features shirakawa

4
58 PANORAMA EDISI XXVIII PANORAMA EDISI XXVIII 59 The Heritage of Shirakawa-go & Takayama “If you want to understand today, you have to search yesterday”, demikian Pearl Sydenstricker Buck, seorang novelis orientalis pernah berkata. Kalimat ini membawa Yudasmoro Minasiani ke Shirakawa- go dan Takayama di utara Nagoya. Di sini ia menemukan nilai-nilai yang membawa Jepang menjadi salah satu bangsa paling modern. Shirakawa-go dengan rumah-rumah tradisional yang dikelilingi sawah.

Upload: yudasmoro

Post on 05-Aug-2015

79 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Features Shirakawa

58 PANORAMA EDISI XXVIII PANORAMA EDISI XXVIII 59

The Heritage of Shirakawa-go & Takayama

“If you want to understand today, you have to search yesterday”, demikian Pearl Sydenstricker Buck, seorang novelis orientalis pernah berkata. Kalimat ini membawa Yudasmoro Minasiani ke Shirakawa-go dan Takayama di utara Nagoya. Di sini ia menemukan nilai-nilai yang membawa Jepang menjadi salah satu bangsa paling modern.

Shirakawa-go dengan rumah-rumah tradisional yang dikelilingi sawah.

Page 2: Features Shirakawa

60 PANORAMA EDISI XXVIII PANORAMA EDISI XXVIII 61

Temperatur di luar mulai turun hingga 7 derajat celsius. Dinginnya cuaca di

luar terasa dengan menyentuh kaca jendela bis yang saya tumpangi. Perjalanan menuju Shirakawa-go yang tak sampai satu jam sangat saya nikmati karena menyuguhkan pemandangan perbukitan indah Gifu perfecture , kawasan Jepang Tengah. Sebentar lagi saya akan tiba di Shirakawa-go, sebuah desa adat yang ditetapkan sebagai world heritage oleh UNESCO. Berbeda dengan mengunjungi desa adat di Indonesia, mengunjungi Shirakawa-go dapat dilakukan dengan sangat mudah karena sudah terdapat akses jalan yang mulus mencapai kawasan ini . Banyak juga kendaraan umum melewati tempat ini dengan jadwal bis yang saya lihat terpampang di stasiun bis umum. Meski banyak rombongan turis yang datang dengan bis pariwisata, ada juga yang menggunakan kendaraan umum untuk datang ke sini .

Saat turun dari bis, hujan gerimis langsung menyambut saya lengkap dengan suhu udara yang semakin dingin. Kyoko sang guide langsung mengajak saya menuju view point di mana para pengunjung dapat melihat langsung pemandangan Shirakawa-go dari atas. Saya langsung takjub dengan panorama sebuah desa dengan bentuk rumah yang hampir segitiga sama sisi . Desa ini terletak di sebuah kaki pegunungan yang setengahnya tertutup kabut karena memang saat itu sudah menjelang musim dingin. Di sekitarnya saya masih bisa melihat petak-petak sawah yang dibekap udara dingin dan di antaranya terlihat pepohonan yang sudah mulai berguguran daunnya.

“Bentuk atap dari rumah itu berarti bentuk tangan yang sedang berdoa”, jelas Kyoko. Gaya bangunan rumah yang khas ini dikenal dengan nama gassho-zukuri . Selain melambangkan tangan yang sedang berdoa, bentuk segitiga ini juga dimaksudkan untuk menghindari tumpukan salju saat musim dingin tiba.“(Dengan bentuk seperti ini) salju yang ada di atap bisa langsung meluncur ke bawah,” jelas Kyoko lagi .

Setelah puas memandang desa dari kejauhan bersama Kyoko saya melangkahkan kaki menuju desa Shirakawa. Melewati jalan menurun selama sekitar 15 menit , suasana tenang menyambut kami karena di rute ini kendaraan bermotor tidak diizinkan untuk melintas. Semua orang baik pengunjung maupun penduduk harus berjalan kaki di sini . Pelarangan ini sungguh kontradiktif dengan predikat Jepang sebagai salah satu negara produsen kendaraan bermotor terbesar dunia. Di sekitar pedesaan saya melihat hamparan tanah yang subur dan sungai kecil dengan airnya yang jernih mengalir dengan latar belakang pegunungan Ryohaku, mengelilingi desa asri ini . Sungguh sebuah harmoni alam yang sangat menakjubkan! Dengan suasana khas dataran tinggi, lengkap dengan hutan alami yang tumbuh di lereng gunung , tidak heran jika sebagian orang menjuluki tempat ini sebagai Alpen-nya Jepang.

