distribusi tanah negara. draft laporan akhir

70
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Jl. Taman Surapati No. 2 Jakarta 10310 Indonesia D R A F T L A P O R A N A K H I R DISTRIBUSI TANAH NEGARA Tenaga Ahli : 1. Sulaefi, Ph.D. 2. Dr. Agus Surono, S.H., M.H. 3. Drs. Herry Yogaswara, M.A. LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP ) IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – IND

Upload: pustaka-virtual-tata-ruang-dan-pertanahan-pusvir-trp

Post on 18-Jan-2016

248 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Sulaefi, Ph.D; Dr. Agus Surono, S.H., M.H; Drs. Herry Yogaswara, M.A. LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP )IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – INDBappenas

TRANSCRIPT

Page 1: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Jl. Taman Surapati No. 2 Jakarta 10310 Indonesia

D R A F T L A P O R A N A K H I R

DISTRIBUSI TANAH NEGARA

Tenaga Ahli :

1. Sulaefi, Ph.D. 2. Dr. Agus Surono, S.H., M.H. 3. Drs. Herry Yogaswara, M.A.

LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP )

IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – IND

Page 2: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

DAFTAR ISI

Halaman Daftar Isi …..……………………………………………………………………..………………………… i Daftar Tabel ….…………………………………………………………………………………………… ii Daftar Gambar ….…………………………………………………………………………….………… ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang …………………………………………………………………………… I-1 1.2. Metodologi Studi……………………………….………………….………….………… I-3

1.2.1. Pendekatan Umum ...........................................................……… I-3 1.2.2. Teknik Pengumpulan Data Dan Informasi ......................……… I-4

1.3. Sistematika Pelaporan ..................................................................……… I-5

BAB 2 KEBIJAKAN DISTRIBUSI TANAH PADA MASA LALU DAN SEKARANG

2.1. Redistribusi Tanah Pertanian ………….……….............................………… II-1 2.2. Transmigrasi .........……………………………………………………........………… II-4 2.3. Distribusi Tanah Dan Reforma Agraria Di Kawasan Hutan …………… II-6

2.4. Program Pembaruan Agraria Nasional …………….......………….............. II-10 2.5. Program PIR .......................................................................................... II-13 2.6. Pengalaman Kebijakan Agraria di Negara Lain ................................... II-18

BAB 3 PEMBELAJARAN DARI EMPAT LOKASI STUDI

3.1. Pendahuluan ……………………......................................................………… III-1 3.2. Propinsi Kalimantan Timur ......………………………….....................……… III-2

3.2.1. Gambaran Umum ....................…………………………........………… III-2 3.2.2. Isu Dan Temuan Penting Dari Lapangan .......……........………… III-5

3.3. Propinsi Riau ......………………………….........................................………… III-8 3.3.1. Gambaran Umum ...................……………………..…….......………… III-8 3.3.2. Isu Dan Temuan Penting Dari Lapangan ………...........………… III-10

3.4. Propinsi Lampung ......………………………….................................………… III-11 3.4.1. Gambaran Umum …………………………………………….......………… III-11 3.4.2. Isu Dan Temuan Penting Dari Lapangan ...……….........………… III-13

3.5. Propinsi Jawa Tengah ......…………………………...........................………… III-16 3.5.1. Gambaran Umum …………………………………...……….......………… III-16 3.5.2. Isu Dan Temuan Penting Dari Lapangan ....……..............……… III-20

BAB 4 KETERSEDIAAN OBJEK, CALON PENERIMA MANFAAT DAN

MEKANISME DISTRIBUSI TANAH NEGARA

4.1. Objek Tanah Negara …………………………………………………………………… IV-1 4.2. Tanah Negara Obyek Distribusi ................................................………… IV-4

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

i

Page 3: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

4.3. Kriteria Calon Penerima Manfaat Distribusi Tanah Negara ...………… IV-9

4.4. Mekanisme Distribusi Tanah Negara ..........................................……… IV-11

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan ………………………………………………………………........………… V-1 5.2. Rekomendasi ……………………………………………………………........………… V-2

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

ii

Page 4: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1. Skema Program Akses Masyarakat Terhadap Hutan ...........… II-8

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

iii

Page 5: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1. Perkembangan Jumlah Dan Prosentase Penduduk Miskin Propinsi Kalimantan Timur ..............................................…......

III-4

Gambar 3.2. Perkembangan Jumlah Dan Prosentase Penduduk Miskin

Propinsi Riau…………………......................................................... III-9

Gambar 3.3. Perkembangan Jumlah Dan Prosentase Penduduk Miskin

Propinsi Lampung...................................................................… III-11

Gambar 3.4. Perkembangan Jumlah Dan Prosentase Penduduk Miskin

Propinsi Jawa Tengah ...................................................…………. III-17

Gambar 4.1. Mekanisme Distribusi Tanah Negara Dan Mencegah Konflik

Sosial ……………………………………………………………………………… IV-9

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

iv

Page 6: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

PENDAHULUAN

1

1.1. Latar Belakang

Salah satu isu penting dalam perumusan kebijakan tanah nasional adalah pendistribusian tanah negara sebagai suatu usaha untuk mewujudkan keadilan terhadap tanah untuk semua orang Indonesia. Keinginan untuk menerapkan program-program pendistribusian tanah pada intinya adalah dalam rangka mengurangi jumlah petani tuna-kisma.

Distribusi tanah bukanlah hal baru dalam kebijakan agraria di Indonesia. Beberapa program yang telah dilakukan diantaranya adalah land reform dan transmigrasi. Namun kedua kebijakan tersebut memerlukan penyempurnaan dalam mekanismenya, mengingat berbagai perkembangan dinamika politik, ekonomi dan perkembangan masyarakat. Demikian pula pencapaian kedua program tersebut tampaknya masih belum sesuai dengan yang diharapkan dari rancangan awal program-program tersebut.

Namun demikian, dari berbagai pengalaman melakukan land reform di Indonesia permasalahan yang seringkali muncul sebagai berikut : Pertama, siapa yang harus menerima tanah dari program land reform (apakah semua petani; hanya petani berlahan sempit; buruh tani atau rumahtangga miskin yang lain)? Kedua, dimana land reform harus diselenggarakan (hanya di Jawa, di Jawa dan luar Jawa)? Ketiga, berapa luas tanah yang seharusnya diberikan kepada penerima tanah program land reform (ukuran skala ekonomi, tanah pekarangan, lainnya)? Keempat, tanah apakah yang seharusnya didistribusikan untuk program land reform, apakah tanah HGU yang sudah habis masa berlakunya, tanah yang melebihi batas maksimal pemilikan, dan tanah absentee,). Kemudian, kompensasi apa yang seharusnya diberikan oleh pemerintah untuk mengganti tanah obyek land reform (harga pasar, NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), lainnya)? Kelima, berapakah biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk kompensasi tanah objek land reform beserta biaya administrasinya, serta berapa banyakkah rumahtangga yang

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

I-1

Page 7: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

memperoleh manfaat dari program land reform dan berapakah biaya per rumahtangga?

Selain kelima masalah tersebut di atas, hal yang penting untuk diperhatikan mengenai masalah land reform antara lain meliputi beberapa persoalan. Pertama, haruskah pihak penerima tanah membayar harga tanah yang mereka terima? Kedua, haruskah pihak penerima tanah dilarang untuk mengalihkan hak atas tanahnya untuk periode tertentu? Ketiga, siapa yang akan berperan serta di dalam panitia land reform di desa (atau struktur pemerintahan yang lain) yang akan memutuskan rumah tangga mana yang akan menerima tanah di tiap desa? Keempat, pada level pemerintahan yang mana, yang seharusnya mengurusi administrasi program land reform, dan bagaimanakah caranya agar program land reform dapat berjalan secara singkat dan cepat dengan mengurangi adanya penundaan dan menekan biaya administrasi? Kelima, siapakah yang akan memonitor program land reform untuk memastikan bahwa tujuan program tersebut akan tercapai?

Demikian halnya dengan transmigrasi, walaupun di sana-sini kita mendengar kisah sukses dari wilayah-wilayah transmigrasi yang sekarang telah berkembang menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi wilayah tertentu. Namun daerah-daerah transmigrasi yang ditinggalkan oleh para transmigran, maupun munculnya konflik-konflik sosial dengan penduduk lokal merupakan indikasi adanya permasalahan mekanisme dari program tersebut.

Kemudian berbagai program lainnya yang menyangkut distribusi tanah maupun akses terhadap pengelolaan sumber daya alam lainnya muncul seperti skema Perusahaan Inti-Rakyat (PIR), seperti PIR perkebunan (PIR-BUN), PIR Transmigrasi (PIR-Trans), PIR peternakan, PIR pertambakan. Kemudian dari sektor kehutanan terdapat inisiatif seperti Tumpang Sari, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), PMDH, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan lainnya. Demikian pula ”inisiatif” pemerintah daerah seperti program redistribusi tanah di Kabupaten Kutai Timur; program Hutan Tanaman Industri pola Inti-Plasma di kabupaten Pasir Kalimantan Timur, akses masyarakat terhadap hutan di Wonosobo, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI) di Lampung dan sebagainya.

Belajar dari berbagai pengalaman distribusi tanah dari berbagai program yang disebutkan di atas, maka studi ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan, yaitu :

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

I-2

Page 8: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

a. Untuk menjelaskan, menggambarkan dan menetapkan kriteria atau ukuran untuk mengidentifikasi Tanah Negara, yang meliputi juga menurunkan/merubah status hutan negara, dan apa yang layak dipilih untuk pendistribusian atau untuk pembagiannya;

b. Untuk mengidentifikasi jumlah dan lokasi tanah yang mempunyai potensi untuk dijadikan tanah yang menjadi obyek pendistribusian;

c. Untuk menentukan kriteria dalam mengidentifikasi dan memilih penerima tanah yang distribusikan yang layak dipilih untuk mendapatkan tanah tersebut;

d. Untuk merancang mekanisme penditribusian tanah dan pertimbangan potensi penggunaan tanah yang didistribusikan, serta untuk penggunaan lainnya;

Disamping tujuan tersebut di atas, maka dalam kajian ini juga akan juga menilai kerangka kerja dari segi hukum dan kelembagaan dalam mengimplementasikan program distribusi tanah negara yang potensial secara efisien dan transparan.

1.2. Metodologi Studi

1.2.1. Pendekatan Umum

Tanah negara di Indonesia tersebar di seluruh wilayah dengan karakteristik yang berbeda-beda. Keragaman karakter ini perlu untuk diperhatikan agar generalisasi yang nantinya mungkin untuk diambil dapat mewakili keragaman ini. Untuk itu, lokasi kajian pun akan tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Disadari bahwa representasi secara ilmiah akan sulit dicapai dengan berbagai kendala biaya, waktu dan teknis lainnya maka studi lapangan akan dilakukan di empat lokasi terpilih

Studi lapangan dilakukan di empat propinsi, yaitu propinsi Kalimantan Timur, Propinsi Riau, Propinsi Lampung dan Propinsi Jawa Tengah. Propinsi Kalimantan Timur dan Riau telah diidentifikasi mewakili wilayah yang potensial untuk melakukan assesmen aplikasi berbagai metode distribusi tanah negara. Kedua propinsi ini juga mewakili kondisi yang spesifik dari sistem tenurial tradisional, dimana sebuah metode yang spesifik untuk mengidentifikasi dan mendistribusi lahan harus sesuai dengan adat kebiasaan. Propinsi Lampung merupakan salah satu wilayah percontohan dari program access reform BPN yang

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

I-3

Page 9: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

mencoba memperlihatkan sinergi antara pemerintah, masyarakat dan kalangan swasta. Sedangkan propinsi Jawa Tengah mewakili suatu region yang secara demografis penduduknya padat, memiliki sejarah agraria mulai masa kolonial hingga kemerdekaan yang di dalamnya memunculkan konflik-konflik sosial yang cukup rumit.

Untuk studi lapangan ini, para informan kunci dan nara sumbernya terdiri dari para pihak yang ada di lingkungan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, akademisi, organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat yang potensial menjadi calon penerima manfaat distribusi tanah negara dan juga masyarakat yang akan terkena dampak distribusi tanah (masyarakat lokal). Para pihak yang ada di lingkungan pemerintah daerah antara lain dari Kanwil BPN propinsi, Dinas/Kantor/Badan di kabupaten/kota mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pertanahan, bidang kehutanan, bidang transmigrasi, bidang perkebunan, bidang tata kota dan lainnya. Sedangkan para akademisi adalah yang berasal dari perguruan tinggi setempat yang mempunyai kompetensi dalam kajian agraria. Selain itu kelompok tanipun termasuk salah satu yang disasar oleh studi ini

1.2.2. Teknik Pengumpulan Data & Informasi

a. Kelompok diskusi fokus (Focus Group Discussion) dan Pertemuan Komunitas

Metode Kelompok Diskusi Fokus digunakan untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan kondisi tanah negara serta akseptabilitas masyarakat sekitarnya di lokasi kajian. Metode Diskusi Fokus ini mempunyai kekuatan dari sisi konsensus terhadap berbagai pendapat yang dianggap bertentangan dari satu pihak terhadap pihak lainnya. Diskusi Fokus ini akan dilakukan secara bertingkat, mulai dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota hingga tingkat komunitas

b. Observasi Lapangan.

Pada dasarnya observasi lapangan dilakukan sebagai upaya pengamatan langsung tentang kondisi existing di wilayah sasaran, yaitu dokumentasi mengenai kondisi tanah negara. Selain itu, observasi lapangan juga dimaksudkan untuk mendapatkan informasi langsung pada masyarakat seputar isu pertanahan yang ada dan dirasakan selama ini, serta harapan penyelesaian atas permasalahan

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

I-4

Page 10: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

yang ada. Dengan demikian, informasi yang diperoleh dari observasi lapangan ini akan berguna sebagai tambahan masukan dan informasi ketika melakukan analisis dan interpretasi, atas isu, masukan dan usulan untuk menyusun mekanisme pendistribusian tanah yang kompromistis namun efektif. .

c. Dokumentasi

Terdapat empat aspek yang direview oleh tim. Pertama, kajian peraturan dan per-undangundang-an mengenai agraria umumnya dan tanah negara khususnya. Kedua, review terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan program-program distribusi tanah pada masa lalu, khsusunya yang berkaitan dengan land-reform, transmigrasi dan perkebunan rakyat, inisiatif-inisiatif bidang kehutanan dalam hal akses pemanfaatan tanah hutan termasuk hutan negara dan Ketiga, review tentang pengalaman-pengalaman distribusi tanah pada beberapa negara, dalam hal ini tim studi akan membatasi pada Vietnam, Kamboja, Filipina dan Malaysia. Keempat negara ini merupakan negara-negara di Asia Tenggara yang mempunyai pengalaman dengan reforma agraria.

1.3. Sistematika Pelaporan

Dalam penulisan laporan ini mengacu kepada sistematika sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang, metode dan sistematika penulisan

BAB II : Kajian Kebijakan Distribusi Tanah Negara. Pada bab ini akan diuraikan tentang redistribusi tanah Negara, land reform, transmigrasi, distribusi tanah dan reforma agrarian pada kawasan hutan, serta pengalaman kebijakan agrarian di Negara lain.

BAB III : Pembelajaran dari empat lokasi studi. Pada bab ini akan diuraikan tentang pendahuluan, temuan di masing lokasi studi yang terdiri dari Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Riau, Provinsi Lampung dan Provinsi Jawa Tengah. Dalam temuan di lokasi studi tersebut akan dimulai dengan terlebih dahulu mengemukakan gambaran umum, isyu penting dan kemudian diakhir bab ini akan dikemukakan tentang hasil temuan di masing-masing lokasi studi

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

I-5

Page 11: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir –Kajian Distribusi Tanah Negara

BAB IV : Ketersediaan Tanah dan Calon Penerima. Pada bab ini akan diuraikan tentang objek tanah Negara dan calon penerima program distribusi tanah Negara

BAB V : Kesimpulan dan Rekomendasi. Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan rekomendasi terhadap hasil penelitian

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

I-6

Page 12: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

KEBIJAKAN DISTRIBUSI TANAH PADA MASA LALU DAN SEKARANG

2

Kebijakan distribusi tanah untuk masyarakat Indonesia telah dan sedang ditempuh oleh pemerintah. Beberapa program tersebut diantaranya adalah redistribusi tanah pertanian, transmigrasi, Pola Perusahaan Inti-Rakyat, akses masyarakat di kawasan hutan dan terakhir Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Selain itu, beberapa negara di kawasan Asia Tenggara juga melakukan berbagai program yang pada intinya memberikan akses kepada masyarakat miskin untuk menguasai dan memiliki luasan lahan tertentu. Dari berbagai kebijakan distribusi tanah, baik di Indonesia maupun negara lainnya di Asia Tenggara, diharapkan adanya hikmah (lesson learned) yang dapat dipelajari untuk program distribusi tanah yang sesuai dengan kondisi ekonomi, politik, aspek legal dan sosial masyarakat Indonesia.

2.1. Redistribusi Tanah Pertanian

Menurut Prof Maria Sumardjono (2005 : 51), program land reform digunakan sebagai strategi untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah pertanian telah diawali dengan penerbitan UU No 56 Prp tahun 1960, berikut pelbagai peraturan pelaksanaannya. Salah satu strategi yang dipilih adalah redistribusi tanah pertanian yang berasal dari (1) tanah-tanah kelebihan batas maksimum, (2) tanah swapraja, (3) tanah partikelir, (4) tanah guntai (absentee) dan (5) tanah negara.

Program land reform sangat terkait dengan sektor pertanian. Kebijakan land reform yang terkait dengan sektor pertanian dapat didasarkan pada Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Inti dari program landreform terhadap tanah pertanian melalui strategi redistribusi tanah pertanian yang berasal dari tanah kelebihan batas maksimum, tanah guntai (absentee), tanah swapraja, tanah partikelir dan tanah Negara.

Salah satu kegiatan yang cukup penting dalam program land reform adalah tentang masalah redistribusi tanah. Redistribusi tanah adalah pengambil alihan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum oleh pemerintah, kemudian dibagikan kepada para petani yang tidak memiliki lahan. Landasan

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-1

Page 13: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

hukum dalam kegiatan redistribusi tanah diatur oleh PP No.224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (LN 1961 No.28, Penjelasan dalamTLN No.2322). Dalam Pasal 1 PP tersebut dinyatakan bahwa tanah-tanah yang dalam rangka pelaksanaan land reform akan dibagikan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini adalah:

1) Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam UU No.56 Prp tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan tersebut.

2) Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal diluar daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 5.

3) Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara, sebagaimana dimaksud dalam diktum keempat huruf A UUPA.

4) Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Selain PP No.24 tahun 1961, redistribusi tanah diatur juga oleh PP No.41 tahun 1964 (LN 1964 No.112; penjelasannya dimuat dalam TLN No.2702). Kedua peraturan pemerintah ini merupakan induk pelaksanaan redistribusi tanah. Satu hal penting yang ada pada PP No.224 tahun 1961 dan PP No.41 tahun 1964 adalah diberikannya ganti kepada masyarakat yang diambil tanahnya oleh pemerintah karena untuk keperluan pelaksanaan redistribusi tanah (Pasal 6 ayat 1 PP No.224/1961). Setelah selesai melakukan pengambil alihan tanah kelebihan tersebut, maka pemerintah membagikan tanah tersebut pada para petani yang sangat membutuhkan (Pasal 8 PPNo.224/1961). Dalam pasal tersbut dinyatakan bahwa petani yang berhak untuk menerima tanah distribusi tersebut adalah:

1) Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;

2) Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;

3) Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;

4) Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan;

5) Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;

6) Penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan pasal 4 ayat 2 dan 3;

7) Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 Ha;

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-2

Page 14: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

8) Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 Ha;

9) Petani atau buruh tani lainnya.

Bertolak dari ketentuan Pasal 8 ayat 1 tersebut, ketentuan ini juga memberikan prioritas utama kepada beberapa kelompok masyarakat. Dalam pasal 8 ayat 2 dinyatakan bahwa: “prioritas dalam ayat 1 pasal ini jika terdapat:

a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari dua derajat dengan bekas pemilik, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya 5 orang;

b. Petani yang terdaftar sebagai veteran;

c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur;

d. Petani yang menjadikorban kekacauan,

Memperhatikan ketentuan pada pasal 8 ini, dalam peraturan ini ditentukan bahwa sebelum mendapat pembagian tanah-tanah yang telah diambil oleh pemerintah tersebut, para petani yang dimaksudkan harus memenuhi persyaratan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 9, yaitu:

a. Syarat-syarat umum: warga negara Indonesia, bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan dan kuat bekerja dalam pertanian;

b. Syarat-syarat khusus: bagi petani yang tergolong dalam prioritas a, b, c, f, dan g, telah mengerjakan tanah yangbersangkutan sekurang-kurangnya 3 tahun berturut-turut. Bagi petani yang tergolong prioritas, telah mengerjakan tanahnya 2 musim berturut-turut. Bagi pekerja tetap yang tergolong prioritas c, telah bekerja pada bekas pemilik selama 3 tahun berturut-turut.

Selanjutnya, dalam Pasal 10 juga dinyatakan bahwa penetapan luasnya dilakukan dengan memakai ukuran sebagai berikut:

a. Penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas 1 Ha atau lebih, tidak mendapatkan pembagian;

b. Penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas kurang dari 1 Ha, mendapat pembagian seluas tanah yang dikerjakan, tetapi jumlah tanah milik dan tanah yangdibagikan kepadanya tidak boleh melebihi 1 ha;

c. Penggarap yang tidak memiliki tanah sendiri, mendapat pembagian seluas tanah yang dikerjakan, tetapi tanah yang dibagikan kepadanya tidak boleh melebihi 1 Ha;

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-3

Page 15: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

d. Petani yang tergolong dalam prioritas b,d,e, dan f Pasal 8 ayat 1 mendapat pembagian tanah seluas sebagai ditetapkan dalam huruf a, b, dan c tersebut di atas;

e. Petani yang tergolong dalam prioritas c, g, h, dan f Pasal 8 ayat 1 mendapat pembagian tanah untuk mencapai 0,5 Ha.

Sedangkan untuk daerah yang tidak padat sebagaimana dimaksudkan dalam UU No.56 Prp tahun 1960, maka luas 1 Ha seperti tersebut dalam huruf a, b, c, dan d sertaluas 0,5 Ha seperti tersebut pada huruf e ayat 1 pasal ini dapat diperbesar oleh panitia landreform daerah tingkat II yang bersangkutan, dengan mengingat luas tanah yang tersedia untuk dibagikan dan jumlah petani yang memerlukannya Pasal 10 ayat 2.

2.2. Transmigrasi

Dasar hukum program transmigrasi di Indonesia adalah UU 3 tahun 1972 tentang ketentuan pokok transmigrasi, yang kemudian diikuti oleh PP No 42/1973. Kemudian UU No 3/1972 ini digantikan oleh UU 15/1997. Dalam UU 3/1972 disebutkan bahwa kepada setiap keluarga transmigran dibagikan minimal 2 ha lahan pertanian. Kemudian dalam PP 42/1973 disebutkan pula bahwa bantuan pemerintah kepada transmigran pada hakekatnya merupakan kredit yang harus dikembalikan. Oleh sebab itu sebetulnya transmigrasi merupakan salah satu sector pembangunan nasional yang secara langsung berkaitan dengan pembagian (redistribusi) tanah pertanian (Puslitbang Ketransmigrasian 2006 : 19). Walaupun tidak ada teks resmi dalam UU yang menyatakan bahwa program transmigrasi merupakan pengganti pelaksanaan land reform, Namun dengan adanya pengaturan yang memberikan transmigran 2 ha lahan per KK, yang diikuti dengan kredit-kredit lainnya merupakan ciri dari program landreform seperti yang tersurat dalam UU No 56/1960.

Pencapaian secara kuantitatif program transmigrasi terlihat pada masa administrasi Presiden Soeharto dengan program Pelita (Pembangunan Lima Tahun)-nya. Dalam Pelita I (1969-1974) sebanyak 46,268 KK; Pelita II (1974-1979) 82.959 KK; Pelita III (1979-1984) 371.668 KK; Pelita IV (1984-1989) 750.150 KK; Pelita V (1989-1994) 265.259 KK dan Pelita VI (1994-1998) 292.519. Namun selanjutnya ketika orde reformasi yang dimulai sejak tahun 1998, yang diikuti pula oleh pemberlakuan otonomi daerah, program transmigrasi mengalami penurunan yang signfikan. Misalnya tahun 2000 sekitar 6489 KK; tahun 2001 sebesar 15.868; tahun 2003 sebesar 15.000 KK; tahun 2004 sebesar

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-4

Page 16: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

9134 KK; tahun 2005 619 KK dan tahun 2006 sebesar 4901 KK. Pemberlakukan otonomi daerah yang memperkuat identitas lokal dan semakin sulitnya memperoleh tanah-tanah yang layak untuk kepentingan transmigrasi menyebabkan program ini semakin tidak berkembang. Beberapa daerah secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap keberadaan transmigrasi dengan isyu ”Jawanisasi”, seperti yang terjadi di Kabupaten Kutai Barat, propinsi Kalimantan Timur.

Pencapaian secara kuantitas yang relatif tinggi untuk program transmigrasi pada masa orde baru (1968-1998) memperlihatkan bahwa program ini memang didukung oleh suatu pemerintahan yang kuat dan bahkan seringkali melakukan berbagai pelanggaran dalam implementasi programnya, mulai dari mencari calon transmigran di tempat asal, hingga cara-cara mendapatkan lahan untuk satuan pemukiman yang seringkali berhadapan dengan hak-haki lokal tertentu dalam penguasaan tanah.

Hasil Penelitian Anharudin, dkk (2006) memperlihatkan adanya dampak penerapan otonomi daerah dengan proses penyediaan lahan untuk lokais transmigrasi. Sejak masa sebelum reformasi hingga saat ini, pemerintah (Depnakertrans) telah memiliki prosedur dan cara-cara penyediaan lahan untuk transmigrasi sesuai UU yang berlaku. Misalnya, Pasal 23 UU No.15 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah (Pusat) menyediakan tanah bagi penyelenggaraan transmigrasi. Tanah yang diperoleh Pemerintah untuk penyelenggaraan transmigrasi berstatus hak pengelolaan (HPl)” Sebagai implikasi otonomi, Pemerintah (Depnakertrans) saat ini tidak lagi memiliki kewenangan (administratif) untuk menyediakan lahan guna pembangunan transmigrasi, dan kewenangan tersebut kini berada pada pemerintah daerah (provinsi dan atau kabupaten-kota), termasuk persoalan pencadangan tanah (lahan) transmigrasi. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi, disebutkan bahwa apabila lahan untuk transmigrasi merupakan atau berasal dari tanah negara2, maka Menterilah yang harus mengajukan hak pengelolaannya kepada Badan Pertanahan Nasional.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Puslitbang Transmigrasi, tahap-tahap untuk mendapatkan lahan untuk suatu wilayah transmigrasi adalah sebagai berikut:

1. Tahap I, Perencanaan WPT dan atau LPT berbasis RUTRWK. Dalam tahap ini harus sudah dilakukan sosialisasi, musyawarah, PRA (Participatory Rural Appraisal ), Konsultasi, Public Hearing, pendekatan kepada masyarakat, dan apapun nama dari aktivitas itu. Juga harus sudah dikenali kultur tanah masyarakat setempat

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-5

Page 17: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

sebagai basis untuk kegiatan pelepasan dan ganti rugi atau kompensasi yang diperlukan.

2. Tahap II, Pembebasan Lahan. Proses pembebasan dilakukan dengan ganti-rugi tanam-tumbuh sesuai kesepakatan. Hasil dari tahap ini bagi pemerintah daerah akan menjadi semacam Bank Tanah. Dalam tahap ini harus sudah dilakukan sterilisasi (evakuasi) atau pengosongan wilayah, jika memang areal yang dicadangkan sudah diokupasi atau terdapat penduduk yang tinggal di dalamnya.Pembebasan lahan dilakukan dengan cara-cara kultural, misalnya jika diperlukan adanya upacara-upacara ritual yang lazim dilakukan oleh penduduk setempat.

3. Tahap III, Perencanaan Detail Teknis Permukiman. Dalam tahap ini sudah diketahui berapa daya tampung, jumlah warga yang akan ditempatkan, baik TPA maupun TPS, komplit dengan rekomendasi komposisinya.

4. Tahap IV, Pembukaan Lahan dan sekaligus penyiapan bangunan serta sarana dan prasarana permukiman (dan usaha). Dalam tahap ini sudah bisa sekaligus ditempatkan transmigran di akhir tahun anggaran sebagaimana yang selama ini lazim dilakukan.

2.3. Distribusi Tanah dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan

Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 61% dari seluruh wilayah darat Indonesia. Oleh sebab itu sangat mungkin banyak penduduk yang sangat tergantung dengan sumber daya hutan, baik itu sumber daya tanahnya maupun dari hasil hutan kayu maupun non kayu. Berdasarkan data dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2003 (via Fay dan Sirait 2006 : 10), penunjukan kawasan hutan berdasarkan Paduserasi TGHK dan RTRWP di Indonesia seluas 120.353.104 ha. Kemudian pada akhir tahun 2003 Departemen Kehutanan telah sepenuhnya menetapkan 12 juta hektar dari kawasan hutan sebagai kawasan hutan negara. Pengertian kawasan hutan negara disini adalah “kawasan hutan yang tidak dibebani hak tertentu.

Walaupun menggunakan terminologi kawasan hutan, Namun tidak seluruhnya merupakan suatu kawasan yang berpohon. Menurut Departemen Kehutanan, sekitar 24 juta hektar kawasan hutan tidak ditumbuhi pohon sama sekali (ibid : 10). Angka ini memperlihatkan bahwa kawasan hutan negara memegang peranan yang penting dalam konteks distribusi tanah negara, yaitu tanah-tanah yang berasal dari kawasan hutan yang dapat dikonversi berdasarkan

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-6

Page 18: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

peraturan yang berlaku. Berkaitan dengan peranan yang demikian penting dari kawasan hutan untuk kepentingan distribusi tanah yang pro-poor, tampaknya ada dua opsi yang dapat dilakukan. Pertama adalah perubahan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) untuk kepentingan tanah-tanah distribusi mellaui peraturan yang berlaku a yang dapat didistribusikan berdasarkan peraturan yang berlaku. Sedangkan opsi kedua adalah kawasan hutan dipertahankan, namun terdapat beberapa program yang memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan tanah di kawasan hutan dengan mengendepankan security tenure dan kemudian memperhatikan sistem tenurial local yang selama ini dilakukan.

Terdapat lima bentuk land reform pada kawasan hutan, yaitu (Iman Santoso, 2006 : 17), yaitu (1) land reform plus pada tanah kawasan yang pada masa lalu telah dilepas untuk peruntukan lain, terutama perkebunan, namun hingga kini belum termanfaatkan (belum terbangun menjadi kebun), bahkan belum bersertifikat (HGU atau sertifikat lainnya), (2) land reform plus pada tanah kawasan hutan yang masuk dalam kategori hutan produksi yang dapat dikonversi, yang sampai saat ini Belum dibebani hak atas tanah secara formal/sah; (3) pemberian hak pengelolaan hutan kepada masyarakat hukum adat pada kawasan hutan tetap, baik yang masuk dalam kategori Hutan Suaka Marga Satwa (SM), Hutan lindung (HL), maupun Hutan Produksi (HPT dan HP); (4) pemberian hak penggunaan kawasan hutan masyarakat lokal/setempat untuk menggunakan sebagian dari lahan kawasan hutan tetap sebagai tempat tinggal dan lahan usahanya, yang tidak bertentangan dengan prinsip konservasi hutan dimana mereka berada (perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya hutan); dan (5) pemberian hak pemanfaatan hasil hutan kepada masyarakat pendatang untuk tinggal di dalam kawasan hutan tetap dan memungut serta memanfaatkan hasil hutan secara berkelanjutan sesuai dengan prinsip konservasi hutan

Lima bentuk opsi land reform yang ditawarkan untuk kawasan hutan ini pada dasarnya mencakup berbagai struktur kemasyarakatan yang berbeda, mulai dari masyarakat lokal, masyarakat pendatang hingga masyarakat adat. Kemudian terdapat tiga alas hak yang dapat digunakan, mulai dari hak kelola, hak penggunaan dan hak pemanfaatan kawasan hutan.

Institusi kehutanan, mulai dari Departemen Kehutanan, BUMN Kehutanan hingga dinas-dinas di tingkat propinsi, kabupaten dan kota tampaknya telah mempunyai berbagai opsi untuk membuka pengelolaa hutan yang berbasis partisipasi komunitas. Berdasarkan analisis yang dibuat oleh Prof.Dr Mustofa Agung Sardjono (2007), Community Participated Forest Management (CPFM) di Indonesia sebetulnya telah lama dilakukan di Indonesia. Programnya mulai dari

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-7

Page 19: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Tumpang sari, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KDTI), Hutan Desa, Hutan Adat, Perhutanan Social, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat dan lainnya, seperti Hutan Kota. Dari berbagai program tersebut, kegiatannya mulai dari hanya model “pembinaan” masyarakat desa hutan hingga pemberian akses untuk mengelola tanah di kawasan hutan, seperti HKm dan PHBM.

Dalam Tabel 2.1. akan disajikan skema-skema kegiatan tersebut dan implikasinya terhadap distribusi tanah negara di kawasan hutan.

Tabel 2.1.

Skema Program Akses Masyarakat terhadap Hutan

Skema Target wilayah dan luarannya untuk

komunitas

Aktor yang berkuasa dan posisi komunitas lokal

Dasar Hukum

PMDH Desa-desa didalam atau sekitar hutan produksi

Kontribusi social dari perusahaan swasta peemgang HPH

Dephut melalui para pemegang HPH

Masyarakat lokal atau desa sebagai target group atau penerima manfaat

SK Menhut N0 691/1991, direvisi No 69/1995, direvisi No 523/1997

Tumpang Sari

Bagian dari hutan produksi negara, khususnya di jawa

Akses pemanfaatan lahan pertanian dan hasil hutan non-kayu

Perhutani

Kelompok Tani dari penduduk desa setempat

SK Internal

PHBM Hutan Produksi yang berbatasan dengan desa-desa khususnya di Jawa

Akses pemanfaatan kawasan hutan, pretallan dn seluruh produk hasil hutan

Perhutani

Masyarakat desa sebagai mitra dan penerima manfaat pengelolaan hutan

SK Dewan Penasihat Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001

HKm Hutan Produksi, hutan lindung dan area konservasi

Kawasan hutan berdasarkan fungsinya (akses lahan, hasil hutan kayu dan non kayu dan jasa lingkungan)

Departemen Kehutanan

Komunitas lokal sebagai manajer/operator hutan dengan hak-hak dan kewenangan yang terbatas

SK Menhut No 622/1995, direvisi No 677/1998. direvisi 865/1966, direvisi No 31/2001 dan mngikuti PP No 6/2007

KDTI Hutan Produksi terbatas dan Hutan Lindung

Kawasan hutan dan produk atau jasa-jasa dalam

Departemen Kehutanan tetapi didelegasikan kepada komunitas/kelembagaan lokal

SK Menhut No 47 1998

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-8

Page 20: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

kelembagaan lokal Komunitas lokal sebagai manajer

HD Hutan negara (Belem terlalu jelas)

Belum jelas, tetapi kemungkinan institusi tradisional atau masyarakat desa sebagai manajer dan penerima manfaat

UU Kehutanan 41/1999

PP No 6/2007

PP 49/2008

HA Hutan negara (Belum terlalu jelas)

Belum jelas tetapi mungkin institusi tradisional sebagai manajer dan penerima manfaat

UU 41/1999

Masih berupa RPP Hutan Adat

PS Hutan Negara dan lahan pribadi (¿)

Produk hasil hutan dan hutan berbasis produk industri

Pemerintah pusat

Komunitas lokal sebagai manajer dan penerima manfaat

SK Menhut No P 01/2004

SK Ditjen RLPS No 146/2003

HTR Hutan Negara/hutan produksi

Kayu, tetapi mungkin hasil hutan non-kyu

Pemerintah Pusat

Komunitas lokal sebagai implementor

PP 6/2007

HR Tanah milik individu yang legal (diluar hutan negara)

Bergantung dari pemilik

Pemerintah Kota/kabupaten

Komunitas lokal sebagai pemilik dan manajer

UU Kehutanan 5.1967 revisi UU 41/1999

PP 62/1998

HK Tanah milik p privat atau non hutan

Jasa Lingkungan

Pemerintah pusat mendelegasikan kepada pemerintah kota/kabupaten

Publik sebagai penerima manfaat

PP 63/2002

Peraturan Lokal

Sumber : Sarjono, 2007 : 9-10

Dalam program-program akses kehutanan ini, terdapat 3 bentuk akses yang mempunyai kemiripan nama, namun sesungguhnya berkaitan dengan kawasan hutan yang berbeda, yaitu Hutan Tanaman Rakyat (HTR) , Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Berdasarkan PP No 6/2007 HTR hanya akan dikembangkan pada areal kawasan hutan produksi yang tidak dibebani ha apapun. Sedangkan hutan rakyat jelas-jelas dibangun di luar kawasan hutan negara atau berada pada hutan hak (hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah). Sedangkan Hutan Kemasyarakatan memungkinkan dikembangkan di hutan konservasi (kecuali cagar alam dan zona inti Taman Nasional, hutan produksi dan hutan lindung (Emila dan Suwito, 2007 : 14).

