dokumen dislis volume 1dislis.yolasite.com/resources/dokumen dislis 1_2009_ganjil.docx  · web...

21
www.dislis.yolasite.com DOKUMEN DISLIS VOLUME 1 Diskusi Buku : CAPITALISM : A VERY SHORT INTRODUCTION

Upload: others

Post on 01-Jan-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DOKUMEN DISLIS VOLUME 1

www.dislis.yolasite.comDOKUMEN DISLIS VOLUME 1Diskusi Buku :CAPITALISM : A VERY SHORT INTRODUCTION

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

Pelaksanaan :

Sabtu, 16 Mei 2006

LPPM Universitas Islam Bandung

Materi :

Diskusi Buku

Fulcher, J. 2004. Capitalism : a very short introduction. Oxford University Press.

Penyaji :

Arinto Nurcahyono

Fakultas Hukum

Anggota Diskusi :

Arinto Nurcahyono

Fakultas Hukum

Dudung Abdurrahman

Fakultas Ekonomi

Husni Syam

Fakultas Hukum

Septiawan Santana Kurnia

Fakultas Ilmu Komunikasi

Yuhka Sundaya

Fakultas Ekonomi

BANDUNG, MEI 2009

NOTULEN DISKUSI

Diskusi diawali dengan penyajian materi mengenai kapitalisme. Penyaji mengemukakannya dari beberapa acuan primer dan sekunder (terlampir). Penulis coba menampilkan secara utuh wajah kapitalisme, pengertian kapitalisme, dan sejarah perkembangannya. Dengan materi tersebut diharapkan menjadi awal untuk diskursus kapitalisme yang lebih beragam, kekuatan dan kelemahannya, sehingga dapat membuka ruang kritisisme.

Pada dasarnya, kapitalisme adalah kegiatan menginvestasikan uang dengan harapan akan memperoleh keuntungan. Dalam kegiatan usaha, apapun jenisnya, peranan modal selalu melekat. Begitupun halnya dengan tenaga kerja dan input produksi lain. Semuanya, secara kompak digunakan untuk menghasilkan produk tertentu. Bila salah satu input hilang, maka tidak akan menghasilkan produk yang diharapkan. Dari pemahaman ini, muncul common idea bahwa persoalan konflik pemilik modal dan pekerja dalam sistem kapitalisme, akarnya bukan dari kapitalisme itu sendiri, melainkan berakar dari sistem insentif yang lebih condong pada pemilik modal.

Dari diskusi yang berkembang, muncul beberapa argumen yang mendorong diskusi lebih lanjut, antara lain :

1. Apakah kemiskinan merupakan fenomena yang alami ?

2. Mengapa modal (uang/fisik) selalu divaluasi lebih tinggi dibandingkan modal manusia (human capital) ?

3. Apa kriteria dan indikator suatu negara disebut kapitalis atau versusnya sosialis ?

Dari notulen tersebut, nampak bahwa diskusi tentang kapitalisme tidak berakhir dalam dua jam. Melainkan telah menumbuhkan pertanyaan yang memerlukan diskusi atau kajian lebih dalam. Karena itu, notulen diskusi ini menjadi dasar untuk menyusun materi berikutnya.

Bandung, 16 Mei 2009

Moderator,

Yuhka Sundaya

DOKUMEN TERTULIS

Artikel 1

Tipe Tulisan :

Makalah

Penulis :

A. Nurcahyono

Judul :

Menatap Wajah Kapitalisme

Artikel 2

Tipe Tulisan :

Ulasan (review)

Penulis :

Yuhka Sundaya

Sumber :

Fulcher, J. 2004. Capitalism : a very short introduction. Oxford University Press.

Dua artikel tersebut disajikan pada lampiran dokumen ini.

