hubungan masyarakat asimetris dan simetris

15
1 Hubungan Masyarakat Simetris dan Asimetris: Sebuah Analisa Teoritis Budi Santoso* ABSTRACT Public Relations (PR), in short, is communication activities conducted by organizations to maintain their relationship with their public in order to keep the good things of their (corporate) image. An organization applies PR strategies to seize their internal and external publics by constructing and implementing overall planning, execution, and evaluation. In the world of public relations, there are two parties that principally have different considerations, i.e., what-so-called symmetrical and asymmetrical perspectives. Scholars (academics) and practitioners take part to bring their judges out to what can exactly be the best way in exerting PR activities. Symmetrical PR gives a strong point that an organization should be able to cooperate and maintain outstanding relations to its public by providing true information and not to manipulate it. The objective of symmetrical PR is to create an idealistic condition where an organization can operate well in conducting its activities. On the other hand, asymmetrical PR believes that an organization may manipulate facts or knowledge given to its public in order to keep the ongoing process in the whole system carried out in such a way without any critical turmoil and public takes it as the truth. Keywords: public relations, symmetrical, asymmetrical, communication, organization PENDAHULUAN Hubungan Masyarakat (Humas) adalah sebuah istilah populer yang berhubungan erat dengan fungsi relasi antara organisasi dengan publiknya (secara khusus disebut stakeholder), baik internal (manajer, penyelia, anggota, karyawan) maupun eksternal (pemerintah, masyarakat, organisasi lain). Humas merupakan sebuah kegiatan komunikasi organisasi karena terjadi dan dan dijalankan dalam suatu sistem yang terstruktur baik itu berorientasi laba (profit) maupun nirlaba (non profit). Meskipun humas terkadang dipertimbangkan sebagai kekuatan keempat (the fourth pillar) dalam manajemen organisasi (Glenn dan Grisworld, 1975 dalam Ruslan, 2007) keberadaannya seringkali dimarjinalisasi dimana sebuah organisasi dianggap tetap akan beroperasi secara normal meskipun tidak ada departemen khusus yang mengurusi hubungan masyarakat. Padahal,

Upload: stisipol-candradimuka-palembang

Post on 18-Jul-2015

358 views

Category:

Education


8 download

TRANSCRIPT

1

Hubungan Masyarakat Simetris dan Asimetris: Sebuah Analisa Teoritis

Budi Santoso*

ABSTRACT

Public Relations (PR), in short, is communication activities conducted by organizations

to maintain their relationship with their public in order to keep the good things of their

(corporate) image. An organization applies PR strategies to seize their internal and

external publics by constructing and implementing overall planning, execution, and

evaluation. In the world of public relations, there are two parties that principally have

different considerations, i.e., what-so-called symmetrical and asymmetrical perspectives.

Scholars (academics) and practitioners take part to bring their judges out to what can

exactly be the best way in exerting PR activities. Symmetrical PR gives a strong point

that an organization should be able to cooperate and maintain outstanding relations to

its public by providing true information and not to manipulate it. The objective of

symmetrical PR is to create an idealistic condition where an organization can operate

well in conducting its activities. On the other hand, asymmetrical PR believes that an

organization may manipulate facts or knowledge given to its public in order to keep the

ongoing process in the whole system carried out in such a way without any critical

turmoil and public takes it as the truth.

Keywords: public relations, symmetrical, asymmetrical, communication, organization

PENDAHULUAN

Hubungan Masyarakat (Humas) adalah sebuah istilah populer yang berhubungan

erat dengan fungsi relasi antara organisasi dengan publiknya (secara khusus disebut

stakeholder), baik internal (manajer, penyelia, anggota, karyawan) maupun eksternal

(pemerintah, masyarakat, organisasi lain). Humas merupakan sebuah kegiatan komunikasi

organisasi karena terjadi dan dan dijalankan dalam suatu sistem yang terstruktur baik itu

berorientasi laba (profit) maupun nirlaba (non profit). Meskipun humas terkadang

dipertimbangkan sebagai kekuatan keempat (the fourth pillar) dalam manajemen

organisasi (Glenn dan Grisworld, 1975 dalam Ruslan, 2007) keberadaannya seringkali

dimarjinalisasi dimana sebuah organisasi dianggap tetap akan beroperasi secara normal

meskipun tidak ada departemen khusus yang mengurusi hubungan masyarakat. Padahal,

