1
EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK DAUN BIDURI (Calotropis gigantea L.) PADA KEONG MAS (Pomacea canaliculata L.)
INFERTILITY EFFECT OF BIDURI LEAF EXTRACT (Calotropis gigantea
L.) ON GOLDEN APPLE SNAILS (Pomacea canaliculata L.)
Okid Parama Astirin, Prabang Setyono dan Usman Setiawan Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas maret University, Surakarta.
ABSTRACT
Biduri is a plant with many potencies which one of it is as an infertility agent. This aim research is to test infertility effect of biduri leaf extract (Calotropis gigantea) against Golden Apple Snails (Pomacea canaliculata) as means to repress their reproduction.
The treatment was directed to female snails and their eggs. Female snails was put on treatment bowl. Extract concentration of Biduri leaf that was treated to female snails were 0 mg/L; 17 mg/L; 34 mg/L; 51 mg/L; 68 mg/L with three replication for 72 hours. Extract concentration that was sprayed to eggs were 0 mg/L; 34 mg/L; 68 mg/L; 102 mg/L; 136 mg/L. Microanatomy structure of ovarium was analyzed by comparative descriptive. The number of hatching was analyzed by chi-square test.
Ovarium was damaged at vitelogenic oocyt. Extract concentration at 68 mg/L contributed significance damage. Active agent in biduri leaf induced damage of membrane structure. The damage of membrane structure may contribute to immature oocyt of golden apple snails. The highest concentration of extract gave no significance effect in number of eggs hatching. Calotropin in biduri leaf (C. gigantea) may decrease the reproduction of golden apple snails (P. canaliculata).
Keywords: Infertility, biduri leaf (C. gigantea), golden apple snails (P. canaliculata), vitelogenic oocyt.
2
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk tiap tahun menjadi suatu pemikiran terkait
dengan masalah pangan. Adanya beberapa hama pertanian dan perkebunan
mempengaruhi produksi atau hasil panen tiap tahunnya. Fluktuasi hasil panen
terkadang menjadi suatu kendala dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Salah satu hama yang meresahkan para petani adalah siput murbai/keong mas
(Pomacea canaliculata). Hewan ini bukanlah hewan asli asal Indonesia melainkan
hewan endemik dari Amerika Selatan. Kemudian persebarannya sampai di Asia
sebagai pakan ternak sumber protein yang murah (Matienzo 1984; Anderson 1993).
Kurang adanya perhitungan tentang kehidupan ekologisnya menjadikan hewan ini
berkembang pesat sebagai hama pertanian, khususnya pada tanaman padi.
Keong mas sangat mudah beradaptasi dan berkembang biak dengan pesat.
Beberapa cara pengendalian telah diterapkan, baik berupa tindakan mekanis,
pestisida, serta penggunaan tanaman varietas unggul sebagai upaya penanggulangan
serangan hama ini.
Pada eksperimen Ahmed et al. (2005), beberapa senyawa yang teridentifikasi
pada tanaman biduri seperti calotropogenin, calotropin, uscharin, calotoxin, dan
calactin merupakan senyawa-senyawa aktif bersifat toksik pada jaringan hidup.
Campuran senyawa tersebut telah terbukti bersifat sitotoksik pada beberapa tipe
bentuk sel pada manusia dan mencit. Adanya zat aktif dalam jaringan tumbuhan yang
bersifat toksik bisa dimanfaatkan untuk menekan perkembangbiakan hewan hama,
sehingga populasinya di lahan pertanian tidak meningkat dengan cepat.
Adanya senyawa produk alami dalam jaringan tumbuhan dapat dijadikan
sebagai alternatif bahan biopestisida (Rice, 1984). Senyawa alami ini mudah terurai
di alam, sehingga tidak bersifat sebagai bahan pencemar yang berbahaya bagi
manusia dan ternak. Salah satu diantara potensi dari biopestisida ialah mampu
menghambat penetasan telur hama tanaman padi. Sedangkan penggunaan pestisida
sintetis yang harganya lebih mahal, bisa membahayakan tanaman serta kesehatan
konsumen oleh adanya residu toksik (Arinefril, 2007).
Tumbuhan biduri (Calotropis gigantea) merupakan tanaman yang banyak
dimanfaatkan, baik dari bagian daun, batang, ataupun akarnya. Lhinhatrakool dan
3
Sutthivaiyakit (2006) mengemukakan, kelompok senyawa cardenolide yang
terkandung memberikan efek sitotoksik pada siklus sel. Cardenolide merupakan
struktur steroid bentuk aglicone yang mengikat 5 cincin berbeda pada atom C-17
(Mann et al,. 1998). Ahmed et al. (2005) menyatakan bahwa, salah satu senyawa
aktifnya yang disebut calotropin mampu menghambat spermatogenesis dan
menimbulkan efek abortif pada tikus dan kelinci. Pemberian getah campuran yang
diramu khusus, dapat mengganggu siklus estrus pada tikus. Cardenolide memiliki
efek sitotoksik yang sama dengan digitalis cardiac glykoside, berupa penghambatan
Na+/K+ ATPase pada membran plasma, yaitu mengganggu perpindahan Na+ dan K+
(Patent Storm LLC, 2004). Konsentrasi ion-ion yang tidak seimbang ini berpengaruh
pada tidak optimalnya penggunaan ATP di dalam sel, sehingga mengganggu reaksi
fisiologik internal. Adanya zat aktif tersebut memiliki efek toksik pada sel atau
jaringan, diduga juga bersifat teratogenik untuk beberapa embrio hewan uji.
Screening yang dilakukan Chobchuenchum et al. (2004a) membuktikan
bahwa ekstrak air Bougainvillea spectabilis, Croton tiglium, dan C. gigantea
menunjukkan aktifitas moluskisida pada Pomacea canaliculata. C. gigantea sebagai
salah satu bahan ekstrak yang digunakan, mempunyai LC50 = 86,00 mg/L mampu
mematikan lebih 90 % keong mas berdiameter operkulum 3-5 mm setelah inkubasi
72 jam. Ekstrak etanol C. gigantea telah terbukti dapat menghambat siklus
pengeluaran oosit matang sebesar 60-80 % (Ahmed et al., 2005)..
Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk
menguji sifat antifertilitas ekstrak daun biduri (C. gigantea) dengan variasi
konsentrasi ekstrak pada keong mas (P. canaliculata). Ekstrak daun ini dikenakan
pada tubuh indukan hewan uji selama 72 jam. Kemudian dilakukan pengamatan
anatomis pada organ reproduksinya serta observasi pada prosentase penetasan anakan
dari telur hewan pasca penyemprotan, sebagai parameter untuk menentukan
keberhasilan uji perlakuan.
