good parenting and good marriage

Upload: nur-rahmat-wibowo

Post on 11-Jul-2015

341 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAKALAH DISKUSI TOPIK

GOOD PARENTING AND GOOD MARRIAGE

Disusun oleh:

NUR RAHMAT WIBOWO I11106029 KELOMPOK: VIII

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS TANJUNGPURA RUMAH SAKIT KHUSUS PROVINSI PONTIANAK

1

2010

BAB I PENDAHULUANKeluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Brown (1961: 76) yang mengatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak. Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola asuhan itu menurut Stewart dan Koch (1983: 178) terdiri dari tiga kecenderungan pola asuh orang tua yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Bonner 1953: 207). Faktor lingkungan sosial memiliki sumbangannya terhadap perkembangan tingkah laku individu (anak) ialah keluarga khususnya orang tua terutama pada masa awal (kanak-kanak) sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang tua cenderung menggunakan pola

asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku sosial tertentu pada anaknya. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Kohn (dalam Taty Krisnawaty, 1986: 46) menyatakan bahwa pola asuhan merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Melly Budiman (1986: 6) mengatakan bahwa keluarga yang dilandasi kasih sayang sangat penting bagi anak supaya anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang baik. Bila kasih sayang tersebut tidak ada, maka seringkali anak akan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, dan kesulitan ini akan mengakibatkan berbagai macam kelainan tingkah laku sebagai upaya kompensasi dari anak. Sebenarnya, setiap orang tua itu menyayangi anaknya, akan tetapi manifestasi dari rasa sayang itu berbeda-beda dalam penerapannya; perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan. Para ahli mengatakan bahwa pola asuh orangtua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orangtua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orangtuaanak ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa mendatang.

3

Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orangtua-anak termasuk emosi, reaksi dan sikap orangtua akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Jika hubungan dengan orangtuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memori dan terbawa pada kehidupan perkawinannya sendiri. Orang demikian, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orangtua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stres. Berarti, ada the unfinished business dari masa lalu yang terbawa hingga kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan perkawinan. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna perkawinan itu sendiri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Pengasuhan menurut Porwadarminta (dalam Amal, 2005) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud disini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat (dalam Amal, 2005) mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh adalah merupakan suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak kecil. Sedangkan pola asuh menurut Soetjiningsih (2004) adalah suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya. Dalam laporan Temu Ilmiah Sistem Kesejahteraan Anak Nasional, 1998 (dalam Garliah, 2003) pola asuh orang tua dirumuskan sebagai seperangkat sikap dan perilaku yang tertata, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya. Kohn, 1986 (dalam Tarmudji, 1991) mengatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Ukuran keluarga mempunyai pengaruh terhadap pola asuh keluarga dan hasil-hasil yang dicapai oleh anak. Keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga

5

kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Penelitian telah menghubungkan perbedaan ini dengan perkembangan intelektual dan penampilan prestasi di sekolah (Feiring dan Lewia, 1984). Pola asuh yaitu cara-cara atau bentuk pengasuhan anak, menurut Chabib Thoha (1997:109), bahwa pola asuh merupakan suatu cara yang terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada anak Khan dan Sulaieman (1997:116) menyatakan pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi antara lain cara orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah, dan hukuman dan cara orang tua. Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadapa anak agar dapat tumbuh kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial (Soekirman, 2000). Anak akan mengalami pertumbuhan secara alamiah dalam kehidupannya, walaupun demikian anak masih sangat tergantung pada keberadaan orang dewasa. Pola asuh akan sangat berpengaruh pada proses tumbuh kembangnya anak yang hidup dalam keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan yang selalu di bawah tekanan akan berada dalam perkembangannya. Pola pengasuhan anak dalam hal sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak memberikan makanan, merawat kebersihan, semuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik mental) status gizi, pendidikan umum keluarga dan masyarakat untuk pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat membagi kasih sayang dan sebagainya seibu atau pengasuhan anak.

