d_ipa_0601547_chapter2(1)
TRANSCRIPT
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
1/62
14
BAB II
MEMBANGUN METAKOGNISI MAHASISWA MELALUI
PEMBELAJARAN PRAKTIKUM KIMIA ANALITIK
BERBASIS MASALAH
A. Praktikum Kima Analitik Instrumen
Praktikum merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran sains
yang bertujuan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik melakukan
pengujian atau observasi objek nyata berkaitan dengan konsep atau teori.
Praktikum juga diartikan sebagai kerja laboratorium atau kerja praktik yang
dilakukan di laboratorium berkaitan dengan bidang ilmu. Adapun praktik dapat
didefinisikan sebagai cara melakukan sesuatu atau cara melakukan apa yang
tersebut dalam teori (Rustaman, et al., 2003).
Menurut Amien (1987), apabila dilaksanakan dengan cara yang benar,
praktikum merupakan salah satu kegiatan laboratorium yang sangat berperan
dalam menunjang keberhasilan proses belajar mengajar IPA termasuk kimia.
Dengan kegiatan praktikum, maka peserta didik: 1) akan dapat mempelajari IPA
melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala maupun proses-proses IPA,
2) dapat melatih ketrampilan berpikir ilmiah, dapat menemukan dan
mengembangkan sikap ilmiah, 3) serta dapat menemukan dan memecahkan
berbagai masalah baru melalui metode ilmiah. Lebih lanjut Amien mengatakan
bahwa mengingat pentingnya peranan praktikum dalam proses belajar mengajar
IPA dinamakan dosen atau asisten harus dapat merencanakan dan mengelola
kegiatan ini dengan baik. Tanpa adanya perencanaan dan pengelolaan kegiatan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
2/62
15
yang baik dan tepat, maka segala aktifitas yang ada tidak akan berfungsi untuk
mendukung tercapainya tujuan pendidikan IPA yang diharapkan.
National Science Teacher Association (1998), menegaskan bahwa calon
guru sains termasuk kimia seharusnya dipersiapkan melalui keterlibatannya di
dalam laboratorium, terlibat inkuiri, merumuskan pertanyaan penelitian,
mengembangkan prosedur, mengimplementasikan prosedur, megumpulkan dan
menganalisis data, dan melaporkan hasilnya. Guru yang tidak pernah melakukan
penyelidikan tidak akan menyukai desain investigasi dalam pembelajaran
terhadap siswanya.
Dalam pandangan konstruktivis kegiatan laboratorium/praktikum yang
menarik akan memberi kesempatan mahasiswa untuk memahami sains (Learning
Science) dan pada saat yang sama mahasiswa terlibat dalam proses
mengkonstruksi pengetahuan melalui perbuatan yang dilakukan (Doing Science)
(Arifin, 2005). Lebih lanjut Arifin, mengatakan bahwa dengan melibatkan
aktifitas fisik dan mental dalam usaha mengkonstruksi pengetahuan yang baru
melalui data primer yang diperolehnya dengan menggunakan semua panca
inderanya, kegiatan praktikum kimia akan memberi kesempatan anak didik untuk
mengembangkan konsep kimia, cara berpikir, sikap dan ketrampilan manipulasi
alat termasuk ketrampilan komunikasi. Kegiatan praktikum memberi kesempatan
yang lebih luas untuk pengembangan kompetensi, dan hal ini sangat tergantung
pada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Bentuk praktikum terdiri atas praktikum yang bersifat latihan, praktikum
yang bersifat memberi pengalaman, dan praktikum yang bersifat investigasi atau
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
3/62
16
penyelidikan. Praktikum bentuk latihan bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan dasar, seperti menggunakan alat, mengukur, mengamati (observasi).
Praktikum bentuk pengalaman bertujuan untuk meningkatkan pemahaman materi.
Pelaksanaan praktikum bentuk pengalaman dapat berupa model induksi atau
verifikasi. Praktikum yang bertujuan ingin membangun prinsip, generalisasi, atau
teori dari hubungan fakta-fakta termasuk model induksi menurut Francis Bacon.
Sebaliknya, menurut Popper praktikum yang bertujuan untuk membuktikan
kebenaran prinsip atau teori melalui fakta-fakta termasuk model verifikasi.
Selanjutnya, praktikum bentuk investigasi bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah. Pada praktikum ini siswa dituntut dapat
bertindak sebagai seorang scientist(Woolnough dalam Rustaman, 2003)
Bentuk praktikum berkaitan dengan buku panduan praktikum. Untuk
praktikum calon guru diperlukan buku panduan baik yang sifat praktikumnya
latihan, verifikasi, maupun eksperimen. Kegiatan praktikum pada buku praktikum
yang ada, umumnya bersifat latihan dan verifikasi, jarang yang bersifat
eksperimen. Buku panduan demikian umumnya tidak memberi kesempatan untuk
berpikir bebas, para calon guru hanya dituntut untuk tertib mengikuti langkah-
langkah yang ada, dan biasanya tidak dilatih merumuskan masalah, merumuskan
tujuan, membuat hipotesis, merencanakan percobaan untuk memecahkan masalah,
mengritik data yang diperoleh, dan menarik kesimpulan yang benar (Haryani,
2008 dan 2009).
Berdasarkan implementasi dalam pembelajarannya, yakni berkaitan
dengan keterlibatan mahasiswa dalam menentukan tujuan, alat dan bahan, metode
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
4/62
17
atau prosedur, dan hasil praktikum, model panduan praktikum dapat
dikelompokkan atas panduan praktikum model resep, model pemecahan masalah,
dan model penelitian (Rustaman, 2003).
1. Ruang Lingkup Praktikum Kimia Analitik
Kimia Analitik adalah ilmu yang berhubungan dengan cara menganalisis
sampel secara kualitatif maupun kuantitatif. Cara-cara analisis kualitatif dan
kuantitatif dapat dilakukan dengan metode konvensional dan instrumental.
Analisis kualitatif dimaksudkan untuk mengidentifikasi komponen-komponen
baik unsur-unsur maupun gugus-gugus yang terkandung dalam suatu zat.
Umumnya dari analisis kualitatif hanya dapat diperoleh indikasi kasar dari
komponen penyusun analit, serta biasanya digunakan sebagai langkah awal untuk
analisis kuantitatif. Tujuan utama analisis kuantitatif adalah untuk mengetahui
kuantitas dari setiap komponen yang menyusun analit. Analisis kuantitatif
menghasilkan data numerik yang memiliki satuan tertentu. Data hasil analisis
kuantitatif umumnya dinyatakan dalam satuan volume, satuan berat maupun
satuan konsentrasi dengan menggunakan metode analsis tertentu.
Secara konvensional analisis secara kualitatif pada umumnya dilakukan
dengan cara basah; zat yang dianalisis berada dalam fasa cair, sehingga apabila zat
dimaksud berada dalam fasa gas atau fasa padat perlu dilarutkan terlebih dahulu
dengan pelarut-pelarut dalam urutan : air (H2O) ; asam klorida (HCl); asam nitrat
(HNO3) atau air raja (campuran (HCl dan HNO3). Dari perkembangannya, analisis
kualitatif menggunakan skema pemisahan dengan hidrogen sulfida sudah sangat
jarang digunakan lagi. Namun hal itu sangat membantu untuk mempelajari dan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
5/62
18
mengorganisasi beberapa reaksi kimia yang dapat pula digunakan bagi cara
analisis serta pemisahan modern. Metode analisis kuantitatif umumnya melibatkan
proses kimia daan proses fisika. Analisis kuantitatif yang melibatkan proses kimia
seperti gravimetri dan volumetri, termasuk metode konvensional, sedangkan
analisis kuantitatif yang melibatkan proses fisika umumnya menggunakan prinsip
interaksi materi dengan energi pada proses pengukurannya dikenal sebagai
analisis instrumen. Peralatan yang digunakan dalam metode instrumental, antara
lain: elektroanaliser, konduktometer, potensiometer dan spektrofotometer baik
UV-Vis (ultra violet dan sinar tampak) maupun AAS (atomic absorpsion
spectrometer), GC (kromatografi gas) dan HPLC atau kromatografi cair kinerja
tinggi = KCKT.
Berdasarkan sifat analisis terhadap komponen analitnya, jenis analisis
dapat di golongkan menjadi; (a) analisis proksimat, (b) analisis parsial, (c)
analisis komponen renik dan, (d) analisis lengkap. Disebut analisis perkiraan bila
keberadaan komponen dalam sampel belum dapat dinyatakan dengan pasti, hanya
perkiraannya saja diketahui, analisis perkiraan disebut sebagai analisis
semikualitatif dan semi kuantitatif. Pada analisis parsial hanya sebagian
komponen sampel yang dianalisis, sebagian lainnya tidak. Pada analisis mikro,
hanya komponen mikro (renik) yang ditetapkan keberadaannya secara kualitatif
maupun kuantitatif. Disebut analisis lengkap apabila keseluruhan komponen
penyusunan sampel dianalisis, sehingga diperoleh komposisi sesungguhnya dari
komponen penyusun sampel. Analisis lengkap mengandung informasi lengkap
yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Selanjutnya, berdasarkan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
6/62
19
kuantitas analit yang ditetapkan, analisis dapat digolongkan dalam tiga kategori,
yaitu analisis makro, analisis semi mikro, dan analisis mikro. Analisis makro bila
kadarnya besar, misalnya dalam dalam orde gram atau prosen, sedangkan analisis
mikro bila kadar analitnya sangat kecil, seperti orde mg, g atau ppm (Christian,
OReily , 1986; Skoog dan West, 1985).
Adakalanya di dalam suatu analisis, tahap pengukuran baik untuk tujuan
kualitatif maupn kuantitatif data diakukan langsung terhadap sampel. Namun,
lebih sering terjadi adalah diperlukannya tahap pemisahan analit dari zat-zat
pengganggu agar proses pengukuran itu terjadi dalam medium bebas dari
gangguan. Bila hal ini terjadi, maka tahap pemisahan seringkali menjadi tahap
yang paling sulit dalam serangkian proses analisis.untuk mengetahui kedudukan
taha pemisahan dalam serangkaian proses analisis, berikut diberikan secara garis
besar tahap-tahap urutan di dalam analisis kuantitatif. Tahap-tahap tersebut
adalah: (a) pengambilan dan penyiapan sampel; (b) pengukuran sampel; (c)
pelarut sampel; (d) perlakuan sampel awal (seperti pengukuran pH); (c)
pemisahan komponen yang diinginkan; (f) pengukuran komponen yang
diinginkan; (g) penganalisisan data dan pelaporan. Dari tahap-tahap tersebut
tampak bahwa bila komponen yang diinginkan berada bersama-sama dengan
komponen lain (sebagai pengganggu), maka akan menimbulkan masalah yakni
hasil akan menjadi bias, dan akan mempengaruhi hasil analisis data guna
penarikan kesimpulan. Masalah merupakan problema spesifik yang harus dicari
jawabannya. Setiap problema yang akan dipecahkan memiliki variabel-variabel
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
7/62
20
terukur yang dikenal sebagai variabel penelitian (Christian, OReily , 1986; Skoog
dan West, 1985).
