dialog - connecting repositories · 2020. 3. 21. · dialog vol. 37, no. 2, des 2014 iii...
TRANSCRIPT
Dialog Vol. 37, No. 2, Des 2014 i
ALAMAT REDAKSIBadan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Gedung Kementerian Agama Jl. M.H. Thamrin No.6 Jakarta PusatTelp/Fax. (021) 3920688-3920662
WEBSITE:www.balitbangdiklat.kemenag.go.id
ISSN : 0126-396X
Jurnal Dialog diterbitkan satu tahun dua kali, pada bulan Juni dan Desember oleh Badan Litbang dan DiklatKementerian Agama RI. Jurnal Dialog sebagai media informasi dalam rangka mengembangkan penelitiandan kajian keagamaan di Indonesia. Dialog berisi tulisan ilmiah dan hasil penelitian dan pengembanganterkait dengan masalah sosial keagamaan. Redaksi mengundang para peneliti agama, cendekiawan danakademisi untuk berdiskusi dan menulis secara kreatif demi pengembangan penelitian maupun kajiankeagamaan di Indonesia dalam jurnal ini.
PEMIMPIN UMUMProf. Dr. Machasin, M.A.
PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNG JAWABDr. M. Hamdar Arraiyyah, M.Ag.
WAKIL PEMIMPIN REDAKSIIr. Sunarini, M.Kom.
SEKRETARIS REDAKSITaufik Budi Sutrisno, S.Sos., S.IPI
MITRA BESTARI (PEER REVIEW)Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A. (Filsafat Agama)
Prof. Dr. M. Hisyam (Sejarah)Prof. Dr. Masykuri Abdillah, M.A. (Hukum Islam)
Prof. Dr. M. Atho Mudzhar (Sosiologi Hukum)
DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD)Prof. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D (Sejarah dan Kebudayaan Islam)
Prof. Dr. Dedi Djubaedi, M.Ag (Kehidupan Keagamaan)Prof. Dr. Imam Tholkhah (Pendidikan Agama)
Drs. Choirul Fuad Yusuf, S.S, M.A. (Lektur Keagamaan)Drs. Muhammad Shohib, M.A. (Tashih Mushaf)
Dr. Lukmanul Hakim
REDAKTUR PELAKSANADr. Muhammad Rais, M.A
SEKRETARIAT REDAKSIMuh. Ihyakulumuddin, S.Si
Abdul Syukur, S.KomWawan Hermawan S.Kom
Lisa Habiba, S.E.Sri Hendriani, S.Si.
DESAIN GRAFISAbas Al-Jauhari, M.Si
Arif Gunawan Santoso, S.Si.
Vol. 37, No. 2, Des 2014
brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by Dialog (E-Journal)
ii Dialog Vol. 37, No. 2, Des 2014
PENGANTAR REDAKSI
Khazanah intektualitas Islam, klausul yang
menjadi benang merah yang mempertautkan
beragam genre karya tulis ilmiah yang tersaji
dalam jurnal dialog volume 2, nomor 2, Desember
2014. Beranjak dari reinterpretasi yang dilakukan
oleh Agus Iswamnto terhadap naskah-naskah
(naqd al-nushush) yang direservasi di Keraton
Yogyakarta. Memanfatkan metode filologi sebagai
perangkat analisis terhadap teks-teks yang
terpapar dalam naskah-naskah tersebut, Agus
mendeskripsikan perjumpaan apik dan harmonis
melalui alur inkunturasi antara tradisi (turast)
Islam dengan kearifan lokal Jawa. Dua tradisi
yang berbasis pada pandangan dunia yang berada
pada kutub yang berlawanan tersebut dicairkan
melalui proses dialog, negosiasi, reinterpretasi
bahkan reproduksi budaya hibrid secara terus-
menerus mengikuti semangat zaman (zeitgeist).
Jika Agus mendedah dan mereinterpretasi
naskah-naskah yang memuat khazanah
intelektual yang diproduksi secara kultural di
awal abad ke-19 dengan nuansa Keraton yang
sangat kental, maka dengan genre keilmuan yang
sama Fakhriati menelisik tradisi intelektual yang
direproduksi kalangan ulama Bogor yang
sejatinya mendeskripsikan pergulatan
(decentring) antara tradisi Islam dan lokal
wisdom yang eksis di Tataran Sunda tersebut.
Meminjam istilah Geertz, ulama sebagai para
pialang budaya, Fakhriati menemukan realitas
yang mengitari ulama Bogor yang meniscayakan
mereka bertanggungjawab dalam
mengembangkan tradisi intelektual umat. Tradisi
yang dipengruhi oleh lokalitas budaya yang
khas. Dalam terang ilmu filologi pula, ditemukan
bahwa antara karya ulama yang hidup dan
berkiprah pada era sebelum pergerakan Nasional
dengan buah pena ulama kontemporer terdapat
perbedaan, perbedaan itu mengejawantah pada
konten dan bahasa yang digunakan, tampaknya
benar klaim Ludwig Winstensgein bahwa
bahasamu adalah batas duniamu.
Beranjak dari kajian teks menuju deskripsi
konteks, kita diintermediasi institusi pendidikan-
formal maupun non formal, ciri khas Islam
maupun pendidikan umum ansich-, bermula dari
hasil refleksi Husen Hasan Basri, relevansinya
dengan keragaman orientasi pendidikan di
pesantren, tipologi yang dibangun Husen-
walaupun tidak konsisten-, meliputi; pesantren
salafiyah dengan tipikal dinamisasinya, Pondok
Modern Gontor dan jaringannya, pembaharuan
pendidikan menjadi tema yang secara terus-
menerus diusung sejak awal pendiriannya.
Beragam pesantren salafi mengkonstruk
pendidikannya ke arah kontinuitas kultur salafi.
Pada domain institusi pendidikan umum
berciri khas Islam, Erlina mendedah tingkat
pencapaian manajemen madrasah dalam upaya
akselerasi peningkatan mutu, memilih –secara
purposefull-MTs Muallimat Yogyakarta sebagai
lokus penelitian dan berbekal varibel madrasah
unggul, Erlina mendaulat MTs ini sebagai
madrasah unggulan dan favorit dengan indikator
seluruh komponen sumberdaya manusianya
memiliki integritas, didukung sarana dan
prasarana yang memadai. Faktor pendukung
keunggulan linnya adalah kekuatan jaringan
organisasi serta partisipasi masyarakat dan
Pemerintah. Profesionalisme pengelola juga turut
mendeterminasi keseuksesann madrasah ini yang
berimplikasi pada prestasi yang diraih peserta
didik yang dapat mandiri.
Pranata sosial-keagamaan yang berorientasi
pada dunia kepenyuluhan sebagai salah satu
wadah pendidikan agama dan keagamaan,
dideskripsikan secara apik oleh Abdul Jamil
melalui riset kualitatif di Kota Denpasar-Bali,
dalam terang grounded research, Jamil menenun data
dan fakta terkait program pemerintah daerah,
khususnya Kementerian Agama dalam
pengembangan kapasitas (capacity building) dan
kompetensi para penyuluh agama. Upaya ini
signifikan dalam rangka meretas problem yang
Dialog Vol. 37, No. 2, Des 2014 iii
menggelayuti para penyuluh agama, terdiri dari:
ketuntasan kinerja yang masih sangat minim,
kurangnya kontrol, belum adanya standar
operasional dan kinerja yang menjadi
benchmarking efektifitas bimbingan dan
kepenyuluhan, minimnya infrastruktur
kepenyuluhan serta kurangnya diklat lanjutan
yang berimplikasi pada buruknya kinerja pada
penyuluh.
Artikel-atrikel yang relevan yang tidak
didedah dalam pengantar ini juga sangat menarik
untuk baca, dan direfleksi, terutama hasil review
buku yang dilakukan Rumadi terhadap buku
Paul Marshall dn Nina Shea yang berjudul
“Silenced: How Apostasy and Blasphemy Codes
are Choking Freedom Worldwide, buku ini
mengkaji fenomena murtad dan penodaan agama.
Selamat Membaca
Redaksi
iv Dialog Vol. 37, No. 2, Des 2014
Dialog Vol. 37, No. 2, Des 2014 v
DAFTAR ISIISSN : 0126-396X
Jurnal DIALOGVol. 37, No. 2, Des 2014
AGUS ISWANTO
Naskah-Naskah di Kraton Yogyakarta: Reintrepretasi Islam Jawa: 137-148
M. ZAKI MUBARAK
Terorisme di Indonesia: Faktor-Faktor Keluarga, Teman dan Kegiatan Keagamaan: 149-164
KHAMAMI ZADA
Konflik Rumah Tuhan: Prakarsa Perdamaian Antarumat Beragama di Indonesia: 165-174
ASNANDAR ABU BAKAR
Pelaksanaan Pendidikan Agama pada SMA YPK Diaspora Kota Jayapura: 175-184
ABDUL JAMIL
Pelaksanaan Penyuluhan Agama dan Pembangunan oleh Penyuluh Agama di KotaDenpasar Bali: 185-196
HUSNI MUBAROK
Memperkuat Forum Kerukunan Umat Beragama: 197-208
HUSEN HASAN BASRI
Keragaman Orientasi Pendidikan di Pesantren: 209-222
FAKHRIATI
Ulama Bogor dalam Pengembangan Tradisi Intelektual: Antara Tradisi, Tantangan danUpaya 223-234
ERLINA FARIDA
Pengelolaan Peningkatan Mutu Madrasah: Studi Kasus MTs Muallimat Yogyakarta: 235-248
BOOK REVIEW
RUMADI
Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam Kebebasan?: 249-258
vi Dialog Vol. 37, No. 2, Des 2014
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 207
ABSTRAK
Pesantren mengalami perkembangan yang pesat baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.Perkembangan kuantitatif dapat dilihat dari jumlah lembaga dan santri yang terus meningkat.Secara kualitatif, pesantren memiliki orientasi pendidikan yang beragam. Bagaimana pesantrenmemandang dan mengartikulasikan pendidikan yang diselenggarakan. Dengan mengambil beberaparagam dan varian pesantren sebagai sasaran yang diangkat dari hasil penelitian tentang topikpesantren yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaandalam sepuluh tahun terakhir serta studi yang dilakukan oleh beberapa individu atau lembagapenelitian lain, menunjukkan keragaman orientasi pendidikan yang dipengaruhi oleh fahamkeagamaan dan muatan ideologi pimpinan dan para pengelolanya. Ragam pesantren salafiyah(tradisional) memperlihatkan adanya dinamisasi pendidikan. Pada ragam pondok modern Gontordan jaringannya, pembaharuan pendidikan menjadi tema yang terus diusung sebagaimana yangdigariskan sejak pendiriannya. Sedangkan pada beberapa varian pesantren yang memiliki akarpada pondok modern Gontor seperti al-Mukmin Ngruki, al-Zaitun, dan Hidayatullahmengorientasikan pendidikannya pada penyiapan kader Islam. Orientasi pendidikan salafi dapatdilihat pada pesantren-pesantren yang belakangan disebut sebagai ragam pesantren salafi. Bahkan
ragam pesantren salafi mengkonstruk pendidikannya ke arah kontinuitas kultur salafi.
