catatan dari lapangan - marjin kiri

315
CATATAN DARI LAPANGAN

Upload: others

Post on 04-Nov-2021

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

CATATAN DAR I LAPANGAN

Page 2: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Penerbitan buku ini didukung oleh:

Leiden University Institute Kementerian Pendidikan danfor Area Studies (LIAS) Kebudayaan Republik Indonesia

Leiden University Centre Member Associationfor Linguistics (LUCL) KITLV/The Royal Netherlands

Institute of Southeast Asianand Caribbean Studies

Koninklijk Instituut voor Taal-, Van Vollenhoven InstituteLand- en Volkenkunde for Law, Governance

(KITLV) Jakarta and Society (VVI)

Nederlandse Organisatie voor Wetenschappelijk Onderzoek /Netherlands Organisation for Scientific Research (NWO)

Page 3: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

EditorWijayantoSudarmoko

Ade Jaya SuryaniNor Ismah

Nurenzia Yannuar

Esai-esai Refleksi Etnografis Bidang Sosial Budaya

Mahasiswa Indonesia di Leiden

CATATAN DARILAPANGAN

Page 4: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Catatan dari Lapangan: Esai-esai Refleksi Etnografis Bidang Sosial BudayaMahasiswa Indonesia di Leiden

Editor: Wijayanto, Sudarmoko, Ade Jaya Suryani, Nor Ismah, Nurenzia YannuarPengantar: Gerry van Klinken, Din WahidPenerjemah: Wijayanto, Nurenzia Yannuar, Nazarudin

Penata letak: Muhammad Haikal

Cetakan pertama, November 2019i - xliv + 271 hlm, 14 x 20,3 cmISBN: 978-979-1260-94-7

CV. Marjin KiriRegensi Melati Mas A9/10Serpong, Tangerang Selatan 15323www.marjinkiri.com

Dilarang memperbanyak atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku iniuntuk tujuan komersial. Setiap tindak pembajakan akan di proses sesuai hukumyang ber laku. Pengutipan untuk kepentingan aka demis, jur nalistik, dan advokasidiperkenan kan. Ter sedia potong an harga bagi staf pengajar, mahasiswa, per pus -taka an, dan lembaga-lembaga riset kampus.

Dicetak oleh GAJAH HIDUP Isi di luar tanggung jawab percetakan

The mark of responsible forestry. Buku-buku kami dicetak di ataskertas yang telah memenuhi standar kehutanan berkelanjutanDNV-COC-000020 DNV-CW-000020

Page 5: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Refleksi Riset Lapangan dan Artefak PersahabatanPengantar TIM EDITOR

Hujan SegarPengantar GERRY VAN KLINKEN

Riset Harus BerimbangPengantar DIN WAHID

BAGIAN IKajian Politik, Media, dan Kewarganegaraan di Indonesia

Keajaiban FieldworkWARD BERENSCHOT

Mimpi-mimpi Seorang AntropologWIJAYANTO

Dari Kenangan bersama Sahabat hingga PenelitianEtnografis: Studi Acara Dakwah di Televisi IndonesiaPasca-ReformasiSYAHRIL SIDDIK

Melakukan Etnografi Media SosialM. ZAMZAM FAUZANAFI

ix

xxii

xxxiv

1

3

14

32

45

Daftar Isi

Page 6: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

vi CATATAN DARI LAPANGAN

BAGIAN IIKajian Islam, Hukum, dan Pendekatan Antropologisdi Indonesia

Ketika Perempuan Meneliti PerempuanNOR ISMAH

Rencana, Kejutan, dan Hal-hal yang Tidak Didugadari Penelitian LapanganADE JAYA SURYANI

Meneliti Perkawinan Muslim di DesaMUHAMMAD LATIF FAUZI

Romantika Penelitian Etnografi di Lembaga PenegakHukumFACHRIZAL AFANDI

Lika-Liku Penelitian: Perubahan, Ketidaktahuan, danKejutanARFIANSYAH

BAGIAN IIIKajian Linguistik di Indonesia

Indonesia: Tempat Fieldwork Terbaik yang Ada diMuka BumiMARIAN KLAMER

Fieldwork di Rumah SendiriNURENZIA YANNUAR

Data Ini Milik Siapa?NAZARUDIN

53

55

65

75

89

99

113

115

129

138

Page 7: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

viiDAFTAR ISI

Bahasa Dhao: Catatan Lapangan Seorang LinguisJERMY BALUKH

Kerja Lapangan Bikin KetagihanYUNUS SULISTYONO

BAGIAN IVKajian Seni dan Sastra di Indonesia

Menelusuri Koleksi Sastra Pra-IndonesiaTOM HOOGERVORST

Mencoba Tidak MenyerahTAUFIQ HANAFI

Penelitian Lapangan bagi Kajian Sastra IndonesiaSUDARMOKO

Belajar Menjadi Sejarawan SeniAMINUDIN T.H. SIREGAR

Meneliti Sejarah Museum: Bagaikan Mencari Jarumdalam JeramiAJENG AYU ARAINIKASIH

BAGIAN VKajian Antropologi dan Sejarah Indonesia

Penelitian di Luar Kendali, Pitung Mengambil AlihMARGREET VAN TILL

Menemukan Orisinalitas di Tanah DayakKATRIANI PUSPITA AYU

144

153

163

165

177

191

200

210

217

219

226

Page 8: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

viii CATATAN DARI LAPANGAN

Beberapa Kekeliruan Awal tentang Metode Etnografi:Sebuah Refleksi PribadiGRACE LEKSANA

Melangkah di antara Dua Jalur: Penelitian danAktivismeHARI NUGROHO

Daftar Penulis

236

244

259

Page 9: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Refleksi Riset Lapangandan Artefak Persahabatan

TIM ED ITOR

Pengantar

B uku ini bermula dari sesuatu yang sangat sederhana: ke -inginan untuk merangkum catatan-catatan lapangan dari

penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia yang se -dang menempuh program doktoral di Universitas Leiden. Adasemacam mitos yang telah sering didengar bahwa belajar diBelanda berarti siap bertransformasi menjadi seorang antro -polog. Tak lain karena etnografi memiliki akar yang kuat dinegeri kincir angin ini, yang menjadi ciri khas budaya aka demikdi sini. Maka seorang mahasiswa, apa pun latar belakang di -siplin ilmunya saat baru tiba di Belanda, mau tidak mau harusmempelajari metode ini. Terlebih jika dia datang ke Uni versitasLeiden, kampus tertua di Belanda, yang telah melahir kantokoh-tokoh besar dalam antropologi, seperti ahli studi ke -islaman, Snouck Hurgronje, yang pernah menjabat sebagaiRektor Universitas Leiden sampai dengan pakar studi hukum,Cornelis van Vollenhoven, yang kita kenal sebagai perintis kaji -an hukum adat.

Apa yang tampaknya hanya mitos itu menjelma menjadikenya taan bagi kebanyakan mahasiswa. Pada tahun pertama

Page 10: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

masa training sebagai mahasiswa doktoral di Leiden, yang berisipenyempurnaan proposal disertasi, biasanya mahasiswa danpembimbing menyepakati untuk menggunakan etnografi seba-gai metode penelitian. Riset akan meliputi satu tahun studi la -pang an, dari total empat tahun masa studi yang direncanakan.Na mun di situlah masalahnya. Tidak semua mahasiswa— de ngan latar belakang pendidikan yang beragam—tahu apa ituetnografi.

Pada situasi seperti ini, kami merasakan kebutuhan akanadanya semacam buku tentang metode ini tetapi dalam bentuklebih praktis dan sederhana. Alasannya sederhana: buku-bukuyang ditemukan di perpustakaan Universitas Leiden kebanyak -an sangat teoretik, yang merupakan ciri khas buku metodologiriset pada umumnya. Kami membayangkan andai saja paramahasiswa Leiden terdahulu ada yang pernah menu liskanpeng alaman penelitian lapangannya, tentu akan sangat mudahdan menarik untuk diikuti. Sayangnya harapan kami ini tidakterjawab. Kisah dari para mahasiswa yang lebih seni or biasanyahanya dituturkan secara lisan dan tidak sistematis. Atau kamiyang belum mendapatkan buku tersebut melalui pencarian diperpustakaan Universitas Leiden yang sangat ba nyak koleksi -nya itu. Siapa tahu.

Beberapa kelas keterampilan penelitian yang disediakanuniversitas juga rata-rata sudah berada dan dipersiapkan untukkelas berpengalaman. Keadaan ini bisa dimengerti mengingatUniversitas Leiden menganut sistem Ph.D by research, yang arti -nya mahasiswa doktoral memang tidak ada kewajiban meng -ikuti kuliah. Sebenarnya ada juga kelas lain berupa workshopproposal disertasi. Di sana kami belajar tentang bagaimana pe -nelitian lapangan seharusnya dilakukan dan perspektif apayang mesti dimiliki seorang antropolog.

Berangkat dari latar belakang itu, pembicaraan-pembicara -an dilakukan dengan satu dua mahasiswa di Leiden. Kegelisah -

x CATATAN DARI LAPANGAN

Page 11: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xiPENGANTAR

an seperti di atas ternyata juga dihadapi oleh beberapa temanlainnya dengan tingkat kesulitan dan cara meng atasi persoalanyang berbeda, tentu saja. Namun untuk mewujudkan kebutuh -an tersebut menjadi tulisan-tulisan seperti yang ada dalam bukuini ternyata memerlukan waktu dan tahapan yang tidak mudah.Kesibukan penulisan disertasi, urusan pribadi dan keluarga,hingga keharusan mengikuti format penulisan yang diharapkanoleh editor memberi tambahan beban kepada para penulis un -tuk dapat segera mewujudkan buku ini.

Sampai akhirnya pada sekitar musim gugur 2017, MargreetVan Till, koordinator program kami, meminta kami melakukansemacam kegiatan untuk menunjukkan keberadaan mahasiswaIndonesia di Leiden. Ide Margreet ini disampaikan kepada duaorang kawan, Julia dan Nurenzia, yang ditunjuk sebagai koor-dinator kegiatan. Usulan Margreet membuat Julia teringatkembali rencana penyusunan buku ini. Maka diajukanlah pe -nyusunan buku ini sebagai salah satu usulan kegiatan. Beda -nya, etnografi di sini tidak lagi hanya untuk kajian media, tetapimeliputi aga ma, bahasa, seni, sastra, buruh, hukum dll. Proyekini juga akan melibatkan seluruh mahasiswa doktoral di Leidenyang melakukan riset di bidang sosial dan budaya. Margreetbukan hanya menyetujui tetapi juga sangat an tusias dengan ideini. Dia bahkan siap mengupayakan penda naannya. Lebih dariitu, teman-teman mahasiswa di Leiden, baik yang menempuhstudi di fakultas humaniora, fakultas ilmu sosial, fakultas hukum,atau pun yang berada di bawah naungan KITLV juga antusias.

Namun, sampai di sini muncul masalah: siapa yang berke-nan menjadi editor? Kami semua sangat antusias dengan ideini, tetapi juga terlalu sibuk dengan deadline disertasi. Sebagianteman bahkan kesulitan untuk sekadar menemukan waktu gunamenulis kisahnya sendiri, apalagi harus mengedit tulisan-tulis -an lain yang masuk. Sebagai koordinator program, Julia danNurenzia dengan “pintar” dan “baik hati” menunjuk tiga

Page 12: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

orang: Wijayanto, Ade Jaya Suryani, dan Nor Ismah. Nanti nya,se orang kawan lain, Sudarmoko, dengan baik hati berga bung kedalam tim editor. Sudarmoko menulis disertasi tentang infra-struktur sastra yang di antaranya berkutat tentang penerbit anbuku. Dialah yang paling senior di antara kami dan mung kinpaling mengerti dalam soal penyuntingan dan penerbitan buku.

Meski demikian, tetap saja bekal utama kami sebagai edi-tor hanyalah semangat. Terutama bagi kawan-kawan yang su -dah di masa penghujung studi mereka dengan ancaman ha bis -nya beasiswa. Kami mesti pandai-pandai membagi waktu an -tara menulis proyek kami sendiri dan mengurus penyuntinganbuku ini. Namun semangat saja tidak cukup, karena ia harusjuga diiringi dengan kesabaran. Terutama untuk tugas “mahaberat”: menagih tulisan kawan sendiri. Ini adalah sebuah pro -yek “keroyokan” yang melibatkan puluhan orang. Masing- masing kawan memiliki kecepatan menulis yang berbeda-beda.Tim editor tidak meragukan bahwa semua kawan memilikikemampuan untuk menuliskan kembali pengalaman risetnya.Namun, tak semuanya memiliki waktu. Selain deadline danhambatan-hambatan non-teknis lain seperti pada umumnya di -jumpai pada kerja penulisan, sebagian kawan juga justru tengahberada di lapangan di Indonesia.

Sebagai pembaca pertama, rata-rata kami di tim editor me -rasa sangat beruntung. Kami mendapat kesempatan untukmembaca kisah-kisah menarik dan luar biasa yang diberikanoleh para kontributor buku ini. Pada setiap tulisan itu, kamimendapati penuturan yang jujur tentang pengalaman peneli-tiannya. Bukan hanya berisi hal-hal teknis penelitian sepertibagaimana wawancara atau observasi dilakukan, tetapi jugakendala-kendala yang mereka jumpai selama penelitian darimulai persiapan penelitian hingga turun ke lapangan, hinggarefleksi temuan penelitian. Dalam baris demi barisnya kamimerasakan semangat, kegembiraan, kesedihan, dan juga keta -

xii CATATAN DARI LAPANGAN

Page 13: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

bahan kawan-kawan sebagai peneliti, dan lebih dari itu, sebagaimahasiswa doktoral yang tengah berjuang menyelesaikanstudinya. Kisah yang ternyata tak jauh berbeda satu denganyang lain. Pengalaman itu dituturkan dengan cara yang begitupersonal, seakan-akan seperti menuangkan unek-unek di bukuharian dengan hanya disaksikan oleh diri sendiri dan Tuhan.Sehingga meskipun bertahun-tahun berteman dengan mereka,berbagi kantor, apartemen, dan sering makan minum bersama,tak pernah kami mendengarkan penuturan sedalam itu. Peng -alaman itu hanya mungkin terungkap saat seseorang menelitirelung batinnya sendiri tentang perjalanan hidupnya sebagaiseorang anak manusia, yang pada tahap ini sedang menjalaniperan sebagai mahasiswa doktoral.

_________

Inilah keistimewaan buku ini. Ia tidak berisi teori yang melangittentang apa itu etnografi. Tidak pula berisi daftar hal-hal yangharus dilakukan oleh seorang antropolog saat hendak terjun kelapangan. Ia tidak berkisah tentang “definisi” istilah dalam risetetnografi seperti apa itu “subjek penelitian”, “wawancara men-dalam”, “pengamatan terlibat” dsb. Tidak pula berisi kutipanpara pakar yang mengisahkan kepintaran dan kehebatan mere-ka. Buku ini jauh dari hal-hal yang sudah banyak kita jumpaidalam buku metode penelitian lainnya. Namun buku ini berisitulisan yang berkeringat, berdarah, dan berair mata hasil endap -an kerja selama bertahun-tahun. Ia berisi kisah yang dituturkandengan kejujuran dan kerendahan hati, dan tak jarang agak ter-lalu jujur, tentang betapa dalam kerja riset ini kita akan banyakterbentur dengan hambatan dan kesulitan. Dan bahkan diha -dapkan pada kegagalan bertubi-tubi.

Mereka yang belajar di Leiden dan melakukan riset etno-grafi mengerti bahwa perombakan proposal penelitian merupa -

xiiiPENGANTAR

Page 14: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

kan suatu keniscayaan. Perubahan itu tidak hanya karena padatahun pertama setiap mahasiswa diharuskan mempertajamrisetnya, tetapi bisa juga terjadi setelah seorang peneliti terjunke lapangan.

Tentang Isi dan Pembagian Tulisan

Dari segi tema, 19 tulisan di buku ini dapat dikategorikan kedalam lima tema besar: kajian media, kajian Islam, kajian ba -hasa, kajian seni dan sastra, dan kajian sosial-budaya. Tak ha -nya berisikan tulisan para mahasiswa, dalam bunga rampai initurut pula menulis para profesor yang merefleksikan pengalam -an kerja riset mereka selama belasan bahkan puluhan tahun.

Untuk membantu pembaca menikmati buku ini, tulisan-tulisan yang ada kami bagi berdasarkan kedekatan tema. Bagi -an pertama membahas tentang politik, media, dan kewargane-garaan di Indonesia. Bagian ini terdiri dari empat tulisan, dibu-ka oleh Ward Berenschot yang merefleksikan pengalamannyameneliti praktik politik uang di India dan di Indonesia. Diadengan sangat menarik memberikan catatan penting dari peng -alaman belasan tahunnya melakukan penelitian etnografi yangbisa diringkas dalam tiga kata: intensitas, refleksivitas, dan mo -men klik. Tiga hal itulah elemen penting dari apa yang ia sebutsebagai: keajaiban riset lapangan. Sesudahnya ada catatan Wi -jayanto yang berisi refleksi tentang etnografi di harian Kompas.Tulisan ini menyampaikan hal yang mungkin tak akan pernahdijumpai di buku metodologi mana pun, yaitu bahwa bermimpitentang subjek riset kita adalah bagian tak terhindarkan daripenelitian lapangan. Satu hal yang sebenarnya jamak dialamioleh ilmuwan dan peneliti karena pergulatan yang intens de -ngan subjek riset dalam perjalanan menemukan kebenaran.

Berikutnya Syahril Siddik berkisah tentang para penda’i ditelevisi Indonesia. Seperti halnya Wijayanto, Syahril mencerita -

xiv CATATAN DARI LAPANGAN

Page 15: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

kan pengalamannya sebagai an tropolog media. Namun jikaWijayanto berfokus pada surat kabar, Syahril memfokuskan diripada televisi. Lebih spesifik lagi, ia menyoroti “belakang pang-gung” dari para da’i selebriti yang muncul di layar kaca: siapamereka dan bagaimana mereka kemudian “dimunculkan” seba-gai da’i. Melengkapi kedua tulisan ini, ada karya M. ZamzamFauzanafi yang berfokus pada media sosial. Dengan me narikdia menguraikan tentang terbentuknya situs etnografi di duniadigital dalam kasus aktivisme anti korupsi warga digital diSerang, Banten.

Bagian kedua berisi catatan etnografi dalam kajian Islamdan hukum di Indonesia. Nor Ismah mengawali bagian ini de -ngan kisah pengalamannya sebagai antropolog perempu anyang meneliti ulama perempuan di Jawa dan praktik sehari-harimereka dalam pembuatan fatwa untuk masyarakat di akarrumput. Lalu ada Ade Jaya Suryani yang meneliti tentang per-pindahan agama masyarakat Baduy dari Sunda Wiwitan keIslam dan Kristen yang dipengaruhi di antaranya oleh politik ke -agamaan dan kebijakan pembangunan Orde Baru. MuhammadLatif Fauzi menceritakan pengalamannya meneliti perkawinanMuslim di desa Jawa. Latif Fauzi menyatakan bahwa pende -katan antro pologis dalam studi perkawinan jauh lebih kom-pleks daripada pendekatan teks semata.

Di bagian ini kita juga membaca tulisan Fachrizal Afandiyang menulis tentang kurang berkembangnya penelitian sosio-legal di Indonesia. Kemudian Arfiansyah menceritakan bagai -mana topik penelitian doktoralnya yang terus berubah. Pertamaia berencana menulis tentang politik Islam di Indonesia pascaOrde Baru, lalu berkeinginan menulis tentang fenomena batuakik, dan terakhir tentang pluralisme hukum. Perubahan dalampenentuan tema penelitian ini memperlihatkan bagaimanabegitu banyak persoalan yang menarik dan menantang untukdibahas, sebagai sebuah temuan dan pengalaman di lapangan.

xvPENGANTAR

Page 16: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xvi CATATAN DARI LAPANGAN

Bagian ketiga buku ini bertema kajian linguistik di Indo -nesia, dengan memuat tulisan para ahli bahasa: MarianKlamer, Nurenzia Yannuar, Nazarudin, Jermy Balukh, danYunus Sulistyono. Marian Klamer berbagi cerita peng alam -annya melakukan penelitian lapangan di pedalaman Indonesiapada 1990an. Melalui kutipan-kutipan surat pribadi yang diki -rim kepada keluarganya, pembaca bisa menyimak bagaimanarasanya menjadi peneliti asing di Indonesia pada masa itu.Nurenzia Yannuar menceritakan kisah penelitian lapangan diMalang, Jawa Timur, kampung halamannya sendiri. Alih-alihmerasa bosan, ada berbagai pelajaran menarik yang dia temu -kan ketika meneliti di rumah sendiri.

Selanjutnya, Nazarudin membawa kita ke Pulau Kisar diMaluku untuk menyimak petualangannya mendokumentasi -kan bahasa Woirata yang hampir punah. Di sana dia menyak-sikan sendiri bagaimana para penutur bahasa Woirata berusahamelestarikan bahasa mereka di tengah himpitan bahasa-bahasabesar seperti bahasa Indonesia. Tema pelestarian bahasa yanghampir punah juga diusung oleh Jermy Balukh, yang berceritamengenai pengalaman lapangannya di Pulau Ndao, NTT un -tuk meneliti tata bahasa Dhao. Sebagai penutur bahasa Rote,dia sempat merasa kesulitan dalam penelitian, belum lagi letakPulau Ndao yang terpencil. Tapi demi pelesta ri an bahasa,Jermy berhasil mengatasi segala rintangan. Catatan linguistikberikutnya ditulis oleh Yunus Sulistyono, yang berbagi kisahpengalaman pertamanya melakukan pene li tian lapangan diPulau Pantar, NTT. Awalnya dia sempat me rasa ragu akan apayang mungkin terjadi selama di lapangan, tapi ternyata diamendapatkan pengalaman berkesan, dan malah tak sabar untukkembali ke Indonesia timur lagi untuk penelitian selanjutnya.

Bagian keempat bertema kajian seni dan sastra di Indo -nesia. Tom Hoogervorst mengawali bagian ini dengan ceritaawal ketertarikannya pada kajian Indonesia, terutama pada ba -

Page 17: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

hasa Melayu, Melayu Tionghoa, dan Indonesia. Ia juga men -ceritakan pengalaman penelitiannya di Indonesia, yang berha -dapan dengan bahan-bahan di berbagai perpustakaan yang ma -sih belum tersentuh, dan menunggu para ahli untuk mendekati -nya. Taufiq Hanafi membahas perjalanannya hingga berhasilmendapatkan tempat untuk studi di KITLV/LIAS, UniversitasLeiden, dengan berbagai percobaan dan tantangan. Kajiannyatentang pelarangan buku atau karya sastra di Indonesia jugatidak mudah dilakukan. Dari menemui narasumber, pencariandokumen dan data, hingga kesulitan dalam mengakses infor-masi yang diperlukan. Sudarmoko memberikan ilustrasi me -ngenai tantangan dalam mengumpulkan bahan-bahan peneliti -an di lapangan untuk kajian sastra yang dilakukannya. Secaramendasar, penelitian sejarah seni dan sastra memerlukan infor-masi leng kap, yang sayangnya masih menjadi kendala utamadalam banyak penyusunan sejarah seni dan sastra di Indonesia.

Sementara itu, Aminudin TH Siregar menceritakan lika-liku perjuangannya untuk mendapatkan promotor dan perguru-an tinggi yang dapat menerimanya dengan kajian yang akan di -lakukannya. Persoalan besar yang dihadapi calon mahasiswaPhD adalah menemukan kecocokan antara bidang kepakarancalon promotor, objek kajian yang akan diteliti oleh mahasiswa,ditambah lagi beban kerja atau bimbingan yang tersedia. AjengAyu Arainikasih, yang meneliti tentang dunia permuseuman,khususnya mengenai representasi dan pengunjung museum,juga secara prinsip melakukan penelitian lapangan yang terkaitdengan objeknya. Pengelola museum, pengunjung, buku prog -ram, representasi koleksi museum, dsb. Tulisan-tulisan padabagian keempat ini memiliki benang merah yang sama, yaitupada persoalan menyusun dan menuliskan sejarah seni, sastra,dan budaya Indonesia, dengan kekhawatiran pada pendekatanyang digunakan, cakupan dan kompleksitas perso alan, sejarahseni, sastra, dan budaya Indonesia.

xviiPENGANTAR

Page 18: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Bagian kelima membahas refleksi lapangan dari kajian se -jarah dan antropologi Indonesia. Tulisan dimulai dengan re -fleksi Margreet van Till tentang pencariannya pada sosok siPitung dalam risetnya tentang historiografi tokoh misterius daritanah Betawai dalam masa kolonial itu. Tulisan di lanjutkandengan refleksi Katriani Puspita Ayu perihal orisina li tas di Ta -nah Dayak, satu pulau lain dari Jawa tempat si Pitung berada.Grace Leksana mendiskusikan pengalamannya mela kukan pe -nelitian tentang politik ingatan di satu daerah di Jawa Timurtentang masa-masa sekitar 1965. Dengan me narik ia mengusul -kan beberapa kekeliruan awal yang mungkin dialami oleh se -orang peneliti yang menggunakan etnografi sebagai pendekatandalam melihat masalah. Sementara itu, seakan melanjutkanrefleksi Grace, Hari Nugroho men diskusikan dilema yangmungkin dialami oleh seorang peneliti etnografi: keterlibatandengan subjek riset terkadang membuat keberpihakan menjaditidak terhindarkan. Dalam konteks ini, mungkinkan objektivi-tas seorang ilmuwan tetap dipertahankan? Tulisan Hari akanmemberikan sebagian jawaban atas pertanyaan itu.

Menghadirkan Makna Etnografi secara Luas

Lebih dari sekadar memoar tentang metode penelitian, buku iniadalah kisah perjuangan anak manusia yang sedang berjuangmembentuk takdirnya. Selanjutnya, lebih dari sekadar memoarriset etnografi, buku ini adalah juga kisah persahabatan di anta -ra mahasiswa yang tengah menempuh studi di Leiden. Jika kitapercaya ungkapan Latin yang kurang lebih berbunyi: “Yang ter -ucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi,” maka buku iniadalah artefak yang mengabadikan persahabatan itu. Dan ada -kah persahabatan yang lebih mendalam selain persahabatan diantara sekumpulan anak muda yang menulis bersama-samadan mengisahkan perjalanan hidupnya?

xviii CATATAN DARI LAPANGAN

Page 19: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Berangkat dari sana, maka pembaca yang secara spesifikdibayangkan oleh buku ini cukup jelas. Sasaran pertama bukuini adalah para calon mahasiswa yang hendak menempuh studidoktoral di Leiden, meskipun juga tidak menutup kemungkin -an dibaca oleh mahasiswa master terutama yang menjadikanriset sebagai syarat kelulusannya. Dengan adanya buku ini,kami membayangkan di tahun-tahun mendatang, saat seorangmahasiswa baru tiba di sini dan bertanya-tanya tradisi riset se -perti apa yang ada di kampus tertua di Belanda ini, dia akanmenemukan buku ini. Telah ada ratusan atau mungkin ribuanmahasiswa doktoral dari Indonesia datang ke sini sejak masaHoessein Djajadiningrat pada 1913. Dan kelak, masih akan adaratusan atau ribuan mahasiswa lainnya yang akan tiba. Karenapenulisnya adalah mahasiswa Leiden, maka dengan sendirinyabudaya akademik di Leiden terpapar kuat di sini. Buku ini de -ngan sangat detail memaparkan tidak hanya pengalaman risetetnografi para penulisnya, namun juga pengalaman belajar daripara mahasiswa doktoral di Leiden. Dari mulai metode evalu-asi mahasiswa hingga dinamika hubungan dengan supervisor.

Namun, meskipun Leiden adalah kampus tertua di Belan -da, etnografi jelas bukan hanya monopoli Universitas Leiden.Metode ini akrab bagi hampir semua kampus di Belanda. Dariteman-teman yang belajar di Universitas Amsterdam kami tahubahwa mereka juga menjadikan metode ini sebagai metoderiset utamanya. Kisah serupa juga dapat dijumpai dari teman-teman di Tillburg, Nijmegen, Utrecht, dan Wageningen. Bah -kan ada cerita menarik seorang kawan yang belajar ekonomi diMaastricht dan menggunakan survei sebagai metode utama -nya, dia tetap diharuskan memberikan sentuhan etnografi padapemaparan hasil risetnya. Maka dapat dikatakan bahwa etno-grafi merupakan sebuah tradisi riset yang cukup kuat di Be -landa dan telah identik dengan negeri sejuta tulip ini. Sayang -nya, belum pernah ada mahasiswa dari kampus mana pun yang

xixPENGANTAR

Page 20: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

menulis memoar seperti yang ditulis dalam buku ini. Maka,sasaran buku ini tidak hanya para calon mahasiswa yang hen-dak belajar di Leiden tetapi juga kampus Belanda pada umum-nya yang hingga kini telah puluhan ribu jumlahnya. Dan mung -kin masih ada puluhan ribu lainnya yang akan tiba di sini kelak.

Namun demikian, buku ini tentu saja tidak hanya dituju -kan bagi para mahasiswa atau calon mahasiswa di Belanda,tetapi juga mahasiswa pada umumnya serta siapa saja yang ter-tarik belajar tentang metode etnografi. Dikemas dengan gayabercerita yang menarik, kami yakin buku ini dapat dibaca siapasaja. Mahasiswa S1 yang ingin mengenal metode etnografi ataupun metode riset kualitatif pada umumnya perlu membacanya.Kami sering berdiskusi dan membayangkan bahwa buku inikelak akan menjadi salah satu buku wajib pada kelas-kelasmetode penelitian, yang tidak hanya akan mengajari maha-siswa tentang teknik riset tetapi juga mengajari mereka untukmencintai akitivitas penelitian itu sendiri. Para kontributor bu -ku ini hampir semuanya adalah dosen. Mereka berasal danmengabdi di pulau-pulau yang berbeda di Indonesia. Tempatmengajar mereka merentang dari Sumatra, Jawa, Kalimantan,hingga Kupang. Ketika mereka pulang dengan membawa bukuini, diharapkan ia dapat menjadi rujukan yang berguna tentangbagaimana membumikan etnografi dalam kegiatan penelitiandi seluruh penjuru Nusantara.

Bagi pembaca secara luas, buku ini juga dapat menjadipintu masuk untuk mengikuti isu sosial-politik terbaru di Indo -nesia. Selain berisi refleksi etnografis, ia juga berisi refleksi yangkhas Leiden tentang bidang kajian yang menjadi minat masing-masing penulisnya. Kami juga berharap buku ini dapat menarikperhatian pembaca dari beragam latar belakang, bah kan yangawam sekalipun, yang meski mungkin asing akan tradisi etno-grafi, tetap berminat mengikuti perjuangan para pelajar diLeiden karena di dalamnya terkandung pelajaran bermanfaat

xx CATATAN DARI LAPANGAN

Page 21: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

bagi kehidupan secara luas. Dalam satu baris puisinya, penyairChairil Anwar pernah menulis, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.” Dan buku ini adalah gambaran—sekaligusupaya dari para mahasiswa Leiden itu—untuk membebaskandiri dari kesunyian (mereka) masing- masing.

xxiPENGANTAR

Page 22: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

M embaca pengakuan mahasiswa Indonesia di Leidenini serasa hujan segar di musim kemarau. Bertahun-

tahun saya keliling Indonesia bicara dengan warga kampus.Banyak yang melukiskan bagi saya orang macam apa yang pan-tas mengambil S3 di Belanda. Stereotip yang sering saya jumpaiadalah jenius yang tahu segalanya. Stereotip lain memba yang -kan seorang jenderal akademik yang mengarahkan tim pe nelitidari balik mejanya yang besar. Dan stereotip yang paling umumadalah pencari kebenaran yang objektif, yang dingin tak terpe -ngaruh emosi. Buku yang Anda pegang ini menghancur kan se -luruh stereotip tersebut dengan elok. Sekelompok orang yangsedang menempuh program S3 di Belanda bercerita tentangpengalamannya. Hampir tak ada promosi diri yang saya baca disini. Tidak ada yang membesar-besarkan pengetahuannya. Ka -rena itu saya sebut “pengakuan”. Mereka tidak tahu segala-galanya. Tangan dan celana mereka menjadi kotor di lapangan.Dan yang paling menarik, hampir semuanya terbawa emosiyang cukup menggetarkan ketika mulai bernarasi tentang pe -nelitiannya.

Hujan Segar

GERRY VAN KL INKEN

Pengantar

Page 23: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxiiiPENGANTAR

Banyak perasaan yang dapat saya baca dalam buku ini.Perasaan-perasaan ini membuka jendela ke dalam jiwa para pe -neliti yang pantang mundur ini. Sebagian adalah emosi yanglahir apabila orang tertimpa kejadian di luar dugaan. Kehe ran -an, frustrasi, juga kegelian. Emosi-emosi yang tidak terlalucanggih, barangkali, namun sangat manusiawi. Hal ini saja su -dah cukup menarik, sebab bagian penting dari stereotip tadiadalah peneliti yang merencanakan seluruhnya dengan seksa -ma sehingga tidak pernah tertimpa hal di luar dugaan. Memanglucu, ya, tanggapan khas orang asing, baik di negeri Belandamaupun di daerah pelosok negerinya sendiri. Mereka bereaksisecara heroik ataupun kadang secara tolol hanya karena tidakmengerti budaya lokal.

Namun juga ada emosi lain yang dapat dijumpai dalambuku ini, yang lebih mendalam sifatnya. Sebagian boleh dibi-lang filsafati. Kebingungan. Keingintahuan. Kenekatan untukmelawan opini orang yang lebih berkuasa. Perasaan-perasaanini membawa saya sebagai pembaca masuk ke hal paling funda-mental dalam kehidupan akademis. Di sinilah saya merasastereotip mengenai apa saja yang dikerjakan kaum akademikterbongkar dengan paling baik. Hal ini akan saya jelaskan se -cara lebih jauh di bawah.

Penjelajahan Sederhana

Wijayanto yang juga salah satu editor buku ini menulis bahwaberada di sebuah tempat yang tak pernah dapat diduga sebe -lumnya tidak lain adalah sebuah impian—yaitu duduk di news-room koran terbesar di negerinya. Peneliti seolah menjadi penje-lajah, seorang pendaki gunung, atau pembuka hutan rimba.Perasaan macam ini banyak dijumpai di buku ini. Seolah maumencubit dirinya untuk memastikan tidak sedang bermimpi da -lam tidur. Sebuah perasaan yang sebenarnya sederhana, namun

Page 24: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxiv CATATAN DARI LAPANGAN

sangat berarti buat yang bersangkutan. Bahkan dalam peng -alaman Wijayanto, kerja lapangan telah menyita seluruh te na -ga dan pikirannya sampai ke bawah sadar sehingga refleksi ten-tang kerja lapangan sering terbawa hingga ke alam mimpinya.

Untuk sampai ke lokasi penelitian saja dapat menjadi se -buah petualangan yang menegangkan buat seseorang dari kotabesar di Jawa. Yunus Sulistyono pertama harus terbang keKupang, lalu naik pesawat kecil ke Alor, kemudian naik perahumotor ke Pulau Pantar. Akhirnya,

jika cukup beruntung, kita bisa menumpang truk yang lewatdan sampai di Marica dalam waktu satu jam. Satu jam me -mang terbilang lama dan melelahkan. Ini karena kondisijalan yang berkelok dan berbatu. Jika musim hu jan, jalananini bahkan hampir tidak mungkin untuk dilalui karena terlalubecek dan banyak genangan air.

Tugas berikut yakni mencari tempat menginap dan makan.Baru mulai merekam bahasa lokal yang terancam punah danyang belum pernah disentuh ahli bahasa.

Bagaimana mungkin saya lupa cerita Taufiq Hanafi ten-tang perjalanan semalam naik travel dari Jakarta menuju kotakecil dekat Cilacap.

Dua jam pertama perjalanan supir memacu kendaraan ter-lalu cepat. Lebih dari lima jam berikutnya supir me macu ken -daraan sama cepatnya namun dengan mata tertutup karenakantuk. Beberapa kali saya bangunkan sang sopir, tapi tidaklama kemudian terlelap kembali dengan dua tangan tetap disetir. Malam itu, menaiki mobil L300 serasa menaiki wahanahalilintar minus perangkat keamanan. Lewat pukul tiga pagisaya tiba di Wangon.

Di Wangon hampir tak boleh istirahat, sebab tahu-tahu orangyang dicari sebentar lagi harus berangkat. Wawancara langsung

Page 25: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxvPENGANTAR

dimulai.Cerita penjelajahan lain datang dari Katriani Puspita Ayu.

Berjam-jam dia menaiki kendaraan ke dalam belantara Kali -mantan, membawa alat perekam, kamera, senter, sendok gar -pu, gelas, dan piring plastik demi kenyamanan. Ketika bertemudengan dukun Dayak pertama (yang disebut “battra”), seorangibu tengah baya, ternyata ibu tersebut sama sekali tidak meno-lak kedokteran modern. “Kalau ada benjolan ke rumah sakitaja sana. Operasi!” Seorang Battra lain, ibu yang manis, ternya -ta spesialis menyembuhkan impotensi laki-laki, dengan ramuandilengkapi nasihat. Ibu ini juga ahli mengusir santet. “Saya ha -rus mengakui,” tulis Katriani sebagai penutup, “bahwa sayajatuh cinta dengan penelitian etnografi.”

Cinta terhadap penelitian di lapangan kadang menggelitik.Sebagai peneliti yang mulai tua saya harus ketawa ketikaMuhammad Latif Fauzi memutuskan tidak melangkah masukperpustakaan dulu, tetapi langsung ke lapangan:

Kemudian, saya mendapat wejangan: Sekarang jangan mem-bahas sejarah. Kamu masih muda, untuk apa? Nanti sajakalau sudah tua, saat kekuatan terbatas, kamu boleh meng -habiskan waktu di perpustakaan. Sekarang, pergilah kemasyarakat.

Latif Fauzi memang benar. Ke lapangan jauh lebih menantangdaripada ke perpustakaan.

Arfiansyah, meneliti hukum syariah di Aceh, juga menjadipetualang. Dia menemani anak muda yang sering dituduh me -langgar hukum moral di sana.

Kebanyakan pelaku mesum tersebut ditangkap di daerah se -mak belukar di pinggiran danau, bukan di daerah terbuka.Saya langsung mendekati mereka, berteman, dan menjadi“anggota tak resmi”. Mengikuti cara mereka merangkakmendapatkan bukti foto dan video bagai pasukan komando

Page 26: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxvi CATATAN DARI LAPANGAN

mengintai musuh. Membawa tersangka ke ruang pengadilanadat, bagai anggota reskrim kepolisian membawa penjahatlendir ke ruang pengadilan. Kisah dari pengalaman tersebutseru sekaligus me malukan. Saya sering diolok-olok oleh ang -gota WH Kampong resmi itu, “jauh-jauh kuliah ke Belanda,tapi ujung-ujungnya merangkak juga dengan kita.” Yah maubagaimana lagi. Itu semua harus dijalani demi berburu topikdan data penelitian.

Terlalu banyak yang lucu dalam buku ini, tapi okelah sayaharus kutip satu lagi. Yang ini dari Nor Ismah, peneliti perem-puan (juga tim penyunting buku ini) yang ingin belajar tentangulama perempuan. Dia ke lapangan sambil menggendonganaknya yang baru lahir bernama Ara. Suatu saat dia sedangmewawancarai seorang kiai. Apa yang terjadi?

Dia memang sudah mengantuk dan minta ASI. Cuma ma -salahnya, bagaimana caranya menyusui sambil melakukanwawancara? … Sambil Kang Wawan mene ruskan penjelas -annya, saya berpindah posisi. Semula saya berhadapan de -ngan Kang Wawan, lalu berpindah duduk di kursi yang agaktersembunyi di samping tiang tembok di ruang tamu. “Maafya Kang, saya pindah ke sini,” jelas saya. Kang Wawan yangduduk di seberang saya tetapi agak ke sebelah kanan dan ter-halang oleh pilar hanya mengangguk. Wawancara pun terusberlanjut sambil menyusui secara sembunyi-sembunyi sam-pai Ara benar-benar terlelap.

Penjelajahan Intelektual

Pengalaman Wijayanto tidak hanya sebatas kagum saat merasase dang bermimpi. Mimpi mengandung juga makna serius.“Mim pi adalah bagian penting dari proses kreatif,” tulisnya.Kadang sebuah konsep buat tulisan baru datang secara miste -rius pada saat benar-benar tidur. Saya pribadi dalam hal mimpicende rung setuju dengan Freud. Dia berkata bahwa mimpi

Page 27: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxviiPENGANTAR

terutama sekali memperlihatkan keinginan dan pe ra saan yangbiasanya tertutup. Namun, dalam cerita Wijayanto ternya tamimpi juga berhu bungan dengan ide intelektual. Kita bolehmenyebut hal ini sebagai emosi yang bersifat intelektual. Bukuini penuh dengan emosi intelektual.

Salah satu di antaranya adalah emosi ingin meneliti sesua -tu justru karena hal itu belum ada. Aminudin T.H. Siregar ter -gelitik dengan pernyataan dalam sebuah buku bahwa “There isno non-Western tradition of art history.” Setelah dilihat, ternyatabenar. “Kita tidak punya sejarawan seni rupa dan me mangtidak ada sekolah di tingkat perguruan tinggi yang membukajurusan sejarah seni rupa.” Daripada menerima bahwa hal itumemang tidak ada sehingga mencari jurusan lain, dia me mu -tus kan membuka jurusan baru.

Di antara cerita yang paling mengena dalam buku ini, me -nurut saya adalah pengakuan dari seorang mahasiswa S3 bah -wa dia tidak tahu apa-apa. Apalagi seorang jenius yang tahu se -gala, menurut stereotip tadi. Ini juga akan saya sebut emosi in -telektual. Taufiq Hanafi membuka esainya dengan kalimat ini:

Keputusan saya untuk bersekolah didorong oleh dua hal,yakni ketidaktahuan dan keinginan untuk menga khirinya.Semula saya pikir ilmu saya munjung—tahu banyak tentangsejarah, bahasa, sastra, dan segala. Namun ternyata salah.Saya bebal.

Dan Taufiq Hanafi tidak sendirian di buku ini. Seluruhcerita-cerita ketidaktahuan mengena di hati karena mengingat -kan saya akan Sokrates. Saya menulis kata pengantar ini dariAthena, ibukota Yunani. Bersama dengan istri, kami mengha -biskan dua bulan di sini sambil belajar dan melihat. Beberapakilometer dari apartemen di pusat kota tempat kami tinggalkami melihat sisa-sisa Akademi Plato. Batu-batu fondasi dite-mukan kembali di sebuah daerah pinggir kota pada 1966. Kini

Page 28: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxviii CATATAN DARI LAPANGAN

batu tersebut dapat dikunjungi di tengah taman yang luas, pasdi sebelah tempat anak-anak bermain. Taman terbuka untukumum. Di tempat inilah pengetahuan modern dimulai hampir2.500 tahun yang lalu. Akademi Plato adalah sebuah universi-tas tanpa uang kuliah dan tanpa kurikulum. Nama Akademiuntuk lokasi sekolah ini (“yang berarti jauh dari kota”) kemudi-an melahirkan istilah universal “akademis”.

Guru Plato bernama Sokrates. Hampir seluruh yang kitaketahui tentang Sokrates datang dari Plato. Termasuk cerita be -rikut mengenai kebijakannya. Pada satu hari, seorang pe nga -gum muda Sokrates bernama Chaerephon pergi ke Delfi. Terle -tak di gunung di sebelah barat Athena, Delfi adalah tempatibadah di mana orang dapat bertanya kepada Yang Ilahi. Chae -rephon bertanya, apakah benar tidak ada yang lebih bijak dari-pada Sokrates? Melalui rohaniwati yang bertugas, dia menda -pat jawaban: Benar, tidak ada. Sokrates kaget mendengar ja -waban ini.

Apa gerangan yang dimaksud yang ilahi? Dan apa tafsiranteka-teki ini? Sebab aku tahu aku tak punya kebijakan, besarmaupun kecil. Apa maksudnya berkata bahwa akulah manu-sia paling bijak?

Lantas Sokrates mendapat sebuah ide.

Aku merenung, marilah kucoba menemukan orang yang le -bih bijak dari aku sendiri, lalu aku akan menghampiri yangilahi dengan penolakan di tangan. Aku akan berkata: “Inilahseorang manusia yang lebih bijak dariku; padahal engkauberkata bahwa akulah yang pa ling bijak.” Maka aku men -dekati seseorang yang terkenal amat bijak, dan aku menga-matinya—tak perlu kusebut kan namanya, dia seorang politi -kus yang kuseleksi untuk diperiksa—dan hasilnya adalah se -bagai berikut.

Ketika aku mulai bicara dengan beliau, mau tak mauaku merasa dia tidak sungguh-sungguh bijak, meskipun ba -

Page 29: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxixPENGANTAR

1. Lihatlah diskusi menarik tentang cerita kebijakan Sokrates di laman filsafat UniversitasStanford ini: https://plato.stanford.edu/entries/wisdom/. Kesimpulannya, Sokrates(lewat Plato) mengarah kepada semacam rasionalitas mendalam. Seseorang bolehdianggap bijak apabila (a) dia menganut kepercayaan yang dapat dibenarkan secaraepistemiologis mengenai sejumlah besar hal-hal akademis yang penting; (b) dia meng -anut sejumlah kepercayaan yang dapat dibenarkan mengenai cara hidup rasio nal; (c)dia berkomitmen tinggi untuk hidup sesuai kepercayaan rasional tersebut; dan (d) diahanya sedikit menganut kepercayaan yang tidak dapat dibenarkan, dan dia sadar akan

nyak orang menilai dia bijak, apalagi dia sendiri menilai diri -nya demikian; dan aku mencoba menjelaskan kepa danyabahwa dia menilai dirinya sendiri bijak, tetapi da lam kenya -taan tidak bijak; alhasil, dia membenciku, dan permusuhan-nya dibagi dengan sejumlah orang di sekeli lingnya dan yangmendengarkanku. Maka aku ting gal kan sambil berkata kepa-da diriku sendiri: Aduh, walau pun barangkali tak satu pundari kami berdua tahu apa-apa mengenai hal yang sungguhindah dan baik, namun aku tetap lebih bernasib baik dari dia—sebab dia tidak tahu apa-apa, dan berpikir bahwa dia tahubanyak. Aku tidak tahu apa-apa dan aku tahu aku tidak tahu.Dalam hal terakhir ini, rasanya aku mengungguli dia.

Dia mengulangi prosedur yang sama dengan sejumlah pakarlain. Hasilnya sama terus. Akhirnya dia harus mengakui bahwayang ilahi di Delfi tidak ada.

Banyak kesulitan untuk menafsirkan cerita termasyur ten-tang kebijakan Sokrates ini. Sokrates tampak agak congkak disini, dan sikap ini membuahkannya banyak musuh baru. Lagi -pula, pelajaran yang tampaknya dipromosikan oleh Sokrates ti -dak seluruhnya meyakinkan. Sikap rendah hati mengenai apayang telah aku ketahui belum tentu menjadi bukti bahwa aku-lah yang paling bijak. Namun bagaimanapun, persoalan-per-soalan ini semua dapat dijawab. Cerita ini tetap dianggap seba-gai pemandu paling menarik yang kita miliki untuk membim -bing perilaku seorang ilmuwan. Kebanyakan penafsir memba-canya sebagai anjuran untuk bersikap rasional (berdasarkanbukti nyata) dan sadar akan keterbatasan intelek kita sendiri.1

Page 30: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxx CATATAN DARI LAPANGAN

Sebuah sikap yang tidak jauh dari sikap “ketidaktahuan dankeinginan untuk mengakhirinya” yang saya kutip di atas.

Di dalam Akademi Plato, dua kebiasaan Sokrates dihargaisecara istimewa. Kedua kebiasaan Sokrates tersebut kemudiandihargai pula oleh seluruh kaum ilmiah, sehingga mewarnainorma-norma ilmu sosial dan humaniora hingga kini. Namun,kedua kebiasaan Sokrates ini selalu pula terancam oleh lawan-lawan ideologis lain. Ketika saya membaca dalam buku ini bah -wa komunitas ilmiah asal Indonesia di Leiden menjunjung ting-gi kedua kebiasaan tersebut, saya merasa bahagia.

Yang pertama adalah Metode Sokrates. Ini adalah sebuahpendekatan kooperatif, dialogis (atau lebih tepat dialektis) un -tuk menemukan kebenaran. Orang duduk bersama, yang satubertanya kepada yang lain. Tidak satu pun berpretensi se be lum -nya telah mengetahui jawabannya. Tiap pertanyaan yang ber -hasil dijawab meniadakan ide-ide yang tidak benar, dan mem-persempit jumlah ide-ide yang mungkin benar. Secara ber -angsur-angsur, diskusi memfokus kepada keterangan mengenaidunia nyata yang paling sesuai dengan pengalaman peserta dis -kusi. Metode Sokrates adalah dasar budaya seminar yang men-jiwai universitas di seluruh dunia sekarang ini. Keilmuan hanyadapat dipraktikkan dalam sebuah komunitas ilmiah, yang ang -gotanya semua ingin tahu prinsip-prinsip yang menda sari duniaini. Metode yang sama juga dipakai oleh etnografer.

Banyak contoh Metode Sokrates dalam buku ini. Mulaidengan seminar kecil di newsroom Kompas, ketika pemredmeng ajukan pertanyaan: “Jadi apa itu demokrasi menurutmu,Wija?” Sampai dengan penelitian Hari Nugroho di tengah akti -vis buruh di Pekalongan. Mereka terus-menerus memberon-dong dia dengan pertanyaan kritis yang tak dapat dia jawab.

batas-batasnya. “Teori Rasionalitas Mendalam me na fikan semua orang tidak bijak yangdinafikan oleh Sokrates. Orang bijak tidak meng anggap dirinya tahu apabila tidakmemiliki bukti. Lebih-lebih, orang bijak tidak bersikap arogan secara epistemiologis.”

Page 31: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxxiPENGANTAR

Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian dia pakai untuk meng a -rahkan penelitian selanjutnya.

Kekeliruan-kekeliruan akademis mengenai hakikat etno-grafi yang sebenarnya, didaftar oleh Grace Leksana, juga men -cerminkan Metode Sokrates (tanpa menyebut namanya).Perempuan kota beragama Katolik ini bertemu petani Jawayang Muslim. Tembok penghalang di antaranya pecah ketikakedua belah pihak secara bebas bertanya dan bertanya. Gracemenyebut kegiatan ini “saling menghargai—bahwa kami bisasaling belajar satu sama lain.” Kadang pertanyaan yang palingpenting tidak bisa dijawab oleh para pakar. Hanya orang biasayang dapat menjawabnya. Grace menulis:

Bagi saya, sangatlah penting untuk menangkap cerita-ceritalain dari orang-orang yang bukan tokoh. Mereka seringkaliyang tidak dianggap penting: perempuan, pe muda desa, bah -kan anak-anak. Mereka sebenarnya tahu banyak, tetapi mere-ka tidak sadar bahwa pengetahuan mereka penting bagi kita.

Kebiasaan Sokrates yang lain yang tetap dihargai olehkaum akademis adalah peran serangga pengganggu, atau nya-muk sosial (gadfly). Istilah ini berasal dari Sokrates sendiri. Se -ekor serangga ukurannya kecil tetapi dapat mengganggu kudayang besar. Nyamuk sosial dapat mengganggu orang ber kuasadengan cara mengajukan pertanyaan yang tidak nyaman.Sokrates akhirnya dibawa ke peradilan oleh penguasa kotaAthena. Alasannya, dia telah mengajarkan Metode Sokrateskepada kaum muda di kota. Hal ini dianggap sama denganmengajarkan ateisme (catatan kaki: bibit Orde Baru sudah ber -umur ribuan tahun!). Sokrates menolak membela diri. Tetapiketika diminta menjawab dia berkata:

Janganlah mengomel, ya warga Athena! Perhatikanlah apayang kuminta, yaitu agar tidak menolak apa yang kukatakan,

Page 32: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxxii CATATAN DARI LAPANGAN

melainkan dengarkan, karena menurutku, kau akan mendapatmanfaat dari pendengaran… Percayalah, apabila kau meng -hukumku mati, karena aku seorang manusia sebagai manakau katakan, maka kau akan lebih melukai dirimu sen diridaripada melukaiku… Sebab apabila kau membunuhku, kautak mudah menemukan orang lain sejenis yang, walau mung -kin gila jika aku mengatakannya, terikat dengan kota olehyang ilahi seperti terikat kepada kuda yang kuat dan be sarhati. Kuda yang telah menjadi lamban karena besarnya, hing-ga perlu dirangsang bangun oleh seekor serangga penggang-gu; demikian pula yang ilahi telah menyatukan aku, manusiaseperti kau lihat ini, dengan kota ini, agar aku dapat merang -sang kalian, serta meyakinkan dan menegur masing-masing,dan tak henti-hentinya mengganggu kalian sepanjang hari.

Buku ini banyak mengandung contoh peneliti bertingkahsebagai serangga pengganggu. Salah satunya dikemukakan olehFachrizal Afandi, yang ingin meneliti proses hukum secaraempiris. Dia ingin tahu bagaimana hukum berjalan di du nianyata. Apa artinya hukum “di sebuah negara yang tidak me -miliki kepastian hukum seperti Indonesia,” tanya Fachrizal.Dia terdorong meneliti hukum secara sosio-legal karena diasendiri sering menjadi “frustrasi” sebagai ahli hukum. Lebih-lebih karena para senior di profesinya menganggap pendekatanempiris terhadap hukum secara prinsipil tidak benar.

Belum lagi dominasi penelitian hukum yang doktriner dantekstual yang secara ekstrem telah menjadi agama, di manatak jarang seorang profesor hukum “mengkafirkan” orangyang melakukan penelitian empiris semacam sosio-legal,menjadikan jurang antara praktik hukum dengan materi yangdiajarkan di kampus semakin lebar. Tabunya melakukan pen-dekatan empiris dalam melihat praktik penegakan hukumtampaknya merupakan dampak dari self-censorship warisanOrde Baru yang membatasi kebebasan akademik untuk mela -kukan kritik terhadap negara.

Page 33: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Ruang dan waktu tidak mencukupi untuk menyebut tiaptulisan di buku ini satu per satu. Apabila tidak disiplin, makasaya akan merampas waktu pembaca untuk menikmati lainnya.Tinggal saya mengucapkan selamat membaca. Dan semogabuku ini menghasilkan lebih banyak lagi calon S3 yang maudatang ke Leiden.

Athena, September 2018

xxxiiiPENGANTAR

Page 34: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

K etika saya diberitahu oleh beberapa mahasiswa programdoktor di Universitas Leiden bahwa mereka ingin me -

nerbitkan buku pengalaman riset lapangan mereka, tentu sayalangsung menyambut baik gagasan mereka. Riset lapanganmenjadi sa lah satu tahap yang sangat krusial bagi mahasiswaprogram doktoral, terutama bagi mereka yang betul-betul meng -andalkan data-data lapangan, melalui pengamatan dan wawan-cara. Oleh karena itu penerbitan pengalaman riset ini menjadipenting, terutama bagi mereka akan menempuh jenjang pen-didikan ter ting gi. Dalam kesempatan ini, saya juga terpanggiluntuk ikut menuangkan secara singkat pengalaman saya dalammenyelesaikan studi.

Saya memulai program doktoral saya di Utrecht Universitypada Februari 2008 di bawah bimbingan Prof. Martin vanBruinessen. Saya menulis disertasi dengan judul Nurturing theSalafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indo -nesia dan saya pertahankan di Utrecht University pada 27 Ja -nuari 2014. Pemilihan tema tersebut saya dapatkan melaluiproses panjang. Pada 2002-2004, saya bersama kawan-kawan di

Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Den Haag

Riset Harus Berimbang

DIN WAHID

Pengantar

Page 35: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxxvPENGANTAR

1. Hasil riset tahun pertama diterbitkan dalam bentuk buku: Jamhari dan Jajang Jahroni(eds.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2004).

UIN Jakarta, Jajang Jahroni dan (alm.) E. Kusnadiningrat,mendapat dana penelitian dari LIPI untuk melakukan riset ten-tang “Hubungan antara Agama dan Negara” dengan fokuspada beberapa gerakan Islam kontemporer, seperti Front Pem -bela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indo -nesia (MMI), dan Ikhwanul Muslimin (IM). Dalam riset terse-but, saya mendapatkan tugas un tuk meneliti Laskar Jihad, sa -yap para militer dari Forum Komunikasi Ahlussunnah walJama’ah (FKAWJ).1 Tentu pada tahun-tahun tersebut LaskarJihad menjadi salah satu hot issues, karena di bawah komandoJa’far Umar Thalib, Laskar Jihad terlibat dalam bentrokan sipildi Ambon dan Poso. Berbekal fatwa dari Yaman dan SaudiArabia, Laskar Jihad memobilisasi dukungan dan partisipasiumat Islam untuk berjihad di Ambon.

Laskar Jihad telah menarik banyak sarjana untuk menelitidan menerbitkan hasil penelitiannya, salah satunya adalah ka -wan saya, Prof. Noorhaidi Hasan, yang menulis disertasi sangatbagus tentang Laskar Jihad dengan judul Laskar Jihad: Islam,Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia(diterbitkan oleh Cornell University Press pada 2006). Pada2006, ketika melakukan penelitian tentang pesantren dan nilai-nilai demokrasi di Solo, atas saran seorang teman, saya berke-sempatan mengunjungi pesantren Imam Bukhari di Solo, salahsatu pesantren Salafi yang sangat bagus. Inilah perkenalan per-tama saya dengan pesantren Salafi. Sebelumnya, saya memangtelah cukup banyak melalukan penelitian tentang kelompokSalafi, tetapi baru mengetahui pesantren Salafi yang satu ini.

Saat itu juga saya seperti mendapatkan ilham untuk me nu -lis disertasi tentang pesantren Salafi. Disertasi Noorhaidi ten-tang Laskar Jihad dipuji banyak orang, dan saya membacanya

Page 36: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxxvi CATATAN DARI LAPANGAN

2. Lihat misalnya, Saiful Umam, “Radical Muslim di Indonesia: The Case of Ja’far UmarThalib and the Laskar Jihad”, Explorations in Southeast Asian Studies, Vol. 6., musimsemi 2006, h. 1-26; Sukidi Mulyadi, “Violence under the Banner of Religion: The Case ofLaskar Jihad and Laskar Kristus”, Studia Islamika, Vol. 10., No. 2, 2003, h. 75-109.

khatam dari awal hingga akhir. Saya memahami bahwa LaskarJihad adalah sebuah gerakan dengan segala dinamika di pentasnasional. Gerakan merupakan ajang pentas bagi aktor-aktor(pemimpin, pengikut, dan simpatisan) untuk mengekspresikandan mengaktualisasikan diri. Hampir semua penelitian yangada saat itu mengupas Laskar Jihad sebagai gerakan.2 Semen -tara itu, tempat persemaian bibit-bibit generasi Salafi, yakni pe -santren atau institusi pendidikan lainnya nyaris terlupakan.Itulah argumen yang saya bangun ketika menulis proposal di -sertasi saya. Disertasi ini dimaksudkan untuk menambal lubangyang kosong (filling the gap) dalam kajian tentang gerakan Salafidi Indonesia. Proposal tersebut saya kirimkan kepada calonpromotor saya, Prof. Martin van Bruinessen, dan disetujui.

Program doktor di Belanda didesain by research dan tidakada kelas. Jika profesor memandang bahwa mahasiswa bim -bingannya perlu dibekali dengan materi tertentu, seperti meto -dologi penelitian, maka profesor akan menyarankan mahasis -wanya mengambil mata kuliah tersebut di kampus yang meng -ajarkan mata kuliah tersebut. Dalam kasus saya, semes tinyasaya harus mengikuti mata kuliah metodologi klinik di Univer -siteit van Amsterdam (UvA). Tetapi karena pada saat itu, matakuliah tersebut tidak ditawarkan di UvA, saya tidak jadi meng -ambilnya. Sebagai gantinya, selama enam bulan pertama sayadiberi tugas membaca beberapa buku terkait dengan teori-teorigerakan sosial, karena saya mau melihat pesantren sebagai ba -gian dari gerakan sosial. Dua minggu sekali, saya harus menye -rahkan tulisan hasil bacaan dan mendiskusikannya pada hariSelasa. Tidak jarang, Senin ma lam menjadi malam yang sangatmenegangkan menunggu komentar pembimbing, apalagi jika

Page 37: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxxviiPENGANTAR

belum ada yang disetorkan. Akhirnya dengan segala dinamika,ups-and-downs, masa enam bulan percobaan dapat dilalui de -ngan baik.

Meneliti kelompok Salafi, yang oleh sebagian orang diang-gap eksklusif, tidaklah mudah. Walaupun pengajian-pengajianme reka terbuka bagi umum, untuk menemui dan mewawanca -rai ustadz-ustadz Salafi diperlukan kepercayaan (trust) kepadapeneliti. Dalam kasus saya, banyak faktor yang cukup meng-hambat penelitian saya. Lembaga pendidikan tinggi tempatsaya belajar adalah salah satunya. Saya kuliah di Jurusan Aqi -dah dan Filsafat Institut Agama Islam Negeri (IAIN, kini UINSyarif Hidayatullah Jakarta) dikenal sebagai lembaga pendidik -an yang sekular dan liberal karena banyak pemikiran liberalmuncul dari sini. Sebut saja, misalnya, Nurcholish Madjid danHarun Nasution yang menjadi ikon sekularisme dan rasional-isme Islam di Indonesia. Ada lagi Kautsar Azhari Noer danNasaruddin Umar yang dianggap sebagai pendukung gagasanpluralisme dan kesetaraan gender. Gelar Master of Arts (M.A.)saya dalam bidang Islamic Studies saya peroleh dari LeidenUniversity, yang dianggap sebagai sa rang kaum Orientalis yangselalu memunculkan sisi negatif Islam. Kini, saya kuliah prog -ram doktoral di Utrecht University; lagi-lagi di Barat. Profilpendidikan tinggi saya sama sekali tidak menguntungkan saya.Saya misalnya pernah ditolak oleh salah satu pesantren Salafi diJawa Timur, dengan alasan saya bekerja sama dengan Barat,bekerja untuk kepentingan Barat yang Kristen dan sebagianYahudi. Menurut mudir pesantren tersebut, data yang sayakumpulkan akan digunakan oleh Barat untuk menghacurkanIslam, sembari mengeluarkan dalil al-Qur’an yang sangat terke-nal: “wa lan tardla ‘anka al-yahud wa la al-nasara hatta tattabi’ama’ahum”. Ia tidak bisa me nerima penjelasan bahwa riset yangsaya lakukan adalah untuk kepentingan akademik. Di akhirpembicaraan, sang mudir me ngatakan kepada saya bahwa saya

Page 38: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxxviii CATATAN DARI LAPANGAN

akan diterima di pesantrennya jika saya sudah menjadi Muslimyang benar. Artinya, menjadi seorang Muslim yang tidak be -kerja sama dengan Barat.

Tetapi saya beruntung bahwa saya pernah menjadi santriPondok Modern Gontor, yang membekali saya dasar-dasar pe -ngetahuan agama yang lebih dari cukup dan bahasa Arab. Gon -tor dikenal mempunyai jaringan alumni yang kuat dan luas,dan alumninya berkiprah di berbagai bidang: pendidikan, aga -ma, ekonomi, bahkan politik. Sebagai alumni Gontor, sayafasih berbahasa Arab, memahami kultur pesantren, ber bicaradengan ustadz dalam bahasa dan gestur mereka, dan ber basa-basi ala pesantren. Sebagian ustadz-ustadz Salafi juga alumniGontor, dan saya menggunakan jaringan mereka untuk masukke beberapa lembaga pendidikan, mewawancarai ustadz-ustadzSalafi. Beberapa kawan saya sekarang sudah menjadi ustadzsenior di kalangan Salafi dan mereka sangat welcome denganriset saya.

Riset lapangan pertama saya fokuskan di Jawa. Saya men -da tangi pesantren-pesantren Salafi di beberapa kota. Saya da -tang ke pesantren Minhajussunnah (Bogor), Madrasah Salafi -yah (Depok), Nashirus Sunnah (Indramayu), Assunnah danDhiyaus-Sunnah (Cirebon); Ihyaussunnah (Tasikmalaya), An-Nur al-Atsari (Ciamis), Imam Bukhari (Solo), al-Irsyad (Tenga -ran, Semarang), Ihyaussunnah, Islamic Center Bin Baz, Al-Anshar (Yogyakarta), STAI Ali bin Abi Thalib (Surabaya), al-Furqan (Gresik). Saya tinggal di dalam pesantren agar dapatmengamati kegiatan dan perilaku santri, mengamati ustadz danmudir pesantren sebagai panutan santri. Saya mengikuti semuakegiatan santri: belajar di dalam kelas, kajian di dalam masjid,kuliah subuh, shalat berjama’ah, bahkan ma kan bersamasantri. Dengan cara ini, saya bisa mengamati apa kah santribenar-benar menerapkan manhaj Salafi seperti yang diajarkanoleh ustadz dan mudirnya atau tidak, seperti cara shalat dan

Page 39: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xxxixPENGANTAR

cara makan. Tentu aja, selama tinggal di dalam pesantren, sayalebih mudah melakukan wawancara dengan mudir, ustadz,santri senior. Selain itu, saya juga mengikuti pengajian-penga-jian di luar pesantren yang diberikan oleh ustadz-ustadz. Sayameneliti kitab-kitab yang diajarkan di dalam pe santren, teruta-ma kitab-kitab tauhid, hadits, tafsir, fiqh dan ushul fiqh. Kitab-kitab yang diajarkan ini, terutama kitab-kitab tauhid, sangatberbeda dari kitab-kitab tauhid yang diajarkan di pesantren-pesantren lain. Untuk bidang tauhid, mereka menggunakankarya-karya yang ditulis oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab,seperti al-Ushul al-Tsalatsah, Kitab al-Tauhid, dan Masa’il al-Jahiliyah.

Selain ke pesantren-pesantren, selama riset la pangan perio -de ini saya juga menghadiri berbagai pengajian salafi di kota-kota yang saya kunjungi. Selain mencermati pe ngajian—materi, sikap ustadz dan jama’ah pengajian, dan materi per-tanyaan yang diajukan oleh jama’ah kepada ustadz—sayaselalu berusaha untuk mewawancarai beberapa jama’ah. Me -reka datang dari beragam latar belakang status sosial. Merekabukan saja berasal dari kelompok yang berpenghasilan rendah,tetapi juga dari kelompok yang secara ekonomi sudah sangatmapan dan berpendidikan tinggi. Pertanyaan yang saya ajukanbiasanya di sekitar aktivitas mereka dalam dakwah Salafi danalasan mereka tertarik mengikuti kajian Salafi.

Menarik mencermati jawaban alasan sebagian jama’ah,terutama dari kalangan menengah. Mereka ingin mencari jawab -an yang pasti dalam masalah agama. Selama ini, kata mereka,dalam pengajian-pengajian yang pernah diikuti, jawaban yangmereka dapatkan tidak pasti karena bergantung pada penafsir-an sang ustadz. Di dalam pengajian Salafi, jawaban yang diberi -kan oleh ustadz tegas dan pasti berdasarkan dalil al-Qur’an,hadits, dan pendapat ulama Salaf. Sang ustadz sendiri hampirtidak pernah memberikan pendapatnya sendiri. Menurut

Page 40: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xl CATATAN DARI LAPANGAN

jama’ah, jawaban seperti ini yang mereka butuhkan, karenamereka membutuh kan kepastian.

Selanjutnya, saya juga mendatangi lembaga-lembaga yangselama ini dikenal mendukung perkembangan gerakan Salafi diIndonesia, seperti Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII),Kantor Atase Agama Kedutaan Saudi Arabia, dan Lajnah al-Khairiyah al-Musytarakah. Dewan Dakwah bukan lembagaSalafi, tetapi Dewan Dakwah adalah lembaga yang mengirimda’i-da’inya ke Saudi Arabia untuk be lajar di UniversitasMuhammad Ibnu Su’ud Riyadh dengan beasiswa dari Rabithahal-Alam al-Islami. Kedekatan pendiri Dewan Dakwah, M.Natsir, dengan penguasa Kerajaan Saudi Arabia memungkin -kan pengiriman ini terjadi. Sementara itu, Lajnah Khairiyahadalah perwakilan resmi dari Yayasan Ihya’ al-Turats al-IslamiKuwait, yang menyalurkan dana untuk mendukung gerakandakwah Salafi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mela -lui Lajnah Khairiyah, beberapa pesantren Salafi di Indonesiamendapatkan dana yang banyak.

Seperti yang saya sampaikan di atas, metode penelitiansaya bersifat kualitatif dengan pendekatan antropologis. Ka -rena itu, dalam mengumpulkan data saya menerapkan metodesnowball, mengalir dari satu lembaga ke lembaga lain, dari satunarasumber ke narasumber lain, sehingga terkumpul data yangbanyak. Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah catatanlapangan. Semua hasil pengamatan, wawanca ra, dan pengalam -an harus ditulis dalam buku catatan lapangan. Tidak selamanyasaya merekam wawancara, karena beberapa alasan. Pertama,kondisi yang tidak memungkinkan. Sebagai contoh, ketika sayaketemu dengan seorang Salafi yang berprofesi sebagai peda-gang di pasar, obrolan akan lebih mengalir tanpa rekaman. Ke -dua, ketika wawancara direkam, narasumber cenderung bersi -kap hati-hati. Ketiga, rekaman tidak bisa menangkap suasanalingkungan dan suasana batin. Oleh karena itu, catatan lapang -

Page 41: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xliPENGANTAR

an sangat penting. Semua saya amati dan saya alami, saya catatdi dalam buku catatan lapangan.

Saya mendapatkan data yang sangat banyak selama pene -litian pertama. Selain wawancara dan pengamatan, saya jugamembeli semua buku-buku, majalah, CD, VCD, bulletin yangditerbitkan oleh pesantren dan kelompok Salafi. Saya men -dengar kan radio-radio Salafi di berbagai kota. Internet tentumenjadi salah satu sumber data yang sangat kaya. Dengan se -abrek data tersebut di atas, selama penelitian periode pertamaini saya berhasil memetakan kelompok dan afiliasi mereka.

Berdasarkan pemetaan ini, dalam penelitian lapangan ke -dua selama sembilan bulan, saya berfokus pada tiga pesantren:pesantren As-Sunnah Cirebon, pesantren An-Nur al-Atsari Cia -mis, dan pesantren al-Furqan Sidayu, Gresik. Pemilihan ketigapesantren ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, ketigapesantren merupakan representasi afiliasi pesantren Salafi da -lam menyikapi sumbangan dari Jam’iyyah Ihya’ al-Turats al-Islami, Kuwait. Seperti sudah dijelaskan di atas, Jam’iyyahIhya’ al-Turats menyalurkan dana ke lembaga-lembaga Salafi diseluruh dunia, termasuk di Indonesia. Karena pandangan pe -mimpinnya, Yayasan dianggap sebagai haraki dan hizby. Dalammenyikapi hal ini, pesantren Salafi terbagi menjadi tiga. Pesan -tren As-Sunnah adalah representasi pesantren yang menerima;pesantren al-Nur al-Atsari wakil dari menolak; dan pesantrenal-Furqan adalah pesantren yang tidak menerima tapi tidakmengkritik mereka yang menerimanya. Alasan kedua adalahkondisi pesantren. Pesantren As-Sunnah Cirebon adalah pesan -tren besar dan modern, menggunakan sistem manajemen mo -dern dengan fasilitas yang bagus. Sementara itu, pesantren al-Nur al-Atsari adalah pesantren kecil dan miskin, dengan fasi li -tas seadanya, dan menggunakan sistem pengajaran klasik. Se -dangkan pesantren al-Furqan adalah pesantren menengah.

Bedanya, jika dalam riset lapangan pertama saya tinggal di

Page 42: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xlii CATATAN DARI LAPANGAN

dalam pesantren dan lebih banyak mewawancarai narasumberdari komunitas Salafi, pada riset lapangan kedua saya tinggal diluar pesantren dengan tujuan mengambil jarak. Saya menyewakamar di rumah penduduk selama minimal sebulan di setiappesantren. Untuk mendapatkan informasi yang berimbang, sa -ya mewawancarai tokoh-tokoh agama dan masyarakat di seki-tar pesantren, seperti kyai, tokoh ormas, aparat pemerintah, dll.Saya juga mengunjungi pesantren di sekitarnya untuk menda -patkan gambaran yang lebih utuh tentang perkembangan pen-didikan agama di wilayah tersebut. Di luar itu, saya banyakjuga menghabiskan waktu untuk mengamati perilaku kelompokSalafi. Sebagai contoh, saya berlama-lama minum kopi di kedaikopi Sidayu Gresik, ngobrol dengan penjualnya dan bertanyatentang pendapatnya tentang kelompok Salafi. Di lain tempat,di Banjarsari Ciamis, saya datang ke pasar tradisional untukmengamati kegiatan ekonomi orang-orang Salafi. Karena begi-tu seringnya saya bertanya kepada masyarakat umum tentangorang-orang Salafi dan bertanya tentang hal-hal yang tidakumum, saya pernah dituduh sebagai intel.

Semua itu saya lakukan untuk mendapatkan informasiyang berimbang. Selama di dalam pesantren saya telah banyakmendapatkan informasi dari dalam: mudir, ustadz, santri danjama’ah. Untuk mendapatkan informasi yang berimbang, sayaperlu mendapatkan pandangan mereka dari luar, bukan sajadari elite agama, seperti kyai dan ustadz, tetapi juga dari ma -syarakat awam. Pendapat masyarakat awam ini juga pentingkarena pendapat mereka bisa lebih netral dan tidak sarat kepen -tingan. Sebagai contoh, masyarakat di sekitar pesantren al-Nural-Atsari di Banjarsari, misalnya, merasa diuntungkan oleh ada -nya pesantren, karena pesantren telah memperluas jalan akseske wilayah mereka, melalukan pengerasan jalan di sekitar pe -santren dengan batu koral, membangun sarana MCK (Mandi,Cuci, Kakus), dan membagikan daging kurban. Peda gang kedai

Page 43: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xliiiPENGANTAR

kopi di Sidayu, misalnya, berpendapat bahwa keha diran orang-orang Salafi di wilayahnya membuat suasana aman, karenasalah satu ajaran Salafi mengharamkan demonstrasi. Ketenang -an berimplikasi kepada keberlangsungan usaha mereka. Ini ber -beda dengan pendapat tokoh agama yang sering menganggapbahwa kehadiran kelompok Salafi telah menimbulkan keresa-han dan pertentangan di dalam masyarakat. Pendapat ini me -mang benar, tetapi pendapat di atas mungkin juga karena di -latarbelakangi oleh kepentingan mereka yang ter usik, sepertijumlah santri yang belajar di pesantren mereka menurun ataukepentingan ekonomi lainnya. Mendapatkan in formasi yangberbeda ini, sebagai peneliti kita harus bisa memilah pendapat-pendapat mereka dengan narasi dan argumen yang kuat, se -hingga kita bisa memberikan penjelasan yang seimbang.

Tentu banyak pengalaman dan peristiwa yang terjadi sela-ma melakukan penelitian. Suatu saat, misalnya, setelah meng -inap beberapa hari di sebuah pesantren, saya pernah didatangioleh seorang ustadz dan dua santri senior. Mereka ingin menge-tahui pendapat saya tentang ajaran Salafi. Pertanyaan merekasangat tendensius: “Setelah mempelajari ajaran Salafi, apakahBapak bisa menerima pendapat bahwa ajaran Salafi adalahajaran yang terbaik?” Tentu saya memahami ke mana arah per-tanyaan ini, karena sebagai sebuah gerakan, kelompok Salafijuga ingin mengajak teman, keluarga, dan kenalan untuk meng -ikuti mereka. Menanggapi pertanyaan tersebut di atas, kamiberdiskusi panjang lebar, dari mendiskusikan siapa yang disebutdengan Salaf. Jika para sahabat yang dianggap sebagai Salaf ituberbeda pendapat, lalu kita mengikuti siapa? Karena terkait de -ngan para sahabat Nabi, tentu saya juga menyinggung sejarahIslam di masa awal, termasuk perbedaan dan konflik di antaramereka. Aspek sejarah ini, menurut saya penting mereka keta -hui agar mereka memahami konteks dan tidak berhenti padateks seperti yang selama ini mereka lalukan.

