eksplorasi dan koleksi materi genetik eboni …biotifor.or.id/2013/lb.file/gambar/file/wana benih...

19
41 EKSPLORASI DAN KOLEKSI MATERI GENETIK EBONI (Diospyros celebica Bakh.) UNTUK PEMBANGUNAN PLOT KONSERVSI SUMBERDAYA GENETIK Exploration and collection of genetic materials of ebony (Diospyros celebica Bakh.) for establishing genetic resources conservation plots Prastyono dan Burhan Ismail Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta email: [email protected] ABSTRACT Ebony (Diospyros celebica Bakh.) has been listed as Vulnerable (VU A1cd ver 2.3) in the IUCN Red List of Threatened Species and has been evaluated for inclusion in the Appendix II of CITES. Therefore, genetic conservation of this species is urgently required to preserve its genetic diversity . Exploration and collection of genetic materials for establishing an ex-situ conservation of ebony genetic resources are of the most important activity and needs to be done correctly so that acquired genetic materials could represent the genetic diversity of the population. Exploration and collection of such material has been done in 6 populations, namely Mamuju (West Sulawesi), Barru, Maros dan Luwu Timur (South Sulawsi), Parigi Moutong) dan Morowali (Central Sulawesi). Genetic materials were collected mostly from identified seed stands of ebony. In total of 6.732 wildlings were collected from the six populations. The survival rate of the wildlings planted in a nursery was from 46% to 96%. Key words : Ebony, Diospyros celebica, genetic materials collection ABSTRAK Eboni (Diospyros celebica Bakh) oleh IUCN Red List Catagories of Threatened Species telah dimasukkan dalam kategori Vulnerable (VU A1cd ver 2.3) dan telah dievalusi untuk dimasukkan dalam Appendix II CITES. Karena itu konservasi genetik jenis ini perlu segera dilakukan untuk mempertahankan keragaman genetik. Untuk melakukan konservasi ex- situ, eksplorasi dan koleksi materi genetik merupakan tahap yang paling penting dan perlu dilakukan dengan benar sehingga materi genetik yang dikoleksi dapat merepresentasikan keragaman genetik dari populasi yang diwakili. Eksplorasi dan koleksi materi genetik eboni dilakukan di 6 populasi yaitu Mamuju (Sulawesi Barat), Barru, Maros dan Luwu Timur (Sulawsi Selatan), Parigi Moutong) dan Morowali (Sulawesi Tengah). Kegiatan ini dilakukan di tegakan benih teridentifikasi eboni, kecuali populasi Maros yang dilakukan di Taman Nasional. Sebanyak 6.732 anakan berhasil dikoleksi dari enam populasi tersebut. Daya hidup anakan asal cabutan setelah 8 bulan di persemaian berkisar antara 46% hingga 96%. Kata kunci : eboni, Diospyros celebica, koleksi materi genetik I. PENDAHULUAN Eboni (Diospyros celebica Bakh.) yang memiliki nama daerah kayu lotong (Bugis) atau moutong (Kaili) dan pada perdagangan internasional dikenal dengan nama Indonesian

Upload: vutruc

Post on 04-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

41

EKSPLORASI DAN KOLEKSI MATERI GENETIK EBONI (Diospyros celebica Bakh.) UNTUK PEMBANGUNAN PLOT KONSERVSI SUMBERDAYA GENETIK

Exploration and collection of genetic materials of ebony (Diospyros celebica Bakh.) for establishing genetic resources conservation plots

Prastyono dan Burhan IsmailBalai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakartaemail: [email protected]

ABSTRACT

Ebony (Diospyros celebica Bakh.) has been listed as Vulnerable (VU A1cd ver 2.3) in the IUCN Red List of Threatened Species and has been evaluated for inclusion in the Appendix II of CITES. Therefore, genetic conservation of this species is urgently required to preserve its genetic diversity. Exploration and collection of genetic materials for establishing an ex-situ conservation of ebony genetic resources are of the most important activity and needs to be done correctly so that acquired genetic materials could represent the genetic diversity of the population. Exploration and collection of such material has been done in 6 populations, namely Mamuju (West Sulawesi), Barru, Maros dan Luwu Timur (South Sulawsi), Parigi Moutong) dan Morowali (Central Sulawesi). Genetic materials were collected mostly from identified seed stands of ebony. In total of 6.732 wildlings were collected from the six populations. The survival rate of the wildlings planted in a nursery was from 46% to 96%.

Key words : Ebony, Diospyros celebica, genetic materials collection

ABSTRAK

Eboni (Diospyros celebica Bakh) oleh IUCN Red List Catagories of Threatened Species telah dimasukkan dalam kategori Vulnerable (VU A1cd ver 2.3) dan telah dievalusi untuk dimasukkan dalam Appendix II CITES. Karena itu konservasi genetik jenis ini perlu segera dilakukan untuk mempertahankan keragaman genetik. Untuk melakukan konservasi ex-situ, eksplorasi dan koleksi materi genetik merupakan tahap yang paling penting dan perlu dilakukan dengan benar sehingga materi genetik yang dikoleksi dapat merepresentasikan keragaman genetik dari populasi yang diwakili. Eksplorasi dan koleksi materi genetik eboni dilakukan di 6 populasi yaitu Mamuju (Sulawesi Barat), Barru, Maros dan Luwu Timur (Sulawsi Selatan), Parigi Moutong) dan Morowali (Sulawesi Tengah). Kegiatan ini dilakukan di tegakan benih teridentifikasi eboni, kecuali populasi Maros yang dilakukan di Taman Nasional. Sebanyak 6.732 anakan berhasil dikoleksi dari enam populasi tersebut. Daya hidup anakan asal cabutan setelah 8 bulan di persemaian berkisar antara 46% hingga 96%.

Kata kunci : eboni, Diospyros celebica, koleksi materi genetik

I. PENDAHULUAN

Eboni (Diospyros celebica Bakh.) yang memiliki nama daerah kayu lotong (Bugis) atau moutong (Kaili) dan pada perdagangan internasional dikenal dengan nama Indonesian

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

42

ebony, Macassar ebony, Coromandel ebony, streaked ebony, black ebony atau Sulawesi ebony merupakan flora endemik Sulawesi yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Kayu eboni banyak dipakai untuk meubel, patung, ukiran, hiasan dinding, alat musik, kipas dan kayu lapis mewah karena kayu eboni memiliki kelas awet dan kelas kuat I (Martawijaya et al., 1989) serta memiliki corak kayu teras yang berwarna hitam dengan garis-garis merah coklat yang indah. Besarnya permintaan pasar dan tingginya harga jual kayu eboni menyebabkan pemanenan dan penebangan pohon eboni secara ilegal di hutan alam tidak terkendali.