2.1.2 Tipe Pola Asuh Orang tua Baumrind (1989), mengemukakan tiga pola asuh orang tua, yaitu : a. Pola Asuh Authoritarian (Otoriter) Pola asuh ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi dan orang tua memaksa anak untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Bila aturan-aturan ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak dengan hukuman yang biasanya bersifat fisik. Tapi bila anak patuh maka orang tua tidak memberikan hadiah karena sudah dianggap sewajarnya bila anak menuruti kehendak orang tua. Perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Dengan pola asuh seperti ini, anak diharuskan untuk berdisiplin karena semua keputusan dan peraturan ada di tangan orang tua. b. Pola Asuh Authoritative (Demokratis) Pola asuh demokratik ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Dengan pola asuhan ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif.

7

Menurut Shochib (dalam Yuniyati, 2003), orang tua menerapkan pola asuh demokratis dengan banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Pola asuh authoritative dihubungkan dengan tingkah laku anak-anak yang memperlihatkan emosional positif, sosial, dan pengembangan kognitif. c. Pola Asuh Permessive (Permisif) Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan dari orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Dengan pola asuh seperti ini, anak mendapatkan kebebasan sebanyak mungkin dari orang tua. Pola asuh permisif memuat hubungan antara anak-anak dan orang tua penuh dengan kasih sayang, tapi menjadikan anak agresif dan suka menurutkan kata hatinya. Secara lebih luas, kelemahan orang tua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dan tingkah laku agresif di luar lingkungan keluarga. Tipe pola asuh menurut Maccoby dan Martin, 1983 (dalam Parke dan Locke, 1999) terdiri dari empat tipe yaitu : authoritarian (otoriter), authoritative (demokratis), permissive dan uninvolved parenting (Neglectful), yaitu pola asuh dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula terlalu memedulikan kehidupan anaknya. Menurut Maccoby dan Martin, tipe pola asuh ini bercirikan orang tua yang secara aktif melupakan anak mereka dan dimotivasi untuk melakukan apapun yang dibutuhkan untuk meminimalkan biaya, dan usaha berinteraksi dengan anak. Dengan pola asuh seperti ini, akan menimbulkan

serangkaian dampak buruk. Diantaranya anak akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya control diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Tipe pola asuh menurut Hoffman, 1970 (dalam Garliah, 2003) terdiri dari tiga tipe yaitu : a. Induction (pola asuh bina kasih) Adalah suatu teknik disiplin dimana orang tua memberi penjelasan atau alas an mengapa anak harus mengubah perilakunya. Pada tipe pola asuh seperti ini dijumpai perilaku orang tua yang directive dan supportive tinggi. b. Power assertion (pola asuh unjuk rasa) Adalah perilaku orang tua tertentu yang menghasilkan tekanan-tekanan eksternal pada anak agar mereka berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku orang tua yang directive nya tinggi dan supportive rendah. c. Love withdrawal (pola asuh lepas kasih) Adalah pernyataan-pernyataan non fisik dari rasa dan sikap tidak setuju orang tua terhadap perilaku anak dengan implikasi tidak diberikannya lagi kasih saying sampai anak merubah perilakunya. Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku orang tua yang directive dan supportive rendah. Adapun ciri-ciri yang dapat membedakan ketiga pola asuh menurut Baumrind di atas adalah : 1. Pola asuh otoriter : a. Menurut Stewart dan Koch (1983: 203), orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: 1) kaku, 2) tegas, 3) suka menghukum, 4) kurang ada kasih sayang serta simpatik. 5) orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka,

