efisiensi kinerja perbankan di indonesia · pdf filedalam pengaturan pagu kredit dan tingkat...
TRANSCRIPT
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 1
Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia *
Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta
Izza Mafruhah **
Abstract
In a industry, mechanism is a result which is influenced by structure and behaviour of
its industry while economically mechanism has some aspects that certain it, but the experts
more focus un three aspect, those are technology, efficiency and development in distribution.
Mechanism in a company is usually measured by economy efficiency that is the comparasion
between output that is resulted by input which is used or it can say that economy efficiency
will reflect efficient input allocation because a company is always considered to operate in
the limit line of production ( efficiency technic )
In a company in this research is the finance institution of bank, it can be said
efficient if it uses less input unit compared to input that is produced by other companies to
prduce more out put. From the result of the research is get the first conclusion that is the
finance institution of bank in Indonesia pasca crisis in 1997 – 1998 generally has developed
quite well, it is proved by the mechanism is rising well in the finance mechanism in each
finance institution of the bank. Both public government bank has lower technic of efficiency
level compared to the national private and foreign bank. From 13 numbers of sample banks
that is researched, there are 3 banks has nit had full efficiency yet those are Bank BNI 46 with
efficiency level 84,58%, and then Bank BTN has efficiency level 97,01% while the private
bank side ABN AMRO has not reached maximum value with efficiency level 99,82%. Three
resources of inefficiency in each bank is from input side
Pendahuluan
Industri Perbankan di Indonesia telah mengalami pasang surut, dimulai dari tahun
1983 ketika berbagai macam deregulasi muncul sampai dengan krisis ekonomi tahun 1997 –
1998 yang melanda Indonesia dan berimbas luar biasa bagi bisnis Perbankan. Pada era
sebelum Juni 1983, ditandai dengan campur tangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
dalam pengaturan pagu kredit dan tingkat bunga terhadap bank – bank nasional serta
penyediaan likuiditas dalam jumlah yang melimpah. Deregulasi Perbankan tahun 1983 ini
mengadung 3 unsur utama yaitu :
a. Menghapus pagu kredit sehingga bank nasional bisa memberikan kredit secara leluasa
sesuai dengan kemampuannya dengan harapan bank dapat berkembang secara wajar.
b. Bank diberikan kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunganya sendiri dalam
rangka memobilisasi dana dari dan kepada masyarakat
c. Mengurangi sebanyak mungkin atau meniadakan ketergantungan kepada bank sentral
( Bank Indonesia ) dengan cara mengurangi / meniadakan kredit likuiditas.
Dengan liberalisasi tersebut diharapkan industri perbankan dapat membuka hambatan
yang sebelumnya menimbulkan represi sektor keuangan dan sistem keuangan negara kita.
Sejak adanya deregulasi tersebut, industri perbankan maju pesat.
Paket deregulasi yang berikutnya adalah pada tanggal 27 Oktober 1988 sehingga
dikenal dengan Pakto 1988. Maksud dari deregukasi ini adalah berupaya meningkatkan akses
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 2
masyarakat terhadap financial market sambil mendorong perbankan ke arah kompetisi
(persaingan ) yang efisien dan sehat dengan kemudahan dalam mendirikan bank. Oleh karena
itu jumlah bank dan kantor cabang bank semakin banyak, persaingan antar bank secara sehat
ini diharapkan akan menumbuhkan kreatifitas dan inovasi dari masing – masing pengelola
perbankan.
Dengan Pakto 1988 yang memberikan kebebasan dan kemudahan bagi bank
komersiil untuk melakukan inovasi menyebabkan banyak bank yang salah langkah, kurang
hati – hati atau menyimpang dari aturan atau ketentuan yang berlaku. Hal ini menimbulkan
kecenderungan meningkatnya kredit macet. Untuk itu dalam rangka prudential banking
(prinsip kehati-hatian ) ini, maka dengan paket 29 Mei 1993 tentang penilaian tingkat
kesehatan bank, Bank Indonesia menetapkan adanya ketentuan tentang penilaian bank yang
dikenal dengan metode CAMEL (Capital, Assets, Manajemen Risks, Earning, Liquidity ).
Sebagai kelanjutan Paket Mei 1996, pemerintah meluncurkan PP No 68 th 1996,
Peraturan pemerintah ini terutama menekankan soal kewajiban bank dalam memelihara
kesehatan bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia serta
melaksanakan usaha – usaha sesuai dengan prinsip kehati – hatian. PP No 68 berisikan 3
unsur yaitu :
a. Peningkatan CAR ( Capital Adequacy Ratio ) minimal 8 % dari Aktiva Tertimbang
Menurut Resiko (ATMR ) menjadi 10 % pada akhir 1997 dan 12 % pada tahun 2001.
b. Peningkatan modal disetor menjadi Rp 50 miliar bagi bank umum non devisa dan Rp
150 miliar bagi bank devisa.
c. Peningkatan Giro wajib Minimum dari 3 % menjadi 5% per April 1997.
Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang diikuti keputusan Menteri
Keuangan yang melikuidasi 16 Bank papan atas di Indonesia, masyarakat dilanda kepanikan
terutama bagi nasabah perbankan yang terlikuidasi. Kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga perbankan terutama swasta merosot tajam , hal ini memperparah kondisi
perekonomian yang sudah jatuh. Secara kronologis, krisis ekonomi yang melanda Indonesia
bisa dirunut sebagai berikut :
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 3
KRISIS MONETER
- Depresiasi rupiah terhadap dolar AS
- Neraca Pembayaran LN negatif
- Utang luar negeri membengkak
KRISIS PERBANKAN
- Likuidasi 16 Bank
- Pembentukan BPPN
- Bank Beku Operasi & Bank Take Over
- Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi
- Kelumpuhan sektor riil
KRISIS EKONOMI
- Tingkat inflasi yang sangat tinggi
- PHK di berbagai sektor riil
- Tingkat pengangguran meningkat
KRISIS SOSIAL
- Penduduk di bawah garis kemiskinan meningkat
- Kerusuhan penjarahan disertai unsur sara
- Kriminalitas meningkat
KRISIS KEPERCAYAAN
- Kepercayaan terhadap pemerintah turun drastic
KRISIS POLITIK
- Penggulingan terhadap rezim orde baru
- Terbentuknya partai – partai baru
- Sinisme terhadap program pemerintah
- Pro kontra sidang umum MPR
Sementara beberapa indikator yang bisa dilihat sebagai gejala dalam berbagai krisis
yang melanda Indonesia adalah sebagai berikut :
Krisis
Moneter
Krisis
Politik
Krisis
Kepercayaan
Krisis
Perbankan
Krisis
Ekonomi
Krisis
Sosial
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 4
TABEL 1. INDIKATOR KRISIS DI INDONESIA
INDIKATOR KRISIS
MONETER
INDIKATOR KRISIS
KEUANGAN
INDIKATOR KRISIS
EKONOMI
1. Depresiasi rupiah
terhadap valuta asing
2. Balance Of Payment
yang negatif / defisit
3. L/C bank – bank
nasional tidak bisa
diterima oleh perbankan
internasional
4. Uang beredar baik M1,
M2 maupun M3
meningkat tajam
1. Tingkat suku bunga SBI
yang tinggi, mulai 305 p.a
sampai 45 % p.a ( untuk
jangka waktu 1 bulan 0
2. Tingkat suku bunga
deposito yang tinggi
mencapai 45% p.a sampai
dengan 65% ( untuk
jangka waktu 1 bulan )
3. Tingkat suku bunga kredit
perbankan sangat tinggi
4. Likuiditas bank – bank
pada posisi terpuruk
5. Banyak bank umum kalah
kliring
6. Utang Bank Umum dalam
bentuk BLBImelampauai
200% - 500% modal bank
1. Banyak perusahaan
menderita kerugian,
bahkan bangkrut
2. Harga 9 bahan pokok
meningkat dengan pesat
3. Inflasi mencapai 24%
dalam 3 bulan pertama
pada tahun 1998
4. PHK diberbagai
perusahaan baik BUMN
maupun swasta
5. BBM dan tarif listrik
terus naik.
Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia berbagai edisi,diolah.
Krisis parah yang dialami oleh lembaga keuangan perbankan mengakibatkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank merosot drastis, Masyarakat secara bersam – sama
mencoba menarik dana mereka yang tersimpan di perbankan. Terjadi rush atau penarikan
besar – besaran yang justru semakin memperparah kondisi keuangan bank yang terkena
likuidasi, perekonomian Indonesia bisa dikatakan lumpuh. Bank - bank pemerintah
mengalami booming nasabah yang mencari keamanan bagi kekayaan miliknya. Untuk
menyelesaikan masalah ini maka pemerintah memberikan jaminan bagi uang nasabah yang
disimpan pada lembaga keuangan perbankan.
Selanjutnya pemerintah menetapkan UU No 10 Tahun 1998, yang antara lain berisi :
a. Penegasan kemandirian Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan
perbankan dengan mengalihkan kewenangan seluruh perizinan di bidang Perbankan
dari semula berada pada menteri keuangan
b. Pembentukan badan khusus sebagai pelaksana penyehatan perbankan
c. Perubahan cakupan rahasia bank
d. Penyesuaian ketentuan pendirian dan kepemilikan bank dengan menghapus
diskriminasi pengaturan antara bank campuran dan bank umum
e. Kemudahan pelaksanaan prinsip syari’ah dalam kegiatan usaha bank.
Dengan adanya berbagai terpaan badai krisis yang menimpa, tinggal bank – bank yang
mempunyai kinerja bagus dan efisien yang mampu bertahan serta memperoleh kepercayaan
kembali dari masyarakat. Pasang surut industri Perbankan sejak masa deregulasi tahun 1988
bisa disimak pada table berikut ini.
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 5
Tabel 2. Pertumbuhan jumlah Bank dan Kantor Bank di Indonesia
NO JENIS BANK 1988 1997 1998 1999 2000 2003
1 Bank Pemerintah
Jumlah bank
Jumlah kantor
7
852
7
1463
7
1602
5
1579
5
1506
5
2072
2 Bank Pemerintah Daerah
Jumlah bank
Jumlah kantor
27
262
27
518
27
555
27
554
26
550
26
1033
3 Bank Umum Swasta Nasional
Jumlah bank
Jumlah kantor
66
593
160
4267
130
3976
92
3581
81
3228
36
4529
4 Bank asing dan campuran
Jumlah bank
Jumlah kantor
11
21
43
89
44
121
49
93
52
95
31
126
Jumlah seluruh Bank 111 237 206 173 164 138
Jumlah seluruh kantor 1728 6337 6254 5807 5279 7730
Sumber : Statistik Keuangan dan Ekonomi Indonesia, berbagai edisi diolah
Dari tabel tersebut di atas, terlihat bahwa deregulasi perbankan Indonesia telah
membawa dampak yang sangat besar bagi perkembangan jumlah bank dan juga pembukaan
kantor bank di banyak tempat, namun setelah terjadinya krisis ekonomi maka jumlah bank
terutama swasta umum menurun sangat drastic, sehingga bisa disimpulkan bahwa hanya bank
– bank yang mempunyai tingkat kinerja bagus serta mempunyai tingiat efisiensi yang tinggi
yang mampu bertahan.
Sementara untuk bank pemerintah hanya terjadi penurunan karena adanya merger
bank yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Banyak kalangan yang menilai bahwa
perkembangan yang sangat pesat dari bank – bank pemerintah sebenarnya belum tentu
didukung oleh kinerjanya yang bagus, namun lebih banyak dipengaruhi oleh adanya unsur
pemerintah sebagai pemiliki bank tersebut, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap bank –
bank pemerintah menjadi tinggi.
Penilaian Efisiensi Kinerja
Penilaian tingkat kesehatan bank di Indonesia sampai saat ini secara garis besar
didasarkan pada factor CAMEL ( Capital, Assets Quality, Management, Earning dan
Liquidity ). Kelima factor tersebut memang merupakan penentu kondisi suatu bank. Secara
umum factor CAMEL relevan dipergunakan untuk semua bank, tetapi bobot masing – masing
factor akan berbeda untuk masing – masing jenis bank. Bobot masing – masing Camel untuk
Bank umum ditetapkan sebagai berikut :
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 6
Tabel 3. Bobot penilaian factor CAMEL untuk bank umum
NO Faktor CAMEL BOBOT
1 Permodalan 25 %
2 Kualitas Aktiva Produktif 30 %
3 Kualitas manajemen 25 %
4 Rentabilitas 10 %
5 Likuiditas 10 %
Total 100 %
Sumber : Seri kebanksentralan
Pada tahap awal penilaian tingkat kesehatan bank dilakukan dengan menghitung
secara kuantitatif atas komponen dari masing – masing factor tersebut. Faktor dan komponen
tersebut kemudian diberi bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap tingkat kesehatan
bank. Selanjutnya penilaian dilakukan dengan system kredit dengan memberi nilai antara 0
sampai dengan 100. Berdasarkan nilai – nilai kuantifikasi tersebut, kemudian dilakukan
evaluasi dengan memperhatikan informasi dan aspek – aspek lain yang secara materiil dapat
berpengaruh terhadap perkembangan masing – masing factor. Pada akhirnya akan diperoleh
angka yang dapat menentukan predikat kesehatan bank yaitu :
1. Sehat 81 – 100
2. Cukup sehat 66 – 80
3. Kurang sehat 51 – 65
4. Tidak sehat 0 – 50
Penilaian yang selama ini digunakan lebih banyak menyoroti aspek kinerja keuangan
yaitu dari sisi solvabilitas, likuiditas dan rentabilitas, jarang yang menyoroti dari sisi efisiensi
kinerja dari masing – masing input dan output. Yaitu sejauhmana input yang dimiliki lembaga
keuangan perbankan bisa menghasilkan output dalam jumlah yang optimal.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti
mengenai Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia ( Studi Perbandingan Bank
Umum Pemerintah dan Bank Umum Swasta Nasional).