Page 44: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

xliv CATATAN DARI LAPANGAN

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengolah datayang begitu banyak. Data tersebut harus dipilah, dikaitkan de -ngan data yang lain, sehingga terlihat benang merah dan men-jadi sebuah narasi besar. Tentu saja, dalam mengolah ini diper-lukan teori untuk mendukung analisis kita. Mengolah danmeng analisis data ini merupakan bagian yang paling sulit,memerlukan kecermatan dan kehati-hatian agar disertasi kitatidak bias. Menulis memperlukan disiplin yang tinggi untuk te -rus menjaga semangat tetap menulis, sejelek apa pun hasilnya.Diperlukan ketahanan psikologis dan mengola emosi agar tidakdown ketika tulisan kita dikomentari secara kritis oleh pem-bimbing kita. Diskusi bersama kawan-kawan, ngobrol santai,dan minum kopi di kafe menjadi salah satu cara menyegarkankembali semangat kita dalam menulis. Yakinlah bahwa kitabisa menyelesaikan disertasi karena orang lain juga bisa menye-lesaikannya. Pada akhirnya, segala penderitaan kita selamamenulis disertasi akan terbayar ketika kita promosi.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat buat yang maubelajar. Selamat membaca!

Den Haag, 10 April 2019

Page 45: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

IKajian Politik, Media, dan

Kewarganegaraan di Indonesia

Page 46: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri
Page 47: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

M elakukan penelitian di lapangan bisa jadi sulit. Kitamenghabiskan berbulan-bulan tanpa teman atau ke -

luarga, hidup dengan orang-orang yang sangat berbeda darikita. Kita mungkin tinggal di tempat-tempat yang sempit, ter-isolasi, dan kurang nyaman. Kita harus terus-menerus waspadadan tajam, memastikan bahwa kita menjaga hubungan baik de -ngan orang-orang yang kita pelajari sambil mencoba me nang -kap dan memahami semua yang sedang terjadi. Tidak ja rangkerja lapangan membawa kita ke daerah-daerah yang ber baha -ya dan penuh kekerasan, karena konflik atau tingkat kejahatanyang tinggi. Seolah itu belum cukup membuat stres, pene litianlapangan juga akan memberi kita dosis harian kisah-kisah pe -nindasan, perampasan, atau pelecehan. Yang terpen ting, kitaakan merasa berkeringat, lelah, dan cemas tentang apakah adaorang yang akan tertarik dengan temuan kita.

Mempertimbangkan semua hal di atas, pertanyaan berikutini adalah sebuah misteri: mengapa ada orang yang secara suka -rela menghabiskan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahunmelakukan penelitian lapangan? Mengapa tidak meng ambil

Keajaiban Fieldwork

WARD BERENSCHOT

Page 48: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

jalur yang lebih nyaman seperti yang dipilih oleh para penelitiyang lebih berorientasi kuantitatif ? Orang-orang ini beruntungdapat menganalisis dataset mereka hanya dengan duduk dibelakang meja mereka di kantor yang keren, dengan mesin kopidi dekatnya dan pengetahuan bahwa mereka akan tidur denganaman di ranjang empuk mereka sendiri. Jika hi dup adalah ten-tang merasa nyaman, semua orang akan mela kukan penelitiankuantitatif.

Namun hidup juga tentang sesuatu yang lain. Dan ada cu -kup banyak “hal lain” dalam kerja lapangan. Bagi saya, terjunke lapangan untuk mengikuti sisi politik yang diselimuti kege-lapan adalah kegiatan yang penuh keajaiban. Ini memberi sayaintensitas perasaan dan pemikiran yang tidak bisa saya dapat kandi tempat lain. Mengenang kembali pengalaman kerja la pangansaya mempelajari politik di India dan Indonesia, izin kan sayamencoba menjelaskan apa keajaiban itu. Ketika saya kembalike masa-masa awal penelitian lapangan saya di India, saya akanmengatakan bahwa keajaiban penelitian lapangan ini terdiridari tiga hal utama: intensitas, refleksivitas, dan “momen klik”.

Ootla

Pada Maret 2005 saya pindah ke Ahmedabad, kota utamaGujarat di barat laut India. Saya pergi ke sana untuk mempel -ajari kekerasan Hindu-Muslim yang telah mengamuk di kotapada 2002, menewaskan hampir 2.000 orang. Kota itu barubagi saya, dan saya cemas dan tidak yakin apakah saya dapatbenar-benar melakukan percakapan yang bermakna tentang to -pik sensitif semacam itu. Rencana saya adalah membenamkandiri dalam jaringan politik yang—menurut laporan yang sayabaca—bertanggung jawab untuk mengatur kekerasan ini.Apakah saya dapat terhubung dengan orang-orang ini, akankahmereka menuntun saya ke dalam kehidupan mereka? Dan apa -

4 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 49: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

kah saya benar-benar menginginkannya?Saya beruntung dapat menemukan rumah di pusat kota

tua Ahmedabad, di lingkungan yang sudah berabad-abad dise-but “kutub”, dengan jalan-jalan sempit tapi sangat ramah tem-pat semua orang saling kenal. Ternyata, kehidupan jalanan diling kungan itu akan menjadi landasan kerja lapangan saya. Dilingkungan ini rumah-rumah umumnya dibangun di atas per-mukaan jalan, untuk mencegah debu dan air keluar. Akibatnya,sebagian besar rumah memiliki platform batu yang ditinggikandi sebelah pintu masuk. Ini disebut ootlas. Karena sedi kit lebihtinggi, mereka membentuk tempat yang nyaman untuk bertemudan berbicara. Orang menghabiskan banyak waktu di ootlas,terutama di malam hari. Orang-orang kadang-kadang menye-but pertemuan ini sebagai paroki ootla, “pertemuan ootla”.

Setelah beberapa minggu, tetangga baru saya Pankajbhaimembawa saya ke salah satu pertemuan ootla itu. Pada saat itu,saya hanya bersyukur atas kesempatan untuk bertemu beberapatetangga lagi. Tetapi ketika duduk di peron batu itu, mencobamengikuti percakapan yang dilakukan orang-orang, saya me -nyadari bahwa saya telah menemukan sumber informasi danwawasan yang sangat berharga.

Hampir setiap malam para lelaki tua di lingkungan itu(tidak ada perempuan diizinkan) berkumpul di ootla ini. Salahsatu dari mereka akan dikirim untuk mendapatkan chai (teh),karena alkohol tidak boleh diminum di depan umum di negarabagian Gujarat yang kering. Ternyata, semua tetangga ini me -miliki be berapa peran untuk dimainkan dalam politik kota: be -berapa adalah pekerja partai, yang lain kontraktor bisnis yangmemiliki hubungan dengan politisi dan beberapa memilikisejarah dalam kejahatan kecil. Mereka senang berbicara ten-tang politik. Dan saya senang mendengar mereka berbicara.Ketika malam semakin panjang, saya mendengar gosip terbarutentang siapa-mendukung-siapa dan siapa-dibayar-siapa.

5KEAJAIBAN FIELDWORK

Page 50: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Orang-orang ini mengenal saya dengan bahasa yang terkait de -ngan po litik lokal, dan mereka memberi saya refleksi yang san-gat ber harga tentang bagaimana sifat politik telah berubah sela-ma ber tahun-tahun. Ketika pekerjaan lapangan semakin lama,saya juga bisa menggunakan pertemuan malam ini untuk me -meriksa hal-hal yang saya dengar di siang hari. Saya bertanyakepada tetangga saya tentang cerita yang saya dengar di tempatlain, dan bertanya kepada mereka apakah mereka setuju de -ngan interpretasi saya. Karena aneh jika mencatat di ootla, sayamelatih keterampilan saya menghafal. Setelah malam yangpanjang mendengarkan dan menyeruput chai, saya akan berge-gas kembali ke rumah dan menuliskan semua yang saya masihingat dari percakapan ini dengan tergesa-gesa.

Saya ingat bagaimana, duduk di sekitar teman-teman yangbaru ditemukan ini sambil menikmati chai saya dan bangunan-bangunan tua tua Ahmedabad yang indah namun tua, sayakadang-kadang akan diliputi perasaan bahagia yang aneh. Ke -bahagiaan ini tidak terkait dengan keramahan tetangga sayaatau perasaan nyaman sementara yang disebabkan oleh chaihangat. Sebaliknya, bagi saya kelihatannya kebahagiaan ini adahubungannya dengan intensitas pengalaman. Ketika du duk disana, saya mencoba untuk menyerap se muanya sekaligus: bu -kan hanya karakter orang-orang ini, gera kan dan kisah mereka,tetapi juga makna dari cerita-cerita ini, dan bagaimana sayaharus menafsirkannya. Dan jika saya me miliki ruang mentalyang tersisa, saya mendengarkan dengan seksama untuk mema-hami bahasa Gujarat. Seolah-olah saya merasa dan berpikirdengan kecepatan penuh, dengan semua indra dan pikiran sayaberusaha maksimal untuk memahami semuanya. Dan yanganeh adalah bahwa intensitas ini tidak melelahkan sama sekali.Sebaliknya, itu menggembirakan dan memberi energi sampaimenjadi kecanduan. Perasaan menjadi sangat hidup ini, dise-babkan oleh perasaan bahwa setiap pengamatan dan pemikir -

6 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 51: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

an, betapapun kecilnya, tentu saja, merupakan unsur keajaibankerja lapangan.

Dan keajaiban tidak berhenti di situ. Seperti berulang kalisaya pelajari selama meriset politik lokal di Kalimantan Te -ngah, kerja lapangan juga ajaib karena kemampuannya untukmemaksa kita terlibat dalam refleksi diri yang intens.

Utang Budi

Untuk sesaat pada 2013, Hambit Binti adalah salah satu politisipaling terkenal di Indonesia. Bupati Gunung Mas ini, daerahterpencil yang kaya akan sumber daya di Kalimantan Tengah,menjadi berita utama semua surat kabar nasional. Namun beri-ta itu tidak menyanjung. Melalui seorang perantara, Binti telahmenyuap Akhil Mochtar, hakim agung peng a dilan konstitusiIndonesia. Binti telah memberi Mochtar setidaknya 250 ribudolar AS untuk memastikan putusan yang menguntungkan.Pengadilan konstitusional akan memutuskan hasil yang dipere-butkan dari pemilihan bupati Gunung Mas saat itu. Dengansuap itu Binti ingin memastikan bahwa ia akan memenangkanmasa jabatan lagi sebagai bupati. Sayangnya untuk Binti, lem-baga antikorupsi Indonesia, KPK, mendapat angin segar darikesepakatan itu. Penyelidik mereka menyerbu masuk dan me -nangkap Mochtar dan Binti. Binti akhirnya dijatuhi hukumanpenjara 4 tahun.

Beberapa bulan setelah peristiwa sensasional ini, saya pergike Gunung Mas untuk mempelajari pilkada yang menyebabkanpenangkapan Binti. Saya berharap untuk menghadapi kema -rah an dan rasa malu tentang perilaku Binti. Namun ternyata se -cara mengejutkan kritik itu tidak terdengar. Banyak orang yangsaya ajak bicara sebenarnya sangat menghargai Binti. Merekamenekankan betapa dia sangat membantu. Mereka berbicaratentang bagaimana Binti menyimpan simpanan uang di kan-

7KEAJAIBAN FIELDWORK

Page 52: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

tornya untuk tujuan membantu pengunjung. Saya men dengarkisah-kisah cemerlang tentang bagaimana Binti membagi kanuang ini kepada orang-orang yang membutuhkan biaya operasiyang sangat mahal, membantu membiayai pernikahan, atau ha -nya untuk memulai bisnis. Yang lain memberi tahu saya bagai -mana Binti memberikan pekerjaan untuk mereka di peme rintahkabupaten. Mereka semua menekankan betapa Binti seorangyang ringan tangan. Dia akan selalu menerima orang yangmembutuhkan dukungan.

Saya sering tidak bisa menyembunyikan keheranan sayaselama percakapan seperti itu. Suap Binti telah mencoreng citraperadilan Indonesia dan Gunung Mas. Dia dikenal karenamemberikan konsesi kepada perusahaan kelapa sawit denganimbalan sumbangan kampanye yang mewah—yang sering me -nyebabkan konflik antara perusahaan minyak sawit yang ma -suk dengan masyarakat desa. Dia mengendarai mobil mahalsementara sebagian besar pemilihnya miskin. Tentunya orangyang sangat korup tidak akan diingat dengan rasa cinta?

Namun secara bertahap saya menyadari bahwa saya tidakmelihat Binti melalui mata yang sama dengan informan saya.Perasaan ini saya bawa pulang ke rumah suatu malam ketikasaya berbagi bir dengan Toguh [nama samaran], seorang jur-nalis lokal yang berpengalaman. Toguh sekali lagi membica ra -kan kemurahan hati Binti. Tetapi ketika saya menantangnya,dia menekankan jenis moralitas tertentu yang menopang popu-laritas lokal Binti. “Selama kampanye pemilihan dia memberi -kan 200 ribu rupiah (sekitar 15 USD) kepada orang-orang. Jikaorang telah menerima uang, mereka tidak dapat mengeluh sete-lah itu (tentang korupsi). Mereka memiliki perasaan bahwa me -reka memiliki kewajiban kepada bupati, semacam utang budi(‘utang kehormatan’). Jika orang sudah dibayar, mengapa me -reka mengeluh?” Menjelang malam, ternyata Toguh sendirimerasa sangat berutang:

8 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 53: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Keberuntungan saya adalah saya memiliki hubungan keluar-ga dengan Binti. Jadi saya punya teman yang miskin dan bu -tuh pekerjaan, kita bisa pergi kepadanya. Kemudian bupati(Binti) berbicara dengan kepala depar temen dan mengaturpekerjaan (bergaji rendah). Dia ti dak meminta bayaran, diahanya meminta “bekerja dengan baik, agar kamu tidak mem-buatku malu.” Dan ketika kampanye pemilihan tiba, temansaya mendukung bupati. Bupati tidak perlu menanyakan halini, teman saya tahu posisinya (“tahu diri”).

Percakapan ini istimewa bagi saya. Bukan karena apa yangdiajarkan Toguh tentang politik di Kalimantan Tengah, tetapikarena Toguh membuat saya berpikir tentang keyakinan sayasendiri. Menuju penelitian ini, saya merasa bahwa keterikatansaya sendiri pada peraturan dan regulasi adalah “normal” dantidak perlu dijelaskan—sebaliknya, yang membuat saya pena -saran adalah mengapa orang-orang seperti Toguh dan HambitBinti merasa bahwa melakukan pertolongan kepada orang laindapat (dan bahkan seharusnya) terkadang meng alahkan aturandan regulasi. Setelah percakapan saya de ngan Toguh, saya tidaklagi merasa yakin tentang ini. Mungkin keterikatan saya padaaturan dan hukum sama menariknya. Jika saya, seperti Toguh,bergantung kepada teman dan keluarga untuk hal-hal terpen -ting dalam hidup, apakah saya kemudian akan tetap memprio -ritaskan aturan ab strak dari lembaga asing (“negara”) atas ke -wajiban saya kepada teman dekat dan anggota keluarga ini?Mungkin tidak. Mungkin keyakinan saya jauh lebih aneh dari-pada Toguh: mengapa saya merasakan keter ikatan pada per -aturan dan regulasi yang dikenakan pada saya oleh institusiyang jauh dan tidak jauh seperti negara? Dari mana itu datang?Tidakkah lebih masuk akal untuk lebih memperhatikan hu -bungan pribadi kita?

Saya pergi tidur malam itu dengan kepala berputar. Kali inikepala saya berputar bukan dengan pemikiran tentang Indo -

9KEAJAIBAN FIELDWORK

Page 54: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

nesia, tetapi lebih dengan pemikiran tentang Belanda dan ba -gaimana saya tumbuh dan dibesarkan. Saya bertanya-tanya ten-tang keterikatan saya sendiri pada peraturan dan regulasi, danmengapa itu tampak “normal” bagi saya.

Itu juga keajaiban kerja lapangan: tidak hanya membantuuntuk memahami subjek penelitian kita, tetapi juga bisa mema-hami diri kita sendiri sedikit lebih baik. Ketika saya memeriksakeyakinan para informan saya, saya secara bersamaan meme -riksa keyakinan saya sendiri. Pertemuan penelitian harian, se -perti pertemuan saya dengan Toguh, memaksa saya mereflek-sikan diri saya dan pandangan dunia saya. Dalam prosesnya,keyakinan saya menjadi lebih cair ketika saya menyadari bahwacara berpikir saya tentang dunia adalah produk dari lingkungandan tempat saya tumbuh dewasa. Rasanya, kadang-kadang,agak rancu dan membingungkan. Sejenak saya pikir saya kehi-langan kepastian yang sebelumnya saya rasakan tentang pan-dangan dunia saya sendiri. Tetapi proses refleksif ini juga terasamembebaskan. Kerja lapangan membantu saya membebaskandiri dari belenggu cara pandang yang saya dapat dari lingkung -an tempat saya tumbuh dan dibesarkan, meninggalkan sema -cam “kebebasan mental” yang memberikan ruang untuk meng -adopsi ide dan keyakinan baru.

Momen-momen Klik

Itu adalah malam yang lain (ini mungkin bukan kebetulan!)Pada September 2014 ketika saya menginap di rumah Taufik,seorang birokrat muda yang tinggal di Lampung Utara di Su -matra Selatan. Taufik mengundang sejumlah temannya, terma-suk kepala departemen pemerintah daerah yang dihormati danberkuasa yang akan saya panggil Syarif. Pemilihan untuk peme -rintah kabupaten sudah dekat, dan diskusi intens terjadi tentangpeluang pemilihan para kandidat. Saya datang ke Lampung un -

10 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 55: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

tuk mempelajari karakter klientelistik dari pemilihan ini. Sayaingin memahami bagaimana klientelisme—praktik pertukaranbantuan pribadi untuk dukungan pemilihan—bekerja selamapemilihan. Dan saya ingin tahu mengapa itu efektif: mengapaorang merasa wajib untuk mengubah suara mereka setelah me -nerima hadiah atau uang dari seorang kandidat?

Saya mengajukan pertanyaan seperti itu kepada teman-teman Taufik. Sebagian besar mengatakan bahwa pembeliansuara adalah hal biasa, dan mereka mengatakan memang begi-tulah aturan mainnya, bahwa pembelian suara tidak dapat di -hindari. Membagikan uang selama pemilu tidak akan, kata me -reka, menjamin kemenangan di pemilihan. Tetapi gagal mem-bagikan uang tentu akan menyebabkan kekalahan dalam pemi -lihan. Akan terlihat buruk jika seorang calon tidak akan mem-bagikan uang. Tetapi saya tidak dapat benar-benar memahamialasan pentingnya pemberian ini. Saya bertanya kepada teman-teman Taufik mengapa hadiah seperti itu begitu penting, tidak -kah ide dan kapasitas para kandidat lebih penting bagi pemilih?Tetapi entah bagaimana saya merasa mengajukan pertanyaanyang salah. Uang jelas penting, mereka mengangkat bahu.

Dan kemudian, menjelang akhir pertemuan, terjadi halyang sangat kecil yang memberi saya lebih banyak wawasantentang pembelian suara daripada seluruh diskusi sebelumnya.Ketika salah satu tetangga Taufik bersiap pergi, dia men dekatiSyarif kepala departemen. Tetangga itu mengeluar kan uang se -ratus ribu rupiah dari dompetnya, dan memasuk kannya ke ta -ngan Syarif. “Dalam dua minggu putriku akan menikah,” te -tangga itu berkata, “Aku akan merasa terhormat jika kamu bisadatang ke pernikahan.” Dengan itu, tetangga itu pergi dan Sya -rif memasukkan uang kertas itu ke dalam sakunya.

Dan tiba-tiba saya merasakan pemahaman yang lebih pe -nuh tentang mengapa hadiah begitu penting selama pemilihan.Uang kertas Syarif menyarankan kepada saya bahwa efektivitas

11KEAJAIBAN FIELDWORK

Page 56: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

pembelian suara selama pemilihan terkait dengan peran hadiahdalam kehidupan sehari-hari. Tetangga Taufik memberi Syarifseratus ribu rupiah dengan tujuan mewajibkan dia datang kepesta pernikahan. Seperti yang telah dikatakan para antropologsejak lama, hadiah adalah tindakan strategis yang dapat me -maksa penerima untuk membalas. Dan seperti yang dikatakanoleh asisten peneliti saya, “itu mungkin investasi yang bagusjuga. Karena Syarif akan diharapkan untuk memberikan ha -diah yang jauh lebih besar di pesta pernikahan itu.” Dengankata lain, pembelian suara dibangun atas dasar, dan tumbuhdari, penggunaan uang dan hadiah yang lebih seperti kehidup -an sehari-hari untuk membangun ikatan sosial dan meng-hasilkan kewajiban sosial. Berkat hadiah kecil untuk Syarif—yang lewat hanya dalam beberapa detik—sesuatu di klik: Tiba-tiba saya bisa lebih mengerti mengapa pembelian suara begituefektif selama pemilihan. Pembelian suara meng hubungkandengan norma yang dipahami dan dibagikan secara luas ten-tang penggunaan dan kewajiban yang terkait dengan hadiah.Memberi hadiah selama pemilihan bukan hanya hal politis. Iniadalah praktik sosial sehari-hari yang dilakukan politisi selamapemilu. Yang menyenangkan dari “momen-klik” semacam ituadalah bahwa mereka memberi penerangan baru pada banyakkomentar lain dan pengamatan lapangan yang sekarang sayabisa mengerti dengan lebih baik. Ketika saya pergi tidur malamitu di rumah Taufik, pikiran saya kembali berputar. Ketika sayamerenungkan implikasi dari “momen klik” yang sangat singkat,tetapi penting itu, rasanya seperti banyak potongan teka-tekisebelumnya jatuh pas ke tempatnya.

Lebih Banyak Keajaiban

Saya menulis semua ini dengan semacam perasaan nostalgia.Sejak 2014 saya belum bisa melakukan kerja lapangan. Saya

12 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 57: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

mengelola perjalanan penelitian ke Indonesia selama dua hing-ga tiga minggu selama musim panas, tetapi tidak lebih. Sayamemiliki anak-anak yang tumbuh dewasa, seorang istri pekerjakeras, dan berbagai kewajiban lainnya. Di antara semua itu,waktu untuk kerja lapangan terbatas. Namun saya masih meli-hatnya sebagai bagian terbaik dari pekerjaan saya. Saya menik -mati tulisan dan pengajaran yang saya lakukan. Dan ya, adalahbagus bahwa ada mesin kopi di dekatnya, tempat tidur empukdan semua kenyamanan lain kota ini. Tapi tetap saja tidak adayang mengalahkan sensasi, ide, dan pengalaman yang saya da -patkan dari membenamkan diri dalam dunia baru bersamasemua kebingungan yang menyertainya. Dalam menghadapisemua kewajiban baru dan terus berkembang yang membentukkehidupan kerja saya, saya akan terus berjuang untuk menda -patkan dan, semoga suatu hari nanti, memperluas waktu sayauntuk melakukan kerja lapangan.

13KEAJAIBAN FIELDWORK

Page 58: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Suatu senja di ruangan berukuran empat kali enam meterdi lantai tiga, persisnya di kantor redaksi harian Kompas,

Jalan Palmerah Selatan, Jakarta, berlangsung sebuah rapat re -daksi. Ruangan itu diterangi oleh lampu neon dengan cahayayang tidak terlalu terang. Di tengah ruangan terdapat mejakayu berwarna coklat dengan ukuran dua kali empat meter.Dua belas punggawa redaksi Kompas yang duduk mengelilingimeja tersebut terlibat dalam diskusi. Budiman Tanuredjo, sangpemimpin redaksi, duduk di sudut yang paling mudah dilihatsedang memimpin jalannya diskusi. Tepat di belakang MasBud, demikian saya biasa memanggilnya, tampak lukisan sepa-sang suami istri terpajang di din ding. Sang suami di lukisantersebut duduk dengan memakai caping gunung, pemandanganyang mengingatkan kita kepada petani desa zaman dulu. Ta -ngan kirinya terlihat menyangga sepiring makanan dan tangankanannya dipakai untuk makan. Duduk di samping sangsuami, sang istri yang memakai kebaya dengan rambut disang-

“For the past several months, since the middle of April,he has dreamed many dreams about time. His dreams have takenhold of his research. His dreams have worn him out, exhausted himso that he sometimes cannot tell whether he is awake or asleep.”

— Alan Lightman, Einstein’s Dreams

Mimpi-mimpiSeorang Antropolog

WI JAYANTO

Page 59: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

gul tampak sedang menyuapi anaknya yang masih kecil. Ia jugamenggambarkan perempuan desa pada umumnya di Jawatempo dulu.

Tanpa saya duga, sang pemimpin redaksi mengajukan satupertanyaan kepada saya: “Jadi apa itu demokrasi menurutmu,Wija?” Dalam rapat-rapat redaksi, Mas Bud terkadang me -mang mengajukan pertanyaan kepada saya, satu-satunya peser-ta rapat yang bukan wartawan Kompas, yang hadir di ruangantersebut untuk melakukan penelitian etnografi. Awalnya sayaagak gugup menjawabnya. Namun saya ternyata mampu mem-berikan penjelasan cukup lancar sebelum saya tiba-tiba terjagadari tidur. Beberapa saat baru saya sadar bahwa apa yang sayaalami ternyata hanya mimpi. Mimpi-mimpi seperti itu seringmuncul ketika penelitian saya mengalami periode yang intenspada 2014, masa di mana banyak orang menyebutnya sebagaitahun politik mengingat di tahun itu berlangsung pemilu legis-latif dan pe milu presiden di Indonesia. Pada periode inilah saya“menyamar” sebagai wartawan salah satu harian paling berpe -ngaruh di Indonesia: Kompas.

Persiapan Penelitian

Saya mengambil topik disertasi tentang biografi harian Kompas,dengan penekanan pada sejarah hubungan koran ini dengan ke -kuasaan di tiga rezim berbeda: Orde Lama, Orde Baru, dan Re -formasi. Namun ini sebenarnya bukan proposal penelitian awalsaya. Sebelumnya saya berencana melakukan penelitian ten-tang peran media dalam pemberantasan korupsi di Indonesia,dengan melakukan studi komparasi di tiga pulau yang berbeda.Proposal itulah yang berhasil mayakinkan promotor saya,David Henley, dalam sebuah seleksi beasiswa yang diikuti olehsekitar dua puluh pelamar di Yogyakarta lima tahun sebelum-nya. Dua puluh orang ini menyampaikan rencana risetnya di

15MIMPI ANTROPOLOG

Page 60: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Yogyakarta untuk kemudian dipilih empat orang untuk dipro -ses di tahap adminsitrasi. Namun ternyata hanya dua orangyang berhasil berangkat ke Leiden, dan saya salah satunya.Pada bulan-bulan awal saya di Leiden pada penghujung 2012,saya menghabiskan banyak waktu untuk melakukan pendalam -an proposal riset tersebut. Ratusan artikel jurnal telah saya bacauntuk keperluan ini. Saya masih ingat di hari-hari itu halamankantor saya di gedung Johan Huizinga dipenuhi oleh salju te -bal. Saya sering bekerja hingga larut malam. Bahkan tidak ja -rang satpam kampus datang mengetuk pintu kantor saya danmengingatkan saya untuk segera pulang, mengingat di departe-men saya jam kerja dibatasi sampai jam sebelas malam.

Pada bulan kelima di Leiden, saya bertemu dengan DavidHenley dan waktu itu saya sudah didampingi oleh supervisorkedua saya, Ward Berenschot. Dari diskusi dengan mereka ber -dua itulah topik penelitian saya kemudian bergeser secara dras -tis menjadi etnografi tentang media yang membandingkan duakoran: Kompas dan Suara Merdeka. Menurut Ward, yang ke -mudian disetujui oleh David setelah proses diskusi yang alot,etnografi memungkinkan saya mendalami banyak hal dan bu -kan sekadar melihat peran media dalam pemberantasan korup-si. Pergeseran topik ini kemudian mengubah pertanyaan pene -litian saya dari “bagaimana peran media dalam pemberantasankorupsi?” menjadi “apa yang terjadi pada media ketika rezimpolitik berubah? Apakah mereka juga berubah menjadi lebihbebas dan kritis pada penguasa serta lebih berani berperan da -lam pemberantasan korupsi?” Itu artinya, saya dipaksa untukmelihat topik penelitian saya secara lebih dalam dan luas. Sayamemilih Kompas dan Suara Merdeka karena keduanya merupa -kan koran yang sanggup bertahan selama tiga rezim yang sayasinggung tadi. Pemilihan keduanya juga dalam rangka mem-bandingkan antara koran nasional yang berbasis di Jakarta yangdiwakili oleh Kompas dan koran daerah yang diwakili oleh

16 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 61: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Suara Merdeka yang beralamat di Semarang.Apakah perubahan tersebut menjadikan penelitian saya le -

bih menarik? Entahlah. Yang jelas, saat itu saya merasa amatfrustrasi. Perjuangan selama lima bulan yang telah mengor ban -kan banyak jam istirahat saya itu berujung sia-sia. Bagaimananasib annotated bibliography saya atas ratusan artikel tentang pe -ran media dan pemberantasan korupsi? Kecemasan saya sema -kin menjadi-jadi karena di Leiden berlaku tradisi “eight monthspaper”, sebuah tradisi akademik yang mengharuskan setiapmahasiswa untuk menyerahkan hasil kerjanya dalam bentukproposal penelitian yang sudah matang di minggu terakhir bu -lan kedelapan. Proposal inilah yang kemudian menjadi bahanpertimbangan apakah seorang mahasiswa dinyatakan lolos dandiperbolehkan melanjutkan risetnya, atau justru dipulangkanke negara asal karena dianggap tidak menunjukkan kemajuanyang diharapkan. Mengingat perubahan disepakati pada bulankelima, praktis saya hanya memiliki waktu tiga bulan untukmemulai penyusunan proposal riset saya yang baru. Dan sayamendapati hari-hari itu kota Leiden diselimuti salju di mana-mana. Di mana-mana. Rasa depresi yang saya alami hanya bisadigambarkan oleh salju, dan malam-malam panjang yang se -lalu tiba dengan tergesa hari-hari itu. Dan, tentu saja, May It Be-nya Enya. Lagu de ngan irama sedih yang hampir setiap malamsaya dengarkan sam bil kesepian di kamar apartemen saya diBoerhavelaan: “Mornie utulie (darkness has come), believe and youwill find your way / Mornie alantie (darkness has fallen), a promiselives within you now…”

Meskipun melodinya begitu menyayat, lirik lagu Enya itumampu menyuntikkan kekuatan: “believe and you will find yourway.” Saya sudah tidak ingat persis bagaimana caranya, tetapidengan susah payah saya akhirnya mampu merampungkanproposal di bulan kedelapan itu, betapa pun ia masih sangat se -derhana dan mendapat banyak sekali kritik dan masukan saat

17MIMPI ANTROPOLOG

Page 62: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

saya presentasikan di seminar KITLV pada bulan Juli yang me -rupakan bulan kesembilan PhD saya. Proposal itu dinya ta kanlolos dan diterima oleh kedua supervisor saya. Pada akhir bulanitu juga, mereka berdua meminta saya kembali ke Indonesiadalam rangka riset pendahuluan atau pra-fieldwork selama duabulan. Tujuan riset ini adalah untuk memastikan saya menda -pat izin penelitian dari Kompas dan Suara Merdeka, selain untukmengetahui gambaran awal medan penelitian saya. Denganbantuan seorang kawan dan juga sedikit keberuntungan, sayamendapatkan izin penelitian dan diterima dengan baik oleh ke -dua surat kabar itu. Saya kembali ke Leiden pada akhir Septem -ber dengan perasaan gembira untuk me nyampaikan kabar baiktersebut kepada kedua supervisor saya. Waktu itu saya hanyadua bulan di Leiden karena setelah konsultasi dan empat bulanmematangkan proposal, saya diminta kembali ke Indonesia un -tuk menjalankan fieldwork yang “sesungguhnya.” Dalam pro-posal, saya merencanakan melakukan fieldwork selama satu ta -hun di Indonesia, dengan berada di masing-masing koran sela-ma enam bulan.

Hari-hari di Kompas

Pada 27 Januari 2014 saya tiba di Indonesia. Sesuai rencana,tempat pertama yang saya tuju adalah kantor Kompas. Di sanasaya akan menghabiskan enam bulan pertama fieldwork sayahingga akhir Juli, atau persis setelah pemilu presiden dihelat.Sebelum turun ke lapangan, saya telah mem pe lajari semua halyang dapat saya ketahui tentang koran ini selama satu tahun diLeiden. Dengan jumlah pembaca lebih dari setengah jutaorang, harian Kompas merupakan salah satu koran terbesar diAsia Tenggara. Dengan segala kualitas yang dimilikinya, BenAnderson, profesor kajian politik dari Cornell University, per-nah menobatkan koran ini sebagai the most prestigious daily di

18 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 63: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Indonesia. Sementara peneliti media dari Australia, David T.Hill, mendaulat koran ini sebagai the newspaper of record. De -ngan usianya yang lebih dari 50 tahun, Kompas juga merupakankoran nasional paling tua yang sanggup bertahan di tiga rezimberbeda. Itu artinya, tidak berlebihan jika Kompas kemudian di -sebut sebagai gambaran dari perubahan politik di Indonesia.

Namun sayang sekali, ia belum banyak diteliti. Tidak se -perti Tempo, misalnya, yang biografinya sudah ditulis oleh JanetSteel, atau Indonesia Raya yang telah diulas panjang lebar olehDavid T. Hill melalui disertasinya tentang biografi sang pendiri -nya, Mochtar Loebis. Sejauh yang saya ketahui, koran yangdulu didirikan oleh kelompok Tionghoa dan Katolik inimemang sa ngat hati-hati dalam memberikan izin penelitian ke -pada orang luar. Terutama jika mereka bermaksud melakukanpenelitian etnografi yang mengharuskan mereka berada di da -lam newsroom dalam waktu yang lama. Oleh karenanya, adalahsebuah kebetulan dan juga kehormatan bagi saya karena telahdiizin kan oleh Kompas untuk melakukan penelitian secara men-dalam terhadapnya. Saya menjadi peneliti pertama yang men-dapat izin tersebut.

Selaku pemimpin redaksi, Mas Bud memberikan kesem-patan yang cukup longgar dengan memperlakukan saya layak -nya seorang wartawan Kompas. Saya memiliki kartu wartawandengan nomor sendiri, tak ubahnya seorang wartawan baru.Dengan kartu itu, saya dapat keluar masuk kantor redaksi Kom -pas kapan pun saya mau. Cukup dengan menempelkan kartu,pintu masuk yang terbuat dari kaca itu pun terbuka secaraotomatis. Saya juga memiliki meja kerja sendiri, lengkap de -ngan perangkat komputernya, persis seperti wartawan lainnya.Selain itu, saya memiliki akses untuk menghadiri semua rapatKompas. Baik rapat harian yang berlangsung setiap pukul 09.00dan 16.00, juga rapat mingguan setiap hari Rabu. Rapat bulan -an yang dapat berlangsung sewaktu-waktu juga tidak luput saya

19MIMPI ANTROPOLOG

Page 64: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

ikuti. Saya mempunyai keistimewa an layaknya seorang elite re -daksi, karena hanya elit redaksilah yang memiliki hak dan ke -sempatan untuk mengikuti semua rapat. Lebih dari itu, sayajuga memiliki akses untuk bertemu dan berbicara langsung de -ngan pemimpin dan pendiri Kompas, Jakob Oetama. Bahkan dijajaran elite redaksi pun, hanya orang-orang tertentu yang da -pat menemui Pak Jakob sewaktu-waktu.

Hari-hari melakukan penelitian lapangan di Kompas meru-pakan pengalaman yang menyenangkan. Saya belajar dan men-galami langsung, untuk pertama kalinya, bagai mana rasanyamenjadi wartawan. Dan pada saat yang sama mengerti apamakna menjadi antropolog. Saya datang ke redaksi setiap pagi,setidaknya menurut jam biologis saya, untuk menghadiri rapatpukul 09.00 dengan para elite redaksi. Ketika senja menjelangdan para re porter kembali dari lapangan, saya menjumpairuang an kerja luas yang berisi ratusan wartawan itu diliputikeheningan. Saya dapat mendengar bebunyian ritmis yang ber -sumber dari ketu kan jemari para wartawan yang sedang menu -lis laporan di ha dapan komputer mereka masing-masing, seper-ti rapalan doa para rahib di sebuah biara.

Setelah mengumpulkan hasil liputan harian pada pukul 8malam, para reporter yang sedang menjalani masa percobaanharus segera mempersiapkan reportase untuk keesokan hari -nya. Saya menemani mereka “dibantai” oleh para reporter se -nior pada forum evaluasi per tiga bulan untuk menilai kinerjamereka. Saya menemani mereka menonton Indonesian Idol keti-ka mereka sedang rehat menulis laporan di layar TV yang me -nem pel di dinding newsroom. Kadang-kadang di akhir pekan,saya juga menemani mereka karaoke di salah satu ru ang an re -daksi Kompas. Harian paling kaya dan paling besar di Indonesiaitu juga menyediakan fasilitas fitness untuk para pekerjanya.

Mengapa saya melakukan itu semua? Tak lain karenabuku-buku teori etnografi yang saya pelajari di Leiden membe -

20 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 65: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

rikan dua pelajaran penting, yaitu immersing atau menyelamisubjek penelitian dan building rapport atau membangun kede kat -an. Meskipun secara praktik keduanya berlangsung ber sa maan,secara teoretis keduanya merupakan konsep yang berbeda. Un -tuk melakukan dua hal inilah, interaksi yang intensif dan lamadengan subjek penelitian menjadi penting.

Dalam immersing, seorang antropolog berusaha untuk me -ngetahui dan memahami nilai-nilai dan perilaku-perilaku sub-jek penelitiannya. Pertama-tama peneliti harus mengetahui hal-hal yang tampak di permukaan. Untuk Kompas, saya mi salnyamengetahui seperti apa wujud koran Kompas. Berapa halamansetiap hari ia terbit, apa saja topik masing-masing halaman, dimana letak halaman politik yang menjadi fokus pe nelitian saya,dsb. Berikutnya, saya juga mengeta hui bahwa secara statisitkdua pertiga wartawan Kompas ada lah laki-laki dan sebagian be -sar berpendidikan tinggi. Dari segi agama, saya mengetahuibahwa mayoritas wartawan Kompas beragama Islam, sedang -kan Katolik merupakan mayoritas kedua disusul Kristen, Hin -du, dan Budha. Namun posisi kunci di Kompas seperti dewanredaksi dan pemimpin redaksi sebagian besar diduduki olehpemeluk Katolik. Sejarah harian yang pada mulanya didirikanoleh partai Katolik ini sedikit banyak memengaruhi komposisitersebut. Selanjutnya, saya juga mendata bahwa suku Jawa ada -lah mayoritas di Kompas dan membentuk dua pertiga dari totaljumlah wartawan yang ada.

Saya juga mengetahui struktur keorganisasin wartawanKompas. Secara struktural, ada wartawan yang menjadi repor terlapangan, wakil kepala desk, kepala desk, redaktur pelaksana,dewan redaksi, dan juga pemimpin redaksi. Secara fungsional,ada yang disebut dengan reporter pemula, reporter madya, danwartawan senior. Saya mengetahui, misalnya, bahwa rapat hari -an pada pagi hari adalah untuk menggali topik umum beritayang menarik. Sedangkan rapat sore adalah penentuan yang le -

21MIMPI ANTROPOLOG

Page 66: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

bih spesifik untuk isi masing-masing rubrik. Dalam rapat terse-but dipilih topik apa yang akan menjadi headline berita hari itu.

Setelah mengetahui, immersing akan berlanjut dengan me -mahami. Ini tertuju pada hal-hal yang lebih dalam dari apayang tampak di permukaan. Misalnya saya mengerti mengenaipola pengambilan keputusan di dalam struktur keorganisasiandi Kompas. Bahwa secara teoretis, rapat redaksi memiliki ke -kuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan terkait kere -daksian. Namun saya juga memahami bahwa terkadang adaperbedaan antara apa yang orang katakan dan apa yang oranglakukan. Meskipun secara normatif rapat redaksi meru pa kanpemegang kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusankerdaksian, ia sewaktu-waktu dapat dianulir begitu saja olehJakob Oetama selaku pemimpin tertinggi yang sekaligus pemi-lik harian ini.

Saya mengerti bahwa wartawan Kompas tidak hanya berpe-doman pada standar jurnalistik yang baku, seperti setia padakebenaran dalam menulis berita. Namun, mereka juga menggu-nakan rasa dalam penulisannya. Dalam disiplin rasa ini, me -nyampaikan kebenaran saja dianggap belum cukup. Bagi warta -wan Kompas, kebenaran itu juga haruslah disampaikan dengancara yang sopan, yang sedapat mungkin tidak menyakiti perasa -an orang lain. Di dalam ruang redaksi Kompas, ada pedomanpenulisan berita yang diringkas dalam ungkapan ba hasa Jawa:ngono yo ngono ning ojo ngono. Artinya, kita harus berhati-hatidalam menulis berita dan selalu peka pada konteks dan nuansa,sehingga melahirkan eskpresi penu lisan yang sopan dan tidakmengganggu harmoni sosial. Harmoni sosial ini merupakansatu konsep lain yang sangat menentukan dalam budaya Jawa.Ya, saya mampu merasakan bahwa budaya Jawa sangat meme -ngaruhi cara kerja wartawan Kompas.

Rasanya bukan sebuah kebetulan bahwa kultur keredaksi -an yang kental dengan nuansa budaya Jawa tersebut berkaitan

22 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 67: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dengan sejarah kepemimpinan di level tertinggi harian ini. Se -cara keredaksian, harian ini dipimpin oleh pribadi Jawa selama40 tahun pertama masa hidupnya, seseorang yang bahkan ma -sih menjadi pemimpin umum harian ini hingga kini. Sederha -nanya, dalam immersing ada proses mengetahui dan mema -hami, yang hanya dapat kita lakukan jika kita melibatkan dirisecara intensif pada setiap aktivitas keseharian yang dilakukanoleh subjek penelitian kita. Ungkapan ringkasnya, dalamimmersing saya berusaha untuk belajar berpikir dan mera sa se -perti layaknya seorang wartawan Kompas.

Immersing ini tidak mungkin dapat kita capai jika kita tidakberhasil membangun kedekatan dengan subjek penelitian kita.Di sinilah membangun kedekatan (building rapport) menjadipenting. Untuk membangun kedekatan, pertama-tama kita ha -rus mampu menciptakan situasi di mana kita dapat diterima—bahkan disukai—oleh lingkungan subjek penelitian kita. Gunamencapai kondisi demikian, melakukan aktivitas bersama de -ngan para wartawan sebagaimana saya singgung di atas menja-di begitu penting. Baik itu aktivitas yang berhubungan dengankeredaksian maupun aktivitas sehari-hari yang tidak berhubung -an langsung dengan pekerjaan. Di tahap ini, kita tersituasikanuntuk mengerahkan segenap kecakapan sosial yang kita miliki.“Gunakan kecapakan sosialmu, Wija. Jadikan dirimu disukai,”demikian nasehat Ward Berenschot, supervisor saya, sebelumsaya terjun ke lapangan. Dengan disukai, kita menjadi lebihmudah membangun kepercayaan sehingga subjek yang kitateliti tidak akan keberatan menyampaikan informasi-informasiyang kita butuhkan, termasuk yang paling rahasia seka lipun.Prinsip ini berlaku di semua topik dan lapangan peneliti an.Entah kita sedang meriset tentang suku pedalaman, perkam-pungan kaum miskin urban, atau tentang proses-proses yangberlangsung di newsroom surat kabar seperti yang saya lakukan.

Makanya tidak mengherankan jika kita pernah mendengar

23MIMPI ANTROPOLOG

Page 68: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

kisah antropolog suku pedalaman yang menikah dengan kepalasuku, seperti kasus Wyn Sargent yang menikahi kepala suku diPapua. Ataupun antropolog Kenneth Good yang menikahi se -orang perempuan Yanomama, sebuah kelompok etnis di Vene -zuela yang dia teliti. Saya merasakan sendiri bahwa memba -ngun kedekatan ini tidaklah mudah, terutama pada masa-masaawal. Ada saat-saat saya merasa transparan se perti Casper didalam newsroom, hantu kecil pelontos baik hati yang saya ton-ton semasa kecil. Inilah perasaan yang saya temukan ketikaberada di dalam ruangan, me nyaksikan orang-orang bercandadan berdebat. Saya berada sa ngat dekat dengan mereka, ter -senyum dan tertawa bersama me reka, namun tak seorang pundapat melihat keberadaan saya.

Perlahan-lahan seiring berjalannya waktu, secara alamiahkedekatan itu terbangun dengan sendirinya, meski tentu tidakdengan semua wartawan. Dari ratusan wartawan Kompas yangpernah saya temui dan wawancarai, ada tiga nama yang sayaanggap penting dan cukup dekat hingga kini. Yang pertamaadalah Budiman Tanuredjo. Dialah orang yang memberi sayaizin untuk melakukan penelitian. Mas Bud, begitu sapaan akrabsaya kepadanya, adalah laki-laki berbadan tegap karena seringberolahraga, berusia awal 50an, berwajah serius, memiliki pe -mikiran yang maju, adalah orang pertama yang menyetujuiproposal penelitian saya di Kompas. Dialah yang mendukungide agar untuk pertama kalinya dalam setengah abad usia hari-an itu, peneliti dari luar diperbolehkan melakukan etnografi da -lam waktu yang begitu lama. Mengingat sejarah koran ini yangcenderung tertutup, pikiran Mas Bud dan teman-teman yangseide dengannya merupakan terobosan luar biasa. Mas Budjuga membolehkan saya mempublikasikan semua materi pene -litian yang saya miliki, sepanjang itu dilakukan untuk tu juanakademis. Mas Bud dengan ringan hati menandatangani letter ofconsent penelitian yang saya ajukan.

24 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 69: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Figur berikutnya yang juga cukup dekat dengan saya ada -lah Mas St. Sularto. Dia adalah wakil pemimpin umum Kompaswaktu saya mulai melakukan penelitian. Saya bertemu dengan-nya pada pagi pertama saya di newsroom Kompas. Laki-laki ber -usia awal 60an ini memiliki perawakan kecil dengan pembawa -an yang ramah, sopan, dan rendah hati. Pagi itu, dialah orangyang pertama kali menyapa saya. Sambil ter senyum dia meng -ulurkan tangan dan menyebutkan nama nya: Larto. Saya mera -sa dia tidak perlu menyebutkan namanya, sebab tidak mungkinsaya tidak mengenalnya. Dialah orang yang banyak menulisbuku tentang Kompas, yang semua isinya saya hafal sebelumsaya tiba. Dia juga yang menulis biografi orang terpenting diKompas, Jakob Oetama. Hubungan baik yang terbangun sejakpertama kali bertemu itu berlanjut hingga kini. Pria ini selaluterbuka untuk setiap diskusi dengan sikap rendah hatinya yangkhas. Sejak pertama kali saya mengunjungi Kompas pada 2014hingga masa-masa akhir penelitian saya pada 2016, Mas Lartoselalu menyambut saya dengan tangan terbuka. Lebih dari itusemua, ada peristiwa yang bagi saya sendiri sangat berkesanyaitu ketika dia menyebut nama saya di bagian pengantar buku -nya. Di sana dia mengucapkan terima kasih karena judul bukuitu, yang ditulisnya sebagai kado ulang tahun Jakob Oetama,terinspirasi dari salah satu bab dalam disertasi saya: The KompasWay. Disertasi saya yang belum selesai itu bahkan sudah diku-tip oleh penulis yang notabene adalah orang dalam Kompassendiri. Sungguh sebuah kehormatan buat saya.

Nama terakhir yang dekat dengan saya hingga kini adalahSutta Dharmasaputra. Mas Sutta adalah kepala bagian politiksaat saya datang ke Kompas pada 2014. Sekarang dia telah naikjabatan menjadi wakil redaktur pelaksana. Berusia di awal40an, Mas Sutta adalah sosok orang muda dengan pribadi yangunik. Dia berdarah Tionghoa tetapi lahir dan besar di Cianjuryang membuatnya lekat dengan budaya Sunda. Menariknya,

25MIMPI ANTROPOLOG

Page 70: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Mas Sutta sangat mengerti budaya Jawa dan sangat gemar ber -bahasa Jawa. Bahasa Jawanya sangat baik sebenarnya, meskiaksen Sundanya tetap tak bisa ditutupi. Kedekatan saya de -ngan nya terbangun karena dialah orang yang setiap hari ber -uru san dengan saya saat di newsroom. Karena fokus riset sayaadalah tranformasi media setelah perubahan rezim politik, ma -ka di bagian politik inilah saya memfokuskan perhatian saya.Di desk politik yang terdiri dari 10 wartawan itu, saya duduktepat di belakang Mas Sutta. Dia selalu sabar dan bersedia men-jawab setiap pertanyaan saya. Itu belum termasuk kebaikannyayang lain: berkali-kali mentraktir saya makan siang di sebuahwarung makan Padang di dekat kantor harian itu. Hingga kinikomunikasi di antara kami masih terjaga baik. Yang membuatsaya terharu dan seringkali khawatir adalah perhatian dan ha -rapannya yang begitu besar terhadap masa depan studi saya.Tak henti-hentinya dia menyemangati saya untuk segera me -nyelesaikan disertasi saya. Saya agak khawatir karena tulisansaya tentang Kompas nantinya mungkin tidak selalu berisi hal-hal yang menyenangkan dan manis saja.

Dari total 277 wartawan Kompas, sebenarnya masih ba -nyak figur yang meninggalkan kesan mendalam di diri saya ka -rena kebaikan dan bantuan mereka, tetapi saya tidak dapat me -nyebutkannya satu per satu lantaran keterbatasan ruang. Na -mun saya merasa berkewajiban menyebutkan tiga informankunci di atas, karena dengan mereka saya berhubungan secaralangsung dan atas bantuan mereka pula penelitian saya dapatterlaksana dengan cukup lancar. Penelitian ini memberi sayasatu pelajaran berharga. Ketika meneliti sebuah komunitas, kitaakan selalu memiliki apa yang kita sebut sebagai informan kun -ci. Dalam sebuah komunitas yang berisi ratusan orang, tidakmungkin kita sanggup membangun kedekatan hubungan de -ngan semua orang. Mungkin karena faktor kedekatan inilah,ketiga orang di atas sering hadir secara bergantian dalam mimpi

26 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 71: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

saya di periode tertentu dalam peneli ti an saya. Gambaranmimpinya pun nyaris selalu sama, di dalam newsroom Kompas,di sela-sela rapat redaksi. Meski pernah suatu ketika, saya ber -mimpi bertemu Mas Bud di rumah orang tua saya di Demak.Bahkan di mimpi itu saya merasa heran, bagaimana mungkinpemimpin redaksi Kompas itu datang ke rumah orang tua saya?

Memutuskan Fokus pada Kompas

Setelah enam bulan pertama penelitian saya berakhir, sesuairencana saya melanjutkan penelitian ke Suara Merdeka di Sema -rang. Di sana saya mendapati satu temuan yang jauh berbeda.Perbedaan itu terutama terletak pada standar jurnalistik yangditetapkan oleh kedua koran. Di Kompas, otonomi re daksi sa -ngat terjaga. Intervensi dari luar ataupun dari pemilik koransendiri nyaris tidak pernah terjadi, setidaknya tidak secara kasatmata. Sedangkan di Suara Merdeka, sejak hari pertama saya tibadi kantor harian itu, pemimpin redaksinya pada masa itu telahmengungkapkan bahwa intervensi pemilik dalam pemberitaansering terjadi. Biasanya itu dilakukan melalui telepon atau lang-sung menemui pemimpin redaksi dan memerintahkan agarberita korupsi yang berkaitan dengan teman sang pemilik se -baiknya tidak diterbitkan. Dalam rapat redaksi saya menyaksi -kan sendiri salah satu dari keluarga pemilik koran, yang tidakmemiliki latar belakang wartawan dan tidak ikut hadir dalamrapat-rapat redaksi, ikut mengintervensi dalam kondisi yangmenurut mereka diperlukan. Banyak kisah dari para wartawandi sana yang mengungkapkan telah menerima amlop dari nara-sumber saat liputan. Fenomena ini bagi mereka adalah halbiasa. Hal-hal seperti ini tidak pernah saya temukan selama ber -ada di Kompas.

Temuan yang kontras ini saya ceritakan kepada Ward yangsaat itu tengah berada di Indonesia. Selama 2014 kebetulan dia

27MIMPI ANTROPOLOG

Page 72: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

juga sedang melakukan penelitian di Indonesia, sehingga kamibisa bertemu secara teratur untuk proses supervisi. Pertemuanitu seringkali berlangsung di Jakarta, tempat Ward tinggal sela-ma di Indonesia. Namun kadang juga di tempat lain, sesuaidengan dinamika riset lapangan yang dia lakukan. Pernah kamibertemu di Yogyakarta karena saat itu Ward te ngah menyeleng-garakan workshop di sana. Pernah juga kami bertemu di Sema -rang, saat dia tengah melakukan survei ahli terkait penelitian-nya tentang clientelism dan kewarganegaraan. Menariknya, per-nah pula kami bertemu tanpa sengaja di Bali. Saat itu Ward se -dang transit di Bandara Ngurah Rai usai melakukan penelitiandi sebuah pulau di Indonesia timur, sedangkan saya baru sajamendarat untuk berlibur di sana. Maka apa yang terjadi di ban-dara? Diskusi soal riset! Ya, maksud hati mau liburan tapi apaboleh buat malah bertemu dengan supervisor dan diminta men-jelaskan perkembangan penelitian. Kenangan yang sekarangsungguh menggelikan ketika saya mengingatnya lagi.

Dari pertemuan-pertemuan itulah saya melaporkan danmendapat feedback langsung dari Ward atas perkembang an ter-baru peristiwa di lapangan. Salah satu tanggapannya adalahbahwa lebih baik saya berfokus pada Kompas saja karena ter -nyata koran ini tidak dapat dibandingkan dengan Suara Merdekasecara apple to apple. Yang pertama sangat menjaga standar jur-nalistiknya, sementara yang satu lagi kurang. Selain itu adajuga pertimbangan lain yang tidak kalah penting. Enam bulanpenelitian saya di Kompasmembuat kami belajar bahwa banyaksekali sisi-sisi koran ini yang sa ngat menarik yang belum kamipelajari sepenuhnya. Akhirnya kami sepakat untuk meninggal -kan Suara Merdeka dan berfokus pada Kompas saja. Maka sejakOktober 2014 saya kembali tinggal di Jakarta dan melakukankunjungan ke kantor re daksi Kompas secara teratur setiap hari.Namun jika pada masa awal riset saya dulu saya datang untukmengamati rapat redaksi, hari-hari itu saya lebih sering “berta-

28 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 73: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

pa” di kantor pusat penelitian Kompas untuk membaca arsipkoran lama, yang hanya dapat saya akses lewat komputer Kom -pas. Pada saat yang sama, hari-hari itu saya juga sudah mulaidisibukkan de ngan aktivitas mengolah dan menginterpretasidata. Termasuk juga melakukan penyalinan hasil wawancara.

Mimpi-mimpi Seorang Antropolog

Demikianlah. Tidak semua yang kita rencanakan di dalam pro-posal riset dapat terlaksana di lapangan. Ada banyak pengem-bangan dan penyesuaian di sana sini. Ada perubahan total dariproposal awal yang saya bawa dari Indonesia dengan proposalyang akhirnya disetujui di tahun pertama. Ada perbedaan anta -ra rencana penelitian yang saya bawa dari Leiden dan kenyata -an penelitian di lapangan, yang membuat fokus peneli ti an sayaberubah. Lalu ada juga penajaman fokus dalam proses penulis -an analisis hasil penelitian. Refleksi atas temuan di la pangandengan membenturkannya dengan teori-teori yang ter kait ada -lah kegiatan yang menghiasi hari-hari saya seusai kerja lapang -an. Dan tentu saja, ada proses diskusi dengan supervisor sayayang melibatkan rangkaian revisi yang seolah tak kenal henti.Di sinilah kemudian mimpi-mimpi saya mulai tumbuh.

Kali ini mimpi-mimpi itu terutama bercerita tentang prosesbimbingan dengan kedua supervisor saya: David Henley danWard Berenschot. Mimpi berdiskusi dengan mereka sudah takterhitung jumlahnya. Mereka muncul dalam mimpi saya ketikasaya berada di Semarang, kota asal saya. Mereka juga hadirkembali di mimpi saya ketika saya berada di Jakarta untuk me -ram pungkan penelitian saya. Mereka lagi-lagi hadir di mimpi-mimpi saya ketika saya sudah berada kembali di Belanda baiksaat tinggal di Leiden maupun di tempat tinggal saya sekarang,Maastricht. Dan mimpi itu selalu mengambil tema yang sama,pembahasan tentang disertasi saya. Di kesempatan lain, mimpi

29MIMPI ANTROPOLOG

Page 74: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

yang muncul adalah tentang Pierre Bourdieu, seorang antro -polog Prancis berdarah Aljazair, yang teorinya tentang habitusdan journalistic field menjadi pisau analisis utama dalam diser-tasi saya.

Suatu ketika Merlyna Lim, seorang profesor media dariUniversitas Carleton, bercerita dalam sebuah percakapan de -ngan saya. Mimpi menurutnya merupakan bagian penting dariproses kreatifnya. Dalam mimpi itulah dia sering menemukanide-ide dari tulisan-tulisan yang dia lahirkan. Dari sebuah bukusaya mendapatkan penjelasan bahwa ketika tengah tertidur se -benarnya alam bawah sadar kita tetap bekerja. Alam bawah sa -dar ini memiliki kekuatan yang luar biasa, yang dapat menyun-tikkan energi bagi suatu proses kreatif. Buku ini bahkan mem-berikan saran agar kita secara sengaja “memerintahkan” alambawah sadar kita untuk memberikan petunjuk sebelum kitatidur ketika kita mengalami kebuntuan dalam penulisan dan ke -tika terjaga kita sudah mendapatkan jalan keluar. Saya sendiripernah mempraktikkan metode ini berkali-kali dan se lalu men-dapatkan hasil. Ada seseorang yang pernah menulis bahwawriting is a lonely profession, dan memang begitulah ada nya. Se -bagai seorang penulis, saya belajar bahwa banyak ga ga san ter-lahir dalam kesendirian dan keheningan. Masa-masa menje-lang tidur dan saat baru terjaga adalah salah satu mo men-momen tersebut. Pernahkah Anda terjaga dari tidur de ngan se -buah ide baru untuk menulis atau melakukan sesuatu? Sayacukup sering mengalaminya. Dan saya percaya bahwa mimpiadalah bagian penting dari proses kreatif itu.

Kelak, saya akan mengisahkan semua ini sambil mende-sah. Saat hendak memulai karier sebagai antropolog lima tahunyang lalu, saya begitu ingin mengetahui apa itu etnografi danbagaimana cara melakukannya. Ada rasa cemas ka rena sedikit-nya pengetahuan awal saya, meskipun ada se ma ngat yang me -luap-luap seperti yang dirasakan umumnya seorang pemula.

30 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 75: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Kini saya menemukan bahwa jawabannya ternya ta terpampangjelas di depan mata, sebagaimana ada pada kata ethnography itusendiri. Kata ethnography berasal dari bahasa Yunani yang ber -akar dari dua kata ethnos yang berarti orang-orang, suku, bangsadan grapho yang berarti aku menulis. Maka secara harafiahethnography berarti: “aku menulis kisah tentang suatu kelom-pok, atau suku atau sebuah bangsa.” Bagi saya sendiri, etno-grafi berarti melibatkan diri kita ke dalam sebuah dunia, danpada saat yang sama, menjadikan dunia itu sebagai bagian daridiri kita sendiri. Dan selama proses menuliskannya, kita beru-paya membangun kedekatan (building rapport) dengan orang-orang yang ada di sana, agar kita sanggup menyelami duniamereka (immersing), untuk kemudian mengerti dan memahamibahasa mereka, ketakutan-ketakutan, kegelisahan-kegelisahan,juga harapan-harapan mereka. Begitu intensnya kita memikir -kan dan menghayati dunia mereka, hingga kisah-kisah yang ter-bentuk di dalamnya seringkali hadir kembali di dalam mimpi-mimpi kita.

Maastricht, 30 Oktober 2017

31MIMPI ANTROPOLOG

Page 76: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

M eneliti televisi merupakan fokus baru bagi saya. Se -belumnya, saat menyelesaikan jenjang magister di

Universitas Leiden, saya meneliti hubungan antara Islam dannegara di Indonesia dalam kerangka perdebatan tentangundang-undang penistaan agama. Sebagaimana pada umum-nya, bidang yang saya tekuni, kajian Islam, adalah kajian inter-disiplin yang beririsan dengan berbagai bidang lain sepeti teo -logi, filologi, antropologi dst. Untuk proyek penelitian jenjangdoktoral, saya tertarik mengkaji acara-acara dakwah di televisinasional di Indonesia dengan pendekatan etnografi. Saya ter-tarik meneliti topik ini setidaknya karena dua hal.

Pertama, keingintahuan saya atas keputusan televisi-tele-visi swasta untuk menyiarkan dakwah. Pasca-Reformasi, ba -nyak televisi swasta nasional didirikan oleh para konglomerat.Meningkatnya jumlah televisi swasta ini bersamaan de nganmaraknya acara-acara dakwah di dalamnya. Televisi swastayang sejatinya menargetkan keuntungan dari setiap programyang mereka buat menjadikan acara dakwah sebagai acara ru -tin harian mereka. Ini menarik untuk dipertanyakan apa ke -

Studi Acara Dakwah di Televisi Indonesia Pasca-Reformasi

Dari Kenangan Bersama SahabatHingga Penelitian Etnografis:

SYAHR I L S IDD IK

Page 77: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

33STUDI ACARA DAKWAH

pentingan di dalamnya.Kedua, saya melihat bahwa para pendakwah Islam di tele-

visi-televisi nasional menawarkan cara belajar Islam yang barudi mana orang-orang diberi pilihan materi-materi keislamanlangsung ke rumah, warung, kantor, dan tempat mana pun me -reka berada. Sebelumnya, orang-orang harus mencari masjid,forum kajian, atau kelompok-kelompok belajar Islam untukmendapatkan materi-materi keislaman. Fenomena ini menarik,khususnya di Indonesia pasca-Reformasi. Asumsi saya, keber-adaan acara-acara dakwah di televisi ini berkontribusi terhadapwacana dan perdebatan Islam di masyarakat dan cara Muslimdi Indonesia mendefinisikan dirinya dalam konteks demokrati-sasi dan globalisasi.

Ketertarikan saya terhadap acara-acara dakwah di televisiini semakin kuat setelah saya ingat seorang sahabat sekelas diMadrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung di Tasikmalaya,Jawa Barat. Dia sangat kagum dengan Abdullah Gymnastiar(akrab dipanggil Aa Gym), salah satu pendakwah televisi terke-nal di awal 2000an. Pada 2001 dan 2004, di dekat MAN danlingkungan Pondok Pesantren Cipasung ada sebuah toko bukukecil menjual berbagai jenis buku; dari buku tulis hingga novelpopuler karya penulis Indonesia. Toko ini juga menjual koran,majalah, kaset dakwah, dan lagu Islam populer seperti grupmusik Raihan dan Haddad Alwi. Beberapa siswa dan santribiasanya singgah ke toko tersebut untuk membeli atau sekadarmelihat-lihat dan membaca buku. Sahabat saya adalah salahsatu pelanggan toko buku kecil ini. Sahabat saya hampir tidakpernah melewatkan buku-buku dan majalah yang diterbitkanoleh Manajemen Qalbu (MQ) milik Aa Gym. MQ merupakanbrand dakwah milik Aa Gym yang diproduksi di pondok pesan -tren miliknya, Darut Tauhid (DT), di Bandung, Jawa Barat. Se -lain buku dan majalah, Aa Gym mendirikan radio dan televisikomunitas MQ untuk menyebarluaskan dakwahnya.

Page 78: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

34 CATATAN DARI LAPANGAN

Sahabat saya merupakan potret kebanyakan siswa-siswidan santri di lingkungan MAN dan Pondok Pesan tren Cipa sungyang saya kenal yang mengagumi model dakwah Aa Gym.Mereka sangat akrab dengan singkatan-singkatan dakwah AaGym yang mereka dengarkan, baca, dan tonton. Dakwah AaGym ini sering menjadi bahan untuk pidato siswa dan santri dilingkungan MAN dan Pondok Pesantren Cipa sung. Antusias -me sahabat saya mengikuti dakwah Aa Gym me nimbulkan per-tanyaan mengapa banyak orang selain sahabat saya itu juga ter-tarik dengan gaya dakwah Aa Gym? Mengapa banyak pendak-wah muncul di televisi dan terkenal setelah Aa Gym?

Perbaikan Proposal dan Persiapan ke Lapangan

Meskipun ketika mendaftar program doktoral saya sudah men-cantumkan proposal yang sudah dibaca dan disetujui oleh pem-bimbing, saya tetap harus memperbaikinya ketika sampai diLeiden. Bahkan ada pembimbing yang mengharuskan maha-siswanya untuk membaca beberapa buku terlebih dahulu sebe -lum memperbaiki proposal. Hal ini bergantung pada pendekat -an dan metode pembimbing disertasi. Sembilan bulan sayamemperbaiki proposal penelitian, dan bertemu pembimbing di -sertasi saya, Bernard Arps, seorang guru besar Kajian Indone -sia, rutin dua minggu sekali. Bagian yang paling lama diotak-atik adalah kerangka teoretis yang merupakan fondasi peneliti -an. Beberapa kali saya harus merevisinya karena teori yang sayaambil kurang tepat atau sudah terlalu lama.

Lokasi penelitian juga menjadi diskusi menarik anta ra sayadan pembimbing. Dalam proposal, saya mengajukan Jakarta,Bandung, dan Medan. Alasan memi lih Jakarta jelas karenaproduksi dan kantor pusat televisi nasio nal ada di kota ini. Sayapilih Bandung karena maraknya gerak an dakwah ter utamayang diinisiasi oleh para mahasiswa di kampus-kampus terna-

Page 79: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

35STUDI ACARA DAKWAH

ma. Selain itu, secara historis gerakan Islam di Bandung sangatprogresif. Medan merupakan kota yang unik karena ke bera -gaman etnis dan agamanya. Dengan ma syarakatnya yang be -ragam ini, saya ingin tahu seberapa penting acara-acara dakwahdi televisi nasional bagi Muslim di kota ini.

Setelah mengetahui lokasi penelitian yang saya tawarkan,Pak Ben, begitu saya memanggilnya, menawarkan kota di Balisebagai pengganti Bandung. Dia berpendapat bahwa Bali lebihmenarik karena Muslim hidup sebagai minoritas di tengah ma -syarakat Hindu Bali. Mungkin program dakwah di televisi pen -ting bagi mereka. Pak Ben berkata bahwa Bali hanya merupa -kan saran yang bisa saya pertimbangkan. Bila saya tetap memi -lih Bandung, Pak Ben tidak keberatan. Saya meminta waktuuntuk mempertimbangkannya karena Bali merupakan daerahyang belum pernah saya kunjungi. Hanya pernah melewatinyaketika akan ke Nusa Tenggara Barat dengan bus dan kapal laut.Meskipun demikian, saya pu nya beberapa teman saat kuliah diMalang yang berasal dari Bali. Jadi, tidak akan sulit untuk me -ngumpulkan data di sana. Pada pertemuan berikutnya, sayamenyetujui saran Pak Ben untuk melakukan penelitian di Bali.

Setelah lima bulan berada di Leiden memperbaiki propo -sal, saya mulai mengumpulkan kontak dengan beberapa kolegadan sahabat terutama yang bisa menghubungkan saya denganpara produser acara, tim kreatif, dan ustadz televisi. Tidak lupasaya juga mencari kontak sahabat dekat saya di MAN Cipasungpenggemar Aa Gym itu. Saya sangat pena saran apakah dia ma -sih mengagumi dan mengikuti dakwah Aa Gym atau sudahberalih ke ustadz lain yang lebih menarik ba ginya. Saya jugasering berdiskusi dengan kolega di Leiden yang juga menelitimedia televisi untuk disertasinya agar saya mendapat gambaranyang lebih utuh seluk-beluk dunia pertelevisian.

Saya menemukan kesulitan untuk mendapatkan kontakproduser dan tim kreatif acara-acara dakwah di televisi karena

Page 80: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

36 CATATAN DARI LAPANGAN

hampir tidak ada kolega atau sahabat yang menekuni profesiini. Untuk mendapatkan kontak beberapa ustadz televisi, sayamenghubungi beberapa sahabat saat kuliah di Malang. Ada diantara mereka yang bekerja di pondok pesantren atau lembagamilik Yusuf Mansur, salah seorang pendakwah televisi. Inimenjadi modal penting untuk menghubungkan saya kepadaYusuf Mansur. Sedangkan untuk penonton, saya berencanatinggal di rumah mereka dan melakukan observasi di lingku ng -an rumah mereka.

Setelah sembilan bulan memperbaiki proposal, Pak Benberkata bahwa proposal saya sudah bagus. Kemudian dia ber -tanya apa yang ingin saya lakukan setelahnya. Dengan yakinsaya meng atakan ingin mulai mengumpulkan data di lapangan.Dia menyetujuinya. Segera setelahnya saya mulai menyusunrenca na penelitian ke lapangan dan mengajukan anggaranpenelitian kepada manajer institut. Jadwal ke lapangan untuksetahun saya bagi menjadi dua periode yang masing-masingnyaenam bulan. Rancangan penelitian merupakan gambaran apayang akan saya lakukan di lapangan termasuk daftar pertanya -an yang akan saya ajukan kepada responden. Rancangan dananggaran penelitian saya diskusikan dengan pembimbing. Se -telah disetujui, saya ajukan anggaran penelitian itu ke manajerinstitut untuk disetujui.

Penelitian Etnografi: Jakarta, Medan, dan Denpasar

Meski sudah mempunyai proposal dan rancangan peneliti an,data di lapangan bisa sesuai, hampir sesuai, atau bertolak bela -kang dengan hipotesis-hipotesis yang kita susun dalam propo -sal. Ini yang membuat etnografi menjadi pendekatan pentingkarena bisa langsung melihat apa yang terjadi pada objek yangditeliti. Teori yang dipilih dalam proposal bisa juga berubahsetelah data dikumpulkan. Kekuatan pendekatan ini adalah

Page 81: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

37STUDI ACARA DAKWAH

pada kayanya data yang ditimba dari lapangan. Sering sekalipara peneliti harus mengubah fokus, alur, dan kerangka peneli -tian setelah mereka kembali dari lapangan.

Melakukan penelitian di tiga pulau berbeda di Indonesia ti -dak mudah karena beberapa hal. Pertama, saya harus jeli dalammembagi waktu karena setiap kota mempunya level signifikansiyang berbeda. Awalnya saya akan membagi waktu sama ratapada setiap kota: masing-masingnya empat bulan. Akan tetapi,kolega menyarankan untuk memberikan alokasi waktu lebihpada Jakarta karena di kota ini saya tidak hanya meneliti pe -nonton tetapi juga ustadz, produser, dan tim kreatif. Ini adalahpoin penting yang terlewatkan. Mendiskusikan penelitian kitadengan kolega atau sahabat merupakan keharusan agar menda-patkan masukan dan saran yang sering terlewatkan oleh peneli-ti. Saya sangat berterima kasih kepada para kolega saya atasmasukan mereka yang penting itu. Saya memutuskan untukmengumpulkan data di Jakarta selama enam bulan, Medan danDenpasar masing-masing tiga bulan.

Jakarta

Rencana awal penelitian di Jakarta adalah bertemu dengan pro-duser atau ustadz televisi untuk wawancara. Berbagai upayadilakukan dengan mengontak semua kenalan di Jakarta tapihasilnya nihil. Bahkan setelah tiba di Jakarta, saya belum jugamendapatkan satu pun kontak produser dan ustadz acara-acaradakwah di televisi. Dalam situasi sulit seperti ini, saya memu-tuskan untuk tetap ke Jakarta melakukan observasi kondisi ma -syarakat Muslim Jakarta dan peredaraan acara-acara dakwah ditelevisi. Saya menyewa kamar kos di daerah Jatipadang, PasarMinggu, Jakarta Selatan. Di kanan kiri bangunan kos tersebut,ada warteg dan warung bakso yang selalu ramai pembeli,khususnya saat sarapan dan makan siang. Kantor Pajak Pem -bantu Pasar Minggu juga berlokasi di daerah itu, persis di pintu

Page 82: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

38 CATATAN DARI LAPANGAN

masuk ke arah kos saya dari jalan T.B. Simatupang. Kebanyak -an pelanggan warteg dan warung bakso tersebut adalah karya -wan kantor pajak itu.

Acara-acara dakwah di televisi kebanyakan ditayangkanpada pagi hari sebelum atau sesudah shalat Subuh. Waktu ta -yang ini membuat saya harus bangun pagi untuk pergi kemasjid dan melihat bagaimana antusiasme masyarakat di seki-tar kos saya terhadap Islam dan acara dakwah di televisi. Diperjalanan pulang dari masjid ke kos, saya mencoba melihat-lihat rumah masyarakat yang tidak tertutup rapat oleh pagaruntuk mengetahui apakah mereka menonton acara dakwahatau tidak. Saya melihat ada beberapa rumah yang memutaracara dakwah di televisi mereka. Namun ada juga yang tidak.

Saya berharap dapat tinggal di salah satu rumah wargayang suka menonton acara dakwah di televisi. Tapi dari manadan bagaimana saya mulai berinteraksi dengan mereka? Bebe -rapa orang yang saya ajak bicara menolak karena tidak punyakamar yang bisa disewakan di rumahnya atau menunjukkanwajah tidak bersahabat. Mungkin karena saya orang yang tidakmereka kenal. Ini bisa dimaklumi. Sebetulnya ada senior yangbaru lulus doktor dari Belanda menawarkan saya untuk tinggalbersamanya selama penelitian di Jakarta. Saya tidak memenuhitawaran tersebut karena saya ingin benar-benar mendapatkaninforman yang sama se kali belum mengenal saya.

Saya juga melakukan observasi di warung dan restoran de -ngan cara datang untuk makan di sana pada jam tayang acaradakwah di televisi untuk mengetahui apakah pemilik atau pen-jaga warung dan restoran menonton acara dakwah di televisiatau tidak. Hasilnya sangat menarik bahwa hampir setiap wa -rung makan atau restoran mempunyai televisi. Saya menemu -kan beberapa pemilik atau penjaga warung memilih programdakwah di pagi hari termasuk warung makan di samping kos.

Selama belum menemukan rumah warga yang bersedia

Page 83: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

39STUDI ACARA DAKWAH

menyewakan kamarnya, saya berkeliling ke toko-toko buku diJakarta baik di supermarket maupun kios-kios kecil di pasar tra-disional untuk mengetahui apakah ada buku-buku atau VCDdan DVD para ustadz televisi yang dijual di sana. Saya inginmengetahui sirkulasi dakwah mereka selain di televisi. Asumsisaya mereka akan merekam dakwah mereka dan menjualnya kepublik. Saya menemukan bahwa hampir semua ustadz televisimenuliskan biografi dan ceramah mereka dalam bentuk buku.Alur cerita dalam biografi mereka kebanyakan berkisah tentangbagaimana mereka menemukan jalan dakwah untuk pengabdi-an pada umat. Buku-buku ini menegaskan ciri khas atau karak-ter dakwah yang dibawakan masing-masing ustadz. VCD danDVD mereka beredar dari yang resmi sampai yang bajakan disupermarket dan pasar tradisional. Observasi sirkulasi dakwahpara ustadz televisi ini juga saya lakukan di Medan dan Den -pasar. Selain itu, saya mengobservasi pamflet-pamflet un dang -an tabligh akbar dan pengajian umum yang dipandu oleh paraustadz televisi ini untuk saya hadiri. Banyak sekali acara-acaradi luar televisi yang mereka isi. Saya juga menemukan polasirkulasi dan undangan dakwah para ustadz televisi di Medantetapi tidak di Denpasar.

