Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan Trait Agresi Verbal pada Antifans
Iqbal Maesa Febriawan, Bagus Takwin, Roby Muhamad
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]; [email protected]
Abstrak
Studi ini mencari tahu hubungan antara tingkah laku flaming dan trait agresi verbal pada antifans.
Flaming sebagai bentuk tingkah laku komunikasi agresif yang dilakukan antifans terhadap publik figur diduga berkaitan dengan trait agresi verbal. Tiga puluh enam pemilik akun antifans di Twitter ditarik tweetnya sebanyak seratus tweet per akun dan mengisi kuesioner Verbal Aggressiveness Scale yang terdiri dari 10 item yang bernuansa agresi. Uji psikometrik terhadap Verbal Aggressiveness Scale menunjukkan bahwa alat ukur ini valid dan reliabel (α = 0,8). Tiga ribu enam ratus tweet dari 36 akun antifans dianalisis kontennya oleh dua koder yang tidak mengetahui hipotesis penelitian untuk menentukan setiap tweet yang disampaikan tergolong flaming atau tidak. Seratus tweet dari seluruh akun diambil secara acak untuk mendapatkan data reliabilitas antarkoder. Reliabilitas antarkoder menunjukkan nilai κ = 0,565, yang mana bermakna bahwa persetujuan antarkoder dapat diterima. Frekuensi tweet flaming dan hasil kuesioner Verbal Aggressiveness Scale dikorelasikan untuk mendapatkan hasil penelitian. Hipotesis penelitian ini diterima, bahwa terdapat hubungan antara tingkah laku flaming di Twitter dan trait agresi verbal pada antifans. Analisis tambahan dilakukan untuk melihat perbedaan tingkah laku flaming dan trait agresi verbal pada antifans laki-laki dan perempuan. Tingkah laku flaming tidak berbeda secara signifikan untuk antifans laki-laki dan perempuan sedangkan trait agresi verbal ditemukan lebih kuat pada antifans laki-laki dibandingkan perempuan. Implikasi penelitian dibahas lebih lanjut dalam makalah. Kata Kunci: Flaming, Trait Agresi Verbal, Antifans
Haters (not just) Gonna Hate: A Correlation Study between Online Flaming and Verbal
Aggressiveness among Antifans
Abstract
This research tries to prove that online flaming relates to verbal aggressiveness among antifans. Thirty six antifans Twitter account owner fully participated in this research. Each Twitter account took 100 recent tweets per April 25th, 2014. The owner account filled in Verbal Aggressiveness Scale, consisted ten aggressively-worded items. Validation study for this measurement resulted that the scale was valid and reliable (α = 0,8). Three thousands and six hundred tweets were analyzed by two coders, not knowing research hypothesis. Intercoder reliability showed that agreement between coders was fairly accepted. This study result showed that online flaming in Twitter relates to verbal aggressiveness among antifans. Additional result found in this study were that there was no significant difference in flaming between male and female antifans but there was significant difference in verbal aggressiveness between male and female antifans. Further implication of this study explained in the end of this paper. Keywords: Online Flaming, Verbal Aggressiveness, Antifans
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
Pendahuluan
Perkembangan teknologi membuat komunikasi dapat berjalan tanpa temu muka
secara langsung. Salah satu fungsi yang paling banyak digunakan melalui internet adalah
akun sosial media. Media sosial daring (online) adalah moda yang digunakan individu untuk
berinteraksi tanpa harus bertemu langsung. Selain untuk berinteraksi dengan orang lain, akun
sosial media menjadi cara untuk mengekspresikan diri terkait suatu subjek, media, atau isu.
Ekspresi tersebut dapat tampil melalui komentar, pesan, update status, bahkan tweet yang
diungkapkan seseorang. Komentar tersebut dapat muncul dalam bentuk kritik yang
konstruktif atau kalimat yang emosional dan bertujuan menjatuhkan seseorang atau ide yang
disampaikannya. Keberadaan komentar yang bersifat menjatuhkan ini tidak hanya dapat
menganggu pihak yang diserang tetapi juga pengguna internet secara umum. Situs-situs yang
tadinya memasang kolom komentar pun sudah menjadi privat, memasang fitur untuk
menyaring komentar yang menyerang, bahkan menutup kolom komentar agar tidak tampil
komentar yang bersifat menyerang orang lain.
Beberapa kasus mengenai komentar yang menjatuhkan dalam situasi daring antara
lain adalah yang menimpa Tom Daley, atlet Olimpiade cabang loncat indah. Daley menerima
dan menyampaikan kembali (retweet) pesan yang mengolok-olok dirinya setelah gagal
memenangkan medali dalam Olimpiade (Retweeting flames - Do celebrities make trollers
‘chewtoys'?, 2012). Respon Daley tersebut memancing tweet yang lebih kasar dan sarkas dari
pengguna Twitter lain. Komentar yang ofensif dalam situasi daring pun dapat berlanjut ke
konflik fisik di kehidupan sehari-hari. Sebuah berita dari BBC menyatakan bahwa telah
terjadi pembunuhan yang berawal dari adu komentar di salah satu forum daring (Internet user
admits web rage, 2006). Dua kasus di atas menjadi contoh bahwa tingkah laku
menyampaikan pesan yang mengandung konten sarkasme terjadi dalam situasi daring dan
mengganggu bagi orang lain. Melalui Survei Menyebalkan Nasional yang dilakukan secara
daring kepada pengguna Twitter, Manampiring (2014) menyatakan bahwa berkomunikasi
menggunakan kata-kata yang kasar melalui akun media sosial termasuk aktivitas yang tidak
disukai dalam komunikasi melalui internet.
Pesan melalui media daring yang bertujuan untuk merendahkan orang lain dikenal
dengan istilah flame. Sesuai dengan metaforanya, flaming memancing situasi yang memanas
(sarat konflik) dalam interaksi daring. Tingkah laku menyampaikan flame disebut dengan
flaming. Flaming didefinisikan sebagai penyampaian pesan yang bertujuan untuk menyerang
orang lain atau ide/karya yang dimiliki orang lain (Grote, 2012). Flaming sendiri merupakan
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
fenomena yang lebih sering terjadi di situasi daring. Klaim tersebut didukung temuan Oegema,
Kleinnijenhuis, Anderson, dan van Hoof (2008) bahwa flaming lebih sering terjadi di forum
diskusi internet dibandingkan kolom komentar pembaca di surat kabar. Meskipun diutarakan
dalam bentuk teks, flaming dapat terjadi di berbagai jenis posting di internet. Studi yang
dilakukan Grote (2012) menemukan bahwa perilaku flaming di situs jejaring sosial Facebook
lebih banyak ditemukan dalam grup, disusul dengan wall, kemudian komentar foto atau video.
Flaming merupakan tingkah laku yang berbeda dengan kritik atau cyberbullying.
Meskipun mengandung konten yang menghina dan menjatuhkan, gejala flaming tidak selalu
menggambarkan terjadinya cyberbullying. Vandebosch dan Cleemput (2009) mengemukakan
bahwa terjadi power imbalance, yang mana pihak yang berkuasa (bully) merupakan pihak
yang superior sedangkan pihak yang dikuasai (bullied) menjadi pihak yang inferior. Pihak
yang melakukan flaming dapat hanya menunjukkan ketidaksukaannya dengan cara yang kasar
namun tidak menimbulkan hubungan yang mendominasi antara pelaku dan korban flaming.
