badan penelitian dan pengembangan industri balai besar

109
2020 Volume 15, No. 1, Juni 2020 Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 Kementerian Perindustrian Republik Indonesia Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar Industri Hasil Perkebunan p-ISSN 1979-0023 e-ISSN 2477-0051

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

2020

Volume 15, No. 1, Juni 2020

Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016

Kementerian Perindustrian Republik IndonesiaBadan Penelitian dan Pengembangan Industri

Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

Page 2: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

iDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based Industry Vol. 15 No. 1, Juni 2020

Penanggung Jawab:Tirta Wisnu Permana, ST. MAB.Kepala Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Manajer Jurnal:Muh. Mukhlis Afriyanto, ST, M.Si. Melia Ariyanti, S.TP, M.SI.

Dewan Editor:Editor:

Alfrida Lullung S, M.Si.

Editor Bagian:Dr.Ratri Retno Utami, STP, MT. Dr.Asma Assa,ST, M.SI.

Copy EditorRahayu Wulandari,ST Jamilah, ST, MTAndi Nur Amalia, STP, M.Si.

Layout Editor:Rahmad Wahyudi, ST. Dwi Indriana,ST

Proof Reader:Khaerunnisa, STPDyah Wuri Asriati, ST. Wahyuni Daming,ST, MT

Reviewer :Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian)Ir. Sitti Ramlah, M.Si. (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis) Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian)Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS) Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS)Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS)Danar Praseptiangga, S.TP, M.Sc. PhD. (Ilmu Pangan dan Bioteknologi, Universitas Sebelas Maret (UNS)Arifin Dwi Saputro, S.TP, M.Sc. PhD. (Sains Terapan, Universitas Gadjah Mada)Rita Istikowati, ST, MT. (Teknik Industri, Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta)Dr. Maherawati Maherawati, S.TP, MP. (Ilmu Pangan, Universitas Tanjungpura Pontianak)Medan Yumas. S.PI (Tek. Hasil Pertanian)

Penerbit: Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian R.I.Alamat Redaksi : Jalan Prof. Dr. Abdurrahman Basalamah No. 28, Makassar 90231 Kotak Pos 1148 Telp. (0411) 441207, Faks. (0411) 441135e-mail : [email protected]

Akreditasi Peringkat 2, Nomor: 10/E/KPT/2019 (RISTEK DIKTI)Jurnal Industri Hasil Perkebunan merupakan jurnal Ilmiah berkala yang memuat karya tulis hasil penelitian, pengembangan, dan pemikiran/ulasan ilmiah dibidang ilmu/bidang aplikasi rekayasa (teknik) dan teknologi industri hasil perkebunan. Terbit pertama kali pada tahun 2006 dengan frekuensi terbit setiap semester atau pada bulan Juni dan Desember. Lingkup permasalahan mencakup bahan baku, proses, mesin, peralatan, produk termasuk produk turunan, limbah, dan hasil samping. Bahasa penulisan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

Page 3: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

iiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 15, No. 1, Juni 2020

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

PENGANTAR REDAKSI

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Industri Hasil Perkebunan Volume 15 No. 1 Juni 2020 dapat diterbitkan. Edisi pertama pada volume ini menyajikan sepuluh artikel hasil seleksi Tim Review.

Kesepuluh artikel tersebut masing-masing adalah: (1). Karakteristik karet sheet dengan bahan pengisi arang aktif bambu, (2). Perubahan asam asetat, total polifenol dan warna biji kakao asalan selama fermentasi, (3). Identifikasi profil kualitas kopi sebagai acuan pengembangan produk spesialti di kawasan menoreh, kulon progo,yogyakarta, (4). Penggunaan sensor fotodetektor untuk pengukuran kandungan gula di dalam larutan nira tebu, (5). Kontribusi komponen teknologi industri pengolahan cokelat (studi kasus cv. X), (6) optimasi formula mikroemulsi berbahan dasar crude palm oil (cpo) sebagai antioksidan potensial pada kulit, (7). Stabilitas dan efektivitas antioksidan zat warna antosianin tepung kakao tanpa fermentasi (theobroma cacao l) secara in vivo, (8). Karakteristik kandungan lemak dan asam lemak cokelat compound yang terbuat dari oleogel minyak nabati dan cocoa butter substitute dengan oleogator lemak kakao, (9). Pengaruh penambahan polifenol terhadap karakteristik milk chocolate couverture dan analog.

Kepada para penulis yang telah mengirimkan artikelnya kami ucapkan terima kasih. Semoga hasil-hasil penelitian tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan industri nasional, khususnya industri hasil perkebunan dan dapat memperkaya khasanah iptek sebagai bagian dari wujud pengabdian kita kepada Tuhan, bangsa dan negara.

Akhirnya kepada para sejawat peneliti, perekayasa, dan dosen baik dari dalam lingkungan maupun dari luar lingkungan Kementerian Perindustrian kami undang untuk mengirimkan artikel karya tulis ilmiahnya untuk dimuat pada Jurnal Industri Hasil Perkebunan (JIHP).

Makassar, Juni 2020

Editor / Ketua Dewan Redaksi

i

Page 4: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

iiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJournal of Plantation Based IndustryVol. 15, No. 1, Juni 2020

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Industri Hasil Perkebunan p-ISSN 1979 – 0023 dan e-ISSN 2477-0051 menyampaikan terima kasih kepada para Reviewer yang telah menelaah (mereview) artikel- artikel pada penerbitan Vol. 15 No. 1 Juni 2020. Terimakasih disampaikan kepada Ir. Rosniati (Tek. Hasil Pertanian), Ir. Sitti Ramlah, M.Si. (Tek. Hasil Pertanian, Agribisnis), Ir. Justus Elisa Loppies (Tek. Hasil Pertanian), Dr. Ir. Supratomo, DEA (Jur. Teknologi Pertanian Fak. Pertanian UNHAS), Dr. Paulina Taba, M.Phil (Kimia UNHAS), Prof. DR. Nunuk Hariani Soekamto (Kimia Bahan Alam UNHAS), Danar Praseptiangga, S.TP, M.Sc. PhD. ( Ilmu Pangan dan Bioteknologi, Universitas Sebelas Maret (UNS), Arifin Dwi Saputro, S.TP, M.Sc. PhD. (Sains Terapan, Universitas Gadjah Mada), Rita Istikowati, ST, MT. (Teknik Industri, Akademi Komunitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil Surakarta). Dr. Maherawati Maherawati, S.TP, MP. (Ilmu Pangan, Universitas Tanjungpura Pontianak). Medan Yumas. S.PI.(Tek.Hasil Pertanian).

ii

Page 5: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

ivDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

iiiiiv

1 — 7

8 — 14

15 — 26

27 — 34

35 — 44

45 — 55

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANVol. 15, No. 1, Juni 2020

DAFTAR ISI

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

PENGANTAR REDAKSI UCAPAN TERIMAKASIHDAFTAR ISILEMBARAN ABSTRAK

KARAKTERISTIK KARET SHEET DENGAN BAHAN PENGISI ARANG AKTIF BAMBUThe Characteristics of Rubber Sheet with Activated Bamboo Charcoal FillerPopy Marlina, Asma Assa, Hari Adi Prasetya

PERUBAHAN ASAM ASETAT, TOTAL POLIFENOL DAN WARNA BIJI KAKAO ASALAN SELAMA FERMENTASIChange of Acetic Acid, Total Polifenol and Color of Coconut Origin During FermentationMulono Apriyanto, Hermiza Mardesci, Rujiah Rujiah

IDENTIFIKASI PROFIL KUALITAS KOPI SEBAGAI ACUAN PENGEMBANGAN PRODUK SPESIALTI DI KAWASAN MENOREH, KULON PROGO, YOGYAKARTACoffee Quality Profile Identification as Product Development Guideline in Menoreh, Kulon-Progo, YogyakartaAldicky Faizal Amri, Ervika Rahayu Novita Herawati, Rifa Nurhayati, Agus Susanto

PENGGUNAAN SENSOR FOTODETEKTOR UNTUK PENGUKURAN KANDUNGAN GULA DI DALAM LARUTAN NIRA TEBUApplication of Photodetector Sensor for Sugar Content Measurement in Sugar Cane JuiceAlex Taufiqurrohman Zain, Cahyaning Nur Karimah, Mochamad Irwan Nari, Anni Nuraisyah

KONTRIBUSI KOMPONEN TEKNOLOGI INDUSTRI PENGOLAHAN COKELAT (STUDI KASUS CV. X) Technology Components Contribution of Chocolate Processing Industry (Case Study of CV. X) Ratri Retno Utami, Zuhrawaty Zuhrawaty, Tristania Pranasari

OPTIMASI FORMULA MIKROEMULSI BERBAHAN DASAR CRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI ANTIOKSIDAN POTENSIAL PADA KULITThe Optimization of CPO-Based Microemulsion as an Antioxidant for SkinErga Syafitri, Nur Adliani, Sudewi Mukaromah Khoirunnisa, Fina Khaerunnisa Frima

iii

Page 6: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

vDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

56 — 67

68 — 77

78 — 91

STABILITAS DAN EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN ZAT WARNA ANTOSIANIN TEPUNG KAKAO TANPA FERMENTASI (THEOBROMA CACAO L) SECARA IN VIVOAntioxidant Stability and Effectiveness of Antosianin Pigmen from Unfermented Cocoa Flour (Theobroma cacao L) by in vivo MethodMedan Yumas, Justus Elisa Loppies, Alfrida Lullung Sampe Barra

KARAKTERISTIK KANDUNGAN LEMAK DAN ASAM LEMAK COKELAT COMPOUND YANG TERBUAT DARI OLEOGEL MINYAK NABATI DAN COCOA BUTTER SUBSTITUTE DENGAN OLEOGATOR LEMAK KAKAOCharacteristic of Fat Content and Fatty Acid Composition of Chocolate Compound Made from Vegetable Oil Oleogel and Cocoa Butter Substitute with Cocoa Butter OleogatorDyah Wuri Asriati, Wahyuni Wahyuni, Sitti Ramlah, Andi Nur Amalia, Eky Yenita Ristanti

PENGARUH PENAMBAHAN POLIFENOL TERHADAP KARAKTERISTIK MILK CHOCOLATE COUVERTURE DAN ANALOGThe Effect of Polyphenol Addition to Milk Chocolate Couverture and Analog CharacteristicsDyah Wuri Asriati, Imran Thamrin, Melia Ariyanti, Ardiansyah Ardiansyah

iv

Page 7: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

viDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

v

p-ISSN 1979-0023e-ISSN 2477-0051

JURNAL INDUSTRI HASIL PERKEBUNANJornal of Platation Based IndustryVol. 15, No. 1, Juni 2020

LEMBAR ABSTRAK (ABSTRACT SHEET)

The Characteristics of Rubber Sheet with Activated Bamboo Charcoal Filler

Popy Marlina1*, Asma Assa2dan Hari Adi Prasetya1

1Baristand Industri Palembang2Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar

Abstract: The activated bamboo charcoal as an alternative to improve the hardness and increase rubber volume that leads to better rubber sheet quality. The study aims to determine the characteristics of rubber sheet with raw latex composite materials and activated bamboo charcoal. The amount of activated bamboo charcoal in rubber sheet formulation was varied in different mass, which was 25, 30, 35, 40, 45, and 50 grams. Each treatment was replicated three times. The parameters were ash content, initial plasticity (Po), Plasticity Resistance Index (PRI) and Mooney viscosity. The results showed that the variations of treatment in the amount of activated bamboo charcoal affected ash content, initial plasticity (Po), Plasticity Resistance Index (PRI) and Mooney viscosity. The characteristics of rubber sheet met the quality of Standard Indonesian Rubber (SIR) requirements according to SNI 06-1903-2000 with ash content characteristics for all treatments, Po and PRI, the treatments of F3 (raw latex of 945 g and activated bamboo charcoal of 35 g) to F6 (raw latex of 945 g and activated bamboo charcoal of 50 g). The mooney viscosity of rubber sheet for all treatments met the quality standard of commercial SIR, minimum 40.

Keywords: activated bamboo charcoal, characteristic, rubber sheet

Change of Acetic Acid, Total Polifenol and Color of Coconut Origin During Fermentation

Mulono Apriyanto1, Hermiza Mardesci1, dan Rujiah21

Prodi Teknologi Pangan, Universitas Islam Indragiri2Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan Kabupaten Indragiri Hilir, Riau

Abstract: Asalan cocoa beans are dried cocoa beans at the level of farmer in Samigaluh, Kulon Progo Regency, Yogyakarta, mostly produced without fermentation. The study aims to determine changes in acetic acid, total polyphenols and colour cocoa beans during fermentation. Fermentation is done in three methods; The control treatment, the second treatment was the addition of S.cerevisiae (FNCC3056), L.lactis (FNC0086) and A.aceti (FNCC0016) inoculum, respectively 108cfu/gram given simultaneously at the beginning of fermentation. The third treatment of inoculum addition gradually then all treatments were fermented for 120 hours. The results showed the percentage of brownish purple color, the total polyphenols of cocoa beans decreased, the results of control treatments, the addition of inoculum at the beginning of fermentation and the addition of inoculums gradually from 30.11 to 5.03%, 30.14-4.98% and 30.09-3.02% and the total polyphenols respectively from 0.17-0.08, 0.18-0.07 and 0.17-0.06 meq gallic acid/gram. This study can be concluded that there was a change in acetic acid, the total polyphenols caused by changes in the percentage of brown color occurred more in the treatment of inoculum additiongradually.

Keywords: Asalan cocoa beans, fermentation, total polyphenols, and colour

Page 8: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

viiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

vi

Coffee Quality Profile Identification as Product Development Guideline in Menoreh, Kulon-Progo, Yogyakarta

Aldicky Faizal Amri, Ervika Rahayu Novita Herawati, Rifa Nurhayati, dan Agus SusantoBalai Penelitian Teknologi Bahan Alam

Abstract: An understanding the characteristics of raw materials is important for the product development process. The characteristics and methods of processing of a coffee bean will affect its final quality and the taste of its brewed coffee. In Kulon-Progo Region, the coffee quality profile has not been identified clearly. Therefore, this research was conducted to identify the quality profile of coffee that grows in the Menoreh, Kulon Progo region so that it can be used as a guideline for further product development. Identification is carried out by testing the physical, chemical, and microbiological parameters and the taste of coffee grown in the Menoreh region, Kulon Progo. Physical, chemical and microbiological parameters testing is done by referring to SNI 1-3542-2004 concerning coffee powder. Taste testing is carried out with the help of expert panelists who refer to the SCAA Cupping Protocol. Based on this research results, the quality of Menoreh coffee has met the level I quality requirements of SNI 1-3542-2004 and has the potential to be developed into specialty coffee originating from the Special Region of Yogyakarta.

Keywords: Menoreh Coffee, Quality, Specialty Coffee, Product Development

Application of Photodetector Sensor for Sugar Content Measurement in Sugar Cane Juice

Alex Taufiqurrohman Zain1*, Cahyaning Nur Karimah1, Mochamad Irwan Nari1, dan Anni Nuraisyah2

1Jurusan Teknik Politeknik Negeri Jember2Jurusan Produksi Pertanian Politeknik Negeri Jember

Abstract: Cane is one of the sugar-producing plants. The quality of produced sugar is greatly influenced by main raw material, cane juice, so sugar content measurement in sugar cane is needed. In this study, measuring sugar content in cane juice is integrated with a PC system. In addition to cane juice, sugar solutions are used as an object in this study. Measuring devices are made using light propagation principle when passing through the object. The urceusedis RGB brightLED, fiber optic asap ropagation mediumofray, photodiode BPW 34 as a photodetector, Arduino UNO module as a micro controller module, and digital refractometer to obtain comparable data. The results showed that the measuring instrument could be integrated with a PC system. Research on sugar solution shows that yellow light is able to provide the greatest change in the output of sensor system for each variation of solution concentration, and a calibration curve is obtained for further study on cane juice. Research on cane juice shows that there are still differences in the results of sugar content measurement from photodetectors to digitalrefractometers.

Keywords: photodiode, calibration curve, sugar cane juice

Page 9: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

viiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

vii

Technology Components Contribution of Chocolate Processing Industry (Case Study of CV. X)

Ratri Retno Utami1, Zuhrawaty2, dan Tristania Pranasari3

1Balai Besar Industri Hasil Perkebunan,2Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak,

3Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri,

Abstract: Technology is determining factor in the formation of industrial competitiveness. The technological components include technoware, humanware, infoware, and orgaware. The purpose of this study is to calculate the value of the contribution of technology component (TCC) and determine the recommendations for developing technology componentsin the CV. X. The technology component measured using technometric and Analytical Hierarchy Process method to determine CV. X position between its competitors. Based on result, obtained TCC values of 0.3966 (bad to moderate), so that the CV. X needs to make improvements in technology components that have the lowest contribution value. The technology component with the highest contribution value of the technology component is infoware (0.488) so that it becomes a improvement priority at CV. X. Gap analysis, showing that CV. X has a lower TCC value than its competitors, with components that are still lagging behind are technoware and software. The recommendation for improving technology components is to improve all technology components accordance with developmentpriorities.

Keywords: technometric, Analytical Hierarchy Process, cocoa processing industry, gap analysis

The Optimization of CPO-Based Microemulsion as an Antioxidant for Skin

Erga Syafitri1*, Nur Adliani1, Sudewi Mukarromah Khoirunnisa1,Fina Khaerunnisa Frima2

1Program Studi Farmasi, Institut Teknologi Sumatera2Program Studi Kimia, Institut Teknologi Sumatera

Abstract: Crude Palm Oil (CPO) is one of the typical Indonesian plant that has potential effect as an antioxidant preparation. The purpose of this study was to produce microemulsion with CPO content that had good physical characteristics and also showed antioxidant activity. This research was divided into 3 stages i.e. microemulsion formulation, physical characterization and stability, and antioxidant activity evaluation. The microemulsion was formulated using Phase Titration Method with CPO as oil phase, surfactant tween 80, cosurfactant PEG 400 and aquadest. The treatment in this study was the addition of CPO with various concentration of 5%, 7.5%, and 10% (w/w). The optimum formula was A1 which contained 5% (w/w) CPO. The results showed that this formula had a globule size of 288.87 ± 20.94 nm, zeta potential of -0.36 mV, density of 1.024 ± 6.15x10-5 g/mL, and pH in the range of 4.5-6.5. The microemulsion was stable in storage for 28 days at 25ºC, stable against extreme temperature changes and agitation. The CPO-based microemulsion had IC50 value of 10.5 μg/mL which showed strong antioxidant activity. It can be concluded that CPO-based microemulsion had good physical stability and antioxidant activity for further cosmetic preparation.

Keywords: antioxidant, skin, microemulsion, crude palm oil (CPO), PEG 400.

Page 10: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

ixDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Antioxidant Stability and Effectiveness of Antosianin Pigmen from Unfermented Cocoa Flour (Theobroma cacao L) by in vivo Method

Medan Yumas, Justus E. Loppies, Alfrida Lullung S.Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstract : Unfermented cocoa flour are known to contain polyphenol compounds called flavonoid which are anthocyanin dyes which can function as antioxidants and active ingredients. The ability of anthocyanin as an antioxidant and active ingredient is a consideration to be applied to a cosmetic or food product. This research aims to determine the antioxidants stability and effectiveness of anthocyanin pigmen of non-fermented cocoa beans by invivo method. The stages of the study consisted of making non-fermented cocoa powder, extraction of anthocyanin compounds by maceration using ethanol and citric acid, and anthocyanin pigmen testing. The results showed that the best anthocyanin pigment from non-fermented cocoa beans with the at pH 2.89. This anthocyanin pigment has a maximum wave length of 565 nm with the highest anthocyanin was 0.412, has a more stable brownish red color, has an antioxidant effect, not toxicity or irritating to the skin, however, toxicity or irritating to theeye.

Key words: Unfermented cocoa flour, anthocyanin, extraction, antioxidants, in vivo

Characteristic of Fat Content and Fatty Acid Composition of Chocolate Compound Made from Vegetable Oil Oleogel and Cocoa Butter Substitute with Cocoa Butter Oleogator

Dyah Wuri Asriati, Wahyuni, St. Ramlah, Andi Nur Amalia, Eky Yenita RistantiBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstract: This study aims to determine the characteristics of the composition of fatty acids and the constituent ingredients of chocolate bar products made from vegetable oil oleogels and commercial Cocoa Butter Substitute with cocoa butter oleogators. Chocolate compound are made with 10 formulas namely F1-F10, where F1-F8uses oleogel from palm oil or soybean oil instead of cocoa butter, while F9-F10uses commercial Cocoa Butter Substitute (CBS). The formula for making oleogel includes 90% palm oil or soybean oil, 7% and 9% beeswax and 1% and 3% cocoa butter. Fatty acid analysis was performed using the gas chromatography method. The results showed that the highest fat content was obtained in the chocolate paste formula with palm oil oleogel with value of 43.31%, while the lowest was obtained in the cocoa powder formula from the palm oil oleogel with value of 28.80%. While the highest total fatty acid content is found in the formula for chocolate paste and soybean oil oleogel with levels of 93.12%, while the lowest values in the formula for cocoa powder and soybean oil oleogel with levels of 83.77%.

Keywords: oleogel, fatty acids, fat content, chocolate bars, gas chromatography

viii

Page 11: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

xDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

The Effect of Polyphenol Addition to Milk Chocolate Couverture and Analog Characteristics

Dyah Wuri Asriati, Imran Thamrin, Melia Ariyanti, dan ArdiansyahBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

ABSTRACT: The effect of polyphenols addition in milk chocolate couverture and analog has been carried out. This study aims to determine the effect of polyphenols addition to milk couverture chocolate and analog. The research stages consisted of fermented and unfermented cocoa beans roasting, cocoa bean shell addition, grinding, product formulation with polyphenols addition, mixed by conching, tempering for milk chocolate couverture, while it directly moulded and packaged. Parameters analyzed included water and fat content, viscosity, melting point, and ALT. While organoleptic tests included flavour, taste, texture, and product appearance. The results showed that polyphenols addition can increase the value of viscosity (918000-1280000 Cp), increase the melting point of product (30-33oC), total fat (41.88-42.89%), moisture content (1.25-1.52%), ALT (100-240 colonies/g) according to SNI 4458-1998 and preferred by panelists with a score range of 3.30-3.57 (quite like) for milk chocolate couventure with polyphenols addition to enhance the chocolate flavour, taste, texture and appearance.

Keywords: characteristics, milk chocolate, organoleptic, polyphenols

ix

Page 12: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

xiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

KARAKTERISTIK KARET LEMBARAN DENGAN BAHAN PENGISI ARANG AKTIF BAMBU

Popy Marlina1*, Asma Assa2dan Hari Adi Prasetya1

1Baristand Industri Palembang2Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar

Abstrak: Bahan pengisi arang aktif bambu digunakan sebagai alternatif untuk memperbaiki kekerasan dan memperbesar volume karet sehingga mutu karet lembaran menjadi lebih baik. Penelitian ini menggunakan arang aktif bambu yang dapat berfungsi sebagai filler aktif untuk meningkatkan karakteristik karet lembaran. Jumlah arang aktif bambu pada formulasi karet lembaran divariasikan menjadi 6, yaitu 25, 30, 35, 40, 45, 50 gram. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali. Parameter yang diamati meliputi kadar abu, plastisitas awal (Po), Plasticity Resistance Index (PRI), dan viskositas Mooney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan variasi jumlah arang aktif bambu berpengaruh terhadap kadar abu, plastisitas awal (Po), Plasticity Resistance Index (PRI), dan viskositas Mooney. Karakteristik karet lembaran memenuhi syarat mutu Standard Indonesian Rubber (SIR) sesuai SNI 06-1903-2000 dengan karakteristik kadar abu untuk semua perlakuan, Po dan PRI, perlakuan F3 (lateks pekat 945 g dan arang aktif bambu 35 g) hingga F6 (lateks pekat 945 g dan arang aktif bambu 50 g). Viskositas Mooney karet lembaran untuk semua perlakuan memenuhi standar mutu karet SIR komersial, minimal 40.

Kata Kunci: arang aktif bambu, karakteristik, karet lembaran

PERUBAHAN ASAM ASETAT, TOTAL POLIFENOL DAN WARNA BIJI KAKAO ASALAN SELAMA FERMENTASI

Mulono Apriyanto1, Hermiza Mardesci1, dan Rujiah21

Prodi Teknologi Pangan, Universitas Islam Indragiri 2Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan Kabupaten Indragiri Hilir, Riau

Abstrak: Biji kakao asalan adalah biji kakao kering di tingkat petani di Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta sebagian besar dihasilkan tanpa fermentasi. Kelemahan biji kakao kering tersebut yaitu tidak menghasilkan prekursor flavour khas kakao, sehingga upaya memiliki prekursor flavour khas kakao dilakukan melalui proses fermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan asam asetat, total polifenol dan warna biji kakao asalan selama fermentasi. Fermentasi dilakukan dengan tiga cara yaitu: Perlakuan kontrol, perlakuan kedua yaitu penambahan inokulum S.cerevisiae (FNCC3056), L.lactis (FNC0086) dan A.aceti (FNCC0016), masing–masing108cfu/gram yang diberikan serentak pada awal fermentasi. Perlakuan ketiga, pemberian inokulum secara bertahap S.cerevisiae (FNCC3056) pada awal fermentasi, L.lactis (FNC0086) di awal 24 jam kedua dan A.aceti (FNCC0016) di 24 jam ketiga, kemudian seluruh perlakuan difermentasi selama 120 jam. Hasil penelitian menunjukan persentase warna ungu kecoklatan, total polifenol keping biji kakao mengalami penurunan, hasil perlakuan kontrol, penambahan inokulum di awal fermentasi dan penambahan inokulum secara bertahap berturut-turut dari 30,11–5,03%, 30,14–4,98% dan 30,09–3,02% serta total polifenol berturut-turut dari 0,17–0,08; 0,18-0,07 dan 0,17–0,06 meq asam galat/gram. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan asam asetat, total polifenol memberikan akibat perubahan presentase warna coklat lebih banyak terjadi pada perlakuan penambahan inokulum secara bertahap.

