PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN PALIASA (Kleinhovia hospita Linn.) TERHADAP
BIOMARKER FUNGSI HATI AKIBAT INJEKSI DOKSORUBISIN DOSIS GANDA PADA TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)
EFFECT OF PALIASA EXTRACT (Kleinhovia hospita Linn.) ON LIVER FUNCTION BIOMARKER DUE TO MULTIPLE DOSE OF DOXORUBICIN INJECTION IN
WISTAR RATS (Rattus norvegicus)
LAURA JUNITA SAMBARA’ N111 13 031
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN PALIASA (Kleinhovia hospita Linn.) TERHADAP BIOMARKER FUNGSI HATI AKIBAT
INJEKSI DOKSORUBISIN DOSIS GANDA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
EFFECT OF PALIASA EXTRACT (Kleinhovia hospita Linn.) ON LIVER FUNCTION BIOMARKER DUE TO MULTIPLE DOSE OF
DOXORUBICIN INJECTION IN WISTAR RATS (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
LAURA JUNITA SAMBARA’
N111 13 031
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
1
v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar adalah
hasil karya saya sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak
benar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.
Makassar, Februari 2018
Yang menyatakan,
Laura Junita sambara’
N111 13 031
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus
atas segala limpahan kasih dan berkat yang telah Dia berikan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai
salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi S1 pada program
studi S1 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari selama penyusunan skripsi ini, tidak terlepas
dari dukungan doa, bantuan dan nasihat dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Orang tua yang sangat penulis cintai, Ibunda Paulina Rantemanik
yang senantiasa berdoa, memberikan semangat, memberikan
cintanya, mendukung dalam pemenuhan biaya dan dalam segala hal
selalu memberikan yang terbaik yang tak bisa penulis ucapkan dan
balas satu per satu.
2. Dosen pembimbing penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini,
pembimbing utama Ibu Yulia Yusrini Djabir, S.Si., MBM.Sc., M.Si.,
Ph.D., Apt, pembimbing pertama Bapak Sukamto S. Mamada, S.Si.,
M. Sc., Apt. dan pembimbing kedua Bapak Subehan, S.Si., M.Pharm,
Sc., Ph.D., Apt yang dengan penuh kesabaran membimbing dan
mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
3. Tim Penguji penulis Ibu Dra. Rosany Tayeb, M.Si., Apt., Ibu
Sumarheni, S.Si.,M.Sc., Apt dan Bapak Drs. Hasyim Bariun, M.Si.,
Apt. yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat membantu
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Dekan, Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III dan semua
dosen serta staf Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin yang telah
banyak membantu penulis selama proses studi di Fakultas Farmasi.
5. Laboran Farmasi Klinik Ibu Adriana Pidun dan Laboran Biofarmasi Ibu
Syamsiah yang telah menyediakan waktunya dan membantu dan
penulis selama proses peneltian.
6. Teman-teman angkatan 2013 “THEOBROMINE” yang sungguh luar
biasa membantu penulis berjuang bersama meraih mimpi di Fakultas
Farmasi tercinta.
7. Teman-teman “GENGTOR” 2013 yang selalu menjalin kebersamaan,
keceriaan dan terus menyemangati penulis dalam menjalani
keseharian dunia kampus.
8. Teman-teman seperjuangan penelitian Dewanda dan Hendriani
Paramita yang senantiasa mendukung penulis, memberikan waktu,
pikiran, tenaga dan terus berjuang bersama selama proses
penyelesaian tugas akhir.
9. Teman-teman terkasih Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) Christabel
illona (Kak Mahel, Veronika Toban, Erna Sole, Yuni Sukarsih,
Marselina dan Hendriani) yang telah menjadi keluarga kedua tempat
viii
berbagi kehidupan, tempat untuk bertumbuh mengenal Kristus, yang
terus menguatkan dan menopang dalam doa dan dalam berbagai hal.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan untuk penulis guna memperbaiki penelitian selanjutnya
dapat menjadi lebih baik dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Penulis,
Laura Junita Sambara’
ix
ABSTRAK
LAURA JUNITA SAMBARA’. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.)Terhadap Biomarker Fungsi Hati Akibat Injeksi Doksorubisin Dosis Ganda Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) (dibimbing oleh Yulia Yusrini Djabir, Sukamto S. Mamada, dan Subehan). Doksorubisin adalah salah satu obat antikanker yang paling penting dan banyak digunakan. Doksorubisin menginduksi hepatotoksisitas umumnya diakibatkan melalui peningkatan radikal bebas yang menyebabkan terjadinya kondisi stres oksidatif yang kemudian berpotensi menimbulkan kerusakan sel termasuk sel hati . Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek protektif ekstrak daun paliasa (Kleinhovia hospita Linn.) terhadap peningkatan SGOT dan SGPT setelah injeksi doksorubisin secara sub kronik pada tikus putih. Tikus putih jantan sebanyak 19 ekor dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan. Kelompok I adalah kelompok yang tidak diberikan perlakuan apapun (Kontrol sehat), kelompok II adalah kelompok yang diberikan NaCMC 1% dan diinjeksikan doksorubisin (5 mg/kgBB), kelompok III adalah kelompok yang diberikan ekstrak paliasa 250 mg/kgBB dan diinjeksikan doksorubisin , kelompok IV adalah kelompok yang diberikan Vitamin C 250 mg/kgBB dan injeksikan doksorubisin dan kelompok V adalah kelompok yang diberikan ekstrak paliasa 250 mg/kg BB. Setelah 24 dan 96 jam penyuntikan doksorubisin hari ke-24, dilakukan pengambilan darah dan dianalisis kadar SGOT dan SGPT menggunakan Humalyzer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan SGOT yang signifikan pada kelompok III dan IV sedangkan peningkatan SGPT menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Disimpulkan bahwa pemberian ekstrak paliasa dan doksorubisin dosis ganda dapat meningkatkan SGOT secara signifikan dan SGPT yang tidak signifikan. .
Kata kunci : Doksorubisin, SGOT, SGPT, Kleinhovia hospita Linn
x
ABSTRACT
LAURA JUNITA SAMBARA’. Effect of Paliasa Extract (Kleinhovia hospita Linn.) on Liver Function Biomarker due to Multiple Dose of Doxorubicin Injection In Wistar Rats (Rattus norvegicus) (supervised by Yulia Yusrini Djabir, Sukamto S. Mamada, and Subehan). Doxorubicin is one of the most important anticancer drugs that is widely used. Doxorubicin induces hepatotoxicity generally results from increased free radicals that lead to the occurrence of oxidative stress conditions which then potentially cause cell damage including liver cells. The aim of this study was to evaluate the protective effects of paliasa leaf extract (Kleinhovia hospita Linn.) On the increase of SGOT and SGPT after sub chronic injections in white rats. Nineteen male wistar rats were divided into 5 groups. Group I was the group that was not given any treatment (Healthy Control), group II was given 1% NaCMC and injected doxorubicin (5 mg / kg BW), group III was given paliasa extract 250 mg / kg BW and injected doxorubicin, group IV was a group given Vitamin C 250 mg / kgBB and injected doxorubicin and group V was given paliasa extract 250 mg / kg BW. After 24 and 96 hours of doxorubicin injections on day 24, SGOT and SGPT were analyzed using humalyzer. The results showed that there was a significant increase of SGOT in group III and IV while the increase of SGPT showed insignificant results. It was concluded that administration of paliasa extract and multiple dose of doxorubicin could significantly increase SGOT, but not for SGPT. Keywords:, Doxorubicin, SGOT, SGPT, Kleinhovia hospita Linn.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH vi
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
II.1 Doksorubisin 4
II.1.1 Mekanisme Kerja 4
II.1.2 Farmakokinetika 5
II.1.3 Dosis 5
II.1.4 Efek Samping 6
II.1.5 Hepatotoksisitas Doksorubisin 6
II.2 Paliasa (Klenhovia hospita Linn.) 7
II.2.1 Klasifikasi Paliasa 7
II.2.2 Morfologi Tanaman 8
II.2.3 Kandungan Kimia 9
II.2.4 Kegunaan Tanaman 9
xii
Halaman
II.3 Hati 10
II.3.1 Anatomi dan Fisiologi 10
II.3.2 Fungsi Hati 11
II.3.3 Biomarker Pemeriksaan Fungsi Hati 15
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 18
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan 18
III.2. Metode Kerja 18
III.2.1 Penyiapan Hewan Coba 18
III.2.2 Penyiapan dan Ekstraksi Daun Paliasa 18
III.2.3 Larutan Doksorubisin 19
III.2.4 Konversi Dosis Doksorubisin pada Manusia ke Tikus 20
III.2.5 Pembuatan suspense NaCMC 1% 20
III.2.6 Perhitungan Volume Pemberian Ekstrak Daun paliasa 20
III.2.7 Larutan Vitamin C 21
III.2.8 Prosedur Percobaan 21
III.2.9 Preparasi Serum dan Analisis Fungsi hati 22
III.2.10 Analisa kadar SGOT 22
III.2.11 Analisa Kadar SGPT 23
III.2.11 Analisa Statistik 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24
IV.1 Hasil Penelitian 24
IV.2 Pembahasan 25
xiii
Halaman
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 30
V.1 Kesimpulan 30
V.2 Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kadar SGOT Setelah Pemberian Perlakuan 24
2. Kadar SGPT Setelah Pemberian Perlakuan 25
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur Doksorubisin 4
2. Mekanisme Produksi Radikal Bebas oleh Doksorubisin 5
3. Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.) 6
4. Rata-rata kadar SGOT setelah perlakuan 24
5. Rata-rata kadar SGOT setelah perlakuan 25
6. Ekstrak Paliasa 47
7. Tikus Putih 47
8. Pengambilan Doksorubisin 47
9. Penyuntikan Doksorubisin 47
10. Pengambilan Darah 47
11. Serum Darah Tikus 47
12. Kit SGPT 48
13. Kit SGOT 48
14. Humalyzer 48
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skema Kerja 34
2. Protokol Kerja 35
3. Hasil Pengukuran SGOT dan SGPT 37
4. Hasil Data Statistik 38
5. Gambar Penelitian 47
6. Rekomendasi Persetujuan Etik 49
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Doksorubisin adalah salah satu obat antikanker yang paling
penting dan banyak digunakan (Mycek MJ dkk, 2001). Doksorubisin
digolongkan dalam antibiotik antrasiklin yang diisolasi dari jamur
Streptomyces peucetius var. caesius. Doksorubisin umumnya digunakan
dalam pengobatan berbagai jenis kanker termasuk keganasan
hematologis pada banyak jenis karsinoma dan sarkoma jaringan lunak.
