, 2005).

Samkin, Schneider, & Tappin (2014) memperluas pendapat Sessions & Naess,

218 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

(1986) dan Naess (2005) dengan mengatakan bahwa faktor spiritual dan budaya adalah hal yang tidak terpisahkan dari platform ke-butuhan vital. Dengan mendasarkan pada aspek normatif realisasi diri, platform kebu-tuhan vital mengakui bahwa manusia memi-liki kebutuhan fisik dan psikologi yang akan terpenuhi dengan cara melakukan interaksi antara satu dengan yang lainnya dalam ko-munitas tempat ia berada (Busch & Lewand-owski, 2018; Egan & Tweedie, 2018). Haller, Van-Staden, & Landis (2018) menjelaskan bahwa kesadaran ekologis yang mendalam tentang realisasi diri memerlukan identifika-si diri yang melampaui dunia manusia agar dapat memasukkan dunia nonmanusia. Ma-nusia sangat bergantung pada dunia nonma-nusia yaitu pada keseimbangan hubungan independen antar organisme. Keterkaitan dengan alam menunjukkan sebuah orientasi spiritual dan penghormatan pada alam telah memandu pikiran dan tindakan.

Konsep ini mengakui pentingnya kesa-lingterhubungan manusia dengan yang lain-nya, tidak sebatas pada hubungan antarma-nusia, tetapi juga dengan semua hal yang hidup, termasuk dengan tanah (Lutilsky, Žmuk, & Dragija, 2016; Velte & Stawinoga, 2017). ANTAM mengakui adanya hubu ngan dengan alam sekitar dan tanah “ANTAM menyadari bahwa setiap daerah operasi memiliki keunikan, kebutuhan, dan aset so-sial, ekonomi, dan budaya yang berbeda-be-da sehingga memerlukan pendekatan serta program CSR yang berbeda” (PT ANTAM, 2015:74). Dalam konteks ini, keterjagaan hubungan perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya difokuskan pada pemberdayaan tenaga kerja lokal untuk membantu dalam kegiatan konservasi lingkungan. Misalnya, dengan melibatkan kelompok tani setempat saat menanam pohon. Masyarakat tersebut telah dilibatkan sejak dini mulai dari masa pembibitan sampai dengan pemeliharaan tanaman agar mereka memiliki ketrampilan yang lebih baik dalam kegiatan penanaman pohon (PT ANTAM, 2013:59). Dalam konteks deep ecology, aktivitas masyarakat dalam kegiatan konservasi lingkungan merupakan bentuk realisasi diri dari masyarakat dalam mendukung kegiatan pelestarian lingku ngan yang dilakukan oleh organisasi.

Konsep keempat deep ecology adalah populasi, yang relevan dengan ANTAM se-cara tidak langsung. Manusia memiliki ke-wajiban etis untuk memenuhi kebutuhan vitalnya sekaligus untuk menjaga perse-

diaan yang disediakan oleh alam karena ia terbatas (Watling, Mayle, & Schaan, 2018). Penurunan populasi manusia diperlukan untuk melestarikan dunia alam. Menurut Sessions & Naess (1986), target populasi adalah untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup dan ini adalah fokus kebijakan pemerintah. Meskipun kon-sep ini di luar cakupan ANTAM, peningkat-an populasi dapat meningkatkan tekanan pada luas wilayah konservasi. Lebih lanjut Naess (2005:70) mengatakan bahwa sampai pertumbuhan populasi dunia menjadi stabil atau dikurangi, penurunan kekayaan dan keragaman yang signifikan sangat mungkin terjadi, misalnya tingkat kepunahan spesies akan meningkat dari 10 menjadi 100 kali lebih besar pada suatu periode sejarah.

Dari perspektif deep ecology penurunan keterlibatan manusia pada dunia nonma-nusia tidak mungkin terjadi secara instan. Rendahnya keterlibatan manusia bukan be-rarti bahwa manusia tidak mengubah eko-sistem karena manusia telah mengubah dunia dan akan berlanjut seperti itu. Akar masalah terletak pada sifat dan luas ke-terlibatannya. Keterlibatan manusia dapat dialihkan dengan meningkatkan jumlah ukuran wilayah padang rimba (wilderness) sehingga flora dan fauna di dalamnya dapat melakukan evolusi lanjutan secara bebas (Naess, 2005:70). Informasi tentang kon-servasi dapat diterjemahkan sebagai pe ng-akuan ANTAM atas keterlibatan manusia yang berdampak pada kerusakan ekosistem misalnya penurunan jumlah spesies dan ke-giatan itu masih berlanjut sampai saat ini. Perusahaan mengakui bahwa menjaga ke-seimbangan dan melindungi spesies dengan cara meminimalkan gangguan dan akses ke area konservasi adalah hal yang menantang. Untuk itu, sejak awal ANTAM telah meren-canakan area konservasi secara strategis dan mengelola secara profesional agar dapat menyeimbangkan dua aspek yang berbeda yaitu konservasi dan penggunaannya.