Kata kunci: Biji kakao asalan, fermentasi, total polifenol dan, warna

x

Page 13: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

xiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

IDENTIFIKASI PROFIL KUALITAS KOPI SEBAGAI ACUAN PENGEMBANGAN PRODUK SPESIALTI DI KAWASAN MENOREH, KULON PROGO, YOGYAKARTA

Aldicky Faizal Amri, Ervika Rahayu Novita Herawati, Rifa Nurhayati, dan Agus SusantoBalai Penelitian Teknologi Bahan Alam

Abstrak: Pemahaman terhadap karakteristik bahan baku menjadi penting untuk proses pengembangan produk spesialti. Karakteristik dan proses pengolahan suatu biji kopi akan berpengaruh terhadap kualitas dan cita rasa hasil seduhan biji kopinya. Kopi yang tumbuh di wilayah Kulon Progo belum teridentifikasi profil kualitasnya dengan jelas. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi profil kualitas kopi yang tumbuh di wilayah Menoreh, Kulon Progo sehingga dapat dijadikan sebagai acuan pengembangan produk lebih lanjut. Identifikasi dilakukan dengan menguji parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi serta cita rasa kopi yang tumbuh di wilayah Menoreh, Kulon Progo. Pengujian terhadap parameter fisik, kimia dan mikrobiologi dilakukan dengan mengacu pada SNI 1-3542-2004 tentang kopi bubuk. Pengujian cita rasa dilakukan dengan bantuan panelis ahli yang mengacu pada SCAA Cupping Protocol. Berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa kopi Menoreh telah memenuhi persyaratan mutu tingkat I pada SNI 1-3542-2004 dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi kopi specialty yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kata kunci: Kopi Menoreh, Kualitas, Kopi Specialty, Pengembangan Produk

PENGGUNAAN SENSOR FOTODETEKTOR UNTUK PENGUKURAN KANDUNGAN GULA DI DALAM LARUTAN NIRA TEBU

Alex Taufiqurrohman Zain1*, Cahyaning Nur Karimah1, Mochamad Irwan Nari1, dan Anni Nuraisyah2

1Jurusan Teknik Politeknik Negeri Jember 2Jurusan Produksi Pertanian Politeknik Negeri Jember

Abstrak : Tebu merupakan salah satu tanaman penghasil gula. Kualitas gula yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh bahan baku utamanya yaitu nira tebu, sehingga diperlukan pengukuran kandungan nira pada tebu. Pada penelitian ini, dibuat alat ukur kandungan gula pada nira tebu yang terintegrasi dengan sistem PC. Selain nira tebu, digunakan larutan gula sebagai objek penelitian lainnya. Alat ukur yang dibuat memanfaatkan prinsip penjalaran sinar ketika melewati objek penelitian. Sumber sinar yang digunakan adalah RGB bright LED, fiber optic sebagai medium perambatan sinar, fotodioda BPW 34 sebagai fotodetektor, modul Arduino UNO sebagai modul mikrokontroler, dan refraktometer digital untuk mendapatkan data pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat ukur sudah bisa terintegrasi dengan sistem PC. Penelitian pada larutan gula menunjukkan bahwa sinar kuning mampu memberikan perubahan tegangan keluaran sistem sensor yang paling besar setiap variasi konsentrasi larutan, dan didapatkan kurva kalibrasi untuk penelitian pada nira tebu selanjutnya. Penelitian pada nira tebu menunjukkan bahwa masih ada perbedaan hasil pengukuran kandungan gula dari fotodetektor terhadap refraktometerdigital.

Kata kunci: fotodioda, kurva kalibrasi, nira tebu.

xi

Page 14: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

xiiiDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

KONTRIBUSI KOMPONEN TEKNOLOGI INDUSTRI PENGOLAHAN COKELAT (STUDI KASUS CV. X)

Ratri Retno Utami1, Zuhrawaty2, dan Tristania Pranasari3

1Balai Besar Industri Hasil Perkebunan,2Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak,

3Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri,

Abstrak: Teknologi merupakan faktor penentu terbentuknya daya saing industri. Komponen teknologi antara lain technoware, humanware, infoware, dan orgaware. Tujuan penelitian adalah menghitung nilai koefisien kontribusi komponen teknologi (TCC) dan menentukan rekomendasi strategi pengembangan komponen teknologi di CV. X. Komponen teknologi ini diukur menggunakan metode teknometrik dan Analytical Hierarchy Process untuk menentukan posisi suatu industri dibandingkan dengan pesaingnya. Hasil perhitungan TCC diperoleh nilai 0,3966 (buruk hingga sedang), sehingga CV. X perlu melakukan perbaikan pada komponen teknologi yang memiliki nilai kontribusi paling rendah. Komponen teknologi dengan nilai intensitas kontribusi komponen teknologi paling tinggi adalah infoware (0,488) sehingga menjadi prioitas pengembangan di CV. X. Analisis gap, menunjukkan bahwa CV. X mempunyai nilai TCC yang lebih rendah dari kompetitornya, dengan komponen yang masih tertinggal adalah technoware dan orgaware. Rekomendasi strategi perbaikan komponen teknologi adalah memperbaiki semua komponen teknologi sesuai dengan prioritas pengembangan.

Kata kunci: teknometrik, Analytical Hierarchy Process, industri pengolahan cokelat, analisis gap

OPTIMASI FORMULA MIKROEMULSI BERBAHAN DASARCRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI ANTIOKSIDAN POTENSIAL PADA KULIT

Erga Syafitri1*, Nur Adliani1, Sudewi Mukarromah Khoirunnisa1,Fina Khaerunnisa Frima2

1Program Studi Farmasi, Institut Teknologi Sumatera2Program Studi Kimia, Institut Teknologi Sumatera

Abstrak: Minyak Kelapa Sawit Mentah (Crude Palm Oil/CPO) merupakan salah satu tanaman khas Indonesia yang berpotensi sebagai sediaan antioksidan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan sediaan mikroemulsi mengandung CPO yang memiliki karakteristik fisik yang baik serta menunjukkan aktivitas antioksidan. Penelitian ini terbagi menjadi 3 tahap, yaitu formulasi mikroemulsi CPO, karakterisasi fisik dan stabilitas, dan evaluasi aktivitas antioksidan. Mikroemulsi CPO diformulasikan menggunakan metode Phase Titration Method dengan CPO sebagai fase minyak, tween 80 sebagai surfaktan, PEG 400 sebagai kosurfaktan dan aquadest sebagai fase air. Perlakuan pada penelitian ini yaitu penambahan CPO dengan variasi konsentrasi sebesar 5%, 7,5%, dan 10% (b/b). Formula optimum dari penelitian ini adalah formula A1 yang mengandung 5% (b/b) CPO. Hasil evaluasi formula menunjukkan bahwa formula ini memiliki ukuran globul sebesar 288,87 ± 20,94 nm, zeta potensial sebesar -0,36 mV, bobot jenis 1,024 ± 6,15x10-5g/mL dan pH berada pada rentang 4,5-6,5. Formula tersebut stabil dalam penyimpanan selama 28 hari pada suhu ruang (25ºC), stabil terhadap perubahan suhu ekstrim dan agitasi. Sediaan mikroemulsi CPO memiliki nilai IC50 sebesar 10,5 µg/mL yang menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat. Selain itu, mikromeulsi ini memiliki karakterisasi fisik

Kata kunci: antioksidan, kulit, mikroemulsi, minyak kelapa sawit (CPO), PEG 400.

xii

Page 15: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

xivDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

STABILITAS DAN EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN ZAT WARNA ANTOSIANINTEPUNG KAKAO TANPA FERMENTASI (Theobroma cacao L) SECARA IN VIVO

Medan Yumas, Justus E. Loppies, Alfrida Lullung S.Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak : Tepung kakao tanpa fermentasi diketahui mengandung senyawa polifenol golongan flavonoid yaitu zat warna antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan dan bahan aktif. Kemampuan antosianin sebagai antioksidan dan bahan aktif merupakan pertimbangan untuk diaplikasikan pada suatu produk kosmetik atau pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas dan efektivitas antioksidan dari zat warna antosianin tepung kakao tanpa fermentasi secara in vivo.Tahapan penelitian terdiri dari pembuatan tepung kakao tanpa fermentasi, ekstraksi senyawa antosianin secara maserasi menggunakan etanol dan asam sitrat, serta uji zat warna antosianin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zat warna antosianin dari tepung kakao tanpa fermentasi yang terbaik adalah zat warna antosianin dengan pH 2,89. Zat warna antosianin ini memiliki panjang gelombang maksimum 565 nm dengan serapan antosianin tertinggi sebesar 0,412, memiliki warna merah kecoklatan yang lebih stabil, memiliki efek dan aktivitas antioksidan pada kulit dan mata, tidak bersifat toksik atau iritasi pada kulit, namun bersifat toksik atau iritasi pada mata.

Kata kunci: Tepung kakao tanpa fermentasi, antosianin, ekstraksi, antioksidan, in vivo

RAKTERISTIK KANDUNGAN LEMAK DAN ASAM LEMAK COKELAT BATANG YANG TERBUAT DARI OLEOGEL MINYAK NABATI DAN COCOA BUTTER SUBSTITUTE (CBS)

KOMERSIL DENGAN OLEOGATOR LEMAK KAKAO

Dyah Wuri Asriati, Wahyuni, St. Ramlah, Andi Nur Amalia, Eky Yenita RistantiBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik komposisi asam lemak dan bahan penyusun produk cokelat batang yang terbuat dari oleogel minyak nabati dan Cocoa Butter Substitute komersil dengan oleogator lemak kakao. Pembuatan cokelat batang dibuat dengan 10 formula yaitu F1-F10, dimana F1-F8menggunakan oleogel dari minyak sawit atau minyak kedelai sebagai pengganti lemak kakao, sedangkan F9-F10menggunakan Cocoa Butter Substitute (CBS) komersil. Formula pembuatan oleogel meliputi 90% minyak sawit atau minyak kedelai, 7% dan 9% beeswax serta 1% dan 3% lemak kakao. Analisis asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode gas kromatografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan lemak yang paling tinggi didapat pada formula pasta kakao dengan oleogel minyak sawit dengan nilai 43,31%, sedangkan yang terendah didapat pada formula bubuk kakao dari oleogel minyak sawit dengan nilai 28,80%. Kandungan asam lemak total tertinggi terdapat pada formula pasta kakao dan oleogel minyak kedelai dengan kadar 93,12%, sedangkan nilai terendah pada formula bubuk kakao dan oleogel minyak kedelai dengan kadar 83,77%.

Kata Kunci: oleogel, asam lemak, kandungan lemak, cokelat batang, kromatografigas

xiii

Page 16: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

xvDiterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

PENGARUH PENAMBAHAN POLIFENOL TERHADAP KARAKTERISTIKMILK CHOCOLATE COUVERTURE DAN ANALOG

Dyah Wuri Asriati, Imran Thamrin, Melia Ariyanti, dan ArdiansyahBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassar e-mail : [email protected]

ABSTRAK: Telah dilakukan penelitian pengaruh penambahan polifenol pada pembuatan produk milk chocolate couverture dan analog. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan polifenol terhadap karakteristik milk chocolate couverture dan analog. Tahapan penelitian terdiri dari penyangraian biji kakao fermentasi dan tanpa fermentasi, pemisahan kulit ari biji kakao, pemastaan, formulasi produk dengan penambahan polifenol, pencampuran dengan conching, tempering untuk milk chocolate couverture, dan langsung pencetakan dan pengemasan untuk milk chocolate analog. Parameter yang dianalisa meliputi kadar air, kadar lemak, viskositas, titik leleh, dan ALT. Sedangkan uji organoleptik meliputi aroma, rasa, tekstur, dan penampakan produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan polifenol pada produk dapat meningkatkan nilai viskositas (918000-1280000 Cp), menaikkan titik leleh produk (30-33oC), total lemak (41,88-42,89%), kadar air (1,25-1,52%), ALT (100-240 koloni/g) sesuai SNI 4458-1998, dan disukai oleh panelis dengan rentang skor 3,30- 3,57 (cukup suka) untuk produk milk chocolate couventure dan analog dengan penambahan polifenol sebagai penambah aroma, rasa, tekstur, dan penampakan cokelat.

Kata kunci: karakteristik, milk chocolate, organoleptik, polifenol

xiv

Page 17: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

1Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

KARAKTERISTIK KARET LEMBARAN DENGAN BAHAN PENGISI ARANG AKTIF BAMBU

The Characteristics of Rubber Sheet with Activated Bamboo Charcoal Filler

Popy Marlina1*, Asma Assa2dan Hari Adi Prasetya1

1Baristand Industri PalembangJl. Perindustrian II No.9. Sukarami Palembang

2Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No.28Makassar

1*e-mail: [email protected]

Abstract: The activated bamboo charcoal as an alternative to improve the hardness and increase rubber volume that leads to better rubber sheet quality. The study aims to determine the characteristics of rubber sheet with raw latex composite materials and activated bamboo charcoal. The amount of activated bamboo charcoal in rubber sheet formulation was varied in different mass, which was 25, 30, 35, 40, 45, and 50 grams. Each treatment was replicated three times. The parameters were ash content, initial plasticity (Po), Plasticity Resistance Index (PRI) and Mooney viscosity. The results showed that the variations of treatment in the amount of activated bamboo charcoal affected ash content, initial plasticity (Po), Plasticity Resistance Index (PRI) and Mooney viscosity. The characteristics of rubber sheet met the quality of Standard Indonesian Rubber (SIR) requirements according to SNI 06-1903-2000 with ash content characteristics for all treatments, Po and PRI, the treatments of F3 (raw latex of 945 g and activated bamboo charcoal of 35 g) to F6 (raw latex of 945 g and activated bamboo charcoal of 50 g). The mooney viscosity of rubber sheet for all treatments met the quality standard of commercial SIR, minimum 40.

Keywords: activated bamboo charcoal, characteristic, rubber sheet

Abstrak: Bahan pengisi arang aktif bambu digunakan sebagai alternatif untuk memperbaiki kekerasan dan memperbesar volume karet sehingga mutu karet lembaran menjadi lebih baik. Penelitian ini menggunakan arang aktif bambu yang dapat berfungsi sebagai filler aktif untuk meningkatkan karakteristik karet lembaran. Jumlah arang aktif bambu pada formulasi karet lembaran divariasikan menjadi 6, yaitu 25, 30, 35, 40, 45, 50 gram. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali. Parameter yang diamati meliputi kadar abu, plastisitas awal (Po), Plasticity Resistance Index (PRI), dan viskositas Mooney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan variasi jumlah arang aktif bambu berpengaruh terhadap kadar abu, plastisitas awal (Po), Plasticity Resistance Index (PRI), dan viskositas Mooney. Karakteristik karet lembaran memenuhi syarat mutu Standard Indonesian Rubber (SIR) sesuai SNI 06-1903-2000 dengan karakteristik kadar abu untuk semua perlakuan, Po dan PRI, perlakuan F3 (lateks pekat 945 g dan arang aktif bambu 35 g) hingga F6 (lateks pekat 945 g dan arang aktif bambu 50 g). Viskositas Mooney karet lembaran untuk semua perlakuan memenuhi standar mutu karet SIR komersial, minimal 40.

Kata Kunci: arang aktif bambu, karakteristik, karet lembaran

PENDAHULUAN

Lateks merupakan bahan baku karet alam yang diperoleh melalui penyadapan pohon karet (Hevea brasiliensis). Salah satu penggunaan bahan pada industri karet adalah karet alam. Keunggulan karet alam terutama terletak pada sifat elastis dan kemudahan pembentukannya. Kandungan karet alam antara lain garam organik,

fosfolipid,hidrokarbon, karbohidrat, glikolipid, protein, mineral enzim dan berbagai bahan lain (Muis, 2010).

Lateks yang tidak mendapatkan penanganan dengan tepat, mutunya akan menurun selama penyimpanan. Permasalahan pada bokar yang dialami petani karet adalah cepat menggumpalnya lateks setelah disadap. Hal ini sangat

Page 18: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

2Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

mempengaruhi mutu bokar yang dihasilkan karena memiliki bau busuk yang disebabkan oleh bakteri yang merusak antioksidan alami pada bokar dan memicu penurunan nilai plastisitas awal (Po) dan Plasticity Retention Indeks (PRI) pada produk olahan karet selanjutnya. Lateks akan segera menggumpal dalam beberapa jam bila tidak segera dilakukan pengawetan. Penggumpalan lateks secara alami ini dapat dihindari dengan cara pengawetan. Lateks terlebih dahulu dipekatkan sebelum digunakan dalam pembuatan barang jadi karet. Salah satunya dengan cara sentrifugasi (pemusingan) yang bertujuan untuk memisahkan antara dua fraksi, yaitu fase berat berupa lateks skim dan fase ringan berupa lateks pekat. Lateks yang akan dibuat menjadi barang karet terlebih dahulu digumpalkan. Bahan koagulan bokar yang digunakan untuk menggumpalkan lateks adalah asam semut dan asap cair (deorub) yang berfungsi sebagai pemantap dan membentuk koagulum.

Karet alam memiliki kelemahan karakteristik, terutama viskositas Mooney yang selalu berubah-ubah. Faktor- faktor yang mempengaruhi sifat fisik dan dinamis produk karet, kemudahan dalam proses pembuatan dan kualitas produk karet, yaitu karakteristik karet alam seperti plastisitas awal (Po), Plasticity Resistance Index (PRI), viskositas Mooney, kadar kotoran dan kadar abu (Marlina dan Prasetya, 2017). Menurut Vachlepi dan Suwardin (2015), selama proses penyimpanan (storage hardening) karet alam akan terjadi pengerasan, hal ini karena terjadinya reaksi ikatan silang. Terjadinya reaksi ikatan silang dapat diatasi dengan penggunaan bahan pemantap.

Penelitian peningkatan karakteristik mutu karet alam telah banyak dilakukan, diantaranya Vachlepi dan Suwardin (2015) yang menggunakan zat pemantap hidrazin untuk meningkatkan mutu SIR 20; Aguele et al., (2015) dengan penelitian peningkatan mutu karet alam menggunakan metodepengeringan; dan Sirait (2011) yang melakukan penelitian pemanfaatan sari jeruk nipis dan asam format digunakan sebagai

bahan penggumpal untuk meningkatkan mutu vulkanisat karet. Penelitian arang aktif bambu sebagai bahan pengisi karet shock dumper (Marlina et al., 2018), menghasilkan karakteristik shock dumper yang tahan terhadap panas.

Menurut (Krisdianto et al., 2000, Daud dan Ali, 2004), kandungan selulosa tanaman bambu 42,40- 53,60%, merupakan komponen arang aktif. Ketersediaan tanaman bambu banyak dan murah sehingga dapat dijadikan sebagai arang aktif. Menurut (Roslan et al., 2015), sifat mekanik serat bambu, diantaranya memiliki sifat mekanik yang baik, kepadatan rendah dan kekuatan tinggi. Rijali et al., 2015, menyatakan bahwa karbonisasi merupakan proses untuk memperoleh arang aktif bambu dan telah mengalami reaksi dengan bahan kimia untuk menghasilkan karbon bebas dan karbon berpori yang berdaya serap tinggi. Untuk memperoleh permukaan yang lebih halus maka dilakukan aktivasi arang bambu. Struktur pori internal berhubungan dengan luas permukaan arang aktif, sehingga arang aktif mempunyai sifat sebagai absorber yang lebih baik.

Pada penelitian ini akan digunakan arang aktif bambu yang dapat berfungsi sebagai filler aktif untuk meningkatkan karakteristik karet lembaran, dengan tujuan memperbesar volume dan dapat memperbaiki kekerasan karetnya. Penggunaan arang aktif bambu sebagai bahan pengisi dan pemantap dalam proses pengolahan lateks, akan meningkatkan penggunaan karet alam, karakteristik dan stabilitas karet, terutama karet lembaran.

METODOLOGI

Bahan dan AlatPenelitian ini menggunakan bahan-

bahan, meliputi lateks pekat kadar karet kering (KKK) 60%, asam formiat (asam semut) dan arang aktif bambu 400 mesh.

Peralatan yang digunakan terdiri dari mesin mangel karet, open mill, neraca analitis, stopwatch, oven, mixer agitator, Mooney Viscometer dan peralatan gelas.

Page 19: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

3Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 1. Perbandingan Penggunaan Arang Aktif Bambu dan Lateks

No Bahan F1 F2 F3 F4 F5 F61. Lateks pekat (g) 945 945 945 945 945 945

2. Arang aktif bambu (g) 25 30 35 40 45 50

Variabel yang DiamatiVariabel penelitian ini meliputi plastisitas

awal (Po), Plasticity Resistance Index (PRI), viskositas Mooney (VM), dan kadar abu. Pengujian dilakukan sesuai dengan SNI 06-1903-2000. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah seperti Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan Pembuatan Karet Sheet dari Lateks Pekat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar AbuKadar abu menunjukkan persentase

kandungan bahan lain nonkaret terutama senyawa anorganik yang terdapat pada karet alam. Hasil pengujian kadar abu karet lembaran tertinggi diperoleh pada perlakuan F6 (berat arang aktif bambu 50 gram), yaitu 0,75% dan kadar abu karet lembaran terendah diperoleh pada perlakuan F3 (berat arang aktif bambu 35 gram), yaitu 0,58%. Kadar abu karet lembaran hasil pengujian pada Gambar 2.

Metode Penelitian

Rancangan PenelitianRancangan dengan faktor perlakuan

perbandingan modifikasi lateks dan arang aktif bambu. Perbandingan penggunaan arang aktif bambu dengan lateks ditunjukkan pada Tabel 1.

Prosedur PercobaanPencampuran lateks pekat dengan

arang aktif bambu sesuai formula dan diaduk, kemudian ditambahkan asam formiat sampai pH 4,5 sambil terus diaduk menggunakan mixer agitator. Setelah homogen dan membentuk koagulum, pengadukan dihentikan dan ditambahkan air sebanyak 250 ml dan dilakukan pemeraman selama 24 jam.

Sampel karet yang telah dilakukan pemeraman, digiling menggunakan mesin mangel dan dikeringkan dalam oven, selama 3 jam, suhu 105oC. Sampel karet yang telah dikeringkan digiling menggunakan open mill.

Hasil yang diperoleh akan mengacu spesifikasi mutu karer alam berdasarkan SNI 06-1903-2000 (Tabel 2).

Tabel 2. Spesifikasi Mutu Karet Alam Berdasarkan SNI 06-1903-2000 (BSN, 2000)

PersyaratanNo. Karakteristik

SIR 10 SIR 201. Kadar abu (%) Maks. 0,75 Maks. 12. PRI Min. 60 Min. 50

3. Po Min. 30 Min.30

4. Viskositas Mooney

- -

Karakteristik Karet Lembaran ... (Popy)

Page 20: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

4Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Gambar 2. Kadar Abu Karet Lembaran

Berdasarkan Gambar 2, semakin besar jumlah arang aktif yang ditambahkan dalam pengolahan karet lembaran, semakin besar kadar abu yang terkandung dalam karet. Arang aktif bambu dapat meningkatkan nilai kadar abu, meskipun peningkatan antar perlakuan tidak terlalu signifikan.

Penambahan bahan pengisi ke dalam karet merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kadar abu koagulum lateks dalam pembuatan slab (Asni dan Novalinda, 2012). Arang aktif bambu terdiri dari atom karbon bebas yang porinya bersih dari senyawa lain, memiliki permukaan dan pusat aktif luas, serta kemampuan adsorbsinya meningkat (Cao et al., 2011). Hal ini menyebabkan pengotor yang terkandung dalam arang aktif relatif tidak ada sehingga hasil pengujian kadar abu karet lembaran yang ditambahkan bahan pengisi arang aktif bambu menghasilkan nilai yang rendah. Sesuai dengan pendapat George dan Jacob (2010), total konsentrasi senyawa atau ion anorganik di dalam lateks segar yang dihitung sebagai abu kurang lebih 0,50%. Selain itu, bahan baku karet lembaran berupa lateks pekat masih mengandung beberapa kontaminan. Kadar abu berhubungan dengan kandungan mineral pada suatu bahan. Abu yang terkandung dalam karet mentah terdiri dari oksida logam, dan garam anorganik seperti karbonat, fosfat,sulfat,kalium,magnesium, kalsium, dan beberapa unsur lain (Handayani, 2014).

Kadar abu karet lembaran pada semua perlakuan (0,58-0,75%) memenuhi persyaratan jenis mutu karet SIR 10 (Tabel

1) yang mensyaratkan kadar abu maksimal 0,75%.

PlastisitasNilai plastisitas awal (Po) dan

Plasticity Resistance Index (PRI) merupakan parameter dasar untuk menentukan mutu karet lembaran (Ahmadi et al., 2015). Plastisitas awal (Po) merupakan pengujian terhadap karet yang belum diusangkan yang menggambarkan kekuatan karet. Semakin tinggi nilai plastisitas awal maka semakin kecil energi yang diperlukan dalam proses pembuatan kompon karet (Sirait, 2011). Hasil pengujian diperoleh nilai Po terendah pada perlakuan F1, yaitu 26 dan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan F5, yaitu 40. Hasil pengujian Po karet lembaran disajikan pada Gambar 3.

0.8 0.75

0.7

0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0.61 0.64 0.63

0.5 0.52

F1 F2 F3 F4 F5 F6

Formula

kada

r abu

(%)

45 40 40

38 34 35

35

30

25

20

15

10

29 26

F1 F2 F3

Formula

F4 F5 F6

Plas

tisita

s aw

al (P

o)

Gambar 3. Plastisitas Awal Karet Lembaran

Gambar 3 menunjukkan semakin besar jumlah arang aktif bambu yang ditambahkan, semakin besar nilai Po dan mencapai nilai tertinggi pada perlakuan F5. Peningkatan nilai Po menunjukkan proses maturasi lebih ke arah ikatan silang rantai karet yang panjang (Zhong et al., 2009). Rantai molekul karet alam yang tahan terhadap oksidasi memiliki plastisitas awal yang tinggi dan polanyasama seperti PRI, dimana gugus aktif hidroksil (OH) yang terdapat pada permukaan arang aktif bambu akan berikatan dengan molekul karet menghasilkan karakteristik karet lembaran yang lebih baik.

Selain itu, klon karet yang terdiri dari mikrogel dan makrogel, mempengaruhi nilai Po (Refrizon, 2003). Storage hardening merupakan gel yang terbentuk secara spontan akibat adanya ikatan silang dalam

Page 21: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

5Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

karet mentah. Karet yang memiliki gugus aldehida abnormal yang menyebabkan ikatan silang tersebut terbentuk secara alami. Ikatan silang terbentuk saat lateks masih terdapat dalam pohon (intra particle crosslinks) yang disebut dengan mikrogel. Makrogel terbentuk dari ikatan silang dalam keseluruhan struktur karet selama pengeringan dan penyimpanan, antara gugus aldehida dan gugus aldehida yang terkondensasi (Vachlepi dan Suwardin, 2015).

Interaksi komposit karet lembaran dan arang aktif bambu menghasilkan perlakuan terbaik Po pada perlakuan F3 hingga F6 dengan nilai Po sebesar 34-40. Perlakuan tersebut dipilih berdasarkan nilai Po berdasarkan SNI SIR 06.1903-2000 mutu SIR 10 dan SIR 20 (Nilai Po minimal 30).

