gaduhan rakyat
DESCRIPTION
analisis keuangan pola gaduhanTRANSCRIPT
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
259
POLA BUDIDAYA DAN GADUHAN USAHA SAPI POTONG
DI KAWASAN PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT DI
PROVINSI LAMPUNG
(Production and Sharing Patterns of Cattle Farming
Under Smallholder Estate in Lampung Province)
Broto Wibowo, Sumanto
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT
A study to describe development of production and sharing patterns of cattle farming under smallholder
estate was carried out in May 2013. This study was done at three groups of cattle farmers in the smallholder
estate, i.e. Tani Sentosa in the Sub District of Meraksa Aji, Tani Makmur in the Sub District of Banjar Margo
in Tulang Bawang District, and Wahana Makmur II in the District of Candipura, District of South Lampung.
A survey method was used by interviewing farmers as members of the group, guided by questionnaires,
mainly contained elements of production and sharing pattern. Potential of smallholder estate landarea reached
159,792 ha, that could carried around 79,896 heads of cattle, while approximately 662,880 heads were
integrated into other land, such ascropland, otherestates, yard and forest. Intensive cattle raising in the barn
would limit cattle size scale (1-3 heads/farmer), compared to the one on ranched, where every farmer was
able to handle up to 20 head. Cattle sharing pattern has been long occurred in farmer groups and it considered
appropriate to be applied for cattle development in the rural.
Key Words: Production, Sharing Pattern, Cattle, Smallholder Estate
ABSTRAK
Suatu penelitian untuk mengetahui pengembangan sapi potong di kawasan perkebunan rakyat di
Lampung berdasarkan pola budidaya dan gaduhan telah dilaksanakan pada bulan Mei 2013.Hal ini dilakukan
pada tiga kelompok peternak sapi potong yaitu kelompok peternak Tani Sentosa di Kecamatan Meraksa Aji
dan kelompok peternak Tani Makmur di Kecamatan Banjar Margo masing-masing di Kabupaten Tulang
Bawang, serta kelompok peternak Wahana Makmur 11 di Kecamatan Candipuro di Kabupaten Lampung
Selatan Provinsi Lampung.Metode survei diterapkan dengan melakukan wawancara berdasarkan pertanyaan
terstruktur meliputi parameter pola budidaya dan pola gaduhan. Potensi lahan sawit seluas 159.792 ha, dapat
menampung sapi potong sebanyak 79.896 ekor, dimana sekitar 662.880 ekor lainnya terintegrasi dengan
lahan tanaman pangan, perkebunan lainnya, pekarangan dan hutan. Pola pemeliharaan sapi dikandangkan
akan membatasi skala penguasaan sapi (1-3 ekor/peternak), bila dibandingkan dengan pola gembala dimana
setiap peternak mampu menguasai hingga 20 ekor. Pola gaduhan sapi sudah lama terjadi di kelompok
peternak dan sudah sesuai diterapkan untuk tujuan pengembangan sapi di perdesaan.
Kata Kunci: Produksi, Pola Gaduhan, Sapi, Perkebunan Sawit Rakyat
PENDAHULUAN
Pengembangan sapi lokal dan pemanfaatan
sapi bakalan impor yang terintegrasi pada
sentra-sentra lokasi spesifik (lahan tanaman
pangan dan perkebunan) telah memberikan
tambahan kegiatan bagi ratusan ribu peternak
dan pelaku lainnya di beberapa tempat di
Indonesia. Kegiatan ini tidak terlepas dari
adanya peran kerjasama dari pihak pemerintah,
swasta dan kelompok peternak untuk
peningkatan populasi dan produksi sapi potong
untuk mewujudkan program swasembada
daging sapi 2014.
Pola budidaya sapi di Indonesia masih
beragam, mulai dari pola ternak yang
digembalakan, sampai kepada pola ternak
intensif dengan pakan yang berfluktuasi dan
terbatas sampai pakan bermutu dan
berlimpah.Ketersediaan pakan yang terbatas
sering dijumpai pada usaha ruminansia dari
sebagian besar peternak dengan skala usaha per
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
260
rumahtangga yang rendah (2-3
ekor/KK).Kondisi pakan yang kurang baik
dalam waktu lama dapat mengakibatkan
kinerja ternak ruminansia menjadi kurang baik
pula, meliputi aspek pemuliaan, reproduksi,
produksi, pendapatan dan sosial peternak.