Konsisten dengan platform deep ecology, bentuk keterlibatan manusia dalam konteks ANTAM adalah dengan melaporkan tamba-han wilayah yang secara ekologi cukup sig-nifikan ke dalam area konservasi. Misalnya, melakukan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) seluas 523,43 hektar di Akedodaga, Kecamatan Wasile Timur dan 435,86 hektar di DAS Air Gela-Gela, Kecamatan Wasile. Se-lain itu, cuplikan berikut ini menambahkan informasi mengenai deep ecology.

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 219

“ANTAM membangun dan mengembangkan Pusat Konserva-si Keanekaragaman Hayati (PKKH) dan Pusat Penelitian dan Pendi-dikan Pohon dan Tanaman Asli (P4TA) yang bekerja sama dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan PT Rimbawan Bangun Lestari (Sustainable Ma-nagement Group)” (PT ANTAM, 2008; 2009; 2010; 2011; 2012; 2013; 2014; 2015; 2016).

Pada upaya tersebut ANTAM tidak mampu membatasi kegiatan manusia di area konservasi secara menyeluruh. Namun, perusahaan tetap melanjutkan misi kegiatan yaitu melakukan konservasi dengan mem-pertimbangkan nilai budaya dan historis wilayah setempat (PT ANTAM, 2016:96).

Di bawah pendekatan deep ecology fokus perubahan kebijakan adalah pada kebijakan yang mempengaruhi dasar struk-tur ekonomi, teknologi, dan ideologi. Haller, Van-Staden, & Landis (2018) berpendapat bahwa kebijakan yang ada saat ini terlalu fokus pada konsumsi, limbah, dan pertum-buhan yang berkelanjutan. Keberlanjutan ini dimaknai sebagai keberlanjutan dalam hubungannya dengan manusia. Platform perubahan kebijakan mengakui bahwa ke-butuhan untuk perubahan bergerak dari teknologi yang eksploitatif ke teknologi al-ternatif yang lebih ramah (Naess, 2005; Si-torus, 2016). Naess juga mengatakan bah-wa istilah self-determination, desentralisasi, komunitas lokal, dan berpikir global, tetapi bertindak secara lokal itu berada pada ranah ekologi masyarakat manusia, sedangkan im-plementasi deep ecology menghendaki ada-nya peningkatan tindakan global dalam pe-ngertian tindakan yang melebihi garis batas itu (2005:70). ANTAM tidak memiliki kekua-tan untuk membuat kebijakan dan legislasi, tetapi ia berkontribusi secara aktif melalui berbagai kegiatan seperti seminar dan work-shop yang berhubungan dengan lingkungan.

Kualitas hidup bersifat nonkuantita-tif (Naess, 2005; Sessions & Naess, 1986). Dari persepketif deep ecology fokus kualitas hidup adalah apresiasi terhadap “kualitas hidup” bukan pada peningkatan standar hidup. Prinsip ini hampir secara keseluru-han mengadopsi perspektif spiritual, khu-susnya pada aspek “kecantikan” dan “real-isasi diri”, bukan pada kepemilikan material atau kekayaan materi (Chilvers, Pallett, &

Hargreaves, 2018). Sejumlah pengungkapan pada laporan keberlanjutan mengakui pen-tingnya kontribusi konservasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup.

Kewajiban untuk bertindak adalah poin terakhir prinsip deep ecology. Sebagai salah satu bagian dari pihak yang sedang berusa-ha dan mengimplementasikan perubahan penting terkait kehati, baik secara langsung maupun tidak langsung, ANTAM melihat tin-dakan konservasi adalah kritis. Dengan ke-terbatasan sumber daya, memprioritaskan tindakan konservasi yang konsisten dengan konsep deep ecology adalah kritis. Konser-vasi dapat memulihkan spesies yang langka atau hampir punah. Ini konsisten dengan Naess (2005) yang menyatakan bahwa salah satu ukuran kesuksesan suatu proyek keha-ti dapat dilihat atas dasar jangka waktu yaitu spesies yang dipulihkan dapat berlangsung dari jangka waktu 50 sampai 100 tahun.

Analisis pengungkapan kehati menurut konsep nilai ekologi mendemonstrasikan bagaimana konsep nilai ekologi dapat me-nyajikan struktur logis informasi keha-ti pada sebuah perusahaan. Konsistensi penya jian informasi kehati oleh ANTAM di-analisis dengan menggunakan konsep nilai ekologi dalam tataran deep, intermediate, dan shallow. Pemilihan konsep nilai ekolo-gi sebagai kerangka kerja analisis didasari oleh pemikiran bahwa perundang-undangan kehati di Indonesia mengacu pada konsep tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengungkapan informasi kehati oleh AN-TAM telah fokus secara konsisten dengan perspektif deep ecology yang mendasari pe-rundangan di Indonesia, UU No. 5 tahun 1994 tentang Keanekaragaman Hayati, dan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem-nya. Meskipun demikian, masih terdapat perbedaan antara ketentuan di undang-un-dang tersebut dengan beberapa platform deep ecology. Misalnya, tujuan undang-un-dang adalah non-antroposentris, yaitu un-tuk melindungi nilai intrinsik sumber daya alam dan sejarah (Ng, 2018; Venkatraman & Nayak, 2015), tetapi tujuan perusahaan menyediakan sumber daya adalah sebagai bentuk apresiasi dan sarana kenikmatan rekreasi bagi masyarakat. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang kontradiktif. Selain itu, penggunaan istilah “sumber daya” juga mengesankan bahwa warisan alam Indone-sia bernilai karena dapat “digunakan” untuk

220 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

mendapatkan keuntungan ekonomi. Ber-bagai ungkapan itu dapat ditemukan de-ngan mudah dalam laporan keberlanjutan yang diterbitkan oleh ANTAM, di mana ia memiliki tanggung jawab untuk mengelola tanah, satwa liar dan hewan liar (PT ANTAM, 2013; 2014; 2015; 2016). Samkin, Schnei-der, & Tappin (2014) berargumen bahwa hal itu mencerminkan pandangan kemanusiaan Barat atau Yudeo-Kristen antroposentris di mana alam dipandang sebagai sumber yang dapat dieksploitasi.