Eksploitasi yang berlebihan telah menyebabkan populasi dan potensi eboni di hutan alam semakin berkurang drastis. Oleh karena itu sejak tahun 1986 pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts/IV/86 yang mengatur perijinan, penebangan, pengelolaan, peredaran dan melarang adanya penebangan baru terhadap jenis eboni. Namun demikian, penebangan secara ilegal dan perdagangan gelap masih berlangsung sehingga pada tahun 1998, D. celebica dikategorikan dalam Vulnerable (VU A1cd ver 2.3) oleh IUCN Red List Catagories of Threatened Species (2012) yang berarti penurunan populasi telah terjadi setidaknya 20% selama 10 tahun terakhir atau tiga generasi yang disebabkan oleh penurunan luasan dan keberadaan serta kualitas habitat serta tingkat eksploitasi yang tinggi. Selain itu, D. celebica telah dievalusi untuk dimasukkan dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), sebagai jenis yang akan terancam punah jika perdagangan jenis ini tidak diatur dengan ketat.

Konservasi sumberdaya genetik eboni baik secara in-situ maupun ex-situ perlu segera dilakukan untuk mempertahankan keragaman sumberdaya genetik, melindungi kemampuan beradaptasi dari perubahan lingkungan dan menjadi dasar untuk meningkatkan produktivitas melalui seleksi dan aktivitas pemuliaan. Hingga saat ini belum ada kawasan konservasi yang ditunjuk sebagai kawasan konservasi in-situ eboni, namun keberadaan tegakan eboni masih bisa dijumpai di beberapa kawasan konservasi antara lain Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Maros, Cagar Alam (CA) Ponda-ponda, CA Kalaena dan CA Pegunungan Faruhumpenai di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan CA Pangi Binangga di Sulawesi Tengah. Selain itu BPTH Sulawesi telah menunjuk enam tegakan alam eboni sebagai sumber benih dengan status tegakan benih teridentifikasi (TBT), yaitu di Kabupaten Barru (Desa Coppo, Kecamatan Barru), Kabupaten Luwu Timur (2 tegakan di Desa Mango Lembo, Kecamatan Mangkutana), Kabupaten Parigi Moutong (Desa Sausu, Kecamatan Sausu), Kabupaten Morowali (Desa Wawopada, Kecamatan Lembo) dan Kabupaten Mamuju (Desa Batu Papang, Kecamatan Papalang) (Anonim, 2009). Selain di hutan negara, terdapat beberapa tegakan eboni di hutan adat yang pengelolaannya berdasarkan kearifan lokal masyarakat setempat, diantaranya adalah hutan Palandro di Sulawesi Selatan seluas 10 ha (Nurrani, 2012) dan hutan Bambauebone (kelompok hutan S. Matapangi) di Sulawesi Barat (Kiding Allo, 2011).

43

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

Pembangunan tegakan atau plot konservasi ex-situ eboni telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang sejak tahun 1996 salah satunya adalah penanaman eboni di Malili, Luwu Timur yang berasal dari 7 provenansi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah (Santoso dan Anwar, 2002). Penanaman eboni di luar Pulau Sulawesi yang pernah dilaporkan oleh Soerianegara (1967) adalah percobaan penanaman di Kebun Percobaan Cikampek. Mengingat status kelangkaan eboni dan keberadaan tegakan konservasi baik in-situ maupun ex-situ yang masih sangat terbatas, maka pembangunan tegakan/plot konservasi genetik secara ex-situ di luar Pulau Sulawesi perlu segera dilakukan. Tulisan ini memaparkan tentang kegiatan eksplorasi dan koleksi materi genetik eboni di lima sebaran alam di Sulawesi untuk pembangunan plot konservasi genetik secara ex-situ.

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan Waktu Kegiatan

Eksplorasi dan koleksi materi genetik eboni dilakukan di enam lokasi sebaran alam di Pulau Sulawesi, yaitu TBT Sausu (Kabupaten Parigi Moutong), TBT Wawopada (Kabupaten Morowali), TBT Kalaena dan TBT Ponda-ponda (Kabupaten Luwu Timur), TBT Coppo (Kabupaten Barru), TN Bantimurung Bulusaraung (Kabupaten Maros) dan TBT Batu Ampa (Kabupaten Mamuju). Peta lokasi eksplorasi disajikan pada Gambar 1. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada bulan April - Mei 2012 dan bulan Maret – Mei 2013.

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan materi genetik eboni di Sulawesi (Sumber peta: Google Earth)

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

44

B. Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang digunakan meliputi :1. Perlengkapan lapangan : GPS, kertas label, kantong plastik, kardus dan alat tulis 2. Ekstraksi benih dan pembibitan : label, spidol permanen, polybag, plastik sungkup,

paranet, dan media semai dan sapih.

C. Tahapan Kegiatan

Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam eksplorasi dan koleksi materi genetik serta penanganan materi genetik hasil eksplorasi adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan informasi sebaran alam dan musim berbuah

Pengumpulan informasi tentang sebaran alam eboni di Sulawesi dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur dan berkoordinasi dengan instansi terkait. Informasi musim berbuah eboni dilakukan sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan.

2. Penentuan populasi yang akan dikoleksi

Berdasarkan panduan dari Centre for Plant Conservation (1991), penentuan jumlah populasi untuk dicuplik sebagai materi dalam pembangunan konservasi ex-situ untuk spesies yang jarang dan terancam punah harus mempertimbangkan derajat diferensiasi genetik antar populasi, sehingga karagaman genetik pada tingkat populasi bisa ditangkap. Untuk spesies dengan sebaran yang luas, sebanyak 3-5 populasi dianggap cukup mewakili keragaman genetik dari spesies target. Sampling lebih dari lima populasi diperlukan terhadap spesies dengan potensi gene flow antar populasi yang rendah. Pencuplikan sebaiknya dimulai dari lokasi dengan kelimpahan populasi dan atau keragaman genetik tertinggi (Jaramillo dan Baena, 2002)

Berdasarkan hasil penelitian Restu (2007), eboni dari provenan Barru dan Mamuju mempunyai keragaman genetik lebih tinggi dibandingkan dengan provenans lainya di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian Widyatmoko et al. (2011), juga menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis keragaman genetik eboni dari dua populasi yang berasal dari propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah menggunakan penanda RAPD diperoleh rata-rata keragaman genetik sebesar 0,289. Sedangkan jarak genetik antar populasi yang berasal dari propinsi tersebut sebesar 0,035. Hasil klaster analisis terhadap sampel memperlihatkan pengelompokan populasi yang jelas sesuai dengan letak geografisnya. Berdasarkan hasil tersebut mengindikasikan bahwa materi genetik untuk pembangunan plot konservasi genetik secara ex-situ diambil satu populasi dari masing-masing propinsi.