Pola pengembangan sapi potong, yang
semula merupakan inisiasi pemerintah dan
masyarakat hanya sebagai obyek kini telah
berganti menjadi pola partisipasi. Bahkan hal
ini berkembang dengan harapan menjadi pola
emansipasi dimana pemerintah dan masyarakat
bekerjasama dan masyarakat diberdayakan
yang diarahkan sebagai subyek (Labsosio UI,
2006), sehingga pemerintah hanya sebagai
fasilitator. Model kerjasama kemitraan untuk
penyebaran sapi di berbagai wilayah adalah
cara guliran atau cara bagi hasil yang besar
porsinya disesuaikan dengan kesepakatan
bersama antara pemodal dan penerima modal.
Sistem guliran sapi adalah dalam 5 tahun
penerima modal akan menggembalikan
sejumlah sapi yang diterima kepada pemodal.
Porsi bagi hasil adalah dapat berupa 50 : 50,
60 : 40, dan 70 : 30 (Sumanto et al. 2012),
disesuaikan dengan kesepakatan bersama.
Tujuan penulisan makalah ini untuk
mendeskripsikan sejauh mana perkembangan
pola gaduhan dalam pengembangan sapi
potong di lahan perkebunan sawit rakyat.
MATERI DAN METODE
Telah diilakukan kajian pola budidaya dan
gaduhan sapi potong pada bulan Mei 2013,
berlokasi di kawasan perkebunan sawit rakyat
di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten
Tulang Bawang di Provinsi Lampung. Hasil
konsultasi dengan dinas terkait (Peternakan
dan Perkebunan), telah dipilih 3 lokasi
kelompok peternak sapi potong di kawasan
perkebunan sawit yaitu kelompok peternak
Tani Sentosa di Kecamatan Meraksa Aji dan
kelompok peternak Tani Makmur di
Kecamatan Banjar Margo masing-masing di
Kabupaten Tulang Bawang, serta kelompok
peternak Wahana Makmur 11 di Kecamatan
Candipuro di Kabupaten Lampung Selatan.
Metode penelitian survei diterapkan dengan
melakukan wawancara kepada masing-masing
kelompok sebanyak 15 responden peternak
sapi dengan menggunakan kuisioner
terstruktur. Data yang dikumpulkan berupa
data primer (hasil wawancara) yang meliputi
data teknis budidaya dan data sosial ekonomi,
sedangkan data sekunder diperoleh dari
informasi langsung maupun hasil laporan dari
instansi terkait.Data yang telah terkumpul
dilakukan tabulasi dan diolah secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil dan potensi lahan sawit
Provinsi Lampung terdiri dari 13 kabupaten
dan 2 kotamdaya, dengan luas wilayah adalah
3.528.835 ha. Luas wilayah Kabupaten
Lampung Barat merupakan kabupaten terluas
(495.040 ha), sedangkan wilayah terkecil
adalah Kota Metro (6.179 ha) Tabel 1.Dilihat
dari penggunaan lahan di Provinsi Lampung
bahwa presentase luas lahan perkebunan
sekitar 22,9% dari luas total Provinsi Lampung
Tabel 2.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa luas lahan
hutan, perkebunan dan tanaman pangan cukup
dominan dan berpotensi sebagai sumber pakan
hijauan yang dapat dimanfaatkan untuk ternak
ruminansia, khususnya sapi potong.Kajian ini
diarahkan untuk melihat budidaya dan
pengembangan sapi potong yang
memanfaatkan biomassa di lahan sawit rakyat.
