hubungan antara integrity - despair
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA INTEGRITY DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANJUT USIA
DI PANTI SOSIAL TRISNA WREDHA MELANIA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi tugas sebagai persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
Donna Olivia
105070002230
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H / 2010 M
DAFTAR ISI
Pernyataan ………………………………………………………………….. ii
Lembar Pengesahan ………………………………………………………… iv
Moto …………………………………………………………………………... v
Abstrak ………………………………………………………………………. vi
Kata Pengantar ……………………………………………………………… viii
Daftar Isi …………………………………………………………………….. x
Daftar Tabel …………………………………………………………………. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………… 1
1.2 Batasan Masalah…………………………………………………………. 7
1.4 Rumusan Masalah……………………………………………………….. 9
1.5 Tujuan dan Manfaat……………………………………………………… 9
1.6 Sistematika Penulisan…...………………………………………………. 10
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
2.1 Integrity ….……………………………………………………………..... 11
2.1.1 Teori Erikson……………………………………………………. 11
2.1.2 Tahapan Perkembangan Psikososial Bayi Sampai Dewasa ….… 14
2.1.3 Integrity Pada Lanjut Usia ………………..……………………. 16
2.2 Psychological Well Being
2.2.1 Definisi Psychological Well-Being…………………………….. 18
2.2.2 Dimensi Psychological Well-Being……………………………. 20
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological
Well-Being……………………………………………………... 23
2.2.4 Psychological Well-Being Lanjut Usia………………………… 26
2.3 Lanjut usia
2.3.1 Definisi Lanjut Usia…………………………………………….. 28
2.3.2 Keadaan Lanjut Usia……………………………………………. 30
2.3.3 Batasan-Batasan Umur Lanjut Usia…………………………….. 33
2.3.4 Tugas Perkembangan Lanjut Usia……………………………… 34
2.4 Panti Werdha…………………………………………………………….. 35
2.5 Hubungan Psychological Well-Being dengan Integrity vs Despair Lanjut
Usia……………………………………………………………………… 37
2.6 Kerangka Berfikir………………………………………………………... 38
2.7 Hipotesis…………………………………………………………………. 39
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian…………………………………………… 40
3.1.2 Metode Penelitian………………………………………………. 40
3.2 Definisi Variabel, Konseptual, dan Operasional
3.2.1 Definisi Variabel………………………………………………… 41
3.2.2 Definisi Konseptual…………………………………………….. 41
3.2.3 Definisi Operasional……………………………………………. 42
3.3 Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi dan Sampel………………………………………......... 43
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel……………………………………. 43
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Metode dan Instrumen Penelitian………………………………. 43
3.4.2 Teknik Uji Instrument…………………………………………... 46
3.5 Hasil Uji Instrument……………………………………………………… 48
3.5.1 Hasil Uji Coba Alat Ukur Integrity…………..………….……… 48
3.5.2 Hasil Uji Coba Alat Ukur Psychological Well-Being …………… 49
3.6 Teknik Analisa Data………………………………………………………. 50
3.7 Prosedur Penelitian………………………………………………………... 50
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian………………………………………………. 52
4.2 Uji Persyaratan
4.2.1 Uji Hipotesis……………………………………………………… 54
4.2.2 Analisa Uji Hipotesis……………………………………………… 56
4.3 Hasil Tambahan
4.3.1 Gambaran Umum Responden…………………………………….. 56
4.3.2 Hasil Analisa Uji Regresi………………………………………… 61
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan……………………………………………………………… 62
5.2 Diskusi.…………………………………………………………………. 62
5.3 Saran
5.3.1 Saran Teoritis…………………………………………………….. 67
5.3.2 Saran Praktis……………………………………………………… 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
HUBUNGAN INTEGRITY DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANJUT USIA
DI PANTI SOSIAL TRISNA WREDHA MELANIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
Donna Olivia
NIM: 105070002230
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Netty Hartati, M.Si M. Avicenna, M. HSc. Psy
NIP.195310021983032001 NIP. 197709062001122004
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul HUBUNGAN INTEGRITY DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRISNA WREDHA MELANIA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 November 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 25 November 2010
Sidang Munaqasyah
Dekan / Pembantu Dekan /
Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si
NIP: 130 885 522 NIP: 195612231983032001
Anggota:
Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si Dra. Netty Hartati, M.Si
NIP: 19620724198902001 NIP: 195310021983032001
M. Avicenna, M. HSc. Psy
NIP: 197709062001122004
iv
PERYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Donna Olivia
NIM : 105070002230
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Integrity Dengan
Psychological Well-Being Lanjut Usia Di Panti Sosial Trisna Wredha Melania” adalah
benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan
skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya
cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika
ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian peryataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 15 Desember 2010
Donna Olivia
NIM : 105070002230
ii
ABSTRAK A) Fakultas Psikologi B) November 2010 C) Donna Olivia D) Hubungan Integrity Dengan Psychological Well-Being Lanjut Usia
Di Panti Sosial Trisna Wredha Melania E) Halaman: xiii + 68 Halaman + Lampiran F) Pada abad 21 sekarang dalam segi kehidupan berkeluarga, terjadi perubahan sosial dari tatanan keluarga yang berorientasi pada nilai-nilai keluarga luas menjadi keluarga inti, sehingga lansia “terlempar keluar” dari keluarga kecil yang memiliki nilai-nilai kekerabatan yang baru. Sehingga pada saat ini lebih sedikit anak usia produktif yang dapat menampung orangtua yang sudah lanjut usia dalam keluarga, dikarenakan pola kehidupan tradisional yang berciri hadirnya kaum ibu dalam rumah tangga yang secara penuh dan dapat memberikan pelayanan menyeluruh terhadap keluarganya mulai menghilang. Nilai-nilai kemandirian, tidak ingin berada dalam ketergantungan pada anak-anak, merupakan nilai-nilai yang berasal dari masyarakat modern. Sehingga dengan beberapa alasan lansia memilih tinggal di panti wreda. Lansia tersebut akan mengalami kebahagiaannya jika kehidupan pada masa sebelumnya mengalami pengalaman yang baik dan dapat menerima dengan lapang dada kondisinya saat ini, sebaliknya lansia tersebut tiak akan mendapatkan kebahagiaan jika ia selalu mengeluhkan apa yang telah ia jalani dan dapatkan saat ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara integrity
dengan psychological well-being lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wreda Melania. Integrity yang dimaksud adalah tahapan terakhir dari psikososial Erikson pada masa lansia. Lansia akan mengalami integrity bila ia mengembangkan suatu harapan yang positif di setiap periode sebelumnya, maka pandangan tentang masa lalu dan kenangan akan menampakkan suatu gambaran dari kehidupan yang dilewatkan dengan baik, dan ia akan merasa puas (Santrock, 2002). Sedangkan psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki, yang terdiri dari 6 dimensi yaitu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik.
Metode penelitian ini adalah korelasional. Populasinya adalah lansia yang
tinggal di Panti Sosial Trisna Wredha Melania dengan sampel sebanyak 35 orang lansia. Instrument pengumpulan data menggunalan skala Likert untuk integrity, despair, dan psychological well-being. Analisis data penelitian ini adalah dengan menggunakan metode korelasi Spearman pada taraf signifikansi 1% pada two tailed
vi
vii
test. Hasil penelitian menyatakan bahwa nilai koefisien korelasi (rhitung) antara integrity dengan psychological well-being adalah 0,473 > rtabel (Sig. 1%), maka hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan psychological well-being dengan integrity pada lanjut usia di panti wreda diterima dengan arah hubungan positif, yang bermakna semakin tinggi psychological well-being lansia, maka integrity yang dimilikinya juga cendrung semakin baik.
Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah agar dapat dilakukan
penelitian lanjutan dengan metode kualitatif sehingga data yang diperoleh lebih mendalam, melakukan penelitian juga untuk tahapan perkembangan sebelum lansia (remaja dan dewasa), dan dilakukan pada sampel yang lebih besar. G) Daftar Pustaka: 22 buku + 3 jurnal + 6 pustaka online (1969 – 2009)
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahiim
Penulis memanjatkan puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat
segala kekuasaan dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.
Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh
karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif HIdayatullah Jakarta,
beserta jajarannya.
2. Dosen pembimbing Ibu Dra. Netty Hartati, M. Si sebagai dosen pembimbing I dan Bapak
M. Avicenna, M. SHc. Psy sebagai dosen pembimbing II, yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran serta kesabarannya dalam memberikan bimbingan, arahan, dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Pembimbing akademik Ibu Dra. Diana Mutiah, M. Si
4. Bapak dan Ibu staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas
kerjasamanya.
5. Kepada kedua orang tua Papa Fachri Bachtiar dan mama Tetty Desriwanti untuk kasih
sayang, kesabaran, perhatian, pengertian, dukungan, serta do’a yang tidak pernah putus
untuk kesuksesan penulis.
6. Kakek dan nenek, para om dan tante, serta adik-adik penulis tersayang atas dukungan dan
semangatnya.
7. Kepada Bapak Tonny Effendy selaku pengurus Panti Sosial Tresna Werdha Budhi
Dharma dan mbah-mbah yang menjadi respoden penelitian ini dan banyak membantu
penulis dalam penelitian ini.
8. Kepada Ibu Irene Trisiana T. selaku pengurus Panti Sosial Trisna Wredha Melania dan
opa dan oma yang menjadi respoden penelitian ini dan banyak membantu penulis dalam
penelitian ini.
viii
ix
9. Untuk teman-teman Psikologi UIN Jakarta (Dina, Naddiya, Niar, Jihan, Eva, Lia,
Yulistin) yang telah memberikan semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan
skripsi, teman-teman psikologi dari kampus lain (Lia, Hayya) yang telah membantu
langsung dalam penyebaran angket.
10. Akbar, Kamal, Onah, Yunus, Faros, Zaki, Hiva, Sami, Fira, Icha, Karin, Lulu, Zia, Laras,
Keyla, dan Ubay untuk do’a, motivasi, dan semangat dalam segala hal (kekeluargaan,
persahabatan, dan sharing) yang telah diberikan selama ini, thanks a lots for all.
11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral, doa serta
pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu penyelesaian
skripsi ini memdapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, amiin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan
saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.
Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.
Jakarta, Desember 2010
Penulis
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Pemberian skor pada penelitian menggunakan skala Likert ……….. 44
Tabel 3.2 : Blue print skala integrity (try out) ………………………………….. 45
Tabel 3.3 : Blue print skala psychological well-being (try out) ………………… 46
Tabel 3.4 : Blue print skala integrity (field test) ………………………………… 48
Tabel 3.5 : Blue print skala psychological well-being (field test) ………………. 49
Tabel 4.1 : Deskriptive statistics integrity dan despair ………………………….. 52
Tabel 4.2 : Kategorisasi skor ……………………………...……………………... 53
Tabel 4.3 : Deskriptive statistics psychological well-being …………………….. 53
Tabel 4.4 : Kategorisasi skor skala psychological well-being …………………… 54
Tabel 4.5 : Korelasi integrity dengan psychological well-being ………………. 55
Tabel 4.6 : Kategori jenis kelamin ………………………………………………. 57
Tabel 4.7 : Kategori usia …………………………………………………………. 58
Tabel 4.8 : Kategori status pernikahan ……………………………………………59
Tabel 4.9 : Kategori sosial ekonomi ……………………………………………. 60
Tabel 4.10 : Model summary hasil uji regresi …………………………………… 61
xiii
Orang lanjut usia yang berorientasi
pada kesempatan adalah orang muda
yang tidak pernah menua;
tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan,
telah menua sejak muda
(Mario Teguh)
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan pada manusia terjadi seiring dengan berjalannya waktu dengan
melalui tahap-tahap perkembangan, yaitu periode pranatal, masa bayi, masa kanak-
kanak, masa remaja, masa dewasa, dan berakhir di masa lanjut usia (lansia). Dimana
pada masing-masing tahapan tersebut melalui masa perkembangan dan karakteristik
yang berbeda-beda.
Seseorang yang memiliki kesehatan yang baik dan umur panjang pasti akan
mengalami tahap perkembangan masa lansia dimana hal tersebut pasti terjadi dan tidak
dapat dihindari. Dengan kata lain menurut Hurlock (1980), seiring dengan
bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua yaitu suatu periode dimana sesorang telah
“beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan.
Pada tahap dewasa akhir (lansia), Erikson menyatakan bahwa lansia akan
mengalami tahapan kedelapan dalam siklus kehidupan, yaitu integrity vs despair. Pada
masa ini, individu melihat kembali apa yang telah dilakukannya dalam kehidupannya.
Integrity bisa dicapai bila lansia mengembangkan suatu harapan yang positif di setiap
periode sebelumnya. Jika demikian, pandangan tentang masa lalu dan kenangan akan
menampakkan suatu gambaran dari kehidupan yang dilewatkan dengan baik, dan ia
1
2
akan merasa puas. Sebaliknya, jika lansia tersebut tidak mengalami integrity maka ia
akan mengalami despair (Santrock, 2002).
Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, lansia
ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan,
apakah pria atau wanita lansia tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik
atau buruk (Hurlock, 1980).
Kondisi fisik dan psikologis lansia seringkali dipengaruhi oleh pengalaman
tahapan perkembangan sebelumnya. Untuk itu lansia perlu mengelola pengalaman yang
kurang baik agar tidak teringat kembali pada saat yang kurang menyenangkan, yang
dapat menyebabkan lansia merasa sedih. Begitu pula sebaliknya, pengalaman yang
menyenangkan perlu dimunculkan agar semangat hidupnya tetap tinggi.
Menurut Sartini Nuryoto (dalam Rahadyanti, 2007), lansia harus mampu
melakukan reorganize. Lansia perlu menyadari bahwa kondisi sekarang berbeda dengan
kondisi di masa muda. Karenanya, lansia juga harus mampu mengukur kemampuan diri,
menyesuaikan pekerjaan dengan kemampuan. Ia juga menyarankan agar para lansia
memfokuskan diri untuk mengerjakan satu kegiatan yang benar-benar disenangi. Dalam
menjalankan aktivitas tersebut, lansia juga perlu menyadari bahwa kondisi fisik yang
sudah berbeda tentu akan mempengaruhi kecepatan penyelesaian pekerjaan. Jadi, lansia
dan keluarganya harus lebih sabar menghadapi perubahan tersebut.