Dari berbagai macam literatur mengenai kinerja perbankan di Indonesia, terutama
mengenai tingkat kesehatan, maka tercermin bahwa efisiensi merupakan salah satu kunci
utama pengembangan market share perbankan. Efisiensi perbankan dilihat melalui dua sisi
yaitu dari sisi output dan sisi input yang antara lain terdiri dari jumlah tenaga kerja, jumlah
kantor bank, biaya operasional, jumlah kredit yang dikucurkan dan juga jumlah dana pihak
ketiga yang masuk dalam lembaga keuangan perbankan.Penelitian ini berusaha untuk
menjawab (1) Bagaimana kinerja yang dicerminkan dari efisiensi pada masing – masing bank
umum pemerintah dan bank umum swasta nasional pada tahun 2004? (2) Apa yang menjadi
sumber inefisiensi pada masing – masing bank baik pemerintah maupun bank swasta dan
bagaimana cara mengatasinya ?
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 7
Dalam suatu industri, kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dipengaruhi
oleh struktur dan perilaku industri itu sendiri. Sementara secara ekonomis, kinerja mempunyai
banyak aspek yang menentukan, namun para ahli lebih banyak memusatkan pada 3 aspek
tujuan saja yaitu tehnologi, efisiensi dan perkembangan dalam distribusi (Wihana, 2001 :15).
Kinerja pada perusahaan biasanya diukur pada efisiensi ekonomi yang merupakan
perbandingan antara out put yang dihasilkan dengan input yang digunakan, atau bisa
dikatakan bahwa efisiensi ekonomis akan mencerminkan alokasi input yang efisien, karena
perusahaan dianggap selalu beroperasi pada garis batas produksi (efisiensi teknis).
Suatu perusahaan ,yang dalam penelitian ini adalah lembaga keuangan perbankan,
dapat dikatakan efisien bila :
1. Menggunakan jumlah unit input yang lebih sedikit dibandingakn dengan jumlah input
yang dikeluarkan oleh perusahaan lain untuk menghasilkan output yang sama.
2. Menggunakan jumlah input yang sama untuk menghasilkan output yang lebih banyak.
Efisiensi secara ekonomis terdiri atas efisiensi tehnis dan efisiensi alokatif. Efisiensi
tehnis adalah kombinasi antara kemampuan dan kapasitas unit ekonomi untuk memproduksi
sampai tingkat output maksimum dari sejumlah input dan tehnologi. Efisiensi alokasi adalah
kemampuan dan kesediaan unit ekonomi untuk beroperasi pada nilai produk marginal sama
dengan biaya marginal.
Terdapat 3 kegunaan mengukur efisiensi terutama secara ekonomis yaitu :
1. Sebagai tolak ukur memperoleh efisiensi relative, mempermudah untuk perbandingan
antara unit ekonomi satu dengan unit ekonomi yang lain
2. Apabila terdapat variasi tingkat efisiensi dari beberapa unit ekonomi yang ada maka
dapat dilakukan penelitian untuk menjawab factor – factor apa yang menentukan
perbedaan tingkat efisiensi, sehingga akan bisa dicari solusi yang tepat.
3. Informasi mengenai efisiensi memiliki implikasi kebijakan karena manajer dapat
menentukan kebijakan perusahaan secara tepat.
Unit Kegiatan Ekonomi ( UKE )
Cara paling sederhana untuk mengukur efisiensi setiap UKE adalah dengan
menghitung rasio antara input UKE tersebut dengan factor produksi yang digunakan. Apabila
UKE hanya memproduksi satu macam output dengan menggunakan satu macam factor
produksi maka bukan merupakan satu masalah pelik untuk mencapai efisiensi, namun dalam
kenyataannya banyak UKE yang menghasilkan lebih dari satu macam output dengan
menggunakan lebih dari satu macam input. Dalam kasus ini efisiensi UKE bisa diukur
dengan mentransformasikan menjadi output dan factor produksi tunggal. Transformasi ini
dapat dilakukan dengan menentukan pembobotan yang tepat.
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 8
Data Envelopment Analysis ( DEA ) dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
tersebut dengan jalan memberikan kesempatan pada setiap UKE untuk menentukan
pembobotannya masing – masing. Mereka juga menjamin bahwa setiap pembobotan yang
dipilih setiap UKE akan menghasilkan efisiensi yang terbaik bagi UKE yang bersangkutan.
Hanya saja pembobotan itu dibatasi agar jumlahnya tidak melebihi nilai tertentu, misalnya
100%.
Sehingga kinerja bisa dirumuskan sebagai berikut :
Kinerja = jumlah output yang ada
Jumlah input yang ada
Angka rasio tersebut akan bervariasi antara 0 ( nol ) dengan 1 ( satu). Unit kegiatan
ekonomi ( UKE ) yang efisien akan memiliki angka rasio 1 atau 100% sedangkan yang
inefisien adalah dibawah 100%. Semakin rendah nilai rasionya maka perusahaan tersebut
akan semakin inefisiensi.
Dalam penelitian dengan judul Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia (
Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta ) ini, variable dibedakan menjadi
input dan output bank. Variable – variable yang berpengaruh terhadap efisiensi adalah dari
sisi input yaitu modal yang digunakan, beban operasional , beban bunga dan modal .
Sementara sisi outputnya adalah kredit yang diberikan , dana pihak ketiga dan pendapatan
yang bisa masuk pada lembaga tersebut. Sehingga dari hasil penelitian nanti akan terlihat dari
sumber input yang digunakan akan mampu menghasilkan sebesar berapa output.
Menurut Tobin, terdapat 4 faktor yang menyebabkan efisiensi dalam lembaga
keuangan yaitu pertama artibtrase informasi, kedua efisiensi karena ketepatan penilaian dasar
asset – asetnya, ketiga efisiensi karena lembaga keuangan bank mampu mengantisipasi resiko
yang akan muncul dan keempat fungsional efisiensi yaitu mekanisme pembayaran yang
dilakukan oleh sebuah lembaga keuangan perbankan.
Hasil Penelitian Sebelumnya
Masih sangat sedikit penelitian mengenai kinerja suatu usaha yang menggunakan alat
analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ), namun terdapat beberapa penelitian mengenai
perbankan dengan menggunakan alat analisis yang lain yaitu regresi. Antara lain Penelitian
yang dilakukan oleh Iswandono ( 2000 ) yang berjudul Analysis Efisiensi Industri Perbankan
di Indonesia ( Studi kasus bank – bank devisa di Indonesia ). Inti penelitian tersebut adalah
untuk menganalisis efisiensi secara teknis dan efisiensi ekonomis di antara bank pemerintah,
bank swasta dan bank asing. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder
tahun 1991 – 1996 dengan menggunakan analisis regresi dari fungsi cobb Douglas dengan
model estimasi :
Ln Y = ∂0 + ∂1 Ms + ∂2 lnX1 + ∂3 ln X2+ ∂4 ln X3 + ∂5D5 + e
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 9
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Dilihat dari prespektif efisiensi teknis, secara keseluruhan bank sample sudah
mempunyai efisiensi tehnis yang mampu mendukung usahanya, sedangkan bila
dilihat dari kelompok bank maka kelompok bank pemerintah mempunyai koefisien
tehnologi yang tinggi baru kemudian disusul oleh kelompok bank asing sementara
kelompok bank swasta mempunyai koefisien tehnologin yang bersifat negative atau
mengalami inefisiensi.