Mekanisme anti kanker melibatkan interkalasi spesifik nukleus antrasiklin
planar DH ke heliks ganda DNA yang mengakibatkan pencegahan
replikasi DNA lebih lanjut (Bruton L dkk, 2005; Kumar A dkk,2014).
Penggunaan doksorubisin secara klinis dibatasi karena pada dosis
tinggi (550 mg/m2) dapat menyebabkan kardiotoksisitas, yang dapat
menyebabkan gagal jantung stadium akhir (Jambhulkar S dkk, 2014;
Ganiswara, 2007). Penelitian yang dilakukan pada hewan coba tikus
menunjukkan bahwa injeksi doksorubisin secara intraperitonial sudah
mengakibatkan toksisitas pada dosis 10 mg/kg hingga 25 mg/kg BB
(Cecen E dkk, 2011; Saad SY dkk, 2001 ). Selain menginduksi
kardiotoksisitas, doksorubisin juga menyebabkan hepatotoksisitas dan
nefrotoksisitas (Jambhulkar S dkk, 2014). Doksorubisin menginduksi
hepatotoksisitas umumnya diakibatkan melalui peningkatan radikal bebas
yang menyebabkan terjadinya kondisi stres oksidatif. Stres oksidatif ini
2
terjadi terutama karena jumlah antioksidan yang diproduksi tubuh tidak
seimbang dengan pembentukan radikal bebas yang kemudian berpotensi
menimbulkan kerusakan sel termasuk sel hati (Elgml SA dkk, 2014).
Toksisitas doksorubisin kemungkinan diperantarai oleh konversi
doxorubicin menjadi doxorubicinol yang melibatkan berbagai enzim antara
lain karbonil reduktase. Mekanisme utama toksisitas doxorubicinol terjadi
karena interaksinya dengan besi yang kemudian memproduksi hidroksil
radikal yang sangat reaktif dan merusak makromolekul sel (Minoti G dkk,
2004). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan
dosis toksik akut, 100% hewan coba mengalami kematian 7 hari setelah
penyuntikan doksorubisin (25 mg/ kg BB) (Djabir YY dkk, 2016).
Salah satu tumbuhan yang banyak digunakan oleh masyarakat
Sulawesi Selatan secara empiris untuk mengobati penyakit gangguan hati,
seperti penyakit kuning dan hepatitis, adalah tumbuhan paliasa
(Kleinhovia hospita Linn.). Rebusan daun paliasa mampu menurunkan
SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase dan SGOT (Serum
Glutamic Oxaloacetic Transaminase) pada radang hari akut (Raflizar dkk,
2006). Penelitian Kalapadang (2017) dan Tandililing (2017) menunjukkan
pemberian ekstrak paliasa dosis 250 mg/kg selama 5 hari mampu
menurunkan kadar SGOT, SGPT dan MDA hati tikus 48 jam setelah
diinjeksi doksorubisin dosis toksik akut (25 mg/kg BB). Namun belum ada
yang penelitian yang melihat apakah toksisitas subkronik doksorubisin
juga dapat diatasi dengan ekstrak paliasa. Pemberian doksorubisin
3
sebanyak 4 siklus dalam dosis terbagi (5 mg/kg BB) dianggap lebih
mencerminkan penggunaan doksorubisin secara klinik.
Berdasarkan data tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengevaluasi efek protektif ekstrak daun paliasa (Kleinhovia
hospita) terhadap peningkatan SGOT dan SGPT setelah injeksi
doksorubisin secara sub kronik pada tikus putih (Rattus norvegicus). Dosis
yang digunakan untuk doksorubisin adalah 5 mg/ kg BB/ penyuntikan per
minggu selama 4 minggu. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai terapi hepatoprotektif yang dapat diberikan pada
pasien yang menjalankan kemoterapi doksorubisin.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Doksorubisin
Doksorubisin merupakan salah satu obat yang paling penting dan
banyak digunakan untuk pengobatan sarkoma dan berbagai karsinoma,
termasuk kanker mamma dan paru, dan juga leukemia limfositik, akut dan
limfoma (Mycek MJ dkk, 2001). Doksorubisin digolongkan dalam antibiotik
antrasiklin yang diisolasi dari jamur Streptomyces peucetius var. caesius
(Bruton L dkk, 2005).
Gambar 1. Struktur Doksorubisin (Tam K, 2013)
II.1.1 Mekanisme Kerja
Antibiotik antrasiklin seperti doksorubisin memiliki aksi sitotoksik
melalui empat mekanisme yaitu : (1) penghambatan topoisomerase II, (2)
interkalasi DNA sehingga mengakibatkan penghambatan sintesis DNA
dan RNA, (3) pengikatan membran sel yang menyebabkan aliran dan
transport ion, (4) pembentukan radikal bebas semiquinon dan radikal
bebas oksigen melalui proses yang tergantung besi dan proses reduktif
5
yang diperantarai enzim. Mekanisme radikal bebas ini telah diketahui
bertanggungjawab pada kardiotoksisitas akibat antibiotik antrasiklin
(Bruton L dkk, 2005).
Gambar 2. Mekanisme produksi radikal bebas oleh doksorubisin (Riddick AS dkk , 2005)
II.1.2 Farmakokinetik
Doksorubisin harus diberikan secara intravena karena akan rusak
dalam saluran pencernaan. Doksorubisin akan memberikan warna merah
pada urine (Mycek MJ dkk, 2001). Doksorubisin dimetabolisme dalam hati
menjadi metabolit aktif dan inaktif. Bermacam-macam metabolit ini
mempengaruhi waktu paruh, dengan tahap mula-mula selama 12 menit,
tahap pertengahan selama 3,5 jam dan tahap akhir selama 30 jam (Kee
JL dkk).
II.1.3 Dosis
Dosis IV dewasa yaitu 60-75 mg/m2 diberikan sebagai suntikan
tunggal setiap 3 minggu sampai dosis total tidak melebihi 550 mg/m2.
Alternatif lain adalah 20 mg/m2 setiap minggu. Cara yang terakhir ini lebih
6
disukai untuk pemberian pada anak. Apabila ada gangguan hati, dosis
dikurangi 25-75% baik pada anak maupun dewasa. Setelah radiasi daerah
mediastinal dosis harus dikurangi menjadi 400 mg/m2. Dosis total yang
diberikan harus diturunkan bila sebelumnya telah diberikan (atau diberikan
bersamaan) dengan antineoplastik tertentu misalnya siklofosfamid
(Ganiswara, 2007).
II.1.4 Efek Samping
Saat ini penggunaan doksorubisin dibatasi karena dapat
menyebabkan kardiotoksisitas. Selain itu, juga dapat menyebabkan
hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas. Hepatotoksisitas akibat penggunaan
doksorubisin umumnya diakibatkan oleh radikal bebas yang terbentuk.
Nefrotoksisitas yang terjadi menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat
dan atrofi glomerulus. Toksisitas doksorubisin juga telah terbukti
menginduksi perubahan inflamasi di hati, jantung dan ginjal jaringan tikus
(Jambhulkar S dkk, 2014).
II.1.5 Hepatotoksisitas Doksorubisin
Hati merupakan salah satu organ yang diinduksi oleh doksorubisin
yang menyebabkan kematian sel dan kerusakan jaringan dalam hati.
