Download - Caring Bagi Orang Menjelang Mati
CARING BAGI ORANG MENJELANG-MATI:
Signifikansi Pelayanan Palliative Care dan Hospis di tengah
Masyarakat Sibuk
Oleh: Hendri M. Sendjaja
“There is a sadness growing within me I do not want it so, but I know I cry with bitterness filling me
It does not hurt the way It did Yesterday
There is only room for just so much sorrow. What will I put in its place tomorrow?”1
I. Pengantar
Kematian merupakan realitas yang pasti dijalani semua orang. Beberapa
orang siap menerima kenyataannya ini. Namun, beberapa lainnya tidak siap
menerima kematian. Mereka memandang kematian sebagai peristiwa gelap dan
menakutkan. Selain itu mereka pun menganggap kematian sebagai “peristiwa
kehilangan”, kehilangan orang-orang yang dicintai dan mencintai mereka,
kehilangan hal-hal eksistensial dalam hidup di dunia ini. Mereka ingin menolak
kematian, tapi tidak berdaya.
Orang yang tidak siap menerima kematian dan berada dalam proses
menjelang-mati (dying), misalnya karena mengidap penyakit yang tak dapat
1 Puisi ini ditulis oleh Beth menjelang kematiannya. Dikutip dari: Elizabeth Kübler-Ross, To
Live Until We Say Good-Bye, Prentice-Hall, Inc., New York 1978, 40.
2
disembuhkan (uncurable illness) yang berangsur-angsur menggerogoti fisiknya, akan
menjalani hari-hari dalam (sisa) hidupnya dengan penuh derita. Ia bergulat bukan
saja dengan rasa sakit karena penyakitnya, melainkan juga dengan rasa sedih dan
pahit atas kematian yang mendekat. Itulah sebabnya ia mungkin akan berkata,
seperti diungkapkan Beth, seorang pasien yang didampingi Elizabeth Kübler-Ross,
dalam puisinya di atas, “There is a sadness growing within me … I cry with bitterness
filling me”.
Leuenberger pernah menuliskan, “Tidak layaklah bagi manusia untuk
meninggal tanpa pendamping.”2 Pernyataan ini tentu berkaitan dengan kenyataan
bahwa setiap pribadi manusia pada dasarnya memerlukan bantuan holistik tatkala
ia harus menghadapi kematian. Bantuan holistik ini jelas melibatkan orang lain.
Pada titik inilah caring bagi orang menjelang-mati (caring for the dying) menjadi
relevan dan signifikan untuk dilakukan.
Apakah itu caring bagi orang menjelang-mati dan bagaimana itu dapat
dilakukan? Itulah tema yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pemaparan tulisan
dilakukan sebagai berikut: pada bagian awal dijelaskan beberapa pengertian yang
digunakan dalam tulisan ini, yakni: caring, orang menjelang-mati, palliative care,
dan hospis. Bagian berikutnya beberapa aspek, seperti: fisik, psikosial, dan spiritual,
berkaitan dengan kondisi menjelang-mati dikemukakan. Lalu, hal-hal lebih lanjut
mengenai palliative care dan hospis dipaparkan. Akhirnya pandangan Alkitab
mengenai kematian dan caring, serta pelayanan pastoral bagi orang menjelang-mati
dan keluarganya, disampaikan agar tema ini dapat dipahami secara lebih utuh.
2 R. Leuenberger, “Menghibur: Suatu Pokok Iman Kristiani”, dalam B. Kieser (ed.), Ikut
Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit, Kanisius-Nusa Indah, Yogyakarta-Ende 1984, 26.
3
II. Beberapa Pengertian
2.1. Caring
Dalam pengantar buku terjemahan On Caring, karya Milton Mayeroff, Agus
Cremers dan Frans Ceunfin mengemukakan bahwa kata Inggris ‘caring’ (dari kata
‘care’) memiliki liputan makna yang jauh lebih kaya dibandingkan dengan kata
terjemahannya dalam bahasa Indonesia: ‘memperhatikan’.3 Merriam-Webster’s
Collegiate Dictionary, 11th ed., misalnya, mengartikan kata ‘care’ sebagai berikut:
“n. 1: suffering of mind; 2 a: a disquited state of mixed uncertainty, apprehension, and responsibility; b: a cause for such anxiety; 3 a: painstaking or wathcful attention; b: maintenance; 4: regard coming from desire or esteem; 5: charge, supervision; 6: a person or thing that is an object of attention, anxiety, or solicitude. ... vb. 1 a: to feel trouble or anxiety; b: to feel interest or concern; 2: to give care; 3 a: to have a liking, fondness, or taste; b: to have an inclination.”4
Karena pertimbangan kekayaan makna yang tercakup dalam kata ‘care’,
maka kami memutuskan untuk tidak menerjemahkan ‘care’ atau ‘caring’ ke dalam
bahasa Indonesia. Di sini kami sepakat dengan pendapat Mayeroff bahwa ‘caring’
atau ‘to care’ pada hakikatnya berarti: “menolong orang lain berkembang dan
mewujudkan dirinya sendiri”.5
3 Agus Cremers – Frans Ceunfin, “Seni Memperhatikan: Sebuah Pengantar”, dalam Milton
Mayeroff, Seni Memperhatikan, diterjemahkan dari On Caring, oleh Agus Cremers – Frans Ceunfin, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991, 8.
4 Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, 11th ed., Merriam-Webster, Inc., Massachussetts
2007, 187. 5 Milton Mayeroff, Seni Memperhatikan, diterjemahkan dari On Caring, oleh Agus Cremers –
Frans Ceunfin, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991, 27.
4
2.2. Orang Menjelang-Mati
Secara sederhana, yang dimaksud dengan ‘orang menjelang-mati’ (the dying
person) ialah orang yang berada dalam proses menuju kematian. Seseorang dapat
mengalami kondisi ini lantaran beberapa hal, antara lain:
• Orang itu berusia sangat tua, sehingga organ biologisnya yang vital bagi
kelangsungan hidupnya menurun atau rusak;
• Orang itu berada dalam “keadaan sakit ambang-batas-hidup” (life-limiting
illness), misalnya karena penyakit tak dapat disembuhkan (incurable illness),
yang secara berangsur-angsur, cepat atau lambat, merusak organ biologis vital
bagi kelangsungan hidupnya. Perlu dikemukakan di sini, Lampiran I, Keputusan
Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/ VII/2007 tentang Kebijakan
Perawatan Paliatif, menuliskan beberapa penyakit yang tak dapat disembuhkan,
baik pada orang dewasa maupun anak, ialah: penyakit kanker (stadium lanjut),
penyakit degenaratif, penyakit paru obststruktif kronis, cystic fibrosis, stroke,
Parkinson, gagal jantung (heart failure), penyakit genetika dan penyakit infeksi
seperti HIV/AIDS.
• Orang itu mengalami kecelakaan atau musibah yang secara fatal merusak organ
biologisnya yang vital bagi kelangsungan hidupnya.
Kata ‘menjelang’ pada ‘orang menjelang-mati’ sebenarnya menegaskan
adanya suatu proses yang dijalani orang bersangkutan. Itu berarti, orang itu masih
memiliki rentang waktu sebelum ia benar-benar dinyatakan mati otak (brain death).
Rentang waktu itu bersifat relatif: bisa panjang, tapi juga bisa singkat. Di samping itu,
dengan adanya suatu proses, maka orang itu pada gilirannya menjalani tahap-tahap
(sikap) menjelang kematiannya. Di sinilah tulisan Elisabeth Kübler-Ross, On Death
5
and Dying,6 sungguh menjadi relevan dan signifikan untuk memahami tahap-tahap
menjelang-mati secara psikososial (lihat bagian 3.2. tulisan ini).
2.3. Palliative Care
Kata ‘palliative’ atau ‘paliatif’ berasal dari kata Latin ‘palliare’ atau ‘pallio’
yang berarti ‘mengenakan mantel pada’ atau ‘menutupi’. Dalam kaitan dengan
caring bagi orang menjelang-mati, secara harfiah kata ‘paliatif’ berarti: “menutupi”
penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan upaya mengurangi rasa sakit dan rasa
nyeri yang ditimbulkan penyakit itu tanpa tindakan penyembuhan.7 Dalam tulisan
ini, kami memakai pengertian ‘palliative care’ seperti dikemukakan oleh World
Health Organization (WHO) berikut ini:
Palliative care is an approach that improves the quality of life of patients and their families facing the problem associated with life-threatening illness, through the prevention and relief of suffering by means of early identification and impeccable assessment and treatment of pain and other problems, physical, psychosocial and spiritual.8
6 Elisabeth Kübler-Ross, On Death and Dying: Kematian sebagai Bagian Kehidupan, diterjemahkan dari On Death and Dying, oleh Wanti Anugrahani, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1998.
7 Bandingkan: Michael Joseph McCabe, The Hospice Movement: An Alternative to Euthanasia,
Pontificia Universitas Lateranensis, Roma 1994, 76. McCabe menuliskan: “The term comes from Latin word ‘palliare’ meaning ‘cloak’, ‘cloaked’ or ‘protect’, and involves care which seeks the terminally ill through the alleviation of their pain or disease without curing.”
