Download - Lilin Melawan Angin
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
1/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
2/83
Lilin-lilinmelawan angin
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
3/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
4/83
Lilin-lilinmelawan angin
Kumpulan PuisiSlamet Riyadi Sabrawi
PengantarAshadi Siregar
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
5/83
Lilin-lilin
Melawan Angin
2009
Penulis: Slamet Riyadi Sabrawi
Desain cover: Andri Reno Susetyo
Layout:Arif Nr
Gunung Gempal Rt027 Rw012 Giripeni Wates
Kulon Progo - Yogyakarta 55612
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
6/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
7/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
8/83
v
Catatan
Seorang Sahabat
Akhirnya, sebuah kumpulan puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi
terbit juga. Bukan sembarang karya. Inilah kumpulan karya yang
lahir ketika ia telah menjadi kakek dua orang cucu.
Cukup banyak puisi yang diterbitkan ini bertanda 2009. Tanda
tahun yang bisa menyesatkan, seakan Slamet baru mulai menjadi
pujangga pada usia 56 tahun.
Padahal, karier Slamet berpuisi telah dimulai jauh hari
sebelumnya. Ia satu dari sejumlah penyair muda Yogya yang
ditelurkan Umbu Landu Paranggi di awal 70-an.
Bahkan, ia tergolong lebih senior daripada Emha Ainun Najib.
Menurut catatan Slamet, ia lebih dulu berhasil menembus Sabana.
Rubrik puisi yang diasuh Umbu di surat kabar Pelopor Yogya
memiliki dua jenjang yang menunjukkan peringkat. Yang pertama
adalah Persada, yang merupakan peringkat untuk pemula.
Bila puisi berhasil lolos masuk halaman Persada, maka inilah
pembaptisan menjadi penyair. Sebuah kebanggaan tentu, karena
ketatnya kriteria dan kerasnya persaingan.
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
9/83
v
Yang kedua adalah Sabana. Ini peringkat di atas Persada. Puisi
yang dimuat di halaman Sabana adalah pengakuan lebih lanjut
akan mutu sastra. Sang karya telah naik kelas, dan tentu dengansendirinya sang penyair.
Slamet Riyadi berhasil menembus batas Persada. Karyanya
nangkring di Sabana.
Begitulah, antara lain cara Umbu menciptakan kompetisi dan
pengakuan. Itulah sebabnya sangat menggairahkan menyaksikanhalaman Persada dan Sabana tiap pekan. Dan memang pada masa
itu dari sinilah lahir para penyair muda Yogya. Ini jelas jasa besar
Umbu Landu Paranggi.
Saya mengenal Slamet pada 1976 di Gelora Mahasiswa, surat
kabar mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Slamet, mahasiswa
Fakultas Kedokteran Hewan, sudah lebih dahulu mengasuh
Gelora ketika saya bergabung. Jadi, dia adalah senior saya dalam
jurnalistik. Dalam perjalanan kemudian, Slamet menjadi Pemimpin
Redaksi dan saya menjadi Pemimpin Umum sampai koran itu
dibredel rektor Prof.Dr.Sukadji Ranuwihardjo.
Di Gelora Mahasiswa antara lain saya bertugas meliput hal ihwal
kesenian dan kebudayaan. Saya dan Slamet-lah yang menyeleksi
puisi yang layak muat di Gelora Mahasiswa.
Akan tetapi, saya tak tahu kapan tepatnya Slamet mengalami
moratorium berpuisi. Yang pasti, suatu hari ia bikin kejutan,
setidaknya mengejutkan saya. Slamet menyutradarai pementasan
Joko Tarub di Purna Budaya, Yogya.
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
10/83
x
Pementasan itu mengejutkan karena dua hal. Pertama, karena
Slamet tidak pernah bercerita secuil pun bahwa ia sedang
mempersiapkan sebuah pementasan yang ia sutradarai. Slametmemang lebih banyak diam dan senyum.
Kedua, karena mutunya. Pementasan itu di mata saya bukan hanya
layak tapi bernilai untuk diresensi. Dan itulah yang saya lakukan di
Gelora Mahasiswa.
Namun ternyata bukan hanya Slamet muda yang bisa membuatkejutan. Dalam usianya sebagai kakek, ia pun mengejutkan saya,
ketika suatu hari ia menelepon dan mengatakan akan menerbitkan
kumpulan puisi dengan swadana dan meminta saya memberi catatan.
Saya sengaja memilih orang untuk memberi catatan ini bukan dari
kalangan penyair (sastrawan atawa pengamat sastra) tetapi lebih
pada orang yang pernah bersama dalam perjalanan hidup ketika
muda, tulis Slamet dalam emailnya (Jumat, 19 Juni 2009).
Bersama surat elektronik itu datanglah ke hadapan saya 55 puisi
yang akan dibukukan dengan tajuk Lilin-lilin Melawan Angin.
Isinya terbentang antara makna perjalanan dan makna bergumul
dengan waktu.
Lilin-lilin Melawan Angin adalah judul puisi perihal Danau Toba
yang, menurut Slamet, /... Seingatku kau sudah melarangku untuk
menanam luka yang kukemas dengan berbagai cara padahal itu
membuatmu terpaku pada pintu peluangmu, seingatku kau selalu
memilih kata yang mudah dieja tanpa suara .../
Slamet prihatin dengan kondisi Danau Toba. /...Kudengar suaramuresah, limbah datang tak bertuah.../, tulisnya dalam Toba Nan
Rapuh.
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
11/83
x
Pergumulan dengan waktu tampak pada sejumlah sajak seperti
Siang, Petang, Malam, Ulang Tahun, Usia, dan tentu
puisi menyambut kelahiran dan ulang tahun sang cucu.
/Kutemukan tubuh tuaku lekang oleh jam. Waktu terus
menggerusku/ (Usia)
Dengan terbitnya kumpulan puisi ini, sejarah sastra boleh mencatat
telah bertambah seorang lagi penyair yang dokter hewan bersama
Asrul Sani dan Taufq Ismail.
Saur M. Hutabarat
Jakarta, 26 Juli 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
12/83
x
Dari Pekalongan ke Yogyakarta, masuk ke Universitas Gadjah
Mada, maksudnya untuk menjadi dokter hewan. Memang berhasil,
dia lulus dan berhak meyandang gelar Dokter Hewan (Drh). Tapi
apakah dia selanjutnya mengurusi para binatang yang sakit?
Kalau sekarang berpuisi, ada apa dengan Drh Slamet Riyadi?