Ketahanan karet mentah terhadap degradasi oleh oksidasi pada suhu tinggi dapat diketahui melalui nilai PRI karet mentah. Tinggi rendahnya nilai PRI dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang digunakan dan proses pengolahan karet. Semakin tinggi nilai PRI berarti ketahanan karet mentah terhadap degradasi akan semakin tinggi, yang berarti karet menjadi semakin keras. Lama penyimpanan mempengaruhi nilai PRI. Kondisi lingkungan (suhu, pH, dan oksigen dalam udara) selama penyimpanan. Kondisi tersebut karena adanya perubahan keseimbangan antara senyawa antioksidan (protein, asam amino, tocotrieniols) dan pro-oksidan (asam lemak bebas tak jenuh dan ion logam bebas) dalam karet alam (Intapun et al., 2009). Hasil pengujian PRI karet lembaran dapat dilihat pada Gambar4.

Berdasarkan Gambar 4, perlakuan F5 menunjukkan nilai PRI karet lembaran tertinggi, yaitu 72 dan nilai terendah diperoleh pada perlakuan F1, yaitu 40. Ketahanan karet lembaran terhadap degradasi oksidasi dan ozon, menunjukkan nilai PRI yang tinggi. Ini berarti bahwa bahan tersebut dapat mempertahankan sifat-sifat baiknya selama beberapa waktu sehingga meningkatkan kualitas untuk produk karet berikutnya (Aguele et al., 2015).

Arang aktif bambu mengandung gugus aktif hidroksil memberikan efek perlindungan antioksidan terhadap karet. Ikatan silang baru terbentuk karena adanya kemampuan gugus hidroksil (OH) berinteraksi dengan molekul karet. Ikatan silang tersebut mempunyai ketahanan oksidasi yang lebih baik (Komethi et al., 2012).

Oksidasi karet alam dapat dicegah dengan adanya senyawa antioksidan. Ketahanan oksidasi karet alam pada suhu tinggi dapat diketahui melalui pengujian PRI karet alam. (Vachlepi dan Suwardin, 2015). Selain itu, PRI juga sebagai petunjuk atau deteksi awal untuk melihat kerusakan karet sperti lunak atau lengket, akibat cuaca atau kondisi lingkungan (Marlina dan Prasetya, 2017). Hasil analisis PRI terbaik diperoleh pada perlakuan F3 hingga F6, yaitu kisaran nilai sebesar 52 hingga 72. Perlakuan tersebut memenuhi mutu SIR 10 dan SIR 20 yang dipersyaratkan SNI 06-1903-2000 (Tabel 2).

Viskositas MooneyPengujian viskositas Mooney

merupakan salah satu prosedur paling umum yang dilakukan dalam industri karet (Malac, 2009). Viskositas Mooney terutama mengukur karakteristik pengolahan seperti rheology dari kompon karet (Eighwaikidhe et al., 2013). Viskositas M o o n e y menggambarkan panjang rantai molekul karet alam. Parameter mutu ini memegang peranan penting dalam proses pencampuran ketika pembuatan kompon, baik untuk tingkat dispersi bahan-bahan kimia kompon di dalam karet maupun energi yang diperlukan untuk

80

70

60

72 65

69

52

50

40

30

20

10

45 40

F1 F2 F3

Formula

F4 F5 F6

Plas

tisci

ty R

eten

tion

inde

x (P

RI)

Gambar 4. Plastiscity Retention Index (PRI) Karet Lembaran

Karakteristik Karet Lembaran ... (Popy)

Page 22: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

6Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

penggilingan di mesin pencampur. Dengan demikian, kemampuan partikel karet dalam proses pembuatan kompon dapat dilihat dari nilai Viskositas Mooney karakteristik karet alam (Zheleva, 2013). Hasil pengujian viscositas Mooney disajikan pada Gambar 5.

lembaran, meliputi kadar abu, indeks ketahanan plastisitas (PRI), plastisitas awal (Po), dan viskositas Mooney. Kadar abu untuk semua perlakuan dengan kisaran nilai 0,58%-0,75%, memenuhi standar kualitas SIR sesuai SNI 06-1903-2000, sedangkan untuk perlakuan F3 hingga F6 dengan nilai Po 34-40 dan PRI dengannilai 52-72.

Viskositas Mooney karet lembaran semua perlakuan berkisar antara 50 hingga 77, sesuai dengan standar mutu viskositas mooney SIR komersial.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Bapak Budi Wijaya (PT. Felda Indo Rubber) yang telah memberikan bantuan pengadaan lateks dan informasi teknis sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadi, S. S., A. Cifriadi, dan Hidayah, M.H. 2015. Redistilat Asap Cair dari Cangkang Kelapa Sawit dan Aplikasinya sebagai KoagulanLateks. J. Penelitian Karet. 33 (2): 183-192.

2. Aguele, F. A., Idiaghe, J. A., dan Apugo-Nwosu, T. U. 2015. A Study of Quality Improvement of Natural Rubber Products by DryingMethods. J. Materials Sci. Chem. Eng. 3 (11): 7- 12.

3. Asni, N. dan Novalinda, D. 2012. Improvement of Rubber Product Quality and Elimination of Smell Through the Use of Deorub Liquid Smoke as Latex Coagulant. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian. p.99-108.

4. BSN. 2000. Standard Indonesian Rubber. SNI 06.1903-2000, Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

5. Cao, Q., Xie, K. C., Lu, Y. K., danBao, W. R. 2011. Process Effect an Activated Carbon with Spesific Surface Area from Corn Cob. China: Key Laboratory for Coal Science and Technology of Shanxi Province and Ministry of Education Taiyuan University of Technology. p. 110–115.

90

80

70

60

50

40

30

68 72

77 70

56 50

F1 F2 F3 F4 F5 F6

Formula

Visc

osita

s Moo

ney

(VM

)

Gambar 5. Viskositas Mooney Karet Lembaran

Hasil pengujian viskositas Mooney menunjukkan perlakuan F1 terendah, yaitu 50 dan tertinggi perlakuan F5, yaitu 77. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan gugus OH pada permukaan arang aktif bambu berinteraksi dengan molekul karet menghasilkan viskositas yang lebih tinggi. Arang yang ditambahkan dalam proses penggumpalan lateks, menyebabkan karet memiliki ketahanan terhadap gesekan. Peningkatan nilai viskositas mooney karet lembaran dipengaruhi banyaknya reaksi ikatan yang terjadi dengan meningkatnya rapat ikatan silang rantai molekul karet.(Refrizon, 2003; Liu and Hui, 2019).

Semua perlakuan berdasarkan Gambar 5, menunjukkan nilai viskositas Mooney karet lembaran antara 50 hingga 77. Viskositas mooney pada standar mutu SIR, SNI 06-1903-2000 tidak dipersyaratkan (Tabel 1). Nilai viskositas Mooney komersial yang ditetapkan pada pabrik-pabrik SIR adalah minimal 40 sehingga nilai viskositas Mooney karet lembaran untuk semua perlakuan memenuhi standar mutu viskositas Mooney komersial.

SIMPULAN

Arang aktif bambu sebagai bahan pengisi pada proses pengolahan lateks pekat mempengaruhi karakteristik karet

Page 23: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

7Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

6. Daud, W. M. A., dan Ali, W. S. W. 2004. Comparison of Pore Development of Activated Carbon Produced from Palm Shell and Coconut Shell. Bioresource Tech. 93: 63-69.

7. Egwaikhide, A. P, Okieimen, F. E, and Lawal. U. 2013. Rheological and Mechanical Properties of Natural Rubber Compounds Filled with Carbonized Palm Kernel Huskand Carbon Black (N330). Sci. J. Chem. 1 (5): 0-55

8. George, P. J. dan Jacob, C. K. 2010. Natural Rubber: Agromanagement and Cropprocessing. India: Rubber Research Institute of India.p.249-254.

9. Handayani, H. 2014. Pengaruh Berbagai Jenis Penggumpal Padat Terhadap Mutu Koagulum dan Vulkanisat Karet Alam. J. Penelitian Karet, 32: 74-80.

10. Intapun, J., Saint-Beuve, J., Bonfils, F., Tanrattanakul, V., Dubreuqe, E., dan Vaysse, L. 2009. Characteristics of Natural Rubber Cup Coagula Maturation Conditions and Consequences on Dry Rubber Properties. J. Rubber Res., 12 (4): 171-184.

11. Komethi, M., Othman, N., Ismail, dan Sasidharan, S. 2012. Comparative Study on Natural Antioxidant as an Aging Retardant for Natural Rubber Vulcanizates. J. Applied Polymer Sci. 124:14901-500.

12. Krisdianto, G. Sumarni, dan A. Ismanto. 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Departemen Kehutanan. Jakarta.

13. Liu, Q., dan Hui, L. 2019. Influence of Processing Technology on Mooney Viscosity and Burning Time of Mixed Rubber. Res. Appl. of Mater. Sci. 1(1): 24-27.

14. Malac, J. 2009. Viscosity, Relaxation and Stability of Natural Rubber. The Open Macromolecules J.p.41-44.

15. Marlina, P dan Prasetya, H.A. 2017. Karakteristik Karet lembaran dengan Bahan Baku Komposit Modifikasi Pati- Lateks. J. Dinamika Penelitian Industri. 28 (2): 112-119.

16. Marlina, P., Sugiyono, B., dan Prasetya, H.A. 2018. Ketahanan Usang Karet Peredam Goncangan Kendaraan Bermotor Roda Empat dengan Bahan Pengisi Arang Aktif Bambu. Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-7 Yogyakarta, 29 Agustus 2018. pp.128-137

17. Muis, Y. 2010. Pengaruh Penggumpal Asam Asetat, Asam Formiat, dan Berat Arang Tempurung Kelapa Terhadap Mutu Karet. Sains Kimia, 11 (1):21-24.

18. Refrizon/ 2003. Viskositas Mooney Karet Alam. Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.

19. Rijali, A., Usman, M., dan Zulkarnain. 2015. Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Bambu Betung dengan Aktivasi Menggunakan Activating Agent H2O. Jurnal FMIPA, 2(1):102-107.

20. Roslan, S. A. H., Rasid, Z. A., dan Hassan, M. Z. 2015. The Natural Fiber Composites Based on Bamboo Fibers: A Review. J. Eng. Appl. Sci., 10(15): 6279-6288.

21. Sirait, M. 2011. Pengaruh Campuran Sari Jeruk Nipis dan Asam Format sebagai Bahan Penggumpal Lateks terhadap Sifat Vulkanisasi Karet. J. Penelitian Saintika, 11(1): 36 -44.

22. Vachlepi, A. dan Suwardin, D. 2015. Karakteristik Mutu Karet Alam SIR 20CV Menggunakan Bahan Pemantap Hidrazine pada Suhu Penyimpanan 60°C. J. Dinamika Penelitian Industri. 26(2):85-93.

23. Zheleva, D. 2013. An Attempt for Correlation Between Mooney Viscosity and Rheological Properties of Filled Rubber Compounds. J. Chem. Technol. Mettalurgy. 38(3):241-246.

24. Zhong, J. P., Cheng-Peng, L., Si- Dong, L., LingXue, K., Lei, Y., Shuang- Quan, L., dan XiaoDong, S. 2009. Study on The Properties of Natural Rubber During Maturation. J. Polymr. Mater. 26(3):351-36.

Karakteristik Karet Lembaran ... (Popy)

Page 24: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

8Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

PENDAHULUAN

Sebanyak 93% kakao Indonesia dihasilkan oleh petani yang membudidaya- kan biji kakao hanya dengan mencuci dan mengeringkan matahari tanpa melalui proses fermentasi, sementara 7% dihasilkan

PERUBAHAN ASAM ASETAT, TOTAL POLIFENOL DAN WARNA BIJI KAKAO ASALAN SELAMA FERMENTASI

Change of Acetic Acid, Total Polifenol and Color of Coconut Origin During Fermentation

Mulono Apriyanto1, Hermiza Mardesci1, dan Rujiah21Prodi Teknologi Pangan, Universitas Islam Indragiri Jl. Propinsi parit 1 Tembilahan, INHIlRiau

2Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan Kabupaten Indragiri Hilir, Riaue-mail:[email protected]

Abstract: Asalan cocoa beans are dried cocoa beans at the level of farmer in Samigaluh, Kulon Progo Regency, Yogyakarta, mostly produced without fermentation. The study aims to determine changes in acetic acid, total polyphenols and colour cocoa beans during fermentation. Fermentation is done in three methods; The control treatment, the second treatment was the addition of S.cerevisiae (FNCC3056), L.lactis (FNC0086) and A.aceti (FNCC0016) inoculum, respectively 108cfu/gram given simultaneously at the beginning of fermentation. The third treatment of inoculum addition gradually then all treatments were fermented for 120 hours. The results showed the percentage of brownish purple color, the total polyphenols of cocoa beans decreased, the results of control treatments, the addition of inoculum at the beginning of fermentation and the addition of inoculums gradually from 30.11 to 5.03%, 30.14-4.98% and 30.09-3.02% and the total polyphenols respectively from 0.17-0.08, 0.18-0.07 and 0.17-0.06 meq gallic acid/gram. This study can be concluded that there was a change in acetic acid, the total polyphenols caused by changes in the percentage of brown color occurred more in the treatment of inoculum additiongradually.

Keywords: Asalan cocoa beans, fermentation, total polyphenols, and colour

Abstrak: Biji kakao asalan adalah biji kakao kering di tingkat petani di Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta sebagian besar dihasilkan tanpa fermentasi. Kelemahan biji kakao kering tersebut yaitu tidak menghasilkan prekursor flavour khas kakao, sehingga upaya memiliki prekursor flavour khas kakao dilakukan melalui proses fermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan asam asetat, total polifenol dan warna biji kakao asalan selama fermentasi. Fermentasi dilakukan dengan tiga cara yaitu: Perlakuan kontrol, perlakuan kedua yaitu penambahan inokulum S.cerevisiae (FNCC3056), L.lactis (FNC0086) dan A.aceti (FNCC0016), masing–masing108cfu/gram yang diberikan serentak pada awal fermentasi. Perlakuan ketiga, pemberian inokulum secara bertahap S.cerevisiae (FNCC3056) pada awal fermentasi, L.lactis (FNC0086) di awal 24 jam kedua dan A.aceti (FNCC0016) di 24 jam ketiga, kemudian seluruh perlakuan difermentasi selama 120 jam. Hasil penelitian menunjukan persentase warna ungu kecoklatan, total polifenol keping biji kakao mengalami penurunan, hasil perlakuan kontrol, penambahan inokulum di awal fermentasi dan penambahan inokulum secara bertahap berturut-turut dari 30,11–5,03%, 30,14–4,98% dan 30,09–3,02% serta total polifenol berturut-turut dari 0,17–0,08; 0,18-0,07 dan 0,17–0,06 meq asam galat/gram. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan asam asetat, total polifenol memberikan akibat perubahan presentase warna coklat lebih banyak terjadi pada perlakuan penambahan inokulum secara bertahap.

Kata kunci: Biji kakao asalan, fermentasi, total polifenol dan, warna

oleh sektor swasta atau perkebunan nasional dengan proses fermentasi (Apriyanto dan Rujiah, 2017).

Kakao fermentasi pada dasarnya adalah proses reformasi gula dan asam sitrat dalam pulp menjadi asam organik yang dilakukan oleh fermentasi mikroba (Camu et

Page 25: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

9Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

kemudian biji tanpa dicuci, selanjutnya biji dikeringkan dalam lemari pengering dengan suhu40

°C sampai kadar air hingga 15%. 100 gram kakao kering direndam dalam air 60 mL kemudian difermentasi selama 5 hari (120 jam) secara spontan pada suhu kamar dan diamati perubahan yang terjadi terhadap asam asetat, total polifenol dan warna biji kakao asalan selama fermentasi.

Persiapan Sampel AmpasPulp dipisahkan dari biji dengan

memasukan biji segar kedalam kantong kemudian kantung berisi biji diremas remas sampai pulp terlepas dari biji.

Biji Kakao Fermentasi Terfermentasi Sejumlah biji kakao dijemur sinar

matahari, kemudian sebanyak 100 gram/gelas jar biji kakao kering difermentasi Biji kakao direndam air dalam botol kaca dengan volume air 60 mL selama 1 jam, kemudian difermentasi pada suhu kamar selama 5 hari.

Metode Desain Fermentasi Apriyanto et al (2016a) dengan sedikit modifikasi

Teknik pertama, biji kakao rehidrasi yang dipilih dari Tahap I difermentasi secara spontan (tanpa inokulum) sebagai perlakuan kontrol.Teknik fermentasi kedua adalah penambahan inokulum ragi S. cerevisiae (FNCC 3056), L. lactis (FNC 0086) dan A. aceti (FNCC0016) secara bersamaan pada awal 24 jam pertama. Perlakuan fermentasi ini selanjutnya disebut penambahan inokulum mikroba secara bersamaan (IA).Teknik fermentasi ketiga mirip dengan yang kedua, tetapi penambahan inokulum secara bertahap, menambahkan inokulum ragi pada awal 24 jam pertama, BAL pada awal 24 jam kedua, BAA pada awal 24 jamketiga.

Perlakuan ketiga ini selanjutnya disebut inokulasi mikroba bertahap (IB). Sebuah teknik ll fermentasi menggunakan waktu fermentasi total 120 jam (5x24 jam) dengan pengaturan suhu 35°± 0,1 °C pada awal 24 jam pertama, 45°±0,1°C pada awal kedua 24 jam, 55°± 0,1oC pada awal

al., 2008). Asam organik akan menginduksi reaksi enzimatik yang ada di dalam biji, menyebabkan perubahan biokimia yang akan membentuk senyawa yang memberi rasa, rasa, dan warna dari biji kakao (Afoakwa et al., 2014). Proses ini dilakukan oleh biji berarti kakao dalam wadah tertutup selama 5-7 hari disertai pembalikan setiap 2 hari. Tanpa melalui proses fermentasi biji kakao akan terasa pahit, astringent, dan akan tidak memiliki aroma khas cokelat ketika diproses (Apriyanto dan Rujiah,2017).

Pulp biji kakao telah kehilangan sebagian besar kandungan air. Kandungan air mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam pulp sehingga terjadi reaksi enzimatik dalam biji dan (Pasau, 2013). Air akan menyatukan enzim ke substrat yang ada di dalam biji sehingga hidrolisis dan oksidasi dari kandidat senyawa rasa, warna, dan aroma cocoa dapat terjadi. Kandungan air yang dibutuhkan dalam fermentasi kakao lebih dari 35%. Substrat adalah bahan yang diangkut oleh mikroba selama fermentasi. Substrat dalam fermentasi biji kakao adalah gula dan asam sitrat yang terkandung dalam ampas. Proses fermentasi para pelaku fermentasi mikroba akan merombak pulp menjadi asam organik. Asam akan berdifusi ke dalam biji dan menginduksi reaksi enzimatik untuk membentuk senyawa dari kandidat aroma, aroma dan warna (Afoakwa et al., 2014). Berdasarkan hal di atas, perlu sekali mengembalikan kadar air biji kakao sebelum fermentasi.

Penelitian fermentasi biji kakao kering menggunakan non-fermentasi dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan, Universitas Islam Indragiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan asam asetat, total polifenol dan warna biji kakao asalan selama fermentasi.

METODOLOGI

Pembuatan Biji KakaoBiji kakao digunakan diambil dari buah

kakao matang, yang merupakan buah yang kuning atau oranye, ketika digerakkan akan menimbulkan bunyi. Buah kakao dibelah

Perubahan Asam Asetat ... (Mulono)

Page 26: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

10Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

24 jam dan 35°+ 0,1 °C pada awal 48 jam terakhir.

Total PolifenolPenentuan total polifenol mengacu

metode Folin-Ciocalteu dengan cara kerja sebagai berikut: 1 ml ekstrak dipipet dan dimasukan dalam labu takar 10 ml, selanjutnya diencerkan aquades sampai volume tepat 10 mL. Ekstrak polifenol kemudian direaksikan dengan 0,5 ml reagen Folin-Ciocalteu (1 bagian sampel:1 bagian air) dan dibiarkan selama 2-3 menit. Setelah 2-3 menit sampel ditambah 1 mL natrium karbonat 15% (15 gram natrium karbonat dilarutkan dengan aquades sampai volume tepat 100 mL), agar warna menjadi stabil pembentukan warna. Pembentukan warna biru pada sampel berlangsung sedikitnya sekitarnya 2 jam. Sampel kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan spektro foto meter pada panjang gelombang 760 nm.

Total polifenol dinyatakan dalam mg asam galat ekuivalen/gram sampel, dan dihitung berdasarkan persamaan kurva standar larutan asam galat dengan kisaran konsentrasi 1-100 mg/L (ppm).

Analisis Warna Biji (Cut Test)Tes ini dilakukan dengan mengamati

perubahan warna visual dan subjektif.

Ambil sampel 50 item biji kakao kering dari fermentasi (random sampling). Biji kakao dipotong secara longitudinal dengan pisau pemotong dan biji belah yang diamati satu per satu untuk menentukan kondisi biji kakao seperti biji kakao, biji kecoklatan ungu dan biji-biji licin. Informasi tentang karakteristik benih uji warna dari potongan biji adalah:

1. Biji kakao yang tidak difermentasikan disebut biji-biji licin yang ditunjukkan oleh setengah atau lebih dari permu-kaan irisan biji keabu-abuan seperti batu tulis atau biru keabu- abuan dan memiliki tekstur padat dan padat.

2. Di bawah biji yang difermentasi adalah biji yang tidak difermentasi dan menunjukkan ¾ atau lebih banyak permukaan irisan biji ungu yang memiliki tekstur padat dan padat.

3. Biji fermentasi adalah biji kakao yang memiliki semua keping coklat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total polifenol biji kakao turun pada seluruh perlakuan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Hasil menunjukkan bahwa warna gradasi biji kakao asalan selama fermentasi semua perlakuan yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Statistik Perubahan Warna Keping Biji

Parameter Perlakuan kontrol IA IB

Warna keping biji (%) :Slaty (kehitaman) 40,15 ± 0,20b 22,19 ± 0,56a 17,78 ± 0,15aUngu kecoklatan 25,49 ± 0,43a 20,25 ± 0,86a 17,70 ± 0,83aCoklat 34,36 ± 0,15a 57,56 ± 0,80a 64,52 ± 0,39a

Keterangan: Huruf berbeda di belakang angka pada baris sama menunjukan beda

nyata p<0,05. Hasil rata-rata 2 ulangan dengan 3 ulangan analisis

Page 27: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

11Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Gambar 1. Hubungan kosentrasi asam asetat terhadap perubahan total polifenol biji kakao hasil perlakuan kontrol, penambahan inokulum secara serentak dan secara bertahap

secara simultan dan bertahap berturut- turut yaitu 25.49, 20.25, dan 17.70%. Persentase potongan coklat kecoklatan dari biji kakao kering pada awal perlakuan kontrol, IA dan IB masing- masing adalah 30,11, 30,13, dan 30,09%. Persentase kontrol ungu kecoklatan, IA dan IB menunjukkan penurunan berturut-turut yaitu 5,03, 4,98, dan 3,02% pada akhir fermentasi sejalan dengan penelitian Apriyanto et al (2016b), Apriyanto et al., (2016c) dan Ganda et al.,(2008).

Warna coklat dari biji kakao diperlakukan dengan kontrol, penambahan inokulum secara bersamaan dan bertahap menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara 0,05. Potongan biji berwarna coklat rata-rata dikontrol, penambahan inokulum secara bersamaan dan bertahap adalah 34,36, 57,56, dan 64,52% masing-masing. Persentase potongan biji cokelat dikontrol, penambahan inokulum secara simultan dan bertahap pada awal fermentasi adalah 5,02, 5,02, dan 5,01% masing-masing menunjukkan peningkatan pada akhir fermentasi, 70,01, 95,03, dan 97,01%. Kegagalan untuk mencapai suhu kematian

Gradasi Warna Biji KakaoHasil analisis statistik dengan

ANOVA satu arah menunjukkan bahwa ada pengaruh penambahan inokulum untuk perubahan warna dari biji kakao. Tabel 1 terlihat hasil analisis statistik ANOVA satu arah menunjukkan bahwa variasi dalam teknik fermentasi memiliki efek pada perubahan warna potongan coklat kering. Persentase warna coklat biji kakao kering antara perlakuan kontrol dan penambahan inokulum secara simultan menunjukkan perbedaan yang signifikan. Rata-rata warna slaty dari biji kakao kering dalam kontrol, IA dan pengobatan IB adalah 40,15, 22,19, dan 17,78% masing- masing. Persentase warna slaty dari perlakuan kontrol, IA dan biji kakao IB menunjukkan bahwa dari 65% menjadi 20,53, 0, dan 0% masing-masing pada 120 jam fermentasi sejalan dengan penelitian Apriyanto et al. (2016b), Apriyanto et al. (2016c) dan Owusu (2010).

Warna kecoklatan-ungu dari potongan biji kako kering antara perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05). Warna coklat kecoklatan rata-rata biji kakao dikontrol, penambahan inokulum

Perubahan Asam Asetat ... (Mulono)

Page 28: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

12Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

biji menyebabkan ketidakefektifan enzim endogen sehingga perubahan warna biji-bijian menjadi coklat tidak terjadi. Sejalan dengan penelitian Apriyanto et al. (2016a),

Apriyanto et al (2016b), Apriyanto et al., ( 2016c) dan Moreira et all (2013). Perubahan warna biji kakao selama fermentasi tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Persentase Perubahan Warna Ke-ping Biji Kakao Selama Fermentasi Hasil Perlakuan Kontrol, IA Dan IB. Awal (0)–24 Jam Fermentasi Suhu Inkubator 35°C, 24–48 jam fermentasi suhu inkubator 45°C, 48–72 jam fermentasi suhu inkubator 55°C dan 72–120 jam fermentasi suhu inkubator 35°C.

Dalam perlakuan bertahap S. cerevisiae untuk merombak gula dalam pulp lebih banyak sehingga produksi etanol lebih banyak dan pada waktu yang tepat etanol diubah menjadi asam asetat oleh A. acetic dimana reaksi reformasi etanol menjadi asam asetat juga menghasilkan panas yang menyebabkan suhu fermentasi meningkat. Penambahan inokulum secara bersamaan menghasilkan suhu kematian biji tidak tercapai, dapat diprediksi bahwa persaingan antara S. cereviceae dan L. lactis terjadi. Sejalan dengan penelitian Apriyanto, et al.,(2016a), Apriyanto et al (2016b), Apriyanto et al., (2016c) dan Pasau, (2013).

