gaduhan rakyat

9
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013 259 POLA BUDIDAYA DAN GADUHAN USAHA SAPI POTONG DI KAWASAN PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG (Production and Sharing Patterns of Cattle Farming Under Smallholder Estate in Lampung Province) Broto Wibowo, Sumanto Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT A study to describe development of production and sharing patterns of cattle farming under smallholder estate was carried out in May 2013. This study was done at three groups of cattle farmers in the smallholder estate, i.e. Tani Sentosa in the Sub District of Meraksa Aji, Tani Makmur in the Sub District of Banjar Margo in Tulang Bawang District, and Wahana Makmur II in the District of Candipura, District of South Lampung. A survey method was used by interviewing farmers as members of the group, guided by questionnaires, mainly contained elements of production and sharing pattern. Potential of smallholder estate landarea reached 159,792 ha, that could carried around 79,896 heads of cattle, while approximately 662,880 heads were integrated into other land, such ascropland, otherestates, yard and forest. Intensive cattle raising in the barn would limit cattle size scale (1-3 heads/farmer), compared to the one on ranched, where every farmer was able to handle up to 20 head. Cattle sharing pattern has been long occurred in farmer groups and it considered appropriate to be applied for cattle development in the rural. Key Words: Production, Sharing Pattern, Cattle, Smallholder Estate ABSTRAK Suatu penelitian untuk mengetahui pengembangan sapi potong di kawasan perkebunan rakyat di Lampung berdasarkan pola budidaya dan gaduhan telah dilaksanakan pada bulan Mei 2013.Hal ini dilakukan pada tiga kelompok peternak sapi potong yaitu kelompok peternak Tani Sentosa di Kecamatan Meraksa Aji dan kelompok peternak Tani Makmur di Kecamatan Banjar Margo masing-masing di Kabupaten Tulang Bawang, serta kelompok peternak Wahana Makmur 11 di Kecamatan Candipuro di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung.Metode survei diterapkan dengan melakukan wawancara berdasarkan pertanyaan terstruktur meliputi parameter pola budidaya dan pola gaduhan. Potensi lahan sawit seluas 159.792 ha, dapat menampung sapi potong sebanyak 79.896 ekor, dimana sekitar 662.880 ekor lainnya terintegrasi dengan lahan tanaman pangan, perkebunan lainnya, pekarangan dan hutan. Pola pemeliharaan sapi dikandangkan akan membatasi skala penguasaan sapi (1-3 ekor/peternak), bila dibandingkan dengan pola gembala dimana setiap peternak mampu menguasai hingga 20 ekor. Pola gaduhan sapi sudah lama terjadi di kelompok peternak dan sudah sesuai diterapkan untuk tujuan pengembangan sapi di perdesaan. Kata Kunci: Produksi, Pola Gaduhan, Sapi, Perkebunan Sawit Rakyat PENDAHULUAN Pengembangan sapi lokal dan pemanfaatan sapi bakalan impor yang terintegrasi pada sentra-sentra lokasi spesifik (lahan tanaman pangan dan perkebunan) telah memberikan tambahan kegiatan bagi ratusan ribu peternak dan pelaku lainnya di beberapa tempat di Indonesia. Kegiatan ini tidak terlepas dari adanya peran kerjasama dari pihak pemerintah, swasta dan kelompok peternak untuk peningkatan populasi dan produksi sapi potong untuk mewujudkan program swasembada daging sapi 2014. Pola budidaya sapi di Indonesia masih beragam, mulai dari pola ternak yang digembalakan, sampai kepada pola ternak intensif dengan pakan yang berfluktuasi dan terbatas sampai pakan bermutu dan berlimpah.Ketersediaan pakan yang terbatas sering dijumpai pada usaha ruminansia dari sebagian besar peternak dengan skala usaha per

Upload: mahsus-bme-spg

Post on 08-Nov-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

analisis keuangan pola gaduhan

TRANSCRIPT

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013

    259

    POLA BUDIDAYA DAN GADUHAN USAHA SAPI POTONG

    DI KAWASAN PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT DI

    PROVINSI LAMPUNG

    (Production and Sharing Patterns of Cattle Farming

    Under Smallholder Estate in Lampung Province)

    Broto Wibowo, Sumanto

    Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

    ABSTRACT

    A study to describe development of production and sharing patterns of cattle farming under smallholder

    estate was carried out in May 2013. This study was done at three groups of cattle farmers in the smallholder

    estate, i.e. Tani Sentosa in the Sub District of Meraksa Aji, Tani Makmur in the Sub District of Banjar Margo

    in Tulang Bawang District, and Wahana Makmur II in the District of Candipura, District of South Lampung.