Proses analisis kimia merupakan kerja seorang ilmuan. Bila ilmuan
melakukan kerja untuk menghasilkan sesuatu kebenaran ilmiah, maka mereka
akan melakukan langkah-langkah sistematis yang dikenal sebagai metode ilmiah.
Kebenaran ilmiah yang digali dengan metode ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena memiliki reprodusibilitas yang
tinggi, sehingga dapat dibuktikan oleh setiap pemerhati keilmuan. Langkah-
langkah pokok dalam metode ilmiah dapat dijelaskan secara ringkas sebagai
berikut: (1) menetapkan masalah, (2) melakukan kajian teoritik dan menarik
hipotesa, (3) melakukan eksperimen atau observasi, (4) mengolah data hasil
observasi, dan (5) menarik kesimpulan.
Seorang ahli kimia analitik memerlukan pengetahuan yang cukup luas,
karena cakupan analisis tidak hanya berupa bahan-bahan anorganik atau organik
saja, namun bahan-bahan biokimia harus dihadapi pula. Seorang ahli kimia
analitik harus memahami masalah perangkat yang digunakan untuk keperluan
analisisnya, termasuk masalah instrumentasi (metode instrumental) dari alat yang
digunakan. Di samping itu ahli kimia analitik juga harus menguasai prinsip-
prinsip analisis, sehingga mampu menggunakan atau memodifikasinya guna
keperluan analisis. Boleh disebutkan pula bahwa seorang ahli kimia analitik
adalah ahli pula dalam memecahkan masalah, walaupun kimia analitik adalah
merupakan suatu alat, namun peranannya tidak dapat diremehkan begitu saja.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
8/62
21
Untuk memahami peralatan analisis diperlukan seorang ilmuwan yang
memahami prinsip-prinsip dasar teknik analitik. Dengan pemahaman dasar
metode analitik, seorang ilmuwan apabila dihadapkan dengan masalah analisis
yang sulit dapat menerapkan teknik paling tepat. Dengan pemahaman dasar juga
membuat lebih mudah untuk mengidentifikasi ketika suatu masalah tertentu tidak
dapat diselesaikan dengan metode tradisional, maka pengetahuan analis tersebut
dapat digunakan untuk mengembangkan pendekatan yang kreatif ataupun metode
analitik yang baru. Untuk kepentingan ini kimia analitik memerlukan latar
belakang pengetahuan yang luas tentang konsep kimia dan fisika (Larive, 2004).
Dengan demikian seorang yang bekerja dalam bidang analisis harus mampu
menggunakan metode konvensional dengan metode instrumental. Tabel 2.1
meringkaskan perbedaan antara metode konvensional dan instrumental.
Tabel 2.1. Perbandingan Metode Konvensional dan Instrumental (Buchari, 1990)
Kriteria Konvensional instrumental
Peralatan Menggunakan peralatan
yang relatif murah dan
mudah dibuat atau mudah
didapat
Menggunakan peralatan yang
lebih canggih, serta
memerlukan keterampilan
khusus untuk menjalankan
atau mengelolanyaDasar penggunaan Reaksi kimia sehingga
lebih dapat luas
penggunaannya.
Pengukuran sifat fisis dari
suatu zat, sehingga
penggunaannya terbatas pada
sampel yang telah ditentukan
saja.Zat
standar/referensiPenetapan zat standar yang
tepat menggunakan metode
konvensional
Memerlukan referensi zat-zat
yang konstituennya telah dike-
tahui. Untuk itu diperlukan
metode konvensional bagi
penetapan secara tepat dari
konstituen dalam zat sebagai
referensi itu.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
9/62
22
Tabel 2.1. Perbandingan metode konvensional dan instrumental (Lanjutan)
(Buchari, 1990)
Kriteria Konvensional instrumentalKeperluan analisis kurang memadai bila
digunakan untuk keperluananalisis yang rutin dan
berjumlah banyak
Umumnya didisain untuk
kebutuhan analisis rutin padalingkupnya selain mikro,
makro, bahkan nanoUkuran sampel Analisis makro dan semi
mikro
Analisis jenis semimikro, mikro,
dan nano.
Preparasi sampel Sampel mengalami
destruksi untuk
memperoleh analit yang
siap dianalisis, sehingga
tidak dapat digunakan lagi.
Beberapa metode instrumental
mampu melakukan analisis
sampel tanpa melalui prosedur
destruksi sehingga sampel
dapat digunakan kembali
untuk keperluan lainnya.
Jumlah sampel Pada umumnya kurangmampu menganalsis
beberapa konstituen dalam
sampel secara simultan
(serentak)
Cukup banyak metode instru-mental yang mampu menga-
nalisis secara simultan
beberapa konstituen yang
diperlukan dalam sampel.
Gangguan-
gangguan analisis
Pada umumnya relatif
banyak sehingga seringkali
memerlukan tahap pemi-
sahan. Hal ini menambah
rumitnya prosedur analisis.
Cukup banyak metode
instrumental yang tidak me-
merlukan pemisahan, karena
metode itu menggunakan sifat
fisik zat yang sangat spesifik.Penggunaan waktu
Memerlukan waktu yanglebih lama Memerlukan waktu yang lebihsingkat
Uraian di atas menunjukkan ruang lingkup kimia analitik yaitu mencakup
metode analitik konvensional dan instrumental. Seorang calon guru juga calon
ilmuwan, meskipun dalam kaitannya dalam kimia analitik tidak secara langsung
dididik untuk jadi ahli analitik. Namun demikian, ilmunya akan dapat
dimanfaatkan untuk mendidik calon ilmuwan termasuk ahli analitik. Ahli kimia
analitik adalah ahli pula dalam memecahkan masalah. Dengan demikian, melalui
perkuliahan kimia analitik diharapkan memiliki kemampuan untuk terbiasa
memecahkan masalah. Sementara itu dari uraian sebelumnya, kemampuan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
10/62
23
memecahkan masalah dapat dikembangkan melalui kegiatan praktikum yang
bersifat investigasi.
2. Praktikum Kimia Analitik Instrumen bagi Calon Guru
Dalam dokumen SKGP (Depdiknas, 2004) salah satu butir kompetensi
dalam penguasaan bidang studi kimia yang harus dimiliki calon guru adalah
mengembangkan konsep kimia dengan memanfaatkan teknologi dan seni. Salah
satu indikator dalam butir kompetensi tersebut adalah menggunakan sarana
instrumen kimia dalam pengembangan konsep kimia. Salah satu substansi kajian
yang sesuai untuk indikator dalam butir kompetensi tersebut adalah disediakan
praktikum kimia analitik. Praktikum kimia analitik instrumen merupakan bagian
dari praktikum kimia analitik yang diberikan di semester VI, dengan kode
431321/1 SKS. Standar kompetensi dari mata kuliah praktikum kimia analitik
instrumen adalah penguasaan teknik instrumentasi kimia untuk analisis maupun
pemisahan bahan kimia. Kompetensi dasar yang diharapkan diperoleh dari mata
kuliah praktikum adalah memahami prinsip dasar dan teknik pengukuran dengan
pH meter, konduktometer, spektrometer UV-Vis, spektrometer serapan atom, dan
prinsip-prinsip pemisahan secara ekstraksi dan kromatografi serta aplikasinya
untuk proses pemisahan dan analisisi bahan kimia
Mata kuliah kimia analitik instrumen dengan jumlah sks 3, membahas
tentang berbagai metode pengukuran dari segi analisis kualitatif yaitu metode
elektrometri, spektrometri, dan kromatografi. Untuk metode elektrometri dibagi
atas potensiometri, konduktometri, koulometri, dan polarografi. Pada bagian
kromatografi di dalamnya dibahas mengenai hukum distribusi dan pemisahan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
11/62
24
kimia, proses Craig dan profil pemisahan, variabel termodinamika pada
pemisahan, optimasi kinerja kolom kromatografi, serta pemisahan dengan
kromatografi modern yaitu gas (GC) dan kromatografi cair (HPLC). Pada analisis
spektrometri dibahas mengenai sifat radiasi elektromagnetik, hubungan kuantitatif
radiasi dengan materi, penggolongan spektrometri, intrumentasi, spektrometri
molekul, dan spektrometri serapan atom.
Sebagaimana karakteristik Praktikum Kimia Analitik, Praktikum Kimia
Analitik Instrumen diharapkan juga dapat menyelesaikan masalah analisis
kualitatif dan analisis kuantitatif. Dengan demikian tidak sekedar menentukan
secara kualitatitif dan utamanya kuantitatif, namun dituntut juga untuk bisa
menyelesaikan masalah. Di samping itu mata kuliah praktikum kimia analitik
instrumen merupakan mata kuliah yang bersifat proses, dan memiliki variabel
yang beragam.
Praktikum Analitik Instrumen yang berjalan sampai dengan saat ini masih
cenderung bersifat verifikatif, yang nampak dari model petunjuk praktikum resep
yang kurang memberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Mahasiswa
tidak terbiasa untuk mencoba memahami apa yang terjadi secara makroskopis
dalam praktikum yang mereka lakukan. Bentuk penilaian masih didominasi
kemampuan kognitif, belum dikembangkan penilaian yang mencakup aspek
afektif, dan psikomotorik. Penilaian praktikum pada umumnya termasuk
praktikum kimia analitik dinilai dengan pendekatan testing, bukan asesmen.
Penilaian yang dilakukan kurang berpihak terhadap perbaikan kinerja calon guru.
Sebagian besar praktikum dinilai dengan tes selected response, padahal
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
12/62
25
sebagaimana dikemukakan beberapa sumber (Marzano et al., 1994; National
Research Council, 1996 & 2000; Joyce et al., 2001) praktikum merupakan sarana
penting kegiatan inquiri.
Materi praktikum kimia analitik instrumen yang selama ini dilakukan
meliputi substansi kajian: (1) penentuan tetapan keasaman secara potensiometri,
(2) penentuan tetapan hidrolisis (Kh) garam (Pb(NO3)2) dan Tetapan Hasil kali
kelarutan (Ksp) garam PbSO4 dan PbI2 secara potensiometri, (3) penentuan titik
ekivalen dengan titrasi konduktometri, (4) Penentuan banyaknya mol ligan CNS-
dalam kompleks Fe(CNS)63-
secara spektrofotometri, (5) penentuan permanganat
dan kromat dalam campuran secara spektrofotometri, dan (6) penentuan kadar
besi dalam perairan dengan AAS. Dalam GBPP mata kuliah praktikum tercantum
prinsip-prinsip pemisahan secara ekstraksi dan kromatografi serta aplikasinya
untuk proses pemisahan dan analisisi bahan kimia. Namun demikian, untuk
kromatografi belum bisa dilakukan menggunakan peralatan seperti GC maupun
HPLC, dan yang telah dilakukan menggunakan kromatografi kertas dan
kromatografi lapis tipis.