Penggunaan istilah “sustainable use/penggunaan keberlanjutan” yang ditemu-kan di sejumlah pengungkapan ANTAM juga menimbulkan ketegangan lebih lan-jut. Istilah ini ditemukan di sejumlah latar yang berbeda misalnya pada misi ANTAM, pe ngelolaan perairan pesisir serta peman-faatan berkelanjutan lahan pascatambang. Istilah tersebut bersifat antroposentris se-cara inheren. Salovaara (2018) berargumen-tasi bahwa penekanan pada istilah “peng-gunaan keberlanjutan” dimaknai sebagai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi ketimbang perlindungan atas nilai intrinsik. ANTAM menyumbang ketegangan ini karena organisasi gagal mengartikulasikan mak-na istilah tersebut. Subteks ANTAM yang berjudul “bahwa populasi manusia terus meningkat secara berkelanjutan seiring de-ngan perkembangan teknologi” merupakan representasi dari apa yang disampaikan oleh Lee & Hageman (2018). ANTAM memberikan kontribusi terhadap ketidakpastian ini kare-na gagal menjawab pertanyaan “berapa lama ia dapat dipertahankan?” dan “bagaimana konflik antar prioritas atau antarkepentin-gan jangka pendek dari berbagai kategori in-dividu dapat diselesaikan?”.

Prinsip perubahan kebijakan mengakui perlunya gerakan menjauhi teknologi ek-sploitatif menuju teknologi yang lebih ramah (soft), intermediate, dan alternatif (Naess, 2005). Di Indonesia, kebijakan pemerin-tah cenderung fokus pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini bertentangan dengan tujuan konservasi yang menganut pandangan deep ecology yang fokus pada upaya melin dungi nilai intrinsik sumber daya alam dan pada aktivitas yang diarahkan untuk meng ubah hubungan manusia dengan lingkungan. AN-TAM adalah organisasi swasta di mana ke-bijakan pemerintah terkait kehati memiliki dampak langsung bagi aktivitasnya. Kebija-kan pertambangan di kawasan konservasi memiliki potensi untuk bertentangan dengan

tujuan undang-undang kehati yaitu untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam dan sejarah. Kebijakan tersebut fokus pada kegiatan ekonomi, khususnya eksploi-tasi kawasan konservasi untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi, dan hal itu tidak sesuai dengan konsep deep ecology (Naess, 2005; Sessions & Naess, 1986). Se-mentara itu, pemerintah fokus pada cita-cita yang berkelanjutan, khususnya pada per-tumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Na-mun, konteks keberlanjutan ini hanya fokus pada manusia dan bukan pada lingkungan. Penggunaan kawasan konservasi untuk ke-giatan eksploitatif dan berpotensi merusak adalah sifat antroposentris dan bertentan-gan dengan ketentuan nilai intrinsik un-dang-undang konservasi Indonesia.

Deep ecology menunjukkan bahwa ke-terlibatan manusia terhadap dunia selain manusia telah berlebihan dan kondisi ini semakin parah (Adler, Mansi, Pandey, & Stringer, 2017; Maroun & Atkins, 2018; Ses-sions & Naess, 1986). Di Indonesia industri pariwisata, termasuk wisata alam, adalah salah satu industri yang menyumbang de-visa cukup signifikan. Keterlibatan manu-sia dalam bentuk penyediaan fasilitas un-tuk meningkatkan pariwisata internasional dan lokal, memberikan konsesi dan perijin-an pertambangan dan pertanian di wilayah konservasi telah meningkatkan tekanan pada kawasan konservasi yang sensitif. Dalam hal ini, selain melaporkan jumlah wilayah konservasi, ANTAM juga mendiri-kan dan mengembangkan pusat kehati, dan pusat penelitian dan pendidikan pohon dan tanaman asli. Sebuah rencana strategis pas-catambang (agrogeoedutourism) dikembang-kan dengan melihat berbagai aspek seperti geologi, teknologi pertambangan, dan kehati yang dimiliki, yang secara umum menca-kup pengembangan pendidikan, pelatihan, dan penelitian, wisata tambang, pemulihan degradasi lahan, ekonomi, pengembangan pemanfaatan keanekaragaman hayati, serta potensi kawasan wisata alam.

Konsep keempat deep ecology meng-hendaki populasi yang lebih kecil untuk memastikan bahwa kehidupan dan budaya manusia berkembang. Penerapan konsep ini menimbulkan tekanan tersendiri bagi indus-tri seiring dengan meningkatnya populasi manusia di kawasan konservasi, sementara pemerintah tidak menjadikan industri se-bagai target untuk mengendalikan populasi di kawasan konservasi.

