case besar anestesi turp final

Upload: william-wijaya

Post on 09-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

case

TRANSCRIPT

CASE ANESTESIAnestesi Spinal pada Transurethral Resection of the Prostate (TURP) pada Geriatri dengan Penyulit Hipertensi

Pembimbing: dr. Himawan, Sp.An

Oleh:Jason Sutandar2013061049Agnes Kartika Sari Hermawan2013061050Joanna Febrila 2014061048

Departemen Ilmu AnestesiFakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma JayaRumah Sakit Panti Rapih YogyakartaPeriode 1 Juni 4 April 2015

BAB IKASUS

I. Identitas PasienNama : Tn. KDUsia : 81 tahunTanggal Masuk : 22 Juni 2015Diagnosa Preoperatif : Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)Jenis Pembedahan : TURP

II. Anamnesis

Keluhan Utama: Tidak bisa buang air kecil sejak 2 hari SMRSKeluhan Tambahan : Sulit dan nyeri saat buang air kecil sejak 3 tahun SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang dengan keluhan tidak bisa buang air kecil sejak 2 hari SMRS. Pasien lalu pergi ke RS Queen Lativa dan dilakukan pemasangan selang kencing. 1 hari SMRS, urine bewarna merah dan pasien dirujuk ke bagian spesialis urologi RS Panti Rapih. Pasien telah memiliki keluhan sulit buang air kecil dan nyeri saat buang air kecil sejak 3 tahun SMRS. Riwayat demam, nyeri pinggang, kencing berpasir atau keluar batu saat buang air kecil disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat asma disangkal Riwayat hipertensi (+), sejak 5 tahun SMRS terkontrol dengan Ibesartan 1 x 150 mg PO (pagi) dan Amlodipin 1 x 10 mg PO (malam). Riwayat alergi obat dan makanan disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat diabetes melitus disangkal Riwayat operasi sebelumnya disangkal Riwayat trauma disangkalIII. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos Mentis Berat badan : 60 kg Tinggi badan : 158 cm Indeks massa tubuh : 24.03 kg/m2 (normal) Tanda-tanda vitalo Tekanan darah : 150/90 mmHgo Nadi : 90 x / menito Suhu :36 Co Frekuensi Pernapasan : 18 x/menitStatus Generalis Kepala: Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/- Mulut: Mukosa oral basah, gigi, lidah, tak ada kelainan Thoraks : Paru-Paru :I: Gerakan napas simetris dalam keadaan statis dan dinamisP: Gerakan napas teraba simetrisP: Sonor di kedua lapangan paruA :Vesikular (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-) Jantung :I: Ictus Cordis tidak terlihatP: Ictus Cordis tidak terabaP: Cardiomegali (+)A : BJ I & II Reguler, Murmur (-) Abdomen : supel, nyeri tekan (-), BU (+) Punggung : Tak ada kelainan Genitalia : Digital Rectal Examination: teraba prostat dengan volume 40 cc Ekstrimitas : Akral hangat, CRT : < 3 detik

IV. Pemeriksaan PenunjangTanggal: 22 Juni 2015PemeriksaanHasilNilai NormalSatuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin15.513.0 17.0g%

Leukosit10.54.0 11.0103/L

Eritrosit5.014.50 6.50106/L

Hematokrit42.340.0 54.0%

Trombosit435150 450103/L

HITUNG JENIS LEKOSIT

Eosinofil2.41.0-6.0%

Basofil0.51.0-2.0%

Neutrofil56.340.0-80.0%

Limfosit34.720.0-40.0%

Monosit6.12.0-10.0%

INDEKS ERITROSIT

MCV84.480.0-96.0fL

MCH30.927.0-31.0pg

MCHC36.632.0-36.0g/dL

RDW-CV15.611.6 14.8%

PT / APTT

PT13.811.1 14.6detik

APTT30.924.6 37.2detik

FUNGSI GINJAL

Ureum3210 50mg/dl

Kreatinin1.190.70 1.20mg/dl

Asam Urat5.23.4 7.0 mg/dl

GLUKOSA

GDS9770 110mg/dL

ELEKTROLIT

Natrium140136 145mmol/L

Kalium4.33.6 5.1mmol/L

Klorida10598 107mmol/L

SEROLOGI

HEPATITIS

HBsAgnon reaktifnon reaktif

EKG (22 Juni 2015) Normal sinus rhythm HR 62 x/menit Tidak ada kelainan pada EKG

Rontgen Thorax AP (22 Juni 2015)COR : CTR >50%, bentuk aorta normalPulmo : corakan paru dalam batas normal, tidak tampak bercak suram atau perselubungan, hilus tak melebar, sinus dan diafragma normalKesan : Pulmo dalam batas normal dengan kardiomegali

Evaluasi Pre-Operasi Status fisik : ASA IIPenyulit pra-anestesi : Usia tua dan hipertensi Teknik anestesi: Regional Anestesi dengan Spinal AnestesiTeknik khusus : tidak adaMonitoring:o EKG lead IIo Heart Rateo Non-Invasive Blood Pressure (NIBP)o SpO2