2

humas sangat berperan sebagai pemberi peringatan awal apabila organisasi berpotensi

untuk atau sedang mengalami konflik atau krisis, semisal kesalahan produksi yang

mengakibatkan korban dari masyarakat (undesired victims) maupun kekeliruan dalam

pengambilan keputusan manajemen yang bisa berujung pada kehilangan citra organisasi

(lost of image) akibat dari opini publik yang berkembang tidak sesuai harapan (Ruslan,

2007).

Secara teoritis, humas merupakan bagian komunikasi organisasi. Komunikasi

organisasi mempunyai ruang kerja lebih luas dan menyeluruh, melingkupi segala elemen-

elemen yang berperan dalam sistem organisasi tersebut. Sementara humas lebih kepada

pengelolaan untuk pembentukan dan pemeliharaan hubungan antara organisasi dengan

publiknya. Idealnya, apabila kita ingin memahami humas lebih jauh lagi, kita mesti pula

mengetahui tentang prinsip-prinsip atau teori-teori yang membahas seputar organisasi,

sehigga kita dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya peran humas dalam sebuah sistem

organisasi yang kompleks, meskipun hal tersebut bukan merupakan bahasan kita saat ini.

Istilah humas merupakan padanan dari kata Public Relations (PR) dalam bahasa

Inggris. Ardianto (2008) menyebutkan bahwa humas mepunyai banyak nama lain seperti

public affairs, corporate communications, corporate relations maupun corporate affairs.

Namun, penulis tidak sepenuhnya mendukung pendapat ini, karena istilah- istilah yang

disebutkan di atas mempunyai spesifikasi dan tataran teoritis sendiri, meskipun sama-sama

berhubungan dengan publik ataupun stakeholder yang berpengaruh pada pelaksanaan

manajemen sebuah organisasi. Public Affairs, sebagai contoh, sesungguhnya bagian dari

kegiatan PR yang dilakukan sebuah organisasi dalam membina hubungan dengan dan atau

mempengaruhi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomis, sosial,

maupun politis yang dapat memberikan keuntungan kepada organisasi baik langsung

maupun tidak langsung (Becht, 2007).

3

Humas dapat dikatakan sebagai terapan dari ilmu komunikasi yang sangat terbuka

untuk didefinisikan. Praktik humas banyak diformalisasikan dalam bentuk akademik, yang

dapat dipelajari, dikembangkan teori- teorinya, sehingga para praktisi dapat mencari bentuk

terbaik dalam mencari pola hubungan yang tepat bagi organisasi untuk berinteraksi dan

berkomunikasi ataupun menjalankan kegiatan persuasi kepada publiknya.

Sebagai contoh, dalam ranah akademis, banyak teori- teori komunikasi (terutama

berhubungan media) yang kemudian digunakan oleh praktisi humas dalam merencanakan,

menjalankan, dan mengevaluasi praktik kehumasan seperti teori agenda setting, difusi

inovasi, dan uses and gratification. Namun dalam artikel ini, penulis akan menelaah

konsepsi humas sebagai suatu bentuk komunikasi yang dijalankan oleh suatu organisasi

yang notabene adalah sebuah sistem yang terstruktur dan kompleks (bukan pribadi) serta

mempunyai peran sosial dalam masyarakat (publik)nya baik internal maupun eksternal.

Pembahasan mengenai humas yang simetris dan asimetris berawal disini, yaitu bagaiman

peran sesungguhnya dari humas yang ditawarkan kepada publiknya. Untuk kepentingan

siapa kehumasan dilakukan serta metode atau strategi seperti apa yang beretika dan tidak,

sehingga ia disebut simetris dan asimetris.

BATASAN HUBUNGAN MASYARAKAT

Humas mempunyai ragam definisi. Dari sekian banyak definisi tersebut, penulis

mengambil definisi yang dirumuskan oleh Curtin dan Gaither (dalam Grunig, 1992)

“Public relations is a communicative process; that is, it involves some form of

communication, whether it be written, verbal, or neither, as a purposeful choice, and it is a

process. Grunig dan Hunt (1984) sepakat mengartikan humas sebagai “management of

communication between an organization and its public”.