Dengan mempertimbangkan berbagai referensi tersebut, koleksi materi genetik eboni untuk pembangunan plot konservasi genetik secara ex-situ dilakukan dari lima populasi yaitu Mamuju (Sulawesi Barat), Barru (Sulawesi Selatan), Luwu Timur (Sulawesi Selatan),

45

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

Parigi Moutong (Sulawesi Tengah) dan Morowali (Sulawesi Tengah) (Gambar 1). Eksplorasi materi genetik eboni dilakukan pada populasi yang telah ditetapkan sebagai tegakan benih teridentifikasi dengan asumsi bahwa aksesibilitas mudah, tegakan hutan masih dikelola dengan baik dan memiliki keragaman genetik yang tinggi, karena berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.72/Menhut-II/2009 tentang perubahan atas peraturan Menteri Kehutanan nomor P.01/Menhut-II/2009 tentang penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan, salah satu syarat suatu tegakan hutan ditetapkan sebagai TBT adalah memiliki jumlah pohon induk minimal 25 pohon. Pemilihan populasi tersebut berdasarkan letak geografi yang saling berjauhan yang diasumsikan berbeda secara genetik.

3. Pemilihan atau seleksi pohon induk

Jumlah individu pohon induk yang dikoleksi dari tiap populasi harus bisa menangkap sebanyak mungkin keragaman genetik, yang pada kebanyakan spesies berada pada tiap individu (Centre for Plant Conservation, 1991). Menurut Lawrence and Marshall (1997), minimum Ne (effective population size) untuk konservasi ex situ adalah 172 individu per populasi. Sedangkan Jaramillo dan Baena (2002) merekomendasikan sebanyak 50 individu untuk dikoleksi. Jumlah sampel perlu ditingkatkan apabila terdapat variasi ekogeografi atau iklim. Namun demikian Brown and Briggs (1991) menjelasakan bahwa untuk menangkap keragaman alel secara efisien, jumlah sampel yang banyak dari tiap populasi tidak diperlukan sehingga 10 individu sudah dianggap cukup. Dalam panduannya, Centre for Plant Conservation (1991), merekomendasikan sebanyak 10-50 individu per populasi untuk disampel pada saat koleksi materi genetik untuk konservasi ex-situ, dengan mempertimbangkan karakteristik tumbuh, sejarah populasi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi sebaran keragaman.

Dengan mempertimbangkan berbagai referensi tersebut dan faktor teknis, koleksi materi genetik eboni untuk pembangunan plot konservasi ex-situ diwakili oleh minimal 20 individu pohon induk per populasi dengan jarak antar pohon induk adalah 50 meter atau lebih agar materi buah atau anakan yang dikumpulkan tidak hanya merupakan hasil perkawinan dari individu-individu yang dipilih tetapi merupakan hasil perkawinan lebih dari jumlah individu-individu pohon yang terpilih.

4. Pengumpulan buah dan atau anakan alam

Pengumpulan buah dilakukan dengan cara pemanjatan dan pemetikan buah masak di pohon karena buah yang sudah jatuh rentan terserang jamur Penicilliopsis clavariaeformis (Soerianegara, 1967). Ciri-ciri buah yang sudah masak adalah kulit buah berwarna merah kekuning-kuningan, berbulu dan bijinya berwarna coklat tua (Alrasyid, 2002; Santoso, 1997).

Pengumpulan anakan alam dilakukan dengan cara mencabut anakan alam yang berada tepat di bawah pohon induk dengan tujuan untuk meminimalkan tercampurnya anakan pohon

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

46

induk yang dimaksud dengan anakan dari pohon yang lain. Tidak tertutup kemungkinan adanya kontaminasi anakan dari pohon induk yang lain, mengingat buah eboni merupakan makanan bagi satwa baik mamalia maupun burung (Oka, 2002). Di hutan alam, anakan eboni cukup melimpah yaitu sekitar 500-4000 anakan pada radius 5 m dari pohon induk (Santoso, 1997). Selain tumbuh di bawah pohon induknya, anakan eboni tumbuh bergerombol jauh dari pohon induknya (Oka, 2002), hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran biji eboni dibantu oleh fauna terutama mamalia, melalui pencernakannya (Azuma et al., 1994). Oleh karena itu Santoso dan Anwar (2002) menyarankan untuk keperluan konservasi ex-situ, pengambilan anakan eboni dilakukan pada pohon induk yang berada pada lokasi relatif datar, dan jarak antar pohon induk adalah 50 meter serta anakan yang diambil hanya anakan yang berada pada radius 5 m sekeliling pohon induk. Anakan yang dikoleksi adalah anakan dengan tinggi kurang lebih 10 cm dan baru memiliki 2-4 helai daun. Anakan dari masing-masing pohon induk diikat dan diberi label untuk menjaga identitas masing-masing anakan, dan kemudian dimasukkan dalam kantong plastik.

5. Ekstraksi benih dan penanganan anakan

Ekstraksi benih dilakukan untuk memisahkan benih dari daging buah. Ekstraksi benih eboni dilakukan dengan cara pemeraman buah selama 24 jam agar buah menjadi lunak untuk memudahkan proses ekstraksi. Anakan hasil koleksi segara ditanam dalam polybag-polybag yang sudah diisi media dan diletakkan dalam bedengan yang telah dipasangi plastik sungkup dan naungan berupa paranet.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Eksplorasi

1. Sulawesi Selatan

Secara geografis, sebaran alam eboni di Sulawesi Selatan berada pada posisi geografi 02°38'33,3" - 05°23'74,4" LS dan 119°06'39,0" - 122°89'19,0" BT (Kidding Allo, 2011). Saat ini keberadaan tegakan eboni terputus antara satu tegakan dengan tegakan lainnya, yang terdapat di wilayah barat Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Gowa di Hutan Lindung Boribella, Kec. Parangloe, Kabupaten Maros di CA. Karaenta (TN Bantimurung Bulusaraung), Kabupaten Barru di Desa Coppo Kec. Barru, dan di wilayah timur Sulawesi Selatan Kabupaten Sidrap di Kecamatan Pituirawa, Kabupaten Luwu Timur di CA. Ponda-Ponda, CA. Kalaena dan CA. Faruhumpenai) (Kidding Allo, 2011; 2012). Namun demikian tidak ada data terkini mengenai potensi dan kondisi dari sebagian besar tegakan pada masing-masing sebaran alam tersebut.