Terletak di perbatasan antara Gifu perfecture dan Toyama I, Shirakawa-go memang menyajikan panorama yang luar biasa indahnya. Saya merasa seperti berada di sebuah perkampungan kuno Jepang , persis

seperti yang pernah saya lihat di f i lm The Last Samurai yang dibintangi Tom Cruise dan Ken Watanabe. Hari itu saya memang tidak melihat ksatria samurai atau wanita Jepang yang mengenakan kimono lengkap dengan aksesorisnya, namun suasana tradisional yang ditonjolkan melalui rumah-rumah gassho ini membuat saya melihat sisi lain dari Jepang yang sekarang terkenal dengan modernisasi .

Ya, desa Shirakawa menyajikan suasana dan pemandangan Jepang tempo dulu. Di desa ini masih ada sekitar 160 rumah yang sebagian besar berusia ratusan tahun dan dalam kondisi yang prima. Beberapa sudah dialihfungsikan untuk menunjang industri pariwisata yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama desa ini . Ada yang digunakan sebagai toko suvenir dan penginapan, ada juga yang dijadikan museum.

Salah satu rumah yang saya kunjungi adalah Wada House. Untuk masuk ke dalam pengunjung diwajibkan membuka alas kaki , sebuah kearifan Jepang yang sampai saat ini masih dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakatnya. Sebagai gantinya, pengurus rumah menyediakan sandal bakiak khas Jepang untuk berjalan di dalam rumah. Rumah ini memiliki peranan penting di abad 18 dan 19 karena pernah ditinggali oleh kepala desa Shirakawa dan beberapa pejabat daerah setempat. Kabarnya rumah ini juga pernah menjadi pabrik senjata. Sekarang Wada House berfungsi sebagai museum yang memperlihatkan desain, struktur dan beberapa alat rumah tangga asli dari zaman Edo. Di sini saya masih bisa melihat perangkat

peternakan ulat sutera yang menandakan bahwa dahulu Shirakawa juga terkenal akan usaha tenun suteranya. Beberapa perabotan dan peralatan dapur seperti kompor, kuali , dandang hingga tempat perapian kuno terpajang dengan rapi menunjukkan suasana khas tempo dulu. Kyoko kembali memberikan penjelasan tentang bangunan yang sudah berumur ratusan tahun itu. Ia bercerita bahwa kerangka Wada House tidak menggunakan paku satu pun. Semuanya disatukan dengan simpul ikat dengan tali yang terbuat dari akar. Atap rumah juga dibuat dengan kayu dan rumput-rumput kering. Dengan bahan alami seperti itu, rumah-rumah adat ini bisa bertahan hingga ratusan tahun. Hal ini menunjukkan kemampuan teknik yang tinggi dan keahlian untuk mengenali kekuatan alam, dua hal yang di abad modern ini terus dikembangkan oleh masyarakat Jepang.

Salah satu keunikan Shirakawa-go adalah kecantikannya yang berbeda di setiap musim. Saat musim panas desa adat ini tampak hijau dengan bunga-bunganya yang bermekaran di antara rumah gassho . Saat musim gugur tiba, pegunungan yang mengitari Shirakawa-go berubah menjadi ber warna-warni karena banyak pohon yang warna daunnya berubah menjadi merah dan kuning. Suasana dan

warna pegunungan di sekitar desa ini pun berubah seperti karpet yang ber warna-warni. Di musim salju, warna putih yang mendominasi Shirakawa-go membuat kawasan ini menjadi begitu cantik . Saat malam tiba, lampu-lampu di pedesaan ini memantulkan cahayanya di salju yang putih.

Selesai menikmati keindahan desa Shirakawa, perjalanan kemudian kami lanjutkan ke Takayama, sebuah kota kecil yang terkenal dengan old street-nya. Di abad ke-16, keluarga Kanimori mendirikan Takayama Castle yang menandakan dimulainya era perkembangan budaya kota ini . Posisinya yang terisolasi di antara pegunungan membuat Takayama menjadi seperti sebuah koloni yang berkembang dengan sendirinya. Dahulu masyarakatnya didominasi oleh para tukang kayu yang bekerja di Kyoto untuk membangun rumah ibadah. Kini , ciri khas Takayama sebagai kota tua tempat pengrajin kayu masih terlihat.

Sore hari memasuki Takayama, saya masih bisa melihat rombongan turis, baik lokal maupun asing yang berlalu-lalang menikmati suasana Jepang tempo dulu. Meski jalanan di kota tua ini selebar jalan tol namun hampir tak ada mobil yang melintas. Unik juga karena

untuk menyeberang jalan, saya harus antri menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Padahal saat itu tidak ada satu pun kendaraan yang melintas. Semangat disiplin yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang memang patut dicontoh.

