perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac · mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi sosiobudaya...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat
dan karunian-Nya, tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan
salah satu persyaratan untuk menempuh derajat magister pada Program Studi S2
Pendidikan Bahasa Indonesia.
Penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
memberikan apresiasi secara tulus kepada semua pihak, terutama kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
menyelesaikan studi di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu pendidkan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin
penulisan tesis;
3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd., Selaku Ketua Program Studi S2
Program Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan ijin
penulisan dan memberikan kesempatan sehingga tesis ini dapat
diselesaikan dengan lancar;
4. Prof. Dr. Andayani, M. Pd. Selaku Sekretaris Program Studi S2 Program
Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan kesempatan
sehngga selesai dengan lancar;
5. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku pembimbing I, atas segala
bimbingan, arahan, dan motivasi yang telah diberikan sehingga tesis ini
dapat terselesaikan dengan baik;
6. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd., selaku pembimbing II, bimbingan dan
bantuannya sehngga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik;
7. Istriku tercinta, Sri Hastuti, yang dengan setia dan penuh kesabaran
membantu setiap langkah yang ditempuh sehingga semua berjalan
dengan baik;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
8. Anak-anakku tersayang: Ilham, Hafidh, Hafish dan Al-Kautsar, yang
selalu menjadi kekuatan untuk menyelesaikan tesis ini;
Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan demi karya yang lebi baik.
Surakarta, September 2014
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Samsuri, NIM S840908029. Kajian Sosiologi Sastra dan Resepsi Novel Arok
Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer. Tesis. Program Pascasarjana, Fakultas
Pendidikan Bahasa Indonesia. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2014.
ABSTRAK
Sastra merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki berbagai genre
dan dapat dinilai dengan berbagai pendekatan. Sosiologi sastra salah satu
pendekatan yang akan memberikan gambaran tentang pengaruh latar belakang
sosial budaya pengarang, dan kondisi pengarang saat menciptakan novel Arok
Dedes, serta penerimaan pembaca terhadap novel Arok Dedes karya Pramoedya
Ananta Toer.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan latar belakang sosial
budaya pengarang dari Arok Dedes; (2) mendeskripsikan korelasi antara novel
Arok Dedes dengan kenyataan dalam sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada
zaman Singosari; (3) mendeskripsikan resepsi pembaca; mahasiswa dan guru
bahasa Indonesia; (4) mendiskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam novel Arok Dedes.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif diskriftif dengan pendekatan
sosiologi sastra dan resepsi. Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa dan
kalimat dalam novel Arok Dedes. Sumber data adalah novel Arok Dedes karya
Pramudya Ananta Toer, kitab Pararaton dan informan. Dalam penelitian ini
digunakan metode analisis dokumen berupa data teks novel Arok Dedes, kitab
Pararaton dan komentar pembaca. Teknk pengumpulan data menggunakan metode
pustaka. Analisis data dilakukan secara analisis interaktif. Validitas data dilakukan
dengan Trianggulasi data atau sumber Kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu; (1) Latar belakang sosial budaya
pengarang novel Arok Dedes, yaitu Pramudya Ananta Toer merupakan sastrawan
yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya, (2) Ada relevansi antara
novel Arok Dedes dan kenyataan sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman
Singosari, yaitu dari segi pelaku (tokoh cerita) dan peristiwa yang
digambarkan.(3) Resepsi pembaca mengenai Pramudya Ananta Toer yang
mempunyai pemikiran cerdas sehingga dalam novel Arok Dedes dapat
mempengaruhi pembaca mengenai sosok Ken Arok, (4) Novel Arok Dedes sarat
akan nilai pendidikan untuk pembacanya terdiri dari nilai moral yang
menggambarkan sifat manusia; murah hati, menghormati orang tua, dan
melaksanakan kewajiban, nilai agama yang menyerahkan semua kejadian berasal
dari ketentuan Tuhan, nilai kepahlawanan yang memegang janji dalam
melindungi seorang pemimpin, nilai kebudayaan yang masih mengerjakan tradisi
leluhur atau nenek moyang.
Kata Kunci : novel, sosiologi sastra, resepsi pembaca, nilai pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Samsuri, NIM S840908029 Literature and Sociology Study Novel reception Arok
Dedes work Pramoedya Ananta Toer. Thesis. Graduate Program, Faculty of
Education Indonesian. University March Surakarta. , 2014.
ABSTRACT
Literature is one of the disciplines that have a variety of genres and can be
assessed with a variety of approaches. Sociology of literature one of the
approaches that will give you an idea of the influence of socio-cultural
background of the author, and the author of the current conditions create novel
Arok Dedes, as well as acceptance of the readers of the novel Arok Dedes works
of Pramoedya Ananta Toer.
The aims of this research to (1) describe the socio-cultural background of
the author of Arok Dedes; (2) describe the correlation between the novel Arok
Dedes by the fact in the history of Ken Arok and Ken Dedes at times Singosari;
(3) describe the reception readers; Indonesian students and teachers; (4) describe
the educational values inherent in the novel Arok Dedes
This research is a qualitative descriptive approach with sociology of
literature and receptions. Methode data in this study in the form of words, phrases
and sentences in the novel Arok Dedes. The data source is a novel Arok Dedes
works Pramoedya Ananta Toer.Dalam this study used the method of data analysis
in the form of text documents novel Arok Dedes, and reader comments. Teknik
data collection using libraries. Data analysis was conducted in an interactive
analysis.
The conclusion of this study, namely; (1) socio-cultural background Arok
Dedes novelist, Pramoedya Ananta Toer is a writer who still uphold the customs
and culture, (2) There is a relevance between the novel Arok Dedes and Ken Arok
historical fact and Ken Dedes Singosari era, ie from in terms of actors (characters)
and the events described. (3) reception on Pramoedya Ananta Toer readers who
have thought that in a novel intelligent Arok Dedes can affect the reader about the
figure of Ken Arok, (4) novel Arok Dedes will be full of educational value to
readers consist of moral values which describe human nature; generous, respect
for parents, and obligations, religious values are handed all the events coming
from provisions of God, the value of heroism that holds promise in protecting a
leader, cultural values are still working on the ancestral tradition or ancestors.
Keywords: novel, literary sociology, reader reception, the value of education
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
MOTTO
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain
(Q.S. Al-Insyiroh 5-7)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
Istriku, permaisuri hatiku
Anak-anakku, semangat hidupku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ......................................................................................... ii
PERSETUJUAN .......................................................................... iii
PENGESAHAN ........................................................................... iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN HAK
PUBLIKASI ................................................................................. v
KATA PENGANTAR .................................................................. vi
ABSTRAK .................................................................................... viii
ABSTRACT ................................................................................ ix
MOTTO ....................................................................................... x
PERSEMBAHAN ......................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, PENELITIAN
YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR ........ 6
A. Tinjauan Pustaka ............................................................ 6
1. Novel .................................................................................. 6
a. Pengertian dan Karakteristik ...................................... 6
b. Unsur Instrinsik ........................................................ 8
c. Unsur Ekstrinsik ....................................................... 17
2. Sosiologi Sastra ............................................................. 21
3. Resepsi Sastra ............................................................... 24
4. Sosiologi Pengarang Pramudya Ananta Toer .................... 30
5. Nilai Pendidikan Karya Sastra ........................................ 34
a. Nilai Religius (Agama) ............................................. 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
b. Nilai Estetis ............................................................ 37
c. Nilai Moral (Etika) .................................................. 38
d. Nilai Kepahlawanan (Heroik) .................................... 38
e. Nilai Sosial .............................................................. 39
B. Penelitian Sebelumnya yang Relevan ............................... 41
C. Kerangka Berpikir .......................................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN .............................................. 45
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 45
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ......................................... 46
C. Sumber Data .................................................................. 46
D. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 46
E. Teknik Analisis Data ...................................................... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............... 49
A. Hasil Penelitian ............................................................. 49
1. Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang ....................... 49
2. Relevansi Antara Novel Arok Dedes dengan Kenyataan
Sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada Zaman Singosari.. 54
3. Resepsi Pembaca Mengenai Novel Arok Dedes ............... 63
4. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung
Dalam Novel Arok Dedes .............................................. 67
B. Pembahasan .................................................................... 71
1. Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang ........................ 71
2. Relevansi Antara Novel Arok Dedes dengan Kenyataan
Sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada Zaman Singosari.. 73
3. Resepsi Pembaca Mengenai Novel Arok Dedes ............... 74
4. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung
Dalam Novel Arok Dedes .............................................. 77
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ......................... 81
A. Simpulan ........................................................................ 81
B. Implikasi ....................................................................... 83
C. Saran ............................................................................... 86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 88
LAMPIRAN ................................................................................. 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
DAFTAR LAMPIRAN
1. Catatan Lapangan Reseptor 1
2. Tanggapan Peneliti
3. Catatan Lapangan Reseptor 2
4. Tanggapan Peneliti
5. Sinopsisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Karya
sastra tidak dapat dilihat dengan hanya sebagai suatu sistem norma saja, karena
karya sastra merupakan suatu sistem yang terdiri dari struktur yang saling
mengisi. Dengan demikian, menganalisis karya sastra secara mendetil haruslah
melihat struktur dari karya itu (Seniwati: 2003: 1). Karya sastra juga merupakan
respon pada karya yang terbit sebelumnya. Salah satu bentuk karya sastra adalah
novel. Novel merupakan karya sastra hasil imajinasi dan penghayatan pengarang
terhadap masyarakat. Novel sebagai karya sastra lebih mengemukakan sesuatu
yang bebas, menyajikan sesuatu yang lebih banyak, lebih rinci dan melibatkan
permasalahan yang kompleks (Nurgiyantoro, 1995:10-11).
Novel merupakan karya sastra yang memiliki cakupan luas dan dengan
kedalaman isinya membawa manusia menjelajahi kekayaan yang tidak dimiliki
karya sastra lainnya. Melalui novel, manusia dapat menggali lebih dalam sisi
kemanusiannya. Novel sebagai karya sastra mengandung banyak makna dan
ideologi di dalamnya. Seorang pembaca dapat mengambil makna yang ia perlukan
tergantung dari sudut pandang yang digunakan dan dimanfaatkan untuk
diterapkan dalam kehidupan. Salah satu yang penting adalah anggapan bahwa
novel merupakan cermin kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan
kenyataan sosial. Hal ini berarti pengarang menggunakan pengalaman sosialnya
dalam karya yang dibuatnya.
Novel sebagai kreasi manusia yang diangkat dari realitas kehidupan,
tetapi realitas yang terdapat didalamnya bukan lagi realitas yang utuh, namun
sudah mengalami proses imajinasi dari diri pengarang. Dengan kata lain realitas
tersebut adalah gambaran oleh pengarangnya dengan mengunakan daya imajinasi
sesuai dengan kenyataan jiwa pengarang, yang berupa pengalaman hidup yang
manis, menarik perhatian, menyegarkan perasaan penikmatnya, pengalaman jiwa
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
yang terdapat dalam karya sastra memperkaya kehidupan batin manusia
khususnya pembaca.
Keberadaan karya sastra (novel) di tengah masyarakat adalah hasil
imajinasi pengarang serta refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh
karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya
(world vision) kepada subjek kolektifnya. Hubungan yang menggabungkan subjek
individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan bahwa sastra
berakar pada kultur dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian
mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).
Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang
erat terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan
pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut pula mempengaruhi
karya yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati
pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang
dihasilkan pengarang.
Dengan kata lain karya sastra merupakan bagian dari kebudayaan,
kelahirannya di tengah-tengah masyarakat tidak luput dari pengaruh sosial dan
budaya. Pengaruh tersebut bersifat timbal balik, artinya karya sastra dapat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat.
Kecenderungan ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan
bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi
nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut
diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra,
pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan.
Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya
masyarakat. Menurut Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan
meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan
agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam
masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat
dalam cerita novel.
Karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang
melingkupi penciptanya. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-sifat sastra
menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat apa
yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin realitas
masyarakat zamannya.
Pramoedya Ananta Toer adalah pengarang fenomenal dan sampai akhir
hidupnya, ia merupakan satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali
masuk dalam daftar kandidat Pemenang Nobel Sastra. Sebagai sastrawan yang
juga terlibat di dalam kancah politik di tanah air, dengan afiliasinya ke partai yang
berhaluan Marxis dengan fahamnya realisme sosialis, tidak mungkin melepaskan
begitu saja karya-karyanya itu dari pandangan dan ideologi yang dianutnya.
Akibat yang ditimbulkan dari keberpihakannya secara politis itu, menjadikan dia
harus mendekam di penjara selama kekuasaan Orde Baru. Selain itu, karya-
karyanya juga dilarang beredar dan dibaca masyarakat. Latar belakang hidup yang
demikian tentunya akan sangat mempengaruhi karya-karya yang dihasilkannya,
termasuk novel Arok Dedes.
Jika melihat dari sudut pandang ini, maka menganalisis novel Arok Dedes
ini tentu tidak cukup secara tekstual, melainkan harus juga mengungkapkan proses
produksi teks sastra itu dan konteks sosialnya. Paling tidak, berusaha sampai pada
pemikiran dan pandangan pengarang sebagai penghasil novel tersebut, maka
penulis tertarik untuk melakukan pengkajian sosiologi sastra dan resepsi dengan
judul “Kajian Sosiologi Sastra dan Resepsi Novel Arok Dedes Karya Pramoedya
Ananta Toer.”
Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas dan
kompleks, dalam kesempatan ini penulis membatasi ruang lingkup
permasalahannya dengan maksud agar pembahasan tidak melebar. Pembatasan
tersebut adalah pemahaman terhadap novel Arok Dedes dengan berdasarkan
sosiologi sastra dan resepsi. Sosiologi sastra merupakan satu kajian yang rumit
dan luas, karena itu penulis membatasi ruang lingkup permasalahan hanya dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
aspek sosiologi pengarang, yakni permasalahan status sosial, ideologi politik, dan
lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Resepsi dalam konteks penelitian ini
adalah tanggapan dari pembaca (mahasiswa dan guru bahasa Indonesia).
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan pendekatan yang penulis pergunakan dalam penelitian
ini, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang sosial budaya pengarang dari Arok Dedes dalam
novel Arok Dedes ?
2. Bagaimanakah relevansi antara novel Arok Dedes dengan kenyataan sejarah
Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman Singosari ?
3. Bagaimanakah resepsi pembaca mengenai novel Arok Dedes ?
4. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Arok Dedes ?
C. Tujuan Penelitian
Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial budaya
pengarang dari novel Arok Dedes.
2. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan korelasi antara novel Arok Dedes
dengan kenyataan dalam sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada zaman
Singosari.
3. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan resepsi pembaca ; mahasiswa dan
guru bahasa Indonesia.
4. Untuk mendiskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam novel Arok Dedes.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi
secara teoretis dan praktis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1. Manfaat Teoretis
Memperkenalkan kepada pencinta sastra bahwa kajian sosiologi sastra
dan resepsi sastra merupakan cabang kritik sastra yang akan membawa
pembaca dalam suasana karya itu dibuat juga dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang nilai-nilai ajaran yang baik sehingga dapat bermanfaat
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini dapat menjadi pelajaran bagi pembaca akan nilai-nilai
positif dan negatif dalam kehidupan.
b. Bagi guru
Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan guru dalam mencari
alternatif materi ajar yang tepat dalam pengajaran novel.
c. Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi siswa
dalam pengetahuan tentang manfaat dan nilai-nilai yang ada dalam novel.
d. Bagi Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi
peneliti lain yang akan melakukan penelitian sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Novel
a. Pengertian dan Karakteristik
Secara etimologis, novel berasal dari kata latin novella yang berarti
kabar atau pemberitahuan. Novella diturunkan menjadi kata inovelis
yang berarti baru. Dapat dikatakan baru karena novel hadir sebagai genre
sastra setelah puisi dan drama yang terlebih dahulu ada. Bentuk novel
dapat dikatakan sama dengan roman karena keduanya sama-sama
menceritakan hal-hal yang terjadi pada kehidupan para tokohnya dan
perubahan nasib para tokohnya.
Goldmann (dalam Faruk, 2003: 29) mendefinisikan novel sebagai
cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yagn otentik
dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh ia mengungkapkan
bahwa novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan
yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.
Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang
menjadi ciri novel tersebut. Waluyo (2002: 37) mengungkapkan bahwa
di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada beberapa
episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh utama
tidak sampai mati.
Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya.
Waluyo (2002: 38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel
serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai
sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya
diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya
Di pihak lain Goldmann (dalam Ratna, 2003: 126), yang
memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas
kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai,
yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa.
Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan
novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial,
perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Ratna, 2003:
127).
Ratna (2004:314) menyimpulkan bahwa dari segi struktur, sebuah
novel sastra maupun novel populer mengandung unsur-unsur yang paling
lengkap. Novel menyediakan cerita dengan peristiwa, tokoh, dan latar,
sehingga menulis dianggap berdialog dengan orang lain. Novel
memanfaatkan bahasa biasa, bahasa sehari-hari, yang juga merupakan
faktor penting dalam kaitannya dengan penulis.
Novel juga menyediakan media yang sangat luas, sehingga
pengarang memiliki kemungkinan yang seluas-luasnya untuk
menyampaikan pesan. Reeve (dalam Wellek dan Warren, 1989:282)
mengungkapkan bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku
yang nyata, dari jaman pada saat novel itu ditulis.
Novel dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai
pengakuan (karena ditulis dengan sangat meyakinkan), sebagai sebuah
cerita yang sebenarnya, sebagai sejarah cerita hidup seseorang pada
jamannya (Wellek, 1989:276).
Nurgiyantoro (2007:4) menyebutkan bahwa novel sebagai sebuah
karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model
kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui
berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan
penokohan), latar dan sudut pandang yang bersifat imajinatif.
Selanjutnya disebutkan bahwa dalam sebuah cerita novel kehidupan itu
sering terasa benar adanya, seolah-olah terjadi secara kenyataan. Hal ini
dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan atau dianalogikan
dengan dunia nyata, lengkap dengan peristiwa-peristiwa dan latar
aktualnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
novel adalah karya fiksi yang memiliki tema, alur, latar, tokoh, dan
gagasan pengarang. Selain itu, novel juga menampilkan rangkaian cerita
kehidupan seseorang yang dilengkapi dengan peristiwa, permasalahan,
dan penonjolan watak setiap tokohnya.
b. Unsur Intrinsik
Baik buruk dan menarik tidaknya sebuah cerita rekaan (roman,
cerpen, maupun novel) sangat ditentukan oleh adanya keterkaitan antara
unsur-unsur pembentuk cerita. Unsur-unsur pembentuk cerita dalam
novel yang berasal dari dalam disebut unsur intrinsik, sedangkan unsur-
unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar disebut unsur ekstrinsik.
Menurut Damono (2000:10), pendekatan intrinsik dilakukan jika
peneliti memisahkan karya sastra dari lingkungannya. Dalam pendekatan
ini karya sastra dianggap memiliki otonomi dan bisa dipahami tanpa
harus mengaitkannya dengan lingkungannya seperti penerbit, pembaca,
dan penulisnya. Novel misalnya, merupakan sistem formal yang
analisisnya meliputi tema, alur dan pengaluran, latar, tokoh dan
penokohan, dan penceritaan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik terhadap
karya sastra dilakukan jika penelitian ditujukan untuk mengungkapkan
hubungan-hubungan yang ada antara karya sastra dengan lingkungannya,
antara lain pengarang, pembaca, dan penerbit.
Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur tersebut secara otomatis mampu
membangun cerita dan membuat novel memiliki roh. Sebaliknya, unsur
ekstrinsik yang menitikberatkan karya sastra dan hubungannya dengan
pengarang, pembaca, dan lingkungan, akan lebih banyak berkonsentrasi
pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendekatan intrinsik dilakukan jika penelitian menitikberatkan kajian
kepada karya sastra dan memisahkannya dari lingkungan tempat karya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
tersebut dilahirkan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik dilakukan jika
penelitian lebih menitikberatkan kajian kepada karya sastra dan
hubungannya dengan pengarang, pembaca, lingkungan, peristiwa, dan
sudut pandang.
Berdasar dari uraian di atas, unsur-unsur intrinsik novel adalah
sebagai berikut:
1) Tema
Tema merupakan gagasan, ide, ataupun pikiran utama di dalam
karya sastra yang terungkap atau tidak (Sudjiman, 1990:78). Stanton
dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2007:67) menyatakan bahwa tema
(theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Sementara
itu, menurut Nurgiyantoro (2007:74) tema dalam sebuah karya sastra
fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun
cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
kemenyeluruhan.
Ada beberapa macam tema yaitu tema yang sifatnya didaktis,
pertentangan antara baik dan buruk; tema yang eksplisit dan implisif;
cinta, kehidupan keluarga; tema yang biasa dan tidak biasa; dan tema
konflik kejiwaan (Sudjiman, 1988:50). Selain itu, Shipley (dalam
Nurgiyantoro, 2007:80) mencoba menjelaskan tingkatan tema,
diantaranya:
a) Tema tingkat fisik
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menunjukkan
banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan.
b) Tema tingkat organik
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak
mempermasalahkan seksualitas, khususnya kehidupan seks yang
menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan
suami istri, atau skandal-skandal seksual lainnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
c) Tema tingkat sosial
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak
mempermasalahkan ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan,
perjuangan, cinta kasih, propaganda, dan lain sebagainya.
d) Tema tingkat egoik
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak
mempermasalahkan egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan
sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat
batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.
e) Tema tingkat divine
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak
mempermasalahkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta,
masalah religiusitas atau berbagai masalah yang bersifat filosofis
lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
tema adalah ide atau gagasan keseluruhan yang terkandung dalam sebuah
cerita.
2) Alur dan Pengaluran
Alur adalah urutan peristiwa yang dihubungkan secara kausal.
Peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton dalam
Sugihastuti, 2000:46). Nurgiyantoro (2002:10) mengungkapkan alur
adalah salah satu unsur yang mendukung terbentuknya sebuah cerita.
