evaluasi millenium development goals (mdgs) indonesia...

21
Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1996301 Evaluasi Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia: Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Priadi Asmanto Agustus, 2008 Abstraksi The objectives from this paper are an evaluation of human development in gender sector and linkage of millennium development goals, especially third goal of MDGs in Indonesia. Analysis also instructed to know how comparison attainment third target of MDGS between provinces in Indonesia according to its attainment indicators. The analysis use qualitative descriptive approach as according data available and relevant to be used. The analysis result shows several conclusions. First, attainment of human resource development (HDI) still can’t follow of gender development attainment (GDI), that way also gender empowerment measurement (GEM). The region/province with good economic growth and good human development, in the reality can’t abolish inequality of gender development and gender empowerment measurement. Some example of this case is DKI Jakarta, East Kalimantan and Riau. Second, in cumulative, third goal attainment of Millennium Development Goals in education sector relative have reached efficacy. Promote gender inequality and empower women in primary education, secondary education and tertiary education sector fully have been reached in the year 2005, according to target of MDGS. Third, Attainment of literate by regions not yet succeeded to reach balance point. But that way, not yet succeeded of attainment on the third MDGs target in literate women have been kept positive correlate every year, where literate level productive age of woman tend to increase from year to year. Fourth, There are inequality of economic participation either from side human development (HDI, GDI, GEM) and also inequality of interregional development one with other area. Fifth, Woman participation in the field politics a long way off than minimum quota which have been determined, goodness in political of local politics and also national politics. With quota equal to 30% in the reality not yet can stimulate involvement of woman in the field of politics, which is only 11.6% in national politics and 6.7% in local politics. Kata Kunci : Gender, Human Development Index, Gender Development Index, Gender Empowerment Measurement Index, Millenium Development Goals, 1. Pendahuluan Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia yang tidak pernah ada sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan,

Upload: nguyenbao

Post on 08-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1996301

Evaluasi Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia: Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Priadi Asmanto

Agustus, 2008

Abstraksi The objectives from this paper are an evaluation of human development in gender sector and linkage of millennium development goals, especially third goal of MDGs in Indonesia. Analysis also instructed to know how comparison attainment third target of MDGS between provinces in Indonesia according to its attainment indicators. The analysis use qualitative descriptive approach as according data available and relevant to be used. The analysis result shows several conclusions. First, attainment of human resource development (HDI) still can’t follow of gender development attainment (GDI), that way also gender empowerment measurement (GEM). The region/province with good economic growth and good human development, in the reality can’t abolish inequality of gender development and gender empowerment measurement. Some example of this case is DKI Jakarta, East Kalimantan and Riau. Second, in cumulative, third goal attainment of Millennium Development Goals in education sector relative have reached efficacy. Promote gender inequality and empower women in primary education, secondary education and tertiary education sector fully have been reached in the year 2005, according to target of MDGS. Third, Attainment of literate by regions not yet succeeded to reach balance point. But that way, not yet succeeded of attainment on the third MDGs target in literate women have been kept positive correlate every year, where literate level productive age of woman tend to increase from year to year. Fourth, There are inequality of economic participation either from side human development (HDI, GDI, GEM) and also inequality of interregional development one with other area. Fifth, Woman participation in the field politics a long way off than minimum quota which have been determined, goodness in political of local politics and also national politics. With quota equal to 30% in the reality not yet can stimulate involvement of woman in the field of politics, which is only 11.6% in national politics and 6.7% in local politics. Kata Kunci : Gender, Human Development Index, Gender Development Index, Gender Empowerment Measurement Index, Millenium Development Goals, 1. Pendahuluan

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang

sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi

Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia yang

tidak pernah ada sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan,

Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1996301

2

pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Dalam konteks

inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan

milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Setiap tujuan memiliki satu atau

beberapa target beserta indikatornya. MDG menempatkan pembangunan manusia

sebagai fokus utama pembangunan, memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang

terukur. MDG didasarkan pada konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan

tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka,

sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Adapun tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan pembangunan

milenium (MDG) tersebut diantaranya : 1) Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan.

2) Mencapai Pendidikan Untuk Semua; 3) Mendorong Persamaan Gender dan

Pemberdayaan Perempuan; 4) Menurunkan Angka Kematian Anak; 5) Meningkatkan

Kesehatan Ibu; 6) Memerangi Hiv/Aids, Malaria, dan Penyakit Lainnya; 7)

Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup; dan Membangun Kemitraan Global untuk

Pembangunan

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa diantara tujuan-tujuan

tersebut diatas memiliki satu atau lebih target yang ingin dicapai, adapun target-target

sesuai dengan tujuan MDGs diatas adalah sebagai berikut : 1) Menurunkan proporsi

penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dolar AS, menjadi setengahnya

antara tahun 1990 – 2015. 2) Menurunkan proporsi penduduk yang menderita

kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015. 3) Menjamin bahwa sampai

dengan tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-laki dan perempuan, dapat

menyelesaikan sekolah dasar (primary schooling). 4) Menghilangkan ketimpangan

gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua

jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. 5) Menurunkan Angka Kematian Balita

sebesar dua-pertiganya, antara tahun 1990 dan 2015. 6) Menurunkan angka kematian

ibu antara tahun 1990 dan 2015 sebesar tiga-perempatnya. 7) Mengendalikan

penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015. 8)

Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan

penyakit lainnya pada tahun 2015. 9) Memadukan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber

daya lingkungan yang hilang. 10) Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa

3

akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas

sanitasi dasar pada 2015. 11) Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan

penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020.

Berdasarkan atas uraian dalam latar belakang diatas dapat dikemukakan

beberapa perumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimanakah keterkaitan antara

pencapaian pembangunan sumberdaya manusia, pembangunan gender dan

pembangunan pemberdayaan perempuan di Indonesia? 2) Bagaimanakah

perkembangan pencapaian tujuan ke-3 MDGs di Indonesia jika dilihat dari indikator

pendidikan? 3) Bagaimanakah perkembangan pencapaian tujuan ke-3 MDGs di

Indonesia jika dilihat dari indikator keaksaraan? 4) Bagaimanakah perkembangan

pencapaian tujuan ke-3 MDGs di Indonesia jika dilihat dari indikator ekonomi? 5)

Bagaimanakah perkembangan pencapaian tujuan ke-3 MDGs di Indonesia jika dilihat

dari indikator peranan politik oleh perempuan?

2. Kajian Pustaka

2.1. Human Development Index (HDI)

Human Development Index (HDI) adalah ukuran pembangunan yang

menitikberatkan pada pembangunan manusia. Sebagiman pertumbuhan ekonomi dan

pendapatan perkapita yang digunakan untuk mengetahui bagaiman perkembangan

pembangunan ekonomi dalam suatu daerah, HDI juga digunakan untuk mengetahui

bagaiman ukuran keberhasilan pembangunan suatu daerah namun dengan

menggunakan pendekatan sumberdaya manusia.