2. Dilihat dari efisiensi ekonomi terlihat bahwa penggunaan input belum efisien.
3. Pangsa pasar untuk industri perbanakn di Indonesia pengaruhnya tidak signifikan
terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh oleh perbankan. Hal ini disebabkan
industri perbankan di Indonesia terkonsentrasi pada beberapa kelompok bank atau
bersifat monopsoni.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Puji lestasi ( 2003) dengan judul Efisiensi
Tehnis Perbakan Indonesia tahun 1995 sampai 1999. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan efisiensi teknis antara 6 kelompok bank yang terdiri atas 30 sampel bank
dan untuk melihat perbedaan efisiensi tehnis bank di Indonesia di masa sebelum dan sesudah
krisis. Untuk mengetahui efisiensi tehnis relative antara kelompok – kelompok bank tersebut
maka digunaka DEA. Variabel input yang digunakan di sini adalah tenaga kerja, modal, biaya
operasional, sedangkan oputput yang digunakan dalam penelitian ini adalah kredit dan
deposito berjangka. Untuk mengetahui perbedaan efisiensi sebelum dan sesudah krisis
digunakan analisis regresi. Dari hasil estimasi secara umum ditemukan bahwa sebelum krisis
ternyata nilai efisiensi yang terendah jusatru dimiliki oleh bank – bank pemerintah, sedangkan
selama krisis hampir semua bank mengalami penurunan efisiensi. Dari hasil analisis dengan
menggunakan metode regresi ternyata diketahui bahwa deposito mempunyai pengaruh yang
positif terhadap efisiensi tehnik perbankan baik pemerintah, asing maupun swasta nasional.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Maysun ( 2005) berjudul Analisis Kinerja Bank
Umum Syari’ah dan Konvensional Di Indonesia ( Studi Kasus 14 Bank Umum Dengan
Kinerja Keuangan Sangat Bagus pada asset 1 – 10 trilyun ). Penelitian tersebut
membandingkan kinerja antara bank konvensional dan bank syariah, dengan
menggunakannalat analisis DEA. Hasil yang diperoleh beberapa hasil yaitu pertama adalah
bahwa baik bank konvensional maupun bank umum ternyata tidak semuanya efisien secara
teknis. Hanya 7 bank yang mampu mempunyai efisiensi teknis 100%, sedang 7 bank lainnya
masih inefisiensi yang ditunjukkan dengan tingkat efisiensi di bawah 100%. Hal ini
menunjukkan bahwa bank yang mempunyai kinerja keuangan yang sangat bagus belum tentu
mempunyai tingkat efisiensi secara teknis dalam produksi/ operasionalnya. Hasil yang kedua
adalah sumber inefisiensi dari bank – bank yang inefisien adalah pada variable input yang
digunakan yaitu modal, tenaga kerja, biaya operasional dan jumlah kantor bank.
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 10
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus terhadap bank pemerintah dan swasta sehingga
perbankan akan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu bank umum pemerintah, bank
umum swasta nasional dan bank umum swasta asing.
Jumlah Bank umum pemerintah di Indonesia adalah sebanyak 5 buah yang terdiri
atas Bank Tabungan Negara , Bank Negara Indonesia 1946, Bank Mandiri, Bank Rakyat
Indonesia dan Bank Ekspor Indonesia. Kelima Bank tersebut akan diikutkan dalam analisis
ini dengan alasan bahwa kelima Bank pemerintah selama ini lebih banyak mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat karena dari sisi kepemilikan pemerintah.
Kriteria yang akan digunakan adalah efisiensi usaha yang merupakan rasio dari
penggunaan input terhadap penggunaan output. Di mana yang digunakan sebagai input dalam
penelitian ini adalah modal, beban operasional, dan beban bunga sedangkan yang digunakan
sebagai sisi output adalah kredit dan dana pihak ketiga dan pendapatan bank.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
Bank Indonesia dengan menggunakan data terakhir tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia. Data diambil dari laporan keuangan yang dilaporkan untuk setiap bank pada bulan
desember 2004, yang diperoleh melalui website Bank Indonesia dan beberapa sumber data
yang lain.
Untuk mengukur efisiensi pada usaha – usaha perbankan tersebut akan digunakan alat
analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ) terdiri atas variable input dan output serta
diformulasikan dalam dua asumsi yaitu CRS (Constant Return to Scale ) dan VRS (
Variabel Return to Scale ). Alat analisis DEA digunakan karena keunggulannya yang bisa
menangani banyak input dan banyak output dengan menggunakan alat ukur yang berbeda
tanpa membutuhkan asumsi mengenai hubungan fungsional antara kedua variable. Oleh sebab
itu DEA bisa memungkinkan peneliti untuk menyertakan semua variable aktivitas/ input yang
berhubungan erat dengan dihasilkannya output.
DEA adalah sebuah tehnik pemrograman matematis yang digunakan untuk mengukur
efisiensi dari sekumpulan unit – unit pembuat keputusan dalam mengelola sumber daya (
input ) dengan jenis sama yang digunakan untuk menghasilkan unit – unit output dengan jenis
yang sama pula. Dea mula – mula dikembangkan oleh Farrel (1957) yang mengukur efisiensi
tehnik satu input dan satu output menjadi multi input dan multi output, dengan menggunakan
kerangka nilai efisiensi relative sebagai rasio input ( single virtual input) dengan output
(single virtual output). Mula – mula DEA dipopulerkan oleh Charness, Cooper dan Rodhes
(1978) dengan menggunakan Constant Return to Scale ( CRS ) dan dikembangkan oleh
Banker, Charnes, Cooper (1994) untuk Variabel Return to Scale (VRS).
DEA dirancang untuk mengukur efisiensi relative suatu unit kegiatan ekonomi (UKE)
yang menggunakan input dan output lebih dari satu. Efisiensi relative suatu UKE
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 11
dibandingkan dengan UKE yang lainnya dalam sample yang menggunakan jenis input dan
output yang sama. DEA memformulasikan UKE sebagai program linear fraksional untuk
mencari solusi jika model tersebut ditransformasikan ke dalam program linear dengan nilai
bobot dari input dan output.
Efisiensi UKE diukur dengan rasio output yang dibobot dan input yang dibobot ( total
weighted output / total weighted input). Bobot tersebut mempunyai nilai positif dan universal,
artinya setiap UKE dalam sample harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama
untuk mengevaluasi rasionya total weighted output / total weighted input ≤ 1. Angka 1 berarti
UKE tersebut efisien atau kurang dari satu tidak efisien dalam menghasilkan tingkat output
maksimum dari tiap input. DEA berasumsi bahwa setiap UKE menggunakan kombinasi input
yang berbeda untuk menghasilkan kombinasi output yang berbeda pula. Sehingga setiap
UKE akan memilih seperangkat bobot yang mencerminkan keragaman tersebut. Secara
umum UKE akan menetapkan bobot yang tinggi untuk input yang penggunaannya sedikit
untuk memaksimalkan ouput dan sebaliknya.
