duration of type 2 diabetes melitus increased the risk of

112
TESIS DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL SURIYA SUWANTO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Upload: phungtram

Post on 20-Dec-2016

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

TESIS

DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN

SENSORINEURAL

SURIYA SUWANTO

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

DURASI MENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

MENINGKATKAN RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN

SENSORINEURAL

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

dalam Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

SURIYA SUWANTO

NIM 0914078203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Lembar Pengesahan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL, 3 JUNI 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. dr. W. Suardana SpTHT-KL (K) Prof. Dr.dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg

NIP. 130369694 NIP. 19471211 1976 021 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Universitas Udayana

Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila,SpAnd, FAACS Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 194612131971071001 NIP: 195902151985102001

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No: 1374 /UN14.4/HK/2014, tertanggal 16 Mei 2014

Ketua : Prof. dr. W. Suardana SpTHT-KL (K), SpTHT-KL (K)

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp. Erg

2. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila SpAnd., FAACS

3. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp FK

4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

UCAPAN TERIMA KASIH

Atas Karunia Tuhan yang Maha Esa akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis

untuk memperoleh gelar pascasarjana kekhususan kedokteran klinik dan spesialis di

bidang THT-KL. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga

dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan pengetahuan dan

keilmuan di bidang penelitian pada umumnya dan THT-KL pada khususnya.

Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran

serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan

terima kasih yang yang tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang

terhormat:

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD

sekaligus sebagai Kepala Divisi Endokrinologi dan Metabolisme FK

UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan

menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined

degree), PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala

Leher berikut ijin melaksanakan penelitian di Diabetes Centre RSUP Sanglah.

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa,

Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik

(combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-

Bedah Kepala Leher.

3. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar,

atas segala fasilitas yang disediakan dan diberikan selama penulis mengikuti

pendidikan spesialis.

4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi,

SpS(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi

mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik

(Combined degree).

5. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Bagian/ SMF Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher, Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala

kesabaran, dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan

spesialis.

6. dr. I Dewa Gede Arta Eka, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi PPDS-1

Ilmu Kesehatan THT-KL sekaligus sebagai pembimbing akademik atas segala

kesempatan, bimbingan dan motivasinya.

7. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.THT-KL (K) sebagai Sekretaris Program Studi

PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL atas segala kesempatan, bimbingan dan

motivasinya.

8. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined degree),

Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS yang telah memberikan

kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana

Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree).

9. Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.THT-KL(K) selaku pembimbing I yang selalu

menekankan berpikir secara kritis serta bertindak sesuai prosedur medis berikut

segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai

akhir pendidikan.

10. Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg selaku pembimbing II atas

segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai

akhir penelitian.

11. dr. Tangking, MPH dan dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M. Epid yang

telah memberikan bimbingan statistik.

12. Kepala-kepala divisi dan para konsulen di Bagian/SMF THT-KL FK

UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan

bimbingan selama mengikuti pendidikan.

13. Kepala Poliklinik Diabetes Centre dan THT-KL RSUP Sanglah berikut semua

paramedis atas semua bantuan dan dukungannya selama melaksanakan

penelitian.

14. Para Senior, rekan residen, mahasiswa kedokteran, atas bantuan dan

kerjasamanya selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian ini

berlangsung.

15. dr. Samsi Jacobalis, SpB (Alm) selaku mantan Dekan Universitas Tarumanagara,

penasihat RSIB Harapan Kita dan dosen Magister Manajemen Rumah Sakit,

Universitas Gadjah Mada yang telah memberi dorongan, semangat untuk

melanjutkan pendidikan serta selalu memberikan nasehat dan kasih sayang.

16. Suami, Wahyudi Saputra, SH yang selalu berbagi suka duka serta ananda Kiara

Maharani Saputra dan Ken Dharma Saputra atas pengertian, pengorbanan dan

telah menemani serta menghibur penulis selama masa pendidikan.

17. Ayahanda, ibunda, kakak-kakak dan adik maupun ipar terkasih atas doa restu,

motivasi, pengertian dan kasih sayangnya.

18. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan

satu persatu.

Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmatNya

atas kebaikan yang telah dilakukan.

Denpasar, 22 Juni 2014

Suriya Suwanto

ABSTRAK

Durasi Menderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan Risiko Gangguan

Pendengaran Sensorineural

Suriya Suwanto

Diabetes melitus menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural dengan

berbagai faktor risiko yang masih diteliti. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

apakah durasi, kendali glikemik dan hipertensi meningkatkan risiko gangguan

pendengaran sensorineural pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar.

Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol berpasangan dan matching

jenis kelamin serta umur. Kelompok kasus sebanyak 45 subjek adalah penderita DM

tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural sedangkan kelompok kontrol

sebanyak 45 subjek adalah penderita DM tipe 2 tanpa gangguan pendengaran

sensorineural. Penelitian dilaksanakan di poliklinik Diabetes Centre dan poliklinik

THT-KL RSUP Sanglah sejak 1 Agustus 2013 sampai 30 Desember 2013.

Subjek 55, 56 % berjenis kelamin wanita dan 44, 44 % pria. Jumlah subjek

penelitian dengan gangguan pendengaran derajat ringan bilateral sebanyak 28 orang

(62, 22 %) dan 8 subjek dengan gangguan pendengaran unilateral (17, 78 %). Subjek

penelitian dengan durasi menderita DM tipe 2 kurang dari 10 tahun sebanyak 71

orang (78,89 %) dan durasi lebih besar sama dengan 10 tahun sebanyak 19 orang

(21,11 %). Jumlah subjek penelitian dengan kendali glikemik buruk atau HbA1C

lebih dari 7% sebanyak 71 orang (78, 89%) dan subjek penelitian dengan kendali

glikemik baik atau HbA1C kurang dari dan sama dengan 7 % sebanyak 19 orang (21,

11%). Jumlah subjek penelitian dengan hipertensi sebanyak 41 orang (45, 56 %) dan

tanpa hipertensi sebanyak 49 orang (54, 44 %). Analisis bivariat dengan

menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil durasi (OR 7,5; p 0,016;

CI 1,74-67,59), HbA1C (OR 2,75; p 0,07; CI 0,82-11,84) dan hipertensi (OR 2,26; p

0,06; CI 0,89-6,57). Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan

hasil durasi (OR 7,84; p 0,011; CI 1,62 - 38,02), HbA1C (OR 2,79; p 0,132; CI 0,94-

8,99) dan hipertensi (OR 2,79; p 0,063; CI 0,54 - 4,86).

Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 lebih besar dan sama dengan 10 tahun

sebagai faktor yang signifikan dalam meningkatkan risiko gangguan pendengaran (p

< 0.05). Sedangkan kendali glikemik dan hipertensi tidak signifikan. Diabetes melitus

merupakan penyakit yang bersifat kronis dan risiko komplikasi gangguan

pendengaran meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit.

Kata kunci: diabetes melitus tipe 2, gangguan pendengaran sensorineural, durasi,

kendali glikemik

ABSTRACT

Duration of Type 2 Diabetes Melitus Increased the Risk of Sensorineural

Hearing Loss

Suriya Suwanto

Diabetes Mellitus causes sensorineural hearing loss with lots of risk factor that

are still in research. The purpose of this study was to determine whether duration,

glycemic control and hypertension increased the risk of sensorineural hearing loss in

patients with type 2 Diabetes Mellitus of Sanglah General Hospital Denpasar.

This study used case control design, paired with matching of age and sex. Case

group consisted of 45 type 2 diabetes mellitus patients with sensorineural hearing loss

and control group consisted of 45 type 2 diabetes mellitus patients without hearing

loss. Research was conducted in Diabetes Centre and ENT-HNS clinics of Sanglah

General Hospital started from August, 1st, 2013 until December, 30

th, 2013.

Subjects 55, 56% were female and 44, 44% were male. Subjects with mild

degree of bilateral sensorineural hearing loss were 28 subjects (62, 22%) and 8

subjects with unilateral hearing loss (17, 78%). Subjects with duration of type 2

Diabetes Mellitus less than 10 years were 71 subjects (78, 89%) and duration of equal

and more than 10 years were 19 subjects (21, 11%). Subjects with bad glycemic

control or A1C more than 7 % were 71 subjects (78, 89%) and subjects with good

glycemic control or A1C equal and less than 7 % were 19 subjects (21, 11%).

Subjects with hypertension were 41 subjects (45, 56 %) and without hypertension 49

subjects (54, 44 %). Bivariate analysis using Mc Nemar Chi Square showed results of

duration (OR 7,5; p 0,016; CI1,74-67,59), A1C (OR 2,75; p 0,07; CI 0,82-11,84) and

hypertension (OR 2,26; p 0,06; CI 0,89-6,57). Multivariate analysis with regression

logistic showed results of duration (OR 7, 84; p 0,011; CI 1, 62 - 38,02), A1C (OR

2,79; p 0,132; CI 0,94-8,99) and hypertension (OR 2,79; p 0,063; CI 0,54 - 4,86).

Duration of equal and more than 10 years as the factor that significantly

increased the risk of hearing loss (p < 0.05), the glycemic control and hypertension

were not significant. Diabetes mellitus was a chronic disease and the risk of

complication increased as the disease became chronic.

Keywords: type 2 diabetes mellitus, sensorineural hearing loss, duration, glycemic

control

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ...................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ............................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................................... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... v

ABSTRAK ................................................................................................... viii

ABSTRACT ................................................................................................. ix

DAFTAR ISI ................................................................................................ x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xvii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….1

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6

1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 8

2.1 Gangguan Pendengaran..................................................................... 8

2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ................................................. 9

2.3 Diabetes Melitus ............................................................................... 15

2.3.1 Klasifikasi Diabetes Melitus ……………………………………… 16

2.3.2 Gejala Diabetes Melitus…………………………………………… 17

2.3.3 Diagnosis Diabetes Melitus ……………………………………….. 18

2.3.4 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus ……………………………… 19

2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Mengakibatkan Gangguan

Pendengaran ..................................................................................... 20

2.4.1 Mekanisme Komplikasi ……………………………… ................... 22

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran

Sensorineural Pada Diabetes Melitus ………………………………25

2.4.2.1 Durasi Menderita Diabetes Melitus tipe 2 Meningkatkan Risiko

Gangguan Pendengaran Sensorineural.............................................. 27

2.4.2.2 Kendali Glikemik Buruk pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2

Meningkatkan Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural .......... 27

2.4.2.3 Hipertensi pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Meningkatkan

Risiko Gangguan Pendengaran Sensorineural .................................. 29

2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengarn ................................................ 31

2.5.1 Audiometri Nada Murni ................................................................... 32

2.6 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Sensorineural Akibat

Diabetes Melitus ............................................................................... 33

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN……………………………………………………………. 35

3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 35

3.2 Konsep Penelitian ............................................................................ 37

3.3 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 37

BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………. 39

4.1 Rancangan Penelitian ....................................................................... 39

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 39

4.3 Penentuan Sumber Data ................................................................... 40

4.3.1 Populasi Penelitian ………………………………………………… 40

4.3.2 Sampel Penelitian ............................................................................. 40

4.3.3 Kriteria Sampel ................................................................................ 40

4.3.3.1 Kriteria Inklusi ................................................................................. 40

4.3.3.2 Kriteria Eksklusi .............................................................................. 41

4.3.4 Perhitungan Besar Sampel ............................................................... 41

4.4 Variabel Penelitian ........................................................................... 42

4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel ................................................ 42

4.5 Definisi Operasional Variabel .......................................................... 42

4.6 Bahan dan Alat Penelitian ................................................................. 44

4.7 Prosedur Kerja ................................................................................. 45

4.8 Alur Penelitian ................................................................................. 47

4.9 Analisis Data .................................................................................... 47

4.10 Etika Penelitian ................................................................................. 47

BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................... 49

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 49

5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar

Hasil Audiometri Nada Murni .......................................................... 50

5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Ditinjau dari Faktor Risiko yang

Diteliti ............................................................................................... 52

5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik Antara Kelompok Kasus dan

Kelompok Kontrol ............................................................................ 53

5.5 Hasil Analisis Bivariat ...................................................................... 53

5.6 Hasil Analisis Multivariat ................................................................. 55

BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………….56

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 55

6.2 Hubungan Antara Durasi Menderita DM tipe 2 dengan Gangguan

Pendengaran Sensorineural ............................................................... 58

6.3 Hubungan Antara Kendali Glikemik dengan Gangguan

Pendengaran Sensorineural ............................................................... 58

6.4 Hubungan antara Hipertensi dengan Gangguan Pendengaran

Sensorineural ..................................................................................... 61

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN …………………………………….62

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 64

LAMPIRAN ................................................................................................. 69

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ......................................... 11

Gambaar 2.2 Potongan Melintang Koklea .................................................... 12

Gambar 2.3 Diagram Jalur Biokmiawi Penurunan Pendengaran Terhadap

Sensori End Organ seperti Koklea pada Diabetes Melitus

Tipe 2 ......................................................................................... .24

Gambar 3.1 Konsep Penelitian...................................................................... .37

Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian…………………………………...39

Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian.………………………………………….47

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian.................................................. 49

Tabel 5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian

Berdasar Hasil Audiometri Nada Murni .................................... 51

Tabel 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian ditinjau dari Faktor Risiko

yang Diteliti ............................................................................... 52

Tabel 5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik antara Kelompok Kasus

dan Kelompok Kontrol .............................................................. 53

Tabel 5.5 Hasil Analisis Bivariat ............................................................... 53

Tabel 5.5.1 Hasil Analisis Bivariat Durasi terhadap Gangguan Pendengaran

Sensorineural .............................................................................. 53

Tabel 5.5.2 Hasil Analisis Bivariat Kendali Glikemik terhadap Gangguan

Pendengaran Sensorineural ........................................................ 54

Tabel 5.5.3 Hasil Analisis Bivariat Hipertensi terhadap Gangguan

Pendengaran Sensorineural ........................................................ 54

Tabel 5.6 Hasil Analisis Multivariat .......................................................... 55

DAFTAR SINGKATAN

ABR : Auditory Brainstem Response

ADA : American Diabetes Association

AGEs : Advanced Glycosylation End products

dB : Decibel

DM : Diabetes Melitus

GDM : Gestational Diabetes Melitus

HbA1C : Hemoglobin glikolasi

HL : Hearing Level

IMT : Indeks Massa Tubuh

OAE : Oto Acoustic Emission

NIDDM : Non Insulin Dependent Diabetes Melitus

NIHL : Noise Induced Hearing Loss

NO : Nitric Oxide

PAS : Periodic Acid Schiff

PKC : Protein Kinase C

PNS : Peripheral Nervous System

ROS : Reactive Oxygen Species

SNHL : Sensory Neural Hearing Loss

TGFβ : Transforming Growth Factor-Beta

WHO : World Health Organization

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

VPF : Vascular Permeability Factor

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan kepada Subyek Penelitian ......................... 69

Lampiran 2 Surat Pernyataan Persetujuan ................................................... 71

Lampiran 3 Lembar Penelitian ..................................................................... 72

Lampiran 4 Ethical Clearance ...................................................................... 75

Lampiran 5 Surat Ijin Divisi Endokrinologi dan Metabolik ........................ 76

Lampiran 6 Surat Ijin Diklit RSUP Sanglah ................................................ 77

Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian ............................................................ 78

Lampiran 8 Karakteristik Subjek Penelitian ................................................ 79

Lampiran 9 Ambang Pendengaran Subjek Penelitian.................................. 83

Lampiran 10 Analisis Data………………………………………………….87

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendengaran merupakan salah satu panca indera manusia yang paling penting.

Pendengaran yang terganggu akan menghambat proses interaksi dan komunikasi

dengan sesama. Gangguan pendengaran sering disebut tuli.

Secara umum, tuli dibagi menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural serta tuli

campuran. Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara yang disebabkan

oleh kelainan di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural, kelainan

terdapat di koklea atau nervus VIII yang mengakibatkan terhambatnya proses

transmisi impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Sedangkan tuli campuran

disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural (Bull, 1991).

Salah satu penyebab tuli sensorineural adalah diabetes melitus (Bull, 1991).

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup

(Konsensus DM, 2011). Mayoritas penderita diabetes dewasa memiliki penyakit

dengan risiko kardiovaskular seperti hipertensi dan kolesterol karena diabetes adalah

penyakit sistemik (Bainbridge dkk., 2008).

Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus terkait dengan kerusakan, disfungsi,

kegagalan berbagai organ jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan

pembuluh darah. Diabetes melitus juga mengakibatkan gangguan pendengaran (Bull,

1991; Powers, 2008). Risiko gangguan pendengaran sekitar 2 kali lipat lebih besar

pada pasien dengan diabetes dibanding pasien tanpa diabetes (ADA, 2012).

Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus adalah tuli

sensorineural dengan ciri progresif bilateral pada frekuensi tinggi yaitu frekuensi

2000 Hz dan 4000 Hz, seperti gambaran presbikusis tipe sensori (Pemmaiah dan

Srinivas, 2011). Sedangkan hasil penelitian National Health and Nutrition

Examination Survey (NHANES) sejak tahun 1999-2004 melaporkan gangguan

pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus terjadi pada frekuensi 500 sampai

dengan 8000 Hz (Bainbridge dkk., 2008).

Pengaruh diabetes melitus pada pendengaran banyak diteliti tetapi terdapat

banyak penyulit dalam membuktikan hubungan ini karena adanya variabel

pengganggu seperti paparan bising, obat ototoksik, presbikusis, hipertensi dan

aterosklerosis. Faktor genetika juga mempengaruhi gangguan pendengaran

sensorineural pada populasi kecil dengan diabetes melitus (Kakarlapudi dkk., 2003).

