halaman judul -...
TRANSCRIPT
TESIS
PENETAPAN LOKASI DALAM PENGADAAN TANAH SKALA KECILBAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
DETERMINATION OF LOCATION IN SMALL SCALE LANDACQUISTION FOR DEVELOPMENT FOR PUBLIC
ANDI BESSE TENRI ADJENG
P3600215037
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
i
HALAMAN JUDUL
TESIS
PENETAPAN LOKASI DALAM PENGADAAN TANAH SKALA KECIL
BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
THE LOCATION STATEMENT IN THE PROVISION OF THE SMALL-
SCALED LAND FOR THE BUILDING DEVELOPMENT FOR THE
PUBLIC INTEREST
Tesis
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin
Oleh:
ANDI BESSE TENRI ADJENG
P3600215037
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Andi Besse Tenri Adjeng
NIM : P3600215037
Program Studi : Kenotariatan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah (Tesis) dengan judul:
“PENETAPAN LOKASI DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA
KECIL BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM”
Adalah merupakan hasil karya saya sendiri yang belum pernah
dipublikasikan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, dalam bentuk
jurnal atau bentuk lain yang dipublikasikan secara umum. Karya ilmiah ini
sepenuhnya merupakan karya intelektual saya dan seluruh sumber yang
menjadi rujukan dalam karya ilmiah ini telah saya sebutkan sesuai kaidah
akademik yang berlaku umum.
Demikian pernyataan ini saya nyatakan secara benar dengan penuh
tanggung jawab.
Makassar, November 2017
Andi Besse Tenri Adjeng
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala limpahan berkah, rahmat, karunia serta kesempatan luar
biasa yang diberikan sehingga penyusunan Tesis ini dapat diselesaikan
dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini, namun berkat bantuan berbagai pihak, tesis ini
dapat selesai. Dalam kesempatan ini, penulis dengan tulus
menyampaikan terima kasih secara khusus kepada orang tua penulis,
ayahanda Andi Rapiuddin Padjung dan ibunda tercinta Elis Ilyas
Mattewakkang atas segala kasih sayang, dorongan semangat, biaya,
kesabaran, perhatian dan doa yang tak putus-putusnya diberikan kepada
penulis.
Pada kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat
Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H dan Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,
M. Hum. yang telah memperlakukan saya sebagai murid, anak, bahkan
sahabat, sehingga berkat bimbingan, arahan dan petunjuknya yang telah
diberikan kepada saya telah diperoleh hasil yang maksimal dalam
penyempurnaan penulisan tesis ini.
v
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubu, M.A selaku Rektor Universitas
Hasanuddin dan para wakil rektor.
2. Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin dan para wakil dekan.
3. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. selaku Ketua Program Studi
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H. , Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,
M.H., dan Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. selaku penguji dalam tesis
penulis yang telah memberikan saran demi kesempurnaan tesis ini.
5. Para dosen di lingkungan Fakultas Hukum khususnya pada Program
Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin,
yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan studi.
6. Bapak Bambang Nurcahya dan Bapak Jarot Muliawan yang telah
bersedia meluangkan waktu guna memberikan informasi di Kantor
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Provinsi Jawa Timur
7. Bapak Anwari yang telah bersedia meluangkan waktu guna
memberikan informasi di Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur
8. Ibu Siti Aisyah yang telah bersedia meluangkan waktu guna
memberikan informasi di Kantor Walikota Kota Surabaya
9. Bapak Eddy Sudiyanto, Bapak Nurul Amin dan Ibu Andi Yurnita yang
telah bersedia meluangkan waktu guna memberikan informasi di
lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
vi
10. Bapak Muhallis Mentja dan Bapak Hatta yang telah bersedia
meluangkan waktu guna memberikan informasi di Kantor Pertanahan
Kota Makassar
11. Masyarakat Kota Surabaya dan Makassar yang telah bersedia
meluangkan waktu guna memberikan informasi terkait objek penelitian
penulis
12. Seluruh teman-teman pada Magister Kenotariatan Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar yang telah memberikan bantuan
semangat dan motivasi kepada saya dalam penyelesaian studi.
13. Suamiku tercinta Zamhir Islamie serta anak-anakku Azka Denandra
Hatta dan Azkia Ramadhani Hatta yang selalu mendoakan penulis.
Demikian penulis menyampaikan rasa syukur dan terima kasih
yang sedalam-dalamnya dan penulis mengakui bahwa penulisan Tesis ini
masih terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Kiranya Tesis ini
menjadi sesuatu yang dapat dimanfaatkan bagi semua pihak yang telah
berperan didalamnya dan pihak lain yang membutuhkan. Akhir kata, tiada
kata yang penulis patut ucapkan selain doa semoga Allah SWT
senantiasa melimpahkan ridha dan berkah-Nya atas amalan kita.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Novemberr 2017
Penulis
ANDI BESSE TENRI ADJENG
vii
ABSTRAK
ANDI BESSE TENRI ADJENG, Penetapan Lokasi dalam Pengadaan Tanah Berskala Kecil bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (dibimbing oleh Aminuddin Salle dan Farida Patittingi ).
Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui, mengidentifikasi, dan
menganalisis pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi; dan (2) menemukan dan menganalisis kelebihan dan kekurangan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian empiris yaitu penelitian yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan.Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan narasumber dan responden kemudian digabungkan dengan hasil telaah bahan-bahan pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan penetapan lokasi dilaksanaan melalui 4 (empat) tahapan yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan, penyerahan hasil sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015; dan (2) Kelebihan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi adalah aspek perizinan pengadaan tanahnya jelas dan kepastian hukumnya terjamin. Kelemahan pengadaan tanah skala kecil tanpa menggunakan tahapan lokasi adalah proses pengadaan tanahnya lama dan memerlukan biaya yang banyak dan proses penyelesaian apabila terjadi sengketa dengan konsinyasi belum berlangsung secara efektif. Sedangkan pengadaan tanah skala kecil secara langsung atau tanpa menggunakan tahapan penetapan lokasi kelebihannya adalah prosesnya cepat dan tidak memerlukan biaya yang banyak, tetapi memiliki kelemahan yaitu izin pengadaann tanahnya tidak jelas dan tidak menjamin kepastian hukum.
Kata kunci: Penetapan Lokasi, Pengadaan Tanah, Skala kecil.
viii
ABSTRACT
ANDI BESSE TENRI ADJENG, The Location Statement in the Provison of the Small-Scaled Land for the Building Development for the Public Interest. (guided by Aminuddin Salle and Farida Patittingi).
This study aims: (1) identify, and analyze the implementation of
small-scale land acquisition by using the stage. of location determination; and (2) analyze and find advantages and disadvantages of provision of the small-scaled land for the building development for the public interest by using the location statement.
This study uses the type of empirical research is a research that serves to see the law in the sense of real and examine how the work law in the environment. The data collection was carried out through the interviews with the resource people then the result were combined with the result of the study of the library materials.
The result of the research shows that (1) procurement implementation land and small-scale land procurement by using location determination through 4 (four) stages of planning, preparation, execution, delivery of results in accordance with the provisions of Law 2/2012. Although implemented not in accordance with the provisions of Article 121 paragraph (3) Presidential Regulation Number 148/2015, but there are principles of expediency in it is that the city of Surabaya more secure and anticipate that the land is not easily transferred to other parties; (2) The advantages of the provision small-scaled is the aspect of permittion is save, clear, and the legal certainly is guaranteed. The disadvantages is has a longtime for the process and need a lot of cost. While the provision of the small-scaled land directly or without using the location statement has advantages that is fast and does not require much cost but has disadvantages is not save and does not guarantee the certaining of law.
Key-words: Location Statement, Land Provision, Small-Scaled
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iii KATA PENGANTAR ................................................................................... iv ABSTRAK .................................................................................................... vii ABSTRACT ................................................................................................. viii DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 10
D. Manfaat Penelitian .......................................................... 10
E. Orisinalitas Penelitian ..................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 15
A. Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Tanah .............. 15
a. Pengertian Pengadaan Tanah .................................. 15
b. Pengertian Kepentingan Umum ................................. 17
c. Kewenangan Negara Terhadap Pengadaan Tanah .. 18
d. Prinsip dan Asas Pengadaan Tanah ......................... 20
e. Pelaksana Pengadaan Tanah ................................... 26
f. Dasar Hukum Pengadaan Tanah .............................. 33
B. LandasanTeori .............................................................. 38
1. Teori Kemanfaatan ...................................................... 38 2. Teori Keadilan ............................................................. 41 3. Teori Kepastian Hukum ......................................................... 44
C. Pengertian Sinkronisasi dan Harmonisasi ........................... 50
1. Sinkronisasi .......................................................................... 50
2. Harmonisasi ............................................................. 51
D. Kerangka Pikir ............................................................. 53
E. Definisi Operasional ..................................................... 54
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 56
A. Lokasi Penelitian .......................................................... 56
B. Tipe Penelitian .............................................................. 56
C. Populasi dan Sampel ................................................... 56
D. Jenis danSumber Data ................................................. 59
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 60
F. Teknik Analisis Data ……………………………………. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 61
A. Pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil
dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi...... 61
1. Ketentuan Perundang-undangan ............................... 62
2. Kebijakan Pemerintah ............................................... 65
x
B. Kelebihan dan Kelemahan pengadaan tanah skala
kecil dengan menggunakan penetapan lokasi ........... 84
1. Kelebihan Penetapan Lokasi .................................... 84
2. Kelemahan Penetapan Lokasi .................................. 89
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 101
A. Kesimpulan ................................................................... 101 B. Saran ............................................................................ 102
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 103
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai bagian dari hukum agraria nasional, peraturan
pengadaan tanah harus mengacu pada tujuan hukum agraria
nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan umum. Hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang tidak dapat dibenarkan, kalau tanahnya itu akan
dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, melainkan wajib pula mempertimbangkan
kepentingan umum.1 Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa
kepentingan pribadi akan terdesak sama sekali oleh kepentingan
umum. Kepentingan umum dan kepentingan pribadi haruslah saling
mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai kemakmuran, dan
kebahagiaan rakyat seluruhnya. Itulah yang menjadi ciri khas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).
Pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan harus didahului kemajuan perekonomian, dan untuk
meningkatkan perekonomian harus ditunjang dengan infrastruktur.
Salah satu cara untuk meningkatkan infrastruktur yaitu didukung
1Aminuddin Salle. 2007. Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.Kreasi Total Media. Yogyakarta. Hlm. 1.
2
dengan prasarana berupa tanah. Tanah merupakan kebutuhan
dalam pelaksanaan pembangunan yang menduduki komponen
paling utama, maka sebelum pelaksanaan pembangunan harus ada
terlebih dahulu tersedianya komponen yang paling utama agar
pembangunan menjadi optimal yaitu lahan atau tanah. Tanah
sebagai tubuh bumi merupakan tempat tinggal serta tempat
beraktifitas bagi manusia dan juga merupakan kekayaan nasional
yang dibutuhkan oleh manusia baik secara individual, badan usaha
maupun pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan
nasional. Jadi dengan demikian tanah mempunyai arti penting dan
peranan penting dalam hidup dan kehidupan manusia karena
sebagian besar kehidupan manusia tergantung dengan tanah.2
Tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai
sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan
karena kesedian tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan
tanah terus meningkat, maka diperlukan pengaturan yang baik,
tegas, dan cermat mengenai penguasaan pemilikan maupun
pemanfaatan tanah, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita
penguasaan dan penggunaan tanah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Sehubungan dengan perkembangan masyarakat untuk
mempercepat jalannya pembangunan untuk kepentingan umum, di
2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1977. Beberapa Masalah PelaksanaanLembaga Jaminan Khususnya Fiducia di dalam Praktik dan Pelaksanaannya diIndonesia. Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Bulak Sumur. Yogyakarta. Hlm. 6.
3
satu pihak pemerintah memerlukan areal tanah yang cukup luas.
Pada pihak lain pemegang hak atas tanah yang akan digunakan
tanahnya oleh pemerintah untuk pembangunan tidak boleh dirugikan,
Untuk mengatur hal tersebut diperlukan adanya suatu peraturan
hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.3 Selain itu peraturan
perundangan yang jelas dan tegas dapat mewujudkan keteraturan
dan ketertiban.4
Sesuai yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tujuan Negara Republik Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.5
Pengadaan tanah merupakan cara untuk memeroleh tanah
untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Pasal 18 Bab 1 UUPA
mengatur bahwa:
“untuk kepentingan umum, termasuk juga untuk kepentingan bangsadan negara dan kepentingan bersama dari rakyat, hak atas tanahbisa dicabut, dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dansesuai dengan cara yang diatur dengan Undang-undang.”
Ketentuan tersebut menjadi dasar penjabaran pengaturan
pengadaan tanah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
3Op.Cit,.Hlm.2.4Adrian Sutedi. 2008. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm. 45.5Nanik Trihastuti. 2011. Hukum Kontrak Karya. Setara Press. Malang. Hlm.1.
4
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012).
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut mengatur
bahwa:
“Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak.”
Kemudian dibentuk Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(selanjutnya disebut Perpres Nomor 71 Tahun 2012).
Menurut Aminuddin Salle, untuk menuju keadaan yang lebih
baik, perlu dilakukan upaya kajian di bidang hukum agraria
khususnya tentang perubahan peraturan pengadaan tanah sebagai
bahan untuk melakukan reformasi hukum6.Peraturan pengadaan
tanah sebagaimana yang diatur dalamPerpres Nomor 71 Tahun
2012 sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum telah
beberapa kali dikaji dan disempurnakan, yaitu dengan Peraturan
Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres
Nomor 71 Tahun 2012 (selanjutnya disebut Perpres Nomor 40
Tahun 2014), Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 Tentang
6Op.Cit., Aminuddin Salle. Hlm.1.
5
Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012, Peraturan
Presiden Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Kemudian perubahan yang terakhir
yaitu Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Keempat Atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Peraturan
(selanjutnya disebut Pepres Nomor 148 Tahun 2015).
Pengadaan tanah merupakan kegiatan perolehan tanah untuk
kepentingan umum dengan cara memberi ganti kerugian. Perolehan
tanah yang dilakukan melalui Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2012 jo. Pasal 24-26 Peraturan Presien
Nomor 71 Tahun 2012 didasarkan pada Penetapan Lokasi.7
Penetapan lokasi merupakan aspek perizinan dalam pengadaan
tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Perpres Nomor 71 Tahun
2012 jo. Perpres Nomor 148 Tahun 2015 mengatur bahwa:
“Penetapan lokasi adalah penetapan atas lokasi pembangunan untukkepentingan umum yang ditetapkan dengan keputusan gubernur,yang dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan tanah, perubahanpenggunaan tanah, dan peralihan hak atas tanah dalam pengadaantanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.”
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa penetapan
lokasi memiliki 3 (tiga) fungsi8, yaitu meliputi: pertama, izin
pengadaan tanah yang batas waktu kegiatannya 2 (dua) tahun dan
7Jarot Widya Muliawan. 2016. Cara Mudah Pahami Pengadaan Tanah untukPembangunan melalui Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition. Buku Litera. Hlm. 26 – 27.
8Ibid., Hlm.28
6
dapat diperpanjang 1 (satu) tahun. Kedua, izin perubahan
penggunaan tanah. Ketiga, izin pemindahan hak atas tanah.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 menempatkan penetapan
lokasi sebagai starting point dalam kegiatan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga instansi yang
memerlukan tanah harus mengajukan dan memeroleh penetapan
lokasi terlebih dahulu kepada gubernur untu dapat melakukan
perolehan tanah.
Perpres Nomor 148 Tahun 2015 memberikan perlakuan
khusus untuk pengadaan tanah skala kecil. Pengadaan tanah skala
kecil yang dimaksud adalah pengadaan tanah yang luas objeknya
kurang dari 1 (satu) hektar sebagaimana dimaksud Perpres Nomor
71 Tahun 2012 dan direvisi pada tahun 2014 berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres
nomor 71 Tahun 2012 dimana batasan luas objek pengadaan tanah
diperluas menjadi tidak lebih dari 5 (lima) hektar. Perpres Nomor 148
Tahun 2015 menambahkan 3 ayat pada Pasal 121 sehingga menjadi
4 ayat, Pepres tersebut mengatur bahwa:
(1) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untukkepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar,dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanahdengan pihak yang berhak.
(2) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidaklebih dari 5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus sesuai dengan tata ruang wilayah
(3) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tidak memerlukan penetapan lokasi
(4) Penilaian tanah dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana
7
dimaksud pada ayat (1), Instansi yang memerlukan tanahmenggunakan hasil penilaian jasa penilai.
Perlakuan khusus tersebut yaitu dalam rangka efisiensi dan
efektifitas pengadaan tanah untuk kepentingan umum skala kecil
dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah
dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau
tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Artinya pengadaan tanah skala kecil tidak memerlukan tahapan
sebagaimana ditentukan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012.
Seperti yang terjadi di Kota Makassar tahun 2016, pada
pembebasan akses jalan Puskesmas Pampang luas 48m² (empat
puluh delapan meter persegi) di Jalan Pampang Raya dan pada
pembebasan Kantor Lurah Kunjung Mae luas 90m² (sembilan puluh
meter persegi) di Jalan Cendrawasih, keduanya dilakukan dengan
cara langsung.