    A survey method was used by interviewing farmers as members of the group, guided by questionnaires,

    mainly contained elements of production and sharing pattern. Potential of smallholder estate landarea reached

    159,792 ha, that could carried around 79,896 heads of cattle, while approximately 662,880 heads were

    integrated into other land, such ascropland, otherestates, yard and forest. Intensive cattle raising in the barn

    would limit cattle size scale (1-3 heads/farmer), compared to the one on ranched, where every farmer was

    able to handle up to 20 head. Cattle sharing pattern has been long occurred in farmer groups and it considered

    appropriate to be applied for cattle development in the rural.

    Key Words: Production, Sharing Pattern, Cattle, Smallholder Estate

    ABSTRAK

    Suatu penelitian untuk mengetahui pengembangan sapi potong di kawasan perkebunan rakyat di

    Lampung berdasarkan pola budidaya dan gaduhan telah dilaksanakan pada bulan Mei 2013.Hal ini dilakukan

    pada tiga kelompok peternak sapi potong yaitu kelompok peternak Tani Sentosa di Kecamatan Meraksa Aji

    dan kelompok peternak Tani Makmur di Kecamatan Banjar Margo masing-masing di Kabupaten Tulang

    Bawang, serta kelompok peternak Wahana Makmur 11 di Kecamatan Candipuro di Kabupaten Lampung

    Selatan Provinsi Lampung.Metode survei diterapkan dengan melakukan wawancara berdasarkan pertanyaan

    terstruktur meliputi parameter pola budidaya dan pola gaduhan. Potensi lahan sawit seluas 159.792 ha, dapat

    menampung sapi potong sebanyak 79.896 ekor, dimana sekitar 662.880 ekor lainnya terintegrasi dengan

    lahan tanaman pangan, perkebunan lainnya, pekarangan dan hutan. Pola pemeliharaan sapi dikandangkan

    akan membatasi skala penguasaan sapi (1-3 ekor/peternak), bila dibandingkan dengan pola gembala dimana

    setiap peternak mampu menguasai hingga 20 ekor. Pola gaduhan sapi sudah lama terjadi di kelompok

    peternak dan sudah sesuai diterapkan untuk tujuan pengembangan sapi di perdesaan.

    Kata Kunci: Produksi, Pola Gaduhan, Sapi, Perkebunan Sawit Rakyat

    PENDAHULUAN

    Pengembangan sapi lokal dan pemanfaatan

    sapi bakalan impor yang terintegrasi pada

    sentra-sentra lokasi spesifik (lahan tanaman

    pangan dan perkebunan) telah memberikan

    tambahan kegiatan bagi ratusan ribu peternak

    dan pelaku lainnya di beberapa tempat di

    Indonesia. Kegiatan ini tidak terlepas dari

    adanya peran kerjasama dari pihak pemerintah,

    swasta dan kelompok peternak untuk

    peningkatan populasi dan produksi sapi potong

    untuk mewujudkan program swasembada

    daging sapi 2014.

    Pola budidaya sapi di Indonesia masih

    beragam, mulai dari pola ternak yang

    digembalakan, sampai kepada pola ternak

    intensif dengan pakan yang berfluktuasi dan

    terbatas sampai pakan bermutu dan

    berlimpah.Ketersediaan pakan yang terbatas

    sering dijumpai pada usaha ruminansia dari

    sebagian besar peternak dengan skala usaha per

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013

    260

    rumahtangga yang rendah (2-3

    ekor/KK).Kondisi pakan yang kurang baik

    dalam waktu lama dapat mengakibatkan

    kinerja ternak ruminansia menjadi kurang baik

    pula, meliputi aspek pemuliaan, reproduksi,

    produksi, pendapatan dan sosial peternak.

    Pola pengembangan sapi potong, yang

    semula merupakan inisiasi pemerintah dan

    masyarakat hanya sebagai obyek kini telah

    berganti menjadi pola partisipasi. Bahkan hal

    ini berkembang dengan harapan menjadi pola

    emansipasi dimana pemerintah dan masyarakat

    bekerjasama dan masyarakat diberdayakan

    yang diarahkan sebagai subyek (Labsosio UI,

    2006), sehingga pemerintah hanya sebagai

    fasilitator. Model kerjasama kemitraan untuk

    penyebaran sapi di berbagai wilayah adalah

    cara guliran atau cara bagi hasil yang besar

    porsinya disesuaikan dengan kesepakatan

    bersama antara pemodal dan penerima modal.

    Sistem guliran sapi adalah dalam 5 tahun

    penerima modal akan menggembalikan

    sejumlah sapi yang diterima kepada pemodal.

    Porsi bagi hasil adalah dapat berupa 50 : 50,

    60 : 40, dan 70 : 30 (Sumanto et al. 2012),

    disesuaikan dengan kesepakatan bersama.

    Tujuan penulisan makalah ini untuk

    mendeskripsikan sejauh mana perkembangan

    pola gaduhan dalam pengembangan sapi

    potong di lahan perkebunan sawit rakyat.