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 221

Selain dapat menggambarkan kepatuh-an terhadap kebijakan, pengungkapan in-formasi kehati melalui delapan kerangka kerja deep ecology juga dapat digunakan untuk menyoroti kesulitan praktis saat me-nerapkan konsep tersebut. Pengalaman AN-TAM mencerminkan kondisi tersebut. Un-dang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1994 menyarankan agar semua pihak meles-tarikan dan melindungi sumber daya alam dan sejarah untuk mempertahankan nilai intrinsiknya. Akan tetapi, sejumlah keten-tuan dalam undang-undang itu dapat me-nempatkan ANTAM dalam posisi yang tidak tepat. Misalnya ketegangan yang diciptakan oleh undang-undang terbukti ada di sejum-lah pengungkapan ANTAM. Bahkan, dalam situasi di mana ANTAM berhasil melindungi nilai intrinsik lingkungan, melestarikan dan meningkatkan keragaman spesies, berkon-tribusi pada realisasi diri dan kepuasan akan kebutuhan vital, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar, ketegang an yang mendasar masih ada. Jika ANTAM sebagai sebuah organisasi swasta bertindak sesuai dengan konsep deep ecology, konsep yang mendasari undang-undang konservasi di Indonesia, maka ia wajib berusaha secara langsung atau tidak langsung untuk melaku-kan perubahan yang diperlukan. Berbagai ketegangan yang disajikan dalam artikel ini mungkin tidak terjadi jika undang-undang konservasi mengadopsi pendekatan antro-posentris atau stewardship.

Meskipun analisis ini menunjukkan bahwa konsep populasi mungkin tidak dapat dicapai, prinsip ekologi mendalam yang ada tidak boleh ditinggalkan. Terlepas dari sulit-nya untuk mengadopsi pendekatan prag-matis deep ecology, organisasi tidak boleh meninggalkan konsep ini. Meskipun sejum-lah besar organisasi bisnis telah mengadopsi konsep yang berkesinambungan sebagai ci-ta-cita bisnisnya, seringkali gagasan tersebut bersifat antroposentris dan berbasis pada apa yang baik bagi manusia, bukan pada perspektif adanya nilai intrinsik. Perlu trans-formasi perilaku manusia menuju kebijakan yang ramah lingkungan. Keberlanjutan se-harusnya tidak dipandang sebagai pertum-buhan ekonomi yang berkelanjutan “dengan segala cara” atau rancangan teknologi baru yang dapat menyebabkan penurunan sum-ber daya karena eksploitasi. Tindakan yang diambil harus lebih dari sekadar daur ulang, mengganti bahan bakar fosil dengan biofu-el, atau melindungi spesies hewan tertentu.

Dengan mengadopsi posisi deep ecology, suatu organisasi harus mempertimbangkan kembali pemahaman mereka tentang konsep “keberlanjutan”. Samkin, Schneider, & Tap-pin (2014) menyarankan adanya pergeseran paradigma yaitu lebih fokus pada perubahan hubungan eksploitatif terhadap lingkungan, peningkatan kualitas hidup dan “berbuat lebih banyak dengan sesuatu yang lebih se-dikit, baik dari sisi kebijakan ekonomi, tek-nologi maupun ideologis”.

SIMPULANPenelitian ini memiliki sejumlah im-

plikasi bagi organisasi. Pertama, memberi-kan pendekatan terstruktur untuk menyaji-kan dan menganalisis narasi pengungkapan kehati. Kedua, menyediakan sarana di mana pengungkapan kehati dapat dianalisis dan dibandingkan. Ketiga, menyediakan kerang-ka kerja awal yang dapat dikembangkan dan disempurnakan dan disesuaikan lebih lanjut. Keempat, memperluas pemahaman tentang bagaimana organisasi yang peduli dengan isu konservasi dapat menggunakan bagian narasi dari laporan tahunan untuk me nyampaikan pertanggungjawaban. Akhir-nya, sementara penerapan delapan platform deep ecology bagi industri masih menyisakan permasalahan, penelitian ini merupakan ti-tik awal untuk meningkatkan keterlibatan yang lebih mendalam terkait dengan isu-isu kehati. Prinsip-prinsip deep ecology yang memandu pemikiran dan tindakan manusia ke arah hubungan yang lebih harmonis dan konsisten di setiap saat dengan alam adalah sangat relevan korporasi, termasuk industri pertambangan dan logam yang kegiatannya mempengaruhi kehati. Namun, adalah tidak realistis untuk mengharapkan organisasi tersebut untuk mematuhi semua platform deep ecology.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua pengungkapan telah mencer-minkan semua prinsip dalam konsep deep ecology. Dengan kata lain, sulit atau bahkan tidak mungkin menerapkan semua prinsip yang ada. Namun, kesulitan dalam penera-pan tidak dapat dijadikan alasan untuk me-nolak penerapannya. Ketika perspektif deep ecology telah menjadi titik sentral pergera-kan lingkungan, perlu terjadi perubahan perspektif dari yang bersifat antroposentris menuju ke biosentris. Pendekatan ini me-merlukan komitmen jangka panjang.