Demikian halnya dengan inisiatif dari Perhutani melalui tumpang sari dan kemudian PHBM. Walaupun dalam kenyataan di lapangan terdapat inisiatif lainnya dari masyarakat seperti PSDHBM Wonosobo yang sempat di-perda-kan

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-9

Page 21: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

(Perda Kabpaten Wonosobo No 22/2001), namun pada akhirnya dicabut oleh Mendagri. Inisitif lokal inipun kemudian bernegosiasi dengan inisiatif dari Perhutani, sehingga muncul konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari (PSDHL) (Suwito, 2007 : 16-17)

Masyarakat adat sebetulnya mempunyai peluang dalam hal akses terhadap pengelolaan kawasan hutan, seperti dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No 47/1998 tentang KDTI untuk Repong Damar di Krui Lampung. Kemudian, melalui UU No 41/1999 telah dibuka peluang untuk konsep Hutan Adat, namun Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) hingga kini belum selesai dibahas, terutama menyangkut keberatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap konsep ”hutan negara” yang ada dalam UU 41/1999.

2.4. Program pembaruan Agraria Nasional (PPAN)

Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) merupakan suatu flagship dari pemerintahan SBY-JK yang pada intinya merupakan implementasi dari Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan sumber Daya Alam. Walaupun program ini belum mempunyai suatu Peraturan Pemerintah yang secara khususs mengawal program, namun dalam landasan humum yang terdiri dari 15 Undang-undang dan 9 Peraturan Pemerintah, terlihat bahwa PPAN sejatinya bersifat lintas sektor. PPAN bertujuan antara lain :

• Menata kembali ketimpangan struktur pengusahaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil,

• Mengurang kemiskinan,

• Menciptakan lapangan kerja,

• Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi,terutama tanah,

• Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan,

• Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup,

• Meningkatkan ketahanan pangan

Direncanakan program reforma agraria ini akan berlangsung dalam kurun waktu tujuh tahun (2007-2014). Secara umum, pelaksanaan program ini mencakup empat lingkup kegiatan sebagai berikut: [1] penetapan obyek, [2] penetapan subyek,[3] mekanisme dan delivery system untuk distribusi aset tanah, dan [4] bentukbentuk pengembangan access reform. Menurut BPN (2007) akan dialokasikan tanah seluas seluas 8,15 juta ha di luar Jawa. Tanah seluas ini

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-10

Page 22: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

diidentifikasi dari areal indikatif kawasan hutan produksi konversi yang akan dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan. Sedangkan untuk wilayah berpenduduk padat, BPN telah mengidentifikasi tanah negara seluas 1,1 juta ha dari berbagai sumber yang dapat dialokasikan sebagai obyek reforma agraria. Dengan demikian, luasan keseluruhan tanah obyek reforma agraria ini adalah seluas 9,25 juta ha. PPAN akan dimulai pada tahun 2007 hingga tahun 2014 dan akan membutuhkan dana APBN dan APBD sebesar Rp 161,875, trilyun.

Adapun rencana PPAN dari mulai tahun 2007 hingga 2014 adalah sebagai berikut :

Tahun Padat Penduduk

(Ha)

Kurang Padat Penduduk

(Ha)

Total Area

(Ha).

2007 3,480 25,520 29,000

2008 57,120 418,880 476,000

2009 84,000 616,000 700,000

2010 120,000 880,000 1,000,000

2011 180,000 1,320,000 1,500,000

2012 267,000 1,958,000 2,225,000

2013 204,000 1,496,000 1,700,000

2014 194,400 1,425,600 1,620,000

Total 1,110,000 8,140,000 9,250,000

Sumber : Handouts presentasi BPN, 2007

Berkaitan dengan rancang bangun yang ditetapkan oleh BPN terdapat 4 pilar utama, yaitu penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme dan delivery system untuk distribusi aset tanah, dan bentukbentuk pengembangan access reform.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-11

Page 23: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Berkaitan dengan penetapan obyek, maka beberapa prinsip utamanya adalah :

• Obyeknya adalah tanah negara

• Untuk wilayah kurang padat dialokasikan tanah seluas 8,15 juta ha di luar Jawa

• Untuk wilayah padat luas tanah negara yang dialokasikan seluas 1,1 juta ha

• Obyek tanah : (1) tanah bekas HGU,HGB atau HP; (2) tanah yang terkena ketentuan konversi; (3) tanah yang diserahkan oleh pemikiknya; (4) tanah hak yang pemiliknya melangga; (5) tanah obyek landreform; (6) tanah bekas obyek land reform; (7) tanah timbul, (8) tanah bekas kawasan pertambangan, (9) tanah yang dihibahkan oleh pemerintah, (10) tanah yang dibeli oleh pemerintah, (11) tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah, (12) tanah dari hutan produksi yang dapat dikonversi dan (13) tanah dari hutan produksi konversi yang dilepaskan

• Tujuan dari obyek tanah tersebut adalah untuk : Menata ulang ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; mengurangi kemiskinan; menciptakan lapangan kerja; Memperbaiki akses rakyat kepada sumbersumber ekonomi, terutama tanah; Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, dan Meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah tangga.

Sedangkan terkait dengan penetapan subyek adalah :

• Kriteria umum dan Kriteria khusus. Kriteria umum ada 3 yaitu WNI, Berusia 18 tahun atau sudah menikah dan Miskin. Kriteria khusus yaitu (a) bertempat tinggal atau bersedia tinggal di kecamatan letak tanahnya, (b) kemauan yang tinggi untuk mendayagunakan tanah dan (c) memiliki asset yang benrilai < 15 juta rupiah

• Penetapan prioritas penerima; yaitu tidak memiliki tanah, jumlah tanggungan keluarga, lamanya bertempat tinggal, mata pencaharian dan pendidikan.. Kemudian ditetapkan enam urutan prioritas

Sedangkan yang berkaitan dengan mekanisme dan delivery sistemnya terdiri dari:

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-12

Page 24: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Model I : Mendekatkan obyek ke tempat subyek. Dalam model ini, tanah dari daerah surplus tanah atau tidak padat penduduk didekatkan ke daerah minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat.

Model II : Mendekatkan subyek ke tempat letak obyek. Dalam model ini calon penerima manfaat (subyek) berpindah secara sukarela (voluntary) ke lokasi tanah yang tersedia.

Model III : Subyek dan obyek di satu lokasi yang sama. Model ini berlaku untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang sama.

Sedangkan pengembangan access reform berdasarkan prinisp-prinsip :

(a) Penyediaan infrastruktur dan sarana produksi,

(b) Pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat,

(c) Dukungan permodalan,

(d) Dukungan distribusi pemasaran serta dukungan lainnya.

2.5. Program PIR

Program Perusahaan Inti Rakyat merupakan suatu upaya untuk memeratakan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam, yaitu dengan mengintegrasikan sistem usaha berskala besar (perusahaan) swasta maupun BUMN dengan para petani yang ada disekitarnya. Tujuan idealnya adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat dilakukan oleh perusahaan diimbangi dengan pemerataan terhadap masyarakat disekitarnya. Selain itu, perusahaan inti yang dianggap mempunyai teknologi yang lebih baik dapat menstransfer kemampuan teknologi kepada para petani. Pada sisi lainnya, para petani diharapkan mempunyai akses terhadap sumber daya alamnya melalui hak kepemilikan terhadap tanah dan menjadi tuan diatas tanahnya sendiri. Program PIR ini pada awalnya dilakukan untuk Perkebunan, sehingga dikenal dengan sebutan PIR-BUN. Namun dalam perkembangannya terdapat berbagai usaha lainnya yang menggunakan skema PIR, antara lain Tambak Inti Rakyat (TIR), PIR peternakan hingga HTI Inti dan Rakyat

Pola Usaha PIR perkebunan sendiri telah mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Sistem Perkebunan Inti Rakyat. Walaupun sebelumnya telah ada aturan-aturan untuk mengaturnya seperti, Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1986

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-13

Page 25: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

tentang Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat Yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 668/Kpts/KB/510/10/1985 tentang Petunjuk Umum Pelaksanaan Proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan, kemudian Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi Nomor : 571 / Kpts / KB.510 / 1988 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) di Wilayah Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dan Unit Pelaksanaan Proyek (UPP);

Perkebunan Pola Perusahaan Inti Rakyat selanjutnya disebut PIR BUN adalah pengembangan perkebunan yang menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagi plasma yang dibiayai dari berbagai sumber pendanaan dan dilaksanakan dalam suatu sistem kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan.

Perusahaan Inti adalah badan usaha berbentuk badan hukum berupa usaha menengah atau usaha besar milik swasta atau badan usaha milik negara termasuk badan usaha milik daerah atau koperasi yang melakukan kegiatan usaha dibidang perkebunan yang bertindak sebagai inti pada PIR BUN. Kebun Plasma adalah areal kebun yang diperuntukkan bagi petani baik yang dibangun di lahan milik petani dan atau lahan milik negara dengan tanaman perkebunan oleh perusahaan inti. Petani Plasma adalah petani yang memiliki lahan untuk dijadikan kebun plasma dan atau petani yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

PIR dapat disebut sebagai salah satu skema distribusi tanah yang mempunyai dasar hukum dan aturan pelaksanaan yang cukup lengkap, termasuk mendefisnisikan siapa itu perusahaan inti dan plasma, termasuk hak dan kewajibannya. Dalam Keputusan Menteri Pertanian NO. : 60/Kpts/KB.510/2/98 tentang Pembinaan dan Pengendalian Pengembangan Perkebunan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) disebutkan antara lain hak dan kewajiban masing-masing pihak Misalnya dalam pasal 11 SK Menteri tersebut memuat hak-hak koperasi atau petani plasma, yaitu :

a. Memperoleh bimbingan dan pembinaan dari Perusahaan Inti sesuai ketentuan yang berlaku.

b. Memperoleh informasi tentang sumber pendanaan oleh Perusahaan Inti.

c. Memperoleh kesempatan untuk memiliki sebagian unit pengolahan hasil perusahaan inti sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

d. Ikut membantu dalam pembangunan kebun.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-14

Page 26: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

e. Memperoleh tanaman yang memenuhi standar teknis.

Selain itu diatur pula kewajiban dari para petani dan koperasi yang menaungi para plasma, yaitu :

a. Mengikuti secara aktip perkembangan pelaksanaan Kebun Plasma oleh Perusahaan Inti dan mengupayakan penyelesaian terhadap penyimpangan yang terjadi.

b. Melaksanakan atau mengkoordinasikan pengangkutan hasil produksi Petani Plasma ke pabrik dan penyediaan saprodi.

c. Mengkoordinasikan pemeliharaan jalan produksi/koleksi dan pemeliharaan tanaman.

d. Mendorong petani plasma untuk menabung dan atau ikut asuransi guna menyediakan dana untuk peremajaan antara lain melalui IDAPERTABUN.

e. Mengembangkan pengelolaan kebun secara bersama melalui kelompok hamparan.

f. Mencegah penjualan produksi kepada pihak lain dan mencegah adanya pungutan di luar ketentuan.

Sedangkan dalam Pasal 12 disebutkan pula hak-hak dan kewajiban dari Perusahaan Inti, yaitu :

a. Menentukan sistem manajemen untuk menjamin kwalitas dan produktivitas kebun.

b. Memperoleh daftar petani, lokasi dan luas lahan pemilikan serta menentukan tata ruangnya.

c. Memperoleh seluruh produksi Petani Peserta untuk dibeli dan diolah di pabrik milik perusahaan inti.

Sedangkan kewajiban Perusahaan Inti meliputi :

a. Membangun Kebun Plasma dengan prasarana, kebun inti dan atau pabrik sesuai standar teknis.

b. Meningkatkan kemampuan Kelompok Tani dan Koperasi agar dapat melaksanakan manajemen produksi sehingga tercapai peningkatan mutu dan produktivitas.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-15

Page 27: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

c. Menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan pembangunan kebun kepada Instansi pembina baik investasi maupun fisik.

d. Menanggung kerugian akibat kelalaian dalam membangun Kebun Plasma yang tidak sesuai dengan standar teknis.

e. Menyerahkan Kebun Plasma kepada Koperasi/kelompok tani tepat pada waktunya dengan mutu sesuai standar teknis.

f. Mendorong petani plasma untuk menabung atau ikut asuransi dalam rangka peremajaan tanaman antara lain melalui IDAPERTABUN.

g. Membeli seluruh produksi Kebun Plasma dengan harga yang layak.

Para petani calon peserta plasma biasanya dikenakan beberapa persyaratan tertentu. Persyaratan itu berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya dan biasanya SK Gubernur. Misalnya SK Gubernur Lampung No 111/1998 memberikan beberapa pedoman untuk menentukan persyaratan calon peserta plasma. Dalam pasal 5 SK gubernur tersebut bebera persyaratannya antara lain :

(1) Calon Petani Peserta PIR-BUN terdiri dari penduduk setempat, petani yang tanahnya terkena Proyek PIR-BUN, penduduk yang berdomisisli di Desa/Kelurahan setempat dan petani peladang berpindah dari kawasan Hutan Lindung yang ditetapkan menjadi penduduk yang berdomisili di Desa/Kelurahan terdekat dengan lokasi PIR-BUN.

(2) Bagi penduduk dan atau petani yang tanahnya berada dalam areal proyek PIR-BUN tidak diwajibkan menjadi Plasma.

(3) Penetapan Calon Petani Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas ditetapkan oleh Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan pertimbangan atas usulan Camat Kepala Wilayah Kecamatan dan Kepala Desa Setempat.

Kemudian persyaratan lainnya ditetapkan dalam pasal 6 SK tersebut yaitu:

a. Telah lulus seleksi sebagai calon petani peserta yang dilaksanakan oleh TP3D-II dan Tim Pelaksana Kecamatan Pola Perkebunan Inti Rakyat/Kemitraan;

b. Mata pencaharian pokok adalah petani, minimal memahami tentang bertani;

c. Bersedia menempati rumah yang telah disediakan oleh Perusahaan Inti;

d. Berkelakuan baik, tidak terlibat G 30 S/PKI dan atau organisasi terlarang lainnya, patuh, rajin dan bersungguh-sungguh untuk menjadi peserta Proyek PIR-BUN.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-16

Page 28: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

e. Sehat rohani dan jasmani, umur minimal 25 tahun atau sudah menikah dan maksimal berumur 45 tahun atau lebih apabila dapat menyediakan minimal 1 (satu) orang tenaga efektif;

f. Bersedia mentaati isi Perjanjian dan Peraturan kegiatan PIR-BUN yang telah disepakati;

g. Tidak ikut pada kegiatan pengembangan perkebunan dengan pola PIR-BUN lainnya;

h. Bersedia menandatangani perjanjian bebas dari tunggakan hutang lain dan Perbankan pada waktu konversi diadakan, kecuali dengan pertimbangan lain oleh Pejabat yang berwenang menentukan penetapan sebagai peserta PIR-BUN.

Proyek PIR-TRANS ini merupakan suatu paket pengembangan wilayah yang utuh yang terdiri dari komponen utama dan komponen penunjang. Komponen utama merupakan komponen yang terdiri dari: pembangunan perkebunan inti, pembangunan kebun plasma, pembangunan pemukiman yang terdiri dari lahan pekarangan dan perumahan. Sedangkan komponen penunjang merupakan komponen yang meliputi pembangunan prasarana umum.

Lahan yang disediakan dalam program PIR-TRANS ini terdiri dari tiga jenis lahan. Pertama, lahan untuk perkebunan inti dan kebun plasma yang perimbangan luasnya ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Kedua, lahan untuk pekarangan termasuk untuk rumah sesuai dengan keperluan. Ketiga, lahan untuk komponen penunjang. Adapun luasan lahan yang disediakan untuk masing-masing petani peserta adalah: lahan kebun plasma seluas 2,00 ha dan lahan pekarangan, termasuk tapak perumahan seluas 0,50 ha.

Program PIR-TRANS ini selain melibatkan petani, maka keterlibatan Perusahaan baik BUMN maupun swasta menjadi suatu yang sangat penting. Perusahaan inti tersebut dalam program ini mempunyai kewajiban sebagai berikut:

a. Membangun perkebunan inti lengkap dengan fasilitas pengelolaan yang dapat menampung hasil perkebunan inti dan kebun plasma

b. Melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan petunjuk operasional dan standar fisik yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian

c. Bertindak sebagai pelaksana penyiapan lahan pekarangan dan pembangunan perumahan petani peserta, dengan petunjuk teknis dari Departemen Transmigrasi

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-17

Page 29: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

d. Membina secara teknis para petani peserta agar mampu mengusahakan kebunnya dengan baik

e. Menampung (membeli) hasil kebun plasma dengan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah

f. Membantu proses pelaksanaan pengembalian kredit petani peserta

Hal yang sangat penting dalam keberhasilan program ini adalah petani inti plasma. Petani inti ini terdiri dari beberapa kelompok:

i. Transmigran yang ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi

ii. Penduduk setempat termasuk para petani yang tanahnya terkena proyek yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah

iii. Petani (peladang) berpindah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dari kawasan hutan terdekat yang dikenakan untuk proyek.

Tanaman-tanaman yang ditanam oleh petani biasanya berupa tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, tebu dan jenis tanaman perkebunan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

2.6. Pengalaman Kebijakan Agraria di Negara Lain

Kajian terhadap negara lain adalah upaya untuk memahami pengalaman-pengalaman mereka dalam melakukan distribusi tanah, baik melalui land reform maupun distribusi tanah negara lainnya. Upaya belajar dari negara lain adalah untuk memahami juga berbagai keberhasilan dan kegagalan suatu program. Tentu saja karakter sistem negara, ideologi, aspek politik dan kondisi lokal lainnya perlu dilihat lebih mendalam, agar pengalaman serupa tidak terjadi dalam kebijakan pertanahan di Indonesia.

Filipina merupakan suatu negara yang pada waktu lalu tidak mempunyai program landreform yang signifikan, tetapi sejak tahun 1990an land reform-nya berkembang sebagai suatu komponen penting dalam kebijakan pembangunan dan agenda politik yang mempunyai derajat implementasi yang tinggi. Kemudian Filipina juga mengalami pengenalan dari pendekatan pro pasar terhadap land reform sejak akhir decade 1990-an yang juga dikendalikan oleh program land reform yang dikendalikan oleh negara. Program Comprehensive Agrarian Reform Programme (CARP) seringkali dijadikan acuan pembelajaran bagi negara lain. Tetapi hal ini perlu ditanggapi secara mendalam, mengingat adanya konteks-

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-18

Page 30: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

kontek politik lokal dan revolusi yang terjadi di negara tersebut. CARP pada dasarnya adalah sebuah program agraria yang komprehensif, dalam artian bukan hanya tanah-tanah milik tuan tanah yang dibeli oleh negara, kemudian dimiliki oleh para petani melalui Land Bank. Program ini tidak mudah, mengingat para tuan tanah pemiliki tanah-tanah luas ini kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi kaya dan mempunyai akse politik yang kuat, seperti para anggota kongres, senator bahkan keluarga presiden Filipina sendiri pada waktu itu (Corazon Aquino) berasal dari keluarga tuan tanah.