Selain itu, antosianin sebagai hasil hidrolisis polifenol dapat mengubah warna benih menjadi ungu, sedangkan jika oksidasi senyawa tannin oleh enzim polifenoloksidase menghasilkan pembentukan warna coklat pada biji sejalan dengan penelitian Widianto et al.,(2013).

Total Polifenol dari Biji Kakao Selama Fermentasi

Hubungan antara konsentrasi asam asetat terhadap perubahan polifenol selama fermentasi disajikan pada Gambar 1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi asam asetat berkebalikan dengan penurunan polifenol. Asam asetat adalah asam organik yang berdifusi ke dalam potongan biji yang mengakibatkan aktivasi polifenol enzim oksidase yang mengoksidasi polifenol. Pada 72 jam fermentasi, total polifenol perlakuan, IA dan IB masing-masing adalah 0,102, 0,099, dan 0,092 mg asam galat/g, dengan konsentrasi asam asetat masing-masing, 3,46, 3,53,dan

3,32%. Pada 108 jam fermentasi, konsentrasi asam asetat dalam kontrol, IA dan IB menunjukkan konsentrasi tertinggi masing-masing 5,94, 6,31,dan 6,83%.

Pada jam ke 108 total polifenol dalam perlakuan kontrol, penambahan inokulum

Page 29: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

13Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

secara serentak dan secara bertahap menunjukkan nilai terendah berturut-turut yaitu 0,074, 0,073, dan 0,066 (mg asam galat/g). Penurunan total polifenol dan peningkatan konsentrasi asam asetat yang dihasilkan sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh Kustyawati dan Setyani (2012) dan Apriyanto et al., (2017), yang telah mempelajari penambahan S. cerevisiae,

L. lactis dan A. aceti inokulum mikroba untuk fermentasi varietas segar biji kakao segar. Penurunan total polifenol selama fermentasi dapat dianggap disebabkan oleh oksidasi aktivitas enzimatik dan non-enzimatik setelah kematian biji sejalan dengan penelitian Camu et al., (2008), Campos et al., (2012) dan Campos et al., (2011). Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil yang diperoleh oleh Misnawi et al., (2002) yang mempelajari aktivitas enzim dalam biji kakao kering pada pembentukan prekursor (Jinap et al. 1994 ).

SIMPULAN

Kualitas biji kakao yang difermentasi dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi yang terkontrol. Perlakuan penambahan inokulum secara bertahap selama fermentasi dapat meningkatkan suhu fermentasi (51 °C), persentase jumlah potongan biji coklat (97,01%), konsentrasi asam asetat (6,83%), dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan penambahan inokulum secara bersamaan. Pengobatan penambahan inokulum secara bertahap dapat mengurangi kandunganpolifenol.

DAFTAR PUSTAKA

1. Apriyanto Mulono, 2016a, Changes in Chemical Properties of Dreid Cocoa (Theobroma cacao) Beans during Fermentation,. Intl. J. Food. Ferment. 5(1):11-16.

2. Apriyanto Mulono, Sutardi, Eni Harmayani dan Supriyanto, 2016b. Study on effect of fermentation to the quality parameter of cocoa bean in Indonesia, Asian J. Dairy & Food Res., 35 (2) :160-163.

3. Apriyanto M, Sutardi, Eni Harmayani dan Supriyanto, 2016c, Perbaikan Proses Fermentasi Biji Kakao Non Fermentasi dengan Penambahan Biakan Murni Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus lactis, dan Acetobacter aceti, AGRITECH, Vol. 36, No. 4, hal410-415.

4. Apriyanto Mulono dan Rujiah. 2017. Penurunan total polifenol, etanol, asam laktat, asam asetat, dan asam amino selama fermentasi biji kakao asalan dengan penambahan inokulum. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia Vol. 5, No. 1 hal1-8

5. Apriyanto Mulono, Sutardi, Supriyanto, Eni Harmayani, Fermentasi Biji Kakao Kering menggunakan Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus lactis, dan Acetobacter aceti, AGRITECH, Vol 37. No 3. hal 302 -311

6. Afoakwa, E. O., Budu, A. S., Mensahbrown, H., dan Felix, J. 2014. Changes in Biochemical and Physico- chemical Qualities during Drying of Pulp Preconditioned and Fermented Cocoa (Theobroma cacao) Beans. Internasional Food Research Journal. Afoakwa, Emmanuel Ohene., Kongor, J.E., Takrama, J. Badudu, A. S. (2013). Changes in nib acidification and biochemical composition during fermentation of pulp pre-conditioned cocoa (Theobroma cacao) beans. Internasional Food Research Journal, 20(4), 1843–1853.

7. Campos, R. J., Escalona-Buendia, H.B, Avila, O.I., Cervantes, L.E dan Jamramillo-Flores, M.E. 2011. Dynamic of Volatile and Non Volatile compound in cocoa (theobroma cacao L) during Fermentation and Drying Proses Using Principal Component Alaysis. Food Research International. 44:250-258

8. Campos, R. J., Escalona-Buendía, H. B., Ramos.E.H.B., Avila, C.S.M,, Flores, O.I. J.E., dan Cervantes, L.E. 2012. Effect of fermentation time and drying temperature on volatile compounds in

Perubahan Asam Asetat ... (Mulono)

Page 30: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

14Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

cocoa. Food Chemistry, 132(1):277–288.

9. Camu, NicholasCamu, N., Winter, T. De, Addo, S. K., Takrama, J. S., Bernaert, H., & Vuyst, L. De. 2008. Fermentation of cocoabeans : influence ofmicrobial

10. Ganda Putra, G.P., Harjiono, Susanto, T., Kumalaningsih, S., dan Aulanni’am. 2008. Optimasi kondisi depolimerisasi pulp biji kakao oleh enzim poligalakturonase endojinus. Jurnal Teknik Industri. 9(1):l24-34

11. Jinap, S., Thien, J dan Yap, T.N., 1994. Effect of Drying on Acidity and Volatile Fatty Acids Content of Cocoa Benas. Journal of The Science of Food and Agriculture.65:67-75

12. Kustyawati, ME dan Setyani, S. 2012. Pengaruh penambahan inokulum campuran terhadap perubahan kimia dan mikrobiologi selama fermentasi coklat, 13(2), 73–84

13. Owusu, 2010. Influence of Raw Material and Processig on Aromain Chocolate, Ph.D. Thesis. Faculty of Life Science, University of Cophenhagen. Denmark

14. Misnawi., Jinap, S., Nazamid, S.,

dan Jamilah, B., 2002. Activation of remaining key enzymes in dried under- fermented cocoa beans and its effect on aroma precursor formation. Food Chemistry. 78(4):407–417. Available at :ht tp: / / l ink inghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0308814602001206

15. Moreira, I. M. D. V., Miguel, M. G. D. C. P., Duarte, W. F., Dias, D. R., dan Schwan, R. F. 2013. Microbial succession and the dynamics of metabolites and sugars during the fermentation of three different cocoa (Theobroma cacao L.) hybrids. Food Research International, 54 (1), 9–17.http://doi.org/10.1016/j.foodres.2013.06.001.

16. Pasau, C. 2013. Efektivitas penggunaan asam asetat pada pemeraman biji kakao segar analog fermentasi.E-J.Agrotekbis,1(2):113-120

17. Widianto, D., Pramita, A. D., dan Wedhastri, S., 2013. Perbaikan proses fermentasi biji kakao kering dengan penambahan tetes tebu, khamir, dan bakteri asam, Jurnal Tekno sains. 3(1):1-80.

Page 31: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

15Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

IDENTIFIKASI PROFIL KUALITAS KOPI SEBAGAI ACUAN PENGEMBANGAN PRODUK SPESIALTI DI KAWASAN MENOREH, KULON PROGO, YOGYAKARTACoffee Quality Profile Identification as Product Development Guideline in Menoreh,

Kulon-Progo, Yogyakarta

Aldicky Faizal Amri, Ervika Rahayu Novita Herawati, Rifa Nurhayati, dan Agus SusantoBalai Penelitian Teknologi Bahan Alam

Jalan. Jogja - Wonosari Km. 31.5, Yogyakarta, Indonesiae-mail:[email protected]

Abstract: An understanding the characteristics of raw materials is important for the product development process. The characteristics and methods of processing of a coffee bean will affect its final quality and the taste of its brewed coffee. In Kulon-Progo Region, the coffee quality profile has not been identified clearly. Therefore, this research was conducted to identify the quality profile of coffee that grows in the Menoreh, Kulon Progo region so that it can be used as a guideline for further product development. Identification is carried out by testing the physical, chemical, and microbiological parameters and the taste of coffee grown in the Menoreh region, Kulon Progo. Physical, chemical and microbiological parameters testing is done by referring to SNI 1-3542-2004 concerning coffee powder. Taste testing is carried out with the help of expert panelists who refer to the SCAA Cupping Protocol. Based on this research results, the quality of Menoreh coffee has met the level I quality requirements of SNI 1-3542-2004 and has the potential to be developed into specialty coffee originating from the Special Region of Yogyakarta.

Keywords: Menoreh Coffee, Quality, Specialty Coffee, Product Development

Abstrak: Pemahaman terhadap karakteristik bahan baku menjadi penting untuk proses pengembangan produk spesialti. Karakteristik dan proses pengolahan suatu biji kopi akan berpengaruh terhadap kualitas dan cita rasa hasil seduhan biji kopinya. Kopi yang tumbuh di wilayah Kulon Progo belum teridentifikasi profil kualitasnya dengan jelas. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi profil kualitas kopi yang tumbuh di wilayah Menoreh, Kulon Progo sehingga dapat dijadikan sebagai acuan pengembangan produk lebih lanjut. Identifikasi dilakukan dengan menguji parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi serta cita rasa kopi yang tumbuh di wilayah Menoreh, Kulon Progo. Pengujian terhadap parameter fisik, kimia dan mikrobiologi dilakukan dengan mengacu pada SNI 1-3542-2004 tentang kopi bubuk. Pengujian cita rasa dilakukan dengan bantuan panelis ahli yang mengacu pada SCAA Cupping Protocol. Berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa kopi Menoreh telah memenuhi persyaratan mutu tingkat I pada SNI 1-3542-2004 dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi kopi specialty yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kata kunci: Kopi Menoreh, Kualitas, Kopi Specialty, Pengembangan Produk

PENDAHULUAN

Minuman dari biji kopi adalah salah satu produk yang paling populer dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Secara komersil, jenis kopi yang paling banyak dikonsumsi adalah jenis kopi arabika (Coffea arabica) dan kopi robusta (Coffea canephora). Menurut Herrera dan Lambot (2017), sebanyak 67% spesies kopi di dunia dapat beradaptasi dan hidup pada ketinggian

di bawah 1000 mdpl. Keberagaman jenis kopi menjadikannya suatu produk dengan kekayaan rasa yang unik. Karakter kualitas biji kopi berasal dari sifat genetik turunan khususnya karakter ukuran biji dan standar minuman yang diwakili oleh cita rasa, tingkat keasaman, dan body (Herrera dan Lambot, 2017). Kualitas cita rasa kopi bisa dipengaruhi oleh jenis biji, daerah tumbuh, dan proses budidayanya (Lambot et al., 2017). Selain itu, proses pengolahan pasca

Page 32: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

16Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

rendahnya mutu biji kopi yang dihasilkan. Pada aspek produksi, terbatasnya fasilitas produksi pengolahan kopi beserta penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) yang rendah berimplikasi pada mutu produk yang dihasilkan rendah. Pada aspek pemasaran, rendahnya kemampuan berinovasi dan adopsi teknologi untuk melakukan diversifikasi produk kopi olahan menjadi proses pengembangan produk olahan kopi yang berdaya saing unggul terhambat (Sudjarmoko, 2013).

Sebagai solusi untuk permasalahan tersebut, potensi pengembangan komoditas kopi hasil rakyat harus dieksplorasi dengan memahami karakteristik jenis kopi yang digunakan sebagai bahan baku utamanya. Pemahaman tentang karakteristik jenis kopi diperlukan agar keunggulan kompetitif komoditas kopi dapat termanfaatkan (Aklimawati et al., 2014). Potensi tersebut menjadi penting untuk dieksplorasi karena permintaan produk kopi olahan cenderung mengalami kenaikan setiap tahun (Kustiari, 2007). Langkah pengembangan produk yang bermutu tinggi seperti specialty coffee juga diperlukan agar komoditas kopi Indonesia dapat tetap bersaing di pasar internasional (Hutabarat, 2004). Selain itu, aspek kualitas dari kopi Menoreh menjadi kekuatan yang potensial untuk diinformasikan sebagai “brand image” dalam proses promosi produk komoditas kopi (Sitanggang, 2013). Oleh karena itu, keunikan suatu jenis kopi perlu ditetapkan dalam standar agar proses pengendalian kualitas mutunya dapat direncanakan dengan tepat.

Salah satu jenis kopi yang dibudidayakan di Indonesia adalah kopi yang tumbuh di wilayah bukit Menoreh, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah penghasil utama komoditas kopi di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Kecamatan Girimulyo dan Samigaluh yang terletak di wilayah perbukitan Menoreh. Kopi yang dihasilkan di wilayah tersebut diberi nama kopi Menoreh. Presentase hasil produksi kopi Menoreh

panen kopi dapat mengoptimalkan kualitas intrinsik suatu biji kopi(Sanz-

Uribe et al., 2017). Aspek geografis, genetik, serta pengolahan berpadu dalam menciptakan karakteristik kualitas suatu bijikopi.

Pada pasar komoditas hasil pertanian, Indonesia adalah negara pengekspor komoditas hasil pertanian nomor delapan dengan sumbangsih 2,4% dari total ekspor komoditas hasil pertanian seluruh dunia pada tahun 2016. Berdasarkan data tersebut, Indonesia menjadi negara pengekspor komoditas hasil pertanian terbesar di kawasan Asia Tenggara (FAO, 2018). Pada komoditas kopi, saat ini Indonesia adalah penghasil biji kopi beras (green bean) terbesar keempat dibawah Brazil, Vietnam dan Kolombia dengan total produksi pada tahun 2017 sebesar 668.677 ton (FAO, 2019).

Akan tetapi dari sisi nilai ekspornya, Indonesia hanya berada pada peringkat 13 dunia dengan nilai 817,8 juta dolar AS. Indonesia bahkan tertinggal dari negara–negara seperti Honduras, Ethiopia, serta negara- negara dari Eropa yang memiliki angka total produksi biji kopi per tahun lebih rendah (Workman, 2019). Hal ini menandakan bahwa ekspor hasil komoditas kopi masih bernilai rendah di pasar dunia.

Salah satu sebab rendahnya nilai ekspor hasil komoditas kopi Indonesia adalah mutu dan tampilan produk kopi baik kopi biji dan kopi olahan yang rendah sehingga kalah bersaing dengan produk–produk dari negara lain (Kustiari, 2007).

Selain itu, komoditas kopi juga menghadapi permasalahan pada aspek ketidakstabilan pasar, kurangnya perhatian dari pemerintah terkait kebijakan pengembangan, produktivitas yang rendah baik dari sisi mutu dan kuantitas serta perubahan iklim (Sarirahayu, 2018).

Masalah yang dihadapi pada komoditas kopi Indonesia juga bersifat multi lini pada aspek bahan baku, produksi hingga pemasaran. Pada aspek bahan baku, rendahnya penanganan panen dan pasca panen oleh petani berimplikasi pada

Page 33: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

17Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

di kecamatan Girimulyo dan Samigaluh pada tahun 2017 mencapai 84,29% dari total produksi di Kabupaten Kulon Progo (BPS, 2018). Kopi Menoreh tumbuh pada ketinggian 537 – 920 mdpl. Menurut (BPS, 2018), profil topografi dan iklim tempat tumbuhnya kopi Menoreh memiliki rata– rata curah hujan di Kabupaten Kulon Progo mencapai 248 mm/bulan dengan rata – rata jumlah hari hujan per bulan sebanyak 15 hari. Varian kopi yang tumbuh di Menoreh adalah varian jenis Arabika dan Robusta. Produk olahan yang dihasilkan dari varian jenis kopi Arabika dan Robusta dari kawasan bukit Menoreh adalah kopi bubuk. Tahapan proses pengolahannya dibagi menjadi 2 bagian yaitu proses pengolahan hulu dan proses pengolahan hilir. Proses pengolahan hulu adalah proses pengolahan yang bertujuan untuk menghasilkan biji kopi beras (green bean) (Yusianto dan Widyotomo, 2018). Proses pengolahan hulu dapat dibedakan menjadi 3 kategori umum, yaitu proses kering, proses basah dan semiwash (Yusianto dan Widyotomo, 2018). Biji kopi robusta dan arabika di Menoreh diolah dengan menggunakan proses semiwash. Setelah diperoleh green bean hasil proses semiwash, maka proses pengolahan hilir dilakukan.

Proses pengolahan hilir adalah proses pengolahan biji kopi beras (green bean) menjadi kopi bubuk siap seduh (Firmanto et al., 2018). Tahapan yang paling krusial pada proses pengolahan hilir adalah proses penyangraian (roasting). Proses ini dianggap paling krusial karena proses ini digunakan sebagai langkah pembentukan cita rasa kopi seduhan yang berdasarkan pada tingkat penyangraiannya (Schenker dan Rothgeb, 2017). Perbedaan tingkat penyangraian dapat berakibat pada penentuan metode seduh serta cita rasa seduhan kopi yang dihasilkan. Menurut Firmanto et al., (2018),tingkat sangrai yang umum dituju pada komoditas kopi di Indonesia adalah medium to dark. Tingkat sangrai medium to dark dapat dicapai dengan melakukan proses penyangraian pada tingkat suhu 2050C – 2250C. Tingkat

sangrai tersebut diperoleh dengan cara menghentikan proses penyangraian pada waktu antara akhir bunyi letupan (crack) biji kopi pertama dengan crack kedua (Firmanto et al., 2018). Dalam proses pengolahan hilir yang telah dilakukan oleh produsen kopi Menoreh di Kulon Progo sudah dihasilkan kopi dengan tingkat sangrai medium to dark. Kopi bubuk siap seduh dihasilkan dari proses penghalusan biji kopi sangrai dengan menggunakan mesin penggiling (grinder). Mesin yang digunakan oleh pihak kelompok tani produsen kopi Menoreh adalah mesin grinder yang diberi saringan sebesar 1 mm. Melalui proses penggilingan tersebut maka diperoleh kopi bubuk dengan ukuran medium. Kopi bubuk tersebut akan langsung dikemas untuk bisadiperdagangkan.

Selain untuk meningkatkan nilai tambah produk, proses pengolahan hilir kopi juga perlu dikendalikan agar kualitas produk akhirnya dapat terjamin dengan baik. Hingga saat ini, informasi mengenai kualitas kopi Menoreh, Kulon Progo, belum dapat didefinisikan dengan jelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kualitas dan cita rasa kopi Menoreh sehingga dapat diperoleh definisi jelas mengenai karakter kopi Menoreh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam mencapai tujuan tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi terhadap kualitas kopi Menoreh berdasarkan parameter kimia, fisik, mikrobiologi dan cita rasanya. Berdasarkan identifikasi tersebut maka dapat disusun profil cita rasa kopi Menoreh sehingga proses pengendalian kualitas mutunya dapat direncanakan dengan tepat serta saran untuk pengembangan produk olahan yang berasal dari biji kopi Menoreh menjadi lebih fokus.

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini dilakukan pengujian untuk parameter fisik, kimia, mikrobiologi dan cita rasa pada biji kopi yang berasal dari Bukit Menoreh, Kulon Progo. Sebagai tambahan, data – data pendukung diperoleh melalui sumber sekunder dan observasi

Identifikasi Profil Kualitas Kopi ... (Aldicky)

Page 34: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

18Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

pada Kelompok Tani Madigondo yang menjadi mitra pada penelitian ini. Data pendukung yang diperlukan adalah profil wilayah pertumbuhan tanaman kopi, dan profil proses produksi olahan kopi yang dilakukan oleh mitra penelitian. Sampel biji dan kopi bubuk Menoreh diperoleh dari kelompok tani Madigondo, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel biji dan kopi bubuk

diambil secara acak sebanyak 500 gram untuk tiap varian kopi robusta Menoreh dan arabika Menoreh. Kedua varian biji kopi Menoreh tersebut telah diolah dengan menggunakan proses semiwash.

Tahapan pengolahan hulu biji kopi dengan proses semiwash tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses pengolahan hulu kopi

Pengemasan kopi

beras (green bean)

Sortasi kopi beras (green bean) dengan menggunakan grader

Penggilingan kopi gabah kering dengan

huller

Pengeringan kopi gabah hingga

mencapai kadar air 11

- 12%

Pengupasan kopi gelondong dengan

pulper

Sortasi buah kopi dengan perambangan

Sortasi buah kopi hasil panen secara manual

Menoreh dengan semiwash

Green bean kopi Menoreh yang telah diperoleh dari proses semiwash akan dijadikan bubuk dengan menggunakan proses pengolahan hilir yang dapat dilihat

tahapannya pada Gambar 2. Green bean tersebut juga digunakan sebagai sampel untuk pengujian cita rasa.

Gambar 2. Proses pengolahan hilir kopi Menoreh

Penyangraian green bean

Penggilingan kopi sangrai

Pengemasan kopi bubuk

Kopi bubuk hasil proses pengolahan hilir green bean kopi Menoreh digunakan sebagai sampel untuk diuji parameter fisik, kimia, dan mikrobiologinya. Pengujian untuk parameter fisik, kimia dan mikrobiologi dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 1- 3542-2004

untuk kopi bubuk (BSN, 2004). Pengujian itu dilakukan di Balai Besar Industri Agro, Bogor. Jumlah sampel yang diujikan adalah 500 gram kopi bubuk untuk masing–masing varian arabika dan robusta. Tingkat pemenuhan kualitas produk terhadap persyaratan mutu pada standar kualitasnya

Page 35: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

19Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

diperoleh dengan melakukan perbandingan antara nilai hasil uji parameter dengan nilai persyaratan mutu parameternya. Pengujian parameter berdasarkan suatu standar kualitas skala nasional pada suatu produk diperlukan untuk mengetahui tingkat kesesuaian kualitas suatu produk terhadap persyaratan mutu yang telah ditetapkan pada standar kualitasnya. Kualitas produk yang memenuhi persyaratan mutu pada standar kualitasnya menandakan bahwa produk tersebut memiliki nilai tambah dibandingkan dengan produk yang tidak memenuhi persyaratan mutunya (BSN,2013).

Pengujian cita rasa dilakukan dengan menggunakan bantuan panelis ahli dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember untuk mengetahui komponen cita rasa utamanya. Sampel yang digunakan dalam pengujian ini adalah biji kopi arabika dan robusta Menoreh. Pengujian cita rasa ini mengikuti kaidah Specialty Coffee Association of America (SCAA) Cupping Protocol yang telah dianggap secara skala global sebagai metode penilaian cita rasa suatu minuman kopi (Lingle dan Menon, 2017). SCAA Cupping Protocol merupakan standar pengujiancitarasayangtelahdisusun

untuk menilai kualitas atribut kopi secara objektif dan sebisa mungkin disesuaikan dengan kemampuan panca indera manusia (Lingle dan Menon, 2017). Berdasarkan standar pengujian tersebut, maka terdapat 10 atribut kualitas yang harus dinilai dari setiap jenis kopi yang diujikan. Pada varian kopi arabika 10 atribut

kualitas tersebut adalah (1) fragrance/aroma; (2)flavor; (3) aftertaste; (4) acidity; (5) body; (6) uniformity; (7) balance; (8) cleancup; (9) sweetness; dan (10) overall. Pada varian kopi robusta 10 attribut kualitas tersebut adalah (1)fragrance/aroma; (2) flavor; (3) aftertaste; (4) bitter/sweet aspect ratio; (5) mouthfeel/body; (6) balance; (7) salt/acid aspect ratio; (8) uniform cups; (9) clean cups; dan (10) overall. Pengujian cita rasa dilakukan oleh panelis ahli dengan memberikan penilaian terhadap masing–masing atribut kualitas kopi. Rentang penilaian untuk tiap atribut kualitas adalah 1-10 dimana nilai total untuk pengujian cita rasa adalah hasil dari penambahan nilai masing–masing atribut kualitasnya. Sampel dikirimkan dalam bentuk biji kopi beras (green bean). Jumlah sampel yang diujikan adalah 500 gram untuk masing–masing varian arabika danrobusta.

Melalui hasil pengujian tersebut maka akan diperoleh profil kualitas Kopi Menoreh yang didasarkan pada kesesuain kualitas kopi Menoreh dengan persyaratan mutu dalam standar kualitas skala nasional yang berlaku beserta komponen cita rasa utama yang teridentifikasi berdasarkan panelis ahli.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengujian fisik, kimia dan mikrobiologi terhadap kopi bubuk arabika dan robusta Menoreh yang telah dilakukan maka diperoleh hasil pada tabel 1 dan tabel 2.

Identifikasi Profil Kualitas Kopi ... (Aldicky)

Page 36: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

20Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 1. Hasil uji kopi bubuk Arabika Menoreh, Kulon Progo

Parameter Satuan Persyaratan I Persyaratan II Hasil Uji

Sari kopi % 20 – 36 maks. 60 23Kealkalian abu ml N

NaOH/100 gram

57 – 64 min. 35 61,9

Cemaran Logam

Timbal (Pb) mg/kg maks. 2,0 maks. 2,0 < 0,034

Tembaga (Cu) mg/kg maks. 30,0 maks. 30,0 11,5

Seng (Zn) mg/kg maks. 40,0 maks. 40,0 4,56

Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03 maks. 0,03 < 0,005

Arsen (As) mg/kg maks. 1,0 maks. 1,0 < 0,013Cemaran MikrobaAngka Lempeng Total 30C, 72jam

koloni/gram maks. 10^6 maks. 10^6 1,1 x 10^2

Kapang koloni/gram maks. 10^4 maks. 10^4 1,3 x 10^2

Tabel 2. Hasil uji kopi bubuk Robusta Menoreh, KulonProgo

Parameter Satuan Persyaratan I Persyaratan II Hasil Uji

Sari kopi % 20 – 36 maks. 60 25,3Kealkalian abu ml N NaOH/100

gram57 – 64 min. 35 60,3

Cemaran Logam

Timbal (Pb) mg/kg maks. 2,0 maks. 2,0 < 0,034

Tembaga (Cu) mg/kg maks. 30,0 maks. 30,0 19,6

Seng (Zn) mg/kg maks. 40,0 maks. 40,0 5,28

Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03 maks. 0,03 < 0,005

Arsen (As) mg/kg maks. 1,0 maks. 1,0 < 0,013

Cemaran Mikroba

Angka Lempeng Total 30C, 72jam

koloni/gram maks. 10^6 maks. 10^6 7,3 x 10^2

Kapang koloni/gram maks. 10^4 maks. 10^4 1,8 x 10^2

Parameter yang digunakan dalam syarat mutu kopi bubuk adalah sari kopi dan kealkalian abu. Parameter tersebut dijadikan sebagai syarat mutu pada kopi bubuk karena menunjukkan jumlah zat terlarut dalam air selama proses penyeduhan dan tingkat kandungan mineral pada suatu kopi. Mutu

kopi yang baik akan lebih bersih sehingga kandungan mineralnya tinggi yang berakibat pada kadar abu yang dihasilkan juga akan semakin tinggi (Edvan et al., 2016). Hasil uji parameter sari kopi beserta kealkalian abu dari kopi arabika Menoreh dan kopi robusta Menoreh adalah 23; 61,9 dan 25,3; 60,3.

