d_ipa_0601547_chapter2(1)

62
 14 BAB II MEMBANGUN METAKOGNISI MAHASISWA MELALUI PEMBELAJARAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK BERBASIS MASALAH A. Praktikum Kima Analitik Instrumen Praktikum merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran sains yang bertujuan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik melakukan pengujian atau observasi objek nyata berkaitan dengan konsep atau teori. Praktikum juga diartikan sebagai kerja laboratorium atau kerja praktik yang dilakukan di laboratorium berkaitan dengan bidang ilmu. Adapun praktik dapat didefinisikan sebagai cara melakukan sesuatu atau cara melakukan apa yang tersebut dalam teori (Rustaman, et al., 2003). Menurut Amien (1987), apabila dilaksanakan dengan cara yang benar, praktikum merupakan salah satu kegiatan laboratorium yang sangat berperan dalam menunjang keberhasilan proses belajar mengajar IPA termasuk kimia. Dengan kegiatan praktikum, maka peserta didik: 1) akan dapat mempelajari IPA melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala maupun proses-proses IPA, 2) dapat melatih ketrampilan berpikir ilmiah, dapat menemukan dan mengembangkan sikap ilmiah, 3) serta dapat menemukan dan memecahkan berbagai masalah baru melalui metode ilmiah. Lebih lanjut Amien mengatakan bahwa mengingat pentingnya peranan praktikum dalam proses belajar mengajar IPA dinamakan dosen atau asisten harus dapat merencanakan dan mengelola kegiatan ini dengan baik. Tanpa adanya perencanaan dan pengelolaan kegiatan

Upload: eddy-pengen-jadi-hokage

Post on 19-Oct-2015

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    1/62

    14

    BAB II

    MEMBANGUN METAKOGNISI MAHASISWA MELALUI

    PEMBELAJARAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK

    BERBASIS MASALAH

    A. Praktikum Kima Analitik Instrumen

    Praktikum merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran sains

    yang bertujuan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik melakukan

    pengujian atau observasi objek nyata berkaitan dengan konsep atau teori.

    Praktikum juga diartikan sebagai kerja laboratorium atau kerja praktik yang

    dilakukan di laboratorium berkaitan dengan bidang ilmu. Adapun praktik dapat

    didefinisikan sebagai cara melakukan sesuatu atau cara melakukan apa yang

    tersebut dalam teori (Rustaman, et al., 2003).

    Menurut Amien (1987), apabila dilaksanakan dengan cara yang benar,

    praktikum merupakan salah satu kegiatan laboratorium yang sangat berperan

    dalam menunjang keberhasilan proses belajar mengajar IPA termasuk kimia.

    Dengan kegiatan praktikum, maka peserta didik: 1) akan dapat mempelajari IPA

    melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala maupun proses-proses IPA,

    2) dapat melatih ketrampilan berpikir ilmiah, dapat menemukan dan

    mengembangkan sikap ilmiah, 3) serta dapat menemukan dan memecahkan

    berbagai masalah baru melalui metode ilmiah. Lebih lanjut Amien mengatakan

    bahwa mengingat pentingnya peranan praktikum dalam proses belajar mengajar

    IPA dinamakan dosen atau asisten harus dapat merencanakan dan mengelola

    kegiatan ini dengan baik. Tanpa adanya perencanaan dan pengelolaan kegiatan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    2/62

    15

    yang baik dan tepat, maka segala aktifitas yang ada tidak akan berfungsi untuk

    mendukung tercapainya tujuan pendidikan IPA yang diharapkan.

    National Science Teacher Association (1998), menegaskan bahwa calon

    guru sains termasuk kimia seharusnya dipersiapkan melalui keterlibatannya di

    dalam laboratorium, terlibat inkuiri, merumuskan pertanyaan penelitian,

    mengembangkan prosedur, mengimplementasikan prosedur, megumpulkan dan

    menganalisis data, dan melaporkan hasilnya. Guru yang tidak pernah melakukan

    penyelidikan tidak akan menyukai desain investigasi dalam pembelajaran

    terhadap siswanya.

    Dalam pandangan konstruktivis kegiatan laboratorium/praktikum yang

    menarik akan memberi kesempatan mahasiswa untuk memahami sains (Learning

    Science) dan pada saat yang sama mahasiswa terlibat dalam proses

    mengkonstruksi pengetahuan melalui perbuatan yang dilakukan (Doing Science)

    (Arifin, 2005). Lebih lanjut Arifin, mengatakan bahwa dengan melibatkan

    aktifitas fisik dan mental dalam usaha mengkonstruksi pengetahuan yang baru

    melalui data primer yang diperolehnya dengan menggunakan semua panca

    inderanya, kegiatan praktikum kimia akan memberi kesempatan anak didik untuk

    mengembangkan konsep kimia, cara berpikir, sikap dan ketrampilan manipulasi

    alat termasuk ketrampilan komunikasi. Kegiatan praktikum memberi kesempatan

    yang lebih luas untuk pengembangan kompetensi, dan hal ini sangat tergantung

    pada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

    Bentuk praktikum terdiri atas praktikum yang bersifat latihan, praktikum

    yang bersifat memberi pengalaman, dan praktikum yang bersifat investigasi atau

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    3/62

    16

    penyelidikan. Praktikum bentuk latihan bertujuan untuk mengembangkan

    keterampilan dasar, seperti menggunakan alat, mengukur, mengamati (observasi).

    Praktikum bentuk pengalaman bertujuan untuk meningkatkan pemahaman materi.

    Pelaksanaan praktikum bentuk pengalaman dapat berupa model induksi atau

    verifikasi. Praktikum yang bertujuan ingin membangun prinsip, generalisasi, atau

    teori dari hubungan fakta-fakta termasuk model induksi menurut Francis Bacon.

    Sebaliknya, menurut Popper praktikum yang bertujuan untuk membuktikan

    kebenaran prinsip atau teori melalui fakta-fakta termasuk model verifikasi.

    Selanjutnya, praktikum bentuk investigasi bertujuan untuk mengembangkan

    kemampuan memecahkan masalah. Pada praktikum ini siswa dituntut dapat

    bertindak sebagai seorang scientist(Woolnough dalam Rustaman, 2003)

    Bentuk praktikum berkaitan dengan buku panduan praktikum. Untuk

    praktikum calon guru diperlukan buku panduan baik yang sifat praktikumnya

    latihan, verifikasi, maupun eksperimen. Kegiatan praktikum pada buku praktikum

    yang ada, umumnya bersifat latihan dan verifikasi, jarang yang bersifat

    eksperimen. Buku panduan demikian umumnya tidak memberi kesempatan untuk

    berpikir bebas, para calon guru hanya dituntut untuk tertib mengikuti langkah-

    langkah yang ada, dan biasanya tidak dilatih merumuskan masalah, merumuskan

    tujuan, membuat hipotesis, merencanakan percobaan untuk memecahkan masalah,

    mengritik data yang diperoleh, dan menarik kesimpulan yang benar (Haryani,

    2008 dan 2009).

    Berdasarkan implementasi dalam pembelajarannya, yakni berkaitan

    dengan keterlibatan mahasiswa dalam menentukan tujuan, alat dan bahan, metode

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    4/62

    17

    atau prosedur, dan hasil praktikum, model panduan praktikum dapat

    dikelompokkan atas panduan praktikum model resep, model pemecahan masalah,

    dan model penelitian (Rustaman, 2003).

    1. Ruang Lingkup Praktikum Kimia Analitik

    Kimia Analitik adalah ilmu yang berhubungan dengan cara menganalisis

    sampel secara kualitatif maupun kuantitatif. Cara-cara analisis kualitatif dan

    kuantitatif dapat dilakukan dengan metode konvensional dan instrumental.

    Analisis kualitatif dimaksudkan untuk mengidentifikasi komponen-komponen

    baik unsur-unsur maupun gugus-gugus yang terkandung dalam suatu zat.

    Umumnya dari analisis kualitatif hanya dapat diperoleh indikasi kasar dari

    komponen penyusun analit, serta biasanya digunakan sebagai langkah awal untuk

    analisis kuantitatif. Tujuan utama analisis kuantitatif adalah untuk mengetahui

    kuantitas dari setiap komponen yang menyusun analit. Analisis kuantitatif

    menghasilkan data numerik yang memiliki satuan tertentu. Data hasil analisis

    kuantitatif umumnya dinyatakan dalam satuan volume, satuan berat maupun

    satuan konsentrasi dengan menggunakan metode analsis tertentu.

    Secara konvensional analisis secara kualitatif pada umumnya dilakukan

    dengan cara basah; zat yang dianalisis berada dalam fasa cair, sehingga apabila zat

    dimaksud berada dalam fasa gas atau fasa padat perlu dilarutkan terlebih dahulu

    dengan pelarut-pelarut dalam urutan : air (H2O) ; asam klorida (HCl); asam nitrat

    (HNO3) atau air raja (campuran (HCl dan HNO3). Dari perkembangannya, analisis

    kualitatif menggunakan skema pemisahan dengan hidrogen sulfida sudah sangat

    jarang digunakan lagi. Namun hal itu sangat membantu untuk mempelajari dan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    5/62

    18

    mengorganisasi beberapa reaksi kimia yang dapat pula digunakan bagi cara

    analisis serta pemisahan modern. Metode analisis kuantitatif umumnya melibatkan

    proses kimia daan proses fisika. Analisis kuantitatif yang melibatkan proses kimia

    seperti gravimetri dan volumetri, termasuk metode konvensional, sedangkan

    analisis kuantitatif yang melibatkan proses fisika umumnya menggunakan prinsip

    interaksi materi dengan energi pada proses pengukurannya dikenal sebagai

    analisis instrumen. Peralatan yang digunakan dalam metode instrumental, antara

    lain: elektroanaliser, konduktometer, potensiometer dan spektrofotometer baik

    UV-Vis (ultra violet dan sinar tampak) maupun AAS (atomic absorpsion

    spectrometer), GC (kromatografi gas) dan HPLC atau kromatografi cair kinerja

    tinggi = KCKT.

    Berdasarkan sifat analisis terhadap komponen analitnya, jenis analisis

    dapat di golongkan menjadi; (a) analisis proksimat, (b) analisis parsial, (c)

    analisis komponen renik dan, (d) analisis lengkap. Disebut analisis perkiraan bila

    keberadaan komponen dalam sampel belum dapat dinyatakan dengan pasti, hanya

    perkiraannya saja diketahui, analisis perkiraan disebut sebagai analisis

    semikualitatif dan semi kuantitatif. Pada analisis parsial hanya sebagian

    komponen sampel yang dianalisis, sebagian lainnya tidak. Pada analisis mikro,

    hanya komponen mikro (renik) yang ditetapkan keberadaannya secara kualitatif

    maupun kuantitatif. Disebut analisis lengkap apabila keseluruhan komponen

    penyusunan sampel dianalisis, sehingga diperoleh komposisi sesungguhnya dari

    komponen penyusun sampel. Analisis lengkap mengandung informasi lengkap

    yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Selanjutnya, berdasarkan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    6/62

    19

    kuantitas analit yang ditetapkan, analisis dapat digolongkan dalam tiga kategori,

    yaitu analisis makro, analisis semi mikro, dan analisis mikro. Analisis makro bila

    kadarnya besar, misalnya dalam dalam orde gram atau prosen, sedangkan analisis

    mikro bila kadar analitnya sangat kecil, seperti orde mg, g atau ppm (Christian,

    OReily , 1986; Skoog dan West, 1985).

