dampak krisis ekonomi indonesia

Upload: padlah-riyadi-se-ak-ca

Post on 06-Mar-2016

47 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Economic macro

TRANSCRIPT

  • ISSN 0854-9818June 2000OCCASIONAL PAPER NO. 28(I)

    Dampak Krisis Ekonomi Indonesiaterhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alamdi Luar Jawa

    William D. Sunderlin,Ida Aju Pradnja Resosudarmo,Edy Rianto danArild Angelsen

    CENTER FOR INTERNATIONAL FORESTRY RESEARCHOffice address: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16680, IndonesiaMailing address: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, IndonesiaTel.: +62 (251) 622622; Fax: +62 (251) 622100E-mail: [email protected]: http://www.cifor.cgiar.org

  • Sistem CGIAR

    Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) merupakan kelompok

    donor informal dari 41 donor dunia baik sektor swasta maupun masyarakat yang dibentuk

    guna mendukung jaringan kerja 16 lembaga penelitian pertanian internasional. Sistem

    CGIAR didirikan pada tahun 1971, di mana CIFOR merupakan anggota terbaru, adalah

    bagian dari sistem penelitian pertanian global yang menerapkan solusi ilmiah bagi

    permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak mampu di seluruh dunia.

    CIFOR

    CIFOR dibentuk di bawah Sistem CGIAR sebagai tanggapan terhadap keprihatinan dunia

    akan konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan

    kepunahan hutan. Kegiatan penelitian dilakukan melalui kerjasama kemitraan dengan

    perorangan dan lembaga penelitian di negara-negara berkembang dan maju. Sifat dan

    lamanya kerjasama ini ditentukan oleh kajian masalah yang sedang dihadapi. Agenda

    penelitian ini selalu dikaji ulang dan dapat berubah sewaktu-waktu jika mitra kerja CIFOR

    menemukan masalah dan kesempatan baru.

  • Dampak Krisis Ekonomi Indonesiaterhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alamdi Luar Jawa

    William D. Sunderlin,Ida Aju Pradnja Resosudarmo,Edy Rianto danArild Angelsen

  • Daftar Isi

    Ringkasan 1

    1. Pendahuluan 1

    2. Teori, Pertanyaan dan Hipotesa 3

    3. Metode Penelitian 6

    3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan 6

    3.2 Sensus pendahuluan 8

    3.3 Survei terhadap responden, pertanyaan yangdiajukan dan pendekatan 8

    3.4 Survei kualitatif 8

    3.5 Survei migrasi 9

    4. Hasil Temuan 9

    4.1 Karakteristik rumah tangga yang dikaji 9

    4.2 Dampak terhadap kesejahteraan petani kecil 11

    4.3 Pengaruh terhadap tutupan hutan alam 20

    4.4. Ringkasan temuan utama 28

    4.5 Pertanyaan-pertanyaan yang tidak terpecahkan 29

    5. Kesimpulan dan Rekomendasi 30

    Ucapan Terima Kasih 31

    Catatan Akhir 31

    Daftar Pustaka 33

    Lampiran: 35

    Lampiran 1. Penentuan perkiraan jumlah peladang berpindahdan jumlah penduduk di kawasan hutanIndonesia di pulau-pulau utama di luar Jawa 35

    Lampiran 2. Kriteria dalam menentukan desa kajian 36

    Lampiran 3. Kelebihan dan kelemahan dari kerangka sampel 37

    Lampiran 4. Stratifikasi sensus data untuk menyeleksiresponden survei rumah tangga 38

  • Daftar Gambar

    Gambar 1. Indeks harga komoditi ditinjau dari indeks hargakonsumsi pangan, Januari 1997 September 1999. 4

    Gambar 2. Peta Indonesia yang menunjukkan lokasi propinsi dandesa yang dikaji. 7

    Gambar 3. Tahun yang digunakan sebagai rujukan dalampendekatan mengingat kembali (recall approach). 8

    Gambar 4. Rumah tangga kajian berdasarkan tanaman utamayang dihasilkan pada tahun 1998-99, untuk semua propinsi. 9

    Gambar 5. Rumah tangga kajian berdasarkan tanaman utama yangdihasilkan pada tahun 1998-99 dan berdasarkan propinsi kajian. 10

    Gambar 6. Tingkat ketergantungan rumah tangga terhadap pendapatandari komoditi yang diekspor pada tahun 1998-99. 11

    Gambar 7. Pandangan responden tentang status mereka pada periode 3(1998-1999) dibandingkan dengan periode 1 (1996-1997). 11

    Gambar 8. Klasifikasi rumah tangga kajian berdasarkan pengalaman krisisdan propinsi kajian. 12

    Gambar 9. Klasifikasi rumah tangga kajian berdasarkan persepsirumah tangga atas pengalaman selama krisis dan tanamansumber pendapatan utama pada tahun 1998-99. 13

    Gambar 10. Apa yang dilakukan rumah tangga kelompok lebih buruk/sulitdalam mengatasi krisis? 15

    Gambar 11. Apa yang dilakukan oleh rumah tangga kelompok lebih mudahdengan pendapatan tambahan yang diperoleh selama krisis? 15

    Gambar 12. Jumlah rumah tangga kajian yang memperoleh pendapatanuang/tunai dari sumberdaya hutan, perbandingan dariperiode 1, 2 dan 3. 17

    Gambar 13. Perubahan jumlah rumah tangga yang memperoleh pendapatandalam bentuk uang dari sumberdaya hutan, menurutpropinsi kajian dan periode penelitian. 18

    Gambar 14. Perubahan jumlah rumah tangga yang memperoleh pendapatandalam bentuk uang dari sumberdaya hutan, menurut jenissumberdaya dan periode penelitian. 18

    Gambar 15. Perbandingan antara pendapatan kotor rumah tangga rata-ratadan pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk input pertanian,sebelum krisis, dan periode krisis. 19

    Gambar 16. Perubahan dalam pengeluaran rumah tangga rata-rata untukinput pertanian pada tahun 1996-97, 1997-98 dan 1998-99. 20

    Gambar 17. Pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk input pertanianberdasarkan tanaman sumber pendapatan utama tahun1996-97, 1997-98 dan 1998-99. 20

    Gambar 18. Pembukaan lahan untuk pertanian pada tahun 1996-1999sesuai tujuan pemanfaatan. 21

    Gambar 19. Jumlah luas lahan yang dibuka oleh rumah tangga kajianselama masa krisis (pertengahan1997 - pertengahan1999),berdasarkan propinsi dan jenis tutupan lahan. 22

    Gambar 20. Perubahan luasan komoditi ekspor dan tanaman pangan,tahun kedua masa krisis (1998-99) dibandingkan dengantahun sebelum krisis (1996-97). 24

    Gambar 21. Proporsi responden yang membuka dan tidak membuka lahan,menurut jenis pengalaman selama krisis. 26

    Gambar 22. Luas lahan rata-rata yang dibuka per rumah tangga,menurut jenis pengalaman selama masa krisis. 26

  • Daftar Tabel

    Tabel 1. Kerangka sampel untuk propinsi, desa dan rumah tanggayang dikaji. 6

    Tabel 2. Uji nilai tengah (independent means test) dari estimasi pendapatantotal yang dibedakan berdasarkan ECI tinggi dan ECI rendah/tanpa ECI, sebelum krisis dan selama krisis. 12

    Tabel 3. Persepsi kehidupan/kesejahteraan rumah tangga selamatahun 1998-99 dibandingkan dengan tahun 1996-97, berdasarkanpendapatan yang diperoleh dari komoditi ekspor tahun 1998-99 13

    Tabel 4. Persepsi responden tentang pengaruh kekeringan dan kebakaranhutan pada tahun 1997-98, berdasarkan propinsi kajian 14

    Tabel 5. Persepsi responden menyangkut pengaruh mana yang lebih buruk,krisis ekonomi atau kekeringan dan kebakaran hutan, berdasarkanpropinsi kajian. 14

    Tabel 6. Hubungan antara pengalaman selama krisis dan kemampuan untukmenabung/menyimpan. 16

    Tabel 7. Hubungan antara pengalaman selama krisis dengan perolehanbantuan pemerintah selama krisis. 16

    Tabel 8. Uji nilai tengah (independent means test) pembandingan tingkatbantuan pemerintah yang diterima oleh kelompok yang merasakehidupannya lebih mudah dan lebih sulit selama masa krisis, dankelompok dengan ECI tinggi dan ECI rendah/tidak ada ECI. 17

    Tabel 9. Proporsi dari rumah tangga kajian yang membuka lahan selamamasa krisis (periode 2 dan 3) menurut propinsi. 21

    Tabel 10. Analisa chi-square tentang siapa yang membuka hutan selamamasa krisis (periode 2 dan 3) berdasarkan tingkat pendapatanyang diperoleh dari komoditi ekspor (tinggi atau rendah) 23

    Tabel 11. Uji nilai tengah (independent means test) luas lahan rata-rata yangdibuka, dibedakan berdasarkan tinggi dan rendah/tidak adanya ECI,sebelum krisis dan selama krisis. 23

    Tabel 12. Jumlah pembukaan hutan berdasarkan jenis tanaman utama(berdasarkan nilainya) selama masa pemanfaatan bidang lahangarapan, pada periode 1, 2 dan 3. 25

    Tabel 13. Luas lahan rata-rata yang digarap per rumah tangga berdasarkanperiode kajian dan pengalaman selama krisis. 27

    Tabel 14. Luas lahan rata-rata yang digarap per rumah tangga menurutperiode kajian dan menurut kelompok jenis tanaman utama sesuaidengan tingkat keberhasilan dalam menghadapi krisis. 27

  • William D. Sunderlin,* Ida Aju Pradnja Resosudarmo,*Edy Rianto* dan Arild Angelsen**

    * Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor,Indonesia.

    ** Department of Economics and Social Science, AgriculturalUniversity of Norway, s, Norway.

    Dampak Krisis Ekonomi Indonesiaterhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam

    di Luar Jawa

    1. Pendahuluan

    Di dalam tulisan ini akan diulas hasil penelitian tentangdampak krisis ekonomi di Indonesia terhadapkesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam maupundi sekitar hutan alam, terhadap sistem pertaniannya, danterhadap hutan yang mereka kelola. Titik tolak yangpaling sesuai digunakan adalah tinjauan terhadap faktadasar menyangkut krisis dan peran sektor pertanianditengah krisis.

    Dimulai pada pertengahan tahun 1997 negara-negaraASEAN terpuruk oleh krisis ekonomi regional yangdisebabkan oleh depresiasi mata uangnya terhadap dollar

    Ringkasan

    Dua puluh juta manusia tinggal di dalam atau di sekitar hutan alam yang ada di Indonesia. Hutan tropikabasahnya, dengan luasan terbesar yang tersisa di dunia, paling banyak ditemui di Sumatra, Kalimantan,Sulawesi dan Irian Jaya. Dibandingkan dengan negara lainnya di Asia, krisis ekonomi regional berkepanjanganyang dimulai pada pertengahan tahun 1997 lebih kuat pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia.

    Survei secara acak telah dilakukan terhadap 1.050 rumah tangga di 6 buah propinsi di luar Jawa dengantujuan memahami dampak krisis tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan dan praktek pertanian serta pembukaan hutan. Secara khusus penelitian ini berupaya untuklebih jauh memahami munculnya kesempatan yang saling bertolak belakang dengan terjadinya depresiasiyang drastis atas mata uang rupiah Indonesia terhadap dollar Amerika: di satu pihak penghasil komoditieksport pertanian dapat memperoleh penghasilan berlebih dari tingginya harga pasar; dilain pihakmeningkatnya biaya hidup menetralkan potensi perolehan pendapatan.

    Diantara temuan penting dari penelitian ini adalah: (1) dua per tiga dari rumah tangga yang dikaji melaporkanbahwa mereka merasa kehidupannya lebih buruk dan hanya seperlima melaporkan merasa lebih baik selamakrisis berlangsung dibandingkan pada tahun sebelum krisis; (2) hal ini terjadi kendati pada kenyataanya tigaper empat dari rumah tangga yang dikaji memperoleh penghasilan dari komoditi ekspor; (3) pembukaanlahan hutan sedikit meningkat pada tahun pertama krisis dan meningkat lebih tinggi pada tahun ke dua krisis;(4) semakin banyak lahan dibuka untuk tanaman ekspor dengan sistem menetap dan semakin sedikit lahandibuka bagi tanaman pangan yang menggunakan sistem perladangan berpindah; dan (5) kelompok yangmerasa lebih buruk dan lebih baik kehidupannya cenderung membuka lahan selama masa krisis, dan membukalahan yang lebih luas dibandingkan dengan mereka yang merasa kesejahteraanya tidak mengalami perubahanyang berarti.

