duplex pipe dan stainless steel pipe

Upload: az-zahra-fatimah

Post on 06-Jul-2015

1.661 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Duplex Pipe dan Stainless Steel Pipeeko prasatiyo Dear rekan-rekan, mohon pencerahannya untuk persamaan dan perbedaan antara pipa duplex dengan pipa stainless steel baik dari sisi kandungannya maupun kekerasannya. Jimmy Octavianus Pak Eko, Persamaan antara pipa SS dan duplex adalah kedua-duanya merupakan material Stainless Steel yang memiliki ketahanan korosi. Namun yang membedakan antara keduanya adalah : Susunan struktur mikronya. Kalau Duplex memiliki struktur mikro Austenitic Ferritic sedangkan SS grade seperti 304 atau 316L hanya Austenitic. Duplex memiliki ketahanan korosi lebih superior daripada SS, juga hot cracking resistance yang lebih baik karena unsur ferritic pada duplex. Saya juga attach comparison chart chemical dari SS 316L dan duplex. * Pak Budhi, mohon kiranya attachment bisa dilampirkan agar bisa berguna sbg informasi untuk rekan2 milis tanos frank Duplex Stainless steel = SS AISI 318.... material AISI 318 (duplex) selain tahan korosi, khusus dipakai pada under zero condition seperti Propane atau Pentane flowing... tapi tidak heat resistance. Heat reaistance pergunakan SS 17PH.... Jimmy Octavianus Pak Frank, Terima kasih untuk sharingnya. Namun Pak Frank, sepengetahuan saya Duplex berbeda dengan SS 318. Struktur mikro SS 318 adalah austenite yg hanya memiliki unsur ferrite 3-12%.

Sedangkan mikrostruktur duplex adalah Austenite ferritic di mana unsur ferrite adalah 25-50%. Kandungan Cr pada SS Duplex tipikal adalah 22%Cr sedangkan SS 318 kandungan Cr tipikal di bawah 22% (bila merujuk pada kawat las 318, tipikal kandungan Cr adalah 19.5%). Terima kasih, mungkin ada rekan2 yang dapat menambahkan. Dafi Betul pak jimmy, Mungkin maksud pak frank ini S31803, lah ini baru duplex nama lainnya LC2205. Mohon koreksi kalo ada salahnya henry leonard saragih Dear Pak Eko, Hanya sharing untuk hal duplex dan stainless steel, Duplex juga termasuk dalam kategori stainless steel. Tetapi dalam categori High Quality Stainless steel.Stainless steel itu ada berbagai categori yaitu : Common stainless, Heat resistant stainless steel,Austentitic steel dst.Kalau untuk Duplex, kandungan kimia yang dapat kami share adalah sbb : Carbon 0.03 max;Mangan 2.0; Silikon 1.0 ;Chromium 21-23; Nickel 4.56.5. Tensile stength 620; hardness 31.Dengan data-data yang saya sebutkan disini, Pak Eko dapat membandingkan dengan data Pipa Stainless steel yang ada pd Pak Eko. Mudah-mudahan sharenya berguna. Decky Ambarbawono nambahin sharing aja pak, kalo dari material pipa, stainless steel secara struktur mikro dibagi 3 austenitic, feritic dan martensitic. masing2 memiliki physical properties yang berbeda, perbedaannya meliputi sifat magnetic/non magnetic, weldability, bisa cold/hot treatment, dll. kalo material duplex, dari terminologi itu adalah gabungan dari 2. 2 yang dimaksud adalah sebuah material stainless steel yang memiliki physical properties campuran antara sifat yang dimiliki, stainless steel austenitic dan stainless steel ferritic. Admin Migas

Nambahin juga bahwa hal ini pernah dibahas sebelumnya di Milis Migas Indonesia. Silahkan kalau mau mendownload beberapa dokumen mengenai material di URL : http://www.migas-indonesia.net/index.php? option=com_docman&task=cat_view&gid=160&Itemid=42. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Carbon Steel HandBook Dasar-Dasar Pengetahuan Bahan Duplex Stainless Steel How to Weld Duplex Stainless Steels Metals Red Book NonFerrous Metals Pickling Handbook - AvestaPolarit Welding Stainless Steel Stainless Steel & Sifat Weldability

farabirazy albiruni Dear all, Apa gak salah nih 17-4 PH itu heat resistant? Matrix base dari 17-4 PH adalah martensitic structure yang tidak stabil pada temperatur tinggi dan tidak disarankan untuk digunakan lebih dari 300 degree C. Untuk aplikasi temperatur tinggi, material harus berbasis austenitic karena memang austenitic punya kestabilan pada temperatur tinggi. Untuk duplex stainless steel, setau saya banyak sekali file2 lama yang membahas material ini. Bisa dilihat di arsip migas (lihat di bawah salah satunya). --------------------------ini salah satu arsip migas berkaitan dengan duplex SS: Dear Ms or Mrs. Hapsari Reinnette,