Lange (dalam Moor, 2008) serta Pazienza, Stellato dan Tudaroche (2008) menyatakan bahwa
flaming berbeda dengan kritik, yang mana kritik dapat mengandung konten yang bersifat
konstruktif sedangkan flaming berisi konten ofensif dan destruktif.
Akun media sosial merupakan unit yang banyak dijadikan sebagai perbandingan
dengan kondisi seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Selain untuk mengamati kondisi
agregat seperti penelitian di atas, aktivitas di akun media sosial pun cenderung mencerminkan
atribut personal dalam kehidupan sehari-hari. Yarkoni (2010) pun mengungkapkan adanya
hubungan antara penggunaan kata pada blog dan trait kepribadian penulisnya berdasarkan Big
Five Inventory. Studi yang mengaitkan tweet dan kepribadian dilakukan oleh Qiu, Lin,
Ramsay, dan Yang (2012) menemukan bahwa trait neuroticism dan aggreableness yang dapat
tercermin melalui tweet yang disampaikan seseorang. Penelitian yang mengaitkan perilaku
daring dengan kondisi di kehidupan sehari-hari cukup beragam domainnya, bahkan hingga
video blog dan game online. Perilaku nonverbal (baik audio maupun visual) dan jumlah orang
yang menonton sebuah video blog ditemukan berkorelasi signifikan dengan trait extrovertness,
openness to experience, dan conscientiousness pembuat video blog tersebut (Biel, Aran, &
Gatica-Perez, 2011). Yee, Duchenaut, Nelson, dan Likarish (2011) menemukan bahwa
pemilihan karakter dan aktivitas dalam permainan daring dapat memprediksi trait kepribadian
pemain. Seluruh penelitian ini bermuara pada kesimpulan bahwa aktivitas seseorang melalui
internet dapat mencerminkan kepribadian.
Selain dapat bersifat mencerminkan, perilaku daring juga dapat berkebalikan dari
perilaku sehari-hari. Suler (2004) mengemukakan istilah online disinhibition effect untuk
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
menjelaskan fenomena pengungkapan diri (self-disclosure) atau perilaku yang lebih bebas
atau terbuka ketika daring daripada aktivitas sehari-hari. Penekanan yang dikemukakan bahwa
faktor situasi daring merupakan faktor utama penyebab tingkah laku yang lebih bebas. Situasi
daring memungkinkan seseorang untuk menjadi anonim, tidak diketahui lokasinya, dan
memberi jeda dalam interaksi dalam situasi daring. Hal tersebut dapat memicu tindakan yang
lebih bebas dibandingkan dengan situasi di kehidupan sehari-hari. Online disinhibition ini
dibagi menjadi dua tipe: benign disinhibition; menunjukkan sisi ramah dan altruistik yang
dimiliki individu, dan toxic disinhibition, yang bermakna menampilkan sisi negatif dan kasar
(Suler, 2004). Kedua jenis disinhibisi ini ditampilkan melalui media daring namun tidak
dalam perilaku sehari-hari. Perilaku flaming dapat diduga sebagai dampak dari toxic
disinhibition. Perilaku daring yang berbeda dari perilaku sehari-hari tersebut menunjukkan
bahwa faktor daring dapat menciptakan tingkah laku yang berbeda dari kecenderungan
perilaku yang tampil di kehidupan sehari-hari.
Dua sisi dari perilaku daring ini menarik peneliti untuk mengetahui kaitan antara
flaming dan kecenderungan tingkah laku, atau yang lebih dikenal dengan istilah trait. Studi
yang telah dilakukan sebelumnya telah membuktikan bahwa flaming terkait dengan trait yang
tergolong negatif, seperti impulsif, sadisme, psikopati, narsisisme, serta mementingkan diri
sendiri dan memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi (Suh & Wagner, 2013;
Buckels, Trapnell, & Paulhus, 2014). Flaming sebagai tingkah laku komunikasi yang agresif
membutuhkan pemahaman akan kaitannya dengan trait yang berhubungan dengan perilaku
komunikasi. Infante, Rancer, dan Womack (dalam Martin & Anderson, 1997) mengemukakan
empat jenis kecenderungan (trait) komunikasi agresif yang merupakan turunan dari trait
kepribadian. Empat trait tersebut dibagi menjadi dua jenis berdasarkan dampaknya:
konstruktif dan destruktif. Trait komunikasi yang tergolong konstruktif adalah asertif dan
argumentatif sedangkan trait komunikasi yang tergolong destruktif adalah hostility dan agresi
verbal (Infante & Wigley, 1986).
Rancer dan Avtgis (2006) mengungkapkan bahwa hostility merupakan trait yang
dapat memunculkan tingkah laku agresif dalam berbagai bentuk. Flaming sebagai bentuk
tingkah laku verbal semestinya dipahami dari trait yang spesifik membahas tentang tingkah
laku verbal. Trait agresi verbal merupakan bagian dari hostility yang secara spesifik
membahas kecenderungan perilaku dalam konteks verbal. Trait agresi verbal sendiri
merupakan sebuah konstruk yang didefinisikan sebagai kecenderungan untuk menyerang
konsep diri orang lain daripada menyerang keberpihakan lawan bicara dalam sebuah topik
(Infante & Wigley, 1986). Individu dengan trait agresi verbal akan menyerang lawan
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
bicaranya secara personal daripada membantah posisi pro atau kontra mengenai topik
pembicaraan. Trait agresi verbal sering dikaitkan dengan argumentatif karena kesamaannya
dalam mengonfrontasi lawan bicara. Meskipun saling terkait, agresi verbal dan argumentatif
merupakan dua konstruk yang berbeda, yang mana argumentatif merupakan kecenderungan
untuk mempertahankan keberpihakan dengan cara melawan keberpihakan lain dan tidak
selalu mencerminkan permusuhan (Infante & Rancer, dalam Croucher, DeMaris, Turner, &
Spencer, 2006). Dampak kepemilikan trait agresi verbal ini dinilai negatif dalam berbagai
situasi, antara lain dalam hubungan interpersonal, komunikasi instruksional, dan komunikasi
antar budaya (Hample, 2008).
Figur publik dan pemirsa merupakan dua istilah yang familiar dan sulit dipisahkan
dari jagad media. Figur publik sering diasosiasikan dengan idola karena memiliki popularitas
dan status yang lebih tinggi daripada pemirsa. Pemirsa figur publik yang menyukai dan
mengidentifikasi diri terhadap para idola lebih dikenal dengan istilah fans. Jika fans berada di
sisi positif hubungan pemirsa dengan figur publik, maka terdapat haters sebagai pihak yang
berada di sisi negatif hubungan tersebut. Penggunaan istilah haters sebenarnya dapat merujuk
pada semua orang yang membenci objek atau individu lain namun maknanya beralih menjadi
lebih spesifik ke arah hubungan antara pemirsa dengan figur publik. Istilah ilmiah untuk
pembenci tokoh publik adalah antifans. Antifans dianggap sebagai kontra dari popularitas
figur publik. Studi mengenai fans sudah cukup ekstensif sedangkan penelitian mengenai
antifans masih sedikit. Antifans sendiri tidak bisa dianggap remeh karena dari segi kuantitas
dapat menyamai jumlah fans. Walaupun antifans berada di sisi negatif hubungan idola dengan
penggemar, mereka memiliki kesamaan dengan fans berupa perhatian yang ditujukan kepada
idola (Claessens & Van den Bulck, 2013). Perhatian ini digunakan antifans untuk
melancarkan serangan atau kontra terhadap tingkah laku idola.