IntraOperasi Mulai anestesi : Pukul 14.45 Mulai pembedahan : Pukul 15.00 Lama pembedahan : 60 menit IV line : Dorsum manus sinistra. No. 20 Posisi : Lithotomi Pre-medikasi : Sedacum 2 mg IVTeknik Anestesi : Spinal Anestesi Daerah Pemasangan : Vertebrae L4-L5 Jarum : No.29 Katheter : Tidak Obat : Marcain 20 mg Airway Management : O2 dengan nasal kanul 4 lpm Ventilasi : Spontan

CAIRAN INTRAOP Voluven 500 ml Ringer Lactate 500 mlIRIGASI INTRAOP PADA TURP Cairan irigasi pada TURP sebaiknya isotonic atau mendekati isotonic, inert, nontoxic, dan transparan. Cairan yang mengandung elektrolit sebaiknya tidak digunakan karena dapat menghantarkan listrik sehingga dapat mengakibatkan luka bakar di jaringan sekelilingnya. Irigasi pada kasus ini digunakan Sterile Water for Irrigation sebanyak 16 L.

Pasca OperasiI. Ruang Pemulihana. Masuk Ruang Pemulihan : Pukul 16.15 WIB Skor ALDRETTE Total = 9[ Aktivitas (1), Sirkulasi (2), Pernafasan (2), Kesadaran (2), Warna kulit (2) ]b. Observasi di Ruang Pemulihan : Tanda-tanda vital : Tekanan Sistolik : 140-150 mmHg Tekanan Diastolik : 60-80 mmHg Denyut Jantung : 60- 70 x/menit Frekuensi Pernapasan : 16 x/menit Saturasi O2 : 99%

c. Keluar Ruang Pemulihan Pukul 17.30 WIB Skor ALDRETTE = 9 [Aktivitas (1), Sirkulasi (2), Pernafasan (2), Kesadaran (2), Warna kulit (2)]

II.Instruksi Pasca-Operasi Analgetika : Drip Fentanyl 200 mcg + Novalgin (Metamizole) 2 g + NaCl 50 ml IV 2 ml/jam Anti mual / muntah : Ondansetron 2x 4 mg IV Antibiotik : Clacef 2 x 1 g IV/hari Obat-obatan lain : Ranitidin 2 x 50 mg IV Infus : NaCl 20 tpm Minum : Boleh minum