    MATERI DAN METODE

    Telah diilakukan kajian pola budidaya dan

    gaduhan sapi potong pada bulan Mei 2013,

    berlokasi di kawasan perkebunan sawit rakyat

    di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten

    Tulang Bawang di Provinsi Lampung. Hasil

    konsultasi dengan dinas terkait (Peternakan

    dan Perkebunan), telah dipilih 3 lokasi

    kelompok peternak sapi potong di kawasan

    perkebunan sawit yaitu kelompok peternak

    Tani Sentosa di Kecamatan Meraksa Aji dan

    kelompok peternak Tani Makmur di

    Kecamatan Banjar Margo masing-masing di

    Kabupaten Tulang Bawang, serta kelompok

    peternak Wahana Makmur 11 di Kecamatan

    Candipuro di Kabupaten Lampung Selatan.

    Metode penelitian survei diterapkan dengan

    melakukan wawancara kepada masing-masing

    kelompok sebanyak 15 responden peternak

    sapi dengan menggunakan kuisioner

    terstruktur. Data yang dikumpulkan berupa

    data primer (hasil wawancara) yang meliputi

    data teknis budidaya dan data sosial ekonomi,

    sedangkan data sekunder diperoleh dari

    informasi langsung maupun hasil laporan dari

    instansi terkait.Data yang telah terkumpul

    dilakukan tabulasi dan diolah secara diskriptif.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Profil dan potensi lahan sawit

    Provinsi Lampung terdiri dari 13 kabupaten

    dan 2 kotamdaya, dengan luas wilayah adalah

    3.528.835 ha. Luas wilayah Kabupaten

    Lampung Barat merupakan kabupaten terluas

    (495.040 ha), sedangkan wilayah terkecil

    adalah Kota Metro (6.179 ha) Tabel 1.Dilihat

    dari penggunaan lahan di Provinsi Lampung

    bahwa presentase luas lahan perkebunan

    sekitar 22,9% dari luas total Provinsi Lampung

    Tabel 2.

    Tabel 2 memperlihatkan bahwa luas lahan

    hutan, perkebunan dan tanaman pangan cukup

    dominan dan berpotensi sebagai sumber pakan

    hijauan yang dapat dimanfaatkan untuk ternak

    ruminansia, khususnya sapi potong.Kajian ini

    diarahkan untuk melihat budidaya dan

    pengembangan sapi potong yang

    memanfaatkan biomassa di lahan sawit rakyat.

    Dari luas lahan perkebunan sebanyak

    808.979 ha, luas lahan kelapa sawit hanya

    159.792 ha dan untuk lahan kopi (161.287 ha),

    karet (119.839 ha), kelapa dalam (126.129 ha),

    tebu (113.847 ha), lada (63.902 ha), kakao

    (49.943 ha) dan sisanya untuk tanaman

    cengkih, tembakau dan lain-lain. Kepemilikan

    lahan kelapa sawit terbagi menjadi 3 bagian

    besar, yaitu: lahan sawit negara (PTPN),

    swasta dan rakyat. Dilihat dari luas lahan

    kelapa sawit sebesar 159.792 ha, dimana lahan

    tersebut yang diusahakan oleh negara dan

    swasta sebesar 77.185 ha, serta perkebunan

    rakyat sekitar 82.607 ha.Pemeliharaan sapi

    potong banyak diusahakan pada lahan sawit

    rakyat yang umumnya digunakan sebagai lahan

    pengembalaan sapi.Apabila diasumsikan

    bahwa dalam 2 ha lahan sawit dapat

    dimanfaatkan untuk 1 ekor sapi potong per

    tahun, maka terdapat potensi lahan sawit untuk

    dapat menampung sebanyak 79.896 ekor sapi.

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013

    261

    Tabel 1. Nama dan luas Provinsi Lampung menurut kabupaten tahun 2011

    Kabupaten/kota Luas (ha) Jumlah kecamatan Jumlah desa/kelurahan

    Lampung Barat 495.040 25 254

    Tanggamus 273.161 20 278

    Lampung Selatan 200.701 17 251

    Lampung Timur 433.789 24 257

    Lampung Tengah 478.982 28 307

    Lampung Utara 272.563 23 247

    Way Kanan 392.163 14 210

    Tulang Bawang 438.584 15 151

    Pesawaran 117.377 7 133

    Pringsewu 62.500 8 101

    Mesuji 218.400 7 75

    Tulang Bawang Barat 120.100 8 79

    Kota

    Bandar Lampung 19.296 13 98

    Metro 6.179 5 22

    Jumlah 3.528.835 214 2.463

    Sumber: Lampung dalam angka 2012

    Tabel 2. Pengunaan lahan

    Jenis penggunaan lahan Luas (ha) %

    Tanaman pangan 450.881 12,8

    Perkebunan 808.979 22,9

    Hutan 1.006.892 28,5

    Pekarangan 817.378 23,2

    Tidak digunakan 213.916 6,1

    Lainnya 230.789 6,5

    Total 3.528.835 100,0

    Sumber: Lampung dalam angka 2009, 2012 (diolah)