Antifans dianggap sering melakukan hujatan terhadap idola tanpa alasan yang jelas
dan kerap membuat ulah yang mengganggu performa idola. Hujatan yang dilakukan antifans
dilakukan karena ketidaksukaan terhadap atribut idola dan sebagai salah satu cara yang
digunakan untuk menolak popularitas idola (Springer, 2013). Sebelum era akun sosial media,
antifans menyampaikan hujatan melalui forum daring. Seiring fungsi sosial media yang
mendekatkan pemirsa dengan publik figur, hal ini pula yang dilakukan antifans untuk
menyerang publik figur secara langsung dibandingkan mengutarakan ketidaksukaannya
terhadap publik figur melalui forum daring. Twitter adalah salah satu media berkomunikasi
antara idola dan pemirsanya. Twitter menjadi fenomena unik untuk diteliti dalam konteks
hubungan pemirsa dan publik figur karena pemirsa dapat mengikuti Twitter figur publik
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
namun publik figur belum tentu mengikuti Twitter pemirsanya, yang mana dapat menjadi
analogi hubungan antara pemirsa dan figur publik yang berlangsung satu arah. Ketertarikan
terhadap selebritis dan berita terkait mereka ditemukan menjadi prediktor seseorang membuat
akun Twitter (Hargittai & Litt, 2011). Pengunaan Twitter pun menjadi penting karena
persepsi kehadiran idola yang dihasilkan tweet dapat memprediksi persepsi kedekatan dengan
figur publik dalam hubungan parasosial, keinginan untuk menyaksikan acara yang memuat
idola, dan intensi memilih untuk figur publik politisi (Lee & Jang, 2013). Dengan
bermodalkan akun Twitter dan melakukan mention, pemirsa dapat menjangkau figur publik
secara personal. Untuk antifans, karakteristik Twitter tersebut dimanfaatkan untuk melakukan
serangan verbal langsung pada figur publik.
Twitter juga dapat menjadi penyampai pesan dari pemirsa kepada figur publik tanpa
persetujuan dari figur publik. Tidak seperti Facebook atau YouTube yang mana komentar
atau pesan yang masuk dapat disaring melalui persetujuan pemilik akun, tweet dapat
disampaikan seseorang tanpa harus menunggu persetujuan dari penerima pesan. Untuk para
antifans, Twitter dapat menjadi media untuk mengungkapkan ketidaksukaannya pada figur
publik. Karakteristik Twitter yang dapat mengirimkan tweet tanpa harus mem-follow
penerima pesan dimanfaatkan oleh antifans untuk mengirim tweet yang mengolok-olok publik
figur. Springer (2013) mengungkapkan bahwa perilaku tidak etis di internet dapat
menjelaskan aktivitas antifans dengan figur publik. Claessens dan Van den Bulck (2013)
menyatakan bahwa antifans telah merambah ke dunia internet sehingga ungkapan
ketidaksukaan terhadap idola menjadi lebih masif dan diarahkan langsung pada figur publik.
Tingkah laku antifans di Twitter ini dapat digolongkan sebagai flaming karena pesan yang
disampaikan antifans pada publik figur cenderung sarkastik dan menjatuhkan reputasi publik
figur. Dampak dari flaming yang dilakukan antifans cukup besar. Stephen Fray dan Miranda
Hart, keduanya merupakan selebritis, terpaksa menutup akun Twitter-nya setelah diserang
antifans melalui tweet yang memojokkan keduanya (Castella & Brown, 2011).
Pemahaman akan kecenderungan berkomunikasi dari antifans sebagai pelaku flaming
perlu diketahui untuk menjelaskan apakah fenomena flaming terkait dengan karakteristik
berkomunikasi di kehidupan sehari-hari atau semata-mata hanya fenomena yang terjadi hanya
karena faktor daring. Bukan hal yang mustahil, perilaku agresif yang dilakukan antifans dapat
meningkat menjadi agresi fisik. Penelitian ini mencoba mengetahui kaitan antara trait agresi
verbal dan tingkah laku flaming. Dengan mengetahui hubungan antara perilaku flaming dan
trait agresi verbal, kita dapat mengetahui apakah perilaku daring merupakan representasi atau
berkebalikan dari perilaku sehari-hari. Penelitian ini juga berkontribusi terhadap pemahaman
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
akan perilaku antifans dalam situasi daring. Claessens dan Van den Bulck (2013)
mengemukakan bahwa studi menggunakan media daring menjadi metode ideal dalam
mengenali antifans. Antifans lebih terbuka dalam mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap
figur publik melalui daring, terlebih karena faktor anonimitas yang terjadi dalam situasi
daring.
Peneliti menduga bahwa aktivitas flaming yang dilakukan antifans di Twitter
berhubungan dengan trait agresi verbal yang dimiliki oleh antifans. Argumen tersebut
didukung oleh studi mengenai faktor trait yang berkaitan dengan flaming baru dilakukan
terhadap predisposisi negatif seperti kecenderungan impulsif serta Dark Triad Personality
yang meliputi sadisme, psikopati, dan Machiavellinisme (lebih mementingkan diri sendiri dan
memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi) (Suh & Wagner, 2013; Buckels,
Trapnell, & Paulhus, 2014).
Prosedur Penelitian
Partisipan penelitian merupakan pemilik akun Twitter yang mencantumkan kata anti,
hate atau hater dalam akun Twitternya dan minimal sudah memasang tweet minimal 100
tweet. Self-report terhadap akun Twitter digunakan karena merupakan cara paling jelas untuk
menemukan individu yang tergolong antifans. Empat puluh satu akun Twitter yang memenuhi
kriteria dikontak melalui Twitter via mention untuk mengisi kuesioner daring. Satu akun
menolak untuk mengisi kuesioner, satu akun lain dibuang dari analisis lanjutan karena
dicurigai menggunakan autobot, dan tiga akun lain tidak mengisi kuesioner. Total partisipan
yang mengikuti penelitian ini hingga selesai adalah 36 pemilik akun Twitter.
Teknik pengambilan sampel untuk partisipan adalah convenient sampling.
Convenient sampling juga dikenal dengan istilah accidental sampling, dimana partisipan
penelitian direkrut karena ketersediaannya dan akses yang mudah (Gravetter & Forzano,
2012). Peneliti melacak akun Twitter sesuai dengan karakteristik di atas dan meminta pemilik
akun tersebut untuk menjadi partisipan penelitian. Convenient sampling termasuk non-
probability sampling. Non-probability sampling dilakukan ketika populasi tidak diketahui
jumlahnya dan berpengaruh terhadap penarikan kesimpulan terhadap populasi karena
minimnya representasi terhadap populasi (Gravetter & Forzano, 2012).
Peneliti menggunakan protokol analisis konten yang dibuat oleh Dwiyanti (2010).