Saya coba jawab moga2 bisa membantu, Kasusnya adalah seleksi material mana yang lebih baik apakah menggunakan super duplex atau incoloy 825. 1. *Apakah dengan kadar nikel yang tinggi, akan menjamin material tersebut memiliki corrosion resistant yang tinggi ? * Kedua material adalah jenis high alloy material dengan kadar alloying elements > 10%. Duplex adalah jenis iron-chromium- nickel alloy (masuk kategori SS), sementara incoloy adalah nickel-iron- chrimium alloy (masuk kategori non-ferrous alloy). Corrosion resistant pada duplex diperoleh dari unsur Cr yang lebih dari 10.5% untuk menciptakan lapisan pasif Cr2O3. Sementara pada incoloy, corrosion propertiesnya memang diberikan oleh unsur nickel. Nickel pada stainless steel seperti duplex digunakan sebagai austenitic stabilizer, dan bukan sebagai corrosion resistant element. Secara mikrostruktural duplex memiliki dua fasa yaitu ferrite dan austenit yang seimbang makanya disebut duplex. Sementara pada incoloy, kadar nickel yang tinggi hanya memungkinkan terbentuk satu fasa, yaitu austenitic. Konsekuensi perbedaan mikrostruktur ini adalah pada sifat mekanis dan stabilitas pada temperatur tinggi. Struktur ferritic pada duplex memiliki masalah ketidakstabilan bila digunakan apda temperatur tinggi, sehingga umumnya duplex dibatasi maksimum temperatur operasinya sekitar 250-300 deg. Hal ini tidak menjadi kendala pada struktir austenitic yang jauh lebih stabil dibandingkan dengan struktrur duplex. Maka dari itu, banyak material untuk aplikasi temperatur tinggi, menggunakan nickel alloy. Jadi, penambahan unsur nikel dikedua material ini ditujukan untuk maksud yang berbeda. Konsekuensi dari kadar nikel yang tinggi adalah price material menjadi tinggi. *2. Jika chromium memiliki sifat yang sama dengan nikel (dapat dari wikipedia) mengapa di super duplex kadar chromium lebih tinggi dari kadar chromium di incoloy 825 ?apa yang membedakan karakter chromium dengan nikel ?* Pertanyaan ini sudah terjawab dipertanyaan pertama. Chromium yang tinggi pada duplex berfungsi untuk menciptakan lapisan pasif Cr2O3 (lapisan anti karat istilah mudahnya) sementara pada incoloy penambahan Cr untuk maksud yang berbeda yaitu untuk meningkatkan ketahanan oksidasi pada temperatur tinggi.

* 3. Apakah benar bila kadar Mo rendah, maka ini akan mempengaruhi keefektifan dari sifat corrosion resistant dari nikel atau chromium ? * Penambahan unsur Mo pada kedua material adalah untuk membantu menciptakan ketahanan terhadap pitting dan crevice corrosion. Yang perlu diingat, material tahan korosi bukan berarti tahan terhadap semua jenis korosi. Contoh gampangnya untuk kedua material ini adalah ketahanan terhadap SCC. Duplex memiliki ketahanan terhadap SCC lebih baik dibandingkan Incoloykarena konsekuensi dari memiliki dua fasa ferritic dan austenitic, sementara incoloy hanya austenitic yang rentan terkena serangan SCC. *4. Bila kembali ke proses data maka maximum temperatur adalah berkisar 150 degF dan fluidnya adalah natural gas dan condensate. Selain itu, katup diletakkan di dekat wellhead dan gas memiliki kandungan H2S (prosentase tidak diketahui). * Temperatur operasi tidak masuk range high temperatur, artinya, duplex masih bisa digunakan untuk aplikasi ini. Sebaiknya cari tau kandungan fluida secara keseluruhan untuk mengetahui corrodant yang paling ganas yang ada didalam fluida. Ketahanan terhadap serangan H2S juga harus diperhitungkan dengan merujuk diagram ketahanan korosi dilingkungan H2S (Bisa dilihat di diagram yang dikeluarkan Inco Alloy ato Sandvik). *5. Satu pertanyaan lagi mengenai material, apakah benar H2S dapat mempengaruhi SS material ? dengan kata lain membuat deformasi pada material SS ?* H2S bisa menyebabkan serangan korosi pada temperatur dan tekanan tertentu terhadap stainless steel. Sepeperti pada jawaban no.4, rujuk ke diagram ketahanan korosi di lingkungan sulfide untuk tahu seberapa rate korosi yang terjadi dan rate ini dijadikan patokan dalam mendesain umur material. Deformasi hanya terjadi karena ada stress yang bekerja pada material. Bisa berupa deformasi elastis ato deformasi plastis. Kalau tekanan H2S lebih besar dari yield stress material, maka akan menyebabkan terjadinya deformasi (elastis+plastis) pada meterial. Bila tidak, ya hanya deformasi elastis. * Terimakasih untuk perhatiannya semua.*

Sama-sama tanos frank Semua material Stainless Steel akan mengalami SCC. Tergantung quality manufacturing dari si pembuat produk. Setiap raw material yang dimanufacturing untuk keperluan piping produk pasti akan terdapat laminasi secara phenomena. Sekalipun finishing touch memakai ultrasonic yang modern untuk QA/QC... laminasi sulit dihindari. Keunggulan AISI 318 Duplex dapat disambung atau di las ke material carbon steel ASTM 105A atau AISI1022 MS. Untuk downhole equipment yang paling direcommended adalah ss 17-4PH utk heat resistance, Ini yang saya ketahui selama ini... farabirazy albiruni Wah Pak Frank, Pernyataan bapak *Semua material Stainless Steel akan mengalami SCC* ini bisa menyesatkan buat rekan2 lain yang tidak mengerti metalurgi dan material secara detail. Saya gak akan bahas detail mengapa SS bermatrix austenitic lebih rentan terkena SCC dibandingkan material SS bermatrix selain austenitic, bapak bisa merujuk ke text book yang membahas tentang stainless steel terutama mengenai corrosion resistance terhadap SCC. Intinya, untuk aplikasi dimana terdapat lingkungan yang rentan terjadinya SCC, penggunaan SS bermatrix austenitic (AISI seri 2xx dan 3xx) sebaiknya dihindari. Pengertian heat resistant material adalah material yang tahan temperatur tinggi (disini temperatur tinggi dari segi metalurgi adalah temperatur aplikasi > dari temperatur rekristalisasi atau umumnya > dari 0.4 x melting temperatur). Dan seperti email saya sebelumnya, 17-4 PH adalah stainless steel bermatrix martensitic yang tidak direcommend untuk digunakan > 300 centigrade. Untuk temperatur tinggi, SS bermatrix austenitic seperti dengan seri H dibelakangnya (304H, 310H, dsb) sebaiknya digunakan. Menyangkut laminasi, ya kalau pipa yang dimanufacture menggunakan platehasil rolling, kemungkinan besar laminasi akan terbentuk. namun untuk pipa yang diproduksi secara foundry seperti