Kenney (dalam Nurgiyantoro, 2007:113) mendefinisikan alur adalah
peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat
sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa berdasarkan kaitan
sebab akibat. Forster (dalam Nurgiyantoro, 2007:113) mendefinisikan
alur adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan
pada adanya hubungan kausalitas.
Nurgiyantoro (dalam Sugihastuti, 2000:46) kembali
mengungkapkan bahwa sebuah peristiwa terjadi karena adanya aksi
atau aktifitas yang dilakukan oleh tokoh cerita, baik yang bersifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
verbal maupun non verbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Alur
merupakan cerminan perjalanan tokoh dalam berpikir, bertindak
dalam menghadapi berbagai macam masalah kehidupan.
Analisis alur difokuskan pada fungsi utama yang membentuk
sebuah alur cerita. Fungsi utama disusun berdasarkan hubungan sebab
akibat sebuah peristiwa dalam cerita. Fungsi utama diperoleh
berdasarkan sekuen yang memiliki hubungan sebab akibat satu dengan
lainnya.
Sementara itu Sumardjo dan Saini (1986:49) menjabarkan
struktur atau tahapan alur, yaitu: pengenalan, timbulnya konflik,
konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan soal
Zaimar (1991:32) menjelaskan bahwa pengaluran adalah
pemilihan dan pengaturan peristiwa pembentuk cerita tersebut. Cerita
diawali dengan peristiwa dan diakhiri juga dengan peristiwa tanpa
terikat urutan waktu. Analisis struktur cerita bertujuan untuk
mendapatkan susunan teks. Satuan teks biasa disebut sekuen. Menurut
Todorov (1985:50), sekuen yaitu satuan motif (kalimat) atau satuan
cerita yang memberikan kesan atau suatu keutuhan sempurna.
Syarat satu sekuen diantaranya: satu titik perhatian (fokalisasi), satu
kurun waktu tertentu, dan ditandai hal-hal lain seperti lay out.
Jenis pengaluran terbagi atas:
(1) Ingatan atau flashback, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah
peristiwa yang dialami tokoh pada masa lalu. Ada dua jenis
ingatan, yaitu sorot balik dan kilas balik.
(a) Sorot balik yaitu peristiwa masa lalu yang ditampilkan
dalam rangkaian peristiwa.
(b) Kilas balik yaitu peristiwa masa lalu yang ditampilkan
hanya dalam satu peristiwa.
(2) Linear atau realitas fiktif, artinya peristiwa yang ditampilkan
adalah peristiwa yang dialami tokoh pada masa kini (dalam teks).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
(3) Bayangan, artinya peristiwa yang ditampilkan adalah peristiwa
yang belum terjadi. Peristiwa itu hanya ada dalam benak tokoh
cerita, termasuk di dalamnya adalah mimpi yang dialami tokoh
tersebut.
Dari beberapa pendapat mengenai alur, dapat disimpulkan bahwa
alur adalah urutan peristiwa dan konflik-konflik yang tersusun secara
logis. Sedangkan pengaluran adalah satuan urutan peristiwa dalam
sebuah cerita.
3) Latar
Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan
suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Sudjiman, 1990:48).
Menurut Wellek dan Warren (1989:290), latar didefinisikan sebagai
alam sekitar atau lingkungan, terutama lingkungan dalamnya dapat
dipandang sebagai pengekspresian watak secara metonimik dan
metaforik.
Latar yaitu ruang dan waktu terjadinya peristiwa, objek-objek,
kebiasaan, pola perilaku sosial dan budaya yang ada pada ruang dan
waktu terjadinya peristiwa itu (Faruk, 1998:32). Sementara itu
Nurgiyantoro (2007:227) mengklasifikasikan unsur latar ke dalam tiga
unsur pokok, diantaranya:
a) Latar tempat
Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan dapat berupa tempat-tempat dengan nama tertentu,
inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama jelas. Keberhasilan
latar tempat ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan
keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga
keseluruhannya bersifat saling mengisi.
b) Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
c) Latar sosial
Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Kehidupan masyarakat tersebut
berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.
Kenny (dalam Sudjiman, 1988:44) menyebutkan unsur latar
secara terperinci meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk
topografi, pemandangan, sampai kepada perincian perlengkapan
sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh;
waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya;
lingkungan agama, moral, intelektual, sosial dan emosional para
tokoh.
Hudgon (dalam Sugihastuti, 2002:54) membedakan latar menjadi
dua, yaitu:
1) Latar fisik atau material
Adapun yang termasuk latar fisik atau material adalah tempat,
waktu, dan alam fisik di sekitar tokoh cerita.
2) Latar sosial
Yang termasuk latar sosial adalah penggambaran keadaan
masyarakat atau kelompok sosial tertentu, kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku pada suatu tempat atau waktu tertentu, pandangan
hidup, dan adat istiadat yang melatari sebuah peristiwa.
Aminudin (2002:67) mengungkapkan bahwa ada dua aspek
fungsi setting dalam karya fiksi, diantaranya:1) Setting
berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat
suatu cerita menjadi logis. 2) Setting memiliki fungsi psikologis
yaitu nuansa makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-
suasana tertentu yang menggerakkan emosi aspek kejiwaan
pembacanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar
adalah penjelasan mengenai suasana, waktu, tempat, dan perilaku
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang ada dalam sebuah
cerita.
4) Tokoh dan Penokohan
Tidak ada cerita yang tidak memiliki tokoh, sekalipun tokoh
tersebut tidak berupa manusia. Tokoh cerita dapat berupa hewan dan
tumbuhan yang dipersonalisasikan. Contoh personalisasi tokoh hewan
dan tumbuhan biasanya muncul dalam sebuah fabel. Tokoh cerita
dapat didefinisikan sebagai subjek sekaligus objek peristiwa dan
pelaku yang berperan dalam sebuah cerita.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa definisi singkat tokoh
merujuk pada pelaku cerita, sedangkan definisi penokohan lebih
merujuk pada penggambaran tokoh-tokoh cerita yang mempunyai
watak-watak tertentu. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro,
2007:165) berpendapat bahwa tokoh cerita (character) orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan.
Menurut Nurgiyantoro (2007:176), tokoh-tokoh cerita dalam sebuah
karya fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu sebagai
berikut: a) Tokoh utama dan tokoh tambahan yaitu tokoh utama
(central character atau main character) yaitu tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh ini merupakan
yang paling banyak diceritakan dan senantiasa hadir dalam setiap
kejadian. Tokoh tambahan (peripheral character) yaitu tokoh yang
pemunculannya sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya
jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. b) Tokoh protagonis dan
tokoh antagonis.Tokoh protagonis yaitu tokoh yang digambarkan
sebagai hero-tokoh yang merupakan pengejewantahan norma-norma,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
nilai-nilai yang ideal yakni sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan
harapan pembaca. Tokoh antagonis yaitu tokoh yang menyebabkan
konflik, beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung
maupun tak langsung dan bersifat fisik ataupun batin. c) Tokoh
sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana (simple atau flat
character) yaitu tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu,
sifat dan tingkah lakunya bersifat datar dan monoton, hanya
mencerminkan satu watak tertentu, mudah dikenal dan dipahami, lebih
familiar, dan cenderung stereotip. Tokoh bulat (complex atau round
character) yaitu tokoh yang memiliki watak dan tingkah laku
bermacam-macam, perwatakannya sulit dideskripsikan secara tepat,
bahkan dapat bertentangan dan sulit diduga. d) Tokoh statis dan tokoh
berkembang. Tokoh statis atau biasa disebut tokoh tidak berkembang
(static character) yaitu tokoh yang memiliki sikap dan watak yang
relatif tetap, tidak berkembang dari awal hingga akhir cerita. Tokoh
ini juga kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya perubahan-
perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan
antarmanusia. Tokoh berkembang (developing character) yaitu tokoh
yang mengalami perubahan dan perkembangan watak, sejalan dengan
perkembangan peristiwa dan plot. Tokoh ini secara aktif berinteraksi
dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, dan lainnya,
yang kesemuanya akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah
lakunya. Sikap dan watak dari tokoh berkembang mengalami
perkembangan dan perubahan dari awal, tengah, dan akhir cerita.
e) Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal (typical character)
yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya
dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya.
Tokoh netral (neutral character) yaitu tokoh yang bereksistensi demi
cerita itu sendiri. Tokoh netral merupakan tokoh imajiner yang hanya
hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh ini dihadirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
semata-mata de mi cerita, atau bahkan dialah empunya cerita, pelaku
cerita, dan yang diceritakan.
Penokohan tokoh cerita secara tipikal pada hakikatnya dapat
dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, dan tafsiran
pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata. Tanggapan itu
mungkin bernada negatif seperti terlihat dalam karya yang bersifat
menyindir, mengkritik, bahkan mungkin mengecam, karikatural atau
setengah karikatural. Namun sebaliknya juga mungkin bernada positif
seperti yang terasa dalam nada memuji. Tanggapan juga dapat bersifat
netral, artinya pengarang melukiskan seperti apa adanya tanpa disertai
sikap subjektivitasnya sendiri yang cenderung memihak
(Nurgiyantoro, 2007:191).
Aminudin (2002:80) mengungkapkan bahwa ada sembilan cara
untuk memahami watak tokoh dalam cerita, diantaranya: tuturan
pengarang terhadap karakteristik pelakunya, gambaran yang
diberikan pengarang melalui gambaran lingkungan kehidupannya
maupun caranya berpakaian, menunjukkan bagaimana perilakunya,
melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri,
memahami bagaimana jalan pikirannya, melihat bagaimana tokoh lain
berbicara tentangnya, melihat bagaimana tokoh lain berbincang
dengannya, melihat bagaimana tokoh-tokoh lain memberikan reaksi
terhadapnya, melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh
lainnya.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh
adalah pelaku cerita yang dimunculkan dalam sebuah karya naratif.
Sedangkan penokohan adalah cara pengarang memberi gambaran yang
sejelas-jelasnya kepada pembaca mengenai tokoh dan perwatakannya
dalam sebuah cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
5) Penceritaan
Dalam menganalisis penceritaan, menurut Genete (dalam
Todorov, 1985:25) harus mempertimbangkan 2 kategori, yaitu kategori
modus dan kategori tutur. Kategori tutur disebut juga penceritaan.
Kehadiran pencerita terdiri atas 2 jenis, yaitu: a) Pencerita dalam
(intern). Pencerita dalam terlibat secara langsung sebagai tokoh cerita.
Ciri-cirinya adalah ditemukannya kosakata “aku” atau “saya” di dalam
cerita tersebut.b) Pencerita luar (ekstern). Pencerita luar sama sekali
tidak terlibat sebagai tokoh cerita. Ciri-cirinya adalah ditemukannya
kosakata “dia”, “ia” atau penunjuk kata ganti orang ketiga lainnya.
Tipe penceritaan terbagi atas tiga jenis, diantaranya: 1) Wicara yang
dialihkan: pencerita menyajikan pikiran-pikiran dan perasaan yang
dialami para tokoh, 2) Wicara yang dinarasikan: pencerita menyajikan
peristiwa dan tindakan yang dialami para tokoh. 3) Wicara yang
dilaporkan: Pencerita menyajikan dialog-dialog para tokoh cerita.
Sementara itu Todorov (dalam Nurgiyantoro, 2002:94)
berpendapat bahwa penceritaan merupakan peristiwa-peristiwa yang
membentuk dunia fiktif tidak dikemukakan sebagaimana aslinya, akan
tetapi menurut penuturan tertentu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
penceritaan adalah cara pengarang menyajikan peristiwa yang ada
dalam cerita, serta pikiran dan perasaan yang dialami oleh tokoh cerita.
c.. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik novel adalah unsur pembentuk cerita yang berasal
dari luar karya sastra, seperti karya sastra dengan lingkungan, pengarang,
pembaca, dan penerbitnya. Selain itu, unsur ekstrinsik juga lebih banyak
berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan.
Menurut Nurgiyantoro (2007:24), unsur ekstrinsik novel adalah
unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Sementara itu,
Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2007:24) menjelaskan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
unsur yang dimaksud antara lain adalah subjektivitas individu pengarang
yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya
itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.
Pendek kata, unsur sosiologi, biografi pengarang, keadaan
lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya dapat menentukan ciri karya
sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik yang lain
misalnya pandangan hidup suatu bangsa (Nurgiyantoro, 2007:24). Dapat
ditarik kesimpulan bahwa unsur ekstrinsik sangat berpengaruh besar
terhadap wujud dan roh cerita yang dihasilkan karena melibatkan sudut
pandang pengarang yang memiliki perbedaan lingkungan ekonomi,
sosial, dan budaya.
d. Pendekatan Sosiologi Pengarang
Dari beberapa macam pendekatan yang ada dalam mengkaji karya
sastra, pendekatan sosiologi sastra dan sosiologi pengarang dapat
dikatakan sebagai pendekatan yang tidak pernah sepi untuk digunakan.
Hal ini terjadi mengingat karya sastra selalu mencerminkan keadaan
sosial budaya masyarakatnya.
Ratna (2004:60) menyebutkan bahwa dasar pendekatan sosiologis
adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra
dihasilkan oleh pengarang; b) pengarang adalah anggota masyarakat; c)
pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat; d) hasil
karya sastra dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Pengarang adalah anggota masyarakat, memperoleh pengetahuan
melalui masyarakat, dan yang terpenting pengarang menyajikan sudut
pandang sesuai dengan masyarakat yang mengkondisikannya. Secara
faktual, pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menetukan.
Tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Tanpa pengarang
fakta-fakta sosial hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan.
Melalui daya imajinasinya, pengarang berhasil melihat fakta-fakta secara
multidimensional, gejala di balik gejala. Kemampuannya dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
menghasilkan karya sastra disebabkan oleh perbedaan kualitas, yaitu
kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan
perbedaan jenis (Ratna, 2004:302-303).
Pandangan dalam masyarakat lama maupun masyarakat modern,
pengarang termasuk sebagai kelompok elite, sebagai kelas menengah
atas. Dalam masyarakat lama, pengarang dianggap memiliki kemampuan
tersendiri dalam mengakumulasikan gejala-gejala sosial. Sedangkan
dalam masyarakat modern, pengarang memperoleh posisi terhormat
tanpa harus memperoleh gelar akademis. (Ratna, 2004:333)
Pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah para
pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan
antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional.
Pendek kata, pengarang merupakan indikator penting dalam
menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus
perkembangan tradisi sastra (Ratna, 2004:334).
Penonjolan paling besar pada pengarang diberikan dalam zaman
Romantik. Selain itu, bangsa Yunani Kuno menganggap bahwa
pengarang mendapat ilham dari dewa (Luxemburg 1991:7). Sejarah
sastra abad ke-19 sudah mulai memperhatikan bagaimana karya sastra
lahir dan dapat dijelaskan sedetil-detilnya dengan meneliti riwayat
kejadian, peristiwa yang dialami oleh pengarang dan lingkungan
geografis serta historis tempat pengarang dibesarkan.
Menurut Luxemburg (1991:8), paling banyak karya sastra
merupakan teks yang di dalamnya terjalin fakta biografis. Setiap
pengarang akan mengatur kesan dari kehidupan dan pengalamannya
sendiri, mengubahnya dan memanfaatkannya untuk menyusun teks.
Untuk memahami suatu teks seutuhnya, kita tidak cuma harus
membaca teksnya, tapi juga memahami penulisnya. Selain penulisnya,
juga kondisi jaman serta lingkungan dimana ia hidup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
e. Perspektif Pengarang
Kualitas responsif dan representatif, entitas dan integritas karya
sastra di tengah-tengah masyarakat, mengandaikan bahwa karya sastra
secara keseluruhan mengambil bahan di dalam dan melalui kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, karya sastra, seperti juga karya-karya
dalam ilmu kemanusiaan yang lain, mengesahkan dan mengevaluasikan
bahan-bahan yang sama, tetapi dengan cara pandang dan cara
pemahaman yang berbeda. Dengan memanfaatkan kualitas manipulatif
medium bahasa, karya sastra bahkan dapat menunjukkan maksud yang
sama dengan cara yang sama sekali bertentangan (Ratna, 2003:35).
Menurut Hellwig (2007:62), tidak hanya pengarang novel yang
menciptakan bayangan tentang masyarakat, para ahli sejarah, antropologi
dan sosiologi juga demikian. Setiap pengarang, ilmuwan ataupun tidak,
dikekang oleh prasangka-prasangkanya masing-masing dan
membubuhkan nilai-nilai serta ideologi-ideologinya pada materi yang
disajikannya.
Masih menurut Hellwig (2007:62), dalam karya fiksi diciptakan
dunia khayalan dengan pelaku-pelaku serta kejadian yang dikarang.
Sekalipun kejadian-kejadian itu tidak pernah benar-benar terjadi, dan
watak atau tokoh-tokohnya bukan tokoh sejarah, namun mereka
mewakili nilai-nilai, norma-norma, dan ideologi-ideologi suatu kurun
waktu tertentu.
Dalam sebuah tulisannya mengenai novel-novel Charles Dickens,
salah satunya Oliver Twist, Raymond Williams (1973) merinci
keterkaitan antara novel dengan gagasan sosial. Menurutnya, ada tujuh
macam cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukkan gagasan
sosialnya ke dalam novel, yaitu mempropagandakannya, menambahkan
gagasan ke dalamnya, memperbantahkan gagasan, menyodorkan gagasan
sebagai konvensi, dan memunculkan gagasan sebagai tokoh, melarutkan
gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi maupun menampilkannya sebagai
super struktur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Dapat disimpulkan bahwa perspektif pengarang dalam karya sastra,
dalam hal ini novel, selalu dihubungkan dengan pemasukan ideologi-
ideologi, nilai-nilai atau norma-norma yang dianut oleh pengarang yang
bersangkutan.
2. Sosiologi Sastra
Istilah ”sosiologi sastra” dikenalkan pada tulisan-tulisan kritikus
dan ahli sejarah sastra yang perhatian utamanya ditujukan dengan cara-cara
seorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat,
keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan
jenis pembaca yang dituju (Abrams, 1981:178). Sosiologi sastra
memperlakukan karya sastra sebagai karya yang ditentukan (dipersiapkan)
secara tidak terhindarkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan-
kekuatan pada zamannya, yaitu dalam pokok masalahnya, penilaian-
penilaian kehidupan yang implisit dan eksplisit yang diberikan, bahkan juga
dalam bentuknya.
Sosiologi sastra didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta
kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem
produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui
antarahubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat.
Meskipun demikian sistem produksi karya sastra tidak didasarkan atas
komunikasi linier antara pengarang, penerbit, patron, dan masyarakat
pembaca pada umumnya, melainkan juga tradisi dan konvensi literer.
Sosiologi sastra memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-
fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.
Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan
masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya.
Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam
pengertian yang negatif. Artinya, antarhubungan yang terjadi tidak
merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antarhubungan akan menghasilkan
proses regulasi dalam sistemnya masing-masing.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra
memiliki paradigma dengan asumsi berbeda daripada yang telah digariskan
oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian
sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi
dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan
resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut
(Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi
sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani
objek sasarannya.
Sementara itu, Pospelov (1967:354) berpendapat sebagai berikut:
What is the relationship between literature and sociology? Literature is
an art that develops in human society throughout the ages quite
independently of sociology, whereas sociology ias a science whose
purpose is to discover the objective laws of social life in all its
manifestations including creative art.
Dalam pendapat lain, Rushing (2004) juga berpendapat bahwa :
Sociology of literature a brach of literary study that examines the
relationship between literary work and their social, modes of
publicational dramatic presentation, and the social class position of
authors and readers
Metode sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra
merupakan refleksi/cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu
ditulis. Sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri
dari lingkungan sosial budaya, politik, keamanan, ekonomi dan alam yang
melingkupinya. Selain merupakan suatu eksperimen moral yang dituangkan
oleh pengarang melalui bahasa, sastra dalam kenyataannya menampilkan
gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial
(Damono, 1978:1). Seperti halnya karya seni yang lain, karya sastra adalah
refleksi pengalaman hidup dan kehidupan manusia, baik secara nyata
ataupun hanya rekaan semata, yang dipenggal-penggal dan kemudian
dirangkai kembali dengan imajinasi, persepsi dan keahlian pengarang serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
disajikan melalui sebuah media (bahasa). Bagaimanapun peristiwa yang
terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah
pantulan hubungan seseorang dengan Tuhan, alam semesta, masyarakat,
manusia lainnya, dengan dirinya sendiri. Hubungan hakiki itulah yang
kemudian melahirkan berbagai masalah yang dihadapi manusia, misalnya :
maut, tragedi, cinta, loyalitas, harapan , makna dan tujuan hidup.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1956)
membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu: a) sosiologi
pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi
politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang; b) sosiologi karya
sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi
pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan
apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya; c) sosiologi sastra:
yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap
masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat
oleh Ian Watt (Damono, 1978) dengan melihat hubungan timbal balik antara
sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian
Watt akan mencakup tiga hal, yakni: a) konteks sosial pengarang, yakni yang
menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi
diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya
sastranya; b) sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai
sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat;
c)Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan
masyarakat bagi pembaca.
Umar Junus (1985) mengemukakan bahwa yang menjadi
pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut: a) karya
sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya; b) penelitian mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
penghasilan dan pemasaran karya sastra; c) penelitian tentang penerimaan
masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa
sebabnya; d) pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra,
misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan
pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas;
e)pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan f) pendekatan
Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.
Dari beberapa pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa
metode sosiologi sastra mempunyai prinsip dasar bahwa karya sastra
merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra(kesusastraan) itu
ditulis, atau dengan kata lain karya sastra dalam taraf tertentu merupakan
ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat.
3. Resepsi Sastra
Resepsi sastra, pada dasarnya sudah di mulai oleh Mukarovsky dan
Vodicka, dengan konsep karya seni sebagai objek estetik, bukan artefak.