3
Supaya lebih tenang dan bahagia dalam menerima diri menjalani masa tua,
lansia juga harus rela melepaskan segala sesuatu yang pernah dicapai atau dimiliki
sebelum memasuki masa tua. Mereka yang sudah memasuki masa pensiun, misalnya,
perlu menerimanya dengan hati terbuka dan meyakini bahwa pengabdian yang selama
ini mereka lakukan sudah banyak memberi arti bagi keluarga, masyarakat, maupun
negara.
Soemiarti (2001) mengatakan, pada saat ini pola kehidupan keluarga tradisional
dengan berciri hadirnya kaum Ibu dalam rumah tangga yang secara penuh dan dapat
memberikan pelayanan menyeluruh terhadap keluarganya mulai menghilang. Banyak
lansia yang beranggapan dengan keluarnya kaum perempuan dari keluarga ke dunia
kerja, tidak dapat lagi diandalkan sepenuhnya sebagai service provider bagi keluarganya
termasuk bagi lansia dalam keluarga itu.
Pada saat sekarang, banyak ditemukan kenyataan bahwa keluarga tidak lagi
secara penuh dapat menjadi basis kekuatan yang menopang kesejahteraan lansia. Nilai-
nilai kemandirian, tidak ingin berada dalam ketergantungan pada anak-anak, merupakan
nilai-nilai yang berasal dari masyarakat modern. Banyak lansia yang memilih hidup
terpisah dari anak-anak, tidak ingin merepotkan anak, namun tetap merasa bahagia.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Bambang (1998), tantangan
sebuah keluarga modern tidak terlepas dari persoalan moral dan etika ditengah-tengah
4
masyarakat. Persoalan etika dan moral di masyarakat juga banyak terpengaruhi oleh
kondisi sosial perekonomian serta budaya masyarakat.
Menurut Rahardjo (dalam Bambang, 1998), dalam desakan arus ekonomi yang
demikian kuat dan kompetisi yang demikian ketat, menjadikan keluarga (umumnya di
kota) memiliki aktifitas yang padat dengan tujuan utama mengejar kebutuhan ekonomi.
Tidak jarang ditemukan kondisi keluarga yang pola pengasuhan anak atau lansia
diserahkan kepada orang lain, yang salah satunya disebabkan karena suami dan istri
berkerja di luar rumah.
Maka salah satu cara yang di tempuh keluarga dalam mengatasi persoalan ini
ialah menitipkan para lansia pada panti wreda, dengan harapan para lansia ini
mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir maupun batin. Walaupun panti wreda
dapat menjadi salah satu pilihan yang baik, untuk beberapa orang hal itu dipandang
masih kurang cocok dengan budaya masyarakat Indonesia.
Menurut Siti Rahayu Haditono, guru besar psikologi Universitas Gajah Mada
(dalam Jis, 1989), anggapan bahwa lansia tidak perlu apa-apa lagi kecuali istirahat harus
dikaji kembali, sikap itu sama saja dengan mendorong orang tua bersiap-siap untuk
mati. Lansia masih memerlukan ativitas, hubungan sosial, dan juga seks. Niat anak-anak
agar para orang tua menikmati hari tua dengan istirahat nyatanya membuat mereka lebih
cepat uzur. Di panti wreda, lansia bisa lebih bebas dan mandiri.
5
Rubijati Ismudarto, ketua Panti Wedha Hargo Dedali Surabaya (dalam
Wigunaningsih, 2008), mengatakan bahwa para lansia merasa kesepian karena
keluarganya sibuk beraktivitas. Sedangkan ia ditinggal sendiri di rumah. Kalaupun ada
yang menemani, biasanya pembantu. Sedangkan yang dibutuhkan bukan hanya materi
tapi juga perhatian atau teman sebaya untuk saling mencurahkan hati. Jadi, agar mereka
mempunyai banyak teman yang sebaya, mereka memilih untuk tinggal di panti. Di panti
para lansia ini bisa saling tukar pikiran dan mereka merasa diperhatikan karena banyak
teman sebayanya.
Menurut Andra (2007), menjalani masa tua di panti wreda dengan berbagai
fasilitas dan kenyamanan kini dijadikan pilihan. Seperti salah satunya pada Graha
Werdha Aussi, lansia yang berada disana memilih untuk menghabiskan masa tuanya di
panti werdha atas keinginannya sendiri. Bagi mereka, masa tua tidak selalu harus berada
di tengah-tengah keluarga. Mereka lebih memilih tinggal dengan teman sebaya, untuk
menikmati usia senja mereka. Segala percakapan, pembicaraan, akan lebih ‘nyambung’
jika dilakukan dengan teman satu generasi, terlebih untuk bernostalgia. Juga untuk
melakukan beberapa kegiatan.
Meski tinggal di tempat yang kerap disebut panti jompo, para lansia ini tidak
merasa hidup ‘terasing’. Selain mereka tetap bisa bersosialisasi atau mendapat teman
baru, keluarga bebas mengunjungi mereka kapan saja. Bahkan, ada yang setiap minggu,
dikunjungi berganti-ganti oleh cucu, anak, atau keponakan. Mereka, tetap menerima
perhatian dan kasih sayang dari keluarga.
6
Profesor Sujudi, mantan Mentri Kesehatan (dalam Hamonangan, 2006)
mengatakan, panti wreda sangat membantu lansia tetap bersemangat untuk hidup.
Dengan berkumpul dalam komunitas yang sama, lansia dapat mengerjakan aktivitas
yang sama. Mereka tetap bahagia dan tidak kehilangan kontak dengan anak, menantu,
dan cucu.
Pendapat itu juga didukung oleh psikolog keluarga, Ina Saraswati (dalam
Hamonangan, 2006), mengatakan, lansia yang tinggal di panti wreda memang bisa
mempunyai berbagai motivasi. Mereka yang termotivasi sendiri akan menemui
kebahagiaan dan kenyamanan.
Kepuasan terhadap tempat dimana akan tinggal berpengaruh pada psychological
well-being seseorang. Salah satu tujuan bagi panti wreda sebagai salah satu pilihan
tempat tinggal bagi lansia adalah untuk mencapai kondisi psychological well-being bagi
para penghuninya. Dimana Bradburn (Ryff, 1989) mendefinisikan psychological well-
being sebagai kebahagiaan dengan adanya perbedaan antara pengaruh postif dan
negatif. Ryff (1995) juga menyebutkan bahwa psychological well-being adalah saat
dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan
bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka
miliki.
Pada kenyataanya, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh lansia
ketika mereka pindah kesana. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang aktif
mengorganisir dirinya, maka tentu mereka memiliki kemampuan untuk menguasai
7
lingkungannya. Jika ia termasuk seorang yang memiliki peniliaian baik (positif)
terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya, pada apa yang telah terjadi dalam
hidupnya maka bisa dikatakan memiliki psychological well-being yang tinggi.
Demikian pula sebaliknya Jika ia memiliki peniliaian yang kurang baik (negatif)
terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya, maka bisa dikatakan memiliki
psychological well-being yang rendah.
Maka, berdasarkan pada penelitian tersebut, maka penulis bermaksud untuk
melakukan penelitian lanjutan tentang hubungan integrity dengan psychological well-
being lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
1.2 Batasan Masalah
Agar penelitian tidak meluas, maka peneliti perlu membatasi permasalahan yang
ingin diteliti, yaitu:
1. Integrity yang dijelaskan pada penelitian ini mengambil acuan dari teori psikososial
Erikson. Dimana ego integrity berarti saat dimana lansia melihat kembali apa yang
telah dilakukannya terhadap kehidupan mereka dengan mengembangkan suatu
harapan yang positif di setiap periode sebelumnya yang memiliki dua indikator yaitu
memiliki pandangan yang positif terhadap apa yang telah dicapai dan merasa puas.
2. Psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia
berdasarkan pengalaman hidupnya dengan mengembangkan potensi positif yang ada
pada dirinya, dimana dimensi yang dilihat ada enam yaitu autonomy, environment
8
mastery, personal growth, positive relation with others, purpose in life, dan self
acceptance.
3. Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas baik pria
dan wanita. Pada penelitian ini batasan umur yang digunakan yang berada dalam
usia antara young old sampai the oldest old dan ia masih dapat aktif untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya dengan baik.
4. Panti wreda adalah pilihan bagi lansia untuk tempat tinggal dan menetap, yang
memiliki program bertujuan untuk kesejahteraan lansia. Penelitian ini dilakukan di
Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah integrity yang dialami oleh lansia di panti wreda?
2. Bagaimanakah psychological well-being lansia di panti wreda?
3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara integrity terhadap psychological well-
being lansia di panti wreda?
9
1.4 Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan integrity dengan
psychological well-being lansia di panti wreda dan untuk mengetahui seberapa jauh
lansia dapat memperoleh psychological well-being di panti wreda.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis:
1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
Psikologi Positif, memperkaya hasil penelitian yang telah ada, dan dapat
memberikan gambaran mengenai hubungan integrity dengan psychological
well-being lansia di panti wreda.
2. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
informasi khususnya pada pengurus panti wreda dan keluarga lansia dalam
upaya membantu memberikan kenyamanan, dan kesejahreraan psikologis
selama lansia tinggal di panti wreda.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan
APA (American Psychology Association) style dan pedoman penyusunan dan penulisan
skripsi Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi
beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini:
10
BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisi; latar belakang masalah, batasan
masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan
BAB II: Merupakan kajian pustaka yang memuat tentang hal- hal mengenai teori
integrity dan psychological well-being, kerangka berpikir dan hipotesis
penelitian.
BAB III: Metodologi penelitian yang meliputi pendekatan dan metode penelitian,
definisi konseptual dan operasional, pengambilan sampel, teknik
pengumpulan data, dan teknik uji instrumen penelitian, metode analisa data,
dan prosedur penelitian.
Bab IV: Mengemukakan tentang gambaran umum subjek penelitian presentasi data,
uji persyaratan, deskripsi statistik, hasil uji hipotesis dan uraiannya.
Bab V : Mengemukakan kesimpulan, diskusi dan saran.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Integrity
Integrity yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori psikososial
Erik Erikson dan berada pada tahapan perkembangan terakhir yaitu lansia. Dimana pada
tahap ini lansia akan mengalami interaksi yang bertentangan antara integrity lawan
despair. pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada integrity, karena jika lansia
memiliki integrity yang tinggi maka despair yang dimiliki pasti rendah.
Agar lebih jelas tentang psikososial Erikson pada tahap perkembangan lansia,
maka peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu tentang teori Erikson, tahapan
perkembangan bayi sampai dewasa, dan terakhir integrity pada lanjut usia.
2.1.1 Teori Erikson
Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erikson merupakan salah
satu teori yang banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang
terkait dengan delapan tahapan perkembangan manusia. Dimana untuk setiap manusia
tahapan perkembangan tersebut tidak memiliki rentang waktu yang sama. Erikson
berpendapat, bahwa setiap manusia memiliki rentang waktu yang berbeda. Setiap
tahapan yang telah dilewati tidak untuk ditinggalkan, melainkan tiap tahap tersebut ikut
11
12
serta membentuk seluruh kepribadian. Hal ini dikenal sebagai prinsip epigenetik (Hall,
1993).
Prinsip epigenetik dipinjam dari istilah embriologi. Dalam Feist (2006),
perkembangan epigenetik adalah perkembangan tahap demi tahap dari organ-organ
janin. Embrio tidak terbentuk hanya karena menunggu dalam mengembangkan struktur
dan bentuknya. Sebaliknya embrio berkembang berdasarkan tingkatan yang telah
ditetapkan dan dalam tahapan yang teratur. Jika organ tubuh tidak berkembang selama
periode kritis dalam perkembangan seseorang, maka ia tidak akan mengalami
kematangan.
Dalam teori yang dijabarkan oleh Erikson, terdapat tujuh pokok teori
perkembangan psikososial (Feist, 2006), yaitu:
1) Pertumbuhan berlangsung sesuai dengan prinsip epigenetik. Artinya satu tahapan
muncul dari tahapan sebelumnya dan memiliki rentang waktu sendiri dari pengaruh
yang menguasai, tapi tidak sepenuhnya mengganti tahapan yang sebelumnya.
2) Setiap tahapan kehidupan terdapat interaksi yang bertentangan. Pertentangan antara
syntonic (harmonis) dan elemen dystonic (menganggu). Dengan cara yang sama
setiap tahapan perkembangan, manusia harus memiliki kedua pengalaman syntonic
dan dystonic.
3) Dalam setiap tahapan, konflik antara elemen dystonic dan syntonic menghasilkan
kualitas ego atau kekuatan ego yang disebut juga kekuatan dasar (basic strength).
13
4) Terdapat beberapa kekuatan dasar pada setiap hasil inti patologi dalam tahap
tersebut.
5) Walaupun Erikson menunjuk ke delapan tahapan sebagai tahapan psikososial, ia
tidak pernah kehilangan pengamatan pada aspek biologi dari perkembangan
manusia.
6) Peristiwa pada awal perkembangan tidak berdampak langsung pada perkembangan
kepribadian selanjutnya. Ego identitas dibentuk oleh konflik dan peristiwa
pancaragam (multiplicity of conflict and events)-masa lalu, kini dan masa yang akan
datang.
7) Disetiap tahap perkembangan, khususnya dari masa dewasa dan sesudahnya,
perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas (identity crisis), yang
dinamakan oleh Erikson “titik balik, periode peningkatan bahaya dan memuncaknya
potensi”.
Delapan tahap perkembangan kepribadian Erikson memiliki ciri utama untuk
setiap tahapnya, di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang
berjalan melalui krisis diantara dua polaritas.
Jadi dalam setiap krisis, seseorang mudah rentan terkena modifikasi utama
dalam identitas, baik positif dan negatif. Berbeda dengan yang umum, sebuah krisis
identitas bukan merupakan bencana besar tetapi lebih merupakan kesempatan baik
untuk penyesuaian adaptif atau maladaptif yang berlanggsung jika satu tahap berhasil
atau tidak berhasil dilewati.
14
2.1.2 Tahapan Perkembangan Psikososial Bayi Sampai Dewasa
Erikson mengatakan dalam prinsip epigenesis bahwa tiap masa perkembangan
yang telah dilalui tidak akan ditinggalkan begitu saja akan tatapi pengalaman pada tiap
tahapan sebelumnya akan mempengaruhi tahapan selanjutnya serta ikut membentuk
seluruh kepribadian. Maka untuk lebih jelasnya akan dijabarkan tahapan fase
perkembangan bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa terlebih dahulu (Alwisol, 2007).