8 World Health Organization, “WHO Definition of Palliative Care”, dalam
http://www.who.int/cancer/ palliative/definition/en, diakses pada 26 Maret 2009. Pada gilirannya pengertian WHO ini diacu juga dalam “Lampiran I”, Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif: “Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psiko-sosial dan spiritual.
6
2.4. Hospis
Menurut Nataša Milićević, kata ‘hospis’ (‘hospice’) dan kata ‘hospital’
memiliki akar kata yang sama, berasal dari abad ke-4 (lihat bagian 4.2.1. tulisan ini),
yakni dari kata Latin kuno: ‘hospes’, yang berarti: ‘sahabat’, ‘tamu’. Kata Latin ini
merupakan terjemahan dari kata Yunani ‘xenodochium’, yang menunjuk pada
suatu tindakan menerima dengan suka dan ramah seseorang atau tamu.9 Kata
‘hospes’ kemudian berkembang menjadi ‘hospitium’. Dalam Kamus Latin-Indonesia,
kata ‘hospitium’ berarti:
“n. 1. Persahabatan-tetamu (ikatan persahabatan antara dua orang/ dua negara, yang menjaminkan sambutan yang hormat dan ramah); 2. Kesukaan menerima tamu; sambutan yang mesra; keramahan; 3 a) Rumah (yang ditinggali tamu); rumah pondokan; rumah penginapan; rumah-rumah dimana tentara-tentara dititipkan untuk menumpang sementara waktu (pondokan tentara); b) Hotel; tempat.”10
Dalam literatur modern, istilah ‘hospis’ sering digunakan sekurang-
kurangnya untuk menunjukkan tiga hal.11 Pertama, istilah ‘hospis’ dipakai untuk
menunjukkan “suatu tempat perawatan khusus dalam bentuk inpatient hospital atau
nursing home unit atau freestanding facility”.12 Kedua, istilah ini juga dipakai untuk
9 Nataša Milićević, 2002. “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”,
Archive of Oncology, 10, 1, 2002, diakses dari http://www.onk.ns.ac.yu/archieve/vol10/ PDFVol10/v10n1p29.pdf, pada 26 Februari 2009, 29.
10 K. Prent, et.al., Kamus Latin-Indonesia, Kanisius, Yogyakarta 1969, 390. 11 Committee on Care at the End of Life, Appraching Death: Improving Care at the End of Life,
National Academy Press, Washington D.C. 1997, 52-53. 12 Sebagai contoh, pengertian ini dapat ditemukan dalam “Lampiran I”, Keputusan Menteri
Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif: “Hospis adalah tempat dimana pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak dapat dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat memberikan pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri.”
7
menunjukkan “suatu organisasi atau program yang menyediakan, mengelola, dan
menganjurkan pelayanan medis lebih luas demi menolong orang-orang yang
menjelang-mati, dan sanak keluarga serta teman-teman dari orang-orang yang
menjelang-mati tersebut”.13 Ketiga, istilah ‘hospis’ dipakai untuk menunjukkan
“suatu pendekatan caring bagi orang-orang yang menjelang-mati berdasarkan
prinsip-prinsip klinis, sosial dan spiritual”.14 Dalam tulisan ini istilah ‘hospis’ lebih
sering digunakan sebagaimana pengertian yang ketiga. Untuk menegaskan
pengertian yang lain dari itu, kami menyebutkan istilah ini secara lebih rinci,
misalnya: ‘hospis sebagai tempat’, atau ‘hospis sebagai program’.
III. Menjelang-Mati: Beberapa Aspek
3.1. Aspek Fisik
Sebelum melihat kondisi fisik orang menjelang-mati, kita perlu mengingat
kembali bahwa dalam dunia medis masa kini, mati otak (brain death) menjadi
kriteria berakhirnya hidup manusia di dunia ini. Di sini kita perlu membedakan
antara mati otak dan persistent vegetatif state (PVS). Seseorang yang dinyatakan PVS
pada kenyataannya masih mampu hidup terus. Hal itu terjadi karena fungsi batang
13 The United States House of Representatives memakai pengertian semacam ini dalam
literaturnya: “Hospice: A program which provides palliative care for terminally ill patients and their families, either directly or on a conculting basis with the patient’s physician or another community agency …”. Lihat: McCabe, The Hospice Movement, 4.
14 Bandingkan juga definisi ‘hospice’ yang dipaparkan Hospice Home Care (HHC) – Yayasan
Kanker Indonesia: “Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual.” Lihat: Sekretariat Hospice Home Care (HHC) Yayasan Kanker Indonesia, “Hospice Home Care (HHC)”, dalam http://www.kankerindo.org/hospice.htm, diakses pada 23 Maret 2009.
8
otak (brain stem) masih bekerja, sementara fungsi bagian otak lainnya tidak. Ini
berbeda dengan seseorang yang dinyatakan mati otak. Orang yang dinyatakan mati
otak ialah orang yang benar-benar tidak hidup lagi, alias mati.15
Sebelum dinyatakan mati otak, seseorang yang menjelang-mati pada
kenyataannya mengalami penurunan fungsi organ-organ biologis, entah secara
cepat atau lambat. Dalam keadaan sakit ambang-batas-hidup, ia mengalami
gangguan keseimbangan, dan mengalami ketidakmampuan memenuhi banyak
kebutuhan (fisik, emosional, sosial, ekonomis, dan spiritual). Jika mengidap penyakit
parah, maka ia mungkin sering mendapatkan rasa sakit dan rasa nyeri yang kuat
dan tak tertahankan.16
Caroline Young dan Cyndie Koopsen menuliskan, fungsi indera orang
menjelang-mati patut diperhatikan oleh para pendamping dan orang-orang yang
ikut care terhadap orang menjelang-mati. Lebih lanjut Young dan Koopsen
memaparkan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan fungsi indera orang
menjelang-mati:17
• Indera perasa. Pada umumnya orang yang menjelang-mati membutuhkan
sentuhan yang lebih dari biasanya. Sentuhan ternyata dapat mengurangi rasa
keterasingan, rasa sakit dan rasa tidak nyaman. Sentuhan dapat “menyegarkan”
orang menjelang-mati, meski penyakitnya tidak sembuh. Ketika seseorang hanya
15 Adapun tanda-tanda seseorang telah mati otak ialah sebagai berikut: (1) tak sadar, dengan
reaksi negatif terhadap segala jenis rangsangan; (2) semua refleks yang berpusat di kepada (cranial reflex) adalah negatif: yaitu refleks pupil, refleks kornea, refleks muntah dsb.; (3) tidak ada pernafasan spontan, walaupun dengan rangsangan maksimal dengan CO2; (4) EEG (electroencephalograph) menunjukkan gambaran isoelektris selama 12-24 jam; (5) peredaran darah otak telah berhenti (terbukti dengan pemeriksaan angiografi otak). L. Laksmiasanti, “Kematian: Suatu Pandangan Medis”, dalam B. Kieser, Ikut Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit, Kanisius-Nusa Indah, Yogyakarta-Ende 1984, 52.
16 Laksmiasanti, “Kematian: Suatu Pandangan Medis”, 53. 17 Caroline Young – Cyndie Koopsen, Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan,
diterjemahkan dari Spirituality, Health, and Healing, Bina Media Perintis, Medan 2007, 232-233.
9
duduk dan memegang tangan orang yang sedang menuju kematian (tentunya
jika diizinkan secara medis), maka ia akan memberikan rasa nyaman pada orang
tersebut.
• Indera pembau. Indera pembau mampu mengangkat emosi hebat dan
mengingatkan kenangan. Penyakit orang menjelang-mati mungkin saja
mengubah aneka bau yang bisa dimaklumi, sehingga beberapa aroma dapat
membuat dia muak dan tidak senang. Namun, orang menjelang-mati pada
umumnya suka dengan aroma yang harum, seperti cologne. Kekuatan bebauan
itu tampaknya dapat membantu mengurangi rasa sakit dan derita orang
menjelang-mati.
• Indera pencecap. Fungsi indera pencecap orang menjelang-mati pada umumnya
telah berkurang. Itulah sebabnya orang menjelang-mati sering tidak ingin
makan. Kadang-kadang dapat terjadi, orang menjelang-mati menginginkan
makanan/ minuman tertentu. Hal ini mesti disadari dan diantisipasi oleh setiap
pendamping dan orang yang ikut care terhadap orang menjelang-mati.
• Indera penglihatan. Orang menjelang-mati, secara khusus yang masih mampu
melihat, pada umumnya mengharapkan benda-benda yang bermakna dalam
hidupnya berada di sekitarnya. Benda-benda itu bisa saja berupa kartu ucapan,
benda seni, foto keluarga, atau benda-benda lainnya yang memiliki makna
personal dalam hidupnya. Maka, para pendamping dan orang-orang yang ikut
care terhadap orang menjelang-mati dapat menyediakan dan mengatur benda-
benda itu sedemikian rupa sehingga mudah dilihat orang menjelang-mati itu.