Proses metabolisme dan detoksifikasi dari doksorubisin berlangsung
dalam hati (Yang XL dkk, 2012). Ketika hati memetabolisme doksorubisin
dalam konsentrasi yang tinggi, maka sejumlah besar ROS akan diproduksi
dalam hati. ROS yang meningkat akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan produksi lipid peroksidase, penurunan kadar vitamin E, serta
7
penurunan kadar enzim GSH endogen sehingga proses oksidatif menjadi
tidak seimbang (Jambhulkar S dkk, 2014). Penelitian lain juga
membuktikan bahwa doksorubisin dapat bersifat toksik pada hati tikus
dengan dosis tunggal 25 mg/kg BB dan dosis 40 mg/kg BB (Saad SY dkk,
2001; Rashid R dkk, 2013).
II.2 Paliasa (Klenhovia hospita Linn.)
II.2.1 Klasifikasi Paliasa (Paramitha S, 2016)
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom :Tracheobionta
Super Divisio : Spermatophyta
Divisio : Angiospermae
Class : Magnolipsida
Sub Class : Dillenidae
Ordo : Malvales
Family : Sterculiaceae
Genus : Kleinhovia
Spesies : Kleinhovia hospita L.
Nama Daerah (Raflizar, 2009)
Indonesia : Betenuh
Sumatera (Lampung) : Manjar
Jawa : ubut, lesmu, senu, weina, kayu tahun, katunanja,
tunala.dan timanja, mangar/bisnah (Madura)
8
Nusa Tenggara : katimala, katimaljan (Bali), Klundang (Sumba),
Kadangan (Flores)
Maluku : mjededo, nguhulu (Halmahera), ngaru, kuhusu
(Ternate)
Melayu : katimahar, kimau
Sulawesi : kayu paliasa, kauwasan (makassar), aju pali, palia
(Bugis), Daun Monto (Toraja)
Gambar 3. Tumbuhan paliasa (Kleinhovia hospital Linn.)
II.2.2 Morfologi Tanaman
Pohon Paliasa berukuran pendek hingga sedang, tingginya antara
5-20 m. Pepagan berwarna kelabu, dengan ranting abu-abu kehijauan dan
berambut jarang. Daun Paliasa bertangkai panjang, dengan ukuran 3-5 x
5-10 cm. Helaian daun Paliasa berbentuk jantung lebar, berukuran 4,5-27
x 3-24 cm, pada pangkalnya bertulang dengan daun menjari. Bunga
Paliasa berkumpul dalam malai di ujung ranting, lebar dan berambut halus
serta daun pelindungnya berbentuk oval. Kelopak bunga Paliasa bertaju
lima, berbentuk lanset, ukuran 6-19 mm, berwarna merah muda, sisi
9
luarnya berambut bintang. Daun mahkota ada 5 helai, empat diantaranya
berbentuk pita lebar, dengan pangkal berbentuk kantung sepanjang 6 mm
berwarna merah, helai yang kelima lebih pendek, oval melintang, dengan
tepi yang terlipat ke dalam dan satu dengan yang lainnya melekat,
berujung kuning. Dasar bunga diperpanjang dengan tiang androginofor
yang tipis, berambut, pangkalnya dikelilingi oleh tonjolan dasar bunga
berbentuk cawan. Benang sari dalam 5 berkas tiga-tiga di ujung tiang.
Buah Paliasa berbentuk seperti pir, bertaju lima, panjang sekitar 2 cm,
membuka menurut ruang, berwarna merah muda kehijauan dan
menggantung. Biji Paliasa berbentuk hampir bulat dengan diameter 1,5-2
mm, berwarna hitam atau coklat gelap (Paramitha S, 2016).
II.2.3 Kandungan Kimia
Daun paliasa mengandung saponin, kardenolin, bufadienol,
antrakuinon, kleinhospitines A-D serta Eleutherol dan kaempferol 3-O-B-
D-glucoside yang diisolasi dari daun paliasa, memiliki efek antioksidan
dengan pemeriksaan DPPH (LC50 untuk kaempferol 71,4 uM dan untuk
eleutherol 491,8 uM) (Paramitha S, 2016; Raflizar dkk, 2009) .
II.2.4 Kegunaan Tanaman
Daun paliasa banyak digunakan oleh masyarakat, khususnya
masyarakat sulawesi selatan untuk mengobati penyakit kuning dan
hepatitis. Selain itu, daun paliasa memiliki beberapa potensi farmakologis,
teruatama sebagai antidiabetes, antioksidan dan antikanker (Paramitha S,
2016; Raflizar, 2009). Penelitian sebelumnya juga telah membuktikan
10
bahwa daun paliasa dapat bersifat sebagai hepatoprotektif setelah
diberikan paracetamol dosis tinggi secara berulang (200 mg/kg) (Djabir YY
dkk, 2015). Serta pada dosis 250 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 750 mg/kg BB
dan 1000 mg/kg BB dapat menurunkan aktivitas SGPT dalam darah
sehingga dapat mengurangi kerusakan sel hati yang ditimbulkan oleh
karbon tetraklorida (CCl4) dan berkhasiat untuk pengobatan radang hati,
LD50 daun paliasa adalah 18,5 ± 1,7 gr/kg BB (Raflizar dkk, 2009).
II.3 Hati
II.3.1 Anatomi dan Fisiologi
Hati merupakan alat tubuh terbesar yang beratnya 1200-1600 gram
pada orang dewasa dan menempati hampir seluruh bagian atas kanan
rongga abdomen, mulai dari sela intercostal kelima sampai pada
lengkungan iga. Hati terdiri atas lobus kanan ialah terbesar kira-kira 3/5
hati, lobus kiri 3/10 hati dan sisanya 1/10 hati ditempati oleh lobus
caudatus dan lobus quadrates. Hati diliputi oleh simpai yang dinamai
simpai glisson. Simpai ini berpadu cengan jaringan ikat intrahepatik. Hati
mendapatkan darah dari vena porta dan arteri hepatica. Darah ini
disalurkan ke luar hati melalui vena hepatica. Empedu disalurkan dari hati
ke duodenum melalui saluran empedu berkumpul dalam darah yang
dinamai portahepatik. Hati adalah tempat utama metabolisme obat dalam
tubuh dan oleh karena itu benar jika dikatakan bahwa penyakit yang
11
mempengaruhi hati adalah penyakit yang paling banyak mempengaruhi
metabolisme (Raflizar, 2009).
II.3.2 Fungsi Hati (Sneel RS, 1970; Guyton AC dkk)
Hati merupakan organ yang melakukan berbagai fungsi yang
berbeda satu sama lainnya, namun semua fungsi tersebut saling
berhubungan. Fungsi dari hati yaitu:
1. Sintesis Protein
Selain membuat protein bagi selnya sendiri, sel hati
menghasilkan berbagai protein plasma untuk keperluan di luar sel,
diantaranya adalah albumin, protombin, fibrinogen, dan lipoprotein.
Protein dibuat pada polisom yang melekat pada retikulum
endoplasma kasar.
2. Pertahanan Tubuh
Hati berperan dalam pertahanan tubuh, berupa proses
penawaran racun (detoksifikasi) dan perlindungan.
Detoksifikasi dilakukan dengan berbagai proses yang
dilakukan oleh enzim-enzim hati terhadap zat-zat beracun, baik
yang masuk dari luar maupun yang dihasilkan oleh tubuh sendiri.
Dengan proses detoksifikasi, zat berbahaya akan secara fisiologis
tidak aktif.
Perlindungan dilakukan oleh sel-sel kupffer yang berada
pada dinding sinusoid hati. Dengan cara menelan kuman
(fagositosis), sel kupffer dapat membersihkan sebagian besar
12
kuman yang masuk ke dalam hati melalui vena porta sehingga
tidak menyebar ke seluruh tubuh. Sel kupffer juga menghasilkan
immunoglobulin yang merupakan kekebalan humoral serta
menghasilkan berbagai macam antibody akibat kelainan hati
tertentu seperti antimitochondrial antibody (AMA), smooth muscle
antibody (SMA), dan antinuclear antibody (ANA).
3. Regenerasi Sel
Meskipun hati merupakan organ yang sel-selnya
diperbaharui secara lambat, hati memiliki kemampuan regenerasi
yang luar biasa. Hilangnya jaringan hati akibat tindakan bedah atau
oleh kerja substansi toksik memicu mekanisme yang merangsang
sel-sel hati membelah, sampai massa jaringan aslinya pulih
kembali. Proses regenerasi agaknya dikendalikan oleh substansi
yang beredar disebut khalon, yang menghambat pembelahan
mitosis jenis tertentu. Bila jaringan cedera atau kehilangan
sebagian, jumlah khalon yang dihasilkan akan menurun, akibatnya
aktivitas mitotic meningkat dalam jaringan ini. Dengan berlanjutnya
regenerasi, maka jumlah khalon yang dihasilkan akan bertambah
dan aktivitas mitotic berkurang. Proses ini berlangsung dengan
sendirinya.
4. Fungsi Vaskuler
Hati merupakan organ yang dapat menampung darah dalam
jumlah yang besar. Dalam keadaan normal, darah yang terdapat di
13
dalam vena hepatic dan sinus hepatic hanya berkisal 450 mL.
