fotografi dan spiritualitas ignasian: sebuah refleksi

25
PHOTOGRAPHY AND THE IGNATIAN SPIRITUALITY PAUL PRABOWO, S.J. About Picturing God Where do you find God in the world around you? Do you encounter God in nature, in the people around you, in a church, in the beauty of the arts, the disciplines of science, or the mundane moments of daily life? All of these are places where we can experience God’s presence and grace. Ignatian Spirituality.com

Upload: paul-prabowo

Post on 20-Jul-2015

679 views

Category:

Spiritual


1 download

TRANSCRIPT

PHOTOGRAPHY AND

THE IGNATIAN SPIRITUALITY

PAUL PRABOWO, S.J.

About Picturing God

Where do you find God in the world around you? Do you encounter God in nature, in the people around you, in a church, in the beauty of the arts, the

disciplines of science, or the mundane moments of daily life? All of these are places where we can experience God’s

presence and grace.

Ignatian Spirituality.com

Kontemplasi dalam Aksi:

Memotret Kehidupan dengan Lensa Spirit Ignasian

Ignatian spirituality is a spirituality for everyday life. It insists that God is present in our world and active in our lives. It is a pathway to deeper prayer, good decisions guided by keen discernment, and an active life of service to others.

+Ihus. Gratitude! Dengan rasa syukur yang mendalam untuk dapat mengenal, memeluk serta belajar menghayati spiritualitas Ignasian dengan setia, aku ingin mengungkapkannya secara sederhana dalam bentuk yang lain: foto. Seiring menekuni hobi fotografi, aku mencoba merefleksikan serta memberi makna antara fotografi dengan model penghayatan spiritualitas Ignasian. Beberapa foto yang kutampilkan dalam refleksi ini hanyalah sebagian dari dokumen pribadi yang kukumpulkan dari berbagai kesempatan dengan kutipan dari beberapa tokoh. Contemplativus simul In Actione (kontemplasi dalam aksi). Bagiku, ungkapan Jerome Nadal, S.J. (first theoretician of Jesuit Spirituality, penerjemah pemikiran Ignatius) ini menjadi ekspresi yang mendasar untuk memotret banyak pengalaman keseharian dengan lensa spiritualitas Ignasian yang selama ini coba kuhayati. Kontemplasi dalam Aksi inilah yang menjadi basis refleksi serta titik berangkat permenunganku mengenai spirit Ignasian dan dunia fotografi yang saling berhubungan satu sama lain. Tentu pertama-tama spiritualitas Ignasian bukan hanya milik Jesuit, biarawan, imam atau para religius melainkan juga bagi semua orang beriman. Kontemplasi dalam aksi mengandaikan kehendak dalam diri (id quod volo) untuk berusaha mencari dan melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidup sehari-hari serta mengusahakan yang ‘lebih’ (magis). Dengan kata lain, seakan ada kesatuan tak terpisahkan antara hidup doa dan karya, dalam hidup keseharian kita diajak untuk mengorientasikan apa yang kita kerjakan entah bagi sesama manusia atau ciptaan lain bagi kemuliaan Tuhan. Kobaran api spiritualitas Ignasian berporos dan mengacu pada pengalaman rohani St. Ignasius Loyola sendiri, yang kemudian diwariskan dalam buku Latihan Rohani (LR). Spiritualitas Ignasian bersandar pada LR, menolong manusia untuk menemukan Tuhan dalam hidup sehari-hari dan menata hidup sedemikian rupa sehingga seturut kehendakNya. Sementara itu, spiritualitas Jesuit tidak hanya terinspirasi pada LR semata, melainkan juga pada berbagai tradisi serta konstitusi Serikat Yesus (Constitutions of the Society of Jesus). Semoga kita semakin mengenal, mencintai, dan mengikutiNya lebih dekat. Ad Mariorem Dei Gloriam

Fotografi dan Mistik Mata Terbuka Ignasian (The Ignatian “Mysticism of Open Eyes”)

Mata tentu amat menentukan

dalam aktivitas memotret.