    Adakalanya di dalam suatu analisis, tahap pengukuran baik untuk tujuan

    kualitatif maupn kuantitatif data diakukan langsung terhadap sampel. Namun,

    lebih sering terjadi adalah diperlukannya tahap pemisahan analit dari zat-zat

    pengganggu agar proses pengukuran itu terjadi dalam medium bebas dari

    gangguan. Bila hal ini terjadi, maka tahap pemisahan seringkali menjadi tahap

    yang paling sulit dalam serangkian proses analisis.untuk mengetahui kedudukan

    taha pemisahan dalam serangkaian proses analisis, berikut diberikan secara garis

    besar tahap-tahap urutan di dalam analisis kuantitatif. Tahap-tahap tersebut

    adalah: (a) pengambilan dan penyiapan sampel; (b) pengukuran sampel; (c)

    pelarut sampel; (d) perlakuan sampel awal (seperti pengukuran pH); (c)

    pemisahan komponen yang diinginkan; (f) pengukuran komponen yang

    diinginkan; (g) penganalisisan data dan pelaporan. Dari tahap-tahap tersebut

    tampak bahwa bila komponen yang diinginkan berada bersama-sama dengan

    komponen lain (sebagai pengganggu), maka akan menimbulkan masalah yakni

    hasil akan menjadi bias, dan akan mempengaruhi hasil analisis data guna

    penarikan kesimpulan. Masalah merupakan problema spesifik yang harus dicari

    jawabannya. Setiap problema yang akan dipecahkan memiliki variabel-variabel

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    7/62

    20

    terukur yang dikenal sebagai variabel penelitian (Christian, OReily , 1986; Skoog

    dan West, 1985).

    Proses analisis kimia merupakan kerja seorang ilmuan. Bila ilmuan

    melakukan kerja untuk menghasilkan sesuatu kebenaran ilmiah, maka mereka

    akan melakukan langkah-langkah sistematis yang dikenal sebagai metode ilmiah.

    Kebenaran ilmiah yang digali dengan metode ilmiah dapat

    dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena memiliki reprodusibilitas yang

    tinggi, sehingga dapat dibuktikan oleh setiap pemerhati keilmuan. Langkah-

    langkah pokok dalam metode ilmiah dapat dijelaskan secara ringkas sebagai

    berikut: (1) menetapkan masalah, (2) melakukan kajian teoritik dan menarik

    hipotesa, (3) melakukan eksperimen atau observasi, (4) mengolah data hasil

    observasi, dan (5) menarik kesimpulan.

    Seorang ahli kimia analitik memerlukan pengetahuan yang cukup luas,

    karena cakupan analisis tidak hanya berupa bahan-bahan anorganik atau organik

    saja, namun bahan-bahan biokimia harus dihadapi pula. Seorang ahli kimia

    analitik harus memahami masalah perangkat yang digunakan untuk keperluan

    analisisnya, termasuk masalah instrumentasi (metode instrumental) dari alat yang

    digunakan. Di samping itu ahli kimia analitik juga harus menguasai prinsip-

    prinsip analisis, sehingga mampu menggunakan atau memodifikasinya guna

    keperluan analisis. Boleh disebutkan pula bahwa seorang ahli kimia analitik

    adalah ahli pula dalam memecahkan masalah, walaupun kimia analitik adalah

    merupakan suatu alat, namun peranannya tidak dapat diremehkan begitu saja.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    8/62

    21

    Untuk memahami peralatan analisis diperlukan seorang ilmuwan yang

    memahami prinsip-prinsip dasar teknik analitik. Dengan pemahaman dasar

    metode analitik, seorang ilmuwan apabila dihadapkan dengan masalah analisis

    yang sulit dapat menerapkan teknik paling tepat. Dengan pemahaman dasar juga

    membuat lebih mudah untuk mengidentifikasi ketika suatu masalah tertentu tidak

    dapat diselesaikan dengan metode tradisional, maka pengetahuan analis tersebut

    dapat digunakan untuk mengembangkan pendekatan yang kreatif ataupun metode

    analitik yang baru. Untuk kepentingan ini kimia analitik memerlukan latar

    belakang pengetahuan yang luas tentang konsep kimia dan fisika (Larive, 2004).

    Dengan demikian seorang yang bekerja dalam bidang analisis harus mampu

    menggunakan metode konvensional dengan metode instrumental. Tabel 2.1

    meringkaskan perbedaan antara metode konvensional dan instrumental.

    Tabel 2.1. Perbandingan Metode Konvensional dan Instrumental (Buchari, 1990)

    Kriteria Konvensional instrumental

    Peralatan Menggunakan peralatan

    yang relatif murah dan

    mudah dibuat atau mudah

    didapat

    Menggunakan peralatan yang

    lebih canggih, serta

    memerlukan keterampilan

    khusus untuk menjalankan

    atau mengelolanyaDasar penggunaan Reaksi kimia sehingga

    lebih dapat luas

    penggunaannya.

    Pengukuran sifat fisis dari

    suatu zat, sehingga

    penggunaannya terbatas pada

    sampel yang telah ditentukan

    saja.Zat

    standar/referensiPenetapan zat standar yang

    tepat menggunakan metode

    konvensional

    Memerlukan referensi zat-zat

    yang konstituennya telah dike-

    tahui. Untuk itu diperlukan

    metode konvensional bagi

    penetapan secara tepat dari

    konstituen dalam zat sebagai

    referensi itu.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    9/62

    22

    Tabel 2.1. Perbandingan metode konvensional dan instrumental (Lanjutan)

    (Buchari, 1990)

    Kriteria Konvensional instrumentalKeperluan analisis kurang memadai bila

    digunakan untuk keperluananalisis yang rutin dan

    berjumlah banyak

    Umumnya didisain untuk

    kebutuhan analisis rutin padalingkupnya selain mikro,

    makro, bahkan nanoUkuran sampel Analisis makro dan semi

    mikro

    Analisis jenis semimikro, mikro,

    dan nano.

    Preparasi sampel Sampel mengalami

    destruksi untuk

    memperoleh analit yang

    siap dianalisis, sehingga

    tidak dapat digunakan lagi.

    Beberapa metode instrumental

    mampu melakukan analisis

    sampel tanpa melalui prosedur

    destruksi sehingga sampel

    dapat digunakan kembali

    untuk keperluan lainnya.

    Jumlah sampel Pada umumnya kurangmampu menganalsis

    beberapa konstituen dalam

    sampel secara simultan

    (serentak)

    Cukup banyak metode instru-mental yang mampu menga-

    nalisis secara simultan

    beberapa konstituen yang

    diperlukan dalam sampel.

    Gangguan-

    gangguan analisis

    Pada umumnya relatif

    banyak sehingga seringkali

    memerlukan tahap pemi-

    sahan. Hal ini menambah

    rumitnya prosedur analisis.

    Cukup banyak metode

    instrumental yang tidak me-

    merlukan pemisahan, karena

    metode itu menggunakan sifat

    fisik zat yang sangat spesifik.Penggunaan waktu

    Memerlukan waktu yanglebih lama Memerlukan waktu yang lebihsingkat

    Uraian di atas menunjukkan ruang lingkup kimia analitik yaitu mencakup

    metode analitik konvensional dan instrumental. Seorang calon guru juga calon

    ilmuwan, meskipun dalam kaitannya dalam kimia analitik tidak secara langsung

    dididik untuk jadi ahli analitik. Namun demikian, ilmunya akan dapat

    dimanfaatkan untuk mendidik calon ilmuwan termasuk ahli analitik. Ahli kimia

    analitik adalah ahli pula dalam memecahkan masalah. Dengan demikian, melalui

    perkuliahan kimia analitik diharapkan memiliki kemampuan untuk terbiasa

    memecahkan masalah. Sementara itu dari uraian sebelumnya, kemampuan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    10/62

    23

    memecahkan masalah dapat dikembangkan melalui kegiatan praktikum yang

    bersifat investigasi.

    2. Praktikum Kimia Analitik Instrumen bagi Calon Guru

    Dalam dokumen SKGP (Depdiknas, 2004) salah satu butir kompetensi

    dalam penguasaan bidang studi kimia yang harus dimiliki calon guru adalah

    mengembangkan konsep kimia dengan memanfaatkan teknologi dan seni. Salah

    satu indikator dalam butir kompetensi tersebut adalah menggunakan sarana

    instrumen kimia dalam pengembangan konsep kimia. Salah satu substansi kajian

    yang sesuai untuk indikator dalam butir kompetensi tersebut adalah disediakan

    praktikum kimia analitik. Praktikum kimia analitik instrumen merupakan bagian

    dari praktikum kimia analitik yang diberikan di semester VI, dengan kode

    431321/1 SKS. Standar kompetensi dari mata kuliah praktikum kimia analitik

    instrumen adalah penguasaan teknik instrumentasi kimia untuk analisis maupun

    pemisahan bahan kimia. Kompetensi dasar yang diharapkan diperoleh dari mata

    kuliah praktikum adalah memahami prinsip dasar dan teknik pengukuran dengan

    pH meter, konduktometer, spektrometer UV-Vis, spektrometer serapan atom, dan

    prinsip-prinsip pemisahan secara ekstraksi dan kromatografi serta aplikasinya

    untuk proses pemisahan dan analisisi bahan kimia

    Mata kuliah kimia analitik instrumen dengan jumlah sks 3, membahas

    tentang berbagai metode pengukuran dari segi analisis kualitatif yaitu metode

    elektrometri, spektrometri, dan kromatografi. Untuk metode elektrometri dibagi

    atas potensiometri, konduktometri, koulometri, dan polarografi. Pada bagian

    kromatografi di dalamnya dibahas mengenai hukum distribusi dan pemisahan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    11/62

    24

    kimia, proses Craig dan profil pemisahan, variabel termodinamika pada

    pemisahan, optimasi kinerja kolom kromatografi, serta pemisahan dengan

    kromatografi modern yaitu gas (GC) dan kromatografi cair (HPLC). Pada analisis

    spektrometri dibahas mengenai sifat radiasi elektromagnetik, hubungan kuantitatif

    radiasi dengan materi, penggolongan spektrometri, intrumentasi, spektrometri

    molekul, dan spektrometri serapan atom.

    Sebagaimana karakteristik Praktikum Kimia Analitik, Praktikum Kimia

    Analitik Instrumen diharapkan juga dapat menyelesaikan masalah analisis

    kualitatif dan analisis kuantitatif. Dengan demikian tidak sekedar menentukan

    secara kualitatitif dan utamanya kuantitatif, namun dituntut juga untuk bisa

    menyelesaikan masalah. Di samping itu mata kuliah praktikum kimia analitik

    instrumen merupakan mata kuliah yang bersifat proses, dan memiliki variabel

    yang beragam.

    Praktikum Analitik Instrumen yang berjalan sampai dengan saat ini masih

    cenderung bersifat verifikatif, yang nampak dari model petunjuk praktikum resep

    yang kurang memberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Mahasiswa

    tidak terbiasa untuk mencoba memahami apa yang terjadi secara makroskopis

    dalam praktikum yang mereka lakukan. Bentuk penilaian masih didominasi

    kemampuan kognitif, belum dikembangkan penilaian yang mencakup aspek

    afektif, dan psikomotorik. Penilaian praktikum pada umumnya termasuk

    praktikum kimia analitik dinilai dengan pendekatan testing, bukan asesmen.

    Penilaian yang dilakukan kurang berpihak terhadap perbaikan kinerja calon guru.

    Sebagian besar praktikum dinilai dengan tes selected response, padahal

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    12/62

    25

    sebagaimana dikemukakan beberapa sumber (Marzano et al., 1994; National

    Research Council, 1996 & 2000; Joyce et al., 2001) praktikum merupakan sarana

    penting kegiatan inquiri.