Berbagai hasil penelitian, menunjukkan adanya kelemahan dan kekurangan
dalam pendidikan khususnya pendidikan kimia dilihat dari kompetensi lulusan
yang dihasilkan. Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut implementasi
sumber daya yang ada pada Program Studi untuk membentuk kompetensi calon
guru agar lulusan memiliki keyakinan diri dan kemantapan dalam mendidik,
mengajar, membina, dan melatih peserta didiknya di kemudian hari. Agar arah
pendidikan di Program Studi Pendidikan Kimia sesuai visi, misi, tujuan, dan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
13/62
26
fungsi kelembagaan, perlu adanya perbaikan dalam perkuliahan khususnya
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pembelajarannya. Sejalan dengan kurikulum
berbasis kompetensi, SKGP mengisyaratkan agar lulusan LPTK memiliki
kompetensi yang berkelayakan dalam melakukan pendidikan, pembelajaran,
pembinaan, dan pelatihan kepada peserta didiknya di sekolah. Salah satu ciri guru
profesional adalah dapat melaksanakan pembelajaran dan penilaian yang
mendidik. Kemudian, salah satu butir kompetensi dalam SKGP tersebut adalah
mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan laboratorium dalam
pembelajaran. Kegiatan laboratorium pada pembelajaran Kimia di SMA sudah
dicanangkan sejak kurikulum 1975, namun demikian dalam pelaksanaannya lebih
menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep, dan kurang
menekankan pada penguasaan dasar (Noer, 2004). Oleh sebab itu upaya untuk
mengembangkan kompetensi lulusan, perbaikan/pengembangan proses
pembelajaran dalam kegiatan laboratorium perlu diefektifkan, agar mahasiswa
calon guru dapat mengimplementasikan cara membelajarkan kimia dengan
metode praktikum kepada siswanya.
B. Pembelajaran Berbasis Masalah
1. Pengertian dan Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Berbasis Masalah yang berasal dari bahasa Inggris
Problem-based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah sebagai titik tolak pembelajaran, dan untuk dapat
menyelesaikan suatu masalah peserta didik memerlukan pengetahuan baru untuk
dapat menyelesaikannya. Proses pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
14/62
27
presentasi masalah dan berakhir pada presentasi solusi dan evaluasi (Tan, 2003).
Pembelajaran Berbasis Masalah awalnya dikembangkan sekitar tahun 1970an
dalam bidang pendidikan kedokteran, dan sekarang telah dipakai pada semua
tingkatan pendidikan, dalam sekolah profesional berskala luas, maupun
universitas.
Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan peserta didik dalam proses
pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar
mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan
karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini. Pembelajaran
Berbasis Masalah juga mendukung siswa untuk memperoleh struktur berbasis
pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata, masalah yang akan
dihadapi siswa dalam dunia kerja atau profesi, komunitas dan kehidupan pribadi.
Pembelajaran Berbasis Masalah menyarankan kepada peserta didik untuk
mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan.
Pembelajaran memberikan tantangan kepada peserta didik untuk belajar sendiri.
Dalam hal ini, peserta didik lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan
dengan sedikit bimbingan atau arahan guru/dosen sementara pada pembelajaran
yang umumnya dilakukan, peserta didik lebih diperlakukan sebagai penerima
pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru. Selain berpusat
pada peserta didik, pada pembelajaran berbasis masalah dosen atau guru bertindak
sebagai fasilitator bukan sebagai agen ilmu (Samford, 2003). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa siswa belajar mengalami dan mengaitkan pengetahuan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
15/62
28
sebelumnya ke dalam materi yang sedang dipelajari, mengkomunikasikan sendiri
pemahamannya, tidak hanya sekedar menghapal. dan guru sebagai fasilitator
membantu siswa pada permulaan dan pada saat-saat diperlukan saja apabila siswa
mengalami kesulitan (scaffolding). Hal ini sesuai dengan pandangan
konstruktivisme dengan didukung oleh teori belajar dari Ausubel, Bruner, dan
Vygotsky.
Untuk mencapai hasil pembelajaran secara optimal, pembelajaran dengan
pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah perlu dirancang dengan baik mulai
dari penyiapan masalah yang yang sesuai dengan kurikulum yang akan
dikembangkan di kelas, memunculkan masalah, peralatan yang mungkin
diperlukan, dan asessmen yang digunakan. Pengajar yang menerapkan pendekatan
ini harus mengembangkan diri melalui pengalaman mengelola di kelasnya, atau
melalui pendidikan pelatihan atau pendidikan formal yang berkelanjutan.
Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru
memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Tujuan pembelajaran
berbasis masalah yaitu: membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir
dan pemecahan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan
mereka dalam pengalaman nyata, menjadi pebelejar otonom dan mandiri.
Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan
sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan
fenomena dunia nyata dan membangun pemahamannya tentang fenomena itu
(Ibrahim dan Nur, 2004).
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
16/62
29
Tujuan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah
adalah menghasilkan peserta didik yang akan terlibat dalam suatu tantangan
(masalah, tugas yang rumit, situasi) dengan inisiatif dan antusias; bernalar dengan
efektif, akurat dan kreatif dengan basis yang terintegrasi, fleksibel, dengan
pengetahuan yang sudah ada; merasakan apa yang kurang dimiliki dalam
pengetahuan dan keterampilan, diarahkan dengan efisien dan efektif; dan
bekerjasama dengan efektif, sebagai anggota dalam tim untuk mencapai tujuan
(Samford, 2003). Menurut Tan (2004) tujuan dari pembelajaran berbasis masalah
adalah untuk membantu peserta didik belajar reflektif dan mandiri yang dapat
mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan. Di samping itu, pembelajaran
berbasis masalah bertujuan untuk mengembangkan dasar-dasar pengetahuan yang
substansial dengan menempatkan peserta didik dalam peranan sebagai seorang
problem solver aktif yang dikonfrontasikan dengan suatu situasi (ill-structured
problems). Melalui masalah ill-structured, peserta didik akan memperoleh
kesempatan belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
2. Karakteristik dan Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Ibrahim dan Nur (2004) pembelajaran berbasis masalah
mempunyai beberapa karakteristik, dan masing-masing kararteristik tersebut
mengandung makna. Karakteristik-karakteristik tersebut meliputi: pengajuan
pertanyaan atau masalah (memahami masalah), berfokus pada keterkaitan antar
disiplin, penyelidikan autentik, menghasilkan produk atau karya kemudian
memamerkannya, dan kerja sama.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
17/62
30
Arends (2004), mendeskripsikan karakteristik pembelajaran berbasis
masalah sebagai berikut. (1) Mulai dengan masalah. Masalah yang diajukan
berhubungan dengan situasi kehidupan nyata peserta didik dan memungkinkan
adanya berbagai macam solusi terhadap masalah tersebut; (2) Berfokus pada
keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berbasis masalah berpusat
pada disiplin ilmu tertentu, masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam
pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak disiplin ilmu; (3)
Penyelidikan otentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki peserta
didik melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap
masalah yang nyata; (4) Menghasilkan karya/produk dan memamerkannya.
Bentuk penyelesaian masalah dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun
program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-
temannya tentang apa yang mereka pelajari; (5) Kerjasama.
Beberapa karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut Tan (2004)
sebagai berikut. (1) Masalah sebagai starting point pembelajaran; (2) masalah
berupa dunia nyata yang tidak terstruktur; (3) masalah memerlukan banyak
perspektif;(4) menantang pengetahuan, sikap, dan kompetensi siswa; (5) belajar
berlangsung secara mandiri; (6) menggunakan dan mengevaluasi sejumlah sumber
informasi; (7) pembelajaran berlangsung secara kolaboratif; (8) pengembangan
inkuiri dan keterampilan pemecahan masalah; (9) sintesis dan integrasi belajar;
serta (10) evaluasi dan reviewpengalaman dan proses belajar
Dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah ini, guru/dosen harus
dapat mengelola kelas melalui mengembangkan berbagai permasalahan.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
18/62
31
Permasalahan bisa datang dari siswa secara individual atau kelompok, namun
demikian belum tentu siswa dapat mengajukan masalah yang baik apalagi yang
sesuai dengan topik yang akan dibahas. Oleh karena itu fasilitator harus
menyiapkan sejumlah permasalahan yang baik.
Ciri-ciri masalah yang baik adalah (Duch et al., 2001): memberikan
tantangan kepada mahasiswa, memberikan motivasi untuk menyelidiki pengertian
yang lebih dalam tentang suatu konsep. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengkaitkan subyek dengan dunia nyata sehingga dalam memecahkan masalah
siswa dapat terlibat untuk memberikan keputusan dan penjelasan pada suatu fakta,
informasi, logika, dan atau rasional. Siswa perlu diajak berpendapat mengapa
suatu permasalahan perlu dibahas dalam kerja kelompok, sehingga setiap anggota
kelompok merasa ikut ambil bagian dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan
masalah kelompok tersebut. Pertanyaan yang diajukan untuk menimbulkan
masalah hendaknya mempunyai ciri: terbuka, berhubungan dengan pengetahuan
siswa sebelumnya, isu yang kontroversial dapat menimbulkan bermacam-macam
pendapat, serta harus menghubungkan antara pengetahuan lama dan pengetahuan
baru sehingga siswa betambah pengetahuannya.
Arends (2004) menguraikan lima tahapan utama dalam pembelajaran
berbasis masalah. Perilaku guru/dosen pada setiap tahapan diringkaskan pada
Tabel 2.2. Alokasi waktu atau jumlah pertemuan yang diperlukan untuk
menyelesaikan seluruh tahapan sangat tergantung pada tingkat kompleksitas dari
masalah yang dikaji.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
19/62
32
Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah (Arends, 2004)
Tahapan Prilaku Pengampu
Tahap 1: Orientasi pesertadidik pada masalahMenjelaskan tujuan pembelajaran, perlengkapanpenting yang diperlukan, dan memotivasi siswa
terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang
dipilihnya
Tahap 2: Mengorganisasi
peserta didik untuk belajar
Membimbing peserta didik mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut
Tahap 3: Membimbing
penyelidikan individu
maupun kelompok
Mendorong peserta didik mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen,
dan memperoleh penjelasan dan pemecahan
masalahTahap 4: Mengembangkan,
menyajikan, dan
memamerkan hasil karya
(artifak)
Membimbing peserta didik dalam merencanakan
dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti
laporan, video, dan model, dan membantu mereka
untuk berbagi tugas dengan temannya
Tahap 5: Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Membantu peserta didik melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses
yang mereka gunakan
Pembelajaran Berbasis Masalah dapat mendukung mahasiswa untuk
memperoleh struktur pengetahuan yang terintegrasi dalam masalah dunia nyata,
masalah yang akan dihadapi mahasiswa dalam dunia kerja atau profesi,
komunitas, dan kehidupan pribadi (Samford, 2003). Ditinjau dari karakteristik,
tujuan, dan sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah maka kejadian-kejadian yang
harus muncul pada saat implementasi dalam pembelajaran adalah: (1)
mengidentifikasi masalah yang akan diselidiki, (2) mengeksplorasi ruang lingkup
permasalahan, (3) menggiring siswa melakukan penyelidikan, (4) menggabungkan
informasi yang diperoleh, dan (5) mempresentasikan penemuan, evaluasi guru,
dan self reflection.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
20/62
33
3. Keunggulan dan Keterbatasan Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Akinoglu & Tandogan (2007), kelebihan pembelajaran berbasis
masalah adalah: (1) pembelajaran berpusat pada siswa (student-centered), (2)
peserta didik dapat mengembangkan keterampilan pengendalian diri (self-
control), (3) peserta didik dapat mempelajari peristiwa secara multidimensi dan
mendalam, (4) peserta didik dapat mengembangkan keterampilan pemecahan
masalah, (5) peserta didik termotivasi mempelajari materi dan konsep baru ketika
memecahkan masalah, (6) peserta didik dapat mengembangkan kemampuan
sosial dan keterampilan berkomunikasi yang memungkinkan mereka belajar dan
bekerja dalam tim, (7) peserta didik dapat mengembangkan keterampilan berpikir
ilmiah dan tingkat tinggi/kritis, (8) peserta didik dapat mengintegrasikan teori dan
praktek yang memungkinkan mereka menggabungkan pengetahuan lama dengan
pengetahuan baru, (9) baik pengampu maupun peserta didik termotivasi untuk
belajar, (10) peserta didik memperoleh keterampilan mengelola waktu,
pengumpulan data, penyiapan dan evaluasi laporan, dan (11) pembelajaran
membantu cara-cara siswa untuk belajar sepanjang hayat.