untuk tubular furnace ya bapak tidak akan menemukan laminasi di sana. Jimmy Octavianus Pak Abie, Saya setuju bahwa untuk SS bermatrix austenistic memang rentan thdp korosi SCC. Sedangkan untuk duplex dan weld metal dari kawat las duplex kami pernah dites SCC di DNV, dan lulus (waktu itu untuk BP Tangguh Project). Karena memang struktur mikro duplex yang berbeda dengan SS austenitic. DARMAYADI Wah..jadi bingung nih... SCC itu Apasih ? Batasan temperatur disebut rendah berapa? Batasan temperatur disebut tinggi berapa? Temperatur rekristalisasi untu stainless berapa? tanos frank Dear Pak Darmayadi, Salam kenal dulu. Mungkin saya bisa membantu sedikit tentang Stress Corrosion Cracking, SCC adalah bagian dari salah satu nama korosi. Hal ini biasanya terjadi banyak parameter. Bisa karena kelelahan logam (metal fatigue) atau corrosion fatigue, atau temperature, atau karena deformation. Ini semua tergantung dari inspection dan failure analysisnya. Salah satu contoh... 85% pesawat terbang yang jatuh, kerena kelehan logam, baik mechanical failure maupun lainnya. 10% karena binatang seperti: tikus, kecoa dan burung. Human error hanya 5%. Demikian pak Darmayadi. ROSES-Man

Walah Pak Frank, masa sih 85% pesawat jatuh karena kelelahan logam? berarti program inspeksi struktur pesawatnya gak bener dong..... dan seingat saya waktu berkecimpung di airlines, jarang sekali loh kita menemukan korosi karena stress. beda dengan crack (retak) yang banyak ditemukan ya pak...... dan kebanyakan crack berawal dari adanya scratch, bukan murni dari fatigue. jadi kalau tidak ada scratch, fatigue tidak banyak mengakibatkan crack. korosi yang banyak terjadi saat ini adalah biasanya karena water/moisture trap, chemical liquid, dan yang paling banyak adalah kebocoran water system (di bawah toilet, coffee spillage, dsb). Setelah kasus aloha 123, inspeksi struktur pesawat menjadi lebih detail lagi... sehingga dikenal pada waktu itu adanya SSID dan CPCP. SSID adalah supplemental structure inspection document dan CPCP adalah Corrosion Prevention Control Program, waktu itu menjadi tambahan dalam perawatan yang menggunakan metode MSG-2 (maintenance steering group). untuk saat ini, kebanyakan sudah pakai MSG-3, dokumen2 itu dilebur menjadi Structure Inspection Program. kasus yang bapak ungkapan memang banyak terjadi pesawat jatuh karena fatigue adalah sebelum masa MSG-1, dimana structure inspectionnya belum tepat sasaran, selain itu ada beberapa pesawat yang mengalami salah desain (jendela kotak) yang mengakibatkan konsentrasi tegangan yang berlebihan pada area2 kritis. Perawatan structure pesawat merupakan hal yang paling penting dalam operasional pesawat, karena efeknya yang sangat fatal yaitu terjadi dekompresisasi kabin yang sangat cepat apabila terjadi di udara. selain itu, perawatan struktur pesawat juga menggunakan metode yang tidak kalah canggih dari industri lain, yaitu menggunakan UT, X-ray, bahkan beberapa teknologi baru seperti Thermal Imaging. beberapa airline besar sudah mulai mempraktekkannya dengan persetujuan dari authority mereka. tetapi sayangnya airlines indonesia saat ini hanya sebatas pengikut metode2 yang sudah diverifikasi oleh FAA dan EASA/JAR. Ya hanya sebuah tanggapan semoga bisa jadi masukan.... I Made Sudarta I Made Sudarta Bapak2 yth, Menarik sekali ulasan ini menegani faktor penyebab jatuhnya pesawat yaitu 85% oleh karena kelelahan material dari pesawat itu sendiri, ini artinya potensi untuk terjadinya kecelakaan pada pesawat masih