Vietnam adalah tipe negara yang pada awalnya mempunyai konstruksi sosialis pada waktu yang lalu, dan sekarang ini mempromosikan berbagai variasi bentuk dan derajat orietasi pasar dalam kebijakan pertanahannya yang mempunyai dampak tertentu dalam hal kemiskinan dan ketimpangan. Pada awalnya di Vietnam, ketika komunis mempunyai kekuasaan yang kuat, tanah pada awalnya didistribusikan kepada kaum miskin pedesaan, tetapi segera setalh itu diikuti denngan system pertanian kolektif. Ketika reformasi ekonomi diperkenalkan pada tahun 1989, Vietnam memasuki suatu transisi pada ekonomi yang lebih berorientasi pasar. Sekitar tahun 1981, pemerintah Vietnam memberikan otorisasi kepada individu kepala keluarga untuk memasuki system kontrak produksi dengan melalui koperasi pertanian yang pada akhirnya diformalkan keberadaannya. Diakui bahwa system contract farming ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap struktur dan insentif dan terjadinya peningkatan yang cepat dalam output pertanian pada awal decade 1980-an. Proses decollectivitazion Vietnam, seperti halnya di Cina berisi sebuah redistribusi hak-hak atas lahan.

Di Vietnam, Negara dianggap memiliki tanah. Para petani mempunyai hak untuk menggunakan, mewariskan dan memindah-tangankan penggunaan tanah, untuk menyewakan dan digunakan sebagai jaminan untuk kredit, sehingga tanah menjadi bersifat komersial daripada dimiliki secara secara privat. Para petani mempunyai kepastian tenurial untuk 20 tahun untuk cash crop dan 50 tahun untuk tanah hutan. Penjualan tanah tidak diperkenankan. Kemudian terdapat pengenaan pajak tanah yang dilihat dari proporsi output per hektarnya. Namun terdapat suatu larangan dalam pola-pola penggunaan lahan yaitu secara umum lahan sawah tidak diijinkan dikonversi menjadi tanaman lainnya

Malaysia mempunyai pengalaman dengan FELDA (Federal Land Development Authority) , suatu skema distribusi tanah yang juga dianggap berhasil oleh beberapa kalangan. Namun perlu diperhatikan mengenai keberlanjutan program ini dikaitkan dengan perkembangan penduduk dan perubahan gaya hidup. FELDA didirikan pada bulan juli 1956, sebagai

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-19

Page 31: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

impelementasi dari Undang-undang tanah Federal di Malaysia. Lokasi FELDA pertama seluas 16,2 kilometer persegi yang berfokus pada tanaman karet. Sedangkan pada tahun 2000 saja luas tanah dibawah skema FELDA mencapai 9 ribu kilometer persegi. Kelompok penerima manfaat FELDA adalah mereka yang tinggal di kawasan semenanjung dan program ini sangat terkait dengan kepentingan etnik Melayu. Prioritas diberikan kepada masyarakat pedesaan miskin yang berusia antara 21-50 tahun, menikah dan secara fisik cukup fit untuk mengerjakan lahan. Prioritas teratas adalah bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai lahan pertanian. FELDA merupakan suatu sistem terintegrasi yang dimulai dari usaha perkebunan karet dan kelapa sawit menuju suatu sistem permukiman masyarakat. Para pserta FELDA terikat dengan kredit yang harus dibayarkan selama 15 tahun dengan rata-rata pinjaman sekitar 51, 200 Ringgit Malaysia untuk setiap pemukimannya.

Dalam sistem FELDA, dalam setiap blok terdapat sekitar 19-26 unit, yang setiap unitnya sekitar 4 ha yang dialokasikan bagi para pemukim yang didasarkan hak milik individu Kepala Keluarga (KK). Setiap keluarga ini bertanggung-jawab terhadap pemeliharaan pohon dan tanah berdasarkan kalender yang ditetapkan oleh teknisi FELDA yang ada di lokasi.

Sedangkan Kamboja mempunyai pengalaman-pengalaman dalam distribusi tanahnya yang terkait dengan kondisi negara pasca perang. Oleh sebab itu beberapa contoh distribusi tanah negaranya terkait dengan kepentingan-kepentingan repratriasi, eks-combatant dan lainnya.

Dari pengalaman negara-negara tersebut, dapat dipelajari mulai obyek yang akan didistribusikan, ukurannya, mekanismenya hingga safety guard lainnya seperti program-program yang terkait dengan program intrnsifikasi pertanian dan sebagainya.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

II-20

Page 32: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 1

PEMBELAJARAN DARI EMPAT LOKASI STUDI 3

3.1. Pendahuluan

Kegiatan survey lapangan tim studi distribusi tanah negara dilakukan di empat Provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Riau, Lampung dan Jawa Tengah, berlangsung antara bulan April-Mei 2008. Dalam kegiatan di setiap Provinsi itu, dilakukan dua kali kunjungan. Kunjungan pertama dilakukan dengan fokus pada kabupaten/kota yang dianggap mempunyai kegiatan yang ada kaitannya dengan distribusi tanah negara, seperti di kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur, kabupaten Lampung Tengah, kabupaten Pelalawan, Riau dan kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Selain itu, dalam kunjungan tahap pertama ini dilakukan penjajakan untuk melakukan kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Pemilihan lokasi kajian terkait dengan kerangka acuan yang diberikan, seperti Kalimantan Timur terkait dengan masalah tenurial lokal, Riau dengan masalah PIR, Jawa Tengah dianggap sebagai wilayah dengan tekanan penduduk yang tinggi dan Lampung yang mempunyai pengalaman dengan akses reform.

Dalam kunjungan kedua, di keempat Provinsi dilakukan FGD. FGD Kalimantan Timur diadakan di Samarinda (tanggal 30 April 2008), FGD Riau di kabupaten Pelalawan (tanggal 30 April 2008), FGD Jawa Tengah di kabupaten Wonosobo (tanggal 26 April 2008.) dan FGD Lampung di kabupaten Lampung Tengah (tanggal 8 Mei 2008). Dalam empat FGD tersebut, didapatkan masukan-masukan penting yang terkait dengan studi. Selain itu, melalui FGD, anggota tim studi mendapatkan kesempatan untuk melakukan konfirmasi dari temuan-temuan lapangan, maupun hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan sebelumnya. FGD yang dilakukan di keempat Provinsi tersebut, secara umum mengundang para pihak yang terdiri dari instansi dari Dinas-dinas di lingkungan kabupaten dan Provinsi, Badan Pertanahan Nasional kabupaten dan Provinsi, Bappeda, pakar perguruan tinggi, Organisasi Non pemerintah, pihak swasta, kelompok tani, tokoh adat dan lain sebagainya. Dalam setiap FGD terlihat antusiasme para peserta dalam memberikan sumbangan pemikirannya. Selain itu, kehadiran wakil dari PIU Bappenas dalam FGD di Samarinda dan Pelalawan memberikan dampak positif dalam kegiatan FGD, khususnya peran PIU Bappenas

Page 33: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 2

dalam memberikan konteks terhadap peran dari kajian distribusi tanah negara dalam kerangka kebijakan pertanahan nasional.

Secara umum survey lapangan ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang terkait dengan kemungkinan distribusi tanah negara pada wilayah-wilayah tersebut yaitu identifikasi tentang

1) Apakah tanah negara dan tanah negara seperti apakah yang seharusnya didistribusikan untuk program pendistribusian tanah ?

2) Pengalaman dalam melakukan program-program yang terkait dengan distribusi tanah, termasuk akses terhadap sumber daya hutan

3) Siapakah yang seharusnya menerima tanah dari program pendistribusian tanah Negara ?

4) Berapa luas tanah yang seharusnya diberikan kepada penerima tanah program pendistribusian tanah Negara (ukuran skala ekonomi, tanah pekarangan, atau tanah lainnya)?

5) Mekanisme distribusi tanah seperti apakah yang cocok bagi wilayah tersebut, dan dapat meminimalkan konflik yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari distribusi tanah ?

6) Alas hak seperti apa yang dapat diberikan kepada penerima manfaat distribusi tanah tersebut ?

7) Program-program apa saja yang dapat menunjang kegiatan distribusi tanah, khususnya pembukaan akses-akses ekonomi dan perluasan partisipais masyarakat dalam program distribusi tanah ini

8) Pada level pemerintahan yang mana yang seharusnya mengurusi administrasi program pendistribusian tanah Negara dan bagaimanakah caranya agar program ini berjalan dengan singkat dan menekan biaya administrasi?

3.2. Provinsi Kalimantan Timur

Provinsi Kalimantan Timur menjadi wilayah studi lapangan, karena telah diidentifikasi mewakili wilayah yang potensial untuk melakukan assesmen aplikasi berbagai metode distribusi tanah negara. Provinsi ini juga mewakili kondisi yang spesifik dari sistem tenurial tradisional, dimana sebuah metode yang spesifik untuk mengidentifikasi dan mendistribusi lahan harus sesuai dengan adat kebiasaan (TOR, 2007). Provinsi Kalimantan Timur dipilih terutama untuk melihat kendala distribusi tanah dari segi penguasaan tanah adat dan usaha menemukan metode distribusi tanah yang sesuai dengan sistem

Page 34: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 3

tenurial lokal. Didalam TOR Survey lapangan awalnya dipilih kabupaten Pasir sebagai salahsatu wilayah kunjungan, namun dalam perkembangan di lapangan, yaitu dengan adanya informasi program redistribusi tanah di kabupaten Kutai Timur, maka kunjungan dialihkan ke kabupaten Kutai Timur. Namun, data-data yang terkait dengan kabupaten pasir dapat diperoleh melalui hasil wawancara dengan aktivis LSM yang secara intensif melakukan studi di wilayah Pasir dan beberapa laporan dan artikel yang terkait dengan situasi di kabupaten Pasir.

3.2.1. Gambaran Umum

Berdasarkan hasil studi revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur (Bappeda Kaltim, 2004) luas wilayah daratan Provinsi Kalimantan Timur seluas 200.395 km2, atau 20.039.500 ha. Luas ini merupakan hampir 1.5 kali luas Pulau Jawa. Dari luas tersebut, dibagi habis kedalam dua belas wilayah kabupaten kota, dan menempatkan kabupaten Malinau sebagai kabupaten terluas (4.2 juta hektare) dan kota Tarakan sebagai wilayah terkecil (25 ribu hektar). Dari lebih dari 20 juta hektar luas lahan darat tersebut, sebagian terbesar merupakan wilayah Kawasan hutan (10,1 juta hektar) dan kawasan lindung ( 2,6 juta hektar). Kawasan lindung terdiri dari hutan lindung, Cagar Alam, Taman Nasional, Cagar Alam dan Hutan Pendidikan. Sedangkan luas Kawasan Budi Daya Non Kehutanan (KBNK) seluas 5,3 juta hektar. Dari data-data tersebut dapat dilihat bahwa wilayah Provinsi Kalimantan Timur pada dasarnya merupakan wilayah kawasan hutan, baik yang masih mempunyai pepohonan maupun kawasan yang tidak berpohon lagi.

Dari sisi ekonomi, struktur perekonomian Provinai Kalimantan Timur tahun 2006 didominasi oleh tiga sektor utama, yaitu sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp. 82.700.981,61 juta (41,65 %), sektor industri pengolahan sebesar Rp. 71.805.684,71 juta (36,16 %), dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 12.867.406,12 juta (6,48 %). Sektor pertanian sebesar Rp 10.563.337,55 juta (5,32 %). Padahal dari sisi lapangan pekerjaan, sebagian besar penduduk terserap di sektor pertanian, yaitu sebesar 35,11 persen, selebihnya sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 20,45% persen, dan sektor industri pengolahan sebesar 13,02 persen. Dengan demikian tampak bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor penting dari segi angkatan kerja di Kalimantan Timur.

Page 35: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 4

Dari sisi kependudukan, pada tahun 2003 jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Timur mencapai 2,704.851 jiwa. Jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan dan pedesaan relatif seimbang, yaitu perkotaan (46,79%) dan perdesaan (53,21%). Wilayah perkotaan di Kalimantan Timur, adalah Samarinda, Balikpapan, Bontang dan Tarakan yang mempunyai kepadatan penduduk lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya seperti kabupaten Malinau, kabupaten Berau, kabupaten Kutai timur dan kabupaten Kutai Barat. Pada tahun 2003, wilayah yang paling rendah tingkat kepadatannya adalah Malinau (1,11 jiwa/km2), sedangkan wilayah terpadat adalah Kota Samarinda yang mencapai 717.08 jiwa/km2). Dari data-data kependudukan tersebut dapat dilihat masih banyaknya wilayah dengan penduduk yang tidak padat, namun wilayahnya sangat luas, seperti di Malinau, Kutai Barat, Kutai Timur, Pasir dan Nunukan. Namun demikian, luasnya wilayah tersebut tidak berarti tanah-tanah tersesebut tidak dibebani hak tertentu, seperti wilayah Kuasa Pertambangan, Eks HPH, Tanah Perkebunan yang belum digarap hingga tanah-tanah yang mempunyai hak-hak ulayat tertentu.

Selama tahun 2006, peningkatan angkatan kerja sebanyak 43.832 jiwa, hanya terserap lapangan kerja sebanyak 21.559 jiwa, sehingga pengangguran terbuka meningkat sebesar 22.273 jiwa. Kondisi pengangguran terbuka di Propinsi Kalimantan Timur sebanyak 2.561.525 jiwa atau 15,07% dari angkatan kerja, menunjukkan tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional (10,28%).

Perkembangan jumlah penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Timur pada periode 1999-2004, menurun sebanyak 3,74 juta jiwa atau 44,54 %. Pada awal tahun 2005, penduduk miskin bertambah sebanyak 483.300 jiwa (10,38 %). Namun akibat kenaikan BBM selama tahun 2005, penduduk miskin pada awal tahun 2007 kembali meningkat sebanyak 319.300 jiwa (6,2 %) hingga mencapai 5.456.800 ( 13,55 %).

Penyebaran penduduk miskin pada tahun 2005 di Provinsi Kalimantan Timur sebagian besar berada di perdesaan yaitu sebanyak 2.693.100 jiwa 16,62%. Sementara Penduduk miskin di perkotaan adalah sebanyak 2.444.400 jiwa (10,57%). Memasuki tahun 2007, penduduk miskin di perdesaan mengalami peningkatan sebanyak 2.800.700 jiwa (16,88%), sementara diperkotaan peningkatan sebanyak 2.654.500 jiwa (11,21%).

Page 36: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 5

Gambar 3.1.

Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Kalimantan Timur, (Sumber BPS tahun 2007)

19,3118,88

10,6 13,61

10,57 11,04

32,4829,91

0

5

10

15

20

25

30

35

2005 2007

Kota (0.000 jiw a) Desa (0.000 jiw a)

3.2.2. Isu dan Temuan Penting dari Lapangan

Pengertian tanah negara dari satu pihak dengan pihak lainnya berbeda. Hal ini menguatkan temuan dari tim peneliti LMPDP terdahulu ( lihat laporan : Streamlining land Tenure Instrumen and The Definition and Management of State Land of LMPDP, 2007). Misalnya bagi beberapa pihak yang menganggap sudah tidak ada lagi tanah negara di Kalimantan Timur, karena pada dasarnya tanah-tanah semuanya ada yang mennguasainya. Kemudian ada juga yang mengganggap bahwa tanah-tanah di wilayah hutan, seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai tanah negara, karena diluar kedua wilayah tersebut sudah diduduki oleh masyarakat. Namun ada pula yang menganggap bahwa tanah negara adalah “milik negara”, kemudian ada juga mendefinisikan tanah negara sebagai “tanah yang belum dilekatkan hak”. Definisi yang hampir sama ditekankan pula untuk wilayah hutan negara dengan mengacu pada UU No 41/1999 tentang Pokok-pokok kehutanan. Demikian halnya dengan tanah-tanah yang merupakan eks-HPH, ternyata banyak yang sudah dikuasai oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan

Pengertian yang berbeda ini tentunya mengandung implikasi terhadap luasan tanah-tanah negara berdasarkan sumber-sumber dan obyeknya seperti yang sistem klasifikasi yang digunakan oleh tim peneliti maupun BPN terhadap 13 jenis obyek sumber-sumber tanah negara

% Total (0.000 jiw a)

Page 37: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 6

Salah satu kebijakan pemerintah daerah Provinsi yang mempunyai akibat yang cukup signifikan dalam pengaturan penguasaan tanah negara di Provinsi Kalimantan Timur adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur No 31 Tahun 1995. SK tersebut mengatur “Pedoman Penerbitan Surat Keterangan Penguasaan dan pemilikan Bagunan/Tanaman Diatas Tanah Negara”. Kelahiran SK ini dilatar-belakangi oleh beberapa hal, dua diantaranya adalah (1) di Kalimantan Timur dijumpai penguasaan tanah atas tanah negara yang dilakukan oleh perorangan/Badan Hukum tanpa mengindahkan ketentuan yang berlaku di bidang pertanahan dengan cara memiliki, menguasai dan menggunakan suatu bidang tanah tertentu tanpa dilandasi hak yang sah atau ijin dari pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud dalam Permendagri No 6/1972 (2) tidak ditaatinya prosedur yang ada didalam Permendagri tersebut, berpotensi untuk menimbulkan kerawanan sosial, sebagai akibat banyaknya sengketa-sengketa tanah yang terjadi karena adanya surat keterangan dan surat-surat pernyataan yang tidak dibuatkan register tanah oleh Lurah/Kepala Desa.

Dalam SK Gubernur tersebut lebih banyak kewenangan yang diberikan kepada pihak pemerintah desa/kelurahan, yaitu (1) melakukan pendaftaran terhadap tanah-tanah negara yang ada di desa/kelurahan tersebut (ps 3 ayat 1), (2) mengeluarkan surat penguasaan tanah setelah melalui penelitian lapangan ( pasal 3 ayat 2) (3) Kepala Desa/Lurah menandatangani surat keterangan beserta saksi-saksi, (4) KepalaDesa/Lurah menjadi fasilitator para pihak yang bersengketa apabila terdapat keberatan dari pihak lain mengenai gambar/sketsa dari tanah yang hendak didaftarkan (pasal 7 ayat 1) dan (5) penyimpan arsip surat keterangan (pasal 9 ayat 2). Sedangkan kewenangan kecamatan sangat terbatas, hanya menjadi fasilitator apabila sengketa tidak dapat diselesaikan di tingkat desa (pasal 7 ayat 2) dan penyimpan arsip surat keterangan (pasal 9 ayat 2).

SK 31/1995 ini menurut kalangan BPN Provinsi Kalimantan Timur belum dicabut. Namun dalam prakteknya justru telah menimbulkan berbagai penyalahgunaan kewenangan maupun strategi-strategi dari masyarakat untuk mendapatkan tanah negara yang melebihi luas yang diijinkan per-suratnya, yaitu 2 ha.

Isyu tata ruang menjadi ganjalan utama dalam hal pembangunan di Kalimantan Timur, yaitu dengan belum disetujuinya RTRW Provinsi Kalimantan Timur, dimana salahsatu kendalanya adalah belum ada persetujuan dari Menteri Kehutanan terkait dengan pemanfaatan/pelepasan kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Timur. Selain itu, berdasarkan “Paduserasi” Provinsi Kalimatan timur Tahun 1999, sebagian besar kawasan di Kalimantan Timur merupakan kawasan Hutan da kawasan Lindung, yaitu dari 20.039.500 ha, yang merupakan Kawasan Hutan (10.121.258 ha), hutan lindung (2.574.616 ha), Taman Hutan Raya 61.850 ha, Taman Nasional 198.629 ha dan Hutan

Page 38: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 7

Pendidikan (11.277 ha), sedangkan kawasan yang berada di wilayah Kawasan Budi Daya Non Kehutanan (KBNK) seluas 5.324.448 ha.

