full-day workshop and symposium a new concept in pediatric...

221
PENGURUS PUSAT IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA bekerjasama dengan IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA Penyunting: Mulyadi M. Djer Hanifah Oswari Hartono Gunardi Muzal Kadim Harijadi Endah Citraresmi Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric Clinical Practice IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA 2016

Upload: others

Post on 07-Feb-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

PENGURUS PUSAT IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA bekerjasama dengan

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA

Penyunting:

Mulyadi M. DjerHanifah OswariHartono Gunardi

Muzal KadimHarijadi

Endah Citraresmi

Full-Day Workshop and Symposium

A New Concept in Pediatric Clinical Practice

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIAIKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA

2016

Page 2: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hak Cipta dilindungi Undang-undangDilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan oleh:Ikatan Dokter Anak IndonesiaTahun 2016

ISBN

Page 3: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia iii

Kata SambutanPengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Kegiatan workshop dan simposium dengan tema “A New Concept in Pediatric Clinical Practice” merupakan bentuk komitmen Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia.

Kegiatan ini sangat diperlukan oleh dokter anak, mengingat topik yang diangkat pada kegiatan ini berkaitan dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) yang merupakan periode emas bagi setiap anak dalam mencapai tumbuh kembang yang optimal. Sejalan pula dengan upaya pencapaian sustainable development goals (SDGs) yaitu untuk mengakhiri semua jenis malnutrisi pada tahun 2030 dan mengurangi angka stunting dan wasting pada anak dibawah 5 (lima) tahun sebanyak 40% pada tahun 2025.

Upaya pencapaian tersebut, tidaklah lepas dari penyelenggaraan kegiatan ilmiah, serta penguatan dan penerapan rekomendasi dan konsensus di bidang kesehatan anak yang telah disusun dengan memperhatikan kondisi kesehatan anak Indonesia.

Atas nama pengurus pusat IDAI, kami mengucapakan terima kasih kepada IDAI Cabang DKI Jakarta, Unit Kerja Koordinasi (UKK) IDAI yang terlibat, para pembicara, dan juga panitia pelaksana yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk terlaksananya kegiatan ini.

Selamat berpartisipasi dalam kegiatan workshop dan simposium “A New Concept in Pediatric Clinical Practice!”

Aman B. PulunganKetua Umum Pengurus Pusat IDAI

Page 4: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

iv A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Page 5: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia v

Kata SambutanKetua Ikatan Dokter Anak Indonesia

Cabang DKI Jakarta

BismillahirohmanirohimAssalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas perkenannya kita dapat menerbitkan kumpulan materi simposium bertemakan A New concept in Pediatric Clinical Practice. Kegiatan ini berbeda dari kegiatan PKB IDAI Cabang DKI Jakarta sebelumnya, karena pada kegiatan ini IDAI Cabang DKI Jakarta bekerjasama dengan Pengurus Pusat IDAI.

Pada kesempatan ini akan dibahas beberapa topik penting dalam bentuk sesi, yaitu sesi Neonatologi, Alergi, dan beberapa topik yang mencakup kesehatan saluran cerna. Para pembicara pada simposium ini meliputi beberapa Unit Kerja Koordinasi IDAI baik yang berasal dari Jakarta maupun dari luar Jakarta. Selain paparan materi, dilakukan pula panel diskusi melibatkan beberapa pakar dengan topik yang sama yaitu topik ASD yang dibahas dalam perspektif Tumbuh Kembang - Pediatri Sosial, Neurologi, dan kedokteran fi sik dan rehabililtasi Medik, topik lain adalah stunting yang merupakan masalah penting yang dihadapi oleh Negara Indonesia. Pada topik ini akan dibahas oleh para pakar di bidang Endokrinologi, Nutrisi Metabolik, dan Tumbuh Kembang - Pediatri Sosial.

Selain topik-topik dalam simposium, dilakukan pula beberapa kegiatan workshop meiputi topik di bidang Neonatologi, Pencitraan, Tumbuh Kembang - Pediatrik Sosial, Respirologi, dan Neurologi. Pada saat rehat dan makan siang akan dipersembahkan tampilan seni yang dibawakan oleh para dokter anak di lingkup IDAI Cabang DKI Jakarta, hal ini bertujuan untuk menyalurkan bakat-bakat para dokter anak.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada pihak panitia, baik dari IDAI Cabang DKI Jakarta maupun dari Pengurus Pusat IDAI yang berkenan menyiapkan seluruh rangkaian acara dengan sebaik-baiknya. Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator, para pembicara baik dari Jakarta maupun dari kota-kota di luar Jakarta atas kesediaan waktunya untuk bicara pada forum PKB kali ini.

Page 6: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

vi A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tak ada gading yang tak retak, demikian pula pada kegiatan pelaksanaan PKB kali ini. Kami panitia pelaksana mohon maaf atas kekurangan pada kegiatan ini, mohon diberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar kegiatan ini dapat memenuhi harapan dan keinginan seluruh anggota IDAI khususnya cabang DKI Jakarta

Selamat mengikuti PKB ini, semoga ilmu yang kita dapat berguna dalam menunjang kesehatan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

DR. Dr. Rini sekartini, Sp.A(K)Ketua IDAI Cabang DKI Jakarta

Page 7: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia vii

Kata Pengantar Tim Penyunting

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah kami sampaikan kehadirat Allah SWT karena kami telah diberikan kesehatan dan waktu sehingga dapat menyunting makalah pendidikan kedokteran berkala kerjasama Pengurus Pusat IDAI dengan IDAI Cabang DKI Jakarta. PKB ini merupakan simposium dan workshop dengan topik “A New Concept in Pediatric Clinical Practice”. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua PP IDAI dan Ketua IDAI Cabang DKI Jakarta yang telah member kepercayaan kepada kami untuk menyunting makalah ini.

Makalah PKB ini ditulis oleh teman sejawat Dokter Spesialis Anak bukan hanya dari Jakarta, tapi juga berasal dari teman sejawat dari Bandung, Solo, Yogyakarta dan Surabaya. Di samping itu juga ada makalah yang ditulis oleh Dokter Spesialis Kedokteran Fisik Rehabilitasi Medik FKUI-RSCM. Makalah ini berisi hal-hal praktis yang diperlukan teman sejawat dalam menjalankan praktek pediatrik sehari-hari. Isi dari makalah seluruhnya berasal dari penulis. Kami dari tim penyunting hanya melakukan editing sehingga makalah ini disajikan dalam bentuk format yang berlaku pada setiap PKB IDAI.

Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua penulis yang sudah meluangkan waktunya menyusun makalah ini. Semoga apa yang sudah teman sejawat kerjakan ini merupakan ibadah yang akan dibalas oleh Allah SWT.

Kami merasa buku ini masih dijumpai kekurangannya. Untuk itu kami mohon untuk dibukakan pintu maaf jika terdapat kesalahan baik yang kami sengaja ataupun yang tidak kami sengaja.

Kami berharap buku ini dapat bermanfaat bagi teman sejawat semua. Selamat bersimposium.

Wasaalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 13 Februari 2016

Tim Penyunting

Page 8: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

viii A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Susunan Panitia

Penasehat DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K)DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)Dr. Antonius H. Pudjiadi, Sp.A(K)

Ketua Dr. Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K)

Wakil DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)

Sekretaris Dr. Reni Wigati, Sp.A(K)

Bendahara Dr. Retno Widyaningsih, Sp.A(K)Dr. Rosalina D. Roeslani, Sp.A(K)

Seksi Ilmiah DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)DR. Dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K)Dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)Dr. Harijadi, Sp.ADr. Endah Citraresmi, Sp.A

Seksi Acara Dr. Triana Darmayanti, Sp.ADr. Nita Ratna Dewanti, Sp.ADr. Lies Dewi Nurmalia, Sp.A(K)

Seksi Perlengkapan Dr. Tjatur K. Sagoro, Sp.ADr. Firmansyah Chatab, Sp.ADr. Hikari A. Sjakti, Sp.A(K)

Seksi Konsumsi Dr. Trully Kusumawardhani, Sp.ADr. Catharina Mayung Sambo, Sp.A

Seksi Dana DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)DR. Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K)Dr. Hendratno Halim, Sp.A(K)

Page 9: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

ix

Daftar Penulis

DR. Dr. Ahmad Suryawan, Sp.A(K)Divisi Tumbuh Kembang Ped.Sos

Departemen IKA - FK Universitas Airlangga RSUD Dr.SoetomoSurabaya - Indonesia

DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K)Divisi Endokrinologi

Departemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto MangunkusumoJakarta - Indonesia

DR. Dr. Anang Endaryanto, Sp.A(K)Divisi Alergi Imunologi

Departemen SMF IKA FK Universitas Airlangga RSUD Dr.SoetomoSurabaya - Indonesia

Dr. Antonius H. Pudjiadi, Sp.A(K)

Divisi Pediatri Gawat DaruratDepartemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

Jakarta -Indonesia

Dr. Aris Primadi, Sp.A(K)Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung - Indonesia

DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K) Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik

Departemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto MangunkusumoJakarta - Indonesia

Dr. Badriul Hegar, Sp.A(K), Ph.DDivisi Gastrohepatologi

Departemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto MangunkusumoJakarta - Indonesia

DR. Dr. Damayanti R. Syarif, Sp.A(K)Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik

Departemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto MangunkusumoJakarta - Indonesia

Page 10: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

x

Dr. Endang Dewi Lestari, Sp.A(K)Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RS MoewardiSurakarta – Indonesia

Dr. Endy Prawirohartono, MPH, Sp.A(K)Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta - Indonesia

DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)Divisi Neurologi

Departemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto MangunkusumoJakarta - Indonesia

DR. Dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K)Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial

Departemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto MangunkusumoJakarta - Indonesia

Dr. Luh K. Wahyuni, Sp.KFR(K)Departemen Rehabilitasi Medik

FKUI - RSCM RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta - Indonesia

Prof. Dr. Madarina Julia, Sp.A(K),MPH,PhDDepartemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta - Indonesia

Prof. Dr. Mohammad Juffrie, Sp.A(K), PhDDivisi Gastrohepatologi

Departemen IKA FK Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta - Indonesia

Dr. Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K)Divisi Kardiologi

Departemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto MangunkusumoJakarta - Indonesia

DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)Divisi Alergi Imunologi

Departemen IKA FKUI - RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta -Indonesia

Page 11: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia xi

Daftar Isi

Kata Sambutan Pengurus Pusat IDAI ..............................................iii

Kata Sambutan Ketua IDAI Cabang DKI Jakarta .............................. v

Kata Pengantar Tim Penyunting...................................................... vii

Susunan Panitia .............................................................................. viii

Daftar Penulis ................................................................................... ix

First Golden Hour pada Bayi Prematur .............................................. 1Aris Primadi

Safe Trip for Newborn ...................................................................... 12Rinawati Rohsiswatmo, Caroline Haryono

Best Nutrition for Preterm Infants ................................................... 20Aryono Hendarto

Formula Alternatif pada Tata Laksana Alergi Susu Sapi ................ 33Zakiudin Munasir

The Hygiene Hypothesis Revisited .................................................... 40Anang Endaryanto

Alergi Saluran Cerna ....................................................................... 63Mohammad Juffrie

Seng .................................................................................................. 75Endang Dewi Lestari

Mikrobiota dan Perannya pada Gangguan Saluran Cerna .............. 87Badriul Hegar

Autism Spectrum Disorders: Early Detection Tools .......................... 97Ahmad Suryawan

Page 12: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

xii A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Do’s and Don’ts in Autism ............................................................. 118Hardiono D. Pusponegoro

Intervention from Physical Medicine and Rehabilitation on ASD .. 128Luh Karunia Wahyuni

Stunting: Perspektif Endokrinologi Pediatri .................................. 136Madarina Julia

Short Stature Versus Stunting :Bridging Gaps Between Bench-Community-Bed ................................................................... 149Damayanti Rusli Sjarif

Stunting in Indonesian Children .................................................... 162Hartono Gunardi

Vitamin D Supplementation: is it Recommended? .......................... 174Aman B. Pulungan

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah? ..................... 184Endy P. Prawirohartono

Tata Laksana Renjatan: Berselancar Meniti Buih ........................ 199Antonius H. Pudjiadi

Isu Seputar Imunisasi: Peran Media Sosial dalam Membentuk Opini Masyarakat ........................................................................... 205 Piprim Basarah Yanuarso

Page 13: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

1

First Golden Hour pada Bayi PrematurAris Primadi

Tujuan:1. Mengetahui protokol golden hour2. Mengetahui implementasi protokol golden hour pada bayi kurang

bulan

PendahuluanPrematuritas menjadi penyebab langsung kematian terbesar di dunia, sekitar 35% dari 3,1 juta kematian per tahun dan menjadi penyebab kematian di bawah 5 tahun kedua setelah pneumonia.1,2 Riskesdas Indonesia tahun 2007 menunjukkan prematuritas merupakan penyebab kematian perinatal kedua (32,3%) setelah respiratory disorders (35,9%).3 Kelahiran prematur juga secara signifi kan dapat menyebabkan hilangnya potensi fungsi jangka panjang pada bayi yang bertahan hidup.2 Sebanyak 50% bayi dengan kelahiran<25 minggu hidup dengan kecacatan, seperti kehilangan pendengaran, pengelihatan, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan.4 Data WHO menunjukkan keadaan moderate dan late preterm (32-37 minggu kehamilan) diasosiasikan dengan kemungkinan efek samping yang signifi kan, termasuk gangguan kemampuan belajar.5

Bayi prematur terutama bayi periviable sangat rentan, memiliki berbagai karakteristik yang menyebabkan sulitnya stabilisasi setelah lahir. Bayi dapat dengan mudah menjadi hipotermi akibat kulit tipis, cadangan lemak rendah, simpanan energi kurang, mudah cedera oleh oksigen, memiliki otot dada yang lemah untuk menunjang ventilasi adekuat, sistem saraf yang imatur untuk mencetuskan dorongan napas, kekurangan surfaktan untuk ekspansi paru, dan kesulitan pertukaran gas. Bayi prematur juga memiliki risiko tinggi untuk mendapat infeksi karena sistem imunnya imatur. Imaturitas menyebabkan kapiler otak rapuh, mudah pecah, memiliki total volume darah yang sedikit dan rentan jatuh dalam keadaan hipovolemia.6

Penelitian menunjukkan bahwa apa yang terjadi pada jam pertama kehidupan bayi prematur dapat menyebabkan konsekuensi

Page 14: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aris Primadi

2 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

jangka pendek dan panjang, mempengaruhi perkembangan saraf dan bahkan mengakibatkan kematian.4 Anggota tim ruang bersalin memiliki kesempatan untuk memberikan dampak baik ataupun buruk pada proses transisi ini. Pada periode ini, klinisi akan dihadapkan dengan permasalahan kompleks yang memerlukan keputusan berdasar sistem, dengan catatan bahwa permasalahan pada menit pertama kehidupan dapat menjadi permasalahan panjang di kemudian hari.7 Keputusan harus dibuat dalam waktu relatif singkat. Kolaborasi yang baik berdasar komunikasi yang baik merupakan hal penting. Penting bagi setiap anggota tim untuk mengetahui secara pasti perannya danmelatih kemampuannya.6

Pada 2009, Reynolds dkk membuat daftar tilik golden hour untuk neonatal intensive care unit (NICU) mereka. Tujuan umumnya adalah mengembangkan protokol yang akan menurunkan gejala sisa jangka panjang terkait dengan komplikasi kelahiran prematur. Tata laksana berfokus pada resusitasi, termoregulasi, pengobatan cepat diduga sepsis, tepat waktu pemberian nutrisi intravena, pencegahan hipoglikemia dalam waktu satu jam kehidupan. Protokol golden hour dikembangkan dengan menggabungkan semua komponen ini dan menggunakan kerangka berbasis bukti untuk menyelesaikan rangkaian tindakan dalam waktu 60 menit.4 Tulisan ini akan membahas latar belakang protokol golden hour dan manfaat implementasinya.

Bayi kurang bulanBayi kurang bulan (BKB) atau prematur didefi nisikan sebagai bayi dengan usia kehamilan 20 minggu hingga 37 minggu usia kehamilan. Walaupun teknologi dalam bidang perinatologi semakin maju, angka kelahiran kurang bulan dalam 40 tahun terakhir tidak menurun secara signifi kan. Risiko dari mortalitas dan morbiditas bayi kurang bulan berbanding terbalik dengan usia kehamilan saat bayi tersebut dilahirkan. (Tabel 1).8

Tabel 1. Gestational-Age-Specifi c Survival pada bayi prematur 22 - 25 minggu`

Usia Kehamilan(Minggu)

Survival Dengan Kelainan Neurologis

SurvivalTanpa Kelainan Neurologis

22 5%a/ 6%b(0-50%) 80% 1%23 26%a/ 26%b(2-53%) 65% 9%24 56%a/ 55%b(20-100%) 50% 28%25 76%a/ 72%b(50-90%) 39% 46%

Sumber: Tyson dkkadan Stallb.8

Page 15: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 3

First Golden Hour pada Bayi Prematur

William dkk menyatakan bahwa bayi late preterm (34-36 minggu masa kehamilan) memiliki risiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan bayi cukup bulan. Peneliti tsb menyarankan untuk mengganti istilah “near term” dengan “late preterm”, dengan tetap menulis preterm diharapkanakan membuat pelaksana pelayanan mempunyai kewaspadaan lebih.9 Tabel 2 menggambarkan risiko morbiditas bayi late preterm.

Bayi prematur memiliki karakteristik anatomis, fi siologis dan metabolik yang berbeda dari bayi cukup bulan. Bayi tersebut memiliki surfaktan yang kurang, sehingga membuat ventilasi menjadi sulit. Ketidakmatangan perkembangan otak dapat menurunkan rangsangan untuk bernapas spontan. Otot yang lemah dan belum berkembang membuat napas spontan menjadi sulit. Kulit yang tipis, luas penampang

Tabel 2. Bayi Late Preterm dan Komplikasi Pasca Lahir9

Luaran Saat Dirawat Paska Lahir

Morbiditas Late Preterm

Morbiditas Cukup Bulan

OR (95% CI)

P

No. % No. %Kesulitan minum 35-36 minggua 29 32,2 7 7,4 - -Hipoglikemia 35-36 minggua 14 15,6 5 5,3 3,3(1,1-12,2) 0,028Jaundice 35-36 minggua 49 54,4 36 37,9 1,95(1,04-3,67) 0,027Instabilitas suhu 35-36 minggua 9 10,0 0 0,0 Tak terhingga 0,0012Apne 34-35 minggub - 7,0 - <0,1 - - 35-36 mingguc 6 12,0 0 0,0 12,0(4,5-24,3) 0,0267 35-36 minggua 4 4,0 0 0,0 - 0,054

Distres napas 34-36 minggud 345 10,7 975 2,7 - - 34-36 minggue 1167 3,6 843 0,8 - -

34-36 mingguf 314 9,6 359 0,6 - -

35-36 minggua 26 28,9 4 4,2 9,14(2,9-37,8) 0,00001

Infus intravena

35-36 minggua 24 26,7 5 5,3 6,48(2,3-22,9) 0,0007

Sepsis?

35-36 minggua 33 36,7 12 12,6 3,97(1,8-9,2) 0,00015

Ventilasi Mekanik

34-36 minggu 1103 3,4 950 0,9 - -

Sumber:9 Wang dkka, Henderson-Smart dkkb, Merchant dkkc, Escobar dkkd, Gilbert dkke, Rubaltelli dkk f

Page 16: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aris Primadi

4 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

tubuh yang lebar dan lemak yang sedikit, memberikan kontribusi terhadap kehilangan panas yang cepat. Kelahiran pun seringkali merupakan kelahiran yang berisiko bagi bayi untuk mendapatkan infeksi. Pembuluh darah otak bayi prematur rapuh, sehingga mudah mengalami perdarahan akibat stres, volume yang kecil meningkatkan risiko terjadinya hipovolemia akibat kehilangan darah. Oksigen yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan dikarenakan jaringan paru belum matang.10 Cadangan energi yang sedikit menambah risiko morbiditas bayi prematur.6

World Health Organization merekomendasikan regulasi suhu, pemberian dukungan napas dan pemberian surfaktan pada pasien dengan respiratory distress syndrome serta terapi oksigen yang sesuai pada perawatan bayi prematur paska-lahir.11

Penanganan bayi prematur pada jam pertama sangat penting dan kritis. Penelitian menunjukkan bahwa apa terjadi pada jam pertama kehidupan bayi prematur dapat menyebabkan konsekuensi jangka pendek dan panjang, mempengaruhi perkembangan saraf, dan bahkan mengakibatkan kematian.4 Ferrerira dkk membuktikan bahwa satu jam pertama kehidupan bayi prematur sangat mempengaruhi luaran bayi tersebut.12

Protokol golden hourPada 2009, Reynolds dkk membuat daftar tilik golden hour untuk neonatal intensive care unit (NICU) mereka. Tujuannya untuk mengembangkan protokol yang diharapkan akan menurunkan gejala sisa jangka panjang terkait dengan komplikasi kelahiran prematur termasuk perdarahan intraventrikular (IVH), penyakit paru-paru kronis (CLD), dan retinopati akibat prematuritas (ROP). Fokus utamanya adalah resusitasi, termoregulasi, pengobatan cepat diduga sepsis, tepat waktu pemberian nutrisi intravena, mencegah hipoglikemia, dan perawatan di NICU dalam waktu satu jam pertama kehidupan. Golden hour harus dimulai dari ruang bersalin dan berakhir di NICU.4 Pada tahun 2012, Doyle dkk membuat rancangan alurgolden hour yang dapat digunakan sebagai acuan standar pembuatan protokol golden houryang melibatkan perawat ahli resusitasi neonatus, perawat pendamping dan ahli sistem respirasi (respiratory therapist) yang dijabarkan pada Tabel 3.

Resusitasi ruang bersalinAmerican Heart Association (AHA) dan American Academy of Pediatrics membuat pedoman berupa pendekatan berbasis bukti untuk resusitasi bayi baru lahir di ruang bersalin. Tujuan dari resusitasi ini adalah

Page 17: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 5

First Golden Hour pada Bayi Prematur

menggunakan intervensi seminimal mungkin untuk menunjang pertukaran gas yang baik dengan meminimalkan cedera paru. Penting untuk mempersiapkan alat bantu dan perlengkapan untuk dukungan yang diperlukan, mengenal indikasi pada pasien dan penggunaannya, jumlah oksigen yang diperlukan dan persiapan pemberian surfaktan. Selama proses resusitasi, diperlukan pemantauan saturasi menggunakan pulse oximetry. Penelitian menunjukkan, setiap anggota dalam tim resusitasi tidak sependapat dalam menilai kebugaran bayi berdasarkan warna kulit. Temuan ini memperkuat rekomendasi penggunaan pulse oxymetry, dengan target saturasi sesuai rekomendasi AHA. Pulse oxymetry sebaiknya dipasangkan pada estremitas atas kanan, untuk memastikan saturasi O2pre-ductal.4

Jika dukungan sistem pernapasan diperlukan, lebih direkomendasikan untuk menggunakan alat dengan tekanan yang dapat diatur. Pemberian napas secara manual sebaiknya dihindarkan, karena terbukti memberikan cedera pada paru. AHA merekomendasikan pemberian oksigen dengan blender oksigen, dititrasi naik hingga mencapai saturasi yang diinginkan sesuai pedoman. Dukungan oksigen yang sesuai adalah jumlah oksigen paling sedikit untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan.4 Vento dkk dalam penelitiannya menemukan, penggunaan oksigen 100% pada saat resusitasi baru lahir meningkatkan stresoksidatif.13 Pada penelitian lain berbentuk meta analisis, Vento dkk menemukan dengan pemberian okigen ruangan (FiO2 21%) menurunkan mortalitas dengan relative risk 0,69.14

Pemberian surfaktan dapat meningkatkan kelangsungan hidup bayi prematur dengan mengurangi distres napas dan keparahan CLD. Penggunaan ventilasi mekanik selama 15-30 menit pada paru yang mengalami kekurangan surfaktan, terbukti menyebabkan cedera paru akut. Kerusakan ini dapat berakibat menurunnya respon terhadap pemberian surfaktan.4 Surfaktan segera diberikan setelah dilakukan intubasi.15 Pada bayi kehamilan <30 minggu,keuntungan yang diberikan oleh pemberian surfaktan profi laksis sebelum terjadinya distres napas melebihi risikonya.4 Bradford Teaching Hospital pada pedoman golden hour menyatakan, pemberian surfaktan dilakukan pada 5 menit pertama setelah kelahiran pada bayi kehamilan <28 minggu.16 Polin dkk menemukan batas pemberian <2 jam untuk menurunkan risiko mortalitas, air leak dan penyakit paru kronis akibat respiratory distress syndrome.17

Page 18: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aris Primadi

6 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 3. Protokol Golden Hour yang Diajukan oleh Doyle dkk

Waktu (menit)

NNP Perawat Pendamping

RT Perawat Ruang Perawatan

-10 Mengisi formulir perintah perawatan bayi

Atur temperatur ruangan pada 800F (26,70C); pastikan tempat tidur hangat; tersedia selimut, topi dan body bag plastik, inkubator transpor hangat dan tersedia

Pastikan ketersediaan alat intubasi dan suction, oksigen lembab dan hangat. Jika perlu, minta bantuan untuk keperluan alat-alat pernapasan lain

Pastikan ketersediaan tempat tidur di ruang perawatan. Pastikan alat infus dan cairan parenteral hangat tersedia. Minta bantuan apabila diperlukan

0-10 Nilai bayi. Nilai indikasi intubasi. Nilai skor APGAR

Tempatkan bayi dalam body bag plastik, pakai topi; pasangpulse oximetry di tangan kanan

Pastikan patensi jalan napas; gunakan pipa ET jika perlu

Siapkan alat pemasangan kateter umbilikal steril

10-15 Stabilisasi untuk transpor ke NICU

Stabilisasi untuk transpor ke NICU

Stabilisasi untuk transpor ke NICU

Stabilisasi untuk transpor ke NICU

15-20 Gunakan gaun, sarung tangan steril untuk pemasangan kateter umbilikal

Nilai: berat, panjang, lingkar kepala, tanda vital. Beri vitamin K, posisikan untuk siap dipasangkan kateter umbilikal

Sambungkan ke ventilator/NCPAP; T-Piece Resuscitator/bag dan mask; titrasi O2sesuai kebutuhan

Isi chart, bantu perawat pendamping, siapkan alat-alat pengambilan bahan pemeriksaan laboratorium

20-30 Pasang kateter umbilikal (arteri dahulu)

Bantu NNP untuk pemasangan kateter umbilikal, monitor suhu dan tanda vital

Lakukan pemberian surfaktan dengan dosis sesuai

Siapkan antibiotik

30-35 Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium

Tempatkan darah di tabung laboratorium dan beri label

Transpor darah untuk analisa gas darah dan kembali bantu pasien

Kirim bahan laboratorium, panggil petugas x-ray

35-45 Pasang kateter vena umbilikal

Bantu petugasx-ray Reposisi pipa ET jika diperlukan

Isi Chart

45-55 Nilai hasil x-ray; posisikan dan patenkan kateter umbilikal

Pasang jalur intravena, beri antibiotik dan cairan infus

Isi chart Isi chart; bantu pemasangan alat infus pump

55-60 Nilai hasil laboratorium; tulis perintah tambahan

Tutup inkubator, pastikan kelembaban sesuai, keluarkan bag plastik, patenkan jalur umbilikal, beri profi laksis mata, lakukan nesting

Beri surfaktan kembali jika diperlukan

Bantu perawat pendamping

60 Isi chart Bersihkan tempat tidur dan siapkan untuk kehadiran keluarga

Isi chart Bantu perawat pendamping

Setelah Informasikan keadaan terkini pada keluarga

Perkenalkan ruang NICU pada keluarga, isi chart

Monitor keadaan sistem respirasi dan persiapkan weaning ventilator

Isi chart

Catatan: NNP: neonatal nurse practitioner, RT respiratory therapist Sumber: Doyle dkk4

Page 19: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 7

First Golden Hour pada Bayi Prematur

Tujuan dukungan respirasi adalah untuk mendukung masa transisi bayi prematur dari pernapasan fetus menjadi neonatus. Infl asi paru yang sesuai adalah langkah pertama transisi ini. Mencoba untuk melakukan ventilasi mekanik pada paru yang kurang berkembang dapat menyebabkan penyakit paru kronis. Pemberian surfaktan pada bayi dan dilanjutkan dengan penggunaan continous positive airway pressure (CPAP) dapat menghasilkan pertukaran gas yang lebih efektif. Terdapat pendekatan “INSURE” yang dikembangkan Wiswell dan Srinivasan yang meliputi pemberian surfaktan, ekstubasi dini dan dilanjutkan dengan CPAP.4

TermoregulasiPada pedoman resusitasi, AHA menekankan pentingnya termoregulasi. Hipotermia pada bayi prematur dapat memicu kaskade yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Langkah pertama dalam mengurangi hipotermia bayi adalah mengatur temperatur ruang bersalin, rekomendasinya diatur pada 26,70C. Radiant warmer sebaiknya dinyalakan sebelum proses persalinan. Transpor bayi menggunakan inkubator yang telah dihangatkan sebelumnya. Pengaturan temperatur lingkungan merupakan langkah pertama termoregulasi, namun untuk mencegah kehilangan panas evaporatif, kelembaban juga harus diatur.4

Kelembaban inkubator dipertahankan pada 50% atau lebih.Ketika pintu inkubator terbuka, umumnya kelembaban akan berkurang dan temperatur bayi dapat turun sebanyak 10C dalam 5 menit. Untuk fl uktuasi cepat tersebut, Knobel dan Holditch Davis mencanangkan kelembaban inkubator dimulai pada 80 persen, diharapkan hal ini dapat mempertahankan kelembaban di atas 60% walaupun pintu dibuka.4

Doyle dkk mengharuskan bayi masuk ke dalam inkubator dalam waktu maksimal 1 jam.4

SepsisSepsis awitan dini memegang peranan penting dalam morbiditas dan mortalitas bayi prematur. Risiko sepsis bayi prematur berbanding terbalik dengan berat lahirnya.18 Pada bayi tersangka sepsis, pemberian antibiotik dini menurunkan mortalitas hingga 16%.4 Kumar dkk menemukan, penundaan antibiotik tiap jamnya, menurunkan kemungkinan selamat hingga 8%.19 Pada neonatus, tanda dan gejala sepsis mungkin tidak jelas, dapat berbentuk perubahan tanda vital, hipoglikemia, instabilitas suhu atau perubahan perilaku bayi. Kultur sebaiknya diambil sebelum pemberian antibiotik. Penggunaan protokol golden hour akan menunjang penggunaan antibiotik pada bayi yang dicurigai sepsis dalam waktu satu jam kehidupan.4

Page 20: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aris Primadi

8 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

NutrisiTata laksana nutrisi memegang peranan penting dalam mengoptimalkan pertumbuhan, mencegah syok metabolik dan mendukung luaran terbaik perkembangan saraf. Pemberian glukosa dalam 30 menit pasca-lahir dapat mencegah hipoglikemia pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR). Pemberian protein pada bayi BBLSR disarankan sebelum 2 jam. Pemberian protein mencegah katabolisme protein, penurunan growth-regulating factors, dan mencegah hipoglikemia. Setiap ruangan bayi harus memiliki stok cairan nutrisi parenteral agar dapat segera diberikan. Penggunaan protokol golden hour akan menunjang pemberian nutrisi sebelum satu jam kehidupan.4

Implementasi protokol golden hour pada bayi kurang bulanFokus utama dalam golden hour adalah resusitasi, termoregulasi, pengobatan sepsis segera, pemberian nutrisi parenteral, euglikemia dan masuk perawatan dalam 60 menit paska-lahir. Diperlukan tim yang terorganisir dengan baik dan terampil, dengan komunikasi yang efektif untuk mencapai sasaran protokol dalam 1 jam pertama.4

Hudson dan Oddie mengimplementasikan protokol golden hour pada Bradford Teaching Hospital di Nottingham, Inggris. Protokol memuat daftar tilik untuk rentang usia kehamilan berbeda, mulai dari persiapan, hingga saat bayi masuk ke dalam ruang perawatan (NICU). Secara rinci dibuat komunikasi dan tata laksana pasien dalam persiapan, resusitasi, termoregulasi, jumlah nutrisi, dan proses masuk perawatan. Setiap perlakuan ditentukan cara hingga peralatannya. Daftar tilik dibuat untuk dapat dipenuhi dalam 1 jam pertama.16

Pada tahun 2012, Wallingford dkk melakukan kajian data Vermont Oxford Network(VON). Kajian dilakukan setelah protokol golden hour diimplementasikan selama 6 bulan pada NICU. Protokol yang dibuat oleh VON membahas peran tiap anggota tim yang terlibat dalam proses golden hour, mulai dari sebelum kelahiran hingga masuk dalam perawatan. Jaringan membuat fl owchart peran tiap anggota tim, daftar tilik yang harus dipenuhi dalam 1 jam.Kajian memperlihatkan bertambahnya kepatuhan rumah sakit terhadap protokol golden hour dan menghasilkan penurunan penyakit paru kronis hingga 84,5%.1

Reynolds dkk melaporkan pengalaman Baylor University Medical Center di Dallas, Amerika Serikat menggunakan protokol golden hour. Rumah Sakit membuat fl owchart resusitasi di ruang bersalin, daftar

Page 21: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 9

First Golden Hour pada Bayi Prematur

tilik tracking form. Mereka membuat bagan untuk mengatur siapa yang menjadi penolong, dibagi menjadi level I, II, dan III (Gambar 1).20

Gambar 1. Algoritme Regu Penolong PersalinanSumber: Reynolds dkk.20

Ashmeade dkk melakukan implementasi protokol golden hour pada BBLSR dengan kehamilan <28 minggu. Mereka membandingkan luaran pada bayi sebelum diberlakukannya protokol dan sesudahnya. Peneliti menemukan perbaikanwaktu pemberian surfaktan, waktu pemberian nutrisi, temperatur bayi saat masuk ruang rawat, risiko mendapat chronic lung disease dan risiko mendapat retinopathy of prematurity. Dengan protokol tersebut, didapatkan perawatan persalinan yang lebih efektif sehingga didapatkan luaran lebih baik.21,22

SimpulanGolden hour memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan luaran bayi kurang bulan. Tata laksana tim resusitasi merupakan kunci utama dalam meningkatkan luaran bayi kurang bulan. Protokol golden hourharus dipenuhi oleh tim dalam 1 jam, mulai dari ruang bersalin hingga masuk ke dalam perawatan.

Page 22: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aris Primadi

10 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Daftar pustaka1. Wallingford B, Rubarth L, Abott A, Miers LJ. Implementation and Evaluation of

“Golden Hour” Practices in Infants Younger Than 33 Weeks Gestation. Newborn & Infant Nursing Reviews. 2012; 12:86-96.

2. Blencowe H, Cousens S, Chou D, Oestergaard M, Say L, Moller AB, et al. Born Too Soon: The Global Epidemiology of 15 Million Preterm Births. Reproductive Health. 2013;10(suppl 1):S2.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2007. Desember 2008.

4. Doyle KJ, Bradshaw WT. Sixty Golden Minutes. Neonatal Network. 2012; 31:289-94.

5. Lawn JE, Davidge R, Paul V, Xylander SV, Johnson JG, Costello A, Kinney M, et al. WHO. Care for the Preterm Baby, dalam: The Global Action Report on Preterm Birth.

6. Wyckoff WH. Initial Resuscitation and Stabilization of the Periviable Neonate: The Golden-Hour Approach. Seminars in Perinatology. 2014;38:12-6.

7. Annibale DJ, Bissinger RL. The Golden Hour. Advances in Neonatal Care. 2010;10:221-3.

8. Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, editors. Neonatal-Perinatal Medicine. 10th ed. China: Elsevier; 2015.

9. Engle W, Tomashek KM, Wallman C, Commitee on Fetus and Newborn. “Late-Preterm” Infants: a Population at Risk. Pediatrics. 2007;120:1390-401.

10. Textbok of Neonatal Resuscitation. Kattwinkel J, editors. 6th ed. 2010.11. World Health Organization. WHO Recommendations on Interventions to Improve

Preterm Birth Outcomes. France: WHO Press; 2015.12. Ferreira J, Soares H, Flor-de-Lima F, Mateus M, Guimaraes H. The Golden Hour in

Infants <32 Weeks of Gestational Age. Faculty of Medicine Porto University. 2015.13. Vento M, Saugstad OD. Oxygen Supplementation in the Delivery Room: Updated

Information. J Pediatr. 2011; 158:e5-7.14. Vento M, Asensi M, Sastre J, Lloret A, Garcia-Sala F, Vina J. Oxidative Stress in

Asphyxiated Term Infants Resuscitated with 100% Oxygen. J Pediatr. 2003;142:240-6.

15. Engle WA, Commitee on Fetus and Newborn. Surfactant-Replacement Therapy for Respiratory Distress in the Preterm and Term Neonate. Pediatrics. 2008;121:419-32.

16. Hudson C, Oddie S. The Golden Hour Resuscitation and Early Care of the Extremely Preterm Infant. 2006. NHS Foundation Trust Bradfor Teaching Hospital.

17. Polin RA, Carlo WA, Commitee on Fetus and Newborn. Surfactant Replacement Therapy for Preterm and Term Neonates With Respiratory Distress. Pediatrics. 2014;133:156-63.

18. Gomella TL, editor. Neonatology. Management, procedures, on-call problems, diseases and drugs. 7th ed. New York: Mc Graw Hill; 2013.

19. Kumar A, Roberts D, Wood KE, et al. Duration of hypotension before initiation of effective antimicrobial therapy is the critical determinant of survival in human septic shock.Crit Care Med. 2006;34:1589-1596.

Page 23: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 11

First Golden Hour pada Bayi Prematur

20. Reynolds RD, Pilcher J, Ring A, Johnson R, McKinley. The Golden Hour: Care of the LBW Infant During the First Hour of Life One Unit’s Experience. Neonatal Network. 2009;28:211-9.

21. Castrodale V, Rinehart S. The Golden Hour. Improving the stabilization of the very low birth-weight infant. Advance in Neonatal Care. 2014;14:9-14.

22. Asmeade TL, Haubner L, Collins S, Miladinovic B, Fugate K. Outcomes of a Neonatal Golden Hour Implementation Project. American Journal of Medical Quality. 2016;31:73-80.

Page 24: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

12

Safe Trip for NewbornRinawati Rohsiswatmo, Caroline Haryono

Tujuan:1. Melakukan konsep stable sebelum dilakukan transpor neonatus2. Mampu melakukan organisasi transportasi neonatus3. Mampu melakukan stabilasasi pra- transportasi4. Memahami stabilsasi pada berbagai kondisi khusus

Latar belakangTempat kelahiran bayi yang paling aman adalah pelayanan kesehatan dengan fasilitas lengkap serta tenaga kesehatan kompeten.1 Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2013, sebanyak 29,6% kelahiran terjadi di rumah, 38 % kelahiran di rumah sakit bersalin, sedangkan yang melahirkan di rumah sakit hanya 21,4 %.2 Melihat kondisi demikian, kemungkinan transpor bayi baru lahir ke fasilitas lengkap sangat besar.

Rujukan ketika bayi masih didalam kandungan merupakan metode rujukan terbaik.3,4Terdapat risiko kehamilan seperti preeklampsia berat, eklampsia, kehamilan dengan penyakit jantung, perdarahan pada kehamilan, serta kehamilan dengan penyakit ginjal kronik yang mengharuskan terjadinya kelahiran di rumah sakit besar dengan fasilitas lengkap. Namun seringkali kelahiran prematur, penyakit perinatal, dan kelainan kongenital tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga dibutuhkan transportasi bayi setelah dilahirkan.

Sebelum melakukan transportasi, harus dipastikan bayi sudah stable agar terjamin keamanannya dan dapat dipastikan selamat sampai tempat tujuan.3,4Tim transpor sebaiknya merupakan tim terlatih dan kompeten.1 Perlu juga diperhatikan jarak tempuh, kondisi perjalanan dan kesiapan rumah sakit rujukan.

Page 25: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 13

Safe Trip for Newborn

Organisasi transportasi neonatusBerdasarkan lokasi pemindahan terdapat 2 jenis transportasi neonatus, yaitu intrahospital dan interhospital. Yang dimaksud transportasi intrahospital adalah bayi ditranspor dari tempat dilahirkan ke ruang perawatan lanjutan yaitu ruang perawatan khusus atau intensif rumah sakit yang sama. Transportasi interhospital yaitu transpor antar rumah sakit. Apabila bayi harus dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap, pastikan kemanan dan kelangsungan hidup bayi tersebut lebih baik.4

Di negara maju transportasi neonatus umumnya dikelola secara profesional oleh rumah sakit rujukan tertinggi dan dibiayai oleh negara. Di negara bagian Victoria, Australia hanya ada satu pelayanan transpor neonatus, yaitu di rumah sakit pemerintah terbesar yang juga sekaligus merupakan rumah sakit pendidkan.Akronim dari transportasi neonatal adalah NETS (Newborn Emergency Transport Service). NETS merupakan layanan khusus yang dirancang sebagai moving intensive care for all sick infants. NETS memberikan layanan berupa diskusi atau nasehat terkait penanganan kegawatan bayi sebelum penjemputan, membantu mencarikan tempat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU), mampu menangani dan menstabilisasi serta transpor bayi kritis dengan aman.5

Tim transpor neonatus merupakan tim pelayanan multidisplin yang terdiri dari staf keperawatan neonatus, respiratory therapists, tenaga paramedis, supir ambulan dan penyedia pelayanan kesehatan.6 Setiap anggota tim transpor sebaiknya memiliki kemampuan tinggi dalam menangani neonatus risiko tinggi seperti, oksigenasi, ventilasi, terapi cairan, obat-obatan, pengaturan suhu tubuh dan prosedur klinis lainnya.4 Kemampuan minimal yang harus dimiliki tim transpor diantaranya kemampuan dalam pemasangan pipa endotracheal / intubasi, chest tube insertion, pemasangan jarum intraosseous, pemasangan kateter umbilikal, pemberian surfaktan, pengunaan ventilasi mekanik.7Selain itu tim transpor juga harus mempunyai ketreampilan komunikasi interpesonal, ketrampilan berpikir kritis serta ketrampilan kepemimpinan.8

Peralatan yang diperlukan untuk transpor neonatus meliputi: inkubator transpor dengan independent power supply, persediaan oxygen dan medical air, monitor kontinu untuk laju denyut jantung, laju denyut napas, tekanan darah,syringe dan infusion pump, alat pengukur analisis gas darah portable, pulse oximeter, alat pengukur gula darah, peralatan ventilasi, suction, obat-obatan resusitasi, peralatan untuk intubasi, chest drain, kateter umbilikal, dan prosedur klinis lainnya. Tim transpor sebaiknya membawa kamera untuk mendokumentasikan

Page 26: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Rinawati Rohsiswatmo, Caroline Haryono

14 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

keadaan neonatus dan nantinya apabila diperlukan dapat diberikan ke orang tua pasien.4

Beberapa Obat-obatan yang diperlukan untuk transportasi neoatus adalah calsium glukonas 10% , epinefrin (1:10000) diisi dalam spuit, sodium bikarbonat, dopamin, dobutamin, morfi n, midazolam, normal salin, fenobarbital, surfaktan, Prostaglandin E1 (PGE1) .

9

Stabilisasi pra–tranportasiStabilisasi pra–tranportasi dapat meminimalkan risiko yang dapat berkontribusi pada kesakitan mapun kematian.3Sebelum dilakukan pemindahan pasien, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan tenaga medis:4

Semua bayi yang akan dirujuk harus dipastikan jalan napasnya terbuka dan ventilasi adekuat. Kulit dan bibir berwarna merah, laju denyut jantung 120-160 kali per menit, suhu aksila 36.5-37,5 ºC, saturasi O288-92%.

2. Ada beberapa bayi yang mengalami kondisi kegawatan seperti asidosis, syok, infeksi, hipoglikemia, kejang. Dibutuhkan ketrampilan dan pengetahuan khusus seperti pemberian cairan dan obat-obatan.

3. Sebagian bayi mengalami kelainan dan membutuhkan penanganan khusus. Kelainan tersebut seperti atresia choanal, Syndrom Pierre- Robin, hernia diafragmatika, atresia oesophageal dan fistula tracheo-oesophageal, gastroschisis, exomphalos, sumbatan usus besar , meningomyelocele,penyakit jantung bawaan biru berat dan aritmia jantung.

Transportasi bayi bukan berarti memindahkan kematian ke tempat lain. Agar menghasilkan luaran bayi baru lahir yang baik dikenal kaidah The First Golden Hour.The First Golden Hour merupakan waktu satu jam pertama yang sangat kritis pada kehidupan neonatus yang baru lahir. Tata laksana yang tepat oleh tenaga yang kompeten akan memberi dampak yang sangat berarti dari kehidupan neonatus itu di masa mendatang. 10

Protokol The First golden hour adalah penanganan kegawat daruratan pada satu jam pertama pasca kelahiran. The First golden hour merupakan implementasi program STABLE. Konsep transpor neonatus tidak boleh dilakukan sebelum bayi STABLE. Program STABLE ini disusun berdasarkan prinsip prioritas resusitasi ketika menghadapi kondisi kritis, yakni ABC (Airway, Breathing, dan Circulation). STABLE merupakan singkatan dari SUGAR and SAFE care (kadar gula darah dan keselamatan bayi), TEMPERATURE (suhu), AIRWAY (jalan napas), BLOOD PRESSURE (tekanan darah), LAB WORK (pemeriksaan

Page 27: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 15

Safe Trip for Newborn

laboratorium), EMOTIONAL SUPPORT (dukungan emosional).3 Program STABLE juga mengupayakan kondisi bayi menjadi “warm, pink, and sweet” secepatnya dalam kurun waktu 1 jam.3,7

Parameter keberhasilan penerapan The First Golden Houruntuk bayi berat lahir amat sangat rendah di negara maju adalah: Pencapaian suhu aksila 36,5 ° C - 37,4 ° C, kadar gula darah 50 -120 mg/dL, pemberian nutrisi parenteral glukosa dan asam amino dalam 1 jam setelah lahir. Kunci keberhasilan penerapan The First Golden Hour adalah tersedianya personil ruang bersalin yang kompak, terampil, penggunaan kantung polietilen untuk mencegah kehilangan panas, penggunaan probe suhu kulit dalam waktu 10 menit dan pemasangan kateter umbilikal sebelum neonatus ditranspor dari ruang resusitasi ke ruangan NICU.11

Stabilisasi pada berbagai kondisi khususBeberapa kondisi neonatus dibawah ini memerlukan prosedur stabilisasi tertentu yang perlu diperhatikan tim transpor

Atresia khoanal bilateralAtresia Khoanal Bilateral / AKB merupakan keadaan cukup serius pada bayi baru lahir. Terkadang keadaan ini sangat jarang dikenali oleh petugas medis yang membantu kelahiran AKB. Gejala klinis AKB adalah bayi tampak merah pd saat menangis, namun pada saat diam, dan mulutnya tertutup, bayi tampak biru sekalipun tidak tampak sesak. Petugas kesehatan umumnya menemukan kasus ini ketika mereka mengalami kesulitan memasukan kateter kedalam hidung.4

Bayi yang mengalami AKB harus diupayakan oral airwaynya tetap terbuka, misalnya dengan memasang guedel/ oropharingtube.Pada keadaan tidak tersedia alat oropharngeal airway/ OPA, jari tangan petugas medis dapat diletakkan pada mulut bayi untuk membuat jalan napas sementara. Bayi sebaiknya diletakkan pada posisi tengkurap miring ke sisi kanan dengan dagu sedikit elevasi. Observasi kontinu pola napas bayi merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan. Pemberian minum per oral sebaiknya tidak dilakukan untuk mencegah regurgitasi dan aspirasi.Anjuran pemberiaan minum pada AKB melalui orogastric tube 2-3 Jam sebelum ditranspor.Evaluasi bedah awal dan koreksi choanal sangat direkomendasikan pada AKB. Setelah dilakukan stabilisasi jalan napas, tatalaksana pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.4

Page 28: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Rinawati Rohsiswatmo, Caroline Haryono

16 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Syndrom Pierre – Robin Syndrom Pierre- Robin (SPR) merupakan kelainan rahang bawah kecil sehingga lidah mudah jatuh ke belakang faring dan menutup jalan napas. Neonatus dengan SPR sebaiknya diletakkan pada posisi tengkurap. Tindakan intubasi kadang dilakukan apabila bayi terlihat sesak. Observasi kontinu pola napas bayi merupakan hal yang sangat penting.4

Hernia diafragmatika (HD)HD merupakan herniasi abdomen ke rongga thoraks, paru tidak mampu mengembang sehingga terjadi gangguan ventilasi.12Kegawatan napas pada HD berhubungan dengan hipoplastic lung karena adanyaorgan saluran cerna memasuki rongga thoraks.4Gejala klinis tergantung banyak sedikitnya organ saluran cerna yang masuk ke rongga thoraks. Pada HD yang berat akan terlihat gangguan napas pada saat lahir sampai asfi ksia berat. Gejala klinis yang penting adalah terdapat pergeseran jantung ke sisi yang sehat, bunyi pernapasan disisi paru yang sakit akan melemah, dinding perut tampak cekung atau perut tampak skapoid. Pemeriksaan radiologi pada HD ditemukan gambaran organ abdomen pada rongga thoraks.12,13

Apabila dicurigai hernia diafrgmatika, maka kita wajib melakukan intubasi untuk mencegah infl asi intestinal dan tidak boleh diberikan bag to mask ventilation.13,14Bantuan napas berupa bag to mask ventilationdan intranasal oxygen yang diberikan pada HD dapat mengakibatkan herniasi diafrgama ke rongga dada semakin besar serta barotrauma.4 Pada bayi dengan HD sebaiknya diberikan sedasi minimal.Penggunaan pipa orogastric yang besar (10F) digunakan untuk dekompresi infl asi intestinal.14

Tatalaksana HD yang baik adalah dengan pemberian oksigenisasi konsentrasi tinggi sehingga bayi HD dapat bernapas dengan spontan.Jika perlu dilakukan pemasangan endotracheal tube, sebaiknya diberikan tekanan ventilasi yang tidak terlalu tinggi untuk mencegah pneomothoraks. Observasi kontinu harus dilakukan untuk mencegah terjadinya pneumothoraks.Pada kasus berat HD, koreksi asidosis wajib dilakukan.4

PneumothoraksPneumothoraks umumnya diakibatkan oleh tekanan berlebih yang diterima oleh alveolus selama tindakan resusitasi.13Gejala klinis penumothoraks ditandai dengan berkurangnya pergerakan dada dari sisi paru yang sakit.4Pada pneumotoraks ringan, gangguan napas dapat

Page 29: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 17

Safe Trip for Newborn

hilang sendiri. Pneumothoraks berat dapat memberikan gejala sesak disertai dengan suara napas hilang pada sisi paru yang sakit.

Pemeriksaan transiluminasi menggunakan cahaya intensitas tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi adanya pneumotoraks dengan cepat.13 Foto rontgen paru pneumothoraks berat dapat menunjukkan gambaran salah satu lobus paru kolaps, dan terjadi pergeseran mediastinum.12 Keadaaan ini sangat gawat dan perlu dilakukan aspirasi jarum segera sebelum dilakukan pengaliran udara secara kontinu menggunakan Water Sealed Drainage (WSD).4

Dekompresi emergency pada pneumothoraks dilakukandengan memposisikan bayi terlentang. Tusukkan jarum kupu-kupu nomor 18-24 ke sela iga 2-3 linea midclavicularis paru yang sakit. Hindari menusuk jarum tepat diatas puting susu neonatus.Apabila dikhawatirkan pneumothoraks akan berulang dan atau memburuk pada saat transpor, maka sebaiknya dipasang drain melalui chest tube, dan disambungkan ke underwater seal atau helmich valve.4

GastroschisisGastroschisis adalah keadaan usus bayi berada diluar tubuh melalui lubang/defectdisamping pusar. Regulasi suhu merupakan masalah yang harus diatasi pada gastroschisis. Paparan terus-menerus dengan udara luar menyebabkan kehilangan panas yang sangat besar melalui penguapan. Derajat keparahan penguapan juga tergantung dari besar kecilnya defect. Terkadang pada defect yang besar, hati dan lambung dapat berada diluar tubuh. Kehilangan panas, kehilangan cairan serta pencegahan infeksi terhadap usus yang terkena dapat di tatalaksana dengan cara menutup atau membungkus daerah paparan organ menggunakan plastik bersih. Berikan cairan rumatan, koreksi cairan dan protein (albumin) yang hilang.4

Kelainan jantung bawaan berat dan fatalNeonatus dengan kelainan ini sering memperlihatkan gejala sianosis, walaupun tidak terlihat sesak pada awalnya. Pemberian O2 atau uji hiperoksia tidak memperlihatkan hasil yang baik. Kelainan yang cukup banyak ditemukan adalah transposition of the great vessels disertai duct dependent. Ductus arteriosus harus tetap terbuka dengan cara pemberian Prostaglandin E1.

4

Keadaan lainnya adalah neonatus yang cepat jatuh dalam kondisi gagal jantung, syok misalnya, pada Hyoplastic Left Heart Syndrome, Coarctation of The Aorta. Tatalaksana secara umum perlu dilakukan segera agar bayi stabil. Neonatus dengan bradikardia < 70 x/ menit

Page 30: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Rinawati Rohsiswatmo, Caroline Haryono

18 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

perlu ditangani segera dengan pemasangan pacemaker. Sebaliknya, bila denyut jantung > 250 x/ menit, patut dicurigai sebagai Supraventrikular Takikardi, dapat dipertimbangkan pemberian adenosine intravena. 4

SimpulanTugas tim transpor tidak berhenti sampai mengantarkan bayi ke tempat tujuan. Mereka sebaiknya tetap melakukan kontak dengan rumah sakit terkait perkembangan kondisi neonatus yang dirujuk.Tim transpor harus bersikap dan berkonsep bahwa mereka juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pencapaian tumbuh kembang optimal setiap bayi baru lahir. Apabila sudah membaik, neonatus yang dirujuk ini dapat dipulangkan langsung ke rumah atau mungkin di transpor balik ke rumah sakit semula.Ingatkan pada orang tua bahwa jangan lupa untuk melakukan pemantauan tumbuh kembang pada rumah sakit terdekat di lingkungan tempat tinggalnya.

Daftar pustaka1. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport—the

need of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2. 2. Survei Demografi Kesehatan Indonesia. Profi l kesehatan Indonesia tahun 2013

[online] 2013 [diakses tanggal 1 febuari 2016] Didapat dari :http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profi l-kesehatan-indonesia/profi l-kesehatan-indonesia-2013.pdf/.

3. Mears M dan Chalmers S. Neonatal pre-transport stabilisation –caring for infants the STABLE way. 2005;1:1

4. Roy N, Auldist A, Bowman E, Brenneccke S, Levi S, Mclean A. Stabilization and Transport of Newborn Infants and At-Risk Preganancies: Newborn Emergency Transport Service. Victoria; 1997

5. NETS. About NETS. [online] [diakses pada: 24 Maret 2014]. Diunduh dari : URL http://www.nets.org.au/About-NETS.aspx

6. Mancones GA. Stabilization and transport of the high-risk infant. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, dan Gleason CA, penyunting. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-8. Missouri: Elseiver Saunders; 2004.

7. Karlsen KA, Trautman M, Douglas WP, Smith S. National Survey of Neonatal Transport Teams in theUnited States. Pediatrics.2011;128:685.

8. Barrentine MJ, Browne P, Simpson R, Spencer M, Grant JH, Guima EL. Core Requirements and Recommended Guidelines for Designated Regional Perinatal Centers. Maternal and Neonatal Transport.2013;29.

9. UKK Neonatologi. Stabilisasi dan Transportasi Pasca Resusitasi. Dalam: Rohsiswatmo R dan Rundjan L, penyunting. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK neonatologi IDAI; 2014.

Page 31: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 19

Safe Trip for Newborn

10. Barkemeyer BM. Critical Concepts NICU. [diakses pada: 24 Maret 2014]. Diunduh dari : URL: www.medschool.lsuhsc.edu.

11. Reuter S, Messier S, Stevens D. The Neonatal Golden Hour – Intervention to Improve Quality of Care of the Extremely Low Birth Weight Infant. S D Med. 2014 Oct;67(10):397-403, 405.

12. Hermansen L.C. Respiratory Distress in the Newborn. J.Ped.2007.13. Martin RJ dan Crowley MA. Respiratory problems. Dalam: Fanaroff AA dan Fanaroff

JM, penyunting. Klaus and Fanaroff ’s care of the high risk neonate. Edisi ke-6. Philadelphia: Elseiver Saunders; 2012.

14. R Pober.B. Congenital Diaphragmatic Hernia Overview.Pediatric research 2010.

Page 32: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

20

Best Nutrition for Preterm InfantsAryono Hendarto

Tujuan:1. Mengetahui masalah nutrisi yang dapat terjadi pada bayi kurang

bulan2. Memahami cara pemberian nutrisi kepada bayi kurang bulan baik

dengan cara enteral maupun parenteral3. Memahami cara pemantauan aspek nutrisi pada bayi kurang bulan

PendahuluanDalam beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan angka kesintasan bayi kurang bulan (BKB) baik yang sesuai masa kehamilan maupun kecil masa kehamilan. Hal ini disebabkan karena makin baiknya tata laksana untuk BKB termasuk di dalamnya tata laksana nutrisi. Dukungan nutrisi yang adekuat untuk BKB harus sudah diberikan sejak bayi masih dirawat di rumah sakit sampai bayi pulang dari rumah sakit bahkan nutrisi untuk tumbuh kembangnya harus dikawal dengan baik. Sayangnya sampai saat ini tidak ada baku emas tata laksana nutrisi untuk BKB, setiap pusat perawatan neonatus masing-masing mempunyai panduan praktek klinis tersendiri. Faktor yang menjadi dasar mengapa tidak ada baku emas dukungan nutrisi pada BKB antara lain perbedaan jenis morbiditas, sumber daya manusia khususnya yang memahami masalah nutrisi dan ketersediaan nutrisi itu sendiri. Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi bagaimana bukti ilmiah terkini terkait tata laksana BKB, sehingga dapat menjadi acuan untuk menyusun panduan praktis klinis di masing masing fasilias kesehatan.1,2

Masalah nutrisi pada BKBPertumbuhan intra uterin trimester terakhir Berbagai studi telah dilakukan untuk memantau pertumbuhan janin intra-uterin. Walaupun studi populasi bervariasi dalam hal etnik, status sosioekonomik dan kondisi lingkungan, namun terdapat beberapa kesamaan pola dalam pertumbuhan janin intra-uterin, yaitu:

Page 33: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 21

Best Nutrition for Preterm Infants

Grafik pertumbuhan janin berbentuk sigmoid, pertumbuhan meningkat sesuai dengan usia kehamilan

Pertumbuhan hampir linear antara 24 dan 37-39 minggu Hampir semua studi mendapatkan data median persentil 50 berat

badan 1000-1050 gram pada usia 27 minggu kehamilan

Data dari studi potong lintang mengindikasikan bahwa pertambahan berat badan berkisar 16-17 gram/hari antara 27 dan 34 minggu. Angka pertumbuhan ini merupakan standar yang tepat dalam mengevaluasi kecukupan nutrisi pada bayi BBLSR dengan berat 1000 gram atau pada usia 27 hingga 34 minggu usia kehamilan.3

Gambar 1. Grafi k pertumbuhan janin pada usia 25 dan 40 minggu kehamilan3

Kematangan sistem saluran cerna, imunologis, dan perkembangan keterampilan menyusuDibandingkan dengan bayi matur, bayi prematur memiliki risiko kematian dan disabilitas yang lebih tinggi. Lebih dari satu juta anak di dunia meninggal setiap tahun akibat prematur. Banyak komplikasi terjadi akibat imaturitas sistem organ pada bayi prematur. Masalah nutrisi merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada bayi prematur.

Saluran cerna janin berkembang menjadi 1000 lekukan mulai dari usia kehamilan 5 minggu hingga 40 minggu kehamilan, mengalami pertambahan panjang dua kali lipat pada usia kehamilan 15 minggu hingga 275 cm saat lahir. Pada minggu ke 20 kehamilan, terjadi diferensiasi anatomis pada saluran cerna. Sistem aktif glukosa muncul pada usia 17 minggu kehamilan. Aktivitas peptidase berkembang pada

Page 34: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aryono Hendarto

22 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

usia 11 minggu dan meningkat pada usia 23 minggu. Usus kecil mulai terbentuk pada usia 16 minggu namun proses absorbsi parsial terjadi pada usia 26 minggu kehamilan. Asam lambung mulai muncul pada usia 4-5 bulan kehamilan.

Imaturitas fungsi imunologis saluran cerna pada bayi prematur terjadi karena perbedaan subpopulasi limfosit-T pada usus. Sekresi komponen IgA dapat dideteksi pada usia 16 minggu. Respon imun sistemik terhadap antigen makanan dapat berkembang setelah usia kehamilan 35 minggu. Peristaltik usus kecil bersifat protektif terhadap pertumbuhan bakteri. Imaturitas enterosit mempengaruhi patogenisitas berbagai patogen invasif. Asam lambung memberikan proteksi barier terhadap mikroorganisme.Oleh karena itu, defi siensi relatif fungsi saluran cerna pada BKB menyebabkan kerentanan terhadap infeksi saluran cerna.

Janin menelan sekitar 450 ml/hari cairan amnion yang kaya nutrien dan faktor pertumbuhan. Gerakan menghisap dan menelan terjadi sejak 12 minggu kehamilan. Refl eks menelan terjadi pada usia 31 minggu kehidupan janin. Namun demikian, proses menelan dan mencerna yang efektif terjadi pada usia 34 minggu kehamilan.Peristaltik esofagus sulit dikoordinasi hingga usia 32 minggu kehamilan dan koordinasi kontraksi tidak terjadi hingga beberapa hari setelah kelahiran. Insiden refl uks gastroesofagel banyak terjadi pada BKB karena imaturitas aktivitas neuromuskular esofagus dan terlambatnya pengosongan lambung.

Risiko BKB mengalami gagal tumbuhMemperoleh pertumbuhan yang sesuai sering sulit terjadi pada BKB dan BBLR karena adanya kebutuhan khusus pada BKB sebagai hasil dari imaturitas saluran cerna dan metabolik, imaturitas fungsi imun, dan berbagai komplikasi kondisi medis. Bayi prematur terutama yang mengalami hambatan pertumbuhan intra-uterin memiliki cadangan nutrisi yang lebih rendah saat lahir dibandingkan bayi cukup bulan. Selanjutnya, BKB rentan terhadap tekanan metabolik dan fi siologis yang dapat mempengaruhi kebutuhan nutrisinya seperti distres pernafasan atau infeksi. Bayi prematur rentan terhadap efek malnutrisi pada periode sebelum dan sesudah perawatan. Selama masa ini, defi sit kumulatif nutrien mempengaruhi keterlambatan pertumbuhan. Mayoritas bayi prematur keluar rawat inap dengan berat kurang dari persentil kelahirannya, mengindikasikan adanya keterlambatan pertumbuhan. Nutrisi yang adekuat sangat mempengaruhi keberhasilan kejar tumbuh BKB. Namun demikian, percepatan pertumbuhan pada beberapa kedaaan berkaitan dengan peningkatan masalah metabolik jangka panjang.1,2

Page 35: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 23

Best Nutrition for Preterm Infants

Kebutuhan nutrisi pada BKBRekomendasi komposisi nutrisi enteral pada BKB Energi: Pada bayi prematur dan berat lahir rendah, jumlah

asupan nutrisi yang direkomendasikan adalah 110-135 kal/kg/hari. Sementara itu, pada bayi dengan berat lahir sangat rendah adalah 150 kal/kg/hari.

Karbohidrat:Rekomendasi asupan karbohidrat pada bayi prematur adalah 10-14 g/kg/hari (40-50% dari energi total). Laktosa meningkatkan absorbsi Ca dan Mg dan menghasilkan pertumbuhan flora bakteri. Bayi prematur da pat mengalami intoleransi laktosa transisional karena imaturitas sistem saluran cerna bayi. Oleh karena itu, kandungan laktosa yang terlalu tinggi dapat menyebabkan diare osmotik.