    Bertolak belakang dengan anggapan umum bahwa masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya tidakterpengaruh oleh krisis, maka penduduk di kawasan hutan menilai kehidupan mereka lebih buruk selamakrisis dibandingkan dengan sebelumnya. Terlebih lagi, tekanan atas hutan meningkat meskipun ada kesimpulanyang mungkin diperoleh dari terjadinya perubahan ke arah peningkatan pertanian menetap selama krisis.Pelajaran utama yang didapat adalah: (1) petani memerlukan bantuan dalam mendiversifikasi sumberpendapatannya agar mereka terlindung dari kemungkinan guncangan ekonomi di masa mendatang; dan (2)perlunya peningkatan kesadaran tentang bagaimana ketidakstabilan makro ekonomi dapat menimbulkankonsekuensi lingkungan yang tidak diinginkan.

    Amerika. Indonesia merupakan yang terparah diantarasemua negara di Asia. Menurut seorang analis,Keruntuhan perekonomian Indonesia merupakan yangpaling berpengaruh terhadap ekonomi manapun yangberorientasi pasar yang penting dalam beberapa dekadeini (Evans 1998:5). Perekonomian Indonesiaberkembang dengan kecepatan rata-rata tahunan 6,5%pada kurun waktu 1967-1997, sedangkan pada tahun 1998

  • 2 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    mengalami kontraksi sebesar 13,6% (Hill 1999:23).Pertumbuhan diproyeksikan akan mencapai 0,8% di tahun1999 (EIU 1999:11). Mata uang rupiah mengalamipenurunan nilai dari Rp. 2.400 pada bulan Juli 1997 menjadirata-rata Rp. 8.300 selama periode September 1997 sampaiSeptember 1999. (Nilai rupiah sempat mencapai puncaknyapada level Rp. 16.000 17.000 terhadap dollar Amerika dibulan Januari dan juga bulan Juli 1998, dan selanjutnyaberada pada kisaran Rp.8.000). Diantara bentuk perubahanakibat krisis ekonomi adalah meningkatnya kecepatankemiskinan secara keseluruhan dari 11% di tahun 1996menjadi 14-20% di tahun 1998 (Poppele et al. 1999:14),meningkatnya pengangguran, melonjaknya angka inflasidan hilangnya daya beli konsumer, gentingnyaketidakstabilan sosial, dan runtuhnya kekuasaaan yangdijabat selama 32 tahun oleh Soeharto sebagai presiden dinegara ini pada bulan Mei 1998.

    Turunnya nilai rupiah secara dramatis mempunyai maknadua sisi. Di satu pihak menimbulkan kelumpuhanterutama di sektor ekonomi daerah perkotaan yang sangattergantung pada dollar Amerika. Sektor konstruksi,industri dan perbankan mengalami kehancuran parahkarena ketidakmampuannya untuk membiayai imporbahan baku yang diperlukan dan/atau olehketidaksanggupannya untuk membayar hutangnya dalambentuk dollar. Di lain pihak, sektor pedesaan sepertipertanian yang tidak begitu tergantung pada dollarterlindungi dari pengaruh krisis yang terburuk.

    Sejak awal krisis, para ahli dan pembuat kebijakanmenganjurkan untuk memberikan perhatian khusus dibidang pertanian (terutama ekspor pertanian) sebagaiupaya untuk mencari jalan keluar dari krisis. Berikutadalah beberapa argumentasi mengenai status khususbidang pertanian. Pertama, adanya kemungkinanpeningkatan penghasilan yang tinggi dari ekspor yangdisebabkan oleh depresiasi rupiah terhadap dollarAmerika 1 dan oleh relatif rendahnya biaya produksipertanian. Kedua, pertanian banyak menyerap tenagakerja 2 dan sangat penting dalam mengatasi masalahpengangguran di saat pemerintah merasa bahwamemelihara kondisi pemerintahan yang stabil merupakanprioritas strategi utama. Ketiga, sama pentingnya dalamupaya pemerintah untuk memelihara kestabilan, pertanianmenyediakan pasokan komoditi kebutuhan dasar.Keempat, produksi tanaman pertanian domestik yang jikatidak dihasilkan sendiri harus diimpor tidak hanyamengurangi pengangguran dan memasok kebutuhandasar, tetapi juga memberikan kebebasan penggunaancadangan mata uang asing yang langka untuk dipakai bagikeperluan lainnya. Untuk berbagai alasan yangdisebutkan di sini, sektor pertanian tampaknya lebih baikdibandingkan perekonomian secara keseluruhan dikebanyakan negara berkembang lainnya yang mengalami

    krisis ekonomi di tahun-tahun belakangan ini. Di banyaknegara kontribusi relatif sektor pertanian cenderungmenurun seiring dengan perkembangan ekonomi yangcepat, dan cenderung meningkat dengan menurunnyapertumbuhan ekonomi.

    Kepercayaan yang diberikan pada sektor pertanian secaraumum telah terbukti. Dari awal mula krisis sampai kuartalketiga tahun 1998, sektor pertanian (termasuk pertanian,kehutanan, dan perikanan) menunjukkan pertumbuhan0 1%, melebihi sektor-sektor lainnya (NRMP 1999:7).Selain itu, dari tahun 1997 sampai 1998, sumbanganpertanian terhadap total jumlah tenaga kerja meningkatdari 40,7% menjadi 45,0% - satu-satunya sektor dimanatenaga kerja mengalami peningkatan (Hill 1999:39).

    Proyek penelitian yang digunakan sebagai dasar tulisanini mengajukan dua buah pertanyaan yang sifatnya luas:(1) Apa dampak dari krisis ekonomi Indonesia terhadap

    kesejahteraan petani kecil yang tinggal di dalam atausekitar kawasan hutan alam?; dan

    (2) Apa dampak krisis terhadap praktek pertanian petanikecil tersebut dan selanjutnya bagaimanapengaruhnya terhadap tutupan hutan alam?

    Pertanyaan yang pertama sangat penting karena terdapatsekitar 20 juta orang yang tinggal di dalam maupun disekitar hutan alam di 5 pulau besar di Indonesia. Populasiini termasuk sekitar 6 juta orang anggota rumah tanggapeladang berpindah. (Untuk mendapatkan angka populasiini, lihat Lampiran 1). Petani kecil di desa-desa hutanmungkin merupakan masyarakat yang paling dirugikandan paling rentan di Indonesia. Segmen masyarakatpedesaan ini mempunyai kesempatan dan keterbatasanyang berbeda dibandingkan dengan sebagian besarkelompok populasi lainnya. Upaya untuk memahamidampak krisis terhadap kehidupan mereka harus dilakukandengan memperhatikan perbedaan perbedaan ini.

    Belum pernah ada penelitian utama yang dilakukantentang dampak krisis terhadap kesejahteraan dari sub-kelompok petani tertentu ini. Meskipun demikian,terdapat berbagai laporan yang menyatakan bahwamasyarakat Indonesia di pedesaan pada umumnya,khususnya yang berada di luar Jawa, relatif sedikit sekaliterpengaruh krisis, dan kenyataanya malah ada yangmakmur. Seperti contohnya, Evans (1998:34)mengatakan bahwa masyarakat di luar Jawa mengalaminasib yang lebih baik (dibandingkan masyarakat di Jawa),dengan tingginya harga komoditi yang diperdagangkan(setidaknya dalam bentuk rupiah). Dari Mei 1997sampai Mei 1998, perbandingan nilai perdagangan (termsof trade) petani di Jawa lebih rendah, tetapi lebih tinggidi Bali, Sulawesi dan Sumatra (Evans 1998:28). Hill(1999:27-28, 45) sepakat dengan asumsi peneliti lainnya

  • 3CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    yang mengatakan bahwa, pada umumnya, masyarakat didaerah pedesaan tidak terpengaruh secara buruk olehkrisis atau malahan telah diuntungkan dengan adanyadepresiasi rupiah. 3 Jellinek dan Rustanto (1999)mengatakan bahwa masyarakat miskin Jawa tidak banyakterpengaruh karena daya lenting di sektor pertanian daninformal. Booth (1999:137) mengatakan bahwa devaluasi[sic] akan meningkatkan harga produk pertanian dalamrupiah dan meningkatkan pendapatan produsen. Satuperkecualian dari konsensus umum adalah Warr(1999:27) yang menyatakan ... sebagian besar pendudukmiskin, termasuk banyak produsen pertanian, tampaknyamengalami penderitaan, terutama mereka yangmerupakan net-produsen pangan.

    Pertanyaan yang kedua tentang dampak terhadap hutanalam sudah dijelaskan dengan kenyataan bahwa sudahmenjadi pendapat umum bahwa petani kecil, khususnyamereka yang terlibat swidden cultivation (atau seringdisebut shifting cultivation), merupakan penyebab utamadeforestasi di Indonesia. 4 Fraser (1998:143-145),contohnya, mengatakan bahwa sebagian besar darihilangnya tutupan hutan di Indonesia yang diperkirakansebesar 1 juta ha per tahun dapat dijelaskan denganpertumbuhan populasi petani kecil yang tinggal dikawasan hutan. Dapat dimengerti bahwa jika krisisberdampak nyata terhadap kehidupan petani tersebut,maka pengaruhnya juga dapat dilihat pada masa bera(lahan kosong yang tidak ditanami) dan praktekpembukaan hutan yang dilakukan. 5 Sangat pentingdicatat bahwa di Indonesia terdapat kecenderungan untukmenjauhi perladangan berpindah dan beralih ke produksitanaman keras dengan menggunakan sistem pertanianmenetap karena menurunnya keuntungan dari praktekyang disebutkan pertama dibandingkan yang disebutkanterakhir (van Noordwijk et al. 1995:11-12; Tomich etal. 1998:65-69). 6 Penting untuk diketahui bagaimanakrisis ekonomi mempengaruhi keuntungan komparatifyang diperoleh dari dua sistem pertanian ini.

    Belum pernah ada hasil temuan penelitian yangdipublikasikan menyangkut pertanyaan yang kedua.Meskipun demikian, media banyak melaporkan beritatentang pembukaan hutan berkaitan denganmeningkatnya harga komoditi ekspor tertentu. Beberapayang dapat dicatat adalah artikel tentang pembukaanhutan mangrove pesisir untuk peternakan udang, sertaartikel tentang meningkatnya daya tarik untukmembudidayakan cokelat, kopi dan lada.7

    Tulisan ini terdiri dari 4 bab yang berurutan. Bab 2mengemukakan teori, pertanyaan dan berbagai hipotesayang diuji di lapangan. Bab 3 menjelaskan metodologipenelitian lapangan. Bab 4 mengemukakan hasil temuan.Bab 5 memuat kesimpulan dan diskusi berbagairekomendasi kebijakan.

    2. Teori, Pertanyaan dan Hipotesa

    Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerikasebesar dua pertiganya yang terjadi secara drastis merupakankejadian utama dari krisis ekonomi. Hal ini menyebabkankegagalan bisnis secara besar-besaran, pemutusan hubungankerja dan pengangguran, kegagalan pembayaran pinjamandan bank, kelangkaan kredit, penarikan investasi asing, danstagnasi serta menurunnya sebagian besar sektorperekonomian Indonesia. Meskipun demikian, seperti telahdisinggung sebelumnya, konsekuensi dari depresiasi tidaksecara keseluruhan buruk bagi seluruh masyarakat danperusahaan. Konsekuensi depresiasi tersebut secaramendasar berbeda tergantung tingkat akses terhadappenghasilan dari ekspor. Mereka yang menjual ke pasarekspor dapat memperoleh keuntungan besar yang tidakterduga karena penghasilan dalam bentuk dollar selamamasa krisis dapat (dirata-ratakan) menghasilkan tiga kalilipat penghasilan rupiah. Penghasilan ini, tentunya, harusseimbang dengan meningkatnya biaya produksi begitu pulameningkatnya harga bahan pangan dan barang konsumenlainnya. Sebaliknya, mereka yang tidak mempunyai aksespenghasilan dollar Amerika melalui hubungan denganpasar ekspor mungkin menghadapi stagnasi ataukemungkinan penurunan pendapatan riil dan meningkatnyabiaya produksi.