Dengan adanya peranan dan aktifitas pembacalah, yang disertai dengan
peranan masa lampaunya terjadi pertemuan antara objek dengan subjek, yang
dengan sendirinya menimbulkan kualitas estetis. Teeuw (dalam Ratna,2004:
201) menganggap studi resepsi sastra seperti ini sangat tepat untuk sastra
Indonesia sebab Indonesia memiliki khazanah sastra, khususnya sastra lama
yang sangat beragam.
Resepsi sastra berasal dari kata latin “recipare” yang berarti
menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Jika pembaca merasa
nikmat dalam memahami karya sastra berarti karya sastra tersebut dipandang
sukses. Resepsi sastra adalah pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat
pada teks. Karena teks bukan satu-satunya objek penelitian, pendekatan ini
tidak murni meneliti sastra. Resepsi sastra justru meneliti teks sastra dalam
kaitannya tertentu. Teks sastra di teliti dalam kaitannya dengan pengaruh
yakni keberterimaan pembaca (Ratna, 2004: 169), karena itu. Dasar
pemikirannya adalah teks sastra ditulis dengan segala struktur estetik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
ada untuk disajikan kepada pembaca, maka dalam hal ini seorang pembaca
mempunyai peranan penting dalam memahami makna teks sastra tersebut
(Endraswara, 2003: 118)
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra
dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau
tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya
dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial (Sastriyani
2001:253).
Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara
pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon
terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan
seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam
periode tertentu (Ratna dalam Walidin 2007).
Sementara itu, Jurt (2005:1) menyatakan bahwa reception theory,
despite its influence, has been criticised for its lack of attention to the social
contexts of reception. It has also mainly been applied within one national
context.
Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu
keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap
karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi
termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat erat hubungannya
dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca
sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan
makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai
karena ada pembaca yang memberikan nilai.
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra
dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut
bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk
mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman
kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah
sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya
dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh
karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks
karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang
bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau
zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang
berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca
akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya
dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan
pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada
organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan
yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya (Jauss 1983:21).
Metode resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu
tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya (Pradopo
2007:209). Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda
akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan
mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya
dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan
pembacanya.
Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis.
Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks
sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang
berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan
penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan
tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.
Menurut Ratna (2009:167-168), resepsi sinkronis merupakan
penelitian resepsi sastra yang berhubungan dengan pembaca sezaman.
Dalam hal ini, sekelompok pembaca dalam satu kurun waktu yang sama,
memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra secara psikologis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
maupun sosiologis. Resepsi diakronis merupakan bentuk penelitian resepsi
yang melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian resepsi diakronis ini
membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan dan memadai.
Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya terdapat norma-norma
yang sama dalam memahami karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan
horizon harapan pada setiap pembaca, maka pembaca akan menanggapi
sebuah karya sastra dengan cara yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan
karena latar belakang pendidikan, pengalaman, bahkan ideologi dari
pembaca itu sendiri. (Pradopo 2007:211).
Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan tanggapan-tanggapan
pembaca yang berada dalam satu kurun waktu. Penelitian ini dapat
menggunakan tanggapan pembaca yang berupa artikel, penelitian, ataupun
dengan mengedarkan angket-angket penelitian pada pembaca.
Resepsi diakronis umumnya menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari
pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis ini mempunyai
kelebihan dalam menunjukkan nilai senia sebuah karya sastra, sepanjang
waktu yang telah dialuinya (Pradopo 2009:211).
Menurut Endraswara (2008:126) proses kerja penelitian resepsi
sastra secara sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal
menempuh dua langkah sebagai berikut: a) setiap pembaca perorangan
maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan sebuah karya sastra.
Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Jawaban
yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk
pertanyaan yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara
tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan
metode wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif; b) Setelah
memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut
diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil
interpretasi pembaca ini dianalisis menggunakan metode kualitatif.
Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah
resepsi, digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Hasil kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti (Endraswara
2008:127).
Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119), penelitian resepsi
secara sinkronis dan diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian
resepsi menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian resepsi sastra,
Abdullah membagi tiga pendekatan, yaitu (1) penelitian resepsi sastra secara
eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat kritik sastra, dan (3) penelitian
resepsi intertekstualitas. Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat
dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada
penelitian melalui kritik sastra saja.
Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke dalam peneitian
sinkronis, karena dalam penelitian eksperimental ini mengunakan subjek
penelitian yang berada dalam satu kurun waktu. Sedangkan penelitian
dengan pendekatan yang ketiga, yaitu melalui intertekstualitas, dapat
dimasukkan ke dalam penelitian diakronis. Karena dapat diteliti hasil
konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada setiap periodenya.
Tetapi penelitian ini dapat digunakan pada teks sastra yang memiliki
hubungan intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan penelitian.
Abrams (dalam Pradopo, 2005) membagi kritik sastra kedalam
empat tipe yaitu kritik mimetik, kritik ekspresif, kritik objektif, dan kritik
pragmatik. Kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan,
pencerminan atau penggambaran dunia kehidupan manusia. Kritik ekspresif
memandang karya sastra terutama dalam hubunganya dengan penulis
sendiri. Kritik objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri, bebas dari penyair, pembaca, dan dunia yang mengelilinginya.
Kritik pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun
untuk mencapai efek-efek tertentu pada pembaca. Kritik pragmatik disebut
juga dengan resepsi sastra.
Resepsi sastra dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra
dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi teks reaksi atau
tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu dapat bersifat pasif atau aktif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Tanggapan yang bersifat pasif adalah bagaimana seorang pembaca dapat
memaknai karya itu atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di
dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif yaitu bagaimana pembaca
mereaksinya (Junus, 1985: 1).
Tanggapan pembaca terhadap karya sastra yang dibacanya sangat
dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuannya (Ratna, 2004: 170).
Pembaca mengharapkan sesuatu terhadap karya sastra. Harapan pembaca
tersebut, disebut dengan cakrawala harapan. Cakrawala harapan pertama
kali diperkenalkan oleh Jauss. Jauss (dalam Pradopo, 1995: 207) berawal
dari penelitiannya tentang sejarah sastra yang tidak lagi memaparkan nama
pengarang dan jenis sastra melainkan bagaimana suatu karya sastra dapat
diterima oleh pembacanya. Di mulai dari karya sastra itu terbit pertama
kali sampai masa berikutnya. Dari suatu masa ke masa lain tersebut
terdapat jarak yang akan dijembatani oleh cakrawala harapan dari pembaca
terhadap karya sastra dalam arti pembaca sudah mempunyai konsep atau
pengertian dan pemahaman tentang suatu karya sastra sebelum ia
membaca karya sastra tersebut pemahaman antara pembaca satu dengan
yang lain tentang karya sastra pasti berbeda, hal itulah yang menimbulkan
cakrawala harapan pembaca yang ditentukan oleh tiga kriteria yaitu:
a) pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap karya sastra
sebelumnya; b) norma-norma dalam karya sastra yang telah dibaca
pembaca; dan c) perbedaan fiksi dan kenyataan.
Resepsi sastra berpandangan bahwa sastra dipelajari dalam
kaitannya dengan reaksi pembaca. Menurut Jabrohim (2001: 119-120)
dalam meneliti karya sastra berdasarkan resepsi dapat dilakukan dengan
tiga cara yang akan dipaparkan sebagai berikut: a) intertektualitas yaitu
penelitian resepsi intertektualitas dapat dilakukan melalui suatu karya
sastra tertentu. Penelitian ini meneliti tanggapan pembaca karya sastra
tertentu yang mempunyai hubungan dengan karya sastra yang diteliti,
misalnya: Novel layar terkembang mempunyai hubungan dengan dengan
novel Belenggu, maka untuk meneliti novel Belenggu dapat meneliti novel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Layar Terkembang; b) Eksperimental yaitu penelitian resepsi sastra
diperkenalkan terhadap karya sastra pada satu periode yaitu masa kini.
Penelitian ini dapat dilakukan dengan cara menyebarkan angket atau
kuesioner dengan meminjam metodologi penelitian sosial; c) kritik sastra
yaitu penelitan resepsi sastra dalam metode kritik sastra dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu secara metode sinkronik dan diakronik, metode
sinkronik dilakukan dalam satu kurun waktu atau periode tertentu. Kritik
atau tanggapan pembaca dapat diambil dari penerbitan periode yang
diteliti. Metode diakronik dilakukan melalui kritik pembaca dari satu
periode ke periode berikutnya. Penelitian ini dapat dilakukan dengan cara
menyimpulkan tanggapan pembaca ahli sehingga wakil pembaca dari
setiap periode dapat diwakili.
Berdasar dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
resepsi sastra adalah satu metode kritik sastra yang menitik beratkan pada
pendapat atau tanggapan pembaca dalam menilai karya sastra.
4. Sosiologi Pengarang Pramudya Ananta Toer
Pramoedya dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925
sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya
ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di
Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta
selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di
Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia
menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda
di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda
sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi
anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya
berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya
Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap
korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
a. Hoakiau di Indonesia
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap
Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat
dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat
menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah
Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan
kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada
keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara
terkenal mengusulkan bahwa mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada
1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-
Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan
tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya
di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1
tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya
merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses
pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di
Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau
Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun
tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul
Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh
utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada
pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada
para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri
untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam
bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan
mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak
terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga
1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang
lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya
berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang
ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan
Arus Balik (1995).
b. Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995,
diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke
yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang
dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak,
menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa
demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut
pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai
pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut
'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya,
banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan
pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu
kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam
mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di
tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan
hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam
pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain
sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan
petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka
menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta
maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
kreativitas' pada jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis,
memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan
pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa'
yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai
aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut
membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya
dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak
cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya
boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah
mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa
kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
c. Multikulturalis
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang
mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan
Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam
gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita
penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke
Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri
tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat
perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru
selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya;
antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan
Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia
menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan
kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme,
Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah
dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan
Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia
menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan
memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya
telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok.
Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di
rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit.
Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan
jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki
diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya.
Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya.
Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan
sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada
sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
5. Nilai Pendidikan Karya Sastra
Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memiliki nilai,
termasuk di dalamnya nilai edukatif atau pendidikan. Nilai yang
terkandung di dalam karya sastra dapat dijadikan pedoman bagi
penikmatnya, terutama bagi anak-anak atau generasi muda. Ada beberapa
nilai yang harus dimiliki sebuah karya sastra yang baik, yaitu: nilai
estetika, nilai moral, nilai konsepsional, nilai sosial budaya, dan nilai-nilai
lainnya. Sebuah karya sastra yang baik pada dasarnya mengandung nilai-
nilai yang perlu ditanamkan pada anak atau generasi muda.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ahmadi dan Uhbiyati (1991:
69) bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya. Sutrisno (1997: 63) juga menyatakan bahwa nilai-nilai dari
sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
siapa manusia, keberadaannya di dunia dan didalam masyarakat; apa itu
kebudayaannya dan proses pendidikannya; semua ini dipigurakan dalam
refleksi konkret fenomenal- berdasar fenomena eksistensi manusia- dan
direfleksi sebagai rentangan perjalanan bereksistensi.
Nilai edukatif disebut juga nilai pendidikan. Nilai pendidikan dapat
diperoleh pembaca setelah membaca karya sastra. Dengan membaca,
memahami, dan merenungkannya pembaca akan memperoleh pengetahuan
dan pendidikan.
Semi (1993: 20) mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya
sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagaian
masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting
bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan
menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah.
Nilai pendidikan dalam karya sastra tidak akan terlepas dari karya
sastra itu sendiri. Karya sastra dapat memberikan pengalaman yang tidak
diberikan media lain (Suyitno, 2000:3). Bertolak dari pendapat Suyitno
tersebut, nilai pendidikan dalam karya sastra tidak selalu berupa nasihat
atau petuah bagi pembaca, namun juga dapat berupa kritikan pedas bagi
seseorang, kelompok atau sebuah struktur sosial yang sesuai dengan
harapan pengarang dalam kehidupan nyata.
Semi (1993: 20) mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya
sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagaian
masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting
bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan
menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah.
Sugono (2003: 111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat
dalam karya sastra adalah sebagai berikut: a) nilai hedonik, yaitu nilai yang
dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca; b) nilai
artistik, yaitu nilai yang dapat dimanifestasikan sebagai suatu seni atau
ketrampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; c) nilai kultural, yaitu nilai
yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
suatu masyarakat, peradaban, dan keagamaan; d) nilai etis, moral, dan
agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau
ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama; dan e) nilai praktis,
yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Sastrowardoyo (dalam Tuloli, 1999: 232) menjelaskan bahwa
sebenarnya dalam masyarakat modern kesusastraan dapat berkembang
dengan subur dan nilai-nilainya dapat dirasakan manfaatnya oleh umum.
Kesusastraan sendiri mengandung potensi-potensi ke arah keluasan
kemanusiaan dan semangat hidup serta mengandung ekspresi total pribadi
manusia yang meliputi tingkat pengalaman biologi, sosial, intelektual, dan
religius. Nilai-nilai seperti itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern
karena merupakan hasil observasi yang teliti dari pengarang yang
dituangkan dalam karya sastra.
Tillman (2004: xx-xxi) mengemukakan bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam sastra, yaitu: a) kedamaian, merupakan suatu keadaan
yang ditandai tidak adanya kekerasan, adanya penerimaan, komunikasi
keadilan, komunikasi, ketenangan, dan sebagainya; b) penghargaan,
yaitu mengenal kualitas individu, karena setiap individu adalah
berharga; c) cinta, maksudnya dalam pribadi yang baik selalu ada
cinta yang tulus, memberikan kebaikan, pemeliharaan dan pengertian,
melenyapkan kecemburuan, dan menjaga tingkah laku; d) toleransi,
yakni sifat terbuka dan reseptif pada indahnya perbedaan atau saling
menghargai melalui saling pengertian; e) kejujuran yang berarti
menyatakan bahwa kebenaran tidak ada kontradiksi dalam pikiran, kata
atau tindakan serta tidak ada kemunafikan; f) kerendahan hati, artinya
mengizinkan diri untuk tumbuh dalam kemuliaan dan integritas;
g) kerja sama yang disebabkan karena ada prinsip saling menghargai,
keberanian, pertimbangan pemeliharaan, membagi keuntungan, dan
adanya penerimaan; h) Kebahagiaan sebagai akibat adanya kepuasan;
i) tanggung jawab, yaitu melakukan kewajiban dengan sepenuh hati;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
j) kesederhanaan, maksudnya kemampuan mempertimbangkan hal-hal
yang tidak perlu; k) kebebasan yang berarti adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban dan pilihan seimbang dengan
konsekuensinya; dan l) Persatuan yang merupakan keharmonisan
antara individu dalam suatu kelompok serta dibangun dari saling
berbagi pandangan, harapan, dan tujuan mulia atau demi kebaikan
bersama.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa karya sastra
mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi
pendidikan batin pembacanya atau penikmatnya. Peneliti menyimpulkan
bahwa secara umum nilai-nilai didik yang terdapat dalam karya sastra
yaitu: a) nilai religius (agama); b) nilai moral (etika); c) nilai estetis; d)
nilai kepahlawanan; dan e) nilai sosial.
a. Nilai Religius (Agama)
Agama dapat bertindak sebagai pemacu faktor kreatif,
kedinamisan hidup, dan perangsang atau pemberi makna kehidupan.
Melalui agama manusia pun dapat mempertahankan keutuhan
masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap
sekaligus menuntun untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Sebuah karya sastra yang mengangkat masalah kemanusiaan yang
berdasarkan kebenaran akan menggugah hati nurani dan memberikan
kemungkinan pertimbangan baru pada diri penikmatnya. Hal itu
tentu ada kaitannya dengan tiga wilayah fundamental yang menjadi
sumber penciptaan karya sastra, yaitu: kehidupan agama, sosial, dan
individual. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat
berfungsi sebagai peneguh batin pembaca dalam menjalankan
keyakinan agamanya ( Sugono, 2003: 115).
b. Nilai Estetis
Horatius (penyair Romawi kuno) menyatakan manfaat karya
sastra dengan ungkapan yang padat, yaitu 'dulce et utile'
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
menyenangkan dan bermanfaat. Menyenangkan dapat dikaitkan
dengan aspek hiburan yang ditawarkannya, sedangkan bermanfaat
dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang diberikan sastra
(Sugono, 2003: 61). Keestetikan dalam karya sastra dapat ditengarai
sebagai berikut : 1) karya itu mampu menghidupkan atau
memperbarui pengetahuan pembaca, menuntunnya melihat berbagai
kenyataan kehidupan, dan memberikan orientasi baru terhadap hal
yang dimiliki; 2) karya itu mampu membangkitkan aspirasi
pembaca untuk berpikir, berbuat lebih banyak, dan berkarya lebih
baik bagi penyempurnaan kehidupan; dan 3) karya itu mampu
memperlihatkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, dan
politik masa lalu yang berkaitan dengan peristiwa masa kini dan
masa depan.
c. Nilai Moral (Etika)
Nilai moral yang dimaksud dalam konteks ini menyangkut
baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan
kewajiban. Moral juga dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan
yang dapat ditarik dari suatu rangkaian cerita. Pernyataan ini sejalan
dengan pendapat Dendy Sugono (2003: 182) yang menjelaskan
bahwa karya sastra dikatakan memunyai nilai moral apabila karya
sastra itu menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai
kehidupan yang berlaku.
d. Nilai Kepahlawanan (Heroik)
Para pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan
kepunyaannya demi membela kebenaran. dan berusaha mewujudkan
keyakinan tersebut. Kepahlawanan yang dimaksud adalah sifat atau
karakter tokoh-tokoh yang diceritakan dalam lagu, berjuang
mewujudkan cita-citanya. Dengan demikian tokoh yang menjadi
pahlawanan dalam konteks pembahasan ini adalah perjuangan tokoh
yang diceritakan dalam lagu membela keyakinannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
e. Nilai Sosial
Nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti
kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai
sosial yang dimaksud adalah kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Kepedulian tersebut dapat berupa perhatian maupun berupa kritik.
Kritik tersebut sendiri dilatarbelakangi dorongan untuk memprotes
ketidakadilan yang dilihat, didengar, maupun dialaminya.
Dendy Sugono (2003: 111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang
terdapat dalam karya sastra adalah sebagai berikut: 1) nilai hedonik, yaitu
nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;
2) nilai artistik, yaitu nilai yang dapat dimanifestasikan sebagai suatu seni
atau ketrampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; 3) nilai kultural, yaitu
nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam
dengan suatu masyarakat, peradaban, dan keagamaan; 4) nilai etis, moral,
dan agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah
atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama; dan 5) nilai
praktis, yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Sastrowardoyo (dalam Tuloli, 1999: 232) menjelaskan bahwa
sebenarnya dalam masyarakat modern kesusastraan dapat berkembang
dengan subur dan nilai-nilainya dapat dirasakan manfaatnya oleh umum.
Kesusastraan sendiri mengandung potensi-potensi ke arah keluasan
kemanusiaan dan semangat hidup serta mengandung ekspresi total
pribadi manusia yang meliputi tingkat pengalaman biologi, sosial,
intelektual, dan religius. Nilai-nilai seperti itu sangat dibutuhkan oleh
masyarakat modern karena merupakan hasil observasi yang teliti dari
pengarang yang dituangkan dalam karya sastra.
Waluyo (1990: 27) mengemukakan bahwa nilai sastra berarti
kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar
seseorang), nilai cultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Setiap karya
sastra yang baik selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat
bagi pembacanya.
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun secara fungsional
mempunyai ciri yang mampu membedakan antara satu dengan yang lain.
Suatu nilai jika dihayati seseorang, maka akan sangat berpengaruh
terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindakdemi
mencapai tujuan hidupnya.
Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan
keadilan, sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya yaitu
berupa ajaran agama, logika, dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Sementara itu, menurut Suyitno nilai merupakan sesuatu
yang kita alami sebagai ajakan dari panggilan untuk dihadapi.
Nilai-nilai berarti tidak melanggar norma-norma, menjunjung budi
pekerti, sedangkan pelanggaran terhadap nilai-nilai merupakan
pelanggaran norma atau susila. Nilai-nilai ditunjukkan oleh perilaku baik
yang sesuai dengan norma-norma atau aturan yang ada dan pelanggaran
nilai-nilai berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik serta melanggar
norma atau aturan yang ada. Nilai atau nilai-nilai merupakan suatu
konsep, yaitu pembentukan mentalita yang dirumuskan dari tingkah laku
manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan yang hakiki, baik dan
perlu dihargai sebagaimana mestinya. Nilai-nilai menyediakan prinsip
umum dan yang menjadi acuan serta tolok ukur standar dalam membuat
keputusan, pilihan tindakan, dan tujuan tertentu bagi para anggota suatu
masyarakat. Lebih lanjut Grana menjelaskan bahwa nilai merupakan
gabungan semua unsur kebudayaan yang dianggap baik buruk dalam
suatu masyarakat, karena itu pula masyarakat mendorong dan
mengharuskan warga untuk menghayati serta mengamalkan nilai yang
dianggap ideal itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Dari teori di atas tersirat pengertian bahwa pendidikan merupakan
usaha untuk membentuk nilai hidup, sikap hidup, kepribadian, dan
intelektualitas seseorang. Karya sastra dapat berperan sebagai media
pendidikan masyarakat. Selain itu, sastra dapat berfungsi sebagai alat
untuk memberikan dorongan, semangat, memulihkan kepercayaan diri,
dan melepaskan ketegangan batin.
B. Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Herlina S (2013) melakukan penelitian kajian sosiologi sastra, resepsi
sastra dan nilai pendidikan terhadap novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma
Nadia. Penelitian tersebut bertujuan mendeskripsikan (1) latar belakang sosial
budaya masyarakat pinggiran novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma
Nadia, (2) pengaruh latar belakang sosial pengarang terhadap proses
penciptaan novel Rumah tanpa Jendela Karya Asma Nadia, (3) resepsi
pembaca novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia, (4) nilai pendidikan
yang terkandung dalam novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia.
Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra dan resepsi sastra. Kegiatan yang dilakukan
selama penelitian adalah membaca, mencermati, menafsirkan isi novel
Rumah Tanpa Jendela. Hasil dari kegiatan tersebut dideskripsikan dalam
bentuk kalimat-kalimat. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Herlina S
adalah: (1) latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel Rumah
Tanpa Jendela tampak kebiasaan-kebiasaan, ajaran-ajaran tertentu, dan sifat
kemandirian. (2) hal yang yang mempengaruhi latar belakang sosial
pengarang terhadap proses penciptaan novel Rumah Tanpa Jendela Karya
Asma Nadia adalah keadaan ekonomi keluarga pengarang, dan keyakinan
yang kuat terhadap agama yang dianutnya. (3) tanggapan pembaca terhadap
novel Rumah Tanpa Jendela karya Asma Nadia dinilai positif, sebab novel ini
dapat mampu membawa pengaruh positif dalam diri pembacanya.. (4) nilai
pendidikan yang terkandung di dalam novel Rumah Tanpa Jendela karya
Asma Nadia yaitu nilai pendidikan agama, mengajarkan kepada pembacanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
agar selalu meminta pertolongan hanya kepada Allah melalui shalat dan
berdoa. Nilai pendidikan sosial, mengajarkan kepada pembacanya agar
mengutamakan gotong royong dan kepedulian terhadap sesama. Nilai
pendidikan adat istiadat mengajarkan kepada pembacanya, khususnya orang
tua akar tidak memaksakan kehendaknya. Nilai pendidikan moral
mengajarkan kepada pembacanya agar tidak mengutamakan kepentingan
pribadi dan segala perbuatan kita jangan sampai merugikan orang lain.
Almiza Dona meneliti “Novel Madogiwa No Totto Chan Karya Tetsuko
Kuroyana di Kalangan Pendidik, Tinjauan Resepsi Sastra.” Dalam
penelitiannya, Almiza menggunakan pendekatan kuantitatif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, kuesionaer
dan kepustakaan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa responden menilai
novel tersebut sangat bagus dan mendidik. Novel tersebut juga berpengaruh
terhadap diri mereka dimana responden menjadi lebih terbuka dan lebih
memahami murid serta memperlakukan muridnya dengan lebih baik.
Beberapa responden mencoba menerapkan cara yang dilakukan oleh tokoh
utama dalam novel dan ternyata hasilnya lebih baik.
Pada tahun 2011, Yelmi Andriani juga melakukan penelitian terhadap
novel Negeri Perempuan karya Wisran Hadi dengan menggunakan tinjauan
sosiologi sastra khususnya sosiologi karya. Penelitian ini dilatarbelakangi
oleh adanya perubahan sosial yang terdapat dalam novel Negeri Perempuan.
Perubahan sosial yang digambarkan dalam novel ini berkaitan erat dengan
persoalan adat dan budaya Minangkabau yang mengalami perubahan karena
perubahan zaman dan masuknya budaya asing. Tujuan penelitian tersebut
adalah untuk mengungkapkan bentuk-bentuk perubahan dan faktor-faktor
penyebab perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terjadi dalam
karya sastra dengan menjabarkan teks-teks yang terdapat dalam novel. Di
samping menghadirkan sebuah tulisan ilmiah yang menghubungkan antara
karya sastra dengan pembacanya. Bardasarkan analsis ditemukan bentuk-
bentuk perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam novel
Negeri Perempuan meliputi: (1) perubahan pola prilaku, (2) perubahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
tentang gelar penghulu, (3) perubahan terhadap konsep Rumah Gadang.
Faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi dalam novel Negeri
Perempuan adalah: (1) dijadikannya Nagariko sebagai objek pariwisata, (2)
lemahnya tingkat ekonomi, rendahnya pendidikan dan dasar agama yang
goyah, (3) pengaruh kebudayaan lain, (4) tidak dilaksanakannya fungsi sosial,
(5) status sosial seseorang.
Efita Sari pada tahun 2012 melakukan penelitian Analisis Sosiologis
Pada Novel al-Karnak Karya Najib Mahfudh dan Implikasinya Tehadap
Pembelajaran Telaah Prosa. Novel al-Karnak bercerita tentang masyarakat
Mesir pasca revolusi 1952. Untuk mengungkapkan keterkaitan novel al-
Karnak dengan fakta yang terjadi pada masyarakat Mesir adalah dengan
menggunakan teori sosiologi sastra. Pengkajian sosiologi sastra pada novel
al-Karnak berdasarkan pada analisis terhadap sosiologi pengarang yaitu Najib
Mahfudz, dan penggambaran masyarakat Mesir pada tahun 1952 pada novel
al-Karnak. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi
sosiologis pada novel Najib Mahfudz yang ber judul Al-Karnak. Sedangkan
tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sosiologi
pengarang dan gambaran kondisi masyarakat Mesir pada novel Al-Karnak.
Hasil penelitian ini adalah (1) dalam novel al-Karnak karya Najib mahfudz
terdapat fakta sosial kehidupan Najib Mahfudz yang merupakan bagian dari
posisi sosial dan profesionalisme Najib Mahfudz dalam masyarakat Mesir
yaitu mencakup tokoh aku sebagai subjek kolektif, integrasi sosial dan
ideologi Najib Mahfudz yang mencakup Najib Mahfudz dan perdamaian
Palestina Israel, serta Najib Mahfudz dan revolusi 1952. (2) Penggambaran
masyarakat Mesir pada novel al-Karnak merupakan refleksi realitas sejarah
yang pernah ada dalam masyarakat Mesir pasca revolusi 1952, di antaranya
adalah kesesuaian revolusi Mesir 1952 dengan pembuatan novel al-Karnak,
masyarakat yang menjujung tinggi revolusi Mesir 1952, masyarakat yang
kecewa dengan kekalahan dunia Arab melawan Israel, serta adanya
pemberangusan kelompok Ikhwanul Muslimin oleh pemerintah. (3) Analisis
sosiologis pada al-Karnak karya Najib mahfudz dapat dikaitkan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
disarankan untuk menjadi contoh kajian sosiologis dalam pembelajaran
Telaah Prosa sesuai kajian yang telah dilakukan peneliti.
C. Kerangka Berpikir
Novel Arok Dedes merupakan hasil imajinasi pengarang yang
diwarnai dengan peristiwa kehidupan yang sesungguhnya pada masa karya
sastra itu diciptakan. Penelitian ini mengkaji novel “Arok Dedes” yang
meliputi latar belakang, ide, gagasan dan wawasan pengarang dalam menulis
novel Arok Dedes, bagaimana korelasi antara novel Arok Dedes dengan
kenyataan dalam sejarah masyarakat Indonesia, bagaimana tanggapan
pembaca; mahasiswa dan guru bahasa Indonesia mengenai novel Arok Dedes,
serta nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Arok Dedes.
Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada alur kerangka berpikir pada gambar
berikut:
Gambar Kerangka Berpikir
Novel Arok Dedes
Simpulan
nilai-nilai
pendidikan
latar belakang
sosial budaya
pengarang
resepsi
pembaca;
mahasiaw
a dan
guru
bahasa
relevansi antara novel
Arok Dedes dengan
kenyataan sejarah Ken Arok dan Ken Dedes
pada zaman Singosari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini tidak terikat tempat penelitian karena obyek yang
dikaji berupa naskah (teks) sastra, yaitu novel Arok Dedes karya Pramoedya
Ananta Toer. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan sehingga
memerlukan bahan pustaka sebagai referensi yang banyak didapatkan di
perpustakaan. Penelitian ini bukan penelitian lapangan yang statis melainkan
sebuah analisis yang dinamis. Adapun waktu penelitian selama delapan bulan
yaitu Desember 2013 sampai dengan Juli 2014.
Tabel 1.Jadwal Kegiatan dan Waktu Penelitian
No Kegiatan Bulan dan Tahun
Des
2013
Jan
2014
Feb
2014
Maret
2014
April
2014
Mei
2014
Juni
2014
Juli
2014
1. Persiapan xx--
2. Penyusunan
proposal
penelitian
--xx x---
3. Pengumpulan
dan Analisis
data
-xxx xxxx xxxx xxxx xxxx
4. Penyusunan
laporan
penelitian
xxxx xx--
5. Ujian --xx
45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode
content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau
menggambarkan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan
menafsirkan data yang ada. Metode content analysis atau analisis isi yang
digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen, dalam penelitian ini
dokumen yang dimaksud adalah novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta
Toer. Isi dokumen novel Arok Dedes tersebut ditelaah dengan pendekatan
sosiologi dengan menggunakan purposive sampling yaitu memilih informasi
berdasarkan posisi dengan akses tertentu yang dianggap memiliki informasi
yang berkaitan dengan permasalahan ini secara mendalam dan dapat
dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Namun demikian
informasi yang dipilih dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan
manfaat dalam memperoleh data. Selain itu penelitian ini juga menggunakan
pendekatan resepsi sastra untuk mengetahui pandangan pembaca terkait isi
novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.
C. Sumber Data
Secara umum sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua,
yaitu: pustaka dan narasumber. Sumber data pustaka yang utama adalah
novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer dan kitab Pararaton.
Sumber pustaka lain berupa buku-buku dan artikel baik yang membahas
tentang novel Arok Dedes, kitab Pararaton maupun sang pengarangnya
sendiri. Nara sumber diperlukan untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan resepsi terhadap obyek penelitian. Nara sumber dalam penelitian ini
adalah pembaca novel Arok Dedes yaitu guru mewakili dari kalangan
pendidik dan mahasiswa mewakili dari pembaca kalangan pelajar.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis dokumen yang berasal dari novel, kitab Pararaton serta wawancara
dengan pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
1. Adapun langkah-langkah pengumpulan data untuk analisis dokumen
sebagai berikut: (1) membaca novel Arok Dedes karya Pramoedya
Ananta Toer dan secara kitab Pararaton berulang-ulang; dipercaya
untuk menjadi sumber data yang mantap, dengan menggunakan teknik
cuplikan yaitu mengambil penggalan-penggalan kalimat atau kata-kata
dari novel Arok Dedes sebagai bukti otentik untuk mendukung
penelitian dan (2)mencatat kalimat-kalimat yang mendukung untuk
menjawab masalah
2. Teknik wawancara
Menurut Moleong (2006) yang dimaksud wawancara adalah:
“Percakapan dengan maksud tertentu, percakapan ini dilaksanakan oleh
dua pihak yaitu wawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan”. Wawancara
dalam penelitian kualitatif dilakukan secara tidak terstruktur atau sering
disebut sebagai teknik wawancara mendalam karena peneliti merasa
belum mengetahui hal yang diinginkan. Dengan demikian, wawancara
dilakukan dengan pertanyaan open ended, dan mengarah pada
kedalaman informasi.
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada Drs. Suwito, M.Pd
( guru SMP N 22 Surkarta) dan Ponco (mahasiswa PBI FKIP UNS)
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi
tiga komponen, yaitu : 1. reduksi data (data reduction); 2.sajian data (data
display); dan 3. penarikan simpulan (conclution drawing). Berikut
penjelasannya:
1. Reduksi Data ( Data Reduction)
Pada langkah ini yang dilakukan peneliti adalah mencatat data
yang diperoleh dalam bentuk uraian yang terperinci. Data yang diambil
berupa kata-kata atau kalimat tertulis dalam novel Arok Dedes karya
Pramoedya Ananta Toer, dan hasil wawancara dengan Drs. Suwito, M.Pd
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
( guru SMP N 22 Surkarta) dan Ponco Nugroho (mahasiswa PBI FKIP
UNS) yang menjadi data penelitian ini.
2. Sajian Data (Data Display)
Pada langkah ini, peneliti menyusun informasi/data secara teratur
dan terperinci sehingga mudah dipahami. Data-data yang digunakan
peneliti analisis secara teliti untuk menunjukkan jawaban yang
diharapkan. Kegiatan analisis data dilakukan dengan cara menganalisis
data yang diperoleh dari novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta
Toer, dan hasil wawancara dengan Drs. Suwito, M.Pd ( guru SMP N 22
Surkarta) dan Ponco Nugroho (mahasiswa PBI FKIP UNS).
3. Penarikan Simpulan (Conclution Drawing)
Pada langkah ini, sudah memasuki tahap membuat simpulan dari
data yang sudah diperoleh sejak awal penelitian. Simpulan ini masih
bersifat sementara, untuk itu perlu adanya verifikasi (penelitian kembali
tentang kebenaran laporan) selama penelitian berlangsung.
Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan dilakukan secara terus-menerus
dari mulai awal, saat penelitian berlangsung dan sampai akhir penelitian.
Tahap-tahap kegiatan analisis data secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar
berikut:
Masa pengumpulan data
REDUKSI DATA
Antisipasi Selama Pasca
PENYAJIAN DATA
= Analisis
Selama Pasca
PENARIKAN KESIMPULAN/VERIFIKASI
Selama Pasca
Gambar 2. Flow Model of Analysis
(Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 18)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang
Latar belakang sosial budayanya menjadi sumber penciptaan
yang mempengaruhi teknik dan isi karya sastranya. Karya sastra
merupakan wadah dari ide, gagasan, pemikiran seorang pengarang
mengenai gejala sosial yang ditangkap, permasalahkan tentang status
sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang
dan dialami pengarang yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya
sastra.
Aspek sosial suatu karya sastra menangkap kenyataan
kehidupan melalui berbagai permasalahannya, dalam hal ini termasuk
kehidupan pengarangnya. Selaras dengan itu , Nyoman Kutha Ratna
menyatakan bahwa:
Analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap
fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.
Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan
masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya.
Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam
pengertian yang negatif. Artinya, antar hubungan yang terjadi tidak
merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antarhubungan akan
menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing (Ratna,
2003:11).
Latar belakang sosial budaya pengarang dalam hal ini
Pramudya adalah masyarakat dan kondisi sosial budaya dari mana
pengarang dilahirkan, tinggal, dan berkarya. Latar belakang tersebut,
secara langsung maupun tidak langsung akan memiliki hubungan dengan
karya sastra yang dihasilkannya. Sebagai manusia dan makhuk sosial,
pengarang akan dibentuk oleh masyarakatnya. Dia akan belajar dari apa
yang ada di sekitarnya (lingkungan dimana dia berada)
49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Demikian pula Pramudya Ananta Toer dalam perjalanan
penciptaan karyanya sangat dipengaruhi oleh kondisi dan lingkungan
sekitarnya. Pada awal penulisan karyanya masih menyoroti tentang budaya
jawa namun dengan perkembangan setelah dia menjadi salah satu orang
yang ikut dalam duta pertukaran budaya di Belanda tahun 1950-an maka
hasil karya mengalami perubahan, dengan membuat karya berjudul
“Korupsi” fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap
korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Pada dekade berikutnya Pramoedya Ananta Toer mempelajari
tentang penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama
mulai berhubungan erat dengan para penulis di China. Hal ini sangat
mempengaruhi dalam membuat karya sastra. Sekali lagi dia membuat
friksi dengan pemegang kekuasaan waktu itu, dalam setiap karyanya selalu
bersinggungan dengan pemerintahan Soeharto.
Penciptaan novel Arok Dedes pun tak lepas dari pribadi
Pramudya yang menentang pemerintahan Soeharto dalam mengambil alih
kekuasaan pemerintahan dari tangan Soekarno.
Berikut ini data yang berkaitan dengan latar belakang sosial
budaya pengarang dari novel Arok Dedes karya Pramudya Ananta Toer,
yaitu :
a. Data berkaitan dengan aspek sosial
1) Kalian kaum brahmana lebih pongah dalam pikiran, tapi menunduk-
nunduk merangkak-rangkak dihadapanku. Itu tidak jujur, Dedes. Juga
kau tidak jujur, kau menantang-nantang dihadapanku begini, tapi kau
sudah ada dalam tanganku, dan kau tahu, kau tak dapat menolak
Tunggul Ametung. Tidak dapat, demi Hyang Wisynu ( hal 114)
2) Arok mengangkat telah sembah pada sidang menandakan ucapannya
telah berakhir. Waktu ia berpaling pada Dang Hyang Lohgawe, ia
melihat mahaguru itu menitikkan airmata karena kefasihannya
bercerita dalam Sansakerta, keberaniannya berkisah dengan caranya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
sendiri dan keberaniaannya menyatakan pendapat pada sidang tertiggi
kaum brahmana yang tidak berdaya itu. (hal 208)
3) “Sahaya talah ikuti uraian dan pembicaraan, pertikaian dan saran.
Hanya satu yang tidak pernah disinggung: dimanakah sebenarnya
kekuatan kaum brahmana? Seluruh ilmu dan pengetahuan, milik paling
berharga dari kaum brahmnana yang tak dapat diragukan ini,
dikerahkan hanya untuk memburuk-burukkan yang tidak disukai, tidak
menjadi kekuatan yang mengungguli yang lain-lain.” (hal 210)
4) ‘Caranya, Cucu, sama seperti yang pernah dilakukan oleh raja-raja
besar terdahulu: bijaksana, berhenti hanya mengurus diri sendiri, mulai
mengurus kawula.” (hal 257)
5) “Ada diajarkan oleh kaum Brahmana: orang kaya terkesan pongah di
mata si miskin; orang bijaksana terkesan angkuh di mata si dungu;
orang gagah berani terkesan dewa di mata si pengecut; juga
sebaliknya, Kakanda: orang miskin tak terkesan apa-apa pada si kaya,
orang dungu terkesan mengibakan pada si bijaksana; orang pengecut
terkesan hina pada si gagah-berani. Tetapi semua kesan itu salah.
Orang harus mengenal mereka lebih dahulu.” (hal 328)
6) “Kau mencurigai Kediri, Empu!’
“Hanya dugaan, Yang Mulia. Baik di Tumapel maupun Kediri, semua
pandai besi berada dalam pengawasan negeri. Tetapi tidak mustahil
pejabar-pejabat rakus itu menjualnya untuk dirinya sendiri. Besi dari
Sofala itu terlalu kotor, dan tak bisa ditentukan secara pasti berapa
sampahnya. Dari perhitungan yang sudah pasti itu mereka dapat
memperkaya dirinya.” (hal 384)
7) Gandring telah menerima emas dan besi daripadanya, telah menempa
besi itu menjadi senjata. Tetapi anakbuahnya tetap belum pernah
berhasil mendapatkan di mana barang-barang itu telah disimpan.
Dengan semua senjata pesanannya itu paling tidak Gandring akan bisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
mempersenjatai pasukan kecil untuk modal untuk menumpas seorang
demi seorang para tamtama. ( hal 260)
8) “Darah pencuci kaki Hyang Mahadewa Syiwa diperlukan anak Mpu
Parwa. Begitulah sepanjang sejarah titah di atas bumi ini.Kuatkan
hatimu, jangan jatuh ke bumi sebagai buah membusuk tak mampu
matang.Kau brahmani, kuat hati, kuat ilmu.Hapuskan airmatamu!”
(hal 471)
9) “Yang Mulia, dari semua itu Yang Mulia sendiri sekarang yang
menentukan.Kami dari gerakan Empu Gandring hanya dharma
melaksanakan untuk Yang Mulia.” (414)
b. Data berkaitan dengan aspek budaya :
1) Sebagai brahmana penganut Syiwa, ia tidak rela mengangkat sembah
pada arwah seorang raja, biarpun dikeramatkan sebagai titisan Hyang
Wisynu, Seperti kaum brahmana selebihnya ia juga tidak
membenarkan adat baru mengangkat arwah raja menjadi dewa yang
harus disembah dan dipinta restunya. Tak pernah itu diajarkan dalam
kitab-kitab suci purba. Orang-orang Wisynu dimulai dengan Erlangga
yang membuka adat memuja arwah leluhur, perbuatan khianat pada
para dewa. Semua para dewa yang menentukan, bukan petani-petani
bodoh itu. (hal 36)
2) “Tidak, Bapa Mahaguru, orang tak patut melupakannya. Juga sahaya
tidak patut membisukan suatu hal: para brahmana siapa saja yang
pernah sahaya temui, hanya mengecam-ngecam, menyumpah dan
mengutuk. Tak seorangpun pernah berniat menghadap Sri Baginda
Kretajaya untuk mempersembahkan pendapatnya. Kaum brahmana itu
sendiri yang sebenarnya tak punya keberanian, mereka ketakutan dan
justru ketakutan sebelum berbuat, ketakutan untuk berbuat itu yang
menyebabkan para brahmana telah kehilangan kedudukannya selama
duaratus tahun ini. Apa sebabnya ketakutan, Bapa mahaguru?
Bukankah itu juga pendapat sendiri? Dan apalah artinya mengetahui,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
berpendapat, kemudian takut padanya? Lihatlah, ini muruid Bapa
sudah bicara.” ( Hal 66 )
3) “Yang Mulia Akuwu tidak mengurus pekuwuan ini. Yang Mulia
paramesywari, tapi mengurus negeri. Selingkup pekuwuan ini di
tangan Yang Mulia. Yang Mulia tinggal jatuhkan perintah, dan semua
akan terjadi.” (hal 131)
4) Ia tersenyum puas mengetahui wujud dari kekuasaannya sebagai
Paramesywari. Pendopo itu dikelilinginya. Dalam hati tak henti-
hentinya ia mengucap syukur kepada Hyang Mahadewa. Kekuasaan ini
adalah indah dan nikmat. Ia takkan melepaskannya lagi, dan ia akan
jadikan benteng untuk dirinya sendiri, juga terhadap dukacita dan
rusuh hati. (hal 133)
5) Tiada sesuatu cedera bakal menimpa kalian. Ingat-ingat hari ini. Mulai
saat ini kembalilah memuliakan para dewa, tinggalkan dosa para satria.
Hilangkan leluhur itu dari pikiran, dari hati, dari pura dan dari candi.
Para dewalah yang sesungguhnya berkuasa, bukan leluhur siapapun,
Celakalah yang mendewakan leluhur. Lihat kalian di langit sebelah
barat sana ...(hal 146)
6) Mendekati tempat pendulangan segerombolan budak bersenjata
menempatkan diri, bersujud dan meletakkan kening di atas tanah.
