165
TOTOBUANG
Volume 8 Nomor 1, Juni 2020 Halaman 165—182
FENOMENA UNGKAPAN TRADISIONAL BAHASA SUNDA
DI KOTA BANDUNG: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK
(The Phenomenon of Sundanese Language Traditional Expression
in Bandung City: Sociolinguistics Analysis)
Asri Soraya Afsaria, Cece Sobarnab, & Yuyu Yohana Risagarniwac
a,b,c Fakultas Ilmu Budaya, UniversitasPadjadjaran
Jl. Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor, Sumedang
Pos-el: [email protected]
Diterima: 30 April 2020; Direvisi: 9 Mei 2020; Disetujui: 13 Mei 2020
doi: https://doi.org/10.26499/ttbng.v8i1.217
Abstract
The purpose of this study is describing the existence and utilization of Sundanese language traditional
expressions in Bandung speech community today. The method was descriptive. Data collection techniques was
done by direct interviews with informants in the field using Sundanese and in natural situation communication.
The main informant was a culture-supporting community who really known-well the traditional expressions.
The informant was assumed, at least, to understand it as a form of culture. Moreover, notes techniques was used
too. The analytical method used distributional. The results showed that: there are 206 data traditional
expressions which is still known by the people in Bandung. The sub-district that is still familiar with traditional
expressions is Ujungberung with a percentage of 100%. The sub-district that is unknow-well of traditional
expressions is Sumur Bandung with a percentage of 15%. In terms of usage, Sundanese language traditional
expressions are still used in the domain of: family, intimate, neighborliness, education, government,
employment, and religion. The function of using expessions is to remind, to advise, to admonish, to calm, to
affirm, to appeal, and to express the feelings.
Keywords: expression. Sundanese language, speech community, domain, language function
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan eksistensi dan penggunaan ungkapan tradisional bahasa
Sunda yang ada di lingkungan masyarakat tutur Kota Bandung dewasa ini. Metode yang digunakan deskriptif.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung kepada informan di lapangan dengan
menggunakan bahasa Sunda dan dalam situasi yang asli (natural situation communication). Informan utama
yang dipilih adalah masyarakat pendukung budaya yang memahami ungkapan tradisional. Informan tersebut
diasumsikan paling tidak mengetahui ungkapan tradisional sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Di samping itu,
digunakan pula teknik catat. Metode analisis yang digunakan adalah distribusional. Hasil analisis menunjukkan
bahwa: ungkapan tradisional yang masih dikenal oleh masyarakat tutur di Kota Bandung berjumlah 206 data.
Kecamatan yang masih mengenal ungkapan tradisional dengan baik adalah Ujungberung dengan jumlah
persentase 100%. Kecamatan yang sudah tidak lagi mengenal ungkapan tradisional dengan baik adalah Sumur
Bandung dengan jumlah persentase 15%. Dari segi penggunaan, ungkapan tradisional bahasa Sunda masih
digunakan dalam ranah: keluarga, kekariban, ketetanggan, pendidikan, pemerintahan, kerja, dan agama.
Fungsi penggunaan ungkapan untuk mengingatkan, menasihati, menegur, menenangkan, mengiaskan,
mengimbau, dan mengungkapkan perasaan.
Kata-kata kunci: ungkapan, bahasa Sunda, masyarakat tutur, ranah, fungsi bahasa
PENDAHULUAN
Bandung merupakan salah satu kota
besar yang ada di Indonesia. Sebagai sebuah
kota besar, Bandung banyak diburu oleh
para pendatang baik yang berasal dari desa
maupun kota lainnya untuk dijadikan
sebagai tempat mengadu nasib. Saat ini
jumlah penduduk kota Bandung tergolong
tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
166
penduduk Kota Bandung sampai
pertengahan tahun 2019 mencapai 2 507 888
jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas 1,26 juta
jiwa laki-laki dan 1,24 juta perempuan.
Secara geografis, Kota Bandung terletak
berada pada posisi 107º36’ Bujur Timur dan
6º55’ Lintang Selatan. Luas wilayahnya
mencapai 16.729,65 Ha. Perhitungan luasan
ini didasarkan pada Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung
Nomor 10 Tahun 1989 tentang Perubahan
Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat
II Bandung sebagai tindak lanjut dari
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1987
tentang Perubahan Batas Wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung
dengan Kabupaten Daerah Tingkat II
Bandung. Adapun secara administratif, Kota
Bandung berbatasan dengan beberapa daerah
kabupaten/kota lainnya, yaitu: dengan
Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Bandung Barat di sebelah utara berbatasan;
dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota
Cimahi di sebelah barat; dengan Kabupaten
Bandung di sebelah timur; dan dengan
Kabupaten Bandung di sebelah selatan. Dan
secara morfologi regional, Kota Bandung
terletak di bagian tengah “Cekungan
Bandung”, yang mempunyai dimensi luas
233.000 Ha (RPJM Kota Bandung, 2018).
Kehadiran para pendatang ke Kota
Bandung untuk sekolah (kuliah), bekerja,
ataupun menetap menjadikan masyarakat
tutur di Bandung begitu heterogen. Hal ini
berdampak pula pada segi sosial, ekonomi,
ataupun budaya. Dari segi budaya, misalnya
penggunaan bahasa daerah keberadaannya
kini di Kota Bandung mulai luntur.
Sumarsono (2007, hlm. 280) menyatakan
bahwa orang yang tinggal di pusat
perkotaan, industri, atau perdagangan, jika
dia adalah penutur minoritas sangat mungkin
bergeser bahasanya ke bahasa yang dipakai
secara luas di situ. Dalam penelitian ini
bahasa yang dimaksud adalah bergesernya
bahasa daerah (Sunda) ke dalam bahasa
Indonesia. Padahal bahasa daerah
merupakan salah satu kekayaan budaya yang
dimiliki oleh setiap bangsa dan merupakan
warisan turun-temurun yang tidak ternilai
harganya. Bahasa mengodifikasi realitas
yang ada dalam suatu masyarakat tutur,
termasuk masyarakat Sunda. Kandungan
setiap budaya dapat terungkap dalam
bahasanya, salah satunya melalui ungkapan
tradisional bahasa Sunda.
Sebagai bentuk kearifan lokal, ungkapan
tradisional seperti yang dikemukakan oleh
Masduki (2015, hlm. 296) dimiliki oleh
setiap suku bangsa dan sangat erat kaitannya
dengan karakter dan nilai-nilai yang
berkembang dalam suku bangsa tersebut.
Beragam kehidupan dan pengalaman setiap
suku bangsa menghasilkan ungkapan
tradisional yang beragam pula. Tentu banyak
hal yang ditemukan dan dapat dijadikan
nilai-nilai dalam berkehidupan dari
perjalanan kehidupan setiap suku bangsa,
tidak terkecuali bagi suku (masyarakat)
Sunda. Senada dengan Masduki, Widyastuti
(2012, hlm. 148) menjelaskan bahwa
ungkapan tradisional merupakan bagian dari
kearifan lokal. Oleh karena itu, ungkapan
tradisional dimiliki oleh suku-suku bangsa
dalam lingkungan etnis tertentu.
Berdasarkan fenomena bahwa ungkapan
tradisional tersebut ada pada etnis budaya
masyarakat, maka dapat disebutkan bahwa
ungkapan tradisional tersebut bersifat
universal.
Ungkapan berkembang di lingkungan
masyarakat tutur secara lisan. Biasanya
ungkapan ini dipergunakan sebagai suatu
cara, bagaimana orang Sunda
menyampaikan norma-normanya dengan
tidak secara langsung. Norma-norma ini
dipergunakan sebagai sistem dalam proses
sosialisasi dan sistem pengendalian sosial
yang efektif. Artinya, efektif di sini
menyangkut suatu prinsip keselarasan yang
meliputi ketenangan dan keteraturan.
Khusus kata teratur sebenarnya memberi
pernyataan kesanggupan untuk memberi
kehidupan, memelihara suatu kerapian yang
sempurna. Orang Sunda yakin bahwa
Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)
167
dengan mempertahankan hal tersebut
kekacauan tidak akan terjadi.
Ungkapan tradisional dalam masyarakat
tutur, disampaikan oleh penutur (selanjutnya
disingkat Pn) agar petutur (selanjutnya
disingkat Pt) mengetahui mana nilai-nilai
yang baik dan mana nilai-nilai yang
dianggap tidak baik. Nilai yang dianggapnya
tidak baik itu harus dihindari. Nilai yang
baik dijadikan pegangan hidup. Nilai yang
mengandung fungsi pokok sebagai penegak
norma sosial yang dipergunakan untuk
pegangan perilaku masyarakat tutur. Makna
yang ada dalam ungkapan tradisional yang
dimiliki orang Sunda bersifat metafora dan
ada yang secara wajar atau lugu, semuanya
dapat dipelajari dengan saksama sehingga
dapat dipergunakan untuk melihat aspek
kehidupan masyarakat pendukungnya.