Dari luas lahan perkebunan sebanyak
808.979 ha, luas lahan kelapa sawit hanya
159.792 ha dan untuk lahan kopi (161.287 ha),
karet (119.839 ha), kelapa dalam (126.129 ha),
tebu (113.847 ha), lada (63.902 ha), kakao
(49.943 ha) dan sisanya untuk tanaman
cengkih, tembakau dan lain-lain. Kepemilikan
lahan kelapa sawit terbagi menjadi 3 bagian
besar, yaitu: lahan sawit negara (PTPN),
swasta dan rakyat. Dilihat dari luas lahan
kelapa sawit sebesar 159.792 ha, dimana lahan
tersebut yang diusahakan oleh negara dan
swasta sebesar 77.185 ha, serta perkebunan
rakyat sekitar 82.607 ha.Pemeliharaan sapi
potong banyak diusahakan pada lahan sawit
rakyat yang umumnya digunakan sebagai lahan
pengembalaan sapi.Apabila diasumsikan
bahwa dalam 2 ha lahan sawit dapat
dimanfaatkan untuk 1 ekor sapi potong per
tahun, maka terdapat potensi lahan sawit untuk
dapat menampung sebanyak 79.896 ekor sapi.
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
261
Tabel 1. Nama dan luas Provinsi Lampung menurut kabupaten tahun 2011
Kabupaten/kota Luas (ha) Jumlah kecamatan Jumlah desa/kelurahan
Lampung Barat 495.040 25 254
Tanggamus 273.161 20 278
Lampung Selatan 200.701 17 251
Lampung Timur 433.789 24 257
Lampung Tengah 478.982 28 307
Lampung Utara 272.563 23 247
Way Kanan 392.163 14 210
Tulang Bawang 438.584 15 151
Pesawaran 117.377 7 133
Pringsewu 62.500 8 101
Mesuji 218.400 7 75
Tulang Bawang Barat 120.100 8 79
Kota
Bandar Lampung 19.296 13 98
Metro 6.179 5 22
Jumlah 3.528.835 214 2.463
Sumber: Lampung dalam angka 2012
Tabel 2. Pengunaan lahan
Jenis penggunaan lahan Luas (ha) %
Tanaman pangan 450.881 12,8
Perkebunan 808.979 22,9
Hutan 1.006.892 28,5
Pekarangan 817.378 23,2
Tidak digunakan 213.916 6,1
Lainnya 230.789 6,5
Total 3.528.835 100,0
Sumber: Lampung dalam angka 2009, 2012 (diolah)
Dilihat sebaran luas lahan sawit rakyat di
Provinsi Lampung yang terbanyak adalah di
Kabupaten Mesuji (22,342 ha), kemudian
menyusul Kabupaten Wai Kanan (15.115 ha),
Lampung Tengah (10,537 ha) dan Tulang
Bawang (9.656 ha) Tabel 3.Melihat populasi
sapi potong di Provinsi Lampung sebanyak
742.776 ekor, maka potensi pakan di lahan
sawit tampaknya belum dapat mencukupi
kebutuhan pakan hijauan dari populasi sapi
tersebut. Oleh karena itu, kekurangan pakan
dapat dipenuhi oleh pakan hijauan dari sumber
lain, seperti dari lahan pekarangan, tanaman
pangan, perkebunan lainnya, dan lahan hutan.
Profil kelompok peternak sapi potong
Hasil survei terhadap profil kelopmpok
peternak di ketiga lokasi terpilih di Lampung,
disajikan pada Tabel 4.