Tetapi bila tekanan dalam atrium kanan sangat meningkat,
terutama pada keadaan payah jantung dengan bendungan perifer,
hati dapat menampung darah sampai 1000 mL. Hati dapat
berfungsi sebagai reservoir darah bila terjadi peningkatan volume
dan dapat mensuplai darah pada saat terjadi kekurangan darah.
5. Fungsi Metabolik Hati
a. Metabolisme Karbohidrat
Dalam metabolisme karbohidrat, hati melakukan fungsi
spesifik yaitu : (1) menyimpan glikogen, (2) mengubah galaktosa
dan fruktosa menjadi glukosa, (3) glukoneogenesis, dan (4)
membentuk banyak senyawa penting hasil perantara
metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme Lemak
Fungsi hati dalam metabolisme lemak yaitu : (1) kecepatan
oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai
energi bagi fungsi tubuh yang lain, (2) pembentukan sebagian
besar lipoprotein, (3) pembentukan sejumlah besar kolesterol
dan fosfolipid, dan (4) pengubahan sejumlah besar karbohidrat
dan protein menjadi lemak.
c. Metabolisme Protein
Fungsi hati paling penting dalam metabolisme protein
adalah: (1) deaminasi asam amino, (2) pembentukan ureum
14
untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, (3) pembentukan
protein plasma, dan (4) interkonversi di antara asam amino yang
berbeda demikian juga dengan ikatan penting lainnya untuk
proses metabolisme tubuh.
6. Pembentukan dan Ekskresi Empedu
Empedu dibentuk oleh hati. Melalui saluran empedu
interlobular yang terdapat di dalam hati, empedu yang dihasilkan
dialirkan ke kandung empedu untuk disimpan. Bila kita
mengonsumsi makanan berlemak, maka empedu yang tersimpan
tadi akan dikeluarkan dan dialirkan ke dalam usus dua belas jari
(duodenum) yang merupakan bagian teratas dari usus kecil. Dalam
sehari, sekitar 1 liter empedu diekskresikan oleh hati. Empedu
sebagian besar terdiri dari air (97%), sisanya terdiri atas elektrolit,
garam empedu, fosfolipid, kolesterol, dan pigmen empedu
(bilirubin). Garam empedu penting untuk pencernaan dan
penyerapan lemak dalam usus halus. Garam ini sebagian besar
diserap kembali oleh usus dan dialirkan kembali ke hati. Bilirubin
atau pigmen empedu yang dapat menyebabkan warna kuning pada
jaringan dan cairan tubuh sangat penting sebagai indikator penyakit
hati dan saluran empedu.
15
II.3.3 Biomarker Pemeriksaan Fungsi Hati
1. Transaminase
a. GOT (Glutamic Oxaloacetic Transaminase / Aspartate
Transaminase)
Banyak dijumpai di jantung, otot-otot skelet, dan ginjal. Jika
jaringan tersebut mengalami kerusakan yang akut, kadar dalam
serum akan naik. Hal ini disebabkan karena bebasnya enzim
intraselular dari sel-sel yang rusak ke dalam sirkulasi. Kadar
yang naik ini terjadi jika terdapat kerusakan pada hati dan
jantung (Hadi S, 2002).
b. GPT (Glutamic Pyruvic Transaminase / Alanin Transaminase)
Dapat dijumpai dalam hati, sedang dalam jantung dan otot-
otot skelet agak kurang jika dibandingkan dengan GOT. Kadar
dalam serum naik terutama pada kerusakan dalam hati, jika
dibandingkan dengan GOT, sehingga jika terjadi kerusakan atau
radang pada hati, maka nilai GPT akan lebih spesifik
dibandingkan dengan GOT(Hadi S, 2002; Baron DN).
2. Alkali Fosfatase
Alkali fostfatase atau fosfo-monoesterase, kadar ini akan
naik pada kerusakan sel hepar. Perubahan tersebut tidak diketahui
mekanismenya. Alkali fosfatase dikeluarkan dari dalam empedu.
Nilai rujukan pada orang dewasa adalah 20-96 U/I : 3-13 satuan
King-Amstrong/dl. Peningkatan fosfatase alkali terutama yang lebih
16
dari 180 U/I menunjukkan ukuran obstruksi bilier ekstrahepatik dan
intrahepatik misalnya sirosis biliaris primer. Peningkatan terutama
karena stimulasi oleh kolestasis, karena kelebihan sintesa enzim di
dalam sel hepar yang melapisi kanalikulus empedu. Peningkatan
moderat, umumnya sekitar 150 U/I, secara khas ditemukan pada
hepatitis virus. Peningkatan fosfatase alkali plasma yang disertai
sedikit peningkatan bilirubin plasma juga terlihat bila ada deposit
keganasan primer atau metastatik di dalam hepar dan peningkatan
serupa ditemukan pada sirosis walaupun tanpa obstruktif.
Fosfatase alkali plasma yang meningkat merupakan tanda dini
kerusakan hepar kolestatik karena obat-obatan tertentu seperti
klorpromazin (Hadi S, 2002; Baron DN; Gibson G dkk , 1991).
3. Kolinesterase
Kolinesterase adalah esterase non spesifik yang disintesis
oleh hati. Pada penyakit hepatoseluler, terutama pada sirosis dan
malnutrisi terdapat penurunan kadar kolinesterase. Sekarang
pemeriksaan ini jarang digunakan sebagai tes fungsi hepar, nilai
rujukan 2-5 U/I pada 37°C (Hadi S, 2002; Baron DN; Gibson G dkk,
1991).
4. GGT (Gamma Glutamil Transferase)
Enzim ini memberikan analisis yang sensitif, tetapi tidak
membedakan hepatobilier. Pada penyakit kolestatik, GGT
menyerupai alkali fosfatase, dengan sensitivitas utama bagi
17
metastasis pada hepar dan tidak ada perubahan pada penyakit
tulang osteoblastik. Pada penyakit hepatoseluler, perubahan
serupa dengan transaminase. Nilai rujukan untuk laki-laki yaitu 10-
50 U/I dan untuk perempuan yaitu 7-30 U/I pada 37°C.
Analisis ini terutama berguna dalam mendeteksi enzim
mikrosom yang diinduksi oleh obat-obatan, yang terpenting adalah
alkohol pada peminum kronis (Baron DN; Gibson G,et al, 1991).
5. LDH (Lactic Dehydrogenase)
LDH banyak tersebar di jaringan, terutama dalam otot skelet,
jantung, hati, dan eritrosit. Kadar normalnya dalam serum adalah
500 units. Ini merupakan indeks yang relatif insensitif pada kelainan
hepatoseluler, tetapi pada penderita dengan neoplasma, kadar ini
sangat naik (Hadi S, 2002; Baron DN; Gibson G dkk, 1991).
18
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
III.1 Penyiapan Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat-alat gelas,
humalyzer 3500 (Human®), timbangan analitik (Sartorius®), sentrifuge
(Hettich®), Mikropipet (Socorex®), water bath, rotari evaporator
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, doksorubisin
injeksi (Dankos®), NaCMC 1%, ekstrak daun paliasa (Kleinhovia hospita
Linn.), aquadest, dietil eter, vitamin C (Prolabo®), reagen kit SGOT dan
SGPT (Human®), pipa kapiler, vacutainer, tabung eppendorf, spoit 1 mL
dan 3 mL(Terumo®), jarum suntik
III.2 Metode Kerja
III.2.1 Penyiapan Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan yaitu tikus putih jantan sebanyak 19
ekor dengan bobot badan antara 150-250 gram dibagi menjadi 5
kelompok dan ditempatkan dalam kandang dengan akses makanan dan
minuman setiap hari selama masa pemeliharaan.
III.2.2 Penyiapan dan Ekstraksi Daun Paliasa
Sampel daun paliasa yang diperoleh di lingkungan Fakultas MIPA
Universitas Hasanuddin yaitu sebanyak 1,6 kg kemudian disortasi dengan
mengambil bagian daun yang tidak rusak, lalu dibersihkan dari pengotor-
pengotor yang ada menggunakan air mengalir. Sampel dikeringkan
19
dengan cara diangin-anginkan. Setelah sampel kering, kemudian
dilakukan sortasi, bobot yang didapatkan yaitu 1,01 kg, kemudian
dilakukan perajangan lalu dimasukkan ke dalam toples untuk di ekstraksi.
Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi dengan
menggunakan pelarut etanol 70% selama 5 hari. Filtrat yang diperoleh
kemudian disaring dan diuapkan menggunakan rotari evaporator hingga
diperoleh ekstrak kental sebanyak 240,1 gram.
III.2.3 Larutan Doksorubisin
Doksorubisin yang digunakan adalah dalam bentuk sediaan injeksi
doksorubisin dalam vial dengan konsentrasi 5 mg/mL. Dosis yang
diberikan untuk tikus putih adalah 5 mg/kg BB/ injeksi dilakukan setiap
minggu selama 4 minggu. Untuk tikus putih dengan BB 200 gram dosis
yang diberikan diperoleh melalui perhitungan :
D = 5 mg/kg × 0,2 kg
= 1 mg
Jadi, untuk tikus putih dengan BB 200 gram (0,2 kg), volume (V)
larutan yang akan diinjeksikan adalah sebagai berikut :
𝑉 =𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
=1 𝑚𝑔
2 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 0,5 𝑚𝑙/𝑘𝑔 𝐵𝐵
20
III.2.4 Konversi Dosis Doksorubisin pada manusia ke tikus (Nair AB
dkk, 2016)
Adapun dosis doksorubisin yang digunakan pada manusia, jika
dikonversi dan diberikan pada tikus yaitu:
Diketahui : 60 kg = 1,62 m2
60 kg = 1,62 m2
X = 1 m2
X = !!,!"