Pasal 121 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun
2015 mengatur bahwa:
“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak memerlukan penetapan lokasi.”
Pasal tersebut mengatur bahwa Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang kurang dari 5 (lima) hektar tidak
memerlukan penetapan lokasi. Ketentuan tersebut merupakan upaya
pemerintah untuk melakukan efisiensi dan percepatan terhadap
pengadaan tanah skala kecil.
8
Ketentuan Pasal 121 ayat (3) Perpres Nomor 148 Tahun 2015
tersebut ternyata dalam kenyataan di lapangan ada penyimpangan.
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan di Kota
Surabaya ternyata ditemukan banyak kegiatan pengadaan tanah
yang luasnya kurang dari 5 hektar tidak dilakukan secara langsung
oleh instansi yang memerlukan tanah melainkan tetap dilakukan
melalui proses penetapan lokasi. Salah satu contohnya yaitu pada
kegiatan pembangunan Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat
(Bundaran Dolog) Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur yang luasnya
hanya kurang lebih 8.940 m2 atau sekitar 0,89 hektar (ha) Gubernur
Jawa Timur tetap menerbitkan penetapan lokasi pengadaan tanah
yaitu melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor
188/247/KPTS/013/2016 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan
Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat (Bundaran Dolog) Kota
Surabaya, Provinsi Jawa Timur (selanjutnya disebut SK Gubernur
Jawa Timur Nomor 188/247/KPTS/013/2016).
Apabila dicermati, SK Gubernur Jawa Timur Nomor
188/247/KPTS/013/2016 tersebut menekankan pada fungsi izin
perubahan penggunaan tanah. Perlu dipastikan bahwa perubahan
penggunaan tanah tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah. Dapat dilihat pada dasar menetapkan Bagian Kedua huruf c
ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan fisik, harus
9
sesuai dengan arahan RTRW Kabupaten/Kota, RTRW Provinsi Jawa
Timur dan RTRW Nasional.
Jika pembangunan Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi
Barat (Bundaran Dolog) Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur tidak
dilaksanakan melalui SK Gubernur Jawa Timur Nomor
188/247/KPTS/013/2016 dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian
mengenai penggunaan tanahnya. Mengacu pada Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012, Pengadaan tanah untuk Kepentingan
umum diselenggarakan berdasarkan atas Rencana Tata Ruang
Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalamRencana
Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana
Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan untuk memastikan hal
tersebut maka salah satu tahapan yang dapat digunakan adalah
penetapan lokasi.
Kebijakan yang diatur dalam SK Gubernur Jawa Timur Nomor
188/247/KPTS/013/2016 yang dalam pelaksanaan pengadaan tanah
dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi tidak sejalan
dengan Pasal 121 ayat (3) Perpres Nomor 148 Tahun 2015 yang
menegaskan bahwa Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang tidak lebih dari 5 (lima) hektar tidak memerlukan penetapan
lokasi.
Berdasarkan adanya perbedaan cara pelaksanaan
pengadaan tanah di kedua kota yang telah disebutkan diatas, penulis
10
tertarik ingin meneliti kelemahan dan kelebihan pengadaan tanah
dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan
menggunakan tahapan penetapan lokasi?
2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengadaan tanah skala kecil
dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis
pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan
tahapan penetapan lokasi.
2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis kelebihan dan
kelemahan pengadaan tanah skala kecil yang menggunakan
tahapan penetapan lokasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memperkaya konsep atau teori yang mendukung pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum khususnya
skala kecil dan mewujudkan kepastian hukum penetapan lokasi
sehingga dapat menghindari konflik pertanahan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat
11
Dapat memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat,
khususnya subyek/pemilik obyek pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.
b. Bagi pemerintah
Dapat dijadikan salah satu acuan dalam melakukan kajian
terhadap pembentukan dan/atau revisi peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang penetapan lokasi pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang
mengedepankan asas kepastian hukum.
E. Orisinalitas Penelitian
Untuk menjamin keaslian penulisan tesis ini, maka penulis
melakukan penulusuran kepustakaan karya ilmiah yang pernah
dilakukan sebelumnya untuk topik yang hampir sama, walaupun
objek penulisannya berbeda. Dari hasil penulusuran kepustakaan
ditemukan 2 (dua) karya ilmiah yang memiliki keterkaitan, yaitu :
1) Tesis yang ditulis oleh Rini Mulyanti, tahun 2013, dengan judul
“Analisis Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (Studi
Kasus Pembangunan Jalan Tol Jorr West 2)”.
Tesis ini memfokuskan pada 2 (dua) rumusan masalah, yaitu:
a. Apa dasar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan
Surat Gubernur Nomor 2349/1.711.52 tanggal 2 November
2011 tentang Perubahan atau revisi atas poin 5 b Surat
Gubernur tanggal 1 Oktober 1997?
12
b. Apa akibat hukum dengan diterbitkannya Surat Gubernur
tersebut terhadap PT.CI ?
Adapun hasil penelitian untuk rumusan masalah pertama
yaitu bahwa dasar diterbitkannya Obyek Sengketa oleh
Tata Usaha Negara (Gubernur DKI Jakarta) adalah
“kekeliruan” dimasa lampau, dimana baru diketahui
setelah 11 (sebelas) tahun sejak tahun 1997, sehingga
SIPPT yang telah diterbitkan pada Tahun 1997 perlu
direvisi.Sedangkan hasil penelitian untuk rumusan
masalah kedua adalah dengan diterbitkannya Obyek
Sengketa menimbulkan akibat hukum bagi PT. CI yaitu
pelaksanaan jual beli kavling kepada pihak Konsumen
tidak dapat terlaksana, dan proyek perumahan
terhambat pengurusan izinnya akibat diterbitkannya
penangguhan dan penundaan perizinan kepada PT. CI
oleh Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban.
2) Tesis yang ditulis oleh Wahyu Candra Alam, tahun 2010, dengan
judul “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kurang Dari
Satu Hektar dan Penetapan Ganti Kerugiannya”.
Tesis ini memfokuskan pada 2 (dua) rumusan masalah, yaitu:
a. Bagaimanakah pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dengan Luas
Kurang Dari Satu Hektar di Kota Tangerang ?
13
b. Bagaimana penetapan ganti kerugiannya terhadap
pengadaan tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan
umum dengan luas kurang dari satu hektar di Kota
Tangerang?
Adapun hasil penelitian untuk rumusan masalah
pertama yaitu bahwa pelaksanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang luasnya kurang dari satu hektar
berupa Pelebaran Jalan Gatot Subroto dan pembuatan
Overpass dilaksanakan secara langsung antara Instansi
Pemerintah dengan pemilik obyek tanah atau kuasa dengan
cara pelepasan hak atas tanah, bangunan dan benda-benda
yang terkait dengannya dengan prinsip musyawarah. Hal
tersebut telah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 Jo Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
Pasal 1, Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 dan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 Pasal 54
sampai Pasal 58. Sedangkan hasil penelitian untuk rumusan
masalah kedua adalah dalam penetapan ganti kerugian
dilakukan dengan cara musyawarah antara instansi
pemerintah melalui Tim Pengelola Kegiatan dengan
masyarakat dengan melihat Nilai Jual Obyek Pajak tahun
berjalan dan harga pasaran dimana letak obyek tanah
tersebut dan hasilnya didasarkan hasil musyawarah
14
kesepakatan harga hal tersebut telah sesuai dengan Pasal
15 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 jo. Pasal 59
ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang
Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Tanah
1. Pengertian Pengadaan Tanah.
Menurut John Salindeho9 arti atau istilah menyediakan kita
mencapai keadaan ada, karena didalam mengupayakan,
menyediakan sudah mengandung arti mengadakan atau keadaan
ada itu, sedangkan dalam mengadakan tentunya kita menemukan
atau tepatnya mencapai sesuatu yang tersedia, sebab sudah
diadakan, kecuali tidak berbuat demikan, jadi kedua istilah
tersebut namun tampak berbeda, mempunyai arti yang menuju
kepada satu pengertian (monosematic) yang dapat dibatasi
kepada suatu perbuatan untuk mengadakan agar tersedia tanah
bagi kepentingan pemerintah.
Istilah pengadaan tanah dipergunakan pertama kali di dalam
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) pengadaan tanah
didefinisikan sebagai berikut:
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak
atas tanah tersebut”.
9John Salindeho. 1988. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Sinar Grafika.Jakarta. Hlm. 25.
16
Definisi pengadaan tanah diubah kembali dalam ketentuan
Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum bahwa:
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkantanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yangmelepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman danbenda-benda yang berkaitan dengan tanah atau denganpencabutan hak atas tanah”.
Pengertian pengadaan tanah ini dikritisi oleh publik karena
telah mencampuradukkan konsep pengadaan tanah dengan
pencabutan hak. Pengertian pengadaan tanah ini kemudian
diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3)
sebagai berikut:
“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untukmendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepadayang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanamandan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.
Menurut Iskandar10 arti Pengadaan tanah mempunyai 3
unsur yaitu :
1. Kegiatan untuk mendapatkan tanah, dalam rangka pemenuhan
lahan pembangunan untuk kepentingan umum;
2. Pemberian ganti rugi kepada yang terkena kegiatan
pengadaan tanah;
10 Iskandar Mudakir. 2010. Pembebasan Tanah Untuk PembangunanKepentingan Umum. Jala Permata Aksara. Jakarta.Hlm.2.
17
3. Pelepasan hubungan hukum dari pemilik tanah kepada pihak
lain.
Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan
tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah untuk
kepentingan umum sedangkan yang kedua pengadaan tanah
untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial
dan bukan komersial atau bukan sosial.
2. Pengertian Kepentingan Umum.
Pembangunan pertanahan tidak lepas dari pemahaman
tentang kepentingan umum, menurut John Salindeho11 belum ada
definisi yang sudah dibekukan mengenai pengertian kepentingan
umum, namun cara sederhana dapat ditarik kesimpulan atau
pengertian bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk
keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan
sosial yang luas. Oleh karena itu rumusan demikian terlalu umum,
luas dan tak ada batasnya, maka untuk mendapatkan rumusan
terhadapnya, kiranya dapat dijadikan pegangan sambil menanti
pembakuannya yakni kepentingan umum adalah termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, dengan memerhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis
dan pertahanan keamanan nasional atas dasar asas-asas
pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan
nasional serta wawasan nusantara.
11Op.Cit., Hlm. 27.
18
3. Kewenangan Negara Terhadap Pengadaan Tanah
Negara tidak memiliki hubungan penuh atau mutlak (hak
milik) dengan tanah sehingga tidak mungkin pemerintah atas
nama negara begitu leluasa atau semena mena dalam
memeroleh (mengambil) tanah masyarakat/pemegang hak atas
tanah yang arealnya terkena pembangunan untuk kepentingan
umum.12 Sedangkan yang memiliki hubungan hukum sepenuhnya
dengan tanah adalah warga negara (rakyat dan masyarakat serta
badan hukum yang diantaranya termasuk pemerintah atas nama
negara).
Ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
hasil amandemen keempat mengatur bahwa:
”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 diatur pengertian hak menguasai sumber
daya alam oleh negara sebagai berikut:
1. Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-halsebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruangangkasa termasuk kekayaan alam yang terkandungdidalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasainegara tersebut dalam ayat (1) Pasal ini memberikanwewenang untuk:
12Ronald Z. 1993. Penetapan Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah.Disertasi PPS Unair. Surabaya. Hlm. 91.
19
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasatersebut.
b)Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukumantara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c)Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukumantara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yangmengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negaratersebut pada ayat (2) Pasal 33, digunakan untuk mencapaisebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaankesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan negarahukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.
3. Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannyadapat dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta danmasyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dantidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurutketentuan-ketentuan Peraturan yang berlaku. Berdasar Pasal 2UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA,pengertian “dikuasai” oleh negara bukan berarti “dimiliki”,melainkan hak yang memberi wewenang kepada negara untukmenguasai seperti hal tersebut diatas.13
Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai
sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat
publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan
bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya
sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang
“bersifat pribadi”. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (2) bahwa:
”tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanitamempunyai kesempatan yang sama untuk memeroleh sesuatuhak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baikbagi diri sendiri maupun keluarganya”.
13 Budi Harsono. 2004. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria. Isi Dan Pelaksanaanya. Djambatan. Jakarta. Hlm.234.
20
Wewenang negara untuk mengatur hubungan hukum antara
orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah
terkait erat hubungan hukum antara tanah dengan negara. Hukum
yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat
diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada
masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh
siapapun. Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika melihat
hubungan negara dengan tanah terlepas dengan hubungan antara
masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya dan hubungan
antara perorangan dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain, dan merupakan hubungan yang bersifat
“tritunggal”.
4. Prinsip dan Asas Pengadaan Tanah
Prinsip-prinsip penyelenggaraan pengadaan tanah adalah:14
a. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat
b. Pemberian ganti kerugian yang layak, yaitu pemberian
konpensasi yang sepadan bahkan lebih maju (kehidupan yang
lebih baik) kepada bekas pemilik berupa: ganti rugi terhadap
hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah dan mempunyai nilai ekonomis.
Pemberian tersebut akan lebih cepat diberikan apabila
14Modul Diklat Pengadaan Tanah Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015. Hlm.11.
21
tanahnya sangat diperlukan dan tidak bisa ditunda-tunda lagi
karena akan membahayakan kepentingan bersama dan
keselamatan bersama.15
c. Pelaksanaan musyawarah, proses saling mendengar, saling
memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti kerugian dan masalah lain yang berkaitan dengan
kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan
kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah
dengan pihak yang memerlukan tanah.
d. Kesesuaian dengan RTRW bahwa pembangunan untuk
kepentingan umum harus sesuai dengan zona dalam
kawasan budi daya serta kawasan lindung, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemampuan tanah.
Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, Oloan
Sitorus dan Dayat Limbong mengemukakan bahwa ada 6 (enam)
asas/prinsip hukum pengadaan tanah yaitu:16
a) Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun harus ada landasan haknya,
b) Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak
langsung bersumber pada hak bangsa,
15Husein Sastranegara. 1997. Konflik Pertanahan. CV. Muliasari. Jakarta.Hlm. 37.16Oloan Sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum Cetakan Pertama. Mitra Kebijakan Tanaha Indonesia. Yogyakarta. Hlm 11.
22
c) Cara memeroleh tanah yang sudah di haki seseorang harus
melalui kata sepakat antara kedua belah pihak yang
bersangkutan,
d) Alam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak
dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum,
penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh
hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa,
e) Baik dalam acara perolehan atas dasar sepakat, maupun
dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah
menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak,
f) Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek
pembangunan berhak untuk memeroleh pengayoman dari
pejabat birokrasi.
Asas Pengadaan Tanah
Asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada Pasal 2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengatur bahwa:
“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakanberdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan,keberlanjutan, dan keselarasan.
Asas-asas pengadaan tanah adalah serangkaian kaidah
fundamental yang menfundamentir peraturan perundang-undangan
terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Secara konseptual, Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 44 UU no 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan
menyebutkan undang-undang lahir merupakan pengesahan dari
23
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Undang-Undang lahir dari
naskah akademik dan naskah akademik lahir dari hasil penelitian
serta tidak ada penelitian tanpa kesenjangan. Dasar-dasar
konseptual yang tertuang dalam naskah akademi hasil penelitian
adalah argumentasi filosofis, yuridis dan sosiologis. Serangkaian
kaedah-kaedah normatif yang melatar belakangi argumentasi
tersebut, dinamakan asas-asas pangadaan tanah. Secara umum,
asas-asas atau kaedah fundamental konsep pengadaan tanah
terdiri dari :17
a. Kepentingan Umum (aglemene belang/tenaglemeenen nutte)b. Overmacht (keadaan memaksa) /cursive/force majeurc. Musyawarah (konsensuil)d. Ganti kerugian (convensation)e. Onteigening (pencabutan hak)f. Pembebasan Tanah (land aquitition)g. Pelepasan hak (Pasal 2 a (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005)h. Penyerahan hak (Pasal 2 a (1) huruf a Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005)i. Transaksi (an agreementvide) (Pasal 2 a (2) Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005)
Falsafah yang mendasari pengaturan hak-hak atas tanah di
dalam hukum pertanahan adalah adanya pengakuan tentang fitrah
manusia sebagai makhluk monodualistik (makhluk individu dan
makhluk sosial). Berdasarkan falsafah ini maka UUPA juga
menentang strategi kapitalisme, karena kapitalisme melahirkan
kolonialisme yang menyebabkan “penghisapan manusia atas
manusia” dan UUPA juga menentang strategi sosialisme yang
dianggap meniadakan hak-hak individual atas tanah. Politik yang
17Ibid. Hlm.12.
24
terkandung dalam UUPA adalah populisme yang mengakui hak
individu atas tanah, tetapi hak atas tanah itu memiliki fungsi sosial.