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
262
Tabel 3. Luas lahan sawit rakyat di Provinsi Lampung 2011
Kabupaten/Kota Luas (ha) %
Lampung barat 2.745 3,3
Tanggamus - 0,0
Lampung Selatan 4.015 4,9
Lampung Timur 2.382 2,9
LampungTengah 10.537 12,8
Lampung Utara 8.816 10,7
Way Kanan 15.115 18,3
Tulang Bawang 9.565 11,6
Pesawaran 511 0,6
Pringsewu 770 0,9
Mesuji 22.342 27,0
Tulangbawang Barat 5.785 7,0
Bandar Lamp 24 0,0
Metro - 0,0
Total 82.607 100,0
Sumber: Lampung dalam angka 2012
Tabel 4. Profil kelompok peternak sapi potong di tiga kawasan sawit rakyat
Uraian Lokasi kawasan sawit
Desa Marga Jaya Agung Jaya Sinar Palembang
Kecamatan Meraksa Aji Banjar Margo Candipuro
Kabupaten Tulang Bawang Tulang Bawang Lampung Selatan
Luas kebun sawit (ha) 6.000 10.000 825
Pemilik lahan sawit Sumber indah perkasa PT. Bangun Nusa Indah
Lampung
Rakyat
Kemitraan lahan sawit Inti-plasma Inti-plasma Rakyat
Kelompok peternak Tani Sentosa Tani Makmur Wahana Makmur 11
Jumlah anggota (orang) 30 25 30
Usaha utama Pekebun sawit Pekebun sawit Pekebun sawit
Bangsa sapi Bali Bali Bali dan PO
Pemeliharaan sapi Gembala Gembala Kandang
Tujuan pemeliharaan Penghasil anak Penghasil anak Penghasil Anak
Skala
pemilikan(ekor/orang)
25 1-3
Bentuk gaduhan Bagi hasil Bagi hasil Perguliran
(kelompok)
Status usaha sapi Sampingan Sampingan Sampingan
Kerjasama dengan
instansi
Dinas peternakan Dinas peternakan Dinas perkebunan
Teknologi IB Tidak ada IB, APO, kompos
Pemasaran sapi Pedagang desa Pedagang desa Pedagang desa
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
263
Umur anggota peternak
Anggota kelompok peternak pada ketiga
lokasi mempunyai umur rata-rata 39,5 tahun,
dinyatakan masih dalam kategori usia
produktif. Berdasarkan sebaran umur pada
masing-masing kelompok adalah: Kelompok
Tani Sentosa umur
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
264
persentase karkas yang baik, serta mudah
dijual. Ratnawati dan Afandhy (2010)
menyatakan bahwa sapi Bali merupakan sapi
asli Indonesia yang mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan sapi potong lainnya,
yaitu tingkat reproduktivitas dan kesuburan
(fertilitas) yang tinggi serta mampu beradaptasi
dan berkembang dibeberapa wilayah di
Indonesia. Selanjutnya Hafid dan Rugayah
(2010) menyatakan bahwa rata-rata persentase
karkas sapi Bali adalah 53-56% dengan bagian
paha depan 21-22%, paha belakang 33-37%,
bagian leher, dada dan punggung 40-41%
dengan perut 4%.
Pengalaman beternak sapi
Pada umumnya masyarakat desa Marga
Jaya dan khususnya anggota kelompok tani
Sentosa mempunyai pengalaman beternak sapi
antara 2-5 tahun mencapai 62,5%, sedangkan
yang mempunyai pengalaman antara 6-10
tahun sebanyak 37,5%. Berdasarkan
pengalaman tersebut maka anggota peternak
umumnya masih belum memahami tatalaksana
pemeliharaan yang benar, seperti halnya aspek
pemberian pakan yang belum memperhatikan
terhadap kuantitas dan kualitas pakan yang
memenuhi syarat hidup dan produksi ternak,
penanganan pada masa pra sapih dan
berproduksi, pengelolaan kandang yang bersih,
maupun pengelolaan limbah kandang.
Status usaha sapi
Pada ketiga lokasi diperoleh informasi
bahwa pemeliharaan sapi merupakan usaha
sampingan, karena usaha pokok adalah
usaha/buruh sawit. Usaha budidaya ternak sapi
merupakan usaha sambilan, sehingga perhatian
terhadap pemeliharaan ternak tidak optimal.
Apabila peternak pada waktu yang bersamaan
ternyata harus melakukan kegiatan lain
(mengolah lahan), maka peternak akan
memprioritaskan waktu dan tenaganya untuk
mengolah lahan. Sisa waktu yang ada baru
untuk usaha budidaya sapi. Mubyarto (1979)
menyatakan bahwa pertanian rakyat atau
pertanian dalam arti sempit pada umumnya
diusahakan dengan tujuan utama memenuhi
kebutuhan kehidupan (subsistensi) petani dan
keluarganya. Secara ekonomis dapat dikatakan
bahwa hasilnya sebagian besar untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, dan
faktor-faktor produksi atau modal yang
dipergunakannya sebagian besar berasal dari
dalam usahatani sendiri.