Setelah hampir dua minggu menunggu, akhirnya sayamendapatkan tempat tinggal di salah satu rumah warga yangletaknya tidak jauh dari kos. Pemiliknya adalah seorang ibumuda penjual pulsa di depan kos saya. Usianya sekitar 34 ta -hun. Suaminya bekerja sebagai petugas keamanan di sebuahperusahaan di Jakarta Utara. Mereka memiliki dua anak laki-laki. Anak pertamanya kelas 5 SD. Sebenarnya saya sudah tigakali membeli pulsa di kiosnya tapi tidak pernah berpikir bahwadia punya kamar yang bisa disewakan. Keinginan saya bertanyapadanya muncul ketika suatu pagi saya sarapan di warteg disamping kos pukul 6 pagi. Sambil menikmati sarapan saya lihatibu tersebut sedang menonton televisi. Televisi mini berwarna

Page 84: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

40 CATATAN DARI LAPANGAN

yang terlihat dari kejauhan itu membuat saya penasaran apayang sedang dia tonton sambil menunggu pembeli datang.

Selesai sarapan saya datang ke kiosnya untuk membelipulsa sambil mencari tahu apa yang dia tonton. Ternyata dia se -dang menonton acara “Mamah dan Aa Beraksi” di Indosiar.Saya tidak langsung menanyakan alasan dia memilih menon-ton acara itu daripada acara lain. Saya ingin mengetahui apa -kah dia rutin menontonnya atau hanya hari itu saja. Saya ulang isarapan pada jam yang sama tiga hari berturut-turut. Saya lihatdia menonton program yang sama. Pada hari ke-3 saya barumulai percakapan dan me nanyakan apakah dia memiliki kamaryang disewakan. Dia ber kata bahwa di punya satu kamar dirumahnya yang bisa saya sewa selama di Jakarta tapi dia harusmeminta izin suaminya terlebih dulu. Akhirnya, dia dan suami -nya setuju untuk menyewakannya.

Untuk pendakwah di televisi, seperti yang saya jelaskan diatas, saya bisa bertemu dengan Yusuf Mansur berkat bantuansahabat saya semasa kuliah di Malang. Dia bekerja di cabanglembaga Darul Quran (DaQu) milik Yusuf Mansur di Sura -baya. Dia memberikan kontak Black Berry Messenger (BBM)asisten Yusuf Mansur. Setelah saya hubungi via BBM, asistenYusuf Mansur menjadwalkan pertemuan saya dengan YusufMansur setelah shalat Idul Adha di Pesantren Modern DarulQuran di Tangerang yang cukup jauh dari tempat saya tinggal.Pertemuan diadakan pagi hari. Perhitungan waktu tempuhharus mempertimbangkan kemacetan Jakarta yang setiap haripenuh sesak. Saya me mutuskan menggunakan taksi ke Tange -rang. Pesantren itu ber diri megah di tengah perkampungankumuh dengan akses jalan yang sempit dan berlubang sehinggataksi yang saya tumpangi menolak mengantar saya sampai kedepan gerbang pesantren. Saya harus berjalan beberapa ratusmeter sebelum mencapai lokasi pesantren.

Memasuki gerbang pesantren, saya melihat para santri,

Page 85: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

41STUDI ACARA DAKWAH

orang tua murid, dan warga sekitar sudah mulai duduk berbarisuntuk menunggu waktu shalat Idul Adha. Pengurus pesantrenbertakbir bergantian menggunakan pengeras su ara yang diikutisebagian besar orang yang hadir. Ada tirai pembatas antarajamaah laki-laki dan perempuan. Yusuf Mansur dan beberapaustadz pesantren tiba menjelang sholat dilaksanakan. Jamaahlaki-laki berkerumun ingin bersalaman de ngan nya. Sambil ber -salaman dengan jamaah dia bergegas ke barisan paling depan.Tidak lama setelah dia duduk, shalat pun dimulai.

Selesai shalat, asisten ustadz Yusuf Mansur memperkenal -kan saya termasuk alasan mengapa saya ingin menemui beliau.Yusuf Mansur dengan ramah menyambut saya dan mengajaksaya duduk di teras rumah asistennya yang berada bersebelahandengan masjid pesantren. Karena dia tahu saya studi di Belan -da, dia bercerita bahwa sebelum menjadi ustadz dia pernah be -berapa kali ke Belanda untuk bekerja. Dia sesekali mengucap-kan kosakata Belanda. Di tengah percakapan kami, dua orangdatang bersalaman dengan ustadz Yusuf Man sur. Dia mem-perkenalkan mereka kepada saya sebagai produser dari salahsatu stasiun televisi swasta. Mereka kemudian bercakap-cakapmengenai kontrak tayang dakwah Yusuf Man sur di stasiun tele-visi mereka selama bulan puasa 2016. Yusuf Mansur berterimakasih dan mendoakan kedua orang tersebut agar mendapatkanpahala atas apa yang telah mereka lakukan. Dari pertemuan itusaya kemudian membangun komunikasi intensif dengan pro-duser tersebut dan beberapa kali bertemu untuk mewawanca -rainya. Dari dia saya mendapatkan kontak produser acara-acaradakwah di stasiun televisi yang lain untuk saya wawancarai.

Saya menghubungi sahabat saya, penggemar dakwah AaGym melalui Facebook. Dia sekarang menjadi guru di salahsatu sekolah dasar di Depok. Ternyata setelah lulus dari MANCipasung dia melanjutkan belajar di pesantren Aa Gym DarutTauhid sambil kuliah. Dia sempat bekerja di pesantren tersebut.

Page 86: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

42 CATATAN DARI LAPANGAN

Dia menyaksikan bagaimana proses Aa Gym menjadi populersebagai ustadz dan pengaruh popularitasnya terhadap pesan -tren Darut Tauhid dan MQ. Dia juga menyaksikan keruntuhanpopularitasnya saat sang ustadz berpoligami dan bagai mana ke -putusan itu berdampak buruk pada perkembangan Darut Tau -hid dan produk-produk MQ. Meskipun de mikian, bagi sahabatsaya Aa Gym tetap figur ustadz yang belum tergantikan olehustadz-ustadz televisi yang baru muncul setelahnya. Sahabatsaya melihat bahwa media telah berlaku tidak adil terhadap ke -hidupan pribadi Aa Gym. Melalui Facebook pula saya mewa -wancarai para pengikut sejumlah pendakwah televisi.

Medan

Selama penelitian di Medan saya tinggal di rumah seorang do -sen salah satu universitas Islam di kota itu. Saya mengenalnyalewat keponakan saya yang sedang belajar di universitas terse-but. Dia mengajar hukum keluarga. Istrinya tidak bekerja, fo -kus mengurus keperluan keluarga mereka. Mereka mempunyaidua anak yang belajar di sekolah dasar. Pada hari pertama,dosen itu mengajak saya untuk sarapan bersama keluarganya dimeja makan dengan enam kursi yang menyatu dengan ruangtamu tanpa sekat. Ada televisi di ruang tamu yang menyala dansedang menayangkan acara “Mamah dan Aa Beraksi” di Indo -siar. Selama sarapan berlangsung, kami berbincang-bincangtentang latar belakang masing-masing. Sesekali pembicaraankami me nyinggung acara dakwah yang kami tonton dan figurpendakwahnya. Pada hari kedua, saya menolak untuk sarapanbersama mereka dengan alasan saya belum lapar. Sebetulnya,saya ingin memastikan apakah mereka tetap menonton acarayang sama atau tidak selama sarapan. Ternyata mereka selalumenonton acara yang sama.

Seperti di Jakarta, saya juga melakukan observasi ke wa -rung-warung makan dan sejumlah restoran di Medan un tuk

Page 87: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

43STUDI ACARA DAKWAH

melihat apakah acara dakwah diputar di televisi-televisi di sana.Saya menemukan beberapa yang melakukannya. Saya mewa -wancarai pemilik atau penjaga dan pelanggan warung makandan restoran terkait reaksi dan persepsi mereka terhadap acaradakwah di televisi. Di Medan, saya juga menemukan undangantabligh akbar dan pengajian umum yang diisi oleh para pendak-wah televisi terpampang di beberapa jalan utama. Saya punsempat menghadiri beberapa di antaranya.

Denpasar

Saya mengalami kesulitan untuk menemukan responden pene -litian di Denpasar. Kolega dan sahabat dari Bali yang saya ke -nal selama kuliah di Malang sudah bekerja di luar Bali dan sayatidak dapat menghubunginya. Saya akhirnya memutuskan lang -sung datang ke Denpasar meski belum memiliki kontak respon-den. Saya pikir bertanya kepada supir taksi di Bandara NgurahRai Bali letak komunitas Muslim di Denpasar bisa menjadipetunjuk awal. Supir taksi mengatakan bahwa loka sinya ada disekitar Jalan Teuku Umar. Kemudian saya me min tanya untukmencarikan dan mengantarkan saya ke penginapan di jalan ter -sebut. Cukup banyak warung Muslim di sekitar Jalan TeukuUmar. Saya pun melakukan observasi beberapa hari de nganmengunjungi warung makan dan restoran Muslim yang berbe-da. Tidak satu pun memutar dan menonton acara dakwah ditelevisi. Mereka memilih acara lain seperti berita, sinetron, ataureality show. Para pemilik dan penjaga toko me ngatakan bahwamereka tidak ingin menontonnya karena takut menyinggungwarga mayoritas Hindu. Menurut mereka, pasca ledakan bomBali yang menewaskan ratusan jiwa, hu bungan antara Muslimdan Hindu di Bali merenggang. Dak wah-dakwah pun hanya di -lakukan di dalam masjid-masjid, tidak secara terbuka di lapang -an atau aula. Pantas saja saya ti dak menemukan satu punundangan tabligh akbar atau pengaji an umum di jalan-jalan

Page 88: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

44 CATATAN DARI LAPANGAN

utama kota Denpasar.Pada kunjungan penelitian lapangan kedua di Denpasar,

saya menghubungi seorang pemandu wisata dan pemilik Mus -lim Tour di Bali melalu Facebook. Dia mengizinkan saya ting-gal di rumahnya. Seperti kebanyakan Muslim di Bali, dia danistrinya berasal dari Jawa. Istrinya bekerja di toko cenderamatamilik mereka. Putranya yang pertama sudah menikah dan be -ker ja. Sedangkan putra keduanya masih kuliah di UniversitasUdayana dan be kerja paruh waktu di restoran. Dia dan keluar-ganya tidak me nonton acara dakwah di televisi. Sehari-hari diasangat sibuk mengantar tamu Muslim yang ingin berziarah kemakam para wali di Bali. Dia juga melayani turis asing. Diabekerja hingga malam hari. Bahkan di akhir pekan dia masihmelayani turis-turis yang ingin memakai jasanya.

Epilog

Temuan saya di Denpasar bertolak belakang dengan hipotesissaya bahwa acara dakwah di televisi signifikan bagi masyarakatMuslim di Bali. Dalam etnografi ini adalah hal biasa, bahkanbisa dikatakan fenomena menarik. Sedangkan di Jakarta danMedan, temuan sesuai dengan hipotesis di proposal. Merekamenonton acara dakwah di televisi sebagai hiburan ketika sa -rapan atau bekerja. Ini berlaku di hampir setiap program tele-visi bahwa kegiatan menonton televisi tidak berdiri sendiri,melainkan sampingan dari kegiatan lain sebagai kegiatan uta -ma. Kenyataan ini bukan berarti me nonton televisi adalah ke -giatan yang sia-sia atau tidak berguna. Kegiatan menonton tele-visi membuat penonton terlibat dengan apa yang mereka ton-ton. Itu terbukti dari bagaimana penonton membicarakan,mengikuti, dan memperdebatkan apa yang mereka tonton. De -ngan demikian, kegiatan menonton dan membicarakan apayang ditonton merupakan satu kesatuan dalam kajian televisi

Page 89: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

P ertanyaan itu harus bisa dijawab oleh seorang penelitietnografi sebelum dia memulai penelitian lapangannya.

Jika si peneliti belum bisa menjawabnya, lalu tetap nekat ke la -pangan, bisa dipastikan ia akan “terse sat”. Bingung dengan apayang harus dia lakukan.

Bagi saya yang melakukan penelitian mengenai bagaimanakewargaan (citizenship) terbentuk melalui penggunaan media so -sial dalam kampanye anti korupsi di Banten, pertanyaan ters e -but jauh lebih rumit. Apa yang dimaksud dengan “lapangan”menjadi kompleks karena termasuk di dalamnya adalah ruangdaring (online) dari media sosial dan lokasi penelitian luring(offline). Sehingga bentuk pertemuan antara saya, sebagai pene -liti, dengan subjek tineliti pun terjadi dalam kompleksitas dankonektivitas dua “lapangan” tersebut.

Dalam hal ini, saya menempatkan penggunaan media so -sial sebagai jalinan antara kualitas, struktur sosial-politik, se ja -rah lokalitas, dan wilayah. Saya mengikuti proses terbentuknyasebuah “tempat etnografis” (ethnographic place) (Pink, 2009). Se -buah tempat yang terbentuk melalui relasi antara ber bagai

“Kalau hari ini kamu sampai di lapangan,ke mana kamu akan pergi? Mau bertemu siapa?”

Melakukan EtnografiMedia Sosial

M. ZAMZAM FAUZANAF I

Page 90: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

46 CATATAN DARI LAPANGAN

materi dan proses tanpa menjadi sebuah teritori atau komunitasyang tertutup, melainkan sebagai himpunan dari berbagai in -tensitas di mana lokalitas and sosialitas menjadi unsurnya(Postill dan Pink, 2012:2).

Sederhananya, saya memulai penelitian lapangan saya de -ngan terlibat secara intens di media sosial, yaitu Facebook, khu -susnya pada Fesbuk Banten News (sebuah laman jurnalismewarga dengan pembaca 124.651 orang), Wong Banten (grupFace book dengan 14.659 anggota), dan Forum Warga Banten(grup Facebook dengan 5.614 anggota). Meski ketiganya meng -gunakan nama “Banten”, aktivitas dan keanggotaan me rekatidak dibatasi oleh teritorialitas dan komunitas tertentu. Hal inidimungkinkan karena sifat dari media sosial yang mam pumemfasilitasi sosialitas (jejaring sosial), mudah digunakan, danmemberikan penggunanya alat publikasi/produksi isi da lamberbagai bentuk (tulisan, gambar, suara). Sehingga keterlibatandalam ketiga platform Facebook tersebut terutama ditentukanoleh intensitas dari “tindakan digital” (segala tindak-tutur yangdilakukan melalui media sosial, seperti mengunggah, ber ko -mentar, membagikan berita dll) (Ruppert dan Isin, 2015), bu -kan oleh keterikatan terhadap teritorial tertentu (orang yangtinggal di Banten) atau komunitas tertentu (orang yang lahir diBanten).

Hal ini sejalan dengan catatan pengantar pengelola grupForum Warga Banten, bahwa: “Forum Warga ini diperuntuk -kan tidak hanya untuk warga Banten, tetapi bagi semua pihakyang menaruh perhatian dan kepedulian bagi masa depan Ban -ten yang lebih baik… Warga adalah pemilik kedaulatan yangpunya hak untuk bicara dan bersyarikat dalam menya lurkanaspirasi dan opininya.” Kata kuncinya adalah “perhati an” dan“kepedulian” melalui tindakan “berbicara” atau “beropini”. Se -bagaimana juga yang dilakukan oleh para “dulur FBN” (sebut -an untuk jurnalis warga Fesbuk Banten News) ketika menyak-

Page 91: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

47ETNOGRAFI MEDIA SOSIAL

sikan, menulis, dan mengunggah berita seputar kondisi Banten.Atau, ketika anggota Wong Banten berdebat soal politik dinastidan korupsi di Banten.

Singkatnya, saya melakukan etnografi media sosial (Postilldan Pink, 2012) dengan melibatkan diri secara online menelu -suri apa yang “dikatakan” dan “dilakukan” melalui media so -sial (tindakan digital) terkait dengan isu korupsi dan dinastipolitik di Banten, lalu diikuti dengan pertemuan secara offlinedengan para aktor yang melakukan tindakan digital tersebutmelalui wawancara dan observasi-partisipasi dalam aktivitas se -perti rapat, diskusi, demonstrasi, atau pertunjukan.

Melalui metode ini saya menjalankan praktik yangtumpang-tindih dan semrawut yang terdiri dari mengikuti la -man dan grup Facebook, membagi (materi, tautan, dll), meng -eksplorasi (material yang diunggah, tautan, berita, gambar dll),berinteraksi (berteman, berkomentar, memberi like, chatting,dan bertatap muka), dan mengarsipkan (mencuplik unggahandan komentar di Facebook, mengatalogisasi, membuat coding,mencari relasi antara coding dan kata-kata kunci).

Pertemuan tatap muka dilakukan dengan admin dan ang -gota yang paling rutin dan terlibat dalam membuat unggah andan komentar di grup atau laman Facebook yang saya teliti.Saya bertemu dan mewawancarai 50 orang yang saya pi lih ber -dasarkan tingkat keaktifan mereka di Facebook dan ma teri ung-gahan dan komentar mereka sejauh mana berhubungan dengantema-tema anti-korupsi dan anti-dinasti. Pertemuan dan wa -wancara secara berkelompok juga saya lakukan untuk mencaritambahan data yang tidak muncul lewat pertemuan secara indi-vidual. Proses wawancara dibantu dengan mela kukan elisitasidigital, yaitu menunjukkan potongan dari unggahan atau ko -mentar dari si subjek di Facebook, terutama apabila unggahanatau komentar itu terjadi di masa lalu. Teknik ini digunakanagar subjek penelitian bisa mengingat kembali tindakan apa

Page 92: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

48 CATATAN DARI LAPANGAN

yang mereka pernah lakukan di Facebook, dan menghadirkankembali cerita yang melatarbelakangi tindakan tersebut.

Saya juga melakukan observasi partisipasi dengan caramengikuti aktivitas subjek-subjek ini yang berhubungan denganapa yang mereka bicarakan di Facebook. Misalnya, saya meng -ikuti aktivitas mengunjungi dan menolong pasien miskin yangbiasa dilakukan oleh relawan dan anggota Fesbuk BantenNews. Selain itu, saya juga mengikuti kegiatan salah sa tu “du -lur FBN” ketika mencari “berita” dan memotret kondisi infra-struktur yang bu ruk di Banten. Sebagai bagian dari observasipartisipasi, saya juga menghadiri diskusi atau pertemuan yangdikondisikan atau dilaporkan di grup Wong Banten atau ForumWarga Banten.

Proses melakukan kontak dan bertemu dengan subjekpenelitian kita bukanlah hal yang mudah. Sebagian besar subjekyang saya kontak melalui fasilitas inbox di Facebook untuk ber -kenalan dan meminta bertemu menaruh curiga kepada saya.Sebagian menyangka saya “mata-mata” dari keluarga RatuAtut yang akan memantau tindak tanduk mereka di me diasosial. Beberapa orang tidak merespons dan bahkan menolakdiwawancarai dengan alasan yang tidak jelas. Ada juga yangmerasa tidak pantas untuk ditemui dan diwawancarai, misalnyaseperti ketika saya mengontak seseorang yang menggunakannama “Iben Lutung”, salah satu anggota grup Facebook ForumWarga Banten:

IBEN LUTUNG : Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atastegur sapa dan silaturahimnya. Rasa2nya koq saya blm pan-tas yak kalo utk di wawancara masalah korupsi, saya hanyawarga tangsel biasa yg memang sdh merasa tdk nyaman dgnkondisi tangsel saat ini dipimpin oleh kroni koruptor ygjelas2 sdh menghambat banyak pembangunan di tangselini.... Terima kasih

Page 93: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

49ETNOGRAFI MEDIA SOSIAL

M. ZAMZAM FAUZANAFI : Justru saya sedang mencari wargabiasa Pak. Kalau Yang ahli atau politikus sudah banyakbicara. Riset saya sendiri sebenarnya bukan semata-mata soalkorupsi. Tetapi soal kewargaan. Bagaimana warga biasa bisamuncul dan terlibat dalam perbincangan soal korupsi…

Seperti halnya “Iben Lutung” di atas, biasanya orang-orangmengunakan nama samaran (pseudonym) di Facebook agar me -reka merasa aman dari pantauan pihak-pihak yang mereka kri-tik. Namun dengan memperkenalkan diri dengan baik dan je -las, menunjukan identitas asli, bahkan dengan mengirimkanproposal singkat penelitian saya, sebagian besar subjek yangingin saya temui dan wawancarai akhirnya bersedia.

Kontak pertama saya dengan subjek penelitian adalah de -ngan seorang ibu muda bernama Nur Baety, salah satu pemba-ca Fesbuk Banten News yang sering menulis komentar pada be -rita seputar korupsi dan politik dinasti. Menariknya, dia jugaanggota aktif di group Wong Banten dan Forum Warga Ban -ten. Nur Baety aktif membuat unggahan dan berdebat se pu tarkasus korupsi yang melibatkan Ratu Atut Chosiyah (eks guber-nur Banten) dan keluarganya, dan mengritik kepemimpi nanRatu Atut yang disebut-sebut menjalankan politik dinasti.

Saya mengawali pertemuan itu dengan mengajukan perte-manan di Facebook dan kiriman pesan di inbox-nya untukmemperkenalkan diri dan menyatakan maksud dan tujuan pe -nelitian saya. Nur Baety tidak langsung menjawab. Baru duaminggu kemudian dia menjawab pesan saya dengan meng u -tarakan pertanyaan curiga, apakah saya benar-benar mahasiswadoktoral yang sedang melakukan penelitian? Atau jangan- ja ngan “kaki tangan” Ratu Atut Chosiyah yang ingin meng - awasi dia. Rupanya selama sekitar dua minggu Nur Baety me -nyelidiki identitas saya, baru kemudian membalas pesan sayasetelah cukup yakin, meski kecurigaan itu tetap ada. Namun,

Page 94: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

50 CATATAN DARI LAPANGAN

seiring perbincangan kami secara online kecurigaan itu perlahansirna. Dan ketika akhirnya kami bertemu dan bertatap mu ka disebuah warung sop durian di Serang, Banten, kecurigaan itusama sekali sirna.

Pertemuan tatap muka dengan Nur Baety tanpa disangka-sangka membawa saya pada pertemuan tatap muka dengansubjek lain yang juga aktif di Facebook Banten News (FBN).Nur Baety ternyata berteman dengan Mang Ripin salah satu“dulur FBN” yang sangat dikenal oleh pembaca FBN karenafoto-foto liputannya tentang kondisi infrastruktur yang buruk diBanten. Sebelumnya saya hanya berkontak dengan Mang Ripindengan mengajukan pertemanan di Facebook, tetapi belum di -terima. Maka lewat jejaring sosial Nur Baety saya akhirnya bisabertemu dengan Mang Ripin di rumahnya. Pertemuan denganMang Ripin ternyata langsung mengarahkan saya pada perte-muan dengan pendiri dan pengelola (admin) FBN, Lulu Jama -ludin. Sebelumnya saya sudah sempat berkenalan lewat inbox diFacebook dengan Lulu, dan bermaksud untuk membuat janjiuntuk bertemu. Namun, pada saat saya bertemu Mang Ripin,dia langsung memanggil Lulu untuk mampir ke rumahnya.Akhirnya terjadilah perbincangan seru antara kami.

Rupanya jejaring sosial online di media sosial berhubungandengan jejaring sosial offline. Setelah pertemuan dengan NurBaety menghantarkan saya pada pertemuan dengan Mang Ri -pin dan Lulu Jamaludin, berikutnya Lulu membawa saya ke -pada dulur dan relawan FBN (sebutan untuk orang yang terli-bat dalam kegiatan FBN di luar media sosial) yang pada hariyang sama mengadakan pertemuan untuk membahas rencanakegiatan menyalurkan bantuan untuk pasien miskin di pedesa -an Banten. Memang salah satu unggahan terbanyak di FBNadalah kabar mengenai kondisi pasien miskin yang tersebarhampir di seluruh wilayah Banten, sekaligus himbauan bagipembaca FBN dan warga Banten yang lain untuk membantu

Page 95: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

para pasien tersebut. Hal ini juga menunjukan bagaimana kerjamedia sosial etnografi dalam menelusuri hubungan antara tin-dakan digital online dan aktivitas offline yang berkelindan.

Namun, seturut jalannya penelitian, saya menemukan bah -wa seringkali tindakan online tidak selalu berkaitan dengan akti -vitas atau peristiwa offline. Hal ini terjadi bisa karena masalahperbedaan waktu. Sebagian dari tindakan digital yang saya ikutidan arsipkan berasal dari masa lalu (2010-2013), yang tentu sajajika ada peristiwa offline yang berhubungan dengan unggahanatau komentar online tersebut sudah lama berlalu dan hanyamenyisakan cerita. Selain itu, ketidakterhubungan antara tin-dakan digital online dengan aktivitas offline semata-mata dise-babkan cara pandang si peneliti yang hanya mau melihat mela -lui kacamata sebab-akibat, atau pengaruh (impact) seketika daripenggunaan media sosial terhadap kondisi offline.

Ketika melakukan penelitian mengenai media sosial, kitacenderung untuk melihat berbagai jenis pengaruh dari mediaso sial, terutama mengenai pengaruhnya dalam memicu ataumemperkuat mobilisasi. Ketika kita tidak menemukan penga -ruh tersebut pada peristiwa offline, kita kecewa, kehilanganarah, atau pesimis terhadap kegunaan media sosial. Maka, kitaharus beranjak melampaui pandangan “optimistik” dan “pesi -mis tik” mengenai media sosial dan memberikan perhatian padaapa yang dilakukan oleh warga dengan media sosial, atau da -lam istilah penelitian saya disebut tindakan digital. Saya jugamenelusuri apa yang dilakukan oleh subjek penelitian di ruangonline dan offline, bagaimana keduanya berhubungan atau tidakberhubungan sama sekali. Dalam hal ini, saya menelusuri tin-dakan digital di media sosial melalui lensa storytelling, yaituupa ya memahami berbagai tekstur dari cerita yang mereka ung-gah, bagaimana mereka terlibat dengan cerita tersebut, lalu me -nempatkannya dalam konteks yang lebih luas. Saya tidak maume mbuang-buang waktu mencari pengaruh yang bersifat seke -

51JUDUL BAB

Page 96: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

tika dari media sosial terhadap warga. Saya lebih berupaya un -tuk menelusuri tindakan digital dan aktivitas offline yang ber -kelindan dengannya dengan menggunakan etnografi mediasosial.

52 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 97: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

IIKajian Islam, Hukum, danPendekatan Antropologis

di Indonesia

Page 98: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri
Page 99: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

A pakah jenis kelamin dapat membuat kerja penelitian la -pangan menjadi berbeda? Menurut saya, iya. Setidaknya

berdasarkan pengalaman saya sebagai perempuan yang mela -kukan penelitian tentang perempuan, tepatnya mengenai ulamaperempuan dan praktik pembuatan fatwa di Indonesia. Secarasederhana, penelitian saya ingin menjawab dua pertanyaan.Pertama, apakah ulama perempuan mengeluarkan fatwa? Ke -dua, apakah otoritas ulama perempuan sama kuatnya denganotoritas yang dimiliki oleh ulama laki-laki sebagai pemberifatwa? Dalam tulisan ini, saya akan bercerita tentang peng -alaman khas perempuan itu, baik dari sisi saya sebagai peneliti,dan juga dari subjek penelitian saya yang juga perempuan.

Tantangan Tahun Pertama Ph.D-Mama

Sebenarnya saya kadang merasa iri dengan teman-teman seper-guruan saya di Leiden yang laki-laki. Mereka tidak perlu ber -urusan langsung dengan peran reproduktif seperti hamil, me -lahirkan, dan menyusui. Karena kodrat sebagai perempuan itu,

Ketika PerempuanMeneliti Perempuan

NOR ISMAH

Page 100: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

56 CATATAN DARI LAPANGAN

beban kerja saya menjadi ganda: kerja produktif dan reproduk-tif. Sementara target pekerjaan dari kampus tetap sama saja.Satu tahun pertama di program Ph.D, saya harus menyele sai -kan perbaikan proposal dan meyakinkan pembimbing bahwasaya pantas mendapatkan kata go untuk melakukan pencariandata di lapangan.

Pembimbing pertama saya di program Ph.D Institute forArea Studies (LIAS) Leiden University adalah Dr. N.J.G. Kap -tein atau biasa saya panggil dengan Pak Nico. Sementara pem-bimbing kedua saya adalah Dr. David Kloos. Pertama kali sayaberkirim e-mail kepada Pak Nico atas saran Pak Suryadi. Sete -lah membaca proposal penelitian yang saya kirimkan, Pak Nicolangsung setuju untuk menjadi pembim bing. Lain halnya de -ngan David. Dia resmi menjadi pembim bing kedua menggan-tikan Prof. Léon Buskens pada September 2017. Bersama ke -dua pembimbing ini saya merasa berada di tangan yang tepat.Pak Nico menguasai kajian teks, ulama, dan fatwa, sementaraDavid melakukan kajian antropologi tentang female Islamicauthority di Asia Tenggara.

Namun, bukan berarti tahun pertama saya di Leiden tanpatantangan. Saya memulai program Ph.D pada Februari 2016dalam keadaan sedang hamil dua puluh minggu. Masa-masamorning sickness memang sudah lewat, akan tetapi bawaan ha -mil seperti cepat lelah, mudah mengantuk, mood yang ber ubah-ubah, dan sensitif masih terjadi, bahkan setelah mela hirkan.Apakah teman-teman laki-laki saya juga pernah meng alami se -mua ini? Tentu tidak. Rasanya tentu saja sangat tidak nyaman.Dalam kondisi yang seperti inilah saya melakukan perbaikanproposal. Keadaan yang sangat tidak ideal dan jauh dari ba -yangan saya selama ini.

Namun apa boleh buat. Sambil berusaha menjaga fisik danpsikis agar tetap sehat dan stabil, saya bekerja per lahan-lahan.Sebisa mungkin saya memperbaiki proposal. Saya sempat men-

Page 101: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

57

dapat teguran dari pembimbing, “Mana pro gres kamu?!” Bagai -mana bisa mendapatkan progres, kalau setiap hari saya selalumengantuk dan malas bergerak. Sementara setelah bayi sayalahir, tenaga saya habis untuk terus membuat bayi saya tidakrewel. Saya menggendong, mengayun, menyusuinya setiap saatsehingga saya pun menjadi mudah capek dan tertidur.

Andai saja tidak ada kewajiban mengembalikan uang bea-siswa, mungkin saya sudah memilih untuk menyerah. Namun,selemah-lemahnya saya, saya masih punya sisa-sisa keyakinanbahwa saya mampu. Malam hari begitu bayi saya terlelap, sayalangsung menghadap laptop. Lembur hingga pagi. Itu pun ma -sih dua atau tiga kali memberi ASI sambil berbaring, dan takjarang ketiduran. Kalau tidak, saya biasa ketiduran sambil du -duk, menyisakan leher dan bahu yang pegal-pegal. Selang satubulan, akhirnya saya berhasil menunjukkan perbaikan proposaldan membuat pembimbing saya tersenyum senang. Saya punsiap melangkah ke level berikutnya, melakukan kerja lapangan.

Ke Lapangan Membawa Batita

Saya memang pernah, bahkan berkali-kali, melakukan kerjalapangan untuk mencari data atau melakukan pendam pinganmasyarakat. Misalnya, pada 1999 saya membantu RumpunTjoet Njak Dhien Yogyakarta meneliti dinamika pekerja rumahtangga di Jakarta. Atau menjadi pendamping lapangan prog -ram Yayasan Sawo Kecik de ngan PLAN Pacitan di desa BomoPunung Pacitan selama enam bulan, tujuh belas tahun silam.Tetapi itu dulu, ketika saya masih belum menikah. Saya bebasberlama-lama di la pang an dan bekerja tanpa hambatan apa-apa. Cerita kerja la pangan yang sungguh jauh berbeda dengankerja lapangan yang saya jalani saat ini.

Awalnya saya sangsi. “Serius nih mau bawa Ara ke lapang -an?” tanya suara hati saya. Ara, nama panggilan untuk Iolana

KETIKA PEREMPUAN MENELITI PEREMPUAN

Page 102: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

58 CATATAN DARI LAPANGAN

Narashansha, anak saya. Dia masih berusia tujuh bulan. Diamasih minum ASI, tidak mau minum susu formula, dan kalauditinggal di Yogyakarta tidak ada yang bisa menjaganya saatsuami saya pergi bekerja. Berbulan-bulan saya mencari penga-suh untuk Ara tetapi tak kunjung membuahkan hasil. Akhir -nya, lagi-lagi dengan keyakinan bahwa semua akan ada jalan-nya, saya memutuskan membawa Ara ke lapangan.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari asistenpeneliti. Dia akan membantu saya selain mengurus teknis pen-carian data di lapangan, juga bisa dimintai bergantian menjagaAra. Kawan baik saya memberi nomor kontak kenalannya, seo-rang fresh graduate S1 jurusan antropologi yang biasa membantupenelitian di kampusnya. Ketika melakukan seleksi, selain per-tanyaan tentang teknis kerja lapangan, saya juga bertanya, “Ka -mu keberatan gak membantuku jagain bayi enam bulan?” Ke -tika menghubungi key informants, saya juga menjelaskan ka lausaya tidak sendirian. Saya akan datang dan tinggal di rumahmereka bertiga, bersama seorang asisten dan Ara.

Melakukan perjalanan bersama Ara artinya saya harus me -nyiapkan satu tas khusus berisi perlengkapan bayi. Popok, foodprocessor kecil, buah-buahan, snacks, dan makanan instan untukdigunakan ketika Ara membutuhkannya. Jadi paling tidak, sayaakan membawa satu koper kecil, satu tas jinjing, dan ransel ber -isi laptop dan perlengkapan observasi lainnya. Bagaimanamembawanya? Mudah saja. Karena di bandara dan stasiun se -lalu ada jasa porter. Jadi selain biaya tiket, ada biaya tambahanuntuk porter pulang dan pergi.

Perjalanan pertama bersama Ara waktu itu dari Yog ya kar -ta menuju Jombang, Jawa Timur menggunakan kereta. Peng -alaman pertama, rasanya gugup dan khawatir. Namun ternyatabepergian bersama batita berusia 7 bulan tidak terlalu merepot -kan. Biasanya Ara akan tertidur selama hampir separuh per-jalanan. Selama di lapangan, Ara juga tidak pernah rewel. Dia

Page 103: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

59

tidak takut dengan orang baru. Dia mudah ter se nyum ketikabertemu mereka. Hampir semua narasumber yang rumahnyasaya tinggali mengatakan hal yang sama. “Delok iki lho, bocahkok menenge koyo ngene. Ngepenakke ibune (Lihat ini lho, anak kokpendiam kayak begini. Memudahkan ibunya),” kata Bu Hanik,responden dari Demak, sambil menggendong Ara.

Namun pada fieldwork kedua, yaitu mulai Oktober 2017hingga Februari 2018, Ara sudah berumur 1 tahun lebih dansudah mampu berjalan. Dia tidak betah lagi untuk diam dipangkuan lama-lama. Dia selalu minta jalan-jalan dan ja rangsekali bisa tidur lama. Keadaan ini tentu saja menguras energisaya. Saya tidak bisa istirahat karena harus menjaganya sepan-jang perjalanan.

Kemudahan-kemudahan di Lapangan

Cerita perjalanan di lokasi penelitian hanyalah bagian pembukadari fieldwork yang saya lakukan. Cerita sesungguhnya adalahketika saya dan Ara berada di lapangan. Untungnya topik pene -litian saya cukup “ramah anak”. Artinya, topik pene litian sayatidak berkaitan dengan narasumber dan tempat-tempat yangberbahaya atau rawan untuk membawa Ara ikut serta. Semuaini kebetulan saja, dan kebetulan ini juga memberikan saya ke -mudahan-kemudahan selama berada di lapangan.

Narasumber utama penelitian saya adalah empat orangulama perempuan peserta program sekaligus jaringan Rahima,sebuah LSM perempuan di Jakarta yang mempromosikan isuIslam, gender, dan perempuan. Pada 2013-2014 saya pernahmengikuti salah satu program Rahima, yaitu program Peng -kaderan Ulama Perempuan (PUP). Dari sinilah saya terta rikuntuk menulis tentang kiprah para ulama perempuan danupaya mereka membangun otoritas berbasis komunitas. Tulisanini kemudian saya presentasikan dalam sebuah workshop ten-

KETIKA PEREMPUAN MENELITI PEREMPUAN

Page 104: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

60 CATATAN DARI LAPANGAN

tang Female Islamic Authority di KITLV Leiden pada Januari2015, dan saya tindaklanjuti untuk penelitian disertasi.

Sebagai sesama alumni program Rahima, saya tidak mene -mukan kendala untuk menghubungi narasumber utama saya.Para ulama perempuan ini adalah orang-orang baik yang de -ngan senang hati membantu saya. Mereka mengizinkan sayabertiga dengan asisten dan Ara untuk tinggal dan makan di ru -mah mereka, mengobrol dengan para santri, dan mengikuti kemana pun mereka berkegiatan. Mereka juga yang meng hu -bungkan saya dengan jamaah dan kolega mereka untuk wawan-cara tambahan.

Wawancara dengan para ulama perempuan ini bisa sayalakukan di tengah-tengah makan bersama, saat dalam perja la n -an menuju satu kegiatan, saat pagi, siang, atau malam, menye-suaikan waktu luang mereka, di ruang tamu, ruang kelas, ataudi kamar tempat saya menginap. Bahkan ada yang sampai keti -duran di ruang tamu padahal wawancara belum selesai. Kalausaja saya laki-laki, sepertinya tidak akan bisa semudah itu. Bisajadi akan muncul fitnah karena tinggal di rumah mereka danmenyertai kegiatan mereka dalam satu mobil seperti yang sayalakukan. Apalagi salah satu narasumber saya adalah seorangIbu Nyai single fighter.

Kehadiran Ara juga tidak menjadi hambatan selama di la -pangan. Para narasumber malah berempati dan peduli, mung -kin karena hampir semua responden saya adalah perempuan.Sama-sama punya pengalaman bagaimana repotnya mengasuhanak sambil bekerja. Ada teman yang berseloroh, “Jangan- jangan Mbak Isma bawa Ara ke mana-mana untuk memulus -kan jalannya penelitian ya?” Seperti strategi pengemis begitu,biar yang melihat merasa iba dan lalu memberikan pertolong -an. Saya tertawa. “Ngawur kamu!” balas saya guyon.

Kemudahan yang lain adalah karena memiliki jaringanalumni Pesantren Tambakberas, tempat saya menimba ilmu se -

Page 105: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

61

telah saya menyelesaikan pendidikan dasar. Mereka adalah se -ni or, yunior, atau teman satu angkatan di pesantren atau seko-lah. Ada yang dengan sukarela menjemput dan mengantar daridan ke stasiun, mengizinkan tinggal di rumah mereka selamafieldwork, atau membantu menjaga Ara. “Sudah Mbak, Ara di -ting gal aja di rumah. Sampeyan biar bisa ikut acara. Nanti agaksiangan tak anterin ke pondok,” kata Eni, yang suaminya adalahteman seangkatan saya di Muallimin Muallimat Atas BahrulUlum Jombang.

Ada senior saya, Yu Lia namanya, yang begitu baiknyamembuat fieldwork di Cirebon menjadi mudah. Dia adalah adikdari Ibu Nyai Masriyah Amva, pengasuh pesantren Jambu,tempat diselenggarakannya Kongres Ulama Perempuan Indo -nesia (KUPI) 2017. Setiap kali ke Cirebon, Yu Lia selalu siapmengantarkan saya dengan mobilnya menemui para narasum-ber yang masih keluarganya. “Iki kanca sekamar biyen ning Fathi -miyah sih (Ini teman sekamar waktu dulu di Fathimiyyah),”begitu dia memperkenalkan saya kepada mereka. Dengan logatCirebonan yang kental Yu Lia membantu me yakinkan paranarasumber saya sehingga proses membangun kepercayaanmereka menjadi lebih mudah.

Pengalaman Khas “Perempuan”

Selama fieldwork tentu banyak kejadian yang lucu, menyentuh,bahkan membuat sebal dan marah. Apalagi fieldwork-nya ber -sama Ara dan membahas topik tentang ulama perempuan.Semuanya khas perempuan. Misalnya, waktu itu saya sedangmelakukan wawancara dengan Kang Wawan, kepala (mudir)Ma’had Aly Hikamus Salafiyah, Babakan, Cirebon. Untuk se -mentara Ara diajak main oleh asisten saya, Zifa. Namun taklama kemudian Ara terdengar mulai merengek-rengek. Sayapun memanggil Zifa dan mengambil alih Ara dari tangannya.

KETIKA PEREMPUAN MENELITI PEREMPUAN

Page 106: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

62 CATATAN DARI LAPANGAN

Dia memang sudah mengantuk dan minta ASI. Cuma masa -lahnya, bagaimana caranya menyusui sambil melakukanwawancara?

Sambil Kang Wawan meneruskan penjelasannya, saya ber -pindah posisi. Semula saya berhadapan dengan Kang Wawan,lalu berpindah duduk di kursi yang agak tersembunyi di sam -ping tiang tembok di ruang tamu. “Maaf ya Kang, saya pindahke sini,” jelas saya. Kang Wawan yang duduk di seberang sayatetapi agak ke sebelah kanan dan terhalang oleh pilar hanyamengangguk. Wawancara pun terus berlanjut sambil menyusuisecara sembunyi-sembunyi sampai Ara benar-benar terlelap.

Pernah juga waktu mewawancarai Kiai Husein Muham -mad di ISIF Cirebon. Kami duduk berhadapan di sofa berben-tuk L. Sambil ngobrol, saya memangku Ara dan menga lih kanperhatiannya dengan mainan tangan. Awalnya Ara ma sih bisasaya kendalikan. Namun lama-lama dia mulai mere ngek-rengek karena ngantuk. Saya pun berpikir bagaimana ca ranyauntuk menyusui. Saya tidak menemukan tiang untuk ber sem -bunyi. Di ruangan itu hanya ada almari, tapi lucu juga ka lausaya melakukan wawancara dari balik almari. Malah miripacara tebak tokoh di televisi. Saya pun berdiri dari sofa, melan-jutkan wawancara sambil menepuk-nepuk dan mengayun-ayunAra hingga akhirnya tertidur pulas.

Selain bertemu dengan para ulama perempuan, saya jugamewancarai ulama laki-laki selama pengumpulan data. Tidakhanya mereka yang sudah “melek” gender seperti Kiai HuseinMuhammad, ada dari mereka yang ternyata masih memilikipandangan diskriminatif terhadap perempuan. Berbincang de -ngan para narasumber jenis ini tentu saja membuat isi hati te -rasa mendidih. Namun saya tidak bisa juga kemudian memban-tah dan mendebat mereka. Di sinilah tantangannya, sepertikata seorang teman, menjadi peneliti itu menjadi pendengaryang baik dan innocent.

Page 107: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

63

“Ketika kita sudah masuk di ushul fiqh yang pakai pena -laran, biasanya perempuan sudah ndak nutut (tidak sampai).Maka dari itu kenapa seorang qadhi nggak boleh perempuan,hakim itu nggak boleh perempuan, harus laki-laki,” begitu kali-mat salah satu responden, seorang kiai muda dari sebuah pe -santren di Jawa Timur. Saya yang duduk di hadapannya ha nyabisa melongo, mendengarkan, sambil mencari clue untuk per-tanyaan selanjutnya. “Kenapa kok bisa beda kemampuan nalar -nya gitu, Gus?” tanya saya. Jawabnya, “Ya sunnatullah kalauitu, Mbak. Karena faktornya ya, mohon maaf, perempu an kanpas datang bulan atau menstruasi itu kan PMS sehingga ndakbisa mengendalikan emosi dan sebagainya.”

Pernah juga seorang kiai karismatik di Cirebon hanyabersedia menemui saya selama lima menit saja. Padahal, waktuitu saya sudah ditemani oleh keponakannya dan teman sayayang memiliki kedekatan dengan keluarga sang kiai. “Saya ti -dak mau berkomentar tentang kongres [Kongres Ulama Perem -puan Indonesia] itu,” ucapnya. “Kengeng nopo, Kiai (Kenapa,Kiai)?” kejar saya. “Loh, kalau saya jawab jadinya saya berko-mentar dong.” Saya tersenyum kecut. Suasana hening, bebera-pa saat. “Apa itu ulama perempuan? Ulama kok ngaku-ngaku!”lanjutnya. Saya merasa tersulut. Rasanya ingin juga menimpali,“Lha meniko enten Munas Alim Ulama, Halaqah Ulama, nopomboten ngaku-ngaku ulama, Kiai (Lha itu, ada Munas Alim Ula -ma, Halaqah Ulama, apa tidak mengaku-aku ulama, Kiai)?”

Namun lagi-lagi sebagai peneliti saya tidak boleh terbawaperasaan. Meskipun dalam beberapa kejadian, saya terbawaperasaan juga. Saya menangis, tentu saja diam-diam, ketikamendapati pengalaman hidup responden sebagai ulama perem-puan yang tinggal di lingkungan masyarakat Muslim yang ma -sih patriarkis. Sebesar apa pun usaha mereka, secemerlang apa pun prestasi mereka, semua itu tidak dianggap sebagai keberha -silan seorang perempuan. Tetapi, lebih karena warisan dan

KETIKA PEREMPUAN MENELITI PEREMPUAN

Page 108: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

64 CATATAN DARI LAPANGAN

nama besar kiai sepuh. “Menurutku, dia sudah gagal dalamperjuangannya sebagai ulama perempuan, karena tidak bisamempertahankan rumah tangganya,” kira-kira beginilah tang-gapan sinis yang saya dapat dari responden yang lain.

Untuk menutup catatan ini, saya teringat salah satu dosensaya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia memberikan sayarekomendasi untuk mendaftar beasiswa S2 pada Ford Found -ation pada 2009. Ketika saya berhasil diterima dan memberi-tahu dosen saya itu tentang kondisi saya yang baru saja mela -hirkan, dia menulis pesan singkat, “Perempuan memang harusselalu bekerja lebih keras dan extraordinary dari laki-laki untukmendapatkan hal yang sama yang didapatkan oleh laki-laki.”Dan sepanjang fieldwork yang saya lakukan, pengalaman- pengalaman saya membenarkan pesan dosen saya tersebut.

Page 109: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

D i tahun pertama kuliah doktoral saya pada 2016, sayabeberapa kali mengadakan bimbingan dengan pembim -

bing kedua saya, Prof. Nico Kaptein, dan justru tidak pernahde ngan pembimbing pertama saya, Prof. Léon Buskens. Sayaakhirnya menyam pai kan masalah ini kepada Pak Nico. Keduapembimbing saya tersebut lalu bertemu dan memutuskan bah -wa Léon Buskens mengundurkan diri. Dalam e-mailnya Bus -kens mengatakan bahwa dia sangat sibuk dan khawatir ti dakbisa membimbing saya. Dia juga meng undurkan diri sebagaipembimbing kawan sekantor saya, Nor Ismah. Saya kemudianmenghubungi Prof. Gerard Persoon dari Faculty of Social andBehavioural Sciences, Leiden University, meminta dia menjadipembimbing saya bersama Pak Nico. Saya menghu bungi diakarena dia pernah menulis makalah tentang masya rakat yangsaya pelajari dan menjadikannya topik penelitian disertasinya.Persoon me nyatakan ber sedia menjadi pembimbing saya.

Baduy Muslim dan Baduy Kristen

Untuk keperluan penulisan disertasi, saya menulis tentang orang-

Rencana, Kejutan, dan Hal-halyang Tidak Diduga dariPenelitian Lapangan

ADE JAYA SURYANI

Page 110: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

66 CATATAN DARI LAPANGAN

orang Baduy yang masuk Islam dan Kristen. Baduy ada lah ma -syarakat Sunda yang mendiami daerah pegunungan di desaKanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.Dalam kosmologi mereka, mereka meyakini bahwa pa da mula -nya dunia ini adalah benda cair, kemudian mengeras dan men-jadi bumi. Bagian pertama dari bumi yang mengeras, menurutkepercayaan mereka, adalah tanah adat mereka. Seca ra sosio-geografis, masyarakat Baduy terbagi dua, yaitu Baduy Dalamdan Baduy Luar. Baduy Dalam menempati tiga kampung:Cikertawana, Cibeo, dan Cikeusik. Masing-ma sing kampungini memiliki kepala suku (puun), meski begitu puun Cikeu sikmenjadi pemimpin utama bagi seluruh masyarakat Baduy.Berbeda dengan Ba duy Dalam, Baduy Luar tinggal di banyakperkampungan di tanah adat mereka. Yang membeda kan duakelompok Baduy ini, jika disederhanakan, adalah ting kat ke -patuhan terhadap agama mereka. Orang-orang Baduy Dalammenjalankan atur an-aturan agama mereka secara ketat, sedang -kan orang-orang Baduy Luar lebih longgar.

Masyarakat Baduy menganut agama Slam Sunda Wiwitanatau lebih dikenal dengan Sunda Wiwitan saja. Agama merekadisebut Slam karena memiliki pengaruh Islam. Mereka bersya-hadat dan menggunakan syahadat untuk berbagai keperluan,terutama untuk menikah. Orang-orang Baduy Luar menikah dihadapan seorang penghulu (amil) Muslim di kampung CicakalGirang. Kampung ini adalah satu-satunya kampung Muslim ditanah adat. Kelompok Muslim meyakini bahwa kampung initelah ada sejak zaman kesultanan Banten. Amil pada masanyadiyakini sebagai agamawan yang diutus sultan untuk meng -islamkan masyarakat Baduy atau untuk menjaga perjanjian an -tara dua kelompok ini. Lebih jauh, masyarakat Baduy meyakinibahwa Adam adalah nabi mereka. Mereka juga percaya bah waNabi Muhammad pernah bertemu dengan leluhur mereka danmenitipkan pesan bahwa jika ada Muslim yang mengalami ke -

Page 111: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

67

sulitan datang kepada mereka, mereka harus menolongnya.Tempat paling suci dalam agama Sunda Wiwitan adalah

Sasaka Domas yang berjarak sekitar 4 jam jalan kaki dari Ci -keusik ke hulu Sungai Ciujung. Tempat ini hanya dikunjungisetahun sekali oleh orang-orang tertentu dari masyarakat Ba -duy. Hanya ada sedikit sumber yang men deskripsikan bagaima -na Sasaka Domas ini. Saya memperoleh ketera ng an tentanggambaran lokasi ini dari seorang Baduy Muslim yang su dahtiga kali ke sana saat dia masih menganut Sunda Wiwitan. Diadi antaranya menyebutkan bahwa di sana ada batu-batu berben-tuk perkakas dapur. Juga ada sebuah gua yang diyakini olehorang-orang Baduy bahwa jika adzan dikumandangkan diMekkah, mereka dapat mendengar suara adzan dari gua ini.

Banyak dari orang-orang Baduy ini telah masuk Islam. Se -jak awal 1980an sudah hampir seribu orang Baduy ma suk Islamdan sekitar seratusan masuk Kristen. Namun begitu, ba nyakjuga orang-orang Baduy yang sudah masuk Islam dan Kristenkembali menganut Sunda Wiwitan. Saya mempelajari orang-orang Baduy yang masuk Islam dan Kristen ini. Mereka pindahagama karena dipengaruhi oleh cara mereka mendefinisikantanah adat mereka, yaitu bahwa tanah adat ha nya boleh di -diami oleh penganut Sunda Wiwitan. Artinya, orang non-Sunda Wiwitan tidak boleh tinggal di sana, termasuk orangBaduy yang sudah pindah agama. Aturan ini juga menuntutagar orang-orang Baduy tinggal di tanah adat. Per soalan mun -cul ketika jumlah penduduk bertambah, sementara tanah adattetap. Luas tanah adat Baduy adalah 5.101 hektar. Sekitar sete -ngah dari luas tanah ini diperuntukkan untuk hutan lindung.Setengahnya lagi untuk pemukiman dan perkebunan bagi selu-ruh masyarakat yang pada 2010 berjumlah 11.172 orang.

Untuk memperoleh akses ke tanah garapan banyak diantara mereka yang mengelola tanah-tanah di luar tanah adat.Ketika hidup di luar, perlahan mereka mulai meng adopsi cara

RENCANA, KEJUTAN, HAL TIDAK DIDUGA

Page 112: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

68 CATATAN DARI LAPANGAN

hidup non-Baduy yang sebetulnya tabu, seperti me miliki ba -rang elektronik dan memakai kaos. Di lain pihak adat tidak me -nerima keadaan ini yang diistilahkan oleh orang-orang Baduysebagai malang di tengah lawang (terbentang di tengah pintu).Perumpamaan ini berarti bahwa orang-orang Baduy yang diluar itu tidak memiliki identitas yang jelas: mereka orang Baduyyang menurut adat harus menjauhi modernitas, tetapi padapraktiknya malah menggunakannya. Pihak adat memberi duapilihan: kembali ke tanah Baduy atau ting galkan agama Baduy.Pilihan ini menempatkan mereka pada posisi dilematis. Kem -bali ke tanah adat berarti harus berhadap an dengan persoalantanah dan aturan agama yang ketat. Di hadapkan pada kesulit -an ini, pindah agama seringkali menjadi pilihan yang palingrealistis.

Individu Baduy sebetulnya telah ada yang masuk Islam se -jak abad ke-17 dan masuk Kristen pada akhir abad ke-19. Pe -merintah Indonesia sendiri bahkan mendorong para penganutagama-aga ma yang diakui untuk mengajak orang-orang Baduydan penganut agama lokal lain masuk ke “pandang an-pan -dangan monoteistik”. Ini bahkan menjadi agen da negara lewatprogram pemukiman masyarakat terasing era 1970an dan 1980 -an. Para pendakwah dan misionaris telah berhasil me mindah -kan orang-orang Baduy ke Islam dan Kristen dalam jumlahbanyak. Lebih jauh, dengan mengeksploitasi politik ke agamaandi Indonesia, Muslim dan Kristen yang terlibat dalam upayameng-agama-kan orang Baduy beberapa kali terlibat konflikdan pernah berakhir dengan kekerasan.

Penelitian Lapangan: Rencana dan Kejutan

Untuk melakukan penelitian ini, tidak ada cara lain selain ha -rus turun ke lapangan. Pertanyaan pertama sebelum peneliti anlapangan adalah: apakah keluarga saya akan ikut ke Indo nesia

Page 113: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

69

atau tetap di Belanda? Dengan alasan besarnya ongkos, duaanak yang sedang sekolah, dan tidak ada kegiatan bagus selamasaya penelitian lapangan, saya dan istri menyepakati bahwasaya akan berangkat sendiri dan keluarga tetap di Belan da. Sayaberangkat pada 28 Februari 2017 untuk memulai pe nelitianlapangan. Saya istirahat hampir satu minggu di rumah saya diSerang, Banten, lalu berkeliling menemui keluarga. Baru akhirminggu ketiga saya benar-benar memulai penelitian lapangan.

Saya mulai mewawancarai informan-informan yang ting-gal di kota. Secara umum saya berhasil mewawancarai mereka,tetapi ada satu informan penting yang sulit saya temui. Sayaberkali-kali mengirim pesan WhatsApp meminta bertemu de -ngannya, tetapi hanya satu atau dua pesan saja yang dibalas-nya. Sampai saya kembali ke Belanda saya tidak bisa mene-muinya. Padahal dia adalah kolega saya di kampus. Untuk ber -temu dengan seorang informan pernah saya harus menunggudia setengah hari di kantornya. Karena saya butuh dia, sayamelakukannya.

Setelah informan di kota selesai saya temui, saya mulai kelokasi utama, yaitu Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Le -bak. Jarak dari rumah saya di Serang ke lokasi sekitar 80 kilo-meter. Kampung pertama yang saya kunjungi adalah Cica kalGirang. Ini adalah satu-satunya kampung Muslim di tanahadat. Saya tidak tahu jalan ke sana. Adik saya yang pernah kesana mengantar saya juga tidak ingat jalannya. Di sepanjangperjalanan dengan motor kami berkali-kali bertanya ke orang dipinggir jalan. Kami masuk ke perkebunan dan hutan. Jalan se -tapak sempit dan berlumpur. Kemudian di tengah perkebunanwarga, di tengah hutan, kami berhenti. Sempat terpikir untukmeninggalkan motor di sana dan meneruskan de ngan berjalankaki. Ketika melihat jurang di samping jalan, saya membayang -kan saya terpeleset dan motor jatuh ke jurang. Jika itu terjadi,saya hampir tidak mungkin bisa mengambilnya lagi.

RENCANA, KEJUTAN, HAL TIDAK DIDUGA

Page 114: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

70 CATATAN DARI LAPANGAN

Kami berpikir apakah kami sanggup membawa motor me -naiki bukit terjal yang bersisian dengan jurang itu. Tanjakan initerlalu curam dan berbahaya. Tidak lama kemudian datang se -orang pengendara motor memboncengkan seorang pe rempuan.Dan dengan santai mereka menaiki bukit itu. Saya kemudianmemberanikan diri membawa motor hingga ke puncak bukit.Setelah melewati tanjakan itu, untuk menenangkan rasa takut,saya berbaring di pinggir jalan cukup lama. Dari sana kamikemudian menuruni tanjakan hingga sampai ke kampung yangkami tuju, Cicakal Girang. Di kampung itu kami menginap dirumah dai Muhammadiyah, yaitu Bapak Hidayat dan Ibu AiDewi. Oleh Bu Ai Dewi saya diantar bertemu dengan amil yangkepadanya orang-orang Baduy membaca syahadat sebelum me -nikah. Saya juga diantar menemui ketua kampung itu.

Saya menjumpai kondisi jalan serupa ketika mewa wan -carai Ustadz Kasja di Kampung Kompol. Dia adalah orangBaduy yang masuk Islam. Pada awal 1980an keluarganya ikutprogram pemukiman Departemen Sosial. Ini adalah prog ramnasional Departemen Sosial yang bertujuan mere lo ka si ma -syarakat terasing di Indonesia ke daerah pemukiman. Dua diantara tujuan program ini adalah untuk memajukan ekonomimereka dan memindahkan mereka dari agama lokal ke “pan-dangan-pandangan monoteistik”. Kasja yang saat itu anak be -lasan tahun ikut orangtuanya mukim di Cipangembar. Lalu diabersama delapan anak Baduy lain ikut mahasiswa pecinta alamke Bandung. Anak-anak Baduy ini disekolahkan ke berbagaidaerah di Jawa Barat. Setelah selesai kuliah, Kasja pulang danmenjadi dai di bawah organisasi Muhammadiyah. Jarak darijalan utama ke rumahnya di Kompol sekitar 500 meter. Jalan -nya cukup lebar, tapi sepenuhnya masih jalan tanah yang ber -lumpur. Saya beberapa kali jatuh dari motor di jalan itu.

Selama di lapangan saya juga mengalami beberapa hal diluar perkiraan dan saya merasa beruntung karenanya. Di anta -

Page 115: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

71

ranya adalah pertemuan saya dengan seorang Baduy Muslimpengikut Jamaah Tablig. Peristiwa ini terjadi ketika saya mene-mui Kiyai Zainuddin yang, katanya, telah mengislamkan ratus -an orang Baduy. Pertengahan 1980an Kiyai Zainuddin adalahdai Muhammadiyah. Tetapi kemudian dia keluar dari Mu -hammadiyah dan mendirikan pesantren Sultan Hasanuddin. Disamping pesantren ini terdapat kampung pemukiman Baduyyang didanani dari hasil iuran BUMN, ter utama PT. KrakatauSteel, Cilegon. Saya memutuskan tidur di rumah seorang Ba -duy Muslim di sana yang sudah saya kenal sebelumnya. Tadi -nya saya mau tidur di rumah yang pernah saya inapi, tetapimalam itu saya memutuskan untuk tidur di rumah yang lain.Selama berjam-jam saya mengobrol dengannya. Ternyata diadulu tinggal di pemukiman Baduy di Cipangembar. Dia tahubanyak tentang pemukiman dan proses Islamisasi dan Kristeni -sasi di sana. Karena cukup luasnya jaringan yang dia miliki,saya akhirnya meminta dia menemani saya selama penelitian.

Hal-hal yang Tidak Terduga

Selain itu, saya juga mengalami peristiwa yang kurang ba gus.Saya berusaha menemui sebuah keluarga Baduy yang ma sukKristen. Setelah bertahun-tahun menjadi pemeluk Kristen diadan keluarganya masuk Islam. Saya ingin bertemu denganmereka, tetapi dia menolak diwawancari. Saya pernah berusahamenemuinya lewat adiknya yang menjadi tokoh agama di kam-pung itu, tetapi saya tidak berhasil karena adiknya itu pergi kelain kota. Saya sendiri sudah dapat sedikit informasi tentang diadari adiknya ini, tetapi saya kurang puas. Saya ingin mendengarlangsung dari dia. Saya berharap di penelitian lapangan keduasaya bisa mewawancarainya dan tetap tidak berhasil.

Peristiwa lain bahkan membuat saya marah. Di sebuahpertemuan di rumah seorang Jamaah Tablig, pada bulan puasa,

RENCANA, KEJUTAN, HAL TIDAK DIDUGA

Page 116: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

72 CATATAN DARI LAPANGAN

saya bertemu dengan beberapa kelompok Muslim. Pertemuansaat itu untuk mendistribusikan bahan makanan untuk BaduyMuslim di beberapa kampung. Sekitar satu atau dua minggu ke -mudian seseorang, sebut saja Imron, menghubungi saya. Imronmeminta saya mempertemukan dia dengan beberapa tokoh Ba -duy Muslim. Dia bilang dia dapat dana untuk mereka. TernyataImron adalah satu dari beberapa orang yang hadir di pertemuantersebut. Lalu saya bawa dia bertemu dengan beberapa tokohBaduy Muslim, di antaranya, sebut saja, Hasan. Hasan mence -ritakan dengan marah tentang keributan di kelompok Whats -App yang disebabkan oleh beredarnya seruan mengumpulkanuang untuk Baduy Muslim. Dia bilang bahwa dia sudah ber -tahun-tahun menjaga hubungan baik antara orang-orang Baduydan Baduy Muslim, lalu tiba-tiba ada orang tidak dikenal yangsecara provokatif melakukan pengumpulan dana untuk BaduyMuslim. Pesan WhatsApp itu mengatakan bahwa orang-orangBaduy yang masuk Islam diusir oleh orang-orang Baduy. Kata“diusir” ini membuat orang-orang, termasuk saya, marah.Tiba-tiba orang yang saya antar, Imron, mengaku bahwa dialahyang menulis pesan WhatsApp itu.

Sekitar satu minggu kemudian seorang teman di Facebookmengunggah sebuah surat yang dikeluarkan oleh Kepala Desa(jaro pamarentah) Baduy yang membantah bahwa mereka telahmengusir orang-orang Baduy yang masuk Islam. Kemudiansaya juga memperoleh teks ajakan mengumpulkan uang untukorang-orang Baduy Muslim. Di dalam teks itu terdapat daftarpenyumbang dan jumlah uang yang sudah disumbangkan. Sayabenar-benar merasa marah ke dia. Langsung saja saya mengi -rim banyak pesan WhatsApp. Saya sampaikan bahwa saya ma -rah. Saya su dah bertahun-tahun membaca buku-buku tentangBaduy. Saya punya rekaman wawancara berjam-jam denganberbagai orang, tetapi saya tidak pernah menulis status di Face -book tentang Baduy. Dia baru sekali datang ke perkampungan

Page 117: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

73

Baduy dan baru dengar dari orang tentang Baduy sudah ber -koar-koar se olah-olah paling tahu. Lebih jauh, himbauan pe -ngumpulan dana yang dia tulis benar-benar telah memuncul -kan ketegangan di masyarakat. Belakangan saya mengerti me -ngapa dia meng hu bungi saya dan meminta saya menghubung -kan dia dengan tokoh-tokoh Baduy Muslim. Tidak lain karenasetelah dia memperoleh uang cukup banyak dari sumbangan,dia tidak tahu harus ke mana uang itu diserahkan.

Selanjutnya, di tengah masa penelitian lapangan saya, sayamendapat pesan dari istri saya agar pulang lebih cepat. Menu -rut rencana, saya akan penelitian lapangan selama 5 bulan 11hari. Istri saya beralasan bahwa musim panas akan segera habisdan itu artinya anak-anak kami, Maryam dan Umar, segeramasuk se kolah. Jika hari libur sudah habis dan anak-anak su -dah masuk sekolah itu berarti kami tidak berlibur. Maka sayaputuskan un tuk memotong 11 hari itu. Jadi saya genap peneliti -an lapangan selama 5 bulan. Dalam sisa waktu itu, saya kem-bali ke lapang an dengan tujuan menemui orang-orang Baduyyang masuk Kristen. Sebelum menemui mereka, saya menemuiterlebih da hulu beberapa informan yang terlewat. Hal tidak ter-duga ke mudian terjadi. Saya sakit. Saya bertahan di lapangan,tidak pu lang. Sakit saya tidak juga sembuh dalam dua hari.Saya kemudian memutuskan pulang ke ru mah di Serang. Lalusaya tidak punya waktu untuk kembali ke lapangan. Padahaldari wawancara-wawancara terakhir saya memiliki nama-namainforman baru. Akhirnya, beberapa hari tersisa saya gunakanuntuk me ngepak barang-barang.

Dari penelitian lapangan itu saya melihat bahwa 70 persenyang terjadi di lapangan sesuai dengan rencana, sedangkan 15persennya adalah kejutan dan 15 persen lainnya adalah hal-halyang tidak diinginkan. Dari penelitian lapangan ini saya belajarbahwa pindah agama itu bukan semata-mata hidayah sebagai -mana pengakuan mereka yang pindah agama. Saya melihat

RENCANA, KEJUTAN, HAL TIDAK DIDUGA

Page 118: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

74 CATATAN DARI LAPANGAN

perpin dahan agama orang-orang Baduy ke Islam atau Kristenitu se buah proses sosial yang kompleks, yang terkait dengankonteks lokal seperti sejarah, sosial, geografi, agama, danetnisitas; dan konteks yang lebih luas yaitu ajaran agama Islamdan Kristen, politik keagamaan dan kebijakan pembangunan diIndonesia. Saya juga me nyaksikan dampak dari sikap negarayang diskriminatif terhadap peng anut agama lokal, yaitu bah -wa mereka menjadi target Islam isasi dan Kristenisasi. Jugakonflik yang berakhir de ngan keke rasan antara Muslim danKristen adalah manifestasi dari politik keagamaan yang diskri -minatif ini.

Page 119: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

S aat menulis catatan ini, saya sedang berada di penghujungtahun kedua studi doktoral saya di Universitas Leiden.

Tak terasa, hampir 24 bulan terlewati begitu cepat, dari episodepanjang tentang “menjadi mahasiswa doktoral.” Setidaknya,sependek pengetahuan saya, model kajian Islam yang didasar -kan pada data-data etnografis dan pendekatan antropologis,menjadi trademark yang khas. Bahwa kajian Islam tidak cukupdilakukan dengan mengkaji aspek normativitas yang tertuangdalam kitab suci, seperti yang umumnya dilaku kan oleh paraorientalis awal. Me reka sibuk mengkaji substansi teks secarakritis, tetapi melepas kannya dari konteks yang jauh lebih rumit.

Leiden dan Belanda secara umum, sejak awal abad ke-20,telah memberi nuansa baru. Kajian Islam dilakukan denganmelihat kompleksitas kehidupan masyarakat yang mempraktik -kannya dalam ruang lokalitas yang beragam. Islam tidak hanyadilihat sebagai seperangkat doktrin yang statis, tetapi sebagaisebuah pengamalan dan pengalaman dalam relasi dan struktursosial yang selalu bergerak. Kajian ini tidak mudah dilakukan.Tentu, pengetahuan tentang teks dan doktrin menjadi modal

Meneliti PerkawinanMuslim di Desa

MUHAMMAD LAT IF FAUZ I

Page 120: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

76 CATATAN DARI LAPANGAN

dasar yang tak bisa ditawar. Di samping itu, yang jauh lebihpenting, diperlukan daya kritisisme untuk menautkannya de -ngan perkembangan teori-teori sosial dan humaniora. Baran g -kali istilah yang lebih tepat untuk menyebut model ini adalahstudi masyarakat Muslim, “Islam as a social phenomenon.” Se -ketika meluaplah rindu saya kepada ISIM, lembaga studi yangberdiri di akhir 1990an, bermarkas di Rapenburg, Belanda.ISIM memiliki andil yang sangat besar dalam merawat dan me -ngembangkan pendekatan komparatif, lintas disiplin da lamstudi Islam.

Dalam konteks historis seperti ini, saya diliputi keraguanmendalam. Entahlah kapan perjalanan studi ini akan menemu -kan titik akhir. Yang pasti, setengah perjalanan telah terla lui.Dan, sisa dua tahun (dari total 48 bulan jatah beasiswa yangsaya terima) tiba-tiba berubah menjadi bayangan yang seram,menakutkan, penuh tanda tanya. Semakin kuat harapan danoptimisme dalam diri muncul, semakin deras juga kecemasandan kegelisahan yang melanda. The show must go on!

Catatan ini akan bercerita tentang krusialnya 12 bulan per-tama masa studi saya. Pada periode ini, pertanyaan praktis danteoretis, fokus dan batasan, serta konsep-konsep dasar yangakan digunakan dalam penelitian dirumuskan dalam sebuahproposal. Setelah itu, saya akan berbagi tentang periode 6 bulansaat melakukan pengumpulan data di lapangan.

Mengawali Perjalanan

Januari 2016 adalah momen ketika saya mengawali perja lanan.Jujur, menempuh program doktoral di Leiden sama se kali tidakterlintas dalam pikiran saya. Dari pertengahan 2013 sampai2015, saya menjadi bagian dalam struktur birokrasi kampus.Periode itu ternyata telah membentuk cara pandang pragmatissaya tentang riset dan pengembangan akademik. Proses berlalu

Page 121: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

77

begitu cepat. Awal 2015, Kementerian Agama membuka pen -daftaran program 5.000 doktor secara online. Awalnya sayahanya iseng mendaftar, tentu dengan segala keterbatasan doku-men, proposal penelitian ala kadarnya, tanpa LoA (Letter ofAcceptance). Di form “universitas tujuan,” secara asal saya isiUniversitas Leiden, tempat saya menempuh kuliah masteruntuk Islamic Studies pada 2007-2008.

Ternyata saya dipanggil untuk wawancara. Keajaiban.Saya masih ingat pada saat wawancara, Pak Arskal Salim danIbu Fatimah Husein melihat saya tidak serius. Proposal tidakkokoh, belum ada kontak dengan calon supervisor, apalagiLoA. Akhirnya beliau menantang saya “Oke Mas, Anda seriusatau tidak untuk ambil beasiswa ini?” Saya jelaskan kronologi -nya, dengan memberi keyakinan bahwa tekad saya bulat untukmengambil program tersebut. Pak Arskal melanjut kan, “Beginisaja, saya tulis catatan untuk penyelenggara beasiswa. Anda di -beri waktu satu bulan untuk melengkapi kekurangan. Minimalada surat kesanggupan profesor untuk membimbing. Nanti jikasudah dapat, segera konfirmasi ke penyelenggara. Tunjukkanbahwa Anda serius!”

Sepulang wawancara saya masih gamang. Mau diteruskanatau tidak. Akhirnya, saya putuskan untuk mengontak Prof.Léon Buskens di Universitas Leiden. Beliau adalah pembim -bing tesis saya. Tesis saya dulu tentang perkembangan dan per -debatan pu blik ihwal reformasi hukum keluarga Islam di Indo -nesia pasca runtuhnya rezim Soeharto. Meskipun riset untuktesis tidak di lakukan secara etnografis, model kajian Islam alaLeiden yang mengedepankan aspek lived practices cukup me -mengaruhi konstruksi nalar tesis tersebut. Pada 2012-2014, sayamenjadi bagian dari proyek Islam Research Programme (IRP)dalam kluster “Shari`a-based Laws in Indonesia: Women andChildren’s Positions in Legal Practice” bersama Dr. Euis Nur -laelawati dan Stijn van Huis. Prof. Buskens menjadi pembim -

MENELITI PERKAWINAN MUSLIM DI DESA

Page 122: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

78 CATATAN DARI LAPANGAN

bing di kluster itu. Pada 2016, kumpulan hasil penelitian ini di -terbit kan oleh Leiden University Press sebagai buku denganjudul Islam, Politics and Change: The Indonesian Experience after theFall of Suharto.

Akhirnya saya berkirim e-mail dan pada hari yang samamendapat balasan. “Saya senang kamu mau kembali ke Leiden.Tahun lalu saya ke UIN Yogya, kamu tidak muncul. Mana pro-posal penelitianmu?” Membaca jawaban itu, tekad saya menja-di bulat. Akhirnya, saya kirimkan proposal yang saat itu sudahsaya punya. Judulnya: “Islam, Law, and Divorce: Ideas andPractices of Ta‘lik Talak in Javanese Muslim Society.”

Tahun Pertama

Singkat cerita, sesampai di Leiden awal Januari 2016, sayamenemui beliau. Saat itu saya tidak sendiri, tetapi bersama AlFarabi yang baru saya kenal. Dia juga baru datang. Ternyatakita memiliki supervisor yang sama dengan tema penelitian se -bidang, hukum keluarga. Di pertemuan itu, saya menyodorkansebuah kerangka penelitian sebagaimana proposal awal yangsaya pakai untuk mendaftar. Setengah dari penelitian itu meng -kaji aspek historis, sisanya empiris.

Pertanyaan pertama yang terlontar dari Léon pada perte-muan itu adalah: Does it matter?Kelihatan sekali dia kurang sregdengan fokus dan pendekatan penelitian saya. Kemudian, sayamendapat wejangan: “Sekarang jangan membahas sejarah.Kamu masih muda, untuk apa? Nanti saja kalo sudah tua, saatkekuatan terbatas, kamu boleh menghabiskan waktu di perpus-takaan. Sekarang, pergilah ke masyarakat. Lihat apa yang me -reka kerjakan. Dengarkan yang mereka obrolkan. Lalu, tulis.”Hanya itu yang saya dapat, tidak ada pembahasan substansiproposal lebih detail. Sebenarnya, sudah sering dengar kalauproposal awal yang kita kirim hanya untuk formalitas. Tidak

Page 123: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

79

akan terpakai.Kemudian, untuk enam bulan pertama, kita dapat tugas

membuat paper yang isinya review kajian-kajian terdahulu se -putar penelitian hukum Islam di Indonesia. Saya dimintameng hu bungi Arfiansyah, mahasiswa bimbingannya juga, yangme mulai studi dua tahun lebih awal untuk mendapatkan infor-masi tentang pola bimbingan. Ada enam tema paper yang ha -rus ditulis: (1) Anthropology of Islamic law in Indonesia; (2) Historyand politics of (Islamic) law in Indonesia; (3) Adat law; (4) Islamicfamily law in Indonesia; (5) Anthropology of Islamic law in general;(6) Anthropology and sociology of law (legal pluralism). Setiap bulandijadwalkan bertemu supervisor saya untuk membahas satupaper. Dashyat! Praktiknya, saya baru bisa menyelesaikan 4paper. Ternyata telaah literatur dengan cara menuliskannya da -lam paper cukup efektif dan sangat bermanfaat untuk memba -ngun kerangka teori (ala Indonesia), di Belanda disebut konsepdalam proposal penelitian.

Dalam rentang waktu itu, saya disarankan untuk meng hu -bungi Dr. Adriaan Bedner, dosen di Van Vollenhoven Institute,Leiden Law School, untuk menjadi co-supervisor. Nama yangbelum saya kenal sebelumnya. Awal 2016, Pak Adriaan, begitusaya memanggilnya, dipromosikan KITLV sebagai profesorbidang hukum dan masyarakat di Indonesia. Pada Jumat, 13Oktober 2017, beliau menyampaikan orasi ilmiah untuk pengu -kuhan profesor. Akhirnya, saya menghubungi Pak Adriaanuntuk bertemu. Orangnya baik, reponsnya sangat positif. Dipertemuan kedua saya menanyakan apakah dia bersedia menja-di pembimbing pendamping saya. Begini jawaban yang sayadapat: “Maaf saya belum bisa menerima kamu sebagai maha-siswa secara resmi. Tetapi saya selalu siap untuk berdiskusi ten-tang penelitianmu.” Saya sampaikan hasil ini ke Léon. Diabilang “Mengapa dia begitu sulit? Oke, aku akan lakukan usahaterakhir untuk meyakinkannya. Tapi, kamu juga tetap berusa-

MENELITI PERKAWINAN MUSLIM DI DESA

Page 124: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

80 CATATAN DARI LAPANGAN

ha.” Dalam situasi begini, justru saya lebih intens bertemu de -ngan Pak Adriaan, karena Léon ternyata lebih sulit untuk dite-mui. Dia jarang ada di Leiden karena le bih sering berkantor diRabat. Karena spesialisasi kajiannya adalah tentang Maroko, dimana dia ditunjuk menjadi Direktur NIMAR, lembaga ben-tukan Be landa untuk studi tentang ma syarakat Maroko, yangpengelolaannya dilakukan oleh Universitas Leiden.