    Materi praktikum kimia analitik instrumen yang selama ini dilakukan

    meliputi substansi kajian: (1) penentuan tetapan keasaman secara potensiometri,

    (2) penentuan tetapan hidrolisis (Kh) garam (Pb(NO3)2) dan Tetapan Hasil kali

    kelarutan (Ksp) garam PbSO4 dan PbI2 secara potensiometri, (3) penentuan titik

    ekivalen dengan titrasi konduktometri, (4) Penentuan banyaknya mol ligan CNS-

    dalam kompleks Fe(CNS)63-

    secara spektrofotometri, (5) penentuan permanganat

    dan kromat dalam campuran secara spektrofotometri, dan (6) penentuan kadar

    besi dalam perairan dengan AAS. Dalam GBPP mata kuliah praktikum tercantum

    prinsip-prinsip pemisahan secara ekstraksi dan kromatografi serta aplikasinya

    untuk proses pemisahan dan analisisi bahan kimia. Namun demikian, untuk

    kromatografi belum bisa dilakukan menggunakan peralatan seperti GC maupun

    HPLC, dan yang telah dilakukan menggunakan kromatografi kertas dan

    kromatografi lapis tipis.

    Berbagai hasil penelitian, menunjukkan adanya kelemahan dan kekurangan

    dalam pendidikan khususnya pendidikan kimia dilihat dari kompetensi lulusan

    yang dihasilkan. Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut implementasi

    sumber daya yang ada pada Program Studi untuk membentuk kompetensi calon

    guru agar lulusan memiliki keyakinan diri dan kemantapan dalam mendidik,

    mengajar, membina, dan melatih peserta didiknya di kemudian hari. Agar arah

    pendidikan di Program Studi Pendidikan Kimia sesuai visi, misi, tujuan, dan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    13/62

    26

    fungsi kelembagaan, perlu adanya perbaikan dalam perkuliahan khususnya

    dalam perencanaan, pelaksanaan dan pembelajarannya. Sejalan dengan kurikulum

    berbasis kompetensi, SKGP mengisyaratkan agar lulusan LPTK memiliki

    kompetensi yang berkelayakan dalam melakukan pendidikan, pembelajaran,

    pembinaan, dan pelatihan kepada peserta didiknya di sekolah. Salah satu ciri guru

    profesional adalah dapat melaksanakan pembelajaran dan penilaian yang

    mendidik. Kemudian, salah satu butir kompetensi dalam SKGP tersebut adalah

    mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan laboratorium dalam

    pembelajaran. Kegiatan laboratorium pada pembelajaran Kimia di SMA sudah

    dicanangkan sejak kurikulum 1975, namun demikian dalam pelaksanaannya lebih

    menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep, dan kurang

    menekankan pada penguasaan dasar (Noer, 2004). Oleh sebab itu upaya untuk

    mengembangkan kompetensi lulusan, perbaikan/pengembangan proses

    pembelajaran dalam kegiatan laboratorium perlu diefektifkan, agar mahasiswa

    calon guru dapat mengimplementasikan cara membelajarkan kimia dengan

    metode praktikum kepada siswanya.

    B. Pembelajaran Berbasis Masalah

    1. Pengertian dan Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah

    Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa Inggris

    Problem-based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang

    menggunakan masalah sebagai titik tolak pembelajaran, dan untuk dapat

    menyelesaikan suatu masalah peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk

    dapat menyelesaikannya. Proses pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    14/62

    27

    presentasi masalah dan berakhir pada presentasi solusi dan evaluasi (Tan, 2003).

    Pembelajaran Berbasis Masalah awalnya dikembangkan sekitar tahun 1970an

    dalam bidang pendidikan kedokteran, dan sekarang telah dipakai pada semua

    tingkatan pendidikan, dalam sekolah profesional berskala luas, maupun

    universitas.

    Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan peserta didik dalam proses

    pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang

    mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar

    mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan

    karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini. Pembelajaran

    Berbasis Masalah juga mendukung siswa untuk memperoleh struktur berbasis

    pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata, masalah yang akan

    dihadapi siswa dalam dunia kerja atau profesi, komunitas dan kehidupan pribadi.

    Pembelajaran Berbasis Masalah menyarankan kepada peserta didik untuk

    mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan.

    Pembelajaran memberikan tantangan kepada peserta didik untuk belajar sendiri.

    Dalam hal ini, peserta didik lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan

    dengan sedikit bimbingan atau arahan guru/dosen sementara pada pembelajaran

    yang umumnya dilakukan, peserta didik lebih diperlakukan sebagai penerima

    pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru. Selain berpusat

    pada peserta didik, pada pembelajaran berbasis masalah dosen atau guru bertindak

    sebagai fasilitator bukan sebagai agen ilmu (Samford, 2003). Dengan demikian

    dapat dikatakan bahwa siswa belajar mengalami dan mengaitkan pengetahuan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    15/62

    28

    sebelumnya ke dalam materi yang sedang dipelajari, mengkomunikasikan sendiri

    pemahamannya, tidak hanya sekedar menghapal. dan guru sebagai fasilitator

    membantu siswa pada permulaan dan pada saat-saat diperlukan saja apabila siswa

    mengalami kesulitan (scaffolding). Hal ini sesuai dengan pandangan

    konstruktivisme dengan didukung oleh teori belajar dari Ausubel, Bruner, dan

    Vygotsky.

    Untuk mencapai hasil pembelajaran secara optimal, pembelajaran dengan

    pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah perlu dirancang dengan baik mulai

    dari penyiapan masalah yang yang sesuai dengan kurikulum yang akan

    dikembangkan di kelas, memunculkan masalah, peralatan yang mungkin

    diperlukan, dan asessmen yang digunakan. Pengajar yang menerapkan pendekatan

    ini harus mengembangkan diri melalui pengalaman mengelola di kelasnya, atau

    melalui pendidikan pelatihan atau pendidikan formal yang berkelanjutan.

    Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru

    memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Tujuan pembelajaran

    berbasis masalah yaitu: membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir

    dan pemecahan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan

    mereka dalam pengalaman nyata, menjadi pebelejar otonom dan mandiri.

    Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan

    sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan

    fenomena dunia nyata dan membangun pemahamannya tentang fenomena itu

    (Ibrahim dan Nur, 2004).

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    16/62

    29

    Tujuan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah

    adalah menghasilkan peserta didik yang akan terlibat dalam suatu tantangan

    (masalah, tugas yang rumit, situasi) dengan inisiatif dan antusias; bernalar dengan

    efektif, akurat dan kreatif dengan basis yang terintegrasi, fleksibel, dengan

    pengetahuan yang sudah ada; merasakan apa yang kurang dimiliki dalam

    pengetahuan dan keterampilan, diarahkan dengan efisien dan efektif; dan

    bekerjasama dengan efektif, sebagai anggota dalam tim untuk mencapai tujuan

    (Samford, 2003). Menurut Tan (2004) tujuan dari pembelajaran berbasis masalah

    adalah untuk membantu peserta didik belajar reflektif dan mandiri yang dapat

    mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan. Di samping itu, pembelajaran

    berbasis masalah bertujuan untuk mengembangkan dasar-dasar pengetahuan yang

    substansial dengan menempatkan peserta didik dalam peranan sebagai seorang

    problem solver aktif yang dikonfrontasikan dengan suatu situasi (ill-structured

    problems). Melalui masalah ill-structured, peserta didik akan memperoleh

    kesempatan belajar bagaimana belajar (learn how to learn).

    2. Karakteristik dan Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah

    Menurut Ibrahim dan Nur (2004) pembelajaran berbasis masalah

    mempunyai beberapa karakteristik, dan masing-masing kararteristik tersebut

    mengandung makna. Karakteristik-karakteristik tersebut meliputi: pengajuan

    pertanyaan atau masalah (memahami masalah), berfokus pada keterkaitan antar

    disiplin, penyelidikan autentik, menghasilkan produk atau karya kemudian

    memamerkannya, dan kerja sama.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    17/62

    30

    Arends (2004), mendeskripsikan karakteristik pembelajaran berbasis

    masalah sebagai berikut. (1) Mulai dengan masalah. Masalah yang diajukan

    berhubungan dengan situasi kehidupan nyata peserta didik dan memungkinkan

    adanya berbagai macam solusi terhadap masalah tersebut; (2) Berfokus pada

    keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berbasis masalah berpusat

    pada disiplin ilmu tertentu, masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam

    pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak disiplin ilmu; (3)

    Penyelidikan otentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki peserta

    didik melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap

    masalah yang nyata; (4) Menghasilkan karya/produk dan memamerkannya.

    Bentuk penyelesaian masalah dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun

    program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-

    temannya tentang apa yang mereka pelajari; (5) Kerjasama.

    Beberapa karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut Tan (2004)

    sebagai berikut. (1) Masalah sebagai starting point pembelajaran; (2) masalah

    berupa dunia nyata yang tidak terstruktur; (3) masalah memerlukan banyak

    perspektif;(4) menantang pengetahuan, sikap, dan kompetensi siswa; (5) belajar

    berlangsung secara mandiri; (6) menggunakan dan mengevaluasi sejumlah sumber

    informasi; (7) pembelajaran berlangsung secara kolaboratif; (8) pengembangan

    inkuiri dan keterampilan pemecahan masalah; (9) sintesis dan integrasi belajar;

    serta (10) evaluasi dan reviewpengalaman dan proses belajar

    Dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah ini, guru/dosen harus

    dapat mengelola kelas melalui mengembangkan berbagai permasalahan.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    18/62

    31

    Permasalahan bisa datang dari siswa secara individual atau kelompok, namun

    demikian belum tentu siswa dapat mengajukan masalah yang baik apalagi yang

    sesuai dengan topik yang akan dibahas. Oleh karena itu fasilitator harus

    menyiapkan sejumlah permasalahan yang baik.

    Ciri-ciri masalah yang baik adalah (Duch et al., 2001): memberikan

    tantangan kepada mahasiswa, memberikan motivasi untuk menyelidiki pengertian

    yang lebih dalam tentang suatu konsep. Hal ini dapat dilakukan dengan

    mengkaitkan subyek dengan dunia nyata sehingga dalam memecahkan masalah

    siswa dapat terlibat untuk memberikan keputusan dan penjelasan pada suatu fakta,

    informasi, logika, dan atau rasional. Siswa perlu diajak berpendapat mengapa

    suatu permasalahan perlu dibahas dalam kerja kelompok, sehingga setiap anggota

    kelompok merasa ikut ambil bagian dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan

    masalah kelompok tersebut. Pertanyaan yang diajukan untuk menimbulkan

    masalah hendaknya mempunyai ciri: terbuka, berhubungan dengan pengetahuan

    siswa sebelumnya, isu yang kontroversial dapat menimbulkan bermacam-macam

    pendapat, serta harus menghubungkan antara pengetahuan lama dan pengetahuan

    baru sehingga siswa betambah pengetahuannya.