Budidaya sapi potong di kawasan
perkebunan sawit rakyat
Pola pemeliharaan
Pola pemeliharaan sapi potong di tiga
lokasi berbeda, dimana masing-masing lokasi
mempunyai ciri spesifik dalam cara
pengelolaan, walaupun dengan sistem yang
sama, yaitu sapi digembalakan di lahan sawit
rakyat. Uraian singkat untuk masing-masing
lokasi adalah sebagai berikut:
Lokasi kelompok Tani Santosa,
Desa Marga Jaya
Secara rutin peternak memelihara sapi
digembalakan didalam kebun sawit milik
sebuah perusahaan.Waktu penggembalaan sapi
dimulai jam 8 pagi menuju areal sawit
danpeternak mengawasi sapi dalam kebun
menjelang jam 15 sore, sekaligus mengawali
untuk mengarahkan sapi menuju rumah
pemilik. Selama penggembalaan ini sapi
memperoleh pakan dengan cara merenggut
rerumputan yang tumbuh di area kebun sawit
dan sesekali merenggut daun sawit yang
terjangkau. Beberapa sapi induk yang
digembala diberi tali tambang dengan panjang
sekitar 15 meter, yang berfungsi untuk
pengontrolan jarak jelajah sapi dan
memudahkan penanganan sapi.
Peternak membangun kandang sederhana di
pekarangan rumah untuk menampung sapi
pada malam hari. Sapi berada di dalam
kandang dari sore hingga pagi hari, dimana
peternak tidak melakukan pemberian pakan.
Pakan sapi mengandalkan hasil penggembalaan
dari pagi hingga sore hari, dengan rata-rata
lama penggembalan sekitar 7 jam setiap hari.
Pemeliharaan dengan pola ekstensif ini skala
pemilikan mencapai 15 ekor per peternak
dengan berbagai umur ternak.
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
265
Lokasi kelompok Tani Makmur, Desa Agung
Jaya
Pemeliharaan dengan sistim ekstensif, yaitu
ternak sapi digembala di dalam kebun sawit
sepanjang hari dan malam, dimana peternak
hanya sesekali menengok sapi yaitu pada jam 8
pagidan jam 17 sore. Menengok ternak sapi
mempunyai makna untuk melakukan
pengontrolan sapi dalam kaitannya dengan
daya jelajah sapi, dan untuk mengawasi sapi
agar terbebas dari hal-hal yang tidak
diinginkan (termakan obat-obatan yang
diberikan di kebun sawit). Peternak melakukan
kontrol pada jam 8 dan jam 5 sore karena sapi
sedang mencari pakan hijauan sehingga mudah
ditemukan. Sapi sulit ditemukan pada siang
hari, karena pada umumnya sedang
beristirahat.
Peternak sesekali mengarahkan sapinya
menuju ke rumah pemilik, yang umumnya
dilakukan setiap 15 hari sekali, sehingga dalam
1 bulan terjadi 2 kali pemulangan sapi. Hal ini
ditujukan untuk dapat menghitung jumlah dan
kondisi ternak. Dalam masa ini, sapi berada di
rumah (pekarangan) dalam waktu semalam,
karena pada pagi harinya sudah digembalakan
lagi. Jarak dari batas pemukiman ke lahan
sawit paling dekat adalah 3 km, sedangkan
jangkauan jelajah untuk sapi masuk ke dalam
kebun selama 15 hari dalam kebun sawit dapat
mencapai radius 16 km. Pada pola
pemeliharaan ekstensif seperti ini, maka
jumlah pemilikan sapi dapat mencapai 26 ekor
per peternak.
Lokasi kelompok Wahana Makmur II,
Desa Sinar Palembang
Pola pemeliharaan sapi bersifat intensif,
dimana sapi berada di dalam kandang
sepanjang hari. Peternak mengupayakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sapi dalam hal
pakan, kesehatan dan reproduksi. Kegiatan
mencari pakan dilakukan dengan cara mengarit
di berbagai lahan. Pola intensifikasi pada sapi
mempunyai konsekuensi terhadap tingginya
tenaga kerja yang dicurahkan, utamanya untuk
mencari pakan. Setiap petani memerlukan
waktu 2-3 jam untuk mencari rumput dalam
sehari.