BAB IIDASAR TEORI

2.1. Perubahan pada LansiaTerdapat beberapa perubahan pada lansia, antara lain : Penurunan kemampuan untuk meningkatkan denyut nadi sebagai respon terhadap hipovolemia, hipotensi, atau hipoksia Penurunan komplians paru Penurunan tekanan oksigen arterial Penurunan refleks batuk Penurunan fungsi tubular ginjal Peningkatan kerentanan terhadap hipotermia2.2. Perubahan Anatomi dan Fisiologi Pada Lansia Sistem kardiovaskularPada lansia terjadi penuruan komplians arteri sehingga menyebabkan peningkatan afterload, tekanan darah sistemik dan hipertrofi ventrikel kiri. Selain itu, peningkatan tonus vagal dan penurunan sensitivitas reseptor adrenergik mengakibatkan menurunnya nadi. Penurunan cardiac reserve menyebabkan penurunan drastis tekanan darah selama induksi bius total. Onset kerja obat-obatan intravena memendek, sedangkan obat-obat inhalasi memanjang. Sistem RespirasiTerjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan overdistensi alveoli dan kolapsnya saluran napas kecil, sehingga volume residual dan closed capacity meningkat. Hal ini mengakibatkan mismatch antara ventilasi dan perfusi.Ventilasi dengan mask akan lebih sulit pada lansia yang gigi geliginya sudah tidak lengkap. Arthritis pada sendi temporomandibular juga mempersulit intubasi. Di sisi lain, tidak adanya gigi depan dapat memudahkan visualisasi pita suara menggunakan laringoskop.Pencegahan terhadap terjadinya hipoksia perioperatif adalah dengan preoksigenasi yang lebih lama, konsentrasi oksigen yang lebih tinggi selama anestesi, peemberian PEEP dan pulmonary toilet. Gagal napas cukup sering terjadi pada lansia post operasi, sehingga pasien dengan riwayat penyakit pernapasan dan pasien yang melakukan bedah abdomen sebaiknya dibiarkan dalam keadaan intubasi post operasi. Manajemen nyeri yang daoat membantu fungsi paru perlu dipertimbangkan seperti epidural anestetik lokal dan opioid, blok nervus interkostal. Sistem metabolik dan endokrinKonsumsi oksigen basal dan maksimal menurun sesuai usia. Produksi panas menurun, kehilangan panas meningkat, pusat regulasi suhu hipotalamus berada pada level yang lebih rendah. Penuaan juga berhubungan dengan penurunan respons terhadap agen -adrenergik. Level norepinephrine dalam sirkulasi juga meningkat pada lansia. Sistem GinjalFungsi ginjal seperti laju filtrasi glomerulus dan kreatinin klirens menurun. Kegagalan penaganan natrium, kemampuan konsentrasi dan kapasitas dilusi membuat lansia rentan terhadap dehidrasi atau overload cairan. Kombinasi dari peurunan aliran darah ginjal dan penurunan massa nefron meningkatkan risiko lansia terhadap gagal ginjal akut pot operasi.Kemampuan ginjal untuk ekskresi obat juga menurun. Lansia memiliki predisposisi terhadap hipokalemia dan hiperkalemia, hal ini diperberat dengan seringnya penggunaan diuretik pada pasien lansia. Maka pada lansia penting untuk melakukan monitor terhadap serum elektrolit, cardiac filling pressure, dan urin output. Sistem gastrointestinalPada lansia massa hepar menurun disertai penurunan fungsi hepar dalam biotransformasi dan produksi albumin. Pada laki-laki plasma kolinestrase meningkat. Perubahan lainnya antara lain pH lambung meningkat, pengosongan lambung memanjang, dan volume lambung mengecil. Sistem sarafMassa otak menurun sesuai bertambahnya usia, terutama terjadi penurunan sel saraf di lobus frontalis. Aliran darah otak pada lansia menurun 10-20%. Minimun anesthetic concentration untuk anestesi lokal dan minimun alveolar concentration untuk anestesi umum juga menurun sehingga dibutuhkan dosis obat yang lebih kecil dibanding orang muda. Pada anestesi epidural, penyebaran chepalad lebih ekstensif, durasi analgesia dan blok motorik memendek, sedangkan durasi anestesi spinal memanjang. Sistem muskuloskeletalMassa otot berkurang. Artritis pada sendi-sendi akan mempersulit dalam memposisikan pasien dalam posisi litotomi atau melakukan anestesi regional. Peyakit degenartif pada tulang leher juga dapat mempersulit ekstensi kepala pada saat intubasi2.3. Perubahan Farmakologis pada LansiaProses penuaan mengakibatkan perubahan terhadap farmakodinamik dan farmakokinetik obat-obatan, Anestesi inhalasiMAC (Maximun Alveolar Concentration) menurun sebesar 4% per dekade sejak usia 40 tahun. Efek depresi miokard lebih besar pada lansia. Berbeda dengan efeknya pada orang muda, isofluran dapat menurunkan cardiac output dan nadi pada lansia. Pulih sadar dari agen inhalasi dapat memanjang akibat peningkatan volume distribusi (peningkatan lemak tubuh), penurunan fungsi hepar, dan penurunan pertukaran gas pada paru. Eliminasi desfluran yang cepat menjadikannya anestesi inhalasi pilihan pada lansia. Agen anestesi non volatilSecara umum, lansia memerlukan dosis obat seperti propofol, etomidat, barbiturat, opioid, dan benzodiazepin yang lebih rendah. Meskipun propofol merupakan obat induksi yang ideal karena dapat dieliminasi dengan cepat, namun propofol dapat menyebabkan apnea dan hipotensi yang lebih berat pada lansia. Pemberian tambahan midazolam, opioid, atau ketamin menurunkan dosis propofol yang diperlukan.Penuaan meningkatkan volume distribusi golongan bendzodiazepin, sehingga membuat eliminasi memanjang. Eliminasi half life diazepam dapat mencapai 36-72 jam. Kebutuhan terhadap midazolam menurun 50% pada lansiam eliminasi half-life nya memanjang sekitar 2,5-4 jam. Pelumpuh ototPenurunan cardiac output dan aliran darah ke otot, dapat menyebabkan pemanjangan efek blok neuromuskular pada lansia.Pemulihan terhadap agen pelumpuh oto non-depolarisasi ( metocurin, pancuronium, doxacuronium,tubocurarin) melambat akibat penurunan klirens obat. Penurunan ekskresi oleh hepar memperpanjang eliminasi half-life dan durasi kerja rocuronium dan vecuronium.