Tabel 2.1. Pola Penghitungan Human Development Index (HDI)

Sumber : Laporan Pembangunan Manusia Indonesia – BPS, Bappenas dan UNDP

Sebagaimana diagram diatas yang menunjukkan bagaimana nilai HDI di

hasilkan. Pada dasarnya nilai HDI berasal dari indikator indikator penting yaitu angka

4

harapan hidup bayi, angka melek huruf penduduk usia dewasa, rata-rata masa

pendidikan yang pernah ditempuh serta Purchasing Power Parity (PPP) per individu

yang diukur menggunakan pendekatan pengeluaran perkapita. Keempat indikator

tersebut selanjutanya masuk dalam dimensi indek yang berbeda-beda yaitu indeks

harapan hidup (angka harapan hidup bayi), indek pendidikan (angka melek huruf dan

masa pendidikan) serta indeks pendapatan (PPP-pengeluaran riil).

Tabel 2.2. Nilai Standar untuk Indikator HDI dan GDI

Komponen HDI Nilai Max Nilai Min.

Angka Harapan Hidup 85 25 Agka Melek Huruf 100 0 Rata-rata Masa Pendidikan 15 0 Purchasing Power Parity 737,720 300,000

Sumber : United Nation Developmet Programe

2.2. Gender-related Developmet Index (GDI)

Gender-related Development Index (GDI) adalah ukuran yang digunakan untuk

mengetahui pembangunan manusia. GDI sama dengan Human Development Index

(HDI) yang mengukur bagaimana keberhasilan pembangunan manusia dengan

memperhitungkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. GDI adalah HDI yang

disesuaikan dengan adanya kesenjangan gender. Kesenjangan gender dapat dilihat dari

selisih antara HDI dan GDI. Semakin kecil selisih antara HDI dan GDI dapat diartikan

bahwa kesenjangan pembangunan antara perempuan dan laki-laki juga semakin kecil.

Tabel 2.3.

Pola Penghitungan Gender Development Index (GDI)

Sumber : Laporan Pembangunan Manusia Indonesia – BPS, Bappenas dan UNDP

5

Dimensi antara perempuan dan laki laki merupakan indek dimesional yang

terkandung setelah indikator harapan hidup, pendidikan dan pendapatan didapatkan.

Sehingga untuk mendapatkan GDI, distribusi indeks yang menentukan secara langsung

angka indeks GDI. Sebagaimana nilai standar yang digunakan untuk menilai HDI, nilai

standar yang digunakan untuk menentukan GDI tetap berpatokan dalam nilai HDI

seperti dalam tabel 2.1. diatas, namun yang berbeda antara HDI dan GDI tetap sesuai

dengan penjelasan sebelumnya, yaitu memasukkan dimensi gender yang membedakan

antara laki-laki dan perempuan.

2.3. Gender Empowerment Measurement (GEM)

Gender Empowerment Measurement (GEM) yang dapat diartikan sebagi

indeks pemberdayaan perempuan adalah ukuran pembangunan manusia yang

menitikberatkan pada ketimpangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam bidang

ekonomi, politik, dan pengambil kebijakan. Ukuran ekonomi yang dipergunakan

adalah distribusi perempuan yang bekerja disektor pertanian beserta perbandingan upah

yang diperoleh dibanding laki-laki. Ukuran politik adalah keterlibatan perempuan

dalam parlemen (DPR, MPR, DPRD). Sedangkan ukuran pengambil keputusan adalah

perempuan yang bekerja profesional, pejabat tinggi, manajer dan lain-lain. Tabel 2.4.

Pola Penghitungan Gender Empowerment Measurement Index (GEM)

Sumber : Laporan Pembangunan Manusia Indonesia – BPS, Bappenas dan UNDP

Pola penghitungan GEM merupakan pola penghitungan yang berbeda dengan

pola sebelumnya (HDI dan GDI). Dalam GEM yang dihitung adalah bagaimana

partisipasi perempuan dalam politik, ekonomi dan penentuan keputusan. Indikator yang

dipakai untuk menilai hal tersebut adalah jumlah laki-laki dan perempuan dalam

parlemen/DPR/MPR/DPRD (partisipasi politik), jumlah laki-laki dan perempuan yang

bekerja profesional tingkat atas (partisipasi penentu keputusan) dan perkiraan

6

pendapatan laki-laki dan perempuan (partisipasi ekonomi). Nilai-nilai tersebut diatas

selanjutnya dikombinasikan dalam EDEP (Equally Distributed Equivalent Percentage)

yang dihitung berdasarkan persentase distribusi laki-laki dan perempuan untuk

mendapatkan nilai keberdayaan laki-laki dan perempuan di masing-masing bidang.

Nilai paling relevan untuk EDEP adalah 50 (maksimum), dimana nilai tersebut

berdasarkan atas peran yang sama antara laki-laki dan perempuan di masing-masing

bidang.

2.4. Indikator Pengukuran Keberhasilan MDGs

PBB telah berkomitmen untuk mewujudkan tujuan ke tiga dari MDGs yaitu

Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada

tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. Berkaitan

dengan hal tersebut, PBB melalui UNDG bersama dengan UNDP, UNPF dan

Department of Economic and Social Affairs–Statistics Division pada tahun 2003 telah

meluncurkan indikator pengukuran keberhasilan pencapaian MDGs yang dinamakan

dengan Indicators for Monitoring the Millennium Development Goals : Definitions,

Rationale, Concepts and Sources.

Dalam indikator tersebut termuat indikator-indikator baku yang digunakan untuk

mengukur tingkat pencapaian 8 tujuan MDGs. Hal terpenting dengan kajian ini adalah

indicator yang digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan ketiga dari

MDGs.indikator-indikator yang digunakan diantaranya : rasio antara perempuan dan

laki-laki dalam pendidikan dasar, rasio angka melek huruf perempuan dengan laki-laki

(umur 15 -24 tahun), rata-rata gaji pekerja perempuan di sektor non-pertanian dan

proporsi perempuan terahadap laki-laki dalam parlemen (DPR, MPR dan DPRD).

Dari ukuran-ukuran tersebut diatas, pada dasarnya kembali merujuk pada ukuran

yang digunakan GDI dan GEM. Dapat dikatakan bahwa jika pembangunan manusia

khususnya yang mengukur ketimpangan antara laki-laki dan perempuan (GDI) dan

keberdayaan perempuan (GEM) memiliki tingkat keberhasilan, maka dengan sendirinya

pencapaian tujuan ketiga MDGs juga memiliki hasil yang memuaskan. Terdapat

integrasi antara GDI, GEM dan Goals 3 of MDGs.

3. Temuan Empiris

3.1. Pembangunan Manusia, Gender dan Keberdayaan Perempuan

7

Sebagaimana pertumbuhan ekonomi, PDRB serta pendapatan perkapita yang

merupakan ukuran pembangunan di suatu wilayah/negara, indek pembangunan

manusia (HDI), indeks pembangunan gender (GDI), serta indek pemberdayaan

perempuan (GEM) juga merupakan salah satu ukuran pembangunan di suatu

wilayah/negara. Pembangunan dibidang ekonomi dengan indikator pendapatan

perkapita dan pertumbuhan ekonomi secara teoritis mempengaruhi pembangunan

manusia (HDI, GDI dan GEM), dimana masing masing indeks tersebut didalamnya

terdapat indikator ekonomi sebagai ukuran.