×60 𝑘𝑔
1 m2 = 37 kg
Dosis doksorubisin pada manusia = !" !"! !! =
!" !"!" !"
= 0,8 𝑚𝑔/𝑘𝑔BB
Dosis doksorubisin pada tikus = Dosis pada manusia × faktor konversi
= 0,8 mg/ kg BB × 6,14
= 5 mg /kg BB
III.2.5 Pembuatan Suspensi NaCMC 1%
Didispersikan NaCMC sebanyak 2,5 g ke dalam 250 mL aquadest
yang telah dipanaskan pada suhu 80°C sambil diaduk menggunakan
magnetik stirer sehingga terbentuk mucilago.
III.2.6 Perhitungan Volume Pemberian Ekstrak Daun Paliasa
Dosis ekstrak daun paliasa yang digunakan yaitu 250 mg/kg BB.
Pemilihan dosis dibuat berdasarkan penelitian sebelumnya (Djabir YY dkk,
2016).
Ditimbang 625 mg ekstrak daun paliasa yang disuspensikan
kedalam 25 ml NaCMC 1% untuk menghasilkan ekstrak daun paliasa 25
21
mg/ml (2,5% b/v). Pemberian volume suspensi ekstrak daun paliasa
diberikan sesuai dengan bobot tikus, dimana setiap 200 gram bobot tikus
diberikan suspensi sebanyak 2 ml.
D = 250 mg/kg BB × 0,2 kg
= 50 mg
Konsentrasi suspensi = 625 mg/ 25 mL = 25 mg/ mL
Volume pemberian = !"#$#!"#$%#&'($)
= = !" !"!" !"/!"
= 2 mL / kg BB
III.2.7 Larutan Vitamin C
Dosis yang digunakan untuk vitamin C adalah 250 mg/kg BB
(Karabulut-Bulan O dkk, 2008). Serbuk asam askorbat (Vitamin C) terlebih
dahulu ditimbang sebanyak 0,5 gram kemudian dilarutkan menggunakan
aquadest sebanyak 10 mL, dan diperoleh larutan stok vitamin C dengan
konsentrasi 0,05 gram/mL. Volume pemberian untuk tikus 200 gram
adalah 1 mL / kg BB
II.2.8 Prosedur Percobaan
Hewan coba sebanyak 19 ekor tikus dibagi menjadi 5 kelompok,
dimana kelompok perlakuan terdiri dari :
1. Kelompok I (n=3) sebagai kontrol sehat
2. Kelompok II (n=4) diberi NaCMC 1% secara per oral selama 28
hari dan pada hari ke 6, 12, 18, 24 diberikan injeksi doksorubisin 5
mg/ kg BB secara i.p
22
3. Kelompok III (n=4) diberikan ekstrak paliasa 250 mg/ kg BB secara
peroral selama 28 hari dan diinjeksikan doksorubisin 5 mg/kg BB
secara i.p pada hari ke 6, 12, 18, 24
4. Kelompok IV (n=4) diberikan Vitamin C 250 mg/kg BB secara
peroral berturut-turut selama 28 hari dan pada hari ke 6, 12. 18, 24
diinjeksikan dengan doksorubisin 5 mg/kg BB secara i.p.
5. Kelompok V (n=4) diberikan ekstrak daun paliasa 250 mg/ kg BB
secara peroral berturut-turut selama 28 hari
III.2.9 Preparasi Serum dan Analisis Fungsi Hati
Setelah 24 dan 96 jam injeksi doksorubisin, setiap tikus dianastesi
menggunakan dietil eter secara inhalasi. Sampel darah diambil melalui
vena ekor sebanyak 2 ml dan ditampung dalam tabung vakutainer,
kemudian disentrifugasi selama 20 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Bagian serum dikumpulkan dan disimpan pada suhu -20°C selama
sampel belum di analisis. Analisis fungsi hati dilakukan dengan
menggunakan reagen diagnostik untuk mengukur kadar SGOT dan SGPT
dalam serum menggunakan Humalyzer.
III.2.10 Analisa kadar SGOT
Dilakukan analisis kadar SGOT serum dengan menggunakan 50 µL
sampel ditambahkan dengan 1000 µL dapar, dihomogenkan dan
diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37°C. Kemudian ditambahkan 250
µL substrat, dihomogenkan dan diinkubasi selama 1 menit pada suhu
23
37°C. Setelah itu dilakukan analisis kadar SGOT menggunakan alat
humalyzer.
III.2.11 Analisa kadar SGPT
Dilakukan analisis kadar SGPT serum dengan menggunakan 50 µL
sampel ditambahkan dengan 1000 µL dapar, dihomogenkan dan
diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37°C. Kemudian ditambahkan 250
µL substrat , homogenkan dan diinkubasi selama 1 menit pada suhu 37°C.
Setelah itu dilakukan analisis kadar SGPT menggunakan alat humalyzer.
III.2.12 Analisa Statistik
Data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan software
SPSS 20. Distribusi dan homogenitas data diuji menggunakan
Kolmogorov-Smirnov Test dan Levene Test. Data yang terdistribusi
normal dianalisis menggunakan metode One Way Anova dilanjutkan
dengan Post Hoc Test LSD. Hasil dinyatakan signifikan apabila p < 0,05.
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Penelitian
Hasil pengukuran kadar SGOT pada hari ke-25 dan ke-28 setelah
diberikan perlakuan ditunjukkan pada tabel 1 dan gambar 4. Plasma hari
ke-25 diambil sebagai gambaran data SGOT dan SGPT 24 jam setelah
injeksi doksorubisin siklus ke-4. Plasma hari ke-28 diambil sebagai
gambaran data SGOT dan SGPT setelah pemberian perlakuan 3 hari
setelah penyuntikan doksorubisin siklus ke-4.
Tabel 1. Kadar SGOT setelah pemberian perlakuan hari ke-25 dan ke-28 Perlakuan SGOT 25 ± SD (U/l) SGOT 28 ± SD (U/l)
Kontrol sehat 65,4 ±8,9 65,4 ±8,9 NaCMC +
Doksorubisin 86,8 ± 6 105,2 ± 29,3
Paliasa + Doksorubisin 123,8 ± 21,3 141,6 ± 28,7
Vit. C + Doksorubisin 131,7 ± 15,7 125 ± 37,2
Paliasa 80,3 ± 28,7 73,6 ± 10,7
Gambar 4. Rata-rata Kadar SGOT serum pada tikus setelah perlakuan pada hari ke-
25 dan hari ke-28 (a: P<0.05 dibanding SGOT 25 kontrol sehat, b: P<0.05 dibanding SGOT 25 NaCMC+Doksorubisin, c: P<0.05 dibanding SGOT 28 kontrol sehat, d: P<0.05 dibanding SGOT 28 paliasa).
a,b a,bc,d c,d
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
kontrolsehat NaCMC+Doksorubisn
paliasa+Doksorubisin
Vit.C+Doksorubisin
paliasa
Kada
rSGOT(U/l)
Perlakuan
SGOThari25
SGOThari28
25
Adapun hasil pengukuran kadar SGPT pada hari ke-25 dan ke-28
setelah diberikan perlakuan ditunjukkan pada tabel 2 dan gambar 5.
Tabel 2. Kadar SGPT setelah pemberian perlakuan hari ke-25 dan ke-28 Perlakuan SGPT 25 ± SD (U/l) SGPT 28 ± SD (U/l)
Kontrol sehat 45,9 ± 11,6 45,9 ± 11,6 NaCMC +
Doksorubisin 40 ± 10,5 54,8 ± 8,5
Paliasa + Doksorubisin 30,9 ± 10,3 40,2 ± 4,6
Vit. C + Doksorubisin 39 ± 14.,9 45,9 ± 12,7
Paliasa 41 ± 4,5 48,3 ± 5,2
Gambar 5. Rata-rata Kadar SGPT serum pada tikus setelah perlakuan pada hari ke-
25 dan hari ke-28
IV.2 Pembahasan Doksorubisin adalah salah satu obat antikanker yang paling penting
dan banyak digunakan. Doksorubisin digolongkan dalam antibiotik
antrasiklin yang diisolasi dari jamur Streptomyces peucetius var. caesius.
Penggunaan doksorubisin dibatasi karena dapat menyebabkan
kardiotoksisitas. Selain itu, obat ini juga dapat menyebabkan
hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas.