4

Humas lebih dari sekedar publisitas atau teknik komunikasi terbatas (semisal pembuatan

press release dan konferensi pers) namun lebih pada totalitas dalam perencanaan,

pelaksanaan program, dan evaluasi atau penilaian dari sistem kegiatan komunikasi

organisasi atau perusahaan dengan publik.

Sekilas, humas seolah terlihat sebagai suatu bagian dari organisasi atau perusahaan

yang hanya memainkan peranan apabila organisasi atau perusahaan tersebut mengalami

permasalahan dengan publik dan perlu adanya pemulihan nama baik atau pembangunan

kembali citra (image) organisasi akibat suatu masalah. Akan tetapi, humas lebih dari

sekedar hal tersebut. Ada proses sebelum, saat, dan sesudah suatu peristiwa yang bersifat

sirkulair.

Secara keilmuan, banyak teoritisi dan praktisi dari kehumasan yang tertarik untuk

memecahkan persoalan mendasar akan arti penting keberadaan humas dalam kegiatan

organisasi dalam mencapai visi dan misinya, baik sosial maupun bisnis. Termasuk

didalamnya adalah apa sesungguhnya tujuan dan efek yang dihasilkan oleh suatu kegiatan

kehumasan. Sebagian menyatakan bahwa kegiatan kehumasan merupakan manipulasi

terhadap fakta dan data, sebagian mengatakan sebagai aktivitas diseminasi informasi

kepada publik, pengentasan konflik, atau juga pencarian kesalingpengertian. Hal ini

kemudian berkembang menjadi perdebatan yang sampai sekarang terus berlangsung.

ASUMSI FILOSOFIS HUBUNGAN MASYARAKAT

Dalam menganalisa hubungan masyarakat, secara garis besar terbagi dalam dua

kutub, yaitu kutub akademis (scholars) dan praktisi (practitioners). Perbedaan yang

muncul dari dua kutub ini tidak hanya seputar definisi melainkan juga tujuan dan akibat

dari aktivitas hubungan masyarakat yang diaplikasikan suatu organisasi. Karenanya, dari

perbedaan tersebut, ada yang menyebutkan bahwa tujuan dari kegiatan humas adalah untuk

memanipulasi publik, dalam artian bagaimana kegiatan humas dapat, misalkan,

5

meningkatkan citra suatu organisasi atau perusahaan tanpa melihat nilai-nilai normatif

yang sebenarnya terjadi. Sementara asumsi lain menyetujui apabila humas sudah

seharusnya digunakan untuk kepentingan publik secara umum, dalam hal diseminasi

informasi, resolusi konflik dan sebagainya, karena organisasi tidak boleh memanipulasi

publik.

Sebagaimana dari sisi akademis, para praktisi humas juga menginginkan suatu

pengakuan terhadap keyakinan mereka. Hal ini menjadi semacam jaminan bahwasannya

strategi yang disusun dapat memberikan hasil yang dapat diprediksi dalam kondisi tertentu

dan memberikan solusi yang tepat. Para akademisi dan praktisi humas tentu ingin

mendapatkan suatu strategi komunikasi yang aplikatif dalam mengatasi permasalahan

yang dihadapi oleh suatu organisasi, dalam hal pemilahan dan pembidikan publik,

mengukur efek dari program komunikasi yang dilaksanakan, mendapatkan dukungan

fungsi komunikasi dari manajemen, memahami peran dan sifat dari praktisi humas itu

sendiri, komunikasi sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan karyawan (conducive

organizational athmosphere), memahami interaksi yang timbul antara kehumasan dan

pemasaran (marketing), ataupun memberikan arahan bagaimana seharusnya sebuah

organisasi berperan dalam sebuah sistem pemerintahan (Grunig, 1992).