Studi yang dilaksanakan pada 110 penderita diabetes melitus tipe 2 di Ramaiah

Medical College, India didapatkan 48 penderita atau 43, 6% dengan gangguan

pendengaran sensorineural bilateral pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz (Pemmaiah

dan Srinivas, 2011). Sedangkan studi terhadap 135 penderita diabetes melitus tipe 2

di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo, Makasar mendapatkan hasil 45 penderita atau

33, 33% dengan gangguan pendengaran ringan dan 90 penderita dengan pendengaran

normal (Limardjo dkk., 2011).

Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita

diabetes melitus dengan berbagai variasi hasil seperti durasi, kendali glikemik yang

dinilai melalui angka HbA1C, umur, jenis kelamin, hipertensi dan komplikasi

diabetes melitus. Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali

glikemik. Karena hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran

sensorineural dan penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya disertai hipertensi,

maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur

untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa

hipertensi.

Diabetes melitus adalah penyakit yang bersifat kronis dan risiko komplikasi

meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit (Powers, 2008). Durasi menderita

diabetes melitus diperkirakan berkaitan dengan risiko gangguan pendengaran melalui

dasar pemikiran bahwa diabetes dengan kondisi hiperglikemia kronis mengakibatkan

komplikasi pada banyak organ dan salah satunya adalah organ pendengaran.

Durasi dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi

hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan

antara durasi menderita diabetes melitus ≥ 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p

= 0, 00). Penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan durasi menderita diabetes

melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 ± 7, 6 tahun (p <

0.001). Sedangkan penelitian Panchu (2009) mendapatkan hasil yang berbeda dengan

kedua hasil penelitian di atas yaitu durasi menderita diabetes melitus lebih dari 10

tahun tidak mempengaruhi ambang pendengaran pada penderitanya.

Kendali glikemik yang optimal sangat penting. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali glikemik yang optimal (Konsensus

DM, 2011). Studi epidemiologi telah menunjukkan adanya kekuatan yang sama

antara HbA1C dengan glukosa plasma puasa dan 2 jam sesudah beban glukosa dalam

menimbulkan risiko neuropati tetapi HbA1C lebih mudah dilaksanakan karena tidak

membutuhkan puasa dan lebih stabil (ADA, 2012). Nilai HbA1C merupakan cermin

rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan dan merupakan prediktor kuat

terhadap komplikasi diabetes melitus (Sacks dkk., 2002; Stratton dkk., 2000). Nilai

HbA1C ≤ 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler dan pemeriksaan

nilai HbA1C rutin dapat menurunkan risiko jangka panjang makrovaskuler (ADA,

2012).

Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan

pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009;

Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak

signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo

dkk., 2011).

Hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan pendengaran sensorineural.

Tekanan yang tinggi pada sistem vaskuler akibat hipertensi memungkinkan terjadinya

perdarahan pada telinga dalam dan mengakibatkan gangguan pendengaran yang

bersifat progresif atau mendadak. Peningkatan viskositas darah pada hipertensi juga

mengakibatkan penurunan aliran kapiler darah dan penurunan transpor oksigen yang

berakibat hipoksia jaringan sehingga terjadi gangguan pendengaran (Marchiori dkk.,

2006). Hasil penelitian Duck dkk. (1997) melaporkan bahwa hipertensi yang

menyertai diabetes melitus tipe 2 dapat memperburuk dan meningkatkan insiden

terjadinya gangguan pendengaran akibat rusaknya koklea sebagai end organ. Hal ini

dibuktikan dengan banyaknya jumlah sel rambut dalam koklea yang hilang pada

kelompok hewan percobaan hipertensi dengan diabetes dibanding kelompok

normotensi dengan diabetes dan kelompok normotensi tanpa diabetes.

Meskipun teori menyatakan hipertensi bersama dengan diabetes melitus

meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural, masih terdapat

beberapa penelitian dengan hasil yang berbeda. Limardjo dkk. (2011) melaporkan

hasil hipertensi pada diabetes signifikan untuk gangguan pendengaran sedangkan

Bainbridge dkk. (2010) dan Israel dkk. (2012) melaporkan hasil tidak signifikan.

Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya

dengan audiometri nada murni. Audiometri nada murni adalah dasar dari evaluasi

pendengaran dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius, mulai

dari telinga luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004). Berbagai

penelitian di atas menggunakan audiometri nada murni untuk mengukur ambang

pendengaran pada penderita diabetes melitus.

Penelitian gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus tipe 2

belum pernah dilaksanakan di RSUP Sanglah Denpasar. Saat ini, pelayanan pasien

diabetes pada RSUP Sanglah dipusatkan pada diabetes centre yang khusus melayani

pasien diabetes karena diabetes dengan komplikasinya membutuhkan pelayanan

komprehensif yang meliputi berbagai bidang. Penelitian ini menarik untuk

dilaksanakan karena literatur telah menyebutkan gangguan pendengaran sebagai

akibat dari diabetes melitus dengan berbagai faktor risiko yang masih diteliti.

Hubungan antara durasi, kendali glikemik dan risiko pada hipertensi dengan

gangguan pendengaran berdasarkan pengukuran audiometri nada murni menarik

untuk diketahui guna pencegahan dini gangguan pendengaran.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah durasi menderita diabetes melitus tipe 2 ≥ 10 tahun meningkatkan risiko

gangguan pendengaran sensorineural?

2. Apakah kendali glikemik buruk dengan kadar HbA1C > 7 % pada penderita

diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural?

3. Apakah hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko

gangguan pendengaran sensorineural?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Penelitian

Untuk mengetahui faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya gangguan

pendengaran sensorineural pada penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUP Sanglah,

Denpasar.

1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian.

1.Untuk mengetahui durasi menderita diabetes melitus tipe 2 ≥ 10 tahun

meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural.

2.Untuk mengetahui kendali glikemik buruk dengan HbA1C > 7 % meningkatkan

risiko gangguan pendengaran sensorineural.

3.Untuk mengetahui hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan

risiko gangguan pendengaran sensorineural.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dalam bidang ilmiah dapat meningkatkan pengetahuan tentang faktor yang

meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural pada penderita

diabetes melitus tipe 2.

2. Dalam bidang pelayanan, hasil penelitian dapat diaplikasikan dalam usaha

meningkatkan kewaspadaan penderita diabetes melitus tipe 2 terhadap gangguan

pendengaran sensorineural dengan screening pendengaran berkala dan intervensi

bila diperlukan.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran, dilaporkan oleh lebih dari 17% populasi dewasa di

Amerika Serikat, adalah masalah kesehatan publik yang perlu dikhawatirkan karena

menyangkut lebih dari 36 juta penduduk (Bainbridge dkk., 2008). Gangguan

pendengaran mengakibatkan penurunan fungsi komunikasi dan penurunan kualitas

hidup bagi penderitanya.

Tuli dibagi menjadi tuli konduksi, tuli sensorineural dan tuli campuran. Tuli

konduksi disebabkan oleh gangguan pada telinga luar dan telinga tengah, umumnya

tidak melebihi 60 dB. Sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli

sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea. Pada tuli

sensorineural kelainan terletak pada koklea, nervus VIII atau di pusat pendengaran.

Kasus tuli koklea lebih banyak daripada retrokoklea. Tuli campuran merupakan

kombinasi gangguan pendengaran konduksi dan sensorineural (Lee, 2003).

Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes melitus bisa merupakan

tuli konduksi atau sensorineural. Tuli konduksi yang terjadi adalah sekunder akibat

peningkatan insiden infeksi pada telinga luar dan tengah (Irwin, 1987). Sedangkan

tuli sensorineural pada diabetes melitus terjadi akibat proses patologis pada telinga

dalam dengan patofisiologi yang masih kontroversi.

Gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus pertama kali

dilaporkan oleh Jordao dalam bentuk laporan kasus pada tahun 1857 (Booth, 1987).

Setelah itu, terdapat banyak penelitian yang membuktikan adanya risiko gangguan

pendengaran sensorineural akibat diabetes melitus (Ezeddin dkk., 2003; Sakuta dkk.,

2006; Bainbridge dkk., 2008; Rajendran dkk., 2011; Limardjo dkk., 2011).

Saat ini, gangguan pendengaran sebagai akibat diabetes melitus tipe 2 telah

dipublikasikan secara luas pada Standards of Medical Care in Diabetes yang

diterbitkan oleh American Diabetes Association, 2012. Agar dapat memahami

gangguan pendengaran, di bawah ini diuraikan anatomi dan fisiologi pendengaran.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran

Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar

terdiri atas daun telinga dan liang telinga. Telinga luar dan tengah menghantarkan

suara ke koklea, yang memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum suara ditransduksi

oleh sel rambut menjadi kode neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar

terdapat konka yang paling penting secara akustik (Moller, 2006).

Sepertiga bagian lateral dari liang telinga adalah tulang rawan. Mengandung

kelenjar seruminosa dan kelenjar rambut. Bagian dua pertiga medial liang telinga

meliputi tulang. Liang telinga berbentuk tuba yang terbuka pada satu ujung dan

tertutup pada sisi lainnya, dikatakan sebagai resonator seperempat gelombang (Mills

dkk., 2006).

Telinga tengah merupakan rongga berisi udara yang terbagi atas kavum timpani

dan air cell mastoid (Probst dkk., 2006). Telinga tengah terdiri dari membran timpani

dan 3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes. Di dalam telinga tengah juga

terdapat dua otot kecil yaitu m. tensor timpani yang melekat pada manubrium maleus

dan m. stapedius yang melekat pada stapes. M. tensor timpani dipersarafi oleh n.

trigeminus sedangkan m. stapedius dipersarafi oleh n. fasialis. Korda timpani adalah

cabang n. fasialis yang berjalan menyeberangi rongga telinga tengah. Tuba

Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan faring (Moller, 2006).

Membran timpani berbentuk agak oval dan merupakan selaput tipis pada ujung

liang telinga. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung bila dilihat dari

liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars tensa dan bagian

kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak di atas manubrium maleus.

Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang berlanjut dari kulit liang

telinga. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau protimpanum yang berlokasi

dekat rongga telinga tengah dan bagian tulang rawan yang membentuk celah tertutup

saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006).

Telinga dalam atau labirin terletak di dalam tulang temporal, terdiri dari koklea dan

vestibular, Koklea atau rumah siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari

3 buah kanalis semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang terisi cairan yaitu skala

vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah koklea,

dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran

basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ Corti yang mengandung sel rambut (Moller,

2006).

Gambar 2.1 Anatomi Telinga (dikutip dari Ganong, 2009)

Organ Corti adalah organ sensori yang terstruktur baik. Terdapat 1 baris sel rambut

dalam dan 3 baris sel rambut luar pada bagian atas membran basilar dengan berbagai sel

pendukung yang bervariasi. Sel rambut adalah sel reseptor sensori dari pendengaran dan

keseimbangan serta sel yang paling penting dalam telinga dalam. Sel rambut memiliki

mekanoreseptor khusus yang mengubah stimulus mekanik yang berkaitan dengan

pendengaran dan keseimbangan menjadi informasi neural yang diteruskan ke otak (Oghalai

dan Brownell, 2004).

Koklea pada manusia membentuk 2 ½ sampai 2 ¾ putaran dimana panjang

keseluruhannya sekitar 3,1-3,3 cm dan tinggi sekitar 0,5 cm (Moller, 2006). Koklea adalah

bagian telinga yang paling penting dan bisa dimengerti apa yang terjadi dalam koklea bisa

mengakibatkan banyaknya kunci permasalahan pendengaran. Koklea terisi oleh cairan yang

hampir tidak bertekanan dan juga memiliki dinding tulang yang kaku. Terbagi dua

panjangnya oleh dua membran, yaitu membran Reissner dan membran basilar (Mills dkk.,

2006).

Gambar 2.2 Potongan Melintang Koklea (dikutip dari Mills dkk., 2006)

Energi akustik memasuki koklea melalui kerja seperti piston dari kaki stapes pada

tingkap lonjong dan diteruskan langsung pada perilimfe dari skala vestibuli. Perilimfe dari

skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe dari skala timpani melalui sebuah bukaan kecil

dari apeks koklea yang dikenal sebagai helikotrema (Mills dkk., 2006).

Ketika tingkap lonjong bergerak dengan adanya suara, perbedaaan tekanan

diaplikasikan menyeberangi membran basilar, yang mengakibatkan pergerakan

membran basilar. Perbedaan tekanan dan pola pergerakan membran basilar

memerlukan waktu untuk berkembang dan bervariasi tergantung panjangnya

membran basilar. Pola yang muncul tidak tergantung pada ujung mana dari koklea

yang distimulasi (Mills dkk., 2006).

Telinga luar diperdarahi oleh cabang aurikulotemporal a. temporalis superfisial di

bagian anterior, dan di bagian posterior diperdarahi oleh cabang aurikuloposterior a. karotis

eksterna. Kavum timpani diperdarahi oleh berbagai cabang a. karotis eksterna (a.meningea

media, a. faringeal ascenden, a.maksilaris dan a. stilomastoid). Telinga dalam diperdarahi

oleh a. labirin yang berasal dari a. antero inferior cerebellar atau a. basilaris. Arteri labirin ini

berjalan bersama n. vestibulokoklearis melalui kanalis auditorius internus, yang kemudian

terbagi menjadi a. vestibularis dan a. koklearis (Probst dkk., 2006). Arteri labirin adalah end-

artery dengan sedikit atau tanpa suplai darah kolateral ke koklea. Penting untuk dicatat

bahwa a. labirin yang berjalan di kanalis auditorius internus bukan arteri tunggal namun

berupa beberapa arteriol kecil, hampir seperti pleksus arteri (Moller, 2006).

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga

dalam bentuk gelombang suara dan liang telinga meneruskan gelombang ini yang

akan menggetarkan gendang telinga. Daun telinga juga membantu lokalisasi suara

dan lebih efisien dalam menyampaikan suara frekuensi tinggi dibanding frekuensi

rendah. Gelombang suara yang mencapai gendang telinga akan berjalan sepanjang

rantai pendengaran yang terdiri dari tulang inkus, maleus dan stapes. Gendang telinga

dalam rantai pendengaran paling efisien mentransmisikan suara antara 500 Hz dan

3000 Hz yang merupakan frekuensi yang paling penting untuk mengerti percakapan

(Lee, 2003).

Dalam penerimaan bunyi, proses transmisi dibedakan menjadi dua bagian sesuai

organ penerima, yaitu transmisi aerodinamik dimana stimulus bunyi berpindah dari

liang telinga ke membran timpani dan dari membran timpani ke tulang pendengaran.

Transmisi yang kedua adalah transmisi hidrodinamik yaitu stimulus bunyi berpindah

dari foramen ovale ke telinga dalam melalui cairan perilimfe dan endolimfe (Mills

dkk., 2006).

Telinga tengah mentransformasikan energi akustik dari media udara ke media

cairan. Ini adalah sistem pencocokan impedans untuk memastikan energi tidak hilang.

Dengan bergetarnya membran timpani, rantai pendengaran akan bergerak 1 rotasi

aksis dari processus anterior maleus melewati processus inkus. Dan ketika energi

suara mencapai tingkap lonjong, koklea mentransformasikan sinyal dari energi

mekanik menjadi energi hidrolik dan akhirnya sel-sel rambut menjadi energi

bioelektrik. Sejalan dengan keluar dan masuknya footplate stapes dari tingkap

lonjong, sebuah gelombang yang berjalan diciptakan dalam koklea melalui teori

gelombang Bekessy (Lee, 2003).

Sepanjang perjalanan gelombang melalui koklea, gelombang ini mengakibatkan

pergerakan membran basilar dan membran tektorial. Perbedaan gerakan kedua

membran mengakibatkan terlipatnya sel rambut stereosilia. Lipatan ini

mendepolarisasi sel rambut yang akibatnya memulai impuls aferen saraf (Lee, 2003).

Gelombang suara berjalan dari dasar ke apeks sepanjang membran basilar

sampai gelombang mencapai maksimum. Perjalanan gelombang ini ditentukan oleh

interaksi frekuensi suara dan membran basilar. Sel rambut luar mudah bergerak,

bereaksi mekanik pada sinyal yang datang dengan memendek dan memanjang

tergantung karakteristik frekuensi. Sel rambut luar adalah bagian dari umpan balik

mekanisme aktif, menyesuaikan kekuatan fisik dari membran basilaris sehingga

frekuensi yang diberikan secara maksimal menstimulasi sel rambut dalam (Lee,

2003).

Neuron frekuensi tertentu mentransmisikan kode neural dari sel rambut ke sistem

auditorius. Sekali impuls saraf terinisiasi, sinyal ini akan berjalan sepanjang jaras

pendengaran dari sel ganglion spiral dalam koklea ke modiolus, dimana serat ini

membentuk cabang koklea dari N. VIII. Lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius

sampai ke korteks pendengaran atau area 39-40 di lobus temporalis (Lee, 2003).

2.3 Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik kronis dengan ciri

hiperglikemia. Terdapat beberapa tipe diabetes melitus yang disebabkan interaksi

kompleks antara faktor genetika dan lingkungan. Faktor yang mengakibatkan

hiperglikemia termasuk menurunnya sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa

dan peningkatan produksi glukosa (Powers, 2008).

World Health Organization atau WHO memperkirakan terdapat lebih dari 180

juta penderita diabetes melitus di seluruh dunia. Prevalensi diabetes melitus di

seluruh dunia meningkat dengan cepat dan diperkirakan akan mengalami peningkatan

dua kali lipat dalam 20 tahun mendatang. Meskipun prevalensi diabetes melitus tipe 1

dan tipe 2 menunjukkan kecenderungan meningkat di seluruh penjuru dunia,

prevalensi diabetes melitus tipe 2 meningkat lebih cepat dibanding diabetes melitus

tipe 1. Hal ini disebabkan meningkatnya kasus obesitas dan berkurangnya aktivitas

gerak manusia sejalan dengan berkembangnya negara menuju negara industrialisasi.