Lemak:Rekomendasi asupan lemak pada bayi prematur adalah 5-7 g/kg/hari (40-50% dari energi total). Malabsorbsi lemak dan steatorea dapat terjadi pada bayi prematur karena berkurangnya enzim lipase pankreas, hidrolase karboksil ester, asam empedu, dan lipase lingual. ASI mengandung jumlah lemak rantai panjang yang cukup untuk maturasi otak. EPSGAN merekomendasikan agar kandungan lemak formula prematur tidak lebih dari 40% untuk mencegah distensi abdomen dan peningkatan aspirat lambung.

Protein: Rekomendasi asupan protein pada bayi prematur adalah 3,5-4,5 g/kg/hari (pada bayi yang kurang dari 1000 gram: 4-4,5 g/kg/hari dan pada bayi dengan berat lahir 1000 hingga 1800 gram 3,5-4 g/kg/hari) dengan rasio protein/energi 3,2-4,1 g/100 kal. Protein yang terlalu tinggi dapat menyebabkan azotemia, hipoglikemia, hiperaminoasidemia, terutama tirosinemia dan asidosis metabolik.

Rekomendasi komposisi nutrisi parenteral pada BKB Cairan: volume cairan untuk bayi dapat ditentukan oleh berat

lahir dan kondisi klinis. Peningkatan volume cairan dilakukan secara bertahap seperti tabel di bawah ini. Pertimbangan lain dalam penentuan jumlah cairan adalah terapi sinar, penggunaan inkubator atau ventilator, fungsi jantung-paru, dan hasil pemantauan kondisi klinis.

Page 36: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aryono Hendarto

24 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 1. Jumlah Cairan yang diberikan dalam Seminggu Pertama pada Bayi Prematur1

Berat lahir (g) Hari I Hari II Hari III-VI Hari > VII<750 100-140 120-160 140-200 140-160750-1000 100-120 100-140 130-180 140-1601000-1500 80-100 100-120 120-160 150>1500 60-80 80-120 120-160 150

Glukosa: dosis awal glukosa yang direkomendasikan adalah 4-8 mg/kg/menit dan ditingkatkan 1-2 mg/kg/menit hingga 11-14 mg/kg/menit dengan pemantauan glukosa yang ketat.

Emulsi lipid: Dosis awal emulsi lipid adalah 1 g/kg/hari dalam 24 jam pertama kehidupan dan dapat ditingkatkan 0,5-1 g/kg/hari hingga 3 g/kg/hari. Emulsi lipid 20% direkomendasikan pada bayi prematur. Telaah sistematik terbaru menerangkan tidak ada perbedaan signifi kan penggunakan emulsi lipid berbasis soya dan alternatif emulsi lipid baru.4

Asam amino: Larutan asam amino pediatrik direkomendasikan untuk neonatus yang dapat dimulai dalam 24 jam pertama kehidupan sebanyak 1,5-2 g/kg/hari (tanpa gangguan fungsi ginjal) dan ditingkatkan mencapai 3,5-4 g/kg/hari pada bayi prematur. Rasio nitrogen/kalori non-protein adalah 1 g/100-200 Kal.

Elektrolit: Asupan sodium, potasium, klorida, kalsium, fosfor, dan magnesium harus optimal. Dosis elektrolit yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2. Dosis Elektrolit pada Nutrisi Parenteral1

Elektrolit (mmol/kg/hariNA 2,0-3,0K 1,0-2,0Ca 0,6-0,8P 1,0-1,2

Mg 0,3-0,4

Vitamin: Tiga belas vitamin diberikan selama pemberian NP. Satu dosis vitamin K 0.5-1 mg bermanfaat untuk mencegah perdarahan pada bayi. Rekomendasi dosis vitamin lainnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Page 37: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 25

Best Nutrition for Preterm Infants

Tabel 3. Dosis Vitamin pada Nutrisi Parenteral1

Vitamin (dosis/kg/hari)Larut airVit. C (mg) 15-25Vit. B-1 (mg) 0,35-0,5Vit. B-2 (mg) 0,15-0,2Niasin (mg) 4,0-6,8Vit. B-6 (mg) 0,15-0,2Vit. B-12 0,3Asam Pantotenat (mg) 1,0-2,0Biotin (mg) 5,0-8,0

Larut lemakVit. A (ug) 150-300Vit. D (ug) 0,8Vit. K (ug) 10Vit. E (mg) 2,8-3,5

Mineral:Zat besi, seng, iodium, dan tembaga merupakan jenis mineral yang sangat penting pada bayi prematur selain beberapa jenis mineral lainnya. Dosis mineral yang diberikan pada NP dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Dosis Mineral pada Nutrisi Parenteral1

Mineral (ug/kg/hari)Zink 400-450Tembaga 20Selenium 2.0-3.0Kromium 0Mangan 1Iodin 1Besi 200

Nutrisi parenteral pada BKBIndikasi dan waktu memulai pemberian nutrisi parenteralNutrisi parenteral (NP) diberikan untuk memberikan energi, cairan, asam amino, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang tidak dapat diperoleh oleh neonatus melalui rute oral ataupun enteral. Nutrisi parentaral diindikasikan pada bayi dengan malformasi kongenital saluran cerna seperti atresia esofagus, atresia intestinal, penyakit saluran cerna yang didapat, entero-kolitis nekrotikans (EKN), dan bayi prematur dengan berat < 1000 gram atau tidak bugar. Memulai nutrisi parenteral dalam 24 jam pertama kehidupan dihubungkan dengan lebih

Page 38: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aryono Hendarto

26 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

tingginya skor indeks perkembangan mental (mental development index, MDI).5 Nutrisi parenteral diberikan sampai neonatus dapat menerima pemberian nutrisi enteral secara penuh.

Nutrisi parenteral total dapat mengakibatkan atrofi mukosa karena kurangnya hormon yang dihasilkan oleh usus sehingga diperlukan trophic feeding yaitu pemberian ASI atau susu formula dalam jumlah kecil yang bertujuan untuk merangsang perkembangan saluran pencernaan, pengeluaran hormon dan motilitas usus.6 Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan risiko EKN pada pemberian nutrisi enterik dini (usia 24-48 jam) maupun tertunda (usia 120-144 jam). Pemberian nutrisi enterik dini justru dapat mengurangi waktu untuk mencapai nutrisi enteral penuh dan waktu hospitalisasi.6,7

Jenis akses vena dan cara pemberian infus pada nutrisi parenteralAda dua metode akses vena yang dapat digunakan untuk memberikan nutrisi parenteral pada neonatus yaitu: Akses vena perifer: akses vena perifer sesuai untuk aplikasi jangka

pendek (kurang dari 2 minggu dan osmolaritas NP tidak melebihi 900 mOsm/L.

Akses vena sentral: akses vena sentral digunakan pada formulasi NP dengan osmolaritas tinggi atau terapi NP jangka panjang. Termasuk didalamnya peripherally inserted central venous catheter (PICC), central venous catheter (CVC), dan kateter vena umbilikal.

Nutrisi parenteral dapat diberikan dengan cara all in one yang mengandung semua komponen nutrien dalam satu sediaan seperti karbohirat, lipid, asam amino, vitamin, elektrolit, dan mineral), atau cara terpisah yang mengandung masing-masing komponen nutrien.1

Peringatan dan kontraindikasi nutrisi parenteralNutrisi parenteral tidak dapat digunakan sebagai dukungan nutrisi pada keadaan syok, gangguan cairan dan elektrolit berat, dan gangguan asam basa berat hingga kondisi membaik. Dosis emulsi lipid harus dikurangi pada pasien dengan infeksi berat, kecenderungan perdarahan, hipertrigliserida, dan hiperbilirubinemia indirek. Pada neonatus dengan disfungsi hati dan ginjal berat, pemberian asam amino spesifi k perlu dilakukan.1

Komplikasi nutrisi parenteralKomplikasi yang mungkin terjadi pada neonatus prematur yang diberikan

Page 39: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 27

Best Nutrition for Preterm Infants

nutrisi parenteral ada 4 kelompok, yaitu berhubungan dengan jalur vena sentral seperti sepsis dan tromboemboli; defi siensi atau kelebihan komponen nutrisi parenteral, seperti elektrolit, glukosa, vitamin dan mineral; gangguan hepar seperti peningkatan enzim hepar dan kolestasis; dan penyakit metabolik tulang dan gangguan pertumbuhan.8

Nutrisi enteral pada BKBIndikasi dan waktu memulai pemberian nutrisi enteralNutrisi enteral dapat diberikan segera setelah bayi lahir. Bayi prematur dengan berat lahir>1500 gram dan stabil harus diberikan nutrisi enteral secepat mungkin sebelum 2 jam pasca-kelahiran. Nutrisi enteral diberikan mulai dari dari 10 ml/kg/hari pada hari pertama jika memungkinkan selama 3-5 hari, dan dinaikkan bertahap 10-20 ml/kg/hari dengan melihat residu lambung untuk menilai kemampuan makan. Target pemberian nutrisi adalah sampai 120-150 ml/kg/hari.9

Cara pemberian nutrisi enteralPemberian nutrisi secara enteral dapat dilakukan melalui oral maupun dengan enteral melalui nasogastric tube (NGT) atau orogastric tube (OGT).

a. Pemberian Nutrisi Oral Sebelum memulai pemberian nutrisi oral, harus dipastikan bahwa

bayi prematur tersebut mempunyai kemampuan mengisap, menelan dan bernapas yang baik dan mempunyai usia gestasi ≥32-34 minggu.1 Ada 3 metode pemberian nutrisi oral, yaitu menyusui, menggunakan cangkir dan botol. Menyusui merupakan metode yang paling dianjurkan, namun bila menyusui tidak memungkinkan, alternatifnya adalah dengan menggunakan botol maupun cangkir.Bayi prematur yang diberikan nutrisi per oral harus memperhatikan tanda lapar bayi dibandingkan diberikan secara terjadwal, kecuali jika bayi tertidur lebih dari 3 jam setelah makan terakhir.2

b. Pemberian Nutrisi Enteral Pemberian nutrisi enteral diindikasikan untuk bayi prematur <32-

34 minggu, bayi prematur dengan kemampuan mengisap, menelan dan/atau bernapas yang belum baik, dan bayi prematur tidak bisa mendapat makanan per oral karena kondisi medis atau jumlah pemberian nutrisi oral tidak adekuat. Sebelum memulai nutrisi enteral pastikan saluran cerna dan kondisi hemodinamik baik.1

Page 40: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aryono Hendarto

28 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Pilihan rute pemberian nutrisi enteral ada dua, yaitu melalui NGT atau OGT. Kedua rute ini mempunyai keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Sampai saat ini tidak ada perbedaan yang bermakna antara OGT dan NGT, baik dalam hal peningkatan berat badan maupun efek samping.10

Ada dua metode pemberian nutrisi melalui sonde, yaitu bolus intermiten dan kontinu. Bolus intermiten yaitu pemberian sejumlah susu dalam 10-20 menit setiap 2 atau 3 jam dengan menggunakan gravitasi. Sementara itu, bolus kontinu yaitu pemberian susu secara terus menerus melalui sonde menggunakan pompa infus.11 Sejauh ini penelitian tentang efi kasi dan keamanan dua metode ini masih terbatas dan bertentangan. Pemberian bolus intermiten bersifat lebih fi siologis karena meningkatkan pengeluaran hormon saluran cerna secara siklik. Pemberian kontinu menurunkan pengeluaran energi, membantu fungsi duodenum dan tidak ada efek samping terhadap fungsi paru.11 Telaah sistematik yang dilakukan memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pemberian makan enteral penuh.12

Pemilihan susu dan formula enteral pada bayi prematur Air Susu Ibu (ASI): Air Susu Ibu merupakan nutrisi yang optimal

bagi bayi dan harus dilanjutkan sampai usia 6 bulan. Pada bayi prematur ASI dapat diberikan pada bayi dengan berat lahir lebih dari 1500 gram. Namun demikian, sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa pemberian ASI pada bayi dengan berat lahir sangat rendah (BLSR) terbukti menurunkan risiko EKN, intoleransi makan dan masa perawatan yang lebih singkat.13

Human milk fortifi er (HMF): Human milk fortifi er direkomendasikan untuk bayi prematur dengan berat lahir kurang dari 2000 gram ketika volume makan mencapai 50-100 ml/kg/hari. Bayi direkomendasikan untuk menggunakan HMF parsial sebagai nutrisi inisial kemudian diganti ke HMF total sesuai dengan kemampuan toleransi bayi. Pada bayi prematur yang mengalami gagal tumbuh pasca-rawat, maka HMF perlu dilanjutkan sampai paling kurang 40 minggu umur koreksi kehamilan.

Formula preterm: Formula ini diindikasikan untuk bayi prematur dengan usia kehamilan lebih dari 34 minggu dan/atau berat lahir kurang dari 2000 gram.

Formula prematur pasca-perawatan (post-discharge formula): formula ini dapat diberikan untuk bayi prematur yang masih mengalami gagal tumbuh pasca-rawat. Apabila dengan pemberian

Page 41: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 29

Best Nutrition for Preterm Infants

susu formula ini berat badan bayi telah mencapai persentil 25-50 pada grafi k pertumbuhan sesuai usia terkorekesi, maka dapat diganti dengan formula standar.

Formula standar: formula ini dapat pula digunakan untuk bayi prematur, namun untuk bayi prematur dengan usia kehamilan lebih dari 34 minggu dan berat lahir lebih dari 2 kg (late preterm).

Kontraindikasi nutrisi enteralPemberian gizi lewat enteral harus digunakan secara hati-hati pada kondisi hipoksia atau penurunan aliran darah usus, seperti hipoksia-iskemik usus, hipoksemia persisten berat, hipotensi, penurunan aliran darah usus halus akibat duktus arteriosus persisten (DAP) dan penurunan sementara aliran darah arteri mesenterika superior akibat pemberian indometasin dosis tinggi bolus intravena.14

Kontraindikasi pembeberian nutrisi enteral pada bayi prematur adalah adanya obstruksi saluran cerna karena malformasi kongenital, kecurigaan penyakit EKN, ketidakstabilan hemodinamik yang membutuhkan resusitasi atau vasoaktif, serta disfungsi organ multipel akibat berbagai alasan.1

Dukungan nutrisi pada bayi late pretermLate preterm merupakan istilah yang digunakan untuk bayi lahir lebih dari 34 minggu sampai kurang dari 37 minggu. Prevalens bayi late preterm diperkirakan sekitar tujuh puluh persen dari semua bayi prematur. Pada umumnya, bayi late preterm sudah memiliki koordinasi menghisap yang baik. Namun demikian, hanya sebagian kecil saja dilaporkan memiliki koordinasi oro-buccal dan menelan yang belum matur sehingga menghambat kemampuan asupan oral. Sebagian besar bayi late preterm dapat memiliki saluran pernapasan yang matur, namun koordinasi batang otak, menghisap, dan menelan masih imatur.

Sebuah studi menunjukkan hasil bahwa dukungan nutrisi diperlukan pada bayi late preterm tertentu. Indikasi dukungan nutrisi pada bayi late preterm adalah berat lahir kurang dari 2000 gram, usia kehamilan 34 minggu, bayi kecil masa kehamilan, mengalami sindrom distres pernapasan, dan bayi prematur yang membutuhkan intervensi bedah. Apabila kemampuan menghisap dan menelan baik, tidak ada gangguan sistem pernapasan dan saluran cerna berfungsi dengan baik, maka dapat diberikan ASI per oral, bila ASI tidak tersedia maka dapat digunakan susu formula standar.15

Page 42: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aryono Hendarto

30 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Evaluasi pemberian nutrisi pada BKBEvaluasi yang perlu dilakukan dalam pemberian nutrisi pada bayi prematur antara lain evaluasi antropometrik, klinis, dan laboratorium.

AntropometrikTarget terapi nutrisi pada bayi prematur yaitu mencapai laju pertumbuhan yang sama dengan janin intrauterin yang sesuai usia gestasi dan mencapai luaran fungsional sesuai dengan bayi lahir cukup bulan yaitu:16

Penambahan berat badan bayi prematur 15 gram/kg/hari. Penambahan panjang badan : 0,8-1,0 cm/minggu Penambahan lingkar kepala: 0,5-0,8/minggu

KlinisHal yang sering dinilai untuk menilai toleransi makanan pada bayi prematur yang diberi asupan enteral adalah menggunakan residu lambung. Bayi prematur disebut mengalami intoleransi apabila residu lambung > 2-4 ml tergantung berat badan, ≥ 2 ml/kg, atau > 50% volume makanan sebelumnya.17 Selain itu kita juga harus menilai frekuensi dan karakteristik tinja, ada tidaknya muntah dan distensi abdomen.1

LaboratoriumPemeriksaan laboratorium dapat dijadikan penanda status gizi pada bayi prematur. Beberapa tes dapat mendeteksi defi siensi atau toksisitas gizi sebelum muncul gejala klinis.18 Tes laboratorium yang dapat digunakan pada bayi prematur dengan nutrisi parenteral maupun enteral dapat dilihat pada tabel di bawah ini.1,18

Tabel 5. Jadwal Evaluasi Laboratorium pada Bayi Prematur

Nutrisi Parenteral Nutrisi EnteralHemoglobin dan hematokrit 2-3 x seminggu 1 x semingguGlukosa serum Sesuai indikasi 1 x (nilai data dasar)Elektrolit 1-3 x seminggu Sesuai indikasiCa, Mg dan P darah 2-3 x seminggu 1 x (nilai baseline)Trigliserida Sekali sehari saat penambahan dosis Sesuai indikasiFungsi Ginjal 2-3 x seminggu 1 x semingguEnzim hati 1 x seminggu 1 x semingguAlkalin fosfatase 1x (nilai data dasar) 1x (nilai data dasar)

Page 43: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 31

Best Nutrition for Preterm Infants

RingkasanBayi kurang bulan memiliki risiko tinggi mengalami gagal tumbuh karena berbagai faktor. Dukungan nutrisi pada BKB sangat penting dalam meningkatkan angka keselamatan dan mencegah gagal tumbuh. Penilaian klinis dan status gizi awal, perhitungan jumlah kebutuhan nutrisi baik makro- maupun mikronutrien, pemilihan rute pemberian, jenis nutrisi yang diberikan, serta evaluasi tumbuh kembang sangat penting dilakukan pada bayi BKB. Nutrisi parenteral dan enteral harus diberikan secara tepat sesuai indikasi. Terapi nutrisi secara agresif perlu dilakukan untuk mencapai target kejar tumbuh pada BKB.

Daftar pustaka1. Working Group of Pediatrics Chinese Society Of P, Enteral N, Working Group Of

Neonatology Chinese Society Of P, Working Group Of Neonatal Surgery Chinese Society Of Pediatric S. CSPEN guidelines for nutrition support in neonates. Asia Pac J Clin Nutr. 2013;22:655-63.

2. WHO. Guidelines on optimal feeding of low birth-weight infants in low-and middle-income countries Geneva: WHO; 2011 [cited 2015 October].

3. Klein CJ. Nutrient requirements for preterm infant formulas. J Nutr. 2002 Jun;132(6 Suppl 1):1395S-577S.

4. Kapoor V, Glover R, Malviya MN. Alternative lipid emulsions versus pure soy oil based lipid emulsions for parenterally fed preterm infants. The Cochrane database of systematic reviews. 2015;12:CD009172.

5. Velaphi. Nutritional requirements and parenteral nutrition in preterm infants. S Afr Clin Nutr. 2011;24:S27-S3`.

6. De Curtis M, Rigo J. The nutrition of preterm infants. Early Hum Dev. 2012 Mar;88 Suppl 1:S5-7.

7. Leaf A, Dorling J, Kempley S, McCormick K, Mannix P, Linsell L, et al. Early or delayed enteral feeding for preterm growth-restricted infants: a randomized trial. Pediatrics. 2012 May;129:e1260-8.

8. Velaphi S. Nutritional requirements and parenteral nutrition in preterm infants. S Afr Clin Nutr. 2011;24:S27-S31.

9. Su BH. Optimizing nutrition in preterm infants. Pediatrics and neonatology. 2014 Feb;55:5-13.

10. Watson J, McGuire W. Nasal versus oral route for placing feeding tubes in preterm or low birth weight infants. The Cochrane database of systematic reviews. 2013;2:CD003952. PubMed PMID: 23450546.

11. Maggio L, Costa S, Zecca C, Giordano L. Methods of enteral feeding in preterm infants. Early human development. 2012;S882:S31-S3.

12. Premji SS, Chessell L. Continuous nasogastric milk feeding versus intermittent bolus milk feeding for premature infants less than 1500 grams. The Cochrane database of systematic reviews. 2011 (11):CD001819.

Page 44: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aryono Hendarto

32 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

13. Assad M, Elliott MJ, Abraham JH. Decreased cost and improved feeding tolerance in VLBW infants fed an exclusive human milk diet. Journal of perinatology: offi cial journal of the California Perinatal Association. 2015 Nov 12.

14. Hay WW, Jr. Strategies for feeding the preterm infant. Neonatology. 2008;94(4):245-54. PubMed PMID: 18836284.

15. Gianni ML, Roggero P, Piemontese P, Liotto N, Orsi A, Amato O, et al. Is nutritional support needed in late preterm infants? BMC pediatrics. 2015;15:194. PubMed PMID: 26597280.

16. Pediatrics AAo. Nutritional needs of low-birth-weight infants. Pediatrics. 1985;75:976-86.

17. Parker LA, Neu J, Torrazza RM, Li Y. Scientifi cally based strategies for enteral feeding in premature infants. NeoReviews. 2013;14:e350-e9.

18. Moyer-Mileur LJ. Anthropometric and laboratory assessment of very low birth weight infants: the most helpful measurements and why. Semin Perinatol. 2007 Apr;31:96-103.

Page 45: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

33

Formula Alternatif pada Tata Laksana Alergi Susu Sapi

Zakiudin Munasir

Tujuan:1. Mengetahui jenis-jenis formula pengganti pada bayi dengan alergi

susu sapi2. Memahami pemberian makanan pendamping pada bayi dengan

alergi susu sapi

Alergi susu sapi merupakan alergi yang timbul pada usia dini, terutama pada bayi yang tidak atau sedikit mendapat ASI. Protein susu sapi merupakan protein asing yang pertamakali dikenal oleh bayi yang tidak mendapat ASI. Bahkan bayi yang mendapat ASI pun masih bisa menderita alergi susu sapi melalui susu sapi yang dikonsumsi ibunya1. Alergi susu sapi sangat penting karena merupakan pintu timbulnya alergi lain di kemudian hari. Perlu dilakukan pencegahan atau penanganan alergi susu sapi sebaik-baiknya supaya tidak berlanjut menjadi alergi lain di kemudian hari. Alergi susu sapi sering dimulai pada bayi usia dini dengan gejala utama pada saluran cerna dan kulit. Gejala saluran cerna berupa muntah, kram perut, kolik dan diare. Diare pada alergi susu sapi sering disertai tinja berdarah karena adanya reaksi peradangan yang hebat di usus. Gejala pada kulit yang sering adalah dermatitis atopik atau eksim. Selain itu gejala alergi susu sapi juga dapat mengenai sistem lain seperti saluran napas dengan gejala rinitis alergi (pilek alergi) atau napas berbunyi grok-grok.

Angka kejadian susu sapi berkisar antara 2 sampai 3%. Sekitar 1,8 sampai 7,5% terjadi pada usia tahun pertama.1 Pada penelitian di Divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan sensitisasi terhadap protein susu sapi menempati urutan kedua setelah putih telur.2 Walau banyak diderita pada usia dini, umumnya sekitar 85% akan sembuh atau toleran terhadap susu sapi pada usia balita. Diagnosis alergi susu sapi ini harus ditegakkan dengan tepat, jangan hanya menduga-duga karena akan merugikan tumbuh

Page 46: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Zakiudin Munasir

34 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

kembang bayi atau merugikan secara ekonomi bila ternyata bukan alergi susu sapi. Biasanya dokter akan melakukan anamnesis atau pertanyaan mengenai gejala yang dialami, dilakukan pemeriksaan fi sis untuk melihat adanya gejala-gejala yang disebutkan di atas. Setelah itu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium kadar imunoglobulin E (IgE) yang spesifi k terhadap susu sapi atau uji kulit alergi. Bila masih belum bisa dipastikan adanya alergi susu sapi, maka dilanjutkan dengan uji eliminasi dan provokasi yaitu dengan menghindari susu sapi selama 2 minggu, sementara diganti formula yang tidak mengandung susu sapi misalnya formula soya atau asam amino. Setelah gejala menghilang maka formula susu sapi dicobakan kembali. Bila gejala muncul lagi dipastikan pasien menderita alergi susu sapi.

Pemilihan formula pengganti susu sapiPenghindaran ketat terhadap protein susu sapi saat ini merupakan strategi paling amandalam tata laksana alergi susu sapi. Formula pengganti diperlukan untuk memenuhi kebutuhan gizi pada anak yang mengalami alergi susu sapi, sedangkan pilihan formula terbaik yang mana, sebagian besar tergantung pada usia pasien dan adanya alergi makanan lainnya. Berbagai jenis imunoterapi seperti imunoterapi oral atau imunoterapi sublingual telah dicoba pada anak-anak yang lebih tua yang mengalami alergi susu sapi, baik secara sementara atau terus-menerus dengan hasil yang bertentangan.3,4,5 Pengenalan produk yang mengandung susu sapi yang dipanaskan secara ekstensif pada anak usia lebih dari 2 tahun6 agar dapat mempercepat toleransi terhadap protein susu sapi saat ini masih dalam penelitian klinis yang besar.5

Bayi hingga usia 12 BulanJika diagnosis alergi susu sapi sudah ditegakkan, maka bayi harus dipertahankan dengan diet eliminasi menggunakan formula terapi selama minimal 6 bulan atau sampai usia 9-12 bulan. Bayi/anak-anak dengan reaksi berat yang diperantarai IgE, mungkin tetap pada diet eliminasi sampai 12 atau bahkan 18 bulan sebelum dilakukan uji provokasi atau pemeriksaan IgE spesifi k ulang. Faktor-faktor yang menentukan pilihan formula yang digunakan pada bayi meliputi potensi risiko alergi, komposisi susu formula, biaya, ketersediaan, penerimaan bayi, dan data klinis yang membuktikan efi kasi formula. Bayi akan tumbuh dan berkembang secara normal apabila ditangani dengan baik menggunakan formula hidrolisat ekstensif (extensively hidrolyzedformula, EHF) atau formula asam amino (amino acid

Page 47: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 35

Formula Alternatif pada Tata Laksana Alergi Susu Sapi

formula, AAF) yang sudah terbukti manfaatnya. Sayangnya, hanya sedikit studi yang telah dilakukan mengenai manfaat EHF di Eropa dalam uji klinis ilmiah dengan jumlah sampel yang memadai.7

Formula protein susu sapi hidrolisat ekstensif Mayoritas bayi dan anak dengan alergi susu sapi mentolerir formula hidrolisat ekstensifdengan whey atau kasein sebagai sumber nitrogen. Meskipun American Academy of Pediatrics (AAP) mendefi nisikan formula hidrolisat ekstensif sebagai formula yang hanya berisi peptida yang memiliki berat molekul <3000 Da,8 tidak ada bukti jelas bahwa ambang batas tersebut akan memastikan manfaat pencegahan reaksi alergi susu sapi pada bayi dan anak. Selain yang sesuai uji praklinis, formula terapi ini harus dibuktikan dalam studi klinis dengan kepercayaan 95%, tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi atau anak dengan alergi susu sapi,9 sampai saat ini telah terbuktihanya untuk beberapa jenis EHF.7

Formula asam aminoFormula yang mengandung asam amino bebas sebagai satu-satunya sumber nitrogen adalah pilihan terbaik pada bayi bereaksi alergi terhadap EHF. Risiko ini diperkirakan <10% dari semua bayi dengan alergi susu sapi, tetapi mungkin lebih tinggi pada enteropati berat atau dengan beberapa alergi makanan.10,11 Untuk alasan itu, AAF dapat dianggap sebagai pengobatan lini pertama meskipun buktinya masih terbatas pada bayi dengan reaksi anafi laksis beratdan bayi dengan enteropati beratdisertai hipoproteinemia dan gagal tumbuh.12

Formula kedelaiFormula berbasis protein kedelai ditoleransi oleh mayoritas bayi dengan alergi susu sapi, tetapi antara 10-14% bayi alergi susu sapi bereaksi terhadap protein kedelai, dengan proporsi yang lebih tinggi pada bayi berusia di bawah 6 bulan.13,14 ESPGHAN15 dan AAP16 merekomendasikan formula berbasis protein susu sapi sebagai pilihan utama dibandingkan formula kedelai pada bayi yang sehat, dan formula kedelai tidak dianjurkan digunakan pada usia 6 bulan pertama kehidupan, karena penyerapan mineral dan elemen mungkin lebih rendah karena adanya kandungan asam fi tat,17 serta mengandung isofl avon dengan efek estrogenik lemah.18 Akan tetapi formula kedelai dapat dipertimbangkan pada bayi dengan alergi sususapi pada bayi kurang dari 6 bulan jika

Page 48: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Zakiudin Munasir

36 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

EHF tidak diterima atau ditoleransi oleh anak, jika formula ini terlalu mahal untuk orang tua, atau jika ada preferensi orangtua yang kuat (misalnya, pola makan vegan). Di beberapa negara Asia dan Australia, formula kedelai merupakan pilihan pertama pada alergi susu sapi di atas usia 6 bulan.19

Formula protein susu sapi hidrolisat parsialFormula protein susu sapi hidrolisat parsial tidak dianjurkan untuk bayi dengan alergi susu sapi.20, 21 Tidak ada bukti bahwa probiotik dan prebiotik memiliki peran dalam pengobatan alergi susu sapi,22 meskipun mungkin ada peran dalam pencegahan primer alergi, tetapi tidak dibicarakan dalam makalah ini.

Makanan pendampingBayi yang mendapat ASI eksklusif atau formula susu sapi yang terbukti alergi susu sapi, penyapihan makanan harus bebas protein susu sapisampai dibuktikan sudah toleran. Makanan tambahan lainnya harus diperkenalkan satu per satu dalam jumlah kecil, sebaiknya sementara ibu masih menyusui tetapi sebelum usia 17 minggu.23,24 Menunda memperkenalkan makanan penyapihan dengan potensi alergi tinggi seperti telur, ikan, atau gandum tidak terbukti memiliki efek menguntungkan untuk pencegahan alergi, namun harus dihindari bilaterbukti ada alergi terhadap salah satu dari makanan-makanan tersebut.23

Terapi lini pertama untuk alergi susu sapi adalah substitusi protein susu sapi EHF (atau AAF jika EHF tidak ditoleransi). Jika anak tidak mengkonsumsi susu formula dalam jumlah yang cukup, maka suplemen kalsium harus dipertimbangkan. Akan tetapi, banyak pasien tanpa memandang usia dengan beberapa alergi makanan, termasuk protein susu sapi dan protein kedelai, memerlukan formula terapi untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka.

Evaluasi ulangLamanya pemakaian formula alternatif bergantung pada usia, tingkat keparahan gejala pada anak, serta kadar IgE spesifi k terhadap susu sapi. Menurut kesepakatan, provokasi ulang dengan protein susu sapi dapat dilakukan setelah mempertahankan diet terapi untuk setidaknya 3 bulan (misalnya, IgE negatif, gejala spesifi k ringan) hingga setidaknya 12 bulan (misalnya, IgE positif tinggi atau reaksi yang parah) untuk

Page 49: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 37

Formula Alternatif pada Tata Laksana Alergi Susu Sapi

menghindari diet ketat untuk waktu yang panjang.25 Diet yang ketat ini juga menimbulkan tumbuh kembang yang kurang baik. Jika uji provokasi ulang positif, maka diet eliminasi biasanya dilanjutkan selama antara 6 dan 12 bulan. Jika uji provokasi ulang negatif, maka susu sapi sepenuhnya diperkenalkan kembali ke dalam diet anak. Prognosis alergi susu sapi pada masa bayi dan anak usia muda umumnya baik. Sekitar 50% anak yang menderita alergi susu sapi, mengalami toleransi pada usia 1 tahun,> 75% pada usia 3 tahun, dan> 90% toleran pada usia 6 tahun.26

SimpulanKasus alergi makanan termasuk alergi susu sapi cukup sering terjadi pada bayi dan anak. Diagnosis yang tepat sesuai kriteria sangat penting untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan sehingga dapat dihindari diet restriksi yang tidak perlu yang merugikan tumbuh kembang anak. Walaupun akan terjadi toleransi sesuai dengan bertambahnya usia, perlu dilakukan banyak penelitian mengenai mekanisme toleransi ini untuk mempercepat proses toleransi pada pasien alergi susu sapi.

Daftar pustaka1. Luyt D et al. BSACI guideline for the diagnosis and management of cow’s milk

allergy. Clin Exp Allergy.2014; 44:642-72 2. Munasir Z, Muktiarti D. The Management of Food Allergy in Indonesia. Asia Pac

Allergy. 2013 Jan;3:23-83. Staden U, Blumchen K, Blankenstein N, et al. Rush oral immunotherapy in children

with persistent cow’s milk allergy. J Allergy Clin immunol 2008;122:418 – 9. 4. Staden U, Rolinck-Werninghaus C, Brewe F, et al. Specifi c oral tolerance induction

in food allergy in children: effi cacy and clinical patterns of reaction. Allergy 2007;62:1261 – 9.

5. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Future therapies for food allergies 1. J Allergy Clin Immunol. 2011;127:558 – 73.

6. Nowak-Wegrzyn A, Bloom KA, Sicherer SH, et al. Tolerance to extensively heated milk in children with cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol. 2008;122:342 – 7.

7. Dupont C, Chouraqui JP, de Boissieu D, et al. Dietary treatment of cows’ milk protein allergy in childhood: a commentary by the Committee on Nutrition of the French Society of Paediatrics. Br J Nutr. 2012;107: 325 – 38.

8. Greer FR, Sicherer SH, Burks AW. Effects of early nutritional inter- ventions on the development of atopic disease in infants and children: the role of maternal dietary restriction, breastfeeding, timing of intro- duction of complementary foods, and hydrolyzed formulae. Pediatrics. 2008;121:183 – 91.

9. American Academy of Pediatrics. American Academy of Pediatrics: Committee on Nutrition. Hypoallergenic infant formulae. Pediatrics. 2000;106:346 – 9.

Page 50: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Zakiudin Munasir

38 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

10. de Boissieu D, Dupont C. Allergy to extensively hydrolysed cows’ milk proteins in infants: safety and duration of amino acid-based formula. J Pediatr. 2002;141:271 – 3.

11. de Boissieu D, Matarazzo P, Dupont C. Allergy to extensively hydrolyzed cow milk proteins in infants: identifi cation and treatment with an amino acid-based formula. J Pediatr. 1997;131:744 – 7.

12. Isolauri E, Sutas Y, Makinen-Kiljunen S, et al. Effi cacy and safety of hydrolyzed cow milk and amino acid-derived formulae in infants with cow milk allergy. J Pediatr. 1995;127:550 – 7.

13. Klemola T, Vanto T, Juntunen-Backman K, et al. Allergy to soy formula and to extensively hydrolyzed whey formula in infants with cow’s milk allergy: a prospective, randomized study with a follow-up to the age of 2 years. J Pediatr. 2002;140:219–24.

14. Agostoni C, Fiocchi A, Riva E, et al. Growth of infants with IgE- mediated cow’s milk allergy fed different formulae in the complemen- tary feeding period 38. Pediatr Allergy Immunol. 2007;18:599 – 606.

15. Agostoni C, Axelsson I, Goulet O, et al. Soy protein infant formulae and follow-on formulae: a commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J Pediatr. Gastroenterol Nutr 2006;42:352 – 61.

16. Bhatia J, Greer F. Use of soy protein-based formulae in infant feeding. Pediatrics. 2008;121:1062 – 8.

17. Scientifi c Committee on Food. Report on the Revision of Essential Requirements of Infant Formulae and Follow-on Formulae. SCF/CS/ NUT/IF/65; 2003.

18. Setchell KD, Zimmer-Nechemias L, Cai J, et al. Isofl avone content of infant formulae and the metabolic fate of these phytoestrogens in early life. Am J Clin Nutr. 1998;68:1453S – 61S

19. Kemp AS, Hill DJ,Allen KJ , Anderson K, Davidson GP, Day AS et al. Guidelines for the use of infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion. MJA. 2008 : 109-112

20. Host A, Koletzko B, Dreborg S, et al. Dietary products used in infants for treatment and prevention of food allergy. Joint statement of the European Society for Paediatric Allergology and Clinical Immunology (ESPACI) Committee on Hypoallergenic Formulae and the European Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) Committee on Nutrition. Arch Dis Child. 1999;81:80 – 4.

21. Jarvinen KM, Chatchatee P. Mammalian milk allergy: clinical suspicion, cross-reactivities and diagnosis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2009;9:251 – 8.

22. Braegger C, Chmielewska A, Decsi T, et al. Supplementation of infant formula with probiotics and/or prebiotics: a systematic review and comment by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;52:238 – 50.

23. Agostoni C, Decsi T, Fewtrell M, et al. Complementary feeding: a commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2008;46:99 – 110.

24. Agostoni C, Braegger C, Decsi T, et al. Breast-feeding: a commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2009;49:112 – 25.

25. Boyce JA, Assa’ad A, Burks AW, et al. Guidelines for the diagnosis and management of food allergy in the United States: report of the NIAID- sponsored expert panel. J Allergy Clin Immunol. 2010;126:S1–58.

Page 51: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 39

Formula Alternatif pada Tata Laksana Alergi Susu Sapi

26. Host A, Halken S, Jacobsen HP, et al. Clinical course of cow’s milk protein allergy/intolerance and atopic diseases in childhood. Pediatr Allergy Immunol. 2002;13(suppl 15):23–8.

Page 52: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

40

The Hygiene Hypothesis RevisitedAnang Endaryanto

Tujuan:Untuk memberikan informasi dan analisis mengenai berbagai hasil penelitian yang relevan dalam rangka memberi gambaran tentang: 1. Hygiene hypothesis dan peningkatan prevalensi asma dan alergi; 2. Kesesuaian hygiene hypothesis dengan fakta klinis dan

epidemiologis masa kini;3. Relevansi konsep keseimbangan respons imun Th1/Th2 dalam

hubungan antara infeksi dengan penyakit alergi saat ini setelah adanya temuan baru tentang respons imun Treg, Th17, Th9, serta Th22.

PendahuluanHygiene hypothesis adalah hipotesis yang menyatakan bahwa kurangnya paparan infeksi bakteri, mikrofl ora usus dan parasit pada anak usia dini meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi. Hygiene hypothesis mendalilkan bahwa infeksi memberikan perlindungan terhadap alergi. Hipotesis ini secara imunologis dianggap masuk akal dan konsisten dengan gambaran epidemiologi penyakit alergi. Namun asma non-alergi menunjukkan pola epidemiologi yang berbeda dengan penyakit alergi. Hubungan terbalik antara infeksi dan alergi belum banyak dikonfi rmasi secara langsung oleh studi epidemiologi. Data yang tersedia tidak konsisten dan tidak meyakinkan. Hubungan terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan sensitisasi alergi tetap misterius namun tetap berguna dalam upaya mengetahui penyebab meningkatnya prevalensi penyakit alergi pada masyarakat Barat.1,2

Hygiene hypothesis dan peningkatan prevalensi asma dan alergi Pada beberapa dekade terakhir telah terjadi peningkatan yang dramatis dalam prevalensi asma dan alergi secara global.3 Peningkatan yang dramatis terutama terjadi di negara-negara kaya atau negara-negara

Page 53: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 41

The Hygiene Hypothesis Revisited

barat, meskipun kenaikan yang serupa juga terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah.4 Penjelasan untuk peningkatan prevalensi asma dan alergi tersebut (walaupun penurunan juga dilaporkan di beberapa daerah) belum tuntas. Perubahan genetik tidak mungkin menjadi penyebabnya karena rentang waktu kenaikannya relatif singkat. Peningkatan prevalensi asma dan alergi sangat kontras dengan penurunan prevalensi penyakit menular. Penurunan penyakit menular merupakan akibat dari peningkatan upaya-upaya kesehatan masyarakat, kemajuan teknologi pengobatan infeksi, vaksinasi, dan program-program kebersihan. Penurunan paparan mikroorganisme menular inilah yang telah dihipotesiskan sebagai penyebab epidemi alergi dan asma, 5 dan hipotesis ini kemudian terkenal sebagai hygiene hypothesis. Istilah hygiene hypothesis awalnya dipicu oleh adanya bukti-bukti bahwa kepadatan penduduk, kondisi higienis dan ukuran keluarga yang lebih besar berkorelasi dengan rendahnya prevalensi penyakit alergi seperti: eksim, demam, hay fever, dan asma.1,6-9

Kesesuaian hygiene hypothesis dengan fakta klinis dan epidemiologis terkiniHygiene hypothesis mendalilkan bahwa infeksi memberikan perlindungan terhadap alergi, yang dalam banyak hal masih dianggap masuk akal dan konsisten dengan gambaran epidemiologis yang terkait penyakit infeksi dan penyakit alergi bila dikaji dari hasil-hasil penelitian berikut:1. Modulasi mikroba (baik secara langsung atau tidak langsung) pada

sel T-reg dapat menurunkan ekspresi imunitas baik Th1 maupun Th2. Pada fetus yang ibunya tinggal di daerah pertanian, terjadi peningkatan sel Treg FoxP3+ dalam darah tali pusat. 10

2. Pemberian probiotik Lactobacillus paracasei NCC2461 pada masa perinatal mencit mencegah reaksi alergi pada masa anak melalui sinyal TLR2/4 yang dikaitkan dan dikaitkan dengan peningkatan ekspresi RNA FoxP3+ dalam paru-paru. 11

3. Paparan bakteri di saluran nafas dapat melindungi individu dari alergi melalui mekanisme yang dimediasi oleh TLR4, tanpa melalui induksi sel T-reg maupun Th1 tetapi melalui perubahan status aktivasi sel DC.12 Paparan mikroba juga dapat melindungi individu dari asma non-alergi.

4. Paparan bakteri di awal kehidupan dapat memodulasi kekebalan yang memadai untuk menanggapi infeksi. Paparan komponen mikroba pada awal kehidupan berkorelasi dengan kolonisasi bakteri

Page 54: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

42 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

patogenik non patogenik (seperti Lactobacillus) di saluran nafas, peningkatan ekspresi TLR2,4,9, serta penurunan perekrutan neutrofi l.13

5. Kejadian sindrom croup (OR 0,3; 95% CI, 0,12-0,72) dan infeksi telinga berulang (OR 0,58; 95% CI 0,35-0,98) dalam 12 bulan pertama kehidupan berbanding terbalik dengan kejadian alergi, sementara kejadian bronchiolitis berbanding lurus dengan kejadian asma (OR 2,77; 95% CI 1,23-6,22).14,15

6. Efek proteksi terhadap alergi ternyata tidak hanya terjadi pada paparan mikroba atau virus, namun juga terjadi pada infeksi cacing Schistosoma mansoni. 16

7. Pada penelitian dengan populasi yang besar pada anak usia sekolah yang meneliti efek infeksi cacing kronis pada alergi,17 pengobatan anti cacing berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat prevalensi reaktivitas tes kulit dengan alergen dan peningkatan prevalensi eksim, namun tidak berhubungan dengan peningkatan asma atau rinokonjungtivitis.

8. Penelitian di pedesaan dan perkotaan telah melaporkan adanya hubungan terbalik antara tingkat endotoksin dalam ruangan dengan sensitivitas alergi dan asma.18-9 Fakta itu juga didukung oleh hasil riset International Study of Asthma and Allergies in Childhood fase II (gabungan seluruh Negara), yang menunjukkan tingkat endotoksin rumah tangga yang berbanding terbalik dengan asma (OR 0,53; 95% CI 0,29-0,96), namun besarnya hubungan tersebut jauh lebih lemah setelah dilakukan penyesuaian untuk jenis kelamin, riwayat alergi orangtua, paparan kucing, dan paparan tungau debu rumah.20-1

9. Paparan komponen yang lain dari mikroba, seperti: bakteri CpG, peptidoglikan,22polisakarida ekstraseluler dan 1-3 b-d-glukan jamur juga bersifat protektif,23 tetapi bukti-bukti epidemiologi masih terbatas. Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan efek protektif komponen mikroba terhadap alergi pada binatang coba. Misalnya, agonis Toll-like receptors (TLR) 9 menghambat asma,24-5 dan pemberian vaksin berupa ligan TLR2 atau 4 intranasal memproteksi alergi saluran napas.26

10. Asam lemak rantai pendek (SCFAs) yang diproduksi oleh fermentasi bakteri dari serat makanan, memainkan peran dalam imunoregulasi usus dan telah terbukti mengurangi peradangan karena alergi di saluran napas melalui interaksi antara SCFA dengan reseptor protein G. 27-8

Page 55: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 43

The Hygiene Hypothesis Revisited

11. Paparan spesies mikroba yang beranekaragam lebih memiliki efek protektif dibandingkan paparan satu spesies mikroba tertentu.29Ege et al.30 menunjukkan bahwa keragaman mikroorganisme lingkungan pada individu yang hidup di pedesaan menjelaskan hubungan terbalik antara lingkungan pertanian dan asma.

12. Pada debu rumah yang diperoleh dari rumah di Karelia Rusia (yang prevalensi alerginya rendah) terkandung lebih banyak bakteri Gram-positif (mungkin berasal dari hewan) dibandingkan debu rumah di daerah tetangganya di Karelia Finlandia (yang prevalensi alerginya tinggi) di mana sampel debu rumah mengandung lebih banyak Gram-negatif dan Proteobacteria.31

13. Prevalensi alergi dan asma pada anak-anak penghuni pusat penitipan anak lebih rendah dan hal itu terbukti berhubungan dengan keragaman bakteri,32 serta keberadaan kucing dan anjing.33

14. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan individu alergi, individu non alergi memiliki keragaman yang lebih tinggi terhadap paparan mikroorganisme, jenis tumbuhan sekitar rumah, serta Proteobacteria gamma di kulit. Masih belum jelas faktor-faktor apa saja yang paling penting, tetapi paparan mikroba memainkan peran penting baik melalui paparan per oral (lactobacillus, khususnya melalui susu segar) maupun inhalasi (endotoksin dan komponen mikroba lainnya).34

15. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi alergi dan asma yang rendah pada anak-anak petani baik yang berpenghasilan tinggi maupun yang berpenghasilan rendah.35-43 Efek protektif ini juga terjadi pada petani dewasa,36,39,50-2 meskipun juga ada peningkatan risiko penyakit pernapasan lainnya yang non alergi seperti penyakit paru obstruktif kronik.32

16. Efek protektif sangat kuat terhadap alergi dan asma pada daerah pertanian terkait adanya kontak hewan peliharaan,29,35,36,50-2 atau konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi dari peternakan.29,37,38,41 Efek protektif sangat kuat terhadap alergi dan asma pada daerah pertanian terkait adanya kontak dengan beberapa jenis hewan peliharaan. Pada suatu penelitian cohort kelahirandiketahui bahwa anak-anak dari orang tua alergi yang memiliki dua hewan peliharaan (misalnya anjing dan kucing) memiliki kecenderungan lebih rendah menderita alergi dan asma pada usia 13 tahun dibandingkan dengan yang memiliki hanya satu hewan peliharaan.43 Di Guinea-Bissau dan Nepal juga menunjukkan bahwa kepemilikan babi dan sapi di rumah berhubungan terbalik dengan kecenderungan alergi.53-5

17. Efek protektif terhadap alergi dan asma pada daerah pertanian tergantung pada jenis usaha pertaniannya. Ege et almelaporkan

Page 56: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

44 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

bahwa kecenderungan menderita asma alergi berbanding terbalik keberadaan hewan piaraan dan konsumsi susu segar.56-8 Hal ini konsisten dengan pengamatan bahwa adanya kontak hewan pada anak petani memberikan perlindungan terhadap alergi dan asma, dan diduga hal itu terjadi karena meningkatnya paparan mikroba.59

18. Konsumsi Lactobacillus terkait dengan susu segar sangat penting karena Lactobacillus dapat berkoloni pada usus manusia60 dan terlibat dalam immunomodulasi dalam perkembangan sistem kekebalan. Demikian juga perubahan mikrofl ora lain dari usus juga memainkan peran penting. 61-71 Berkurangnya keanekaragaman hayati usus selama masa bayi berhubungan dengan peningkatan kecenderungan alergi pada usia sekolah. Keragaman yang rendah dari mikrobiota usus pada bayi (pengurangan Bacteroidetes dan Proteobacteria) terutama pada satu bulan pertama kehidupan berhubungan dengan dengan dermatitis atopik.73-6 Perubahan fl ora usus mencit oleh antibiotik akan meningkatkan kerentanan terhadap alergi saluran napas.77

19. Komposisi fl ora usus ibu berhubungan kejadian asma pada bayi. Bayi dapat terpapar fl ora normal secara langsung maupun transfer dari ibu.78 Paparan bakteri Acinetobacter lwoffi F78 pada ibu hamil (model hewan coba mencit) akan memproteksi bayinya dari alergi melalui proses epigenetik79 melalui sinyal TLR dari ibu.80 Paparan mikrobiota komensal sangat penting untuk pengembangan kekebalan tubuh.Tidak adanya mikrobiota komensal menyebabkan perubahan dalam sel penyaji-alergen (APC).81Sebuah studi82menunjukkan bahwa mikrobiota komensal menyebabkan perubahan dalam ekspresi gen kekebalan terkait. Perubahan dalam koloni mikrobiota usus terbukti akan mengubah ekspresi ratusan gen, khususnya gen yang terlibat dalam induksi interferon 1(IFN-1). Penurunan paparan mikrobiota usus berkorelasi dengan ekspansi sel (iNKTs) sel dalam lamina propria kolon dan paru-paru, yang berkorelasi dengan peningkatan kecenderungan reaksi alergi di saluran napas alergi dan saluran cerna.Interaksi antara mikrobiota dan sel innate (seperti iNKTs) penting proteksi terhadap alergi dan atau asma, meskipun saat ini belum jelas bagaimana hubugannya dengan alergi dan asma pada manusia.82

20. Temuan epidemiologi sebelumnya yang menunjukkan bahwa kehadiran tempat penitipan anak dan adanya kontak dengan hewan peternakan berkorelasi negatif dengan alergi dan asma telah direplikasi di Amerika Latin (Chili) dengan hasil yang sama.83

Page 57: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 45

The Hygiene Hypothesis Revisited

Ketidaksesuaian hygiene hypothesisdengan fakta klinis dan epidemiologis terkiniSaat ini model hubungan terbalik antara infeksi dan alergi seperti yang didalilkan hygiene hypothesis tampaknya terlalu sederhana, salah satu contohnya adalah infeksi parasit yang berhubungan dengan respons imun Th2 yang kuat ternyata melindungi individu terhadap penyakit alergi. Beberapa informasi lain dari berbagai riset membuktikan bahwa hygiene hypothesistidak selalu konsisten atau tidak selalu meyakinkan, sebagaimana digambarkan oleh berbagai hasil-hasil penelitian sebagai berikut:1. Paparan endotoksin telah terbukti berhubungan dengan penurunan

produksi sitokin-sitokin IFN-, TNF-, interleukin (IL) 12, dan IL-10 oleh leukosit darah perifer, yang mana lebih menunjukkan kecenderungan yang lebih kearah penurunan lingkungan sitokin Th1 daripada kearah peningkatan sitokin Th.84Sementara itu ada bukti yang menunjukkan bahwa pengubahan dosis paparan PAMP (misalnya, endotoksin) akan mengubah keseimbangan Th1-Th2.85

2. Meskipun data saat ini mendukung pendapat yang menyatakan bahwa paparan mikroba berhubungan dengan penurunan risiko alergi dan asma, namun juga ada bukti bahwa paparan mikroba berhubungan dengan penurunan risiko asma non alergi. Ketika meneliti efek dari paparan pertanian pada asma dan alergi, Riedler et.al.41 melaporkan adanya penurunan dari risiko asma (1%; 3/241) pada anak-anak non alergi yang secara teratur terpapar kandang peternakan dibandingkan dengan 4% (17/399) pada mereka yang tidak (P=0,034). Penelitian berikutnya,86 mereproduksi temuan tersebut dengan menunjukkan bahwa pertanian meningkatkan proteksi terhadap asma non alergi (OR 0,45; 95% CI 0,32-0,63).

3. Terdapat kolonisasi Mycoplasma dan spesies clamidia pada beberapa penderita asma.87 Infeksi bakteri kronis bertanggung jawab langsung setidaknya pada sebagian kecil dari asma non allergi, meskipun masih harus dilihat apakah mereka penyebab atau efek dari proses asma.

4. Dua jenis cacing yaitu Ascaris dan Trichuris tidak memiliki efek proteksi terhadap alergi [88]. Namun, beberapa penelitian lain membuktikan bahwa program pemberantasan cacing berhubungan dengan peningkatan sensitisasi alergi.16,89,90

5. Data yang tersedia mengenai hubungan terbalik endotoksin dengan alergi tidak konsisten. Sebagai contoh, di salah satu kelompok cohort kelahiran ditemukan bahwa paparan awal endotoksin berhubungan dengan peningkatan risiko alergipada usia 2 tahun,91 sedangkan

Page 58: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

46 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

dua kelompok cohort kelahiran yang sama menunjukkan efek perlindungan pada alergipada usia 2 tahun28dan perlindungan asma pada usia 4 tahun.91 Di lingkungan perkotaan, paparan endotoksin juga terbukti menjadi faktor risiko asma.92-3

6. Paparan bakteri patogenik memiliki efek yang berbeda pada perkembangan alergi dan asma. Sebuah cohort kelahiranmenunjukkan bahwa paparan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif berbanding terbalik dengan perkembangan asma,28 sedangkan paparan bakteri Gram negatif berbanding lurus dengan perkembangan sensitisasi alergi.

7. Pada konsep hygine hypothesis yang asli menganggap bahwa pada penurunan paparan mikroba, respon imun alergi akan dimodulasi, sehingga kejadian alergi dan asma alergi menurun. Jika benar, maka efek protektif yang paling menonjol adalah pada kasus asma alergidan eksim. Namun, ada bukti bahwa prevalensi asma non alergi telah meningkat melebihi asma alergi.94 Fakta bahwa paparan pertanian juga dapat melindungi asmanon-alergi, menunjukkan bahwa paparan mikroba tidak hanya mempengaruhi prevalensi alergi. Dalam survei dengan populasi anak-anak prasekolah, peningkatan prevalensi asma tidak hanya ditemukan hanya pada pola asma klasik tetapi asma yang diinduksi oleh virus.95 Dengan demikian, konsep hygine hypothesis tidak sepenuhnya dapat menjelaskan baik mengenai kecenderungan asma saat ini maupun mengenai mekanisme melalui mana efek protektif mikroba terhadap respon imun alergi.

8. Prevalensi asma di negara-negara Barat sudah mulai menurun pada anak-anak96-97 dan orang dewasa,98 tetapi tidak mungkin kita menganggap bahwa negara-negara ini menjadi semakin kurang bersih,99-100 dan yang pasti tidak ada bukti bahwa jumlah anggota keluarga semakin meningkat.

9. Meskipun kondisi perumahan di Amerika Serikat menjadi lebih higienis pada populasi dalam kota, prevalens asma telah meningkat secara signifi kan pada mereka yang berasal dari ras Afrika - Amerika yang hidup dalam kemiskinan.99 Penelitian pada infeksi tertentu dengan risiko asma belum menunjukkan efek perlindungan yang konsisten.100 Juga, prevalens asma yang menurun tidak sejalan dengan prevalensi eksim alergi dan alergi makanan yang terus meningkat.101

10. Prevalens asma tinggi di Amerika Latin yang memiliki tingkat infeksi rendah. Sedangkan di Spanyol dan Portugal yang tingkat infeksinya juga rendah memiliki prevalens asma yang rendah.102

Page 59: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 47

The Hygiene Hypothesis Revisited

11. Hygiene hypothesis umumnya menjelaskan bahwa efek perlindungan dari paparan mikroba pada awal kehidupan menghasilkan manfaat kesehatan jangka panjang, namun penelitian terbarumenunjukkan bahwa paparan mikroba sepanjang hidup sangat penting.36,103 Paparan jangka panjang dan paparan terus-menerus mungkin diperlukan untuk mempertahankan perlindungan optimal.

Pembaharuan konsep awal hygiene hypothesis yang terkait Th1/Th2.Konsep hygiene hypothesis awalnya dijelaskan melalui keseimbangan Th1/Th2, misalnya bila individu tumbuh di lingkungan yang lebih higienis dengan paparan mikroba yang kurang akan terjadi peningkatan respons imun alergi (Th2), sedangkan bila individu tumbuh di lingkungan dengan paparan mikroba yang tinggi akan tedorong respons imunnya ke arah Th1 yang jauh dari kecenderungan respons imun alergi. Selama masa jjanin dan perinatal respons imunnya diketahui cenderung ke respons imun alergi (Th2).104-5

Paparan mikroba mengaktifkan reseptor pengenalan TLRsatau CD14 [106], yang spesifi k untuk komponen mikroba yang berbeda (atau PAMPs). Proses ini diduga menyebabkan penekanan ekspansi sel Th2, termasuk penyakit-penyakit yang dimediasi Th2 seperti asma alergi, hay fever dan eksim.100Model ini sekarang tampaknya terlalu sederhana, karena infeksi parasit yang berhubungan dengan respons imun Th2 yang kuat ternyata melindungi individu terhadap penyakit alergi.

Paparan endotoksin telah terbukti berhubungan dengan penurunan produksi sitokin-sitokin IFN-, TNF-, IL-12, dan IL-10 oleh leukosit darah perifer, yang mana lebih menunjukkan kecenderungan yang lebih ke arah penurunan lingkungan sitokin Th1 daripada kearah peningkatan Th1.103 Sementara itu ada bukti yang menunjukkan bahwa mengubah dosis paparan PAMP (misalnya, endotoksin) akan mengubah keseimbangan Th1-Th2.104

Modulasi mikroba (baik secara langsung atau tidak langsung) yang diperankan melalui sel T-reg dapat menurunkakan ekspresi imunitas baik Th1 maupun Th2. Pada bayi baru lahir yang pada masa janin terpapar daerah pertanian, terjadi peningkatan sel Treg FoxP3+ dalam darah tali pusat.105 Pemberian probiotik Lactobacillus paracasei NCC2461pada masa perinatal mencit telah mencegah reaksi alergi pada masa anak melalui sinyal TLR2/4 yang dikaitkan dan dikaitkan dengan peningkatan ekspresi RNA FoxP3+ dalam paru-paru.106 Selain itu, telah dilaporkan bahwa paparan bakteri di saluran nafas dapat melindungi individu dari alergi melalui mekanisme yang dimediasi oleh TLR4, tanpa

Page 60: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

48 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

melalui induksi sel T-reg maupun Th1 tetapi melalui perubahan status aktivasi sel DC.107 Paparan mikroba juga dapat melindungi individu dari asma non-alergi.

Meskipun data saat ini mendukung pendapat yang menyatakan bahwa paparan mikroba berhubungan dengan penurunan risiko asma alergi, namun juga ada bukti bahwa paparan mikroba berhubungan dengan penurunan risiko asma non alergi. Setelah meneliti efek dari paparan daerah pertanian pada alergi dan asma, Riedler dkk.,41 melaporkan adanya penurunan risiko asma (1%; 3/241) pada anak-anak non alergi yang secara teratur terpapar kandang peternakan dibandingkan dengan 4% (17/399) pada mereka yang tidak terpapar (P=0,034). Penelitian berikutnya mereproduksi temuan tersebut dengan menunjukkan bahwa pertanian meningkatkan proteksi terhadap asma non-alergi (OR 0,45; 95% CI 0,32-0,63).86

Paparan bakteri di awal kehidupan dapat memodulasi kekebalan yang memadai untuk menanggapi infeksi. Paparan komponen mikroba pada awal kehidupan dikaitkan dengan kolonisasi bakteri patogenik non-patogenik (seperti Lactobacillus) di saluran nafas, peningkatan ekspresi TLR2,4,9, serta penurunan perekrutan neutrofi l.108 Terdapat kolonisasi Mycoplasma dan spesies klamidia pada beberapa penderita asma.87 Infeksi bakteri kronis bertanggung jawab langsung setidaknya pada sebagian kecil dari asma non-alergi, meskipun masih harus dilihat apakah mereka penyebab atau efek dari proses asma.

Revisi hygiene hypothesis dalam hubungan alergi dan infeksi dengan memasukkan peran Treg, Th17, Th9 dan Th22, selain Th1 dan Th2.Sel-sel Th1 ditandai oleh ekspresi sitokin-sitokin IFN- dan IL-12, yang memainkan peran kunci yang menghubungkan kekebalan bawaan dan kekebalan adaptif. Sinyal IFN- dan IL-12 dimediasi oleh STAT1 (sinyal transduser dan penggerak transkripsi 1) dan STAT4. Sel Th1 mengekspresikan faktor transkripsi T-bet yang utama yang disandikan oleh gen Tbx21 dan ditandai dengan produksi IFN-, yang memperkuat polarisasi Th1, menciptakan umpan balik yang positif, dan menekan program diferensiasi alternatif.109-110 IFN- awal yang mendorong diferensiasi sel T naive terhadap menjadi Th1 diproduksi oleh sel NK.111 Stabilitas relatif dari fenotif Th1 sebagian dapat dijelaskan oleh sirkuit transkripsi mandiri, karena T-bet dapat menginduksi ekspresi sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung dan menekan faktor transkripsi alternatif GATA-3, yang bertanggung jawab untuk diferensiasi

Page 61: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 49

The Hygiene Hypothesis Revisited

Th2.112-113Sedangkan sel Th2 ditandai oleh ekspresi sitokin-sitokin IL-4, yang antagonis terhadap polarisasi Th1, melalui sinyal STAT6. Faktor transkripsi regulator induk mereka GATA-3 juga mampu mengaktivasi diri untuk memperkuat umpan balik.115 GATA-3 dan T-bet ditandai dengan saling antagonisme, yang mendukung polarisasi sel T terhadap baik Th1 atau Th2 tergantung pada profi l sitokin yang ada di sekitarnya dan membuat status transisi tidak stabil. Sel Th2 mengekspresikan sitokin-sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13 yang terlibat dalam respon imun humoral terhadap infeksi ekstraseluler dan parasit.7-9 Mereka juga terlibat dalam reaksi alergi dan status alergi.118 Adanya hubungan terbalik antara peningkatan respons imun Th1 dengan penurunan respons imun Th2 masih sesuai dengan konsep hygiene hypothesis awal apabila dikaji hanya dalam karakter respons imun Th1/Th2.

Sel Th17 saat ini dikenal sebagai jalur sel T independen selain Th1 dan Th2.119-121Polarisasi Th17 terjadi dengan adanya sitokin-sitokin IL-6 atau IL-21 dan TGF-.122-3 Diferensiasi sel Th17 adalah independen dari faktor transkripsi T-bet dan GATA3 dengan sinyal terkait yang diatur oleh jalur STAT3, Smad, RORt (RORc) dan ROR.124-6 Sel-sel Th17 ini memproduksi IL-17A dan IL-17F. Mereka juga mengekspresikan sitokin lainnya termasuk IL-21, IL-22, dan GM-CSF. IL-23 penting untuk kelangsungan hidup Th17 dan potensi infl amasinya, dan berperan dalam pathogenesis autoimun pada manusia [27]. TGF- dan IL-21 mendorong diferensiasi sel Th17 dari sel CD4+ naive, sementara sitokin-sitokin IL-23 dan IL-1 menginduksi diferensiasi sel Th17 dari sel T memori [123, 128]. Sel Th17 pada kondisi normal keberadaannya terutama di usus, di mana mereka memberikan perlindungan terhadap infeksi bakteri dan jamur, tetapi dapat meningkat dalam usus dan di jaringan lain selama proses infl amasi.129-31 Konsep hygiene hypothesis awal harus dikaji untuk disempurnakan dalam hubungan respons imun Th1 dengan Th2, karena terbukti ada peran Th17 dalam perlindungan terhadap infeksi.