    Arends (2004) menguraikan lima tahapan utama dalam pembelajaran

    berbasis masalah. Perilaku guru/dosen pada setiap tahapan diringkaskan pada

    Tabel 2.2. Alokasi waktu atau jumlah pertemuan yang diperlukan untuk

    menyelesaikan seluruh tahapan sangat tergantung pada tingkat kompleksitas dari

    masalah yang dikaji.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    19/62

    32

    Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah (Arends, 2004)

    Tahapan Prilaku Pengampu

    Tahap 1: Orientasi pesertadidik pada masalahMenjelaskan tujuan pembelajaran, perlengkapanpenting yang diperlukan, dan memotivasi siswa

    terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang

    dipilihnya

    Tahap 2: Mengorganisasi

    peserta didik untuk belajar

    Membimbing peserta didik mendefinisikan dan

    mengorganisasikan tugas belajar yang

    berhubungan dengan masalah tersebut

    Tahap 3: Membimbing

    penyelidikan individu

    maupun kelompok

    Mendorong peserta didik mengumpulkan

    informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen,

    dan memperoleh penjelasan dan pemecahan

    masalahTahap 4: Mengembangkan,

    menyajikan, dan

    memamerkan hasil karya

    (artifak)

    Membimbing peserta didik dalam merencanakan

    dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti

    laporan, video, dan model, dan membantu mereka

    untuk berbagi tugas dengan temannya

    Tahap 5: Menganalisis dan

    mengevaluasi proses

    pemecahan masalah

    Membantu peserta didik melakukan refleksi atau

    evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses

    yang mereka gunakan

    Pembelajaran Berbasis Masalah dapat mendukung mahasiswa untuk

    memperoleh struktur pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata,

    masalah yang akan dihadapi mahasiswa dalam dunia kerja atau profesi,

    komunitas, dan kehidupan pribadi (Samford, 2003). Ditinjau dari karakteristik,

    tujuan, dan sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah maka kejadian-kejadian yang

    harus muncul pada saat implementasi dalam pembelajaran adalah: (1)

    mengidentifikasi masalah yang akan diselidiki, (2) mengeksplorasi ruang lingkup

    permasalahan, (3) menggiring siswa melakukan penyelidikan, (4) menggabungkan

    informasi yang diperoleh, dan (5) mempresentasikan penemuan, evaluasi guru,

    dan self reflection.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    20/62

    33

    3. Keunggulan dan Keterbatasan Pembelajaran Berbasis Masalah

    Menurut Akinoglu & Tandogan (2007), kelebihan pembelajaran berbasis

    masalah adalah: (1) pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered), (2)

    peserta didik dapat mengembangkan keterampilan pengendalian diri (self-

    control), (3) peserta didik dapat mempelajari peristiwa secara multidimensi dan

    mendalam, (4) peserta didik dapat mengembangkan keterampilan pemecahan

    masalah, (5) peserta didik termotivasi mempelajari materi dan konsep baru ketika

    memecahkan masalah, (6) peserta didik dapat mengembangkan kemampuan

    sosial dan keterampilan berkomunikasi yang memungkinkan mereka belajar dan

    bekerja dalam tim, (7) peserta didik dapat mengembangkan keterampilan berpikir

    ilmiah dan tingkat tinggi/kritis, (8) peserta didik dapat mengintegrasikan teori dan

    praktek yang memungkinkan mereka menggabungkan pengetahuan lama dengan

    pengetahuan baru, (9) baik pengampu maupun peserta didik termotivasi untuk

    belajar, (10) peserta didik memperoleh keterampilan mengelola waktu,

    pengumpulan data, penyiapan dan evaluasi laporan, dan (11) pembelajaran

    membantu cara-cara siswa untuk belajar sepanjang hayat.

    Sementara itu, Ehlert (2004) menyatakan bahwa keuntungan pembelajaran

    berbasis masalah adalah: (1) menyediakan kesempatan kepada peserta didik

    untuk melakukan penelitian; (2) membangun keterampilan berpikir kritis; (3)

    mengenal konten materi subyek dan membangun tujuan sesuai dengan konsep; (4)

    memberdayakan peserta didik menjadi seorang ahli dalam bidang studi tertentu;

    (5) memungkinkan peserta didik menghasilkan lebih dari satu bentuk solusi; (6)

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    21/62

    34

    menyajikan ketidaktentuan dan kebutuhan untuk mengembangkan asumsi; dan (7)

    memotivasi peserta didik belajar.

    Walapun pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa

    keuntungan, pembelajaran ini juga mempunyai keterbatasan (Akinoglu &

    Tandogan, 2007). Keterbatasan tersebut antara lain adalah: (1) guru-guru

    mengalami kesulitan untuk mengubah gaya belajarnya, (2) diperlukan cukup

    banyak waktu bagi siswa untuk memecahkan situasi masalah ketika situasi

    masalah tersebut pertama kali dipresentasikan kepada siswa, (3) kelompok atau

    individu siswa mungkin mengakhiri pembelajaran lebih cepat atau lebih lambat

    dari waktu biasanya, (4) pembelajaran berbasis masalah memerlukan hasil-hasil

    penelitian dan materi ajar (sumber-sumber belajar) yang kaya, (5) cukup sulit

    mengimplementasikan model pembelajaran berbasis masalah dalam semua kelas,

    dan (6) cukup sulit mengases pembelajaran.

    Hasil temuan Hernani (2010) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis

    masalah memiliki keunggulan: (1) masalah open-ended yang menjadi "pintu

    gerbang" munculnya konflik kognitif pada diri mahasiswa dapat merangsang

    untuk pembelajaran yang aktif dan mandiri (self-directed), sehingga proses

    mengkonstruk pengetahuan dalam pikiran mahasiswa dapat terjadi dan menjadi

    hal yang potensial untuk masuk ke dalam long-term memory; (2) esensi ilmu

    Kimia Analitik sebagai ilmu untuk menyelesaikan pennasalahan terkait dengan

    analisis kimia, benar-benar terwujud di dalam proses pembelajaran; dan (3) dapat

    meningkatkan beberapa aspek keterampilan generik sains, keterampilan

    berkomunikasi ilmiah, berpikir kritis dan domain kognitif tingkat tinggi.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    22/62

    35

    Disamping keunggulan yang dikemukakan di atas, Hernani juga

    menemukan keterbatasan implementasi pembelajaran berbasis masalah sebagai

    berikut: (1) diperlukan penyediaan waktu yang cukup oleh tutor di luar

    penjadwalan perkuliahan dan praktikum, untuk memfasilitasi proses diskusi baik

    sebelum eksperimen dilakukan maupun setelah eksperimen; (2) Fasilitator

    pembelajaran, baik dosen sebagai tutor maupun laboran harus benar-benar solid

    untuk dapat memfasilitasi proses belajar mahasiswa; dan (3) Menuntut tersedianya

    keragaman peralatan dan bahan yang memadai untuk memfasilitasi proses

    eksperimen yang bervariasi.

    C. Metakogisi

    Istilah metakognisi hampir sering dikaitkan dengan Yohanes Flavell.

    Tokoh metakognisi ini menyatakan bahwa metakognisi biasanya didefinisikan

    sebagai pengetahuan dan kognisi tentang obyek-obyek kognitif, yaitu tentang

    segala sesuatu yang berhubungan dengan kognitif. Meskipun demikian,

    menurutnya, konsep metakognisi dapat diperluas mencakup sesuatu yang bersifat

    psikologis, seperti jika seseorang memiliki pengetahuan atau kognisi tentang emosi,

    motif diri sendiri, atau orang lain. Segala bentuk aktivitas pantau-diri (self-

    monitoring) dapat dianggap sebagai bentuk metakognisi (Flavell dalam Weinert

    & Kluwe, 1987). Sementara itu Robert dan Erdos (dalam McGregor, 2007)

    menggambarkan bahwa metakognisi mengacu pada pengetahuan tentang kognisi itu

    sendiri, cognitizing tentang kognisi. Metakognitif merupakan kata sifat dari

    metakognisi, metakognisi berasal dari metacognition yang mengandung prefik

    meta dan kata kognisi. Meta berasal dari bahasa Yunani yang berarti setelah,

    melebihi, atau di atas, sedangkan kognisi diartikan sebagai apa yang diketahui

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    23/62

    36

    serta dipikirkan oleh seseorang atau yang mencakup keterampilan yang

    berhubungan dengan proses berpikir (Costa, 1985)

    Metakognisi secara sederhana sering digambarkan sebagai berpikir tentang

    berpikir. Kenyataannya gambaran tersebut tidak sesederhana seperti itu, karena

    terdapat beberapa perbedaan istilah atau konsep metakognisi yang sering

    ditemukan dalam literatur dengan label dan definisi atau batasan yang berbeda-

    beda seperti metamemori, metacomprehension (Matlin, 2003), self-regulation,

    executive control (Zile-Tamsen dalam Livingston, 1997). Berpikir tentang

    berpikir menurut Bayer (dalam Tan, 2004), metakognisi menuntun proses

    berpikirnya sehingga siswa secara sadar akan mengontrolnya, membuat hubungan

    logis antara apa yang diketahui dan informasi yang baru diterima. Sementara itu

    menurut Winn & Snyder (1998)metakognisi adalah sebuah konsep yang penting

    dalam teori kognisi.

    Metakognisi terdiri dari dua proses dasar yang berlangsung secara

    simultan yakni memonitor kemajuan ketika belajar dan membuat perubahan serta

    mengadaptasi strategi-strategi anda jika anda memiliki persepsi bahwa anda tidak

    melakukan sesuatu yang baik. Orang yang baru belajar tidak berhenti

    mengevaluasi pemahaman mereka terhadap materi. Pada umumnya mereka tidak

    menilai kualitas pekerjaan mereka atau berhenti untuk membuat revisi selama

    mereka belajar. Dalam hal membaca pembelajar amatir akan melanjutkan

    membaca dan berfikir bahwa membaca halaman tersebut sudah cukup. Pembelajar

    ahi akan membaca ulang halaman tersebut sampai konsep utamanya difahami,

    atau menandai bagian yang sulit untuk ditanyakan penjelasannya pada instruktur

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    24/62

    37

    atau teman. Sejalan dengan Winn & Snyder, menurut Jacob (2003) metakognisi

    merupakan kesadaran berpikir kita sehingga kita dapat melakukan tugas-tugas

    khusus, dan kemudian menggunakan kesadaran ini untuk mengontrol apa yang

    kita kerjakan. Selanjutnya McGregor (2003) menggambarkan tentang berpikir

    metakognitif dengan menggabungkan berbagai pernyataan tentang pengertian

    metakognisi dari berbagai ahli.

    Gambar 2. 1. Pengertian Metakognisi dari Berbagai Sumber (McGregor, 2003)

    Menurut Flavell segala bentuk aktivitas pantau-diri (self-monitoring),

    pengaturan-diri (self-regulation) dan efikasi-diri (self-efcacy) dapat dianggap

    sebagai bentuk metakognisi. Konsep metakognisi berhubungan dengan: kesadaran

    untuk mengarahkan pemikirannya, pengembangan konsepsi tentang berpikir, dan

    berhubungan dengan teori kognisi. Secara keseluruhan didasarkan pendapat-

    BerpikirMetakognitif

    Metakognisi adalah prosesmengelola internal yang digunakanuntuk mengemban tanggung jawab

    dan mengarahkan pemikiransebagai ahli pemikir (Swartz, et al1998)

    Metakognisi mengacu pa-da pengetahuan tentangkognisi itu sendiri, meng-kognisi tentang kognisi(Roberts and Erdos, 1990

    Berpikir Reflektif adalahberpikir dengan menya-

    dari asumsi dan implikasi(Lipman, 2003)

    Metakognisi mengacu pada aktifitasmemonitor, meregulasi serta

    menyusun proses-proses dalamhubungan dengan objek kognitifatau data yang mereka hadapi

    (Flavell 1976)

    Aktif, gigih, dan denganpertimbangan hati-hatiterhadap suatu keyakinan

    dari pengetahuan yangmendukungnya (Dewey1910)

    Proses metakognitif dia-sumsikan berlangsungketika memikirkan pemi-kiran sendiri, sepertisedang belajar atauketika telah melakukankesalahan (Smith, 1994

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    25/62

    38

    pendapat yang telah diuraikan, dapat disarikan bahwa proses metakognisi adalah

    suatu aktivitas mental dalam struktur kognitif yang dilakukan secara sadar oleh

    seseorang untuk mengatur, mengontrol, dan memeriksa proses berpikirnya

    sendiri.

    1. Pentingnya Pengembangan Metakognisi

    Flavell (Weinert & Kluwe, 1987) menyarankan bahwa sekolah yang baik

    harus menjadi tempat ideal bagi perkembangan metakognisi, dengan alasan bahwa

    begitu banyak pembelajaran kesadaran diri akan berlangsung. Di sekolah, anak-

    anak mempunyai kesempatan berulangkali untuk memonitor dan mengatur

    kognisi mereka, mereka juga memiliki pengalaman metakognitif yang begitu

    banyak serta kesempatan yang begitu banyak pula untuk memperoleh

    pengetahuan metakognitif orang, tugas, dan strategi.