Dunia Slamet Riyadi terentang antara kampus UGM yang disitu
dia menghadapi preparat dan tubuh hewan-hewan. Lalu asrama
anak-anak Pekalongan yang belajar atau kuliah di Yogyakarta. Pada
tahun 70an, ada sejumlah penghuni asrama itu yang menggulati
kegiatan teater. Saya pernah menonton pertunjukan drama komediberupa monolog yang dimainkan Slamet Riyadi. Jadi jauh sebelum
Butet Kertarajasa ditabalkan sebagai raja monolog, Slamet sudah
pernah mengusung monolog (walaupun tidak sampai merajai)
ke berbagai daerah. Pada masa perkuliahannya dia juga aktif
dalam kelompok diskusi dan pers mahasiswa, dua sayap kegiatan
yang tidak terpisahkan dari kehidupan aktivis mahasiswa. Saat
dia bersama Saur Hutabarat (belakangan pimpinan teras di
Media Group) memimpin Gelora Mahasiswa, koran mahasiswa
Pengantar
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
13/83
x
itu dibredel oleh rektor UGM. Boleh jadi pembredelan itu ada
hikmahnya, sebab memaksa sejumlah aktivis yang tadinya lalai,
dapat menyelesaikan studinya. Setelah selesai kuliah, dia sempatbekerja di bidang farmasi, memasarkan obat-obatan. Saya tidak
tahu, obat untuk manusia atau hewan.
Belakangan dia berhenti sebagai pemasar produk farmasi itu, dan
menerjuni bidang pers kembali, bekerja sampai level redaktur
pelaksana pada salah satu penerbitan besar di Jakarta. Kemudian
kegiatan sebagai praktisi pers ini pun ditinggalkannya. Tahun 1992
dia kembali ke Yogyakarta, dan mengelola Lembaga Penelitian
Pendidikan Penerbitan Yogya (LP3Y), sebuah organisasi nir-
laba yang bergerak dalam bidang pengembangan jurnalisme dan
media massa. Disini kegiatan masih berkaitan dengan dunia pers,
karena banyak memberikan pelatihan profesi bagi jurnalis. Selama
aktif di lembaga ini, dia mengembangkan kegiatan komunikasidengan berfokus pada isu AIDS (acquired immune defciency
syndrome). Ratusan jurnalis telah mendapat pelatihan tentang
masalah ini. Pelajaran bukan hanya keterampilan pragmatis untuk
membuat berita, tetapi lebih jauh dengan titik tolak dari fenomena
AIDS menumbuhkan penyadaran bagi para jurnalis tentang nilai
kehidupan dan hak azasi manusia. Pada masa ini sekaligus diaberkiprah sebagai aktivis penanggulangan AIDS, terlibat dalam
banyak program internasional di bidang ini.
Nah, dengan sedikit latar itu tentunya belum diperoleh jawaban
pertaliannya dengan puisi. Walaupun ada dokter hewan yang
menjadi penyair angkatan 45 seperti Asrul Sani atau angkatan
66 seperti Taufk Ismail, bukan berarti dunia hewan-hewan akan
memberikan dorongan berpuisi. Mungkin berteater dekat dengan
dunia puisi, tapi tidak setiap teaterwan akan menjadi penyairpuisi.
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
14/83
x
Begitu juga dunia jurnalisme yang mengolah kata dapat memberi
kekuatan pada proses berpuisi. Tetapi semuanya tetaplah bukan
dunia puisi.
Puisi adalah dunia tahun 70an di Malioboro. Nah, disini Slamet
Riyadi runtang-runtung dengan sejumlah anak muda yang
mengitari Umbu Landu Paranggi. Membayangkan dunia kesenian
di Yogya pada masa itu adalah dari Tugu yang terpacak di utara
Malioboro, menyusuri jalan ke selatan, sampai ke Gedung Seni
Sono di pinggir Istana Negara di ujung selatan Malioboro. Lalu
ke barat, menyusuri jalan sampai di Gampingan, di sini bermarkas
anak-anak sekolah seni rupa. Jika ditarik garis imajiner, ada
semacam mandala, wilayah yang berbentuk segitiga yang selalu
diramaikan oleh anak-anak muda yang menggeluti dunia seni kata
dan seni rupa.
Seni Sono, sayang sekali gedung yang sudah diratakan dengan
tanah kini, menyimpan banyak kenangan. Secara berganti, tempat
itu menjadi ajang bagi anak-anak muda mengekspresikan diri
dalam seni kata dan seni rupa. Saat itu ada gedung lain yang biasa
digunakan untuk pertunjukan teater atau pameran seni rupa. Tetapi
untuk penampilan seni berbau eksperimen, biasanya dilangsungkan
di gedung Seni Sono. Karenanya nama gedung ini sering disebut
dalam berbagai tulisan yang mengulas dinamika kesenian di
Yogyakarta tahun 70 80an.
Slamet Riyadi pernah berkiprah dalam seni peran, tampil di Seni
Sono. Seingat saya dia memainkan suatu lakon komedi. Bahwa
dia melucu di panggung boleh jadi bagian dalam proses menikmatidunia yang berbeda dari kesehariannya. Saya tidak tahu seberapa
intens seni peran digelutinya, dan apakah ada bekas dalam dirinya.
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
15/83
xv
Tetapi dengan menghadapi puisi-puisi yang ditulisnya sekarang,
setidaknya ada dunia Maliboro yang tertinggal, dan bangkit
kembali setelah lebih seperempat abad. Maliboro agaknya sebagaifaktor yang menghidupkan penghayatan alam puitik dalam dirinya.
Banyak orang yang pernah tinggal di Yogyakarta, menyimpan
kenangan atas sepenggal jalan ini. Agaknya romantisme itu
mengusik tanda tanya. Bagaimana melihat Malioboro?
Bagaimana membayangkan Maliboro tahun 70-an? Pada awalnyaMalioboro adalah selarik jalan menghubungkan Kraton dan Tugu.
Konon ini adalah garis imajiner bagi kekuasaan spiritual kerajaan
Yogyakarta dari Laut Selatan sampai ke Gunung Merapi. Tetapi
kemudian Maliboro adalah ajang niaga, kiri-kanannya disesaki
oleh pertokoan, termasuk pasar gede Beringharjo, gang-gang
yang bermuara ke jalan ini berasal dari permukiman yang dihuni
kebanyakan pedagang Tionghoa, ditambah dengan sarkem (dari
sebutan jalan Pasar Kembang sebagai penanda bagi perkampungan
Sosrowijayan dan sekitarnya yang diisi oleh pekerja seks
komersial).
Pada masa Hindia Belanda, sepanjang jalan ini dapat disebut
sebagai simbol kekuasaan kolonial di satu pihak dan terkikisnyakekuasaan Sultan Yogyakarta pada pihak lain. Di sini didirikan
gedung besar hunian gubernur kolonial (kini sebagai Gedung
Negara), berseberangan dengan benteng detasemen tentara
Belanda. Di jalan ini pula dijalankan pusat pemerintahan pribumi
guna menghadapi kekuasaan pemerintahan kraton, yaitu Kepatihan.