Sementara itu, Ehlert (2004) menyatakan bahwa keuntungan pembelajaran
berbasis masalah adalah: (1) menyediakan kesempatan kepada peserta didik
untuk melakukan penelitian; (2) membangun keterampilan berpikir kritis; (3)
mengenal konten materi subyek dan membangun tujuan sesuai dengan konsep; (4)
memberdayakan peserta didik menjadi seorang ahli dalam bidang studi tertentu;
(5) memungkinkan peserta didik menghasilkan lebih dari satu bentuk solusi; (6)
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
21/62
34
menyajikan ketidaktentuan dan kebutuhan untuk mengembangkan asumsi; dan (7)
memotivasi peserta didik belajar.
Walapun pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa
keuntungan, pembelajaran ini juga mempunyai keterbatasan (Akinoglu &
Tandogan, 2007). Keterbatasan tersebut antara lain adalah: (1) guru-guru
mengalami kesulitan untuk mengubah gaya belajarnya, (2) diperlukan cukup
banyak waktu bagi siswa untuk memecahkan situasi masalah ketika situasi
masalah tersebut pertama kali dipresentasikan kepada siswa, (3) kelompok atau
individu siswa mungkin mengakhiri pembelajaran lebih cepat atau lebih lambat
dari waktu biasanya, (4) pembelajaran berbasis masalah memerlukan hasil-hasil
penelitian dan materi ajar (sumber-sumber belajar) yang kaya, (5) cukup sulit
mengimplementasikan model pembelajaran berbasis masalah dalam semua kelas,
dan (6) cukup sulit mengases pembelajaran.
Hasil temuan Hernani (2010) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis
masalah memiliki keunggulan: (1) masalah open-ended yang menjadi "pintu
gerbang" munculnya konflik kognitif pada diri mahasiswa dapat merangsang
untuk pembelajaran yang aktif dan mandiri (self-directed), sehingga proses
mengkonstruk pengetahuan dalam pikiran mahasiswa dapat terjadi dan menjadi
hal yang potensial untuk masuk ke dalam long-term memory; (2) esensi ilmu
Kimia Analitik sebagai ilmu untuk menyelesaikan pennasalahan terkait dengan
analisis kimia, benar-benar terwujud di dalam proses pembelajaran; dan (3) dapat
meningkatkan beberapa aspek keterampilan generik sains, keterampilan
berkomunikasi ilmiah, berpikir kritis dan domain kognitif tingkat tinggi.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
22/62
35
Disamping keunggulan yang dikemukakan di atas, Hernani juga
menemukan keterbatasan implementasi pembelajaran berbasis masalah sebagai
berikut: (1) diperlukan penyediaan waktu yang cukup oleh tutor di luar
penjadwalan perkuliahan dan praktikum, untuk memfasilitasi proses diskusi baik
sebelum eksperimen dilakukan maupun setelah eksperimen; (2) Fasilitator
pembelajaran, baik dosen sebagai tutor maupun laboran harus benar-benar solid
untuk dapat memfasilitasi proses belajar mahasiswa; dan (3) Menuntut tersedianya
keragaman peralatan dan bahan yang memadai untuk memfasilitasi proses
eksperimen yang bervariasi.
C. Metakogisi
Istilah metakognisi hampir sering dikaitkan dengan Yohanes Flavell.
Tokoh metakognisi ini menyatakan bahwa metakognisi biasanya didefinisikan
sebagai pengetahuan dan kognisi tentang obyek-obyek kognitif, yaitu tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan kognitif. Meskipun demikian,
menurutnya, konsep metakognisi dapat diperluas mencakup sesuatu yang bersifat
psikologis, seperti jika seseorang memiliki pengetahuan atau kognisi tentang emosi,
motif diri sendiri, atau orang lain. Segala bentuk aktivitas pantau-diri (self-
monitoring) dapat dianggap sebagai bentuk metakognisi (Flavell dalam Weinert
& Kluwe, 1987). Sementara itu Robert dan Erdos (dalam McGregor, 2007)
menggambarkan bahwa metakognisi mengacu pada pengetahuan tentang kognisi itu
sendiri, cognitizing tentang kognisi. Metakognitif merupakan kata sifat dari
metakognisi, metakognisi berasal dari metacognition yang mengandung prefik
meta dan kata kognisi. Meta berasal dari bahasa Yunani yang berarti setelah,
melebihi, atau di atas, sedangkan kognisi diartikan sebagai apa yang diketahui
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
23/62
36
serta dipikirkan oleh seseorang atau yang mencakup keterampilan yang
berhubungan dengan proses berpikir (Costa, 1985)
Metakognisi secara sederhana sering digambarkan sebagai berpikir tentang
berpikir. Kenyataannya gambaran tersebut tidak sesederhana seperti itu, karena
terdapat beberapa perbedaan istilah atau konsep metakognisi yang sering
ditemukan dalam literatur dengan label dan definisi atau batasan yang berbeda-
beda seperti metamemori, metacomprehension (Matlin, 2003), self-regulation,
executive control (Zile-Tamsen dalam Livingston, 1997). Berpikir tentang
berpikir menurut Bayer (dalam Tan, 2004), metakognisi menuntun proses
berpikirnya sehingga siswa secara sadar akan mengontrolnya, membuat hubungan
logis antara apa yang diketahui dan informasi yang baru diterima. Sementara itu
menurut Winn & Snyder (1998)metakognisi adalah sebuah konsep yang penting
dalam teori kognisi.
Metakognisi terdiri dari dua proses dasar yang berlangsung secara
simultan yakni memonitor kemajuan ketika belajar dan membuat perubahan serta
mengadaptasi strategi-strategi anda jika anda memiliki persepsi bahwa anda tidak
melakukan sesuatu yang baik. Orang yang baru belajar tidak berhenti
mengevaluasi pemahaman mereka terhadap materi. Pada umumnya mereka tidak
menilai kualitas pekerjaan mereka atau berhenti untuk membuat revisi selama
mereka belajar. Dalam hal membaca pembelajar amatir akan melanjutkan
membaca dan berfikir bahwa membaca halaman tersebut sudah cukup. Pembelajar
ahi akan membaca ulang halaman tersebut sampai konsep utamanya difahami,
atau menandai bagian yang sulit untuk ditanyakan penjelasannya pada instruktur
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
24/62
37
atau teman. Sejalan dengan Winn & Snyder, menurut Jacob (2003) metakognisi
merupakan kesadaran berpikir kita sehingga kita dapat melakukan tugas-tugas
khusus, dan kemudian menggunakan kesadaran ini untuk mengontrol apa yang
kita kerjakan. Selanjutnya McGregor (2003) menggambarkan tentang berpikir
metakognitif dengan menggabungkan berbagai pernyataan tentang pengertian
metakognisi dari berbagai ahli.
Gambar 2. 1. Pengertian Metakognisi dari Berbagai Sumber (McGregor, 2003)
Menurut Flavell segala bentuk aktivitas pantau-diri (self-monitoring),
pengaturan-diri (self-regulation) dan efikasi-diri (self-efcacy) dapat dianggap
sebagai bentuk metakognisi. Konsep metakognisi berhubungan dengan: kesadaran
untuk mengarahkan pemikirannya, pengembangan konsepsi tentang berpikir, dan
berhubungan dengan teori kognisi. Secara keseluruhan didasarkan pendapat-
BerpikirMetakognitif
Metakognisi adalah prosesmengelola internal yang digunakanuntuk mengemban tanggung jawab
dan mengarahkan pemikiransebagai ahli pemikir (Swartz, et al1998)
Metakognisi mengacu pa-da pengetahuan tentangkognisi itu sendiri, meng-kognisi tentang kognisi(Roberts and Erdos, 1990
Berpikir Reflektif adalahberpikir dengan menya-
dari asumsi dan implikasi(Lipman, 2003)
Metakognisi mengacu pada aktifitasmemonitor, meregulasi serta
menyusun proses-proses dalamhubungan dengan objek kognitifatau data yang mereka hadapi
(Flavell 1976)
Aktif, gigih, dan denganpertimbangan hati-hatiterhadap suatu keyakinan
dari pengetahuan yangmendukungnya (Dewey1910)
Proses metakognitif dia-sumsikan berlangsungketika memikirkan pemi-kiran sendiri, sepertisedang belajar atauketika telah melakukankesalahan (Smith, 1994
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
25/62
38
pendapat yang telah diuraikan, dapat disarikan bahwa proses metakognisi adalah
suatu aktivitas mental dalam struktur kognitif yang dilakukan secara sadar oleh
seseorang untuk mengatur, mengontrol, dan memeriksa proses berpikirnya
sendiri.
1. Pentingnya Pengembangan Metakognisi
Flavell (Weinert & Kluwe, 1987) menyarankan bahwa sekolah yang baik
harus menjadi tempat ideal bagi perkembangan metakognisi, dengan alasan bahwa
begitu banyak pembelajaran kesadaran diri akan berlangsung. Di sekolah, anak-
anak mempunyai kesempatan berulangkali untuk memonitor dan mengatur
kognisi mereka, mereka juga memiliki pengalaman metakognitif yang begitu
banyak serta kesempatan yang begitu banyak pula untuk memperoleh
pengetahuan metakognitif orang, tugas, dan strategi.
Flavell menyatakan bahwa metakognisi peserta didik bahkan orang pada
umumnya perlu dikembangkan dengan alasan sebagai berkut: (1) peserta didik
harus memiliki kecenderungan untuk banyak berfikir, dalam arti semakin banyak
metakognisi membutuhkan semakin banyak kognisi, (2) pemikiran peserta didik
dapat berbuat salah serta cenderung keliru, dan dalam keadaan ini membutuhkan
pemonitoran dan pengaturan yang baik, (3) peserta didik harus mau
berkomunikasi, menjelaskan, dan memberikan alasan yang jelas untuk
pemikirannya kepada peserta didik lain dan juga pada dirinya sendiri; aktifitas ini
tentu saja membutuhkan metakognisi, (4) untuk bertahan dan berhasil dengan
baik, peserta didik perlu merencanakan masa depan dan secara kritis mengevalusi
rencana-rencana yang lain, (5) jika peserta didik harus membuat keputusan yang
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
26/62
39
berat, maka akan membutuhkan ketrampilan metakognitif, dan (6) peserta didik
harus mempunyai kebutuhan untuk menyimpulkan dan menjelaskan kejadian
kejadian psikologi pada dirinya dan orang lain. Kecenderungan untuk terlibat
dalam tindakan metakognitif tersebut menunjukkan kognisi sosial.