Kyoko kemudian mengajak saya menyusuri old street , sebuah jalan atau lebih tepatnya sebuah gang yang masih dipadati oleh bangunan-bangunan tua dari kayu. Di kanan kiri jalan saya bisa menyaksikan para pedagang suvenir dan sake (minuman alkohol khas Jepang ) yang menjajakan dagangan mereka. Hampir semua bangunan di old street masih menggunakan bahan kayu dan bergaya Jepang kuno. Beberapa toko juga banyak yang menjual suvenir dari bahan dasar kayu. Jangan heran jika di sini , sebagaimana di kota-kota lain di Gifu Prefecture, banyak dijual suvenir berupa sosok monyet lucu tanpa wajah. Disebut Sarubobo, boneka ini dipercaya masyarakat lokal sebagai jimat pembawa keberuntungan.

Jalan ini juga menyediakan berbagai makanan khas Takayama yang sayang untuk dilewatkan. Wisata kuliner di kota ini tidak lengkap tanpa mencicipi kudapan khas Takayama, Goheimochi, yang bentuknya mirip es krim

Upacara adat di Shirakawa-go

Lansekap alam di pedalaman Jepang yang masih terjaga keasriannya.

Sayuran segar yang dijual di Takayama-morning market.

Cabai merah yang dikeringkan menjadi hiasan dekoratif di rumah tradisional.

Page 3: Features Shirakawa

62 PANORAMA EDISI XXVIII PANORAMA EDISI XXVIII 63

dengan stik . Sebenarnya penganan ini adalah nasi yang dipadatkan dan dibakar kemudian dilumuri bumbu manis dan asin, ditaburi sedikit kacang dan biasanya dinikmati dengan semangkuk miso. Tak ketinggalan, saya juga ikut mengantri untuk mencicipi miso (sup Jepang ) dengan gratis. Di tengah cuaca dingin memang paling nikmat sambil mencicipi hidangan sup panas. Takayama memang menjadi salah satu kota yang dituju para turis untuk berlibur, terutama karena aktivitas ski di musim dinginnya.

“Musim ini tampaknya salju akan turun lebih cepat,” kata Kyoko. Meski malam itu saya belum merasakan turunnya salju, namun saya

mengerti apa yang dimaksudkan Kyoko. Suhu udara sudah mendekati nol derajat dan saya tidak bisa berjalan santai karena udara dingin semakin gencar membekap! Namun cuaca dingin ini tampaknya tidak menghalangi turis dan penduduk setempat untuk terus beraktivitas, terlihat dari banyaknya orang yang berseliweran di sekitar old street . Saya menghabiskan waktu yang tersisa untuk berkeliling di pusat kota yang tampaknya sudah mulai sepi. Tak seperti kota-kota besar seperti Tokyo, Takayama memang paling cocok untuk dijadikan kota peristirahatan. Selain suasananya yang tenang , kota ini juga langsung senyap begitu malam tiba. Tidak ada kehidupan malam di kota ini . Walau begitu

di jalan utama saya masih melihat toko-toko yang terang-benderang meski tak ada pembeli .

Paginya, Kyoko mengajak saya untuk mengunjungi morning market di pusat kota. Mirip seperti pasar kaget yang sering di gelar di daerah perumahan di Jakarta, morning market di Takayama juga menjual berbagai macam sayuran, buah-buahan dan bermacam kebutuhan pokok . Beberapa pedagang juga menggelar suvenir khas daerah setempat, di antaranya berbagai jenis boneka Sarubobo. Budaya masyarakatnya yang mengutamakan kebersihan terlihat dari pasar yang tampak rapi dan tak ada seekor pun lalat. Pagi itu

sudah banyak turis yang bergabung dengan warga lokal untuk berbelanja atau sekedar melihat-lihat dan berfoto-foto. Letak morning market yang berada persis di depan government house memang benar-benar strategis. Selain bisa menikmati suasana pasar tradisional , saya juga bisa berfoto-foto di depan government house atau Takayama Jinya yang bentuk bangunannya seperti rumah tradisional Jepang.

Keberadaan Takayama Jinya berawal di tahun 1692 saat Takayama diperintah oleh Tokugawa Shogunate. Dahulu bangunan ini berfungsi sebagai kantor pemerintahan di zaman Edo. Baru mulai tahun 1969 resmi

dialihfungsikan sebagai museum. Bangunan ini adalah salah satu dari puluhan bangunan kuno yang masih dijaga kelestariannya. Sungguh tepat jika Jepang tumbuh menjadi bangsa yang besar karena mereka terbukti sangat menghargai sejarah.

Selain berbagai obyek wisata alam dan budayanya, Takayama juga terkenal dengan festivalnya. Festival Takayama Matsuri yang diyakini masyarakat setempat sudah ada sejak abad ke 16 termasuk dalam 3 festival terbesar di Jepang. Diselenggarakan dua kali setahun setiap musim semi dan musim gugur, festival ini menampilkan arak-arakan dekoratif lengkap dengan karakuri ning yo atau

boneka mekanik yang sangat menarik untuk disaksikan.