Flaming dioperasionalisasikan sebagai tweet yang mengandung indikasi amarah, kekesalan
dan sindiran; kata atau kalimat yang seluruhnya menggunakan huruf kapital; serta kata
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
umpatan seperti 'bangsat, goblok, bodoh, sialan, jelek, tak tahu diri, nyebelin, sok tahu,
kurang ajar, dsb.' Protokol diberikan dalam bentuk ceklis. Satu tweet dapat masuk dalam lebih
dari satu kategori namun jika suatu tweet masuk dalam minimal satu kategori, tweet tersebut
dihitung sebagai satu kali frekuensi flaming. Seratus tweet dari kumpulan 4100 tweet yang
sudah terkumpul diambil kembali secara acak untuk dikategorikan kembali oleh kedua koder.
Analisis seratus tweet ini bertujuan untuk melihat reliabilitas antarkoder.
Pengukuran trait agresi verbal dalam penelitian ini menggunakan Verbal
Aggressiveness Scale yang dikembangkan oleh Infante dan Wigley. Beberapa penelitian
membuktikan secara empiris bahwa penggunaan pernyataan positif dan negatif memisahkan
dimensi dalam Verbal Aggresiveness Scale. Studi yang dilakukan Levine, Beatty, Limon,
Hamilton, Buck, dan Chory-Assad (2004) serta Croucher, DeMaris, Turner, dan Spencer
(2006) menemukan bahwa Verbal Aggresiveness Scale merupakan pengukuran yang bersifat
bidimensional. Dua dimensi yang dimaksud adalah dimensi agresi verbal dan prososial. Hal
ini sebenarnya sudah sejalan dengan teknik skoring yang diberikan oleh Infante dan Wigley
(1986), yang mana item-item yang dengan pernyataan positif diskoring terbalik namun
Infante dan Wigley memberikan klaim bahwa Verbal Aggressiveness Scale merupakan
pengukuran yang bersifat unidimensional.
Atas perdebatan dimensionalitas tersebut, Levine, Beatty, Limon, Hamilton, Buck,
dan Chory-Assad (2004) serta Merkin (2010) menyarankan untuk menggunakan 10 item yang
bernuansa agresi. Alasan penggunaan 10 item bernuansa agresi adalah karena item tersebut
lebih akurat dalam mengukur agresi serta 10 item lainnya tidak berkorelasi negatif dengan
kriteria perilaku agresif verbal. Beatty, Rudd, dan Valencic (1999) bahkan menyatakan bahwa
item social coherence merupakan item distraktor dalam alat ukur ini. Item yang bernuansa
agresi adalah item nomor 2, 4, 6, 7, 9, 11, 13, 16, 18, dan 19 dari alat ukur Verbal
Aggressiveness yang terdiri dari 20 item. Alat ukur ini memiliki skala 1-5 sehingga skor
minimal yang dapat dimiliki adalah 10 dan skor maksimal adalah 50. Merkin (2010) telah
menguji reliabilitas dan validitas Verbal Aggressiveness Scale secara lintas budaya. Verbal
Aggressiveness Scale ditemukan valid dan reliabel pada populasi Amerika Serikat dan Korea.
Survei preliminari mengenai figur publik yang memiliki antifans aktif di Twitter
disebarkan melalui Google Drive. Survei tersebut berbentuk pertanyaan terbuka yang
menanyakan siapa publik figur yang memiliki antifans aktif di Twitter dan akun antifans,
terutama yang memiliki kata anti, hate, atau hater dalam akun Twitternya. Survei disebarkan
secara daring mulai tanggal 26 Maret hingga 10 April 2014. Nama publik figur yang muncul
sebagai publik figur yang memiliki antifans aktif di Twitter adalah JKT48, Cherrybelle,
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
SM*SH, Farhat Abbas, Coboy Junior, Dewi Persik, Julia Perez, Nikita Mirzani, Agnes
Monica, dan Indah Dewi Pertiwi. Setelah hasil didapatkan, peneliti mencari akun yang
mengandung kata anti, hate, atau hater serta mengandung nama dari sepuluh figur publik
tersebut dalam daftar pencarian Twitter. Untuk menghindari akun yang dimiliki oleh lebih
dari satu orang, akun yang menggunakan #min (inisial tertentu) tidak diikutsertakan dalam
penelitian ini. Akun tersebut kemudian dilihat jumlah tweet-nya. Akun yang telah
menyampaikan tweet lebih dari 100 dan mencantumkan kata anti, hate, atau hater dijadikan
partisipan dalam penelitian kali ini.
Peneliti menggunakan saran dari Johnson (2010) untuk melakukan perekrutan aktif
terhadap partisipan. Perekrutan aktif dilakukan dengan cara mengikuti (following) akun
Twitter yang memenuhi persyaratan di atas dan mengirimkan pesan melalui mention berisi
tautan kuesioner Verbal Aggressiveness Scale (α = 0,8) yang telah diadaptasi. Mention akun
secara personal dilakukan untuk meyakinkan pemilik akun bahwa penelitian ini adalah
penelitian serius dan diharapkan pemilik akun yang mengisi kuesioner yang diberikan.
Partisipan diajak untuk mengisi kuesioner sebagai bagian dari undian yang berhadiah pulsa
telepon genggam sebesar Rp 200.000,00. Kuesioner daring disebarkan mulai tanggal 27 April
hingga 6 Mei 2014. Sembari menunggu kuesioner terisi oleh akun, pengambilan tweet
dilakukan. Tweet dari akun antifans diambil dengan menggunakan fasilitas Twitter API.
Pengambilan tweet dilakukan dengan bantuan seorang programmer. Pengambilan tweet
menghasilkan file dalam format .csv yang berisi 3200 tweet per akun dan dapat dibaca oleh
Microsoft Excel. File tersebut berisi nama akun Twitter, tanggal tweet dipost, dan konten
tweet dari akun yang bersangkutan. Untuk analisis penelitian ini, 100 tweet terbaru per akun
per tanggal 25 April 2014 diambil dari list dalam file tersebut. Seratus tweet terbaru diambil
dengan asumsi bahwa dalam seratus tweet dapat ditemukan pola perilaku flaming.
Pengambilan sampel tweet menggunakan pendekatan event sampling. Event sampling lebih
menekankan pada perilaku yang muncul daripada waktu terjadinya perilaku (time-based
sampling). Urutan waktu tidak menjadi permasalahan dalam pengambilan sampel tweet
dengan asumsi bahwa antifans terus menyampaikan tweet namun hanya berbeda intensitasnya
ketika ada kejadian terkait figur publik. Pengumpulan tweet menghasilkan data 4100 tweet
dari 41 akun antifans.
Tweet tersebut kemudian diberikan pada koder dalam bentuk file Excel yang berisi
tweet. Kolom berisi detil mengenai nama akun antifans, waktu penyampaian tweet, dan
jumlah retweet atas tweet disembunyikan. Dua koder diminta untuk mengisi ceklis untuk
menentukan satu tweet tergolong flaming atau tidak berdasarkan protokol yang tersedia. Dari
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
4100 tweet yang terkumpul di awal penarikan, seratus tweet diambil secara acak untuk diniai
oleh kedua koder. Klasifikasi dari seratus tweet tersebut digunakan untuk analisis reliabilitas
antarkoder. Untuk membiasakan diri terhadap protokol, 25 tweet diambil secara acak untuk
melatih kedua koder menggunakan protokol analisis konten. Koder pertama memberikan
penilaian pada 20 akun atau 2000 tweet dan koder yang lain memberikan penilaian pada 21
akun atau 2100 tweet yang berbeda dengan koder pertama. Hipotesis dan tujuan penelitian
tidak diberitahukan pada kedua koder untuk meminimalisasi bias saat melakukan koding.