Daerah-daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan

perkapita dibawah rata-rata memiliki indek pembangunan manusia yang juga dibawah

rata-rata nasional diantaranya : Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan

Nusa Tenggara Barat. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah dengan kapasitas

perekonomian yang relatif rendah cenderung mengalami perkembangan pembangunan

manusia yang juga cukup rendah pula. Dapat dikatakan ketiga daerah pada tingkat

kewajaran.

Tabel 3.1. Kondisi HDI, GDI, GEM, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Propinsi-

propinsi di Indonesia Tahun 2005

Propinsi HDI GDI GEM Percapita Growth Propinsi HDI GDI GEM Percapita Growth

NAD 66.0 62.1 55.5 8,384 20.07 Nusa Tenggara Barat 57.8 51.6 47.2 3,639 3.51 Sumatera Utara 68.8 61.5 48.4 7,06 4.56 Nusa Tenggara Timur 60.3 56.3 46.2 2,286 4.88 Sumatera Barat 67.5 60.7 54.2 6,386 4.69 Kalimantan Barat 62.9 57.0 47.9 5,787 4.55 Riau 69.1 56.9 40.4 17,314 2.64 Kalimantan Tengah 69.1 60.9 43.4 7,29 5.30 Jambi 67.1 53.3 46.8 4,788 5.86 Kalimantan Selatan 64.3 56.6 57.5 6,568 3.66 Sumatera Selatan 66.0 55.5 56.9 7,318 3.08 Kalimantan Timur 70.0 53.4 41.1 32,852 1.74 Bengkulu 66.2 59.2 51.1 4,027 4.73 Sulawesi Utara 71.3 62.1 55.1 5,987 3.32 Lampung 65.8 57.0 50.3 4,121 5.62 Sulawesi Tengah 64.4 60.3 59.1 5,111 5.62 Bangka Belitung 65.4 47.7 38.9 7,883 6.85 Sulawesi Selatan 65.3 56.9 45.6 4,85 4.09 DKI Jakarta 75.6 66.7 50.3 33,404 4.89 Sulawesi Tenggara 64.1 56.8 48.0 4,089 6.66 Jawa Barat 65.8 56.3 43.6 6,308 3.94 Gorontalo 64.1 52.7 51.4 2,196 6.45 Jawa Tengah 66.3 58.7 51.0 4,473 3.55 Maluku 66.5 62.6 51.8 2,604 2.87 D. I. Yogyakarta 70.8 65.2 56.1 5,066 4.50 Maluku Utara 65.8 55.0 31.2 2,53 2.44 Jawa Timur 64.1 56.3 54.9 7,064 3.80 Papua 60.1 54.3 49 11,858 5.13 Banten 66.6 54.9 48.6 6,436 4.11 Bali 67.5 61.2 42.3 6,228 3.04 INDONESIA 66.2 57.7 48.8 7,796.9 4.9

Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah kembali. Keterangan : - Percapita = Pendapatan Perkapita (000), - Growth = Pertumbuhan Ekonomi Regional (Propinsi)

Daerah dengan pendapatan perkapita yang relatif rendah dan berada dibawah

nilai pendapatan perkapita rata-rata nasional, cenderung memiliki tingkat

8

pembangunan manusia yang juga relatif rendah. Terjadi ketidakseimbangan

pembangunan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia pada propinsi-

propinsi tersebut. Keterlambatan pembangunan di bidang pembangunan manusia dan

pembangunan ekonomi terjadi pada propinsi NTB, Sulawesi Tenggara, NTT, dan

Kalimantan Barat.

Hanya terdapat 2 propinsi yang memiliki tingkat pendapatan perkapita yang

tinggi dan pembangunan manusia juga tinggi, yaitu NAD dan DKI Jakarta. Namun

beberapa daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita rendah, pertumbuhan

ekonomi tetapi memiliki tingkat konsistensi dalam pembangunan manusia di propinsi

tersebut. Propinsi-propinsi tersebut yaitu : Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi

Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu dan Maluku. Rendahnya pendapatan perkapita di

beberapa daerah tersebut tidak menyurutkan pembangunan di bidang sumberdaya

manusia. Hal inilah yang perlu dijadikan contoh untuk daerah-daerah lainnya.

Pembangunan manusia dengan indikator HDI tidak selalu berbanding lurus

dengan pembangunan gender (GDI) dan pembangunan pemberdayaan perempuan.

Hanya terdapat beberapa daerah yang tingkat pembangunan manusianya rendah,

dengan pembangunan gender dan pemberdayaan perempuan yang juga rendah.

Sedangkan secara mayoritas daerah-daerah di Indonesia cenderung timpang antara

pembangunan manusia (HDI) dengan pembangunan gender (GDI) dan pembangunan

pemberdayaan perempuan (GEM).

Secara umum dapat dilihat dari nilai nasional, yang mana HDI > GDI > GEM,

yaitu 66.2 > 57.7 > 48.8. Artinya terjadi ketimpangan antara pembangunan manusia

terhadap pembangunan gender sebesar 8.5 (HDI–GDI), ketimpangan sebesar 17.4 pada

pembangunan manusia dengan pembangunan keberdayaan perempuan (HDI–GEM).

Dan ketimpangan sebesar 8.7 pada pembangunan gender terhadap pembangunan

keberdayaan perempuan (GDI-GEM). Secara teoritis dinyatakan bahwa jika selisih

antara ketiga indek tersebut (HDI, GDI dan GEM) cukup besar berarti terdapat

ketimpangan yang sangat besar pada pembangunan manusia dalam satu wilayah

tertentu. Terdapat ketidakseimbangan pembangunan jika hal tersebut terjadi, artinya

pembangunan sumberdaya secara umum belum mampu mengikutsertakan peranan

perempuan dalam pembangunan, demikian pula fokus utama pembangunan gender.

9

Kecenderungan adanya ketimpangan antara pembangunan manusia dengan

pembangunan pemberdayaan gender (HDI-GEM) juga masih sangat tinggi di beberapa

propinsi di Indonesia. Ketimpangan antara HDI dan GEM paling mencolok terjadi di

propinsi Maluku Utara dengan nilai ketimpangan sebesar 34.6%. Sebagaimana

diketahui sebelumnya, bahwa ketimpangan HDI-GEM cenderung lebih tinggi jika

dibandingkan dengan ketimpangan HDI-GDI. Hal ini merupakan masalah serius pada

kondisi pembangunan manusia di Indonesia. Beberapa propinsi yang nilai ketimpangan

pembangunan manusia dengan pembangunan pemberdayaan perempuan paling tinggi

diantaranya Banten, Sulawesi Selatan, Jambi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Bali, DKI

Jakarta, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Riau, dan Kalimantan Timur.