47

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

Ekplorasi materi genetik eboni di Sulawesi Selatan pada awalnya akan dilakukan di Kabupaten Barru (TBT Coppo) dan Kabupaten Luwu Timur (TBT Kalena dan TBT Ponda-Ponda). Namun karena tidak banyak materi genetik yang dikoleksi dari Kabupaten Barru, eksplorasi dilanjutkan di Kabupaten Maros yaitu di TN. Bantimurung Bulusaraung (Gambar 1). Eksplorasi di Kabupaten Barru dan Maros dilakukan pada bulan Mei 2012, sedangkan eksplorasi di Kabupaten Luwu Timur dilakukan pada bulan Maret 2013. Deskripsi lokasi dimana ekplorasi eboni dilakukan dan hasil koleksi yang diperoleh adalah sebagai berikut:

a. TBT Coppo, Kabupaten Barru

1) Status Kawasan dan Letak Geografi

Kawasan ini merupakan hutan lindung seluas 100 ha di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Barru dan dikukuhkan sebagai Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) eboni seluas 10 hektar dengan sertifikat No. 012/BPTH.Sul-2/2008 dan nomor sumber benih 73.10.019 pada posisi geografi 04°28'27,0" LS dan 119°08'51,0" BT (Anonim, 2009). Secara administratif pemerintahan, lokasi ini terletak di Dusun Padang Loang, Desa Kappang, Kelurahan Coppo, Kec Barru, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Lokasi ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dengan rute Makassar – Maros- Barru - Coppo dengan jarak ± 119 km.

2) Kondisi Ekologi

Kawasan hutan berada pada ketinggian 65 mdpl dengan bentang lahan berupa tanah berkapur, kontur berbukit dengan kemiringan yang curam dan kelerengan bervariasi antara 20o hingga 80o. Lokasi ini termasuk dalam tipe iklim C (Schmidt and Ferguson) yakni mempunyai bulan basah berturut-turut 5-6 bulan (Oktober - Maret) dan bulan kering dari April hingga September dengan rata-rata curah hujan mencapai 1.335 mm/tahun. Vegetasi dominan pada lokasi ini adalah eboni, aren, merbau, Shorea spp, dan pandan-pandanan. Berdasarkan data Anonim (2009) pada TBT ini terdapat 1.100 pohon eboni dengan diameter lebih dari 30 cm. Eboni di TBT ini berbunga pada bulan Agustus-Oktober dan buah masak pada bulan November-Desember (Anonim, 2009).

b. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros

1) Status Kawasan dan Letak Geografi

Taman Nasional ini terletak di dua wilayah, yaitu Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep. Lokasi eksplorasi adalah blok hutan Karaenta yang merupakan salah satu habitat eboni yang ada di kawasan TN Bantimurung Bulusaraung, yang berada pada 05°01'50,5" LS dan 119°44'59,5" BT, secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Desa Kappang,

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

48

Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Blok hutan Karaenta dibelah oleh jalan poros Makassar – Bone. Lokasi tempat tumbuh eboni berada pada ketinggian 150 – 450 mdpl dengan topografi bervariasi dari berbukit sampai bergunung (10 - 30%) (Nurkin, 1998). Lokasi ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dengn rute Makassar – Maros dengan jarak ± 40 km.

2) Kondisi Ekologi

Hampir seluruh bentang alam di Taman Nasional ini adalah karst. Hamparan lahan dicirikan dengan topografi yang bergelombang dan berbukit bahkan bergunung sehingga menyulitkan pelaksanaan eksplorasi. Vegetasi lain yang dijumpai pada lokasi ini adalah aren (Arenga pinnata), pandan (Pandanus sp), beringin (Ficus spp.), bitti (Vitex coffassus), dao (Dracontomelon dao) dan lain-lain. Pohon eboni ditemukan menyebar dan tidak mengelompok. Sebagian besar pohon induk yang ditemukan tumbuh di lereng bukit.

c. Cagar Alam Faruhumpenai dan CA Ponda-ponda (TBT Ponda-ponda), Kabupaten Luwu Timur

1) Status Kawasan dan Letak Geografi

Kawasan CA Faruhumpenai dan CA Ponda-ponda pada awalnya merupakan satu kesatuan kawasan yang hanya dibatasi oleh Perkebunan milik PT. Sinar Indonesia Merdeka. CA Faruhumpenai ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK. Menhut No. 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April 1979 dengan luas 90.000 ha. Kawasan Ponda-ponda kemudian ditunjuk menjadi Kawasan Cagar Alam dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 3198/Kpts-II/1990 tanggal 26 Juni 1990 dan ditetapkan berdasarkan SK. Menhutbun No. 201/Kpts-II/1999 tanggal 14 April 1999 seluas 77,22 Ha. Kawasan ini berada di bawah pengelolaan BKSDA Sulawesi Selatan Seksi Konservasi Wilayah II Pare-Pare. CA Ponda-ponda ditunjuk sebagai sumber benih eboni dengan status tegakan benih teridentifikasi No 73.25.043 dengan sertifikat No. 136/BPTH.Sul-2/2006 seluas 40 Ha. Lokasi tersebut berada pada posisi geografi 02°25'18,2" LS dan 120°48'49,4" BT (Anonim, 2009).

Aksesibilitas menuju kedua cagar alam ini dapat dicapai dengan jalur darat dari Makassar – Mangkutana dengan jarak ± 545 km dengan waktu tempuh berkisar antara 11 hingga 12 Jam dengan rute Makassar – Parepare – Masamba – Mangkutana – CA Ponda-ponda/ CA Faruhumpenai.

2) Kondisi Ekologi

Cagar Alam Faruhumpenai merupakan kawasan catchment area beberapa sungai di kawasan Malili dan sekitarnya serta merupakan bank plasma nutfah bagi jenis Diospyros celebica bersama dengan kawasan Cagar Alam Kalaena dan Cagar Alam Ponda-ponda.

49

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

Kawasan CA Faruhumpenai pada umumnya merupakan daerah aliran sungai yaitu Sungai Cerekang, Angkona dan Kalaena yang bermuara di Teluk Bone wilayah Kabupaten Luwu Timur.