9

serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. 6) orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. 7) hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. b. Menurut Walters (dalam Lindgren 1976: 306) ditemukan bahwa yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik. c. Menurut Sutari Imam Barnadib (1986: 24) dikatakan bahwa orang tua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya. d. Sedangkan menurut Sri Mulyani Martaniah (1964: 16) orang tua adalah : 1) orang tua amat berkuasa terhadap anak, 2) memegang kekuasaaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintah orangtua. 3) dengan berbagai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat. 2. Pola Asuh Demokratis Memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli dibawah ini: a. Baumrind & Black (dalam Hanna Wijaya, 1986: 80) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua yang demokratis akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. b. Stewart dan Koch (1983: 219) menyatakan ciri-cirinya adalah: 1) bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. 2) secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anakanaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. 3) mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan orang

menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anakanaknya. 4) dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. c. Menurut Hurlock (1976: 98) pola asuhan demokratik ditandai dengan ciriciri : 1) bahwa anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya, 2) anak diakui keberadaannya oleh orang tua, 3) anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan d. Sutari Imam Barnadib (1986: 31) mengatakan bahwa : 1) orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan anak, 2) dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya. e. Pola asuhan demokratik seperti dikemukakan oleh Bowerman Elder dan Elder (dalam Conger, 1975: 97) memungkinkan semua keputusan merupakan keputusan anak dan orang tua. 3. Pola Asuh Permisif Memiliki ciri-ciri seperti apa yang disampaikan oleh beberapa tokoh dibawa ini, yaitu : a. Stewart dan Koch (1983: 225) menyatakan bahwa : 1) orang tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. 2) anak dituntut atau sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. 3) anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya.

11

b. Menurut Spock (1982: 37) orang tua permisif memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin pada anak. c. Hurlock (1976: 107) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan : 1) adanya kontrol yang kurang, 2) orang tua bersikap longgar atau bebas, 3) bimbingan terhadap anak kurang. d. Sementara itu, Bowerman, Elder dan Elder (dalam Conger, 1975: 113) mengatakan, ciri pola asuh ini adalah semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang tuanya. e. Sutari Imam Bamadib (1986: 42) menyatakan bahwa orang tua yang permisif yaitu :, 1) kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, memenuhi keinginannya. Lewin, Lippit, dan White (dalam Gerungan, 1987: 57) mendapatkan keterangan bahwa kelompok anak laki-laki yang diberi tugas tertentu di bawah asuhan seorang pengasuh yang berpola demokratis tampak bahwa tingkah laku agresif yang timbul adalah dalam taraf sedang. Kalau pengasuh kelompok itu adalah seorang yang otoriter maka perilaku agresif mereka menjadi tinggi atau justru menjadi rendah. Hasil yang ditemukan oleh Lewin dkk tersebut diteruskan oleh Meuler (Gerungan, 1987: 84) dalam penelitiannya dengan menemukan hasil bahwa anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segala-galanya pada pengasuhnya. Watson (1967: 109), menemukan bahwa di samping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan dan mudah putus asa. Baldin (dalam Gerungan, 1987: 91) menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orang tua demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin otoriter orang tuanya makin 2) anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan

berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut. Jadi setiap pola asuh orang tua akan berpengaruh terhadap anak asuhannya dalam perilaku tertentu, misalnya terjadinya keagresifan pada anak.

13

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh a. Pendidikan Ibu Pendidikan merupakan alat di masyarakat untuk memperbaharui dirinya dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidupnya (Suharjo, 1999). b. Pengetahuan Ibu

Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan erat dengan pendidikan. Anak dan ibu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi akan memungkinkan akan mendapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh dengan baik (Kardyati dkk, 1987). Membesarkan anak yang sehat tidak cukup dengan naluri kasih sayang belaka, namun ibu perlu pengetahuan dan ketrampilan yang baik. Peningkatan pengetahuan serta kemampuan dalam mengasuh anak merupakan hal yang sangat penting dan harus diusahakan oleh para ibu dalam rangka membesarkan anak-anaknya (Nadesul, 1996). Pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidkan formal, namun juga informasi dimedia massa atau hasil dari pengalaman orang lain (Alex Sobur, 1981). c. Aktivitas ibu Kebutuhan wanita terhadap tugas dan di luar tugas sebagai ibu adalah berbedabeda. Ada beberapa wanita yang merasa bahagia dengan peran khususnya sebagai ibu rumah tangga. Baginya tidak ada hal yang menyenangkan dari pada masa-masa kecil dan remaja yang penuh kebahagiaan kepada anak-anaknya (Alex Sobur, 1991). Dewasa ini mungkin banyaknya ibu berperan ganda selain sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karier. Semua kitu guna menciptakan keadaan ekonomi keluarga yang lebih mapan tapi juga menimbulkan pengaruh terhadap hubungan dengan anggota keluarga terutama anaknya. Pada mulanya ibu bisa membagi waktu, namun lama kelamaan tugas makin menantang sehingga menantang sang ayah untuk ikut terjun mengasuh anaknya (Soelaeman, 1994). Apabila seorang ibu mendapat pekerjaan baik penuh atau paruh waktu maka orang yang paling cocok untuk menggantikan tugasnya adalah orang yang mengetahui kenbutuhan makan anaknya, mencintai dan harus sanggup dalam memeliharan dan mengasuhnya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengasuh anakanaknya dengan baik dan mencurahkan semua kasih sayangnya, macam dan menu makanan juga lebih diperhatikan sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kurang gizi pada anaknya (Nita Lestari, 1996).

15

d. Status Sosial Ekonomi Status ekonomi dalam pengasuhan anak dipengaruhi pola oleh gaya dan pengalaman yang dimiliki serta pengetahuan yang diterimanya. Status ekonomi keluarga pasangan muda dikalangan menengah dan bawah ibu lebih condong melakukan pengetahuan dengan yang lebih cocok menurut dirinya yaitu cenderung demokratis. 2.2 Pernikahan Satu hal yang sering kurang disadari oleh orang yang menikah adalah bahwa bersatunya dua pribadi bukanlah persoalan yang sederhana. Setiap orang punya sejarahnya sendiri-sendiri dan punya latar belakang yang jauh berbeda, entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya selama ini. Sebagaimana ditulis situs e-psikologi.com, pernikahan dapat diartikan secara sederhana sebagai persatuan dua pribadi yang berbeda. Konsekuensinya, akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Para ahli mengatakan bahwa pola asuh orangtua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orangtua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orangtuaanak ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa mendatang. 2.2.1 Kaitan Antara Gaya Pola Asuh dengan Pernikahan a. Hubungan Orangtua-anak Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orangtua-anak termasuk emosi, reaksi dan sikap orangtua akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Jika hubungan dengan orangtuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka

kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memori dan terbawa pada kehidupan perkawinannya sendiri. Orang demikian, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orangtua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stres. Berarti, ada the unfinished business dari masa lalu yang terbawa hingga kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan perkawinan. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna perkawinan itu sendiri. b. Sikap Penolakan Kurangnya perhatian orangtua yang konsisten, stabil dan tulus, sering menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orang tua. Namun, seringkali orangtua tetap tidak memberikan respons seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan orang lain. Pada saat menikah, bisa jadi seorang istri menikahi suaminya karena merindukan figur ayah yang melindungi dan mencurahkan perhatian dan kasih sayang seperti yang tidak pernah didapatnya dulu. Atau, bisa jadi seorang pria mencari wanita yang dapat menjadi substitusi dari ibunya dulu, yang sangat ia dambakan cinta dan perhatiannya. Masalahnya, anak yang tumbuh dengan kondisi deprivasi emosional (kurang terpenuhinya kebutuhan emosional), di masa dewasanya, cenderung mentransferkan kebutuhan akan perhatian, cinta, penghargaan, penerimaan dan rasa aman kepada pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk mensuplai kebutuhan emosional mereka yang tidak terpenuhi waktu kecil. Biasanya, orang demikian menjadi terlalu tergantung pada pasangannya, tidak mandiri, cari perhatian dan sangat manja.