Page 37: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

21Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Berdasarkan hasil uji tersebut, menunjukkan bahwa kadar sari kopi arabika Menoreh lebih rendah dibandingkan dengan kadar sari kopi robusta Menoreh. Dari perbandingan itu juga dapat dinyatakan bahwa kadar jumlah zat terlarut dari kopi arabika Menoreh lebih rendah dibandingkan dengan kopi robusta Menoreh. Hal tersebut sudah sesuai dengan pernyataan Suwarmini, (2017) bahwa kadar sari kopi arabika bernilai lebih rendah dibandingkan dengan kadar sari kopi robusta. Hasil uji sari kopi pada kopi arabika dan robusta Menoreh juga telah memenuhi persyaratan mutu I dari SNI 1-3542-2004. Kealkalian abu adalah suatu ukuran untuk menyatakan keberadaan kombinasi kation dan asam organik pada suatu bahan. (Sancho et al., 1992, Heidger, 2015). Pada hasil uji parameter kealkalian abu, nilai kealkalian abu kopi arabika Menoreh lebih tinggi dibandingkan kopi robusta Menoreh. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa mutu kopi arabika Menoreh lebih baik daripada mutu kopi robusta Menoreh karena kopi arabika Menoreh memiliki tingkat kandungan kombinasi kation dengan asam organik yang lebih tinggi dibandingkan kopi robusta Menoreh. Hasil uji kealkalian abu pada kopi arabika dan robusta Menoreh juga telah memenuhi persyaratan mutu I dari SNI 1-3542- 2004. Berdasarkan hasil uji parameter fisik pada kedua varian kopi Menoreh, maka kopi arabika dan robusta Menoreh dinyatakan memenuhi persyaratan mutu tingkat I pada SNI 1- 3542-2004.

Cemaran logam berat terhadap produk dijadikan sebagai parameter syarat mutu kopi bubuk. Pengujian terhadap cemaran logam berat diperlukan sebagai upaya meningkatkan keamanan produk pangan (BSN, 2009). Hal ini dikarenakan logam berat yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui produk pangan tidak dapat diurai oleh tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan jika terakumulasi hingga mencapai jumlah tertentu (Efanny, 2018). Salah satu mekanisme kontaminasi logam berat pada produk pangan adalah melalui peralatan produksi yang digunakan.

Menurut Pragita et al., (2017), penggunaan alat produksi yang tidak menggunakan bahan food grade dapat berpengaruh terhadap jumlah kandungan cemaran logam berat pada produk tempe sehingga melebihi dari persyaratan mutu yang telah ditetapkan. Mekanisme kontaminasi logam juga dapat terjadi pada proses pengolahan hilir kopi Menoreh. Hal itu dapat disebabkan oleh kontak langsung antara permukaan bahan baku (green bean) dengan permukaan alat proses produksi kopi bubuk seperti roaster, grinder dan sealer yang berbahan dasar logam. Cemaran logam berat pada bahan pangan juga dapat diakibatkan oleh kondisi geologi tanah dimana tanaman dibudidayakan dan kondisi air yang digunakan dalam proses penyiraman tanaman (Widaningrum, 2007). Cemaran logam berat yang diujikan pada kopi bubuk Menoreh adalah Timbal (Pb), Tembaga (Cu), Seng (Zn), Raksa (Hg), dan Arsen (As). Hasil uji yang diperoleh pada kopi bubuk dari varian arabika Menoreh terhadap cemaran logam Pb, Cu, Zn, Hg, dan As secara berurutan adalah < 0,034; 11,5; 4,56; < 0,005 dan < 0,013.

Hasil uji yang diperoleh pada kopi bubuk dari varian robusta Menoreh terhadap cemaran logam Pb, Cu, Zn, Hg, dan As secara berurutan adalah < 0,034; 19,6; 5,28; < 0,005 dan < 0,013.

Berdasarkan hasil uji parameter cemaran logam berat pada kedua varian kopi Menoreh, maka kopi arabika dan robusta Menoreh dinyatakan memenuhi persyaratan mutu tingkat I pada SNI1-3542-2004.

Cemaran mikroba terhadap produk dijadikan parameter syarat mutu kopi bubuk. Hal ini dikarenakan pengujian cemaran mikroba merupakan bagian dari sistem manajemen mutu dan keamanan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan keyakinan terhadap keamanan suatu produk pangan (Martoyo et al., 2014). Sama halnya pada bubuk coklat, kopi bubuk yang digunakan sebagai bahan baku utama dalam produk minuman kopi memerlukan pengujian cemaran mikroba sebagai langkah validasi

Identifikasi Profil Kualitas Kopi ... (Aldicky)

Page 38: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

22Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

keamanan produknya (Ariyanti dan Suprapti, 2016). Paramater tersebut dinyatakan dengan menghitung nilai Angka Lempeng Total (ALT) pada suhu 300C dalam rentang waktu 72 jam dan jumlah Kapang. Hasil uji nilai ALT dan jumlah kapang pada varian kopi arabika Menoreh adalah 1,1 x 10^2 dan 1,3 x 10^2. Hasil uji nilai ALT dan jumlah kapang pada varian kopi robusta Menoreh adalah 7,3 x 10^2 dan 1,8 x 10^2. Berdasarkan hasil uji parameter cemaran mikrobia pada kedua varian kopi Menoreh, maka kopi Menoreh dinyatakan memenuhi persyaratan mutu tingkat I pada SNI1-3542-2004.

Berdasarkan hasil uji yang ditampilkan pada tabel 1 dan 2, kualitas kopi bubuk arabika dan robusta Menoreh sudah memenuhi persyaratan SNI 1-3542-2004. Hal ini dibuktikan dengan nilai dari seluruh parameter mutu kopi bubuk arabika dan robusta Menoreh yang telah memenuhi persyaratan I pada SNI 1-3542-2004.

Nilai parameter yang telah memenuhi syarat 1 menandakan bahwa proses pengolahan kopi bubuk yang telah dilakukan oleh Kelompok Tani Madigondo, Kulon

Progo memenuhi standar mutu kopi bubuk tingkat nasional.

Pengujian cita rasa dilakukan oleh panelis ahli yang mengacu pada SCAA Cupping Protocol telah dilakukan. Hasil uji cita rasa tersebut juga dilengkapi oleh catatan dari panelis ahli yang ditunjukkan dengan kata–kata yang terdapat pada Specialty Coffee Association (SCA) Coffee Taster’s Flavor Wheel. SCA Coffee Taster’s Flavour Wheel adalah sebuah alat bantu untuk menguji cita rasa kopi dan berguna sebagai sumber informasi yang akurat untuk menggambarkan cita rasa kopi. SCA Coffee Taster’s Flavour Wheel telah dikembangkan oleh kolaborasi antara SCA dan World Coffee Research (WCR) sejak 1995 (SCA, 2019). Kata – kata yang terdapat di dalam SCA Coffee Taster’s Flavour Wheel digunakan untuk memahami dan memberikan tanda pada cita rasa khas dari kopi yang terdeteksi secara sensoris oleh para panelis ahli (WCR, 2017). Hasil dari pengujian cita rasa kopi Menoreh dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut:

Mouthfeel/

Body

Uniformity

Bitter/Swe

et

Uniform

Cups Body Balance

Salt/Acid Balance Acidity Clean cup

Aftertaste Clean Cups Aftertaste Sweetness

Overall Flavor Overall Flavor

Fragrance/

aroma

Fragrance/

aroma

Sensogram Robusta

Menoreh

Sensogram Arabica

Menoreh

Gambar 3. Sensogram kopi arabika dan robusta Menoreh

Berdasarkan uji cita rasa yang dilakukan, maka dapat dibuat sensogram yang digambarkan dengan diagram laba – laba. Sensogram tersebut ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil uji cita rasa yang dilakukan, arabika Menoreh memperoleh nilai total sebesar 85,00 dimana nilai tertinggi terdapat pada atribut

kualitas : (1) uniformity; (2) clean cup; dan (3) sweetness. Catatan dari panelis ahli terhadap cita rasa kopi arabika Menoreh adalah terdeteksinya cita rasa flowery, coffee blossom, vanilla dan bright acidity. Pada varian kopi robusta Menoreh, diperoleh nilai total sebesar 83,25 dimana nilai tertinggi terdapat pada atribut kualitas:

Page 39: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

23Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

(1) uniform cups; dan (2) clean cups. Catatan dari panelis ahli terhadap cita rasa kopi robusta Menoreh adalah terdeteksinya cita rasa chocolaty, vanilla dan daun pandan.

Melalui pengujian yang telah dilakukan terhadap varian kopi yang berasal dari Menoreh, Kulon Progo, Yogyakarta menunjukkan bahwa kopi tersebut sudah memenuhi standar kualitas secara nasional yang telah ditetapkan. Hal ini ditunjukkan pada hasil pengujian untuk parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi dimana kualitas kopi bubuk yang berasal dari varian arabika dan robusta Menoreh telah memenuhi persyaratan tingkat I pada SNI 1-3542-2004. Pemenuhan terhadap syarat kualitas dalam suatu standar tersebut merupakan modal awal dan harus dipertahankan oleh produsen untuk dapat meningkatkan daya saing produk kopinya. Penerapan suatu standar dalam menjaga kualitas produk diperlukan sebagai bentuk inovasi dan pengembangan bisnis. Hal ini dikarenakan standardisasi dan penerapannya merupakan salah satu pilar penting dalam pengembangan daya saing perdagangan (Suminto, 2013). Aspek konsistensi kualitas menjadi hal yang harus dipelihara dengan baik oleh produsen kopi olahan dari kawasan Menoreh, Kulon Progo. Ketidakseragaman kualitas kopi dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap praktik proses pengolahan kopi baik di hulu maupun di hilir (Sudjarmoko, 2013). Penggunaan fasilitas pengolahan secara tersentral dapat membantu untuk mengurangi risiko dihasilkannya kualitas kopi yang tidak seragam (Arifin, 2010). Oleh karena itu, kelompok tani Madigondo bisa mengadopsi sistem pengolahan kopi tersentral dengan mengacu pada standar produksi yang telah berhasil menghasilkan kopi bubuk terstandar kualitas SNI.

Pengujian cita rasa yang telah dilakukan menunjukkan beberapa poin keunikan cita rasa dari kopi Menoreh, Kulon Progo. Cita rasa vanilla terdeteksi pada setiap varian kopi baik arabika maupun robusta. Ciri khusus pada varian arabika Menoreh adalah tingkat

keasamaan ringan yang diwakilkan dengan kata “bright acidity”, serta cita rasa natural atau bersifat alam yang diwakilkan dengan kata “flowery dan coffee blossom”. Ciri khusus pada varian robusta Menoreh adalah rasa coklat yang teridentifikasi dengan kata “chocolaty”. Kata – kata tersebut juga dapat berfungsi sebagai identifikasi cita rasa untuk kopi specialty karena mayoritas kata – kata tersebut sudah tercantum pada SCA Coffee Taster’s Flavour Wheel.

Ada beberapa senyawa yang sudah terdeteksi sebagai senyawa prekursor cita rasa tertentu pada suatu jenis kopi specialty. Beberapa cita rasa kopi specialty yang telah dapat terdeteksi keberadaan senyawa volatil prekursornya adalah chocolaty, flowery, strawberry, caramel, hazelnut, dan fruity. (Laukaleja dan Kruma, 2018) Pada kopi Menoreh, kata – kata penggambaran cita rasa yang terdeteksi adalah cita rasa vanilla pada varian arabika dan robusta, cita rasa chocolaty pada varian robusta dan cita rasa flowery pada varian arabika.

Menurut Laukaleja dan Kruma, (2018), cita rasa chocolaty dan flowery disebabkan oleh kandungan senyawa volatil 3-methylbutanal dan linalool.

Tingkat sangrai juga dapat mempengaruhi tingkat keberadaan senyawa volatil pada suatu kopi. Tingkat sangrai medium dapat memberikan stabilitas jumlah kandungan dan keberadaan senyawa volatil yang berperan sebagai senyawa prekursor cita rasa khas pada kopi spesialty (Laukaleja dan Kruma, 2018). Pada proses pengolahan hilir, telah dipilih tingkat sangrai medium sebagai acuan proses sangrai untuk varian arabika dan robusta sehingga dengan acuan tersebut dapat memunculkan cita rasa khas dari kopi Menoreh.

Kata–kata yang teridentifikasi oleh panelis ahli pada pengujian cita rasa tersebut dapat dijadikan sebagai kata kunci dalam proses promosi sehingga dapat meningkatkan brand image produk kopi olahan Menoreh seperti yang telah dikemukakan oleh (Sitanggang, 2013). Selain itu, nilai total cita rasa dari dua varian

Identifikasi Profil Kualitas Kopi ... (Aldicky)

Page 40: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

24Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

kopi Menoreh berada pada nilai di atas 80. Nilai arabika kopi Menoreh sebesar 85,00 menandakan bahwa varian kopi tersebut dapat dinyatakan sebagai specialty coffee pada level excellent. Nilai uji citarasa yang berada di atas

80 merupakan indikator untuk penentuan jenis kopi specialty (SCAA, 2015). Pasar kopi specialty yang oleh beberapa sumber seperti Kustiari (2007), Sudjarmoko (2013), Aklimawati et al., (2014), Hutabarat (2004) dan Arifin (2010) disebutkan sebagai salah satu ceruk pasar yang dapat disasar oleh produsen kopi Indonesia. Berdasarkan nilai total uji cita rasanya, kopi arabika dan robusta Menoreh tersebut berpotensi untuk dapat dikembangkan dan bersaing di pasar kopi specialty baik di Indonesia maupun di dunia karena memiliki nilai total cita rasa di atas 80.

SIMPULANTerdapat dua varian kopi yang

tumbuh di kawasan Menoreh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu arabika dan robusta. Kedua varian tersebut sudah diolah menjadi kopi bubuk siap seduh. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan maka hasil olahan produk kopi Menoreh sudah memenuhi persyaratan mutu tingkat I (pertama) untuk SNI 1-3542- 2004 tentang bubuk kopi. Cita rasa utama yang terdeteksi pada varian arabika dan robusta Menoreh adalah cita rasa vanilla. Varian arabika dan robusta Menoreh juga berpotensi untuk dikembangkan menjadi kopi specialty asal Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengembangan tersebut harus mempertimbangkan aspek pengendalian kualitas agar keseragaman kualitas berstandar SNI tetap dapat diperoleh serta aspek penguatan terhadap brand image dengan promosi yang didasarkan pada cita rasa khas kopi dari kawasan Menoreh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih

atas dukungan keuangan untuk penelitian

ini dari Bank Indonesia Kantor Perwakilan Yogyakarta yang berperan sebagai mitra kerjasama dalam proyek pengembangan kluster kopi Menoreh, Daerah Istimewa Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aklimawati, L., Yusianto, danMawardi, S. 2014. Karakteristik Mutu dan Agribisnis Kopi Robusta di Lereng Gunung Tambora, Sumbawa. Pelita Perkebunan. 30(2): 159 – 180. doi:10.21082/jtidp.v4n3.2017.p145-152.

2. Arifin, B. 2010. Global Sustainability Regulation and Coffee Supply Chains in Lampung Province, Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Development. 7(2): 67– 89. doi:10.22004/ag. econ. 199090.

3. Ariyanti, M., dan Suprapti. 2016. Cemaran Mikrobiologis Biji Kakao Asal Sulawesi Barat dan Tenggara dan Kaitannya dengan Keamanan Pangan. Standardisasi. 18(1): 52 –60. doi:10.31153/js.v18i1.697.

4. Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Daerah Kulon Progo 2018 (34010. 1816). Kulon Progo: BPS Kabupaten Kulon Progo. Diakses dari https://Kulon Progokab.bps.go.id/publication/.

5. Badan Standardisasi Nasional. 2004.Standar Nasional Indonesia Kopi Bubuk (SNI 1-3542-2004). Jakarta, DKI: BSN. Diakses darihttp://sispk.bsn.go.id/SNI/DetailSNI/6674.

6. Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan (SNI 7387:2009) Jakarta, DKI: BSN. Diakses darihttp://sispk.bsn.go.id/SNI/DetailSNI/7772.

7. Badan Standardisasi Nasional. 2013. Draft Strategi Standardisasi Nasional 2015 – 2025. Jakarta, DKI: BSN. Diakses dari https://bsn.go.id/uploads/download/........ .standardisasi_1.pdf.

8. Edvan, B. T., Edison, R., dan Same, M. 2016. Pengaruh Jenis dan Lama

Page 41: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

25Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Penyangraian pada Mutu Kopi Robusta (Coffea robusta). Agroindustri Perkebu-nan. 4(1): 31–40. doi:10.25181/aip.v4i1.34.

9. Efanny, M. 2018. Kajian Paparan Logam Berat dari Pangan di Indonesia. Institut Pertanian Bogor,Bogor.

10. Food and Agriculture Organization. 2018. The State of Agricultural Commodity Markets 2018 Agricultural trade, climate change and food security. Rome: FAO. Diakses darihttp://www.fao.org/i9542en.pdf.

11. Food and Agriculture Organization. 2019. Coffee Production Quantity World Data 2016 - 2017. Rome: FAO. Diakses dari http://www.fao.org/faostat/en/?#data/QC.

12. Firmanto, H., Widyotomo,S.,dan Suharyanto, E. 2018. Pengolahan Produk Hilir Kopi. Dalam Penangangan Pascapanen, Pengolahan, Alat Mesin dan Diversifikasi Limbah Kopi, diedit oleh Misnawi dan Widyotomo, S.,79-

113. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

13. Heidger, M. 2015. Ash (gravimetric, calculated from minerals, alkalinity of ash). Diakses dari https://www.institut- heidger.de/ash-gravimetric-calculated-from-minerals-alkalinity-of- ash/?l ang=en.

14. Herrera, J. C., dan Lambot, C. 2017. The Coffee Tree-Genetic Diversityand Origin. Dalam The Craft and Science of Coffee, diedit oleh Folmer, B., Blank, I., Farah, A., Giulino, P., Sanders, D., dan Wille, C., 1 – 16. UK: Elsevier.

15. Hutabarat, B. 2004. Kondisi Pasar Dunia dan Dampaknya Terhadap Kinerja Industri Perkopian Nasional. Agro Ekonomi. 22(2): 147 – 166. doi:10.21082/jae.v22n2.2004.147-166.

16. Kustiari, R. 2007. Perkembangan Pasar Kopi Duni dan Implikasinya Bagi Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 25(1): 43 –55. doi:10.21082/fae.v25n1.2007.43-55.

17. Lambot, C., Herrera, J. C., Bertrand, B., Sadeghian, S., Benavides, P., dan Gaitan, A. 2017. Cultivating Coffee

Quality-Terroir and Agro-Ecosystem. Dalam The Craft and Science of Coffee, diedit oleh Folmer, B., Blank, I., Farah, A., Giulino, P., Sanders, D., dan Wille, C., 17 – 49. UK:Elsevier.

18. Laukaleja, I., dan Kruma, Z. 2018. Quality of Specialty Coffee: Balance Between Aroma, Flavour, and Biologically Active Compound Composition: Review. Research For Rural Development. 1: 240 –247. doi:10.22616/rrd.24.2018.038.

19. Lingle, T. R., dan Menon, S. N. 2017. Cupping and Grading-Discovering Character and Quality. Dalam The Craft and Science of Coffee, diedit oleh Folmer, B., Blank, I., Farah, A., Giulino, P., Sanders, D., dan Wille, C., 181 –203. UK: Elsevier.

20. Martoyo, P. Y., Hariyadi, R. D., dan Rahayu, W. P. 2014. Kajian Standar Cemaran Mikroba Dalam Pangan di Indonesia. Standardisasi. 16(2): 113 - 124.doi:10.31153/js.v16i2.173.

21. Pragita, T. E., Rahuyuningsih, M., dan Muslich. 2017. Evaluasi Penyimpangan dan Perbaikan Mutu Tempe Sesuai SNI 3144:2015 di UMKM.Standardisasi. 19 (2): 113-126. doi:10.31153/js.v19i2. 502.

22. Sanz-Uribe, J. R., Yusianto, Menon, S. N., Peneula, A., Oliveros, C., Husson, J., Brando, C., dan Rodriguez, A. 2017. Postharvest Processing-Revealing the Green Bean. Dalam TheCraft and Science of Coffee, diedit oleh Folmer, B., Blank, I., Farah, A., Giulino, P., Sanders, D., dan Wille, C., 245 – 271. UK: Elsevier.

23. Sancho, M. T., Muniategui S., Sanchez, P., Huidobro, J. F., dan Simal-Lozano, J. 1992. Evaluating soluble andinsoluable ash, alkalinity of soluble and insoluble ash and total alkalinity of ash in honey using electrical conductivity measurements at 200C. Apidologie. 23 (4): 291-297. Diakses dari https://hal.archives-ouvertes.fr/

24. Sarirahayu, K. dan Aprianingsih, A. 2018. Strategy to Improving Smallholder Coffee Farmers Productivity. Asian Journal of

Identifikasi Profil Kualitas Kopi ... (Aldicky)

Page 42: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

26Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Technology Management. 11(1): 1-9. doi:10.12695/ajtm.2018.11.1.1.

25. Specialty Coffee Association. 2019. The Coffee Taster’s Flavor Wheel. Diakses darihttps://sca.coffee/research/.

26. Specialty Coffee Association of America. 2015. SCAA Protocols Cupping Spe-cialty Coffee. Diakses d a r i https://www.scaa.org/PDF/resources/cupping-protocols.pdf.

27. Schenker, S., dan Rothgeb, T. 2017. The Roast-Creating The Beans’ Signature. Dalam The Craft and Science of Coffee, diedit oleh Folmer, B., Blank, I., Farah, A., Giulino, P., Sanders, D., dan Wille, C., 245 – 271. UK:Elsevier.

28. Sitanggang, J. T. N., dan Sembiring,S. A. 2013. Pengembangan Potensi Kopi sebagai Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan Kabupaten Dairi. Ekonomi dan Keuangan. 1(6): 33-48. Diakses dari https://jurnal.usu.ac.id.

29. Sudjarmoko, B. 2013. Prospek Pengembangan Industrialisasi Kopi Indonesia. Sirkuler Inovasi Tanaman Industri Penyegar. 1(3): 99-110. Diakses darihttp://balittri.litbang.pertanian.go.id.

30. Suminto, Kristiningrum, E., Widyatmoko, W., dan Susanto, D. A. 2013. Kesesuaian Mutu Produk Unggulan UKM Sektor Pangan terhadap Standar Nasional Indonesia. Standardisasi. 15(3): 2 1 2 -229. doi:10.31153/js.v15i3.125.

31. Suwarmini, N. N., Mulyani, S., dan Triani, I. G. A. L. 2017. Pengaruh blending kopi robusta dan arabika terhadap kualitas seduhan kopi. Rekayasa dan Manajemen Agroindustri. 5(3): 85-92. Diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/jtip/ar ticle/view/35502.

32. World Coffee Research. 2017. World Coffee Research Sensory Lexicon ver. 2 (A tool for understanding and measuring coffee’s flavors and aromas). Diakses darihttps://worldcoffeeresearch.org/medi a/documents/20170622_WCR_Sensory _Lexicon_2-0.pdf

33. Widaningrum, Miskiyah, dan Suismono. 2007. Bahaya Kontaminasi Logam Berat dalam Sayuran dan Alternatif Pencegahan Cemarannya. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. 3:16-

27. Diakses darihttp://ejurnal.litbang pertanian.go.id.

34. Workman, D. 2019. Coffee Exports by Country. Diakses d a r i h t t p : / / w w w.worldstopexports.com/coffee-exports-country/

35. Yusianto dan Widyotomo, S. 2018. Panen dan Pengolahan Produk Hulu Kopi. Dalam Penangangan Pascapanen, Pengolahan, Alat Mesin dan Diversifikasi Limbah Kopi, diedit oleh Misnawi dan Widyotomo, S., 1-78. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

Page 43: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

27Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

PENGGUNAAN SENSOR FOTODETEKTOR UNTUK PENGUKURAN KANDUNGAN GULA DI DALAM LARUTAN NIRA TEBU

Application of Photodetector Sensor for Sugar Content Measurement in Sugar Cane Juice

Alex Taufiqurrohman Zain1*, Cahyaning Nur Karimah1, Mochamad Irwan Nari1, dan Anni Nuraisyah2

1Jurusan Teknik Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip No. 164, Jember681242Jurusan Produksi Pertanian Politeknik Negeri Jember Jl. Mastrip No. 164, Jember68124

e-mail: [email protected]

Abstract: Cane is one of the sugar-producing plants. The quality of produced sugar is greatly influenced by main raw material, cane juice, so sugar content measurement in sugar cane is needed. In this study, measuring sugar content in cane juice is integrated with a PC system. In addition to cane juice, sugar solutions are used as an object in this study. Measuring devices are made using light propagation principle when passing through the object. The urceusedis RGB brightLED, fiber optic asap ropagation mediumofray, photodiode BPW 34 as a photodetector, Arduino UNO module as a micro controller module, and digital refractometer to obtain comparable data. The results showed that the measuring instrument could be integrated with a PC system. Research on sugar solution shows that yellow light is able to provide the greatest change in the output of sensor system for each variation of solution concentration, and a calibration curve is obtained for further study on cane juice. Research on cane juice shows that there are still differences in the results of sugar content measurement from photodetectors to digitalrefractometers.