Dengan mata terbuka kita

mencoba melihat realitas

melalui viewfinder pada kamera

dan menentukan momen yang

akan difoto. Pater Pedro Arrupe,

S.J. dengan pembaharuannya

mengajakku untuk memohon

rahmat agar dapat memandang

dan mencintai dunia

(dengan segala kebutuhannya)

sebagaimana Yesus sendiri.

Membuka mata dan membuka

hati pada kebutuhan dan realitas

dunia yang terpecah

(the broken world).

In the end Jesus did not teach an ascending mysticism of closed eyes, but rather a God-mysticism with an increased readiness for perceiving, a mysticism of open eyes, which sees more and not less.

It is a mysticism that especially makes visible all invisible and inconvenient suffering, and—convenient or not—pays attention to it and takes responsibility for it, for the sake of a God who is a friend to human beings.

[Teolog Jerman, Johann Baptist Metz]

Fotografi dan Cinta (Rooted and Grounded in Love). Aku semakin yakin dan mengalami kebenaran bahwa inti dari

Spiritualitas Ignasian tidak lain adalah Cinta Tuhan yang menggerakkan...dalam retret Ignasian kita selalu mulai

menyadari kehadiran Tuhan dan karyanya atas hidup kita. Dalam fotografi, selain belajar mengenai teknik memotret

(skill), mengasah camera eye, intens dengan kamera yang dipakai, dan ‘jam terbang’ seseorang, satu hal yang

menggerakkanku adalah CINTA. Tampaknya mungkin romantic-dramatis, namun cinta sungguh memberi konteks dan

rasa bahagia pada apa yang sedang kupotret. Cinta memberi makna tidak sekadar pada minatku, tapi rasa syukur atas

hidup yang menjadi akar kerinduan dari dalam diri. Cinta membuat yang invisible menjadi visible.

“Nothing is more practical than

finding God, that is, than falling

in love in a quite absolute, final

way. What you are in love with,

what seizes your imagination,

will affect everything. It will

decide what will get you out of

bed in the morning, what you will

do with your evenings, how you

will spend your weekends, what

you read, who you know, what

breaks your heart, and what

amazes you with joy and

gratitude. Fall in love, stay in love

and it will decide everything.”

-Pedro Arrupe, S.J.

Fotografi dan Menemukan Tuhan dalam Segala (Finding God in all things). Dalam mengasah pengalaman fotografi di beberapa kesempatan: hunting ke beberapa tempat, di jalanan

(street photography), bertukar ilmu, dan mengabadikan momen tertentu, aku semakin menyadari kehadiran serta karyaNya yang indah dalam segala hal. Tuhan mengajariku untuk melihat realitas dunia dari perspektif

yang berbeda, melalui lensa Tuhan sendiri. What is His message for me through this captured moment?

We don’t have to withdraw from the world into a quiet place in

order to find God. God’s footprints can be found everywhere—in our

work and our relationships, in our family and friends, in our sorrows and

joys, in the sublime beauty of nature and in the mundane details of our

daily lives. It’s often said that Ignatian spirituality trains us to

“find God in all things.”

Fotografi dan Semangat ‘Lebih’ (Latin : Magis!) Mediocrity has no place in the Ignatian Worldview. Melakukan sesuatu demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan.

Semangat magis mengajariku untuk selalu berusaha menyelami sebuah gambar/foto sampai ke kedalaman (depth). Di tengah dunia yang terpecah ini, tantangan terbesar adalah hidup dalam kedangkalan dan Ignasius sebaliknya memberi

inspirasi untuk berusaha mencari yang lebih mendalam. Duc in altum, bertolaklah ke tempat yang lebih dalam! (Luk 5:4) Dengan demikian aku diajak untuk tidak sekadar jepret sana sini atau memperbanyak shutter count tanpa makna,

melainkan masuk ke dalam realita kehidupan itu sendiri serta mengambil sikap. Seorang kawan (bro. Jeff Pioquinto, S.J.) pernah mengutip ungkapan menarik, “TRUE MAGIS is giving to others from our own death, building others from

own homelessness, healing others in spite our woundedness...For magis is generosity without a selfie."