Penggunaan delapan prinsip dalam konsep deep ecology sebagai alat analisis

222 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

pengungkapan informasi kehati oleh sebuah industri ekstraktif di Indonesia masih relatif baru. Terdapat sejumlah keterbatasan dalam studi ini. Pertama, kerangka kerja ini hanya implementatif untuk laporan keberlanjut-an industri ekstraktif saja. Sebenarnya pe-ngungkapan informasi kehati oleh industri ini dapat ditemukan di beberapa dokumen, penelitian ini hanya menganalisis berdasar-kan laporan keberlanjutan. Penggunaan tambahan sumber data mungkin akan ber-dampak pada hasil temuan yang berbeda. Mekanisme pengodean masih me ngandung unsur subjektivitas sehingga di sarankan untuk menggunakan kerangka kerja yang berdasarkan pada panduan umum GRI agar dapat mereduksi kelemahan yang muncul.

UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih kepada Editor in Chief, Edi-tor, Mitra Bestari, dan pihak-pihak lain atas saran perbaikan draft awal tulisan ini.

DAFTAR RUJUKANAbdo, H., Mangena, M., Needham, G., &

Hunt, D. (2018). Disclosure of Provi-sions for Decommissioning Costs in Annual Reports of Oil and Gas Com-panies: A Content Analysis and Stake-holder Views. Accounting Forum, 42(4), 341-358. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2018.10.001

Adler, R., Mansi, & Pandey, R. (2018). Biodi-versity and Threatened Species Report-ing by the Top Fortune Global Compa-nies. Accounting, Auditing and Account-ability Journal, 31(3), 787–825. https://doi.org/10.1108/AAAJ-03-2016-2490

Adler, R., Mansi, M., Pandey, R., & Stringer, C. (2017). United Nations Decade on Bio-diversity: A Study of the Reporting Prac-tices of the Australian Mining Industry. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 30(8), 1711–1745. https://doi.org/10.1108/aaaj-04-2015-2028

Amos, G. J. (2018). Corporate Social Res-ponsibility in the Mining Industry: An Exploration of Host-Communi-ties’ Perceptions and Expectations in a Developing-Country. Corporate Go-vernance (Bingley), 18(6), 1177-1195. doi:10.1108/CG-01-2018-0006

Anvari, S., & Turkay, M. (2017). The Facili-ty Location Problem from the Perspec-tive of Triple Bottom Line Accounting

of Sustainability. International Journal of Production Research, 55(21), 6266-6287. https://doi.org/10.1080/00207543.2017.1341064

Arnold, V., Benford, T., Canada, J., & Sutton, S. G. (2015). Leveraging Integrated In-formation Systems to Enhance Stra-tegic Flexibility and Performance: The Enabling Role of Enterprise Risk Management. International Journal of Accounting Information Systems, 19(1-16). https://doi.org/10.1016/j.accinf.2015.10.001

Atkins, J., & Maroun, W. (2018). Integrat-ed Extinction Accounting and Account-ability: Building an Ark. Accounting, Au-diting & Accountability Journal, 31(3), 750-786. https://doi.org/10.1108/AAAJ-06-2017-2957

Bordt, M. (2018). Discourses in Ecosys-tem Accounting: A Survey of the Expert Community. Ecological Economics, 144, 82-99. https://doi.org/10.1016/j.ecol-econ.2017.06.032

Bose, S., Podder, J., & Biswas, K. (2017). Philanthropic Giving, Market-based Per-formance and Institutional Ownership: Evidence from an Emerging Economy. The British Accounting Review, 49(4), 429-444. https://doi.org/10.1016/j.bar.2016.11.001

Busch, T., & Lewandowski, S. (2018). Cor-porate Carbon and Financial Perfor-mance: a Meta-Analysis. Journal of Industrial Ecology, 22(4), 745-759. https://doi.org/10.1111/jiec.12591

Cabral, S., & Santos, M. (2018). Accountabil-ity Mechanisms in Public Services: Ac-tivating New Dynamics in a Prison Sys-tem. International Public Management Journal, 21(5), 795-821. https://doi.org/10.1080/10967494.2016.1141815

Campbell, D., & Rahman, M. R. A. (2010). A Longitudinal Examination of Intel-lectual Capital Reporting in Marks & Spencer Annual Reports, 1978–2008. The British Accounting Review, 42(1), 56–70. https://doi.org/10.1016/j.bar.2009.11.001

Chilvers, J., Pallett, H., & Hargreaves, T. (2018). Ecologies of Participation in So-cio-Technical Change: The Case of Ener-gy System Transitions. Energy Research & Social Science, 42, 199-210. https://doi.org/10.1016/j.erss.2018.03.020

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 223

Cooper, D. J. & Morgan, W. (2013). Meet-ing the Evolving Corporate Reporting Needs of Government and Society: Ar-guments for a Deliberative Approach to Accounting Rule Making. Accounting and Business Research, 43(4), 418-441. https://doi.org/10.1080/00014788.2013.794411

Corazza, L. (2017). The Standardization of Down-Streamed Small Business So-cial Responsibility (SBSR): SMEs and Their Sustainability Reporting Practic-es. Information Resources Management Journal, 30(4), 39-52. doi:10.4018/IRMJ.2017100103