Keywords: photodiode, calibration curve, sugar cane juice

Abstrak : Tebu merupakan salah satu tanaman penghasil gula. Kualitas gula yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh bahan baku utamanya yaitu nira tebu, sehingga diperlukan pengukuran kandungan nira pada tebu. Pada penelitian ini, dibuat alat ukur kandungan gula pada nira tebu yang terintegrasi dengan sistem PC. Selain nira tebu, digunakan larutan gula sebagai objek penelitian lainnya. Alat ukur yang dibuat memanfaatkan prinsip penjalaran sinar ketika melewati objek penelitian. Sumber sinar yang digunakan adalah RGB bright LED, fiber optic sebagai medium perambatan sinar, fotodioda BPW 34 sebagai fotodetektor, modul Arduino UNO sebagai modul mikrokontroler, dan refraktometer digital untuk mendapatkan data pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat ukur sudah bisa terintegrasi dengan sistem PC. Penelitian pada larutan gula menunjukkan bahwa sinar kuning mampu memberikan perubahan tegangan keluaran sistem sensor yang paling besar setiap variasi konsentrasi larutan, dan didapatkan kurva kalibrasi untuk penelitian pada nira tebu selanjutnya. Penelitian pada nira tebu menunjukkan bahwa masih ada perbedaan hasil pengukuran kandungan gula dari fotodetektor terhadap refraktometerdigital.

Kata kunci: fotodioda, kurva kalibrasi, nira tebu.

PENDAHULUAN

Kemajuan teknologi membawa dampak pada kemampuan industri elektronika memproduksi peralatan yang mampu menunjang aktivitas dan kreativitas manusia (Priambodo, 2013). Bidang instrumentasi optik merupakan salah satu bidang yang saat ini mengalami kemajuan teknologi.

Perangkat instrumentasi optik terdiri dari sumber sinar, media transmisi, dan sensor penerima yang digunakan untuk mengukur besaran fisis dari suatu bahan. Serat optik merupakan media transmisi sinar dari laser atau Light Emitting Diode (LED) menuju fotodetektor. Selain untuk transmisi data, serat optik juga dapat digunakan sebagai sensor. Pemanfaatan serat optik sebagai

Page 44: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

28Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

mode fiberoptic. Hal ini disebabkan oleh penggunaan LED sebagai sumber sinar serta fotodioda sebagai fotodetektor. Selain itu, transmisi yang dihasilkan semakin tinggi dengan ukuran diameter yang kecil (Waluyo dan Agus, 2009). Pemilihan fotodioda sebagai fotodetektor adalah didasarkan pada tingkat kepekaannya yang sangat baik terhadap setiap perubahan intensitas sinar yang mengenainya jika dibandingkan dengan jenis fotodetektor lainnya (Sary, 2009). Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pilihan lain untuk alat ukur kandungan gula yang tentunya sudah terkalibrasi oleh alat ukur konvensional yang selama ini digunakan yaitu refraktometer. Penelitian ini menggunakan dua spektrum sinar, yaitu sinar kuning dan sinar ungu yang selanjutnya akan dipilih spektrum warna apa yang lebih baik digunakan untuk mengukur kandungan gula pada nira tebu.

METODOLOGI

Alat yang dibuat menggunakan RGB bright LED sebagai sumber sinar, fiber optic sebagai medium perambatan sinar, fotodioda BPW 34 sebagai fotodetektor, modul Arduino UNO sebagai modul mikrokontroler, sedangkan software pemrograman yang digunakan adalah LabVIEW 2012 64 bit, LabVIEW interface for Arduino, serta ArduinoIDE 1.0.4. Untuk mendapatkan data pembanding maka digunakan refraktometerdigital.

Bahan awal yang digunakan adalah sampel larutan gula dengan 10 variasi konsentrasi yaitu 0 gram/liter, 25 gram/liter, 50 gram/liter, 75 gram/liter,100 gram/liter, 125 gram/liter, 150gram/liter, 175 gram/liter, 200 gram/liter, dan 225 gram/liter serta 12 sampel nira tebu. Nira tebu didapatkan dari empat batang tebu yang masing-masing batangnya dibagi menjadi tiga bagian ruas, yaitu ruas atas, ruas tengah, dan ruas bawah dengan rentang pH sebesar 4,5 – 5,7 (Zain et al., 2020).

Penelitian ini memanfaatkan prinsip penjalaran (transmisi) sinar ketika sumber sinar (sinar RGB bright LED) masuk melalui

sensor dapat digunakan pada pengukuran kadar gula, biomedis, dan farmasi (Fajarini, 2011). Penelitian kadar glukosa dalam air distilasi menggunakan serat optik berbasis sensor pergeseran dengan probe bundel menunjukkan bahwa puncak tegangan atau intensitas sinar sebanding dengan konsentrasi glukosa. Sejalan dengan penelitian tersebut, pengujian kadar glukosa dalam air distilasi menggunakan serat optik berbasis sensor pergeseran dengan fiber coupler menunjukan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan glukosa yang digunakan, semakin tinggi pula tegangan keluaran yang dihasilkan (Aini et al., 2013). Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Binu et al. (2009). Penelitian tersebut menggunakan prinsip penjalaran sinar yang ditransmisikan oleh serat optik. Selanjutnya, sinar akan melalui larutan glukosa dengan variasi konsentrasi. Adanya permukaan refleksi akan berpengaruh terhadap intensitas sinar yang diterima oleh fotodetektor berdasarkan indeks bias sinar. Sinar yang diterima oleh fotodetektor akan diubah menjadi besaran listrik berupa tegangan. Berdasarkan penelitian tersebut, semakin tinggi konsentrasi larutan glukosa, maka indeks bias sinar akan semakin besar pula. Hasil lain menunjukkan bahwa tegangan keluaran yang terukur oleh multimeter digital akan naik secara linear ketika terdapat perubahan konsentrasi larutan gula.

Pada penelitian ini, dibuat alat ukur kandungan gula pada nira tebu. Alat yang dibuat memanfaatkan sensor cahaya berupa PIN fotodioda, Light Emitting Diode (LED) yang digunakan sebagai sumber cahaya, serat optik yang digunakan sebagai media transmisi dari sumber sinar, dan modul Arduino UNO yang digunakan sebagai modul mikrokontroler yang dihubungkan dengan PC. Prinsip alat ini adalah sinar dilewatkan melalui serat optik. Selanjutnya, paket-paket energi dari sinar akan diteruskan ke sampel nira tebu oleh serat optik. Karena sifat optik dari larutan yang berwarna agak keruh maka akan ada sinar yang diserap oleh larutan.Serat optik yang digunakan adalah single

Page 45: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

29Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

serat optik, kemudian diteruskan melewati objek penelitian. Setelah melewati objek penelitian, sinar akan diteruskan melalui serat optik kembali dan ditangkap oleh PIN fotodioda (BPW 34) sebagai sinyal gelombang input. Besarnya intensitas sinar LED yang diterima akan dikonversi menjadi bentuk tegangan oleh PIN fotodioda. Karena adanya efek atenuasi maka intensitas sinar

LED yang diterima oleh PIN fotodioda akan berkurang sehingga perlu adanya rangkaian penguat operasional untuk mendapatkan tegangan yang mampu terbaca oleh alat ukur (Zain et al., 2020). Adapun desain rangkaian alat pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Desain Rangkaian Alat Ukur (Zain

Photodetector Light Source

Sample

Fiber Optic Connector

Fiber Optic

Data Signal Processing

Personal Computer

et al., 2020)

Adapun tegangan output rangkaian Op Amp yang terukur akan ditampilkan pada PC. Selain itu, warna sinar yang dipancarkan oleh RGB bright LED juga mampu dikendalikan melalui PC. Agar dapat melakukan hal tersebut maka diperlukan script pemrograman yang selanjutnya diunggah ke modul Arduino UNO melalui Arduino IDE 1.0.4. Arduino IDE 1.0.4 merupakan softwaredasar yang digunakan untuk menulis dan mengunggah script pemrograman ke modul Arduino UNO. Arduino tersusun dari dua bagian utama yaitu Arduino board dan Arduino IDE (Integrated Development Environment). Arduino board berupa hardware yang digunakan ketika menyusun rangkaian. Sedangkan Arduino IDE merupakan software yang digunakan untuk pengolahan pada PC. Arduino IDE digunakan untuk membuat gambaran program komputer yang diunggah ke Arduino board. Gambaran program digunakan untukmenentukan pekerjaan yang harus dilakukan oleh Arduino board (Banzi, 2011).

Perintah pada modul Arduino UNO dapat dilakukan dengan lebih mudah. Modul Arduino UNO dapat dikendalikan dengan software LabVIEW 2012 seri 64 bit. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan antara ArduinoIDE

1.0.4 dengan LabVIEW 201. LabVIEW menggunakan pemrograman aliran data (dataflow) yang akan menentukan perintah eksekusi berdasarkan VI. VI atau Virtual Instrument adalah program LabVIEW yang menirukan instrumen sebenarnya dalam bentuk simbol-simbol (Pratama et al., 2011). Setelah integrasi berhasil, maka perintah dari modul Arduino UNO tidak lagi menggunakan script mirip bahasa C/C++ namun menggunakan blok-blok program dataflow. Adapun spesifikasi dari modul Arduino UNO yang digunakan ditampilkan pada Tabel1.

Penggunaan Sensor Fotodetektor ... (Alex)

Page 46: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

30Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 1. Spesifikasi Modul Arduino UNO

Komponen SpesifikasiMicrocontroler ATMega328Operation Voltage 5 VInput Voltage 7 V – 12 V (rekomendasi)Input Voltage 6 V – 20 V (limit)I/O 14 pin (6 pin untuk PWM)Electric Current 50 mAFlash Memory 32 KBBootloader SRAM 2 KBEEPROM 1 KB

Sumber: (Saputri et al., 2014)

Data hasil penelitian yang diperoleh adalah grafik hubungan antara konsentrasi larutan gula terhadap tegangan keluaran. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk mencari korelasi linear antara konsentrasi gula terhadap tegangan. Ketikategangan keluaran dari sampel nira tebu diketahui maka konsentrasinya dapat ditentukan berdasarkan kurva kalibrasi yang diperoleh sebelumnya. Berikut ini merupakan kurva kalibrasi yang digunakan.

Gambar 2. Grafik Hubungan antara: a. Konsentrasi terhadap Tegangan Keluaran; b. Konsentrasi terhadap Kadar Brix

y = mx + c

(b)

Konsentrasi (gram/liter) Konsentrasi (gram/liter)

(a)

y = mx + c

y = mx + c

(b)

Konsentrasi (gram/liter) Konsentrasi (gram/liter)

(a)

y = mx + c

Dari kurva kalibrasi yang diperoleh akan diketahui nilai gradien grafik (m) dan konstanta grafik (c). Selanjutnya, kandungan gula pada larutan nira tebu dapat diketahui dengan memasukkan nilai yang telah diperoleh sebelumnya pada persamaan di bawah ini.

Keterangan:x = konsentrasi nira tebu (gram/liter) c = konstantay = tegangan keluaran (mV) atau kadar Brix (%)m = gradien grafik

(1) HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian alat ukur kandungan gula menggunakan fotodetektor disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengujian pada Kendali Warna dan Intensitas RGB Bright LED Menggunakan Software LabVIEW

No Bit Keadaan RGBbright LED

Merah Hijau Biru1 0 0 0 LED mati2 150 0 0 merah-redup3 255 0 0 merah-terang4 0 150 0 hijau-redup5 0 255 0 hijau-terang6 0 0 150 biru-redup7 0 0 255 biru-terang8 255 255 255 putih-terang

Ketiga warna dasar dari RGB bright LED dapat dikendalikan dengan laptop untuk keadaan hidup, mati, dan intensitasnya. Pengendalian tersebut dilakukan dengan

Page 47: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

31Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

memanfaatkan sistem bit. Semakin tinggi bit yang digunakan maka RGB bright LED akan menyala lebih terang untuk keadaan warna-warna dasar. Pemberian kombinasi warna- warna dari RGB bright LED sampai beberapa bit akan menghasilkan warna- warna sekunder selain tiga warna dasar tersebut. Pengendalian RGB bright LED tersebut menggunakan masukan serial berupa besaran bit dari masing-masing komponen warna penyusun dan menghasilkan keluaran analog berupa intensitas sinar RGB bright LED.

Pembacaan tegangan keluaran rangkaian transimpedansi menggunakan masukan analog berupa besaran intensitas sinar yang mengenai sensor fotodioda BPW 34 dan menghasilkan keluaran serial berupa tegangan keluaran dari rangkaian transimpedansi. Alat yang telah dibuat digunakan untuk meneliti kandungan gula pada objek penelitian. Dari penelitian diperoleh kurva kalibrasi sebagai berikut.

25.00

20.00

20.06

17.10 15.00

10.00

11.60

14.48

y = 0.0833x + 0.2487 R² = 0.9906 8.72

9.96

5.00 6.60

2.78

0.24

4.70

0.00 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250

Konsentrasi Larutan (g/ liter)

Gambar 3. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Larutan Gula terhadap Kadar Brix Refraktometer Digital (Misto et al., 2019)

Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa kadar Brix akan naik seiring dengan kenaikan konsentrasi larutan gula. Pada refraktometer digital, sinar merambat melewati prisma dengan indeks bias besar menuju sampel dengan indeks bias yang lebih kecil. Sesuai dengan peristiwa refraksi, ketikasinar melewati medium yang lebih rapat menuju medium yang renggang maka cahaya akan dibiaskan menjauhi garis normal. kadar Brix diperoleh dari hasil perbandingan antara daerah terang dan gelap dari sensor CMOS atau CCD yang menangkap sinar hasil refraksi. Karena kemampuannya untuk berubah warna sinar maka pada penelitian ini digunakan dua spektrum warna yaitu spektrum warna kuning dan spektrum warna ungu. Adapun

Penggunaan Sensor Fotodetektor ... (Alex)

pengaturan bit yang diberikan adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil Pengujian Kendali RGB Bright LED Berdasarkan Besar bit R-G-B

Besar Bit Keadaan RGBBright LEDNo Merah

(R)Hijau (G)

Biru (B)

1 0 0 0 LED mati2 255 0 255 kuning-terang3 150 150 0 ungu-terang4 255 255 255 putih-terang

Sumber: (Zain et al., 2020)

Page 48: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

32Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Gambar 4. Grafik Hubungan antara Konsen-trasi Larutan Gula terhadap Tegangan Keluaran Rangkaian Transimpedansi

00,100

00,090

00,080

00,070

00,060

00,050

00,040

00,030

00,020

00,010

00,000

y = -0.1667x + 83.859 R² = 0.9956

y = -0.2217x + 75.211 R² = 0.977

0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250

Konsentrasi Larutan (gram/ liter)

Sinar Kuning Sinar Ungu

Sedangkan, Gambar 4 menunjukkan bahwa tegangan keluaran menurun seiring dengan kenaikan konsentrasi larutan gula. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya proses penyerapan sinar oleh bahan terlarut sehingga semakin tinggi konsentrasi larutan gula maka semakin berkurang intensitas sinar RGB bright LED yang diteruskan.

Hasil perhitungan data menunjukkan bahwa sinar kuning mampu memberikan perubahan tegangan keluaran yang lebih besar dibandingkan sinar ungu untuk setiap variasi konsentrasi larutan gula sehingga pada pengukuran menggunakan sampel nira tebu hanya sinar kuning dari RGB bright LED yang digunakan. Berikut ini hasil penelitian pada sampel nira tebu.

Tabel 4. Hasil Pengukuran Kandungan Gula pada Nira Tebu Menggunakan Refraktometer Digital dan Fotodetektor

Tebu Bagian Kadar Brix(%)

Vo(mV)

Atas 13,26 ± 0,04 41,5 ± 0,5A Tengah 15,76 ± 0,02 35,8 ± 0,5

Bawah 17,64 ± 0,02 32,8 ± 0,5Atas 13,76 ± 0,02 40,8 ± 0,2

B Tengah 15,36 ± 0,02 37,6 ± 0,2Bawah 16,70 ± 0,04 34,5 ± 0,8

Atas 14,58 ± 0,02 38,3 ± 0,3C Tengah 15,92 ± 0,02 35,5 ± 0,7

Bawah 17,46 ± 0,02 32,2 ± 0,5Atas 13,84 ± 0,02 36,3 ± 1,2

D Tengah 15,56 ± 0,02 37,1 ± 0,4Bawah 17,54 ± 0,02 32,3 ± 0,4

Selanjutnya, kadar Brix (%) serta tegangan keluaran rangkaian transimpedansi (mV) dikonversi menjadi konsentrasi nira tebu(gram/liter) berdasarkan kurva kalibrasi yang telah diperoleh sebelumnya sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut.

Tabel 5. Persamaan Linear Kurva Kalibrasi

Persamaan Linear Alat yang Digunakan0,0833 + 0,2487 Refraktometer digital

𝑦 −0,1667 +83,859

Fotodetektor

Hasil konversi berupa kandungan gula dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 49: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

33Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 6. Hasil Konversi

Konsentrasi Berdasarkan

Tebu Bagian Refraktometer Digital Fotodetektor Selisih (gram/liter) (gram/liter) (gram/liter)

Atas 156,2 ± 0,5 130,8 ± 2,5 25,4A Tengah 186,2 ± 0,3 160,5 ± 2,8 25,7

Bawah 208,8 ± 0,3 175,7 ± 2,8 33,1

Atas 162,2 ± 0,3 134,8 ± 1,2 27,4

B Tengah 181,4 ± 0,3 151,2 ± 1,3 30,2Bawah 197,5 ± 0,5 166,9 ± 3,9 30,6

Atas 172,0 ± 0,2 147,3 ± 1,8 24,7

C Tengah 188,1 ± 0,2 161,7 ± 3,5 26,4Bawah 206,6 ± 0,3 178,6 ± 2,5 28,0

Atas 163,2 ± 0,3 157,9 ± 6,2 5,3

D Tengah 183,8 ± 0,3 153,7 ± 1,9 30,1Bawah 207,6 ± 0,3 178,2 ± 1,8 29,4

Tabel 6 menunjukkan bahwa masih adanya perbedaan nilai hasil pengukuran konsentrasi berdasarkan refraktometer digital terhadap fotodetektor. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh keterbatasan alat dalam mengonversi besaran sinar setelah melalui objek uji menjadi besaran listrik oleh unit pengolah sinyal. Selain itu, perbedaan

yang dihasilkan dipengaruhi oleh adanya perbedaan objek pengujian, yaitu larutan gula dan nira tebu yang selanjutnya akan berpengaruh pada kurva kalibrasi yang dihasilkan. Jika pada objek larutan gula, material yang terlarut hanya gula saja maka pada nira tebu material terlarutnya adalah sesuai dengan Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Analisis Kandungan Nira Tebu

ParameterNira Tebu pH 4.5

(±0.1)Nira Tebu pH 5.0

(±0.1)Nira Tebu pH 5.5

(±0.1)Hasil

AnalisisHasil

AnalisisHasil

AnalisisPustaka Pustaka PustakaKadar Air (%) 80,19 - 80,26 - 80,38 -Kadar Sukrosa (%) 15,05 15,30 16,98 17,26 18,08 18,25Kadar Gula Reduksi (%) 1,59 1,23 0,98 0,69 0,54 0,57Kadar Abu (%) 0,35 - 0,41 - 0,45 -

Sumber: (Erwinda dan Wahono, 2014)

Namun, berdasarkan Tabel 6 diketahui tren data hasil pengukuran baik dari refraktometer digital maupun fotodetektor menunjukkan bahwa bagian bawah tebu memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan ruas tengah dan atas. Hal tersebut disebabkan oleh proses terbentuknya rendemen gula di dalam

batang tebu berjalan dari ruas ke ruas yang tingkat kemasakannya tergantung pada umur ruas. Ruas bawah (lebih tua) lebih banyak kandungan gulanya jika dibandingkan dengan ruas di atasnya (lebih muda), demikian seterusnya sampai ruas bagian pucuk (Hebrianto, 2012).

Penggunaan Sensor Fotodetektor ... (Alex)

Page 50: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

34Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan yaitu sinar kuning dari RGB bright LED memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan sinar ungu dalam membedakan konsentrasi larutan gula. Hal tersebut dibuktikan dengan selisih tegangan keluaran rangkaian transimpedansi yang besar untuk setiap perubahan konsentrasi larutan gula sehingga pengukuran pada nira tebu selanjutnya menggunakan sinar kuning dari RGB bright LED. Hasil pengukuran kadar gula pada nira tebu yang diperoleh dari penggunaan fotodetektor memiliki nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan refraktometer digital. Penelitian lebih lanjut diharapkan mampu memperkecil selisih hasil pengukuran dari dua alat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aini, Fina Nurul, Samian, dan Moh. Yasin. 2013. Deteksi Kadar Glukosa dalam Air Destilasi Berbasis Sensor Pergeseran Menggunakan Fiber Coupler. Jurnal Fisika dan Terapannya. 1 (1): 1-7. ISBN:9772337-300009.

2. Banzi, Massimo. 2011. Getting Started with Arduino. 2nd Editions.O’reilly.

3. Binu, S., V.P. Mahadevan Pillai, V. Pradeepkumar, B.B. Padhy, C.S. Joseph, dan N. Chandrasekaran. 2009. Fibre Optic Glucose Sensor. Materials Science and Engineering: C. Elsevier. 29 (1): 183-186.https://doi.org/10.1016/j.msec.2008.06.007.

4. Erwinda, Maya Dwi dan Wahono Hadi Susanto. 2014. Pengaruh pH Nira Tebu (Saccharum Officinarum) dan Konsentrasi Penambahan Kapur terhadap Kualitas Gula Merah. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2 (3): 54-64. ISSN:2354-7936.

5. Fajarini, Kanti. 2011. Rancang Bangun Sistem Pengukuran Kadar Gula Menggunakan Serat Optik Plastik. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.

6. Hebrianto. 2012. Proses Pengubahan Nira (Massecuite Juice) Menjadi Kristal Gula di PT. PG Gorontalo Unit Tolangohula Desa Lakeya Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo. Gorontalo: Universitas NegeriGorontalo.

7. Misto, Tri Mulyono, Bowo Eko Cahyono, dan T. Zain. 2019. Determining Sugar Content in Sugarcane Plants Using LED Spectrophotometer. AIP Conference Proceedings,2202:020125-1-020125-6.https://doi.org/10.1063/1.5141738.

8. Pratama, Anggi, Darjat, dan Iwan Setiawan. 2011. Aplikasi LabVIEW sebagai Pengukur Kadar Vitamin C dalam Larutan Menggunakan Metode Titrasi Iodimetri. Semarang: Universitas Diponegoro.

9. Priambodo, Ianuar Teguh. 2013. Kontruksi dan Uji Akurasi Alat Otomatisasi Kran Wudhu Dengan Filtrasi 1,33 Liter Menggunakan ATmega8. Jember: UniversitasJember.

10. Saputri, Zaratul Nisa, Mochammad Rif’an, dan Nurussa’adah. 2014. Aplikasi Pengenalan Suara sebagai Pengendali Peralatan Listrik Berbasis Arduino UNO. Malang: UniversitasBrawijaya.

11. Sary, Yusnita Tanjung. 2009. Rancang Bangun Sistem Pendeteksi JenisNira Menggunakan Deret Led dan Metode Jaringan Syaraf Tiruan. Surabaya: Institut Teknologi SepuluhNopember.

12. Waluyo, Tomi Budi, dan Agus Suheri. 2009. Penggunaan Serat Optik Ragam Tunggal untuk Transmisi Data Pengukuran. Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia. 9 (1): 20–28. ISSN: 0854-3046.

13. Zain, Alex Taufiqurrohman, Cahyaning Nur Karimah, Anni Nuraisyah, dan Misto. 2020. Pengujian Sensor Fotodetektor sebagai Alat Ukur Kadar Gula Pada Larutan Gula. Jurnal TAMBORA. 4 (1): 39–45.https://doi.org/10.36761/jt.v4i1.570.

Page 51: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

35Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

KONTRIBUSI KOMPONEN TEKNOLOGI INDUSTRI PENGOLAHAN COKELAT (STUDI KASUS CV. X)

Echnology Components Contribution of Chocolate Processing Industry (Case Study of CV. X)

Ratri Retno Utami1, Zuhrawaty2, dan Tristania Pranasari3

1Balai Besar Industri Hasil Perkebunan,Jl. Prof. Abdurahman Basalamah No.28, Makassar, Sulawesi Selatan 90231

2Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak,Jl. Budi Utomo No.41, Siantan Hilir, Pontianak Utara, Pontianak, Kalimantan Barat 78243

3Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri,Jl. Widya Chandra VIII, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12950

e-mail: [email protected]

Abstract: Technology is determining factor in the formation of industrial competitiveness. The technological components include technoware, humanware, infoware, and orgaware. The purpose of this study is to calculate the value of the contribution of technology component (TCC) and determine the recommendations for developing technology componentsin the CV. X. The technology component measured using technometric and Analytical Hierarchy Process method to determine CV. X position between its competitors. Based on result, obtained TCC values of 0.3966 (bad to moderate), so that the CV. X needs to make improvements in technology components that have the lowest contribution value. The technology component with the highest contribution value of the technology component is infoware (0.488) so that it becomes a improvement priority at CV. X. Gap analysis, showing that CV. X has a lower TCC value than its competitors, with components that are still lagging behind are technoware and software. The recommendation for improving technology components is to improve all technology components accordance with developmentpriorities.

Keywords: technometric, Analytical Hierarchy Process, cocoa processing industry, gap analysis

Abstrak: Teknologi merupakan faktor penentu terbentuknya daya saing industri. Komponen teknologi antara lain technoware, humanware, infoware, dan orgaware. Tujuan penelitian adalah menghitung nilai koefisien kontribusi komponen teknologi (TCC) dan menentukan rekomendasi strategi pengembangan komponen teknologi di CV. X. Komponen teknologi ini diukur menggunakan metode teknometrik dan Analytical Hierarchy Process untuk menentukan posisi suatu industri dibandingkan dengan pesaingnya. Hasil perhitungan TCC diperoleh nilai 0,3966 (buruk hingga sedang), sehingga CV. X perlu melakukan perbaikan pada komponen teknologi yang memiliki nilai kontribusi paling rendah. Komponen teknologi dengan nilai intensitas kontribusi komponen teknologi paling tinggi adalah infoware (0,488) sehingga menjadi prioitas pengembangan di CV. X. Analisis gap, menunjukkan bahwa CV. X mempunyai nilai TCC yang lebih rendah dari kompetitornya, dengan komponen yang masih tertinggal adalah technoware dan orgaware. Rekomendasi strategi perbaikan komponen teknologi adalah memperbaiki semua komponen teknologi sesuai dengan prioritas pengembangan.