0.010.020.030.040.050.060.070.0
kontrolsehat NaCMC+Doksorubisn
paliasa+Doksorubisin
Vit.C+Doksorubisin
paliasa
Kada
rSGPT
(U/l)
Perlakuan
SGPThari25SGPThari28
26
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pemberian
doksorubisin dosis toksik secara akut dapat menyebabkan peningkatan
SGOT dan SGPT tikus 2x lipat. Namun, berbeda dengan penelitian
sebelumnya, penelitian kali ini bertujuan untuk melihat apakah
penggunaan doksorubisin dalam dosis terapi sebanyak 4 siklus (5 mg/
siklus) juga dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT tikus.
Dari penelitian ini, terlihat bahwa 24 jam setelah penyuntikan
doksorubisin pada siklus ke-4, terlihat peningkatan SGOT yang tidak
signifikan pada tikus yang diberikan NaCMC dan doksorubisin. Kemudian,
pada hari ke-28 atau 96 jam setelah penyuntikan doksorubisin siklus ke-4,
terlihat peningkatan dari 86,8 ± 6 U/l menjadi 105,2 ± 29,3 U/l, walaupun
peningkatan tersebut tidak signifikan secara statistik. Hal ini
mengindikasikan bahwa penyuntikan doksorubisin pada dosis rendah dan
berulang dapat menimbulkan gangguan fungsi hati/jantung, tetapi
membutuhkan proses yang lebih lama dari paparan yang diberikan pada
penelitian ini. Terdapat pola dimana kadar SGOT terus meningkat hingga
96 jam setelah penyuntikan.
Pola peningkatan SGOT juga terlihat pada kelompok tikus yang
diberi doksorubisin dengan paliasa. Hasil pengukuran kadar SGOT tikus
pada hari ke-25 dan ke-28 meningkat secara signifikan dari 123,8 ± 21,3
U/l menjadi 141,6 ± 28,7 U/l dibandingkan dengan kontrol sehat. Hal ini
mungkin terjadi karena terdapat interaksi antara doksorubisin dengan
paliasa yang memicu peningkatan SGOT karena pemberian dilakukan
27
pada hari yang sama, walaupun sudah terdapat interval waktu pemberian
2 jam. Peningkatan SGOT bisa menjadi marker terjadinya kerusakan hati
atau jantung atau keduanya. Seperti diketahui, salah satu efek samping
dari doksorubisin yaitu hepatotoksisitas dan kardiotoksisitas. Hal tersebut
terjadi akibat peningkatan stress oksidatif, yang dibuktikan dengan adanya
peningkatan spesies oksigen reaktif dan peroksidasi lipid. Mekanisme lain
adalah penurunan jumlah antioksidan, penghambatan sintesis asam
nukleat dan protein, mempengaruhi fungsi adrenergik dan penurunan
ekspresi gen spesifik jantung (Maifitriani dkk, 2015).
Dilakukan pula pemberian ekstrak daun paliasa selama 28 hari
dengan tujuan untuk mengetahui apakah ekstrak daun paliasa sendiri
tidak memberikan efek peningkatan SGOT. Hasil penelitian menunjukkan
pemberian paliasa sendiri tidak meningkatkan SGOT tikus baik hari ke-25
maupun hari ke-28.
Peningkatan SGOT setelah hari ke-25 juga terjadi pada tikus yang
diberikan doksorubisin dan vitamin C yaitu 131,7 ± 15,7 U/l. Tetapi,
setelah pemberian vitamin C pada hari ke-28 terjadi penurunan kadar
SGOT menjadi 125 ± 37,2 U/l walaupun tidak berbeda secara signifikan
(lihat gambar 4.). Peningkatan SGOT pada tikus yang diberi vitamin C
belum diketahui alasan yang pasti.
Pada hasil pengukuran SGPT, terlihat bahwa 24 jam setelah
penginjeksian doksorubisin pada siklus ke-4, tidak terlihat adanya
peningkatan SGPT yang signifikan pada semua kelompok perlakuan.
28
Terlihat bahwa hasil pengukurannya lebih rendah dibandingkan kontrol
sehat dimana pada hari ke-25 atau 24 jam setelah penginjeksian, kadar
SGPT berkisar antara 39 – 45,9 U/l. Namun, pada hari ke-28 atau 96 jam
setelah penyuntikan doksorubisin siklus ke-4, terlihat peningkatan bahkan
ada yang berada di atas 45,9 U/l. Pada kelompok tikus yang diberikan
NaCMC dan doksorubisin peningkatan terjadi dari 40 ± 10,5 U/l menjadi
54,8 ± 8,5 U/l. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa dosis 5 mg/ siklus
tidak cukup tinggi untuk menginduksi kerusakan hati. Berbeda dengan
SGPT, SGOT bisa mengindikasikan disfungsi jantung, dimana telah
diketahui bahwa efek kardiotoksisitas doksorubisin lebih besar dibanding
efek hepatotoksisitasnya.
Pada kelompok yang diberi doksorubisin dan paliasa, SGPT tikus
meningkat yaitu 30,9 ± 10,3 U/l menjadi 40,2 ± 4,6 U/l. Hal ini mungkin
menunjukkan terjadi efek antara doksorubisin dengan paliasa yang
memicu peningkatan SGPT pada hari ke-28. Peningkatan SGPT bisa
menjadi marker terjadinya kerusakan hati yang lebih spesifik. Peningkatan
SGPT setelah hari ke-25 juga terjadi pada tikus yang diberikan
doksorubisin dan vitamin C dan semakin meningkat 3 hari setelah
pemberian vitamin C (hari ke-28) yaitu 39 ± 14,9 U/l menjadi 45,9 ± 12,7
U/l walaupun tidak signifikan. Peningkatan SGPT pada tikus yang diberi
Vit. C belum diketahui alasan yang pasti. Beberapa pustaka
memperlihatkan bahwa pemberian vitamin C bila diberikan sebelum
penyuntikan doksorubisin 25 mg/ kg BB sekali injeksi bisa memberikan
29
efek protektif (Djabir YY dkk, 2016). Namun, pemberian bersama selama 4
siklus (5 mg/ kg BB) pada penelitian ini tidak memperlihatkan efek
hepatoprotektif. Mungkin salah satu alasannya karena injeksi doksorubisin
dosis 5 mg/ kg BB ternyata tidak cukup tinggi untuk menginduksi
peningkatan SGPT pada hari ke 25 dan ke 28. Terbukti pada hasil
perhitungan t-test yang memperlihatkan bahwa peningkatan SGOT dan
SGPT yang terjadi dari hari ke-25 hingga hari ke-28 tidak signifikan.
30
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa :
1. Pemberian ekstrak daun paliasa dan Doksorubisin dosis ganda
dapat menyebabkan peningkatan kadar SGOT yang signifikan
2. Pemberian ekstrak daun paliasa dan Doksorubisin dosis ganda
dapat menyebabkan peningkatan kadar SGPT, namun tidak
signifikan dibandingkan kontrol sehat.
V.2 Saran
Penelitian sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi
pada jaringan hati untuk lebih mengetahui kerusakan yang terjadi pada
jaringan setelah dilakukan penyuntikan doksorubisin dosis ganda.
31
DAFTAR PUSTAKA
Baron DN. Patologi Klinik. Terjemahan oleh Andrianto P & Gunawan J. Jakarta. EGC. Hal. 221
Bruton L, Lazo JS, Parker KL. 2005. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics 11th edition. McGrawHill, Lange. 1357.
Cecen E, Dost T, Culhaci N, Karul A, Ergur B, Birincioglu M. 2011. Protective Effect of Sylimarin against doxorubicin-induced toxicity. Asian Pac J Cancer Prev. 12(10):2697-2704
Djabir YY, Arsyad A, Budiarto S. 2015. Paliasa Leaf (Kleinhovia hospita Linn.) Extract Can Prevent Hepatotoxicity Induced By Chronic Use Of High Dose Paracetamol. Journal STIFA Makassar.1(1).
Djabir YY, Arsyad MA, Sartini, Subehan. 2016. Uji Efek Protektif daun paliasa (Kleinhovia hospita Linn) Untuk mencegah toksisitas doksorubisin terhadap sel jantung, hepar, dan ginjal. Laporan Penelitian Unggulan Perguruan tinggi. Universitas Hasanuddin.
Djabir YY, Usmar U, Wahyudin E, Mamada SS, Hamka IRN, Putri DPS, Amalia I. 2016. Roles of Vitamin C and Vitamin E on Doxorubicin-Induced Renal and Liver Toxicity in Rats. Nusantara Medical Science. 1(2)
Elgml SA, Hashish EA. 2004. Clinicopathological studies of Thymus vulgaris Extract Against Cadmium Induced Hepatotoxicity in Albino Rats. Global Journal of Pharmacology. 8 (4): 501-509
Ganiswara, S.B., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi V, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta. 751.
Gibson G, Skett P. 1991. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat. Di dalam : Aisyah I, editor. Pengantar metabolisme obat. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Hal 153
Guyton AC, Hall JE. Hati sebagai suatu organ. Di dalam : setiawan I, editor. Fisiologi Kedokteran edisi 9. EGC. Jakarta. Hal. 1105-1107
Hadi S. 2002. Gastoenterologi Edisi 7. PT. Alumni. Bandung. Hal. 415
Jambhulkar S, Deshireddy S, Jestadi DB, Periyasamy L. 2014. Quercetin Attenuating Doxorubicin Induced Hepatic, Cardiac and Renal Toxicity in Male Albino Wistar Rats. American Journal of Phytimedicine and Clinical Therapeutics. 2(8):985-1004.