Facione et al (dalam Tan, 2004) menyatakan bahwa pengembangan
metakognisi ditujukan agar peserta didik dapat menjadi pemikir-pemikir kritis
yang selalu berfikir dalam menerapkan suatu motivasi internal untuk menjadi
sadar, ingin tahu, teratur, penuh analisis, percaya diri, toleransi, dan
bertanggungjawab ketika menyampaikan alternatif, jujur secara intelektual ketika
memulai apakah menerima ide-ide orang lain sebagai kebenaran, atau ketika
menilai apakah menerima ide-ide orang lain sebagai kebenaran, maupun ketika
tertantang oleh keadaan.
Sementara itu menurut Livingston (1997) metakognisi memiliki peranan
penting dalam keberhasilan belajar, oleh karena itu penting mempelajari aktivitas
dan pengembangannya untuk menentukan bagaimana siswa dapat diajar
menerapkan sumber-sumber pengetahuan mereka dengan lebih baik melalui
kontrol metakognitifnya. Pengembangan kecakapan metakognitif pada mahasiswa
adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga, karena kecakapan itu dapat
membantu mereka menjadi self-regulated learner. Self-regulated learner
bertanggung jawab terhadap kemajuan belajar diri sendiri dan adaptasi strategi
belajar untuk mencapai tuntutan tugas.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
27/62
40
Menurut Kipnis dan Hofstein (2007) dalam beberapa tahun metakognisi
dianggap sebagai suatu komponen penting dalam pembelajaran sains. Berikut
beberapa alasan mengenai pentingnya metakognisi dikembangkan:
(1) di bidang pengajaran sains ditemukan bahwa proses-proses metakognitifmemberikan pelajaran yang penuh arti atau belajar dengan pemahaman.
(2) pengembangan metakognisi akan membuat siswa mampu mempelajari ilmu
pengetahuan yang diminati menjadi penting di masa mendatang.
(3) membentuk siswa yang mandiri artinya siswa yang menerapkan dan
mengembangkan metakognisinya.
Winn dan Snyder (1998), meninjau pentingnya strategi metakognisi.
Ketika siswa semakin terlatih menggunakan strategi metakognisi, mereka
menjadi percaya diri dan menjadi pembelajar yang mandiri. Kemandirian merujuk
pada kepemilikan ketika siswa menyadari bahwa mereka dapat memenuhi
kebutuhan intelektual mereka sendiri dan menemukan banyak informasi oleh
tangan mereka sendiri. Anak yang memiliki strategi metakognitif akan segera
sadar bahwa dia tidak mengerti persoalan dan mencoba mencari jalan keluar.
Tugas pendidik adalah menanamkan, memanfaatkan, dan meningkatkan
metakognisi pada semua siswa.
2. Komponen Metakognisi
Didasarkan hasil risetnya tahun 1979-1981 Flavell mengklasifikasikan
metakognisi menjadi pengetahuan metakognitif dan pengalaman metakognitif atau
peraturan metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu pada pengetahuan
yang diperoleh tentang proses-proses kognitif, pengetahuan yang dapat
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
28/62
41
digunakan untuk mengendalikan atau mengontrol proses-proses kognitif. Flavell
lebih lanjut membagi pengetahuan metakognisi ke dalam tiga kategori:
pengetahuan tentang variabel-variabel. orang, variabel-variabel tugas dan
variabel-variabel strategi. Pengalaman metakognitif adalah pengalaman-
pengalaman sadar yang bersifat kognitif dan afektif. Seseorang mempunyai
pengalaman metakognitif jika ia mempunyai perasaan bahwa sesuatu sulit
untuk ditanggapi, dipahami, diingat, atau diselesaikan; atau jika ada perasaan
bahwa ia belum mencapai tujuan kognitif, atau jika perasaan muncul bahwa
suatu materi menjadi Iebih mudah atau lebih sulit dari sebelurnnya.
Marzano et.al., (1988) menggambarkan dua aspek metakognisi, yaitu
bahwa metakognisi melibatkan dua hal yakni pengetahuan-pengendalian diri, dan
pengetahuan-pengendalian proses. Nickerson et al.,(1985) membagi metakognisi
dalam tiga aspek yakni pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Sementara
itu Brown (Tan, 2004) menekankan strategi metakognitif ke dalam perencanaan,
monitoring, dan evaluasi. Berikut akan diuraikan tentang komponen-komponen
metakognisi.
a. Pengetahuan Metakognitif
Menurut Flavell (Weinert & Kluwe, 1987), pengetahuan metakognitif
mengacu pada pengetahuan yang diperoleh tentang proses-proses kognitif,
pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengendalikan atau mengontrol
proses-proses kognitif. Flavell lebih lanjut membagi pengetahuan metakognitif ke
dalam tiga kategori: pengetahuan tentang variabel-variabel orang, variabel-
variabel tugas, dan variabel-variabel strategi.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
29/62
42
Variabel Orang (person variable). Pengetahuan variabel-variabel orang
mengacu pada pengetahuan umum tentang bagaimana manusia belajar dan
memproses informasi, juga pengetahuan-pengetahuan individu tentang proses-
proses belajar seseorang. Sebagai contoh, anda bisa sadar bahwa waktu belajar
anda akan lebih produktif jika anda bekerja di perpustakaan yang tenang daripada
di rumah di mana ada banyak benturan. Ada tiga subkategori dalam variabel
orang, yaitu: dalam-individu, antar-individu. dan universal. Satu contoh dari
variabel dalam-individu adalah keyakinan seseorang bahwa ia sangat baik dalam
menangani bentuk-bentuk material yang bersifat hitungan, tetapi kurang pada
tugas-tugas yang berhubungan dengan hafalan. Variabel ini terkait dengan
variasi dalam-individu dalam hal minat, kecenderungan akan sesuatu, bakat,dan
kesenangan. Dalam variabel antar-individu, perbandingan adalah antara orang,
bukan dalam diri sendiri. Misalnya, pertimbangan bahwa sahabatnya lebih
tenggang rasa daripada adiknya, tetapi adiknya lebih cerdas dari daripada
teman-temannya.
Variabel Tugas (task variables). Pengetahuan variabel-variabel tugas
termasuk pengetahuan tentang asal tugas, juga jenis tuntutan proses yang akan
menempatkan individu itu. Ketika seseorang sedang belajar sesuatu, maka
bagaimana sifat informasi yang dihadapi dapat mempengaruhi dan memaksa
bagaimana ia menanganinya. Sebagai contoh, kamu akan menyadari bahwa lebih
banyak waktu bagi anda untuk membaca dan memahami teks pengetahuan
daripada anda sekedar membaca. Untuk memahami dan menangani informasi
yang sulit harus secara efektif diperlukan langkah yang lambat dan hati-hati dan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
30/62
43
diproses lebih dalam dan secara kritis-diri, misalnya dengan aktivitas pemantauan
pemahaman yang tinggi. Dengan demikian jenis tugas yang berbeda akan
memerlukan pemrosesan informasi yang berbeda pula.
Variabel Strategi (Task Strategy). Pengetahuan tentang variabel-variabel
strategi meliputi strategi kognitif, dan metakognitif, dan juga pengetahuan
kondisional/bersyarat tentang kapan dan di mana pengetahuan seperti itu cocok
digunakan. Untuk mencapai bermacam-macam tujuan banyak dipelajari tentang
strategi atau prosedur kognitif. Strategi kognitif dirancang hanya untuk
mencapai tujuan kognitif. Strategi kognitif digunakan untuk membantu
perorangan mencapai tujuan tertentu (contoh, mengerti suatu teks), di lain pihak
strategi metakognitif digunakan untuk memastikan bahwa tujuan sudah dicapai.
Kita dapat membedakan strategi kognitif dan strategi metakognitif. Contohnya,
strategi kognitif untuk mencari hasil penjumlahan bilangan-bilangan dengan
cara menambahkannya. Tujuannya adalah untuk mencari hasil penjumlahan, dan
untuk itu bilangan-bilangan itu ditambahkan. Dalam situasi yang sama, strategi
metakognitif untuk menambahkan bilangan-bilangan itu dan selanjutnya
meyakinkan bahwa jawaban itu benar. Dengan menggunakan strategi kognitif,
seseorang terlibat aktif dalam perolehan pengetahuan. Pelibatan aktif ini
merupakan hal yang esensial selama proses pemahaman teks, pembentukan
konsep dan prinsip, penvelesaian masalah, dan pembuatan keputusan. Dengan
demikian, seseorang belajar tentang strategi kognitif untuk membuat kemajuan
kognitif, dan tentang strategi metakognitif untuk memantau, memonitor kemajuan
kognitifnya. Strategi metakognitif, menurut Beyer (dalam Kipnis dan Hofstein,
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
31/62
44
2007) mempunyai tiga kompenen, yaitu; perencanaan (planning), pemantauan
(monitoring), dan penilaian (assessing).
Pengetahuan metakognitif menurut Schraw dan Moshman (1995) terdiri
atas tiga jenis yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan
pengetahuan kondisional. Pengetahuan deklaratif, meliputi pengetahuan tentang
diri sendiri sebagai pelajar dan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
penampilan seseorang. Pengetahuan prosedur atau tata cara, menunjuk pada
pengetahuan tentang melakukan sesuatu, pengetahuan ini ditampilkan sebagai
cara dan strategi (tahu bagaimana melakukan sesuatu). Pengetahuan kondisional,
menunjuk pada tahu kapan dan mengapa menggunakan pengetahuan deklaratif
dan prosedur (tahu aspek kognitif mengapa dan kapan).
Anderson & Krathwohl (2001) membagi pengetahuan metakognisi ke dalam
pengetahuan strategi, pengetahuan tugas, dan pengetahuan tentang diri.
Pengetahuan tentang strategi adalah pengetahuan tentang strategi secara umum
untuk belajar, berpikir, dan memecahkan masalah. Komponen dari pengetahuan
tentang strategi meliputi: informasi, ingatan, elaborasi, mengorganisisir data,
perencanaan, pemantauan, dan menganalisis tujuan. Pengetahuan tentang tugas
merupakan akumulasi pengetahuan tentang tugas-tugas kognisi yang meliputi
memahami sumber, tingkat kesulitan, strategi pengembangan, pemecahan
masalah, memilah tugas. Sedangkan pengetahuan tentang diri adalah pengetahuan
terkait kelebihan dan kelemahan dalam hubungannya dengan belajar dan
kognisinya. Komponen pengetahuan meliputi: beberapa bidang, kecenderungan
menggunakan strategi pada situasi tertentu, percaya kemampuan diri, mengetahui
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
32/62
45
tujuan, ketertarkan suatu tugas, mempertimbangkan manfaat tugas
b. Pengalaman Metakognitif
Pengalaman atau peraturan metakognitif melibatkan pemakaian strategi-
strategi metakognitif atau peraturan metakognitif (Brown, dalam Livingston
1997). Strategi metakognitif bersifat proses-proses yang berurutan yang
digunakan seseorang untuk mengontrol kegiatan-kegiatan kognitif, dan untuk
meyakinkan bahwa tujuan kognitif sudah sesuai (contoh, mengerti suatu teks).