Kata kunci: teknometrik, Analytical Hierarchy Process, industri pengolahan cokelat, analisis gap

PENDAHULUAN

Tingkat kesiapan teknologi mempunyai dua lingkup, yang pertama adalah sebagai ukuran/indikator seberapa siap teknologi dapat diterapkan oleh pengguna yang dinilai dengan metode teknometer TRL (Technology Readiness Level) skala1- 9.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan TRL untuk mendukung kolaborasi bagi inovasi, meningkatkan difusi inovasi hasil litbangyasa (BPPT, 2012). Lingkup kedua adalah tingkat kecanggihan teknologi lembaga/perusahaan dalam melakukan proses produksi, yang dinilai dengan menggunakan metode teknometrik

Page 52: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

36Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

arrangement) (Wiratmadja, 2011; UNESCAP, 1989 dalam Budikania, 2008). Komponen teknologi diukur dengan menggunakan Metode Teknometrik (Anshori, 2005).

Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Indonesia memegang peranan sentral dan strategis dalam pembangunan ekonomi kerakyatan dan penyerapan tenaga kerja. Pola pengembangan dan kebijakan IKM yang terarah akan menciptakan IKM yang menjadi tulang punggung (backbone) bangkitnya sektor riil di daerah (Mubin, 2007). Tetapi permasalahan- permasalahan yang membelit IKM masih sangat kompleks, seperti permasalahan teknologi, permodalan, manajemen, pemasaran, dan masalah lingkungan. Permasalahan ini yang menyebabkan kinerja IKM yang lebih rendah dibandingkan dengan kinerja Industri Menengah dan Besar (Anshori, 2005).

Indonesia merupakan produsen biji kakao tetapi hilirisasi industri pengolahan cokelat skala IKM di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara pengimpor biji kakao seperti Belgia dan Swiss. Pengembangan industri hilir kakao berskala IKM terkendala oleh tiga hal pokok, yaitu formulasi produk, perekayasaan proses dan ketersediaan alat dan mesin yang terjangkau, baik dari segi harga maupun operasionalisasinya. Sistem produksi hilir kakao secara umum masih dikuasai oleh industri besar karena teknologi pengolahan kakao secara teknis dan ekonomis tidak aplikatif untuk IKM. Hasil rancang bangun dan perekayasaan industri dari bengkel-bengkel kecil juga belum sepenuhnya memenuhi syarat pengolahan cokelat skala IKM baik dari aspek efisiensi pengolahan dan kualitas untuk dapat menghasilkan produk berdaya saing (Edy dan Mulato, 2010).

CV. X merupakan salah satu industri kecil menengah yang mengolah kakao menjadi produk cokelat juga menghadapi permasalahan terkait pemilihan teknologi dalam mengembangkan perusahaan. CV. X berdiri pada tahun 2005 dengan daerah pemasaran dimulai dari Jawa dan Bali. CV. X saat ini telah melakukan ekspansi

dengan hasil pengukuran berupa nilai TCC (Technology Contribution Coefficient) skala 0-1 (Virliantarto, 2017).

Era globalisasi ditandai dengan berkembangnya teknologi dan persaingan yang semakin ketat. Persaingan global timbul pada saat suatu wilayah yang bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar dan kesempatan. Agar mampu menghadapi persaingan global, maka perusahaan harus menyusun strategi bersaing yang berbasis pada kompetensi inti yang meliputi teknologi, harga, kualitas, dan fleksibilitas biaya produksi. Teknologi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam menciptakan keunggulan daya saing dari suatu perusahaan. Teknologi dalam perubahannya berperan penting dalam perubahan struktur industri serta terciptanya industri baru. UNESCAP mengembangkan model penilaian teknologi berdasarkan empat komponen pembentuk teknologi yang berkontribusi dalam transformasi input menjadi output (Nazaruddin, 2008). Komponen pembentuk teknologi tersebut, yaitu technoware, humanware, infoware dan orgaware (UNESCAP, 1988). Technoware merupakan object embodied technology yang meliputi fasilitas fisik seperti instrumen, peralatan permesinan, alat pengangkutan dan infrastruktur fisik. Humanware merupakan teknologi yang melekat pada manusia (person embodied technology) yang meliputi kemampuan yang dimiliki seperti pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), kebijakan (wisdom), kreativitas (creativity) dan pengalaman (experience). Infoware merupakan document embodied technology yang meliputi seluruh fakta dan gambar yang diperlukan dalam operasi transformasi seperti informasi tentang proses (process), prosedur, teknik, metoda, teori, spesifikasi, pengamatan (observation) dan keterkaitan (relation). Orgaware merupakan teknologiyang melekat pada kelembagaan (institution embodied technology) yang mencakup kerangka kerja yang diperlukan pada operasi transformasi setiap praktek manajemen (management practice), linkage dan pengaturan organisasi (organizational

Page 53: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

37Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

pemasaran ke seluruh Indonesia dan beberapa negara seperti Malaysia serta Singapura. Omzet awal berdirinya CV. X sekitar 70 juta rupiah per tahun dan saat ini mencapai miliaran rupiah per tahun. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui posisi atau kondisi komponen teknologi CV. X dibandingkan kompetitor sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan komponen teknologi. Sebagai kompetitor maka dipilih PT. Y dengan pertimbangan bahwa selama ini PT. Y menguasai sebagian besar pasar cokelat bar (cokelat batang) yang merupakan produk utama CV. X dan kedepannya CV. X akan dikembangkan menjadi PT. Untuk itulah diperlukan kajian tentang strategi teknologi yang tepat untuk diterapkan di CV. X. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan nilai koefisien kontribusi komponen teknologi (TCC) dan rekomendasi strategi pengembangan komponen teknologi di CV. X.

METODOLOGI

Objek penelitian adalah CV. X dan penilaian intensitas kontribusi komponen teknologi (β) dilakukan oleh manajer CV. X. Kompetitor adalah PT. Y yang merupakan industri pengolahan cokelat skala besar. Peralatan penelitian antara lain kuesioner. Asumsi penelitian ini bahwa manajer CV. X mengetahui derajat kepentingan dari masing-masing komponen teknologi (Technoware, Humanware, Infoware dan Orgaware) pada perusahaannya dengan intensitas kontribusi komponen.

Penilaian teknologi dilakukan sebagai dasar perumusan strategi teknologi pada CV. X menggunakan model teknometrik (UNESCAP, 1988), seperti terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan penilaian teknologi dengan model teknometrik Estimasi derajat kecanggihan komponen teknologi

Estimasi derajat kecanggihan komponen teknologi mengacu pada Tabel 1 dan dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

• Mengumpulkan data derajat kecanggi-han komponen teknologi

• Pengamatan kualitatif terhadap THIO tingkat perusahaan

• Evaluasi THIO dan pemberian skor untuk menentukan derajat kecanggihan

• Menentukan batas atas dan batas bawah kecanggihan teknologi

Tabel 1. Pemberian Skor Derajat Kecanggihan Teknologi (Indrawati, 2003)

Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi SkorTechnoware Humanware Infoware Orgaware

Mesin manual Kemampuan mengoperasikan

Mengenal fakta Mencari bentuk pola kerja 1 2 3

Mesin bermotor Kemempuan mengeset Menerangkan fakta Menetapkan pola kerja 2 3 4Mesin serbaguna Kemampuan mereparasi Menspesifikasikan fakta Menciptakan pola kerja baru 3 4 5Mesin khusus Kemampuan mereproduksi Menggunakan fakta Melindungi pola kerja 4 5 6Mesin otomatis Kemampuan mengadaptasi Menghayati fakta Menstabilkan pola kerja 5 6 7

Mesin berkomputer

Kemampuan menyempurnakan

Menggeneralisasikan fakta

Memapankan pola kerja 6 7 8

Mesin terpadu Kemampuan inovasi Mengkaji fakta Menguasai pola kerja unggulan

7 8 9

Kontribusi Komponen Teknologi Industri ... (Ratri)

Page 54: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

38Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Menilai state of the art (SOTA)

SOTA merupakan tingkat kompleksitas setiap komponen teknologi. Penentuan SOTA memerlukan pengetahuan teknis yang dalam (Hany, 2000). Rating SOTA untuk setiap komponen teknologi (Wiratmaja & Ma’ruf, 2004):

a. Technoware

[∑] () (1)

tkadalah skor kriteria technoware ke- k

b. Humanware

[∑] () (2)

hkadalah skor kriteria humanwareke-k

c. Infoware

[∑] () (3)

ik adalah skor kriteria infoware ke-k

d. Orgaware

[∑ ] ( ) (4)

ok adalah skor kriteria orgaware ke-k

Menentukan kontribusi komponen Menentukan kontribusi komponen

dengan menggunakan nilai- nilai dari batasan derajat kecanggihan dan SOTA.

[( )] (5)

[( )] (6)

[( )] (7)

[( )] (8)

Mengkaji intensitas kontribusi komponen (β)

Intensitas kontribusi komponen dapat dilakukan dengan bantuan matrik perbandingan berpasangan dan Analytical Hierarchy Process. Prosedur estimasinya yaitu:

a. Keempat komponen teknologi diatur secara hirarki dengan urutan kepentingan meningkat. Nilai β yang berkaitan dengan komponen-komponen ini diatur dalam urutan kepentingan yang sama

b. Nilai-nilai tersebut ditransformasikan ke dalam prosedur perbandingan berpasangan

c. Perbandingan berpasangan harus memenuhi syarat konsistensi, artinya memenuhi syarat ordinal. Secara umum dapat dikatakan bahwa bila suatu komponen memiliki urutan tingkat kepentingan lebih besar dari komponen lainnya, maka nilai β komponen tersebut akan lebih besar dari yang lainnya

Rata-rata Geometrik (Geometric Mean)Nilai β yang didapatkan dari kuesioner

perbandingan berpasangan dirata-rata terlebih dahulu dengan menggunakan rata-rata geometrik. Rata-rata geometrik aijdari k nilai perbandingan antara kriteria ke i dengan kriteria ke j mengikuti formula berikut:

( ) (9) Dimana:

: nilai rata-rata perbandingan antara kriteria ke i dengan kriteria ke j

: nilai perbandingan antara kriteria ke i dengan kriteria ke j untuk responden ke i,i=1,2,…,k

: banyaknya responden yang terlibat sebagai responden

Page 55: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

39Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 2. Skala Tingkat Kepentingan Relatif untuk Menghitung Intensitas Kontribusi Komponen

Intensitaskepentingan

Definisi Keterangan

1 Sama pentingnya Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama terhadap sebuah tujuan

3 Agak lebih penting daripada

Suatu aktivitas terbukti lebih penting dibandingkan aktivitas lainnya, tetapi kelebihan tersebut kurang meyakinkan atau tidak signifikan

5 Lebih penting daripada

Terdapat bukti yang bagus dan kriteria yang logis yang menyatakan bahwa salah satu aktivitas memang lebih penting daripada aktivitas lainnya

7 Jauh lebih penting daripada

Salah satu aktivitas lebih penting dibandingkan aktivitas lainnya dapat dibuktikan secara meyakinkan

9 Mutlak lebih pentingdaripada

Suatu aktivitas secara tegas memiliki kepentingan yang paling tinggi

2,4,6,8 Nilai tengah diantara dua pendapat yang berdampingan

Dibutuhkan kesepakatan untuk menentukan tingkat kepentingannya

Tabel 3. Kuesioner perbandingan berpasangan

No Kriteria Penilaian Kriteria1. Fasilitas produksi 9-8-7-6-5-4-3-2 1 2-3-4-5-6-7-8-9 Kemampuan SDM2. Fasilitas produksi 9-8-7-6-5-4-3-2 1 2-3-4-5-6-7-8-9 Penguasaan informasi3. Fasilitas produksi 9-8-7-6-5-4-3-2 1 2-3-4-5-6-7-8-9 Kemampuan organisasi

4. Kemampuan SDM 9-8-7-6-5-4-3-2 1 2-3-4-5-6-7-8-9 Penguasaan informasi5. Kemampuan SDM 9-8-7-6-5-4-3-2 1 2-3-4-5-6-7-8-9 Kemampuan organisasi

6. Penguasaan informasi 9-8-7-6-5-4-3-2 1 2-3-4-5-6-7-8-9 Kemampuan organisasi

Menghitung Technology Contribution Coefficient/TCC

TCC merupakan koefisien dari kontribusi secara bersama-sama dari keempat komponen teknologi technoware, humanware, infoware dan orgaware.

Perhitungan TCC berdasarkan dari kontribusi per komponen teknologi secara individual dan nilai intensitas yang diberikan terhadap masing-masing komponen teknologi. Wiratmaja & Ma’ruf (2004) mendefinisikan koefisien kontribusi teknologi, dengan formula sebagai berikut:

(10) T, H, I, O adalah kontribusi dari masing- masing komponen teknologi dan β merupakan intensitas kontribusi dari masing-masing komponen terhadap koefisien TCC.

Tabel 4. Skala Penilaian TCC (Amiseno, 2006)

Nilai TCC Tingkatan Nilai0,1 Sangat buruk0,3 Buruk0,5 Sedang0,7 Baik0,9 Sangat baik1 Mencapai state of theart

Usaha perbaikan dimulai dari komponen dengan intensitas tertinggi karena komponen tersebut paling potensial dalam memberikan kontribusi peningkatan nilai TCC.

Kontribusi Komponen Teknologi Industri ... (Ratri)

Page 56: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

40Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

HASIL DAN PEMBAHASAN

Estimasi Derajat Kecanggihan Komponen Teknologi pada CV.X

Tingkat kecanggihan komponen teknologi ditentukan dengan memberikan skor skala sembilan (1-9). Hasil estimasi terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Batas bawah dan batas atas tingkat kecanggihan masing-masing kompo-nen teknologi

Komponen Batas bawah

Batas atas

Technoware LT : 1 UT : 5Humanware (pekerja) LH : 1 UH : 4Humanware (manajer) LH : 2 UH : 5Infoware LI : 1 UI : 4Orgaware LO :2 UO :5

Industri pengolahan cokelat mempunyai batas bawah 1 dan batas atas 5, artinya bahwa fasilitas produksi yang digunakan berada pada tingkat menggunakan mesin manual (misal pengemasan masih manual) dan mesin serbaguna (misal mesin pres dan alat refining). Fasilitas produksi telah menggunakan alat bantu mesin, tetapi operator masih sangat berperan dalam mengoperasikan mesin tersebut. Tingkat pendidikan pekerja setara SMA yang mempunyai kemampuan untuk mengoperasikan, memasang, merawat/mereparasi fasilitas. Tingkat kecanggihan komponen teknologi Humanware pekerja mempunyai batas bawah 1 dan batas atas 4. Tingkat pendidikan dari manajer adalah sarjana dan mempunyai pengalaman yang melebihi pekerja. Tingkat kecanggihan komponen teknologi Humanware manajer mempunyai batas bawah 2 dan batas atas 5. Tingkat kecanggihan komponen teknologi Infoware mempunyai batas bawah 1 dan batas atas 4, yang berarti industri pengolahan cokelat masih dalam penguasaan informasi yang digunakan untuk kepentingan dan cara-cara penggunaan fasilitas. Tingkat kecanggihan komponen teknologi Orgaware mempunyai batas bawah 2 dan batas atas 5, yang berarti bahwa industri pengolahan cokelat masih tergantung pada pasokan

bahan baku tetapi mempunyai kreativitas untuk menghasilkan produk baru.

Penilaian SOTAPenilaian technoware dilakukan

dengan menganalisis fasilitas proses produksi dalam IKM CV. X. Mesin/alat pengolahan yang digunakan sebagian masih manual dan sebagian mekanik/tenaga gerak. Proses pengolahan rata-rata terdapat dua operasi atau lebih pada satu stasiun produksi. Jenis operasi yang dikerjakan adalah tempering, pencetakan-filling, pendinginan, pengemasan. Rata-rata produk cacat 1-5%. Intensitas perawatan mesin rata-rata tidak teratur/kadang-kadang.

Tingkat keterampilan operator rata-rata sedikit membutuhkan keterampilan. Pengukuran terhadap benda kerja rata- rata diukur secara manual. Desain/pola dari benda kerja sederhana dan kadang menggunakan komputer. Tingkat keselamatan dan keamanan kerja cukup layak.

Komponen humanware IKM CV. X memiliki struktur organisasi yang jelas, sehingga penilaian dilakukan pada pekerja dan manajer. Pekerja biasanya diberikan pelatihan khusus tentang proses pengolahan cokelat. Pekerja dinilai dengan kemampuan mengerti tugas, kemampuan melasanakan tugas, disiplin dan tanggung jawab bervariasi antara cukup dan sangat tinggi, kemampuan berkreasi dan berinovasi rata-rata sangat tinggi, kemampuan merawat fasilitas rata-rata cukup, kemampuan bekerjasama bervariasi antara cukup dan sangat tinggi, dan kemampuan mencapai target produksi berkisar antara 75-100%, rata-rata 87,5%. Manajer dinilai dengan kemampuan mengatasi persoalan, kemampuan bekerja sama dan kemampuan memimpin bervariasi antara cukup, agak tinggi hingga sangat tinggi.

Infoware dinilai dengan jangkauan informasi masih terbatas pada informasi parsial yang hanya terbatas pada lingkungan perusahaan, kemampuan penyampaian informasi berkisar antara kadang-kadang dan selalu, jaringan informasi sudah on

Page 57: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

41Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

line, prosedur komunikasi rata-rata mudah, kemampuan sistem informasi rata-rata dari akses lokal sampai global, dan penyimpanan data-data perusahaan melakukan pembukuan manual dan secara komputerisasi.

Orgaware digunakan untuk memberi gambaran kemampuan mengembangkan organisasi. Orgaware dinilai dengan status perusahaan rata-rata otonomi, visi perusahaan sudah berorientasi masa depan, lingkungan yang kondusif rata-rata cukup, kepemimpinan yang memotivasi pegawai dari rata-rata sampai sangat tinggi, fleksibilitas

terhadap perubahan rata-rata sampai sangat tinggi, kemampuan kerjasama dengan pihak lain/pemasok rata-rata, kemampuan relasi dengan konsumen rata-rata sampai sangat tinggi, dan kemampuan penyerapan dana dari luar rata-rata.

SOTA dinilai dengan kriteria skor 10 adalah spesifikasi terbaik dan skor 0 adalah spesifikasi terendah. Hasil perhitungan SOTA terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Perhitungan SOTA

K T H I OPekerja Manajer

1 5 8 8 5 82 5 8 8 7,5 103 7,5 8 8 10 7,54 7,5 8 8 7,5

5 5 10 10 7,5

6 5 5 9 5

7 5 9 8

8 6 7,5 5

9 5

Total skor 51 63,5 24 49,5 58,5SOTA ST: 0,567 SHp: 0,794 SHm: 0,800 SI: 0,825 SO:

0,731

Keterangan: ST – SOTA technowareSTHp – SOTA humanware pekerja STHm – SOTA humanware manajer SI – SOTA infowareSO – SOTA orgaware

Penentuan Kontribusi Komponen Perhitungan kontribusi komponen teknologi dengan menggunakan rumus 5-8, sehingga diperoleh nilai seperti Tabel 7 berikut:

Tabel 7. Hasil Perhitungan Kontribusi Tiap Komponen Teknologi

Komponen TeknologiTechnoware 0,363Humanware 0,432Infoware 0,386Orgaware 0,466

Berdasarkan hasil perhitungan nilai kontribusi komponen teknologi menunjukkan bahwa t<i<h<o dimana komponen technoware merupakan komponen yang memiliki nilai kontribusi terkecil pada kinerja CV. X yaitu sebesar 36,3% diikuti komponen infoware. Menurut Indrawati (2003), industri kecil yang bergerak di sektor pangan memiliki

Kontribusi Komponen Teknologi Industri ... (Ratri)

Page 58: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

42Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

kontribusi komponen teknologi paling rendah pada technoware yaitu sebesar 20-30%, hal ini disebabkan tingkat teknologi (penggunaan fasilitas produksi) masih rendah karena menggunakan peralatan manual atau semi manual sehingga kontribusi terhadap output tidak optimal.

Pengkajian Intensitas Kontribusi Komponen (Β)

Nilai intensitas kontribusi komponen teknologi didapatkan dari pemberian bobot/nilai melalui kuesioner oleh manajer CV. X. Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner, diperoleh nilai intensitas masing-masing komponen yaitu: βt: 0,214; βh= 0,214;βi

= 0,488; βo= 0,085

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa komponen infoware memiliki nilai intensitas tertinggi yaitu 0,488, diikuti oleh komponen technoware dan humanware. Bila diurutkan, maka nilai intensitas masing-masing komponen tersebut sebagai berikut: βi > βt = βh > βo. Berdasarkan hasil perhitungan nilai kontribusi komponen teknologi dan nilai intensitas kontribusi komponen teknologi, menunjukkan bahwa kontribusi komponen teknologi yang perlu ditingkatkan adalah komponen infoware dan technoware didukung oleh hasil penilaian intensitas kontribusi komponen teknologi bahwa komponen infoware, technoware dan humanware merupakan komponen teknologi dengan nilai skor tertinggi yang harus menjadi perhatian manajemen dalam perencanaan pengembangan komponen teknologi dimasa yang akandatang.

Perhitungan TCCPerhitungan dilakukan dengan

menggunakan persamaan (10), dan diperoleh nilai TCC sebesar 0,3966. Sejalan dengan penelitian Indrawati (2003) yang dilakukan pada industri kecil yang bergerak di sektor pangan, diperoleh nilai TCC sebesar 0,3642. Jika dihubungkan dengan nilai penilaian yang dinormalkan bahwa nilai 1 merupakan

nilai yang mencapai SOTA (Tabel 6), maka nilai TCC dari CV. X berada pada level buruk hingga sedang. Hal ini diartikan bahwa kinerja pada kegiatan produksi industri pengolahan cokelat di CV. X masih belum memuaskan, dan perlu usaha perbaikan pada masing-masing komponennya.

Analisis GapAnalisis gap dilakukan dengan

membandingkan kontribusi teknologi CV. X dengan kompetitornya, yaituPT.

Y. Dengan cara yang sama, dilakukan penilaian teknologi untuk PT. Y, dan diperoleh nilai kontribusi komponen teknologi sebagai berikut: komponen technoware sebesar 40,7%; humanware sebesar 43,2%, infoware sebesar 37,5% dan orgaware sebesar 47,2% serta nilai TCC PT. Y adalah sebesar 0,4017. Kontribusi komponen teknologi CV. X dan PT. Y diplot dengan diagram laba- laba untuk mengetahui posisi komponen teknologi CV. X terhadap PT. Y, seperti pada Gambar 2.

T

O

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1 H

I

Gambar 2. Grafik THIO Industri Pengolah Kakao

Terlihat bahwa CV. X mempunyai komponen teknologi yang berada di bawah PT. Y. Alasan kesenjangan ini dapat dirunut kebelakang dengan melihat kontribusi komponennya. Pada gambar 4. terlihat bahwa CV. X tertinggal pada komponen technoware dan orgaware, sehingga pada usaha perbaikan TCC juga perlu memprioritaskan kedua komponen tersebut.

Page 59: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

43Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Rekomendasi Strategi Berdasarkan Komponen Teknologi.

Berdasarkan penilaian teknologi, dilihat dari nilai TCC, CV. X berada pada level buruk hingga sedang. Keempat komponen teknologi (technoware, humanware, infoware dan orgaware) memberikan kontribusi yang berbeda dalam meningkatkan nilai kontribusi teknologi total (TCC). Intensitas komponen teknologi infoware mempunyai nilai paling tinggi, sehingga infoware merupakan komponen prioritas untuk ditingkatkan. Dari analisis gap, CV. X mempunyai nilai TCC yang lebih rendah dari kompetitornya, dengan komponen yang masih tertinggal adalah technoware dan orgaware. Berdasarkan hasil penilaian teknologi, dapat diusulkan

strategi teknologi untuk CV.X adalah: Meningkatkan kemampuan infoware yang dapat menambah memperluas jaringan distribusi; Memperbaiki technoware yang dapat meningkatkan fleksibilitas, sehingga dapat menekan biaya produksi dan menurunkan harga produk yang selama ini dinilai lebih tinggi dibanding harga produk cokelat lokal lainnya serta meningkatkan kemampuan berinovasi sehingga CV. X dapat memproduksi lebih banyak varian cokelat dalam bentuk, ukuran dan harga; Meningkatkan humanware yang dapat menambah keterampilan tenaga kerja; Meningkatkan kemampuan orgaware yang dapat memperbaiki kemampuan inovasi sehingga dapat menambah keunggulan daya saing IKM. Program perbaikan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Strategi Teknologi untuk CV. X

AspekTeknologi

Strategi Program Perbaikan

Technoware Peningkatan fleksibilitas dan inovasi

• Optimalisasi kemampuan fasilitas produksi untuk meminimalkan biayaproduksi

• Inovasi desain produk untuk meningkatkan fleksibiltas dan daya saing produk

Humanware Peningkatan keterampilan tenaga kerja

• Pendidikan dan pelatihan tenagakerja

Infoware •Peningkatan sistem informasi perusahaan

•Peningkatan kegiatan promosi dan perluasan jaringan distribusi

•Pelatihan komputer dan jaringaninternet•Memperluas ke daerah Makassar, Medan,

Batam, dan retail seperti supermarket: Carefour, Hypermart, dll. serta melakukan promosi online melalui media sosial, internet,dll

•Meningkatkan kecepatanpengiriman

Orgaware Perbaikan sistem manajemenperusahaan

•Pelatihan manajemen untuk meningkatkan kemampuan

SIMPULAN

Komponen infoware memiliki kontribusi komponen paling tinggi dibanding tiga komponen lainnya dan diprioritaskan untuk diperbaiki. Tetapi berdasarkan intensitas komponen teknologi, komponen technoware dan humanware juga perlu diprioritaskan untuk diperbaiki. Analisis gap menunjukkan bahwa CV. X masih tertinggal dari PT. Y dalam hal technoware

dan orgaware. Rekomendasi strategi perbaikan komponen teknologi pada CV. X harus menyeluruh, melibatkan semua aspek komponen teknologi dari infoware, technoware, humanware dan orgaware.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amiseno, Aga. 2006. Identifikasi Tingkat Kontribusi Teknologi pada Fasilitas Pengelolaan Frequent FlyerProgram

Kontribusi Komponen Teknologi Industri ... (Ratri)

Page 60: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

44Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

dengan Menggunakan Model Teknometrik (Studi Kasus: PT. Garuda Indonesia), Tugas Sarjana. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

2. Anshori, M. 2005. Usulan Model Keputusan Multikriteria Terintegrasi untuk Pemilihan UKM Penerima Pinjaman Lunak di Wilayah Surabaya. Tesis Teknik Industri-Institut Teknologi Sepuluh November.Surabaya.

3. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2012. “Panduan Pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi: Tekno- Meter”. BPPT.Jakarta.

4. Budikania, Trisutanti. 2008. Analisis Kontribusi Teknologi pada Industri. Tesis Teknik Manajemen Industri- Institut Teknologi Bandung.Bandung.