32
Kala’padang D. 2017. Evaluasi Efek Protektif Ekstrak Daun Paliasa (Kleinhovia hospita. Linn) Terhadap Peningkatan SGOT dan SGPT Pada Hati Tikus yang Di Induksi Dengan Doksorubisin. Skripsi. Universitas Hasanuddin.
Karabulut-Bulan O, Bolkent S, Yanardag R, Bilgin-Sokmen B. 2008. The Role Of Vitamin C, Vitamin E, and Selenium on cadmium-induced renal Toxicity of Rats. Drug Chem Toxicol. 31(4):413-426.
Kee JL, Hayes ER. Farmakologi pendekatan proses keperawatan. Penerbit buku kedokteran. Jakarta. Hal. 397
Kumar A, Gautam B, Dubey C, Tripathi PK. 2014. A review: Role of Doxorubicin treatment of cancer. International Journal of Pharmaceutical Science and Research. 5(10):4117-4128
Maifitriani, Sutandyo N, Andrajati R. 2015. Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri Pada Pasien Kanker Yang Mendapatkan Kemoterapi Doksorubisin Di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Media Farmasi. 12(2):233-246
Minoti G, Menna P, Salvatorelli E, Cairo G, Gianni L. 2004. Anthracyclins: Molecular Advaced and Pharmacology Developments in Antitumor activity and cardiotoxicity. Pharmacol Rev. 56:185-228
Mycek MJ, Harvey RA, dan Champe CC. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Lippincottt’s Illustrated Reviews: Farmacology. Penerjemah Azwar Agoes. Edisi II. Widya Medika. Jakarta. 390.
Nair AB, Jacob S. 2016. A simple practice guide for dose conversion between animals and human. Journal of basic and clinical pharmacy. 7(2):27-31
Paramita S. 2016. Paliasa (Kleinhovia hospita L.):Review sebuah tumbuhan obat dari Kalimantan Timur. Research Gate. 9(1):29-36
Raflizar, Adimunca C, Sulistyowati T. 2006. Dekok Daun Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.) Sebagai Obat Radang Hati Akut. Cermin Dunia Kedokteran. 150 : 10 – 14.
Raflizar. 2009. Sub chronic toxicity test from alkohol extract paliasa leaves (Kleinhovia hospital Linn) to Hepar/Liver and kidney of experimental mice. Media peneliti dan pengembang kesehatan. 19(4):204-213.
Raflizar, Sihombing M. 2009. Dekok Daun Paliasa (Kleinhovia hospital Linn) Sebagai Obat radang Hati Akut. Jurnal Ekologi Kesehatan. 8(2):984-993
33
Rashid R, Ali N, Nafees S, Ahmad ST, Arjumand W, Hasan SK, Sultana S. 2013. Allevation of doxorubicin induced nephrotoxicity and hepatotoxicity by chrysyn in wistar rats. Toxicol Mech Method. 23(5):337-345
Riddick AS, et al. 2005. Cancer Chemotherapy and Drug Metabolism.The American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutic. 33(8):1083-1096
Saad SY, Najjar TA. 2001. The preventive role of deferoxamine against acute doxorubicin-induced cardiac, renal, and hepatic toxicity in rats. Pharmacological Research. 43(3):211-218
Sneel RS. 1970. Clinical and Fungsional histologi. Little Brown Company. Boston. Toronto. Hal. 477-487
Tam K. 2013. The Roles of Doxorubicin in Hepatocellular carcinoma. ADMET & DMPK. 1(3):29-44
Tandililing S. 2017. Evaluasi Efek Protektif Ekstrak Daun Paliasa (Kleinhovia hospita. Linn) Terhadap Peningkatan peroksidasi Lipid Hati pada Tikus putih yang Di Induksi Dengan Doksorubisin Skripsi. Universitas Hasanuddin.
Yang XL, Fan CH, Zhu HS. 2012. Photo-induced cytotoxicity of malonic acid (C60) fullerene derivatives and its mechanism. Toxicol In Vitro. 16:41-46.
34
LAMPIRAN 1
SKEMA KERJA
Tikusputih(n=19)
Aklimatisasiselama14hari
KelompokII(n=4) KelompokIII(n=4) KelompokIV(n=4) KelompokV(n=4)
KelompokV:Ekstrakpaliasa
250mg/kgBBp.o
KelompokIV:VitaminC250
mg/kg
KelompokIII:Ekstrakpaliasa
250mg/kgBBp.o
KelompokII:NaCMC1%b/v
p.o
Perlakuanselama28
hari
Doksorubisin5mg/kgBBi.p
Doksorubisin5mg/kgBBi.p
Doksorubisin5mg/kgBBi.p
Penginjeksiandoksorubisin 2 jamsetelah perlakuanpadahari ke6,12,18dan24
Pengambilanspesimendarahharike25melaluivenalateralis
Pengambilanspesimendarahharike28melaluivenalateralis
Analisis SGOT dan SGPTmenggunakanhumalyzer
KelompokI(n=3)
Pembahasan Hasil danpenarikanKesimpulan
KelompokI:KontrolSehat(tidakdiberiperlakuanapapun)
35
LAMPIRAN 2
PROTOKOL KERJA
Kelompok I
Keterangan:
A : pengambilan darah kontrol sehat (tidak diberikan perlakuan apapun)
Kelompok II
Keterangan:
A : perlakuan selama 28 hari (NaCMC 1% b/v )
B : injeksi doksorubisin
C : pengambilan darah 24 jam setelah injeksi doksorubisin terakhir
D : pengambilan darah 96 jam setelah injeksi doksorubisin terakhir
Kelompok III
Keterangan:
A : perlakuan selama 28 hari (ekstrak paliasa 250 mg/ kg BB )
36
B : injeksi doksorubisin
C : pengambilan darah 24 jam setelah injeksi doksorubisin terakhir
D : pengambilan darah 96 jam setelah injeksi doksorubisin terakhir
Kelompok IV
Keterangan:
A : perlakuan selama 28 hari (Vitamin C 250 mg/kg BB)
B : injeksi doksorubisin
C : pengambilan darah 24 jam setelah injeksi doksorubisin terakhir
D : pengambilan darah 96 jam setelah injeksi doksorubisin terakhir
Kelompok V
Keterangan:
A : perlakuan selama 28 hari ( Ekstrak Paliasa 250 mg/kg BB )
B : pengambilan darah 24 jam setelah injeksi doksorubisin terakhir
C : pengambilan darah 96 jam setelah injeksi doksorubisin terakhir
37
LAMPIRAN 3
HASIL PENGUKURAN SGOT DAN SGPT
kelompokperlakuan SGOThari25(U/l)
SGOThari28(U/l)
SGPThari25(U/l)
SGPThari28(U/l)
KontrolSehat1 57.4 57.4 39 392 75.1 75.1 59.4 59.43 63.7 63.7 39.5 39.5
RATA 65.4 65.4 45.9 45.9STDEV 8.9 8.9 11.6 11.6
NaCMC+Doksorubisin
1 90.9 93 51.7 53.12 77.9 71.8 34.5 45.53 89.1 139.7 45.3 664 89.4 116.4 28.4 54.7
RATA 86.8 105.2 40.0 54.8STDEV 6.0 29.3 10.5 8.5
Paliasa+Doksorubisin
1 99.6 148.7 20.7 38.42 117.3 123 25.9 37.13 150.7 178.9 44.7 474 127.6 115.6 32.1 38.4
RATA 123.8 141.6 30.9 40.2STDEV 21.3 28.7 10.3 4.6
VitaminC+Doksorubisin
1 109.6 91.8 40 35.92 142.5 137.8 24.1 49.13 143.2 98.6 59.1 364 131.5 171.7 32.9 62.4
RATA 131.7 125.0 39.0 45.9STDEV 15.7 37.2 14.9 12.7
Paliasa
1 113.4 80.8 42.9 53.22 95.3 83.8 36 41.23 55 69.1 39 50.94 57.65 60.7 46.28 47.72
RATA 80.3 73.6 41.0 48.3STDEV 28.7 10.7 4.5 5.2
38
LAMPIRAN 4
HASIL DATA STATISTIK
Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Frequencies
sgot N
NaCMCDokso sgot25 4
sgot28 4
Total 8
PaliasaDokso sgot25 4
sgot28 4
Total 8
VitCDokso sgot25 4
sgot28 4
Total 8
Paliasa sgot25 4
sgot28 4
Total 8
Test Statisticsa
NaCMCDokso PaliasaDokso VitCDokso Paliasa
Most Extreme Differences Absolute .750 .250 .500 .500
Positive .750 .250 .250 .500
Negative -.250 .000 -.500 -.500
Kolmogorov-Smirnov Z 1.061 .354 .707 .707
Asymp. Sig. (2-tailed) .211 1.000 .699 .699
a. Grouping Variable: sgot
39
Frequencies
sgpt N
NaCMCDokso sgpt25 4
sgpt28 4
Total 8
PaliasaDokso sgpt25 4
sgpt28 4
Total 8
VitCDokso sgpt25 4
sgpt28 4
Total 8
Paliasa sgpt25 4
sgpt28 4
Total 8
Test Statisticsa
NaCMCDokso PaliasaDokso VitCDokso Paliasa
Most Extreme Differences Absolute .750 .750 .500 .750
Positive .750 .750 .500 .750
Negative .000 .000 .000 .000
Kolmogorov-Smirnov Z 1.061 1.061 .707 1.061
Asymp. Sig. (2-tailed) .211 .211 .699 .211
a. Grouping Variable: sgpt
40
T-Test
Group Statistics
sgot N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
NaCMCDokso sgot25 4 86.825 6.0019 3.0009
sgot28 4 105.225 29.3263 14.6631
PaliasaDokso sgot25 4 123.800 21.3381 10.6690
sgot28 4 141.550 28.6569 14.3284
VitCDokso sgot25 4 131.700 15.6774 7.8387
sgot28 4 124.975 37.1660 18.5830
Paliasa sgot25 4 80.337 28.7154 14.3577
sgot28 4 73.600 10.6855 5.3428
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
F Sig.