Selain benda-benda yang bermakna bagi orang menjelang-mati, hal lainnya yang
mungkin dapat diatur ialah pencahayaan ruangan di mana orang menjelang-
mati itu berbaring. Ruangan yang agak redup pada gilirannya memberikan rasa
suasana tenang.
10
• Indera pendengaran. Fungsi indera pendengaran orang menjelang-mati
(tentunya yang tidak rusak) biasanya tajam. Itulah sebabnya pendamping orang
menjelang-mati tidak boleh berkata-kata secara sembarangan, misalnya
mengatakan bahwa kondisi orang menjelang-mati itu menjadi beban bagi
dirinya atau keluarganya. Ketika mendengar perkataan seperti itu, orang yang
sedang menuju kematian itu bisa menjadi sedih dan makin menderita.
3.2. Aspek Psikososial
Dalam penelitiannya, Elisabeth Kübler-Ross, seorang pakar thanatologi (studi
tentang kematian, terutama aspek psikosialnya) menemukan beberapa tahap yang
dialami oleh orang menjelang-mati ketika menghadapi penyakit mematikan. Tahap-
tahap itu ialah:
• Penyangkalan dan pengasingan diri. Ketika seseorang mengetahui, entah sejak
awal atau beberapa waktu kemudian setelah diagnosis, bahwa ia telah mengidap
penyakit ambang-batas-hidup, ia akan menyangkal atau menolak hasil diagnosis
dan semua kenyataan itu. Ia mungkin akan mencari dokter lain dengan harapan
“memperoleh penjelasan yang lebih baik tentang masalahku”. Biasanya
pengasingan diri menyertai penyangkalan.18
• Marah. Ketika penyangkalan pada tahap pertama tidak tertahankan lagi, maka
kemarahan, kegusaran, keirian dan kebencian akan terjadi. Pertanyaan yang
mungkin akan terlontar ialah: “Mengapa aku?”, “Mengapa bukan orang itu
saja?”. Menurut Kübler-Ross, berbeda dengan tahap penyangkalan, tahap marah
ini sangat sulit diatasi oleh para pendamping (keluarga atau perawat dan petugas
rumah sakit). Alasannya kemarahan ini terjadi di segala penjuru dan
18 Kübler-Ross, On Death and Dying: Kematian sebagai Bagian Kehidupan, 48-62.
11
diproyeksikan kepada lingkungan pada saat-saat yang tidak terduga. Kemarahan
bisa terlontar kepada entah orang-orang dekat (keluarga dan teman), orang-
orang yang berada di sekitarnya (misalnya perawat dan petugas rumah sakit),
atau Tuhan.19
• Menawar. Kübler-Ross menuliskan, tahap menawar ini tidak terlalu dikenal,
namun sebenarnya sangat menolong orang menjelang-mati, meskipun terjadi
hanya beberapa saat. Setelah masuk ke tahap marah, orang menjelang-mati
akan segera melakukan manuver menawar kepada dokter, keluarga, atau
Tuhan. Dalam manuver itu, orang menjelang-mati mungkin akan mengumbar
banyak janji. Contoh janji: “Ya, Tuhan, kalau aku sembuh, aku akan hidup bagi
pelayanan gereja.”20
• Depresi. Ketika orang menjelang-mati tidak mampu lagi menghindari
penyakitnya, ketika ia harus menjalani berbagai pembedahan atau perawatan
intensif, ia semakin lemah dan kurus, dan barangkali tidak dapat tersenyum lagi.
Sikap mati rasa serta kemarahan segera akan berganti dengan rasa kehilangan.
Ia mulai merasa kehilangan orang-orang yang berada di dekatnya. “Aku tidak
akan pernah bisa melupakanmu sepanjang hidupku,” demikian kata Tn. H,
seorang yang menjelang-kematian kepada Kübler-Ross. Pada saat-saat inilah ia
sebenarnya masuk ke dalam tahap depresi.21
• Menerima. Menurut Kübler-Ross, jika orang menjelang-mati mempunyai cukup
waktu (misalnya tidak menghadapi kematian mendadak) dan dibantu untuk
melewati tahap-tahap pertama hingga keempat, ia akan mencapai tahap tidak
merasa depresi atau marah terhadap apa yang sedang dialaminya. Kini ia
19 Ibid., 63-100. 20 Ibid., 101-104. 21 Ibid., 105-133.
12
menerima semua kenyataannya. Menurut Kübler-Ross, penerimaan ini harus
dibedakan dari situasi bahagia, karena pada dasarnya ini lebih merupakan
kehampaan perasaan.22
• Harapan. Kübler-Ross memang tidak menuliskan secara eksplisit harapan sebagai
tahap keenam. Namun, ketika ia menyatakan bahwa berbagai tahap (tahap
pertama hingga kelima) itu merupakan mekanisme pertahanan dalam
pengertian psikologis dan mekanisme perlawanan atas situasi yang sangat sulit,
dan selanjutnya ia menunjukkan sebuah kondisi positif yang ternyata dialami
oleh orang-orang menjelang-mati, maka ketika itu Kübler-Ross sebenarnya
sedang menunjukkan suatu tahap yang lain dari tahap pertama hingga kelima.
Tahap yang lain itu ialah harapan. Dalam tahap ini, orang menjelang-mati
sungguh menunjukkan perjuangan hidup, meski ia akan mati tidak lama lagi.
Harapan menandakan suatu penerimaan kenyataan secara lebih positif, bukan
sebagai kehampaan perasaan, melainkan sebagai gerak menuju masa depan.23
3.3. Aspek Spiritual
Dalam menjalani proses menuju kematian, keyakinan yang tertanam kuat
pada diri seseorang akan diuji dan kesempatan untuk berkembang, atau regresi dan
putus asa, muncul. Chandler menuliskan, “Mungkin melebihi pengalaman manusia
manapun bahwa pengharapan hidup setelah mati, atau bahkan ketakutan akan
tidak adanya hidup itu, memunculkan sebuah perjalanan spiritual”.24 Jadi, dalam
pertimbangan spiritual, menjelang-mati merupakan suatu proses transformasi
22 Kübler-Ross, On Death and Dying: Kematian sebagai Bagian Kehidupan, 134-163. 23 Ibid., 164-184. 24 E. Chandler, “Spirituality”, Hospice Journal, 14, 1999, 63; sebagaimana dikutip dari: Young –
Koopsen, Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, 221.
13
spiritual yang dalam. Inilah peristiwa spiritual yang sungguh penting. Di sinilah
perhatian seringkali akan berpaling dari rasa sakit dan derita yang dialami diri,
kepada kedamaian dan kenyamanan luar biasa dalam kepenuhan spiritual.25
Menurut Young dan Koopsen, semua orang adalah makhluk spiritual. Oleh
karena itu, para pendamping dan orang yang ikut care terhadap orang menjelang-
mati mesti menemukan spritualitas, pandangan hidup, dan sumber untuk
transendensi diri, yang dipahami oleh orang menjelang-mati yang mereka
dampingi. Selain itu, mereka juga mesti menemukan cara untuk menggunakan
pandangan-pandangan tersebut dengan kreatif dan sederhana untuk membawa
harapan kepada orang menjelang-mati tersebut.26
IV. Palliative Care dan Hospis
4.1. Palliative Care
Seperti telah dikemukakan di atas, WHO mengartikan palliative care sebagai
sebuah pendekatan guna memperbaiki kualitas hidup (the quality of life) pasien-
pasien dan keluarga mereka yang sedang menghadapi pergumulan berkaitan
dengan penyakit yang mengancam hidup (the life-threatening illness), melalui
tindakan mencegah dan meringankan penderitaan dengan cara mengidentifikasi
sedini mungkin dan meneliti seteliti mungkin, serta melakukan perawatan atas rasa
25 Young – Koopsen, Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, 221. 26 Ibid., 222.
14
sakit dan gangguan lainnya, pada fisik, psikososial dan spiritual. Lebih lanjut WHO
mengemukakan palliative care sebagai berikut:27
• Palliative care berusaha mengurangi rasa sakit dan gejala-gejala ketertekanan
lainnya;
• Palliative care memantapkan hidup dan menghargai proses menjelang-mati
(dying) sebagai proses yang normal;
• Palliative care bertujuan tidak untuk mempercepat atau menunda kematian;
• Palliative care memadukan aspek-aspek psikologis dan spiritual pada patient
care;
• Palliative care menawarkan suatu sistem dukungan untuk menolong pasien-
pasien agar hidup seaktif mungkin hingga kematian;
• Palliative care juga menawarkan suatu sistem dukungan untuk menolong
keluarga selama menghadapi penyakit pasien dan rasa kehilangan mereka;
• Palliative care menggunakan pendekatan tim untuk memikirkan kebutuhan
pasien-pasien dan keluarga mereka, termasuk konseling menghadapi rasa
kehilangan, jika memang diperlukan;
• Palliative care berusaha meningkatkan kualitas hidup dan barangkali dengan itu
akan berpengaruh positif terhadap perkembangan penyakit;
• Palliative care diterapkan sedini mungkin pada saat penyakit itu berjangkit,
seiring dengan terapi-terapi lainnya yang bertujuan memperpanjang hidup,
seperti kemoterapi atau terapi radiasi, termasuk penelitian-penelitian yang
diperlukan untuk memahami dan mengolah komplikasi-komplikasi klinis yang
menekan.