Bahan dan Metode
Bahan yang digunakan untuk pembuatan ekstrak adalah daun biduri tua (C.
gigantea) yang diambil di lokasi waduk Mulur Sukoharjo dan Etanol 70 %. Sedang
4
bahan yang dipergunakan pada uji perlakuan yaitu hewan uji keong mas (P.
canaliculata) dengan tinggi cangkang ± 3 cm dan kelompokan telur keong mas, serta
larutan FAA.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di luar ruangan dengan metode satu faktor yaitu
konsentrasi ekstrak daun biduri (C. gigantea) sebagai variabel bebas. Perlakuan pada
hewan uji dibagi menjadi beberapa konsentrasi. Konsentrasi ekstrak yang dipaparkan
pada hewan uji yaitu sebesar 0 mg/L; 17 mg/L; 34 mg/L; 51 mg/L; 68 mg/L. Sesuai
dengan konsentrasi ekstrak, hewan uji dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, masing-
masing 2 ulangan. Hewan uji ditempatkan dalam bak perlakuan, masing-masing diisi
1 ekor betina. Perlakuan hewan dilakukan selama 72 jam. Pasca perlakuan, dilakukan
pengamatan efek perlakuan yaitu pada struktur mikroanatomi ovarium induk betina.
Perlakuan pada telur dilakukan melalui penyemprotan langsung bahan uji.
Induk jantan dan induk betina dipelihara dalam bak besar dengan perbandingan 4 : 8.
Kedua induk dibiarkan melakukan fertilisasi agar mengeluarkan kelompokan telur
yang akan ditempelkan pada dinding bak. Masing-masing kelompokan telur
disemprot hingga permukaannya basah dengan konsentrasi yang berbeda.
Penyemprotan dilakukan pada hari pertama setelah telur dikeluarkan pada malam di
hari sebelumnya. Hari penyemprotan dianggap sebagai titik nol dari penetasan
kelompokkan telur. Konsentrasi bahan uji yang disemprotkan yaitu sebesar 0 mg/L;
35 mg/L; 70 mg/L; 100 mg/L; 135 mg/L. Pasca perlakuan, dilakukan pengamatan
efek perlakuan yaitu pada jumlah penetasan telur menjadi anakan.
Adanya keterkaitan efek perlakuan terhadap penetasan anakan dari telur
dianalisis dengan uji chi-square. Perubahan struktur anatomis organ reproduksi keong
mas dianalisis secara deskriptif komparatif.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Efek perlakuan ekstrak daun biduri pada struktur histologis ovarium
Perlakuan ekstrak daun biduri pada keong mas memberikan beberapa
perubahan pada struktur histologis ovarium pasca perlakuan karena adanya
perubahan fisiologis dalam tubuh berpengaruh terhadap kenampakan organ
reproduksi.
1. Perubahan struktur mikroanatami ovarium
Gambaran tahap-tahap oogenesis pada keong betina dapat dilihat pada
penampang lintang Ovarium perlakuan kontrol Gambar 8.
Gambar 8. Penampang Melintang Ovarium Perlakuan Kontrol Perbesaran : 400 X Pewarnaan : HE 1 skala okuler = 0,06 µm Keterangan : 1. Oosit primer 2. Oosit vitelogenik 3. Dinding ovarium
3 1
2
Pada Gambar 8 menunjukkan perkembangan oosit di ruangan ovarium.
Epitel germinal yang menempel pada dinding ovarium akan mengalami
diferensiasi menjadi oogonium. Oogonium dengan posisi dekat dengan dinding
ovarium, mengalami mitosis membentuk oosit primer (Adiyodi, 1983). Oosit
6
primer memiliki nukleus yang makin kelihatan dan terkadang tampak adanya
nukleolus (Najmudeen, 2008), kemudian berlanjut pada fase vitelogenesis.
Pada fase vitelogenesis, substansi ooplasma semakin bertambah banyak
oleh karena aktivitas komponen intrasel dan ektrasel. Oosit berubah bentuk lebih
memanjang dibanding oogonium dengan volume nukleus yang meningkat.
Nukleoplasma oosit tampak dengan sedikit material kromatin yang terkondensasi.
Oosit tersebut bergerak menjauhi zona multiplikasi epitel germinal dan kemudian
disebut oosit vitelogenik. Komponen ooplasma semakin meningkat oleh karena
adanya aktifitas organel intrasel seperti badan golgi, mitokondria, ribosom dan
retikulum endoplasma. Pada perkembangan selanjutnya volume ooplasma
bertambah semakin besar dengan warna yang tampak seragam. Jumlah substansi
yolk seperti granula yolk, tetes lipid, dan material lainnya bertambah jauh lebih
banyak.
Oosit yang hampir masak terlihat dengan warna nukleolus yang semakin
gelap, berbentuk bulat serta bergerak menuju ke tepi (Najmudeen, 2008). Proses
oogenesis tahap akhir ditandai dengan oosit yang terletak eksentris dalam rongga
folikuler (Adiyodi, 1983). Oosit masak mempunyai nukleus berukuran maksimal
dengan nukleolus gelap, terletak di tengah-tengah lumen ovarium (Najmudeen,
2008).
Selama perkembangan oosit, terdapat sel folikel yang berperan penting
dalam tahapan vitelogenesis hingga oosit diovulasikan. Sel tersebut mensintesis
sejumlah protein seperti prekursor vitelin dibawah kontrol hormonal optic gland.
Adanya rongga folikuler yang mengelilingi oosit, menunjukkan juga adanya
sejumlah aktifitas sel folikel pada oosit perkembangan. Pada vitelogenesis
normal, masing-masing oosit dapat berkembang mencapai ukuran maksimal
(Hodgson et al, 2001).
Akhir dari tahap oogenesis ditandai oleh adanya bulatan vitelus
menempel pada dinding ovarium dan akan mengalami oosorption. Oosorption
merupakan penyerapan kembali bagian-bagian sisa oosit yang mengalami
degenerasi (Adiyodi, 1983).
7
Penampang lintang ovarium pada perlakuan kontrol memperlihatkan
tahap-tahap perkembangan oosit yang normal. Beberapa stadia oosit dengan
berbagai tingkat perkembangan dapat dijumpai pada ovarium perlakuan kontrol.
Aktifitas oogenesis di ruangan ovarium dalam proses perkembangan yang normal.