sangat besar selama tidak ada improvement yang komprehensif, kalau data tersebut valid. Untuk pak Frank, mohon dapat dishare sumber data tersebut untuk bahan kajian. tanos frank Selamat Hari dan Salam kenal Pak Sudarta, Maaf agak terlambat membalas pertanyaan bapak, saya lagi berapa di Manado, ikut track record diving untuk "World Guines Book Record"... ada 2800 divers seluruh Indonesia yang turut partisipasi. Hari kita boleh berbangga bahwa Indonesia telah mendapat pengakuan international dan berhasil menjadi " World Guines Book Record". Pak Sudarta, Terima kasih untuk pertanyaan bapak. Kalau kita bicara masalah korosi pada dunia industry maupun dunia transportation sangatlah luas sekali. Khususnya masalah korosi fatigue pada dunia penerbangan. Di Indonesia bahaya korosi terhadap dunia penerbangan tidak terlalu banyak dipublikasikan secara luas sehingga banyak masysrakat kita kurang mendapatkan input tentang hal ini. Sebaik setiap kecelakaan pesawat terbang yang terjadi, harus melibatkan banyak badan2 professional baik investigasi maupun failure analysisnya. Yang dinamakan Corrosion Teams itu sangatlah luas. Banyak ilmu disiplin yang terlibat, baik ahli2 metalurgy, chemistry, mechanical, coating group, corrosion monitoring group dan inspection group dll. Mereka2 ini sudah memiliki profesi specialist tersendiri. Saya sendiri tidak tau kenapa Badan Penerbangan kita jarang melibatkan mereka setiap ada kecelakaan pesawat terbang, baik itu pesawat militer maupun komersial. Untuk mendapatkan data-data kecelakan setiap kecelakaan agak sulit, minim sekali informasi yang bisa ditarik sebagai bahan kajian. Selain itu kita tidak tau siapa yang memiliki authorisasi untuk ini. Pak Sudarta, saya memiliki ratusan data presentasi kecelakan pesawat terbang, baik itu pesawat2 militer maupun komersial, baik itu asal Eropa maupun US militer, ada yang saya dapatkan dari website ada yang dikirim khusus, tetapi untuk data-data kecelakaan di Indonesia sulit mendapatkannya. Apakah ini disengaja untuk tidak di publikasi agar tidak memiliki dampak buruk bagi perusahaan Airline

tersebut dalam binisnya, atau apa?... tetapi bagi orang2 ilmuan korosi, sangatlah memerlukan informasi data seperti itu. Menurut saya Asosiasi Korosi Indonesia atau Inspection Group Indonesia, sudah harus membuat terobosan yang lebih maju agar pemerintah bisa melibatkan mereka yang memiliki profesi seperti diatas. Indonesia memiliki catatan kecelakaan pesawat terbang tertinggi di dunia. Sangatlah baik bagi rekan2 ilmuan korosi untuk menambah pengalaman serta memiliki wawasan yang lebih luas. Faktor Korosi tidak dilihat dari tex book saja, tetapi investigasi lapangan sangatlah penting. Demikian pak Sudarta. Terlampir sekedar info buat bapak dan rekan2 yang memerlukan. peace and blessings,Frank I Made Sudarta I Made Sudarta Pak frank sebelumnya ijinkan saya mengucapkan selamat atas keberhasilan putra-putri bangsa Indonesia yang telah berhasil menorehkan prestasi yang beigtu spektakuler dihari yang penuh histori ini. Bravo. salam kenal juga buat pak Frank dan selamat menikmati keindahan kota Bunaken dan hidangan ikan lautnya yang khas. Seperti kita ketahui bahwa setiap peristiwa kecelakaan entah apapun itu, penyebabnya bukanlah single factor melainkan multi factor dan saling bergantungan satu sama lain. banyak teori atau model kecelakaan telah dipublikasikan. Pada umumnya kesalahan selalunya ditujukan pada manusianya atau biasa disebut dengan human error. dengan adanya ulasan dari pak frank ini buat saya adalah hal yang sangat menarik sekali apalagi dikatakan (data tanda kutif) sebanyak 85% oleh karena fatique korosi.. kalau di industri memang sudah banyak data yang dapat digunakan untuk kajian-kajian akademis. kalau tidak keberatan boleh bapak memberikan data-data tersebut (japri saja).

tanos frank Hello Pak Roses-Man,

Salam kenal buat bapak dan senang bisa berdiskusi di milis KMI. Kelihatannya berdiskusi masalah korosi sangat asik ya. Apa yang bapak uraikan betul. Korosi memang sangat komplek, di Indonesia sendiri dunia penerbangan sangat aware terhadap korosi. Kalau kita melihat semua aircarft yang jatuh di Indonesia, jarang sekali dilakukan analysis corrosion problem. Ini bisa kita lihat baik laporan2 dari analsyis LIPI atau LUK maupun Assososi Korosi Indonesia (INDOCOR), tidak pernah dilibatkan dalam investigasi dan analysis. Mereka2 ini semua adalah lembaga Corrosion Professional, tetapi jarang dilibatkan dalam aircraft failure. Korosi di aircraft tidak saja terjadi dari piping sanitari, tetapi aluminium body structure sering mengalami corrosion fatigue. Terutama aliminium alloy 2024/T3, kedua temperature tinggi di gasturbine combustion chamber memberi effek pada metal fatigue, termasuk vibration effek. Yang menjadi masalah, hampir semua semua airline kita sering menunda flight hour maintenance programme. Kalau sistem pemeliharaannya tepat waktu, mungkin bisa meminimize accident. Kalau kita mau komper sistem HSE perminyakan dengan Airline di Indonesia, HSE di Migas sangat excelllent. Mereka selalu menonjolkan yang namanya Zero Accident. Sebaiknya lembaga2 Corrosion professional di indonesia dilibatkanlah dalam setiap aircfrat accident. Ini menyangkut failure analysis yang berhubungan dengan metal structure. Sedikit Info kita semua: Accident description languages: Status: Date: 22 AUG 1981 Time: ca 10:00 Type: Boeing 737-222 Operator: Far Eastern Air Transport - FEAT Registration: B-2603 C/n / msn: 19939/151 First flight: 1969 Cycles: 33313