27 World Health Organization, “WHO Definition of Palliative Care”, dalam http://www.who.int/
cancer/palliative/definition/en, diakses pada 26 Maret 2009.
15
Dari pengertian yang dikemukakan oleh WHO di atas, kita dapat menarik
beberapa penegasan tentang palliative care. Pertama, palliative care tidaklah
dimaksudkan sebagai upaya menyembuhkan orang menjelang-mati dari penyakit
yang dideritanya, melainkan untuk memperbaiki kualitas hidup orang menjelang-
mati dan keluarganya. Di sini tindakan caring lebih ditekankan daripada curing. “It
is directed towards caring rather curing,” demikian tulis Milićević.28
Kedua, karena merupakan caring bagi orang menjelang-mati dan
keluarganya, maka palliative care dilakukan tidak hanya oleh tim medis (dokter,
perawat) tetapi juga melibatkan berbagai profesi, misalnya: rohaniwan dan psikolog.
Palliative care pada dasarnya merupakan “pelayanan kesehatan yang bersifat
holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah
bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir
hayatnya.”29
Ketiga, pengertian yang disampaikan WHO di atas menganjurkan suatu
konsep baru tentang palliative care. Masyarakat pada umumnya menganggap
palliative care itu diberikan kepada orang yang mengidap penyakit tak dapat
disembuhkan (incurable illness), misalnya kanker stadium lanjut, yang diperkirakan
akan segera meninggal dunia. Dengan perkataan lain, ketika orang sakit itu sudah
menjalani tindakan-tindakan medis sebagai upaya untuk menyembuhkan penyakit
itu, dan kemudian dokter menyatakan bahwa tindakan-tindakan itu tidak
bermanfaat lagi bagi kesembuhan, maka barulah palliative care dilakukan. Konsep
ini agaknya sudah usang, dan sekarang konsep baru menegaskan bahwa palliative
care diberikan sedini mungkin pada saat diagnosis menunjukkan bahwa seseorang
28 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 29. 29 Lihat: “Lampiran I”, Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007
tentang Kebijakan Perawatan Paliatif.
16
telah mengidap penyakit tak dapat disembuhkan. Gambar di bawah ini kiranya
dapat memperjelas konsep baru ini.30
(a) Konsep Lama (b) Konsep Baru
4.2. Hospis
4.2.1. Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Hospis
Nataša Milićević mengungkapkan, pada abad ke-4 Masehi seorang ibu (Ratu)
dari Roma, bernama Fabiola, membuka rumahnya bagi orang-orang miskin, dan
para peziarah yang lapar, haus dan sakit. Pada waktu itu kata ‘hospes’ menunjuk
pada pendatang atau tamu, dan kata ‘hospitium’ berarti tempat dimana perlakuan
yang ramah dan menyenangkan diberikan bagi tamu atau pendatang. Dalam
perkembangan kemudian tempat-tempat seperti itu bermunculan di sepanjang rute
para tentara Perang Salib (the Crusaders). Tempat-tempat itu pada gilirannya
menjadi persinggahan yang menyediakan makanan, minuman dan obat-obatan.
30 Berdasarkan: Martha L. Twaddle, “Hospice Care,” dalam John F. Kilner, et.al. (eds.), Dignity
and Dying: A Christian Appraisal, Paternoster-Wm. B. Eerdmans Publishing Co., Cumbria-Grand Rapids 1996, 188-189.
Composition of care
Composition of care
Time Time
Curative therapies
Curative therapies
Palliative care
Palliative care
Hospice care
Hospice care
17
Tempat-tempat itu tidak secara khusus melakukan caring bagi orang menjelang-
mati, namun selalu terbuka bagi siapapun selama orang itu memerlukan
pertolongan.31
Pada pertengahan abad ke-19 Jeanne Garnier, seorang Katolik Roma,
membangun semacam institusi pertama di Lion, Prancis, yang memakai kata
‘hospis’ untuk caring bagi orang menjelang-mati. Ia menamakan institusi itu
“Calvaires”. Pada 1879 Sisters of Charity mendirikan hospis sebagai tempat orang
menjelang-mati di Dublin, Irlandia. Selanjutnya pada 1905 mereka pun
memperkenalkan konsep hospis di Inggris dengan mendirikan St. Joseph’s di
Hackney, London. Menarik untuk disimak, hanya satu hospis, sebagai tempat orang-
orang menjelang-mati, yang didirikan oleh seorang dokter, yaitu Dr. Howard Barret.
Pada 1893, dengan bantuan dari Kalangan Methodis, dokter ini menjadikan seluruh
rumahnya sebagai St. Luke’s Home for the Dying Poor. Tempat inilah yang kelak
memberikan inspirasi bagi Dame Cicely Saunder, seorang perintis modern hospice
movement.32
Dame Cicely Saunders, lahir pada 1918, terlatih sebagai perawat dan pekerja
sosial. Selama berkarya di rumah sakit, ia menjadi sadar akan kebutuhan-kebutuhan
psikologis dan spiritual bagi orang-orang menjelang-mati. Ketika menjadi sebagai
pekerja sosial, ia bertemu dengan seorang pasien Yahudi Polandia, bernama David
Tasma yang mengidap penyakit kanker. Pertemuan ini tampaknya mendorong
Cicely Saunders untuk belajar ilmu kedokteran. Pada 1957 Cicely Saunders lulus
sebagai dokter. Dengan pengalamannya sebagai perawat, pekerja sosial, dan dokter,
ia akhirnya mendirikan St. Christopher’s Hospice di London pada 1967. Sebagai
tempat bagi orang menjelang-mati, hospis ini menggabungkan tradisi hospis-hospis
31 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 29-30. 32 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 30; Derek
Murray, Faith in Hospice: Spiritual Care and the End of Life, London 2002, 7.
18
yang dikenal pada Abad Pertengahan, dengan pendekatan-pendekatan medis
modern, untuk mengurangi penderitaan pasien-pasien yang mengidap penyakit
terminal dan juga keluarga mereka.33
Di negeri Kincir Angin, Belanda, pendirian hospis sebagai tempat orang
menjelang-mati berkaitan erat dengan permintaan banyak orang untuk melakukan
euthanasia. Janssens, et.al., mengungkapkan bahwa bagaimana pun modern hospice
movement yang bermula dari St. Christopher’s Hospice turut mempengaruhi
perkembangan konsep palliative care dan juga hospis di Belanda. Namun, tulis
mereka, “This development cannot be understood without taking the practice of
euthanasia into account.”34
Menurut data the Hospice Information Service di St. Christopher’s Hospice,35
hingga 2002, hospis sebagai tempat orang menjelang-mati dan pelayanan palliative
care berkembang secara luas di lebih dari 90 negara di dunia. Di Eropa, hospis dan
pelayanan palliative care berkembang antara lain di: Inggris, Prancis, Belanda,
Jerman, Polandia, Swedia, Hungaria, Rumania, Croatia, Bosnia dan Herzegovina,
Bulgaria, dan Albania. Di Amerika Serikat, ada sekitar 3.000 hospis. Hospis juga
berkembang di Canada, Amerika Latin, Australia, New Zealand, dan beberapa
negara di Asia dan Afrika. Di sini perlu dicatat, di negara-negara sedang berkembang
(developing countries), yang sebenarnya menghadapi banyak orang menjelang-
mati, pengadaan hospis (entah sebagai tempat atau program) dan palliative care
masih tergolong lambat. Selain karena faktor dana, faktor tenaga-tenaga profesional
33 Milićević, Ibid., 30; Derek Murray, Ibid., 7. 34 Rien J. P. A. Janssens, et.al., “Hospice and Euthanasia in the Netherlands: An Ethical Point of
View”, dalam Journal of Medical Ethics, 25, 1999, 408. 35 Sebagaimana dikutip: Milićević, Op.Cit., 30.