Pada tahun 2011, peternak memperoleh
bantuan berupa ternak sapi Bali. Paket bantuan
terdiri dari berbagai komponen, antara lain; 35
ekor sapi Bali (32 betina + 3 jantan), bangunan
dan alat pengolah pupuk, alat pencacah
pelepah sawit, dan kandang ternak. Pada bulan
Mei tahun 2013, telah beranak 10 ekor dari 10
induk. Pada pola pemeliharaan yang intensif
ini, skala pemilikan menjadi sangat terbatas,
yaitu 1-3 ekor perpeternak.
Kinerja reproduksi ternak sapi
Pada ketiga lokasi, jarak beranak sapi Bali
berkisar antara 12 bulan, khususnya pada
lokasi kelompok Tani Santosa dan Tani
Makmur, sedangkan pada lokasi Wahana
Makmnur II baru sebagian yang melahirkan
pertama. Ratnawati dan Afandhy (2010)
menyatakan bahwa performans reproduksi
induk sapi Bali sebelum dan sesudah dilakukan
sinkronisasi, service perconseption (1,1 vs
1,0), conception rate (%) (87,5% vs 93,8 %),
calving interval (bulan) (451,2 vs 369,5).
Sinkronisasi ovulasi dengan hormon GnR H
dan PGF2alfa pada induk sapi Bali lebih
efektif dari pada sinkronisasi estrus dengan
hormon prostaglandin.
Pola gaduhan sapi potong
Pola gaduhan telah sejak lama dilakukan
dalam usaha untuk pengembangan sapi baik
oleh perseorangan maupun oleh pemerintah
atau swasta. Pola gaduhan diartikan sebagai
usaha yang dilakukan oleh dua belah pihak,
masing-masing mempunyai peran sesuai
kesepakatan yang ditentukan. Penyandang
modal disebut pemilik, sedangkan yang
melaksanakan kegiatan pemeliharaan disebut
penggaduh. Modal berupa bibit ternak menjadi
tanggung jawab pemilik, sedangkan
pelaksanaan pemeliharaan menjadi
tanggungjawab penggaduh. Kesepakatan antara
penggaduh dan pemilik dalam usaha
pemeliharaan sapi biasanya dikenal dengan
sistem bagi hasil, yang umum dan awalnya
adalah dengan proporsi 50% penggaduh dan
50% pemilik. Dalam hal ini yang dibagi adalah
perubahannya. Sebagai contoh; seorang
penggaduh menggaduh seekor sapi calon induk
dari seorang pemilik, selama pemeliharaan
maka induk sapi tersebut melahirkan seekor
anak sapi, anak sapi inilah yang dibagi menjadi
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
266
dua yang masing-masing untuk penggaduh dan
pemilik, sedangkan ternak bibit awal
penggaduhan tetap menjadi hak pemilik.Pada
perkembangannya, besarnya porsi bagi hasil
dari gaduhan dapat beragam, sesuai jenis
kegiatannya, seperti untuk usaha pembibitan
berbeda dengan tujuan usaha penggemukan
sapi (Sumanto et al. 2012).
Pada lokasi kelompok Tani Santosa, Desa
Marga Jaya yang mendapat bantuan dari
pemerintah untuk mengembangkan sapi
potong, pola pembagian hasilnya
menggunakan model 60% untuk pengelola dan
40% untuk kelompok, dimana hasilnya akan
digulirkan kepada anggota yang lain. Porsi
pengelola sebesar 60% akan diberikan
sejumlah 10% sebagai kas kelompok.
Ketentuan porsi pembagian hasil ini diserahkan
sepenuhnya kepada kelompok peternak melalui
suatu musyawarah bersama. Sedangkan pihak
pemberi dana awal (instansi pemerintah)
memperoleh laporan perkembangan sapi secara
waktu triwulan.
Pemasaran ternak
Kegiatan menjual ternak dilakukan di
lokasi usahanya masing-masing, dimana
pedagang keliling (skala kecil) mengunjungi
peternak untuk melakukan transaksi jual beli.