1. Fase Bayi
Bagi Erikson kegiatan bayi tidak terikat dengan mulut semata. Bayi adalah saat
untuk memasukkan (incorporation), bukan hanya melalui mulut (menelan)
tetapi juga dari semua indera. Tahap sensori oral ditandai oleh dua jenis
inkorporasi: mendapat (receiving) dan menerima (accepting). Tahun pertama
kehidupannya, bayi memakai sebagian besar waktunya untuk makan, eliminasi
(buang kotoran), dan tidur. Ketika ia menyadari ibu akan memberi
makan/minum secara teratur, mereka belajar dan memperoleh kualitas ego atau
identitas ego yang pertama, perasaan kepercayaan dasar (basic trust). Bayi harus
mengalami rasa lapar, haus, nyeri, dan ketidaknyamanan lain, dan kemudian
mengalami perbaikan atau hilangnya kondisi yang tidak menyenangkan itu. Dari
peristiwa itu bayi akan belajar mengharap bahwa hal yang menyakitkan ke
depan bisa berubah menjadi menyenangkan. Bayi menangkap hubungannya
dengan ibu sebagai sesuatu yang keramat (numinous).
15
2. Fase Anak-Anak
Dalam teori Erikson, anak memperoleh kepuasan dari keberhasilan mengontrol
alat-alat anus dan mengontrol fungsi tubuh yang lain seperti urinasi, berjalan,
melempar, memegang, dan sebagainya. Pada tahun kedua, penyesuaian
psikososial terpusat pada pengontrolan tubuhnya, khususnya yang berhubungan
dengan kebersihan. Pada tahap ini anak dihadapkan dengan budaya yang
menghambat ekspresi diri serta hak dan kewajiban. Anak belajar untuk
melakukan pembatasan-pembatasan dan kontrol diri dan menerima kontrol dari
orang lain. Hasil mengatasi krisis otonomi lawan malu-ragu adalah kekuatan
dasar kemauan. Ini adalah permulaan dari kebebasan kemauan dan kekuatan
kemauan (benar-benar hanya permulaan), yang terjadi di dalam egonya. Pada
tahap ini pola komunikasi mengembangkan penilaian benar atau salah dari
tingkah laku diri dan orang lain, disebut bijaksana (judicious).
3. Fase Remaja
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting diantara tahap perkembangan
lainnya, karena orang harus mencapai tingkat identitas ego yang cukup baik.
Bagi Erikson, pubertas penting bukan karena kemasakan seksual, tetapi karena
pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan datang. Pencarian
identitas ego mencapai puncaknya pada fase ini, ketika remaja berjuang untuk
menemukan siapa dirinya. Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada
tahap dewasa adalah kesetiaan (fidelity) yaitu setia dalam beberapa pandangan
idiologi atau visi masa depan. Memilih dan memiliki ediologi akan memberi
16
pola umum kehidupan diri, bagaimana berpakaian, pilihan musik dan buku
bacaan, dan pengaturan waktu sehari-hari.
4. Fase Dewasa
Tahap dewasa adalah waktu menempatkan diri di masyarakat dan ikut
bertanggung jawab terhadap apapun yang dihasilkan dari masyarakat. Kualitas
sintonik tahap dewasa adalah generativita, yaitu penurunan kehidupan baru,
serta produk dan ide baru. Kepedulian adalah perluasan komitmen untuk
merawat orang lain, merawat produk dan ide yang membutuhkan perhatian.
Kepedulian membutuhkan semua kekuatan dasar ego sebelumnya sebagai
kekuatan dasar orang dewasa. Generasional adalah interaksi antara orang dewasa
dengan generasi penerusnya bisa berupa pemberian hadiah atau sanjungan,
sedangkan otoritisme mengandung pemaksaan. Orang dewasa dengan kekuatan
dan kekuasaannya memaksa aturan, moral, dan kemauan pribadi dalam interaksi.
2.1.3 Integrity Pada Lanjut Usia
Dalam teori Erikson, tahapan perkembangan kehidupan seseorang ada delapan
tahap. Dimana dalam masing-masing tahap perkembangan tersebut mempunyai tugas
dan karakteristik perkembangan yang berbeda. Tahapan terakhir dari teori Erikson
tersebut adalah lanjut usia dan krisis perkembangan yang terjadi pada tahap ini adalah
integrity vs despair. Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada integrity karena setiap
tahapan kehidupan pada teori psikososial Erikson terdapat interaksi yang bertentangan.
17
Jika lansia mengalami integrity yang lebih tinggi maka despair yang dimiliki pasti lebih
rendah.
Menurut Erikson, Erikson, & Kivnick (dalam Papalia, 2009), pencapaian puncak
bagi dewasa akhir adalah ego integrity atau integritas diri. Sebuah prestasi yang
berdasarkan refleksi tentang kehidupan seseorang. Lansia membutuhkan evaluasi dalam
menerima hidup mereka sehingga dapat menerima kematian, hasil dari yang telah
dibangun pada ketujuh tahapan sebelumnya. Mereka berjuang untuk mencapai rasa
hubungan dan keutuhan.
Boyd (2006) berpendapat bahwa tugas ego integrity bila lansia memiliki hidup
yang berguna. Untuk mencapai ego integrity, lansia harus bisa berdamai dengan dirinya,
dengan kehidupannya, pilihan yang telah dibuat, peluang yang telah diperoleh dan yang
tidak diperoleh.
Feist (2006) berpendapat, lansia dengan ego identity kuat yang telah belajar
intimacy dan menjaga keduanya maka akan memiliki kualitas syntonic yang akan
didominasi oleh integrity.
Santrock (2002) berpendapat, integrity adalah bila lansia mengembangkan suatu
harapan yang positif di setiap periode sebelumnya. Jika demikian, pandangan tentang
masa lalu dan kenangan akan menampakkan suatu gambaran dari kehidupan yang
dilewatkan dengan baik, dan ia akan merasa puas.
18
Jika terdapat sejumlah putus asa dalam diri seseorang itu termasuk sesuatu hal
yang alami dan diperlukan dalam kematangan psikologis. Perjuangan dalam mengatasi
krisis identitas pada masa lansia ini akan menghasilkan kebijaksanaan, yang merupakan
kekuatan dasar lansia. Erikson mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “suatu informasi
dan lepasnya persoalan dengan kehidupan itu sendiri dalam menghadapi kematian”
(Feist, 2006).
Berdasarkan pada beberapa pendapat teori integrity yang telah dikemukakan
diatas, maka peneliti berfokus pada pendapat Santrock, karena dari beberapa pendapat
yang dikemukakan tentang teori integrity secara umum telah terangkum dalam pendapat
yang diutarakan oleh Santrock.
2.2 Psychological Well-Being
2.2.1 Definisi Psychological Well-Being
Definisi psychological well-being yang dikemukakan para ahli belum mencapai
satu kata sepakat. Definisi yang muncul bersifat tumpang tindih antar satu dengan lain.
Adapun definisi dasar yang beredar selama ini ada dua. Definisi pertama berdasarkan
pendapat dari Bradburn.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Bradburn (dalam Ryff, 1989),
dalam meneliti perubahan sosial pada level makro yang merujuk pada buku terkenal
karangan Aristotle, Nimomachean Ethics, yang menerjemahkan psychological well-
being menjadi happiness (kebahagiaan). Dalam Nimomachean Ethnics dijelaskan
19
bahwa tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan
berdasarkan pendapat Bradbrun merupakan tujuan dari tindakan seseorang (1969)
adanya keseimbangan antara efek positif dan efek negatif (dalam Ryff, 1989).
Definisi kedua berkaitan dengan pengukuran psychological well-being pada
masa lansia yang dilakukan oleh Neugarten, Havigrust, dan Tobin (dalam Ryff, 1989).
Mereka membuat sebuah alat ukur Life Statisfaction Index untuk membedakan lansia
yang termasuk successful aging dan yang tidak. Pada pengukuran ini, psychological
well-being diartikan sebagai kepuasan hidup.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Ryff terhadap mengenai studi
psychological well-being, ia berusaha mengajukan konsep psychological well-being
yang bersifat multidimensional (enam dimensi psychological well-being). Menurut Ryff
dan Keyes (1995), psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup
dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang
pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki. Evaluasi terhadap
pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang
membuat psychological well-being–nya menjadi rendah, atau berusaha memperbaiki
keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-being-nya meningkat.
Sehingga, individu dengan psychological well-being berarti tidak hanya individu yang
terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental negatif, akan tetapi mengetahui
potensi-potensi positif yang ada pada dirinya.
20
Ryff (1989) mengajukan konsep psychological well-being yang mengacu pada
teori positive psychological functioning, teori kesehatan mental, dan teori psikologi
perkembangan. Seseorang dapat dikatakan memiliki psychological well-being apabila ia
mampu menerima dirinya, mampu menjalin hubungan dengan individu lain, memiliki
kemandirian, mampu menguasai lingkungan kehidupannya, memiliki tujuan hidup, dan
berupaya menjadi individu yang terus berkembang.
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa
psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia
berdasarkan pengalaman hidupnya dengan mengembangkan potensi positif yang ada
pada dirinya, yang terwujud dalam keenam dimensi yaitu kemandirian, menguasai
lingkungan, menjadi pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan
orang lain, memiliki tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik.
2.2.2 Dimensi Psychological Well-Being
Dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1989)
mengacu pada teori positive psychological functioning (Maslow, Rogers, Jung, dan
Allport), teori perkembangan (Erikson, Buhler, dan Neugerten), dan teori kesehatan
mental (Jahoda). Adapun keenam dimensi psychological well-being yang dikemukakan
Ryff adalah:
1. Autonomy (kemandirian)
Individu mampu mengarahkan dirinya (self determination), mampu meregulasi
perilakunya berdasarkan tuntunan dari dalam dirinya, mampu melakukan evaluasi
21
berdasarkan standar pribadi tanpa menunggu persetujuan dari orang lain, dan merasa
bebas untuk melakukan keinginannya tanpa takut menentang norma-norma yang
berkembang.
2. Environment Mastery (penguasaan lingkungan)
Individu mampu memiliki atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi
dirinya, berpartisipasi secara aktif dalam aktivitas lingkungan, mampu
memanipulasi dan mengontrol lingkungan, mengubah lingkungan secara kreatif
melalui aktivitas fisik dan mental, dan mampu mengambil peluang dan kesempatan-
kesempatan yang disediakan oleh lingkungan.
3. Personal Growth (pengembangan pribadi)
Individu senantiasa mengembangkan potensi dirinya, secara terbuka terhadap
pengalaman baru, terus tumbuh dan menghadapi tantangan-tantangan atau tugas-
tugas perkembangan dalam berbagai tahapan kehidupannya.
Individu yang memiliki pribadi yang berkembang berarti menyadari potensinya,
memiliki kemampuan untuk berkembang secara berkelanjutan, melihat kemajuan
diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu, berubah dengan cara yang efektif untuk
menjadi lebih baik, dan terbuka pada pengalaman–pengalaman baru.
22
4. Positive relation with others (menjalin hubungan baik dengan orang lain)
Individu mampu merasakan kehangatan dan rasa percaya pada antar individu.
Dalam perspektif perkembangan, selain mampu menjalin hubungan hangat dengan
orang lain (intimacy), juga mampu membimbing dan mengarahkan individu yang
lain (generativity).
Individu dengan kemampuan menjalin hubungan dengan individu lain berarti
memiliki kemampuan untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang
dibangun atas dasar saling percaya, memiliki perasaan empati terhadap sesama,
memiliki persahabatan yang dalam, dan identifikasi yang baik dengan orang lain.
5. Purpose in life (tujuan hidup)
Individu yakin dan memahami akan adanya makna dan tujuan yang jelas dari
kehidupan yang dijalaninya, baik pada masa kini maupun masa lampau. Tujuan
dapat diperoleh melalui pengikatan diri pada nilai–nilai tertentu.
6. Self acceptance (penerimaan diri)
Merupakan gambaran sentral dan kesehatan mental, dan sebagai karakteristik dari
aktualisasi diri dan kematangan. Individu dengan penerimaan diri berarti memiliki
sikap positif terhadap diri sendiri, memahami dan menerima berbagai aspek diri
termasuk kualitas baik dan buruk, dan menilai positif kehidupan yang sedang dan
telah dijalaninya.
23
Pada penelitian ini penulis mengambil keenam dimensi psychological well-being
yang dikemukakan oleh Ryff yaitu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi
pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki
tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik, sebagai skala dalam menentukan
psychological well-being lansia di panti wreda. Karena pada keenam dimensi tersebut
dapat menggambarkan secara keseluruhan psychological well-being lansia di panti
wreda.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Dari beberapa literatur dan hasil penelitian pada psychological well-being,
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, beberapa diantaranya ialah:
1. Jenis kelamin
Menurut Seligman (2002), jenis kelamin memiliki hubungan yang mengherankan
dengan suasana hati. Tingkat emosi rata-rata laki-laki dengan perempuan tidak jauh
berbeda. Yang mengherankan adalah perempuan lebih bahagia dan sekaligus lebih
sedih daripada laki-laki.
Dalam Diener (1984), meskipun perempuan menghasilkan lebih memiliki pengaruh
yang negatif, tetapi mereka juga mengalami kebahagiaan yang lebih besar. Jadi
menurut Andrew dan kawan-kawan, pada jenis kelamin terdapat sedikit perbedaan
secara umum dalam kebahagiaan atau kepuasan.
24
2. Usia
Usia muda yang selalu dianggap memiliki keadaan yang lebih berbahagia daripada
usia tua tidaklah terbukti. Penelitian yang dilakukan atas 60 ribu orang dewasa dari
40 bangsa menyatakan bahwa kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia, perasaan yang menyenangkan sedikit melemah, dan perasaan
yang negatif tidak berubah. Yang berubah ketika seseorang menua adalah intensitas
emosinya. Perasaan “mencapai puncak dunia” dan terpuruk dalam keputusasaan
menjadi berkurang seiring dengan bertambahnya umur dan pengalaman (Seligman,
2002).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Braun (dalam Diener, 1984) yang menemukan
bahwa responden yang lebih muda memiliki tingkatan yang lebih kuat antara
pengaruh positif dan negatif, tetapi responden yang lebih tua secara keseluruhan
melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih besar.
3. Pendapatan
Dahulu untuk mengatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan yang tinggi
merasa lebih bahagia atau memiliki pengalaman yang lebih baik mungkin benar,
tapi itu bukanlah suatu penjelasan yang utama. Untuk dua alasan kenyataannya
adalah tidak seperti itu. Pertama, penghasilan berhubungan dengan faktor hidup
lainnya, seperti memiliki pendidikan yang baik, pekerjaan yang bagus, dan bebas
dari kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua, adanya hubungan
antara pendapatan dan kebahagiaan belum dapat dipastikan, karena hanya sedikit
25
informasi bagaimana pendapatan seseorang dapat mempengaruhi psychological
well-being (Bardburn, 1969).