Tanda-tanda degenerasi oosit vitelogenik yang terlihat pada nukleus tidak banyak
dijumpai pada ovarium perlakuan kontrol.
Gambar 9. Penampang Melintang Ovarium Perlakuan 17 mg/L Perbesaran : 400 X Pewarnaan : HE 1 skala okuler = 0,06 µm Keterangan : 1. Rongga di daerah perivitelin oosit 2. Membran nukleus terlihat tidak teratur 3. Oosit vitelogenik awal dengan inti piknotik.
3
2 1
Gambar 9 adalah penampang lintang ovarium dengan perlakuan ekstrak
konsentrasi 17 mg/L, yang menunjukkan beberapa stadia-stadia oosit yang
mengalami perubahan internal. Perubahan terjadi pada fase vitelogenesis, yaitu
adanya inti berwarna gelap, membran inti dalam bentuk yang tidak teratur serta
ruangan jernih di sebelah dalam membran ooplasma (rongga perivitelin).
8
Sebagian oosit vitelogenik menampakan bentuk yang bulat panjang serta
memperlihatkan gejala awal nekrosis, yaitu nukleus terlihat gelap. Terbentuknya
rongga di daerah perivitelin oosit vitelogenik bisa disebabkan karena masuknya
cairan akuosa ke dalam ooplasma akibat adanya degenerasi hidropik. Oosit yang
mengalami degenerasi, tampak terlihat menempel pada dinding ovarium.
Membran oosit tersebut terlihat tidak teratur dengan struktur yang tampak
menggulung.
Kenampakan yang berbeda dibandingkan kontrol yaitu terbentuknya
rongga perivitelin pada sebagian besar oosit vitelogenik serta beberapa nukleus
yang terlihat gelap. Ovarium menunjukkan jumlah oosit yang lebih sedikit
daripada perlakuan kontrol. Namun masih terdapat oosit vitelogenik dengan
nukleus normal dan masih dapat berkembang ke tahap selanjutnya
Gambar 10. Penampang Melintang Ovarium Perlakuan 34 mg/L Perbesaran : 400 X Pewarnaan : HE 1 skala okuler = 0,06 µm Keterangan : 1. Nukleus oosit mengalami degenerasi 2. Membran ooplasma rusak 3. Oosit matang yang gagal terbentuk 4. Membran nukleus yang rusak
1
2
3
4
9
Perlakuan hewan uji dengan konsentrasi 34 mg/L menjadikan sebagian
besar oosit mengalami kerusakan internal, yang terlihat pada Gambar 10.
Kerusakan internal tampak dengan wujud inti yang tidak kelihatan, membran
ooplasma yang terurai, serta terdapatnya nukleus tampak gelap dan mengalami
penggumpalan. Sel folikel bisa mengalami kondisi tersebut yang berdampak pada
terhambatnya oogenesis serta gagalnya terbentuknya oosit masak.
Sebagian besar oosit vitelogenik tahap akhir tampak tidak
memperlihatkan oosit yang akan masak. Nukleus pada semua oosit vitelogenik
terwarnai lebih gelap dan sebagian diantaranya terlihat ruang jernih lebar mengisi
ruangan nukleus tersebut. Akibat adanya influks air yang hebat mengkibatkan
retikulum endoplasma mengalami dilatasi. Retikulum endoplasma menjadi berisi
penuh cairan akuosa, sehingga terlihat rongga jernih di tepi nukleus.
Zat aktif ekstrak juga masuk melalui porinuklear dan menimbulkan
gangguan fungsi nukleus. Gangguan fungsi nukleus terjadi karena gugus aktif zat
terikat pada substansi intranukleus dan menghambat reaksi biokimia yang
berhubungan. Gangguan reaksi biokimia intranukleus yang terjadi terus-menerus
menjadikan fungsi nukleus terhambat hingga mengalami degenerasi.
Rongga-rongga tampak mengisi ruangan perivitelin ooplasma pada
semua oosit vitelogenik. Rongga terbentuk karena adanya gangguan permeabilitas
membran oosit. Membran oosit juga mengalami gangguan fungsi dan
dimungkinkan terjadi kerusakan struktur, sehingga membran tampak tidak teratur.
Oosit vitelogenik banyak mengalami degenerasi dan diabsorbsi oleh dinding
ovarium. Efek tersebut diduga kurang berpengaruh pada oogenesis stadium awal
yang ditandai masih tampaknya stadia oogonium. Konsentrasi yang ditingkatkan
pada perlakuan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan yang lebih tinggi daripada
perlakuan konsentrasi 17 mg/L. Fase vitelogenesis mengalami gangguan lebih
tinggi dalam perkembangannya, diantaranya terlihat membran oosit berbentuk
semakin tidak teratur, nukleus-nukleus oosit vitelogenik stadia akhir banyak
mengalami piknotik sebelum oosit matang, serta lebih banyak oosit vitelogenik
yang mengalami oosorption.
10
Gambar 11. Penampang Melintang Ovarium Perlakuan 51 mg/L Perbesaran : 400 X Pewarnaan : HE 1 skala okuler = 0,06 µm Keterangan : 1. Ooplasma tampak heterogen. 2. Rongga perivitelin pada oosit vitelogenik stadium awal. 3. Sisa oosit yang mengalami oosorption 4. Oosit vitelogenik mengalami degenerasi pada nukleus
2
4
3
1
Pengaruh zat bioaktif pada konsentrasi 51 mg/L mengakibatkan
beberapa proses perkembangan terganggu. Paparan zat toksik dengan kadar yang
makin tinggi dapat menimbulkan kerusakan pada nukleus, yang terlihat pada
Gambar 11. Efek toksik berpengaruh lebih banyak pada oosit-oosit vitelogenik
stadia awal. Bagian tengah oosit vitelogenik terlihat gelap dan tidak
menampakkan nukleus. Terdapat membran nukleus yang terpisah dengan
ooplasma, dikarenakan adanya kerusakan struktur membran. Perubahan tersebut
dimungkinkan karena efek toksik sudah mencapai inti sel dan merusak
komponen-komponen penyusunnya.
Ooplasma tampak dengan pewarnaan lebih gelap yang mungkin
diakibatkan oleh hancurnya organel-organel yang bestruktur membran. Adanya
11
proses autolitik dalam plasma berakibat pada penghancuran organel-organel yang
ada didalamnya. Sehingga bagian-bagian organel yang rusak bercampur dengan
ooplasma hingga tampak dalam warna yang heterogen.