    Adanya kemungkinan perbedaan penghasilan ini nyataterlihat pada sektor pertanian melalui tinjauan hargakomoditi setiap bulannya dari bulan Januari 1997 sampaiSeptember 1999 (Gambar 1). Berawal pada bulan Juli1997 harga lada hitam, lada putih, cokelat, dan kopi dalamrupiah melambung tinggi, mencapai puncaknya padapertengahan tahun 1998, dan kemudian menurun kembalisecara tajam. Harga ini selanjutnya tetap atau terusmenurun secara perlahan sampai pertengahan tahun 1999.Perbedaan ini sangat menyolok pada harga padi (IR-36),suatu komoditi bukan ekspor, yang harganya relatif tetapselama krisis. Meskipun demikian, ada catatan, bahwaada beberapa komoditi ekspor (kelapa sawit, karet, kayumanis) yang harganya tidak naik secara drastis, danbahkan jauh dibawah indeks harga konsumen pangan.Ini menggambarkan satu hal yang kunci. Hargakomoditas ekspor berubah setiap waktu tidak hanyasebagai fungsi dari nilai relatif rupiah terhadap dollarAmerika, tetapi juga disebabkan oleh pergerakan hargadunia, dan mungkin juga merefleksikan perbedaan dalamsistem pemasaran dan biaya transportasi. Dengandemikian, seperti yang akan terlihat, mengasumsikanbahwa petani yang berorientasi ekspor memperolehkeuntungan dan petani yang berorientasi pasar domestikmengalami kerugian adalah terlalu simplistik. Meskipundemikian, ada satu pelajaran yang dapat dipetik, bahwameningkatnya harga komoditi ekspor tertentu telahberpotensi memberikan kemungkinan keuntungan yangbesar kepada petani secara tidak terduga.

  • 4D

    ampak K

    risis Ekonom

    i Indonesia terhadap Petani K

    ecil dan Tutupan Hutan A

    lam di Luar Jaw

    a

    Bulan/tahun

    Beras IR-36 Karet 1 Karet 2Minyak kelapa sawit (CPO) Lada putih Lada hitamKayu manis

    Cokelat

    Kopi

    Indeks harga pangan (1996 = 100)

    0

    Jan-

    97

    Mar

    -97

    Apr-9

    7M

    ei-97

    Jun-

    97Ju

    l-97

    Agu-

    97Se

    p-97

    Okt-9

    7No

    v-97

    Des-

    97

    Feb-

    97

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    400

    450

    500

    Jan-

    98

    Mar

    -98

    Apr-9

    8M

    ei-98

    Jun-

    98Ju

    l-98

    Agu-

    98Se

    p-98

    Okt-9

    8No

    v-98

    Des-

    98

    Feb-

    98

    Jan-

    99

    Mar

    -99

    Apr-9

    9M

    ei-99

    Jun-

    98Ju

    l-99

    Agu-

    99Se

    p-99

    Feb-

    99

    Gambar 1. Indeks harga komoditi ditinjau dari indeks harga konsumsi pangan, Januari 1997 September 1999.

  • 5CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    Dari fakta di atas maka sangat jelas bahwa analisa yangmeyakinkan tentang bagaimana petani kecil menjalanikrisis ekonomi di Indonesia harus menyelidiki pulaperbedaan akses petani terhadap penghasilan darikomoditi ekspor. Oleh karena itu, dalam proyekpenelitian ini petani kecil diklasifikasikan ke dalam dua(2) kelompok besar: (1) petani dengan penghasilankomoditi ekspor tinggi atau high export commodityincome (selanjutnya disebut rumah tangga ECI tinggi),diartikan sebagai mereka yang penghasilan dari komoditiekspor pertaniannya besarnya setengah atau lebih daritotal penghasilan tunai rumah tangganya pada tahuntertentu; dan (2) petani dengan penghasilan komoditiekspor rendah atau low export commodity income(selanjutnya disebut rumah tangga ECI rendah),diartikan sebagai mereka yang penghasilan dari komoditiekspor pertaniannya kurang dari setengah dari totalpenghasilan tunai rumah tangga pada tahun tertentu.

    Dua buah pertanyaan penelitian utama yang dikemukakanpada bagian pendahuluan sekarang di uraikan denganlebih luas lagi berdasarkan teori dan istilah yang barusaja dijelaskan. Khususnya:(1) Kesejahteraan. Apakah implikasi dari tinggi dan

    rendahnya akses terhadap pendapatan dari komoditiekspor bagi kesejahteraan petani kecil di tengahmasa krisis? Apa upaya-upaya penyesuaiankehidupan selama krisis, dan bagaimanapenyesuaian ini berbeda menurut akses relatifterhadap penghasilan dari komoditi ekspor?Intervensi politik apa yang mungkin diperlukanuntuk membantu rumah tangga-rumah tanggatersebut menjaga kelangsungan tingkat pendapatanyang cukup dari sumber daya yang layak lingkungandi tengah masa krisis?

    (2) Konsekuensi terhadap tutupan hutan. Apa pengaruhyang berbeda dari segmentasi antara rumah tanggadengan ECI tinggi dan ECI rendah terhadapkuantitas dan kualitas tutupan hutan alam?Khususnya, bagaimana meningkatnya penghasilanrumah tangga ECI tinggi dan stagnasi ataumenurunnya penghasilan rumah tangga ECI rendahmempengaruhi keputusan untuk membuka hutanseperti lamanya masa bera, luas dan lokasi hutanyang dibuka, teknologi yang digunakan, danpenilaian komparatif hutan yang digunakan untukkeperluan bukan pertanian?

    Hipotesa menyangkut masalah kesejahteraan

    Dua buah hipotesa telah diformulasikan tentangbagaimana krisis mempengaruhi kesejahteraan petanikecil di kawasan yang berhutan:(1) Berdasarkan kunjungan ke calon lokasi penelitian di

    tahun 1998, dan pengamatan bahwa pada beberapakasus peningkatan biaya melebihi perolehan

    pendapatan, maka disimpulkan bahwa krisismempunyai pengaruh negatif yang lebih besardibandingkan terhadap apa yang semula diperkirakan(Angelsen dan Resosudarmo 1999).

    (2) Berdasarkan hasil temuan terbaru dampak krisisekonomi di Kamerun, kami membuat hipotesa bahwapada beberapa masyarakat hutan terdapat tingkatketergantungan yang lebih besar terhadap hasil hutanbukan kayu (HHBK) sebagai sumber penghasilanalternatif. Hal ini juga sejalan dengan tesis umumbahwa HHBK dapat berfungsi sebagai jaringpengaman. Namun demikian, serbuan HHBKdapat menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya secara berlebihan, dan karena itu hanyamungkin merupakan solusi jangka pendek.

    Hipotesa terhadap masalah pembukaan hutan

    Berkenaan dengan pertanyaan menyangkut pembukaanhutan, kami membuat hipotesa bahwa rumah tanggadengan ECI tinggi cenderung membuka lebih banyaklahan hutan selama krisis dibandingkan sebelum krisis,dan rumah tangga dengan ECI rendah memperlihatkanrespons yang sangat beragam, mulai dari meningkatnyakecepatan pembukaan, kecepatan pembukaan yang sama,dan menurunnya kecepatan pembukaan. Asumsi tersebutlebih dirinci lagi ke dalam empat hipotesa berikut ini:(1) Rumah tangga dengan ECI tinggi, yang kondisi

    ekonominya lebih baik dan melalui keluarga yangbermigrasi kembali atau pulang kampung, melaluipengurangan pengalokasian tenaga kerja dariaktivitas yang kurang menguntungkan, dan/ataudengan memperkerjakan buruh, mampu untukmembuka lebih banyak lahan hutan dibandingkansebelumnya;

    (2) Sebagian rumah tangga dengan ECI rendah kondisiekonominya lebih buruk dan membuka lebih banyaklahan hutan dibandingkan sebelumnya sebagaikompensasi meningkatnya biaya komoditi dasar;

    (3) Sebagian rumah tangga dengan ECI rendah kondisiekonominya lebih buruk, lebih mengantungkan diripada HHBK, dan rata-rata membuka lahan hutandengan jumlah yang sama dengan sebelumnya;

    (4) Sebagian rumah tangga dengan ECI rendah kondisiekonominya lebih buruk dan membuka lebih sedikitlahan hutan dibandingkan sebelumnya karenaanggota keluarganya sudah menjadi bagian daritenaga kerja pada rumah tangga dengan ECI tinggi.

    Sebagai bagian dari pengujian terhadap ke empat hipotesatersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiapakah petani cenderung bereaksi terhadap hargakomoditi pertanian yang lebih tinggi (baik tanamanekspor maupun bukan ekspor) dengan jalan memperluaslahan garapannya, atau dengan cara meningkatkanintensitas produksinya melalui pengelolaan yang lebih

  • 6 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    baik atau dengan lebih banyak input, atau keduanya.Kami menduga bahwa hasil tersebut akan dipengaruhioleh kisaran reformasi politik, ekonomi dan faktoragronomis yang mencakup hal sebagai berikut: Kemungkinan meningkatnya perambahan petani ke

    dalam kawasan hutan lindung yang diakibatkan olehkurangnya pengawasan pemerintah dan menurunnyakapasitas penegakan hukum;

    Kemungkinan terjadinya penjarahan yang berkaitandengan krisis dan sengketa kepemilikan lahan (jikapenegakan hak kepemilikan menjadi masalah, petaniakan merasa malas untuk membuka lahan baru di hutanyang letaknya jauh dari rumah mereka);

    Sejauh mana petani mengharapkan kenaikan hargamenjadi permanen (jika kenaikan harga dilihat sebagaipermanen, maka akan diikuti oleh lebih banyakpembukaan lahan);

    Sejauh mana petani tergantung pada komoditi konsumsidan sejauh mana harga-harga ini telah meningkat(semakin tinggi kenaikan harga, maka ektensifikasi atauintensifikasi akan semakin tinggi pula);

    Lama waktu tanaman menjadi produktif (waktu yanglama untuk suatu tanaman menjadi produktif akanmemberi reaksi ekstensifikasi yang lebih kecil);8

    Tingkat intensitas tenaga kerja dan biaya transportasi(jika tinggi, petani tidak akan membuka lahan baru yangjauh dari rumahnya dimana tutupan hutan lebih lebat);

    Diantara rumah tangga yang mempunyai ECI tinggi,maka yang kaya ada dalam posisi yang lebih baikuntuk mengambil keuntungan dari terbukanyakesempatan, contohnya, dengan dimilikinya modalyang cukup untuk melakukan investasi danmemperkerjakan buruh.

    3. Metode Penelitian

    Bab ini menyajikan informasi mengenai metode yangdigunakan untuk meneliti dampak krisis terhadap petanikecil dan kondisi hutan alam yang ada di luar Jawa.Kelima bagian dari bab ini akan mengemukakan: (1)kerangka sampel dan lokasi penelitian lapangan; (2)sensus pendahuluan terhadap rumah tangga; (3) pemilihanresponden untuk survei, pertanyaan-pertanyaan yangdiajukan pada survei kuantitatif, dan pendekatan yangdigunakan dalam pengambilan data; (4) survei kualitatif,dan (5) survei tentang migrasi.

    3.1 Kerangka sampel dan lokasi penelitianlapangan

    Survei dengan sampel acak yang representatif dari rumahtangga petani kecil di kawasan hutan alam diputuskanmenjadi cara yang paling tepat untuk menjawab danmenguji pertanyaan-pertanyaan penelitian yang utamadan hipotesa-hipotesa.

    Lima propinsi yang dipilih untuk penelitian adalah Riau/Jambi, 9 Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,dan Sulawesi Tengah. Propinsi-propinsi tersebut dipilihdengan mengacu pada tiga kriteria. Pertama, kamimenginginkan propinsi yang memiliki keragaman tipekomoditi/tanaman ekspor yang tinggi, dengan catatanbahwa produksi karet cenderung dominan di Sumatra danKalimantan Barat; Lampung banyak menghasilkan kopi;dan produksi cokelat terpusat di Sulawesi Tengah. Kedua,kami ingin mengikutsertakan aneka ragam kerapatan danumur tutupan hutan, mulai dari hutan tua dan relatifmelimpah di Kalimantan Timur dan Riau/Jambi, sampaipada hutan sekunder muda dan relatif jarang di Lampung.Ketiga, kami ingin menangkap sejumlah pengalamanyang berkaitan dengan masa musim kemarau dankebakaran hutan pada tahun 1997 98. Menyadari bahwapengaruh musim kering dan kebakaran akan bercampuraduk dengan pengaruh krisis ekonomi,10 kami berupayauntuk mengikutsertakan kawasan yang paling parahdilanda musim kering dan kebakaran (Lampung danKalimantan Timur), dan juga kawasan yang tidak terlaluparah atau sedikit sekali terpengaruh (Riau/Jambi)sehingga kita dapat mendapatkan pengetahuan melaluiperbedaan ini.