4. Status pernikahan
Perkawinan erat hubungannya dengan kebahagiaan. Pusat Riset Opini Nasional
Amerika Serikat mensurvei 35 ribu warga Amerika selama 30 tahun terakhir, 40%
dari orang menikah mengatakan mereka “sangat bahagia”, sedangkan 24% dari
orang yang tidak menikah, bercerai, berpisah, dan ditinggal mati oleh pasangannya
yang mengatakan ini. Pada budaya Jepang dan Cina, kebahagiaan orang yang
menikah mempengaruhi panjang usia dan besar penghasilan yang berlaku pada laki-
laki dan perempuan (Seligman, 2002).
Terdapat dua kemungkinan, yang pertama, orang yang memang sudah bahagia lebih
mungkin untuk menikah dan mempertahankan pernikahannya dan yang kedua,
orang-orang yang depresi cendrung lebih menarik diri, gampang tersinggung, dan
berfokus pada diri sendiri. Dengan demikian mereka menjadi patner yang semakin
tidak menarik (Seligman, 2002).
5. Kehidupan sosial
Orang-orang yang sangat bahagia jauh berbeda dengan orang yang tidak bahagia,
karena mereka menjalani kehidupan sosial yang lebih baik dan memuaskan. Orang-
orang yang sangat berbahagia paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan
26
kebanyakan mereka bersosialisasi. Berdasarkan penilaian sendiri maupun teman,
mereka mendapat nilai tertinggi dalam berinteraksi (Seligman, 2002).
6. Keberagamaan
Seseorang yang religius lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat penyalahgunaan
obet-obatan, malakukan kejahatan, bercerai, dan bunuh diri. Mereka juga secara
fisik lebih sehat dan berumur lebih panjang. Ibu religius yang memiliki anak cacat,
melawan depresi dengan lebih baik. Lebih sedikit orang relius yang takut terhadap
perceraian, penganggguran, penyakit, dan kematian. Relevansi yang paling langsung
tampak pada fakta bahwa data survei secara konsisten menunjukan bahwa orang-
orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupannya daripada
orang yang tidak religius (Seligman, 2002).
2.2.4 Psychological Well-Being Lanjut Usia
Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu
diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah
tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha
mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being).
Hurlock (1980) menyebutkan bahwa psychological well-being atau kebahagiaan
pada lansia tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A” kebahagiaan, yaitu acceptance
(penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Apabila seorang
lansia tidak dapat memenuhi “tiga A” tersebut maka akan sulit baginya untuk dapat
27
mencapai kebahagiaan. Misalnya, ia merasa diabaikan oleh anggota keluarga atau
petugas panti wreda, merasa bahwa prestasi pada masa lalu tidak memenuhi harapan
dan keinginan, atau apabila mereka mengembangkan perasaan bahwa tidak ada satu
orang pun yang mencintainya, maka lansia akan merasa tidak bahagia.
Studi tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan pada lansia melahirkan
pendapat bahwa keduanya itu biasanya merupakan sikap bawaan yang dibentuk pada
tahapan sebelumnya, sebagai akibat dari keberhasilan dan kegagalan menyesuaikan diri
pada tahapan sebelumnya.
Hurlock (1980) menambahkan bahwa ada beberapa kondisi penting yang dapat
membantu pencapaian psychological well-being lansia, beberapa diantaranya adalah:
1. Mengembangkan kenangan yang mengembirakan sejak masa anak-anak sampai
masa dewasanya.
2. Sikap yang realistis dan mau menerima kenyataan tentang perubahan fisik dan
psikis yang sedang dialami.
3. Terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik.
4. Perasaan puas dengan status yang ada sekarang dari prestasi masa lalu.
5. Menikmati kegiatan rekrasional yang direncanakan khusus bagi lansia
6. Menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat keluarga dan teman-
teman.
7. Melakukan kegiatan produktif, baik kegiatan di rumah maupun kegiatan yang secara
sukarela dilakukan.
28
Berdasarkan uraian di atas, maka salah satu cara untuk membantu para lansia
untuk keluar dari masalah-masalah yang berpotensi muncul pada tahap perkembangan
lansia adalah dengan berusaha mencapai psychological well-being.
2.3 Lanjut usia
2.3.1 Definisi Lanjut Usia
Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut usia,
pasal 1 nomor 2, Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas (Depsos, 1998). Dimana lansia dibagi menjadi dua kategori yaitu lansia
potensial dan tidak potensial. Berdasarkan pasal 1 ayat 3 lansia potensial adalah lansia
yang masih mampu melaksanakan pekerjaan dan jasa, sedangkan lansia yang tidak
potensial adalah lansia yang sudah tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya
tergantung pada bantuan orang lain.
Menurut Bernice Neugarten (dalam Davidoff, 1991) lansia adalah orang-orang
yang mulai suka introspeksi dan banyak merenungkan apa yang sebetulnya sedang
terjadi di dalam diri masing-masing. Banyak diantara mereka yang berfikir ”berbuat
sesuatu di sisa waktu hidupnya”, jadi bukan waktu sejak kelahiran yang dipikirkan.
Lanjut usia juga sering dimaknai sebagai masa kemunduran, terutama pada
keberfungsian fungsi-fungsi fisik dan psikologis. Hurlock (1980) mengemukakan
bahwa penyebab fisik kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh
bukan karena penyakit khusus tetapi karena proses menua.
29
Riset telah membuktikan (Atkinson) bahwa penuaan tidak berarti penurunan
kemampuan fisik dan mental yang tidak terhindarkan. Penuaan normal adalah proses
bertahap yang membawa beberapa perubahan. Tetapi perubahan yang lebih ekstrim
yang dikaitkan dengan lansia adalah akibat dari penyakit, diet yang tidak tepat,
kegagalan secara nyata untuk secara aktif fisik dan mental.
Keyakinan bahwa kemampuan mental menurun bersamaan dengan penuaan juga
telah diragukan oleh temuan riset. Lansia tidak memproses informasi secepat orang
muda dan mereka cenderung buruk dalam mengerjakan beberapa tugas pemecahan
masalah. Tetapi tidak ada bukti bahwa kemampuan umum untuk belajar menurun
bersamaan dengan peningkatan usia. Latihan yang singkat dapat memperbaiki
kemampuan pemecahan masalah lansia.
Masa lansia juga disertai dengan berbagai penyakit yang menyerang dan
menggerogoti kehidupan lansia sekalipun tidak semua lansia adalah berpenyakit, tapi
kebanyakan lansia rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu akibat kondisi organ-
organ tubuh yang telah mengalami kemunduran juga fungsi imun (kekebalan tubuh)
yang juga menurun. Kemunduran dari segi sosial ditandai dengan kehilangan jabatan
atau posisi tertentu dalam sebuah organisasi atau masyarakat, yang telah menempatkan
dirinya sebagai individu dengan status terhormat, dihargai, memiliki pengaruh, dan
didengarkan pendapatnya. Sekalipun mengalami kemunduran pada beberapa aspek
kehidupannya, bukan berarti lansia tidak bisa menikmati kehidupannya. Lansia pasti
30
memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mengisi hari-harinya dengan hal-hal
yang bermanfaat dan menghibur.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa lansia
adalah seseorang yang telah berumur 60 tahun ke atas baik laki-laki atau perempuan,
yang mengalami kemunduran fisik dan psikis, dan mulai suka introspeksi dan banyak
merenungkan apa yang telah terjadi di masa lalu.
2.3.2 Keadaan Lanjut Usia
Berbagai perubahan terjadi ketika individu memasuki tahap lansia. Perubahan
tersebut antara lain dalam hal penampilan (fisik), fungsi tubuh maupun dalam hubungan
sosial, dan juga perubahan psikis. Perubahan yang terjadi biasanya merupakan
kemunduran dan lansia harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Menurut
terdapat berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, diantaranya adalah:
a. Perubahan fisik dan psikologis
Periode selama lanjut usia, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara
perlahan dan bertahap yang dikenal sebagai senescence yaitu proses menjadi tua.
Dimana perubahan terjadi pada bagian tubuh luar seperti keelastisan kulit, dan
bagian dalam tubuh seperti yang terjadi pada kerangka tubuh yang diakibatkan dari
mengerasnya tulang-tulang, menumpuknya garam mineral dan modifikasi pada
susunan organ tulang bagian dalam yang dapat mengakibatkan tulang menjadi
mengapur dan mudah retak yang mana untuk proses penyembuhannya lebih lambat
sesuai dengan bertambahnya usia (Hurlock, 1980).
31
Lansia juga mengalami kemunduran fungsi tubuh seperti lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk mengambil nafas, berkurangnya kemampuan pendengaran dan
penglihatan, tubuh yang merasa cepat lelah, dan munculnya penyakit baru yang
sebelumnya tidak ada keluhan, atau dapat menjadikan penyakit yang sudah diderita
lebih buruk.
Istilah “keuzuran” digunakan untuk mengacu pada periode waktu selama usia lanjut
dan apabila sudah terjadi disorganisasi mental. Seseorang yang menjadi eksentrik,
kurang perhatian dan terasing secara sosial, maka penyesuaian dirinya pun buruk,
biasanya disebut “uzur”. Kemunduran juga mempunyai penyebab psikologis seperti
sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan (Hurlock, 1980).
b. Perubahan dalam keuangan
Keadaan fisik lansia yang cepat lelah tidak memungkinkan lansia untuk bekerja
keras seperti masa sebelumnya. Lansia di panti tidak memiliki pekerjaan lagi.
Lansia di panti dapat memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan dari panti
tempatnya bernaung, uang pensiunan, dan keluarga (jika masih memiliki keluarga).
Dengan berkurangnya pendapatan lansia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri
dalam mengatur keperluannya. Walaupun lansia memiliki sumber keuangan, seperti
dari panti, anak, kerabat, atau uang pensiunan, jumlah pendapatan yang memiliki
tersebut tidaklah sebesar seperti ketika masih bekerja.
32
c. Perubahan terhadap minat
Perubahan fisik dan waktu luang yang lebih banyak mempengaruhi minat lansia.
Perubahan fisik seperti cepat merasa lelah menyebabkan lansia mengurangi
kegiatan-kegiatannya. Lansia mengubah kegiatan yang dilakukan saat ini tidak
membutuhkan tenaga yang besar seperti ketika mereka masih muda. Diantara
perubahan minat pada lansia adalah sebagai berikut: minat pribadi yang meliputi
minat terhadap diri sendiri, minat terhadap penampilan, sosial-ekonomi, tempat
tinggal, pakaian, uang, rekreasi, kegiatan sosial, seks, status pernikahan, keagamaan,
dan kematian (Hurlock, 1980).
d. Perubahan kemampuan mental
Perubahan mental bagi setiap individu secara usia kronologis mempunyai
persamaan usia tetapi mempunyai perbedaan intelektual. Secara umum mereka yang
mempunyai pengalaman intelektual lebih tinggi secara relative penurunana dalam
efisiensi mental kurang dibandiang mereka yang pengalaman intelektualnya rendah.
e. Perubahan kehidupan dalam keluarga
Keluarga mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya usia. Lansia
sebelumnya tinggal dengan keluarga memiliki peranan besar bagi anak-anaknya.
Sekarang ini anak-anak memiliki keluarga sendiri dan peranan lansia dalam
kehidupan anak berkurang atau hanya memiliki peranan lagi dalam kehidupan anak.
33
Bagi lansia yang tidak menikah, perubahan dalam pola kehidupan keluarga yang
terjadi berkaitan dengan hubungan antar saudara kandung yang biasanya terjalin
erat, namun suatu saat lansia juga dapat mengalami kematian kakak atau adik
kanduang, atau bahkan mereka sama sekali tidak memiliki kerabat lagi.
2.3.3 Batasan-Batasan Umur Lanjut usia
Lansia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang
dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak dapat dihindari oleh siapapun, namun manusia
dapat berupaya menghambat kejadiannya (Bandiyah, 2009).
Seseorang baru dapat dikatakan berusia lanjut dapat dibedakan menurut dua
macam umur, yaitu umur kronologis dan umur biologis. Umur kronologis adalah umur
yang dicapai seseorang dalam kehidupannya yang dihitung dengan tahun kalender.
Sedangkan umur biologis adalah usia yang sebenarnya berdasarkan pematangan
jaringan. Hal ini dapat menerangkan, mengapa orang yang berumur kronologis sama
mempunyai penampilan fisik dan mental yang berbeda (Bandiyah, 2009).
Mengenai kapankah orang disebut lansia, sulit dijawab secara memuaskan.
Dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur lansia,
diantaranya ialah:
1. Menurut Hurlock (2002)
- njut dini : antara usia 60 tahun sampai 70 tahun usia la
Usia lanjut - : usia 70 tahun ke ata sampai akhir kehidupan
34
2. Menurut WHO (dalam Bandiyah, 2009)
- ) : usia 45 tahun sampai 59 tahun
- lanjut usia (elderly)
usia pertengahan (middle age
: usia 60 tahun sampai 74 tahun
lanjut usia tua (old)
ery old) : di atas usia 90 tahun
enurut Boyd (2006)
sia 60 tahun sampai 75 tahun
the old-old antara usia
old mulai dari usia 85 tahun ke atas
telah dikemukakan diatas,
ial Trisna Wredha Melania
kan Undang-Undang No. 13
tahun 1998 pasal 1 nomor 2, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas
kembangan usia lanjut lebih
banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain.
(1980) adalah sebagai berikut:
- : usia 75 tahun sampai 90 tahun
- usia sangat tua (v
3. M
- young old antara u
- 75 tahun sampai 85 tahun
- the oldest
Berdasarkan beberapa batasan usia lansia yang
dimana dalam penelitian ini populasi usia lansia di Panti Sos
berkisar antara 64 tahun sampai 93 tahun dan berdasar
(Depsos, 1998), maka peneliti mengambil batasan usia menurut Boyd yang
dibagi menjadi young old, the old-old, dan the oldest old.