Engines: 2 Pratt & Whitney JT8D-7A Crew: Fatalities: 6 / Occupants: 6 Passengers: Fatalities: 104 / Occupants: 104 Total: Fatalities: 110 / Occupants: 110 Airplane damage: Written off Airplane fate: Written off (damaged beyond repair) Location: near Miao-Li (Taiwan) Phase: En route (ENR) Nature: Domestic Scheduled Passenger Departure airport: Taipei-Chiang Kai Shek International Airport (TPE/RCTP), Taiwan Destination airport: Kaohsiung International Airport (KHH/RCKH), Taiwan Flightnumber: 103 Narrative:

FEAT's Boeing 737 B-2603 was used extensively on domestic flights within Taiwan since being acquired from United Airlines in April 1976. On August 5, 1981 the aircraft lost cabin pressure during a flight from Taipei (TPE) to Kaohsiung (KHH). On August 22 the 737 ook off from Taipei on a flight to Makung (MZG). Ten minutes after take-off from there was a loss of cabin pressure. The flight crew returned to Taipei, where repair work was carried out. Later that day the aircraft entered service again as Flight 103 to Kaohsiung. Fourteen minutes after takeoff the aircraft suffered an explosive decomression and disintegrated. PROBABLE CAUSE: "Extensive corrosion damage in the lower fuselage structures, and at a number of locations there were corrosion penetrated through pits, holes and cracks due to intergranular corrosion and skin thinning exfoliation corrosion, and in addition, the possible existence of undetected cracks because of the great number of pressurization cycles of the aircraft (a total of 33,313 landings), interaction of these defects and the damage had so deteriorated that rapid fracture occurred at a certain flight altitude and pressure differential resulting rapid decompression and sudden break of passenger compartment floor beams and connecting frames, cutting control cables and electrical wiring. And eventually loss of power, loss of control, midair disintegration." Accession Number : ADA208359 Title : The Fatigue in Aircraft Corrosion Testing (FACT) Programme, Corporate Author : ADVISORY GROUP FOR AEROSPACE RESEARCH AND DEVELOPMENT NEUILLY-SUR-SEINE (FRAN CE) Personal Author(s) : Wanhill, R. J. ; De Luccia, J. J. ; Russo, M. T. Report Date : FEB 1989

Pagination or Media Count : 226 Abstract : Failure by fatigue and degradation by corrosion continue to be major considerations aircraft design. Environmental effects

influence both initiation and propagation of fatigue cracks, and dynamic loading may cause more rapid deterioration of corrosion protection systems. Therefore the conjoint action of dynamic loading and environmental attack, i.e., corrosion fatigue, requires special attention. Many corrosion fatigue tests have been done on aluminum alloys. However, few included critical structural details like joints, under realistic cyclic load histories and in service-like environments. Even fewer used practical corrosion protection systems. These aspects are specifically addressed by the FACT programme and its predecessor CFCTP programme. The results provide a significant contribution to the understanding of aircraft corrosion fatigue and should encourage further investigation in this difficult and challenging area of aerospace technology. Keywords: Corrosion fatigue; Aluminum alloys; Joints (Junctions); Corrosion prevention; Analysis of variance; Chi square test; International cooperation; Aircraft; Fatigue tests; Cyclic loads; Load transfer; Secondary bending ratio; Statistical tests. NATO furnished. (EDC) Descriptors : *AIRCRAFT, *ALUMINUM ALLOYS, *CORROSION, *FATIGUE TESTS(MECHANICS), AEROSPACE SYSTEMS, ATTACK, BENDING, CHI SQUARE TEST, COOPERATION, CORROSION INHIBITION, CRACKS, DEGRADATION, DETERIORATION, DYNAMIC LOADS, ENVIRONMENTAL IMPACT, FAILURE, FATIGUE(MECHANICS), INTERNATIONAL, NATO, CRACK PROPAGATION, QUICK REACTION, RATIOS, SECONDARY, STATISTICAL TESTS, TEST AND EVALUATION, TEST METHODS, TRANSFER. Subject Categories : MECHANICS PROPERTIES OF METALS AND ALLOYS AIRCRAFT

Corrosion-fatigue is one of the damage mechanisms affecting the structural integrity of the aging aircraft. Simple analytical and probabilistic models for predicting pitting corrosion and corrosionfatigue life in aluminum alloy 2024/T3 used in aircraft structures is presented. The developed model includes the effect of the interaction of cyclic load and the corrosive environment on the fatigue life, and considers all stages of the corrosion-fatigue process. The probabilistic model investigated considers the uncertainties in initial pit size, corrosion pitting current, and material properties due to scatter found in the experimental data. The analytical model shows very good quantitative agreement with the existing experimental data and analytical models over a wide range of parameters. The results

predicted that the crack initiation life varies approximately 10-40% as compared to crack propagation life in corrosion-fatigue problems. Aircraft Corrosion Corrosion control can be one of the aircraft industry's most effective weapons in the battle against airplane structural failures. Left undetected and/or untreated, corrosion can decrease the load carrying capacity of primary structures or act as nucleation sites for fatigue or stress corrosion cracks. Thus corrosion can undermine the integrity of an aircraft and make it unsafe to fly. It is a problem that is not always acknowledged or easily solved and constant vigilance is necessary.