    Penelitian lapangan dilaksanakan melalui survei dengansampel acak dari 1,050 rumah tangga 210 rumahtangga di masing-masing ke lima propinsi. Dalam setiappropinsi, survei dilakukan terhadap 35 rumah tangga dimasing-masing ke enam desa. Kerangka sampel disajikanpada Tabel 1 dan lokasi desa pada setiap propinsi yangdikaji disajikan pada Gambar 2. Perlu ditekankan disinibahwa kami tidak dapat menyatakan bahwa tingkatpropinsi dapat terwakili disini. Di dalam teks kami akanmerujuk pada propinsi kajian untuk lebih menyingkat,tetapi hal ini tidak diartikan bahwa data kami secara penuhmewakili kondisi di ke lima propinsi tersebut.

    6 35 2106 35 2106 35 2106 35 2106 35 210

    Total 30 210 1.050

    Propinsi Jumlah desa kajian

    Jumlah rumah tangga

    di setiapdesa

    Jumlah rumah tangga

    di setiappropinsi

    Riau/JambiLampungKalimantan BaratKalimantan TimurSulawesi Tengah

    Tabel 1. Kerangka sampel untuk propinsi, desa dan rumahtangga yang dikaji.

    Catatan: Riau dan Jambi masing-masing dipilih 3 buah desa.

    Kriteria untuk memilih desa yang dikaji dan evaluasikelebihan dan kelemahan dari kerangka sampel disajikanberturut-turut pada Lampiran 2 dan 3.

  • 7CIFO

    R Occasional Paper No. 28(I)

    William

    D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild AngelsenGambar 2. Peta Indonesia yang menunjukkan lokasi propinsi dan desa yang dikaji.

  • 8 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    3.2 Sensus pendahuluan

    Sensus pendahuluan terhadap seluruh rumah tangga diempat puluh desa (delapan di masing-masing propinsi)dilakukan pada bulan Februari April 1999. Pada awalnyadelapan desa dipilih pada masing-masing propinsi sehinggadapat diseleksi enam yang terbaik untuk survei rumahtangga, dan dengan demikian dua desa pada masing-masingpropinsi dapat dijadikan cadangan jika pada suatu saat salahsatu dari enam desa yang terpilih tidak sesuai.

    Sensus yang dilakukan mempunyai tiga tujuan. Pertama,sensus dijadikan sebagai alat untuk meyakinkan bahwakarakteristik sosial-ekonomi desa sesuai dengan kriteriaseleksi desa (lihat Lampiran 2) dan untuk memperkeciljumlah desa pada propinsi dari delapan desa menjadienam desa. Kedua, sensus memberikan informasiuniversal (pada satu tingkat desa dan tidak hanyaberdasarkan sampel) mengenai informasi kunci sepertimigrasi, jenis kegiatan pertanian, praktek pembukaanhutan, dan pemanfaatan sumber daya hutan. Ketiga,informasi sensus digunakan sebagai dasar untukmenstratifikasi seleksi acak responden survei rumahtangga. Informasi tambahan tentang stratifikasi datasensus untuk seleksi responden survei rumah tanggadisajikan pada Lampiran 4.

    3.3 Survei terhadap responden, pertanyaanyang diajukan dan pendekatan

    Survei rumah tangga secara kuantitatif diterapkan ataskepala rumah tangga dan pasangannya (pada kasus kepalarumah tangga dengan pasangan). Survei dilakukan daribulan Juni sampai dengan Agustus 1999.

    Maksud dari survei rumah tangga ini adalah untukmengumpulkan informasi yang mendalam menyangkutberagam topik dari sampel yang berjumlah 35 rumahtangga di masing-masing tiga puluh desa yang dikaji.Diantara topik yang diselidiki adalah: (1) informasi dasartentang rumah tangga seperti pekerjaan dan kegiatan dariseluruh anggota rumah tangga; (2) persepsi perubahankesejahteraan dan sumber penghasilan selama tigaperiode rujukan dengan mengukur perubahan yang terjadi

    selama tahun sebelum krisis dan dua tahun pertama masakrisis (lihat spesifikasi dibawah); (3) tingkat kehidupanyang diukur dengan melihat kondisi rumah, kepemilikanaset, perubahan praktek/cara menabung danketergantungan pada kredit, dan kepemilikan lahan; (4)perubahan praktek pertanian selama tiga tahun rujukan;(5) perubahan praktek pembukaan hutan selama tigatahun rujukan; dan (6) perubahan dalam mengumpulkandan memperoleh hasil hutan selama tiga tahun rujukan.Pendekatan survei amat tergantung pada kemampuanresponden untuk mengingat kembali informasi rumahtangga pada tiap-tiap periode dalam tiga perioda rujukan.Dengan cara ini, status rumah tangga sebelum dan selamakrisis dapat dibandingkan. Ketiga periode ini adalah:Periode 1 1 Juli 1996 sampai 30 Juni 1997, persis

    masa satu tahun sebelum dimulainya krisisekonomi;

    Periode 2 1 Juli 1997 sampai 30 Juni 1998, tahunpertama krisis ekonomi, dan juga jangkawaktu terjadinya dampak terburuk musimkering dan kebakaran hutan;

    Periode 3 1 Juli 1998 sampai 30 Juni 1999, tahunkedua krisis ekonomi, dan masa dua belasbulan sebelum tanggal wawancara surveirumah tangga.

    Dari sudut pandang metodologi, pembedaan Periode 1dari Periode 2 dan Periode 3 penting dilakukan untukmemahami status rumah tangga dan kegiatannya sebelumdan selama krisis. Tetapi pembedaan Periode 2 dariPeriode 3. juga sama pentingnya, mengingat banyakrumah tangga yang sangat terpengaruh oleh musim keringdan kebakaran pada Periode 2, dan dimana pengaruhnyajauh lebih sedikit pada Periode 3. Gambar 3menggambarkan ke tiga tahun rujukan dibandingkandengan tahun kalender sebelumnya.

    3.4 Survei kualitatif

    Wawancara kualitatif lanjutan dan setengah terstrukturdilaksanakan pada bulan September Oktober 1999,setelah dilakukan survei rumah tangga secara kuantitatif.Wawancara dilakukan dengan 8 16 penduduk desa yangdianggap kompeten sebagai sumber informasi penting.

    1996 1997 1998 1999Jan. Des. Jan. Des. Jan. Des. Jan. Des.

    Periode 1

    Juli 96 - Juni 97

    Periode 2

    Juli 97 - Juni 98

    Periode 3

    Juli 98 - Juni 99

    Tahun sebelumkrisis mulai.

    Tahun pertama krisis.Tahun kekeringan

    dan kebakaran hutan.

    Tahun kedua krisis.Masa 12 bulan

    sebelum wawancara.

    Gambar 3. Tahun yang digunakan sebagai rujukan dalam pendekatan mengingat kembali (recall approach).

  • 9CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    Maksud dari survei kualitatif adalah untuk memperolehpemahaman lebih dalam tentang informasi yang diperolehmelalui survei rumah tangga kuantitatif dan untukmelengkapi uji hipotesa.

    3.5 Survei migrasi

    Hipotesa menyangkut perubahan pembukaan hutan,seperti diterangkan di atas, mengasumsikan bahwaperubahan jumlah angkatan kerja rumah tangga, yangdisebabkan oleh migrasi sehubungan dengan krisis,mungkin dapat mempengaruhi praktek pembukaanhutan. Meskipun demikian topik ini tidak dapat ditelitimelalui survei rumah tangga kuantitatif ini karena,seperti disebutkan di atas, responden survei kuantitatifdibatasi pada mereka yang sudah tinggal di desa kajiansecara terus menerus sejak tahun pertama sebelumdimulainya masa krisis. Akibatnya, kelompok yangmelakukan migrasi ke desa kajian karena krisis tidakdilibatkan dalam survei rumah tangga kuantitatif. Olehsebab itu, kami mengadakan survei kecil pada seluruhkepala keluarga yang berdasarkan hasil sensus rumahtangga, melakukan migrasi ke desa kajian mulai sejakawal masa krisis pada pertengahan tahun 1997. Dalamsurvei ini diajukan pertanyaan tentang tempat asalsebelum migrasi, jenis pekerjaan di tempat asal, danalasan-alasan melakukan migrasi (baik alasanpendorong maupun alasan penarik).

    4. Hasil Temuan

    Temuan penelitian dikemukakan dalam lima bagian yangterdiri dari: (1) informasi umum mengenai karakteristikrumah tangga yang dikaji; (2) dampak krisis terhadapkesejahteraan ekonomi petani kecil; (3) dampak krisisterhadap praktek pembukaan hutan; (4) ringkasan dari hasiltemuan utama; dan (5) pertanyaan yang belum terpecahkan.

    4.1 Karakteristik rumah tangga yang dikaji

    Informasi tentang komoditi yang dihasilkan dan tingkatketergantungan rumah tangga yang dikaji terhadapkomoditi ekspor disajikan terlebih dahulu sebagai latarbelakang dari hasil temuan yang didiskusikan pada bagianselanjutnya.

    Secara menyolok, komoditi utama yang diukur sebagaisumber pendapatan tunai terbesar penghasil tanamandalam rumah tangga pada Periode 3 adalah karet, denganjumlah 276 (32%) dari 870 rumah tangga berdasarkandata yang tersedia (Gambar 4). Di tempat kedua danketiga berturut-turut yaitu kopi (161 rumah tangga, 19%)dan cokelat (139 rumah tangga, 16%). Ketiga komoditiekspor ini mencakup 66% dari total, dan seluruh jeniskomoditi ekspor (termasuk ketiganya dan lada, kelapasawit dan kayu manis) yang terdiri dari 683 rumah tanggaatau 79% dari total.

    34

    146

    10

    16

    20

    20

    20

    25

    29

    35

    56

    63

    161

    276

    0 50 100 150 200 250 300

    139

    Seluruh propinsi : Riau/Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah

    Tidak tahu

    Tidak berlaku

    Kacang tanah

    Kayu manis

    Kelapa

    Lain-lain

    Cabe

    Padi sawah

    Jagung

    Kelapa sawit

    Lada

    Tanaman pangan lain

    Cokelat

    Kopi

    Karet

    Jumlah rumah tangga

    Gambar 4. Rumah tangga kajian berdasarkan tanaman utama yang dihasilkanpada tahun 1998-99, untuk semua propinsi.

  • 10 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    Lampung

    19

    1

    3

    6

    6

    11

    14

    14

    15

    18

    103

    0 20 40 60 80 100 120

    Tidak berlaku

    Kacang tanah

    Cabe

    Padi sawah

    Jagung

    Lain-lain

    Kelapa

    Tanaman pangan lain

    Lada

    Cokelat

    Kopi

    Jumlah rumah tangga

    67

    1

    1

    3

    12

    126

    0 50 100 150

    Kalimantan Barat

    Tidak berlaku

    Kelapa

    Tanaman pangan lain

    Cabe

    Lada

    Karet

    Jumlah rumah tangga

    30

    8

    1

    2

    2

    2

    5

    6

    29

    35

    42

    0 10 20 30 40 50 60

    48

    Kalimantan Timur

    Tidak tahu

    Tidak berlaku

    Karet

    Kelapa

    Lain-lain

    Cabe

    Tanaman pangan lain

    Kacang tanah

    Lada

    Kelapa sawit

    Kopi

    Cokelat

    Jumlah rumah tangga

    4

    28

    3

    3

    2

    11

    19

    23

    44

    73

    0 20 40 60 80

    Sulawesi Tengah

    Tidak tahu

    Tidak berlaku

    Kacang tanah

    Kelapa

    Lain-lain

    Kopi

    Padi sawah

    Jagung

    Tanaman pangan lain

    Cokelat

    Jumlah rumah tangga

    24

    1

    3

    5

    12

    16

    149

    0 50 100 150 200

    Riau dan Jambi

    Tidak berlaku

    Tanaman pangan lain

    Lain-lain

    Kopi

    Cabe

    Kayu manis

    Karet

    Jumlah rumah tangga

    Gambar 5. Rumah tangga kajian berdasarkan tanaman utama yang dihasilkan pada tahun 1998-99 dan berdasarkanpropinsi kajian.

    Propinsi-propinsi secara jelas dibedakan oleh jeniskomoditinya. Rumah tangga kajian di Riau/Jambi danKalimantan Barat didominasi oleh produksi karet, dankaret tidak ditemukan di ketiga propinsi lainnya. Rumahtangga kajian di Lampung didominasi oleh produksi kopi.Gambaran yang membedakan pada rumah tangga kajiandi daerah Kalimantan Timur adalah distribusi yang relatifsama diantara empat komiditi utama: cokelat, kopi, kelapasawit, dan lada. Cokelat merupakan tanaman penghasilutama pada rumah tangga kajian di Sulawesi Tengah,tetapi berbagai tanaman pangan lainnya juga diproduksidisini (Gambar 5).