2.3.4 Tugas Perkembangan Lanjut Usia
Pada setiap tahap kehidupan manusia memiliki tugas perkembangan tertentu,
demikian juga halnya pada lansia. Sebagian tugas per
Tugas perkembangan lansia menurut Hurlock
35
1. Me
sia perlu
kematian
menghindari kesepian.
dasarnya tugas perkembangan lansia itu adalah menentukan
iri dengan baik serta menjalani hidup dengan rasa
penuh
engurus atau kediaman dan merawat orang jompo.
urut Depsos (2005), Panti Sosial Tresna Werdha atau biasa di
nyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan menurunnya kesehatan secara
bertahap.
2. Mencari kegiatan baru untuk mengganti kegiatan yang dahulu dilakukan.
3. Akibat menurunnya tingkat kesehatan dan pendapatan, maka lan
menjadwalkan dan menyusun kembali pola hidup yang sesuai dengan keadaan saat
itu.
4. Lansia perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa
pasangan hidupnya.
5. Lansia perlu membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, jika
ingin
Berdasarkan pendapat dari Hurlock mengenai tugas perkembangan diatas, dapat
disimpulkan bahwa pada
siapakah dirinya, dan bagaimana mereka dapat menjalani setiap perubahan yang terjadi
sehingga dapat menyesuaikan d
bahagia.
2.4 Panti Wreda
Dalam kamus Bahasa Indonesia (2000) panti wreda atau panti jompo adalah
rumah tempat m
Sedangakan men
kenal dengan sebutan panti wreda adalah wadah atau institusi yang memberikan
36
pelayanan dan perawatan jasmani, rohani, dan sosial, serta perlindungan untuk
em
. Panti
reda terdiri dari dua jenis, yaitu panti wreda negara dan panti wreda swasta.
nggal dan
itangkap saat pekerja dinas sosial melakukan razia di jalan. Sedangkan pada panti
wreda
da usia lansia, lansia yang keluarganya sibuk
tau tidak mampu merawatnya, dan atas keinginan dari lansia itu sendiri agar bisa
bergab
m enuhi kebutuhan lanjut usia agar dapat menikmati taraf hidup secara wajar.
Pengadaan panti wreda bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para lansia,
sebagai sarana agar lansia dapat terpenuhi kebutuhan jasmaninya dan rohaninya
w
Panti wreda negara digunakan sebagai tempat tinggal untuk lansia yang masih
memiliki keluarga maupun yang tidak, lansia yang tidak memiliki tempat ti
d
swasta digunakan sebagai tempat perawatan lansia, dimana lansia atau keluarga
membayar biaya perawatan selama lansia tinggal di panti. Biaya selama tinggal dip anti
wreda negara dan swasta tidaklah jauh berbeda. Sumbernya bisa dari keluarga yang
membiayai, tabungan pensiun, subsidi silang dari lansia lain yang lebih mampu, bantuan
dari negara atau yayasan secara berkala.
Penghuni panti swasta biasanya terdiri dari lansia yang tidak mempunyai
keluarga lain yang bisa merawatnya pa
a
ung dengan sesama lansia lain di panti wreda.
Menurut Hurlock (1980), terdapat berbagai keuntungan yang didapat oleh lansia
jika mereka tinggal di panti wreda, diantaranya yaitu:
37
1. Sem a makanan mudah di dapat dengan biaya yang memadai,
2. Ad
r oleh teman seusia
penghuni panti (lansia dan pengurus) dapat
ak mempunyai keluarga tersedia di panti.
dak mungkin terjadi jika berada dalam kelompok dengan usia yang
mendapatkan perhatian yang baik dari pengasuh dan para pengurus
ia
Dalam periode rentang kehidupan seseorang, mulai dari dalam kandungan
ampai akhirnya menjadi lansia, ia mengalami tahap-tahap tugas perkembangan yang
lansia,
u
anya kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia yang mempunyai
minat dan kemampuan yang sama
3. Kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara tempore
daripada dengan usia yang lebih muda.
4. Menghilangkan kesepian karena
dijadikan teman.
5. Perayaan hari libur bagi mereka yang tid
6. Adanya kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa lalu.
Kesempatan ini ti
lebih muda.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan panti wreda milik swasta,
dikarenakan fasilitas yang digunakan dapat mendukung kehidupan lansia dengan baik
dan mereka juga
panti.
2.5 Hubungan Psychological Well Being dengan Integrity Lanjut us
s
harus diselesaikan pada setiap tahapannya. Ketika manusia telah sampai pada tahapan
ia akan melihat kembali perjalanan hidupnya dan apa saja yang telah mereka
capai. Lansia akan mengalami integrity jika ia memiliki pandangan yang baik akan
kehidupan yang telah ia jalani sebelumnya. Untuk mengurangi beban dari masalahnya
38
maka lansia harus berusaha untuk mencapai psychological well being-nya dimana hal
itu baru dapat tercapai jika ia telah memiliki pandangan positif akan dirinya sendiri dan
lingkungannya.
2.6 Kerangka Berfikir
Perubahan pada manusia terjadi seiring dengan berjalannya waktu melalui
hap-tahap perkembangan. Perkembangan tersebut diawali dengan masa prenatal
a, dimana pada tiap-tiap masa perkembangan tersebut
mempu
suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah
rsebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha
mencap
ta
sampai dengan masa lanjut usi
nyai tugas perkembangan yang harus diselesaikan untuk dapat melanjutkan ke
tahap selanjutnya. Ketika manusia telah menjadi tua (lansia) dan memiliki pandangan
positif terhadap apa yang telah ia peroleh maka ia dapat dikatakan memperoleh
integrity.
Dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan dihadapi oleh lansia maka
diperlukan
te
ai psychological well being (kesejahteraan psikologis) dimana baru dapat
dicapai jika individu tersebut telah memiliki pandangan yang positif terhadap hidupnya
(integrity). Seberapa besar pandangan positif yang individu itu miliki maka akan
meningkat pula psychological well-being-nya.
Psychological Well-Being (DV)
Integrity (IV)
39
2.7 Hipotesis Penelitian
Ha: Ada hubungan yang signifikan antara integrity dengan psychological well-being
na Wredha Melania
Ho: Tidak ada hubungan yang signifikan antara integrity dengan psychological well-
being pada lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania
pada lanjut usia di Panti Sosial Tris
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui hubungan antara intrgrity
dengan psychological well-being lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu data penelitian
yang diinterpretasikan melalui suatu proses pengukuran yang valid, reliabel, dan
objektif (Azwar, 2005). Dimana informasi dan datanya dianalisis menggunakan teknik
stastistik (Kountur, 2007).
3.1.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kolerasional, sebab peneliti ingin melihat
hubungan antara integrity dengan psychological well-being lanjut usia di panti wreda.
Metode korelasional digunakan untuk melihat hubungan di antara beberapa variable
yaitu variabel integrity dan variabel psychological well-being. Ke dua variabel tersebut
diteliti untuk melihat hubungan yang terjadi tanpa mencoba untuk merubah atau
mengadakan perlakuan (Kountur, 2007).
40
41
3.2 Definisi Variabel, Konseptual, dan Operasional
3.2.1 Definisi variabel
Variabel adalah pembeda antara satu dengan yang lainnya (Kountur, 2007) dan
merupakan konstruk yang sifat-sifatnya sudah diberi nilai-nilai dalam bentuk bilangan,
atau konsep yang memiliki dua nilai atau lebih pada suatu kontinumnya yang dapat
dinyatakan dengan angka atau kata-kata (Hasan, 2002). Dalam penelitian ini, terdapat
dua jenis variabel, yaitu variabel bebas (independent variable dan variabel terikat
(dependent variable). Adapun variabel-variabel tersebut adalah:
a. Variabel bebas (independent variable) adalah integrity.
b. Variabel terikat (dependent variable) adalah psychological well-being.
3.2.2 Definisi Konseptual
Definisi konseptual (definisi kamus) adalah definisi yang menjelaskan suatu kata
dengan menggunakan kata-kata lainnya (Kountur, 2007). Definisi ini lebih formal jika
dibandingkan dengan definisi operasional. Dalam hal ini definisi dari tiap-tiap variabel
adalah:
1. Integrity yang dijelaskan pada penelitian ini mengambil acuan dari teori psikososial
Erikson (Santrock, 2002) Dimana ego integrity berarti saat individu melihat kembali
perjalanan hidup ke belakang, apa yang telah mereka lakukan selama perjalanan
mereka tersebut. Ada yang dapat mengembangkan pandangan positif terhadap apa
yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas.
42
2. Psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia
berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman
tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki (Ryff dan Keyes, 1995)
3.2.3 Definisi Operasional
Definisi operasional penelitian adalah suatu definisi yang memberikan
penjelasan atas suatu variabel dalam bentuk yang diukur dan merupakan definisi yang
dibuat oleh peneliti itu sendiri (Kountur, 2007). Definisi dari tiap-tiap variabel adalah
skor yang di peroleh dari pengukuran:
1. Integrity yang dimaksud dari penelitian ini adalah skor yang diperoleh dari
pengukuran berdasarkan teori Santrock yang mempunyai indikator merasa puas dan
memiliki pandangan positif terhadap apa yang telah dicapai
2. Psychological well-being adalah kondisi psikologis lansia di panti werdha yang di
tentukan oleh hasil evaluasi berdasarkan pengalaman hidupnya dengan
memanfaatkan potensi yang dimiliki selama tinggal di panti werdha. Dimana
dimensinya yang berdasarkan teorinya Ryff ada 6 yaitu: Kemandirian, penguasaan
lingkungan, pengembangan pribadi, menjalin hubungan baik dengan orang lain,
tujuan hidup, dan penerimaan diri.
43
3.3 Subjek penelitian
3.3.1 Populasi dan Sampel
Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki
karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang akan diteliti (Hasan, 2002). Dalam
penelitian ini yang menjadi populasinya adalah 46 orang lansia yang tinggal di Panti
Sosial Trisna Wredha Melania. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang
diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan
lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Hasan, 2002). Adapun sampel yang
diambil adalah sebanyak 35 lansia yang berada pada kelompok usia young old, the old-
old, dan the oldest old yang diawali dengan umur 60 tahun sampai diatas 85 tahun dan
tinggal di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dengan menggunakan prosedur
random sampling dengan metode ialah simple random sampling. Metode ini dilakukan
dengan cara pemilihan sampel dimana anggota dari populasi dipilih satu per satu secara
random dimana semua anggota dari populasi mendapatkan kesempatan yang sama
untuk dipilih dan jika sudah dipilih tidak dapat dipilih lagi (Kountur, 2007).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Metode dan Instrument Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti melalukan pengumpulan data dengan metode
(cara) menggunakan angket sebagai alat pengumpul data, yaitu sejumlah pernyataan
44
tertulis untuk memperoleh jawaban dari responden. Dalam proses pengumpulan data
penelitian ini, peneliti menggunakan instrument. Jawaban dari setiap item instrument
penelitian dalam bantuk skala.
Pada skala integrity dan skala psychological well-being dan ini dibuat dengan
menggunakan model skala Likert. Skala Likert (Hasan, 2002) merupakan jenis skala
yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian. Jawaban setiap item instrumen ini
memiliki gradasi dari yang tertinggi (sangat positif) sampai pada yang terendah (sangat
negatif), yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata. Pernyataan yang diberikan kepada
respoden akan memberikan indikasi pernyataan sering hingga tidak pernah. Cara
penilaiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Pemberian skor pada penelitian menggunakan skala Likert
Pilihan Jawaban Skor Nilai
Selalu (SL)
Sering (SR)
Kadang-kadang (KD)
Tidak Pernah (TP)
4
3
2
1
Dalam item konflik peran-ganda, subjek diminta menyatakan frekuensi
timbulnya perasaan sebagaimana yang digambarkan dalam item. Pilihan-pilihan
jawabannya adalah TP = Tidak Pernah, KD = Kadang-kadang, SR = Sering, SL =
selalu. Jawaban SR dan SL berarti frekuensi perasaan yang tinggi dan mengindikasikan
tingginya tingkat konflik peran ganda yang dialami, sebaliknya jawaban TP dan KD
45
mengindikasikan bahwa tingkat konflik ganda yang dialami subjek termasuk rendah
(Azwar, 2005). Skala Likert ini diadopsi dengan menghilangkan jawaban ragu-ragu
karena dapat menimbulkan pernyataan yang membingungkan atau ambigu.
Skala dalam penelitian ini terdiri dari dua skala. Skala pertama untuk
mengetahui integrity dan skala kedua untuk mengetahui psychological well being pada
responden penelitian.
1. Skala Integrity
Skala psikososial yang digunakan merujuk pada teori Erikson tahap kedelapan yang
dijabarkan oleh Santrock (2002).
Tabel 3.2
Blue Print Skala Integrity (try out)
No.
Indikator
No. Item
Favorable
Jumlah
1. Memiliki pandangan positif
terhadap apa yang telah dicapai
1, 3, 5, 7, 9 5
2. Merasa puas 2, 4, 6, 8, 10 5
Total 10
2. Skala Psychological Well-Being
Skala psychological well being yang digunakan merujuk pada teori Ryff yang
dirancang berdasarkan 6 dimensi yang mengambil rujukan angket dari karya Abbot. A.
R., et. al (2006).
46
Tabel 3.3
Blue Print Skala Psychological Well-Being (try out)
No. Dimensi No. Item
Favorable
Jumlah
1. Autonomy 1, 7, 13, 19, 25 5
2. Environment mastery 2, 8, 14, 20, 26 5
3. Personal growth 3, 9, 15, 21, 27 5
4. Positive relation with others 4, 10, 16, 22, 28 5
5. Purpose in life 5, 11, 17, 23, 29 5
6. Self acceptance 6, 12, 18, 24, 30 5
Total 30
3.4.2 Teknik Uji Instrumen
Sesuai dengan kaidah penelitian, maka peneliti mengadakan uji instrumen
terlebih dahulu. Pada tahap awal, peneliti membuat item skala yang kemudian
melakukan try out. Untuk menguji validitas, penghitungan korelasi dilakukan dengan
menggunakan rumus korelasi pearson-product moment dengan menggunakan bantuan
program SPSS 15.0. korelasi pearson-product moment yaitu suatu teknik untuk
menganalisis soal yang digunakan untuk menguji skala continue dengan tiga atau lebih
angka skala dimana skala Likert merupakan contoh jenis ini (Sevilla, 1993).
Adapun untuk mengetahui reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus
alpha cronbach dengan menggunakan program yang khusus untuk penghitungan data
penelitian yaitu program SPSS 15.0.
47
a. Uji Validitas
Uji validitas adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi
ukurnya. Artinya, sejauhmana skala itu mampu mengukur atribut yang dirancang untuk
mengukurnya (Azwar, 2005).