Terdapat berbagai inisiatif dari pihak pemerintah pusat, pemerintah Provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN dan kalangan akademisi/ornop terkait dengan redistribusi tanah, dan dilakukan sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Mislanya, (1) Program PPAN di beberapa kabupaten/kota, yang merupakan bendera kegiatan BPN pusat pada intinya dapat menjadi penggerak dalam kegiatan pembangunan daerah, yaitu dengan penguatan hak melalui pemberian sertifikat. Walaupun kegoatan ini tidak mudah dilaksanakan, mengingat kriteria untuk mencari suatu kawasan luas dengan pola aktivitas berbasis pertanian dalam skala yang luas sukar dijumpai di Kalimantan Timur, (2) Program redistribusi tanah pertanian di Kabupaten Kutai Timur, yang awalnya akan membagi-bagikan tanah seluas 5 ha per KK, namun dalam prakteknya adalah 2 ha. Pihak Pemkab Kutai Timur telah mempunyai suatu mekanisme yang disebut dengan “Alur Umum Redistibusi Tanah Pertanian”, yaitu sekitar 11 langkah dari mulai permohonan hingga pemberian sertifikat, yang juga melibatkan BPN pusat dalam hal pemberian SK penegasan. Walaupun pihak Pemkabu Kutai timur mengklaim program ini telah berjalan, namun dalam wawancara dengan beberapa anggota masyarakat, banyak diantara mereka yang belum mengetahui program ini secara jelas, (3) Kegiatan PIR-swadaya oleh Dinas Perkebunan Porpinsi, yaitu memanfaatkan lahan disepanjang jalan trans Kalimantan, (4) insisiatif dari PT inhutani II di kabupaten Pasir, yaitu dengan mengenalkan Hutan-Inti Rakyat, yaitu masyarakat disekitar hutan PT Inhutani menanam tanaman Akasia dan hasilnya dijual kepada PT Inhutani II. Sebagai “inti”, pihak PT Inhutani II memberikan bibit serta penyuluhan kepada masyarakat

Isyu pertanahan di Provinsi Kalimantan Timur berifat kompleks, dan tidak dapat dipecahkan dengan suatu pendekatan tunggal melalui penegakan hukum formal semata-mata. Hal ini terkait dengan berbagai permasalahan hak-hak ulayat yang ada di Provinsi ini, dan harus dipahami dalam konteks sejarah, budaya, politik dan ekonomi lokal. Misalnya, walaupun secara hukum semua tanah-tanah eks-kesultanan telah melebur dalam UUPA, namun dalam kenyataan sehari-hari, klaim-klaim dengan menggunakan nama kesultanan dan situasi sejarah tertentu juga peru diperhitungkan ketika menghadapi permasalahan tanah di Provinsi ini. Demikian halnya dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem pewarisan yang ada di masyarakat, seringkali berhadapan dengan sistem-sistem yang berasal dari luar dan menimbulkan konflik. Beberapa masalah agraria seperti di kabupaten Pasir, Berau dan Nunukan menunjukkan bagaimana pertentangan antara hukum positif dengan hukum adat yang berlaku di masyaraka. Demikian halnya dengan berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang tampaknya cukup bagus sebagai sebuah dokumen peraturan, namun ternyata tidak implementatif di lapangan.

Page 39: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 8

Strategi yang perlu dijalankan dalam pemanfaatan tanah negara ini adalah dengan merangkul dua pihak yang menjalankan usaha, yaitu (1) pihak pemilik modal, dalam kasus perkebunan adalah Perkebunan Besar Swasta (PBS). (2) rakyat yang tidak punya modal. Pihak PBS perlu difasilitasi sebagai prime mover pembangunan. Praktek yang sekarang ini yaitu minimum 20% dari HGU PBS ini dalam bentuk plasma seharusnya justru jangan diambil dari HGU PBS, melainkan menjadi tanggung-jawab pemerintah daerah untuk menyediakannya. Karena akan ditasirkan, minimun 20%, padahal seharusnya bisa lebih. Demikian halnya yang tidak punya modal tidak boleh menjadi penonton, mereka juga kelompok yang harus difasilitais emlalui berbagai program, termasuk sebagai plasma dari kegiatan PBS. Prioritas memang harus diberikan kepada kalangan miskin yang tuna-kisma. Sedangkan alas haknya tergantung pada lokasi dan jenis kegiatan apa yang akan dilakukan.

Tranparansi dari segala urusan yang menyangkut perijinan untuk suatu usaha kegiatan menjadi hal yang harus diutamakan. Transparansi menyangkut berapa lama suatu ijin dan berapa biayanya. Para investor tampaknya tidak mempedulikan berapa harag sebuah perijinan, melainkan adanya kepastian dalam hal pengurusannya

3.3. Propinsi Riau

Propinsi Riau dipilih sebagai wilayah studi lapangan, karena telah diidentifikasi mewakili wilayah yang potensial untuk melakukan assesmen aplikasi berbagai metode distribusi tanah negara. Provinsi ini dipilih mengingat program PIR yang pernah dilakukan di Propinsi ini yang dianggap sebagai salah satu program yang berhasil. Untuk mewakili kabupaten yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah Kabupaten Pelalawan, dimana peneliti secara langsung melakukan survey lapangan dengan melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait yang relevan dengan program pendistribusian tanah Negara ini. Disamping melalui wawancara data-data yang diperoleh oleh peneliti melalui berbagai laporan tertulis/hasil kajian dari instansi terkait seperti Dinas Kehutanan, Bappeda, Dinas Perkebunan serta BPN Kabupaten Pelalawan.

3.3.1. Gambaran Umum

Berdasarkan letak geografi, Propinsi Riau berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Jambi, dan memilki posisi yang cukup strategis karena berbatasan juga dengan negara Malayasia dan Singapore. Dengan luas wilayah seluas 111.228,65 Km2. Secara administrasi Provinsi Riau terdiri dari 11 wilayah kabupaten/kota, yaitu: Pekanbaru, Bengkalis, Kampar, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Siak, Kuantan Singingi, Pelalawan, dan Dumai.

Struktur perekonomian Provinsi Riau tahun 2006 didominasi oleh tiga sektor utama, yaitu: sektor pertambangan dan penggalian sebesar

Page 40: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 9

Rp. 7.427.525,42 juta (42,15 %), sektor pertanian sebesar Rp. 36.294.175,88 juta (21,72 %), dan sektor industri pengolahan sebesar Rp 32.313.284,02 juta (19,34 %). Perkembangan kesempatan kerja berdasarkan kategori sektor formal dan informal pada periode tahun 2006-2007, menunjukkan adanya penurunan di sektor formal sebesar 2,04%, yaitu dari 41,40% pada tahun 2006 menjadi 39,36% pada tahun 2007. Sementara berdasarkan pembagian sektor lapangan kerja utama, Propinsi Riau memiliki komposisi 3 sektor tertinggi, yaitu pertanian (51,47%), perdagangan (15,81%), dan jasa kemasyarakatan sebesar 11,15%.

Penduduk Provinsi Riau tahun 2007 sebanyak 4.934.084 jiwa yang terdiri dari 2.532.828 jiwa laki-laki dan 2.410.410.256 jiwa perempuan. Jumlah penduduk terbesar adalah di Pekanbaru (737.496 jiwa) dan Benkalis (708.363 jiwa).

Perkembangan ketenagakerjaan di Provinsi Riau dalam periode Februari 2006-2007, menunjukkan peningkatan jumlah angkatan kerja sebesar 47,47 ribu jiwa, dan diikuti peningkatan kesempatan kerja sebesar 62,33 Ribu jiwa. Namun, peningkatan jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja sehingga pengangguran terbuka hanya berkurang sebanyak 14,89 ribu jiwa dari tahun sebelumnya.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) tahun 2006 di perdesaan sebesar 57,81% meningkat menjadi 58,08% pada tahun 2007, sementara di perkotaan sebesar 52,33% meningkat menjadi 53,23%. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tahun 2006 di perdesaan sebesar 9,24% menurun menjadi 7,6% pada tahun 2007, sementara di perkotaan sebesar 16,65% meningkat menjadi 16,81%. Kondisi pengangguran terbuka di Propinsi Riau tahun 2007 sebanyak 196,31 ribu jiwa atau 10,39% dari angkatan kerja, menunjukkan tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional (9,75%).

Perkembangan jumlah penduduk miskin di Propinsi Riau pada periode 2005-2007 berkurang sekitar 25.900 jiwa (1,31%), yaitu dari sekitar 600,40 ribu jiwa (12,51%) pada tahun 2006 menjadi 574,50 ribu jiwa (11,2%) pada tahun 2007, dan berada dibawah persentase penduduk miskin nasional sebesar 16,58%. Penyebaran penduduk miskin pada tahun 2005 di Provinsi Riau sebagian besar berada di perdesaan yaitu sebanyak 400,5 ribu jiwa (16,82%) dengan Garis Kemiskinan (GK) sebesar Rp.151.718,00. Sementara Penduduk miskin di perkotaan adalah sebanyak 199,9 ribu jiwa (8,26%) dengan Garis Kemiskinan sebesar Rp. 196.892,00. Memasuki tahun 2007, penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan menjadi 328,2 ribu jiwa (12,9%) dengan peningkatan Garis Kemiskinan sebesar Rp.42.301,00 dari GK tahun 2005. Sementara diperkotaan penduduk miskin berkurang menjadi menjadi 246,4 ribu jiwa (9,53%), dengan kenaikan garis kemiskinan sebesar Rp. 36.840,00 dari GK tahun 2005.

Page 41: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 10

Gambar 3.2.

Perkembangan Jumlah & Persentase Penduduk Miskin Provinsi Riau, (BPS tahun 2007)

4,005 3,282

1,999 2,464

12,5111,2

5,7456,004

0

2

4

6

8

10

12

14

2005 2007

Kota (00.000 jiw a) Desa (00.000 jiw a)

% Total (00.000 jiw a)

3.3.2. Isu dan Hasil Temuan Penting dari Lapangan

Pengertian tanah negara dari satu pihak dengan pihak lainnya berbeda. Berdasarkan hasil wawancara dan FGD yang telah dilaksanakan maka pengertian distribusi tanah Negara lebih cenderung ditafsirkan sebagai pemanfaatan tanah Negara, bukan diartikan dengan membagi tanah Negara atau melakukan distribusi kembali tanah Negara sebagaimana yang dilakukan oleh BPN. Pemanfaatan tanah Negara sebagaimana yang dilakukan di Kabupaten Pelalawan adalah dengan KKPA untuk jenis tanaman kelapa sawit yang diberikan bukan dalam bentuk hak milik.

Masyarakat yang berhak menerima adalah kelompok masyarakat miskin, melalui mekanisme yang hamper mirip polanya dengan program PIR untuk menanam komoditas karet. Namun perkembangannya sejak berkembangnya jenis tanaman kelapa sawit, maka program KKPA ini diperuntukkan untuk menanam kelapa sawit.

Obyek tanah yang mungkin untuk dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tanah hutan ataupun tanah bekas HGU yang tidak dimanfaatkan oleh perusahaan pemegang HGU. Tanah hutan tersebut adalah tanah hasil pelepasan kawasan hutan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan taraf ekonomi.

Page 42: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 11

Luasan tanah Negara yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat adalah lebih kurang 4 Ha apabila ingin meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Namun demikian muncul persoalan adalah adanya tidak sebandingnya antara obyek tanah yang akan dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dengan jumlah penerima program tersebut.

Sedangkan mengenai siapa yang harus terlibat dalam program pemanfaatan tanah Negara ini sebagai narasumber memberikan masukan bahwa dalam pelaksanaannya harus melibatkan pemerintah desa, LSM, BPD.

3.4. Propinsi Lampung.

Propinsi Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian, mengingat kegiatan PPAN yang dilakukan di Provinsi ini telah memasuki kegiatan Access Reform dan adanya dukungan yang kuat dari pihak pemerintah aderah, kelompok tani, pihak swasta dan pihak perbankan.

3.4.1. Gambaran Umum.

Secara geografis Provinsi Lampung terletak di Pulau Sumatera dan berdasakan letaknya memiliki posisi yang strategis sebagai gerbang lalu lintas yang menghubungkan antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, Luas wilayah Provinsi Lampung meliputi areal daratan seluas 35.288,35 KM², termasuk pulau-pulau yang terletak pada bagian sebelah paling ujung tenggara pulau Sumatera. Berdasarkan administrasinya, Provinsi Lampung terdiri dari 10 kabupaten/kota, yaitu: Lampung Utara, Lampung Barat, Tulang Bawang, Bandar Lampung, Lampung Selatan, Tanggamus, Metro, Lampung Tengah, Lampung Timar, dan Way Kanan.

Kondisi sosial ekonomi, struktur perekonomian Provinsi Lampung tahun 2006 didominasi oleh tiga sektor utama, yaitu: sektor pertanian sebesar Rp. 18.131.758,86 juta (37,19 %), sektor perdagangan hotel dan restoran Rp. 7.572.869,78 juta (15,53 %), dan sektor industri pengolahan Rp. 6.146.604,43 juta (12,61 %). Sedangkan Kontribusi sektor lainnya seperti sektor pertambangan dan penggalian sebesar 4,42 persen, sektor jasa-jasa sebesar 10,84 persen, sektor bangunan 5,44 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 7,14 persen, sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan 6,09 persen, dan sektor listrik, gas dan air bersih 0,74 persen. Sementara lapangan usaha dominan penduduk di Provinsi Lampung masih bersumber dari sektor pertanian sebesar 65,15 persen, sektor perdagangan sebesar 14,16 persen, dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 7,59 persen.

Perkembangan penduduk di Provinsi Lampung relatif cukup pesat, hal ini ditunjukan dengan angka pertumbuhan penduduk pada periode 1971-1980 sebesar 5,77 persen per tahun dan mengalami penurunan pada

Page 43: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 12

periode periode 1980-1990 terlihat dengan pertumbuhan per tahun menjadi 2,67 persen. Pada periode tersebut laju pertumbuhan penduduk Provinsi Lampung merupakan yang tertinggi dibandingkan periode lainnya. Pesatnya perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Lampung sebagian besar berasal dari program transpigrasi yang dimulai Sejas tahun 90-an dan sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, dan puncak program transmigrasi di Provinsi Lampung terjadi pada tahun 1981-1985 yaitu seluas 208.853 hektar tanah yang dialokasikan untuk transmigrasi. Hasil sensus penduduk Provinsi Lampung dari tahun 2000 hingga tahun 2006 mengalami pertambahan setiap tahunnya, jumlah penduduk tahun 2000 sebanyak 6.649.181 jiwa, tahun 2002 sebanyak 6.787.655 jiwa, tahun 2003 sebanyak 6.852.998 jiwa, tahun 2004 sebanyak 6.915.950 jiwa, Tahun 2005 sebanyak 6.983.700 jiwa dan pada tahun 2006 menjadi 7.401.100 jiwa.

Perkembangan jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung periode 2005-2007 bertambah sekitar 88.100 jiwa (0,77%), yaitu dari sekitar 1,57 juta jiwa (21,42%) pada tahun 2006 menjadi 1,66 juta jiwa (22,19%) pada tahun 2007, dan berada di atas persentase penduduk miskin nasional sebesar 16,58%. Penyebaran penduduk miskin tahun 2005 di Provinsi Lampung sebagian besar berada di perdesaan yaitu sebanyak 1.167 ribu jiwa (21,78%) dengan Garis Kemiskinan (GK) sebesar Rp.113.728,00. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka tahun 2007 sebanyak 285.93 ribu jiwa atau 8,29% dari angkatan kerja.

Gambar 3.3.

Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Lampung, (BPS tahun 2007)

4,055 3,66

11,67 12,948

21,42 22,19

16,60715,726

02468

1012141618202224

2005 2007

Kota (00.000 jiw a) Desa (00.000 jiw a)

% Total (00.000 jiw a)

Page 44: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 13

3.4.2. Isu dan Hasil Temuan Penting dari Lapangan

Provinsi Lampung dikenal sebagai wilayah yang mempunyai sejarah agraria yang khas, khususnya dengan kehadiran kegiatan transmigrasi sejak jaman kolonial hingga saat ini, penetapan HGU, klaim wilayah adat dan kontak-kontak dengan migran yang berasal dari Provinsi lainnya. Kondisi ini menyebabkan masalah agraria yang bersifat khas di wilayah Lampung pada satu sisi; sedangkan di sisi lainnya parapihak yang mempunyai mandat dalam pengurusan pertanahan mempunyai kiat-kiat tertentu yang dapat mendukung kegiatan reforma agraria di daerah tersebut.

Pengertian tanah negara dalam konteks tanah-tanah yang tidang sedang diokupasi oleh pihak-pihak tertentu mungkin sulit ditemukan, khususnya di wilayah Lampung Tengah. Karena hampir semua bidang tanah telah diokupasi. Oleh sebab itu program yang paling mungkin adalah penguatan hak, dan bukan redistribusi tanah. Obyek PPAN yang berjalanpun adalah Tanah Obyek Land Reform, seperti di kecamatan Bangun Rejo, kabupaten Lampung Tengah adalah bekas Swapraja yang telah ditegaskan menjadi TOL dengan SK Menteri Negara/Kepala BPN Nomor 300-VI-1995 seluas 29,998 ha dan Keputusan Kepala BPN No 106-VI-1993 seluas 183,30 ha (STPN, KRKP dan SAINS 2008 : 27-28). Sedangkan TOL lainnya, yaitu di kecamatan Padang Cermin, yang merupakan obyek tanah negara yang merupakan bekas hak erpacht yang ditegaskan melalui SK Menteri Negara Agraria Kepala BPN No 115-VI-1996 seluas 10,485 ha.

Hingga saat ini kegiatan PPAN di Provinsi Lampung, selain penguatan hak berupa pemberian sertifikat bagi rakyat di empat desa sebanyak 6300 bidang; dilakukan pula “uji coba “ access reform yang berbasis pada kegiatan pertanian dan peternakan. Dari beberapa pembicaraan dengan pihak BPN Lampung Tengah, pihak perguruan tinggi (UNILA) dan pihak pengusaha (PT GGLC), terdapat kesan bahwa kegiatan acces reform ini sudah mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, namun belum dilakukan secara sistematis dan terorganisasi. Para pihak mulai dari Kanwil BPN, BPN Lampung Tengah, kelompok tani, pengusaha peternakan dan perbankan telah mempunyai komitmen yang kuat unttuk menjalankan program access reform

Masih terdapat beberapa kendala yang terkait dengan kebijakan pemerintah pusat dalam hal pemilikan/penguasaan tanah bagi masyarakat desa miskin, seperti kewajiban pembayaran BPHTB bagi masyarakat yang menjadi penerima sertifikat tanah, padahal penerimanya adalah para petani miskin yang mungkin akan mengalami kesulitan dalam membayar BPHTB. Demikian halnya dengan para penerima kredit dari bank yang pagunya lebih dar Rp 50 juta dikenai

Page 45: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 14

kewajiban untuki membuat NPWP dan mengisi laporan bulanan yang terkait dengan pajak. Hal ini dianggap masih menyulitkan untuk masyarakat di pedesaan. Demikian halnya dengan masalah pembuatan akta di notaris/PPAT seringkali mendapat kendala karena tidak adanya fixed asset.