Dalam ranah kehumasan, sisi teoritis dan praktis berbeda dalam metode

(pendekatan) dan strategi yang digunakan. Mengapa demikian? Penyebabnya adalah, teori-

teori yang diterapkan, yang mendasari metode, pendekatan ataupun strategi tersebut

berbeda. Secara umum, terdapat dua level teori, yaitu presuposisi dan proposisi. Para

praktisi kehumasan cenderung berpegang pada level proposisi yang berciri khas pada

pernyataan “jika – maka”. Sebagai contoh, jika sebuah organisasi mempunyai kredibilitas

yang tinggi, maka aktivitas komunikasi yang dilakukan akan semakin persuasif sifatnya.

6

Dalam tingkatan proposisi, aktivitas humas bahkan semata diperuntukkan untuk menjaga

eksistensi organisasi, tanpa melihat aspek kepentingan publik.

Sementara itu, level presuposisi bermula dari apa yang dapat dilakukan organisasi

dalam masyarakat. Praktisi memandang humas semata-mata sebagai cara komunikasi

untuk membantu klien dalam mencapai tujuannya. Pandangan seperti ini, menurut Grunig

disebut dalam berbagai tingkatan peran sosialnya yaitu, pertama, Pragmatic, dengan

asumsi bahwa humas adalah sebuah aktivitas yang berguna untuk memberikan nilai

tambah bagi klien dalam mencapai tujuannya. Kedua adalah Neutral, humas dipandang

sebagai objek studi yang netral, sama halnya dengan masyarakat itu sendiri. Dimana para

akademisi atau ilmuwan bebas dalam menelaah atau menelitinya. Menurut pandangan ini,

para peneliti dapat mengungkap motivasi apa yang ada dibalik kegiatan kehumasan yang

dilakukan para praktisi serta bagaimana mereka memandang peranan sosial mereka dalam

masyarakat.

Ketiga, Conservative, humas dipandang sebagai bagian dari suatu sistem ekonomi

dengan berfungsi alat untuk memelihara kelanggengan sistem tersebut. Keempat, Radical,

disini, pengharapan akan peran humas sangat besar, yaitu sebagai aktivitas komunikasi

yang digunakan untuk perbaikan, pembaruan ataupun perubahan sosial yang diinginkan.

Dari sisi ini, peran humas ditentukan oleh kekuatan ideologi dan politis yang

memanfaatkannya. Conservative dan Radical mengasumsikan bahwa komunikasi

organisasional (komunikasi yang dilakukan oleh sebuah organisasi – humas) bisa

menimbulkan pengaruh yang luar biasa dalam sistem kemasyarakatan. Mereka

memandang humas sebagai alat yang dipergunakan dalam “perang” antar kelompok sosial

yang bertentangan, baik ideologi, pandangan politik, ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan

yang diaplikasikan untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial yang ada.

7

Inilah yang disebut dengan presuposisi asimetris. Sehingga ia bisa diartikan

bahwa komunikasi dimanfaatkan untuk memanipulasi publik, organisasi lain dan bahkan

otoritas berwenang untuk kepentingan kelompok atau organisasi tertentu. Tidak ada win –

win solutions, melainkan win – lose solutions.

Pandangan yang berlawanan dengan diatas adalah Idealistic, yaitu humas

diposisikan sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan organisasi-organisasi dan

publiknya berhubungan dalam sebuah sistem yang sangat pluralistis demi menjaga

kesalingtergantungan (interdepedency) dan konflik. Fungsi humas ini menekankan pada

presuposisi simetris, dimana humas bukanlah sebagai alat untuk memperoleh kemenangan

an sich, namun lebih dari itu adalah sebagai alat yang digunakan untuk megelola konflik

sedemikian rupa sehingga interaksi yang terjadi antar kelompok atau organisasi bersifat

positif dan solusi yang diperoleh adalah untuk kepentingan bersama.

Oleh karena itu, apabila humas dipandang sebagai praktik untuk melayani

kepentingan publik atau masyarakat, untuk mengembangkan pengertian bersama antara

organisasi dan stakeholdernya, dan untuk memberikan kontribusi dalam penyebarluasan

informasi dalam sistem kemasyarakatan, maka humas tersebut bersifat simetris.