Gangguan metabolik akibat diabetes melitus mengakibatkan perubahan patofisiologi

sekunder dalam banyak sistem organ sehingga menjadi beban berat bagi penderita

dan sarana pelayanan kesehatan (Powers, 2008).

2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association 2012, klasifikasi diabetes melitus

mencakup empat gejala klinis yaitu: 1) Diabetes melitus tipe 1 yaitu akibat destruksi

sel beta yang mengakibatkan defisiensi insulin yang absolut 2) Diabetes melitus tipe

2 yaitu akibat gangguan sekresi insulin yang progresif sehingga terjadi resistensi

insulin 3) Diabetes spesifik karena sebab yang lain misalnya karena kelainan genetik

fungsi sel beta, kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas

seperti pada kistik fibrosis dan diabetes yang dicetuskan akibat obat atau bahan kimia

seperti pada terapi AIDS atau setelah transplantasi organ 4) Diabetes Melitus

Gestasional atau GDM yaitu diabetes melitus yang terdiagnosis dalam kehamilan.

Diabetes melitus tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Melitus

disingkat NIDDM, sebelumnya disebut diabetes dengan onset dewasa. Tipe ini adalah

tipe yang paling sering terjadi. Pada tipe ini disposisi genetik juga berperan penting,

namun terdapat defisiensi insulin relatif dan penderita tidak mutlak bergantung pada

asupan insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal atau meningkat, tetapi organ

target memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin (Waspadji, 2006).

Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki berat badan berlebih

atau obesitas. Obesitas terjadi karena adanya disposisi genetik, asupan makanan yang

terlalu banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara

asupan dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak dalam darah.

Hal ini menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak, akibatnya terjadi

resistensi insulin yang meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun

pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat (Waspadji, 2006).

2.3.2 Gejala diabetes melitus

Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus terkait dengan kerusakan, disfungsi,

kegagalan berbagai organ jangka panjang terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan

pembuluh darah. Gejala hiperglikemia berupa poliuria, polidipsi, berat badan

menurun, kadang-kadang polifagia dan penglihatan kabur. Gangguan pertumbuhan

dan infeksi sering terjadi akibat komplikasi kronis hiperglikemia. Diabetes melitus

tipe 2 sering kali tidak terdiagnosis sampai terjadi komplikasi, dan sekitar sepertiga

penderita dengan diabetes melitus tidak terdiagnosis (Powers, 2008).

Diabetik neuropati muncul pada kurang lebih 50% individu dengan diabetes

melitus tipe 1 dan tipe 2. Manifestasinya bisa berupa polineuropati, mononeuropati

dan atau neuropati otonom. Seperti komplikasi lainnya, neuropati berkorelasi dengan

durasi diabetes melitus dan terkendalinya kadar gula darah. Faktor risiko lain yang

meningkatkan risiko neuropati adalah peningkatan Indeks Massa Tubuh atau IMT

dan merokok. Adanya penyakit kardiovaskuler, peningkatan trigliserida dan

hipertensi juga berkaitan dengan neuropati diabetik perifer. Bentuk neuropati yang

paling umum adalah polineuropati distal yang bersifat simetris. Keluhan yang paling

sering adalah penurunan sensibilitas distal, tetapi lebih dari 50% penderita tidak

memiliki gejala tersebut. Keluhan lain yang mungkin adalah hiperestesi, parestesi dan

disestesi. Keluhan berupa rasa tebal, kesemutan, rasa tajam atau seperti terbakar yang

dimulai dari telapak kaki dan menyebar ke proksimal (Power, 2008).

2.3.3 Diagnosis diabetes melitus

Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut ADA (2012) adalah sebagai berikut:

1) HbA1C ≥ 6, 5 % atau 2) Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl atau 3) 2 jam PP ≥ 200

mg/dl atau 4) Gula Darah Sewaktu ≥ 200 mg/dl pada pasien dengan gejala klasik

hiperglikemia. Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai

glikohemoglobin, atau hemoglobin glikolasi, disingkat HbA1C merupakan cara yang

digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 sampai 12 minggu sebelumnya. Tes

ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.

Pemeriksaan HbA1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam

setahun (Konsensus DM, 2011).

2.3.4 Komplikasi kronis diabetes melitus

Pada pasien diabetes melitus, semua sel pada tubuh terpapar akibat tingginya

kadar glukosa plasma tetapi telah diobservasi bahwa gejala komplikasi hanya muncul

pada beberapa organ. Hal ini bisa disebabkan beberapa komplikasi tidak dikenal atau

hanya sel tertentu yang dipengaruhi oleh hiperglikemia. Organ Corti sebagai organ

pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan struktur yang menjadi target

organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah dan Srinivas, 2011).

Komplikasi kronis diabetes melitus bisa terbagi menjadi komplikasi vaskuler dan

non vaskuler. Komplikasi vaskuler terbagi menjadi komplikasi mikrovaskuler seperti

retinopati, neuropati, nefropati dan makrovaskuler seperti penyakit arteri koroner,

penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskuler. Komplikasi nonvaskuler mencakup

gastroparesis, infeksi dan perubahan kulit (Powers, 2008).

Komplikasi mikrovaskuler baik pada tipe 1 ataupun tipe 2 dari diabetes melitus

disebabkan oleh hiperglikemia kronis. Sebuah studi Randomized Clinical Trial telah

menunjukkan bahwa penurunan hiperglikemia kronis menurunkan atau menunda

terjadinya retinopati, neuropati dan nefropati. Beberapa pasien diabetes melitus tidak

menderita nefropati atau retinopati meskipun dengan kadar gula darah yang sama

dengan pasien komplikasi mikrovaskuler lain, sehingga dicurigai adanya faktor

genetika sebagai penyebab komplikasi tertentu. Diabetes melitus kronis bisa

mengakibatkan gangguan pendengaran (Powers, 2008).

Di antara gangguan metabolisme glukosa lainnya, diabetes melitus disebut

sebagai penyakit yang paling sering dikaitkan dengan gangguan pendengaran.

(Rajendran dkk., 2011). Bahkan diabetes melitus disebutkan sebagai penyebab mayor

gangguan pendengaran sensorineural (Slenkovich, 1996).

Selain metabolisme

karbohidrat, diabetes melitus juga mempengaruhi metabolisme lipid dan protein.

Meskipun penyebab diabetes melitus bervariasi, manifestasi yang paling umum

adalah hiperglikemia (Rajendran dkk., 2011).

Diabetes melitus adalah penyakit multisistem yang kompleks dan memerlukan

monitoring rutin untuk komplikasi yang sudah dikenal seperti komplikasi ke ginjal,

penglihatan dan sistem saraf tepi. Banyak penelitian yang telah menunjukkan adanya

peningkatan risiko gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus, tetapi

variabel pengganggu seperti paparan bising, obat ototoksik, presbikusis dan gejala

lain yang juga mempengaruhi metabolisme glukosa dan fungsi koklea membuat sulit

untuk menegakkan hubungan ini (Hirose, 2008).

Untuk mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian diabetes

melitus yang baik dan merupakan sasaran pengobatan. Diabetes terkendali baik,

apabila glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1C

juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian juga status gizi dan tekanan darah

(Konsensus DM, 2011).

2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Mengakibatkan Gangguan Pendengaran

Sensorineural

Sebelum tahun 1960, terdapat 3 teori utama yang disebutkan sebagai

patofisiologi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes yaitu

teori neuropati, angiopati dan gabungan teori neuropati angiopati (Taylor dan Irwin,

1978). Sampai saat ini ketiga teori tersebut di atas masih banyak diperdebatkan.

Angiopati pada telinga dalam mengakibatkan gangguan pendengaran baik secara

langsung dengan melibatkan suplai darah ke koklea akibat menurunnya transport

nutrisi sebagai akibat penebalan dinding kapiler maupun secara tidak langsung,

dengan cara menurunkan aliran darah melalui pembuluh darah yang menyempit atau

mengakibatkan degenerasi sekunder pada N. VIII (Taylor dan Irwin, 1978).

Neuropati sebagai penyebab utama gangguan pendengaran pada diabetes melitus

disebutkan oleh Friedman pada tahun 1975. Studi ini menyatakan bahwa PAS positif

dengan penebalan yang luas dan demielinisasi N.VIII berdasarkan studi histopatologi

yang dilaksanakan oleh Makishima dan Tanaka adalah patogenesis yang sangat

penting sebagai penyebab gangguan pendengaran. Sedangkan Maskihima dan Tanaka

menyatakan bahwa gangguan pendengaran pada diabetes disebabkan oleh degenerasi

saraf dan lesi vaskuler merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan

degenerasi saraf (Taylor dan Irwin, 1978).

Satu kemungkinan adalah perubahan mikrovaskuler yang sering mengakibatkan

nefropati dan retinopati, juga mempengaruhi vaskularisasi koklea. Perubahan

patologik yang menyertai diabetes melitus bisa melukai pembuluh darah atau sistem

saraf dari telinga dalam yang mengakibatkan gangguan pendengaran sensorineural

(Bainbridge dkk., 2008).

Studi Lisowska dkk. (2001) menyatakan bahwa gangguan pendengaran akibat

diabetes melitus bisa terjadi akibat mikroangiopati pada telinga dalam, degenerasi

neuronal atau ensefalopati diabetik tetapi bisa juga akibat gangguan metabolisme

glukosa dan mekanisme hiperaktivitas pada radikal oksigen bebas. Perubahan

patologis dan gangguan metabolisme bisa berakibat gangguan pada koklea,

retrokoklea atau kombinasi koklea-retrokoklea.

Studi histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada saraf dan pembuluh

darah telinga dalam pada individu dengan diabetes melitus. Pembuluh darah

membran basilaris dan striae vaskularis terbukti lebih tebal pada penderita diabetes

melitus. Selain penebalan pembuluh darah, striae vaskularis yang atrofi dan hilangnya

sel rambut luar mengakibatkan adanya gangguan pendengaran. Perubahan vaskular

ini telah diteorikan sebagai penyebab penting degenerasi saraf pada sistem auditori.

Studi ini menyimpulkan mikroangiopati pada koklea, degenerasi striae vaskularis dan

hilangnya sel rambut luar pada koklea sebagai penyebab gangguan pendengaran pada

penderita diabetes melitus tipe 2 (Fukushima dkk., 2006). Dengan adanya perubahan

histopatologi ini, maka gangguan pendengaran yang ditemukan pada audiometri bisa

berupa tipe sensori, tipe neural atau gabungan sensori dan neural (Irwin, 1987).

2.4.1 Mekanisme komplikasi

Koklea terutama striae vaskularisnya, adalah organ yang sangat tergantung pada

mikrovaskuler. Permeabilitas endotel yang meningkat bisa mengakibatkan perubahan

pada keseimbangan elektrolit pendengaran dalam endolimfe yang berakibat tranduksi

sel-sel rambut dan transmisi signal (Frisina dkk., 2006). Sedangkan organ Corti

sebagai organ pendengaran memiliki komponen yang kompleks dan menjadi target

organ yang berpotensial rusak akibat hiperglikemia (Pemmaiah dan Srinivas, 2011).

Meskipun hiperglikemia kronis adalah faktor penyebab penting terjadinya

komplikasi diabetes melitus, mekanisme pasti yang mengakibatkan disfungsi

bermacam sel dan organ belum jelas diketahui. Empat teori telah dipakai untuk

menjelaskan hal ini yaitu: 1) Peningkatan glukosa intrasel mengakibatkan

pembentukan advanced glycosylation end products atau AGEs melalui non enzim

glikolasi dari protein intra dan ekstraselular, 2) hiperglikemi meningkatkan

metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol, 3) hiperglikemia meningkatkan

pembentukan diasilgliserol yang mengakibatkan aktvasi protein kinase C atau PKC,

4) Hiperglikemi meningkatkan aliran darah melalui jalur heksosamin, yang

menyebabkan terbentuknya fruktosa 6 fosfat, sebuah bahan yang menghasilkan

produk glikosilasi O- linked dan proteoglikan (Powers, 2008).

Sedangkan menurut Frisina dkk. (2006), hiperglikemi mengakibatkan perubahan

biokimia dalam sistem metabolik penderita. Tiga konsekuensi utama berupa

pemecahan non enzimatik, aktivasi jalur polyol dan generasi Reactive Oxygen

Species atau ROS. Meskipun semua individu dengan proses penuaan mengalami

proses fisiologik abnormal yang sama seperti oksidasi yang meningkat, glikasi dan

meningkatnya produk akhir selama metabolisme oksidatif, proses ini terjadi lebih

cepat pada penderita diabetes melitus. Dengan kata lain terjadi penuaan dini akibat

diabetes melitus. Diagram di bawah ini menunjukkan jalur biokimiawi penurunan

pendengaran terhadap sensori end organ seperti koklea pada diabetes melitus tipe 2.

Hiperglikemia

Stress oksidatif AGEs Diasilgliserol

Aktivasi Protein Kinase C (PKC)

Komplikasi Vaskuler Perubahan Selular Gangguan metabolik

pembentukan NO perubahan kolagen IV produksi amadori

Permeabilitas endotel akumulasi matriks sel produksi Schiff

Penebalan endotel degradasi matiks sel radikal bebas

Aktivitas TGFβ formasi mikrotubulus Na/K+/ATPase

Ekspresi VEGF protein cross-linking intrasel Polyol pathway

Ekspresi VPF protein cross-linking intersel Reaksi Maillard

Aterosklerosis strand DNA tunggal pecah

Perfusi endoneurial PNS myelin protein glycated

Gangguan pendengaran

Gambar 2.3 Diagram jalur biokimiawi penurunan pendengaran terhadap

sensori end organ seperti koklea pada diabetes melitus tipe 2 (dikutip dari

Frisina dkk., 2006)

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada

diabetes melitus

Berbagai penelitian juga dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran sensorineural pada penderita

diabetes melitus seperti durasi, kendali glikemik yang dinilai melalui angka HbA1C,

umur, jenis kelamin, hipertensi dan komplikasi diabetes melitus. Semua penelitian ini

masih dengan hasil yang berbeda-beda.

Faktor yang diduga berpengaruh terhadap gangguan pendengaran banyak diteliti.

Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik dengan

berbagai variasi hasil. Karena hipertensi merupakan salah satu penyebab gangguan

pendengaran sensorineural dan penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya disertai

hipertensi, maka dalam penelitian ini hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga

diukur untuk mengetahui adanya faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes

tanpa hipertensi.

Dalam penelitian Limardjo dkk. (2011) dibuktikan bahwa umur memberikan

peranan terhadap kejadian gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus

tipe 2. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi umur akan meningkatkan risiko

terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Sedangkan penelitian Mozzafari

dkk. (2010) melaporkan tidak adanya hubungan antara umur mulainya diabetes dan

gula darah puasa dengan gangguan pendengaran. Dalam penelitian ini, umur

dikendalikan sehingga sampel hanya diambil yang berumur maksimal 60 tahun untuk

menghindari bias dengan presbikusis dan dilakukan matching umur antara kelompok

kasus dan kelompok kontrol.

Mengenai predileksi jenis kelamin gangguan pendengaran akibat diabetes

melitus, Taylor dan Irwin (1978) memperhatikan bahwa risiko gangguan

pendengaran pada perempuan dengan diabetes melitus tipe I secara signikan lebih

tinggi. Sedangkan studi oleh Bener dkk. (2008) menyatakan pada pasien diabetes

melitus tipe II yang berusia lebih dari 50 tahun, risiko gangguan pendengaran pada

pria lebih tinggi dibanding wanita. Dan studi Rajendran dkk. (2011) melaporkan tidak

adanya peningkatan risiko pada diabetes melitus tipe II berdasar predileksi kelamin.

Dalam penelitian ini jenis kelamin dikendalikan dengan matching antara kelompok

kasus dan kelompok kontrol.

Faktor genetika juga mempengaruhi gangguan pendengaran sensorineural pada

populasi kecil dengan diabetes melitus (Kakarlapudi dkk., 2003). Penderita dengan

Maternally Inherited Diabetes and Deafness (MIDD) dan penderita dengan miopati,

ensefalopati, asidosis laktat dan stroke - like episode (MELAS) menunjukkan

diabetes dan gangguan pendengaran akibat mutasi mitokondria DNA A3243G

(Takeshima dan Nakashima, 2005). Penyakit MIDD umumnya terdeteksi pada usia

dewasa muda dengan range usia yang besar untuk saat mulainya penyakit. Dalam

penelitian ini, faktor genetika sebagai faktor yang mempengaruhi gangguan

pendengaran sensorineural tidak diukur. Riwayat gangguan pendengaran dalam

keluarga hanya berdasar anamnesis yang didapat dari penderita.

2.4.2.1 Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan

pendengaran sensorineural

Diabetes melitus adalah penyakit yang bersifat kronis, hanya bisa dikendalikan.

Efek hiperglikemia kronis menimbulkan terjadinya komplikasi. Risiko komplikasi

pada diabetes melitus meningkat sejalan dengan kronisnya penyakit (Powers, 2008).

Durasi menderita diabetes melitus diperkirakan berkaitan dengan risiko gangguan

pendengaran melalui dasar pemikiran bahwa diabetes dengan kondisi hiperglikemia

kronis mengakibatkan komplikasi pada banyak organ dan salah satunya adalah organ

pendengaran.

Durasi dengan gangguan pendengaran banyak diteliti dengan berbagai variasi

hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011) mendapatkan hasil adanya hubungan

antara durasi menderita diabetes melitus ≥ 10 tahun dengan gangguan pendengaran (p

= 0, 00). Penelitian Mozzafari dkk. (2010) melaporkan durasi menderita diabetes

melitus yang mengakibatkan gangguan pendengaran adalah 11.7 ± 7, 6 tahun (p <

0.001). Sedangkan penelitian Panchu (2009) mendapatkan hasil yang berlawanan

dengan hasil Limardjo dkk. (2011) serta Mozzafari dkk. (2010) yaitu durasi

menderita diabetes melitus lebih dari 10 tahun tidak mempengaruhi ambang

pendengaran pada penderitanya.