Kawasan kedua cagar alam ini berada pada ketinggian 90-300 mdpl dengan iklim C (Schmidt and Ferguson) dengan curah hujan >200 mm berturut-turut selama 6 bulan dengan rata-rata curah hujan 2.380 mm/th. Topografi bervariasi dari datar hingga berbukit dengan jenis tanah alluvial, tekstur tanah berliat, kedalaman 25 cm. Kawasan ini merupakan contoh perwakilan ekosistem hutan pamah/ lowland forest sekunder di kawasan Sulawesi. Hutan ini merupakan habitat alami dari beberapa jenis flora dan fauna endemik Sulawesi yaitu Diospyros celebica, Elmerrillia tsiampacca, Manilkara fasciculata, Macaca tonkeana, Penelopides exarhatus dan lain-lain. Di lokasi ini pohon eboni yang ditemukan tumbuh menyebar. Menurut Anonim (2009) terdapat 300 pohon induk eboni di TBT Ponda-ponda dengan musim berbunga terjadi pada bulan September –Desember dan buah masak pada bulan Januari-Februari. Sedangkan jumlah populasi pohon eboni di CA Faruhumpenai tidak ada data yang akurat.

d. Cagar Alam Kalaena (TBT Kalaena), Kabupaten Luwu Timur

1) Status Kawasan dan Letak Geografi

Kawasan Kalaena (hutan Koroncia) merupakan kawasan hutan lindung sebelum ditetapkan sebagai cagar alam pada tahun 1987 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 428/Kpts-II/1987 tanggal 29 September 1987 seluas ± 110 hektar. Cagar Alam ini di bawah pengelolaan BKSDA Sulawesi Selatan Seksi Konservasi Wilayah II Pare-Pare. Cagar Alam Kalaena ditetapkan sebagai Tegakan Benih Teridentifikasi jenis Diospyros celebica pada tanggal 1 Januari 2003 dengan nomor sumber benih 73.25.042 berdasarkan sertifikat No. 135/BPTH.Sul-2/2006 seluas 55 ha. Kawasan TBT ini berada pada posisi geografi 002°26'51" LS dan 120°48'50,2" BT pada ketinggian 300 mdpl. Lokasi ini dapat ditempuh dengan jalur darat dari Makassar – Mangkutana dengan jarak ± 545 km dengan waktu tempuh berkisar antara 11 hingga 12 Jam dengan rute Makassar – Parepare – Masamba – Mangkutana – CA Kalena.

2) Kondisi Ekologi

Kawasan CA Kalaena termasuk dalam tipe iklim C (Schmidt and Ferguson) dengan rata-rata curah hujan sebanyak 2.426 mm/tahun. Kawasan ini merupakan habitat asli jenis Diospyros celebica serta beberapa jenis fauna endemik Sulawesi, salah satu diantaranya adalah Babyrousa babyrussa. Jenis tanah pada kawasan ini adalah jenis alluvial dengan tekstur tanah berliat dan kedalaman solum 25 cm. Di lokasi ini pohon eboni yang ditemukan tumbuh menyebar. Berdasarkan data Anonim (2009) di TBT ini terdapat 400 pohon induk eboni dengan musim pembungaan terjadi pada bulan September-Nopember dan buah masak pada bulan Januari-Februari.

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

50

2. Sulawesi Barat

Menurut Kiding Allo (2011), sebaran alami eboni di Sulawesi Barat berada pada posisi geografi 00°58'33,1" - 02°55'6,11" LS dan 119°33'40,3" -119°11'34,5" BT. Menurut Anonim (2009), hanya terdapat satu lokasi sumber benih eboni di Propinsi Sulawesi Barat yaitu, Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) Batu Ampa. Deskripsi lokasi koleksi materi genetik di TBT tersebut adalah sebagi berikut:

a. TBT Batu Ampa, Kabupaten Mamuju

1) Status Kawasan dan Letak Geografi

Kawasan Hutan Batu Ampa ditetapkan sebagai TBT berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 670/Kpts-II/97 tanggal 10 Oktober 1997 seluas 100 Ha pada posisi geografis 02°29' LS dan 119o11' BT serta dengan nomor sertifikasi 13/BPTH.Sul-2/2005 dengan Nomor Registrasi 76.04.036. Secara administrasi pemerintahan, terletak di Desa Batu Ampa, Kecamatan Papalang, Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat. Kawasan ini termasuk dalam areal manajemen hutan PT. Inhutani 1 Unit Manajemen Mamuju. Lokasi tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan roda 4 dari Kota Mamuju ke Papalang melalui jalan poros Sulawesi, dilanjutkan ke Desa Batu Ampa selama ± 2 jam dengan jarak ± 56 km. Perjalanan dapat dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri sungai dari desa Batu Ampa menuju Kamp Palado selama 1,5 jam dengan jarak tempuh ± 6 km.

2) Kondisi Ekologi

Kawasan TBT eboni berada pada ketinggian 109 - 345 m dpl dengan topografi berbukit dengan kelerengan 15 - 85%. Jenis tanah pada kawasan ini termasuk jenis Latosol. Rata-rata curah hujan mencapai 2.013 mm/tahun dan termasuk klasifikasi iklim B (Schmidt and Ferguson). Berdasarkan hasil inventarisasi tegakan tahun 1997 oleh PT Inhutani 1 Unit Manajemen Mamuju, pada lokasi ini terdapat 13.500 pohon induk, namun seiring dengan kegiatan penebangan dan illegal logging yang terus terjadi sejak penetapan kawasan menjadi TBT, diperkirakan pohon induk eboni hanya tersisa sekitar 100 pohon, dan ditemukan banyak rumpang di dalam areal hutan. Hal ini diperparah dengan ancaman perambahan liar untuk perkebunan coklat. Namun demikian tidak ada data resmi mengenai status terkini dari luasan maupun jumlah pohon induk yang masih tersisa. Pohon eboni di TBT ini biasanya mengalami musim pembungaan pada bulan Juni- Agustus dan buah masak pada bulan November-Desember.