    Rumah tangga yang dikaji digolongkan berdasarkan proporsipenghasilan tunai kotor pada Periode 3 yang berasal darikomoditi ekspor pertanian. Gambar 6 menunjukkan bahwapropinsi yang dikaji dibedakan secara jelas oleh tingkatketergantungannya terhadap komoditi ekspor. KalimantanTimur mempunyai tingkat ketergantungan yang tertinggidengan 71% dari rumah tangga kajian memperoleh lebihdari separuh penghasilannya dari komoditi ekspor. Riau/Jambi berada di tempat kedua dengan 57%, KalimantanBarat ketiga dengan 35,9%, Lampung keempat dengan35,7%, dan Sulawesi Tengah berada di tempat terakhirdengan 27,4% (Gambar 6).

  • 11CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    23,514,4

    22,436,8

    31,9

    28,7

    41,931,1

    19,9

    35,8

    30,547,4

    23,8 24,9

    35,5

    21,2

    14,1 9,6 11,9

    35,5

    6,2

    9,0

    33,0

    11,0

    0%

    10%

    20%

    30%

    40%

    50%

    60%

    70%

    80%

    90%

    100%

    Riau/Jambi

    Lampung KalimantanBarat

    KalimantanTimur

    SulawesiTengah

    0%

    > 0% dan < 50% 50% dan < 100%

    100%

    % d

    ari r

    umah

    tang

    ga

    Semuapropinsi

    Gambar 6. Tingkat ketergantungan rumah tangga terhadap pendapatan dari komoditi yang diekspor padatahun 1998-99.

    4.2 Dampak terhadap kesejahteraan petanikecil

    Temuan umum menyangkut kesejahteraan

    Responden yang disurvei diminta untuk menilaikesejahteraan rumah tangga mereka pada tahun keduakrisis (Periode 3, 1998-99) dibandingkan dengan tahunsebelum krisis (Periode 1, 1996-97). Ada empat pilihanjawaban yang disediakan: lebih baik, sama, lebihburuk, dan tidak tahu. Enam ratus lima puluh sembilanresponden (63%) menyatakan lebih buruk; 188 (18%)mengalami situasi yang sama; 199 (19%) mengatakanbahwa mereka merasa lebih baik; dan 4 (0%) tidak tahu(Gambar 7). Dengan demikian temuan pertama danpaling utama adalah bahwa hampir dua dari setiap tigarumah tangga petani merasa kehidupan mereka lebih

    19%

    63%

    18%

    0%Lebih mudah/

    lebih baik

    Lebih sulit

    Sama saja

    Tidak tahu

    Gambar 7. Pandangan responden tentang status merekapada periode 3 (1998-1999) dibandingkandengan periode 1 (1996-1997).

    buruk selama krisis dibanding sebelum krisis. Kenyataanini berbeda nyata dengan anggapan umum bahwakehidupan petani selama masa krisis baik-baik saja, danhal ini sejalan dengan observasi yang kami lakukanselama kunjungan persiapan lapangan (Angelsen danResosudarmo 1999).

    Hasil temuan berbeda secara jelas oleh propinsi yangdikaji. Kalimantan Timur dan Lampung merupakanpropinsi kajian dimana kebanyakan rumah tanggaterhindar dari akibat yang buruk. Keadaan KalimantanTimur paling baik dengan 59% dari rumah tangganyamenyatakan merasa keadaannya lebih baik atau sama;Lampung menduduki tempat kedua dengan 51%;Kalimantan Barat berada di tempat ketiga dengan 30%;Sulawesi Tengah yang keempat dengan 27%; dan terakhirRiau/Jambi dengan 18% (Gambar 8).

    Temuan ini mengejutkan dalam tiga hal. Pertama,keadaan Kalimantan Timur paling baik diantara ke limapropinsi diukur dari bagaimana responden menilai kondisikesejahteraan rumah tangganya, sedangkan padakenyataannya propinsi ini di Indonesia terkenal sebagaidaerah yang paling parah dilanda oleh musim kemaraudan kebakaran di tahun 1997-98 (lihat diskusi di bawah).Kedua, keadaan Lampung kelihatannya baik, dan keadaanRiau/Jambi cukup buruk, sementara kajian yangdilakukan Badan Pusat Statistik (BPS 1999:17)mendapatkan hasil yang berlawanan.11 Meskipundemikian perlu dicatat bahwa hasil yang dikemukakanoleh BPS hanya berdasarkan pengamatan pada tahunpertama krisis sedangkan hasil penelitian ini didasarkanpada tahun kedua. Selain itu, populasi sampel berbedaantara 2 studi ini. Ketiga, memang agak mengejutkan

  • 12 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    bahwa keadaan petani di Sulawesi Tengah dinyatakanburuk karena reputasinya menurut media massa yangmenyatakan bahwa daerah ini baik-baik saja di tengahkrisis, sebagian besar disebabkan oleh adanya anggapanbesarnya keuntungan yang diperoleh dari produksicokelat.

    Hubungan antara kesejahteraan denganpenghasilan ekspor dan komoditi tertentu

    Pendapatan kotor rumah tangga diukur untuk ke tigaperiode penelitian. Pada Tabel 2, data ini diklasifikasisilang dengan variabel binary yang menunjukkan tingkatpendapatan dari komoditi ekspor (ECI). Kelompokdengan ECI tinggi memperoleh setengah atau lebihpendapatannya dari sumber ini pada perioda tertentusesuai dengan yang tertera di Tabel, sedangkan kelompokECI rendah mendapat kurang dari setengahpendapatannya dari sumber ini. Hasil studi menunjukkanbahwa pada tahun sebelum krisis (Periode 1), rumah

    73%

    41%

    70%

    49%

    82%

    10%

    33%

    7%

    27%

    13%17%

    26%23%24%

    5%

    0%

    10%

    20%

    30%

    40%

    50%

    60%

    70%

    80%

    90%

    100%

    Riau/Jambi

    Lampung KalimantanBarat

    KalimantanTimur

    SulawesiTengah

    Lebih mudah/lebih baik

    % d

    ari r

    umah

    tang

    ga y

    ang

    dite

    liti

    Lebih sulit Sama saja

    Gambar 8. Klasifikasi rumah tangga kajian berdasarkan pengalaman krisis danpropinsi kajian.

    a = diasumsikan ragam sama

    50% 457 (45,8%) 2.450.5971996-97(prakrisis) < 50% 540 (54,2%) 3.607.403

    0,000 0,000

    50% 493 (50,8%) 5.863.7041997-98(krisis) < 50% 478 (49,2%) 5.457.814

    0,226 0,556

    50% 442 (44,8%) 6.068.9261998-99(krisis) < 50% 545 (55,2%) 5.161.072

    0,000 0,107

    Periode waktu

    ProporsipendapatanECI dari total

    Jumlah rumah tangga

    dan persentasi dari total

    Total pendapatan

    rata-rata rumah tangga (Rp.)

    Significance (uji kesamaan

    ragam)a

    Significance (uji kesamaan nilai

    tengah/mean dua arah)a

    Tabel 2. Uji nilai tengah (independent means test) dari estimasi pendapatan total yang dibedakan berdasarkanECI tinggi dan ECI rendah/tanpa ECI, sebelum krisis dan selama krisis.

    tangga dengan ECI rendah memperoleh pendapatan kotorsekitar 50% lebih tinggi dibandingkan rumah tanggadengan ECI tinggi, dan perbedaanya nyata/signifikansecara statistik. Di tahun pertama krisis (Periode 2),pendapatan kotor tumbuh cepat pada kedua kategoritersebut. Penghasilan rumah tangga ECI tinggimengungguli rumah tangga ECI rendah tetapi tidak padatingkat yang nyata secara statistik. Pada tahun keduakrisis (Periode 3), pendapatan kotor rumah tangga denganECI tinggi terus agak meningkat sementara pada rumahtangga ECI rendah, menurun. Perbedaan antarapendapatan kelompok ECI tinggi dan rendah lebih besarketimbang pada Periode 2 (tetapi tetap tidak pada tingkatyang nyata secara statistik).

    Data tentang pandangan responden yang disurveimengenai kesejahteraan mereka (lihat Gambar 7)diklasifikasi silang menurut tingkat pendapatan darikomoditi ekspor pada Periode 3 dengan variabel empattingkat. Hasil yang diberikan pada Tabel 3 menunjukkanhubungan yang kuat antara tingkat pendapatan dari

  • 13CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    komoditi ekspor dan anggapan tingkat kesejahteraan yangdirasakan responden. Diantara mereka yang memperolehseluruh pendapatannya dari komoditi ekspor, 33 % merasakehidupannya lebih baik selama tahun kedua krisis dan46% merasa lebih buruk/sulit. Sebaliknya, diantaramereka yang tidak memperoleh pendapatan apapun darikomoditi ekspor, hanya 13% yang menyatakan merasakehidupannya lebih baik/mudah dan 71% menyatakanmerasa kehidupannya lebih buruk/sulit.

    Rumah tangga kajian digolongkan berdasarkan komoditiutama yang diperdagangkan pada Periode 3 dan persepsimereka terhadap kesejahteraan rumah tangga padaPeriode 3 dibandingkan dengan Periode 1. Gambar 9menunjukkan hasil dengan urutan peringkat tanaman darikiri ke kanan yaitu dari yang paling berhasil sampaidengan yang paling sedikit berhasil. Yang paling berhasiladalah lada, dengan hampir tiga per empat dari kelompokyang tergantung pada tanaman ini mengalami perbaikankesejahteraan rumah tangganya di tengah krisis. Yangpaling buruk adalah cabe, dengan kira-kira 5% mengalamiperbaikan kesejahteraan. Dapat dicatat bahwa jumlahprodusen pada tiap-tiap kategori komoditi mempunyaiimplikasi yang penting. Kenyataan bahwa produsen karetmengalami akibat yang buruk sangat penting karenamewakili sekitar sepertiga dari rumah tangga yang dikaji.Sebaliknya, penampilan yang baik dari kelapa relatif tidaknyata karena jumlah produsen diantara rumah tanggakajian sangat kecil (20 atau sekitar 2% dari total).

    Dapat dicatat bahwa kemampuan komoditi tertentu untukmembantu kesejahteraan rumah tangga pada umumnyaberhubungan dengan pergerakan harga komoditi tersebutseperti yang disajikan pada Gambar 1. Contohnya, ladaberada pada peringkat tertinggi pada Gambar 9 danmerupakan komoditi yang menunjukkan peningkatanharga keseluruhan tertinggi selama periode bulan Januari1997 sampai September 1999 (Gambar 1). Sebaliknya,karet berada pada peringkat terendah dari komodoti padaGambar 9 dalam hal sumbangannya terhadapkesejahteraan rumah tangga dan, bersamaan dengan itu,harganya secara keseluruhan mengalami penurunan padamasa bulan Januari 1997 sampai September 1999

    8

    10 6

    8614 83

    51 21212

    14 18

    6

    128

    432

    348

    5 30

    1 1

    42

    136

    31

    8

    2114

    3 341 1

    0%

    10%

    20%

    30%

    40%

    50%

    60%

    70%

    80%

    90%

    100%

    Lada

    Kel

    apa

    saw

    it

    Kel

    apa

    Kop

    i

    Pad

    i saw

    ah

    Cok

    elat

    Tana

    man

    pan

    gan

    lain

    Jagu

    ng

    Kar

    et

    Kay

    u m

    anis

    Cab

    e

    % d

    ari r

    umah

    tang

    ga y

    ang

    men

    ghas

    ilkan

    tana

    man

    per

    tani

    an

    Lebih mudah/lebih baik

    Lebih sulit

    Sama saja

    Gambar 9. Klasifikasi rumah tangga kajian berdasarkan persepsi rumah tangga atas pengalamanselama krisis dan tanaman sumber pendapatan utama pada tahun 1998-99.

    Tabel 3. Persepsi kehidupan/kesejahteraan rumah tanggaselama tahun 1998-99 dibandingkan dengantahun 1996-97, berdasarkan pendapatan yangdiperoleh dari komoditi ekspor tahun 1998-99.

    Samasaja

    Total

    100% 64(46,4%)

    29(21%)

    45 (32,6%)

    138(100%)

    50% dan 0% dan < 50% 201(64,4%)

    50(16,0%)

    61(19,6%)

    312(100%)

    0% 165(71,1%)

    36(15,5%)

    31(13,4%)

    232(100%)

    Total 622(63,3%)

    168(17,1%)

    193(19,6%)

    983(100%)

    Persepsi kehidupan/kesejahteraan rumah tangga selama tahun 1998-99 dibandingkan dengan tahun 1996-97

    Tingkat pendapatan dari ECI

    Lebih sulit/buruk

    Lebih mudah/baik

    Total kolom kedua, ketiga dan keempat lebih rendah nilainyadibandingkan dengan tingkat kesejahteraan yang dijelaskan padapada halaman 11, 14 dan 15 karena variabel-variabel ini diklasifikasisilang dengan variabel ECI.