Ungkapan tradisional ini sangat estetis,
karena mengandung unsur irama dan
kekuatan bunyi kata. Hal itu mudah diingat
dan tidak mudah berubah. Struktur dan
bunyi kata-katanya pada dasarnya tidak
berubah dari generasi ke generasi
berikutnya. Ungkapan tradisional di samping
mengandung pesan dan nasihat, juga
menyiratkan makna dan nilai-nilai moral
yang tinggi serta mencerminkan kearifan
dari masyarakat penciptanya. Mengingat
begitu banyaknya nilai dan manfaat yang
terkandung dalam ungkapan tradisional
maka pelestarian dan pendokumentasian
ungkapan tradisional sangat penting
dilakukan. Di samping itu, ungkapan
tradisional merupakan warisan budaya yang
harus dijaga dan dilestarikan agar tidak
mengalami kepunahan oleh perubahan
zaman. Perkembangan dan tuntutan zaman
telah membawa dampak perubahan besar
bagi khazanah kebudayaan daerah,
khususnya bagi tatanan kehidupan pada
masyarakat tutur. Fenomena ini telah
mengakibatkan ungkapan tradisional
mengalami pergeseran pemaknaan terhadap
unsur-unsur kebudayaan. Hal tersebut
disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu
pemahaman masyarakat tutur tentang
ungkapan tradisional yang minim, tidak ada
kesadaran masyarakat setempat untuk
mejunjung tinggi budayanya, keengganan
masyarakat untuk mempelajari ungkapan
tradisional tersebut dan masih banyak faktor
lainnya (Sihwatik, 2017, hlm. 94). Dengan
demikian, kajian terkait dengan ungkapan
tradisional salah satunya yang terdapat di
Kota Bandung sebagai sebuah kota yang
memiliki masyarakat tutur heterogen perlu
dilakukan.
Penelitian terkait ungkapan tradisional
Sunda sudah banyak dilakukan, tercatat
beberapa nama seperti Maryati dan
Muhtadin (2009) telah menyusun Kamus
Idiom Sunda-Indonesia. Kamus ini berisi
kumpulan ungkapan, peribahasa, idiom, dan
sisindiran dalam bahasa Sunda. Muhtadin,
Lyra, dan Amaliasari (2012) menulis artikel
berjudul Kekayaan Batin Kaum Intelektual
Sunda Abad 16: Kajian Ungkapan Bahasa
dalam Naskah Sunda Kuno di Kabupaten
Garut yang dipublikasikan pada Metalingua:
Jurnal Penelitian Bahasa. Artikel ini berisi
deskripsi ungkapan bahasa, nilai-nilai
kekayaan batin, dan segi-segi kearifan lokal
yang patut diteladani dari kandungan naskah
Sunda kuno abad 16. Dan Masduki (2015)
menulis artikel berjudul Kearifan Lokal
Orang Sunda dalam Ungkapan Tradisional
di Kampung Kuta Kabupaten Ciamis yang
dimuat pada Patanjala: Jurnal Penelitian
Sejarah dan Budaya. Artikel mengkaji
makna yang terkandung dalam kearifan
lokal babasan dan paribasa, terutama yang
mengatur tentang manusia sebagai pribadi,
hubungan manusia dengan lingkungan
masyarakat, hubungan manusia dengan
alam, hubungan manusia dengan Tuhan
yang ada di Kampung Kuta, Kab. Ciamis.
Serta Handayani, Afsari, dan Hasanah
(2019) yang menyusun buku hasil penelitian
berjudul Mitos dalam Ungkapan Berbahasa
Sunda dan Prancis. Buku ini mengulas
tentang mitos sebagai acuan awal
terbentuknya ungkapan dalam bahasa Sunda
dan Prancis. Terkait penelitian yang khusus
mengkaji penggunaan ungkapan tradisonal
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
168
bahasa Sunda pada masyarakat tutur etnis
Sunda di Kota Bandung sepengetahuan
peneliti belum dilakukan.
Penelitian ini pun berbeda dengan
peneltian terdahulu sebab penelitian ini
menjaring data yang bersumber dari
masyarakat etnis Sunda yang ada di Kota
Bandung sedangkan penelitian sebelumnya
mengambil data dari sumber tertulis, seperti
buku pelajaran bahasa Sunda dan karya
sastra Sunda serta naskah Sunda Kono.
Penelitian terdahulu mengkaji dari segi
struktur, semantik, dan budaya sedangkan
penelitian ini berada pada wilayah
sosiolinguistik. Kebaruan dari penelitian ini
dabandingkan dengan penelitian sebelumnya
adalah penelitian ini berupaya untuk
memberikan gambaran kondisi aktual
keberadaan ungkapan tradisonal bahasa
Sunda, khususnya di Kota Bandung.
Mengingat data ungkapan yang dijaring di
lapangan dilakukan pada tahun 2019.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
dirumuskan fokus permasalahan penelitian
terkait dengan ungkapan tradisional, (1).
keberadaan ungkapan tradisional bahasa
Sunda yang ada di lingkungan masyarakat
Kota Bandung; (2) penggunaan ungkapan
tradisional yang masih dikenal di lingkungan
masyarakat Kota Bandung. Penelitian ini
bertujuan untuk, (1) mendeskripsikan
keberadaan ungkapan tradisional bahasa
Sunda yang ada di lingkungan masyarakat
Kota Bandung dan (2) mendeskripsikan
penggunaan ungkapan tradisional yang
masih dikenal di lingkungan masyarakat
Kota Bandung.
LANDASAN TEORI
Ungkapan Tradisional
Ungkapan merupakan salah satu bentuk
gaya bahasa yang berupa kiasan bahasa yang
berupa kalimat atau kelompok kata yang
bersifat padat, ringkas, sederhana, dan berisi
tentang norma, nilai, nasihat, perbandingan,
perumpamaan, prinsip, dan tingkah laku
(Sua, 2017, hlm. 4). Adapun pengertian
tradisional menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (daring) adalah menurut tradisi
(adat). Dengan demikian, ungkapan
tradisional dapat dipahami sebagai kiasan
bahasa yang berupa kalimat atau kelompok
kata yang bersifat padat, ringkas, sederhana,
dan mengandung norma, nilai, nasihat,
perbandingan, perumpamaan, prinsip, dan
tingkah laku yang berlaku pada adat suatu
masyarakat. Terdapat berbagai sumber yang
menjelaskan terkait definisi ungkapan
tradisional, di antaranya ungkapan tradisonal
dapat diartikan sebagai kumpulan kata yang
mempunyai arti (Soedarsono dalam
Mujinem, 1993, hlm. 38). Ungkapan
tradisional adalah kalimat perkataan yang
tetap susunannya dan biasanya mengiaskan
sesuatu maksud yang sesuai dengan sikap
dan cara berpikir serta bertindak yang selalu
berpegang teguh pada norma, adat dan
kebiasaan yang turun -temurun dalam
sekelompok masyarakat (KBBI 2019).
Ahli lainnya, Sibarani (2012, hlm. 123)
menyatakan bahwa ungkapan tradisional
merupakan salah satu tradisi lisan yang perlu
dilestarikan karena ungkapan-ungkapan
tradisional ini banyak mengandung
pengajaran, nasihat, pendidikan, serta
norma-norma yang berlaku di dalam
kehidupan bermasyarakat. Lebih jauh,
Sibarani mengemukakan bahwa tradisi lisan
merupakan kegiatan budaya tradisional suatu
masyarakat yang diwariskan secara turun-
temurun dengan media lisan dari satu
generasi ke generasi lain, baik lisan maupun
nonlisan. Lebih lanjut Sibarani menguraikan
bahwa tradisi lisan memiliki ciri (1)
kebiasaan berbentuk lisan, sebagian lisan,
dan bukan lisan, (2) memiliki peristiwa atau
kegiatan sebagai konteksnya, (3) dapat
diamati dan ditonton, (4) bersifat tradisional,
(5) diwariskan secara turun-temurun, (6)
proses penyampaian dengan media lisan, (7)
mengandung nilai-nilai budaya sebagai
kearifan lokal, (8) memiliki varian, (9)
berpotensi direvitalisasi dan diangkat secara
kreatif sebagai sumber industri budaya, dan
(10) milik bersama komunitas tertentu.
Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)
169
Ungkapan tradisional sering disebut juga
dengan peribahasa atau pepatah. Burtan
Brussel (dalam Danandjaja, 2007, hlm. 28)
menyatakan ungkapan tradisional
merupakan kebijaksanaan orang banyak
yang merupakan kecerdasaran seseorang
(Maksud dari defenisi tersebut yaitu
ungkapan tradisional itu merupakan milik
orang banyak tetapi yang selalu
menggunakannya hanya beberapa saja.
Terdapat tiga sifat hakiki yang perlu
diperhatikan dalam ungkapan tradisional,
yaitu:
(a) Peribahasa harus berupa satu kalimat
ungkapan tidak cukup hanya berupa
satu kata tradisional saja, misalnya
"astaga" atau ajegile".
(b) Peribahasa ada dalam bentuk yang
standar misalnya, "seperti kodok yang
sombong" bukan peribahasa.