Setelah pertemuan kesekian, saya ingat waktu itu hari ter-akhir puasa Ramadhan 2016, Pak Adriaan bilang ke saya:“Fauzi, secara resmi kamu saya terima sebagai mahasiswa.”Saya terkejut. “Serius, Pak?” tanya saya. “Iya, tolong kasih tahuMargreet (koordinator mahasiswa Indonesia di fakultas) ten-tang ini ya.” Bagi saya, ini merupakan kado terindah pada mo -men malam Idul Fitri di Leiden yang begitu hampa dari suarapukul an bedug dan alunan takbir.

Menyiapkan Proposal

Proposal penelitian yang lama saya buang jauh-jauh. Saya ber -pikir keras untuk membuat yang baru, di mana studi etnografidengan sentuhan antropologi menjadi ciri utama. Proses yangbagi saya sama sekali tidak mudah. Beruntung, tugas membuatpaper review selama enam bulan pertama cukup membuka matasaya. Karya-karya penting John Bowen, Lawrence Rosen,Baudouin Dupret, Michael Peletz, dan Erin Stiles menjadi jen-dela untuk melihat pertanyaan dan konsep-konsep dasar dalammedan antropologi hukum (Islam).

Sejauh amatan saya, kajian antropologi hukum Islam be -rangkat dari satu asumsi dasar bahwa transformasi hukumIslam (syariah) menjadi hukum negara adalah proses (politik)yang terus berjalan. Di situ muncul sejumlah persoalan kom-pleks. Isunya tidak sekadar perubahan substansi hukum, tetapiperpindahan otoritas dari tradisional ke modern. Biasanya studi

Page 125: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

81

dilakukan dengan melihat sejauh mana interaksi antara hukumnegara, hukum Islam, dan norma lain (adat), baik pada levelkontestasi wacana (public debates), pembuatan hukum (law mak-ing), dan praktik hukum (legal practice), termasuk di dalamnyaalasan hukum (legal reasoning). Dalam ranah hukum keluarga,bidang yang saya tekuni, penyelesaian perceraian dan sengketakeluarga lainnya yang dilakukan di pengadilan agama menjadiobjek yang paling sering dikaji.

Belakangan, berkembang kecenderungan baru studi Islamdalam kerangka antropologi. Ada aspek yang lebih luas danpenting untuk dilihat, yaitu “(lived) everyday practice.” Aktivitasyang terjadi di ruang apa pun (masyarakat atau negara) meru-pakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari dinamika kesehari-an masyarakat. Kategori analisis ini menekankan pentingnyamelihat keragaman praktik secara lebih mendalam dan jernih,dan tidak serta merta menempatkan individu dalam kuasastruktur sosial. Memberi porsi yang besar untuk melihat ambi -valensi dan perubahan orientasi yang dimiliki masing-masingpribadi. Dengan kerangka ini, maka ada dua hal yang inginsaya lihat: (1) Bagaimana masyarakat mengonseptualisasikandan menyelenggarakan tindakan-tindakannya? Ini juga terkaitde ngan bagaimana norma-norma yang selama ini berkembangberhubungan dengan tindakan tersebut; dan (2) Bagaimana ne -gara menghadapi dinamika yang terjadi? Juga, bagaimana ma -syarakat menegosiasikan kepentingan mereka jika tidak co cokdengan kerangka negara?

Akhirnya, saya memutuskan untuk meneliti tentang perka -winan. Mengapa perkawinan? Karena perkawinan dalam Islammerupakan satu-satunya gerbang untuk meresmikan ikatan(lahir batin) antara laki-laki dan perempuan untuk kemudianmembentuk keluarga. Meskipun secara formal berbentuk upa -cara keagamaan (akad nikah), saya meyakini bahwa pasti adaide-ide yang bersumber dari berbagai norma (agama, adat,

MENELITI PERKAWINAN MUSLIM DI DESA

Page 126: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

82 CATATAN DARI LAPANGAN

negara, dan modernitas) yang saling berinteraksi. Inilah yangsaya tulis di proposal penelitian yang saya presentasikan padaNovember 2016 di KITLV.

Sebenarnya penelitian tentang perkawinan Muslim bisa di -lakukan di mana saja di Indonesia. Awalnya saya memilih Pu -lau Bawean karena mempertimbangkan keunikan budaya me -rantau dan tradisi matrilokal masyarakat di sana. Sebagai pem-bimbing pertama, Léon tidak mempersoalkan pilihan ini. Se -iring dengan disiplin antropologi, menurutnya, semakin unikma syarakat yang diteliti, penelitian semakin menantang danmenarik. Tetapi kemudian saya disarankan oleh Pak Adriaanuntuk berpikir ulang. Menurutnya, posisi Bawean terpencil dantidak mudah diakses. Bisa jadi proses sosial dan praktik hukumdi sana bersifat sangat kasuistik dan terlalu unik, sehingga sulituntuk dihubungkan dengan diskursus hukum dan masyarakatpada level yang lebih luas—nasional dan global.

Atas masukan Pak Adriaan, saya akhirnya memilih Pasu -ruan sebagai lokasi penelitian. Dengan sejumlah argumentasi,usulan saya diterima. Di wilayah ini, sebagaimana umumnyadaerah di sepanjang pantai utara Jawa, ortodoksi Islam mem-beri pengaruh sangat kuat. Kontestasi berlangsung cukup kuatantara negara dan otoritas keagamaan pada hal-hal tertentu,termasuk perkawinan. Ortodoksi Islam juga tampil sebagaiidentitas yang dimainkan dan efektif untuk membangun ke -kuatan politik. Selain itu, bagi orang Jawa Timur, daerah ini se -jak dua dekade terakhir dikenal dengan praktik nikah siri (da -lam pengertian perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkaw-inan bawah tangan). Ada seorang kyai kampung yang sayatemui, sampai menyebutnya dengan plesetan madinatul asror(kota siri), asror jamak dari sirr, yang artinya sembunyi/rahasia.Selama ini saya hanya mendengar bahwa Bangil, ibukota Ka -bupaten Pasuruan, terkenal dengan nikah kontrak (mut’ah).

Saya tidak mau terjebak pada fenomena nikah siri. Saya

Page 127: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

83

menempatkannya sebagai trigger untuk melihat diskursus danpraktik perkawinan Muslim dalam spektrum yang lebih luas.Misalnya, apa sumber pengetahuan yang dirujuk masyarakatdalam hal perkawinan? Bagaimana peran institusi tradisionalIslam (pesantren dan madrasah diniyah) dalam memproduksipengetahuan tentang fikih? Selain itu, sejauh mana institusinegara berperan dalam mengubah perilaku sosial dan apa peranpemimpin desa di dalamnya? Bagaimana posisi ulama (kyai),ustadz, produksi pengetahuan agama di pesantren, peranmodin sebagai intermediary, lembaga non-pemerintah, kelas so -sial, dsb? Berbekal kegelisahan dan sekumpulan pertanyaan ter-buka inilah, awal Januari 2017 saya terjun ke lapangan.

Melakukan Fieldwork, Menemukan Fokus Baru

Sekarang saya ingin berbagi cerita tentang bagaimana fieldworkyang pertama saya kerjakan. Penelitian ini adalah tentang: ba -gaimana masyarakat Muslim di pedesaan di Jawa Timur mela -kukan perkawinan Islam? Apa pandangan mereka tentang per -kawinan, bagaimana praktiknya, dan di mana posisi negara? Disini, ada beberapa aspek yang perlu ditekankan: masyarakatMuslim, perkawinan, dan negara. Selama melakukan kerja la -pangan, tiga kata kunci tersebut saya pegang erat-erat.

Meskipun terlahir di Sidoarjo, sekitar 30 km dari tempatpenelitian, saya belum pernah masuk wilayah tersebut. Sebe -lum ke lapangan, saya mengontak beberapa orang yang saya pi -kir bisa memberi informasi awal dan bersedia menjadi penghu -bung dengan masyarakat di sana. Saya mencari berbagai petun-juk yang bisa mendekatkan saya ke lapangan. Nikah siri menja-di kata kunci pertama. Saya akhirnya menghubungi seorangalumni UIN Sunan Ampel Surabaya, Umi, yang skripsinyamembahas alasan perempuan di daerah tersebut melakukan ni -kah siri. Tentu saja, saya juga menghu bungi beberapa orang

MENELITI PERKAWINAN MUSLIM DI DESA

Page 128: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

84 CATATAN DARI LAPANGAN

berbeda untuk kepentingan akses ke sumber data yang berbeda,misalnya akses ke KUA, pe san tren, dan kyai. Untuk tulisan ini,saya akan menceritakan yang pertama saja.

Saya minta tolong Umi untuk mengantar dan mengenal -kan saya kepada orang-orang yang dia temui saat penelitianskripsinya. Ketika sampai di lapangan, saya berkunjung ke ru -mahnya. Kebetulan, tidak jauh dari tempat penelitian saya,meskipun beda kecamatan. Saya bertemu dengan orang tuanyadan meminta izin untuk melibatkan putrinya da lam penelitiansaya. Umi bilang kalau dia dulu dibantu temannya, sebut sajaHindun, sesama alumni pesantren terkenal di Pasuruan tempatmereka dulu mondok. Keluarga Hindun ber saudara dengan ke -pala desa di wilayah itu. Dengan senang hati saya bersedia di -pertemukan dengan Hindun. Hindun dan sua minya menikahpada 2012 ketika dia berusia 18 tahun.

Umi mengantar saya bertamu ke rumah Hindun. Ditemanioleh suaminya, Hindun menerima saya dengan baik. Hindundan masyarakatnya berinteraksi dalam bahasa Madura. Namundia juga bisa berbahasa Jawa karena pernah nyantri di sebuahpesantren di Jawa. Suaminya hanya bisa berbahasa Maduradan Indonesia. Dengan logat Madura, Hindun berujar “saknikipun mboten wonten nikah siri, Pak. Niku riyen. Sakniki nggeh kantunsing sisa-sisane riyen, sing tanggungjawab [Sekarang sudah tidakada nikah siri [yang baru], Pak. Itu dulu. Sekarang ya tinggalkeluarga dari pernikahan siri yang suaminya bertanggung-jawab].” Mendapat jawaban ini, ihwal nikah siri pun saya sim-pan dulu.

Kecuali Umi yang masih lajang, karena selepas sekolahAliyah dia melanjutkan kuliah, hampir semua teman perempu -an seusianya di daerah itu sudah menikah. Dalam tradisi se -tempat, usia 19 tahun bagi perempuan dianggap terlalu matang(tua) untuk menikah. Mendapat jawaban Hindun di atas, sayamerasa makin tertarik karena berarti ada pergeseran dan dina -

Page 129: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

85

mika yang terjadi. Tetapi, saat itu, saya menjadi kurang tertarikmenggali informasi tentang keluarga nikah siri. Bukan berartidibatalkan, tetapi ditunda. Saya berpikir, bisa jadi proses yangdilalui Hindun dan perempuan lain di lingkungannya lebih me -narik untuk dilihat. Karena itu, saya bertanya tentang peng -alaman pribadi Hindun saat menikah. Hindun dan suaminyaberbagi pengalaman tersebut.

Ketika Hindun masih tinggal di pesantren, seorang tetang-ga datang menemui orang tuanya menanyakan apakah Hindunsudah punya calon suami. Jika belum, apakah keluarganyamengizinkan jika ada seorang lelaki ingin “melihatnya.” Te -tangga yang berperan menghubungkan pihak lelaki dengan ke -luarga Hindun itu disebut sebagai pelantar (perantara). Peranta -raan (brokerage) ini dilakukan secara suka rela dan saling per-caya. Saat itu orang tua Hindun mengizinkan, dan di kemudianhari saat Hindun pulang liburan Syawal, tetangganya mem-bawa seorang anak muda datang ke rumahnya. Hindun tidakdilibatkan dalam pembicaraan. Dia hanya diminta menyuguh -kan secangkir kopi dari dapur ke ruang tamu agar pihak laki-laki dan Hindun bisa saling melihat, meskipun sekilas. Hinduntidak langsung dinikahkan, tetapi diberi waktu sampai lulus.Selama masa penantian itu, si lelaki kadang di ajak orang tuaHindun ikut mengunjunginya (ngirim) di pesantren. Orang lokalmenyebut proses ini dengan anekdot ngredit (membayarangsuran).

Sejak awal, karena pengaruh tradisi Islam ala pesantren,Hindun meyakini bahwa jodoh merupakan takdir Tuhan, dansetiap pilihan yang dibuat orang tua pasti yang terbaik un tuk -nya. Saat berbicara dengan para orang tua, saya mendapati pen -tingnya argumentasi agama dan budaya yang mendasari aktivi-tas memilih jodoh tersebut. Seorang kiai yang saya temui kemu-dian mengungkapkan sebuah dalil yang menyatakan bahwa“jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai

MENELITI PERKAWINAN MUSLIM DI DESA

Page 130: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

86 CATATAN DARI LAPANGAN

agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, makaakan terjadi fitnah di muka bumi.” Norma agama ini telah ter-integrasi begitu kuat dalam keseharian mereka dan menjelmamenjadi tradisi lokal yang disebut sangkal (semacam karma jikamenolak jodoh).

Hampir semua proses pencarian pasangan di daerah itutidak lepas dari peran perantara. Keterlibatan perantara dalamproses ini menunjukkan bahwa perkawinan bukan hanya soalhubungan antara dua pasangan dan keluarganya, tetapi me -nyangkut relasi sosial yang lebih luas. Aspek lain yang menarikadalah peran orang tua dalam pemilihan jodoh dan persepsi pe -rempuan terhadap pilihan itu.

Pada fieldwork ini saya juga mendalami hal lain, yaitu ba -gaimana hubungan antara hukum negara dan norma sosialkeagamaan. Saya menguji hubungan tersebut dengan melihatpelaksanaan pencatatan perkawinan di KUA setempat. Selamabeberapa minggu, setiap hari saya hadir di KUA untuk mela -kukan observasi, melihat langsung, dan memahami proses pen-catatan perkawinan. KUA seperti rumah sendiri, bahkan sayakadang menginap di situ. Saya seringkali diajak untuk meng-hadiri pertemuan modin atau P3N (Pembantu Petugas PencatatNikah) yang diselenggarakan tiap bulan di rumah para modinsecara bergiliran. Dari pertemuan itu, saya menemukan isu-isustrategis tentang administrasi perkawinan, salah satunya adalahkeseragaman biaya pengurusan yang dikenakan kepada masya -rakat. Padahal sejak 2014, pemerintah telah memberlakukanbiaya 0 rupiah untuk akad nikah yang dilaksanakan di kantor.

Penutup

Dari pengalaman Hindun di atas saya belajar banyak hal, ter -utama perkawinan sebagai proses sosial, hukum, dan agama.Dari situ saya menemui “Hindun” yang lain pada kelompok

Page 131: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

87

usia yang sama, yaitu antara 15-19 tahun, saat mereka me la ku -kan perkawinan pertama. Saya akhirnya mewawancarai sekitar15 perempuan di satu RT (rukun tetangga). Sebagian besar me -reka menikah setelah 2010, sebagian lain menikah pada akhir1990an dan awal 2000an. Sengaja saya pilah begitu, agar dapatmelihat perubahan yang terjadi dalam 30 tahun terakhir.

Dengan pendekatan life story dan studi kasus, sebenarnyasaya tidak memiliki target untuk mewawancarai informan padajumlah tertentu. Yang saya tekankan adalah kedalaman dan ke -luasan informasi dari mereka dengan menghubungkannya de -ngan perbedaan kelas sosial, umur, tingkat pendidikan, dangender. Saya juga melihat bagaimana praktik perkawinan danperjodohan dalam kelas sosial yang berbeda.

Dalam riset antropologis seperti ini, seringkali seorang pe -neliti dikejutkan dengan fakta sosial baru di lapangan, yang takterbayangkan sebelumnya. Ketika akan berkunjung ke rumahHindun, saya sudah menyiapkan sederet pertanyaan seputar ni -kah siri. Yang saya dapatkan justru pernyataan bahwa nikah siritidak lagi populer. Saya menangkap kesan ada usaha untuk me -nutupi informasi itu bagi orang luar, karena stigma negatif se -ring mereka terima karena perkawinan itu. Dalam situasi ini,bisa saja saya tetap ngotot, memaksakan diri, mencari jawabanatas pertanyaan yang sudah disiapkan. Namun, saya berpikirme ngapa saya tidak membiarkan data secara alamiah mengalirdulu. Justru dengan cara ini spektrum penelitian akan menjadilebih luas. Bukankah melihat perubahan model serta ambiva -lensi interpretasi atas pemilihan jodoh pra perkawinan tidak ka -lah menarik? Toh, pada titik ini, setidaknya, saya sudah bisamenemukan sedikit jawaban terhadap pertanyaan: sejauh manaberbagai norma berinteraksi dan membentuk praktik perkawin -an di masyarakat?

Yang lebih penting lagi, ternyata dengan mendalami prosesperkawinan, perjodohan, dan brokerage sukarela pada pernikah -

MENELITI PERKAWINAN MUSLIM DI DESA

Page 132: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

88 CATATAN DARI LAPANGAN

an Hindun dan perempuan lain pada umumnya, saya menda -pat kan petunjuk tentang mengapa dan bagaimana nikah siri te -tap bertahan dan bahkan “melembaga” secara kuat di dalamkomunitas tersebut. Pada fieldwork berikutnya, aspek inilahyang akan saya dalami. Biasanya, nikah siri ini terjadi pada jan -da (cerai/mati). Tetapi, saya yakin praktiknya sangat variatif.Jadi, apa saja pola nikah siri? Siapa yang terlibat? Mengapadilakukan? Bagaimana kehidupan keluarga nikah siri? Bagai -mana legalisasi status anak yang terlahir? Sejauh mana inter-vensi negara diperlukan? Untuk menjawab pertanyaan terakhirini, berarti saya mulai merasa perlu memasukkan kantor keca-matan terkait penerbitan kartu keluarga dan kartu tanda pen-duduk (KTP), pengadilan agama karena menangani perkaraisbat nikah (pengesahan perkawinan bawah tangan) dan kantorcatatan sipil terkait penerbitan akte kelahiran.

Page 133: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

B ekerja di sektor hukum di sebuah negara yang tidak me -miliki kepastian hukum seperti Indonesia sering kali

menjadikan kita frustrasi. Hampir tiap hari selalu ada isu hu -kum yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat dandalam beberapa kesempatan isu yang sama selalu berulangpada kasus yang berbeda. Jawaban atas permasalahan ini punterkesan sangat normatif dan terkadang partisan. Rendahnyaminat melakukan penelitian serta kesibukan dosen yang terpak-sa menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mengurus ke -giatan administrasi di kampus tampaknya menjadi alasan ku -rang berkembangnya penelitian hukum di Indonesia.

Belum lagi dominasi penelitian hukum yang doktriner dantekstual yang secara ekstrem telah menjadi agama, di mana takjarang seorang profesor hukum “mengkafirkan” orang yangmelakukan penelitian empiris semacam sosio-legal, menja di -kan jurang antara praktik hukum dengan materi yang diajar kandi kampus semakin lebar. Tabunya melakukan pendekatan em -piris dalam melihat praktik penegakan hukum tampaknya me -rupakan dampak dari self-censorship warisan Orde Baru yang

Romantika Penelitian Etnografidi Lembaga Penegak Hukum

FACHRIZAL AFANDI

Page 134: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

90 CATATAN DARI LAPANGAN

membatasi kebebasan akademik untuk melakukan kritik terha -dap negara. Sependek pengetahuan saya, hanya sedikit aka de -misi hukum yang melakukan riset dengan menggunakan pen-dekatan sosio-legal. Disertasi Adnan Buyung Nasution tentangpembentukan konstitusi oleh konstituante dengan mengguna -kan pendekatan ini sempat dilarang beredar oleh pemerintahOrde Baru karena beberapa temuan risetnya dianggap meng-goyang kemapanan konsep negara dan konstitusi yang di pro -mosikan oleh rezim.

Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, keringnya hasilpenelitian tentang hukum pidana di Indonesia yang cenderungabstrak dan menisbikan masalah empiris dalam praktik pene-gakan hukum salah satunya disebabkan oleh kurangnya peneli -ti an empiris yang serius menyasar isu ini. Apalagi berdasarkanpengalaman saya sebagai advokat perkara pidana dan aktivislembaga bantuan hukum kampus, beberapa kasus hukum “dise -lesaikan” tidak berdasarkan fakta di lapangan tetapi dida sar kanpada penilaian dari “saksi ahli’ yang berasal dari akademisihukum yang cenderung memberikan pendapat mereka tanpa ri -set yang mendalam atau bahkan lebih parah lagi diberikan se -suai keinginan pemesan.

Awal mula saya berkenalan dengan studi sosio-legal adalahmelalui workshop yang diselenggarakan oleh kerjasama dua per-guruan tinggi Belanda (Universitas Leiden dan UniversitasGroningen) dengan dua universitas di Indonesia (UniversitasBrawijaya dan Universitas Indonesia) pada 2010. Workshopyang diselenggarakan di Malang inilah yang kemudian turutmengantarkan saya menjadi mahasiswa doktoral di Van Vollen -hoven Institute (VVI), Universitas Leiden Belanda. Hadir seba-gai pemateri workshop adalah Prof. Jan Michiel Otto, direkturVVI dan Prof. Adriaan Bedner yang saat ini menjadi supervisorsaya. Dalam kesempatan workshop ini saya bersama beberapaakademisi hukum lintas universitas melakukan inisiasi pemben-

Page 135: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

91

tukan asosiasi peneliti sosio-legal di Indonesia de ngan harapandapat mengembangkan dan mempromosikan studi ini di ka -langan akademisi hukum di Indonesia. Pada tahun yang sama,bersama beberapa dosen senior, kami menginisiasi terbentuk -nya Pusat Kajian Sosio-Legal di bawah Fakutas Hukum Uni -versitas Brawijaya dan menggelar beberapa pelatihan, workshop,serta penelitian dengan menggunakan pende ka tan multi danlintas disiplin.

Tiga tahun kemudian, setelah berdarah-darah memper -siapkan persyaratan studi dan penyusunan proposal, melaluiskema beasiswa Dikti-Leiden saya memulai studi doktoral diFakultas Hukum Universitas Leiden di bawah supervisi Prof.Jan Crijns (Guru Besar Hukum Acara Pidana) dan Prof.Adriaan Bedner (Guru Besar Hukum Indonesia) dengan fokusstudi tentang perspektif sosio-legal.

Romantika Studi di Tanah Rantau

Selain pengalaman saya yang minim akan atmosfer aka de mikdi luar Indonesia karena pendidikan strata satu dan master sayatempuh di dalam negeri, satu tantangan yang paling berat bagisaya saat tahun pertama memulai studi doktoral di Leidenadalah ketika harus meninggalkan keluarga. Skema Dikti yangwaktu itu tidak menanggung biaya keluarga tidak me mung kin -kan saya membawa keluarga hanya dengan mengandalkanuang beasiswa. Praktis di tahun pertama, selain harus melaku -kan perbaikan proposal dan persiapan riset, pikiran saya ter -kuras untuk mencari cara agar bisa membawa keluarga hidupbersama di Belanda. Akhirnya di tahun kedua saya berhasilmembawa keluarga hidup bersama di Leiden selama kuranglebih empat bulan sebelum akhirnya istri mendapat beasiswa -nya sendiri untuk studi Ph.D di Leiden sejak 2016 kemarin.

Selama hidup jauh dari keluarga, untuk menghindari keje -

ETNOGRAFI DI LEMBAGA PENEGAK HUKUM

Page 136: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

92 CATATAN DARI LAPANGAN

nu han dan stres yang cukup tinggi karena tuntutan studi, sayamengikuti beberapa pengajian yang diselenggarakan oleh ko -munitas Muslim di Belanda. Dari beberapa kali interaksi, sayamenemukan banyak permasalahan dan gesekan yang dialamioleh komunitas Muslim Indonesia saat berusaha memperta-hankan tradisi keagamaan mereka. Hal inilah yang kemudianmengantarkan saya bersama beberapa teman mendirikan ca -bang istimewa Nahdlatul Ulama di Belanda.

Kembali ke masalah studi, penelitian saya tentang diskresikejaksaan dalam perspektif sosio-legal merupakan hal yangbenar-benar baru bagi saya. Saya tidak pernah melakukan risetsebelumnya tentang kejaksaan dan bahkan tidak memiliki satuorang pun di kejaksaan yang bisa saya harapkan untuk mem-bantu saya. Itulah sebabnya ketika melakukan perbaikan pro-posal untuk kepentingan evaluasi sembilan bulanan, saya cukupkhawatir tidak mampu mengakses data/informasi dari ke jaksa -an yang dikenal sebagai instansi yang sangat tertutup dan susahdiakses. Beruntung, koleksi perpustakaan Leiden tentang hu -kum Indonesia yang luar biasa lengkap, jauh lebih lengkapbahkan jika dibandingkan dengan koleksi yang dimiliki olehperpustakaan fakultas hukum di seluruh Indonesia, sangatmembantu saya menyiapkan skenario terburuk jika saya tidakbisa mengakses data di Kejaksaan. Untuk menyiasati masalahakses, pada bulan ketiga atas izin supervisor saya memutuskanpulang ke Indonesia untuk melakukan penelitian pendahuluan(preliminary research) khusus di Kejaksaan Agung untuk menda-patkan kepastian akses masuk ke lingkungan kejaksaan. Darisini saya kemudian banyak mengubah proposal awal saya de -ngan menyesuaikan hasil yang saya dapatkan dari dari studipustaka dan riset pendahuluan.

Meskipun saya sudah mecoba mengantisipasi agar rencanadan durasi penelitian (time line) dapat sesuai dengan proposal,ternyata fakta berbicara lain. Jangka waktu penelitian lapangan

Page 137: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

93

saya molor hingga dua kali lipat dari yang saya rencanakan.Selain karena faktor kesulitan mendapatkan data, keluargamenjadi faktor yang paling berpengaruh. Kelahiran putri keduadan wafatnya adik kandung saya di saat hampir bersamaantelah membuat ritme kerja saya berubah yang pada akhirnyaberimbas pada molornya waktu yang dibutuhkan untuk peneli -tian lapangan.

Tantangan dan Dilema Penelitian Etnografi di Kejaksaan

Lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisianyang sejak Orde Baru telah terkooptasi dengan budaya danbirokrasi ala militer dikenal sulit ditembus dan pelit membe ri -kan informasi kepada pihak luar terutama kepada peneliti. Ber -untung sejak bergulirnya reformasi yang menjatuhkan rezimOrde Baru, beberapa informasi mulai dapat diakses oleh publik.Meski masih sulit, kejaksaan mulai sedikit terbuka dengan ke -hadiran peneliti dari luar. Hal ini tentunya saya sadari. Mem -butuhkan kesabaran dan ketelatenan yang kuat untuk terusmendekati mereka agar sedikit demi sedikit informasi yang sayadibutuhkan dapat diperoleh. Apalagi seperti yang telah sayasinggung sebelumnya, saya memulai penelitian ini dari nol ka -rena ketiadaan pengalaman penelitian sebelumnya tentang isukejaksaan ini dan minimnya jaringan (networking) yang memi -liki pemahaman tentang kejaksaan.

Kerja lapangan saya berbeda dengan rencana awal di pro-posal sembilan bulanan yang hanya mencantumkan durasi pe -nelitian selama maksimal delapan bulan. Jika dihitung secaratotal, kurang lebih saya membutuhkan waktu satu setengah ta -hun untuk melakukan penelitian lapangan. Mulai dari prelimi-nary research selama dua bulan pada awal 2014, penelitian la -pangan tahap 1 selama satu tahun pada 2015 dan penelitiantahap 2 selama empat bulan pada 2016 lalu. Meski sudah men-

ETNOGRAFI DI LEMBAGA PENEGAK HUKUM

Page 138: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

94 CATATAN DARI LAPANGAN

dapatkan beberapa akses di kejaksaan, saya masih membutuh -kan waktu lebih dari satu tahun untuk benar-benar memperolehdata yang dibutuhkan.

Saya melakukan preliminary research dengan mulai mela ku -kan pendekatan kepada teman-teman aktivis ornop yang me -nekuni isu tentang kejaksaan. Melalui me reka saya dapat me -nembus dan bertemu dengan salah satu petinggi di KejaksaanAgung yang nantinya banyak membantu dalam membukaakses saya di lembaga ini. Selain itu, jejaring alumni tempatsaya mengabdi ternyata juga cukup efektif da lam membantumendapatkan beberapa narasumber kunci yang memahami isuyang saya teliti.

Pendekatan secara struktural disertai dengan pendekatankultural dalam pengalaman saya cukup membantu untuk men-dapatkan akses daripada mengandalkan surat keterangan for-mal. Pada mulanya saya mengandalkan surat resmi dari Uni -versitas Leiden yang juga saya kuatkan dengan surat keterangandari Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tempat sayabekerja bahwa saya adalah Dosen Pegawai Negeri Sipil yangsaat ini sedang kuliah di Universitas Leiden dengan harapanakan diberikan kemudahan untuk mendapatkan data yang sayabutuhkan.

Namun ternyata anggapan saya itu tidak sepenuhnya ber -laku, kedua surat tersebut ternyata tidak cukup sakti dibanding -kan ketika saya mendapatkan rekomendasi lisan dari salah se -orang pejabat tinggi di Kejaksaan Agung. Saat saya mengandal -kan surat-surat tersebut, selain proses administrasinya yangmembutuhkan waktu berminggu-minggu, narasumber danakses yang saya dapat juga sangat terbatas dibanding de nganketika saya mendapatkan rekomendasi langsung dari sa lah se -orang Jaksa Agung Muda. Dengan bantuan rekomendasi lisanitu, saya merasa sangat terbantu dalam mendapatkan orang-orang dan data-data yang saya butuhkan secara lebih variatif.

Page 139: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

95

Saya melakukan penelitian di tujuh kejaksaan di level kota,dua kejaksaan di level provinsi, dan di Kejaksaan Agung. Sayasempat menyewa kamar kos bersama para jaksa selama tiga bu -lan di daerah sekitar Kejaksaan Agung. Saya juga pernah ting-gal di rumah dinas Kepala Kejaksaan Tinggi dan di rumah pri -badi jaksa setelah saya mendapatkan akses dan berhubunganbaik dengan mereka. Setidaknya saat tinggal ber sama parajaksa tersebut saya dapat mengamati dan berkomuni kasi de -ngan mereka dan menyaksikan kehidupan sehari-hari merekadalam melaksanakan tugas sebagai jaksa. Bahkan da lam bebe -rapa kesempatan selama penelitian saya pernah di ta wari uangyang selalu saya tolak secara halus demi menjaga hubunganbaik dengan mereka.

Hal menarik lainnya yang saya dapat salah satunya adalahsisi lain dari kehidupan seorang jaksa ketika menangani perkarayang terkadang melibatkan pergolakan batin di tengah modelorganisasi dengan hierarki ala militer. Jika kebetulan merekamendapatkan pimpinan yang korup, mau tidak mau merekaharus bersiasat untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan pim -pinan seperti itu. Begitu pula sebaliknya, jika mendapat pim - pinan yang “reformis” mereka juga ikut terpapar oleh setiapkebijakan yang diambil oleh sang pimpinan.

Model organisasi kejaksaan yang sentralistis dan bertumpupada kebijakan pimpinan menjadikan para petinggi di Kejak -saan Agung memiliki kuasa penuh terhadap para jaksa. Salahsatu pengalaman menarik terkait kondisi ini adalah kasus yangdialami oleh seorang jaksa narasumber yang saya kenal memi-liki integritas dan cukup pintar mendapatkan promosi ja batan.Belakangan saya ketahui bahwa dia mendapatkan promosikarena saya sempat menyebut namanya ketika melakukan wa -wancara dengan salah seorang petinggi kejaksaan yang memi -liki kewenangan untuk itu. Karena kejadian ini saya kemudiandianggap oleh beberapa orang jaksa memiliki akses yang kuat

ETNOGRAFI DI LEMBAGA PENEGAK HUKUM

Page 140: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

96 CATATAN DARI LAPANGAN

kepada para petinggi ke jaksaan. Salah seorang kepala kejak-saan negeri bahkan me minta saya agar membantunya menda -patkan promosi dengan ditempatkan di daerah yang lebih baikyang tentunya tidak dapat saya penuhi.

Masalah serius yang saya temukan di kejaksaan ini lantasmenggugah saya akan pentingnya pelibatan riset multi-disiplinyang mengurai benang kusut problem penegakan hukum olehpara akademisi kampus yang akrab dengan istilah Tri Dharmaperguruan tinggi: pendidikan, penelitian dan pengabdian ma -syarakat. Dalam konteks ini, saya merasa bahwa proses pe -neliti an dengan sendirinya juga merupakan proses pengabdian.Artinya, penelitian yang kita lakukan harus dapat secara ak tifmembantu melakukan penguatan terhadap objek yang di te liti.Hal ini yang kemudian membuat saya pada 2015 mendirikanpusat kajian di Universitas Brawijaya yang fokus pada SistemPeradilan Pidana (PERSADA). Selain untuk memperkokohstudi dan riset tentang kejaksaan, pusat kajian ini di desain seba-gai wadah pengabdian masyarakat para akademisi lintas disi-plin terkait isu penegakan hukum. Kajian yang dila ku kan PERSADA hingga saat ini berfokus pada isu penguatan ke -jaksaan dalam sistem peradilan pidana, dengan tanpa me ngu -rangi upaya kritis yang juga dibangun untuk melihat kondisiempiris penegakan hukum.

Selain itu saya juga diminta membantu kejaksaan untukmemberikan keterangan ahli dalam sidang Mahkamah Kon -stitusi saat digugat oleh kepolisian terkait penghentian per kara(seponeering) kasus Abraham Samad, Bambang Widjojanto, danNovel Baswedan oleh Jaksa Agung. Saya juga menjadi ahli dipersidangan kasus penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), Novel Baswedan ketika hampir semua akademisi hu -kum di Indonesia menolak karena khawatir akan terkena imbasdari konflik antara KPK dan POLRI. Masih dalam bingkai risetlapangan, dengan dukungan Fakultas Hukum Universitas Bra -

Page 141: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

97

wijaya, saya menggelar seminar nasional dan gelar perkara ter -kait kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK Abraham Samaddan Bambang Widjojanto sebagai bentuk pengabdian masya -rakat sembari juga dapat mengambil data penting yang sayabutuhkan demi kepentingan penelitian.

Kritik terhadap kinerja kejaksaan dalam proses peradilansaya lakukan beberapa kali di antaranya ketika memberikanpendapat hukum dalam proses penuntutan komunitas SyiahSampang dan kasus pencabulan anak di Jakarta InternationalSchool. Saya juga pernah dalam posisi berhadap-hadapan de -ngan jaksa saat saya diminta oleh Lembaga Bantuan Hukum(LBH) membantu memberikan keterangan ahli dalam kasuspetani di Banyuwangi yang dikriminalisasi oleh salah satu per -usahaan. Dari kasus ini saya belajar bahwa konstruksi dan framing jaksa dalam melakukan penuntutan suatu perkara pi da -na sangat bergantung pada apa yang dikonstruksi dalam BeritaAcara Pemeriksaan (BAP) polisi. Dalam tuntutannya, jaksamenuntut para petani dengan pidana penjara karena mela ku -kan pengeroyokan terhadap salah satu karyawan pabrik hinggaterluka. Sekilas tidak ada yang salah dengan tuntutan jaksa jikahanya mengikuti berkas yang dibuat oleh penyidik polisi. Na -mun yang menjadi masalah kemudian adalah rentetan kejadiansebelum pengeroyokan yang tidak digambarkan dalam berkasdi mana kejadian ini dipicu oleh tindakan para kar ya wan pabrikyang dengan alat beratnya berusaha merusak tanaman wargayang ada di tanah yang menjadi sengketa antara warga danperusahaan.

Lebih mudahnya saya akan menjelaskan kasus ini denganmenganalogikannya dengan kasus lain yang suatu saat mung -kin dapat menimpa kita. Misalnya suatu saat kita terpaksa me -lakukan kekerasan fisik dan melakukan pemukulan terhadapseseorang yang masuk ke rumah kita yang berusaha merusakperabotan rumah kita tanpa ada alasan yang jelas, dalam benak

ETNOGRAFI DI LEMBAGA PENEGAK HUKUM

Page 142: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

98 CATATAN DARI LAPANGAN

kita mestinya tindakan ini dibenarkan secara hukum. Namundalam konteks penegakan hukum, hal ini sangat bergantungpada penggambaran dan konstruksi aparat penegak hukumyang memotret fakta yang kita alami. Jika konstruksi fakta yangdigambarkan oleh aparat hanya sebatas pada saat kejadian pe -mukulan yang kita lakukan tanpa melihat rentetan kejadian se -belum kasus pemukulan itu dilakukan, besar kemungkinan kita-lah yang akan dijatuhi hukuman pidana. Besarnya kekuasaanaparat penegak hukum yang dapat membolak-balik fakta dalamberkas yang mereka buat inilah yang menjadi salah satu perha-tian saya saat melakukan penelitian.

Beberapa data yang saya dapat selama penelitian lapangantentu memaksa saya membongkar total proposal riset yang te -lah saya buat dan menyesuaikannya dengan data yang saya da -pat. Beberapa pertanyaan penelitian bahkan ada yang harusdiganti atau disesuaikan dengan data penting yang saya te mu -kan di lapangan yang menurut saya berpengaruh pada topikyang saya teliti. Di sisi lain tantangan melakukan riset sosio-legal yang begitu kompleks sembari mencoba melakukan advo -kasi terhadap masalah yang terkait dengan lembaga atau orangyang menjadi objek penelitian menjadi keberkahan tersendiri,terutama ketika berhadapan dengan terjalnya proses pengum -pulan data yang saya butuhkan.

Page 143: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

K etika melamar Ph.D ke Universitas Leiden, saya meng -ajukan proposal penelitian tentang dinamika politik

Islam pasca Orde Baru di Indonesia, dengan fokus studi diAceh. Pada saat itu, saya berpikir Aceh dapat memberikangambaran tentang dinamika politik Islam di Indonesia. DiIndonesia, hanya Aceh yang memiliki partai politik lokal, se - lain berlakunya hukum syariah. Tokoh-tokoh agama di daerahtersebut juga ambil bagian dalam kancah perpolitikan lokal, ter-masuk mendirikan partai politik berideologi Islam. Hubunganantara syariah, partai politik Islam, dan masyarakat yang dike-nal dengan keislamannnya itu tentu akan menyuguhkan dina -mika politik lokal yang menarik untuk dikaji. Begitu pikir sayawaktu itu.

Proposal tersebut saya ajukan ke tiga universitas. Profesordari tiga kampus tersebut tertarik dan memberikan surat reko -mendasi sebagai persyaratan pendukung untuk melakukan pen -daftaran administrasi secara online ke kampus masing-masing.Namun, hanya staf pascasarjana Universitas Leiden yang me -respons e-mail saya. Di Leiden, awalnya saya berada di bawah

Lika-Liku Penelitian:Perubahan, Ketidaktahuan,

dan Kejutan

ARF IANSYAH

Page 144: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

100 CATATAN DARI LAPANGAN

bimbingan Prof. Léon Buskens, seorang antropolog hukumkhususnya di masyarakat Muslim. Di kantornya awal perjala n -an Ph.D saya dimulai yang kemudian berubah arah sebelummencapai setengah perjalanan.

Perubahan

Pada pertemuan awal, saya ditanya apakah saya sudah menulissebagian topik yang saya ajukan melalui proposal tersebut. Ka -rena itu hanya sebuah proposal, saya menjawab belum samasekali. Saya kemudian diminta untuk mengkaji semua li teraturtentang Aceh, khususnya tentang syariah. Tidak ada diskusisama sekali tentang proposal saya. Setelah review tentang syari-ah di Aceh selesai pada bulan pertama, saya kemudian dimintamelakukan review tentang syariah di Indonesia. Saya mulai gun-dah, tetapi tak kuasa memprotes karena niat menempuh pen-didikan Ph.D sudah bulat. Saya kemudian me nyerahkan diriuntuk digiring menjauh dari proposal saya. Setelah review ten-tang Indonesia selesai, saya ditanya tentang pilihan reviewberikutnya, apakah tentang hukum dan masya rakat atau politikIslam. Sekilas, kedua topik tersebut memang berhubungan dantidak terpisahkan. Namun setelah dite kuni, kajian masing- masingnya ternyata sangat luas dan dalam. Saya kemudian me -mutuskan untuk memilih tema hukum dan masyarakat, denganfokus penelitian di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah,dua daerah yang dihuni oleh suku Gayo.

Setelah itu saya kemudian diminta untuk melakukan reviewtentang antropologi hukum, pluralisme hukum, dan antropolo-gi hukum di masyarakat Muslim. Setelah semua review diang-gap selesai, saya selanjutnya diminta untuk menulis Bab I. Na -mun karena terjadi perubahan tema, saya tidak tahu topik spe-sifik apa yang akan dikaji dalam disertasi saya. Bab I yang sayatulis pun menjadi begitu umum. Belum memiliki landasan teo-

Page 145: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

101

retis yang dibangun dari kajian empiris.Keputusan saya memilih Gayo muncul ketika mela kukan

review pertama tentang syariah di Aceh. Dari review kepustaka -an tentang Aceh tersebut, saya menemukan bahwa hampir selu-ruh kajian tentang Aceh selama ini ternyata hanya melakukaninterpretasi terhadap dinamika sosial, politik, dan agama yangterjadi di satu suku saja, yaitu suku Aceh. Sadar atau tidaksadar, hampir semua sarjana yang mengkaji Aceh selalu berbi -cara tentang suku Aceh yang mendiami daerah pesisir. Sejarah,jalan pikiran, struktur sosial, dinamika politik, dan hukum ma -syarakat Aceh di Provinsi Aceh mendominasi kepustakaan danperdebatan yang menyertainya. Jarang sekali sarjana yang ber -bicara tentang Aceh dari sudut pandang suku lain yang jugatinggal di Provinsi Aceh.

Aceh dihuni oleh setidaknya tiga belas suku utama. Tentu -nya sebagai suku mayoritas, suku Aceh mengarahkan danmembentuk jalannya sejarah, pembangunan, dan politik diprovinsi tersebut. Apalagi nama provinsi Aceh diambil darinama suku tersebut. Kesamaan nama suku dan daerah ini se -ring menimbulkan kebingungan yang menyebabkan diabaikan-nya keberadaan suku-suku lain di Aceh. Hingga kini, ketikaberbicara tentang Provinsi Aceh sebagian besar orang masihmengasosiasikannya dengan suku Aceh. Berlatar kondisi inilahsaya kemudian memilih masyarakat Gayo sebagai objek kajiandisertasi saya.

Ketidaktahuan

Pengetahuan saya tentang Gayo masih sangat terbatas ketikamemulai penelitian. Literatur-literatur tentang Gayo yang sayaperoleh dari perpustakaan Universitas Leiden ternyata ti dak ba -nyak. Dengan pengetahuan yang terbatas itu saya nekat terjunke lokasi penelitian dengan berbekal sedikit pengetahuan ten-

LIKA-LIKU PENELITIAN

Page 146: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

102 CATATAN DARI LAPANGAN

tang pluralisme hukum. Saya tidak mempersiapkan instrumenpenelitian secara spesifik, bahkan tanpa fokus yang jelas akanmengkaji fenomena apa berdasarkan kerangka berpikir plural-isme hukum tersebut. Saya membulatkan tekad dengan mem-bangun pemikiran bahwa mempersiapkan instrumen secaradetail justru akan membatasi keingintahuan saya terhadap hal-hal lain yang ternyata berhubungan dengan kajian saya. Sayaharus membuka diri terhadap hal-hal yang tidak ber hubungandengan riset saya. Sekilas, saya sepertinya me la kukan penelitiansecara serampangan. Saya menghadiri hampir semua persi -dangan di Mahkamah Syari’ah, Pengadilan Negeri, dan Per -adilan Adat di dua kabupaten tersebut. Yang penting plural,begitu pikir saya waktu itu.

Karena kerap menghadiri persidangan, banyak orang me -ngi ra bahwa latar belakang pendidikan saya adalah ilmu hu -kum. Jujur saja, saya tidak pernah menyelesaikan satu matakuliah pun dalam bidang ilmu hukum. S1 saya adalah jurusanAqidah dan Filsafat di IAIN Aceh. Untuk diterima di jurusantersebut, kita cukup hadir saat ujian tertulis dan (bahkan) men-jawab salah untuk semua soal ujian. Kita pasti akan lulus. Ituseloroh saya ketika ditanya orang, karena jurusan tersebut me -mang sama sekali tidak favorit. Saya menyelesaikan S2 dalambidang interdisipliner. Ilmu gago-gado tanpa spesialisasi khu -sus. Saya kemudian melanjutkan S3 saya dalam bidang plu ra l -isme hukum yang anehnya saya tidak pernah hadir sekali pundi kelas perkuliahan hukum. Saya berjuang secara mandiri da -lam mendalami antropologi dan sosiologi hukum. Saya rutinmenghadiri kuliah-kuliah umum dan konferensi yang melihatstudi hukum dari sudut pandang sejarah, antrolopogi, dan so -sio logi. Sejarah pendidikan saya yang zig-zag tersebut membuatterkejut banyak orang. Bahkan saya sendiri terkadang me nya -dari bahwa saya ini sebenarnya terlalu nekat. Bisa diba yang kan,bagaimana melakukan penelitian setingkat Ph.D untuk bidang

Page 147: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

103

studi yang baru saja saya tekuni dengan metode yang juga barusaja saya pelajari: etnografi.

Sebelum melakukan studi S3, saya sering mendengar isti-lah etnografi disebut. Namun, praktis baru saat menjalani pen -di dik an S3 saya berkenalan langsung dengan banyak lite ra turyang ditulis dengan gaya etnografis, tentu dengan praktik pene -litian lapangan saya sendiri yang masih nihil. Bisa dikatakan,saya me lakukan penelitian dengan metode yang baru saya kenalini se cara otodidak. Yang terpenting dalam etnografi menurutsaya waktu itu adalah “menjadi bagian dari keseharian masya -rakat yang dikaji, mengikuti semua aktivitas mereka, dan men-catat semua peristiwa.” Yang sama pentingnya adalah “berpikirdan bersikap dengan cara mereka.” Yang tak kalah pentingnyalagi adalah “bertampang bodoh dan seolah-olah tidak tahu.Meskipun sudah tahu, berpura-puralah tidak tahu.” Prinsip-prinsip ini yang membimbing saya selama penelitian. Masa bo -doh dengan istilah yang dipakai dalam penelitiannya. Yang ter-penting bagi saya adalah dapat memancing, bermain bola voli,menjadi pemantau pemilihan kepala dan imam desa, dan terli-bat dalam panitia pernikahan warga yang saya teliti. Sebisamungkin saya menghindari menggunakan metode wawancarakecuali ketika menemui pejabat-pejabat di institusi-institusi ter-tentu. Untuk mendapatkan informasi yang dalam, saya selalumenemui mereka lebih dari dua kali. Tujuannya tentu saja un -tuk membangun kepercayaan dan hubungan emosional yangerat layaknya pertemanan. Ketika hubungan dekat sudah ter-bangun, narasumber yang saya temui jarang sekali menyem-bunyikan informasi yang mereka ketahui. Bahkan mereka akanmenceritakan sesuatu yang sebelumnya tidak saya perkirakan,bahkan harapkan.

Karena terjadi perubahan proposal penelitian dari kajiantentang dinamika politik lokal ke pluralisme hukum, saya ma -sih meraba-raba medan penelitian saya. Saya belum bisa me -

LIKA-LIKU PENELITIAN

Page 148: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

104 CATATAN DARI LAPANGAN

mastikan perkara apa yang harus saya pilih ketika menghadiripersidangan. Sehingga selama enam bulan pertama, tidak adasatu isu pun yang saya dalami secara sungguh-sungguh. Sayapernah mengikuti hakim melakukan persidangan keliling untukisbat nikah, menghadiri sidang perceraian, perkelahian ataupenganiayaan ringan, pemerkosaan, pencemaran nama baikdll. Saya juga pernah mengikuti peradilan adat untuk kasus ke -kerasan dalam rumah tangga. Tidak ada kasus yang menjadifokus penelitian saya waktu itu. Di bulan-bulan yang cukup me -lelahkan itu saya menyelinginya dengan memupuk hobi danmengasah keterampilan saya pada batu akik.

Pada waktu itu, antara 2014-2015, masyarakat Indonesiamemang sedang dilanda demam batu akik. Alam Aceh Tengahdan Bener Meriah merupakan salah satu penyuplai batu akikjenis giok ternama dari Provinsi Aceh. Satu bongkahan kecilnilainya bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah.Demam batu akik ini menular ke saya dan penelitian saya.Karena kerap menerima pemberian batu akik dari teman-teman, saya kemudian belajar tentang seluk-beluk batu akikhingga cukup mahir mengasahnya. Ketika pembim bing sayaberkunjung ke Aceh untuk satu keperluan dengan kampus UINAr-Raniry, saya sempat mengajukan perubahan tema kajiandari pluralisme hukum ke giok. Fenomena giok ternyata bukanhanya tentang kualitas batu dan ekonomi musiman, tapi di da -lamnya juga melekat cerita-cerita tentang bu da ya, agama, danmistik. Secara kesejarahan giok juga berfungsi sebagai materialperhiasan lokal, terutama untuk senjata. Ketika kami terlibatdalam percakapan panjang tentang giok, pembimbing sayamemberikan ulasan panjang lebar tentang giok, terutama giokdalam budaya Cina. Pengetahuannya tentang giok luas sekali.Saya dan temannya, Prof. Herman Beck, dibuat terpana. Diatidak hanya pintar mendiskusikan giok, tetapi juga cermat da -lam memilih batu giok yang bagus. Ini dibuktikan ketika dia

Page 149: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

105

meminta saya mengantarkannya ke pasar batu akik di BandaAceh. Dia membeli satu bongkahan kecil untuk dibawa pulang.Sebagai penahan tumpukan kertas katanya. Setelah panjang le -bar bercerita tentang giok dari su dut pandang budaya, politik,dan perang, dia kemudian berkata kepada saya, “Tidak ada yangmenarik lagi dari giok itu. Fokus saja tentang hukum di Aceh.”

Kejutan

Ketika dia menyarankan saya untuk fokus, sebenarnya sayaingin bertanya apakah saya harus fokus pada ketidaktahuansaya? Saya mengurungkannya karena saya pikir pertanyaan inisangat berisiko. Di tengah kebingungan itu, saya te tap mencobamenemukan topik penelitian yang menarik, hingga suatu saatsaya bertemu dengan seorang aktivis dan juga pe ngacara yangmemecah kebuntuan saya. Namanya Hasanah. Dia menanganibanyak kasus pelecehan seksual. Dia salah satu pengritik keraspenerapan hukum syariah di Aceh yang menurutnya tidak ber -pihak kepada perempuan. Sebagai pengacara, dia merupakansalah satu aktor penting yang memahami dinamika hubunganantara hukum pidana di Indonesia dan hukum sya riah. Na -mun, di mana kedudukan adat sendiri? Nah, di sini saya mulaimencium “semerbak wewangian” sebuah topik.

Entah mengapa, ketika Hasanah menjelaskan tentang peri -la ku seksual, pelecehan seksual dan syariah saya segera mene-mukan hubungannya dengan budaya lokal. Seperti apa tipe-tipepelecehan seksual yang terjadi di Gayo? Karena sejarah seksualsama tuanya dengan sejarah manusia, apakah ada hukum adatlokal yang mengatur tentang itu? Pertanyaan-pertanyaan terse-but muncul di benak saya setelah berdiskusi dengannya. Dankebetulan juga saat itu, Dinas Syariat Kabupaten Aceh Tengahmemiliki program Wilayatul Hisbah Kampong (WHK). Ini se -perti polisi syariat di Aceh yang terkenal itu. Namun anggota

LIKA-LIKU PENELITIAN

Page 150: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

106 CATATAN DARI LAPANGAN

WHK direkrut dari pemuda kampong yang digaji sangat keciloleh Pemda setempat. Anggota WHK ini sering menangkapsiapa saja yang dicurigai melakukan perbuatan “asusila” di se -ki tar Danau Laut Tawar, lokasi pariwisata paling populer diAceh Tengah. Kebanyakan pelakunya ditangkap di semak be -lukar pinggiran danau, bukan di daerah terbuka. Saya berkenal -an dengan mereka, berteman, dan menjadi “anggota tak resmi”WHK. Saya juga ikut mempraktikkan cara mereka memburutarget sasaran. Layaknya pasukan komando, mereka cakap da -lam melakukan pengintaian dan penangkapan, biasanya de -ngan cara merangkak menyusuri semak-semak guna menda -patkan bukti foto atau video. Pelaku yang tertan g kap basahmelakukan tindak “asusila” kemudian kami jadikan sebagaitersangka untuk dibawa ke sidang pengadilan adat. Apa yangkami lakukan mirip dengan cara anggota reskrim ke po lisiandalam menjerat penjahat “lendir” sebelum mereka diadili diruang persidangan. Pengalaman bergabung menjadi “polisisyariah” ini saya rasakan begitu seru, meski sekaligus me ma lu -kan. Saya sering diolok-olok oleh anggota WHK resmi itu,“jauh-jauh kuliah ke Belanda, tapi ujung-ujungnya merangkakjuga dengan kita.” Ya, mau bagaimana lagi. Itu semua harusdijalani dalam rangka berburu topik dan data penelitian.

Dari pertemuan saya dengan Hasanah, diikuti denganmenjadi anggota WHK, penelitian saya tiba-tiba terjerembab kedalam dunia seksual. Dunia akademik yang tidak pernah sayapikirkan sama sekali di awal perkuliahan bahkan di masa awalpenelitian. Ternyata dunia seksual penuh cerita, penuh intrikdan konflik. Dunia tersebut tidak hanya bercerita tentang sepa-sang kekasih atau dua orang yang terlibat dalam transaksi sek-sual, melainkan juga melibatkan dendam, kebencian, dan pak-saan. Dunia ini juga menggambarkan kekeroposan dan ke ter -batasan hukum Negara, tentang masyarakat Gayo dan adat me -reka dalam mengatur perkara seksual. Ini juga merupakan

Page 151: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

107

dunia di mana moralitas publik mulai memudar. Ya, duniayang akhirnya menjadi fokus penelitian disertasi saya sekarang.

Ketika kembali ke Belanda, saya menyelami kembali catat -an-catatan penelitian saya serta memeriksa literatur-literaturyang relevan. Ketika saya menyerahkan satu bab yang berceritakhusus tentang itu, pembimbing kedua saya, Adriaan Bedner,mengajukan pertanyaan: “Pertanyaan saya tidak berhubungandengan tulisan ini, tapi penting bagi saya, mengapa ini semuaberkaitan dengan malu?” Pertanyaan ini kemudian menyadar -kan saya. Ternyata Hukum Adat Gayo selama ini dibangun diatas dasar rasa malu. Rasa malu dikelola, dikontrol secara so -sial, dan dijadikan sebagai ikatan komunal. Pertanyaan pem-bimbing saya itu kemudian mengantarkan saya ke literatur-lite -ratur tentang malu. Saya menemukan banyak pembahasan bah -wa malu kerap berkaitan dengan seksualitas dan hukum pi -dana. Saya kemudian berada di sebuah persimpangan, apakahakan saya tetap mengkaji tentang pluralisme hukum denganmelihat praktik tiga institusi hukum di Aceh dalam mengaturperilaku seksual atau saya harus beralih ke kajian antrolopologipsikologi untuk membahas hubungan antara malu dan seksual-itas dalam masyarakat Gayo?

Hampir dua tahun setelah penelitian pertama saya, sayakembali turun ke lapangan untuk melakukan penelitian singkat.Tujuan awalnya hanya untuk memperbaharui data. Namun se -telah menemukan fokus penelitian dan saya kembali ke Gayo,penelitian yang saya bayangkan ringan dan singkat itu ternyataberubah menjadi sangat padat dan terasa berat. Perubahan initentu saja karena telah menemukan fokus penelitian dimanasaya coba melihat dinamika hubungan antara ketiga hukumyang beroperasi di Gayo, mengidentifikasi aktor-aktor di ma -syarakat (pelaku, korban, dan tokoh desa) dan negara. Seksuali -tas adalah isu utama atau variabel pengontrol untuk melihatdinamika tersebut.

LIKA-LIKU PENELITIAN

Page 152: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

108 CATATAN DARI LAPANGAN

Karena saya sudah dikenal dan dipercaya oleh masyarakat,akses pun menjadi semakin terbuka. Saya bahkan diajak terlibatdalam aktivitas sosial, mengadvokasi kasus pelecehan seksual,membuat proposal proyek untuk masyarakat adat Kemukiman(mukim adalah wilayah politik adat di Aceh yang terdiri daribeberapa desa) dll. Saya pun sempat disergap kebingungan apa -kah kehadiran saya di sana masih sebagai peneliti atau aktivissosial. Namun situasi yang demikian dalam konteks etnografijustru menguntungkan. Menjadi “orang dalam” dalam berba-gai aktivitas masyarakat yang saya teliti mendatangkan ke -untungan besar bagi penelitian saya, meski saya juga acapkalimenghadapi kesulitan ketika harus mengonfirmasi data.

Salah satu kasus menarik dalam penelitian kedua ini ada -lah kasus pedofilia yang terjadi di Kabupaten Bener Meriah.Posisi, kehati-hatian, dan kejelian saya sebagai peneliti diuji.Saya tidak dapat menghindar untuk tidak berpihak. Saya meng -ikuti kasus ini secara intens sejak kasus ini terungkap. Mobilsaya pun sering digunakan sebagai sarana antar jemput belasankorban pedofilia dan orang tua mereka dari dan ke kantor polisiuntuk membuat laporan serta ke puskesmas untuk visum. Sayajuga beberapa kali ikut musyarawah warga tentang kasus terse-but. Selama enam hari saya keluar masuk desa bersama parale-gal, di antaranya Hasanah dan Yusdarita. Mereka adalah duaorang perempuan dengan hati malaikat. Bersama kedua orangitulah saya menemukan kebaikan, keluguan, dan kebodohantumpang-tindih dan tidak ada pembatas. Tidak saya sangka,ter nyata beberapa orang di tim paralegal pendamping korbandan keluarganya itu memiliki konflik kepentingan dalam kasustersebut. Saya pun terseret ke dalam pusaran konflik mereka,yang kemudian membuat saya dilabeli sebagai “penumpanggelap” oleh paralegal yang berseberangan kepentingan denganparalegal yang posisinya saya ikuti.

Kesalahan saya pada kasus tersebut adalah saya terlalu me -

Page 153: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

109

nunjukkan keberpihakan dan memilih interlokutor. Pilihan initentu saja didasarkan atas pertimbangan yang kuat, termasuktingkat kepercayaan publik dan keakuratan data. Kon sekuensidari pilihan ini membuat saya mengabaikan paralegal lain dikubu yang berseberangan, padahal sebelumnya kami su dah cu -kup akrab dan mereka secara terang-terangan bersedia diwa -wancarai, namun memanasnya suasana telah membuat semua -nya berubah. Hubungan yang merenggang ini membuat sayatidak mengagendakan pertemuan dengan mereka lagi. Merekamenunjukkan sikap permusuhan ketika mengetahui saya me -nyertai paralegal yang berseberangan dengan mereka. Ketikasaya mulai dijuluki sebagai “penumpang gelap” (meski sebe-narnya lebih pas jika disebut sebagai “supir gelap”), saya me -nyadari bahwa saya belum melewati ujian kelayakan untukpenelitian Ph.D. Padahal, kondisinya akan lebih menarik jikasaya juga mendapatkan informasi dan data dari mereka, sehing-ga saya dapat melihat kasus ini secara lebih utuh. Namun padakenyataannya, saya hanya dapat secara leluasa mengakses datadari korban pedofilia, keluarga mereka, petugas kepolisian dantokoh-tokoh desa.

Saya kembali lagi ke Universitas Leiden dengan cerita yanglebih seru dan data yang bertambah. Tapi masih ada satu per-tanyaan yang mengganjal, “cerita itu akan berkisah tentangapa?” Hingga tulisan ini saya buat, saya masih berada dalampusaran diskusi tentang pluralisme hukum. Sebelum ada orangyang menyadarkan dan menertawakan saya, saya masih ber -keyakinan bahwa penelitian yang saya awali secara serampa ng -an, berangkat dari ketidaktahuan, hingga menemukan topikyang menurut saya menarik ini masih berkaitan dengan temapluralisme hukum. Saya masih berkeyakinan bahwa penelitiansaya yang melihat cara kerja dan relasi antara tiga institusi hu -kum yang berbeda ini adalah yang pertama kalinya dilakukandi Indonesia. Tentu saja, saya tidak berharap orang yang datang

LIKA-LIKU PENELITIAN

Page 154: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

110 CATATAN DARI LAPANGAN

membangunkan saya dari mimpi itu kemudian hanya tertawaterbahak-bahak, namun sanggup membantu saya untuk men-jawab pertanyaan di atas: “Ke arah mana data itu akan dibawa?Data-data itu bercerita tentang apa?”

Pertanyaan di atas kemudian membawa saya dari peneli ti -an etnografi ke level berikutnya, abstraksi untuk sebuah pe nge -tahuan baru. Etnografi hanyalah sebuah metode yang dipi lihuntuk mencari dan mengumpulkan data dan menyajikan datake pembaca. Hal penting yang harus dilakukan setelah itu ada -lah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik danterarah: Data yang dikumpulkan itu akan bercerita tentang apa?Ke mana akan diarahkan semua data itu? Dan ini tidak lagiberbicara tentang metode mencari dan menyajikan data, me -lainkan tentang kerangka berpikir yang ditunjang oleh litera tur-literatur yang sudah kita baca.

Refleksi: Setelah Penelitian

Menempuh pendidikan Ph.D adalah pengalaman pribadi yangdialami tiap-tiap mahasiswa Ph.D secara unik dan khas. Peng -alaman saya di atas boleh jadi tidak masuk akal bagi sebagianorang. Bagai mana mungkin proposal penelitian awal bisa ber -ubah sedemi ki an jauh dengan topik disertasi yang sekarang di -kerja kan? Yang berubah bukan saja topik kajiannya, melainkanjuga disiplin keilmuan yang melingkupinya.

Pengalaman penelitian lapangan saya sungguh dinamis.Bermula dari ketidaktahuan, dilakukan secara serampangan,sampai akhirnya muncul secercah cahaya yang memberikan ke -jutan. Ketika secercah harapan itu datang, semua gejala di la -pangan seolah-olah mendukung tujuan penelitian saya. Potong -an-potongan kisah tiba-tiba saling bertaut dan membentuk ceri-ta yang lebih utuh. Mengalir begitu saja. Ini seperti ung kapandalam novel Alkemis yang terkenal itu: “Ketika engkau meng -

Page 155: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

111

inginkan sesuatu, maka seluruh isi langit dan bumi akan men-dukungmu.”

Selama enam bulan pertama, saya tidak pernah menanya -kan satu pertanyaan khusus tentang isu seksual. Semua per-cakapan yang berlangsung dengan masyarakat yang saya kajitidak lain hanyalah obrolan ringan tentang kehidupan sehari-hari mereka dan apa saja yang terjadi pada waktu itu. Saya punmengoleksi banyak cerita lokal dari berbagai tema, mulai daripolitik, bu daya, seni, konflik etnis, juga kegelisahan-kegelisah -an yang di rasakan baik oleh generasi tua maupun muda tentangkondisi hari ini dan masa depan dengan bumbu-bumbu kete-gangan di antara keduanya karena acuan moral yang berbeda.Saya bah kan juga mengikuti cerita-cerita mistis dan tenggelamdalam dunia perdukunan, penggembalaan ternak serta kegiatanberburu baik dengan cara modern maupun tradisional. Yangtidak kalah menarik, saya juga ikut berburu batu akik di hari-hari yang terik di sebuah sungai di pedalaman Gayo.

Di tengah belantara kisah dan cerita itu, saya akhirnya me -milih satu topik tentang bagaimana tiga institusi hukum, yakniMahkamah Syariat yang mewakili Hukum Syariah di Aceh,Pengadilan Negeri yang mewakili hukum sipil Indonesia danAdat yang mewakili budaya, menanggapi perilaku seksual ma -syarakat. Berbekal keterbukaan sikap yang saya bangun se jakawal, saya dapat menangkap bahwa sebagian besar cerita ituter nyata memiliki hubungan dan membentuk kisah yang utuhtentang seksualitas. Ibarat jaring laba-laba, antara satu benangdengan benang lainnya saling terhubung membentuk ikatandan bentuk yang jelas sehingga laba-laba dapat bergerak bebasdi atasnya.

Karena terlalu banyak cerita yang berhubungan, saya se -lalu kewalahan menjaga ritme dan fokus tulisan. Pembimbingsaya kerap “protes” dan mengingatkan saya bahwa tidak semuainformasi dapat dimasukkan. Hanya informasi yang relevan de -

LIKA-LIKU PENELITIAN

Page 156: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

112 CATATAN DARI LAPANGAN

ngan topik penelitian yang dapat diambil. Setelah bersusah pa -yah membangun kisah, pembimbing saya kemudian berkomen-tar, “Cerita kamu menarik sekali. Saya suka, tapi kemudi an ituuntuk apa?” Pertanyaan yang sama menohok saya lagi.

Singkat cerita, tulisan saya masih bercorak entografis, be l -um memasuki tahapan selanjutnya, abstraksi data, supaya da -pat ditautkan dengan disiplin dan literatur tertentu. Kita bo lehsaja melakukan penelitian atau menyajikan data secara etno-grafis untuk satu atau dua kasus, namun perdebatan keilmuan-nya harus juga ditampilkan agar dapat mengatakan sesuatuyang lebih besar dari sekadar kasus-kasus yang terjadi di ru angpenelitian kita. Di sinilah perbedaan antara etnografi sebagaisebuah metode dengan disiplin ilmu yang menggunakannya se -perti antropologi, sosiologi, psikologi dan lain-lain.

Etnografer, setelah melakukan penelitian dengan disiplinmetodologis yang ketat, selanjutnya akan menyajikan data de -ngan narasi yang sangat detail seperti layaknya sebuah cerpenatau novel. Pembaca akan dibawa memasuki sebuah kejadiansecara utuh dan menyeluruh nyaris tanpa abstraksi. Betapa punutuh dan menariknya seorang peneliti mampu menyajikan datalapangan, selagi dia belum sanggup mengangkat data-data ituke level abstraksi, dia tetap saja disebut sebagai etnografer, be -lum sebagai antropolog atau sosiolog. Tahapan inilah yangakan menentukan apakah seorang peneliti pantas disebut seba-gai antropolog atau sosiolog. Tantangan ini tentu tidak mudahditaklukkan. Namun seterjal apapun proses yang penuh kejutandan perubahan ini, misi memboyong gelar Ph.D dari negerikincir angin harus ditunaikan setuntas-tuntasnya.

Page 157: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

IIIKajian Linguistik di Indonesia

Page 158: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri
Page 159: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

D engan lebih dari 700 bahasa yang dimilikinya, Indo -nesia termasuk dalam kelompok negara-negara dengan

ragam bahasa paling banyak di dunia. Keberagaman bahasa diIndonesia bisa terjadi karena ribuan pulau dan selat, serta rang -kaian pegunungan dan gunung berapi yang ada. Kondisi geo -grafis seperti itulah yang memungkinkan sekelompok penuturbahasa untuk meninggalkan komunitas asal, tinggal di tempatyang berbeda, dan akhirnya putus hubungan de ngan kerabatyang ditinggalkan. Sebagai hasilnya, bahasa-ba ha sa di Indone -sia relatif bisa berubah menjadi bahasa baru de ngan mudahdan cepat.

Antara 1991 hingga 2018 saya mendapat kehorma tan un -tuk bisa melakukan puluhan perjalanan untuk fieldwork, men-jabarkan, meninjau, dan mendokumentasikan banyak bahasalokal di Indonesia timur. Orang Indonesia yang luar bi asaramah membuat negara ini menjadi tempat terbaik di bumiuntuk melakukan penelitian lapangan di bidang linguistik. Danbahasa-bahasa lokal yang indah yang ada di sini membuat haltersebut lebih menyenangkan. Saya mendengar dan mentran-

Indonesia:Tempat Fieldwork Terbaik yang Ada di Muka Bumi

MARIAN KLAMER

Page 160: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

skripsi berbagai kisah pribadi yang mengagumkan, narasi se ja -rah, cerita rakyat yang misterius, lelucon, pepatah bijaksa na,dan senandung yang merdu. Saya sudah pernah menikmati per-jalanan dengan kapal feri yang lamban di mana penum pangnyatidur di sekeliling, mengobrol dan berbagi biskuit ber sama; sayapernah naik bemo yang penuh sesak disertai hingar bingarmusik rock dan teman seperjalanan yang menyenangkan; sayapernah juga bersepeda motor di jalanan berlumpur yang meng-haruskan saya mandi setelahnya, diikuti malam-malam yangtenang dimana orang-orang mendengkur dengan lembut dikamar sekeliling saya.

Di Sumba saya bekerja dengan bahasa Kambera, di Alordan Pantar saya meneliti bahasa Alor, Teiwa, Kaera dan Sar.Penelitian tersebut berhasil membuahkan beberapa deskripsi ta -ta bahasa (Klamer 1998, 2010, 2011, 2014). Di Pura saya sem-pat mengunjungi para penutur bahasa Blagar. Di Flores Timursaya melakukan survei bahasa terhadap bahasa Hewa dan La -malohot-Lewoingu. Di Adonara saya meneliti bahasa Lama -lohot-Adonara, sedangkan di Lembata saya meneliti bahasaKedang. Di Kalabahi saya meneliti bahasa Alor Malay. Di luarIndonesia, saya bekerja di Timor Leste untuk me ngumpulkandata dari bahasa Mambai, Tetun Dili, Tokodede, Lakalai, Idate,Kemak, Tetun Terik, Bunak, Fataluku, dan Makasae.1

Saya ingin memanfaatkan kesempatan yang diberikan ke -pada saya di sini untuk berbagi pengalaman dalam melakukanfieldwork. Saya melakukan penelitian lapangan sebagai maha-

116 CATATAN DARI LAPANGAN

1. Semua rekaman dari penutur bahasa tersebut telah, atau akan, diarsipkan secara onlinedan akan tersedia dengan akses terbuka bagi publik di Arsip Bahasa Institut MaxPlanck, Nijmegen. (https://archive.mpi.nl/). Siapa pun bisa mengunduh arsip tersebutsecara gratis. Sumber lain dengan akses terbuka bagi publik adalah LexiRumah, sebuahdatabase yang pernah saya kerjakan bersama tim saya. Di sana tersedia sekitar tigapuluh ribu kata dari seratus lebih bahasa. Database tersebut juga mencantumkanmetadata, sumber, serta peta yang berkaitan. (http://www.model-ling.eu/lexirumah/languages) (Kaiping dan Klamer 2017).

Page 161: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

siswa PhD di Sumba timur, antara 1991-1994, lebih dari 25tahun yang lalu. Pada waktu itu, satu-satunya cara untuk berko-munikasi dengan keluarga dan teman-teman saya adalah de -ngan menulis surat. Telepon hanya bisa ditemui di perkotaan,sedangkan saya tinggal di pedesaan. Dan tentu saja, waktu itubelum ada internet. Beberapa surat yang saya kirim kan dariwaktu itu masih tersimpan baik; kisah-kisah berikut saya kutip(dan terjemahkan) dari surat-surat lama itu.

Sumba, 13 Feb 1991. Selama tiga minggu terakhir aku disibuk -kan dengan pengurusan dokumen resmi untuk izin penelitiandan visaku. Aku juga menghabiskan waktu bertanya kesanakemari demi menemukan tempat untuk tinggal dan memulaipenelitian. Saat ini kebanyakan desa-desa di pegunungan ha -nya dapat dicapai dengan berjalan kaki, akibat musim hujandan jalanan yang tidak bisa dilewati. Aku pun memutuskanbahwa sebaiknya aku tinggal di tempat yang terlalu terisolir,jadi aku memilih untuk pergi ke K., sebuah desa di pegunung -an yang baru dihubungkan melalui jalur jalan beraspal. Ha -nya beberapa kilometer terakhir saja yang masih berupa jalansetapak. Tentu saja tidak ada transportasi umum, jadi kuha -rap aku bisa membeli sebuah sepeda motor minggu ini kare-na aku harus cukup sering bepergian dari K. Ke kota utamaWaingapu untuk mengambil surat, membeli bahan makanan,dan lain sebagainya. Waingapu jaraknya 75 km dari K, jadibolak-balik jarak yang harus kutempuh adalah 150 km, yangterlalu jauh kalau hanya naik sepeda. Seseorang menyaran -kan agar aku membeli kuda untuk dikendarai ke kota. Darisegi harga tampaknya menarik, seekor kuda harganya 200gulden, hanya sepersepuluh dari harga sepeda motor. Tapiaku harus merawat kuda itu, dan aku yakin pada akhirnyakuda itu akan dicuri juga, seperti halnya kuda-kuda milikorang kulit putih lainnya.

Jadi keesokan harinya aku pindah ke K., sebuah desayang terdiri dari sekitar 10-15 rumah, satu sekolah, satu gere-ja protestan, dan satu sumur. Untuk keperluan mandi danmencuci baju, penduduk desa ini pergi ke sungai di bawah

117TEMPAT FIELDWORK TERBAIK

Page 162: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

bukit. Aku akan tinggal bersama keluarga bapak Pendeta.Kami su dah menemui beliau hari Minggu kemarin. Aku se -benarnya agak terkejut ketika mengunjungi rumahnya yangagak kurang sejahtera. Sebenarnya, rumahnya lebih miripsebuah gubug, berdinding tembok, berlantai tanah, dan ber -atapkan jerami. Tampaknya aku harus selalu menyimpanbuku-bukuku dalam plastik, kalau tidak mereka akan dihing-gapi serangga. Oh ya, tembok rumah ini tipis dan tidak sam-pai menyentuh tanah. Ada dua pintu tapi tak ada jendelasama sekali. Di kamar yang akan kutinggali ada sebuah mejadan sebuah kursi, tapi tanpa rak atau lemari; jadi aku akanmemakai koperku untuk menyimpan barang-barang. Akuakan tidur di semacam keset atau karpet, dan mandi di su -ngai. Aku, seorang wanita Belanda yang biasa hidup rapi dannyaman pasti akan mengalami culture shock yang luar biasa.Aku agak khawatir apakah bisa bertahan, tapi aku yakin akanmampu beradaptasi. Sebenarnya sih, tinggal dengan keluargaini bisa memberikan kesempatan untuk berkenalan denganorang-orang di desa, selain itu mereka ini adalah keluargaSumba asli, dan aku bisa belajar bahasa Kambera dari mere-ka. Ibu rumah tangga ini langsung memberiku sebuah namaSumba: ”Mulai dari sekarang kami akan memanggil kamuRambu Ngana”, katanya. Rambu adalah gelar untuk semuaperempuan, sementara Ngana adalah namanya sendiri. Diabilang aku bisa memakai namanya karena dia punya panggil -an lain sekarang: Apu, yang artinya nenek.

Pagi ini aku menunggang kuda selama satu jam mele-wati perbu kitan. Pemandangan disini sangat mengagumkan,semuanya nampak hijau karena hujan yang berlimpah.Ruang terbuka yang luas dengan hamparan perbukitan, di -hiasi kuda-kuda yang berkelompok dimana-mana, dan ker-bau atau kambing yang nampak di kejauhan. Udaranya jugalumayan sejuk, sekitar 25-30 derajat saja. Jadi, sebenarnyaaku merasa sangat nyaman di sini!