  • 14 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    (Gambar 1). Cokelat merupakan kasus pertengahan yangpenting dan dapat dijadikan pelajaran. Seperti halnya lada,cokelat mengalami pertumbuhan harga yang spektakulardari pertengahan 1997 sampai 1998 (Gambar 1). Lalumengapa petani cokelat cenderung merasa kondisinyalebih buruk pada tahun kedua masa krisis (1998-99)dibandingkan dengan tahun sebelum krisis? (Gambar 9).Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa turunnyaharga cokelat pada tahun 1998-99 jauh lebih tajamdibandingkan dengan lada, bahkan berada dibawah indeksharga pangan pada pertengahan tahun 1999 (Gambar 1).

    Hubungan antara krisis dengan musim kemaraudan kebakaran tahun 1997-98

    Responden survei diminta untuk menjawab pertanyaanapakah musim kemarau dan kebakaran yangmemporakporandakan sebagian besar kawasan diIndonesia dari pertengahan 1997 sampai pertengahan1998 berpengaruh pada kondisi rumah tangga mereka.Jawabannya, dibagi berdasarkan propinsi yang dikaji,menunjukkan respons yang sangat beragam. KalimantanTimur merupakan kawasan yang paling parah dilandabencana tersebut, dimana 100% dari rumah tangga kajianmelaporkan adanya pengaruh musim kemarau dankebakaran. Sekitar tiga per empat rumah tangga kajiandi Lampung dan Sulawesi Tengah, dan setengah darirumah tangga di Kalimantan Barat mengatakan bahwamereka merasakan adanya pengaruh musim kemarau dankebakaran. Daerah yang paling sedikit dilanda bencanatersebut adalah Riau/Jambi dengan hanya sepertiga darirumah tangga mengatakan adanya pengaruh musimkemarau dan kebakaran (Tabel 4).

    Sejumlah 371 responden (35%) yang mengalamipengaruh negatif dari keduanya, baik krisis ekonomimaupun musim kering/kebakaran diminta untuk menilaimana dari ke dua fenomena tersebut yang berpengaruhlebih buruk terhadap rumah tangga mereka. Hasilnyamembenarkan asumsi bahwa untuk mencoba mengetahuipengaruh krisis ekonomi maka sangat penting untukmembedakan kedua fenomena tersebut. Pada tingkatkeseluruhan, 41,5% mengatakan bahwa pengaruh krisisekonomi lebih buruk, 30,5% mengatakan pengaruhkemarau dan kebakaran lebih buruk, dan 28%mengatakan bahwa keduanya sama. Ada perbedaan yangsangat besar diantara propinsi yang dikaji yaitu pada satuekstrim dengan 79,7% dari responden di KalimantanBarat mengatakan bahwa pengaruh krisis ekonomi lebihburuk, dan pada ekstrem lainnya, hanya 6,4% dariresponden di Kalimantan Timur mengatakan bahwapengaruh krisis ekonomi lebih buruk (Tabel 5).

    Propinsi

    Ya Tidak

    Total

    Riau/Jambi 73(34,8%)

    137(65,2%)

    210(100%)

    Lampung 149(77,2%)

    44(22,8%)

    193(100%)

    Kalimantan Barat 95(45,2%)

    115(54,8%)

    210(100%)

    Kalimantan Timur 210(100,0%)

    0(0%)

    210(100%)

    Sulawesi Tengah 150(71,8%)

    59(28,2%)

    209(100%)

    Total 677(65,6%)

    355(34,4%)

    1.032(100%)

    Apakah ada pengaruh dari kekeringan dan/kebakaran

    hutan pada periode 1997-1998 yangterasa di rumah tangga ini?

    Tabel 4. Persepsi responden tentang pengaruh kekeringandan kebakaran hutan pada tahun 1997-98,berdasarkan propinsi kajian.

    Tabel 5. Persepsi responden menyangkut pengaruh manayang lebih buruk, krisis ekonomi atau kekeringandan kebakaran hutan, berdasarkan propinsi kajian.

    Propinsi Total

    Riau/Jambi 36(57,1%)

    17(27,0%)

    10(15,9%)

    63(100%)

    Lampung 14(24,6%)

    17(29,8%)

    26(45,6%)

    57(100%)

    Kalimantan Barat 51(79,7%)

    10(15,6%)

    3(4,7%)

    64(100%)

    Kalimantan Timur 5(6,4%)

    34(43,6%)

    39(50,0%)

    78(100%)

    Sulawesi Tengah 48(44,0%)

    26(23,9%)

    35(32,1%)

    109(100%)

    Total 154(41,5%)

    104(28,0%)

    113(30,5%)

    371(100%)

    Yang mana yang berakibat lebih buruk terhadap kesejahteraan rumah tangga ini: Krisis moneter ataukekeringan/kebakaran hutan 1997-98?

    Krisis ekonomi

    Keduanya sama saja

    Kekeringan dan Kebakaran

    hutan

    Penyesuaian kehidupan petani terhadap pengaruhkrisis secara umum

    Sejumlah 659 responden (63% dari total responden) yangmengatakan bahwa mereka merasa kehidupannya lebihburuk/sulit pada Periode 3 ketimbang Periode 1 dimintauntuk menjawab bagaimana respons/reaksi merekaterhadap kesulitan yang disebabkan oleh krisis. Kepadamereka dibacakan daftar kemungkinan respons terhadapkrisis dan diminta untuk menyatakan apakah merekamenerapkan respons tersebut pada situasi mereka atautidak. (Diasumsikan bahwa rumah tangga melakukan

  • 15CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    penyesuaian terhadap krisis dalam berbagai cara,sehingga diharapkan adanya beberapa jawaban yangsesuai dari rumah tangga tertentu yang diwawancarai).Mereka juga diminta untuk menyatakan cara mengatasikesulitan yang tidak termasuk dalam daftar. Responsyang diberikan disarikan pada Gambar 10. Kebanyakanresponden (lebih dari setengah) melakukan penyesuaianterhadap pengaruh negatif dengan jalan bekerja lebihkeras atau bekerja lebih lama. Sekitar sepertiga dariresponden melakukan penyesuaian terhadap krisis dengancara mengurangi pengeluaran rumah tangga, dengan caramenemukan sumber pendapatan tambahan atau baru, ataudengan cara memperluas lahan yang diolah. Sekitarseperempat dari rumah tangga melakukan penyesuaiandengan cara menanam satu atau lebih jenis tanamantambahan, atau dengan cara bergantung pada jumlahtabungan/simpanan atau pada beberapa kasus mengurastabungan yang dimiliki. Jawaban dipilah berdasarkantinggi dan rendahnya ketergantungan terhadappendapatan dari komoditi ekspor pada Periode 3. Rumahtangga dengan ECI rendah memberikan rata-rata respons

    yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga ECItinggi di seluruh kategori respons.

    Sejumlah 199 responden (19% dari total) yangmengatakan bahwa kehidupan mereka lebih baik/mudahpada Periode 3 ketimbang Periode 1 diminta menjawabbagaimana mereka menggunakan kelebihan daripendapatannya. Kepada mereka dibacakan daftarkemungkinan pemanfaatan penghasilan ekstra dandiminta untuk mengatakan apakah mereka menerapkanrespons tersebut terhadap situasi yang mereka alami atautidak. (Sama dengan pertanyaan tentang penyesuaianterhadap adanya kesulitan, maka diharapkan adanya lebihdari satu jawaban pada sejumlah rumah tangga tertentu).Mereka juga diminta untuk mengatakan cara yang merekagunakan dalam memanfaatkan pendapatan tambahanyang tidak terdapat dalam daftar. Respons yang diberikandisarikan pada Gambar 11. Lebih dari setengah darirumah tangga tersebut mampu meningkatkantabungannya/simpanannya atau mulai menabung jikamereka belum mempunyai simpanan sebelumnya.

    0 10 20 30 40 50 60 70

    Cara penyesuaian rumah tangga yang merasa kehidupannya lebih sulit mengatasi krisis

    Mengganti tanaman utama

    Mencari sumber pencaharian ditempat lain

    Cara lain

    Mengandalkan uang tabungan

    Menambah jenis tanaman lain

    Memperluas lahan garapan

    Berusaha mencari sumber pencaharian lain

    Menekan/mengurangi pengeluaran tertentu

    Bekerja lebih keras/lebih lama

    % dari responden dalam setiap kategori

    ECI tinggiECI rendah

    Gambar 10. Apa yang dilakukan rumah tangga kelompok lebih buruk/sulit dalam mengatasi krisis?

    0 10 20 30 40 50 60

    ECI tinggi

    ECI rendah

    Penggunaan kelebihan pendapatan oleh rumah tangga yang merasa kehidupannya lebih baik selama krisis

    Membeli tanah/lahan baru

    Lebih banyak waktu luang

    Lain-lain

    Membeli makanan yang lebih baik

    Membangun rumah

    Menabung

    Membeli barang

    Persentase responden

    Gambar 11. Apa yang dilakukan oleh rumah tangga kelompok lebih mudah dengan pendapatantambahan yang diperoleh selama krisis?

  • 16 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    Sekitar kurang dari setengah mampu untuk meningkatkanpembelian barang-barang rumah tangga, sekitar sepertigamampu membangun rumah atau memperbaiki rumahnya.Sekitar seperenam dari responden sanggup membelilahan, membeli pangan berkualitas lebih tinggi, danmeningkatkan waktu luangnya. Hal menarik adalah,pembagian respons berdasarkan rumah tangga ECI tinggidan ECI rendah pada Periode 3, menunjukkan bahwarumah tangga ECI rendah cenderung memberi rata-ratarespons yang lebih besar ketimbang rumah tangga ECItinggi. Satu perkecualian yaitu bahwa rumah tangga ECItinggi memiliki kecenderungan lebih besar untukmeningkatkan simpanannya.

    Penyesuaian dalam bentuk simpanan dan bantuanpemerintah

    Secara keseluruhan, terdapat hubungan yang sangat kuatantara persepsi responden tentang kesejahterannya selamakrisis dan kemampuan mereka untuk menabung.Sejumlah 508 rumah tangga yang mampu menyimpanuang/menabung pada waktu tertentu di sepanjang sejarahrumah tangga mereka ditanyai apakah mereka bisamenyimpan lebih banyak uang pada saat wawancaradilakukan dibandingkan dengan yang mereka perolehselama tahun sebelum dimulainya krisis. Sebagian besar(89,5%) dari mereka yang merasa kehidupannya lebihburuk/sulit menyatakan bahwa selama krisis mereka tidakdapat menabung sebanyak sebelumnya. Sebagian besar(74,8%) dari mereka yang mengaku merasa lebih baikmengatakan bahwa mereka sanggup menyimpan lebihbanyak uang selama krisis (Tabel 6).

    Memanfaatkan bantuan pemerintah kemungkinan adalahsatu upaya penting untuk mengatasi krisis. Beberapaindikasi menunjukkan bahwa bantuan pemerintah(bantuan ini meliputi pinjaman di bidang pertanian dansubsidi padi, pupuk, dan insektisida) ditujukan untuk

    mereka yang benar-benar membutuhkannya. Tabel 7menunjukkan kelompok yang merasa kondisinya lebihburuk selama krisis menduduki peringkat tertinggidalam penerimaan bantuan pemerintah (70,3%), diikutioleh kelompok sama (59,6%) dan yang terakhir merekayang merasa kondisinya lebih baik (56,8%). Perbedaantersebut nyata pada tingkat 0,05 dengan membuatperbandingan chi-square antara kelompok yang lebihburuk dengan kelompok lebih baik, dan antarakelompok lebih buruk dengan kelompok sama. Patutdipertanyakan mengapa kelompok yang merasa lebih baikatau kelompok yang tidak merasakan perubahan statusmendapatkan bantuan dari pemerintah. Namun demikianada kemungkinan bahwa itu bukan berarti terjadikesalahan dalam pengalokasian sumber daya pemerintah.Ada kemungkinan bahwa tersedianya bantuan pemerintahdapat mengurangi akibat buruk krisis pada beberaparumah tangga, sehingga mereka dapat berubah status darikelompok lebih buruk ke kelompok sama ataubahkan menjadi kelompok lebih baik.

    Tabel 6. Hubungan antara pengalaman selama krisis dankemampuan untuk menabung/menyimpan.