Untuk analisis hasil penelitian, 500 tweet dari lima akun dibuang dari analisis karena pemilik
akun tidak mengisi kuesioner. Total tweet yang masuk dalam analisis hasil adalah 3600 tweet
dari 36 pemilik akun.
Hasil Penelitian
Tiga puluh enam antifans mengikuti penelitian ini secara lengkap. Antifans yang
mengidentifikasi diri sebagai laki-laki sama banyak dengan perempuan, yaitu 18 orang. Umur
antifans berkisar antara 14-22 tahun dengan rata-rata 17,53 tahun (SD = 1,82). Frekuensi
flaming yang dilakukan antifans berkisar antara 10-97 tweet dari 100 tweet yang disampel dari
masing-masing akun dengan rata-rata 59,86 tweet (SD = 24,32). Skor alat ukur Verbal
Aggressiveness Scale terentang antara 26-37 dengan rata-rata 32,28 (SD = 2,67). Skor
Cohen's Kappa yang didapatkan melalui program SPSS adalah sebesar 0,565 (p<0,001), 95%
CI (0,365-0,764). Angka tersebut melewati batas penerimaan untuk reliabilitas antarkoder
sebesar 0,4. Landis dan Koch (1977) menyatakan bahwa koefisien Kappa 0,41-0,6 tergolong
sebagai moderate agreement. Hal ini bermakna bahwa persetujuan antarkoder dalam
penelitian ini tergolong menengah.
Frekuensi flaming dan skor Verbal Aggressiveness Scale dikorelasikan dan skor
Pearson product moment correlation yang didapatkan adalah 0,402. Hasil tersebut
menunjukkan korelasi yang signifikan antara kedua variabel, r(36) = 0,402, p(two-tailed) <
0,05, 95% CI (0,085-0,645). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis nol penelitian ini
ditolak. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis penelitian bahwa terdapat hubungan antara
perilaku flaming dan trait agresi verbal pada antifans. Koefisien determinasi (r2) menunjukkan
angka 0,161. Hal tersebut bermakna bahwa 16,1% varians dari tingkah laku flaming dapat
dijelaskan dengan trait agresi verbal.
Analisis tambahan dilakukan untuk melihat perbedaan rata-rata jumlah flaming dan
skor Verbal Aggressiveness Scale pada laki-laki dan perempuan. Rata-rata jumlah flaming
antara antifans laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara signifikan, t(34) = 0,331, p(two-
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
tailed)>0,05, namun rata-rata skor Verbal Aggressiveness Scale antifans laki-laki dan
perempuan berbeda secara signifikan, t(34) = 2,093, p(two-tailed)<0,05. Rata-rata skor Verbal
Aggressiveness Scale pada partisipan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Mlaki-laki =
33,17; Mperempuan = 31,39).
Diskusi
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suh dan Wagner (2013) serta
Buckels, Trapnell, dan Paulhus (2014) bahwa tingkah laku flaming berkaitan dengan
karakteristik negatif di kehidupan sehari-hari. Secara umum, hasil penelitian ini mendukung
temuan bahwa perilaku daring dapat merepresentasikan kondisi di kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini juga melanjutkan temuan bahwa flaming terjadi di akun media sosial setelah
penelitian Kerssies (2013) mengenai dampak flaming di Twitter terhadap persepsi mengenai
produk, Grote (2012) mengenai flaming di Facebook dan Moor (2008) mengenai flaming di
YouTube. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa flaming tidak semata-mata
fenomena yang terjadi dalam situasi daring. Flaming dapat mencerminkan karakteristik
pelakunya di kehidupan sehari-hari, yang mana dalam penelitian ini adalah trait agresi verbal.
Berdasarkan umur, antifans yang menjadi partisipan dalam penelitian ini berada di
kisaran umur remaja. Secara umum, belum ada teori yang menjelaskan kaitan antara
kecenderungan umur dan identitas fans atau antifans. Dua kemungkinan dapat menjelaskan
hal ini, antifans yang cenderung berada di usia remaja atau antifans remaja yang mengikuti
penelitian ini. Peneliti menduga bahwa kemungkinan kedua yang lebih dapat menjelaskan
temuan ini. Salah satu hasil survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika
mengemukakan bahwa sekitar 6% dari remaja usia 14-19 tahun di Indonesia pernah
melakukan flaming dengan cara mengirimkan pesan melalui akun media sosial untuk
memancing kemarahan atau mempermalukan penerima pesan (Gayatri, 2014). Salah satu
hasil penelitian Ybarra dan Mitchell (2004) menemukan bahwa sekitar 12% (180 orang)
remaja dari sampel penelitian yang dilakukan terlibat perilaku agresif dalam situasi daring.
Studi yang sama juga menunjukkan bahwa remaja yang melakukan tindakan agresif dalam
situasi daring juga memiliki masalah perilaku di kehidupan sehari-hari. Bukti tersebut
menguatkan bukti bahwa perilaku daring dapat menjadi representasi bagi karakteristik di
kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini menambah pengetahuan mengenai kecenderungan agresi verbal di
kehidupan sehari-hari yang dimiliki antifans. Studi ini menambah penjelasan atas pertanyaan
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
yang diutarakan Springer (2013) mengenai sebab antifans menghina figur publik. Selain
karena ketidaksukaan terhadap figur publik, antifans melontarkan tweet yang mengandung
ejekan terkait dengan trait agresi verbal yang dimiliki. Trait agresi verbal yang dimiliki oleh
antifans diduga kuat disebabkan karena faktor menganggap orang lain lebih hina daripada
dirinya. Antifans adalah individu yang membenci eksistensi dan karya dari figur publik.
Claessens dan Van den Bulk (2013) secara jelas menyatakan bahwa salah satu karakteristik
antifans adalah menanggap figur publik lebih hina daripada dirinya. Meskipun penelitian ini
menggunakan partisipan pemilik akun antifans dari selebritis, hasil penelitian ini dapat
dijadikan acuan untuk penelitian mengenai antifans dari figur publik lain, semisal politisi.
Tingkah laku flaming yang dilakukan oleh antifans dapat disebabkan setidaknya oleh
tiga hal, anonimitas, kemarahan dan tidak adanya peran moderator dalam berkomunikasi di
Twitter. Seluruh akun Twitter yang pemiliknya menjadi partisipan dalam penelitian ini
tergolong akun pseudonim, yang mana berarti bahwa tidak ada rujukan terhadap identitas
sehari-hari dan nama samaran digunakan untuk menutupi identitas asli. Tsikerdekis (2012)
memisahkan kategori pseudonim (menggunakan alias) dan anonim (tidak menampilkan
identitas yang merujuk pada identitas di kehidupan sehari-hari) dalam pembahasan faktor
anonimitas dalam tingkah laku flaming. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
individu yang menggunakan fitur pseudonim cenderung mengemukakan flame yang tergolong
sangat intens. Kemarahan juga diduga berperan atas tingkah laku flaming yang dilakukan
antifans. Dugaan ini diperkuat dengan temuan Arda (2006) bahwa kemarahan terhadap figur
publik menjadi indikator seseorang sebagai antifans. Berbeda dengan forum internet yang
memiliki pihak yang berperan sebagai moderator diskusi atau pembicaraan serta nettiquette
yang jelas, Twitter hanya memiliki terms and conditions sebagai pedoman berkomunikasi.