17

c. Identifikasi Figur Seringkali tanpa sadar seseorang mencari pasangan yang seperti ibunya atau ayahnya. Mereka mengharapkan agar pasangannya memperlakukan dia seperti perlakuan ayah atau ibu terhadapnya. Harapan tersebut pada dasarnya tidaklah realistis dan sering mendatangkan persoalan yang besar. Ucapan "saya bukanlah ayah/ibumu, jadi berhentilah berharap saya akan menjadi seperti dia!" merupakan cermin adanya tuntutan dan keinginan seseorang untuk menjadikan pasangannya seperti ayah/ibunya. d. Ketergantungan Berlebih Kelekatan yang berlebihan dan tidak sehat terhadap salah satu orangtua (biasanya terhadap orangtua lawan jenis) di masa kanak-kanak, jika tidak berubah/mengalami perkembangan dan jika setelah menikah masih tetap lengket dengan orangtuanya, maka hal ini akan menimbulkan persoalan besar dengan pasangan. Pasangan akan merasa diabaikan dan disingkirkan, sehingga timbul perasaan marah, kesal, iri, cemburu serta emosi negatif lainnya. Ketergantungan ini sering membuat pasangan jengkel karena hal-hal kecil sekali pun ditanyakan kepada orangtua dan tergantung pada respons atau pilihan orangtua. Tentu saja pasangan merasa tidak dihargai karena selalu berada di bawah bayang-bayang mertuanya. Pasangan merasa posisinya hanya sebagai pelengkap yang tidak signifikan dalam menentukan arah kehidupan keluarga.

2.2.2 Kenali Diri Sendiri Melihat hal-hal di atas, maka amatlah disarankan bagi mereka yang akan menikah, untuk benar-benar mempelajari dinamika yang terjadi pada diri sendiri, kepribadian diri, sifat, karakter, kecenderungan positif maupun negatif, motivasi dalam mencari suami/istri, prioritas dan kebutuhan dalam hidup. Pelajarilah hubungan antara diri sendiri dengan orangtua dan temukan manakah dari hubungan dengan orangtua yang tidak ingin diulangi/terulang dalam kehidupan

perkawinan di masa mendatang. Pelajari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang tanpa sadar dilakukan orangtua di masa lalu, baik dalam memelihara kehidupan perkawinan, maupun dalam mengasuh dan membesarkan anak. Seringkali orang baru menyadari setelah bertahun-tahun, bahwa ternyata kehidupan perkawinannya hampir sama dengan kehidupan perkawinan orangtuanya. Dan, pasangan yang dipilih, punyai kesamaan karakteristik dengan salah satu figur orangtuanya. Jika hal ini berakibat positif tentunya tidak menjadi masalah. Namun, yang lebih sering terjadi justru sebaliknya. Bagi Anda yang akan maupun sudah menikah, mempelajari dan meneliti diri sendiri memang lebih sulit dari meneliti orang lain. Namun, jika sudah mampu melihat kenyataan diri, maka orang akan lebih mampu bersikap bijaksana terhadap orang lain, termasuk pada pasangan. Ia akan melihat, mengapa dan bagaimana keadaan internal dalam dirinya bisa berpengaruh terhadap pasangan dan terhadap hubungan antara keduanya. Jadi, jika terjadi masalah, tidak langsung menyalahkan pasangan, melainkan introspeksi ke dalam dulu. Jika seseorang merasa pasangannya kurang memperhatikan, cobalah telaah, apakah keadaan itu real atau cermin dari adanya kebutuhan dan kehausan akan perhatian? Apakah ada bentuk ketergantungan yang bersifat kekanak-kanakan, yang diharapkan dapat dipenuhi oleh pasangan? Apakah tuntutan yang ada realistis atau karena merasa ketakutan dan tidak aman terhadap hubungan itu sendiri? Melalui mekanisme tersebut, maka sebuah perkawinan dapat bertumbuh dengan lebih sehat karena kedua belah pihak mau melepaskan diri dari masa lalu dan belajar dari kesalahan untuk membangun kehidupan dan keluarga yang harmoni.