    Bisa Sama saja Tidak bisa

    Total

    Lebih sulit 21(6,9%)

    11(3,6%)

    274(89,5%)

    306(100%)

    Sama saja 12(19,0%)

    8(12,7%)

    43(68,3%)

    63(100%)

    Lebih mudah 104(74,8%)

    11(7,9%)

    24(17,3%)

    139(100%)

    Total 137(27,0%)

    30(5,9%)

    341(67,1%)

    508(100%)

    Apakah rumah tangga ini dapat menyisihkan uang untuk ditabung

    dalam jumlah yang lebih besarpada masa waktu satu tahun terakhir

    ini, jika dibandingkan masa waktu satu tahun sebelum krisis dimulai?

    Persepsi responden tentang kehidupan rumah tangga tahun 1998-99 diban-dingkan dengantahun 1996-97

    Tabel 7. Hubungan antara pengalaman selama krisisdengan perolehan bantuan pemerintah selamakrisis.

    Ya Tidak

    Total

    Lebih sulit 463(70,3%)

    196(29,7%)

    659(100,0%)

    Sama saja 112(59,6%)

    76(40,4%)

    188(100,0%)

    Lebih mudah 113(56,8%)

    86(43,2%)

    199(100,0%)

    Total 688(65,5%)

    358(34,5%)

    1.046(100,0%)

    Perbandingan chi-square

    Exactsignificance

    (2 arah)

    Exact significance

    (1 arah)

    Lebih sulit: Lebih mudah 0,001 0,000

    Lebih sulit: Sama saja 0,008 0,004

    Lebih mudah: Sama saja 0,607 0,325

    Apakah responden memperoleh bantuan pemerintah selama krisis?

    Pengalaman di masa krisis

    Para responden diminta untuk menyebutkan jumlah dannilai bantuan pemerintah yang mereka peroleh padaPeriode 1, 2, dan 3. Tabel 8 berisi ringkasan data mengenainilai bantuan pemerintah yang telah diterima yangdikelompokkan berdasarkan kelompok yang merasakehidupannya lebih baik/lebih mudah dan yang merasakehidupannya lebih buruk/lebih sulit pada Periode 3, danberdasarkan rumah tangga dengan ECI tinggi dan rendahpada Periode 3. Kelompok yang merasa kehidupannyalebih baik menerima bantuan pemerintah sedikit lebihbanyak dibanding kelompok yang merasa kehidupannyalebih buruk, meskipun perbedaannya tidak nyata. Rumah

  • 17CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    tangga dengan tingkat ECI-tinggi menerima bantuanyang 50% lebih banyak daripada rumah tangga denganECI-rendah dan perbedaannya nyata. Untuk dua alasan,tidak sepantasnya menyimpulkan bahwa hal inimerupakan bantuan pemerintah yang salah penempatan(walaupun hal itu mungkin saja terjadi). Pertama, sepertiyang telah disebutkan di atas, ada kemungkinan bahwabantuan pemerintah dapat mengurangi dampak pengaruhburuk krisis; disamping juga membantu mengubah statussebagian rumah tangga ke ECI-tinggi. Kedua, rumahtangga dengan ECI-tinggi cenderung memiliki tingkatpendapatan lebih rendah pada masa sebelum krisis,sehingga perbaikan status belum tentu merupakan suatuhasil yang tidak diinginkan.

    Jumlah rumah tangga yang memperoleh pendapatan tunaidari sumber daya hutan meningkat dari 245 (23,3% darikeseluruhan) pada Periode 1, menjadi 263 (25,0%) padaPeriode 2, dan 345 (32,9%) pada Periode 3 (Gambar 12).Namun ada variasi yang cukup besar diantara propinsikajian pada jumlah rumah tangga yang memperolehpendapatan tunai dari hutan (Gambar 13). Penggunaansumber daya hutan mengalami peningkatan pada masakrisis di seluruh propinsi kecuali Kalimantan Timur (adalaporan yang menunjukkan kerusakan hutan diKalimantan Timur akibat musim kemarau dan kebakaranhutan pada Periode 2). Secara relatif, penggunaan sumberdaya hutan meningkat tajam di Riau/Jambi, diikuti olehKalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Lampung. Patutdiperhatikan bahwa hal ini sedikit banyaknya paraleldengan peringkat urutan kesejahteraan di propinsi kajian(Gambar 8). Rumah tangga kajian di Riau/Jambimengalami masa yang paling sulit saat krisis, diikuti olehSulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Lampung, danKalimantan Timur.

    Rata-rata(Rp.)

    N Signifikan(uji kesamaan

    ragam)

    Signifikanuji kesamaannilai tengah/

    mean dua arah

    207.050,4 113

    205.190,1 4540,705 0,966

    267.789,9 272

    160.117,1 3950,000 0,001

    Kategori perbandingan

    Persepsi kelompok yang merasalebih mudah pada tahun 1998-99dibandingkan tahun 1996-97

    Persepsi kelompok yang merasa lebih sulit pada tahun 1998-99dibandingkan tahun 1996-97

    Lebih dari 50% pendapatan rumah tangga berasal dari ECI

    Kurang dari 50% pendapatan rumah tangga berasal dari ECI

    Tabel 8. Uji nilai tengah (independent means test)pembandingan tingkat bantuan pemerintah yangditerima oleh kelompok yang merasakehidupannya lebih mudah dan lebih sulit selamamasa krisis, dan kelompok dengan ECI tinggi danECI rendah/tidak ada ECI.

    Penyesuaian melalui peningkatan ketergantunganterhadap sumberdaya hutan

    Penelitian kualitatif dan kuantitatif menegaskan bahwabanyak rumah tangga menyesuaikan diri terhadappengaruh krisis yang merugikan, sebagian dengan carameningkatkan ketergantungannya terhadap sumber dayahutan (pada tulisan ini sumber daya hutan mempunyaiarti luas yaitu kayu dan bukan kayu). Temuan cenderunguntuk menegaskan hipotesa kedua yang berhubungandengan kesejahteraan, yang menyatakan adanyaketergantungan yang makin besar pada hasil hutan nonkayu, sebagai dampak dari krisis.

    245 263345

    805 787

    705

    0%

    10%

    20%

    30%

    40%

    50%

    60%

    70%

    80%

    90%

    100%

    Periode 1 Periode 2 Periode 3

    Tidak punya pendapatan uangMempunyai pendapatan uang

    % d

    ari s

    elur

    uh r

    umah

    tang

    ga y

    ang

    dika

    ji

    Gambar 12. Jumlah rumah tangga kajian yangmemperoleh pendapatan uang/tunai darisumberdaya hutan, perbandingan dari periode1, 2 dan 3.

    Kayu dan rotan merupakan sumber daya hutan yangterpenting bagi perolehan pendapatan rumah tanggadiukur dari jumlah rumah tangga yang memanfaatkansumber daya ini dan diukur dari pertumbuhanpenggunaannya selama krisis (Gambar 14). Sangat jelasterlihat dari penelitian kualitatif bahwa menurunnyapengawasan pemerintah terhadap akses hutan berperanbesar dalam peningkatan eksploitasi kayu oleh para petanikecil. Oleh karena itu, sangatlah tidak bijaksana untukmenyimpulkan bahwa penderitaan merupakan satu-satunya faktor yang relevan untuk menerangkan

  • 18 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    terjadinya peningkatan pemanfaatan sumber daya hutan.Penting untuk ditunjukkan bahwa volume sumber dayahutan yang dimanfaatkan oleh rumah tangga kajianmengalami peningkatan pada beberapa rumah tangga danpenurunan pada lainnya. Beberapa pertanyaan mengenaialasan penyebab diajukan kepada 433 responden (38,4%dari total) yang memperoleh pendapatan dari hutan padaPeriode 1 dan 3. Dua ratus tiga puluh responden (21,9%dari total) mengambil kayu dari hutan pada Periode 1dan 3. Pemanfaatan kayu meningkat dari Periode 1 kePeriode 3 pada 137 rumah tangga (59,6%), sedangkan

    18 rumah tangga (7,8%) tidak berubah, dan 75 rumahtangga (32,6%) mengalami penurunan. Beberapa alasandari meningkatnya pemanfaatan kayu adalah: harga kayuyang lebih mahal (69% dari responden); lebih banyakpembeli (41%); penemuan daerah pasokan/suplai yangbaru (17%); perbaikan jalan (12%); dan semakinbanyaknya tenaga kerja di keluarga (11%). Diantaraalasan terjadinya penurunan eksploitasi kayu adalah:turunnya suplai (56,4%); daerah persediaan/bahan suplai(53,8%) semakin jauh; penurunan tenaga kerja di keluarga(19,2%); dan meningkatnya persaingan (14,1%)

    Seratus tiga puluh tujuh responden (13,0% dari total)memungut rotan dari hutan pada Periode 1 dan 3.Pemanfaatan atas sumber ini meningkat dari Periode 1ke Periode 3 pada 89 rumah tangga (65,0%), 8 rumahtangga tidak berubah (5,8%), dan 40 rumah tanggamengalami penurunan (29,2%). Diantara alasan-alasanmeningkatnya pemanfaatan rotan adalah: harga lebihmahal (49,4%); meningkatnya jumlah pembeli (39,3%);menemukan pasokan baru (13,5%). Alasan dari turunnyapemanfaatan rotan adalah: turunnya pasokan (70%); jarakyang lebih jauh ke pasokan (67,5%); semakin besarnyapersaingan (17,5%).

    Penyesuaian melalui migrasi

    Survei mengenai migrasi mengungkapkan bahwa sangatsedikit rumah tangga ( 81 dari total 2820 rumah tanggayang disensus atau 2,9%) yang pindah ke desa kajiansemenjak mulainya masa krisis ekonomi. Dari 81 rumahtangga tersebut, sebagian besar pindah ke Sulawesi Tengah(34 rumah tangga) atau Lampung (33). Hanya 31 rumah

    63

    29

    121

    14

    118

    52

    40

    88

    13

    70

    50

    29

    93

    14

    59

    0 20 40 60 80 100 120 140

    Sulawesi Tengah

    Kalimantan Timur

    Kalimantan Barat

    Lampung

    Riau dan Jambi

    Jumlah rumah tangga

    Pro

    pins

    i

    Periode 1Periode 2Periode 3

    Gambar 13. Perubahan jumlah rumah tangga yang memperoleh pendapatan dalam bentuk uang darisumberdaya hutan, menurut propinsi kajian dan periode penelitian.

    Gambar 14. Perubahan jumlah rumah tangga yangmemperoleh pendapatan dalam bentuk uangdari sumberdaya hutan, menurut jenissumberdaya dan periode penelitian.

    Periode 1 Periode 2 Periode 3

    Jum

    lah

    rum

    ah ta

    ngga

    Kayu

    Rotan

    Binatang

    Madu hutan

    Buah-buahan

    Gaharu

    Nira

    Lain-lain

    Jelutung

  • 19CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    tangga (38,3%) yang berpindah karena berkurangnya atauhilangnya sumber penghasilan mereka di daerah asal.Lima puluh enam rumah tangga (69,1%) dari 81 rumahtangga pindah ke desa kajian dengan alasan bahwa krisisekonomi telah menciptakan kesempatan untukmemperoleh pendapatan di daerah tersebut.

    Perubahan dalam pengeluaran rumah tanggaselama masa krisis

    Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengertimengapa, meskipun kenaikan harga bermacam-macamkomoditas ekspor (Gambar 1), dan kenyataan bahwasebagian besar rumah tangga mempunyai sedikitnyabeberapa ECI (Gambar 6), dan naiknya pendapatannominal rumah tangga secara menyolok (Tabel 2), hampir2/3 rumah tangga adalah kelompok yang merasakehidupan mereka lebih buruk/sulit (Gambar 7). Alasannyata mengapa banyak rumah tangga yang menyatakandiri sebagai kelompok yang kehidupannya lebih buruk/sulit adalah karena biaya hidup nominal meningkat lebihcepat dari pendapatan normal, hal ini didukung oleh datakualitatif hasil penelitian. Untuk menghindariberkurangnya konsumsi riil secara menyolok, petanimeningkatkan pengeluaran nominal lebih tinggidaripadapendapatan nominalnya. Akibatnya adalahberkurangnya simpanan atau kekayaan.

    Data kuantitatif tidak dapat memberikan keterangansecara jelas karena tidak diajukan pertanyaan yangmenangkap perubahan-perubahan dalam pengeluaranrumah tangga secara keseluruhan dalam 3 periode.Peningkatan pengeluaran keseluruhan yang lebih cepatatas pendapatan ditunjukkan secara tidak langsung dalam2 cara. Pertama, rumah tangga yang menyatakan bahwapengeluaran nominal mereka lebih tinggi pada Periode 3dibanding Periode 1 (93,7%) jumlahnya lebih besar, lebihtinggi dari jumlah rumah tangga yang menyatakanpendapatan nominal mereka lebih tinggi pada Periode 3dibanding Periode 1 (80,2%). Hal ini benar tidak hanyapada tingkat keseluruhan, tapi juga di setiap propinsi yangdikaji. Indikasi secara tidak langsung yang kedua yaiturata-rata pengeluaran rumah tangga untuk input pertanianmeningkat sepanjang 3 periode, walaupun penerimaannominal rata-rata meningkat tajam dari Periode 1 kePeriode 2, dan sedikit menurun pada Periode 3 (Gambar15). Perhatikan bahwa, secara rata-rata pengeluaran untukinput pertanian merupakan sebagian kecil daripengeluaran dan pendapatan keseluruhan.12

    Kenyataan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk inputpertanian, secara rata-rata, menempati porsi sangat kecildari pendapatan, tidak menyembunyikan fakta adanyaperbedaan besar berdasarkan propinsi dan jenis komoditi.