Why Do Aircraft Corrode? Airframe problems associated with corrosion have plagued the aviation industry for decades. The metals that compose aircraft components are subject to several different forms of corrosion, a process accelerated by many factors including prolonged exposure to corrosive agents like industrial fluids, salts, and moisture, or more internal problems such as, condensate formation and leaking lavatories and galleys. Some forms of corrosion such as stress-corrosion cracking and corrosion fatigue can lead to catastrophic failure if not detected and treated. Compounding the problems associated with corrosion is the age factor. Of the total number of commercial aircraft in operation, approximately one-fourth are over 20 years old. As a plane ages, it is repeatedly exposed to environments that accelerate the effects of corrosion. Even though some corrosion control measures have been taken in an effort to enhance the safety of the aging planes now in operation, there is still much to be learned and much to be done. How Can We Keep Aircraft Safe? Implementing corrosion prevention measures in the design and selection of materials used to repair and upgrade planes, in conjunction with effective maintenance procedures, is the best insurance against corrosionrelated failures. When corrosion is discovered, it should be treated immediately. Expanding the amount of time between finding evidence of corrosion and repairing it increases the opportunities for problems to occur.

Corrosion control works best when qualified personnel who are trained in corrosion control are used to detect, evaluate, and repair corrosionrelated damage. Inspectors must have access to the most current inspection and repair technology and receive training on how to use that technology effectively. By applying up-to-date corrosion control technology, the useful life of aircraft can be prolonged and overall maintenance costs will be reduced. Conclusion Controlling corrosion in today's airfleet must be an ongoing, dynamic process that starts with design and manufacturing and continues with maintenance and monitoring. It is a problem that is not going to go away. An investment in corrosion control is an investment in public safety, and it protects the industry's bottom line. Although significant progress has been made, we must continue to devote time and resources to corrosion control in order increase the safety level of all those who fly. ROSES-Man hemm, seingat saya salah satu tenaga ahli di KNKT adalah Pak Mardjono, beliau adalah guru besar di teknik mesin/material ITB. waktu kuliah dulu, pernah beliau melakukan investigasi kecelakaan suatu pesawat lokal yang ternya adanya retakan akibat korosi di bawah toilet (bocor dan tidak terinspeksi). contoh yang bapak ungkapkan itu tahun 81, seingat saya kejadian aloha itu tahun 83. walaupun tidak menyebabkan patah dua, tapi fuselage bagian atas hampir terlepas semua. bisa anda search di internet dengan keyword 'aloha 123'. dan setelah kejadian ini, inspeksi struktur diperketat. selain itu, untuk ivestigasi biasanya melibatkan pabriknya juga dan authority tempat lahir pesawat itu. kl dibilang korosi menyebabkan banyak masalah di pesawat, iya pak.... banyak sekali ditemukan. apalagi banyak airline kita yang belum benar dalam penanganan 'marine products' dimana kalau airnya bocor dan tidak segera dibersihkan sangat korosif. hal ini terlihat ketika c-check dimana, seluruh panel ruang kargo dibuka semua, paling kecil hanya blend out skin plate, tapi keseringan bisa ganti stringer bahkan frame pesawat. tetapi dengan metode inspeksi struktur saat ini, harusnya bisa terdeteksi... kecuali ya main2, dan ini di luar inspeksi yang terjadwal..... kita tidak bisa komentar terhadap airlines model gini. beberapa metode yg digunakan dari mulai visual inspection sampe dengan UT, tapi kebanyakan menggunakan Eddy current (sekarang

banyak memakai phased array). bahkan untuk beberapa area yang susah dilihat, menggunakan X-ray. mengenai heat corrosion, memang terjadi beberapa kali.... tapi di combustion chamber tidak pakai aluminum alloy pak (2024 biasanya banyak digunakan untuk skin plate aja jarang sebagai main structure), kebanyakan titanium alloy. itu pun biasanya muncul kalo ada manufacturing flaws, dan yang serign gara2 foreign object damage (FOD) yang tidak segera direpair sehingga area yang seharusnya terlindungi dengan titanium alloy jadi terekspos dengan heat, akhirnya terjadi heat corrosion. dan sama seperti dengan airframe, maka semua structural items harus mempunyai structure inspection, baik berupa visual inspection maupun dengan NDT equipment. dan korosi ini memang jadi perhatian yang sangat besar, karena sudah dipastikan setiap pesawat masuk c-check, pasti ada request untuk repair karena korosi. tanos frank Pak Roses_Man, Terima kasih atas responnya. Sebaiknya memang lembaga seperti LIPI dan Asosiasi Korosi Professional seperti INDOCOR maupun badan2 lain yang indenpendent dilibatkan dalam investigasi agar memiliki record analysis. Jangan hanya mencari black-boxnya saja, tetapi investigasi keseluruhan sangatlah penting. Dengan seringnya pesawat2 kita jatuh, baik itu pesawat komersial maupun pesawat militer, terutama pesawat2 yang sudah memasuki lansia. Program maintenancenya harus lebih intensif, baik mesin maupun structurenya. Kalau masalah peralatan inspection, seperti pak Roses katakan; UT, EC maupun XRay... saya kira bisa dibeli oleh perusahaan Airline yang bersangkutan. Tetapi yang paling penting adalah maintenance tepat waktu... jangan hanya bisa kejar setoran untuk bayar cicilan kridit pesawat, tetapi schedule maintenancenya dilalaikan. Demikian Pak Roses. Many thanks. Admin Migas Pak Darmayadi, Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai SCC atau korosi yang lainnya, silahkan berkunjung ke URL : http://www.migasindonesia.net/index.php? option=com_docman&task=cat_view&gid=75&Itemid=42, sudah ribuan orang tuh yang mendownload dokumen di bawah ini :