Sedangkan ketimpangan antara HDI dan GEM paling rendah terjadi di propinsi

Sulawesi Tengah. Permasalahan budaya dan adat istiadat sangat mempengaruhi besar

kecilnya ketimpangan antara pembangunan manusia dengan pembangunan

pemberdayaan gender.

Tabel 3.2. Kondisi Ketimpangan Pembangunan Manusia (HDI-GDI-GEM) Propinsi-propinsi di Indonesia

Tahun 2005

No Propinsi HDI -GDI

HDI-GEM

GDI-GEM No Propinsi HDI -

GDI HDI-GEM

GDI-GEM

11 NAD 3.9 10.5 6.6 52 Nusa Tenggara Barat 6.2 10.6 4.4 12 Sumatera Utara 7.3 20.4 13.1 53 Nusa Tenggara Timur 4.0 14.1 10.1 13 Sumatera Barat 6.8 13.3 6.5 61 Kalimantan Barat 5.9 15.0 9.1 14 Riau 12.2 28.7 16.5 62 Kalimantan Tengah 8.2 25.7 17.5 15 Jambi 13.8 20.3 6.5 63 Kalimantan Selatan 7.7 6.8 (0.9) 16 Sumatera Selatan 10.5 9.1 (1.4) 64 Kalimantan Timur 16.6 28.9 12.3 17 Bengkulu 7.0 15.1 8.1 71 Sulawesi Utara 9.2 16.2 7.0 18 Lampung 8.8 15.5 6.7 72 Sulawesi Tengah 4.1 5.3 1.2 19 Bangka Belitung 17.7 26.5 8.8 73 Sulawesi Selatan 8.4 19.7 11.3 31 DKI Jakarta 8.9 25.3 16.4 74 Sulawesi Tenggara 7.3 16.1 8.8 32 Jawa Barat 9.5 22.2 12.7 75 Gorontalo 11.4 12.7 1.3 33 Jawa Tengah 7.6 15.3 7.7 81 Maluku 3.9 14.7 10.8 34 D. I. Yogyakarta 5.6 14.7 9.1 82 Maluku Utara 10.8 34.6 23.8 35 Jawa Timur 7.8 9.2 1.4 94 Papua 5.8 11.1 5.3 36 Banten 11.7 18.0 6.3 51 Bali 6.3 25.2 18.9 INDONESIA 8.5 17.4 8.9

Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah kembali. Ketimpangan antara pembangunan gender dengan pembangunan pemberdayaan

gender pada dasarnya harus lebih kecil jika dibandingkan dengan ketipangan

pembangunan manusia dengan pembangunan gender dan pembangunan pemberdayaan

gender. Suatu pembangunan manusia diwilayah tertentu dapat dikatakan sukses jika

pembangunan gender dan pemberdayaan gender diwilayah tersebut semakin kecil.

Namun yang terjadi di Indonesia ketipangan HDI-GDI masih lebih kecil jika

10

dibandingkan dengan ketimpangan GDI-GEM, dimana rata-rata nasional sebesar 8.7%.

Ketimpangan GDI-GEM tertinggi terdapat pada propinsi Maluku Utara dengan derajat

ketimpangan sebesar 23.8%. hal ini menujukkan bahwa pembangunan dibidang gender

masih belum bisa diikuti dengan pembangunan dibidang pemberdayaan gender.

Besarnya sumberdaya manusia yang telah dibangun sedemikian rupa masih

belum bisa dimanfaatkan untuk diberdayakan sebagai individu-individu yang aktif.

Permasalahan budaya dan adat istiadat memungkinkan hal tersebut bisa terjadi,

disamping juga permasalahan kesempatan antara perempuan dan laki-laki yang masih

timpang. Beberapa daerah yang nilai ketimpangan HDI-GDI-GEM memiliki nilai yang

sama-sama tinggi menujukkan bahwa pembangunan manusia di daerah tersebut kurang

berhasil. Daerah-daerah yang kurang berhasil jika dilihat dari sudut pandang HDI-GDI-

GEM dengan derajad ketimpangan yang relatif sama-sama tinggi diantaranya : DKI

Jakarta, Jawa Barat, Maluku Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Dari propinsi-

propinsi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa besarnya pertumbuhan ekonomi dan

pendapatan perkapita, tingginya indeks pembangunan manusia (HDI), pembangunan

gender (GDI), pembangunan pemberdayaan gender (GEM) belum mampu menjamin

adanya keseimbangan pembangunan manusia dan pembangunan ekonomi.

3.2. Pencapaian di Bidang Pendidikan

Pencapaian dibidang pendidikan dasar merupakan fokus dan indikator utama

dari tujuan ke-3 MDGs. Rasio antara perempuan terhadap laki-laki dalam memperoleh

pendidikan dasar dan menengah merupakan indikator yang dipakai untuk mengetahui

keberhasilan di bidang pendidikan. Target yang digunakan oleh MDGs adalah

menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan menengah pada

tahun 2005, dan menghilangkan ketimpangan gender pada semua tingkat pendidikan

pada tahun 2015.

Gambar 3.1. Rasio Proporsi Perempuan Terhadap Laki-laki di Berbagai Jenjang Pendidikan di Indonesia

Tahun 1991 - 2006

11

Sumber : Biro Pusat Statistik

Jika dilihat dari data pendidikan secara nasional, sejak tahun 1991 – 2006

menujukkan bahwa ketimpangan gender secara rata-rata sudah terhapuskan pada

jenjang pendidikan dasar, menengah namun untuk jenjang pendidikan tingkat atas dan

tinggi masih mengalami kecenderungan fluktuatif setiap tahunnya. Meskipun demikian

secara parsial untuk tahun 2006 semua jenjang pendidikan tidak mengalami

ketimpangan antara proporsi perempuan terhadap laki-laki. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa upaya dibidang pendidikan mengalami keberhasilan dalam mencapai target ke-3

dari MDGs.

Kecenderungan keberhasilan pembangunan gender dalam rangka pencapaian

tujuan ke-3 dari MDGs juga ditunjukkan dari proporsi perempuan dalam menempuh

pendidikan profesional. Hal tersebut dapat dilihat melalui proxy sekolah kejuruan

sebagai obyek analisis. Jika dilihat dari pendidikan profesional, rata-rata mengalami

peningkatan. Pada tahun 2002/2003 proporsi perempuan dalam pendidikan kejuruan

semakin meningkat. Pilihan pendidikan profesional bagi perempuan masih mengalami

kecenderungan pada bidang-bidang profesional yang non teknis dilapangan.

Perempuan lebih memilih pendidikan profesional yang tidak terlalu memberatkan,

meskipun sebenarnya hal tersebut relatif tergantung pada tingkat kemampuan individu

masing-masing. Gambar 3.2.

Proporsi Perempuan Terhadap Laki-laki di Jenjang Pendidikan Profesional Tahun 2002/2003

12

Sumber : Biro Pusat Statistik dan UNESCO

3.3. Pencapaian di Bidang Keaksaraan

Indikator keberhasilan pencapaian tujuan ketiga dari MDGs adalah dibidang

keaksaraan penduduk perempuan usia dewasa produktif (15 – 24 tahun). Keberhasilan

tersebut dikur dengan menggunakan rasio keaksaraan perempuan terhadap laki-laki.