2.4.2.2 Kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan

risiko gangguan pendengaran sensorineural

Kendali glikemik yang optimal sangat penting. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali glikemik yang optimal (Konsensus

DM, 2011). Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) melaporkan bahwa

perbaikan kendali glikemik yang dinilai melalui nilai HbA1C menurunkan angka

kejadian retinopati sebanyak 47 %, mikroalbuminuria 39 %, nefropati 54 %, dan

neuropati 60%. Kendali glikemik yang baik juga menurunkan angka komplikasi dini.

Perbaikan kendali glikemik dilaporkan melalui rata-rata nilai HbA1C longitudinal.

Tujuan terapi adalah sebisa mungkin mencapai nilai HbA1C yang disarankan tanpa

meningkatkan risiko hipoglikemia pada penderitanya.

Sedangkan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) melaporkan

setiap poin penurunan persentase HbA1C berkaitan dengan 35 % penurunan risiko

komplikasi mikrovaskuler. Perbaikan kendali glikemik juga mengakibatkan

perbaikan profil lipoprotein seperti trigliserida dan peningkatan HDL. Durasi dan

kendali glikemik disebut sebagai prediktor terbaik terjadinya retinopati (Powers,

2008).

Hemoglobin terglikolasi, sering disebut glikohemoglobin, HbA1C atau A1C

adalah sebuah terminologi yang dipakai untuk menjelaskan serangkaian komponen

minor hemoglobin yang stabil dan terbentuk lambat, secara nonenzimatik dari

hemoglobin dan glukosa (Goldstein dkk., 2004). Konsentrasi HbA1C yang terbentuk

melalui perlekatan non enzimatik glukosa pada hemoglobin secara umum menandai

nilai rata-rata glukosa dalam waktu 8-12 minggu, periode sesuai dengan siklus hidup

eritrosit (Nathan dkk., 2007).

Nilai HbA1C merupakan cermin rata-rata kadar gula darah dalam beberapa bulan

dan merupakan prediktor kuat terhadap komplikasi diabetes melitus (Sacks dkk.,

2002; Stratton dkk., 2000). Nilai HbA1C ≤ 7 % telah terbukti menurunkan

komplikasi mikrovaskuler dan pemeriksaan nilai HbA1C rutin setelah diagnosis

ditegakkan dapat menurunkan risiko jangka panjang makrovaskuler (ADA, 2012).

Nilai HbA1C juga memiliki beberapa keterbatasan karena adanya kondisi

tertentu yang mempengaruhi siklus pergantian eritrosit seperti hemolisis dan riwayat

perdarahan disertai varian hemoglobin. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan

tidak tersedianya data HbA1C yang serial, maka nilai HbA1C penderita dalam kurun

waktu 3 bulan terakhir sebelum waktu pemeriksaan diambil mewakili nilai HbA1C.

Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan

pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009;

Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak

signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo

dkk., 2011).

2.4.2.3 Hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko

gangguan pendengaran sensorineural

Semua sel dalam tubuh manusia membutuhkan suplai oksigen yang cukup dan

nutrisi dalam menjalankan fungsinya. Semua suplai ini tergantung pada integritas

organ, struktur jantung dan pembuluh darah. Hipertensi sebagai kelainan pembuluh

darah yang paling umum bisa berakibat perubahan struktur pada jantung dan

pembuluh darah. Tekanan yang tinggi pada sistem vaskularisasi bisa mengakibatkan

perdarahan pada telinga dalam yang mengakibatkan gangguan pendengaran yang

bersifat progresif atau mendadak. Kelainan pada sistem sirkulasi bisa berakibat

langsung pada pendengaran melalui berbagai cara. Salah satunya adalah melalui

peningkatan viskositas darah yang akan menurunkan aliran kapiler darah dan

berakibat penurunan transpor oksigen, kemudian mengakibatkan hipoksia jaringan

dan gangguan pendengaran. Selain itu hipertensi juga mengakibatkan perubahan ion

dalam potensial sel yang juga mengakibatkan gangguan pendengaran (Marchiori

dkk., 2006).

Pada studi eksperimental dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan

didapatkan hasil adanya perubahan potensial aksi, elektrokimia dan konsentrasi

kalium pada koklea tikus percobaan dengan hipertensi dibanding kelompok

normotensi. Sejalan dengan umur, kelompok tikus percobaan dengan hipertensi

menunjukkan peningkatan ambang potensial aksi, potensial elektrokimia dan

peningkatan konsentrasi kalium bukan hanya pada sel endolimfatik tetapi juga pada

sel perilimfatik. Data ini menunjukkan perubahan ion pada sel potensial aksi ikut

terlibat dalam penurunan pendengaran kelompok tikus percobaan dengan hipertensi

(Marchiori dkk., 2006).

Hipertensi bersama dengan diabetes melitus meningkatkan risiko terjadinya

gangguan pendengaran sensorineural juga diukur pada beberapa penelitian. Limardjo

dkk. (2011) melaporkan hasil hipertensi signifikan untuk gangguan pendengaran

dengan p = 0.001 sedangkan hasil penelitian Israel dkk. (2012) melaporkan hipertensi

tidak signifikan. Hubungan antara diabetes melitus dengan hipertensi juga dilaporkan

signifikan sesuai dengan adanya penelitian oleh Duck dkk. (1997) yang menemukan

bahwa hipertensi berinteraksi dengan diabetes melitus dalam patogenesis gangguan

pendengaran sensorineural.

2.5 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran

Pemeriksaan telinga dan pendengaran selalu wajib dimulai dengan anamnesis

yang mencakup riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat

penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Anamnesis

dilanjutkan dengan inspeksi yang menyeluruh dari daun telinga dan sekitarnya.

Dengan otoskopi kemudian dinilai kondisi liang telinga dan membran timpani (Probst

dkk., 2006) Pemeriksaan hidung, nasofaring dan jalan nafas atas perlu dilaksanakan

secara teliti.

Evaluasi pendengaran dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari

pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat

pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan alat khusus atau

kuantitatif misalnya dengan audiometri, Oto Acoustic Emission atau OAE, Auditory

Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State Response atau ASSR. Pada

berbagai penelitian untuk mendeteksi adanya gangguan pendengaran pada pasien

diabetes melitus umumnya memakai pemeriksaan audiometri nada murni (Ezeddin

dkk. 2003; Bainbridge dkk., 2008; Panchu, 2009; Rajendran dkk., 2011). Dalam

penelitian ini, gangguan pendengaran dievaluasi dengan menggunakan audiometri

nada murni.

2.5.1 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah pengukuran sensitivitas pendengaran dengan

frekuensi yang dimulai dari 250 Hz sampai 8000 Hz. Pemeriksaan ini adalah dasar

dari evaluasi pendengaran dan dilaksanakan dalam ruang kedap suara. Pemeriksaan

audiometri digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius mulai dari telinga

luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004).

Pada audiometri nada murni, ambang didapatkan baik melalui konduksi udara

maupun konduksi tulang. Pada pengukuran konduksi udara, perbedaan stimulus nada

murni yang berbeda-beda ditransmisikan melalui earphone. Sinyal melewati liang

telinga masuk ke dalam kavum timpani melalui tulang pendengaran ke koklea dan

kemudian menuju sistem auditorius pusat. Ambang konduksi udara menggambarkan

mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pada pengukuran konduksi

tulang, sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada

prominentia mastoid. Nada murni secara langsung menstimulus koklea setelah

melewati liang telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam

bentuk grafik yang menggambarkan ambang pendengaran dalam frekuensi (Bess dan

Humes, 2008).

Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel. Secara klinis, batas normal

untuk audiogram adalah 0-20 dB Hearing Level atau HL, dan 0-15 dB HL untuk

anak-anak (Hall dan Lewis, 2002). Sedangkan derajat gangguan pendengaran sesuai

World Health Organization atau WHO (1991) adalah ambang ≤ 25 dB dikategorikan

normal, ambang 26 - 40 dB dikategorikan gangguan pendengaran derajat ringan,

ambang 41 - 60 dB mencerminkan gangguan pendengaran sedang, ambang 61-80

dB dikategorikan gangguan pendengaran berat, ≥ 81 dB dikategorikan gangguan

pendengaran sangat berat. Frekuensi yang penting untuk mengerti percakapan adalah

diantara 500- 8000 Hz. Tipe gangguan pendengaran dijabarkan oleh perbandingan

antara konduksi udara dan tulang. Pada tuli konduksi, didapatkan hantaran tulang

yang normal dan gangguan terdapat pada hantaran udara sedangkan pada tuli

sensorineural tidak terdapat gap antara hantaran udara dan tulang (Hall dan Lewis,

2002).

2.6 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Sensorineural Akibat Diabetes

Melitus Tipe 2

Gangguan pendengaran dikatakan sebagai komplikasi yang kurang dikenal pada

penderita diabetes melitus, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penderita

diabetes melitus, maka diperkirakan kasus gangguan pendengaran juga akan semakin

banyak. Sedangkan deteksi dini gangguan pendengaran sangat penting dilaksanakan

karena gangguan pendengaran meningkatkan beban ekonomi secara signifikan dan

mengakibatkan penurunan kualitas hidup penderita.

Dalam literatur, diabetes melitus telah dinyatakan sebagai salah satu penyebab

tuli sensorineural, dan telah banyak penelitian yang menyatakan adanya peningkatan

risiko meskipun dengan patofisiologi yang masih banyak diperdebatkan. Faktor-

faktor risiko yang mempengaruhi banyak diteliti untuk usaha intervensi dini.

Gangguan pendengaran sensorineural adalah kondisi yang ireversibel secara umum.

Karena mayoritas kasus gangguan pendengaran sensorineural memiliki prognosis

yang buruk, tujuan utama pada penatalaksanaan gangguan pendengaran akibat

diabetes melitus adalah pencegahan gangguan pendengaran yang lebih berat dan

perbaikan fungsi pendengaran dengan rehabilitasi.

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir mengacu kepada kerangka teori bahwa diabetes melitus

dengan adanya hiperglikemia kronis menimbulkan gangguan pendengaran

sensorineural berdasarkan teori neuropati dan angiopati. Faktor-faktor risiko yang

berpengaruh terhadap terjadinya gangguan pendengaran sensorineural akibat diabetes

melitus berdasarkan beberapa penelitian adalah umur, jenis kelamin, durasi, kendali

glikemik dan hipertensi. Faktor genetika juga sebagai salah satu risiko gangguan

pendengaran pada populasi kecil diabetes melitus tetapi tidak diteliti dalam penelitian

ini akibat terbatasnya sarana pembuktian.

Dua faktor yang paling banyak diteliti adalah durasi beserta kendali glikemik

dengan berbagai variasi hasil penelitian. Umur berperan terhadap gangguan

pendengaran sensorineural dimana usia yang semakin tinggi akan meningkatkan

risiko. Dalam penelitian ini, umur dikendalikan sehingga sampel yang diambil

maksimal berumur 60 tahun saat diperiksa untuk menghindari bias presbikusis. Jenis

kelamin juga menunjukkan risiko yang berbeda dalam beberapa penelitian sehingga

dalam penelitian ini jenis kelamin dikendalikan dengan melakukan matching antara

kelompok kasus dengan kelompok kontrol.

Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 diperkirakan sebagai faktor risiko

gangguan pendengaran sensorineural dengan dasar pemikiran bahwa diabetes melitus

merupakan penyakit yang bersifat kronis. Risiko komplikasi gangguan pendengaran

akan semakin tinggi sejalan dengan kronisnya penyakit.

Komplikasi kronis gangguan pendengaran akibat diabetes melitus dapat dicegah

dengan kendali glikemik yang baik yaitu melalui indikator HbA1C dimana HbA1C

merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu

sebelumnya dan dianjurkan diperiksa setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

Nilai HbA1C ≤ 7 % telah terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler. Dalam

penelitian ini, HbA1C pasien yang ≤ 7 % dianggap kendali glikemik baik dan risiko

gangguan pendengaran sensorineural lebih tinggi pada pasien dengan kendali

glikemik buruk atau HbA1C > 7 %.

Penderita diabetes melitus umumnya disertai hipertensi dan hipertensi

berinteraksi dengan diabetes melitus terbukti meningkatkan risiko gangguan

pendengaran sensorineural dalam penelitian yang lain, maka dalam penelitian ini

hipertensi bersama dengan diabetes melitus juga diukur untuk mengetahui adanya

faktor risiko yang lebih tinggi dibanding diabetes tanpa hipertensi.

3.2 Konsep Penelitian

Konsep penelitian dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut:

Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Durasi menderita diabetes melitus tipe 2 yaitu ≥ 10 tahun meningkatkan risiko

gangguan pendengaran sensorineural.

2. Kendali glikemik buruk pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan HbA1C > 7

% meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural.

Diabetes Melitus

Faktor:

Durasi DM

Kendali glikemik (HbA1C)

Hipertensi

Keturunan

Umur

Jenis kelamin

Angiopati Neuropati

Gangguan Pendengaran Sensorineural

3. Hipertensi bersama dengan diabetes melitus tipe 2 meningkatkan risiko gangguan

pendengaran sensorineural.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan

rancangan kasus kontrol dimana kelompok kasus adalah penderita diabetes melitus

tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural sedangkan kelompok kontrol

adalah penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural.

Rancangan penelitian dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:

Matching

Jenis Kelamin

Umur

Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian

4 .2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di poliklinik THT-KL dan poliklinik Diabetic Centre

RSUP Sanglah Denpasar sejak 15 Agustus 2013 sampai 30 Desember 2013.

Penelitian dilakukan sesuai waktu pelayanan poliklinik rawat jalan RSUP Sanglah.

HbA1C

≤ 7 %

>7 %

Hipertensi

Tanpa hipertensi

Durasi

≥ 10 thn

< 10 thn

Kelompok Kasus

DM dengan SNHL

Kelompok Kontrol

DM tanpa SNHL

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi target penelitian adalah semua penderita diabetes melitus tipe 2.

Populasi terjangkau adalah penderita diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke

Poliklinik Diabetic Centre RSUP Sanglah Denpasar selama waktu penelitian.

4.3.2 Sampel Penelitian

Pengambilan sampel pada kelompok kasus dan kontrol dilakukan secara

konsekutif sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian

dimasukkan dalam sampel penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga terpenuhi

jumlah sampel yang diperlukan.

4.3.3 Kriteria Sampel

Kriteria kasus pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2 dengan

gangguan pendengaran sensorineural. Sedangkan kriteria kontrol pada penelitian ini

adalah penderita diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran sensorineural.

Kriteria kelompok kasus dan kelompok kontrol pada penelitian ini terdiri dari kriteria

inklusi dan kriteria eksklusi.

4.3.3.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1) Umur di bawah dan sama dengan

60 tahun, 2) Jenis kelamin laki-laki dan perempuan, 3) Penderita dengan riwayat

diabetes melitus tipe 2 berdasarkan diagnosis dokter di Diabetes Centre, RSUP

Sanglah, 4) Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi dan menandatangani

formulir lembar persetujuan, 5) Secara klinis kondisi umum pasien baik dan

memungkinkan dilakukan penelitian.

4.3.3.2 Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: 1) Pernah mengalami cedera kepala,

2). Sedang menderita radang akut pada telinga, hidung dan tenggorokan, 3) Pernah

menderita infeksi telinga tengah menahun atau penyakit telinga lain yang

menyebabkan gangguan pendengaran secara menetap, 4) Riwayat menggunakan

obat-obatan yang bersifat ototoksik dalam waktu lebih dari 3 bulan secara terus-

menerus, 5) Riwayat gangguan pendengaran usia muda pada orangtua yang bersifat

menurun, 6) Ada kelainan anatomi atau tumor pada daerah telinga, hidung dan

tenggorokan, 7) Riwayat paparan bising, 8) Pernah terpapar trauma ledakan bom,

dentuman atau letusan senjata api, 8) Riwayat anemia hemolitik dan paska

perdarahan akut.

4.3.4 Perhitungan Besar Sampel

Besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini dihitung

berdasarkan rumus studi kasus kontrol berpasangan (Madiyono dkk., 2010) yaitu :

n = [ Zα 2 + Zβ √ PQ ] 2 dimana P = R

(P- ½) (1+R)

Dalam penelitian ini ditentukan OR = 3, α = 0, 05 dan β = 0,10 maka:

n= [ 1, 96 2 + 1,282 √3/4 + 1/4 ] 2

3/4 – ½

n = 38 pasang sampel

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel

Variabel bebas : diabetes melitus tipe 2

Variabel tergantung : gangguan pendengaran sensorineural

Variabel perantara: durasi diabetes melitus tipe 2, kendali glikemik, hipertensi.