    Flavell menyatakan bahwa metakognisi peserta didik bahkan orang pada

    umumnya perlu dikembangkan dengan alasan sebagai berkut: (1) peserta didik

    harus memiliki kecenderungan untuk banyak berfikir, dalam arti semakin banyak

    metakognisi membutuhkan semakin banyak kognisi, (2) pemikiran peserta didik

    dapat berbuat salah serta cenderung keliru, dan dalam keadaan ini membutuhkan

    pemonitoran dan pengaturan yang baik, (3) peserta didik harus mau

    berkomunikasi, menjelaskan, dan memberikan alasan yang jelas untuk

    pemikirannya kepada peserta didik lain dan juga pada dirinya sendiri; aktifitas ini

    tentu saja membutuhkan metakognisi, (4) untuk bertahan dan berhasil dengan

    baik, peserta didik perlu merencanakan masa depan dan secara kritis mengevalusi

    rencana-rencana yang lain, (5) jika peserta didik harus membuat keputusan yang

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    26/62

    39

    berat, maka akan membutuhkan ketrampilan metakognitif, dan (6) peserta didik

    harus mempunyai kebutuhan untuk menyimpulkan dan menjelaskan kejadian

    kejadian psikologi pada dirinya dan orang lain. Kecenderungan untuk terlibat

    dalam tindakan metakognitif tersebut menunjukkan kognisi sosial.

    Facione et al (dalam Tan, 2004) menyatakan bahwa pengembangan

    metakognisi ditujukan agar peserta didik dapat menjadi pemikir-pemikir kritis

    yang selalu berfikir dalam menerapkan suatu motivasi internal untuk menjadi

    sadar, ingin tahu, teratur, penuh analisis, percaya diri, toleransi, dan

    bertanggungjawab ketika menyampaikan alternatif, jujur secara intelektual ketika

    memulai apakah menerima ide-ide orang lain sebagai kebenaran, atau ketika

    menilai apakah menerima ide-ide orang lain sebagai kebenaran, maupun ketika

    tertantang oleh keadaan.

    Sementara itu menurut Livingston (1997) metakognisi memiliki peranan

    penting dalam keberhasilan belajar, oleh karena itu penting mempelajari aktivitas

    dan pengembangannya untuk menentukan bagaimana siswa dapat diajar

    menerapkan sumber-sumber pengetahuan mereka dengan lebih baik melalui

    kontrol metakognitifnya. Pengembangan kecakapan metakognitif pada mahasiswa

    adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga, karena kecakapan itu dapat

    membantu mereka menjadi self-regulated learner. Self-regulated learner

    bertanggung jawab terhadap kemajuan belajar diri sendiri dan adaptasi strategi

    belajar untuk mencapai tuntutan tugas.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    27/62

    40

    Menurut Kipnis dan Hofstein (2007) dalam beberapa tahun metakognisi

    dianggap sebagai suatu komponen penting dalam pembelajaran sains. Berikut

    beberapa alasan mengenai pentingnya metakognisi dikembangkan:

    (1) di bidang pengajaran sains ditemukan bahwa proses-proses metakognitifmemberikan pelajaran yang penuh arti atau belajar dengan pemahaman.

    (2) pengembangan metakognisi akan membuat siswa mampu mempelajari ilmu

    pengetahuan yang diminati menjadi penting di masa mendatang.

    (3) membentuk siswa yang mandiri artinya siswa yang menerapkan dan

    mengembangkan metakognisinya.

    Winn dan Snyder (1998), meninjau pentingnya strategi metakognisi.

    Ketika siswa semakin terlatih menggunakan strategi metakognisi, mereka

    menjadi percaya diri dan menjadi pembelajar yang mandiri. Kemandirian merujuk

    pada kepemilikan ketika siswa menyadari bahwa mereka dapat memenuhi

    kebutuhan intelektual mereka sendiri dan menemukan banyak informasi oleh

    tangan mereka sendiri. Anak yang memiliki strategi metakognitif akan segera

    sadar bahwa dia tidak mengerti persoalan dan mencoba mencari jalan keluar.

    Tugas pendidik adalah menanamkan, memanfaatkan, dan meningkatkan

    metakognisi pada semua siswa.

    2. Komponen Metakognisi

    Didasarkan hasil risetnya tahun 1979-1981 Flavell mengklasifikasikan

    metakognisi menjadi pengetahuan metakognitif dan pengalaman metakognitif atau

    peraturan metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu pada pengetahuan

    yang diperoleh tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    28/62

    41

    digunakan untuk mengendalikan atau mengontrol proses-proses kognitif. Flavell

    lebih lanjut membagi pengetahuan metakognisi ke dalam tiga kategori:

    pengetahuan tentang variabel-variabel. orang, variabel-variabel tugas dan

    variabel-variabel strategi. Pengalaman metakognitif adalah pengalaman-

    pengalaman sadar yang bersifat kognitif dan afektif. Seseorang mempunyai

    pengalaman metakognitif jika ia mempunyai perasaan bahwa sesuatu sulit

    untuk ditanggapi, dipahami, diingat, atau diselesaikan; atau jika ada perasaan

    bahwa ia belum mencapai tujuan kognitif, atau jika perasaan muncul bahwa

    suatu materi menjadi Iebih mudah atau lebih sulit dari sebelurnnya.

    Marzano et.al., (1988) menggambarkan dua aspek metakognisi, yaitu

    bahwa metakognisi melibatkan dua hal yakni pengetahuan-pengendalian diri, dan

    pengetahuan-pengendalian proses. Nickerson et al.,(1985) membagi metakognisi

    dalam tiga aspek yakni pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Sementara

    itu Brown (Tan, 2004) menekankan strategi metakognitif ke dalam perencanaan,

    monitoring, dan evaluasi. Berikut akan diuraikan tentang komponen-komponen

    metakognisi.

    a. Pengetahuan Metakognitif

    Menurut Flavell (Weinert & Kluwe, 1987), pengetahuan metakognitif

    mengacu pada pengetahuan yang diperoleh tentang proses-proses kognitif,

    pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengendalikan atau mengontrol

    proses-proses kognitif. Flavell lebih lanjut membagi pengetahuan metakognitif ke

    dalam tiga kategori: pengetahuan tentang variabel-variabel orang, variabel-

    variabel tugas, dan variabel-variabel strategi.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    29/62

    42

    Variabel Orang (person variable). Pengetahuan variabel-variabel orang

    mengacu pada pengetahuan umum tentang bagaimana manusia belajar dan

    memproses informasi, juga pengetahuan-pengetahuan individu tentang proses-

    proses belajar seseorang. Sebagai contoh, anda bisa sadar bahwa waktu belajar

    anda akan lebih produktif jika anda bekerja di perpustakaan yang tenang daripada

    di rumah di mana ada banyak benturan. Ada tiga subkategori dalam variabel

    orang, yaitu: dalam-individu, antar-individu. dan universal. Satu contoh dari

    variabel dalam-individu adalah keyakinan seseorang bahwa ia sangat baik dalam

    menangani bentuk-bentuk material yang bersifat hitungan, tetapi kurang pada

    tugas-tugas yang berhubungan dengan hafalan. Variabel ini terkait dengan

    variasi dalam-individu dalam hal minat, kecenderungan akan sesuatu, bakat,dan

    kesenangan. Dalam variabel antar-individu, perbandingan adalah antara orang,

    bukan dalam diri sendiri. Misalnya, pertimbangan bahwa sahabatnya lebih

    tenggang rasa daripada adiknya, tetapi adiknya lebih cerdas dari daripada

    teman-temannya.

    Variabel Tugas (task variables). Pengetahuan variabel-variabel tugas

    termasuk pengetahuan tentang asal tugas, juga jenis tuntutan proses yang akan

    menempatkan individu itu. Ketika seseorang sedang belajar sesuatu, maka

    bagaimana sifat informasi yang dihadapi dapat mempengaruhi dan memaksa

    bagaimana ia menanganinya. Sebagai contoh, kamu akan menyadari bahwa lebih

    banyak waktu bagi anda untuk membaca dan memahami teks pengetahuan

    daripada anda sekedar membaca. Untuk memahami dan menangani informasi

    yang sulit harus secara efektif diperlukan langkah yang lambat dan hati-hati dan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    30/62

    43

    diproses lebih dalam dan secara kritis-diri, misalnya dengan aktivitas pemantauan

    pemahaman yang tinggi. Dengan demikian jenis tugas yang berbeda akan

    memerlukan pemrosesan informasi yang berbeda pula.

    Variabel Strategi (Task Strategy). Pengetahuan tentang variabel-variabel

    strategi meliputi strategi kognitif, dan metakognitif, dan juga pengetahuan

    kondisional/bersyarat tentang kapan dan di mana pengetahuan seperti itu cocok

    digunakan. Untuk mencapai bermacam-macam tujuan banyak dipelajari tentang

    strategi atau prosedur kognitif. Strategi kognitif dirancang hanya untuk

    mencapai tujuan kognitif. Strategi kognitif digunakan untuk membantu

    perorangan mencapai tujuan tertentu (contoh, mengerti suatu teks), di lain pihak

    strategi metakognitif digunakan untuk memastikan bahwa tujuan sudah dicapai.

    Kita dapat membedakan strategi kognitif dan strategi metakognitif. Contohnya,

    strategi kognitif untuk mencari hasil penjumlahan bilangan-bilangan dengan

    cara menambahkannya. Tujuannya adalah untuk mencari hasil penjumlahan, dan

    untuk itu bilangan-bilangan itu ditambahkan. Dalam situasi yang sama, strategi

    metakognitif untuk menambahkan bilangan-bilangan itu dan selanjutnya

    meyakinkan bahwa jawaban itu benar. Dengan menggunakan strategi kognitif,

    seseorang terlibat aktif dalam perolehan pengetahuan. Pelibatan aktif ini

    merupakan hal yang esensial selama proses pemahaman teks, pembentukan

    konsep dan prinsip, penvelesaian masalah, dan pembuatan keputusan. Dengan

    demikian, seseorang belajar tentang strategi kognitif untuk membuat kemajuan

    kognitif, dan tentang strategi metakognitif untuk memantau, memonitor kemajuan

    kognitifnya. Strategi metakognitif, menurut Beyer (dalam Kipnis dan Hofstein,

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    31/62

    44

    2007) mempunyai tiga kompenen, yaitu; perencanaan (planning), pemantauan

    (monitoring), dan penilaian (assessing).

    Pengetahuan metakognitif menurut Schraw dan Moshman (1995) terdiri

    atas tiga jenis yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan

    pengetahuan kondisional. Pengetahuan deklaratif, meliputi pengetahuan tentang

    diri sendiri sebagai pelajar dan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

    penampilan seseorang. Pengetahuan prosedur atau tata cara, menunjuk pada

    pengetahuan tentang melakukan sesuatu, pengetahuan ini ditampilkan sebagai

    cara dan strategi (tahu bagaimana melakukan sesuatu). Pengetahuan kondisional,

    menunjuk pada tahu kapan dan mengapa menggunakan pengetahuan deklaratif

    dan prosedur (tahu aspek kognitif mengapa dan kapan).

    Anderson & Krathwohl (2001) membagi pengetahuan metakognisi ke dalam

    pengetahuan strategi, pengetahuan tugas, dan pengetahuan tentang diri.