Pandangan yang terakhir, menurut Grunig adalah Critical, dimana humas dan

bahkan sistem komunikasi skala luas dalam suatu organisasi dipandang sebagai sistem

kemasyarakatan secara luas, yang terstruktur sehingga dimungkinkan untuk didekonstruksi

dan direkonstruksi. Pandangan ini cenderung mengedepankan aspek kritis dalam

kehumasan seperti misalnya etika, konsekuensi negatif dari kegiatan yang dilakukan dan

sebagainya.

SIMETRI DAN ASIMETRI DALAM KOMUNIKASI

Sebelum kita menginjak lebih jauh mengenai simetri dan asimetri dalam humas.

Ada baiknya kita sedikit menelaah bagaimana hal tersebut bisa terjadi dalam induk humas,

8

yaitu komunikasi dan tempat dimana ia berjalan, yaitu organisasi. Komunikasi bisa bersifat

asimetris apabila dilakukan secara tidak etis (SARA), tidak bertanggung jawab, dan juga

tidak efektif.

Hal ini bisa terjadi karena para praktisi komunikasi beranggapan bahwa mereka

lebih mengetahui apa yang diinginkan publik, bukan apa sesungguhnya yang diinginkan

publik itu sendiri. Dengan begitu, maka kebaikan untuk publik ditentukan oleh mereka,

dan tentu saja hal ini bersifat fatal dalam konteks tertentu. Kesalahan seperti ini terjadi

dalam tata pemerintahan sentralisasi secara umum, dimana pusat memasok ide

pembangunan kepada daerah, dan daerah harus melaksanakan instruksi tersebut, meskipun

mereka tidak atau belum membutuhkannya.

Lebih lanjut, mesikpun para praktisi humas asimetris beranggapan bahwa mereka

mempunyai kesadaran sosial dan melakukan hal tersebut untuk kepentingan bersama

(mutual understanding) itu sendiri namun hal tersebut adalah suatu keadaan yang

mengada-ada. Grunig berpendapat bahwa kepentingan bersama yang dimaksudkan oleh

penganut humas asimetris adalah membohongi diri sendiri (self-deceptive). Hal ini

terungkap dalah pendapatnya sebagai berikut (yang diterjemahkan secara bebas oleh

penulis):

“meskipun pandangan asimetris terlihat masuk akal, penting untuk diketahui bahwa

organisasi seringkali mengharapkan publik untuk menerima hal-hal yang bertentangan dengan logika, sebagai hasil dari “kerjasama”: polusi, sampah

beracun, rokok, minuman keras, senjata api, kekuasaan berlebih dari pemerintah, produk-produk yang membahayakan (kesehatan), keuntungan perusahaan yang rendah, diskriminasi terhadap perempuan dan kaum minoritas, PHK, dan

seterusnya… Daftar ini sangat penting karena banyak dari organisasi (perusahaan) yang melakukan hal tersebut di atas percaya bahwa publik menerima apa saja yang

mereka sampaikan (melalui kegiatan humas). (Grunig, 2008, hal. 40)

Oleh karena itu, sangat sulit untuk mengharapkan sebuah aktivitas humas asimetris

untuk berperan dengan logika yang etis dan bertanggung jawab, karena pada dasarnya

9

humas dimanipulasi untuk kepentingan organisasi itu saja. Pendapat dari Grunig

bertentangan dengan Miller (1989 dalam Grunig dan White, 1992) yang menyatakan

bahwa humas demikian adanya karena ia berkaitan erat dengan persuasi. Humas adalah

kegiatan komunikasi dan persuasi adalah komunikasi dengan nama yang berbeda.

Mengapa Miller berpendapat demikian? Karena secara hakiki komunikasi adalah usaha

yang dilakukan oleh individu-individu untuk berinteraksi dan selanjutnya mengontrol

lingkungan simbolis mereka. Miller kemudian mendefinisikan humas sebagai sebuah

proses yang menitikberatkan pada penerapan kontrol simbolis terhadap aspek-aspek

tertentu dari lingkungan. Sehingga, konsekuensinya adalah, kapanpun kontrol terhadap

lingkungan bersatu dengan sikap dan perilaku pihak lain, maka usaha yang dilakukan

untuk mengontrol sikap dan perilaku tersebut tidak terhindarkan.