Adapun fungsi dari uji validitas ini adalah untuk menilai apakah isi skala
memang layak untuk digunakan dalam mengungkap atribut yang dikehendaki peneliti
(Azwar, 2005). Maka untuk menguji validitas dari skala yang telah dibuat adalah
dengan menggunakan teknik Pearson’s product moment. Menurut Sevilla (1993) pada
umumnya para peneliti mempertimbangkan bahwa korelasi 0,3 ke atas adalah indikasi
dari soal-soal yang baik. Dimana dalam perhitungannya dibantu dengan program SPSS
15.0.
b. Uji Reabilitas
Reabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang
mengandung makna kecermatan pengukuran. Dalam aplikasinya, reabilitas dinyatakan
oleh koefisien reabilitas (rxx) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan
1,00. Semakin tinggi koefisien realibilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi
reabilitasnya (Azwar, 2005).
Pengujian reabilitas pada instrumen yang digunakan adalah dengan metode
internal consistency yang berhubungan dengan konsistensi dari masing-masing
pernyataan pada suatu tes dalam mengukur apa yang sedang diukur (Kountur, 2005).
48
Pengujian reabilitas ini menggunakan Alpha Cronbach yang penghitungannya dibantu
oleh program SPSS 15.0. Dimana suatu konstruk variable dikatakan baik jika memiliki
nilai koefisien relabilitas > 0,6 (Azwar, 2005).
3.5 Hasil Uji Instrument
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan uji instrument pada 35
lansia dengan total item skala sebanyak 40 item dari dua skala, yaitu skala integrity
sebanyak 10 item, dan skala psychological well-being sebanyak 30 item.
3.5.1 Uji Coba Alat Ukur Skala Integrity
Hasil penghitungan uji coba dengan teknik person product moment dihasilkan
10 item valid dari 10 item skala integrity yang diuji cobakan. Item yang dinyatakan
valid ini karena memiliki nilai rhitung > 0,3. Reabilitas pada skala integrity dihitung
dengan menggunakan rumus alpha cronbach. Setelah dihitung, maka diperoleh nilai
koefisien reabilitas alpha sebesar 0,973 untuk integrity. Hal ini menunjukan bahwa alat
ukur integrity yang ada memiliki reabilitas yang baik sehingga memungkinkan atau
layak digunakan dalam penelitian. Adapun item-item yang valid tertera di bawah ini:
Tabel 3.4
Blue Print Skala Integrity (Field Test)
No. Aspek No. Item Favorable Jumlah Item Valid
1. Memiliki pandangan positif
terhadap apa yang telah di capai
1*, 3*, 5*, 7*, 9* 5
2. Merasa puas 2*, 4*, 6*, 8*, 10* 5
Total 10
* Item Valid
49
3.5.2 Hasil Uji Coba Alat Ukur Psychological Well-Being
Hasil penghitungan uji coba dengan teknik person product moment dihasilkan
26 item valid dari 30 item skala psychological well-being yang diuji cobakan. Item yang
dinyatakan valid ini karena memiliki nilai rhitung > 0,3. Reabilitas pada skala
psychological well-being dihitung dengan menggunakan rumus alpha cronbach. Setelah
dihitung, maka diperoleh nilai koefisien reabilitas alpha sebesar 0,909. Hal ini
menunjukan bahwa alat ukur psychological well-being yang ada memiliki reabilitas
yang baik sehingga memungkinkan atau layak digunakan dalam penelitian. Adapun
item-item yang valid tertera di bawah ini:
Tabel 3.5
Blue Print Psychological Well-Being (Field Test)
No. Dimensi No. Item
Favorable
Jumlah
Item Valid
1. Autonomy 1, 7*, 13*, 19*, 25* 4
2. Environment mastery 2*, 8*, 14*, 20*, 26* 5
3. Personal growth 3*, 9*, 15*, 21*, 27* 5
4. Positive relation with others 4*, 10*, 16*, 22*, 28* 5
5. Purpose in life 5*, 11*, 17*, 23*, 29* 5
6. Self acceptance 6*, 12, 18, 24*, 30 2
Total 26
* Item Valid
50
3.6 Teknik Analisa Data
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan
sesuai dengan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada atau
tidak adanya hubungan antara variable X yaitu integrity dengan variable Y yaitu
psychological well-being.
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara analisis statistik
deskriptif, dimana data yang didapatkan ditabulasikan untuk kemudian dijelaskan.
Sedangkan untuk mengetahui hubungan integrity dengan psychological well-being.
Adapun dalam penghittungannya, peneliti menggunakan bantuan program SPSS 15.0.
3.7 Prosedur Penelitian
Penelitian ini berjalan dengan melalui empat tahap prosedur penelitian, yaitu
tahap persiapan, uji coba, pengambilan data, serta pengolahan data, yaitu :
1. Merumuskan masalah, menentukan variabel yang akan diteliti, melakukan studi
pustaka untuk mendapat gambaran dan landasan teori yang tepat mengenai variabel
penelitian. Kemudian menentukan, menyusun, dan menyiapkan alau ukur yang akan
digunakan.
2. Mengurus surat izin try out dari fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Dharma.
3. Pada tanggal 7 Juni 2010, peneliti melakukan try out di Panti Sosial Tresna Werdha
Budhi Dharma sampai dengan tanggal 9 Juni 2010. Dalam hal ini peneliti dibantu
oleh Bapak Tonny Effendy.
51
4. Setelah semua data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data try out untuk
skala psychological well-being 26 yang valid dan tingkat reliabilitasnya 0,909.
Untuk skala integrity 10 item yang valid serta tingkat reliabilitasnya 0,973.
5. Mengurus surat izin penelitian dari fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
6. Tanggal 11 Agustus 2010, peneliti menyebar angket penelitian yang berjudul
“Hubungan integrity dengan psychological well-being lanjut usia di Panti Sosial
Trisna Wredha Melania dan dibantu oleh Ibu Irene Trisiana T. pada tanggal 11
Agustus 2010, angket terkumpul semua.
7. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data hasil instrumen
penelitian yang telah diisi oleh responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
Kemudian membuat tabel data dan melakukan penilaian hasil jawaban responden
pada skala psychological well-being dan integrity. Kemudian melakukan analisa
data dengan program SPSS versi 15.0 untuk menguji hipotesis dan korelasi antara
kedua variabel penelitian.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian
Berikut ini adalah deskripsi skor integrity dan psychological well-being. Dalam hal
ini peneliti mengkategorisasikan kedalam dua bagian. Yaitu: tinggi dan rendah.
Kategorisasi ini bertujuan untuk menempatkan responden ke dalam kategori-kategori atau
kelompok yang berjenjang.
1. Kategorisasi Skor Integrity
Tabel 4.1
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Integrity 35 33.743 4.742 24.00 40.00
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mean yang didapat untuk integrity adalah
sebesar 33,743. Nilai minimum yang adalah 24. Sedangkan nilai maksimum yang
didapatkan adalah sebesar 40. Sehingga luas jarak sebenarnya adalah 40-24 = 16. Jarak
tersebut kemudiaan dibagi dua untuk melihat nilai tengah yaitu 16/2 = 8. Kemudian nilai
tengah ditambah dengan nilai minimumnya yaitu 8+24 = 32. Sehingga nilai tengah yang
didapatkan antara 24 dan 40 adalah 32. Maka diperoleh kategorisasi sebagai berikut:
52
53
Tabel 4.2
Kategori skor skala
Kategorisasi Interval Skor Frekuensi %
Tinggi 32 - 40 25 71,4 %
Rendah 24 - 31 10 28,6 %
Jumlah 35 100 %
Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 25 responden penelitian (71,4 %) untuk integrity
berada dalam kategorisasi tinggi dan sebanyak 10 responden (28,6 %) memiliki
kategorisasi rendah. Dengan demikian dapat dikatakan dalam penelitian ini integrity
mayoritas responden dalam kategori tinggi sebanyak 25 responden (71,4 %).
2. Kategorisasi Skor Psychological Well-Being
Tabel 4.3
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
PWB 35 73.429 12.234 48.00 97.00
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mean yang didapat untuk PWB adalah
sebesar 73,429. Nilai minimum yang didapatkan untuk PWB adalah 48. Sedangkan nilai
maksimum yang didapatkan untuk PWB adalah 97. Sehingga luas jarak sebenarnya untuk
PWB adalah 97-48 = 49. Jarak tersebut kemudiaan dibagi dua untuk melihat nilai tengah
dari jarak PWB yaitu 49/2 = 24,5. Kemudian nilai tengah dari jarak PWB ditambah dengan:
54
nilai minimumnya yaitu 24,5+48 = 72,5. Sehingga nilai tengah yang didapatkan untuk
PWB antara 48 dan 97 adalah 72,5. Maka diperoleh kategorisasi sebagai berikut:
Tabel 4.4
Kategori skor skala PWB
Kategorisasi Interval Skor Frekuensi %
Tinggi 72,5 - 97 19 54,3
Rendah 48 – 72 16 45,7
Jumlah 35 100 %
Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 19 responden penelitian (54 %) untuk PWB
berada dalam kategorisasi tinggi dan sebanyak 16 responden (45 %) memiliki kategorisasi
rendah. Dengan demikian mayoritas responden dalam kategori tinggi sebanyak 19
responden (54 %).
4.2 Uji Persyaratan
4.2.1 Uji Hipotesis
Untuk menguji apakah terdapat hubungan antara integrity dengan psychological
well-being lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Melania, peneliti menggunakan rumus
Spearman, dikarenakan pada uji normalitas data integrity tidak berdistribusi normal,
sedangkan pada uji normalitas data psychological well-being berdistribusi normal.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software (SPSS versi 15.0) dan berikut
ini adalah hasil pengolahan data yang di maksud :
55
Tabel 4.5
Korelasi Integrity dengan Psychological Well-Being
Integrity PWB
Spearman's
rho
Integrity Correlation Coefficient 1.000 .473(**)
Sig. (2-tailed) . .004
N 35 35
PWB Correlation Coefficient .473(**) 1.000
Sig. (2-tailed) .004 .
N 35 35
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi, diketahui bahwa nilai korelasi rhitung
yang di dapat adalah sebesar 0,473, sementara nilai rtabel pada taraf signifikansi 1% adalah
dengan N 35. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
Ha: Ada hubungan yang signifikan antara hubungan psychological well-being dengan
integrity pada lanjut usia di panti wreda.
Ho: Tidak ada hubungan yang signifikan antara hubungan psychological well-being dengan
integrity pada lanjut usia di panti wreda .
Karena nilai rhitung yang didapat (0,473) > rtabel (sig. 1%), maka hipotesis alternatif
(Ha) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan
psychological well-being dengan integrity pada lanjut usia di panti wreda diterima. Dengan
demikian hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
56
antara hubungan psychological well-being dengan integrity pada lanjut usia di panti wreda
ditolak. Arah hubungan yang didapat menunjukan nilai positif, yang bermakna bahwa
semakin tinggi tingkat psychological well-being lansia di panti wreda, semakin tinggi pula
integrity yang di dapat.
4.2.2 Analisis Hasil Uji Hipotesis
Dari hasil uji hipotesis bahwa rhitung psychological well-being dengan integrity
(0,473) > rtable (sig. 1%). Dengan demikian, diperoleh jawaban atas rumusan hipotesis
bahwa Ha diterima yaitu terdapat hubungan signifikan antara psychological well-being
dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania dan menolak hipotesis Ho
yaitu tidak terdapat hubungan signifikan antara psychological well-being dengan integrity
lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
4.3 Hasil Tambahan
4.3.1 Gambaran Umum Responden
Gambaran umum responden akan diuraikan secara rinci di bawah ini berdasarkan
jenis kelamin, usia, status pernikahan, dan sosial ekonomi. Subjek dalam penelitian ini
sebanyak 35 lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
1. Gambaran Responden Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin
Berikut tabel di bawah ini penjelasan mengenai kategorisasi responden berdasarkan
jenis kelamin :
57
Tabel 4.6
Kategori Jenis Kelamin
Jenis
kelamin
Frekuensi Persen
(%)
Integrity PWB
Mean t-test Mean t-test
Laki-laki
Perempuan
3
32
9
91
34.333
33.687
0,825 73.0
73.469
0,951
Total 35 100
Dari table di atas terlihat bahwa responden paling banyak adalah lansia perempuan
32 orang dengan presentase 91%, sedangkan responden lansia laki-laki berjumlah 3 orang
dengan presentase 9%.
Untuk nilai rata–rata PWB pada perempuan (73.469) lebih besar daripada laki-laki
(73.0) dengan perbedaan nilai sebesar 0.469. sedangkan untuk nilai rata-rata integrity lebih
besar laki-laki daripada perempuan dengan perbedaan sebesar 0,646. Dapat dilihat di tabel
4.6 untuk signifikansi t-test untuk integrity (0,825) dan PWB (0,951) > 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan integrity dan PWB pada lansia laki-laki
dan perempuan.
2. Gambaran Responden Berdasarkan Kategori Usia
Berikut tabel di bawah ini penjelasan mengenai kategorisasi responden berdasarkan
usia:
58
Tabel 4.7
Kategori Usia
Usia Frekuensi % Integrity PWB
Mean one-
way
Mean one-
way
60 – 75
75 – 85
> 85
10
22
3
23
69
8
33.6
34.227
30.667
0,468 72.6
73.591
75.0
0,954
Total 35 100
Pada penelitian ini gambaran umum responden berdasarkan kategori usia atau umur,
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok umur antara umur 60 – 75 tahun
sebanyak 10 lansia (23%), kemudian kelompok umur 75 – 85 tahun sebanyak 22 lansia
(69%), dan kelompok umur antara umur > 85 tahun sebanyak 3 lansia (8%).
Untuk nilai rata–rata integrity yang paling kecil terdapat di umur > 85 tahun
(30,667) sedangkan PWB di umur 60 – 75 tahun (72,6) dan yang paling tinggi untuk
integrity di umur 75 – 85 (34,227) dan PWB terdapat di umur > 85 tahun (75,0). Dapat
dilihat di tabel 4.7 untuk signifikansi one-way untuk integrity (0,468) dan PWB
(0,954) > 0,05 sehingga dapat di simpulkan bahwa tidak ada perbedaan integrity dan PWB
antara usia 60 tahun sampai dengan > 85 tahun,
59
3. Gambaran Responden Berdasarkan Kategori Status Pernikahan
Berikut tabel di bawah ini penjelasan mengenai kategorisasi responden berdasarkan
status pernikahan :
Table 4.8
Kategori Status Pernikahan
Status
Pernikahan
Frekuensi % Integrity PWB
Mean one-
way
Mean one-
way
Janda
Duda
Tidak Menikah
26
3
6
74
9
17
33.577
34.333
34.167
0,942 74.0
73.0
71.167
0,882
Total 35 100
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kelompok janda sebanyak 26 lansia (74%),
kemudian kelompok status duda sebanyak 3 lansia (9%), dan kelompok status tidak
menikah sebanyak 6 lansia (17%).