Pemerintahan pribumi bentukan kolonial ini menjadikan institusitradisional yang semula mengabdi sepenuhnya pada Sultan,
kemudian bermajikan pada kolonial Belanda.
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
16/83
xv
Setelah kemerdekaan, Sultan Hamengkubuwono IX melikuidasi
institusi kepatihan, untuk kemudian beliau berkantor sepenuhnya
sebagai Kepala Daerah di gedung itu. Untuk waktu yang lamamasyarakat Yogyakarta tetap menjuluki gedung perkantoran itu
sebagai kepatihan. Di Malioboro juga terdapat gedung parlemen
daerah dan kantor polisi wilayah. Disini juga ada perpustakaan
wilayah, isinya buku-buku tua, suatu sarana yang berharga di
tengah kelangkaan perpustakaan dunia pendidikan saat itu. Di
antara buku itu ada koleksi Bung Hatta, sebelum di pindah ke
perpustakaan Yayasan Hatta di Jalan Solo. (Kini yang tersisa di
Malioboro hanya gedung pemerintahan dan parlemen daerah.
Sedangkan lainnya adalah deretan pertokoan dan mal).
Di Maliboro siang-malam berlangsung kegiatan ekonomi formal
dan informal, yaitu orang-orang yang menjadikan selajur jalan ini
sebagai sumber kehidupan. Datang ke Maliboro, ya untuk belanja.Karenanya tempat ini menjadi persinggahan bagi pembeli di toko
dan penjaja makanan, wisatawan dari luar kota dan penjenguk
etalase (tidak berbelanja, ramai terutama sabtu malam), tiga
macam pesinggah yang relevan bagi kehidupan Malioboro. Jadi
membicarakan Malioboro otomatis mengacu pada perbelanjaan
dan pengunjungnya.
Tak masuk akal jika dunia niaga semacam itu berhasil
meninggalkan jejak romantisme. Lantas apa yang perlu dikenang?
Inilah dia.
Maliboro pada titik tertentu, menjadi penanda tempat bertemu
(rendezvous). Tetapi jangan lupa, ini hanya karena kemiskinan.Tak lain untuk efsiensi akibat keterbatasan sarana komunikasi,
tidak ada telepon umum apalagi telepon rumah. Kalau mau kontak
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
17/83
xv
teman, berkunjunglah (syukur kalau ada sepeda) ke tempat kosnya,
dan manakala tidak bertemu harus meninggalkan nota secarik
kertas: janjian ketemu malam nanti di gudek bu Amat atauwarung pak Pujo (kalau yang janjian punya potensi meneraktir),
teteg sepur (palang kereta api) atau depan Hotel Garuda (kalau
sedang bokek), dan sebagainya, semua di sepanjang Malioboro.
Betapa susah-payahnya untuk dapat berkontak satu sama lain.
Sehingga Maliboro bagaikan sinar terang bagi laron di malam
gelap. Lampu-lampu pertokoan membuatnya sangat kontras
dengan kawasan-kawasan permukiman yang hanya berfasilitas
listrik bertegangan 110 volt dengan lampu jalanan jarang menyala.
Saat pertokoan buka, pengunjung bermandi cahaya. Begitu masuk
jam 9 malam, toko-toko menutup pintu dan etalase, kaki lima
menjadi labirin yang suram. Hanya satu dua penjual makanan
buka lesehan. Jadi Malioboro yang romantis itu adalah: setelah diMalioboro hanya ada sinar teplok penjual gudek atau gorengan
ketela atau pisang. Karenanya jangan membayangkan Maliboro
yang penuh lampu mal dan iklan.
Agaknya keterbatasan komunikasi dan gerak, serta suasana yang
suram itulah yang menjadikan kebersamaan sangat berarti sehingga
selalu dikenang. Atau karena bergelandang setelah pertokoan
tutup, tanpa disadari sesungguhnya menjadikan kelompok orang
muda tahun 70-an itu berada pada wilayah pinggiran, yang sangat
berguna dalam mengembangkan diri dalam proses kreatif.
Pergaulan yang intens sepanjang Malioboro yang suram bagaikan
hidup dalam sanggar. Suatu sanggar hadir dengan seorang empu.Untuk dunia puisi di Malioboro ada Umbu Landu Paranggi.
Seorang empu berfungsi sebagai sumber semangat yang
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
18/83
xv
mengikat agar warga sanggar memeroses diri guna menemukan
perkembangannya. Totalitas pergaulan sanggar itulah sebagai
proses untuk menjadi (to be) suatu istilah yang sangat pentingdalam dunia kesenian. Membayangkan menjadi harus bertumpu
kepada proses personal yang berlangsung atas diri seseorang.
Alat ukurnya tidak ditentukan oleh suatu kekuasaan dan struktur
tertentu, melainkan dari kedirian pelaku dengan karya-karyanya
di tengah lingkungannya. Pada tahap pertama dalam lingkaran
kecil dari rekan sesanggar yang mengakui keberadaan dan karakter
karya yang dihasilkan. Pengakuan ini boleh saja dieksplisitkan,
tetapi yang paling utama adalah kesadaran dalam kejujuran dunia
dalam (inner world) untuk mengakui keberadaan suatu karya
seseorang. Dari interaksi semacam ini setiap orang dalam sanggar
akan menemukan dirinya menjadi.
Saat itu empu Umbu Landu Paranggi mengasuh rubrik kebudayaandi koranPelopor Yogya, dan didalamnya ada halaman untuk
menampung puisi. Tetapi yang penting bukan pemuatannya,
melainkan sebelum suatu puisi terpublikasi. Umbu Landung
Paranggi menghidupkan suasana sanggar ini di sepanjang jalan
Maliboro, di warung-warung kecil, atau perjalanan ke luar kota.
Anak-anak muda yang terpesona akan dunia puisi, penuh gairahmenjalani proses yang berlangsung.
Keunikan proses berlangsung adalah dengan menjadikan proses
kreatif bagai di dalam pertandingan sepakbola. Pemuatan karya
ibarat menjebol gawang lawan. Untuk itu pemain terbagi dua
kategori, kategori pertama bagi pemula yang karyanya dimuat
dalam kolom Persada, dan kategori kedua dimuat di kolom
Sabana. Kegairahan yang terpacu dalam interaksi sempat saya
tonton di antara anak-anak muda yang mengitari Umbu. Berhasil
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
19/83
xv
dimuat di Persada membuat penyairnya berbinar-binar. Tetapi
yang luar biasa adalah saat berhasil menembus kolom Sabana,
yang dalam pandangan sesamanya adalah sebagai puncak kerjakeras.