Tidak ada kontrol yang mengikat pengguna Twitter ditambah dengan pengawasan minim
membuat Twitter dapat digunakan sebagai media flaming oleh antifans. Analisis tambahan
dalam penelitian ini menemukan bahwa frekuensi tingkah laku flaming tidak berbeda secara
signifikan antara antifans laki-laki dan perempuan. Hasil tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Turnage (2008) sekaligus membantah temuan Aiken dan Waller (2000). Hal ini
dapat dijelaskan dengan temuan Bayard dan Khrisnayya (2001) bahwa frekuensi mengumpat
pada laki-laki tidak berbeda secara signifikan dibandingkan perempuan.
Sebagai tambahan, hasil studi ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara trait
agresi verbal antara antifans laki-laki dan perempuan. Antifans laki-laki ditemukan lebih
tinggi rata-rata skor trait agresi verbalnya dibandingkan antifans perempuan. Hal yang serupa
ditemukan pada studi terkait trait agresi verbal, dimana laki-laki memiliki skor rata-rata trait
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
agresi verbal yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Infante & Wigley, 1986; Myers &
Knox, 1999; Rodgers, 2003; Rogan & LaFrance, 2003; Shaw, Kotowski, Boster, & Levine,
2012). Perbedaan ini dapat dijelaskan antara lain dengan pendekatan communibiology. Laki-
laki cenderung lebih agresif dalam berkomunikasi diduga sebagai dampak dari hormon
testosteron yang dimiliki. Tinjauan yang dilakukan Archer (1991) menemukan bahwa hormon
testosteron berkaitan dengan perilaku agresif, baik yang dilaporkan melalui self-report atau
peer-report. Temuan lain menjelaskan bahwa laki-laki memiliki trait agresi verbal yang lebih
kuat daripada perempuan disebabkan oleh faktor hostility dan usaha untuk mendapatkan
kekuasaan dan dominasi. (Hamilton & Mineo, 2002; Selnow, dalam Myers & Knox, 1999).
Keunggulan studi ini antara lain merupakan studi pertama yang mengaitkan perilaku
daring dengan trait agresi verbal. Studi yang pernah dilakukan terkait trait agresi verbal
berfokus pada perilaku di kehidupan sehari-hari, baik yang diukur melalui self-report atau
observasi. Penelitian ini sekaligus membuka jalan bagi penelitian lain mengenai perilaku
daring. Penelitian yang dilakukan kali ini memperkecil kemungkinan eror flaming yang
sebetulnya dimaksudkan untuk bercanda seperti yang diungkapkan O'Sullivan dan Flanagin
(2003) karena antifans dan publik figur tidak memiliki hubungan personal yang intim
sehingga ujaran yang dipersepsi pengamat sebagai flaming dapat dipastikan merupakan
bentuk agresi yang ditujukan pada publik figur.
Limitasi dari penelitian ini antara lain penarikan sampel dan reliabilitas antarkoder.
Bias dalam penarikan sampel, baik dalam partisipan atau tweet yang dikoding, mungkin
terjadi. Partisipan penelitian dipilih hanya pemilik akun Twitter sehingga terbatas pada
antifans yang aktif menggunakan internet dan berada dalam usia produktif dan tweet yang
dianalisis kontennya diambil dari seratus tweet terbaru. Reliabilitas antarkoder dalam
penelitian ini hanya masuk dalam kategori dapat diterima. Banerjee, Cappozolli, McSweeney,
dan Sinha (1999) menyatakan bahwa standar reliabilitas antarkoder untuk dianggap sebagai
baik adalah 0,75. Nilai reliabilitas antarkoder yang rendah dapat disebabkan karena definisi
operasional yang belum baik mendiskriminasi konten atau karena bias yang dimiliki oleh
koder. Diskusi dengan kedua koder setelah pengerjaan koding menyatakan bahwa definisi
operasional sudah baik untuk mendiferensiasi tweet flaming dan non-flaming. Perbedaan yang
cukup besar antara kedua koder disebutkan lebih karena tweet dikoding di luar konteksnya.
Penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa trait dan situasi daring merupakan
faktor yang terpisah untuk membentuk tingkah laku flaming. Penelitian lanjutan dapat
mencari tahu apakah situasi daring berhubungan dengan trait agresi verbal dalam
memunculkan tingkah laku flaming. Ohbuchi dan Fukushima (1997) menemukan bahwa trait
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
agresi verbal dapat memunculkan reaksi verbal yang agresif pada situasi yang impolite.
Reaksi verbal yang agresif tidak muncul pada situasi yang polite meskipun trait agresi verbal
tetap sama. Dengan asumsi bahwa ekspresi trait akan muncul jika berada dalam situasi yang
tepat, penelitian selanjutnya dapat mencari tahu apakah situasi daring memungkinkan trait
agresi verbal untuk memunculkan tingkah laku flaming.
Pertanyaan lain yang belum terjawab atas kaitan antara trait agresi verbal dan tingkah
laku flaming adalah apakah tingkah laku flaming merupakan fungsi instrumental atau reaktif
dari individu yang memiliki trait agresi verbal. Dalam pembahasan mengenai ciri kepribadian
agresif, Berkowitz (1993) menyebutkan dua tipe individu dengan ciri kepribadian agresif,
yaitu instrumental dan reaktif-emosional. Individu dengan ciri kepribadian agresif
instrumental cenderung bertingkah laku agresif untuk mendapatkan tujuan tertentu sedangkan
individu dengan ciri kepribadian agresif reaktif-emosional bertingkah laku agresif sebagai
dampak dari temperamen yang meledak-ledak dan mudah dipancing kemarahannya. Dengan
ditemukannya kaitan antara flaming sebagai tingkah laku agresif dengan trait agresi verbal,
penelitian lanjutan dapat melihat apakah flaming dimanfaatkan untuk mendapatkan tujuan
tertentu atau sebagai media katarsis emosi yang meledak-ledak.
Nitin, dkk. (2011) mengemukakan empat kategori flaming berdasarkan dua dimensi,
yaitu pesan ditujukan langsung pada objek flaming atau tidak (direct or indirect) dan
penggunaan bahasa denotatif atau konotatif dalam flame (straightforward or satirical).
Penelitian ini dan rujukan yang disitir berfokus pada flaming yang bersifat direct-
straightforward, yang berarti bahwa flame disampaikan langsung dengan cara me-mention
objek flaming dan bahasa yang digunakan cenderung denotatif (sarkastik dan menyerang
objek flaming). Penelitian selanjutnya dapat mencari tahu perbedaan frekuensi penyampaian
tiga kategori flaming yang lain atau melalui medium daring apa tiga kategori flaming selain
direct-straightforward lebih sering dilakukan.