Fotografi dan Panggilan

Fotografi bagiku bukan hanya hobi apalagi profesi, melainkan panggilan. Perhatian pada fotografi

dapat bermuara pada hilangnya makna dan cinta jika kita tidak melihatnya sebagai bagian dari

panggilan. Ya, sebuah panggilan untuk melihat dunia dengan ‘mata’ yang baru dan dengan demikian memuliakan Tuhan, pencipta kita.

Fotografi dan pesan yang terangkum di dalamnya

menantang dan memanggilku untuk melihat realitas dari sudut pandang yang berbeda.

Ya...mengambil jalan yang tidak banyak dilalui orang, membuat hidup menjadi bermakna bagi

banyak orang. Sebagaimana hidup ini, orang memiliki kebebasan dalam menentukan hidup dan mengarahkan diri bagaimana ia ingin menghayati hidupnya. Sarana dipakai sejauh membantu dan

ditinggalkan sejauh merintangi tercapainya tujuan.

Fotografi buatku menjadi sarana (bdk. Latihan Rohani no. 23) dalam mencapai tujuan manusia diciptakan, yakni memuji, menghormati serta

mengabdi Allah.

Pater Joseph Tetlow, S.J. mengatakan bahwa penyusunan kata “memuji, menghormati dan

akhirnya mengabdi” ini mengungkapkan suatu gerakan dari disposisi ke aksi.

Fotografi dan Kontemplasi Mendapatkan Cinta (Contemplatio Ad Amorem).

“Cinta itu lebih diwujudkan dengan perbuatan daripada diungkapkan dengan kata-kata” (LR. 230)

Sebagaimana spiritualitas tak berhenti mengalir hanya pada pemahaman

teoretis akal budi, memahami konsep tentang Cinta Tuhan yang abstrak, atau

pengalaman merasa dicintai (yang mandeg)…spiritualitas sebaliknya masuk

ke dalam celah-celah jiwa, mendorong orang mengintegrasikannya dalam aksi

konkret keseharian.

Latihan Rohani tidak untuk bacaan rohani atau dihapal tapi perlu

adanya latihan (exercise). Fotografi: bisa karena biasa! Aku perlu terus belajar,

latihan untuk menangkap momen rahmat setiap saat dan terbuka pada

peristiwa/pengalaman serta mencecap karyaNya di tengah dunia. Tidak ada

jalan yang mudah untuk belajar bagaimana memotret yang baik

ketimbang memegang kamera dan terus belajar memotret. Kita tidak dapat hanya belajar fotografi dengan membaca buku

di rumah tanpa masuk dan terbenam dalam realitas, praktik, serta masuk dalam pengalaman mengambil suatu gambar. Seeing and loving the world as Jesus

did! Memandang dan mencintai dunia sebagaimana Ia sendiri memandang dan mencintai dunia…

Fotografi dan Discernment.

Discernment sebagai suatu latihan dalam tradisi

Kristiani menjadi bagian penting dalam proses membuat keputusan yang menghormati dan memberi tempat bagi

kehendak Tuhan dalam hidup kita. Life is a bundle of choices and decisions. Hidup harian kita dirajut dengan serangkaian pilihan dan keputusan, sekecil apapun itu. Kita semua membuat keputusan namun tidak semua

keputusan kita adalah hasil dari diskresi.

Sepanjang latihan orang mengalami berbagai gerak roh dan belajar membedakan gerak batin (las mosciones-

movement of the heart) itu sebagai unsur penting dalam proses membuat keputusan serta penegasan. Maka

orang harus belajar merasakan dan mengenal berbagai gerak yang timbul di dalam jiwa.

Dalam fotografi, kita tidak hanya akan memotret secara sembarangan. Kita memotret dengan suatu tujuan.

Setiap kali mengambil gambar, aku selalu menimbang dan melihat gerak batin apakah saya sedang mengambil

gambar yang mengarah pada komitmen terhadap kemanusiaan, keindahan atau pesan tertentu berikut dengan komposisi maupun angle yang menyentuh. Di

saat yang bersamaan lahir kebebasan batin yang timbul dari kesadaran diri dan proses diskresi. Pesan apa yang

ingin kusampaikan dalam gambar sehingga lebih berbuah bagi jiwa, membuat orang melihat kemuliaan

Tuhan (yang) terpancar dan bersyukur atasnya.