19
juga turut menentukan perkembangan hospis dan palliative care di negara-negara
ini.36
Pemerintah RI, melalui Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, pada 19 Juli
2007, mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/ Menkes/ SK/ VII/
2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif. Pemerintah RI merasa perlu untuk
mengeluarkan Keputusan ini lantaran rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan palliative care di Indonesia masih terbatas di lima ibukota propinsi, yaitu
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar. Padahal ditinjau dari
besarnya kebutuhan pasien, jumlah dokter yang mampu memberikan pelayanan
palliative care masih terbatas.37
Untuk mengetahui perkembangan hospis di Indonesia, sebagai sebuah
contoh, kita dapat menunjukkan Hospice Home Care – Yayasan Kanker Indonesia
(HHC-YKI), yang diresmikan pada 17 April 1997. HHC-YKI sebenarnya bukanlah
hospis dalam arti sebuah tempat di mana caring bagi orang menjelang-mati
dilakukan, melainkan sebuah program pelayanan bagi pasien kanker stadium
terminal yang dilakukan di rumah pasien, setelah pasien itu dirawat di rumah sakit
dan kembali ke rumah. Program ini bertujuan untuk: (1) meringankan pasien dari
penderitaannya, baik fisik (rasa nyeri, mual, muntah) maupun psikis (sedih, marah,
kuatir) yang berhubungan dengan penyakitnya; (2) memberikan dukungan moral,
spiritual, dan pelatihan praktis dalam hal perawatan pasien bagi keluarga pasien dan
pelaku rawat (caregiver); dan (3) memberikan dukungan moral bagi keluarga pasien
selama masa dukacita.38
36 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 30-31. 37 “Lampiran I”, Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 812/Menkes/SK/ VII/2007 tentang
Kebijakan Perawatan Paliatif. 38 Sekretariat Hospice Home Care (HHC) Yayasan Kanker Indonesia, “Hospice Home Care
(HHC)”, dalam http://www.kankerindo.org/hospice.htm, diakses pada 23 Maret 2009.
20
4.2.2. Kaitan dan Perbedaan antara Hospis dan Palliative Care
Salah satu cara agar kita dapat memahami hospis secara lebih baik ialah
melihat kaitan antara hospis dan palliative care, dan perbedaan antara kedua hal
itu. Menurut Young dan Koopsen, kaitan antara hospis dan palliative terletak pada
kenyataan bahwa hospis itu melibatkan ketersediaan dari palliative care. Di sini kita
melihat, palliative care berlaku sebagai metode yang (dapat) dipakai di dalam
hospis. Namun, palliative care agaknya sering menjadi salah satu program yang
ditawarkan oleh rumah sakit.39
Di bawah ini perbedaan antara pelayanan hospis dan palliative care:40
Hospice Service Hospital-Based Palliative Care
Service Patient population Patients with life-limiting illness and a likely
prognosis of 6 months or less if the illness runs its normal course
Patients with a prognosis of less than 1 year should be educated about hospice and in some states may receive hospice care
Patients at any stage of advanced or life-limiting illness
Sites of care Home Nursing home Assisted living facility Hospital Free-standing inpatient units
Hospital Provision of service elsewhere in the
community (eg, in outpatient programs and nursing homes) varies by program
Services provided Pain and symtom management, psychosocial and spiritual support, coordination of care
Delivered by an interdiciplinary team including physicians, nurses, social workers, home health aides, therapists, chaplains, counselors, and volunteers
Medical equipment, medications, supplies Family bereavement support for 1 year after
death
Services vary by program from a single health care provider to an interdisciplinary team
39 Young – Koopsen, Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, 234. 40 Berdasarkan: Joan M. Teno – Stephen R. Connor, “Referring a Patient and Family to High-
Quality Palliative Care at the Close of Life: We Met a New Personality … With This Level of Compassion and Empathy”, JAMA, 301, 6, 2009, 653, diakses dari http://jama.ama-assn.org/cgi/content/ full/301/6/651, pada 10 Februari 2009.
21
Financing system Set payment per day enrolled, at 1 of 4 levels of care: Routine home care Continuous home care General inpatient care Inpatients respite care
Charitable support funds not-for-profit hospices
Reimbursement through existing payment channels, including billing through CPT codes, hospital DRGs
Also can be supported by core hospital facility, and charitable contributions
Payment for individual professional or facility services
Length of stay Average length of stay is 2 months; median, 21 days
Varies, may be episodic provision of care based on identified needs
Choice In most communities there are multiple hospices to choose from
At health care facilities there is usually only 1 service
Large medical centers are more likely to have dedicated palliative care services
Role of PCP Usually continues to provide overall management of care
Hospice medical director consults and backs up PCP
PCP often requests a formal consult from the palliative care team
PCS or hospitalist physician may manage care during inpatient stays
Typical staffing A hospice team with a daily census of 30 patients may have 3 nurses, 1 to 2 home health aides, a full-time social worker, a part-time chaplain, volunteers, part-time medical director, and contract therapists
Staff certified in palliative care desirable
Palliative care teams ideally include physicians, nurses, social worker, and may include a pharmacist, a psychologist, and other therapists as needed
Staff certified in palliative care desirable Key differences Focus is on caring for patient and family or
caregivers at the of the life after efforts at curative treatment for the terminal illness are no longer effective or the patient decides to stop treatment with curative intent
Patient opts out of regular Medicare coverage for terminal illness and receives services that meet his/her terminal care needs across all settings of care
Focus is on providing expert palliative care throughout the continuum of a life-limiting illness
Can be delivered concurrently with continuing curative or life-prolonging therapies
Abbreviations: CPT, Current Procedural Terminology; DRG, Diagnosis Related Group; PCP, Primary Care Physician; PCS, Palliative Care Service.
4.2.3. Hospis sebagai Pendekatan Caring bagi Orang Menjelang-Mati
Sebagaimana arti katanya, hospis jelas menegaskan suatu pendekatan yang
ramah dan menyenangkan bagi para pendatang atau tamu. Sikap yang ramah dan
menyenangkan dalam menerima tamu memang mungkin saja merupakan tindakan
22
demi kepentingan penerima tamu itu, dan bukan demi tamu itu sendiri. Di sini sikap
yang ramah dan menyenangkan sebenarnya menjadi sekadar sarana, atau tepatnya
metode, untuk mencapai maksud atau kepentingan dari orang yang melakukan itu.
Jika ini sungguh mungkin terjadi, maka kita perlu menegaskan apa hakikat hospis
itu, terutama ketika hospis dimaksudkan sebagai pendekatan caring bagi orang
menjelang-mati.
Untuk memahami hospis sebagai pendekatan caring bagi orang menjelang-
mati, maka pertama-tama kita bisa mulai dengan pemahaman tentang caring itu
sendiri. Seperti telah dikemukakan di atas, Milton Mayeroff mengartikan caring
sebagai tindakan “menolong orang lain berkembang dan mewujudkan dirinya
sendiri”. Di sini caring menjadi antitesis dari tindakan yang menggunakan pribadi
lain untuk memuaskan kebutuhannya sendiri. Kita tidak boleh mengacaukan arti
caring dengan hal-hal seperti mengharapkan orang lain selamat, suka, senang, atau
cuma menaruh minat terhadap apa yang terjadi pada orang lain. Caring bukanlah
suatu perasaan yang tersendiri atau suatu relasi sesaat, dan bukan juga suatu
keinginan untuk memperhatikan pribadi tertentu. Mayeroff menegaskan:
Memperhatikan [caring] dalam arti menolong pribadi lain dan berkembang dan mewujudkan diri merupakan suatu proses, suatu cara menjalin relasi dengan seseorang yang mengandaikan perkembangan, sama halnya dengan persahabatan yang hanya dapat terbentuk dalam waktu berkat kepercayaan timbal-balik dan melalui transformasi kualitatif sebuah relasi yang semakin mendalam.41
Lebih lanjut Mayeroff mengemukakan bahwa caring mencakup sekurang-
kurangnya unsur-unsur pokok berikut ini:42
• Mengenal. Dalam caring, kita mesti mengenal orang lain sebagaimana diri orang
lain tersebut. Kita mesti mengetahui banyak hal menyangkut orang lain tersebut,
41 Mayeroff, Seni Memperhatikan, 27. 42 Ibid., 36-49.
23
misalnya siapa orang lain itu, apa kekuatan dan keterbatasannya, apa
kebutuhannya, dan apa yang memudahkan perkembangan dirinya. Kita pun
harus tahu bagaimana menjawab kebutuhan-kebutuhannya dan apa kekuatan
serta keterbatasan kita sendiri.
• Belajar dari irama yang berganti-ganti. Pada dasarnya kita tidak dapat
melakukan caring berdasarkan kebiasaan melulu. Kita mesti melihat proses yang
terjadi dalam relasi kita dengan orang yang kepadanya kita care: apakah ada
perkembangan pada diri orang tersebut? Seberapa jauh kita telah berhasil?
Apakah kita telah benar-benar membantu, atau sebaliknya? Dengan pertanyaan-
pertanyaan ini, kita pada gilirannya akan mengetahui bahwa irama relasi kita
dengan orang lain tersebut berganti-ganti. Dengan demikian, kita bisa belajar
dari irama yang berganti-ganti tersebut.
• Kesabaran. Dalam caring, kesabaran merupakan unsur yang penting. Dengan
bersikap sabar, kita membiarkan orang lain berkembang pada saatnya sendiri
dan menurut caranya sendiri. Dengan bersikap sabar, kita memberi waktu, dan
dengan demikian memungkinkan orang lain menemukan diri pada waktu
sendiri. Di sini, bersikap sabar tidaklah berarti secara pasif menantikan sesuatu
terjadi, melainkan lebih merupakan semacam partisipasi dengan orang lain yang
kepadanya kita memberi diri sepenuhnya. Dengan demikian, bersikap sabar
berarti juga memberi ruang kepada orang lain itu. Dengan mendengarkan orang
yang putus asa secara sabar, dengan menghadirkan diri baginya, kita sebenarnya
telah memberi dia ruang untuk berpikir dan merasa.