Proses-proses ini membantu mengatur dan mengawasi pembelajaran yang terdiri
atas perencanaan dan pengawasan kegiatan kognitif juga memeriksa tujuan
kegiatan tersebut.
Sebagai contoh, setelah membaca suatu alinea di suatu teks seorang pelajar
boleh mempertanyakan dirinya tentang konsep-konsep yang dibahas di dalam
alinea itu. Tujuan kognitifnya untuk memahami teks. Self-questioning adalah
suatu strategi pemantauan pengertian metakognitif yang umum. Jika seseorang
menemukan bahwa dirinya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya
sendiri, atau bahwa dia tidak memahami materi yang dibahas, kemudian harus
menentukan apa perlu untuk kembali dan membaca ulang alinea dengan tujuan
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan. Jika setelah membaca ulang
selanjutnya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya, maka dia boleh
menentukan bahwa dirinya memahami materi. Dengan demikian, strategi
metakognitif tanya jawab diri sendiri atau self-questioning digunakan untuk
memastikan bahwa tujuan kognitif sudah ditemukan.
Menurut Flavell (Weinert & Kluwe, 1987) pengalaman metakognitif
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
33/62
46
adalah pengalaman-pengalaman sadar yang bersifat kognitif dan afektif.
Sebagai contoh, jika seseorang tiba-tiba mempunyai perasaan cemas karena
tidak dapat memahami sesuatu dan ingin serta perlu untuk memahaminya,
maka perasaan itu akan menjadi pengalaman metakognitif. Seseorang
mempunyai pengalaman metakognitif jika ia mempunyai perasaan bahwa
sesuatu sulit untuk ditanggapi, dipahami, diingat, atau diselesaikan; atau jika ada
perasaan bahwa dirinya belum mencapai tujuan kognitif, serta jika perasaan
muncul bahwa suatu materi menjadi Iebih mudah atau lebih sulit dari sebelurnnya.
Jadi, pengalaman metakognitif dapat merupakan bentuk pengalaman sadar yang
bersifat kognitif atau afektif yang berhubungan dengan tingkah laku kehidupan
intelektual. Pengalaman metakognitif memegang peranan penting dalam
kehidupan kognitif sehari-hari.
Menurut Scrhaw dan Moshman (1995) peraturan kognisi menunjuk pada
serangkaian kegiatan yang membantu siswa mengontrol belajar mereka, yakni
perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Perencanaan melibatkan pemilihan
strategi-strategi yang sesuai dan alokasi pene-litian yang mempengaruhi
pelaksanaan. Monitoring menunjuk pada kesadaran seseorang yang sejalan pada
pemahaman dan pelaksanaan tugas. Evaluasi menunjuk pada menghargai hasil-
hasil dan efisiensi belaja.r seseorang.
c. Keterampilan Metakognitif
Menurut Winn dan Snyder (1998), yang termasuk dalam keterampilan
metakognitif adalah: monitoring kemajuan belajar, mengoreksi kesalahan,
strategi perencanaan dan selektivitas, menseleksi-mengorganisasi-dan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
34/62
47
mengintegrasi informasi, menganalisis strategi belajar yang efektif, serta
mengubah tingkah laku dan strategi belajar ketika dibutuhkan. Menurut Brown
(dalam Weinert & Kluwe, 1987), proses atau keterampilan metakognitif
memerlukan operasi proses mental khusus yang dengan proses ini individu-
individu memeriksa, merencanakan, mengatur atau mengorganisasi, memantau,
memprediksi, dan mengevaluasi proses berpikirmereka sendiri.
3. Metakognisi dan Berpikir.
Metakognisi merujuk pada perintah berpikir yang lebih tinggi, meliputi
kontrol aktif melalui proses kognitif yang diusahakan dalam pembelajaran.
Kegiatan-kegiatan seperti perencanaan bagaimana mendekati suatu tugas
pembelajaran yang diberikan, memantau pemahaman, dan menilai kemajuan
terhadap penyelesaian tugas adalah metakognif secara alamiah (Livingston,
1997). Presseisen (Costa, 1985) menyatakan bahwa metakognisi mengacu pada
pengetahuan seseorang mengenai proses dan produk berpikirnya sendiri.
Berpikir pada umumnya dianggap suatu proses kognitif, suatu aksi
mental yang dengan proses dan tindakan itu pengetahuan diperoleh. Proses
berpikir berhubungan dengan bentuk-bentuk tingkah laku yang lain dan
memerlukan keterlibatan aktif pada bagian-bagian tertentu dari si pemikir.
Dengan demikian, seorang pembelajar harus secara aktif memonitor
penggunaan proses berpikir mereka dan mengaturnya sesuai tujuan kognitif
mereka.
Presseisen (dalam Costa, 1985) membagi proses berpikir menjadi dua
kategori, yaitu proses berpikir dasar (basic thinking processes) dan proses
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
35/62
48
berpikir kompleks (complex thinking proceses). Presseisen juga mengusulkan
bahwa keterampilan metakognitif sebagai suatu atribut kunci dari berpikir
formal atau pengajaran keterampilan proses tingkat tinggi, dan menekankan
bahwa metodologi guru dalam mengajar di kelas harus melibatkan metakognisi
secara konstruktif. Peneliti lain menetapkan bahwa keterampilan metakognitif
juga merupakan faktor yang cocok dalam pengembangan keterampilan peserta
didik. Salah satu karakteristik metakognisi yang paling utama adalah adanya
keterlibatan pertumbuhan kesadaran. Seseorang menjadi lebih sadar tentang
proses dan prosedur berpikirnya sendiri sebagai pemikir dan pelaku.
Berpikir metakognitif memiliki dua dimensi utama, yaitu berorientasi
pada tugas dan terkait dengan monitoring kinerja aktual dari suatu
keterampilan. Menurut Presseisen keterkaitan antara kedua dimensi tersebut
dibuat dalam bentuk bagan yang disajikan dalam Gambar 2.2. Pemantauan
kinerja tugas memerlukan keterlibatan peserta didik untuk mengawasi
aktivitasnya sendiri. Peserta didik tidak dapat menjelaskan jika mereka tidak
berada pada tempat yang benar; serta jika mereka tidak peduli dan sadar terhadap
tugas yang dihadapi dan petunjuk cara mengerjakannya. Mereka perlu disarankan
untuk menjaga sekuens yakni membedakan subtujuan dari suatu tugas dan
menghubungkannya dengan tujuan yang sesungguhnya.
Sebagai contoh, dalam masalah matematika yang melibatkan cerita, maka
siswa harus mengidentifikasi operasi hitung apa yang tepat sebagai subtujuan,
sebelum menentukan jawaban akhir sebagai tujuan. Mengalokasikan waktu
dalam kerja atau memeriksa secara kualitatif dapat dilakukan, misalnya, dengan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
36/62
49
mempertanyakan: apakah pekerjaan saya sudah cukup ekstensif? Selanjutnya
mendeteksi kesalahan ketika sedang bekerja dapat melibatkan pemeriksaan,
membaca kembali pesan-pesan, atau menghitung ulang maupun menterjemahkan
kembali materi yang sedang dihadapi. Semua aktivitas dalam pemantauan
kinerja tugas ini dapat meningkatkan keberhasilan dari kinerja tugas tertentu.
menjadi lebih tinggi.
Gambar 2.2. Model Keterampilan Berpikir Metakognitif (Presseisen dalam
Costa, 1985)
Dimensi kedua yaitu dalam memilih strategi yang sesuai untuk
bekerja, teori metakognitif menyarankan bahwa urutan belajar yang pertama
adalah mengenali masalah sehingga dapat memfokuskan perhatian terhadap
apa yang diperlukan dan menentukan informasi apa yang diperlukan untuk
menyelesaikan msalah itu. Melalui pertimbangan seperti itu, peserta didik dapat
mengenali keterbatasan belajarnya dan penyelesaian yang sedang dicarinya.
Akhirnya, pengujian ketepatan suatu strategi memberikan kesempatan untuk
menerapkan bermacam-macam kriteria evaluasi dan menentukan apakah
Metakognisi
Monitoring kinerja tugas:
Menjaga tugas, sekuen
Mendeteksi dan mengoreksikesalahan
Alokasi waktu kerja
Pemilihan dan pemahaman
strategi yang tepat:
memfokuskan perhatian padaapa yang dibutuhkan
mengkaitkan apa yangdiketahui pada materi yang
dipelajari
menguji ketepatan suatustrategi
Akurasi kinerja lebih besarKemampuan melakukan proses
berpikir lebih berdaya guna
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
37/62
50
pendekatan yang tepat sudah digunakan. Pembelajar mempunyai kesempatan
untuk menilai pemilihan awal suatu strategi dan mengembangkan pemahaman
kepada pemilihan terbaik yang potensial. Dalam perspektif metakognitif, pemikir
menjadi lebih memiliki kemampuan melakukan proses berpikir yang lebih berdaya
guna dan lebih mandiri karena keterampilan-keterampilan ini berkembang dan terus
diperbaiki ulang
4. Metakognisi dalam Pembelajaran Laboratorium Sains dan
Pengukurannya
Dalam beberapa tahun ini, metakognisi dianggap sebagai suatu komponen
penting dalam pembelajaran sains. Dalam berbagai penelitian di bidang
pengajaran sains ditemukan bahwa proses-proses metakognitif memberikan
pembelajaran yang penuh makna (Kuhn and Dean, 2004). Salah satu ciri-ciri
pembelajaran penuh makna adalah kemampuan siswa untuk mengontrol proses
pemecahan masalah dan pelaksanaan tugas pembelajaran lainnya. Selanjutnya
Kuhn menyatakan bahwa pengembangan metakognisi akan membuat siswa
mampu mempelajari ilmu pengetahuan yang diminati menjadi penting di masa
mendatang, di samping itu juga membentuk siswa menjadi mandiri.
White dan Mitchel (1994) menyatakan bahwa siswa yang mempunyai
tingkah laku pembelajaran yang baik adalah yang mengembangkan keterampilan
kognitif tertentu. Sebagian dari tingkah laku itu adalah tindakan yang
membutuhkan bagian yang menyatu dari kegiatan laboratorium seperti
menanyakan pertanyaan, mengecek pekerjaan laboratorium sesuai petunjuk,
membetulkan kesalahan, menyesuaikan pendapat, mencari alasan-alasan untuk
aspek-aspek dari pekerjaan yang tepat, menyarankan kegiatan baru dan prosedur
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
38/62
51
alternatif dan merencanakan strategi umum sebelum mulai. Wajar untuk
beranggapan bahwa selama belajar di laboratorium siswa dapat mengembangkan
keterampilan metakognitif mereka. Baind dan White (dalam Kipnis dan Hofstein,
2007) juga menyatakan, jika dilakukan dengan penuh pemikiran, kegiatan
laboratorium dapat meningkatkan metakognisi yang diinginkan. Orang akan tahu
tentang strategi belajar efektif dan ketentuannya, akan menyadari dan dapat
memahami kemajuan tugas pembelajaran yang tepat. Mereka juga menyatakan
bahwa terdapat empat kondisi yang perlu untuk meningkatkan pengembangan
pribadi yang berkaitan dengan kebutuhan langsung, yaitu waktu, kesempatan,
bimbingan, dan dukungan.