Sel Tregs adalah subset sel T yang dikontrol oleh faktor transkripsi Foxp3 dan berdiferensiasi sebagai respons terhadap TGF-.132 Foxp3 juga diekspresikan oleh sel T non regulator yang lain pada manusia, dan untuk itu diperlukan penanda lain untuk identifi kasi sel Treg. Telah terbukti bahwa ekspresi CD127 (IL-7R) ditekan oleh sel Treg, sehingga rendahnya ekspresi CD127 dapat digunakan sebagai penanda yang relevan dari subset Treg ini dan dapat membedakan Treg dari sel T efektor lainnya. Tingkat ekspresi yang lebih tinggi dari reseptor folat 4 juga telah menjadi penanda sel Treg.133 Stabilitas subset Treg tergantung pada asalnya. Tregs yang berasal dari timus dianggap sebagai subset

Page 62: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

50 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

stabil. Di sisi lain, Tregs juga dapat diinduksi di perifer dalam menanggapi kehadiran sitokin TGF- dan antigen pada pembentukan Treg adaptif atau inducible Tregs (iTregs).134 Sel-sel Treg kurang stabil dalam fenotipe fungsional mereka. Dalam sel CD4 + T naive, TGF- diinduksi baik oleh Foxp3 maupun RORt, tetapi yang pertama adalah yang dominan dan menekan RORt dalam ketiadaan IL-6, dan menggeser keseimbangan dari Th17 ke iTreg dalam kondisi infl amasi.135 Ada kesamaan fungsional antara Tregs alami dan Treg yang diinduksi (iTreg), tetapi Treg tampil berbeda dalam status epigenetik.136 Penanda permukaan sel Treg adalah reseptor IL-2 rantai alpha (CD25). IL-2 penting untuk kelangsungan hidup dan homeostasis Treg.137 Sel Treg memainkan peran kunci dalam menjaga toleransi perifer. Treg dapat menekan fungsi sel-sel T efektor T dan APC oleh pelepasan sitokin penekan yaitu TGF- dan IL-10.138-40

Populasi sel Treg berbeda dengan ekspresinya dan dapat dibagi menjadi beberapa subtipe, terutama, tipe Treg memori (yang dihasilkan sebagai respons terhadap paparan antigen) dan Treg alami (naïve).139 Disfungsi Treg berhubungan dengan berbagai penyakit autoimun, termasuk multiple sclerosis, diabetes tipe I, psoriasis, dan myasthenia gravis.141-3

Konsep hygiene hypothesis awal harus dikaji dalam hubungan respons imun Th1 dengan respons imun Th2, karena terbukti ada peran Treg yang mampu mensupresi baik respons imun Th1 maupunrespons imun Th2, sehingga hubungan terbalik Th1 dengan Th2 tidak selalu terjadi dalam kaitan infeksi dengan alergi.

Sebuah populasi sel yang meproduksi sitokin IL-9 pertama kali dijelaskan pada akhir 1980-an.144 Stimulasi sel Th2 oleh TGF- atau sel T naive oleh sitokin IL-4 dan TGF- dapat menyebabkan pembentukan sel yang mengekspresikan sitokin IL-9 tetapi tidak mengekspresikan sitokin IL-4, sehingga teridendifi kasi sebagai sel T helper yang berbeda dan selanjutnya disebut Th9.145-6 Sel Th9 berperan dalam penyakit autoimun dan alergi, Pembentukan sel Th9 dari sel CD4 + T naïve dirangsang oleh TGF- dan ditingkatkan oleh IL-4, walaupun produksi IL-9 independen dari IL-4. Adanya sitokin IL-2 dan sitokin lain penting untuk diferensiasi Th9. Sitokin lain, termasuk IL-1, IL-1, IL-33, IL-21, dan IL-25, juga meningkatkan produksi sitokin IL-9, sedangkan sitokin IL-27 menekan Th9.148 Bukti menunjukkan adanya Th9 in vivo. Peningkatan produksi IL-9 dan diferensiasi Th9 telah dibuktikan pada model tikus alergi dan melanoma.150-1 IL-9 juga diproduksi oleh beberapa sel in vivo. Sel-sel limfoid innate (ILC) merupakan sumber utama sitokin IL-9 pada model hewan coba.152 IL-9 memiliki sejumlah fungsi penting dalam sistem kekebalan tubuh: mempromosikan kelangsungan hidup dan proliferasi sel T dan sel mast, merangsang produksi beberapa sitokin,

Page 63: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 51

The Hygiene Hypothesis Revisited

dan memodulasi respon sel B. Juga memiliki efek pada beberapa jenis sel non hematopoietik. IL-9 yang meningkat berperan penting dalam proses autoimun, alergi, dan kekebalan antitumor.148 Sel Th9 juga memproduksi IL-10 dan IL-21.Konsep hygiene hypothesis awal harus disempurnakan dalam hubungan antara respons imun Th1 dengan respons imun Th2, karena terbukti adanya peran respons imun Th9 dalam alergi.

Sitokin IL-22 adalah anggota keluarga sitokin IL-10 keluarga dan memiliki target kerja pada sel-sel epitel, pankreas, hepatosit, dan beberapa jenis fi broblast, yang memediasi pertahanan hospes terhadap pathogen invasif.153 Seperti halnya sitokin IL-9, IL-22 dapat diproduksi oleh berbagai jenis sel T, termasuk sel Th17, sel CD8 +, dan sel-sel kekebalan bawaan lainnya. Sel T yang mengekspresikan sitokin IL-22 saja , dan tidak mengekspresikan sitokin IL-17 maupun IFN-akan mengarah pada sel Th22.154-5 Diferensiasi Th22 dari sel CD4 + T naïve diinduksi oleh sitokin TNF-, IL-6 dan IL-1. Pembentukan Th22 tidak sepenuhnya tergantung pada TNF dan IL-6.156Produksi IL-22 meningkat pada beberapa penyakit autoimun, penyakit radang usus, asma alergi, sclerosis sistemik, dan rheumatoid arthritis, di mana Th22 dapat berperan protektif atau patogenik tergantung pada konteks dan tahap penyakit.120 Sel Th22 dapat mempengaruhi sel mesenchymal dan sel epitel lain dalam pengembangan peradangan kulit, seperti psoriasis dan dermatitis alergi.157 Peningkatan sel Th22 dan sitokin IL-22 terbukti berhubungan dengan berbagai tumor, dan berperan penting dalam tumorogenesis. Oleh karena itu, sel Th22 dan sitokin IL-22 dapat dianggap sebagai target potensial dari terapi antitumor.157Konsep hygiene hypothesis awal perlu disempurnakan dalam hubungan antara respons imun Th1 dengan Th2, karena terbukti ada peran respons imun Th22 dalam dermatitis atopik dan asma alergi.

Simpulan Hygiene hypothesis telah digunakan untuk menjelaskan peningkatan

prevalensi alergi dan asma selama beberapa dekade terakhir, tetapi hygiene hypothesis bukan satu-satunya penjelasan dalam kecenderungan peningkatan prevalensi alergi dan asma.

Dalam hal perlindungan terhadap alergi dan asma dikaitkan dengan paparan mikroba, bukti terbaru menunjukkan bahwa sesungguhnya yang berperan protektif adalah keragaman (diversitas) jenis mikroba yang memapari.

Page 64: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

52 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Pada hewan coba, interaksi antara sistem kekebalan tubuh dengan mikrobiota usus telah terbukti melindungi infl amasi alergi pada hewan coba.

Paparan pertanian ternyata juga menjadi pelindung terhadap asma non alergi, hal ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa interpretasi hygiene hypothesisterlalu sempit (dengan kata lain terlalu menyederhanakan masalah imunopatogenesis hanya dengan penjelasan bahwa paparan mikroba di awal kehidupan dapat menjadi pelindung terhadap asma alergikarena menekan respon imun Th2).

Meskipun hygiene hypothesis menjadi salah satu cara untuk menjelaskan perubahan global terbaru dalam prevalensi alergi dan asma, teori mengenai imunopatogenesis lebih lanjut yang konsisten dengan bukti epidemiologi untuk asma alergi dan non alergi masih diperlukan.

Hygiene hypothesis yang semula mendalilkan penyakit alergi dalam hubungan [Alergi]= f [Sifat Atopik].[Paparan Alergen].[Paparan Mikroba].[Respons Imun Th1].[Respons Imun Th2], karena peran Treg yang mampu mensupresi baik Th1 dan Th2 bentuk hubungan direvisi menjadi [Alergi]= f [Sifat Atopik].[Paparan Alergen].[Paparan Mikroba].[Respons Imun Th1].[Respons Imun Th2]. [Respons Imun Treg]. Saat ini,karena peran Th17-Th9-Th22 sudah diketahui, maka seyogyanyadalil hubungan diperbarui lagi menjadi [Alergi]= f [Sifat Atopik].[Paparan Alergen].[Paparan Mikroba].[Respons Imun Th1]. [Respons Imun Th2]. [Respons Imun Treg].[Respons Imun Th17].[Respons Imun Th9]. [Respons Imun Th22].

Daftar pustaka1. Strachan DP. Hay fever, hygiene and household size. BMJ. 1989;299: 1259–60. 2. Strachan DP. Family size, infection and atopy: the fi rst decade of the “hygiene

hypothesis” J Allergy Clin Immunol. 1999;104:554–83. Asher MI, Anderson HR, Stewart AW, et al. Worldwide variations in the prevalence

of asthma symptoms: International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Eur Respir J. 1998; 12: 315–35.

4. Pearce N, Douwes J. The global epidemiology of asthma in children. Int J Tuberc Lung Dis. 2006;10:125–32.

5. Eder W, Ege MJ, von Mutius E. Current concepts: the asthma epidemic. N Engl J Med. 2006; 355:2226–35.

6. Strachan DP. Hay fever, hygiene, and household size. BMJ. 1989; 299: 1259 – 60. 7. Strachan DP. Allergy and family size: a riddle worth solving. Clin Exp Allergy 1997;

27:235–6. 8. Ball TM, Castro-Rodriguez JA, Griffi th KA, et al. Siblings, day-care attendance,

and the risk of asthma and wheezing during childhood. N Engl J Med. 2000; 343:538–43.

Page 65: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 53

The Hygiene Hypothesis Revisited

9. Kramer U, Heinrich J, Wjst M, Wichmann HE. Age of entry to day nursery and allergy in later childhood. Lancet. 1999; 353:450–4

10. Schaub B1, Liu J, Höppler S, Schleich I, Huehn J, Olek S, Wieczorek G, Illi S, von Mutius E.Maternal farm exposure modulates neonatal immune mechanisms through regulatory T cells. J Allergy Clin Immunol. 2009; 123:774–82; e5.

11. Schabussova I, Hufnagl K, Tang ML, Hofl ehner E, Wagner A, Loupal G, Nutten S, Zuercher A, Mercenier A, Wiedermann U. Perinatal maternal administration of Lactobacillus paracasei NCC 2461 prevents allergic infl ammation in a mouse model of birch pollen allergy. Plos One. 2012; 7:e40271.

12. Nembrini C, Sichelstiel A, Kisielow J, Kurrer M, Kopf M, Marsland BJ. Bacterial-induced protection against allergic infl ammation through a multicomponent immunoregulatory mechanism. Thorax. 2011; 66:755 –63.

13. Yasuda Y, Matsumura Y, Kasahara K, Ouji N, Sugiura S, Mikasa K, Kita E. Microbial exposure early in life regulates airway infl ammation in mice after infection with Streptococcus pneumoniae with enhancement of local resistance. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol. 2010; 298:L67 – L78.

14. Ramsey CD, Gold DR, Litonjua AA, Sredl DL, Ryan L, Celedón JC.Respiratoryillnessesinearlylifeand asthma and atopy in childhood. J Allergy Clin Immunol. 2007; 119:150–6.

15. Sly PD, Boner AL, Björksten B, Bush A, Custovic A, Eigenmann PA, Gern JE, Gerritsen J, Hamelmann E, Helms PJ, Lemanske RF, Martinez F, Pedersen S, Renz H, Sampson H, von Mutius E, Wahn U, Holt PG. Early identifi cation of atopy in the prediction of persistent asthma in children. Lancet. 2008; 372:1100– 06.

16. Flohr C, Tuyen LN, Lewis S, Quinnell R, Minh TT, Liem HT, Campbell J, Pritchard D, Hien TT, Farrar J, Williams H, Britton J. Poor sanitation and helminth infection protect against skin sensitization in Vietnamese children: a cross-sectional study. J Allergy Clin Immunol. 2006; 118:1305–11.

17. Endara P, Vaca M, Chico ME, Erazo S, Oviedo G, Quinzo I, Rodriguez A, Lovato R, Moncayo AL, Barreto ML, Rodrigues LC, Cooper PJ. Long-term periodic anthelmintic treatments are associated with increased allergen skin reactivity. Clin Exp Allergy. 2010; 40:1669–77.

18. Böttcher MF, Björkstén B, Gustafson S, Voor T, Jenmalm MC.Endotoxin levels in Estonian and Swedish house dust and atopy in infancy. Clin Exp Allergy. 2003; 33:295 –300.

19. Braun-Fahrlander C, Lauener R. Farming and protective agents against allergy and asthma. Clin Exp Allergy. 2003; 33:409–11.

20. Douwes J, van Strien R, Doekes G, Smit J, Kerkhof M, Gerritsen J, Postma D, de Jongste J, Travier N, Brunekreef B. Does early indoor microbial exposure reduce the risk of asthma? The Prevention and Incidence of Asthma and Mite Allergy birth cohort study. J Allergy Clin Immunol. 2006; 117:1067 – 73.

21. Gehring U, Bolte G, Borte M, Bischof W, Fahlbusch B, Wichmann HE, Heinrich J; LISA study group. Lifestyle-Related Factors on the Immune System and the Development of Allergies in Childhood.Exposure to endotoxin decreases the risk of atopic eczema in infancy: a cohort study. J Allergy Clin Immunol. 2001; 108:847 – 54.

22. van Strien RT, Engel R, Holst O, Bufe A, Eder W, Waser M, Braun-Fahrländer C, Riedler J, Nowak D, von Mutius E; ALEX Study Team. Microbial exposure of rural

Page 66: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

54 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

school children, as assessed by levels of N-acetyl-muramic acid in mattress dust, and its association with respiratory health. J Allergy Clin Immunol. 2004; 113:860 –7.

23. Douwes J, van der Sluis B, Doekes G, van Leusden F, Wijnands L, van Strien R, Verhoeff A, Brunekreef B.Fungal extracellular polysaccharides in house dust as a marker for exposure to fungi: Relations with culturable fungi, reported home dampness, and respiratory symptoms. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103:494 – 500.

24. Jain VV, Kitagaki K, Businga T, Hussain I, George C, O’shaughnessy P, Kline JN.CpG-oligodeoxynucleotides inhibit airway remodeling in a murine model of chronic asthma. J Allergy Clin Immunol 2002; 110:867 –72.

25. Kline JN1, Waldschmidt TJ, Businga TR, Lemish JE, Weinstock JV, Thorne PS, Krieg AM.Cutting edge: modulation of airway infl ammation by CpG oligodeoxynucleotides in a murine model of asthma. J Immunol. 1998; 160:2555 –59.

26. Shalaby KH, Jo T, Nakada E, Allard-Coutu A, Tsuchiya K, Hirota N, Qureshi ST, Maghni K, Rioux CR, Martin JG. ICOS-expressing CD4 T cells induced via TLR4 in the nasal mucosa are capable of inhibiting experimental allergic asthma. J Immunol. 2012; 189:2793 – 2804.

27. Maslowski KM1, Vieira AT, Ng A, Kranich J, Sierro F, Yu D, Schilter HC, Rolph MS, Mackay F, Artis D, Xavier RJ, Teixeira MM, Mackay CR.Regulation of infl ammatory responses by gut microbiota and chemoattractant receptor GPR43. Nature. 2009; 461:1282 – 2119.

28. Sordillo JE1, Hoffman EB, Celedón JC, Litonjua AA, Milton DK, Gold DR.Multiple microbial exposures in the home may protect against asthma or allergy in childhood. Clin Exp Allergy. 2010; 40:902 – 10.

29. Heederik D, von Mutius E. Does diversity of environmental microbial exposure matter for the occurrence of allergy and asthma? J Allergy Clin Immunol. 2012; 130:44 – 50.

30. Ege MJ, Mayer M, Normand AC. Exposure to environmental micro-organisms and childhood asthma. N Engl J Med. 2011; 364:701 –09.

31. Pakarinen J, Hyvärinen A, Salkinoja-Salonen M, Laitinen S, Nevalainen A, Mäkelä MJ, Haahtela T, von Hertzen L. Predominance of Gram- positive bacteria in house dust in the low-allergy risk Russian Karelia. Environ Microbiol. 2008; 10:3317 –25.

32. Lee L, Tin S, Kelley ST. Culture-independent analysis of bacterial diversity in a child-care facility. BMC Microbiol. 2007; 7:27.

33. Maier RM, Palmer MW, Andersen GL, Halonen MJ, Josephson KC, Maier RS, Martinez FD, Neilson JW, Stern DA, Vercelli D, Wright AL.Environmental determinants of and impact on childhood asthma by the bacterial community in household dust. Appl Environ Microbiol. 2010; 76:2663 – 7.

34. Hanski I, von Hertzen L, Fyhrquist N, Koskinen K, Torppa K, Laatikainen T, Karisola P, Auvinen P, Paulin L, Mäkelä MJ, Vartiainen E, Kosunen TU, Alenius H, Haahtela T..Environmental biodiversity, human microbiota, and allergy are interrelated. Proc Natl Acad Sci USA. 2012; 109:8334 –39.

35. Braun-Fahrländer C1, Gassner M, Grize L, Neu U, Sennhauser FH, Varonier HS, Vuille JC, Wüthrich B.Prevalence of hay fever and allergic sensitization in farmer’s children and their peers living in the same rural community. Clin Exp Allergy. 1999; 29:28 – 34.

Page 67: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 55

The Hygiene Hypothesis Revisited

36. Douwes J1, Travier N, Huang K, Cheng S, McKenzie J, Le Gros G, von Mutius E, Pearce N.Lifelong farm exposure may strongly reduce the risk of asthma in adults. Allergy 2007; 62:1158 – 65.

37. Downs SH1, Marks GB, Mitakakis TZ, Lëuppi JD, Car NG, Peat JK.Having lived on a farm and protection against allergic diseases in Australia. Clin Exp Allergy 2001; 31:570 –5.

38. Ernst P, Cormier Y. Relative scarcity of asthma and atopy among rural adolescents raised on a farm. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161: 1563 – 66.

39. Kilpelainen M, Terho EO, Helenius H, Koskenvuo M. Farm environment in childhood prevents the development of allergies. Clin Exp Allergy 2000; 30:201 –8.

40. Portengen L, Sigsgaard T, Omland Ø, Hjort C, Heederik D, Doekes G.Low prevalence of atopy in young Danish farmers and farming students born and raised on a farm. Clin Exp Allergy 2002; 32:247 –53.

41. Riedler J, Braun-Fahrländer C, Eder W, Schreuer M, Waser M, Maisch S, Carr D, Schierl R, Nowak D, von Mutius E; ALEX Study Team. Exposure to farming in early life and development of asthma and allergy: a cross-sectional survey. Lancet 2001; 358:1129 – 33.

42. Riedler J, Eder W, Oberfeld G, Schreuer M. Austrian children living on a farm have less hay fever, asthma and allergic sensitization. Clin Exp Allergy 2000; 30:194 – 200.

43. Von Ehrenstein OS1, Von Mutius E, Illi S, Baumann L, Böhm O, von Kries R.Reduced risk of hay fever and asthma among children of farmers. Clin Exp Allergy 2000; 30:187– 93.

44. Braback L, Hjern A, Rasmussen F. Trends in asthma, allergic rhinitis and eczema among Swedish conscripts from farming and nonfarming environ- ments: a nationwide study over three decades. Clin Exp Allergy 2004; 34:38 – 43.

45. Eduard W, Douwes J, Omenaas E, Heederik D. Do farming exposures cause or prevent asthma? Results from a study of adult Norwegian farmers. Thorax 2004; 59:381 –6.

46. Smit LA, Zuurbier M, Doekes G, Wouters IM, Heederik D, Douwes J. Hay fever and asthma symptoms in conventional and organic farmers in the Netherlands. Occup Environ Med 2007; 64:101 – 107.

47. Schenker MB, Christiani D, Cormier Y. Respiratory health hazards in agriculture. Am J Respir Crit Care Med 1998; 158:S1 – S76.

48. Douwes J, Pearce N. Commentary: the end of the hygiene hypothesis? Int J Epidemiol 2008; 37:570 – 572.

49. Remes ST, Iivanainen K, Koskela H, Pekkanen J. Which factors explain the lower prevalence of atopy amongst farmers’ children? Clin Exp Allergy 2003; 33:427 –34.

50. de Meer G1, Toelle BG, Ng K, Tovey E, Marks GB. Presence and timing of cat ownership by age 18 and the effect on atopy and asthma at age 28. J Allergy Clin Immunol 2004; 113:433 –8.

51. Hesselmar B, Aberg N, Aberg B, Eriksson B, Björkstén B.Does early exposure to cat or dog protect against later allergy development? Clin Exp Allergy 1999; 29:611–7.

52. Oryszczyn MP1, Van Ree R, Maccario J, Nadif R, Kauffmann F; EGEA cooperative group.Cat sensitization according to cat window of exposure in adult asthmatics. Clin Exp Allergy 2009; 39:1515 –21.

53. Shirakawa T, Enomoto T, Shimazu S, Hopkin JM. The inverse association between tuberculin responses and atopic disorder. Science 1997; 275:77

Page 68: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

56 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

54. Kerkhof M, Wijga AH, Brunekreef B, Smit HA, de Jongste JC, Aalberse RC, Hoekstra MO, Gerritsen J, Postma DS. Effects of pets on asthma development up to 8 years of age: the PIAMA study. Allergy 2009; 64:1202 –8.

55. Melsom T, Brinch L, Hessen JO, Schei MA, Kolstrup N, Jacobsen BK, Svanes C, Pandey MR.Asthma and indoor environment in Nepal. Thorax 2001; 56:477 –81.

56. Waser M, Michels KB, Bieli C, Flöistrup H, Pershagen G, von Mutius E, Ege M, Riedler J, Schram-Bijkerk D, Brunekreef B, van Hage M, Lauener R, Braun-Fahrländer C; PARSIFAL Study team.Inverse association of farm milk consumption with asthma and allergy in rural and suburban populations across Europe. Clin Exp Allergy 2007; 37:661 –70.

57. Wickens K, Lane JM, Fitzharris P, Siebers R, Riley G, Douwes J, Smith T, Crane J.Farm residence and exposures and the risk of allergic diseases in New Zealand children. Allergy 2002; 57:1171 –9.

58. Ege MJ, Frei R, Bieli C, Schram-Bijkerk D, Waser M, Benz MR, Weiss G, Nyberg F, van Hage M, Pershagen G, Brunekreef B, Riedler J, Lauener R, Braun-Fahrländer C, von Mutius E; PARSIFAL Study team. Not all farming environments protect against the development of asthma and wheeze in children. J Allergy and Clin Immunol 2007; 119:1140 –7.

59. Douwes J, Pearce N, Heederik D. Does environmental endotoxin exposure prevent asthma?[comment]. Thorax 2002; 57:86 – 90.

60. Johansson ML1, Molin G, Jeppsson B, Nobaek S, Ahrné S, Bengmark S.Administration of different lactobacillus strains in fermented oatmeal soup: in vivo colonisation of human intestinal mucosa and effect on the indigenous fl ora. Appl Environ Microbiol 1993; 59:15 – 20.

61. Bjorksten B, Naaber P, Sepp E, Mikelsaar M. The intestinal microfl ora in allergic Estonian and Swedish 2-year-old children. Clin Exp Allergy 1999; 29:342 –6.

62. Hessle C, Hanson LA, Wold AE. Lactobacilli from human gastrointestinal mucosa are strong stimulators of IL-12 production. Clin Exp Immunol 1999; 116:276 –82.

63. Kalliomäki M, Salminen S, Arvilommi H, Kero P, Koskinen P, Isolauri E.Probiotics in primary prevention of atopic disease: a randomised placebo-controlled trial. Lancet 2001; 357:1076 –9.

64. Murosaki S, Yamamoto Y, Ito K, Inokuchi T, Kusaka H, Ikeda H, Yoshikai Y.Heat-killed Lactobacillus plantarum L- 137 suppresses naturally fed antigen-specifi c IgE production by stimulation of IL-12 production in mice. J Allergy Clin Immunol 1998; 102:57 – 64.

65. Pessi T, Sutas Y, Hurme H, Isolauri E. Interleukin-10 generation in atopic children following oral Lactobacillus rhamnosus GG. Clin Exp Allergy 2000; 30:1804 –8.

66. Sepp E, Julge K, Vasar M, Naaber P, Björksten B, Mikelsaar M.Intestinal microfl ora of Estonian and Swedish infants. Acta Paediatr 1997; 86:956 – 61.

67. Shida K, Makino K, Morishita A, Takamizawa K, Hachimura S, Ametani A, Sato T, Kumagai Y, Habu S, Kaminogawa S.Lactobacillus casei inhibits antigen- induced IgE secretion through regulation of cytokine production in murine splenocyte cultures. Int Arch Allergy Immunol 1998; 115:278 –87.

68. Shida K, Takahashi R, Iwadate E, Takamizawa K, Yasui H, Sato T, Habu S, Hachimura S, Kaminogawa S.Lactobacillus casei strain Shirota suppresses serum immunoglobulin E and immunoglobulin G1 responses and systemic anaphylaxis in a food allergy model. Clin Exp Allergy 2002; 32:563 –70.

Page 69: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 57

The Hygiene Hypothesis Revisited

69. Björkstén B, Sepp E, Julge K, Voor T, Mikelsaar M. Allergy development and the intestinal microfl ora during the fi rst year of life. J Allergy Clin Immunol 2001; 108:516 –20.

70. Böttcher MF1, Nordin EK, Sandin A, Midtvedt T, Björkstén B.Microfl ora-associated characteristics in faeces from allergic and nonallergic infants. Clin Exp Allergy 2000; 30:1590 –6.

71. Kalliomäki M1, Kirjavainen P, Eerola E, Kero P, Salminen S, Isolauri E.Distinct patterns of neonatal gut microfl ora in infants in whom atopy was and was not developing. J Allergy Clin Immunol 2001; 107:129 –34.

72. Bisgaard H1, Li N, Bonnelykke K, Chawes BL, Skov T, Paludan-Müller G, Stokholm J, Smith B, Krogfelt KA. Reduced diversity of the intestinal microbiota during infancy is associated with increased risk of allergic disease at school age. J Allergy Clin Immunol 2011; 128:646 –52.

73. Abrahamsson TR, Jakobsson HE, Andersson AF, Björkstén B, Engstrand L, Jenmalm MC.Low diversity of the gut microbiota in infants with atopic eczema. J Allergy Clin Immunol 2012; 129:434 –40.

74. Sjögren YM, Jenmalm MC, Böttcher MF, Björkstén B, Sverremark-Ekström E. Altered early infant gut microbiota in children developing allergy up to 5 years of age. Clin Exp Allergy 2009; 39:518 –26.

75. Stsepetova J, Sepp E, Julge K, Vaughan E, Mikelsaar M, de Vos WM.Molecularly assessed shifts of Bifi dobacterium ssp and less diverse microbial communities are characteristic of 5-year-old allergic children. FEMS Immunol Med Microbiol 2007; 51:260 –9.

76. Wang M, Karlsson C, Olsson C, Adlerberth I, Wold AE, Strachan DP, Martricardi PM, Aberg N, Perkin MR, Tripodi S, Coates AR, Hesselmar B, Saalman R, Molin G, Ahrné S. Reduced diversity in the early fecal microbiota of infants with atopic eczema. J Allergy Clin Immunol 2008; 121:129 –34.

77. Russell SL, Gold MJ, Hartmann M, Willing BP, Thorson L, Wlodarska M, Gill N, Blanchet MR, Mohn WW, McNagny KM, Finlay BB.Early life antibiotic-driven changes in microbiota enhance susceptibility to allergic asthma. EMBO Rep 2012; 13:440-7.

78. Lange NE, Celedón JC, Forno E, Ly NP, Onderdonk A, Bry L, Delaney ML, DuBois AM, Gold DR, Weiss ST, Litonjua AA. Maternal intestinal fl ora and wheeze in early childhood. Clin Exp Allergy 2012; 42:901–8.

79. Brand S, Teich R, Dicke T, Harb H, Yildirim AÖ, Tost J, Schneider-Stock R, Waterland RA, Bauer UM, von Mutius E, Garn H, Pfefferle PI, Renz H. Epigenetic regulation in murine offspring as a novel mechanism for transmaternal asthma protection induced by microbes. J Allergy Clin Immunol 2011; 128:618 – 25.

80. Conrad ML1, Ferstl R, Teich R, Brand S, Blümer N, Yildirim AO, Patrascan CC, Hanuszkiewicz A, Akira S, Wagner H, Holst O, von Mutius E, Pfefferle PI, Kirschning CJ, Garn H, Renz H.Maternal TLR signaling is required for prenatal asthma protection by the nonpathogenic microbe Acinetobacter lwoffi i F78. J Exp Med 2009; 206:2869 –77.

81. Tlaskalová-Hogenová H1, Stpánková R, Kozáková H, Hudcovic T, Vannucci L, Tučková L, Rossmann P, Hrnčí T, Kverka M, Zákostelská Z, Klimešová K, Pibylová J, Bártová J, Sanchez D, Fundová P, Borovská D, Srtková D, Zídek Z, Schwarzer M, Drastich P, Funda DP.The role of gut microbiota (commensal bacteria) and the

Page 70: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

58 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

mucosal barrier in the pathogenesis of infl ammatory and autoimmune diseases and cancer: contribution of germ-free and gnotobiotic animal models of human diseases. Cell Mol Immunol 2011; 8:110 –20.

82. Yamamoto M, Yamaguchi R, Munakata K, Takashima K, Nishiyama M, Hioki K, Ohnishi Y, Nagasaki M, Imoto S, Miyano S, Ishige A, Watanabe K.A microarray analysis of gnotobiotic mice indicating that microbial exposure during the neonatal period plays an essential role in immune system development. BMC Genomics 2012; 13:335.

83. Boneberger A, Haider D, Baer J, Kausel L, Von Kries R, Kabesch M, Radon K, Calvo M.Environmental Risk factors in the fi rst year of life and childhood asthma in the central south of Chile. J Asthma 2011; 48:464 –9.

84. Braun-Fahrländer C, Riedler J, Herz U, Eder W, Waser M, Grize L, Maisch S, Carr D, Gerlach F, Bufe A, Lauener RP, Schierl R, Renz H, Nowak D, von Mutius E; Allergy and Endotoxin Study Team.Environmental exposure to endotoxin and its relation to asthma in school-age children. N Engl J Med 2002; 347:869 –77.

85. Eisenbarth SC1, Piggott DA, Huleatt JW, Visintin I, Herrick CA, Bottomly K. Lipopolysaccharide-enhanced, toll-like receptor 4-dependent T helper cell type 2 responses to inhaled antigen. J Exp Med 2002; 196:1645 –51.

86. Fuchs O, Genuneit J, Latzin P, Büchele G, Horak E, Loss G, Sozanska B, Weber J, Boznanski A, Heederik D, Braun-Fahrländer C, Frey U, von Mutius E; GABRIELA Study Group. Farming environments and childhood & atopy, wheeze, lung function, and exhaled nitric oxide. J Allergy Clin Immunol 2012; 130:382.

87. Lemanske RF. Is asthma an infectious disease? Thomas A. Neff lecture. Chest 2003;123:385S–390S.

88. Karadag B, Ege M, Bradley JE, Braun-Fahrländer C, Riedler J, Nowak D, von Mutius E.The role of parasitic infections in atopic diseases in rural schoolchildren. Allergy 2006; 61:996 – 1001.

89. Lynch NR. Effect of age and helminthic infection on IgE levels in slum children. J Investig Allergol Clin Immunol 1993; 3:276–6.

90. van den Biggelaar AH1, Rodrigues LC, van Ree R, van der Zee JS, Hoeksma-Kruize YC, Souverijn JH, Missinou MA, Borrmann S, Kremsner PG, Yazdanbakhsh M.Long-term treatment of intestinal helminths increases mite skin-test reactivity in Gabonese school- children. J Infect Dis 2004; 189:892–900.

91. Bolte G, Bischof W, Borte M, Lehmann I, Wichmann HE, Heinrich J; LISA Study Group.Early endotoxin exposure and atopy development in infants: results of a birth cohort study. Clin Exp Allergy 2003; 33:770 –76.

92. Perzanowski MS, Miller RL, Thorne PS, Barr RG, Divjan A, Sheares BJ, Garfi nkel RS, Perera FP, Goldstein IF, Chew GL. Endotoxin in inner-city homes: associations with wheeze and eczema in early childhood. J Allergy Clin Immunol 2006; 117:1082 –9.

93. Tavernier GO, Fletcher GD, Francis HC, Oldham LA, Fletcher AM, Blacklock G, Stewart L, Gee I, Watson A, Frank TL, Frank P, Pickering CA, Niven RM. Endotoxin exposure in asthmatic children and matched healthy controls: results of IPEADAM study. Indoor Air 2005; 15:25 – 32.

94. Thomsen SF, Ulrik CS, Larsen K, Backer V. Change in prevalence of asthma in Danish children and adolescents. Ann Allergy Asthma Immunol 2004; 92:506 –11.

95. Kuehni CE, Davis A, Brooke AM, Silverman M. Are all wheezing disorders in very young: (preschool) children increasing in prevalence? Lancet 2001; 357:1821-5.

Page 71: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 59

The Hygiene Hypothesis Revisited

96. Asher MI, Montefort S, Björkstén B, Lai CK, Strachan DP, Weiland SK, Williams H; ISAAC Phase Three Study Group. Worldwide time trends in the prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and eczema in childhood: ISAAC phases one and three repeat multicountry cross- sectional surveys. Lancet 2006; 368: 733–43.

97. Pearce N, Aït-Khaled N, Beasley R, Mallol J, Keil U, Mitchell E, Robertson C; ISAAC Phase Three Study Group. Worldwide trends in the prevalence of asthma symptoms: phase III of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Thorax 2007; 62:758 –66.

98. Chinn S, Jarvis D, Burney P, Luczynska C, Ackermann-Liebrich U, Antó JM, Cerveri I, De Marco R, Gislason T, Heinrich J, Janson C, Künzli N, Leynaert B, Neukirch F, Schouten J, Sunyer J, Svanes C, Vermeire P, Wjst M. Increase in diagnosed asthma but not in symptoms in the European Community Respiratory Health Survey. Thorax 2004; 59:646 –51.

99. Crater DD, Heise S, Perzanowski M. Asthma hospitalization trends in Charleston, South Carolina, 1956 to 1997: twenty-fold increase among black children during a 30-year period. Paediatrics 2001;108:E97.

100. Pearce N, Douwes J, Beasley R. Oxford textbook of public health. 4th ed. In: Tanaka H, editor. Asthma. Oxford: Oxford University Press; 2002. p. 1255 –77.

101. Ponsonby AL, Glasgow N, Pezic A, Dwyer T, Ciszek K, Kljakovic M. A temporal decline in asthma but not eczema prevalence from 2000-2005 at school entry in the Australian Capital Territory with further consideration of country of birth. Int J Epidemiol 2008; 37:559

102. Pearce N, Douwes JT. The Latin American exception: why is childhood asthma so prevalent in Brazil? J Paediatr 2006; 82:319 –21.

103. Douwes J, Le Gros G, Gibson P, Pearce N. Can bacterial endotoxin exposure reverse atopy and atopic disease? J Allergy Clin Immunol 2004; 114:1051–4.

104. Holt PG, Sly PD, Bjorksten B. Atopic versus infectious diseases in childhood: a question of balance? Pediatr Allergy Immunol 1997; 8:53 –8.

105. Martinez FD, Holt PG. Role of microbial burden in aetiology of allergy and asthma. Lancet 1999; 354:S12 – S15.

106. Ege MJ, Bieli C, Frei R, van Strien RT, Riedler J, Ublagger E, Schram-Bijkerk D, Brunekreef B, van Hage M, Scheynius A, Pershagen G, Benz MR, Lauener R, von Mutius E, Braun-Fahrländer C; Parsifal Study team. Prenatal farm exposure is related to the expression of receptors of the innate immunity and to atopic sensitization in school-age children. J Allergy Clin Immunol 2006; 117: 817–23.

107. Nembrini C, Sichelstiel A, Kisielow J, Kurrer M, Kopf M, Marsland BJ. Bacterial-induced protection against allergic infl ammation through a multicomponent immunoregulatory mechanism. Thorax 2011; 66:755 –63.

108. Yasuda Y1, Matsumura Y, Kasahara K, Ouji N, Sugiura S, Mikasa K, Kita E. Microbial exposure early in life regulates airway infl ammation in mice after infection with Streptococcus pneumoniae with enhancement of local resistance. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2010; 298: L67– L78.

109. Abbas AK, Murphy KM, Sher A. Functional diversity of helper T lymphocytes. Nature 1996;383:787–93

110. Espinosa V, Rivera A. Cytokines and the regulation of fungus-specifi c CD4 T cell differentiation. Cytokine 2012;58:100-6.

Page 72: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

60 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

111. Martín-Fontecha A, Thomsen LL, Brett S, Gerard C, Lipp M, Lanzavecchia A, Sallusto F. Induced recruitment of NK cells to lymph nodes provides IFN- for TH1 priming. Nat Immunol 2004;5:1260–5.

112. Mullen AC, High FA, Hutchins AS, Lee HW, Villarino AV, Livingston DM, Kung AL, Cereb N, Yao TP, Yang SY, Reiner SL.Role of T-bet in commitment of TH1 cells before IL-12-dependent selection. Science. 2001;292:1907–10.

113. Afkarian M, Sedy JR, Yang J, Jacobson NG, Cereb N, Yang SY, Murphy TL, Murphy KM.T-bet is a STATI-induced regulator for IL-12R expression in naïve CD4+ T cells. Nature Immunol. 2002;3:549–57.

114. Oestreich KJ, Weinmann AS. Transcriptional mechanisms that regulate T helper 1 cell differentiation. Current Op Immunol. 2012;24:191–5.

115. Ouyang W, Löhning M, Gao Z, Assenmacher M, Ranganath S, Radbruch A, Murphy KM.Stat6-independent GATA-3 autoactivation directs IL-4-independent Th2 development and commitment. Immunity 2000;12:27–37.

116. Pearce EJ, Caspar P, Grzych JM, Lewis FA, Sher A. Pillars article: downregulation of Th1 cytokine production accompanies induction of Th2 responses by a parasitic helminth, Schistosoma mansoni. J Immunol 2012;189:1104–11

117. Shimoda K, van Deursen J, Sangster MY, Sarawar SR, Carson RT, Tripp RA, Chu C, Quelle FW, Nosaka T, Vignali DA, Doherty PC, Grosveld G, Paul WE, Ihle JN.Lack of IL-4-induced Th2 response and IgE class switching in mice with disrupted Stat6 gene. Nature. 1996;380:630–3

118. Robinson DS, Hamid Q, Ying S, Tsicopoulos A, Barkans J, Bentley AM, Corrigan C, Durham SR, Kay AB.. Predominant TH2-like bronchoalveolar T-lymphocyte population in atopic asthma.N Engl J Med.1992; 326:298–304.

119. Kleinewietfeld M, Hafl er DA. The plasticity of human Treg and Th17 cells and its role in autoimmunity. Semin Immunol 2013;25:305–12.

120. Park H, Li Z, Yang XO, Chang SH, Nurieva R, Wang YH, Wang Y, Hood L, Zhu Z, Tian Q, Dong C.A distinct lineage of CD4 T cells regulates tissue infl ammation by producing interleukin 17. Nat Immunol 2005;6:1133–41.

121. Harrington LE, Hatton RD, Mangan PR, Turner H, Murphy TL, Murphy KM, Weaver CT.Interleukin 17-producing CD4+ effector T cells develop via a lineage distinct from the T helper type 1 and 2 lineages. Nat Immunol 2005;6:1123–32.

122. Bettelli E, Korn T, Oukka M, Kuchroo VK. Induction and effector functions of TH17 cells. Nature 2008;453:1051–7.

123. Yang L1, Anderson DE, Baecher-Allan C, Hastings WD, Bettelli E, Oukka M, Kuchroo VK, Hafl er DA.IL-21 and TGF- are required for differentiation of human TH17 cells. Nature2008;454:350–2.

124. Hirahara K1, Ghoreschi K, Laurence A, Yang XP, Kanno Y, O’Shea JJ.Signal transduction pathways and transcriptional regulation in Th17 cell differentiation. Cytokine Growth Factor Rev 2010;21:425-34.

125. Ivanov II, McKenzie BS, Zhou L, Tadokoro CE, Lepelley A, Lafaille JJ, Cua DJ, Littman DR.The orphan nuclear receptor RORt directs the differentiation program of proinfl ammatory IL-17+ T helper cells. Cell. 2006;126:1121–33.

126. Yang XO, Pappu BP, Nurieva R, Akimzhanov A, Kang HS, Chung Y, Ma L, Shah B, Panopoulos AD, Schluns KS, Watowich SS, Tian Q, Jetten AM, Dong C. T helper 17 lineage differentiation is programmed by orphan nuclear receptors ROR alpha and ROR gamma. Immunity 2008;28:29–39.

Page 73: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 61

The Hygiene Hypothesis Revisited

127. Langrish CL, Chen Y, Blumenschein WM, Mattson J, Basham B, Sedgwick JD, McClanahan T, Kastelein RA, Cua DJ.IL-23 drives a pathogenic T cell population that induces autoimmune infl ammation. J Exp Med 2005;201:233–40.

128. Acosta-Rodriguez EV, Napolitani G, Lanzavecchia A, Sallusto F. Interleukins 1 and 6 but not transforming growth factor- are essential for the differentiation of interleukin 17-producing human T helper cells. Nat Immunol 2007;8:942–9.

129. Ivanov II, Atarashi K, Manel N, Brodie EL, Shima T, Karaoz U, Wei D, Goldfarb KC, Santee CA, Lynch SV, Tanoue T, Imaoka A, Itoh K, Takeda K, Umesaki Y, Honda K, Littman DR.Induction of intestinal Th17 cells by segmented fi lamentous bacteria. Cell. 2009;139:485–98.

130. Ouyang W, Kolls JK, Zheng Y. The biological functions of T helper 17 cell effector cytokines in infl ammation. Immunity. 2008; 28:454–67.

131. Iwakura Y, Ishigame H, Saijo S, Nakae S. Functional specialization of interleukin-17 family members. Immunity 2011;34:149–62.

132. Josefowicz SZ, Rudensky A. Control of regulatory T cell lineage commitment and maintenance. Immunity 2009;30:616–25.

133. Vignali DA, Collison LW, Workman CJ.How regulatory T cells work. Nat Rev Immunol 2008;8:523–32

134. Abbas AK, Benoist C, Bluestone JA, Campbell DJ, Ghosh S, Hori S, Jiang S, Kuchroo VK, Mathis D, Roncarolo MG, Rudensky A, Sakaguchi S, Shevach EM, Vignali DA, Ziegler SF.Regulatory T cells: recommendations to simplify the nomenclature. Nat Immunol 2013;14:307–8.

135. Zhou L1, Lopes JE, Chong MM, Ivanov II, Min R, Victora GD, Shen Y, Du J, Rubtsov YP, Rudensky AY, Ziegler SF, Littman DR.TGF-beta-induced Foxp3 inhibits T(H)17 cell differentiation by antagonizing RORgammat function. Nature 2008;453:236–40.

136. Horwitz DA, Zheng SG, Gray JD. Natural and TGF-beta-induced Foxp3(+)CD4(+) CD25(+) regulatory T cells are not mirror images of each other. Trends Immunol 2008;29:429–35.

137. Zheng Y, Rudensky AY. Foxp3 in control of the regulatory T cell lineage. Nat Immunol 2007;8:457–62

138. Sakaguchi S, Yamaguchi T, Nomura T, Ono M. Regulatory T cells and immune tolerance. Cell 2008;133:775–87.

139. Sakaguchi S1, Miyara M, Costantino CM, Hafl er DA. FOXP3+ regulatory T cells in the human immune system. Nat Rev Immunol 2010;10:490–500.

140. Roncarolo MG, Gregori S, Battaglia M, Bacchetta R, Fleischhauer K, Levings MK. Interleukin-10-secreting type 1 regulatory T cells in rodents and humans. Immunol Rev2006;212:28–50.

141. Randolph DA, Fathman CG. CD4+CD25+ regulatory T cells and their therapeutic potential. Ann Rev Med 2006;57:381–402.

142. Ling EM, Smith T, Nguyen XD, Pridgeon C, Dallman M, Arbery J, Carr VA, Robinson DS.Relation of CD4+CD25+ regulatory T-cell suppression of allergen-driven T-cell activation to atopic status and expression of allergic disease. Lancet2004;363: 608–15.

143. Baecher-Allan C, Hafl er DA.Human regulatory T cells and their role in autoimmune disease. Immunol Rev2006;212:203–16.

Page 74: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Anang Endaryanto

62 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

144. Uyttenhove C, Brombacher F, Van Snick J. TGF- interactions with IL-1 family members trigger IL-4-independent IL-9 production by mouse CD4+ T cells. Eur J Immunol 2010;40:2230–5.

145. Dardalhon V1, Awasthi A, Kwon H, Galileos G, Gao W, Sobel RA, Mitsdoerffer M, Strom TB, Elyaman W, Ho IC, Khoury S, Oukka M, Kuchroo VK.Transforming growth factor- ‘reprograms’ the differentiation of T helper 2 cells and promotes an interleukin 9-producing subset. Nat Immunol2008;9:1341–6.

146. Dardalhon V1, Awasthi A, Kwon H, Galileos G, Gao W, Sobel RA, Mitsdoerffer M, Strom TB, Elyaman W, Ho IC, Khoury S, Oukka M, Kuchroo VK. IL-4 inhibits TGF--induced Foxp3+ T cells and, together with TGF-, generates IL-9+ IL-10+ Foxp3− effector T cells. Nat Immunol 2008;9:1347–55.

147. Eyerich S1, Eyerich K, Pennino D, Carbone T, Nasorri F, Pallotta S, Cianfarani F, Odorisio T, Traidl-Hoffmann C, Behrendt H, Durham SR, Schmidt-Weber CB, Cavani A. Th22 cells represent a distinct human T cell subset involved in epidermal immunity and remodeling. J Clin Invest 2009;119:3573–85.

148. Jia L., Wu C. T Helper Cell Differentiation and Their Function. Vol. 841. Amsterdam: Springer; 2014. p. 181–207.

149. Kaplan MH, Hufford MM, Olson MR1.The development and in vivo function of T helper 9 cells. Nat Rev Immunol2015;15:295–307.

150. Jones CP, Gregory LG, Causton B, Campbell GA, Lloyd CM.Activin A and TGF-beta promote T H9 cell-mediated pulmonary allergic pathology. The J Allergy Clin Immunol 2012;129:1000.e3–10.e3.

151. Purwar R1, Schlapbach C, Xiao S, Kang HS, Elyaman W, Jiang X, Jetten AM, Khoury SJ, Fuhlbrigge RC, Kuchroo VK, Clark RA, Kupper TS.Robust tumor immunity to melanoma mediated by interleukin-9-producing T cells. Nat Med 2012;18:1248–53.

152. Wilhelm C, Hirota K, Stieglitz B. An IL-9 fate reporter demonstrates the induction of an innate IL-9 response in lung infl ammation. Nat Immunol 2011;12 :1071-7.

153. Jia L., Wu C. T Helper Cell Differentiation and Their Function. Vol. 841. Amsterdam: Springer; 2014. p. 209–30.

154. Duhen T, Geiger R, Jarrossay D, Lanzavecchia A, Sallusto F. Production of interleukin 22 but not interleukin 17 by a subset of human skin-homing memory T cells. Nat Immunol 2009;10 :857–63.

155. Trifari S, Kaplan CD, Tran EH, Crellin NK, Spits H. Identifi cation of a human helper T cell population that has abundant production of interleukin 22 and is distinct from TH-17, TH1 and TH2 cells. Nature Immunol. 2009;10:864-71.

156. Fujita H, Nograles KE, Kikuchi T, Gonzalez J, Carucci JA, Krueger JG. Human Langerhans cells induce distinct IL-22-producing CD4+ T cells lacking IL-17 production. Proc Nat Acad Sci 2009;106:21795–800.

157. Kagami S, Rizzo HL, Lee JJ, Koguchi Y, Blauvelt A. Circulating Th17, Th22, and Th1 cells are increased in psoriasis. J Invest Dermatol 2010;130:1373–83.

Page 75: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

63

Alergi Saluran CernaMohammad Juffrie

Tujuan:1. Menjelaskan tentang alergi saluran cerna pada anak

PendahuluanDalam praktek sehari hari seringkali dokter spesialis anak kedatangan pasien bayi dan anak dengan keluhan masalah saluran cerna yang berhubungan dengan makanan, orang tua selalu menghubungkan dengan keadaan alergi. Sebenarnya kasus kasus tersebut tidak selalu kasus alergi. Banyak kasus bukan alergi yang mempunyai gejala dan tanda seperti alergi misalnya intoleransi makanan, efek toksik langsung: bakteri atau virus, racun, defi siensi enzim (laktase), inborn error metabolism (fenilketonuria dan galaktosemia), efeks farmakologis (tyramine), cacat anatomi (stenosis pilorus dan penyakit Hirschsprung), kistik fi brosis, keganasan, overfeeding.1

Faktor yang menunjukkan alergi makanan sebagai penyebab penyakit gastrointestinal. Riwayat reaksi akut setelah menelan makanan tertentu. Perlu disingkirkan kelainan anatomi, fungsional, metabolisme atau

penyakit menular. Bertambahnya gejala dengan pemberian diduga alergen. Usia Muda (<3 tahun). Berhubungan dengan penyakit alergi (dermatitis atopik atau asma). Riwayat keluarga penyakit alergi.

Alergi makanan adalah suatu respons imun berat terhadap makanan.2 Setiap makanan bisa menyebabkan alergi, akan tetapi yang paling sering pada bayi dan anak adalah susu sapi, telur ayam, kacang kedelai, gandum, kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang.

Kelainan saluran cerna akibat alergi makanan disebabkan oleh respons imun IgE-mediated, cell mediated atau keduanya.

Page 76: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Mohammad Juffrie

64 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Klasifi kasi alergi makanan di saluran pencernaan.IgE-mediated Hipersensitivitas tipe I. Onset cepat. Tes tusukan kulit positif dan atau tes radioallergosorbent in vitro. Gejala: bibir gatal, angioedema, muntah dan kram perut dengan

atau tanpa gejala pada organ lainnya (urtikaria, ruam, mengi dan anafi laksis).

Non-IgE mediated Hipersensitivitas tipe IV (cell mediated). Onset lambat. Tes tusukan kulit negatif dan uji radioallergosorbent. Gejala biasanya terbatas pada saluran cerna: muntah, diare, sakit

perut atau kolik dan gagal tumbuh.

Campuran IgE &-IgE-mediated non-(alergi eosinophilic gastropati) Onset bervariasi. Jumlah eosinofi l perifer, tes tusukan kulit dan serum hasilnya tidak

meyakinkan. Gejala terbatas pada saluran cerna dan berbeda menurut letak

peradangan eosinofi lik

IgE mediated bersifat akut sedangkan cell mediated bersifat sub-akut, kronik yang sulit dibedakan dengan gastroenteritis.2-5

IgE mediated pada saluran cerna:

Hipersentif cepat saluran cerna (anafilaksis)Reaksi anafi laksis saluran cerna bisa menyerang bayi dan anak yang ditandai serangan akut dengan gejala mual, kolik abdomen, nyeri abdomen dalam beberapa menit sampai 2-3 jam seterlah makan suatu makanan, kemudian disertai diare beberapa jam setelah gejala awal. Gejala lain bisa ditemukan seperti urtikari dan asma. Biasanya skin-prick tests (SPT), dan kadar IgE positif. Alergen yang sering adalah susu sapi, telur, gandum, kedelai, kacang tanah dan makanan laut.6,7

Sindrom alergi oral (SAO): ‘pollen food allergy’SAO biasanya terjadi pada anak yang lebih besar antara umur 11-15 dan jarang terjadi pada anak di bawah 8 tahun, biasanya sering terjadi

Page 77: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 65

Alergi Saluran Cerna

pada anak dengan rinitis alergika.8-10 Gejala yang sering adalah terbatas di orofaring, bengkak pada bibir, lidah dan tenggorokan (angio-edema), sebagian kecil bisa menjadi reaksi anafi laksis.7 Gejala terjadi dalam beberapa menit setelah memakan buah dan sayuran mentah. Jika makanan dimasak maka tidak terjadi reaksi.9,10 Hal ini disebabkan karena protein makanan yang labil terhadap panas yang bisa bereaksi silang dengan protein allergi poolen (aeroallergen).

Gejala alergi ini biasanya terlihat pada pasien yang peka terhadap serbuk sari pohon birch setelah makan buah mentah apel, pir, ceri, wortel, kentang, seledri, hazelnut dan kiwi. Selain itu, pasien alergi terhadap ambrosia bereaksi terhadap melon segar dan pisang. Buah-buahan lainnya, sayuran dan kacang-kacangan yang juga dilaporkan menyebabkan SAO termasuk kiwi, persik, aprikot, plum dan ceri, yang bereaksi silang dengan kastanye, bayam dan anggur. Diagnosis SAO ditegakkan dengan anamnesis dan tes SPT positif terhadap ekstrak buah atau sayuran segar atau mentah.

Campuran IgE dan Cell mediated: Allergi eosinofilik gastroenteropatiIni suatu kelainan heterogenus yang ditandai dengan infi ltrasi eosinofi lik di saluran cerna. Menurut tempatnya infi ltrasi eosinofi lik dibagi 2 yaitu esophagitis eosinofi lik dan gastroenteritis eosinofi lik. Umumnya gejala yang muncul bersamaan dengan penyakit saluran cerna yang lain. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukan eosinofi l di saluran cerna, perlu dibedakan dengan eosinofi l karena investasi parasit, infl ammatory bowel disease dan vasculitis.11,12

Esophagitis eosinofi lik bisa menyerang semua umur bahkan pada bayi dan biasanya lebih cenderung pada anak laki-laki. Gejala yang muncul sangat mirip atau tumpang tindih dengan penyakit refl uks gastroesofagus seperti mual, sulit menelan, muntah dan nyeri perut, atau ada gejala refl uks.13-15

Gastroenteritis eosinofi lik ditandai infl amasi eosinofi lik di usus besar distal sampai ke esophagus dan bisa menyerang hampir semua saluran cerna.16,17 Gejala sering tidak spesifi k seperti muntah, diare, nyeri abdomen dan berat badan sulit naik, kadang terjadi obstruksi saluran cerna, invaginasi, obstruksi pilorus, striktur duodenal dan apendisitis.18-20

Pasien dengan eosinofi lik saluran cerna biasanya mempunyai riwayat alergi terhadap susu sapi, telur. Demikian juga dengan riwayat aeroallergen, asma, rinitis atau atopik.

Page 78: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Mohammad Juffrie

66 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Kelainan Gastrointestinal Non-IgE Mediated Kelainan ini biasanya menyerang bayi dan bersifat subakut atau kronik. Penderita biasanya berasal dari area yang mempunyai riwayat alergi makanan seperti proktokolitis, protein enteropati dan enterokolitis (Tabel 1).21,22

Tabel 1. Pendekatan diagnostik kelainan gastrointestinal non-IgE mediated

Kriteria Protein proktokolitis Protein enteropati Protein enterokolitis

Umur Onset 1-2 bulan 6 bulan 1 tahunGejala Ringan (bayi sehat

dengan bercak darah-streaked ± diare)

Gejala berat (gagal tumbuh, non berdarah diare, muntah, malabsorpsi, edema ± anemia)

gejala yang lebih parah (gagal tumbuh, diare berdarah, muntah, distensi, dehidrasi, kadang-kadang menyerupai sepsis)

Laboratorium Eosinofi lia ringan dan darah yang tersembunyi

Leukositosis dan hipoalbuminemia

Leukositosis, hipoalbuminemia, asidosis dan methemoglobinemia

Susu allergen ASI (60%) sufor Susu kedelai, susu sapi, kedelai, sereal, telur dan makanan laut

Susu sapi, kedelai, beras, unggas dan makanan laut

Biopsi Fokal Menyebar ke usus kecil Atrofi kripta, villi dan abses Prognosis 1 tahun sembuh 2-3 tahun sembuh dengan

pengobatan2-3 tahun sembuh dengan pengobatan progresif

Makanan penyebab kebanyakan susu sapi, namun susu kedelai, makanan seperti nasi, sereal, telur dan ayam.5 Jika bayi dengan diare kronik disertai darah atau lendir, gagal tumbuh pada tahun pertama kehidupan maka dipikirkan terkena penyakit ini. Kadar IgE normal dan SPT negative.2 Pemeriksaan lain seperti tinja, darah, atau endoskopi dan kolonoskopi dikerjakan jika diagnosis meragukan. Kebanyakan bayi ini akan toleran pada susu sapi setelah 1 tahun.

Proktokolitis akibat proteinKelainan ini merupakan bentuk kelainan saluran cerna eosinofi lik yang cell mediated biasanya terjadi pada bulan pertama kehidupan karena pajanan protein yang dimakan ibunya (lewat ASI), atau susu formula dan susu kedelai. Selain adanya darah mikroskopis dalam tinja gejalanya tidak ada, anak terlihat sehat, berat badan normal. Kelainan ini perlu kolonoskopi untuk membedakan dengan penyebab perdarahan saluran cerna lain seperti ulkus dan polip. Biasanya didapat edema mukosa di bagian distal dan infi ltrasi eosinofi l di epitel dan lamina propria. Biasanya gejala akan hilang setelah 1 tahun.23,24

Page 79: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 67

Alergi Saluran Cerna

Sindrom enterokolitis karena protein makananSindrom ini biasanya terjadi pada umur 3 bulan pertama kehidupan, yang disebabkan karena terlambat pemberian ASI. Gejala biasanya setelah minum susu sapi atau soya atau pada anak lebih besar karena sereal.2-5 Kelainan khas ditandai dengan muntah yang proyektil beberapa jam setelah minum. Selama pajanan protein maka bayi akan mengalami muntah berat, diare sehingga dehidrasi, letargi, asidosis, dan methemoglobinemia dan terlihat seperti sepsis dengan leukositosis berat.23 Diagnosis biasanya tegak setelah pajanan protein dihentikan atau dengan pemberian protein tantangan akan terjadi muntah dan diare.25

Mekanisme kelainan terjadi karena respon sel T terhadap protein yang memacu pengeluaran sitokin TNF yang memberikan reaksi sistemis.

Enteropati karena paparan protein makananEnteropati ini tidak termasuk penyakit seliak, biasanya terjadi pada beberapa bulan kehidupan dengan diare tanpa darah, steatorrhea, malabsorpsi dan gagal tumbuh.2,9,26 Protein loosing enteropati yang terjadi memacu adanya edema, kembung dan anemia.5

Diagnosis banding harus dibuat untuk enteropati yang disebabkan infeksi, metabolik, limfangiektasi dan penyakit seliak. Bahan alergen adalah susu sapi, kedelai, gandum, telur dan makanan laut.3 Diagnosis didasarkan pada endoskopi dan biopsi, juga eliminasi alergen atau tantangan. Pada biopsi ditemukan trauma pada vili usus halus, pemanjangan kripta, limfosit intraepitel dan beberapa eosinofi l. Tidak seperti penyakit seliak, enteropati ini akan sembuh sendiri setelah 2 tahun dan tidak ada risiko keganasan.

Infantile ColicMenangis paroksismal, rewel dan kentut-kentut yang sulit dijelaskan, yang terjadi pada bayi bulan pertama kehidupan.27 Penyebab belum diketahui.28,29 Karena sekitar 25% bayi dengan infantile colic yang ringan sampai sedang terjadi setelah pajanan susu sapi maka kemudian diperkirakan penyakit ini dihubungkan dengan alergi susu sapi. Ini terlihat jika diberikan susu sapi terhidrolisis maka gejala kolik akan membaik.29-31 Pada penelitian RCT menunjukkan bahwa bayi yang disusui ASI, kemudian ibunya pantang makanan susu sapi dan derivatnya secara bermakna gejala kolik menghilang, meskipun penelitian lain yang besar sampelnya lebih besar menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan kasus kolik infantil pada anak anak yang atopik.

Page 80: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Mohammad Juffrie

68 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

KonstipasiAlergi susu sapi telah dipikirkan sebagai penyebab konstipasi pada bayi dan anak. Pada kelompok anak yang atopik dan IgE meningkat diperkirakan sebagai dasar imunologi konstipasi pada anak-anak yang respons terhadap pemberian susu soya.

Diagnosis alergi makanan Faktor menunjukkan alergi makanan sebagai penyebab penyakit gastrointestinal: Riwayat reaksi akut setelah menelan makanan tertentu. Perlu disingkirkan kelainan anatomi, fungsional, metabolisme atau

penyakit menular. Bertambahnya gejala dengan pemberian diduga alergen. Usia Muda (<3 tahun). Berhubungan dengan penyakit alergi (dermatitis atopik atau asma). Riwayat keluarga penyakit alergi

Pada algoritme anamnesis dan pemeriksaan klinis sangat penting untuk menentukan kategori penyebab alergi nya. Dokter spesialis anak harus hati-hati dalam menentukan apakah memang benar alergi atau

Gambar 1. Algoritme alergi Saluran Cerna

Page 81: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 69

Alergi Saluran Cerna

penyakit saluran cerna seperti dibicarakan di atas. Anamnesis jenis-jenis alergennya, makanan apakah mentah atau masak, jumlahnya berapa dan gejala yang muncul seberapa parah. Pemeriksaan fi sis ditunjukan pada gejala dan tanda tanda yang muncul.32-35

Apabila dokter spesialis anak tidak bisa mengidentifi kasi jenis alergennya dari anamnesis maka berilah saran ke orangtua untuk mencatat makanan sehari sehari dan kemudian dilihat perkiraan yang berhubungan dengan munculnya gejala.

Umumnya diagnosis dibuat setelah adanya reaksi klinis setelah eliminasi makanan atau pemberian makanan tantangan.

Tes diagnostikAnamnesis harus mendalam untuk mengetahui alergen. Dokter kemudian menentukan apakah alerginya IgE mediated atau cell mediated. SPT dan pengukuran IgE spesifi k biasanya bermanfaat untuk IgE mediated.39

Skin-prick TestTes ini aman dan cepat (15 menit) untuk mengetahui IgE mediated alergi makanan. Bisa dilakukan untuk semua umur bahkan pada bayi. Sensitivitas 90% dan spesifi sitas 50%.36,37 Interpretasi harus dilakukan bersama gejala dan tanda klinis. Tidak dianjurkan untuk skrining penyakit alergi karena bisa false positif, pada bayi hasilnya kurang reaktif sehingga banyak false negatif.

Atopy Patch TestTes ini untuk cell mediated alergi makanan. Sampai sekarang masih dalam penelitian yang lebih intensif. Dilaporkan tes APT sesuai untuk diagnosis dengan kelainan saluran cerna. Pada eosinofi lik esophagitis (EE) kombinasi SPT dan ATP memberikan sensitifi tas dan positive predictive value yang tinggi sehingga NPV mencapai 88-100% pada penelitian lain.41,42

In vitro IgE TestsTes ini bisa dilakukan dengan 2 cara yaitu radioallergosorbent test (RAST) dan fluorescent enzyme immunoassay (FEIA) test untuk mengidentifi kasi IgE spesifi k makanan. Tes ini kurang sensitif dibanding SPT, akan tetapi tes ini berguna jika tes kulit tidak bisa dilakukan misalnya apabila pasien sedang mengkonsumsi antihistamin atau kortikosteroid untuk mengurangi gejala alerginya.38,39,43

Page 82: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Mohammad Juffrie

70 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Gastrointestinal TestBeberapa prosedur diagnostik perlu dilakukan pada alergi saluran cerna terutama untuk IgE mediated dan cell mediated. Tindakan tersebut adalah endoskopi dan pH monitor. Endoskopi merupakan patokan untuk eosinofi lik gastroenteropati.2,12,13,15,22,23

Pada esophagitis eosinofi lik biopsy harus dilakukan setelah pediode berkurangnya asam, supaya radang berkurang dan interpretasi lebih jelas dari hasil biiopsi. Biasanya eosinofi l tak terdapat pada esofagus, dengan adanya eosinofi l dalam jumlah besar 15 per pandangan berarti positif. Di gaster tak ditemukan, di duodenum > 20, ileum terminal atau sekum lebih dari 30 ini menandakan adanya eosinofi lik gastroenteritis.12,16 Pada keadaan normal eosinofi l hanya tidak lebih dari 5 per pandangan di kolon dan sekum serta rektum. Eosinofi l serum mungkin hanya ditemukan pada 50% pasien.