Inilah yang mendasari lahirnya ketentuan hak atas tanah memiliki
fungsi sosial.18
Pada Bab 1 Pasal 6 UUPA mengatur bahwa “semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial” yang dalam penjelasannya
disebutkan tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial dan dalam memori penjelasan UUPA II 4
disebutkan Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan
atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya
apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat
pengguna tanah harus disesuaikan keadaannya dan sifat dari pada
haknya sehingga bermanfaat, baik kesejahteraan dan kebahagiaan
yang mempunyai maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Sungguh pun demikian tidak berarti bahwa kepentingan
Perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat).
UUPA memerhatikan pula kepentingan-kepentingan
perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan
perseorangan haruslah saling imbang-mengimbangi hingga pada
akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan
dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
18Tolib Setiady. 1991. Hukum Tanah. Sinar Grafika Offset. Jakarta. Hlm. 52.
25
Jadi, tanah dalam perspektif Hukum Keagrarian Nasional
Indonesia adalah bersifat dualitis (dwi fungsi-dwitunggal) menurut
Boedi Harsono yang artinya mempunyai fungsi untuk kepentingan
pribadi perseorangan dan mengabdi untuk kepentingan umum
masyarakat/umum.
Semua hak atas tanah berfungsi sosial bukan hanya hak milik
saja, tetapi semua hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 16
UUPA. Dalam hal ini A. P. Parlindungan mengatakan bahwa;
seyogyanya Pasal 6 itu mengatur “semua hak-hak agrarian
mempunyai fungsi sosial.” Dengan demikian tidak hanya tanah saja,
tetapi hak-hak agraria selain tanah yang mencakup bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya
juga mempunyai fungsi sosial.
Selanjutnya Boedi Harsono mengatakan oleh karena itu,
hukum agraria nasional menolak teori “negara sebagai Eigenaar”
dan asas Domein Verklaring sebagaimana yang diteorikan dalam
khasanah hukum kolonial. Pernyataan Domein Verklaring tersebut
berkata jika tidak dibuktikan dengan hak eigendom maka tanah-
tanah tersebut adalah domein dari negara.
UUPA menganut konsepsi “menguasai” yang pengertiannya
dapat diacu dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA bahwa negara
memberi wewenang:
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan danpemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
26
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antaraorang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antaraorang-orang atau perbuatan-perbuatan hukum yang mengenaibumi, air dan ruang angkasa.
Implementasi hak menguasai dari negara dalam rangka fungsi
sosial tanah ini adalah “hubungan istimewa” dalam artian negara
dalam hal ini pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan
pencabutan atau pembebasan tanah demi kepentingan umum,
ketentuan ini terdapat dalam Pasal 18 UUPA dan selanjutnya. Pasal
18 UUPA mengatur bahwa:
“untuk kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapatdicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut carayang diatur dalam Undang-Undang19.”
Istilah pembebasan hak atas tanah dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri mendapat tanggapan negatif oleh masyarakat dan
pegiat hukum pertanahan (hukum agraria sehubungan dengan
banyaknya permasalahan yang ditimbulkan dalam pelaksanaannya,
sekaligus bermaksud untuk menampung aspirasi berbagai kalangan
dalam masyarakat sebagai reaksi terhadap dampak negatif dari
pembebasan tanah yang terjadi.20
5. Pelaksana Pengadaan Tanah
Lembaga pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum diterjemahkan sebagai intuisi yang terkait
langsung dengan fortofolio masing-masing berupa: Tugas pokok,
19Ibid., Hlm. 169-171.20Maria SW . 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Buku
Kompas.Jakarta. Hlm. 72.
27
Fungsi, Kewenangan, Kewajiban, Keharusan, Larangan, Hak,
Tanggung Jawab (responsibility) dan Tanggung Gugat
(accountability) dalam menjalankan tugas kegiatan
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Berikut ini akan dipaparkan masing-masing
yang bertugas dalam kegiatan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum:21
a. Lembaga Kepentingan Umum
Lembaga Kepentingan Umum adalah lembaga/organisasi yang
diberi wewenang untuk menangani hal-hal yang terkait dengan
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
b. Lembaga Hak Atas Tanah
Hak atas Tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan hak lain yang akan
ditetapkan dengan undang-undang.
1)Subjek Hak Atas Tanah
Subyek hak atas tanah dalam hal ini adalah pemilik tanah.
2)Objek Hak Atas Tanah
Objek hak atas tanah dalam hal ini adalah lahan/tanah
yang dimiliki oleh seseorang.
21Op.Cit., Modul Diklat ATR/BPN 2015. Hlm.13.
28
c. Subjek Pengadaan Tanah
Subjek pengadaan tanah adalah orang atau lembaga/
organisasi yang diberi kewenangan menurut UU untuk
melakukan pengadaan tanah.
d. Objek Pengadaan Tanah
Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan
bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan
dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
e. Lembaga Perizinan
Lembaga/Tim perizinan yang memberikan izin sesuai
ketentuan perundangan sebagai salah satu mekanisme dalam
pengadaan tanah.
f. Lembaga Penilai Tanah
Lembaga Tim Penilai Harga Tanah dalam Perpres
Nomor 36 tahun 2005, kemudian dipisahkan bagian tugas dan
kewenangan dengan Panitia Pengadaan Tanah. Meskipun
Panitia Pengadaan Tanah harus berkoordinasi dengan
Lembaga/ Tim Penilai Harga Tanah sebagai salah satu
mekanisme pengadaan tanah yang dilakukan oleh panitia
pengadaan tanah tersebut.
Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka (12) Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ditegaskan bahwa Lembaga/
Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga atau tim yang
professional dan independen untuk menentukan nilai/ harga
29
tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai
kesepakatan atas jumlah/ besarnya ganti rugi. Sementara
dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
(Perkaban) Nomor 3 Tahun 2007, dipisahkan apa yang
dimaksud dengan lembaga penilai harga tanah dan tim penilai
harga tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah adalah lembaga
profesional dan independen yang mempunyai keahlian dan
kemampuan di bidang penilaian harga tanah.
g. Lembaga Perizinan (lisensi)
1) RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
Mekanisme dasar perizinan dalam pemanfaatan ruang. Izin
pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang
benar tetapi terbukti tidak sesuai dengan RTRW, dibatalkan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai
kewenangannya.
2) Pertimbangan Teknis Pertanahan
Peraturan tentang pedoman pertimbangan teknis pertanahan
dalam penerbitan izin lokasi, penetapan lokasi dan izin
perubahan penggunaan tanah.
3) Penetapan Lokasi
Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 Pasal 1 ayat (13)
mengatur bahwa:
“Penetapan Lokasi adalah penetapan atas lokasipembangunan untuk kepentingan umum yang ditetapkan
30
dengan keputusan gubernur, yang dipergunakan sebagai izinuntuk pengadaan tanah, perubahan penggunaan tanah, danperalihan hak atas tanah dalam pengadaan tanah bagipembangunan untuk kepentingan umum.”
Instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan
dan mendapatkan penetapan lokasi terlebih dahulu kepada
Gubernur untuk dapat melakukan perolehan tanah.
Penjelasan mengenai penetapan lokasi terdapat di
beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 di antaranya pada Pasal 19 ayat (6) mengatur bahwa:
“Gubernur menetapakan lokasi sebagaimana dimaksud padaayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerjaterhitung sejak diterimanya pengajuan permohonanpenetapan oleh instansi yang memerlukan tanah.”
Kemudian juga terdapat dalam Pasal 22 (1) yang
mengatur bahwa:
“Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana lokasi
pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(6), Gubernur menetapkan lokasi pembangunan.”
Kemudian diatur pula dalam Pasal 24 ayat (1) bahwa:
“Penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umumsebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal22 ayat (1) diberikan dalam waktu 2 tahun dan dapatdiperpanjang paling lama 1 tahun.”
h. Lembaga Ganti Rugi
Setiap pembebasan tanah tidak pernah terlepas dari masalah
31
ganti rugi.22 Ganti kerugian adalah pemberian kompensasi
yang sepadan bahkan lebih maju (kehidupan yang lebih baik)
baik yang bersifat materil maupun immateril kepada bekas
pemilik berupa: ganti rugi terhadap hak atas tanah; bangunan;
tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
i. Tim Pendamping
j. Lembaga Penyelenggara
1) Lembaga yang Membutuhkan Tanah
Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan. Perencanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana
dimaksud didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah
dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis,
Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.
2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Sesuai Perpres Nomor 148 Tahun 2015 Pasal 47 ayat (1)
Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan
persiapan Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk
Kepentingan Umum kepada bupati/walikota berdasarkan
pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, sumber
22Soedaryo Soimin. 2004.Status Hak dan Pembebasan Tanah.Sinar GrafikaOffset.Jakarta. Hlm.75.
32
daya manusia, dan pertimbangan lainnya, dalam waktu
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya dokumen
Perencanaaan Pengadaan Tanah.
3) Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Fungsi BPN adalah membantu Presiden dalam mengelola
dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik
berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan
lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran
dan pendaftaran tanah, yang berkaitan dengan
permasalahan tanah berdasarkan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Presiden23
k. Landfreesing dan Surat Kuasa
Surat Kuasa (Last Giving), tidaklah sama dengan surat kuasa
yang diatur dalam KUHPerdata
l. Lembaga Onteigening (Pencabutan Hak), Mahkamah Agung
yang diketuai oleh Presiden. Lembaga ini bertugas setelah
dibuatkan Surat Keputusan Presiden.
m. Lembaga Keberatan Masyarakat
Keberatan masyarakat terhadap keberadaan proyek, ganti rugi
dan aspek teknis dan yuridis lainnya dapat menggunakan
lembaga litigasi dan non litigasi. Lembaga litigasi terkait
23 Irawan Soerodjo. 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah diIndonesia.Arkola.Surabaya. Hlm.165.
33
keberatan yang didaftarkan via peradilan, sedangkan lembaga
keberatan non litigasi dapat melalui penyelesaian mediasi
1) Lembaga Konsinyasi
2) Konsultasi Publik
3) Musyawarah
6. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum
adat merupakan sumber utama untuk memeroleh bahan-
bahannya, berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga
hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang
tertulis,yang disusun menurut sistem hukum adat.24
Negara diwajibkan untuk mengatur pemilikan dan
penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik
secara perseorangan maupun gotong royong.25 Sejak lengsernya
kekuatan order baru, dan dengan mulainya era reformasi
dipandang penting untuk mengkaji tentang sejauh mana negara
mempunyai kekuasaan atau warga. Hal ini dipandang penting
karena selama beberapa tahun terakhir ini kekuasaan negara
begitu besar, sehingga hak apapun yang ada pada diri
seseorang, harus dikorbankan terutama dengan alasan demi
kepentingan umum untuk pembangunan.
24 Suryaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat Dulu Kini dan Akan Datang. PT.Pelita Pustaka. Makassar. Hlm.136.
25Ahmad Choamzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Nasional). PrestasiPustaka.Jakarta. Hlm.50.
34
Hak-hak yang timbul di atas hak atas permukaan bumi
(hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau benda-
benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan
hukum.26 Tidak dapat disangkal bahwa sebagai suatu organisasi
kekuasaan, negara harus memiliki suatu otoritas yang besar
untuk lebih memudahkannya dalam fungsi pengaturannya.
Di Indonesia hal itu diatur di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945. Masalah yang mungkin timbul ialah sejauhmana otoritas
tersebut dapat digunakan sehingga tidak menyimpang dari
keadaan yang seharusnya.
Hak menguasai dari negara yang meliputi tanah dengan
hak-hak perorangan bersifat aktif. Hak menguasai dari negara
menjadi pasif, apabila tanah tersebut dibiarkan/tidak terurus.
Berdasarkan hak menguasai, negara dapat memerintahkan
supaya tanah tersebut dibuat produktif atau jatuh ke tangan
negara.27 Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditetapkan bahwa
bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Demi mencapai tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat harus ada penguasaan negara. Isi Pasal ini
tidak dimaksudkan pemerintah sebagai pemilik, karena sebagai
pemilik subjeknya adalah orang, dan hak itulah yang merupakan
26 Supriadi. 2010.Hukum Agraria.PT.Sinar Grafika.Jakarta. Hlm.3.27 Iman Soetiknjo. 1994. Politik Agraria Nasional. Gadja Mada University Press.
Yogyakarta. Hlm.53.
35
hak terkuat dan terpenuh atas tanah. Walaupun sifatnya terkuat
dan terpenuhi, sama sekali tidak memberikan wewenang yang
berlebihan.
Sekarang ini dasar hukum pengadaan tanah telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan umum.
Pranata hukum pengadaan tanah akan lebih utuh dipahami
bila tetap berpegang pada konsepsi hukum tanah nasional.
Konsepsi hukum tanah nasional diambil dari hukum adat yakni
berupa konsepsi yang komunalistik religious yang memungkinkan
penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah
yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.28
Siapa saja yang hendak mendapatkan tanah dapat
dikategorikan juga dalam istilah pengadaan tanah maka dapat
dipahami ketika judul Keputusan Presiden tersebut dituliskan
“pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum“ dalam hal ini ada spesifikasi yang ditegaskan
yang menjadi maksud dan tujuan serta pelaksanaan dari kegiatan
pengadaan tanah tersebut.29
Hak apapun suatu bidang tanah dikuasai, tanah yang
bersangkutan adalah sebagian tanah-bersama Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu penetapan peruntukan dan penggunaannya
28 Boedi Harsono. 2004.Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta. Hlm. 171.29 Umar Said Sugiharso. 2015. Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum Pra dan Pasca Reformasi.Setara Press.Malang, Hlm. 25
36
misalnya, selain berpegang pada kepentingan pribadi pemegang
haknya, juga wajib memerhatikan kepentingan bersama.
Kepentingan bersama tersebut antara lain diwujudkan dan
dituangkan dalam Rencana Tata Ruang atau Rencana Tata Guna
Tanah Wilayah yang bersangkutan, yang ditetapkan Pemerintah
Daerah.30
Konsepsi hukum tanah nasional itu kemudian lebih
dikongkretkan dalam asas-asas hukum pengadaan tanah. Menurut
Boedi Harsono paling tidak ada 6 (enam) asas-asas hukum yang
harus diperhatikan dalam perolehan (pengadaan) tanah yaitu:31
a. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun harus ada landasan haknya.
b. Di dalam UUPA hak-hak itu berupa: hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan dan hak-hak
sekunder yang ada. Penguasaan dan penggunaan tanah yang
dilandasi salah satu hak diatas dilindungi oleh hukum dari
gangguan pihak manapun. Upaya menanggulangi gangguan dari
pihak sesama anggota masyarakat dapat ditanggulangi dengan:
1) Gugatan perdata di pengadilan;
2) Meminta bantuan Bupati/Walikota yang bersangkutan bagi
pihak yang menggunakan tanah secara illegal;
3) Tuntutan pidana bagi para okupan (liar);
4) Selanjutnya terhadap gangguan dari pihak penguasa yang
30Ibid., Hlm. 4.31Ibid., Hlm. 4- 5.
37
tidak ada dasar hukumnya dapat ditanggulangi dengan:
a) Gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata;
b) Gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
c) Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak
langsung bersumber pada hak bangsa. Ini berarti, bahwa
setiap hak atas tanah bersifat pribadi (dalam arti
memberikan kewenangan kepada pemegang hak yang
berangkutan untuk memanfaatkan tanah yang dihaki itu
bagi diri dan keluarganya), sekaligus juga mengandung
unsur kebersamaan (dalam arti bahwa pemanfaatannya
harus memerhatikan juga kepentingan umum, kepentingan
bersama) karena itulah maka disebutkan dalam Pasal 6
UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial. Jika terjadi pertentangan antar kepentingan pribadi
yang punya tanah dengan kepentingan bersama, maka
kepentingan bersamalah yang harus didahulukan.
d) Cara memeroleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus
melalui kata sepakat antara pihak yang bersangkutan,
menurut ketentuan yang berlaku. Tegasnya, dalam
keadaan biasa, pihak yang memiliki tanah tidak boleh
dipaksa untuk menyerahkan haknya
e) Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah
tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan
umum, Penguasa (dalam hal ini Presiden Republik
Indonesia diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil
38
tanah yang diperlukan secara “paksa”, tanpa persetujuan
yang empunya tanah, melalui acara pencabutan hak).
f) Baik dalam acara, perolehan tanah atas dasar kata
sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada
pihak yang telah menyerahkan haknya wajib diberikan
imbalan yang layak, berupa uang, fasilitas dan atau tanah
lain sebagai gantinya, sedemikian rupa hingga keadilan
sosial dan keadaan ekonominya tidak menjadi mundur.
g) Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek-
proyek pembangunan berhak untuk mendapatkan
pengayoman dari para Pejabat Pamong Praja dan Pamong
Desa.
B. Landasan Teori
1. Teori Kemanfaatan
Teori Utilitarianisme (Kemanfaatan) pertama kali
dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748-1832). Menurut teori ini,
tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan
sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh
falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara
mendambakan kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu
alatnya.32
32 W. Friedman. 1990. Teori dan Filsafat Hukum; Idealisme Filosofis danProblemaKeadilan, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhamad Arifin,Disunting oleh Achmad Nasir Budiman dan Suleman Saqib. Rajawali. Jakarta. Hlm. 111.