Untuk nilai rata–rata integrity paling kecil terdapat pada status janda (33,577)
sedangkan PWB pada status tidak menikah (71,167) dan yang paling tinggi untuk integrity
di status duda (34,333) sedangkan PWB di status janda (74,0). Dapat dilihat di tabel 4.8
Untuk signifikansi one-way integrity (0,942) dan PWB (0,882) > 0,05 sehingga dapat di
simpulkan bahwa tidak ada perbedaan integrity dan PWB di antara status janda, duda, dan
tidak menikah.
60
4. Gambaran Responden Berdasarkan Kategori Sosial Ekonomi
Berikut tabel di bawah ini penjelasan mengenai kategorisasi responden berdasarkan
keadaan sosial ekonomi:
Tabel 4.9
Kategori Sosial Ekonomi
Sosial Ekonomi Frekuensi % Integrity PWB
Mean one-
way
Mean one-
way
Sangat Cukup
Cukup
Tidak Cukup
3
19
13
9
54
37
35.667
33.579
33.538
0,774 90.0
76.789
64.692
0,0
Total 35 100
Pada penelitian ini gambaran umum responden berdasarkan kategori sosial
ekonomi, Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kelompok sangat cukup sebanyak 3 lansia
(9%), kemudian kelompok ekonomi cukup sebanyak 19 lansia (19%), dan kelompok status
ekonomi tidak cukup sebanyak 13 lansia (37%).
Untuk nilai rata–rata integrity dan PWB yang paling kecil terdapat pada ekonomi
tidak cukup (33,538 dan 64.692) dan yang paling tinggi untuk integrity dan PWB pada
ekonomi sangat cukup (35,667 dan 90,0). Dapat dilihat di tabel 4.9 untuk signifikansi one-
way integrity (0,774) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan di antara ketiga sosial ekonomi tersebut, sedangkan untuk signifikansi one-way
61
PWB 0,0 < 0,05 sehingga dapat di simpulkan bahwa ada perbedaan PWB antara ketiga
ekonomi tersebut. Dimana mereka yang memiliki ekonomi sangat cukup memiliki PWB
yang lebih baik dari pada yang cukup dan tidak cukup.
4.3.2 Hasil Analisa Uji Regresi
Untuk mengatahui berapa besar sumbangan integrity untuk PWB maka dilakukan
analisa uji regresi.
Tabel 4.10
Model Summary Hasil Uji Regresi
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 .497(a) .247 .200 10.94367
a Predictors: (Constant), Puas, P.Positif
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa nilai R square yang didapat adalah
sebesar 0,247. Hal ini berarti bahwa kedua indikator integrity memberikan sumbangsih
sebesar 24,7% bagi perubahan PWB. Dengan demikian terdapat 75,3% aspek lain selain
indikator integrity yang tidak terukur dalam penelitian ini yang dapat memberikan
perubahan terhadap variabel PWB.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan ada hubungan yang signifikan antara
psychological well-being dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania
dan hasil dari uji regresi, kedua indikator integrity memberikan sumbangsih sebesar 24,7%
bagi perubahan antara psychological well-being. Hal ini berarti semakin tinggi
psychological well-being lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania maka integrity yang
dimiliki lansia tersebut cenderung semakin baik.
5.2 Diskusi
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka penulis akan
melakukan beberapa pembahasan lebih lanjut mengenai hubungan integrity dengan
psychological well-being lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa tingkat integrity lansia di Panti Sosial
Trisna Wredha Melania sebanyak 25 lansia (71,4 %) dalam kategori skor tinggi. Dengan
demikian hal ini menunjukan bahwa lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania memiliki
pengalaman hidup yang memuaskan yang dapat terlihat dari tingkat integrity yang tinggi.
62
63
Pada variabel psychological well-being diketahui bahwa lansia yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi
sebanyak 19 lansia (54,3 %), ini berarti lansia memiliki kecendrungan untuk memperoleh
kebahagiaan yang tinggi selama tinggal di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.
Ryff dan Keyes (1995), psychological well-being adalah saat dimana seseorang
dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya, bagaimana mereka
memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki dan didasari oleh
enam dimensi yatu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang
berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan
penerimaan diri yang baik. Jika melihat skor keenam dimensi dari psychological well-being
adalah tinggi, hal ini berarti lansia memiliki penilaian yang cukup baik terhadap
pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini. Menurut Santrock (2002), ada beberapa hal
yang perlu dilakukan oleh para lansia untuk membantu mereka mencapai psychological
well-being, yaitu mencakup memiliki pendapatan, kesehatan yang baik, gaya hidup aktif,
dan mempunyai jaringan teman dan keluarga yang baik.
Dari hasil penelitian pada bab sebelumnya, korelasi antara psychological well-being
dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania sebesar 0,496 atau lebih
besar dari taraf signifikan 1%. Dengan demikian ini menunjukan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara psychological well-being dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna
Wredha Melania.
64
Penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara psychological
well-being dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania. Hasil penelitian
ini sesuai dengan pendapat Bardburn (1969) Dalam sebuah contoh dimana seseorang yang
memiliki psychological well-being tinggi akan memiliki emosi positif lebih banyak
daripada emosi negatif. Dengan demikian, dalam banyak hal ini di dominasi oleh rasa
bahagia (well-being) melebihi rasa sakit dalam pengalaman hidupnya.
Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Yang Yang (dalam
Oz, 2008) pada 28.000 orang Amerika dengan rentang usia 18 sampai 88 tahun yang
menyatakan bahwa orang yang paling bahagia adalah yang paling tua dan hidup bertambah
baik dalam persepsi seseorang saat bertambahnya usia. Menurutnya, orang yang berusia
lanjut menghadapi sejumlah tertentu kesukaran yang tak terelakkan, termasuk rasa sakit dan
nyeri serta kematian teman dan orang yang dicintai. Namun orang yang lebih tua biasanya
telah belajar untuk lebih puas dengan apa yang mereka miliki di bandingkan dengan orang
dewasa yang lebih muda. Linda George juga mengatakan hal itu terjadi karena orang yang
lebih tua telah belajar untuk menurunkan harapannya dan menerima baik apa yang telah
mereka capai.
Hasil tambahan dalam penelitian ini menghasilkan bahwa untuk jenis kelamin tidak
ada perbedaan signifikan psychological well-being pada lansia dengan hasil t-test 0,951.
Dalam Bardburn (1969) hal ini sesuai dengan beberapa studi sebelumnya yang dilakukan
oleh Gurin bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara jenis kelamin dengan kebahagiaan.
65
Salah satu yang menyebabkan tidak adanya perbedaan pada jenis kelamin karena
perempuan sekarang hidup di masa yang lebih modern dimana tingkat pendidikannya lebih
tinggi.
Usia dalam penelitian ini menghasilkan tidak ada perbedaan signifikan
psychological well-being pada lansia dengan nilai one-way 0,954. Dalam Feist (2006),
Folkman dan kawan-kawan menyatakan lansia lebih baik dalam melakukan coping ketika
sedang emosi. Karena menurut Blanchard dan kawan-kawan lansia memiliki strategi dalam
mengatur emosi lebih banyak daripada dewasa muda. Hal itu sejalan dengan pernyataan
Braun (dalam Diener, 1984) bahwa responden yang lebih tua secara keseluruhan
melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih besar.
Pada status pernikahan juga tidak ada perbedaan yang signifikan psychological
well-being pada lansia dengan nilai one-way 0,882. Menurut Dykstra (dalam Feist, 2006),
lansia yang tidak pernah menikah kurang lebih sama keadaannya dengan janda dan yang
ditinggal oleh pasangannya yang lebih menyukai hidup sendiri. Mereka memiliki sedikit
ketegangan akibat emosi yang berhubungan pasangan hidup. Menurut Pudrovska dan
kawan-kawan, mungkin alasan mereka untuk hidup sendiri adalah karena keterampilan dan
sumber daya seperti autonomy (kemandirian) dapat membantu mereka dalam mengatasi
kesendiriannya dikarenakan lamanya waktu untuk hidup sendiri
66
Dan, terakhir pada status sosial ekonomi terdapat perbedaan signifikansi
psychological well-being pada lansia dengan nilai one-way 0,0. Menurut Hurlock (1980),
lansia yang tidak mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sering
menghentikan banyak kegiatan yang penting bagi mereka, kemudian memusatkan
perhatiannya pada satu kegiatan yang dapat menghasilkan sesuatu, tanpa memperhatikan
apakah hal itu penting bagi mereka atau memenuhi kebutuhannya. Sehingga kebahagiaan
yang mereka dapatkan menjadi lebih terbatas ketika dilihat dari keadaan ekomnomi yang
sedang dialami.
Namun dalam penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan, diantaranya
adalah menurunnya fungsi penglihatan pada lansia sehingga angket harus dibacakan,
jawaban yang diberikan oleh para lansia langsung mencakup beberapa pernyataan yang
diajukan, adanya perbedaan persepsi antara peneliti dengan lansia pada pemberian skor
alternatif jawaban angket, dan keterbatasan waktu yang diberikan oleh pihak panti werdha
jadi dalam pelaksanaannya dibantu oleh beberapa teman dalam membacakan angket.
5.3 Saran
Berdasarkan penulisan penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan di dalamnya dikarenakan adanya beberapa hambatan dan rintangan
yang dialami. Untuk itu, dari peneliti ada beberapa saran yang bisa menjadi bahan
67
pertimbangan sebagai penyempurnaan berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian ini,
yaitu berupa saran teoritis dan saran praktis.
5.3.1 Saran Teoritis
1. Mengingat metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuantitatif maka untuk penelitian selanjutnya disarankan melakukan penelitian dengan
metode kualitatif. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh lebih mendalam.
2. Sebaiknya pada penelitian yang akan datang jumlah sampel lebih banyak sebagai uji
coba dan untuk populasi yang lebih luas sehingga penyebaran dari analisa jawaban
setiap pernyataan bisa lebih baik.
3. Dikarenakan penelitian ini meneliti masa perkembangan lansia, maka perlu dilakukan
penelitian pada masa perkembangan yang sebelumnya (remaja dan dewasa), agar data
yang didapatkan lebih akurat.
4. Pada penelitian ini telah menggunakan variabel integrity, maka untuk penelitan
selanjutnya disarankan menggunakan variabel despair dengan jumlah item pernyataan
yang sedikit dan lebih sensitif.
5. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai
perbedaan antara psychological well-being lansia yang tinggal bersama anaknya
(keluarganya), di panti wreda milik negara, dan di panti wreda miliki swasta.
68
5.3.2 Saran Praktis
1. Untuk Para Lansia
Lansia dapat mengikuti berbagai kegiatan di panti wreda agar dapat mengembangkan ke
enam dimensi dalam meningkatkan psychological well-being-nya, karena berdasarkan
hasil penelitian hal tersebut dapat meningkatkan psychological well-being yang berarti
integrity yang dimiliki juga baik.
2. Untuk Praktisi Psikologi
Untuk praktisi psikologi agar dapat menambah pengetahuan tentang tahapan
perkembangan lansia karena jika dibandingan dengan tahap perkembangan lainnya
pengetahuan tentang tahapan perkembangan lansia masih lebih sedikit, lebih memahami
kebutuhan psikologis lansia saat mereka tinggal di panti wreda.
3. Untuk Lembaga Sosial Panti Wreda
Untuk lembaga sosial panti wreda dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan masing-masing lansia sehingga mereka dapat merasa nyaman tinggal di panti
werdha, menyediakan berbagai aktifitas yang dapat dilakukan dalam keseharian mereka
baik secara inidividu maupun kelompok, dan memperbanyak kegiatan rohani.
4. Untuk Pemerintah
Untuk pemerintah, kepedulian akan kesehatan telah dipahami banyak orang sehingga
umur yang dimiliki seseorang bisa lebih panjang, jadi makin banyak pula yang memiliki
umur di atats 60 tahun jadi ada baiknya diadakan berbagai penyuluhan atau seminar
tentang lansia karena usia lansia adalah saat dimana kemampuan fisik menjadi menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot. A. R., et. al. (2006). Health and quality of life outcomes. London: BioMed Central
Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM press
Andra. (2007). Panti werdha, dunia bagi lansia. Dari http://www.majalah-farmacia.com/rubik/one_news.asp?IDNews=493
Atkinson, R. L., Atkinson C. R., Smith, E. E., Bem, D. J. (tanpa tahun). Pengantar psikologi (Ed.11). Batam: Interaksara
Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bandiyah, S. (2009). Lanjut usia dan keperawatan gerontik. Yogyakarta: Nusa Medika
Boyd, D., Bee H. (2006). Lifespan development. United States of Amerika: Pearson Education, inc
Bradburn, N. M. (1969). The structure of psychological well-being. Chicago: Aldine Publishing Company
Davidoff, L. L. (1991). Psikologi suatu pengantar (ed. 2), (diterjemahkan oleh: Juniati, M.). Jakarta: Erlangga
Depdikbud. (2000). Kamus besar bahasa Indonesia (ed. 3) Jakarta: Balai Pustaka
Diener, E. (1989). Subjective well-being. Psychological bulletin, 95 (3), 542-575.
Feist, J., Feist, G. J. (2006). Theories of personality (6th ed). New York: The McGraw Hill Companies, Inc
Hall, C. S. & Lindzey, G., Wiley, J. & Son.. (1993). Psikologi kepribadian 1, teori-teori psikodinamik (klinis), (diterjemahan oleh: Suprantiknya A). Yogyakarta: Kanisius.