Rongga-rongga perivitelin banyak terlihat di sebagian besar oosit,
menjadikan sebagian membran oosit-oosit vitelogenesis tampak dengan dinding
membran yang tidak teratur. Beberapa oosit mengalami atresia dan sisa bagian
oosit tersebut diserap kembali melalui dinding ovarium. Kerusakan-kerusakan
oosit pada perlakuan konsentrasi 51 mg/L tidak jauh berbeda dibanding
konsentrasi perlakuan yang lebih 34 mg/L. Fase vitelogenesis mengalami
hambatan perkembangan yang berupa kerusakan membran ooplasma serta
nukleus piknotik. Kerusakan-kerusakan organel intrasel diduga lebih parah
dibandingkan pada perlakuan konsentrasi 34 mg/L, yang ditandai kenampakan
warna ooplasma yang tidak homogen pada oosit stadium awal.
Gambar 12. Penampang Melintang Ovarium Perlakuan 68 mg/L Perbesaran : 400 X Pewarnaan : HE 1 skala okuler = 0,06 µm Keterangan : 1. Membran oosit pecah ooplasma keluar 2. Oosit vitelogenesis mengalami degenerasi pada nukleus 3. Juluran sitoplasmik dinding ovarium
3
2
1
12
Perubahan pada struktur membran suatu sel berpengaruh pada sifat
permeabilitas membran dan kestabilannya mempertahankan isi sel. Akumulasi
xenobiotik yang berlebihan di dalam sel mampu menimbulkan gangguan pada
keseluruhan bagian sel hingga berakibat pada pecahnya sel. Terurainya bagian-
bagian sel berupa struktur membran menimbulkan perubahan pada bentuk sel.
Bentuk sel menjadi tidak beraturan hingga bagian komponen-komponen yang
berhamburan di bagian ekstrasel. Kenampakan tersebut terlihat pada oosit-oosit
vitelogenik pada Gambar 12. Oosit yang terlihat tampak dalam proporsi bentuk
bulat dengan bagian ooplasma yang memanjang, oleh karena adanya kerusakan
struktur membran yang mengakibatkan sel pecah. Ekstrak dengan konsentrasi
tertinggi sebesar 68 mg/L mengakibatkan kerusakan jaringan yang paling besar
dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi lebih rendah. Selain nukleus
piknotik, kerusakan struktur membran terlihat lebih parah serta tampak dari
bentuk oosit yang semakin tidak beraturan.
Sebagian besar ooplasma menunjukkan warna yang tidak homogen serta
semakin banyaknya komponen-komponen ooplasma terurai diluar oosit.
Kenampakan tersebut sangat berbeda dibanding dengan kontrol dan perlakuan
konsentrasi-konsentrasi yang lebih rendah. Kerusakan subseluler yang tidak bisa
ditolerir menjadikan kematian pada sel hidup. Oosit-oosit vitelogenik mengalami
atresia dengan komponen-komponen intrasel yang terdenaturasi. Dinding ovarium
mulai menampakkan juluran-juluran seperti vili yang mengarah ke lumen
(Andrews, 1964), sebagai respon untuk mengabsorbsi bagian-bagian oosit yang
mengalami atresia.
2. Efek sitotoksik
Bagian dari tumbuhan biduri mengandung senyawa bioaktif khusus dari
golongan fitosteroid, yaitu cardenolide. Calotropin merupakan salah satu jenis
senyawa kelompok cardenolide yang mampu menembus membran lipid oosit
hingga mengakibatkan rusaknya struktur membran ketika terakumulasi dalam
jumlah banyak di dalam sitoplasma. Pada penelitian Lhinhatrakool dan
Sutthivaiyakit (2006), menyebutkan isolat dari C. gigantea pada evaluasi uji
aktivitas sitotoksik, dengan semua jenis cardenolide terkandung telah diujikan
13
dan diketahui memiliki efek penghambatan kuat pada pertumbuhan sel.
Calotropin yang telah terbukti menunjukkan efek antifertilitas (Ahmed et al.,
2005), bisa berperan dalam efek penghambatan tersebut. Senyawa tersebut diduga
dapat berperan sebagai fitoestrogen yang mampu mengagalkan pemasakan oosit.
Anisimov et al., (1978) juga menyatakan aktifitas saponin triterpenoid yang juga
golongan cardenolide, dapat menimbulkan gangguan proses mitotik gel telur dan
menggagalkan pemasakkan sel telur.
Efek senyawa fitoestrogen menyebabkan proses pematangan terhambat
pada oosit-oosit stadia akhir, namun tidak menimbulkan pengaruh pada oosit-
oosit stadia awal. Gejala atresia dimulai dengan kenampakan oosit vitelogenik
yang memperlihatkan gejala awal nekrosis, yaitu nukleus terlihat gelap. Gejala
tersebut dapat dilihat dari kenampakan nukleus oosit, yaitu kromatin menjadi
sedikit granuler, membran nukleus terlihat tidak teratur atau terurai (Najmudeen,
2008). Kenampakan nukleus seperti itu bisa disebabkan oleh adanya perubahan
struktur substansi intranukleus serta hambatan reaksi enzimatis dalam
nukleoplasma, sehingga menimbulkan gangguan reaksi biokimia. Gangguan
reaksi biokimia intranukleus yang terjadi terus-menerus menjadikan fungsi
nukleus terhambat hingga mengalami degenerasi. Nukleus mengalami
penggumpalan (piknotik), diikuti dengan pembentukan fragmen (karioreksis),
diakhiri dengan material-material nukleus yang terurai (kariolisis) ( Mitchell et
al., 2006). Terdapat juga membran nukleus yang terpisah dengan ooplasma,
dikarenakan adanya kerusakan struktur membran dan menimbulkan gangguan
fungsi membran.
Efek lain yang timbul berupa gangguan metabolisme intrasel karena
terhambatnya pompa Na+ pada struktur membran menyebabkan terjadinya influks
air yang hebat ke dalam plasma (Price and Wilson, 1995). Bentuk penghambatan
Na+/K+ ATPase terjadi disebabkan karena senyawa tersebut berperan sebagai
kompetitor yang terikat pada situs protein pengikat ion K+. Pertukaran ion K dan
ion Na terhambat, kemudian diikuti meningkatnya konsentrasi Ca2+ intrasel
hingga menyebabkan gangguan reaksi biokimia organel-organel intrasel.