LAMPIRAN ARTIKEL

Universitas Islam Bandung

MENATAP WAJAH KAPITALISME

Makalah

Arinto Nurcahyono

[email protected]

Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

1.Pendahuluan

Kapitalisme. Bagaimanakah wajahnya? Pertanyaaanya ini akan memunculkan pertanyaan baru. Wajah kapitalisme yang mana? Kapitalisme apakah semacam Dasa Muka tokoh dalam cerita Ramayana. Tidak sederhana untuk mendapatkan satu jawaban utuh tentang kapitalisme. Apalagi kapitalisme digugat kembali sosoknya ketika hadirnya krisis global. Seolah ada semangat kembali untuk menggugat kapitalisme.

Kapitalisme pada abad 20 menampakkan sosoknya yang katakanlah mendeklarasikan sebagai pemenang saat simbol runtuhnya Tembok Berlin. Saat itu tidak ada yang bisa membantah kedigdayaan rezim kapitalisme mendominasi peradaban dunia global. Berakhirnya Perang Dingin menyusul ambruknya komunisme-sosialisme Uni Soviet beserta negara-negara satelitnya sering diinterpretasikan sebagai kemenangan kapitalisme. Hampir dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya kapitalisme hadir menggerakkan aktivitas. Kritik-kritik yang ditujukan terhadap kapitalisme justru bermuara kepada terkooptasinya kritik-kritik tersebut untuk lebih mengukuhkan kapitalisme.

Ironisnya, kalangan liberal yang menyematkan mahkota kemenangan kepada kapitalisme, lebih suka menggunakan kosakata Ekonomi Pasar (Market Economy). Tak tanggung-tanggung, Friedrich August von Hayek, nabinya kalangan neoliberal, menolak untuk menggunakan atau sekadar mendengar pengucapan kata kapitalisme.

Ironisme ini muncul, dengan beragam alasan. Misalnya, karena tak kunjung ada satu definisi memuaskan tentang apa itu kapitalisme. Kapitalisme memang bisa dibicarakan dari beragam sudut: ideologi, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Itu sebabnya, penggunaan kata yang mulai populer sejak akhir abad ke-19 ini, mengandung banyak bias. Tapi, ada alasan lain yakni, bersembunyinya kepentingan ideologis di balik penggunaan kata ekonomi pasar.

Karena itu, ada baiknya kita kembali sejenak ke akhir abad sembilan belas itu. Sejak hancurnya sistem masyarakat feodal, sebagian aspek dalam kehidupan manusia berkembang sangat pesat. Misalnya, meluasnya pemakaian uang dan hubungan pertukaran; perkembangan pesat hubungan pasar yang secara perlahan menjadikannya sebagai elemen penting dalam pabrik sosial; pertumbuhan cepat sektor perbankan, kredit, keuangan, dan spekulasi sebagai motor penggerak sektor produksi dan distribusi; berkembangnya hubungan baru yang kian kompleks antara seluruh aspek-aspek ekonomi tersebut dengan negara; peningkatan secara rasional dan sistemik mobilisasi pengetahuan keilmuan dan potensi tekknik yang bertujuan menciptakan komoditi-komoditi baru; serta harapan kelompok kaya dan mereka yang ingin menjadi kaya untuk mengembangkan kebutuhan-kebutuhan baru.

Namun kapitalisme tengah berada dalam krisis yang paling parah selama beberapa dekade ini. Kombinasi resesi yang dalam, dislokasi ekonomi global, dan nasionalisasi yang efektif meluas di sektor finansial di negara-negara paling maju di dunia, mengguncang keseimbangan antara pasar dan negara. Di manakah keseimbangan baru ini akan berjangkar, masih belum diketahui secara pasti.

Mereka yang meramalkan matinya kapitalisme harus berhadapan dengan satu fakta historis yang penting: kapitalisme punya kapasitas yang hampir tidak terbatas untuk mengubah diri. Sesungguhnya, kekenyalannya inilah yang membuatnya mampu mengatasi krisis yang terjadi berkala selama ini serta mengalahkan para pengecamnya, dari Karl Marx dan seterusnya. Pertanyaan riilnya bukan apakah kapitalisme bisa survive--ia bisa--melainkan apakah para pemimpin dunia bisa menunjukkan kepemimpinan yang diperlukan untuk membawa kapitalisme ke tahap berikutnya, sementara kita berupaya keluar dari kemelut yang kita hadapi saat ini.