Eliminasi DietEliminasi diet dilakukan selama prosedur diagnositik untuk memastikan apakah makanan tersebut benar sebagai alergen.

Jika sudah pasti maka ini memudahkan dokter atau dokter anak untuk mengeliminasi alergen tersebut. Waktu eliminasi antara 2-4 minggu. Eliminasi pada ibu juga sesuai dengan tes eliminasi.

Pada bayi saat masih weaning maka pemberian susu sapi diganti extensive hidrolized formula eHF sebagai pilihan pertama. Susu asam amino diberikan jika eHF tidak bisa diterima karena pahit atau tidak respon karena kadangkala pada eHF masih tersisa alergen.

Pada anak kecil dengan EE, AAF bisa menyembuhkan 99% gejala dan eosinofi l menjadi normal.22 Akan tetapi karena rasa dan harga yang mahal maka pada penelitian lain eliminasi makanan bisa berhasil sampai 77% sebagai alternatif lain asal SPT dan APT positif.45,47,48

Oral Food ChallengeTantangan oral dipakai untuk menentukan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis. OFC dimulai dengan jumlah sedikit alergen kemudian dinaikkan sampai toleran. Tes tidak dianjurkan pada kasus dengan riwayat anafi laksis kecuali SPT dan IgE terlihat membaik. Sebaiknya dilakukan di rumah sakit. Makanan tantangan sesuai riwayat dan hasil tes kulit dan IgE.30,32,34,39,46 Makanan tantangan harus dieliminasi selama 7-17 hari sebelum tantangan pada IgE mediated dan 12 minggu dengan kelainan saluran cerna. Pada tantangan yang terbuka sering bias karena pasien tahu bahwa makanan tersebut bisa menyebabkan alergi sehingga takut. Pada tantangan double blind bias bisa dihilangkan sehingga

Page 83: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 71

Alergi Saluran Cerna

hasilnya lebih objektif. Lamanya tantang terbuka tergantung dari gejala, misalnya GERD sampai 2 minggu, sedangkan EE sampai 8 minggu.

Pengobatan Hindari allergen merupakan cara terbaik AAF Soya tidak dipakai untuk mengganti susu sapi karena pada cell

mediated 50% akan bereaksi Pantangan harus mengikuti saran ahli nutrisi untuk menghindari

malnutrisi Makanan diberikan lebih sering setelah BB tercapai dan gejala hilang Pemberian makanan alergen sebaiknya tidak lebih awal dari 6 bulan

dan di bawah pengawasan dokter

Pantang makan alergen sangat sukses pada EE dan EG.22,48-50

Kortikosteroid terutama topikal (fl uticasone telan) memberikan hasil baik dalam hal resolusi gejala dan mengurangi mucosal eosinophil.51-54 Muntelukast (antagonist leukotriene) bisa dipakai untuk mengurangi pemakaian kortikosteroid.

Pencegahan55-58

ASI ekslusif minimal 4 bulan dan penundaan makanan tambahan sampai 4-6 bulan

Ada bukti pemberian susu formula hydrolyzed bisa memperlambat alergi pada anak yang mempunyai risiko

Tidak ada bukti pantangan pada ibu hamil dan pantang beberapa alergen bisa mencegah terjadinya alergi

Simpulan Alergi saluran cerna merupakan penyakit yang sering pada anak

usia di bawah 3 tahun\ Alergi saluran cerna menyangkut IgE mediated dan cell mediated Manifestasi klinis melibatkan organ di sepanjang saluran cerna dan

organ di luar saluran cerna Terapi utama adalah pantangan alergennya dan simptomatis

Page 84: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Mohammad Juffrie

72 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Daftar pustaka1. Bruijnzeel KC, Ortolani C, Aas K. Adverse reactions to food. European academy

of allergology and clinical immunology subcommittee. Allergy. 1995;50:623-35.2. Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2003;111(2 Suppl.):S540-7.3. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004;113:805-19.4. Sicherer SH, Teuber S. The Adverse Reactions to Food Committee. Current

approach to the diagnosis and management of adverse reactions to food. J Allergy Clin Immunol. 2004;114:1146-50.

5. Sicherer SH. Clinical aspects of gastrointestinal food allergy in childhood. Pediatrics. 2003;111:1609-16.

6. Heine RG. Pathophysiology, diagnosis and treatment of food protein-induced gastrointestinal diseases. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2004;4:221-9.

7. Sicherer SH. Food allergy. Lancet. 2002;360:701-10.8. Almot PL, Kemeny DM, Zachary C, Parkes P, Lessof MH. Oral allergy

syndrome (OAS): symptoms of Ig-E mediated hypersensitivity to food. Clin Allergy.1987;17:33-42.

9. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2006;117(2 Suppl.):S470-5.

10. Assa’ad AH. Gastrointestinal food allergy and intolerance. Pediatr Ann. 2006;35:718-26.

11. Ortolani C, Ispano M, Pastorello EA, Ansaloni R, Magri GC. Comparison of results of skin prick tests (with fresh foods and commercial food extracts) and RAST in 100 patients with oral allergy syndrome. J Allergy Clin Immunol. 1989;83:683-90.

12. Pratt CA, Demain JG, Rathkopf MM. Food allergy and eosinophilic gastrointestinal disorders: guiding our diagnosis and treatment. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care. 2008;38:170-88.

13. Liacouras CA. Eosinophilic esophagitis. Gastroenterol Clin North Am. 2008;37:989-98.

14. Furuta GT, Liacouras CA, Collins MH. Eosinophilic esophagitis in children and adults: a systematic review and consensus recommendations for diagnosis and treatment. Gastroenterology. 2007;133:1342-63.

15. Spergel JM, Brown-Whitehorn TF, Beausoleil JL. Fourteen years of eosinophilic esophagitis: clinical features and prognosis. J. Pediatr Gastroenterol Nutr. 2009;48:30-6.

16. Rothenberg ME: Eosinophilic gastrointestinal disorders (EGID). J Allergy Clin. Immunol. 2004;113:11-28.

17. Matsushita M, Hajiro K, Morita Y, Takakuwa H, Suzaki T. Eosinophilic gastroenteritis involving the entire digestive tract. Am. J. Gastroenterol. 1995;90:1868-70.

18. Uenishi T, Sakata C, Tanaka S. Eosinophilic enteritis presenting as acute intestinal obstruction: a case report and review of the literature. Dig Surg. 2003;20:326-9.

19. Siahanidou T, Mandyla H, Dimitriadis D, Van-Vliet C, Anagnostakis D. Eosinophilic gastroenteritis complicated with perforation and intussusception in a neonate. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001;32:335-7.

20. Tran D, Salloum L, Tshibaka C, Moser R: Eosinophilic gastroenteritis mimicking acute appendicitis. Am Surg. 2000;66:990-2.

Page 85: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 73

Alergi Saluran Cerna

21. Spergel JM, Beausoleil JL, Mascarenhas M, Liacouras CA. The use of skin prick tests and patch tests to identify causative foods in eosinophilic esophagitis. J Allergy Clin. Immunol. 2002;109:363-8.

22. Liacouras CA, Spergel JM, Ruchelli E. Eosinophilic esophagitis: a 10-year experience in 381 children. Clin. Gastroenterol. Hepatol. 2005;3:1198-206.

23. Sicherer SH, Eigenmann PA, Sampson HA: Clinical features of food protein-induced enterocolitis syndrome. J Pediatr. 1998;133:214-9.

24. Lake AM: Food-induced eosinophilic proctocolitis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2000;30(Suppl.):S58-60.

25. Benlounes N, Candalh C, Matarazzo P, Dupont C, Heyman M. The time-course of milk antigen-induced TNF-� secretion differs according to the clinical symptoms in children with cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol. 1999;104:863-9.

26. Sicherer SH. Food protein-induced enterocolitis syndrome: case presentations and management lessons. J. Allergy Clin Immunol. 2005;115:149-56.

27. Gupta SK. Is colic a gastrointestinal disorder? Curr Opin Pediatr. 2002;14:588-92.28. Heine RG. Gastroesophageal refl ux disease, colic and constipation in infants with

food allergy. Curr. Opin. Allergy Clin Immunol. 2006;6:220-5.29. Lucassen PL, Assendelft WJ, van Eijk JT. Systematic review of the occurrence of

infantile colic in the community. Arch Dis Child. 2001;84:398-403.30. Hill DJ, Hosking CS. Infantile colic and food hypersensitivity. J Pediatr Gastroenterol.

Nutr. 2000; 30(Suppl.):S67-76.31. Hill DJ, Roy N, Heine RG. Effect of a low-allergen maternal diet on colic among

breastfed infants: a randomized, controlled trial. Pediatrics. 2005;116:E709-15.32. Castro-Rodríguez JA, Stern DA, Halonen M. Relation between infantile colic

and asthma/atopy: a prospective study in an unselected population. Pediatrics. 2001;108:878-82.

33. Savino F. Focus on infantile colic. Acta Paediatr. 2007;96:1259-64.34. Sampson HA: Food allergy. Part 2: diagnosis and management. J Allergy Clin

Immunol. 1990;103:981-9.35. Lack G: Clinical practice. Food allergy. N Engl J Med. 2008;359:1252-60.36. Knight AK, Bahna SL. Diagnosis of food allergy. Pediatr Ann. 2006;35:709-14.37. Berni Canani R, Ruotolo S, Discepolo V, Troncone R. The diagnosis of food allergy

in children. Curr Opin Pediatr. 2008;20:584-9.38. Ramesh S. Food allergy overview in children. Clin Rev Allergy Immunol.

2008;34:217-30.39. Bahna SL. Food challenge procedure: optimal choices for clinical practice. Allergy

Asthma Proc. 2007;28:640-6. 40. De Boissieu D, Waguet JC, Dupont C. The atopy patch tests for detection of cow’s

milk allergy with digestive symptoms. J Pediatr. 2003;142:203-5.41. Berni Canani R, Ruotolo S, Auricchio L. Diagnostic accuracy of the atopy patch

test in children with food allergy-related gastrointestinal symptoms. Allergy. 2007;62:738-43.

42. Spergel JM, Brown-Whitehorn T, Beausoleil JL, Shuker M, Liacouras CA. Predictive values for skin prick test and atopy patch test for eosinophilic esophagitis. J Allergy Clin Immunol. 2007;119:509-11.

43. Mabin DC. A practical guide to diagnosing food intolerance. Curr Pediatr. 1996;6:231-236.

Page 86: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Mohammad Juffrie

74 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

44. Bischoff S, Crowe SE. Food allergy and the gastrointestinal tract. Curr Opin Gastroentero. 2004;20:156-61.

45. Gonsalves N, Policarpio-Nicolas M, Zhang Q, Rao MS, Hirano I. Histopathologic variability and endoscopic correlates in adults with eosinophilic esophagitis. Gastrointest. Endosc. 2006;64:313-9.

46. Vandenplas Y, Koletzko S, Isolauri E. Guidelines for the diagnosis and management of cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child. 2007;92:2-8.

47. de Boissieu D, Dupont C. Allergy to extensively hydrolyzed cow’s milk proteins in infants: safety and duration of amino acid-based formula. J Pediatr. 2002;141:271-3.

48. Spergel JM, Andrews T, Brown-Whitehorn TF, Beausoleil JL, Liacouras CA. Treatment of eosinophilic esophagitis with specifi c food elimination diet directed by a combination of skin prick and patch tests. Ann. Allergy Asthma Immunol. 2005;95:336-43.

49. Kagalwalla AF, Sentongo TA, Ritz S et al.: Effect of six-food elimination diet on clinical and histologic outcomes in eosinophilic esophagitis. Clin Gastroenterol Hepatol. 2006;4:1097-102.

50. Niggemann B, Rolinck-Werninghaus C, Mehl A, Binder C, Ziegert M, Beyer K. Controlled oral food challenges in children - when indicated, when superfl uous? Allergy. 2005;60:865-70.

51. Niggemann B, Beyer K. Pitfalls in double-blind, placebo-controlled oral food challenges. Allergy. 2007;62:729-32.

52. Venter C, Pereira B, Voigt K. Comparison of open and double-blind placebo-controlled food challenges in diagnosis of food hypersensitivity amongst children. J. Hum. Nutr. Diet. 2007;20:565-79.

53. Caffarelli C, Petroccione T. False-negative food challenges in children with suspected food allergy. Lancet. 2001;358:1871-2.

54. Konikoff MR, Noel RJ, Blanchard C. A randomized, double-blind, placebo controlled trial of fl uticasone propionate for pediatric eosinophilic esophagitis. Gastroenterology. 2006;131:1381-91.

55. Schwartz DA, Pardi DS, Murray JA. Use of montelukast as steroid-sparing agent for recurrent eosinophilic gastroenteritis. Dig Dis Sci. 2001;46:1787-90.

56. Greer FR, Sicherer SH, Burks AW. American Academy of Pediatrics Committee on Nutrition; American Academy of Pediatrics Section on Allergy and Immunology: Effects of early nutritional interventions on the development of atopic disease in infants and children: the role of maternal dietary restriction, breastfeeding, timing of introduction of complementary foods, and hydrolyzed formulas. Pediatrics. 2008;121:183-91.

57. Sicherer SH, Burks AW. Maternal and infant diets for prevention of allergic diseases: understanding menu changes in 2008. J Allergy Clin Immunol. 2008;122:29-33.

58. Shereen M. RedaGastrointestinal Manifestations of Food Allergy Pediatr Health. 2009;3:217-29.

Page 87: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

75

SengEndang Dewi Lestari

Tujuan:1. Mempelajari fungsi dan peran Seng2. Mempelajari homeostasis Seng3. Mempelajari hubungan Seng dan vitamin C4. Mengetahui manifestasi klinis defi siensi seng

PendahuluanSeng adalah mikronutrien paling penting untuk berbagai macam proses enzim, transkripsi, dan pembentukan struktur protein. Seng sering didapatkan pada makanan terutama ikan laut, bunga matahari, biji labu, gandum, hati, kuning telur, bawang, dan teh. Seng sering ditemukan di alam dalam bentuk sulfi da atau oksida.

Peranseng dalam perkembangan organisme dilaporkan pertama kali pada tahun 1869. Pada laporan tersebut diperlihatkan perlunya seng pada pertumbuhan Aspergilus niger. Sampai dengan pertengahan abad 20, kepentingan seng untuk pertumbuhan mamalia mulai diperhatikan. Mulai saat itu, defi siensi seng dihubungkan dengan beberapa gejala klinis. Beberapa organ tubuh sangat sensitif terhadap keadaan defi siensi seng. Organ-organ tersebut adalah melipuiti organ yang fungsinya tergantung pada pembelahan sel, seperti sistem kekebalan tubuh dan usus. Anak-anak di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kurang mendapatkan asupan sumber seng yang memadai yang berakibat terhadapterjadinya penurunan regenerasi sel, fungsi barrier epitel dan pertumbuhan linier serta penurunan sistem imun sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Berbagai penelitian tentang seng telah banyak dilakukan. Seng ternyata mempunyai karakteristik yang unik.

Fungsi dan peransengFungsi seng dapat dibagi menjadi tiga kategori: katalitik, struktural

Page 88: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endang Dewi Lestari

76 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

dan pengatur.1Seng merupakan komponen dengan berbagai macam bioaktifi tas untuk kurang lebih 300 enzim. Seng adalah komponen penting dalam proses katalitik dari ratusan metalloenzymes, termasuk pankreatik karbopeptidase, karbonik anhydrase, alkaline fosfatase, RNA polimerase, dan alkohol dehidrogenase. Selain itu, seng juga menentukan aktifi tas angiotensin converting enzyme (ACE), carbonic anhydrase, dan endothelin-converting enzyme (ECE).2

Dalam perannya secara struktural, seng berkoordinasi dengan protein tertentu, memfasilitasi pelipatan protein, dan memproduksi struktur, contohnya adalah seng fi ngers. Dalam peran ini, seng juga dilibatkan pada struktur dan stabilisasi dari beberapa enzim, seperti antioksidan superoksida dismutase. Seng juga merupakan bagian dari struktur asam nukleat dan berperan dalam metabolisme. Seng menjaga kestabilan membran dan mengatur fungsinya.3

Pertumbuhan sel dan sitokinesis tergantung pada kandungan seng intraseluler dan transportasinya. Seng juga memindahkan kalsium dari satu sisi ke sisi yang lain, memodifi kasi proses yang bergantung pada kalsium. Seng sangat penting dalam pengaturan beberapa prosess biologi, termasuk pengaturan gen; sebagai contoh:seng mengatur ekspresi dari metallothionein.4 Metallothionein ini mempunyai beberapa fungsi yang berbeda termasuk fungsi antioksidan dan intracelular zinc compartementalization. Ikatan seng dengan Metal responsse element transcription factor 1 (MTF1) mengaktifasi traksripsi metallothionein dan beberapa gen lain.

Mekanisme primer homeostasis sengRegulasi intestinal homeostasis sengAbsorpsi dan sekresi/ekskresi seng merupakan mekanisme dasar dari homeostasis seng. Absorpsi seng sebagian besar terjadi di usus halus, terutama di jejenum melalui proses trans-seluler.5 Pengeluaran seng didapatkan terutama melalui feses melalui sekresi pankreas, mukus, seng mukosal, dan sistem bilier.6Kehilangan seng lewat feses ini bervariasi antara 27-90 mol/hari. Sedangkan keluarnya seng lewat urin rendah, karena adanya reabsorpsi di ginjal sehingga kehilangan dari urin hanya 8-11mol/hari. Selain itu, seng juga dikeluarkan lewat keringat, semen, menstruasi, rambut, dan dari sel-sel epitel.7 Kebutuhan harian didasarkan dari keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Pada manusia, persentase absorpsi sengberhubungan terbalik dengan asupan seng.8 Di samping itu, pengeluaran lewat intestinal dari seng meningkat jika asupan seng ditingkatkan.6

Page 89: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 77

Seng

Pengaturan dalam Fractional Seng Absorption (FZA)Sebagian besar seng akan melewati intestinum dan diserap di bagian distal.6 Telah banyak penelitian tentang absorpsi seng pada manusia.8-10 Dalam penelitian dapat disimpulkan proses absorpsinya sesuai dengan tingkat kejenuhannya; peningkatan transport akan terjadi jika terdapat kekurangan seng. Kinerja transporter pada usus halus sangat responsif terhadap asupan seng dimana absorpsi seng di intestinal akan meningkat jika asupan seng berkurang. Sedangkan pada pemberian seng yang tinggi, akan menyebabkan berkurangnya FZA.11 Semakin tinggi asupan, semakin rendah FZA, ini merupakan indikator secara kasar dari besarnya asupan seng. Hanya saja FZA bervariasi antara individu sehingga akan sangat sulit untuk memprediksi asupan seng dari efesiensi absorpsi ini.12Seng terikat kuat dengan protein pada atau dekat dengan pH netral, sebagai konsekuensi adalah absorpsi seng yang efi sien tergantung pada asupan protein sehari-hari.13 Perubahan pada digesti protein akan memberikan perubahan yang signifi kan pada absorpsi seng. Transport seng melewati mukosa dan sel usus bersamaan dengan pencernaan protein. Sebagai contoh, semakin banyak kadar protein dalam susu sapi akan menyebabkan berkurangnya bioavailability dari seng.14 Hasilnya adalah berkurangnya absorpsi seng dibandingkan dengan susu ibu yang kadar proteinnya lebih rendah. Juga terdapat pada diet dengan protein dari hewan dibandingkan dengan protein dari tumbuhan.5 Protein hewani akan menghasilkan absorpsi yang lebih baik. Defi siensi nutrisi di negara berkembang terjadi karena kurangnya asupan protein hewani, intake yang kurang, dan berkurangnya bioavailabiitas seng karena banyaknya asupan phytate. Phytate adalah komponen fosfat organik yang menghambat absorpsi dan penggunaan seng.15

Pengaturan dalam Fecal Seng Excretion (EFZ) EndogenMekanisme pangaturan dari pengeluaran seng masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Sampai saat ini sudah dapat dijelaskan bahwa pengeluaran seng berhubungan dengan sekresi seng lewat dinding gastrointestinal dan sekresi lewat pankreas.6 Absorpsi dan pengeluaran seng ini berlangsung berkebalikan. Jika terdapat defi siensi seng atau asupan seng yang kurang, maka absorpsi akan meningkat sedangkan EFZ akan berkurang.6 Begitu pula jika terdapat asupan seng yang berlebih, absorpsi akan berkurang sehingga pengeluaran akan meningkat. Kedua hal ini karena adanya reabsorpsiseng dalam gastrointestinal dan peningkatan efi siesi dari absorpsiseng.16

Page 90: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endang Dewi Lestari

78 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Mekanisme sekunder homeostasis sengPengaturan ginjal dalam diet sengKetika asupan seng sangat rendah, terdapat penurunan dari seng urin yang sangat cepat. Ekskresi seng tidak akan turun sampai asupan seng berkurang hingga <51mol/hari.17 Turunnya seng dalam urin terjadi sebelum terdapat perubahan konsentrasi seng dalam plasma atau FZA dengan pemberian seng yang sangat rendah. Kemungkinan perubahan ekskresi seng di mediasi dengan pengaturan transport dalam tubulus renalis.12

Pengaturan konsentrasi sengdalam jaringanTubuh manusia dewasa mengandung seng sebesar 0,021-0,034 mol (1,4-2,3 g). Jaringan tubuh yang berbeda mempunyai kadar yang berbeda dalam organ tubuh.7Seng terdistribusi terutama di kulit dan anexanya, tulang, gigi, otot sekeletal, hepar, prostat, testis, dan mata; terdapat area yang mengandung seng dalam jumlah banyak. Area ini adalah otak, terutama sekitar hipokampus. Dari semua seng yang terdapat dalam tubuh, kurang lebih 98% terdapat di ruang intraseluler. Di dalam sel, seng sering terdapat dekat dengan membran sel dan di dalam nukleus. Didalam sel terdapat dua jenis seng, yang pertama adalah slow-acting sengyang berhubungan dengan sintesis protein dan membran sel (seng struktural) dan fast-acting sengatau disebut juga seng bebas yang berguna untuk proses katalitik dan signal transmiter.18 Total seng dalam tubuh sebagian besar akan disimpan di otot sekeletal dan tulang berjumlah sekitar 85% dari seluruh seng dalam tubuh. Sedangkan sejumlah 11% lainnya ditemukan dalam hepar dan kulit. Sisanya di bagian lain dari tubuh, Seng dalam serum hanya mewakili 0,1% dari seng total dalam tubuh.12Seng serum dikendalikan konsentrasinya dengan batas antara 9,1-23,1mol/l. Konsentrasi tersebut sering dipertahankan walaupun terdapat fl uktuasi dari asupan seng, kecuali jika terdapat perubahan asupan yang berat atau lama, atau keduanya. Seng yang terikat albumin merupakan 80% dari konsentrasi seng plasma.Konsentrasi seng serum tergantung pada irama sirkadian, perlahan lahan berkurang pada pagi dini hari dan meningkat pada sore hari.19 Tetapi kadar ini relatif konstan, kecuali pada saat terjadi defi siensi seng yang berat, stres berat, seperti pada keadaan infark miokardium, infeksi atau infl amasi. Keadaan tersebut akan menurunkan konsentrasi seng. Stres emosional atau stres fi sik jangka pendek tidak akan memberikan perubahan pada konsentrasi seng dalam serum, tetapi stres emosional yang kronis atau sering dapat menyebabkan berkurangnya konsentrasi seng dalam plasma.18 Konsentrasi seng dalam serum ini sering digunakan untuk evaluasi

Page 91: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 79

Seng

defi siensi seng. Sayangnya nilai ini tidak mencerminkan status seng dalam sel.20 Ketika asupan seng sangat rendah atau ketika terjadi asupan kurang dalam waktu lama, homeostasos seng tidak akan mencukupi untuk menggantikan seng yang keluar dan terjadi keseimbangan negatif dari seng. Pada uji coba hewan, terdapat penurunan seng yang tidak seragam dari bermacam macam jaringan.21 Konsentrasi seng dalam rambut, kulit jantung dan otot sekeletal cenderung konstan Sedangkan konsentrasi seng dalam plasma, hepar tulang dan testis turun secara signifi kan. Setelah mendapatkan asupan seng sangat rendah selama 80 hari, seng plasma turun sebesar 45%, seng testis turun 53%, seng tulang turun 64%, dan seng dalam hepar turun 19%. 22

Dalam tulang terdapat satu pertiga dari seluruh seng dalam tubuh. Menurut beberapa kepustakaan, tulang merupakan sumber seng endogen yang penting ketika asupan dari gizi rendah.21 Tulang bukanlah tempat penyimpanan seng yang lazim, ini dikarenakan tidak ada cara untuk mempercapat pelepasan seng tulang jika terdapat dedisiensi. Turunnya seng tulang menunjukkan berkurangnya uptake dari seng sebagai respons dari berkurangnya seng plasma. Seng yang dilepaskan oleh tulang terutama berasal dari persediaan dari sekitar 10-20% dari seng total dalam tulang. Sedangkan persediaan lainnya akan melepaskan seng lebih lambat.23 Tulang terlihat berfungsi sebagai tempat persediaan seng pasif yang akan dilepaskan, tetapi tidak diganti, ketika persediaan sangat sedikit. Sampai saat ini belum ada mekanisme spesifi k untuk meningkatkan pelepasan seng. Kecepatannya tergantung dari tulang. Ini sangat kontras dengan seng dalam otot, depositnya akan dipertahankan pada konsentrasi normal.12

Pengaturan sengdalam selKonsentrasi seng bebas dalam sel lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi seng bebas diluar sel.24 Tahapan elektrokimiawi menyebabkan seng mengalir melewati membran. Pada sel bipolar seperti enterosit, hepatosit, atau sel endotel, seng dapat masuk (infl ux) dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi bertahap melewati permukaan teratas tanpa menggunakan energi. Jika didapatkan kondisi seng yang tinggi di ekstraseluler, transport juga dapat berlangsung dengan difusi pasif.7 Dasar dari transportasi transmembran seng melewati sel adalah menggunakan difusi pasif maupun transporter aktif melewati membran. Selain itu, transportasi seng juga dihubungkan dengan proses ion chloride-bicarbonate exchange (Cl/HCO3

-). Sedangkan pada sel unipolar, infl ux seng juga menggunakan cara yang mirip.11 Transportasi seng keluar sel (effl ux) menggunakan transportasi aktif, kalsium seng anti transport (Ca++/Zn++).27 Transpotasi juga menggunakan mekanisme ion seperti

Page 92: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endang Dewi Lestari

80 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

yang telah dijelaskan di atas.Semua transporter seng mempunyai asal transmembran dan dikodekan oleh dua gen operatur terlarut./ Solute linked carrier (SLC) : ZnT (SLC30 dan Zip (SLC39).26

Pada manusia terdapat sembilan transporter ZnT dan 15 transporter Zip. Transporter ini mempunyai peranan yang berlawanan pada homeostasis seng di tingkat seluler. Transporter ZnT mengurangi konsentrasi seng intraseluler dengan meningkatkan pengeluaran (effl ux)seng dari sel ataupun meningkatkan pergerakan seng kedalam vesikel intraseluler. Sedangkan transporter Zip meningkatkan konsentrasi seng intraseluler dengan meningkatkan pemasukan (infl ux) seng kedalam sel ataupun melepaskan seng dari vesikel intraseluler.11 Peranan dari protein Zip, terutama Zip4 terbatas di usus halus dan ginjal, dimana di usus halus kinerjanya ditingkatkan oleh adanya defi seinsi seng.27 Transporter seng pertama yang ditemukan (ZnT1) terdapat di usus halus, epitel renal tubular, dan plasenta. Transporter ini bekerja dengan cara transfer seng dari enterosit kedalam sirkulasi. Kerja ini diatur oleh asupan seng, peningkatan asupan seng akan meningkatkan kinerja ZnT1mRNA.11

Penipisan sengdan kinetik plasmaPlasma dan serum sering dipakai untuk pemeriksaan seng, hanya saja seng yang tersirkulasi dalam darah tidak selalu mencerminkan kecukupan nutrisi seng. Seng plasma tidak segera berkurang walaupun sudah terdapat penurunan asupan seng. Kecepatan dari respons tersebut sangat bervariasi.28 Hal ini menunjukkan bahwa plasma seng tidak selalu konsisten dalam mendeteksi kurangnya asupan seng dalam jangka pendek. Kemungkinan seng dalam plasma dipertahankan oleh persediaan seng dalam jaringan.6

Pada tahapawal, tahap tidak adanya asupan seng akan terlihat penurunan seng plasma dan seng urin. Dan penurunan seng urin terjadi lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan dalam ginjal untuk mempertahankan kadar seng sudah terlihat sejak awal berkurangnya asupan. Pengaturan ini dipengaruhi oleh status seng awal pada penderita. Jika status sengnya rata rata, maka pengaturan seng akan terjadi cepat, kurang lebih dalam 7 hari. Selama tahap kedua, plasma seng dikurangi sampai dibawah normal. Seng urin tampak berkurang. Pada tahap ketiga, seng dalam sirkulasi plasma berkurang tanpa ditemukan berkurangnya seng dalam urin lebih lanjut. Pada tahap ini, sangat dimungkinkan telah disebarkan ulang kedalam jaringan untuk mempertahankan fungsi penting. Tahap ke empat dari penipisan seng ini adalah terlihatnya gejala klinis dari defi siensi seng.Ketika mendapatkan asupan tambahan seng, respons kadar seng dalam plasma juga bervariasi. Hal ini juga terlihat pada pasien yang dalam tahap pemulihan defi siensi

Page 93: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 81

Seng

seng. Fenomena ini harus dipertimbangkan jika mengukur kadar seng plasma jika sedang memberikan suplementasi seng pada pasien yang dicurigai defi siensi seng.6

Seng dan vitamin CDefi siensi vitamin C dan seng mempunyai dampak pada pertumbuhan fi sik dan mental anak-anak dan dapat merusak pertahanan imunitas. Pemberian nutrisi yang baik dapat mencegah kondisi tersebut; pemberian suplemen mungkin perlu dipertimbangkan pada anak-anak di negara sedang berkembang. Vitamin C merupakan mikronutrien esensial yang diperlukan untuk memfungsikan metabolik normal tubuh. Vitamin C sebagai kofaktor untuk beberapa enzim meliputi biosintesa kolagen, karnitin dan neurotransmiter. Vitamin C sebagai kosubstrat biosintesa. Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan larut air. Vitamin C berdampak pada penguatan sistem imun. Banyak bukti yang menyatakan bahwa defi siensi vitamin C dan seng akan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan mental. Vitamin C dan seng berperan pada sistem imunitas tubuh alamiah. Vitamin C dan seng membantu barier epitel dengan berbeda mekanisme; mereka mempunyai target populasi sel fagositik yang berbeda sehingga mereka bekerja bersama secara efektif dalam respons fagositik.29

Gambar 1. Efek tambahan Vitamin C dan seng pada sistem imunitas seluler dalam hematopoesis.29

Page 94: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endang Dewi Lestari

82 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Manifestasi klinis dari defisiensi sengBanyak organ yang terpengaruh karena defi siensi seng yang berat, organ tersebut termasuk gastrointestinal, sistem syaraf sentral, imun, sekeletal, dan sistem reproduksi. Gejala dari defi siensi seng sangat luas, tergantung dari seberapa berat defi siensi seng tersebut.Defi siensi seng yang berat bisa didapat ataupun diturunkan. Defi siensi seng yang didapat telah terlihat pada pasien yang mendapat nutrisi parenteral total tanpa suplementasi seng, penggunaan alkohol yang berlebihan, dan efek dari terapi penisillinamine. Di sisi lain terdapat pula defi siensi karena diturunkan secara autosomal dominan, yaitu acrodermatitis enterotropika dimana terdapat mutasi dari Zip4 transporter.2 Defi siensi seng yang berat dapat menjadi fatal jika tidak mendapatkan terapi.1Defi siensi seng yang moderat akan menyebabkan retardasi pertumbuhan sehingga anak menjadi stunting (pendek) dan hipogonadisme pada laki laki usia pubertas, penyembuhan luka yang terhambat, disfungsi imun yang diperantarai sel (cell mediated immunity), dan perubahan neorosensoral yang tidak normal. Defi siensi ringan dari seng akan menyebabkan berkurangnya kecepatan pertumbuhan pada masa kanak-kanak (anak menjadi stunting), berkurangnya serum testosteron, hyperammonemia, berkurangnya adaptasi ruang gelap dan berkurangnya indeks massa tubuh.1

Beberapa penyakit dapat disebabkan karena adanya defi siensi seng ini, termasuk sindroma mal absorpsi, penyakit sickle cell, penyakit hepar kronis, penyakit ginjal kronis dan keringat berlebih pada saat iklim tropis. Seng juga dapat berkurang pada saat trauma, luka bakar, kehilangan darah, operasi besar, dan infeksi berat. Pengukuran dari seng serum untuk menjadi indikator dari status nutrisi seng banyak mengandung kelemahan karena hanya 0,1% dari seng dalam tubuh yang beredar di sirkulasi. Ditambah lagi serum seng dapat berkurang pada keadaan seperti hipoalbuminemia, infeksi, stress akut, kehamilan, dan penggunaan obat kontrasepsi oral.1 Serum seng juga mudah berubah dengan variasi diurnal dan terpangaruh jika orang tersebut berpuasa.

Defisiensi seng dan imunitasSeng sangat penting untuk perkembangan imunitas baik humoral maupun selular. Defi siensi seng dapat menyebabkan berbagai macam perubahan pada fungsi imun, terganggunya mediator selular dari imunitas bawaan seperti fagositosis oleh makrofag dan netrofi l, sel natural killer (NK), hipersensitivitas tipe lambat, produksi sitokin, dan aktifi tas komplemen.30Limfosit T adalah yang paling rentan terhadap perubahan imunitas yang berhubungan dengan defisiensi seng. Defi siensi seng akan menghasilkan berkurangnya sel T perifer dan timus,

Page 95: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 83

Seng

respons proliferatif yang terganggu, dan berkurangnya fungsi T-helper dan sel T sitotoksik. Limfosit T-helper penting untuk perlindungan tubuh dari infeksi intraseluler. Defi siensi seng akan menurunkan fungsi T-helper1 (Th1), disisilain meningkatkan fungsi Th2.31 Akumulasi dari terganggunya sistem imun tentu saja akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.

Suplementasi seng telah terbukti dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian karena penyakit infeksi dan memperpendek waktu penyembuhan pada anak yang cukup gizi. Supplementasi seng juga mengurangi kejadian infeksi pernapasan akut pada bayi dan anak usia sekolah.32 Suplementasi seng sebagai profi laksis telah terbukti secara efektif dapat mengurangi diare, pneumonia dan angka kematian. Pada pasien yang lebih tua, suplementasi seng dapat membantu penyembuhan luka dan perlindungan dari infeksi.33 Stres oksidatif yang merupakan hasil dari oksigen yang reaktif (O2

-, H2O2 dan OH) merupakan faktor penting dalam kejadian beberapa penyakit kronis seperti kanker, aterosklerosis, dan merupakan produk dari kerusakan selular. Sitokin infl amasi seperti TNF dan IL-1 akan menghasilkan oksigen reaktif. Defi siensi seng akan memicu stres oksidatif dan benkontribusi terhadap kondisi kondisi yang berhubungan dengan stres oksidatif.34 Sebagai contoh, seperti hilangnya respons proteksi dari fase akut hepatitis dan oksidasi lipid.Seng telah diketahui berfungsi sebagai antioksidan, melindungi sel dari efek radikal bebas oksigen yang dihasilkan dari aktivasi imun. Seng juga berperan dalam regulasi metallothionein, yang mempunyai aktivitas antioksidan dan juga beberapa fungsi antioksidan yang lain.35 Suplementasi seng berguna untuk proteksi dari kerusakan jaringan karena oksidasi. Pada individu yang sehat, suplementasi seng dapat menurunkan level stres oksidatif yang berhubungan dengan produk lipid peroksdation. Selain itu, suplementasi seng juga dapat menghambat induksi TNF dan IL-1mRNA. Suplementsi seng juga dipercaya dapat mencegah induksi kanker dengan,mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan fungsi sistem imun.36

Suplementasi sengDalam penelitian-penelitian, seng telah diberikan dengan mudah dan aman, ditoleransi dengan baik, dan tidak mahal. Dengan banyaknya efek dari defi siensi seng, masuk akal jika suplementasi seng dipertimbangkan sebagai suatu penanganan tambahan pada banyak penyakit.37 Namun demikian, pertimbangan khusus diperlukan pada populasi tertentu. Suplementasi seng pada pasien-pasien dengan AIDS dan diabetes mellitus tipe 1 sebaiknya dihindari, karena hal itu, secara berurutan, dapat meningkatkan morbiditas atau menghambat metabolisme glukosa.

Page 96: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endang Dewi Lestari

84 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Selain itu, asupan seng yang sangat tinggi dapat menyebabkan defi siensi tembaga atau besi, anemia, dan keterlambatan pertumbuhan.2Beberapa artikel meninjau pedoman pemberian dosis seng dalam bentuk suplementasi sebagai penanganan untuk berbagai penyakit. Seperti pada suplementasi gizi lainnya, seseorang harus melatih kewaspadaannya dalam memberikan seng dalam dosis yang sangat tinggi untuk periode waktu yang panjang. Tetapi walaupun demikian, intoksikasi akibat kelebihan seng adalah jarang. Di negara sedang berkembang, anak dengan defi siensi seng lebih umum dan dampaknya pada pertumbuhan, perkembangan neuron dan imunitas tubuh bahkan lebih berat.38

SimpulanKeberagaman manifestasi klinis dari defisiensi seng dan berbagai keadaan penyakit yang terkait dengan defi siensi seng menggambarkan peran yang luas dan penting bahwa seng bekerja dalam jalur biokimiawi. Suplementasi seng dapat bermanfaat sebagai penanganan tambahan pada banyak penyakit. Defi sensi seng pada anak akan menurunkan imunitas tubuh anak sehingga anak sering sakit serta dapat mengganggu pertumbuhan anak sehingga anak menjadi stunting dengan segala akibatnya. Vitamin C merupakan antioksidan larut air yang berperan dalam sistem imunitas alamiah. Dengan banyaknya efek dari defi siensi seng, masuk akal jika suplementasi seng dipertimbangkan sebagai suatu penanganan tambahan pada banyak penyakit. Pemberian seng bersamaan dengan vitamin C juga dapat dipertimbangkan, karena kedua regimen secara bersamaan berfungsi membantu sistem imun tubuh alamiah dengan jalur yang berbeda. Namun demikian, pertimbangan khusus diperlukan pada populasi tertentu. Pemberian dosis seng yang terlalu tinggi justru dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan walaupun toksis akibat pemberian seng yang berlebihan jarang. Mengingat defi siensi seng adalah umum di negara sedang berkembang dengan segala akibatnya, maka pemberian suplementasi seng perlu dipertimbangkan pada anak yang berisiko.

Daftar pustaka1. Russell R, Beard JL, Cousins RJ, et al. Zinc. In: Dietary reference intakes for

vitaminA, vitaminK, arsenic, boron, chromium, copper, iodine, iron, manganese, molybdenum, nickel, silicon, vanadium, zinc. Washington, DC: The National Academies Press; 2002. h. 442-501.

2. Tuerk MJ, Fazel N. Zinc defi ciency. Current opinion in gastro enterology. 2009;25: 136-43.

Page 97: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 85

Seng

3. WalravensPA. Zinc metabolism and its implications in clinical medicine. West J Med. 1979;130: 133-42.

4. Theocharis SE, Margeli AP, Koutselinis A. Metallothionein: a multi functional protein from toxicity to cancer. Int J Biol Markers. 2003; 18: 162–19.

5. King JC, Keen CL. Zinc. In: ShilsM.E, Olson JA, Shike M, Ross AC, editors. Modern nutrition in health and disease. Baltimore: Williams & Wilkins; 1999. h. 223-39.

6. Taylor CM, Bacon JR, Aggett PJ, Bremner I.Homeostatic regulation of zinc absorption and endogenous losses in zinc-deprived men. Am J Clin Nutr. 1991; 53:755-63.

7. Tubek S.Zinc Supplementation or regulation of its homeostasis: Advantages and Threats .Biol Trace Elem Res. 2007;119:1–9.

8. Wada L, Turnlund JR, King JC.Zinc utilization in young men fed adequate and low zinc intakes. J Nutr. 1985; 115: 1345–54.

9. Liuzzi JP, Blanchard RK,Cousins RJ. Differential regulation of zinc transporter 1, 2, and 4 m RNA expression by dietary zinc in rats. J Nutr. 2001; 131:46–52.

10. Liuzzi JP, Bobo JA, Lichten LA. Responssive transporter genes within the murine intestinal-pancreatic axis form a basis of zinc homeostasis. Proc Natl Acad Sci USA. 2004; 101:14355–60.

11. Liuzzi JP, Cousins RJ. Mammalian zinc transporters. Annu Rev Nutr. 2004; 24: 151–72

12. King JC, Shames DM, Woodhouse LR. Zinc homeostasis in humans. J Nutr. 2000; 130:1360S–6S.

13. Sandstrom B, Lonnerda lB. In: Mills CF, ed. Zinc in human biology. NewYork: Springer-Verlag. 1989. h. 57-78.

14. Roth HP, Kirchgessner M. Utilization of zinc from picolinic or citric acid complexes in relation to dietary protein source in rats. J Nutr1985;115: 1641–9.

15. Walker CF,Black RE. Zinc and the risk for infectious disease. Annu Rev Nutr. 2004; 24:255–75.

16. Weigand E, Kirchgessner M. Total true effi ciency of zinc utilization determination and homeostatic dependence upon the zinc supply status in young rats. J Nutr.1980; 110: 469-80.

17. Johnson PE, Hunt CD, Milne DB, Mullen LK. Homeostatic control of zinc metabolism in men: zinc excretion and balance in men fed diets low in zinc. Am J Clin Nutr. 1993; 57:557–65.

18. Vallee BL, Falchuk KH. The biochemical basis of zinc physiology. Physiol Rev. 1993; 73: 79–94.

19. McMaster D, McCrum E, Patterson CC, Kerr MM, O’Reilly D, Evans AE, Love AH.Serum copper and zinc in random samples of the population of Northen Ireland. Am J Clin Nutr. 1992; 56: 440–6.

20. Maret W, Sandstead HH. Zinc requirements and the risks and benefi ts of zinc supplementation. J Trace Elem Med Biol 2006; 20:3-18.

21. Jackson MJ, Jones DA, Edwards RHT. Tissue zinc levels as an index of body zinc status. Clin. Physiol 1982; 2:333-43.

22. Hambidge KM. Underwood Memorial Lecture. Zinc homeostasis: good but not perfect. J Nutr 2003; 133: 1438S–42S.

23. Zhou JR, Canar MM, Erdman JW.Bone zinc is poorly released in young, growing rats fed marginally zinc-restricted diet. J Nutr. 1993; 123): 1383-8.

Page 98: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endang Dewi Lestari

86 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

24. Simons TJB .Intracellular free zinc and zinc buffering in human red blood cells. J Membr Biol. 1991; 123: 63–71.

25. Bobilya DJ, Anderson MB, Reeves PG. Zinc transport into endothelial cell is a facilitated process. J Cell Physiol.1992; 151:1–7.

26. Simson TJB. Calcium-dependent zinc effl ux in human red blood cells. J Membr Biol. 1991; 123: 73–80.

27. Wang K, Zhou B, Kuo YM, et al. A novel member of a zinc transporter family is defective in acrodermatitis enteropathica. Am J Hum Genet. 2002; 71:66–73.

28. Lestari ED, Lisianawati, Bardosono S, Lestarina L, Salimo H. Reduced serum zinc levels while improving growth of underweight school children in trial of zinc-fortifi ed milk in Indonesia. Paedtr Indones. 2012;52:118-24.

29. Magginii S, Wenzlaffi S, Hornig D. Essential role of vitamin C and zinc in child immunity and health. J Int Med Res. 2010; 38: 386 – 414.

30. Prasad AS. Zinc: mechanisms of host defense. J Nutr. 2007; 13:1345– 9.31. Rink L, Haase H. Zinc homeostasis and immunity. Trends Immunol 2007; 28:1–470.32. Cuevas LE, Koyanagi A. Zinc and infection: a review. Ann Trop Paediatr.

2005;25:149–60.33. Brooks WA, Santosham M, Naheed A,et al. Effect of weekly zinc supplements on

incidence of pneumonia and diarrhoea in children younger than 2 years in an urban, low-income population in Bangladesh: randomised controlled trial. Lancet. 2005; 366:999–1004

34. DiSilvestro RA. Zinc in relation to diabetes and oxidative disease. J Nutr. 2000; 130 (Suppl 5S):1509S–11S.

35. Powell SR. The antioxidant properties of zinc. J Nutr. 2000; 130(Suppl 5S): 1447S–54S.

36. Prasad AS, Kucuk O. Zinc in cancer prevention. Cancer Metastasis Rev. 2002; 21: 291–95.

37. Matarese LE, Steiger E, Seidner DL. Review of a potential rolefor zinc supplementation in oral rehydration solutions. Nutr Clin Pract. 2003; 18:240–6.

38. Plum LM, Rink L, Haase H. The essential toxin: Impact of zinc on human health. Int J Environ Res Public Health. 2010;7: 1342–65

Page 99: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

87

Mikrobiota dan Perannya pada Gangguan Saluran Cerna

Badriul Hegar

Tujuan:1. Memahami komposisi mikrofl ora pada saluran cerna anak2. Memahami peran mikrofl ora pada gangguan saluran cerna3. Memahami keamanan mikrofl ora sebagai probiotik

PendahuluanSaluran cerna manusia steril saat lahir, mempunyai ekosistem yang kompleks, mengandung 1014 bakteri dengan lebih dari 400 spesies, dibangun oleh sel yang berperan dalam sistem imum tubuh dan ribuan sel neuron. Empat puluh persen saluran cerna terdiri dari jaringan limfoid (Gut Associated Lymphoid Tissue - GALT) dan sampai 80% antibodi dalam tubuh manusia dihasilkan oleh sel saluran cerna. Saluran cerna menjadi organ yang berperan dalam sistem imun. Komposisi mikrofl ora dalam saluran cerna diduga erat berkaitan dengan kualitas respon imun.1

Komponen nutrisi dan hasil proses pencernaan akan berkontak erat dengan sistem imun saluran cerna (GALT). Keberadaan makanan dan mikroflora diperlukan untuk perkembangan GALT. Saluran cerna merupakan barier antara lingkungan luar saluran cerna dengan lingkungan dalam saluran cerna, melalui proteksi terhadap mikroorganisme patogen terutama saat respon imun berkurang dan meminimalkan reaksi hipersensitivitas dengan cara menginduksi toleransi oral terhadap alergen dalam makanan.2

Penelitian terhadap mekanisme strain spesifik dan uji klinis mikrofl ora sangat diperlukan, karena efek in vitro mungkin akan berbeda dengan in vivo. Efek satu strain tidak dapat diekstrapolarasi untuk strain lainnya, meskipun keduanya berasal dari spesiesnya yang sama.3

Page 100: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Badriul Hegar

88 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Komposisi mikroflora saluran cernaSecara garis besar mikrofl ora saluran cerna manusia dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1) mikroflora yang mempunyai efek merugikan manusia dan (2) mikrofl ora yang mendukung kesehatan. Beberapa contoh mikroorganisme yang keberadaannya dapat menimbulkan penyakit bagi manusia, yaitu Pseudomonas aeruginosa, Proteus, Staphylococcus, Clostridium, sedang mikroorganisme yang keberadaannya justru mendukung kesehatan manusia, yaitu Bifi dobacteria, Lactobacillus, dan Eubacteria. Disamping itu ada pula mikrofl ora yang keberadaannya dapat menyebabkan kerugian tetapi dapat pula memberikan keuntungan manusia, bergantung dari strain spesiesnya.4

ProbiotikProbiotik didefi nisikan sebagai mikrofl ora non patogen yang tidak terpengaruh terhadap proses pencernaan, bila dikonsumsi oleh manusia akan tetap hidup sampai di usus besar (kolon) dan mempunyai efek positif terhadap kesehatan manusia.5 Beberapa peran probiotik, meski sebagian besar masih berlangsung kanjiannya, anta lain (a) proteksi terhadap kolonisasi mikrorganisme patogen dalam saluran cerna, (b) Membatasi translokasi bakteri, (c) maturasi dan stimulasi sistem imun saluran cerna, (d) degradasi dan digesti karbohidrat yang tidak tercerna, (e) mengurangi sensitivitas dari peptida (proteksi terhadap atopi), (f) mengurangi intoleransi laktosa (lactobacillus), (g) mengahsilkan ‘short chain fatty acid’ yang sebagai hasil degradasi mikrofl ora, (h) menghasilkan vitamin dan faktor pertumbuhan sel saluran cerna (Bifi dobacteria), dan mencegah degenerasi sel saluran cerna menjadi ganas

Peran mikroflora pada gangguan saluran cernaDiare akutBeberapa mikroflora telah dikaji secara luas perannya terhadap pencegahan dan terapi diare infeksi akut. Kajian RCT memperlihatkan bukti ilmiah beberapa strain mikrofl ora (Lactobacillus GG, Bifi dobacteria lactis) sebagai pencegahan diare.6-12 Pemberian L reuteri DSM 17938 tidak memperlihatkan perbedaan terhadap kejadian diare nosokomial, termasuk rotavirus dibanding plasebo.13 Data yang ada tidak mendukung pemberian rutin mikrofl ora tersebut dalam bentuk probiotik untuk mencegah nosokomial diare rotavirus pada pusat penitipan anak. Sebagian besar penelitian memperlihatkan efek positif dari pemberian

Page 101: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 89

Mikrobiota dan Perannya pada Gangguan Saluran Cerna

beberapa strain spesies mikrofl ora untuk pencegahan diare dan tidak memperlihatkan efek samping. Walaupun demikian, kemaknaan manfaatnya yang diperlihatkan juga sedikit. Dasar pertimbangan pemberian mikrofl ora tertentu pada diare akut untuk menormalkan komposisi mikrofl ora saluran cerna sehingga akan mengurangi durasi diare akut. Penelitian menggunakan mikrofl ora pada diare infeksi kronis sangat terbatas.

Penelitian multisenter memperlihatkan penurunan durasi diare infeksi setelah pemberian mirofl ora tertentu.14 Beberapa penelitian individu dan metanalisis memperlihatkan efi kasi L. rhamnosus GG, L. acidophilus, L. reuteri and L. Bulgaricus.15-18, khususnya terhadap penurunan durasi diare rotavirus hingga17-30 jam.19 Perbaikan klinis dikaitkan dengan strain spesifi k. Beberapa strain spesifi k mikrofl ora menurunkan kejadian diare relaps.20

Kajian Cohraen (2010) melibatkan 36 penelitian dengan jumlah sampel 8014 memperlihatkan beberapa mikrofl ora aman, memperpendek durasi diare sampai 24.7 jam, dan mengurangi frekuensi buang air besar pada diare akut infeksi.21 Beberapa strain spesifi k mikrofl ora tampaknya lebih efektif bila diberikan pada awal diare dan lebih bermanfaat pada diare cair akut yang disebabkan oleh virus dibanding oleh infeksi bakteri non invasive.22 Walaupun demikian, masih diperlukan penelitian lebih banyak khususnya yang mengkaji efi kasi beberapa starin berbeda dan kelompok usia tertentu.

Diare akibat pemberian antibiotikAntibiotik dapat menganggu komposisi mikrofl ora saluran cerna dengan gejala klinis bervariasi, terutama diare. Kejadia antibiotic associated diarrhea (AAD) pada anak di pusat pelayanan kesehatan primer dilaporkan sebesar 10%, tidak bergantung dengan jenis antibiotikk; risiko AAD meningkat pada anak usia lebih muda (18% pada usia kurang dari 2 tahun).23

Meta-analisis terhadap 63 penelitian memperlihatkan hubungan bermakna secara statistik antara pemberian probiotik dengan penurunan kejadian AAD.24 Penurunan kejadian AAD secara bermakan dikaitkan dengan pemberian L. GG, S. boulardii, B. Lactis, atau Str. Thermophilus.25 Banyak pula penelitian yang tidak memperlihatkan efek pemberian mikrofl ora tertentu untuk terapi dan mecegah kekambuhan infeksi C. Diffi cile. Pada umumnya mikrofl ora sebagai probiotik diberikan bersamaan dengan terapi antibiotik.22

Secara keseluruhan, bukti ilmiah memperlihatkan efek proteksi beberapa strain spesifi k mikrofl ora terhadap AAD,22, 26 begitu pula tidak ada efek samping yang dilaporkan.27 Walaupun demikian, penelitian

Page 102: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Badriul Hegar

90 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

lanjutan masih tetap diperlukan untuk menentukan jenis mikrofl ora yang dapat memberikan efek paling baik untuk jenis penyakit dan antibiotik.24 Efi kasi mikrofl ora sebagai terapi AAD belum terbukti secara ilmiah. Tidak ada RCT yang menilai pemberian mikrofl ora sebagai terapi AAD pada anak.22

Inflammatory bowel disease Gangguan keseimbangan antara bakteri ‘baik’ dan bakteri ‘jahat’ di dalam saluran cerna dianggap berperan dalam patofi siologi Infl ammatory bowel disease (IBD). Meskipun tidak cukup bukti ilmiah mengenai manfaatnya, sekitar 80% anak dengan IBD mendapat terapi IBD.28 Laporan kasus pada 4 anak dengan penyakit Crohn memperlihatkan adanya efek Lactobacillus GG pada perjalanan penyakit.29 Pengamatan selama 2 tahun terhadap anak yang mengalami remisi penyakit Crohn memperlihatkan kejadian relaps lebih besar pada kelompok Lactobacillus GG dibanding kelompok plasebo (31% vs 17%), meskipun secara statistik tidak berbeda bermakna.30

Randomized controlled trials (RCT) yang mendukung penggunaan mikrofl ora pada tata laksana IBD masih sangat terbatas. Metaanalisis hanya dapat dilakukan pada beberapa penelitian dengan risk ratio sebesar 2.70 (95% CI 0.47, 15.33) dan 1.88 (95% CI 0.96, 3.67) sebagai induksi remisi kolitis ulseratif dan 1.08 (95% CI 0.86, 1.37) sebagai pencegah relaps kolitis ulseratif. Sejauh ini, belum ada bukti ilmiah kuat yang mendukung pemberian mikrofl ora pada penyakit Chron.31 Penelitian lanjutan dengan jumlah sampel besar diperlukan untuk membuktikan efektivitas sumplementasi mikrofl ora pada anak dengan IDB.

Irritable bowel syndrome Meskipun cukup banyak kajian mikroflora pada irritable bowel syndrome (IBS), tetapi data pada anak masih sangat terbatas. Kajian Cochrane memperlihatkan efektivitas yang kecil dari Lactobacillus dalam mengurangi gejala klinis dibanding plasebo.32 RCT selama 6 minggu membandingkan Lactobacillus GG dan placebo memperlihatkan hasil negatif pada semua 50 anak yang diteliti, meskipun kejadian distensi abdomen yang lebh rendah pada kelompok Lactobacillus GG.33 Lactobacillus GG mengurangi frekuensi dan keparahan sakit perut dibanding data awal.34 Metaanalisis yang membandingkan Lactobacilus GG dengan plasebo memperlihatkan respon sakit perut yang lebih besar pada kelompok dengan ‘gangguan saluran cerna fungsinal’ dan IBS yang mendapat Lactobacillus GG dibanding palsebo.34 Perbedaan respon tidak

Page 103: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 91

Mikrobiota dan Perannya pada Gangguan Saluran Cerna

terlihat pada kelompok dispesia fungsional. Mikrofl ora tertentu tidak memperlihatkan perbedaan bermakna pada konsistensi tinja.35

Enterokolitis nekrotikans Perkembangan mikrofl ota saluran cerna abnormal dianggap sebagai salah satu faktor penyebab enterokolitis nekrotikans (EKN). Data awal memperlihatkan peran L. acidophilus dan B. infantis mengurangi kejadian EKN.36 Setelah itu, penelitian lain memperlihatkan suplementasi Lactobacillus. GG selama 7 hari tidak efektif menurunkan kejadian EKN pada bayi prematur.37 Selanjutnya, beberapa RCT dengan Lactobacillus dan Bifi dobacteria yang berbeda mendapatkan pengurangan kejadian KEN yang bermakna.38,39 Kajian Cochrane (2008) menyimpulkan suplementasi enteral probiotik mengurangi kejadian KEN derajat II atau lebih dan angka kematian. Tidak ada infeksi sistemik atau kejadian ikutan berat yang terjadi sebagai akibat pemberian mikroorganisme probiotik.40

Kajian Cochrane (2011) menyimpulkan hal yang berbeda, suplementasi probiotik enteral mencegah kejadian KEN berat pada bayi prematur.41 Diskusi diantara ahli mengenai pemberian probiotik pada bayi prematur secara rutin masih terus berlangsung. The American Pediatric Surgical Association Outcomes dan Clinical Trials Committee systematic review (2012) menyimpulkan kajian Cochrane mendukung penggunaan probiotik profi laksis pada bayi prematur dengan berat badan kurang 2500 grams untuk mengurangi kejadian KEN, seperti halnya pemberian ASI.42 Walaupun demikian, beberapa ahli lain masih menganggap belum cukup data untuk merekomendasikan suplementasi probiotik untuk menurunkan kejadian KEN.43

KonstipasiKonstipasi merupakan masalah yang sering ditemukan pada anak dan probiotik seringkali digunakan untuk mempengaruhi komposisi mikrfl ora saluran cerna yang akan berdampak pada konsistensi tinja dan frekuensi buang air besar. Walaupun demikian, beberapa penelitian memperlihatkan hasil yang berbeda. Bifi dobacteria breve dilaporkan efektif meningkatkan frekuensi buang air besar dan memperbaiki konsistensi tinja anak dengan konstipasi fungsional. Begitu pula mengurangi inkontinesia dan menghilangkan sakit perut. 44

Pada penelitian lain, pemberian beberapa mikrofl ora bersamaan (B. bifi dum, B. infantis, B. longum, L. casei, L. plantarum and L. Rhamnosus) memperlihatkan efek positif terhadap gejala konstipasi.45

L. casei rhamnosus Lcr35 dilaporkan efektif sebagai terapi konstipasi

Page 104: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Badriul Hegar

92 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

kronis,46 sedangkan B. lactis tidak efektif untuk konstipasi.3, 47 L. reuteri (DSM 17938) memberikan efek positif terhadap frekuensi buang air besar, tetapi tidak terhadap konsistensi tinja.48 Pada anak dengan konstipasi, suplementasi ‘dairy product’ yang mengandung B lactis DN-173010 meningkatkan frekuensi buang air besar, meskipun tidak berbeda dengan palsebo.49 Oleh karena itu, probiotik sebagai satu-satunya terapi konstipasi masih memerlukan dukungan data penelitian yang lebih kuat.

Kolik infantilKolik sering ditemukan pada bayi dan tidak jarang menyebabkan orangtua frustasi untuk mengatasinya. Lactobasillus reuteri telah dikaji secara luas pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.50,51 Walaupun demikian, tidak ada data pada bayi yang telah mendapat susu formula. Dupont dkk. melaporkan efi kasi strain mikrofl ora lain yang ada di dalam susu formula bayi.52

Keamanan dan efek sampingLaktobacillus dan Bifidobacteri sudah banyak dilaporkan terkait keamanan penggunaannya pada manusia. Pengalaman untuk mikrofl ora lain masih terbatas. Secara umum, microfl ota sebagai probiotik aman dan hampir tidak pernah dilaporkan efek samping. Penelitian epidemiologi pada orang dewasa di negara-negara dengan penggunaan probiotik sangat tinggi memperlihatkan kejadian infeksi sistemik yang rendah (0,05-0,40%).53 Pemberian probiotik pada awal masa bayi aman.54 Kejadian infeksi dilaporkan pada orang dewasa dengan imunokompromis.55

Infeksi invasif pada bayi dan anak-anak sangat jarang sekali dilaporkan.55 Sepsis dilaporkan pada anak dengan usus pendek yang mendapat lactobacilli. Laporan baru-baru ini menyampaikan bahwa telah terjadi transfer plasmid resistensi antibiotik. Penggunaan mikroflora sebagai probiotik jangka panjang dapat menyebabkan resistensi antibiotik; gen resistensi dapat ditransfer ke bakteri lain.56 Translokasi bakteria dalam saluran cerna belum pernah dilaporkan. Adanya laporan kasus sepsis menunjukkan bahwa suplementasi probiotik harus digunakan dengan hati-hati pada anak dengan kateter vena sentral, rawat inap berkepanjangan, dan potensi gangguan integritas mukosa usus.57 Meskipun data saat ini rendah, tetapi kemungkinan terjadi transfer resistensi antibiotik tetap harus dikaji lebih lanjut. Keamanan mikrofl ora harus dikaji terhadap setiap strain.58

Page 105: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 93

Mikrobiota dan Perannya pada Gangguan Saluran Cerna

SimpulanProbiotik mempengaruhi komposisi mikrofl ora saluran cerna. Walaupun pemakaian probiotik tampaknya aman, tetapi sebagai indikasi tunggal pada beberapa gangguan saluran cerna masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel besar yang berfokus kepada spesivisitas, dosis, dan kombinasi.

Daftar pustaka1. Johnson CL, Versalovic J. The human microbiome and its potential importance to

pediatrics. Pediatrics 2012, 129:950-960.2. Koletzko B1, Aggett PJ, Bindels JG, et al. Growth, development and differentiation:

a functional food science approach. Br J Nutr. 1998 Aug;80 Suppl 1:S5-45.3. Ibnou-Zekri N, Blum S, Schiffrin EJ, et al. Divergent patterns of colonization and

immune response elicited from two intestinal Lactobacillus strains that display similar properties in vitro. Infect Immun 2003, 71:428-436.

4. Gibson GR, Roberfroid MB. Dietary modulation of the human colonic microbiota : Introducing the concept of prebiotics. J. Nutr 125:1401-1412, 1995

5. Schlundt, Jorgen. “Health and Nutritional Properties of Probiotics in Food including Powder Milk with Live Lactic Acid Bacteria” (PDF). Report of a Joint FAO/WHO Expert Consultation on Evaluation of Health and Nutritional Properties of Probiotics in Food Including Powder Milk with Live Lactic Acid Bacteria. FAO / WHO. Retrieved 17 December 2012.

6. Szajewska H, Kotowska M, Mrukowicz JZ, et al. Effi cacy of Lactobacillus GG in prevention of nosocomial diarrhea in infants. J Pediatr 2001, 138:361-365.

7. Mastretta E Longo P, Laccisaglia A, Balbo L, et al. Effect of a Lactobacillus GG and breast-feeding in the prevention of rotavirus nosocomial infection. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2002, 35:527-531.

8. Szajewska H, Setty M, Mrukowicz J, et al. Probiotics in gastrointestinal disease in children: hard and not-so-hard evidence of effi cacy. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2006, 42:454-475.

9. Guandalini S. Probiotics for prevention and treatment of diarrhea. J Clin Gastroenterol 2011, 45 Suppl:S149-153.

10. Szajewska H, Mrukowicz JZ. Use of probiotics in children with acute diarrhea. Paediatr Drugs 2005, 7:111-122.

11. Chouraqui JP, Van Egroo LD, Fichot MC. Acidifi ed milk formula supplemented with Bifi dobacterium lactis: impact on infant diarrhea in residual care settings. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2004, 38:288-292.

12. Thibault H, Aubert-Jacquin C, Goulet O. Effects of long-term consumption of a fermented infant formula (with Bifi doacterium Breve c50 and Streptococcus thermophilus 065) on acute diarrhea in healthy infants. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2004, 39:147-152.

13. Wanke M, Szajewska H. Lack of an effect of Lactobacillus reuteri DSM 17938 in preventing nosocomial diarrhea in children: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. J Pediatr 2012, 161:40-43.

Page 106: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Badriul Hegar

94 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

14. Guandalini S, Pensabene L, Zikri MA, et al. Lactobacillus GG administered in oral rehydration solution in children with acute diarrhea: a multicenter European trial. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000, 30:214-216.

15. Huang JS, Bousvaros A, Lee JW, et al. Effi cacy of probiotic use in acute diarrhea in children: a meta-analysis. Dig Dis Sci 2002, 47:2625-2634.

16. Szajewska H, Mrukowicz JZ. Probiotics in the treatment and prevention of acute infectious diarrhea in infants and children: a systematic review of published randomized, double-blind, placebo-controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001, 33:S17-25.