Mungkin pembaca koran Pelopor Yogya tidak berperhatian adanya
pemilahan kategori ini, sebab hanya anak-anak muda di sekitar
Umbu yang mengalami ekstasi dalam proses penghayatan dunia
puitik, sampai karyanya dimuat apakah di Persada ataupun
Sabana. Dari pinggir saya hanya menyaksikan semangat
dalam berpuisi, suatu gairah yang mungkin sangat langka dapat
ditemukan saat ini. Mungkin suasana penghayatan dunia puitik
berbeda pada setiap generasi.
Slamet Riyadi adalah satu generasi di antara anak-anak muda
tahun 70-an, secara personal berbeda dengan Emha Ainun Nadjib
yang ekspresif, atau Linus Suryadi yang pendiam dan biasa
menggerutu. Keduanya termasuk anak didik Umbu Landu Paranggi
yang menjadi penyair dengan kekhasan masing-masing. Sedang
Slamet Riyadi mengikuti setiap proses dengan sabar, dan kemudian
mengejutkan teman-teman sekelompoknya saat puisinya nongol
di Sabana. Apakah karena dia tidak banyak cingcong sehingga
dia mendapat perhatian khusus dari Umbu, sedang beberapa
lainnya sering disergah karena cerewet, saya kurang tahu. Seingat
saya keberhasilannya menembus Sabana relatif cepat dibanding
dengan anak-anak muda lainya dalam kelompok itu.
Sayang sekali saya tidak dapat membaca ulang puisi-puisi yang
ditulisnya dari tahun-tahun Persada dan Sabana. Tetapi agaknyapenghayatan dunia puitik Slamet Riyadi tidak bisa hilang, sebab
akhirnya dia kembali berpuisi. Walaupun tentunya suasana
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
20/83
xx
sangat berbeda, saat ini tidak ada pertandingan yang diikuti, tidak
ada gawang yang perlu dijebol. Jadi penghayatan dunia puitik
sepenuhnya dari dirinya sendiri.
Yogyakarta, Agustus 2009
ASHADI SIREGAR
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
21/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
22/83
xx
Daftar Isi
Catatan Seorang Sahabat ................................... v
Pengantar ............................................................xi
Daftar Isi ............................................................ xxi
Suatu malam, kuterpaku di antara
dua dinding batu ................................................. 1
Sujud ...................................................................2
Suara Suara Itu .................................................. 3
Anakku ................................................................4
Bom ....................................................................5
Peron ...................................................................6
Kesaksian ............................................................7
Mikail ...................................................................8Malam Kelam ......................................................9
Sekutuku ...........................................................10
Mimpi ................................................................11
Dering Itu ...........................................................12
Embun...............................................................13
Ruang................................................................14
1Kepada: Ataya Naveen Izzan ........................... 15
2
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
23/83
xx
Kepada: Naura Aqeela Falisha .........................16
Danau Luka ......................................................17
Samosir Getir ....................................................18
Toba nan Rapuh ................................................ 19
Lilin-lilin Melawan Angin ...................................20
Kutulis Ini Sebagai Duri ...................................... 21
Manaku .............................................................22
Perlukah Puisi ...................................................23
Bulan dan Belatung .........................................24
Sajak Cinta .......................................................25
Debu .................................................................26
Wajah-wajah Kaku .............................................27
Demodiri ............................................................28
Namamu ...........................................................29
Rumah Tua .......................................................30
Pekalongan (1) ................................................. 31
Pekalongan (2) ................................................. 32
Pekalongan (3) ................................................. 33
Malam ...............................................................34
Sajak Lupa .......................................................35
Singapore ..........................................................36
Daun Patah.......................................................37
Siang .................................................................38
Petang ...............................................................39
Bulan .................................................................40
Selepas Siang ..................................................41
Kartu Nama ......................................................42
Sermo ................................................................43
Batu Kali ............................................................44
Bali (1) .............................................................45
Bali (2) ..............................................................46
Bali (3) ...............................................................47Kenanga
Kepada Gt .........................................................48
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
24/83
xx
Saskatoon .........................................................49
Katarsis ............................................................. 50
Api .....................................................................51
Hari-hari ............................................................. 52
Doa ...................................................................53
Dogma (1) ........................................................54
Dogma (2) ........................................................55
Biodata .............................................................. 57
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
25/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
26/83
Suatu malam,
kuterpaku di antara dua
dinding batu
Ketika malam mengecoh bulan, serombongan orang
datang membawa gumam, akankah gelap kan bersanding
dengan kelam? Di bukit batu itu kau melenguh
sementara pertunjukan baru berjalan separuh
Ketika gamelan ditabuh riuh, segerombolan
orang menggerakkan tubuh, apakah ruh kan tetap
bertaut dengan sauh? Di kepak garuda itu Wisnu
membelakangimu membiarkanmu termangu
Ketika kata disulut tepuk
Ketika tepuk membuat mabukKetika mabuk hilang bentuk
Bali Agustus 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
27/83
Sujud
Ada yang hilang ketika diam menghadang pada rentang
malam yang panjang. Sepertiga atau subuh menjelang
Ada godaan datang mengungkit kantuk yang terantuk
dingin atau suntuk. Atau batukmu menyentuh ufuk
Ketika kutangkupkan henyak pada rintihan cicak yang
melata di antara doa. Pinta mendua antara surga dan
fana, kuudar kata lirih tapi bukan rintih
Kuadukan dahi pada seratus minus satu namamu. Letih
Aku berpacu memintamu, kadang satu atau seribu
Wates 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
28/83
Suara Suara Itu
Sudah sepekan kau dan anak-anakmu pergi dari gubug
senyap ini. Sepi beranjak lagi dari tepi. Mengoyak
beranda saban hari. Suara-suara itu menyandera pagi
Celotehan kecil itu telah memberiku nyali menghitung
hari. Sejak pagi hingga malam tanpa peri. Sampai
perekamku habis energi. Suara-suara itu mengikis sunyi
Kusukai bunyi yang keluar dari mulut-mulut kecilmu.