Mereka adalah penjaga wilayah emas yang terpercaya. Semua lidah
mereaka telah dipotong untuk keselamatan kerahasiaan. ( hal 233)
7) “Setiap kerusuhan di sesuatu negeri, bukan hanya Tumapel, adalah
pencerminan dari ketidakmampuan yang memerintah, Cucu.”
‘Di manakah letaknya ketidakmampuan itu Yang Suci?” Dedes
meneruskan
“Ketidakmampuan itu berasal dari diri semua yang memerintah,
Dedes, ketidakmampuan mengerti kawulnya sendiri, kebutuhannya,
kepentingannya.” (hal 254)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
2. Relevansi antara Kenyataan Sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada
Zaman Singosari dengan Novel Arok Dedes
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Kenyataan Sejarah Ken Arok dan Ken
Dedes pada Zaman Singosari dalam Kitab Pararaton :
a. Akhirnya sesudah genap bulannya, lahrlah anak laki-laki. Ken Endok
membuang anaknya ke kuburan bayi.
Selanjutnya ada seorang pencuri, bernama Lembong tersesat di kuburan
bayi. Ia melihat benda bercahaya dan kemudian mendatanginya. Ia
mendengar tangis bayi. Setelah Lembong datang mendekat, nyatalah
baginya, benda yang bercahaya itu ternyata bayi yang menangis tadi.
Lembong lalu mengambil dan membawa bayi itu pulang serta
mengakuinya sebagai anaknya. (h. 14)
b. Perilaku Ken arok makin lama makin rusuh. Ia merampok orang yang
melalui jalan. Berita ini sampai negara Daha maka ia ditindak untuk
dilenyapkan oleh penguasa daerah yang berpangkat akuwu, bernama
Tunggul Ametung.(h. 18)
c. Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam
orang, kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empangan,
tinggal 1ima orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken
Angrok, datanglah yang mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa
daerah: "Wahai, tuan kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami
kejar, tadi mengungsi kemari." meanjawablah penguasa daerah itu: "Tuan
tuan, kami tidak sungguh bohong kami tuan, ia tidak disini; anak kami
enam orang, yang sedang bertanam ini genap enam orang, hitunglah
sendiri saja, jika lebih dari enam orang tentu ada orang lain disini"
Kata orang-orang yang mengejar: "Memang sungguh, anak penguasa
daerah enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang." Segera
pergilah yang mengejar.
Kata penguasa daerah kepada ken Angrok: "Pergilah kamu, buyung,
jangan jangan kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
membicarakan kata kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung kepadaku,
pergilah mengungsi ke hutan". Maka kata ken Angrok: "Semoga berhenti
lagilah yang mengejar, itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di
dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu. (h.19)
d. Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari
Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada
kepala desa tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan
kepandaian membuat barang barang emas dengan sesempurna
sesempurnanya. (h. 21)
e. Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan
Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu
kepandaian membuat barang barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau
kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok
diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada
dinamakan daerah Bapa.(h22)
f. para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa
pukul perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok
dengan pukulan perunggu itu, maksud para petapa itu akan
memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok.
Segera mendengar suara dari angkasa: "Jangan kamu bunuh orang itu,
wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam
tengah ini." Demikan1ah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa.
Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti sedia kala. (h. 22)
g. Di kota Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia merusuh dan
bersembunyi di Turyantapada, dan Daha.. (h. 23)
h. Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan:
"Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa," demikian pertanyaan
para dewa semua.
Menjawablah dewa Guru: "Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku,
seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang
memperkokoh tanah Jawa." (h.24)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
i. Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa;
semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru,
demikian itu pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah.
Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang
brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari
Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada
brahmana di sebelah timur Kawi. (h.24)
j. Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu
saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh
kemana saja kamu pergi."
Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana
itu. (h.25)
k. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat
ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama
Tunggul Ametung. (h.25)
l. Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut
aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu
Purwa.
Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum
menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik
moleknja bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang
menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai
Tumapel.
Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung
menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul
Ametung sangat senang melihat gadis cantik itu.
Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes
sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggul Ametung. (h.26)
m. Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul
Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja
Ken Dedes menampakkan gejala gejala mengandung,. (h. 27)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
n. Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok
memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: "Bapa Dang Hyang,
ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang
bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu".
Dang Hyang menjawab: " Siapa itu, buyung".
Kata Ken Angrok: " Bapa, memang ada seorang perempuan, yang
kelihatan rahasianya oleh hamba".
Kata Dang Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian, buyung,
perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling
utama, buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi
maharaja." (h. 27)
o. Ke Angrok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan yang
bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian
akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, Sang akuwu pasti mati
di tanganku jika Bapa mengijinkanku.”
Jawab Dang Hyang , “Ya, tentu matilah Tunggul Ametung olehmu,
anakku. Hanya saja aku tak pantas memberimu izin. Karena itu bukan
tindakan seorang pendeta. Batasnya adalah kehendakmu sendiri.”(h. 27)
p. Aku mempunyai teman, seorang pandai keris di Lulumbang, bernama
Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang sakti terhadap
buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh
membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan itulah
hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia."
Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok. (h.29)
q. Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada perjanjiannya, bahwa ia
menyuruh membuatkan keris kepada Mpu Gandring. (h. 29)
r. Pergilah ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang
mengasah dan memotong motong keris pesanan Ken Angrok.
Kata Ken Angrok: "Manakah pesanan hamba kepada tuan Gandring."
Menjawablah Gandring itu: "Yang sedang saya asah ini, buyung Angrok."
Keris diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Katanya dengan agak marah: "Ah tak ada gunanya aku menyuruh kepada
tuan Gandring ini, bukankah belum selesai diasah keris ini, memang
celaka, inikah rupanya yang tuan kerjakan selama lima bulan itu."
Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya ditusukkan kepada Gandring
keris buatan Gandring itu.
Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang berbelah
menjadi dua, diletakkan pada landasan penempa, juga ini berbelah
menjadi dua.
Kini Gandring berkata: "Buyung Angrok, kelak kamu akan mati oleh
keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang raja
akan mati karena keris itu."
Sesudah Gandring berkata demikian lalu meninggal. (h. 30)
s. Sekarang Ken Angrok tampak menyesal karena Gandring meninggal itu,
kata Ken Angrok: "Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku
melimpah, juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang."
Lalu pulanglah Ken Angrok ke Tumapel. (h.30)
t. Pada waktu itu Kebo Hijo melihat bahwa Ken Angrok menyisip keris
baru, berhulu kayu cangkring masih berduri, belum diberi perekat, masih
kasar, senanglah Kebo Hijo melihat itu.
Ia berkata kepada Ken Angrok: " Wahai kakak, saya pinjam keris itu."
Diberikan oleh Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang
memakai melihatnya itu.
Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, tidak orang Tumapel
yang tidak pernah melihat Kebo Hijo menyisip keris baru dipinggangnya.
(h. 31)
u. Tak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat diambil
oleh yang mencuri itu.
Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari pergi kedalam rumah
akuwu, saat itu baik, sedang sunyi dan orang orang tidur, kebetulan juga
disertai nasib baik , ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung, tidak
terhalang perjalanannya, ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
tembus jantung Tunggul Ametung, mati seketika itu juga. Keris buatan
Gandring ditinggalkan dengan sengaja. (h.31)
v. Sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam didada Tunggul
Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu dikenal
keris Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja.
Kata orang Tumapel semua: "Terangnya Kebo Hijolah yang membunuh
Tunggul Ametung dengan secara rahasia, karena memang nyata kerisnya
masih tertanam didada sang akuwu di Tumapel.
Kini Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk
dengan keris buatan Gandring, meninggallah Kebo Hijo. (h.31)
w. Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken Angrok
memang sungguh sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah
mereka saling hendak menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani
membicarakan semua tingkah laku Ken Angrok, demikian juga semua
keluarga Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa apa,
akhirnya Ken Angrok kawin dengan Ken Dedes. (h.32)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel Arok Dedes :
a. Dedes masih juga belum membuka mulut dalam empat puluh hari. Ia
selalu terkenang pada ayahnya. Tanpa pembenaran dan restunya, semua
hanya akan menuju pada bencana.
b. Borang Pemuda yang mempengaruhi penduduk desa Bantar tentang
kesalahan mereka yang takut pada Tunggul Ametungng daripada takut
pada hyang Wisnu (h. 19) dengan bala tentara nya telah mengepung desa
bantar.
c. Pertemuan dah Hyang Loh Gawe dengan para muridnya. Salah satu
muridnya berbicara lantang dan diberi kesempatan bicara maka pada
akhirnya Dah Hyang Loh Gawe, menyebut muridnya tersebut kaulah
“AROK” kaulah pembangun ajaran, pembangun ngeri sekaligus. (h. 68)
d. Para prajurit pengejar itu memasuki ladang dan memeriksa mereka
berenam, bertanya pada bapak itu: siapa saja semua ini?’
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
“Anakku semua,” jawabnya, kemudian menuding ke jurusan rumah, “dan
itu rumahku.”(h. 73)
e. Ki lembung menemukan bayi dibuang orang tua di gerbang sebuah pura
desa tengah malam.(h. 91)
f. Seorang bujang datang berlari-lari, memberitakan:
“Datang seorang penunggang kuda ke rumah, Ayu, mencari Sang Mpu
Parwa.”
“Tiada kau katakan sedang pergi?”
“Sudah. Menakutkan orangnya, Ayu. Seorang satria bergelang,
berkroncong binggal, dan berkalung serba emas.”.................(h. 108)
“Ayah! Tolong!” pekik Dedes. Tapi suara tak keluar dari mulutnya.
“Jangan sentuh aku!” ia merasa dirinya kotor tersentuh oleh seorang
Wisynu.
“Betapa galak, seperti brahmana lain-lain, dan semuanya,” ia tangkap
tangan Dedes, dihadapkan padanya, “Sebagai akuwu aku melarang kau
menjadi pedanda. Mari Permata, aku iringkan kau ke Kutaraja, naik kuda,
ke tempat terlayak bagimu. Mari, sayang.” (h. 110)
g. Ken dedes sudah dapat menguasau Tumapel, Juga ia dengar tentang
ayahnya: ia telah pulang, mengutuk penduduk desa, menyumpahi mereka
kematian sumber air, agar tunggul ametung akhirnya tumpas dibunuh
orang.(h. 161)
h. Bukankah kau menjadi Tunggul Ametung melalui cara yang sama seperti
dilakukan oleh mereka sekarang? (h. 224)
i. Tunggul ametung dan ken dedes mengujungi Dah Hyang Loh Gawe di
desa Pangkur untuk meminta petunjuk cara menghentikan kerusuhan
arok bersama hayam mendatangi empu gandring supaya dibuatkan
senjata, terjadi percakapan yang intinya bahwa empu gandring membuat
senjata karena diberi upah sesuai pekerjaannya.(h. 268)
j. arok kembali ke randu alas menemui ki bango samparan untuk meminta
ijin membunuh Tunggul Ametung, di sana bertemu dengan tanca dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
umang (wanita yang sangat disayangi), disitu tanca sudah mempunyai
pasukan kecil anggotanya para pemuda desa
k. Arok memesan senjata yaitu seribu pedang dan tiga ribu tombak kembar
pada Empu gandring.
Waktu yang diberikan untuk membuat Empu Gandring memberi setahun
tapi ken Arok memberi waktu enam bulan dengan biaya seribu saga
emas.
Dan empu gandring pun disuruh bersumpah demi Hyang Pancagina
l. Bisikan Loh gawe kepada arok :”Garudaku”, hanya kau yang dapat
tumbangkan Akuwu Tumapel. Hanya dengan cara ini yang bisa
ditempuh.Kau harus mendapat kepercayaan dari Tunggul ametung.
Dengan kepercayaan itu kau harus bisa menggulingkannya
“Pegang Tumapel dan hadapi kediri” kata loh gawe. (h. 317)
m. Paramesywari turun dari tandu, Ia terpesona oleh kecantikannya. Kulitnya
gading. Angin meniup dan kainnya tersingkap memperlihatkan pahanya
yang seperti pualam. (h.330)
n. pesan loh gawe “ Jatuhnya Tunggul Ametung seakan tidak karena
tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus
dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau
mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu. Tanpa jatuhnya Tumapel,
kita takkan bisa menghadapi Kediri. Tumapel adalah modal pertama,
Arok, jangan kau lupa. (h. 347)
o. “ Dengarkan, tak ada lagi budak di pukuwuan ini. Atas perintah
paramesywari. Sampaikan pada kepalamu. (h. 359)
p. Dadung sungging sering menemui Empu Gandring di rumah dan pabrik.
Benar Dadung Sungging seorang anggota gerakan rahasia, dan semua
gerakan itu berpusat pada Empu Gandring.
“terkutuk kau Empu Gandring. Dasar sudra berkepala anjing! Awas kau!
Sekali lagi menipu aku ......”(h. 404)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
q. Kata Empu Gandring kepada Kebo ijo “ Apa artinya semua emas
dibandingkan dengan Ken Dedes? Semua tamtama telah ditangan kita.
Kau satu-satunya turunan satria. Tak patutu kau marah seperti itu pada
seorang yang telah menempatkan semua rencana untukmu. Kembali kau
ke pakuwuan, kalungkan Hyang Pancagina ini pada lehermu. Usahakan
agar dedes melihatmu........”(h. 406)
r. “Yang Mulia, Empu Gandringlah yang membikin para tamtama
bersepakat mempersembahkan semua balatentara ke bawah duli Yang
Mulia Paramesywari.” (h.411)
s. Kami dari Gerakan Empu Gandring, Yang Mulia, lebih menghendaki
Yang Mulia Paramwsywari yang memegang kekuasaan Tumapel.” (h
412)
t. “Yang Mulia, dari semua itu Yang Mulia sendiri sekarang yang
menentukan. Kami dari gerakan Empu Gandring hanya dharma
melaksanakan unuk Yang Mulia.” (h. 214)
u. “Janganlah Yang Mulia lupa, yang Yang Mulia hadapi adalah Arok.
Lihatlah pasukan sahaya, “katanya dengan suara lebih keras. “Setiap saat
bisa lindas semua tentara Yang Mulia. Tetapi itu bukan tugas Arok dari
Yang Suci Dang Hyang Lohgawe.” (h 428)
v. Yang paling berbahaya adalah Empu Gandring.. dialah penghasut pertama
agar para tamtama ingkar pada Tunggul Ametung dalam
kemerosotannya......(h. 460)
w. Ken Arok ke rumah Empu gandring untuk mengambil pesanannya berupa
senjata.tetapi Empu gandring menolak yang diminta arok karena merasa
tidak menerima pesanan senjata.
x. Empu Gandring di bawa ke asrama arok dan diperiksa\, serta
membeberkan kesalahannya
a. Senjata yang kamu buat ke tumapel hasilnya jelek
b. Melalui Dadung Sungging, kau telah mematai-matai pekuwuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
c. Engkau mencoba mengadu domba antara Sang Akuwu, Sang
Pramesywari dan aku, melalui pesuruhmu yang menamakan dirinya
Kebo Ijo
d. Melalui Kebo Ijo itu juga kau menyatakan seluruh balatentara Tumapel
ada dalam tanganmu, dan kau mempersembahkannya untuk
paramesywari....(h. 467)
y. Kata Arok” Gerakan Empu Gandring itu sungguh-sungguh dahsyat.
Hanya Empu Gandring itu saja dapat melakukan pekerjaan raksasa itu.”
z. “Tidak,” ia tarik Dedes pada dirinya dan dirabanya kandungan istrinya.
“Baik, semua ini untuk bea kau, anak, anak yang tidak kukenal.” (h. 500)
aa. Semua yang melongok ke Bilik Agung melihat Kebo Ijo berdiri dengan
pedang di tangan. (h. 524)
bb. Dia telah persembahkan kemenangan untuk kawula Tumapel dengan
muslihat bermuka ganda dan cara tanpa bilangan (h. 552)
cc. Ia melirik pada suaminya (Ken Arok) yang sedang tenggelam di samping
kirinya. (h.552)
dd. Lelaki di sebelah kirinya memang sangat berharga untuknya, sangat
berharga untuk cinta dan hidupnya. Dia telah persembahkan kemenangan
unuk kawula Tumapel dengan muslihat bermuka ganda dan cara tanpa
bilangan. (h. 552)
3. Resepsi Pembaca Mengenai Novel Arok Dedes
a. Pandangan pembaca tentang tokoh Pramudya Ananta Toer
1) Pramudya itu cerdas, (mengungkapkan sebuah cerita bukan langsung
dari kata-kata itu, pembaca secara tidak langsung dituntut mencari
apa maksud cerita itu. Jadi pembaca juga harus cerdas, jadi tidak
langsung A sama dengan A tapi dalam A itu ada B, C dan lainnya.
Pramudya juga cenderung kepada kritik. (W, R2, 1)
2) Seorang tokoh yang kontraversi waktu itu. (W, R1, 1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
3) Selalu diincar, karyanya selalu disingkirkan dan sebagai pembelot,
ditinjau dari isinya mencerminkan kudeta ala jawa dengan begitu
cerdik dan jeli tokoh-tokoh bisa mencapai tujuan dengan licik tapi
cerdik. (W, R1, 2)
4) Gambaran karyanya antipati pada pemerintah tetapi aslinya tidak, dia
hanya memberikan gambar pemerintah itu seperti ini,
menggambarkan pemerintahan seperti ini kalau jelek ya jelek, ada
sisi yang lain. (W, R2, 9)
b. Pandangan pembaca tentang novel Arok Dedes
1) Setelah membaca novel ini, pandangan saya berubah 175%, dulu saya
mendegar cerita Ken Arok dan Ken Dedes di kelas 4 SD dari guru
IPS, ceritanya begini; Ken Arok itu orang jahat, dia membunuh
Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring yang disalahkan Kebo
Ijo, seolah-olah Ken Arok sebagai penjahatnya, tidak dilihat watak
dari Tunnggul Ametung, hanya mengecap Ken Arok itu pembunuh
dan penjahat, sedangkan tidak diceritakan mengapa arok berbuat
seperi itu. Di novel ini diceritakan Ken Arok memberontak itu karena
terjadi ketidakadilan di Tumapel. Tunggul Ametung itu mantan sudra ,
dia arok maksudnya dia itu dulu merampok memang pekerjaannya
merampok tapi Ken Arok merampok itu karena terjadi ketidakadilan
saat itu. Ken Arok itu orangnya setia ; ia pernah berjanji dengan bapak
pertamanya Ki Lembung yaitu ingin mensejahterakan keluarganya
setelah dewasa dan berhasil ia tidak melupakan janjinya. Demikian
juga pada Umang, dia akan menyayangi sampai kapan pun terbukti
Ken Arok menjadikan Umang istrinya meskipun tidak secantik Ken
Dedes. Ken Arok itu juga cerdas; cerdas dalam berkata-kata terbukti
dalam berseteru dengan Mpu Gandring, waktu membuat senjata Mpu
Gandring tidak mau maka dengan berargumentasi Mpu gandring kalah
setelah ditagih janjinya Mpu Gandring kalah. Mpu Gandring berdusta
dan berkhianat dengan Yang Panca gina karena Ken Arok tegas maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Ken Arok menghukum ia tidak pandang bulu termasuk pada
sahabatnya. Tapi disisi lain tetap memberi pilihan pada sahabatnya,
tegas pada tunggul ametung yang telah membunuh anak sendiri. Rasa
kasih sayang pada ibu dan ayahnya juga membalas budi. (W, R2, 2)
2) Bahasanya sangat simpel, langsung banyak memakai makna
sebenarnya, kata-kata yang menggunakan simbol mudah diterka
karena dikaitkan dengan kalimat berikut. (W, R1, 7)
c. Perbandingan Cerita Ken Arok Dedes yang Diketahui Pembaca
dengan Cerita Ken Arok Dedes yang Ada di Novel Arok Dedes
1) Saya masih kecil dicekoki apapun diterima, arok sebagai penjahat.