    Pengetahuan tentang strategi adalah pengetahuan tentang strategi secara umum

    untuk belajar, berpikir, dan memecahkan masalah. Komponen dari pengetahuan

    tentang strategi meliputi: informasi, ingatan, elaborasi, mengorganisisir data,

    perencanaan, pemantauan, dan menganalisis tujuan. Pengetahuan tentang tugas

    merupakan akumulasi pengetahuan tentang tugas-tugas kognisi yang meliputi

    memahami sumber, tingkat kesulitan, strategi pengembangan, pemecahan

    masalah, memilah tugas. Sedangkan pengetahuan tentang diri adalah pengetahuan

    terkait kelebihan dan kelemahan dalam hubungannya dengan belajar dan

    kognisinya. Komponen pengetahuan meliputi: beberapa bidang, kecenderungan

    menggunakan strategi pada situasi tertentu, percaya kemampuan diri, mengetahui

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    32/62

    45

    tujuan, ketertarkan suatu tugas, mempertimbangkan manfaat tugas

    b. Pengalaman Metakognitif

    Pengalaman atau peraturan metakognitif melibatkan pemakaian strategi-

    strategi metakognitif atau peraturan metakognitif (Brown, dalam Livingston

    1997). Strategi metakognitif bersifat proses-proses yang berurutan yang

    digunakan seseorang untuk mengontrol kegiatan-kegiatan kognitif, dan untuk

    meyakinkan bahwa tujuan kognitif sudah sesuai (contoh, mengerti suatu teks).

    Proses-proses ini membantu mengatur dan mengawasi pembelajaran yang terdiri

    atas perencanaan dan pengawasan kegiatan kognitif juga memeriksa tujuan

    kegiatan tersebut.

    Sebagai contoh, setelah membaca suatu alinea di suatu teks seorang pelajar

    boleh mempertanyakan dirinya tentang konsep-konsep yang dibahas di dalam

    alinea itu. Tujuan kognitifnya untuk memahami teks. Self-questioning adalah

    suatu strategi pemantauan pengertian metakognitif yang umum. Jika seseorang

    menemukan bahwa dirinya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya

    sendiri, atau bahwa dia tidak memahami materi yang dibahas, kemudian harus

    menentukan apa perlu untuk kembali dan membaca ulang alinea dengan tujuan

    mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan. Jika setelah membaca ulang

    selanjutnya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya, maka dia boleh

    menentukan bahwa dirinya memahami materi. Dengan demikian, strategi

    metakognitif tanya jawab diri sendiri atau self-questioning digunakan untuk

    memastikan bahwa tujuan kognitif sudah ditemukan.

    Menurut Flavell (Weinert & Kluwe, 1987) pengalaman metakognitif

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    33/62

    46

    adalah pengalaman-pengalaman sadar yang bersifat kognitif dan afektif.

    Sebagai contoh, jika seseorang tiba-tiba mempunyai perasaan cemas karena

    tidak dapat memahami sesuatu dan ingin serta perlu untuk memahaminya,

    maka perasaan itu akan menjadi pengalaman metakognitif. Seseorang

    mempunyai pengalaman metakognitif jika ia mempunyai perasaan bahwa

    sesuatu sulit untuk ditanggapi, dipahami, diingat, atau diselesaikan; atau jika ada

    perasaan bahwa dirinya belum mencapai tujuan kognitif, serta jika perasaan

    muncul bahwa suatu materi menjadi Iebih mudah atau lebih sulit dari sebelurnnya.

    Jadi, pengalaman metakognitif dapat merupakan bentuk pengalaman sadar yang

    bersifat kognitif atau afektif yang berhubungan dengan tingkah laku kehidupan

    intelektual. Pengalaman metakognitif memegang peranan penting dalam

    kehidupan kognitif sehari-hari.

    Menurut Scrhaw dan Moshman (1995) peraturan kognisi menunjuk pada

    serangkaian kegiatan yang membantu siswa mengontrol belajar mereka, yakni

    perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Perencanaan melibatkan pemilihan

    strategi-strategi yang sesuai dan alokasi pene-litian yang mempengaruhi

    pelaksanaan. Monitoring menunjuk pada kesadaran seseorang yang sejalan pada

    pemahaman dan pelaksanaan tugas. Evaluasi menunjuk pada menghargai hasil-

    hasil dan efisiensi belaja.r seseorang.

    c. Keterampilan Metakognitif

    Menurut Winn dan Snyder (1998), yang termasuk dalam keterampilan

    metakognitif adalah: monitoring kemajuan belajar, mengoreksi kesalahan,

    strategi perencanaan dan selektivitas, menseleksi-mengorganisasi-dan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    34/62

    47

    mengintegrasi informasi, menganalisis strategi belajar yang efektif, serta

    mengubah tingkah laku dan strategi belajar ketika dibutuhkan. Menurut Brown

    (dalam Weinert & Kluwe, 1987), proses atau keterampilan metakognitif

    memerlukan operasi proses mental khusus yang dengan proses ini individu-

    individu memeriksa, merencanakan, mengatur atau mengorganisasi, memantau,

    memprediksi, dan mengevaluasi proses berpikirmereka sendiri.

    3. Metakognisi dan Berpikir.

    Metakognisi merujuk pada perintah berpikir yang lebih tinggi, meliputi

    kontrol aktif melalui proses kognitif yang diusahakan dalam pembelajaran.

    Kegiatan-kegiatan seperti perencanaan bagaimana mendekati suatu tugas

    pembelajaran yang diberikan, memantau pemahaman, dan menilai kemajuan

    terhadap penyelesaian tugas adalah metakognif secara alamiah (Livingston,

    1997). Presseisen (Costa, 1985) menyatakan bahwa metakognisi mengacu pada

    pengetahuan seseorang mengenai proses dan produk berpikirnya sendiri.

    Berpikir pada umumnya dianggap suatu proses kognitif, suatu aksi

    mental yang dengan proses dan tindakan itu pengetahuan diperoleh. Proses

    berpikir berhubungan dengan bentuk-bentuk tingkah laku yang lain dan

    memerlukan keterlibatan aktif pada bagian-bagian tertentu dari si pemikir.

    Dengan demikian, seorang pembelajar harus secara aktif memonitor

    penggunaan proses berpikir mereka dan mengaturnya sesuai tujuan kognitif

    mereka.

    Presseisen (dalam Costa, 1985) membagi proses berpikir menjadi dua

    kategori, yaitu proses berpikir dasar (basic thinking processes) dan proses

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    35/62

    48

    berpikir kompleks (complex thinking proceses). Presseisen juga mengusulkan

    bahwa keterampilan metakognitif sebagai suatu atribut kunci dari berpikir

    formal atau pengajaran keterampilan proses tingkat tinggi, dan menekankan

    bahwa metodologi guru dalam mengajar di kelas harus melibatkan metakognisi

    secara konstruktif. Peneliti lain menetapkan bahwa keterampilan metakognitif

    juga merupakan faktor yang cocok dalam pengembangan keterampilan peserta

    didik. Salah satu karakteristik metakognisi yang paling utama adalah adanya

    keterlibatan pertumbuhan kesadaran. Seseorang menjadi lebih sadar tentang

    proses dan prosedur berpikirnya sendiri sebagai pemikir dan pelaku.

    Berpikir metakognitif memiliki dua dimensi utama, yaitu berorientasi

    pada tugas dan terkait dengan monitoring kinerja aktual dari suatu

    keterampilan. Menurut Presseisen keterkaitan antara kedua dimensi tersebut

    dibuat dalam bentuk bagan yang disajikan dalam Gambar 2.2. Pemantauan

    kinerja tugas memerlukan keterlibatan peserta didik untuk mengawasi

    aktivitasnya sendiri. Peserta didik tidak dapat menjelaskan jika mereka tidak

    berada pada tempat yang benar; serta jika mereka tidak peduli dan sadar terhadap

    tugas yang dihadapi dan petunjuk cara mengerjakannya. Mereka perlu disarankan

    untuk menjaga sekuens yakni membedakan subtujuan dari suatu tugas dan

    menghubungkannya dengan tujuan yang sesungguhnya.

    Sebagai contoh, dalam masalah matematika yang melibatkan cerita, maka

    siswa harus mengidentifikasi operasi hitung apa yang tepat sebagai subtujuan,

    sebelum menentukan jawaban akhir sebagai tujuan. Mengalokasikan waktu

    dalam kerja atau memeriksa secara kualitatif dapat dilakukan, misalnya, dengan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    36/62

    49

    mempertanyakan: apakah pekerjaan saya sudah cukup ekstensif? Selanjutnya

    mendeteksi kesalahan ketika sedang bekerja dapat melibatkan pemeriksaan,

    membaca kembali pesan-pesan, atau menghitung ulang maupun menterjemahkan

    kembali materi yang sedang dihadapi. Semua aktivitas dalam pemantauan

    kinerja tugas ini dapat meningkatkan keberhasilan dari kinerja tugas tertentu.

    menjadi lebih tinggi.

    Gambar 2.2. Model Keterampilan Berpikir Metakognitif (Presseisen dalam

    Costa, 1985)

    Dimensi kedua yaitu dalam memilih strategi yang sesuai untuk

    bekerja, teori metakognitif menyarankan bahwa urutan belajar yang pertama

    adalah mengenali masalah sehingga dapat memfokuskan perhatian terhadap

    apa yang diperlukan dan menentukan informasi apa yang diperlukan untuk

    menyelesaikan msalah itu. Melalui pertimbangan seperti itu, peserta didik dapat

    mengenali keterbatasan belajarnya dan penyelesaian yang sedang dicarinya.

    Akhirnya, pengujian ketepatan suatu strategi memberikan kesempatan untuk

    menerapkan bermacam-macam kriteria evaluasi dan menentukan apakah

    Metakognisi

    Monitoring kinerja tugas:

    Menjaga tugas, sekuen

    Mendeteksi dan mengoreksikesalahan

    Alokasi waktu kerja

    Pemilihan dan pemahaman

    strategi yang tepat:

    memfokuskan perhatian padaapa yang dibutuhkan

    mengkaitkan apa yangdiketahui pada materi yang

    dipelajari

    menguji ketepatan suatustrategi

    Akurasi kinerja lebih besarKemampuan melakukan proses

    berpikir lebih berdaya guna

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    37/62

    50

    pendekatan yang tepat sudah digunakan. Pembelajar mempunyai kesempatan

    untuk menilai pemilihan awal suatu strategi dan mengembangkan pemahaman

    kepada pemilihan terbaik yang potensial. Dalam perspektif metakognitif, pemikir

    menjadi lebih memiliki kemampuan melakukan proses berpikir yang lebih berdaya

    guna dan lebih mandiri karena keterampilan-keterampilan ini berkembang dan terus

    diperbaiki ulang

    4. Metakognisi dalam Pembelajaran Laboratorium Sains dan

    Pengukurannya

    Dalam beberapa tahun ini, metakognisi dianggap sebagai suatu komponen

    penting dalam pembelajaran sains. Dalam berbagai penelitian di bidang

    pengajaran sains ditemukan bahwa proses-proses metakognitif memberikan

    pembelajaran yang penuh makna (Kuhn and Dean, 2004). Salah satu ciri-ciri

    pembelajaran penuh makna adalah kemampuan siswa untuk mengontrol proses

    pemecahan masalah dan pelaksanaan tugas pembelajaran lainnya. Selanjutnya

    Kuhn menyatakan bahwa pengembangan metakognisi akan membuat siswa

    mampu mempelajari ilmu pengetahuan yang diminati menjadi penting di masa

    mendatang, di samping itu juga membentuk siswa menjadi mandiri.