Nyanyian yang menjadi gelak. Atau tangis yang beradu
dengan gigi geripis. Suara-suara itu berjarak tipis
(Dini hari tadi kau kabari: Kan kau kirimi aku selusin
paket berisi suara-suara itu untuk menghalau risau)
Wates 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
29/83
Anakku
Dingin menusuk tengkuk. Pagi. Langkah kecilmu
bergegas, menerabas salju yang meranggas
Kupingmu kau balut rapat agar tak beku. Hangat
Sudahkah kau selipkan doa dalam rangsel kecil di
punggungnya? Biarlah ia memacu melawan suhu minus
satu. Angin prairi datang bertubi. Malam henti
Nak simpanlah potongan kota itu dalam kotak mainan
anakmu yang berserak. Biarkan ia tegak. Menggelegak
Saskatoon, 1990
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
30/83
Bom
Bom lagi?, tanya Drupadi. Ia menduga Dursasana kalap
karena gagal mengudar pakaiannya ketika para lelaki
setengah hati
Mengapa engkau diam?, suaranya lantang memecah
paseban. Para lelanang diam, Ketika kekerasan semakin
garang, ketika perempuan jadi korban!
Meski Kresna curiga ia tak mampu menghadang ledakan
Mengapa bukan gada yang kau bawa, tapi peregang
nyawa yang melantakkan beranda bukan padang
Kurusetra?
Perang telah kau alihkan, bukan Bima yang kau lawan
tapi siapa saja. Kau buta meski kau bukan Destrarata
Jakarta 17 Juli 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
31/83
Peron
Tak ada lagi kereta lewat atau berangkat.Hanya ada
rel tua yang menggeliat dan jadwal yang meringkuk
dikerubut rengat
Kenapa kau masih menunggu suara sinyal menjerit?
Padahal peluit itu kau lempar ke langit
Di petamu peron itu jadi noktah yang pasrah. Digilas
sejarah negri berantah
Di matamu peron itu basah.Tak ada desah dan kabar dari
negri yang resah
Wates 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
32/83
Kesaksian
Kusaksikan gumam sepanjang siang dari bilik-bilik yang
tercabik. Kertas digenggaman jadi tumpuan, tapi bisakah
ia bermakna tanpa pena. Suara pada akhirnya adalah
baca
Kusaksikan gamang meradang hingga matahari
sepenggalan. Terik siang menatap matahati, siapakah
pemulih negeri loh jinawi yang kau percayai kini?
Kusaksikan orang-orang bergegas pergi meninggalkan
sebungkah nurani di kotak ini. Lantas kemanakah
engkau bawa sebungkah yang lain esok hari?
Wates 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
33/83
Mikail
Kemarin kau kabari Mikail mati, aku nyaris tak peduli.
Biarlah ia menuju tepi. Sendiri
Kemarin kau sadari Izrail menanti, aku miris pada hari.
Biarlah ia menyanyi akhir kali. Sunyi
Hari ini kau kirimi Jibril hati, aku narsis pada nabi.
Biarlah ia mendaki tinggi. Sekali
Yogya Juli 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
34/83
Malam Kelam
Tak bisa kudiam menyaksikan malam menyisakan kelam
Angin menyusut di antara rumput yang lusuh. Diam
berkelindan dengan dendam
Tak bisa kurekam suara bulan yang berkeluh kesah soal
malam. Haruskah aku berseteru dengan pagi?
Dingin jatuh di sela-sela daun luruh
Wates 2 Juli 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
35/83
0
Sekutuku
Sekutuku itu selalu beradu dengan waktu. Dalam letak
ada detak menggelegak yang memberiku jejak. Beribu
pasak
Soal sepatu tak lalu memberimu mau. Liku jalan telah
tunjukkan duka lama di sela kata luka. Berjuta tapak
Ringkuk tangismu yang melepas tawaku tak juga jadi
rindu. Dalam debu ada batu menggerutu pilu. Satu
sembilu
Yogya awal Juli 09
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
36/83
Mimpi
Di suatu pagi kukisahkan kepadanya sebuah negeri
garang yang tak berperi. Tak ada halimun maupun
penyamun. Hanya ada pedang sederhana yang terlempar
dari sebuah padang: Kurusetra. Tak ada digdaya maupun
kuasa. Tak ada pemenang ataupun pecundang. Tak ada
Di suatu malam kukisahkan kepadanya negeri remang
tak bertepi. Tak ada ringkik maupun teriak jengkerik.
Hanya ada satria lelah yang meredam gundah dan
amarah: Yudhistira. Tak ada lagi yang mendaki seribu
mimpi. Tak lagi
Esok kukisahkan lagi kepadamu sebuah negeri yang tak
punya mimpi. Biarlah mimpi menjadi milikmu malam
ini
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
37/83
Dering Itu
Dering itu memecah hening di tempatku bergeming.
Siapa mengetuk pintuku dengan denting saat subuh
terpelanting. Silakan angkut tubuhku menuju tempat
teduh
Masihkah engkau ragu mengajakku menapaki
berandamu di lantai tujuh? Hanya ada angin kusut dan
suara surut
Dering itu menatap hening dan saling bersaing. Tak
berpaling
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
38/83
Embun
Kujunjung embun yang sedang meratapi daun di sebuah
pagi
Kau sanjung gelembung yang menatapi rimbun daun di
sebuah siang
Kucium kedua dahi sekutu kecilku dalam gelombang
diam. Malam belum padam
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
39/83
Ruang
Percayakah kau pada angka yang menunjuk suhu di
ruang tamu. Aku ragu
Rasa gerah telah menutup celah di tempat biasa
kusimpan resah
Kabarkan pada orang yang bergegas di jalanan
meregang siang. Kau berang
Padahal berita yang kusiarkan saling bersilang di antara
tiang penjaga ruang
Ia selalu berselingkuh dengan waktu. Aku tahu
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
40/83
1Kepada: Ataya Naveen Izzan
Jelang subuh ayahmu ikatkan sauh di pantai tempat
teduhmu berlabuh
Tak ada jerit yang jadi kait gigilmu tapi teriak kecilmu
jadi bait
Tak cukup beratmu menyangga selang berebut menuju
pusatmu, Biarkan ia meredam segala kuman yang
mengaliri darahmu, nak,sayup suara ibu
Kini sesudah engkau menggebu tiup dua lilinmu tak lagi
tersisa masa kalut menindihku,Tundukkan dunia yang
geram dengan kesalihan,nak!
Klaten 2007
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
41/83
2Kepada: Naura Aqeela Falisha
Pada tangismu pertama
Kusematkan doa di dadamu yang berdetak nyaring
melawan hening
Pada tangismu keduaKusalami ruang penjagamu yang mengais lirih menahan
perih
Pada tangis berikutnya
Kusaksikan rengkuh kecilmu yang meraih asi hangati
diri
Klaten 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
42/83
Danau Luka
Pada bulan yang tak kunjung pulang kukirim berita
tentang malam merambat pelan di antara pelepah pisang
dan sepotong daun kering dihempas jalanan
Pada kabut yang bergelinjang datang merajut dingin diantara pohon pinus dan kegelapan kutulis pesan ringan
untuk kau bawa pulang
Pada bukit yang berbaris menjulang panjang
kunyanyikan ode agar ia setia merawat danau tuamu
yang terluka
Tomok 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
43/83
Samosir Getir
Kusapa malammu yang direcoki gerimis tiris menerpa
geliat airmu di antara kerlip lampu menekuk lesu.