14
Agen eksogen yang telah masuk ke dalam plasma mampu menimbulkan
gangguan fungsi organel. Zat aktif dari daun biduri memiliki gugus steroida yang
mampu menembus membran sel yang kemudian terikat pada reseptor substansi
intrasel. Setelah terikat pada reseptor akan memberikan gangguan reaksi biokimia
intrasel kemudian berakibat pada gangguan homeostasis seluler. Ketika mencapai
retikulum endoplasma akan menginduksi terjadinya hipertrofi. Akibatnya sel
membengkak serta terjadi dilatasi pada retikulum endoplasma. Cairan akuosa
masuk ke dalam kantung retikulum endoplasma dalam jumlah banyak. Retikulum
endoplasma akan pecah akibat proses hipertrofi (Mitchell et al., 2006). Hipertrofi
terjadi karena fungsi detoksifikasi dalam retikulum endoplasma berada diluar
kapasitasnya. Akumulasi zat toksik yang berlebihan, menyebabkan zat-zat
eksogen tidak bisa didetoksifikasi sitokrom P-450 secara sempurna.
Sebagian dari zat eksogen juga mencapai mitokondria hingga
menimbulkan gangguan oksidasi. Kondisi tersebut mengakibatkan keluarnya
sitokrom C dari mitokondria yang diikuti proses proteolisis pada substansi-
substansi intrasel (Patent Storm LLC, 2004). Setelah sitokrom C keluar dari
mitokondria menyebabkan gangguan fungsi oksidasi. Akibatnya sintesis ATP
berkurang, sehingga internal sel mengalami kekurangan ATP. Kekurangan ATP
yang terjadi terus-menerus menghambat akitifitas komponen-komponen sel lain
yang mengarah pada degenerasi sel.
Adanya akumulasi xenobiotik yang berlebihan di dalam sel mampu
menimbulkan kerusakan pada keseluruhan bagian sel. Akibat ketidakseimbangan
osmotik dalam plasma, salah satunya menyebabkan pecahnya struktur lisosom.
Enzim-enzim autolitik dari lisosom akan bercampur dengan komponen ooplasma,
hingga menghancurkan organela-organela intrasel. Ooplasma menjadi nampak
heterogen karena bercampur dengan sisa-sisa organela yang hancur.
Rongga-rongga perivitelin yang banyak terbentuk di sebagian besar
oosit, menjadikan sebagian membran oosit-oosit vitelogenesis tampak dengan
dinding membran yang tidak teratur. Perubahan yang terjadi pada struktur
membran berpengaruh pada sifat permeabilitas membran dan kestabilannya
mempertahankan isi sel. Akibatnya sel pecah dengan bentuk tidak beraturan
15
hingga bagian komponen-komponen yang berhamburan di bagian ekstrasel. Oosit
yang pecah tampak dalam bentuk ooplasma yang panjang. Tanda awal kematian
dari oosit terlihat dari kenampakan nukleus yang gelap (Mitchell et al., 2006) dan
seperti terlipat. Oosit-oosit vitelogenik mengalami atresia dengan organel-organel
intrasel yang terdenaturasi.
Bentuk penyesuaian jaringan ovarium dari kerusakan-kerusakan oosit
tersebut yaitu dengan membentuk juluran-juluran seperti vili yang mengarah ke
lumen (Andrews, 1964), sebagai respon untuk mengabsorbsi bagian-bagian oosit
yang mengalami atresia. Sel folikel juga bisa mengalami kondisi kerusakan-
kerusakan struktur membran tersebut sehingga berakibat pada penghambatan
tahapan perkembangan oosit serta menggagalkan terbentuknya oosit masak.
B. Efek perlakuan ekstrak daun biduri pada penetasan telur
Hewan induk jantan dan betina dipelihara dalam wadah yang sama, serta
dibiarkan melakukan kopulasi secara alami. Telur akan dikeluarkan di malam hari
setelah terjadinya fertilisasi pasca kopulasi. Telur dikeluarkan dalam bentuk
kelompokan telur yang menempel pada dinding.
1. Daya tetas telur
Perlakuan untuk telur dilakukan dengan menyemprotkan ekstrak pada
kelompokan telur, hingga permukaan telur basah. Telur diinkubasi dari induk dan
dibiarkan menetas. Jumlah anakan yang menetas dan telur yang tidak menetas
dihitung pasca penetasan kelompokan telur.
Pada penelitian Teo (2004), tiap-tiap kelompokan telur memiliki
keberhasilan penetasan antara 87 - 100 %. Daya tetas dari telur tersebut
dipengaruhi oleh faktor nutrisi dan temperatur lingkungan terhadap kondisi induk
keong betina. Zigot dalam telur yang mengalami embriogenesis secara normal,
berarti secara hereditas dan cadangan nutrisi mampu tumbuh berkembang hingga
menetas mengeluarkan individu baru. Individu keong mas yang telah menetas
akan jatuh dibawah tempat telur menempel.
16
Tabel 1. Tabel jumlah penetasan telur pasca perlakuan ekstrak.
Jumlah telur Konsentrasi
Menetas (Ekor) Tidak menetas (Telur)
Prosentase penetasan (%)
Keterangan
0 mg/L 415 53 88,7 > rata-rata penetasan
34 mg/L 322 48 87,0 > rata-rata penetasan
68 mg/L 311 45 87,4 > rata-rata penetasan
102 mg/L 366 65 84,9 < rata-rata penetasan
136 mg/L 441 112 79,7 < rata-rata penetasan
Jumlah penetasan telur untuk masing-masing konsentrasi perlakuan
terlihat pada Tabel 1. Perlakuan kontrol terhadap kelompokan telur tidak
menimbulkan pengaruh terhadap penetasan telur. Sejumlah 415 telur menetas
secara normal, dengan prosentase penetasan sebesar 88,7 %. Konsentrasi ekstrak
sebesar 34 mg/L yang disemprotkan pada kelompokkan telur, menunjukkan hasil
telur dapat menetas sejumlah 322 ekor dari 370 telur keseluruhan yang
dikeluarkan. Konsentrasi bahan aktif yang ditingkatkan menjadi 68 mg/L, tidak
berpengaruh terhadap angka prosentase penetasan telur. Kelompokan telur masih
memperlihatkan prosentase penetasan dalam batas normal yaitu sebesar 87,4 %.
Daya tetas pada konsentrasi perlakuan sebesar 102 mg/L berada dibawah kisaran
keberhasilan penetasan menurut Teo (2004). Prosentase penetasan pada
konsentrasi tersebut sebesar 84,9 %. Telur dapat menetas dengan jumlah 366 ekor
anakan dan 65 telur yang tidak menetas. Pada ekstrak dengan konsentrasi paling
tinggi yaitu sebesar 136 mg/L, di duga memberikan pengaruh terhadap angka
penetasan telur. Dari total 553 telur dalam kelompokan, jumlah anakan yang
dapat menetas yaitu sebesar 79,7 %.