2 Maret 1991. Pagi ini aku pergi ke sawah untuk mengambilbebera pa gambar dan melatih kemampuan bahasa Kambera-ku. Aku sudah bisa bercakap-cakap sedikit sekarang, tapi un -tuk bercerita atau ngobrol panjang masih terlalu susah. Ada

118 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 163: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

sekitar 20 orang yang memanen padi, mulai dari nenek-nenek sampai anak balita. Di tengah hari mereka berhentiuntuk memasak, dan nenek itu menyiapkan hidangan de -ngan sepotong kecil ayam. Akulah satu-satunya orang yangmendapat bagian daging ayam, sementara yang lain hanyamakan nasi putih bertabur garam. Aku merasa sangat bersa -lah, tapi lebih karena aku tidak sempat bilang, ”tidak, akutidak butuh daging ini”, karena mereka semua tampak baha-gia dan terhormat karena aku makan bersama mereka. Akusempat mendengar mereka mengucapkan “mbaha eti” ber -kali-kali, sebuah ungkapan yang arti harfiahnya “punya hatibasah”, digunakan ketika seseorang sangat bahagia. Hal yangsangat aneh dari kaca mata seorang Belanda.

Aku datang ke ladang, duduk di sana dengan badankuyang putih dan besar selama beberapa jam dalam bayangansambil menggambar dan mengobrol sementara orang-orangyang lain bekerja dengan kepala terpapar panas terik mata-hari, lalu aku mendapat makanan yang paling enak. Aku ya -kin orang Belanda tidak akan pernah memperlakukan oranglain seperti itu; mereka malah mungkin akan berkata: “yangtidak bekerja, tentu tidak makan”. Sore harinya, nenek yangmasak ayam mampir ke rumah kami. Alat perekamku ada diatas meja sehingga aku bisa merekamnya ketika dia denganantusias menceritakan tentang kunjunganku ke ladang. Me -reka banyak bertanya tentang keluargaku dalam bahasa Kam - bera, dan aku berusaha sebisa mungkin menjawab de ngankemampuan Kamberaku yang terbatas. Bahasa Kam berajauh lebih sulit dari bahasa Indonesia, karena ada begitu ba -nyak kata-kata kecil atau imbuhan yang muncul dengan ber -bagai urutan sebelum dan sesudah kata kerja (kadang sampai7 atau 8 deret). Mereka digunakan untuk memuncul kannuansa tertentu dalam setiap ujaran, tapi karena aku belumtahu masing-masing fungsi mereka, aku hanya menggunakankata kerja, subyek, dan obyek saja dalam berbicara Kambera,layaknya Tarsan.

K., 5 April 1991. [...]. Pada tanggal 12 Maret, aku mendengarkabar bahwa Perang Teluk sudah berakhir selama beberapawaktu. Berita semacam itu tidak sampai pada kami di sini.

119TEMPAT FIELDWORK TERBAIK

Page 164: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Tapi entah bagaimana semua orang di desa bisa tahu apa ituScud dan roket Patriot. Aku tidak tahu bagaimana, karenatak seorang pun punya radio atau membaca koran.

Desa ini sangat indah, bersih, tenang, dan nyaman.Mungkin itu tidak istimewa, tapi orang bisa merasa terbiasaakan kondisi itu dengan cepat. Menurutku hal yang palingmenantang ketika tinggal di sini adalah untuk bercanda de -ngan orang-orang. Mereka selalu tampak serius (setidaknyaketika ada aku di situ); mereka tampaknya segan untuk me -lempar guyonan atau saling bercanda. Selain itu, ada bebera-pa aturan sosial yang harus ditaati. Aku tahu beberapa diantaranya, misalnya, kamu tidak boleh bertanya pada seseo-rang sambil berdiri, kamu harus duduk dulu. Juga, kamutidak boleh mulai minum atau makan sampai pemilik rumahmempersilakanmu. Tapi kadang-kadang aku tidak pahamaturannya dan aku takut kalau aku sampai melakukan sesua -tu yang bodoh, atau mengatakan sesuatu yang menyinggungorang lain. Contohnya, ke tika aku membelikan seorang anaklaki-laki di keluarga yang ku ting gali, Li, sebuah kemeja.

Dia usianya sepuluh tahun, dan satu-satunya kemejayang dia punya sudah robek-robek, jadi aku membelikannyayang baru. Tapi selama satu minggu aku tidak berani mem-berikannya, aku pikir, mungkin orang tuanya akan merasatersinggung karena mereka mungkin merasa aku mengkritikpakaian anaknya; atau kenapa hanya anaknya saja yang di -beri baju sementara mereka tidak dapat apa-apa. Kemarinmalam akhirnya aku memberikan kemeja itu sambil bilangkalau itu adalah hadiah dari suamiku. Misalnya pemberianhadiah itu salah, maka yang akan disalahkan adalah suami -ku. Kan mereka menganggap dia orang asing, jadi wajar ka -lau dia melakukan hal yang aneh. Jadilah kuberikan kemejaitu pada Li, dan dia mengucapkan terima kasih, dan semua -nya tampak baik-baik saja. Tapi hari ini dia masih memakaikemeja lamanya yang penuh robekan itu.

6 April 1991. Hari ini aku bekerja dengan M., konsultan ba -hasaku. Dia sangat pintar dan sabar, tapi ada saat-saat akumerasa hampir gila ketika sedang bekerja. Kami bekerja dimeja yang terletak di da lam rumah, dan udaranya sangat

120 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 165: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

panas. Bayi dari R. terus-me nerus menangis sekitar satu me -ter jauhnya, dan ada dua orang dari desa yang berkunjungdan berdiri di dekat kami, ikut terlibat. Saya me nanyakansatu hal pada M., seperti berikut: “Apakah menurut Anda inisebuah kalimat dalam bahasa Kambera?” sambil memberisebuah contoh, dan kemudian dia akan menimpali: “Ya, itucara yang benar untuk mengucapkannya.” Kemudian sa lahseorang pengunjung itu akan ikut-ikutan berkata: “Iya, tapikan juga bisa begini: ...”, dan pengunjung yang satunya bi -lang: “Ya, tapi kan lebih baik begini: ....”, kemudian merekalanjut dengan diskusi panjang lebar dalam Kambera yangtidak kumengerti sama sekali.

Sementara itu, ada seorang gadis yang berdiri di bela -kangku, bersandar di bagian belakang kursiku dan napasnyamenghembus ke leherku, dan seorang bocah laki-laki berdiridi sisi lain meja itu sambil membolak-balik kertas-kertaskudan melihat-lihat buku cata tan ku, memberantakkan semua -nya. Aku merasa sangat tertekan de ngan semuanya sampaiseakan ingin berteriak: ”Stop! Pergi semua! Bagaimanamungkin kita bisa bekerja seperti ini?” Untungnya dua orangpengunjung itu segera merasa bosan dan pergi, sementara ibuasuhku mengusir pergi dua anak kecil yang kuceritakan tadi.

Kalau sesuatu seperti ini terjadi lagi, aku akan bilangkalau sangat susah untuk belajar dari tiga, empat, atau limaguru pada saat yang bersamaan, dan aku hanya butuh satuorang guru saja! [...] Di sini hujan turun deras, setiap hari.Apa pun jadi kotor, berlumpur, dan licin. Di jalan menuju ketoilet, sekitar 20 meter dari rumah, kita harus berhati-hatisupaya tidak terpeleset (dan jangan lupa membawa payung,karena toiletnya tidak beratap). Pada malam hari, suhu terasasangat dingin dan anginnya bertiup menembus dinding. Sua -tu malam ketika sedang pergi ke toilet aku basah kuyup dankedinginan jadi aku berlari secepat mungkin ke dalam ru mah,tapi aku pun terpeleset dan jatuh ke depan, oborku terlempar.Untungnya aku tidak sampai membangunkan siapa pun.

12 April 1991. Suatu siang, ketika aku sedang dalam perjalan -an kembali dari Waingapu (kota utama) ke desa dengan sepe-da motor, hujan turun deras. Sepuluh menit kemudian aku

121TEMPAT FIELDWORK TERBAIK

Page 166: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

benar-benar basah kuyup walau dalam balutan jas hujan.Yang aku khawatirkan adalah satu kilometer terakhir, karenamasih belum diaspal, sehingga sangat susah dilewati apalagidalam kondisi licin. [...] Bagian pertama dari jalanan berdebuitu (sekarang berlumpur) masih oke, tapi beberapa meterkemudian jalanan be r ubah jadi semacam aliran sungai, adaair sedalam kira-kira 20 cm, jadi batu-batuan di dalamnya takterlihat. Aku terpeleset di sana sini dan merasa sangat amatkedinginan. Aku pun panik.

Awalnya aku berpikir: OK, aku sebaiknya menungguhujan berhenti di pinggir jalan sini. Tapi lama-lama aku sadarhujannya tidak akan berhenti sebelum gelap. Jadi aku me -markir sepeda motorku di bawah sebuah pohon. Di bawahpohon itulah aku merasakan ada puluhan semut merah yangmerayap di leher, telinga, dan rambutku, menggigitiku dimana-mana. Aku pun meneruskan perja la nan dengan ber-jalan kaki. Di rumah, bapak asuhku bilang kalau sepeda mo -tor yang ditinggalkan di pinggir jalan bisa dipreteli orang.Untungnya hujan sudah berhenti, jadi aku berjalan kembalike arah sepeda motor kutinggalkan dengan ditemani seorangpria yang membantuku mendorong sepeda itu melewati bukitke arah desa, sampai akhirnya kami sampai di rumah setelahhari gelap. Sesampainya di rumah aku merasa sangat lelahdan tidak fokus, aku terpeleset di tangga, jatuh dari kursi duakali, dan menghantam lampu gas dengan kepala sampai tigakali. Semua barang-barangku basah, termasuk segepok uangrupiah yang baru saja kuambil dari bank di kota. Aku meng-hamparkan semua uang kertas itu di atas jaring selambu un -tuk mengeringkan mereka. Kalau diingat, dirundung serentetkesialan di hari yang sama itu sebenarnya lucu.

25 April 1991. Hari ini aku melakukan Tur Keliling Kupang,yang artinya aku harus berkeliling ke beberapa kantor peme -rintah provinsi untuk menyelesaikan urusan izin akhir untukizin tinggal sementaraku. Aku sudah cukup banyak punyapengalaman dengan biro krasi ketika aku melakukan Tur Ke -liling Jakarta beberapa minggu lalu, tapi apa yang kusaksikanhari ini menurutku sangat bodoh. Aku mengisi total sejum-lah 15 formulir, dan semuanya butuh pas fotoku. Apa sih

122 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 167: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

yang sebenarnya mereka perlukan dari formulir-formulir danfoto-foto itu? Apa ada yang membacanya, atau meng oleksi -nya? Selain itu aku juga harus memberikan cap jari dari ke -sepuluh jariku! Sejak di Jakarta aku sudah berkeliling ke be -berapa kantor dinas: Sospol, Imigrasi, Pusat Bahasa, LIPI,kantor Gubernur, dan banyak lagi, dan semuanya lebih darisatu kali. Apa sih yang mau dicapai atau dicegah oleh peme -rintah Indonesia de ngan segala prosedur kompleks ini?

Walaupun banyak di antara pegawai itu yang kerjanyalambat, mereka juga ramah. Jauh lebih baik dari pada parapegawai kotamadya yang kutemui di Amsterdam, merekacuek dan arogan. Hari ini di kantor imigrasi di Kupang akududuk berjam-jam dan memperhatikan apa yang merekalakukan. Ada sekitar sepuluh pe gawai di sana. Salah satu darimereka bekerja, sementara sembilan lainnya hanya meng -obrol, merokok, minum kopi, membaca ko ran, berjalan kesana-kemari, pergi belanja, dan macam-macam ke giatanremeh lainnya.

Aku baik-baik saja di sini, tapi merasa lelah mengurusisemua berkas-berkas ini. Aku harus melakukan semua yangberkaitan de ngan penelitianku sendiri: menulis proposal pe -nelitian, mengurus berbagai surat izin, bantuan dana, klaimbiaya, klaim asuransi, ta gi han-tagihan, belum lagi urusan pe -nelitian itu sendiri. Melakukan semua ini tanpa masukanatau bantuan dari orang lain itu terasa sangat berat. Apa iyapara mahasiswa PhD lain juga terlempar ke titik bawah se -perti ini? Melakukan penelitian seorang diri, masih oke, tapikenapa kok tidak ada seorang pun dari NWO (badan pen-danaanku) di Belanda, atau Pusat Bahasa, atau LIPI di Ja -karta atau di mana pun yang peduli dan mau membantukusedikit saja? Kenapa aku harus meminta sampai tiga atauempat kali sebelum mendapat tanggapan dari siapa pun?Hmm. Nampaknya aku perlahan telah kehilangan kesabaranakan birokrasi Belanda dan Indonesia. Yah, aku belajar ba -nyak dari perjalanan ini. Mungkin suatu saat pengalaman iniakan berguna di masa yang akan datang.

2 Mei 1991.Kemarin aku ngobrol dengan beberapa orang lela-ki di pasar, mereka menanyakan berapa harga tiketku ke

123TEMPAT FIELDWORK TERBAIK

Page 168: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Belanda. Ketika aku bilang harganya 3 juta rupiah, merekabilang dengan jumlah itu mereka bisa membeli 12 istri. Kalaubegitu, harga satu istri 250 ribu rupiah dong.

30 Mei 1991. Aku sempat mencuri dengar pembicaraan beri -kut antara dua orang lelaki di desa. P: Di Waingapu aku me -lihat seorang turis, yang merah dari atas sampai ke bawah!Rambut merah, kulit merah, benar-benar merah! M: Laki-laki atau perempuan? P: Perempuan. Tapi dia punya kumisbesar. M: Kumisnya hitam? P: Tidak, merah. M: Kalau begi-tu pasti laki-laki dengan rambut merah. P: Tidak! Itu benarwanita! M: Dan dia punya kumis hitam besar? P: Tidak,kumisnya merah!

8 Juni 1991. Jadi tertawa aku membaca formulir yang dikirimoleh NWO, mereka meminta aku melaporkan setiap detilinformasi jumlah hari izin sakit, izin liburan, dan berbagai je -nis izin lainnya. Aneh sekali! Apa mereka benar-benar ber -pikir aku sempat memikirkan jumlah izin tidak bekerja, harikerja, dan liburan di sini? Kalau aku bekerja dengan cara se -perti itu di sini, proyek ini tidak akan pernah berhasil.

12 Juni 1991. Keadaan tak menentu di sini. Kadang aku me -rasa baik, pekerjaan berjalan dengan lancar, dan aku meng -obrol lancar dengan orang-orang. Kadang banyak hal burukterjadi, aku tidak bisa memecahkan sebuah masalah linguis-tik di dataku, aku merasa kesepian dan putus asa, dan akuingin segera terbang pulang ke Belanda. Hal-hal yang baikdan buruk datang silih berganti, dan tidak mudah untuk meng -atasi perubahan suasana hati ini. Aku juga kadang merasaragu dengan manfaat dari keseluruhan penelitian lapanganini, dan hanya ada sedikit sekali motivasi untuk menyelesai -kannya di masa mendatang. Proses penyelesaian itu berartiaku harus datang ke sini paling tidak satu atau dua kali lagi,dan apakah aku mau melakukannya? Mari kita tunggu danlihat kemudian setelah aku kembali ke Belanda. Bukan sajakarena aku di sini sendirian tanpa ditemani suamiku, tapijuga karena aku melakukan semua pekerjaan besar ini se -orang diri. Tak ada pembimbing yang menjadi teman diskusi

124 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 169: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

tentang pekerjaan atau hal-hal lain terkait pekerjaan ini. Tapiaku harus berhenti mengeluh, kan aku sendiri yang memilihmelakukan ini.

Kemarin aku merekam beberapa cerita. Seminggu yanglalu, ada seseorang yang meninggal di desa (karena TBC),dan sekarang mereka menjaga jenazahnya. Jenazah itu dile-takkan di dalam sebuah drum minyak, yang kemudian ditu -tup rapat dan dibiarkan di te ngah ruangan dengan dijaga be -berapa orang semalaman. Pema ka mannya akan dilangsung -kan dalam waktu dua atau tiga bulan. Di zaman dulu, mayatorang yang meninggal akan dibiarkan tanpa drum, tapi bauanyirnya menimbulkan ide untuk penggunaan drum yangtertutup rapat. Orang-orang yang berjaga semalaman itu ti -dak semuanya tampak sedih; mereka main catur atau kartu,mengobrol, tertawa, dan tidur dekat jenazah itu.

Kemarin aku pergi ke sana untuk merekam tiga cerita.Aku tidak se ring melakukan rekaman, karena untuk melaku -kan transkripsi, menerjemahkan, dan menganalisa satu jamrekaman itu bisa memakan waktu sampai dua minggu! Tapiitu bisa jadi menyenangkan. Mereka juga bercanda. Gayacandaan mereka berbeda dengan gaya orang Belanda. Disini, lelucon itu dijelaskan secara gamblang sehingga per-mainan kata di bagian akhirnya menjadi sangat mudah dite-bak. Buatku lelucon semacam itu tidak lucu, tapi ketika men -dengar mereka tertawa terbahak-bahak, aku jadi ikut tertawa.Nah, sekarang kaset-kaset rekaman itu memandangiku, me -nunggu untuk segera diterjemahkan.

8 Juli 1991. Fieldwork ini hampir selesai. Satu bulan lagi se -belum kembali ke Belanda, tapi waktu berjalan cepat danmasih banyak hal yang harus kuselesaikan. Semuanya ber-jalan lancar. Aku jadi terbiasa hidup tenang dan santai di de -sa seperti ini. Tidak ada kegopohan yang memburu. Kadang -kala aku merasa aneh karena aku tampak sering bekerja le -bih keras dibanding orang-orang di sekitarku. Padahal sebe-narnya aku hanya bekerja beberapa jam saja di pagi hari, laluistirahat sejenak dari jam 1-4 siang, jalan-jalan keliling desauntuk ngobrol antara jam 4-6 sore, baru kemudian bekerjalagi beberapa jam di sore hari, sebelum tidur jam 10 malam.

125TEMPAT FIELDWORK TERBAIK

Page 170: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Memang kalau dibandingkan dengan cara kerja orang di sini,bekerja 5-6 jam sehari memang nampak ekstrem. Tapi dimasa panen padi mereka akan berada di bawah panas terik -nya matahari dari pagi sampai sore. Itu hal yang pasti takmungkin kulakukan.

___________

Pada Agustus 1991 saya pulang ke Belanda, dan kemudian adabanyak perjalanan ke Indonesia di tahun-tahun berikutnya.

Kadangkala ada mahasiswa yang ingin tahu seperti apa sihrasanya menjadi seorang peneliti perempuan yang melakukanfieldwork di Indonesia. Bepergian di Indonesia sebagai seorangperempuan muda bisa cukup berbahaya, walaupun sebenarnyahal yang sama bisa juga terjadi di Eropa. Saya ingat waktu itusaya sedang mengendarai sepeda motor di sepanjang jalur ping-gir pantai ketika beberapa orang laku-laki membuntuti saya,mengikuti dari samping, tanpa berkata apa-apa, hanya melihatke arah saya. Hal itu sangat-sangat mengerikan karena kamimasing-masing mengebut, saat itu tak ada kendaraan lain dijalan, dan saya sedang sendirian pula, jauh dari desa. Setelahbeberapa lama saya lalu melihat ke arah mereka sambil ber -teriak agar mereka pergi dan berhenti membuntuti, kalau tidaksaya akan panggil polisi. Akhirnya mereka pergi! Mungkin me -reka hanya penasaran dan ingin melihat seorang gadis kulit pu -tih dari dekat? Tapi memang di tahun yang sama ada dua turisbule yang dibunuh di Sumba ketika sedang mandi di su ngaigara-gara penduduk lokal mengira mereka adalah roh jahat.

Suatu hari saya menginap di sebuah losmen di kota, kamarsaya terletak di lantai dasar. Saya sengaja membiarkan jendelakamar terbuka karena udara panas, tapi tetap tertutup kelambu.Saya tidur di kasur dekat jendela, dan tiba-tiba di tengah malamsaya terbangun karena ada suara laki-laki yang berbisik melaluijendela dan ada tangan yang menyembul di antara kelambu

126 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 171: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

menggapai-gapai ke arah saya. Awalnya saya takut, tapi lalujadi sangat marah, saya pun berteriak: ”Hey, babi kau! Janganbuat begitu, kurang ajar! Pergi sudah, anjing!” Orang itu lalupergi, dan saya segera minta pindah kamar. Hal-hal seperti inibisa terjadi di daerah perkotaan atau dalam perjalanan, tapi ke -tika sedang di desa saya tidak pernah merasa takut ataupunmerasa terancam sama sekali.

Tapi tetap saja, sebagai seorang wanita muda, melakukanpenelitian lapangan di bagian timur Indonesia itu ada sisi su -sahnya. Dua puluh tahun yang lalu masih sangat susah bagi wa -nita untuk bepergian, karena transportasi umum yang sangatterbatas, dan ada norma-norma yang mengatur dengan siapasaya bisa pergi. Di satu sisi tidak pantas seorang wanita beper-gian dengan ditemani laki-laki, baik tua ataupun muda. Di sisilain, karena perempuan desa tidak biasa bepergian keluar, takada satu pun perempuan yang bisa saya ajak untuk menemanisaya. Karena inilah di hari-hari awal saya di Sumba saya tidakbisa melakukan survei sama sekali, ataupun sekadar berkelilingpulau untuk melihat-lihat.

Permasalahan yang lain terkait dengan posisi yang sayamiliki di komunitas lokal desa Sumba tempat saya tinggal. Disatu sisi, sebagai peneliti asing saya adalah tamu kehormatanmereka, jadi posisi saya sewajarnya adalah di ruang depan, ber -sama dengan para tetua, dan termasuk dalam kelompok yangpertama menerima makanan. Tapi sebagai seorang wanita mu -da, seharusnya saya juga ada di dapur, membantu memasak,dan makan setelah semua bapak-bapak selesai makan. Jalantengahnya, kadang-kadang saya diletakkan di ruangan ter sen -diri, lalu makanan akan diantar dan saya pun makan sendirian.Di saat-saat seperti itulah saya merasa terasing dan sendirian.Tapi segera setelah saya selesai makan, saya bebas pergi ke ba -gian belakang rumah dan mengobrol dengan para ibu-ibu, lalubeberapa lelaki yang lain akan menyusul ke belakang rumah

127TEMPAT FIELDWORK TERBAIK

Page 172: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dan ikut nimbrung dalam obrolan.Beberapa fieldwork terakhir saya lakukan ketika saya sudah

mencapai usia paruh baya. Dalam usia ini saya bisa lebih mu -dah bepergian dengan satu atau lebih asisten laki-laki, karenadari segi usia bisa dibilang saya pantas menjadi ibu mereka, jaditidak tabu lagi untuk duduk mengobrol dengan orang laki-laki.Hal inilah yang membuat saya bisa melakukan banyak surveibahasa dalam beberapa tahun terakhir. Menjadi lebih tua itu je -las sangat menguntungkan di Indonesia!

Buat saya yang paling menginspirasi dari orang-orang In -donesia adalah betapa ramahnya mereka kepada orang asing.Di mana pun Anda berada, akan ada orang yang siap untukmembantu, penuh senyuman dan niatan untuk membuat Andanyaman. Walaupun mereka lelah atau sebenarnya terganggu,mereka tidak akan menampakkannya pada para tamu. Sebagaiseorang tamu dan peneliti, kamu mungkin akan melakukanatau mengatakan sesuatu yang aneh, tapi tetap mereka akanmemakluminya. Sikap menerima ini sangatlah menentramkan!Orang-orang Belanda sepatutnya bisa belajar banyak dari sikapini dalam menyambut orang-orang asing yang datang berkun-jung ke negara mereka.

Singkat kata, fieldwork di Indonesia telah mengajarkan ba -nyak hal tentang berbagai masyarakat di Indonesia dan bahasa-bahasa mereka. Melalui fieldwork juga saya belajar bergaul da -lam budaya baru, melakukan penelitian dalam berbagai situasiyang kadang tidak terduga, tanpa merasa malu. Hal tersebuttelah membentuk karier saya. Namun yang perlu di ingat, takakan ada satu pun dari hal yang ini yang bisa tercapai tanpabantuan, keramahan, dan pertemanan yang luar biasa dariorang-orang yang saya temui dalam setiap langkah perjalanansaya. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.

128 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 173: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

1. Fakultas Ilmu Humaniora

S aya tiba di Leiden pada penghujung 2014 untuk memu lairiset doktoral saya di bidang linguistik dengan tema des -

kripsi fonologi dan sosiolinguistik dari Bo so Walikan Malang -an, dengan beasiswa kerjasama antara pemerintah Indonesiadan Universitas Leiden. Boso Walikan Malangan, yang biasadisingkat sebagai Walikan, adalah sebuah bahasa gaul yang di -gunakan oleh orang-orang di kota Malang untuk menonjolkanidentitas kultural mereka. Sesuai namanya, da lam Walikankata-kata dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia meng -alami proses pembalikan fonem. Contohnya, kata “saya” diba-lik menjadi “ayas”, dan kata “malang” dibalik menjadi “nga -lam”. Dalam rancangan penelitian saya, data ha rus diambildengan cara kembali ke Malang selama beberapa bulan agarsaya bisa merekam percakapan dan narasi dari para penutur asliWalikan. Hampir sebagian besar dari kami, yang berada dalamnaungan Faculteit Geesteswetenschappen1 dan ber asal dari skemabeasiswa yang sama, mengambil data dengan terjun langsung

Fieldwork di Rumah Sendiri

NURENZ IA YANNUAR

Page 174: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

2. Dalam artikel ini istilah fieldwork digunakan karena dirasa lebih praktis daripada kerjalapangan.

130 CATATAN DARI LAPANGAN

ke lapangan. Proses pengambilan data tersebut lazimnya dise-but fieldwork2, yang secara harafiah bisa diterjemahkan sebagaikerja lapangan.

Fieldwork bisa diibaratkan sebagai pedang bermata dua.Bagi mereka yang telah berpengalaman, fieldwork adalah tahap -an yang mengasyikkan sebab mereka akan pulang ke tanah airuntuk beberapa waktu. Fieldwork memang menjanjikan kesem-patan untuk bertemu keluarga yang dirindukan, namun bagiyang belum berpengalaman, fieldwork itu bagaikan medan pe -rang yang penuh misteri. Banyak hal bisa terjadi dalam sebuahfieldwork. Untungnya, buku-buku dan kelas metode pengambil -an data linguistik lapangan yang pernah saya ikuti telah meng -gambarkan sekelumit lika-liku yang berkaitan dengan narasum-ber dan penguasaan medan penelitian.

Penguasaan bahasa lokal dan pengetahuan dasar tentangdaerah penelitian adalah dua hal utama dalam bidang linguistiklapangan, di mana seorang linguis atau ahli bahasa harus da -tang ke sebuah lokasi dan merekam penggunaan bahasa yangdia teliti. Penguasaan bahasa sangat penting agar si linguis bisaberkomunikasi dengan penduduk setempat dan narasumber,sementara pengetahuan soal tempat dan navigasi diperlukanagar bisa leluasa menjelajah daerah penelitian untuk menemu -kan narasumber atau sekadar melakukan observasi. Menurutdua pembimbing saya, Prof. Marian Klamer dan Dr. TomHoogervorst, di atas kertas saya tidak akan memiliki masalahmengenai narasumber dan medan penelitian. Topik penelitiansaya adalah BosoWalikan Malang, sementara saya sendiri lahirdan besar di Malang. Pemahaman saya tentang bahasa lokal diMalang dan tempat-tempat di Malang seharusnya sudah di atasrata-rata.

Page 175: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

131FIELDWORK DI RUMAH SENDIRI

Setiap kali saya membicarakan mengenai rencana dan ran-cangan fieldwork, saya melihat respons yang hampir sama darite man-teman dan bahkan pembimbing. Mereka mengira sayaha nya perlu merekrut teman-teman dekat untuk menjadi nara-sumber lalu merekam pembicaraan mereka. Sejenak saya sem-pat memiliki pikiran yang sama dengan mereka sehingga me -rasa bahwa fieldwork ini akan berjalan lancar dan sangat mudah.Di luar dugaan, setelah empat bulan pada 2015 dan empat bu -lan lagi pada 2016 saya habiskan di Malang untuk keperluanfieldwork, saya bisa merasakan bahwa fieldwork yang saya laku -kan menyuguhkan tantangan dan pengalaman baru. Fieldworkyang berlangsung selama delapan bulan tersebut memberikansaya cara pandang baru tentang kota tempat saya tumbuh besar.Kacamata sosiolinguistik yang saya pakai menghadirkan Ma -lang yang tak pernah saya kenal. Perjalanan fieldwork tersebutmampu membawa saya ke tempat-tempat asing, menemuiorang-orang baru, yang tidak akan mungkin saya temui jikasaya tidak melakukan penelitian ini.

Di awal penelitian, saya memulai dengan melibatkan te -man-teman dan keluarga dekat sebagai responden, namun ten -tu saya tidak mau berhenti di situ. Saya pun memperluas per -gaulan demi menemui orang-orang baru. Salah satu yang pa -ling menantang adalah ketika saya harus memasuki jaringanpergaulan orang-orang berusia di atas 50 tahun. Bukan hal yangmudah tentu saja, karena usia saya baru 30 tahunan dan sebe -lumnya saya menghabiskan banyak waktu dengan orang-orangyang sepantaran saja. Orang-orang yang lebih tua biasanya le -bih tertutup pada seseorang yang lebih muda, oleh karena itusaya menggunakan strategi khusus, di mana saya mendekatimereka lewat orang yang mereka kenal dengan baik.

Suatu ketika ibu saya memberitahu bahwa ada seorang ke -nalannya, seorang profesor berusia 70 tahunan, mengaku bisamenggunakan bahasa Walikan. Kabar baik ini segera saya sam-

Page 176: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

132 CATATAN DARI LAPANGAN

but. Saya pun segera membuat janji dengan beliau. Ketika ber -temu di lingkungan kampus, beliau ternyata lumayan kaku danpunya pandangan agak negatif terhadap Walikan. Walikan di -anggapnya punya kaitan erat dengan orang-orang jalanan ataukampungan. Ketika saya meminta beliau mengucapkan bebera-pa kalimat dalam Walikan, beliau pun keberatan. Terus terangsaya kecewa dan jengkel dengan tanggapan beliau. Mungkinkarena itu mata saya jadi berkaca-kaca. Menyadari si tuasi tidakmengenakkan ini, beliau kemudian mencoba me nawarkan ban-tuan dengan berucap, “Mbak, mungkin bertemu saja dengandua kawan saya yang masih tinggal di daerah kampung itu.Saya bisa berikan kontaknya.”

Segera saja saya sambar kesempatan tersebut tanpa basabasi. Beberapa waktu berselang saya berkesempatan untuk me -nemui dua orang bapak-bapak berusia hampir 70-an yang di -rekomendasikan oleh profesor itu. Dengan penuh antusias me -reka menjawab semua pertanyaan saya tentang Walikan. Mere -ka bahkan mengundang saya untuk mengunjungi area kam-pung tempat tinggal mereka yang terselip di pusat kota Malangdan mengajarkan puluhan kosakata Walikan khusus yang hanyapopular di kampung tersebut di era 1970an. Syukurlah, akhir -nya saya bisa menambah koleksi data yang berharga.

Di waktu yang lain saya pernah bertamu ke rumah orangtua dari mantan mahasiswa saya, karena saya mendapat infobahwa beliau mampu menggunakan bahasa Walikan. Di sanaternyata beliau telah mengundang dua orang tetangganya yangjuga bisa berbahasa Walikan. Wah, sempurna, saya bisa memin -ta mereka bercakap-cakap dalam Walikan. Tak disangka, salahseorang dari mereka berhenti di tengah percakapan, dan halyang sama terus berulang sampai sekitar setengah jam. Dia punmelayangkan protes. “Tidak bisa mbak, saya tidak bisa dipaksamenggunakan Walikan. Penggunaannya harus dalam situasiyang santai dan dengan teman sendiri!” ujarnya dengan nada

Page 177: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

133FIELDWORK DI RUMAH SENDIRI

meninggi. Saya pun berusaha menjelaskan pada beliau bahwasaya tidak memaksa dan hanya meminta mereka berbincang se -perti biasa. Kalau kehadiran saya mengganggu, saya akan pergimenjauh. Lalu saya nyalakan alat perekam dan pergi menjauh.Sejurus kemudian dia menyalahkan alat perekamnya yang ka -tanya mengganggu konsentrasi. Setengah jam berikutnya punhabis dengan keluhan-keluhan beliau yang tidak suka denganmetode pengambilan data saya. Apa pun cara yang saya cobaberikutnya, sesuai teori dalam buku panduan, tak ada yangmampu memuaskannya. Apa boleh buat, akhirnya saya pamitmundur teratur, sambil membuat janji baru dengan keduaorang bapak lainnya yang lebih kooperatif.

Bertemu dengan narasumber yang usianya jauh lebih tuamemang banyak kejutan. Pernah juga saya dicecar berbagaipertanyaan oleh salah seorang anggota diskusi bersama komu-nitas seniman kota Malang. Beliau mempertanyakan pendapatpribadi saya soal Walikan dan pendekatan penelitian yang sayapakai. Kalau diingat lagi, saat itu situasinya agak tegang, kare-na seharusnya beliau yang menjadi responden, tapi malah sayayang dicecar. Namun pada kesempatan lain, saya bertemu sese-orang yang sangat antusias dan kooperatif. Beliau adalah peng -rajin sepatu kulit yang saya temui di rumahnya, yang sekaligusmerupakan bengkel kerjanya. Setelah sesi wawancara sosio -linguistik, beliau masih berkenan menuturkan sebuah narasipanjang dalam bahasa Walikan. Beliau sangat ingin saya men-dapat data yang baik. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh seo-rang ibu berusia 60-an akhir yang sebenarnya tidak terlalu lan-car dalam berbahasa Walikan namun tetap bersemangat menu-turkan pengalamannya di masa lalu ketika menggunakanWalikan. Beliau bahkan membekali saya dengan catatan kosa -kata Walikan yang disusunnya semalam sebelumnya. Sungguh,buat saya dinamika sesi-sesi tersebut berkesan sekali.

Lantas, bagaimana dengan jaringan pergaulan anak muda -

Page 178: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

134 CATATAN DARI LAPANGAN

nya? Ternyata sama saja, banyak kejutan dan lika-liku yangtidak kalah menggairahkannya. Agar lebih bisa membaur, sayameminta seorang mantan mahasiswa saya mengumpulkanteman-temannya dan berkumpul di sebuah kafe untuk wawan-cara dan diskusi mengenai Walikan. Karena mereka memangbiasa nongkrong di malam hari, maka saya mau tak mau harusikut jadwal mereka. Jadilah saya nongkrong sambil minum kopidi tengah hingar bingar musik dan kepulan asap rokok sampailarut malam bersama segerombolan anak muda. Beberapa kafeanak muda di seputaran Malang pun rutin saya kunjungi satuper satu, mulai dari kafe yang agak mahal hingga yang palingmurah. Di tempat-tempat inilah saya menghabiskan banyakwaktu bersama penutur Walikan dari kalangan anak muda.Rasanya seperti terlempar kembali ke saat-saat remaja betahun-tahun silam. Saya pun jadi tahu bahwa anak muda zamansekarang tidak jauh berbeda dengan yang dulu, sukanya nong -krong dan ngobrol bersama teman hingga tengah malam.

Memang benar, sesi wawancara sosiolinguistik, perekamannarasi atau percakapan di antara anak muda jauh lebih mudahdibandingkan dengan sesi bersama orang-orang yang lebih tua.Mereka lebih rileks, dan tak pernah mengajukan pertanyaanyang penuh kecurigaan pada saya. Tapi tantangan datang da -lam bentuk lain. Saya merasa bahwa membuat janji temu de -ngan anak-anak muda itu perlu kesabaran ekstra. Beberapa darimereka saya rekrut melalui survei di berbagai sosial media, jadisaya tak pernah bertemu mereka sebelumnya. Setelah merekamengisi survei dan meninggalkan nomor telepon atau alamat e-mail, mereka saya kontak dan lalu berlanjut ke janji ketemuan.Yang sering terjadi adalah mereka suka mengubah jam perte-muan atau membatalkan janji begitu saja. Awalnya itu sangatmengesalkan, tapi lama kelamaan saya jadi mengubah carapandang saya. Kalau satu tidak bisa, segera hubungi yang lain.Saya usahakan mengatur jadwal yang sefleksibel mungkin,

Page 179: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

135FIELDWORK DI RUMAH SENDIRI

meskipun itu berarti saya harus mengorbankan waktu bersamakeluarga. Tidak apa-apa, sekali ini saya harus bisa mengikutigaya janjian ala anak muda.

Di balik gaya janjian mereka yang sangat santai, ada ba -nyak anak muda hebat dari berbagai latar belakang yang ber ha -sil saya temui. Ada seorang penyanyi kafe yang juga sesekalipentas di panggung besar. Ada dua orang pemuda sekolah me -nengah yang sedang berupaya menjadi artis YouTube. Ada puladua orang pengusaha kaos lokal bertema Walikan yang sangatsukses, dan juga seorang komika pemerhati sejarah kota Ma -lang yang rajin membuat acara-acara bertema nostalgia ma salalu Malang. Mereka semua masih belia, tapi masing-masingmemiliki caranya sendiri untuk berkarya. Boleh dibilang sayaterinspirasi oleh semangat mereka.

Perjalanan fieldwork di Malang juga membawa saya ke ling -karan selebriti lokal, orang-orang yang bisa dibilang sebagaipublic figure di kota Malang. Mulanya saya menghubungi man-tan rekan siaran saya di radio, dia ini masih aktif siaran di salahsatu radio anak muda paling hits di Malang. Melalui dia, sayadikenalkan dengan pentolan band pendukung Arema, tim bolakebanggaan warga kota Malang. Kami pun ngobrol panjanglebar di sebuah kafe di mana banyak juga anggota Aremaniayang sering nongkrong bersama anggota band tersebut. Melaluiseorang rekan penyiar yang lain pula saya sempat bertemu de -ngan seorang pembawa acara televisi lokal. Beliau biasanyamembawakan acara info kriminal yang uniknya disampaikandalam bahasa Walikan. Bagi saya, ini adalah sebuah pengalam -an berharga yang tak mungkin saya peroleh jika tanpa melaluipenelitian ini.

Ada juga orang terkenal lain yang berhasil saya temui me -lalui serangkaian jaringan perkenalan. Awalnya seorang na ra -sumber menyebutkan tentang sebuah komunitas pemerhati ma -salah sosial dan lingkungan hidup yang digawangi oleh mantan

Page 180: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

136 CATATAN DARI LAPANGAN

guru SMAnya. Saya pun diberi nomor kontak guru ini. Walau -pun awalnya ragu akhirnya saya hubungi beliau. Setelah ber -tukar pesan di WhatsApp, beliau mengundang saya untuk da -tang ke acara komunitas tersebut di area Malang Car Free Day.Seusai sesi observasi dan wawancara dengan anggota ko muni -tas tersebut, saya didatangi oleh seorang pria yang meng akumengantongi kontak dengan sebuah radio yang memiliki siarandalam bahasa Walikan. Wah, saya senang sekali, karena me -mang sudah lama saya mencoba menghubungi penyiarnyanamun tanpa hasil. Dari rangkaian perkenalan yang penuh ke -betulan itu, saya akhirnya dapat membuat janji dengan sang pe -nyiar terkenal yang sangat sibuk itu.

Selain kafe anak muda dan kampung yang terselip di pusatkota Malang, penelitian ini juga membawa langkah kaki saya kesebuah tempat yang tak pernah saya injak sebelumnya: stadionsepakbola! Tak pernah sekalipun saya pergi menonton bola, se -bab bagi saya menonton bola yang baik dan aman itu di depanlayar televisi saja. Tak perlu berdesak-desakan dengan penon-ton lain, tak perlu menghirup asap rokok di stadion, dan takperlu takut akan risiko tawuran kalau timnya kalah. Tapi kaliini saya harus masuk stadion dan menonton pertandinganArema secara langsung. Demi kepentingan observasi, saya ha -rus melihat sendiri bagaimana bahasa Walikan digunakan dikalangan komunitas suporter. Jadilah saya duduk di bangku sta-dion yang gegap gempita oleh yel-yel suporter, merekam danmengambil foto, dan mengabadikan penggunaan bahasaWalikan di dalam stadion.

Jika ada kesimpulan yang harus diambil, fieldwork di ru -mah sendiri ini ternyata menghadirkan tantangan tersendiridan pengalaman yang begitu kaya. Saya bertemu dengan berba-gai orang dari kelompok usia yang berbeda. Gaya komunikasimereka tidak sama, dan saya dituntut mampu menyesuaikandiri. Saya bertemu dengan berbagai komunitas yang memiliki

Page 181: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

137FIELDWORK DI RUMAH SENDIRI

ketertarikan beragam. Situasi ini membuat saya harus mampumenyelaraskan diri dengan minat mereka. Saya pun berkesem-patan mengunjungi tempat-tempat yang sebelumnya tidak per-nah terbersit niat sedikit pun untuk mengunjunginya. Sebuahproses yang semula agak dipaksakan namun berujung peng -alaman yang mengasyikkan. Singkat kata, jangan pernah mere-mehkan fieldwork walaupun kita melakukannya di sebuah dae -rah yang sudah kita kenal dengan baik.

Page 182: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

A dalah sebuah keniscayaan bahwa seorang peneliti se -baiknya mampu mengolah, menganalisis, dan meng -

interpretasi datanya. Dengan demikian, seorang peneliti harusberada dekat dengan datanya. Namun, wajibkah seorang pene -liti berada dekat dengan sumber datanya? Pertanyaan ini kemu-dian menimbulkan banyak perdebatan di kalangan peneliti itusendiri. Di kalangan linguis misalnya, perdebatan mengenaifield linguist vs. armchair linguist sudah berlangsung cukup lama,sangat lama bahkan.

Namun dalam tulisan ini, saya bukan hendak memberikandukungan kepada salah satu kubu tersebut. Di sini saya hendakmemperkenalkan Suku Woirata yang mendiami Pulau Kisar dibagian timur Indonesia, tepatnya di Kabupaten Maluku BaratDaya, Provinsi Maluku. Mendengar nama suku dan bahkannama pulau tersebut, saya pun dulu merasa tidak familiar. Dibenak saya pada saat itu, apa benar ada pulau yang namanyaPulau Kisar? Seperti apa bentuknya? Bagaimana orang-orangyang mendiami pulau itu? Ya, dalam tulisan ini, saya hendakberbagi pengalaman pertama saya ketika menjadi seorang field-

Data Ini Milik Siapa?

NAZARUDIN

Page 183: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

139DATA INI MILIK SIAPA

worker di bidang linguistik, ketika menjadi seorang pendoku-mentasi bahasa, dan ketika menjadi seorang “pribadi” yangmencoba masuk, mengenali, serta meneliti komunitas lain.Tulisan ini merupakan catatan awal dari perjalanan etnografissaya dalam meneliti sebuah bahasa kecil, bahasa Woirata, yangterancam punah.

Berangkat ke Lapangan, Beretnografi

Kali pertama berangkat ke lapangan, dapat dibilang saya cukupberuntung. Saya tiba di Pulau Kisar pertama kali pada Juni2012. Pada saat itu, saya datang bersama dua orang rekan pe -neliti dari Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan(P2KK) LIPI. Kami bertiga (satu orang sejarawan, satu orangantropolog, dan satu orang linguis) memiliki tanggung jawabyang berbeda meski dengan objek pe nelitian yang sama, yaitumeneliti bahasa dan budaya orang-orang Woirata. Pada kun-jungan pertama ini, kami hanya me miliki sekitar 14 hari efektifdi lapangan. Ada banyak hal yang ternyata hadir di luar ren-cana, misalnya sulitnya mencari transportasi ke Pulau Kisar.Hanya ada kapal laut satu kali setiap dua minggu dengantujuan ke Ambon atau Kupang. Dalam satu minggu, hanya adadua kali jadwal penerbangan dan jadwal ini harus kita cek sen -diri dan sangat bergantung kepada cuaca karena pesawat yangdigunakan adalah pesa wat perintis yang hanya mampu meng -angkut maksimal 18 pe numpang dengan bagasi maksimal 10kg. Di samping itu, ke langkaan listrik di Pulau Kisar ini jugamenjadi kendala yang cukup menyulitkan karena di pulau inipada saat itu kami ha nya bisa menikmati akses listrik selama 8jam setiap 3 hari.

Dengan situasi lapangan yang seperti itu, rencana-rencanayang sudah kami buat sebelumnya pun pada akhirnya harus di -rombak. Jadwal pengambilan data harus disesuaikan lagi.

Page 184: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

140 CATATAN DARI LAPANGAN

Paling tidak, dari fieldwork pertama ini saya mampu mengetahuibahwa sebuah penelitian lapangan tanpa adanya masa adaptasidan pengenalan lapangan merupakan hal yang sangat sulit un -tuk dilakukan. Penelitian lapangan yang pertama bagi saya,yang penting bukan seberapa banyak data yang berhasil sayakumpulkan, melainkan seberapa dekat saya sudah menjalin hu -bungan baik dengan penduduk setempat. Seberapa banyak sayasudah mengenal penduduk lokal yang memiliki potensi baiksebagai calon informan saya.

Mengenai informan ini pada dasarnya cukup sulit karenadalam penelitian linguistik lapangan ada beberapa kriteria yangperlu dipenuhi (kriteria fisik dan sosial) untuk memilih seseo-rang sebagai informan bahasa yang baik, di antaranya adalahdia berasal dari keluarga yang kedua orangtuanya berbahasaibu yang sama. Selain itu, secara fisik, sebaiknya informan ba -hasa itu tidak terlalu tua dan masih memiliki gigi yang leng kapagar tidak memengaruhi penggunaan bahasa mereka. Namuntetap saja, pada kenyataannya, mencari informan yang idealuntuk penelitian bahasa minoritas itu bagai mencari jarum ditumpukan jerami. Bagaimana tidak, bahasa minoritas tersebutbiasanya statusnya sudah terancam punah dan sudah diting-galkan oleh penuturnya. Dengan kata lain, hanya orang tuayang masih fasih berbahasa itu. Pada kasus bahasa Woirata,misalnya, laki-laki yang berumur di bawah 40 tahun sudahtidak lagi menggunakan bahasa Woirata sebagai bahasa sehari-sehari. Jadi hanya orang tua yang masih menggunakan bahasaWoirata dan ditambah pula dengan terputusnya transmisiantargenerasi.

Bahasa Woirata yang saya teliti ini adalah bahasa daerahpertama yang saya pelajari dan dokumentasikan dalam per-jalanan sebagai seorang linguis. Sebagai seseorang yang memi-liki ketertarikan khusus kepada bahasa, saya seperti terbawadalam keasyikan mencatat dan mengumpulkan kosakata, hing-

Page 185: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

141DATA INI MILIK SIAPA

ga bermain-main dengan kalimat baru yang saya pelajari sela-ma melakukan penelitian di Pulau Kisar. Saya masih ingatbagaimana senangnya saya menggunakan kalimat yang seakansesuai dengan kondisi saya pada saat itu, yaitu, “Ante was mut-duke to poin metden lapan nawa.” Yang kalau dibuat glosing-nyaakan menjadi seperti di bawah ini.

Saya sangat gemuk, jadi saya tidak boleh makan terlalu banyak.

Namun, pendokumentasian bahasa berbeda dengan mem-pelajari bahasa. Dalam pendokumentasian bahasa kita jugamesti memperhatikan hal-hal lain yang kemungkinan meme -ngaruhi perkembangan dan keberadaan bahasa itu. BahasaWoirata, misalnya, tidak hanya berdiri sendiri dan menjadi ba -hasa tunggal yang digunakan di pulau itu. Bahasa Woirata hi -dup berdampingan dengan Bahasa Meher, sebuah bahasaAustronesia yang memiliki penutur mayoritas di pulau itu,yaitu sekitar 10 ribu penutur. Di samping itu, bahasa Woiratajuga masih harus berbagi ranah penggunaan dengan bahasavernakuler yang dipakai sebagai lingua franca lokal, yaitu se buahbahasa yang oleh Van Engelenhoven disebut dengan BahasaMelayu Tenggara Jauh (MTJ). Sebuah varian bahasa Melayulokal (lebih mirip dengan bahasa Melayu Ambon yang dipakaidi Maluku Tengah) yang pemakaiannya berkembang pesat diwilayah kepulauan Maluku Tenggara dan Maluku Barat Daya.

Jadi, saya pun perlu tahu dan sedikit mempelajari bahasa-bahasa lain yang bersinggungan dengan bahasa Woirata.Dimulailah kembara bahasa saya di Indonesia bagian timur ini.Sebuah pulau kecil ini ternyata memiliki paling tidak empatbahasa yang bersentuhan, yaitu bahasa Indonesia, bahasa MTJ,bahasa Meher, dan satu lagi bahasa Fataluku (bahasa ini ditu-turkan di Tutuala, Los Palos, Timor Leste dan menurut bebe -rapa linguis merupakan dialek dari bahasa Woirata). Kembara

Page 186: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

142 CATATAN DARI LAPANGAN

ini pun pada akhirnya mengantar kan saya pada suatu wilayahpenelitian yang sangat menantang, sekaligus kaya, dan meski -pun kadang bisa menyesatkan seperti labirin yang tak adahabisnya, tetap saya harus berfokus untuk beretnografi di sini,di dua desa di Pulau Kisar, Desa Woirata Barat dan WoirataTimur.

Saya pun tinggal di rumah penduduk di Desa WoirataBarat, yaitu rumah Pak Otis Ratumurun dari Soa (clan)Audoro.Saya mengikuti kegiatan hari-hari Pak Otis, mu lai dari pagihingga sore hari. Pagi hari mereka mulai de ngan pergi ke tan-jung untuk membuka kandang kambing. Kambing-kambing itumereka lepas agar dapat mencari makan sendiri. Biasanya me -reka akan kembali untuk memanggil kambing-kambing merekapada sore hari menjelang magrib dan menu tup kandang. Se -telah kembali dari tanjung di pagi hari, mereka lanjut bekerja dikebun, “hala pai”, untuk menanam jagung dan kacang-kacang -an serta sayuran. Hasil kebun ini sebagian kecil dijual dan seba-gian besar untuk dipakai sebagai konsumsi pribadi. Sore hari -nya, laki-laki Woirata biasanya pergi mengumpulkan getah koli(getah aren) yang sudah mereka sadap sejak malam. Getah itumereka kumpulkan dan mereka masak untuk membuat minum -an beralkohol, sofi, (tua pai) atau untuk membuat gula merah.Pada malam hari mereka ber istirahat, meskipun ada sebagianyang pergi ke pantai untuk berenang dan mencari ikan.

Penutup

Woirata Maaro atau orang-orang Woirata adalah salah satudari ratusan atau bahkan ribuan suku yang tinggal di wila yahIndonesia. Mereka juga adalah satu di antara ratusan suku yangbahasa sudah mulai terancam punah. Mereka adalah salah satudari sekian banyak suku yang berusaha mempertahankan eksis-tensi, bahasa, dan budaya mereka di tengah ber kembangnya

Page 187: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

143DATA INI MILIK SIAPA

Indonesia dan ide-ide persatuan lainnya. Ada harga yang harus kita bayar atas nama persatuan ini.

Menurut saya, dengan kita menyetujui bahwa bahasa Indonesiaadalah bahasa persatuan, dengan kata lain, kita juga menyetu-jui bahwa bahasa daerah-daerah tersebut adalah bahasa yangkedua, mungkin juga bahkan yang ketiga, keempat, kelima, dst.Dengan demikian, bahasa-bahasa tersebut tidak mempunyaistatus yang jelas dan kurang mendapat perhatian dari banyakpihak, ditambah pula bahasa-bahasa itu masih ha rus bersaingdengan bahasa asing, serta bahasa vernakuler yang kemudianditahbiskan menjadi sebuah lingua franca lokal oleh masyarakatyang majemuk.

Saya masih ingat, dalam sebuah wawancara yang sayalakukan kepada informan (seorang Woirata berumur di atas 50tahun), informan tersebut mengatakan bahwa dulu ketika mere-ka sekolah dasar, mereka akan mendapat hukuman jika keda -patan berbicara dengan bahasa dae rah mereka sendiri di seko-lah. Mulut mereka diberi cabai yang pedas. Eksistensi bahasaWoirata yang ada hingga saat ini me rupakan salah satu bentukkeinginan keras penutur bahasa Woirata, salah satu bentuk ke -pedulian dari Woirata Maaro. Pada hakikatnya, keberlangsung -an sebuah bahasa akan selalu bergantung kepada penuturnya.Perlu juga kita ingat, mereka pun juga memiliki hak untukmenggunakan bahasa mereka sendiri.

Ketika saya mengawali catatan ini, saya berpikir bagai -mana cara saya mengakhiri catatan kecil ini. Sebuah kalimatharapan mungkin pas di sini. Ante woirata sohon tie inahanawepe’ena. Isohon tie lukluku pe’ena.

Saya ingin mempelajari bahasa Woirata. Saya ingin bercerita de -ngan bahasa ini.

Page 188: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Studi doktoral saya di bidang linguistik dimulai pada Sep -tember 2012 di Leiden University Centre for Linguistics

(LUCL), Universitas Leiden, Belanda. Itu pun melalui sebuahperjuangan yang sangat panjang. Selama enam tahun sejak sayatamat S2 bidang linguistik dari Universitas Udayana, Bali, ke -gagalan demi kegagalan melamar beasiswa S3 ke berbagai tem-pat di luar negeri telah saya lalui. Awal 2012, berita sukacita itupun akhirnya tiba. Nama saya tertera dalam daftar nama yanglolos beasiswa luar negeri Dikti tujuan negeri Belanda. Sebe -narnya ini bukan kali pertama saya berangkat ke Leiden. Sayapernah mengunjungi Leiden pada pertengahan 2010 karenadilibatkan dalam proyek penelitian “In Search of Middle Indo -nesia” yang didanai oleh KITLV Leiden. Waktu itu saya beker-ja sebagai asisten peneliti bahasa Melayu Kupang untuk Prof.Joseph Errington dari Yale University, AS. Saat itulah sayaberkesempatan berkenalan singkat dengan Dr. Aone vanEngelenhoven. Walaupun saat itu musim panas, saya dapat me -rasakan sejuknya cuaca Belanda dan nuansa akademis di per-pustakaan KITLV dan perpustakaan Universitas Leiden. Saya

Bahasa Dhao:Catatan LapanganSeorang Linguis

JERMY BALUKH

Page 189: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

pun dapat mengakses be berapa dokumen tertulis tentang ba -hasa dan budaya daerah asal saya, Rote. Hati saya sangat se -nang. Saya pun termotivasi melanjutkan studi ke negeri Belan -da. Selanjutnya, komunikasi dengan Dr. van Engelenhovenmelalui e-mail terus berlanjut hingga beliau bersedia menjadipembimbing S3 saya. Kemudian saya diarahkan untuk meng -hubungi Prof. Maarten Mous untuk menjadi promotor saya.Beliau pun bersedia.

Untuk penelitian S3, saya mengambil keputusan untuk me -ngerjakan tatabahasa (grammar). Bahasa yang menjadi objekpenelitian saya adalah Dhao, sebuah bahasa yang dituturkanoleh sekitar 3.000 orang di sebuah pulau kecil bernama Ndao,Kabupaten Rote-Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).Sebuah pulau kecil di wilayah paling selatan kepulauan Indo -nesia. Pulau Ndao sendiri hanya memiliki panjang kurang lebih6 km dan lebar 2,5 km. Pulau yang nyaris tak kelihatan dalampeta Indonesia. Pilihan terhadap topik tatabahasa denganobyek Bahasa Dhao tentu me miliki alasan tersendiri. Pertama,Bahasa Dhao merupakan salah satu bahasa minoritas di NusaTenggara yang terancam punah. Bahasa ini dituturkan di pulaukecil yang terisolasi baik secara geografis maupun sosial-ekono-mi. Tidak ada sawah atau ladang di daerah itu, kecuali bebera-pa kebun kecil di sekitar rumah penduduk. Mayoritas laki-lakiNdao adalah nelayan dan pandai perak/emas, sedangkan pe -rempuan bekerja sebagai pe nenun kain bermotif lokal. Olehbeberapa antropolog luar, pulau ini disebut the island of gold.Bahasa Dhao sendiri meng alami kontak yang sangat intensifdengan bahasa sekitar seperti bahasa Rote dan Melayu Kupang.Baik secara linguistik mau pun kultural, masyarakat Ndao su -dah lama mendapat peng aruh dari tetangganya, Rote. Ciri ba -hasa dan budaya pun beru bah dari waktu ke waktu. Para penu-tur yang aktif berbahasa Dhao pun semakin berkurang. Banyakyang pindah ke pulau-pulau tetangga karena kepentingan pen-

145BAHASA DHAO

Page 190: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

didikan maupun ekonomi. Faktor-faktor inilah yang membuataspek-aspek linguistik dari Bahasa Dhao menjadi menarikuntuk dikaji.

Kedua, belum ada linguis lokal yang mengurus bahasa ini.Saya sendiri asli orang Rote, sehingga melihat Ndao sebagai se -suatu yang lain, apalagi bahasanya yang jauh berbeda denganRote. Tapi, saya harus mengambil keputusan untuk melakukanpenelitian di Ndao. Nama “Ndao” yang digunakan bersamadengan “Rote” pada nama wilayah kabupaten itu, yaitu Rote-Ndao, bukan sekadar nama, tapi memiliki nilai kultural-historistersendiri. Karena itu, saya ingin memberi kontribusi bagi anakdaerah dalam hal kajian linguistik Bahasa Dhao. Penelitianyang nantinya menghasilkan produk tatabahasa sangat berman-faat tidak hanya bagi masyarakat penutur dalam upaya merevi-talisasi bahasanya, tapi juga bermanfaat bagi para linguis baikdi tingkat nasional maupun internasional untuk memetakanbahasa-bahasa secara universal.

Selama studi S3, saya melakukan dua kali penelitian la -pang an. Tahap pertama dilakukan pada pertengahan 2013, se -telah satu tahun saya belajar di Leiden. Pada tahap ini, sayamelakukan penelitian lapangan selama dua bulan. Hanya duabulan. Waktu yang sangat pendek untuk standar penelitian li -nguistik lapangan. Waktu itu, saya dan pembimbing berdiskusipanjang-lebar tentang waktu yang dibutuhkan. Akan tetapi, adaregulasi dari pemberi beasiswa, yaitu Dikti, bahwa mahasiswatidak boleh meninggalkan tempat studi lebih dari dua bulan.Mungkin saja saya salah menginterpretasi regulasi itu. Pem -bimbing menyarankan saya untuk mengikuti regulasi tersebutpada tahap pertama penelitian lapangan. Usai peneliti an tahappertama, saya kembali ke Leiden untuk mengolah data dan ber -konsultasi dengan pembimbing selama satu semester. Peneliti -an tahap kedua dilaksanakan pada awal hingga pertengahan2014, satu semester setelah saya menyelesaikan penelitian

146 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 191: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

tahap pertama. Pada tahap kedua ini saya melakukan peneliti -an lapangan selama lima bulan, waktu yang cukup untuk sayamengumpulkan data. Setelah itu, saya kembali ke Leiden untukberkonsultasi dan memulai penulisan di ser tasi.

Untuk sampai ke pulau kecil Ndao, saya harus menyebe -rang laut dari Kupang, ibukota Provinsi NTT, dengan menggu-nakan kapal feri cepat Express Bahari ke Pulau Rote selama duajam dan berlabuh di pelabuhan laut Ba’a, kota Kabupaten Rote-Ndao. Dari pulau Rote ke pulau Ndao, saya harus mengguna -kan perahu motor yang berkapasitas 20 hingga 30 orang. Adadua jalur laut yang bisa dipilih. Pertama, bisa dengan perahumotor dari Ba’a dengan jarak tempuh tiga jam, atau kedua, bisadari Nemberala di Rote Barat dengan jarak tempuh satu jam.Jarak dari Ba’a ke Nemberala lebih dari 50 km yang dapatditempuh dengan kendaraan bermotor (mobil atau sepedamotor) selama satu jam atau lebih. Jadwal tetap keberangkatanperahu motor penumpang dari dua tempat tersebut hanya duakali setiap minggu, yaitu hari Selasa dan Jumat. Itu pun bergan-tung pada keadaan cuaca dan situasi laut apakah sedang pasangsurut atau pasang naik. Selain jadwal tetap tersebut, saya harusmencari perahu nelayan yang tidak memiliki jadwal tetap.

Di Ndao, tidak ada penginapan atau rumah yang dapatdisewa sementara saya tidak memiliki keluarga di sana. Sayatinggal di rumah seorang warga Ndao. Dia adalah seorang gurudi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Holomanu yang tidak jauh darirumahnya. Itulah sekolah pertama yang menjadi saksi pendi -dikan masuk ke Pulau Ndao pada abad ke-19 lalu. Pak guru itumemiliki sorang istri dan dua orang putri. Mereka menerimasaya dengan senang hati untuk tinggal bersama mereka selamapenelitian lapangan. Mereka tidak pernah meminta sesuatu apapun selama saya tinggal bersama mereka. Saya pun harus me -nyesuaikan diri dalam hal makanan, minuman, dan tempatmenginap. Memakan ikan mentah dan sayur mentah pun saya

147BAHASA DHAO

Page 192: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

lakukan. Saya makan dan minum apa yang ada. Pada suatu ke -tika, setelah kembali ke Leiden, pak guru tersebut mengirimkanpesan dan meminta agar saya menelepon supaya mereka bisabercerita lagi dengan saya yang sedang berada di kejauhan. Ka -mi berbincang tentang berbagai hal termasuk me reka menanya -kan tentang keadaan studi saya di Leiden. Baru pada saat itubeliau menyampaikan bahwa mereka sekeluarga telah meng -anggap saya sebagai seorang anak dalam keluarga mereka. Sayamenjadi kakak laki-laki dari kedua putrinya. Saya baru ingatbahwa setelah penelitian lapangan, sehari sebelum saya berang -kat dari Ndao ke Rote dan selanjutnya ke Kupang, keluarga itumenyembelih seeokor anjing untuk makan bersama. Menunyapun sangat sederhana. Sebagian daging direbus dengan air danditaruh garam. Tidak ada bumbu lain. Sebagian daging lainnyadigarami lalu dipanggang. Kami makan daging panggang danminum air gula dari sadapan lontar tetangganya. Saya barumenyadari betapa baiknya hati keluarga itu dan orang Ndaolainnya.

Pulau Ndao yang terisolasi dalam berbagai aspek memilikitantangannya tersendiri. Alat transportasi laut sangat terbatas.Menyeberangi lautan dari Pulau Rote ke Ndao harus melaluiselat Loekeli yang arusnya sangat deras. Para nakhoda perahuharus hati-hati dan pandai memprediksi waktu yang tepat un -tuk menyeberangi selat itu. Jika tidak, maka nyawa taruhannya.Perahu bisa terbawa arus laut. Selain itu, Pulau Ndao belummemiliki listrik pada waktu saya melakukan penelitian lapang -an. Hanya ada beberapa generator listrik milik pribadi paranelayan, pedagang lokal atau gereja yang bisa dimanfaatkan,tapi dalam waktu yang terbatas pula, misalnya hanya beberapajam pada malam hari. Menggunakan peralatan canggih sepertikomputer dan alat digital lainnya tentu sangat sulit. Karena itu,saya membeli sebuah generator listrik berkapasitas lima kg agarbisa digunakan selama penelitian lapangan. Namun, pengguna -

148 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 193: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

an generator tidak bisa penuh waktu, karena overheatmesin danharga bahan bakar yang tinggi.

Tantangan lain adalah penguasaan bahasa. Saya sendiriberasal dari Rote, pusat kabupaten, tapi saya tidak bisa berba-hasa Dhao, walaupun kedua pulau itu berdekatan dan seringterjadi kontak bahasa. Bahasa Rote dan Ndao sangat berbeda,baik dalam hal pengucapan maupun strukturnya. Lagipula,secara genetis Bahasa Dhao adalah turunan dari sub-rumpunSumba-Sabu, sedangkan Bahasa Rote adalah turunan dari sub-rumpun Timor. Tidak mudah bagi seorang Rote untuk belajarberbicara dalam Bahasa Dhao. Karena itu, saya harus berusahadengan keras untuk belajar berbicara sedikit Bahasa Dhao. Halitu dilakukan agar saya bisa menyatu dengan anggota masya -rakat, menghormati budaya lokal orang Ndao, dan sekaligussaya bisa mendapat feeling Bahasa Dhao. Tantangan berikutnyaadalah mencari orang untuk menjadi asisten dan konsultan ba -hasa. Asisten membantu saya dalam hal anotasi data dan urus -an teknis di lapangan. Karena itu, saya harus mencari asistenyang minimal bisa mengoperasikan komputer. Saya mencarikonsultan bahasa karena saya memang membutuhkan infor-masi tentang berbagai ciri Bahasa Dhao dari orang yang mema-hami bahasa dan budaya Ndao dengan baik. Tidak banyakyang bersedia membantu pekerjaan di lapangan sebagai konsul-tan bahasa. Alasan utama di antaranya adalah karena merekatidak menguasai bahasa dan budaya Ndao de ngan baik, sibukdengan pekerjaan, dll. Pada akhir nya, satu orang bersedia men-jadi asisten dan satu orang lain menjadi konsultan bahasa. Se -cara kebetulan, konsultan tersebut aktif dalam menerjemahkanAlkitab ke dalam Bahasa Dhao, sehingga dia cukup terbiasadengan menulis Bahasa Dhao dan memiliki banyak informasitentang makna kata dan kalimat maupun konteks budayanya.

Untuk melakukan penelitian lapangan, saya mengadopsiprinsip dokumentasi bahasa (language documentation), yaitu ber -

149BAHASA DHAO

Page 194: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

fokus pada data primer atau naturalistic data, data harus multi-fungsi (multi-purpose) dan dapat bertahan selama mungkin (long-lasting). Artinya, kualitas data sangat penting dalam hal ini.Saya pun mempersiapkan berbagai instrumen penelitian yangdibutuhkan, seperti alat rekam audio digital sesuai standar kua -litas dokumentasi bahasa beserta perlengkapan pendukungnya,kuesioner, dll. Untuk melakukan peneli ti an grammar, padaumumnya ada tiga sub-bidang utama dalam linguistik yang ha -rus dipelajari sebagai dasar, yaitu phonology (kajian tentangbunyi bahasa), morphology (kajian tentang struktur kata), dansyntax (kajian tentang struktur kalimat). Satu sub-bidang lagiyang sangat penting dalam mendukung tiga kajian tersebut ada -lah semantics (kajian tentang makna bahasa). Sementara sub-bidang lain, seperti pragmatics (kajian tentang penggunaan ba -hasa) dan sociolinguistics (kajian tentang bahasa dalam kontekssosial) menjadi topik sekunder dalam hal ini. Tiga sub-bidangutama yang saya sebutkan di atas tidak berdiri sendiri-sendiritapi saling bersinggungan dalam banyak hal. Pada tahap perta-ma penelitian lapangan, saya berkosentrasi pada kajian bunyi.Karena itu, hal yang perlu saya lakukan pada waktu itu adalahmengumpulkan data rekaman yang baik. Saya merekam peng -ucapan, baik pada tataran kata maupun kalimat. Saya juga me -rekam cerita atau percakapan spontan orang Ndao dengan ber -bagai topik dan genre. Hal ini dilakukan untuk mendapat databunyi yang alami (naturalistic data), sehingga kelak perubahanbunyi dalam berbagai konteks dapat diinterpretasi dengan baik.Pada penelitian lapangan tahap ke dua, saya fokus pada data-data yang berkaitan dengan kajian morphology dan syntax. Ka -rena itu, data kata dan kalimat dari berbagai cerita dan percaka-pan dimanfaatkan dalam hal ini. Pada tahap ini saya sangatberterima kasih kepada beberapa pakar dokumentasi bahasayang telah mengajari saya beberapa software komputer, sepertiELAN dan Linguist Toolbox, sehingga saya dapat mengatur

150 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 195: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

manajemen data dengan baik dan membantu dalam hal analisisdata-data.

Karena mempertimbangkan kurangnya sumber listrik danteknologi di wilayah Ndao, maka saya tidak mungkin 100 per -sen berada di sana selama penelitian lapangan. Pada waktu ter-tentu, saya harus kembali ke Kupang agar bisa bekerja menggu-nakan komputer, bisa mendapat jaringan internet dan teleko-munikasi yang lebih baik. Strategi yang saya lakukan padawaktu itu adalah selama di Ndao saya fokus pada pengumpulandan perekaman data-data, baik kata, kalimat, maupun cerita-cerita spontan dalam Bahasa Dhao serta beberapa catatan elisi-tasi dan wawancara khusus. Selanjutnya, saya mengajak kon-sultan bahasa dan asisten pergi ke Kupang dan tinggal di rumahsaya untuk beberapa waktu, baru kemudian kembali lagi keNdao untuk melanjutkan pengumpulan data. Konsultan bahasamembantu saya dalam hal mendalami data-data yang telah ter -kumpul dan asisten membantu melanjutkan pekerjaan tran-skripsi data rekaman dan menerjemahkannya ke dalam BahasaIndonesia. Karena ketiadaan ruang di rumah saya, maka ruangtamu pun dimanfaatkan sebagai “kantor” sementara. Situasi initidak terlalu nyaman memang, tapi paling tidak kami memilikisebuah tempat untuk bisa mengerjakan data-data yang telah di -kumpulkan. Sebagaimana orang Ndao memperlakukan sayaselama tinggal di pulau itu, saya pun sangat senang saat asistendan konsultan tinggal di rumah saya.

Selama saya melakukan penelitian lapangan, saya melihatsemakin banyak orang Ndao antusias dalam berdiskusi tentangbahasa dan budaya Dhao. Banyak terjadi perdebatan di antaramereka, baik tentang cara pengucapan, bentuk kata, maupunmakna kata dan kalimat. Di situ masyarakat mulai menyadaribahwa Bahasa Dhao ternyata telah terpengaruh bahasa lain,misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Kupang, maupun BahasaRote. Perbedaan dalam hal berbahasa antar generasi pun mulai

151BAHASA DHAO

Page 196: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

disadari. Pada kesempatan tertentu, beberapa orang selaluingin berdiskusi tentang hal ihwal Bahasa Dhao. Tidak mudahuntuk menyatukan pendapat yang berbeda di antara mereka.Tapi, yang menarik dari setiap diskusi adalah perdebatan yanglogis dan harmonis. Tidak hanya itu, dalam acara-acara adat,seperti peminangan, pernikahan, dll, penggunaan Bahasa Dhaoterlihat meningkat. Itu sebuah pertanda, upaya pelestarian danrevitalisasi bahasa dan budaya daerah yang terancam punahseperti Dhao sudah mulai menunjukkan hasil.

Dokumentasi bahasa yang mengarah pada upaya pelestari -an dan revitalisasi bahasa yang terancam punah sudah sangatkrusial di Indonesia, terutama Indonesia bagian timur. Berba -gai hasil kajian, baik oleh lembaga-lembaga penelitian maupunperguruan tinggi di Indonesia, menunjukkan bahwa mayoritasbahasa yang terancam punah berada di Indonesia Timur. Salahsatunya adalah wilaya Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setiapkata memiliki makna dalam bahasa itu, dan makna tersebutterkait erat dengan konsep filosofis dan ideologi masyarakatdan budaya setempat. Karena itu, hilangnya sebuah kata samaartinya dengan hilangnya konsep tertentu yang bermakna bagimasyarakat pemilik bahasa itu. Dengan de mi ki an, kegiatan do -kumentasi bahasa dan penelitian lapangan di wilayah Indone -sia Timur dalam bidang-bidang terkait sangatlah krusial. Kola -borasi para ahli bahasa dan budaya dari berbagai spesialisasikeilmuan sangatlah diharapkan demi terselamatkannya bahasadan budaya lokal di wilayah Indonesia timur. Semoga perjuang -an ini tidak berakhir di sini.

152 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 197: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

P ada Mei 2014 saya mendapat kesempatan untuk me la ku -kan fieldwork atau kerja lapangan di Pulau Pantar, Kabu -

paten Alor, Nusa Tenggara Timur. Itu adalah pertama kalinyabagi saya melakukan kerja lapangan dan sekaligus diantar olehsupervisor S2 saya dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Inyo YosFernandez. Saat itu saya tengah mengerjakan tesis S2 saya da -lam bidang Linguistik Historis Komparatif di Universitas Ga -djah Mada (UGM). Sebelumnya, saya menyelesaikan kuliah S1di kampus yang sama pada 2012. Pada September 2017, berkatbeasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), sayamemulai studi S3 di Universitas Leiden, tepatnya di LeidenUniversity Centre for Linguistics (LUCL) di bawah supervisorProf. Dr. Marian Klamer dan Francesca Moro, Ph.D.

Kerja lapangan saya di Alor bertujuan untuk me ngum pul -kan daftar kosakata dan tata bahasa dari bahasa Alor untuk ke -mudian dibandingkan dengan bahasa Kedang dan Lamaholot.Hal yang saya ketahui tentang Alor sebelumnya adalah bahwaorang Alor sangat terkenal dengan dunia magis atau perdukun -annya. Bahkan, orang Alor juga dikenal bisa terbang. Saya di -

Kerja Lapangan Bikin Ketagihan

YUNUS SUL I STYONO

Page 198: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

peringatkan untuk berhati-hati dengan berbagai kemungkinanyang bisa terjadi. Namun, karena saat itu saya hanya bermodal“nekat” dalam rangka menyelesaikan tesis dan kuliah S2 saya,saya pun memberanikan diri untuk pergi ke Alor tanpa me -ngantongi pengalaman sedikit pun tentang Alor.

Ketika berangkat dari Yogyakarta, kami hampir ketinggal -an pesawat karena lalu lintas yang macet di kota ini. Kunjunganpertama saya adalah ke Kupang dan menginap satu malam dirumah saudara pembimbing saya. Dari Kupang, saya melanjut -kan ke Kalabahi, ibukota Kabupaten Alor, dan menginap duamalam di sana. Dari Kalabahi, saya naik perahu mo tor ke Bara -nusa, Pulau Pantar. Di sana, saya dan pembimbing saya berpi -sah. Pembimbing saya harus ke Larantuka untuk menghadiriseminar sementara saya ditinggal di Alor untuk penelitian la -pangan sendiri. Saat itu adalah kali pertama bagi saya melaku -kan penelitian lapangan secara langsung. Ketika mengerjakanskripsi S1, meskipun dengan topik yang hampir sama, sayatidak pergi ke lapangan (NTT) dan hanya mencari informanyang tinggal di Yogyakarta. Perahu motor yang membawa sayadari Alor ke Pantar masih terbilang sederhana. Ada beberapaperahu yang berukuran cukup besar dan dapat memuat banyakpenumpang. Namun, perahu yang berangkat ke Pantar ber -ukuran kecil dan hanya dapat memuat 20-30 orang.

Kepulauan Alor-Pantar berada di bawah wilayah adminis-tratif Kabupaten Alor, Provinsi NTT. Di kalangan linguis, ke -pulauan Alor-Pantar merupakan daerah perbatasan antaramasyarakat penutur bahasa Austronesia dan non-Austronesia.Dari sekitar 24 bahasa yang dituturkan di Alor-Pantar, bahasaAlor adalah satu-satunya bahasa Austronesia dan memilikijumlah penutur sekitar 25.000 jiwa. Selain bahasa Alor, bahasalainnya yang dituturkan di Alor-Pantar adalah bahasa Abui,Adang, Pantar Barat, Blagar, Kaera, Teiwa, Nadebang, Reta,Kabola, Klon, Kui, Kafoa, Hamap, Subo, Moo, Tie, Kamang,

154 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 199: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Wersing, Kula, Maneta, Sawila, dan Wersing. Bagi saya, bahasaAlor menarik untuk diteliti karena lokasi penuturnya yang ter -sebar di beberapa daerah kantong di pesisir utara Pulau Pantardan Alor. Menurut sejarah, para penutur bahasa Alor berasaldari wilayah kepulauan di sebelah barat (Flores, Adonara, danLembata). Pulau-pulau tersebut merupakan lokasi tutur bahasaLamaholot. Dulu, bahasa Alor dimasukkan ke dalam kategoridialek dari bahasa Lamaholot. Namun, bahasa Alor telah ter-bukti sebagai bahasa yang terpisah.