Arok cerdas menyampaikan apa yang dia pikirkan, tunggul ametung
dulu orang baik tapi ternyata dia penjahat yang juga akan
mengkhianati Kerajaan Kediri, tunggul Ametung mencuri emas
darikaum syiwaa, padahal tunggul Amtung itu akuwu harus memberi
contoh yang baik tapi kok malah merampok. Perbedaan berikutnya
tentang keris, kalau cerita lama ken arok memesan keris pada Mpu
Gandring karena kerisnya belum selesai maka Mpu Gandring
dibunuh, ternyata tidak kalau di Arok Dedes yang berkhianat Mpu
gandring dicerita pertama yang salah ken arok tapi yang kedua yang
salah Mpu gandring karena berkhianat apa yang telah dijanjikan tetapi
ternyata senjata bukan keris, dihalaman terakhir kebo ijo mau
mengambil alh istana “iki eken arok ngeini keris kapan? Ternyata
yang saya pahami selama ini salah meskipun ini sastra tapi bisa
ditelaah secara logis. (kalau yang dulu ada kutukan tapi sekarang tidak
ada) (W, R2, 3)
2) sang raja yang diingikan tahta, harta, wanita. Ken arok asli yang
diutamakan wanita dulu, dia kan jatuh cinta bukan tahtanya dulu, tapi
yang arok dedes ada perbedaan yang signifikan kalau yang arok dedes
itu bukan tentang wanitanya tetapi tentng kudeta aau politik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
halus bahkan para pelakunya tidak begitu kentara dalam melihat
peperangan. (W, R1, 3)
3) yang asli tentang wanita, tapi yang sekarang tentang kekuasaan
bahkan tidak ada unsur asmara , terus adanya keris yang dibuat Mpu
gandring dibawa terus dipinjam kebo ijo terus dicuri lagi idisitu
kelihatan kelicikan ken arok dengan maksud untuk mendapat nama
bahwa dia baik sehingga menjadi pengawal ken dedes. Terus timbul
asmara tetapi untuk tahta beum muncul. Di arok dedes tidak ada
kaitan antara keris satu dan dua .ditegskan hanya keris , pramudya
menyelipkan misi politik ala jawa lebih simpel dan tidak menakutkan
masyarakat. (W, R1, 4)
4) kalau zaman kerajaan singosari dimulai dari wanita dulu baru tahta,
tapi di novel Arok Dedes diawal merebut tahta baru mendapatkan
wanita (W, R1, 8)
d. Kaitan Novel Arok Dedes dengan Peristiwa Sejarah
1) ada, meloncatnya ke orde baru pram ini kritik yang pedas untuk orde
baru, dia mengambil kelicikan dari pemberontakan orde baru meskipun
terdapat perbedaan cerita, sehingga mend setnya jadi berbeda. (W, R2,
4)
2) ada 2 karena pro dengan pemerintah atau benar-benar kritis, seorang
sastrawan tidak boleh terlalu kritis dalam menyampaikan kebenaran,
jadi hanya menyampaikan kebenaran sesuai dengan sejarahnya yang
baik tidak yang positif. (W, R2, 6)
3) sama, menurut sayang lingkaran setan; maksudnya pemerintahan
berulang dari orde lama ke orde baru terus ke orde reformasi. (W, R2,
7)
4) kondisi sekarang kudeta tidak langsung, dari kelompok atau partai yang
intinya menggulingkan satu partai. (W, R2, 5)
5) sama-sama menggulingkan tapi yang ala jawa begitu tertutup rapi dan
cerdik hasilnya memuaskan. (W, R1, 6)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
e. Nilai Didik dalam Novel Arok Dedes
1) peduli, ken arok peduli dengan ketidakadilan di lingkungannya, setia
pada kawan maupun lawan, saling menghormati, tegas,
menghilangkan perbudakan, berjiwa satria. Balas budi. (W, R2, 5)
2) ya betul dari sudut pandang masing-masing. Ada falsafah jawa sopo
nandur bakal ngunduh. (W, R1, 10)
f. Pandangan Pembaca tentang Novel Arok Dedes
1) arok dedes sangat luar biasa bisa merubah mean set saya selama ini
tentang ken arok. Buku ini sangat luar biasa. (W, R2, 11)
2) menggambarkan politik ala jawa kudeta secara jawa , ibarat main catur
bagaimana orang yang berperan itu pandai-pandai menjalankan bidak
dengan umpan dan pengorbanan yang hasilnya ingin menang. (W, R1,
11)
4. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Novel Arok Dedes
a. Agama
1. Kekuasaan Akuwu Tumapel yang diberkahi oleh Hyang Wisynu telah
membikin kalian mengidap kemiskinan tidak terkira. Dengan segala
yang diambil dari kalian Akuwu Tumapel mendapat biaya untuk
bercumbu dengan perawan-perawan kalian sampai lupa pada Hyang
Wisynu. Dengan apa yang diambil dari kalian juga Sri Baginda
Kretajaya di Kediri sana tk lebih baik perbuatannya. Sama sekali tak
ada artinya dibandingkan kemuliaan Hyang Wisynu. ( hal 19)
2. Kalian penyembah Hyang Wisynu yang kurang baik. Kesetiaan telah
kalian persembahkan pada Tunggul Ametung, bukan pada Hyang
Wisynu. Yang kalian sembah bukan dewa cinta-kasih, bukan Sri
Dewi, bukan Hyang Wisynu, tapi gandarwa ketakutan. ( hal 23)
3. Seorang pemuja Hyang Syiwa adalah orang yang tahu diri, karena
selalu menimbang masa dan harilewat, menghukum diri sendiri untuk
setiap kekeliruan dan kesalahan ( hal 106 )
4. “Dedes,” bisik Tunggul Ametung dan ia rasai kumisnya menyentuh
pipinya, “teruskan cakaran dan gigitanmu. Tidak Mau? Baik, teruskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
umpatanmu terhadapku pada suatu kali kau akan tahu semua itu akan
jadi tak ternilai indahnya dalam kenangan setiap kali kau
mengingatnya kembali, dank au akan bertambah berbahagia. Hyang
Wisynu telah tentukan aku jadi suamimu. Nasib tidak bias kau
elakkan. Akupun lakukan ini bukan atas kehendak sendiri hanya
karena petunjuknya juga.” ( hal 115 )
5. “Jangan menangis, Permataku. Para dewa telah berikan dirimu
padaku. Kau hanya menjalani sebagaimana juga aku. Tak pernah ada
wanita menantang, melawan dan menolak Tunggul Ametung. Hanya
kau! Karena itu kau dipilih lebih daripada putrid-putri Tumapel,
Kediri, dan seluruh buana. (hal 118)
6. “Apakah dengan demikian manusia itu kejam sudah sudah pada
dasarnya, ya, Bapak.’
“Makin jauh dari Mahadewa dia semakin kejam. Bukanah kau tahu
betul kekejaman Tunggul Ametung? Sri Baginda Kretajaya tidak
kurang dari itu. Arok, pada dasarnya manusia adalah hewan yang
paling membutuhkan ampun.” (hal 179)
b. Moral
1. Di sebelah selatan kota tanah telah rengkah dan longsor, menyeret
barang duapuluh lima rumah dalam timbunan kayu bakar, dan api
menandingi Kelud.
Mendekati surya terbit angin mulai meniup pelahan, kemudian
kencang sejadi-jadinya menjurus ke barat.
Ia awasi sendiri penyelamatan rumah yang masih bisa diselamatkan,
korban yang berjajar dalam balai kota, membubungkan orang, rintih
dan aduh. Ia masuki balai kota dan melihat sendiri seorang dokter
membedah kaki seorang bocah untuk mengeluarkan kepingn kayu dari
dalamnya. Kaki dan tangan bocah itu diikat pada ambin dalam
keadaan pingsan. (hal 148)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
2. ‘Kekuatan tanpa Nandi, berkaki empat, bersintuhan langsung dengan
bumi, tidak mungkin mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas
bumi. Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan,” Arok tersenyum.
“Empat kaki Nandi, para Yang Terhormat: teman, kesetiaan, harta dan
senjata …..”(hal 212)
3. Seorang brahmana tidak bersenjatakan pedang , Yang Mulia,” tegah
Belakangka, “Dia bersenjatakan kata, setiap patah diboboti sidhi dari
para dewa.” Waktu mata skuwu itu membeliak padanya, ia tidak
peduli. Meneruskan, “Cedera bagi orang seperti dia akan membakar
amarah semua pemeluk Syiwa. Dia harus didekati, dibaiki, diambil
hatinya.” (hal.240)
4. Arok berdiri dan membopong emaknya masuk ke rumah. Dari sinar
damar ia lihat wanita itu bukan seorang ibu muda yang dulu, tetapi
telah tua dengaan muka telah dirusak usia.(hal 285)
5. Bango Samparan melangkah mundur kemudian juga berlutut
mencium tanah.
“Biarlah aku memuliakan kau, Bapak. Inilah anakmu, anakmu sendiri
si Temu
“Inilah Ki Bango Samparan, bapakku. Hormati dia seperti kalian
menghormati aku, karena sebentar lagi aku akan tinggalkan tempat
ini. (hal 302)
6. “Baik. Berangkat kau dengan duaratus orang pada malam ini juga.
Hindari jalanan negeri, dan berkampung kalian di desa Randu Alas.
Muliakan ibuku, Nyi Lembung. ……”(hal 337)
7. Kalian sudah tolong ibu kalian mengangkuti harta benda keluar dari
sini. Sekarang, muliakan ibu kalian, jaga hatinya, jaga
keselamatannya, dan jangan sekali-kali mencampuri urusan
pekuwuan.Serahkan pertahanan pekuwuan padaku seluruhnya, tanpa
syarat.” (hal 474)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
8. “Kalian lihat, aku adalah seorang Syiwa, istriku, Umang, orang
Wisynu, bapa angkatku, Bango Samparan dan Ki Lembung juga orang
Wisynu, guruku, Yang Terhormat Tantripala adalah Buddha,
mahaguruku, Yang Suci Dang Hyang Lohgawe adalah Syiwa. Aturan-
aturan yang baik selama duaratus tahun ini adalah karunia raja
Wisynu, Sri Erlangga. Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang
bukan bagaimana menyembah para dewa, tetapi dharma pada
sesamanya.” (hal 547)
c. Kepahlawanan
1. “Ucapkan janjimu, Arok.”
“Sahaya berjanji akan bersetia dan menjaga keselamatan Sang
Akuwu dan Paramesywari dan Tumapel. (hal 320)
2. “Janganlah Yang Mulia lupa,yang Yang Mulia hadapi adalah Arok.
Lihatlah pasukan sahaya,”katanya dengan suara lebih keras. “Setiap
saat bisa lindas semua tentara Yang Mulia.Tetapi itu bukan tugas
Arok dari Yang Suci Dang Hyang Lohgawe.” ( hal 427 )
3. “Jangan kau kira seluruh balatentara Tumapel bisa kalian kuasai.
Lihat, ini Arok, yang tetap mempertahankan Tumapel. Dia dan
pasukannya akan mempertahankannya sampai titik darah terakhir.
Bukan karena imbalan uang, emas dan perak dan singgasana.Hanya
karena kesetiaan pada janji. Kau sendiri sudah dengar ucapan Arok di
tengah-tengah medan pertempuran, langsung di hadapan Sang Akuwu.
Arok dan pasukannya akan tetap setia menjaga keselamatan Sang
Akuwu, Paramesywari dan Tumapel.” (hal 468)
d. Tradisi/Kebudayaan
1. Ken Dedes tahu betul tentang persoalan itu. Wayang adalah
permainan bodoh dari orang-orang bodoh yang tak mengerti ajaran.
Hanya para brahmana yang berhak menafsirkan dan menerangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
tentang para dewa. Tetapi Sang Hyang Erlangga setelah sepuluh tahun
naik tahta telah menitahkan: bukan hanya kaum brahmana saja yang
berhak tahu tentang para dewa, semua boleh tahu, pergelarkan melalui
wayang, karena bayang-bayang pada leluhur dalam wayang adalah
sama dengan bayang-bayang para dewa. ( hal 127)
2. Ken Dedes membawa suaminya naik ke pendopo yang telah digelari
dengan hidangan daging babi dan kambing, karena kaum Wisynu
menurut adat tidak makan daging hewan yang membantu pertanian.
(hal 430)
B. Pembahasan
1. Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang Novel Arok Dedes
Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Semi (1993: 73) yang
berpendapat bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pencerminan
kehidupan masyarakat. Pengarang sendiri adalah seorang anggota
masyaakat yang melihat dan mungkin mengalami masalah-masalah yang
ada dalam masyarakat tersebut dan kemudian menuangkannya ke dalam
karya sastra. Selanjutnya karya sastra itu dinikmati oleh masyarakat. Di
dalam novel Arok Dedes aspek sosial budaya cukup kental baik gejala
sosial maupun latar belakang sosial budayanya.
Ratna (2004:60) menyebutkan bahwa dasar pendekatan sosiologis
adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra
dihasilkan oleh pengarang; b) pengarang adalah anggota masyarakat; c)
pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat; d) hasil
karya sastra dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Hal ini tercermin dalan novel Arok Dedes bagian dari aspek sosial yang
bahwa sopan santun selalu dijaga dalam kegiatan yang berkaitan dengan
pendidikan, bahwa budaya masyarakat waktu yang masih menghormati
guru selalu dipegang teguh juga sopan santun masih dilaksanakan
meskipun seorang anak atau murid telah mempunyai kedudukan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
lebih tinggi, ini sejalan dengan pendapat Luxemburg (1991:8), paling
banyak karya sastra merupakan teks yang di dalamnya terjalin fakta
biografis. Setiap pengarang akan mengatur kesan dari kehidupan dan
pengalamannya sendiri, mengubahnya dan memanfaatkannya untuk
menyusun teks.
Sedang tentang rasa tanggung jawab digambar Ken Arok yang
telah berjanji di hadapan Tunggul Ametung dan istrinya Ken Dedes yang
disaksikan gurunya Dah yang Lohgawe akan menyatakan selalu setia
kepada Tunggul Ametung dan akan selalu melindungi beserta istrinya dan
seluruh penduduk Tumapel, demikian hal yang dengan Pramudya Ananta
Toer yang selalu memegang teguh janji untuk kebaikan negaranya, senada
dengan pendapat
Demikian juga dialog Ken Dedes dengan Dah Hyang Loh Gawe seperti
kutipan berikut :
‘Caranya, Cucu, sama seperti yang pernah dilakukan oleh raja-raja besar
terdahulu: bijaksana, berhenti hanya mengurus diri sendiri, mulai
mengurus kawula.” (hal 257)
“Ada diajarkan oleh kaum Brahmana: orang kaya terkesan pongah di
mata si miskin; orang bijaksana terkesan angkuh di mata si dungu; orang
gagah berani terkesan dewa di mata si pengecut; juga sebaliknya,
Kakanda: orang miskin tak terkesan apa-apa pada si kaya, orang dungu
terkesan mengibakan pada si bijaksana; orang pengecut terkesan hina
pada si gagah-berani. Tetapi semua kesan itu salah. Orang harus
mengenal mereka lebih dahulu.” (hal 328)
Dialog di atas senada dengan pendapat Raymond Williams (1973) merinci
keterkaitan antara novel dengan gagasan sosial. Menurutnya, ada tujuh macam
cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukkan gagasan sosialnya ke
dalam novel, yaitu mempropagandakannya, menambahkan gagasan ke
dalamnya, memperbantahkan gagasan, menyodorkan gagasan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
konvensi, dan memunculkan gagasan sebagai tokoh, melarutkan gagasan dalam
keseluruhan dunia fiksi maupun menampilkannya sebagai super struktur
“Sebagai brahmana penganut Syiwa, ia tidak rela mengangkat sembah pada
arwah seorang raja, biarpun dikeramatkan sebagai titisan Hyang Wisynu,
Seperti kaum brahmana selebihnya ia juga tidak membenarkan adat baru
mengangkat arwah raja menjadi dewa yang harus disembah dan dipinta
restunya. Tak pernah itu diajarkan dalam kitab-kitab suci purba. Orang-orang
Wisynu dimulai dengan Erlangga yang membuka adat memuja arwah leluhur,
perbuatan khianat pada para dewa. Semua para dewa yang menentukan, bukan
petani-petani bodoh itu.”
Perkataan Ken dedes di atas yang ditujukan kepada Tunggul Ametung
menandaskan bahwa ia masih tidak mau melakukan peerbuatan yang dilarang
dalam tuntunan agama apapun yaitu menyembah arwah para leluhur yang
telah meninggal meskipun itu arah seorang raja, dalam agama dan keperayaan
apapun perbuatan itu sangat dilarang, pengangkatan sembah hanya diberikan
kepada yang Mahakuasa saja..
2. Relevansi Antara Novel Arok Dedes dan Kenyataan Sejarah Ken Arok
dan Ken Dedes pada Zaman Singosari
Kerajaan Singasari yang masa hidupnya berlangsung antara tahun
1222 sampai dengan 1292 M. Dipimpin oleh Ken Arok. Dalam sejarah
diceritakan Ken Arok merebut kepemimpinan Tumapel dari Tunggul
Ametung dengan cara membunuh Tunggal Ametung lewat tangan Kebo Ijo,
sehingga dalam perebutan kekuasaan itu Ken Arok tidak terlihat sebagai
seorang pemberontak.
Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arok Dedes nmenggambarkan
perebutan kekuasaan dari Orde lama yang dipimpinan Presiden Soekarno
direbut oleh Soeharto dengan cara dan upaya sama dengan Ken Arok merebut
kekuasaan Tumapel dari Tunggul Ametung. Dengan cara-cara yang licik serta
cerdik sehingga orang menganggap bahwa perebutanan kekuasaan itu sah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Seperti dikisahkan sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam di
dada Tunggul Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris
itu dikenal keris Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja.
Kata orang Tumapel semua: "Terangnya Kebo Hijolah yang membunuh
Tunggul Ametung dengan secara rahasia, karena memang nyata kerisnya
masih tertanam didada sang akuwu di Tumapel.
Kini Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk dengan
keris buatan Gandring, meninggallah Kebo Hijo.
Hal ini senada dengan pendapat dalam penelitian yang relevan yaitu
penelitian yang dilakukan Oleh Efita Sari pada tahun 2012 melakukan
penelitian Analisis Sosiologis Pada Novel al-Karnak Karya Najib Mahfudh.
Novel al-Karnak bercerita tentang masyarakat Mesir pasca revolusi 1952.
Untuk mengungkapkan keterkaitan novel al-Karnak dengan fakta yang terjadi
pada masyarakat Mesir adalah dengan menggunakan teori sosiologi sastra.
Yang berkesimpulan penggambaran masyarakat Mesir pada novel al-Karnak
merupakan refleksi realitas sejarah yang pernah ada dalam masyarakat Mesir
pasca revolusi 1952.
3. Resepsi Pembaca Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer
Dalam novel Arok Dedes banyak ditemukan hal-hal yang menarik
yang dapat dipetik secara sosiologis maupun pendidikan. Hal ini tidak lepas
dari peran pembaca yang memberikan apresiasi atas novel Arok Dedes, yang
dalam penciptaan Pramoedya Ananta Toer masih di dalam bui masa
pemerintahan presiden Soeharto, maka pembaca sering mengkaitkan karya ini
dengan suasana batin Pramoedya yang tidak ada kecocokan dengan
pemerintahan waktu itu. Maka dengan dasar itu peneliti memilih 2 reseptor
untuk mengkritisi novel ini. Adapun pembahasan reseptor sebagai berikut :
a) Drs. Suwito, M.Pd. (Guru SMP N 22 Surakarta)
Suwito adalah salah satu staf pengajar di SMP N 22 Surakarta.
Sebagai seorang guru yang telah bekerja lebih dari 20 tahun. Suwito
termasuk guru Bahasa Indonesia yang sangat kompeten di bidangnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Kemampuan intelektualnya yang membanggakan di antaranya sering
membaca literatur yang menunjang profesinya dan juga ia sebagai
penulis buku Bahasa Indonesia SMP tingkat nasional.
Penelitian mengajukan sebelas pertanyaan kepada Suwito di ruang
guru, peneliti menganggap bahwa jawaban yang diutarakan dapat
mewakili hal-hal yang diharapkan oleh peneliti untuk menunjang data
penelitian.
Sebagai contoh, saat peneliti memberi pertanyaan tentang tema
novel Arok Dedes, Suwito menjawab bahwa tema novel tersebut kudeta
ala jawa dengan begitu cerdik dan jeli tokoh-tokoh bisa mencapai tujuan
dengan licik tapi cerdik, jawaban tersebut peneliti anggap sudah cukup
karena memang yang terjadi dalam novel tersebut adalah sebuah kudeta
kekuasaan dari Ken Arok kepada Tunggul Ametung yang telah
direncanakan tapi tidak menyentuh siapa pemberontak sebenarnya.
Bagi Suwito secara sosiologis peristiwa yang terjadi dalam novel
Arok Dedes banyak terjadi di dunia nyata karena bisa dilihat orang ,
penyebab kejadian itu. Jawaban itu senada dengan pendapat di bawah ini:
Sebagai ilmu sosial sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di
masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan
masyarakat, lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan
kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi juga
mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar atau abnormal atau
gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial (
Soekanto, 395 )
Sedangkan dalam kaitannya dengan nilai pendidikan, Suwito
menganggap bahwa pendidikan khusus dunia perpolitikan harus
dikenalkan dari sejak dini, sehingga dalam perkembangan masyarakat
akan memilih dan memilah sendiri mana hal-hal yang dianggap positif
dan negaif dalam berpolitik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
b) Ponco Nugroho
Ponco Nugroho atau sering dipanggil Ponco adalah seorang
mahasiswa PBS FKIP Univeersitas Sebelas Maret Surakarta, dalam kebiasaan
di kampus Ponco sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang khusus berkaitan
dengan kesusasteraan. Sebagai seorang penikmat karya sastra Ponco selalu
meluangkan waktu untuk membaca karya sastra khususnya novel, baginya
novel bisa memberikan jalan alternatif lain aabila dalam kehidupannya
menemui hal-hal yang belum pernah dialami.
Penelitian mengajukan sebelas pertanyaan kepada Ponco sama dengan
Drs. Suwito, M.Pd. di Lobi Kampus C FKIP UNS , peneliti juga
beranggappan bahwa jawaban yang diutarakan sudah mewakili hal-hal yang
diharapkan oleh peneliti untuk menunjang data penelitian.
Sebagai contoh, saat peneliti memberi pertanyaan tentang tema novel
Arok Dedes, Ponco memberikan jawaban bahwa tema novel ketidakadilan
yang dilakukan oleh Tunggul Ametung kepada penduduk Tumapel, semua
penduduk harus menyetorkan emas yang dimiliki kepada Tunggul Ametung
apabila tidak mau maka para penduduk dibunuh, sedangkan hasil rampasan
emas setengah saja yang dikirim ke Kediri sebgaai upeti sisa hasil rampasan
unuk diri sendiri.
Jawaban Ponco selanjutnya mengenai konflik atau masalah yang
muncul, konflik yang ada sangat kompleks melibat banyak pihak, kalau
ditinjau dari perspektif sosial. Baginya, konflik atau permasalahan yang ada
sangat kompleks karena banyak sekali konflik yang beragam dan saling
terkait antaa satu dengan yang lain, wajar dan manusiawi karena banyak
sekali terjadi dalam realitas kehidupan, penuh intrik karena melibatkan
sebagian anggota masyarakat yang menganggap posisinya lebih superior
dibandingkan dengan yang lain. Jawaban ini sesuai dengan pendapat Wellek
dan Werren (1982:122) yang menyatakan bahwa hubungan antara sastra dan
masyarakat adalah sebegai dokumen sosial yang menunjukkan potret
kenyataan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Menurut Ponco dalam novel Arok Dedes, seorang Ken Arok
mempunyai sifat yang mungkin tidak dipunyai manusia lain yaitu cerdas,
setia, mempunyai rasa kasih sayang dan ingin membalas kebaikan semua
orang yang telah membantunya.