(c) Suatu peribahasa harus mempunyai
vitalitas (daya hidup) tradisi lisan
yang dapat dari bentuk, bentuk klise
tulisan. yang berbentuk syait, iklan,
reportase olahraga dan sebagainya.
Ungkapan tradisional (bahasa) yang
dimiliki oleh suatu masyarakat tutur dapat
menyiratkan pula bagaimana wujud
pandangan hidup yang dianut atau dipegang
oleh masyarakat tersebut. Misalnya, dalam
masyarakat Sunda, ungkapan tradisional
dapat menyangkut pandangan hidup orang
Sunda tentang manusia sebagai pribadi,
pandangan hidup tentang hubungan manusia
dengan masyarakat, pandangan hidup
tentang hubungan manusia dengan alam,
pandangan hidup tentang hubungan manusia
dengan Tuhan, pandangan hidup tentang
hubungan manusia dalam mengejar
kemajuan lahiriah dan batiniah (Warnaen,
1987, hlm. 5). Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa ungkapan bahasa
merupakan representasi dari pandangan
hidup yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
Fungsi-Fungsi Bahasa
Sosiolinguistik memandang bahwa
fungsi bahasa bukan sekadar merupakan alat
untuk menyampaikan pikiran. Lebih dari itu
fungsi bahasa ternyata dapat dilihat dari
berbagai sudut penutur, petutur, topik, kode,
dan amanat tuturan (periksa Chaer,
2010:15). Haliday dalam Chaer (2010, hlm.
15) menyebutkan bahwa dari segi Pn, bahasa
memiliki fungsi personal (pribadi). Dalam
hal ini bahasa berfungsi untuk menyatakan
sikap Pt. Pn bukan hanya mengungkapakan
emosi melalui bahasa, tetapi juga
memperlihatkan emosi pada saat
menyampaikan tuturannya. Dengan
demikian, Pt dapat menduga apakah Pn
sedih, marah, atau gembira. Dari segi Pt,
bahasa memiliki fungsi direktif, yaitu
mengatur tingkah laku Pt. Jadi, bahasa tidak
hanya membuat Pt melakukan sesuatu, tetapi
melakukan kegiatan yang sesuai dengan
yang diinginkan oleh Pn. Hal ini dapat
dilakukan melalui tuturan-tuturan yang
menyatakan perintah, imbauan, permintaan,
ataupun rayuan. Dari segi relasi antara Pn-
Pt, bahasa memiliki fungsi fatik, yaitu fungsi
menjalin hubungan, memelihara,
memperlihatkan solidaritas sosial. dari segi
topik ujaran, bahasa memiliki fungsi
referensial, ada pula yang menyebutkan
dengan istilah fungsi denotatif atau fungsi
informatif, yaitu bahasa berfungsi sebagai
alat untuk membicarakan objek atau
peristiwa yang ada di sekeliling Pn atau
yang ada dalam budaya pada umumnya. dari
segi kode yang digunakan, bahasa memiliki
fungsi metalingual atau metalinguistik, yaitu
bahasa digunakan untuk membicarakan
bahasa itu sendiri. Hal ini misalnya tampak
pada proses pembelajaran bahasa. kaidah-
kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan
dengan bahasa. Segi lainnya adalah amanat
(message). Pada segi ini bahasa memiliki
fungsi imaginatif atau fungsi poetic speech
menurut Jacobson (1960) dalam Halliday
(1992, hlm. 21), yaitu bahasa dapat
digunakan untuk menyampaikan pikiran,
gagasan, dan perasaan; baik yang
sebenarnya, ataupun yang hanya imaginatif
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
170
(khayal/rekaan saja). Fungsi ini umumnya
berupa puisi, cerita, dongeng, lelucon, yang
digunakan untuk kesenangan Pn, ataupun Pt.
Bahasa dalam ungkapan tradisional
Sunda memiliki beberapa fungsi, di
antaranya fungsi nasihat dan larangan.
Nasihat adalah suatu didikan yang diberikan
berdasarkan kebenaran dengan maksud
untuk menegur dan membangun seseorang
dengan tujuan yang baik. Nasihat selalu
bersifat mendidik. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI, 2019) nasihat
berarti (1) ajaran atau pelajaran baik; ujaran
petunjuk, peringatan, teguran yang baik. (2)
amanat yang terkandung dalam suatu cerita.
Larangan adalah perintah atau aturan yang
melarang suatu perbuatan karena berbagai
faktor yang melatar belakangi. Salah satunya
karena melanggar norma adat istiadat atau
etika yang menjadi patokan dalam suatu
masyarakat tutur. Dalam penelitian ini teori
fungsi-fungsi bahasa dan ungkapan akan
digunakan sebagai pisau analisis untuk
membedah fungsi-fungsi penggunaan
ungkapan tradisonal bahasa Sunda yang
masih dikenal oleh masyarakat tutur etnis
Sunda di Kota Bandung.
Penggunaan dan pemilihan bahasa
termasuk tuturan ungkapan tidak lepas dari
konteks tempat berlangsungnya tuturan
tersebut. Di samping konteks terdapat pula
ranah. Sumarsono (2007, hlm. 204)
menerangkan bahwa ranah merupakan
konstelasi antara partisipan (paling tidak dua
orang), lokal, dan topik. Greenfield (1972)
dalam Rahardi (2009, hlm. 39) menyebutkan
bahwa berdasarkan hasil riset yang telah
dilakukan, terdapat lima ranah untuk melihat
bentuk-bentuk kebahasaan: keluarga,
persahabatan, agama, Pendidikan dan kerja.
Adapun ranah sosial penggunaan bahasa
menurut Parasher dalam Sumarsono (2007,
hlm. 206) meliputi tujuh ranah, yakni
keluarga, kekariban, ketetanggan
(neighborhood), transaksi, pendidikan,
pemerintahan, dan lapangan pekerjaan.
Analisis ranah menurut pandangan
Greebfield dan Parasher ini akan digunakan
sebagai landasan dalam mengkaji ranah
penggunaan ungkapan tradisional pada
masyarakat etnis Sunda di Kota Bandung.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan metode deskriptif yaitu
metode yang bertujuan membuat deskripsi,
membuat gambaran, lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai data,
sifat serta hubungan fenomena yang diteliti
(Djajasudarma, 2010, hlm. 9). Dalam
penelitian ini digunakan metode lapangan
sebab peneliti terjun langsung ke
masyarakat. Sumber data yang digunakan
adalah masyarakat Kota Bandung
pendukung budaya yang memahami
ungkapan tradisional dan dipilih sesuai
kriteria: gender (laki-laki/perempuan), suku
Sunda, usia (antara 15-49 tahun, dan > 50
tahun). Penelitian ini menggunakan tiga
sumber data untuk setiap kecamatan.
Penentuan ini mengikuti pandangan Mahsun
(2005, hlm. 135) bahwa untuk setiap daerah
pengamatan setidaknya digunakan tiga
sumber data. Dari ketiga sumber tersebut,
satu menjadi sumber utama dan dua lainnya
sebagai pendamping. berdasarkan kriteria
yang telah ditentukan maka jumlah ini
dianggap cukup mewakili unsur masyarakat
etnis Sunda di Kota Bandung.
Pemupuan data dilakukan dengan
metode wawancara (cakap). Mahsun (2005,
hlm. 226) menyatakan bahwa metode
wawancara atau interviu dilakukan dengan
cara peneliti melakukan percakapan atau
kontak dengan Pn selaku narasumber. Dalam
penelitian ini pengumpulan data dilakukan
dengan teknik wawancara langsung kepada
narasumber di lapangan dengan
menggunakan bahasa Sunda dan dalam
situasi yang asli (natural situation
communication). Arah percakapan dilakukan
dengan menggunakan instrumen berupa
daftar tanyaan terstruktur menyangkut
ungkapan tradisional bahasa Sunda. Teknik
ini dilakukan untuk mendapatkan data
akurat. Di samping itu, dilakukan pula
Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)
171
teknik catat yang terdiri atas beberapa tahap
sebagai berikut (1) penelusuran pustaka,
sebagai titik tolak dalam penelitian. Untuk
mendapat hasil yang relevan antara data dan
teori, diperlukan beberapa referensi yang
sesuai dan berkorelasi dengan masalah yang
diteliti. (2) pengumpulan data, dilakukan
dengan cara mencari dan mengumpulkan
data melalui wawancara langsung dengan
narasumber dan pencatatan di lapangan
terkait ungkapan tradisional yang masih
dikenal dan penggunaannya dalam berbagai
ranah. (3) penyeleksian data, data yang telah
dikumpulkan lalu diseleksi atau dipilih
berdasarkan jenis ungkapan tradisional dan
jenis ranah penggunaan. (4)
pengklasifikasian data, dilakukan dengan
mengklasifikasikan data yang telah diseleksi
menurut jenis, ranah penggunaan, dan fungsi
penggunaannya. (5) penganalisisan data,
data yang telah sesuai lalu dianalisis
berdasarkan teori yang sudah ditentukan dan
berdasarkan tujuan penelitian sesuai dengan
kaidah kebahasaan. (6) penyimpulan data,
merupakan jawaban dari rumusan penelitian.