Penelitian tentang bahasa-bahasa di sekitar Flores Timur,Lembata, dan Alor-Pantar sudah banyak dilakukan oleh paralinguis dari Jepang, Singapura, Amerika Serikat, dan Australia.Pada 2014, tim peneliti dari Belanda yang diketuai oleh Prof.Dr. Marian Klamer, yang juga supervisor S3 saya, melakukanpenelitian di wilayah ini dengan sponsor lembaga penelitiandari Belanda, Nederlandse Organisatie voor Wetenschappelijk(NWO). Sementara itu, proyek saya sendiri (atas kontrak ber -sama Leiden University-LPDP), berfokus pada wilayah yangsama dan lebih spesifik pada penelusuran sejarah bahasa Alor.Ketika menulis pengalaman ini, saya belum melakukan kerjalapangan di NTT untuk keperluan disertasi saya. Oleh karenaitu, pengalaman lapangan saya dalam tulisan ini lebih banyakmengacu pada kerja lapangan saya selama kuliah S2.

Warga lokal di sekitar Alor-Pantar memiliki tingkat mobili -tas yang cukup tinggi. Sebagian dari mereka pergi-pulang keKalabahi hampir setiap minggu. Di Kalabahi, saya bertemu tu -kang ojek yang ternyata mempunyai keluarga di Baranusa.Saya diberi kontak dan diizinkan tinggal di rumah keluarganya.Ternyata tidak sulit mencari orang yang bisa ditumpangi untuktinggal. Kesan pertama yang saya dapatkan setelah mendarat diPulau Pantar adalah keadaan geografisnya yang sangat kering.Dari jauh, pulau ini terlihat berwarna cokelat. Pasir putih danbarisan pohon kelapa terlihat indah dari jauh. Hanya saja, pe -

155KERJA LAPANGAN BIKIN KETAGIHAN

Page 200: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

gunungan di belakangnya begitu kering. Belakangan saya ke -tahui bahwa sering terjadi kebakaran di Pantar, baik itu di se -nga ja atau tidak. Pembakaran ini sudah marak dan memilikibeberapa tujuan, seperti membuka lahan untuk perta nian danperkebunan atau menggiring rusa supaya lebih mudah diburu.

Kerja lapangan saya di Pulau Pantar mencakup elisitasidata linguistik dan pencarian folklor. Saya be ker ja dari pagihingga malam. Di hari pertama, saya fokus un tuk melakukansurvei warga yang bisa saya jadikan informan lalu menyusunjadwal dan membuat perkiraan jam yang bisa saya gunakanuntuk kunjungan dan kroscek hasil rekaman. Hari-hari berikut-nya banyak saya habiskan untuk melakukan wawancara, re -kaman, dan mengunjungi beberapa perayaan lokal.

Saat itu, transportasi di Pulau Pantar masih sangat berto-lak belakang dengan pulau di sebelahnya, Alor dan Lembata.Di Alor, jalanan sudah diaspal mulus, di Lembata juga sudahmulai terlihat jalanan aspal baru yang tengah dibangun. Na -mun, sarana transportasi di Pantar masih sangat memprihatin -kan. Jalan di Pantar terakhir dibangun pada 1990 dan sampaisekarang belum pernah dibangun kembali atau pun diperbaiki.Jadi, jalanan di sana hanya terdiri dari batu dan tanah. Desalain yang lebih besar dan dekat dari Baranusa ber nama Maricayang berjarak 20 km.

Transportasi ke sana hanya bisa ditempuh dengan trukatau sepeda motor. Jika menggunakan ojek, ongkos yang dike -luarkan bisa mencapai 100 ribu. Namun, jika cukup beruntung,kita bisa menumpang truk yang lewat dan sampai di Maricadalam waktu satu jam. Satu jam memang terbilang lama danmelelahkan. Ini karena kondisi jalan yang berkelok dan ber -batu. Jika musim hujan, jalanan ini bahkan hampir tidakmungkin dilalui karena terlalu becek dan banyak genang an air.

Kondisi di Marica tidak jauh berbeda dengan di Baranusa.Namun, karena kondisi tanah di Marica yang lebih datar, ru -

156 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 201: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

mah dan lingkungan di sana lebih tertata rapi. Jalanan punsudah mulai menggunakan beton. Saya bertemu dengan se -orang guru SMK di Marica dan ternyata beliau juga tinggal diBaranusa. Beliau harus berkendara sepeda motor setiap haridari Baranusa ke Marica untuk bekerja. PNS di sana memangdipandang sebagai warga yang sudah berkecukupan. Setiap bu -lan mereka pergi ke Kalabhi untuk mengambil gaji karena padasaat itu, belum ada ATM di Pulau Pantar. Pulau yang berukur -an cukup besar ini sepertinya masih belum mendapat perhati anyang cukup. Isu yang berhembus menyebutkan bahwa sebagianbesar warga pulau ini menghendaki untuk berpisah dari Alordan berdiri sendiri sebagai kabupaten.

Di Marica, saya bertemu juga dengan seorang nenek yangmenunjukkan perhiasan emas yang menyerupai senjata, tetapiberukuran mini. Nenek itu mengklaim bahwa benda tersebutadalah emas asli dan berasal dari Jawa ketika orang Majapahitdatang dan menguasai Pulau Pantar (Galiyao). Saya terkagum-kagum dan kaget mendengar cerita tersebut. Meskipun bidangsaya bukan menelusuri sejarah dari benda-benda fisik, saya cu -kup tertarik dan berkeinginan untuk kembali ke sana dan me -lakukan kajian lebih dalam tentang peninggalan moyang wargalokal di Pulau Pantar.

Kembali ke Baranusa, saya melanjutkan melakukan elisi-tasi data dan rekaman tentang folklor lokal. Hal yang menariktentang orang Alor adalah keyakinan bahwa mereka adalahketurunan orang Jawa. Jika dilihat dari bentuk fisik orang Alor,mereka memang memiliki kemiripan fisik dengan orang Jawa-Melayu. Mereka sama sekali berbeda dengan orang Papua yangberkulit lebih gelap. Sebagian besar bahasa yang dituturkan diAlor-Pantar adalah bahasa non-Austronesia (Papuan).

Cerita rakyat lokal mengungkapkan bahwa raja merekaadalah keturunan salah satu pangeran dari Majapahit. Berda -sarkan cerita, dahulu kala, ada dua orang pangeran dari Jawa

157KERJA LAPANGAN BIKIN KETAGIHAN

Page 202: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

yang sedang memancing. Mereka menemukan sebuah petiyang ternyata berisi seorang wanita cantik. Wanita ini ternyataadalah jelmaan burung elang. Salah satu dari pangeran tersebutmenikahi wanita cantik ini dan terbang ke Galiyao atau yangsekarang disebut Pulau Pantar dan tinggal di sana. Mereka ber -dua mendirikan kerajaan dan memiliki lima orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Lima orang anak laki-lakiini kemudian memimpin kerajaan-kerajaan di sepanjang pesisirutara Pulau Pantar dan Alor Kecil. Salah satu anak merekayang bernama Bara Mauwolang adalah raja pertama dari Ke -rajaan Baranusa. Kerajaan ini masih ada hingga sekarang. RajaBaranusa saat ini, keturunan dari Bara Mauwolang, hidup diBaranusa bersama dengan penduduk yang lain. Tidak adaistana dan benteng yang tinggi, sehingga raja dan keluarganyahidup berdampingan dengan baik bersama rakyatnya. Hanyapada acara-acara tertentu raja akan dilibatkan. Selain Baranusa,ada kerajaan lain yang juga bagian dari orang Alor, seperti Ke -rajaan Pandai yang berada di sebelah timur Baranusa danMunasely yang berada di ujung utara Pulau Pantar.

Selain cerita asal-usul orang Alor tersebut, cerita lain yangsaya dapatkan adalah cerita tentang sekelompok orang yangpernah bermigrasi dari pulau lain karena adanya bencana tsu -nami. Dahulu kala, diceritakan ada dua pulau yang dihuni olehbeberapa suku. Di pulau tersebut, ada seorang nenek yang me -me lihara gurita (beberapa versi lain mengatakan nenek ini me -melihara ular) yang sangat besar. Gurita ini dipelihara sejakmasih kecil. Sang nenek senang memberinya makan ikan men-tah. Namun, semakin besar, gurita ini mulai memakan anak-anak. Karena semakin banyak anak yang menjadi korban, war -ga mulai marah dan ingin membunuh gurita tersebut. Sangnenek berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan tindakanwarga yang hendak membunuh gurita. Namun, apa daya sangnenek tidak mampu melawan kehendak orang banyak. Warga

158 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 203: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

berhasil menangkap gurita dan menusukkan tongkat yangmembara ke perutnya. Ketika tongkat yang membara itu ditu -suk, muncul suara menggelegar. Air laut mulai naik dan terjadibanjir bandang. Warga harus mengungsi ke luar pulau. Adayang ke Lembata, ada yang ke Pantar, ada yang ke Alor, danbahkan ada yang ke Flores. Cerita ini dapat ditemukan di dae -rah-daerah tersebut dan hanya berbeda dengan sedikit variasi.

Menyertakan cerita rakyat di NTT dalam kerja lapangansaya merupakan sesuatu yang menarik. Meskipun fokus kerjalapangan saya adalah di bidang linguistik, saya tetap membu-tuhkan data dari folklor lokal yang dapat mendukung hipotesislinguistis saya. Hal yang menarik lainnya adalah cerita rakyatini dapat berbeda dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya danbahkan dari satu informan ke informan yang lain meskipunesensi ceritanya sama. Tradisi lisan memang sangat berkem-bang di daerah ini. Keterbatasan akses akan tulisan di masa lalumenjadi salah satu faktor munculnya variasi cerita yang bera -gam. Namun, hal inilah yang membuat kerja etnosains di dae -rah ini menjadi lebih menarik dan menantang.

Selain di Pantar, saya juga mendapat kesempatan untukmengunjungi Flores untuk elisitasi data linguistik dan mengon-firmasi cerita yang sama. Di Flores, saya pergi ke KecamatanTanjung Bunga, tepatnya di Desa Belo Aja. Desa ini terletakpersis di pucuk utara Kabupaten Flores Timur. Di sana, sayabertemu dengan seorang tetua yang sangat dihormati. Terdapatsatu rumah adat yang menyimpan ikat kepala maha patih Ga -jah Mada ketika mengunjungi Flores. Tidak ada yang bolehmasuk ke rumah adat kecuali para tetua. Selain itu, tidak adayang boleh mengambil gambar atau berfoto di sekitar rumahadat. Jika ada yang berani melanggar, bisa dipastikan akan adagangguan di desa tersebut.

Kerja lapangan di NTT bagi saya adalah aktivitas yang me -nyenangkan sekaligus penuh tantangan. Di satu sisi saya se -

159KERJA LAPANGAN BIKIN KETAGIHAN

Page 204: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

nang karena dapat menjelajahi berbagai wilayah di Indonesia.Sementara di sisi lain saya menjumpai banyak tantangan dankendala dalam menyelesaikan kerja lapangan yang sesuai de -ngan harapan.

Dari pengalaman kerja lapangan tersebut, saya mem-beranikan diri untuk melangkah lebih jauh dan menyusun pro-posal baru untuk kerja lapangan saya selanjutnya. Pada Maret2015, saya mendapat kesempatan untuk sekali lagi melakukankerja lapangan di NTT. Kali itu, saya menjadi asisten penelitiuntuk Prof. Marian Klamer dari Leiden University yang seka -rang ini menjadi supervisor S3 saya. Dari kerja lapangan ini,saya mendapat kesempatan untuk mengenal lebih jauh NTT,khususnya wilayah Maumere, Hewa, Sika, Larantuka, Ado -nara, dan Kedang. Pada kerja lapangan kedua saya di NTT ini,saya juga mendapat kesempatan untuk belajar beberapa metodeyang dapat digunakan selama kerja lapangan. Hal inilah yangmembuat saya ingin belajar lebih lanjut tentang lingu istik diLeiden University dengan topik perbandingan variasi dan pene -lusuran sejarah bahasa Alor.

Setelah lulus S2 dan mendapatkan pekerjaan sebagai do -sen tetap di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,Universitas Muhammadiyah Surakarta pada September 2015,saya memutuskan mendaftar S3 di Universitas Leiden. Selainkarena saya telah memiliki relasi dengan salah satu profesor disana, pihak kampus saya sangat mendukung dan mendorongpara dosen baru untuk melanjutkan kuliah S3 di luar negeri.Bahkan, UMS menyiapkan berbagai program, seperti kursusIELTS dan workshop penyu sunan proposal S3 untuk menunjangpara dosen muda yang kala itu baru memulai karier. Denganberbagai lika-liku, akhirnya saya diterima di Universitas Leidendan sudah tidak sabar untuk melakukan kerja lapangan selan-jutnya.

Kesan positif yang saya dapat selama melakukan kerja

160 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 205: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

lapangan di NTT adalah warga lokal akan dengan senang hatimenerima siapa saja yang berkunjung dan mempelajari budayadan bahasa mereka. Saat itu saya berpikir, saya tidak akan kha -watir apabila suatu saat nanti akan kembali melakukan kerjalapangan di NTT, karena tidak semenakutkan bayangan sayasebelumnya. Selain itu, kerja lapangan di NTT ini sangat me -nyenangkan serta membuka cakrawala baru dan cara pandangsaya terhadap orang dan lingkungan yang berbeda. Jika sebe -lumnya saya khawatir untuk melakukan kerja lapangan, seka -rang saya sudah tidak sabar untuk kembali ke sana dan mela -kukan kajian tentang bahasa dan budaya di sana.

Leiden, 4 Oktober 2017

161KERJA LAPANGAN BIKIN KETAGIHAN

Page 206: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri
Page 207: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

IVKajian Seni dan Sastra

di Indonesia

Page 208: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri
Page 209: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

D i depan mata saya terbentang lebar lembaran surat ka -bar tahun 1930an yang kertasnya sudah agak ra puh di

atas meja besar. Isinya penuh dengan iklan film, daftar perse -diaan makanan kaleng dan promosi busana tren terbaru, beser-ta kartun dan rubrik humor yang masih cukup kocak jika diba-ca hari ini. Terasa seolah-olah para pembaca ditunjukkan bebe -rapa lembar jepretan polaroid dari kehidupan orang Indonesiapada zaman yang sudah lama berlalu. Sebagai peneliti yang ter-tarik dengan perkembangan bahasa Melayu, Perpustakaan Na -sional di Jalan Salemba, Jakarta, menjadi lokasi penelitianlapangan saya untuk mencari bahan yang tidak terdapat di tem-pat lain mana pun di dunia. Setelah beberapa hari nongkrong disana, petugas perpustakaan tersebut jadi sangat terbiasa melihatmuka saya dari pagi hingga sore. Kadang-kadang ketika sayamemesan berkas-berkas berat, mbak-mbak pustakawan yangberbadan kurus lampai itu hanya menunjukkan lokasinya saja,lalu saya disuruh mengambilnya sendiri. Lumayan, penelitiansekaligus olahraga… Sepanjang penelitian, hotel saya tepat ber -ada di sebelah perpustakaan, tak jauh dari beberapa restoran

Menelusuri KoleksiSastra Pra-Indonesia

TOM HOOGERVORST

Page 210: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Padang yang enaknya sampai ke ubun-ubun. Pokoknya semua -nya nyaman.

Walaupun pengalaman saya cukup menyenangkan, adadua patah kata yang memenuhi benak saya dengan rasa frus-trasi semasa melakukan penelitian: “hilang” dan “rusak”. Sayamenemukan bahwa ternyata banyak bahan bacaan yang langkasudah tidak jelas lokasinya atau tidak lagi dalam kondisi utuh,termasuk beberapa surat kabar Melayu yang tertua di dunia dankonon diterbitkan di Jawa pada pertengahan abad ke-19. Sa -yangnya, saya belum sempat melihat satu pun dari mereka de -ngan mata kepala sendiri. Kalau tidak hilang, ya rusak.

Selain Perpustakaan Nasional, saya juga sangat menikmatimenghabiskan waktu di beberapa institusi lain, termasuk Mu -seum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang dan MedayuAgung di Surabaya. Meskipun kedua perpustakaan ini tidakmenerima dana dari pemerintah, pemiliknya benar-benar ber -usaha sekuat tenaga untuk berbagi warisan sastra yang dimi li ki -nya dengan masyarakat luas, sehingga bisa dikatakan bahwamereka adalah pahlawan dalam mendidik generasi peneruspeneliti Indonesia. Banyak mahasiswa dan peneliti membacabuku-buku langka, majalah, surat kabar, dan bahan-bahan ba -caan lain yang tersimpan di sana. Pak Azmi Abubakar, kepalaMuseum Pustaka Peranakan Tionghoa, menceritakan bahwabangunan yang digunakan sekarang sebetulnya terlalu keciluntuk menampung semua bahan bacaan yang dikumpulkannyaselama bertahun-tahun. Hasil karya yang melimpah ruah terse-but kebanyakan ditulis oleh kaum Peranakan Tionghoa yangmempelopori perkembangan kesu sastraan Melayu. Kunjungantersebut juga sempat membawa saya ke Surabaya, di mana PakOei Hiem Hwie telah mengabdikan sebagian besar hidup beliauuntuk menyelamatkan wari san kesusastraan Indonesia agar ti -dak terlupakan. Seringkali, majalah dan buku seri populer—yang di antaranya cerita silat—dicetak di atas kertas yang mu -

166 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 211: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dah robek, jadi perawatannya tidaklah mudah. Walaupun taklagi dikenali umum, Pramoedya Ananta Toer pernah menyebuttradisi buku-buku yang indah ini sebagai “sastra pra-Indonesia”.

Dalam mencari bahan penelitian, beberapa kolektor priba-di juga sangat membantu. Pengetahuan mereka sangat luas se -bab bagi mereka mengawasi buku-buku lama adalah hobi, bu -kan jalan pintas untuk menjadi pegawai negeri. Karena kamimemiliki hobi yang sama, saya diizinkan mengambil gambardari dokumen-dokumen yang cukup langka. Selain itu, sayajuga jadi tahu banyak hal menarik yang mereka bagikan melaluimedia sosial. Namun, satu aturan yang saya terapkan untuk dirisendiri adalah: dokumen kuno tidak boleh dibeli untuk dibawake luar Indonesia. Karena jika warisan budaya diperjualbeli -kan, berarti kepemilikannya sudah berpindah dari pembuatnyake pembelinya. Sudah terlalu banyak karya rakyat Indonesiayang tidak lagi berada di tangan orang Indonesia… Kadang-kadang saya merasa sedih jika menemukan warisan sastra Indo -nesia yang hanya dapat dibaca di perpustakaan asing. Kan ti -dak semua orang Indonesia bisa mengambil cuti dari pekerjaan,melamar visa, membeli tiket pesawat ke luar negeri, menginapdi hotel selama beberapa hari, mendaftar ke perpustakaan, dll.,hanya untuk melihat beberapa lembar kertas saja.

Kenapa jauh-jauh ke Indonesia untuk melakukan peneliti -an lapangan? Saya datang ke Leiden pada 2003 untuk mem-pelajari bahasa dan budaya Indonesia. Sebagai cucu seorangwanita Jawa dan pria Belanda, musik, makanan, dan seni Indo -nesia tak pernah jauh dari rumah dan hati keluarga kami. Se -masa di sekolah menengah, di sebuah kota kecil di Belanda, sa -ya kadang-kadang membawa bekal dadar gulung buatan Eyang,yang warna hijaunya mengejutkan dan menjijikkan be berapateman sekelas… “Makananmu kok mengandung ba han ki -mia!” teriak mereka. Namun setiba di kota pelajar Lei den, sayadikelilingi orang-orang yang sudah sangat terbiasa melihat ber -

167MENELUSURI KOLEKSI SASTRA PRA-INDONESIA

Page 212: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

bagai budaya, termasuk budaya Indonesia. Universitas Lei denpada waktu itu mempunyai jurusan Bahasa dan Budaya AsiaTenggara dan Oseania. Fokusnya adalah Indonesia, dan padawaktu itu di sana terdapat banyak guru keturunan Indo nesia.Kadang-kadang kami diajar juga oleh profesor yang diundangdari Malaysia untuk mengajar bahasa dan budaya negeri jiran.Dua mata pelajaran yang paling me na rik bagi saya adalah ba -hasa dan sejarah. Sampai saat ini, saya tertarik de ngan linguis-tik historis, suatu bidang yang berfokus pada masa lalu bahasaserta bahasa masa lalu. Jadi, penelitian lapangan saya keba -nyakan dilakukan di perpustakaan. Namun, itu bu kanlah suatuaktivitas yang soliter. Tidak hanya sumber-sumber tertulis yangmasuk dalam cakupan penelitiannya, tetapi juga makna yangmasih dimiliki di mata masyarakat dan interaksi antara berba-gai institusi berbeda di dunia. Pendek cerita, karena penelitian,saya jadi berteman dengan banyak perpustakaan di Indonesia.

Mengapa tidak tinggal di Leiden saja untuk menyelesaikanpenelitian saya? Fasilitas untuk mempelajari Indonesia di Lei -den memang sangat bagus. KITLV, lembaga tempat saya beker-ja saat ini, dulu berfungsi sebagai perpustakaan dan penerbityang spesialisasinya adalah Indonesia dan Karibia. Lembagaini sering dibilang memiliki koleksi tentang Indonesia yang ter -besar di dunia. Setiap tahun, petugasnya menjelajahi pasar bu -ku di Indonesia untuk membeli publikasi terbaru dan mengi -rimkannya ke Leiden dalam peti-peti kemas. Makanya, di masalalu, peneliti dari seluruh penjuru dunia dapat ditemu kan se -dang bekerja di tengah buku-buku dan jurnal-jurnal di ruangbaca KITLV. Dua kali setiap jam, seorang petugas turun keruang bawah tanah yang sangat besar untuk memungut segalapermintaan para pelanggan. Diletakkannya pesanan-pesananitu di sebuah lift kecil, lalu mereka langsung diantar ke loketresepsi. Bagi mereka yang hanya mencari informasi tentangsebuah topik tertentu, tersedia lemari besar yang penuh dengan

168 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 213: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

laci kecil. Untuk setiap topik yang bisa dibayangkan, ada semuakarya terbitan yang telah didaftarkan dengan teliti. Petugas-petugas KITLV dikenal sangat membantu dan ber pe ngetahuan,bahkan ada yang pandai berbahasa Indonesia. Selain peneliti,terkadang ada orang-orang yang sekadar datang untuk memba-ca koran-koran Indonesia terbaru atau minum kopi dan meng -obrol di luar ruang baca.

Sayangnya, suatu hari pada 2014 Kementerian PendidikanBelanda mendadak memutuskan untuk memotong pendanaanKITLV. Penerbitnya dipindahkan ke Brill Publishers yang terke-nal dengan rekam jejak baik dalam Studi Indonesia. Koleksiperpustakaan pun diambil alih oleh Perpustakaan UniversitasLeiden. Pada waktu itu, banyak peneliti Belanda, Indonesia,dan negara lain yang sama sekali tidak merasa nyaman denganperubahan ini. Sebelumnya barang koleksi perpustakaan bisadipesan dengan mudah dan cepat. Petugas sudah tahu persis lo -kasinya. Mereka juga ingat nama para pelanggan. Nah, dalamsituasi baru ini, semuanya jadi tersimpan di belakang pintuotomatis. Kadang-kadang, delegasi dari luar negeri pun tidakbisa dibantu dengan tepat oleh petugas. Untungnya situasi per-lahan membaik berkat sejumlah petugas baru yang tidak kenallelah. Satu di antaranya, Marije Plomp—yang dulu sempat me -nulis disertasi tentang sastra Melayu—telah mendesain sebuahruang baca bertema Asia. Namun, saya tetap merindu kanruang baca KITLV yang lama, tempat saya bekerja hampir se -tiap hari waktu menempuh S1. Akhirnya, setelah mempel ajarisemua karya yang relevan untuk penelitian saya, sudah waktu -nya menjelajahi perpustakaan-perpustakaan lain di dunia.

Dibiayai oleh Badan Penelitian Ilmiah Negara Belanda(NWO), saya mendapat kesempatan untuk membanding kanberbagai perpustakaan di dunia serta menghadiri beberapa kon-ferensi. Selain ke Jakarta dan Surabaya, pada 2016 saya mela -kukan penelitian di Universitas Cornell, Ithaca, AS. Seperti

169MENELUSURI KOLEKSI SASTRA PRA-INDONESIA

Page 214: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

umum diketahui, sistem Amerika—baik di dunia akademismaupun non-akademis—berpedoman pada konsep service, aliaskesediaan untuk membuat para pelanggan merasa puas dan ter-layani. Hal ini terbukti ketika saya ngobrol dengan pustakawansetempat tentang topik yang ingin saya jelajahi. Dia segeramenyusun daftar berisikan semua bahan relevan yang tersediadi Cornell, lalu melakukan pemeriksaan silang dengan katalogPerpustakaan Universitas Leiden dan mengeluarkan semua ter-bitan yang juga tersedia di sana. Saya diberikannya daftar ba -han bacaan yang unik dan istimewa. “Bagaimana cara meme-sannya?” tanya saya. “Saya kan nggak terdaftar di sini.” Jawab -annya cukup mengejutkan: “Silakan ambil sendiri!” Dia me -nunjukkan jalan ke tempat penyimpanan buku. Hebatnya, prin-sip layanan mereka terbuka (open stack). Jadi, di sebelah kiri dankanan buku yang kita cari bia sanya kita akan bisa melihat buku-buku lain tentang topik sama yang tak mungkin ditemukantanpa akses ke ruang penyimpanan. Koleksi langka disimpan digedung lain, yang terletak agak jauh dari pusat kota dan jugaterbuka untuk pengunjung. Teman saya—Seng Guo-Quan, se -orang sejarawan dari Singapura yang pada saat itu sedang me -neliti silsilah komunitas Tionghoa di Indonesia—mengantarsaya ke sana naik mobilnya. Dalam waktu kurang dari setengahjam, saya berkesempa tan meninjau banyak koleksi yang tak ter-dapat di tempat lain mana pun. Semuanya terawat dengan baik.

Perpustakaan Nasional Singapura juga tak kalah asyik.Tempatnya penuh dengan rak buku-buku tentang Asia Teng -gara, dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Inggris. Bangunannyabersih dan punya fasilitas lengkap, dengan ruang baca yangluas, terang bercahaya, dan berpemandangan indah. Perpusta -kaan itu juga penuh sesak dengan mahasiswa yang sedangmengerjakan tugas-tugas perkuliahannya. Pelaya nan nya cepat,semua pesanan tiba dalam waktu 20 menit. Ketika saya memu-lai penelitian di sana kebetulan ada sebuah eksposisi tentang

170 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 215: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

sastra Melayu, sehingga bangunannya dihiasi gambar-gambarcantik dari cuplikan beberapa koleksi yang dipa mer kan. Satuketika, makcik-makcik pustakawan tertawa cekikikan melihatpesanan buku-buku saya yang baru tiba. Ternyata, sa lah satu -nya berjudul Si Hitam Manis. Wah, ini sebenarnya penelitianmacam mana? Saya pun menjelaskan bahwa saya tertarik de -ngan perkembangan Bahasa Melayu. Si Hitam Manis adalah ter-jemahan buku berbahasa Inggris yang populer zaman dulu,Black Beauty. Tokoh utamanya adalah seekor kuda, bukan se -orang gadis Melayu berkulit gelap yang cantiknya bikin hatiberdesir. “Boleh cakap Bahasa Melayu?” tanya mereka. “Bolehlah sikit-sikit, saya selalu pigi Indonesia!”

Interaksi seperti itu mengingatkan saya pada satu hal pen -ting. Salah satu keputusan yang paling menguntungkan dalamhidup saya adalah untuk belajar Bahasa Indonesia. Keputusanini telah membukakan saya banyak pintu di beberapa tempat didunia. Dari mendapatkan harga yang lebih murah di Thailandbagian selatan sampai bisa memahami program televisi diTaiwan melalui subtitle Bahasa Indonesia, dan dari nyamannyamelakukan penelitian lapangan di seluruh Indonesia dan Ma -laysia sampai bisa mengobrol dengan para perantau di seluruhbelahan dunia, kemahiran berbahasa Indonesia telah menjadiaset tak ternilai. Di kota Ithaca, pengetahuan ini membuat sayadiundang menghadiri makan malam lezat yang dimasak olehkomunitas Indonesia setempat. Keesokan harinya saya diun-dang lagi. Bahkan di ruang baca KITLV yang lama, satu orangpetugas yang berasal dari kota Penang, Malaysia, selalu sukamengobrol dan bercanda dengan pengunjung yang berbahasaIndonesia. Ini memang suatu keuntungan melakukan pe neliti -an lapangan di luar negeri. Nelson Mandela, sang pahlawanAfrika Selatan, sangat benar dalam sabdanya: “Jika berbicaradengan seseorang dalam bahasa yang ia pahami, itu masuk kekepalanya. Jika berbicara dalam bahasanya sendiri, itu masuk

171MENELUSURI KOLEKSI SASTRA PRA-INDONESIA

Page 216: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

ke hatinya.” Maka, karunia paling berharga yang saya perolehdi lapangan adalah kemahiran berbahasa.

Sebagai pecinta bahasa Indonesia, termasuk bahasaMelayu dan berbagai dialeknya, penting sekali untuk menya -dari kekayaan, keagungan, dan hikmah yang terkandung padatulisan-tulisan dalam bahasa ini. Satu pertanyaan yang sudahlama saya pendam adalah: “Apa peran para peneliti bahasa ter -sebut di panggung internasional?”

Setiap mengunjungi Indonesia dan berbicara dengan ka -wan sebidang di sana, saya kagum dengan keunikan dunia aka -demik setempat yang cukup berbeda fokusnya dengan negaralain. Di dunia Barat, termasuk AS dan Eropa, sedang berlang-sung sebuah debat yang semakin seru dan memanas tentang“dekolonisasi akademis”. Apa arti kata dekolonisasi di sini?Kan sudah umum diketahui bahwa kebanyakan negara yangpernah dijajah telah mencapai kemerdekaan dari 1940an hing-ga 1960an, jadi mengapa masih ada pihak yang perlu memba-has konsep itu? Ternyata diskusi ini terkait erat dengan masihadanya hierarki global yang mengutamakan hal-hal dari Baratdaripada hal-hal dari Asia dan Afrika. Misalnya, peneliti berba-hasa Inggris yang mengkaji tentang Indonesia biasanya meng-gunakan kerangka teoretis Barat. Jarang sekali mereka menggu-nakan teori-teori yang berkembang di Indonesia untuk menje-laskan fenomena yang diamati di Indonesia. Ini juga sa ngat ke -lihatan dalam daftar pustaka karya ilmiah yang rata-rata penuhsesak dengan nama-nama Barat sebagai inspirator intelektual,sedangkan peneliti Indonesia paling-paling dikutip berdasarkandata primer yang mereka kumpulkan. Simbolisme menonjol takterpungkiri: orang Barat memberikan pencerahan intelektual,sedangkan orang Asia dan Afrika menyediakan bahan “men-tah” ... Memang hierarki ini tidak mudah diutak-atik.

Salah satu cara untuk mengembalikan esensi ke-Indo nesia -an ke dalam penelitian yang berstandar internasional ada lah

172 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 217: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dengan menyediakan akses yang lebih baik terhadap tulisan-tulisan pemikir Indonesia. Seperti yang saya amati di ruangbaca Perpustakaan Nasional Indonesia, banyak pemikiran ten-tang perjuangan zaman sekarang sudah pernah diungkapkanoleh para cendekiawan Indonesia, namun akhir-akhir ini mere-ka berisiko untuk dilupakan. Agak mengheran kan bahwa sum-ber-sumber yang menarik ini jarang muncul dalam terbitanakademis tentang Indonesia, apalagi studi penjajahan padaumumnya. Apa dampak penjajahan pada pikiran manusia yangdijajah kekuatan asing? Sutan Sjahrir telah menulis tentangmasalah ini pada 1930an. Bagaimana komunitas yang berbedabisa hidup berdampingan secara damai setelah sistem penja -jahan terpental? Hal ini sudah pernah direnungkan oleh Pange -ran Diponegoro! Bagaimana kehi dupan intelektual dapat ber -kembang tanpa bergantung lagi pada konsep dan terminologiyang diambil dari kaum penjajah? Banyak cendekiawan Indo -nesia telah memperdebatkan hal ini di koran-koran lama.Meskipun saat ini penelitian saya terbatas pada pengembanganbahasa, sejarah tetap menjadi kajian pen ting bagi saya. Banyakartikel opini yang pernah dimuat di su rat-surat kabar pada erakolonial yang tampaknya juga dapat membantu kita mema -hami kompleksitas kemasyarakatan saat ini. Bukankah patutjika jejak sejarah ini dijaga dan dilestarikan untuk anak cucukita di masa depan?

Jadi, bagi saya, dekolonisasi akademis mengandung duahal: mendemokratisasikan akses terhadap warisan intelektualbangsa-bangsa yang pernah dijajah, dan menggabungkan per-spektif mereka dengan wacana akademik yang lebih luas. Adayang berpikir bahwa semua bahan penelitian yang berbau Indo -nesia telah “diculik” oleh institusi Barat. Pertanyaan yang ser-ing saya dapatkan saat mengunjungi Indonesia adalah: “Nga -pain main ke Indonesia, bukannya semua sumber dulu sudahdibawa ke Belanda?” Namun, untungnya bagi pecinta warisan

173MENELUSURI KOLEKSI SASTRA PRA-INDONESIA

Page 218: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

sastra Indonesia sedunia, masih banyak hal yang hanya bisaditemukan di Indonesia. Hanya saja, sangat sulit untuk mencaritahu lokasi bahan-bahan yang menarik itu. Perpustakaan lokalrata-rata belum terhubung dengan sistem katalog internasionalseperti Worldcat, sehingga satu-satunya cara untuk mencaribahan penelitian itu adalah dengan me ngunj ungi perpustakaansecara langsung dan—sekiranya tidak tersedia katalog—me -meriksa setiap rak buku, sudut dan celah di dalam bangunan.Wah, bisa-bisa ketika sudah mencapai usia pensiun, dua tigaprovinsi saja belum selesai dijelajahi!

Sepertinya digitalisasi adalah jalan terbaik untuk memfasi -li tasi akses ke sumber-sumber Indonesia yang langka, baik bagipara akademisi maupun masyarakat umum. Akses umum padakoleksi surat kabar berpotensi menjadi tonggak utama untukmenelusuri sejarah Indonesia dari sudut pandang rakyat sen -diri, lepas dari kerangka teori penjajah zaman dahulu atau pe -neliti berbahasa Inggris. Ketika saya terakhir mengunjungi Per -pustakaan Nasional Indonesia, petugasnya memberitahu sayatentang proyek-proyek digitalisasi yang sedang berlangsung.Saya berharap suatu hari nanti penggemar sejarah dapat mene -lusuri surat kabar Indonesia yang telah didigitalkan dan dapatdisunting melalui pengenalan karakter optik (OCR). Beberapanegara telah melakukan ini, termasuk Singapura dan Australia.Belanda juga telah mendigitalkan banyak surat kabar lama darizaman Hindia Belanda, akan tetapi sumber-sumber dalam Ba -hasa Melayu dan Bahasa Jawa malah diabaikan! Seolah-olahmereka hanya peduli dengan perspektif Belanda terhadap masalalu yang sebenarnya melibatkan kedua negara.

Untungnya, banyak arsip di Indonesia yang sekarang bisa“diselamatkan” melalui inisiatif-inisiatif seperti The EndangeredArchives Programme (Program Arsip-Arsip Terancam) diLondon, Inggris, yang bertujuan untuk memfasilitasi pelestari-an arsip dan bahkan menyediakan dana untuk melakukannya.

174 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 219: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Salah satu syaratnya adalah pemberian akses terbuka. Sayabaru dengar bahwa sebuah lembaga Indonesia, di ProvinsiRiau, saat ini sedang mendigitalkan arsip mereka. Saya pribaditidak sabar untuk nantinya bisa membaca harta karun manu -skrip Melayu yang pasti mereka miliki. Semoga ada hal-halmenarik tentang bahasa juga. Apakah ada kemungkinan untukmenulis ulang sejarah daerah itu dari perspektif pendu duknyasendiri? Bahkan, bisakah proyek seperti ini menjadi contohuntuk melalukan penelitian secara bebas, lepas dari be lenggudan cengkeraman kerangka teori Barat?

Tentu saja masih banyak tantangan yang harus dihadapi.Suatu hari, sekembali dari Jakarta yang sedang diguyur hujan,saya menikmati secangkir kopi bersama seorang teman yangbekerja di Perpustakaan Universitas Leiden. Seminggu sebe -lumnya, sebuah delegasi akademisi dari salah satu provinsi diIndonesia datang berkunjung ke Belanda. Seperti biasa, ang gar -an mereka sangat lumayan. Tujuan perjalanan itu mereka jelas -kan begini: “Kami ingin supaya perpustakaan ini mendi gital -kan segala sumber yang dimilikinya tentang daerah kami. Kamimaklum ini dapat memakan waktu berbulan-bulan serta me -merlukan dana yang cukup besar: membuat inventarisasi atassegalanya, mengumpulkan bahannya dalam satu lokasi, me -mindai semuanya, menyediakan koleksi dalam bentuk digital,dan membuat sebuah database sehingga sumber-sumber dapatdiakses dan ditelusuri dengan mudah. Jangan khawatir, semuaini akan kami biayai.” Namun, satu persyaratan yang dimintaoleh rombongan tersebut terasa agak ganjil dan bertentangandengan konvensi internasional terhadap akses terbuka: merekatidak bersedia dan bahkan menolak keras untuk nantinya mem-buka akses bagi pengunjung dari institusi lain di Indonesia.Akhirnya proyeknya batal oleh karena ini. Apa gu nanyawarisan intelektual jika dimonopoli satu kelompok saja? Lalu,apakah percuma delegasi putra daerah ini terbang jauh-jauh ke

175MENELUSURI KOLEKSI SASTRA PRA-INDONESIA

Page 220: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Negara Kincir Angin? Tidak juga. Paling tidak sebagian besardari mereka tak lupa membawa keluarganya dan langsung ka -bur ke Paris untuk berbelanja. Seperti biasa.

Seminggu sebelum berangkat ke Indonesia untuk peneliti -an lapangan, saya sedang enak-enak bekerja di kantor sambilmendengarkan radio. Terdengar beberapa pustakawan Belandasedang diwawancarai dan bercerita panjang lebar tentang ke -istimewaan koleksi mereka. Konon, ketika seorang tamu dariIndonesia diperlihatkannya surat-surat asli yang ditulis olehR.A. Kartini, salah satu pelopor gerakan perempuan Indonesia,dia terharu sampai menitikkan air mata. Sang pewawancaramendadak melontarkan interupsi: “Surat-surat itu kok masihtersimpan di Belanda? Dikembalikan ke negara asal dong!”Para pustakawan tersebut langsung cep klakep! Memangnya ke -napa warisan unggul seperti ini belum dikembalikan ke Indo -nesia? Pertanyaan ini berputar-putar di otak saya sepanjang pe -nerbangan ke Jakarta. Memang bisa dimengerti kalau perpusta -kaan internasional tidak tega memulangkan seabreg-abregbahan yang rapuh, apalagi jika belum pasti tersedia infrastruk-tur dan fasilitas penyimpanan yang memadai. Yang dita kutkanadalah kertasnya akan menjadi retak, kuning lapuk, berlubangdimakan rayap, lalu perlahan hilang untuk selamanya. Namun,bagaimana dengan harta pribadi pahlawan-pahlawan Indonesiayang sangat tinggi nilai simboliknya? Di Indonesia pasti lebihbanyak penggemarnya daripada di Belanda dan negara Baratlain. Untuk itu, pemindaian berkuali tas tinggi patut dilakukanterlebih dahulu supaya bahannya kelak dapat diakses di seluruhpelosok dunia, termasuk melalui ponsel, laptop, atau NintendoWii… Hebat, kan?

Tapi mungkin saya hanya seorang pemimpi, dengan hi -dung yang kebanyakan menghirup bau kertas apak, mata yangkebanyakan membaca tulisan lama, dan otak yang kebanyakanmenyerap suara-suara masa lampau.

176 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 221: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

K eputusan saya untuk bersekolah didorong oleh dua hal,yakni ketidaktahuan dan keinginan untuk meng akhiri -

nya. Semula saya pikir ilmu saya munjung—tahu banyak ten-tang sejarah, bahasa, juga. Namun ternyata salah. Saya bebal.Dan saya baru tersadar akan kebebalan ini setelah selama ber -hari-hari dalam kurun waktu 2003 hingga 2009 berbincang de -ngan beberapa teman sepuh dan kawan buruh dalam sebuahproyek pembuatan film panjang di perkebunan sawit SumatraUtara. Meski dalam kesehariannya mereka ha nya bergulat de -ngan racun rumput dan tandan kelapa sawit, ka wan-kawanbaru saya itu mampu menalar beragam kejadian kini dan lam-pau dengan baik. Pun mereka memiliki sudut pandang segardan pemahaman akan peristiwa sejarah yang benar-benar barubagi saya. Tidak lupa mereka juga bisa mengaitkan dengan elokketerhubungan antara produk kebudayaan dengan konteks his-

Mencoba Tidak Menyerah*

TAUF IQ HANAF I

* Judul ini diambil langsung dari salah satu bahan kajian penelitian Ph.D saya di Uni -versitas Leiden, yakni novel Yudhistira ANM Massardi, Mencoba Tidak Menyerah (1979),yang sebelumnya dijuduli Aku Bukan Komunis.

Page 222: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

toris yang melatarinya. Belakangan baru saya tahu bahwa me -reka adalah juga penyajak dan pemusik gamelan ludruk yangkepandaiannya datang dari proses panjang aktivitas seni danpolitik yang mereka jalani selama bernaung di bawah sebuahpartai progresif berpuluh tahun silam. Syahdan, bagi mereka,berkeringat dan bersajak adalah sebuah kesatuan. Niat sayasemula datang dari Jawa untuk mencerahkan berbalik arah.Anggapan tentang diri sendiri pun turut berubah. Jiwa dan pi -kiran saya mulai dilingkupi oleh penyangkalan, namun kemudi-an saya bersedia menerima bahwa pengetahuan dan kebajikanyang mereka punya tidak sebanding dengan apa yang saya mi -liki. Dari mereka saya belajar banyak; dan karena mereka sayakemudian bertekad untuk belajar lebih banyak.

Saya mengerti bahwa saya tidak memiliki keahlian yangtepat untuk memungut kebijaksanaan dari pembasmi rumputatau biji sawit layaknya kawan-kawan buruh saya itu. Oleh ka -re nanya, saya memutuskan untuk menuntut ilmu lewat jalurlain saja. Saya tulis proposal penelitian. Saya menghubungi ba -nyak pengajar di beberapa universitas, dan saya nyatakan apayang saya harapkan dari mereka. Alasan saya mengirim banyakproposal ke banyak orang dan lembaga didasarkan pada peng-harapan bahwa bila satu menyatakan menolak, satu yang lainmungkin menerima. Dugaan saya benar, beberapa profesoryang saya hubungi menyatakan tidak tertarik atau beralasanbahwa penelitian saya tidak akan sejalan dengan kepakaranmereka. Namun, dugaan saya juga sekaligus salah, karena tidaksatu pun yang benar-benar menyatakan menerima. Beberapa diantaranya malah tidak memberikan balasan sama sekali.

Pada Maret 2015, saya mencoba kembali setelah melihatada peluang dibukanya lowongan untuk 3 orang kandidat Ph.Ddi KITLV Universitas Leiden. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Saya tulis kembali proposal penelitian dan tidak lupameminta seorang kawan, profesor film di Universitas West -

178 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 223: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

minster Inggris yang dulu sempat bekerja sama di SumatraUtara, untuk menyunting proposal penelitian saya tersebut se -kaligus membuatkan surat rekomendasi untuk saya. Pada saatyang sama, saya juga mulai berkorespondensi dengan HenkSchulte Nordholt, Kepala Riset di KITLV Universitas Leidenyang juga seorang Indonesianis dengan harapan dia berkenanmenjadi pembimbing saya bila nanti saya diterima.

Proposal yang telah dipoles, surat rekomendasi yang ditulisdengan baik, dan korespondensi yang intensif ternyata berbuahmanis. Saya dinyatakan berpeluang untuk menempati posisi se -bagai Ph.D researcher di KITLV. Dari ratusan pelamar, tersisa4 orang untuk seleksi akhir. Salah seorang di antaranya adalahsaya. Saya dijadwalkan untuk mengikuti proses wawancarajarak jauh, Leiden-Jatinangor, melalui aplikasi Skype pada 17Juni 2015 pukul 1 siang waktu Leiden, atau pukul 7 malamwaktu Jatinangor. Sebelum tanggal tersebut, sejak 4 Juni 2015,saya sudah berkomunikasi dengan Laurens de Wit, sekretarisadministratif di Fakultas Humaniora Leiden guna uji coba pe -rangkat wawancara. Uji coba dilaksanakan hampir setiap ha ripada waktu yang lebih kurang sama sampai menjelang hari H.Semua berjalan mulus. Laurens bisa mendengar saya de nganbaik dan begitu pula sebaliknya—percakapan melalui Skypeberlangsung tanpa halangan. Celaka, tepat pada pukul 7 malampada 17 Juni 2015, teknologi memutuskan untuk tidak berpihakkepada saya. Tim pewawancara yang terdiri dari Prof. Dr.M.P.C. van der Heijden, Prof. Dr. D.E.F. Henley, Dr. J.W.McAllister, Prof. Dr. J.E.C.V. Rooryck, Prof. Dr. C.J.M. Zijl -mans, dan Prof. Dr. G.J. Oostindie mengajukan serangkai per-tanyaan yang kesemuanya tidak bisa saya dengar. Bila terde -ngar pun sangat samar-samar sekali. Lebih dari sekali sayameminta mereka untuk mengulang pertanyaan. Hasilnya tetapsama. Saya pun meraba dalam remang—menjawab pertanyaansekenanya. Dari 4 kandidat yang mereka wawancarai, 3 ber -

179MENCOBA TIDAK MENYERAH

Page 224: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

hasil lolos dan bisa bersekolah dengan biaya penuh dari Uni -versitas Leiden. Dan saya bukan salah seorang di antaranya.

Namun, saya bersikeras. Hanya tinggal satu langkah sajayang harus saya ambil. Keesokan harinya, saya lanjutkan kores -pondensi dengan Henk. Saya utarakan kepada dia bahwa sayaakan mencoba mencari skema finansial yang lain untuk ber -sekolah di Leiden. Henk menyatakan dukungan dan kesediaan-nya untuk menjadi pembimbing saya. Dia pun mengupayakanditulisnya surat penerimaan tanpa syarat dari Universitas Lei -den yang segera saya gunakan untuk melamar program bea-siswa LPDP dari Kementerian Keuangan Indonesia. Singkatcerita, beasiswa LPDP saya peroleh dan saya akhirnya tiba diLeiden di akhir musim panas yang ternyata dingin dan sangatberangin.

Di Leiden, saya dibimbing oleh Henk dan MariekeBloembergen yang juga seorang sejarawan dengan kepakaranpada proses produksi pengetahuan. Oleh Henk dan Mariekesaya diarahkan untuk mulai mengkaji keterhubungan antaraproduksi karya sastra, khususnya novel Indonesia populerdekade 1980an, dengan peristiwa sejarah yang melatarinya.Kualitas intrinsik karya sastra sampai pada titik ini bukan men-jadi perhatian utama karena yang sedang ditekankan adalahkajian historis produksi karya tersebut. Tiga bulan pertama se -menjak kedatangan saya di Leiden saya ditugasi Henk danMarieke untuk khusyuk membaca. Semula saya anggap tugasini adalah tugas yang tidak serius karena Henk dan Mariekesesungguhnya sedang memberi saya kesempatan untuk ber -adaptasi dengan Leiden: mengurus izin tinggal, mencari aparte-men, membuka akun bank, dan menyekolahkan anak. Namunternyata, dugaan saya lagi-lagi salah. Tugas membaca itu ber -ujung dirombaknya proposal yang semula saya pikir sudah ajeg.Banyak sekali bagian dari proposal itu yang akhirnya berubahsecara dramatis. Mulai dari arah penelitian, topik, sudut pan-

180 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 225: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dang yang diambil, pertanyaan penelitian, sampai dengan me -tode. Selepas membaca, saya ditugaskan untuk membuat pro-posal baru, yang lebih dikenal dengan makalah delapan bulan.Makalah ini memuat fokus penelitian, arah baru, dan kontri -busi dalam konteks akademis/keilmuan yang lebih luas yangtadinya tidak termuat di proposal penelitian awal. Awalnya,menulis makalah ini terbilang menyenangkan, cukup mudah,dan tidak menyita begitu banyak waktu. Bahkan saya sempatmencuri waktu untuk membuat tulisan lain untuk diterbitkan dibeberapa surat kabar. Bimbingan tetap berjalan lancar. Keadaanagak sedikit berubah ketika pembimbing ketiga dipilih untuksaya. Paul Bijl, peneliti KITLV-cum-pengajar di UniversitasAmsterdam, dianggap mampu membantu saya untuk mela -kukan penelitian yang jauh lebih menyeluruh khususnya dalamaspek kesusastraan. Saya sangat senang de ngan dipilihnya Paulsebagai pembimbing ketiga saya, namun kegemarannya untukselalu bertanya terkadang membuat saya merasa kewalahan.Bagian-bagian dalam proposal yang saya pikir sudah cukup je -las ditentangnya kembali. Tulisan-tulisan saya berasa sampah.

Saya tahu benar bahwa dalam proses pembimbingan, yangdilakukan Paul adalah sebuah kelaziman. Selama menjadipenga jar, saya pun melakukan hal yang sama. Namun, entahmengapa, waktu itu saya dibuat pusing olehnya.

Selain proses bimbingan dengan para supervisor, di KITLVada juga yang disebut dengan Mock Entre Nous, semacam perte-muan tertutup dan terbatas yang wajib dilalui setiap kandidatPh.D guna menguji tiap-tiap kajian mereka. Seluruh kandidatPh.D berkumpul, memberikan masukan, mengritik, dan bah -kan mengubah bersama-sama apa yang kiranya perlu diubah.Tahap ini sangat membantu kandidat Ph.D khususnya dalammenemukan celah atau kekurangtelitian dalam menulis ataumembahas topik kajian. Mock Entre Nous juga merupakan jalanmasuk menuju tahap pembersihan berikutnya, yakni Entre

181MENCOBA TIDAK MENYERAH

Page 226: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Nous, di mana seluruh pemimpin, pe ne liti, dan staf KITLVhadir dan melakukan hal yang serupa seperti di Mock Entre Nousnamun dengan kadar kegentingan yang lebih tinggi. Tahap inisangat penting sekaligus menentukan karena bisa jadi peneli -tian seorang kandidat Ph.D boleh lolos, lolos dengan syarat,atau bahkan gagal sama sekali. Mereka menyebut tahap inisebagai “go or no go.” Saya ingat betul betapa gugup saya saatmempresentasikan rencana pene litian di depan mereka. Sorehari di akhir Mei itu keringat me ngucur deras, bibir kering,kata-kata tidak mau juga keluar dari mulut. Entah mengapa.Saya pun sempat menduga-duga renca na penelitian saya tidakakan disetujui. Bayangan kegagalan meski saya sudah meng-habiskan waktu lebih kurang setahun di Leiden begitu nyata.Saya pun makin gugup.

Dugaan saya salah, keberuntungan kali ini berpihak kepa-da saya. Pada 23 Mei 2016, kawan-kawan di KITLV bersepakatbahwa saya diperkenankan untuk melanjutkan penelitian saya.Saya diwajibkan untuk merevisi makalah delapan bulan denganme nyer takan seluruh masukan, kritik, dan koreksi yang disam-paikan pada Entre Nous. Sebulan kemudian, saya diizinkanuntuk memulai riset lapangan di Indonesia.

Mengingat saya membahas tentang proses produksi karyasastra, riset lapangan saya menyasar tiga pihak: pengarang, pe -nerbit, dan Kejaksaan Agung RI yang berwenang dalam memu-tuskan boleh terbit atau tidaknya sebuah karya tulis. Dalam kait -annya dengan penelitian saya, ketiga pihak ini memegang pe -ranan penting dalam—meminjam istilah Foucault—proses pro-duksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi karya. Dalamkajian kesusastraan, sebagian sarjana menganggap bah wa pe -nga rang sudah tidak perlu lagi diusik-usik atau dibawa kembalidalam proses pembacaan dan penafsiran karya. Bagi saya justrusebaliknya. Mereka mengenggam informasi yang sangat pen -ting yang dapat dijadikan alas atau titik tolak sebuah kajian—

182 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 227: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

khususnya dalam proses kreatif, perihal motivasi, upaya meng -ingat peristiwa, atau cara merekayasa kisah. Lagipula, penga -rang yang karyanya saya kaji sekarang masih hidup.

Pengarang yang pertama kali saya temui adalah YudhistiraANM Massardi. Alasan dipilihnya Yudhistira adalah karenasaya mengikuti beberapa petunjuk yang sempat diberikan olehFoulcher, Hoadley, Taum, dan Sumardjo. Menurut mereka,Yudhistira adalah salah satu dari sedikit penulis yang padaakhir dekade 1970an berani memutuskan untuk menulis ten-tang peristiwa sejarah yang semenjak akhir 1965 mewujud seba-gai tabu. Sementara penulis lain, jurnalis, dan sejarawan di da -lam negeri bungkam, Yudhistira merekam peristiwa tersebut se -cara lugas dalam novelnya, Mencoba Tidak Menyerah. Meski di -campur dengan khayal, rujukan peristiwa yang ditunjuk dalamno vel tersebut bisa dengan mudah terbaca—jelas dan khas.Konon, semasa rezim otoriter Soeharto sedang kuat-kuatnya,merujuk, menyebut, atau membahas tabu itu bisa mengundangrisiko sangat tinggi; mata pencaharian bisa hilang dan kesem-patan hidup bisa dicabut begitu saja. Pertanyaan pentingnyaadalah: mengapa Yudhistira menulis tentang itu? Dan bagaima -na bisa tulisannya tiba di tangan pembaca sementara karya pe -nulis lain bernasib pencekalan? Agar jawaban kedua perta nya -an tersebut diperoleh, saya perlu menemui yang bersangkutan.

Untuk menemui Yudhistira ternyata bukan perkara mu -dah. Saya sama sekali tidak tahu alamatnya, tidak pula pu nyanomor teleponnya, mengajukan pertemanan di Facebook ti dakjuga dikabulkan, mengirim pesan singkat lewat media so sialyang sama juga tidak diacuhkannya. Sempat saya hampir me -nyerah; tapi saya telanjur basah, saya putuskan mencebur sajasekalian. Saya hubungi seluruh teman dosen dan penggiat sas-tra yang saya kenal dan sampai akhirnya ada titik terang. Me -reka memberi saya nomor kontak dan alamat e-mail saudarakembar Yudhistira, Noorca Massardi. Melaluinya, saya kemu-

183MENCOBA TIDAK MENYERAH

Page 228: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dian bisa menghubungi Yudhisitira. Setelah serangkaian e-mail, pesan pendek, dan beberapa saat menunggu, Yudhistirameres pons dan mengundang saya untuk datang ke rumahnya diPekayon, Bekasi. Pada Sabtu subuh, 22 Juli 2017, saya pergimenuju Bekasi untuk menemui Yudhistira. Rencananya sayamenemui Yudhistira pukul sembilan agar selepas makan siangsaya bisa berangkat menuju Depok untuk menemui penghu -bung saya dari Kompas Gramedia: seorang editor dan seorangpegawai di Litbang Kompas. Namun, sesaat sebelum tiba diBekasi, saya mendapat pesan singkat dari Yudhistira bahwa diabaru bisa ditemui sore hari karena harus menghadiri undanganpernikahan. Kejadian kecil semacam ini terkadang bisa mem-buat keadaan menjadi tidak nyaman karena harus mengubahrencana dengan tiba-tiba. Namun, saya segera memutuskan un -tuk langsung memacu kendaraan menuju Depok, menemuipenghubung yang saya sebut di atas. Tidak lama di Depok, te -ngah hari saya pacu kendaraan ke arah Bekasi. Saya pastikansaya tiba setidaknya seperempat jam sebelum waktu yang dijan-jikan agar memberi kesan baik. Benar saja, tepat sebelum wa -wancara dimulai, Yudhistira memberikan penghargaan atas ke -tepatan waktu saya. Pukul 14.30 pertanyaan pertama saya aju -kan, pukul 16.30 jawaban terakhir Yudhistira berikan. Dalamwawancara yang terlalu panjang itu, sebagian perta nya an sayaterjawab, sebagian lainnya masih mengambang. Namun kabarbaiknya, sejak saat itu sampai sekarang, hubungan kami terjalinbaik. Bukan hanya setiap pesan yang saya kirim dibalas dengansegera, namun minum kopi bersama dan makan siang sekarangini beranjak menjadi sebuah kebiasaan. Saya pun diberi kesem-patan untuk membaca banyak manu skrip novel-novelnya, dankliping koran yang dia sendiri buat dan kumpulkan.

Selepas Yudhistira, esok harinya, saya menerima pesanpendek dari Edi Hadiya, orang kepercayaan Ajip Rosidi, nara-sumber utama lain bagi penelitian saya. Pesan pendek tersebut

184 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 229: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

menyebut bahwa saya bisa menemui Ajip Rosidi yang kebetul -an akan sedang berada di Bandung hari Senin, 24 Juli 2017.Bagi saya, kabar ini sangat menggembirakan bukan saja karenasaya akhirnya bisa menemui Ajip Rosidi tetapi juga bisa meng -hemat tenaga, waktu, dan biaya dengan signifikan. Tidak adayang tahu persis di mana Ajip Rosidi tinggal selain informasibahwa beliau menempati rumah di Pabelan, Jawa Tengah. Ber -untung empat hari sebelumnya saya mengunjungi Perpus taka -an Ajip Rosidi di Jalan Garut Bandung. Di perpustakan itu,saya bertemu untuk pertama kali dengan Edi Hadiya. Semulasaya pikir Edi adalah penjaga gedung perpustakaan yang ham-pir selalu tutup itu. Sekilas penampilan Edi terlampau seder-hana, namun ternyata dia adalah tangan kanan Ajip Rosidi.Saya mencoba menumbuhkan kesan yang baik, saya manfaat -kan kemampuan berbahasa Sunda saya dengan baik, dan hasil-nya sangat memuaskan. Saya bisa selalu dihubungkan denganAjip Rosidi melalui Edi Hadiya. Bahkan, sempat terpikir, EdiHadiya jauh lebih penting daripada narasumber utama karenadia memainkan peran sebagai narahubung, pengarsip, kuncenperpustakaan, sekaligus pemegang akses ke dokumen Ajip Ro -sidi. Di hari Senin itu, Edilah yang menyiapkan dan merapikanruangan untuk wawancara yang saya la ku kan di hari Senin. Diapula yang memberi saran agar saya tiba tepat waktu dan melak-sanakan wawancara dalam bahasa Sunda. Saat waktu wawan-cara tiba, Ajip Rosidi mulai bercerita tentang banyak hal, pada-hal pertanyaan belum juga saya ajukan. Rupanya beliau sangatgemar sekali bercerita, dan tidak begitu senang mendengarkan.Empat jam berlalu, cerita dihentikan karena akhirnya beliau ke -lelahan. Untung ada Edi. Informasi yang saya inginkan katanyabisa diperoleh kelak lewat wawancara yang dijadwalkan beri -kutnya dan saya pun di perkenankan untuk melihat-lihat doku-men yang mungkin relevan bagi penelitian saya. Dalam contohini, alih-alih Ajip, Edi justru malah menjadi kunci.

185MENCOBA TIDAK MENYERAH

Page 230: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Di penghujung Juli 2017, saya mulai bersiap untuk mewa -wancarai narasumber berikutnya. Ahmad Tohari. Untuk meng -hubunginya, saya menggunakan modus operandi serupa ketikaberurusan dengan Yudhistira. Saya bisa memperoleh no mortelepon Ahmad Tohari setelah saya mengirim e-mail ke salahseorang mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia yang ka -rena keperluan tugas kuliahnya sempat menghubungi yang ber -sangkutan. Nomor didapat, saya langsung mengirim pesansingkat ke beliau di siang hari pada 8 Agustus 2017. Saya tahupesan saya akan dibalas segera. Sebelumnya saya sudah lebihdari tiga kali bertemu dan berbincang dengan beliau di bebera-pa kesempatan. Beliau baik budi dan sangat responsif. Tidaklama setelah pesan pendek itu ter kirim, beliau langsung mem-balas dan menyatakan kesediaan untuk bertemu. Saya diminta -nya datang pada 10 Agustus 2017 pukul 14.00 WIB. Saya se -nang sekaligus galau karena perlu lebih kurang 8 jam dariBandung menuju Wangon, sementara tranportasi umum sangatterbatas. Jadwal ke be rang katan hanya ada dua pilihan, pukul 8pagi dan 8 malam. Bila mengambil jadwal yang pertama arti -nya saya akan tiba terlalu telat, bila yang kedua di hari sebelum-nya saya akan tiba terlalu dini sementara penginapan praktishampir tidak ada. Akhirnya saya putuskan untuk berangkat se -hari sebelumnya di malam hari. Rencananya saat tiba diWangon sekira pukul 3 pagi, saya akan mencari masjid ataumushola saja untuk beristirahat sejenak sambil menungguwaktu wawancara tiba.

Perjalanan menuju Wangon malam itu sama sekali tidakmenyenangkan. Saya duduk di bangku depan tepat di sampingsupir. Dua jam pertama perjalanan, supir memacu kendaraanterlalu cepat. Lebih dari lima jam berikutnya supir memacukendaraan sama cepatnya namun dengan mata setengah terpe-jam karena menahan kantuk. Beberapa kali saya bangunkansang sopir, tapi tidak lama kemudian terlelap kembali dengan

186 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 231: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dua tangan tetap memegang setir. Malam itu, menaiki mobilL300 serasa menaiki wahana halilintar minus perangkat kea-manan. Lewat pukul tiga pagi saya tiba di Wangon. Saya susurijalan sepi sambil mencari mushola untuk saya singgahi sebagaitempat istirahat sementara. Saat mencari-cari mushola, telepongenggam saya berbunyi. Ada pesan masuk dari Ahmad Tohari.Beliau seolah tahu saya sudah tiba di Wangon, meminta sayauntuk langsung datang ke rumahnya. Beliau telah menyediakansebuah kamar untuk saya tempati. Setibanya di rumah beliau,Ahmad Tohari bertanya bila jadwal wawancara boleh diubah,digeser ke pagi hari karena di siang harinya ternyata beliau adajadwal lain. Saya sepakat. Selepas istirahat sejenak, beliau mem -bangunkan saya, mengajak sarapan dan berbincang sejenak ten-tang perjalanan saya semalam. Selepas sarapan, wawancara di -mulai. Di Wangon, praktis tidak ada kendala, terlebih bilamengingat keramahtamahan Ahmad Tohari. Hanya saja, da -lam perjalanan menuju ke dan kembali dari Wangon, istighfarsaya lafalkan terlalu sering. Niat awal untuk menuntut ilmu danberhijrah dari kebebalan seolah-olah menjadi tidak penting ke -tika kematian terasa dekat.

Setelah Yudhistira, Ajip, dan Tohari, masih ada satu yangharus saya temui. Segala upaya saya tempuh, namun berbedadengan pengarang lainnya, beliau tidak ada respons sama se -kali. Beliau menghindar. Padahal, beliau juga adalah pengarangkunci bagi kelancaran penelitian saya. Permulaan yang baiktidak berakhir dengan cukup baik. Fokus pun saya arahkan kepihak berikutnya, yakni penerbit.

Mengakses penerbit Kompas Gramedia saya rasa termasukurusan yang mudah karena prosedur operasional baku bagipengunjung sudah sangat jelas. Terlebih karena sebelumnyasaya juga telah menjalin hubungan yang baik dengan seorangpenyunting dan pegawai di Litbang Kompas di Palmerah Se -latan. Asal mengikuti aturan yang berlaku di Kompas Grame -

187MENCOBA TIDAK MENYERAH

Page 232: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dia, editor, jurnalis, dan penghubung lainnya di lembaga itubisa ditemui dengan mudah. Saya pun bisa mencari data yangsaya perlukan dengan gampang dan segera. Masalah pa lingnyata yang mungkin akan dihadapi di Kompas Gramedia ada -lah perkara finansial. Tiap satu judul artikel yang harus sayacetak dipatok harga cukup tinggi. Ongkos cetak artikel pendekkliping koran, misalnya, adalah 15 ribu rupiah per judul. Se -mentara ada ratusan judul yang mesti saya cetak. Salinan satuhalaman koran yang dicetak ke dalam kertas ukuran legal di -bandrol 500 ribu rupiah. Harga yang sama juga berlaku untukpengambilan foto atau rekaman video koran Kompas per ha -lamannya. Untuk hal ini, saya tidak bisa bersiasat kecualimung kin berpaling dari tradisi empiris dan mulai menimbangstrategi “pesugihan”.

Selain berurusan dengan arsip, saya juga berkesempatanuntuk bertemu dengan beberapa wartawan senior Kompas danredaktur budaya Kompas yang semuanya sangat ramah. Mem -bangun kepercayaan serasa bukan perkara yang susah. Sayabisa dengan mudah berhubungan dengan Bre Redana, bertanyabanyak padanya perihal banyak hal. Begitu pula de ngan man-tan redaktur budaya Kompas yang berperan besar atas lahirnyanovel-novel populer Indonesia yang kini menjadi sangat pen -ting: J.B. Kristanto. Sampai saat ini saya masih berurusan de -ngan mereka, karena semakin lama tinggal di Kompas Grame -dia, semakin banyak pertanyaan yang akhirnya muncul; mulaidari masalah prosedur penulisan, penyuntingan, pencetakan,penerbitan, dan penyebaran, bahkan tentang strategi yang di -pakai guna menghindari masalah yang mungkin datang darinegara terkait sensor atau pelarangan.

Dua novel yang saya kaji, sebelum terbit sebagai novelyang utuh, sebenarnya telah diterbitkan secara serial di koran.Istilah yang kerap dipakai adalah cerbung (cerita bersambung).Dalam pandangan sebagian penggiat sastra, mengkorankan

188 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 233: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

novel adalah bagian dari strategi untuk menguji ombak, khu -susnya untuk mengetahui resepsi masyarakat pembaca sekali-gus penilaian negara atas kandungan novel yang terkadang bisaditafsir sebagai faktor yang dapat mengganggu ketertibanumum dan mengancam kedaulatan negara. Kompas sempat di -hadapkan pada masalah genting ketika pada 1983-1984 merekamenerbitkan cerbung tentang seorang samurai dan roninMusashi karya Eiji Yoshikawa. Saat diketahui bahwa penerje -mah novel yang dikorankan tersebuat adalah Koesalah Soe -bagyo Toer, Kompasmemperoleh teguran keras dari peme rin tahmelalui Departemen Penerangan. Cerbung tersebut terancamtidak bisa lanjut terbit. Lima tahun sebelumnya, novel Yudhis -tira terlebih dahulu terbit sebagai cerbung di Kompas mulai 16Oktober 1978. Dua cerbung pertama disertai dengan ilustrasiyang menampakkan dengan samar lambang palu dan arit, lam-bang yang lekat dengan PKI. Kompas ditegur pemerintah, ilus-trasi itu pun diubah.

Untuk mengetahui lebih lanjut perihal pengawasan bukudan barang cetak lainnya, saya mencoba menyusuri jejak De -partemen Penerangan yang kini berubah menjadi KementerianKomunikasi dan Informatika Indonesia. Namun, proses pe -nelusuran jejak belum berhasil karena praktis saya be lum me -miliki jalan masuk apa pun menuju ke sana. Lalu, saya menco-ba mencari peruntungan di Kejaksaan Agung yang sejak lamajuga turut berwenang terhadap pengawasan dan pela ra ngan se -gala barang cetak. Koneksi pertama dibangun setelah saya di -bantu oleh seorang kolega yang kebetulan me miliki kenalansalah satu petinggi Kejaksaan Agung. Di kantor beliau sayamemperoleh informasi yang cenderung normatif. Informasiyang disampaikan beliau bisa dengan mudah saya peroleh daribanyak situs internet atau buku yang tidak begitu terang. Saatsaya bertanya mengapa satu karya diawasi dan dilarang semen-tara karya lain melenggang bebas, beliau menya rankan saya

189MENCOBA TIDAK MENYERAH

Page 234: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

untuk menggali informasi di tempat lain saja. Akhirnya, sayamemutuskan untuk beralih ke kantor lain, Pusat PeneranganHukum, masih di lokasi yang sama. Saya tidak ber harap ba -nyak saat masuk ke kantor itu, tetapi akhirnya dipertemukandengan petugas kejaksaan yang juga ternyata satu almamaterdengan saya, Universitas Padjadjaran. Kesamaan latar ini sayamanfaatkan dan ternyata membuahkan hasil.

Saya kemudian diarahkan ke kantor kepala sub-direktoratpengawasan aliran kepercayaan masyarakat dan barang cetak -an, sebuah jabatan yang berbunyi unik ketika disingkat, Kasub -ditpakembarcet. Mulanya kasubditpakembarcet itu sangat de -fensif, tidak begitu berkenan berbagi informasi yang menurut-nya sensitif. Namun, ketika saya nyatakan maksud saya yangbukan sesungguhnya, beliau melunak dan mulai memberikanbanyak informasi relevan serta akses ke berbagai arsip yangcukup penting dan terbatas. Di samping kantornya, ada sebuahruangan besar tempat disimpannya buku, buletin, majalah, ka -set, serta cakram padat yang dilarang peredarannya di Indo -nesia. Tidak berbohong namun tidak pula mengutarakan mak-sud yang sebenarnya ternyata memberi manfaat besar. Keper -cayaan terbangun kokoh, hubungan pun berjalan dengan baiksampai saat ini.

Ketika tulisan ini selesai saya buat, penelitian lapangansaya masih berlangsung. Saya kira saya masih akan dihadapkanpada peluang-peluang sekaligus kendala-kendala yang menyer-tainya. Banyak yang telah saya pelajari. Pengetahuan baru sayaperoleh. Namun, saya masih saja diliputi ketidaktahuan dansemakin ke sini rasanya semakin berat apakah ketidaktahuanini dapat segera diakhiri. Saya hanya berusaha untuk terus majudan tidak akan menyerah begitu saja.

190 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 235: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

P endekatan dan kajian sastra tidak hanya terhadap teks,tetapi juga pada persoalan di luar teks. Hal di luar teks,

tertulis atau lisan, adalah juga teks. Dalam kajian sastra, salahsatu pendekatan yang banyak menggunakan penelitian la pang -an adalah sosiologi sastra. Wujudnya bisa beragam, mulai daripenelitian mengenai respons pembaca, penerbit, distributor,toko buku, sosial ekonomi, politik, hingga lembaga. Interaksiyang terjadi bisa saling memengaruhi. Bidang inilah yang men-jadi salah satu perhatian utama saya, khususnya mengenai kon-disi sastra Indonesia di Sumatra Barat. Sebuah perhatian yangtelah cukup lama saya kerjakan melalui beberapa kegiatan:penelitian, penerbitan, peristiwa sastra, pengajaran, dan jugapembentukan sebuah lembaga khusus bernama Ruang KerjaBudaya. Secara keseluruhan, saya menyebutnya sebagai proyekregionalisme sastra Indonesia.

Dari pengalaman dan pekerjaan yang sudah berjalan sebe -lumnya, saya kemudian menyusun sebuah proposal untuk ke -pentingan akademik yaitu melanjutkan pendidikan di Institutefor Area Studies Leiden University, dengan harapan mampu

Penelitian Lapangan bagiKajian Sastra Indonesia

SUDARMOKO

Page 236: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

merumuskan pemikiran saya secara lebih ketat. Penelitian sas-tra Indonesia di Leiden sebenarnya bukan barang baru. Ada be -berapa ahli sastra Indonesia, juga sastra Jawa dan beberapa dae -rah lain, yang berasal dari Universitas Leiden ini. Kajian wila -yah (area studies) memang menawarkan beropera si nya berbagaidisiplin ilmu untuk diterapkan dalam meneliti se buah wilayahtertentu. Dalam hal ini saya memilih sastra Indonesia untukpenelitian yang saya kerjakan.

Setelah sekitar delapan bulan awal menyusun proposalpenelitian dalam bimbingan Prof. Ben Arps, sebuah rancanganpenelitian dirumuskan. Masa-masa ini sangat menantang kare-na saya harus menggabungkan pengalaman, pengetahuan, ba -han bacaan, dan perkiraan penelitian yang akan dilakukan. Se -suatu yang nantinya sering tidak sama, berubah, dan bahkanberkebalikan dengan data, informasi, dan hasil analisis yang di -hasilkan. Tentu saja, saya menyadari bahwa pada tahap pe nyu -sunan proposal, dan ditambah dengan penelitian lapangan sete-lahnya, beberapa asumsi dan pandangan awal akan berubah.Dan ternyata memang demikian. Bukan saja asumsi awal yangberubah, namun juga salah satu usulan bab dalam penelitiansaya ternyata tidak jadi dimasukkan dalam disertasi. Alasannyacukup kuat, baik karena tidak memiliki sambungan denganbab-bab lain, data di lapangan yang kurang, dan juga secarakonseptual belum terbangun dengan baik.

Dengan berbekal proposal penelitian, saya kemudian me la -kukan penelitian lapangan selama tiga kali. Sedikit berbeda,mungkin, dengan kebutuhan penelitian dalam bidang peneliti -an yang lain. Tujuan utama saya adalah melakukan wawancarasebanyak mungkin dengan sastrawan, kritikus, kepala atau pe -gawai beberapa lembaga pemerintah, politisi, komunitas sastra,pemilik toko buku, distributor, dan beberapa pihak lain. Kemu -dian saya juga melakukan observasi terhadap toko buku dankomunitas sastra, mengikuti beberapa peristiwa sastra, dan me -

192 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 237: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

nyiapkan beberapa acara mendadak yang harus diselengga ra -kan. Selebihnya saya mengumpulkan bahan-bahan tertulis yangada di beberapa perpustakaan dan koleksi pribadi, membelinyadi toko buku, atau memesan kepada beberapa orang di kemu -dian hari.

Wawancara adalah pekerjaan yang membutuhkan waktudan juga biaya. Peneliti harus mampu mengatur pertanyaanyang sesuai dengan keahlian responden, berusaha mendapat -kan informasi yang diperlukan, dan kadang menyiapkan diridalam menghadapi informasi yang sangat sensitif dan di luardugaan. Dalam banyak kesempatan, saya menemui beberapaorang di kediaman mereka, sebagian lagi di kafe dan kedaikopi. Kadang siang hari, namun dengan beberapa orang dila -kukan di sore hari, bahkan dini hari. Untungnya, kebiasaan un -tuk dapat ngobrol hingga larut adalah persoalan biasa di ka -langan seniman. Secara umum, informasi yang didapatkan darihasil wawancara dapat membangun pengetahuan umum, yangselain dapat mengisi informasi penelitian juga pengetahuanyang lebih luas yang tidak berhubungan dengan penelitian yangtengah dilaksanakan.

Orang-orang yang saya wawancarai sebagian besar sudahsaya kenal dengan baik sebelumnya, sehingga obrolan dapatberlangsung dengan lancar. Informasi yang diberikan juga sa -ngat penting bagi saya. Satu soal yang dapat saya simpulkanadalah bahwa wawancara yang diawali dengan kepercayaandari kedua belah pihak akan menghasilkan informasi yang lebihlengkap dan valid karena tidak ada unsur keterpaksaan didalamnya. Wawancara untuk penelitian ini, tampaknya, berbe-da dengan wawancara untuk tujuan konfirmasi atau jurnalistik.Yang ingin saya bangun melalui wawancara adalah pengeta hu -an yang lebih luas, baik secara konteks maupun isi dari bidangyang ingin saya teliti. Menentukan siapa yang akan diwawan-carai, pengetahuan tambahan mengenai orang yang akan diwa -

193PENELITIAN LAPANGAN BAGI KAJIAN SASTRA

Page 238: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

wancarai, dan tema wawancara adalah beberapa hal yang harusdisiapkan sebelum wawancara berjalan. Tidak semua orangyang saya rencanakan untuk diwawancarai berhasil saya temui.Dan beberapa yang berhasil saya wawancarai merupakan nama-nama baru yang muncul ketika penelitian lapangan berjalan.