17
Tabel 2. Tabel chi-square data telur pasca perlakuan ekstrak.
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 19.812a 4 .001
Likelihood Ratio 19.154 4 .001
N of Valid Cases 2178
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 52.80.
Daya tetas telur pasca perlakuan pada penelitian dipengaruhi perlakuan
dengan beberapa konsentrasi. Pengujian ada tidaknya ketergantungan antara 2
variabel bisa dilakukan dengan uji chi-square yaitu dengan membandingkan
distribusi frekuensi teramati dengan frekuensi teoritisnya (Sulaiman, 2005).
Hasil uji chi-square dari data telur pada Tabel 1, menunjukkan ada
keterkaitan antara beberapa konsentrasi perlakuan terhadap daya tetas telur.
Keterkaitan tersebut dibuktikan dengan nilai signikansi sebesar 0,001 (Tabel 2)
yang lebih kecil daripada tingkat signifikansi α = 0,05. Sebaran pada jumlah telur
yang menetas tergantung dengan besar konsentrasi ekstrak yang dipaparkan.
Hubungan antara beberapa konsentrasi perlakuan terhadap daya tetas telur
mempunyai derajat bebas = 4 dengan nilai X2 sebesar 19.812. Nilai X2 tersebut
berada pada daerah penolakan hipotesis nol, yaitu lebih besar dari nilai X2 tabel =
19.154. Maka perbedaan konsentrasi perlakuan untuk masing-masing
kelompokan telur bisa digunakan untuk menentukan jumlah telur yang menetas.
Keterkaitan antara variasi konsentrasi dengan keberhasilan penetasan
dari data penetasan kelima kelompokan telur tersebut, terlihat dengan efek
tertinggi pada konsentrasi 136 mg/L. Konsentrasi ekstrak sebesar 136 mg/L
mampu menurunkan keberhasilan penetasan sebesar 79,7 %.
2. Efek embriotoksik
Kulit telur keong mas tersusun dari zat calcareous yang tidak mudah
ditembus oleh bahan perlakuan. Namun demikian, ketika lapisan kulit telur belum
memadat sempurna, dinding kulit telur bersifat permeabel untuk ion kalsium dan
18
beberapa ion lain. Ion-ion tersebut berpindah ke dalam ooplasma melalui
peristiwa osmosis (Maeda-Martinez, 2008). Uji perlakuan pada telur hanya
menggunakan ekstrak dengan kadar rendah. Jumlah ion-ion aktif pada ekstrak
perlakuan di duga kurang bisa memberikan pengaruh yang berarti pada embrio
dalam telur. Semakin banyaknya ion-ion zat aktif yang terserap melalui kulit telur
yang belum terkondensasi sempurna dimungkinkan mampu memberikan efek
toksik pada proses embriogenesis. Kelompokkan telur dengan jumlah telur yang
terlalu banyak, menjadikan kemungkinan efek paparan kurang tampak pada
prosentase daya tetas telur.
Mekanisme toksik terkait dengan ion-ion aktif dari suatu senyawa
bioaktif hingga berakibat pada ketidakseimbangan aktifitas fisiologi. Sebagian ion
aktif dimungkinkan bersifat toksik pada sel-sel embrio perkembangan yang cukup
sensitif. Pada penelitian perlakuan pada embrio keong air tawar, ion toksik pada
konsentrasi perlakuan semakin tinggi dapat menghentikan tingkat pembelahan
pertama. Ion-ion aktif yang masuk ke dalam embrio, mengganggu homeostasis
metabolisme sel hingga menghambat aktifitas pembelahan sel. Ion toksik tersebut
menimbulkan gangguan pada multiplikasi sel dan organogenesis dari embrio
(Yasuno and Whitton, 2002). Ion-ion aktif yang terdapat pada plasma embrio
dapat mengganggu diferensiasi sel menjadi lapisan germinal embrio.
Pembentukan lapisan germinal yang tidak sempurna akan menimbulkan gangguan
perkembangan embrio. Tahap organogenesis terhambat hingga tidak bisa
membentuk calon-calon organ tubuh. Gangguan pada tahap tersebut
mengakibatkan embrio berkembang dalam wujud abnormal. Pembentukan
individu dalam wujud abnormal bisa berakhir pada kematian, hingga
menggagalkan proses penetasan (hatching) (Yasuno and Whitton, 2002).
Efek ekstrak perlakuan akan semakin tampak ketika cardenolide
terkandung dalam ekstrak mengenai langsung pada oogenesis dalam organ
reproduksi. Calotropin yang termasuk golongan cardenolide terkandung dalam
tumbuhan biduri mampu memberikan efek abortif pada percobaan hewan uji.
Ekstrak etanol dari genus Calotropis tersebut juga telah terbukti menimbulkan
gangguan pada siklus pengeluaran oosit matang sebesar 60-80 % (Ahmed et al.,
19
2005). Sehingga ekstrak etanol daun biduri dapat dimanfaatkan sebagai agen
antifertilitas khususnya untuk menekan perkembangbiakan keong mas.
Berdasarkan besarnya konsentrasi ekstrak pada penelitian ini, maka perlakuan
ekstrak biduri pada indukan keong mas akan lebih berpengaruh efektif serta dapat
menurunkan daya perkembangbiakan dari hama keong mas.
KESIMPULAN
Pemaparan ekstrak daun biduri pada lingkungan perairan keong mas selama
72 jam menyebabkan beberapa kerusakan organ ovarium keong mas berupa
kerusakan struktur membran, inti piknotik, dan plasma oosit dengan kenampakan
warna heterogen. Perlakuan ekstrak berupa penyemprotan pada telur dengan lima
variasi konsentrasi dalam penelitian tidak memberikan efek yang berarti pada
penurunan prosentase daya tetas telur keong mas. Ekstrak daun biduri dapat
menghambat perkembangbiakan keong mas yaitu dengan cara menghambat
oogenesis ovarium keong mas hingga konsentrasi ekstrak sebesar 68 mg/L serta
menurunkan prosentase daya tetas telur tertinggi pada konsentrasi ekstrak 136 mg/L.
20
DAFTAR PUSTAKA
Adiyodi, K.G., Rita G.A. 1983. Reproduction Biology of Invertebrates: Oogenesis, Oviposition and Oosorption, Vol. 1. John Wiley & Sons, Toronto
Ahmed, M. K. K, A. C. Rana, V. K. Dixit. 2005. Calotropis Species (Asclepiadaceae) – A Comprehensif Review. Pharmacognosy Magazine Vol 1, Issue 2.