Metode analisis yang digunakan adalah
metode kajian distribusional. Metode ini
menggunakan alat penentu unsur bahasa
yang diteliti. Metode distribusional sejalan
dengan penelitian deskriptif dalam
membentuk perilaku data penelitian
(Djajasudarma, 2010, hlm. 69). Cara kerja
metode distribusional yakni dengan teknik
pemilihan data berdasarkan kategori
(kriteria) tertentu dari segi kegramatikalan
sesuai dengan ciri-ciri alami yang dimiliki
oleh data penelitian (Djajasudarma, 2010,
hlm. 69)
Lokasi penelitian berpusat di Kota
Bandung, Jawa Barat. Ruang lingkup lokasi
penelitian meliputi 30 Kecamatan, sebagai
berikut: Ujungberung, Cibiru Sukasari,
Panyileukan, Cibeunying Kidul, Coblong,
Cidadap, Sukajadi, Batu Nunggal, Sukajadi,
Mandalajati, Regol, Ranca Sari, Gedebage,
Kiaracondong Cicendo, Sumur Bandung,
Bandung Wetan, Cibeunying Kaler,
Arcamanik, Bojong Loa Kidul, Buah Batu,
Antapani, Bandung Kulon, Cinambo,
Bojong Loa Kaler, Astana Anyar, Bandung
Kidul, Babakan Ciparay, Lengkong, dan
Andir.
PEMBAHASAN
I. Keberadaan Ungkapan Tradisional
Bahasa Sunda yang Ada di
Lingkungan Masyarakat Kota
Bandung
Data ungkapan tradisional bahasa Sunda
yang berhasil dijaring di lapangan berjumlah
206 data. Berdasarkan segi pandangan
hidup, data-data ungkapan tersebut
menyangkut pandangan hidup orang Sunda
tentang manusia sebagai pribadi, pandangan
hidup tentang hubungan manusia dengan
masyarakat, alam, hubungan manusia
dengan Tuhan, dan hubungan manusia
dalam mengejar kemajuan lahiriah serta
batiniah. Dari 206 data ungkapan yang telah
dihimpun ternyata tidak semua ungkapan
tradisional masih dikenal oleh masyarakat
tutu etnis Sunda di Kota Bandung. Hasil
pemupuan data melalui wawancara terhadap
informan di 30 kecamatan di Kota Bandung
menunjukkan bahwa sebagian masyarakat
tutur etnis Sunda yang masih mengenal
ungkapan tradisional dengan baik berada di
wilayah Bandung Timur (perbatasan Kota
Bandung). Masyarakat tutur etnis Sunda
yang masih mengenal dengan baik ungkapan
tradisional adalah masyarakat tutur
Kecamatan Ujungberung sebesar 100%.
Adapun masyarakat tutur etnis Sunda yang
sudah jarang mengenal ungkapan tradisional
adalah masyarakat tutur Kecamatan Sumur
Bandung sebesar 15%. Persentase di
Kecamatan Sumur Bandung kecil mengingat
lokasi ini berada di pusat kota sehingga
masyarakat tutur etnis Sunda di sana lebih
banyak menggunakan bahasa Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya,
mereka sudah jarang mengenal lagi
ungkapan tradisional. Jumlah data ungkapan
tradisional bahasa Sunda yang masih dikenal
oleh masyarakat tutur di 30 kecamatan di
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
172
Kota Bandung dapat diamati pada tabel
berikut. Tabel 1
Jumlah Ungkapan Tradisional
yang masih Dikenal oleh Masyarakat Tutur Etnis
Sunda di Kota Bandung
NO NAMA
KECAMATAN
JUMLAH DATA
UNGKAPAN
YANG MASIH
DIKENAL
1. Ujungberung 206
2. Cibiru 198
3. Sukasari 121
4. Panyileukan 69
5. Cibeunying
Kidul
141
6. Coblong 44
7. Cidadap 117
8. Sukajadi 129
9. Mandalajati 185
10. Regol 88
11. Ranca Sari 116
12. Gedebage 147
13. Kiaracondong 149
14. Cicendo 49
15. Sumur Bandung 31
16. Batu Nunggal 191
17. Bandung Wetan 122
18. Cibeunying
Kaler
33
19. Arcamanik 139
20. Bojong Loa
Kidul
91
21. Buah Batu 54
22. Antapani 73
23. Bandung Kulon 40
24. Cinambo 152
25. Bojong Loa
Kaler
98
26. Astana Anyar 151
27. Bandung Kidul 131
28. Babakan Ciparay 165
29. Lengkong 198
30. Andir 78
Pada tabel 1 dapat diamati bahwa
jumlah tertinggi data ungkapan tradisional
yang masih dikenal oleh masyarakat tutur di
Kota Bandung berada di Kecamatan
Ujungberung yakni sebanyak 206 data.
Jumlah kedua dan ketiga tertinggi terdapat di
Kecamatan Cibiru dan Lengkong masing-
masing berjumlah 198 data ungkapan
tradisonal serta Kecamatan Batu Nunggal
sebanyak 191 data ungkapan tradisonal.
Adapun jumlah terendah data ungkapan
tradisional yang masih dikenal oleh
masyarakat tutur di Kota Bandung berada di
Kecamatan Sumur Bandung sebanyak 31
data.
Berdasarkan jumlah persentasenya,
ungkapan tradisional yang masih dikenal
oleh masyarakat tutur etnis Sunda pada 30
kecamatan di Kota Bandung dibagi ke dalam
tiga bagian, yakni jumlah persentase
ungkapan yang masih dikenal sebesar
kurang dari 35%, antara 35-70%, dan lebih
besar dari 70%. Berikut disajikan ketiga
tabel jumlah yang menunjukkan persentase
tersebut.
Tabel 2
Kecamatan yang masih Mengenal Ungkapan
Tradisional Bahasa Sunda di Kota Bandung
berdasarkan Jumlah Persentase < 35%
NO NAMA
KECAMATAN
JUMLAH DATA
UNGKAPAN
YANG MASIH
DIKENAL (%) < 35%
1. Panyileukan 34
2. Coblong 21
3. Cicendo 24
4. Sumur Bandung 15
5. Cibeunying Kaler 16
6. Buah Batu 26
7. Bandung Kulon 19
Pada tabel 2, dapat diamati bahwa
masyarakat tutur etnis Sunda yang mengenal
ungkapan tradisional dengan jumlah
persentase kurang dari 35% ada di 8
kecamatan di Kota Bandung. Delapan
kecamatan tersebut adalah Panyileukan,
Coblong, Cicendo, Sumur Bandung,
Cibeunying Kaler, Buah batu, dan Bandung
Kulon. Persentase terendah dari delapan
kecamatan ini berada pada angka 15% yakni
Kecamatan Sumur Bandung sedangkan
persentase tertinggi berada pada angka 34%
yakni Kecamatan Panyileukan.
Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)
173
Tabel 3
Kecamatan yang masih Mengenal Ungkapan
Tradisional Bahasa Sunda
di Kota Bandung berdasarkan Jumlah Persentase
35-70%
NO NAMA
KECAMATAN
JUMLAH DATA
UNGKAPAN YANG
MASIH DIKENAL (%)
ANTARA 35 – 70 %
1. Sukasari 59
2. Cibeunying
Kidul
68
3. Cidadap 57
4. Sukajadi 63
5. Regol 43
6. Ranca Sari 56
7. Bandung Wetan 59
8. Cibeunying
Kaler
16
9. Arcamanik 67
10. Bojong Loa
Kidul
44
11. Antapani 35
12. Bojong Loa
Kaler
45
13. Bandung Kidul 64
14. Andir 38
Berikutnya, pada tabel 3 dapat diamati
bahwa masyarakat tutur etnis Sunda yang
mengenal ungkapan tradisional dengan
jumlah persentase antara 35 % sampai 70%
terdapat di 13 kecamatan di Kota Bandung.
Tiga belas kecamatan tersebut adalah
Sukasari, Cibeunying Kidul, Cidadap,
Sukajadi, Regol, Rancasari, Bandung Wetan,
Arcamanik, Bojong Loa Kidul, Antapani,
Bojong Loa Kaler, Bandung Kidul, dan
Andir. Persentase terendah dari tiga belas
kecamatan ini berada pada angka 35% yakni
Kecamatan Antapani sedangkan persentase
tertinggi berada pada angka 67% yakni
Kecamatan Arcamanik.
Tabel 4
Kecamatan yang masih Mengenal Ungkapan
Tradisional Bahasa Sunda
di Kota Bandung berdasarkan Jumlah Persentase
< 35%
NO NAMA
KECAMATAN
JUMLAH DATA
UNGKAPAN YANG
MASIH DIKENAL (%)
ANTARA >70 %
1. Ujungberung 100
2. Cibiru 96
3. Mandalajati 89
4. Batu Nunggal 93
5. Cinambo 74
6. Astana Anyar 73
7. Babakan Ciparay 80
8. Lengkong 96
9. Kiaracondong 72
Pada tabel 4 dapat diamati bahwa
masyarakat tutur etnis Sunda yang mengenal
ungkapan tradisional dengan jumlah
persentase lebih besar dari 70% terdapat di 9
kecamatan di Kota Bandung. Sembilan
kecamatan tersebut adalah Ujungberung,
Cibiru, Mandalajati, Batu Nunggal,
Cinambo, Astana Anyar, Babakan Ciparay,
Lengkong, dan Kiaracondong. Persentase
terendah dari sembilan kecamatan ini berada
pada angka 72% yakni Kecamatan
Kiaracondong sedangkan persentase
tertinggi berada pada angka 100% yakni
Kecamatan Ujungberung.