Pemahaman saya terhadap persoalan yang sedang ditelititentu saja sangat terbantu dengan wawancara-wawancara ini.Meskipun saya biasa ngobrol atau berdiskusi dengan beberapaorang yang sama, namun persoalan penelitian yang dibawamembuat nuansa dan capaiannya terasa berbeda. Diperlukansebuah jarak, seperti persoalan penelitian, untuk mendapatkanpengetahuan dari sumber yang sama. Dengan demikian, instru-men penelitian lapangan memang memegang peranan penting.Informasi yang diperlukan dapat dipilah dengan baik jika kitamampu menyusun dan mengajukan pertanyaan kepada infor-man dengan persiapan yang juga baik. Kesiapan mental untukmelakukan wawancara dapat dibantu dengan persiapan-per -siapan yang matang. Hasil wawancara ini secara keseluruhanjuga masih saya rencanakan untuk dapat diolah menjadi sebuahbuku, yang dapat menemani hasil disertasi nantinya.

Saya beruntung mendapatkan sebuah hibah penelitian daripihak lain, Indonesian Visual Arts Archives (IVAA), di Yogya -karta, untuk melakukan penelitian mengenai komunitas seni diSumatra Barat, bernama SEMI atau Seniman Muda Indonesia.Komunitas seni ini merupakan sebuah komunitas yang me -naungi sejumlah kegiatan dalam bidang seni rupa, tea ter, sas-tra, dan musik. Sebuah penelitian yang berbeda namun memi -liki irisan dengan penelitian saya. Dan karenanya, saya kemudi-an berpikir bahwa ada ruang yang masih terbuka untuk diteliti,yang membutuhkan perhatian dan kerja sama dengan penelitidari bidang yang lain. Penelitian mengenai sejarah seni rupa inimemungkinkan saya untuk berkenalan dan mencari informasitentang sejarah seni rupa di Sumatra Barat. Sebagian wawanca -

194 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 239: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

ra saya lakukan di Yogyakarta, yang menjadi salah satu tempatpenting bagi proses kreatif kebanyakan seniman dari SumatraBarat, terutama sejak berdirinya sekolah-sekolah seni hinggasekarang. Sebagian yang lain saya lakukan di Sumatra Barat.Untuk pencarian dan penelusuran informasi, ada beberapa te -muan yang sepatutnya dilanjutkan. Misalnya saja tentang lukis -an Delsy Syamsunar mengenai Tuanku Imam Bonjol, yang ka -barnya pernah dipajang di gedung IAIN (UIN) Imam Bonjolyang kini tidak diketahui di mana keberadaannya.

Secara umum, sejarah seni Indonesia masih banyak yangperlu diisi dengan kajian dan informasi yang lebih lengkap.Meskipun usianya masih terbilang muda, namun sejarah kese -ni an dan kebudayaan, khususnya menjelang dan setelah ke mer -dekaan, memerlukan kajian yang lebih banyak lagi. Utamanyasejarah kesenian dan kebudayaan di daerah-daerah atau provin-si. Saya menganjurkan agar lebih banyak lagi para sarjana ataupeminat kajian kesenian dan kebudayaan yang melakukan ka -jian dan mengumpulkan informasi dan data mengenai sejarahkesenian dan kebudayaan. Hal itu misalnya bisa dilakukan da -lam bentuk pusat dokumentasi atau perpustakaan, museum te -matik, atau bentuk lain yang menarik.

Penelitian lapangan saya, tentu saja, lebih banyak dila ku -kan di wilayah Sumatra Barat. Saya ingin mengetahui lebihmendalam mengenai kondisi dan infrastruktur sastranya. Se -cara tematik, penelitian ini saya harapkan dapat dijadikan seba-gai sebuah model untuk penelitian serupa di tempat lain. De -ngan membangun sebuah konsep dan pemahaman yang difo -kuskan pada satu daerah ini, saya nantinya berharap dapat me -lakukan penelitian serupa. Mungkin akan didapatkan se bu ahmetode atau cara kerja yang lebih baik, sehingga penelitian-penelitian selanjutnya dapat berjalan lebih tepat.

Selanjutnya, observasi yang dilakukan terhadap beberapaobjek kajian saya, sebagian besar sudah biasa saya kunjungi.

195PENELITIAN LAPANGAN BAGI KAJIAN SASTRA

Page 240: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Hanya sedikit saja yang benar-benar baru. Penelitian lapanganyang pernah saya kerjakan dengan beberapa orang sebelumnyamembantu saya dalam menentukan lokasi mana saja yang ha -rus saya kunjungi. Observasi dapat membantu saya dalam meng -ilustrasikan, membangun narasi dan imajinasi, serta menjelas -kan konteks penelitian dalam ruang dan waktu tertentu. Se -buah kasus, misalnya, dapat berbeda dari satu periode de nganperiode lainnya. Contoh yang menarik adalah persoalan pener-bitan dan distribusinya. Pada masa penjajahan, distribusi bukudilakukan melalui para perantau yang memiliki kedai atau usa -ha jasa lainnya. Pada perkembangan berikutnya, distri busi di -lakukan melalui perusahaan distributor, kurir, atau pos. Mediapromosi buku juga sudah ber ubah, dari iklan di surat kabar,almanak, hingga media sosial. Ada yang berubah mengikutiperkembangan teknologi, tetapi juga ada yang tetap berkaitandengan pola dan budaya masyarakat.

Salah satu objek penelitian yang saya bahas adalah tokobuku. Beberapa toko buku saya datangi bersama beberapa te -man. Sambil bertanya-tanya kepada pemilik atau pega wai nya,saya seperti dipaksa oleh keadaan untuk lebih mendalami kon-teks, untuk membeli beberapa buku agar menjadi bagian dariproses operasional toko buku. Untuk kegiatan observasi, bebe -rapa tempat seperti pusat kesenian, toko buku atau persewaanbuku, sekolah atau kampus, yang pernah dikenal dalam duniasastra dan seni di Sumatra Barat merupakan kata kunci untukmemulainya. Meskipun bukan tujuan utama, namun observasiyang saya lakukan dapat membantu saya dalam mengimaji-nasikan konteks peristiwa atau persoalan yang ada.

Ketika meneliti bagaimana komunitas sastra didirikan disebuah daerah, saya menelusuri bagaimana kondisi pendu -kungnya. Misalnya saja, apakah keberadaan penulis atau sastra -wan di daerah itu menjadi salah satu faktor pendukungnya.Kemudian apakah anak-anak muda usia sekolah atau universi-

196 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 241: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

tas turut mendukungnya. Apakah kebiasaan berdiskusi dan ber -kumpul, perpustakaan atau toko buku, dan penerbitan jugamenjadi faktor yang turut berkontribusi? Untuk mengeta hui -nya, saya harus membandingkan dan menguji jawaban yangada pada diri saya, dengan melihat situasi di lapangan. Bebe -rapa bagian dari pertanyaan itu sebenarnya sudah saya ke tahuimelalui keterlibatan di lapangan sebelumnya. Namun lagi-lagi,dengan membawa pertanyaan penelitian, cara me mandang per-soalan akan berbeda.

Pengumpulan arsip dan dokumen berupa kliping, buku-buku yang sudah tidak beredar lagi, atau foto-foto juga menjadibagian dari penelitian lapangan yang saya lakukan. Hampir se -luruh bahan tersebut disimpan secara perorangan. Mengklipingbahan-bahan tematik seperti sastra ini biasanya memang men-jadi urusan pribadi. Hal ini telah saya buktikan ketika mengun-jungi PDS HB Jassin, yang menyimpan ribuan kliping yangberkaitan dengan sastra Indonesia. Koleksi HB Jassin pada mu -lanya adalah koleksi pribadinya. Namun kemudian ditambahdengan sumbangan yang diberikan kepada pusat dokumentasitersebut, ketika dikembangkan menjadi sebuah lembaga doku-mentasi sastra. Betapa pentingnya lembaga seperti PDS HBJassin ini, sebenarnya, dalam dunia sastra Indonesia.

Berkaitan dengan ketersediaan bahan-bahan dokumentasidan kepustakaan dalam bidang sastra ini, saya ingin mengu sul -kan usaha bersama untuk membangunnya. Misalnya saja, ka -jian-kajian sastra Indonesia sudah kita ketahui bersama, terse-bar di berbagai kampus dan daerah. Demikian juga, sumber-sumber produksi sastra juga lahir di banyak tempat. Diperlukansebuah atau beberapa perpustkaan dan pusat dokumentasi yangdapat menyimpan dan menyediakan karya-karya para sastra -wan dan akademisi sastra. Dengan demikian, sambil mela ku -kan pekerjaan penelitian lapangan, saya diliputi berbagai ke -inginan untuk memulai beberapa pekerjaan nantinya. Setidak -

197PENELITIAN LAPANGAN BAGI KAJIAN SASTRA

Page 242: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

nya saya akan mengusulkan sebagian pekerjaan itu ke pada be -berapa orang atau lembaga yang memiliki keterkaitan dan ke -pentingan. Mengurus kebudayaan, katakanlah sastra da lam halini, merupakan hak dan kewajiban bersama. Masing-masingpihak dapat mengisi kekosongan yang ada dari berbagai aktivi-tas dan program yang telah dijalankan.

Tidak seluruh kegiatan penelitian lapangan adalah ceritagembira, tentu saja. Sejumlah hal di luar dugaan dapat saja ter-jadi, seperti sulitnya menentukan waktu pertemuan yang sesuaidengan orang yang akan diwawancarai. Bagi saya, penelitianlapangan merupakan satu langkah dari proses besar dalam pe -nulisan disertasi. Proses menulis, menafsir, mengolah data,menghubungkan satu hal dengan hal lainnya, dan menyajikan-nya dalam sebuah tulisan yang enak dan dapat dipahami pem-baca adalah persoalan besar lainnya. Sampai saat ini saya ma -sih memiliki persoalan dengan bagian akhir ini.

Tantangan besar dalam melakukan penelitian lapanganadalah waktu. Tidak cukup waktu untuk menggali informasiyang diperlukan bagi penelitian saya. Karena itu, berdasarkansaran pembimbing saya, penelitian lapangan dilakukan dalambeberapa tahap. Setelah sejumlah informasi dikumpulkan da -lam penelitian lapangan pertama, draf bab ditulis untuk me -nampung dan menganalisis data yang diperoleh. Setelah ituakan tampak bahwa ada beberapa informasi yang masih ko -song, kurang, atau tidak dipikirkan sebelumnya untuk diper-oleh. Karena itu penelitian lapangan berikutnya dilakukan. Se -cara perencanaan, cara kerja seperti ini akan berhasil. Namun,karena masalah waktu dan juga hal lain, seperti masa studi dandana yang tersedia, masih ada sejumlah informasi yang sebetul-nya harus didapatkan namun belum tertampung dalam skemapenelitian ini. Akan tetapi, sebagai peneliti saya tidak bisa ber -buat lebih, selain memutuskan untuk mencukupkan segala ke -terbatasan ini secara eksplisit. Biasanya alasan seperti ini dite -

198 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 243: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

rima secara umum, karena penelitian memang tidak akan ber -henti pada satu tahapan atau publikasi saja.

Catatan ini hanyalah satu refleksi saja dari apa yang dila -kukan di lapangan, dan sebenarnya tidak sesederhana isi tu lis -an ini. Penelitian lapangan juga sebenarnya hanya salah satutahapan penelitian. Demikian juga dalam hal bentuknya, datadari penelitian lapangan adalah salah satu bentuk yang bisadijadikan dasar dalam menyelesaikan atau menjawab perta nya -an penelitian. Ada metode, bentuk, dan sumber lain dalam me -lakukan penelitian. Misalnya kajian kepustakaan, teks, ataujuga merefleksikan pandangan pribadi. Penelitian sastra me na -warkan banyak pendekatan, juga cara untuk melakukannya.

199PENELITIAN LAPANGAN BAGI KAJIAN SASTRA

Page 244: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Saya datang ke Leiden untuk mengubah nasib dan men-jemput takdir agar kelak menjadi sejarawan seni (art histo-

rian), sekurangnya, dari orang yang semula belajar sendiri (oto-didak) ke “sejarawan formal”. Hasrat menjadi sejarawan senibermula dari penelitian tesis S2 saya di Fakultas Seni Rupa danDesain (FSRD) ITB, antara 2003-2006. Dalam proses mene -kuni penelitian itu, saya aktif membongkar, membaca, menyu -sun dokumen atau mengamati karya seni yang banyak tersebardi majalah-majalah kebudayaan, koleksi museum, galeri, danmilik pribadi. Ketika itu saya menyadari bahwa letak “museumseni rupa Indonesia” bukanlah sebuah gedung megah, melain -kan terhampar di majalah, koran, arsip, catatan-catatan, katalo-gus, dan banyak lagi. Ketika menyelami bahan-bahan itu secaralebih mendalam, saya jadi teringat sebuah frase yang disebutAndré Malraux (1901-1976) sebagai musée imaginaire—“theimaginary museum” atau beken dengan ungkapan “the museumwithout walls”. Di masa yang akan datang, dalam lang kah pen -ting un tuk “mendindingkan” atau “meng konkret kan” semuaitu, bangsa sebesar Indonesia perlu sejarawan seni.

Belajar Menjadi Sejarawan Seni

AMINUDIN T .H . S IREGAR

Page 245: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Bidang sejarah seni adalah bidang yang terlampau menarikuntuk tidak ditekuni karena sejarah adalah perkara dalammempertengkarkan bukti. Orang sering bilang bahwa sejarahhanyalah sebuah kisah tentang masa lalu. Saya setuju dengansebuah buku yang mengatakan bahwa masa lalu bukanlah se -jarah. Bahwa masa lalu hanya menyediakan bahan mentah se -jarah yang memberi catatan tentang masa lalu di masa seka -rang. Masa lalu bisa hilang menguap begitu saja tidak me ning -galkan bekas. Kalaupun hari ini ada yang tersisa, suatu benda,misalnya, itu bisa mengingatkan kita pada masa lalu. Di titik inicontoh: ditemukan darah kering di bagian atas surat LeonTrotsky yang tersimpan di arsip Universitas Harvard. Suratberdarah itu adalah bukti dari masa lalu, tetapi bukan sejarah.Alih-alih, sejarah mengatakan bahwa kepala Trotsky dibacokdengan kampak es ketika dia sedang mengedit makalahnya.

Di luar itu, sejak lama saya terganggu dengan provokasiJames Elkins (2007). Dalam Is Art History Global? Dia kuranglebih menantang: “Can the methods, concepts, and purposes of west-ern art history be suitable for art outside of Europe and NorthAmerica? And if not, are there alternatives that are compatible withexisting modes of art history?” Elkins memperkirakan, sekalipunsejarah seni dari negara-negara non-Barat akhirnya bisa menge-muka, dia tetap saja sulit menghindari konsep sejarah seni rupaBarat. Ketergantungan pada konsep Barat ini terbukti melaluipemanfaatan teori-teori yang lazim digunakan sejarawan Barat,misalnya: psikoanalisa, semiotika, ikonografi, strukturalisme,Marxisme, formalisme, dan lain sebagainya. Elkins, bagi saya,seakan-akan meragukan adanya konsep-konsep yang berdiriindependen di luar Barat. Apakah memang negara non-Baratmemiliki tradisi penulisan sejarah seni rupa? Elkins makin me -nohok dengan mengatakan: ”There is no non-Western tradition ofart history, if by that it meant a tradition with its own interpretativestrategies and forms of argument.” Buat saya provokasi Elkins itu

201BELAJAR MENJADI SEJARAWAN SENI

Page 246: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

sungguh menyebalkan hati dan menyesakkan pikiran.Saya ingin menilai sejarah seni Indonesia sebagai “kosmo -

logi enigmatik”. Kita berhadapan dengan tidak hanya kebisuanarsip, dokumen, atau perkakas sejarah. Atau berhadapan de -ngan standar atau metode dasar sejarah seni, tetapi juga be r ha -dapan dengan karya seni yang diciptakan oleh seniman sekali-gus masa lalunya. Dan, tidak bisa disangkal, di sinilah letak as -pek enigmatiknya. Kita berhadapan dengan dua aspek sekali-gus: “artefak” dan “seniman”. Sejarah, apalagi seni, memangbukan perkara sederhana sebab dia bukanlah, kata MichelFoucault, semata sebuah periode yang disusun sejarawan untukmemahami masa lalu. Filsuf botak itu tidak percaya bahwasejarah adalah sebuah kesatuan (unities). Buat dia, pergeseranitu tampak jelas—dari pencarian tema-tema kesatuan sepertiperiode, babad, abad—menuju fenomena “retakan” (rupture)dan diskontinuitas. Sebab dalam kontinuitas sejarah, Foucaultyakin dengan “selaan-selaan” (interruption) yang muncul tiba-tiba, yang status dan hakikatnya sulit dipahami. Menelaah seja -rah seni rupa Indonesia dari perspektif pemikirannya selalumenjadi kerja yang tidak pernah membosankan. Kerja seja ra -wan mirip dedikasi seorang detektif dalam menangani kasuspembunuhan dalam film-film Hollywood. Dia mengawasi ka -sus dengan fakta abu-abu, teliti dengan bukti, dan perlu kesabar -an. Seperti kata Foucault: grey, meticulous, and patiently documen-tary. Detektif itu tidak “membela siapa pun” selain “korban”.

Sejarah seni juga memiliki “dimensi” yang sering saya ala mi sebagai sebuah “ruang yang sangat jauh dan asing,” yaitu“alam pemikiran dan kejiwaan seniman.” Ketika mengkajisebuah lukisan Jenderal Immamura yang dilukis oleh BasukiAbdullah pada zaman Jepang misalnya, sejarawan mungkinakan mengalami kebuntuan kalau sekadar bersandar pada“konteks zaman”. Menurut saya, memahami konteks hanyalahsatu hal dan memahami cara seniman “berpikir, bertindak, dan

202 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 247: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

berucap” adalah hal lain. Dimensi makhluk bernama senimanyang—kata Vincent van Gogh—ditakdirkan untuk “menyem-purnakan” ciptaan Tuhan itu ternyata amat luas. Dan juga se -ring kali penciptaan sebuah karya masterpiece lahir dari situasiyang sepele dan singkat, namun amat ditentukan oleh peng -alaman batin yang panjang dan intens. Orang bisa terpelesetmene bak makna lukisan hanya gara-gara luput memahamialam pemikiran seniman.

Semakin mendalami sejarah seni rupa Indonesia, saya puninsyaf betapa historiografi seni rupa kita menyimpan banyakmasalah yang fatal sekaligus keterlaluan. Sebagai misal, pemi -sahan yang sewenang-wenang antara primary source dan second-ary source. Sejarawan seni yang menulis sejarah seni rupa Indo -nesia bisa seenaknya mencampur-aduk kedua hal itu. Akibat -nya “sejarah bercampur aduk dengan mitos atau legenda.”Meski demikian saya juga percaya bahwa legenda memang di -ciptakan ketika kebenaran itu berbahaya apabila diungkap. Ma -salah lainnya dalam historiografi seni rupa Indonesia adalahinkonsistensi dan mental koruptif yang sepertinya sudah men-jadi temperamen sejarawan seni, baik dari kalangan Indonesia(maupun Eropa-Amerika), misalnya dalam menulis tahun se -buah peristiwa penting. Terlalu banyak contoh untuk disebut -kan terkait dengan masalah ini. Tapi kira-kira analo gi nya ada -lah: “Apa mungkin kita akan menulis ‘1946’ sebagai hari Pro -klamasi Kemerdekaan?” Kalau menulis tahun saja su dah salah,apakah layak kesahihan dan keshalihan sejarawan itu diper-caya? Hemat saya, kesahihan dan keshalihan seorang sejarawanseni itu bersifat mutlak, sebab bukankah Anda bisa murka de -ngan maraknya hadits-hadits palsu yang disebar lewat Whats -app? Kalau sejarawan seni mengingkari sanad, kita tidak perluheran kalau historiografi seni rupa Indonesia mengalami pe -miskinan dan pengerdilan.

Izinkan saya melanjutkan dari arah yang lain perihal me -

203BELAJAR MENJADI SEJARAWAN SENI

Page 248: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

nga pa kemudian saya tertarik dengan profesi itu. Nomor satu,kita tidak punya sejarawan seni rupa dan memang tidak adasekolah di tingkat perguruan tinggi yang membuka jurusan se -jarah seni rupa. Nomor dua, di kampus FSRD-ITB, saya meng -ajar kelas Sejarah Seni Rupa Indonesia. Nomor tiga, sepertihalnya hadits, belakangan ini banyak beredar lukisan palsu—seringkali bukan hasil imitasi, atau kopi dari lukisan aslinyatapi sebuah lukisan hasil “oplosan” teknik, tema, warna, gaya,komposisi yang khas dimiliki oleh seorang maestro kemudian“dimanfaatkan” si pemalsu dengan membuat “lukisan baru”yang seakan-akan karya sang maestro. Fenomena lukisan palsuini terjadi karena “absennya sejarah seni”. Saya sering memba-ca makalah mahasiswa yang meng analisis lukisan salah se -orang pelukis maestro Indonesia namun celakanya, dia pungutfoto lukisan itu dari dunia maya. Saya berkomentar: “TulisanAnda bagus, tapi sayang sekali lukisan yang dibahas itu palsu!”Nomor empat, insyaallah, kalau ada umur dan rezeki, sayaingin membuka jurusan sejarah seni rupa untuk jenjang S1.

Dari Leiden ke Jalan Lain Menuju Leiden

Seingat saya jalan menuju Leiden berliku-liku. Suatu ketika, se -telah rampung S2 (2006), saya mencoba mengadu nasib denganmengirim surel ke jajaran profesor yang namanya terpampangdi website Leiden University. Tentu saja saya memilih merekayang berhubungan erat dengan studi kajian sejarah Asia Teng -gara atau Indonesia, yang relevan atau sekurangnya ber iri sandengan rencana penelitian. Terus-terang saya tidak mengu asaipeta who is who yang mengampu sejarah seni di kampus Leidenkarena memang di website itu tidak eksplisit merujuk ke studiitu. Dari sekitar 4-5 orang yang saya kirimi surel, saya ter kesimakarena antusiasme dan ketangkasan mereka merespons, tapi:“Maaf, saya tidak menguasai sejarah seni rupa, apalagi Indo -

204 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 249: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

nesia. Silakan tanya ke profesor tetangga sebelah lainnya. Atau:coba tanya ke si X, si Y, dan seterusnya. Good luck!” Saya masihingat satu di antara mereka adalah Pak Harry A. Poeze yangbukunya sudah saya baca sejak zaman kuliah S1. Saya menaruhharapan besar kepada beliau. Di surat balasannya beliau de -ngan sopan dan simpatik mengelak dengan alasan, ya itu tadi:tidak terlalu memahami ihwal sejarah seni Indonesia (saya raguapakah Pak Poeze masih ingat atau enggak tentang surel-menyurel ini). Di tengah proses yang bikin frustrasi itu, sayasempat mengirim surat ke seorang profesor terkemuka dariUGM untuk berkonsultasi—banyak orang yang mengatakankerapatan hubungan beliau dengan kampus Leiden dan meng -usulkan saya agar menghubunginya (alhamdulillah, sampaihari ini surel saya tidak pernah ditanggapi oleh beliau).

Tiba-tiba saya memperoleh tanggapan dari Prof. KittyZijlmans—sekarang menjadi co-supervisor. Beliau memilikinama besar karena kontribusinya dalam mengembangkan ga -gasan tentang world art studies—atau global art history. Singkatcerita, beliau berminat dengan rencana riset yang saya ajukan.Tapi dia memerlukan seorang professor lain yang lebih me -nguasai kebudayaan/kesenian Indonesia. Proses ini pun bisadikatakan kandas. Bulan-bulan berlalu hingga tahunan dan ren-cana studi saya ke Leiden semakin terbengkalai karena pelbagaikesibukan kampus dan aneka acara lainnya. Di tengah-tengahitu, saya terjerumus dalam pergaulan di antara sejarawan seni.Itu membuat saya sempat melirik Sidney University dan me -lawat ke kampus itu untuk suatu acara seminar seni rupa. Dikampus itu ada Prof. John Clark—kini beliau adalah salah seo-rang sejarawan seni senior dunia yang menguasai tema senirupa modern dan kontemporer Asia. Lagi-lagi karena satu danlain hal rencana Sidney pun berakhir di jalan buntu. Hampirber sa maan dengan Sidney, ketika melawat ke Canberra, sayabertemu Chaitanya Sambrani—sejarawan seni di ANU-

205BELAJAR MENJADI SEJARAWAN SENI

Page 250: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Canberra. Sebelumnya kami berdua memang sudah cukuplama berkawan akrab. Beliau mendorong saya untuk melanjut -kan studi di kampus ANU yang luar biasa sepi itu. Dan, lagi-lagi, rencana ini pun tidak ditakdirkan oleh Tuhan.

Kisah lain, suatu ketika di Singapura, dalam suatu acarakonferensi, saya diundang berbicara dan bertemu almarhumJeffrey Hadler dari Universitas Berkeley. Dalam percakapanyang saya lupa detailnya, beliau sungguh-sungguh mengung -kapkan minatnya menjadi supervisor. Tak lama setelah itu sayaberjibaku memenuhi syarat-syarat beasiswa Fulbright. Lamaranyang saya ajukan beasiswa ke Fulbright kemudian ditolak de -ngan bunyi surat: “Proposal Anda menarik, tapi kali ini kamisedang mengutamakan mereka yang berasal dari IndonesiaTimur.” Sementara itu untuk melamar ke LPDP, usia saya su -dah kadaluarsa. Kayak syair lagu lama, rencana itu pun ha nyatinggal rencana. Dan karena suatu penyakit aneh yang di idap -nya, tak lama kemudian Pak Jeffrey berpulang. Mimpi kuliah diBerkeley pun menguap.

Pendulum sejarah bergerak dan tiba-tiba membawa sayakembali ke rencana Leiden. Pada 2014, saya dikasih kesempat -an ke Belanda dalam rangka Taylor Program Stuned. Sekitarsebulanan, program ini antara lain berkeliling Belanda untukmencermati bagaimana mereka menangani warisan budaya.Kami keluar masuk museum, kantor pemerintah, juga tak ke -tinggalan program berupa presentasi dari para ahli Belandamengenai budaya Indonesia. Di hari yang bersejarah itu, diMuseum Volkenkunde, saya bersama rombongan dari FSRD-ITB tekun mendengarkan presentasi Prof. Marijke Klokke—yang kini menjadi supervisor pertama saya. Nama beliau me -ngemuka sebagai ahli kajian seni klasik Indonesia. Saya masihingat, setelah acara presentasi kelar, rombongan kami dan Prof.Marijke Klokke ngeloyor ke restoran Sumatra House untukmakan siang. Dan sebagaimana layaknya pertemuan akademis,

206 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 251: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

kami semua terlibat dalam percakapan tentang rencana-ren-cana penelitian budaya, dan aneka lainnya. Di restoran itu sayamemperkenalkan diri sebagai orang yang punya minat besar se -jarah seni Indonesia dan masih setia mencari peluang S3. Be -liau mengungkapkan ketertarikannya dan mendorong saya un -tuk meneruskan rencana yang maha mulia itu. Korespondensisurel pun saya teruskan di tanah air. Tibalah tahun 2016 ketikaprogram beasiswa BUDI-LN untuk Ph.D dibuka. Program inilebih manusiawi dalam mematok usia calon. Dengan antusias -me tinggi saya pun mendaftar. Alhamdulillah, tidak terasa, kinisetahun sudah saya menjalani kehidupan di kampus Leiden.

Kerja Lapangan: Leiden sebagai Situs Masa Lalu Indonesia

Ketika mengetik tulisan ini, saya belum melakukan kerja lapang -an dalam arti yang lazim dilakukan kandidat doktor padaumumnya. Tapi karena kajian saya cenderung mengutak-atikteka-teki masa lalu, saya beranggapan bahwa kawasan ker jalapangan yang paling menarik justru area kampus Leiden itusendiri. Bagi saya kampus Leiden adalah situs masa lalu Indo -nesia. Saya merasakannya setelah setahun menghirup udarakampus ini, terutama perpustakaannya, terlebih lagi ko leksikhususnya. Di situ imajinasi kita berkelana dari masa ke masa,sesekali menyusun, mencari hubungan atau ketidak hu bunganatau menemukan sebuah kesinambungan dan perubahannya.Kalau duduk di ruangan koleksi khusus dan tenggelam di masalalu, saya melihat Indonesia ibarat mengamati ikan di dalamsebuah akuarium.

Kerja lapangan saya di keheningan situs koleksi khususyang tersistematisasi dan mudah diakses itu mengingatkan sayapada pernyataan David Carrier dalam Principles of Art HistoryWriting. Dia bilang: “The problem with transporting Western-style

207BELAJAR MENJADI SEJARAWAN SENI

Page 252: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

art history to other cultures is not just it is focused on European art, butthat its support system is very expensive, even for wealthy countries.”David Carrier mengakui bahwa untuk menjadi art historian diAmerika, misalnya, seseorang membutuhkan akses yang baikke perpustakaan; tersedianya koleksi slide digital; pelayananyang telah terkomputerisasi dan sebagainya. Selain itu, untukmenjadi sejarawan, seseorang harus memiliki waktu yang cu -kup untuk mengajar, membaca dan melakukan riset. Oleh kare-na itulah, menurut Carrier, “replicating this system in poorer coun-tries in not possible.”

Saban kali melangkah dari Vrieshof 1 menuju situs “arkeo -logi UB” pasca request, saya suka merenungkan ucapan si DavidCarrier itu dan menyimpulkan: pantas saja buku-buku sejarahtentang seni dan kebudayaan kita yang dihasilkan sarjana Ero -pa terkesan rinci dan kaya data bila dibandingkan de ngan pro-duk-produk dalam negeri. Kalau sudah dibekap dengan “situasipsikis” itu kadang-kadang nyali kita suka turun. Tapi saya ke -mudian menemukan cara untuk menghibur diri dengan meng -ingat-ingat pesan Trisno Sumardjo—kritikus seni kawakanIndonesia yang saya amat kagumi. Pada 1950an dia pernahbilang: ”Jangan kita terlalu percaya pada tenaga serta penilaianoleh orang asing, baik yang ada disini, maupun diluar negeri.Kompleks rendah diri sering membuat orang menggantungkannasib pada mereka ini, sedangkan banyak orang asing itu ber -prasangka dan berpamrih, tak tahu pula memakai ukuran padatempatnya, karena ukuran dibawa dari negeri masing-masingyang sewajarnya hanya berlaku disana saja. Kita tak mau di -pandang hanya sebagai objek eksotis untuk memenuhi keingin -an mereka menemui kepenasaran. Kitalah subjek berjiwa ber -nafaskan nasionalitet sendiri dan kitalah satu-satunya pembinakebudayaan bangsa kita.”

Hiburan ala Trisno itu masih setia menemani langkah sayasaban kali melangkah ke situs kerja sampai hari ini—mungkin

208 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 253: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

untuk seterusnya—sembari membayangkan arah pulang keIndonesia masa depan yang terlihat giat membangun museum,lembaga riset sejarah seni, dan perpustakaan yang mumpuni.

Vrieshof 1, Leiden, April 2018

209BELAJAR MENJADI SEJARAWAN SENI

Page 254: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

“A syik ya, kuliahnya jalan-jalan terus.” Kalimat ini seringsaya dengar sejak saya duduk di bangku univer sitas.

Hal ini karena jurusan kuliah saya tergolong tidak umum. Sayamengenyam pendidikan S1 Arkeologi di Universitas Indonesia,S2 Art History Curatorial and Museum Studies di TheUniversity of Adelaide Australia, dan S3 Colonial and GlobalHistory di Universiteit Leiden Belanda. Tentu saja dengan latarbelakang pendidikan saya, saya harus “jalan-jalan” ke situs-situs arkeologi dan museum-museum. Namun, apakah jalan-jalan saya ke lapangan sama dengan yang dilakukan oleh turispada umumnya? Tentu saja tidak!

Semula, topik penelitian Ph.D saya adalah tentang repre-sentasi kolonialisme Belanda di pameran museum, baik dimuseum-museum di Indonesia maupun di Belanda. Saya me -lakukan penelitian di bawah bimbingan Prof. Marieke Bloem -bergen dan Dr. Alicia Schrikker. Di masa awal program dok-toral saya, para pembimbing saya mengharuskan saya un tukmembuat proposal penelitian (yang disebut dengan eight-monthpaper) dan melakukan penelitian lapangan (fieldwork) pertama.

Meneliti Sejarah Museum:Bagaikan Mencari

Jarum dalam Jerami

AJENG AYU ARA IN IKAS IH

Page 255: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

1. Dengan berlangganan museumkaart dan membayar 60 Euro setahun saya bisa gratismasuk ke 400 museum di Belanda sepanjang tahun, kapan pun saya mau. Bagi sayayang sering ke museum, adanya museumkaart (yang juga dibayari oleh kampus) meng -untungkan sekali, karena tiket masuk museum biasanya lebih dari 10 Euro.

2. NS adalah perusahaan kereta di Belanda. Perusahaan ini punya paket-paket abonemen,salah satunya Weekend Vrij. Dengan paket ini saya harus membayar 32 Euro setiapbulan, tetapi saya gratis naik kereta ke mana saja di Belanda selama akhir pekan, danmendapatkan potongan diskon 40 persen di hari kerja.

Bersamaan dengan membuat eight-month paper, saya harusmengunjungi sebanyak mungkin museum di Belanda untuk me -mutuskan museum mana kelak akan saya pilih dalam peneliti -an. Tentu saja tahapan ini saya lakukan dengan senang hati.Saya berlangganan museumkaart1 dan paket NS weekend vrij2.Berlangganan dua paket tersebut membuat saya “gratis” masukke museum di berbagai kota di Belanda dan “gratis” pula naikkereta ke luar kota yang harga tiketnya biasanya cukup mahal.Hampir setiap akhir pekan saya sibuk bertandang ke museum-museum di Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, Arnhem, Eind -hoven, sampai ke pelosok Amersfoort, yang pamerannya seper-tinya cocok dengan tema penelitian saya.

Pada tahapan ini, hal yang harus saya lakukan di museumtergolong cukup mudah. Saya hanya harus menikmati pameranmuseum. Dalam artian mengikuti alur pameran sesuai jalancerita atau storyline museum, melihat semua objek yang dipa -merkan, membaca semua wall text dan object label yang ada,mencoba semua media interaktif yang tersaji di museum, danmenonton/mendengarkan semua audiovisual yang tersedia. Taklupa pula saya merekamnya di kamera serta buku catatan riset.Tentu saja hal ini memakan waktu cukup lama. Saya biasanyamenghabiskan waktu berjam-jam di satu museum. Bahkan,apabila museumnya besar, saya harus beberapa kali bolak-balik.Oleh karenanya, saya biasanya lebih nyaman untuk pergi kemuseum sendirian (kecuali bersama teman yang terbukti benar-benar museum geek). Walaupun demikian, pergi ke museum di

211MENELITI SEJARAH MUSEUM

Page 256: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

akhir pekan ini sempat membuat saya “dimarahi” pembimbing.Menurut beliau, pekerjaan kunjungan museum ini adalah bagi -an dari riset saya, jadi seharusnya dilakukan di hari kerja, danbukan di akhir pekan.

Setelah eight-month paper dikumpulkan, maka tibalah bagisaya untuk melakukan penelitian lapangan (fieldwork) pertamake museum-museum di Indonesia. Museum yang akan sayakunjungi sudah disepakati bersama dengan kedua pembimbingsaya sesuai dengan proposal penelitian. Dari hasil fieldwork,saya harus memutuskan museum apa yang akan saya bahas le -bih dalam. Dalam rangka fieldwork ini, saya harus pergi ke ber -bagai kota di Indonesia, yakni Jakarta, Yogyakarta, Denpasar,Banda Aceh, dan Ambon.

Selain berkunjung ke museum dan melihat pameran mu -seum seperti di Belanda, saya juga harus melakukan wawan-cara dengan pegawai museum dan pihak-pihak lain yang ber -kaitan dengan penelitian saya. Sebelum berkunjung ke suatukota bia sanya saya menghubungi teman-teman dan kolega saya(serta kenalan suami) yang bekerja di museum-museum yangakan saya kunjungi. Dengan mengenal “orang dalam”, akanlebih mudah nantinya bagi saya untuk membuat janji wawan-cara dengan kepala museum, mengakses perpustakaan mus -eum, dan memperoleh data-data lainnya yang saya butuhkan.Di sini saya menyadari bahwa penting sekali bagi seorang pe -neliti untuk memiliki jaringan yang luas dan hubungan baikdengan siapa pun.

Berhubung narasumber yang harus saya wawancarai seba-gian besar adalah pejabat museum, maka wawancara dilakukandi kantor museum atau kantor dinas kebudayaan/pariwisata.Saya belum pernah melakukan penelitian dengan metode wa -wancara sebelumnya (kecuali wawancara informal dengan pe -ngun jung museum). Oleh karena lokasi wawancara cukup for-mal, awalnya saya khawatir apabila proses wawancara akan

212 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 257: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

berjalan dengan canggung. Padahal saya menginginkan obrol -an dapat mengalir agar saya bisa “mengorek” banyak infor-masi. Alhamdulillah setiap wawancara berjalan dengan lancar.Walaupun ada 1 narasumber penting yang menolak untuk di -wawancarai, apalagi direkam, padahal saya sudah membuatjanji pertemuan sebelumnya dan diminta untuk berada di kan-tornya sejak pukul 7 pagi. Beliau malah mengajak saya ikut ra -pat tentang museum (yang tidak ada hubungannya dengan pe -nelitian saya) bersama para stafnya pagi itu. Alamak!

Hal lain yang saya lakukan untuk mencari data adalah de -ngan mengumpulkan buku panduan museum dari masa kemasa di berbagai perpustakaan. Baik berupa guideline museumyang saya teliti, ataupun panduan pengelolaan museum terbitanKementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apabila perpusta -kaannya memiliki katalog online maka pencarian saya menjadimudah sekali. Namun biasanya saya harus menghabiskan wak -tu dengan menelusuri rak buku satu per satu dan mencari buku-buku yang diperlukan secara manual. Apabila perpustakaannyaterang dan ada petugas yang menjaga maka pencari an bukuhanya akan melelahkan secara fisik. Namun, ketika perpusta -kaan museumnya berada di bangunan tua cagar buda ya, gelapdan di dalamnya hanya ada saya seorang diri, maka saya bukanhanya lelah secara fisik, tetapi juga secara mental. Pen cariandata bagaikan uji nyali dan membuat bulu kuduk saya berdiri.

Hal lain yang saya pelajari dalam fieldwork ini adalah beta-pa menantangnya penelitian sejarah karena saya harus mene lu -suri nama demi nama dari dokumen yang saya dapatkan. Ter -kadang penemuannya tak terduga. Di Bali, setelah saya berte-mu dan wawancara dengan kepala museum, beliau menunjuk -kan blueprint museum. Di dokumen tersebut saya menemukannama arsitek yang merancang museum dari Jurusan ArsitekturUniversitas Udayana. Saya pun segera menghubungi temanlama saya di Australia dulu yang merupakan dosen Universitas

213MENELITI SEJARAH MUSEUM

Page 258: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Udayana. Dari teman saya, saya mendapatkan nomor kontakarsitek yang ternyata kini merupakan kepala jurusan sekaligusmerangkap bos teman saya. Sambil menunggu respons untukmembuat janji temu dan wawancara dengan narasumber incar-an, saya menghabiskan hari itu de ngan “nongkrong” bersamamahasiswa Universitas Udayana yang juga menunggu giliranbertemu dengan sang kepala jurusan.

Di hari terakhir saya di Yogyakarta setelah menghabiskanbeberapa hari berkutat di satu museum, saya baru menyadaribahwa kepala museum yang namanya bolak-balik muncul diberbagai dokumen adalah relasi suami saya. Beliau kini sudahpensiun dan tinggal di Yogyakarta. Saya pun kemudian mem-buat janji dengan mantan kepala museum tersebut. Kebetulansaya juga kenal dengan yang bersangkutan, jadi beliau dengansenang hati menunggu saya di rumahnya. Beberapa jam se -belum ke bandara untuk kembali ke Jakarta, saya bertandang kerumah beliau. Uniknya, beliau tidak memberikan alamat pastiberupa nama jalan dan nomor rumah, melainkan petunjuk se -perti, “rumah saya di daerah A, kalau di sana ketemu lapangannanti masuk gang ke arah barat, lewatin sekolah, nanti di utaraada sanggar pengantin…” Hebatnya, supir taksi online sayaberhasil menemukan rumahnya.

Di Jakarta ceritanya lain lagi. Ketika saya dan seorang te -man berhasil menemukan buku panduan suatu museum ketikamuseum itu dibangun pada 1980an, kami pun melihat jaja ranfoto dan nama-nama sejarawan yang mengonsep museumtersebut. Teman saya yang latar belakang pendidikannya bukansejarah lantas berkata “telusurin aja nomor teleponnya, pastibisa sih harusnya, terus lo telpon deh minta wawancara.” Sayapun menjawab, “sayangnya gak bisa, sejarawannya sudah me -ninggal semua.”

Ketika kembali ke Leiden dan mengumpulkan fieldworkreport, para pembimbing saya berkomentar “we’re impressed on

214 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 259: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

what you did during the fieldwork.” Untuk pertama kalinya dalamsatu tahun saya kuliah, pekerjaan saya dibilang memuaskan.Kini, enam bulan sudah berlalu dan fokus penelitian saya sudahlebih mengerucut. Saya akan membahas mengenai warisan ko -lonial dan dekolonisasi di museum-museum Indonesia di erapascakolonial. Saya pun sudah harus melakukan fieldworkkedua.

Fieldwork kedua mengharuskan saya mencari data lebih“dalam”, yakni ke perpustakaan dan pusat arsip untuk mencaridokumen dan artikel surat kabar lama yang saya butuhkan da -lam riset. Dididik dengan latar belakang ilmu arkeologi dan arthistory, saya cukup khawatir dengan masalah pencarian arsipini. Saya cukup cemas mengenai lokasi pencarian arsip dan la -manya waktu yang saya butuhkan. Apalagi saya tahu bahwa dibeberapa pusat arsip dan perpustakaan, saya harus menghadapitumpukan jilid koran dan mencari secara manual dengan mem-buka lembaran koran satu persatu untuk menemukan artikelyang saya butuhkan. Bagaikan mencari jarum dalam jerami!

215MENELITI SEJARAH MUSEUM

Page 260: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri
Page 261: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

VKajian Antropologi

dan Sejarah Indonesia

Page 262: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri
Page 263: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Mari kita menikmati sore yang cerah di pinggiran Jakar -ta sebagai titik awal. Itu adalah hari-hari terakhir Orde

Baru, dan ketika saya tinggal di sana, saya menghabiskan waktudengan membaca, melakukan penelitian di Arsip Nasional, danmengajar. Abad ke-18 menjadi fokus saya dan karenanya sayadibawa ke sebuah rumah tua yang berlokasi di Cilincing. Sam -pai awal abad ke-20, pe mandangan di sekitar Jakarta dipenuhidengan rumah-rumah megah yang dibangun pada abad ke-17dan ke-18 oleh para tu an tanah, yang memberi Batavia dan ke -mudian pasar dunia ha sil panen mereka. Pada masa Sukarnodan Suharto hampir semua perkebunan ini dihancurkan—diera Sukarno akibat vandalisme dalam arti yang paling harfiahdan di bawah rezim Suharto karena modernisasi, yang dapatsama-sama merusak.

Kami (yaitu saya dan suami) senang mengunjungi rumah-rumah ini dan melihat bagaimana ini benar-benar menyatudengan kampung di sekitarnya setelah satu abad diabaikan.Dan kami juga suka mengeluh tentang kapitalis, so si alis, arsitekmodern, ibu rumah tangga yang ceroboh menendang kompor,

Ini merupakan laporan melakukan penelitian tanpa historiografi,sinopsis, anggaran, pertanyaan penelitian, dan metodologi.Investigasi saya ke topik saya didorong oleh rasa ingin tahu.

Penelitian di Luar Kendali,Pitung Mengambil Alih

MARGREET VAN T I L L

Page 264: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

220 CATATAN DARI LAPANGAN

Orde Baru secara umum dan semua orang yang telah menye-babkan penurunan monumen bersejarah ini. Kami benar-benarmerasa lebih baik setelah menggerutu. Di sanalah kami, melajudengan lambat melewati kampung dan saat tak terhindarkandatanglah kami harus bertanya kepada kawanan anak-anakyang sedang tumbuh di sekitar mobil tentang keberadaan persisrumah besar Cilincing. Menolak layar jendela kita membiarkaninformasi membanjir, dan momen salah pemaha man budayamuncul: bukankah itu rumah Si Pitung yang kita cari? Dan darisana pertanyaan penelitian saya adalah: siapa Si Pitung?

Untungnya, Dirk Vlasblom, pada waktu itu korespondendi Indonesia untuk surat kabar utama Belanda, dapat memberisaya pengarahan singkat tentang Si Pitung. Dia pernah menjadiperampok yang hidup di masa kolonial, dan ada banyak filmtentang dia, dengan tentara VOC mengenakan wig pirang lucu.

Setelah diberikan petunjuk pertama ini, historiografi yangterkait dengan pertanyaan penelitian di atas ternyata singkat.Saya tidak dapat menemukan buku atau artikel yang menjawabpertanyaan penelitian saya. Tentu saja, uraian Hobsbawm danKartodirdjo tentang bandit secara umum cukup membantu, te -tapi tidak terutama tentang Pitung. Tak satu pun dari sejarawanyang bisa memberi tahu saya siapa Si Pitung, atau abad manayang ia ambil sebagai panggungnya. Anekdot wig pirang Vlas -blom membawa saya ke abad ke-18 dan saya mulai memba -yangkan Pitung sebagai musuh VOC. Karena tidak ada hasilselama pencarian saya selama beberapa waktu, saya menghiburdiri saya bahwa walaupun fakta-fakta yang berkait an dengansejarah Si Pitung tidak dapat diungkapkan, maka se tidaknyasebuah artikel yang sangat menarik dapat ditulis tentang hu -bungan Indonesia dengan masa lalu kolonialnya, me la lui pem-buatan legenda Pitung melawan penindas Belanda.

Sementara itu, pencarian saya di Jakarta membawa saya kePusat Perfilman Haji Usmar Ismail, di mana saya menonton

Page 265: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

221PENILITIAN DI LUAR KENDALI

bintang film terkenal Indonesia Dicky Zulkarnain menyamarsebagai Pitung. Banyak pembaca yang lebih muda mungkin ti -dak pernah menonton film-film ini dan bahkan mungkin tidakmengenal petualangan Pitung secara keseluruhan. Singkatnya,dia adalah perampok yang mencuri dari orang kaya dan mem-beri kepada orang miskin. Pada titik tertentu ia ditangkap olehpolisi, tetapi kemudian melarikan diri dari penjara. Teman ba iknya adalah Djiih, dan tunangannya adalah Aisyah. Akhir -nya, dia dihabisi saat baku tembak dengan Schout Hinne. De -ngan semua romansa, kekerasan, dan humor, film-film itusudah menjadi obyek studi yang sangat berharga.

Lukman Karmani yang terkenal secara lokal punya andildalam naskah itu dan saya mengunjunginya juga. Dia juga pe -nulis salah satu novel yang ditulis pada awal 1960an dan1970an tentang pahlawan rakyat Betawi, seperti yang sayaketahui. Namun, kemarahan nyata Pitung telah berakhir pada1990an dan iklim tropis dan kebiasaan pinjam meminjam telahmembuat komik dan buklet Pitung dalam kelangkaannya men-jadi barang kolektor yang nyata. Bahkan di tempat Karmanisendiri buklet yang ditulisnya sendiri tidak dapat ditemukan.

Begitu banyak untuk narasi dan wacana tentang Pitung.Saya masih ingin tahu siapa dan di mana Si Pitung yang sebe-narnya. Namun jalan keluar atas kebuntuan ini (setiap peneliti -an memiliki satu) akhirnya saya temukan.

Perjalanan dari rumah saya Cilandak (di pinggiran selatanJakarta) ke pusat budaya Taman Ismail Marzuki di Cikini (dijantung ibukota abad ke-19) tidak pernah menjadi sesuatu yangdinanti-nantikan, namun demi perburuan saya untuk sosokPitung ini memaksa saya untuk pergi ke sana. Mencoba me nak -lukkan kemacetan lalu lintas, hari sudah senja ketika saya tibadi lokasi di Jalan Cikini. Itu adalah hari yang paling suram dansaya khawatir sebagian besar karyawan sudah pulang ke rumah.Dan memang, suasana di pusat dokumentasi tidak bisa digam-

Page 266: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

222 CATATAN DARI LAPANGAN

barkan selain menakutkan. Hampir semua staf memang telahpergi, tetapi untungnya seorang pustakawan masih ada di sana.Dia mencuat karena penampilan intelektualnya. Ini jarang ter-jadi pada masa itu, karena para intelektual agak curiga. Jadi,memiliki rambut panjang, janggut dan ceroboh, adalah istime-wa. Berada di ruang baca yang sunyi dan tampang lelaki istime-wa ini, memperkuat gagasan saya bahwa ia bukan pejabatbiasa, tetapi semacam pertapa, di gua modern, di mana seorangpeneliti yang putus asa seperti saya bisa minta bantuan untukmencari informasi dengan sedikiti imbalan atau hadiah. Danmemang, pustakawan itu benar-benar tidak harus melihat kedalam katalog, dia hampir langsung menyerahkan tesis MA be -sar dari Palupi Mardini, berjudul “Cerita si Pitung satra analisislisan terhadap struktur cerita”.

Pertemuan Palupi dengan Pitung adalah tentang sastra: iatelah mempelajari struktur legendanya dengan menganalisislagu-lagu yang disebut pemain lenong. Beberapa saat kemudi-an, saya menyaksikan sendiri pertunjukan pada legenda SiPitung. Ini memberi tahu saya bahwa Si Pitung sangat menge-sankan orang Betawi, bahwa mereka mengingatnya sepanjangabad ke-20, mengilhami Lukman Karmani untuk naskah film.Membaca tesis Palupi, mata saya tiba-tiba jatuh pada catatan disuatu tempat di tengah buku. Disebutkan bahwa dalam majalahpopuler, seorang jurnalis menyebut Si Pitung dalam tajuk ren-cana tentang Jakarta yang bersejarah. Mulyawan Karim mem-bayangkan kehidupan sehari-hari di Batavia pada 1892/1893menggunakan koran Hindia Olanda abad ke-19 sebagai sumber.Dia telah memukul—baik secara tidak sengaja atau tidak—pada artikel Pitung dan perbuatannya. Jelas, dia telah mening-galkan topik dalam perjalanan ke ruang lingkup lain, menyisa -kan banyak ruang bagi saya untuk menjelajahi kehidupan danwaktu Pitung yang sebenarnya. Ngomong-ngomong, saya ber -untung mendapat petunjuk ini dari Pak Karim, kalau tidak,

Page 267: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

223PENILITIAN DI LUAR KENDALI

mungkin perlu waktu lebih lama untuk menemukan Pitungyang asli. Betapa lebih mudahnya pekerjaan sejarawan saat ini!Satu istilah pencarian di situs perpustakaan nasional akanmemberikan lusinan hit dalam koleksi koran yang di pin dai.Namun, di sanalah dia, di seluruh surat kabar Melayu. Danmemang, dia merampok sesama Betawi menggunakan senjata -nya dan melarikan diri dari penjara sebelum akhirnya ditembakoleh Schout Hinne.

Tapi siapa percaya kata-kata jurnalis (maksud saya warta -wan Hindia Olanda, bukan Pak Karim)? Sejarawan Mona Lo -handa pernah mengatakan kepada saya bahwa menurutnyaPitung hanyalah penemuan jurnalis abad ke-19. Jadi, saya ha -rus mencari sekali lagi apakah ada bukti lain keberadaannya dikehidupan nyata. Mungkin administrator kolonial dapat diang-gap lebih dapat dipercaya? File-file tertentu tentang tuntutanhukum pidana terletak di bagian yang paling menantang dariArsip Nasional: arsip Algemene Secretarie, kantor mantan Gu -bernur Jenderal Hindia Belanda. Arsip-arsip ini dikemas di ista -na presiden di Bogor (dan mungkin para arsiparis masih me -ngerjakan inventaris). Memesan file ke Arsip Nasional di Am -pera Raya di Jakarta benar-benar semacam roulette. Bagaimana -pun, akhirnya saya menerima file dengan gugatan terhadapPitung. Dan saya ingat betapa lega dan bahagianya saya ketikapada satu halaman saya melihat salib kecil di tempat di manatanda tangannya seharusnya diletakkan.

Tanpa sengaja saya tertarik ke dalam sejarah mikro. Dibelakang saya metode saya paling dekat dengan teori penelitianCarlo Ginzburg, yang memosisikan sejarah mikro tertentu dijantung cerita yang lebih besar ortodoks. Saya juga harus men-cari jejak dalam tulisan-tulisan hebat sejarah formal untuk me -nemukan petunjuk tentang pahlawan (atau penjahat) Pitung.Dan kemudian, setelah saya menyelesaikan perjalanan saya de -ngan Pitung, saya bisa memasukkannya ke dalam gambaran se -

Page 268: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

224 CATATAN DARI LAPANGAN

jarah yang lebih besar. Saya telah menyelidiki sebuah drama ke -cil di kampung itu, yang sampai sekarang tidak mengetahui se -jarah kolonial tradisional. Legenda Pitung telah membawakuke koran, bioskop, arsip, kuburan, pembibitan, dan PramoedyaAnanta Toer yang merujuk Pitung dalam novelnya RumahKaca. Saya terpaksa mengambil pendekatan interdisipliner danmenggunakan berbagai sumber—seperti yang disebarkan olehmicrohistory. Pelanggar hukum Pitung terhubung ke pertanyaanyang lebih besar dalam sejarah, seperti debat bandit sosial yangdimulai oleh Hobsbawm. Perampokan Pitung, dengan penggu-naan revolver yang melimpah dan karunia besar dari korbankelas menengahnya, juga terkait dengan monetisasi dan mo -dern isasi masyarakat urban di koloni itu.

Kembali ke Belanda, kolega akademis saya di Indonesiatampaknya terutama tertarik pada hubungan ini dengan teoriyang lebih besar, dan ini membingungkan saya. Mengapa do -ngeng Pitung hanya mendapatkan pembenaran dalam hubung -annya dengan sejarah konvensional? Saya sudah menyebutkankurangnya historiografi tentang sejarah sosial di Asia Tenggara,dan ini memang menunjuk pada kekurangan dalam penelitiandalam sejarah mikro, subaltern, dan lokal. Ini berbeda denganEropa, di mana cabang-cabang sejarah ini cukup populer, jugadi antara khalayak yang lebih besar. Satu penjelasan yang ma -suk akal bisa jadi karenapenelitian internasional amatlah mahaldan sebagian besar disubsidi oleh pemerintah nasional kita.Rencana penelitian tidak boleh terlalu berisiko dalam sumberutama mereka, harus sehat secara finansial dan sedikit dapat di -prediksi. Ini juga membantu jika penelitian membahas ke bang -gaan nasional, pertobatan nasional, atau rekonsiliasi nasional.Namun, seperti yang ditunjukkan di atas, dalam me lakukanmicrohistory Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, dankemungkinan objek penelitiannya destruktif, keras dan hubung -annya secara keseluruhan dengan negara tegang. Kekhawatiran

Page 269: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

225PENILITIAN DI LUAR KENDALI

lain adalah pelatihan sejarawan muda saat ini (setidaknya diBelanda). Setiap semester mereka menerima perintah untukmelakukan debat, sumber, dan historiografi yang terkenal. Per -gi lebih dalam ke arsip dan disesatkan ke bagian yang kurangdiketahui itu, adalah ekspedisi yang berisiko, tidak kompatibeldengan panjang studi yang seharusnya singkat.

Hanya saja, setelah semua sejarah tidak boleh terbataspada beberapa akademisi yang berdebat satu sama lain tentangbeberapa abstraksi teoritis besar. Hampir seabad yang lalu, pro-fesor Sejarah di Universitas Leiden Johan Huizinga mendefi -nisikan sejarah sebagai "geestelijken vorm waarin een cultuur zichrekenschap geeft van haar verleden" (bentuk spiritual di mana bu -daya bertanggung jawab atas masa lalunya). Dalam definisi ini,“budaya” mengacu pada masyarakat luas, yang berarti bah wakarya para akademisi setidaknya harus mencapai audiens yanglebih umum. Ketertarikan pembaca awam pada apa yang dise-but orang kecil memiliki landasan ilmiah yang kuat, sepertiyang diajarkan oleh teori sejarah mikro. Oleh karena itu, dimasa depan mudah-mudahan akan ada banyak sejarawan Indo -nesia dan Belanda menggali arsip untuk bidah dan orang suci,penjahat dan pahlawan, anarkis dan masyarakat umum.

16 Mei 2018

Page 270: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

T ulisan ini didasarkan pada pengalaman penelitian lapa ng -an saya bersama Tim Ristoja (Riset Tanaman Obat dan

Jamu). Penelitian ini merupakan kerjasama antara Kementeri -an Kesehatan Republik Indonesia, Pengembangan KesehatanBalai Besar Penelitian dan Penelitian Tanaman Obat dan ObatTradisional dengan Universitas Palangka Raya tempat saya be -kerja. Penelitian tanaman obat dan jamu ini dimulai padaAgustus dan pengumpulan laporan akhir dilakukan dua bulansesudahnya. Riset ini secara khusus bertujuan untuk mengeks -plorasi pengetahuan Ethnomedicine beserta tumbuhan obat ber -basis komunitas Dayak di Kalimantan Tengah. Saya dan ang -gota tim mengeksplorasi wilayah Kabupaten Barito Utara padakomunitas Dayak Taboyan. Anggota tim terdiri dari lima orangyang masing-masingnya memiliki bidang ilmu yang berbeda,yakni berlatar belakang biologi, kehutanan, kimia, kedokteran,dan ilmu sosial. Tugas saya adalah melakukan wawancara men-dalam dengan orang lokal dan mengumpulkan sebanyakmungkin informasi mengenai tumbuhan obat dan dan jamumasyarakat Taboyan.

Menemukan Orisinalitasdi Tanah Dayak

KATR IAN I PUSP ITA AYU

Page 271: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Penelitian dengan tema Ethnomedicine ini menggunakanmetode etnografi dalam pengumpulan informasi tentang peri-laku masyarakat yang dipelajari langsung dari lingkungan asli -nya. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipatifserta mengandalkan pengamatan dan wawancara pada situasialami. Ketua Tim memutuskan titik lokasi awal penelitian di -lakukan di desa Kandui, Barito Utara, dibantu oleh orang-orang lokal yang antusias berbagi informasi dan memandukami sebagai orang luar daerah yang kurang pengalaman de -ngan budaya setempat. Tahap pertama penelitian adalah wa -wancara mendalam dengan orang yang dianggap bisa menyem-buhkan atau tabib yang dalam penelitian ini disebut sebagai“Battra.” Istilah dukun tidak digunakan karena memang ke -mampuan mengobati narasumber yang dipilih untuk meng -obati jasmani pasien. Meskipun salah satu Battra mengakui da -pat mengobati gangguan supranatural, tapi riset ini hanya ber -fokus pada narasumber yang bertindak sebagai tabib. Tahap ke -dua adalah pengumpulan sampel tanaman obat dan dilanjut -kan dengan proses herbarium. Tahapan terakhir, hasil pengum -pulan data dituangkan dalam bentuk verbatim, catatan lapang -an dan rekaman wawancara yang dicatat dalam bentuk tran-skrip. Terlepas dari hal-hal teknis tersebut, kisah perjalananpenelitian Ethnomedicine ini membawa saya pada keaslian pene -litian lapangan yang sesungguhnya.

Perjalanan dari Palangka Raya menuju Barito Utara akanditempuh dengan jalur darat tepat setelah tengah hari. Perleng -kapan lapangan, ransum, dan peralatan herbarium telah disiap-kan dan dibawa oleh kendaraan yang berbeda dari yang dibawatim peneliti. Perjalanan antar kabupaten ini berdurasi 4 jamdengan membelah jalan kabupaten yang tidak selalu mulus danpemandangan tepi jalan masih berupa hutan ataupun arealperkebunan. Perjalananan ini bukan merupakan pengalamanpertama bagi saya dan anggota tim berada di hutan rimba

227MENEMUKAN ORISINALITAS DI TANAH DAYAK

Page 272: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Kalimantan Tengah. Namun penelitian lapangan kali ini mem-beri kesan dan tantangan tersendiri karena kami harus siap bu -kan hanya mental tetapi juga secara fisik. Salah satu kesiapanfisik adalah dengan meminum obat anti malaria dua minggu se -belum keberangkatan sebagai tindakan pencegahan. Kesiapanmental yang kerap saya bayangkan adalah camping di tengahhutan atau ditolak oleh warga setempat. Setelah berkendara se -lama kurang lebih 4 jam, saya dan tim peneliti sampai di DesaKandui dan mencari tempat tinggal di rumah penduduk desayang kebetulan adalah seorang Battra. Beliau adalah seorangperempuan paruh baya yang bersedia menerima dan memberikami kenyamanan di rumah kayunya yang luas. Saat sampai disore hari, saya dan anggota tim diterima sang pemilik rumahdan disuguhi teh hangat dan jajan tradisional. Disambut hangatlayaknya keluarga dan disiapkan kamar dengan alas kasur ka -puk yang sangat empuk ketimbang tidur di tenda. Ibu pemilikrumah menjamin tak akan ada nyamuk yang mampir ke kamarkarena beliau dengan telaten menghidupkan obat nyamuk ba -kar dan menaruhnya di setiap sudut ruangan. Malam itu, sayabersama tim berdiskusi dengan pemilik rumah yang mengguna -kan bahasa Dayak Ngaju yang dialeknya berbeda dengan baha -sa Ngaju pada umumnya. Saya memang paham bahasa Ngaju,namun tetap harus memasang telinga dengan cermat untukmencerna maksud beliau tentang keharusan kami melapor ke -datangan kami kepada Kepala Desa esok hari.

Keesokan hari, kegiatan dimulai dengan gotong royongmemasak untuk sarapan, mengantri menggunakan fasilitasmandi dan kakus, serta tidak lupa menghabiskan teh hangatbuatan ibu pemilik rumah. Minum teh manis ini menjadi ke -biasaan bagi masyarakat Dayak untuk memulai hari serta su -guhan pembuka “ramah-tamah” pada sore hari saat pulang darikerja. Kebiasaan ini merupakan pintu kebersamaan yang me -nya tukan anggota keluarga atau handai taulan di ruang makan

228 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 273: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

atau sekadar teras rumah dan secara tidak langsung bertujuanuntuk merekatkan tali persaudaraan. Lazimnya, sebuah kun-jungan ke suatu wilayah pedesaan tentu saja harus melaporkepada pemangku pemerintahan setempat yakni Kepala Desa.Sesampainya kami di rumah Kepala Desa, satu per satu mem-perkenalkan diri dan menyampaikan tujuan atas keberadaankami di Desa Kandui. Sebagian dari tim kami bukanlah orangDayak dan hanya saya dan serta seorang rekan lagi yang meru-pakan orang Dayak Ngaju. Sayangnya Barito Utara tidakmenggunakan bahasa Ngaju dalam kesehariannya. Separuhnyamenggunakan Bahasa Taboyan dan separuhnya lagi menggu-nakan bahasa Maanyan. Namun karena jumlah populasi sukuDayak Ngaju cukup banyak dan tersebar di Kalimantan Te -ngah, maka beberapa komunitas yang bukan orang Ngaju cen-derung mengerti bahasa Ngaju. Hal ini merupakan keuntunganbagi saya karena bisa berkomunikasi dan membangun relasiyang akrab dengan Kepala Desa.

Usai melaporkan diri, agenda selanjutnya adalah menemu -kan narasumber yang memiliki kemampuan meramu obat-obatan tradisional. Dalam pencarian Battra ini, saya tidak me -nemukan perbedaan kedudukan strata antara Battra denganwarga biasa. Saya mendapatkan informasi bahwa dalam bu -daya Dayak ada keahlian mengobati penyakit yang dimilikiBasir Balian (dukun, tabib, atau pemimpin ritual keagamaan)dan kemampuan ini diwariskan secara turun-temurun. Namunhanya Basir laki-laki yang dapat menyelenggarakan ritual pe -nyembuhan. Basir perempuan bertugas memimpin upacaraadat kematian dan perkawinan. Jika ada warga terserang pe -nyakit yang tidak diketahui asal-usulnya, maka diyakini bahwapenyakit itu berasal dari roh jahat dan perlu diadakan ritualyang dipimpin oleh Balian agar roh jahat dapat diusir keluardari tubuh orang yang sakit. Persepsi dan organisasi pikiranmasyarakat tentang proses penyembuhan ini dimanifestasikan

229MENEMUKAN ORISINALITAS DI TANAH DAYAK

Page 274: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

melalui ritual Balian yang harus merelakan tubuhnya dimasukiroh baik yang dipercaya sebagai sahabat sang Balian dan akanmembantunya dalam proses menyembuhkan orang sakit. Sa -yangnya, pada lokasi penelitian di Barito Utara, saya tidak me -nemukan Battra yang masih melakukan ritual/upacara pe -nyembuhan. Beberapa Battra yang ditemukan di lokasi pe ne -litian merupakan tabib yang mendapatkan kemampuan mengo-bati dari orang tuanya namun bukan seorang Balian serta tidakmewarisi kemampuan melakukan ritual adat penyembuhan.

Battra yang menjadi narasumber pertama cukup dikenal diDesa Kandui dan juga memiliki seorang anak yang juga menja-di tabib. Rumah Battra pertama terletak di pinggir hutan, dike-lilingi berbagai macam tanaman kayu dan obat-obatan. Sayamempersiapkan daftar pertanyaan yang sudah didesain rinciagar dapat menggali setiap informasi penting. Alat pe rekamdan kamera dipersiapkan agar keterangan narasumber tidakada yang terlewatkan. Saya merasa telah mempersenjatai diridengan semua skenario yang mungkin terjadi. Te rencana danterorganisir serta bertekad mengeluarkan segenap kemampuanberkomunikasi dalam bahasa daerah un tuk menggali semuainformasi tanaman obat masyarakat Taboyan. Pada awalnyasaya merasa terlalu kaku dan sungkan untuk berkomunikasidengan Bahasa Ngaju, namun justru keadaan alami terciptadengan sendirinya saat berbincang de ngan Battra pertama ini.

Saya berpikir bahwa sang Battra akan bercerita tentangkemampuannya menyembuhkan rupa-rupa penyakit yang ada,menolak keras perawatan medis, percaya pada kekuatan magisdan obat warisan leluhur saja. Battra pertama ini membawakami ke “ladang” yang sangat mirip hutan, di mana dia mena -nam obat herbal yang diyakini dapat mengobati banyak pe -nyakit. Beliau menunjukan satu per satu tanaman, mencerita -kan cara meramu, mendeskripsikan dengan detail takaran ta -nam an obat, menerangkan cara pemakaian bahkan membagi

230 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 275: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

informasi cara menanam tumbuhan tersebut. Seorang anggotatim peneliti yang berlatar belakang kedokteran menanyakanapa obat untuk sakit tumor atau benjolan. Battra dengan santaiberkata kalau ada benjolan ke rumah sakit saja—“operasi”kata nya. Jawaban lugas Battra membuat seluruh anggota timtertawa dan menyadari bahwa tidak semua obat alami dapatmenyembuhkan semua penyakit generatif yang disebabkanpaparan non-alami dari luar tubuh. Battra pertama menutuppembicaraan dengan mengatakan bahwa obat alami sangatbaik untuk pencegahan dan jika rutin dikonsumsi akan sangatmungkin menyembuhkan penyakit. Jika sudah sakit, obat daritanaman manjur pada tahap awal, namun jangan menampikbantuan medis yang bisa didapat dari dokter. Pelajaran pertamadari kegiatan penelitian hari itu adalah pen ting nya beradaptasidan masuk ke dalam kehidupan asli orang setempat agar dapatmenyelami dan memahami konteks dan konsep penyembuhandari alam.

Perjalanan untuk menemukan Battra kedua didasari infor-masi dari warga setempat yang menyakini bahwa tabib tersebutdapat menyembuhkan penyakit fisik maupun penyakit magisyang dikirim oleh orang lain. Kemampuan pengobatannya diawarisi dari ayah dan kakeknya. Selain itu, dia memiliki integri-tas atas keahliannya dalam menyembuhkan penyakit impotensipada kaum pria. Dia meyakini ramuan yang diwarisi dari kakekdan ayahnya itu merupakan obat termanjur bagi pria yang ber -masalah dengan “kejantanan”. Beliau mengatakan bahwa ba -han dasar ramuan tersebut bernama “Seluang Belum” danmenjadi komoditas yang dicari oleh pasien-pasiennya. Tanam -an ini memang dikenal sebagai tanaman yang dapat memulih -kan stamina. Battra membawa kami ke ladang tempatnya me -nanam Seluang Belum agar kami dapat melihat wujud asli ta -naman tersebut. Selama ini, bagian yang diperjualbelikan dipasar obat hanyalah bagian akarnya. Sulit mendeteksi tanaman

231MENEMUKAN ORISINALITAS DI TANAH DAYAK

Page 276: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

ini jika kami tidak berjumpa langsung dengan bentuk asli danmengambil sampel daunnya untuk dibuat herbarium. Tanamanini sudah jarang ditemukan, namun narasumber ini berinisiatifuntuk membudidayakannya agar kelestariannya dapat diwaris -kan kepada salah satu anaknya.

Menariknya, kemampuan Battra ini juga dikenal wargadesa dalam mengusir santet. Sang Battra juga menyebutkan diadapat menyembuhkan pengaruh santet ataupun memberikanjimat asmara “buluh perindu” (yang dipercaya bertuah untukmenarik hati lawan jenis). Sebagai orang yang tidak memilikipengalaman maupun informasi apapun tentang dunia magis,supranatural ataupun santet, saya menemukan bahwa hal inimasih dipercaya oleh masyarakat di daerah pedalaman. Sayajuga melihat penempatan jimat-jimat maupun jeruk nipis yangditaruh di atas kusen rumah sebagai penolak bala. Saya me -nyadari bahwa adat-istiadat dalam sebuah komunitas telah ter-bangun cukup lama dan disepakati bersama serta dijunjungeksistensinya bagi pemiliknya. Tidak seorang pun dapat meng-hakimi tentang budaya dan tradisi tertentu dan memperten-tangkannya dengan konsep luar yang sama sekali asing. Masya -rakat setempat memaknai tradisi mereka sebagai hal yangdiwariskan dan dipelajari sesuai dengan adat-istiadat, sistemnorma dan peraturan-peraturan hidup dalam budaya di manamereka tinggal.

Selanjutnya, pengalaman paling berkesan adalah ketikakami mengunjungi dan mewawancari Battra ketiga. Dalam per-jalanan menuju ladang tumbuhan obat-obatan miliknya, Battramenunjukkan tanaman obat untuk kanker yang dinilai sudahjarang ditemukan. Beliau menjelaskan cara penggunaan tanam -an tersebut dan menyatakan bahwa tanaman tersebut hanyatumbuh di dekat hutan. Rekan peneliti dengan latar belakangilmu biologi mengemas daun, batang hingga akar tanaman ter -sebut untuk dibuat herbarium. Selain menunjukkan pengeta hu -

232 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 277: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

annya tentang tanaman obat, Battra ini juga memberikan pan-dangan filosofis yang cukup dalam akan pentingnya bertahandalam keadaan yang berubah-ubah. Selain kemampuannya da -lam meramu obat, Battra meyakini bahwa jika kita tinggal diamdalam keadaan hidup yang susah, maka hidup yang akan me -ninggalkan kita. Hingga akhirnya kita sebagai manusia yangharus menguasai hidup. Battra ini mempunyai visi sederhananamun revolusioner dalam hal caranya membangun komuni ka -si dengan warga desa di hadapan pihak kelurahan untuk mem-buat tambak ikan air tawar pertama di Desa Rarawen. Menu -rutnya, kehidupan orang Dayak yang berlimpah susu dan madumelalui kekayaan hutan dan sungai diuji ketika program peme -rintah ini diterapkan di desa tersebut. Beliau ingin menunjukanbahwa orang Dayak memiliki survival mechanism yang sangatkuat secara alamiah. Saya menilik ke tambak ikan dan juga keladang milik Battra yang ditanami beras merah. Saya pun ber -tanya, mengapa pula harus beras merah. Si Battra menjawab,“Bukankah nasi merah lebih sehat dan saat ini menjadi barangyang dicari orang?” Secara tidak langsung Battra menjunjukkanadanya perubahan sosial di daerahnya yang di sebabkan olehkontak dengan pihak pemerintah dan kebuda yaan luar. WargaDesa Rarawen telah beradaptasi dan meng geser mata penca-hariannya bukan hanya berladang namun juga tambak ikan.

Pengalaman selanjutnya adalah tim peneliti bertemu de -ngan Battra keempat, seorang bapak yang sudah cukup ber -umur dan meyakini bahwa batang dan daun pohon ulin memi-liki khasiat pengobatan. Kayu ulin yang disebut juga kayu besidi yakini dapat memberi sumber kekuatan bagi tubuh. Meng -ingat jumlahnya yang sudah tidak terlalu banyak di KalimantanTengah, maka kami tertarik untuk masuk ke dalam hutan untukmendapatkan tanaman tersebut sebagai sampel herbarium.Mengambil sampel daun, batang dan kulit kayu merupakanpengalaman yang tidak mudah karena tidak semua bagian ta -

233MENEMUKAN ORISINALITAS DI TANAH DAYAK

Page 278: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

naman ini gampang untuk diambil. Khususnya karena bebera-pa tanaman memilih untuk tumbuh di sumber air terdekat se -perti di seberang sungai kecil atau justru tumbuh di hutan belu -kar yang susah diambil daunnya karena telah tumbuh cukuptinggi. Perburuan pohon ulin membutuhkan baik otak maupunotot pemandu lokal, karena mereka lebih mengetahui seluk be -luk lokasi. Hal ini juga memengaruhi pengambilan foto tanam -an dan sampel. Bersamaan dengan pemberian label pada ta -naman yang akan difoto, sang Battra juga kerap menceritakanasal-usul tanaman dan khasiat-khasiatnya yang juga perlu dire -kam. Peneliti harus multitasking! Battra keempat ini menyampai -kan penghargaaannya kepada orang yang masih tertarik de -ngan warisan resep obat leluhur. Sang Battra mengatakan bah -wa segala obat akan lebih manjur jika diminum teratur dan di -mulai dengan membaca doa terlebih dahulu. “Obat hanyalahjalan dan usaha kita, Tuhan yang menentukan,” ujarnya sambilmemberi pejelasan lebih lanjut bahwa kesembuhan bukan ha -nya untuk jasmani namun juga rohani. Tradisi pengobatanorang lokal ini saya pahami sebagai perpaduan antara alam,kultur, dan kekuatan spritual. Menggunakan alam sebagai obatdan menghargai warisan leluhur dalam mengolahnya serta per-caya pada kekuatan Pencipta sebagai tabib utama adalah jalanyang akan mengantarkan pada kesembuhan.