SIMETRI DAN ASIMETRI DALAM ORGANISASI

Sebagai bagian dari sistem, humas mempunyai cakupan ke berbagai subsistem dalam

sebuah organisasi. Mengetahui simetri dan asimetri dalam organisasi sama penting dengan

mengetahui hal yang sama dalam komunikasi dengan tujuan untuk dapat memberikan

penjelasan yang tepat tentang simetri dan asimetri dalam humas. Menurut Grunig, terdapat

beberapa presuposisi yang menunjukkan bahwa sebuah organisasi menjalankan fungsinya

secara simetris (Grunig, 1989 dalam Grunig 1992).

1. Interdependence (salingketergantungan). Meskipun suatu organisasi mempunyai

pembatas dengan lingkungan luarnya, ia tidak dapat memisahkan diri dengan

lingkungan tersebut. Artinya, eksistensi koneksi dengan lingkungan bisa meliputi

banyak hal, baik bersifat ekonomis, sosial, politis, maupun budaya.

2. Open system (sistem terbuka). Sebuah organisasi layaknya sebuah ranah publik

(public space) yang bisa “dimasuki” oleh siapa saja. Maksudnya adalah sebuah

10

organisasi harus selalu siap untuk menerima sekaligus memberi input atau

informasi dari dan kepada sistem-sistem lain yang terhubung dengan dirinya.

Tentu saja, tidak semua informasi bisa dipertukarkan.

3. Moving Equilibrium (keseimbangan yang selalu berproses). Dalam hubungannya

dengan sistem-sistem lain, sebuah organisasi akan selalu mencari pola-pola yang

menuju pada keseimbangan hubungan dengan sistem-sistem lain tersebut. Kontrol

terhadap sistem yang lain, adaptasi terhadap sistem yang lain, ataupun kerjasama

bisa membentuk suatu keseimbangan bagi sebuah organisasi.

4. Equity (kesamaan). Karena organisasi merupakan sistem yang terdiri dari subsitem-

subsitem, maka kerjasama antar subsitem tersebut tidak terelakkan. Dalam

pandangan organisasi yang simetris, individu- individu yang tergabung dalam

subsistem-subsistem tersebut harus diberikan peluang yang sama untuk meraih

prestasi (achievement), tanpa adanya diskriminasi latar belakang pendidikan,

gender, ataupun jabatan.

5. Autonomy (otonomi). Menurut Grunig, otonomi yang diberikan kepada individu

akan semakin membuka keran inovasi, kreativitas, dan kepuasan kerja. Kontrol

tetap diperlukan, namun diterapkan secara proporsional dan adil.

6. Innovation (inovasi). Organisasi harus mulai mempertimbangkan untuk

mengakomodasi ide- ide baru yang inovatif dan bebas, alih-alih mempertahankan

sistem kerja yang tradisional atas nama efisiensi.

7. Decentralization of management (desentralisasi manajemen). Aspek ini berkaitan

dengan kepuasan anggota organisasi dan kemungkinan terciptanya inovasi- inovasi

baru. Dalamm era persaingan usaha dan pemikiran yang semakin ketat, manajer

atau yang setingkat mesti mengambil posisi sebagai partner untuk bawahannya

alih-alih sebagai atasan.

11

8. Responsibility (tanggung jawab). Konsekuensi logis dari aktivitas organisasi adalah

eksistensi tanggung jawab. Organisasi dan anggota-anggotanya mempunyai

tanggung jawab publik atas apa yang mereka lakukan. Apa yang dilakukan oleh

seorang anggota organisasi sebagai anggota masyarakat biasa bisa jadi dikaitkan

dengan organisasinya.

9. Conflict of resolution (resolusi konflik). Setiap interaksi berpotensi menimbulkan

konflik. Tugas dari organisasi adalah meminimalisir kemungkinan-kemungkinan

konflik melalui perencanaan dan aktivitas komunikasi. Apabila konflik telah

terjadi, maka ia harus diatasi dengan cara-cara yang simetris, yaitu negosiasi,

komunkasi terbuka, dan kompromi.