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk menunjang kegiatan access reform adalah (1) Sertifikat Tanah yang merupakan hasil dari program PPAN dalam salah satu klausulnya dapat disebutkan bahwa obyek tanah dan subyek penerimanya merupakan bagian dari program PPAN. Kemudian warna sampul sertfiikatnya sendiri dapat dibedakan, sehingga dengan melihat sampul ini saja, maka para pihak lainnya, seperti perbankan, PPAT dan pihak lainnya dapat memberikan pelayanan khusus kepada subyek penerima program PPAN, (2) untuk pemegang hak pertama dari sertifikat PPAN ini sebaiknya diberikan penghapusan BPHTB, namun kalau ada peralihan dapat dibebankan biaya atas peralihan hak tersebut

Terdapat suatu minat yang sangat kuat dari pihak BPN Lampung Tengah untuk melakukan pilot project di salah satu desa penerima PPAN, yaitu dengan usaha penggemukkan sapi. Usaha ini menurut pihak swasta, masyarakat dan perbankan cukup layak dilakukan, baik secara mandiri maupun dengan pola PIR peternakan.

Beberapa hal penting hasil pengamatan, diskusi dengan beberapa stakeholders, diantaranya adalah:

1. Distribusi tanah negara di Provinsi Lampung merupakan tanah eks HPK, tanah-tanah tersebut bukan merupakan tanah kosong (tidak ada pemiliknya) tetapi tanah tersebut telah menjadi tanah garapan masyarakat dan bahkan menjadi kampung. Untuk tanah-tanah eks HPK yang belum dilepas oleh kehutanan tetapi sudah digarap oleh masyarakat diatur melalui Yudikasi.

2. Program land reform di Provinsi Lampung khususnya di Lampung Tengah dan Lampung Selatan tahun 2007 lebih di fokuskan kepada penguatan hak atas tanah masyarakat (sertifikasi) dan access reform.

3. Lokasi uji coba program PPAN di Lampung Tengah dan Lampung Selatan merupakan tanah yang ditetapkan sebagai Tanah Objek Landreform (TOL) berdasarkan keputusan Menteri Negara/Kepala BPN.

4. Uji coba model PPAN tahun 2007 sebanyak 6.300 bidang yang terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama sebanyak 2.300 bidang dan tahap kedua sebanyak 4.000 bidang. Sementara calon lokasi PPAN terdiri atas tanah eks HPK seluas 70.020 ha (81.173 bidang), TOL Tanah Negara seluas 29.184 ha, dan TOL kelebihan Tanah Maksimum seluas 2.030 ha. (sumber Kanwil BPN Provinsi lampung)

Page 46: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 15

5. Pada tahun 2008, target tanah negara yang akan didistribusikan adalah sebanyak 10.000 bidang. (sumber: laporan penelitian pelaksanaan uji coba PPAN Prov. Lampung)

6. Jumlah petani penggarap tahun 2007 di Desa Sidorejo sebanyak 1.452 KK dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,39 ha/KK; Desa Sidodadi sebanyak 806 KK dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,29 ha/KK. (sumber: hasil inventarisasi BPN 2007)

7. Program acces reform yang telah dilakukan oleh Kanwil BPN Provinsi Lampung, meliputi: (i) bimbingan peningkatan akses ekonomi masyarakat melalui peningkatan budidaya kakao di Lampung Selatan, (ii) bimbingan peningkatan akses ekonomi masyarakat melalui peningkatan perikanan air tawar di Lampung Selatan, (iii) Pengembangan budidaya kacang tanah kerjasama dengan PT Garuda Food Putra Putri Jaya di Lampung Tengah, (iv) pengembangan penggemukan sapi kerjasama dengan PT GGLC dan Bank BNI Syariah di Lampung Tengah, dan (v) Penguatan kelembagaan kerjasama dengan LPM UNILA di Lampung Tengah.

Hasil Diskusi dengan Gapoktan Desa Sidorejo dan Sidodadi:

1. Luas kepemilikan lahan di desa Sidorejo dan Sidodadi untuk masing-masing penggarap berbeda-beda, dimana ada masyarakat dengan kepemilikan lahan yang sangat luas dan kepemilikan lahan yang cukup kecil.

2. Proses sertifikasi:

BPN

Kabupaten Kepala Desa

Masyarakat penggarap

Kecamatan

KANWIL

BPN Provinsi

BPN

3. Kepemililikan lahan di Lahan gaerapan di Desa Sidorejo dan Sidodadi merupakan lahan tegalan dan komoditas yang diusahakan adalah tanaman jagung, selain tanaman jagung di desa Sidorejo mulai dikembangkan usaha peternakan, yaitu untuk penggemukan sapi. Usaha peternakan sapi tahap I di Desa Sidorejo telah berjalan dengan baik, meskipun dalam pelaksanaannya masih banyak kendala terutama dalam kebutuhan permodalan dan pemasaran. Tahun 2008,

Page 47: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 16

ternak sapi di Desa Sidorejo merupakan pelaksanaan ternak tahap II, sedangkan di Desa Sidodadi baru akan melaksanakan Tahap I.

4. Untuk meningkatkan kesehateraan masyarakat dan optimalisasi dalam pengembangan pertanian di Desa Sidorejo dan Sidodi perlu adanya usaha diversifikasi pertanian (seperti: pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan). Komoditi yang telah di coba dikembangkan yaitu kacang tanah kerjasama dengan PT. Garuda food tetapi mengalami gagal panen akibat kondisi iklim yang kurang mendukung. Saat ini masyarakat mencoba tanaman kakao, tetapi kendala untuk budidaya kakao adalah ketersediaan air yang kurang memadai, untuk mengatasi permasalahan air diperlukan sumur bor.

5. Beberapa usulan dari diskusi dengan Gapoktan, diantaranya adalah: (1) kebijakan permodalalan perlu pertimbangkan dalam program access reform, (2) penguatan kelembagaan untuk pembinaan; (3) jaminan pemasaran; (4) luas kepemilikan lahan yang signifikan untuk usaha budidaya, dan (5) dukungan infrastruktur.

3.5. Propinsi Jawa Tengah

Propinsi Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Wonosobo dipilih sebagai wilayah studi lapangan, karena telah diidentifikasi mewakili wilayah yang potensial untuk melakukan assesmen aplikasi berbagai metode distribusi tanah negara. Propinsi ini dipilih mengingat program kerjasama/PHBM yang dilakukan oleh Pihak Perhutani dengan Kelompok Tani yang pernah dilakukan di Provinsi ini yang dianggap sebagai salah satu program yang berhasil. Untuk mewakili kabupaten yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah Kabupaten Pelalawan, dimana peneliti secara langsung melakukan survey lapangan dengan melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait yang relevan dengan program pendistribusian tanah Negara ini. Disamping melalui wawancara data-data yang diperoleh oleh peneliti melalui berbagai laporan tertulis/hasil kajian dari instansi terkait seperti Dinas Kehutanan, Bappeda, Dinas Perkebunan serta BPN Kabupaten Wonosobo.

3.5.1. Gambaran Umum.

Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang letaknya cukup strategis karena berada di daratan padat Pulau Jawa, diapit oleh dua Provinsi besar Jawa Barat dan Jawa Timur, dan satu daerah istimewa Yogyakarta. Sepanjang bagian utara dan selatan terbentang pantai yang cukup panjang.

Dengan luas wilayah kurang lebih 3.254.412 Ha Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam 29 kabupaten dan 6 kota dengan 563 kecamatan 8.553 desa/kelurahan. Daerah yang terluas adalah Kabupaten Cilacap dengan luas 213.851 Ha atau sekitar 6,57 persen dari luas total Provinsi

Page 48: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 17

Jawa Tengah. Sedangkan Kota Magelang merupakan daerah yang memiliki wilayah paling kecil yaitu hanya seluas 1.812 Ha.

Luas lahan sawah di Provinsi Jawa Tengah sebesar 995,47 ribu hektar (30,59 persen) dan lahan bukan sawah 2,26 juta hektar (69,41 persen). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, luas lahan sawah tahun 2003 menurun sebesar 0,30 %, sebaliknya luas bukan lahan sawah mengalami perkembangan sebesar 0,13 %. Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah digunakan sebagai lahan sawah berpengairan teknis (39,26 % ), berpengairan setengah teknis, sederhana, pengairan desa/non PU, tadah hujan dan lain-lain.

Dari sisi ekonomi, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 sebesar 5,33 persen menurun dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2005 (5,33 %). Struktur perekonomian Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 didominasi tiga sektor utama, yaitu: sektor industri pengolahan sebesar Rp. 92.646.434,52 juta (32,85 %), sektor pertanian sebesar Rp. 57.364.981,87 juta (20,34 %), dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp 55.362.794,99 juta (19.63 %). Perkembangan kesempatan kerja berdasarkan kategori sektor formal dan informal pada periode tahun 2006-2007, menunjukkan adanya peningkatan di sektor formal sebesar 0,19%, yaitu dari 35,75% pada tahun 2006 menjadi 35,94% pada tahun 2007. Sementara berdasarkan pembagian sektor lapangan kerja utama, Propinsi Jawa Barat memiliki komposisi 3 sektor tertinggi, yaitu pertanian (40,66%), perdagangan (21,62%), dan industri pengolahan sebesar 16,90%.

PDRB menurut komponen penggunaan terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal, ekspor dan impor barang dan jasa. PDRB dari sudut penggunaan yang terbesar adalah untuk pengeluaran konsumsi rumahtangga. Besarnya PDRB perkapita bervariasi antar kabupaten/kota karena selain dipengaruhi oleh jumlah penduduk wilayah yang bersangkutan juga dipengaruhi jumlah penduduk. Beberapa kabupaten/kota dengan PDRB per kapita atas dasar harga berlaku cukup tinggi pada tahun 2003, mulai dari Kabupaten Cilacap (18,23 juta rupiah), Kabupaten Kudus (16,45 juta rupiah) dan kota Semarang (14,02 juta rupiah).

Berdasarkan data dari BPS Provinsi Jawa Tengah, jumlah penduduk di Jawa Tengah tahun 2003 adalah 32.052.840 jiwa. Dibandingkan tahun 2002 (31.691.866 jiwa) terjadi penambahan jumlah penduduk Jawa Tengah sebanyak 360.974 jiwa (1,14 %). Penyebaran penduduk Jawa Tengah belum secara merata. Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 985 jiwa setiap kilometer persegi, dimana wilayah terpadat adalah Kota Surakarta dengan tingkat kepadatan sekitar 11 ribu setiap kilometer persegi. Terlampir Data Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur dan Kabupaten Kota Tahun 2003 serta Data Kepadatan Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2003.

Page 49: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 18

Bila kita lihat jumlah rumah tangga di Jawa Tengah mengalami penurunan dari sebesar 8,18 juta pada tahun 2002 menjadi 7,96 juta pada tahun 2003 atau turun sekitar 2,64 persen. Berdasarkan data banyaknya rumah tangga dan rata-rata anggota rumah tangga menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, Tahun 2003 rata-rata penduduk per rumah tangga tercatat sebesar 4,0 jiwa.

Sementara itu, jumlah penduduk tertinggi dan terendah pada tahun 2003 masih sama dengan tahun 2002, dimana yang tertinggi di Kabupaten Brebes sebanyak 1.763.581 jiwa dan terendah di Kota Magelang sebanyak 119.400 jiwa.

Kondisi ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Tengah dalam periode Februari 2006-2007, menunjukkan peningkatan jumlah angkatan kerja sebesar 387,48 ribu jiwa, dan diikuti peningkatan kesempatan kerja sebesar 372,85 ribu jiwa. Namun, penurunan jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja sehingga pengangguran terbuka bertambah sebanyak 14,69 ribu jiwa dari tahun sebelumnya. Sementara tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tahun 2006 di perdesaan sebesar 6,98% meningkat menjadi 7,07% pada tahun 2007, sementara di perkotaan sebesar 10,06% menjadi 9,67%. Kondisi pengangguran terbuka di Propinsi Jawa Tengah tahun 2007 sebanyak 1,44 juta jiwa atau 8,10% dari angkatan kerja, menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di bawah rata-rata nasional (9,75%).

Perkembangan jumlah penduduk miskin di Propinsi Jawa tengah pada periode 2005-2007 betambah sekitar 22.500 jiwa (0,06%), yaitu dari sekitar 6,53 juta jiwa (20,49%) pada tahun 2006 menjadi 6,56 juta jiwa (20,43%) pada tahun 2007, dan berada di bawah persentase penduduk miskin nasional sebesar 16,58%. Penyebaran penduduk miskin pada tahun 2005 di Provinsi Jawa Tengah sebagian besar berada di perdesaan yaitu sebanyak 3,86 juta jiwa (23,57%) dengan Garis Kemiskinan sebesar Rp.120.115,00. Sementara Penduduk miskin di perkotaan adalah sebanyak 2,67 juta jiwa (17,24%) dengan Garis Kemiskinan (GK) sebesar Rp. 143.776,00. Memasuki tahun 2007, penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan menjadi 3,87 juta jiwa (23,45%) dengan peningkatan Garis Kemiskinan sebesar Rp.20.688,00 dari GK tahun 2005. Sementara diperkotaan penduduk miskin berkurang menjadi menjadi 2,69 juta jiwa (17,23%), dengan kenaikan garis kemiskinan sebesar Rp. 24.410,00. dari GK tahun 2005.

Page 50: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 19

Gambar 3.4.

Perkembangan Jumlah & Persentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah, (BPS tahun 2007)

3,8625 3,8679

2,671 2,6872

20,49 20,43

6,5335 6,556

02468

10121416182022

2005 2007

Kota (juta jiw a) Desa (juta jiw a)

Di lokasi studi di Provinsi Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Wonosobo terdapat beberapa program tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Lestari yang juga melibatkan masyarakat dengan bekerjasama antara Perum Perhutani dengan Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Kerjasama tersebut dengan mendasarkan pada Keputusan Bersama antara Kepala Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Bupati Wonosobo No. 2871/044.3/Hukamas/I jo No. 661/13/tahun 2006. Maksud pengelolaan sumberdaya hutan lestari di Kabupaten Wonosobo adalah dalam rangka pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat sekitar hutan dan dinas serta pihak terkait yang sinergis dengan pembangunan wilayah, dengan tujuan sebagai upaya rehabilitasi dan konservasi serta meningkatkan potensi hutan. Potensi masyarakat dengan berbagai aktifitas di desa sekitar hutan yang ada di wilayah Kabupaten Wonosobo, sehingga dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi yang optimal guna terwujudnya kelestarian hutan, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan.

Di samping keputusan bersama tersebut, juga terdapat Keputusan Bupati Wonosobo No. 661/538/2007 tentang Pembentukan Forum

% Tota (juta jiw a)l

Page 51: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 20

Hutan Wonosobo, yang mempunyai tujuan antara lain untuk mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya hutan lestari secara partisipatif dan terintegrasi. Pengelolaan hutan tersebut senantiasa melibatkan masyarakat sekitar kawasan hutan dan masyarakat juga dapat memanfaatkan kawasan sekitar hutan untuk dapat ditanam-tanaman komoditas tertentu.

3.5.2. Isu dan Temuan Penting dari Lapangan

1. Pengertian tanah Negara harus ditafsirkan jangan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh BPN dalam arti membagi tanah Negara untuk diberikan status hak atas tanah, akan tetapi lebih cenderung dengan optimalisasi pemanfaatan tanah negara.

2. Obyek: tanah Negara bebas setelah mendapat penetapan dari Menteri, tanah Negara bekas kelebihan maksimum, hak erpacht, tanah absentee. Di Wonosobo sangat minim obyek yang bisa dijadikan obyek distribusi tanah Negara.

3. Apabila program distribusi tanah negara bila ditafsirkan dalam arti membagi tanah negara dan kemudian diberikan hak atas tanah, akan menimbulkan gejolak kalau dilaksanakan program distribusi tanah Negara, karena antara obyek dengan jumlah penerima tidak sebanding.

4. Di kabupaten Wonosobo, distribusi tanah negara lebih ditafsirkan sebagai akses reform dalam arti pemanfaatan tanah negara, yang dalam hal ini adalah tanah milik Perum Perhutani. Tanah negara tersebut dimanfaatkan dengan mekanisme pemanfaatannya oleh kelompok tani dengan menanam komoditas pertanian tertentu.

5. Di Kabupaten Wonosobo terdapat suatu program pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat, yang dilaksanakan atas kerjasama antara: Kepala Unit Perhutani Jawa Tengah dengan Bupati Kabupaten Wonosobo. Hanya terbatas pada pengelolaan atau pemanfaatan, tidak boleh mengubah status kawasan. Luasannya yang sudah dilaksanakan: Pesanggem dengan Perhutani: satu orang seperempat Ha dengan pertimbangan jumlah orang penerima dengan ketersediaan lahan (tanah garapan).

6. Tanah Negara yg tidak bebas yang belum dimanfaatkan oleh Negara dapat dimanfaatkan oleh petani untuk pertanian yang berwawasan lingkungan. Kepemilikan tanah oleh petani rata-rata 0,02 Ha atau sangat minim sehingga tidak layak. Mekanismenya hanya sebatas

Page 52: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas III - 21

penggarap yang diatur oleh kedua belah pihak, sudah ada perjanjian kerjasama dengan sistem Sharing Input. Di Kecamatan Sukoharjo ada 9 desa yg memanfaatkan lahan perhutani untuk jagung dan ketela, sedangkan jenis tanah GG sebanyak 2 Ha dimanfaatkan petani: albasia, mangga dll.

7. Tanah Negara yang tidak bebas dikuasai perhutani, sehingga dalam pemanfaatan kawasan hutan harus senantiasa berpedoman kepada fungsi kawasan sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Perhutani mengeluarkan Surat Keputusan Dewan Pengawas Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Keputusan Gubernur Jateng, yang intinya subtansinya adalah pengelolaan hutan bersama masyarakat. Sejak tahun 2002 dalam pengelolaan hutan, yang sudah sejak lama dilakukan dan berpuncak tahun 2002. Dalam program ini tidak bisa melibatkan masyaraan orang perorang tetapi kerjasama dilakukan secara kelembagaan/badan hukum, sehingga masyarakat dihimpun dalam lembaga Masyarakat Desa Hutan (badan hukum). Untuk hutan produksi dengan sistem tumpang sari, menanam tanaman pertanian seperti jagung, ketela dan padi. Tanaman tegakan juga bisa ditanam oleh masyarakat seperti kopi, kakau. Di kawasan hutan konservasi: masyarakat bisa mengembangkan anggrek dan obat-obatan, seperti kapulaga, kunir merah, jahe, puyang. Untuk jangka panjang diberikan sharing hasil hutan berupa uang tunai selama hutan pangkuan yang menjadi obyek kerjasama sudah berproduksi (Kedu selatan: 900 Juta) dari nilai kayu dan Non kayu (getah).