II. Penggunaan Ungkapan Tradisional
yang masih Dikenal oleh Masyarakat
Tutur di Kota Bandung
Dalam praktiknya, ungkapan tradisional
yang masih dikenal sampai saat ini oleh
masyarakat tutur etnis Sunda di Kota
Bandung digunakan dalam ranah: keluarga,
kekariban, ketetanggan, pendidikan, pemerintahan, kerja, dan agama.
Penggunaan ungkapan ini pun memiliki
fungsi bahasa yang berbeda-beda. Berikut
disajikan uraian penggunaan ungkapan
dalam setiap ranah beserta fungsi-fungsinya.
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
174
a. Ranah Keluarga
Pada ranah ini ungkapan tradisional
masih banyak digunakan oleh masyarakat
tutur etnis Sunda yang berusia lanjut baik
laki-laki maupun perempuan. Ungkapan ini
digunakan dalam situasi nonformal seperti
tampak pada tuturan berikut.
(1) Ari ngarasakeun jadi jelema teu pinter,
kudu bodo alewoh. Loba tatanya ka
sasama, sangkan aya kanyaho.
‘Jika merassa menjadi orang yang tak
pintar, harus banyak bertanya karena
banyak tidak tahu. banyak bertanya
kepada sesame supaya memiliki
pengetahuan.’
(2) Kudu datang katingali tarang, indit
katingali punduk kanu jadi kolot, supaya
hate kolot jadi regreg.
‘Datang dan pergi harus permisi pada
orangtua, supaya tenang hati.’
(3) “Ibaratna banda tatalang raga. Engke ge
bisa disiar deui ari geus sehat mah. Nu
penting mah ayeuna hayu urang bawa eta
budak ka rumah sakit.
‘Ibaratnya lebih baik mengeluarkan
kekayaan untuk menyelamatkan badan.
(harta) bisa dicari. Yang penting sekarang
mari kita bawa anak ini ke rumah sakit.’
(4) Dina mutuskeun hiji perkara. Sakabeh
masalah kudu dibeuweung diutahkeun,
supaya hasilna adil keur sararea.
‘Dalam memutuskan sebuah kasus. semua
masalah perlu dipikirkan masak-masak
supaya hasilnya adil untuk semua (pihak).
(5) Ujang mah budak epes meer, teu kaur
diheureuyan saeutik sok gampang ceurik.
Teu hade eta teh.
‘Ujang itu anak cengeng. sedikit saja
diganggu langsung menangis. Tidak baik
itu.’
Pada (1) ungkapan bodo alewoh ‘bodoh
tetapi banyak bertanya’ dan (2) ungkapan
datang katingali tarang, indit katingali
punduk ‘datang dan pergi harus permisi’
pada masyarakat Sunda masih digunakan
dalam hubungan Pn-Pt yakni orangtua baik
ayah maupun ibu kepada anak. Ungkapan ini
pun biasa digunakan dalam hubungan kakek
atau nenek kepada cucunya atau juga paman
atau bibi kepada keponakannya. Keadaan
emosi partisipan para penutur pada
ungkapan (1) dan (2) berlangsung dalam
suasana yang serius. Fungsi ungkapan yang
digunakan oleh Pn kepada Pt pada (1) dan
(2) berupa nasihat. Pada (3) Banda tatalang
raga ‘lebih baik mengeluarkan kekayaan
untuk menyelamatkan badan’ dan (4)
dibeuweung diutahkeun ‘menghadapi
sesuatu harus dipikirkan matang-matang’
digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni
suami kepada istrinya atau pun sebaliknya
dan dalam hubungan orangtua kepada anak.
Keadaan emosi partisipan para penutur pada
ungkapan (3) berlangsung dalam suasana
sedih dan ungkapan (4) berlangsung dalam
suasana santai tetapi serius. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt
pada (3) dan (4) mengandung saling
mengingatkan dan nasihat. Adapun
ungkapan (5) epes meer ‘cengeng’
digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni
orangtua kepada anak. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (5)
berlangsung dalam suasana santai tetapi
serius dan fungsi penggunaan ungkapan
sebagai teguran.
b. Ranah Kekariban
Pada ranah ini ungkapan tradisional
digunakan dalam lingkungan pertemanan
baik laki-laki maupun perempuan.
Ungkapan berlangsung dalam situasi
nonformal. Cermati data di bawah ini.
(6) Geus we atuh, tong nyarekan meni lak-lak
dasar kitu. Kapan buruk-buruk ge papan
jati, keun da engke ge geura inget di mana
nyimpen jaketna. Maklum manehna mah
rada limpeuran.
‘Sudah, jangan marah terus-terusan seperti
itu. Kan, baik buruk adalah saudara
sendiri, biar saja nanti juga ingat di mana
menaruh jaketnya. Maklum dia agak
pelupa.’
(7) Enya oge cerewed, tapi Yani kaitung
hambur bacot murah congcot. Boga sifat
Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)
175
ramah jeung sering nulungan jelema anu
keur kasusahan.
‘Biarpun cerewet, tapi Yani terbilang
ramah dan sering menolong. Memiliki
sifat ramah dan sering menolong orang
yang sedang kesusahan.’
(8) Kumaha maneh mah siga monyet
ngagugulung kalapa bae, ongkoh
dirawatan eta barang, tapi teu bisa
makena.
‘Bagaimana kamu ini seperti memiliki
barang tetapi tidak tahu manfaat dari
barang tersebut, katanya merawat barang
tetapi tidak mengerti cara
menggunakannnya.’
(9) Sigana mah tadi Si Kosim ngan ukur tawar
gatra ngajak dahar teh. Buktina da euweuh
sangu dina meja makanna oge.
‘Sepertinya tadi Si Kosim menawari atau
mengajak hanya sebagai bentuk
penghormatan, dengan harapan yang
diajak atau ditawari tidak merespons.
Buktinya di meja makan tidak ada nasi
sama sekali.’
Pada (6) ungkapan buruk-buruk ge
papan jati ‘baik buruk adalah saudara
sendiri’ digunakan dalam hubungan Pn-Pt,
yakni pertemanan (teman sekelas). Pn-Pt
berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (6)
berlangsung dalam suasana kesal. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt
pada (6) untuk menenangkan hati Pt yang
sedang jengkel kepada adiknya sendiri.
Pada (7) hambur bacot murah congcot
‘cerewet tapi terbilang ramah dan sering
menolong’ digunakan dalam hubungan Pn-
Pt, yakni pertemanan (teman bermain). Pn-
Pt berjenis kelamin perempuan. Keadaan
emosi partisipan para penutur pada
ungkapan (7) berlangsung dalam suasana
santai. Fungsi ungkapan yang digunakan
oleh Pn kepada Pt pada (7) untuk
menyiaskan sifat baik Yani, salah seorang
teman mereka.
Pada (8) ungkapan siga monyet
ngagugulung kalapa ‘seperti memiliki
barang tetapi tidak tahu manfaat dari barang
tersebut’ digunakan dalam hubungan Pn-Pt,
yakni persahabatan (teman dekat). Pn-Pt
berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (8)
berlangsung dalam suasana normal dan
santai. Fungsi ungkapan yang digunakan
oleh Pn kepada Pt pada (8) untuk
mengingatkan agar Pt bisa memanfaatkan
barang (mesin jahit) warisan dari orangtua
dengan sebaik-baiknya.
Pada (9) ungkapan tawar gatra
‘menawari atau mengajak hanya sebagai
bentuk penghormatan, dengan harapan
yang diajak atau ditawari tidak merespons’
digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni
pertemanan (teman sekelas). Pn-Pt berjenis
kelamin laki-laki. Keadaan emosi partisipan
para penutur pada ungkapan (9)
berlangsung dalam suasana normal. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada
Pt pada (9) sebagai bentuk kekecewaan
kepada Kosim, teman Pn-Pt yang menawari
mereka makan hanya untuk tujuan basa-
basi saja.
c. Ranah Ketetanggan
Dalam ranah ini, ungkapan tradisional
digunakan dalam berbagai situasi yang
terjadi di lingkungan masyarakat tutur etnis
Sunda, khususnya di lingkungan tempat
tinggal yang berdekatan atau bersebelahan
seperti tampak pada data berikut.
(10) Jalaran geus aya babadamian kamari
antara warga jeung petugas sampah,
masalah runtah geus bisa direngsekeun.
Warga ngan ukur mere waragad tambahan
saeutik, supaya runtah bisa diangkut deui ti
tiap-tiap imah ku petugas. Ieu bisa disebut
caina herang laukna beunang.