2.4. Anestesi pada Lansia2.4.1. Manajemen Pre-operatif pada LansiaPada lansia, riwayat penyakit dahulu dapat sangat kompleks. Penilaian fungsi aktivitas sehari-hari menggunakan skor Activity Daily Living atau Instrumental Activities of Daily Living. Penting untuk menanyakan riwayat konsumsi obat-obatan pada lansia. Secara umum, obat jantung dan antihipertensi dapat dilanjutkan sampai sebelum waktu operasi kecuali ACE inhibitor dan ARB. ACE inhibitor dapat meningkatkan hipotensi setelah induksi anestesi dan harus dihentikan 12 jam sebelum operasi.2.4.2. Manajemen Post-operasi pada LansiaManajemen nyeriPenurunan konduktivitas dan reseptor nyeri menyebabkan pasien lansia kurang merasakan nyeri setelah operasi, namun nyeri yang tidak diatasi memiliki beberapa konsekuensi antara lain pasien semakin lama dirawat, peningkatan morbiditas, komplikasi pulmonerm dan delirium. Semakin lama pasien dirawat di rumah sakit makan risiko komplikasi semakin meningkat.Penggunaan opioid dapat dikurangi dengan penambahan asetaminofen. NSAID dapat mengakibatkan gagal ginjal dan perdarahan saluran pencernaan pada lansia, penggunaan ibuprofen dan ketorolak harus secara hati-hati. Dosis ketorolak harus diturunkan hingga 15 mg IV per 6 jam, dengan dosis maksimal 60 mg selama 24 jam.Analgesik epidural post operasi dengan anestesi lokal atau opioid dapat menyebabkan (1) kontrol nyeri post-operasi (2) mengurangi atelektasis (3) meningkatkan ekstubasi trakeal dan (4) perawatan intensif yang memendek.2.5. Anestesi pada Hipertensi2.5.1. Definisi HipertensiHipertensi didefnisikan dengan dua bacaan atau lebih tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Angka kejadian hipertensi cukup tinggi, dan 70% pasien berusia lebih dari 70 tahun menderita hipertensi. Komplikasi yang umum dimiliki para penderita hipertensi yaitu gagal jantung, gangguan ginjal, dan penyakit serebrovaskular.2.5.2. Evaluasi preoperatif2.5.2.1. AnamnesaEvaluasi preoperatif terhadap pasien dengan hipertensi harus dilakukan dengan lebih teliti. Perlu diperhatikan komplikasi hipertensi yaitu, infark miokard, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyumbatan pembuluh darah perifer, dan diseksi aorta. Hal-hal yang perlu diketahui adalah penyebab hipertensi, faktor risiko kardiovaskular lainnya, gangguan end-organ, dan terapi yang telah digunakan. 2.5.2.2. Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik harus lebih difokuskan pada sistem kardiovaskular, nadi, tanda-tanda vital ( tekanan darah harus diukur berkala dalam keadaan pasien tenang, dan tekanan darah hasil pengukuran sebelumnya perlu didata untuk mengetahui ukuran tekanan darah jangka panjang pasien), bila perlu dapat diperiksa fungsi kelenjar tiroid, dan tanda-tanda kelebihan cairan. Pada pasien yang dicurigai menderita lebih dari hipertensi esensial, dapat ditanyakan episode takikardi, palpitasi, dan sinkop, mengukur tekanan darah pada kedua lengan, mendengarkan apakah terdapat bruit, dan memeriksa denyut nadi pada ekstremitas atas dan bawah. 2.5.2.3. Pemeriksaan PenunjangPada pasien dengan riwayat hipertensi jangka panjang, parah (dapat diukur dengan seberapa banyak obat antihipertensi yang dikonsumsi), atau hipertensi tidak terkontrol, dibutuhkan pemeriksaan EKG, dan pengukuran nilai BUN (blood urea nitrogen) dan kreatinin darah. Pada pasien yang mengonsumsi diuretik, perlu diperiksa elektrolit. Selain pada pengonsumsi diuretik, elektrolit juga perlu diperiksa apda pasien dengan konsumsi digoksin atau gangguan ginjal, yaitu kadar kalium yang dapat mengalami penurunan ringan atau meningkat pada pasien dengan gangguan ginjal atau yang mengonsumsi diuretik hemat kalium atau ACE inhibitor, hipomagnesemia yang dapat menyebabkan aritmia. Pada pasien dengan gambaran EKG abnormal, atau gambaran pembesaran ventrikel jantung kiri, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai gejala atau tanda-tanda penyakit arteri koroner, untuk mewaspadai kerusakan jantung.2.5.2.4. PremedikasiDirekomendasikan pada operasi elektif untuk ditunda jika pasien mengalami hipertensi berat ( tekanan diastolik > 115 mmHg, tekanan sistolik > 200 mmHg) sampai tekanan darah mencapai kurang dari 180/110 mmHg. Jika gangguan end-organ ditemukan, tekanan darah perlu dibuat sebaik mungkin sebelum operasi dilakukan. Untuk mengurangi risiko-risiko, membutuhkan 6-8 minggu terapi, dan penurunan tekanan darah yang terlalu cepat atau ekstrem dapat menyebabkan iskemi koroner dan serebral. Hipotensi intraoperasi jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan hipertensi. Tekanan darah lebih rendah dari 180/110 mmHg, tidak