39
Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama
dari hukum, kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan
(happiness) yang tidak mempermasalahkan baik atau tidak adilnya
suatu hukum, melainkan bergantung kepada pembahasan
mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagian kepada
manusia atau tidak.33
Menurut Jeremy Bentham prinsip-prinsip dasar teori
kemanfaatan adalah: 34
a. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminankebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak.Prinsiputiliti Bentham mengatakan ” the greatest happiness ofthe greatest number ” (kebahagiaan yang sebesar-besarnyauntuk sebanyak-banyaknya orang).
b. Prinsip itu harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitaskesenangan selalu sama.
c. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat makaperundang-undangan harus mencapai empat tujuan :1) to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).2) To provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan
berlimpah).3) To provide security (untuk memberikan perlindungan).4) To attain equity (untuk mencapai persamaan).
Lebih lanjut Bentham mendefinisikan kegunaan (utilitas)
sebagai segala kesenangan, kebahagiaan, keuntungan kebajikan,
manfaat atau segala cara untuk mencegah rasa sakit, jahat, dan
ketidakbahagiaan.
Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalahdengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentumembawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknyakerugian bagi orang-orang yang terkait.
33 Lili Rasyidi. 2010. Filsafat Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm.59.34 Muhammad Erwin. 2011. Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap Hukum.
Rajawali Press. Jakarta. Hlm. 180-181.
40
Bila dikaitkan dengan yang dinyatakan oleh Bentham pada
hukum, maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya
akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan
hukum baru bisa dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari
penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-
besarnya, dan berkurangnya penderitaan.
Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan
evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-
besarnya bagi sebagian besar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan
evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang
dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu,
maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan
kesejahteraan negara.Kemanfaatan dirumuskan dalam bentuk:
1. Penetapan kriteria bentuk dan besarnya ganti kerugian yang
realistis. Teknik analisis data yang dilakukan yaitu dengan
menguji sejauh mana realistisnya bentuk dan besarnya ganti
kerugian yang ditetapkan sehingga bermanfaat bagi pemegang
hak atas tanah dalam proyek. Selanjutnya yang termasuk
indikatornya adalah:
a) Besarnya ganti kerugian yang diberikan
b) Ketepatan penyerahan ganti kerugian.
2. Kriteria kepentingan umum. Teknis analisis data yang dilakukan
dengan menguji sejauh mana proyek telah memberikan manfaat
41
bagi masyarakat secara keseluruhan, termasuk pemegang hak
atas tanah. Indikatornya adalah:
a) Sejauh mana pelaksanaan peraturan membawa manfaat
tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan.
b) Sejauh mana pelaksanaan peraturan tidak menyebabkan
terjadinya kesewenangan dan penyalahgunaan kekuasaan
dengan dalih kepentingan umum.
2. Teori Keadilan
Aristoteles menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih
dari satu arti. Adil dapat diartikan menurut hukum, dan apa yang
sebanding yaitu yang semestinya. Dalam hal ini menunjukkan
bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila mengambil
lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan
hukum juga dapat dikatakan tidak adil karena semua hal yang
didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai adil.35
Selanjutnya menurut Aristoteles, dalam konsep negara
hukum yang memerintah negara bukanlah manusia, melainkan
fikiran yang adil, sedangkan penguasa sesungguhnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan saja. Secara umum, dalam
setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlaku
tiga prinsip dasar, yakni supremasi hukum (supremascy of law),
kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) dan
35 Darji Darmodiharjo. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. PT. Gramedia PustakaUtama. Jakarta. Hlm. 156.
42
penegakan hukum yang berdasarkan hukum (due process of law)36.
Ketiga prinsip dasar tersebut apabila dilaksanakan dengan baik
maka akan menjadikan negara kuat dalam menciptakan keadilan
bagi warga negaranya dan juga pemenuhan hak asasi manusia
akan berjalan dengan baik pula.
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling
banyak dibicarakan sepanjang sejarah filsafat hukum. Keadilan
merupakan tujuan utama diciptakannya hukum. Oleh karena itu
pembentukan suatu norma hukum harus menganut prinsip keadilan.
Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar
manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah
membicarakan keadilan, adanya keadilan maka dapat tercapainya
tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Masalah keadilan bukanlah masalah masalah yang baru
dibicarakan para ahli, namun pembicaraan tentang keadilan telah
dimulai sejak Aristoteles sampai dengan saat ini. Bahkan, setiap
ahli mempunyai pandangan yang berbeda tentang esensi keadilan.
Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keadilan sejak
Aristoteles sampai saat ini, disebut dengan teori keadilan. Teori
keadilan dalam bahasa Inggris disebut dengan theory of justice,
36Jarot Widya Muliawan. 2015. Pemberian Hak Milik Untuk Rumah Tinggal, EdisiRevisi. Buku Litera. Yogyakarta. Hlm. 92.
43
sedangkan dalam bahasa Belandanya disebut dengan theory van
rechtvaardigheid.37
Kata keadilan berasal dari kata adil. Dalam bahasa Inggris,
disebut “ justice”, bahasa Belanda disebut dengan “rechtvaarding”.
Adil diartikan dapat diterima secara objektif. Keadilan dimaknakan
sifat (perbuatan, perlakuan) yang adil. Ada tiga pengertian adil,
yaitu:38
1. Tidak berat sebelah atau tidak memihak;
2. Berpihak pada kebenaran;
3. Sepatutnya atau tidak sewenang – wenang.
Pengertian tentang keadilan dikemukakan oleh Notonegoro.
Notonegoro menyajikan pendapatnya tentang pengertian keadilan.
Keadilan adalah:39
“kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri dan orang lain
apa yang semestinya, apa yang telah menjadi haknya. Hubungan
antara manusia yang terlibat di dalam penyelenggaraan keadilan
terbentuk dalam pola yang disebut hubungan keadilan segitiga,
yang meliputi keadilan distributif, keadilan bertaat atau legal, dan
keadilan kumutatif.
37 Op.Cit., Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Hlm, 2538 Ibid39 Ibid
44
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan dalam arti umum;
2. Keadilan dari arti khusus;
Keadilan dalam arti umum adalah keadilan yang berlaku bagi
semua orang. Tidak membeda-bedakan antara orang yang satu
dengan orang yang lain. Sedangkan keadilan dalam arti khusus
merupakan keadilan yang berlaku hanya ditujukan pada orang
tertentu saja.
Dalam penelitian ini teori keadilan dimaksudkan untuk
membahas dan menganalisis guna kebutuhan pembahasan
mengenai tindakan pemerintah dan proses-proses pengadaan tanah
untuk pembangunan yang tidak merugikan masyarakat yang
terkena dmapak pengadaan tanah untuk pembangunan.
3. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum
yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya
tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya
subyektif.40 Pentingnya kepastian hukum sesuai yang diatur pada
Pasal 28 D ayat (1) Undang–Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga
bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dankepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapanhukum.”41
40L.J. Van Apeldorn. 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Xxx. Pradnya Paramita.Jakarta. Hlm. 11.
41Ibid., Hlm. 12.
45
Prinsip kepastian hukum secara jelas telah diamanatkan
oleh konstitusi dan wajib hukumnya untuk diterapkan pada setiap
perumusan peraturan perundang-undangan.
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang
seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari
otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu dijunjung
apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal
tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-
satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum positivistik
adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian
hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan
dan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum
berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum
dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.
Pada paradigma positivistik bahwa sistem hukum tidak
diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan
hanya sekedar melindungi kemerdekaan individu. Kemerdekaan
individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum.
Paradigma positivistik berpandangan, demi kepastian hukum maka
keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Pandangan
positivistik yang telah mereduksi hukum sehingga telah menjadi
sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik maka
apabila dilihat lagi hukum tidak lagi sebagai pranata manusia
melainkan hanya sekedar media profesi.42
42 Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum. Universitas Atma JayaYogyakarta.Yogyakarta. Hlm. 161.
46
Akan tetapi karena sifatnya yang determistik, maka aliran ini
memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi.
Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas
dan ketaatan hukum demi ketertiban bermasyarakat yang
merupakan suatu keharusan, karena tanpa kepastian hukum setiap
orang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada
akhirnya akan menimbulkan keresahan.
Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian
kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian
hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin
banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang
berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas
hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap
berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai
apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-
undang.
Dalam undang-undang terdapat ketentuan-ketentuan yang
bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis
dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan
rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan
dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang
dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.43
43Ibid., Hlm. 147.
47
Menurut Friedrich Julius Stahl44 seorang pelopor hukum
Eropa Kontinental, ciri sebuah negara hukum antara lain adalah
adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan
peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta
peradilan administrasi dalam perselisihan. Konsep negara hukum
disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state),
kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak
asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara.
Berdasarkan hal tersebut negara di samping bertugas
untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan
sosial maka negara juga harus memberikan perlindungan
terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam Pasal 28 I
ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan prinsip
negara hukum yang demokratis.45
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk
mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam
pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia
dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan
Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum
dan ketertiban.46
44Ibid., Hlm. 210.45Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Citra Aditya
Bakti, Bandung. 2001. Hlm. 68.46Friedrich. C. J. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa dan Nusamedia.
Bandung. Hlm. 239.
48
Kemudian menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan
negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak
hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola
dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat
dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan
independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif
dan legeslatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang
bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh di
luar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu
kepastian hukum yang syarat akan keadilan. Hukum bukan hanya
urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of
behavior).47 Kepastian hukum dirumuskan dengan:
a) Berdasarkan kaidah hukum yang lebih tinggi
b) Terbentuknya yang sesuai dengan cara yang telah ditetapkan
c) Teknik pengujiannya ialah dengan metode doktrinal, yaitu
menguji menurut pandangan para pakar, sejauh mana
peraturan-peraturan pengadaan tanah sesuai dengan doktrin
yang dianut.
Dalam rancangan KUHP yaitu Pasal 1 angka 1 yang diatur
bahwa tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan
kecuali perbuatan yang dilakukannya telah ditetapkan sebagai
tindak pidana. Tetapi secara tegas rancangan KUHP mengatur
47Ibid., Hlm. 240.
49
ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut
adat setempat seseorang dapat dipidana walaupun perbuatan
yang dilakukan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Bila dikaji dari segi sosiologisnya ini bisa dilihat dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang diatur bahwa suatu kenyataan
bahwa dalam beberapa daerah di tanah air masih terdapat
ketentuan hukum di daerah tersebut: Hal yang demikian juga
didapati dalam lapangan hukum pidana yang bisa disebut dengan
tindak pidana adat. Diakuinya tindak pidana tersebut untuk lebih
memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Jadi asas legalitas yang dikaji dari segi sosial ini lebih
mengutamakan rasa keadilan bagi setiap warga masyarakat tanpa
terkecuali, sehinggga timbullah kehidupan masyarakat yang adil,
tentram dan sejahtera. Asas legalitas (kepastian hukum) ini yang
juga memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat. Asas
legalitas ini juga tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945, dimana
dalam Pancasila terdapat dalam alinea pertama, alinea kedua dan
alinea ke-4. Kemudian juga terdapat dalam batang tubuh UUD
1945 yaitu: Pasal 1 ayat (3), (4), (9), (24), (27), (28).
50
C. Pengertian Sinkronisasi dan Harmonisasi
1. Sinkronisasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sinkron
berarti terjadi atau berlaku pada waktu yang sama; serentak,
sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sehubungan dengan judul
penelitian ini, kata sinkronisasi berarti perihal menyinkronkan,
penyerentakan.
Menurut Endang Sumiarni, sinkronisasi yang dimaksud
adalah dengan melihat kesesuaian atau keselarasan peraturan
perundang-undangan secara vertikal berdasarkan sistematisasi
hukum positif yaitu antara peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah.48 Sinkronisasi peraturan perundang-undangan sering
menimbulkan pertentangan mengenai peraturan perundang-
undangan yang mana yang lebih tepat untuk digunakan untuk
kasus tertentu. Oleh karena itu, para penegak hukum perlu
memerhatikan asas-asas berlakunya peraturan perundang-
undangan.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, terkait sinkronisasi
peraturan perundang-undangan terdapat asas lex superiori derogat
legi inferiori yang menjelaskan bahwa apabila terjadi konflik hukum
antara peraturan perundangundangan yang lebih tinggi
48 Endang Sumiarni. 2013. Metodologi Penelitian Hukum Dan Statistik.Yogyakarta.Hlm. 5.
51
tingkatannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tingkatannya, maka peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tingkatannya dikesampingkan/ tidak diberlakukan.49
Dalam penelitian ini pengertian sinkronisasi peraturan
perundang-undangan diartikan sebagai suatu upaya atau suatu
kegiatan untuk menyelaraskan (membuat selaras), dan
menyesuaikan (membuat sesuai) antara suatu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lain secara hierarki vertikal. Sinkronisasi yang akan dikaji adalah
antara Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 dengan Perpres
Nomor 148 Tahun 2015 terkait penetapan lokasi dalam pengadaan
tanah skala kecil bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
2. Harmonisasi
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program
Pembangunan Nasional menentukan bahwa salah satu program
pembangunan adalah program pembentukan peraturan perundang-
undangan yang sasarannya adalah menciptakan harmonisasi
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menentukan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan
49 Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. Hlm. 99.
52
pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal
dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata harmonis
diartikan sebagai sesuatu yang bersangkut paut dengan harmoni,
atau seia sekata; sedangkan kata “harmonisasi” diartikan sebagai
pengharmonisan, atau upaya mencari keselarasan. Dalam
penelitian ini kata harmonisasi juga digunakan sebagai upaya untuk
mencari kesesuaian antara peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi juga berhubungan dengan pendekatan
peraturan perundang-undangan dengan perlu juga memahami asas
lex specialis derogat legi generali. Asas ini merujuk pada dua
peraturan perundang-undangan yang secara hierarki mempunyai
kedudukan yang sama, tetapi ruang lingkup materi muatan antara
peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu
merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain.50 Perbedaan
kata harmonisasi dengan kata sinkronisasi adalah pada peraturan
perundang-undangan yang dikaji. Kata harmonisasi digunakan
untuk mengkaji kesesuaian antara peraturan perundang-undangan
secara horisontal atau yang sederajat dalam sistematisasi hukum
positif.51 Dalam hal ini yang akan dikaji adalah peraturan yang
mengatur mengenai penetapan lokasi dalam pengadaan tanah
skala kecil bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
50 Ibid., Hlm. 99.51 Endang Sumiarni. 2013. Metodologi Penelitian Hukum Dan Statistik. Yogyakarta.
Hlm. 5
53
D. Kerangka Pikir
PENETAPAN LOKASI DALAM PENGADAAN TANAH SKALAKECIL BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Pelaksanaan pengadaan tanahskala kecil bagi kepentinganumum dengan menggunakanpenetapan lokasi
- Ketentuan PeraturanPerundang-Undangan
- Kebijakan Pemerintah Provinsi
Kelebihan dan Kelemahanterhadap pengadaan tanah skalakecil yang menggunakanpenetapan lokasi
- Kelebihan Penetapan Lokasi- Kelemahan Penetapan Lokasi
Terwujudnya Kepastian Hukum dalam Pengadaan Tanah Skala Kecilbagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
1. Teori Kemanfaatan
2. Teori Keadilan
3. Teori Kepastian Hukum
54
E. Definisi Operasional
1. Penetapan lokasi adalah penetapan atas lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum yang ditetapkan dengan keputusan
gubemur, yang dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan tanah,
perubahan penggunaan tanah, dan peralihan hak atas tanah
dalam Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum.
2. Pengadaan tanah skala kecil yang penulis maksud adalah kegiatan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
yang batasan luas objek pengadaan tanahnya tidak lebih dari 5
(lima) hektar.
3. Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah pembangunan
untuk kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
4. Pelaksanaan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu
badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna
mencapai tujuan yang diharapkan.
5. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam perundang-
undangan.
55
6. Kebijakan pemerintah adalah keputusan yang dibuat secara
sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu
yang menyangkut kepentingan umum
7. Kelebihan adalah keadaan yang unggul dibanding yang lain
8. Kelemahan adalah keadaan yang kurang dibanding yang lain.
9. Kepastian Hukum adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas danlogis.
Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir)
dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan
norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
norma.