Fotografi dan Panggilan Wajah Manusia

«Gloria enim Dei vivens homo, vita autem hominis visio Dei » demikian ungkapan St. Irenaeus. For the glory of God is a living human being ; and human life consists in the vision of God. Kemuliaan Tuhan sungguh terpancar dalam diri

manusia yang sungguh sepenuhnya hidup dalam visi Tuhan. Aku merasa sungguh bersyukur atas anugerah hidup dan setiap kali memotret wajah (portrait) seakan semakin memanggilku untuk mengarah untuk memanusiakan manusia

lain, menyampaikan pesan perdamaian, kegembiraan, menghargai keberlainannya serta bertanggungjawab akan kehidupan itu sendiri.

“A portrait is not made in the camera but on

either side of it.” – Edward Steichen

Faith that does justice – the

realization that there can be no

true expression of faith where

concerns for justice and human

dignity are missing.

[Paul Brian Campbell, S.J.]

“Ambilah, ya Tuhan dan terimalah, seluruh kemerdekaanku, ingatanku, pikiranku dan segenap kehendaku,

segala kepunyaan dan milikku. Engkaulah yang memberikan, pada-Mu Tuhan kukembalikan. Semuanya milik-

Mu, pergunakan sekehendak-Mu, berilah aku cinta dan rahmat-Mu, cukup itu bagiku.” (LR. 234)

Ketika aku memandang Surga, aku melihat keindahan…Ketika memandang indahnya ciptaan,

aku mengagumi Yang Ilahi. How great Thou Art

Aku memandang wajahNya… Ya…bersyukur dan mengabadikan momen yang memberi daya gerak menuju rekonsiliasi pada

semesta dan pada Sang Creator Agung…

BEAUTY

”Beauty can be seen in all things, seeing and composing the

beauty is what separates the snapshot from the photograph.”

– Matt Hardy

”Beauty can be seen in all things, seeing and composing the beauty is what separates the snapshot from the photograph.” – Matt Hardy

“It’s one thing to make a picture of what a person looks like, it’s another thing to make a portrait of who they are.” - Paul Caponigro

“If you see something that moves you, and then snap it, you keep a moment.” – Linda McCartney

“Photography is the story

I fail to put into words.”

- Destin Sparks

It seeks to find the divine in all things-in all

peoples and cultures in all areas of study and

learning, in every human experience, and (for

the Christian) especially in the person of Jesus.

- George W. Traub, S.J.

Fotografi dan semangat Man For Others. Bagiku, fotografi memang tidak mudah namun

aku sungguh belajar banyak dari para sahabat yang dengan murah hati berbagi ilmu.

Semangat berbagi dan hidup tidak hanya bagi diri sendiri (ego) inilah yang memberiku

inspirasi. Kita disatukan sebagai sahabat (friends in the Lord) apa pun etnis, budaya, agama,

status, warna kulit kita. Kita dipanggil sebagai sahabat bagi dan bersama dengan yang lain.

En Todo amar y servir - Dalam segala mencintai dan melayani. Men and Women for others.

Fotografi dan sikap lepas bebas.

‘Indifference‘ yang dimaksudkan oleh St. Ignatius adalah sikap batin untuk

bertumbuh dalam kebijaksanaan adikodrati, yaitu kebajikan untuk

memilih sarana/cara yang terbaik demi mencapai tujuan akhir. Dengan sikap

iman yang terbuka, pengenalan diri yang utuh, kita membiarkan diri digerakkan oleh Allah untuk memilih sarana yang

terbaik untuk mewujudkan rencana-Nya, menyempurnakan kita dalam kasih.

Dengan kata lain, kita

menggunakan sarana sejauh membantu mengarahkan sampai tujuan, dan

meninggalkannya sejauh merintangi. Oleh karena itu, aku diajak untuk tidak lekat (attach) pada sesuatu, siap sedia untuk diutus dan mengejar kerinduan

menuju kebebasan batin (interior freedom) itu sendiri.