17. Van Niel CW, Feudtner C, Garrison MM, et al. Lactobacillus therapy for acute infectious diarrhea in children: a meta-analysis. Pediatrics 2002, 109:678-684.

18. Francavilla R, Lionetti E, Castellaneta S, et al. Randomised clinical trial: Lactobacillus reuteri DSM 17938 vs. placebo in children with acute diarrhoea - a double-blind study. Aliment Pharmacol Ther 2012,36:363-369.

19. Szajewska H, Mrukowicz JZ. Probiotics in the treatment and prevention of acute infectious diarrhea in infants and children: a systematic review of published randomized, double-blind, placebo-controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001, 33:S17-25.

20. Francavilla R, Lionetti E, Castellaneta S. Randomised clinical trial: Lactobacillus reuteri DSM 17938 vs. placebo in children with acute diarrhoea - a double-blind study. Aliment Pharmacol Ther 2012,36:363-369.

21. Allen SJ, Martinez EG, Gregorio GV, et al. Probiotics for treating acute infectious diarrhoea. Cochrane Database Syst Rev 2010, (11):CD003048

22. Braegger C, Chmielewska A, Decsi T, et al. Supplementation of infant formula with probiotics and/or prebiotics: a systematic review and comment by the ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2011, 52:238-250.

23. Turck D, Bernet JP, Marx J, et al. Incidence and risk factors of oral antibiotic associated diarrhea in an outpatient pediatric population. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003, 37:22-26

24. Hempel S, Newberry SJ, Maher AR, Wang Z. Probiotics for the prevention and treatment of antibiotic-associated diarrhea: a systematic review and meta-analysis. JAMA 2012, 307:1959-1969.

25. Sazawal S, Hiremath G, Dhingra U. Effi cacy of probiotics in prevention of acute diarrhoea: a meta-analysis of masked, randomised, placebo-controlled trials. Lancet Infect Dis 2006, 6:374-382

26. Friedman G. The role of probiotics in the prevention and treatment of antibiotic-associated diarrhea and clostridium diffi cile colitis. Gastroenterol Clin North Am 2012, 41:763-779.

27. Johnston BC, Goldenberg JZ, Vandvik PO, et al. Probiotics for the prevention of pediatric antibiotic-associated diarrhea. Cochrane Database Syst Rev 2011, 11:CD004827

28. Day AS. Use of complementary and alternative medicines by children and adolescents with infl ammatory bowel disease. Paediatr Child Health 2004, 40:681-684.

29. Gupta P, Andrew H, Kirschner BS, et al. Is lactobacillus GG helpful in children with Crohn’s disease? Results of a preliminary, open-label study. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000, 31:453-457

Page 107: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 95

Mikrobiota dan Perannya pada Gangguan Saluran Cerna

30. Bousvaros A, Guandalini S, Baldassano RN, et al. A randomized, double-blind trial of Lactobacillus GG versus placebo in addition to standard maintenance therapy for children with Crohn’s disease. Infl amm Bowel Dis 2005, 11:833-839.

31. Jonkers D, Penders J, Masclee A, et al. Probiotics in the management of infl ammatory bowel disease: a systematic review of intervention studies in adult patients. Drugs 2012, 72:803-823

32. Huertas-Ceballos AA, Logan S, Bennett C, et al. Dietary interventions for recurrent abdominal pain (RAP) and irritable bowel syndrome (IBS) in childhood. Cochrane Database Syst Rev 2009, (1):CD003019

33. Bausserman M, Michail S. The use of Lactobacillus GG in irritable bowel syndrome in children: a double-blind randomized control trial. J Pediatr 2005, 147:197-201.

34. Francavilla R, Miniello V, Magistà AM. A randomized controlled trial of Lactobacillus GG in children with functional abdominal pain. Pediatrics 2010, 126:e1445-1452.

35. Guandalini S, Magazzù G, Chiaro A, et al. VSL#3 improves symptoms in children with irritable bowel syndrome: a multicenter, randomized, placebo-controlled, double-blind, crossover study. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2010, 51:24-30.

36. Hoyos AB. Reduced incidence of necrotizing enterocolitis associated with enteral administration of Lactobacillus acidophilus and Bifi dobacterium infantis to neonates in an intensive care unit. Int J Infect Dis 1999, 3:197-202.

37. Dani C, Biadaioli R, Bertini G, et al. Probiotics feeding in prevention of urinary tract infection, bacterial sepsis and necrotizing enterocolitis in preterm infants. A prospective double-blind study. Biol Neonate 2002, 82:103-108.

38. Lin HC, Su BH, Chen AC, et al. Oral probiotics reduce the incidence and severity of necrotizing enterocolitis in very low birth weight infants. Pediatrics 2005, 115:1-4.

39. Bin-Nun A, Bromiker R, Wilschanski M, et al. Oral probiotics prevent necrotizing enterocolitis in very low birth weight neonates. J Pediatr 2005, 147:192-196.

40. Akisu M, Baka M, Yalaz M, et al. Supplementation with Saccharomyces boulardii ameliorates hypoxia/reoxygenation-induced necrotizing enterocolitis in young mice. Eur J Pediatr Surg 2003, 13:319-323.

41. Alfaleh K, Anabrees J, Bassler D, et al. Probiotics for prevention of necrotizing enterocolitis in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev 2011, (3):CD005496

42. Downard CD, Renaud E, St Peter SD, et al. Treatment of necrotizing enterocolitis: an American Pediatric Surgical Association Outcomes and Clinical Trials Committee systematic review. J Pediatr Surg 2012, 47:2111-2122.

43. Mihatsch WA, Braegger CP, Decsi T, et al. Critical systematic review of the level of evidence for routine use of probiotics for reduction of mortality and prevention of necrotizing enterocolitis and sepsis in preterm infants. Clin Nutr 2012, 31:6-15

44. Tabbers MM, de Milliano I, Roseboom MG,et al. Is Bifi dobacterium breve effective in the treatment of childhood constipation? Results from a pilot study. Nutr J 2011, 10:19

45. Bekkali NL, Bongers ME, Van den Berg et al. The role of a probiotics mixture in the treatment of childhood constipation: a pilot study. Nutr J 2007, 6:17.

46. Bu LN, Chang MH, Ni YH, et al. Lactobacillus casei rhamnosus Lcr35 in children with chronic constipation. Pediatr Int 2007, 49:485-490.

47. Ritchie ML, Romanuk TN. A meta-analysis of probiotic effi cacy for gastrointestinal diseases. Plos One 2012, 7:e34938.

Page 108: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Badriul Hegar

96 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

48. Coccorullo P, Strisciuglio C, Martinelli M, et al Lactobacillus reuteri (DSM 17938) in infants with functional chronic constipation: a double-blind, randomized, placebo-controlled study. J Pediatr 2010, 157:598-602.

49. Tabbers MM, Chmielewska A, Roseboom MG, et al. Fermented milk containing Bifi dobacterium lactis DN-173 010 in childhood constipation: a randomized, double-blind, controlled trial. Pediatrics 2011, 127:e1392-1399.

50. Savino F, Pelle E, Palumeri E, et al. Lactobacillus reuteri (American Type Culture Collection Strain 55730) versus simethicone in the treatment of infantile colic: a prospective randomized study. Pediatrics 2007, 119:e124-130.

51. Savino F, Cordisco L, Tarasco V, et al. Lactobacillus reuteri DSM 17938 in infantile colic: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Pediatrics 2010, 126:e526-533.

52. Dupont C, Rivero M, Grillon C, et al. Alpha-lactalbumin-enriched and probiotic-supplemented infant formula in infants with colic: growth and gastrointestinal tolerance. Eur J Clin Nutr 2010, 64:765-767.

53. Fedorak RN, Madsen KI. Probiotics and prebiotics in gastrointestinal disorders. Curr Opin Gastroenterol 2004, 20:146-155

54. Allen SJ, Jordan S, Storey M, et al. Dietary supplementation with lactobacilli and bifi dobacteria is well tolerated and not associated with adverse events during late pregnancy and early infancy. J Nutr 2010, 140:483-488

55. Borriello SP, Hammes WP, Holzapfel W, et al. Safety of probiotics that contain Lactobacilli or Bifi dobacteria. Clin Infect Dis 2003, 36:775-780

56. Dai M, Lu J, Wang Y, et al. In vitro development and transfer of resistance to chlortetracycline in Bacillus subtilis. J Microbiol 2012, 50:807-812.

57. Enache-Angoulvant A. Invasive Saccharomyces infection: a comprehensive review. Clin Infect Dis 2005, 41:1559-1568

58. Shanahan F. A commentary on the safety of probiotics. Gastroenterol Clin North Am 2012, 41:869-876

Page 109: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

97

Autism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

Ahmad Suryawan

Tujuan:1. Mengetahui tanda dan gejala anak dengan autism spectrum

disorders(ASD) yang dapat dipergunakan sebagai instrumen deteksi dini.

2. Mengetahui jenis dan nilai psikometrik berbagai instrumen deteksi dini atau skrining spesifi k ASD.

PendahuluanAutism spectrum disorders (ASD) merupakan salah satu gangguan perkembangan anak yang mempunyai beberapa karakteristik utama, antara lain: gangguan komunikasi atau interaksi sosial dan perilaku repetitif untuk aktivitas tertentu, yang muncul sejak usia dini dan mengganggu atau membatasi fungsional anak dalam kehidupannya sehari-hari.1 Etiologi ASD sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti, karena bersifat sangat heterogen. Sebagian ahli mengatakan bahwa patogenesis ASD mulai terjadi sejak prenatal,2,3dengan kerawanan biologis teridentifi kasi sebagai variasi genetik.4,5Beberapa studi juga mengaitkan patogenesis ASD dengan interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan.6Berbagai studi menunjukkan bukti bahwa abnormalitas perilaku mungkin dapat terdeteksi pada anak-anak di usia yang lebih muda.7,8American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan skrining ASD pada anak berusia 18 dan 24 bulan.9 Pengetahuan tentang deteksi dini ASD sangat penting dalam kaitan dengan program intervensi yang dilakukan di usia dini dapat memperbaiki outcomes kemampuan dan perilaku anak dengan ASD.10

Identifikasi dini ASDKecepatan dan ketepatan dalam menegakkan diagnosis ASD merupakan dua faktor penentu dalam keberhasilan penanganan anak ASD. Seringkali

Page 110: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

98 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

kedua faktor tersebut tidak selalu dapat sejalan. Bila ditegakkan dengan cepat, namun tidak tepat, akan berakibat tinginya angka “positif-palsu” dan menimbulkan dampak negatif berkepanjangan terhadap anak yang “terlabel” ASD. Sebaliknya bila ditegakkan dengan tepat, namun tidak cepat, maka anak seringkali akan kehilangan kesempatan memanfaatkan periode plastisitas otak sebagai masa terbaik untuk merubah atau memperbaiki kemampuan perkembangan anak.11,12

Secara umum, kecepatan dan ketepatan untuk menegakkan diagnosis gangguan perkembangan pada anak dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa upaya secara berurutan, yaitu: (1) Surveilans, upaya untuk mengetahui adanya tanda dan gejala awal terutama tanda-tanda bahaya dini(early warning signs) pada sebuah populasi anak secara umum; (2) Pra-skrining, upaya untuk memperluas cakupan sehingga didapatkan populasi anak lebih banyak dan luas untuk dilakukan skrining; (3) Skrining, upaya untuk mengetahui tingkat risiko seorang anak untuk mengalami gangguan perkembangan; (4) Evaluasi diagnostik, upaya untuk menegakkan diagnosis gangguan perkembangan secara pasti (defi nitif).13

Pengembangan sebuah metode atau instrumen yang komprehensif untuk deteksi dini anak dengan ASD masih menghadapi berbagai kendala yang kompleks karena etiologi dan gambaran klinis ASD sangat heterogen. Identifi kasi dan diagnosis ASD di usia dini sangat diperlukan supaya anak mendapat kesempatan mengambil manfaat dari intervensi dini selama periode plastisitas otaknya.7,8

Kegiatan deteksi dini ASD di berbagai negara pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, meskipun secara teknis bervariasi terutama pada usia anak dan instrumen yang digunakan. Di negara maju seperti USA, deteksi dini ASD dilakukan dengan skrining pada setiap kunjungan anak sehat pada usia 18 dan 24 bulan.13,14Sementara di Skotlandia skrining dianjurkan untuk anak-anak berisiko, tetapi tidak direkomendasikan kegiatan skrining khusus ASD pada populasi umum anak sehat untuk menghindari adanya hasil “positif-palsu atau negative-palsu”.11Di Indonesia deteksi dini ASD dilakukan sebagai bagian dalam kegiatan deteksi dini tumbuh kembang anak sehat berusia 18-36 bulandan hanya pada anak dengan indikasi tertentu: (1) Keterlambatan berbicara, (2) Gangguan komunikasi/interaksi sosial, dan (3) Perilaku yang berulang-ulang(Kemenkes RI, 2006).15

Page 111: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 99

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

Tanda dan gejala awal yang berkaitan dengan ASDBerbagai upaya telah dilakukan untuk mempromosikan kegiatan skrining dini melalui peningkatan kewaspadaan akan tanda dan gejala dini anak ASD, akan tetapi dari beberapa studi epidemiologis di negara maju menunjukkan bahwa rerata usia dalam menegakkan diagnosis ASD masih berkisar antara usia 4-5 tahun.16,17

Upaya untuk memperpendek ketidak-pastian diagnosis ASD, yang seringkali membuat orangtua harus “mengembara” ke banyak dokter atau pelayanan kesehatan anak, dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan kepada orangtua tentang gejala-gejala awal untuk curiga ASD pada anak berusia sebelum 18-24 bulan.10,18 Proses pengembangan metode surveilans dan skrining ASD yang saat ini banyak dipergunakan oleh para profesional kesehatan anak, merupakan hasil analisis berbagai informasi tentang tanda dan gejala dini ASD yang dideskripsikan oleh para orangtua selama bertahun-tahun.19

Sebagai salah satu jenis gangguan perkembangan anak dengan penyebab multi-faktorial, maka tanda dan gejala awal yang terkait dengan ASD sangat bervariasi dengan derajat keparahan yang juga bervariasi. Sebagian anak ASD membutuhkan asistensi orang lain dalam menjalankan fungsi sehari-hari, sementara sebagian yang lain dapat hidup lebih mandiri.

Tanda dan gejala awal ASD mulai nampak sebelum usia 3 tahun dan berjalan terus sepanjang hidup anak, meskipun dalam perjalanannya dapat membaik seiring waktu. Sebagian anak ASD menampakkan perkembangan yang normal sampai sekitar usia 18-24 bulan, dan kemudian mulai menampakkan adanya keterlambatan. Studi menunjukkan bahwa 80-90% anak ASD sudah menunjukkan abnormalitas perkembangan pada usia 24 bulan. Beberapa tanda dan gejala awal yang umumnya terkait dengan ASD dapat dilihat pada Tabel 1.20

Patut dicermati dan berhati-hati, tanda dan gejala tersebut juga dapat dijumpai pada anak normal atau anak yang tidak mengalami ASD. Perbedaannya adalah pada anak ASD, tanda dan gejala tersebut sangat menganggu fungsi kehidupan sehari-hari. Tanda dan gejala umum yang terkait ASD hendaknya hanya digunakan untuk kecurigaan saja. Untuk mengetahui tingkat risiko ASD, anak harus mendapatkan pemeriksaan menggunakan instrument skrining dan untuk menegakkan diagnosis pasti, harus melalui evaluasi diagnosis komprehensif oleh tenaga professional yang terlatih.21

Page 112: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

100 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 1. Tanda dan Gejala awal yang berkaitan dengan ASD(CDC 2015)20

Interaksi Sosial:Tidak bereaksi ketika dipanggil namanya di usia 12 bulan. Menghindari kontak mataLebih suka menyendiriTidak suka berinteraksi dengan anak lain.Hanya berinteraksi untuk mencapai keinginannya saja Ekspresi wajah yang datar dan tidak wajarTidak memahami batas-batas ruang pribadi atau personalMenghindari adanya kontak fi sikTidak nyaman dengan orang lain ketika “distress” Memiliki kesulitan memahami perasaan orang lain atau mengemukakan perasaan sendiri

Komunikasi:Keterlambatan bicara dan bahasaMengulang-ulang kata atau kalimat terus menerus (echolalia)Terbalik mengartikan kata milik (mis: “kamu” untuk mengartikan “aku”)Memberikan jawaban yang tidak terkait dengan pertanyaan Tidak dapat menunjuk sesuatuHampir tidak pernah menggunakan bahasa tubuh (mis: tidak pernah melambaikan tangan untuk “Dadagh”) Bicara atau bernyanyi dengan wajah yang datar (seperti robot) Tidak dapat bermain peran atau bermain “pura-pura”Tidak mengerti atau tidak berespons bila digoda-goda atau diberikan gurauan.

Perilaku:Suka menyusun mainan atau benda-benda menjadi satu baris Suka memainkan sebuah mainan yang sama sepanjang waktu.Sangat suka terhadap suatu bagian dari sebuah obyek (mis; roda mobil)Sangat terorganisasi dan mengikuti kegiatan rutin tertentu sajaMudah marah hanya terhadap perubahan yang kecilMempunyai ketertarikan yang bersifat obsesifSuka mengepak-ngepakkan tangan (fl apping), atau memutar mutar tubuh

Tanda dan Gejala yang lain:• Hiperaktivitas (sangat aktif)• Impulsif• Atensi (perhatian) pendek• Agresif• Mencelakai diri sendiri• Tantrum• Kebiasaan makan dan tidur yang tidak biasa• Reaksi emosi dan suasana hati (mood) yang tidak biasa• Mempunyai rasa takut yang berlebihan atau tidak punya rasa takut sama sekali• Reaksi yang tidak biasa terhadap suara, bau, rasa, penglihatan, atau perabaan“Red Flags” secara umum:• Usia 12 bulan: tidak ada reaksi ketika dipanggil namanya• Usia 14 bulan: tidak ada ketertarikan ketika diperlihatkan sebuah obyek atau mainan• Usia 18 bulan: tidak dapat “bermain peran” atau “bermain pura-pura” yang sederhana (mis:

berpura-pura memberi makan boneka)• Menghindari kontak mata dan lebih suka menyendiri• Kesulitan untuk mengerti apa yang diinginkan / dirasakan orang lain atau kesulitan mengatakan

apa yang dirasakannya• Adanya keterlambatan bicara dan bahasa• Selalu mengulang-ulang suatu perkataan (echolalia)• Memberikan jawaban yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang diberikan• Mudah jengkel terhadap suatu perubahan yang kecil• Adanya ketertarikan atau terobsesi yang berlebihan terhadap sebuah benda atau aktivitas• Mengepak-ngepakkan tangan yang berlebihan (fl apping), mengguncang tubuhnya atau aktivitas

badan yang berputar putar.• Reaksi yang tidak biasa (tidak umum) terhadap suara, bau, rasa, penglihatan atau perabaan.

Pada saat ini, dengan adanya transisi instrumen diagnosis ASD dari DSM-IV-TRTM menjadi DSM-5TM, maka beberapa negara melakukan kajian kembali mengenai tanda dan gejala awal sesuai onset usia anak yang dicurigai ASD. Kajian tersebut dilakukan melalui konsensus yang dihasilkan dari Panel Ahli.

Page 113: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 101

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

Rekomendasi dan konsensus dari panel ahliNegara maju mencoba untuk melakukan analisis lebih mendalam tentang identifi kasi dini ASD melalui pembentukan sebuah working group atau panel ahli, seperti di USA,22,23dan Skotlandia.11,12Rekomendasi yang dikeluarkan dari hasil panel ahli merujuk pada satu pertanyaan yang sama: “Apakah tanda dan gejala yang paling awal pada anak berusia < 24 bulan yang dapat dipergunakan sebagai identifi kasi dini ASD?”

Konsensus panel ahli di USA, yang dilakukan untuk menyesuaikan berbagai perubahan dalam kriteria diagnosis ASD menurut DSM-5TM, dihasilkan sebuah Rekomendasi identifi kasi dini untuk ASD di tempat praktek maupun untuk keperluan riset (Tabel 2).Rekomendasi tersebut telah dipublikasikan oleh AAP pada Oktober 2015.22,23\

Tabel 2. Ringkasan rekomendasi identifi kasi dini ASD di tempat praktek dan untuk keperluan riset (AAP, 2015)22,23

Statement Key MessagesStatement 1:Evidence indicates substantial heterogeneity in the presentation and natural history of clinical features associated with ASDs. This heterogeneity has ramifi cations for the interpretation of research literature as well as for clinical practice.

Given the marked clinical and etiologic diversity among individuals with ASD, it is not surprising that early manifestations and developmental course vary as wellMethodological differences (eg, prospective versus retrospective designs, measurement strategies) may affect comparability across published studies

Statement 2:There is evidence that reduced levels of social attention and social communication, as well as increased repetitive behavior with objects, are early markers of ASD between 12 and 24 months of age. Additional potential markers include abnormal body movements and temperament dysregulation.

Evidence supporting this statement is summarized in the article on early identifi cation by Zwaigenbaum et al, 2015.“Strong evidence” refers to replicated fi ndings in multiple prospective samples from independent research groups (with further support from retrospective studies)“Potential evidence” refers to at least 1 fi nding from a prospective sample, without replication, or inconsistent fi ndings

Statement 3:Reliable behavioral markers for ASD in children aged <12 months have not yet been consistently identifi ed.

Evidence supporting this statement is summarized in the article on early identifi cation by Zwaigenbaum et al, 2015.Differences in social attention (as indexed by gaze orienting), motor development, and general behavior (passivity versus irritability) have been reported as early as age 6 to 9 mo in some children later diagnosed with ASDHowever, overt, clinically apparent differences in social communication have not yet been identifi ed before 12 mo of age

Page 114: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

102 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Statement Key MessagesStatement 4:Developmental trajectories may also serve as risk indicators of ASD:Atypical trajectory of early language and nonverbal development in ASD; Atypical trajectory of early social communication skills in ASD

Prospective studies assessing HR infants at multiple ages have suggested that time course (rather than just cross-sectional differences) in language and cognitive development, social communication, and patterns of gaze orienting may predict a subsequent ASD diagnosis

Statement 5: Caution should be exercised in drawing conclusions about early risk markers of ASD from studies that do not include individual-level outcome data.

Some studies report group differences between HR and LR infants If diagnostic outcomes are not reported at an individual level (ie, if it is not known which HR infants were later diagnosed), group differences are not necessarily related to ASD

Statement 6: Caution should be exercised in generalizing fi ndings from studies of high-risk infants.

Findings from HR samples might not generalize to the general population due to differences in research design (eg, ascertainment) and biology

Statement 7: Research about early markers of ASD should include diverse high- and low-risk samples.

Although most current prospective studies involve younger siblings of children with ASD, studies of other HR infants (eg, premature infants) might also inform the fi eld In addition, it is essential that fi ndings from HR samples be validated in LR (ie, community) samples

Statement 8:Future efforts should aim to identify: (1) early markers that can be measured in routine clinical practice, involving direct observation and parental report; (2) early biological processes measurable concurrently with, or before, overt behavioral markers; and (3) combined approaches.

There have been advances in technology-dependent risk markers (eg, eye tracking) that could have future utility in community settings, although early detection still depends on features that can be observed by parents and clinicians There is much promise from emerging research on biomarkers, however, both alone and in combination with behavioral markers

Instrumen pemeriksaan ASD di level skriningInstrumen skrining perkembangan didesain untuk mengidentifi kasi tingkat risiko anak untuk mengalami gangguan perkembangan. Instrumen skrining tidak menghasilkan suatu informasi yang dalam dan detail tentang satu area perkembangan tertentu, sehingga tidak dianjurkan digunakan untuk menegakkan diagnosis. Hasil positif dari pelaksanaan skrining harus ditindak lanjuti lebih dalam melalui pemeriksaan evaluasi diagnostik.14

Skrining perkembangan dapat bersifat spesifik gangguan perkembangan tertentu (mis: spesifi k untuk autism), atau spesifi k untuk domain perkembangan tertentu (motorik kasar, bahasa, kognitif dsb) atau dapat juga bersifat umum dan tidak spesifi k yang meliputi beberapa domain perkembangan. Instrumen skrining utamanya digunakan dalam setting praktek pediatrik sehari-hari, tetapi terdapat juga piranti skrining yang dikembangkan untuk setting di komunitas dan sekolah.13,14

Page 115: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 103

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

Skrining perkembangan dapat dilakukan oleh sejumlah professional kesehatan dalam bentuk kunjungan rutin di pusat kesehatan, di komunitas dan di sekolah. Dokter di pusat pelayanan primer, seperti Puskemas, mempunyai posisi yang sangat strategis untuk mempromosikan kegiatan skrining perkembangan di level keluarga dan sekolah secara komprehensif.

Rekomendasi AAP menyatakan semua anak harus mendapatkan pemeriksaan skrining perkembangan yang dimasukkan dalam kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan pada saat berusia: 9, 18, 24 dan 30 bulan, dengan tambahan jadwal skrining diperlukan untuk anak yang termasuk risiko tinggi mengalami gangguan perkembangan (mis: prematur, BBLR, dan sebab lainnya).13,14Sedangkan skrining perkembangan yang spesifi k untuk ASD, dimasukkan dalam jadwal kunjungan rutin pada usia: 18 dan 24 bulan, dengan tambahan jadwal skrining spesifi k ASD akan diberikan kepada anak yang berisiko tinggi ASD (mis: mempunyai saudara kandung atau saudara lainnya dengan ASD) atau bila dijumpai gejala perilaku yang berkaitan dengan gejala awal ASD. Bila dari hasil skrining perkembangan didapatkan hasil risiko tinggi ASD, maka harus dilakukan rujukan agar anak mendapatkan pemeriksaan evaluasi diagnostik yang komprehensif.24,25

Pemil ihan instrumen skr in ing perkembangan harus mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: (1) populasi anak yang akan dilakukan skrining; (2) aspek perkembangan yang akan diskrining dalam sebuah populasi; (3) nilai psikometrik (validitas, reliabilitas, sensitivitas dan spesifi tas); (4) lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah instrument; (5) ketersediaan kursus atau pelatihan untuk penguasaan sebuah instrument; (6) biaya / harga instrumen dan peralatannya; (7) besarnya biaya yang dibebankan ke pasien.14

Dokter anak lebih terbantu dalam hal pemilihan instrumen skrining apabila menggunakan algoritme (Gambar 1).14,26

Instrumen skrining spesifi k untuk ASD, yang digunakan paling luas di dunia internasional saat ini, adalah The Modifi ed Checklist for Autism inToddlers (M-CHAT). Sejak tahun 2009, dalam upaya untuk meningkatkan nilai psikometrik, dilakukan revisi menjadi M-CHAT-R. Dan, untuk menghindari tingginya angka “positif-palsu” maka dilengkapi dengan instrumen follow-up melalui interview, sehingga saat ini dikenal sebagai The Modifi ed Checklist for Autism in Toddlers, Revised with Follow-Up (M-CHAT-R/F).27,28

Instrumen M-CHAT-R/F merupakan piranti skrining spesifi k ASD yang valid untuk anak berusia 16-30 bulan, dan bertujuan untuk menilai tingkat risiko ASD pada seorang anak yang dicurigai karena menunjukkan

Page 116: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

104 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tujuan Utama Pemeriksaan Perkembangan

SKRININGPerkembangan

SURVEILLANSPerkembangan

PEDSBuku KIA

Skrining Perkembangan UMUM / GENERAL

Skrining Perkembangan SPESIFIK

Populasi Anak GENERAL /

RISIKO RENDAH

Populasi Anak GENERAL /

RISIKO TINGGI

ASQPEDS

FormatInstrumenLAPORAN

ORANGTUA

FormatInstrumen

PEMERIKSAANPETUGAS

ASQIDI

POINT CDR-PQ

DENVER II ESPBINS

BDIST-2 CDI

PDQ-II DP-3

CAT/CLAMS

FormatInstrumenLAPORAN

ORANGTUA

FormatInstrumen

PEMERIKSAANPETUGAS

BAHASA PERILAKU EMOSI

LDS CSBS

SKOLDELMS-2

CAT/CLAMS

CHATM-CHAT

M-CHAT R/F

Gambar 1. Algoritma pemilihan instrumen skrining perkembangan(Dimodifi kasi dan disarikan dari AAP, 2006 dan Drotar, 2008)

tanda dan gejala awal yang terkait ASD. Penilaian M-CHAT-R/F berdasarkan laporan orangtua / pengasuh, dan pelaksanaannya harus melalui dua tahap penilaian:

Page 117: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 105

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

1. Tahap Pertama: melakukan skoring berdasarkan informasi orangtua / pengasuh, dengan menggunakan M-CHAT-R (Tabel 3). Pada umumnya tahap ini hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit saja. Hasil pada tahap pertama ini akan menentukan langkah selanjutnya untuk menentukan tingkat risiko ASD, dengan ketentuan sebagai berikut:

Total Skor Tingkat Risiko Langkah Selanjutnya

0-2 Risiko rendah Tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, lakukan pemeriksaan perkembangan rutin pada usia selanjutnyaBila anak masih berusia < 2 tahun, lakukan pemeriksaan ulang saat anak berusia 2 tahun

3-7 Risiko sedang Lanjutkan pemeriksaan ke Tahap-2 dengan menggunakan instrumen Follw-Up (M-CHAT-R/F):Bila skor tetap > 2: dikatakan hasil skrining [+] Rujuk untuk mendapatkan pemeriksaan evaluasi diagnostik komprehensif. Bila skor 0-1: dikatakan hasil skrining [-] Tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, lakukan pemeriksaan perkembangan rutin pada usia selanjutnya

8-20 Risiko tinggi Tidak perlu melanjutkan ke Tahap-2 (melewati tahap Follow-Up), tetapi langsung segera lakukan rujukan untuk mendapatkan pemeriksaan evaluasi diagnostik komprehensif.

2. Tahap Kedua: dilakukan untuk anak yang dalam pemeriksaan Tahap-1 termasuk Risiko-sedang (Total skor 3-7). Instrumen yang digunakan pada Tahap-2 ini adalah M-CHAT-R/F (Tabel 4). Perlu diketahui, bahwa terdapat jumlah yang signifi kan anak yang termasuk “Gagal” dalam pemeriksaan M-CHAT-R ternyata ketika dilakukan evaluasi diagnostik komprehensif menghasilkan kesimpulan bukan ASD, tetapi termasuk gangguan atau keterlambatan perkembangan yang lainnya. Sehingga pemeriksaan melalui follow-up wajib dilakukan bila hasil skrining ASD [+] (positif).

Pelaksanaan follow-up dilakukan melalui interview yang detail dan dalam kepada orangtua. Poin-poin yang akan dilakukan interview hanya dipilih pada poin yang anak “gagal” dalam pemeriksaan M-CHAT-R. Contoh: Bila anak gagal pada poin no-1 pada M-CHAT-R, lakukan interview detail dengan menggunakan logaritma untuk poin no-1 (Lihat Gambar 2).27

Page 118: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

106 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 3. Daftar pertanyaan dalam instrumen M-CHAT-R (dikutip dari Robins DL, 2009)

For all items except 2, 5, and 12, the response “NO” indicates ASD risk; for items 2, 5, and 12, “YES” indicates ASD risk.

Page 119: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 107

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

Tabel 4. Scoring sheetdalam instrumen M-CHAT-R/F (dikutip dari Robins DL, 2009)

Page 120: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

108 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Gambar 2. Contoh algoritme untuk interview dalam kegiatan follow-up menggunakan M-CHAT-R/F (dikutip dari Robins DL, 2009)

Selain M-CHAT-R/F, terdapat berbagai pilihan instrumen skrining spesifi k ASD. Pemilihan instrumen hendaknya juga mempertimbangkan nilai psikometriknya. Rangkuman nilai psikometrik dari berbagai instrumen skrining spesifi k ASD dapat dilihat pada Tabel 5.24

Page 121: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 109

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

Tabel 5. Nilai psikometrik dari beberapa metode skrining spesifi k ASD (dikutip dari Zwaigenbaum L, 2015)24

Berdasarkan laporan orangtuaMetode Referensi SN / SP PPV / NPV Catatan / RekomendasiFYI Reznick et al,

2007; Turner-Brown et al, 2013

Sensitivity = 0.44Specifi city = 0.99

PPV = 0.3NPV = 0.99

Promising tool for infants aged 12 mo, but additional data needed

ESAT Dietz et al, 2006; Swinkels et al, 2006

Sensitivity and specifi city not reported

PPV = 0.25 Not yet recommended as level 1 screener; additional data needed

M-CHAT Robins et al, 2001

cannot be determined

Strong evidence for use as both level 1 and level 2 tool, 16–30 mo; additional data will be helpful, especially in estimating sensitivity

Robins, 2008 cannot be determined

Without follow-up interview: PPV = 0.058With follow-up interview:PPV = 0.57If screen-positive cases are examined for any signifi -cant developmental delay: PPV: >0.90 across studies

Kleinman et al, 2008

cannot be determined

Without follow-up interview: PPV = 0.11 (low-risk sample), 0.60 (high-risk sample)With follow-up interview:PPV= 0.65 (low risk), 0.76 (high risk)

Pandey et al, 2008

cannot be determined

With follow-up interview:PPV = 0.43 (low-risk), 0.76 (high-risk)

Inada et al, 2011 cannot be determined

PPV = 0.733

Canal-Bedia et al, 2011

cannot be determined from this study

Validity study: PPV not reported separately for low-risk and high-risk samples

Reliability study: PPV = 0.19

In validity study, 19 of 23 children diagnosed with ASD were from high-risk sample.In reliability study, rate of ASD in low-risk sample was 2.9 in 1000

Pinto-Martin et al, 2008

cannot be determined

Chlebowski et al, 2013

cannot be determined from this study

Among screen-positive children who were evaluated (171 of 278 [60.7%])PPV = 0.538 for ASD (if any DD is included, PPV increases to 0.977)

Emphasizes potential clinical utility of M-CHAT as level 1 screen (high PPV)If initial M-CHAT score is ≥7, the follow-up M-CHAT interview may not be needed due to high PPV for ASD (>0.80). The follow-up M-CHAT interview is essential for children with initial scores of 3–6

Page 122: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

110 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Berdasarkan laporan orangtuaMetode Referensi SN / SP PPV / NPV Catatan / RekomendasiM-CHAT-R/F

Robins et al,2014 cannot be determined from this study

Among screen-positive children who were evaluated (221 of 348 [63.5%])

PPV = 0.475 for ASD (if any DD is included, PPV increases to 0.946)

Children with <3 items endorsed (93% of all cases) did not require the follow-up interview or any other evaluation. Children with 3–7 items endorsed (6% of all cases) required the follow-up interview; if at least 2 items remained positive, then referral for diagnostic evaluation was indicated.Children with ≥8 items endorsed (1% of all cases) were at suffi ciently high risk to be referred directly for diagnostic assessment. Using this strategy reduced the case positive rate (from 9.2% to 7.2%) without signifi cant change to PPV, relative to previous follow-up M-CHAT strategy

Q-CHAT Allison et al, 2008

Sensitivity and specifi city not provided

Not reported

Allison et al, 2012

Sensitivity = 0.91; Specifi city = 0.89

Based on screening cut-point of 3 from derivation sample, using the 10 of 25 items from original Q-CHAT that best discriminate groups

PPV = 0.58 (with pretest odds = 0.16 based on available sample)

Clinical diagnoses based on parent report, with recruitment through Web-based research registryFurther evaluation in independent samples warranted

DBC-ES Gray et al, 2008 Sensitivity = 0.83 (estimated); Specifi city = 0.48 (estimated)

Page 123: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 111

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

Berdasarkan laporan orangtuaMetode Referensi SN / SP PPV / NPV Catatan / RekomendasiPDDRS Eaves and

Williams, 2006Factor analysis, no psychometrics calculated

Insuffi cient data to evaluate utility as screening tool for young children

Eaves et al, 2006 Autistic disorder, cutoff 85: Sensitivity = 0.93 and specifi city = 0.48Autistic disorder, cutoff 90: Sensitivity = 0.84 and specifi city = 0.58PDD, cutoff 85: Sensitivity = 0.88 and specifi city = 0.68PDD, cutoff 90: Sensitivity = 0.78 and specifi city = 0.77

Not reported

Berdasarkan pemeriksaan petugas (observasional-interaktif)STAT Stone et al, 2000 Sensitivity

= 0.83 and specifi city = 0.86 for validation sample (sensitivity = 0.83 and specifi city = 0.83 for development age-matched subsample)

Not reported Strong evidence for use as level 2 tool, 24–35 mo; promising for 14–23 mo but additional data will be helpful

Stone et al, 2004 Study 1: one-half of sample used to determine cutoff with optimal sensitivity/specifi city and one-half used to validate cutoff of 2: Sensitivity = 0.92 and specifi city = 0.85

Study 1: PPV = 0.86 and NPV = 0.92 (validation subsample)

Page 124: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

112 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Berdasarkan laporan orangtuaMetode Referensi SN / SP PPV / NPV Catatan / Rekomendasi

Study 2: not reported, but based on table provided, sensitivity = 1.0 and specifi city = 0.90 for autistic disorder (lower for PDD-NOS)

Stone et al, 2008 Cutoff of 2: Sensitivity = 1.0 and specifi city = 0.40Cutoff of 2.75: Sensitivity = 0.95 and specifi city = 0.73Cutoff of 2.75 in subsample of children 14–23 mo (n = 50): Sensitivity = 0.93 and specifi city = 0.83

Cutoff of 2: PPV = 0.38 and NPV = 1.0Cutoff of 2.75: PPV = 0.56 and NPV = 0.97Cutoff of 2.75 in subsample of children 14–23 mo (n = 50): PPV = 0.68 and NPV = 0.97

BISCUIT Matson et al, 2009

330 confi rmed ASD diagnosisSensitivity = 84.7; Specifi city = 86.4AUC = 0.55

Promising as diagnostic tool or level 2 screener; more data needed

SORF Wetherby et al, 2004

20 Signifi cant red fl ags; cutoff of 8 red fl agsSensitivity = 0.87 and Specifi city = 0.84AUC = 0.93

Not reported Promising as level 2 screener; reported data based on coding from video rather than offi ce-based assessment; more data needed

Adapted from the table developed by the Autism Subcommittee for the National Children’s Study. FYI=First Year Inventory; ESAT=Early Screening of Autistic Traits; M-CHAT=Modifi ed Checklist for Autism in Toddlers; M-CHAT-R/F=M-CHAT Revised With Follow-Up; Q-CHAT=Quantitative - Checklist for Autism in Toddlers; DBC-ES=Developmental Behavior Checklist–Early Screen; PDDRS=Pervasive Developmental Disorder Rating Scale; STAT=Screening Tool for Autism in Toddlers & Young Children; BISCUIT=Baby and Infant Screen for Children with Autism Traits; SORF=Systematic Observation of Red Flags of ASD; (Dikutip dari: Zwaigenbaum L, et al, 2015)

Page 125: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 113

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

Evaluasi Diagnostik Komprehensif untuk ASDMenegakkan diagnosis ASD tidak mudah, karena tidak ada pemeriksaan medis penunjang yang spesifi k, seperti pemeriksaan laboratorium untuk ASD. Diagnosis ASD ditegakkan dari hasil observasi secara komprehensif dari tahapan perkembangan dan perilaku anak yang dilaporkan oleh orangtua dan/atau observasi dari pemeriksa.

Tanda dan gejala awal ASD memang dapat terdeteksi pada usia sebelum 18 bulan, namun diagnosis ASD pada usia 2 tahun hendaknya ditegakkan oleh professional yang berpengalaman. Pada tahap evaluasi diagnostik ASD yang komprehensif, umumnya dokter di pusat pelayanan kesehatan primer akan merujuk ke dokter spesialis untuk mendapatkan evaluasi diagnostik lebih lanjut. Beberapa dokter spesialis atau professional kesehatan anak yang mempunyai kapabilitas untuk evaluasi diagnostik dan penatalaksanaan ASD adalah:21

Developmental Pediatricians (Dokter Tumbuh Kembang Anak) Child Neurologists (Dokter Saraf Anak) Child Psychologists or Psychiatrists (Psikiater Anak)

Instrumen diagnostik spesifi k untuk ASD yang tersedia saat ini tidak sebanyak instrumen untuk skrining. Pada umumnya, instrumen diagnostik ASD bersumber pada dua informasi utama: informasi dari orangtua atau pengasuh dan hasil pemeriksaan atau observasi perilaku anak oleh tenaga pemeriksa professional.

Instrumen diagnostik ASD yang paling banyak dipergunakan saat ini adalah DSM-5TM (Diagnostic and Statistical Manual - Fifth Edition).1 Kriteria diagnostik ASD dalam DSM-5TM terdapat berbagai perubahan dibandingkan DSM-IV. Bila pada DSM-5TM, diagnostik autism terbagi menjadi beberapa jenis diagnosis, yaitu: autistic disorder, Asperger’s disorder, dan PDD-NOS(pervasive developmental disorder not otherwise specifi ed), maka pada DSM-V semua diagnosis tersebut hanya digolongkan menjadi satu, yaitu ASD (autism spectrum disorders)(Tabel 6).1

Instrumen diagnostik lain untuk ASD yang dapat dipergunakan pada praktek klinik dan juga untuk tujuan riset antara lain:21

Autism Diagnosis Interview – Revised (ADI-R) Autism Diagnostic Observation Schedule – Generic (ADOS-G) Childhood Autism Rating Scale (CARS) Gilliam Autism Rating Scale – Second Edition (GARS-2)

Page 126: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

114 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 6. Kriteria Diagnostik ASD sesuai DSM-5TM(Dikutip dari American Psychiatric Association, 2013)1

A. Persistent defi cits in social communication and social interaction across multiple contexts, as manifested by the following, currently or by history (examples are illustrative, not exhaustive; see text):• Defi cits in social-emotional reciprocity, ranging, for example, from abnormal social approach and

failure of normal back-and-forth conversation; to reduced sharing of interests, emotions, or affect; to failure to initiate or respond to social interactions.

• Defi cits in nonverbal communicative behaviors used for social interaction, ranging, for example, from poorly integrated verbal and nonverbal communication; to abnormalities in eye contact and body language or defi cits in understanding and use of gestures; to a total lack of facial expressions and nonverbal communication.

• Defi cits in developing, maintaining, and understand relationships, ranging, for example, from diffi culties adjusting behavior to suit various social contexts; to diffi culties in sharing imaginative play or in making friends; to absence of interest in peers.

Specify current severity:Severity is based on social communication impairments and restricted, repetitive patterns of behavior.

B. Restricted, repetitive patterns of behavior, interests, or activities, as manifested by at least two of the following, currently or by history (examples are illustrative, not exhaustive; see text):• Stereotyped or repetitive motor movements, use of objects, or speech (e.g., simple motor

stereotypes, lining up toys or fl ipping objects, echolalia, idiosyncratic phrases).• Insistence on sameness, infl exible adherence to routines, or ritualized patterns of verbal or

nonverbal behavior (e.g., extreme distress at small changes, diffi culties with transitions, rigid thinking patterns, greeting rituals, need to take same route or eat same food every day).

• Highly restricted, fi xated interests that are abnormal in intensity or focus (e.g., strong attachment to or preoccupation with unusual objects, excessively circumscribed or perseverative interests).

• Hyper- or hyporeactivity to sensory input or unusual interest in sensory aspects of the environment (e.g. apparent indifference to pain/temperature, adverse response to specifi c sounds or textures, excessive smelling or touching of objects, visual fascination with lights or movement).

Specify current severity:Severity is based on social communication impairments and restricted, repetitive patterns of behavior.

C. Symptoms must be present in the early developmental period (but may not become fully manifest until social demands exceed limited capacities, or may be masked by learned strategies in later life).

D. Symptoms cause clinically signifi cant impairment in social, occupational, or other important areas of current functioning.

E. These disturbances are not better explained by intellectual disability (intellectual developmental disorder) or global developmental delay. Intellectual disability and autism spectrum disorder frequently co-occur; to make comorbid diagnoses of autism spectrum disorder and intellectual disability, social communication should be beloiw that expected for general developmental level.

Note: Individuals with a well-established DSM-IV diagnosis of autistic disorder, Asperger’s disorder, or pervasive developmental disorder not otherwise specifi ed should be given the diagnosis of autism spectrum disorder. Individuals who have marked defi cits in social communication, but whose symptoms do not otherwise meet criteria for autism spectrum disorder, should be evaluated for social (pragmatic) communication disorder.

Specify if:With or without accompanying intellectual impairmentWith or without accompanying language impairmentAssociated with a known medical or genetic condition or environmental factor(Coding note: Use additional code to identify the associated medical or genetic condition.)Associated with another neurodevelopmental, mental, or behavioral disorder(Coding note: Use additional code[s] to identify the associated neurodevelopmental, mental, or behavioral disorder[s].With catatonia (refer to the criteria for catatonia associated with another mental disorder)(Coding note: Use additional code 293.89 catatonia associated with autism spectrum disorder to indicate the presence of the comorbid catatonia.)

Page 127: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 115

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

SimpulanStudi saat ini belum menemukan tanda dan gejala tunggal tentang perilaku anak pada usia dini yang mempunyai nilai prediktif untuk diagnosis ASD. Heteroginitas ekspresi klinis ASD menyebabkan tidak memungkinkan untuk menemukan sebuah perilaku tunggal yang universal dan bisa dipergunakan sebagai marker untuk menegakkan diagnosis ASD. Riset di masa depan berupaya meningkatkan nilai prediksi untuk diagnosis ASD dengan mengkombinasikan berbagai tanda dan gejala dini (baik dari studi longitudinal dan cross section) dalam bentuk indeks risiko kumulatif.

Selain itu, dengan mengkombinasikan antara tanda dan gejala dini dengan berbagai marker biologis akan lebih meningkatkan kehandalan instrumen deteksi dini ASD. Sangatlah penting dan strategis, bila studi di masa depan juga melaporkan berbagai data studi individual dengan mempunyai alat ukur yang konsisten untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifi tas dari instrumen deteksi dini ASD, yang disertai kompilasi dari berbagai studi dalam bentuk meta-analisis.

Daftar pustaka1. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders, Fifth Edition. Arlington, VA, Arlington VA: American Psychiatric Association; 2013.

2. Gardener H, Spiegelman D, Buka SL. Prenatal risk factors for autism: comprehensive meta-analysis. Br J Psychiatry 2009;195(1):7–14.

3. Courchesne E, Mouton PR, Calhoun ME, et al. Neuron number and size in prefrontal cortex of children with autism. JAMA 2011;306(18):2001–2010

4. Jiang YH, Yuen RK, Jin X, et al. Detection of clinically relevant genetic variants in autism spectrum disorder by whole-genome sequencing. Am J Hum Genet2013;93:249–263

5. Carter MT, Scherer SW. Autism spectrum disorder in the genetics clinic: a review. Clin Genet. 2013;83:399–407.

6. Hallmayer J, Cleveland S, Torres A, et al. Genetic heritability and shared environmental factors among twin pairs with autism. Arch Gen Psychiatry 2011;68(11):1095–1102

7. Zwaigenbaum L, Bryson S, Lord C, et al. Clinical assessment and management of toddlers with suspected autism spectrum disorder: insights from studies of high-risk infants. Pediatrics. 2009;123:1383–1391

8. Zwaigenbaum L, Bryson S, Garon N. Early identifi cation of autism spectrum disorders. Behav Brain Res. 2013;251:133–146

9. Myers SM, Johnson CP. American Academy of Pediatrics Council on Children With Disabilities. Management of children with autism spectrum disorders. Pediatrics 2007;120:1162–82

Page 128: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ahmad Suryawan

116 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

10. Wallace KS, Rogers SJ. Intervening in infancy: implications for autism spectrum disorders J Child Psychol Psychiatry. 2010;51:1300–1320

11. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Assessment, diagnosis and clinicalinterventions for children and youngpeople with autism spectrum disorders. A national clinical guideline. 2007

12. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Autism spectrum disorders: A booklet for parents and carers, Health Care Improvement Scotland, 2015

13. American Academy of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Developmental surveillance and screening of infants and young children. Pediatrics. 2001;101:192–5

14. American Academy of Pediatrics. Council on Children With Disabilities, Section on Developmental Behavioral Pediatrics, Bright Futures Steering Committee and Medical Home Initiatives for Children With Special Needs Project Advisory Committee. Identifying infants and young children with developmental disorders in the medical home: An algorithm for developmental surveillance and screening. Pediatrics. 2006;118:405-20.

15. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dini dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Kemenkes RI, 2006

16. Fountain C, King MD, Bearman PS. Age of diagnosis for autism: individual and community factors across 10 birth cohorts. J Epidemiol Community Health. 2011;65:503–10

17. Mandell DS, Morales KH, Xie M, et al. Age of diagnosis among Medicaid-enrolled children with autism, 2001-2004. Psychiatr Serv2010;61(8):822–829.

18. Shattuck PT, Grosse SD. Issues related to the diagnosis and treatment of autism spectrum disorders. Ment Retard Dev Disabil Res Rev 2007;13(2):129–135

19. Filipek PA, Accardo PJ, Ashwal S, et al. Practice parameter: screening and diagnosis of autism: report of the quality standards subcommittee of the American Academy of Neurology and the Child Neurology Society. Neurology. 2000;55(4):468–479

20. CDC 2015.Autism Spectrum Disorders (ASD): Signs and Symptoms. Diakses dari http://www.cdc.gov/ncbddd/autism/signs.html

21. CDC 2015. Autism Spectrum Disorders (ASD): Screening and Diagnosis for Healthcare Providers. Diakses dari http://www.cdc.gov/ncbddd/autism/hcp-screening.html

22. Zwaigenbaum L, Bauman ML, Stone WL, et al. Early identifi cation of autism spectrum disorder: recommendations for practice and research. Pediatrics. 2015;136:S10–S40

23. Zwaigenbaum L, Bauman ML, Choueiri R. Early Identifi cation and Interventions for Autism Spectrum Disorder: Executive Summary Pediatrics. 2015;136:S1

24. Zwaigenbaum L, Bauman ML, FeinD, et al. Early Screening of Autism Spectrum Disorder: Recommendations for Practice and Research. Pediatrics. 2015;136:S41–S59

25. Zwaigenbaum L, Bauman ML, Choueiri R, et al. Early intervention for children with autism spectrum disorder under 3 years of age: recommendations for practice and research. Pediatrics. 2015;136:S60–S81

Page 129: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 117

Austism Spectrum Disorders:Early Detection Tools

26. Drotar D, Stancin T, Dworkin, P. Pediatric developmental screening: Understanding and selecting screening instruments. The Commonwealth Fund, 2008. Diakses dari http//:www.commonwealthfund.org

27. Robins DL, Fein D, Barton M, Modifi ed Checklist for Autism in Toddlers, Revised, with Follow-Up. (M-CHAT-R/F)TM 2009.

28. Robins DL, et al. Validation of the Modifi ed Checklist for Autism in Toddlers, Revised With Follow-up (M-CHAT-R/F). Pediatrics. 2014;133:37–45

Page 130: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

118

Do’s and Don’ts in AutismHardiono D. Pusponegoro

Tujuan:1. Membahas teknik skrining, diagnosis, asesmen, terapi non-obat,

dan terapi obat pasien autism2. Menjelaskan hal yang sebaiknya dihindari dalam penatalaksanaan

autisme

PendahuluanPrevalens autisme makin lama makin tinggi. Laporan terakhir di Amerika pada tahun 2010 menunjukkan prevalens autisme sebanyak 14,7 dari 1.000 (1 setiap 68) anak berumur sampai 8 tahun.1 Walapun jumlah kasus dan jumlah penelitian tentang autisme sangat banyak, penyebab autisme yang pasti masih tetap belum dapat ditentukan. Namun untunglah bahwa dunia medis sudah mengetahui bahwa diagnosis disusul intervensi dini pada autisme ternyata dapat memperbaiki prognosis.2

Melihat tingginya prevalens dan keberhasilan terapi dini, sebagai dokter anak kita wajib melakukan skrining dan menegakkan diagnosis secepatnya, dan kemudian melakukan terapi obat bagi yang memerlukan dan merujuk untuk terapi non-obat. Semua terapi yang dilakukan harus berdasar bukti ilmiah. Banyak orangtua memilih untuk melakukan terapi alternatif yang sebagian besar tidak mempunyai bukti ilmiah yang jelas dan popularitasnya cepat menghilang.3 Harus diakui bahwa beberapa terapi alternatif nampaknya memberi hasil yang harus mendapat perhatian.3,4 Ini berarti bahwa dokter juga harus mempersiapkan diri untuk memberi nasihat mengenai terapi alternatif.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai teknik yang harus dilakukan mulai dari skrining, diagnosis, asesmen, terapi non-obat, dan terapi obat, serta hal yang sebaiknya dihindari dalam penatalaksanaan autisme.

Page 131: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 119

Do’s and Don’ts in Autism

SkriningPada sebagian anak, gejala autisme sudah dapat terlihat sebelum anak berumur 18 bulan, yang dibuktikan dengan rekaman video pasien.5 Gejala yang sering terlihat pada saat anak berumur 12-24 bulan adalah berkurangnya atensi sosial, berkurangnya komunikasi sosial, munculnya perilaku repetitif, gerakan tubuh yang abnormal, dan disregulasi temperamen.5 Kemudian gejala autisme terlihat sebagai keterlambatan bicara. Suatu panduan mengenai red fl ags atau tanda bahaya dapat digunakan untuk mengetahui adanya keterlambatan bicara sehingga dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih rinci:6

Tidak ada babbling, menunjuk atau mimik lain pada umur 12 bulan Tidak ada satu kata berarti pada umur 16 bulan Tidak ada kalimat terdiri dari dua kata spontan yang bukan ekolalia

pada umur 24 bulan Hilangnya kemampuan berbahasa atau kemampuan sosial pada

semua umur

Namun mengetahui gejala keterlambatan bicara saja tidak cukup. Dokter dan psikolog harus menggunakan instrumen skrining yang baik. Skrining pediatri umum yang dianjurkan misalnya the ages and stages questionnaire,7 the BRIGANCE® screens, the child development inventories, dan the parents’ evaluations of developmental status.6 Beberapa instrumen skrining khusus autisme sudah dikembangkan, dan dapat digunakan sejak anak berumur 18 bulan. Instrumen skrining yang paling lazim digunakan adalah M-CHAT revised with follow-up.8 Instrumen ini mudah digunakan. Di komunitas, M-CHAT menunjukkan sensitivitas 82% (72-92%) dan spesifi sitas 50% (33-64%).9

Do’s Lakukan skrining terhadap autisme dengan menggunakan instrumen skrining pediatri umum dan instrumen skrining khusus autisme, pada umur 18 bulan, 24 bulan.

DiagnosisSkrining harus diteruskan ke tahap diagnosis. Namun, di seluruh dunia diagnosis masih sering terlambat. Anak autisme yang verbal didiagnosis lebih lambat dibandingkan anak yang non-verbal.10 Diagnosis dapat ditegakkan oleh dokter atau psikolog dengan menggunakan kriteria DSM-V.11 Instrumen yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis adalah instrumen wawancara yang disebut sebagai autisme diagnostic interview – Revised (ADI-R) dan instrumen

Page 132: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hardiono D. Pusponegoro

120 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

panduan pemeriksaan yang disebut sebagai autisme diagnostic observation scale (ADOS). Sayangnya kedua instrumen tersebut harus dibeli dengan harga yang cukup mahal.

Suatu meta-analisis terhadap 376 publikasi dari 34 negara antara 1965-2013 menyatakan bahwa metode kuantifi abel misalnya eye tracking, elektroensefalografi , event-related potentials (ERPs), magnetoencephalography (MEG), MRI fungsional dan struktural, diffusion tensor imaging (DTI), positron emission tomography (PET), dan lain-lain tidak dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.12

Do’s Diagnosis ditegakkan dengan kriteria DSM V. Instrumen pembantu diagnosis misalnya ADI-R dan ADOS

Don’ts Speech delay bukan suatu diagnosis, melainkan hanya menunjukkan bahwa anak terlambat bicara dibanding anak seumurnya.Pemeriksaan penunjang seperti EEG, MRI dan lain-lain belum dapat dianjurkan untuk membantu menegakkan diagnosis

Diagnosis bandingMasih sering dijumpai anak dengan autisme didiagnosis sebagai speech delay, hiperaktif, yang hanya merupakan deskripsi dari gejala. Kedua istilah tersebut tidak mempunyai makna diagnosis apa-apa dan harus dipertajam.

Salah diagnosis sebagai ADHD sangat sering dijumpai. Orangtua merasa lebih lega dengan diagnosis ADHD dibandingkan diagnosis autisme. Kedua keadaan ini mempunyai kriteria diagnosis yang sangat berbeda, mempunyai pengobatan berbeda dan cara terapi berbeda pula. Anak ADHD tidak mengalami gangguan interaksi dan komunikasi, dan tidak bermain secara repetitif dan stereotipik. Setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun di diagnosis sebagai ADHD, baru orangtua menyadari bahwa diagnosis tersebut tidak tepat. Menurut DSM-V, Autisme dan ADHD dapat ditemukan pada satu anak sebagai ko-morbiditas.11

Anak dengan disabilitas intelektual juga pada awalnya sulit dibedakan dengan autisme. Demikian pula anak dengan gangguan pendengaran. Perilaku autistik sering ditemukan pada anak yang mengalami tuberous sclerosis, rubela kongenital, atau trisomi 21. Hal ini disebut sebagai autisme sekunder atau syndromic autism.13 Dalam keadaan ini penyebab harus dikenal dan terap juga ditujukan pada penyebabnya. Kadang kita mencurigai bahwa anak menunjukkan gejala

Page 133: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 121

Do’s and Don’ts in Autism

autisme, tetapi tidak memenuhi kriteria DSM IV atau V. Dalam keadaan demikian anak dapat dirujuk ke pusat intervensi tanpa menunggu diagnosis yang tepat.14

Pengobatan masalah medisBelum ada obat yang dapat menyembuhkan autisme. Hal ini sangat menyedihkan, dan menyebabkan banyak dokter enggan menangani autisme. Dua obat yang mendapat pengakuan US Food and Drug Administration untuk digunakan pada autisme yaitu risperidone dan aripiprazole.15 Keduanya ditujukan untuk memperbaiki iritabilitas. Kedua obat ini menunjukkan efek samping yang barmakna termasuk bertambahnya berat badan dan sedasi.3

Masalah medis yang sering ditemukan adalah kejadian epilepsi yang lebih banyak dibandingkan anak tanpa autisme,13 gangguan tidur16 dan beberapa masalah lain. Epilepsi ditata laksana seperti epilepsi biasa, tetapi jangan menggunakan obat anti-epilepsi yang memperburuk gangguan perilaku. Gangguan tidur sering diberi pengobatan dengan melatonin.16

Do’s Obat untuk autisme hanya digunakan bila anak menunjukkan perilaku disruptif yang tidak dapat diatasi dengan terapi

Do’s Masalah medis misalnya gangguan tidur, epilepsi, masalah makan ditata laksana seperti biasa.

Don’ts Jangan memberikan obat tanpa indikasi jelas. Pemberian obat untuk mengatasi perilaku disruptif harus memperhatikan dosis, mulai dari dosis kecil.

Bantuan psikologisBantuan psikologis pada fase awal diperlukan untuk membantu orangtua menghadapi autisme pada anak. Kehidupan keluarga dapat berubah total. Pemeriksaan IQ di awal diagnosis sangat sulit karena anak umumnya belum dapat berbicara dan belum berinteraksi dengan sekitarnya. Bantuan psikolog diperlukan juga saat anak akan beralih dari terapi ke sekolah. Diperlukan evaluasi apakah anak harus masuk sekolah khusus, sekolah inklusi dengan guru pendamping (shadow teacher), atau sekolah biasa.

Page 134: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hardiono D. Pusponegoro

122 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Do’s Bantuan psikologis diperlukan di awal diagnosis dan saat anak masuk sekolah

Don’t Jangan melakukan pemeriksaan IQ di awal diagnosis.

AsesmenSetelah diagnosis dapat ditegakkan, terhadap anak harus dilakukan terapi. Sebelum terapi dimulai, dilakukan asesmen terlebih dahulu untuk menilai fungsi yang terganggu dan rencana terapinya.

Do’s Asesmen dilakukan oleh terapis berpengalaman untuk menentukan gangguan fungsi pada anak dan terapi yang dipilih

Don’t Melakukan terapi eklektik (sekaligus beberapa macam terapi) hasilnya kurang bermanfaat. Terapi tanpa program yang jelas atau tanpa target jelas juga tidak baik.

TerapiPada dasarnya, terapi pada ASD dapat berupa terapi dengan pendekatan behavioral atau terapi dengan pendekatan developmental.2,17 Pendekatan lain misalnya dengan pendekatan sosio-komunikasi.18

Terapi behavior/ perilakuTerapi yang paling mempunyai bukti ilmiah adalah terapi behavior atau perilaku berdasar applied behavioral analysis (ABA). ABA sendiri bukanlah merupakan terapi tetapi merupakan suatu framework. Berbagai program terapi dibuat berdasar ABA misalnya: Lovaas/ early intensive behavior intervention (EIBI)19,20

Verbal behavior milestones assessment and placement program (VB-MAPP)21

Pivotal response treatment (PRT)22

Terapi Lovaas/ EIBI mungkin lebih baik diberikan di awal, dengan teknik discrete trial training yang merupakan teknik utama. Di klinik Anakku, terapi behavior utama adalah berdasarkan VB-MAPP. Kemudian, untuk anak yang telah mengalami kemajuan dilakukan generalisasi dengan teknik PRT.

Page 135: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 123

Do’s and Don’ts in Autism

Terapi berdasarkan pendekatan developmental misalnya terapi developmental, individual-differences & relationship (DIR) dengan metodenya yang disebut sebagai fl oor time. Terapi DIR dikembangkan oleh Stanley Greenspan.23 DIR/ fl oor time dilaporkan memperbaiki emosi, komunikasi, kemampuan mandiri, dan interaksi dengan orangtua.24 DIR/ fl oor time juga mengurangi gejala autisme secara bermakna.25

Terapi masalah sensorisSalah satu kriteria DSM-V untuk autisme adalah bahwa anak mengalami masalah sensoris.11 Anak ASD sering menunjukkan perilaku fl apping, berputar-putar, menarik diri, bergoyang-goyang, menutup telinga, dan memandang terpaku ke satu arah. Perilaku ini dianggap sebagai gejala sensoris, yang ditemukan pada 80% anak ASD. Untuk mengatasi masalah sensoris, Ayres memperkenalkan terapi sensory integration (SI).26

Terapi SI dilakukan di klinik dengan alat-alat tertentu, menggunakan aktivitas bermain dan berinteraksi. Aktivitas tersebut meningkatkan partisipasi anak, mengintegrasikan informasi sensoris, dan meningkatkan respons adaptif termasuk joint attention, kemampuan sosial, perencanaan gerak dan kemampuan respons “just-right.”27 Tiga penelitian acak terkontrol menunjukkan efek positif dari terapi SI termasuk target individual, perbaikan tidur, berkurangnya perilaku repetitif, dan mengurangi beban pengasuhan. Penelitian tingkat III-IV lain menunjukkan efek positif untuk mengurangi perilaku negatif yang terkait dengan masalah sensoris.27

Kemudian berkembang terapi berdasar sensori atau sensory-based intervention (SBI). Terapi SBI merupakan teknik yang dikerjakan oleh terapis untuk memberi stimulasi sensoris terutama somatosensoris dan vestibular terhadap anak. Teknik ini tidak membutuhkan partisipasi anak dan diaplikasikan ke dalam rutinitas anak sehari-hari. Beberapa contoh dari teknik SBI misalnya menggosok atau menyikat kulit, pemijatan, bermain ayunan, bermain dengan bola terapi, atau menggunakan rompi pemberat. Terapi SBI tidak terbukti memberi efek positif.27 Penulis membuat hipotesis bahwa terapi SI yang merupakan pendekatan developmental baik untuk anak yang berumur kurang dari 3 tahun, tetapi kurang bermanfaat bagi anak usia sekolah 6 tahun ke atas.