10. Interest-group liberalism. Pandangan ini mengetengahkan suatu gagasan bahwa

sistem politik memberikan peluang akan adanya negosiasi terbuka (open

negotiation) dengan kelompok-kelompok kepentingan.

Sementara itu pandangan asimetris dari organisasi adalah sebagai berikut:

1. Internal orientation (orientasi internal). Kesalahan terbesar dari anggota suatu

organisasi adalah ketika mereka menilai sistem atau subsistem diluar mereka

menggunakan kacamata mereka sendiri. Hal ini berpotensi menimbulkan sikap

menang sendiri dan cenderung untuk mengurangi probabilitas kerjasama dengan

sistem atau subsistem lain. Dan meskipun terjadi interaksi dan komunikasi, maka

kemungkinan terbentuk manipulasi, dan konflik sangat besar.

2. Efficiency (efisiensi). Istilah efisien(si) dianggap sebagai suatu hal yang semestinya

dalam menjalankan sebuah organisasi. Akan tetapi dalam persaingan usaha ketat,

efisiensi, yang bermula dari ide penghematan (cost efficiency), akan menyebabkan

stagnansi karena inovasi anggota terkekang.

12

3. Elitism (elitisme). Dalam konsep elitisme, pemimpin organisasi (termasuk manajer

dan penyelia) dianggap mengetahui segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan

mereka dibandingkan dengan anggota biasa dan stakeholdernya. Dalam konteks

keorganisasian, hal tersebut akan membahayakan iklim komunikasi organisasi

karena bawahan cenderung menutup diri untuk memberikan ide-ide kreatif mereka

(Coady, 2007).

4. Conservatism (konservatisme). Dalam pandangan konservatif, status quo lebih

disukai daripada perubahan. Usaha-usaha yang timbul untuk melakukan perubahan

dianggap sebagai subversive karena mengganggu “stabilitas” yang telah terbentuk.

5. Tradition (tradisi). Tradisi disini diartikan sebagai usaha yang dilakukan organisasi

untuk mempertahankan nilai-nilai luhur yang dianut. Budaya organisasi perlu

dipertahankan karena dipandang sebagai pembentuk dari kesuksesan. Tradisi baik

bisa dipertahankan, namun sesuatu yang bisa menghambat kemajuan dari

organisasi perlu didekonstruksi atau restrukturisasi.

6. Central authority (otoritas sentral). Pemimpin organisasi mempunyai kewenangan

yang sangat besar dalam menjalankan roda organisasi, sementara anggota biasa

hanya sebagai pion. Sama dengan aspek sebelumnya, otoritas sentral dapat

mengekang kreativitas anggota dan mematikan inovasi.

SIMETRI DAN ASIMETRI DALAM HUBUNGAN MASYARAKAT

Ketika menelaah sifat simetris dan asimetris dalam hubungan masyarakat,

aspek-aspek yang telah dijelaskan sebelumnya memberikan kontribusi teoritis yang

signifikan. Dalam pandangan simetris dan asimetris pada komunikasi dan

organisasi, maka benang merah yang diperoleh adalah bahwa situasi logis dari

suatu organisasi, selain dari aktivitas utamanya (produksi barang, jasa, informasi,

13

ataupun pelayanan publik), adalah menyediakan informasi sekaligus memberikan

iklim yang terbuka bagi adanya interaksi dan komunikasi dengan publiknya. Publik

tidak hanya dilibatkan pada saat organisasi mengalami masalah, akan tetapi

hubungan tersebut merupakan suatu proses berkesinambungan.

Utamanya, humas yang simetris adalah memberikan arahan yang ideal

tentang peran kegiatan kehumasan. Humas tidak akan mencapai peran terbaiknya

apabila organisasi menjalankan budaya otoriter, manipulatif, ataupun mengekang

kreativitas anggota. Humas yang asimetris adalah ketika organisasi memcoba

untuk mengubah publik opini namun mereka tidak berusaha untuk mengubah

perilaku atau budaya organisasi sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan publiknya.

Selain itu, humas memanfaatkan media, baik internal maupun massa, dengan luar

biasa untuk memanipulasi data dan informasi tentang organisasi mereka. Informasi

tentang organisasi yang disebarkan hanya yang bersifat kamuflase untuk menutupi

keadaan sebenarnya.