• Kejujuran. Dalam caring, kejujuran ada sebagai sesuatu yang positif, bukan
sekadar tidak mengatakan dusta, atau tidak menipu orang lain dengan sengaja.
Dalam caring, kejujuran lebih berarti “menjadi jadi jujur terhadap diri sendiri”.
Kita melihat orang lain itu sebagaimana dirinya, dan bukan seperti yang saya
24
inginkan atau harapkan. Jika kita hendak menolong orang lain untuk
berkembang, maka kita harus menjawab kebutuhan-kebutuhannya yang
senantiasa berubah. Ini tentu mengandaikan adanya ketulusan dalam diri kita
yang melakukan caring bagi orang lain.
• Kepercayaan. Pada dasarnya caring menuntut kepercayaan terhadap orang lain
untuk berkembang pada saatnya dan dengan caranya sendiri. Caring
mengandaikan adanya penghargaan atas kemandirian orang lain, bahwa orang
lain itu memang lain. Selain kepercayaan terhadap orang lain, caring juga
menuntut kepercayaan terhadap diri kita sendiri. Kita harus percaya pada
tindakan-tindakan kita dan juga kesalahan-kesalahan kita. Keasyikan yang terus-
menerus dengan soal apakah tindakan-tindakan saya benar menunjukkan sikap
kurang percaya diri sendiri, dan dengan memusatkan perhatian pada dirinya
sendiri mempertinggi sikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan orang lain.
• Kerendahan hati. Dalam caring, sikap rendah hati tampil dalam berbagai bentuk.
Pertama, karena caring berarti tanggap terhadap perkembangan orang lain,
caring mengandaikan proses belajar yang terus-menerus tentang orang lain.
Orang yang care kepada orang lain akan sungguh-sungguh rendah hati dalam
kesediaan dan kerelaan untuk belajar lebih banyak tentang orang lain tersebut,
tentang dirinya sendiri, dan tentang tuntutan caring itu sendiri. Kedua,
kerendahan hati dalam caring tampil dalam suatu kesadaran bahwa apa yang
kita lakukan dalam caring itu bukanlah hal yang sangat istimewa. Ketiga, sikap
rendah hati tampil juga dalam bentuk suatu usaha untuk menaklukkan sikap diri
kita yang menganggap orang lain sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan
kita sendiri, atau sebagai beban. Akhirnya kerendahan hati tampil dalam bentuk
penerimaan atas keterbatasan-keterbatasan diri kita.
25
• Harapan. Pada kenyataannya harapan, sebagai ekspresi kekinian yang penuh
dengan berbagai kemungkinan, mengerahkan tenaga dan membangkitkan daya
kita dan orang lain. Harapan bukanlah penantian pasif akan sesuatu yang akan
terjadi dari luar, melainkan sesuatu yang muncul dari dalam, dari relasi kita
dengan orang lain. Harapan pada gilirannya menciptakan keberanian, sebab
harapan sendiri mengadaikan adanya komitmen yang berharga.
• Keberanian. Dalam caring, kita sebenarnya sedang memasuki wilayah yang tidak
kita kenal. Itulah wilayah dalam diri orang lain sebagai yang lain, dan juga
wilayah dalam apa yang kita lakukan bersama orang lain tersebut. Oleh karena
itu, dalam caring, unsur keberanian juga menjadi penting, yakni keberanian
untuk menjelajahi wilayah-wilayah yang tidak kita kenal itu. Seperti telah
dinyatakan di atas, keberanian tercipta oleh harapan. Maka, harapan dan
keberanian sungguh tak terpisahkan.
Dari paparan di atas, kita dapat menegaskan bahwa hospis sebagai
pendekatan caring bagi orang menjelang-mati tidak terlepas dari unsur-unsur:
mengenal, belajar dari irama yang berganti-ganti, kesabaran, kejujuran,
kepercayaan, kerendahan hati, harapan, dan keberanian. Di sini kita perlu ingat
bahwa dalam hospis, kita menjalin relasi bukan dengan orang seperti biasanya,
tetapi orang menjelang-mati. Maka, pengetahuan tentang kondisi menjelang-mati,
termasuk tentang beberapa aspeknya (lihat bagian III tulisan ini) sungguh menjadi
penting.
Dalam hospis, apa yang kita lakukan sebenarnya lebih mau mengupayakan
agar hari-hari yang dijalani oleh orang menjelang-mati dapat sungguh berarti bagi
orang tersebut. Kita berusaha melihat hari-hari orang-orang menjelang-mati sebagai
26
“last days but not lost days”.43 Itulah sebabnya, dalam hospis, kita harus
menghadirkan diri kita (being present): sungguh menjadi teman bagi orang
menjelang-mati, sungguh mendengarkan dan care pada kebutuhan-kebutuhan
dirinya.44
4.2.4. Beberapa Persoalan Hospis sebagai Tempat Orang Menjelang-Mati
Pada kenyataannya beberapa persoalan ditemukan berkaitan dengan hospis
sebagai tempat orang menjelang-mati. Di bawah ini kita akan melihat beberapa
persoalan itu:
• Kebutuhan dana. Menurut Sheila Cassidy, banyak hospis memperoleh sedikit
bantuan dana dari pemerintah, padahal hospis-hospis tersebut memerlukan
banyak uang untuk realisasi program-program hospis. Dana bagaimanapun juga
sangat berpengaruh bagi kualitas dan kelangsungan pelayanan hospis tersebut.45
• Kebutuhan tenaga. Selain kebutuhan dana, Cassidy juga melihat bahwa dalam
konteks zaman masa kini, orang agaknya kurang berminat terhadap pelayanan
caring bagi orang menjelang-mati, terutama di hospis-hospis. Akibatnya
kebutuhan tenaga pada hospis-hospis merupakan persoalan yang urgent. Cassidy
menuliskan:
They [hospices] need volunteers, lots of them, to do tedious, necessary things like manning the telephone, working in the charity shops, ferrying people backwards and forwards from home to hospice and so on. Generally speaking hospices don’t need people to counsel or talk to their patients but they do need those who are prepared to learn how to counsel the bereaved. They need men and women who will submit to the discipline of learning new
43 Milićević, “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, 29. 44 Elizabeth Turner Haase, “Pastoral Care of the Dying: The Art of Being Present”, New
Theology Review, 17, 2, 2004, 41-44. 45 Sheila Cassidy, “The Hospice Demystified”, Priest & People, 6, 1992, 418-419.
27
skills and then have the tenacity and generosity to be faithful to a time commitment for a year or more.46
• Penyimpangan di lapangan. Pada kenyataannya tidak semua hospis, sebagai
tempat caring bagi orang menjelang-mati, sungguh mewujudkan hakikat
pelayanan hospis. Derek Murray, misalnya, menunjukkan bahwa dalam
perkembangannya saat ini beberapa hospis larut dalam rutinisasi pelayanan
sehingga tidak jarang menimbulkan kekecewaan pada orang yang dilayaninya.
Rutinisasi ini sangat berkaitan dengan institusionalisasi pelayanan yang
mengandaikan bahwa apa yang berlangsung dalam hospis itu dapat dipahami
secara mudah dan mekanis.47 Demikianlah hospis ini tidak lagi menjadi –
meminjam kata-kata Cassidy – “a living breathing organism, a community of
fragile, vulnerable people who find themselves called to walk alongside the
dying”,48 tetapi sekadar organisasi yang beku dan kaku.
V. Menjelang-Mati dan Caring dalam Pandangan Alkitab
5.1. Pandangan Kitab Suci
“Tiada seorang pun berkuasa menahan angin dan tiada seorang pun
berkuasa atas hari kematian,” tulis Kohelet atau Pengkhotbah (8:8). Pernyataan ini
jelas menegaskan bahwa manusia sungguh tidak berdaya atas kematiannya. Semua
orang pasti akan menerima kematian.
46 Cassidy, “The Hospice Demystified”, 419. 47 Murray, Faith in Hospice, 107-126. 48 Cassidy, Op.Cit., 419.
28
Namun, kita pun patut mengingat perkataan Perempuan Tekoa dalam Kitab
kedua Samuel: “Kita pasti mati, kita seperti air yang tercurah ke bumi, yang tidak
terkumpulkan. Tetapi Allah tidak mengambil nyawa orang, melainkan Ia merancang
supaya seorang yang terbuang jangan tinggal terbuang dari pada-Nya.” (2 Sam 14:14)
Di sini nada positif tentang kematian dalam perkataan Perempuan Tekoa itu
sungguh terasa. Perempuan itu tampaknya menerima realitas kematian sebagai
bagian dari hidup manusia di dunia ini. Bahkan ia memandang realitas kematian
yang penuh misteri itu sebagai bagian dari rancangan Allah Sang Pencipta
Kehidupan, rancangan supaya manusia “yang terbuang jangan tinggal terbuang dari
pada-Nya”.