KATA KUNCI:Ragam pesantren, orientasi pendidikan
ABSTRACT
Pesantren (Islamic boarding schools) have been experiencing a rapid growth both quantitatively andqualitatively; shown by the increasing numbers of pesantren and their santri (students) as well as by the variouseducational orientations. This paper explores how pesantren viewed and articulated the education that they conducted.It applies literature study on several pesantrens which were previously investigated by the Research and DevelopmentCentre of Religious Education/Religiousity, other institutions, and individuals for the last 10 years. Additionally,it points out that the diversity of pesantren’s educational orientation was by and large influenced by the ideologyof their leaders and managers. A variety of salafiyah (traditional) pesantrens showed a phenomenon of educationaldynamicity. As for the variants of modern Gontor pesantren and its networking, education reformation has beenthe main issue as coined by their founders. Some other pesanten that had relations to modern Gontor pesantren,such as al-Mukmin Ngruki, al-Zaitun, and Hidayatullah focused on preparing Muslim cadres. Moreover, thevariants of salafi pesantren constructed their education orientation to maintain the continuity of salafi cultures.
KEY WORDS:Pesantren variousity, educational orientation
TOPIK
KERAGAMAN ORIENTASI PENDIDIKAN
DI PESANTREN
H U S E N H A S A N B A S R I*)
*) Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat KementerianAgama Republik Indonesia. Jln. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta, Telp: +6281319157303. Email: [email protected].
* Naskah diterima Juli 2014, direvisi September 2014, disetujui untuk dimuat Oktober 2014
208 Keragaman Orientasi Pendidikan ...
A. PENDAHULUAN
Dunia pesantren tampaknya telah mengalamiperkembangan secara signifikan. Perkembangantersebut bukan hanya bersifat kuantitatif yangterlihat dari jumlah kelembagaan dan santri yangterus meningkat,1 tetapi juga perkembangan yangbersifat kualitatif antara lain: visi yang dibuat,misi yang dijalankan, program pendidikan yangdiselenggarakan, kurikulum yang dipakai, polakepemimpinan, pengaruh ideologi dan fahamkeagamaan serta jaringan yang terbangundengan dunia luar, sampai kepada peranpesantren yang semakin luas (wider mandate).Semuanya sangat mempengaruhi orientasipendidikan pesantren.
Perkembangan pesantren dengan orientasipendidikannya secara umum berlangsung secaraadaptif gradual dan penuh kehati-hatian agarpesantren tetap menjalankan peran sosialisasi,menjaga tradisi dan identitas kultur keagamaan(salafiyah), tetapi juga tetap membuka peran-peran perubahan sesuai dengan perubahan dankebutuhan umat. Prinsip “al-Muhafadhotu ‘ala al-Qadimi ash-Shalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” hingga sekarang masih berlaku dikalangan masyarakat pesantren dalam melakukanadaptasi secara cerdas dan arif terhadap tuntutansistem di luarnya.
Perkembangan linear pesantren yang padaawalnya lebih memerankan diri sebagai lembagakeagamaan dan dakwah tempat para santribelajar dan mendalami ilmu-ilmu agama Islamyang berbasis kitab kuning, kemudianberkembang menjadi pusat-pusat pendidikan danpengembangan masyarakat. Bentuk pendidikanyang semula lebih bersifat nonformal, ngajidengan metode bandongan dan soroganberkembang menjadi pusat-pusat pendidikandengan penyelengaraan bentuk pendidikanformal seperti PAUD (RA dan TK), madrasah (MI,MTs, MA), sekolah (SD, SMP,SMA, SMK), danpendidikan tinggi (PTA dan PTU). Banyakpesantren mengembangkan berbagai jenisketerampilan, agrobisnis, perdagangan dan jasa
serta pengembangan masyarakat yang lebih luas.Sehingga sebagian pengamat pendidikanmenyebutkan pesantren menjalankan peran-peran seperti “holding company”.2
Pesantren sebagai lembaga pendidikankeagamaan atau lembaga pendidikan berbasisagama, maka orientasi pendidikannya sangatdipengaruhi oleh faham keagamaan dan muatanideologi pimpinan dan para pengelolanya.Orientasi pendidikan di pesantren-pesantrensalafiyah—kalangan pesantren sendiri mengacukepada pengertian “pesantren tradisional”—lebihmenampakkan wajah yang ramah terhadaptradisi dan budaya lokal yang menandaipenyebaran Islam secara damai. Nama-namapesantren salafiyah lekat dengan tempat dimanapesantren berada seperti; Pesantren Tebuireng,Lirboyo, Tremas, Situbondo, Genggong, BlokAgung, Guluk-Guluk, Lasem, Mranggen,Kaliwungu, Tegalrejo, Buntet, Kempek, BabakanCiwaringin, Cipasung, Gunung Puyuh,Pagentongan, Citangkil dan sebagainya.
Sementara di sisi lain muncul pesantrendengan orientasi pendidikan yang berbedadengan pesantren-pesantren tradisional, merekamenamakan diri dengan Pondok ModernDarussalam Gontor (PMDG) di Jawa Timur yangdidirikan tahun 1926. Meskipun memiliki kulturkepesantrenan yang sudah ada, PMDG sejak awalmengorientasikan pendidikannya kepada konseppendidikan modern dan semangat reformasi.PMDG dan model PMDG baik sebagai cabangmaupun dikelola alumni PMDG mengalamiperkembangan yang cukup pesat.
Hubungan kultural, pendidikan dan agamayang telah berlangsung lama antara Indonesiadan negara Timur Tengah, bukan hanya dalambentuk transmisi ilmu-ilmu keislaman, tetapi jugabanyak yang tertarik mempelajari pemikirankeagamaan ataupun ideologi yang berkembangdi Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin danSalafi yang mereka bawa ke Indonesia. Haltersebut mulai dirasakan dengan munculnya
1Data yang ada di Kementerian Agama tahun 2003-2004jumlah pesantren tercatat sebanyak 14.656. Pada tahun 2006-2007 atau 3 tahun kemudian mencapai 17.506 pesantren denganjumlah santri mencapai 3.289.141 orang. Pada tahun 2008-2009atau 2 tahun kemudian mencapai 24.206 pesantren dengan jumlahsantri mencapai 3.647.719 orang. Pada tahun 2011-2012 atau 3tahun kemudian mencapai 27.218 pesantren dengan jumlah santrimencapai 3.643.038 orang.
2 Perluasan peran (wider mandate) pesantren oleh sebagianmasyarakat pesantren dinilai sebagai fenomena positif. Haltersebut menunjukkan bahwa keberadaan pesantren semakinmemperoleh kepercayaan masyarakat dan pesantren secaracerdas dan arif telah memberikan pelayanan pendidikan yangsesuai dengan harapan masyarakat. Meskipun demikian terdapatsejumlah pimpinan pesantren yang menilai sebaliknya danmenganggapnya sebagai sebuah keprihatinan bagi kelangsunganpesantren.
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 209
pesantren yang mengusung gerakan pemurnianajaran Islam berdasarkan al-Qur’an dan Hadisshohih serta muatan ideologi “revivalisme”penegakan Syariat Islam dan berupayamengembalikan kehidupan masa Salafi sebagaikehidupan ideal bagi masyarakat muslim.
Konsep “salafi” yang selama ini dimaknaisebagai pesantren Salafiyah yang akrab denganbudaya lokal dan warna keindonesiaan, bergeserkepada pemaknaan upaya pemurnian ajaranIslam dan pembersihan terhadap tradisi danbudaya lokal yang dianggap tidak sejalan denganal-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah atautermasuk tahayul, bid’ah dan khurafat. Nama-nama pesantren lebih dikenal nama bahasaArabnya daripada nama daerah dimana pesantrenitu berada, seperti Pesantren Al Mukmin Ngruki,Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Ma’had Al-Zaytun dan sebagainya. Bruinessen menyebutpesantren-pesantren tersebut sebagai pesantrenIslamis yang berbeda dengan pesantren salafiyahatau tradisional dan Pondok Modern DarussalamGontor dan jaringannya. Pesantren-pesantrentersebut memiliki hubungan kesejarahan dengangerakan Darul Islam (Bruinessen, 2008: 231-238).Meskipun dipengaruhi oleh kebangkitan gerakanSalafi yang bersifat internasional, kemunculanpesantren-pesantren Islamis lebih terlihat karenafaktor lokal sebagai respon terhadap kebijakanpolitik Islam Orde Baru. Pesantren-pesantrenIslamis ini merupakan varian pesantren yangmemiliki akar pada pondok modern (Subhan,2012: 279-302).
Saat ini berkembang lembaga pendidikanIslam yang mereka anggap sebagai pesantren.Sejarah lembaga pendidikan Islam ini dapatdilacak pada pertengahan tahun 1980-an ketikakomunitas salafi pertama terlihat dan beranimenyatakan diri. Lembaga pendidikan Islam yangdiselenggarakan oleh kelompok tersebutdikategorikan Noorhaidi Hasan sebagaipesantren salafi (Hasan, 2008: 449)..