Cuadrado-Ballesteros, B., Martínez-Ferrero, J., & García-Sánchez, I. M. (2017). Mit-igating Information Asymmetry through Sustainability Assurance: The Role of Accountants and Levels of Assurance. International Business Review, 26(6), 1141-1156. https://doi.org/10.1016/j.ibusrev.2017.04.009

Cuckston, T. (2013). Bringing Tropical Forest Biodiversity Conservation into Financial Accounting Calculation. Accounting, Au-diting and Accountability Journal, 26(5), 688–714. https://doi.org/10.1108/AAAJ-02-2013-1231

Cuckston, T. (2017). Ecology-centred Ac-counting for Biodiversity in the Produc-tion of A Blanket Bog. Accounting, Au-diting and Accountability Journal, 30(7), 1537–1567. https://doi.org/10.1108/AAAJ-12-2015-2330

Curran, G. (2017). Social Licence, Corpo-rate Social Responsibility and Coal Seam Gas: Framing the New Politi-cal Dynamics of Contestation. Ener-gy Policy, 101, 427-435. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2016.10.042

Davis, N., & Bisman, J. E. (2015). Annual Reporting by an Australian Govern-ment Department: A Critical Longitudi-nal Study of Accounting and Organisa-tional Change. Critical Perspectives on Accounting, 27, 129-143. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2014.02.001

Dosinta, N. F., Brata, H., & Heniwati, E. (2018). Haruskah Value Creation Ha nya Terdapat pada Integrated Reporting? Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 9(2), 248–266. https://doi.org/10.18202/jamal.2018.04.9015

Egan, M., & Tweedie, D. (2018). A “Green” Accountant is Difficult to Find: Can

Accountants Contribute to Sustain-ability Management Initiatives? Ac-counting, Auditing and Accountability Journal, 31(6), 1749-1773. https://doi.org/10.1108/AAAJ-03-2017-2891

El-Bassiouny, D., & Letmathe, P. (2018). The Adoption of CSR Practices in Egypt: Internal Efficiency or External Legit-imation? Sustainability Accounting, Management and Policy Journal, 9(5), 642-665. https://doi.org/10.1108/SAMPJ-10-2017-0126

Eriksson, P., & Kovalainen, A. (2016). Qual-itative Methods in Business Research (2nd ed.). London: SAGE Publications Ltd.

Ferreira, C. (2017). The Contested Instru-ments of A New Governance Regime: Accounting for Nature and Building Markets for Biodiversity Offsets. Ac-counting, Auditing and Accountability Journal, 30(7), 1568–1590. https://doi.org/10.1108/AAAJ-12-2015-2336

Freeman, M. C., & Groom, B. (2013). Bio-diversity Valuation and the Discount Rate Problem. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 26(5), 715–745. https://doi.org/10.1108/AAAJ-02-2013-1226

Gibassier, D., & Alcouffe, S. (2018). Environ-mental Management Accounting: The Missing Link to Sustainability? Social and Environmental Accountability Jour-nal, 38(1), 1-18. https://doi.org/10.1080/0969160X.2018.1437057

Gillet-Monjarret, C. (2018). Assurance Re-ports Included in the CSR Reports of French Firms: A Longitudinal Study. Sustainability Accounting, Manage-ment and Policy Journal, 9(5), 570-594. https://doi.org/10.1108/SAMPJ-09-2017-0098

Goebel, V. (2015). Is the Literature on Con-tent Analysis of Intellectual Capital Re-porting Heading Towards a Dead End? Journal of Intellectual Capital, 16(3), 681-699. https://doi.org/10.1108/JIC-04-2014-0048

Gong, X., & Cortese, C. (2017). A Socialist Market Economy with Chinese Char-acteristics: The Accounting Annual Report of China Mobile. Accounting Forum, 41(3), 206-220. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2017.04.002

Haller, A., Van-Staden, C. J., & Landis, C. (2018). Value Added as Part of Sustain-

224 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

ability Reporting: Reporting on Distri-butional Fairness or Obfuscation? Jour-nal of Business Ethics, 152(3), 763-781. https://doi.org/10.1007/s10551-016-3338-9

Halati, A., & He, Y. (2018). Intersection of Economic and Environmental Goals of Sustainable Development Initiatives. Journal of Cleaner Production, 189, 813-829. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2018.03.322

Hope, O. K., Thomas, W. B., & Vyas, D. (2017). Stakeholder Demand for Accounting Quality and Economic Usefulness of Ac-counting in U.S. Private Firms. Journal of Accounting and Public Policy, 26(1), 1-13. https://doi.org/10.1016/j.jac-cpubpol.2016.11.004

Hsu, F. J. (2018). Does Corporate Social Responsibility Extend Firm Life-Cycles? Management Decision, 56(11), 2408-2436. https://doi.org/10.1108/MD-09-2017-0865

Jones, M. J. (2010). Accounting for the Envi-ronment: Towards A Theoretical Per-spective for Environmental Accounting and Reporting. Accounting Forum, 34(2), 123–138. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2010.03.001

Khan, T. (2014). Kalimantan’s Biodiversity: Developing Accounting Models to Pre-vent its Economic Destruction. Ac-counting, Auditing and Accountability Journal, 27(1), 150–182. https://doi.org/10.1108/AAAJ-07-2013-1392

Kopnina, H. (2015). If a Tree Falls and Everybody Hears the Sound: Teaching Deep Ecology to Business Students. Journal of Education for Sustainable De-velopment, 9(1), 101–116. https://doi.org/10.1177/0973408215569119

Krippendorff, K. (2013). Content Analysis: An Introduction to its Methodology (3rd ed.). London: SAGE Publications Ltd.