Ada nyanyian orang seberang, ada teriakan horas
bergelombang menimpa petang, ada dentuman suara
oplet mengusir suara sepimu, ada detak mengusik
danaumu berisik.
Kucoba menyeberang menyisir Samosir hingga
kutemukan kisahmu perih mendulang buih yang tertatih
Tak ada lagikah bisa kau raih dari harapan yang
bersepih?
Samosir 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
44/83
Toba nan Rapuh
Pohon-pohon sawit berjajar menuju danaumu saling
bercerita tentang leluhurmu yang datang dari serpihan
iga para dewa. Kau dengar batang bertumbangan
menumpuk kerakusan?
Para keramba telah kau pasang di tepian menyisakan
kisah tentang kegelisahan melumuri riak-riak danaumu
yang renta. Kudengar suaramu resah, limbah datang tak
bertuah
Masihkah kau bangga dengan perlawananmu yang sia-
sia di sekujur danaumu?
Toba 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
45/83
0
Lilin-lilin Melawan Angin
Tak mudah menyulut api di tepi danau yang tepinya
bertaut sepi dan angin menggoyang kencang meniti
jemarimu yang ringkih menggenggam lilin-lilin seirama
hati. Seingatku sudah puluhan kali kau lakukan cara
ini di malam kesaksian yang tak pernah menjadi pagi,
seingatku kau selalu terbata menghitung kata yang
tertinggal di kaca jendela
Tak mudah mengaliri air dari mata danaumu yang
membisu ketika api dipaksa menyala dan lelehan lilin
itu menahan beban agar tidak jatuh menahan ruh yang
rapuh. Seingatku kau sudah melarangku untuk menanam
luka yang kukemas dengan berbagai cara padahal itu
membuatmu terpaku pada pintu peluangmu, seingatku
kau selalu memilih kata yang mudah dieja tanpa suara
Tak mudah meniti danaumu bila api hilang dari sepi,
seingatku kata tak lagi menuai makna
Toba dalam MRAN 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
46/83
Kutulis Ini Sebagai Duri
Kutulis ini sebagai pengingat yang abai pada nilai dalam
kebarengan yang diredam di ruang tempat gumam
berloncatan geram. Siapa mendekam
dalam dirimu, duri atau sekam?
Kutulis ini sebagai penanda kebangkrutan melanda
ringkasan kiriman
dari ratusan kota yang kau redam dengan igauan kelam.
Siapa bunyikan dentam menghatamku, kata atau suara?
Kutulis ini sebagai genggam melumat batasan
kepantasan dan kepatutandipajang di dinding diam yang menyimpan selaksa
tanda. Siapa dirimu berani memberangusku, dewi atau
dewa?
Bogor Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
47/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
48/83
Perlukah Puisi
Perlukah puisi dibaca dengan amarah tumpah menerjang
saudaraku yang diterpa air bah dari gelegak serapah
menendang jendela basah. Dukamu kian terbelah
Perlukah puisi dibaca berteriak memecah luka yang
terhenyak berserak di antara kakimu dan lumpur tersedu
padahal tangis sirna ketika kamu terbata mengeja nama
Perlukah puisi dibaca tengadah saat mendung berlindung
di balik wajahmu berserah pasrah di antara tanganmu
mendekap lelah
Perlukah puisi dibaca dengan mantra kehilangan makna
dan mengusir kata-kata dari beranda
Perlukah puisi
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
49/83
Bulan dan Belatung
Kusunting bulan yang berjalan tertatih melindungi
malam, angin mengatasi dingin ia bagikan selimut dan
secuil mimpi untuk mengatasi sepi
Cahaya kecil melompati bebatuan dan kerontang
dedaunan menitipkan pesan: hari semakin lambat
melangkah melewati detik menuju jam yang membuka
siang
Bulan tinggal sepotong. Orang-orang berlarian
memperebutkan kepingan lain yang kosong
Padahal potongan dan kepingan saling sibuk menghitung
kapan ia mulai mabuk jadi belatung
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
50/83
Sajak Cinta
Alangkah mudahnya menulis sajak cinta bila kata tak
lagi mendera, hati riang bernyanyi
Adapun suara tak lagi bergumam ketakutan dicemburui
detak jam
Alangkah ringannya menulis cinta bila tak ada awan
berlindung di balik hujan menutupi bayang
Adapun hujan membanjiri kata menjadi puisi menjalin
hari
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
51/83
Debu
Sekumpulan riang bercanda di beranda tua dari kayu
yang urat-uratnya melintasi celah luka
Sekumpulan gurau terus meracau di kebun yang pohon-
pohonnya merambati hati sepi
Sekumpulan bunga sepatu tumbuh kacau di pagarku
sengaja kaucumbu
Sekumpulan kata tiba-tiba raib dari kamarku
menyisakan debu air matamu
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
52/83
Wajah-wajah Kaku
Wajah-wajah kaku dipaku di pepohonan sepanjang
perjalananku menatapku kelu. Adakah ia bakal
menambah sampah sejarah?
Senyum-senyum itu mengulum dentum: merobek kalbu
atau jadi abu. Adakah ia siap kalah dan jadi tanah?
Orang-orang bergegas abai pada harapan baru penuh
sembilu. Itukah maumu?
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
53/83
Demodiri
Kami rindu di tengah galau gambar-gambar bisu di
perempatan orang lalu-lalang. Siapa peduli pada diri
sunyi
Ia sudah pergi, kamu masih saja mematut diri. Berulang-
kali
Atau barangkali ia terjaga ketika demokrasi robek di
sana-sini
Atau kita memang tak tahu diri? Tak bernyali
Yogya 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
54/83
Namamu
Kucari namamu berhari-hari dalam kitab lama, satu-satu
kueja huruf tua perangkai tangismu pada dingin yang
melipat kainmu. Tak ada aksara tersisa, namamu belum
juga tertera
Orang-orang sibuk mencuil namanya untukmu tapi
sia-sia menempelkannya dalam dindingmu yang rapuh
terluka. Tak reda sakitmu belum jua reda isak kecilmu
Perempuan yang perih menanggung hisapan mungilmu
itu lantas sigap meraih kata bijak dari daun pintu
kamarnya, Anakku, telah kususun namamu mengikutijejak pendahulu. Lalu lantunan sepi mengikuti
Klaten 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
55/83
0
Rumah Tua
Rumah tua itu lelah meretas sejarah: ada catatan kecil
di wajahnya yang gerah dan tangan mungil merengkuh
sauh. Nihil
Dinding retak yang lusuh enggan menyapa: suara serak
melintasi duka dunia dan mengabarinya rindu. Siapa
Tak ada. Gelap membuka luka tanpa jeda. Lama
Pekalongan awal 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
56/83
Pekalongan (1)
Risau angin mendera kapal dan sauh. Ombak geram
pada laut
Di buritan burung dan ikan saling tikam. Langit gerah
Mendung bergegas menapaki kelam. Depus. Jauh
Di haluan kulihat ia mengeja senja. Lirih
Pekalongan awal 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
57/83
Pekalongan (2)
Basah merayapi daun-daun dan lembah
Degup bertambah meratapi jalan-jalan rekah
Menghapus langkah-langkah terbelah
Ada laut gundah meredam amarah
Ada sampah menimbun seribu langkah
Ada bah menyusup di sela-sela pasrah
Ada wajah sirna sia-sia. Ada
Dan tak ada.