Kapitalisme tidak punya pesaing yang setara dalam membebaskan dan mengerahkan energi kolektif manusia. Itulah sebabnya, semua masyarakat yang makmur di dunia ini kapitalistik dalam arti kata yang luas: masyarakat makmur itu terbentuk di sekitar kepemilikan swasta yang memungkinkan pasar memainkan peran yang besar dalam mengalokasikan sumber daya dan menetapkan imbalan ekonomisnya. Tapi baik hak kepemilikan maupun pasar ini tidak bisa berfungsi dengan kekuatannya sendiri. Mereka membutuhkan lembaga-lembaga pendukung lainnya.

Muncul pertanyaan lain, ke arah mana peradaban manusia akan dibawa oleh kapitalisme. Apakah gerangan yang menyebabkan ideologi ini tetap bertahan, dan bahkan, kian mendominasi dunia? Apakah hegemoni kapitalisme ini merupakan akhir sejarah umat manusia atau sebagai satu-satunya alternatif yang mesti diterima sebagaimana yang diperkirakan oleh Francis Fukuyama dalam The End of History? Masih berpeluangkah proyek emansipasi manusia dari dominasi kapital dan fetisisme komditas?

Tulisan ini tanpa berpretensi menampilkan secara utuh wajah kapitalisme ingin memaparkan segi yang mendasar tentang pengertian kapitalisme serta sejarah perkembangannya. Diharapkan dengan mengawali fase pengertian kapitalisme dapat dijadikan awal untuk diskursus kapitalisme yang lebih beragam baik yang melihat kekuatannya serta titik lemah menjadi arah kritik terhadap kapitalisme.

2.Pengertian dan Sejarah Kapitalisme

Bagi James Fulcher (2004) secara esensial kapitalisme pada dasarnya merupakan adanya kegiatan investasi modal dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan. Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.

Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat).

Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).

Ciri khas kapitalisme modern adalah produksi massa barang-barang untuk konsumsi massa. Akibat yang ditimbulkannya adalah kecenderungan menuju peningkatan standar hidup rata-rata secara kontinyu, suatu [proses] pengkayaan yang memajukan banyak orang. Kapitalisme membebaskan “orang biasa” dari status proletarnya dan meningkatkan harkatnya ke tingkat “borjuis”( Mises, 1972).

Dalam wilayah modernisme, Anthony Giddens menyatakan kalau modernitas disangga oleh kekuatan kapitalisme, negara bangsa, organisasi militer dan industrialisasi. Kapitalisme merujuk pada sejumlah prinsip struktural yang mendasari praktik akumulasi modal dalam konteks pasar produksi dan tenaga kerja yang kompetitif. Sedang negara-bangsa menunjuk pada prinsip struktural yang mengoordinasi praktik kontrol atas informasi, supervisi sosial dan pemata-mataan. Lalu militerisme menyangkut prinsip struktural yang mendasari praktik pengontrolan atas alat-alat kekerasan dalam konteks industrialisasi perang.(Herry Priyono, 2003)

Akhirnya industrialisme menyangkut prinsip struktural yang mendasari praktik-praktik yang bertujuan untuk mengubah alam atau pembangunan lingkungan non alami. Keempatnya merupakan tulang punggung yang menghamba pada modernitas dan darinya proses transformasi sosial masyarakat bekerja. Dalam konteks perbincangan kali ini, kapitalisme kiranya menjadi sistem yang berkait-erat dengan proses berjalin-kelindanya modal. Kapitalisme membawa dunia pada sistem perekonomian yang tunduk pada norma serta aturan pasar. Terobosan kapitalisme adalah membentuk sistem pasar yang hegemonik dimana kekuasaan privat juga memiliki kemampuan untuk mencipta pengaruh pada kawasan publik.