Lepas dari adanya keragaman, pesantrenberdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 dan PP 55Tahun 2007 telah memperoleh pengakuan sebagaibagian dari sistem pendidikan nasional. Sebagaibagian dari sistem pendidikan nasional, makatujuan pendidikan di pesantren harus mengacudan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.3
Pengakuan tersebut di satu sisi, pesantrendiberikan peluang untuk meningkatkan danmengembangkan perannya di bidang pendidikan.Pada sisi lain, pemerintah dalam batas-batastertentu memiliki kewenangan melakukanpembinaan agar pesantren tetap konsistenmemberikan pelayanan pendidikan yangmengacu kepada tujuan sistem pendidikannasional.
Tulisan ini akan memetakan perkembanganpesantren dalam kaitan dengan orientasipendidikan. Bagaimana ragam dan varianpesantren-pesantren memandang danmengartikulasikan pendidikan yangdiselenggarakannya. Ragam dan varian pesantrenyang menjadi sasaran diangkat dari hasilpenelitian tentang topik pesantren yangdilakukan Puslitbang Pendidikan Agama danKeagamaan dalam sepuluh tahun terakhir sertastudi yang dilakukan oleh beberapa individu ataulembaga penelitian lain.
Tulisan ini merupakan pemetaan awalterhadap orientasi pendidikan pada bentuk danvarian pesantren. Pesantren Sidogiri Pasuruan,Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo,Pesantren Zainul Hasan Genggong, AsramaPerguruan Islam (API) Tegalrejo Magelang, danPesantren Benda Kerep Cirebon mewakili bentukdan varian pesantren tradisional (salafiyah).Pondok Modern Darussalam Gontor danjaringannya merupakan personifikasi dari bentukpondok modern sebagai model. Tulisan ini jugamengangkat kasus pesantren al-Mukmin NgrukiSolo, pesantren al-Zaitun Indramayu, danpesantren Hidayatullah. Ketiga pesantren inimerupakan varian pesantren yang memiliki akarpada pondok modern. Untuk pesantren salafidiangkat kasus pesantren Assunah KalitanjungCirebon.
B. ORIENTASI PENDIDIKAN
Orientasi pendidikan diartikan dengan“image” dan “expectation” terhadap sistempendidikan yang dibangun. Bagaimanapendidikan dipahami, dimaknai dan harapan apayang diperoleh dengan pendidikan yangdibangun. Orientasi pendidikan sangat luas.Salah satunya dapat dilihat dari perspektifpendidikan. Dalam perspektif pendidikan, ada duamisi utama pendidikan. Konsep ini mengarahkanpada dua misi utama pendidikan, yakni sebagai3 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3
210 Keragaman Orientasi Pendidikan ...
misi preservation dan promoting social change. Peranpreservation atau continuity antara lain peransosialisasi, menjaga identitas kultural (culturalidentity), menjaga dan melanggengkan tradisi danbudaya masyarakat dimana pendidikanberlangsung. Sementara misi mempromosikanperubahan sosial (promoting social change)bagaimana pendidikan mengajarkan beragamcara yang akan merubah masyarakat kepadaperbaikan atau kemajuan, pendidikan sebagaiwahana penyebaran pengetahuan, sain danteknologi, nilai-nilai modernitas, berbagaiketerampilan berbasis teknologi sampaipengembangan muatan ideologi. Semakin besarperan preservation atau continuity sebuah lembagapendidikan akan cenderung konservatif, eksklusifkurang terbuka terhadap sistem di luarnya.Sebaliknya semakin besar peran promosiperubahan sosial (promoting social change) sebuahlembaga pendidikan akan cenderung terbukaterhadap sistem di luarnya.4
Perkembangan dan beragamnya pesantrenmemiliki kaitan dengan perkembangan pemikirankeagamaan yang terjadi di dunia Islam. Dalamera globalisasi arus informasi dunia Islam danperkembangan pemikiran agama dengan mudahmerambah ke mancanegara termasuk masyarakatmuslim di Indonesia. Mudah dipahami bilamuncul sejumlah pesantren yang orientasipendidikannya beragam. Perkembanganpesantren sendiri selain memperlihatkantransformasi sistem pendidikan juga merupakanrefleksi dari peta pemikiran keagamaan yang adabukan saja pada skala lokal, nasional tetapi jugainternasional.
Bentuk orientasi pendidikan sebuahpesantren terlihat lebih diwarnai oleh pemahaman
menyatakan: tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkanpotensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwakepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratisdan bertanggung jawab. Dalam PP 55 Tahun 2007 secaraeksplisit dirumuskan Pesantren adalah lembaga pendidikanberbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikankeagamaan Islam dalam pondok pada jalur pendidikan formaldan nonformal. Lebih lanjut dalam PP tersebut disebutkan bahwaPesantren sebagai pusat pendidikan Islam dapatmenyelenggarakan pendidikan terpadu dengan pendidikan umumdan/atau kejuruan pada tingkat dasar, menengah dan tinggi.
4Tentang konsep ini lihat John Jarolimek, The Schools inContemporary Society: An Analysis of Social Currents, Issues, andForces, New York, Macmillan Publishing Co., INC, 1981, hal. 5-8. Khususnya bagian “Dynamic of School-SocietyRelationships”.
keagamaan pimpinan pesantren (kiai) sebagaipemimpin kharismatik yang mengajarkan pahamkeagamaan dan sekaligus sebagai panutan dalampemikiran, sikap dan prilaku santri. Kiai sebagaielemen yang paling esensial dari sebuahpesantren, yang dengan kelebihan ilmunyadalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yangsenantiasa dapat memahami keagungan Tuhandan rahasia alam hingga mereka dianggapmemiliki kedudukan yang tak terjangkau olehkebanyakan masyarakat awam.5
Perkembangan pemikiran dan pemahamankeagamaan yang beragam dari pimpinanpesantren pada akhirnya akan melahirkanorientasi pendidikan dan nilai-nilai budayapesantren yang sangat beragam. Dengan katalain, perkembangan pesantren merupakan refleksidari peta pemahaman dan arus pemikirankeagamaan yang melahirkan pandangan hidup,sikap dan prilaku para santri yang sangatberagam pula.
Dinamisasi Pendidikan di Pesantren SalafiyahMendiskusikan pesantren tidak dapat
dilepaskan dari sejarah Walisongo. MaulanaMalik Ibrahim (w.1419), sebagai “spiritual father”Walisongo, biasanya dipandang masyarakatsantri Jawa sebagai “gurunya guru” tradisipesantren. Pendidikan Islam yang dipeloporiWalisongo merupakan perjuangan brilian yangdiimplementasikan dengan cara sederhana, yaitumenunjukkan jalan dan alternatif baru yangtidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, sertamudah ditangkap oleh orang awam karenapendekatan-pendekatan Walisongo yangkongkrit realistik dan menyatu dengankehidupan masyarakat. Pendekatan IslamisasiWalisongo inilah yang kemudian terlembagadalam tradisi pesantren (Mas’ud, 2000:121-122;Dhofier, 1982: 3).
Asal usul dan sejarah pesantren salafiyah bisadilacak dari gagasan pesantren sederhana yangdiperkenalkan Walisongo. Gagasan Walisongo inimengalami kesinambungan ideologis dankesejarahan pesantren yang tercermin dalamhubungan filosofis dan keagamaan antara taqliddan modeling bagi masyarakat santri.
Corak keberagamaan dan model pengajaran
5Lihat Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studitentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta, LP3ES.
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 211
Islam Walisongo dilanjutkan oleh ulama-ulamaberikutnya yang perannya berubah darimemberikan nasihat kepada raja ke konsentrasiuntuk memberikan pendidikan agama kepadamasyarakat setelah jatuhnya kerajaan-kerajaanmaritim. Berdirinya pesantren-pesantren didaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakanbagian dari budaya politik Jawa dalam KerajaanMataram, di mana regulasi soal-soal keagamaanmenjadi satu aspek penting di kerajaan(Burhanudin, 2012: 74 dan 75). Para rajamemelopori pembangunan pesantren-pesantrendi sejumlah daerah yang secara tradisionaldidesain untuk tujuan keagamaan, yang disebutdesa perdikan—desa-desa di bawah kekuasaankerajaan yang diberi status khusus dalam fungsikeagamaan dan dibebaskan dari pajak. Di desaperdikan inilah, pesantren mula-mula dididirikan.Pesantren Tegalsari adalah contoh pesantren yangdidirikan di desa perdikan oleh Kiai AgungMuhammad Besari (1742-1773) (Burhanudin,2012, 79-81; Asrohah, 2004: 203-215).
Pusat-pusat pesantren di Jawa dalam abadke-19 dan 20 sebagaimana disebutkan Dhofier darimulai pesantren Citangkil di Banten, TegalsariPonorogo, Tebuireng sampai AssembagusSitubondo dan Blok Agung Banyuwangimelanjutkan model gagasan pesantren Walisongodan model pesantren yang dirintis oleh ulama-ulama sebelumnya. Ulama-ulama pesantren atauyang berpengaruh kepada pesantren sepertiSyekh Ahmad Khatib Sambas (w.1875), Nawawial-Bantani (1813-1897), Mahfudz at-Tirmisi(w1919), Syekh Abdul Karim, Ahmad Khatib(1860-1915), Khalil Bangkalan (1819-1925), KHSaleh Darat, KHR Asnawi Kudus (1861-1959), danKH Hasyim Asy’ari (1871-1947) mewarisipendekatan dan kearifan Walisongo (Mas’ud,2004; Dhofier, 1982: 85-96; Burhanudin, 2012: 113-118).
Para pendiri pesantren-pesantren tradisionalumumnya adalah orang yang pernah belajarbertahun-tahun di Mekah dan Kairo. Merekaselain meniru budaya lokal seperti budayaWalisongo juga meniru lembaga-lembaga dimanamereka belajar, yaitu: sistem halaqah yangdiselenggarakan di masjid al-Haram, Al-AzharKairo (riwaq al-Jawa), Madrasah Sawlatiyyah, danmadrasah Darul ‘Ulum al-Diniyah (Bruinessen,2008: 220).