Seluruh akun yang menyatakan diri sebagai antifans dalam penelitian ini bersifat
pseudonim. Mungeam (2011) mengungkapkan bahwa anonimitas menjadi faktor penting
dalam terjadinya tingkah laku flaming namun pengungkapan identitas pelaku flaming tidak
menurunkan kuantitas berkomentar lewat media internet secara signifikan. Hasil penelitian
Tsikerdekis (2012) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan frekuensi flaming yang
signifikan yang dilakukan oleh pemilik akun pseudonim daripada akun anonim. Penelitian
lanjutan dapat melihat perbedaan antifans yang menggunakan pseudonim dan anonim dalam
ekspresi tingkah laku flaming. Studi ini dapat menyimpulkan dampak format identitas di akun
media sosial terhadap tingkah laku flaming.
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
Tweet yang diambil untuk analisis konten didapatkan melalui convinience sampling,
dimana hanya seratus tweet terbaru per akun yang diambil. Penelitian lanjutan dapat
menggunakan random sampling dari jumlah maksimal tweet yang diambil untuk
meningkatkan representasi populasi dari tweet. Penelitian ini juga mengategorisasi tweet
sebagai flaming dan non-flaming. Studi lanjutan yang dapat dilakukan dari penelitian ini
adalah mengukur intensitas perilaku flaming yang dilakukan antifans.
Antifans dalam penelitian ini didefinisikan menggunakan lapor diri. Penelitian
lanjutan terhadap antifans dapat memberikan klasifikasi yang lebih detail untuk antifans
berdasarkan kategori yang dikemukakan Claessens dan Van Bulk (2013). Apabila ditemukan
cara untuk mengategorikan kelompok antifans tersebut, penelitian lanjutan dapat membahas
tentang perbedaan tingkah laku flaming dan trait agresi verbal yang dimiliki oleh ketiga
kelompok antifans tersebut. Seperti yang dikemukakan Arda (2006), antifans menjalani
hubungan parasosial negatif. Untuk penelitian selanjutnya, tingkat hubungan parasosial
negatif dapat diteliti sebagai variabel mediator. Peneliti menduga bahwa tingkat hubungan
parasosial negatif yang lebih ekstrem akan berdampak pada kecenderungan flaming yang
lebih sering atau lebih intens serta memperkuat hubungan antara trait agresi verbal dan
tingkah laku flaming.
Membuat akun pseudonim, berkomunikasi menggunakan kata-kata yang kasar, dan
membahas keburukan orang lain merupakan aktivitas yang dilakukan antifans di Twitter yang
berpotensi mengganggu figur publik bahkan pengguna Twitter secara umum. Untuk figur
publik, jargon don't feed the troll masih tepat digunakan untuk menghadapi antifans yang
melakukan flaming. Apabila dapat menemukan cara yang baik dan elegan untuk membalas
tingkah laku flaming, hal tersebut dapat berdampak baik pada citra diri figur publik tersebut.
Figur publik cukup diuntungkan dengan adanya antifans yang melakukan flaming apabila
dapat menjawab dengan baik atas ejekan yang dilontarkan. Komunikasi dengan individu yang
memiliki trait agresi verbal dapat menguntungkan bagi lawan bicara. Studi yang dilakukan
Infante, Hartley, Martin, Higgins, Bruning, dan Hur (1992) menemukan bahwa kredibilitas
argumen dan individu yang memiliki trait agresi verbal dipersepsikan lebih rendah daripada
lawan bicaranya. Hal ini menguntungkan bagi lawan bicara untuk meningkatkan kredibilitas
dirinya.
Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara flaming dan trait
agresi verbal pada antifans. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat korelasi yang
signifikan antara frekuensi flaming dengan skor Verbal Aggressiveness Scale pada antifans.
Dengan demikian, hipotesis penelitian ini diterima, bahwa terdapat hubungan antara tingkah
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
laku flaming dan trait agresi verbal pada antifans.
Daftar Pustaka
Aiken, M., & Waller, B. (2000). Flaming among first-time group support system users.
Information & Management, 37 , 95-100.
Archer, J. (1991). The influence of testosterone on human aggression. British Journal of
Psychology, 82 , 1-28.
Arda, S. (2006). Predictors of parasocial interaction with the favorite and the least desirable
characters portrayed in tv serials. Ankara: Graduate School of Social Sciences, Middle
East Technical University.
Banerjee, M., Capozzoli, M., McSweeney, L., & Sinha, D. (1999). Beyond kappa: A review
of interrater argument measures. The Canadian Journal of Statistics, 27(1) , 3-23.
Bayard, D., & Khrisnayya, S. (2001). Gender, expletive use, and contexr: Male and female
expletive use in structured and unstructured conversation among new zealand university
student. Woman and Language, 24(1), 1-14
Beatty, M. J., Rudd, J. E., & Valencic, K. M. (1999). A re-examination of the verbal
aggressiveness scale: One factor or two? Communication Research Reports, 16(1) , 10-
17, doi: 10.1080/0882409990938696.
Berkowitz, L. (1993). Aggression: Its causes, consequences, and control. New York:
McGraw-Hill. Inc.
Biel, J.-I., Aran, O., & Gatica-Perez, D. (2011). You are known by how you vlog: Personality
impressions and nonverbal behavior on youtube. International Conference of Weblogs
and Social Media. Barcelona: Association for the Advancement of Artificial
Intelligence.
Buckels, E. E., Trapnell, P. D., & Paulhus, D. R. (2014). Trolls just want to have fun.
Personality and Individual Differences , 1-6, doi: 10.1016/j.paid.2014.01.016.
Castella, T. d., & Brown, V. (2011, September 14). Trolling: Who does it and why? Retrieved
from BBC News: http://www.bbc.com/news/magazine-14898564
Claessens, N., & Van den Bulck, H. D. (2013). With fans like these, who needs enemies? An
analysis of celebrities online antifans. Annual Meeting of the International
Communication Association. London.
Coolican, H. (2009). Research methods and statistics in psychology. New York, NY:
Routledge.
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
Croucher, S. M., DeMaris, A., Turner, J. S., & Spencer, A. T. (2006). Assessing the factorial
complexity of the verbal aggressiveness scale. Human Communication, 15(4) , 261-277.
Dwiyanti, I. (2010). Pengaruh jender dan netiquette terhadap prilaku flaming dalam diskusi
online pada mahasiswa universitas indonesia. Depok: Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Gayatri, G. (2014, Februari 18). Digital citizenship safety among children and adolescents in
indonesia. Retrieved from Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia: http://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/12/Kominfo-
Presentasi%20Laporan%20Hasil%20Penelitian%20-%20Gati%20Gayatri.pdf
Gravetter, F. J., & Forzano, L.-A. B. (2012). Research methods for behavioral sciences
(fourth edition). Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning.
Grote, A. S. (2012). Flaming on facebook. Enschede: Master Program, Faculty of Behavioural
Science University of Twente.
Hamilton, M. A., & Mineo, P. J. (2002). Argumentativeness and its effect on verbal
aggressiveness: A meta-analytic review. In M. Allen, R. W. Preiss, B. M. Gyle, & N.
Burrell, Interpersonal Communication Research: Advances through meta-analysis (pp.
281-314). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.