NaCMCDokso Equal variances assumed 7.713 .032
Equal variances not assumed
PaliasaDokso Equal variances assumed .630 .458
Equal variances not assumed
VitCDokso Equal variances assumed 4.969 .067
Equal variances not assumed
Paliasa Equal variances assumed 13.586 .010
Equal variances not assumed
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
NaCMCDokso Equal variances assumed -1.229 6 .265 -18.4000 14.9671
Equal variances not
assumed -1.229 3.251 .300 -18.4000 14.9671
PaliasaDokso Equal variances assumed -.994 6 .359 -17.7500 17.8643
41
Equal variances not
assumed -.994 5.544 .362 -17.7500 17.8643
VitCDokso Equal variances assumed .333 6 .750 6.7250 20.1686
Equal variances not
assumed .333 4.035 .755 6.7250 20.1686
Paliasa Equal variances assumed .440 6 .675 6.7375 15.3195
Equal variances not
assumed .440 3.815 .684 6.7375 15.3195
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
NaCMCDokso Equal variances assumed -55.0231 18.2231
Equal variances not assumed -64.0184 27.2184
PaliasaDokso Equal variances assumed -61.4623 25.9623
Equal variances not assumed -62.3478 26.8478
VitCDokso Equal variances assumed -42.6258 56.0758
Equal variances not assumed -49.0819 62.5319
Paliasa Equal variances assumed -30.7480 44.2230
Equal variances not assumed -36.6213 50.0963
Group Statistics
sgpt N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
NaCMCDokso sgpt25 4 39.975 10.4847 5.2424
sgpt28 4 54.825 8.4622 4.2311
PaliasaDokso sgpt25 4 30.850 10.3426 5.1713
sgpt28 4 40.225 4.5581 2.2790
VitCDokso sgpt25 4 39.025 14.8798 7.4399
sgpt28 4 45.850 12.6556 6.3278
Paliasa sgpt25 4 41.045 4.4900 2.2450
sgpt28 4 48.255 5.2124 2.6062
42
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
F Sig.
NaCMCDokso Equal variances assumed .802 .405
Equal variances not assumed
PaliasaDokso Equal variances assumed 1.902 .217
Equal variances not assumed
VitCDokso Equal variances assumed .015 .906
Equal variances not assumed
Paliasa Equal variances assumed .022 .887
Equal variances not assumed
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
NaCMCDokso Equal variances assumed -2.204 6 .070 -14.8500 6.7368
Equal variances not
assumed -2.204 5.744 .072 -14.8500 6.7368
PaliasaDokso Equal variances assumed -1.659 6 .148 -9.3750 5.6512
Equal variances not
assumed -1.659 4.123 .170 -9.3750 5.6512
VitCDokso Equal variances assumed -.699 6 .511 -6.8250 9.7669
Equal variances not
assumed -.699 5.849 .511 -6.8250 9.7669
Paliasa Equal variances assumed -2.096 6 .081 -7.2100 3.4398
Equal variances not
assumed -2.096 5.871 .082 -7.2100 3.4398
43
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
NaCMCDokso Equal variances assumed -31.3344 1.6344
Equal variances not assumed -31.5141 1.8141
PaliasaDokso Equal variances assumed -23.2031 4.4531
Equal variances not assumed -24.8825 6.1325
VitCDokso Equal variances assumed -30.7238 17.0738
Equal variances not assumed -30.8739 17.2239
Paliasa Equal variances assumed -15.6269 1.2069
Equal variances not assumed -15.6719 1.2519
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
sgot25 Between Groups 12108.477 4 3027.119 8.745 .001
Within Groups 4846.044 14 346.146
Total 16954.521 18
sgot28 Between Groups 15572.200 4 3893.050 5.624 .006
Within Groups 9691.185 14 692.227
Total 25263.385 18
sgpt25 Between Groups 431.814 4 107.954 .918 .481
Within Groups 1646.212 14 117.587
Total 2078.026 18
sgpt28 Between Groups 443.197 4 110.799 1.398 .285
Within Groups 1109.960 14 79.283
Total 1553.157 18
44
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
LSD
Depende
nt
Variable (I) kelompok (J) kelompok
Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
sgot25 kontrolsehat NaCMC+dokso -21.4250 14.2098 .154 -51.902 9.052
paliasa+Dokso -58.4000* 14.2098 .001 -88.877 -27.923
VitC+Dokso -66.3000* 14.2098 .000 -96.777 -35.823
paliasa -14.9375 14.2098 .311 -45.414 15.539
NaCMC+dokso kontrolsehat 21.4250 14.2098 .154 -9.052 51.902
paliasa+Dokso -36.9750* 13.1557 .014 -65.191 -8.759
VitC+Dokso -44.8750* 13.1557 .004 -73.091 -16.659
paliasa 6.4875 13.1557 .630 -21.729 34.704
paliasa+Dokso kontrolsehat 58.4000* 14.2098 .001 27.923 88.877
NaCMC+dokso 36.9750* 13.1557 .014 8.759 65.191
VitC+Dokso -7.9000 13.1557 .558 -36.116 20.316
paliasa 43.4625* 13.1557 .005 15.246 71.679
VitC+Dokso kontrolsehat 66.3000* 14.2098 .000 35.823 96.777
NaCMC+dokso 44.8750* 13.1557 .004 16.659 73.091
paliasa+Dokso 7.9000 13.1557 .558 -20.316 36.116
paliasa 51.3625* 13.1557 .002 23.146 79.579
45
paliasa kontrolsehat 14.9375 14.2098 .311 -15.539 45.414
NaCMC+dokso -6.4875 13.1557 .630 -34.704 21.729
paliasa+Dokso -43.4625* 13.1557 .005 -71.679 -15.246
VitC+Dokso -51.3625* 13.1557 .002 -79.579 -23.146
sgot28
kontrolsehat NaCMC+dokso -39.8250 20.0948 .067 -82.924 3.274
paliasa+Dokso -76.1500* 20.0948 .002 -119.249 -33.051
VitC+Dokso -59.5750* 20.0948 .010 -102.674 -16.476
paliasa -8.2000 20.0948 .689 -51.299 34.899
NaCMC+dokso kontrolsehat 39.8250 20.0948 .067 -3.274 82.924
paliasa+Dokso -36.3250 18.6041 .071 -76.227 3.577
VitC+Dokso -19.7500 18.6041 .306 -59.652 20.152
paliasa 31.6250 18.6041 .111 -8.277 71.527
paliasa+Dokso kontrolsehat 76.1500* 20.0948 .002 33.051 119.249
NaCMC+dokso 36.3250 18.6041 .071 -3.577 76.227
VitC+Dokso 16.5750 18.6041 .388 -23.327 56.477
paliasa 67.9500* 18.6041 .003 28.048 107.852
VitC+Dokso kontrolsehat 59.5750* 20.0948 .010 16.476 102.674
NaCMC+dokso 19.7500 18.6041 .306 -20.152 59.652
paliasa+Dokso -16.5750 18.6041 .388 -56.477 23.327
paliasa 51.3750* 18.6041 .015 11.473 91.277
paliasa kontrolsehat 8.2000 20.0948 .689 -34.899 51.299
NaCMC+dokso -31.6250 18.6041 .111 -71.527 8.277
46
paliasa+Dokso -67.9500* 18.6041 .003 -107.852 -28.048
VitC+Dokso -51.3750* 18.6041 .015 -91.277 -11.473
47
LAMPIRAN 5
GAMBAR PENELITIAN
Gambar 6. Ekstrak paliasa Gambar 7. Tikus putih
Gambar 8. Pengambilan Doksorubisin Gambar 9. Penyuntikan Doksorubisin
Gambar 10. Pengambilan darah Gambar 11. Serum Darah Tikus
48
Gambar 12. Kit SGPT Gambar 13. Kit SGOT
Gambar 14. Humlyzer
49
LAMPIRAN 6
REKOMENDASI PERSETUJUAN ETIK