56
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kota Surabaya dan Kota Makassar,
dikarenakan pada kedua lokasi tersebut terkait dan sesuai dengan
pokok permasalahan dalam penelitian ini.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum ini adalah hukum empiris, yaitu selain
mengkaji hukum teoritik dan normatif yang dikenal law in book, juga
mengkaji hukum dalam pelaksanaannya (law in action). Kesesuaian
antara hukum dalam perspektif normatif dan hukum dalam perspektif
empiris merupakan suatu tuntutan realitas untuk mengefektifkan
hukum dalam kehidupan. Dalam hal ini berkaitan dengan kepastian
hukum terhadap pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan
penetapan lokasi.52
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pihak
yang terkait dalam penelitian ini, yaitu:
a. Semua pegawai Kementerian Agraria dan Tata Ruang
Republik Indonesia
52 Mukti Fajar Nurdewantara. 2010. Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 43.
57
b. Semua pegawai Kantor Gubernur Pemerintah Provinsi Jawa
Timur
c. Semua pegawai Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Jawa Timur
d. Semua pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya
e. Semua pegawai Kantor Pertanahan Kota Makassar
f. Semua pegawai Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi
Selatan termasuk di dalamnya Dinas Perumahan Pemukiman
dan Pertanahan dan Perumahan dan Dinas SDA Cipta Karya
dan Tata Ruang
g. Semua pegawai Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi
Sulawesi Selatan
h. Semua pegawai Dinas Pertanahan Kota Makassar
i. Semua pegawai Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi
Selatan
j. Masyarakat Kota Surabaya dan Kota Makassar
2. Sampel
Sampel adalah perwakilan dari populasi yang hasilnya
mewakili keseluruhan populasi, sampel dalam penelitian ini
adalah:
a. Direktur Kementerian Agraria dan tata Ruang Republik
Indonesia
58
b. Kepala Bagian Pelaksanaan Pembangunan Biro Administrasi
Pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur
c. Kepala Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur
d. Kepala Seksi Pemanfaatan Tanah Pemerintah Bidang
Pengadaan Tanah Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Jawa Timur
e. Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan Pemanfaatan Dinas
Pekerjaan Umum Kota Surabaya
f. Kepala Seksi Permasalahan Tanah Dinas Pertanahan
Makassar
g. Kepala Seksi Fasilitas Pengadaan Tanah Bidang Pertanahan
Dinas Perumahan Pemukiman dan Pertanahan Provinsi
Sulawesi Selatan
h. Kepala UPT Pelaksanaan Teknis Mamminasata Dinas Cipta
Karya dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan
i. Kepala UPT Pelabuhan Regional Takalar Dinas Perhubungan
Provinsi Sulawesi Selatan
j. Kepala Seksi Pengembangan Fasilitas Teknis Dinas
Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan
k. Masyarakat Kota Makassar dan Kota Surabaya
59
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di
lapangan dengan cara wawancara dengan pihak-pihak terkait yaitu
Direktur Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia,
Kepala Bagian Pelaksanaan Pembangunan Biro Administrasi
Pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timurdi Kota
Surabaya, Kepala Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, Kepala
Seksi Pemanfaatan Tanah Pemerintah Bidang Pengadaan Tanah
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur di
Kota Surabaya, Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan Pemanfaatan
Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya, Kepala Seksi
Permasalahan Tanah Dinas Pertanahan di Kota Makassar, Kepala
Seksi Fasilitas Pengadaan Tanah Bidang Pertanahan Dinas
Perumahan Pemukiman dan Pertanahan Provinsi Sulawesi
Selatan, Kepala UPT Pelaksanaan Teknis Mamminasata Dinas
Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala
UPT Pelabuhan Regional Takalar Dinas Perhubungan Provinsi
Sulawesi Selatan, Kepala Seksi Pengembangan Fasilitas Teknis
Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan,
Ismartini, Achmad Hadi, Benny Susanto, Philindo Tukan, Rohmah,
60
Hufron, Darmawi, Saragih, Kastiani, Hedi Suparno, Aziz Junaedi,
Marlyn, Abdul Hafid, Haji Adi, Isramuddin, dan Saripah, Kainuddin,
Hajjah Musdalifa beberapa masyarakat Kota Makassar dan Kota
Surabaya.
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa surat keputusan
penetapan lokasi dan juga meliputi peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pengadaan tanah dan pemerintahan
daerah.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang telah digunakan pada
penelitian ini adalah wawancara, dilakukan kepada informan
(narasumber) yang berisi beberapa daftar pertanyaan yang sudah
disediakan peneliti kemudian digabungkan dengan hasil telaah
bahan-bahan pustaka berupa peraturan perundang-undangan dan
sumber-sumber tertulis lainnya yang terkait atau berhubungan
dengan penelitian ini.53
F. Teknik Analisis Data
Keseluruhan data yang diperoleh dari penelitian ini, baik data
primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis secara kualitatif
selanjutnya dideskripsikan guna memberikan pemahaman dengan
menggambarkan, dan menjelaskan hasil penelitian ini.
53 Ibid., Hlm. 50
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pengadaan Tanah Skala Kecil bagi Pembangunanuntuk Kepentingan Umum dengan menggunakan PenetapanLokasi
Salah satu substansi hukum yang diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan bidang pengadaan tanah adalah
pengadaan tanah untuk skala kecil. Pada awalnya dalam Perpres
Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditentukan luas tanah
skala kecil adalah 1 hektar namun dalam Peraturan Presiden Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 diatur bahwa luas tanah skala kecil adalah di
bawah 5 hektar. Kemudian pada tahun 2015 dilakukan perubahan
kembali yang mengatur bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar harus sesuai dengan tata
ruang wilayah, tidak memerlukan pentetapan lokasi dan instansi yang
memerlukan tanah menggunakan hasil penilaian jasa penilai untuk
penilaian tanah yang tertuang dalam Perpres Nomor 148 Tahun 2015.
Upaya pembentukan hukum dalam rangka menciptakan
kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat merupakan
konsekuensi dari cita negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Oleh
karena itu secara yuridis dapat dikatakan bahwa pengadaan tanah
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan negara hukum
62
melalui penciptaan kepastian hukum bagi pemerintah sebagai pihak
yang membutuhkan tanah demi penyelenggaraan fungsi-fungsinya
dan kepastian hukum bagi masyarakat pemilik tanah sebagai pihak
yang memiliki hak asasi yang harus dilindungi dalam keadaan
apapun.54
1. Ketentuan Perundang-undangan
Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak dikenal
dalam UUPA, karena berdasarkan Bab 2 bagian IV Pasal 27, Pasal
34 serta Pasal 40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanahnya
hanya dikenal perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah dan
penyerahan hak atas tanah. Perbuatan pelepasan hak atas tanah
dilakukan bilamana subjek hak atas tanah mendapatkan permintaan
dari negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah
daerah yang menghendaki hak atas tanah untuk kegiatan
pembangunan bagi kepentingan umum (public interest) berdasarkan
ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial.55
Sebelumnya di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan
dengan cara pencabutan hak atas tanah. Hal tersebut diatur dalam
54Donna Okthalia Setiabudhi. 2016. Urgensi Pengaturan Pengadaan Tanah SkalaKecil Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum di Kota Menado. Jurnal UniversitasSam Ratulangi. Manado. Hlm. 3.
55Imam Koeswahyono. 2011. Mengkritisi Rancangan Undang-Undang PengadaanTanah Untuk kepentingan Pembangunan, Suatu Cacatan Kritis. Jurnal Hukum DanPembangunan, ISSN 0215 9687. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm246.
63
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
Pasal 1 angka 3. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 maka pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah. Setelah itu pada tahun 2012, diundangkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Kemudian pada tahun 2014, dikeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan
Peraturan Presiden Nomor 99 tahun 2014 tentang Perubahan kedua
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun
2015 dan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang
64
Perubahan Ketiga dan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pengadaan tanah untuk
Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar,
dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah
dengan pihak yang berhak, dengan cara jual beli atau tukar
menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Pengadaan tanah yang dilakukan langsung, dapat dilakukan
tanpa melalui tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
dan peraturan pelaksanaannya. Dalam hal ini, sebagimana
diketahui tahapan penyelenggaraan pengadaan tanah berdasarkan
Pasal 13 Undang-Undang 2 Tahun 2012 jo. Pasal 2 Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 terdiri atas 4 (empat) tahapan
penyelenggaraan pengadaan tanah yaitu tahapan perencanaan,
persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil.
Adapun kegiatan untuk memeroleh penetapan lokasi dalam
kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan dilakukan dalam dua
tahapan yaitu tahap perencanaan dan tahap persiapan pengadaan
tanah. Penetapan lokasi pembangunan didasarkan pada
kesepakatan antara Pihak yang Berhak dan/atau masyarakat yang
65
terdampak atau ditolaknya keberatan dari pihak yang Keberatan.
Penetapan Lokasi berlaku untuk jangka waktu 2 dan dapat
diperpanjang 1 kali untuk paling lama 1 (satu) tahun. Penetapan
lokasi dilakukan oleh Gubernur.
2. Kebijakan Pemerintah Provinsi Provinsi Jawa Timur dan
Provinsi Sulawesi Selatan
Pembangunan di Provinsi Jawa Timur khususnya Kota
Surabaya mengalami perkembangan yang pesat dari segi penataan
infrastruktur kota, dikarenakan Kota Surabaya merupakan kota
terbesar kedua di Indonesia dan juga sebagai Ibu Kota Provinsi
Jawa Timur yang memang sedang gencar melaksanakan
pembangunan fasilitas sarana dan prasarana, terutama
pembangunan atau pelebaran jalan, mengingat jalan merupakan
salah satu prasarana yang sangat penting untuk kemajuan Kota
Surabaya.
Frontage Road bundaran dolog merupakan salah satu poros
bundaran yang menjadi titik kemacetan yang berada di Jalan
Ahmad Yani yang terletak di Kelurahan Gayungan, Kecamatan
Gayungan, Kota Surabaya. Bundaran dolog atau yang lebih dikenal
sebagai salah satu taman di Kota Surabaya yaitu Taman Pelangi,
merupakan taman kota yang lahannya menjadi satu lokasi bersama
dengan beberapa rumah tinggal yang masih dihuni oleh beberapa
warga. Lokasi ini berada tepat di tengah pertemuan antara frontage
66
barat dan frontage timur sehingga menjadikan bundaran dolog
menjadi salah satu titik kemacetan yang bahkan terjadi setiap saat.
Pertemuan dari arah ruas jalur yang berbeda mengakibatkan Jl.
Ahmad Yani ini selalu padat dengan kendaraan bermotor milik
masing-masing masyarakat yang memiliki kesibukannya masing-
masing. Terlihat di dalam bundaran itu sendiri masih terdapat
beberapa pemukiman warga yang masih berdiri dengan kondisi
yang memprihatinkan. Setiap saat, masyarakat yang tinggal di sana
harus menghadapi antrian kendaraan yang terkadang mengisolasi
keberadaan mereka dibundaran tersebut, yang mana masyarakat
disana tidak bebas untuk beraktifitas dikarenakan apabila mereka
berkendara keluar dari area bundaran tersebut mereka akan
dihadang oleh antrian kendaraan yang berasal baik dari arah luar
kota Surabaya maupun dari arah dalam kota Surabaya itu sendiri.
Lingkungan yang sempit membuat kondisi sekitar tempat tinggal
mereka terlihat kumuh dan tidak bersih sehingga bisa menyebabkan
timbulnya penyakit yang bisa menyerang kesehatan para warga.
Tinggal dengan kondisi wilayah yang bisa mengancam setiap
hari bukanlah pilihan warga-warga tersebut. Apabila disesuaikan
dengan perencanaan tata ruang Kota Surabaya, seharusnya
wilayah keseluruhan dari bundaran dolog itu menjadi taman kota
dan/atau RTH (Ruang Terbuka Hijau).
Pada tanggal tanggal 4 April 2016 telah ditetapkan Surat
Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/ 247 /Kpts/013/2016
67
Tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Frontage Road Jalan
Ahmad Yani Sisi Barat (Bundaran Dolog) Kota Surabaya-Provinsi
Jawa Timur untuk pengadaan tanah yang terletak di Kelurahan
Gayungan, Kecamatan Gayungan, Kota Surabaya seluas 8.940 m²
atau kurang dari 5 (lima) hektar. Sebelumnya pada tanggal 4
Pebruari 2016 telah diundangkan Peraturan Gubernur Jawa Timur
Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pedoman Persiapan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor
188/247/KPTS/013/2016 menimbang sebagai berikut:
a. Bahwa dalam rangka mengurangi kemacetan jalan Ahmad
Yani pada ruas bundaran dolog Kota Surabaya serta
mengembalikan fungsi jalan Ahmad Yani sebagai jalan arteri
primer, pemerintah Kota Surabaya merencanakan
pembangunan Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat,
melalui surat Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan
Pematusan Kota Surabaya tanggal 3 Maret 2016 Nomor
593/1422/436.6.1/2016 perihal Permohonan Penetapan
Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Frontage Road Jalan
Ahmad Yani Sisi Barat;
b. Bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 33 Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
68
Umum, telah dilakukan Konsultasi Publik sebagaimana
tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan Konsultasi Publik
Kesepakatan Warga dalam rangka Penetapan Lokasi
Pembangunan Frontage Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat
(Bundaran Dolog) Kota Surabaya-Provinsi Jawa Timur Nomor
050/27/BA_KP/022.2/2016 tanggal 18 Maret 2016, dan
dilengkapi Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah serta
keterangan sesuai tata ruang dari Badan Perencanaan
Pembangunan Pemerintah Kota Surabaya tanggal 11 Maret
2016 Nomor 460/1106/436.7.1/2016 perihal Kesesuaian
Pembangunan Jalan Frontage Road Ahmad Yani (dolog)
dengan RTRW Kota Surabaya;
c. Bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Lokasi
Pembangunan Frontage Road Ahmad Yani Sisi Barat
(Bundaran Dolog) Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur dengan
Keputusan Gubernur Jawa Timur.
Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor
188/247/KPTS/013/2016 tersebut terbit berdasarkan permohonan
yang diajukan Walikota Surabaya terkait Pembangunan Frontage
Road Jalan Ahmad Yani Sisi Barat (Bundaran Dolog). Pengajuan
untuk penetapan lokasi ini dianggap perlu dilakukan untuk
percepatan pembangunan mengingat kondisi sosial ekonomi di
Kota Surabaya sangat dinamis.
69
Menelaah isi dari SK Gubernur Jawa Timur tersebut, pada
point c, dimana perlu adanya penetapan lokasi bagi Pembangunan
Frontage Road Ahmad Yani Sisi Barat (Bundaran Dolog) Kota
Surabaya, yang luasnya hanya kurang lebih 8.940 m2 atau sekitar
0,89 hektar (ha), tentunya tidak berkesesuaian dengan ketentuan
Pasal 121 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015
tentang Perubahan Keempat Atas Perpres nomor 71 Tahun 2012
yang menegaskan bahwa Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang kurang dari 5 (lima) hektar tidak memerlukan
penetapan lokasi.
Kebijakan penetapan lokasi pada kegiatan pembangunan
Frontage Road Kota Surabaya, sebagai kontrol oleh pemerintah,
dalam hal ini Gubernur, untuk memastikan bahwa penggunaan
tanahnya telah sesuai dengan Tata Ruang Wilayah dan Rencana
Pembangunan pada daerah yang bersangkutan. Sehingga
tercapainya tujuan hukum yaitu kepastian hukum. Sesuai Selain
itu, kebijakan tersebut, menekankan pada fungsi izin perubahan
penggunaan tanah, yang sudah sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah. Dapat dilihat pada dasar menetapkan Bagian
Kedua huruf c ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan fisik, harus sesuai dengan arahan RTRW
Kabupaten/Kota, RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Nasional.
Lebih lanjut lagi Pasal 53 ayat (4) Peraturan Menteri Agraria
70
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengadaan Tanah menegaskan Pengadaan tanah
skala kecil dilaksanakan sesuai dengan tata ruang wilayah.
Terkait dengan mekanisme penggunaan tanah, berikut ini
adalah kutipan wawancara dengan Bapak Anwari56 selaku Kepala
Bagian Pelaksanaan Pembangunan Biro Administrasi
Pembangunan di Kantor Gubernur Jawa Timur:
“Penggunaan tanah ini dilakukan sesuai aturannyadimana setelahdokumen perencanaan selesai tetap ada sosialisasi dengan pemiliktanah dengan cara mengundang dan tidak langsung diberi gantirugi tetapi untuk diminta persetujuannya karena ini dianggap milikwarga jadi harus minta persetujuannya bahwa tanahnya akan dibelioleh pemerintah untuk dijadikan bangunan demi kepentinganumum misalnya untuk pelebaran jalan, kantor, dan lain-lain.”
Seluruh mekanisme dalam proses penggunaan tanah
masyarakat untuk kepentingan umum sudah dilakukan sesuai
tahapan tahapannya, yaitu pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui 4 (empat)
tahapan yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan
penyerahan hasil.
1) Perencanaan
Pemerintah Kota Surabaya sebagai instansi yang
memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
56Wawancara dengan Bapak Anwari di Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timurtanggal 13 Maret Pukul 09.30 WIB.
71
umum membuat rencana pengadaan tanah yang didasarkan
pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah; danb. Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam:c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah;d. Rencana Strategis; dane. Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.
Rencana pengadaan tanah dibuat dalam bentuk dokumen
perencanaan, yang kemudian disampaikan kepada Gubernur
Jawa Timur.
2) Persiapan
Setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah,
Gubernur Jawa Timur membentuk tim persiapan yang bertugas
untuk:
a. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan;b. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pembangunan;c. Melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan;d. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan;e. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum; danf. Melaksanakan tugas lain.