    Dilihat sebaran luas lahan sawit rakyat di

    Provinsi Lampung yang terbanyak adalah di

    Kabupaten Mesuji (22,342 ha), kemudian

    menyusul Kabupaten Wai Kanan (15.115 ha),

    Lampung Tengah (10,537 ha) dan Tulang

    Bawang (9.656 ha) Tabel 3.Melihat populasi

    sapi potong di Provinsi Lampung sebanyak

    742.776 ekor, maka potensi pakan di lahan

    sawit tampaknya belum dapat mencukupi

    kebutuhan pakan hijauan dari populasi sapi

    tersebut. Oleh karena itu, kekurangan pakan

    dapat dipenuhi oleh pakan hijauan dari sumber

    lain, seperti dari lahan pekarangan, tanaman

    pangan, perkebunan lainnya, dan lahan hutan.

    Profil kelompok peternak sapi potong

    Hasil survei terhadap profil kelopmpok

    peternak di ketiga lokasi terpilih di Lampung,

    disajikan pada Tabel 4.

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013

    262

    Tabel 3. Luas lahan sawit rakyat di Provinsi Lampung 2011

    Kabupaten/Kota Luas (ha) %

    Lampung barat 2.745 3,3

    Tanggamus - 0,0

    Lampung Selatan 4.015 4,9

    Lampung Timur 2.382 2,9

    LampungTengah 10.537 12,8

    Lampung Utara 8.816 10,7

    Way Kanan 15.115 18,3

    Tulang Bawang 9.565 11,6

    Pesawaran 511 0,6

    Pringsewu 770 0,9

    Mesuji 22.342 27,0

    Tulangbawang Barat 5.785 7,0

    Bandar Lamp 24 0,0

    Metro - 0,0

    Total 82.607 100,0

    Sumber: Lampung dalam angka 2012

    Tabel 4. Profil kelompok peternak sapi potong di tiga kawasan sawit rakyat

    Uraian Lokasi kawasan sawit

    Desa Marga Jaya Agung Jaya Sinar Palembang

    Kecamatan Meraksa Aji Banjar Margo Candipuro

    Kabupaten Tulang Bawang Tulang Bawang Lampung Selatan

    Luas kebun sawit (ha) 6.000 10.000 825

    Pemilik lahan sawit Sumber indah perkasa PT. Bangun Nusa Indah

    Lampung

    Rakyat

    Kemitraan lahan sawit Inti-plasma Inti-plasma Rakyat

    Kelompok peternak Tani Sentosa Tani Makmur Wahana Makmur 11

    Jumlah anggota (orang) 30 25 30

    Usaha utama Pekebun sawit Pekebun sawit Pekebun sawit

    Bangsa sapi Bali Bali Bali dan PO

    Pemeliharaan sapi Gembala Gembala Kandang

    Tujuan pemeliharaan Penghasil anak Penghasil anak Penghasil Anak

    Skala

    pemilikan(ekor/orang)

    25 1-3

    Bentuk gaduhan Bagi hasil Bagi hasil Perguliran

    (kelompok)

    Status usaha sapi Sampingan Sampingan Sampingan

    Kerjasama dengan

    instansi

    Dinas peternakan Dinas peternakan Dinas perkebunan

    Teknologi IB Tidak ada IB, APO, kompos

    Pemasaran sapi Pedagang desa Pedagang desa Pedagang desa

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    263

    Umur anggota peternak

    Anggota kelompok peternak pada ketiga

    lokasi mempunyai umur rata-rata 39,5 tahun,

    dinyatakan masih dalam kategori usia

    produktif. Berdasarkan sebaran umur pada

    masing-masing kelompok adalah: Kelompok

    Tani Sentosa umur

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    264

    persentase karkas yang baik, serta mudah

    dijual. Ratnawati dan Afandhy (2010)

    menyatakan bahwa sapi Bali merupakan sapi

    asli Indonesia yang mempunyai keunggulan

    dibandingkan dengan sapi potong lainnya,

    yaitu tingkat reproduktivitas dan kesuburan

    (fertilitas) yang tinggi serta mampu beradaptasi

    dan berkembang dibeberapa wilayah di

    Indonesia. Selanjutnya Hafid dan Rugayah

    (2010) menyatakan bahwa rata-rata persentase

    karkas sapi Bali adalah 53-56% dengan bagian

    paha depan 21-22%, paha belakang 33-37%,

    bagian leher, dada dan punggung 40-41%

    dengan perut 4%.