51

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

3. Sulawesi Tengah

Secara geografis D. celebica di Sulawesi Tengah menyebar dari 00°07'41,8" - 01°25'34,3" LS dan 119°56'97,4" - 121°08'36,2" BT namun bukan merupakan tegakan yang utuh melainkan terbagi dalam beberapa fragmentasi hutan (Kiding Allo, 2011). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BKSDA Sulawesi Tengah dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sulawesi Tengah, sebaran alami eboni di Sulawesi Tengah adalah di Kabupaten Parigi Moutong (TBT) Sausu, Cagar Alam Pangi Binanga dan Cagar alam Gunung Tinombala serta hutan di Kecamatan Tinombo dan Kecamatan Kasimbar Barat yang merupakan bekas konsesi HPH PT. Iradat Puri), Kabupaten Donggala (Kecamatan Sindue, Balaesang dan Damsol serta Cagar Alam Gunung Sojol), Kabupaten Ampana (Kecamatan Tojo - bekas konsesi HPH PT. Hutan Bersama), Kabupaten Poso (Kecamatan Poso Pesisir) dan Kabupaten Morowali (TBT Wawopada). Namun demikian tidak ada data terkini mengenai potensi dan kondisi dari tegakan pada masing-masing sebaran alam tersebut. Berdasarkan informasi sebaran alam tersebut, eksplorasi materi genetik eboni di Propinsi Sulawesi Tengah dilakukan di dua lokasi yang telah ditetapkan sebagai tegakan benih teridentifikasi, yaitu TBT Sausu dan TBT Wawopada.

a. TBT Sausu, Kabupaten Parigi Moutong

1) Status Kawasan dan Letak Geografi

Kawasan Hutan Lindung Eboni Kec. Sausu ini ditetapkan sebagai TBT berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 670/Kpts-II/97 tanggal 10 Oktober 1997 seluas 57 Ha dan sertifikat No. 013/BPTH.Sul-2/2008 pada posisi geografis 01o03'45" - 01o04'25" LS dan 121o31'12"- 121o31'55" BT. Secara administrasi pemerintahan, terletak di Desa Maleali dan Desa Sausu Piore, Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong. Lokasi tersebut berjarak ±150 km sebelah timur kota Palu dan dapat diakses dengan kendaraan roda empat melalui jalan Palu – Poso.

2) Kondisi Ekologi

Kawasan TBT Sausu berada pada ketinggian 23-150 mdpl dengan topografi datar hingga berbukit dengan kelerengan 0-35%. Jenis tanah pada kawasan ini termasuk jenis podsolik merah kuning. Rata-rata curah hujan mencapai 2.560 mm/tahun dan termasuk klasifikasi iklim A (Schmidt and Ferguson). Suhu udara rata-rata di bawah tegakan pada siang hari adalah 25o

C dan malam hari adalah 24o C. Jumlah individu eboni berkurang drastis karena perambahan dan penebangan liar yang terjadi di kawasan hutan ini. Pada saat kegiatan koleksi dilakukan, masih terlihat adanya bekas penebangan liar dan pembukaan lahan oleh masyarakat untuk penanaman tanaman coklat. Jenis eboni merupakan vegetasi yang dominan di lokasi ini terutama pada tingkat pohon, dan semai namun permudaan tingkat pancang dan tiang relatif jarang dijumpai.

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

52

Tegakan benih ini didominasi oleh jenis D. celebica yang berasosiasi dengan berbagai jenis vegetasi, antara lain aren (Arenga pinnata), jabon (Anthocephalus cadamba), cempaka (Elmereilia sp.), pulai (Alstonia scholaris) dan marowala (D. macrophylla). Eboni di TBT Sausu biasanya mengalami puncak pembungaan pada bulan Juli dan musim puncak buah masak terjadi pada bulan November (Anonim, 2009). Kondisi umum TBT Sausu disajikan pada Gambar 2.

Foto: Prastyono

Gambar 2. Kondisi umum vegetasi di TBT Sausu

b. TBT Wawopada, Kabupaten Morowali

1) Status Kawasan dan Letak Geografi

Kawasan hutan Pangkokopu ditetapkan sebagi tegakan benih teridentifikasi pada tanggal 1 Januari 2003 dengan luas 25,9 ha dengan sertifikasi nomor 094/BPTH.Sul-2/2005 dan sumber benih No. 72.03.020. Kawasan Hutan Pangkokopu secara geografi terletak pada posisi 02o09'09,2" LS dan 121o11'39,3" BT yang secara administrasi pemerintahan berada di Desa Wawopada, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali. Lokasi dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dari Palu-Poso-Kolondale-Beteleme-Wawopada.

2) Kondisi Ekologi

Kawasan hutan eboni berada pada ketinggian 100-365 mdpl dengan topografi landai

53

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

hingga sangat terjal. Kawasan hutan ini merupakan kawasan karst dengan tanah lempung, berbatu dan berpasir. Tipe iklim termasuk klasifikasi C-D (Schmidt and Ferguson). Pohon eboni tersebar, terutama di lereng-lereng terjal, tumbuh sehat, jarak antar pohon tidak teratur, dengan tajuk kodominan yang berasosiasi dengan jenis suren, bayur, meranti, jabon, bintangur, langsat, durian dan lain-lain. Jumlah pohon induk eboni di TBT ini adalah sebanyak 2.227 pohon (Anonim, 2009) dengan musim berbunga terjadi pada bulan Oktober-Januari dan buah masak pada bulan Februari-Maret.

B. Hasil Koleksi Materi Genetik

Hasil koleksi materi genetik eboni di enam populasi dari tiga propinsi di Sulawesi sangat bervariasi sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil koleksi materi genetik di Sulawesi

No. Populasi Musim berbunga

Jumlah pohon induk

Waktu Koleksi

Hasil Koleksi

KeteranganJumlah pohon induk

Jumlah anakan

1 Barru-Sulawesi Selatan

Agustus-Oktober 1)

1.100 1) Mei 2012 10 81 Tidak terjadi pembungaan pada tahun 2011

2 Maros-Sulawesi Selatan

Januari-Maret 2)

17 3) Mei 2012 9 165 Tidak terjadi pembungaan pada tahun 2011

3 Luwu Timur- Sulawesi Selatan

September-November 1)

700 1) Maret 2013

39 2.115

4 Mamuju- Sulawesi Barat

Juni-Agustus 1)

13.500 1) Mei 2013 20 1.532 Jumlah pohon induk sudah berkurang drastis

5 Parigi Moutong- Sulawesi Tengah

Maret-Juli 1)

164 4) April 2012

30 1.200 Jumlah pohon induk berkurang karena adanya perambahan hutan

6 Morowali- Sulawesi Tengah

Oktober-Januari 1)

2.227 1) Maret 2013

32 1.630

TOTAL 140 6.732

Keterangan: 1) Anonim (2009), 2) Santoso (1997), 3) Anonim (2008), 4) M. Nawir komunikasi pribadi (2012)

Dari Tabel 1 dapat dilihat variasi jumlah anakan yang dikoleksi dari masing-masing lokasi sumber benih. Perbedaan jumlah anakan yang dikoleksi tersebut disebabkan oleh perubahan musim berbunga eboni di Sulawesi sebagaimana dinyatakan oleh Kiding Allo (2012) bahwa terjadi fenomena perubahan musim berbunga dan berbuah eboni pada tahun 2010-2011 di Sulawesi, dimana tidak terjadi pembungaan dan pembuahan di beberapa provenan eboni. Menurut Hartati dan Kamboya (2004) dan Santoso (1997), musim berbunga