ada saran untuk menunda operasi. Hipertensi sendiri perlu ditegakkan jika, tekanan darah tinggi secara persisten meski pasien dalam keadaan tenang. Pengukuran ini dapat membedakan apakah pasien benar-benar memiliki hipertensi atau hipertensi episodik karena nyeri, cemas, atau stres. Guideline menyarankan terapi bloker paling baik sebagai terapi preoperatif untuk mengurangi risiko kardiovaskular. Meski beberapa praktik masih menggunakan diuretik sebagai pengobatan lini pertama, hal ini kurang disarankan karena dapat mengubah keseimbangan kadar potasium dalam darah (hipo atau hiperkalemia). Ca-channel blocker seperti Amlodipine 5-10mg/hari dapat digunakan. Jika pasien mengalami hipertensi episodik karena kecemasan, dapat diberikan antiansietas seperti midazolam. Pada pasien yang telah rutin mengonsumsi obat antihipertensi, dapat terus dilanjutkan. Agonis -adrenergik dapat digunakan sebagai tambahan antihgipertensi yang sangat berguna. Klonidin 0,2 mg berparan memperkuat sedasi, hingga mengurangi kebutuhan zat anestetik intraoperatif, dan mengurangi hipertensi perioperatif. Namun, pemberian klonidin intraoperatif juga berhubungan dengan terjadinya hipotensi dan bradikardi intraoperatif.2.5.3. Intraoperatif Secara umum tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah menjaga kestabilan tekanan darah. Pada pasien dengan hipertensi jangka panjang dan tidak terkontrol memiliki gangguan autoregulasi aliran darah serebral, maka tekanan darah rata-rata yang lebih tinggi dibutuhkan untuk menjaga agar tekanan darah serebral tetap adekuat. Hipertensi berhubungan dengan takikardi, dapat mengeksaserbasi iskemi miokard, disfungsi ventrikel, atau keduanya. Tekanan darah arteri harus dijaga agar dalam rentang 10-20% dari tekanan darah saat preoperasi. Tekanan darah rata-rata yang ditorerir tanpa gejala-gejala hipoperfusi adalah 65 mmHg pada hipertensi berat, 53 mmHg pada hipertensi terkontrol, dan 43 mmHg pada pasien normal. Petunjuk klinis yang dapat diperhatikan adalah penurunan sebanyak 25% dari MAP (mean arterial pressure) menunjukkan batas bawah autoregulasi dan penurunan 55% dari MAP menunjukkan gejala hipoperfusi serebral. Selain hipoperfusi serebral, hipoperfusi ginjal juga perlu diwaspadai yang dapat mengarah ke gagal ginjal.Pada saat pasien dipreoksigenasi, dapat diberikan fentanyl 7-8g/kg perlahan . Kemudian agar pasien tidak sadar, dapat diberikan thiopental 50mg atau propofol 30-50mg, dan dapat diikuti dengan pelumpuh otot untuk mempermudah intubasi trakeal.Semua agen anestesi diperbolehkan kecuali ketamine yang dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi secara signifikan. Anestesi yang lebih dalam dengan agen inhalasi untuk mengurangi efek takikardi dan hipertensi perlu digunakan secara hati-hati agar tidak terjadi hipotensi dari efek vasodilatasi dan depresi kardiak. Intubasi translaringeal sendiri menstimulasi reseptor trakea dan laring hingga terjadi takikardi dan peningkatan tekanan darah. Pada pasien normal, tekanan darah meningkat sebanyak kurang lebih 20-25 mmHg, dan peningkatan akan lebih besar pada pasien hipertensi. Peningkatan tekanan darah ini muncul dari vasokonstriksi akibat stimulasi . Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung mulai muncul 14 detik setelah dimasukkannya laringoskopi dan mencapai puncaknya setelah penggunaan laringoskopi selama 30-45 detik. Untuk mencegah peningkatan tekanan darah, maka disarankan penggunaan laringoskop kurang dari 15 detik. Selain itu penggunaan fentanyl 7-8 g/kg dengan induksi thiopental atau propofol dapat mengurangi efek peningkatan tekana darah dari intubasi. Pada pasien hipertensi, agen inhalasi dapat digunakan untuk mengontrol tekanan darah namun tekanan darah akan menjadi tidak stabil.Pasien dengan hipertensi biasanyan mengalami hipovolemi karena vasokonstriksi dan terapi diuretik. Hidrasi pasien hipertensi harus dimulai sebelum induksi anestesi untuk mengurangi efek roller coaster yang sering terjadi pada pasien hipertensi. Overhidrasi juga perlu di dihindari untuk mencegah hipertensi postoperasi ketika efek vasodilatasi dari anestesi telah hilang. Pada tekanan darah yang terus meningkat hingga 220/120 mmHg selama operasi, dapat disebabkan oleh anestesi yang inadekuat. Tekanan darah dapat diturunkan dengan meningkatkan konsentrasi agen inhalasi. Hydralazine 5mg dapat dititrasi untuk menurunkan tekanan darah dengan lebih aman dan menghindari efek reduksi tekanan darah yang terlalu drastis. Onset kerja obat tersebut adalah 10-15 menit dengan durasi 1-2 jam.Tabel 1. Obat anti hipertensiAgenRentang DosisOnsetDurasi