Lanka, S. V., Khadaroo, I., & Böhm, S. (2017). Agroecology Accounting: Bio-diversity and Sustainable Livelihoods from the Margins. Accounting, Audit-ing and Accountability Journal, 30(7), 1592–1613. https://doi.org/10.1108/AAAJ-12-2015-2363

Larrinaga, C., Bebbington, J., & Mo-neva, J. (2008). Corporate Social Re-porting and Reputation Risk Manage-ment. Accounting, Auditing & Account-

ability Journal, 21(3), 337-361. https://doi.org/10.1108/09513570810863932

Laurila-Pant, M., Lehikoinen, A., Uusitalo, L., & Venesjärvi, R. (2015). How to Value Biodiversity in Environmental Management? Ecological Indicators, 55, 1-11. https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2015.02.034

Lee, W. E., & Hageman, A. M. (2018). Talk the Talk or Walk the Walk? An Exam-ination of Sustainability Accounting Implementation. Journal of Business Ethics, 152(3), 725-739. https://doi.org/10.1007/s10551-016-3282-8

Liempd, D. Van, & Busch, J. (2013). Bio-diversity Reporting in Denmark. Ac-counting, Auditing & Accountability Journal, 26(5), 833–972. https://doi.org/10.1108/AAAJ:02-2013-1232

Lisi, I. E. (2015). Translating Environmental Motivations into Performance: The Role of Environmental Performance Mea-surement Systems. Management Ac-counting Research, 29, 27-44. https://doi.org/10.1016/j.mar.2015.06.001

Lueg, K., Lueg, R., Andersen, K., & Dancia-nu, V. (2016). Integrated Reporting with CSR Practices: A Pragmatic Construc-tivist Case Study in a Danish Cultur-al Setting. Corporate Communications, 21(1), 20-35. https://doi.org/10.1108/CCIJ-08-2014-0053

Lutilsky, I. D., Žmuk, B., & Dragija, M. (2016). Cost Accounting as a Possible Solution for Financial Sustainability of Croatian Public Hospitals. Croatian Economic Survey, 18(2), 5-38. https://doi.org/10.15179/ces.18.2.1

Mårtensson, M. (2009). Recounting Counting and Accounting: From Political Arith-metic to Measuring Intangibles and Back. Critical Perspectives on Ac-counting, 20(7), 835–846. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2008.09.006

Maroun, W., & Atkins, J. (2018). The Eman-cipatory Potential of Extinction Ac-counting: Exploring Current Prac-tice in Integrated Reports. Accounting Forum, 42(1), 102-118. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2017.12.001

McNally, M., & Maroun, W. (2018). It is Not Always Bad News: Illustrating the Po-tential of Integrated Reporting Using a Case Study in the Eco-Tourism In-dustry. Accounting, Auditing and Ac-

Heniwati, Asni, Intrinsic Value dari Pelaporan Keanekaragaman Hayati 225

countability Journal, 31(5), 1319-1348. https://doi.org/10.1108/AAAJ-05-2016-2577

Mir, S., Lu, S., Cantor, D., & Hofer, C. (2018). Content Analysis in SCM Research: Past Uses and Future Research Opportuni-ties. International Journal of Logistics Management, 29(1), 152-190. https://doi.org/10.1108/IJLM-09-2016-0200

Naess, A. (2005). The Basics of Deep Ecology. The Trumpeter Journal of Ecosophy, 21(1), 61–71. https://doi.org/10.1038/scientificamerican05201893­314

Nazari, J. A., Hrazdil, K., & Mahmoudian, F. (2017). Assessing Social and Environ-mental Performance through Narra-tive Complexity in CSR Reports. Jour-nal of Contemporary Accounting & Economics, 13(2), 166-178. https://doi.org/10.1016/j.jcae.2017.05.002

Ng, A. W. (2018). From Sustainability Ac-counting to a Green Financing System: Institutional Legitimacy and Market Heterogeneity in a Global Financial Cen-tre. Journal of Cleaner Production, 195, 585-592. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2018.05.250

Perkiss, S., & Tweedie, D. (2017). Social Accounting into Action: Religion as ‘Moral Source’. Social and Environmen-tal Accountability Journal, 37(3), 174-189. https://doi.org/10.1080/0969160X.2017.1312473

Phan, T. N., Baird, K. & Su, S. (2017). The Use and Effectiveness of Environmental Management Accounting. Australasian Journal of Environmental Management, 24(4), 355-374. https://doi.org/10.1080/14486563.2017.1354235

PT ANTAM. (2006). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2006/sr2006.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2007). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2007/SR/ANTAM%20SR%2019%20JUNE.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2008). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2008/FINAL_SRANTM08.pdf (Diak-ses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2009). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.

com/images/stories/joget/file/annu-al/2009/Antam_09SR_Booklet_FA.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2010). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2010/ANTAM_SR_Report_2010.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2011). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2011/SR_PKBL/Sustainability_Re-port_Antam_2011.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2012). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2012/ANTAM_SR_2012.pdf (Diak-ses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2013). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2013/sr_antam_2013.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2014). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2014/sr_antam_2014.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2015). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2015/sr_antam_2015.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2016). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2016/sr_antam_2016.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

PT ANTAM. (2017). Laporan Keberlanjutan. Tersedia pada: http http://www.antam.com/images/stories/joget/file/annu-al/2018/SR%20ANTAM%202017%20HR.pdf (Diakses: 14 Juli 2018).