Model yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Miller dan Noulas (
1996 ). Efisiensi tehnis Perbankan diukur dengan menghitung rasio antara input dan output
perbankan. DEA akan menghitung bank yang menggunakan input n untuk menghasilkan
output m yang berbeda. Sehingga alat analisisnya dirumuskan menjadi sebagai berikut :
di mana :
hs = adalah efisiensi tehnis bank s
ys = merupakan jumlah output I yang diproduksi oleh bank s
xjs = adalah jumlah input j yang digunakan oleh bank s
ui = merupakan bobot output I yang dihasilkan oleh bank s
vj = adalah bobot input j yang diberikan oleh bank s dan I dihitung
dari 1 ke m serta j dihitung dari 1 ke n
Persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variable input dan satu
variable output. Rasio efisiensi (hs), kemudian dimaksimalkan dengan kendala sebagai
berikut :
Di mana N menunjukkan jumlah bank dalam sample. Pertidaksamaam pertama
menunjukkan adanya inefisiensi untuk UKE lain tidak lebih dari 1, sementara
pertidaksamaan kedua berbobot positif. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampai
m n
hs = ∑ ui yis / ∑ vj xjs .(1)
i = 1 j = 1
m n
∑ ui yir / ∑ vj x jr ≤1 untuk r = 1…,N .(2)
i = 1 j = 1
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 12
dengan 1. Bank dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 0 menunjukkan
efisiensi bank yang semakin rendah ( Miller dan Noulas, 1996 ). Pada DEA, setiap bank
dapat menentukan pembobitnya masing – masing dan menjamin bahwa pembobot yang
dipilih akan menghasilkan ukuran usaha yang terbaik.
Secara grafis pendekatan 1 input dan 1 output, dapat digambarkan sebagai berikut :
C
B D V
K F G
0 A Input X
Gambar 1.1 Efisiensi dengan menggunakan pendekatan 1 input & 1 output
Tehnologi CRS ditunjukkan oleh frontier OC. Bank dikatakan efisien bila berada
pada garis frontier , sedangkan yang berada di luar frontier dikatakan tidak efisien.
Beberapa program linear ditransformasikann ke dalam program ordinary linear secara
primal atau dual sebagai berikut :
m
Maksimisasi hs = ∑ ui yis ……………………..(3)
i = 1
Kendala
Efisiensi pada masing – masing bank dihitung menggunakan programasi linear
dengan memaksimumkan jumlah output yang dibobot dari bank s. Kendala jumlah input yang
dibobot harus kurang atau sama dengan
0. Hal ini berarti semua bank akan berada di bawah referensi kinerja frontier yang merupakan
garis lurus yang memotong sumbu origin.
Minimisasi βs
m n
∑ ui yir - ∑ vj x jr ≤0 untuk r = 1…,N ;
i = 1 j = 1
n
∑ vj x js = 1 di mana ui dan vj ≥ 0
…………(4)
j = 1
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 13
n
Kendala : ∑ θr yir ≥ yis I = 1 , , m ………………………. ( 5 )
r =1
m
βs x js - ∑ θr xir ≥ 0, j = 1 , , n : θ ≥ 0 ; βs bebas
j =1
Variabel βs merupakan efisiensi teknis dan bernilai antara o dan 1. Programasi linier pada
persamaan di atas diasumsikan Constant Return to Scale. Efisiensi teknis ( βs) diukur dengan
menggunakan rasio KF / FS dan bernilai kurang dari 1 sementara (1- βs ) menerangkan
jumlah input yang harus dikurangi untuk menghasilkan output yang sama sebagai bentuk
efisiensi bank seperti yang ditunjukkan oleh titik F. Kedua perhitungan tersebut baik
minimisasi input dan maksimisasi output akan memberikan nilai yang relative sama. Dalam
penelitian ini efisiensi akan dihitung dari sisi input oriented maupun output oriented.
Kinerja keuangan perbankan yang diambil dari data Statistik Ekonomi dan
Keuangan Indonesia terbitan BI dengan menggunakan indikator utama modal, asset, kredit
yang diberikan, dan dana pihak ketiga yang terkumpul. Secara statistik, data mengenai kinerja
keuangan perbankan nasional sejak tahun 1999 ditunjukkan dalam tabel berikut :
Tabel 5. Kinerja Keuangan Bank Umum dalam trilyun rupiah
Indikator Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 Growth %
Asset 984,50 1.039,9 1.059,8 1.167,9 1.215,69 5,41
Modal 50.637, 66.788 93.697 112.141 131.590 26,97
Dana Pihak Ketiga 720.379 809.126 845.015 902.325 965.079 7,58
Kredit 269.000 307.594 365.410 437.943 553.549 19,77
LDR % 26,2 33,2 33,0 38,2 43,2 13,32
NPL % 7,3 5,8 3,6 2,1 3,0 -11,93
CAR % 12,5 20,5 22,5 19,3 - 15,58
Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, diolah
Dari tabel tersebut di atas, terlihat bahwa terjadi peningkatan kinerja keuangan yang
signifikan dari tahun ke tahun. Secara rata – rata peningkatan asset mencapai 5,41%.
Peningkatan terbesar terjadi di sisi modal yang mencapai rata – rata 26,97% dari tahun 2000
sampai 2004. Peningkatan dana pihak ketiga juga cukup signifikan yaitu 7,58 %. Hal ini
menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan perbankan semakin
menguat sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Kebijakan – kebijakan dan program –
program yang diterapkan kaitannya dengan rekapitalisasi perbankan oleh Bank Indonesia dan
pemerintah terbukti cukup ampuh meningkatkan kepercayaan masyarakat khususnya pada
program penjaminan.
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 14
Peningkatan juga terjadi di sisi kredit, pertumbuhan kredit selama lima tahun terakhir
cukup besar yaitu sebesar 19,77 %. Hal ini diimbangi dengan penurunan Non Performing
Loan. Penurunan NPL menunjukkan bahwa kredit macet sudah mulai berkurang.
Selain kinerja keuangan, kita bisa melihat keberhasilan bank dalam mengelola sumber –
sumber ekonominya adalah dengan efisiensi secara tehnis. Efisiensi tehnis akan dihitung
dengan menggunakan Data Envelopment analysis. DEA adalah sebuah tehnik pemrograman
matematis yang digunakan untuk mengukur efisiensi dari sekumpulan unit – unit pembuat
keputusan dalam mengelola sumber daya ( input ) dengan jenis sama yang digunakan untuk
menghasilkan unit – unit output dengan jenis yang sama pula. Nilai efisiensi akan dihitung
dalam variasi antara 0 – 1. Efisiensi secara tehnis akan dicapai ketika nilainya 1, sedangkan
inefisiensi apabila nilainya antara 0 – 1.
Sampel yang dipakai adalah 5 Bank pemerintah yaitu Bank Rakyat Indonesia, Bank
Bni 46, Bank Tabungan Negara, Bank Mandiri dan Bank Ekspor Indonesia. Sedangkan bank
swasta nasional yang terpilih adalah Bank Muamalat, Bank Central Asia, Bank Syari’ah
Mandiri, Lippo Bank dan Bank Danamon . Untuk Bank asing terpilih Citibank, Standart
Chartered Bank dan ABN Amro.
Input yang digunakan adalah modal, biaya operasional dan biaya bunga. Pembedaan
biaya operasional dan biaya bunga dengan alasan bahwa biaya operasional adalah biaya yang
digunakan untuk operasional rutin seperti membayar gaji pegawai, biaya perawatan kantor
dan juga biaya pemasaran. Sedangkan biaya bunga adalah biaya untuk memelihara dana
pihak ketiga. Modal digunakan sebagai variabel input dengan alasan bahwa modal adalah
sumber utama dari gerak operasi perbankan.