Dinamisasi—meminjam istilah Abdurahman
Wahid (2001: 51-53)—adalah konsep yangdianggap tepat untuk menjelaskan pesantren-pesantren tradisional. Dinamisasi pada dasarnyamencakup dua buah proses, yaitu penggalakankembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada,selain mencakup pula penggantian nilai-nilailama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggaplebih sempurna. Atau dengan kata lain,dinamisasi dipahami “perubahan ke arahpenyempurnaan”
Melalui pendekatan dinamisasi itulahorientasi pendidikan di pesantren-pesantrentradisional atau salafiyah agaknya dapat dibacadan dijelaskan. Kasus pesantren Tebuireng,misalnya, yang diprakarsai KH Hasyim Asy’aritahun 1920-an melakukan pembaharuan sistempembelajaran dalam bentuk madrasah Salafiyahdengan membuka kelas persiapan 1 tahun untuksekolah dasar 6 tahun dalam sistem madrasah.Di Madrasah Salafiyah ini, para muridmempelajari mata pelajaran bahasa Belanda,Sejarah, Ilmu Bumi, dan Matematika, disampingkitab-kitab yang telah ada dalam pembelajarantradisional pesantren (Dhofier, 1982:104;Burhanudin, 2012:368). Apa yang dilakukanPesantren Tebuireng juga dilakukan PesantrenKrapyak, Pesantren Tambakberas, dan PesantrenRejoso. Di pesantren-pesantren itu, tujuanpesantren tidak hanya menghasilkan ulama tetapijuga diarahkan mendidik para santri menjadi“ulama intelektual” dan “intelektual ulama”(Burhanudin, 2012, 368-369). Saat ini di beberapapesantren tersebut diselenggarakan pendidikantinggi baik pendidikan tinggi agama sepertiSekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dan InstitutAgama Islam maupun berbentuk pendidikantinggi umum.
Dalam pembahasan selanjutnya akandipaparkan orientasi pendidikan di beberapapesantren tradisional lain, yaitu: PesantrenSidogiri Pasuruan, Pesantren Salafiyah SyafiiyahSitubondo, Pesantren Zainul Hasan Genggong,Asrama Perguruan Islam (API) TegalrejoMagelang, dan Pesantren Benda Kerep Cirebon.
Kita mulai dari Pesantren Sidogiri Pasuruan.Perubahan bentuk satuan pendidikan yangdikelola oleh Pesantren Sidogiri pada hakekatnyamerupakan perubahan dari sistem pendidikannonformal ke sistem pendidikan formal, dalambentuk satuan pendidikan madrasah. Dengankata lain, perubahan-perubahan bentuk satuan
212 Keragaman Orientasi Pendidikan ...
pendidikan pada Pesantren Sidogiri, padahakekatnya bukan perubahan sistem pendidikanpesantren, karena Pesantren Sidogiri tetapmenjadi pesantren model salafiyah, namun masihtetap mempertahankan sistem pendidikansalafiyahnya, yaitu masih eksis dalam bentukmetode sorogan dan wetonan, bahkan ada usahauntuk lebih meningkatkan seperti kondisi awalberdirinya (Faiqoh, dkk, 2012: 119-120).
Kemandirian Pesantren Sidogiri di bidangekonomi yang ditandai pesatnya kemajuan yangdicapai oleh Kopontren Sidogiri dalam usaha riteldan grosir, layanan jasa, penyerapan produkUsaha Kecil dan Menengah (UKM), serta industridan manufaktur sangat memberikan manfaat,baik para santri maupun para pengasuh danpengurusnya yang mengakibatkan tidak adanyakebiasaan atau kultur meminta-minta(mengharapkan bantuan atau sumbangan daripihak lain) bahkan dapat menyantuni masyarakatdhuafa (Faiqoh, dkk, 2012: 121-122).
Bagaimana orientasi pendidikan di PesantrenSitubondo. Pesantren Situbondo banyakmelakukan berbagai terobosan inovatif sebagaiwujud responsif terhadap tuntutan realitasmasyarakat, tanpa harus meninggalkan tradisisalaf pesantren itu sendiri. Salah satu upayapengembangan pendidikan, pesantren Situbondomenyelenggarakan berbagai jalur, jenis, danjenjang pendidikan. Pendidikan formal sepertiyang dikelola Kementerian Agama mulai RAsampai Insitut Agama Islam Ibrahimi dan Ma’hadAly. Dan, pendidikan formal yang dikelolaKementerian Pendidikan mulai TK sampaiperguruan tinggi umum. Pesantren Situbondojuga tetap menyelenggarakan pendidikan khaspesantren seperti pengajian kitab kuning dalambentuk bandongan dan sorogan. Selain itu jugaterdapat lembaga pendidikan kursus KaligrafiArab, seni suara tilawah baca Qur’an yangdiselenggarakan oleh JQH (Jam’iyyah Qurra’ walHottotin), kursus bahasa Arab (LPBA; LembagaPengembangan Bahasa Arab) dan Bahasa Inggris(ESA; English Student Association). Dalam usahauntuk meningkatkan kemampuan penguasaankitab kuning, Pesantren Sukorejo jugamelaksanakan kegiatan bahtsul masa’il (Sopandi,2012: 304-305).
Dengan program pendidikan ini, PesantrenSitubondo tidak hanya melahirkan kader-kaderulama, melainkan juga bisa melahirkan kader-
kader intelektual dalam bidang non agama. Halini sesuai dengan semboyan Pesanten Situbondo;“Menyantrikan Pelajar dan MempelajarkanSantri”. Perpaduan konsep salaf dan modern diPesantren Situbondo telah menghadirkan sebuahwajah baru pesantren yang memiliki wawasansalaf tetapi peka terhadap realitas sosial, jugasebagai produsen intelektual salaf. Sejalan denganharapan pimpinan pesantren untuk memilikisantri dengan karakter salaf namun responsif,pimpinan pesantren juga berharap untuksedapatnya mencetak santri dengan kapabilitaskeilmuan umum namun tetap berkarakter salaf(Sopandi, 2012: 313-314).
Pesantren Zainul Hasan Genggongbukanlah pesantren Modern, hanya saja untukmemenuhi kebutuhan zaman Pesantrenmengambil menu-menu baru yang ditawarkan.Meskipun membuka sistem pendidikan madrasahdan sekolah, sistem pengajaran masih tetapmenggunakan metode sorogan, weton, dan halaqah.Kitab-kitab klasik keagamaan adalah bukuajarnya. Mempertahankan jati diri pesantren yangdilakukan pesantren adalah menjadikan lembagamadrasah, sekolah, dan lembaga modern lainnyasebagai landasan sekaligus alat memelihara tradisipesantren. Siswa-siswa yang belajar di SMP danSMA ini diharuskan untuk merangkap denganmadrasah diniyah atau Ibtidaiyah, dan wajibmengikuti pengajian-pengajian kitab kuning diasrama. Tidak ada siswa yang sekolah umumtanpa merangkap dengan sekolah agama (Basri,2011: 4243-4244).
Meskipun Pesantren Genggong diarahkanpada pendidikan sesuai dengan kebutuhanzaman akan tetapi pendidikan pesantren padasetiap satuan pendidikannya tetap memperkuatjati dirinya sebagai bagian dari pesantrensalafiyah dengan berpedoman pada“mempertahankan metodologi yang lama danmempergunakan metodologi yang baru yanglebih baik”. Apa yang dimaknai dengan salafiyaholeh KH Muttawakil—pimpinan pesantren saatini—adalah sebuah tradisi dan nilai yang selamaini berjalan di pesantren, yaitu pengajaran kitabkuning dan melestarikan kultur pesantren sepertiamaliah ubudiyah dalam bentuk ziarah kuburuntuk mencari barokah, dan kegiatan haul.Pemaknaan itu diimpelemetasikan dalampembentukan sistem pendidikan salaf yangsekarang ini di pesantren Genggong masih tetap
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 213
ada seperti Madrasah Raudlatul Qur ’an,Madrasah Kholafiyah Wustho, MadrasahDiniyah Ta’limiyah, Lembaga Bahasa Arab,Lembaga Bahtsul Masail, Lembaga Da’wah,Lembaga Majlis Ta’lim Al-Ahadi, dan Jam’iyyatulQurro’ Wal Huffadz (Basri, 2011: 4244).
Jika diletakan dalam perspektif pendidikan,ketiga pesantren tersebut sedang memerankan diripada perubahan. Karenanya, sistem ketigapesantren tersebut semakin terbuka mengadopsisistem yang dianggap mendukung perubahan,kurikulum komprehensif, pembelajaran berbasisIT, dengan jenjang dan capaian yang lebihterukur dan relevan dengan tantangan yangdihadapi. Namun demikian, pihak pesantrenmasih melanggengkan tradisi pesantren sepertipengajian kitab kuning, mentransmisikan nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya seperti haul danziarah ke maqbarah. Aktivitas-aktivitaspreservation ini tidak hanya dilakukan oleh parasantri tetapi juga oleh masyarakat khususnya danumat muslim umumnya yang berkunjung kepesantren baik untuk berziarah ke maqbaraoh,haul, maupun kegiatan-kegiatan lainnya.Dengan adanya pelanggengan tradisi, nilai dandoktrin agama, orientasi pendidikan dalambentuk preservation atau continuity di tiga pesantrenitu masih ada.
Agak sedikit berbeda dengan tiga pesantrensalafiyah yang telah disebutkan, dua pesantrensalafiyah sebagaimana yang akan diangkatberikut ini, yakni API Pesantren Salaf Tegalrejodan Pesantren Benda Kerep Cirebon,memperlihatkan peran preservasi yang cukupdominan.
Sejak berdiri 15 September 1944 sampai saatini, pendidikan API diorientasikan kepada upayapengawetan kesalafiyahan. Kesuksesan besaryang telah dicapai oleh pendirinya, KH. Chudlori,mampu menanamkan proses pengawetankesalafiyahan dengan menyatukan antara ajarandan amalan tasawuf dengan aqidah dan syari’ahahlussunnah wal jama’ah. Iniditumbuhkankembangkan melalui pendidik,kondisi lingkungan pesantren, sikap keterbukaandan gaya hidup santri yang penuh dengankesederhanaan, kejujuran dan kemandirian(Mu’in, 2012:250).