3) Pelaksanaan
Pelaksanaan pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala
BPN, yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional selaku Ketua pelaksana pengadaan
tanah. Dalam melaksanakan kegiatannya, Ketua pelaksana
pengadaan tanah dapat membentuk satuan tugas yang
membidangi inventarisasi dan identifikasi data fisik penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan data pihak
72
yang berhak (pihak yang menguasai atau memiliki objek
pengadaan tanah) dan objek pengadaan tanah (tanah, ruang
atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang
berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai).
Satuan tugas melaksanakan pengumpulan data yang sedikitnya
terdiri atas:
a. Nama, pekerjaan, dan alamat pihak yang berhak;b. Nomor Induk Kependudukan atau identitas diri lainnya
pihak yang berhak;c. Bukti penguasaan dan/atau pemilikan tanah, bangunan,
tanaman, dan/atau benda yang berkaitan dengan tanah;d. Letak tanah, luas tanah dan nomor identifikasi bidang;e. Status tanah dan dokumennya;f. Jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah;g. Pemilikan dan/atau penguasaan tanah, bangunan,
dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah;h. Pembebanan hak atas tanah; dani. Ruang atas dan ruang bawah tanah.
Terhadap objek pengadaan tanah yang telah diberikan ganti
kerugian atau ganti kerugian telah dititipkan di pengadilan
negeri atau yang telah dilaksanakan pelepasan hak objek
pengadaan tanah, hubungan hukum antara pihak yang berhak
dan tanahnya hapus demi hukum. Pemberian ganti kerugian
dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, relokasi,
kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui para pihak
4) Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah
Ketua pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah
disertai data pengadaan tanah, paling lama 7 (tujuh) hari kerja
73
sejak pelepasan hak objek pengadaan tanah. Penyerahan
tersebut berupa bidang tanah dan dokumen pengadaan tanah.
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan
pembangunan setelah dilakukan penyerahan hasil pengadaan
tanah oleh ketua pelaksana pengadaan tanah.
Lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan pengadaan
tanah dengan penetapan lokasi untuk Frontage Road, Anwari
menjelaskan bahwa:
“Apabila telah terjadi kesepakatan diundanglah tim apraisaluntuk menilai. Setelah dinilai sesuai ketentuan kemudiandimusyawarahkan ke warga, bukan musyawarah tentangharganya, tapi tentang bentuk ganti ruginya apakah denganuang atau yang lain. Namun ada beberapa instansi misalnyadi Kota Surabaya ini yang masyarakatnya dinilai dinamis,karena kekhawatiran lahan yang dikehendaki, contohnyalahan untuk Frontage Road ini yaitu untuk pelebaran jalanyang luasnya hanya kurang dari 5 hektar, menurut ketentuanPerpres Nomor 148 Tahun 2015 sebenarnya tidak perlupenetapan lokasi tapi pertimbangan Pemerintah Kota danjuga minta pendampingan dari kejaksaan. “
Pemerintah Kota Surabaya pada akhirnya tetap memohon
dilakukan penetapan lokasi. Meskipun masih banyak pihak
yang mempertanyakan masalah penetapan lokasi, mengingat
sudah ada ketentuan Peraturan Presiden tidak perlu penetapan
lokasi, namun pengajuan permohonan untuk penetapan lokasi
tetap dilakukan. Setelah dilakukan konsultasi ke BPN Pusat,
dan BPN Pusat memberi jawaban yang intinya menegaskan
bahwa permohonan penetapan lokasi tersebut disetujui dan
bisa diproses, dengan ketentuan penerbitan penetapan lokasi
74
tersebut memiliki alasan kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya Anwari menjelaskan bahwa:
“tentunya dengan proses yang cepat, kita panggil pemiliktanah dengan masyarakat sekitar kita minta persetujuannyadengan catatan pihak instansi membuat surat pernyataanyang dibuat oleh kepala dinasnya dalam hal ini pihakPemerintah Kota Surabaya diwakili oleh Dinas Bina Marga.Surat pernyataan yang isinya alasan mengapa memintapenetapan lokasi yang dimohon ini tidak mungkin beralihkarena secara teknis harus dilahan itu lokasinya, sebenarnyabisa dengan jual beli tapi lebih rumit sehingga diikat denganpenetapan lokasi tadi. Jadi dalam penetapan lokasi tadi adaketentuan bahwa tanah yang sudah dilakukan penetapanlokasi tidak dapat dialihkan ke pihak lain kecuali kepadainstansi yang memerlukan tadi.”
Berdasarkan pemaparan bapak Anwari terkait mengapa
dilakukan penetapan lokasi, alasannya adalah bahwa dengan
penetapan lokasi urusan pengadaan tanah menjadi tidak rumit,
dibandingkan dilakukan dengan proses langsung karena pada
proses langsung terkendala juga pada tahap negosiasi. Belum
lagi adanya keraguan terkait dengan status tanah yang apabila
tidak dilakukan penetapan lokasi, maka kemungkinan
dikemudian hari ahli waris pemilik tanah akan menuntut tanah
tersebut. Fakta lain yang menyebabkan adanya permintaan
penetapan lokasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur adalah
bahwa dengan adanya penetapan lokasi, maka masyarakat
tidak bisa dengan bebas menetapkan harga tanah menurut
keinginan mereka. Sebelum adanya penetapan lokasi,
pemerintah Kota Surabaya merasa kesulitan dalam melakukan
75
transaksi dengan pemilik tanah, seringkali negosiasi dengan
pemilik tanah tidak menemukan titik temu, karena pemilik tanah
berkeras untuk menentukan harga jual tanah yang cukup tinggi,
sementara tanah yang akan digunakan oleh pemerintah
tersebut adalah diperuntukkan membangun fasilitas umum.
Beliau juga memberitahukan beberapa lokasi pengadaan
tanah skala kecil yang tetap menggunakan penetapan lokasi di
Provinsi Jawa Timur antara lain, yaitu:
a) Pengadaan tanah TPA Mojosari Kabupaten Mojokertob) Pengadaan tanah Lokasi Pembangunan JLLT Kelurahan
Tambak Wedi Kecamatan Kenjeranc) Pengadaan tanah di Kelurahan Kedung Cowek
Kecamatan Bulakd) Pengaadan tanah di Kelurahan Kalisari Kecamatan
Mulyorejoe) Pengadaan tanah di Kelurahan Keputih Kecamatan
Sukolilof) Pengadaan tanah di Kelurahan Wonorejo Kecamatan
Rungkutg) Pengadaan tanah di Kelurahan Gununganyar Tambak
Kecamatan Gununganyar.
Hal senada terkait alasan adanya penetapan lokasi juga
diungkap dalam wawancara penulis dengan Ibu Aisyah57 Kepala
Seksi Bidang Pengadaan Tanah dan Pemanfaatan Dinas
Pekerjaan Umum Kota Surabaya beliau mengatakan bahwa:
“Pengadaan tanah yang terdahulu sebelum adanyaperubahan Perpres Nomor 148 tahun 2015 untuk skala kecilmenggunakan penetapan lokasi sangat banyak membantupercepatan pembangunan, karena penetapan lokasi sebagaiizin untuk pengadaan tanah, kalo tidak ada penetapanlokasi, orang awam menganggap belum ada ijinnya. Selain
57 Wawancara dengan Ibu Aisyah di Kantor Dinas Pekerjaan Umum KotaSurabaya tanggal 14 Maret 2017 Pukul 11.00 WIB.
76
itu dengan penetapan lokasi masyarakat memahami hargayang dipakai adalah harga appraisal, kalau tanpa penetapanlokasi, kita tidak tahu apakah masyarakat Surabaya maudengan harga yang ditetapkan appraisal. Sudah dikaji darisegi kelayakan intinya secara teknis lahan itu tidak mungkinpindah ke lokasi lain sehingga diminta penetapan lokasi,agar nantinya lahan tersebut tidak jatuh ke pihak lain karenaundang-undang sudah mengikat, sehingga Lurah,Camatatau siapapun itu tidak dapat mengganggu gugat.”
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Jarot58
selaku Kepala Seksi Pemanfaatan Tanah Pemerintah Bidang
Pengadaan Tanah Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Jawa Timur, terungkap bahwa penetapan lokasi yang diajukan
oleh Walikota Jawa Timur adalah untuk mengantisipasi apabila
ada gugatan dikemudian hari yang diajukan oleh ahli waris
pemilik tanah yang telah dimiliki atau dibeli oleh pemerintah.
Berikut kutipan wawancaranya:
“dengan adanya penetapan lokasi karena dapat menghindarikonflik dikemudian hari, supaya pemerintah Surabaya amanharus ada izin perubahan penggunaan lahan, kalo tidak ada,seandainya nanti ahli warisnya menggugat, karena tidak adapenetapan lokasinya bagaimana?”
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan masyarakat
Kota Surabaya yaitu Bapak Aziz Junaedi dan Ibu Maylin,59 yang
saat itu juga didampingi oleh masyarakat yang memiliki tanah d
Jalan Ahmad Yani tersebut antara lain Ismartini, Achmad Hadi,
Benny Susanto, Philindo Tukan, Rohmah, Hufron, Darmawi,
Saragih, Kastiani, Hedi Suparno, mereka menjelaskan bahwa:
58Wawancara dengan Bapak Jarot di Kantor Wilayah Badan PertanahanNasional Provinsi Jawa Timur tanggal 13 Maret 2017 Pukul 13.00 WIB.
59Wawancara dengan masyarakat Kota Surabaya selaku pemilik tanah tanggal15 Maret 2017 Pukul 10.00 WIB.
77
“Kami sebagai masyakarat pada intinya menginginkan
proses yang cepat dalam prosesnya, aman, dan tidak
merugikan kami sebagai pihak pemilik hak atas tanah.”
Saat ini di Provinsi Sulawesi Selatan pada proses
pengadaan tanah skala kecil dilakukan dengan 2 (dua) cara
yaitu dengan menggunakan penetapan lokasi sesuai Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan dengan cara langsung sesuai
Perpres Nomor 148 Tahun 2015. Adapun daerah yang
menggunakan penetapan lokasi antara lain yaitu pengadaan
tanah skala kecil untuk pelabuhan di Kabupaten Takalar
berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Eddy Sudiyanto60
selaku Kepala UPT Perhubungan Takalar Dinas Perhubungan
Provinsi Sulawesi Selatan yang mengatakan bahwa:
“dalam proses pengadaan tanah untuk pelabuhan kami tetap
menggunakan tahapan penetapan lokasi demi kelancaran
dan keamanan.”
Hal ini diperkuat dengan penjelasan Ibu Yurnita61 selaku
Kepala UPT Mamminasata Dinas SDA Cipta Karya dan Tata
Ruang Provinsi Sulawesi Selatan, beliau menjelaskan bahwa:
“Meskipun saya merasa dengan ditiadakannya penetapanlokasi dapat mempercepat proses pengadaan tanah, tapisaya mengakui bahwa penetapan lokasi merupakan sesuatuyang lebih konkrit dan berkekuatan hukum dibanding hanyaberpegang pada RTRW.”
60Wawancara dengan Bapak Eddy di Dinas Perhubungan Provinsi SulawesiSelatan tanggal 15 April 2017 Pukul 10.00 WITA.
61Wawancara dengan Ibu Yurnita di Dinas SDA Cipta Karya dan Tata RuangProvinsi Sulawesi Selatantanggal 3 April Maret 2017 Pukul 10.00 WITA.
78
Sedangkan daerah yang melaksanakan proses
pengadaan tanah dengan tidak menggunakan tahapan
penetapan lokasi ada di Kota Makassar. Hal ini diketahui
berdasarkan wawancara dengan Bapak Hatta62 selaku Kepala
Seksi Permasalahan Tanah Dinas Pertanahan Kota Makassar,
beliau menyatakan bahwa:
“Saat ini Pemerintah Kota Makassar melaksanakan prosespengadaan tanah skala kecil mengikuti ketentuan PepresNomor 148 Tahun 2015 yaitu secara langsung oleh instansiyang memerlukan tanah dengan pemilik tanah seperti contohpengadaan tanah Puskesmas dan sampai saat ini hambatanyang ditemui terkait hal tersebut yaitu pada saat negosiasi.Tapi kalau kita menginginkan proses yang lebih terarah danlebih jelas memang harus menggunakan penetapan lokasi.”
Lebih lanjut Bapak Hatta menjabarkan bahwa proses
pengadaan tanah secara langsung yang dilaksanakan pada
pembebasan jalan Puskesmas Pampang sebagai berikut:
a) Dinas Kesehatan sebagai instansi yang memerlukantanah menyiapkan dokumen perencanaan pengadaantanah pembebasan jalan Puskesmas Pampang KotaMakassar.
b) Setelah dokumen perencanaan tersebut sampai ke pihakDinas Pertanahan Kota Makassar, kemudian diadakanrapat.
c) Selanjutnya, hasil rapat diberikan kepada tim appraisaluntuk kemudian dirinci biaya ganti kerugian.
d) Kemudian melakukan sosialisasi dan negosiasi kepadapemilik hak atas tanah sesuai harga dari tim appraisalselaku tim jasa penilai tanah.
62Wawancara dengan Bapak Hatta di Dinas Pertanahan Kota Makassartanggal30 Maret 2017 Pukul 10.00 WITA.
79
e) Ketika telah terjadi kesepakatan antara kedua belahpihak, pemberian ganti kerugian dilaksanakan di DinasPertanahan bersamaan dengan pemberian sertipikat olehpemilik hak atas tanah ke Dinas Kesehatan dengan iniberalihlah kepemilikan hak atas tanah tersebut.
f) Setelah itu pihak Dinas Pertanahan menyerahkansertipikat hak atas tanah tersebut ke Bagian Aset KotaMakassar untuk selanjutnya dilakukan proses balik namadi Kantor Pertanahan Kota Makassar.
g) Kedua belah pihak bersama-sama ke Kantor PertanahanKota Makassar untuk melaksanakan proses pelepasanhak atas tanah dari pemilik sebelumnya menjadi DinasKesehatan sebagai pemegang hak atas tanah.
Terkait dengan pengadaan tanah yang tidak menggunakan
penetapan lokasi, pada prinsipnya tidak membawa pengaruh
signifikan secara langsung terhadap proses pengadaan tanah
skala kecil untuk kepentingan umum. Artinya, walaupun secara
yuridis normatif, kepastian hukumnya terabaikan, namun dari
segi asas kemanfaatan ada atau terpenuhi.
Hal tersebut sesuai dengan teori kemanfaatan yang
dikemukakan oleh Jeremi Bentham yang meletakkan
kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum, kemanfaatan
disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness), yang tidak
mempermasalahkan baik atau tidak adilnya suatu hukum,
melainkan bergantung kepada pembahasan mengenai apakah
hukum dapat memberikan kebahagian kepada manusia atau
tidak.
80
Namun hal yang berbeda diungkapkan oleh Bapak Nurul
Amin63 selaku Kepala Seksi Pengembangan Fasilitas Teknis
Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup beliau menjelaskan
bahwa:
“Pada awalnya saya mengajukan rencana penetapan lokasikepada Kepala Dinas tetapi Bapak mengatakan itu tidakperlu sesuai amanat Perpres Nomor 148 tahun 2015. Namunpada proses pengadaan tanah skala kecil dengan caralangsung yang saat ini kami hadapi yaitu di Jalan Kima 10mengalami hambatan. Antara lain karena ditiadakanpenetapan lokasi kami mengalami kesulitan dalampenentuan lokasi tanahnya. Seperti yang terjadi sekaranglokasi yang diinginkan pertama kali tidak berhasil diperoleh.Sehingga kami harus mencari lokasi lain dan itumembutuhkan waktu yang cukup lama.”
Selanjutnya beliau menerangkan bahwa:
“setelah kami mencari dan menemukan beberapa pilihanlokasi, tim aprasial melakukan peninjauan nilai tanah dibeberapa lokasi tersebut, hal tersebut juga memerlukanwaktu.”
Pernyataan Bapak Nurul Amin senada dengan pendapat
Bapak Fachruddin64 selaku Kepala Seksi Fasilitas Pengadaan
Tanah Bidang Pertanahan Dinas Perumahan Pemukiman dan
Pertanahan Provinsi Sulawesi Selatan yang menyatakan
bahwa:
“Pada proses pengadaan tanah skala kecil di Jalan Kima 10
kurang efisien karena membutuhkan waktu yang cukup
lama.”
63Wawancara dengan Bapak Nurul Amin di Dinas Pengelolaan Lingkungan HidupProvinsi Sulawesi Selatan tanggal 20 April 2017 Pukul. 11.30 WITA.