Hample, D. (2008). Verbal aggressiveness. In W. Donsbach, The International Encyclopedia
of Communication (pp. 5253-5257). Malden, MA: Blackwell Publishing
Hargittai, E., & Litt, E. (2011). The tweet smell of celebrity success: Explaining variation in
twitter adoption among a diverse of young adults. New Media and Society, 13 , 824-
842, doi: 10.1177/1461444811405805.
Infante, D. A., & Wigley III, C. J. (1986). Verbal aggressiveness: An interpersonal model and
measure. Communication Monographs, 53(1) , 61-69, doi:
10.1080/03637758609376126.
Infante, D. A., Hartley, K. C., Martin, M. M., Higgins, M. A., Bruning, S. D., & Hur, G.
(1992). Initiating and reciprocating verbal aggression: Effects on credibility and
credited valid arguments. Communication Studies, 43 , 182-190.
Internet user admits 'web-rage'. (2006, October 17). Retrieved from BBC News:
http://news.bbc.co.uk/2/hi/6059726.stm
Johnson, J. A. (2010). Web-based self-report personality scales. In S. D. Gosling, & J. A.
Jonathan, Advanced Methods for Conducting Online Behavioral Research (pp. 149-
166). American Psychological Association.
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
Kerssies, J. J. (2013). Flaming and word of mouth. Enshede: Master Program, Faculty of
Behavioral Sciences University of Twente.
Landis, J. R, & Koch, G. G. (1977). The measurement of observer agreement for categorical
data. Biometrics, 33, 159-174
Lee, E.-J., & Jang, J.-w. (2013). Not so imaginary interpersonal contact with public figures on
social network sites: How affiliative tendency moderates its effects. Communication
Research, 40(1) , 27-51, doi: 10.1177/0093650211431579.
Levine, T. R., Beatty, M. J., Limon, S., Hamilton, M. A., Buck, R., & Chory-Assad, R. M.
(2004). The dimensionality of verbal aggressiveness scale. Communication
Monographs, 71(3) , 245-268, doi: 10.1080/0363452042000299911.
Manampiring, H. (2014). 7 kebiasaan orang yang nyebelin banget (7 habits of highly
annoying people). Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Martin, M. M., & Anderson, C. M. (1997). Aggressive communication traits: How similar are
young adults and their parents in argumentativeness, assertiveness, and verbal
aggressiveness. Western Journal of Communication, 61(3) , 299-314.
Merkin, R. S. (2010). Cross-cultural reliability and validity of the aggressively worded verbal
aggressiveness scale. Communication Research Reports, 27(1) , 90-95.
Moor, P. J. (2008). Flaming on youtube. Enschede: Master Program, Faculty of Behavioral
Sciences University of Twente.
Mungeam, F. (2011). Commenting on the news: How the degree of anonymity affects flaming
online (Master Thesis). Washington: Department of Communication and Leadership
Studies, Gonzaga University.
Myers, S. A., & Knox, R. L. (1999). Verbal aggression in the college classroom: Perceived
instructor use and student affective learning. Communication Quarterly, 47(1) , 33-45,
doi: 10.1080/01463379909370122.
Nitin, Bansal, A., Sharma, S. M., Kumar, K., Aggarwal, A., Goyal, S., et al. (2011).
Classification of the flames in computer mediated communication. USA International
Journal of Computer Application, 14 , 21-26.
Oegema, D., Kleinnijenhuis, J., Anderson, K., & Hoof, A. v. (2008). Flaming and blaming:
The influence of mass media content on interactions in online discussion. In E. A.
Konijn, S. Utz, M. Tanis, & S. B. Tarnes, Mediated Interpersonal Communication (pp.
331-338). New York, NY: Routledge.
Ohbuchi, K.-i., & Fukushima, O. (1997). Personality and interpersonal conflict:
Aggressiveness, self-monitoring, and situational variables. The International Journal of
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
Conflict Management, 8(2) , 99-113.
O'Sullivan, P. B., & Flanagin, A. J. (2003). Reconceptualizing 'flaming' and other problematic
messages. New Media and Society, 5(1) , 69-94.
Pazienza, M. T., Stellato, A., & Tudaroche, A. (2008). Flames, risky discussions, no flames
recognition in forums. Retrieved from ResearchGate:
http://www.researchgate.net/publication/228876732_Flames_Risky_Discussions_No_Fl
ames_Recognition_in_Forums/file/9fcfd50d82f56c8a3c.pdf
Qiu, L., Lin, H., Ramsay, J., & Yang, F. (2012). You are what you tweet: Personality
expression and perception in Twitter. Journal of Research in Personality, 46 , 710-718,
doi: 10.1016/j.jrp.2012.08.008.
Rancer, A. S., & Avtgis, T. A. (2006). Argumentative and aggressive communication: Theory,
research, and application. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.
Retweeting flames - do celebrities make trollers 'chewtoys'? (2012, Oktober 7). Retrieved
from The Crocels Trolling Academy: http://www.trollingacademy.org/online-safety-
sociability/1060/retweeting-chewtoy-defences-for-trolling
Rodgers, M. F. (2003). The influence of birth order on verbal aggressiveness and
argumentativeness. West Virginia: Department of Communication Studies, West
Virginia University.
Rogan, R. G., & LaFrance, B. H. (2003). An examination of the relationship between verbal
aggressiveness, conflict management strategies, and conflict management goals.
Communication Quarterly, 51(4) , 458-469.
Shaw, A. Z., Kotowski, M. R., Boster, F. J., & Levine, T. R. (2012). The effect of prenatal sex
hormones on the development of verbal aggression. Journal of Communication , 1-15,
doi: 10.1111/j.1460-2466.2012.01665,x.
Springer, K. (2013). Beyond the h8r: Theorizing the anti-fan. The Phoenix Paper, 1(2) , 55-77.
Suh, A., & Wagner, C. (2013). Factors affecting individual flaming in virtual communities.
46th Hawaii International Conference on System Sciences, (pp. 3282-3291, doi:
10.1109/HICSS.2013.230). Hawaii.
Suler, J. (2004). The online disinhibition effect. Cyberpsychology and Behavior, 7(3) , 321-
326.
Tsikerdekis, M. (2012). The choice of complete anonymity versus pseudonymity for
aggression online. eMinds: International Journal on Human Computer Interaction,
2(8) , 35-57.
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014
Turnage, A. K. (2008). Email flaming behaviors and organizational conflict. Journal of
Computer-Mediated Communication, 13 , 43-59.
Vandebosch, H., & Cleemput, K. V. (2009). Cyberbullying among youngsters: Profiles of
bullies and victims. New Media and Society, 11(8) , 1-23, doi:
10.1177/1461444809341263.
Yarkoni, T. (2010). Personality in 100,000 words: A large scale analysis of personality and
word use among bloggers. Journal of Research in Personality, 44(3) , 363-373, doi:
10.1016/j.jrp.2010.04.001.
Ybarra, M. L., & Mitchell, K. J. (2004). Online aggressor/targets, aggressors, and targets: A
comparison of associated youth characteristics. Journal of Child Psychology and
Psychiatry, 45(7) , 1308-1316, doi: 10.1111/j.1469-7610.2004.00328.x.
Yee, N., Duchenaut, N., Nelson, L., & Likarish, P. (2011). Introverted elves and
conscientious gnomes: The expression of personality in world of warcraft. SIGCHI
Conference on Human Factors in Computing Systems. Vancouver, BC: ACM.
Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014