Terapi wicaraLebih tepat disebut sebagai terapi oral-motor. Dilakukan untuk anak autisme yang sudah dapat berbicara tetapi menunjukkan artikulasi yang buruk. Pada anak yang belum dapat berbicara, terapi perilaku lebih

Page 136: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hardiono D. Pusponegoro

124 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

bermanfaat dibandingkan terapi wicara.28 Kemampuan bicara sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif anak.29

Berbagai teori dan pengobatan alternatifMasih belum ditemukannya penyebab autisme menyebabkan munculnya berbagai teori penyebab autisme. Demikian pula, belum adanya obat bagi autisme menyebabkan munculnya berbagai terapi alternatif. Terapi alternatif, diet dan suplemen dilakukan oleh 25-80% orangtua, diet dan suplemen diberikan oleh 25% orangtua.30,31 Dokter sebaiknya mengenal berbagai teori penyebab dan berbagai terapi alternatif tersebut, agar dapat menjelaskan baik-buruknya kepada orangtua. Jangan melakukan terapi alternatif yang berbahaya, yang tidak jelas manfaatnya, dan menyama-ratakan semua pasien. Dokter juga harus terbuka bahwa beberapa di antara terapi alternatif tersebut dapat mempunyai efek, dan dapat diterima sebagai pengobatan bila sudah dibuktikan dengan metode penelitian yang benar. Berikut ini disampaikan mengenai beberapa teori penyebab dan terapi alternatif yang harus diketahui.

Vaksin MMR dan timerosal dalam vaksin

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hubungan pemberian vaksin MMR dan autisme tidak terbukti.32,33

Hubungan timerosal dalam vaksin dengan autisme juga tidak dapat dibuktikan.32

Logam berat di dalam rambut

Penelitian mengenai konsentrasi logam berat di dalam rambut sangat lemah dan tidak dapat membuktikan hal tersebut.34

Kelasi Tidak ada bukti penelitian klinis yang menyatakan bahwa kelasi bermanfaat untuk autisme. Efek samping adalah gangguan kadar kalsium, gangguan ginjal, dan kematian.35,36

Alergi sebagai penyebab autisme

Diagnosis alergi sering dilakukan menggunakan panel IgG yang tidak tepat.

Infeksi saluran cerna oleh bakteri, jamur dan suplementasi probiotik

Berbagai penelitian tidak dapat membuktikan adanya infeksi atau infl amasi saluran cerna karena bakteri.37 Penggunaan antibiotik, anti jamur, atau probiotik tidak bermanfaat.36 Pada tikus, probiotik memperbaiki ansietas, gangguan komunikasi dan perilaku stereotipik melalui perbaikan saluran cerna.3

N-acetylcysteine (NAC) sebagai antioksidan

Penelitian RCT kecil terkontrol dengan plasebo selama 12 minggu memperlihatkan bahwa NAC dapat mengurangi iritabilitas tanpa efek samping.3

Vitamin B12 Merupakan ko-faktor sistem antioksidan yang merangsang regenerasi metionin dari homosistein. RCT 30 anak memperlihatkan bahwa suntikan B12 tidak memperbaiki outcome menyeluruh, tetapi beberapa anak memperlihatkan perbaikan stres oksidatif dan gejala klinis. Penelitian RCT lebih besar memperlihatkan bahwa B12 memperbaiki manifestasi klinis.3

Page 137: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 125

Do’s and Don’ts in Autism

Diet gluten free casein free

Sebagian besar penelitian tidak menemukan peningkatan peptida opioid.37,38 Sebagian besar peneliti melaporkan bahwa diet GFCF tidak bermanfaat.37-39

Beberapa peneliti tetap mempercayai manfaat diet GFCS.40 Dilaporkan penurunan densitas tulang dan osteoporosis karena diet GFCF.38

Terapi oksigen hiperbarik

Penelitian 4 RCT, dua menunjukkan hasil, dua lainnya tidak menunjukkan hasil.41

SimpulanDokter wajib melakukan skrining terhadap autisme, menegakkan diagnosis berdasarkan kriteria DSM-V, dan merujuk agar anak mendapat terapi yang mempunyai bukti ilmiah. Dokter juga harus mengetahui tentang beberapa teori penyebab autisme dan terapi alternatif, agar dapat menjelaskan kepada orangtua mengenai baik-buruk dan untung-rugi dari berbagai terapi alternatif tersebut.

Daftar pustaka1. Wingate M, Kirby RS, Pettygrove S, Cunniff C, Schulz E, Ghosh T, et al. Prevalence

of autism spectrum disorder among children aged 8 years-autism and developmental disabilities monitoring network, 11 sites, united states, 2010. MMWR Surveillance Summaries. 2014;63.

2. Smith T, Iadarola S. Evidence base update for autism spectrum disorder. J Clin Child Adolesc Psychol. 2015;44:897-922.

3. Bent S, Hendren RL. Complementary and alternative treatments for autism part 1: Evidence-supported treatments. AMA J Ethics. 2015;17:369-74.

4. Lofthouse N, Hendren R, Hurt E, Arnold LE, Butter E. A review of complementary and alternative treatments for autism spectrum disorders. Autism Res Treat. 2012;2012:1-21.

5. Zwaigenbaum L, Bauman ML, Stone WL, Yirmiya N, Estes A, Hansen RL, et al. Early identifi cation of autism spectrum disorder: Recommendations for practice and research. Pediatrics. 2015;136 Suppl 1:S10-40.

6. Filipek PA, Accardo PJ, Ashwal S, Baranek GT, Cook EH, Dawson G, et al. Practice parameter: Screening and diagnosis of autism: Report of the quality standards subcommittee of the american academy of neurology and the child neurology society. Neurology. 2000;55:468-79.

7. Hardy S, Haisley L, Manning C, Fein D. Can screening with the ages and stages questionnaire detect autism? J Dev Behav Pediatr. 2015;36:536-43.

8. Robins DL, Casagrande K, Barton M, Chen CM, Dumont-Mathieu T, Fein D. Validation of the modifi ed checklist for autism in toddlers, revised with follow-up (M-CHAT-R/F). Pediatrics. 2013:37-45.

9. Charman T, Baird G, Simonoff E, Chandler S, Davison-Jenkins A, Sharma A, et al. Testing two screening instruments for autism spectrum disorder in UK community child health services. Dev Med Child Neurol. 2015.

Page 138: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hardiono D. Pusponegoro

126 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

10. Salomone E, Charman T, McConachie H, Warreyn P. Child’s verbal ability and gender are associated with age at diagnosis in a sample of young children with ASD in europe. Child Care Health Dev. 2016;42:141-5.

11. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Fifth edition. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing; 2013.

12. Bölte S, Bartl-Pokorny KD, Jonsson U, Berggren S, Zhang D, Kostrzewa E, et al. How can clinicians detect and treat autism early? Methodological trends of technology use in research. Acta Paediatr. 2016;105:137-44.

13. van Iterson L, de Jong PF, Zijlstra BJ. Pediatric epilepsy and comorbid reading disorders, math disorders, or autism spectrum disorders: Impact of epilepsy on cognitive patterns. Epilepsy Behav. 2015;44:159-68.

14. Monteiro SA, Dempsey J, Broton S, Berry L, Goin-Kochel RP, Voigt RG. Early intervention before autism diagnosis in children referred to a regional autism clinic. J Dev Behav Pediatr. 2016;37:15-9.

15. Ghanizadeh A, Tordjman S, Jaafari N. Aripiprazole for treating irritability in children & adolescents with autism: A systematic review. Indian J Med Res. 2015;142:269-75.

16. Herrmann S. Counting sheep: Sleep disorders in children with autism spectrum disorders. J Pediatr Health Care. 2015.

17. Salomone E, Beranová Š, Bonnet-Brilhault F, Briciet Lauritsen M, Budisteanu M, Buitelaar J, et al. Use of early intervention for young children with autism spectrum disorder across europe. Autism. 2016;20:233-49.

18. Watkins L, Kuhn M, Ledbetter-Cho K, Gevarter C, O’Reilly M. Evidence-Based social communication interventions for children with autism spectrum disorder. Indian J Pediatr. 2015:1-18.

19. Smith T, Klorman R, Mruzek DW. Predicting outcome of community-based early intensive behavioral intervention for children with autism. J Abnorm Child Psychol. 2015;43:1271-82.

20. Mark DH, Civic D, Blue Cross Blue Shield Asssociation. Special report: Early intensive behavioral intervention and other behavioral interventions for autism spectrum disorder. Technol Eval Cent Assess Program Exec Summ. 2015;30:1-3.

21. Sundberg ML, Sundberg CA. Intraverbal behavior and verbal conditional discriminations in typically developing children and children with autism. The Analysis of Verbal Behavior. 2011;27:23.

22. Mohammadzaheri F, Koegel LK, Rezaei M, Bakhshi E. A randomized clinical trial comparison between pivotal response treatment (PRT) and adult-driven applied behavior analysis (ABA) intervention on disruptive behaviors in public school children with autism. J Autism Dev Disord. 2015;45:2899-907.

23. Wieder S, Greenspan SI. Climbing the symbolic ladder in the DIR model through fl oor time/interactive play. Autism. 2003;7:425-35.

24. Liao ST, Hwang YS, Chen YJ, Lee P, Chen SJ, Lin LY. Home-based DIR/fl oortime intervention program for preschool children with autism spectrum disorders: Preliminary fi ndings. Phys Occup Ther Pediatr. 2014;34:356-67.

25. Pajareya K, Nopmaneejumruslers K. A one-year prospective follow-up study of a DIR/fl oortime parent training intervention for preschool children with autistic spectrum disorders. Journal of the Medical Association of Thailand. 2012;95:1184.

26. Ayres AJ. Sensory integration and the child. Los Angeles, CA: Western Psychological Services; 1979.

Page 139: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 127

Do’s and Don’ts in Autism

27. Case-Smith J, Weaver LL, Fristad MA. A systematic review of sensory processing interventions for children with autism spectrum disorders. Autism. 2015;19:133-48.

28. Paul R, Campbell D, Gilbert K, Tsiouri I. Comparing spoken language treatments for minimally verbal preschoolers with autism spectrum disorders. J Autism Dev Disord. 2013;43:418-31.

29. Norrelgen F, Fernell E, Eriksson M, Hedvall Å, Persson C, Sjölin M, et al. Children with autism spectrum disorders who do not develop phrase speech in the preschool years. Autism. 2015;19:934-43.

30. Salomone E, Charman T, McConachie H, Warreyn P, Working Group 4, COST Action ‘Enhancing the Scientifi c Study of Early Autism’. Prevalence and correlates of use of complementary and alternative medicine in children with autism spectrum disorder in Europe. Eur J Pediatr. 2015;174:1277-85.

31. Hopf KP, Madren E, Santianni KA. Use and perceived effectiveness of complementary and alternative medicine to treat and manage the symptoms of autism in children: A survey of parents in a community population. J Altern Complement Med. 2016;22:25-32.

32. Taylor LE, Swerdfeger AL, Eslick GD. Vaccines are not associated with autism: An evidence-based meta-analysis of case-control and cohort studies. Vaccine. 2014;32:3623-9.

33. Jain A, Marshall J, Buikema A, Bancroft T, Kelly JP, Newschaffer CJ. Autism occurrence by MMR vaccine status among US children with older siblings with and without autism. JAMA. 2015;313:1534-40.

34. De Palma G, Catalani S, Franco A, Brighenti M, Apostoli P. Lack of correlation between metallic elements analyzed in hair by ICP-MS and autism. J Autism Dev Disord. 2012;42:342-53.

35. James S, Stevenson SW, Silove N, Williams K. Chelation for autism spectrum disorder (ASD). Cochrane Database Syst Rev. 2015;5:CD010766.

36. Klein N, Kemper KJ. Integrative approaches to caring for children with autism. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care. 2016:1-7.

37. Pusponegoro HD, Ismael S, Sastroasmoro S, Firmansyah A, Vandenplas Y. Maladaptive behavior and gastrointestinal disorders in children with autism spectrum disorder. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2015;18:230-7.

38. Singer A, Ravi R. Complementary and alternative treatments for autism part 2: Identifying and avoiding non-evidence-based treatments. AMA J Ethics. 2015;17:375-80.

39. Pusponegoro HD, Ismael S, Firmansyah A, Sastroasmoro S, Vandenplas Y. Gluten and casein supplementation does not increase symptoms in children with autism spectrum disorder. Acta Paediatr. 2015;104:e500-5.

40. Whiteley P, Shattock P, Knivsberg AM, Seim A, Reichelt KL, Todd L, et al. Gluten- and casein-free dietary intervention for autism spectrum conditions. Front Hum Neurosci. 2012;6:344.

41. Brondino N, Fusar-Poli L, Rocchetti M, Provenzani U, Barale F, Politi P. Complementary and alternative therapies for autism spectrum disorder. Evid Based Complement Alternat Med. 2015;2015:1-31.

Page 140: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

128

Intervention from Physical Medicine and Rehabilitation on ASD

Luh Karunia Wahyuni

Tujuan:1. Menjelaskan intervensi yang tepat dan efektif pada anak dengan

autism2. Menjelaskan cara memilih, menerapkan dan memantau intervensi

yang memberikan hasil paling efektif pada anak dengan autism

PendahuluanSeperti diketahui, autistic spectrum disorder (ASD) menyebabkan gangguan fungsional pada aspek berinteraksi sosial, bermain, kemampuan mengurus diri sendiri dan kemampuan belajar.1 Masalah interaksi sosial adalah masalah utama. Individu ASD memiliki kesulitan meniru, berkomunikasi, menikmati hobi dengan teman sebaya, dan bermain pura-pura atau terkonsep. Membangun pertemanan dan memahami makna pertemanan menjadi hal yang sulit karena keterbatasan berbahasa verbal dan keterbatasan keterampilan sosial-kognitif. Sewaktu anak dengan ASD tumbuh menjadi remaja dan dewasa, permasalahan sosial akan tetap berlanjut.2 Anak dengan ASD bermain dengan ketertarikan akan perangkat objek tertentu serta pilihan mainan cenderung atipik dan tidak biasa, tidak fl eksibel dan tidak kreatif serta penggunaan benda yang sama berulang kali serta tidak bosan dengan mainan yang sama.

Makan, perawatan mulut dan gigi, dan aktifi tas ke kamar mandi merupakan bagian dari proses pengolahan stimulus sensoris. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa mayoritas individu ASD memiliki masalah pengelolaan stimulus sensoris seperti hiper-reaksi terhadap suara, sentuhan, rasa, dan bau. Individu dengan masalah modulasi sensoris, akan mengalami kesulitan mentoleransi pengalaman sensoris seperti mandi, menggunakan pakaian, dan berkemih. Berpakaian, misalnya, memerlukan toleransi jenis bahan, sentuhan tepi lengan pakaian atau merek pakaian pada kulit leher. Sedangkan mandi, memerlukan toleransi terhadap suhu air, pengalaman saat air mengaliri kulit, wangi sabun atau sampo, maupun tekstur handuk. Selain itu, saat mencuci

Page 141: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 129

Intervention from Physical Medicine and Rehabilitation on ASD

rambut terkadang perlu menengadah dengan mata tertutup, hal ini merupakan pengalaman yang menakutkan untuk anak dengan masalah keseimbangan (vestibular). Pengalaman berkemih memerlukan pengalaman saat membersihkan dengan tisu, atau air dari toilet fl ush ataupun suara water fl ush.1,3

Kesulitan dalam mengolah stimulus sensoris juga menyebabkan masalah perilaku dan kesulitan saat berinteraksi sosial, gangguan postur dan motorik, prestasi akademis, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, keterampilan mengurus diri, serta perilaku terbatas dan berulang. Beberapa penelitian juga menyebutkan, masalah pengelolaan stimulus sensori sebagai stresor dalam kebiasaan sehari-hari dan menimbulkan kecemasan.3 Masalah keterampilan motorik agak terabaikan, karena bukan masalah utama pada individu ASD. Masalah motorik yang sering ada antara lain cara berjalan, postur tubuh, keseimbangan, koordinasi, kemampuan meniru dan keterampilan praktikal yang tidak adekuat. Individu ASD juga menunjukkan kesulitan spesifi k yang dikenal sebagai generativity, yang merupakan keterampilan dalam mengorganisasikan pikiran dan tindakan yang baru. Generativity yang tidak optimal menyebabkan masalah berkomunikasi dan kebiasaan mengulang-ulang aktifi tas.3

Intervensi yang tepat dapat memberikan efek positif melalui perubahan lingkungan, menyesuaikan cara berinteraksi dengan orang lain, meningkatkan kemampuan fungsional, dan mengajarkan keterampilan baru. Tidak ada standar baku intervensi untuk individu dengan ASD.2,4 Intervensi pada kasus ini bervariasi tergantung dari tujuan, prognosis, latar belakang yang mendasari terapi, fokus terapi, intensitas, durasi serta metodologi. Tujuan utama intervensi adalah meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial dan berkomunikasi, mengatasi perilaku yang sulit, meningkatkan prestasi dan edukasi, mengatasi kecemasan, mengajarkan kemandirian dan meningkatkan kualitas hidup.2

Masing-masing individu autistik memiliki kebutuhan dan kekuatan yang berbeda-beda. Intervensi ASD bukanlah mengatasi diagnosis secara umum, akan tetapi mengatasi kebutuhan secara individual. Akses untuk intervensi efektif sangat penting. Individu ASD, keluarga dan profesional yang terlibat pada tata laksana tentunya berharap agar intervensi dapat bekerja optimal. Intervensi akan berhasil apabila tim berkolaborasi dengan baik dan orangtua berperan aktif dalam mengaplikasikan intervensi ke dalam aktifi tas kehidupan sehari-hari dan membentuk lingkungan serta mengembangkan pengalaman dalam perawatan. Merawat individu dengan autistik harus dilakukan terus menerus dan berkelanjutan.2

Page 142: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Luh Karunia Wahyuni

130 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Keputusan pemilihan intervensi yang tepat dan terbaik memerlukan informasi dan pengetahuan terbaru dari tenaga kesehatan, pendidik dan penyedia pelayanan lainnya. Makalah ini akan menjelaskan proses intervensi khususnya layanan rehabilitasi medik yang dimulai dari memilih, menerapkan dan memantau intervensi yang memberikan hasil paling efektif.2

Proses intervensiIntervensi ASD merupakan proses yang terus menerus dan berkelanjutan yang diawali dengan pemeriksaan fungsi sensorik dan motorik, kognitif, kemampuan adaptasi, sosial, emosional, perilaku dan komunikasi, kemampuan akademik, pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh, serta fungsi dalam keluarga.2

Asesmen

Tabel 1. Asesmen terkait kemampuan fungsional

Pemeriksaan Hal-hal yang dievaluasiKetrampilan proses pengelohan sensoris dan motorik

Gerak motorik kasar, gerak motorik halus, keterampilan motorik oral, fungsi sensorikPerhatian khusus pada perilaku negatif dan ketertarikan kuat pada suatu stimulus sensorik

Fungsi kognitif Tingkat perkembangan kognitif, keterampilan akademik dan non-akademik, fungsi neuropsikologikal

Ketrampilan adaptif Tingkat kemandirian melakukan aktifi tas kehidupan sehari-hariKeterampilan interaksi sosial Inisiasi sosial (menunjukkan atau memberikan benda)

Imitasi sosial (meniru perilaku orang lain)Peran sesuai usia (mengambil peran saat bermain)Ketergantungan dengan pengasuh (menjauhi orangtua)Kecenderungan untuk menyendiriMenganggap orang lain sebagai benda untuk mencapai keinginannya (menarik tangan orangtua untuk mengambil mainan)Interaksi sosial dengan keluarga atau orang asing

Perilaku dan respon terhadap lingkungan

Masalah dan pola perilaku respon tidak wajar terhadap stimulus sensori keterampilan bermain, keterampilan beradaptasi dan keterampilan untuk mandiri

Fungsi komunikasi Status pendengaran, kemampuan menggunakan komunikasi nonverbal atipik, kemampuan melakukan komunikasi fungsional, bahasa yang digunakan, pola komunikasi atipik seperti mengulang kata

Fungsi Keluarga Tingkat stres orang-tua dan keluarga, batas toleransi dan mekanisme pertahananSistem pendukung dalam keluarga (ketersediaan pengasuh)Interaksi keluarga dan pola penerapan disiplin keterampilan pengasuh dan pembagian tugas antar pengasuh dan keluargaPengetahuan akan ASDKondisi ekonomi keluarga

Kesehatan Umum Status kesehatan umum, identifi kasi masalah kesehatan lain, identifi kasi kondisi medis atau sindroma genetik yang terkait dengan ASD

Page 143: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 131

Intervention from Physical Medicine and Rehabilitation on ASD

Hasil pemeriksaan ini akan digunakan untuk menentukan tujuan, jenis intervensi, serta memutuskan cara yang paling efektif untuk memantau kemajuan intervensi.

Tujuan intervensiTujuan intervensi ditentukan berdasarkan karakteristik individu ASD seperti derajat fungsi kognitif, kapasitas komunikasi fungsional, dan tingkat kesulitan berinteraksi sosial serta hendaknya menggambarkan kekuatan dan kebutuhan, keinginan serta nilai-nilai keluarga.2,4

Tabel 2. Tujuan intervensi Rehabilitasi Medik

Fokus Utama Tujuan jangka pendek Tujuan jangka panjang• Komunikasi• Keterampilan sosial• Keterampilan akademik• Perilaku mal-adaptif• Kesehatan umum• Mood dan mekanisme

pertahanan• Keterampilan adaptasi

lainnya

• Meningkatkan Kemandirian melakukan aktifi tas kehidupan sahari-hari

• Mengoptimalkan prestasi akademik

• Kesehatan emosional• Fungsi interaksi sosial• Kesehatan fi sik secara

umum

• Tercapainya kemandirian sesuai usia

• Meningkatnya kesehatan dan kebahagiaan

• Meningkatnya kualitas hidup

Tujuan dan target intervensi rehabilitasi medik difokuskan untuk mengoptimalkan kemampuan berkomunikasi, keterampilan bermain, keterampilan melakukan interaksi sosial, atau fl eksibilitas perilaku. Selain itu intervensi juga bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan pada aspek akademik atau prestasi, serta mengatasi masalah konsentrasi dan pemusatan perhatian.

Jenis intervensiTata laksana anak dengan ASD memiliki peluang besar untuk berhasil apabila dilakukan sejak dini. Identifi kasi awal dan memulai intervensi sesegera mungkin akan menstimulasi berbagai aspek perkembangan dengan hasil keluaran fungsional jangka panjang yang lebih optimal. Sebaiknya intervensi bersifat individual berdasarkan kekuatan spesifi k dan kebutuhan anak dan keluarga. Pada saat menentukan jenis intervensi yang akan ditetapkan, ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan yakni tingkat efektifi tas dan keamananan terapi. Di samping itu, orangtua sebaiknya terlibat secara aktif saat asesmen maupun intervensi.

Langkah selanjutnya dalam proses intervensi adalah menentukan jenis intervensi yang efektif.

Page 144: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Luh Karunia Wahyuni

132 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Intervensi akan efektif bila ditunjang oleh komponen– komponen berikut:4 Kondisi lingkungan yang optimal untuk proses pembelajaran yaitu

tersedia kesempatan meniru dari lingkungan, memahami dan menggunakan bahasa, bermain dengan mainan yang tepat dan memiliki kesempatan berinteraksi sosial

Lingkungan yang suportif dan terstruktur Memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan aktifi tas rutin

dan secara bertahap menuju aktifi tas yang lebih kompleks Pendekatan fungsional untuk mengajarkan perilaku yang tepat. Keterlibatan keluarga sebagai pendukung program intervensi.

Secara garis besar, jenis intervensi ASD dibagi dalam 2 golongan, yaitu: (1) Intervensi medis dan alternatif (complementary and alternative medicine, CAM) dan (2) Intervensi perilaku (behavioral interventions). Direkomendasikan bahwa intervensi perilaku sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu elemen penting dalam program tata laksana ASD.

Pada ASD yang disertai gangguan kognitif, fokus utama intervensi adalah peningkatan kemauan berkomunikasi dan berkembangnya komunikasi terarah, dalam bentuk bahasa verbal, bahasa isyarat atau komunikasi augmentative-alternative. Komunikasi yang terarah merupakan salah satu indikator penilaian terkuat untuk menilai hasil adaptasi individu ASD sepanjang masa.2 Pada anak usia sekolah atau individu ASD yang telah mencapai keterampilan komunikasi terarah, fokus intervensi bergeser pada keterampilan akademik dan sosial. Masa transisi menuju remaja dan dewasa muda melibatkan pembentukan identitas dan pembelajaran keterampilan agar bernilai dan dapat berkontribusi dalam masyarakat.

Pendekatan terapi individu ASD memiliki banyak variasi metode. Beberapa intervensi menjadi program dasar untuk intervensi intensif, sedangkan lainnya memiliki lingkup yang terbatas. Sebagian pendekatan intervensi secara umum digunakan, sedangkan sebagian lain jarang digunakan dan sebagian lainnya masih kontroversial.4

Beberapa jenis intervensi yang diprogramkan untuk ASD antara lain :

Developmental, individual difference, relationship (DIR) Intervensi DIR bertujuan untuk mengembangkan pendekatan

family-center yang mudah diterapkan dalam kegiatan sehari-hari atau kegiatan bermain anak. Tiga prinsip pendekatan ini yakni mengikuti atau menyelami dunia dari sudut pandang anak, memberi kesempatan anak melakukan kegiatan kreatif yang menantang

Page 145: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 133

Intervention from Physical Medicine and Rehabilitation on ASD

dan spontan serta meningkatkan koordinasi keterampilan sensori-motorik dengan emosi.3 DIR membantu individu ASD meningkatkan afek dan interaksi sosial, tingkat perkembangan, dan karakter individu (fungsi motor, sensori, kognitif dan berbahasa). Cara pendekatan ini melibatkan orangtua agar secara intensif berinteraksi dengan anak dengan tujuan meningkatkan keterampilan interaksi sosial disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.4 Penerapan intervensi ini bertujuan agar anak dengan ASD dapat melewati 6 tingkat perkembangan yaitu, intimasi, keinginan untuk bersosialisasi dan jatuh cinta, terbentuk komunikasi dua arah, komunikasi kompleks, pemikiran logik, dan mengungkapkan emosi. Selain itu DIR meningkatkan hubungan orangtua-anak dengan cara yang menyenangkan.

Terapi sensori integrasi Prinsip pendekatan terapi sensori integrasi adalah mengembangkan

kemampuan melakukan integrasi multisensori yang optimal. Pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemrosesan sensori dengan stimulus yang sesuai baik stimulus penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, sentuhan, proprioseptif dan vestibular termasuk variasi tugas dan lingkungan yang diharapkan dapat meningkatkan perasaan nyaman, maupun toleransi terhadap sebuah tugas atau suatu pengalaman. Di samping itu terapi sensori integrasi bertujuan meningkatkan perhatian pada subjek tertentu selama proses edukasi, terapi dan lingkungan sosial yang selanjutnya akan meningkatkan kemampuan berkomunikasidan ketertarikan untuk belajar.3,4 Pendekatan ini disarankan sebagai intervensi pendamping, terutama individu ASD dengan masalah tidur, kesulitan mengurus diri, masalah kesehatan mulut, masalah edukasi, serta masalah perilaku.2,3

Terapi musik (music therapy) Dasar dari metode ini adalah menggunakan beberapa aspek dari

musik untuk meningkatkan interaksi sosial, memberikan kosakata baru serta meningkatkan perilaku baik dan emosional saat berinteraksi sosial. Sebuah RCT menemukan bahwa metode ini tidak memberikan hasil efektif sehingga tidak disarankan sebagai terapi satu-satunya pada anak dengan ASD.4,5

Terapi sentuhan (touch therapy) Metode ini melibatkan metode pijat dengan urutan spesifik

menggunakan tekanan lembut dan halus serta gerakan membelai.

Page 146: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Luh Karunia Wahyuni

134 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Bagian tubuh yang disentuh adalah area kepala, leher, lengan, tangan, tungkai dan kaki. Tujuan dari terapi ini untuk mengatasi masalah enggan disentuh, menarik diri dan kurangnya perhatian. Metode ini belum terbukti efektif bila digunakan sebagai tindakan intervensi satu-satunya dan tidak disarankan pada individu ASD usia anak.4

Auditory integration therapy (AIT) Pendekatan ini menggunakan audiogram untuk memeriksa

kemampuan mendengar anak berdasarkan hasil audiogram selanjutnya musik diputar pada frekuensi terbaik untuk diperdengarkan pada anak melalui headphones. Cara ini tidak boleh digunakan sebagai intervensi anak ASD karena dari hasil penelitian tidak ditemukan perbedaan antara kelompok anak AIT dan non-AIT.4,5

Facilitated communication (FC) Komunikasi terfasilitasi atau facilitated communication adalah

teknik yang melibatkan fasilitator yang mengajarkan anak menggunakan alat bantu (misal papan tulis), serta memberikan dukungan fi sik dan emosi saat berkomunikasi. Sebuah penelitian deskriptif mengungkapkan bahwa metode ini tidak efektif karena pesan atau komunikasi yang muncul diinisiasi oleh fasilitator bukan dari individu ASD, berdasarkan hal tersebut FC sangat tidak disarankan untuk digunakan sebagai terapi ASD.4,6

Memilih IntervensiSetelah melakukan asesmen, tim rehabilitasi, orangtua dan individu ASD, akan menentukan jenis intervensi yang sesuai dengan mempertimbangkan bukti ilmiah akan jenis intervensi yang efektif dan aman. Serta memperhatikan tujuan terapi apakah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan orangtua serta ketersediaan biaya.3

Pertanyaan–pertanyaan berikut dapat digunakan untuk membantu memilih jenis intervensi yang tepat: Apakah jenis intervensi, terapi dan pelayanan yang akan dilakukan? Apakah sudah ditetapkan tujuan spesifi k yang hendak dicapai? Berapa durasi dan lama intervensi yang dibutuhkan? Bagaimana gambaran setiap sesi yang akan dilakukan? Apakah dilakukan satu atau lebih teknik pendekatan? Bagaimana

pengaturannya? Bagaimanakah cara agar orangtua mau terlibat dalam intervensi?

Page 147: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 135

Intervention from Physical Medicine and Rehabilitation on ASD

Apakah diperlukan pelatihan pada orangtua? Bagaimana dan kapan evaluasi akan dilakukan?

Beberapa penelitian membuktikan bahwa perlu ditanamkan prinsip orangtua optimis saat menghadapi masalah perilaku yang dihadapi sejak awal dan mencegah berkembangnya masalah yang ada menjadi lebih rumit. Intervensi perilaku kognitif dan mengajarkan perilaku positif (pengetahuan dan cara menghadapi perilaku individu ASD), terbukti meningkatkan kesuksesan dalam memberikan dukungan pada keluarga dengan individu ASD.3

SimpulanSeperti diketahui ASD berdampak pada gangguan fungsional pada aspek berinteraksi sosial, bermain, kemampuan mengurus diri sendiri dan kemampuan belajar. Masing-masing individu autistik memiliki kebutuhan dan kekuatan yang berbeda-beda, sehingga intervensi ASD bukanlah mengatasi diagnosis secara umum, akan tetapi mengatasi kebutuhan secara individual. Intervensi efektif akan tercapai bila individu ASD, keluarga dan tim yang terlibat berkolaborasi secara optimal. Dengan penatalaksanaan yang berkesinambungan dan berkelanjutan, maka tujuan hidup mandiri dan meningkatnya kualitas hidup akan tercapai.

Daftar pustaka1. Disabilities D. Autism Spectrum Disorders: Guide to Evidence-based Interventions;

2012. 2. Devlin S, Leader G, Healy O. Comparison of behavioral intervention and sensory-

integration therapy in the treatment of self-injurious behavior. Res Autism Spectr Disord. 2009;3:223–31.

3. Kuhaneck H. Occupational therapy for children and adolescents-autism spectrum disorder. Dalam: Smith J, O’brien J, editors. Canada: Elsevier; 2015. h. 766-85.

4. New York State Department of Health Division of Family Health Bureau of Early Intervention. Clinical Practice Guidelines: Quick Reference Guide for Parents and Professionals - Communication Disorders; 2009.

5. Geretsegger M, Elefant C, Missler KA, Gold C. Music therapy for people with autism spectrum disorder. Cochrane database Syst Rev. 2014;6:CD004381.

6. Schlosser RW, Balandin S, Hemsley B, Iacono T, Probst P, von Tetzchner S. Facilitated communication and authorship: a systematic review. Augment Altern Commun. 2014;30:359–68.

Page 148: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

136

Stunting: Perspektif Endokrinologi Pediatri

Madarina Julia

Tujuan:1. Menjelaskan seputar masalah stunting pada anak2. Memperkenalkan beberapa kurva pertumbuhan linier tinggi

badan anak

PendahuluanDi bidang endokrinologi pediatri, perawakan pendek atau short stature merupakan salah satu gejala masalah endokrin yang penting. Selain defi siensi hormon pertumbuhan, pendek juga merupakan gejala dari (1) hipotiroidisme yang terjadi sebelum cakram pertumbuhan epifi sis atau epiphyseal growth plate menutup, baik hipotiroidisme kongenital maupun akuisita; (2) hiperkortisolisme, baik yang endogen akibat tumor adrenal ataupun eksogen akibat penggunaan kortikosteroid eksogen; (3) gangguan maturasi seksual; serta (4) berbagai sindrom seperti sindrom Turner, sindrom Down dan masih banyak lagi.

Bagi seorang ahli endokrinologi pediatri, informasi dari kurva pertumbuhan linier sangatlah penting karena setiap pola pertumbuhan mempunyai arti yang berbeda. Kombinasi informasi yang didapat dari kurva pertumbuhan linier, atau parameter panjang atau tinggi badan terhadap umur, dengan informasi proporsi berat badan terhadap panjang atau tinggi badan, atau parameter BMI terhadap umur, juga merupakan informasi penting untuk menegakkan diagnosis masalah endokrinologi.

Tiga kali pelaksanaan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) menunjukkan bahwa prevalensstunting, yang didefi nisikan sebagai panjang atau tinggi badanmenurut umurkurang dari -2 simpang bakuWHO Growth Standard 2006, selalu di atas 35%.1 Prevalens ini termasuk yang tertinggi di dunia, lebih tinggi daripada banyak negara miskin dengan GDP (gross domestic product) dan skor HDI (human development index) yang lebih rendah daripada Indonesia.2Ketiga survey RISKESDAS tsb.juga menunjukkan bahwa bukan hanya tidak

Page 149: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 137

Stunting: Perspektif Endokrinologi Pediatri

ada perbaikan yang berarti prevalensstunting, namun justru terjadi sedikit peningkatan pada survey yang terakhir. Prevalens pada tahun 2007 adalah 36,8 %, tahun 2010 sebanyak 35,6%% dan tahun 2013 sebanyak 37,2%.1

Bagi ahli endokrinologi pediatri di Indonesia, interpretasi kurva pertumbuhan linier menjadi sulit karena sangatlah tidak biasa, bahwa di suatu negara, ada prevalens perawakan pendek, yang sebagian di antaranya tentu disebabkan oleh kelainan endokrin, dalam jumlah yang sangat besar.

Definisi stunting vs. perawakan pendekWHO mendefinisikan stunting sebagai “stunted growth reflects a process of failure to reach linear growth potential as a result of suboptimal health and/or nutritional conditions” (http://www.who.int/nutgrowthdb/about/introduction/en/index2.html), sementara UNICEF mendefi nisikan stunting sebagai “below minus two standard deviations from median height for age of reference population” (http://www.unicef.org/infobycountry/stats_popup2.html).Secara bersama-sama, kedua defi nisi tsb.mengartikan stunting sebagai kegagalan mencapai potensi pertumbuhan linier yang ditunjukkan dengan tinggi badan terhadap umur kurang dari -2 simpang baku populasi rujukan. Defi nisi WHO juga menyiratkan bahwa stunting disebabkan oleh kondisi kesehatan dan/ atau nutrisi yang suboptimal.

Secara statistik, sekitar 2,5% dari populasi akan mempunyai panjang atau tinggi badan kurang dari -2 simpang baku kurva populasi tersebut (dengan usia dan jenis kelamin yang sama), seperti juga bahwa 2,5% dari populasi akan mempunyai panjang atau tinggi badan lebih dari +2 simpang baku kurva populasi tersebut (dengan usia dan jenis kelamin yang sama). Ini adalah keniscayaan perhitungan statistik. Sekitar 2,5% populasi akan lebih pendek daripada individu dengan usia dan jenis kelamin yang sama, sementara 2,5% yang lain akan lebih tinggi.

Masalah akan timbul bila prevalens individu yang mempunyai panjang/ tinggi badan lebih pendek daripada -2 simpang baku kurva populasi yang dipakai lebih dari 2,5%. Dengan menggunakan WHO Growth Standard 2006, ada kelebihan prevalens pendek pada balita di Indonesia sebesar 37,2% dikurangi 2,5%, atau kelebihan sebesar sekitar 35%.

Kembali kepada permasalahan beda stunting vs. perawakan pendek, keniscayaan statistik menyatakan bahwa 2,5% akan mengalami perawakan pendek. Mereka pendek karena ada variasi genetik di dalam populasi yang mengharuskan sekelompok individu secara statistik

Page 150: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Madarina Julia

138 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

lebih pendek dari pada lainnya karena tidak mungkin semua orang mempunyai tinggi badan yang sama persis. Sisa yang 35%, seperti pada kasus hasil RISKESDAS 2013, tentu disebabkan oleh hal lain.

WHO Growth Standard 2006 dan WHO Growth Reference 2007Pada bulan April 2006, WHO mengeluarkan kurva pertumbuhan yang diharapkan dapat menjadi rujukan pertumbuhan seluruh anak berusia kurang dari lima tahun di dunia. Kurva ini didisain sebagai standar bukan hanya sebagai rujukan, karena, tidak seperti kurva-kurva yang ada sebelumnya, populasi yang dipilih untuk digunakan sebagai rujukan adalah populasi yang terpilih, yaitu populasi yang dianggap tidak mempunyai alasan untuk mengalami masalah gizi/ kesehatan. Populasi yang dipilih adalah populasi dengan status sosial ekonomi baik, berasal dari keluarga yang tidak merokok dan mendapatkan ASI eksklusif, dsb.6

Ada enam negara yang berpartisipasi dalam penyusunan WHO Growth Standard: Amerika Serikat mewakili Amerika Utara, Brazil mewakili Amerika Selatan atau Amerika Latin, Norwegia mewakili Eropa, Oman mewakili Timur Tengah, India dan Ghana mewakili Afrika.6 Sebetulnya, pada saat penyusunan protokol, ada negara ke-7 yang diharapkan berpartisipasi. Negara ini akan mewakili Asia Tenggara atau Asia Timur. Indonesia diharapkan ikut berpartisipasi namun menolak karena sedang mengalami krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998.Di Cina sebetulnya telah dilakukan pengambilan data, namun data dari Cina tidak digunakan karena Cina menolak salah satu protokol tentang menyusui eksklusif, sehingga data dari Cina tidak digunakan (personal communication).

Banyak negara telah menggunakan WHO Growth Standard 2006. Meskipun demikian, sampai saat ini telah banyak kontroversi penggunaannya di berbagai negara.7,8WHO Growth Standard 2006 tidak selalu tepat untuk menilai pertumbuhan anak karena tidak semua ras di dunia tumbuh dengan pola yang sama.9Suatu penelitian pada anak-anak dari keluarga kaya di India, sebagai salah satu negara yang salah satu kotanya, Kerala, menjadi sampel WHO Growth Standard, menunjukkan prevalens stunting yang cukup besar, 11,2 -13,6%.10 Apa yang dapat kita lakukan bila prevalens stunting pada anak-anak dari keluarga kaya pun tinggi?

Berbeda dengan WHO Growth Standard 2006, WHO Growth Reference 2007 bukanlah data yang dikumpulkan khusus. WHO growth reference 2007 hanyalah analisis ulang berbagai survey nasional di Amerika Serikat pada tahun 1977. Karena itu kurva pertumbuhan ini tidak disebut sebagai growth standard, tetapi hanya growth reference.

Page 151: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 139

Stunting: Perspektif Endokrinologi Pediatri

Gambaran Kurva Pertumbuhan Berbagai Masalah EndokrinSeorang dokter spesialis anak harus mengukur dan memantau tinggi badan anak karena pola pertumbuhan seorang anak akan memberikan informasi yang sangat penting mengenai kesehatan anak tsb.

Suatu pengukuran yang menunjukkan bahwa seorang anak berada di bawah -2 simpang baku kurva populasi yang dipakai bisa berarti ada masalah pertumbuhan, tetapi bisa juga tidak. Kurva pertumbuhan beberapa anak yang datang dengan keluhan perawakan pendek atau short stature dapat dilihat pada gambar-gambar berikut ini.

Gambar 1 menunjukkan kurva pertumbuhan anak perempuan dengan familial short stature.Tinggi badan anak tersebut selalu berada di bawah persentil 5 kurva CDC 2000. Di Amerika Serikat, anak perempuanini termasuk pendek. Anak ini di diagnosis sebagai familial short stature karena target tinggi badannya, yang dihitung dengan tinggi badan ayah ditambah tinggi badan ibu dikurangi selisih rata-rata tinggi badan laki-laki dewasa dan wanita dewasa di populasi tersebut (karena dia anak perempuan), atau sekitar 12 cm lalu dibagi dua dan ditambah dengan data secular trend 20 tahun terakhir pada populasi tersebut. Perhitungan ini menunjukkan bahwa target tinggi badan anak tersebut hanyalah 150 cm. Anak perempuan ini tumbuh sesuai dengan target tinggi badan yang diturunkan oleh kedua orang tuanya sehingga, meskipun menurut populasinya dia pendek, secara fi siologis hal ini normal. Anak ini tidak memerlukan intervensi apa pun.Berapa tinggi badan rata-rata wanita dewasa di Indonesia? Apakah di Indonesia, keluarga ini termasuk keluarga berperawakan pendek?

Gambar 2 menunjukkan kurva pertumbuhan anak laki-laki di Amerika Serikat yang mengalami constitutional delay of growth and puberty(CDGP).Dibandingkan dengan teman sebayanya, anak ini mengalami keterlambatan maturasi biologis, sehingga dia selalu tampak lebih pendek daripada teman sebayanya. Pada saat remaja, karena dia lambat memasuki masa remaja sehingga juga terlambat mengalami adolescent growth spurt, selisih tinggi badannya dengan remajalain makin menonjol. Namun, setelah anak-anak lain berhenti tumbuh, anak ini akan masih tetap tumbuh untuk mengejar ketertinggalannya sebelumnya, sehingga tinggi badan akhirnya akan setara dengan teman sebayanya.

Pada anamnesis, biasanya ada pola yang sama pada salah satu atau kedua orangtuanya, misalnya usia menarche yang lebih tua pada ibu, atau pola pertumbuhan yang serupa pada ayah. Pada dasarnya masalah ini tidak memerlukan pengobatan, kecuali ada masalah psikologis yang berat.

Page 152: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Madarina Julia

140 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Gambar 1.Kurva pertumbuhan anak perempuan dengan familial short stature. TH=target height.

Page 153: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 141

Stunting: Perspektif Endokrinologi Pediatri

Gambar 2.Kurva pertumbuhan anak laki-laki dengan constitutional delay of growth and puberty (CDGP).

Page 154: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Madarina Julia

142 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Gambar 3 menunjukkan kurva pertumbuhan anak dengan hipotiroidisme akuisita, sebelum dan sesudah diberikan terapi L-thyroxin.Sebelum terapi tampak sekali bahwa pertumbuhan anak makin menjauhi tinggi badan normal menurut usianya.Setelah terapi, anak mengalami kejar tumbuh, kembali ke potensi tinggi genetiknya.

Gambar 3.Kurva pertumbuhan anak perempuan dengan hipotiroidisme akuisita, sebelum dan sesudah terapi dengan L-thyroxin.

Page 155: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 143

Stunting: Perspektif Endokrinologi Pediatri

Algoritma Perawakan Pendek menurut PPM IDAI

Gambar 4.Algoritma perawakan pendek menurut Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (PPM-IDAI).

Page 156: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Madarina Julia

144 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Selain ketiga masalah pertumbuhan yang telah ditunjukkan pola pertumbuhannya, ada beberapa gangguan pertumbuhan yang memerlukan kurva pertumbuhan yang spesifik untuk masing-masing kelainan karena pola pertumbuhannya yang sangat spesifi k, misalnya kurva pertumbuhan untuk anak dengan Sindrom Turner, kurva pertumbuhan anak Sindrom Down, kurva pertumbuhan untuk akondroplasia dll.

Gambar 4 menunjukkan algoritma perawakan pendek menurut Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (PPM-IDAI).Algoritma tersebut menunjukkan bahwa informasi pertama yang harus didapatkan adalah kecepatan tumbuh.Kecepatan tumbuh hanya bisa kita nilai bila kita mempunyai paling tidak 2 kali pengukuran pada jangka waktu terpisah. Pada bayi, jangka waktu 1 bulan mungkin sudah bisa menunjukkan perbedaan, namun pada usia yang lebih besar, mungkin diperlukan dua pengukuran dalam jangka waktu sekitar 3 bulan. Bila kita sudah terbiasa memantau pertumbuhan, informasi ini secara otomatis sudah kita punyai.

Bila kecepatan pertumbuhannya normal, maka kemungkinannya, anak ini menderita familial short stature atau constitutional delay of growth and puberty (CDGP), tergantung dari usia tulang (bone age) dan target tinggi badan yang diperhitungkan dari tinggi badan kedua orangtua.

Bila kecepatan pertumbuhan tidak normal, kita harus menilai apakah pertumbuhan anak proporsional atau tidak. Untuk itu kita harus mengukur arm span (rentang lengan) dan upper/lower ratio (rasio tinggi badan dari kepala ke simfi sis pubis terhadap panjang tungkai). Panjang badan bagian atas diukur dengan tinggi duduk, sedangkan segmen bagian bawah adalah tinggi badan dikurangi tinggi duduk.

Bila proporsi anak normal sesuai usia, maka kita harus menentukan BMI (body mass index) terhadap usia atau parameter berat badan terhadap tinggi badan. Bila anak pendek dan kurus, kita harus memikirkan bahwa dia pendek karena masalah nutrisi, yang meliputi malnutrisi, penyakit kronik, IUGR dan masalah psikososial.Bila anak pendek dan gemuk (parameter berat badan terhadap tinggi badan meningkat), maka kita harus memikirkan masalah endokrin, seperti defi siensi hormon pertumbuhan, hipotiroidisme, kelebihan kortisol atau sindroma Cushing serta pseudohipoparatiroidisme.

Page 157: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 145

Stunting: Perspektif Endokrinologi Pediatri

Menggunakan Algoritma PPM-IDAI untuk menginterpretasikan hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2007, 2010 dan 2010Hasil RISKESDAS 2013 menunjukkan bahwa prevalens stunting pada balita yang dinilai menggunakan WHO Growth Standard 2006, bervariasi antara sekitar 27-28% di kepulauan Riau, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, sampai dengan lebih dari 50% di Nusa Tenggara Timur (Gambar 5).Variasi distribusi tersebut menunjukkan bahwa, bahkan di provinsi dengan prevalens stunting terendah pun, masih ada “kelebihan” kasus pendek sekitar 25% (27 atau 28% dikurangi 2,5%).

Gambar 6 menunjukkan bahwa balita yang mempunyai status gizi pendek-kurus (sekitar 2,1-2,5%) jauh lebih sedikit daripada balita yang mempunyai status gizi pendek-normal (sekitar 25-29%) dan pendek-gemuk (sekitar 6,8-7,6%). Mengacu pada algoritma PPM-IDAI, prevalens balita yang pendek akibat masalah endokrin (defi siensi hormon pertumbuhan, hipotiroidisme, kelebihan kortisol/ sindroma Cushing dan pseudohipoparatiroidisme) sekitar TIGA KALI LEBIH BANYAK dari pada prevalens balita pendek akibat masalah nutrisi (gabungan antara malnutrisi, penyakit kronik, IUGR dan masalah psikososial), rata-rata dalam tiga kali survey, 7,3% vs. 2,3%. Suatu angka yang sangat fantastis karena tidak pernah ada laporan seperti itu di seluruh dunia.

Gambar 5. Distribusi prevalensbalita stunting di berbagai provinsi di Indonesia (Sumber: RISKESDAS 2013)11

Page 158: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Madarina Julia

146 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Gambar 6. Prevalens pendek-kurus, pendek-normal, pendek-gemuk dan anak yang tidak pendek (Sumber: RISKESDAS 2013)11

Hasil RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa setelah dikelompokkan menjadi tingkat pengeluaran keluarga (daily expenditure) yang merupakan proksi status sosial-ekonomi (makin tinggi pengeluaran berarti makin tinggi tingkat sosio-ekonominya), balita dari keluarga pada kuintil terkaya (kuintil ke-5) mempunyai risiko stunting yang lebih kecil.Meskipun demikian, risiko stunting keluarga pada kuintil tsb.sekitar 30%. Artinya, 30% anak dari keluarga kaya di Indonesia mempunyai panjang/ tinggi badan kurang dari -2 simpang bakuWHO Growth Standard 2006 (Gambar 7).12

Gambar 7. Prevalens stunting setelah dikelompokkan menjadi 5 kelompok status sosio-ekonomi berdasarkan pengeluaran harian per kapita. Kuintil 1: termiskin, kuintil 5: terkaya

(RISKESDAS 2007).12

Prevalensi(%

)

Page 159: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 147

Stunting: Perspektif Endokrinologi Pediatri

Prevalensi(%

)

Gambar 8. Prevalens stunting berdasarkan kelompok status pendidikan kepala keluarga (RISKESDAS 2007).12

Gambar 8 menunjukkan prevalensstunting setelah dikelompokkan menjadi kelompok tingkat pendidikan kepala keluarga.Anak yang berasal dari keluarga dengan kepala keluarga dengan tingkat pendidikan tertinggi mempunyai risiko stunting terkecil.Meskipun demikian, pada keluarga tsb.risiko terjadi balita stunting hampir sebesar 29%.

Gambar 7 dan gambar 8 menunjukkan bahwa sekitar 30% atau sekitar 1 dari 3 anak-anak dari keluarga mampu (20% terkaya di Indonesia) dan berpendidikan tinggi (kepala keluarga tamat perguruan tinggi) mengalami stunting/ perawakan pendek. Agak sulit membayangkan bahwa anak-anak tersebut mengalami stunting karena kurang makan, atau kurang mikronutrien atau masalah makan lain. Lebih sulit lagi membayangkan bahwa mereka semua mengalami penyakit kronik seperti penyakit jantung, hati, ginjal, thalassemia atau penyakit kronik lainnya. Bila pun ada yang mengalami masalah tsb, maka prevalensnya mungkin hanya 2,3% (prevalens yang pendek-kurus).

Tetapi, untuk ahli endokrinologi pediatri, kesimpulan bahwa 7,3% anak di Indonesia mengalami masalah endokrin (prevalens yang pendek-gemuk), adalah kesimpulan yang agak tidak masuk akal karena tidak pernah dilaporkan di manapun di seluruh dunia.

Tentu ada yang salah dalam logika pengambilan kesimpulan ini. Kesalahan mungkin ada pada data RISKESDAS, tetapi mengingat tiga kali RISKESDAS yang dilaksanakan dalam jangka waktu terpisah memberi kesimpulan yang kurang lebih sama, agak tidak masuk akal menganggap ini sebagai suatu random error.Kemungkinan kesalahan yang lain adalah ketidak sesuaian growth chart WHO untuk

Page 160: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Madarina Julia

148 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

mengklasifi kasikan anak Indonesia, apalagi bila kita melihat bahwa hampir satu dari tiga anak-anak dari keluarga terkaya dan terpelajar di Indonesia mengalami stunting.

SimpulanPengukuran tinggi badan secara berkala sangat membantu menentukan diagnosis perawakan pendek/ stunting.Diagnosis menjadi lebih sulit bila kita tidak yakin bahwa kurva pertumbuhan yang dipakai sesuai dengan pola pertumbuhan populasi dari mana anak tsb.berasal.

Daftar pustaka1. Badan Penelitian dan PKKKR. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar

2013. 2013;265. 2. Onis M De, Blo M, Borghi E. Stunting1990_2011. 2011; 3. Dewey KG, Begum K. Long-term consequences of stunting in early life. Matern

Child Nutr; 2011;7(SUPPL. 3):5–18. 4. Mayo-Wilson E, Junior JA, Imdad A, Dean S, Chan XHS, Chan ES, et al. Zinc

supplementation for preventing mortality, morbidity, and growth failure in children aged 6 months to 12 years of age (Review). Cochrance Database Syst Rev; 2014;(5).

5. Ramakrishnan U, Nguyen P, Martorell R. Effects of micronutrients on growth of children under 5 years of age. Am J Clin Nutr. 2009;89:191–203.

6. de Onis M, Onyango AW, Borghi E, Garza C, Yang H. Comparison of the World Health Organization (WHO) Child Growth Standards and the National Center for Health Statistics/WHO international growth reference: implications for child health programmes. Public Health Nutr [Internet]; 2006;9:942–7. Available from: http://www.journals.cambridge.org/abstract_S1368980006001534

7. Fenn B, Penny ME. Using the new World Health Organisation growth standards: differences from 3 countries. J Pediatr Gastroenterol Nutr [Internet]; 2008;46:316–21. Available from: http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&CSC=Y&NEWS=N&PAGE=fulltext&D=emed8&AN=18376251

8. Khadilkar V. The growing controversy about growth charts: WHO or regional? Int J Pediatr Endocrinol [Internet]. BioMed Central Ltd; 2013;2013(Suppl 1):O6. Available from: http://www.ijpeonline.com/content/2013/S1/O6

9. Buuren S Van. Growth Charts; 2012;9:650–6. 10. Khadilkar V V, Khadilkar a V, Chiplonkar S a. Growth performance of affl uent

Indian preschool children: a comparison with the new WHO growth standard. Indian Pediatr; 2010;47:869–72.

11. Ministry of Health. Riset Kesehatan Dasar (Basic Health Research); 2013;303. 12. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) 2007. Lap Nas 2007. 2008;1–384.

Page 161: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

149

Short Stature Versus Stunting :Bridging Gaps Between Bench-Community-Bed

Damayanti Rusli Sjarif

Tujuan1. Menjelaskan perbedaan antara short stature dengan stunting2. Menjelaskan peran genetik dan lingkunganpadatrait tinggi badan

(bench)3. Menjelaskan pendekatan stunting dari sudut pandang kesehatan

masyarakat (community)4. Menjelaskan pendekatan short stature dari sudut pandang dokter

spesialis anak (bed)5. Menjelaskan peranan nutrisi dalam pertumbuhan linier

Short stature dan stunting adalah dua istilah yang terjemahan bahasa Indonesianya sama yaitu perawakan pendek. Istilah short stature atau perawakan pendek umum digunakan dalam konteks klinis untuk menyatakan seseorang yang panjang/tinggi badannya berada di bawah– 2 SD atau persentil 3 grafi k panjang/tinggi badan menurut umur (Barstow 2015). Sedangkan stunting adalah istilah umum yang digunakan dalam konteks kesehatan masyarakat untuk menyatakan pertumbuhan linier yang terhambat atau terhenti (terjemahan stunt dalam bahasa Indonesia). Dalam konteks kesehatan masyarakat, stunting (PB/U atau TB/U < -2 SD) termasuk salah satu petanda malnutrisi bersama dengan underweight (BB/U <-2SD), wasted (BB/PB < -2SD) dan at risk overweight (BMZ > +1SD.) Di antara ke 4 petanda malnutrisi tersebut di atas ternyata stunting merupakan masalah malnutrisi yang terbesar di dunia.(UNICEF 2015)

Data di atas diperoleh dengan menggunakan grafi k MGRS WHO 2006 sebagai standarpertumbuhan yang sejauh ini sudah diadopsi oleh 125 negara. Indonesia termasuk 18 negara di dunia yang jumlah absolut balita stuntingnya menduduki urutan ke-5 teratas di dunia setelah India, Nigeria, Pakistan dan Cina. (UNICEF 2013). Ditinjau dari kepentingan kesehatan masyarakat, WHO menetapkan bahwa prevalens stunting 20% ke bawah dianggap rendah, di atas 20 sampai 30% danggap medium, di atas 30% sampai 40% dianggap tinggi dan di atas 40% dianggap sangat

Page 162: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Damayanti Rusli Sjarif

150 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

tinggi. Prevalens balita stunting di Indonesia berdasarkan data riskesdas tahun 2013 adalah 37%. Data di atas mengundang perdebatan para ahli di dunia, antara lain mempertanyakan apakah grafi k MGRS WHO 2006 dapat diterapkan sebagai standar pada pelbagai etnis didunia. Makalah ini mencoba menterjemahkan (translational medicine) pelbagai temuan epidemiologis terkait stunting menggunakan temuan genome serta regulasi epigenetik (lingkungan) yang bertanggung jawab pada fenotip tinggi badan serta mencari solusi pencegahannya.

Tinggi badan diwariskan secara multifaktorial (the bench)Tinggi badan seperti juga warna kulit, warna mata, intelegensi,dan lainnya adalah trait yang diwariskan secara poligenik multifaktorial. Poligenik dibuktikan dengan ditemukannya 423 gen yang berperan menentukan tinggi badan ras kaukasia di benua Eropa, Amerika dan Australia (Wood dkk 2014). Pertanyaan timbul apakah genotip yang sama juga berperan pada ras Asia, Afrika dan lainnya?

Gambar 1. UNICEF (2013) melaporkan bahwa 165 juta balita ditemukan mengalami stunting. Delapan puluh persennya berada di 18 negara, salah satunya adalah Indonesia.

Page 163: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 151

Short Stature Versus Stunting: Bridging Gaps Between Bench-Bed-Community

Selesainya sequencing seluruh genome manusia pada tahun 2003 menunjukkan bahwa setiap manusia mempunyai sekitar 25.000 gen termasuk 423 gen yang berperan dalam menentukan tinggi badan. Pada dasarnya semua manusia 99% identik pada tahap urutan DNA, perbedaannya hanya 1%, dan 85% dari perbedaan itu hanya satu nukleotida atau yang dikenal sebagai single nucleotide polymorphism (SNP). Kombinasi ekspresi 423 gen tersebut ditambah faktor lingkungan menghasilkan spektrum tinggi badan yang bersifat kontinyu (fenotipe).

Kombinasi ekspresi dari ke 423 gen tersebut membentuk fenotipe tinggi badan yang kontinyu. Sepanjang fase tumbuh-kembang, ekspresi genome dapat berubah sebagai respons terhadap lingkungan (epigenetik). Regulasi epigenetik memungkinkan seorang individu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Jadi bayi-bayi yang dikandung dan dilahirkan disuatu lingkungan yang sama, kemungkinan besar terpapar faktor lingkungan yang sama misalnya iklim, kebiasaan makan, gaya hidup, paparan penyakit danlainnya sehingga mengalami regulasi gen yang mirip dan diwariskan serta memberikan fenotipe khas yang diklaim sebagai etnis spesifi k. Meskipun demikian, perubahan lingkungan masih mungkin mengubah regulasi epigenetik yang diwariskan sehingga berdampak pada perubahan fenotipe.

Pengaruh faktor lingkungan terhadap tinggi badan diilustrasikan oleh Bogin dkk (2002) yang meneliti suku Maya Guatemala. Pada awal tahun 1970, Bogin mengobservasi bahwa tinggi badan rata-rata lelaki suku Maya adalah 157,5 cm dan perempuannya 142,2 cm. Pada tahun 2000 dilakukan pengamatan tinggi badan suku Maya Guatemala yang berimigrasi ke Amerika Serikat sejak pecah perang saudara di Guatemala. Anak-anak suku Maya yang berusia 6-12 tahun dan berdomisili di Amerika Serikat tersebut mempunyai rerata tinggi badan 10,24 cm lebih tinggi daripada sebangsanya yang masih berdomisili di Guatemala. Perbaikan nutrisi dan pelayanan kesehatan ditengarai sebagai penyebab utama perbaikan tinggi badan tersebut. Penelitian ini menginformasikan bahwa potensi genetik maksimal suatu etnis dapat dicapai dengan memodifi kasi lingkungan, khususnya pengaruh zat gizi pada regulasi genome atau yang dikenal sebagai nutrigenomik.

MGRS WHO (2006) melakukan studi longitudinal pada bayi yang dilahirkan dibeberapa negaradenganrasberbeda yaitu Brazil, Oman, Ghana, Norwegia, India, dan Amerika Serikat. Faktor lingkungan subyek penelitian dikendalikan sejak kehamilan sampai batita tercermin dalam kriteria inklusi dan eksklusidalamstuditersebut yangmencakup derajatkesehatan, sosioekonomi serta kebiasaan ibu yang mendukung pertumbuhan janin yang adekuat, dilanjutkan dengan asuh, asah, asih bayi sampai batita yang sesuai dengan rekomendasi WHO. Pemantauan

Page 164: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Damayanti Rusli Sjarif

152 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

panjang badan selama 2 tahun pertama kehidupan memperlihatkan bahwa pertumbuhan linear batita di ke enam tempat tersebut sama meskipun etnisnya berbeda. Penemuan ini memperkuat pendapat bahwa semua manusia mempunyai genome yang sama sehingga mempunyai potensi tinggi maksimal yang sama, sedangkanperbedaan tinggi aktual diregulasi oleh faktor lingkungan. Oleh sebab itu, grafi k MGRS WHO 2006 digunakan oleh 125 negara termasuk Indonesia sebagai standar.

Grafi k pertumbuhan standard bersifat preskriptif menggambarkan bagaimana seharusnya pertumbuhan seorang anak jika lingkungan intra dan ekstrauterin mendukung, sedangkan reference bersifat deskriptif hanya menggambarkan bagaimana pertumbuhan seorang anak di suatu tempat dan waktu (Khaldikar dan Phanse, 2012). Jika anak diklasifi kasikan sebagai pendek atau sangat pendek berdasarkan grafi k standard tersebut, maka lebih mudah menelusuri penyebabnya dengan menilai apakah lingkungan intra dan ekstrauterinnya(1000 hari pertama kehidupannya) sesuai kriteria inklusi penelitian tersebut. Penelitian ini menginformasikan bahwa potensi tinggi genetik di ke 6 ras tersebut sama karena dengan lingkungan yang dikendalikan melalui kriteria inklusi dan eksklusi menghasilkan grafi k pertumbuhan yang sama.

Ilustrasi dua penelitian di atas menunjukkan bahwa faktor genetik mempunyai kontribusi sebesar60-80% dalam menentukan potensi tinggi badan maksimal yang mungkin dicapai seseorang, sedangkan faktor lingkungan terutama nutrisi walaupun hanya berkontribusi sebesar

Gambar 2. Rerata panjang badan 0-2 tahun sunyek penelitian dari 6 tempat penelitian (dikutip dari Acta Pædiatrica, 2006; Suppl 450: 56-65)

Page 165: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 153

Short Stature Versus Stunting: Bridging Gaps Between Bench-Bed-Community

20-40% tetapi menentukan apakah potensi genetik maksimum tersebut dapat tercapai. Dengan kata lain, faktor lingkungan menentukan tinggi badan aktualseorangindividu.

Pendekatan kesehatan masyarakat terhadap prevalens perawakan pendek (stunting) (the community)Millenium declarationyang dicanangkan oleh PBB pada permulaan abad ke-21 bertujuan menghilangkan kemiskinan di muka bumi. Kriteria negara yang bebas kemiskinan dijabarkan dalam bentuk delapan millenium development goals (MDG). Menurunkan prevalens kelaparan atau malnutrisi balita merupakan parameter MDG 1 dan 4. Prevalens malnutrisi yang dinilai adalah underweight (BB kurang & sangat kurang), stunting (pendek dan sangat pendek), wasted (gizi kurang dan gizi buruk), serta overweight.

Penilaian malnutrisi secara global memerlukan alat ukur yang baku agar dapat membandingkan kondisi suatu negara dengan negara lainnya. Klasifikasi kelaparan atau malnutrisi ditetapkan dengan indikator antropometris menggunakan growth chart standard yang dapat digunakan secara global, yaitu grafi k MGRS WHO 2006. Secara global, pada tahun 2011, 165 juta (26%) balita mengalami stunting, dan lebih dari 90% berada di benua Afrika dan Asia.Stunting berkontribusi padakematianbalita 1,5 juta (26%) dan 12% disability-adjusted life years (DALY). Penelitian Sterling dkk (2012) menunjukkan bahwa setiap penurunan 1 SD PB menurut umur (PB/U) saat lahir berkorelasi dengan penurunan 0,7 SD TB menurut umur saat remaja baik laki-laki maupun perempuan, sehingga berisiko 9,7 kali menjadi stunting (95% CI 3.3-28.6). Setiap penurunan 1 SD PB/U pada 30 bulan pertama kehidupan berkorelasi dengan penurunan TB/U remaja 0,4 SD pada remaja lelaki dan 0,6 SD pada remaja perempuan dengan risiko stunting 5,8 kali lebih besar (95% CI 2.6-13.5).

Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan fase kritis terjadinya stunting adalah pada fase intrauterin dan fase peralihan dari ASI menjadi MPASI. Pada Gambar 3 di bawah diperlihatkan bahwa stunting didahului oleh periode weight faltering (WAZ) yang kemudian diikuti dengan penurunan laju pertumbuhan linier (HAZ) untuk mempertahankan status gizi (WHZ).

Penyebab stunting dibagi menjadi penyebab langsung dan tidak langsung (underlying causes). Beberapa penelitian epidemiologis menemukan bahwa penyebab langsung adalah asupan nutrisi yang

Page 166: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Damayanti Rusli Sjarif

154 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Gambar 3. Worldwide timing of growth faltering (rerata dari 54 penelitian) dikutip dari Pediatrics 2010;125: 473-480.

Gambar 4. Kontekstual, penyebab serta konsekuensi dari stunting dikutip dari WHO Conseptual Framework 2013.

Page 167: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 155

Short Stature Versus Stunting: Bridging Gaps Between Bench-Bed-Community

tidak adekuat secara kuantitas, kualitas serta ragamnya. Selain itu, infeksi berulang dan asuhan kesehatan yang tidak memadai menyebabkan stunting. Sebagai penyebab tidak langsung adalah kemiskinan, ketidaksetaraan, norma sosial, pendidikan ibu serta status sosial perempuan. Stewart dkk (2013) membuat konsep penyebab serta konsekuensi stunting (gambar 4).

Berdasarkan konsep tersebut maka perbaikan asupan nutrisi ibu hamil serta batita (1000 HPK) merupakan pendekatan praktis untuk mencegah stunting dan dampak jangka pendek maupan jangka panjangnya.

Pendekatan klinis seorang dokter spesialis anak terhadap perawakan pendek (short stature)(the bed)Setiap anak yang berkonsultasi ke dokter spesialis anak, wajib dipantau dan dianalisis tumbuh-kembangnya. Analisis tumbuh kembang dilakukan dengan melakukan anamnesis mulai riwayat kehamilan, persalinan, serta praktek pemberian makan bayi dan batita, serta tahapan perkembangannya. Analisis tinggi badan serta pola pertumbuhan kedua orangtua serta saudara sekandung. Selanjutnya lakukan pemeriksaan antropometris BB, PB/TB dan lingkar kepala secara benar serta dianalisis selain itu juga nilai pubertas. Gambar 5 menjelaskan algoritma pendekatan klinis perawakan pendek (Sperling, 2016)

Gambar 5. Pendekatan diagnostik penyebab perawakan pendek (dikutip dari Clinical-advances-in-pediatric-endocrinology-focus-on-growth-hormone-defi ciency)

Page 168: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Damayanti Rusli Sjarif

156 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Pengukuran panjang atau tinggi badan yang akurat anak berusia di bawah 2 tahun dikerjakan dengan posisi berbaring telentang, sedangkan di atas 2 tahun atau di atas 85 cm dilakukan dengan posisi berdiri. Jika di atas 2 tahun pengukuran dilakukan dengan posisi berbaring maka angka panjang badan yang didapatkan harus dikurangi 0,7 cm. Hasil pengukuran di plot pada grafi k pertumbuhan PB/TB menurut umur atau tabel laju pertumbuhan menurut jenis kelamin. Seorang anak diklasifi kasikan sebagai perawakan pendek jika PB/TB menurut umur di bawah -2SD atau laju pertumbuhan < persentil 25. Selanjutnya dilakukan pengukuran TB kedua orangtua dan menentukan mid parental height yang dianggap sebagai potensi genetik dengan rumus sbb:

Anak lelaki TB ayah + TB ibu + 13 cm+ 8,5 cm 2

Anak perempuan TB ayah + TB ibu - 13 cm+ 8,5 cm 2

Midparental height dan persentil TB/U aktual tersebut diproyeksikan ke usia 20 tahun. Jika perbedaannya keduanya > 5 cm di bawah mid parental height, anak tersebut diklasifi kasikan mengalami deselerasi pertumbuhan. Penambahan dan pengurangan 8,5 cm dari midparental height menunjukkan persentil 3 dan persentil 97, merupakan target tinggi badan. Perlu dievaluasi lebih lanjut untuk mencari penyebabnya.Langkah selanjutnya adalah menilai maturasi tulang (bone age atau usia tulang) dengan pencitraan pergelangan tangan kiri kemudian dihubungkan dengan usia kronologis dan laju pertumbuhan (Lihat Tabel 1). Berdasarkan hasil pemeriksaan diatas, perawakan pendek dapat dibedakan menjadi varian normal dan patologis sbb :

Tabel 1. Kombinasi usia kronologis, usia tulang dan laju pertumbuhan dalan memperkirakan penyebab perawakan pendek (diunduhdarihttps://www.downstate.edu/peds/Karp/shortstat1621a.html#bookmark6)

Usia kronologis>usia tulang

Usia kronologis = usia tulang

Usia kronologis<usia tulang

Laju pertumbuhan normal

Constitutional delay of growth

Familial short stature _

Laju pertumbuhan abnormal

Malnutrisi, penyakit sistemik kronik atau penyakit endokrin

Malnutrisi atau kelainan kromosom

Pubertasprekoks

Page 169: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 157

Short Stature Versus Stunting: Bridging Gaps Between Bench-Bed-Community

Penilaian laju pertumbuhan dilakukan mengacu laju pertumbuhan normal (Tabel 2)

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Normal (dikutipdariAm Fam Physician. 2008;78(5):597-604)

TAHAPAN PERTUMBUHAN LAJU PERTUMBUHAN PER TAHUNIn utero 60 to 100 cmTahun pertama 23 to 27 cmTahun kedua 10 to 14 cmTahun keempat 6 to 7 cmPrepubertal nadir 5 to 5.5 cmPubertal growth spurt Perempuan: 8 to 12 cm

Laki-laki: 10 to 14 cm

Untuk membedakan perawakan pendek proporsional atau disproporsional, diperlukan penilaian perbandingan segmen tubuh atas: segmen tubuh bawah (ratio U/L). Segmen bawah tubuh diukur mulai dari simfi sis pubis sampai ke telapak kaki, sedangkan segmen atas tubuh diperoleh dengan mengurangi tinggi badan dengan tinggi segmen bawah tubuh. Cara yang lebih akurat adalah mengukur tinggi duduk (sitting height) yang merepresentasikan segmen atas tubuh, panjang segmen bawah tubuh diperoleh dengan mengurangi tinggi badan dengan tinggi duduk. Ratio U/L bervariasi menurut usia, antara lain 1,7 saat lahir selanjutnya berkurang 0,1 setiap tahunnya menjadi 1,3 saat 3 tahun, 1 saat >7 tahun dan menjadi 0,9-1 pada usia 18 tahun.

Tabel 3. Interpretasi ratio U/L (diunduh dari http://www.childhealth-explanation.com/growth-assessment.html tanggal 29 Januari 2016)

Ratio U/L PenyebabNormal Delayed puberty

HypopitutarismConstitutional Dwarfi smNutritional Dwarfi sm

Tinggi (U > L) HypothyroidismChondrodystrophyAchondroplasiaTurner’s SyndromeEllis-van Creveld Syndrome

Rendah (U < L) Hurler’s SyndromeMorquio’s SyndromeHypogonadism

Peranan nutrisi pada pertumbuhan linierGolden (1995) melakukan penelitian tentang pengaruh pelbagai zat gizi terhadap pertumbuhan linier, dan membaginya menjadi zat gizi tipe 1

Page 170: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Damayanti Rusli Sjarif

158 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 4. Klasifi kasi zat gizi berdasarkan pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan. Defi siensi zat gizi tipe II akan berpengaruh pada laju pertumbuhan linier. Dikutip dari Golden (1995)

dan tipe 2. Defi siensi zat gizi tipe 1 tidak mempengaruhi pertumbuhan linier secara langsung, sedangkan defi siensi zat gizi tipe 2 langsung menyebabkan retardasi pertumbuhan linier.

Penelitian metaanalisis zat gizi tipe 2 menunjukkan bahwa protein dan seng yang terbukti berperan pada pertumbuhan linier. Penelitian efek suplementasi seng dalam mencegah stunting memberikan hasil yang bervariasi (Stammers et, 2015). Sedangkan protein konsisten mencegah stunting.Protein yang penting adalah asam amino esensial dengan kuantitas dan kualitas yang baik.Penelitian Allen dkk. 1992 menunjukkan bahwa tinggi badan anak yang mendapat protein 15% dari total asupan kalori lebihtinggi daripada yang mendapat protein 7,5% dari total asupan

Page 171: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 159

Short Stature Versus Stunting: Bridging Gaps Between Bench-Bed-Community

kalori.Sumber protein utama pada diet protein 15% adalah protein hewani (susu, telur, ayam) yang mengandung asam amino esensial. Hal itu menunjukkan bahwa kualitas protein, selainkuantitas,sangat kritis untuk pertumbuhan linier.ASI adalah makanan tunggal untuk bayi pada awal kehidupannya, yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Penelitian Dewey dan Brown (2002) memperlihatkan bahwa pada usia 6 bulan kandungan ASI antara lain hanya mengandung 80% protein serta 21% seng dari kebutuhannya, oleh karena itu Rekomendasi WHO 2003 menganjurkan pemberian MPASI untuk melengkapi kekurangan zat gizi ASI. Sumber protein yang dibutuhkan adalah yang memenuhi semua asam amino esensial. Persyaratan ini terpenuhi oleh sumber protein hewani, karena sumber protein nabati semuanya mempunyai limiting amino acids misalnya metionin pada kedelai dll. Penelitian Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa anak Indonesia usia 6-23 bulan sebagian besar mengonsumsi protein nabati, hanya 38,25% yang mengonsumsi daging dan telur, sedangkan yang mengonsumsi produk susu hanya 37,2% (Kekalih, 2015) .Penelitian pada 300 batita (1-3 tahun) yang dilakukan secara multistage random sampling di Jakarta menunjukkan bahwa sebanyak76,7% batita tersebut mengonsumsi kuantitas protein yang rendah (< 15% dari total kalori) (Sjarif dkk 2015). Berdasarkan data epidemiologis di atas, IDAI (2014) mengeluarkan rekomendasi praktek pemberian makan untuk bayi dan batita yang benar yang dapat dijadikan panduan untuk dokter spesialis anak dalam rangka mencegah terjadinya stunting serta komplikasinya di Indonesia.

Simpulan Short stature merupakan istilah yang umum digunakan di klinis

menyatakan perawakan pendek tanpa melihat penyebabnya, sedangkan stunting istilah yang umum digunakan dalam konteks kesehatan masyarakat yang mempunyai pengertian pertumbuhan linier yang terhambat atau terhenti karena faktor lingkungan terutama nutrisi.

Semua manusia mewarisi ~ 423 gen yang berekspresi pada tinggi badan, variasi ekspresi (regulasi gen) ditentukan oleh faktor lingkungan (epigenetik).

Tinggi badan adalah trait yang diwariskan poligenik multifaktorial. Poligenik berkontribusi pada tinggi badan maksimal yang dapat dicapai seseorang (target height) sedangkan faktor lingkungan terutama nutrisi menentukan apakah tinggi badan maksimal tersebut dapat dicapai (tinggi badan aktual)

Page 172: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Damayanti Rusli Sjarif

160 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Di bidang kesehatan, grafi k pertumbuhan standard diperlukan karena lingkungan intrauterin serta ekstrauterin yang dikendalikan dapat bersifat preskriptif untuk mencapai pertumbuhan linier maksimal.

Kuantitas dan kualitas asupan protein yang cukup dapat mencegah stunting

Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, dokter spesialis anak dapat berperan mencegah stunting dengan promosi ASI dan MPASI yang sesuai dengan anjuran Rekomendasi IDAI 2014 serta deteksi dini perlambatan laju pertumbuhan dengan melakukan pemantauan tumbuh-kembang yang teratur terutama pada periode kritis.

Daftar pustaka1. Barstow C, Rerucha C.Evaluation of short and tall stature in children. Am Fam

Physician. 2015 Jul 1;92(1):43-50.2. Nwosu, BU, Lee MM, Evaluation of short and tall stature in children. Am Fam

Physician.2008;78(5):597-604)3. UNICEF.Improving Child Nutrition.The achievable imperative for global

progress. UNICEF 20134. McEvoy BP, Visscher PM. Genetics of human height.Econ Hum Biol. 2009;7:294-

306.5. Wood AW, Esko T, Yang J, Vedantam S, Pers TH, Gustafsson S, et al, Defi ning

the role of common variation in the genomic and biological architecture of adult human height.Nature Genetics 46, 1173–1186 (2014)

6. Bogin B1, Smith P, Orden AB, Varela Silva MI, Loucky J. Rapid change in height and body proportions of Maya American children. Am J Hum Biol. 2002 Nov-Dec;14(6):753-61.

7. Khadilkar V, Phanse S. Growth charts from controversy to consensus. Indian J Endocrinol Metab. 2012 Dec; 16(Suppl 2): S185–S187.

8. Onis M, Brown D, Blössner M, Borghi E. Levels and trends in child malnutrition:UNICEFWHO-World Bank Joint Child Malnutrition Estimates. UNICEF, New York; WHO, Geneva; The World Bank, Washington, DC; 2012.

9. WHO MULTICENTRE GROWTH REFERENCE STUDY GROUP.Assessment of differences in linear growth among populations in the WHO Multicentre Growth Reference Study. Acta Pædiatrica, 2006; Suppl 450: 56/65

10. Sterling R, Miranda JJ, Gilman RH, Cabrera L, Sterling CR, Bern C, et al. Early anthropometric indices predict short stature and overweight status in a cohort of peruvians in early adolescence.American Journal of Physical Anthropology 2012;148(3), 451-61.

11. Stewart CP, Iannotti L, Dewey KG, Michaelsen KF & Onyango AW. Contextualising complementary feeding in a broader framework for stunting prevention. Maternal and Child Nutrition 2013;9:27-45

12. Sperling MA.Clinical advances in pediatric endocrinology: Focus on: Growth hormone defi ciency. Diunduh dari: URL: http://www.healio.com/endocrinology/pediatric-

Page 173: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 161

Short Stature Versus Stunting: Bridging Gaps Between Bench-Bed-Community

endocrinology/news/online/%7Ba3910114-2f43-42ad-bd17-67a7e42dc84a%7D/clinical-advances-in-pediatric-endocrinology-focus-on-growth-hormone-defi ciency pada tanggal 28 Januari 2016.

13. Golden MH.Specifi c defi ciencies versus growth failure: type I and type II nutrients. SCN News. 1995;(12):10-4.

14. Stammers AL, Lowe NM, Medina MW, Patel S, Dykes F, Pérez-Rodrigo C, et al.The relationship between zinc intake and growth in children aged 1-8 years: a systematic review and meta-analysis.Eur J Clin Nutr. 2015 Feb;69(2):147-53.

15. Ramakrishnan U, Nguyen P, Martorell R.Effects of micronutrients on growth of children under 5 y of age: meta-analyses of single and multiple nutrient interventions.Am J Clin Nutr. 2009;89:191-203.

16. Allen LH. Nutritional infl uence of linear growth:general review. Eur J Clin Nutr 1994; 1:575-89.

17. Victora CG, de Onis M, Hallal PC et al. Worldwide timing of growth faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics 2010;125: 473-480.

18. Dewey KG, Brown KH. Update on technical issues concerning complementary feeding of young children in developing countries and implications for intervention programs. Food. Nutr. Bull. 2003: 24: 5–28.

19. Kekalih A. Exploring Child Dietary Diversity Practice Among Working Mother and Its Implication to Stunting: A Moxed Method Study to Enhance Secondary Data Analysis of Multiple Nationwide Surveys 2002-2012. 2015. Desertasi

20. Sjarif DR, Yuliarti K. Validasikuesioner NUTRICHEQ yang dmodifi kasi. 2015. Belumdipublikasi.

21. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI. Rekomendasi Praktek Pemberian Makan bayi dan batita yang benar. Jakarta 2014

Page 174: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

162

Stunting in Indonesian ChildrenHartono Gunardi

Tujuan:1. Mengetahui prevalensi stunting di Indonesia2. Mengetahui saat terjadinya stunting3. Mengetahui faktor yang berperan terjadinya stunting4. Mengetahui pencegahan / intervensi yang dapat dilakukan5. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari

PendahuluanTinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan dalam seluruh periode perkembangan.1 Pertumbuhan linier yang buruk atau stunting merupakan hasil akhir dari berbagai faktor seperti malnutrisi kronik yang terjadi saat sebelum hamil, saat hamil maupun setelah kehamilan.2 Stunting pada usia anak dini dihubungkan dengan gangguan fungsional jangka panjang seperti kemampuan kognitif yang rendah, performa akademis yang rendah, produktivitas masa dewasa yang rendah, penambahan berat badan berlebihan dan peningkatan risiko penyakit kronis di kemudian hari. Intervensi dini dapat mencegah luaran negatif tersebut.

BatasanBatasan stunting atau pendek adalah tinggi badan atau panjang badan menurut usia lebih dari 2 standar deviasi di bawah median kurve standar pertumbuhan anak WHO.3 Bila kurang dari 3 standar deviasi maka dikategorikan sebagai sangat pendek. Adapun batasan kurus (wasted) adalah bila nilai Z berat terhadap tinggi badan kurang dari – 2, dan sangat kurus (severely wasted), yaitu nilai Z berat terhadap tinggi badan kurang dari – 3.3

Page 175: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 163

Stunting in Indonesian Children

Angka kejadianDiperkirakan sekitar seperempat anak berusia kurang dari 5 tahun (balita) di dunia (161 juta) di seluruh dunia mengalami pendek atau stunting dengan prevalensi tertinggi di Asia selatan (56%) dan Afrika (36%)4. Sekitar 55 juta anak termasuk kategori kurus (wasted), 19 juta diantaranya tergolong sangat kurus.5

Di Indonesia, angka kejadian pendek pada balita di Indonesia adalah 36,8 pada tahun 2007, 35,6% pada tahun 2010, 37,2% pada tahun 2013 berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Angka kejadian 37,2% ini terdiri dari 18% balita tergolong sangat pendek dan 19,2% balita pendek (Gambar 1).6 Adapun angka kejadian bayi pendek di Indonesia menurut. Riskesdas 2013 adalah 20,2%, dengan angka kejadian tertinggi di Nusa Tenggara Timur (28,7%) dan terendah di Bali (9,6%).6

Gambar 1. Prevalensi status gizi, pendek, kurus dan gemuk balita Indonesia pada tahun 2007, 2010 dan 2013 (Sumber : Riskesdas 2013).6

Periode kritisStunting dapat mulai saat masih dalam kandungan. Ibu kurang gizi, ibu anemia, merokok dan polusi di dalam rumah dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin.7

Dari penelitian pertumbuhan anak di 54 negara dengan menggunakan kurve pertumbuhan WHO, pertumbuhan tinggi badan yang menurun terjadi 24 bulan pertama kehidupan. Nilai ZBU (berat terhadap usia) saat lahir dekat dengan median dan menurun mencapai nilai – 1 Z pada usia 24 bulan, setelah itu relatif menetap. ZPU (panjang

Page 176: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hartono Gunardi

164 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

terhadap usia) saat lahir sedikit di bawah median dan menurun secara dramatis sampai usia 24 bulan. Setelah itu tampak sedikit peningkatan pada usia 24,36 dan 48 bulan. Dengan demikian periode sampai 24 bulan pertama kehidupan merupakan periode kritis untuk terjadinya gangguan pertumbuhan linier termasuk stunting.8

Gambar 2. Rerata nilai Z antropometri menurut usia 0-59 bulan dari 54 penelitian berdasarkan kurve pertumbuhan standar WHO (Sumber: Victora dkk. 2010).8

Siklus stunting Stunting dipengaruhi oleh faktor genetik, terdapat lebih dari 200 gen yang mengatur tinggi badan; dan faktor lingkungan seperti status gizi ibu, pola pemberian makan anak, sanitasi, frekuensi infeksi, akses ke pelayanan kesehatan merupakan determinan pertumbuhan anak dalam 2 tahun pertama kehidupan.9 Sejak konsepsi sampai 2 tahun pertama kehidupan merupakan periode yang responsif terhadap intervensi. Mulai dari usia 2 tahun sampai remaja, faktor yang berperan adalah kekurangan energi dan protein dan kekerapan terjadinya infeksi. Selanjutnya pada masa dewasa akan terjadi perawakan pendek dengan stamina yang rendah, IQ yang rendah, produktivitas yang rendah. Bila anak stunting mendapat nutrisi yang memadai setelah usia 2 tahun, maka anak akan mengalami gizi lebih, terdapat peningkatan ZBU relatif terhadap ZTU. Anak tersebut selanjutnya mengalami pubertas menjadi dewasa yang pendek, gizi lebih, dengan gejala sindrom metabolik antara lain hipertensi, diabetes melitus (Gambar 3).

Kotak biru adalah faktor penyebab untuk umur tertentu atau faktor pemberat. Kotak putih menyatakan luaran pada umur tertentu. Antara usia 2 tahun dan dewasa, jalur terbagi dua. Garis putus-putus

Page 177: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 165

Stunting in Indonesian Children

menyatakan anak stunting yang mendapat nutrisi yang memadai, menyebabkan penambahan berat badan berlebihan. Garis tidak terputus menyatakan anak stunting yang tetap kekurangan nutrisi.

Faktor penyebab stuntingFaktor yang berperan terjadinya stunting dapat dibagi dalam berberapa periode mulai dari masa bayi sampai dengan remaja. Pada makalah ini dibatasi sampai dengan balita, mengingat periode yang terpenting adalah dalam 1000 hari pertama kehidupan atau sampai dengan usia 2 tahun.

Faktor penyebab stunting pada bayi Untuk Indonesia, Studi Kohor Tumbuh Kembang Anak Balitbangkes telah mengikuti 220 ibu hamil sampai melahirkan. Faktor penyebab pendek pada bayi baru lahir adalah tinggi badan ibu, IMT ibu pra-hamil, usia ibu <20 tahun dan > 35 tahun, paritas, pertambahan berat badan hamil, konsumsi protein.10 (Tabel 1)

Gambar 3. Siklus stunting (Sumber : Prendergast AJ, dkk. 2014).9

Page 178: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hartono Gunardi

166 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi panjang lahir bayi

Faktor Panjang lahirRR 95 IK

Tinggi badan ibu < 150 cm 3,7 2,2 – 4,5IMT ibu pra nikah < 18,5 3,1 1,5 – 3,7Usia ibu < 20 th dan > 35 th 1,1 1,0 – 1,36Paritas (< 2 kali) 1,2 1,0 – 1,6Pertambahan BB hamil < 9,1 kg 2,3 1,4 – 3,7Konsumsi protein (< 100AKG) 2,2 1,1 – 2,7

Sumber : Studi Kohor Tumbuh Kembang Anak 2013 (Sumber Trihono, 2015).10

Faktor penyebab stunting pada balita Penyebab pendek pada anak balita adalah multifaktorial dan sangat bergantung pada ibu atau keluarga. Penurunan status gizi terjadi karena asupan gizi yang kurang dan sering terjadi infeksi. Faktor keluarga, dalam hal ini keadaan dan perilaku keluarga yang mempermudah terjadinya infeksi berpengaruh terhadap status gizi anak balita.Dari penelitian diperoleh bahwa asupan energi maupun protein tidak berbeda bermakna antara anak yang tergolong pendek atau normal. Diasumsikan bahwa konsumsi yang diperoleh untuk seluruh anak, baik pendek maupun normal, adalah kurang dari angka kecukupan gizi. Bila hal ini berlangsung lama, maka terjadi masalah kronis.10 Kejadian infeksi pada balita dalam sebulan dapat dikaji dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2014. Data Susenas melaporkan bahwa balita rata rata menderita sakit 3-4 hari pada bulan sebelum dilakukan survei. Faktor yang berperan adalah merokok. Rokok mempengaruhi keluarga dengan tingkat pengeluaran terendah sampai dengan yang tertinggi. Faktor pengeluaran keluarga, yang mencerminkan kemiskinan, sangat berpengaruh pada angka kejadian pendek dan diperburuk oleh kebiasaaan orangtua yang merokok.10

Upaya intervensiMasalah stunting merupakan masalah yang kompleks dan berlangsung secara kronis. Upaya intervensi memerlukan kerjasama berbagai disiplin dan lintas sektoral, ditujukan terhadap individu maupun komunitas dan meliputi bidang kesehatan, sosial dan ekonomi.4 Upaya intervensi juga tidak terbatas pada anak, tapi juga pada remaja, wanita usia reproduktif, bayi baru lahir, bayi dan anak.11

Bhutta dkk., The Lancet Nutrition Interventions Review Group, and the Maternal and Child Nutrition Study Group mengusulkan upaya

Page 179: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 167

Stunting in Indonesian Children

berbasis bukti untuk menyempurnakan nutrisi ibu dan anak termasuk masalah stunting. Untuk remaja dapat dilakukan upaya prakonsepsi yang meliputi edukasi keluarga berencana, penundaan usia kehamilan pertama, memperpanjang interval antar kehamilan dan perawatan psikologis. Untuk wanita usia reproduktif dan ibu hamil dapat dilakukan suplementasi asam folat, suplementasi mikronutrien, kalsium, zat besi dan asam folat, yodium, diet seimbang, berhenti merokok. Selain itu juga diperlukan pencegahan penyakit dan pengobatan penyakit seperti malaria.12

Untuk bayi baru lahir dapat diupayakan penundaan pengikatan tali pusat, inisiasi menyusui dini, injeksi vitamin K, suplementaasi vitamin A pada neonatus, perawatan bayi metode kanguru.12

Untuk bayi dan anak dapat diberikan ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI, suplementasi vitamin A (0-59 bulan), suplementasi zinc, mikronutrien multipel, suplementasi zat besi.Selain itu juga diperlukan tata laksana malnutrisi akut yang sedang maupun berat, pemberian zinc pada diare, air bersih sanitasi dan higiene, pencegahan penyakit infeksi, pemberian obat cacing, pencegahan obesitas.12

Apa yang dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari?Pemantauan tumbuh kembangDalam praktek sehari-hari, pemantauan tumbuh kembang amat penting dilakukan. Tidak hanya berat badan yang rutin diukur, namun panjang atau tinggi badan perlu diukur pada setiap kunjungan sejak bayi baru lahir. Perlu diperhatikan bahwa pengukuran berat, panjang badan dan lingkar kepala harus diukur dengan metode yang benar dan alat ukur yang sahih. Pemantauan pertumbuhan dilakukan secara reguler dan berkesinabungan dengan jadwal : 1) Usia lahir sampai 12 bulan setiap 1 bulan; 2) Usia 12 bulan sampai 3 tahun setiap 3 bulan; 3) Usia 3 tahun sampai 6 tahun setiap 6 bulan; 4) Usia 6 tahun sampai 18 tahun setiap 1 tahun.13

Kurve pertumbuhan yang digunakan untuk pemantauan pertumbuhan anak 0-5 tahun digunakan kurve pertumbuhan standar WHO 2006. Untuk pemantauan lingkar kepala digunakan kurve Nellhaus 1968.14 Untuk anak di atas 5 tahun sampai 18 tahun digunakan kurve pertumbuhan CDC-NCHS 2000.

Page 180: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hartono Gunardi

168 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Bila berat badan tidak naik, perlu evaluasi menyeluruh apakah kebutuhan dasar anak terpenuhi dengan baik yaitu kebutuhan bio-fi siko-psikososial, emosi kasih sayang dan stimulasi. Perlu kajian menyeluruh yang meliputi antara lain evaluasi diet, adanya malabsorpsi atau gangguan saluran cerna lainnya, adanya metabolisme yang meningkat seperti penyakit infeksi (TB, HIV) termasuk infeksi kongenital (TORCHES), penyakit kronik (kelainan jantung, paru, ginjal), kelainan endokrin (diabetes melitus, hipertiroid); atau adanya gangguan psikososial seperti parenting skill yang kurang, pengetahuan orangtua yang kurang, masalah interaksi ibu dan anak yang terganggu seperti pada ibu yang depresi.15

Selain pertumbuhan, perkembangan anak perlu dipantau secara berkala. Instrumen yang dapat digunakan untuk skrining perkembangan di pelayanan primer adalah antara lain Kuesioner Pra Skrining Perkembangan, parents evaluation developmental status (2013), atau ages & stages questionaires (2009).16

NutrisiPemberian asuhan nutrisi yang meliputi pemberian ASI eksklusif yang dimulai dengan Inisiasi Menyusui Dini, dan pemberian Makanan Pendamping ASI yang memadai.17,18 Bila ada indikasi, antara lain untuk bayi berat lahir rendah atau bayi prematur, maka dapat pula diberikan suplementasi zat besi.19

ImunisasiPenyakit infeksi dapat berperan dalam menyebabkan gangguan asupan makanan, peningkatkan kehilangan zat gizi melalui muntah, diare; peningkatan kebutuhan zat gizi akibat peningkatan metabolisme karena demam; sehingga pada akhirnya akan menyebabkan malnutrisi pada anak.

Intervensi kesehatan dapat menurunkan angka kejadian dan lama penyakit infeksi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan anak. Salah satu intervensi kesehatan yang dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan anak adalah imunisasi.

Penelitian Anekwe dan Kumar tahun 2012 mendapatkan bahwa program imunisasi nasional di India berhubungan dengan peningkatan indikator pertumbuhan anak yaitu berat badan terhadap usia, tinggi badan terhadap usia. Efek program imunisasi sebesar 22-25% menurunkan defi sit tinggi badan terhadap usia dan 15% menurunkan defi sit berat terhadap usia.20 Pengaruh positif terhadap pertumbuhan anak pada penelitian ini dapat disebabkan oleh faktor lain selain imunisasi, seperti

Page 181: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 169

Stunting in Indonesian Children

perbaikan infrastruktur yang terjadi seiring dengan program imunisasi, penyebaran informasi kesehatan kepada ibu-ibu seperti cara pemberian makan untuk bayi dan anak serta informasi tentang pencegahan penyakit.20 Saat ini di Indonesia terdapat 6 imunisasi dasar yang masuk program imunisasi nasional Indonesia yaitu hepatitis B, BCG, DTP, Hib, polio, dan campak.21 Adapun jadwal imunisasi anak rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia dapat diperoleh pada URL: http://idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.

Faktor IbuUsia ibu dan interval kelahiran

Usia ibu berperan dalam terjadinya stunting. Dari 153 penelitian Survei Kesehatan dan Demografi di 61 negara berpenghasilan rendah dan menengah didapatkan bahwa usia ibu kurang dari 18 tahun dihubungkan dengan risiko relatif stunting untuk anak pertama sebesar 1.35 (95% CI: 1.29–1.40), sedangkan untuk ibu berusia 18-19 tahun risiko relatifnya adalah 1.24 (95% CI: 1.19–1.29) dibandingkan ibu yang berusia 27-34 tahun.22

Interval kelahiran yang terlalu dekat akan meningkatkan risiko terjadinya stunting.23 Interval kelahiran kuran dari 12 bulan dan 12-23 bulan mempunyai risiko relatif masing-masing sebesar 1.09 (95% IK: 1.06–1.12) dan 1.06 (95% IK: 1.05–1.06) dibandingkan dengan interval kelahiran 24-35 bulan.22 Mengingat hal tersebut, keluarga berencana merupakan salah satu hal penting untuk mencegah terjadinya stunting.

Ibu depresi

Penelitian dari negara berkembang menyatakan bahwa kesehatan mental ibu yang buruk, terutama depresi, dapat merupakan faktor risiko terjadinya pertumbuhan anak yang buruk.24 Perempuan mempunyai risiko 2 kali lebih besar daripada laki-laki25 dan perempuan lebih rentan terhadap terjadinya depresi akibat perubahan hormonal setelah melahirkan dan stres yang berhubungan dengan parenting.26

Meta analisis dari 12 penelitian yang meliputi 13.214 pasangan ibu dan anak, memperlihatkan hubungan yang bermakna antara depresi ibu dan stunting pada anak (OR: 1.4; 95% CI: 1.2–1.7). Terdapat heterogenitas antar penelitian (Q: 26.85; P = 0.005). Sebelas penelitian menggunakan batasan stunting yang lebih ketat, yaitu nilai Z tinggi terhadap usia < – 2 atau tinggi terhadap usia pada atau di bawah persentil kelima pada kurve pertumbuhan WHO dan CDC. Meta analisis penelitian tersebut memperlihatkan hubungan antara depresi ibu dengan stunting, serupa dengan hasil meta analisis semua

Page 182: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hartono Gunardi

170 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

penelitian dan heteregonitas antar penelitian menetap (Q: 26.85; P = 0.005).27 Selain itu, anak dari ibu depresi atau ibu yang memperlihatkan gejala depresi lebih berisiko mengalami gizi kurang (OR: 1.5; 95% interval kepercayaan, IK: 1.2–1.8).27 American Colllege of Obstetricians Gynecologists merekomendasika Edinburgh Postnatal Depression Scale (http://www.fresno.ucsf.edu/pediatrics/downloads/ edinburghscale.pdf) dan Patient Health Questionnaire 9 (http://www.integration. samhsa.gov/images/res/PHQ%20-%20Questions.pdf), yang terdiri dari 10 pertanyaan atau kurang dan hanya perlu waktu kurang dari 5 menit untuk mengisinya.28

Pengaruh rokok

Penelitian kohor Pelotas di Brazil dari tahun 1993 dan 2004 serta dari kohor kelahiran ALSCPAC di Inggris melaporkan bahwa ibu hamil merokok berhubungan dengan gangguan pertumbuhan linier pada satu tahun pertama kehidupan dan pada anak29, dengan gizi lebih pada anak dan gangguan psikologis.30

Penelitian kohor sampai dengan usia 15 tahun di Brazil melaporkan bahwa ibu hamil yang merokok, secara negatif mempengaruhi tinggi badan pada masa bayi, anak dan remaja. Sebagian pengaruh adalah karena pengaruh terhadap berat dan panjang lahir. Dalam penelitian tersebut, ayah yang merokok tidak berpengaruh terhadap tinggi badan anak . Diperlukan kebijakan dalam kesehatan masyarakat untuk mengurangi angka kejadian merokok pada ibu.31

Usulan untuk masa mendatangMengingat stunting merupakan masalah multi disiplin dan lintas sektoral, maka diperlukan perbaikan menyeluruh yang meliputi:1. Untuk ibu hamil dan ibu menyusui: Penurunan angka kejadian BBLR, bayi pertumbuhan janin terlambat

dengan melakukan upaya perawatan ante natal yang lebih baik, perbaikan status gizi ibu hamil dengan pemberian makanan tambahan dan mikro nutrien,12 mendeteksi kelainan mental emosi pada ibu hamil dan pasca melahirkan,22 hindari asap rokok saat hamil,32 inisiasi menyusui dini, cara memenuhi kebutuhan dasar anak dan program keluarga berencana bagi wanita usia subur22

2. Untuk bayi dan balita: Peningkatan program ASI eksklusif, pemberian makanan

pendamping ASI dan pemberian makanan tambahan termasuk mikro nutrien bagi anak balita, 12 pemantauan tumbuh kembang

Page 183: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 171

Stunting in Indonesian Children

balita dan intervensi dini bagi yang mengalami penyimpangan, pencegahan penyakit infeksi, penyediaan air bersih dan sanitasi dan meningkatkan cakupan imunisasi.12

3. Untuk anak sekolah dan remaja: Pendidikan gizi dan peningkatan status gizi anak sekolah, pendidikan

kesehatan reproduksi bagi remaja dengan perhatian pentingnya menunda kehamilan sampai umur 20 tahun, perbaikan status gizi remaja dan calon ibu,12, memperpanjang usia wajib belajar menjadi 12 tahun.33

Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah perlu merevisi Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu usia menikah diubah menjadi minimal 20 tahun.33

SimpulanSeribu hari pertama kehidupan merupakan periode kritis dalam kehidupan untuk terjadi gangguan pertumbuhan termasuk stunting dan malnutrisi. Seribu hari pertama juga merupakan periode emas untuk melakukan intervensi dan langkah antisipasi agar penyimpangan dapat dikoreksi sedini mungkin. Untuk itu diperlukan pemantauan tumbuh kembang secara berkala dan berkesinambungan, pemenuhan kebutuhan dasar anak termasuk nutrisi, emosi kasih sayang dan stimulasi. Faktor ibu, nutrisi, suplementasi, lingkungan, pendidikan, dan sosial ekonomi budaya mempunyai peran penting dalam terjadinya stunting, oleh karena itu perlu mendapat perhatian dalam upaya intervensi stunting secara komprehensif. Intervensi pada 1000 hari pertama akan bermanfaat pada kesehatan, pendidikan dan produktivitas jangka panjang.

Daftar pustaka1. Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, dkk. Maternal and

child undernutrition: consequences for adult health and human capital. Lancet. 2008;371:340-57.

2. Waterlow JC. Introduction. Causes and mechanisms of linear growth retardation (stunting). Eur J Clin Nutr. 1994;48:1-4.

3. World Health Organization. WHO child growth standards: methods and development: length/height-for-age, weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age. Geneva: WHO 2006.

4. Kramer CA, S. Malnutrition in developing country. Pedtr Child Health. 2015;25:422-7.

5. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfi eld LE, de Onis M, Ezzati M, dkk. Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet. 2008;371:243-60.

Page 184: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Hartono Gunardi

172 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf. Diakses tanggal 21 November 2015. Revisi terakhir 2013.

7. Dewey KG, Begum K. Long-term consequences of stunting in early life. Maternal Child Nutr. 2011;7:5-18.

8. Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blossner M, Shrimpton R. Worldwide timing of growth faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics. 2010;125:473-80.

9. Prendergast AJ, Humphrey JH. The stunting syndrome in developing countries. Pedtr Int Child Health. 2014;34:250-65.

10. Trihono P, Atmarita, Tjandrarini DH, Irawati A, Utami Nh, Tejayanti T, dkk. Faktor sosial determinan pendek. Dalam: Sudomo M, penyunting. Pendek (Stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya. Edisi ke- I. 2015. h. 98-139.

11. Bhutta ZA, Ahmed T, Black RE, Cousens S, Dewey K, Giugliani E, dkk. What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival. Lancet. 2008;371:417-40.

12. Bhutta ZA, Das JK, Rizvi A, Gaffey MF, Walker N, Horton S, dkk. Evidence-based interventions for improvement of maternal and child nutrition: what can be done and at what cost?. Lancet. 2013;382:452-77.

13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak 2014. Diunduh dari: http://idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/pemantauan-tumbuh-kembang-anak. Diakses tanggal 12 Desember 2015.

14. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pemantauan Ukuran Lingkar Kepala dan Ubun-Ubun Besar 2014. Diunduh dari: http://idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/pemantauan-ukuran-lingkar-kepala-dan-ubun-ubun-besar-2. Diakses tanggal 15 Desember 2015.

15. McLean HSP, D.T. Failure to thrive. Dalam: Kliegman RMS, B.F.; St Geme, J.W.; Schor, N.F, penyunting. Nelson’s Textbook of Pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier; 2016. h. 249-62.

16. Glascoe FPM, K.P.; Bauer, N.S. Developmental Behavioral Screening and Surveillance. Dalam: Kliegman RMS, B.F.; St Geme, J.W.; Schor, N.F, penyunting. Nelson’s Textbook of Pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier; 2016. h. 90-100.

17. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Asuhan Nutrisi Pediatrik 2011. Diunduh dari: http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/Rekomendasi-IDAI_Asuhan-Nutrisi-Pediatrik.pdf. Diakses tanggal 15 Desember 2015.

18. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Rekomendasi Praktik Pemberian Makan Berbasis Bukti pada Bayi dan Batita di Indonesia untuk Mencegah Malnutrisi 2015. Diunduh dari: http://idai.or.id/wp-content/uploads/2015/07/merged_document.pdf. Diakses tanggal 29 Januari 2016.

19. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi tentang Suplementasi Besi untuk Bayi dan Anak 2011. Diunduh dari: http://idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/suplementasi-besi-untuk-bayi-dan-anak-2. Diakses tanggal 15 Desember 2015.

20. Anekwe TD, Kumar S. The effect of a vaccination program on child anthropometry: evidence from India’s Universal Immunization Program. J Pub Health. 2012;34:489-97.

Page 185: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 173

Stunting in Indonesian Children

21. Ismael S, Hadinegoro SR. Program imunisasi nasional. Dalam: Ranuh IGN, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. h. 46-53.

22. Fink G, Sudfeld CR, Danaei G, Ezzati M, Fawzi WW. Scaling-up access to family planning may improve linear growth and child development in low and middle income countries. Plos One. 2014;9:102391.

23. Shetty AK. Global Maternal, Newborn, and Child Health: Successes, Challenges, and Opportunities. Pediatr Clin North Am. 2016;63:1-18.

24. Rahman A, Patel V, Maselko J, Kirkwood B. The neglected ‘m’ in MCH programmes--why mental health of mothers is important for child nutrition. Trop Med Int Health. 2008;13:579-83.

25. Riolo SA, Nguyen TA, Greden JF, King CA. Prevalence of depression by race/ethnicity: fi ndings from the National Health and Nutrition Examination Survey III. Am J Public Health. 2005;95:998-1000.

26. Gale S, Harlow BL. Postpartum mood disorders: a review of clinical and epidemiological factors. J Psychosom Obstet Gynaecol. 2003;24:257-66.

27. Surkan PJ, Kennedy CE, Hurley KM, Black MM. Maternal depression and early childhood growth in developing countries: systematic review and meta-analysis. Bull World Health Organ. 2011;89:608-15.

28. Committee on Obstetric P. The American College of Obstetricians and Gynecologists Committee Opinion no. 630. Screening for perinatal depression. Obstet Gynecol. 2015;125:1268-71.

29. Leary S, Davey SG, Ness A. Smoking during pregnancy and components of stature in offspring. Am J Hum Biol. 2006;18:502-12.

30. Brion MJ, Victora C, Matijasevich A, Horta B, Anselmi L, Steer C, dkk. Maternal smoking and child psychological problems: disentangling causal and noncausal effects. Pediatrics. 2010;126:57-65.

31. Martinez-Mesa J, Menezes AM, Gonzalez DA, Horta BL, Matijasevich A, Gigante DP, dkk. Life course association of maternal smoking during pregnancy and offspring’s height: data from the 1993 Pelotas (Brazil) birth cohort. J Adolesc Health. 2012;51:53-7.

32. Trihono P, Atmarita, Tjandrarini DH, Irawati A, Utami Nh, Tejayanti T, dkk. Ringkasan eksekutif. Dalam: Sudomo M, penyunting. Pendek (Stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya. Jakarta: Lembaga Penerbit Litbangkes; 2015. h.12-5.

Page 186: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

174

Vitamin D Supplementation: is it Recommended?

Aman B. Pulungan

Tujuan: 1. Mengetahui struktur dan pertumbuhan tulang pada anak2. Memahami gejala, diagnosis dan penyebab osteoporosis pada anak3. Mengetahui vitamin D dan perannya pada pertumbuhan tulang

anak4. Mengetahui rekomendasi suplementasi vitamin D pada anak

Tulang yang kuat serta sehat memungkinkan seorang anak untuk dapat berdiri tegak, berjalan, berlari, serta memiliki kehidupan yang aktif. Pertumbuhan tulang terjadi terutama pada masa kanak-kanak, oleh karena itu segala unsur yang mendukung perkembangan tulang harus dipastikan optimal. Kesehatan dan kekuatan tulang pada masa kanak-kanak akan mencegah risiko fraktur dan osteoporosis di kemudian hari. Penting untuk mengetahui segala faktor yang memengaruhi kesehatan tulang pada anak serta segala kelainan dan penanganannya agar kualitas hidup anak tetap terjaga.

Struktur tulang dan pertumbuhan tulangPembentukan tulang dimulai di dalam kandungan pada trimester ketiga, dengan peran mayoritas dari deposisi kalsium dan fosfat1-3. Mineralisasi tulang terjadi selama masa pertumbuhan dan mengandung dua proses dinamik yaitu modeling dan remodeling. Modeling memungkinkan untuk terjadinya deposisi tulang kortikal di bawah permukaan periosteal dan merupakan proses dimana tulang tumbuh lebih lebar dan lebih panjang. Remodeling, sebaliknya, terjadi sepanjang hidup dan terdiri dari dua proses yang berlawanan: resorpsi dan pembentukan.

Resorpsi tulang diinisiasi oleh osteoklas dan memiliki tiga fungsi: (1) mempertahankan massa tulang yang normal, (2) memperbaiki kerusakan-kerusakan pada tulang, dan (3) berpartisipasi dalam

Page 187: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 175

Vitamin D Supplementation: is it Recommended?

homeostasis kalsium. Proses ini diikuti dengan pembentukan tulang, di mana osteoblas mengisi rongga resorpsi dengan osteoid, yang kemudian termineralisasi. Mineralisasi tulang berlanjut sampai puncak massa tulang (peak bone mass) tercapai, kadang-kadang di masa dewasa awal, biasanya pada dekade ketiga kehidupan14-16. Semakin tinggi puncak massa tulang, semakin rendah kemungkinan akan terjadinya osteoporosis di kemudian hari. Pembentukan massa tulang dipegaruhi oleh keturunan dan gaya hidup, terutama jumlah asupan kalsium serta tingkat aktivitas fi sik.

Kalsium merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai massa tulang yang optimal. Tingkat serum kalsium diregulasikan secara kompleks antara tulang, usus, ginjal, dan kelenjar partiroid. Hormon paratiroid (PTH) disekresikan oleh empat kelenjar partiroid yang berada pada posterior kelenjar tiroid. Hormon ini bertugas memengaruhi organ-organ tulang dan ginjal secara langsung serta saluran pencernaan secara tidak langsung sehingga kadar kalsium dapat dijaga pada rentang normal.

Tulang adalah reservoir terbesar kalsium dan fosfat dalam tubuh. Ketika kadar kalsium menurun, tingkat PTH meningkat dan memperbanyak resorpsi kalsium dari tulang. Di ginjal, PTH memiliki dua tindakan yang berbeda, yaitu: (1) meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal dan ekskresi fosfor di tubulus proksimal, dan (2) memfasilitasi konversi 25-hydroxyvitamin D, yang tidak aktif dan dibuat di hati, menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D, yang aktif, melalui 1-hidroksilase. Selanjutnya, 1,25-dihydroxyvitamin D diperlukan untuk penyerapan kalsium aktif dari lumen usus.

Oleh karena itu, pengaruh dari sekresi PTH adalah peningkatan kalsium serum dan penurunan fosfor serum. Sebaliknya, hiperkalsemia mengakibatkan penekanan PTH serta terjadi peningkatan dalam ekskresi kalsium pada urin4. Segala faktor yang menganggu keseimbangan resorpsi dan formasi tulang atau penyerapan kalsium berpotensi menyebabkan osteopenia atau osteoporosis.

Osteoporosis pada anakOsteoporosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang yang berongga. Berdasarkan World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah suatu keadaan di mana massa tulang berada 2,5 di bawah standar deviasi rata-rata puncak masa tulang yang dapat dicapai pada saat seseorang berusia 18-30 tahun. Namun, defi nisi berdasarkan WHO tidak dapat diterapkan pada anak karena anak-anak belum mencapai puncak masa tulang. Berdasarkan National Institutes of Health (NIH), osteoporosis adalah suatu kelainan tulang yang ditandai dengan

Page 188: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aman B. Pulungan

176 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

kekuatan tulang yang berkurang sehingga pada akhirnya menyebabkan peningkatan risiko fraktur/patah tulang5.

Osteoporosis dapat terjadi ketika tulang kehilangan mineral seperti kalsium lebih cepat sebelum tubuh dapat menggantikannya. Hal tersebut mengakibatkan tulang lebih rapuh dan lebih mudah patah. Osteoporosis lebih sering terjadi pada orang dewasa terutama pada perempuan yang sudah mencapai usia menopause, tetapi osteoporosis mungkin terjadi pada setiap usia.

Osteoporosis jarang terjadi pada anak dan remaja. Apabila keadaan tersebut terjadi, biasanya disebabkan oleh penyakit lainnya atau penggunaan obat tertentu. Keadaan ini disebut sebagai osteoporosis sekunder. Namun terdapat keadaan osteoporosis primer yang disebabkan oleh penyakit osteogenesis imperfekta. Pada anak terkadang tidak diketahui penyebab dari osteoporosis sehingga dinamakan osteoporosis idiopatik juvenil. Osteoporosis pada anak dapat menjadi satu masalah yang signifi kan karena seharusnya pada usia tersebut merupakan waktu utama pembentukan tulang5.

Pada Konferensi Pengembangan Konsensus Anak, 2007, osteoporosis pada anak didefi nisikan sebagai skor Z densitas tulang di bawah -2 dengan kombinasi adanya fraktur6-10.

Gejala osteoporosis pada anakOsteoporosis pada anak tidak selalu menunjukkan gejala yang jelas. Namun gejala yang mungkin timbul adalah nyeri pada punggung bawah, pinggang, lutut, pergelangan kaki, dan telapak kaki; kesulitan berjalan; bentuk tulang belakang yang abnormal seperti terlalu membungkuk; fraktur/patah tulang.

Seorang anak dengan osteoporosis mungkin menunjukkan adanya deformitas tulang belakang (kifosis, kifoskoliosis), deformitas pigeon breast, perawakan pendek, dan deformitas tulang panjang. Fraktur sangat sering terjadi, termasuk fraktur pada tulang belakang. Fraktur pinggul sering terjadi setelah jatuh5.

Osteoporosis Primer Osteoporosis primer didefi nisikan sebagai hilangnya massa tulang dengan adanya patah tulang yang merupakan akibat dari keadaan tertentu yang menyebabkan tulang sangat rapuh. Keadaan ini disebabkan oleh penyakit osteogenesis imperfekta (OI) dan sindrom osteoporosis pseudoglioma.

Page 189: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 177

Vitamin D Supplementation: is it Recommended?

Penyakit OI disebabkan oleh adanya kelainan pada pembentukan atau struktur kolagen tipe 1. Seseorang dengan OI mungkin mengalami patah tulang hingga puluhan kali. Gejala OI berbeda antar masing-masing individu. Gejala yang paling sering adalah tulang yang mudah patah, sendi yang terlalu lentur, otot yang lemah, riwayat OI pada keluarga, perawakan pendek, sklera (bagian putih pada mata) berwarna sedikit kebiruan dan abu-abu, gangguan pendengaran, dan gigi yang rapuh. Sindrom osteoporosis pseudoglioma merupakan keadaan genetik yang jarang terjadi dan menyebabkan osteoporosis dan gangguan penglihatan. 11

Osteoporosis sekunderOsteoporosis sekunder merupakan keadaan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit yang mendasar serta akibat pengunaan obat tertentu. Keadan ini yang paling sering ditemukan pada anak. Penyakit yang dapat menyebabkan osteoporosis di antaranya adalah artritis idiopatik juvenil, diabetes, hipertiroid, hiperparatiroid, dan penyakit ginjal.

Obat-obat yang dapat menyebabkan osteoporosis sekunder adalah obat antikejang, kortikosteroid (obat yang digunakan pada penderita asma dan rheumatoid arthritis) serta obat-obat kemoterapi pada penderita kanker. Kurangnya aktivitas fi sik, asupan kalsium dan vitamin D, merokok, serta konsumsi alkohol secara berlebih juga dapat

Tabel 1. Penyakit, Obat-obatan, atau Perilaku yang Dapat Memengaruhi Massa Tulang5

Penyakit, Obat-obatan, atau Perilaku yang Dapat Memengaruhi Massa TulangPenyakit primerRheumatoid arthritisDiabetes mellitusOsteogenesis imperfectaHipertiroidHiperparatiroidSindrom CushingSindrom malabsorpsiAnoreksia nervosaPenyakit ginjalObat-obatanObat anti kejangKortikosteroid Agen-agen immunosupresifTingkah LakuInaktivitas atau imobilitas berkepanjanganNutrisi inadekuat (terutama kekurangan kalsium dan vitamin D Olahraga berlebihan yang menyebabkan amenorrheaMerokokAlkohol berlebih

Page 190: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aman B. Pulungan

178 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

menyebabkan osteoporosis. Pengobatan-pengobatan yang diberikan tersebut dapat menurunkan massa tulang.

Keadaan lain yang berhubungan dengan penurunan massa tulang atau reduksi formasi tulang adalah keadaan anak dengan penyakit seperti rheumatoid arthritis yang menghindari aktivitas fi sik yang dibutuhkan untuk mempertahankan massa tulang karena aktivitas dapat memicu rasa nyeri. 5

Osteoporosis idopatik juvenilOsteoporosis idiopatik juvenil adalah osteoporosis pada anak tanpa penyebab yang diketahui. Diagnosis ini ditegakkan setelah kemungkinan penyebab lain dieksklusi, termasuk penyakit-penyakit primer atau pengobatan yang dapat menyebabkan penurunan massa tulang. Osteoporosis idiopatik juvenil biasanya terjadi sebelum pubertas pada anak yang sebelumnya sehat, dengan rata-rata usia 7 tahun, dan rentang usia 1 hingga 13 tahun. Pada osteoporosis tipe ini, sebagian besar anak akan mengalami pemulihan sempurna5.

Diagnosis osteoporosis pada anak11

Berdasarkan WHO, osteoporosis pada dewasa didefi nisikan sebagai densitas tulang yang rendah, dengan mengukur bone mineral density (BMD) dan perhitungan T-score berada di bawah -2,5 standar deviasi. Pada umumnya, densitas tulang yang rendah akan meningkatkan risiko fraktur. Hubungan antara BMD dengan risiko fraktur pada anak tidak sejelas pada dewasa. Hal ini disebabkan adanya variasi ukuran tulang anak pada usia yang sama, serta pertumbuhan dan pemanjangan tulang yang cepat selama masa kanak-kanak dan remaja yang memengaruhi penilaian densitas tulang. Oleh karena itu, Z-score lebih sering digunaan pada anak dibandingkan T-score. Z-score di bawah -2,0 didefi nisikan sebagai densitas mineral tulang yang rendah berdasarkan usia. Sangat penting untuk menyesuaikan penilaian dengan ukuran badan anak yang mungkin lebih kecil dibandingkan usia untuk mencegah estimasi yang kurang terhadap densitas tulang yang sebenarnya. Selain itu, perlu diketahui bahwa diagnosis tidak dapat hanya berdasarkan penilaian BMD DXA tetapi juga berdasarkan presentasi klinis yang signifi kan yaitu riwayat fraktur pada anak.

Diagnosis osteoporosis biasa dilakukan ketika sang anak sudah menunjukkan gejala, seperti kesulitan berjalan atau adanya nyeri atau patah tulang. Ketika anak tersebut diduga osteoporosis, maka pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

Page 191: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 179

Vitamin D Supplementation: is it Recommended?

X-ray, untuk melihat adanya fraktur Bone density scans (DXA), menilai denistas tulang Quantitative computerised tomography (QCT) Biopsi tulang untuk melihat struktur internal tulang secara detil

Vitamin D dan kalsium adalah nutrisi terpenting untuk mencegah osteoporosis14. Konferensi konsensus NIH merekomendasikan asupan kalsium sebesar 800mg/hari hingga usia 10 tahun, 1200mg/hari selama remaja, dan 1000mg/hari pada dewasa. Asupan kalsium perlu ditingkatkan pada wanita hamil dan menyusui sebesar 1200mg/hari, dan pada individu di atas 65 tahun sebesar 1500mg/hari5. Asupan vitamin D sebesar 400-800IU/hari juga direkomendasikan15.

Vitamin D Vitamin D adalah sebuah vitamin larut lemak yang berperan penting dalam metabolisme tulang serta memiliki fungsi modulasi imun dan anti infl amasi. Vitamin D bukanlah murni vitamin karena dapat diproduksi oleh pajanan sinar matahari ke kulit. Hewan dan manusia tidak memerlukan asupan vitamin D dari makanan bila terdapat sinar matahari yang cukup. Namun, vitamin D dari makanan menjadi esensial jika pajanan sinar matahari tidak mencukupi kebutuhan harian. Polusi udara, gaya berpakaian, gedung tinggi, aktivitas dalam ruangan, dan pemakaian tabir surya dapat mengurangi kemampuan kulit untuk mensintesis vitamin D dari matahari.

Vitamin D terdapat dalam 2 bentuk, yaitu ergokalsiferol (vitamin D2) dan kolekalsiferol (vitamin D3). Ergokalsiferol terdapat dalam beberapa jenis ikan dan tumbuhan, sedangkan kolekalsiferol disintesis di kulit dengan bantuan sinar matahari. Vitamin D berperan dalam mengontrol absorpsi kalsium di usus halus, bekerja sama dengan hormon paratiroid untuk menjaga homeostasis kalsium di dalam darah dan mediasi mineralisasi skeletal.

Vitamin D memiliki peran dalam mengatur penyerapan kalsium di usus dan bekerja dengan hormon paratiroid untuk menjaga keseimbangan kalsium dalam darah serta penguatan tulang. Vitamin D juga memiliki peran dalam daya tahan tubuh dan anti peradangan. Hingga saat ini banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui fungsi dari suplementasi vitamin D dan beberapa di antaranya menyatakan bahwa kadar vitamin D yang cukup, selain berpengaruh pada kesehatan tulang, dapat meningkatkan ketahanan tubuh manusia sehingga tidak mudah terserang penyakit infeksi virus maupun bakteri, menurunan risiko kematian, mencegah perburukan pada penderita

Page 192: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aman B. Pulungan

180 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

kanker, menurunkan risiko terjadinya diabetes, mencegah pre-eklampsia dan gangguan perkembangan jamin pada ibu hamil, serta berperan dalam mencegah terjadinya penyakit autoimun17.

Metabolisme vitamin DMetabolisme vitamin D2 dan vitamin D3 dilakukan oleh CYO27A dan beberapa enzim sitokrom P460 di hati. Vitamin D2 dimetabolisme menjadi pro-hormon (25-hidroksi vitamin D2) dan vitamin d3 menjadi 25-hidroksi vitamin D3. Kedua pro-hormon ini disebut sebagai 25-hidroksi vitamin D.

Kadar 25-OHD serum menggambarkan status vitamin D seorang anak. Kadar vitamin D dikatakan cukup bila kadar 25-OHD mencapai 30 ng/mL.

Nutritional Rickets Rikets akibat kekurangan zat gizi merupakan penyakit langka yang muncul sebelum usia 6 bulan dan paling tinggi prevalensinya antara usia 6 bulan hingga 2,5 tahun (Whilstler and Glison). Walaupun gejala klasik rikets yang disebabkan defi siensi vitamin D paling sering terlihat pada periode tersebut, studi menyatakan bahwa defi siensi vitamin D dapat menjadi simtomatik sejak awal masa bayi. Manifestasi klinis rikets sangat beragam. Pada bayi, gejala dapat berupa tetani, kejang, dan apnea. Hipotonia, keterlambatan motorik, pembesaran area pergelangan tangan dan lutut, rachitic rosary, sulkus Harrison dan deformitas biola pada dada juga dapat merupakan manifestasi rikets. Gejala lainnya antara lain kraniotabes, kraniosinostosis, keterlambatan erupsi gigi, hypoplasia enamel, densitas mineral tulang rendah, dan infeksi18.

Berdasarkan penelitian di dunia, terdapat peningkatan angka kejadian rikets di seluruh dunia akibat kekurangan vitamin D. Bahkan di negara yang kaya akan matahari seperti Malaysia, Qatar, India, dan Afrika, banyak anak yang masih kekurangan vitamin D18.

Penelitian yang dilakukan oleh Bener dan Hoffman (2010) mengungkapkan bahwa anak dengan rikets, menghabiskan lebih sedikit waktu di bawah sinar matahari dibandingkan dengan anak yang sehat. Berdasarkan penelitian tersebut, faktor risiko terbesar adalah asupan kalsium dan vitamin D yang rendah, paparan matahari yang kurang, serta pemberian ASI berkepanjangan tanpa suplementasi vitamin D19.

Page 193: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 181

Vitamin D Supplementation: is it Recommended?

Rekomendasi Suplementasi Vitamin D Rekomendasi terbaru mengenai suplementasi vitamin D disusun untuk memenuhi kebutuhan vitamin D pada bayi baru lahir hingga dewasa. Poin-poin dari rekomendasi terbaru tersebut adalah sebagai berikut20 : Setiap bayi usia 0-12 bulan harus diberi suplementasi vitamin D

tanpa memandang cara pemberian makannya. Dosis suplementasi adalah 400 IU/hari (10 mikrogram).

Bayi usia 12 bulan hingga dewasa harus memenuhi kebutuhan vitamin D melalui nutrisi sehari-hari atau dapat diberikan suplementasi setidaknya 600 IU/hari (15 mikrogram).

Anak dengan riwayat defi siensi vitamin D yang simtomatik harus diberikan suplementasi vitamin D, begitu pula anak dan orang dewasa yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami defi siensi vitamin D akibat gangguan sintesis atau asupan vitamin D.

Skrining rutin vitamin D tidak diperlukan pada anak sehat. Bayi usia 0-12 bulan dan remaja memiliki risiko tinggi terhadap

nutritional rickets dan osteomalasia akibat defi siensi vitamin D karena pertumbuhan yang cepat.

Untuk mencegah nutritional rickets, anak usia >12 bulan diberikan asupan kalsium 500mg/hari.

Kebutuhan kalsium untuk anak usia 1-18 tahun adalah 700-1300 mg/hari.

Sampai saat ini masih belum ada persetujuan mengenai pilihan terapi yang efektif untuk defi siensi vitamin D di Indonesia. Indonesia masih menggunakan rekomendasi dari American Academy of Pediatrics selama IDAI masih menyusun rekomendasi sendiri, yaitu : Bayi dengan ASI eksklusif maupun tidak, harus diberi suplementasi

vitamin D dengan dosis 400 IU/hari sejak hari-hari pertama kehidupan.

Semua bayi yang tidak diberi ASI dan anak yang minum formula yang difortifi kasi dengan vitamin D harus mendapatkan suplementasi vitamin D 400 IU/hari.

Kadar 25-OHD serum pada bayi dan anak harus mencapai setidaknya 20ng/mL.

Jika kepatuhan terhadap suplementasi harian dirasa sulit, vitamin D dapat diberikan setiap bulan atau 3 bulan dengan dosis besar pada populasi yang berisiko tinggi.

Page 194: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Aman B. Pulungan

182 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

SimpulanKesehatan tulang pada anak harus menjadi kesadaran bagi setiap dokter anak. Salah satu kontributor pada kesehatan tulang adalah vitamin D. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : Menyarankan anak untuk sebanyak mungkin terpajan sinar

matahari. Memberikan suplementasi vitamin D sesuai rekomendasi Mengelaborasi kebutuhan makanan terfortifi kasi vitamin D di

Indonesia Bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah

Daftar pustaka1. Henwood MJ, Binkovitz L. Update on pediatric bone health. J Am Osteopath

Assoc 2009;109:1 5-122. Rigo J, De Curtis M. Disorders of calcium, phosphorus, and

magnesium metabolism. In: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC. Faranoof and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine: Diseases of the Fetus and Infant. 8th ed. Philadelphia, Pa:Elsevier; 2006:1491-1522

3. Janz K. Physical activity and bone development during childhood and adolescence. Implications for the prevention of osteoporois. Minerva Pediatr 2002;54:93-104

4. Diaz R. Calcium disorders in children and adolescents. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinlogy. 5th ed. New York, NY: Informa Healthcare USA, Inc; 2007:475-495. Growth, Adrenal, Sexual, Thyroid, Calcium, and Fluid Balance Disorders; vol2 .

5. NIH. Osteoporosis prevention, diagnosis, and therapy. NIH Consens Statement. Mar 27-29 2000;17(1):1-45.

6. Gordon CM, Bachrach LK, Carpenter TO, Crabtree N, El-Hajj Fuleihan G, Kutilek S, et al. Dual energy X-ray absorptiometry interpretation and reporting in children and adolescents: the 2007 ISCD Pediatric Offi cial Positions. J Clin Densitom 2008;11(1):43-58.

7. Rauch F, Plotkin H, DiMeglio L, Engelbert RH, Henderson RC, Munns C, et al. Fracture prediction and the defi nition of osteoporosis in children and adolescents: the ISCD 2007 Pediatric Offi cial Positions. J Clin Densitom 2008;11(1):22-8.