Nitroprusside0,5-10 g/kg/menit30-60 menit1-5 menit

Nitrolglycerin0,5-10 g/kg/menit1 menit3-5 menit

Esmolol0,5 mg/kg over 1 min; 50-300 g/kg/menit1 menit12-20 menit

Labetalol5-20 mg1-2 menit4-8 jam

Propanolol1-3 mg1-2 menit4-6 jam

Trimethaphan1-6 mg/min1-3 menit10-30 menit

Phentolamine1-5 mg1-10 menit20-40 menit

Diazoxide1-3 mg/kg perlahan2-10 menit4-6 jam

Hydralazine5-20 mg5-20 menit4-8 jam

Nifedipine sublingual10 mg5-10 menit4 jam

Methyldopa250-1000 mg2-3 jam6-12 jam

Nicardipine0,25 -0,5 mg5-15 mg/jam1-5 menit3-4 jam

Enalaprilat0,625 1,25 mg6-15 menit4-6 jam

Fenoldopam0,1-1,6 mg/kg/min5 menit5 menit

Untuk pemilihan teknik anestesi sendiri, dapat digunakan anestesi regional untuk operasi abdominal ke bawah, namun durasi operasi yang berkepanjangan dapat membuat pasien menjadi gelisah hingga tekanan darah dan denyut jantung meningkat.2.5.5. Terapi post-operatifPengawasan tekanan darah secara ketat perlu dilakukan setelah operasi. Hipertensi setelah operasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu abnormalitas respirasi, nyeri, volume cairan yang berlebihan, atau distensi kandung kemih. Labetalol intravena dapat dapat digunakan untuk mengontrol tekanan darah dan takikardi; nicardipine dapat digunakan untuk mengatur tekanan darah pada pasien dengan bradikardi, ada kecurigaan iskemi miokard atau bronkospasme. Ketika pasien dapat mengonsumsi obat secara oral, obat-obat antihipertensi preoperatif dapat dilanjutkan.