Dalam fotografi aku juga perlu berlatih lepas bebas, terbuka pada situasi

apa pun, tidak terikat atau lekat pada sarana, pada objek, obsesi, rasa perasaan tertentu yang justru mengikat kebebasan

hati yang berekspresi dan berefleksi. Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak

dihidupi, demikian kata Socrates. Pertanyaannya kukira bukan lagi untuk apa

aku hidup, melainkan hendak bagaimana aku menjalani hidup ini dan apakah itu

mengandung makna bagi yang lain ?

Sebagaimana menghayati tegangan dalam hidup, fotografi

pun ibarat suatu SENI. Suatu komposisi yang ditata dengan epic,

dilukis dengan warna-warna cahaya (flash, posisi matahari, ISO,

WB, dsb), depth of field, menghitung kecepatan rana

(shutter speed), dan menimbang bukaan diafragma (aperture). Tidak

ada patokan umum yang jelas tegas, disinilah mengalir derasnya

kebebasan dari dalam. Momen setelah mengambil suatu gambar

itulah yang bagiku menjadi titik hening dan titik renung terdalam:

menilik kembali apa yang terjadi dan menimbang buah-buahnya…

“Sometimes I do get to places just when God’s ready to have somebody click the shutter.” – Ansel Adams

“Photography for me is not looking, it’s feeling. If you can’t feel what you’re looking at, then you’re

never going to get others to feel anything when they look at your pictures.” – Don McCullin

Manusia

Latihan Rohani

Bersama dengan inspirasi “ayudar

a las almas” (membantu jiwa-jiwa)

di Manresa, pengalaman Ignatius

di La Storta “Ego vobis Romae

propitious ero” sering menjadi

acuan dalam menjelaskan corak

kerohanian rasuli Serikat:

membantu sesama karena

disatukan mendalam dengan

Kristus yang memanggul salib.

Dalam fotografi, model misteri

inkarnasi (penjelmaan) dan cara

bertindaknya perlu ada dalam roh

yang sama. Teori dan keterampilan

abstrak teoretis dimanifestasikan

dan disatukan secara konkret ke

dalam dunia-kehidupan sekitar.

Kita mohon rahmat agar dalam

segala aktivitas, kita senantiasa

dibantu untuk dapat semakin

mengenal, mencintai, dan

mengikutiNya…dipanggil untuk

menjadi manusia Latihan Rohani.

“Bermainlah dalam permainan tetapi janganlah

main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi

permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan

permainan terletak dalam ketidaksungguhannya,

sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah

sungguh lagi. Mainlah dengan eros, tetapi janganlah

mau dipermainkan eros. Mainlah dengan agon tetapi

jangan mau dipermainkan agon. Barang siapa

mempermainkan permainan, akan menjadi

permainan permainan. Bermainlah untuk bahagia

tetapi janganlah mempermainkan bahagia.”

- N. Driyarkara, S.J.

Setelah sedikit merefleksikan pengalaman belajar fotografi dan mendalamai spiritualitas

Ignasian, refleksiku ini akan menjadi sebuah langkah awal untuk sebuah transformasi terus

menerus (on going formation). Aku sungguh bersyukur bahwa aku sungguh dibentuk oleh

Tuhan sendiri melalui perjumpaan dengan sesama maupun peristiwa hidup harian. Mistik hidup sehari-hari! Bagiku, spiritualitas menjadi nyata dan dirasakan dayanya, bertumbuh dan

berbuah tidak semata-mata dalam hal-hal besar. PROSES. Bagaimana mungkin seseorang dapat berkata: Tuhan, Tuhan dan mengatakan

Ia mencintai Tuhan yang tak kelihatan, jika sesamanya yang kelihatan di sekitarnya tidak

dikasihinya. Semoga dengan demikian, kita semua sungguh mampu berziarah menemukan kehendak Tuhan atas diri kita melalui panggilan hidup masing-masing, “to be a contemplative in

actions is to contemplate (or find) God in our daily lives, in our activity.”

Demi kemuliaan Allah yang lebih besar, AMDG

[Hari Raya Paskah 2014]