Dibutuhkan keseimbangan antara rasio perempuan terhadap laki-laki, demikian pula

sebaliknya. Jika hal tersebut terpenuhi, maka dapat dikatakan pencapaian tujuan MDGs

yang ke-3, khususnya dibidang keaksaraan telah berhasil. Jika dilihat secara nasional,

pencapaian dibidang keaksaraan belum berhasil mencapai titik keseimbangan. Namun

demikian, belum berhasilnya pencapaian tujuan ke-3 tersebut telah diikuti

perkembangan yang positif setiap tahunnya, dimana tingkat keaksaraan penduduk

perempuan usia produktif cenderung meningkat dari tahun 1999 yang sebesar 88.4%

berkembang menjadi 90.9% pada tahun 2005.

Tabel 3.3. Rasio Melek Huruf Perempuan Terhadap Laki-laki

Provinsi Rasio Melek Huruf

Provinsi Rasio Melek Huruf

1999 2002 2004 2005 1999 2002 2004 2005 11. NAD 93.1 95.8 95.7 96.0 52. Nusa Tenggara Barat 72.8 77.8 78.3 78.8 12. Sumatera Utara 95.8 96.1 96.6 97.0 53. Nusa Tenggara Timur 81.2 84.1 85.2 85.6 13. Sumatera Barat 94.7 95.1 95.7 96.0 61. Kalimantan Barat 83.2 86.9 88.2 89.0 14. Riau 95.5 96.5 96.4 97.8 62. Kalimantan Tengah 94.8 96.4 96.2 97.5 15. Jambi 93.7 94.7 95.8 96.0 63. Kalimantan Selatan 92.8 93.3 94.8 95.3 16. Sumatera Selatan 93.4 94.1 95.7 95.9 64. Kalimantan Timur 93.5 95.2 95.0 95.3 17. Bengkulu 92.7 93.0 94.2 94.7 71. Sulawesi Utara 97.2 98.8 99.1 99.3 18. Lampung 91.8 93.0 93.1 93.5 72. Sulawesi Tengah 92.6 93.3 94.4 94.9 19. Bangka Belitung 91.7 93.5 95.4 73. Sulawesi Selatan 83.2 83.5 84.5 84.6 20. Kepulauan Riau 94.7 96.0 74. Sulawesi Tenggara 87.1 88.2 90.7 91.3 31. DKI Jakarta 97.8 98.2 98.3 98.3 75. Gorontalo 95.2 94.7 95.0 32. Jawa Barat 92.1 93.1 94.0 94.6 76. Sulawesi Barat 82.9 83.4

13

33. Jawa Tengah 84.8 85.7 86.7 87.4 81. Maluku 95.8 96.3 97.8 98.0 34. D. I. Yogyakarta 85.5 85.9 85.8 86.7 82. Maluku Utara 95.8 95.2 95.2 35. Jawa Timur 81.3 83.2 84.5 85.8 91 Papua Barat 85.1 85.4 36. Banten 93.8 94.0 95.6 94. Papua 71.2 74.4 74.2 74.9 51. Bali 82.7 84.2 85.5 86.2 INDONESIA 88.4 89.5 90.4 90.9

Sumber : Biro Pusat Statistik

Jika dilihat secara regional propinsi, pembangunan kesetaraan gender dibidang

keaksaraan menunjukkan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda antar daerah.

Terdapat kecenderungan yang berbeda antara pencapaian keasraan perempuan di

Indonesia bagian timur dan barat. Diwilayah timur, kecenderungan rasio keaksaraan

perempuan usia dewasa lebih rendah jika dibanding dengan pencapaian diwilayah

barat. Pada tahun 1999 rata-rata keaksaraan perempuan usia produktif wilayah timur

dan barat masing-masing sebesar 86.8% dan 91.7%, sedangkan pada tahun 2005

masing-masing sebesar 90% dan94.2%. Dari data tersebut dapat diketahui terdapat

ketimpangan dibidang penghapusan buta aksara antara wilayah timur dan wilayah barat

masing masing sebesar 4.9% dan 4% pada tahun 1999 dan 2005.

Ketimpangan paling tinggi dalam pembangunan keaksaraan penduduk

perempuan usia produktif mayoritas terdapat di Indonesia bagian timur. Pada tahun

2005, Propinsi Papua (74.9), NTB (78.8), Sulawesi Barat (83.4), Sulawesi Selatan

(84.6), Papua Barat (85.4) dan NTT (85.6) merupakan propinsi-propinsi di wilayah

indonesia bagian timur yang memiliki angka keaksaraan perempuan usia produktif

paling rendah diantara daerah lainnya. Artinya diwilayah-wilayah tersebutsemkain

banyak ditemukan ketimpangan antara pendidikan bagi perempuan dengan laki-laki

usia produktif. Untuk daerah-daerah tersebut pencapaian tujuan ke-3 MDGs dapat

dikatakan kurang berhasil dibandingkan daerah-daerah lain dalam wilayah yang sama.

Fakta yang paling menyedihkan adalah masuknya Jawa Timur dan DIY sebagai

propinsi yang tingkat keaksaraan penduduk perempuan usia produktif paling rendah di

wilayah Indonesia barat. Meskipun daerah-daerah ini merupakan daerah yang berada di

pulau jawa dengan fasilitas pendidikan yang memadai, ternyata masih belum mampu

meningkatkan angka keaksaraan perempuan. Faktor budaya dan adat istiadat sangat

memungkinkan hal tersebut terjadi, dimana perempuan masih dianggap sebagai

individu yang kurang perlu untuk mendapatkan kesempatan membuka wawasannya

dengan kemampuan baca tulis yang baik.

3.4. Pencapaian Penghargaan Perempuan di Sektor Non Pertanian

14

Penghargaan ekonomi yang dimaksud dalam tujuan ketiga MDGs adalah

penghargaan berupa upah/gaji kepada perempuan dan memiliki jabatan penting dalam

organisasi usaha. Sudah menjadi rahasia umum jika terdapat gap antara penghargaan

yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan dalam hal pemberian gaji dengan

tingkatan pekerjaan yang sama. Demikian pula dengan jabatan penting dalam

organisasi usaha seperti manajer, direktur maupun jabatan profesional lainnya. Peran

perempuan dalam kegiatan usaha memang masih lebih kecil jika dibanding perempuan,

masalah budaya dan adat istiadat memungkinkan hal ini bisa terjadi.

Pencapaian penghargaan terhadap partisipasi perempuan dibidang ekonomi

masih belum tercapai dalam skala nasional, terutama hingga akhir tahun 2002. Jika

diasumsikan bahwa tahun 1999 adalah periode terakhir pembangunan sentralisasi dan

tahun 2002 merupakan periode pembangunan terdesentralisasi maka ditemukan hal

menarik bahwa penghargaan terhadap peran perempuan dalam jabatan profesional dan

penghargaan berupa upah mengalami kemunduran pad tahun 2002 dibandingkan

dengan tahun 1999. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem desentralisasi

pembangunan terdesentralisasi tidak sepenuhnya lebih baik jika dibandingkan dengan

periode sentralisasi. Penghargaan terhadap perempuan pada dua periode berbeda ini

mengalami penurunan, dimana peran perempuan pada periode tahun 1999 memiliki

nilai 44.76 sedangkan pada tahun 2002 peran perempuan memiliki nilai hanya 41.05.