2.6. Transurethral Resection of Prostate (TURP)2.6.1. Definisi TURPOperasi TURP dilakukan melalui cytoscope yang dimasukan ke dalam urethra. Dalam operasi ini dilakukan pemotongan dari lobus lateral dan median dari kelenjar prostat yang mengalami hipertrofi. Pemotongan dilakukan dengan kawat yang dialiri listrik, pendarahan dikontrol dengan arus koagulasi. Irigasi yang terus-menerus dilakukan untuk mendistensi kandung kemih dan membersihkan darah serta jaringan prostat yang telah dipotong.

2.6.2. Evaluasi preoperatifPasien dengan gangguan prostat umumnya berusia lanjut dengan komorbid berbagai penyakit, termasuk gangguan kardiovaskular ( terutama gagal jantung ) di mana absorbsi cairan dapat meningkatkan risiko penyakit-penyakit tersebut. Gangguan prostat kronis yang mengganggu sistem miksi sejak lama dapat menyebabkan gangguan ginjal. Oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan fungsi jantung, dapat melalui pemeriksaan fisik untuk mengetahui kesan kardiomegali atau bunyi jantung abnormal, EKG, echo, atau pemeriksaan enzim jantung jika terdapat kecurigaan gangguan fungsi jantung. Fungsi ginjal dapat diperiksa melalui pemeriksaan urinalisa, ureum, dan kreatinin. TURP sindrom sendiri dapat menimbulkan beberapa manifestasi, di antaranya hiponatremia. Oleh sebab itu, perlu diperiksa keadaan elektrolit pada pasien dan dikoreksi.2.6.3. Intraoperatif2.6.3.1. Pemilihan cairan irigasiCairan irigasi yang ideal yang dipilih adalah yang transparan, tidak menghantarkan listrik, isotonik, nontoksik, non-hemolitik ketika diserap, mudah disterilkan, dan ekonomis. Namun tidak ada cairan irigasi yang memenuhi semua kriteria tersebut.Cairan irigasi distilled water dahulu sering digunakan sebagai cairan irigasi karena transparan dan tidak menghantarkan listrik, namun karena sifatnya yang sangat hipotonik, ketika diserap dapat menyebabkan hemolisis, shok dan gagal ginjal. Saat ini cairan isotonik yang dipilih sebagai cairan irigasi. Cairan irigasi yang sering digunakan adalah glycine (1.2% dan 1.5%), manitol 3%, glukosa 2.5-4%, cytal (campuran sorbitol 2.7% dan manitol 5.4%), dan urea 1%. Pada kasus ini cairan irigasi yang digunakan adalah Sterile Water for Irrigation USP. Osmolalitas pada cairan irigasi ini adalah 0 mOsmol/L dan bersifat hipotonik.Penyerapan cairan irigasiKelenjar prostat memiliki banyak sinus vena yang besar, sehingga sangat memungkinkan terjadi penyerapan cairan irigasi. Cairan irigasi masuk ke dalam aliran darah secara langsung melalui sinus venosus yang terbuka. Cairan irigasi juga menumpuk pada ruangan periprostatik dan retroperitoneal. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan cairan irigasi adalah jarak ketinggian dari cairan irigasi dan meja operasi, lamanya tindakan. Semakin tinggi letak cairan irigasi, maka cairan irigasi yang terserap semakin banyak akibat tekanan hidrostatik yang meningkat. Waktu juga menentukan jumlah cairan irigasi yang terserap. Rata-rata setiap menit cairan irigasi yang terserap adalah 10-30 ml. Penyerapan cairan irigasi akan semakin besar apabila saat tindakan merobek kapsul dari prostat.2.6.3.2. Tehnik anestesiTehnik anestesi untuk operasi TURP dapat dilakukan dengan cara anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi regional spinal menjadi pilihan utama dalam operasi TURP karena memiliki beberapa kelebihan yaitu: Dapat memantau kondisi umum pasien, sehingga dapat mendeteksi dini terjadinya TURP syndrome Deteksi dini dari robeknya kapsul prostat dan ruptur kandung kemih dapat didapatkan dari keluhan pasien berupa nyeri perumbilikal atau nyeri pada bahu apabila anestesi diberikan setinggi level T10. Hipotensi akibat blok simpatis anestesi spinal pada operasi TURP jarang terjadi karena posisi litotomi pada pasien dapat meningkatkan venous return Efek vasodilatasi anestesi regional mengurangi efek overload cairan selama operasi Mengurangi perdarahan dengan menurunkan tekanan darah selama operasiLevel anestesi regional yang diperlukan untuk anestesi pada operasi TURP adalah level sensoris T10. Kerugian anestesi dengan spinal adalah ketika terjadi ereksi penis selama operasi tidak dapat diatasi.Anestesi umum dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi tertentu, seperti pasien memiliki kontraindikasi anestesi spinal, pasien tidak dapat terlentang dalam jangka waktu tertentu. Posisi litotomi dengan keadaan kepala lebih rendah dapat mengurangi volume tidal dan functional residual capacity serta meningkatkan risiko terjadinya regurgitasi. Namun hal ini dapat diatasi dengan intubasi. Ereksi penis dapat timbul selama operasi dan dapat diatasi dengan memperdalam level anestesi. 2.6.4. Komplikasi TURP Sindrom TURPTURP syndrome terjadi akibat penyerapan cairan irigasi dengan volume yang besar selama tindakan TURP. Tanda dan gejala dari TURP syndrome berupa: Cardiopulmoner: Hipertensi Bradycardi Disaritmia Gangguan pernafasan Sianosis Hipotensi Shock Hematologi dan ginjal Hiponatremia Hipoosmolalitas Hemolisis/anemia Gagal ginjal akut Sistem saraf pusat Mual muntah Kejang Pupil dilatasi dan tidak reaktif Penurunan kesadaran sampai koma Penurunan pengelihatan TURP syndrome dapat muncul sejak beberapa menit setelah operasi dimulai, namun dapat juga muncul beberapa jam setelah operasi selesai. Biasanya pasien akan memiliki keluhan neurologis pada awalnya. Pasien menjadi letargi dan lalu tidak sadar, pupil dilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya. Gejala ini dapat diikuti kejang tonik-klonik singkat dan koma selama beberapa menit hingga jam.Pada pasien dengan anestesi umum, tanda yang nampak adalah tekanan darah yang meningkat lalu turun, henti nafas, dan bradikardi yang refratkter. Pada EKG, dapat terlihat perubahan pada segmen ST, gelombang U, dan pelebaran kompleks QRS. Pemulihan dari anestesi umum juga semakin lama.Gejala neurologis pada TURP syndrome bukan disebabkan oleh hiponatremia, namun lebih disebabkan oleh hiposmolalitas yang akut. Blood brain barrier tidak dapat dilewati oleh natrium, tapi dapat dilewati secara bebas oleh air. Hal ini akan menimbulkan edema cerebri yang akut dan akan meningkatkan tekanan intrakranial sehingga akan terjadi bradikardi dan hipertensi akibat refleks Cushing.Faktor risiko TURP syndromeBeberapa faktor risiko yang mempengaruhi kecenderungan terjadinya TURP syndrome adalah ukuran kelenjar prostat yang besar, robeknya kapsul dari prostat, dan tingginya tekanan hidrostatik dari cairan irigasi. Ukuran prostat yang besar akan memiliki jumlah vena yang memfasilitasi penyerapan cairan irigasi. Robeknya kapsul prostat akan memberikan jalan bagi cairan irigasi untuk memasuki ruangan periprostatik dan retroperitoneal. Tekanan hidrostatik yang tinggi akan meningkatkan laju penyerapan cairan irigasi. Ketika ketinggian cairan irigasi melebihi 60 cm diatas meja operasi, penyerapan cairan irigasi akan meningkat secara signifikan.Penanganan TURP syndromeApabila gejala TURP syndrome muncul, penanganan yang harus dilakukan adalah: Menghentikan tindakan segera Memberikan furosemide 20 mg IV Memberikan oksigen melalui nasal cannule atau face mask Apabila pasien mengalami edema paru, pertimbangkan untuk intubasi dan memberikan tekanan positif dengan oksigen Ambil sampel darah untuk pemeriksaan analisis gas darah dan pemeriksaan natrium Apabila serum natrium sangat rendah dan gejala klinis hiponatremia muncul, dapat diberikan cairan infus hipertonik saline 3% sampai 5%. Cairan hipertonik diberikan dengan batas laju 100 ml per jam. Namun pemberian cairangn hipertonik tidak harus selalu diberikan kecuali pasien mengalami gejala hiponatremia. Diuresis spontan maupun dengan induksi akan memperbaiki kadar natrium dalam beberapa jam. Apabila pasien kejang, berikan obat anti kejang short acting seperti diazepam 5 -20 mg IV, atau midazolam 2-10 mg IV. Apabila kejang masih berlanjut, dapat diberikan barbiturate atau fenitoin. Terapi terakhir dapat diberikan muscle relaxant. Apabila ada kecurigaan perdarahan yang banyak, dapat diberikan PRC. Pemberian cairan intra vena harus diberikan dengan hati-hati karena dapat terjadi edema paru.Pencegahan TURP syndromeTURP syndrome dapat dicegah dengan beberapa cara seperti: Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dicapai sebelum operasi dan yang penting untuk diperhatikan adalah kadar natrium Pasien dengan CHF harus diterapi dengan diuretik dan limitasi cairan Yang terpenting adalah menjaga integritas dari kapsul prostat selama operasi Batas tekanan hidrostatik cairan irigasi adalah 60 cm H2O, yang dapat dicapai dengan menjaga tinggi cairan irigasi dibawah 60 cm Menghindari distensi kandung kemih yang berlebih Mengusshakan waktu operasi sesingkat mungkin