Albrecht, E.A., N.B. Carreno, and A. Castro-Vasquez. 1996. A Quantitative Study Of Copulation And Spawning In South American Apple-snail Pomacea Canaliculata (prosobranchia: Ampullariidae). The Veliger 39(2):142-147.
Anderson, B. 1993. The Philippines Snails Disaster. The Ecological 23: 70-72.
Andrews, E. A. (1964). The Functional Anatomy and Histology of Reproductive System of Some Other Pilids. Proccedings of the Zoological Society of London 36: 121-139.
Anisimov, M.M. Shentsova, Schelov, V. V. Storgina, L.I. Shwnilov yu N and Chetyrina N.S. Elyakov, G.B. 1978. Mechanism cytitoxic action of same triterpena glycosides. Toxin, 16: 207-218.
Arinefril. 2007. Ekstrak Tanaman Untuk Atasi Hama. Kompas, 26 September 2007,
[18: 14: 37].
Burlakova, L. E. et al. 2006. Applesnail (Pomacea canaliculata-complex): Distribution, Densitas, Populasi Dynamics in Southeastern Texas and Potential Threat to the Rice Industry and Coastal Ecosystems. 14th International Conference on Aquatic Invasive Spesies (ICAIS). United State Geological Survey, Florida.
Campbell, Neil A. Reece, Jane B. Mitchell, Lawrence G. 2004. Biologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Chang, W. C. 1985. The Ecological Studies on The Ampullaria Snails (Cyclophoracea: Ampullaridae [sic]). Bulletin of Ampullarium canaliculatus. South Asian Journal of Trophycal Medecine and Public Health 18: 248-252.
Chobchuenchum, W. Moungnoi, S. Inthorn, D. 2004a. Preliminary Screening of Some Thai Indigenous Plants For Molluscicidal Activity Against Pomacea canaliculata (Lamarck). Asian Journal of Microbial. Biotech & Envi. Sc. 2004; 6: 1-6.
21
Chobchuenchum, W. Moungnoi, S. Inthorn, D. 2004b. Molluscicidal Activity of Thai Indigenous Plants Extracts Against Pomacea canaliculata. Asian Journal of Microbial. Biotech & Envi. Sc. 6: 143-149.
Cowie, R. H. 2006. Apples Snail as Agricultural Pests, their Biology, Impact, and Management. Project Summary. Bishop Museum, USA.
Darwis, D. 2000. Teknik Dasar Laboratorium Dalam Penelitian Senyawa Bahan Alam Hayati. Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Bidang Kimia Organik Bahan Alam Hayati. FMIPA Universitas Andalas Padang, Padang.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2006. Daftar Komoditi Binaan. Dinas Pertanian, Jakarta.
Estoy et al, 2002. Effect of Food Availability and Age on Reproductive Effort of the Apple Snail, Pomacea canaliculata (Lamarck) (Gastropoda: Ampullariidae). Applied Entomology and Zoology 37: 543-550.
Fox. 1994. Invertebrata Anatomy. Dept. of Biology. Lander University, Greenwood.
Fujio, Y., E. Von Brand, and M. Kobayashi. 1991. Apparent Differential Hatchabilities Associated With Degrees Of Heterozygosity At Leucine Aminopeptidase Isozyme Loci In The Applesnail Pomacea Canaliculata. Nippon Suisan Gakkaishi 57: 459-461.
Ghesquire. 1998. Pomacea (Pomacea) canaliculata (Lamarck, 1819). http://www.applesnail.net/content/species/pomacea_canaliculata.htm. [27 Agutus 2007].
Ghesquire. 1998a. Anatomy. http://www.applesnail.net/content/species/pomacea_canaliculata.htm. [27 Agutus 2007].
Ghesquire. 1998b. Species. http://www.applesnail.net/content/species/pomacea_canaliculata.htm. [27 Agutus 2007].
Gill, S.M.K., N. Balasioner, and P. Parte. 2001. Intermitent Treatment With Taxmoxiven on Reproduction in Male Rat. Asian. J. Andri 3(2): 155-158.
Gunawan, S. 2000. “Kebutuhan Teknologi untuk Program Intensifikasi Tanaman Pangan”. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV, Bogor 22-24 November 1999: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Pangan, Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan: 24-27.
22
Halwart, M. 1994. The Golden Apple Snail Pomacea canaliculata in Asian Rice Farming System: Present Impact and Future Threat. International Journal of Pest Management 40: 199-206.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. IPB, Bandung.
Harlita dan Muzayyinah. 2003. Serbuk Kulit Biji Jambu Mete (Anacardium occidentale Linn) Sebagai Moluskisida Untuk Menghambat Perkembangbiakan Keong Mas (Pomacea sp). BioSMART Vol. 6, No. 1: 29-32.
Heidenreich, A., H. J. Poethke, M. Halwart, and A. Seitz. 1997. Simulation der Populationsdynamik von Pomacea canaliculata (Phosobranchia) zur Bewertung von Managementmaßnahmen. Verhandlungen der Gesellscaft fur Okologie 27: 441-446.
Hodgson, Alan N., F. Ben Ami, J. Heller. 2001. Oogenesis in a viviparus and oviparus freshwater snail (Caenogastropoda) from Israel. Abstract, World Conggress of Malacology.
Hodgson, Alan N. and P. Pal. 2001. A comparative Ultrastruktural Study on Oogenesis and Vitelogenesis in Two Sympatric Species of Siphonariid Limpets (Gastropoda: Mollusca). Abstract, World Conggress of Malacology.
IPTEK net. 2005. Teknologi Budidaya Tanaman. BPPT, Jakarta.
Integrated Taxonomic Information System (IT IS). 2007. Plants Profile of Calotropis gigantea (L.) Ait.f (giant milkweed). http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=CAGI11.htm. [29Agustus2007].
International Cyber Business Service Inc. 2000. Arka. http://www.icbs.com/. [4
Desember 2007]. ITIS Report. 2007. Integrated Taxonomic Information System (ITIS) No. 568121.
http://nis.gsmfc.org./nis_factsheet.php?toc_id=154. [22 Desember 2007].
Jayashankar, M., S. Arumugasami, H. Saraswathy, K. Vijayalakshmi. 2002. Plant In Pest Control. Centre for Indian Knowledge System. Chennai.
Jujena, P., S. M.K.Gill., S. Dsolisa., V. Padwai., N. Balasimor., M. Aleem, and Zool. 2001. Anti Fertility Effect Estradiol in Adult Female Rat. J. Endokrinol. Invest 249(8): 598-607.