Rahman, A. M. (2016). Practical Challenge of Content Analysis: An Illustrative Ex-ample from Recoding IC Information in the UK’s Companies Annual Reports. Asian Journal of Accounting Research, 1(2), 71-82. https://doi.org/10.1108/AJAR-2016-01-02-B005

Rambaud, A., & Richard, J. (2015). The “Tri-ple Depreciation Line” Instead of the “Triple Bottom Line”: Towards a Genuine Integrated Reporting. Crit-ical Perspectives on Accounting, 33,

226 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 207-226

92-116. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2015.01.012

Riduwan, A., & Andayani, A. (2018). Per-an Akuntansi dalam Pertanggung-jawaban Sosio-Ekologi. Jurnal Akun-tansi Multiparadigma, 9(2), 205-222. https://ddoi.org/10.18202/jamal.2018.04.9012

Rimmel, G., & Jonäll, K. (2013). Biodiversity Reporting in Sweden: Corporate Dis-closure and Preparers’ Views. Ac-counting, Auditing and Accountability Journal, 26(5), 746-778. https://doi.org/10.1108/AAAJ-02-2013-1228

Salovaara, P. (2018). Accounting for the Messiness of the Research Process: The Fieldpath Approach. Qualitative Re-search in Organizations and Manage-ment: An International Journal, 13(4), 315-332. https://doi.org/10.1108/QROM-06-2017-1536

Samkin, G., Schneider, A., & Tappin, D. (2014). Developing a Reporting and Evaluation Framework for Biodiversity. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 27(3), 527–562. https://doi.org/10.1108/AAAJ-10-2013-1496

Sessions, G., & Naess, A. (1986). The Basic Principles of Deep Ecology. The Trum-peter, 3(4), 14-17.

Seuring, S., & Gold, S. (2012). Conducting Content Analysis based Litera-ture Reviews in Supply Chain Man-agement. Supply Chain Manage-ment, 17(5), 544-555. https://doi.org/10.1108/13598541211258609

Siddiqui, J. (2013). Mainstreaming Biodiver-sity Accounting: Potential Implica-tions for A Developing Economy. Ac-counting, Auditing and Accountability Journal, 26(5), 779–805. https://doi.org/10.1108/AAAJ-03-2013-1242

Singh, S., Holvoet, N., & Pandey, V. (2018). Bridging Sustainability and Corporate Social Responsibility: Culture of Moni-toring and Evaluation of CSR Initiatives in India. Sustainability, 10(7), 1-19. https://doi.org/10.3390/su10072353

Sitorus, J. H. E. (2016). Pancasila-based Social Responsibility Accounting. Proce-

dia - Social and Behavioral Sciences, 219, 700–709. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.05.054

Tufa, R. A. (2015). Perspectives on Envi-ronmental Ethics in Sustainability of Membrane based Technologies for Water and Energy Production. Envi-ronmental Technology & Innovation, 4, 182-193. https://doi.org/10.1016/j.eti.2015.07.003

Watling, J., Mayle, F. E., & Schaan, D. (2018). Historical Ecology, Human Niche Construction and Landscape in pre-Co-lumbian Amazonia: A Case Study of the Geoglyph Builders of Acre, Brazil. Jour-nal of Anthropological Archaeology, 50, 128-139. https://doi.org/10.1016/j.jaa.2018.05.001

Velte, P., & Stawinoga, M. (2017). Integrated Reporting: The Current State of Em-pirical Research, Limitations and Fu-ture Research Implications. Journal of Management Control, 28(3), 275-320. https://doi.org/10.1007/s00187-016-0235-4

Veltri, S., & Silvestri, A. (2015). The Free State University Integrated Reporting: A Critical Consideration. Journal of Intel-lectual Capital, 16(2), 443-462. https://doi.org/10.1108/JIC-06-2014-0077

Venkatraman, S., & Nayak, R. R. (2015a). Relationships among Triple Bottom Line Elements: Focus on Integrating Sustainable Business Practices. Jour-nal of Global Responsibility, 6(2), 195-214. https://doi.org/10.1108/JGR-04-2012-0013

Vourvachis, P., & Woodward, T. (2015). Con-tent Analysis in Social and Environ-mental Reporting Research: Trends and Challenges. Journal of Applied Account-ing Research, 16(2), 166-195. https://doi.org/10.1108/JAAR-04-2013-0027

Werasturi, D. (2017). Konsep Corporate So-cial Responsibility berbasis Catur Pu-rusa Artha. Jurnal Akuntansi Multipa-radigma, 8(2), 319-335. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.08.7057