4.5 Definisi Operasional Variabel

a. Diabetes Melitus tipe 2: kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan

hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang progresif

sehingga terjadi resistensi insulin. Penelitian ini dibatasi pada subjek dengan

diagnosis diabetes melitus tipe 2 dari dokter di Diabetes Centre RSUP Sanglah.

b. Gangguan pendengaran sensorineural: tuli sensorineural dengan kelainan di

koklea atau nervus VIII yang mengakibatkan terhambatnya proses transmisi

impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Pada audiogram didapatkan ambang

pendengaran rata-rata pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz lebih dari 25

dB sesuai WHO (1991), konduksi udara dan tulang berimpit.

c. Pendengaran normal adalah pendengaran dimana pemeriksaan dengan

menggunakan audiometri nada murni didapatkan ambang pendengaran rata-rata

pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz adalah kurang dari dan sama

dengan 25 dB HL sesuai WHO (1991).

d. Umur adalah lama hidup yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang tercantum

pada rekam medis penderita dalam satuan tahun berdasarkan Kartu Tanda

Penduduk atau Surat Ijin Mengemudi. Dalam penelitian ini dibatasi pada

penderita diabetes melitus tipe 2 yang berusia kurang dari dan sama dengan 60

tahun untuk menghindari adanya bias presbikusis yaitu penurunan pendengaran

akibat usia. Dalam penelitian ini dilakukan matching umur antara kelompok

kontrol dengan kelompok kasus dengan range sebesar 5 tahun sehingga

didapatkan sampel kasus dan kontrol dengan kelompok umur 36-40 tahun, 41-45

tahun, 46-50 tahun, 51-55 tahun dan 56-60 tahun.

e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pada sampel sesuai dengan yang tertera pada

Kartu Tanda Pengenal atau sesuai dengan data diri pada berkas rekam medis

pasien di RSUP Sanglah. Dalam penelitian ini, sampel terdiri dari jenis kelamin

pria atau wanita, dilakukan matching pada jenis kelamin sampel antara

kelompok kasus dengan kelompok kontrol.

f. Keturunan adalah riwayat gangguan pendengaran usia muda pada orangtua

sampel. Dalam penelitian ini terbatas pada hasil anamnesis adanya riwayat

gangguan pendengaran usia muda yang bersifat menurun pada orang tua sampel.

g. Durasi menderita diabetes melitus adalah satuan waktu dalam tahun yang

dimulai sejak penderita terdiagnosis diabetes melitus berdasarkan hasil

anamnesis. Dalam penelitian ini dibuat dalam data kategorik yaitu < 10 tahun

dan ≥ 10 tahun.

h. Kendali glikemik adalah adanya kadar gula darah rata-rata dalam 8-12 minggu

terakhir dan dibuktikan dengan adanya nilai HbA1C yang berada dalam batasan

normal. Nilai rujukan HbA1C yang dipakai dalam penelitian ini adalah ≤ 7 %,

menyesuaikan dengan target pengendalian diabetes melitus dalam Konsensus

Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia (2011).

HbA1C merupakan pemeriksaan rutin yang dilaksanakan pada setiap pasien

diabetes melitus setiap 3 bulan di Diabetic Centre RSUP Sanglah. Nilai HbA1C

terakhir yang terdata dalam rekam medis dan dilakukan dalam kurun waktu ≤ 3

bulan sebelum pemeriksaan pendengaran dicatat sebagai HbA1C penderita dan

dibuat dalam data kategorik yaitu kendali glikemik baik yaitu ≤ 7 % dan kendali

glikemik buruk yaitu > 7 % sesuai Konsensus Pengendalian dan Pencegahan

Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia (2011).

i. Hipertensi adalah orang dengan tekanan darah ≥ 130/80 mmHg sesuai dengan

Konsensus DM 2011 atau terdiagnosis hipertensi dari dokter di Diabetic Centre

RSUP Sanglah. Dalam penelitian ini tidak dibedakan apakah hipertensi

terkontrol atau tidak terkontrol.

4.6 Bahan dan Alat Penelitian

1. Formulir persetujuan Informed Consent.

2. Kuesioner dan data penelitian.

3. Alat diagnostik seperti lampu kepala, otoskop, pengait serumen dan

perlengkapan spooling telinga.

4. Audiometer merek GSI 10.

5. Ruang kedap bunyi atau sound proof

4.7 Prosedur Kerja

4.7.1 Proses Pengumpulan Data

1. Semua pasien yang menderita diabetes melitus tipe 2 di Diabetes Centre RSUP

Sanglah diseleksi berdasarkan kriteria inklusi.

2. Subjek yang memenuhi syarat sebagai sampel berdasar kriteria inklusi dan setuju

menjadi sampel penelitian menandatangani lembar persetujuan. Identitas subjek

dicatat diikuti pertanyaan untuk kriteria eksklusi. Pertanyaan kriteria eksklusi

meliputi riwayat cedera kepala, keluar cairan telinga, paparan bising, paparan bom,

sedang menderita infeksi akut pada telinga, hidung dan tenggorokan, pemakaian

obat ototoksik, dan riwayat gangguan pendengaran orangtua pada usia muda.

3. Subjek yang memenuhi syarat akan menjalani pemeriksaan THT rutin.

Pemeriksaan rutin dilakukan peneliti secara berurutan mulai dari telinga untuk

menilai kanalis akustikus eksternus dan membran timpani. Dilanjutkan

pemeriksaan hidung dan. tenggorok untuk menilai adanya tanda radang atau

kelainan anatomi.

3. Subjek yang memenuhi kriteria eligibilitas berdasar hasil pemeriksaan THT rutin

akan dijadikan sampel penelitian dan menjalani pemeriksaan audiometri. Teknik

pemeriksaan audiometri nada murni yaitu sampel penelitian diminta duduk tenang

di ruang kedap suara poliklinik THT-KL RSUP Sanglah, dipasang headphone dan

diminta memberikan respon bila subjek mendengar nada yang dibunyikan.

Pemeriksaan konduksi udara dilakukan pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz,

4000 Hz dan 8000 Hz pada kedua telinga secara bergantian. Dilanjutkan

pemeriksaan konduksi tulang yang sama seperti konduksi udara tetapi vibratornya

diletakkan pada planum mastoid. Ambang dengar didapat dengan menghitung

rata-rata ambang dengar pada frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 4000 Hz.

Gangguan pendengaran sensorineural ditandai oleh adanya AC dan BC yang

berimpit. Berdasarkan WHO (1991), derajat gangguan pendengaran dibagi

menjadi: ≤ 25 dB dikategorikan normal, ambang 26 - 40 dB dikategorikan

gangguan pendengaran derajat ringan, ambang 41 - 60 dB mencerminkan

gangguan pendengaran sedang, ambang 61-80 dB dikategorikan gangguan

pendengaran berat, ≥ 81 dB dikategorikan gangguan pendengaran sangat berat

(WHO, 1991).

4. Setelah ada hasil audiometri, maka sampel akan dikelompokkan menjadi kelompok

kasus yaitu diabetes melitus tipe 2 dengan gangguan pendengaran sensorineural

dan kelompok kontrol yaitu diabetes melitus tipe 2 tanpa gangguan pendengaran

sensorineural.

5. Kemudian dilanjutkan anamnesis mengenai faktor risiko yang meliputi durasi

menderita diabetes melitus tipe II, apakah sampel menderita hipertensi dan sejak

kapan.

6. Dilanjutkan pencatatan tekanan darah dan hasil laboratorium HbA1C dalam kurun

3 bulan terakhir, berikut diagnosis dari dokter poliklinik Diabetic Centre RSUP

Sanglah.

7. Dilakukan matching umur dengan range 5 tahun antara sampel dari kelompok

kasus dan sampel dari kelompok kontrol, dan dilakukan juga matching pada jenis

kelamin sehingga didapatkan sampel kelompok kasus sebesar 38 orang dan

kelompok kontrol sebesar 38 orang dengan umur dan jenis kelamin yang

matching.

4.8 Alur Penelitian

Umur

Jenis kelamin

Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian

4.9 Analisis Data

Analisis data pada tahap awal dilakukan analisis statistik deskriptif yang

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisis perbedaan risiko antara

durasi menderita diabetes melitus, kendali glikemik dan hipertensi dikelola dengan

menggunakan Odd Ratio. Kemaknaan secara bivariat diuji dengan Chi Square

McNemar pada tingkat kemaknaan α 0, 05 dan secara multivariat dengan conditional

logistic regression metode enter.

4.10 Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat ijin dari Divisi Endokrinologi dan Metabolisme

Bagian/SMF Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah Denpasar No: 58/Div.

Kriteria Inklusi

Populasi

SNHL

(+)

Kasus

-Informed Consent

-THT Rutin

-Kriteria Eksklusi

SNHL

(-)

Kontrol

Catat:

-Durasi

-HbA1C

-Tekanan

Darah

-Diagnosis

Laporan

Analisis

Data

Sampel Audiometri

Endokrinologi Metabolisme/XI/2012 tertanggal 20 November 2012. Penelitian ini

juga telah mendapat ijin kelaikan etik atau ethical clearance dari Unit Penelitian dan

Pengembangan atau Litbang Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah

Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar No: 537/UN.14.2/Litbang/2013 tertanggal

31Mei 2013.

BAB V

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini didapatkan 118 penderita yang memenuhi kriteria inklusi.

Dilakukan eksklusi pada 10 penderita karena 4 penderita dengan OMSK fase tenang,

1 penderita dengan otitis eksterna, 1 pasien dengan anemia hemolitik, 2 pasien

dengan rinotonsilofaringitis akut dan 2 penderita dengan gambaran Noise Induced

Hearing Loss pada hasil audiometri sehingga total terdapat 108 orang sampel yang

memenuhi kriteria eligilibilitas. Dari 108 sampel ini, didapatkan 90 orang atau 45

pasang sampel yang matching jenis kelamin dan umur.

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Berikut adalah tabel karakteristik subjek penelitian yang terdiri dari 45 pasang

sampel berpasangan.

Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Kasus Kontrol Total

Umur:

36-40 3 3 6

41-45 7 7 14

46-50 10 10 20

51-55 13 13 26

56-60 12 12 24

Variabel Kasus Kontrol Total

Jenis Kelamin

Laki-laki 20 20 40

Perempuan 25 25 50

Tingkat pendidikan

Tidak sekolah 2 3 5

SD 11 9 20

SMP 9 8 17

SMA 20 16 36

Universitas 3 9 12

Terapi

Oral 16 26 42

Insulin 29 19 48

5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar Hasil

Audiometri Nada Murni

Pada penelitian ini didapatkan kelompok kasus sebanyak 45 orang dengan

gangguan pendengaran derajat ringan dan sedang, baik bilateral atau unilateral. Tidak

ditemukan kasus dengan gangguan pendengaran derajat berat atau sangat berat yang

bilateral atau unilateral. Jumlah subjek penelitian dengan gangguan pendengaran

derajat ringan bilateral sebanyak 28 orang (62, 22 %) dan 8 subjek dengan gangguan

pendengaran unilateral (17, 78 %). Secara klinis 40 subjek tidak mengeluhkan adanya

gangguan pendengaran dalam kehidupan sehari-hari.

Tabel 5.2 Karakteristik Gangguan Pendengaran Subjek Penelitian Berdasar Hasil

Audiometri Nada Murni

Gangguan Pendengaran Kasus (n = 45)

Telinga Kanan

Ringan 37 (82, 22 %)

Sedang 5 (11, 11 %)

Sedang berat 0 (0%)

Berat 0 (0%)

Sangat berat 0 (0%)

Normal 3 (6, 67%)

Telinga Kiri

Ringan 35 (77, 78 %)

Sedang 5 (11, 11 %)

Sedang berat 0 (0%)

Berat 0 (0%)

Sangat berat 0 (0%)

Normal 5 (11, 11%)

5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Ditinjau dari Faktor Risiko yang Diteliti

Tabel 5.3 Karakteristik Subjek Penelitian Ditinjau dari Faktor Risiko yang Diteliti

Faktor risiko Kasus Kontrol Total

Durasi

≥ 10 tahun 16 (35, 55) 3 (6, 67) 19 (21, 11)

< 10 tahun 29 (64, 44) 42 (93, 33) 71 (78, 89)

Kendali Glikemik (HbA1C)

Buruk ( >7 % ) 39 (86, 67) 32 (71, 11) 71 (78, 89)

Baik (≤7 % ) 6 (13, 33) 13 (28, 89) 19 (21, 11)

Hipertensi

Ya 25 (55, 56) 16 (35, 55) 41 (45, 56)

Tidak 20 (44, 44) 29 (64, 44) 49 (54, 44)

Dari tabel 5.4 diperoleh mayoritas subjek penelitian dengan durasi < 10 tahun yaitu

71 orang (78, 89 %). Jumlah subjek penelitian dengan durasi ≥ 10 tahun sebanyak 19

orang (21, 11 %). Mayoritas subjek penelitian dengan kendali glikemik buruk atau

HbA1C > 7 % yaitu sebanyak 71 orang (78, 89%). Sedangkan subjek penelitian

dengan kendali glikemik baik atau HbA1C ≤ 7 % sebanyak 19 orang (21, 11%).

Jumlah subjek penelitian dengan hipertensi 41 orang (45, 56 %) dan tanpa hipertensi

sebanyak 49 orang (54, 44 %).

5.4 Rerata Durasi dan Kendali Glikemik antara Kelompok Kasus dan

Kelompok Kontrol

Tabel 5.4 Rerata Kendali Glikemik antara Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol

Variabel Kasus Kontrol

(Mean ± SD) (Mean ± SD)

Durasi 6, 46 ±5, 40 3,26 ±3, 16

HbA1C 9, 83 ± 2, 78 8,13 ± 1,49

Tabel ini menunjukkan rata-rata durasi pada kelompok kasus lebih panjang dibanding

durasi pada kelompok kontrol. Dan rata-rata nilai HbA1C pada kelompok kasus lebih

tinggi dibanding kelompok kontrol.

5.5 Hasil Analisis Bivariat

Tabel 5.5.1 Hasil Analisis Bivariat Durasi Terhadap Gangguan Pendengaran

Sensorineural pada Penderita DM tipe 2

Variabel Kasus Kontrol OR 95%CI P

≥ 10 tahun < 10 tahun

Durasi

≥ 10 tahun 1 15 7,5 1,74 -

67,59

0,0016

< 10 tahun 2 27

Analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil

durasi OR 7,5 dengan p 0,016 (CI 1,74-67,59). Hal ini menunjukkan risiko terjadinya

gangguan pendengaran pada penderita dengan durasi menderita DM tipe 2 ≥ 10 tahun

7, 5 kali dibanding durasi < 10 tahun dan signifikan (p < 0,05).

Tabel 5.5.2 Hasil Analisis Bivariat Kendali Glikemik Terhadap Gangguan

Pendengaran Sensorineural pada Penderita DM tipe 2

Variabel Kasus Kontrol OR 95%CI P

> 7 % ≤ 7 %

HbA1C

> 7 % 28 11 2,75 0,82 - 11,84 0,07

≤ 7 % 4 2

Analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil

HbA1C OR 2,75 dengan p 0,07 (CI 0,82-11,84). Hal ini menunjukkan risiko

terjadinya gangguan pendengaran pada penderita dengan kendali glikemik buruk atau

HbA1C > 7 % 2,75 kali dibanding kendali glikemik baik atau HbA1C ≤ 7 % tetapi

tidak signifikan (p > 0,05).

Tabel 5.5.3 Hasil Analisis Bivariat Hipertensi Terhadap Gangguan Pendengaran

Sensorineural pada Penderita DM tipe 2

Variabel Kasus Kontrol OR 95%CI P

Hipertensi

(+)

Hipertensi

(-)

Hipertensi

Hipertensi

(+)

9 16 2,26 0,89 – 6,57 0,06

Hipertensi

(-)

7 13

Analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square Mac Nemar mendapatkan hasil

hipertensi OR 2,26 dengan p 0,06 (CI 0,89-6,57). Hal ini menunjukkan risiko

terjadinya gangguan pendengaran pada penderita dengan hipertensi 2,26 kali

dibanding tanpa hipertensi dan tidak signifikan ( p > 0,05). Berhubung ketiga variabel

di atas yaitu durasi, HbA1C dan hipertensi dengan p < 0, 25 maka ketiga variabel ini

layak dimasukkan dalam model analisis multivariat.

5.6. Hasil Analisis Multivariat

Tabel 5.6 Hasil Analisis Multivariat Durasi, Kendali Glikemik dan Hipertensi

Terhadap Gangguan Pendengaran Sensorineural pada Penderita DM tipe II

Faktor Risiko OR p CI 95%

Durasi 7, 84 0,011 1, 62 - 38, 02

HbA1C 2, 79 0,132 0, 94 - 8, 99

Hipertensi 1, 62 0,063 0, 54 - 4, 86

Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan hasil durasi OR 7,84

dengan p 0,011 (CI 1,62 - 38,02), HbA1C OR 2,79 dengan p 0,132 (CI 0,94-8,99)

dan hipertensi OR 2,79 dengan p 0,063 (CI 0,54 - 4,86). Hal ini menunjukkan durasi

≥ 10 tahun sebagai satu-satunya faktor risiko gangguan pendengaran yang signifikan

dengan p < 0, 05 yaitu p 0,011. Sedangkan kendali glikemik dan hipertensi tidak

signifikan karena p > 0, 05.

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan sampel melebihi sampel minimal yang didapatkan

berdasar rumus studi kasus kontrol berpasangan yaitu 90 penderita diabetes melitus

tipe 2 atau 45 pasang sample yang matching jenis kelamin dan umur. Umur

dikendalikan sehingga sampel yang diambil maksimal berumur 60 tahun saat

diperiksa untuk menghindari bias presbikusis dan matching umur range 5 tahun

antara kelompok kasus dengan kontrol. Matching umur dengan range 5 tahun juga

dilakukan oleh Taziki dan Mansourulan (2011). Penelitian dengan matching umur

dan jenis kelamin dilakukan dalam beberapa penelitian (Elamin dkk., 2004; Panchu,

2010; Rajendran dkk., 2011).

Subjek dalam penelitian ini berusia antara 36 sampai dengan 60 tahun sesuai

kriteria inklusi dan eksklusi. Jenis kelamin didapatkan 55, 56 % wanita dan 44, 44 %

pria. Penelitian yang dilakukan oleh Limardjo dkk. (2011) di Makasar melaporkan

hasil yang mirip yaitu 53,3 % pada wanita dan 46,7% pada pria. Demikian juga

penelitian Sumathi dkk. (2012) di India mendapatkan hasil 56% pada wanita dan 44

% pada pria. Umur subjek penelitian terbanyak pada kelompok umur 51-55 tahun

yaitu sebanyak 26 orang (28, 89%). Subjek 40% berpendidikan SMA. Penelitian

Limardjo dkk. (2011) melaporkan sampel terbanyak pada usia 41-50 tahun (56, 3%)

dan 31,9% sampel penelitian adalah lulusan perguruan tinggi. Dari total 90 subjek

penelitian ini, 46, 67 % dengan terapi oral dan 53, 33 % dengan terapi insulin.