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

54

eboni di Sulawesi bervariasi dari bulan Januari hingga bulan Juli. Berdasarkan informasi dari penduduk sekitar lokasi, pada akhir tahun 2011 yang seharusnya merupakan puncak pembuahan eboni, tidak banyak pohon yang ditemukan berbuah di TBT Coppo, Kabupaten Barru. Anakan yang ditemukan pada saat eksplorasi dilakukan kemungkinan merupakan anakan yang berumur lebih dari setahun karena sudah cukup besar, ditandai dengan tinggi, ukuran batang dan jumlah daun yang lebih dari dua helai. Seperti halnya di Kabupaten Barru, di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros juga ditemukan hanya sedikit anakan eboni. Pada bulan Mei 2011, Kiding Allo (2011) melaksanakan koleksi benih eboni di lokasi yang sama dan hanya mendapatkan 8 pohon dengan ukuran diameter bervariasi 16-27 cm yang berbuah. Berdasarkan keterangan dari petugas Taman Nasional, sampai dengan bulan Desember 2011 tidak ditemukan pohon eboni yang berbuah. Sebanyak 165 anakan yang berasal dari sedikitnya 9 pohon induk berhasil dikoleksi dari populasi ini. Anakan tersebut diperkirakan merupakan anakan hasil pembuahan 1-2 tahun sebelumnya.

Berbeda halnya dengan di Kabupaten Luwu Timur, pada saat kegiatan eksplorasi dilakukan, walaupun tidak ditemukan pohon eboni yang sedang berbuah pada ketiga lokasi eksplorasi yaitu CA Ponda-ponda, CA Faruhumpenai dan CA Kalena namun anakan alam yang ditemukan merupakan anakan dari musim berbuah pada tahun yang sama sehingga didapatkan anakan dengan ukuran yang ideal, yaitu memiliki daun satu hingga dua pasang (Santoso, 1997). Di CA Ponda-ponda dikoleksi sebanyak 279 anakan alam dari sedikitnya 6 pohon induk. Sedangkan di CA Faruhumpenai berhasil dikoleksi sebanyak 513 anakan yang berasal dari 10 pohon dan di CA Kalaena dikoleksi sebanyak 1.323 anakan alam dari sekurang-kurangnya 23 pohon induk.

Selain karena adanya fenomena perubahan waktu berbunga dan berbuah, kondisi populasi eboni pada sumber benih yang mengalami penurunan jumlah pohon induk juga berpengaruh terhadap banyaknya anakan eboni yang dikoleksi. Penurunan populasi eboni terjadi pada TBT Batu Ampa, TBT Sausu maupun TBT Wawopada, yang terutama disebabkan oleh adanya perambahan hutan (Gambar 3). Perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan membuka lahan hutan untuk ditanami tanaman coklat maupun kopi.

C. Penanganan Materi Genetik

1. Pengemasan Materi Genetik

Pengemasan materi genetik perlu dilakukan dengan benar agar anakan tidak mengalami setres selama proses pengangkutan dari lokasi eksplorasi ke persemaian. Anakan alam yang telah dikumpulkan dari bawah pohon induk diikat dan diberi label. Untuk menjaga kelembaban anakan/cabutan, akar dibungkus dengan koran basah, kemudian dimasukkan dalam kardus yang sebelumnya telah dialasi dengan pelepah batang pisang (Gambar 4).

55

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

Foto: Prastyono

Gambar 3. Perambahan hutan yang terjadi di TBT Sausu

Menurut Sallata dan Renden (1991), anakan yang baik dengan jumlah daun 2-4 helai yang disimpan di pelepah batang pisang selama 1 minggu dapat tumbuh 87%, disimpan selama 2 minggu tumbuh 87%, dan disimpan selama 3 minggu dapat tumbuh sebanyak 60%. Sebelum ditempatkan di bedeng semai, anakan disimpan di sungkup plastik bening yang ternaungi secara penuh (80%) untuk menjaga suhu dan kelembaban.

2. Pembibitan Eboni di Persemaian

Cabutan/anakan alam eboni ditanam pada polybag dengan media tanah + pasir + pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Polybag-polybag tersebut kemudian diletakkan pada bedeng semai dengan sungkup plastik dan dinaungi dengan paranet 80% sehingga kelembaban dan suhu udara terjaga (Gambar 5). Penyiraman dilakukan setiap hari hingga 7-8 bulan sehingga bibit cukup kuat dan siap ditanam di lapangan. Penyiangan dan pemupukan juga dilakukan agar bibit dapat tumbuh dengan optimal. Pertumbuhan bibit eboni tergolong lambat sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai ukuran siap tanaman. Hidup bibit asal cabutan setelah 8 bulan di persemaian berkisar antara 46% hingga 96% (Tabel 2). Hal ini membuktikan bahwa umur dan ukuran cabutan (Santoso et al., 2002) sangat berpengaruh terhadap persentase hidup cabutan.

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

56

 

Foto:  Prastyono  

Foto: Prastyono

Gambar 4. Pengemasan materi genetik eboni berupa anakan alam

Tabel 2. Jumlah bibit eboni hasil eksplorasi di Sulawesi

No. Populasi Ukuran anakan

Jumlah awal

Jumlah akhir

Persen Hidup

(%)1 Barru - Sulawesi Selatan >4 daun 81 43 532 Maros - Sulawesi Selatan >4 daun 165 76 463 Luwu Timur - Sulawesi Selatan 2-4 daun 2.115 1.577 754 Mamuju - Sulawesi Barat 2-4 daun 1.532 1.484 965 Parigi Moutong – Sulawesi Tengah 2-4 daun 1.200 1.130 946 Morowali – Sulawesi Tengah 2-4 daun 1.630 1.339 82

TOTAL 6.732 5.649

57

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

c d

a b

Foto: Prastyono

Gambar 5. (A, B, C) Penyapihan anakan eboni di persemaian, dan (D) bibit eboni dipersemaian umur 8 bulan

IV. KESIMPULAN

Eksplorasi materi genetik eboni dilakukan di 6 populasi yaitu yaitu Mamuju (Sulawesi Barat), Barru (Sulawesi Selatan), Maros (Sulawesi Selatan), Luwu Timur (Sulawesi Selatan), Parigi Moutong (Sulawesi Tengah) dan Morowali (Sulawesi Tengah). Koleksi materi genetik eboni dilakukan pada populasi yang telah ditetapkan sebagai tegakan benih teridentifikasi dengan asumsi bahwa aksesibilitas mudah, tegakan hutan masih dikelola dengan baik dan memiliki keragaman genetik yang tinggi. Materi genetik yang berhasil dikoleksi berupa anakan alam (wildling) dengan jumlah yang bervariasi dari masing-masing populasi karena adanya perubahan musim berbuah pada beberapa populasi eboni di Sulawesi. Selain itu telah terjadi penurunan jumlah pohon induk pada beberapa tegakan benih teridentifikasi yang disebabkan oleh adanya perambahan hutan.