Dalam penelitian lapangan ini saya juga mempelajari hu -bungan kekerabatan yang sangat dekat pada masyarakat Da -yak. Saat berada di sebuah desa, saya menemukan bahwa wargamerupakan kumpulan orang-orang yang masih memiliki hu -bungan keluarga, yang menyebut saudara jauh mereka pahari(saudara). Oleh karenanya, kemudahan mencari informasi ten-tang keberadaan para Battra kami dapatkan melalui informasidari mulut ke mulut. Masyarakat desa setempat beramai-ramaimenunjuk dan menyebut nama Battra yang dianggap mampumemberikan obat yang manjur. Kemudahan ini juga tidak ter-

234 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 279: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

lepas dari keterbukaan orang-orang setempat terhadap kamiyang kurang mampu berbahasa lokal secara lancar. Kesediaanmereka untuk menolong kami terlihat dari ekspresi sikap mere-ka yang dengan senang hati mengantar tim peneliti untuk me -ne mukan rumah Battra yang terakhir. Tolong menolong ini me -rupakan kontrak sosial yang dilakukan atas dasar kasih danhormat kepada sesama. Mereka meyakini bahwa nanti akanada balas jasa dalam bentuk bantuan pula, yang mereka sebutsebagai hadohop atau saling menolong. Dari sekian hari yangdihabiskan di lapangan, masa kurang mujur juga pernah sayaalami. Tantangan teknis di lapangan seperti kendala jalan yangrusak, mobil yang amblas di tanah liat, taksi air yang tersangkutair surut, dan medan yang berliku dan berbukit-bukit menuntutkewaspadaan saat berkendara, terutama ketika menggunakanojek. Di tambah pula dengan tas ransel kami yang penuh de -ngan tanaman herbarium yang harus sampai di base camp dalamkeadaan utuh. Perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lain yangberliku pada malam hari di jalan-jalan desa yang rusak men-jadikan cerita ini sulit dilupakan.

Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang unik, alamidan menjunjung tinggi adat-istiadat serta norma yang berlakudalam sistem sosial mereka. Selama penelitian, saya melihat ke -murnian cara hidup masyarakat yang tidak dibuat-buat sertamemahami cara berpikir mereka tentang kesembuhan yang da -pat dicapai melalui tanaman obat-obatan. Individu dalam ma -syarakat memiliki persepsinya sendiri terhadap penyakit danmemilih cara yang khas dalam usaha mereka menyembuhkanpenyakit. Individu tersebut beradaptasi dengan lingkungan me -reka dan berusaha mengeksplorasi sumber daya alam di se ki tarmereka sebagai sumber pengobatan. Dan, Ethnomedicine telahmenjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang Dayakyang telah diwariskan turun-temurun sejak lama oleh pa ra le -luhur mereka.

235MENEMUKAN ORISINALITAS DI TANAH DAYAK

Page 280: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

S aya adalah seorang etnograf amatir, artinya saya tidakpernah menempuh pendidikan khusus (entah mata ku -

liah atau kursus) tentang metode etnografi. Latar belakang pen-didikan saya adalah psikologi dan studi pembangunan, tetapisaat ini saya sedang melakukan penelitian tentang ingatan so -sial sebuah peristiwa sejarah. Semua ini tampak tidak berhu -bungan, tetapi semua tugas akhir saya menggunakan pe nelitiankualitatif yang mengandalkan metode etnografi. Kancah pe -nelitian saya berubah-ubah—kelompok anak jala nan, pemudabetawi, atau orang-orang desa—tetapi prinsipnya tetap sama,yaitu mendengar dan menganalisis cerita dari perspektif mereka.

Setelah melihat ke belakang, saya baru menyadari ada be -berapa kekeliruan pemahaman yang selama ini bercokol dalampikiran saya (dan mungkin juga kita semua). Terkadang melaluikekeliruan inilah, kita mampu mengembangkan penelitianyang lebih kritis. Tulisan ini hanyalah sebuah upaya untuk ber -bagi kekeliruan. Anggaplah ini sebagai catatan pribadi dan bu -kan tulisan akademik, karena hanya didasarkan pada pengalam -an panjang saya menggunakan metode etnografi dan bukan

Sebuah Refleksi Pribadi

Beberapa Kekeliruan Awaltentang Metode Etnografi:

GRACE LEKSANA

Page 281: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

berdasarkan telaah kritis literatur etnografis. Untuk keperluanitu, saya akan fokus pada pengalaman saya melakukan peneliti -an etnografi yang sedang saya lakukan saat ini.

Kekeliruan 1: Etnografi adalah Milik Antropologi

Saya memahami etnografi sebagai sebuah metode penelitianuntuk memahami budaya manusia. Berangkat dari pemahamanini, dan juga setelah bergaul dengan beberapa teman dari jurus -an antropologi, saya berpikir bahwa metode ini adalah kepu -nyaan jurusan antropologi. Di jurusan kami, psikologi, kamihanya diajarkan metode penelitian kualitatif dengan metodewawancara dan observasi partisipatif. Sampai ketika saya meng -gunakan metode etnografi (saat itu saya belum sadar bahwayang saya lakukan adalah penelitian etnografi) untuk menulisskripsi saya. Saat saya menceritakan metode saya pada dosensaya, dia malah bertanya “Kamu ini anak psikologi atau antro -pologi sih?” Meskipun saya dengan yakin menjawab saya ma -hasiswa psikologi, tapi saya ingat dengan kebingungan saat itukarena dia membawa-bawa antropologi. Saya belum menyadaribahwa apa yang saya lakukan adalah sebuah studi etnografi,dan dosen saya (yang lebih jeli melihat dari kompartemen bi -dang keilmuannya) lebih dulu melihatnya. Sejak itu saya me -nyadari bahwa etnografi (seharusnya) menjadi metode lintasbidang ilmu sosial. Kemunculan bidang-bidang ilmu inter -disipliner, misalnya studi religi, studi regional (Asia Tenggara,Eropa, Timur Tengah, dsb) juga turut mendorong penggunaanmetode-metode penelitian lintas bidang tersebut.

Salah satu konsekuensi dari lintas bidang ini adalah peng-gunaan sumber etnografi yang tidak terbatas hanya pada manu-sia, tetapi juga sumber-sumber tulisan—atau dalam bahasa yanglebih ilmiah—arsip. Rasanya aneh, karena kita seringkali me -nemukan penelitian etnografi dilakukan dalam suatu komuni-

237KEKELIRUAN-KEKELIRUAN TENTANG ETNOGTAFI

Page 282: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

tas tertentu di tempat tertentu. Akan tetapi, saat menulis diser-tasi, saya bertemu dengan berbagai kolega yang melakukan pe -nelitian tentang masyarakat X atau Y atau Z di negara A, Batau C pada abad ke-18, misalnya. Tidak pernah terbersit da -lam pikiran saya bahwa hal tersebut dapat dilakukan. Tetapi diame lakukannya dengan menggunakan berbagai arsip yang ber -beda, bahkan dapat melihat bagaimana budaya tergeser karenafaktor kuasa, misalnya kolonialisme. Dia menyebut penelitian-nya sebagai sebuah studi sejarah-antropologis. Ini menjadi tero -bo san baru tidak hanya bagi para antropolog, tetapi juga bagipara sejarawan, karena arsip harus terus dibaca secara kritisdan melampaui apa yang tertulis.

Kekeliruan 2: Kita Menjadi Sama Seperti “Mereka”

Beberapa antropolog totok percaya bahwa sebuah pe nelitianetnografis akan sukses jika si peneliti menjadi sama se pertiorang-orang yang diteliti. Bagi mereka, menjadi sama de nganorang-orang yang diteliti akan meruntuhkan tembok pembeda“kita” dan “mereka” dan dengan demikian, akan membawa sipeneliti pada data-data yang lebih kaya. Argumen ini biasanyadisertai dengan foto-foto peneliti asing (bule) yang ber ada ditengah-tengah komunitas asli (native/indigenous) sambil me -makai pakaian mereka, atau melakukan ritual bersama mereka.Bagi saya, lebih baik abaikan saja argumen seperti ini. Alas -annya sederhana, untuk dapat diterima dan menjadi bagi andari komunitas yang kita teliti, tidak perlu menjadi sama se pertikomunitas tersebut. Kita dapat mempelajari bahasa, adat istia-dat dan kebiasaan mereka, tanpa perlu “menjadi mereka”.

Untuk keperluan penulisan disertasi, saya meneliti sebuahdesa di Jawa. Desa ini terkenal dengan sebutan “Desa PKI”atau “Desa Merah” dan faktanya, banyak penduduk (yang ditu -duh komunis) menjadi korban ketika operasi militer 1965-1968.

238 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 283: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Sedangkan identitas saya adalah perempuan Katolik keturunanTionghoa yang lahir dan besar di Jakarta. Semua karakter mi -noritas dan urban ada dalam diri saya. Tetapi untuk penelitianini, saya harus berhadapan dengan orang-orang Jawa dan sayatidak mengerti Bahasa Jawa. Meskipun pada akhirnya BahasaJawa (kasar) saya berkembang perlahan-lahan, saya tetap tidakmerasa diri saya adalah mereka, dan rasanya mereka juga tidakmerasa saya adalah mereka. Bagi orang-orang di desa, sayatetaplah “ibu-ibu dari Malang yang kuliah di Belanda”. Tapi inibukan berarti kami berjarak. Sebaliknya, hubungan saya de -ngan orang-orang di desa tersebut cukup dekat, baik denganPak Lurah, Kamituwo, pengurus RT, hingga buruh-buruh tani.Terkadang mereka mencari saya jika lama tak mendengar kabarsaya. Menjadi diri saya sendiri juga tidak mengurangi kedalam -an data yang saya dapatkan. Ada rahasia-rahasia yang dicerita -kan di kebun saat saya berbincang dengan petani, atau gosiptetangga yang diceritakan di dapur sambil memasak soto. Satuhal yang saya pelajari, para warga desa juga ingin tahu siapasaya. Jadi saya ber cerita banyak tentang keluarga, tentang anak-anak saya, kuliah, perjalanan dari kota ke desa, atau hal-halremeh temeh lainnya. Mereka juga tertarik pada perbedaan, pa -da hal-hal yang belum pernah mereka temui. Tentunya bukandalam kerangka bahwa orang kota lebih maju dari orang desa,tetapi dari pijakan saling menghargai bahwa kami bisa salingbelajar satu sama lain. Dari pengalaman saya bersama mereka,justru menjadi berbeda (dan bukan menjadi sama) bisa merun-tuhkan batas-batas pembeda “kita” dan “mereka”.

Kekeliruan 3: Etnografi BertujuanMencari Sebuah Pola Umum

Ketika melakukan penelitian ingatan sosial, saya berpikir bah -wa akan menemukan cerita-cerita yang sama. Memang ada

239KEKELIRUAN-KEKELIRUAN TENTANG ETNOGTAFI

Page 284: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

yang serupa, tetapi tidak sedikit juga yang berbeda-beda. Laluapa yang harus kita lakukan dengan cerita-cerita yang inkonsis-ten tersebut? Apakah kita abaikan saja? Bukankah tujuan me -tode etnografi adalah menggabungkan beragam data untukmencari sebuah kesimpulan umum?

Melakukan sebuah studi tentang ingatan sosial tidaklahmudah. Pasalnya, manusia tidak mudah mengingat. Seringkalikita lupa, atau hanya mengingat apa yang kita mau. Ada jugakasus-kasus di mana kita ingat, namun kita tidak mau mence -ritakannya. Lalu bagaimana kita bisa membangun cerita yangutuh, jika yang kita dapatkan hanyalah fragmen-fragmen? Didalam studi ingatan sosial, tidak ada ingatan yang “salah”,yang ada hanyalah ingatan yang “berbeda”. Jika yang saya temu -kan hanyalah fragmen, atau inkonsistensi antara cerita satu de -ngan lainnya, maka pertanyaan pentingnya adalah mengapademikian? Mengapa para penduduk desa hanya mengingat ba -gian yang ini dan tidak yang lain? Mengapa cerita si A dan Bberbeda? Kita tidak bisa mengabaikan inkonsistensi, tetapi se -baliknya, itu harus dipahami lebih lanjut. Letak kekhasan me -tode etnografi, menurut saya, adalah pada kemampuannyamengeksplorasi sebab-sebab tersembunyi di bawah permukaan.Dia memberikan ruang bagi peneliti untuk melihat hal-hal yangtidak mampu dibicarakan, disembunyikan atau bahkan sengajadihilangkan. Sehingga pada akhirnya, sekali lagi menurut saya,tujuan etnografi bukanlah mencari sebuah pola umum, tetapimenjelaskan alasan di balik kemunculan fenomena tertentu.

Kekeliruan 4: Penelitian Etnografi yang Suksesadalah Penelitian yang Berjalan Sesuai Rencana

Ini adalah kekeliruan besar. Tentu setiap peneliti harus mem -buat rencana sebelum melakukan peneli ti an lapangan. Kita ha -rus merumuskan pertanyaan penelitian, sampel atau respon-

240 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 285: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

den, pertanyaan penelitian, lokasi, bahkan asisten penelitianjika diperlukan. Misalnya saja, rencana penelitian saya adalahmembandingkan dua desa di Jawa yang mengalami perubahanbesar setelah peristiwa 1965-1968. Pada akhirnya, saya hanyameneliti satu desa saja, karena data yang saya temukan di tem-pat tersebut sangat massif dan beragam. Satu desa ini saja su -dah menarik untuk menjadi bahan analisis. Ditambah lagi, adaketerbatasan waktu yang membuat saya tidak mampu menda -patkan data yang cukup dalam jika saya berpindah ke desa lain-nya. Seringkali pula, rencana pe ne litian yang telah disusunlengkap dapat berubah karena ma sya rakat juga terus berubah.Etnografi mempelajari entitas yang dinamis, sehingga perubah -an di masyarakat juga perlu kita akomodir dengan menyesuai -kan rencana-rencana penelitian kita. Bahkan tidak jarang pe -nelitian etnografis berujung pada kebingungan, seolah kitatidak tahu lagi apa yang mau kita lakukan di lapangan. Ini se -suatu yang wajar, apalagi jika kita ingin meneliti kelompokyang jauh berbeda dan tidak pernah bersinggungan dengankita. Hal yang perlu kita lakukan adalah meng ambil jarak be -berapa saat dengan subjek penelitian, mengorga nisir kembalirencana penelitian kita, lalu terjun kembali ke tempat peneliti -an. Menurut saya, sudah waktunya kita membuang romantis -isme sebuah penelitian lapangan, yaitu bahwa penelitian yangkita rencanakan akan berjalan demikian dari awal hingga akhir.Sebaliknya, penelitian etnografis biasanya penuh dengan de-attached dan re-attached—berkali-kali mengambil jarak lalu kem-bali mendekat.

Kekeliruan 5: Informasi TerlengkapBiasanya Didapat dari Tokoh-tokoh Kunci

Ketika memulai penelitian untuk disertasi, saya dikenalkanpada seorang tokoh Katolik dan juga tokoh masyarakat di desa

241KEKELIRUAN-KEKELIRUAN TENTANG ETNOGTAFI

Page 286: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

tersebut. Dia baik sekali, bahkan dalam usianya yang sudahtua, dia mau menemani saya menemui beberapa orang yangbisa menceritakan banyak hal, membawa saya ke beberapa tem-pat penting di desa tersebut, memperkenalkan saya pada aparatdesa, bahkan memberikan banyak informasi tentang se jarahdesa. Selama kurang lebih satu bulan, saya berusaha me meta -kan dinamika desa, termasuk di dalamnya adalah relasi sosialmasyarakat desa. Dalam bahasa yang lebih mudah: siapa ber -gaul dengan siapa?

Salah satu aspek dari seorang tokoh masyarakat adalahkuasa (formal atau pun informal) yang melekat dalam dirinya.Seringkali masyarakat memandang orang yang berkuasa seba-gai seseorang yang tahu segalanya, sehingga mereka engganbercerita. Mereka (dan seringkali juga para peneliti) mengang-gap informasi dari para tokoh sudah cukup menggambarkankondisi desa tersebut. Akan tetapi, kita perlu ingat bahwa ma -syarakat tidak sama. Ada banyak perbedaan yang dipengaruhioleh kelas, gender, atau usia yang membuat pemikiran merekaberbeda-beda. Seringkali, orang-orang “biasa” tidak mau bicarakarena kehadiran para tokoh tersebut. Atau mereka mau bicarapada kita, karena mereka berpikir kita adalah bagian dari paratokoh tersebut. Hal ini seringkali membuat cerita yang kita da -patkan penuh dengan bias: para penduduk hanya menceritakanapa yang pantas. Misalnya, mereka tidak mau mengungkapkanbahwa Pak Lurah punya istri simpanan karena khawatir kitaakan melaporkan hal ini pada yang bersangkutan.

Bagi saya, sangatlah penting untuk menangkap cerita- cerita lain dari orang-orang yang bukan tokoh. Mereka sering -kali yang tidak dianggap penting: perempuan, pemuda desa,bahkan anak-anak. Mereka sebenarnya tahu banyak, tetapi me -reka ti dak sadar bahwa pengetahuan mereka penting bagi kita.Seringkali pula, mereka menganggap yang mereka tahu hanya -lah gosip atau mitos. Tapi bagi saya, hal-hal tersebut pen ting

242 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 287: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

untuk menunjukkan informasi apa saja yang beredar di sebuahtempat dan mengapa itu menjadi informasi viral. Oleh karenaitu, ketika kita telah berhasil melakukan pemetaan re lasi-relasisosial di sebuah lokasi, kita sebaiknya menjangkau orang-orangdi luar contact person kita. Hal ini juga penting un tuk menangkapkonflik dan ketegangan yang ada di lokasi tersebut.

Ini adalah beberapa kekeliruan yang pernah saya alami.Mungkin masih ada pengalaman-pengalaman lain yang jugarelevan dan menarik. Saya kira ada baiknya kita biarkan semuatetap terbuka, entah itu pendapat, argumen, maupun bidang ke -ilmuan itu sendiri. Masih banyak kemungkinan-kemungkinanyang terjadi, bahkan pembaharuan di bidang metode etnografi.Marilah kita belajar dengan kesadaran bahwa metode itu sen -diri—bukan hanya masyarakat—adalah hal yang dinamis.

243KEKELIRUAN-KEKELIRUAN TENTANG ETNOGTAFI

Page 288: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

P agi 28 November 2009, saya melayat seorang kawan baik,Fauzi Abdullah, yang wafat malam se be lumnya. Bang

Oji, demikian kami yang lebih muda memanggil nya, adalah sa -lah seorang sosok penting dalam sejarah gerakan buruh di masaOrde Baru dan awal reformasi Indonesia, juga pendiri sebuahLSM yang hingga hari ini tetap menaruh kepe dulian kepadakaum buruh dan gerakan-gerakannya. Menjelang upacara pe -makaman berlangsung, Chotib dan Abu, dua penerus gagasanOji di kemudian hari, menghampiri saya. Mereka bercerita de -ngan antusias tentang para aktivis serikat buruh di kota Peka -longan, Jawa Tengah, yang sedang mencoba sebuah eksperi-

Sebuah sejarah kadang bermula dari sekelumit peristiwa sederha nadi antara kejadian-kejadian besar yang tak tersentuh dan abs trak.Tak pernah terpikirkan bahwa penelitian doktoral saya ber muladari sebuah peristiwa kecil delapan tahun lalu, kemudian bergerakseperti bola salju, membentuk lintasan pengalaman ba ru, melibat -kan beragam sosok, gagasan, dan peristiwa. Bola salju penelitianini bergulir dan membesar dalam perjalanan yang ti dak pernah li -nier dan tunggal. Perjalanannya kerap menjumpai persimpangan-persimpangan, di antaranya persimpangan antara norma-nilai aka -demik dan norma-nilai dari dunia yang diteliti. Keduanya adalahdunia-dunia yang berbeda yang tak selalu mu dah untuk dipisahkansatu sama lain, namun kerap memicu dilema-dilem a metodologisdalam penelitian.

Melangkah di Antara Dua Jalur:Penelitian dan Aktivisme

HARI NUGROHO

Page 289: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

men yang belum lazim saat itu. “Mereka berbeda! Selain per-baikan upah, mereka juga membawa agenda-agenda yangmemperjuangkan hak pelayanan publik. Mereka bergabung de -ngan perjuangan warga-warga miskin lain,” kata Chotib de -ngan bersemangat seraya berusaha menarik perhatian sayapada ceritanya. Dia pun mengajak saya datang ke Pekalongandan melihat sendiri praktik-praktik itu. Ini bukan yang pertamakali mereka bercerita dan mengajak saya terjun ke lapangan.Dalam dua bulan itu, kami sudah mengulanginya beberapa kalisetiap kali kami bertemu.

Terus terang, hingga saat itu saya belum sepenuhnya tergu-gah oleh cerita mereka. Tak pernah terbetik di benak saya bah -wa kota sekecil Pekalongan yang tidak mempunyai sejarah ra -dikalisme gerakan buruh pascakolonial tiba-tiba menorehkankisah kontemporer tentang sebuah metode pergerakan buruhyang baru. Sementara saat itu, perhatian saya sedang tertuju pa -da perseteruan di tingkat nasional antara serikat-serikat buruhnasional dengan para pengusaha dan pemerintah pusat tentangtuntutan revisi Undang-undang 13 Tahun 2003 tentang ketena-gakerjaan yang dituding sebagai biang kerok persoalan di an ta -ra tiga pihak itu. Para pemimpin serikat menuduh undang- un dang itu terlalu liberal dan menyengsarakan nasib buruh.Pengusaha menuduh undang-undang itu justru kurang liberal.Sementara pemerintah yang saat itu dinakhodai oleh PresidenSBY terjepit di antara pilihan untuk bersikap populis ataumembuka jalan yang aman bagi pertumbuhan ekonomi.Aktivis LSM dan akademisi pun ramai-ramai ikut urun penda-pat, bahkan ikut turun ke jalan terlibat dalam protes.

Betapa hingar-bingarnya situasi nasional saat itu sehinggasaya kurang bisa mencerna apa yang menjadi daya tarik ce ritaChotib dan Abu saat itu. Tanpa disadari sesungguhnya sayasedang tergulung oleh narasi-narasi dominan di tataran nasio -nal yang membutakan pengamatan saya sehingga tidak mampu

245MELANGKAH DI ANTARA DUA JALUR

Page 290: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

memahami gagasan-gagasan inovatif perjuangan di arena yanglebih mikro. Bahkan melihat kedua kawan itu bersama almar -hum Oji turut berada di balik eksperimen itu pun saya takmampu.

Beberapa bulan kemudian saya berubah sikap. Penasarandengan cerita Abu dan Chotib itu, saya kemudian memutuskanmenerima ajakan mereka. Pada Juni 2010, kami bertemu paraaktivis buruh di Pekalongan. Saat itu juga pandangan saya ten-tang perjuangan mereka berubah. Sebuah lanskap gerakan bu -ruh yang berbeda terbentang di hadapan saya. Jika ke ba nyak anorganisasi buruh hanya melihat dunia kerja sebagai arena per-juangan untuk perbaikan kehidupan sosial ekonomi dan per-lawanan atas ancaman-ancaman baru liberalisasi ekonomi,maka para aktivis serikat di kota kecil ini berusaha melampauibatas-batas arena itu. Ancaman-ancaman itu mereka jawab de -ngan memadukan perjuangan hak di tempat kerja dengan haksebagai warga negara. Untuk itu, tanggung jawab publik daripemerintah daerah menjadi sasaran tuntutan mereka, politiklokal menjadi pintunya, kesempatan memperoleh pelayanankesehatan dan akses pendidikan yang lebih adil menjadi wa -cana tuntutan, dan kaum miskin kota yang majemuk menjadikawan seperjuangan mereka.

Ini menjadi pengalaman baru yang membuat saya berse-mangat. Ketika saya kembali mengunjungi mereka pada akhir2010, pengalaman pun bertambah. Tak hanya berdiskusi, sayajuga terlibat dalam kegiatan mereka. Mereka mengajak sayabertemu dengan kelompok-kelompok strategis yang menjadialiansi mereka, seperti aktivis LSM yang mengawasi ang garandaerah, serikat pembatik di kantung-kantung industri ke cil ba -tik, perkumpulan pemuda di bawah payung Nahdlatul Ulama,komunitas nelayan di pantai utara, ratusan pedagang kaki limayang sedang menggalang protes melawan pemerintah daerahkarena lapak mereka digusur, ratusan petani yang se dang me -

246 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 291: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

lakukan aksi menuntut hak atas lahan di sebuah pegunungan diKabupaten Batang, para wartawan media lokal, bah kan terma-suk para politisi yang duduk di DPRD. Kelompok-kelompok inibegitu berwarna.

Bagi saya selaku akademisi, akumulasi pengetahuan itu be -gitu menarik. Saya pun mulai mengumpulkan data dan terlibatdalam pertemuan-pertemuan. “Ini harus dijadikan penelitian,”pikir saya waktu itu. Sebab, melakukan rangkaian diskusi ber sa -ma mereka kerap menuntut perluasan pemikiran guna mema-hami efektivitas gerakan seperti itu. Saya sendiri sering tidaksiap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang me -ngemuka. Transformasi paradigma gerakan merupakan tuntut -an yang tidak sederhana mengingat mereka juga mewarisi tra-disi perburuhan yang pernah terkungkung lama oleh hegemoninegara Orde Baru yang korporatis. Menjelang 2010 berakhir,niat untuk meneliti semakin bulat.

Awal 2011, sebuah momentum datang. Bersama rekan-rekan dosen di UI, dengan dukungan Vedi R. Hadiz danRichard Robison, dua akademisi besar dari Asia ResearchCentre, Murdoch University, Australia, kami mengelola sebuahkluster penelitian tentang kelompok-kelompok marjinal, politiklokal dan desentralisasi di Indonesia. Peluang untuk mewujud-kan penelitian tentang Pekalongan menjadi terbuka. Diskusi-diskusi kolektif yang dilakukan di forum ini amat membantu didalam menyerap gagasan-gagasan yang bermanfaat, sepertipentingnya memperhatikan kekuatan-kekuatan politik lokal da -lam mengamati perkembangan gerakan buruh.

Peluang lain yang lebih baik kemudian datang ketika sayamendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan jenjangdoktoral di Institute of Cultural Anthropology and Develop -ment Sociology, Leiden University. Di bawah supervisi RatnaSaptari dan Patricia Spyer, program ini menjadi sebuah wadahyang menggairahkan untuk mempelajari lebih jauh te muan-

247MELANGKAH DI ANTARA DUA JALUR

Page 292: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

temuan tersebut. Ratna Saptari sendiri bukan nama yang asing.Karya-karyanya tentang perburuhan di Indonesia sudah ba -nyak dikenal. Dia pula yang mendorong saya untuk memilihLeiden sebagai tempat menempuh studi ini.

Persiapan merancang penelitian selama sembilan bulanpertama di Leiden adalah sebuah fase yang penting. Mahasiswaboleh merencanakan, namun diskusi dengan pembimbinglahyang akan menentukan ke mana arah penelitian ditempuh. Ha -rus diakui, cara saya menyusun proposisi-proposisi awal sangatdiwarnai oleh diskusi-diskusi bersama para akademisi Univer -sitas Murdoch. Tetapi memasuki tradisi pemikiran di Leidenyang lebih berat kepada proses-proses sosial dan budaya mem-buat saya memikirkan ulang proposisi-proposisi tersebut, bah -kan termasuk rumusan topiknya. Suasana akademik di Leidenterasa sangat berbeda dengan tradisi pemikiran para akademisiMurdoch yang menekankan pendekatan struktural ekonomi-politik. Transisi pemikiran ini sempat membuat saya agak galauselama beberapa waktu.

Namun sikap para pembimbing yang terbuka justru amatmembantu dalam memadukan kedua tradisi itu. Bahkan inimenjadi jalan baru untuk membangun jembatan antara dinami-ka subjektif di dalam gerakan sosial dengan struktur ekonomi-politik sebagai konteksnya. Masa-masa galau pun berakhir, dansaya justru menemukan gairah baru. Asumsi dan fokus peneliti -an saya bergeser. Jika sebelumnya saya selalu mengasumsikanserikat dan basisnya adalah sebuah kesatuan yang solid, makaasumsi itu gugur karena realitas menunjukkan bahwa gerakanburuh begitu heterogen dalam identitas dan kepentingannya.Jika strategi gerakan buruh dalam menantang politik lokalmenjadi fokus studi sebelumnya, maka gagasan sentral dalamstudi terakhir adalah tentang bagaimana politik lokal dan mo -dal di alam demokrasi liberal Indonesia saat ini semakin me -rapuhkan kekuatan buruh yang heterogen. Jika di awal perke-

248 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 293: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

nalan dengan para aktivis di Pekalongan itu saya amat optimisdengan gerakan, maka di tahap selanjutnya sikap kritis terha -dap optimisme itu justru harus dibangun. Jika sebelumnya ge -rakan buruh di Banten sempat dipertimbangkan menjadi pem-banding, maka gerakan buruh di Semarang lah yang kemudiansaya anggap lebih tepat sebagai pembandingnya, terutamamempertimbangkan kesesuaiannya dengan perubahan asumsidan fokus studi.

Kembali ke Pekalongan sekaligus memulai penelitianlapangan di Semarang pada Januari 2014 merupakan momenyang amat dinantikan. Tahun 2014 adalah tahun politik yangpanas dalam sejarah demokrasi Indonesia semenjak runtuhnyakekuasaan Soeharto pada 1998. Di Pemilu 2014, kekuatan-kekuatan politik bersaing sangat keras untuk memenangkanagenda politik mereka. Serikat-serikat buruh pun tidak keting-galan. Tahun tersebut menjadi sebuah periode rekonsolidasipolitik bagi serikat-serikat buruh yang pernah mengalami kega-galan besar dalam pemilu 2004 dan 2009, untuk maju kembalimerebut peluang yang tersedia. Buruh-buruh di Pekalonganpun turut ambil bagian. Bagi saya, ini merupakan momen pen -ting untuk melihat bagaimana serikat buruh mengelola kon-stituennya yang heterogen, sekaligus momen yang strategis bagiseorang peneliti untuk dapat terlibat lebih jauh dalam kehidup -an buruh dan para pemimpinnya yang heterogen.

Menjadikan pemilu sebagai konteks politik di mana serikatitu bekerja, membuka banyak tabir tentang watak sebenarnyadari gerakan buruh. Hampir lima bulan berada di kota itu, sayamenyaksikan bagaimana para buruh mempelajari sistem politikelektoral, menyatukan konstituen mereka yang majemuk men-jadi sebuah kekuatan politik di tengah pertarungan politik lokalyang keras, mengelola konflik-konflik internal yang munculsambil tetap berusaha melakukan advokasi untuk anggota-ang -gotanya yang terancam PHK, menghadapi tekanan-tekanan

249MELANGKAH DI ANTARA DUA JALUR

Page 294: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

politik lokal, bahkan menghadapi ketegangan-ketegangan inter-nal di dalam rumah tangga serikat buruh sendiri.

Lima bulan bersama mereka, di dalam suasana politikyang panas, membuat data mengalir secara melimpah. Sebagaipeneliti, saya merasa begitu produktif. Apalagi, interaksi kamitidak hanya terbatas pada hubungan antara peneliti dan subjekyang diteliti, melainkan juga hubungan pertemanan, baik da -lam konteks aktivisme maupun hubungan yang lebih pribadi.Perkenalan kami sejak 2010 sangat memungkinkan hal itu ter-jadi. Beberapa pemimpin serikat bahkan kerap berbagi ceritamengenai kehidupan pribadi mereka. Selain karena lamanyawaktu pertemanan, latar belakang hubungan antara peneliti de -ngan jaringan-jaringan dan orang-orang yang dianggap “amandan layak dipercaya” tampaknya juga mempunyai sumbangandalam mendekatkan hubungan. Setidaknya ini yang saya alamiketika memasuki komunitas perburuhan di Kabupaten Sema -rang. Dibanding dengan komunitas buruh di Pekalongan, inter-aksi saya dengan komunitas buruh di Semarang jauh lebih ter -tinggal. Meskipun perkenalan dengan salah seorang aktivisLSM setempat yang membantu dalam membukakan pintu un -tuk memasuki dunia perburuhan di Semarang sudah berlang-sung sejak 2010, pertemuan-pertemuan yang lebih efektif se -sungguhnya baru terjadi pada 2014. Meski demikian, interaksihangat dan terbuka dengan komunitas buruh di Semarang re -latif cepat terbangun berkat adanya hubungan antara saya de -ngan kolega-kolega mereka di Pekalongan maupun denganjaringan-jaringan aktivis perburuhan di Jakarta. Modal sosialselalu mempunyai manfaat besar untuk kegiatan-kegiatan se -perti ini.

Kedekatan tidak melulu berarti hubungan antara saya se -bagai peneliti dengan subjeknya. Kebersamaan peneliti denganpara aktivis buruh di Pekalongan maupun Semarang juga mere-ka artikan sebagai bagian dari kepentingan mereka. Mereka

250 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 295: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

menginginkan keterlibatan saya juga dapat memberikan sum-bangan gagasan yang bermanfaat. Rapat-rapat rutin, rapat mo -bilisasi untuk pemogokan dan unjuk rasa, hingga rapat konsoli -dasi untuk strategi kampanye pemilu menjadi bagian dari ke -giatan sehari-hari yang mau tak mau harus saya ikuti.

Namun situasi seperti ini ternyata memunculkan kegelisah -an metodologis: di mana posisi peneliti di dalam temuan-temuan penelitian ini jika saya begitu sering hadir di dalam ba -nyak kegiatan mereka dan turut memberi gagasan-gagasan ser -ta dukungan moral kepada mereka. Pendapat, gagasan, dan du -kungan moral yang saya berikan memang menjadi bagian pen -ting dari penerimaan mereka terhadap diri saya sebagai peneliti.Hampir sulit rasanya untuk hanya selalu duduk pasif meng -amati seluruh kegiatan di tengah-tengah pertemuan-pertemuanmereka. Tak dapat dihindari pula bahwa kehadiran saya seba-gai akademisi senantiasa diterjemahkan sebagai sumber penge-tahuan oleh mereka, walaupun harus diakui bahwa merekasesungguhnya lebih menguasai pemahaman operasional ten-tang gerakan-gerakan sosial, apalagi dalam konteks lokal.

Persoalan dan dilema juga muncul dalam situasi lain, yaituketika saya berada di tengah-tengah konflik yang terjadi di an -tara kelompok-kelompok di dalam gerakan. Panasnya suhu po -litik Pemilu 2014 di Pekalongan menimbulkan perbedaan pen-dekatan dan kepentingan di dalam tubuh organisasi buruh sen -diri. Sebagian pemimpin serikat melihat eksperimen maju nyakader-kader organisasi mereka ke dalam pemilihan calon legis-latif untuk DPRD kota Pekalongan dinilai sebagai langkah po -litik strategis untuk meraih keterwakilan kelas pekerja di politiklokal. Sementara sebagian yang lain melihat eksperimen politikelektoral tersebut sebagai sarana pengujian politik basis: sebe -rapa kuat dan loyal basis yang telah mereka bangun baik di tem-pat kerja maupun di komunitas-komunitas. Kursi parlemen bu -kan tujuan utama, melainkan hanya alat pengujian. Perbedaan

251MELANGKAH DI ANTARA DUA JALUR

Page 296: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

ini menimbulkan ketegangan yang cukup tajam secara internal.Posisi peneliti menjadi tidak mudah. Peneliti tidak dapat

berkubu dengan salah satu faksi saja karena keduanya memilikikedudukan yang sama penting. Konflik tersebut menciptakankegamangan: Pertama, posisi peneliti cenderung dilihat sebagaisumber pengetahuan atau informasi strategis oleh masing- masing kelompok. Dalam situasi konflik, informasi tersebutkadang dapat dimanfaatkan untuk meneguhkan posisi atauargumentasi satu kelompok atas yang lain. Kedua, kebera daanpeneliti yang kebetulan sedang lebih intensif di sa lah satu ke -lompok bisa disalahartikan atau secara simbolis dilihat sebagaikeberpihakan, walaupun intensitas itu lebih disebabkan olehalasan-alasan metodologis. Situasi serupa ini se cara jelas jugaterjadi ketika saya “terjebak” di dalam konflik dan persai ngandi antara kelompok-kelompok gerakan di Se marang. Peta kon-flik dalam gerakan buruh di daerah itu lebih rumit dan keras.Jika ketegangan antar kelompok di Peka longan lebih disebab -kan oleh dinamika politik elektoral, konflik di Semarang terjadikarena adanya persaingan antar elite dalam tubuh gerakanguna memperebutkan kendali atas basis akar rumput.

Menghadapi situasi seperti ini, klarifikasi dan pernyataantentang netralitas peneliti menjadi sangat penting untuk meng -hindari risiko meruncingnya ketegangan akibat keberadaan pe -neliti di antara kelompok-kelompok yang berselisih. Klarifikasidan pernyataan itu juga penting untuk memelihara kepercayaanyang telah terbentuk di masing-masing kelompok terhadap po -sisi saya sebagai peneliti. Tindakan sederhana saja sangat mu -dah disalahartikan walaupun tidak dimaksudkan untuk ber pi -hak sama sekali. Kedatangan saya bersama seorang pe mim pindari suatu kelompok dalam pertemuan yang menghadirkanseluruh faksi, misalnya, dapat diterjemahkan sebagai keberpi-hakan atau dukungan kepada pemimin itu oleh pihak yang ber -seberangan dengannya.

252 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 297: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Konflik-konflik di dalam tubuh gerakan seringkali tidakpermanen. Ia akan mereda seiring waktu. Ini akan berdampakpositif pula bagi peneliti, karena akan meredakan kegalauanyang sebelumnya melanda. Kendati pada akhirnya saya ber -syukur bahwa kegamangan itu tidak memicu gejolak-gejolakyang berarti di antara para subjek penelitian, namun sebagai se -buah proses penelitian, pengalaman-pengalaman itu tetap me -munculkan pertanyaan pada diri peneliti sendiri: Bagaimanapeneliti sebaiknya mempertanggungjawabkan keberadaan diri -nya di dalam proses-proses sosial tersebut, terutama ketika kon-flik-konflik tersebut juga merupakan bagian dari temuan-temu -an kunci penelitian? Pilihan untuk menuliskan temuan-temuansemacam itu secara etnografis semakin menambah kegelisahanmengenai hal tersebut.

Pikiran-pikiran itu semakin mengganggu jika mencermatikembali dialog-dialog antara saya dan para pe mimpin serikatburuh terutama yang berkembang menjadi teman-teman karib.Dialog-dialog tersebut sering disertai dengan permintaan pen-dapat, bahkan permintaan untuk menyampaikan materi penge-tahuan yang lebih terstruktur kepada mereka. Ini terjadi baik didalam pertemuan-pertemuan kelompok besar maupun didalam wawancara-wawancara perorangan. Barangkali memangitulah konsekuensi dari hubungan formal peneliti dengan sub-jek penelitiannya yang berubah menjadi “pertemanan”. Mun -cul pula kekhawatiran bahwa pengetahuan, gagasan, atau pen-dapat yang saya sampaikan mempengaruhi cara penafsiran sub-jek terhadap cara mereka bersikap dan mengambil tindakanselanjutnya di dalam pengorganisasian gerakan-gerakan. De -ngan kata lain, saya seperti meneliti sebu ah fakta yang merupa -kan reproduksi dari tindakan saya sendiri. Persoalannya adalahseberapa besar pengaruh dari reproduksi tersebut tidaklah da -pat diukur.

Jika dua bentuk kegamangan tadi mempersoalkan dampak

253MELANGKAH DI ANTARA DUA JALUR

Page 298: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

keberadaan peneliti terhadap subjek-subjek penelitian, makabentuk sebaliknya pun juga terjadi. Semakin saya masuk jauhke dalam kehidupan aktivisme mereka, semakin besar peng a -ruh ideologis hal tersebut terhadap diri saya. Sekurangnya adadua pengaruh yang saya rasakan. Pertama adalah pengaruhminor. Itu berkaitan dengan nilai-nilai dasar dari strategi per-juangan yang dipilih dan diyakini oleh para pemimpin serikat.Sampai kurun waktu tertentu, saya sempat meyakini bahwastrategi-strategi popular sebagaimana diperjuangkan oleh parapemimpin serikat di Pekalongan merupakan sebuah pilihanmetode perjuangan normatif yang tepat bagi kelas pekerja. Ke -berhasilan mereka dalam jangka waktu empat tahun pertamasejak perkenalan saya pertama kali dengan mereka mengi ngat -kan saya pada kesuksesan fenomenal gerakan kelas pekerja diBrasil pada 1970an-1990an. Namun saat gerakan di Peka -longan itu menemui sejumlah kegagalan di tahun-tahun bela -kangan karena kendala struktur ekonomi-politiknya begitu be -sar, pengorganisasian gerakan pekerjanya juga masih mengan-dung kerapuhan serius, serta basis-basis material yang memadaiuntuk mengintegrasikan buruh dengan komunitas-komunitasmarginal lain di kota tidak tersedia, projek eksperimen itu puntampaknya belum bisa menjanjikan kekuatan sebu ah kelas pe -kerja sebagaimana mereka cita-citakan. Meskipun, saya menga -gumi langkah-langkah inovatif yang telah dilaku kan oleh paraaktivis buruh di Pekalongan dalam memperjuangkan hak-hakdasar yang lebih banyak, namun optimisme mengenai kesuk-sesan gerakan tersebut terpaksa harus ditunda. Bagaimanapun,mereka membutuhkan perubahan-perubahan mendasar untukmenjadi kekuatan yang lebih strategis.

Pengaruh ideologis lainnya berkaitan dengan cara pandangsaya dalam memahami atau membaca permasalahan. Akumu -lasi interaksi saya dengan berbagai gerakan perburuhan, khu -susnya dengan subjek penelitian baik di Pekalongan mau pun di

254 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 299: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Semarang, cukup memengaruhi cara saya membaca dan meng -analisis temuan-temuan penelitian. Salah satu pengaruh itu ter -indikasi dari pilihan konsep yang kadang eksesif, seperti kera -wanan dan perjuangan kelas pekerja, signifikansi serikat peker-ja sebagai wahana utama gerakan sosial, dan strategi politikkelas. Bahkan di saat menuliskannya pun, saya menyadari pe -ngaruh tersebut. Hal ini kadangkala menciptakan kendala ter -sendiri untuk lebih peka dalam melihat ke mung kinan-kemung -kinan konsep lain.

Dilema yang peneliti rasakan akibat keterlibatan penelitidalam studi tentang gerakan sosial seperti ini sebenarnya bukanhal yang baru. Pengalaman-pengalaman serupa bukan tidakmungkin juga dialami oleh peneliti-peneliti lain dalam kajian-kajian di luar gerakan sosial. Bahkan bagi beberapa ilmuwanlain, keterlibatan akademisi dalam gerakan sosial tidak harusmenyertakan dilema-dilema tentang subjektivitas dan objektivi -tas yang sudah lama menjadi polemik dalam ilmu-ilmu sosial.Gagasan tentang sosiologi publik yang dikumandangkan olehMichael Burawoy misalnya, menunjukkan bahwa keterlibatanakademisi di dalam perdebatan publik dan gerakan sosial untukmendorong perubahan-perubahan di masyarakat justru dapatmenjadi sebuah pilihan moral akademik. Terlebih lagi, jikamengamati gagasan Alain Touraine yang lebih radikal tentangintervensi sosiologis. Peneliti, menurutnya, mempunyai peranpenting dalam mengonstruksi subjek penelitiannya sede mi kianrupa melalui pengorganisasian gerakan sosial agar dapat lebihmemahami realitas objektif yang tersembunyi di balik gejala-gejala yang tampak.

Di dalam sejarah gerakan perburuhan di Indonesia, hu -bung an antara aktivis gerakan dengan akademisi sudah lamamemainkan peran penting. Tidak jarang perbedaan tegas diantara keduanya menjadi kabur, karena keduanya bisa lebur kedalam sosok-sosok yang sama. Gerakan-gerakan buruh yang

255MELANGKAH DI ANTARA DUA JALUR

Page 300: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

bersifat klandestin pada era Orde Baru, misalnya, banyak meli-batkan mahasiswa dan alumni universitas yang memainkanperan besar dalam pendidikan buruh, advokasi, dan pemben-tukan jaringan antar gerakan. Para akademisi ini biasanya ter-gabung dalam LSM-LSM yang menjadi agen institusional da -lam meletakkan infrastruktur gerakan, membangun kesa daran-kesadaran baru tentang penindasan dan pergerakan. Setelahrezim Orde Baru jatuh, peran akademisi masih tetap berlanjutwalaupun mengalami perubahan bentuk. Partisipasi para peng -ajar perguruan tinggi di dalam gerakan terlihat bertambah se -iring dengan menurunnya partisipasi mahasiswa di dalamgerak an-gerakan buruh. Namun sejauh ini, tampaknya masihamat sedikit telaah metodologis yang secara sistematis mengu-pas keterlibatan peneliti dalam gerakan-gerakan sosial.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan justifi -kasi mengenai cara-cara yang saya terapkan dalam penelitiandisertasi, tidak pula dimaksudkan untuk menunjukkan betapabesarnya risiko subjektivitas dalam studi gerakan perburuhankhususnya, dan gerakan sosial pada umumnya. Ini hanyalah se -buah upaya berbagi pengalaman reflektif dari penelitian yangsaya lakukan selama beberapa tahun dengan melibatkan begitubanyak subjek, peristiwa, gagasan dan nilai yang secara manu-siawi telah memunculkan dilema dan kegamangan intelektual.Tulisan ini—mungkin lebih tepat dianggap sebagai sebuah pro -ses memahami dan mengelola subjektivitas dalam penelitian,dan bukan tidak mungkin suatu hari saya meyakini bahwa pe -ngendalian subjektivitas semacam itu tidak dibutuhkan lagidemi pemahaman yang lebih menukik ke dalam—sebagaimanaTouraine dan Burawoy usulkan. Jangan-jangan pemilahan mo -ralitas akademik dan gerakan sosial hanya sebuah konstruksisosial? Atau sebaliknya, memperdebatkan moralitas kedua ra -nah itu masih tetap diperlukan?

Namun, terlepas dari polemik-polemik tersebut, ketika ma -

256 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 301: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

suk ke dalam penulisan disertasi, saya akhirnya menyadari bah -wa dilema itu ternyata tidak serumit yang dibayangkan saat dilapangan. Setelah temuan-temuan penelitian itu tersusun men-jadi sebuah bangunan besar penjelasan tentang gerakan buruh,maka tampak bahwa “intervensi” dan keterlibatan saya di da -lamnya sesungguhnya tidak terlalu berarti. Gerakan mereka te -lah tumbuh dan berlangsung dalam sejarahnya sendiri. Kekuat -an gerak para aktornya, juga kekuatan-kekuatan dari struktursosial yang memengaruhinya, lebih me nentukan dinamika me -reka. “Intervensi” dan keterlibatan saya tidak lebih dari gurat -an-guratan kecil yang justru menegaskan langkah-langkah be -sar yang mereka tempuh sendiri. Meski demikian, saya tetapmemilih menuliskan “intervensi” dan ke terlibatan tersebut didalam disertasi sebagai bentuk kete rus terangan metodologis didalam proses studi. Begitu pula ketika menghadapi dilema daripengaruh-pengaruh ideologis gerakan terhadap pemikiran danpenulisan disertasi: diskusi-diskusi dan membaca berbagai lite -ratur yang relevan secara kritis sangat membantu di dalam men-ciptakan jarak sementara dengan para subjek yang saya teliti.

Membuat sedikit jarak ideologis selama proses menganali-sis dan menulis, maupun menyadari akan adanya intervensidan keterlibatan dalam gerakan, pada akhirnya juga berman-faat bagi kebutuhan gerakan itu sendiri. Ketika saya kembalimenemui mereka untuk sekadar berdialog, tanpa ada tujuankhusus untuk meneliti, saya merasa lebih ringan dalam me -nyampaikan pendapat-pendapat kritis saya tanpa terbebani lagioleh bingkai-bingkai nilai dari gerakan mereka. Di suatu ma -lam, saya berkumpul dengan beberapa aktivis yang mewarisigagasan-gagasan Oji. Sambil menikmati kopi hangat, saya tidakmerasakan beban untuk mempertanyakan masa depan gerakanburuh di tengah gempuran-gempuran baru dalam lanskap eko -nomi-politik Indonesia akhir-akhir ini.

257MELANGKAH DI ANTARA DUA JALUR

Page 302: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri
Page 303: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

ADE JAYA SURYANI bekerja sebagai dosen di UIN Banten. Me -nyelesaikan pendidikan S1 di IAIN Banten (2005), S2 di LeidenUniversity (2008), dan sejak 2016 menempuh S3 di Leiden Univer -sity. Untuk penelitian S3-nya dia menulis tentang orang-orangBaduy yang pindah agama dari Sunda Wiwitan ke Islam danKristen dan kaitannya dengan persoalan akses ke tanah, juga ba -gaimana Muslim dan Kristen menggunakan politik kegamaan un -tuk memperoleh penganut baru, bagaimana Muslim menghadangKristenisasi, dan bagaimana orang-orang Baduy menanggapiIslamisasi dan Kristenisasi. Ade pernah bekerja sebagai wartawandi Radar Banten dan Indo Pos. Dia menulis puisi, cerita pendek, esai,novel dan skenario televisi. Selain itu dia berkegiatan di komunitassastra Rumah Dunia dan di lembaga penelitian tentang sejarah dankebudayaan Banten, Bantenologi.

AJENG AYU ARAINIKASIH lahir di Jakarta pada 1983. Ia adalahkandidat doktor dari Institute for History Universiteit Leiden, de -ngan fokus penelitian mengenai warisan kolonial, de ko lo ni sasi danmuseum di era pascakolonial Indonesia. Ia menyelesaikan studi S1Arkeologi di Universitas Indonesia, dan S2 Art History Curatorialand Museum Studies di The University of Adelaide, Australia.Saat ini ia bekerja sebagai staf pengajar di De partemen ArkeologiUniversitas Indonesia. Spesialisasinya adalah museologi, terutamamengenai Museum Edukasi dan Tata Pamer Museum. Di bawahbendera UI, ia juga terkadang berkontribusi dalam tim rancang

Daftar Penulis

Page 304: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

ulang museum, misalnya Museum DPR RI dan Museum BPK RI.Ia juga aktif menjadi narasumber untuk pelatih an di bidang mu -seum yang diselenggarakan oleh Kementerian Pen didikan dan Ke -budayaan, Asosiasi Museum Indonesia, UNESCO, dan mu seum-museum pemerintah atau swasta. Selain itu, ia juga aktif menjadipembicara di seminar museum internasional, dan menulis di jurnalinternasional. Ia juga merupakan pendiri Museum Ceria, independ-ent museum educator pertama di Indonesia. Museum Ceria berusahamembuat anak Indonesia mencintai warisan sejarah dan budayamelalui kunjungan ke museum secara active learning dan menye-nangkan. Oleh karena sering mengunjungi berbagai museum diberbagai negara dalam perjalanan kariernya, ia juga menjadi seo-rang blogger museum. Kumpulan tulisan blognya diterbitkan da -lam serial buku #MuseumTravelogue dan yang terbaru berjudul#MuseumTravelogue Australia (2018).

AMINUDIN T.H. SIREGAR yang lebih akrab dipanggil Ucok,adalah dosen Seni Rupa dan Desain ITB dan kandidat doktor diFakultas Humaniora, Universitas Leiden. Dia menulis disertasitentang historiografi senirupa di Indonesia pascakolonial dengantopik “Indonesian Art Historiography: Transnational Circuits ofArt Discourse in Postcolonial Indonesia” yang berfokus pada pe -lukis Raden Saleh. Awalnya Ucok dikenal sebagai seniman dengankarya yang bertema sosial-politik. Kemudian setelah masa refor -masi, Ucok lebih banyak beraktivitas sebagai kurator, kritikus, danpengajar. Karya Ucok telah dipamerkan dalam berbagai pameran,antara lain: “Floating Identity” di Galeri Lontar, Jakarta (1998);“Refleksi” di Edwin's Gallery, Jakarta (2000); “Traditionelle undZeitgenösche Kunst aus Java” di Berlin, Jerman (2002); serta pamerantunggalnya “Ich Kann Keine Kunst Mehr Sehen”, di Gallery Klink -hammer, Dusseldorf, Jerman (2006). Ucok juga terlibat dalam ber -bagai event dan pameran seni, antara lain sebagai kurator pada ArtJog 10 dan Art Jog 11.

ARFIANSYAH adalah kandidat doktor bidang Antropologi Hukumdi Leiden University. Pendidikan S2nya dia selesaikan dalam

260 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 305: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

bidang studi interdicplinary studies di Institute for Islamic Studies,McGill University, Kanada. Pendidikan S1nya dia selesaikan dijurusan Aqidah dan Filsafat di IAIN Ar-raniry, Banda Aceh. Saatini dia sedang menyelesaikan disertasi dengan topik interaksi tigahukum kriminal di Aceh: adat, syariah, dan hukum pidana Indo -nesia. Studi PhD dan penelitiannya didukung penuh oleh LPDPIndonesia. Selain bekerja tetap sebagai staf pengajar di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dia juga seorang peneliti di International Re -search Center for Aceh and Indian Studies (ICAIOS) yang berbasisdi kota Banda Aceh. Dia menjadi pembicara di beberapa konferen-si nasional dan internasional, menulis di media massa lokal danbuku di antaranya: Shari’a Islam, Politik dan Perempuan di Aceh, sertabab “Adat and The State Shari’a on Public Morality Act and Zina inGayo Society, Indonesia” yang akan diterbitkan oleh Brill, Belanda.

DIN WAHID meraih gelar PhD dari Universitas Utrecht pada 2014dengan disertasi berjudul Nurturing the Salafi Manhaj: A Study ofSalafi Pesantrens in Contemporary Indonesia. Dia mengajar di UINSyarif Hidayatullah sejak 1996. Saat ini menjabat sebagai AtasePendidikan dan Kebudayaan Indonesia untuk Belanda.

FACHRIZAL AFANDI menggeluti profesi akademik sebagai dosenHukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya sejak2008, setelah sebelumnya berpraktik sebagai advokat. Selain mene -kuni isu sistem Sistem Peradilan Pidana, dia juga memiliki keter-tarikan terhadap isu Hak Asasi Manusia, Rule of Law, dan Access toJustice. Saat ini ia sedang menempuh studi doktoral di Van Vollen -hoven Institute, Leiden Law School dengan fokus kajian mengenaidiskresi jaksa saat melakukan penuntutan pidana. Riset ini dilatar -bela kangi rasa penasarannya saat melakukan advokasi dan me ra sa -kan karut marutnya sistem peradilan pidana Indonesia. Riset inidia lakukan dengan pendekatan socio-legalmemakai etnografi seba-gai salah satu metode pengambilan data di beberapa lembaga pene-gak hukum termasuk kejaksaan. Selain aktif menulis opini dimedia nasional dan mempubli ka sikan hasil risetnya di berbagaijurnal, Fachrizal juga aktif melakukan advokasi kebijakan pidana

261DAFTAR PENULIS

Page 306: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

dan bersama ma syarakat sipil turut mengadvokasi kasus-kasus pi -dana yang di pan dang kontroversial. Di kampusnya, ia dipercayamenjadi Direktur Eksekutif PERSADA (Pusat Pengembangan Ri -set Sistem Peradilan Pidana) serta turut membidani lahirnya PusatKajian Sosio Legal di kampusnya.

GRACE LEKSANA adalah seorang kandidat PhD di UniversitasLeiden. Saat ini ia sedang melakukan proyek penelitian dokto ral dibawah pengelolaan Universitas Leiden, KITLV/Southeast Asianand Carribean Studies dan NIOD/Netherlands Institute for War,Holocaust and Genocide Studies. Dengan latar belakang pendidik -an psikologi dan studi pembangunan, ia menjadi tertarik dengansejarah sosial sejak 2009. Perspektif interdisipliner yang ia gelutimendorongnya bekerja bersama Institut Sejarah Sosial Indonesia(ISSI), khususnya dalam berkolaborasi dengan guru-guru SMA diIndonesia untuk menyusun bahan ajar inovatif. Penelitian dok-toralnya saat ini adalah penelitian ingatan kolektif yang me ma du -kan metode etnografi dan studi arsip. Dengan mengambil studikasus di sebuah desa di Jawa, ia melihat bagaimana se buah peris-tiwa sejarah diingat oleh masyarakat lokal, makna yang diberikanterhadap kejadian tersebut, dan perubahan desa yang mengikuti -nya. Minat penelitiannya adalah sejarah mikro, sejarah lisan, studidesa, dan studi ingatan. Publikasi: “Reconciliation through historyeducation: Reconstructing the social memory of the 1965–66 Vio -lence in Indonesia,” dalam B. Brauchler (ed.), Reconciling Indonesia:Grassroots agency for peace. New York: Routledge, 2009.

GERRY VAN KLINKEN adalah mantan peneliti senior di KITLV,dan profesor emeritus sejarah Asia Tenggara di University of Ams -terdam. Menghabiskan lebih dari separuh masa hidupnya melaku -kan penelitian tentang Indonesia, karya-karya Gerry te lah menjadisalah satu rujukan paling penting dalam studi politik di Indonesiadan Asia Tenggara.

HARI NUGROHO sedang menyelesaikan disertasi PhD-nya padaInstitute of Cultural Anthropology and Development Sociology,

262 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 307: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Faculty of Social and Behavioural Sciences, Leiden University.Pada program tersebut, ia meneliti politik keterwa ki lan dalam ge -rakan buruh Indonesia pasca jatuhnya rezim oto riter Orde Baru.Selain menjadi staf pengajar pada Departemen Sosiologi, FISIP,Univer sitas Indonesia, ia juga adalah anggota tim editor Indonesiauntuk Global Dialogue terbitan ISA (International SociologicalAssociation), dan anggota badan eksekutif Asia Pacific Socio -logical Association (APSA) 2007-2014. Minat penelitiannya ada -lah tentang perburuhan, gera kan sosial, eksklusi dan ketidaksetara -an sosial.

JERMY IMANUEL BALUKH adalah kandidat doktor linguistik dariLeiden University Centre for Linguistics (LUCL). Riset doktoral-nya tentang tatabahasa Bahasa Dhao di Nusa Tenggara Timur,(NTT). Bekerja sebagai dosen di STIBA Cakrawala NusantaraKupang. Menyelesaikan studi S1 bahasa Inggris di STBA YapariBandung dan S2 Linguistik di Universitas Udayana Bali. Memban -tu pemerintah provinsi NTT dalam hal pengkajian bahasa daerah(2007) dan pemetaan bahasa daerah di wilayah Kabupaten RoteNdao (2012). Mendapat Bill Bright Award dari EndangeredLanguages Fund (ELF), AS. untuk Language DocumentationProject di Pulau Ndao (2009). Terlibat dalam proyek In Search ofMiddle Indonesia (2010) dari KITLV Belanda. Menjadi pembicaradi konferensi linguistik baik di dalam maupun luar negeri. Menjaditutor dalam workshop internasional tentang dokumentasi bahasa diNTT, bekerjasama dengan Unika Atma Jaya Jakarta, TokyoUniversity, dan Universitas Delaware, AS. Artikel-artikel jurnalnyaantara lain: “Digitalisasi Teks Lisan Bahasa Dhao: Sebuah MetodeDokumentasi dan Revitalisasi Modern” (Linguistika, 2011), “Per -sonal Pronouns in Dhao” (Linguistik Indonesia, 2015), “The Notionof Adjective in Dhao” (Wacana, 2015).

KATRIANI PUSPITA AYU kandidat doktor dari departemenHumanities, Universitas Leiden. Fokus penelitian pada politik de -forestasi dan perubahan tata ruang. Memiliki ketertarikan pada isukonservasi hutan dan filsafat lingkungan hidup. Menyelesaikan

263DAFTAR PENULIS

Page 308: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

studi S1 Ekonomi Bisnis Internasional di Universitas Kristen SatyaWacana, Salatiga dan studi S2 Ekonomi Politik dan Pembangunandi Institute of Social Studies, Den Haag. Merupakan Ketua Jurus -an Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UniversitasPalangka Raya (UPR) selama 6 tahun dan sebelumnya adalah ke -pala laboratoriun FISIP UPR. Anggota penasihat dan editoralJurnal Sosiologi dan Administrasi Publik FISIP UPR. Saat ini menjadianggota Pusat Kajian Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat(CESS) yang meneliti tentang kajian tata ruang dan perubahannya.Sedang menekuni penelitian lingkungan melalui pendeka tan etno-grafi. Gemar belajar tentang pemetaan hutan desa ber sama kelom-pok kerja sistem hutan kerakyatan (POKKER SHK) di Kaliman -tan Tengah.

MARGREET VAN TILL meraih gelar PhD dari Universitas Ams -terdam dan menulis disertasi tentang Si Pitung. Dia mengajarsejarah Indonesia di Universitas Amsterdam dan Universitas Lei -den. Dia adalah koordinator DIKTI-Leiden Scholarship Programyang menaungi para mahasiswa doktoral dari Indonesia di Uni -versitas Leiden.

MARIAN KLAMER adalah Profesor Linguistik Austronesia danPapua di Leiden University Centre for Linguistics. Setelah menye-lesaikan PhD-nya di Universitas VU Amsterdam pada 1994, diamenjadi peneliti di berbagai institusi, termasuk di Royal Nether -lands Academy of Arts and Sciences (KNAW). Sejak 2003 meng -ajar di Universitas Leiden. Ia telah menghasilkan banyak tulisanilmiah dalam bidang bahasa-bahasa Austronesia dan Papua diIndonesia, termasuk bahasa Kambera, Alor, Teiwa, dan Kaera.Topik-topik penelitiannya berkisar mengenai morfologi, tipologi,gramatikalisasi, kontak bahasa, dan rekonstruksi historis bahasa-bahasa di Indonesia. Dari 2014-2019, Marian menjadi peneliti uta -ma sebuah proyek VICI yang didanai oleh the Netherlands Organi -sation for Scientific Research (NWO), dengan tema rekonstruksimasa lalu melalui bahasa-bahasa di masa sekarang di KepulauanNusa Tenggara. Sebagai bagian dari proyek itu, ia dan beberapa

264 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 309: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

ahli bahasa lain di Leiden merancang sebuah database umum yangberisikan kosakata dari 45 bahasa-bahasa di Indonesia yang teran-cam punah. Pada September 2019 Marian dianugerahi gelar ang -gota kehormatan KNAW atas pencapaian akademiknya.

MUHAMMAD LATIF FAUZI mengajar di fakultas Syariah IAINSurakarta. Fokus kajiannya dalam bidang hukum Islam dan ma -syarakat, terutama terkait hukum keluarga. Dia juga tertarik padakajian antropologi studi Islam secara umum. Tulisan terbarunyaberjudul “Women in Local Politics: The Bylaw on Prostitution inBantul” dalam Kees van Dijk dan Nico Kaptein (eds.) Islam, Politicsand Change: The Indonesian Experience after the Fall of Suharto(Leiden: Leiden University Press, 2016).

MUHAMMAD ZAMZAM FAUZANAFI kandidat doktor antropologidari Department Cultural Anthropology and Development Socio -logy, Universitas Leiden, dengan fokus riset pada aktivisme anti-korupsi digital (online) di Indonesia. Menjadi bagian dari kelom-pok riset “From Client To Citizens?” yang dimotori oleh KITLVberkerja sama dengan Universitas Leiden, Universitas Amsterdam,dan Universitas Gadjah Mada. Bekerja sebagai dosen di Departe -men Antropologi, Universitas Gadjah Mada, dan peneliti di Labo -ratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi (LAURA), denganspesialisasi bidang antropologi visual, digital, dan media. Menyele -saikan studi S1 Antropologi di Universitas Gadjah Mada dan studiS2 Antropologi Visual di Universitas Manchester, Inggris. Me -ngembangkan pendekatan riset partisipatoris berbasis media(audio) visual melalui workshop dan program di lembaga swadayamasyarakat, seperti: Rumah Sinema dan Yayasan Kampung Ha -laman. Memproduksi film dokumenter etnografis dan video par-tisipatoris. Menulis mengenai media (audio) visual, dgital, dan senirupa di beberapa jurnal nasional dan internasional, buku, majalahseni, dan katalog pameran seni rupa. Menjadi pembicara dalamseminar, konferensi, dan diskusi seputar media (audio) visual dandigital, serta menjadi juri untuk beberapa festival film nasio nal daninternasional, seperti Festival Film Dokumenter dan Jogja-Netpac

265DAFTAR PENULIS

Page 310: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Asian Film Festival. Menulis buku Reog Ponorogo: Menari di AntaraDominasi dan Keragaman (Kepel, 2014) dan Melampaui Penglihatan:Kumpulan Esai Antropologi Visual tentang Media (Audio) Visual, Seni,dan Penonton (Rumah Sinema, 2012).

NAZARUDIN adalah seorang linguis sekaligus pemerhati bahasa.Dia mengajar di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas IlmuPengetahuan Budaya Universitas Indonesia sejak 2006. Kesenang -annya dalam meneliti bahasa pada akhirnya membawanya padasebuah bahasa yang terancam punah di Pulau Kisar, KabupatenMaluku Barat Daya, yaitu bahasa Woirata. Suku dan bahasa itupun menjadi pemantik dimulainya petualangan studi doktoralnyadi Leiden University Center for Linguistics. Selain itu, dirinya punmulai mengakrabi linguistik lapangan dan etnografi, dan tentu,pada akhirnya dia pun jatuh hati kepada kedua bidang tersebut.

NOR ISMAH lahir di Pekalongan, 23 Desember 1978. Alumni Pon -dok Pesantren Putri Al-Fathimiyyah Tambakberas ini menyele-saikan S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Bahasa danSastra Arab pada 2002. Dia kemudian bekerja sebagai penulis daneditor di Penerbit LKiS Yogyakarta hingga 2009. Pada 2010, diamendapatkan beasiswa dari IFP Ford Foundation untuk studi S2Asian Studies di University of Hawaii, Manoa, AS. Setelah menye-lesaikan S2 pada 2012, dia bekerja sebagai penulis, peneliti, dantrainer untuk kepenulisan kreatif di Komunitas Matapena, bebera-pa NGO, dan AEPI-SSQ. Saat ini sedang menempuh pendidikanS3 di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS) denganbeasiswa dari LPDP hingga 2020.

NURENZIA YANNUAR meraih gelar PhD dari Leiden UniversityCentre for Linguistics pada Oktober 2019. Riset doktoralnya meng -kaji Boso Walikan Malangan (Walikan) dengan menggabungkanpendekatan deskriptif linguistik dan sosiolinguistik. Minat peneli-tiannya mencakup dialek bahasa Jawa serta ragam bahasa remajadan informal di Indonesia. Sebagai pengajar di Jurusan SastraInggris, Universitas Negeri Malang, ia juga menaruh minat pada

266 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 311: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

perkembangan bahasa Inggris di Indonesia. Tulisan-tulisan ter-barunya bisa disimak di: https://www.researchgate.net/profile/Nurenzia_Yannuar

SYAHRIL SIDDIK adalah kandidat doktor di Leiden Institute forArea Studies (LIAS), Fakultas Humaniora, Universitas Leiden.Untuk program doktoralnya, dia meneliti acara-acara dakwahIslam di televisi pasca-Reformasi di Indonesia atas dukungan pen-danaan dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Ke -menterian Keuangan Republik Indonesia. Ia menyelesaikan prog -ram magister Kajian Studi Islam di universitas yang sama pada2011 dengan beasiswa dari Training Indonesia’s Young Leaders(TIYL) Programme atas kerjasama pemerintah Belanda dan Ke -menterian Agama Republik Indonesia. Sebelum mengambil prog -ram doktoral, ia mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Mau -lana Malik Ibrahim Malang.

SUDARMOKO lahir di Yogyakarta. Dosen di Jurusan Sastra Indo -nesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang, sejak2006, tempat ia menyelesaikan pendidikan S1 bidang sastraIndonesia. Pernah menjadi dosen tamu di jurusan “Malay-Indonesian interpretation and translation”, Hankuk University ofForeign Studies, Yongin, Korea, 2008-2011. Ikut mendirikan danmengelola Ruang Kerja Budaya, sebuah lembaga kebudayaan ber -basis di Padang. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan S3 diLIAS, Leiden University, tempat sebelumnya ia belajar untuk prog -ram S2. Penelitian yang pernah dilakukan meliputi beberapabidang seperti Ditigising Minangkabau’s Manuscripts in Suraus(British Library, 2007), Rencana Tata Ruang Wilayah Berdasarkanpada Nilai Adat dan Budaya Minangkabau di Sumatera Barat (Dikti,2006/2007), Perception of Young People in West Sumatra towardsJapanese Values and Culture through Japanese Comics (The SumitomoFoundation Japan, 2011-2012),The City and Literature: The Image ofPadang in Literary Works (Australia Indonesia Research Instituturefor Humanities and Development, 2012-2013), Persepsi danPandangan Pengarang Sumatera Barat terhadap Lingkungan Urban

267DAFTAR PENULIS

Page 312: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

(Hibah Penelitian Kecil, FIB Unand, 2012), Pemetaan dan Peng -arusutamaan Industri Kreatif Berbasis Potensi Sosial Budaya di Suma -tera Barat (Hibah Penelitian DIKTI, 2012), Pembuatan Model Pe -ngembangan Industri Kreatif Berbasis Seni Budaya di Sumatera Barat(Hibah Bersaing DIKTI, 2013-2014), dan terakhir SEMI dan Gerak -an Seni Rupa di Sumatera Barat (hibah penelitian seni rupa, IVAAdan HIVOS 2015). Penelitian untuk disertasi yang sedang dilaku -kan adalah mengenai infrastruktur sastra di Sumatera Barat. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain Seratus Tahun Balai Pustaka(editor, Balai Pustaka, 2018), Regionalisme Sastra Indonesia (Suri,2016), Roman Pergaoelan (Insist Press, 2008). Tulisan ilmiah yangtelah diterbitkan antara lain: “Revisiting a Private PublishingHouse in the Indonesian Colonial Period: Penjiaran Ilmoe” Indo -nesia and the Malay World, vol. 38 (111), 2010; “Roman Pergaoelan,Penulisan Sejarah, dan Kanonisasi Sastra Indonesia”, JurnalHumaniora, Vol. 21(1), 2009, FIB UGM; “Reading the Death inLiterary Works a Comparison of Navis’ Dokter dan Maut andCharles Dickens’ A Christmas Carol”, Jurnal K@ta Vol. 12(1), 2011,Universitas Kristen Petra, dan berbagai tulisan esai kritik sastradan budaya untuk berbagai surat kabar.

TAUFIQ HANAFI adalah staf pengajar di Jurusan Sastra Inggris,Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Bandung. Selainmengajar, ia menyunting beberapa buku dan menerjemahkan be -ragam karya tulis seputar sastra dan kebudaya an. Ia juga terlibat dibeberapa proyek pembuatan film dokumenter bersama denganperusahaan film yang berbasis di Inggris, Vision Machine. Ia mem-peroleh gelar sarjana dari Jurusan Sastra Inggris Unpad dan me -nuntaskan jenjang master di University of Oregon dalam programComparative Literature. Saat ini, ia sedang menjalani tugas belajar,menempuh jenjang S3 di Sekolah Pascasarjana Humaniora,Universitas Leiden, dan berafiliasi dengan LIAS (Lembaga KajianWilayah Leiden) dan KITLV (Lembaga Kajian Asia Tenggara danKaribia). Untuk proyek disertasinya, Taufiq mengkaji karya fiksiIndonesia yang diterbitkan di dekade 1970an dan 1980an, sekali-gus proses penulisan kreatifnya, serta konteks sosial-politik yang

268 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 313: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

melatari keseluruhan proses produksi karya krea tif tersebut.

TOM HOOGERVORST meraih gelar B.A. dan M. Phil dari Univer -sitas Leiden. Ia kemudian meraih gelar Ph.D dari UniversitasOxford, Inggris. Ia menjadi bagian dari proyek interdisipliner yangmelibatkan arkeolog, ahli bahasa, ilmuwan tanaman, dan ahligenetika. Proyek ini melihat kata-kata pinjaman untuk tanaman,rempah-rempah, dan istilah maritim sebagai metode untuk mere -konstruksi perjumpaan antar etnis di seluruh Samudra Hindia.Karena proyek tersebut, ia tersadar akan betapa terhubungnyaAsia Tenggara sejak abad pertama Masehi dengan bagian-bagianlain dunia, dan bagaimana linguistik historis dapat menyumbang -kan wawasan baru ke dalam isu-isu kompleks tentang migrasi dankontak budaya. Kini ia bekerja sebagai peneliti di KITLV Leidendan tengah menulis sebuah buku mengenai sejarah Bahasa Melayusebagaimana digunakan oleh populasi Tionghoa pada paruh awalabad ke-20. Dalam penelitiannya, Tom menggunakan sumber teksdan non-tekstual. Baginya, tradisi lisan, musik, tekstil, praktik ma -kanan, dan berbagai bentuk pengetahuan lainnya perlu ditanggapidengan serius untuk memahami aktivitas manusia dalam semuakeanekaragamannya.

WARD BERENSCHOT adalah peneliti senior di KITLV, mempel -ajari politik kontemporer di Indonesia dan India. Karyanya ber -fokus pada peran uang dan informalitas dalam kampanye pemilih -an umum, sementara bidang penelitian kedua berkaitan dengankarakter masyarakat sipil dan kewarganegaraan di negara-negarademokratisasi. Dia juga terlibat dalam upaya mempromosikanbantuan hukum di Indonesia, khususnya terkait de ngan konfliktanah yang dipicu oleh ekspansi kelapa sawit. Ia belajar ilmu poli-tik di University of Amsterdam, di mana ia juga memperoleh gelarPhD cum laude dengan disertasi tentang kekerasan Hindu-Muslimdi India. Dia adalah penulis Riot Politics: Hindu-Muslim Violence andthe Indian State (Columbia University Press, 2011) dan Democracyfor Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (CornellUniversity Press, 2019) serta berbagai artikel tentang pemerintah -

269DAFTAR PENULIS

Page 314: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

an, akses ke keadilan, kewarganegaraan, dan konflik agama. Diamemiliki kegemaran nongkrong hingga larut malam di tempat-tempat asing dengan berbagai pelaku politik informal—bukan ha -nya politisi, tetapi juga calo, pemimpin lingkungan, jenis kriminal,birokrat, pemecah masalah, geng pemuda, pemimpin agama, dll.Hasil kegemaran itu dia bagikan di blog berikut ini: https://infor-malpolitics.org/about-this-blog/.

WIJAYANTO adalah Direktur Centre for Media and Democracy,LP3ES dan sekaligus dosen Media dan Demokrasi di UniversitasDiponegoro, Semarang. Meraih gelar Ph.D dari Institute of AreaStudies, Universitas Leiden pada 17 Januari 2019. Menulis diser-tasi tentang biografi harian Kompas, surat kabar nasional terbesardan tertua di Indonesia, dengan fokus pada sejarah hubunganKompas dan kekuasaan pada tiga rezim po litik yang berbeda: OrdeLama, Orde Baru, dan era Reformasi. Selama dua belas tahun ter-akhir menekuni isu-isu terkait jurnalisme, kebebasan media, ko -rupsi, pemilu, gerakan sosial dan demo krasi di Indonesia, dan aktifberbicara di berbagai konferensi internasional, antara lain diWageningen (2013), Den Haag (2015), Singapura (2015), Kyoto(2016), London (2016), dan Jakarta (2017). Tulisannya tersebar diberbagai jurnal nasional dan internasional, serta media lokal dannasional, antara lain Media Asia, Contemporary Southeast Asia, KoranTempo, The Jakarta Post, Seputar Indonesia, Suara Merdeka dan lain-nya. Selain menekuni riset dan publikasi, dia adalah juga seorangaktivis anti korupsi yang tergabung dalam Aliansi Akademisi AntiKorupsi di Indonesia.

YUNUS SULISTYONO lahir di Klaten 26 Juni 1990, adalah kandi-dat doktor bidang Linguistik di Universitas Leiden dengan bea-siswa LPDP. Ia menyelesaikan pendidikan S1 Sastra IndonesiaUGM pada tahun 2012. Gelar Magister bidang Linguistik didapat-nya dari kampus yang sama pada tahun 2015. Setelah lulus S2, iabekerja sebagai dosen tetap yayasan di Universitas Muhammadi -yah Surakarta. Proyek disertasi yang diajukannya adalah kajianvariasi internal bahasa Alor yang dituturkan di Pulau Alor dan

270 CATATAN DARI LAPANGAN

Page 315: CATATAN DARI LAPANGAN - Marjin Kiri

Pantar, Nusa Tenggara Timur. Minat kajian terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia Timur dimulai sejak bekerja bersamaDr. Inyo Yos Fernandez yang juga merupakan pembimbing skripsidan tesisnya. Selain bahasa Alor, Yunus sempat terlibat dalamkajian bahasa Bunak, Abui, Kedang, Lamaholot, Minahasa, danbahasa Jawa suku Samin. Ia berencana untuk terus berfokus padapengkajian dan pendo kumentasian bahasa-bahasa daerah sukuminoritas, khususnya di Indonesia Timur.

271DAFTAR PENULIS