Pada penelitian ini didapatkan kelompok kasus sebanyak 45 orang dengan

gangguan pendengaran derajat ringan dan sedang baik bilateral atau unilateral. Tidak

ditemukan kasus dengan gangguan pendengaran derajat berat atau sangat berat.

Secara klinis 40 orang subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural tidak

mengeluhkan adanya gangguan pendengaran dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

sesuai dengan teori bahwa gangguan pendengaran yang disebabkan oleh diabetes

melitus adalah tuli sensorineural dengan ciri progresif lambat, bilateral, gambaran

presbikusis pada kelompok usia yang lebih muda. Teori ini juga dibuktikan oleh hasil

penelitian Bainbridge dkk. (2008) berdasarkan hasil US National Health and

Nutrition Examination Survey pada tahun 1999 sampai 2004 yang mendapatkan hasil

derajat gangguan pendengaran bervariasi mulai derajat ringan sampai sedang yang

sulit dideteksi tanpa screening pendengaran.

Penelitian ini mendapatkan subjek penelitian dengan gangguan pendengaran

derajat ringan bilateral sebanyak 28 orang (62, 22 %) dan 8 subjek dengan gangguan

pendengaran unilateral (17, 78 %). Penelitian oleh Israel dkk. (2012) melaporkan

adanya gangguan pendengaran baik bilateral maupun unilateral akibat diabetes

melitus tipe 2. Menurut Tadros dkk. (2005), pada dewasa muda dengan pendengaran

normal telinga kanan lebih sensitif terhadap suara sederhana dan dalam memproses

suara yang kompleks seperti pembicaraan. Dan kondisi ini menurun dengan

berjalannya usia terbukti dengan menurunnya amplitudo pada OAE. Sedangkan

menurut Frisina dkk. (2006), terdapat kecenderungan diabetes melitus lebih banyak

mempengaruhi telinga kanan daripada telinga kiri. Satu interpretasi yang mungkin

adalah sejalan dengan meningkatnya presbikusis, maka keuntungan telinga kanan

menurun dan penurunan ini dipercepat oleh adanya diabetes.

Penelitian ini mendapatkan mayoritas subjek penelitian dengan gangguan

pendengaran pada semua frekuensi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Jankar dkk.

(2013) dan Bainbridge dkk. (2008) bahwa diabetes melitus mengakibatkan gangguan

pendengaran frekuensi tinggi pada awal perjalanan penyakit tetapi sejalan dengan

kronisnya penyakit frekuensi rendah juga ikut terganggu.

6.2 Hubungan antara Durasi Menderita DM Tipe 2 dengan Gangguan

Pendengaran Sensorineural

Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik pada penelitian ini mendapatkan

hasil durasi OR 7, 84 dengan p 0,011 (CI 1,62 - 38,02), Hal ini menunjukkan durasi ≥

10 tahun sebagai faktor risiko gangguan pendengaran yang signifikan dengan p < 0,

05 yaitu p 0,011.

Risiko terjadi komplikasi kronis meningkat sejalan dengan meningkatnya durasi

hiperglikemia. Komplikasi umumnya terjadi pada dekade kedua hiperglikemia

(Powers, 2008). Durasi menderita diabetes melitus dengan gangguan pendengaran

banyak diteliti dengan berbagai variasi hasil. Penelitian oleh Limardjo dkk. (2011)

mendapatkan hasil adanya hubungan antara durasi menderita diabetes melitus ≥ 10

tahun dengan gangguan pendengaran (p = 0, 00). Sedangkan penelitian ini membatasi

umur subjek penelitian 60 tahun seperti penelitian Mozzafari dkk. (2010). Penelitian

Panchu (2010) mendapatkan hasil yang berlawanan dengan hasil Limardjo dkk.

(2011) dan Mozzafari dkk. (2010) yaitu durasi menderita diabetes melitus > 10 tahun

tidak mempengaruhi ambang pendengaran pada penderitanya. Penelitian Mozzafari

dkk. (2010) juga melaporkan durasi menderita diabetes melitus yang mengakibatkan

gangguan pendengaran adalah 11.7 ± 7, 6 tahun, sedangkan penelitian ini

mendapatkan hasil rata-rata durasi yang lebih pendek dibanding penelitian Mozzafari

dkk. (2010) yaitu 6, 46 ±5, 40 tahun tetapi rata-rata durasi pada kelompok kasus

lebih panjang dibanding durasi pada kelompok kontrol.

6.3 Hubungan antara Kendali Glikemik dengan Gangguan Pendengaran

Sensorineural

Pencapaian nilai HbA1C yang mendekati normal telah terbukti menurunkan

komplikasi jangka panjang dan nilai HbA1C direkomendasikan untuk menilai terapi

adekuat (Nathan dkk., 2007). HbA1C dianjurkan diperiksa setiap 3 bulan, minimal 2

kali dalam setahun (ADA, 2012). Ketentuan yang sama terdapat pada Konsensus

Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia yang diterbitkan

oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Diabetes Centre RSUP Sanglah

melaksanakan pemeriksaan HbA1C sesuai ketentuan diatas..

Terdapat berbagai penelitian dengan hasil yang bervariasi untuk menilai adanya

hubungan antara kendali glikemik dengan gangguan pendengaran. Penelitian ini

menghasilkan rata-rata nilai HbA1C pada kelompok kasus lebih tinggi yaitu 9, 83 ±

2, 78 dibanding pada kelompok kontrol 8,13 ± 1,49.

Adanya hubungan yang signifikan antara kendali glikemik dengan gangguan

pendengaran dilaporkan pada 4 hasil penelitian (Ezeddin dkk., 2003; Panchu, 2009;

Pemmaiah dan Srinivas, 2011; Israel dkk., 2012). Sedangkan hasil yang tidak

signifikan dilaporkan pada 2 penelitian lainnya (Mozzafari dkk., 2010; Limardjo

dkk., 2011). Hasil analisis regresi logistik pada penelitian ini mendapatkan kendali

glikemik dengan OR sebesar 2,79 dan p 0,132 (CI 0,94-8,99) dan ini berarti tidak

signifikan.

Limardjo dkk. (2011) menyatakan bahwa HbA1C hanya memberikan gambaran

kendali glikemik selama periode 2-3 bulan terakhir dan merupakan ukuran yang

sangat singkat untuk penyakit diabetes melitus yang bersifat kronis. Sedangkan

Mozzafari dkk. (2010) menyatakan bahwa metabolisme glukosa bukan merupakan

penyebab utama gangguan pendengaran sensorineural dan mungkin hanya berlaku

sebagai salah satu faktor pendukung.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi pada diabetes melitus.

Terkadang, bahkan dengan adanya durasi menderita diabetes yang lama, beberapa

individu tidak mengalami komplikasi nefropati atau retinopati. Banyak diantara

penderita ini juga dengan kendali glikemik yang sama dengan penderita yang

mengalami komplikasi mikrovaskuler sehingga disimpulkan adanya faktor genetika

yang mempengaruhi komplikasi tertentu (Powers, 2008). Nilai HbA1C juga

dipengaruhi oleh genetika, penyakit hematologi dan beberapa penyakit lainnya

(Galagher dkk., 2009). International Expert Committee dalam kelompok kerja

American Diabetes Association (2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

terpenting mempengaruhi nilai HbA1C adalah hemoglobinopati, anemia tertentu dan

penyakit dengan peningkatan siklus sel darah merah. Kekurangan pada penelitian ini

adalah nilai HbA1C dicatat 1 kali yaitu nilai HbA1C dalam 3 bulan terakhir.

6.4 Hubungan antara Hipertensi dengan Gangguan Pendengaran Sensorineural

Jumlah subjek penelitian dengan hipertensi 41 orang (45,56 %) dan tanpa

hipertensi sebanyak 49 orang (54,44 %). Limardjo dkk. (2011) mendapatkan

perbandingan hipertensi sebanyak 64 orang (47,4 %) dan tanpa hipertensi sebanyak

71 orang (52,6%). Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan

hasil hipertensi OR 2, 79 dengan p 0,063 (CI 0,54 - 4,86). Hal ini menunjukkan

hipertensi tidak signifikan karena p > 0, 05. Hasil penelitian ini sesuai dengan

Bainbridge dkk. (2010) berdasarkan hasil US National Health and Nutrition

Examination Survey pada tahun 1999 sampai 2004 dan Israel dkk. (2012) yang

melaporkan hipertensi tidak berpengaruh terhadap gangguan pendengaran.

Duck dkk. (1997) menyatakan bahwa hipertensi berinteraksi dengan diabetes

melitus dalam patogenesis gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi

akibat hilangnya sel rambut luar pada koklea. Sedangkan Israel dkk. (2012)

melaporkan sel rambut luar pada beberapa pasien dengan gangguan pendengaran

terbukti berfungsi baik berdasarkan pengukuran dengan Oto Accoustic Emission

(OAE). Kekurangan dalam penelitian ini adalah hipertensi tidak dibedakan terkontrol

atau tidak.

American Diabetes Association. January 2012. Standards of Medical Care in

Diabetes. Diabetes Care. Supplement 1; Vol 35: p. S11 - 13.

Bainbridge, K.E., Hoffman, H.J., Cowie, C.C. 2008. Diabetes and Hearing

Impairment in the United States: Audiometric Evidence from the National

Health and Nutrition Examination Survey; 1999-2004. Annals of Internal

Medicine; 149 Number 1.

Bainbridge, K.E., Cheng, Y.J., Cowie, C.C. 2010. Potential Mediators of Diabetes-

Related Hearing Impairment in the U.S. Population; National Health and

Nutrition Examination Survey; 1999-2004. Diabetes Care; Vol 33: p. 811-6.

Bener, A., Salahaidin, A.H.A., Darwish, S.M., Hamaq, A.Q.A.A., Gansan. 2008.

Association Between Hearing Loss and Type 2 Diabetes Mellitus in Elderly

People in a Newly Developed Society. Biomedical Research 2008; 19 (3): 187-

93.

Bess, F.H., Humes, L.E. 2008. Audiology as a Profession. In: Audiology, the

Fundamentals, 4th

ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1: p.5-7.

Booth, J.B. 1987. Sudden and Fluctuant Sensorineural Hearing Loss. In: Scott-

Brown’s Otolaryngology. 5th

ed.Butterworth International; 17: p.406.

Bull, P.D. 1991. Audiology. In: Lecture Notes on Diseases of the Ear, Nose and

Throat. 7th

ed. Oxford: Blackwell Scientific Publication; 4: p. 14.

Duck, S.W., Prazma, J., Bennet, P.S., Pillsbury, H.C. 1997. Interaction Between

Hypertension and Diabetes Mellitus in the Pathogenesis of Sensorineural

Hearing Loss, The Laryngoscope 107, p. 1596-605.

Elamin, A., Fadiallah.M., Tuverno, T. 2004. Hearing Loss in Children with tipe 1

Diabetes. Department of Child Health, Khartoum University Hospital, Sudan.

Ezeddin, S.E.T., Mackenzie, I., Surenthiran, S.S., Aboueasha, Boulton, A.J.M. 2003.

The Relation of Hearing Loss to Age, Duration, Degree of Control and

Complications in Diabetic Patients, Audiological Medicine; 1; 242-6A.

Frisina, S.T., Mapes, F., Kim, S.H., Frisina, D.R. 2006. Characterization of Hearing

Loss in Aged Type II Diabetics. NIH Public Access. Hear Res; 211 (1-2):

p.103-13.

Fukushima, H., Cureoglu, S., Schachern, P.A., Paparella, M.M., Harada,T., Oktay,

M.F. 2006. Effects of type 2 Diabetes Mellitus on Cochlear Structure in Human.

Arch Otolaryngol Head Neck Surg; 132: p. 934-8.

Gallagher, E.J., Roith, D.L., Bloomgarden, Z. 2009. Review of Hemoglobin A1C in

the Management of Diabetes. Journal of Diabetes; 1: 9-17.

Ganong W.F. 2009. Hearing and Equilibrium. In: Ganong WF Review of Medical

Physiology. 23nd

. Ed. McGraw Hill Co. p.261-280.

Goldstein, D.E.,Little R.R., Lorenz, R.A., Malone.J.I., Nathan.D., Peterson, C.M.,

Sacks, D.B. 2004. Tests of Glycemia in Diabetes. Diabetes Care; 27: 7.

Hall, J.W., Lewis, M.S. 2002. Diagnostic, Audiology, Hearing Aids and Habilitation

Options. In: Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head & Neck

Surgery. London: BC Decker Inc; 1: p. 1-3.

Hirose, K. 2008. Hearing Loss and Diabetes: You Might Not Know What You Are

Missing. Annals of Internal Medicine; 149:54-55.

International Expert Committee Report on the Role of the A1C Assay in the

Diagnosis of Diabetes. 2009. Diabetes Care; 32; 1327-1334.

Irwin, J. 1987. Causes of Hearing Loss. In: Scott Brown’s Adult Audiology, 5th

ed.

Butterworth International; 4, p.134-35.

Israel, L. G., Daniel, C.R., Valdes, S., Enriquez, L., Lobato, M., Osornio, M., et

al. 2012. Sensorineural Hearing Loss – A Common Finding in Early-Onset

Type 2 Diabetes Mellitus. Endocrine Practice; Vol 18 No 4 July/August.

Jankar D.S., Bodhe, C.D., Bhutada, T.B. 2013. A Study of Hearing Loss in Type II

Diabetics. International Journal of Medical Research & Health Sciences; 2 (4):

893-8.

Kakarlapudi, V., Sawyer, R., Staecker, H. 2003. The Effect of Sensorineural Hearing

Loss. Otology & Neurootology Inc; 24 (3): p. 382-6.

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011.

Lee, K.J. 2003, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th

ed. International

Edition. McGraw Hill; p. 43-4.

Limardjo, A., Kadir, D.R., Perkasa, F. 2011. Analisis Gangguan pendengaran pada

Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Berdasarkan Pemeriksaan Audiometri Nada

Murni dan Audiometri Tutur. Departemen THT, FK Universitas Hasanudin,

Makasar.

Lisowska, G., Namyslowski, G., Morawski, K., Strojek, K. 2001. Early Identification

of Hearing Impairment in Patients with Type 1 Diabetes Mellitus. Otology &

Neurootology; 22: 316-20.

Madiyono, B. dkk. 2010. Perkiraan Besar Sampel. In: Sastroasmoro, S., Ismael. S.,

Editor. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. III. Jakarta. Sagung Seto; 16:

p. 32.

Marchiori, L.L.M., Filho E.A.R., Matsui, T. 2006. Hypertension as a Factor

Associated with Hearing Loss. Rev Bras Otorrinolaringol; 72 (4): 533-40.

Mills, J.H., Khariwala, S.S., Weber, P.C. 2006. Anatomy and Physiology of Hearing.

In: Bailey BJ & Johnson JT Head & Neck Surgery – Otolaryngology, 4th

ed.

Lippincott Williams & Wilkins; 129: p. 1883-1903.

Moller, A.R. 2006. Hearing. In: Anatomy, Physiology and Disorders of the Auditory

System. 2nd

ed. Elsevier; 1: p. 5-16.

Mozzafari, M., Tajik., Ariaei, B., Ehyai, A., Behnam, H. 2010. Diabetes Mellitus and

Sensorineural Hearing Loss among Non Elderly People. Eastern Mediterranean

Health Journal; 16: p. 9.

Nathan, D.M., Turgeon, H., Regan, S. 2007. Relationship Between Glycated

Haemoglobin Levels and Mean Glucose Levels Over time. Diabetologia; 50:

2239 – 44.

Oghalai, J.S., Brownell, W.E. 2004. Anatomy & Physiology of the Ear. In: Current

Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery. McGraw

Hill; 11: p.611 – 2.

Panchu, P. 2009. Auditory Acuity in Type 2 Diabetes Mellitus, Int J Diab Dev Ctries.

Vol 28, Issue 4.

Pemmaiah, K.D., Srinivas, D.R. 2011. Hearing Loss in Diabetes Mellitus.

International Journal of Collaborative Reasearch on Internal Medicine &

Public Health; 3 (10): p. 725 - 31.

Powers, A.C. 2008. Diabetes Mellitus. In: Harrison’s Principles of Internal

Medicine. 17th

ed. Mc Graw Hill; 338: p. 2275-6.

Probst, R., Grevers, G., Iro, H. 2006. Basic Anatomy and Physiology of the Ear. In:

Basic Otolaryngology, A Step By Step Learning Guide. Thieme: 7.1: p. 154-91.

Rajendran, S., Anandhalaksmi, M. C., Vismanatha, R. 2011. Evaluation of the

Incidence of Sensorineural Hearing Loss in Patients with Type 2 Diabetes

Mellitus. Int J Biol Med Res; 2(4):982-7.

Sacks, D.B., Bruns, D.E., Goldstein, D.E., Mclaren, N.K., McDonald, J.M., Parrott,

M. 2011. Guideline and Recommendation for Laboratory Analysis in the

Diagnosis and Management of Diabetes Melitus. Clin Chem; 48:436-72.

Sakuta, H., Suzuki, T., Yasuda, H., Ito, T. 2006. Type 2 Diabetes and Hearing Loss in

Personnel of The Self Defence Forces. Elsevier. Diabetes Research and

Clinical Practice; 75: p. 229 - 34.

Slenkovich, N.G. 1996. Sensorineural Hearing Loss in ENT Secrets, Jafek BW, Stark

AK, Hanley & Belfus Inc; 6; p.24.

Stratton, I.M., Adler, A.L., Neil, H.A. 2000. Association of Glycemia with

Macrovascular and Microvascular Complication of Type 2 Diabetes (UKPDS

35). BMJ; 321: 405-12.