HipotermiaVolume cairan irigasi dalam jumlah besar dapat menjadi penyebab utama kehilangan panas pada pasien. Cairan irigasi harus dihangatkan sesuai suhu tubah untuk mencegah hipotermia. Menggigil setelah operasi tidak diharapkan karena dapat merusak clot dan meningkatkan kemungkian perdarahan Perforasi kandung kemihInsidens perforasi kandung kemih pada operasi TURP adalah 1%. Perforasi dapat terjadi akibat retroskop atau verdistensi dinding vesica urinaria. Pasien yang sadar akan mengeluhkan mual, diaforesis nyeri retropubik atau abdomen bagian bawah. Perforasi intraabdomen dapat ditandai dengan adanya hipotensi mendadak dan nyeri perut menyeluruh. Apapun cara anestesinya, perforasi perlu dicurigai apabila terjadi hipertensi, hipotensi arau bradikardi secara tiba-tiba. KoagulopatiDIC (Disseminated Intravascular Coagulation) dapt terjadi pada TURP akibat pelepasan tromboplastin oleh prostat ke sirkulasi selama operasi. Trombositopenia dilusional juga dapat terjadi akibat penyerapan cairan irigasi. Tatalaksana DIC menggunakan heparin, penggantian faktor pembekuan dan platelet. SeptikemiaPada prostat seringkali terdapat kolonisasi bakteri dan merupakan tempat terjadinya infeksi kronis. Manipulasi saat operasi dan tekanan hidrostatik yang tinggi dapat menyebabkan masuknya bakteri ke dalam sirkulasi, hal ini dapat berakibat pada septikemia dan syok sepsis. Antibiotik profilaksis seperti gentamicin, levofloxacin, atau cephazolin bisasanya diberikan pre operasi. PerdarahanPenyebab terjadinya perdarahan adalah trombositopenia dilusional akibat absorbsi berlebihan cairan irigasi. Dapat juga terjadi akibat pelepasan agen fibrinolitik (plasminogen dan urokinase) dari mukosa saluran urinarius. Agen ini menstimulasi fibrinolisis dan perdarah kelenjar prostat. Pemberian asam -aminocaproic (antifibrinolitik) dapat mengurangi perdarahan.2.6.5. Manajemen Post Operasi TURP Tanda-tanda septikemia seringkali muncul post-operasi TURP, yaitu demam, menggigil, tekanan darah rendah, dan takikardia. Apabila curiga sepsis, segera berikan antibiotik broad-spectrum tanpa menuggu kultur bakteri. Hipotermia post operasi meningkatkan insidens iskemi miokard post operasi. Maka sangat penting untuk menjaga suhu tubuh dalam keadaan normothermia perioperatif. Berdasarkan penelitian, morfin 0,1-0,2mg intratekal dengan spinal anestesia merupakan pilihan yang efektif untuk mengurangi nyeri paska operasi pada lansia yang menjalani operasi TURP. Dosis 0,1 mg morfin intratekal tidak menyebabkan mual dan muntah.

BAB IIIANALISIS KASUS

TEORIKASUS

Pre OperasiPemeriksaan fungsi jantung, kadar elektrolit, keseimbangan cairan perlu dilakukanPemeriksaan fungsi jantung dengan EKG didapatkan hasil NSR. Pemeriksaan elektrolit sebelum operasi dalam batas normal

Pre medikasiPasien hipertensi perlu mendapatkan obat antihipertensi. Pilihan yang paling baik adalah -blocker. Obat antihipertensi yang telah dikonsumsi sejak lama dapat dilanjutkan hingga hari operasi dilakukan. Antiansietas atau sedasi dapat diberikan untuk mecegah peningkatan tekanan darah akibat kecemasan.Pada pasien diberikan Sedacum (midazolam) 2 mg

Tipe anestesiSpinal merupakan pilihan utama, namun pada kasus tertentu dimana anestesi spinal merupakan kontraindikasi dapat dilakukan anestesi umumAnestesi Spinal

Cairan irigasi Cairan irigasi yang dianjurkan adalah cairan isotonic atau mendekati isotonic, inert, nontoxic, dan transparan.Pada kasus ini cairan irigasi yang digunakan adalah Sterile Water for Irrigation USP. Osmolalitas pada cairan irigasi ini adalah 0 mOsmol/L dan bersifat hipotonik.

Komplikasi Dapat terjadi beberapa komplikasi pada operasi TURP seperti TURP syndrome, perforasi kandung kemih, sepsis, hipotermi, dan DIC.Tidak ditemukan adanya komplikasi

Analgesik post operasi Manajemen nyeri post operasi TURP yang paling baik dengan pemberian morfin dosis rendah secara intratekalPada kasus ini, post operasi pasien diberikan Drip Fentanyl (opioid) 200 mcg + Novalgin (Metamizole) 2 g + NaCl 50 ml IV 2 ml/jam

DAFTAR PUSTAKA

1. Kirson LE, Goldman JM, Slover RB. Low Dose Intrathecal Morphine for Post Operative Pain Control in Patients Undergoing Transurethral Resection of the Prostate. Europe Pubmed 2. Miller RD, Pardo M, Stoelting RK. Basics of anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 20133. Yao F-SF, Malhotra V, Fontes ML. Yao & Artusios anesthesiology: problem-oriented patient management.7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2012.4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, Morgan GE, Mikhail MS, Morgan GE. Morgan & Mikhails clinical anesthesiology. 5th ed. New York: McGraw-Hill; 2013.5. Vanna O, Chumsang L, Thongmee S. Levobupivacaine and bupivacaine in spinal anesthesia for transurethral endoscopic surgery. J Med Assoc Thai. 2006 Aug;89(8):11339.6. ODonnell AM, Foo ITH. Anaesthesia for transurethral resection of the prostate. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2009 Jun 1;9(3):926.