Adam Smith adalah peletak dasar pemikiran kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum pasar atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi karena kompetisi dan kekuatan individualisme dalam menciptakan keteraturan ekonomi. Melaluinya, kapitalisme melakukan klasifikasi antara nilai guna dengan nilai tukar yang ada pada setiap komoditi. Ukuran riil dari nilai tukar komoditi, harus dilihat dari kondisi pertukaran, dimana 'ukuran riil' dari nilai komoditi adalah kuantitas dari kerja yang berada dalam barang-barang lain yang dapat dipertukarkan di pasar. Tokoh berikutnya yang penting adalah David Ricardo, yang melakukan kritik terhadap Adam Smith, terutama yang berkaitan dengan nilai komoditi. Menurutnya, nilai komoditi terdapat pada kerja manusia berikut bahan-bahan mentah dan alat-alat kerja.

Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan negara. Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988).

3.Transformasi Kapitalisme

Bagi James Fulcher (2004), kapitalisme secara gerak perkembangan mengalami fase penyesuaian yang menjadikan kapitalisme bisa menyesuaikan dalam ruang dan waktu. Fase awal dapat dikatakan sebagai fase yang anarkis. Fase ini muncul sekitar abad 18 dan 19. Para pemilik modal pada era itu relatif melakukan keluasan atas kebebasan individu dalam kegiatan ekonomi. Tidak ada kontrol atau intervensi baik dari organisasi pekerja maupun dari negara. Fase anarkis menurut Fulcher memiliki karakteristik yang menempatkan kekebebasan individu.

Fase selanjutnya terjadi pada pertengahan abad 19 dan puncaknya pada tahun 1970, menurut Fulcher apa yang dinamakan managed capitalism. Kapitalisme tak dibiarkan menjadi liar dan anarkis. Faktor berbagai ketegangan dan tekanan memaksa kapitalisme merasakan apa yang dinamakan intervensi. Organisasi buruh menjadi salah satu faktor yang menjadikan pemilik modal mendapat tekanan. Yang menonjol adalah adanya kontrol negara. Konflik internasional juga memberikan peran yang menjadikan adanya kontrol negara yang tak dapat dihindarkan.

Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.

Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism. organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti korporasi-korporasi nasional dan internasional yang menciptakan struktur pasar oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal, maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi formal.

Sejarah kapitalisme merupakan proses belajar dan belajar lagi. Masyarakat pasar yang diidam-idamkan Adam Smith membutuhkan tidak lebih dari suatu "negara jaga malam" saja. Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk menjamin adanya division of labor atau pembagian kerja cukup dengan menegakkan hak kepemilikan, menjaga ketertiban, dan memungut pajak untuk membiayai program-program yang terbatas untuk kebaikan publik.

Selama awal abad ke-20, kapitalisme diatur oleh visi lembaga-lembaga publik yang sempit yang diperlukan untuk mendukungnya. Dalam prakteknya, jangkauan negara sering melampaui konsepsi ini (seperti, katakan, dalam kasus pensiun hari tua yang diperkenalkan Bismarck di Jerman pada 1889). Tapi pemerintah tetap memandang peran yang dimainkannya dalam perekonomian dalam lingkup yang terbatas.

Semua mulai berubah ketika masyarakat berkembang menjadi lebih demokratis dan serikat buruh serta kelompok-kelompok lainnya memobilisasi diri melawan penyalahgunaan yang menurut mereka dilakukan oleh kapitalisme. Kebijakan antimonopoli dimulai di Amerika Serikat. Kegunaan kebijakan moneter dan fiskal yang aktivis ini diterima secara luas setelah terjadinya Depresi Besar. Pangsa belanja publik dalam pendapatan nasional meningkat dengan cepat di negara-negara industri dari rata-rata di bawah 10 persen pada akhir abad ke-19 menjadi lebih dari 20 persen sesaat sebelum Perang Dunia II. Dan setelah perang, sebagian besar negara menerapkan kebijakan kesejahteraan sosial yang menyerap rata-rata lebih dari 40 persen pendapatan nasional ke dalam sektor publik.