Page 53: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

KETERSEDIAAN OBYEK, CALON PENERIMA MANFAAT, DAN MEKANISME DISTRIBUSI TANAH NEGARA

4

Suatu program distribusi tanah negara sedikitnya memiliki dua elemen yang sangat penting, yaitu ketersediaan tanah negara yang akan dibagikan (obyek tanah) dan kejelasan tentang siapa yang berhak menerima (subyek). Namun demikian beberapa elemen lainnya seperti mekanisme pembagian, program-program pendukung maupun alas haknyapun perlu dipertimbangkan lebih mendalam.

Dalam bagian ini akan dibahas beberapa isyu yang terkait dengan ketersediaan obyek tanah negara yang akan dibagikan. Data-data yang digunakan untuk bagian ini terdiri dari beberapa data sekunder yang berasal dari BPN, Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian (khususnya masalah perkebunan), dan analisis data statistic yang disediakan oleh BPN. Selain itu, masukan-masukan yang didapatkan dalam FGD di empat propinsi, Workshop regional di Riau dan Nusa Tenggara Barat memberikan pengayaan yang penting terhadap obyek dan subyek dari distribusi tanah negara ini.

4.1. Obyek Tanah Negara

Menentukan obyek tanah negara memerlukan alas peraturan dan definisi yang jelas. Sejauh ini yang digunakan sebagai dasar adalah PP no 8 tahun 1953. Menurut Prof Dr Maria Sardjono, karena PP tersebut lahir sebelum lahirnya UUPA pada tahun 1960, maka istilah-istilah yang digunakannyapun adalah warisan dari hukum Belanda yaitu tanah negara bebas (vrij landsdomein), yaitu tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh negara yang meliputi semua tanah yang sama sekali bebas dari hak-hak seseorang, baik yang berdasarkan hukum adapt maupun hukum barat (Soemardjono, 2005 : 61)

Hasil studi tentang Tanah Negara dan Pengelolaannya yang dilakukan oleh Bappenas bekerjasama dengan World Bank (2007) telah menemukan adanya berbagai perbedaan pandangan terhadap definisi tanah negara ini. Perbedaan ini tentunya mempunyai implikasi terhadap identifikasi obyek-obyek tanah negara, termasuk luasannya. Oleh sebab itu, secara tegas, Prof Dr Maria Sumardjono

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 1

Page 54: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

mengatakan…”saat ini tidak mudah untuk menyatakan berapa luas tanah negara itu…(ibid : 59)

Perbedaan cara pandangan ini, terdapat pada berbagai lapisan, mulai dari kalangan pakar hokum, birokrat hingga masyarakat biasa atau penggarap. Misalnya beberapa pakar agrarian mempunyai beberapa pendapat yang berbeda, (Bappenas, 2007) :

• Semua tanah yang tidak dinyatakan sebagai tanah hak milik perorangan, milik desa, tanah ulayat, tanahdengan status hak erpacht, tanah konsesi dsb. Tanah negara bebas adalah tanah yangbelum dimiliki orang atau badan hukum serta tidak diusahakan oleh orang atau badan hukum (Dirman, 1958).

• Tanah yang dimiliki oleh pemerintah, yaitu tanah yang diperoleh pemerintah pusat atau daerah berdasarkan nasionalisasi, pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui pembebasan tanah, dan berdasarkan akta-akta peralihan ha (Sihombing, 2005).

• Semua bidang tanah yang yang tidak diduduki, dikuasai oleh seseorang atau diurus oleh badan/lembaga pemerintah maupun swasta tertentu (Hermansoesangobeng, 2006).

• Tanah yang langsung dikuasai oleh negara yaitu tanah-tanah yang bukan tanah hak (menurut UUPA), bukan tanah ulayat, bukan tanah kaum, bukan tanah hak pengelolaan dan bukan pula tanah kawasan hutan (Boedi Harsono, 1997).

Pendapat yang mengatakan bahwa...’bukan tanah ulayat, bukan tanah kaum, bukan tanah hak pengelolaan dan bukan pula tanah kawasan hutan’, sebagai ”bukan tanah negara” merupakan point penting untuk dicatat, khususnya ketika kita membicarakan hak-hak masyarakat hukum adat ataupun hak serupa itu yang banyak terdapat di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di lokasi survey lapangan propinsi Kalimantan Timur, Riau dan Lampung.

Sedangkan pendapat dari para pelaksana di bidang pertanahanpun beragam, diantaranya :

• Tanah yang telah habis masa berlaku hak atas tanah di atasnya yaitu areal tanah yang masa berlaku hak atas tanahnya telah habis, walaupun tanah tersebut masih dipergunakan oleh pemeganghak atas tanah yang lama. Tanah-tanah demikian umumnya dikuasai oleh Badan Hukum, Instansi,perorangan denganhak menurut UUPA (terutama HGB dan HGU)

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 2

Page 55: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

• Didasarkan pada PP tentang penguasaan benda-benda yang tidak bergerak (termasuk tanah negara), gedung-gedung dan lain-lain bangunan milik negara, yang berada dibawah penguasaan Departemen yang menurut anggaran belanjanya membiayai pemeliharaannya.

• Didasarkan pada terjadinya ”vrij landsdomein”, yaitu:

o Karena pembebasan hak-hak milik Indonesia oleh Departemen, dianggap dibawah penguasaan Departemen itu, wlalupun kenyataannya [pada tanah yangbersangkutan tidak selalu terlihat tanda-tanda atau bekas pelaksanaan suasana ”beheersdaad”.

o Yang penguasaannya tidak nyata-nyata diserahkan kepada sesuatuDepartemen, dianggap ada di bawah penguasaanDepartemen van Binnerlands Bestur (BB).

Sedangkan menurut masyarakat sebagai pemegang hak maupun sebagai penggarap/ penyewa/penghuni:

• Tanah yang belum pernah dilekati hak atas tanah (tanah bentukan baru dan tanah yang belum terdaftar/teregistrasi, seperi tanah timbul, tanah GG, pulau-pulau kecil, pulau-pulau terpencil, tanah pantai, tanah reklamasi)

• Tanah yang berupa hutan alam serta cagar alam dan cagar budaya. Pengertian ini didasari oleh pandanga masyarakat berkait perlindungan alam, satwa, peninggalan sejarah, konservasi dsb. Dari pandangan ini berkembang nilai komunal yang menjadi ikatan dan kepentingan bersama (misalnya sebagai sumber penghidupan: hasil hutan, tambang rakyat; atau sesuatu yang dianggap sakral seperti sumber air).

• Tanah yang dikuasai atau dipergunakan instansi pemerintah. Pengertian ini berpangkal bahwa areal yang telah digunakan atau dikuasasi pemerintah (sipil, militer maupun pemda) merupakan tanah negara.

Beberapa temuan di lapangan memberikan indikasi yang relatif sama. Bahkan ada pandangan bahwa sebtulnya ”tanah negara” itu tidak ada lagi, karena setiap jengkal tanah itu sebetulnys sudah ada yang menguasai, seperti kasus kawasan hutan yang tidak berpohon di wilayah Kalimantan Timur, yang merupakan ex-HPH. Apabila dilihat sepintas seolah-olah tanah tersebut tidak ada yang menguasainya, namun ketika ada rencana penggunaan tanah tersebut, maka klaim-klaimpun bermunculan.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 3

Page 56: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 4

Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung di wilayah studi maupun dalam, regional workshop, mengemuka bukan hanya masalah yang bersifat teknis tentang penentuan obyek tanah negara yang dapat didistribusikan. Melainkan pandangan-pandangan yang lebih bersifat filosofis/ideologis tentang Hak Menguasai Negara (HMN). Misalnya pandangan tentang negara yang terdiri dari rakyat, tanah dan undang-undang; dan posisi negara adalah sebagai yang menguasai dan mengatur tanah, dan bukan yang memiliki tanah. Oleh sebab itu, suatu pegertian yang clear tentang tanah negara bebas dan tidak bebas diperlukan dalam kaitannya dengan hak-hak lainnya, seperti hak ulayat, hak milik dan hak pengelolaan. Dalam diskusi di Riau, terdapat kesan kuat untuk tidak memasukan tanah hak ulayat sebagai tanah negara. Karena pada dasarnya pengertian tanah negara: sebidang tanah yang belum dilekati oleh sesuatu hak menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria.

Karena pendefinisian tanah negara seringkali berbeda cara merumuskannya, maka cara lain untuk melihat suatu bidang tanah negara ataupun bukan adalah melalui unsur-unsur, yaitu :

Belum dilekati sesuatu hak.

Tanah yang boleh didistribusikan adalah tanah yang berada di luar kawasan hutan tetap

Hak atas tanahnya telah berakhir dan tidak dapat diperpanjang

Ditambah obyek tanah dari 13 kriteria/jenis obyek yang pernah didefinisikan oleh BPN 1

4.2. Tanah Negara obyek Distribusi

Berdasarkan masukan dalam diskusi FGD dan Regional workshop tanah negara yang potensial dapat didistribusikan dengan persyaratan sebagai berikut :

1. Tanah Negara yang belum dibebani hak

2. Tanah terlantar perlu dibatalkan haknya untuk kepentingan distribusi

3. Sesuai dengan rencana tata ruang daerah tersebut

1 Ketigabelas jenis itu adalah (1) tanah bekas HGU, HGB atau HP, (2) tanah yang terkena ketentuan konversi, (3) tanah yang diserahkan oleh pemiliknya, (4) tanah hak yang pemegangnya melanggar, (5) tanah obyek land reform, (6) tanah bekas obyek land reform, (7) tanah timbul, (8) tanah bekas kawasan pertambangan, (9) tanah tanah yang dihibahkan oleh pemerintah, (10) tanah tukar-menukar dari dna oleh pemerintah, (11) tanah yang dibeli oleh pemerintah, (12) tanah dari hutan produksi konversi,, dan (13) tanah hutan produksi konversi yang dilepaskan

Page 57: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

4. Tanah hutan yang dapat dikonversi. Misalnya kawasan hutan yang sudah tidak mempunyai vegetasi.

5. Sesuai dengan tujuan distribusi

6. Tanah yang clear and clean statusnya

7. Lahan Yang Produktif

8. Pertimbangan “sensivitas sosial”

a. Tanah Negara Yang Belum dibebani Hak

Kriteria ini dianggap penting, karena walaupun dalam PP 8/1953 mengacu kepada tanah-tanah yang ”dikuasai secara penuh oleh negara”, namun dengan adanya UUPA 1960 yang menyebutkan adanya hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, dan hak-hak lainnya maka sangat penting untuk menyebutkan tanah yang belum dibebani hak, atau hak yang telah dicabut karena berbagai pertimbangan hukum yang ada

b. Tanah terlantar yang haknya telah dibatalkan

Tanah-tanah terlantar merupakan salah satu potensi tanah negara yang dapat didistribusikan. Sementara ini mengenai tanah terlantar diatur melalui PP 36/1998, namun dalam implementasinya mengandung banyak kelemahan, khsusunya yang berkaitan dengan proses pembatalan tanah terlantar. Terdapat dua hal yang sementara ini menylitkan proses pembatalan hak atas tanah terlantar, yaitu (1) jangka waktu hak atas tanah yang dikategorikan sebagai tanah terlantar dan (2) peringatan kepada pemegang hak yang berjarak sekitar 12 bulan. Alasan (1) tidak jelas dimana alamat si pemegang hak, sertifikat ada di bank menjadi hak tanggungan. Padahal HT adalah urusan privat, sedangkan pencabutan adalah hak publik. Negara dan masyarakat mengalami kerugian dengan kondisi seperti ini. (3) Proses yang cukup panjang, mulai BPN kabupaten, propinsi dan pusat.

Tahun 1990 sudah ada SK Menteri Pertanian yang menyusun mekanisme terhadap kebun terlantar, ada peringatan terlebih dahulu sampai 3 kali, kemudian disampaikan kepada BPN. Ini tidak berjalan karena pada saat itu tidak ada undang – undangnya. Setelah ada undang – undangnya sudah ada beberapa yang disampaikan ke BPN dan diproses, karena jangan sampai tanah – tanah perkebunan yang terlantar tidak terpakai. Selama 2006 ada kira – kira 100 lebih perkebunan terlantar di 16 provinsi. Di Kalimantan Timur ada 2. Hal

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 5

Page 58: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

ini perlu ditindak lanjuti agar kebun terlantar bisa dimanfaatkan. Dalam konsep SK Menteri karena nuansa tahun 90-an arahnya disebut yang pertama apabila memang masih ada perusahaan lain yang serius maka diberikan yang kedua untuk perkebunan rakyat dan yang ketiga adalah dihutankan

Dari pengalaman di Nusa Tenggara Barat, menunjukkan bahwa hanya 3 saja yang diproses ke pusat. Hal ini dianggap memperlihatkan tidak adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk me. Padahal tanah-tanah terlantar terbut adalah tanah pertanian, artinya sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat

Mengenai PP 36 Tahun 1998 tentang tanah terlantar, hal ini menjadi masalah yang krusial dan harus ditangani secepatnya. Menurut Presiden penertiban tanah terlantar untuk menjawab krisis pangan dan krisis energi di tingkat global.

Selain itu beberapa masukan lainnya yang penting terkait dengan tanah terlantar adalah sebagai berikut :

Mengenai penyempurnaan PP 36/1998, perlu dipertajam sanksi dan jangka waktu penelantaran.

Dalam UU No. 18 tahun 2004 ada pasal 12 Menteri Pertanian dapat mengusulkan kepada BPN apabila ditelantarkan selama 3 tahun berturut – turut, bisa dipakai untuk masukan.

c. Sesuai dengan rencana tata ruang daerah tersebut

Tidak semua Tanah Negara dapat didistribusi, karena terkait dengan masalah tata-ruang yang berjenjang dari mulai rencana tata ruang kabupaten dan propinsi, termasuk tata-ruang khusus (misalnya RTR Delta Mahakam, Kaltim). Setiap daerah dalam tata ruangnya mempunyai maksud dan tujuan tersedniri, misalnya di Kendari yang telah mengalokasikan tanah negara untuk kepentingan lainnya. Harus melihat kepentingan daerah itu sendiri yang mempunyai kepentingan tertentu, seperti untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah. Kesulitan lainnya belum semua propinsi mempunnyai rencana tata-ruang yang mutakhir.

Selain itu tanah negara yang akan diditrribusikanpun harus mengikuti rambu-rambu aturan lainnya, seperti dalam hal tanah-tanah yang ada di sempadan sungai maupun pantai bukanlh obyek yang dapat didistribusikan.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 6

Page 59: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Berkaitan dengan konsep tata ruang, kalau memang mau menjalankan reforma agraria yang di dalamnya ada distribusi tanah bagi rakyat miskin, konsep dan kebijakan tata ruang di daerah mesti dilihat kembali apakah sejalan atau tidak dengan tujuan – tujuan dari reform dalam konteks agraria supaya ada sinkron tidak serta merta harus sesuai dengan tata ruang

d. Tanah hutan yang dapat dikonversi

Pada prinsipnya, institusi kehutanan sepakat dengan pemberian akses terhadap masyarakat di kawasan hutan, sepanjang berdasarkan aturan-aturan yang digariskan. Terdapat dua kemungkinan reforma agraria yang memanfaatkan kawasan hutan. Pertama adalah konversi hutan menjadi kawasan non hutan, apabila telah dikonversi dan aspek legal hak atas tanahnya ada di tangan BPN, maka proses distribusi tanah negara selanjutnya mengikuti prosedur dan mekanisme yang ada di BPN. Kedua apabila kawasan hutan tersebut tidak dikonversi, maka program yang dapat dijalankan adalah berbagai program akses masyarakat terhadap sumber daya hutan, melalui skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat, PHBM, Hutan Desa, Kawasan dengan Tujuan istimewa. Juga opsi-opsi lainnya yang akan muncul ke depan seperti Hutan Adat untuk Masyarakat Hukum Adat.

Wacana yang berkembang dalam hal reforma agraria pada kawasan hutan, sebetulnya terjadi karena dalam distribusi tanah itu apakah mempunyai konotasi hanya pemberian hak milik, atau memberikan opsi lainnya seperti hak pakai. Inti dari wacana ini sebetulnya mengenai security tenure, artinya masalah utamanya bukan pada hak apa yang akan diberikan, melainkan bagaimana masyarakat miskin dapat mengakses tanah dengan aman untuk kurun waktu tertentu dan cukup panjang waktunya

Beberapa pengalaman dari lapangan memperlihatkan bahwa opsi-opsi untuk reforma agraria di kawasan hutan sebetulnya dilakukan, misalnya di NTB dalam hal pemberdayaan masyarakat melalui pemberian akses untuk tanam jambu mede, kakao, nangka. Demikian halnya dengan pemanfaatan untuk masyarakat sekitar dan ada didalam kawasan hutan. Pada kawasan hutan produktif melalui PHBM di Wonosobo, Jateng. Masyarakat diberi kesempatan melakukan penanaman tanam semusim (misalnya sayuran), berdasarkan kesepakatan antara (kelompok) masyarakat dengan Perhutani. Fungsi pemerintah adalah memfasilitasi dan terlibat dalam resolusi konflik. Ada transparansi dimana masyarakat bisa tahu berapa yang dibagikan. Perhutani

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 7

Page 60: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

mendapat manfaat karena batas-batas bisa diperjelas dengan cara keterlibatan masyarakat. Kelompok anggotanya jelas.

Namun, khusus untuk pengelolaan kawasan hutan di Jawa, mengenai keterlibatan Perhutani ketika akan menjadi bagian dari program distribusi tanah, diperlukan satu pengkajian ulang terhadap eksistensi Perhutani secara keseluruhan, mengingat berbagai kasus yang ditimbulkan terkait dengan tugas dan pokok Perhutani yang perlu ditinjau ulang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat hutan di Jawa.

e. Sesuai dengan tujuan distribusi

Distribusi tanah perlu jelas tujuannya untuk apa, misalnya untuk pengentasan kemiskinan maka bagaimana distribusi tersebut difokuskan untuk pemanfaatan tanah dan akses terhadap tanah untuk kepentingan masyarakat miskin. Misalnya studi dari UNRAM yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan, khususnya terhadap masyarakat yang telah masuk ke kawasan hutan. Artinya memberikan prioritas pada tanah-tanah yang telah dikuasai oleh masyarakat, dan tanah yang mempunyai

potensi untuk dikembangkan.

f. Tanah yang clear and clean statusnya

Dalam kriteria ini, obyek tanah yang akan didistribusikan harus jelas statusnya, apabila tanah negara adalah eks hak tertentu, misalnya eks-HGU atau HPH, maka perlu ditetapkan bahwa telah ada keputusan hukum yang telah membatalkan hak-hak yang pernah melekat. Pengertian clear juga terkait dengan batas-batas dan luasan dari tanah-tanah yang akan didistribusikan. Termasuk kedalam kriteria clear adalah telah selesainya klaim-klaim yang berkaitan dengan hak-hak adapt maupun klaim kelompok tertentu yang mempunyai kekuatan hokum maupun berdasarkan hukum adapt. Penyelesaian terhadap masalah ini hendaknya bersifat persetujuan tanpa paksaan.