Output yang digunakan adalah kredit, dana pihak ketiga dan pendapatan. Kredit yaitu
banyaknya kredit yang dikucurkan oleh bank kepada debitur. Alasan kredit digunakan
sebagai salah satu variabel output adalah karena kredit merupakan produk bank yang akan
memberikan pendapatan bagi bank, besarnya kredit yang dikucurkan harus sebanding dengan
asset yang dipunyai. Secara kinerja keuangan dikenal adanya LDR ( Loan to Deposit Ratio )
yaitu perbandingan antara pinjaman dengan dana pihak ketiga yang diterima oleh bank.
Apabila jumlah kredit yang diberikan semakin besar dengan asumsi kredit akan lancar, maka
pendapatan yang diperoleh oleh bank juga akan besar. Untuk menjaga kelancaran penerimaan
pendapatan atas kredit, maka banyak bank yang menambah karyawan di sisi kredit untuk
menagih kredit, untuk itu maka bank harus memperbesar biaya operasional.
Dari hasil analisis yang dilakukan dengan menggunaka metode DEA ( Data
Envelopment Analysis ), diperoleh hasil sebagai berikut :
15
Tabel 6 Hasil penghitungan efisiensi Kinerja Bank dengan menggunakan DEA
NO NAMA BANK
Score
Efisien
si
Bobot Optimal Bank dengan Benchmarknya
1 B R I 100,00
2 BNI 46 84,58 0,013 (UKE 1) 1,967 (UKE8) 2,291 (UKE12) 1,194 (UKE13)
3 BTN 97,01 0,024 (UKE 4) 0,667 (UKE8) 1,238 (UKE12)
4 B Mandiri 100,00
5
B Ekspor
Indonesia
100,00
6 B Muamalat 100,00
7 B Central Asia 100,00
8
B Syari'ah
Mandiri
100,00
9 ABN AMRO 99,82 0,050 (UKE 8) 1,218 (UKE10) 0,100 (UKE11) 0,487 (UKE12)
10 Lippo Bank 100,00
11 CitiBank 100,00
12
Standart
Chartered
100,00
13 B Danamon 100,00
Sumber : Hasil olahan dengan DEA
Dari hasil olahan data terhadap 13 bank sampel diperoleh hasil yang sangat
menggembirakan yaitu bahwa 10 bank ternyata sudah efisien secara tehnis yang
ditunjukkan dengan score efisiensi yang sudah mencapai 100%. Artinya penggunaan
input untuk menghasilkan ouput sudah optimal. 3 Bank yang belum mencapai efisiensi
secara tehnis adalah Bank BNI 46, Bank Tabungan Negara dan ABN AMRO. Apabila
dikelompokkan menurut modal dan kepemilikan, ternyata didapat bahwa 2 bank
pemerintah belum efisien secara tehnis, semua bank swasta nasional mencapai efisiensi
secara tehnis dan satu bank asing belum mencapai efisiensi tehnis.
Dari tiga belas bank terdapat 3 bank yang belum efisien secara tehnis. Berikut ini
dapat kita lihat kinerja pada masing – masing bank yang belum efisien, apa sumber
efisiensinya dan alternatif solusinya.
a. Kinerja Bank BNI 46
Bank BNI 46, selama masa krisis cukup diuntungkan dengan posisinya sebagai bank
pemerintah. Masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap perbankan swasta
pada saat itu banyak yang melarikan dananya pada bank pemerintah. Hal ini
mengakibatkan beban bunga yang harus ditanggung oleh bank pemerintah cukup
16
besar sedangkan kredit yang dikucurkan banyak yang mengalami kemacetan karena
kemunduran yang cukup drastis di sektor riil. Oleh sebab itu semua bank pemerintah
pada masa krisis masuk ke dalam program rekapitalisasi perbankan.
Hasil olahan data dengan menggunakan metode DEA menunjukkan bahwa efisiensi
Bank BNI 46 baru tercapai 84,58% dengan nilai efisiensi pada masing – masing
input dan output sebagai berikut :
Tabel 7. Hasil perhitungan efisiensi variabel input dan output Bank BNI 46 (dalam juta)
Variabel Actual Target To Gain ( %) Achieved (% )
Modal 10.744.693,0 9.088.023,0 15,4 % 84,6 %
Biaya Bunga 4.665.543,0 3.946.186,0 15,4 % 84,6 %
Biaya Operasional 5.460.009,0 4.618.157,0 15,4 % 84.6 %
Kredit 58.824.402,0 58.824.402,0 0,0 % 100,0 %
Dana Pihak ketiga 77.805.457,0 82.926.794,2 6,6 % 93, 4 %
Pendapatan 14.803.949,0 14.803.949,0 0,0 % 100,0 %
Sumber : Hasil olahan data
Dari hasil olahan data tersebut bisa dilihat bahwa Bank BNI belum mencapai
tingkat efisiensi secara tehnis. Sumber – sumber efisiensi adalah di faktor input,
semua input yang digunakan belum efisien. Sedangkan pada faktor ouput hanya satu
faktor yang belum efisien yaitu dana pihak ketiga.
Modal belum efisien, di mana penggunaan modal terlalu banyak dibandingkan
dengan pencapaian dari sisi output. Bank BNI 46 menggunakan input modal
sebanyak Rp 10.744.693 juta, pada sebenarnya bisa ditekan dengan penggunaan
sebesar Rp 9.088.023 juta. Alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi
modal, namun ini tidak realistis , oleh sebab itu yang harus dilakukan adalah dengan
menambah output karena pencapaian efisiensi untuk sisi modal ini baru 84,6%.
Biaya bunga yang dikeluarkan oleh Bank BNI juga belum efisien karena masih
terlalu besar dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dalam kasus bank BNI 46,
ternyata hasil ini sinkron dengan DPK yang belum efisien. Biaya bunga yang
dikeluarkan oleh Bank BNI adalah sebesar Rp4.665.543 juta, padahal biaya bunga
cukup sebesar Rp 3.946.186 juta. Pencapaian efisiensi dari biaya bunga baru sebesar
84,6%.
Biaya operasional, variabel input yang lain adalah beban operasional yang juga
belum mencapai tingkat efisiensi penuh. Di mana biaya operasional secara aktual
adalah sebesar Rp 5.460.009 juta padahal dengan tingkat output yang telah dicapai
saat ini, biaya operasional bisa ditekan hanya sebesar Rp 4.618.157 juta. Untuk itu
alternatif pertama yang bisa dilakukan adalah dengan menekan beban – beban
17
operasional seperti pembayaran gaji pegawai, promosi, alat tulis kantor, listrik dan
sebagainya. Atau alternatif kedua yang bisa dilakuakn adalah dengan tanpa
mengurangi biaya operasional namun tingkat output yang dicapai dioptimalkan.
Dana pihak ketiga, Dana pihak ketiga merupakan satu – satunya variabel output
yang tidak efisien. Hal ini berkaitan juag dengan belum efisiennya beban bunga dari
sisi input, atinya beban bunga masih terlalu besar untuk dana pihak ketiga. Dalam
aktualnya dana pihak ketiga yang bisa dikumpulkan adalah sebesar Rp 77.805.457
juta sedangkan sebenarnya target yang bisa dicapai adalah sebesar Rp 82.926.794,2
juta. Untuk mengatasi permasalahan ini dapat dilakukan dengan alternatif pertama
meningkatkan perolehan dana pihak ketiga karena efisiensi yang tercapai baru
sebesar 93,4%.