8 Types of Corrosion Corrosion in Upstream Oil and Gas Industry Corrosion Metals Galvanic Corrosion Mitigation Corrossion Pitting Crevice Corrosion SS in NaCl Stress Corrosion Cracking What is Corrosion ? Saya masih mempunyai beberapa presentasi seminar dan workshop oleh Pak Bambang - Widyanto President INDOCOR. Nanti deh saya upload, sekarang lagi sibuk ngurusin Talkshow 18 Agustus 2009. Pak Darmayadi tidak datang ? wiryadinataw@technip Salam Kenal Pak Darmayadi Sedikit Nimbrung tentang duplex stainless steel,, SSC merupakan salah satu jenis korosi. SSC = Stress Corrosion Cracking. Hal ini disebabkan oleh proses kimia (reaksi antara lingkungan dengan logam, CO, H2S, Cl dll) dan proses mechanical (adanya tegangan sisa baik bekas pengerjaan dingin [cold working] maupun hasil pengelasan). SSC merupakan salah satu penyebab terjadinya Fatique corrosion. Permukaan patahan logam dapat digunakan untuk pengidentifikasian Fatique Corrosion. Dalam Peningkatan ketahanan material terhadap SSC, maka biasanya ditambahkan beberapa paduan antara lain Cr (sudah pasti), 0.4% Copper dan 0.1% antimony. Selain itu juga diatur harga kekerasan seperti yang terkandung dalam NACE 0175. Untuk berbicara batasan temperatur, maka sebaiknya kita mengetahui dahulu jenis materialnya dan lingkungannya. Dalam beberapa literatur sebagai contoh, Material super duplex (25Cr) digunakan dibawah temperatur 125 C dan untuk duplex (22 Cr) dibawah temperatur 100 C dengan kondisi ppH2s > 3.5 bar. Untuk mengtahui temperatur rekristalisasi bisa menggunakan formula ini saja pak.. Tr = 1/3 T melting atau 1/2 T melting (bergantung pada beberapa faktor antara lain paduan, pengerjaan dingin (cold wok). tanos frank Pak Jimmy Octavianus,

Mohon maaf, saya tidak bermaksud mengatakan material Duplex kurang baik, justru dalam dunia Migas material Duplex sangat popular, Sejak Indonesia mulai membangun LNG tahun 70/80, baik Arun NGL maupun Badak NGL material ini sangat direkomendasi oleh engineering design. Karena memang Duplex material sangat baik untuk Source gas atau hydrogen sulfide. Karena ada beberapa sumursumur gas natural yang membawa H2S atau sejenisnya. H2S ini sangat corrosive. Berbicara masalah korosi memang sangat komplek, kadang sulit diprediksi reaksi yang terjadi dilapangan. Gas maupun Minyak yang keluar dari sumur membawa begitu banyak biologi... Disisi lain material Duplex sangat tahan terhadap korosi, tetapi disisi lain apabila sumur2 itu membawa akgriget seperti pasir... agak membuat kendala bagi sistem. Lengkungan elbow akan menjadi terkikis, semua valves, orifice, flow meter akan terganggu. Walaupun dipasang screen liner di downhole... tetap saja ada yang lolos. Korosi memang sangat komplek. Pengaruh pengelasan temperature tinggi saat penyambungan pipa atau flanges bisa menyebabkan terjadinya Metal Fatigue disekitar pengelasan. Ini bisa menyebabkan awal corrosion cracking. Yang penting pengontrolan secara intensif sangat diperlukan. Kita lihat produksi pipa-pipa carbon steel rounded weld atau spiral type... korosi akan timbul lebih cepat pada semua lingkaran pengelasan dari pada yang tidak. Karena itu sangat diperlukan coating maupun waraping atau apalah namanya yang berhubungan dengan corrosion control system. Kondisi korosi di Indonesia sangat variable dan bagus bagi kita2 orang korosi akan menambah wawasan yang luas dan kaya akan pengalaman korosi, ketimbang lapangan minyak di Timur Tengah yang tidak begitu kompliketet. Demikian Pak Jimmy. Jimmy Octavianus Dear Rekans , Duplex memang memiliki UNS number UNS S31803 dan bukan berarti Duplex / UNS S31803 sama dgn SS318. Terima kasih, semoga dapat membantu. Jimmy Octavianus Pak Frank, Terima kasih untuk sharing-sharingnya ini. Saya percaya ini semua akan menjadi masukan yang berguna. tanos frank

Dear Pak Abhie, Salam kenal buat pal Abhie... apa yang bapak sampai memang benar. Tetapi kalau memasuki kondisi lapangan segala sesuatu yang di info oleh pabrik belum tentu sama dengan kondisi operasi dilapangan. SCC adalah bagian dari process corrosion. Semua jenis material stainless steel grade apa saja akan mengalami Corrosion Fatigue atau intergranular SCC... Memang Duplex sangat baik untuk Source Gas...tetapi Stress Corrosion Cracking tidak saja dari Source Gas (hydrogen sulfide)...tetapi ada kelemahan pada Erosion Corrosion. Kalau sumur-sumur gas itu terdapat sand flow akan berdampak negative terhadap semua material termasuk valves yang mempergunakan duplex material. Kedua pengelasan untuk penyambungan dengan temperature tinggi juga salah satu penyebab matel fatigue yang bisa menjurus cracking. Demikian info dari saya. Senang bisa berkenalan dengan bapak Abhie. Terlampir salah satu contoh super duplex failured. ----------------------------------Member of NACE International Paper Number 06145 Title Failure of a Subsea Super Duplex Manifold Hub by HISC and Implications for Design Authors Sytze Huizinga and Brian McLoughlin, Shell Global Solutions; Irene M. Hannah, Steve J. Paterson, and Bill N.W. Snedden, Shell UK Ltd. Source CORROSION 2006, March 12 - 16, 2006 , San Diego Ca Copyright 2006. NACE International Keywords duplex stainless steel, subsea, cathodic protection, hydrogen, stress, cracking Language English