    Gambar 15. Perbandingan antara pendapatan kotor rumahtangga rata-rata dan pengeluaran rumahtangga rata-rata untuk input pertanian,sebelum krisis, dan periode krisis.

    0

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000

    6000

    1000

    2000

    3000

    4000

    5000

    6000

    Periode 1 Periode 2 Periode 3

    Periode

    Pen

    dapa

    tan

    (dal

    am r

    ibua

    n ru

    piah

    )

    Pen

    gelu

    aran

    (da

    lam

    rib

    uan

    rupi

    ah)

    0

    Pendapatan Pengeluaran

    Catatan: Analisa ini termasuk seluruh rumah tangga kajian yangmenggunakan input pertanian, baik dibeli maupun tidak.

    Pada kasus tertentu, perbedaan ini dapat mempengaruhikesejahteraan rumah tangga. Gambar 16 memperlihatkandata rata-rata biaya untuk input pertanian per rumahtangga berdasarkan propinsi dan periode kajian.Perhatikan bahwa sejauh ini Kalimantan Timur memilikibiaya tertinggi, sedangkan Riau/Jambi dan KalimantanBarat dengan biaya terendah. Gambar 17 menjelaskanperbedaan yang terjadi di antara propinsi yang dikajiyang menyangkut biaya input pertanian. Biaya input ladadan kelapa sawit menempati posisi tertinggi, terutama diKalimantan Timur (Gambar 5). Sebaliknya, biaya inputpertanian untuk tanaman karet menempati urutanterendah di antara seluruh komoditas yang terwakili dipenelitian ini (Gambar 17). Hal ini menjelaskanrendahnya rata-rata biaya input pertanian di Riau/Jambidan Kalimatan Barat, di mana karet merupakan hasil bumiyang paling dominan.

    Keinginan untuk diversifikasi

    Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dalamwawancara kualitatif adalah kenyataan bahwa petanimerasa rentan terhadap perubahan harga. Pada beberapawawancara, responden mengatakan bahwa mereka telahmemulai, atau berencana untuk memulai komoditas baruuntuk memperkecil kemungkinan menjadi korban akibatdari turunnya harga di kemudian hari. Satu jenis komoditiyang sering dibicarakan adalah kelapa sawit. Respondenmenyatakan, bahwa diversifikasi menggunakankomoditas baru terhambat oleh kurangnya pengetahuan,lahan atau modal.

  • 20 Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1400

    1996-97

    1997-98

    1998-99

    (da

    lam

    rib

    uan

    rupi

    ah)

    Lada

    Kel

    apa

    saw

    it

    Kop

    i

    Pad

    i saw

    ah

    Cok

    elat

    Jagu

    ng

    Kar

    et

    Cab

    e

    Gambar 17. Pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk input pertanian berdasarkantanaman sumber pendapatan utama, 1996-97, 1997-98 dan 1998-99.

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    Riau/Jambi

    Lampung KalimantanBarat

    KalimantanTimur

    SulawesiTengah

    1996-97

    1997-98

    1998-99

    (da

    lam

    rib

    uan

    rupi

    ah)

    Gambar 16. Perubahan dalam pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk input pertanianpada tahun 1996-97, 1997-98 dan 1998-99.

    4.3 Pengaruh terhadap tutupan hutan alam

    Temuan umum tentang tutupan hutan

    Pertanyaan diajukan ke seluruh responden, apakahmereka telah membuka lahan baru dalam 3 tahun sebelumwawancara, yaitu antara pertengahan 1996 sampai denganpertengahan 1999. Tujuh ratus empat belas responden(68% dari total) mengatakan telah membuka lahan barupada periode tersebut. Responden tersebut diminta untuk

    menyebutkan luas areal yang disiapkan serta tujuanpenggunaan menurut 3 pilihan kemungkinan, yaitu (1)hanya perladangan berpindah; (2) keduanya baikperladangan berpindah dan pertanian menetap; (3) hanyapertanian menetap. 13

    Hasilnya diperlihatkan pada Gambar 18 danmenunjukkan 2 hasil penting. Pertama, jumlahpembukaan lahan meningkat secara perlahan-lahan dariPeriode 1 ke Periode 2, dan meningkat tajam antara

  • 21CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    287 282 251

    116 135265

    6284

    202

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    600

    700

    800

    Jum

    lah

    pem

    buka

    an la

    han

    1996-97 1997-98 1998-99

    Pertanian menetap saja

    Pertanian berpindah dan menetapPertanian berpindah saja

    Gambar 18. Pembukaan lahan untuk pertanian pada tahun1996-1999 sesuai tujuan pemanfaatan.

    Periode 2 dan Periode 3. (Catatan: jumlah pembukaanlahan melampaui jumlah rumah tangga, karena beberaparumah tangga membuka lebih dari 1 bidang lahan dalamsatu periode). Kedua, terjadinya perubahan tujuanpenggunaan pembukaan lahan selama ke tiga periode.Jumlah pembukaan lahan untuk hanya perladanganberpindah turun perlahan pada seluruh periode. Jumlahpembukaan lahan untuk kategori perladangan berpindahdan pertanian menetap dan hanya pertanian menetapmeningkat sedang dari Periode 1 ke Periode 2, danmeningkat tajam dari Periode 2 ke Periode 3.

    Tabel 9 memperlihatkan jumlah dan proporsi rumahtangga yang membuka lahan selama krisis (selamaPeriode 2 dan 3), dikelompokkan berdasarkan propinsiyang dikaji. Terdapat perbedaan yang menyolok padafrekwensi pembukaan lahan di antara propinsi kajian.Sebagian besar (92,9%) rumah tangga yang diteliti diKalimantan Barat melakukan pembukaan lahan selamakrisis, sebaliknya di Lampung jumlah rumah tangga yangmelakukan pembukan lahan kurang dari sepertiga(30,5%). Tingginya tingkat pembukaan lahan diKalimantan Barat, begitu juga di Riau/Jambi (76,2%),sebagian disebabkan oleh usaha komoditi karet dan dayatarik untuk untuk membuka lebih banyak lahan untukkebun karet. (Isu ini akan dijelaskan dengan lebih rincikemudian). Rendahnya tingkat pembukaan lahan diLampung sebagian disebabkan oleh relatif terbatasnyalahan hutan di propinsi tersebut.

    Responden yang membuka lahan diminta untukmenyebutkan luas areal yang dibuka (seperti yang

    Propinsi

    Yes No

    Total

    160 50 210Riau/Jambi(76,2%) (23,8%) (100%)

    64 146 210Lampung(30,5%) (69,5%) (100%)

    195 15 210Kalimantan Barat(92,9%) (7,1%) (100%)

    157 53 210Kalimantan Timur(74,8%) (25,2%) (100%)

    95 115 210Sulawesi Tengah(45,2%) (54,8%) (100%)

    671 379 1.050Total(63,9%) (36,1%) (100%)

    Apakah rumah tangga membuka lahan selama masa krisis

    (tahun 1997-98 dan 1998-99)?

    Tabel 9. Proporsi dari rumah tangga kajian yang membukalahan selama masa krisis (periode 2 dan 3)menurut propinsi.

    disebutkan di atas) dan juga menyebutkan jenis lahanyang dibuka, menurut kategori di bawah ini:

    hutan primer hutan sekunder, berumur 30 tahun atau lebih hutan sekunder, berumur 10-30 tahun hutan sekunder, berumur 6-10 tahun hutan sekunder, berumur 1-5 tahun padang rumput atau semak belukar lahan hutan bekas kebakaran hutan tanaman atau kebun dll

    Hasilnya yang memperlihatkan total area yang dibukaoleh rumah tangga kajian, dan dikelompokkanberdasarkan jenis lahan yang dibuka dan berdasarkanpropinsi yang dikaji, disajikan pada Gambar 19. Hal yangsangat menyolok adalah luas lahan yang dibuka selamakrisis di Kalimantan Barat hampir dua kali luas lahanyang dibuka di Riau/Jambi dan Kalimantan Timur, empatkali luasan yang dibuka di Sulawesi Tengah, dan delapankali luas lahan yang dibuka di Lampung. Data yang tidakterlihat pada Gambar menunjukkan bahwa rata-rata tanahyang dibuka per rumah tangga di Kalimantan Baratselama masa krisis (2,36 ha) juga jauh lebih luas biladibandingkan propinsi lainnya, yaitu: 1,60 ha diKalimantan Timur; 1,48 ha di Riau/Jambi; 1,12 ha diSulawesi Tengah; dan 0,95 ha di Lampung. Dengandemikian perbedaan antar propinsi dalam total luas lahanyang dibuka merupakan refleksi dari tidak hanyaberagamnya jumlah dan proporsi rumah tangga yangmembuka lahan (Tabel 9), tapi juga besarnya perbedaanrata-rata lahan yang dibuka per rumah tangga.

    Gambar 19 juga menampilkan perbedaan tiap propinsiberdasarkan jenis lahan yang dibuka. Proporsi lahan yang

  • 22D

    ampak K

    risis Ekonom

    i Indonesia terhadap Petani K

    ecil dan Tutupan Hutan A

    lam di Luar Jaw

    a

    Sulawesi Tengah

    Kalimantan Timur

    Kalimantan Barat

    Lampung

    Riau dan Jambi

    P

    r

    o

    p

    i

    n

    s

    i

    Luas lahan yang dibuka (ha)

    Hutan primer Rimba tua (30 thn +) Rimba muda (10-30 thn) Belukar tua (6-10 thn) Belukar muda ((1-5 thn)

    Semak/rumput Hutan bekas terbakar Hutan tanaman/kebun Lain

    47

    59

    110

    26

    32

    18

    30

    89

    10

    19

    48

    49

    125

    28

    26

    17

    78

    141

    15

    8

    34

    7

    7

    11

    3

    5

    5

    55

    5

    8

    3

    0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

    1 1

    1 2

    Gambar 19. Jumlah luas lahan yang dibuka oleh rumah tangga kajian selama masa krisis (pertengahan 1997 - pertengahan1999), berdasarkan propinsi dan jenistutupan lahan.

  • 23CIFOR Occasional Paper No. 28(I)William D. Sunderlin, Ida Aju Pradnja Resosudarmo, Edy Rianto dan Arild Angelsen

    Periode Jumlah Rata-rata luaslahan yangdibuka(ha)

    rumahtangga

    50% 166 1,09Periode 1

    (1996-97) < 50% 221 1,110,226 0,819

    50% 168 1,23Periode 2

    (1997-98) < 50% 231 1,140,945 0,299

    50% 250 1,00Periode 3

    (1998-99) < 50% 298 1,060,206 0,426

    50% 284 1,60Periode 2-3

    (1997-99) < 50% 340 1,700,211 0,440

    Proporsi pendapatan ECI dari pendapatan

    total

    Signifikan(uji kesamaan

    ragam)a

    Signifikan (uji kesamaan nilai

    tengah/mean dua arah)a

    Tabel 11. Uji nilai tengah (independent means test) luas lahan rata-rata yang dibuka, dibedakan berdasarkantinggi dan rendah/tidak adanya ECI, sebelum krisis dan selama krisis.

    a = diasumsikan ragam sama

    dibuka pada dua kawasan hutan dalam kategori umur tertua(hutan primer dan hutan sekunder berumur 30 tahun ataulebih), berkisar dari yang tertinggi di Riau/Jambi (setengahdari total di propinsi tersebut) dan terendah di Lampung(tidak satupun hutan yang dibuka). Pembukaan tipe hutanini dihitung berdasarkan proporsi dari seluruh lahan yangdibuka pada ke tiga propinsi lainnya rendah, berkisar antara5 15%. Perlu dicatat bahwa pembukaan hutan sekundermuda (umur 1-5 tahun dan 6-10 tahun) mencakup hampirkebanyakan lahan yang dibuka di Kalimantan Barat,Sulawesi Tengah dan Lampung; kurang dari setengah diKalimantan Timur; dan sekitar sepertiga di Riau/Jambi.Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar dari lahan yangdibuka di ke lima propinsi yang dikaji merup