Sumathi, K., Prakash, M., Lakshmi, K., Menezes, G.A. 2012. Significance of HbA1C

in Deafness in type 2 Diabetes Mellitus. J Pharm Biomed Sci; 24 (4); 59-61.

Sweetow, R.W., Bold, J.M. 2004. Audiologic Testing. In: Current Diagnosis &

Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery. McGraw Hill; 44: p.631-

41.

Tadros, S.F., Frisina, S.T., Mapes., Kim, S.H., Frisina, R. 2005. Loss of Peripheral

Right Ear Advantage in Age Related Hearing Loss. Audiol Neurootol; 10:44-

52.

Takeshima, T., Nakashima, K. 2005. MIDD and MELAS: A Clinical Spectrum.

Internal Medicine; 44: 4.

Taylor, I.G., Irwin, J.1978. Some Audiological Aspects of Diabetes Mellitus. J

laryngol Otol; 92: p 99 - 113.

Taziki, M.H., Mansorulan, A.B. 2011. The Comparison of Hearing Loss Among

Diabetic and Non Diabetic Patients. Journal of Clinical and Diagnostic

Research; 5 (1): 88-90.

Waspadji, S. 2006. Komplikasi Kronis Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis

dan Strategi Pengelolaan. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I. Editor.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. III (IV). Jakarta. FKUI. 1906-10.

World Health Organization. 1991. Report of the Informal Working Group On

Prevention of Deafness and Hearing Impairment Programme Planning. Geneva.

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Durasi menderita DM tipe 2 ≥ 10 tahun meningkatkan risiko gangguan

pendengaran sensorineural.

2. Kendali glikemik buruk dengan kadar HbA1C > 7 % tidak meningkatkan risiko

gangguan pendengaran sensorineural.

3. Hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2 tidak meningkatkan risiko

gangguan pendengaran sensorineural.

7.2 Saran

Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol yang berpasangan dan

matching jenis kelamin dan umur. Kekurangan pada penelitian ini adalah nilai

HbA1C dicatat 1 kali yaitu nilai HbA1C dalam kurun waktu 3 bulan terakhir dan

pemeriksaan pendengaran dengan audiometri nada murni tidak selalu pada waktu

yang sama dengan saat pemeriksaan HbA1C. Pengukuran nilai rata-rata HbA1C

dalam setahun atau jangka panjang bisa memberikan informasi nilai HbA1C yang

lebih akurat. Kekurangan lainnya adalah hipertensi tidak dibedakan terkontrol atau

tidak. Mayoritas hipertensi dalam penelitian ini adalah hipertensi terkontrol.

Pentingnya penelitian lanjutan berupa studi longitudinal untuk mengetahui lebih

lanjut faktor risiko untuk gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus tipe

2.

Penelitian ini memberikan gambaran pentingnya screening pendengaran berkala

bagi penderita diabetes melitus tipe 2 karena diabetes melitus adalah penyakit kronis.

Gangguan pendengaran akibat diabetes melitus bersifat irreversible dan berprognosis

buruk. Tujuan utama screening pendengaran adalah pencegahan gangguan

pendengaran yang lebih berat dan perbaikan fungsi pendengaran dengan rehabilitasi.

LAMPIRAN 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Apakah tujuan penelitian ini?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang meningkatkan risiko

gangguan pendengaran pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Apa saja yang dilakukan dalam penelitian ini?

Saya akan menjelaskan maksud penelitian ini. Bila Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia

ikut berpartisipasi dalam penelitian ini, saya akan mencatat identitas

Bapak/Ibu/Saudara/i. Selanjutnya akan memberikan lembar persetujuan yang perlu

ditandatangani. Setelah Bapak/Ibu/Saudara/i menandatangani lembar persetujuan

maka saya akan menanyakan beberapa pertanyaan terkait faktor perancu dalam

penelitian ini dilanjutkan dengan pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok rutin. Bila

Bapak/Ibu/Saudara/I memenuhi syarat sebagai sampel akan dilanjutkan pemeriksaan

pendengaran berupa audiometri nada murni di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah.

Setelah pemeriksaan audiometri, saya akan mengajukan pertanyaan dan mencatat

faktor risiko Bapak/Ibu/saudara/i, mencatat hasil pemeriksaan tekanan darah,

diagnosis penyakit dan nilai HbA1C 3 bulan terakhir dari buku rekam medis

Bapak/Ibu/Saudara/i. Setelah selesai menjalani penyaringan dan pemeriksaan ini,

Bapak/Ibu/Saudara/i akan mendapatkan penjelasan hasil pemeriksaan.

Apakah manfaat dan risiko berpartisipasi dalam penelitian ini?

Manfaat ikut berpartisipasi dalam penelitian ini adalah Bapak / Ibu / Saudara/ i

dapat mengetahui apakah terdapat gangguan pendengaran akibat kencing manis yang

diderita selama ini. Risiko berpartisipasi dalam penelitian ini tidak ada.

Bagaimana jika saya tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini ?

Partisipasi Bapak / Ibu / Saudara / i dalam penelitian ini bersifat sukarela dan

tidak ada unsur paksaan. Apabila tidak bersedia ikut serta atau tidak berkehendak

menyelesaikan pemeriksaan dalam penelitian ini karena hal apapun maka Bapak / Ibu

/ Saudara / i tetap akan mendapat pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan

standar prosedur pelayanan.

Bagaimana kerahasiaan hasil penelitian ini ?

Identitas Bapak / Ibu / Saudara / i dalam penelitian ini akan disamarkan. Hanya

dokter peneliti, anggota peneliti dan anggota komisi etik yang dapat melihat data

Bapak / Ibu / Saudara / i. Kerahasiaan data akan dijamin sepenuhnya.

Apa yang dapat Bapak/Ibu/Saudara/I lakukan bila ada yang kurang dimengerti

dan ingin mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai penelitian ini?

Untuk penjelasan dan informasi lebih lanjut dapat menghubungi dokter peneliti yaitu

dr Suriya Suwanto, M.Kes melalui nomor telepon 081803688168

LAMPIRAN 2

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur / Jenis kelamin :

Alamat :

menyatakan bahwa saya telah mengerti sepenuhnya atas penjelasan yang

diberikan oleh dr. Suriya Suwanto, dari bagian THT / FK Udayana, RSUP Sanglah,

Denpasar mengenai: prosedur pemeriksaan, prosedur tindakan, resiko serta manfaat

tindakan yang akan dilakukan kepada diri saya.

Dengan demikian saya bersedia mengikuti / menjalani seluruh prosedur

pemeriksaan yang dilakukan untuk penelitian mengenai:

”Faktor-faktor yang meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural

pada penderita diabetes melitus tipe 2”

Surat pernyataan persetujuan (informed consent) ini saya buat dengan sukarela

dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun, agar dapat dipergunakan bila mana

diperlukan.

Denpasar, ………… 20…

Peneliti, Yang membuat pernyataan,

dr. Suriya Suwanto, M.Kes ……………………………

LAMPIRAN 3

LEMBAR PENELITIAN

Nomor Penelitian :

A. Identitas Penderita

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Pendidikan terakhir :

Pekerjaan :

Alamat :

Telepon :

Tanggal berobat :

Nomor Rekam Medis :

B. Kriteria Eksklusi

1. Apakah ada riwayat cedera kepala? Ya/Tidak

2. Apakah saat ini sedang batuk pilek demam? Ya/Tidak

3. Apakah ada riwayat keluar cairan telinga sebelumnya? Ya / Tidak

4. Apakah ada riwayat gangguan pendengaran usia muda dalam keluarga?

Ya / Tidak

5. Apakah ada riwayat paparan bising? Ya / Tidak

6. Apakah ada riwayat terpapar dentuman bom atau letusan senjata api?

Ya/Tidak

7. Apakah ada riwayat pemakaian obat tetes telinga jangka panjang, obat

kemoterapi, obat TB Suntik, obat malaria? Ya / Tidak

8. Apakah ada riwayat anemia hemolitik atau paska perdarahan akut? Ya/Tidak

C. Pemeriksaan Fisik THT

1. Telinga

Kanan Kiri

Daun telinga Normal / abnormal Normal / abnormal

Liang telinga Normal / hiperemi Normal / hiperemi

Membran timpani Intak/perforasi/retraksi

Normal/suram/hiperemi

Intak/perforasi/retraksi

Normal/suram/hiperemi

2. Hidung

Kanan Kiri

Kavum nasi Lapang / sempit Lapang / sempit

Konka Dekongesti / kongesti Dekongesti / kongesti

Mukosa Merah muda / hiperemi /

livide

Merah muda / hiperemi /

livide

Sekret Tidak ada/serus/mukoid/

purulen

Tidak ada/serus/mukoid/

purulen

Deviasi septum Ada / tidak ada

Post nasal drip Ada / tidak ada

3. Tenggorok

Kanan Kiri

Mukosa faring Merah muda / hiperemi Merah muda / hiperemi

Tonsil T1/T2/T3/T4

Merah muda / hiperemi

Rata / tidak rata

Kripte melebar - / +

Detritus - / +

T1/T2/T3/T4

Merah muda / hiperemi

Rata / tidak rata

Kripte melebar - / +

Detritus - / +

Dinding belakang

Faring

Granula hipertrofi - / + Granula hipertrofi - / +

D. Hasil pemeriksaan

Audiometri: AD _______________________________________

_______________________________________

AS _______________________________________

_______________________________________

E. Anamnesis faktor risiko

Menderita Diabetes Melitus tipe 2 sejak ___________________________

Menderita hipertensi:Ya / tidak, sejak _____________________________

Pemakaian obat diabetes Teratur / Tidak Teratur

Jenis obat anti diabetik yang dipakai: Tablet/Insulin

Nama obat yang dipakai ____________________

F. Status present:

Tekanan darah : ____________ mm Hg

HbA1C:

Diagnosis:

Kesimpulan:

LAMPIRAN 5

LAMPIRAN 6

LAMPIRAN 7

DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1 dan 2: Alat audiometer di Poliklinik THT-KL RSUP Sangla

Gambar 3 dan 4: Ruang kedap suara untuk pemeriksaan audiometri

Gambar 5 dan 6: Suasana Diabetes Centre RSUP Sanglah saat mencari sampel penelitian