Dari hasil analisis di atas bisa disimpulkan bahwa sumber inefisiensi pada Bank
BNI 46 terutama adalah dari sisi inputnya di mana ketiga input tidak efisien,
sedangkan dari sisi output hanya dana pihak ketiga yang belum mencapai efisiensi.
Beberapa alternatif solusi yang mungkin bisa ditempuh adalah
Alternatif solusi pertama yang ditawarkan adalah dengan melakukan evaluasi
terhadap penggunaan input – inputnya yaitu disesuaikan dengan target yang ada.
Alternatif solusi yang kedua adalah dengan meningkatkan outputnya agar
penggunaan input bisa mencapai target maksimal . Output dana pihak ketiga yang
terjadi adalah sebesar Rp 77.805.457,0 juta, hal ini masih bisa dimaksimalkan
dengan membagi tingkat efisiensi yang terjadi yaitu 84,58 %. Sehingga kredit yang
sebaiknya dikucurkan adalah sebesar Rp 77.805.457,0 : 0,8458 = Rp 91.990.372,43
juta.
Alternatif solusi ketiga, yang mungkin dilakukan adalah dengan mengacu pada
efisiensi reference set-nya atau benchmarknya. Untuk Bank BNI 46 benchmarknya
adalah BRI, Bank Syari’ah Mandiri, Standart Chartered Bank dan Bank Danamon.
Yaitu dengan menggunakan 0,013 out put dan input BRI, 1,967 input dan output
Bank Syari’ah Mandiri, 2,291 output dan input Standart Chartered bank dan 1,194
output dan input Bank Danamon. Secara rinci penghitungan alternatif dengan
menggunakan benchmarknya ini adalah sebagai berikut :
18
Tabel 8. Penghitungan efisiensi dengan menggunakan Benchmark ( dalam juta )
Kriteria BRI BSM SCB Danamon Total
Modal 126.825,7 975.967,9 336.695,3 7.648.534,4 9.088.023,3
Biaya operasional 61.549,1 540.734,2 779.842,6 2.564.060,6 3.946.186,5
Biaya bunga 70.057,7 416.273,3 1.700.202,1 2.431.624,8 4.618.157,9
Kredit 804.980,3 10.336.041,3 12.803.857,4 34.879.523,8 58.824.401,7
Dana pihak ke3 1.086.768,5 11.168.706,0 19.707.610,0 50.963.709,7 82.926.794,2
Pendapatan 221.721,2 1.387.546,8 4.073.357,3 9.121.323,7 14.803.949
Sumber : Hasil olahan data
Dari hasil penghitungan data di atas, terlihat bahwa Bank BNI 46 akan mencapai
efisiensi tehnis dengan menggunakan bantuan dari benchmarknya yang dalam hal ini
adalah BRI, BSM, Standart Chartered Bank dan Bank Danamon. Yaitu sebaiknya
merubah masing – masing input dan output dengan nilai - nilai yang dianjurkan.
b. Kinerja Bank Tabungan Negara
Bank Tabungan Negara ( BTN ) adalah bank milik pemerintah dengan jumlah
modal paling kecil dibandingkan dengan bank pemerintah lainnya. BTN pada
awal pendiriannya mempunyai spesifikasi produk penyediaan rumah untuk rakyat
khususnya pegawai negeri dengan program KPR BTN, namun dalam
perkembangan selanjutnya BTN mempunyai produk – produk yang semakin
beragam. Dibandingkan dengan BRI, BNI apalagi bank Mandiri, pertumbuhan
aset dan juga pendapatan BTN memang tergolong lambat.
Dari hasil olahan data dengan menggunakan DEA diperoleh hasil bahwa BTN
belum mencapai efisiensi dengan rasio inefisiensi sebesar 97,01 % relatif lebih
baik dibandingkan dengan BNI 46. Nilai – nilai efisiensi pada bank BTN seperti
pada tabel berikut ini :
Tabel 9. Hasil perhitungan efisiensi variabel input dan output BTN
Variabel Actual Target To Gain ( %) Achieved (% )
Modal 1.035.696 1.004.754,4 3,0 % 97,0 %
Biaya Bunga 1.515.953 832.859,4 45,1 % 54,9 %
Biaya Operasional 1.232.374 1.195.556,7 3,0 % 97,0 %
Kredit 12.607.340,0 12.607.340,0 0,0 % 100,0 %
Dana Pihak ketiga 18.572.262 18.602.145,4 0,2 % 99,8 %
Pendapatan 3.218.633 3.218.633,0 0,0 % 100,0 %
Sumber : Hasil olahan data
Dari data tersebut di atas, diperoleh bahwa sumber inefisiensi adalah pada
ketiga variabel input dan satu variabel output yaitu dana pihak ketiga. Secara
rinci, inefisiensi bisa dijabarkan sebagai berikut :
Modal belum optimal dengan tingkat inefisiensi sebesar 3%. Modal yang
digunakan oleh BTN adalah sebesar Rp 1.035.696 juta padahal untuk mencapai
19
output tersebut hanya dibutuhkan modal sebesar Rp 1.004.754,4. Alternatif solusi
yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi modal, namun hal ini kurang
realistis, sehingga kegiatan yang sebaiknya dilakukanadalah dengan
mengoptimalkan output karena pencapaian dengan variabel input ini baru 97%.
Biaya bunga, sumber inefisiensi terbesar dari BTN adalah biaya bunga dengan
nilai inefisiensi sebesar 45,1 %. Biaya bunga secara aktual di BTN adalah
sebesar Rp 1.515.953 juta, padahal seharusnya bisa ditekan menjadi hanya
sebesar Rp 832.859,4 juta.
Biaya operasional, sumber inefisiensi yang lain adalah pada biaya operasional di
mana biaya operasional aktualnya adalah sebesar Rp 1.232.374 juta sedangkan
sebenarnya biaya operasional bisa ditekan menjadi Rp 1.195.556,7 juta. Atau
mungkin tetap mempertahankan biaya operasional namun capaian atau output
harus lebih tinggi dibandingkan dengan saat ini.
Dana Pihak ketiga, dari sisi output, hanya dana pihak ketiga yang belum efisien
dengan tingkat inefisiensi yang sangat kecil yaitu sebesar 0,2%. Aktual dana
pihak ketiga adalah Rp 18.572.262 juta yang seharusnya masih bisa
dioptimalkan menjadi Rp 18.602.145,4 juta.
Dari hasil analisis di atas bisa disimpulkan bahwa sumber inefisiensi
pada Bank tabungan Negara terutama adalah dari sisi inputnya di mana ketiga
input tidak efisien, sedangkan dari sisi output hanya dana pihak ketiga yang
belum mencapai efisiensi. Beberapa alternatif solusi yang mungkin bisa ditempuh
adalah
Alternatif solusi pertama yang ditawarkan adalah dengan melakukan evaluasi
terhadap penggunaan input – inputnya yaitu disesuaikan dengan target yang ada.
Alternatif solusi yang kedua adalah dengan meningkatkan outputnya agar
penggunaan input bisa mencapai target maksimal .