    Pengalaman beternak sapi

    Pada umumnya masyarakat desa Marga

    Jaya dan khususnya anggota kelompok tani

    Sentosa mempunyai pengalaman beternak sapi

    antara 2-5 tahun mencapai 62,5%, sedangkan

    yang mempunyai pengalaman antara 6-10

    tahun sebanyak 37,5%. Berdasarkan

    pengalaman tersebut maka anggota peternak

    umumnya masih belum memahami tatalaksana

    pemeliharaan yang benar, seperti halnya aspek

    pemberian pakan yang belum memperhatikan

    terhadap kuantitas dan kualitas pakan yang

    memenuhi syarat hidup dan produksi ternak,

    penanganan pada masa pra sapih dan

    berproduksi, pengelolaan kandang yang bersih,

    maupun pengelolaan limbah kandang.

    Status usaha sapi

    Pada ketiga lokasi diperoleh informasi

    bahwa pemeliharaan sapi merupakan usaha

    sampingan, karena usaha pokok adalah

    usaha/buruh sawit. Usaha budidaya ternak sapi

    merupakan usaha sambilan, sehingga perhatian

    terhadap pemeliharaan ternak tidak optimal.

    Apabila peternak pada waktu yang bersamaan

    ternyata harus melakukan kegiatan lain

    (mengolah lahan), maka peternak akan

    memprioritaskan waktu dan tenaganya untuk

    mengolah lahan. Sisa waktu yang ada baru

    untuk usaha budidaya sapi. Mubyarto (1979)

    menyatakan bahwa pertanian rakyat atau

    pertanian dalam arti sempit pada umumnya

    diusahakan dengan tujuan utama memenuhi

    kebutuhan kehidupan (subsistensi) petani dan

    keluarganya. Secara ekonomis dapat dikatakan

    bahwa hasilnya sebagian besar untuk

    memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, dan

    faktor-faktor produksi atau modal yang

    dipergunakannya sebagian besar berasal dari

    dalam usahatani sendiri.

    Budidaya sapi potong di kawasan

    perkebunan sawit rakyat

    Pola pemeliharaan

    Pola pemeliharaan sapi potong di tiga

    lokasi berbeda, dimana masing-masing lokasi

    mempunyai ciri spesifik dalam cara

    pengelolaan, walaupun dengan sistem yang

    sama, yaitu sapi digembalakan di lahan sawit

    rakyat. Uraian singkat untuk masing-masing

    lokasi adalah sebagai berikut:

    Lokasi kelompok Tani Santosa,

    Desa Marga Jaya

    Secara rutin peternak memelihara sapi

    digembalakan didalam kebun sawit milik

    sebuah perusahaan.Waktu penggembalaan sapi

    dimulai jam 8 pagi menuju areal sawit

    danpeternak mengawasi sapi dalam kebun

    menjelang jam 15 sore, sekaligus mengawali

    untuk mengarahkan sapi menuju rumah

    pemilik. Selama penggembalaan ini sapi

    memperoleh pakan dengan cara merenggut

    rerumputan yang tumbuh di area kebun sawit

    dan sesekali merenggut daun sawit yang

    terjangkau. Beberapa sapi induk yang

    digembala diberi tali tambang dengan panjang

    sekitar 15 meter, yang berfungsi untuk

    pengontrolan jarak jelajah sapi dan

    memudahkan penanganan sapi.

    Peternak membangun kandang sederhana di

    pekarangan rumah untuk menampung sapi

    pada malam hari. Sapi berada di dalam

    kandang dari sore hingga pagi hari, dimana

    peternak tidak melakukan pemberian pakan.

    Pakan sapi mengandalkan hasil penggembalaan

    dari pagi hingga sore hari, dengan rata-rata

    lama penggembalan sekitar 7 jam setiap hari.

    Pemeliharaan dengan pola ekstensif ini skala

    pemilikan mencapai 15 ekor per peternak

    dengan berbagai umur ternak.

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    265

    Lokasi kelompok Tani Makmur, Desa Agung

    Jaya

    Pemeliharaan dengan sistim ekstensif, yaitu

    ternak sapi digembala di dalam kebun sawit

    sepanjang hari dan malam, dimana peternak

    hanya sesekali menengok sapi yaitu pada jam 8

    pagidan jam 17 sore. Menengok ternak sapi

    mempunyai makna untuk melakukan

    pengontrolan sapi dalam kaitannya dengan

    daya jelajah sapi, dan untuk mengawasi sapi

    agar terbebas dari hal-hal yang tidak

    diinginkan (termakan obat-obatan yang

    diberikan di kebun sawit). Peternak melakukan

    kontrol pada jam 8 dan jam 5 sore karena sapi

    sedang mencari pakan hijauan sehingga mudah

    ditemukan. Sapi sulit ditemukan pada siang

    hari, karena pada umumnya sedang

    beristirahat.