Pada umumnya pelaku sebagai pembeli adalah
pedagang keliling desa dengan skala 1-3 ekor,
untuk seterusnya pedagang tersebut membawa
ternak kepada pembeli (pedagang besar, atau
konsumen pemotong) yang dilakukan di pasar
hewan atau di rumah pedagang keliling
tersebut.
Penjualan sapi merupakan salah satu
andalan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dengan tingkat kebutuhan yang tinggi dan
mendesak. Hal ini mengakibatkan secara tidak
langsung posisi peternak yang lemah dalam hal
penawaran harga, sehingga calon pembeli
dapat menekan harga serendah mungkin.
Dengan demikian maka penjualan sapi tidak
didasari atas bisnis usaha yang
mempertimbangkan pengeluaran dan
penerimaan, namun berdasarkan kebutuhan
yang mendesak dari anggota kelompok.
Jumlah pedagang keliling untuk melakukan
pembelian ternak sapi adalah tujuh orang,
dimana tiga orang diantaranya bermukim
dalam satu desa. Semakin banyak pedagang
keliling maka diharapkan harga sapi dapat
lebih baik, karena harga jual akan semakin
bersaing dari satu pedagang dengan pedagang
lainnya. Proses pengangkutan ternak dari
peternak oleh pedagang dilakukan dengan cara
digiring atau diangkut dengan kendaraan roda
empat. Seluruh biaya pengangkutan ini
menjadi tanggung jawab pedagang keliling.
Proses penentuan harga ternak berdasarkan
taksiran performan ternak, karena belum ada
cara penjualan dengan sistem timbangan bobot
badan. Cara pembayaran terhadap ternak yang
telah disepakati dapat dilakukan secara kontan
atau dicicil. Jika dicicil, pedagang keliling akan
memberikan sekitar 10% dari harga beli, dan
akan melunasinya setelah 2 hari dari terjadinya
transaksi. Cara pembayaran dengan kontan dan
dicicil terdapat perbedaan harga, sebagai
contoh jika kontan adalah Rp. 7.000.000/ekor,
sedangkan jika dicicil menjadi sekitar Rp.
7.100.000 dengan kondisi ternak yang sama.
Namun demikian sering muncul peternak yang
menjual pada waktu harga baik, dan
pembayarannya diserahkan kepada pedagang
kapan saja, dengan prioritas jumlah kebutuhan
peternak dapat terpenuhi.
Kaitan pola pemeliharaan dengan sistem
gaduhan
Pola gaduhan untuk pengembangan sapi
potong dengan sistem gembala atau intensif
dan pola bagi hasil yang tepat masih disukai
oleh peternak dipedesaan. Porsi bagi hasil yang
terjadi merupakan kesepakatan bersama baik
pemilik modal maupun pihak penggaduh. Pola
gaduhan sapi yang dilakukan oleh
perseorangan hasinya lebih baik bila
dibandingkan dengan pola gaduhan oleh
pemerintah atau swasta. Hal ini disebabkan
karena pola gaduhan perseorangan di pedesaan
dapat lebih terasa adanya saling keterikatan
yang dipengaruhi oleh hubungan faktor sosial.
Sebagai contoh adalah pemodal adalah tokoh
pedesaan yang disegani, sehingga penggaduh
merasa lebih bertanggungjawab dengan yang
akan dikelola, walaupun pola gaduhan tersebut
tidak memiliki catatan yang baik.
Terdapat perbedaan dalam hal kemampuan
skala penguasaan sapi dalam pola
pemeliharaan gembala dan intensif. Cara
-
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
267
pengelolaan intensif telah membatasi skala
penguasaan sapi hanya 1-3 ekor/peternak,
karena peternak tidak sanggup untuk mencari
pakan bila skala usaha ditingkatkan, atau tidak
mampu secara rutin membeli pakan tambahan
dan dirasakan kurang menguntungkan. Lain
halnya dengan pola gembala, peternak (juga
sebagai penggaduh) mampu mengendalikan
sapi gembalaannya sampai 20 ekor. Sapi-sapi
ini dapat berkelompok untuk mencari pakan
hijauan pada kawasan perkebunan sawit rakyat
yang tersedia atau lahan sawit swasta yang
diperbolehkan sebagai tempat gembala. Dilihat
dari kondisi tubuh sapi, tampak bahwa
performan sapi di lahan sawit dapat lebih baik
apabila dipelihara dengan cara digembalakan
daripada yang ada dikandang terus-menerus.