Katzung, B. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik (diterjemahkan bagian Farmakologi F K Universitas Airlangga). Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
23
Keawjam, R.S. 1987. The Apple Snails of Thailand: Aspect of Comparative Anatomy. Malacological Review 20: 69-89.
Keawjam, R.S and E.S. Upatham. 1990. Shell Morphology, Reproductive Anatomy and Genetic Patterns of Three Species of Apple Snails of Genus Pomacea in Thailand. Jurnal of Medical and Applied Malacology 2: 49-62.
Kongkow. 2007. Daftar Tanaman Obat. http://kongkow.info/index.php.htm [29 November 2007].
Kushlan, J. A. 1978. Predation on Apple Snail Eggs (Pomacea). The Nautilus 89: 21-23.
Lenny, Sofia. 2006. Isolasi dan Uji Bioaktifitas Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan Metode Uji Brine Shrimp. USU Repository, Sumatera Utara.
Lhinhatrakool, T and S. Sutthivaiyakit. 2006. 19-Nor- and 18,20-Epoxy-cardenolides from the Leaves of Calotropis gigantean. J. Natural Product, 69 (8): 1249 -1251.
Litsinger, J.A. and D. B. Estano. 1993. Management of The Golden Apple Snail Pomacea canaliculata (Lamarck) in Rice. Crop Protection 12: 363-370.
Loomis, T. A. 1978. Toksiologi Dasar. Edisi ketiga (diterjemahkan oleh Imono, A. D). IKIP Semarang Press, Semarang.
Mann, J., Davidson R. S., Hobbs J. B., D. V. Banthorpe, and J. B. Harbone. 1998. Natural Products: Their Chemistry and Biological Significance. Longman Grup UK Limited, England.
Maeda-Martinez, Alonso N. 2008. Calcium Permeability of Egg Capsules and Variations in Ionic and Osmotic Concentration in The Egg Capsule Fluid of Crepidula fornicata During Embriyonic development. CIBNOR, Mexico.
Matienzo, L. H. 1984. Wilson Ang’s Big Foot Snails. Greenfields 14: 24-19.
Mochida, O. 1991. Spread of Freshwater Pomacea snails (Pilidae, Mollusca) from Argentina to Asia. Micronescia, Supplement 3: 51-62.
24
Mitchell, R. N., V. Kumar, A. K. Abbas, and N. Fausto. 2006. Pocket Companion to Robbins And Cotran Pathologic Basis of Disease, 7/E. Saunders Elsevier, Philadelphia.
Mutscher, Ernst. 1991. Dinamika Obat: Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi, Edisi kelima (diterjemahkan Mathilda B. U. dan Anna S. R). Penerbit ITB, Bandung..
Najmudeen, T. M. 2008. Ultrastruktural Studies of Oogenesis in the Variabel abalone Haliotis varia (Vestrigastropoda: Haliotidae). Aquatic Biology Vol. 2: 143-151.
Naylor, R. 1996. Invasion in Agriculture: Assesing the Cost of Golden Apple Snail in Asia. Ambio 25: 443-448.
Okuma, M., K. Tanaka, and S. Sudo. 1994. Weed Control Methode Using Apple Snail (Pomacea Canaliculata) in paddy fields. Weed Research, Japan 39: 114-119.
Patent Storm LLC. 2004. Description. Phytochemistry Vol 62. Issue 7
Riani, E. 1992. Aspek Biologi Keong Murbei (Pomacea sp.). Tesis. Fakultas Paskasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rice, E. L. 1984.Allelopaty. 2nd Edition. Academic Press, New York. Roychoudhury R., C. Saha. 1995. Contraception. In: Principles of Phramacologi.
Munson PL, editor. Chapman-Hall, New York. Schnorbach, H. J. 1995. The Golden Apple Snail (Pomacea canaliculata Lamarck),
an increasingly important pest in rice, and methods of control with Bayluscid. Pflanzenschutz-Nachrichten Bayer 48: 313-346.
Sebastian, L.S. 2003. Management Options For The Golden Apple Snail.
http://www.applesnail.net/content/species/pomacea_canaliculata.htm. [27 Agustus 2007].
Sehgal, R., S. Roy., V.L. Kumar. 2005. Evaluation of Cytotoxic Potential of Latex Of
Calotropis procera and Podophyllotoxin in Allium cepa Root Model. Departement of Pharmacology, New Delhi
Setyadarma, H. 2000. Buku Pegangan Kuliah Pengajaran Pendahuluan Patologi Kemunduran dan Kematian Sel. Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta.
25
Snyder, N. F.R. and H. A. Snyder. 1971. Defenses of The Florida Apple Snail Pomacea paludosa. Behavior 40: 175-215.
Singh H.P., C.K. Singh, R.R. Singh. 1998. Effect of Potash Alum (Alumunium Potassium Sulphate) on Human Semen and Sperm. Indian J Physiol Pharmacol, 42: 311-14.
Sugiyono. 1990. Stastistik Nonparametris untuk Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.
Sulaiman, Wahid. 2005. Statistik Non Parametrik: Contoh Kasus dan Pemecahannya Dengan SPSS. Penerbit Andi Yogyakarta, Yogyakarta.
Teo, Su Sin. 2004. Biology of the Golden Apple Snail, Pomacea canaliculata (Lamarck, 1822), With Emphasis on Responses to Certain Enviromental Condition in Sabah, Malaysia. Molluscan Research, 24: 139-148.
Tompa, A. S. 1980. Studies on the Reproductive Biology of Gastropods: Part III. Calcium Provision and Evolution of Terrestrial Eggs Among Gastropods. Journal of Conchology 30: 145-154.
Turner, R. L. and C. M. McCabe. 1990. Calcium Source For Protoconch Formation in The Florida Apples Snail, Pomacea paludosa (Posobranchia: Pilidae): More Evidence for Physiology Plasticity in The Evolution of Terretrial Eggs. The Veliger 33, 185-189.
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V (diterjemahkan oleh
Soendani dan Soewardji). Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Wahyu, A. 1996. Several methods to control siput murbai. Plant Protection Center
for Food Crops IV. Mimeograph 5pp (In Indonesian), West Java.
Yasuno, M and B. A. Whitton. 1998. Toxic Effect of Cadmium on Reproduction, Development, and Hatching in the Freshwater Snail Lymnaea stagnalis for Water Quality Monitoring. Ecotoxicology and Environmental Safety Vol. 41. Issue 3: 288-297