Instrumen untuk pengukuran metakognisi yang selama ini banyak
dikembangkan adalah melalui observasi, kuesioner, dan wawancara. Pengukuran
metakognisi tersebut pada umumnya mengacu pada Flavell dan Schraw.
Pengetahuan metakognisi yang diadaptasi dari Flavell dan Schraw diukur melalui
kuesioner, sedangkan peraturan atau pengalaman metakognitif diungkap melalui
wawancara dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan sesudah
presentasi visual hasil penyelesaian masalah. Schraw dan Moshman (1995) telah
menyusun indikator metakognisi yang dapat diukur melalui wawancara maupun
kuesioner. Sementara itu Anderson & Krathwohl (2001), menyatakan bahwa
metakognisi dapat diukur melalui tes sebagaimana penguasaan konsep dengan
indikator metakognisi.
Pengembangan metakognisi dalam konteks praktikum Kimia Analitik
Instrumen berbasis masalah dalam penelitian ini diukur tes uraian bermuatan
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
39/62
52
konsep dengan indikator metakognisi, dan kuesioner. Indikator metakognisi
merupakan hasil adaptasi Schraw, Flavell, Brawn, Anderson & Krathwohl, serta
McGregor (Tabel 2.3). Indikator hasil adaptasi dari beberapa ahli metakognisi
selanjutnya divalidasi beberapa dosen, untuk selanjutnya disusun kuesioner dan
tes yang akan diberikan pada mahasiswa sebagai subyek penelitian.
Untuk membangun keterampilan metakognisi dapat dilakukan melalui
pembelajaran dengan berbagai pendekatan/metode yang mencerminkan
pencapaian ke 5 level metakognisi (Tabel 2.3). Salah satu pendekatan yang
potensial membangun ke 5 level tersebut adalah pembelajaran berbasis masalah.
Barrows (1988) menyatakan bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah,
pengampu berperan sebagai pelatih metakognisi dengan membantu peserta didik
memahami pertanyaan yang diajukan selama mendefinisikan, menentukan
informasi, menganalisis dan mensintesis masalah, dan memilih solusi yang
potensial.
Pelatih metakognisi harus dapat menjamin bahwa peserta didik dapat
menyadari keterampilan kognitifnya dan dapat memilih dengan bijaksana di
antara solusi yang ada. Selanjutnya Brown (dalam Weinert & Kluwe, 1987)
menekankan bahwa dalam memilih strategi yang sesuai untuk menyelesaikan
tugas, teori metakognitif menyarankan bahwa tingkat belajar yang pertama
adalah mengenali masalah yang harus diselesaikan, dan menentukan informasi
apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah itu dan dimana informasi itu
dapat diperoleh.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
40/62
53
Tabel 2.3. Indikator Metakognisi (diadaptasi dari Mc Gregor, 2007, Schraw, 1995,
dan Anderson & Krathwol, 2001)
No Level metakognisi Sub level metakognisi (sebagai indikator)
1 Menyadari prosesberpikir dan
mampu
menggambarkannya
Menyatakan tujuanMengetahui tentang apa dan bagaimana
Menyadari bahwa tugas yang diberikan
membutuhkan banyak referensi
Menyadari kemampuan sendiri dalam mengerjakantugas
Mengidentifikasi informasi
Memilih operasi/prosedur yang dipakai
Mengurutkan operasi yang digunakan
Merancang apa yang akan dipelajari
2 Mengembangkanpengenalan
strategi berpikir
Memikirkan tujuan yang telah ditetapkanMengelaborasi informasi dari berbagai sumber
Memutuskan operasi yang paling sesuai
Menjelaskan urutan operasi lebih spesifik
Mengetahui bahwa strategi elaborasi meningkatkan
pemahaman
Memikirkan bagaimana orang lain memikirkan tugas
3 Merefleksi
prosedur secara
evaluatif
Menilai pencapaian tujuan
Menyusun dan menginterpretasi data
Mengevaluasi prosedur yang digunakan
Mengatasi kesalahan/hambatan dalam pemecahan
masalahMengidentifikasi sumber-sumber kesalahan dari
percobaan
4 Mentransfer
pengalaman
pengetahuan dan
prosedural pada
konteks lain
Menggunakan operasi yang berbeda untuk
penyelesaian masalah yang sama
Menggunakan operasi/prosedur yang sama untuk
masalah lain
Mengembangkan prosedur untuk masalah yang sama
Mengaplikasikan pemahamannya pada situasi baru
5 Menghubungkan
pemahamankonseptual dengan
pengalaman
prosedural
Mengaitkan data pengamatan dengan pembahasan
Menganalisis efisiensi dan efektifitas prosedurMenganalisis kompleksnya masalah
Menyeleksi informasi penting yang digunakan
dalam memecahkan masalah
Memikirkan proses berpikirnya selama pemecahan
masalah
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
41/62
54
E. Cakupan Materi Spektrometri dan HPLC
1. Spektrometri
Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang
interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik. Metode pengukuran yang
didasarkan pada pengetahuan tentang spektroskopi disebut spektrometri. Prinsip
dasar spektrometri adalah adanya interaksi antara radiasi elektromegnetik dengan
materi. Bila radisi elektromegnetik melewati suatu materi, maka beberapa hal
yang mungkin terjadi adalah absorpsi, emisi, hamburan sinar, fluoresensi dan
fosforesensi. Berdasarkan keadaan materi, maka spektrometri dapat dibedakan
menjadi spektrometri atom dan spektrometri molekul. Selanjutnya berdasarkan
sifat radiasinya, spektrometri atom dapat diklasifikasikan ke dalam spektrometrii
absorpsi atom, spektrometri emisi atom, dan spektrometrii fluoresensi atom.
Penelitian ini berhubungan dengan spektrometri absorpsi yaitu spektrometri
absorpsi atom (selanjutnya disebut AAS), dan spektrometri emisi atom (AES),
serta spektrometri molekul yaitu spektrometri UV-Vis.
Sebelum sampai tahap pengukuran dengan AAS, AES, maupun UV-Vis
harus dilakukan tahap-tahap pengambilan sampel, preparasi sampel, pemisahan
komponen yang diinginkan misalnya melalui ekstraksi, dan pembuatan larutan
standar. Oleh karena itu, untuk bisa mengikuti mata kuliah praktikum Praktikum
Kimia Analitik Instrumen ini mahasiswa harus sudah mengambil mata kuliah
Dasar-dasar Kimia Analitik dan praktikumnya, serta Dasar-dasar Pemisahan
Analitik dan praktikumnya.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
42/62
55
Instrumen untuk spektrometri umumnya terdiri dari 5 komponen pokok,
yaitu (1) sumber radiasi, (2) wadah sampel, (3) monokromator, (4) detektor, dan
(5) rekorder. Perbedaan antara AAS dengan spektrometri UV-Vis, yaitu wadah
sampel, sumber radiasi yang digunakan, juga adanya sistem pengatoman dalam
AAS; sedangkan antara AAS dengan AES berbeda dalam hal tidak diperlukannya
sumber radiasi pada AES.
Sumber radiasi untuk spektrum kontinu adalah lampu: argon pada
spektroskopi UV-Vakum, deuterium atau hidrogen pada spektrometri UV, xenon
dan wolfram (tungsten) pada spektrometri UV-Vis. Untuk spektrum diskontinu,
sumber radiasinya adalah lampu katoda cekung (hollow cathode) yang banyak
dipakai pada spektroskopi atom. Wadah sampel diperlukan untuk semua teknik
spektrometri kecuali spektrometri emisi. Umumnya wadah sampel disebut kuvet
atau sel. Kuvet yang terbuat dari kwarsa baik untuk spektrometri UV dan juga
untuk spektrometrisinar tampak (Vis). Kuvet plastik dapat digunakan untuk
spektrometri sinar tampak. Monokromator adalah alat yang paling umum dipakai
untuk menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang gelombang.
Monokromator untuk radiasi UV dan Vis adalah serupa, yaitu mempunyai celah
atau slit, lensa, cermin dan prisma atau grating. Untuk detektor, dikenal 2 macam
yaitu detektor foton dan detektor panas. Detektor panas biasa dipakai untuk
mengukur radiasi infra merah, termasuk thermocouple dan bolometer. Signal
listrik dari detektor bisanya diperkuat dengan amplifier kemudian direkam sebagai
spektrum yang berbentuk puncak-puncak. Plot antara panjang gelombang dan
absorban akan dihasilkan spektrum.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
43/62
56
Pada penggunaan AAS dengan sistem pengatoman nyala api untuk
menganalisis sampel, suatu sumber radiasi lampu katoda cekung yang sesuai
dengan jenis unsur dilewatkan ke dalam nyala api yang berisi sampel yang telah
teratomisasi, kemudian radiasi tersebut diteruskan ke detektor melalui
monokromator. Untuk membedakan antara radiasi yang berasal dari sumber
radiasi dan radiasi dari nyala api, biasanya digunakan chopper yang dipasang
sebelum radiasi dari sumber radiasi mencapai nyala api. Detektor disini akan
menolak arus searah (DC) dari emisi nyala dan hanya mengukur arus bolak balik
(signal absorpsi) dari sumber radiasi dan sampel. Konsentrasi unsur diukur
berdasarkan perbedaan intensitas radiasi pada waktu ada atau tidaknya unsur yang
diukur (sampel) di dalam nyala api.
Untuk metode AES, atom-atom unsur dalam nyala api akan tereksitasi.
Pada waktu atom-atom kembali ke tingkat dasar akan memancarkan radiasi
elektromagnetik yang disebut radiasi emisi dimana energi radiasi emisi ini sama
dengan energi radiasi eksitasi, jadi sumber radiasi disini berasal dari sampel.
Intensitas radiasi emisi ini kemudian dideteksi oleh detektor setelah melalui
monokromator. Dalam hal ini konsentrasi unsur sebanding dengan intensitas
radiasi, artinya terdapat hubungan linear antara intensitas radiasi dengan
konsentrasi unsur.
Spektometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopi yang
memakai sumber radiasi ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak
(Visible = Vis) 380-780 nm dengan memakai instrumen spektrofotometer. Bila
radiasi elektromagnetik pada daerah panjang gelombang UV-Vis melewati suatu
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
44/62
57
molekul dan bila energi fotonnya cukup, maka energi tersebut akan diserab dan di
dalam molekul terjadi transisi elektronik yang disebut molekul itu tereksitasi.