Model "ekonomi campuran" ini merupakan mahkota pencapaian abad ke-20. Keseimbangan baru antara negara dan pasar ini membuka jalan bagi era kohesi sosial, stabilitas, dan kemakmuran di negara-negara maju yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang berlangsung sampai pertengahan 1970-an. Model ekonomi campuran in mengurai mulai 1980-an dan seterusnya dan sekarang tampaknya sudah ambruk. Alasan ambruknya model ekonomi ini dapat dinyatakan dalam satu kata: globalisasi.

Ekonomi campuran pascaperang ini dibangun untuk dan berjalan pada level nation-state. Ia membutuhkan terkendalinya ekonomi internasional. Rezim Bretton Woods-GATT menuntut adanya suatu bentuk integrasi ekonomi internasional yang "dangkal" serta kontrol atas arus modal internasional yang, menurut John Maynard Keynes dan ekonom sezamannya, krusial bagi pengelolaan ekonomi dalam negeri. Negara-negara diminta melakukan liberalisasi perdagangan yang terbatas seadanya saja dengan memberikan banyak kekecualian bagi sektor-sektor yang dianggap sensitif dalam masyarakat (pertanian, tekstil, jasa). Kebijakan ini membiarkan negara-negara bebas membangun versi kapitalisme nasional mereka sendiri, selama mereka mematuhi beberapa aturan internasional yang sederhana saja sifatnya.

Krisis yang terjadi saat ini menunjukkan betapa jauh kita sudah beranjak dari model tersebut di atas. Globalisasi finansial, terutama, telah mengacaukan aturan yang lama. Ketika kapitalisme gaya Cina bertemu dengan kapitalisme gaya Amerika, tanpa katup pengaman yang memadai, terjadilah campuran yang eksplosif. Tidak ada mekanisme pelindung untuk mencegah berkembangnya banjir likuiditas global, dan kemudian, beserta gagalnya regulasi di Amerika Serikat, timbulnya booming perumahan yang spektakuler dan meletusnya gelembung tersebut. Begitu juga tidak ada perintang jalan internasional untuk mencegah menjalarnya krisis dari titik pusatnya.

4.Penutup

Money makes money, barangkali sebuah nilai yang dapat secara substantif menjadi karakter kapitalisme. Didalamnya memiliki energi tambahan yakni menempatkan kebebasan individu sebagai motor penggerak. Namun wajah asli kapitalisme seperti waktu kelahirannya tampak selalu berubah. Dari fase yang dikatakan Fulcher dengan kapitalisme anarkis sampai pada managed capitalism, atau dalam bahasa Habermas dinamakan Late Capitalism atau dalam wajah kapitalisme yang lebih manusiawi dinamakan dengan wellfare state.

Lalu bagaimanakah posisi para penentang kapitalisme. Untuk menyebutkan ide-ide Marx dengan harapan adanya kemenangan kaum proletar dipastikan sudah ada di alam kubur. Wacana ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam masih melakukan usaha untuk kancah peran. Namun energi yang dimiliki apakah sekuat energi yang dimiliki kapitalisme. Untuk itu ada baiknya menengok pemikiran Iqbal saat manusia ingin mencapai sesuatu. Bahwa manusia dalam pencapaian dari potensius menuju aktus. Menurut Muhammad Iqbal, periode kehidupan religius melalui masa faith (kepercayaan), kemudian thought (pemikiran) dan lantas discovery (penemuan). Penemuan ini adalah sampainya manusia pada Realitas Tertinggi (M. Iqbal, 1984).

5.Referensi

Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.

Fulcher, James.,Capitalism: A Very Short Introduction, Oxford University Press, 2004

Habermas, J., Letigimation Crisis, Polity Press, Cambridge Oxford, 1988.

Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978.

Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (terjemahan), LP3ES, Jakarta, 1991.

Lerner, R.E., Western Civilization, Volume 2, W.W. Norton & Company, Ney York-London, 1988.