Sedangkan dalam kaitannya dengan nilai pendidikan, Ponco
menganggap bahwa sikap peduli, ken arok peduli dengan ketidakadilan di
lingkungannya, setia pada kawan maupun lawan, saling menghormati, tegas,
menghilangkan perbudakan, berjiwa satria. Balas budi
.
4. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Novel Arok Dedes
Setiap karya sastra yang baik selalu mengungkpkan nilai-nilai luhur
yang sangat bermanfaat bagi pembacanya, Nilai tersebut bersifat mendidik
dan mengajak pembaca untuk merenung. Nilai pendidikan yang dapat
mencakup nilai pendidikan agama, moral dan sosial.
a. Nilai Agama
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan
akan keterbatasannnya hingga mempunyai satu keyakinan bahwa ada
sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu
berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa
itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri
kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu ; menerima segala
kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari
Tuhan, menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini
berasal dari Tuhan.
Nilai Agama menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani
dan kebebasan pribadi yang dimiliki manusia. Nilai agama bersifat
mutlak, semua manusia yang beragama yakin da percaya karena ajaran
agama merupakan petunjuk hidup yang diberikan oleh Tuhan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
manusia. Sudah menjadi kewajiban bagi manusia sebagai hamba untuk
selalu patuh dan taat pada aturan-Nya. Bagi manusia yang beragama
dan beriman, nilai ini dijadikan dasar dalam mencapai tujuan hidupnya.
Apabila kita mencari nilai keagama dalam novel Arok Dedes
terlihat seperti perkataan Ken Dedes “Kalian penyembah Hyang
Wisynu yang kurang baik. Kesetiaan telah kalian persembahkan pada
Tunggul Ametung, bukan pada Hyang Wisynu. Yang kalian sembah
bukan dewa cinta-kasih, bukan Sri Dewi, bukan Hyang Wisynu, tapi
gandarwa ketakutan. “
Penyembbahan berhala yang terjadi saat itu tumbuh subur dan terus
dilestarikan pemerintahan Tunggul Ametung telah merusak jiwa
masyarakat dan mempengaruhi ketaat beribadah kepada yang
mahakuasa.
Hal ini senada dengan pendapat Sugono (2003:115) bahwa sastra dapat
berfungsi sebagai peneguh batin pembaca dalam menjalankan
keyakinan agamanya.
Akuwu Tumapel Tunggul Ametung juga percaya bahwa semua
kejadian ini atas kehendak yang Kuasa, kita tinggal menjalani saja.
Hyang Wisynu telah tentukan aku jadi suamimu. Nasib tidak bisa kau
elakkan. Akupun lakukan ini bukan atas kehendak sendiri hanya karena
petunjuk-Nya juga.
Bentuk kepasrahan dalam menjalani kehidupan semua atas
kehendak yaang kuasa diajarka oleh semua agama, sebagai hamba kita
cuma tinggal menjalankan saja yang sudah digariskan oleh Tuhan.
Sejalan dengan pembahansa nilai pendidikan keagamaan, penelitian
yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Herlina tahun 2013
dengan judul Novel Rumah Tanpa Jendela Karya Asma Nadia ( Kajian
Sosiologi Sastra, Resepsi Pembaca dan Nilai Pendidikan) yang
menyimpulkan bahwa agama, melalui sholat dan berdoa pada
umumunya dihayati sebagai tempat bersandar, memasrahkan segala
nasib hidup dan menjadi kekuatan menghadapi setiap cobaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
b. Nilai Moral
Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya
sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang
sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema
merupakan moral ( Kenny dalam Nurgiyantoro, 2005: 320 ) Moral
identik dengan agama, sosial dan nilai-nilai kehidupan yang berlaku di
masyarakat.
Penelitian Herlina tahun 2013 dengan judul Novel Rumah
Tanpa Jendela Karya Asma Nadia ( Kajian Sosiologi Sastra, Resepsi
Pembaca dan Nilai Pendidikan) yang menyimpulkan bahwa ajaran
pendidikan moral dalam novel tersebut yakni mengajarkan kepada anak
untuk tidak selalu mengutamakan kepentingan pribadi di atas
kepentingan orang banyak selain itu juga diajarkan segala perbuatan
jangan sampai merugikan orang lain. Dalam Novel Rumah Tanpa
Jendela juga nampak pesan moral bahwa seorang anak harus selalu
patuh kepada orang tuanya dan menghargai teman. Hal tersebut juga
dijelaskan dalam novel Arok Dedes yang di dalamnya juga diajarkan
hal tersebut. Hal baik ini harus diajarkan kepada anak didik supaya
mengerti akan pentingnya nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Nilai moral ini ditunjukkan oleh tokoh Ken Dedes dalam
kehidupan keseharian di dalam keraton tidak pernah sombong meskipun
ia seorang istri akuwu (pemimpin) Tumapel yang selalu dihormati,
contoh di sebelah selatan kota tanah telah rengkah dan longsor,
menyeret barang duapuluh lima rumah dalam timbunan kayu bakar, dan
api menandingi Kelud, Ia awasi sendiri penyelamatan rumah yang
masih bisa diselamatkan, korban yang berjajar dalam balai kota,
membubungkan orang, rintih dan aduh. Ia masuki balai kota dan
melihat sendiri seorang dokter membedah kaki seorang bocah untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
mengeluarkan kepingn kayu dari dalamnya. Kaki dan tangan bocah itu
diikat pada ambin dalam keadaan pingsan.
c. Nilai Tradisi/kebudayaan
Cara atau kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala
dapat dikatakan sebagai adat atau tradisi. Kebiasaan yang dimaksud sering
kali sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Kebiasaan ini dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan sikap.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Koentjaraningrat (1985:15)
mengemukakan pendapatnya bahwa pada dasarnya sistem nilai budaya
terdiri atas konspsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap
amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang
terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap
karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
Ken Dedes tahu betul tentang persoalan itu. Wayang adalah
permainan bodoh dari orang-orang bodoh yang tak mengerti ajaran. Hanya
para brahmana yang berhak menafsirkan dan menerangkan tentang para
dewa. Tetapi Sang Hyang Erlangga setelah sepuluh tahun naik tahta telah
menitahkan: bukan hanya kaum brahmana saja yang berhak tahu tentang
para dewa, semua boleh tahu, pergelarkan melalui wayang, karena bayang-
bayang pada leluhur dalam wayang adalah sama dengan bayang-bayang
para dewa.
Wayang sebagai satu bentuk kebudayaan yang di dalamnya
mengandung unsur pendidikan bisa sebagai sarana dalam mengembangkan
karakter budaya bangsa secara umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. SIMPULAN
Simpulan dari penelitian novel Arok Dedes dengan Ken Arok pada masa
Singosari sebagai berikut :
1. Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang Novel Arok Dedes
Pramudya Ananta Toer merupakan sastrawan yang tidak melupakan
akar budaya Jawa sebagai tanah kelahirannya serta masih menjunjung tinggi
adat istiadat maka dalam Arok Dedes budaya Jawa disajikan dengan baik,
juga nuansa keagamaan ala Jawa yang begitu pasrah dengan kondisi yang ada
saat ini sebagai bentuk dari pengabdian atas kuasa Tuhan.
Dalam perjalanan menciptakan karya sastra Pramudya mengalami
perubahan yang sangat signifikan, pertama Pramudya menyajikan hal-hal
yang humanis, dia menyoroti kondisi masyarakat yang ada saat itu dengan
pendekatan sosial yang tidak ada muatan apapun, dia menganggap seni untuk
seni tapi dengan perubahan lingkungan juga teman-teman yang berada
dipanggung politik, juga sebagai pribadi yang kenal dengan orang
mancanegara, terutama dari RRC maka dapat merubah dalam mencipta karya
sastra, demikian juga dalam penbuatan novel Arok Dedes tidak terlepas dari
kondisi saat itu pun. Pemerintahan yang carut marut, pertentangan yang ada
dalam pemerintahan, pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyat kecil,
maka pribadi Pramudya tidak mau tinggal diam, dia muncul dan sebagai
pribadi pemberontak yang mengkritisi pemerintahan, juga lewat novel Arok
Dedes dia coba menggambarkan kejadian yang sebenarnya yang terjadi di
tengah masyarakat, pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang
untuk menggulingkan pemeritahan yang resmi menurut pandang Pramudya
dilakukan dengan perencanaan yang sangat teliti sehingga orang menganggap
tindakan itu tidak melanggar norma-norma hukum yang ada.
81
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
2. Relevansi Antara Novel Arok Dedes dan Kenyataan Sejarah Ken Arok dan
Ken Dedes pada Zaman Singosari
Sejarah Ken Arok dan Ken Dedes pada Zaman Singosari yang terdapat
dalam kitab Pararton merupakan cerita yang dikenang oleh masyarakat
Indonesia sampai kapan pun, sejarah yang tiada ternilai harganya, dengan
pemeran atau tokoh-tokoh yang selalu ada pada benak pembaca serta
pendapat yang berbeda tergantung siapa pembacanya .
Pramudya dengan kecerdasan mengolah cerita sejarah dan menampilkan
kembali pelaku-pelaku yang masih sejalan dengan kondisi masa kini. Novel
Arok Dedes yang menceritakan perjuangan Ken Arok dalam merebut
Tumapel dengan cara yang sangat halus sangat sejalan dengan cerita Ken
Arok pada zaman kerajan Singosari terbukti dengan tokoh-tokoh yang sama
dan karakter mempunyai kesamaan dari berbagai segi, yatu nama, karater
(watak) tokoh-tokohnya.
Peristiwa perebutan kekuasaan dari Tunggul Ametung yang memimpin
Tumapel telah direbut oleh Ken Arok, demikian hal dengan perebutan
kekuasaan dari presiden Soekarno juga telah direbut oleh Soeharto dengan
strategi dan cara yang sangat rapi sehingga tidak ada kesan sebuah perebutan
kekuasaan yang mengorbankan banyak rakyat.
Peristiwa yang terjadi dari dua cerita sama-sama menceritakan
bagaimana sebuah cita-cita dan cinta harus diraih dengan penuh perjuangan
serta pengorbanan. Ken Arok telah mengorbankan hidupnya demi sebuah
kekuasaan dan seorang wanita yang diidamkan. Semua daya dan upaya
dilakukan namun sisi kebaikan ( atau kelicikan) itu yang menjadi daya tarik
tersendiri dari novel Arok Dedes dan cerita Ken Arok kitab Pararaton.
3. Resepsi Pembaca Mengenai Novel Arok Dedes
Menurut pembaca novel Arok Dedes karya Pramudya dapat membuka
wawasan baru mengenai kondisi yang ada pada saat itu, dan pandangan-
pandangan yang berbeda mengenai berbagai hal tentang kehidupan bernegara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Kecerdasan Pramudya membuktikan bahwa sebuah karya sastra bisa merubah
pola pikir atau pendapat seseorang mengenai berbagai hal.
Hai ini akan memjadi pembelajaran bagi pembaca bahwa dengan
menggunakan akal pikiran dan cara-cara yang disusun secara rapi semua hal
dapat diraih dengan sukses.
Novel Arok Dedes yang berdasar sejarah Ken Arok sebagai Raja
Singosari dalam perjalanan perebutan kekuasaan tdak bisa dilakukan dengan
seorang diri, juga harus disertai perjuangan yang tidak mengenal lelah. Novel
ini mempunyai kaitan erat dengan peristiwa perebutan kekuasaan dari
pemerintahan orde lama ke pemerintahan orde baru.
4. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Novel Arok Dedes
Setiap karya sastra yang dihasilkan pasti mempunyai maksud dan
tujuan yang akan dicapai oleh penulis. Salah satunya adalah nilai-nilai
pendidikan yang dipaparkan. Dalam novel Arok Dedes nilai-nilai didik yang
terkandung antara lain pendidikan tentang moral, agama, kepahlawanan dan
tradisi (kebudayaan), hal ini sebagai cerminan untuk para pembaca
(penikmat) karya sastra.
Nilai agama yang didapat adalah kita harus bisa menerima apa yang
ada sekarang ini sebagai wujud dari kepasrahan kita kepada yang Mahakuasa,
menantati segala ketetapan, hukum, aturan yang diyakini berasal dari Tuhan,
nilai moral yaitu selalu menghormati kedua orang tua meskipun kita mungkin
sudah mempunyai kedudukan atau jabatan yang tinggi, bermurah hati kepada
siapapun
B. IMPLIKASI
1. Implikasi Teoretis
Implikasi secara teoritis, bahwa dengan pesatnya ilmu pengetahuan
tentang penelitian sastra dengan berbagai pendekatan, maka kajian sastra
dengan pendekatan intelektualitas ini dapat memperkaya masalah telaah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
kritik sastra. Ada banyak hal yang harus disiapkan oleh para peneliti bahwa
model kajian secara sosiologis dan resepsi dapat menjadi acuan pengkajian
sastra dengan pendekatan yang berbeda.
Kajian sosial akan membawa kepada pembaca untuk lebih
mengetahui karya sastra dari sudut pandang yang berbeda, pembaca diajak
melihat sastra dari mana asal penulisan, ide-ide atau tujuan yang diharapkan
oleh pengarang sehingga pembaca tidak hanya memaknai karya sastra sebagai
sebuah tulisan saja namun mempunyai makna atau arti dalam kehidupan
sehari-hari.
Kajian budaya akan menggambar penulis tentang budaya yang ada di
tengah-tengah masyarakat waktu karya itu diciptakan, pembaca diharap
mampu untuk memaknai budaya apa yang sedang berkembang dan
berlangsung sehingga pembaca dapat menyikapi dengan arif dan bijaksana.
Dalam perjalanan menciptakan karya sastra Pramudya mengalami
perubahan yang sangat signifikan, pertama Pramudya menyajikan hal-hal
yang humanis, dia menyoroti kondisi masyarakat yang ada saat itu dengan
pendekatan sosial yang tidak ada muatan apapun, dia menganggap seni untuk
seni tapi dengan perubahan lingkungan juga teman-teman yang berada
dipanggung politik, juga sebagai pribadi yang kenal dengan orang
mancanegara, terutama dari RRC maka dapat merubah dalam mencipta karya
sastra, demikian juga dalam penbuatan novel Arok Dedes tidak terlepas dari
kondisi saat itu pun. Pemerintahan yang carut marut, pertentangan yang ada
dalam pemerintahan, pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyat kecil,
maka pribadi Pramudya tidak mau tinggal diam, dia muncul dan sebagai
pribadi pemberontak yang mengkritisi pemerintahan, juga lewat novel Arok
Dedes dia coba menggambarkan kejadian yang sebenarnya yang terjadi di
tengah masyarakat, pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang
untuk menggulingkan pemeritahan yang resmi menurut pandang Pramudya
dilakukan dengan perencanaan yang sangat teliti sehingga orang menganggap
tindakan itu tidak melanggar norma-norma hukum yang ada.
2. Implikasi Praktik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Implikasi secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan
sebagai koleksi kelengkapan perpustakaan yang berguna bagi para
pengunjung perpustakaan juga para penggemar pembaca karya sastra dengan
harapan karya itu akan berdampak positif.
Hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai dasar penelitian
berikutnya, serta pengembangan penelitian yang lebih luas juga dengan hasil
penelitian yang lebih berkembang. Khususnya dalam apresiasi sastra
penelitian ini bisa menjadi memperbanyak kasanah penelitian sosiologi sastra
yang berkembang pesat, sosiologi sastra sebagai satu kajian akan memberikan
pemahaman kepada pembaca lebih utuh untuk sebuah cerita sehingga
penafsiran tidak terkungkung pada hal yang sempit.
Sedang untuk pengembangan karakter penelitian ini dapat membawa
pembaca untuk memiliki sifat atau karakter yang positif mengenai suatu
karya sastra, karena setiap penciptaan karya sastra oleh pengarang pasti
mempunyai tujuan yang jelas, dan setiap tokoh mempunyai sifat-sifat yang
ada pada diri manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan analisis juga ditemukan banyak nilai moral dan nilai
edukatif yang dapat dipetik dalan novel Arok dedes, dan dapat dijadikan
sebagai katarsis dalam menjalani hidup dan kehidupan. Sebuah karya sastra
akan bernilai baik dan bermanfaat apabila ia menjadi pencerah bagi
pembacanya. Dalam hal ini, karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan
intropeksi diri sesuai dengan tujuan pengarang menciptakan karya tersebut.
Dilihat dari segi peran moral yang diberikan, adanya gambaran
mengenai berbagai hal baik positif maupun negatif. Gambaran negatif
tersebut tidak selamanya tidak memberikan kontribusi apa-apa. Jika pembaca
mampu mengolah dengan benar maka terdapat pelajaran hidup yang dapat
dipetik. Sebuah gambaran (contoh) terlihat buruk jika ada contoh yang baik,
dan gambaran (contoh) akan terlihat baik ketika terdapat contoh buruk. Nilai
moral yang terkandung dalam novel Arok Dedes kebanyakan bercerita
mengenai akibat dari suatu perbuatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Selain itu, jika ditinjau dari segi materi pembelajaran novel Arok dedes
mudah dipahami sehingga pelajar (siswa) dapat mempelajari gambaran
kehidupan budaya dan politik Jawa yang sesungguhnya serta sebagai bahan
pembinaan dan pengembangan pengajaran apresiasi sastra Indonesia pada di
sekolah-sekolah dan forum-forum ilmiah lainnya.
C. SARAN
Tindak lanjut dari penelitian ini, peneliti memberikan beberapa hal yang
sekiranya dapat dijadikan sebagai saran dalam memanfaatkan novel Arok Dedes.
Adapun saran peneliti sebagai berikut :
1. Bagi pembaca
Dalam memanfaatkan novel Arok Dedes, hendaknya pembaca tidak terjebak
pada nilai-nilai negatif yang ditampilkan oleh tingkah laku tokoh cerita.
Pembaca hendaknya tidak mengikuti jejak Tunggul Ametung yang
memperistri Ken dedes dengan cara tidak baik yaitu menculik dari orang
tuanya. Yang harus dicontoh adalah sikap Ken Dedes yang selalu menjunjung
darma dan orang tua.
2. Bagi siswa
Novel Arok Dedes merupakan novel yang cukup berbobot dan baik dari segi
bahasa tidak terlalu rumit sehingga cocok dijadikan sebagai bahan ajar bagi
siswa SMP dan SMA. Saran peneliti, hendaknya siswa mampu dan
memanfaatkan novel tersebut untuk menambah pengetahuan perbendaharaan
kata. Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel tersebut dapat
memberikan pengetahuan budaya jawa kepada siswa.
3. Bagi pengajar
Nilai-nilai moral yang terdapat novel tersebut hendaknya dapat dijadikan
sebagai suatu alternatif dalam memilih bahan pembelajaran apresiasi sastra,
khususnya tingkat SMP dan SMA dan sederajat. Penggunaan novel sebagai
sebuah materi ajar harus disertai dengan pemberian penjelasan atau pengantar
agar siswa tidak terjebak dalam nilai-nilai negatif yang terdapat dalam novel
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
4. Bagi peneliti sastra
Penelitian sastra yang dilakukan ini merupakan sebagian kecil dari sekian
luas ruang penelitian dan pengkajian sastra di Indonesia. Masih banyak
pendekatan dan pengkajian sastra yang dapat dilakukan. Oleh karena itu para
peneliti sastra hendaknya dapat mengkaji karya sastra dengan pendekatan
yang lainnya, sehingga dapat menemukan sendi-sendi kesastraan dan dapat
memperkaya khasanah penelitian sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
DAFTAR PUSTAKA
A. Michael Huberman Miles, Mattew B.. 1992. Analisis Data Kualitatif
(Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press.
Damono Sapardi Djoko . 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas,
Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Den Boef, August Hana dan Kees Snoek. 2008. Saya Ingin Lihat Semua Ini
berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Endraswara Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Faruk.. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goldman, Lucien. 1967. “The Sociology of Literature: Studies and Problem of
Method,” International Science Journal, Volumen XIX, No.4 pp. 493-
516
Hong Liu, Goenawan Muhammad, Kumit Sumar Mandal. Pram dan Cina. Jakarta:
Komunitas Banbu.
Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. yogyakarta: Hanindita Graha
Widya Masyarakat.
Junus Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Jurt, Joseph. 2005. The Trans-National Reception of Literature: The Reception of
Franch nationalism in Germany. Volume II, No.1, pp. 3-4
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Komandoko, Gamal (penulis ulang), 2006. Pararaton: Legenda Ken Arok dan Ken
Dedes. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Leenhardt, Jacques. 1967. “The Sociology of Literature: Some Stages in its
History.” Volume. XIX, No. 4, pp. 517-533
Moeleong Lexy J.. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).
Bandung: Remaja Rosda Karya
88
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Nurgiyantoro Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Pradopo Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_____________, 2002, Kritik Sastra Indonesia Modern, Yogyakarta: Gama Media
Ratna, I Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Cetakan ke 5. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
............... . 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Semi Atar . 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Suroso, Puji Santoso, Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra, Ygyakarta: Elmatera
Publishing
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar, Teori, dan
Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Uns Press
Tarigan Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Toer Pramoedya Ananta, 2009. Arok Dedes. Jakarta Timur: Lentera Dipantara.
Toer, Koesalah Soebagyo. 2009. Bersama Mas Pram : Memoar Dua Adik
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Gramedia
Tuloli, H. Nani. 1999. Peranan Sastra dalam Masyarakat Modern. (Editor: Hasan
Alwi dan Dendy Sugono). Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Waluyo Herman J. 2002. Apresiasi dan Pengkajian Prosa Fiksi. Salatiga: Widya
Sari Press
Wellek, Rene Dan Warren Austin, 1956, Theory of Literature. New York: A
Harvest Book Harcourt, Brace & World Inc.
134
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
LAMPIRAN 1: Catatan Lapangan Hasil Wawancara dengan Pembaca Ahli
( Guru Bahasa Indonesia )
Peneliti (Pen) : Bagaimana pandangan Anda tentang Pramudya Ananta Toer
Reseptor (R)(1) : Seorang tokoh yang kontraversi waktu itu
Pen : Apa maksudnya kontraversi ?