Shirakawa-go dan Takayama, keduanya menyajikan sisi tradisional Jepang yang berbeda. Masing-masing memiliki nilai-nilai luhur dan historik yang menunjukkan jati diri bangsa Jepang yang sebenarnya. Kota-kota kecil ini membuat saya betah berlama-lama dengan nuansa tenang yang ditampilkannya dan saya yakin Anda pun akan merasakan hal yang sama saat berkunjung ke tempat-tempat menarik ini .

Penarik becak di Takayama

Interior rumah di Shirakawa-go

Gassho-zukuri, rumah berbentuk tangan yang berdoa yang menjadi ciri khas Shirakawa-go.

Page 4: Features Shirakawa

64 PANORAMA EDISI XXVIII PANORAMA EDISI XXVIII 65

HOW TO GET THEREShirakawa-go dan Takayama terletak berdekatan di Jepang bagian tengah. Keduanya dapat dijangkau dari Nagoya maupun Tokyo. Dari Indonesia, kedua kota ini dapat dijangkau langsung dengan menggunakan beberapa maskapai, antara lain:Garuda Indonesia: Jakarta-Nagoya/TokyoJapan Airlines:Jakarta-TokyoAirAsia: Jakarta-Kuala Lumpur-Tokyo

HOW TO EXPLOREAda beberapa cara untuk menjangkau Shirakawa-go dan Takayama. Dari Tokyo Anda dapat menggunakan JR Tokaido Shinkasen menuju Nagoya (100-120 menit, beberapa kereta setiap jam) untuk kemudian pindah ke kereta ekspres JR Hilda ke Takayama (140 menit, satu kereta setiap jam), kemudian disambung dengan Nohi Bus (50 menit, 8-9 bis setiap hari). Ditempuh dengan bus umum dari Nagoya atau dari Tokyo, sementara Takayama bisa ditempuh dengan kereta JR Hida Express dari Nagoya. Dari Nagoya terdapat Gifu Bus sekali sehari menuju Shirakawa-go dengan lama perjalanan tiga jam. Takayama juga dapat dijangkau dari Tokyo dengan menggunakan bis. Ada 5-7 bis dari Keio Highway Bus Terminal di Shinjuku menuju Takayama yang dioperasikan oleh Keio dan Nohi Bus dengan lama perjalanan 5.5 jam. Setibanya di Shirakawa-go dan Takayama Anda dapat berkeliling dengan berjalan kaki.

WHERE TO STAYAgar dapat mengeksplorasi Shirakawa-go dan Takayama dengan lebih leluasa, kami sarankan Anda untuk bermalam. Jangan lupa untuk melihat situs seperti www.agoda.com untuk melihat

Basic FactsBahasa: JepangMata uang: Yen (¥) 1 Yen = Rp. 113,00 (Februari 2012)Perbedaan Waktu: GMT +9Kode Telepon: +81

penawaran khusus yang dapat menghemat pengeluaran Anda.

TOYOTA SHIRAKAWA-GO ECO-INSTITUTEDengan lokasinya yang berada tepat di kaki Gunung Hakusan, penginapan ini dapat menjadi lokasi paling tepat untuk belajar mengenai tradisi Jepang sekaligus mengenal teknologi baru berbasis lingkungan. ‘Hotel-Sekolah’ ini menyediakan lingkungan alami yang segar untuk Anda dapat lebih mengenal lingkungan hidup.223 Magari, Shirakawa-mura, Ono-gun, Shirakawa-go, Shirakawa-go, Japan 501-5620T. 05769-6-1187 W. http://www.toyota.eco-inst.jp/main.html

OYADO KOTO NO YUME RYOKAN atau hotel tradisional Jepang ini merupakan salah satu yang terbaik di

Takayama. Nikmati suasana tempo dulu dengan fasilitas modern, lengkap dengan beragam pernak-pernik karya pengrajin lokal. Khusus untuk wanita disediakan beragam pilihan Yukata atau kimono khas Jepang yang dapat digunakan selama menginap disini. 6-11, Hanasato-cho, Takayama, GIFU, 506-0026T. 0577-32-0427W. www.kotoyume.com/english

SUPER HOTEL HIDA TAKAYAMAUntuk pilihan hotel murah, jaringan Super Hotel yang sudah menjangkau Takayama dapat menjadi alternatif. Terletak dekat stasiun JR Takayama, dari hotel ini Anda dapat mengakses berbagai penjuru kota termasuk Shirakawa-go dengan mudah. 4-76, Tenmacho, Takayama shi, Gifu T. 0577-32-9000W. www.superhoteljapan.com/en

Shirakawa-go & Takayama

TakayamaShirakawa-go

NagoyaYokohama

Sapporo

Osaka

TOKYO

Fukuoka

Kyoto

Shirakawa-go dengan latar belakang pegunungan hijau.