    White dan Mitchel (1994) menyatakan bahwa siswa yang mempunyai

    tingkah laku pembelajaran yang baik adalah yang mengembangkan keterampilan

    kognitif tertentu. Sebagian dari tingkah laku itu adalah tindakan yang

    membutuhkan bagian yang menyatu dari kegiatan laboratorium seperti

    menanyakan pertanyaan, mengecek pekerjaan laboratorium sesuai petunjuk,

    membetulkan kesalahan, menyesuaikan pendapat, mencari alasan-alasan untuk

    aspek-aspek dari pekerjaan yang tepat, menyarankan kegiatan baru dan prosedur

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    38/62

    51

    alternatif dan merencanakan strategi umum sebelum mulai. Wajar untuk

    beranggapan bahwa selama belajar di laboratorium siswa dapat mengembangkan

    keterampilan metakognitif mereka. Baind dan White (dalam Kipnis dan Hofstein,

    2007) juga menyatakan, jika dilakukan dengan penuh pemikiran, kegiatan

    laboratorium dapat meningkatkan metakognisi yang diinginkan. Orang akan tahu

    tentang strategi belajar efektif dan ketentuannya, akan menyadari dan dapat

    memahami kemajuan tugas pembelajaran yang tepat. Mereka juga menyatakan

    bahwa terdapat empat kondisi yang perlu untuk meningkatkan pengembangan

    pribadi yang berkaitan dengan kebutuhan langsung, yaitu waktu, kesempatan,

    bimbingan, dan dukungan.

    Instrumen untuk pengukuran metakognisi yang selama ini banyak

    dikembangkan adalah melalui observasi, kuesioner, dan wawancara. Pengukuran

    metakognisi tersebut pada umumnya mengacu pada Flavell dan Schraw.

    Pengetahuan metakognisi yang diadaptasi dari Flavell dan Schraw diukur melalui

    kuesioner, sedangkan peraturan atau pengalaman metakognitif diungkap melalui

    wawancara dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan sesudah

    presentasi visual hasil penyelesaian masalah. Schraw dan Moshman (1995) telah

    menyusun indikator metakognisi yang dapat diukur melalui wawancara maupun

    kuesioner. Sementara itu Anderson & Krathwohl (2001), menyatakan bahwa

    metakognisi dapat diukur melalui tes sebagaimana penguasaan konsep dengan

    indikator metakognisi.

    Pengembangan metakognisi dalam konteks praktikum Kimia Analitik

    Instrumen berbasis masalah dalam penelitian ini diukur tes uraian bermuatan

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    39/62

    52

    konsep dengan indikator metakognisi, dan kuesioner. Indikator metakognisi

    merupakan hasil adaptasi Schraw, Flavell, Brawn, Anderson & Krathwohl, serta

    McGregor (Tabel 2.3). Indikator hasil adaptasi dari beberapa ahli metakognisi

    selanjutnya divalidasi beberapa dosen, untuk selanjutnya disusun kuesioner dan

    tes yang akan diberikan pada mahasiswa sebagai subyek penelitian.

    Untuk membangun keterampilan metakognisi dapat dilakukan melalui

    pembelajaran dengan berbagai pendekatan/metode yang mencerminkan

    pencapaian ke 5 level metakognisi (Tabel 2.3). Salah satu pendekatan yang

    potensial membangun ke 5 level tersebut adalah pembelajaran berbasis masalah.

    Barrows (1988) menyatakan bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah,

    pengampu berperan sebagai pelatih metakognisi dengan membantu peserta didik

    memahami pertanyaan yang diajukan selama mendefinisikan, menentukan

    informasi, menganalisis dan mensintesis masalah, dan memilih solusi yang

    potensial.

    Pelatih metakognisi harus dapat menjamin bahwa peserta didik dapat

    menyadari keterampilan kognitifnya dan dapat memilih dengan bijaksana di

    antara solusi yang ada. Selanjutnya Brown (dalam Weinert & Kluwe, 1987)

    menekankan bahwa dalam memilih strategi yang sesuai untuk menyelesaikan

    tugas, teori metakognitif menyarankan bahwa tingkat belajar yang pertama

    adalah mengenali masalah yang harus diselesaikan, dan menentukan informasi

    apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah itu dan dimana informasi itu

    dapat diperoleh.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    40/62

    53

    Tabel 2.3. Indikator Metakognisi (diadaptasi dari Mc Gregor, 2007, Schraw, 1995,

    dan Anderson & Krathwol, 2001)

    No Level metakognisi Sub level metakognisi (sebagai indikator)

    1 Menyadari prosesberpikir dan

    mampu

    menggambarkannya

    Menyatakan tujuanMengetahui tentang apa dan bagaimana

    Menyadari bahwa tugas yang diberikan

    membutuhkan banyak referensi

    Menyadari kemampuan sendiri dalam mengerjakantugas

    Mengidentifikasi informasi

    Memilih operasi/prosedur yang dipakai

    Mengurutkan operasi yang digunakan

    Merancang apa yang akan dipelajari

    2 Mengembangkanpengenalan

    strategi berpikir

    Memikirkan tujuan yang telah ditetapkanMengelaborasi informasi dari berbagai sumber

    Memutuskan operasi yang paling sesuai

    Menjelaskan urutan operasi lebih spesifik

    Mengetahui bahwa strategi elaborasi meningkatkan

    pemahaman

    Memikirkan bagaimana orang lain memikirkan tugas

    3 Merefleksi

    prosedur secara

    evaluatif

    Menilai pencapaian tujuan

    Menyusun dan menginterpretasi data

    Mengevaluasi prosedur yang digunakan

    Mengatasi kesalahan/hambatan dalam pemecahan

    masalahMengidentifikasi sumber-sumber kesalahan dari

    percobaan

    4 Mentransfer

    pengalaman

    pengetahuan dan

    prosedural pada

    konteks lain

    Menggunakan operasi yang berbeda untuk

    penyelesaian masalah yang sama

    Menggunakan operasi/prosedur yang sama untuk

    masalah lain

    Mengembangkan prosedur untuk masalah yang sama

    Mengaplikasikan pemahamannya pada situasi baru

    5 Menghubungkan

    pemahamankonseptual dengan

    pengalaman

    prosedural

    Mengaitkan data pengamatan dengan pembahasan

    Menganalisis efisiensi dan efektifitas prosedurMenganalisis kompleksnya masalah

    Menyeleksi informasi penting yang digunakan

    dalam memecahkan masalah

    Memikirkan proses berpikirnya selama pemecahan

    masalah

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    41/62

    54

    E. Cakupan Materi Spektrometri dan HPLC

    1. Spektrometri

    Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang

    interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik. Metode pengukuran yang

    didasarkan pada pengetahuan tentang spektroskopi disebut spektrometri. Prinsip

    dasar spektrometri adalah adanya interaksi antara radiasi elektromegnetik dengan

    materi. Bila radisi elektromegnetik melewati suatu materi, maka beberapa hal

    yang mungkin terjadi adalah absorpsi, emisi, hamburan sinar, fluoresensi dan

    fosforesensi. Berdasarkan keadaan materi, maka spektrometri dapat dibedakan

    menjadi spektrometri atom dan spektrometri molekul. Selanjutnya berdasarkan

    sifat radiasinya, spektrometri atom dapat diklasifikasikan ke dalam spektrometrii

    absorpsi atom, spektrometri emisi atom, dan spektrometrii fluoresensi atom.

    Penelitian ini berhubungan dengan spektrometri absorpsi yaitu spektrometri

    absorpsi atom (selanjutnya disebut AAS), dan spektrometri emisi atom (AES),

    serta spektrometri molekul yaitu spektrometri UV-Vis.

    Sebelum sampai tahap pengukuran dengan AAS, AES, maupun UV-Vis

    harus dilakukan tahap-tahap pengambilan sampel, preparasi sampel, pemisahan

    komponen yang diinginkan misalnya melalui ekstraksi, dan pembuatan larutan

    standar. Oleh karena itu, untuk bisa mengikuti mata kuliah praktikum Praktikum

    Kimia Analitik Instrumen ini mahasiswa harus sudah mengambil mata kuliah

    Dasar-dasar Kimia Analitik dan praktikumnya, serta Dasar-dasar Pemisahan

    Analitik dan praktikumnya.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    42/62

    55

    Instrumen untuk spektrometri umumnya terdiri dari 5 komponen pokok,

    yaitu (1) sumber radiasi, (2) wadah sampel, (3) monokromator, (4) detektor, dan

    (5) rekorder. Perbedaan antara AAS dengan spektrometri UV-Vis, yaitu wadah

    sampel, sumber radiasi yang digunakan, juga adanya sistem pengatoman dalam

    AAS; sedangkan antara AAS dengan AES berbeda dalam hal tidak diperlukannya

    sumber radiasi pada AES.

    Sumber radiasi untuk spektrum kontinu adalah lampu: argon pada

    spektroskopi UV-Vakum, deuterium atau hidrogen pada spektrometri UV, xenon

    dan wolfram (tungsten) pada spektrometri UV-Vis. Untuk spektrum diskontinu,

    sumber radiasinya adalah lampu katoda cekung (hollow cathode) yang banyak

    dipakai pada spektroskopi atom. Wadah sampel diperlukan untuk semua teknik

    spektrometri kecuali spektrometri emisi. Umumnya wadah sampel disebut kuvet

    atau sel. Kuvet yang terbuat dari kwarsa baik untuk spektrometri UV dan juga

    untuk spektrometrisinar tampak (Vis). Kuvet plastik dapat digunakan untuk

    spektrometri sinar tampak. Monokromator adalah alat yang paling umum dipakai

    untuk menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang gelombang.

    Monokromator untuk radiasi UV dan Vis adalah serupa, yaitu mempunyai celah

    atau slit, lensa, cermin dan prisma atau grating. Untuk detektor, dikenal 2 macam

    yaitu detektor foton dan detektor panas. Detektor panas biasa dipakai untuk

    mengukur radiasi infra merah, termasuk thermocouple dan bolometer. Signal

    listrik dari detektor bisanya diperkuat dengan amplifier kemudian direkam sebagai

    spektrum yang berbentuk puncak-puncak. Plot antara panjang gelombang dan

    absorban akan dihasilkan spektrum.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    43/62

    56

    Pada penggunaan AAS dengan sistem pengatoman nyala api untuk

    menganalisis sampel, suatu sumber radiasi lampu katoda cekung yang sesuai

    dengan jenis unsur dilewatkan ke dalam nyala api yang berisi sampel yang telah

    teratomisasi, kemudian radiasi tersebut diteruskan ke detektor melalui

    monokromator. Untuk membedakan antara radiasi yang berasal dari sumber

    radiasi dan radiasi dari nyala api, biasanya digunakan chopper yang dipasang

    sebelum radiasi dari sumber radiasi mencapai nyala api. Detektor disini akan

    menolak arus searah (DC) dari emisi nyala dan hanya mengukur arus bolak balik

    (signal absorpsi) dari sumber radiasi dan sampel. Konsentrasi unsur diukur

    berdasarkan perbedaan intensitas radiasi pada waktu ada atau tidaknya unsur yang

    diukur (sampel) di dalam nyala api.

    Untuk metode AES, atom-atom unsur dalam nyala api akan tereksitasi.

    Pada waktu atom-atom kembali ke tingkat dasar akan memancarkan radiasi

    elektromagnetik yang disebut radiasi emisi dimana energi radiasi emisi ini sama

    dengan energi radiasi eksitasi, jadi sumber radiasi disini berasal dari sampel.

    Intensitas radiasi emisi ini kemudian dideteksi oleh detektor setelah melalui

    monokromator. Dalam hal ini konsentrasi unsur sebanding dengan intensitas

    radiasi, artinya terdapat hubungan linear antara intensitas radiasi dengan

    konsentrasi unsur.

    Spektometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopi yang

    memakai sumber radiasi ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak

    (Visible = Vis) 380-780 nm dengan memakai instrumen spektrofotometer. Bila

    radiasi elektromagnetik pada daerah panjang gelombang UV-Vis melewati suatu

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    44/62

    57

    molekul dan bila energi fotonnya cukup, maka energi tersebut akan diserab dan di

    dalam molekul terjadi transisi elektronik yang disebut molekul itu tereksitasi.