    Peternak sesekali mengarahkan sapinya

    menuju ke rumah pemilik, yang umumnya

    dilakukan setiap 15 hari sekali, sehingga dalam

    1 bulan terjadi 2 kali pemulangan sapi. Hal ini

    ditujukan untuk dapat menghitung jumlah dan

    kondisi ternak. Dalam masa ini, sapi berada di

    rumah (pekarangan) dalam waktu semalam,

    karena pada pagi harinya sudah digembalakan

    lagi. Jarak dari batas pemukiman ke lahan

    sawit paling dekat adalah 3 km, sedangkan

    jangkauan jelajah untuk sapi masuk ke dalam

    kebun selama 15 hari dalam kebun sawit dapat

    mencapai radius 16 km. Pada pola

    pemeliharaan ekstensif seperti ini, maka

    jumlah pemilikan sapi dapat mencapai 26 ekor

    per peternak.

    Lokasi kelompok Wahana Makmur II,

    Desa Sinar Palembang

    Pola pemeliharaan sapi bersifat intensif,

    dimana sapi berada di dalam kandang

    sepanjang hari. Peternak mengupayakan untuk

    memenuhi kebutuhan hidup sapi dalam hal

    pakan, kesehatan dan reproduksi. Kegiatan

    mencari pakan dilakukan dengan cara mengarit

    di berbagai lahan. Pola intensifikasi pada sapi

    mempunyai konsekuensi terhadap tingginya

    tenaga kerja yang dicurahkan, utamanya untuk

    mencari pakan. Setiap petani memerlukan

    waktu 2-3 jam untuk mencari rumput dalam

    sehari.

    Pada tahun 2011, peternak memperoleh

    bantuan berupa ternak sapi Bali. Paket bantuan

    terdiri dari berbagai komponen, antara lain; 35

    ekor sapi Bali (32 betina + 3 jantan), bangunan

    dan alat pengolah pupuk, alat pencacah

    pelepah sawit, dan kandang ternak. Pada bulan

    Mei tahun 2013, telah beranak 10 ekor dari 10

    induk. Pada pola pemeliharaan yang intensif

    ini, skala pemilikan menjadi sangat terbatas,

    yaitu 1-3 ekor perpeternak.

    Kinerja reproduksi ternak sapi

    Pada ketiga lokasi, jarak beranak sapi Bali

    berkisar antara 12 bulan, khususnya pada

    lokasi kelompok Tani Santosa dan Tani

    Makmur, sedangkan pada lokasi Wahana

    Makmnur II baru sebagian yang melahirkan

    pertama. Ratnawati dan Afandhy (2010)

    menyatakan bahwa performans reproduksi

    induk sapi Bali sebelum dan sesudah dilakukan

    sinkronisasi, service perconseption (1,1 vs

    1,0), conception rate (%) (87,5% vs 93,8 %),

    calving interval (bulan) (451,2 vs 369,5).

    Sinkronisasi ovulasi dengan hormon GnR H

    dan PGF2alfa pada induk sapi Bali lebih

    efektif dari pada sinkronisasi estrus dengan

    hormon prostaglandin.

    Pola gaduhan sapi potong

    Pola gaduhan telah sejak lama dilakukan

    dalam usaha untuk pengembangan sapi baik

    oleh perseorangan maupun oleh pemerintah

    atau swasta. Pola gaduhan diartikan sebagai

    usaha yang dilakukan oleh dua belah pihak,

    masing-masing mempunyai peran sesuai

    kesepakatan yang ditentukan. Penyandang

    modal disebut pemilik, sedangkan yang

    melaksanakan kegiatan pemeliharaan disebut

    penggaduh. Modal berupa bibit ternak menjadi

    tanggung jawab pemilik, sedangkan

    pelaksanaan pemeliharaan menjadi

    tanggungjawab penggaduh. Kesepakatan antara

    penggaduh dan pemilik dalam usaha

    pemeliharaan sapi biasanya dikenal dengan

    sistem bagi hasil, yang umum dan awalnya

    adalah dengan proporsi 50% penggaduh dan

    50% pemilik. Dalam hal ini yang dibagi adalah

    perubahannya. Sebagai contoh; seorang

    penggaduh menggaduh seekor sapi calon induk

    dari seorang pemilik, selama pemeliharaan

    maka induk sapi tersebut melahirkan seekor

    anak sapi, anak sapi inilah yang dibagi menjadi

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    266

    dua yang masing-masing untuk penggaduh dan

    pemilik, sedangkan ternak bibit awal

    penggaduhan tetap menjadi hak pemilik.Pada

    perkembangannya, besarnya porsi bagi hasil

    dari gaduhan dapat beragam, sesuai jenis

    kegiatannya, seperti untuk usaha pembibitan

    berbeda dengan tujuan usaha penggemukan

    sapi (Sumanto et al. 2012).