64Wawancara dengan Bapak Fachruddin di Dinas Perumahan Pemukiman danPertanahan Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 3 Mei 2017 Pukul 09.30 WITA
81
Peneliti kemudian mewawancarai Bapak Muhallis Mentja65
selaku Kepala Seksi Pengadaan Tanah Kantor Pertanahan
Makassar, beliau mengungkapkan bahwa:
“Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 itu bertujuanuntuk memberikan kemudahan kepada masyarakat dalamproses pengadaan tanah skala kecil, namun kenyataannyamasih terdapat banyak permasalahan dengan menggunakanperaturan tersebut. Sebagai contoh seperti yang dialamidinas pengelolaan lingkungan hidup itu, contoh lain adabeberapa masyakarat yang mengartikan proses pengadaantanah secara langsung hanya melibatkan pihak instansi yangmemerlukan tanah dan pihak pemilik tanah berani tidakmelibatkan tim aprasial dalam proses pengadaan tanahnya.Padahal meskipun secara langsung tapi penilaian hargatanahnya harus menggunakan hasil penilaian jasa penilai.Sehingga hal tersebut dapat menjadi masalah dikemudianhari. Selain itu, permasalahan juga timbul apabila pihakpemilik tanah dan pemerintah tidak mencapai kesepakatanharga maka pemerintah tidak memiliki pilihan selain mencarilokasi yang lain karena tidak ada tahapan yangmembenarkan pemerintah daerah untuk tetap melanjutkanrencana pembangunan dilokasi tersebut jika pemilik tanahmenolak. Pencarian lokasi lain dalam realitasnya punmenimbulkan masalah karena pihak pemerintah harusmemiliki lokasi dengan syarat-syarat yang sudah ditentukansebelumnya misalnya untuk pembangunan taman yang telahmengacu pada RTRW seperti yang terjadi di Kota Manado.”
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa:
“permasalahan lain yang timbul yaitu ketika tanah yangdiinginkan oleh instansi yang memerlukan tanah itumerupakan tanah waris. Ketika ahli waris tersebut berjumlah3 orang namun pada saat pengadaan tanah salah satu pihakahli waris berada di luar negeri untuk waktu yang lama,ketika kembali ke daerah asalnya pihak yang tidakmengetahui atau tidak setuju dengan ketetapan gantikerugian dapat mengajukan permohonan gugatan kepengadilan. Hal tersebut dapat dihindari jika kita
65Wawancara dengan Bapak Muhallis di Kantor Pertanahan Makassar tanggal 5Mei 2017 Pukul 11.00 WITA.
82
menggunakan penetapan lokasi. Sehingga jika ditanyapendapat saya, saya lebih setuju dengan proses pengadaantanah skala kecil dengan menggunakan penetapan lokasi.”
Sebelum menutup sesi wawancaranya beliau menyimpulkan
bahwa:
“Saya lebih setuju dengan tetap dilaksanakan penetapanlokasi dalam pengadaan tanah skala kecil karena lebihbanyak pihak yang terlibat sehingga prosesnya lebihterkordinir dibanding secara langsung kurang pihak yangterlibat sedikit sehingga perlu ada kordinasi lagi.”
Berdasarkan wawancara penulis dengan pihak masyarakat
Kota Makassar yaitu Bapak Abdul Hafid dan Ibu Saripah66, yang
saat itu juga didampingi oleh masyarakat lain yang tanahnya
diinginkan oleh pemerintah untuk dijadikan fasilitas kepentingan
umum antara lain, Haji Adi, Isramuddin, Kainuddin, dan Hajjah
Musdalifa mereka menjelaskan bahwa:
“Sebagai masyarakat yang memegang hak atas tanah kamimenginginkan nilai ganti kerugian yang sesuai dan prosesyang tidak memakan waktu lama agar tidak menghambataktivitas kami yang lain, tetapi juga harus aman untuk jangkapanjangnya. Pihak instansi yang memerlukan tanah harusmengoptimalkan proses sosialisasi sehingga bisameminimalisir spekulasi yang dilakukan oleh makelar tanah.”
Pada dasarnya penulis setuju dengan alasan efektifitas dan
efesiensi yang dikemukakan dalam Peraturan Presiden Nomor
148 Tahun 2015 untuk melaksanakan Pengadaan Tanah Skala
Kecil. Namun hendaknya dengan alasan tersebut tidak
memangkas langkah penting yang harus dilakukan yaitu
penetapan lokasi yang telah disebutkan pada Pasal 19 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
66Wawancara dengan masyarakat Kota Makassar tanggal 20 April 2017 Pukul11.30 WITA.
83
Pentingnya penetapan lokasi dalam kegiatan pengadaan
tanah skala kecil tidak bisa dipungkiri, mengingat tahapan
penetapan lokasi mengandung unsur kepastian hukum,
sehingga diyakini mampu mengantisipasi berbagai
kemungkinan buruk dari pelaksanaan pengadaan tanah untuk
pembangunan fasilitas kepentingan umum.
Dalam hal ini instansi yang memerlukan tanah dengan
adanya penetapan lokasi kepastian hukum akan tanahnya lebih
terjamin.
Pelaksanaan pengadaan tanah dengan menggunakan
penetapan lokasi, sejatinya diikuti dengan dasar pertimbangan
tidak merugikan kepentingan umum dan memenuhi asas
manfaat dan kepastian hukum.
Dalam hal perizinan penetapan lokasi, menurut penjelasan
Bapak Jarot bahwa:
“Kasus di Makassar dan Surabaya berarti tidak adakerjasama dalam menerapkan perpres. Tidak hanya itu, ada3 fungsi penetapan lokasi, yaitu izin pemindahan, izinpenggunaan lahan dan izin perpanjangan. Berarti diMakassar tidak mengindahkan itu”. Justru, harusnyadiperkuat, karena hal ini bisa menjadi isu hukum, mungkinnanti bisa dilihat apa akibat hukumnya ketika penlok dengan3 fungsi itu tidak diindahkan.”
Apabila dicermati maka fungsi penetapan lokasi adalah
terkait dengan aspek perizinan. Dalam arti luas, Izin diartikan
84
sebagai suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-
undang atau peraturan pemerintah. Hal ini menyangkut
perkenan dari suatu tindakan yang demi kepentingan umum
mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Sedangkan dalam
arti sempit, izin diartikan sebagai pengikatan kegiatan-kegiatan
pada suatu peraturan perundang-undangan tentang perizinan
untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau menghindari
keadaan yang buruk. Esensi yang dapat dipetik dari definisi
perizinan dalam arti sempit adalah suatu tindakan atau
perbuatan dilarang, kecuali diperkenankan dengan suatu tujuan
agar dalam ketentuan yang berhubungan dengan perkenaan.67
B. Kelebihan dan Kelemahan Pengadaan Tanah Skala Kecil yangMenggunakan Tahapan Penetapan Lokasi
1. Kelebihan Penetapan Lokasi
Penetapan lokasi merupakan tahapan penting dalam proses
pengadaan tanah karena memliki banyak kelebihan jika kita
menggunakannya, berdasarkan hasil penelitian penulis kelebihan
penetapan lokasi yang diperoleh antara lain:
a. Izin pengadaan tanah terpenuhi
Izin pengadaan tanah sebagaimana ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengandung arti bahwa
67Imam Koeswahyono. 2016. Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruangdi Indonesia dalam Jarot Widya Muliawan. Cara Mudah Pahami Pengadaan Tanah untukPembangunan melalui Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition. Buku Litera. Yogyakarta.Hlm. 25-26.
85
suatu kegiatan pengadaan tanah merupakan faktor pembenar
adanya kegiatan pengambilan tanah masyarakat oleh
pemerintah yang tujuannya untuk kemakmuran masyarakat itu
sendiri atau masyarakat Indonesia secara luas. Pengambilan
tanah oleh pemerintah sejatinya dilarang, namun karena tujuan
pengadaan tanah adalah sesuai dengan undang-undang maka
kegiatan tersebut diizinkan dengan catatan masyarakat yang
tanahnya diambil untuk pengadaan tanah tidak boleh dirugikan
dan harus mendapat ganti kerugian yang layak. Oleh sebab itu
penetapan lokasi merupakan legalitas pemerintah untuk
melakukan pengadaan tanah dan unsur administrasi
pengadaan tanah itu sendiri. Jika penetapan lokasi tidak
dilakukan sudah tentu tindakan pengadaan tanah melalui jual
beli, tukar menukar dan pemindahan lainnya tidak dapat
dibenarkan karena hanya dilakukan secara keperdataan dan
menghilangkan unsur administrasi.
b. Izin peralihan hak atas tanah terpenuhi
Perubahan penggunaan tanah ini diidentikkan dengan
perubahan penggunaan ruang. Sesuai dengan tujuannya, izin
pemanfaatan tanah atau ruang digunakan untuk melakukan
kontrol terhadap penggunaan ruang karena ruang harus
dilakukan penataan sedemikian rupa agar terjadi suatu
keseimbangan antara kepentingan manusia (manusia dengan
86
manusia) dengan kepentingan alam (manusia dengan alam).
Keseimbangan tersebut harus dikontrol oleh pemerintah
sehingga tidak terjadi ketimpangan. Memerhatikan faktor
manusia saja tanpa memerhatikan alam akan cenderung
merusak lingkungan alam. Sebaliknya, memerhatikan faktor
alam saja tanpa mengindahkan kepentingan manusia baik dari
segi ekonomi, sosial dan budaya juga merupakan perbuatan
yang merugikan.
c. Izin peralihan hak terpenuhi secara administratif
Izin pemindahan hak merupakan pengaturan khusus
dalam kegiatan pengadaan tanah. Secara perdata mungkin
pemindahan hak dapat dilakukan dengan jual beli, tukar
menukar atau pemindahan hak lainnya. Namun dalam lingkup
hukum administrasi, maka pemerintah selaku pejabat publik
dan dikaitkan dengan kepentingan umum dikhususkan dalam
pemindahan hak atas tanah.68 Misalnya saja, jual beli harus
ada unsur pihak yang dengan sukarela menjual tanah dan ada
pihak yang sukarela membeli tanah tersebut. Dalam kegiatan
pengadaan tanah, sebenarnya tidak ada niatan masyarakat
untuk menjual tanahnya namun karena kepentingan umum
menghendakinya maka mau tidak mau masyarakat harus
melepaskan tanahnya tersebut. dengan kata lain pemerintah
68 Op.Cit. Jarot Muliawan., Hlm. 25
87
dengan alasan undang-undang memaksa masyarakat untuk
memindahkan hak atas tanahnya. Oleh karena itulah diperlukan
suatu izin melalui penetapan lokasi.
d. Kejelasan peruntukan tanahnya
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus benar-
benar dimaksudkan untuk kepentingan umum yang dituangkan
dalam rencana pengadaan tanah oleh instansi yang
memerlukan tanah. Hal ini kadang menjadi kritik dari
masyarakat sekitar lokasi, apakah tanah yang tersebut bena-
benar untuk kepentingan umum atau untuk kepentingsn pihak
lain.69
Penetapan lokasi menjadi solusi terkait hal tersebut, karena
di dalam Surat Kepeutusan penetapan lokasi yang dikeluarkan
oleh Gubernur tertuang dengan jelas bahwa tanah tersebut
benar-benar untuk kepentingan umum. Sehingga tidak ada
pihak yang dapat menyalahgunakan tanah tersebut.
e. Kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Yurnita seperti yang
telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa
meskipun dalam peta RTRW Provinsi sudah ada penjelasan
peruntukan disetiap wilayah dalam provinsi tersebut, namun
tetap diperlukan sesuatu yang lebih konkrit dan berkekuatan
69 https://www.kompasiana.com/herybekasi/pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-umum diakses pada tanggal 20 Agustus 2017 Pukul 16.00 WITA.
88
hukum untuk menjelaskan setiap detail lokasi tanah. Ibu Yurnita
menambahkan bahwa peta RTRW tersebut bersifat makro,
sedangkan penetapan lokasi bersifat mikro dan lebih
memperjelas peruntukan tiap-tiap bidang tanah. Sehingga
dengan adanya peentapan lokasi mempertegas bahwa lokasi
tanah tersebut sudah sesuai dengan RTRW.
f. Kelayakan lokasi
Analisa dampak lingkungan harus dilakukan sebelum proses
pengadaan tanah dilakukan dengan cermat karena dapat
menimbulkan dampak buruk dibelakang hari setelah proses
pengadaan tanah berlangsung jika tidak dilakukan dengan
cermat.
Hal ini yang menjadi kelebihan tahapan penetapan lokasi,
karena salah satu kegiatannya yaitu penetuan kelayakan lokasi,
dengan mempertimbangkan dampak-dampak yang mungkin
timbul dikarenakan pengadaan tanah baik dampak sosial
maupun dampak lingkungan sangat diperhatikan, jika semua
hal tersebut aman maka lokasi tersebut dianggap layak untuk
dilaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
g. Terjaminnya kepastian hukum terhadap hak atas tanahnya
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa
penetapan lokasi merupakan aspek perizinan dalam
pengadaan tanah sehingga dapat disimpulkan bahwa
89
penetapan lokasi menjamin kepastian hukum terhadap hak atas
tanah yang menjadi objek pengadaaan tanah sehingga dapat
menghindari masalah yang dapat muncul terkait status hak atas
tanahnya dikemudian hari.
2. Kelemahan Penetapan Lokasi
Penetapan lokasi memiliki banyak kelebihan seperti yang telah
diuraikan diatas tetapi juga memiliki kelemahan, berdasarkan
penelitian penulis kelemahan penetapan lokasi yang diketahui
antara lain:
a. Proses Lama
Penetapan Lokasi menjadi bagian dari tahapan kedua dalam
proses pengadaan tanah yaitu tahap persiapan, seperti yang
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tahap
persiapan diawali dengan gubernur membentuk Tim Persiapan
dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja, yang
selanjutnya dilanjutkan dengan pemberitahuan rencana
pembangunan kepada masyarakat yang dilaksanakan dalam
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen
perencanaan diterima oleh Gubernur dan ditandatangani oleh
Ketua Tim Persiapan, setelah itu dilakukan pendataan awal
lokasi yang dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja,
Setelah itu, proses selanjutnya yaitu konsultasi publik.
Apabila terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana
90
pembangunan, dilaksanakan konsultasi publik ulang dengan
pihak yang keberatan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja.Kemudian setelah semuanya terpenuhi maka Gubernur
menetapkan lokasi pembangunan.
Banyaknya pihak yang terkait dalam tahapan penetapan
lokasi membuat munculnya anggapan bahwa penetapat lokasi
prosesnya rumit sehingga hal itu dianggap menjadi kelemahan
tahapan ini.
b. Memerlukan biaya yang tidak sedikit
Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Tahapan yang banyak dalam proses pengadaan tanah
mengakibatkan jumlah anggaran yang diperlukan juga banyak,
termasuk dalam tahapan penetapan lokasi. 70
Biaya yang timbul pada tahap penetapan lokasi terdiri atas:
a) Pendataan awal lokasi
b) Konsultasi publik/konsultasi publik ulang
c) Penetapan lokasi
d) Pengumuman penetapan lokasi
e) Menerima keberatan pihak yang berhak
70 Op.Cit., Jarot Muliawan., Hlm. 44
91
Land banking atau dana untuk pengadaan tanah
kepentingan umum sekarang ada pada BLU LMAN yaitu Badan
Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara yang
merupakan salah satu BLU pada Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Kementerian ini merupakan institusi pemegang land banking
dalam bentuk dana yang diperuntukkan untuk pembiayaan
infrastuktur, khususnya untuk pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum khususnya proyek
strategis nasional. Adanya BLU LMAN maka semua
pembiayaan pengadan tanah untuk proyek kepentingan umum
dilakukan melalui satu pintu yang mana pemberian ganti
kerugian bisa langsung dibayarkan kepada pemilik tanah atau
secar tidak langsung melalui badan usaha operator proyek.71
Dilihat dari banyaknya biaya yang diperlukan dalam proses
penetapan lokasi sehingga dengan berlakunya Perpres Nomor
148 Tahun 2015 yang mengatur bahwa dalam pengadaan
tanah skala kecil tidak memerlukan penetapan lokasi, jika ada
pihak yang tetap menggunakan penetapan lokasi dapat
dicurigai proses pengadaan tanahnya mengandung indikasi
tindak pidana korupsi.
71 Op.Cit., https://www.kompasiana.com/herybekasi/pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-umum_
92
c. Pelaksanaan konsinyasi belum efektif
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Aisyah selaku
Kepala Seksi Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya, beliau
menjelaskan bahwa penetapan lokasi sebagai dasar untuk
melakukan konsinyasi ke Pengadilan Negari.
Secara garis besar Konsinyasi adalah penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penitipan di Pengadilan
Negeri tempat di mana lokasi tanah untuk pembangunan
tersebut berada, dan selanjutnya dilakukan Pencabutan Hak
Atas Tanah sebagaimana diatur ketentuan mengenai praktik
konsinyasi tertuang dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata
antara lain Pasal 1404 KUH Perdata mengatur bahwa, jika si
berpiutang menolak pembayaran, maka si berhutang dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai apa yang diutangkan,
dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau
barangnya kepada pengadilan. Penawaran yang sedemikian,
diikuti dengan penitipan, membebaskan si berhutang dan
berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah
dilakukan dengan cara menurut undang-undang sedangkan
apa yang dititipkan secara itu tetap atas tanggungan si
berpiutang. Sedangkan menurut Pasal 42 UU Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan tanah bahwa penitipan ganti kerugian
ke pengadilan negeri terjadi karena disebabkan oleh pihak yang
93
berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui
keberadaannya; atau objek pengadaan tanah yang akan
diberikan ganti kerugian sedang menjadi objek perkara di
pengadilan, masih dipersengketakan kepemilikannya,
diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau menjadi
jaminan di bank.