‘Sehubungan dengan adanya pertemuan
kemarin antara warag dengan petugas
sampah, masalah sampah sudah
diselesaikan. warga hanya memberi sedikit
uang tambahan agar sampah bisa diangkut
kembali oleh petugas dari tiap-tiap rumah.
dengan demikian, dapat dikatakan
menyelesaikan masalah dengan mencari
jalan tengah yang saling menguntungkan
semua pihak.’
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
176
(11) Geus dihin pinasti, tutulis Hyang Widhi,
pun Emang kamari pisan ngantunkeun.
Padahal sadinten sateuacanna masih
katingal sehat, tiasa ubral obrol sareng sim
kuring.
‘Sudah suratan takdir, paman saya
kemarin meninggal. Padahal sehari
sebelumnya masih terlihat sehat, bisa
berbincang-bincang dengan saya.’
(12) Ieu mah etang-etang dog-dog
pangrewong. Sim kuring hoyong nambihan
pamadegan, saperkawis iuran warga.
‘ini hanya menambahkan pembicaraan.
Saya ingin menambahkan pendapat, terkait
iuran warga.’
(13) Dasar jelema gede hulu, karek kabeuli
motor second wae, meuni geus teu daek
nanya.
‘Dasar orang sombong, baru juga mampu
beli motor bekas, sudah tidak mau
menyapa.’
(14) Agil mah rada hampang leunguen. Sok
gampang nampiling mun ambek teh.
‘Agil itu agak mudah marah dan (dia)
sering menempeleng jika sedang marah.’
Pada (10) ungkapan caina herang laukna
beunang ‘menyelesaikan masalah dengan
mencari jalan tengah yang saling
menguntungkan semua pihak’ digunakan
dalam hubungan Pn-Pt, yakni Ketua RW
dan para Ketua RT. Pn-Pt berjenis kelamin
laki-laki. Keadaan emosi partisipan para
penutur pada ungkapan (10) berlangsung
dalam suasana normal pada kegiatan rapat
RW. Fungsi ungkapan yang digunakan oleh
Pn kepada Pt pada (10) untuk menenangkan
hati Pt atas permasalahan yang terjadi. Pn
menyakinkan Pt bahwa setiap masalah dapat
diselesaikan secara baik dan kekeluargaan.
Pada (11) ungkapan dihin pinasti, tutulis
Hyang Widhi ‘suratan takdir’ digunakan
dalam hubungan Pn-Pt, yakni tetangga. Pn-
Pt berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (11)
berlangsung dalam suasana duka. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt pada (11) untuk mengungkapkan perasaan
sedih dan kaget kepada Pt. Pn merasa sedih
dan tidak percaya bahwa paman yang selama
ini terlihat sehat mendadak meninggal dunia.
Pada (12) ungkapan dog-dog
pangrewong ‘menambahkan pembicaraan’
digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni
peserta rapat dan ketua rapat. Pn-Pt berjenis
kelamin perempuan-laki-laki. Keadaan
emosi partisipan para penutur pada
ungkapan (12) berlangsung dalam suasana
normal. Ungkapan (12) terjadi pada
kegiatan rapat warga yang dihadiri oleh
ketua RW, Sekretaris RW, dan ketua-ketua
seksi. Fungsi ungkapan yang digunakan
oleh Pn kepada Pt pada (12) untuk
mengungkapkan pendapat dengan cara
halus dan sopan sebagai perwakilan dari
seksi rohani.
Pada (13) ungkapan gede hulu
‘sombong’ digunakan dalam hubungan Pn-
Pt, yakni teman sepermaian. Pn-Pt berjenis
kelamin laki-laki. Keadaan emosi partisipan
para penutur pada ungkapan (8) berlangsung
dalam suasana kesal. Fungsi ungkapan yang
digunakan oleh Pn kepada Pt pada (13)
untuk menyebutkan perubahan sifat Pt.
Pada (14) ungkapan hampang leungeun
‘ringan tangan’ digunakan dalam hubungan
Pn-Pt, yakni tetangga dekat. Pn-Pt berjenis
kelamin perempuan. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (14)
berlangsung dalam suasana normal. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt
pada (14) untuk menjelaskan watak Agil,
salah satu tetangga mereka yang terkenal
mudah terpancing emosi dan ringan tangan.
d. Ranah Pendidikan
Ungkapan-ungkapan tradisional yang
terdapat pada ranah ini digunakan baik
dalam lingkungan sekolah umum maupun
pesantren, seperti terlihat dalam data berikut.
(15) Ayeuna mah ibaratna budaya urang teh
keur ngalaman siga jati kasilih ku junti, ku
asupna budaya deungeun nu ngaranjah ka
sagala widang.
‘Sekarang ini diibaratkan budaya kita tengah
mengalami seperti yang baik tersisihkan
Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)
177
oleh keburukan, dengan masuknya budaya
luar yang menguasai segala bidang.’
(16) Maraneh mah ngadon kumeok memeh
dipacok. Can ge der maen bola geus
katingali sieun ti heula. Entong ningali
pedah awakna lewih garede, da can tangtu
maena alus.
‘Kalian itu malah kalah sebelum
bertanding. Permainan belum dimulai
sudah terlihat takut. Jangan melihat
badannya yang lebih besar-besar, sebab
belum tentu (mereka) bermain bagus.’
(17) Sanes bade mapagahan ngojay ka meri, da
sadayana tangtos tos apal. Ieu mah sakadar
ngemutan deui, bilih aya nu teu acan terang.
‘Bukan bermaksud untuk memberi tahu
kepada orang yang 130 lebih tahu. Ini
hanya sekadar mengingatkan saja, kalau-
kalau ada yang belum tahu.’
(18) Hirup teh kudu bisa ngindung ka waktu,
ngabapa ka jaman, mun hayang panceg teu
tinggaleun ti batur, da sasatna ayeuna mah
zaman gampang robahna alatan kamajuan
media informasi jeung teknologi.
‘Hidup itu harus bisa menyelaraskan
dengan perkembangan zaman, jika ingin
teguh tidak tertinggal dari yang lain, karena
pada dasarnya saat ini zaman mudah
berubah oleh kemajuan media informasi dan
teknologi.’
Pada (15) ungkapan jati kasilih ku junti
‘seperti yang baik tersisihkan oleh
keburukan’ digunakan dalam hubungan Pn-
Pt, yakni guru dan para siswa. Pn berjenis
kelamin laki-laki dan pt berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (15)
berlangsung dalam suasana formal.
Ungkapan (15) terjadi pada kegiatan belajar
mengajar di sebuah sekolah. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada
Pt pada (15) untuk mengingatkan Pt bahwa
saat ini budaya luar begitu deras masuk ke
negara kita. Masuknya budaya tersebut
membawa banyak pengaruh negatif dan
membuat budaya lokal kita menjadi
tersingkir.
Pada (16) ungkapan kumeok memeh
dipacok ‘kalah sebelum bertanding’
digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni
guru olahraga- para siswa. Pn berjenis
kelamin laki-laki dan pt berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (16)
berlangsung dalam suasana formal. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt
pada (16) untuk memberikan nasihat berupa
teguran untuk tujuan kebaikan Pt agar pt
semangat dan pantang mundur serta tidak
mudah menyerah dalam menghadapi lawan
ketika bertanding sepak bola.
Pada (17) ungkapan mapatahan ngojay
ka meri ‘memberi tahu kepada orang yang
130 lebih tahu’ digunakan dalam hubungan
Pn-Pt, yakni narasumber dan para peserta
seminar. Pn berjenis kelamin laki-laki dan
pt berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Keadaan emosi partisipan para
penutur pada ungkapan (17) berlangsung
dalam suasana formal. Ungkapan (17)
terjadi pada kegiatan seminar Teknik
berpidato yang baik dan benar. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada
Pt pada (17) sebagai bentuk kesantunan
sehubungan dengan Pt adalah para pendidik
(guru).
Pada (18) ungkapan ngindung ka waktu,
ngabapa ka jaman ‘menyelaraskan dengan
perkembangan zaman’ digunakan dalam
hubungan Pn-Pt, yakni guru kelas- para
siswa. Pn berjenis kelamin laki-laki dan pt
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Keadaan emosi partisipan para penutur pada
ungkapan (18) berlangsung dalam suasana
formal. Fungsi ungkapan yang digunakan
oleh Pn kepada Pt pada (18) untuk
memberikan petuah kepada Pt agar dalam
menjalani hidup harus bisa beradapatasi
dengan perubahan zaman.
e. Ranah Pemerintahan
Dalam ranah pemerintahan, ungkapan-
ungkapan tradisional di antaranya digunakan
dalam lingkungan kantor pemerintahan
tingkat kelurahan, seperti tampak dalam data
berikut.
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
178
(19) Sagala permasalahan kudu disawalakeun
babarengan. Hade ku omong, goreng ku
omong, teu bisa diputuskeun mung ku
sapihak.
‘Segala permasalahan harus didiskusikan
bersama. Semua permasalahan harus
dirundingkan, tidak bisa diputuskan secara
sepihak.’