    Pengapsorpsian sinar ultra violet atau sinar tampak oleh suatu molekul umumnya

    menghasilkan eksitasi elektron bonding. Akibatnya, panjang gelombang absorpsi

    maksimum dapat dikorelasikan dengan jenis ikatan yang ada di dalam molekul

    yang sedang diselidiki. Oleh karena itu spektrometri serapan molekul berharga

    untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsi yang ada dalam suatu molekul. Akan

    tetapi, yang lebih banyak adalah penggunaan untuk penentuan kuantitatif

    senyawa-senyawa yang mengandung gugus-gugus pengabsorpsi.

    Langkah utama dalam analisis spektrofotometri untuk memperoleh

    pengukuran yang baik meliputi penentuan kondisi kerja/optimasi. Optimasi

    meliputi peralatan, dan optimasi terkait pra pengukuran (tahap pemisahan).

    Optimasi pengukuran Spektrofotometer UV-Vis meliputi: (1) pemanasan

    peralatan, (2) penentuan optimum, (3) optimasi untuk meminimalkan intervensi

    dari logam lain seperti: optimasi pH pembentukan kompleks, konsentrasi ligan,

    perbandingan konsentrasi logam dan ligan. Sedangkan, optimasi pada AAS (untuk

    atomisasi dengan nyala api) meliputi: tinggi pembakar, kecepatan alir gas

    pembakar, posisi lampu, posisi pembakar terhadap sinar, dan kuat arus.

    Teknik analisis yang banyak digunakan dalam spektrometri adalah metode

    kurva kalibrasi dan metode adisi standar. Pada kurva kalibrasi dilakukan dengan

    membuat sederetan larutan standar pada konsentrasi tertentu, kemudian masing-

    masing larutan stndar diukur absorbansinya, terakhir dibuat kurva antara

    absorbansi versus konsentrasi, dan akan diperoleh garis linier. Konsentrasi sampel

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    45/62

    58

    dapat dihitung dengan cara mengeplotkan absorbansi yang terukur dalam kurva.

    Pada teknik standar adisi larutan sampel dengan volume yang sama dimasukkan

    ke dalam masing-masing labu takar, kemudian ditambah larutan standar dengan

    konsentrasi yang berbeda. Absorbansi dari masing-masing larutan dalam labu

    takar diukur absorbansinya setelah diencerkan sampai volume tertentu (tanda

    tera). Kemudian dibuat kurva hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi

    standar.

    2.High Performance Liquid Chromatography(HPLC)

    Kromatografi merupakan proses pemisahan yang didasarkan adanya

    perbedaan koefisien distribusi komponen-komponen dalam dua fasa yaitu fasa

    gerak dan fasa diam. Fasa diam (stasioner) berupa suatu zat padat atau suatu

    cairan, dan fasa gerak bisa suatu cairan atau suatu gas. Didasarkan jenis fasa

    dikenal 4 jenis kromatografi: cair-padat, gas-padat, cair-cair, dan gas-cair.

    Berdasarkan fasa geraknya dibedakan kromatografi gas (contoh GC) dan

    kromatografi cair (contoh HPLC), sementara itu pembagian dalam kromatografi

    cair selain didasarkan wujud fasa diam dan fasa geraknya juga didasarkan

    mekanisme interaksinya.

    Selama bertahun-tahun bentuk kromatografi yang digunakan adalah cair-

    padat (KCP), kemudian berkembang kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi

    cairan kolom klasik merupakan prosedur pemisahan yang sudah mapan di mana

    fase cair yang mobil mengalir lambat-lambat lewat kolom karena gravitasi.

    Umumnya metode itu dicirikan oleh efisiensi kolom yang rendah dan waktu

    pemisahan yang lama. Karya Martin dan Synge, tahun 1041 membuahkan hadiah

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    46/62

    59

    Nobel, tidak hanya merevolusikan kromatografi cair, tetapi juga secara umum

    meletakkan landasan bagi perkembangan kromatografi gas dan kromatografi

    kertas.

    Pembahasan teknik kromatografi modern baru lengkap bila disebut

    kromatografi cairan kinerja tinggi (HPLC). Dalam metode ini digunakan kolom

    berdiameter kecil (1-3 mm) dan eluen dipompakan ke dalamnya dengan laju alir

    yang tinggi (sekitar 1-5 cm3m

    -1). Pemisahan dengan metode ini dilakukan jauh

    lebih cepat (sekitar 100 kali lebih cepat) daripada dengan kromatografi cairan

    yang biasa. Meskipun peralatan yang tersedia di pasar dewasa ini agak mahal,

    HPLC telah terbukti luas penggunaannya, makin popular dan menjadi teknik

    yang makin penting di dalam laboratorium analisis. Kepopulerannya sekarang ini

    mengatasi teknik kromatografi gas (Hendayana, 2006)

    Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa juga disebut dengan

    High Performance Liquid Chromatography (HPLC) adalah suatu teknik

    kromatografi yang menggunakan fasa gerak cair, yang dapat untuk pemisahan

    sekaligus analisis suatu zat. Prinsip dasar pemisahan adalah adanya perbedaan

    distribusi komponen diantara fasa gerak dan fasa diam yang menyebabkan

    perbedaan migrasi diferensial komponen-komponen analit dalam kolom

    kromatografi. Dalam kromatografi cair selain terjadi interaksi komponen dengan

    fasa diam juga adanya kelarutan relatif antara komponen yang akan dipisahkan

    dengan fasa gerak, sedangkan dalam kromatografi gas, fasa gerak sifatnya inert,

    dengan demikian hanya terjadi interaksi antara komponen dengan fasa diam, di

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    47/62

    60

    samping itu dalam kromatografi gas pemisahan terjadi karena adanya perbedaan

    titik didih.

    Didasarkan kekuatan/kepolaran fasa geraknya HPLC pasangan dibedakan

    menjadi HPLC fasa normal (normal phase), jika pasangan fasa geraknya kurang

    polar dibanding fasa diamnya, sebaliknya jika fasa gerak lebih polar dari fasa

    diam disebut HPLC fasa terbalik (reverse phase). Selain itu, HPLC juga dapat

    dikelompokkan berdasarkan pada sifat fase diam dan atau berdasarkan pada

    mekanisme sorpsi solut, dengan jenis-jenis HPLC seperti: kromatografi adsorpsi,

    kromatografi fase terikat, kromatografi penukar ion.

    Instrumentasi alat HPLC terdiri atas gerbang penyuntikan (injection port),

    kolom dan detektor yang dihubungkan satu sama lain. Kolom merupakan tempat

    terjadinya pemisahan yang berisi fasa diam. Pompa pada HPLC bermanfaat

    untuk mendorong fasa gerak yang membawa komponen masuk ke dalam kolom

    karena ukuran partikel fasa diam yang ada dalam kolom kecil, dan diameter dalam

    kolom juga kecil sehingga tekanannya harus tinggi. Detektor untuk mendeteksi

    komponen-komponen diletakkan setelah kolom selain berfungsi mendeteksi

    adanya komponen cuplikan juga mengukur banyaknya/konsentrasi yang telah

    terpisahkan di kolom. Jenis detektor yang digunakan tergantung sampel yang

    akan dianalisis dan fasa gerak. Output dari pengukuran HPLC adalah

    kromatogram yang mempresentasikan waktu retensi (tr) untuk parameter

    kualitatif, dan luas area untuk parameter kuantitatif dengan respon (mVolt).

    Untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif tersebut harus ada pembandingnya

    yang diukur pada kondisi yang sama.

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    48/62

    61

    Prinsip kerja dari alat HPLC adalah dengan bantuan pompa, fasa gerak

    cair dialirkan melalui kolom ke detektor. Cuplikan dimasukkan ke dalam aliran

    fasa gerak dengan cara penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan

    komponen-komponen campuran, karena adanya perbedaan kekuatan interaksi

    antara komponen-komponen terhadap fasa diam. Komponen-komponen yang

    kurang kuat interaksinya dengan fasa diam akan keluar dari kolom lebih dulu,

    sebaliknya, komponen-komponen yang kuat berinteraksi dengan fasa diam maka

    akan keluar dari kolom lebih lama. Setiap komponen campuran yang keluar

    kolom dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram.

    Proses bergeraknya komponen yang dibawa oleh fasa gerak melalui kolom

    disebut elusi. Berdasarkan laju alir fasa geraknya proses elusi dibedakan dua

    macam yaitu isokratik jikalaju alir tetap pada proses elusi dan gradien jika Laju

    alir atau komposisi fasa gerak berubah pada proses elusi (Hendayana ,2006)

    Parameter yang digunakan pada HPLC meliputi waktu retensi (tr), yaitu

    waktu yang diperlukan komponen untuk bergerak sepanjang kolom, dan

    volume retensi (vr) yaitu volume fasa gerak yang diperlukan untuk membawa

    komponen sepanjang kolom. Parameter pemisahan yang berhubungan dengan

    interaksi antara komponen dengan fasa diam adalah faktor kapasitas (k). Kolom

    yang efisien yaitu kolom yang mampu menghasilkan kromatogram dengan puncak

    sempit, tajam, dan simetris. Ukuran dari efisiensi kolom ini adalah jumlah plat

    teoritis (N). Kemampuan kolom untuk bisa membedakan suatu komponen dari

    komponen lain parameternya adalah selektivitas kolom (faktor selektivitas,) dan

    resolusi (Rs)

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    49/62

    62

    Tahapan kerja untuk analisis kuantitatif meliputi: (1) penyiapan fasa gerak,

    (2) preparasi sampel, (3) penyiapan larutan standar, (4) pengukuran sampel.

    Pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak dalam HPLC harus dipilih sesuai

    karakteristik sampel dan fasa diam, serta harus memutuskan jenis fasa gerak yang

    akan digunakan. Selain berfungsi sebagai pembawa komponen-komponen

    campuran menuju detektor, fasa gerak dapat berinteraksi dengan komponen-

    komponen. Oleh karena itu, pelarut dalam HPLC merupakan salah satu faktor

    penentu keberhasilan proses pemisahan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi

    sebagai pelarut HPLC adalah: (1) harus murni sekali untuk menghindarkan

    masuknya kotoran yang dapat mengganggu interpretasi kromatografi, (2) harus

    jernih sekali untuk menghindarkan penyumbatan pada kolom. Oleh karena itu

    pelarut harus didegassing, dan disaring dengan membran.

    Kelebihan dari teknik HPLC ini antara lain: (1) dapat digunakan untuk

    isolasi zat yang tidak mudah menguap dan zat yang tidak stabil, (2) HPLC

    memiliki detektor dengan kepekaan yang tinggi, (3) memiliki daya memisah yang

    tinggi, (4) dapat menganalisis sampel yang kecil kuantitasnya, (5) biaya pelarut

    jauh lebih rendah dibandingkan LC konvensional, (6) teknik HPLC dapat

    dilakukan pada suhu kamar.

    3. Pemeliharaan Peralatan

    Pemeliharaan (maintenance) peralatan merupakan bagian dari perkuliahan

    instrumen yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman

    kepada mahasiswa tentang bagaimana menjaga kinerja dari suatu peralatan atau

    sistem agar peralatan atau sistem tersebut dapat bekerja atau beroperasi sesuai

  • 5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)

    50/62

    63

    yang diharapkan. Pemeliharaan pada umumnya dibagi menjadi dua kategori:

    pemeliharaan pencegahan (juga dikenal sebagai terjadwal atau rutin) dan

    pemeliharaan korektif (atau perbaikan). Pemeliharaan pencegahan terdiri dari

    pemeriksaan secara teratur terjadwal, pengujian, pemeliharaan, pemeriksaan

    secara seksama dan aktivitas penggantian. Tujuan pemeliharaan ini adalah untuk

    memastikan kemampuan instrumentasi reaktor yang handal, komponen dan sistem