Apakah pandangan “positif” terhadap kematian mewarnai seluruh kitab
Perjanjian Lama (PL)? Pada kenyataannya tidaklah demikian. Dalam Mzm 6:6 kita
mendapati nada perkataan yang berbeda dengan nada Perempuan Tekoa: “Sebab di
dalam maut tidaklah orang ingat kepada-Mu; siapakah yang akan bersyukur
kepada-Mu di dalam dunia orang mati?” Di sini kita menangkap nada cemas dari
Pemazmur terhadap kematian. Bagaimana pun ia pada saat itu ingin terlepas dari
bahaya maut. “Kembalilah pula, TUHAN, luputkanlah jiwaku, selamatkanlah aku
oleh karena kasih setia-Mu,” demikianlah Pemazmur berdoa (Mzm 6:5). Doa
semacam ini dapat kita temukan juga pada Hizkia ketika ia mengidap penyakit yang
membuatnya menderita (Yes 38:9-20).
Baik Pemazmur maupun Hizkia, sekadar menyebutkan dua contoh di dalam
PL, keduanya mengalami saat-saat dekat dengan kematian. Pemazmur dan Hizkia
sedang menjalani hari-hari penuh rasa sakit dan derita lantaran penyakit mereka.
Kita memang tidak dapat mengetahui apa persisnya penyakit yang menjangkiti
mereka. Namun, yang jelas mereka mengungkapkan rasa takut terhadap kematian.
Dalam hal ini paparan Hizkia sangat jelas kepada kita dan menarik untuk kita
perhatikan. Hizkia merinci ketakutannya terhadap kematian demikian:
29
Aku ini berkata: Dalam pertengahan umurku, aku harus pergi; ke pintu gerbang dunia orang mati, aku dipanggil untuk selebihnya dari hidupku. Aku berkata: aku tidak akan melihat TUHAN lagi di negeri orang-orang yang hidup; aku tidak akan melihat seorang pun lagi di antara penduduk dunia. Pondok kediamanku dibongkar dan dibuka seperti kemah gembala; seperti tukang tenun menggulung tenunannya, aku mengakhiri hidupku; TUHAN memutuskan nyawaku dari benang hidup. Dari siang sampai malam Engkau membiarkan aku begitu saja, aku berteriak minta tolong sampai pagi; seperti singa demikianlah TUHAN menghancurkan segala tulang-tulangku; dari siang sampai malam Engkau membiarkan aku begitu saja. Seperti burung layang-layang, demikianlah aku menciap-ciap, suaraku redup seperti suara merpati. Mataku habis menengadah ke atas, ya Tuhan, pemerasan terjadi kepadaku; jadilah jaminan bagiku! (Yes 38:10-14)
Arie Jan Plaiser menilai bahwa pernyataan Hizkia di atas merupakan bukti
bahwa dalam PL, yang paling ditakuti orang ialah kematian ‘sebelum waktunya’.
Plaiser memandang Hizkia sebagai orang yang takut mati karena belum waktunya.
Ungkapan “dalam pertengahan umurku” menegaskan hal belum waktunya itu.49
Menurut kami, Plaiser terlalu cepat menarik kesimpulan. Barangkali Plaiser
tergoda menarik kesimpulan itu karena Mzm 90:10: “Masa hidup kami tujuh puluh
tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah
kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang
lenyap.” Dalam bagian Mazmur ini kita memang memperoleh kesan bahwa
kematian merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada manusia yang berumur antara
70 tahun hingga 80 tahun; dan pada saat itu kematian bukanlah hal yang
menakutkan. Kesan ini sebenarnya bisa menyesatkan. Alasannya, ketidaksiapan
seseorang dalam menerima kematian pada dasarnya tidak semata-mata berkaitan
dengan usianya, tetapi juga keyakinan (iman) dan pandangannya tentang kematian
49 Arie Jan Plaiser, Manusia, Gambar Allah: Terobosan-terobosan dalam Bidang Antropologi
Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999, 155.
30
(dan kehidupan setelah kematian), serta spiritualitasnya.50 Jadi, PL agaknya
memahami kematian sebagai hal yang ambigius, sebagai hal yang baik tetapi juga
buruk.51
Berbeda dengan PL, pemahaman Perjanjian Baru (PB) tentang kematian
tampak sudah lebih jelas, dan bercorak Kristosentris. Peristiwa Yesus turut
membentuk pemahaman yang baru tentang kematian. Refleksi atas Peristiwa Yesus,
yakni atas pelayanan, penderitaan dan kematian-Nya, serta misteri kebangkitan-
Nya, pada gilirannya mendorong orang untuk memandang kematian secara positif.
Dengan mengenangkan Peristiwa Yesus, orang memiliki harapan dan keberanian
untuk menghadapi kematian.52 Itulah sebabnya ketika menghadapi kematian yang
mendekat, Rasul Paulus menuliskan:
Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. (2Tim 4:6-8)
Dengan mengenangkan Peristiwa Yesus, pada gilirannya orang memiliki
harapan dan keberanian tidak hanya untuk menghadapi kematian, tetapi juga
untuk menjadi sesama bagi orang-orang yang menderita, termasuk orang-orang
50 Laksmiasanti menuliskan bahwa anak-anak tidak pernah takut akan kematian, atau tidak
mengerti arti kematian. Mereka hanya takut pada kesunyian dan takut ditinggalkan orang yang dekat. “The child does not know anything but senses everything.” Lihat: Laksmiasanti, “Kematian: Suatu Pandangan Medis”, 54.
51 Stanley J. Grenz, Theology for the Community of God, Wm. B. Eerdmans Publishing Co.-
Regent College Publishing, Cambridge-Vancouver 2000, 576-578. 52 Grenz, Theology for the Community of God, 578-580.
31
menjelang-mati. Di sini orang pada akhirnya menunaikan tugas perutusannya
sebagaimana tercermin dalam Kitab Yesaya 61:1-3:53
Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebutkan mereka ‘pohon tarbantin kebenaran’, ‘tanaman TUHAN’ untuk memperlihatkan keagungan-Nya.
Dalam Injil Lukas, perumpamaan Yesus tentang Orang Samaria yang baik
hati (Luk 10:30-35) dapat menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya menjadi
sesama itu. Dalam perumpamaan ini, kita menemukan bahwa menjadi sesama bagi
orang lain berarti berelasi dengan dasar kasih. Beberapa kata kerja dengan subjek
Orang Samaria dapat kita perhatikan dalam perumpamaan ini: ‘melihat’, ‘pergi’,
‘membalut (luka-luka)’, ‘menyirami (dengan minyak dan anggur)’, ‘menaikkan (ke
atas keledai)’, ‘membawa’, dan ‘merawat’. (Luk 10:33-34) Kata-kata kerja ini dalam
arti tertentu menunjukkan tindakan caring dari Orang Samaria itu. Maka, pesan
yang hendak disampaikan melalui perumpamaan ini ialah menjadi sesama bagi
orang lain pada hakikatnya dapat diwujudkan dalam tindakan caring bagi orang
tersebut; dan dasar dari tindakan caring itu ialah kasih.54
53 Bandingkan Lukas 4:18-19. 54 Dalam pesannya kepada staf dan penghuni Rennweg Hospice, Vienna, Paus Johanes Paulus
II menyinggung perumpamaan Orang Samaria yang baik hati. Menarik untuk dicatat di sini, Paus Johanes Paulus II mengatakan bahwa “In the Good Samaritan’s inn lies one of the roots of the Christian hospice idea”. Lihat butir no. 9, Message of Pope John Paul II to the Staff and Residents of the Rennweg Hospice, Vienna, 21 June 1998, dari: http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/speeches/1998/ june/documents/hf_jp_ii_spe_19980621_ austria-infermi_en.html, diakses pada 23 Maret 2009.
32
VI. Pelayanan Pastoral bagi Orang Menjelang-Mati dan Keluarganya
Tanpa bermaksud mengabaikan atau merendahkan pelayanan-pelayanan
pastoral lainnya, pelayanan pastoral bagi orang menjelang-mati dan keluarganya
pada kenyataannya merupakan pelayanan pastoral yang signifikan yang harus
diemban oleh seorang pastor atau gembala. Memang tidaklah mudah melaksanakan
pelayanan pastoral bagi orang menjelang-mati dan keluarganya. Alasannya pastor
akan menghadapi rupa-rupa perasaan dan emosi yang bisa muncul dari orang
menjelang-mati dan keluarganya, dan juga dari dirinya sendiri. Dalam kondisi
seperti itu, pastor pun mesti mampu “mengelola” rupa-rupa perasaan dan emosi itu,
sehingga akhirnya apa yang dilakukannya sungguh – memakai bahasa Mayeroff –
“menolong orang lain berkembang dan mewujudkan dirinya sendiri”. Jadi,
sekalipun tidak mudah, itu tidak berarti seorang pastor dapat menghindari
pelayanan pastoral bagi orang menjelang-mati dan keluarganya. Justru sebaliknya
ketidakmudahan dalam pelayanan pastoral itu seharusnya menjadi tantangan yang
memicu pastor, untuk belajar tentang pelayanan pastoral bagi orang menjelang-
mati dan keluarganya, serta untuk terjun langsung ke ladang pelayanan ini.