    Pada lokasi kelompok Tani Santosa, Desa

    Marga Jaya yang mendapat bantuan dari

    pemerintah untuk mengembangkan sapi

    potong, pola pembagian hasilnya

    menggunakan model 60% untuk pengelola dan

    40% untuk kelompok, dimana hasilnya akan

    digulirkan kepada anggota yang lain. Porsi

    pengelola sebesar 60% akan diberikan

    sejumlah 10% sebagai kas kelompok.

    Ketentuan porsi pembagian hasil ini diserahkan

    sepenuhnya kepada kelompok peternak melalui

    suatu musyawarah bersama. Sedangkan pihak

    pemberi dana awal (instansi pemerintah)

    memperoleh laporan perkembangan sapi secara

    waktu triwulan.

    Pemasaran ternak

    Kegiatan menjual ternak dilakukan di

    lokasi usahanya masing-masing, dimana

    pedagang keliling (skala kecil) mengunjungi

    peternak untuk melakukan transaksi jual beli.

    Pada umumnya pelaku sebagai pembeli adalah

    pedagang keliling desa dengan skala 1-3 ekor,

    untuk seterusnya pedagang tersebut membawa

    ternak kepada pembeli (pedagang besar, atau

    konsumen pemotong) yang dilakukan di pasar

    hewan atau di rumah pedagang keliling

    tersebut.

    Penjualan sapi merupakan salah satu

    andalan untuk memenuhi kebutuhan keluarga

    dengan tingkat kebutuhan yang tinggi dan

    mendesak. Hal ini mengakibatkan secara tidak

    langsung posisi peternak yang lemah dalam hal

    penawaran harga, sehingga calon pembeli

    dapat menekan harga serendah mungkin.

    Dengan demikian maka penjualan sapi tidak

    didasari atas bisnis usaha yang

    mempertimbangkan pengeluaran dan

    penerimaan, namun berdasarkan kebutuhan

    yang mendesak dari anggota kelompok.

    Jumlah pedagang keliling untuk melakukan

    pembelian ternak sapi adalah tujuh orang,

    dimana tiga orang diantaranya bermukim

    dalam satu desa. Semakin banyak pedagang

    keliling maka diharapkan harga sapi dapat

    lebih baik, karena harga jual akan semakin

    bersaing dari satu pedagang dengan pedagang

    lainnya. Proses pengangkutan ternak dari

    peternak oleh pedagang dilakukan dengan cara

    digiring atau diangkut dengan kendaraan roda

    empat. Seluruh biaya pengangkutan ini

    menjadi tanggung jawab pedagang keliling.

    Proses penentuan harga ternak berdasarkan

    taksiran performan ternak, karena belum ada

    cara penjualan dengan sistem timbangan bobot

    badan. Cara pembayaran terhadap ternak yang

    telah disepakati dapat dilakukan secara kontan

    atau dicicil. Jika dicicil, pedagang keliling akan

    memberikan sekitar 10% dari harga beli, dan

    akan melunasinya setelah 2 hari dari terjadinya

    transaksi. Cara pembayaran dengan kontan dan

    dicicil terdapat perbedaan harga, sebagai

    contoh jika kontan adalah Rp. 7.000.000/ekor,

    sedangkan jika dicicil menjadi sekitar Rp.

    7.100.000 dengan kondisi ternak yang sama.

    Namun demikian sering muncul peternak yang

    menjual pada waktu harga baik, dan

    pembayarannya diserahkan kepada pedagang

    kapan saja, dengan prioritas jumlah kebutuhan

    peternak dapat terpenuhi.

    Kaitan pola pemeliharaan dengan sistem

    gaduhan

    Pola gaduhan untuk pengembangan sapi

    potong dengan sistem gembala atau intensif

    dan pola bagi hasil yang tepat masih disukai

    oleh peternak dipedesaan. Porsi bagi hasil yang

    terjadi merupakan kesepakatan bersama baik

    pemilik modal maupun pihak penggaduh. Pola

    gaduhan sapi yang dilakukan oleh

    perseorangan hasinya lebih baik bila

    dibandingkan dengan pola gaduhan oleh

    pemerintah atau swasta. Hal ini disebabkan

    karena pola gaduhan perseorangan di pedesaan

    dapat lebih terasa adanya saling keterikatan

    yang dipengaruhi oleh hubungan faktor sosial.

    Sebagai contoh adalah pemodal adalah tokoh

    pedesaan yang disegani, sehingga penggaduh

    merasa lebih bertanggungjawab dengan yang

    akan dikelola, walaupun pola gaduhan tersebut

    tidak memiliki catatan yang baik.