BAB III KESIMPULANPola asuh orang tua sangat mempengaruhi setiap kepribadian yang telah terbentuk. Segala gaya atau model pengasuhan orang tua akan membentuk suatu kepribadian yang berbeda-beda sesuai apa yang telah diajarkan oleh orang tua. Orang tua merupakan lingkungan pertama bagi anak yang sangat berperan penting19

dalam setiap perkembangan anak khususnya perkembangan kepribadian anak. Oleh karena itu, diperlukan cara yang tepat untuk mengasuh anak sehingga terbentuklah suatu kepribadian anak yang diharapkan oleh orang tua sebagai harapan masa depan. Pola asuh yang baik untuk pembentukan kepribadian anak adalah pola asuh orang tua yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi dengan pengawasan dan pengendalian orang tua. Sehingga terbentuklah karakteristik anak yang dapat mengontrol diri, anak yang mandiri, mempunyai hubungan yang baik dengan teman, mampu menghadapi stres dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru. Sikap orang tua yang dapat mendukung dalam pembentukan kepribadian anak antara lain: penanaman pekerti sejak dini, mendisiplinkan anak, menyayangi anak secara wajar, menghindari pemberian label malas pada anak, dan berhatihati dalam menghukum anak. Strategi dalam pembentukan kepribadian anak diantaranya adalah tekankan segi positif, jaga agar peraturan tetap sederhana, bersikap proaktif, mengarahkan kembali perilaku yang salah, mengatasi transisi, negosiasi dan kompromi, jangan membuat alasan, dan hindari kontrol lewat rasa bersalah. Dalam cara pengasuhan orang tua yang bekerja dan orang tua yang tidak bekerja berbeda. Begitu pula dengan gaya pengasuhan orang tua yang mempunyai pendidikan yang tinggi dan orang tua yang mempunyai pendidikan yang rendah. Dan juga pola asuh orang tua yang tingkat perekonomian menengah keatas dan orang tua yang perekonomiannya menengah kebawah. Masing-masing pola asuh yang telah diberikan orang tua mempunyai pengaruh yang besar tehadap pembentukan kepribadian anak. Pola asuh orangtua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orangtua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orangtua-anak ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Baumrind, D. (197l). Current patterns of parental authority. Developmental Psychology Monograph, 4 (1, Pt. 2). Baumrind, D. (1978). Parental disciplinary patterns and social competence in children. Youth and Society, 9, 239-276. Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence21

and substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95. Bimowalgito. 1993. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Ofset. Bornstein, M. H. (Ed.). (2002). Handbook of Parenting: Practical Issues in Parenting (2nd ed., Vol. 5). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Danny. I. Yatin. (1986). Kepribadian keluarga dan Narkotika Jakarta : Ancan Elizabeth, B. Hurlock. (1994). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Anggota IKAPI. Handbook of child psychology: Vol. 4. Socialization, personality, and social development (4th ed., pp. 1-101). New York: Wiley. Hurlock, Elizabeth. B. (1999). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga Lamborn, S. D., Mounts, N. S., Steinberg, L., & Dornbusch, S. M. (1991). Patterns of competence and adjustment among adolescents from authoritative, authoritarian, indulgent, and neglectful families. Child Development, 62,1049-1065. Maccoby, E. E., & Martin, J. A. (1983). Socialization in the context of the family: Parentchild interaction. In P. H. Mussen (Ed.) & E. M. Hetherington (Vol. Ed.), Mangoenprasodjo, A. Setiono. (2004). pengasuhan anak diera internet. Jogjakarta: Thinfresh. Martaniah, Mulyani. (1964). Peranan orang tua dalam perkembangan Kepribadian. Neill, A.S. (1960). Summerhill: A Radical Approach to Child Rearing. New York : Hart Publishing. Poerwadarminta, W.J.S. (1976). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Ratnawati, Sintha. (2000). Keluarga, Kunci Sukses Anak. Jakarta: Kompas Severe, Bambang, dan Nurani yuliani Sujiono. (2005). Mencerdaskan Anak Usia Dini. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia Solaiman .(1997). Pola Asuh Orang Tua: Gramed

Sujiono, Sal. (2003). Bagaimana Bersikap pada Anak agar Anak Prasekolah Anda Bersikap Baik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

23