Dalam bahasan akademis terdapat dua teori dari sisi ideal perspektif yang

menyangkut hubungan masyarakat yang bersifat etis , yaitu utilitarian dan

deontologi (Grunig dan White, 1992). Teori yang berbasiskan utilitarian berpijak

pada aspek-aspek praktis dari sebuah perilaku, yang merupakan konsekuensi yang

timbul terhadap orang, kelompok lain, atau publik. Sementara deontologi

menekankan pada prinsip-prinsip universal normatif mengena baik dan buruk dari

sebuah perilaku.

Ditilik dari hal tersebut di atas, humas yang bersifat asimetris cenderung

untuk mengadopsi teori yang berdasar pada teori utilitarian. Meskipun begitu,

adalah sulit untuk dikatakan bahwa mereka (praktisi) yang berlandaskan pada teori

ini menerapkan humas asimetris. Humas yang asimetris bisa jadi beretika apabila

14

konsekuensi yang timbul dari aktivitas kehumasan yang mereka lakukan tidak

memberikan dampak negatif bagi publik.

Namun, pemikiran dilematis akan timbul ke permukaan saat terbentur pada

pertanyaan apakan mungkin pendekaran humas asimetris menjalankan aktivitas

kehumasannya secara etis? Sebagai contoh, apakah pesan publik tentang pemberian

bantuan bencana alam yang diberikan oleh sebuah perusahaan tambang yang

notabene merusak lingkungan dapat disebut beretika?

Grunig dan White (1992) mengedepankan pada suatu kerangka pemikiran

bahwa etika tidak mesti dilihat dari hasil (outcomes) dari suatu kegiatan kehumasan

yang dilakukan, melainkan pada motivasi untuk melibatkan etika pada proses

pelaksanaan kegiatan kehumasan tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Pearson (1989 dalam Grunig dan

White, 1992) yang menyatakan bahwa pendekatan atas etika bermula dari

keyakinan moral (moral conviction) dan toleransi (tolerance). Apabila proses

pelaksanaan kegiatan humas dimulai, maka organisasi (melalui pelaksana humas)

memasukkan unsur-unsur moral pada strategi atau produk humas yang mereka

hasilkan. Namun, penting untuk diingat bahwa standar moral pun berbeda.

Disinilah perdebatan bisa terjadi sehingga negosiasi dan toleransi dibutuhkan.

KESIMPULAN

Kegiatan kehumasan dilakukan oleh sebuah organisasi untuk mencapai

pengertian bersama dengan publiknya. Dalam pandangan humas yang simetris

pengertian bersama tersebut dicapai melalui pengelolaan konflik yang profesional

dengan memberikan solusi positif untuk peningkatan pemahaman bersama,

sekaligus membangun hubungan yang kondusif dengan publik. Sementara humas

15

asimetris memandang bahwa kegiatan humas sesungguhnya bukanlah aktivitas

moral untuk memenangkan hati publik dengan terbangunnya opini yang positif,

akan tetapi bagaimana publik menerima apa yang dipertimbangkan sebagai

kebenaran oleh organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, E. (2009). In Public Relations Praktis. Bandung: Widya Padjadjaran.

Becht, A. (2007, November 15). Lecture on Media Relations. Media Relations . The Hague, The

Netherlands: The Hague University of Professional Education.

Coady, A. (2007, November 15). Lecture on Public Affairs. Public Affairs . The Hague, The

Netherlands: The Hague University of Professional Education.

Grunig, J. E. (1992). Communications, Public Relations, and Effective Organizations. In

Excellence in Public Relations and Communication Management. Hillsdale, New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates.

Grunig, J. E., & Hunt, T. (1984). In Managing Public Relations. New York: Holt, Rineheart,

Winston.

Grunig, J. E., & White, J. (1992). The Effect of Worldviews on Public Relations Theory and

Practice. In J. E. Grunig (Ed.), Excellence in Public Relations and Communication Management

(pp. 65 - 86). Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Ruslan, R. (2007). In Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi

(Edisi Revisi ed.). Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.

*Dosen PNSD Kopertis Wilayah II Dpk Universitas Ratu Samban Bengkulu Utara