Proses pengawetan kesalafiyahan tersebutdapat berakar dengan kokoh melalui pengaruhyang kuat dalam berbagai bentuk, seperti;
mujahadah, riyadlah, maqbarah, khataman danpenguruh kuat dari pengamalan isi kitab-kitabkuning, khususnya kitab Ihya Ulumuddin. Prosesdan berbagai bentuk pengawetan kesalafiyahantersebut dapat dikatakan tidak menimbulkanekses-ekses, sebab pengasuh (kyai) pesantren inimemiliki strategi pengawetan kesalafiyahan yanghandal. Strategi pengawetan kesalafiyahan ini,tidak sekedar penyesuaian tuntutan modernisasi.Tapi, strategi ini memperkuat tafaqquh fiddin dantradisi-tradisi yang sudah mengakar secara kokohdi API. Bahkan keterlibatan santri dalampendidikan formal dapat memperkuat tafaqquhfiddin dan tradisi-tradisi, baik di lingkunganlembaga pendidikan formal maupun dilingkungan pesantren. Dengan strategipengawetan kesalafiyahan tersebut, dapatberimplikasi pada meluasnya peran dantanggung jawab pesantren dalam memberikankontribusi positif terhadap kehidupan sosial,budaya dan ekonomi masyarakat. Juga semakinmemperkuat daya tarik orang tua untukmemasukkan anaknya ke pesantren ini (Mu’in,2012: 251-252).
Meskipun strategi yang agak sedikit berbedadengan API, Pesantren Benda Kerep (PBK)Cirebon secara konsisten melaksanakan peran-peran mempertahankan, melanggengkan,melestarikan (al-muhafadhatu alal qadiimi shalih)terhadap tradisi dan sistem pendidikan Salafiyah.Karena itu perubahan hampir tidak terjadi, baikdalam kehidupan sosial, kultural keagamaanmaupun metode pembelajaran. Perubahan sistemdi luarnya tidak serta merubah tradisi dan sistempendidikan yang ada. Bahkan para pengasuhdengan menggunakan legitimasi wasiat parapendiri pesantren berupaya sekuat tenagamempertahankan tradisi tersebut sebagai sebuahkelebihan dan keunikan yang justru dapatmenunjang keberadaan Pesantren Benda Kerep(Ta’rif, 2012: 287).
Romantisme masa lalu dan beban sejarahmenjadikan PBK cenderung bersikapmempertahankan seolah-olah inilah keunikandan keaslian PBK sejak masa lampau, kini danmungkin yang akan datang. Masyarakat sendiridapat menerima, memanfaatkan dan menikmatikeberadaan PBK, baik dalam bentuk pelayanankeagamaan, pendidikan maupun peran sosiallainnya. Dalam perspektif perubahan sistempendidikan, PBK termasuk lembaga pendidikan
214 Keragaman Orientasi Pendidikan ...
yang “belum” sepenuhnya menerima perubahansistem di luarnya baik sebagai “schooling”maupun “in class-room”. Dengan kondisi ini,sebagian masyarakat tetap menikmati danmembutuhkan PBK (Ta’rif, 2012: 288).
Pergeseran pesantren-pesantren salafiyahtidak hanya menunjukkan adanya varian-variandalam pesantren tersebut, tetapi juga memberikankita pandangan singkat tentang transformasiIslam tradisional di tengah-tengah perubahankehidupan sosial, kultural, ekonomi, dan politik.Namun, perubahan itu bukan sekedar suatupenyesuaian diri dengan tuntutan zaman, tetapijuga untuk melayani kebutuhan masyarakatbukan mengikuti trend.
C. PONDOK MODERN DAN PELESTARIAN
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN PESANTREN
Bagaimana dengan orientasi pendidikan dipondok modern. Pondok Modern DarussalamGontor (PMDG) adalah satu kasus yang akandiuraikan di sini. PMDG merupakan kelanjutanPesantren Tegalsari.6 PMDG merupakan salahsatu model pesantren. Para pendiri PMDG, KHAhmad Sahal, KH. Zainuddin Fanani, dan KHImam Zarkasyi, pernah mengenyam pendidikanmodern Belanda, pendidikan tradisional Islam,dan pendidikan modern Islam (Zarkasyi, 2005: 53).
Nilai-nilai dasar yang ditanamkan parapendiri PMDG tertuang dalam Panca Jiwa danmotto pondok. Panca Jiwa terdiri dari: jiwakeikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa berdikari,jiwa ukhuwwah diniyah, dan jiwa bebas.Sedangkan motto pondok meliputi, berbuditinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, danberfikiran bebas. Pendidikan PMDGdiorientasikan kepada kemasyarakatan, hidupsederhana, tidak berpartai, dan ibadah thalab al-‘Ilmi (Zarkasyi, 2005:106-107).
Visi PMDG adalah sebagai lembagapendidikan pencetak kader-kader pemimpin umat;menjadi tempat ibadah thalab al-‘ilmi dan menjadisumber pengetahuan Islam, bahasa al-Qur’an,dan ilmu pengetahuan umum, dengan tetapberjiwa pondok. Karena itu misi yang dijalankanadalah: pertama, membentuk generasi yang
unggul menuju terbentuknya khair ummah.Kedua, mendidik dan mengembangkan generasimukmin-muslim yang berbudi tinggi, berbadansehat, berpengetahuan luas, dan berfikiran bebas,serta berkhidmat kepada masyarakat. Ketiga,mengajarkan ilmu pengetahuan agama danumum secara seimbang menuju terbentuknyaulama yang intelek. Keempat, mewujudkan warganegara yang berkepribadian Indonesia yangberiman dan bertakwa kepada Allah SWT(Zarkasyi, 2005: 107). PMDG dibangun sebagaisintesa dari empat lembaga pendidikan, yaitu:Universitas al-Azhar di Mesir dengan harta wakafdan keabadiannya, Pondok Sangit di Mauritaniadengan kedermawanan dan keikhlasan parapengasuhnya, Universitas Aligarh India dengangerakan modernisasinya, dan perguruanShantiniketan di India dengan kedamaiannya(Zarkasyi, 2005: 109).
PMDG terkenal dengan pembaharuanpendidikan pesantren. Pertama, adalahpembaharuan dalam aspek kelembagaan,manajemen dan organisasi pesantren. PMDGtelah diwakafkan kepada lembaga yang disebutBadan Wakaf Pondok Modern Gontor. Ikrarpewakafan ini telah dinyatakan di muka umumoleh tiga pendiri (trimurti) pondok tersebut tahun1958. Kedua, pembaharuan di bidang kurikulum.Kurikulum yang diterapkan DI PMDG adalah100% umum dan 100% agama yaitu kurikulumyang merupakan perpaduan antara ilmu agama(revealed knowledge) dan ilmu kawniyah (acquiredknowledge). Ketiga, pembaharuan metode dansistem pendidikan klasikal yang terpimpin secaraterorganisir dalam bentuk kepanjangan kelasdalam jangka waktu yang ditetapkan. Keempat,substansi pendidikan di PMDG tidak hanyakeilmuan dan klasikal tetapi menyangkutkepemimpinan, kaderisasi dan mendidik hidupuntuk dapat hidup di masyarakat dan mampumenghidupi, mampu berjuang danmemperjuangkan masyarakat dengan totalitasaktivitas kehidupan pondok (Zarkasyi, 2005:197).
Tahun 2004 terdapat 7 cabang PondokModern Gontor putra, 4 cabang Pondok ModernGontor Putri dan 179 lembaga pendidikanpesantren yang dikelola alumni PMDG (Ihsandan Hakim, 2004). Jumlah ini meningkat padatahun 2012 menjadi 15 cabang dan 219 pondokyang dikelola oleh alumni PMDG. Lima belascabang PMDG memiliki lebih dari 20.000 santri
6Tentang sejarah dan perkembangan pesantren Tegalsari, lihatHanun Asrohah, 2004, Pelembagaan Pesantren: Asal Usul danPerkembangan Pesantren di Jawa, Jakarta, Departemen Agama RIBagian Proyek Peningkatan Informasi Penelitian dan DiklatKeagamaan, hal. 203-219
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 215
kemampuan bahasa Arab dan ditunjang denganlingkungan pesantren. Kurikulum disusunsendiri dengan bobot mata pelajaran agama,bahasa Arab dan kepesantrenan lebih dari 75 %dan mata pelajaran umum kurang dari 25 %.Alumni KMI, KMA dan TKS umumnya menjadiustdaz, mubaligh dan bekerja di sektor informalpedesaan. Kedua, Madrasah Tsanawiyah Al Islam(MtsI) dan Madrasah Aliyah Al-Mukmin(MAAM). Pendidikan ini diorientasikan kepadapenguatan sistem pendidikan nasional denganmenggunakan kurikulum Kementerian Agama,Kemendikbud dan Kepesantrenan. Alumni MTSIdan MAAM umumnya melanjutkan ke perguruantinggi dan bekerja di sektor formal perkotaan(Fuaduddin, 2004:237).
Dalam perkembangannya kedua sistempendidikan tersebut memunculkan 2 (dua)kelompok yang berbeda orientasi. Pertama,kelompok mempertahankan khittoh yangcenderung “konservatif fundamentalis”, dankedua, kelompok “moderat” yang menghendakiperubahan yang mengarah kepada penguatansistem pendidikan nasional. Dalam persaingantersebut tampaknya kelompok moderat terlihatlebih berkembang. Penyebaran alumni KMI danKMA dilakukan melalui pengiriman guru wiyatabhakti (GWB) ke sejumlah madrasah danpesantren di Indonesia. Melalui GWB tersebutterbentuklah jaringan pendidikan dan dakwahagama sebagai realisasi khittoh pesantren Ngruki(Fuaduddin, 2004: 237-238).