KESIMPULAN
Potensi lahan sawit di Provinsi Lampung
seluas 159.792 ha, diasumsikan hanya mampu
menampung sapi sebanyak 79.896 ekor,
dimana sekitar 662.880 ekor lainnya perlu
diintegrasikan dengan lahan tanaman pangan,
perkebunan lainnya, pekarangan dan hutan.
Pola pemeliharaan sapi di kandang akan
membatasi skala penguasaan sapi (1-3
ekor/peternak), bila dibandingkan dengan pola
gembala dimana setiap peternak mampu
menguasai sapi hingga 20 ekor.
Pola gaduhan sapi sudah lama terjadi di
kelompok peternak dan tampaknya sudah tepat
diterapkan untuk tujuan pengembangan sapi di
perdesaan.Pola gaduhan sapi dengan modal
perseorangan cenderung hasilnya lebih baik
dari pada pola gaduhan sapi modal pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Hafid H, Rugayah N. 2010. Persentase karkas sapi
Bali pada berbagai bobot badan dan lama
pemuasaan sebelum pemotongan. Dalam: Sani
Y, Natalia L, Brahmantiyo B, Puastuti W,
Sartika T, Nurhayati, Anggraeni A,
Matondang RH, Martindah E, Estuningsih SE,
penyunting. Teknologi Peternakan dan
Veteriner Mendukung Industrialisasi Sistem
Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan
Pangan dan Kesejahteraan Peternak Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner.Bogor, 13-14 Agustus 2009. Bogor
(Indonesia): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. hlm.77-85.
Handewi PSR, Sudaryanto B. 1995. Usaha ternak
domba dan peranannya terhadap Pendapatan
Rumah Tangga Petani di Lahan Kering.
(Kasus Dua Desa di Kabupaten Semarang dan
Boyolali, Jawa Tengah). Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua,
7-8 November 1995. Cisarua (Indonesia):
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. hlm. 787-793.
Kusnadi U. 1984.Tingkat managerial skill peternak
domba dan kambing di Jawa Tengah.
Prosiding Domba dan Kambing di Indonesia.
Bogor, 22-23 November 1983. Bogor
(Indonesia): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. hlm. 184-187.
Labsosio UI. 2006. Proposal tinjauan sosial budaya
terhadap P4MI di tiga kabupaten. Pusat Kajian
Sosiologi- FISIP UI.
Lampung Dalam Angka. 2009. BPS Provinsi
Lampung.
Lampung Dalam Angka. 2012. BPS Provinsi
Lampung.
Mubyarto. 1979. Pengantar ekonomi pertanian,
LP3ES.PT Intermasa. Jakarta.
Natasukarya AM, Wahyuni S, Rahmawati S,
Suparyanto A, Sukarsih. 1993. Peranan wanita
dalam sistem usahatani ternak. Prosiding
Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil
Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai
Penelitian Ternak Ciawi Bogor Dalam
Prospek dan kendala penerapan teknologi
usaha ternak itik (Sinurat AP, Setioko AR).
Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-
hasil Penelitian Peternakan di Pedesaan.
Ciamis, Januari 1993. Ciamis (Indonesia):
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. hlm. 55-61.
Ratnawati D, Afandhy L. 2010. Implementasi
sinkronisasi ovulasi menggunakan
Gonadetrophin Rleasing Hormone (GNRH)
dan Prostaglandin (PGF2alfa) pada induk sapi
Bali. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Teknologi
peternakan dan veteriner mendukung
industrialisasi system pertanian untuk
meningkatkan ketahanan pangan dan
kesejahteraan peternak. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Sumanto, Mathius IW, Juarini E, Lisa P. 2012.
Laporan kajian sapi potong pola inti plasma di
Kalimantan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.