(20) Di usum Pilkada ieu tong gampang
haripeut ku teuteureuyeun. Ngan dibibita
ku barang nu teu sabaraha, urang jadi
salah pilih pamingpin.
‘Pada musim Pilkada ini jangan mudah
tergoda oleh iming-iming. Hanya dirayu
dengan barang yang tidak seberapa, kita
jadi salah memilih pemimpin.’
Pada (19) ungkapan hade ku omong, goreng ku omong ‘semua permasalahan
harus dirundingkan’ dan (20) ungkapan
haripeut ku teuteureuyeun ‘tergoda oleh
iming-iming’ digunakan dalam hubungan
Pn-Pt, yakni lurah dan staf pemerintahan
kelurahan. Pn berjenis kelamin laki-laki dan
pt berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Keadaan emosi partisipan para penutur pada
ungkapan (19) dan (20) berlangsung dalam
suasana formal. Ungkapan ini terjadi saat
kegiatan rapat kelurahan. Fungsi ungkapan
yang digunakan oleh Pn kepada Pt pada (19)
untuk mengingatkan Pt agar dalam
menghadapi permasalahan apapun dalam
pekerjaan hendaknya diselesaikan secara
musyawarah sehingga tidak ada pihak yang
merasa dirugikan. Adapun Fungsi ungkapan
yang digunakan oleh Pn kepada Pt pada (20)
untuk mengimbau Pt agar bersikap bijak
tidak mudah terdoga oleh janji-janji yang
belum pasti dari calon pemimpin kepala
daerah dalam Pilkada.
f. Ranah Kerja
Ungkapan-ungkapan tradisional yang
terdapat pada ranah ini digunakan baik
dalam lingkungan perkantoran pemerintah
maupun swasta. Amatilah data-data berikut.
(21) Ka luhur sausap rambut, ka handap
sausap dampal. Sim kuring masrahkeun
diri sakujur awak, bade ngadunungan ka
bapak. Etang-etang gegentos kolot abdi nu
tos tilar dunya.
‘(menggambarkan penyerahan diri
secara total yang berkaitan kesetiaan
terhadap seseorang), saya memasrahkan
seluruh jiwa dan raga, akan mengabdi
kepada bapak. sebagai pengganti orangtua
saya yang telah meninggal dunia.’
(22) Kudu boga pikir rangkepan ari
mercayakeun pagawean ka batur teh.
Maklum jaman ayeuna geus loba jelema
anu teu jujur.
‘Harus punya pemikiran berhati-hati dan
rasa curiga jika mempercayakan suatu
pekerjaan kepada orang lain. Maklum zaman
sekarang sudah banyak orang yang tidak
jujur.’
(23) Silaing mah pagawean teh ngan mopo
memeh nanggung. Moal boga
baranggawe.
‘Kamu itu kerjanya hanya bermalas-
malasan saja. tidak akan punya pekerjaan.’
(24) Sugan mah ngabuntut bangkong
pagawean teh, asa teu ageus- angeus.
Padahal sabulan deui kudu geus rengse
dilaporkeun.
‘Tampaknya pekerjaan ini tidak akan
pernah selesai. padahal sebulan lagi sudah
harus dilaporkan.’
Pada (21) ungkapan ka luhur sausap
rambut, ka handap sausap dampal
‘menggambarkan penyerahan diri secara
total yang berkaitan kesetiaan terhadap
seseorang’ digunakan dalam hubungan Pn-
Pt, yakni calon majikan-calon karyawan. Pn
berjenis kelamin laki-laki dan pt berjenis
kelamin laki-laki. Keadaan emosi partisipan
para penutur pada ungkapan (21)
berlangsung dalam suasana normal. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt
pada (21) sebagai wujud janji setia kepada
Pt. Pn berjanji jika dia diterima kerja di
tempat Pt maka Pn agar bekerja sepenuh
hati, mengabdi, dan akan menganggap Pt
bukan hanya sebagai majikan tetapi juga
sebagai orangtua yang tidak akan mungkin
dikhianati.
Pada (22) ungkapan piker rangkepan
‘pemikiran berhati-hati dan rasa curiga’
Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)
179
digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni
karyawan senior-karyawan junior. Pn
berjenis kelamin laki-laki dan pt berjenis
kelamin laki-laki. Keadaan emosi partisipan
para penutur pada ungkapan (22)
berlangsung dalam suasana formal dan
bertempat di sebuah perkantoran. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt
pada (22) untuk menasihati Pt agar waspada
dalam memberikan kepercayaan pekerjaan
kepada orang lain. Mengingat zaman
sekarang mencari orang jujur dan dapat
dipercaya itu tidak mudah.
Pada (23) ungkapan mopo memeh
nanggung ‘bermalas-malasan’ digunakan
dalam hubungan Pn-Pt, yakni mandor-buruh
bangunan. Pn berjenis kelamin laki-laki dan
pt berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (23)
berlangsung dalam suasana normal dan
bertempat di sebuah tempat proyek
pembangunan rumah. Fungsi ungkapan yang
digunakan oleh Pn kepada Pt pada (23)
untuk menegur Pt yang bekerja tidak
semangat dan tampak seperti terpaksa. Pn
menyakinkan Pt jika Pt tidak sungguh-
sungguh dalam bekerja maka di mana pun Pt
bekerja tidak akan diterima.
g. Ranah Agama
Pada ranah agama penggunaan ungkapan
bahasa Sunda ditemukan pada kegiatan
pidato peringatan hari-hari besar keagamaan
ataupun ceramah di lingkungan masjid,
pengajian, dan pesantren, Berikut analisis
data-data tersebut.
(24) Bobot sapanon carang sapakan,
langkung saur bahe carek, sim kuring
neda dihapunten bilih aya bahasa anu
matak nyinggung manah para saderek.
‘(Ungkapan memohon maaf bila ada
kekurangan dan kesalahan dalam
perkataan), saya memohon maaf jika ada
kata-kata yang salah yang tidak berkenan di
hati hadirin sekalian.’
(25) Sok, Jang tong pondok hareupan. Terus
sing rajin macana. Ibaratna cikaracak
ninggang batu laun-laun jadi legok, pasti
maneh bakal bisa. Keun rada telat
dibanding jeung nu lian ge.
‘Ayo, Nak jangan mudah menyerah. Terus
rajinlah membaca. Ibaratnya suatu
pekerjaan bila dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan tidak mudah
berputus asa, pasti akan membuahkan
hasil. Kamu pasti bisa. Tak apa agak
terlambat dibandingkan tidak sama sekali.’
(26) Tong munjung ka gunung, muja ka
sagara, bisi doraka. Gusti Alloh moal
sukaeun. Jalma samodel kitu bagian
naraka tempatna Munjung kudu ka
indung, muja kudu ka bapak.
‘jangan menyembah gunung memuja laut,
nanti berdosa. Allah tidak akan suka.
Orang seperti itu tempatnya di neraka,
berbakti harus kepada kedua orang tua,
bukan memuja gunung dan lautan.’
(27) Aya paribasa - tunggul tong dirurud,
catang tong dirumpak, hirup katungkulan
ku umur, paeh teu nyaho dimangsa-,
lamun urang hayang salamet dunya
akherat. Sakabeh pagawean anu aya di
dunya, aya hukum nu ngaturna. Teu
meunang dirumpag sambarangan. Awal
akhir pasti aya babalesna ti Gusti Alloh.
‘Ada peribahasa - dalam hidup tidak
boleh melanggar aturan hukum yang
berlaku, baik hukum agama, adat, atau
negara, semua akan dimintai
pertanggungjawabannya, untuk itu kita
harus menjalani hidup ini dengan baik,
karena kematian pasti akan datang dan
kita tidak tahu kapan itu akan terjadi.
Jika kita ingin selamat dunia akhirat.
Semua pekerjaan yang ada di dunia, ada
hukum yang mengaturnya. tidak boleh
diubah semabarangan. Awal akhir pasti ada
balasannya dari Allah.’
Pada (24) ungkapan bobot sapanon
carang sapakan, langkung saur bahe carek
‘ungkapan memohon maaf bila ada
kekurangan dan kesalahan dalam perkataan’
digunakan dalam hubungan Pn-Pt, yakni
Ketua RT-warga RT. Pn berjenis kelamin
laki-laki dan pt berjenis kelamin laki-laki
dan perempuan. Keadaan emosi partisipan
para penutur pada ungkapan (24)
berlangsung normal dan bertempat di sebuah
masjid dalam kegiatan peringatan Maulid
Nabi. Fungsi ungkapan yang digunakan oleh
Pn kepada Pt pada (24) untuk mengiaskan
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
180
permohonan maaf Pn kepada Pt. Jika selama
menyampaikan pidato terdapat kata-kata Pn
yang kurang berkenan di hati Pt.