Preview ABSTRACT Super duplex stainless steel is a material commonly used for subsea hubs, connecting flowlines to manifold pipework. Recently, one of these hubs cracked around the full circumference. A failure analysis was performed, which showed that the mechanism consisted of a combination of hydrogen ingress due to cathodic protection and high mechanical loads, which led to hydrogen induced stress cracking (HISC) from the external surface. Stress concentration points on the external surface provided initiation sites and the forged stainless steel exhibited a duplex microstructure that was not immune to HISC. In order to prevent re-occurrence of this type of failure, design rules were reconsidered. Based on practical experience, focused laboratory test work and detailed stress analysis, improved guidance was provided for designing and fabricating subsea equipment. To remove unnecessary conservatism, which would restrict use of duplex as a construction material, work is continuing in the context of developing suitable design guidelines. INTRODUCTION Super duplex stainless steel is a versatile material for use subsea, exhibiting high mechanical strength and good corrosion resistance. The material has been widely applied as line pipe material and for subsea equipment such as manifold pipework. Quite often, these subsea structures are equipped with cathodic protection (CP), not so much to protect the super duplex steel but to protect other components constructed in coated carbon steel. Cathodic protection of flowlines or pipelines also usually extends to the subsea equipment to which they are connected. Generally, the experience with using super duplex steel in these applications has been excellent. Unfortunately, there have been failures too. Recently, a super duplex hub connecting a flowline to a subsea manifold failed by brittle fracture. The important features of this failure will be described and consequences for similar equipment and design indicated. HUB FAILURE On a subsea manifold, hubs constructed in un-coated super duplex stainless steel (UNS S32760, see Table 1; 0.2% proof stress = 625 MPa) were used to connect the manifold pipework with the transport

pipelines. The manifold was protected by sacrificial anodes with typical potentials of ?1050 mV (SCE). Temperatures ranged from a typical sea water temperature of 4C in the absence of flow to about 50C in flowing conditions. The internal pressure was about 60 bar. During start-up following a planned shutdown one of the hub connections, mounted on a sliding support, failed close to the weld to the manifold pipe. The hub was found to have fractured around the full circumference by externally initiated cracking (see Figure 1, showing the brittle fracture surface). The geometry of the hub was such that stress raisers were present externally. In particular, at the weld bead, at a diameter change and at the flange. At each of these locations, cracking had occurred (see Figure 2). A detail of a crack in cross section is shown in Figure 3, which illustrates that the crack initiated externally at a point of high stress. Cracking propagated mainly through the ferrite phase (dark phase in Figure 3). The cracking was identified as a case of Hydrogen Induced Stress Cracking (HISC), also termed Hydrogen Embrittlement Stress Cracking (HESC). This failure mode has been extensively studied in the context of the Foinaven failure in 1996. Recently, a literature review of hydrogen embrittlement of duplex stainless steels was published. It is clear that for the HISC failure mode to occur, a combination of a susceptible microstructure, hydrogen uptake and stress must have been present. Duplex UNS S31803 While 22% Cr does have the benefits of both the toughness of Austenitic Stainless Steel and the higher strength and corrosion resistance of Ferrite Stainless Steel, it is only considered superior to the standard austenitic alloys in this respect. We would not suggest 22% Cr for seawater application. Super Duplex UNS S32750 25% Cr however has the optimum pitting resistance and crevice corrosion in the Duplex family and is commonly referred to as Super Duplex. As this material is better for seawater applications, in our experience it performs well only in controlled temperatures and begins to fail if exposed to large variations in temperature. Max Hardness: In acc to NACE MR-01-75 22% Cr requires 28 HRC 25% Cr requires 32 HRC

100% Liquid Dye Penetrant required for all seamless fittings, flanges and hubs. 10% per heat per purchased line item with a minimum of one, both externally and internally where accessible. Impact Testing: 22% Cr required at -40 C, results to meet Average of 3 Specimens 40J/Single 30JMin 25% Cr required at -20C, results to meet Average of 3 Specimens 45J/Single 32JMin UNS S31803 UNS UNS S3 Max Hardness: In acc to NACE MR-01-75 22% Cr requires 28 HRC 25% Cr requires 32 HRC 100% Liquid Dye Penetrant required for all seamless fittings, flanges and hubs. 10% per heat per purchased line item with a minimum of one, both externally and internally where accessible. Impact Testing: 22% Cr required at -40 C, results to meet Average of 3 Specimens 40J/Single 30JMin 25% Cr required at -20C, results to meet Average of 3 Specimens 45J/Single 32JMin 2750 25% Cr however has the optimum pitting resistance and crevice corrosion in the Duplex family and is commonly referred to as Super Duplex. As this material is better for seawater applications, in our experience it performs well only in controlled temperatures and begins to fail if exposed to large variations in temperature. S31803 farabirazy albiruni Dear Pak Frank, Salam kenal juga Pak.. Thank buat infonya. Senang juga bisa diskusi dengan bapak..