Mangunwijaya, Y.B., Mencari Landasan Sendiri, Esei Pada Harian Kompas 1 September 1998, Jakarta.

Marcuse, H., One Dimensional Man, Beacon Press, Boston, 1991.

Murchland, B., Humanisme dan Kapitalisme, (terjemahan), Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.

Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York, 1970.

Universitas Islam Bandung

Judul: Capitalism (A Very Short Introduction)

Penulis: James Fulcher

Penerbit: Oxford University Press

Tahun Terbit : 2004

Pengulas: Yuhka Sundaya

Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung

Buku ini menyajikan pengetahuan mengenai apa (ontology) dan bagaimana (episteme) kapitalisme. Tidak seperti biasanya, buku ini hadir tanpa pengantar. Tidak heran, karena buku Fulcher sendiri secara keseluruhan adalah sebuah pendahuluan menuju studi kapitalisme yang lebih dalam.

Secara keseluruhan, penjelasan Fulcher diarahkan untuk menjawab tujuh pertanyaan dasar. Pertanyaan dasar menjadi motivasi untuk dilakukan studi yang lebih dalam mengenai kapitalisme. Pada bagian akhir bukunya, Fulcher menyajikan sumber acuan untuk studi lebih lanjut. Pertanyaan dasar yang menjadi fokus Fulcher adalah (1) apakah kapitalisme itu ? (2) darimana datangnya kapitalisme ? (3) bagaimana dengan kita saat ini ? (4) apakah, di setiap tempat, kapitalisme itu sama ? (5) sudahkah kapitalisme itu mengglobal ? (6) se-global apakah kapitalisme global itu ? (7) apakah krisis itu ? Dengan cara ini Fulcher menangkap pola kapitalisme. Fulcher melakukan pengamatan terhadap sejarah ekonomi (activity) untuk menjawab pertanyaan tersebut. Fulcher juga membuka beberapa dongeng (myth) dalam klaim kapitalime global. Karena itu timbul keraguan atas klaim kapitalisme global. Pertanyaan Fulcher terakhir berisi penjelasan mengenai prospek kapitalisme.

“Kapitalisme adalah investasi uang dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan” simpul Fulcher. Definisi kapitalisme itu disusun dari tiga macam fitur kegiatan ekonomi : perdagangan (merchant), penanaman modal atau pembiayaan usaha (capitalist), keuangan (financial). Dari literatur sejarah tiga kegiatan ekonomi tersebut, tersirat bahwa terjadi pergeseran dari fitur ekonomi rumahtangga (self-sufficiency) menuju spesialisasi produksi dan konsumsi.[footnoteRef:2] Terdapat beberapa ciri umum kapitalisme : (1) keuntungan dibagi dengan pemegang saham (shareholders), (2) ada portofolio usaha untuk meminimisasi resiko usaha, (3) praktek monopoli dalam pasar produk dan pasar tenaga kerja menjadi alternatif cara untuk meredam resiko usaha, (4) munculnya inovasi teknis untuk menekan biaya produksi, (5) pasar dimanipulasi dengan menumpuk stok dan menahan penjualan, dan (6) munculnya ketegangan antara persaingan dan konsentrasi usaha. Fulcher menunjukkan sejarah ekonomi, dimana kapitalisme menjadi penyebab munculnya pertikaian antara kelompok pekerja dengan pemilik usaha. Di bawah kapitalisme, sumber daya waktu divaluasi secara moneter. Waktu kerja (work time spent) menjadi pertimbangan tingginya upah kerja, dan karenanya waktu luang dipandang sebagai kesempatan yang menghilangkan pendapatan upah uang. [2: Lihat juga sejarah perekonomian umum yang ditulis oleh Weber (dialih bahasakan oleh Knight (1961)). Istilah ekonomi rumahtangga (household economic) digunakan untuk menggambarkan kegiatan ekonomi tradisional. Produksi yang dibuat oleh pelaku ekonomi tidak seluruhnya diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar, tapi sebagian hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (self-sufficiency).]