Tabel 3.4.

Perbandingan HDI, GDI, GEM, Peranan Perempuan di Bidang Ekonomi dan Rasio Peran Perempuan terhadap Laki-laki Tahun 1999 dan 2002

Propinsi HDI GDI GEM Economy Rasio (P/L)

1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 N.A.D 65.3 66.0 59.0 62.1 52.4 55.5 54.4 45.3 119.30 82.82 Sumatera Utara 66.6 68.8 61.2 61.5 47.3 48.4 53.8 50.4 116.45 101.61 Sumatera Barat 65.8 67.5 60.7 60.7 51.5 54.2 58.8 58.3 142.72 139.81 Riau 67.3 69.1 53.1 56.9 38.1 40.4 43.2 42.5 76.06 73.91 Jambi 65.4 67.1 54.6 53.3 46.8 46.8 37.5 40.7 60.00 68.63 Sumatera Selatan 63.9 66.0 52.4 55.5 41.7 56.9 52.4 49.9 110.08 99.60 Bengkulu 54.8 66.2 59.4 59.2 56.5 51.1 45.5 39.8 83.49 66.11 Lampung 63.0 65.8 57.0 57.0 48.2 50.3 46.1 49.2 85.53 96.85 Bangka Belitung

65.4

47.7

38.9

45.2

82.48

DKI Jakarta 72.5 75.6 61.2 66.7 46.4 50.3 34.9 35.9 53.61 56.01 Jawa Barat 64.6 65.8 54.6 56.3 47.7 43.6 36.0 37.4 56.25 59.74 Jawa Tengah 64.6 66.3 57.4 58.7 51.2 51.0 44.7 42.8 80.83 74.83 D. I. Yogyakarta 68.7 70.8 66.4 65.2 58.8 56.1 46.7 37.4 87.62 59.74 Jawa Timur 61.8 64.1 53.2 56.3 54.4 54.9 45.9 38.9 84.84 63.67 Banten

66.6

54.9

48.6

33.0

49.25

Bali 65.7 67.5 60.4 61.2 50.5 42.3 35.5 31.4 55.04 45.77 Nusa Tenggara Barat 54.2 57.8 45.9 51.6 46.2 47.2 37.2 33.5 59.24 50.38

15

Nusa Tenggara Timur 60.4 60.3 56.8 56.3 46.4 46.2 35.7 34.4 55.52 52.44 Kalimantan Barat 60.6 62.9 55.7 57.0 52.2 47.9 43.2 38.9 76.06 63.67 Kalimantan Tengah 66.7 69.1 57.9 60.9 43.5 43.4 46.3 36.5 86.22 57.48 Kalimantan Selatan 62.2 64.3 56.9 56.6 55.1 57.5 47.1 40.5 89.04 68.07 Kalimantan Timur 67.8 70.0 53.5 53.4 49.3 41.1 39.2 36.2 64.47 56.74 Sulawesi Utara 67.1 71.3 53.9 62.1 45.1 55.1 54.9 46.6 121.73 87.27 Sulawesi Tengah 62.8 64.4 54.1 60.3 50.0 59.1 47.4 43.3 90.11 76.37 Sulawesi Selatan 63.6 65.3 53.3 56.9 43.9 45.6 47.7 46.2 91.20 85.87 Sulawesi Tenggara 62.9 64.1 57.4 56.8 46.0 48.0 40.2 34.8 67.22 53.37 Gorontalo

64.1

52.7

51.4

55.3

123.71

Maluku 67.2 66.5 61.0 62.6 52.7 51.8 55.3 54.5 123.71 119.78 Maluku Utara

65.8

55.0

31.2

22.1

28.37

Papua 58.8 60.1 55.7 54.3 47.7 49 34.2 30.6 51.98 44.09 INDONESIA 64.3 65.8 56.64 59.2 48.83 48.79 44.76 41.05 84.17 72.95

Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah kembali.

Pencapaian tujuan ke-3 MDGs jika dilihat secara propinsi-propinsi di Indonesia

menunjukkan fenomena yang beragam, meskipun secara nasional belum sepenuhnya

tercapai. Penghargaan terhadap perempuan dan peranan perempuan di bidang ekonomi

di beberapa propinsi pada tahun 1999 menunjukkan keseimbangan antara penghargaa

serta peran laki-laki dan perempuan bahkan memiliki nilai di atas 50%. Diantara

propinsi-propinsi tersebut yaitu Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (54.4), Sumatera

Barat (58.8), Maluku (55.3), Sulawesi Utara (54.9), Sumatera Utara (53.8), dan

Sumatera Selatan (52.4). Untuk hal yang sama, ternyata ditemukan bahwa terdapat

kemunduran dalam peran dan penghargaan terhadap perempuan pada tahun 2002.

Adapun propinsi-propinsi yang telah berhasil memberikan peran dan penghargaan

terhadap perempuan yang lebih baik diantaranya : Propinsi Sumatera Barat (58.3),

Gorontalo (55.3), Maluku (54.5), Sumatera Utara (50.44) dan Sumatera Selatan

(49.99). Terdapat perubahan formasi dari tahun 1999 ke tahun 2002, yaitu masuknya

Propinsi Gorontalo dan keluarnya Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (45.3) dengan

rata-rata penurunan nilai peranan dan penghargaan terhadap perempuan mengalami

penurunan ditiap propinsi seperti halnya yang terjadi secara nasional.

Terdapat hal menarik yang perlu dicermati, bahwa diantara propinsi-propinsi

yang telah berhasil sejak dini mencapai tujuan ke-3 MDGs tidak terdapat satupun

propinsi yang ada di pulau jawa. Meskipun konsentrasi berbagai kegiatan ekonomi

berada di pulau jawa. Hal yang juga menarik untuk dicermati adalah tidak

seimbangnya antara peranan dan penghargaan perempuan terhadap GEM (Gender

Empowerment Measurement Index) maupun terhadap GDI (Gender Development

Index), dimana nilai peranan perempuan memiliki nilai yang lebih kecil jika

dibandingkan dengan GDI maupun GEM. Hal ini menunjukkan adanya adanya

16

ketimpangan dalam penghargaan dan peranan perempuan dibidang ekonomi, baik

ketimpangan antar daerah maupun ketimpangan dalam unsur pembangunan manusia

sendiri (GDI dan GEM).