R (2) : Selalu diincar, karyanya selalu disingkirkan dan sebagai
pembelot, ditinjau dari isinya mencerminkan kudeta ala jawa
dengan begitu cerdik dan jeli tokoh-tokoh bisa mencapai tujuan
dengan licik tapi cerdik.
Pen : Bagaimanakah cerita Arok Dedes dibandingkan dengan cerita
asli Ken Arok?
R (3) : sang raja yang diingikan tahta, harta, wanita. Ken arok asli yang
diutamakan wanita dulu, dia kan jatuh cinta bukan tahtanya dulu,
tapi yang arok dedes ada perbedaan yang signifikan kalau yang
arok dedes itu bukan tentang wanitanya tetapi tentng kudeta aau
politik yang halus bahkan para pelakunya tidak begitu kentara
dalam melihat peperangan.
Pen : kalau perbedaan yang mencolok
R (4) : yang asli tentang wanita, tapi yang sekang tentang kekuasaan
bahkan tidak ada unsur asmara , terus adanya keris yang dibuat
Mpu gandring dibawa terus dipinjam kebo ijo terus dicuri lagi
idisitu kelihatan kelicikan ken arok dengan maksud untuk
mendapat nama bahwa dia baik sehingga menjadi pengawal ken
dedes. Terus timbul asmara tetapi untuk tahta beum muncul.
Di arok dedes tidak ada kaitan antara keris satu dan dua,
ditegskan hanya keris , pramudya menyelipkan misi politik ala
jawa lebih simpel dan tidak menakutkan masyarakat.
Nomor Catatan Lapangan : 1
Nama Reseptor : Drs. Suwito, M.Pd.
Profesi : Guru Bahasa Indonesia (SMP N 22 Surakarta)
Hari, tanggal wawancara : Senin, 10 Maret 2014
Waktu Wawancara : 09.00 – 10.00 WIB
Tempat Wawancara : Ruang Guru
90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Pen : kalau dikaitan dengan kondisi sekarang
R (5) : kondisi sekarang kudeta tidak langsung, dari kelompok atau
partai yang intinya menggulingkan satu partai.
Pen : kan sama – sama menggulingkan
R (6) : sama-sama menggulingkan tapi yang ala jawa begitu tertutup
rapi dan cerdik hasilnya memuaskan
Pen : Bagaimana Arok Dedes ditinjau dari sastra?
R (7) : bahasanya sangat simpel , langsung banyak memakai makna
sebenarnya, kata-kata yang menggunakan simbol mudah diterka
karena dikaitkan dengan kalimat berikut.
Pen : Apa perbedaan Ken Arok masa singosari dengan Ken Arok
dalam novel Arok Dedes ?
R (8) : kalau jaman kerajaan singosari dimulai dari wanita dulu baru
tahta, tapi di novel Arok Dedes diawal merebut tahta baru
mendapatkan wanita.
Pen : Bagaimana pendapat Bapak tentang Pramudya?
R (9) : gambaran karyanya antipati pada pemerintah tetapi aslinya tidak,
dia hanya memberikan gambar pemerintah itu seperti ini,
menggambarkan pemerintahan seperti ini kalau jelek ya jelek, ada
sisi yang lain.
Pen : berarti dari mana sudut pandang pembaca?
R (10) : ya betul dari sudut pandang masing-masing. Ada falsafah jawa
sopo nandur bakal ngunduh
Pen : Apa inti dari arok dedes
R (11) : menggambarkan politik ala jawa kudeta secara jawa , ibarat
main catur bagaimana orang yang berperan itu pandai-pandai
menjalankan bidak dengan umpan dan pengorbanan yang hasilnya
ingin menang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
TANGGAPAN PENELITI (TP)
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Drs.
Suwito, M.Pd. pada hari Senin, 10 Maret 2014, dapat diketahui bahwa tema dalam
novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer yaitu menggambarkan politik
ala jawa kudeta secara jawa , ibarat main catur bagaimana orang yang berperan
itu pandai-pandai menjalankan bidak dengan umpan dan pengorbanan yang
hasilnya ingin menang. Pendapatnya tersebut tidaklah berlebihan karena baginya
hal-hal yang diungkapkan Pramudya dalam Arok Dedes sangat menyoroti
pergantian pemerintahan dari Tunggul Ametung yang direbut oleh Ken Arok hal
ini dikaitan dengan pergantian pemerintahan dari presiden Soekarno ke tangan
presiden Soeharto.
Sedangkan untuk nilai pendidikan, Suwito mengkritis satu hal dalam
bahasa Jawa sopo nandur bakal ngunduh (siapa menanam pasti memetik hasilnya)
memberi pengertian bahwa siapapun orang yang menanam kebaikan ia akan
mendapati kebaikan itu untuk diri sendiri sebaliknya yang menananm keburukan
makan pada akhirnya ia sendiri yang akan mendapatkan keburukan itu.
Secara umum, Suwito menilai bahwa novel Arok Dedes merupakan
karya sastra yang penuh pembelajaran dalam arti luas. Pembaca tidak hanya
sekedar diajak membaca karya sastra, tetapi juga diajak menengok sejarah bangsa
Indonesia mengenai perpindahan dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto. Bagi
Suwito, novel Arok Dedes banyak memuat amanat yang layak dijadikan bahan
refleksi bagi pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
LAMPIRAN 2: Catatan Lapangan Hasil Wawancara dengan Pembaca Umum
(Mahasiswa)
Peneliti (Pen) : Bagaimana pandangan Anda tentang Pramudya Ananta Toer
Reseptor (R) (1) : pramudya itu cerdas, (mengungkapkan sebuah cerita bukan
langsung dari kata-kata itu, pembaca secara tidak langsung
dituntut mencari apa maksud cerita itu. Jadi pembaca juga
harus cerdas, jadi tidak langsung A sama dengan A tapi
dalam A itu ada B, C dan lainnya. Pramudya juga cenderung
kepada kritik.
Pen : Bagaimanakah pendapat Anda mengenai novel Arek Dedes
R (2) : Setelah membaca novel ini, pandangan saya berubah 175%,
dulu saya mendegar cerita Ken Arok dan Ken Dedes di kelas
4 SD dari guru IPS, ceritanya begini; Ken Arok itu orang
jahat, dia membunuh Tunggul Ametung dengan keris Mpu
Gandring yang disalahkan Kebo Ijo, seolah-olah Ken Arok
sebagai penjahatnya, tidak dilihat watak dari Tunnggul
Ametung, hanya mengecap Ken Arok itu pembunuh dan
penjahat, sedangkan tidak diceritakan mengapa arok berbuat
seperi itu. Di novel ini diceritakan Ken Arok memberontak
itu karena terjadi ketidakadilan di Tumapel. Tunggul
Ametung itu mantan sudra , dia arok maksudnya dia itu dulu
merampok memang pekerjaannya merampok tapi Ken Arok
merampok itu karena terjadi ketidakadilan saat itu.
Ken Arok itu orangnya setia ; ia pernah berjanji dengan
bapak pertamanya Ki Lembung yaitu ingin mensejahterakan
keluarganya setelah dewasa dan berhasil ia tidak melupakan
janjinya. Demikian juga pada Umang, dia akan menyayangi
sampai kapan pun terbukti Ken Arok menjadikan Umang
istrinya meskipun tidak secantik Ken Dedes.
Nomor Catatan Lapangan : 2
Nama Reseptor : Ponco Nugroho
Profesi : Mahasiswa (Bahasa Indonesian, FKIP-UNS
Hari, tanggal wawancara : Senin, 17 Maret 2014
Waktu Wawancara : 09.00 – 10.00 WIB
Tempat Wawancara : Lobi Kampus C FKIP UNS
93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Ken Arok itu juga cerdas; cerdas dalam berkata-kata terbukti
dalam berseteru dengan Mpu Gandring, waktu membuat
senjata Mpu Gandring tidak mau maka dengan
berargumentasi Mpu gandring kalah setelah ditagih janjinya
Mpu Gandring kalah. Mpu Gandring berdusta dan berkhianat
dengan Yang Panca gina karena Ken Arok tegas maka Ken
Arok menghukum ia tidak pandang bulu termasuk pada
sahabatnya. Tapi disisi lain tetap memberi pilihan pada
sahabatnya, tegas pada tunggul ametung yang telah
membunuh anak sendiri,
Rasa kasih sayang pada ibu dan ayahnya juga membalas
budi.
Pen : Bagaimana kisah ken Arok yang saudara dengar selama ini
dengan Arok Dedes yang mencolok ?
R (3) : saya masih kecil dicekoki apapun diterima, arok sebagai
penjahat. Arok cerdas menyampaikan apa yang dia pikirkan,
tunggul ametung dulu orang baik tapi ternyata dia penjahat
yang juga akan mengkhianati Kerajaan Kediri, tunggul
Ametung mencuri emas dari kaum syiwa, padahal tunggul
Ametung itu akuwu harus memberi contoh yang baik tapi kok
malah merampok.
Perbedaan berikutnya tentang keris, kalau cerita lama ken
arok memesan keris pada Mpu Gandring karena kerisnya
belum selesai maka Mpu Gandring dibunuh, ternyata tidak
kalau di Arok Dedes yang berkhianat Mpu gandring dicerita
pertama yang salah ken arok tapi yang kedua yang salah Mpu
gandring karena berkhianat apa yang telah dijanjikan tetapi
ternyata senjata bukan keris, dihalaman terakhir kebo ijo
mau mengambil alih istana “iki eken arok ngeini keris kapan?
Ternyata yang saya pahami selama ini salah meskipun ini
sastra tapi bisa ditelaah secara logis. (kalau yang dulu ada
kutukan tapi sekarang tidak ada)
Pen : pembuatan novel itu pram di pulau buru, ada tidak kaitan
dengan masa itu ?
R (4) : ada, meloncatnya ke orde baru pram ini kritik yang pedas
untuk orde baru, dia mengambil kelicikan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
pemberontakan orde baru meskipun terdapat perbedaan
cerita, sehingga mend setnya jadi berbeda
Pen : nilai didik apa yang dapat diambil
R (5) : peduli, ken arok peduli dengan ketidakadilan di
lingkungannya, setia pada kawan maupun lawan, saling
menghormati, tegas, menghilangkan perbudakan, berjiwa
satria. Balas budi.
Pen : bagaimana tanggapan dengan sastra yang berlatarbelakang
sejarah
R (6) : ada 2 karena pro dengan pemerintah atau benar-benar kritis,
seorang sastrawan tidak boleh terlalu kritis dalam
menyampaikan kebenaran, jadi hanya menyampaikan
kebenaran sesuai dengan sejarahnya yang baik tidak yang
positif.
Pen : bagaimana dengan kondisi pemerintahan sekarang
R (7) : sama, menurut sayang lingkaran setan; maksudnya
pemerintahan berulang dari orde lama ke orde baru terus ke
orde reformasi
Pen : berarti ken arok indonesia masih terus berulang
R (8) :bukan ken arok tapi kelicikannya yang diambil, ken arok
bertindak memang harus ditindak
Pen : kalau ken arok sendiri bertindak dari hati dan memang harus
dilakukan
R (9) : setelah ken arok memerintah Singosari kan jadi besar,
pemimpin satu komunitas dan besar berarti pemimpin itu
hebat, berarti Ken Ariok itu hebat. Bisa mengalahkan kediri
meskipun licik
Pen : maksudnya licik bagaimana
R (10) : dalam peperangan tidak ada kebaikan dan kejahatan, adanya
kalah atau menang, tidak ada benar atau salah, mereka
mempunyai keyakinan masing-masing
Pen : pendapat anda sendiri khusus arok dedes
R (11) : arok dedes sangat luar biasa bisa merubah meansed saya
selama ini tentang ken arok. Buku ini sangat luar biasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
TANGGAPAN PENELITI (TP)
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada Ponco
Nugroho pada hari Senin, 17 Maret 2014, dapat diketahui bahwa tema dalam
novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer yaitu menggambarkan politik
yang ada di Indoensia dari orde lama ke orde baru dan orde reformasi.
Pendapatnya tersebut tidaklah berlebihan karena baginya hal-hal yang
diungkapkan Pramudya dalam Arok Dedes sangat menyoroti pergantian
pemerintahan dari Tunggul Ametung yang direbut oleh Ken Arok hal ini dikaitan
dengan pergantian pemerintahan dari presiden Soekarno ke tangan presiden
Soeharto.
Sedangkan untuk nilai pendidikan, Ponco Nugroho berpendapat ada
beberapa hal antara lain: kepedulian dengan ketidakadilan di lingkungannya,
setia pada kawan, saling menghormati, tegas, menghilangkan perbudakan, berjiwa
satria. Balas budi .
Secara umum, Ponco Nugroho menilai bahwa novel Arok Dedes
merupakan karya sastra yang penuh pembelajaran dalam arti luas. Pembaca tidak
hanya sekedar diajak membaca karya sastra, tetapi juga diajak menengok sejarah
bangsa Indonesia mengenai perpindahan dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto.
Bagi Suwito, novel Arok Dedes banyak memuat amanat yang layak dijadikan
bahan refleksi bagi pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Sinopsis
Arok Dedes
Karya Pramoedya Ananta Toer
Dikisahkan, berita tentang kecantikan seorang perempuan yang juga putri
seorang Brahmana bernama Mpu Purwa, sampai ke telinga Tunggul Ametung.
Tunggul Ametung lalu memerintahkan untuk menculiknya dan kemudian
dinikahinya secara paksa. Perempuan itu adalah Dedes. Mpu Purwa yang tidak
pernah mengakui kekuasaan Tunggul Ametung mengetahui anak gadisnya diculik
marah dan bersumpah, bahwa Tungul Ametung akan mati terbunuh sedangkan
dari rahim Dedes akan lahir orang-orang besar (raja).
Ametung berkuasa hanya karena keberanian dan kekejamannya,
sesungguhnya ia adalah orang bodoh, tidak bisa membaca ataupun menulis. Ia
seorang dari kelas sudra. Ia mewajibkan upeti kepada rakyatnya untuk kemudian
sebagian ia serahkan pada Kediri. Dengan begitu kekuasaannya tetap terlindungi.
Pemerintahan Tunggul Ametung tidak membawa kemakmuran bagi
rakyatnya, tetapi justru sebaliknya membawa penderitaan. Salah satu
penyebabnya adalah tindakan para aparat pemerintahnya yang sewenang-wenang
merampas tanah milik rakyat. Tindakan semena-mena seperti ini telah
menimbulkan keresahan dan perlawanan rakyat di Tumapel.
Di tempat terpisah, hidup seorang pemuda bernama Arok. Dikisahkan, saat
masih bayi Arok dibuang ibu kandungnya kemudian ditemukan dan dijadikan
anak pungut oleh Ki Lembung. Suatu hari sepulang menggembala, Ki Lembung
mendapati satu kambingnya hilang, ia marah dan Arok pun diusirnya. Arok tidak
mengakui jika kambingnya itu ia berikan pada penduduk desa yang harta
bendanya habis dirampok prajurit Tunggul Ametung. Kejadian itu pula yang
membuatnya menyadari kekejaman penguasa Tumapel dan mulai tumbuhnya
benih kebenciaan terhadap Tunggul Ametung. Arok kemudian bertemu dengan
Bango Samparan dan dijadikan anak angkatnya, yang kemudian mengantarkannya
untuk berguru pada seorang brahmana yatu Mpu Trantipala. Kecerdasan dan
ketangkasanya telah memikat hati para brahmana. Mereka mempunyai satu
97
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
kesamaan: menginginkan Tunggul Ametung turun dari kekuasaannya. Arok pun
di nobatkan sebagai;’garuda harapan kaum brahmana.’
Dengan kepandaian yang dimiliki Arok berhasil menyatukan semua
pemberontak yang menginginkan Tunggul Ametung turun dari kekuasaannya.
Strategi pun dimulai untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Dengan
koneksi yang dimiliki seorang brahmana bernama Lohgawe, Arok masuk dalam
lingkungan kekuasaan Tunggul Ametung sebagai seorang prajurit. Karirnya dalam
jajaran prajurit Tunggul Ametung melesat karena Arok selalu berhasil
memadamkan setiap pemberontakkan. Padahal tak pernah ada pertempuran antara
prajurit Arok dan pemberontak karena Arok lah yang mengatur dan membawahi
pemberontakkan itu.
Kehadiran Arok dilingkungan penguasa Tumapel, dengan kepandaiannya dalam
membaca dan menulis sansekerta menarik perhatiaan Dedes. Terlintas
dipikirannya bahwa Arok (seorang brahmana muda cerdas) yang lebih pantas
menjadi pendampingnya dan menjadi penguasa Tumapel,
Pada waktu yang bersamaan, Mpu Gandring, seorang pandai besi pembuat
dan pemilik pabrik senjata di Tumapel, menyusun strategi lain untuk melakukan
kudeta. Ia menghasut beberapa prajurit dibawah komando Kebo Ijo untuk berada
dipihaknya dengan imbalan emas dan sebagian kekuasaan.
Rencana kudeta Arok yang didukung para Brahmana bukan semata
menginginkan penguasa yang dinilai bijak dan baik, para brahmana menginginkan
Arok mengembalikan kebesaran dewa Syiwa karena selama di bawah kekuasaan
Tunggul Ametung, dewa Wisnu yang di agung-agungkan, dewa yang dianut
kebanyakan kelas sudra. Jadi di sini ada kepentingan agama yang dipertaruhkan.
Mpu Purwa, Ayah Dedes, salah satu brahmana yang mendukung kudeta
ini. Arok menyusup ke dalam pekuwuan Tumapel dengan menjadi prajurit atas
bantuan dang Hyang Lohgawe dan bertemu dengan Dedes. Dalam pertemuan ini
mereka memutuskan untuk bekerja sama menggulingkan kekuasaan Tunggul
Ametung. Hal ini membuat Dedes, mau tidak mau, terlibat secara langsung dalam
pembunuhan suaminya sendiri. Untuk menjatuhkan Tunggul Ametung.
Kesadaran, bahwa ia sedang menempa maker, dirasakannya suatu hal yang sangat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
besar dan tubuhnya kurang kuat menampung. Melintas wajah Mpu Parwa di
hadapannya, ayah tercintanya ini mengangguk membenarkan. Kemudian melintas
wajah Dang Hyang Lohgawe. Brahmana itu dilihatnya mengangguk
membenarkan. Selama perencanaan kudeta Ken Dedes mulai terlibat secara
langsung pada urusan istana. Sebelumnya ia mengurung diri sebagai bentuk rasa
bencinya pada suaminya, Tunggul Ametung. Namun hatinya mulai bergejolak,
bagaimana pun Tunggul Ametung adalah ayah dari bayi yang baru di kandungnya
2 bulan. Ia tidak menginginkan anaknya lahir tanpa seorang ayah. Di lain pihak,
dukungannya terhadap pembunuhan suaminya berarti baktinya terhadap orang tua
dan dewa Syiwa.
Ada Kelompok lain akan menggulingkan Tunggul Ametung adalah
kelompok yang dipimpin oleh Yang Suci Belakangka. Kelompok ini ingin
menempatkan kekuasaan Kediri langsung di Tumapel. Caranya dengan
menggulingka kekuasaan Tunggul Ametung dan mengangkat keluarga Sri
Baginda sebagai penguasa di Tumapel.
“Belakangka merasa puas dapat menggengam pasukan kuda Tumapel di
dalam kekuasaan Kediri. Dalam waktu belakangan ini utusan-utusanya tak pernah
mengalami gangguan atau hilang di tengah jalan. Ia selalu perintahakan utusan
menempuh jalan utara yang bercabang-cabang , sehingga pencegatan dan
penyusulan lebih mudah dapat dihindari, kecuali bila benar-benar kepergok.
Ia telah berhasil melumpuhkan sag pati dan para menteri. Mereka tinggal
menjadi boneka-boneka yang patuh.
Ia telah mengisyaratkan pada Kediri agar sudra terkuat yang seorang satria
dan bahwa waktu untuk itu telah hamper selesai. Bila kerusuhan-kerusuhan telah
dapat dipadamkan, Tunggul Ametung sudah akan sangat lelah, dan keluarga sri
Baginda dengan mudah akan dapatdi tempatkan di Tumapel
Runtuhnya kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel akibat perlawanan
rakyat yang diwujudkan dengan mobilisasi kekuatan rakyat bersenjata ke pusat
pemerintahan Tumapel di Kutaraja. Perlawanan ini di pimpin oleh seorang lelaki
bernama Arok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Kini mereka mulai mengetahui, benar-benar pasukan besar Arok sudah
datang menerjang kota dari tiga jurusan. Tak ada tempat yang mereka gunakan
untuk berlindung. Asrama yang pada mula mereka gunakan untuk berkumpul, kini
mereka tinggalkan lagi dalam keadaan bingung tanpa perwira tanpa tamtama.
Mereka hanya bisa mengangkuti harta benda paling berharga, membela diri secara
perorangan danmelarikan diri ke arah timur. Daerah hutan belantara yang belum
terjamah manusia.
Gelombang dari luar kota menguasai Kutaraja setapak demi setapak,
meninggalkan prajurit-prajurit Tumapel bergelmpangan, dan mendesak terus
Tunggul Ametung di Tumapel. Gedung pekuwuan terkepung rapat dengan
tombak. Sorak parau makin menderu-deru, menggetarkan para tamtama yang
kebingungan menunggu di pendopo. Kemudian orang melihat Kebo Ijo keluar
dari bilik dengan pedang berlumuran darah.
Paramesywari didampingi oleh Arok dan dikawal oleh regu besar bertobak
naik dari depan ke pendopo. Orang bersorak menyambut.
Pada akhirnya, ambisi Ken Arok tercapai. Tunggul Ametung dengan
sebuah keris buatan Mpu Gandring miliknya yang selama ini ia titipkan pada
Kebo Ijo. Istana gempar, kesempatan itu digunakan Arok untuk membunuh Kebo
Ijo yang dituduh membunuh Tunggul Ametung. Dengan meninggalnya Tunggul
Ametung Arok menjadi penguasa Tumapel beristrikan Ken Dedes. Dan Lohgawe
pun memberikan gelar Ken yang digunakan di depan namanya. Sebelumnya Arok
telah menikah dengan seorang perempuan bernama Umang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user