Pada (25) ungkapan cikaracak ninggang
batu laun-laun jadi legok ‘suatu pekerjaan
bila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
tidak mudah berputus asa, pasti akan
membuahkan hasil’ digunakan dalam
hubungan Pn-Pt, yakni Ustad-murid
pesantren. Pn berjenis kelamin laki-laki dan
pt berjenis kelamin laki-laki. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (25)
berlangsung dalam suasana normal dan
bertempat di sebuah pesantren. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt
pada (25) untuk menasihati Pt yang tidak
begitu pintar dalam mengaji. Pn menasihati
Pt untuk tetap tekun mengaji meski
kemampuannya terbatas karena dengan
belajar tekun dan bersungguh-sungguh kelak
Pt akan lancar mengaji.
Pada (26) ungkapan munjung kudu ka
indung, muja kudu ka bapak ‘berbakti harus
kepada kedua orang tua’ dan (27) ungkapan
tunggul tong dirurud, catang tong dirumpak,
hirup katungkulan ku umar, paeh teu nyaho
dimangsa ‘dalam hidup tidak boleh
melanggar aturan hukum yang berlaku, baik
hukum agama, adat, atau negara, semua
akan dimintai pertanggungjawabannya,
untuk itu kita harus menjalani hidup ini
dengan baik, karena kematian pasti akan
datang dan kita tidak tahu kapan itu akan
terjadi’ digunakan dalam hubungan Pn-Pt,
yakni Penceramah-audiens. Pn berjenis
kelamin laki-laki dan pt berjenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Keadaan emosi
partisipan para penutur pada ungkapan (26)
berlangsung dalam suasana normal dan
bertempat di sebuah mesjid. Fungsi
ungkapan yang digunakan oleh Pn kepada Pt
pada (26) untuk mengingatkan Pt supaya
tidak menuhankan benda mati sebab hal itu
perbuatan musyrik. Pn menganjurkan Pt
untuk mengabdi kepada kedua orangtua
sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.
Adapun Fungsi ungkapan yang digunakan
oleh Pn kepada Pt pada (27) sebagai wujud
pengiasan nasihat. Pn menasihati agar Pt
jangan melakukan perbuatan yang
melanggar aturan hukum jika ingin sehat di
dunia dan akhirat. Setiap aturan hukum
memiliki sanksi hukum.
PENUTUP
Ungkapan tradisional bahasa Sunda
sampai saat ini ternyata masih dikenal oleh
sebagian masyarakat tutur etnis Sunda di
Kota Bandung. Berdasarkan penelitian ini
ungkapan tradisional yang berhasil dihimpun
sebanyak 206 data. Dari 30 kecamatan di
Kota Bandung, Ujungberung merupakan
kecamatan yang masih mengenal ungkapan
tradisional dengan baik. Terbukti dengan
masih dikenalnya 206 ungkapan tradisional
atau sebanyak 100% data ungkapan oleh
masyarakat tutur etnis Sunda Ujungberung.
Adapun kecamatan yang sudah tidak lagi
mengenal ungkapan tradisional dengan baik
adalah Sumur Bandung. Masyarakat tutur
etnis Sunda Sumur Bandung hanya
mengenal 31 ungkapan tradisional atau
sebanyak 15% dari jumlah data.
Dari segi penggunaan, Ungkapan
tradisional masih digunakan oleh masyarakat
tutur etnis Sunda dalam hubungan Pn-Pt dari
usia remaja hingga dewasa dan genre laki-
laki - laki-laki; laki-laki - perempuan; laki-
laki - laki-laki dan perempuan, serta
perempuan - perempuan. Ungkapan
tradisional digunakan dalam berbagai situasi
tutur baik formal maupun informal dan
berlangsung dalam suasana normal, sedih,
kesal, dan marah. Ungkapan tradisional yang
masih dikenal oleh masyarakat tutur etnis
Sunda di Kota Bandung dipakai dalam
berbagai ranah yakni keluarga baik keluarga
inti maupun keluarga besar; kekariban
seperti teman karib, teman sekelas, dan
sahabat; ketetanggan baik yang tinggal di
sebelah rumah maupun yang berdekatan;
pendidikan baik pendidikan umum/sekolah,
perguruan tinggi, maupun pesantren;
pemerintahan seperti pemerintahan tingkat
kelurahan; kerja seperti lingkungan
perkantoran pemerintahan dan swasta; dan
Fenomena Ungkapan Tradisional…. (Asri Soraya Afsari, Cece Sobarna, & Yuyu Y. R.)
181
agama seperti kegiatan ceramah keagamaan
dan pengajian. Adapun penggunaan
ungkapan tradisional dalam ranah
transaksional tidak ditemukan dalam
penelitian ini. Penggunaan ungkapan
tradisional berfungsi untuk mengingatkan,
menasihati, menegur, menenangkan,
mengiaskan, mengimbau, dan
mengungkapkan perasaan. Fungsi
mengingatkan, menasihati, menegur,
menenangkan, mengiaskan, dan mengimbau
memiliki muatan positif untuk kebaikan Pt
sedangkan fungsi mengungkapkan perasaan
berhubungan dengan kedukaan, kesopanan,
kesantunan, kesetiaan, kekecewaan, dan
kekesalan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kota Bandung. (2019). Diperoleh dari
https://bandungkota.bps.go.id/public
ation/2019/08/16/bd52ff3d885d75c0
4ddcfb17/kota-bandung-dalam-
angka-2019.html
Chaer, Abdul & Leonie Agustina (2010).
Sosiolinguistik: Perkenalan Awal
(Cetakan Kedua). Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.
Danandjaja, James. (2007). Folklor
Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,
dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti. Cet. VII.
Djajasudarma, T. Fatimah. (2010). Metode
Linguistik: Ancangan Metode
Penelitian dan Kajian (Cetakan
Ketiga). Bandung: Eresco.
Halliday,. M.A.K. dan Ruqaiya Hasan.
(1992) Bahasa, Konteks, dan Teks
(terjemahan). Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Handayani, Tri Vincentia, Asri Soraya
Afsari, Ferli Hasanah. (2019). Mitos
dalam Ungkapan Berbahasa Sunda
dan Perancis. Jatinangor: Unpad
Press.
RPJM Kota Bandung. (2018). diperoleh dari
https://ppid.bandung.go.id/wp-
content/uploads/2016/09/Peraturan-
Daerah-No.-03-Tahun-2014-
Rencana-Pembangunan-Jangka-
Menengah-Daerah-RPJMD-Tahun-
2013-2018.pdf.
Mujinem. (1993). Fungsi Folklor Lisan
(Ungkapan Tradisional) dalam
Kehidupan Orang Jawa. Cakrawala
Pendidikan: Jurnal Ilmiha
Pendidikan. 3(12). Edisi November
1993. 33-46.
Muhtadin, Teddi, Hera Meganova Lyra,
Dian Amaliasari. (2012). Kekayaan
Batin Kaum Intelektual Sunda Abad
16: Kajian Ungkapan Bahasa dalam
Naskah Sunda Kuno di Kabupaten
Garut. Metalingua: Jurnal Penelitian
Bahasa. 10(2). Desember 2012.
Mahsun. (2005). Metode Penelitian Bahasa:
Strategi, Metode dan Tekniknya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Masduki, Aam (2015). Kearifan Lokal
Orang Sunda dalam Ungkapan
Tradisional di Kampung Kuta,
Kabupaten Ciamis. Patanjala: Jurnal
Penelitian Sejarah dan Budaya. 7(2).
Edisi Juni 2015. 295 – 310.
Rahardi, Kunjana. (2009). Sosiopragmatik.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sastrawijaya, M. Maryati, Teddi Muhtadin,
Mimin Rukmini D. (2010). Kamus
Idiom Sunda-Indonesia. Bandung:
PT Kiblat Buku Utama.
Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal:
Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi
Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL).
Sihwatik. (2017). Kajian Bentuk, Fungsi,
dan Makna Ungkapan Tradisional
Wacana Sorong Serah Aji Krama di
Kabupaten Lombok Barat dan
Relevansinya dalam Pembelajaran
Mulok di SMP. RETORIKA: Jurnal
Ilmu Bahasa, 3(1). Edisi April 2017.
93-103.
Sua, Andi Tenri. (2017, 11 Maret 2020).
Bentuk, Fungsi, dan Nilai Ungkapan
Bugis Masyarakat Bone. Diperoleh
dari
Totobuang, Vol. 8, No. 1, Juni 2020: 165—182
182
http://eprints.unm.ac.id/11205/1/AR
TIKEL%20DISERTASI%20OK.pdf.
\
Sumarsono. (2013). Sosolinguistik.
Yogjakarta: SABDA, Pustaka
Pelajar.
Warnaen, Suwarsih. (1987). Pandangan
Hidup Orang Sunda: Seperti
Tercermin dalam Tradisi Lisan dan
Sastra Sunda. Bandung: Bagian
Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda (Sundanologi)
Dirjen Kebudayaan Depdikbud.
Widyastuti, Sri Harti. (2012). Kandungan
Nilai Moral dalam Ungkapan
Tradisional Jawa dan Pepatah Cina.
LITERA: Jurnal Penelitian Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya, 11 (1),
Edisi April 2012. 147-157.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online).
Tersedia di:
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/i
ndex.php. Diakses 30 Maret 2020.