Sedangkan bersifat clean, harus dipastikan obyek yang akan dibagikan tidak menjadi obyek persengketaan dari para pihak, termasuk lembaga-lembaga negara dengan masyarkat, pengusaha dengan masyarakat, pengusaha dengan pengusaha dan antar masyarakat.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 8

Page 61: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Namun demikian pengertian clear dan clean dari konflik ini tidak berlaku apabila tujuan dari distribusi tanah Negara justru untuk kepentingan penyelesaian konflik. Misalnya yang banyak terjadi adalah okupasi masyarakat pada tanah-tanah eks HGU atau perpanjangan ijin HGU-nya ternyata mengandung sengketa dengan para pihak yang telah menduduki tanah-tanah tersebut. Dengan demikian, dalam rangka program distribusi tanah untuk penyelesaian konflik, yang terpenting adalah para okupan adalah jelas persil tanah yang diokupasinya dan juga jangka waktu mendudukinya. Hal ini penting untuk mencegah okupan baru yang berasal dari daerah lain dan menduduki suatu kawasan untuk memetik keuntungan dari proses penyelesaian tanah-tanah yang diokupasi. Hasil kajian dari KPA memperlihatkan bahwa korban sengketa atau konflik agraria selama orde baru mencapai lebih dari 1 juta kepala keluarga konflik agraria di berbagai sektor, mestinya mereka yang menjadi subyek / calon penerima manfaat dari distribusi tanah ini. Mungkin bisa berbentuk restitusi atau rehabilitasi.

g. Lahan Yang Produktif

Lahan yang akan didistribusikan dipastikan merupakan lahan yang masih mempunyai produktifitas ekonomi yang baik, dan bukan berada pada kawasan lahan kritis.

h. Pertimbangan “sensivitas sosial”

Kaitan dengan kasus-kasus migran dan “penduduk asli” (etnis dan pertimbangan sosial lainnya). Sebelum memutuskan distribusi lebih memperhatikan aspek-aspek sosial yang dianggap mudah sebagai pemicu konflik.

4.3. Kriteria Calon Penerima Manfaat Distribusi Tanah Negara

Kriteria calon penerima manfaat distribusi tanah (subyek hak) dapat dibedakan dari obyek tanah yang selama ini telah diokupasi dan dimanfaatn oleh para calon penerima, dan obyek hak yang sama sekali belum ada yang memanfaatkannya. Kriteria ini dibedakan, mengingat dalam beberapa kasus, seperti di Lampung Tengah dimana obyek tanah yang dibagikan adalah Tanah Obyek Landreform (TOL) yang telah dimanfaatkan oleh para penduduk dalam waktu yang relatif lama, sehingga instrumen yang digunakan adalah penguatan hak berupa sertifikat hak milik. Namun pada daerah-daerah lainnya, seperti di

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 9

Page 62: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

Kalimantan Timur, dimana masih banyak tanah-tanah eks-HPH yang potensial dididistribusikan dan selama ini belum ada yang secara tegas melakukan klaim, maka kriteria untuk obyek tanah-tanah yang baru ini perlu diberikan.

Bagi tanah-tanah yang sudah diokupasi, maka masalah yang seringkali muncul adalah bagaimana menetapkan kriteria lamanya menempati tanah tersebut, bagaimana penggunaannya dan bagaimana fungsi tanah itu bagi keluarga. Oleh sebab itu kriterianya antara lain :

1. Subyek sudah menempati selama 20 tahun berturut-turut.

2. Masih mengusahakan tanah itu secara efektif

3. Menjadi mata pencaharian pokok

Ditetapkannya angka 20 tahun untuk subyek dalam menempati tanah yang didudukinya bukanlah suatu angka yang kaku. Dalam FGM 2 misalnya dipertanyakan, “Apakah dasar kriteria sudah menempati tanah selama 20 tahun berturut – turut, bagaimana dengan yang 18 tahun ? atau yang baru 5 tahun menggarap tanah itu tetapi berhasil ?” Oleh sebab itu dipertimbangkan dengan melihat kriteria lain dari masyarakat yang menggarap tanah itu.

Sedangkan bagi obyek-obyek tanah yang relatif baru akan didistribusikan, maka bagi para calon penerima tanah ini dipagari dengan beberapa rambu, yaitu :

1. Pada usia kerja dan produktif

2. Tidak mempunyai tanah sama sekali

3. Berkeluarga

4. Bekerja di sektor pertanian

5. Tidak ada pekerjaan lain

6. Mempunyai anak yang belum menghasilkan secara ekonomis

7. Tempat tinggal berdekatan dengan obyek tanah (penduduk yang bertempat tinggal di desa tersebut)

8. Buruh tani

Selain itu, tentu saja perlu ditambahkan dengan hal-hal lain yang bersifat umum dan normative, seperti subyek tersebut adalah (1) Warga Negara Indonesia, (2) tercatat sebagai warga desa tersebut (tanpa harus menimbulkan

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 10

Page 63: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

biaya mahal untuk administrasi kependudukan) dan (3) mempunyai keinginan kuat untuk menggarap tanah tersebut.

Prioritas memang sangat situasional tergantung aktivitas ekonomi yang dilakukan pada daerah tersebut. Pemberian prioritas kepada masyarakat yang memang telah menggarap tanah sejak lama sangat penting, karena mereka memang terbukti telah menggarap tanah untuk kebutuhan-kebutuhan ekonominya. Prioritas kepada buruh tani diharapkan akan mengubah struktur agraria pada suatu kawasan, termasuk mengurangi buruh tani yang tidak mempunyai lahan. Sehingga tingkat kemiskinan yang ada pada suatu daerah dapat diharapkan dapat dikurangi dengan masuknya para buruh tani kedalam struktur masyarakat tani yang menguasai dan memiliki lahan pertanian.

Penggunaan masa okupasi selama 20 tahun didasarkan pada peraturan yang berlaku sementara ini, namun demikian dalam praktek di lapangan indikator waktu ini jangan dipakai sebagai satu-satunya indikator. Perlu ada suatu pendekatan yang lebih partisipatif mengenai berapa lama seseorang berhak atas suatu lahan yang telah dimanfaatkannya. Pendekatan partisipatif ini penting, mengingat masyarakat pada lokasi yang spesifik itulah yang paling mengetahui sejarah dan dinamika pemanfaatan tanah di daerah itu.

Melalui pendekatan yang partisipatif itu pula akan dapat dibuktikan bahwa seseorang masih menggunakan tanah tersebut secara produktif dan menjadi mata pencaharian yang pokok bagi keluarganya.

Selain itu prirotas kepada masyarakat lokal yang telah menggarap tanah, harus dipahami bukan dalam konteks untuk menghilangkan hak para migran yang adatng ke tempat tersebut. Masyarakat lokal dapat didefinisikan kepada siapa saja yang tinggal di daerah dimana ada tanah-tanah yang akan didistribusikan, termasuk mereka yang lahir di tempat itu, tetapi termasuk para migran yang memang berkeinginan untuk menentap di daerah tersebut. Selain itu kepemilikan tanah yang diatas 2 Ha agar dapat dialihkan kepada anaknya yang telah menikah atau para penggarap yang telah menggarap denegan diberikan kompensasi.

4.4. Mekanisme Distribusi Tanah Negara

Dalam proses implementasi distribusi tanah negara mekanisme yang dibuat pada prinsipnya adalah mendapatkan obyek tanah yang mempunyai luasan cukup untuk didistribusikan, jelas status hukumnya, menghindari konflik dan sengketa seminimal mungkin dan memberikan alas hak yang sesuai dengan status

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 11

Page 64: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

kawasan, serta perlindungan terhadap alas hak yang diberikan. Adapun urutan-urutan kegiatannya sebagai berikut:

1. Inventarisasi dan identifikasi obyek, termasuk apakah tanah tersebut bebas konflik atau tidak, baik horisontal atau vertikal,

2. Apabila jumlahnya sudah pasti, inventarisasi dan identifikasi subyeknya, siapa yang sangat membutuhkan dengan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan,

3. Sinkronisasi luas tanah (obyek) dan jumlah subyek, kemudian ditentukan berapa masing-masing yang diperoleh oleh subyek,

4. Identifikasi alas hak : Hak Pakai (kawasan hutan dan non hutan) atau Hak Milik (kawasan non hutan)

Gambar 4.1:

Mekanisme distribusi tanah negara dan mencegah konflik sosial

Berkaitan dengan langkah-langkah dalam mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama-tama perlu dilakukan inventariasi mengenai ketersediaan tanah negara yang akan dibagikan, khususnya yang menyangkut status tanahnya, luasannya dan tingkat produktifitas tanahnya untuk kebutuhan

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 12

Page 65: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

yang bersifat pemenuhan kebutuhan rumah tangga maupun produsktifitas ekonominya. Inventarisasi dapat dilakukan apabila data base pertanahan yang dimiliki oleh BPN maupun kawasan hutan yang dimiliki oleh Departemen Kehutanan datanya akurat dan senantiasa up to date. Tanpa adanya suatu database yang kuat akan sulit melakukan inventarisasi tanah negara yang avalaible untuk dibagikan.

Pada saat proses identifikasi ini status tanah menjadi penting, apakah sudah clear termasuk jenis tanah negaranya, apakah tanah negara yang secara langsung dikuasai oleh negara maupun tanah negara yang berada dalam situasi sengketa. Tanah negara yang ada dalam situasi sengketa dapat menjadi bagian distribusi tanah negara untuk penyelesaian konflik atas tanah. Sedangkan tanah negara yang langsung dikuasai oleh negara dan tidak sedang dipersengkatan keberadaanya akan lebih mudah didistribusikan. Selain itu, identifikasi juga dilakukan untuk menilai kemungkinan munculnya konflik horisontal diantara masyarakat, baik diakibatkan oleh suku maupun lokalitas (penduduk asli dan pendatang).

Inventarisasi selanjutnya berkaitan dengan luas tanah, jumlah calon penerima manfaat dan nilai potensial dari tanah tersebut. Luas tanah harus mencukupi dibandingkan dengan jumlah calon penerima manfaat, untuk menghindari adanya konflik kepentingan karena kurangnya luas tanah yang akan dibagikan. Selain itu, nilai produktif tanah tersebut juga merata. Artinya tidak ada persil tanah yang mempunyai nilai potensial yang buruk, namun tidak ada juga yang nilai optensialnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Hal inipun untuk menghindari konflik kepentingan adanya pihak-pihak yang ingin mendapatkan persil tanah yang lebih baik dan berusaha untuk menyingkirkan calon penerima tanah lainnya.

Kemudian sinkronisasi antara data calon penerima manfaat dan luas tanah yang tersedia perlu dilakukan. Prinsip yang penting adalah jumlah tanah tersedia idealnya lebih banyak daripada jumlah calon penerima manfaat. Hal ini penting sebagai “cadangan” apabila ada calon penerima manfaat yang tidak terdaftar. Pembagian persil tanah (bagi tanah yang belum diokupasi) dilakukan secara adil dan random, dan bisa pula dengan menggunakan sistem undian

Hak Atas Tanah Distribusi

Hak atas tanah yang dapat diberikan sebaiknya berupa Hak Pakai atau Hak Pengelolaan. Tidak disarankan untuk diberikan Hak Milik karena ini akan mengakibatkan kemungkinan beralihnya tanah yang diterima akan berpindah ke

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 13

Page 66: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

pihak lain. Sehingga tujuan untuk mensejahterakan bagi masyarakat penerima tidak akan pernah terwujud. Namun demikian. Apabila ada mekanisme untuk memberikan “hak milik bersyarat dan terbatas” dimungkinkan dalam UUPA, maka hak seperti itu dapat diberikan kepada petani. Hal terpenting adalah pemberian hak yang justru akan menghilangkan hak petani pada suatu ketika.

Aspek Kelembagaan

Dalam mekanisme distribusi tanah, terdapat beberapa instansi yang terkait dengan program ini antara lain:

1. Perangkat Desa sebagai level pemerintahan yang paling rendah

2. Pemerintah Kecamatan

3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai daerah yang memiliki wilayah yang dijadikan sebagai obyek distribusi

4. Badan Pertanahan terkait pada berbagai level

5. Departemen Pertanian/Perkebunan/Kehutanan/Tenaga Kerja dan Instansi terkait lainnya

6. Masyarakat/NGO

Program Pemberdayaan

Untuk menjamin keberlanjutan agar tujuan dari distribusi tanah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka perlu sistem usaha yang dikembangkan oleh petani dengan mitra kerja (swasta) maupun pemerintah. Beberapa hal yang perlu dimuat dalam perjanjian kerjasama antara lain adalah (sebagai contoh):

1. Kewajiban mitra usaha (swasta)/Pemerintah:

a. Memberikan alternatif penyediaan modal usaha yang akan dilakukan petani (kredit bank) dengan menyediakan modal usaha kepada petani dengan perjanjian kepastian penjuakan seluruh hasil usaha pertanian kepada pengusaha.

b. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penanganan hasil;

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 14

Page 67: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

c. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan), penanaman serta pemeliharaan kebun/usaha;

d. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tehnik budidsaya dan cara panen dan pengelolaan pasca panen yang dilakukan petani untuk mencapai kualitas hasil yang tinggi; dan

e. Melakukan pembelian/pemasaran produksi petani dengan harga yang telah disepakati dan menguntungkan kedua pihak

2. Kewajiban petani :

a. Menyediakan lahan pertaniannya untuk mengusahakan budidaya yang telah disepakati dengan mitra usahnya.

b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang lahan usahanya berdekatan dan mengusahakan komoditi yang sama.

c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca-panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan;

d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit;

e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya oleh pihak Dinas /instansi terkait setempat;

f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan sesuai petunjuk Mitra usaha untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada Mitra usaha ;

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

IV - 15

Page 68: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5

5.1. Kesimpulan

1. Distribusi tanah merupakan program pemerintah yang sangat penting, khususnya dalam menata struktur agraria di Indonesia, dimana petani yang tuna-kisma diharapkan mempunyai asset dan akses yang berbasiskan pada tanah, serta program lainnya yang menunjang. Upaya-upaya ini sebetulnya telah lama dilakukan, misalnya melalui program land reform. Program land reform di Indonesia ini baik, yang didesain melalui land reform maupun program transmigrasi mempunyai sisi-sisi tertentu yang dapat menjadi bahan pembelajaran. Terdapat berbagai kendala, mulai dari aspek legalitas, kondisi politik, political will dari pemerintah, aspek sosial budaya, kendala akses geografis dan sebagainya. Namun, factor-faktor yang berpotensi untuk mendorong kearah keberhasilan reforma agraria juga menemukan titik cerahnya, misalnya berbagai inisiatif yang dilakukan oleh BPN melalui PPAN, penguatan organisasi masyarakat sipil, otonomi daerah dan menguatnya kehidupan yang lebih demokratis, yang merupakan prasyarat reforma agrarian

2. Selain program land reform dan transmigrasi, distribusi tanah sebetulnya telah diupayakan melalui mekanisme Perusahaan Inti Rakyat yang dilakukan melalui sub sektor perkebunan, pertanian tanaman pangan, pertambakan dan perikanan. Namun hasilnya tidak sesuai dengan perencanaan mengingat berbagai kendala teknis dan non-teknis dalam impleemntasinya

3. Dalam kajian lapangan diperoleh informasi mengenai berbagai inisiatif distribusi tanah, mulai dari inisiatif dari pemerintah kabupaten, pemerintah propinsi, pemerintah pusat, kolaborasi antara BPN dengan pemangku kepentingan lain seperti Pemkab, pihak swasta, kelompok tani, perbankan dan perguruan tinggi. Kemudian potensi reforma agrarian mellaui sector kehutanan, dengan inisiatif seperti PHBM, Hutan kemasyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan lainnya merupakan praktek-praktek yang berlangsung selama ini. Kemudian inisiatif seperti PIR Swakarsa dan kegiatan PIR lainnya dalam skala kecil merupakan perwujudan dari distribusi tanah.

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

Page 69: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

4. Melalui studi ini juga diperoleh isu-isu lainnya yang perlu mendapatkan perhatian, seperti isyu tata-ruang, luasan Kawasan Budi Daya Kehutanan (KBK) versus Kawasan Budi Daya Non Kehutanan (KBNK), isu tanah terlantar, peraturan di tingkat daerah yang terkait dengan tanah negara.

5. Peran Departemen Kehutanan dalam hal reforma agraria merupakan hal yang sangat vital, mengingat luasan terbesar dari rencana distribusi tanah negara terdapat pada kawasan hutan

6. Aspek legal masih menjadi hal penting yang perlu disoroti, khususnya bagaimana PP 8/1953 tentang pengaturan tanah negara; kemudian PP 36/1998 tentang tanah terlantar, khususnya tentang sanksi bagi pemegang hak yang menelantarkan tanahnya yang telah dimohonkan, serta jangka waktu penelantaran; kemudian Peraturan Pemerintah no. 224 Tahun 1961 tentang “Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian” jo Peraturan Pemerintah no. 41 Tahun 1964

7. Walaupun telah ada berbagai inisiatif yang menyerupai distribusi tanah negara, namun mekanisme untuk menjalankannya belum terlalu jelas. Kalaupun ada mekanisme, maka kurang tersosialisasi di kalangan masyarakat.

5.2. Rekomendasi

1. Diperlukannya suatu naskah akademis untuk mendukung peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan tanah negara di Indonesia yang pada intinya memberikan fokus yang penting terhadap integrasi berbagai aturan hukum yang telah ada mengenai distribusi tanah, redistribusi tanah dan program lainnya yang berkaitan. Selain itu naskah akademis ini perlu memberikan cakupan mengenai kriteria untuk menentukan obyek tanah seperti apa yang dapat didistribusikan, kriteria calon penerima dan program-program pendukung lainnya agar para penerima distribusi dapat mengefektifkan penggunaan tanahnya. Dalam naskah akademis tersebut penting untuk melihat kemungkinan pemberian hak milik yang terbatas dan bersyarat, serta kemungkinan collective rights sebagai alas hak dalam distribusi tanah negara

2. Diperlukannya suatu kebijakan untuk mencadangkan kawasan hutan tertentu untuk menjadi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kepentingan distribusi tanah negara, termasuk mempercepat kebijakan untuk penertiban tanah-tanah terlantar

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas

Page 70: Distribusi Tanah Negara. Draft Laporan Akhir

Draft Laporan Akhir – Kajian Distribusi Tanah Negara

3. Pelaksanaan suatu pilot proyek mengenai distribusi tanah negara pada suatu kawasan yang mencerminkan pentingnya distribusi tanah Negara, termasuk penyelesaian konflik-konflik pertanahan, agar studi ini dapat benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat lokal dan dapat menjadi pembelajaran untuk wilayah lainnya

Land Management And Policy Development Project (LMPDP)Komponen 1 Bappenas