Pengapsorpsian sinar ultra violet atau sinar tampak oleh suatu molekul umumnya
menghasilkan eksitasi elektron bonding. Akibatnya, panjang gelombang absorpsi
maksimum dapat dikorelasikan dengan jenis ikatan yang ada di dalam molekul
yang sedang diselidiki. Oleh karena itu spektrometri serapan molekul berharga
untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsi yang ada dalam suatu molekul. Akan
tetapi, yang lebih banyak adalah penggunaan untuk penentuan kuantitatif
senyawa-senyawa yang mengandung gugus-gugus pengabsorpsi.
Langkah utama dalam analisis spektrofotometri untuk memperoleh
pengukuran yang baik meliputi penentuan kondisi kerja/optimasi. Optimasi
meliputi peralatan, dan optimasi terkait pra pengukuran (tahap pemisahan).
Optimasi pengukuran Spektrofotometer UV-Vis meliputi: (1) pemanasan
peralatan, (2) penentuan optimum, (3) optimasi untuk meminimalkan intervensi
dari logam lain seperti: optimasi pH pembentukan kompleks, konsentrasi ligan,
perbandingan konsentrasi logam dan ligan. Sedangkan, optimasi pada AAS (untuk
atomisasi dengan nyala api) meliputi: tinggi pembakar, kecepatan alir gas
pembakar, posisi lampu, posisi pembakar terhadap sinar, dan kuat arus.
Teknik analisis yang banyak digunakan dalam spektrometri adalah metode
kurva kalibrasi dan metode adisi standar. Pada kurva kalibrasi dilakukan dengan
membuat sederetan larutan standar pada konsentrasi tertentu, kemudian masing-
masing larutan stndar diukur absorbansinya, terakhir dibuat kurva antara
absorbansi versus konsentrasi, dan akan diperoleh garis linier. Konsentrasi sampel
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
45/62
58
dapat dihitung dengan cara mengeplotkan absorbansi yang terukur dalam kurva.
Pada teknik standar adisi larutan sampel dengan volume yang sama dimasukkan
ke dalam masing-masing labu takar, kemudian ditambah larutan standar dengan
konsentrasi yang berbeda. Absorbansi dari masing-masing larutan dalam labu
takar diukur absorbansinya setelah diencerkan sampai volume tertentu (tanda
tera). Kemudian dibuat kurva hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi
standar.
2.High Performance Liquid Chromatography(HPLC)
Kromatografi merupakan proses pemisahan yang didasarkan adanya
perbedaan koefisien distribusi komponen-komponen dalam dua fasa yaitu fasa
gerak dan fasa diam. Fasa diam (stasioner) berupa suatu zat padat atau suatu
cairan, dan fasa gerak bisa suatu cairan atau suatu gas. Didasarkan jenis fasa
dikenal 4 jenis kromatografi: cair-padat, gas-padat, cair-cair, dan gas-cair.
Berdasarkan fasa geraknya dibedakan kromatografi gas (contoh GC) dan
kromatografi cair (contoh HPLC), sementara itu pembagian dalam kromatografi
cair selain didasarkan wujud fasa diam dan fasa geraknya juga didasarkan
mekanisme interaksinya.
Selama bertahun-tahun bentuk kromatografi yang digunakan adalah cair-
padat (KCP), kemudian berkembang kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi
cairan kolom klasik merupakan prosedur pemisahan yang sudah mapan di mana
fase cair yang mobil mengalir lambat-lambat lewat kolom karena gravitasi.
Umumnya metode itu dicirikan oleh efisiensi kolom yang rendah dan waktu
pemisahan yang lama. Karya Martin dan Synge, tahun 1041 membuahkan hadiah
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
46/62
59
Nobel, tidak hanya merevolusikan kromatografi cair, tetapi juga secara umum
meletakkan landasan bagi perkembangan kromatografi gas dan kromatografi
kertas.
Pembahasan teknik kromatografi modern baru lengkap bila disebut
kromatografi cairan kinerja tinggi (HPLC). Dalam metode ini digunakan kolom
berdiameter kecil (1-3 mm) dan eluen dipompakan ke dalamnya dengan laju alir
yang tinggi (sekitar 1-5 cm3m
-1). Pemisahan dengan metode ini dilakukan jauh
lebih cepat (sekitar 100 kali lebih cepat) daripada dengan kromatografi cairan
yang biasa. Meskipun peralatan yang tersedia di pasar dewasa ini agak mahal,
HPLC telah terbukti luas penggunaannya, makin popular dan menjadi teknik
yang makin penting di dalam laboratorium analisis. Kepopulerannya sekarang ini
mengatasi teknik kromatografi gas (Hendayana, 2006)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau biasa juga disebut dengan
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) adalah suatu teknik
kromatografi yang menggunakan fasa gerak cair, yang dapat untuk pemisahan
sekaligus analisis suatu zat. Prinsip dasar pemisahan adalah adanya perbedaan
distribusi komponen diantara fasa gerak dan fasa diam yang menyebabkan
perbedaan migrasi diferensial komponen-komponen analit dalam kolom
kromatografi. Dalam kromatografi cair selain terjadi interaksi komponen dengan
fasa diam juga adanya kelarutan relatif antara komponen yang akan dipisahkan
dengan fasa gerak, sedangkan dalam kromatografi gas, fasa gerak sifatnya inert,
dengan demikian hanya terjadi interaksi antara komponen dengan fasa diam, di
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
47/62
60
samping itu dalam kromatografi gas pemisahan terjadi karena adanya perbedaan
titik didih.
Didasarkan kekuatan/kepolaran fasa geraknya HPLC pasangan dibedakan
menjadi HPLC fasa normal (normal phase), jika pasangan fasa geraknya kurang
polar dibanding fasa diamnya, sebaliknya jika fasa gerak lebih polar dari fasa
diam disebut HPLC fasa terbalik (reverse phase). Selain itu, HPLC juga dapat
dikelompokkan berdasarkan pada sifat fase diam dan atau berdasarkan pada
mekanisme sorpsi solut, dengan jenis-jenis HPLC seperti: kromatografi adsorpsi,
kromatografi fase terikat, kromatografi penukar ion.
Instrumentasi alat HPLC terdiri atas gerbang penyuntikan (injection port),
kolom dan detektor yang dihubungkan satu sama lain. Kolom merupakan tempat
terjadinya pemisahan yang berisi fasa diam. Pompa pada HPLC bermanfaat
untuk mendorong fasa gerak yang membawa komponen masuk ke dalam kolom
karena ukuran partikel fasa diam yang ada dalam kolom kecil, dan diameter dalam
kolom juga kecil sehingga tekanannya harus tinggi. Detektor untuk mendeteksi
komponen-komponen diletakkan setelah kolom selain berfungsi mendeteksi
adanya komponen cuplikan juga mengukur banyaknya/konsentrasi yang telah
terpisahkan di kolom. Jenis detektor yang digunakan tergantung sampel yang
akan dianalisis dan fasa gerak. Output dari pengukuran HPLC adalah
kromatogram yang mempresentasikan waktu retensi (tr) untuk parameter
kualitatif, dan luas area untuk parameter kuantitatif dengan respon (mVolt).
Untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif tersebut harus ada pembandingnya
yang diukur pada kondisi yang sama.
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
48/62
61
Prinsip kerja dari alat HPLC adalah dengan bantuan pompa, fasa gerak
cair dialirkan melalui kolom ke detektor. Cuplikan dimasukkan ke dalam aliran
fasa gerak dengan cara penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan
komponen-komponen campuran, karena adanya perbedaan kekuatan interaksi
antara komponen-komponen terhadap fasa diam. Komponen-komponen yang
kurang kuat interaksinya dengan fasa diam akan keluar dari kolom lebih dulu,
sebaliknya, komponen-komponen yang kuat berinteraksi dengan fasa diam maka
akan keluar dari kolom lebih lama. Setiap komponen campuran yang keluar
kolom dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram.
Proses bergeraknya komponen yang dibawa oleh fasa gerak melalui kolom
disebut elusi. Berdasarkan laju alir fasa geraknya proses elusi dibedakan dua
macam yaitu isokratik jikalaju alir tetap pada proses elusi dan gradien jika Laju
alir atau komposisi fasa gerak berubah pada proses elusi (Hendayana ,2006)
Parameter yang digunakan pada HPLC meliputi waktu retensi (tr), yaitu
waktu yang diperlukan komponen untuk bergerak sepanjang kolom, dan
volume retensi (vr) yaitu volume fasa gerak yang diperlukan untuk membawa
komponen sepanjang kolom. Parameter pemisahan yang berhubungan dengan
interaksi antara komponen dengan fasa diam adalah faktor kapasitas (k). Kolom
yang efisien yaitu kolom yang mampu menghasilkan kromatogram dengan puncak
sempit, tajam, dan simetris. Ukuran dari efisiensi kolom ini adalah jumlah plat
teoritis (N). Kemampuan kolom untuk bisa membedakan suatu komponen dari
komponen lain parameternya adalah selektivitas kolom (faktor selektivitas,) dan
resolusi (Rs)
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
49/62
62
Tahapan kerja untuk analisis kuantitatif meliputi: (1) penyiapan fasa gerak,
(2) preparasi sampel, (3) penyiapan larutan standar, (4) pengukuran sampel.
Pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak dalam HPLC harus dipilih sesuai
karakteristik sampel dan fasa diam, serta harus memutuskan jenis fasa gerak yang
akan digunakan. Selain berfungsi sebagai pembawa komponen-komponen
campuran menuju detektor, fasa gerak dapat berinteraksi dengan komponen-
komponen. Oleh karena itu, pelarut dalam HPLC merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan proses pemisahan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi
sebagai pelarut HPLC adalah: (1) harus murni sekali untuk menghindarkan
masuknya kotoran yang dapat mengganggu interpretasi kromatografi, (2) harus
jernih sekali untuk menghindarkan penyumbatan pada kolom. Oleh karena itu
pelarut harus didegassing, dan disaring dengan membran.
Kelebihan dari teknik HPLC ini antara lain: (1) dapat digunakan untuk
isolasi zat yang tidak mudah menguap dan zat yang tidak stabil, (2) HPLC
memiliki detektor dengan kepekaan yang tinggi, (3) memiliki daya memisah yang
tinggi, (4) dapat menganalisis sampel yang kecil kuantitasnya, (5) biaya pelarut
jauh lebih rendah dibandingkan LC konvensional, (6) teknik HPLC dapat
dilakukan pada suhu kamar.
3. Pemeliharaan Peralatan
Pemeliharaan (maintenance) peralatan merupakan bagian dari perkuliahan
instrumen yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman
kepada mahasiswa tentang bagaimana menjaga kinerja dari suatu peralatan atau
sistem agar peralatan atau sistem tersebut dapat bekerja atau beroperasi sesuai
-
5/28/2018 d_ipa_0601547_chapter2(1)
50/62
63
yang diharapkan. Pemeliharaan pada umumnya dibagi menjadi dua kategori:
pemeliharaan pencegahan (juga dikenal sebagai terjadwal atau rutin) dan
pemeliharaan korektif (atau perbaikan). Pemeliharaan pencegahan terdiri dari
pemeriksaan secara teratur terjadwal, pengujian, pemeliharaan, pemeriksaan
secara seksama dan aktivitas penggantian. Tujuan pemeliharaan ini adalah untuk
memastikan kemampuan instrumentasi reaktor yang handal, komponen dan sistem