1 2

3 4

5

5

6

LAMPIRAN

8

79

KARAKTERISTIK DATA SUBJEK PENELITIAN

NO NAMA SEX UMUR DIK

KASUS

/KONTROL HIPERTENSI DURASI HBA1C OBAT BMI

H. Udara H. Tulang

KANAN KIRI KANAN KIRI

1 NML P 50 SMA Kasus Ya 6 10.38 Oral 22.08 36.25

37.50 33.75

36.25

2 NNS P 43 SMA Kasus Tidak 0.17 11.68 Insulin 22.08 35.00

21.25 33.75

20.00

3 DAR L 54 SMA Kasus Tidak 9 8.9 Insulin 23.65 42.50

30.00 40.00

27.50

4 ECD P 44 SMP Kasus Tidak 0.08 13.2 Insulin 18.38 27.50

32.50 26.25

31.25

5 FEN L 42 SMA Kasus Ya 0.67 7 Oral 24.09 36.25

21.25 33.75

20.00

6 IKR L 53 S1 Kasus Tidak 8 9.38 Oral 24.22 30.00

32.50 30.00

32.50

7 NKT L 53 SD Kasus Ya 4 9.9 Insulin 22.49 31.25

41.25 28.75

40.00

8 PRK P 58 SD Kasus Tidak 11 12.7 Insulin 20.83 23.75

38.75 22.50

37.50

9 NWR P 55 SMP Kasus Ya 6 7.46 Insulin 25.54 30.00

45.00 27.50

43.75

10 KNP P 55 D1 Kasus Ya 0.25 7.36 Insulin 14.86 26.25

28.75 25.00

27.50

11 MGM P 38 SMA Kasus Ya 2 7.5 Oral 25.30 33.75

42.50 31.25

40.00

12 BMI L 53 SD Kasus Tidak 17 14.5 Insulin 22.26 30.00

37.50 27.50

38.75

13 WRT L 46 SMA Kasus Ya 16 9.8 Insulin 18.75 33.75

31.25 31.25

30.00

14 NWS P 59 (-) Kasus Ya 4 8.99 Insulin 23.33 33.75

36.25 32.50

36.25

15 JRM P 57 SD Kasus Ya 5 9.3 Oral 18.07 36.25

37.50 33.75

36.25

16 IKS L 45 SD Kasus Ya 0.03 11.47 Oral 34.60 22.50

33.75 22.50

33.75

17 DEM P 49 SMP Kasus Ya 1 6.52 Insulin 22.81 31.25

27.50 30.00

26.25

18 NKS P 45 SMA Kasus Tidak 12 13.7 Insulin 17.58 30.00

30.00 28.75

30.00

19 IWK L 59 SMA Kasus Ya 3 11.46 Oral 23.29 27.50

27.50 26.25

25.00

20 STH L 56 SD Kasus Tidak 11 16.85 Insulin 23.44 30.00

30.00 30.00

28.75

21 DNP L 49 SMA Kasus Ya 4 10.8 Insulin 19.17 31.25

36.25 26.25

35.00

22 IMS L 46 SMA Kasus Tidak 10 14.45 Oral 24.41 23.75

30.00 22.50

27.50

23 DNR L 54 SD Kasus Ya 1 10.34 Oral 20.18 28.75

27.50 26.25

26.25

24 IWS L 51 SMA Kasus Tidak 10 16.5 Insulin 23.53 31.25

26.25 31.25

26.25

25 TTL L 58 SMP Kasus Ya 23 9.4 Insulin 22.05 37.50

32.50 33.75

31.25

26 IWR L 52 SMA Kasus Ya 2 9.66 Insulin 27.77 28.75 31.25 27.50 28.75

27 MRY P 53 SD Kasus Tidak 12 7.21 Insulin 26.56 30.00 28.75 27.50

27.50

NO NAMA SEX UMUR DIK

KASUS

/KONTROL HIPERTENSI DURASI HBA1C OBAT BMI

H. Udara H. Tulang

KANAN KIRI KANAN KIRI

28 IKS L 47 SMA Kasus Tidak 6 4.9 Insulin 25.32 45.00

33.75 40.00

31.25

29 GDS L 55 SD Kasus Ya 0.85 5.55 Oral 23.53 31.25

21.25 28.75

20.00

30 NS L 45 SMP Kasus Ya 2 8.4 Insulin 27.70 32.50

27.50 28.75

25.00

31 JMH P 56 (-) Kasus Tidak 0.17 14.71 Insulin 17.14 35.00

27.50 32.50

26.25

32 NWA P 58 SMP Kasus Tidak 0.67 8.23 Insulin 20.00 32.50

31.25 30.00

31.25

33 IMB P 40 SMA Kasus Tidak 2 7.4 Oral 23.60 36.25

32.50 33.75

31.25

34 NMP L 36 SMA Kasus Ya 1 7.94 Oral 21.68 42.50

27.50 41.25

26.25

35 SKI P 57 SD Kasus Tidak 6 6.44 Oral 26.60 31.25

31.25 30.00

30.00

36 NLB P 58 SD Kasus Ya 10 6.51 Oral 23.83 40.00

20.00 36.25

20.00

37 NYK P 44 SMP Kasus Tidak 4 8.35 Oral 21.87 30.00

45.00 28.75

43.75

38 WS L 56 SMA Kasus Tidak 4 8.9 Oral 24.91 28.75

28.75 27.50

28.75

39 NMR P 55 SMA Kasus Ya 10 8.9 Insulin 19.72 32.50

45.00 31.25

43.75

40 GTU P 56 SMA Kasus Ya 12 9.2 Insulin 25.15 41.25

31.25 38.75

31.25

41 YUN P 49 SMA Kasus Ya 8 7.9 Insulin 25.37 45.00

35.00 42.50

33.75

42 GUD P 50 SMA Kasus Tidak 11 10.6 Insulin 21.67 37.50 35.00

27.50 26.25

43 NMY P 57 SMP Kasus Tidak 12 11.2 Insulin 18.58 32.50

31.25 31.25

30.00

44 NMS P 50 SMP Kasus Ya 12 9.9 Insulin 23.22 31.25

28.75 30.00

28.75

45 WTS P 50 S1 Kasus Ya 11 10.5 Insulin 22.21 37.50

35.00 36.25

35.00

46 NNS P 47 SMP Kontrol Tidak 2 10.18 Oral 22.65 18.75

23.75 16.25

21.25

47 RT P 41 S2 Kontrol Tidak 2 8.5 Insulin 22.52 21.25

23.75 20.00

21.25

48 IMK L 54 SMA Kontrol Tidak 5 5.8 Oral 24.59 23.75

22.50 22.50

23.75

49 NWD P 44 SMEA Kontrol Tidak 0.17 6.76 Insulin 28.31 23.75

23.75 20.00

22.50

50 IWS L 43 SMA Kontrol Ya 1 6.38 Oral 22.49 18.75

22.50 17.50

21.25

51 IWS L 55 SMA Kontrol Ya 2 5.9 Insulin 29.32 17.50

20.00 16.25

18.75

52 FM L 51 SMP Kontrol Tidak 0.01 8.3 Oral 25.76 23.75

23.75 21.25

23.75

53 NNS P 57 SMA Kontrol Tidak 0.06 10.42 Oral 23.44 16.25

17.50 15.00

11.25

54 GAS P 53 D3 Kontrol Tidak 13 8.36 Insulin 24.58 23.75

15.00 22.50

10.00

55 NWS P 54 S1 Kontrol Ya 5 7.19 Insulin 26.25 17.50

17.50 17.50

15.00

56 NLW P 36 SD Kontrol Tidak 0.25 9.67 Oral 26.95 18.75

17.50 16.25

15.00

57 IWS L 51 S2 Kontrol Tidak 1 7.51 Insulin 21.67 23.75

23.75 22.50

22.50

58 SL L 49 SMA Kontrol Ya 2 7.1 Oral 24.91 23.75

21.25 22.50

17.50

NO NAMA SEX UMUR DIK

KASUS

/KONTROL HIPERTENSI DURASI HBA1C OBAT BMI

H. Udara H. Tulang

KANAN KIRI KANAN KIRI

59 TKL P 58 SD Kontrol Tidak 0.08 7 Oral 24.24 20.00 17.50 17.50 16.25

60 NKT P 59 SD Kontrol Ya 0.25 6.57 Oral 16.79 23.75 21.25 21.25 20.00

61 IWW L 45 SMA Kontrol Ya 3 9.12 Oral 22.18 22.50 18.75 20.00 13.75

62 NNK P 46 SD Kontrol Tidak 4 9.1 Insulin 19.56 23.75 20.00 23.75 20.00

63 NMM P 44 SMA Kontrol Tidak 0.58 10.95 Oral 23.44 20.00 12.50 20.00 11.25

64 IWT L 58 (-) Kontrol Ya 3 8.61 Insulin 22.73 20.00 18.75 18.75 17.50

65 AN L 58 S1 Kontrol Tidak 1 11.5 Oral 22.66 18.75 21.25 16.25 17.50

66 IWS L 49 S2 Kontrol Tidak 4 7.7 Insulin 28.38 23.75 23.75 21.25 21.25

67 STH L 46 S1 Kontrol Ya 0.02 8.9 Oral 21.69 23.75 23.75 18.75 21.25

68 TY L 53 SMA Kontrol Ya 6 8.6 Insulin 23.05 18.75 17.50 16.25 11.25

69 VNG L 50 SMA Kontrol Ya 6 7.63 Oral 19.61 23.75 23.75 20.00 18.75

70 IKD L 58 SMP Kontrol Tidak 0.03 10.32 Insulin 29.41 23.75 22.50 17.50 15.00

71 IMS L 52 SD Kontrol Tidak 0.04 6.48 Insulin 23.44 20.00 23.75 12.50 18.75

72 NRJ P 51 D4 Kontrol Ya 11 9.7 Oral 18.58 22.50 18.75 15.00 15.00

73 BGS L 50 SMP Kontrol Tidak 4 7.84 Oral 19.72 21.25 18.75 17.50 16.25

74 NKR L 53 (-) Kontrol Ya 7 6.26 Oral 23.83 23.75 22.50 21.25 20.00

75 IGS L 42 SMP Kontrol Tidak 0.08 8.21 Oral 21.67 23.75 17.50 21.25 12.50

76 MN P 57 SMA Kontrol Tidak 4 9.2 Oral 23.89 23.75 17.50 21.25 11.25

77 NB P 56 SD Kontrol Ya 10 8.9 Insulin 23.22 18.75 17.50 15.00 12.50

78 TCK P 40 SMA Kontrol Tidak 0.17 8.2 Oral 21.48 23.75 23.75 20.00 22.50

79 KMA L 40 SMA Kontrol Tidak 4 11.73 Insulin 24.90 23.75 21.25 18.75 16.25

80 MY P 56 SD Kontrol Tidak 5 7.2 Oral 26.67 21.25 23.75 20.00 20.00

81 TSR P 57 SD Kontrol Ya 0.04 8.9 Insulin 30.15 23.75 23.75 21.25 21.25

82 MDP P 45 (-) Kontrol Ya 5 6.44 Oral 21.48 23.75 17.50 18.75 12.50

83 IMS L 56 SD Kontrol Tidak 7 8.57 Oral 25.37 18.75 17.50 15.00 11.25

84 IMN P 55 SMP Kontrol Tidak 6 7 Oral 25.12 22.50 21.25 20.00 17.50

85 GAR P 56 SMP Kontrol Tidak 5 6.56 Oral 26.34 20.00 17.50 17.50 17.50

86 FR P 50 SMP Kontrol Tidak 4 7.5 Oral 23.34 21.25 20.00 20.00 15.00

87 YTH P 50 SMA Kontrol Ya 2 6.9 Insulin 18.89 23.75 21.25 18.75 20.00

88 RAI P 56 SMA Kontrol Tidak 1 6.85 Insulin 25.54 22.50 20.00 20.00 15.00

89 ARK P 50 S1 Kontrol Tidak 7 8.2 Insulin 26.45 23.75 16.25 20.00 13.75

NO NAMA SEX UMUR DIK KASUS

/KONTROL

HIPERTENSI DURASI HBA1C OBAT BMI H. Udara H. Tulang

KANAN KIRI KANAN KIRI

90 YNS P 49 SMA Kontrol Tidak 3 7 Insulin 25.12 23.75 17.50 20.00 16.25

Lampiran 9

83

AMBANG PENDENGARAN SUBJEK PENELITIAN

H. UDARA KANAN H. TULANG KANAN H. UDARA KIRI H. TULANG KIRI

NAMA 500 1000 2000 4000 8000 500 1000 2000 4000 500 1000 2000 4000 8000 500 1000 2000 4000

NML 35 35

40 35 45 30

30 40

35

35

40

35 40

40 30 40

35 40

NNS 25 25

45 45 45 25

25 45

40

20

20

20 25

25 20 20

20 20

DAR 35 40

45 50 50 35

40 40

45

30

30

30 30

35 25 30

25 30

ECD 25 25

30 30 35 25

25 30

25

40

30

30 30

35 35 30

30 30

FEN 25 35

40 45 45 25

30 40

40

20

20

20 25

25 20 20

20 20

IKR 25 30

30 35 35 25

30 30

35

30

30

30 40

45 30 30

40 30

NKT 25 25

35 40 40 25

25 30

35

40

40

40 45

45 35 40

40 45

PRK 20 20

25 30 40 20

20 20

30

30

35

40 50

50 30 35

40 45

NWR 25 30

30 35 35 20

25 30

35

40

45

45 50

50 35 45

45 50

KNP 20 25

25 35 30 20

25 25

30

25

25

35 30

35 25 25

30 30

MGM 30 35

35 35 35 30

35 30

30

40

40

45 45

45 35 40

40 45

BMI 25 25

35 35 35 25

25 30

30

35

35

40 40

45 35 40

40 40

WRT 30 30

35 40 50 25

25 35

40

30

30

30 35

50 30 25

30 35

NWS 25 25

40 45 50 25

25 40

40

30

35

35 45

45 30 35

35 45

JRM 40 40

35 30 35 40

35 30

30

30

40

35 45

35 30 40

30 45

IKS 20 25

25 20 25 20

20 25

25

25

25

40 45

50 25 25

40 45

DEM 25 25

35 40 40 25

25 30

40

25

25

30 30

30 25 25

25 30

NKS 30 30

30 30 40 25

30 30

30

30

30

30 30

40 30 30

30 30

IWK 25 30

30 25 35 25

25 30

25

30

25

25 30

40 25 25

25 25

STH 25 25

30 40 40 25

25 30

40

25

25

40 30

40 20 25

40 30

DNP 30 30

30 35 40 25

20 30

30

30

30

40 45

45 30 30

40 40

IMS 20 25

20 30 40 20

20 20

30

30

25

35 30

40 25 25

30 30

DNR 25 25

30 35 40 15

25 30

35

25

35

25 25

40 20 35

25 25

IWS 25 25

35 40 50 25

25 35

40

25

30

25 25

30 25 30

25 25

TTL 25 35

45 45 45 25

30 40

40

30

30

40 30

30 30 35

30 30

IWR 25 25

35 30 40 25

25 30

30

30

30

30 35

40 30 30

25 30

H. UDARA KANAN H. TULANG KANAN H. UDARA KIRI H. TULANG KIRI

NAMA 500 1000 2000 4000 8000 500 1000 2000 4000 500 1000 2000 4000 8000 500 1000 2000 4000

MRY 25 25

35 35 40 25

20 30

35

30

25

30 30

35 25 25

30 30

IKS 35 40

50 55 55 30

35 45

50

30

40

35 30

45 30 35

35 25

GDS 30 30

35 30 45 25

25 35

30

20

25

20 20

25 15 25

20 20

NS 20 30

40 40 35 20

30 35

30

30

25

25 30

35 25 25

25 25

JMH 20 40

40 40 50 20

35 35

40

25

25

30 30

35 25 25

30 25

NWA 25 35

30 40 45 25

30 30

35

25

25

30 45

50 25 25

30 45

IMB 35 35

35 40 45 30

35 35

35

30

40

30 30

30 30 35

30 30

NMP 35 40

45 50 50 35

40 45

45

30

25

25 30

30 25 25

25 30

SKI 25 30

30 40 45 20

30 30

40

30

30

30 35

35 30 30

30 30

NLB 35 35

45 45 50 30

35 40

40

20

20

20 20

35 20 20

20 20

NYK 20 30

30 40 50 20

30 30

35

40

45

50 45

50 40 40

50 45

WS 30 25

25 35 35 25

25 25

35

25

30

30 30

35 25 30

30 30

NMR 30 30

35 35 40 25

30 35

35

40

50

45 45

50 40 45

45 45

GTU 35 35

45 50 50 35

35 40

45

25

30

30 40

40 25 30

30 40

YUN 35 45

50 50 55 35

40 45

50

35

35

35 35

40 30 35

35 35

GUD 35 35

45 35 35 35

35 35

35

25

35

25 25

35 25 30

25 25

NMY 20 30

40 40 45 20

30 40

35

30

30

30 35

40 25 30

35 30

NMS 25 30

35 35 40 25

30 30

35

20

30

30 35

35 20 30

30 35

WTS 30 40

45 35 35 30

40 40

35

30

35

35 40

40 30 35

35 40

NNS 20 15

20 20 40 15

15 20

15

20

25

25 25

40 15 25

25 20

RT 15 20

25 25 30 15

20 20

25

25

25

20 25

25 25 20

20 20

IMK 15 20

25 35 25 15

20 20

35

25

25

20 20

40 25 20

20 30

NWD 20 15

30 30 30 20

15 20

25

25

25

20 25

25 25 20

20 25

IWS 20 15

20 20 25 15

15 20

20

20

20

25 25

20 20 20

25 20

IWS 10 20

20 20 40 10

20 20

15

20

20

20 20

50 15 20

20 20

FM 20 20

25 30 30 20

20 20

25

25

20

30 20

35 20 30

20 25

NNS 15 15

20 15 30 10

15 20

15

20

20

15 15

20 10 15

10 10

GAS 20 20

25 30 30 20

20 20

30

15

15

15 15

15 10 10

10 10

NWS 20 15

15 20 25 20

15 10

25

20

15

15 20

20 15 15

15 15

NLW 20 20

15 20 25 15

15 15

20

15

15

20 20

40 10 15

15 20

IWS 15 20

25 35 35 15

20 20

35

20

20

25 30

30 20 20

20 30

H. UDARA KANAN H. TULANG KANAN H. UDARA KIRI H. TULANG KIRI

NAMA 500 1000 2000 4000 8000 500 1000 2000 4000 500 1000 2000 4000 8000 500 1000 2000 4000

SL 20 15

30 30 35 20

15 30

25

20

25

20 20

40 15 20

20 15

TKL 15 20

25 20 20 15

20 20

15

10

20

20 20

25 10 20

15 20

NKT 20 20

25 30 30 20

20 20

25

20

20

20 25

25 20 20

20 20

IWW 15 20

30 25 30 15

20 25

20

15

15

25 20

20 15 15

10 15

NNK 20 20

25 30 25 20

20 25

30

20

25

15 20

25 20 25

15 20

NMM 20 20

20 20 20 20

20 20

20

10

15

15 10

20 10 10

15 10

IWT 15 15

20 30 40 15

15 20

25

15

15

20 25

35 15 15

20 20

AN 15 15

25 20 25 15

15 20

15

20

20

20 25

30 15 20

20 15

IWS 20 20

30 25 25 20

20 20

25

25

25

20 25

25 20 25

20 20

STH 20 20

25 30 30 15

15 25

20

20

30

25 20

35 20 20

25 20

TY 20 15

20 20 20 10

15 20

20

15

15

20 20

30 5 10

20 10

VNG 20 25

25 25 25 20

20 20

20

20

20

25 30

25 15 15

25 20

IKD 20 20

25 30 20 10

20 20

20

20

30

20 20

25 15 15

15 15

IMS 20 20

20 20 25 15

15 10

10

25

25

20 25

40 15 20

15 25

NRJ 20 30

20 20 25 15

15 15

15

15

20

20 20

20 10 20

20 10

BGS 20 20

20 25 40 15

20 15

20

20

15

15 25

25 15 15

15 20

NKR 20 25

20 30 35 15

25 20

25

20

20

25 25

30 20 20

20 20

IGS 25 30

20 20 30 20

25 20

20

15

15

20 20

20 5 15

10 20

MN 25 25

25 20 35 15

25 25

20

10

15

25 20

25 10 15

10 10

NB 15 20

20 20 25 15

15 15

15

15

15

20 20

25 10 10

15 15

TCK 30 20

20 25 30 20

20 20

20

20

20

25 30

40 15 25

20 30

KMA 25 25

20 25 25 15

20 15

25

20

20

20 25

25 15 20

15 15

MY 20 25

20 20 30 20

20 20

20

20

25

20 30

30 20 20

20 20

TSR 20 30

25 20 25 20

25 20

20

20

20

30 25

25 20 20

25 20

MDP 20 25

30 20 30 15

20 15

25

10

10

30 20

25 10 10

20 10

IMS 20 15

20 20 25 15

15 15

15

15

15

20 20

25 15 10

10 10

IMN 15 25

30 20 35 15

20 25

20

20

25

20 20

20 15 15

20 20

GAR 20 20

20 20 25 10

20 15

25

15

15

20 20

25 15 15

15 25

FR 20 25

20 20 30 20

20 20

20

20

20

20 20

40 10 15

15 20

YTH 20 30

15 30 45 15

20 15

25

20

20

20 25

30 20 20

20 20

RAI 30 20

20 20 25 20

20 20

20

20

20

20 20

25 10 15

15 20

H. UDARA KANAN H. TULANG KANAN H. UDARA KIRI H. TULANG KIRI

NAMA 500 1000 2000 4000 8000 500 1000 2000 4000 500 1000 2000 4000 8000 500 1000 2000 4000

ARK 25 20

20 30 35 20

15 20

25

15

20

15 15

35 10 20

10 15

YNS 25 25

20 25 30 15

20 20

25

15

15

20 20

20 15 20

15 15

LAMPIRAN 10

ANALISIS DATA

___ ____ ____ ____ ____ (R)

/__ / ____/ / ____/

___/ / /___/ / /___/ 12.1 Copyright 1985-2011

StataCorp LP

Statistics/Data Analysis StataCorp

4905 Lakeway Drive

Special Edition College Station, Texas

77845 USA

800-STATA-PC

http://www.stata.com

979-696-4600

[email protected]

979-696-4601 (fax)

. mcc hba1ckat1 hba1ckat0

| Controls |

Cases | Exposed Unexposed | Total

-----------------+------------------------+------------

Exposed | 28 11 | 39

Unexposed | 4 2 | 6

-----------------+------------------------+------------

Total | 32 13 | 45

McNemar's chi2(1) = 3.27 Prob > chi2 = 0.0707

Exact McNemar significance probability = 0.1185

Proportion with factor

Cases .8666667

Controls .7111111 [95% Conf. Interval]

--------- --------------------

difference .1555556 -.0291155 .3402266

ratio 1.21875 .983095 1.510893

rel. diff. .5384615 .1417687 .9351543

odds ratio 2.75 .8148714 11.84166 (exact)

. mcc hipertensi1 hipertensi0

| Controls |

Cases | Exposed Unexposed | Total

-----------------+------------------------+------------

Exposed | 9 16 | 25

Unexposed | 7 13 | 20

-----------------+------------------------+------------

Total | 16 29 | 45

McNemar's chi2(1) = 3.52 Prob > chi2 = 0.0606

Exact McNemar significance probability = 0.0931

Proportion with factor

Cases .5555556

Controls .3555556 [95% Conf. Interval]

--------- --------------------

difference .2 -.0227634 .4227634

ratio 1.5625 .9765828 2.499948

rel. diff. .3103448 .0411727 .5795169

odds ratio 2.285714 .8896745 6.569858 (exact)

. mcc drs1 drs0

| Controls |

Cases | Exposed Unexposed | Total

-----------------+------------------------+------------

Exposed | 1 15 | 16

Unexposed | 2 27 | 29

-----------------+------------------------+------------

Total | 3 42 | 45

McNemar's chi2(1) = 9.94 Prob > chi2 = 0.0016

Exact McNemar significance probability = 0.0023

Proportion with factor

Cases .3555556

Controls .0666667 [95% Conf. Interval]

--------- --------------------

difference .2888889 .1081582 .4696196

ratio 5.333333 1.66124 17.12241

rel. diff. .3095238 .1496425 .4694051

odds ratio 7.5 1.744168 67.59032 (exact)

. clogit snhl hba1ckat hipertensi drs, group (pair) or

Iteration 0: log likelihood = -22.683052

Iteration 1: log likelihood = -22.62263

Iteration 2: log likelihood = -22.622409

Iteration 3: log likelihood = -22.622409

Conditional (fixed-effects) logistic regression Number of obs

= 90

LR chi2(3)

= 17.14

Prob > chi2

= 0.0007

Log likelihood = -22.622409 Pseudo R2

= 0.2747

-----------------------------------------------------------------

-------------

snhl | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95%

Conf. Interval]

-------------+---------------------------------------------------

-------------

hba1ckat | 2.790533 1.89891 1.51 0.132

.7352911 10.59047

hipertensi | 2.913057 1.675908 1.86 0.063

.9432893 8.996073

drs | 7.843559 6.316166 2.56 0.011

1.618333 38.0153

--------------------------------------------------------------

----------------