Upaya untuk mencetak kader Islam jugadilakukan Pesantren Hidayatullah. PesantrenHidayatullah yang didirikan oleh UstadzAbdullah Said pada 7 Januari 1973 tidak bisadilepaskan dari kondisi sosio-religius masyarakatBalikpapan pada khususnya awal tahun 1970-an,sebagai daerah yang minim pembinaankeagamaan dan rawan terhadap gerakanKristenisasi (Buseri, 2004: 133). Cita-cita awalUstadz Abdullah Said merintis PesantrenHidayatullah adalah membentuk komunitasmuslim yang disebut “masyarakat qur’ani” yangbisa menjadi contoh masyarakat. KampusHidayatullah itu menjadi perkampungan muslim(Buseri, 2004: 90).
Dari segi jenis pendidikan atau pembelajaran,pendidikan di Pesantren Hidayatullah dapatdiklasifikasikan kepada dua jenis (bentuk), yaitu:pendidikan klasikal dan pendidikan halaqah.
yang tersebar: 7 pondok di Jawa Timur, 1 pondokdi Jawa Tengah, 1 pondok di Sulawesi Tenggara,2 pondok di Lampung, 1 pondok di NangroeAceh Darussalam, 1 pondok di Padang, dan 1pondok di Tanjung Jabung Timur, Jambi(Masqon, 2012). Model, sistem, dan metodologipendidikan PMDG diadopsi oleh cabang PMDGdan pesantren alumni yang tersebar di seluruhIndonesia.
Pesantren Islamis: Pendidikan BerorientasiKader Islam
Tiga pesantren Islamis yang akan dipotretterkait dengan orientasi pendidikan, yaitu:Pesantren Al-Mukmin Ngruki, PesantrenHidayatullah Balikpapan, dan Ma’had Al-Zaytun.Tiga pesantren ini yang paling sering disebut-sebut dan diduga oleh para pengamat, media,negara, serta masyarakat memiliki jaringan danpengaruh dalam gerakan Islam radikal diIndonesia.
Kita mulai dari uraian Pesantren Al-MukminNgruki Solo. Pesantren Al-Mukmin Ngrukididirikan tahun 1972 oleh sejumlah muballighdan tokoh agama di Surakarta, diantaranyaAbdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir.Lahirnya Pesantren Al-Mukmin Ngrukidilatarbelakangi oleh kebutuhan kader muballighatau da’i dalam rangka pemurnian ajaran Islamdari pengaruh budaya lokal yang dianggapmenyimpang (tahayul, bid’ah dan khurafat) sertamembendung Kristenisasi yang ditujukan kepadamasyarakat Jawa Abangan. Pesantren Al-Mukmin merupakan pelembagaan pendidikankader muballigh sesuai dengan khittoh pesantrenyang bertujuan menghasilkan calon ulama‘amilin yang siap berjihad fi sabilillah melaluidakwah untuk menegakkan syariah Islam secarakaffah. Faham keagamaan pesantren Al-Mukminmerupakan bagian dari arus gerakan pemurnianajaran Islam berdasarkan al-Qur’an dan HadisShohih sesuai faham Salafi. Doktrin keagamaankomunitas pesantren Al-Mukmin didasarkanpada akidah Islamiyah ash-shohihah yaitu: tauhidrububiyah, asma wa al-shifat, dan tauhid uluhiyah(Fuaduddin, dkk, 2004:236).
Sistem pendidikan Pesantren Al-MukminNgruki terdiri dari: pertama, KuliyyatulMu’allimin (KMI), Kuliyyatul Mu’alimat (KMA)dan Takhassus (TKS). Pendidikan inidiorientasikan kepada tafaqquh fiddin, penguatan
216 Keragaman Orientasi Pendidikan ...
Pendidikan klasikal adalah proses belajar secaraformal yang dilaksanakan di kelas yangdiperuntukkan bagi warga pondok usia sekolahdalam bentuk Madrasah Ibtidaiyah sampaiMadrasah Aliyah bahkan persiapan PerguruanTinggi di lingkungan Pesantren Hidayatullah.Pendidikan halaqah disebut juga denganpembelajaran diniyah yang dikhususkanmempelajari agama. Pendidikan halaqahdiperuntukkan bagi kelompok santri dankelompok Bapak-bapak kepala keluarga (Buseri,2004: 94-105).
Selain jenis pendidikan, PesantrenHidayatullah menyelenggarakan sistempengkaderan da’i. Ada tiga jenjang pengkaderan,yaitu: jenjang marhalah ula, marhalah wusthadan marhalah ‘ali. Ciri khas pengkaderanPesantren Hidayatullah adalah metodemembangun gerakan Islam yang didasarkankepada urutan turunnya al-Qur’an yaitu limasurat pertama, meliputi: surat al-‘Alaq ayat 1-5,surat al-Qalam ayat 1-7, surat al-Muzammil ayat1-7, dan surat al-Fatihah. Metode ini olehkalangan Pesantren Hidayatullah dikenal dengan“pola sistematika wahyu” (Buseri, 2004: 111).
Satu lagi pesantren Islamis yang pascareformasi menjadi pro-kontra adalah Ma’had Al-Zaytun (MAZ). Ma’had Al-Zaytun (MAZ) yangberdiri 1994 oleh AS Pandji Gumilangmerupakan lembaga pendidikan Islam moderndan unggul baik dalam tatanan nasional maupunglobal. Sistem pendidikan yang dianut danditerapkan merupakan respon terhadap aspirasidan kebutuhan masyarakat serta perkembanganzaman yang menghendaki kualitas pendidikanyang unggul yang mengintegrasikan antara ilmu,teologi dan agama. Orientasi pendidikan MAZmengacu kepada penyiapan anak didik yangberfikir kritis, dinamis, kreatif, inovatif, mampuberinteraksi di lingkungannya, dengan dilandasinilai-nilai etika, moral dan keagamaan. MAZmenerapkan kurikulum yang komprehensif dariKemendikbud, Kemenag ditambah muatankepesantrenan, tahfidzul Qur’an dan kemampuanbahasa asing (Tholkhah dan Yusuf, 2002: 119).
Budaya yang dikembangkan MAZ lebihberorientasi kepada tradisi Melayu, yangmenandai bergesernya budaya pesantren danbudaya Jawa ke arah budaya Melayu yang lebihpuritan, egaliter dan kosmopolit. Karenanya padasatu sisi terdapat kesenjangan kultural antara
pesantren tradisional dengan MAZ, tetapi padasisi lain justru terjadi proses kosmopolitanismeatau globalisasi budaya Islam dalam rumpunbudaya Melayu yang telah lama eksis (Tholkhahdan Yusuf, 2002: 120).
Komunitas MAZ dalam memahami ayat al-Qur ’an dan Hadis bercorak rasional dankontekstual. Realitas tersebut merupakan bagiandan proses reaktualisasi dan kontekstualisasipemahaman agama yang telah lama menjadiwacana kalangan muslim modernis danneomodernis dalam menafsirkan ulang teks-tekssuci sesuai dengan realitas kehidupan. Merekamenolak teologi yang rumit, sangat filosofis danberusaha menghadirkannya dalam kehidupanpraktis. Mereka menganggap rumusan fiqihsekarang bukanlah rumusan final, dan berusahamelakukan reinterpretasi sesuai denganperkembangan zaman yang harus disikapi umatIslam (Tholkhah dan Yusuf, 2002: 120).
Konstruk Pendidikan Pada PesantrenSalafi: Kontinuitas Kultur Salafi
Satu model pesantren yang mengalamiperkembangan pesat adalah pesantren Salafi.Pesantren Salafi tertua adalah Pesantren Ihya al-Sunnah yang didirikan di Yogyakarta pada 1994.Pesantren ini didorong untuk menjadi pusatgerakan Salafi di Indonesia. Selanjutnya diikutioleh Pesantren al-Turats al-Islami yang didirikandi Yogyakarta pada 1995. Antara tahun 1995-2000,banyak pesantren Salafi lain didirikan yangsebagian besar ikut Ja’far Umar Thalib sepertiPesantren al-Madinah dan Pesantren ImamBukhori di Solo, Minhaj as-Sunnah di Magelang,Lu’lu wal Marjan di Semarang, Ibn Taymiyyahdi Banyumas, al-Furqan dan al-Manshurah diKroya, Assunah di Cirebon, at-Athariyah diTemanggung, Ittiba’ al-Sunnah di Sukoharjo, as-Salafy di Jember, Ta’zim al-Sunnah di Ngawi, al-Bayyinah di Gresik, al-Furqan di Cilacap, al-Furqan di Pekanbaru, Ibn Qayyim di Balikpapan,Pesantren Bin Baz, Pesantren Al-Ansar,Pesantren Difa’ u al-Sunnah di Yogyakarta danPesantren Ibn Taimiyyah di Solo. Ketika gerakanpecah ke dalam kelompok yang loyal kepada AbuNida dan pengikut faksi Ja’far Umar Thalib danpesantren yang pernah dilatih di Ihya al-Sunnah,hanya tiga pesantren utama yang merupakanmilik faksi Abu Nida, yaitu: Pesantren al-Turatsal-Islami di Yogyakarta, Imam Bukhari di Solo,
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 217
dan As-Sunnah di Cirebon (Hasan, 2008:254).Perpecahan gerakan Salafi di Indonesia
mempengaruhi model pendidikan yangdikembangkannya. Pesantren Bin Baz yangdidirikan Abu Nida, misalnya, mendapatdukungan pembiayaan dari Jam’iyyah Ihya al-Turats al-Islami, sebuah organisasi sosialkeagamaan yang bermarkas di Kuwait yang jugamembuka kantor di Jakarta. Pesantren inimemiliki sarana dan prasarana yang lengkap.Kurikulumnya memadukan antara materi agamadan umum (Mu’in, dkk, 2007:110-124).Sebaliknya, pesantren salafi yang dikembangkanJa’far Umar Thalib dan jaringannya menolakseluruh materi non-agama dalam kurikulumnya.Sarana dan prasarananya sangat sederhana (AbuMujahid, 2012: 196). Pesantren-pesantren Salafitersebut berperan penting dalam akselerasi prosessantrinisasi kelompok abangan (Hasan, 2008: 264)dan pesantren-pesantren Salafi itu sebagaipesantren yang memiliki karakter kontrakultur(counter culture) (Aziz, 2011).