Pekalongan awal 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
58/83
Pekalongan (3)
Kota ini berisik, mampat, becak terdepak
seperti kotamu lain. Hujan tak lagi menyirami tanah
Megono tak lagi wangi. Hilang kenduri, tinggal serapah
Kali Lojimu menatap kelu, hilang rindu. Siapa berpijak
Sawah, seperti kotamu lain, hilang tak berperi
Orang-orang bergegas bawa kabar tak jelas. Sua di batas
cadas dan hiruk . Gedung, taman, kian terpuruk
Engkaukah itu meringkuk di sela mimpi buruk?
Pekalongan Februari 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
59/83
Malam
Kusampaikan salam pada hening. Malam larut
Kuhitung degup dan denting dalam ribuan sujud. Hati
terpaut
Kugenggam erat jam yang meronta: Jangan
berbisik,katamu
Agar jelas kueja maksudmu satu-satu. Hilang ragu
Kupagut segala sudut sebelum malam terjaga oleh siang.
Hingga kata datang tak berbilang
Malam sia-sia. Aku sirna
Yogyakarta, 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
60/83
Sajak Lupa
Percuma kau ajari menulis sajak cinta. Padahal ia datang
diam-diam, tanpa diundang
Meski kau punya ribuan kata
Tapi masih juga kau lupa meletakkan koma
Percuma aku mengeja cinta. Padahal di beranda ada
nganga luka. Kau lupa menutupnya.
Masih ada titik
Tapi tak tahu ia kusimpan di mana
Bila sudah kau tulis sajak luka. Cinta tak lagi beriba
Dan tak pula pergi ke mana
Yogyakarta 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
61/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
62/83
Daun Patah
Kubiarkan bunga sepatu yang tumbuh kacau di
halamanku kau cumbu
Kau cegah lebah merambah ke lembah jantung sariku
punah. Kelopak patah
Adakah madu yang kau hisap meresap jadi sayap?
Kubiarkan kepompong jadi kupu berpendar atas
rindumu
Kau belah putikku agar datang kupu memeluk
malammu. Tanah basah
Barangkali sayapmu merintih letih. Langkahmu tertatih
Adakah lagu sunyi yang kau mainkan jadi bunyi?
Yogyakarta 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
63/83
Siang
Tadi pagi seseorang yang kukenal mengirimiku kabar
baik
Ia bercerita tentang padi dan ikan yang bercengkrama di
kolam hujan
Tadi siang seseorang yang tak kukenal mengirimku
kabar buruk
Ia mengutuk hujan dan batu jatuh bersatu
Tadi malam bayang-bayang datang menyampaikan
salam: kabar hilang di pematang
Sekarang seseorang dan bayangan tak lagi datang, hari
sudah siang
Yogykarta, 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
64/83
Petang
Ia mungkin datang ketika kita bergegas menyiapkan
petang
Sudahkah kau ringkas cinta dan dedaunan dengan
pelepah pisang?
Barangkali benci dan duri terpelanting ketika malam
hening
Adakah dahan tempat kita berpegang mengabaikan
siang?
Yogyakarta, 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
65/83
0
Bulan
Kemarin sebungkus siang kukirim kepadamu dengan
kereta malam melalui lima stasiun yang lama kau
abaikan
Tadi pagi kau mengabariku sekotak malam telah kau
terima dan kau jadikan hidangan makan siang menjamu
teman
Ia mengabariku melihat kunang-kunang berlarian di
antara bulir padi di sawah yang basah dan gelisah
Bulan sudah lama tenggelam tak lagi berkisah tentang
malam
Yogyakarta, 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
66/83
Selepas Siang
Sekeping siang telah kau layangkan pada sekumpulan
malam yang beronda menghitung pagi. Datang atau
hilang
Selusin nama telah kau letakkan di beranda ketika jam
datang terbata. Selaksa atau sedepa
Seuntai doa telah kau hunjamkan pada sepotong tangis
pembuka. Lepas atau retas
Yogyakarta, 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
67/83
Kartu Nama
Seseorang tergopoh menyodorkan kartu nama agar
kucontreng mukanya yang lebam dalam bilik sempit
di sebuah kebun yang melibas daun ditindih senyum
beruntun para aktor kampung. Sebuah jendral yang
kehilangan naga mengoceh riuh seperti perahu
kehilangan sauh. Padahal ia berlabuh di sawah bukan
laut
Seorang yang mengaku teman menautkan namanya pada
sebuah bintang yang tak bisa kuraih apalagi kukuliti
dengan pena di sebuah lembar jenaka yang memuat
banyak kepala yang tak kutahu isinya apa
Yogyakarta 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
68/83
Sermo
Saban hari orang-orang kota membasuh diri dengan
airmu yang kadang keruh, kadang disertai keluh tapi
mereka menimbamu terus tanpa henti, tanpa rikuh
padahal sungai-sungaimu mengerontang sejak petang.
Tahukah kau kemana warga dari desa yang dibenam itu
mengembara? Ke pulau seberang dengan angan-angan
panjang
Saban siang orang-orang itu datang mencari cerita yang
hilang dan tak ia temukan di seberang Aku pulang!
teriaknya memecah airmu, Rindu pada desaku bukan
pada desamu. Masih kutinggal serpihan tawa dan tangis
anak-anakku di dasar wadukmu rindu waktu. Tahukah
kau kemana sawah gemah ripah itu menghilang? Ke
kota menjadi tempat belanja
Di Sermosetan merah semakin marah!
Kulon Progo 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
69/83
Batu Kali
Batu kali gundah diguncang air bah. Pagi
Tamu datang tak lagi bersalam. Mengancam siang.