Ukuran anakan eboni yang dikoleksi berpengaruh terhadap keberhasilan pembibitan di persemaian dengan persen hidup bibit di persemaian berkisar antara 46% hingga 96%.

Wana BenihVol. 15 No. 1, Juli 2014, 41-60

58

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kapada Rusdi Elvia, Peri Mandala Putra dan Yuliah atas bantuannya dalam koleksi materi genetik di lapangan dan penanganan materi genetik di persemaian; Bapak M. Nawir, Ayudin Nurjam dan Bapak Darma di Parigi Moutong; Bapak Noldi Kahagi di Morowali; Bapak Revolita, Bapak Jemmy Mokodompit, Bapak Asriadi dan Bapak Nur di Mamuju; Bapak Suardi, Suryano, Ahmad Yadi di Luwu Timur; dan Bapak Aditya dan Bapak Iwan di Barru dan Bapak Haro di TN Bantimurung Bulusaraung, Maros yang telah memberikan informasi dan bantuan selama proses koleksi materi genetik di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 2002. Kajian budidaya pohon eboni. Berita Biologi Vol. 6 (2).Anonim. 2008. Laporan Identifikasi Habitan Ebony di Kawasan Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Makassar.Anonim. 2009. Direktori Sumber Benih Bio Regional Sulawesi. BPTH Sulawesi. Makassar. Anonim. 2011. Buku Peta Sebaran Sumber Benih Tanaman Hutan Region Sulawesi. BPTH

Sulawesi. Makassar. Azuma, S., N.P. Oka dan N. Wirawan. 1994. Seed Dispersal by Mammals and Birds in the

Burn-Over Area of Kutai National Park, East Kalimantan. In: Early Recovery Process of Kutai Ecosystem. Azuma, A. and N. Wirawan (Eds). Kyoto University Primate Research Institute. Special Edition, 79-82.

Brown, A.H.D. and J.D. Briggs. 1991. Sampling Strategies for Genetic Variation in Ex situ Collections of Endangered Plant Species. In : D.A. Falk and K.E. Holsinger (eds). Genetic and Conservation of Rare Plant. Oxford University Press, New York.

Centre for Plant Conservation. 1991. Genetik sampling guidlines for conservation collection of endangered plants. in: D.A. Falk and K.E. Holsinger (eds). Genetik and Conservation of Rare Plant. Oxford University Press, New York.

Hartati, R.A. dan Kamboya. 2004. Informasi Singkat Benih No. 35: Diospyros celebica Bakh. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

IUCN. 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 09 August 2012.

Jaramillo, S. and M. Baena. 2002. Ex situ conservation of plant genetic resources: training module. International Plant Genetic Resources Institute. Cali.

Kiding Allo, M. 2011. Distribusi, Potensi dan Pengelolaan Eboni (Diospyros celebica Bakh). Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia). ITTO Project PD 539/09 Rev.1(F). Center for Conservation and Rehabilitation Research and Development. Bogor.

59

Eksplorasi dan Koleksi Materi Genetik Eboni (Diospyros celebica Bakh.) untuk Pembangunan Plot Konservasi Sumberdaya GenetikPrastyono dan Burhan Ismail

Kiding Allo, M. 2012. Pembangunan Plot Konservasi Genetik Eboni Diospyros celebica Bakh) Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional: Plot Konservasi Genetik Untuk Pelestarian Jenis-Jenis Pohon Terancam Punah (Ulin, eboni dan Cempaka). Puslitbang Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi – International Tropical Timber Organization (ITTO Project PD 539/09 REV. 1(F). Bogor.

Lawrence, M.J. and D.F. Marshall. 1997. Plant population genetics. In: Maxted, N., Fored-Lloyd, B.V. and Hawkes, J.G. (eds). Plant genetik conservation. Pp: 99-113. Chapman and Hall. New York.

Martawijaya, A., I.D. Sujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Nurkin, B. 1988. Karakteristik vegetasi dan sifat-sifat Tanah pada Lahan Perladangan Berpindah di Kawasan Hutan Bengo-Bengo, Maros. Lingkungan dan Pembangunan 18 (1): 9-23.

Nurrani, L. 2012. Moncong Jai dalam Konservasi Ebony: buah dari kearifan masyarakat sekitar hutan Palandro Sulawesi Selatan. Surili No. 57.

Oka, N.P. 2002. Pendekatan teknis pelestarian eboni (Diospyros celebica Bakh.) secara ex-situ. Berita Biologi Vol. 6 (2).

Restu, M. 2007. Keragaman Genetik Lima Provenansi Eboni (D. celebica Bakh) untuk Pemiliaan Pohon dan Konservasi Genetik. Disertasi S3, Program Pasca Sarjana Hasanuddin. Makassar.

Sallata, M.K. dan R. Renden. 1991. Pengaruh lama penyimpanan dan jumlah daun terhadap pertumbuhan anakan eboni. Jurnal Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang.

Santoso, B. 1997. Pedoman teknis budidaya eboni (Diospyros celebica Bakh). Balai Penelitian Kehutanan, Makasar.

Santoso, B. C. Anwar dan S. Nompo. 2002. Pembudidayaan pohon eboni (Diospyros cerlebica Bakh.). Berita Biologi Vol. 6 (2).

Santoso, B., dan C. Anwar. 2002. Penampilan tanaman konservasi ex-situ eboni (Diospyros celebica Bakh). Berita Biologi Vol. 6 (2).

Soerianegara, I. 1967. Beberapa keterangan tentang jenis-jenis eboni. Pengumuman No. 12. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.

Widyatmoko, A.Y.P.B.C., I.L.G. Nurtjahjaningsih and Prastyono. 2011. Study on the level of genetic diversity of Diospyros celebica, Eusideroxylon zwagery and Michelia spp. using RAPD markers. Project report of ITTO PROJECT PD 539/09 REV.1 (F). Centre for Conservation and Rehabilitation Research and Development. Bogor.