    Terdapat perbedaan dalam hal kemampuan

    skala penguasaan sapi dalam pola

    pemeliharaan gembala dan intensif. Cara

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    267

    pengelolaan intensif telah membatasi skala

    penguasaan sapi hanya 1-3 ekor/peternak,

    karena peternak tidak sanggup untuk mencari

    pakan bila skala usaha ditingkatkan, atau tidak

    mampu secara rutin membeli pakan tambahan

    dan dirasakan kurang menguntungkan. Lain

    halnya dengan pola gembala, peternak (juga

    sebagai penggaduh) mampu mengendalikan

    sapi gembalaannya sampai 20 ekor. Sapi-sapi

    ini dapat berkelompok untuk mencari pakan

    hijauan pada kawasan perkebunan sawit rakyat

    yang tersedia atau lahan sawit swasta yang

    diperbolehkan sebagai tempat gembala. Dilihat

    dari kondisi tubuh sapi, tampak bahwa

    performan sapi di lahan sawit dapat lebih baik

    apabila dipelihara dengan cara digembalakan

    daripada yang ada dikandang terus-menerus.

    KESIMPULAN

    Potensi lahan sawit di Provinsi Lampung

    seluas 159.792 ha, diasumsikan hanya mampu

    menampung sapi sebanyak 79.896 ekor,

    dimana sekitar 662.880 ekor lainnya perlu

    diintegrasikan dengan lahan tanaman pangan,

    perkebunan lainnya, pekarangan dan hutan.

    Pola pemeliharaan sapi di kandang akan

    membatasi skala penguasaan sapi (1-3

    ekor/peternak), bila dibandingkan dengan pola

    gembala dimana setiap peternak mampu

    menguasai sapi hingga 20 ekor.

    Pola gaduhan sapi sudah lama terjadi di

    kelompok peternak dan tampaknya sudah tepat

    diterapkan untuk tujuan pengembangan sapi di

    perdesaan.Pola gaduhan sapi dengan modal

    perseorangan cenderung hasilnya lebih baik

    dari pada pola gaduhan sapi modal pemerintah.

    DAFTAR PUSTAKA

    Hafid H, Rugayah N. 2010. Persentase karkas sapi

    Bali pada berbagai bobot badan dan lama

    pemuasaan sebelum pemotongan. Dalam: Sani

    Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W,

    Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A,

    Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE,

    penyunting. Teknologi Peternakan dan

    Veteriner Mendukung Industrialisasi Sistem

    Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan

    Pangan dan Kesejahteraan Peternak Prosiding

    Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

    Veteriner.Bogor, 13-14 Agustus 2009. Bogor

    (Indonesia): Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Peternakan. hlm.77-85.

    Handewi PSR, Sudaryanto B. 1995. Usaha ternak

    domba dan peranannya terhadap Pendapatan

    Rumah Tangga Petani di Lahan Kering.

    (Kasus Dua Desa di Kabupaten Semarang dan

    Boyolali, Jawa Tengah). Prosiding Seminar

    Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua,

    7-8 November 1995. Cisarua (Indonesia):

    Pusat Penelitian dan Pengembangan

    Peternakan. hlm. 787-793.

    Kusnadi U. 1984.Tingkat managerial skill peternak

    domba dan kambing di Jawa Tengah.

    Prosiding Domba dan Kambing di Indonesia.

    Bogor, 22-23 November 1983. Bogor

    (Indonesia): Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Peternakan. hlm. 184-187.

    Labsosio UI. 2006. Proposal tinjauan sosial budaya

    terhadap P4MI di tiga kabupaten. Pusat Kajian

    Sosiologi- FISIP UI.

    Lampung Dalam Angka. 2009. BPS Provinsi

    Lampung.

    Lampung Dalam Angka. 2012. BPS Provinsi

    Lampung.

    Mubyarto. 1979. Pengantar ekonomi pertanian,

    LP3ES.PT Intermasa. Jakarta.

    Natasukarya AM, Wahyuni S, Rahmawati S,

    Suparyanto A, Sukarsih. 1993. Peranan wanita

    dalam sistem usahatani ternak. Prosiding

    Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil

    Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai

    Penelitian Ternak Ciawi Bogor Dalam

    Prospek dan kendala penerapan teknologi

    usaha ternak itik (Sinurat AP, Setioko AR).

    Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-

    hasil Penelitian Peternakan di Pedesaan.

    Ciamis, Januari 1993. Ciamis (Indonesia):

    Pusat Penelitian dan Pengembangan

    Peternakan. hlm. 55-61.

    Ratnawati D, Afandhy L. 2010. Implementasi

    sinkronisasi ovulasi menggunakan

    Gonadetrophin Rleasing Hormone (GNRH)

    dan Prostaglandin (PGF2alfa) pada induk sapi

    Bali. Prosiding Seminar Nasional Teknologi

    Peternakan dan Veteriner. Teknologi

    peternakan dan veteriner mendukung

    industrialisasi system pertanian untuk

    meningkatkan ketahanan pangan dan

    kesejahteraan peternak. Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Peternakan.

    Sumanto, Mathius IW, Juarini E, Lisa P. 2012.

    Laporan kajian sapi potong pola inti plasma di

    Kalimantan. Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Peternakan.