3.5. Pencapaian Keterlibatan Politik

Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam bagian awal bahwa keterlibatan

perempuan dalam bidang politik masih sangat rendah, dengan kuota yang telah

ditentukan minimal sebesar 30% di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) partisipasi

perempuan dalam bidang politik hanya sebesar 12% (tahun 1992 – 1997), sedangkan

pada periode 1999-2004 adalah 9,9%, dan pada periode 2004 – 2009 adalah 11,6%.

keterwakilan perempuan di DPD (yang dibentuk pada tahun 2004) juga masih rendah

yaitu 19,8%. Hal ini menunjukkan bahwa memang peranan perempuan dalam bidang

politik masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Dalam kenyataannya, meskipun telah

dirangsang dengan kuota 30% ternyata perempuan hanya mampu memenuhi separo dari

kuota yang telah ditentukan.

Tabel 3.5. Perbandingan HDI, GDI, GEM, Partisipasi Politik dan Rasio Partisipasi Politik terhadap Kuota

Minimal Tahun 1999 dan 2002

Kode Propinsi HDI GDI GEM Political Quota Ratio1 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002

11 N.A.D 65.3 66.0 59.0 62.1 52.4 55.5 8.3 9.1 27.67 30.33 12 Sumatera Utara 66.6 68.8 61.2 61.5 47.3 48.4 2.8 3.6 9.33 12.00 13 Sumatera Barat 65.8 67.5 60.7 60.7 51.5 54.2 6.1 9.1 20.33 30.33 14 Riau 67.3 69.1 53.1 56.9 38.1 40.4 2.0 1.8 6.67 6.00 15 Jambi 65.4 67.1 54.6 53.3 46.8 46.8 8.0 8.9 26.67 29.67 16 Sumatera Selatan 63.9 66.0 52.4 55.5 41.7 56.9 3.2 14.7 10.67 49.00 17 Bengkulu 54.8 66.2 59.4 59.2 56.5 51.1 10.0 6.7 33.33 22.33 18 Lampung 63.0 65.8 57.0 57.0 48.2 50.3 4.5 6.7 15.00 22.33 19 Bangka Belitung n.a 65.4 n.a 47.7 n.a 38.9 n.a 4.4 n.a 14.67 31 DKI Jakarta 72.5 75.6 61.2 66.7 46.4 50.3 7.9 7.1 26.33 23.67 32 Jawa Barat 64.6 65.8 54.6 56.3 47.7 43.6 7.8 3.0 26.00 10.00 33 Jawa Tengah 64.6 66.3 57.4 58.7 51.2 51.0 6.7 6.3 22.33 21.00 34 D. I. Yogyakarta 68.7 70.8 66.4 65.2 58.8 56.1 7.8 9.1 26.00 30.33 35 Jawa Timur 61.8 64.1 53.2 56.3 54.4 54.9 11.1 11.0 37.00 36.67 36 Banten n.a 66.6 n.a 54.9 n.a 48.6 n.a 9.3 n.a 31.00 51 Bali 65.7 67.5 60.4 61.2 50.5 42.3 6.1 - 20.33 - 52 Nusa Tenggara Barat 54.2 57.8 45.9 51.6 46.2 47.2 6.1 5.5 20.33 18.33 53 Nusa Tenggara Timur 60.4 60.3 56.8 56.3 46.4 46.2 2.1 3.6 7.00 12.00 61 Kalimantan Barat 60.6 62.9 55.7 57.0 52.2 47.9 6.3 3.6 21.00 12.00 62 Kalimantan Tengah 66.7 69.1 57.9 60.9 43.5 43.4 2.5 2.2 8.33 7.33 63 Kalimantan Selatan 62.2 64.3 56.9 56.6 55.1 57.5 8.7 12.7 29.00 42.33 64 Kalimantan Timur 67.8 70.0 53.5 53.4 49.3 41.1 12.5 6.7 41.67 22.33 71 Sulawesi Utara 67.1 71.3 53.9 62.1 45.1 55.1 7.5 11.1 25.00 37.00 72 Sulawesi Tengah 62.8 64.4 54.1 60.3 50.0 59.1 7.5 11.1 25.00 37.00 73 Sulawesi Selatan 63.6 65.3 53.3 56.9 43.9 45.6 3.8 2.7 12.67 9.00 1 Quota ratio adalah rasio antara persentase partisipasi politik perempuan terhadap kuota yang telah ditentukan. Dalam kasus ini diasumsikan bahwa kuota yang ditentukan sebesar 30%.

17

74 Sulawesi Tenggara 62.9 64.1 57.4 56.8 46.0 48.0 2.5 6.7 8.33 22.33 75 Gorontalo n.a 64.1 n.a 52.7 n.a 51.4 n.a 11.1 n.a 37.00 81 Maluku 67.2 66.5 61.0 62.6 52.7 51.8 7.5 4.5 25.00 15.00 82 Maluku Utara n.a 65.8 n.a 55.0 n.a 31.2 n.a n.a n.a n.a 94 Papua 58.8 60.1 55.7 54.3 47.7 49 2.7 6.7 9.00 22.33

INDONESIA 64.3 65.8 56.64 59.2 49.5 54.6 6.2 6.6 20.8 22.1 Sumber : Biro Pusat Statistik, diolah kembali. Keterangan : na = data tidak tersedia

Berbeda dengan partisipasi perempuan di bidang politik nasional, partisipasi

politik perempuan secara regional justru memiliki kontribusi yang sangat rendah.

Beberapa propinsi malah tidak terdapat partisipasi perempuan dalam DPRD seperti

Propinsi Bali pada tahun 2002. Partispasi perempuan dalam politik lokal (propinsi)

hanya sebesar 6.2% (1999) dan meningkat sedikit pada tahun 2002 menjadi 6.6%. jika

dilihat dari rasio antara persentase partisipasi perempuan dalam politik dengan kuota

yang telah ditentukan sebesar 30%, menunjukkan bahwa partisipasi politik oleh

perempuan hanya sebesar 20.8% (1999) dan 22.1% (2002) dari kuota minimal sesuai

undang-undang yang ada.

Hanya terdapat beberapa daerah yang mampu menyumbang partisipasi

perempuan dalam politik lokal diatas rata-rata pada tahun 2002. Adapun propinsi-

propinsi tersebut antara lain : Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara,

Sulawesi Tengah, Gorontalo, Jawa Timur, Banten, NAD, Sumatera Barat, DIY, Jambi,

DKI, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Papua.

Sedangkan daerah lainnya, partisipasi perempuan dalam politik lokal masih sangat

rendah. Untuk pencapaian tujuan ke-3 dari MDGs terdapat indikasi bahwa partisipasi

perempuan dalam politik lokal tidak memiliki arah hubungan positif dengan GEM,

GDI maupun HDI. Hal ini semakin mempersulit pencapaian tujuan ke-3 dari MDGs

yang telah dipatok terealisasi pada tahun 2015 atau paling lambat 2025.