J. L. Ch. Abineno mengemukakan tiga tugas yang mesti terlaksanakan dalam
pelayanan pastoral bagi orang berduka, termasuk bagi orang menjelang-mati dan
keluarganya: (1) tugas untuk menerima, baik secara rasional maupun emosional,
kehilangan yang dialami orang yang berduka; (2) tugas untuk mencernakan
perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang problematis yang muncul dari orang
berduka (orang menjelang-mati dan keluarganya) dan diri pastor; dan (3) tugas
33
untuk menerima situasi hidup baru yang mengandung janji-janji (atau harapan) bagi
suatu masa depan yang lebih baik.55
Jika dikaitkan dengan pandangan Kübler-Ross tentang tahap-tahap sikap
dalam proses menjelang-mati, sebenarnya ketiga tugas pastor dalam pelayanan bagi
orang-menjelang mati dan keluarga di atas dapat disimpulkan demikian: pokok
tugas pastor dalam pelayanan bagi orang menjelang-mati dan keluarganya ialah
menjadi teman yang sungguh hadir dalam setiap tahap sikap orang menjelang-mati
dan keluarga hingga pada akhirnya orang menjelang-mati dan keluarganya itu
dapat menerima situasi baru dengan penuh harapan di dalam Allah. Di sini “menjadi
teman yang sungguh hadir” menjadi perwujudan solidaritas persaudaraan penuh
kasih bagi orang menjelang-mati dan keluarganya. Dalam kaitan itu, pastor
mengenangkan misteri peristiwa Kristus, terutama wafat dan kebangkitan-Nya,
sehingga orang menjelang-mati dan keluarganya sungguh merasakan kehadiran
Allah dalam setiap tahap pergumulan menuju kematian. Jika kehadiran Allah
sungguh dirasakan, maka pastor, orang menjelang-mati dan keluarganya akhirnya
dapat mengantisipasi masa depan dengan penuh harapan.
VII. Penutup
Ini cerita dari Imam Musbikin.56 Kejadian aneh di ICU rumah sakit. Pasien
selalu meninggal di kamar yang sama, tempat tidur yang sama, pada hari yang sama
(Jumat), dan pada jam yang sama (sekitar pukul 9 pagi). Dokter dan perawat
55 J.L.Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral kepada Orang Berduka, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
2007, 28. 56 Imam Musbikin, Nasrudin Joha dan Kantong yang Haus, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2004,
136-137.
34
bingung, lantas berpikir bahwa kematian itu berkaitan dengan kejadian
supranatural. Kemudian mereka mulai menyelidiki kejadian itu dengan cara
menunggu secara diam-diam pasien yang dibaringkan di tempat tidur yang sama.
Apa gerangan yang terjadi? Pada pukul 9 Tukimin, part timer cleaning service,
masuk; lalu mencabut stop kontak peralatan di sebelah tempat tidur pasien itu, dan
menggantinya dengan stop kontak vacuum cleaner, dan mulailah membersihkan
kamar itu.
Imam Musbikin menuliskan, “Melihat apa yang dilakukan oleh tukang
pembersih ini, para dokter yang mengamati tempat itu langsung berkata: Jadi
kematian para pasien itu ternyata akibat kecerobohannya...!”
Dalam cerita di atas, siapa sebenarnya yang ceroboh? Yang ceroboh ialah
setiap orang yang tidak care terhadap para pasien yang terbaring di tempat tidur itu.
Untunglah ini hanya sebuah cerita humor.
Bagaimana pun orang menjelang-mati (the dying person) membutuhkan
orang yang sungguh care terhadap dirinya. Ia merindukan teman, teman yang
bersamanya menapaki hari-hari dengan penuh harapan dan keberanian, sehingga
hari esok selalu menjadi lebih baik lagi, lagi dan lagi, hingga hari kematian.
Pada baris-baris terakhir puisinya, Beth menuliskan: “There is only room for
just so much sorrow. What will I put in its place tomorrow?” Pertanyaan Beth ini
menunjukkan bahwa Beth masih menyimpan suatu harapan.
Hospis dan palliative care pada dasarnya bermaksud untuk menyirami dan
memupuki harapan yang tersimpan di dalam diri orang menjelang-mati. Kita
sebagai murid Kristus dan Gereja mestinya turut berperan di ladang pelayanan ini,
supaya bersama dengan Beth, kita sungguh meyakini bahwa “tomorrow will be
better”.
Jakarta, 29 April 2009
Hendri M. Sendjaja: Pendeta Jemaat GKI Samanhudi; dosen luar biasa di STT Jakarta.
35
Kepustakaan
Buku-buku
Abineno, J.L.Ch. 2007. Pelayanan Pastoral kepada Orang Berduka, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Committee on Care at the End of the Life. 1997. Approaching Death: Improving Care at the End of Life,
National Academy Press, Washington, D.C. Grenz, Stanley J. 2000. Theology for the Community of God, Wm. B. Eerdmans Publishing Co. – Regent
College Publishing, Cambridge-Vancouver. Kübler-Ross, Elisabeth. 1978. To Live Until We Say Good-Bye, Prentice-Hall, Inc., New York. _______. 1998. On Death and Dying: Kematian sebagai Bagian Kehidupan, diterjemahkan oleh Wanti
Anugrahani, dari On Death and Dying, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mayeroff, Milton. 1991. Seni Memperhatikan, diterjemahkan oleh Agus Cremers – Frans Ceunfin, dari
On Caring, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. McCabe, Michael Joseph. 1994. The Hospice Movement – An Alternative to Euthanasia, Pontificia
Universitas Lateranensis, Roma. Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, 11th ed., 2007. Merriam-Webster, Inc., Massachussetts. Murray, Derek. 2002. Faith in Hospices: Spiritual Care and the End of Life, SPCK, London. Musbikin, Imam. 2004. Nasrudin Joha dan Kantong yang Haus, Mitra Pustaka, Yogyakarta. Plaisier, Arie Jan. 1999. Manusia, Gambar Allah: Terobosan-terobosan dalam Bidang Antropologi
Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Prent, K., et.al. 1969. Kamus Latin-Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Young, Caroline – Cyndie Koosen. 2007. Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan, diterjemahkan
dari Spirituality, Health, and Healing, Bina Media Perintis, Medan. Artikel-artikel Cassidy, Sheila. 1992. “The Hospice Demystified”, Priest & People, 6, 415-419. Haase, Elizabeth Turner. 2004. “Pastoral Care of the Dying: The Art of Being Present”, New Theology
Review, 17, 2, 36-45.
36
Janssens, Rien J.P.A., et.al. 1999. “Hospice and Euthanasia in the Netherlands: An Ethical Point of View”, dalam Journal of Medical Ethics, 25, 408-412.
Laksmiasanti, L. 1984. “Kematian: Suatu Pandangan Medis”, dalam B. Kieser (ed.), Ikut Menderita Ikut
Percaya: Pastoral Orang Sakit, Kanisius-Nusa Indah, Yogyakarta-Ende, 51-62. Leuenberger, R. 1984. “Menghibur: Suatu Pokok Iman Kristiani”, dalam Bernhard Kieser (ed.), Ikut
Menderita Ikut Percaya: Pastoral Orang Sakit, Kanisius-Nusa Indah, Yogyakarta-Ende, 5-29. McGann, Bishop. 1997. “To Care for the Dying”, Origins, 26, 38, 640-648. Meador, Keith C. – L. Gregory Jones. 2000. “Bearing Witness in Life and Death”, The Christian Century,
August, 830-832, diakses dari http://www.religion-online.org/ showarticle.asp?title=2001, pada 23 Maret 2009.
Milićević, Nataša. 2002. “The Hospice Movement: History and Current Worldwide Situation”, Archive of
Oncology, 10, 1, 29-32, diakses dari http://www.onk.ns.ac.yu/archieve/vol10/PDFVol10/v10n1p29. pdf, pada 26 Februari 2009.
Sekretariat Hospice Home Care (HHC) – Yayasan Kanker Indonesia, “Hospice Home Care (HHC)”, dalam
http://www.kankerindo.org/hospice.htm, diakses pada 23 Maret 2009. Teno, Joan M. – Stephen R. Connor. 2009. “Referring a Patient and Family to High-Quality Palliative
Care at the Close of Life: We Met a New Personality … With This Level of Compassion and Empathy”, JAMA, 301, 6, 651-659, diakses dari http://jama.assn.org/ cgi/content/full/301/651, pada 10 Februari 2009.
Twaddle, Martha L. 1996. “Hospice Care”, dalam John F. Kilner, et.al. (eds.), Dignity and Dying: A
Christian Appraisal, Paternoster-Wm. B. Eerdmans Publishing Co., Cumbria-Grand Rapids. World Health Organization, “WHO Definition of Palliative Care”, dalam http://www.who.int/cancer/
palliative/ definition/en, diakses pada 26 Maret 2009.