8. Baim S, Leonard MB, Bianchi ML, Hans DB, Kalkwarf HJ, Langman CB, et al. Offi cial Positions of the International Society for Clinical Densitometry and executive summary of the 2007 ISCD Pediatric Position Development Conference. J Clin Densitom 2008;11(1):6-21

9. Bishop N, Braillon P, Burnham J, Cimaz R, Davies J, Fewtrell M, et al. Dual-energy X-ray aborptiometry assessment in children and adolescents with diseases that may affect the skeleton: the 2007 ISCD Pediatric Offi cial Positions. J Clin Densitom 2008;11(1):29-42.

Page 195: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 183

Vitamin D Supplementation: is it Recommended?

10. Zhang C, Liu Z, Klein GL. Overview of pediatric bone problems and related osteoporosis. J Musculoskelet Neuronal Interact 2012;12(3):174-82.

11. NOS. Osteoporosis in children. May, 2014. http://www.nos.org.uk/document.doc?id=1366

12. Brown JJ, Zacharin MR. Safety and effi cacy of intravenous zoledronic acid in paediatric osteoporosis. J Pediatr Endocrinol Metab 2009;22(1):55-63.

13. Ooi HL, Briody J, Biggin A, Cowell CT, Munns CF: Intravenous zolendronic acid given every 6 months in childhood osteoporosis. Horm Res Paediatr 2013;80:179-184

14. Winzenberg T, Shaw K, Fryer J, Jones G. Effects of calcium supplementation on bone density in healthy children: meta-analysis of randomised controlled trials. BMJ 2006;333(7572):775.

15. Klein GL, Herndon DN, Chen TC, Kulp G, Holick MF. Standard multivitamin supplementation does not improve vitamin D insuffi ciency after burns. J Bone Miner Metab. 2009;27(4):502-6

16. Holick MF. High prevalence of vitamin D inadequacy and implications for health. Mayo ClinProc 2006;81(3):353-73

17. Ross AC, Manson JE, Abrams SA, Aloia JF, Brannon PM, et al. The 2011 report on dietary reference intakes for calcium and vitamin D from the Institute of Medicine: what clinicians need to know. J Clin Endocrinol Metab 2011.96(1):53-8

18. Lerch C, Meissner T. Interventions for the prevention of nutritional rickets in term born children. Cochrane database of systematic reviews 2007; (4): CD006164.

19. Bener A, Hoffmann GF. Nutritional Rickets among Children in a Sun Rich Country. International Journal of Pediatric Endocrinology 2010;2010:410502. doi:10.1155/2010/410502.

20. Munns CF, Shaw N, Kiely M, Specker BL, Thacher TD, Ozono K, et al. Global consensus recommendations on prevention and management of nutritional rickets. Horm Res Pediatr 2015;10:1-24

Page 196: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

184

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah?

Endy P. Prawirohartono

Tujuan:1. Mempelajari struktur vitamin D2. Mengetahui makanan sumber vitamin D3. Mengetahui Status vitamin D anak di Indonesia4. Mngetahui penyebab defi siensi vitamin D

Vitamin D Vitamin D ialah vitamin yang larut dalam lemak yang bersifat sebagai hormon. Vitamin D disintesis di kulit oleh radiasi sinar ultraviolet B sinar matahari, dan sebagian berasal dari makanan dan suplemen. Ada dua macam vitamin D, yaitu vitamin D2 yang berasal dari bahan makanan nabati dan vitamin D3 yang berasal dari makanan hewani dan paparan sinar matahari.1 Sintesis dan metabolisme vitamin D dalam tubuh dapat dilihat dalam Gambar 1.2

Sintesis vitamin D dimulai dari perubahan 7-dehydrocholesterol (provitamin D), suatu struktur 4 cincin yang relatif kaku, terdapat pada lapisan lipid di membran plasma dari keratinosit dan fi broblas kulit yang sebagian besar terdapat di stratum basale dan spinosum. Paparan sinar ultraviolet B dengan panjang gelombang 290-315 nm menyebabkan terbukanya ikatan rangkap cincin B, sehingga membentuk struktur yang kurang kaku yang disebut provitamin D. Provitamin D mengalami isomerisasi menjadi vitamin D dan ditransfer ke ruang ekstraselular dan pembuluh kapilar kulit yang kemudian diikat oleh vitamin-D binding protein (DBP). Ikatan ini kemudian dibawa ke hati, mengalami hidroksilasi menjadi 25(OH)-D (calcidiol). Calcidiol bukan bentuk aktif, ia terikat dengan DBP, dibawa ke ginjal dan diubah menjadi 1,25(OH)2-D (calcitriol) dan 24,25(OH)2-D. Calcitriol adalah vitamin D bentuk aktif, sedangkan 24,25(OH)2-D mempunyai aktivitas terbatas.2

Page 197: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 185

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah?

Makanan sumber vitamin DHanya sedikit makanan sumber vitamin D (Tabel 1).1

Tabel 1. Makanan sumber vitamin D

Jenis makanan Kandungan vitamin DMinyak ikan (cod liver oil) 400-1000 IU vitamin D3/sendok tehSalmon ditangkap liar 600-1000 IU vitamin D3/3,5 ozSalmon segar hasil budidaya 100-150 IU vitamin D2 dan D3/3,5 ozSalmon kalengan 300-600 IU vitamin D3/3,5 ozSarden kalengan 300 IU vitamin D3/3,5 ozMackerel kalengan 250 IU vitamin D3/3,5 ozTuna kalengan 236 IU vitamin D3/3 ozJamur shiitake segar 100 IU vitamin D2/3,5 ozJamu shiitake kering 1600 IU vitamin D2/3,5 ozKuning telur 20 IU vitamin D2 atau D3

Susu difortifi kasi 100 IU vitamin D3/8 ozJus jeruk difortifi kasi 100 IU vitamin D3/8 ozSusu formula bayi 100 IU vitamin D3/8 ozYogurt difortifi kasi 100 IU vitamin D3/8 ozMentega difortifi kasi 56 IU vitamin D3/3,5 oz

Gambar 1. Sintesis dan metabolisme vitamin D dalam tubuh

Page 198: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endy P. Prawirohartono

186 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Jenis makanan Kandungan vitamin DMargarin difortifi kasi 429 IU vitamin D3/3,5 ozKeju difortifi kasi 100 IU vitamin D3/3 ozSereal difortifi kasi 100 IU vitamin D3/penyajian

Sumber vitamin D dari makanan berupa ikan berlemak (salmon, sarden, mackerel, tuna), kuning telur, dan terutama makanan yang difortifi kasi dengan vitamin D. Cara memasak makanan juga mempengaruhi kandungan vitamin D. Kandungan vitamin D dalam ikan yang digoreng berkurang sampai 50%, sedangkan kandungan vitamin D dalam ikan yang dibakar tidak berkurang. Jenis makanan yang mengandung cukup vitamin D jarang dikonsumsi anak-anak, sehingga makanan yang difortifi kasi menjadi sumber vitamin D dalam makanan yang penting bagi anak-anak.2

Masukan makanan sumber vitamin D yang dikonsumsi anak di Indonesia: cukupkah?Untuk menjawab pertanyaan ini tidak mudah, karena publikasi hasil penelitian di Indonesia jarang dijumpai. Salah satunya ialah data sekunder dari penelitian South East Asian Nutritional Survey (SEANUTS) Indonesia. Valentina et al. melakukan ekstraksi data 24-hour recalldari SEANUTS dikombinasi dengan data sekunder dari pustaka untuk mengetahui bahan makanan sumber vitamin D, dan menghitung masukan makanan sumber vitamin D per kapita per hari. Hasil analisis menunjukkan bahwa rerata masukan vitamin D per hari ialah 3,7 μg/hari, dan bila dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk anak Indonesia usia 2-12 tahun sebesar 10 μg/hari, maka masukan vitamin D tersebut hanya 37% dari angka kecukupan vitamin D yang dianjurkan.3Panduan Institute of Medicine (IOM) menyebutkan, bahwa anak usia >12 bulan (sampai dewasa) memerlukan minimal masukan vitamin D (dari makanan dan/atau suplemen) sebesar 15 μg/hari.4 Dengan demikian, masukan anak-anak usia 2-12 tahun menurut data SEANUTS hanya 24,7% dibandingkan dengan anjuran IOM.3Masukan vitamin D dari makanan anak-anak Indonesia yang rendah ini juga dijumpai di beberapa negara.

Penelitian yang dilakukan di Spanyol pada anak usia 6-9 tahun menunjukkan rerata masukan vitamin dari makanan juga rendah, yaitu pada anak laki-laki dengan berat badan normal sebesar 3,5 μg/hari, sedangkan pada anak perempuan sebesar 3,13 μg/hari, atau dengan kata lain 80,1% anak-anak dengan berat badan normal mempunyai masukan vitamin D dari makanan di bawah dietary reference intakes (DRI).5

Page 199: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 187

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah?

Perrine et al. melaporkan bahwa masukan vitamin D pada bayi di Amerika Serikat rendah bila dibandingkan dengan rekomendasi AAP tahun 2008. Bayi yang mendapat ASI saja berturut-turut yang memenuhi rekomendasi AAP mulai dari 1, 2, 3, 4, 5, 6 hanya 5,3%, 9,4%, 10,3%, 10,8%, 12,6%, dan 12,1%. Angka untuk bayi yang mendapat campuran ASI dan susu formula berturut-turut ialah 8,7%, 8,5%, 12,4%, 12,6%, 13,0%, dan 14,4%; sedangkan yang mendapat hanya susu formula ialah 24,8%, 31,2%, 34,9%, 36,6%, 36,7%, dan 37,4%.6

Untuk anak-anak yang lebih besar, masukan vitamin D pada umumnya berasal dari ikan dan sejenisnya, susu dan hasil olahannya, dan lain-lainnya. Bahan makanan yang menjadi sumber vitamin D anak-anak usia 2-12 tahun di Indonesia sebagian besar adalah ikan, kerang, udang dan hasil olahannya (75%), sebagian kecil berupa susu dan hasil olahannya (14%), telur dan hasil olahannya (9%), serta snack dan minuman (4). Daging, unggas dan hasil olahannya tidak sampai 1% sebagai penyumbang vitamin D.3

Di Amerika Serikat, data yang dianalisis dari 7332 anak usia 2-18 tahun di USA menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) tahun 2003-2006 menunjukkan bahwa sumber vitamin D dari makanan berturut-turut ialah susu (60,4%), minuman mengandung susu (8,3%), sereal siap santap (8,2%), ikan dan kerang (3,5%), jus buah (3%), telur (2,7%), daging dan sosis (2,4%), dan keju (2,3%).7

Status vitamin DStatus vitamin D anak-anak di IndonesiaRendahnya masukan vitamin D dari makanan anak-anak di Indonesia dan juga di beberapa negara lain menimbulkan pertanyaan, apakah kadar vitamin D dalam serum anak-anak di Indonesia juga rendah? Pertanyaan ini penting, karena kadar vitamin D dalam serum tidak hanya ditentukan oleh makanan, tetapi juga oleh paparan sinar matahari yang begitu banyak dan mudah diperoleh di Indonesia; sehingga secara logika kadar vitamin D serum anak-anak di Indonesia sebagian besar normal.

Menurut Global Consensus Recommendations on Preventionand Management of Nutritional Rickets tahun 2015, status vitamin D ditentukan dengan kadar 25 (OH)D serum sebagai berikut: sufi sien>50 nmol/l, insufi sien 30-50 nmol/l, dan defi siens<30 nmol/l.4

Bagaimana kondisi kadar vitamin D serum anak-anak Indonesia? Data nasional status vitamin D dapat diperoleh dari beberapa sumber, salah satu di antaranya ialah dari SEANUTS Indonesia. Survey ini

Page 200: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endy P. Prawirohartono

188 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

dilaksanakan di empat negara Asia Tenggara. Di Indonesia data SEANUTS dikumpulkan secara cross sectional studydari 440 kabupaten atau kota pada tahun 2011, melibatkan 7211 anak umur 6 bulan-12 tahun yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan. Analisis vitamin D diperoleh dari 276 orang anak.Analisis data SEANUTS menunjukkan, bahwa masalah mikronutrien yang paling menonjol ialah defi siensi vitamin D (kadar 25OH-D <50 nmol/l). Di daerah perkotaan, 43% anak-anak (laki-laki 41,7%, perempuan 44,4%) dan pedesaan 44,2% anak-anak (laki-laki 31,4%, perempuan 66,9%) menderita defi siensi vitamin D. Namun demikian, karena data ini dianalisis dari hanya 276 orang anak, maka untuk generalisasi untuk seluruh anak-anak Indonesia harus disikapi dengan hati-hati. Prevalensi defi siensi vitamin D menurut SEANUTS yang lebih tinggi pada anak perempuan diduga karena anak perempuan lebih banyak di rumah, sehingga paparan sinar matahari lebih sedikit.8

Namun hasil penelitian yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia menunjukkan angka kejadian insufi siensi dan defi siensi vitamin D yang lebih tinggi. Soesanti et al. mengukur kadar 25(OH)D pada 120 anak usia 7-12 tahun di Jakarta dan mendapatkan 75,8% anak mengalami insufi siensi [kadar vitamin D (25(OH)D 15-31ng/dl], dan 15% menunjukkan defi siensi vitamin D [kadar 25(OH)D <15 ng/dl]; dengan demikian bila prevalensi insufi isien dan defi siensi digabung, maka angkanya menjadi 90,8%. Anak perempuan mempunyai risiko lebih tinggi mengalami insufi siensi atau defi siensi vitamin D dibandingkan dengan anak laki-laki. Kejadian ini tidak ada hubungannya dengan lama paparan sinar matahari, penggunaan tabir surya, warna kulit yang diukur dengan skala Fitzpatrick, konsumsi susu, cara berpakaian, dan status obesitas.9

Prawirohartono et al., melaporkan hasil penelitian RETO Project yang dilakukan di Kota Yogyakarta tahun 2011-2012terhadap 249 anak usia 3-5 tahun yang dipilih secara acak dan diklasifi kasikan menurut kebiasaan minum susu. Insufi siensi vitamin D ditemukan pada 36,1% anak, sedangkan defi siensi pada 63,5%. Dengan demikian ada 99,6% anak mengalami insufi siensi dan defi siensi, sedangkan hanya 0,4% anak dengan kadar 25(OH)D serum yang normal. Tingginya masalah ini tidak ada hubungannya dengan kebiasaan minum susu, karena prevalensi insufi siensi dan defi siensi vitamin D antara kelompok anak yang minum susu pertumbuhan, susu kental manis, dan yang sedikit minum susu tidak berbeda bermakna.10

Publikasi kadar 25(OH)D anak-anak Indonesia dapat diperoleh juga dari penelitian yang dilakukan pada anak sakit, dan membandingkan kadar 25(OH)D antara anak yang sakit dan tidak sakit. Utami et al.

Page 201: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 189

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah?

melaporkan bahwa pada kelompok penyakit kritis kejadian defi siensi vitamin D ialah 88% (kelompok penyakit non kritis 24%), sedangkan insufi siensi vitamin D pada kelompok penyakit kritis 12% (kelompok penyakit non kritis 28%).11Septarini et al. melaporkan pada anak dengan frequent relapsing nephrotic syndrome kejadian insufi siensi vitamin D sebesar 31,3%, defi siensi vitamin D sebesar 56,3%, sedangkan pada anak dengan steroid dependent nephrotic synfrome insufi siensi vitamin D ialah 41,7%, dan defi siensi vitamin D 58,3%.12 Ringkasan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Status vitamin D anak-anak di negara lainTabel 3 menunjukkan prevalens insufi siensi dan defi siensi vitamin D dari negara-negara tropis maupun subtropis. Walaupun kriteria insufi siensi dan defi siensi tidak seragam, namun demikian angka-angka dari Indonesia dan negara-negara lain tersebut menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D merupakan masalah global.

Bila insufi siensi dan defi siensi vitamin D digabung, maka data dari Indonesia menunjukkan rendahnya kadar vitamin D serum kisaran antara 43% (data SEANUTS) dan >90% di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Prevalensi insufi siensi dan defi siensi vitamin D dari SEANUTS Indonesia mirip dengan data serupa dari Malaysia,13 Thailand14 dan Vietnam15 yang berkisar antara 45,6% dan 49,8%. Namun demikian data dari negara-negara subtropis menunjukkan variasi yang lebar, yaitu 35% di New Zealand16 dan Finlandia 73,5%.17 Prevalensi di Amerika Serikat menurut survei nasional menunjukkan angka 70%,18 namun di Atlanta mencapai 100% untuk ras Hispanic dan bukan Hispanic.19 Di negara-negara Timur Tengah juga menunjukkan angka yang tinggi. Prevalensi kekurangan kadar vitamin D yang rendah di Uni Emirat Arab mencapai 62% untuk anak laki-laki20, Turki 66,5%21 dan di Saudi Arabia 99,8%.22 Di negara Asia lain, misalnya China prevalensi kadar vitamin D yang rendah terjadi pada anak usia 6-11 tahun, yaitu 88,3%.23

Tingginya prevalens insufi siensi/defi siensi vitamin D di Indonesia menunjukkan bahwa kemungkinan besar masukan vitamin D dalam makanan juga kurang. Kami melakukan anamnesis pada keluarga untuk mendapatkan data penggunaan bahan makanan sumber vitamin D (food frequency questionnaire) dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4 (unpublished).

Page 202: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endy P. Prawirohartono

190 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 2. Status vitamin D anak-anak di Indonesia

Tempat penelitian

Subjek penelitian Insufi siensi/defi siensi vitamin D

Informasi lain Penulis

Indonesia: 440 kabupaten/kota

Kadar vitamin D diukur pada 276 dari 7211 anak umur 6 bulan-12 tahun yang menjadi subjek penelitian

Insufi siensi dan defi siensi [25(OH)D <50 nmol/l]:Total pedesaan = 44,2%Laki-laki = 31,4%Perempuan = 66,9%Total perkotaan = 43%Laki-laki = 41,7%Perempuan = 44,4%

Penelitian South East Asian Nutritional Survey (SEANUTS) yang melibatkan Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam

Sandjaja et al. (2013)

Jakarta 120 anak sekolah dasar umur 7-12 tahun

Insufi siensi [25(OH)D 15-31 ng/dl] = 75,8%Defi siensi [25(OH)D <15 ng/dl] = 15%

Status vitamin D tidak ada hubungannya dengan lama paparan sinar matahari, warna kulit, penggunaan tabir surya, status obesitas, konsumsi susu, dan cara berpakaian

Soesanti et al. (2013)

Yogyakarta 249 anak usia 3-5 tahun di kota dikelompokkan berdasar kebiasaan minum susu (susu pertumbuhan, kental manis, sedikit susu)

Insufi siensi [25(OH)D 51-72 nmol/l] = 36,1%Defi siensi [25(OH)D <50 nmol/l] = 63,4%

Status vitamin D tidak ada hubungannya dengan kebiasaan minum susu

Prawirohartono et al. (2015)

Bandung 25 anak sakit kritis dan 25 non kritis usia 1-14 tahun di RS Dr. Hasan Sadikin

Insufi siensi [25(OH)D 20-30 ng/ml]:Sakit kritis = 30%Sakit non kritis = 70%Defi siensi [25(OH)D <20 ng/ml]:Sakit kritis = 78,6%Sakit non kritis = 21,4%

Utami et al. (2015)

Jakarta 16 pasien frequent relapsing nephrotic syndrome dan 12 pasien steroid dependent nephrotic syndrome umur 5-14,7 tahun

Insufi siensi [25(OH)D 20-30 ng/ml] = 35,7%Defi siensi [25(OH)D <20 ng/ml] = 57,1%

Septarini et al. (2012)

Page 203: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 191

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah?

Tabel 3. Status vitamin D anak-anak di negara lain

Tempat penelitian

Subjek penelitian Insufi siensi/defi siensi vitamin D

Informasi lain Penulis

Finlandia 195 anak dan remaja:120 perempuan, 7,4-18,8 tahun95 laki-laki, 7,7-18,1 tahun

Insufi siensi dan defi siensi [25(OH)D <50 nmol/l (20 ng/ml)]:laki-laki = 68,5%perempuan = 73,5%

Pekkinenet al. (2012)

USA 9757 anak dan remaja, 1-21 tahun

Insufi siensi [25(OH)D 15-29 ng/ml] = 61%Defi siensi [25(OH)D <15 ng/ml] = 9%

Data National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) 2001-2004

Kumaret al. (2009)

USA (Atlanta)

141 anak Hispanic, 149 anak non Hispanic, usia 1-5 tahun dari 2 klinik anak

Insufi siensi [25(OH)D 21-30 ng/ml]:Hispanic = 81,9%Non Hispanic = 73,7%Defi siensi [25(OH)D <20 ng/ml]:Hispanic = 18,1%Non Hispanic = 26,3%

Coleet al. (2010)

China (Hangzhou)

Anak usia 1 bulan-16 tahun, klinik anak RS Universitas Zhejiang,0-1 tahun = 2116 anak2-5 tahun = 2269 anak6-11 tahun = 1440 anak12-16 tahun = 183 anak

Kadar 25(OH)D pada anak umur 0-1 tahun:<25 nmol/l = 0,4%<50 nmol/l = 5,4%<75 nmol/l = 33,6%Kadar 25(OH)D pada anak umur 2-5 tahun:<25 nmol/l = 1,1%<50 nmol/l = 21,9%<75 nmol/l = 68,6%Kadar 25(OH)D pada anak umur 6-11 tahun:<25 nmol/l = 2,0%<50 nmol/l = 40,4%<75 nmol/l = 88,3%Kadar 25(OH)D pada anak umur 12-16 tahun:<25 nmol/l = 3,3%<50 nmol/l = 46,4%<75 nmol/l = 89,6%

Zhuet al. (2012)

Page 204: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endy P. Prawirohartono

192 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

Tabel 3. Status vitamin D anak-anak di negara lain (lanjutan)

Tempat penelitian

Subjek penelitian Insufi siensi/defi siensi vitamin D

Informasi lain Penulis

United Arab Emirates

183 anak dan remaja 0-12 tahun, pasien klinik rawat jalan di Abu Dhabi

Insufi siensi [25(OH)D 25-50 nmol/l]:laki-laki = 46%perempuan = 32%Defi siensi [25(OH)D <25 nmol/l]:laki-laki = 16%perempuan = 21%

- Rajahet al. (2012)

Saudi Arabia 331 anak dan remaja, usia 6-17 tahun, pasien pusat kesehatan primer di Riyadh

Defi siensi ringan [25(OH)D 25-29,9 nmol/l] = 16,8%Defi siensi sedang [25(OH)D 12,5-24 nmol/l] = 71,6%Defi siensi berat [25(OH)D <12,5 nmol/l] = 11,4%

- Al-Othmanet al. (2009)

New Zealand 4788 anak sekolah, 3 suku: Maori, Pasifi c, dan New Zealand Europeans and Others (NZEO), tersedia 1585 data lengkap termasuk kadar 25(OH)D

Insufi siensi [25(OH)D <37,5 nmol/l]:Total = 31%Maori = 41%Pasifi c = 59%NZEO = 25%Defi siensi [25(OH)D <17,5 nmol/l]:Total = 4%Maori = 5%Pasifi c = 8%NZEO = 3%

Data nasional: The 2002 National Children’s Nutritional Survey (CNS02)

Rockellet al. (2010)

Turki 143 bayi 0-4 bulan, disusui secara eksklusif, mendapat suplementasi vitamin D 400 IU/hari selama 15 hari sejak kelahiran, di klinik bayi sehat di Izmir

Insifi siensi [25(OH)D 51-74 nmol/l] = 38,5%Defi siensi [25(OH)D ≤50 nmol/l] = <50 nmol/l = 28%

Analisis regresi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar 25(OH)D ialah: musim, tingkat pendidikan ibu, konsumsi bahan makanan dari susu, dan kepatuhan minum suplemen vitamin D

Haliciogluet al. (2012)

Page 205: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 193

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah?

Tabel 3. Status vitamin D anak-anak di negara lain (lanjutan)

Tempat penelitian

Subjek penelitian Insufi siensi/defi siensi vitamin D

Informasi lain

Penulis

Malaysia 3542 anak usia 0,5-12,9 tahun yang dipilih secara acak dari seluruh Malaysia dengan unit sekolah dan tempat penitipan bayi.

Insufi siensi [25(OH)D <50 nmol/l]:total = 47,5%pedesaan = 36.9%perkotaan = 50,2%laki-laki = 41,1%perempuan = 54,1%

Penelitian SEANUTS

Pohet al. (2013)

Thailand 3119 anak usia 0,5-12,9 tahun yang dipilih secara acak dari 76 provinsi, terdapat 204 anak perkotaan dan 424 anak pedesaan yang dianalisis kadar vitamin D

Defi siensi [25(OH)D<50 nmol/l]:pedesaan = 27,7%perkotaan = 45,6%

Penelitian SEANUTS

Rojroongwasinkulet al. (2013)

Vietnam 2872 anak usia 0,5-11,9 tahun yang dipilih secara acak dari 3 daerah, yaitu North, South, dan Central Vietnam, terdapat 960 anak dari daerah pedesaan dan 960 anak dari daerah perkotaan yang dianalisis kadar vitamin D yang semuanya dari kelompok umur 6-11,9 tahun

Defi siensi [25(OH)D <50 nmol/l]:laki-laki = 49,8%perempuan = 48,1%

Penelitian SEANUTS

Nguyenet al. (2013)

Tabel 4. Konsumsi bahan makanan sumber vitamin D pada anak-anak di Yogyakarta

Bahan makanan 0-6 bulan(n=4)

7-12 bulan(n=2)

13-60 bulan(n=35)

Susu, n (%) 3 (75) 1 (100) 28 (80)Salmon, n (%) 0 0 2 (6)Tuna, n (%) 0 0 8 (23)Sarden, n (%) 0 0 11 (31)Mackerel, n (%) 0 0 3 (9)Keju chedar, n (%) 0 0 13 (37)Telur ayam, n (%) 1 (25) 0 32 (91)Hati ayam, n (%) 1 (25) 0 25 (71)Kerang, n (%) 0 0 0Jamur shitake, n (%) 0 0 0Minyak ikan, n (%) 0 0 0

Tabel 4 menunjukkan secara kasar, bahwa hanya ada beberapa jenis makanan yang sering diberikan kepada anak sebagai sumber vitamin D pada ke 3 kelompok umur, yaitu susu, telur ayam, dan hati ayam. Padahal telur bukan sebagai bahan makanan yang banyak mengandung vitamin D. Jenis makanan lain yang sedikit dikonsumsi anak ialah tuna, sarden, mackerel, dan keju chedar. Bahan makanan lain, yaitu kerang,

Page 206: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endy P. Prawirohartono

194 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

jamur shitake, dan kapsul minyak ikan tidak pernah dikonsumsi anak. Tabel 4 menunjukkan, bahwa susu merupakan jenis makanan yang mengandung vitamin D yang paling sering dikonsumsi anak balita. Namun demikian survei sederhana ini tidak menganalisis kuantitas atau kecukupan masukan vitamin D.

Kemungkinan penyebab insufisiensi/defisiensi vitamin D dan cara mengatasinyaRaiten dan Picciano memperkirakan, bahwa tingginya kejadian insufisiensi dan defisiensi vitamin D karena meningkatnya kasus intoleransi laktose dengan akibat praktek pantang susu, rendahnya masukan makanan yang difortifikasi vitamin D, rasa khawatir mengkonsumsi lemak, sehinggamenurunkan masukan vitamin D yang larut lemak, menurunnya masukan makanan sumber kalsium yang juga mengandung vitamin D, meningkatnya penggunaan tabir surya dan menurunnya paparan sinar matahari untuk mencegah kanker kulit, peningkatan praktek menyusui secara eksklusif padahal kandungan vitamin D dalam ASI tidak tinggi, rendahnya kadar 25(OH)D serum wanita, penurunan paparan sinar matahari karena peningkatan polusi udara, kegiatan anak lebih banyak dilakukan di dalam rumah pada saat sinar matahari ideal mengubah provitamin

D menjadi provitamin D di kulit yang terjadi antara jam 10.00-15.00, pelindung kulit (pakaian, topi, dan sebagainya), pelindung sinar matahari (payung, gedung bertingkat, pohon) dan kondisi pangan sumber vitamin D di rumah tangga yang tidak baik.24

Vitamin D untuk wanita hamilWanita hamil sebaiknya tidak menderita defi siensi vitamin D. Kejadian defi siensi vitamin D banyak dilaporkan, bukan hanya di negara empat musim, tetapi juga di negara lain, misalnya Arab Saudi. Kramer et al. melaporkan bahwa kejadian isufi siensi dan defi siensi pada wanita hamil di Kanada adalah sebesar 66,6% tidak memandang musim dan status suplementasinya;25 sedangkan di Arab Saudi kejadian insufi siensi dan defi siensi vitamin D pada wanita hamil trimester pertama sebesar 94,2%.26

Global Consensus Recommendations on Preventionand Management of Nutritional Rickets tahun 2015 menganjurkan wanita hamil mendapatkan suplemen vitamin sebanyak 600 IU/hari untuk mencegah peningkatan kadar alkaline phosphatase darah (ALP), peningkatan ukuran fontanela, hipokalsemia pada bayi baru lahir, rickets kongenital,

Page 207: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 195

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah?

dan memperbaiki pembentukan email gigi. Suplementasi vitamin D pada wanita hamil tidak terbukti memperbaiki ukuran antropometrik bayi baru lahir dan memperbaiki massa tulang anak jangka pendek maupun jangka panjang.4

Vitamin D untuk wanita menyusuiWanita menyusui seharusnya mengkonsumsi vitamin D 600 IU/hari untuk dirinya sendiri, tidak termasuk untuk keperluan bayinya; mengkonsumsi banyak vitamin D untuk mencukupi keperluan bayi tidak dianjurkan.4 Walaupun ASI merupakan sumber nutrien yang baik untuk bayi dan anak, namun kandungan vitamin D dalam ASI dari ibu yang cukup mengkonsumsi vitamin D pun tidak mencukupi kebutuhan mereka. Rerata kandungan vitamin D ASI ialah 22 (15-50)IU/l. Bilamana seorang ibu menghasilkan ASI rata-rata 750 ml/hari, maka bayi atau anak yang hanya mengkonsumsi ASI akan mendapatkan vitamin D sebanyak 11-38 IU/hari, sedangkan angka kecukupan yang dianjurkan ialah 200 IU/hari.2

Fortifikasi vitamin D dalam makanan bayi dan anakCara lain meningkatkan masukan vitamin D pada anak-anak ialah dengan fortifi kasi bahan makanan yang sering dikonsumsi anak. Di negara dengan paparan sinar matahari terbatas, dan ada anjuran pembatasan paparan sinar matahari untuk mencegah kanker kulit, maka kebutuhan vitamin D terutama dari makanan yang difortifi kasi. Di Belanda, fortifi kasi dilakukan untuk susu formula dan beberapa jenis bahan makanan, misalnya margarin dan minyak. Kecuali fortifi kasi, sejak tahun 2008 anak usia 0-4 tahun diharuskan diberi suplementasi vitamin D 10 μg/hari untuk mengantisipasi kekurangan vitamin D dari sinar matahari dan makanan, kecuali yang mengkonsumsi susu formula >500 ml/hari. Namun demikian aturan ini diubah tahun 2012, yaitu semua anak usia 0-4 tahun harus mendapat suplemen vitamin D 10 μg/hari tanpa memandang masukan makanan termasuk susu formula dengan pertimbangan memperbaiki masukan vitamin D dari susu formula yang difortifi kasi ke susu regular. Dengan aturan ini, masukan vitamin D dari makanan dan suplemen diestimasi sebanyak 16-22 μg/hari untuk anak 0-6 bulan dan 13-21 μg/hari untuk anak usia 7-19 bulan. Masukan ini dianggap cukup, bahkan ada 4-12% anak usia 7-11 bulan masukannya melebih tolerable upper intake level (UL).27

Peraturan melakukan fortifi kasi makanan dengan vitamin D tidak sama di semua negara, termasuk negara empat musim yang mempunyai risiko defi siensi vitamin D lebih tinggi. Di USA, susu formula bayi wajib difortifi kasi, yaitu setiap 100 kcal mengandung vitamin D 40-100

Page 208: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endy P. Prawirohartono

196 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

IU, sehingga mencukupi kebutuhan bayi. Makanan lain tidak harus difortifi kasi, kecuali bila label makanan termasuk susu dinyatakan difortifi kasi dengan vitamin D, maka produsen wajib melakukannya, misalnya susu dan jus jeruk. Kandungan vitamin D dalam susu dan jus jeruk yang difortifi kasi ialah 400 IU/l. Di Kanada, fortifi kasi diwajibkan untuk makanan tertentu, misalnya susu dan margarin.2

Walaupun fortifi kasi telah dilakukan, ada beberapa faktor yang menyebabkan masukan vitamin D belum optimal. Tidak semua anak minum susu, bayi yang mendapat ASI tidak memperoleh susu formula yang difortifi kasi, pengurangan konsumsi jus karena risiko obesitas, prosedur fortifi kasi yang bervariasi, dan kandungan vitamin D dalam makanan alami bervariasi menurut musim.2

Suplementasi vitamin DSuplemen vitamin D mengandung vitamin D2 (ergocalciferol, nabati) atau D3 (cholecalciferol, hewani). Menurut penelitian, potensi vitamin D3 lebih tinggi dibandingkan dengan vitamin D2. Global Consensus Recommendations on Preventionand Management of Nutritional Rickets tahun 2015 merekomendasikan suplementasi vitamin D untuk bayi 0-12 bulan sebanyak 400 IU (10 μg/hari) dan 600 IU (15 μg/hari) untuk anak >12 bulan, tanpa memandang jenis makanannya.4

SimpulanMasukan vitamin D dari makanan untuk anak-anak di Indonesia dan di beberapa negara rendah. Di negara dengan peraturan fortifi kasi untuk meningkatkan masukan vitamin D melalui makanan, ada yang berhasil meningkatkan masukan vitamin D. Walaupun makanan tertentu difortifi kasi, kebiasaan makan makanan sumber vitamin D perlu ditingkatkan. Di negara lain, upaya untuk meningkatkan masukan vitamin D dilakukan juga dengan suplementasi. Suplementasi ditujukan untuk ibu hamil, menyusui dan anak-anak. Fortifi kasi bahan makanan dan suplementasi untuk anak Indonesia mulai perlu dipertimbangkan.

Daftar pustaka1. Holick MF, Binkley NC, Bischoff-Ferrari HA, Gordon CM, Hanley DA, Weaver CM

et al. Evaluation, treatment, and prevention of vitamin D defi ciency: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab 2011; 96:1911–1930.

2. Misra M, Pacaud D, Petryk A, Collett-Solberg PF, Kappy M. Vitamin D defi ciency in children and its management: Review of current knowledge and recommendations. Pediatrics 2008;122;398. doi: 10.1542/peds.2007-1894.

Page 209: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 197

Masukan Makanan Sumber Vitamin D: Cukupkah?

3. Valentina V, Palupi NS, Andarwulan N. Asupan kalsium dan vitamin D pada anak Indonesia usia 2-12 tahun. J. Teknol dan Industri Pangan 2014;25:83-89. DOI: 10.6066/jtip.2014.25.1.83.

4. Munns CF, Shaw N, Kiely M, Specker BL, Thacher TD, Högler W et al. Global Consensus Recommendations on Prevention and Management of Nutritional Rickets. J Clin Endocrinol Metab 2015;100: 0000–0000.

5. Morales-Suárez-Varela M, Rubio-López N, Ruso C, Llopis-Gonzalez A, Ruiz-Rojo E, Pico Y et al. Anthropometric status and nutritional intake in children (6–9 years) in Valencia (Spain): The ANIVA Study. Int J Environ Res Public Health 2015;12:16082–16095; doi:10.3390/ijerph121215045.

6. Perrine CG, Sharma AJ, Jefferds MED, Serdula MK, Scanlon KS. Adherence to vitamin D recommendations among US infants. Pediatrics 2010;125;627. doi: 10.1542/peds.2009-2571.

7. Keast DR,Fulgoni III VL, Nicklas TA, O’Neil CE. Food sources of energy and nutrients among children in the United States: National Health and Nutrition Examination Survey 2003–2006. Nutrients 2013;5:283-301.

8. Sandjaja S, Budiman B, Harahap H, Ernawati F, Soekatri M, Khouw I et al. Food consumption and nutritional and biochemical status of 0·5–12-year-old Indonesian children: the SEANUTS study. Br J Nutr2013;110:S11–S20.

9. Soesanti F, Pulungan A, Tridjaja B, Batubara JRL. Vitamin D profi le in healthy children aged 7-12 years old in Indonesia. Int J Pediatr Endocrinol 2013;2013(Suppl 1):P167.

10. Prawirohartono EP, Lestari SK, Nurani N, Sitaresmi MN. Difference in nutrient biomarkers concentration by habitual intake of milk among preschool children in an urban area of Indonesia. J Hum Nutr Food Sci 2015;3(1): 1055.

11. Utami S, Chairulfatah A, Rusmil AK. Perbandingan kadar vitamin D (25 hidroksivitamin D) pada anak sakit kritis dan nonkritis. Sari Pediatri 2015;16(6):434-40.

12. Septarini AD, Tambunan T, Amalia P. Calcium and vitamin D supplementation in children with frequently relapsing and steroid-dependent nephrotic syndrome. Paediatr Indones. 2012;52:16-21.

13. Poh BK, Ng BK, Haslinda MDS, Shanita SN, Wong JEW, Norimah AK et al. Nutritional status and dietary intakes of children aged 6 months to 12 years: fi ndings of the Nutrition Survey of Malaysian Children (SEANUTS Malaysia). Br J Nutr 2013;110: S21–S35 doi:10.1017/S0007114513002092.

14. Rojroongwasinkul N, Kijboonchoo K, Wimonpeerapattana W, Purttiponthanee S, Yamborisut U, Khouw I et al. SEANUTS: the nutritional status and dietary intakes of 0.5–12-year-old Thai children.Br J Nutr 2013;110: S36–S44 doi:10.1017/S0007114513002110.

15. Nguyen BKL, Thi HL, Do VAN, Thuy NT, Huu CN, Khouw I et al. Double burden of undernutrition and overnutrition in Vietnam in 2011: results of the SEANUTS study in 0·5–11-year-old children. Br J Nutr 2013;110:S45–S56 doi:10.1017/S0007114513002080.

16. Rockell JE, Green TJ, Skeaff CM, Whiting SJ, Taylor RW, Wohlers MW et al. Season and ethnicity are determinants of serum 25-hydroxyvitamin D concentrations in New Zealand children aged 5–14 y. J. Nutr. 2005;135:2602–2608.

Page 210: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Endy P. Prawirohartono

198 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

17. Pekkinen M, Viljakainen H, Saarnio E, Lamberg-Allardt C, Ma‘kiti O. Vitamin D is a major determinant of bone mineral density at school age. PloS ONE 7(7): e40090. doi:10.1371/journal.pone.0040090.

18. Kumar J, Muntner P, Kaskel FJ, Hailpern SM, Melamed ML Prevalence and associations of 25-hydroxyvitamin D defi ciency in US children: NHANES 2001 −2004 Pediatrics 2009;124;e362; doi: 10.1542/peds.2009-0051.

19. Cole CR, Grant FK, Tangpricha V, Swaby-Ellis ED, Smith JL, Ziegler TR et al. 25-hydroxyvitamin D status of healthy, low-income, minority children in Atlanta, Georgia. Pediatrics 2010;125;633; doi: 10.1542/peds.2009-1928.

20. Rajah J, Haq A, Pettifor JM. Vitamin D and calcium status in urban children attending an ambulatory clinic service in the United Arab Emirates. Dermato-Endocrinol 2012;4:1,44–48.

21. Halicioglu O, Sutcuoglu S, Koc F, Yildiz O, Akman SA, Aksit S. Vitamin D status of exclusively breastfed 4-month-old infants supplemented during different seasons. Pediatrics 2012;130;e921. doi: 10.1542/peds.2012-0017.

22. Al-OthmanA, Al-Musharaf S, Al-Daghri NM, Krishnaswamy S, Yusuf DS, Chrousos GP et al. Effect of physical activity and sun exposure on vitamin D status of Saudi children and adolescents. BMC Pediatrics 2012;12:92.

23. Zhu Z, Zhan J, Shao J, Chen W, Chen L, Zhengyan Zhao Z et al. High prevalence of vitamin D defi ciency among children aged 1 month to 16 years in Hangzhou, China. BMC Public Health 2012, 12:126

24. Raiten DJ, Picciano MF. Vitamin D and health in the 21st century: bone and beyond. Executive summary. AM J Clin Nutr 2004;80(suppl):1673S–7S.

25. Kramer CK, Ye C, Swaminathan B, Hanley AJ, Connelly PW, Retnakaran R et al. The persistence of maternal vitamin D defi ciency and insuffi ciency during pregnancy and lactation irrespective of season and supplementation. doi: 10.1111/cen.12989.

26. Al-Ajlan A, Krishnaswamy S, Alokail MS, Aljohani N, Al-Serehi A, Al-Daghri NM et al. Vitamin D defi ciency and dyslipidemia in early pregnancy. BMC Pregnancy and Childbirth 2015;15:314. doi: 10.1186/s12884-015-0751-5.

27. Verkaik-Kloosterman J, Beukers MH, Jansen-van der Vliet M, Ocké MC. Vitamin D intake of Dutch infants from the combination of (fortifi ed) foods, infant formula, and dietary supplements. Eur J Nutr 2015. doi: 10.1007/s00394-015-1102-z.

Page 211: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

199

Tata Laksana Renjatan: Berselancar Meniti Buih

Antonius H. Pudjiadi

Tujuan:1. Mengerti pendekatan dinamis pada tata laksana renjatan2. Mengenal konsep tata laksana renjatan secara individual3. Mengenal cara menilai kemampuan jantung menerima

peningkatan preload4. Mengenal cara menilai masalah kontraktilitas sekaligus

keseimbangan antara kontraktilitas dan impedans vaskular

Di akhir abad ke 19, Otto Frank memperlihatkan, pada jantung katak, bahwa kekuatan kontraksi ventrikel meningkat bila ventrikel diregang sebelum kontraksi. Di awal abad ke 20, Ernest Starling memperlihatkan bahwa peningkatan left ventricular end diastolic pressure (LVEDP) berkorelasi dengan peningkatan isi sekuncup.Karena kurva Frank-Starling ditentukan oleh kinerja inotropik dan afterload, maka terdapat banyak kemungkinan kurva. Hampir 100 tahun kemudian tata laksana hemodinamik renjatan masih diilhami kurva-kurva Frank-Starling tersebut.

Pengukuran parameter hemodinamik dengan teknik hemodilusi sangat berkembang setelah penemuan kateter arteri pulmonalis, yang juga dikenal dengan kateter Swan-Ganz. 1Dengan mempelajari data hemodinamik pasien bedah, baik yang dapat dipertahankan hidup, yang tidak berhasil dipertahankan dan pasien dengan komplikasi, Shoemaker dan rekan mengemukakan konsep ‘supra normal’, yang prinsipnya adalah meningkatkan curah jantung untuk meningkatkan pasokan oksigen (DO2) hingga lebih tinggi dari nilai normal selama masa perioperative. 2Penelitian selanjutnya tidak dapat membuktikan keunggulan konsep ‘supra normal’ tersebut, malahan penggunaan inotropik dikawatirkan dapat memicu iskemia miokard.3, 4Jean Louis Vincent kemudian memperlihatkan bahwa konsumsi oksigen (VO2) umumnya tidak berkorelasi dengan DO2, karena adanya mekanisme kompensasi. 5Ketika kandungan oksigen darah menurun terjadi peningkatan curah jantung, untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Bila

Page 212: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Antonius H. Pudjiadi

200 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

kompensasi tersebut gagal, VO2 akan bergantung pada DO2 dan terjadi metabolism anaerob yang mengakibatkan asidosis laktat. Kondisi ini umumnya terjadi ketika oxygen extraction ratio (O2ER) mendekati 60%, pada kondisi khusus, misalnya dalam sedasi dan anestesi, titik kritis O2ER dapat menurun hingga 30%. Karena itu target terapi berobah dari target supra normal menjadi mengoptimalkan VO2/DO2 agar O2ER tetap pada nilai normal. Karena terdapat korelasi antara O2ER dan saturasi vena sentral (ScvO2), target resusitasi selanjutnya adalah mencapai ScvO2 >70%. 6,7Pengukuran ScvO2 lebih praktis, tanpa perlu pengukuran curah jantung. Hingga saat ini, banyak protocol tata laksana renjatan mentargetkan pemberian cairan untuk meningkatkan preload, disusul dengan pemberian inotropik dan vasoaktif serta transfuse darah untuk mencapai ScvO2 >70% atau target antara lainnya.7, 8

Berkembangnya teknologi non-invasive sangat membantu dokter dalam melakukan tata laksana renjatan. Ultrasonografi , misalnya, tekni kini memungkinan pengukuran isi sekuncup secara sangat mudah. Pemahaman fi siologi hemodinamik dan perhitungan computer menyebabkan perangkat moderen menghasilkan berbagai parameter hemodinamik baru yang belum pernah digunakan sebelumnya. Penerapan teknologi ini juga memungkinkan tata laksana pasien secara individual. Sayangnya, pola pikir lama, dengan algoritma yang statis, masih tetap membayangi para klinisi, sehingga manfaat yang diperoleh dengan teknologi baru tersebut menjadi terbatas. Dibutuhkan revolusi pemikiran untuk menyerap teknologi baru ini untuk tata laksana hemodinamik yang lebih baik.

Berfikir secara dinamisHemodinamik merupakan suatu sistim yang utuh, satu sama lain saling berhubungan. Preload, afterload dan kontraktilitas mempengaruhi isi sekuncup. Isi sekuncup dan laju jantung menghasilkan curah jantung. Curah jantung dan systemic vascular resistance menghasilkan tekanan darah. Di sisi lain, curah jantung dan kandungan oksigen darah arteri menentukan pasokan oksigen (DO2) (Gambar 1). Bila target resusitasi adalah tekanan darah, seringkali digunakan norepinefrine. Norepinefrine akan meningkatkan systemic vascular resistance (SVR). Bila curah jantung tetap, peningkatan SVR akan meningkatkan tekanan darah. Namun demikian, peningkatan SVR akan meningkatkan afterload yang dapat berakibat penurunan isi sekuncup, penurunan curah jantung dan akhirnya penurunan DO2. Dengan demikian tekanan darah tidak tepat digunakan sebagai target resusitasi.

Page 213: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 201

Tata Laksana Renjatan: Berselancar Meniti Buih

Strategi yang disarankan oleh Emanuel Rivers dan rekan, untuk tata laksana renjatan sepsis, adalah meningkatkan preload, tekanan darah, kadar hemoglobin dan curah jantung dengan tujuan meningkatkan DO2 hingga ScvO2 >70%. 7Dengan kata lain, mereka menganjurkan mengintervensi seluruh sistem hemodinamik dengan target saturasi vena sentral. Namun demikian strategi ini tidak memperhitungkan sistim fisiologis lainnya. Peningkatan preload pada dasarnya juga meningkatkan tekanan hidrostatik vaskular. Paul Marik berpendapat, ketika upaya peningkatan preload mencapai bagian landai kurva Starling, maka peningkatan tekanan hidrostatik memberi pengaruh yang lebih buruk dari pada peningkatan kecil isi sekuncup yang terjadi (Gambar 2). 9Peningkatan tekanan hidrostatik ini berkorelasi dengan peningkatan extravascular lung water yang akan memperburuk oksigenasi paru. Sebuah studi retrospektif kohort pada 636 anak yang dirawat di pediatric intensive care unit (PICU) memperlihatkan bahwa keseimbangan cairan yang positif, sesuai besarnya, berkorelasi dengan gangguan oksigenasi dan lama penggunaan ventilasi mekanik.10 Pengaruh lain yang juga perlu diperhatikan adalah efek samping peningkatan preload pada jantung yang mengalami gangguan kontraktilitas. Pada keadaan ini,

Gambar 1. Hubungan antara parameter hemodinamik. SVR = systemic vascular resistance; Hb = kadar hemoglobin; SpO2 = saturasi oksigen darah arteri; MAP = mean arterial pressure

(tekanan darah); DO2 = pasokan oksigen

Page 214: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Antonius H. Pudjiadi

202 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

regangan jantung akan memicu pelepasan peptida dan atriuretik yang akan mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan diuresis, natriuresis dan kebocoran plasma.

Karin Wodack dan rekan membandingkan hewan coba yang diresusitasi dengan target stroke volume index maksimal dan yang diresusitasi dengan target stroke volume index meningkat maksimal 15%. Mereka mendapatkan kerusakan endotel, terjadinya vasodilatasi dan peningkatan interleukin-6 secara bermakna lebih tinggi pada kelompok dengan target stroke volume index maksimal. 11Lukito dan rekan menggunakan perasat passive leg rising, pada anak usia 1-8 tahun, untuk menilai kemampuan jantung mendapat beban peningkatan preload. Peningkatan cardiac index sama atau lebih dari 10% akibat passive leg rising menunjukkan kemampuan jantung untuk mengelola kenaikan preload dengan sensitivitas 55% dan spesifi sitas 85%.12

Penilaian kontraktilitas secara statis, misalnya dengan menilai ejection fraction secara echocardiography, sangat dipengaruhi afterload. Dengan menggunakan continuous-wave Doppler ultrasound, Brendan Smith dan Veronica Madigan menciptakan parameter baru, yaitu Smith-Madigan inotropy index (SMII) dan potential to kinetic energy ratio (PKR), untuk menilai fungsi pompa jantung sekaligus systemic vascular

Gambar 2. Hubungan peningkatan preload dan peningkatan extravascular lung water (dikutip dari Marik PE dan Desai H, 2012)9 SV = stroke volume (isi sekuncup); EVLW = extravascular

lung water; CO = cardiac output.

Page 215: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 203

Tata Laksana Renjatan: Berselancar Meniti Buih

resistance.13 SMII dan PKR dikembangkan dari konsep perbandingan energy potensial dan energi kinetik yang dipelajari pada pasien gagal jantung dan pasien sehat (sebagai kontrol). Dalam klinik, metoda ini dapat digunakan untuk menilai status hemodinamik sekalipun parameter stastis normal akibat kompensasi.

SimpulanTata laksana renjatan tidak dapat dilakukan dengan mentargetkan satu parameter hemodinamik tunggal. Perkembangan teknologi telah memungkinkan pengukuran hemodinamik non-invasive secara lebih menyeluruh (comprehensive). Dibutuhkan perobahan pola pikir dan pemahaman patofi siologi pasien untuk mencapai keberhasilan. Tata laksana renjatan yang terbaik selayaknya dilakukan secara individual.

Daftar pustaka1. Swan HJ, Ganz W, Forrester J, Marcus H, Diamond G, Chonette D. Catheterization

of the heart in man with use of a fl ow-directed balloon-tipped catheter. N Engl J Med. 1970;283:447-51.

2. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB, Waxman K, Lee TS. Prospective trial of supranormal values of survivors as therapeutic goals in high-risk surgical patients. Chest. 1988;94:1176-86.

3. Hayes MA, Timmins AC, Yau EH, Palazzo M, Hinds CJ, Watson D. Elevation of systemic oxygen delivery in the treatment of critically ill patients. N Engl J Med. 1994;330:1717-22.

4. Gattinoni L, Brazzi L, Pelosi P, Latini R, Tognoni G, Pesenti A, dkk. A trial of goal-oriented hemodynamic therapy in critically ill patients. SvO2 Collaborative Group. N Engl J Med. 1995;333:1025-32.

5. Vincent JL. The relationship between oxygen demand, oxygen uptake, and oxygen supply. Intensive Care Med. 1990;16 Suppl 2:S145-8.

6. Donati A, Cola L, Danieli R, Adrario E, Givoannini C, Pietropaoli P. [Predictivity associated with oxygen-transporting hemodynamic parameters: relation between the cardiac index and oxygen extraction]. Minerva Anestesiol. 1995;61:241-7.

7. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, dkk. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2001;345:1368-77.

8. Brierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, Decaen A, Deymann A, dkk. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med. 2009;37:666-88.

9. Marik PE, Desai H. Goal directed fl uid therapy. Curr Pharm Des. 2012;18:6215-24.10. Sinitsky L, Walls D, Nadel S, Inwald DP. Fluid overload at 48 hours is associated

with respiratory morbidity but not mortality in a general PICU: retrospective cohort study. Pediatr Crit Care Med. 2015;16:205-9.

Page 216: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Antonius H. Pudjiadi

204 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

11. Wodack KH, Poppe AM, Tomkotter L, Bachmann KA, Strobel CM, Bonk S, dkk. Individualized early goal-directed therapy in systemic infl ammation: is full utilization of preload reserve the optimal strategy? Crit Care Med. 2014;42:e741-51.

12. Lukito V, Djer MM, Pudjiadi AH, Munasir Z. The role of passive leg raising to predict fl uid responsiveness in pediatric intensive care unit patients. Pediatr Crit Care Med. 2012;13:e155-60.

13. Smith BE, Madigan VM. Non-invasive method for rapid bedside estimation of inotropy: theory and preliminary clinical validation. Br J Anaesth. 2013;111:580-8.

Page 217: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

205

Isu Seputar Imunisasi: Peran Media Sosial dalam Membentuk Opini Masyarakat

Piprim Basarah Yanuarso

Dengan semakin banyaknya pengguna gawai (gadget) yang meliputi ponsel cerdas (smartphone) dan tablet komputer di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia, maka pengguna media sosial pun bertambah sangat signifi kan. Kini ada sekitar 1,5 milyar pengguna Facebook di seluruh dunia. Angka ini lebih banyak dari jumlah penduduk Republik Rakyat China yang berjumlah 1,36 milyar jiwa (tahun 2015). Belum lagi pengguna media sosial lain seperti Twitter, Instagram, Whatsapp, Line, Telegram, dll. Bukankah hampir semua di antara kita memiliki aplikasi Whatsapp dalam ponsel cerdas kita dan menjadi anggota minimal satu dari grup Whatsapp tersebut? Oleh karenanya maka berbagai isu pun kini mudah merebak dengan amat cepat dan meluas terkait dengan efek viral dari media sosial itu.

Salah satu isu seksi yang sering tersebar di media sosial adalah isu seputar imunisasi. Satu tulisan yang menggambarkan kegalauan seseorang tentang imunisasi yang ditulis di salah satu grup Whatsapp akan dengan mudah menyebar secara cepat dan luas di dunia maya. Hampir mirip dengan kaidah di media konvensional: ‘bad news is good news’ maka di media sosial pun isu miring seputar imunisasi akan dengan mudah disebarluaskan dengan penuh semangat karena diyakini kebenarannya. Lalu masyarakat pun beramai-ramai galau terhadap imunisasi. Kadang mereka lebih percaya kepada tulisan anonim di media sosial yang menyinggung keburukan imunisasi daripada pernyataan ilmiah seorang dokter anak.

Fenomena di atas mau tidak mau, suka tidak suka, sudah hadir di sekitar kita. Sebagai tenaga kesehatan, khususnya dokter anak yang menjadi garda terdepan dalam masalah imunisasi ini, maka sudah sewajarnya jika kita pun dapat memanfaatkan media sosial dalam membentuk opini tentang manfaat imunisasi di masyarakat, sekaligus melawan berbagai isu negatif tentang imunisasi dengan efektif dan efi sien. Jika isu negatif tadi bisa menyebar luas dengan cepat, maka bantahan ilmiah populer dari seorang dokter anak pun bisa menyebar

Page 218: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Piprim Basarah Yanuarso

206 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

dengan luas dan cepat pula dengan bantuan media sosial. Untuk itu perlu diketahui beberapa hal terkait latar belakang mengapa seseorang bisa menjadi antiimunisasi dan bagaimana peran seorang dokter dalam membentuk opini masyarakat dengan memanfaatkan media sosial.

Tiga kelompok utama antiimunisasi Unicef mengelompokkan antiimunisasi menjadi tiga kelompok utama yaitu: Penolakan karena alasan personal yaitu karena concern dan

ketakutan akan ‘bahaya imunisasi’ Penolakan karena alasan kontekstual yaitu karena ketidakpercayaan

kepada pemerintah, industri farmasi atau institusi kesehatan karena tuduhan bermotif bisnis dll.

Penolakan karena alasan ideologis berbasis agama (transendental)

Pendekatan terhadap kelompok pertama adalah dengan pendekatan empati serta melakukan kampanye positif tentang imunisasi dan menjelaskan manfaat, keamanan vaksin, dan apa akibat jika tidak diimunisasi. Pendekatan kepada kelompok kedua adalah dengan penjelasan yang transparan tentang produksi vaksin, cost benefit vaksinasi dibandingkan biaya mengobati penyakit. Sedangkan terhadap kelompok ketiga bisa didekati dengan menggunakan ‘bahasa ideologis yang serupa’. Kita masuk dan berbicara dengan bahasa mereka.

Membentuk komunitas pro-imunisasiJika kelompok anti-imunisasi punya komunitas di dunia maya berupa grup Facebook misalnya, yang seringkali bikin galau masyarakat terhadap imunisasi, maka kita pun sangat perlu membentuk komunitas serupa bekerjasama dengan masyarakat luas yang punya kesadaran baik akan pentingnya imunisasi. Para dokter takkan sanggup berjuang sendirian tanpa bantuan masyarakat luas, oleh karenanya dokter perlu bekerjasama dengan berbagai komunitas pro-imunisasi yang sudah ada dan jika perlu dapat membentuk komunitas baru di dunia maya untuk menyebarkan kampanye positif tentang imunisasi.

Kampanye positif tentang pentingnya imunisasiSalah satu sebab mengapa masyarakat mudah galau ketika ada isu negatif tentang imunisasi adalah karena kurangnya kampanye positif

Page 219: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 207

Isu Seputar Imunisasi: Peran Media Sosial dalam Membentuk Opini Masyarakat

tentang imunisasi. Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang benar dan berbasis bukti tentang pentingnya imunisasi dan apa akibatnya jika anak tidak mendapat imunisasi. Namun sayangnya kadang penyampaian kampanye imunisasi ini dilakukan dengan cara seadanya dan tidak menarik perhatian masyarakat, atau sebaliknya dilakukan dengan menggunakan bahasa ilmiah tingkat tinggi sehingga sulit dipahami masyarakat. Ingat bahwa yang kita hadapi adalah berbagai isu miring yang justru lebih menarik perhatian masyarakat luas. Oleh karena itu maka penyampaian kampanye tentang pentingnya imunisasi mesti dikemas dalam bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, dan dapat menjawab langsung kegalauan masyarakat. Penggunaan gambar-gambar meme di media sosial memiliki dampak yang sangat besar dalam penyebaran informasi dan memudahkan untuk dibagi dan disebarluaskan di media sosial. Hindari penggunaan istilah yang terlalu ilmiah yang sulit dipahami masyarakat.

Hindari debat berkepanjangan dengan kelompok antiimunisasiKadang respons terbaik untuk kelompok antiimunisasi adalah tak memberi respons. Perdebatan berkepanjangan dengan kelompok antiimunisasi sebaiknya dihindari kecuali seperlunya saja. Perdebatan ini justru memancing kita untuk bertindak tidak ilmiah dan malah cenderung emosional, mengingat kelompok antiimunisasi biasanya mengeluarkan argumen yang tidak ilmiah dan tidak berbasis bukti. Biasanya mereka mengandalkan testimoni dan sangat kukuh mempertahankan pendapat sendiri meski sudah disodorkan bukti-bukti ilmiah yang teruji. Namun sesekali debat ini diperlukan untuk menyadarkan masyarakat yang galau akibat membaca tulisan-tulisan kelompok antiimunisasi tsb. Sedangkan aktivis antiimunisasi garis keras biasanya sulit disadarkan hanya dengan berdebat di dunia maya semata.

Pahami beberapa isu penting yang sering diungkap kelompok antiimunisasi Di Indonesia biasanya isu yang dihembuskan kelompok antiimunisasi terkait dengan isu halal-haram, isu konspirasi, dan keamanan imunisasi. Sebagai dokter tentu kita mesti memahami dan bisa membantah berbagai isu tersebut dengan bahasa yang sederhana namun memuaskan masyarakat yang sedang galau. Ada baiknya kita bekerjasama dengan institusi lain seperti Majelis Ulama Indonesia terkait isu halal-haram imunisasi. Namun untuk beberapa hal yang mendasar, dokter anak

Page 220: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Piprim Basarah Yanuarso

208 A New Concept in Pediatric Clinical Practice

pun sebaiknya memahami dengan baik permasalahan ini. Kita perlu melengkapi bahan bacaan kita dengan literatur terkait kontroversi imunisasi baik dari sisi medis maupun nonmedis. Kini banyak tersedia berbagai buku yang membahas masalah kontroversi imunisasi ini.

Beberapa contoh isu yang dihembuskan kelompok antiimunisasiVaksin tanpa label halalIsu ini sering dihembuskan dan membuat galau masyarakat. Untuk menjawabnya kita bisa melihat kaidah ushul fiqih bahwa hukum asal semua benda adalah mubah (halal) sampai ada bukti bahwa dia haram. Jadi yang harus dicari adalah bukti haram bukan bukti halal. Artinya selama dalam kandungan vaksin itu tak ada bukti haram, maka hukumnya adalah halal. Pada kenyataannya ada beberapa vaksin yang sudah mendapat label halal dan sisanya tak ada yang berlabel haram.

Vaksin mengandung babiIsu ini juga sering disebarluaskan kelompok antiimunisasi. Kita mesti memahami antara kata “mengandung” dengan “pernah bersinggungan” lalu kemudian mengalami ultrafi ltrasi atau penyucian berkali-kali hingga pada produk akhir vaksin tak ada sama sekali unsur babi. Sebaiknya dokter juga memahami dengan baik kaidah istihalah (transformasi zat) dan istihlak (pengenceran luar biasa) yang terjadi pada proses pembuatan vaksin, agar mampu berdiskusi dengan baik terkait masalah ini.

Isu konspirasi Yahudi dan AmerikaUntuk menjawab isu ini kita bisa memberikan data cakupan imunisasi di negara Israel, Amerika Serikat, dan juga di negara-negara Islam. Dengan data ini maka isu konspirasi bisa dibantah dengan mudah.

Isu keamanan vaksinBiasanya terkait dengan bahan adjuvan dalam vaksin, thimmerosal, garam alumunium, isu vaksin menyebabkan autisme, dll. Isu ini lebih mudah dibantah dengan bukti-bukti ilmiah yang sudah ada. Juga perlu dijelaskan tentang kejadian ikutan pasca imunisasi dengan bahasa yang mudah dipahami.

Page 221: Full-Day Workshop and Symposium A New Concept in Pediatric ...staff.ui.ac.id/system/files/users/aryono.hendarto/... · Tak lupa kami haturkan ucapan terima kasih untuk para moderator,

Ikatan Dokter Anak Indonesia 209

Isu Seputar Imunisasi: Peran Media Sosial dalam Membentuk Opini Masyarakat

Bekerjasama dengan tokoh panutan masyarakat atau selebritis dalam kampanye imunisasiDampak tokoh masyarakat atau selebritis dalam mempengaruhi opini masyarakat cukup signifi kan. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika kita bekerja sama dengan mereka dalam melakukan kampanye imunisasi di media sosial. Biasanya para follower akan mengikuti gaya hidup celebritis atau tokoh idolanya, termasuk gaya hidup ber”imunisasi”.

Demikian beberapa panduan ketika kita akan menggunakan media sosial dalam membentuk opini masyarakat khususnya terkait dengan imunisasi. Sebagai dokter anak tentu kita tidak bisa mengabaikan manfaat media sosial ini dalam diseminasi informasi yang amat cepat dan meluas. Mari kita fokus pada kelebihan media sosial ini dan membatasi semaksimal mungkin dampak negatifnya.

Daftar pustaka1. McGowan BS, Wasko M, Vartabedian BS, Miller RS, Freiherr DD, Abdolrasulnia

M. Understanding the factors that infl uence the adoption and meaningful use of social media by physicians to share medical information. J Med Internet Res. 2012;14;5:e117

2. Kind T, Greysen SR, Chretien KC. Advantages and challenges of social media in pediatrics. Pediatr Ann. 2011;40;9:430–4

3. Unicef. Tracking antivaccination sentiment in Eastern European Social Media Network. Social and civic media section, Unicef; 2013;2-47.

4. Yanuarso PB. Pandangan Agama terhadap vaksinasi. Dalam: Trihono PP, Oswari H, Gunardi H, Hendarto A, penyunting. Simposium Imunisasi IDAI ke-3, Immunization for bright future of our children. Ikatan Dokter Anak Cabang Jakarta, 2012, h 71-76.