Assunah Kalitanjung Cirebon adalah salahsatu Pesantren Salafi yang akan dibahas di sini.Assunah merupakan salah satu pesantren Salafiyang termasuk faksi Abu Nida. Assunah adalahsebuah lembaga yang menyelenggarakanpendidikan. Pendidikan di Assunah difahamibukan sekedar membangun lembaga pendidikantetapi pendidikan dalam makna yang lebih luas,yakni pembinaan masyarakat Islam, karenanyapendidikan di Assunah lebih diorientasikankepada dakwah dalam bentuk (tashfiyah) melaluijalan membina umat (tarbiyah) yang inimerupakan prinsip manhaj salafi. Karenanya,tujuan, visi, dan misi pendidikan yang hendakdibangun dan dijalankan adalah mengarahkepada manhaj salafi. Manhaj salafi ini mewarnaiseluruh aktivitas Assunah. Assunahmenggunakan sistem full day school untuk TKITdan SDIT serta sistem boarding school untuk MTsdan MA dalam penyelenggaraan pendidikannya.Sistem boarding school ini diasosiasikan olehAssunah sebagai sistem pondok pesantren (Basri,2012: 63).
Kurikulum pendidikan di Assunahdisesuaikan dengan jenjang pendidikan.Kurikulum TKIT adalah kurikulum intiKemendikbud dan mulok pelajaran diniyah yangdibuat Assunah. Perbandingan alokasi waktunyaadalah 71 % untuk mulok pelajaran Diniyah dan
sisanya kurikulum Kemendikbud. KurikulumSDIT merupakan gabungan dari kurikulumKemendikbud, kurikulum SD Islam dankurikulum yang dibuat Assunah seperti mulokTahsinul Qur’an dan Tahfidzul Qur’an sertaMadrasah Diniyah. Perbandingan alokasi waktu42 % untuk program Madrasah Diniyah danmulok Tahsinul Qur’an dan Tahfidzul Qur’anserta 58 % untuk program umum, mulok, danprogram tambahan. Kurikulum MTs dan MAmenggunakan kurikulum Kemendikbud danKurikulum Diniyah yang disusun Assunah.Khusus untuk mata pelajaran agama di MTs danMA, sebagian buku-buku berbahasa Arab ataukitab-kitab ‘asyri yang digunakan dikarang olehulama-ulama yang dikonotasikan sebagai ulamaSalafi-Wahabi. Perkembangan jumlah siswa dansantri mengalami kenaikan dalam lima tahunterakhir. Namun kenaikan yang tajam padajenjang SDIT. Guru-guru di Assunah masihbanyak yang belum memenuhi kualifikasiakademik seorang pendidik. Bahkan padaprogram-program pendidikan non formal tidakterikat dengan aturan-aturan formal (Basri,2012:63-64).
Pembabakan sejarah dan perkembangansalafi yakni salafi sebagai sebuah kualitas generasiumat Islam, sifat, dan manhaj dengan salafisebagai sebuah aliran, faham, madzhab, dangerakan. Assunah memandang danmengidentifikasikan salafi kepada pengertianyang pertama yaitu salafi sebagai sebuah manhajdan sifat. Namun realitasnya Assunah memilikidan mengembangkan suatu faham keagamaanyang dapat dikategorikan kepada pengertianyang kedua. Hal ini bisa dimaklumi karena parapendiri dan pengelola Assunah memiliki latarbelakang sejarah dengan gerakan salafi Indonesia.Gerakan salafi mengalami perpecahan baik diTimur Tengah sendiri maupun di Indonesia yangtersebar dalam beragam varian salafi. NampaknyaAssunah dengan pengalamannya dan jaringankeilmuan dan kelembagaannya dapatdikategorikan sebagai “salafi dakwah” yaknigerakan salafi yang lebih mengutamakanpemurnian akidah dan mempraktekkan carahidup di zaman Nabi dan tiga generasisesudahnya secara ketat dan keras, serta tidakmelibatkan diri dalam kehidupan politik7 atau
7 Lihat Haedar Nashir. 2007. Gerakan Islam Syariat: ReproduksiSalafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta, hal. 144-145
218 Keragaman Orientasi Pendidikan ...
“salafi haraki” yang terkenal karena sikaptoleransi mereka terhadap partai-partai politik,kelompok-kelompok, dan tokoh-tokohpergerakan Islam serta organisasi-organisasifilantropis seperti Ihya At-Turast, Ash-Shafwan,dan Haramain.8
Adanya hubungan dan jaringan Assunahdengan sejarah gerakan Salafi di Indonesia, fahamkeagamaan Assunah mengarah kepada fahamAhlussunah waljama’aah yang dipahami sebagaigolongan yang berpegang kepada al-Qur’an danHadis Shahih melalui manhaj as-salafaus shalih.As-Salaf Shohihah dimaknai sebuah manhaj yangdinisbatkan kepada para sahabat, tabi’in dantabi’it tabiin dan orang-orang yang mengikutimereka. “Orang-orang yang mengikuti mereka”yang dimaksud Assunah adalah ulama-ulamasesudahnya seperti Ahmad bin Hanbal,Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Muslim binAl-Hajjaj Al-Naisaburi, Ahmad bin Abdil HalimIbnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abi BakarIbnu Qayyim al-Jauziyah. Sedangkan ulama-ulama yang dimaksud Assunah “orang-orangyang mengikuti mereka” pada saat ini adalahAbdul Aziz bin Abdillah Ibnu Baz, MuhammadNashirudin Al-Albani, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Al-Yamani. Melalui jaringan ulama-ulama tersebut,Assunah memiliki faham keagamaan; dalambidang teologi dengan tashfiyahnya (baiktashfiyahnya Ibnu Taimiyah maupun Muhammadbin Abdul Wahab), dalam bidang fikih (termasukritual ibadah) dengan hambaliyahnya, danakhlak dengan Ibnu Qayimnya. Tradisi-tradisipopuler yang berkembang di masyarakat tidakdipraktekkan Assunah seperti tahlilan, membacaal-Qur’an di kuburan, dan lain-lain (Basri, 2012:65-66).
Kontinuitas kultural salafi nampak diAssunah baik dalam kegiatan pendidikan,dakwah, dan sosial. Konsekuensi ini akibat daripendidikan yang dijalankan Assunah lebih besarmisi preservation dari pada misi promoting socialchage. Kontinuitas kultural salafi inidimungkinkan akan berubah, jika aktivitaspendidikan Assunah lebih mengacu kepada sistempendidikan nasional, khususnya lagi mengacukepada delapan standar nasional pendidikan.
D. PENUTUP
Keragaman orientasi pendidikan di pesantrenpenting untuk dipetakan terkait denganpotensinya dalam memberikan pelayananpendidikan yang sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dan perkembangan iptek. Jika potensiini sukses dilaksanakan, maka negeri ini akanmenghasilkan sumber daya manusia (SDM) yanghandal dan kompetitif. Sebaliknya, jikapesantren-pesantren itu gagal atau tidak mampumemberikan pendidikan yang sesuai dengantuntutan perubahan masyarakat danperkembangan iptek, maka alumni pesantrenkemungkinan tidak siap menghadapi realitaskehidupan yang semakin kompetitif dan bisa jadiakan termarginalkan secara sosial, politik,ekonomi maupun kultural. Akibatnya mobilitassosial dan intelektual umat akan mandeg.
Apa yang dimaksud dengan “pendidikanyang sesuai dengan kebutuhan masyarakat danperkembangan iptek” adalah pendidikan yangseimbang dan terpadu antara dimensi keimanan,moral dan intelektual, atau pendidikan yangseimbang dan terpadu antara penguasaan ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan penguasaan saindan teknologi yang didasari oleh nilai-nilai moralagama (imtak). Sumber daya manusia (SDM)yang handal dan kompetitif adalah SDM yangmemiliki akar sosial dan kultur Indonesia, bukanSDM yang berorientasi ideologi dan nilai-nilaikultural yang diimpor dari luar, baik yangfundamentalis radikal maupun yang liberalsekularistik.
Kemandegan mobilitas sosial dan intelektualumat berarti umat tetap berada pada lapisanbawah. Bila mayoritas anak bangsa ini beradapada lapisan bawah, maka sebenarnya maknakemerdekaan untuk mencerdaskan danmensejahterakan masyarakat dan bangsaIndonesia seperti yang diamanatkan olehUndang-Undang Dasar 1945 belum sepenuhnyabermakna bagi masyarakat pesantren.
Masyarakat pesantren dihadapkan dengansebuah pertanyaan tentang bagaimanapendidikan pesantren diarahkan pada dua misiutama pendidikan, yakni sebagai misi preservationdan promoting social change. Peran preservation ataucontinuity antara lain peran sosialisasi, menjagaidentitas kultural (cultural identity), menjaga danmelanggengkan tradisi dan budaya masyarakatdimana pendidikan berlangsung. Sementara misi
8Lihat Abu Mujahid. 2012. Sejarah Salafi di Indonesia,Bandung, Toobagus Publishing, hal. 9-10
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 219
D A F TA R P U S TA K A
Asrohah, Hanun. Pelembagaan Pesantren: AsalUsul dan Perkembangan Pesantren di Jawa.Jakarta: Departemen Agama RI BagianProyek Peningkatan Informasi Penelitiandan Diklat Keagamaan, 2004.
Aziz, Abdul. ”Dari Subkultur MenujuKontrakultur: Kontroversi Al-Zaytunsebagai Pesantren”, dalam Tim PenelitiINSEP, Al-Zaytun: The Untold Stories. Jakarta:Pustaka Alvabet, 2011.
Basri, Husen Hasan. “Pesantren Zainul HasanGenggong: Dinamisasi Pendidikan BerbasisSalafiyah Kultural”, EDUKASI, JurnalPenelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan,Volume 9, Nomor 1, Januari-April, 4231-4251, 2011.