“Kapitalisme tumbuh subur di Negara Inggris (Britain) dan Eropa”, simpul Fulcher berikutnya. Hubungan pemilik usaha dengan pekerja di Abad ke-18 menjadi bukti hubungan kapitalis. Kendali yang cukup ketat (rigor) dari pemilik usaha atau pemilik modal (capitalist) memicu konsentrasi kelompok pekerja untuk membangun asosiasi.

Dalam perkembangan itu, gagasan Smith (1776) diklaim Fulcher sebagai penelur kapitalisme. Menurut Fulcher kebaikan dari konsep pembagian kerja, persaingan, operasi pasar yang bebas, dan maksimisasi keuntungan melalui produksi adalah beberapa ciri mekanisme dan prinsip ekonomi kapitalis.[footnoteRef:3] Kapitalisme di Inggris merupakan pergeseran sistem feodal yang berlaku sebelumnya. [3: Ungkapan Fulcher ini perlu dikritisi. Dalam merespon perekonomian merchantilist, Smith sendiri menyebutnya sebagai “the dragon of merchantilists”. Ungkapan Smith tersebut menunjukkan bahwa ia memandang bahwa sistem kapitalisme merchant bukan merupakan tatanan ekonomi yang harmonis (lihat Smith (1776) dan Ekelund (1975), Keraf, Sundaya (2003)). Karena itu, Smith yang merupakan titisan dari Stoisisme dan Physiocrats (laizes faire laizes passer la mondel va allors de lui meme), secara eksplisit merekomendasikan visi sistem liberal sebagai sosok anti dari kapitalisme yang terjadi pada masa merkantilisme dan kolonialisme. Sayangnya, peristiwa merkantilisme pada saat Raja Louis XIV berkuasa yang menampilkan hubungan politik pengusaha dengan raja (pemerintah) tidak terekam pada bagian awal buku Fulcher. Gagasan Smith memang diklaim sebagai bentuk kapitalisme setelah munculnya Karl Marx. Ini adalah persoalan logika saya sejak lama. Gagasan kapitalisme selalu sepadan dengan liberalisme. Menurut saya ada perbedaan yang sangat jelas diantara keduanya (Sundaya, 2003).]

“Kapitalis produksi di Eropa juga memiliki sejarah panjang”, tegas Fulcher. Kapitalis produksi tersebut tersebar di Flunders atau Itali pada Abad ke-14 dan 5, yang kemudian menyebar ke Jerman. Di Itali, pada awalnya, terdapat pabrik tenun kain (weaper-drapers) yang membutuhkan sedikit modal untuk usahanya. Tapi pada Abad ke-13 tumbuh perdagangan baju mewah, dengan proses produksi yang lebih rumit, mengarah pada kebutuhan sejumlah besar modal. Industri tersebut mengimpor bulu domba (wool) dari Inggris. Karena itu, komersialisasi pertanian di Inggris terkait dengan produksi pakaian di Itali.

Terdapat beberapa bentuk kapitalisme dilihat dari sisi institusinya. Kapitalisme anarki, terkelola dan remarketized adalah tiga tipe institusi kapitalisme. “Kapitalisme telah mengubah dunia, tapi kapitalisme itu sendiri mengalami transformasi”, kata Fulcher. Dalam merefleksi kapitalisme saat ini (current), Fulcher coba membongkar penjelasan tiga macam institusi kapitalisme tersebut. Kapitalisme anarki, disebut seperti itu, yang berkembang pada Abad ke-18 dan awal Abad ke-19, tidak dikendalikan oleh organisasi pekerja dan negara. Usaha kecil terlibat dalam persaingan yang ketat satu sama lain, sedangkan tenaga kerja bersifat mobile, mengalir ke dalam bangunan industri baru, dan membangun kanal, jalan, rel kereta yang membuka transportasi masal terhadap barang dan orang. Persaingan usaha manufaktur kecil, lemahnya organisasi tenaga kerja, deregulasi ekonomi, kekuatan negara, dan minimnya kesejahteraan negara merupakan fitur yang saling menguatkan pada tahap awal perkembangan kapitalisme anarki. Keyakinan bebas dalam kemerdekaan individu merupakan ciri khusus pada periode ini. Liberalisme hadir sebagai gagasan yang kuat yang kemudian melapisi lagi gagasan “neo-liberal”.