Hamonangan, A. (2006). Opa dan oma pun butuh bersosialisasi. Dari http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/5381635.html
Hasan, M. I. (2002). Pokok-pokok materi metodologi penelitian & aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (ed. 5). Jakarta: Erlangga
Jis, Djalil, L., Margono, A., Syukur, H. (1989). Cinta di rumah jompo. dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/02/18/PRK/mbm.19890218.PRK20367.id.html
Kountur, R. (2007). Metode penelitian untuk penulisan skripsi dan tesis (Ed. 2). Jakarta: PPM Moeryanta. (2005). Pedoman umum pelaksanaan subsidi silang, pada panti social trena werdha. Jakarta: Dapertemen sosial RI
Oz. (2008). Lansia, makin tua makin bahagia. Dari http://www.waspada.co.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=20908:lansia-makin-tua-makin-bahagia&catid=54:gaya-hidup&Itemid=84
Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2009). Human development. New York: McGraw Hill Companies, Inc
Patmonodewo, S.( 2001). Bunga rampai psikologi perkembangan pribadi: dari bayi sampai lanjut usia. Jakarta: UI-Press
Prasetyo, B. D. P. (1998). Persepsi keluarga kota terhadap penanganan para lanjut usia melalui lembaga panti werda dan panti jompo. Laporan penelitian. Malang: Universitas Merdeka Malang
Rahadyanti, A. (2007). Kebahagiaan dirintis saat muda. Dari http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0711/23/jogja/1044994.htm
Republik Indonesia. (1988). Undang-undang Republik Indonesia no. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Jakarta: Biro hokum dapartemen sosial RI.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of personality and social psychology, 57 (6), 1069-1081.
Ryff, C. D., Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of personality and social psychology, 69 (4), 719-727.
Santrock, J. W. (2002). Life-span development, perkembangan masa hidup (ed. 5). Jakarta: Erlangga
Seligman, M. E. P. (2005). Authentic happiness: menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung: Mizan
Sevilla, C. G., Ochave, J. A., Punsalen, T. G., Regala, B. P., Uriarte, G. G. (1993). Pengantar metode penelitian (diterjemahkan oleh: Tuwu, A.). Jakarta: UI-Press
Wigunaningsih, W. (2008). Akibat sepi, masuk panti jompo. Dari http://pakolescenter.blogspot.com/2008/01/akibat-sepi-masuk-panti.jompo.html
Williamson, G. M. (2005). Aging well, outlook for the 21st century. Handbook of positive psychology (670-685). New York: Oxford University Press, Inc
18 2 2 2 2 2 2 2 2
Data Mentah Integrity (Try Out)
NOITEM
1 2 3 4 5 6 7 81 1 2 1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 1 1 1 13 1 1 1 1 1 1 1 14 2 2 2 2 2 2 2 25 1 1 1 1 1 1 1 16 1 2 2 1 1 1 1 17 1 2 1 2 1 2 2 28 1 1 1 1 1 1 1 19 2 1 2 1 2 2 1 1
10 1 1 1 1 1 1 1 111 2 2 1 2 1 1 2 212 2 1 2 1 2 2 1 113 1 2 1 2 1 1 1 214 1 1 2 1 1 1 1 115 2 2 1 2 1 2 2 216 1 1 2 1 1 1 1 117 2 2 3 2 3 3 2 218 2 2 2 2 2 2 2 219 4 4 4 3 4 1 3 420 1 1 1 1 1 1 1 121 2 2 2 1 2 2 1 122 2 2 1 2 1 2 2 223 1 1 1 1 1 1 1 124 1 1 2 1 1 1 1 125 2 2 1 2 1 2 2 226 1 1 2 1 1 1 1 127 3 1 1 1 1 3 1 128 1 2 3 2 3 1 2 229 1 2 2 1 2 1 1 130 3 1 1 1 1 3 1 131 2 2 4 2 4 2 2 232 1 1 1 1 1 1 1 133 1 2 1 1 1 1 2 234 1 1 1 1 1 1 1 135 2 1 3 1 1 2 1 1
Jml 54 54 58 48 51 52 48 50
2 2 2 2 2 2 2
Jumlah9 10 11 12 13 14 151 1 1 1 2 1 1 171 2 1 1 1 1 1 161 1 1 1 1 1 1 152 2 3 2 2 2 2 311 1 1 1 1 1 1 151 1 1 1 1 1 1 172 2 1 1 2 1 2 241 1 1 1 1 1 1 152 1 2 2 1 2 2 241 1 1 1 1 1 1 151 2 1 1 2 1 1 222 1 2 2 1 2 2 241 2 1 1 2 1 1 201 1 2 1 1 1 2 182 2 1 1 2 2 1 251 1 1 1 1 1 1 163 2 1 3 2 3 3 362 2 2 2 2 2 2 30301 4 4 4 4 3 4 511 1 1 1 1 1 1 152 1 1 2 2 2 2 252 2 1 1 2 2 1 251 1 2 1 1 1 1 161 1 1 2 1 1 2 182 2 1 1 2 2 1 251 1 1 2 1 1 2 183 1 1 1 1 3 1 231 2 3 3 2 1 3 311 2 1 2 1 1 2 211 1 1 1 1 3 1 212 2 3 4 2 2 4 391 1 1 1 1 1 1 151 2 2 1 2 1 1 211 1 1 1 1 1 2 162 1 1 1 1 2 1 21
50 52 50 53 52 53 56 781
Nonparametric Correlations Correlations_2-tailed Integrity PWB Spearman's rho Integrity Correlation Coefficient 1.000 .473(**)
Sig. (2-tailed) . .004N 35 35
PWB Correlation Coefficient .473(**) 1.000Sig. (2-tailed) .004 .N 35 35
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Regression Variables Entered/Removed(b)
Model Variables Entered
Variables Removed Method
1 Puas, P.Positif(a) . Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: PWB Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .497(a) .247 .200 10.94367a Predictors: (Constant), Puas, P.Positif
Gambaran Umum Responden_Jenis Kelamin T-Test_Psychological Well-being Group Statistics
JK N Mean Std. Deviation
Std. Error Mean
PWB 1.00 3 73.0000 19.97498 11.532562.00 32 73.4688 11.76376 2.07956
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
PWB Equal variances assumed 2.061 .161 -.063 33 .951 -.46875 7.49745 -15.72243 14.78493
Equal variances not assumed -.040 2.132 .972 -.46875 11.71856 -48.01251 47.07501
T-Test_Integrity Group Statistics
JK N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Integrity 1.00 3 34.3333 8.96289 5.17472
2.00 32 33.6875 4.40994 .77957
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Integrity Equal variances assumed 5.307 .028 .222 33 .825 .64583 2.90441 -5.26323 6.55490
Equal variances not assumed .123 2.092 .913 .64583 5.23312 -20.95007 22.24173
Gambaran Umum Responden_Usia Oneway_ Psychological Well-being Descriptives PWB
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound 1.00 10 72.6000 8.83428 2.79364 66.2803 78.9197 60.00 86.002.00 22 73.5909 14.17798 3.02276 67.3047 79.8771 48.00 97.003.00 3 75.0000 8.66025 5.00000 53.4867 96.5133 65.00 80.00Total 35 73.4286 12.23372 2.06788 69.2261 77.6310 48.00 97.00
ANOVA PWB
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 14.853 2 7.427 .047 .954Within Groups 5073.718 32 158.554 Total 5088.571 34
Oneway_Integrity Descriptives integrity
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound 1.00 10 33.6000 6.02218 1.90438 29.2920 37.9080 26.00 40.002.00 22 34.2273 4.37451 .93265 32.2877 36.1668 24.00 40.003.00 3 30.6667 1.15470 .66667 27.7982 33.5351 30.00 32.00Total 35 33.7429 4.74244 .80162 32.1138 35.3719 24.00 40.00 ANOVA integrity
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 33.755 2 16.878 .739 .486Within Groups 730.930 32 22.842 Total 764.686 34
Gambaran Umum Responden_Status Pernikahan Oneway_ Psychological Well-being [DataSet5] ANOVA PWB
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 39.738 2 19.869 .126 .882Within Groups 5048.833 32 157.776 Total 5088.571 34
Descriptives PWB
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound 1.00 26 74.0000 12.22129 2.39679 69.0637 78.9363 48.00 97.002.00 3 73.0000 19.97498 11.53256 23.3794 122.6206 50.00 86.003.00 6 71.1667 10.16694 4.15064 60.4971 81.8362 57.00 82.00Total 35 73.4286 12.23372 2.06788 69.2261 77.6310 48.00 97.00
Oneway_Integrity Descriptives Integrity
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound 1.00 26 33.5769 4.21590 .82681 31.8741 35.2798 26.00 40.002.00 3 34.3333 8.96289 5.17472 12.0683 56.5984 24.00 40.003.00 6 34.1667 5.60060 2.28643 28.2892 40.0441 25.00 39.00Total 35 33.7429 4.74244 .80162 32.1138 35.3719 24.00 40.00
ANOVA Integrity
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 2.840 2 1.420 .060 .942Within Groups 761.846 32 23.808 Total 764.686 34
Gambaran Umum Respnden_Status Sosial Ekonomi Oneway_ Psychological Well-being [DataSet5] ANOVA PWB
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 2030.644 2 1015.322 10.625 .000Within Groups 3057.927 32 95.560 Total 5088.571 34
Descriptives PWB
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound Lower Bound
Upper Bound
1.00 3 90.0000 11.26943 6.50641 62.0052 117.9948 77.00 97.002.00 19 76.7895 10.16846 2.33281 71.8884 81.6905 50.00 88.003.00 13 64.6923 8.86364 2.45833 59.3361 70.0486 48.00 79.00Total 35 73.4286 12.23372 2.06788 69.2261 77.6310 48.00 97.00
Oneway_Integrity Descriptives Integrity
N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for
Mean Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound 1.00 3 35.6667 4.93288 2.84800 23.4127 47.9206 30.00 39.002.00 19 33.5789 5.47028 1.25497 30.9424 36.2155 24.00 40.003.00 13 33.5385 3.71069 1.02916 31.2961 35.7808 28.00 39.00Total 35 33.7429 4.74244 .80162 32.1138 35.3719 24.00 40.00
ANOVA Integrity
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 12.157 2 6.078 .258 .774Within Groups 752.529 32 23.517 Total 764.686 34
Skala Integrity Reliability Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based
on Standardized
Items N of Items .973 .972 10
Item Statistics Mean Std. Deviation N VAR00001 3.3143 .71831 35VAR00002 3.3714 .68966 35VAR00003 3.6000 .55307 35VAR00004 3.3429 .72529 35VAR00005 3.3714 .68966 35VAR00006 3.3714 .68966 35VAR00007 3.4286 .69814 35VAR00008 3.3429 .72529 35VAR00009 3.4000 .69452 35VAR00010 3.3429 .68354 35
Summary Item Statistics
Mean Minimum Maximum Range Maximum / Minimum Variance N of Items
Item Means 3.389 3.314 3.600 .286 1.086 .007 10Item Variances .474 .306 .526 .220 1.720 .004 10Inter-Item Correlations .775 .400 .971 .571 2.428 .028 10
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted VAR00001 30.5714 30.840 .846 .877 .971 VAR00002 30.5143 30.551 .928 .931 .968 VAR00003 30.2857 34.504 .507 .374 .980 VAR00004 30.5429 30.844 .836 .796 .971 VAR00005 30.5143 30.434 .946 .951 .967 VAR00006 30.5143 30.492 .937 .943 .968 VAR00007 30.4571 30.079 .984 .987 .966 VAR00008 30.5429 30.903 .828 .762 .972 VAR00009 30.4857 30.198 .973 .984 .966 VAR00010 30.5429 30.726 .912 .919 .969
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items 33.8857 38.104 6.17286 10
Skala Psychological well-being Reliability Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based
on Standardized
Items N of Items .909 .914 30
Item Statistics Mean Std. Deviation N VAR00001 3.2000 1.20782 35VAR00002 3.0286 .85700 35VAR00003 3.5714 .60807 35VAR00004 3.6571 .63906 35VAR00005 2.7143 1.12646 35VAR00006 3.1714 1.04278 35VAR00007 3.1143 .86675 35VAR00008 3.5429 .78000 35VAR00009 2.8286 1.09774 35VAR00010 3.2286 .97274 35VAR00011 2.9143 1.24550 35VAR00012 3.4286 .60807 35VAR00013 3.1429 .87927 35VAR00014 3.5143 .70174 35VAR00015 2.8571 1.08852 35VAR00016 3.5714 .50210 35VAR00017 3.1714 1.04278 35VAR00018 3.3714 .73106 35VAR00019 3.1143 .86675 35VAR00020 3.6571 .59125 35VAR00021 2.5143 .95090 35VAR00022 3.2000 .90098 35VAR00023 3.2000 .99410 35VAR00024 3.1429 1.03307 35
VAR00025 2.9429 .96841 35VAR00026 3.3714 .84316 35VAR00027 3.2857 .85994 35VAR00028 3.1429 .87927 35VAR00029 3.2571 1.06668 35VAR00030 2.9143 .95090 35
Summary Item Statistics
Mean Minimum Maximum Range Maximum / Minimum Variance N of Items
Item Means 3.192 2.514 3.657 1.143 1.455 .079 30Item Variances .839 .252 1.551 1.299 6.153 .110 30Inter-Item Correlations .263 -.191 .965 1.157 -5.041 .055 30
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted VAR00001 92.5714 202.193 .134 . .914 VAR00002 92.7429 193.903 .570 . .905 VAR00003 92.2000 197.576 .602 . .906 VAR00004 92.1143 197.457 .578 . .906 VAR00005 93.0571 191.703 .489 . .907 VAR00006 92.6000 190.600 .575 . .905 VAR00007 92.6571 195.820 .481 . .907 VAR00008 92.2286 194.240 .616 . .905 VAR00009 92.9429 190.938 .531 . .906 VAR00010 92.5429 197.020 .376 . .908 VAR00011 92.8571 183.479 .688 . .902 VAR00012 92.3429 203.291 .264 . .909 VAR00013 92.6286 194.005 .550 . .906 VAR00014 92.2571 197.844 .502 . .907 VAR00015 92.9143 190.904 .537 . .906 VAR00016 92.2000 200.812 .504 . .907 VAR00017 92.6000 190.894 .564 . .905 VAR00018 92.4000 202.835 .234 . .910 VAR00019 92.6571 193.703 .571 . .905 VAR00020 92.1143 200.869 .419 . .908 VAR00021 93.2571 194.079 .500 . .906 VAR00022 92.5714 192.546 .595 . .905 VAR00023 92.5714 191.487 .573 . .905 VAR00024 92.6286 191.887 .534 . .906 VAR00025 92.8286 195.146 .449 . .907 VAR00026 92.4000 195.071 .529 . .906
VAR00027 92.4857 199.022 .349 . .909 VAR00028 92.6286 194.358 .535 . .906 VAR00029 92.5143 189.375 .604 . .904 VAR00030 92.8571 202.832 .166 . .912
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items 95.7714 208.240 14.43053 30