——. Laporan Penelitian Pesantren Salafi AssunahKalitanjung Cirebon. Jakarta: PuslitbangPendidikan Agama dan Keagamaan BadanLitbang dan Diklat Kementerian Agama RI,2012.
Bruinessen, Martin van. “Traditionalist andIslamist Pesantren in ContemporaryIndonesia”, dalam Farish A.Noor, YoginderSikand & Martin van Bruinessen (eds), TheMadrasa in Asia: Political Activism andTransnational Linkage. Amsterdam, ISIMSeries on Contemporary Muslim Societies,Amsterdam University Press, 2008.
Burhanudin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan:Pergumulan Elite Muslim dalam SejarahIndonesia. Jakarta: Mizan Publika, 2012.
Buseri, dkk. Pondok Pesantren HidayatullahBalikpapan: Studi Tentang Sistem Pendidikan,Faham Keagamaan dan Jaringan. Jakarta:Puslitbang Pendidikan Agama danKeagamaan, Badan Litbang Agama danDiklat Keagamaan Departemen Agama,2004.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studitentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:LP3ES, 1982.
Evi Sopandi. “Orientasi Pendidikann PondokPesantren Salafiyah Syafi’iyah SukorejoSitubondo”, dalam Pergeseran OrientasiPendidikan Pesantren di Indonesia. Jakarta:Badan Litbang dan Diklat KementerianAgama, 2012.
Faiqoh, dkk. “Orientasi Pendidikan PesantrenSidogiri: Penguatan Nilai-nilai SalafiyahMelalui Pengadopsian Unsur-unsurModernitas”, dalam Pergeseran OrientasiPendidikan Pesantren di Indonesia. Jakarta:Badan Litbang dan Diklat KementerianAgama, 2012.
Fuaduddin, dkk. Pesantren Islam Al-MukminNgruki: Sistem Pendidikan, Faham dan
mempromosikan perubahan sosial (prooting socialchange) bagaimana pendidikan mengajarkanberagam cara yang akan merubah masyarakatkepada perbaikan atau kemajuan, pendidikansebagai wahana transfer knowledge, sain danteknologi, nilai-nilai modernitas, berbagai
ketrampilan berbasis teknologi sampaipengembangan muatan ideologi. Wallahu ‘alambishawwab.[]
220 Keragaman Orientasi Pendidikan ...
Jaringan. Jakarta: Puslitbang PendidikanAgama dan Keagamaan, Badan LitbangAgama dan Diklat Keagamaan DepartemenAgama, 2006.
Hasan, Noorhaidi. “The Salafi Madrasas ofIndonesia”, dalam Farish A.Noor, YoginderSikand & Martin van Bruinessen (eds), TheMadrasa in Asia: Political Activism andTransnational Linkage, Amsterdam, ISIMSeries on Contemporary Muslim Societies,Amsterdam University Press, 2008.
Ihsan, Nurhadi dan Muhammad Akrimul Hakim.Profil Pesantren Modern Darussalam Gontor,diterbitkan oleh Pondok ModernDarussalam Gontor, 2004.
Jarolimek, John. The Schools in Contemporary Society:An Analysis of Social Currents, Issues, andForces. New York: Macmillan PublishingCo., INC, 1981.
Mas’ud, Abdurahman. “Tarikh al-Ma’had al-Turathi wa Thaqafatuh”, STUDIAISLAMIKA, Indonesian Journal For IslamicStudies, Volume 7, Number 1, 119-133, 2000.
——. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama danTradisi. Yogyakarta: LKiS, 2004.
Masqon, Dihyatun. Dynamic of Pondok Pesantrenas Indegenous Islamic Education Centre inIndonesia, makalah disampaikan dalamHalaqoh Pendidikan Pesantren di HotelClarion Makassar, 4-6 Juli, 2012.
Mujahid, Abu. Sejarah Salafi di Indonesia.Bandung: Toobagus Publishing, 2012.
Mu’in, Abd. “Konservasi Kesalafiyahan Asrama
Perguruan Islam (API) Pondok PesantrenSalaf Tegalrejo Magelang Jawa Tengah”,dalam Pergeseran Orientasi PendidikanPesantren di Indonesia. Jakarta: Badan Litbangdan Diklat Kementerian Agama, 2012.
———. Pendidikan Pesantren dan Potensi Radikalisme.Jakarta: Prasasti, 2007.
Subhan, Arief. Lembaga Pendidikan Islam IndonesiaAbad ke-20:Pergumulan antara Modernisasi danIdentitas. Jakarta: Kencana, 2012.
Ta’rif. “Pesantren Benda Kerep Cirebon: UpayaPelestarian Tradisi Salafiyah”, dalamPergeseran Orientasi Pendidikan Pesantren diIndonesia. Jakarta: Badan Litbang dan DiklatKementerian Agama, 2012.
Tholkhah, Imam dan Choirul Fuad Yusuf. Ma’hadAl-Zaytun. Jakarta: Puslitbang pendidikanAgama dan Keagamaan, Badan Litbangdan Diklat Kementerian Agama, 2002.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi: esai-esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Zarkasyi, KH Abdullah. Manajemen Pesantren:Pengalaman Pondok Modern Gontor. JawaTimur: Trimurti Press, 2005.
———. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 265
I N D E K S P E N U L I S
A
Abdul JamilPeneliti Muda pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat KementerianAgama. Jln. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta. Email: [email protected].“PELAKSANAAN PENYULUHAN AGAMA DAN PEMBANGUNAN OLEH PENYULUH AGAMADI KOTA DENPASAR BALI”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 185-196
Agus IswantoPeneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. Jl. Rawa Kuning No. 6 PuloGebang Cakung. Email: [email protected].“NASKAH-NASKAH DI KRATON YOGYAKARTA: REINTERPRETASI ISLAM JAWA”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 137-148
Asnandar Abu BakarPeneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar. Jl. AP. Pettarani No. 72 Makassar.Email: [email protected].“PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA PADA SMA YPK DIASPORA KOTA JAYAPURA”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 175-184
EErlina FaridaPeneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.Jln. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta Pusat. Email: [email protected].“PENGELOLAAN PENINGKATAN MUTU MADRASAH (STUDI KASUS MTS MUALLIMATYOGYAKARTA”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 235-248
FFakhriatiPeneliti pada Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat KementerianAgama RI. Jln. M.H. Thamrin No.6 lt.18 Jakarta Pusat. Email : [email protected] [email protected].“ULAMA BOGOR DALAM PENGEMBANGAN TRADISI INTELEKTUAL: ANTARA TRADISI,TANTANGAN DAN UPAYA”Jurnal Dialog vo..37, No.2, Des 2014. hal: 223-234
HHusen Hasan BasriPeneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbangdan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia. Jln. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta, Telp:+6281319157303. Email: [email protected]“KERAGAMAN ORIENTASI PENDIDIKAN DI PESANTREN”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 209-222
266 Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014
Husni MubarokPeneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Jakarta, Bona Indah Plaza,Blok A2 No. D 12, Jl. Karang Tengah Raya, Lebak Bulus, Cilandak, Jaksel 12440. E-mail:[email protected]“MEMPERKUAT FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB)”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 197-208
KKhamami ZadaDosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jl. Ir. H.Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan 15412. Email: [email protected].“KONFLIK RUMAH TUHAN: PRAKARSA PERDAMAIAN ANTARUMAT BERAGAMA DIINDONESIA”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 165-174
MM. Zaki MubarakDosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Kertamukti 5 Cirendeu, 15419.Email:[email protected]“TERORISME DI INDONESIA: FAKTOR KELUARGA, TEMAN DAN KEGAIATANKEAGAMAAN”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 149-164
RRumadiDosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarat, Peneliti Senior the Wahid Institute. FakultasSyariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat TangerangSelatan 15412. Email:[email protected]“HUKUM MURTAD DAN PENODAAN AGAMA: MEMBUNGKAM KEBEBASAN?”Jurnal Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014. hal: 249-258
Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014 267
KETENTUAN PENULISAN
1. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini berupa pemikiran dan hasil penelitian yangmenyangkut masalah sosial dan keagamaan. Naskah belum pernah dimuat atau diterbitkandi media lain.
2. Naskah tulisan berisi sekitar 15-20 halaman dengan 1,5 (satu setengah) spasi, kertas kuarto(A 4),
3. Abstrak dan kata kunci dibuat dalam dwibahasa (Inggris dan Indonesia),4. Jenis huruf latin untuk penulisan teks adalah Palatino Linotype ukuran 12 dan ukuran
10 untuk catatan kaki,5. Jenis huruf Arab untuk penulisan teks adalah Arabic Transparent atau Traditional Arabic
ukuran 16 untuk teks dan ukuran 12 untuk catatan kaki,6. Penulisan kutipan (footnote) dan bibliografi berpedoman pada Model Chicago
Contoh:
Buku (monograf)Satu bukuFootnote
1. Amanda Collingwood, Metaphysics and the Public (Detroit: Zane Press, 1993), 235-38.
BibliografiCollingwood, Amanda. Metaphysics and the Public. Detroit: Zane Press,
1993.7. Artikel pemikiran memuat judul, nama penulis, alamat instansi, email, abstrak, kata kunci,
dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentasenya dari jumlahhalaman sebagai berikut:a. Pendahuluan (10%)b. Isi Pemikiran dan pembahasan serta pengembangan teori/konsep (70%)c. Penutup (20%)
8. Artikel hasil penelitian memuat judul, nama penulis, alamat instansi, email, abstrak, katakunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta presentase jumlahhalaman sebagai berikut:a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian
(10%)b. Kajian Literatur mencakup kajian teori dan hasil penelitian terdahulu yang relevan
(15%).c. Metode Penelitian yang berisi rancangan/model, sampel dan data, tempat dan waktu,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data (10%).d. Hasil Penelitian dan Pembahasan (50%).e. Penutup yang berisi simpulan dan saran (15%).f. Daftar Pustaka
9. Pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis/email. Naskah yangtidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
Contact Person:Abas Jauhari, M.SosHP: 0856 8512504Naskah diemail ke:[email protected]
268 Dialog Vol. 37, No.2, Des 2014