Kemudian, seiring dengan membesarnya perusahaan, fungsi manajemen dan keahlian manajerial serta asosiasi mengalami pertumbuhan. Peristiwa ini terjadi pada awal Abad ke-9, yang berikutnya mengubah sifat industrialisme kapitalis dan diklaim sebagai “managerial revolution”. Pada masa ini pemegang saham memperoleh kekuatan untuk mengendalikan usaha. Ini adalah bentuk manage capitalism yang dimaksud Fulcher. Bentuk institusi kapitalisme ini kemudian sirna (collapse) di tahun 1970an seiring dengan munculnya welfare state di tahun 1960-an. Dan kapitalisme berubah bentuk menjadi remarketized capitalism yang cenderung menggunakan mekanisme pasar sebagai corak pengambil keputusan (desentralized economy).

Kapitalisme ternyata memiliki corak yang serupa di setiap negara. Meski Fuclcher mengambil sampel bentuk kapitalisme di negara Swedia, Amerika dan Jepang, ia berargumen bahwa di tiga negara kapitalis tersebut telah tumbuh kelas organisasi dan kelas konflik, telah mendorong upaya pemerintah untuk mengelola masalah masyarakat kapitalis. Ini menegaskan pernyatan Fulcher bahwa kapitalisme global telah mengalami integrasi.

Meski kapitalisme global sering diklaim telah berintegrasi, pada pihak lain, perbedaan internasioanl semakin meningkat. Menurut Fulcher, istilah kapitalisme global harus digunakan secara hati-hati.

Pertemuan Breton Woods tahun 1940-an telah memotivasi tumbuhan lembaga ekonomi keuangan internasional : IMF dan World Bank. Kedua institusi ekonomi itu mempromosikan ideologi pasar bebas. Institusi tersebut mengadvokasi tiga kunci dan kesalinghubungan kebijakan, yaitu (1) kontraksi fiskal untuk pemborosan anggaran pemerintah dan mengelimisasi sirnanya kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, (2) privatisasi untuk mengeliminir perusahaan yang tidak efisien dan (3) liberalisasi untuk mengeliminir hambatan perdagangan yang saat ini dikendalikan oleh WTO. Dominannya kapitalisme global dicirikan oleh runtuhnya negara sosialis.

Istilah kapitalisme global telah membangkitkan dongeng yang kuat dan salah arah (misleading). Setidaknya ada empat macam dongen menurut Fulcher. Pertama, kapitalisme global diangap sebagai bentuk baru, padahal memiliki akar sejarah yang dalam. Kedua, modal mengalir secara global, padahal kenyataannya modal tersebut hanya mengalir diantara kelompok kecil di negara kaya. Ketiga, kapitalisme saat ini dikelola secara global tinimbang nasional. Terakhir, kapitalime telah berintegrasi, padahal diikuti oleh senjangnya kesejahteraan. Inilah alasan Fulcher mengapa istilah “kapitalisme global” harus digunakan dengan hati-hati.

Terdapat beberapa peristiwa yang penting dicatat untuk mengevaluasi efek kapitalisme. Sekurang-kurangnya Fulcher coba membidik beberapa peristiwa : tulip bubble, krisis Abad ke-19, depresi besar tahun 1930-an, krisis keuangan dan ledakan teknologi informasi. Peristiwa sejarah dan peristiwa yang belum lama ini terjadi menjadi sinyal kuat rentannya sistem kapitalis. “Kapitalisme mudah terinfeksi krisi, karena produksi terpisah (separately) dari konsumsi”, ungkap Fulcher.

13