Alternatif solusi ketiga, yang mungkin dilakukan adalah dengan mengacu pada
efisiensi reference set-nya atau benchmarknya. Untuk BTN, benchmarknya
adalah Bank Mandiri, Bank Syari’ah Mandiri dan Standart Chartered Bank. Cara
dalam melihat alternatif ketiga adalah dengan menggunakan acuan input dan
ouput bank Mandiri sebesar 0,024, Bank Syari’ah Mandiri sebesar 0,667 dan
menggunakan Standart Chartered Bank sebesar 1,238. Sehingga nilai perhitungan
dalam alternatif ketiga adalah sebagai berikut :
20
Tabel 10. Hasil penghitungan dengan menggunakan benchmark (dalam juta)
Kriteria Mandiri BSM SCB Total Modal 486.882,7 335.999,0 181.872,8 1.004.750,90
Biaya operasional 225.451,7 186.160,0 421.247,7 832.859,40
Biaya bunga 133.846,7 143.311,5 918.398,5 1.195.556
Kredit 2.132.662,6 3.558.415,5 6.916.261,9 12.607.34
Dana pihak ke3 4.111.603,1 3.845.079,1 10.645463,0 18.602145,40
Pendapatan 540.632,6 477.694,3 2.200.306,1 3.218.63
Sumber data diolah
Dari hasil penghitungan dengan menggunakan benchmarknya maka penggunaan
input dan output bisa mencapai maksimal manakala mengikuti input dan output
yang dianjurkan dengan mengacu pada masing – masing bank benchmarknya.
c. ABN AMRO
ABN AMRO merupakan bank swasta nasional yang sudah lama berdiri meskipun di
Indonesia sendiri baru mulai dikenal. Langkah – langkah yang dilakukan oleh ABN
AMRO cukup mencolok dibandingkan dengan perbankan lain. Dengan kredit tanpa
jaminan yang besarnya sampai 50 juta, ABN AMRO mulai dikenal dan
terosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan semakin benyaknya
nasabah yang dimiliki . Kinerja secara keuangan ABN AMRO cukup baik , namun
secara efisiensi tehnis belum,meskipun inefisiensi yang terjadi sangat kecil. Dari
hasil analisis dengan menggunakan DEA ditemukan tingkat efisiensi ABN AMRO
adalah sebesar 99,82%. Artinya nyaris sempurna secara efisiensi tehnis. Namun
adanya baiknya untuk tetap kita analisis bahwa variabel – variabel mana yang
inefsiensi. Tabel efisiensi bisa dilihat sebagai berikut :
Tabel 11 Tabel inefisiensi
Variabel Actual Target To Gain ( %) Achieved (% )
Modal 636.085 634.934 0.2 99.8
Biaya Bunga 400.405 399.680 0.2 99.8
Biaya Operasional 732.561 731.235 0.2 99.8
Kredit 5.405753 5.405.753 0.0 100.0
Dana Pihak ketiga 11.902.079 11.902.079 0.0 100.0
Pendapatan 1.467.431 1.822.065,8 24.2 85.6
Sumber : Hasil olahan data
Dari hasil olahan data ternyata inefisiensi yang terjadi di ABN AMRO dari sisi
input dengan tingkat inefisiensi yang kecil. Hal ini akan sangat memudahkan
ABN AMRO dalam menyelesaikan masalah inefisiensi di perusahaannya.
Sedangkan inefisiensi yang cukup nyatra terjadi di variabel output yaitu
pendapatan dengan tingkat inefisiensi sebesar 24,2 %. Hal ini mengandung arti
bahwa ternayata input – input yang ada di ABN AMRO tersebut belum cukup
21
mampu untuk mendatangkan pendapatan dalam jumlah yang optimal. Pendapatan
yang ducapai oleh ABN AMRO baru sebesar Rp 1.467.431 padahal dalam
tingkat efisiensi yang penuh ABN AMRO bisa mendapatkan pendapatan sebesar
Rp 1.822.065,8 juta. Terdapat 4 bank yang bisa digunakan oleh ABN AMRO
sebagai referensinya yaitu BSM, Lippo Bank, CitiBank dan Standart Cartered
Bank.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian tersebut bisa disimpulkan bahwa pertama lembaga
keuangan perbankan di Indonesia pasca krisis tahun 1997 – 1998 secara umum telah
berkembang dengan cukup menggembirakan terbukti dengan terus meningkatnya kinerja
keuangan di masing masing lembaga keuangan perbankan tersebut. Kedua Bank Umum
pemerintah mempunyai tingkat efisiensi tehnis yang lebih rendah dibandingkan dengan
bank swasta nasional dan asing. Dari 13 jumlah sample bank yang diteliti ternyata
terdapat 3 bank yang belum mempunyai efisiensi penuh yaitu Bank BNI 46 dengan
tingkat efisiensi sebesar 84,58 %. Kemudian Bank BTN yang mempunyai tingkat
efisiensi sebesar 97,01. Sedangkan di sisi bank swasta ABN AMRO belum mencapai
nilai maksimal dengan tingkat efisiensi sebesar 99,82% .Ketiga Sumber inefisiensi
terbesar pada masing – masing bank adalah dari sisi input.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas maka bisa diberikan saran sebagai berikut
pertama bank – bank yang efisien hendaknya terus untuk mempertahankan efisiensinya,
namun bukan hanya dengan membiarkan kedua input dan output tersebut, namun dengan
meningkatkan input dan output dengan ukuran yang sama.Kedua untuk menjadi efisien,
bank – bank yang belum efisien harus memperhatikan input atau output yang menjadi
sumber inefisiensi untuk terus diperbaiki. Acuan peningkatan efisiensi adalah dengan
melihat benchmark dari masing – masing bank.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih Sri, 1995, Ekonomi Mikro, edisi 1, BPFE. Yogyakarta
Dendawijaya Lukman, 2001, Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Jakarta
Dendawijaya Lukman, 2004, Lima Tahun Penyehatan Perbankan Nasional ( 1998 –
2003 ) . Ghalia Indonesia, Jakarta
22
Hasibuan Nurimansjah, 1993, Ekonomi Industri, Pustaka LP3ES, Jakarta
Kasmir, 2002, Bank dan lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Lestari, Etty P, 2003. Efisiensi Tehnis Perbankan di Indonesia Tahun 1995 – 1999,
Jurnal Empirika, Fakultas Ekonomi UMS Vol 16 Desember
Maysun, 2005, Analisis Kinerja Bank Syari’ah dan Bank Konvensional di
Indonesia ( Studi kasus pada bank dengan kinerja keuangan sangat bagus pada
asset 1 – 10 trilyun rupiah, Skripsi
Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, 2005. Modul Metodologi Penelitian Empiris
DEA, Yogyakarta
Pusat Pendidikan kebansentralan Bank Indonesia (PPSK) BI , 2003, Bank Indonesia
Bank Sentral Republik Indonesia : tinjauan kelembagaan, kebijakan dan
organisasi, BI Jakarta.
Republik Indonesia, Undang – Undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan
Republik Indonesia, Undang – Undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan atas
undang – undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan
Republik Indonesia, Undang – Undang no 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
S Permono Iswandono, 2000, Analisis Efisiensi Industri Perbankan Di Indonesia
Studi Kasus Bank – Bank Devisa di Indonesia tahun 19991 – 1996. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol II Januari.