Penerapan konsinyasi lebih mementingkan kepentingan
umum daripada kepentingan individu, hal ini telah sesuai
dengan sifat kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa
dan Negara. Namun hal ini sekiranya juga tidak menghiraukan
kepentingan individu masyarakat sebagai pemilik hak atas
tanah, karena terkadang masyarakat yang menolak proses
pengadaan tanah tidak hanya mempertimbangkan dari segi
harga tanah melainkan nilai tanah itu sendiri, misalnya nilai
history tanah tersebut. Banyak masyarakat yang masih
menjunjung tinggi nilai sejarah terhadap tanah mereka
sehingga sulit untuk melepas tanahnya, sehingga instansi yang
memerlukan tanah harus juga menghargai hal tersebut selain
memberikan nilai penawaran yang sepadan.
Sesuai penjelasan Jarot Widya Muliawan72 bahwa
membicarakan hubungan antara manusia (dalam hal ini
hubungan antara instansi yang memerlukan tanah dengan
72 Op.Cit., Jarot Muliawan. Hlm. 14
94
masyarakat pemegang hak atas tanah), adalah membicarakan
keadilan, maka dalam proses pengadaan tanah diharapkan
prosesnya adil untuk masyarakat sebagai pemegang hak atas
tanah.
Sehingga masyarakat tidak menganggap bahwa proses
pengadaan tanah dilaksanakan dengan cara paksaan tetapi
memerhatikan juga kepentingan mereka.
Setelah membahas kelebihan dan kelemahan
pengadaantanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
dengan menggunakan tahapan penetapan lokasi, selanjutnya
peneliti ingin menjabarkan kelebihan dan kelemahan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
secara langsung atau dengan kata lain tidak menggunakan
penetapan lokasi.
2) Kelebihan Proses Pengadaan Tanah Secara Langsung
a. Waktu relatif cepat
Waktu yang diperlukan relatif lebih singkat karena tidak
menggunakan tahap perencanaan, tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, tahap penyerahan hasil. Prosesnya langsung
antara instansi yang memerlukan tanah dengan pihak
pemegang hak atas tanah.
95
b. Biaya yang diperlukan tidak banyak
Tidak menggunakan 4 tahapan seperti yang telah diuraikan
diatas sehingga biaya yang diperlukan juga tidak banyak.
3) Kelemahan Proses Pengadaan Tanah Secara Langsung
a. Izin pengadaan tanah tidak terpenuhi
Aspek perizinan tidak terpenuhi karena ditiadakan proses
penetapan lokasi yang digunakan sebagai izin pengadaan
tanah, sehingga secara administratif dianggap proses
pengadaaan tanahnya belum sempurna. Sehingga perubahan
penggunaan ruang tidak terkontrol padahal terhadap ruang
harus dilakukaan penataan sedemekian rupa agar terjadi
keseimbangan antara kepentingan manusia dan kepentingan
alam.
Memerhatikan faktor manusia saja tanpa memerhatikan
alam akan cenderung merusak lingkungan alam, sebaliknya
memerhatikan faktor alam saja tanpa mengindahkan
kepentingan manusia baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya
juga merupakan perbuatan yang merugikan. Sebagai contoh,
apakah dengan diadakannya pembangunan di lokasi tertentu
dapat merusak lingkungan atau tidak, misalnya akan berdampak
resiko bahaya banjir atau tanah longsor.
Contoh lain, dari segi dampak sosial yang dapat terjadi,
apakah masyarakat sekitar lokasi tersebut akan terkena dampak
96
penggusuran, sejauh mana kerugian sosial yang akan terjadi.
Pemerintah dalam hal ini tidak menjalankan funsinya sebagai
kontrol penggunaaan ruang sehingga jika tidak tercapai
keseimpangan nantinya akhirnya akan merugikan manusia
juga.
b. Keberadaan jasa penilai (tim appraisal)
Jasa penilai publik atau yang kita kenal dengan sebutan tim
apprasial untuk beberapa daerah/kota kecil masih sulit
ditemukan, sehingga menjadi salah satu kendala juga dalam
menentukan nilai ganti rugi, hal itu membuat Pemerintah harus
mencari jasa penilai publik dari kota lain.73
Banyak masyarakat umum yang sebenarnya tidak terlalu
memahami mengenai biaya-biaya yang diperlukan pada proses
pengadaan, termasuk perhitungan biaya ganti kerugian, seperti
harus sesuai dengan NJOP, nilai pasar, dan lain lain, mereka
hanya mengetahui tanahnya akan dibeli oleh pemerintah untuk
digunakan untuk kepentingan umum sehingga sudah
seharusnya dibeli dengan harga yang sewajarnya sehingga
kedua belah pihak merasa tidak dirugikan.
73 Op.Cit., https://www.kompasiana.com/herybekasi/pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-umum_
97
c. Tidak Menjamin Kepastian Hukum
Kepastian hukum secara normatif74 adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian
ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Frasa “tidak memerlukan” dapat diartikan bahwa untuk
pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar
dilakukan tanpa adanya tahapan penetapan lokasi. Apabila
penetapan lokasi untuk pengadaan tanah skala kecil dilakukan
maka akan memenuhi sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 121 ayat (2) Perpres Nomor 148 Tahun 2015, yaitu:
“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnyatidak lebih dari 5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud padaayat (1) harus sesuai dengan tata ruang wilayah. Dengandilakukannya penetapan lokasi, maka akan menjaminkesesuaian pengadaan tanah yang akan dilakukan dengantata ruang wilayah. “
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bambang
Nurcahya selaku Kepala Bidang Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Jawa Timur menyatakan bahwa:
“Jadi Perpres Nomor 148 Tahun 2015 itu esensinya adalahuntuk membantu efisiensi pengerjaan pelaksanaanpengadaan tanah tetapi kenyataannya Pemerintah Kotayang dimaksud diberi kemudahan justru tidak berani. Kitatidak mengharuskan mereka tapi mereka yang minta. Jadidimanapun bukan hanya di Jawa Timur apabila instansinya
74 Op.Cit., Jarot Muliawan. Hlm. 17
98
minta bisa saja tetap dikeluarkan SK Penetapan Lokasitetapi dilihat juga alasannya.”75
Selanjutnya dikatakan bahwa:
“Apakah Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor188/247/KTS/013/2016 dapat tidak, menyimpangi PeraturanPresiden Nomor 148 Tahun 2015 dikarenakan kedudukanPeraturan Presiden dapat dikatakan lebih tinggi dari padakedudukan Keputusan Gubernur. Namun jika melihatperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnyayakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012. DimanaUndang-undang Nomor 2 Tahun 2012 dengan tegasmenyatakan bahwa setiap pengadaan tanah wajibmemohonkan penetapan lokasi kepada gubernur. Artinya,apabila diruntut secara sistematis, justru Peraturan PresidenNomor 148 Tahun 2015 tidak berkesesuaian denganketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012”.
Kata “tidak memerlukan”dapat menimbulkan keragu-raguan
terhadap pihak yang memerlukan tanah apakah akan
menggunakan penetapan lokasi atau tidak karena dalam
Perpres Nomor 148 Tahun 2015 tidak mengatur apakah ada
sanksi yang diperoleh apabila menggunakan atau tidak
menggunakan penetapan lokasi dan juga memberi celah
terhadap pihak-pihak terkait untuk melakukan penyelundupan
hukum. Sebagai contoh, jika ada instansi yang memerlukan 10
hektar tanah dapat membagi 2 (dua) tanah tersebut menjadi
masing-masing 5 hektar demi menghindari tahapan penetapan
lokasi.
75 Wawancara dengan Jarot dari Badan Pertanahan Nasional, Propinsi JawaTimur, tanggal 13 Maret 2017 Pukul 13.00 WIB
99
Tidak adanya tahapan penetapan lokasi yang mencakup
proses pendataan awal lokasi, konsultasi publik, proses
pelampiran peta lokasi pembangunan, sehingga status tanah
yang menjadi objek pengadaan tanah menjadi tidak jelas,
sehingga proses pengadaan tanahnya tidak menjamin
kepastian hukum.
Berdasarkan penjabaran kelebihan dan kelemahan kedua
cara diatas, penulis menilai bahwa meskipun tanah yang
dipergunakan dalam pengadaan tanah skala kecil relatif tidak
luas dibandingkan pengadaan tanah skala besar, tetapi
sebaiknya tetap harus diperhatikan aspek perizinannya dengan
cara tetap diberikan izin yang jelas agar unsur administrasi
terpenuhi sehingga pelaksaan pengadaan tanahnya menjadi
aman baik dari segi kesesuaian rencana tata ruang
wilayah(RTRW) maupun hal lain yang dapat menjadi hambatan
apabila tidak adanya izin tersebut.
Terkait masalah waktu dan biaya yang diperlukan banyak
pada tahap penetapan lokasi sebagai aspek perizinan,
Pemerintah sebagai pihak penentu kebijakan sebaiknya mencari
jalan keluar terhadap masalah tersebut, seperti meminimalisir
ketentuan waktu dan biaya yang berlaku sekarang atau
memberi nama lain sebagai pengganti dari penetapan lokasi jika
tahapan penetapan lokasi dianggap hanya cocok diberlakukan
100
untuk pengadaan tanah skala besar, demi terciptanya kepastian
hukum dalam pengadaan tanah skala kecil.
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana
telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil dengan menggunakan
penetapan lokasi yang dilaksanakan di Jawa Timur dilaksanaan
melalui 4 (empat) tahapan yaitu perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, penyerahan hasil berdasarkan SK Gubernur Jawa
Timur. SK tersebut tidak sejalan dengan ketentuan dalam Pasal
121 ayat (3) Perpres Nomor 148 Tahun 2015.
2. Kelebihan proses pengadaan tanah yang menggunakan penetapan
lokasi yaitu izin pengadaan tanah jelas dan kepastian hukum
terjamin, kelemahannya yaitu proses yang diperlukan lama,
memerlukan biaya yang banyak, dan juga proses penyelesaian
apabila terjadi sengketa dengan konsinyasi juga belum berlangsung
efektif. Sedangkan proses pengadaan tanah secara langsung
kelebihannya yaitu proses cepat dan tidak memerlukan biaya yang
banyak, tetapi memiliki kelemahan yaitu izin pengadaan tanah tidak
jelas dan tidak menjamin kepastian hukum terhadap proses
pengadaan tanahnya.
102
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:
1. Semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan tanah
skala kecil baik Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah,
Masyarakat sebaiknya bekerja sama dengan baik sehingga
memahami secara keseluruhan proses pengadaan tanah skala
kecil. Hal tersebut dapat tercapai jika pada proses sosialisasi
berlangsung dengan baik.
2. Sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap Perpres Nomor 148
Tahun 2015 dalam rangka memperjelas ketentuan mengenai
izin dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah skala kecil
bagi pembangunan untuk kepentingan umum tanpa
mengabaikan asas-asas yang berlaku.
.
103
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adrian Sutedi. 2008. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum DalamPengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika:Jakarta.
Ahmad Choamzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Nasional). PrestasiPustaka: Jakarta.
Aminuddin Ilmar. 2013. Hukum Tata Pemerintahan. IdentitasUniversitasHasanuddin: Makassar.
Aminuddin Salle. 2007. Hukum Pengadaan Tanah untuk KepentinganUmum. Kreasi Total Media: Yogyakarta.
Arie S. Hutagalung. 2004. Kewenangan Pemerintah di BidangPertanahan. PT.Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Bernhard Limbong. 2015. Politik Pertanahan. Margaretha Pustaka:Jakarta.
Boedi Harsono. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan: Jakarta.
E. Sumaryono. 2002. Etika & Hukum, Relevansi Teori Hukum KodratThomas Aquinas, Kanisius. Cetakan ke-5: Yogyakarta.
Endang Sumiarni. 2013. Metodologi Penelitian Hukum: Yogyakarta.
Friedrich Julius Stahl. 2004.Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansadan Nusamedia: Bandung.
Husein Sastranegara. 1997. Konflik Pertanahan. CV.Muliasari: Jakarta.
Iskandar Mudakir. 2010. Pembebasan Tanah Untuk PembangunanKepentingan Umum. Jala Permata Aksara: Jakarta.
Iman Soetiknjo. 1994. Politik Agraria Nasional. Gadja Mada UniversityPress: Yogyakarta.
Irawan Soeradjo. 2003. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia.Arkola: Jakarta.
Jarot Widya Muliawan. 2016. Cara Muda Pahami Pengadaan TanahUntuk Pembangunan. Buku Litera: Yogyakarta.
104
John Salindeho. 1988. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. SinarGrafika: Jakarta.
L.J. van Apeldorn. 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Xxx,PradnyaParamita: Jakarta.
Lili Rasyidi. 2010. Filsafat Hukum. Sinar Grafika: Jakarta.
Lili Rasjidi dan Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem.Remaja Rosdakarya: Bandung.
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,Citra Aditya BaktI: Bandung.
M. Rifqinizamy Karsayuda. 2013. Pembentukan Partai Politik Lokal diNegara Kesatuan Republik Indonesia Perspektif YuridisKonstitusional. Penerbit UB Press: Malang.
Maria SW. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi danImplementasi. Buku Kompas: Jakarta.
Muhammad Bakri. 2011. Pengantar Hukum Indonesia, Sistem HukumIndonesia pada Era Reformasi. Cetakan Pertama. Universitas BrawijayaPress: Malang.
Muhammad Erwin. 2011. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum.Rajawali Press: Jakarta.
Muhammad Sumaryono. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasidan Implementasi. Buku Kompas: Jakarta.
Muhadar. 2013. Korban Pembebasan Tanah Prespektif Viktimologis.Mahakarya Rengkang Offset: Yogyakarta.
Mukti Fajar Nurdewantara. 2010. Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Nanik Trihastuti. 2011. Hukum Kontrak Karya. Setara Press: Malang.
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong. 2004. Pengadaan Tanah UntukKepentingan Umum. Mitra Kebijakan Tanaha Indonesia:Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Kencana: Jakarta.
Philipus M. Hadjon. 1998. Tentang Wewenang Pemerintahan(bestuurbevoegdheid). Pro Justitia Nomor XVI.
105
Ridwan HR. 2002. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada:Jakarta.
Salim dan Erlies Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum padaPenelitian Tesis dan Desertasi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Siti Nurhayati. 2012. Metode Penelitian. PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif(Suatu Tinjauan Singkat). Rajawali Pers: Jakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto. 1991. Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu.Universitas Airlangga: Surabaya.
Soedaryono Soimin. 2004. Status Hak dan Pembebasan Tanah. SinarGrafika Offset: Jakarta.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1977.Beberapa Masalah PelaksanaanLembaga Jaminan Khususnya Fiducia Di dalam Praktik danPelaksanaannya di Indonesia. Fakultas Hukum UniversitasGajah Mada Bulak Sumur: Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum. Universitas Atma Jaya:Yogyakarta.
Supriadi. 2010. Hukum Agraria. PT.Sinar Grafika: Jakarta.
Suratman dan H. Philips Dillah. 2013.Metode Penelitian Hukum. Alfabeta:Bandung.
Suryaman Mustari Pide. 2009. Hukum Adat Dulu Kini dan Akan Datang.PT. Pelita Pustaka: Makassar.
Tolib Setiady. 1991. Hukum Tanah. Sinar Grafika Offset: Jakarta.
Umar Said Sugiharto. 2015. Hukum Pengadaan Tanah UntukKepentinganUmum Pra dan Pasca Reformasi. Setara Press: Malang.
W. Friedman. 1990. Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis danProblema Keadilan. diterjemahkan dari buku aslinya LegalTheory oleh Muhamad Arifin. Disunting oleh Achmad NasirBudiman dan Suleman Saqib Rajawali: Jakarta.
106
Karya Ilmiah
Donna Okthalia Setiabudhi. 2016. Urgensi Pengaturan Pengadaan TanahSkala Kecil untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum diKota Manado. Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi.Menado.
Imam Koeswahyono. 2011. Mengkritisi Rancangan Undang-UndangPengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan. JurnalHukum dan Pembangunan ISSN 0215 9687. Fakultas HukumUniversitas Indonesia: Jakarta.
Modul Diklat Pengadaan Tanah Pusdiklat Kementerian ATR/BPN. 2015.
Jarot Widya Mulyawan. 2014. Pengaturan Penguasaan Benda-BendaTetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda oleh Negarauntuk Kesejahteraan Rakyat. (Ringkasan Disertasi ProgramDoktor Fakultas Hukum Unuversitas Brawijaya: Malang).
Ronald Z.1993. Penetapan Asas Hukum Umum Dalam PenggunaanTanah.Disertasi PPS Universitas Airlangga: Surabaya.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentangKetentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentangPengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk KepentinganUmum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentangPendaftaran Tanah.
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagiPelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas
107
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang PengadaanTanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk KepentinganUmum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentangPenyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untukKepentingan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 TentangPerubahan Pertama Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagiPembangunan untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 148 Tahun 2015 TentangPerubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagiPembangunan untuk Kepentingan Umum.
INTERNET
https://www.kompasiana.com/herybekasi/pengadaan-tanah-untuk-kepentingan-umum_