4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan atas pembahasan dan kajian dalam bagian-bagian sebelumnya

dapat disimpulkan bahwa :

1. Keberhasilan pembangunan dibidang sumberdaya manusia (HDI) masih belum

mampu diikuti pertumbuhan pembangunan yang proporsional di bidang gender

(GDI), bahkan dibidang pemberdayaan gender (GEM). Kecenderungan

pembangunan sumberdaya manusia memiliki ketimpangan yang cukup besar

terhadap pembangunan pemberdayaan perempuan (HDI-GEM), dan tidak

18

terlalu kecil ketimpangannya terhadap pembangunan gender (HDI-GDI). Hal

tersebut terjadi hampir merata ditiap-tiap propinsi di Indonesia. Daerah yang

memiliki kegiatan ekonomi yang cukup baik, kondisi pembangunan manusia

yang juga cukup baik belum mampu menghapuskan ketimpangan terhadap

pembangunan gender dan pembangunan pemberdayaan gender. DKI Jakarta,

Kalimantan Timur dan Riau adalah sebagian dari contoh fenomena tersebut.

2. Secara komulatif, pencapaian pembangunan manusia dan tujuan ke-3 dari

MDGs di bidang pendidikan relatif telah mencapai keberhasilan. Rasio antara

perempuan terhadap laki-laki diberbagai jenjang pendidikan telah mencapai

angka diatas 100% pada tahun 2006. Penghapusan ketimpangan gender pada

pendidikan dasar dan lanjutan sepenuhnya telah tercapai pada tahun 2005,

sesuai target dari tujuan ke-3 MDGs. Demikian pula target penghapusan

ketimpangan gender dijenjang pendidikan menengah dan tinggi, yang secara

komulatif telah tercapai pada tahun 2006, dengan nilai rasio diatas 100% pada

kedua jenjang pendidikan tersebut.

3. Jika dilihat secara nasional, pencapaian dibidang keaksaraan belum berhasil

mencapai titik keseimbangan. Namun demikian, belum berhasilnya pencapaian

tujuan ke-3 tersebut telah diikuti perkembangan yang positif setiap tahunnya,

dimana tingkat keaksaraan penduduk perempuan usia produktif cenderung

meningkat dari tahun ke tahun. Terdapat ketimpangan pencapaian keaksaraan

perempuan di Indonesia bagian timur dan barat. Diwilayah timur,

kecenderungan rasio keaksaraan perempuan usia dewasa lebih rendah jika

dibanding dengan pencapaian diwilayah barat.

4. Penghargaan dan peranan perempuan dibidang ekonomi masih relatif lebih

rendah jika dibanding dengan pencapaian HDI, GDI maupun GEM. Terdapat

ketimpangan dalam hal partisipasi ekonomi baik dari sisi pembangunan

manusia (HDI, GDI, GEM) maupun ketimpangan pembangunan antar daerah

satu dengan daerah lainnya. Terdapat penurunan partisipasi perempuan dalam

bidang ekonomi, hal ini mengindikasikan semakin susah pencapaian tujuan ke-

3 dari MDGs jika kondisi semakin turun tiap tahun terjadi dimasa yang akan

datang

19

5. Partisipasi perempuan dalam bidang politik masih jauh lebih rendah daripada

kuota minimal yang telah ditentukan, baik dalam tataran politik nasional

maupun politik lokal propinsi. Partisipasi perempuan dalam politik lokal

memiliki nilai yang jauh lebih rendah jika dibanding dengan politik nasional.

Dengan kuota sebesar 30% ternyata belum bisa merangsang keterlibatan

perempuan dalam bidang politik, yaitu hanya 11.6% dalam politik nasional dan

6.7% dalam politik lokal.

4.2. Kebijakan yang Diperlukan dalam Pengembangan Kesetaraan Gender dan

Partisipasi Perempuan

Pengarusutamaan gender di seluruh bidang dan kegiatan pembangunan

telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan dalam perencanaan

jangka menengah dan tahunan. Kebijakan pembangunan yang akan dilakukan

ditahun-tahun depan sebaiknya diarahkan untuk:

1. Meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di segala bidang

pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan

pengambilan keputusan (politik);

2. Menyempurnakan perangkat hukum untuk melindungi setiap individu dari

berbagai tindak kekerasan, ekspolitasi, dan diskriminasi. Merevisi peraturan

perundang-undangan yang bias gender dan/atau diskriminatif terhadap

perempuan; meningkatkan kesempatan kerja dan partisipasi perempuan dalam

pembangunan politik;

3. Memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarusutamaan gender

dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai

kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk

pemenuhan komitmen-komitmen internasional, penyediaan data dan statistik

gender, serta peningkatan partisipasi masyarakat.

4. Untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih

berkualitas, kebijakan diarahkan pada penyelenggaraan Wajib Belajar

Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, penurunan secara signifikan jumlah

penduduk yang buta aksara, dan peningkatan keadilan dan kesetaraan

pendidikan antarkelompok masyarakat termasuk antara penduduk laki-laki dan

perempuan.

20

5. Melaksanakan strategi pengarusutamaan gender di seluruh tahapan

pembangunan dan di seluruh tingkat pemerintahan (nasional, provinsi, dan

kabupaten/kota). Program-program pembangunan jangka menengah dan

tahunan terus dikembangkan agar responsif gender. Program-program tersebut

ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan perempuan,

terutama dibidang pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan, sosial,

politik, lingkungan hidup dan ekonomi. Program lain yang dilakukan adalah

memperkuat kelembagaan pengarusutamaan gender, terutama ditingkat

kabupaten/kota.

Daftar Kepustakaan

Asian Development Bank. 1998. “Kebijakan ADB Mengenai Gender dan Pembangunan”. Asian Development Bank Indonesia : Jakarta.

Badan Pusat Statistik. “Survey Sosial Ekonomi Sosial Nasional”. Berbagai Edisi

Penerbitan. Badan Pusat statistik : Jakarta. Badan Pusat Statistik, BAPPENAS dan UNDP. 2004. “Indonesia Human Development

Report 2004 : The Economics of DemocracyFinancing Human Development in Indonesia ”. Badan Pusat Statistik, Bappenas dan UNDP Indonesia : Jakarta.

Badan Pusat Statistik, BAPPENAS dan UNDP. 2005. “Indonesia Human Development

Report 2005 : International Cooperation at a Crossroads Aid, Trade and Security in an Unequal World ”. Badan Pusat Statistik, Bappenas dan UNDP Indonesia : Jakarta.

Badan Pusat Statistik, BAPPENAS dan UNDP. 2006. “Indonesia Human Development

Report 2006 - Beyond Scarcity : Power, Poverty and Global Water Crisis”. Badan Pusat Statistik, Bappenas dan UNDP Indonesia : Jakarta.

BAPPENAS. 2004. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan

Milenium Indonesia Tahun 2004. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Jakarta

BAPPENAS. 2005. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan

Milenium Indonesia Tahun 2005. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Jakarta.

DPR RI. 2003. Naskah Akademis Rencana Undang-undang tentang Kependudukan

dan Pembangunan Keluarga. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia : Jakarta

21

Sondakh, Angelina. 2005. Perempuan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah.

http://www.angelinasondakh.com. United Nation Development Group, 2003. Indicators for Monitoring the Millennium

Development Goals : Definitions, Rationale, Concepts and Sources. United Nation Development Group led by United Nation Development Programe, United Nation Population Fund and Department of Economic and Social Affairs–Statistics Division : New York

.