Beban bagai guruh. Malam luruh
Kata. Lara. Sentuh subuh
Sukorejo 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
70/83
Bali (1)
Barangkali para dewa menyukai bau tanah ini soalnya
bunga dan upacara saling bertegur sapa di halaman
rumah dan puramu. Tetapi bukan di jalanan yang macet
dan asap merasuki parumu. Di puramu ada parumu kelu.
Barangkali puing-puing itu hanyut ke laut dan tumbuh
di tempatmu yang porak poranda dulu menjadi gedung
baru. Di gedungmu ada dengung pilu.
Barangkali aku tak lagi mengenalimu, selain bau dolar
yang kian menyengat, tak kutemukan bale bengongmu
yang kausodorkan kepadaku tatkala kelelahan dankeramahan bertaut di ujung laut. Di balemu ada sarenade
rindu.
Siminyak 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
71/83
Bali (2)
Sudah kuduga kalau engkau tinggal di dangau, kudengar
teriakanmu yang sengau, apakah itu kegembiraanmu
menemukan pagi? Percayalah lautmu telah
menyembunyikannya berhari-hari dari janji yang tak
pernah bisa dipenuhi.
Ternyata celotehmu juga kandas oleh deru menggebu
pencari siang. Cahaya siapakah menyelimutimu dalam
terik yang mencekik?
Bali Desa 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
72/83
Bali (3)
Di desa ini, katamu, cuma ada laut yang tak lagi
gemuruh hanya angin sesekali riuh.Padahal saat kusapa
tak kutemukan debur dan riak air pertanda laut ada dan
tak ngeluyur kemana
Ah, laut yang ditelan malam adakah kau takut pada
suara bulan yang sibuk mengentaskan siang. Hanya ada
jejak temaram menyanyikan lagu dolanan dari balik
dinding-dinding yang menyimpan dingin
Padahal arah cuaca tak bisa ditebak menjanjikan apa,
apalagi anginPadahal arah angin tak bisa menjadi petunjuk
bagaimana, apalagi hujan
Padahal hujan tak cuma tetes air mengalir, apalagi
ombak
Nusa Dua 2009
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
73/83
KenangaKepada Gt
Kenangamu meniti malam
menahan denting. Jam. Menerpa
hening, jaga napas yang tersisa
Kisah hampir sirna. Larut
di sedu sedan dadamu. Menyusup
sayup, hanya ada lenguh
Malam selimuti gairah. Selaksa
Aku bertumpu di gelegak kenangamu
menuangi kamar-kamar berkelambu
Yogya 15/9/95
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
74/83
Saskatoon
Tak ada deru trem. Hanya gudang gandum berceceran
berwarna-warni di sepanjang prairi
Angin berkesiut kencang, dingin mengancam
sepanjang petang
Di taman kota, obrolan dan asap barbekiu
saling menindih rindu. Sekumpulan Melayu
menjerang angan kampung halaman
Adakah berita tersisa untuk kita?
Orang-orang bergegas
Kaki-kaki dan butir-butir salju. Berebutmerenggut badai menuju lorongmu
Dingin membekukan kabar. Dingin
Saskatchewan 1990
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
75/83
0
Katarsis
Gelisah bergulir di uratmu. Gundah
menyeruak di antara darah dan waktu
Api meletik di jantungmu. Akankah
kau biarkan udara membakar hutanku?
Barangkali ada asap
Di guratan wajah-wajah
yang berkabut. Pasrah
Wates 1996
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
76/83
Api
Guratan kecewa melanda muka
Hari berlagak tanpa decak. Detak
menelikung di lorongmu. Adakah kabar
membakar ilalang kering sekeliling
Sementara aku terjaga, api tak juga mati
Wates 1996
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
77/83
Hari-hari
Adakah hati yang terpanggang api
meleleh tapi tetap bisa berbagi
Adakah api yang kausulut saban hari
menyala namun tak membakar berahi
Adakah air yang menyelinap pelan dari bola mata
mengalir meski bimbang tak juga berakhir
Salatiga 1997
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
78/83
Doa
Sudah kutemukan kunci yang lama kucari
dari sebuah teka-teki. Cinta tak terbagi
dibawa laki-laki dari jaman purbani
Tak lagi ada ruang kosong di dadamu
Tempat teduh dulu. Kini gemuruh
Tak ada lagi sembunyi: Gusti
Jakarta 1998
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
79/83
Dogma (1)
Kita mungkin terjebak dalam ritus dan tradisi.
Atau barangkali orang-orang mengakalinya dengan
mengatasnamakan aturan religi.
Kita terikat dalam rutinitas yang mengusung cinta
sebagai abracadabra. Padahal, cinta hanya sekali dan tak
terbagi. Adam pun tak. Siapa sangka kita beranak-pinak
mengekor dunia.
Kau tatahkan kalimat Gibran di ruang-ruang sekeliling.
Hanya ada desing. Kosong
Ia bicara tentang dunia antah. Bukan napas dan desah
kita.
Di luar kepompong
ada kupu-kupu sampai pada waktu. Mati kutu
Salatiga-Yogya 1999
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
80/83
Dogma (2)
Mulanya aku percaya cinta. Itu kebodohan pertama.
Karena cinta hanya lahir sekali
Lalu berbagai riasan susul menyusul, cinta hanya sesaat
muncul sekedar basa-basi
Itupun cuma replika yang disusun dari angan-angan dan
godaan. Selebihnya godam
Kerja tak kunjung sempurna. Kesalahan merajalela
Kebenaran hanya punya Dewa
Ia terus menakar salah-benar dari orang-orang yang tak
berkelakar
Yogya 1999
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
81/83
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
82/83
Slamet Riyadi Sabrawi, lahir 12 Juni 1953
di Pekalongan. Menyukai sastra & teater sejak
muda. Sejak di Yogya (1973) selain aktif di
Persada Studi Klub, juga mendirikan Teater
WS (menyutradari Joko Tarub/Akhudiat,Antigone/Sopochles, memainkan monolog Kasir
Kita /Arifn C.Noor dan beberapa karya Anton
Chekov) dan memeragakannya di kampus2
(UGM,IAIN Sunan Kalijaga, Univ.Brawijaya
dll), juga anggota Teater Gadjah Mada. Lulus
sebagai Dokter Hewan dari UGM (1980),
berpraktek hingga 1988, kemudian menjadi
wartawan di Jakarta (Warta Ekonomi/Redaktur,
Mobil&Motor/Redaktur Pelaksana). Pada 1992
kembali ke Yogya bekerja di Lembaga Penelitian
dan Pendidikan Yogya (LP3Y) hingga kini.
Biodata
-
8/9/2019 Lilin Melawan Angin
83/83