5. Edy, Suharyanto, dan Mulato, Sri. 2010. Teknologi Hilir Kakao untuk Pengolahan Makanan Cokelat. Teknologi dan Manajemen Pengolahan Aneka Produk Cokelat. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,Jember.

6. Hany I. 2000. Analisis Kandungan Teknologi Terhadap Performansi Bisnis Industri Skala Kecil. Tesis.www.ITB.ac.id. 20 Februari 2020. Hal: 7-50.

7. Indrawati, S.W. 2003. Analisis Pengaruh Komponen Teknologi Technoware, Humanware, Infoware, dan Orgaware terhadap Faktor Utama Daya Saing Industri Kecil. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

8. Mubin, Ahmad. 2007. Analisis Kandungan Teknologi sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Industri Kecil Menengah Bahan Bangunan di Kabupaten Malang.Malang.

9. Nazaruddin. 2008. Manajemen Teknologi. Graha Ilmu:Yogyakarta.

10. UNESCAP. 1988. Tokyo Plan on Technology for Development in Asia and Pacific (4thEd.). Banglore: Asian and Pacific Centre for Transfer Oftechnology.

11. Virliantarto, N. 2017. Studi Kesiapan Teknologi PT. PAL Indonesia untuk Pembangunan Kapal Kontainer 100 teus secara Massal dengan Teknologi Modular. Tesis. Program Magister Teknik Produksi dan Material Kelautan Departemen Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

12. Wiratmaja, I.I. 2011. Materi Kuliah Manajemen Strategi. Jurusan Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

13. Wiratmaja, I.I. dan Ma’ruf A. 2004. The Assesment of Technology in Supporting Industry Located at Tegal Industrial Park. Proceedings of Marine Transportation Engineering Seminar. Osaka University.Jepang.

Page 61: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

45Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

OPTIMASI FORMULA MIKROEMULSI BERBAHAN DASARCRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI ANTIOKSIDAN POTENSIAL PADA KULIT

The Optimization of CPO-Based Microemulsion as an Antioxidant for Skin

Erga Syafitri1*, Nur Adliani1, Sudewi Mukarromah Khoirunnisa1,Fina Khaerunnisa Frima2

1Program Studi Farmasi, Institut Teknologi Sumatera2Program Studi Kimia, Institut Teknologi Sumatera

Jl. Terusan Ryacudu, Way Huwi, Kec. Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung*e-mail: [email protected]

Abstract: Crude Palm Oil (CPO) is one of the typical Indonesian plant that has potential effect as an antioxidant preparation. The purpose of this study was to produce microemulsion with CPO content that had good physical characteristics and also showed antioxidant activity. This research was divided into 3 stages i.e. microemulsion formulation, physical characterization and stability, and antioxidant activity evaluation. The microemulsion was formulated using Phase Titration Method with CPO as oil phase, surfactant tween 80, cosurfactant PEG 400 and aquadest. The treatment in this study was the addition of CPO with various concentration of 5%, 7.5%, and 10% (w/w). The optimum formula was A1 which contained 5% (w/w) CPO. The results showed that this formula had a globule size of 288.87 ± 20.94 nm, zeta potential of -0.36 mV, density of 1.024 ± 6.15x10-5 g/mL, and pH in the range of 4.5-6.5. The microemulsion was stable in storage for 28 days at 25ºC, stable against extreme temperature changes and agitation. The CPO-based microemulsion had IC50 value of 10.5 μg/mL which showed strong antioxidant activity. It can be concluded that CPO-based microemulsion had good physical stability and antioxidant activity for further cosmetic preparation.

Keywords: antioxidant, skin, microemulsion, crude palm oil (CPO), PEG 400.

Abstrak: Minyak Kelapa Sawit Mentah (Crude Palm Oil/CPO) merupakan salah satu tanaman khas Indonesia yang berpotensi sebagai sediaan antioksidan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan sediaan mikroemulsi mengandung CPO yang memiliki karakteristik fisik yang baik serta menunjukkan aktivitas antioksidan. Penelitian ini terbagi menjadi 3 tahap, yaitu formulasi mikroemulsi CPO, karakterisasi fisik dan stabilitas, dan evaluasi aktivitas antioksidan. Mikroemulsi CPO diformulasikan menggunakan metode Phase Titration Method dengan CPO sebagai fase minyak, tween 80 sebagai surfaktan, PEG 400 sebagai kosurfaktan dan aquadest sebagai fase air. Perlakuan pada penelitian ini yaitu penambahan CPO dengan variasi konsentrasi sebesar 5%, 7,5%, dan 10% (b/b). Formula optimum dari penelitian ini adalah formula A1 yang mengandung 5% (b/b) CPO. Hasil evaluasi formula menunjukkan bahwa formula ini memiliki ukuran globul sebesar 288,87 ± 20,94 nm, zeta potensial sebesar -0,36 mV, bobot jenis 1,024 ± 6,15x10-5g/mL dan pH berada pada rentang 4,5-6,5. Formula tersebut stabil dalam penyimpanan selama 28 hari pada suhu ruang (25ºC), stabil terhadap perubahan suhu ekstrim dan agitasi. Sediaan mikroemulsi CPO memiliki nilai IC50 sebesar 10,5 µg/mL yang menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat. Selain itu, mikromeulsi ini memiliki karakterisasi fisik

Kata kunci: antioksidan, kulit, mikroemulsi, minyak kelapa sawit (CPO), PEG 400.

PENDAHULUAN

Perkebunan kelapa sawit telah berhasil membawa Indonesia menjadi produsen sawit terbesar dunia. Hal tersebut membuat hasil pengolahan kelapa sawit menjadi sumber daya alam yang potensial untuk

dimanfaatkan, mulai dari buah, minyak, sampai ke cangkang buahnya (Nasution dan Limbong, 2019). Salah satu turunan kelapa sawit yang banyak dimanfaatkan adalah Minyak Kelapa Sawit Mentah (Crude Palm Oil/CPO). Kontribusi ekspor minyak sawit

Page 62: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

46Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

untuk menghasilkan campuran yang stabil secara termodinamika. Oleh karena itu, dibutuhkan konsentrasi surfaktan yang tinggi (20% w/w) untuk menghasilkan mikroemulsi sesuai persyaratan yang diinginkan (Asri et al., 2017). Komponen dari mikroemulsi terdiri dari fase terdispersi (fase dalam), fase pendispersi (fase luar), surfaktan, dan kosurfaktan. Kosurfaktan berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas antarmuka dari sistem nanoemulsi sehingga pembentukan nanoemulsi spontan lebih mudah tercapai (Kale dan Deore,2017).

Pembuatan mikroemulsi terdiri dari 2 metode, yaitu Phase Titration Method dan Phase Inversion Temperature Method (PIT). Pada metode Phase Titration Method, mikroemulsi dibuat dengan memanfaatkan pengadukan dan komposisi dari surfaktan dan kosurfaktan. Sedangkan pada metode PIT, pembentukan mikroemulsi memanfaatkan kenaikan temperatur ketika surfaktan ditambahkan ke dalam sistem sehingga membantu untuk menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dan fase air (Kale dan Deore,2017).

Tween 80 merupakan surfaktan nonionik yang bersifat nontoksik dan nonirritant. Surfaktan ini umum digunakan pada formulasi mikroemulsi karena memiliki keseimbangan lipofilik dan hidrofilik yang baik serta stabil terhadap asam lemah dan basa lemah (Ramli et al., 2019; Pamudji et al., 2012). Untuk meningkatkan kemampuannya sebagai emulgator, tween 80 biasa dikombinasikan dengan surfaktan lain seperti span 80 atau kosurfaktan seperti PEG 400 dan propilen glikol. Kombinasi ini akan menghasilkan lapisan film yang rapat antara minyak dan air (Kale dan Deore, 2017; Patel et al.,2010).

PEG 400 adalah senyawa glikol rantai pendek dengan pemerian tidak berwarna, kental, dan tidak berbau (Ramli et al., 2019). PEG 400 dapat digunakan sebagai kosurfaktan karena memiliki gugus rantai karbon yang pendek sehingga dapat mengisi ruang antar surfaktan dan menurunkan tegangan antarmuka (Asri et

dan turunannya meningkat hingga 2,78 juta ton pada Maret 2019 dan menghasilkan devisa negara yang sangat signifikan bagi perekonomian Indonesia (Anonim, 2019). Pemanfaatan minyak kelapa sawit dalam dunia kesehatan terutama obat-obatan dan kosmetik masih sangat terbatas padahal jenis minyak ini berpotensi dijadikan sebagai antioksidan yang bermanfaat untuk kulit.

CPO diperoleh dari lapisan serabut/kulit buah sawit melalui proses pengolahan minyak sawit (Anonim, 2007). Pada suhu kamar, CPO adalah minyak yang setengah padat. Warna merah jingga dikarenakan adanya kandungan karoten (provitamin A) dan vitamin E dalam jumlah yang banyak (0,05-0,20%). Karotenoid ini berfungsi sebagai antioksidan untuk tubuh dan dapat menangkal radikal bebas sehingga mencegah pembentukan kerut pada kulit (Anonim, 2007; Ng et al., 2013; Yuliasari et al., 2014). CPO juga bersifat nontoksik dan mudah diperoleh. Oleh karena itu, CPO dapat digunakan secara potensial sebagai sediaan kosmetik antioksidan pada kulit. Namun, CPO sebagian besar terdiri dari trigliserida yang bersifat minyak dan kurang nyaman untuk digunakan dalam sediaan kosmetik (Flanagan dan Singh, 2006) sehingga CPO perlu diformulasikan dalam bentuk emulsi atau mikroemulsi untuk meningkatkan keberterimaan pengguna.

Mikroemulsi merupakan suatu sistem dispersi yang dikembangkan dari sediaan emulsi. Sistem ini stabil secara termodinamika, jernih, dan transparan (Talegaonkar et al., 2008; Dijaz, 2013). Mikroemulsi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sediaan emulsi konvensional, yaitu stabil dalam jangka waktu lama secara termodinamika, mempunyai daya larut yang tinggi serta mempunyai kemampuan penetrasi yang baik (Flanagan and Singh, 2006; Kale dan Deore, 2017). Selain itu, mikroemulsi memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan obat dan mengontrol pelepasan obat (Subramanian, 2005; Narang etal., 2007). Mikroemulsi dibentuk dengan energi yang rendah dan spontan

Page 63: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

47Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

al., 2017). Kombinasi surfaktan tween 80 dan kosurfaktan PEG 400 dalam mikroemulsi telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya menggunakan berbagai macam minyak, seperti minyak asam oleat (Asri et al., 2017), minyak zaitun (Jha et al., 2011) capmul MCM (Patel et al., 2010), minyak sereh (Hasrawati et al., 2016), dan limonene (Ramli et al., 2019). Namun, untuk formulasi mikroemulsi dengan fase minyak kelapa sawit mentah belum pernah dipublikasikansebelumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula optimum sediaan mikroemulsi mengandung CPO dengan berbagai variasi konsentrasi minyak. Formula optimum dari mikroemulsi ini akan diuji aktivitas antioksidannya sehingga dapat diketahui potensinya sebagai sediaan antioksidan alami untuk wajah.

METODOLOGI

Bahan dan AlatBahan baku yang digunakan pada

penelitian ini adalah minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang diperoleh dari PPKS Sumatera Utara, Tween 80 (Bratachem), Polietilen Glikol (PEG) 400 (Bratachema), DPPH (2,2- difenil-1-pikrilhidrazil) dan aquadest (Bratachem). Sedangkan alat yang digunakan adalah timbangan analitik (Kern/Type ADB200-4), magnetic stirrer (Velp MST Digital), alat sentrifuga (DS Lab), pH meter (Milwaukee, USA Mi150), oven (Thermo Scientific, Cat#OGS180), kulkas, Zetasizer Nano ZS, Particle Size Analyzer (PSA), Transmission Electron Microscopy (TEM), Spektrofotometer UV-Vis (Thermo Scientific), dan alat gelas lainnya.

Metode PenelitianPenelitian ini dilaksanakan

menggunakan metode eksperimental untuk melihat pengaruh variasi konsentrasi CPO terhadap karakteristik fisik dan stabilitas fisik sediaan mikroemulsi CPO. Konsentrasi komponen lain dibuat konstan. Tahapan penelitian ini terbagi menjadi 3, yaitu tahap formulasi mikroemulsi CPO, tahap evaluasi

karakteristik fisik dan stabilitas mikroemulsi, dan tahap evaluasi aktivitas antioksidan sediaanmikroemulsi.

Formulasi Mikroemulsi CPO Menggunakan Variasi Konsentrasi CPO

Metode pembuatan mikroemulsi ini diadaptasi dari penelitian Fitriani, et al. (2016) menggunakan metode Phase Titration Method. Mikroemulsi dibuat dengan mencampurkan CPO sebagai fase minyak dengan tween 80 sebagai surfaktan dan PEG 400 sebagai kosurfaktan. Dilakukan optimasi variasi konsentrasi CPO sebagai fase minyak terhadap komponen lain dalam mikroemulsi. Jumlah CPO yang dioptimasi yaitu sebesar 5% (Formula A1), 7,5% (Formula A2), dan 10% (Formula A3) dari total jumlah mikroemulsi. Jumlah tween 80 dan PEG 400 sama pada tiap-tiap formula yaitu sebesar 30%. Perbandingan tween 80 dan PEG 400 menggunakan hasil dari penelitian sebelumnya (Syafitri, et al., 2019) dengan perbandingan tween 80:PEG 400 sebesar 2:1. Setelah itu, campuran diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 750 rpm selama 30 menit. Campuran fase minyak dan surfaktan tersebut diteteskan air (ditambahkan hingga 100%) sedikit demi sedikit sebagai fase luar dengan kecepatan 750 rpm selama beberapa waktu. Ketiga formula dengan variasi konsentrasi CPO tersebut dibandingkan hasil evaluasi fisik dan stabilitasnya. Formula terpilih adalah formula yang menunjukkan karakteristik fisik dan stabilitas yang baik yang kemudian dievaluasi aktivitas antioksidannya.

Evaluasi dan Karakterisasi Fisik Mikroemulsi CPO

Evaluasi mikroemulsi CPO meliputi evaluasi organoleptik, bobot jenis, penentuan pH, Pengukuran Globul dan Indeks Polidispersitas, Pengukuran Zeta Potensial, Uji Stabilitas Fisik Mikroemulsi, dan Morfologi Mikroemulsi.

Optimasi Formula Mikroemulsi Berbahan ... (Erga)

Page 64: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

48Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

OrganoleptikPengamatan dilakukan terhadap

sediaan mikroemulsi yang dilakukan selama 28 hari dengan mengamati adanya perubahan pada warna, bau, kejernihan, dan endapan.

Bobot JenisPenentuan bobot jenis sediaan

dilakukan dengan menggunakan piknometer pada suhu 25ºC. Piknometer kosong ditimbang sebagai W0, kemudian piknometer yang berisi mikroemulsi dihitung sebagai W1dan ditimbang piknometer berisi air (Wair). Bobot jenis sediaan akan didapat dari persamaan berikut ini:

Bobot Jenis (g/mL) = (W1-W0) / (Wair- W0)

Pengukuran GlobulPengukuran globul mikroemulsi

menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA) (Silva et al., 2013). Sebelumnya sampel diencerkan terlebih dahulu dengan aquadest dengan perbandingan 1:100 (v/v) dan dilakukan 3 kali replikasi. Sampel dimasukkan ke dalam alat dan hasil pengukuran ditampilkan pada layar.

Pengukuran Zeta PotensialZeta Potensial sediaan mikroemulsi

diukur menggunakan metode dynamic light scattering dengan alat Zetasizer Nano ZS (Silva et al., 2013). Sebelumnya sampel diencerkan terlebih dahulu dengan aquadest dengan perbandingan 1:100 (v/v) dan dilakukan 3 kali replikasi. Sampel dimasukkan ke dalam alat dan hasil pengukuran ditampilkan pada layar.

Penentuan pHElektroda dicelupkan ke dalam air

sebelumnya untuk dibilas dan kemudian dimasukkan ke dalam mikroemulsi sampai terlihat angka yang muncul pada instrumen. Jika angka tersebut konstan dan tidak bergerak, maka angka tersebut dinyatakan sebagai pH mikroemulsi.

Uji Stabilitas Fisik MikroemulsiFormula mikroemulsi CPO diuji

dengan 3 studi stabilitas (Pamudji et al., 2012), yaitu :

a. Uji Stabilitas Fisik pada suhu 25ºC : Uji stabilitas dilakukan selama 28 hari dan diamati adanya ketidakstabilan seperti creaming dan cracking.

b. Uji Sentrifugasi: mikroemulsi disentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 3500 rpm dan dan diamati adanya ketidakstabilan seperti creaming dan cracking.

c. Siklus Freeze Thaw : mikroemulsi ditempatkan pada suhu -21ºC dan 25ºC dengan waktu penyimpanan pada setiap suhu selama 48 jam. Kemudian diamati adanya ketidakstabilan seperti creaming dan cracking.

Morfologi MikroemulsiMorfologi mikroemulsi diamati dengan

Transmission Electron Microscopy (TEM) dengan perbesaran 15000x.

Uji Aktivitas Antioksi dan Mikroemulsi CPO

Pengujian aktivitas antioksidan sediaan mikroemulsi CPO ini diadaptasi dari penelitian Syafitri et al. (2019). Formula mikroemulsi terbaik dilarutkan ke dalam metanol kemudian dibuat dalam beberapa konsentrasi yaitu 0,15 µg/mL,15µg/mL, 30µg/mL, 45µg/mL, 60 µg/mL, 75 µg/mL, dan 90µg/mL. DPPH sebanyak 50 µg/mL kemudian direaksikan ke dalam sampel dengan perbandingan 1:1. Setelah direaksikan, dilakukan inkubasi selama 30 menit di tempat gelap. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Sinar tampak pada panjang gelombang maksimal 517 nm. Pelarut metanol digunakan sebagai blanko, larutan DPPH 50 µg/mL sebagai kontrol, dan asam askorbat sebagai pembanding. Aktivitas peredaman DPPH pada mikroemulsi didapatkan dari persentase penurunan absorbansi larutan DPPH pada sampel uji. Konsentrasi sampel uji yang menyebabkan penurunan

Page 65: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

49Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

50% aktivitas DPPH didefinisikan sebagai IC50. IC50 peredaman DPPH sampel dapat dihitung melalui kurva kalibrasi yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi dan absorbansi sampel uji.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi Sediaan MikroemulsiMikroemulsi pada penelitian ini

dibuat dengan metode titrasi fase (Phase Titration Method). Metode ini dipilih karena lebih sederhana dan relatif lebih murah dibandingkan dengan metode Phase Inversion Temperature (PIT). Selain itu, globul yang dihasilkan cenderung lebih homogen karena pembentukan globul didasarkan pada kecepatan dalam lama pengadukan yang konstan. Surfaktan dan kosurfaktan akan membentuk lapisan film rapat di antara globul-globul minyak selama proses pengadukan. Proses pengadukan juga diperlukan untuk memecah minyak dan membentuk globul-globul dengan ukuran kecil. Oleh karena itu, diperlukan beberapa optimasi dalam metode ini, yaitu optimasi jumlah PEG 400 dan optimasi jumlah CPO.

Pada penelitian sebelumnya (Al Abood et al. 2013; Syafitri et al. 2019) telah dibuktikan bahwa kombinasi tween 80 dan PEG 400 merupakan pilihan yang tepat untuk menghasilkan sediaan mikroemulsi dengan karakteristik dan stabilitas fisik yang baik. Dari penelitian tersebut, diperoleh bahwa kombinasi tween 80:PEG 400 sebesar 2:1 menghasilkan formula yang jernih dan stabilitas yang baik selama 7 hari. Oleh karena itu, pada penelitian ini kombinasi tween 80:PEG 400 dibuat konstan sebesar 2:1. Selain itu, jumlah surfaktan dan kosurfaktan dibuat tetap sebesar 30% (b/b). Hal ini disebabkan karena konsentrasi surfaktan yang tinggi (melebihi 30%(b/b)) dari keseluruhan formula dapat mengakibatkan iritasi pada kulit.

Optimasi jumlah CPO dilakukan untuk melihat perbedaan fisik dan stabilitas mikroemulsi yang dihasilkan dengan berbagai persentase CPO. Komposisi ketiga formula tersebut dapat terlihat pada Tabel 1. Kemudian formula- formula tersebut dievaluasi dan dibandingkan karakteristik fisik dan stabilitasnya.

Tabel 1. Formula Optimasi Jumlah CPO

FormulaTween 80 :

PEG 400 (%)CPO (%)

Air (%)

Bobot Jenis (g/mL)

Ukuran Globul Rata-rata (nm)

ZetaPotensial (mV)

A1 30 5 65 1,024 ± 6,15x10-5

288,87 ± 20,94 -0,36

A2 30 7,5 62,5 1,029 ± 8,05x10-5

574,2 ± 25,04 -0,87

A3 30 10 60 1,026 ± 6,15x10-5

832,07 ± 27,84 2,91

OrganoleptikEvaluasi pertama adalah evaluasi

organoleptik, dimana evaluasi ini dilakukan dengan menyimpan mikroemulsi pada suhu ruang (25ºC) selama 28 hari. Sediaan mikroemulsi yang diharapkan adalah yang memiliki penampakan jernih, warna kuning dan tidak terbentuk adanya endapan. Hasil evaluasi organoleptik dapat dilihat pada

Tabel 2 dan Gambar 1. Dari hasil evaluasi, terlihat bahwa formula A1 menunjukkan evaluasi fisik yang paling baik sampai hari ke-21. Sedangkan formula A2 dan A3 mengalami kekeruhan pada hari ke-21 dan ke-14. Hal ini dapat disebabkan karena tingginya konsentrasi minyak sehingga memungkinkan terjadinya inversi fasa atau keluarnya fase minyak dari fase dalam dan menyebabkan kekeruhan. Bentuk morfologi

Optimasi Formula Mikroemulsi Berbahan ... (Erga)

Page 66: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

50Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

formula A1 dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa globul sediaan mikroemulsi A1 berbentuk sferis dan seragam antar globul satu dengan globul yang lainnya. Selain itu, jarak antar globul terpisah dengan baik. Hal ini sejalan dengan hasil zeta potensial dimana zeta

potensial formula mikroemulsi A1 sebesar -0,36 mV. Zeta potensial ini menunjukkan muatan permukaan antarglobul mikroemulsi yang menghasilkan jarak antar globul, sehingga globul tidak saling menyatu atau membentuk flok.

Tabel 2. Hasil Organoleptik Formula Optimasi Jumlah CPO

Formula Pengamatan Hari ke-0 7 14 21 28

A1 Jernih Jernih Jernih Jernih Agak keruhWarna kuning Warna kuning Warna kuning Warna kuning Warna kuning

Tidak ada endapan

Tidak ada endapan

Tidak ada endapan

Tidak ada endapan

Tidak ada endapan

Jernih Jernih Jernih Agak keruh Agak keruh

A2 Warna kuning Warna kuning Warna kuning Warna kuning Warna kuning

Tidak adaendapan

Tidak ada endapan

Tidak ada endapan

Tidak ada endapan

Tidak ada endapan

A3 Jernih Jernih Sedikit ada Agak keruh Agak keruh

Warna kuning Warna kuning minyak yang Sedikit ada Sedikit ada

Tidak ada endapan

Tidak ada endapan

terpisah, warna kuning

minyak yang terpisah, warna kuning

minyak yang terpisah, warna kuning

b

d e f

g h i

c a

Gambar 1. Hasil Organoleptik Mikroemulsi selama 28 Hari. Formula A1 pada Hari Pertama (a), Hari ke-14 (b) dan Hari ke-28 (c). Formula A2 pada Hari Pertama (d), Hari ke-14 (e) dan Hari ke-28 (f). Formula A3 pada Hari Pertama (g), Hari ke-14 (h) dan Hari ke-28 (i).

Page 67: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

51Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Bobot Jenis

Gambar 2. Morfologi Mikroemulsi A1 (Perbesaran 15.000x) bahwa rendahnya viskositas mikroemulsi.

Hasil pengukuran bobot jenis mikroemulsi dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil pengukuran terlihat bahwa bobot jenis formula A1, A2, dan A3 tidak jauh berbeda dengan air sehingga dapat disimpulkan bahwa mikroemulsi yang terbentuk adalah jenis mikroemulsi minyak dalam air karena banyaknya komposisi air. Mikroemulsi dengan komposisi air yang banyak menunjukkan

Hal ini dapat menjadi kekurangan dari sediaan karena viskositas yang rendah dapat mempercepat pembentukan creaming (Al Abood et al. 2013). Namun, viskositas yang rendah ini dapat memberikan keuntungan pada konsumen dalam menggunakan sediaan mikroemulsi sebagai anti kerut. Viskositas yang rendah akan memudahkan konsumen mengaplikasikan sediaan pada wajah dan memungkinkan zat aktif tersebar merata di seluruh area wajah dengan usapan yang lembut.

Pengukuran GlobulDari hasil pengukuran globul emulsi

(Tabel 1), diperoleh bahwa semakin besar komposisi CPO maka semakin besar pula ukuran globul yang diperoleh. Hal tersebut terlihat dari data yang menunjukkan bahwa formula A3 memiliki globul yang paling besar di antara 3 formula lainnya. Oleh karena itu, komposisi minyak dalam formula sangat menentukan ukuran globul mikroemulsi.

Namun, ukuran globul emulsi masih belum masuk ke dalam rentang optimum, yaitu sebesar 20-200 nm (Okyar, et al. 2012). Ukuran globul yang mendekati nilai optimum adalah formula A1. Pembesaran ukuran ini dapat disebabkan karena terbentuknya misel yang memiliki ukuran yang lebih besar, sekitar 5-5000 nm (Agoes, 2012). Hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan kecepatan pengadukan sehingga gaya kinetik akan meningkat. Peningkatan gaya kinetik akan membantu memecah globul menjadi lebih kecil.

Pengukuran Zeta Potensial

Pengukuran zeta potensial dilakukan untuk mengukur muatan permukaan dari globul yang berfungsi untuk mempertahankan globul untuk tetap berada pada jarak optimum dan tidak menyatu (Kale dan Deore 2017; Wang, 2014). Nilai optimum zeta potensial sediaan mikroemulsi berkisar antara +30 mV hingga -30 mV, dengan nilai paling optimum yaitu mendekati 0 (Wang, 2014). Dari hasil pengukuran zeta potensial yang tertera pada tabel 1, terlihat bahwa formula yang memiliki nilai zeta potensial mendekati 0 adalah formula A1. Dari ketiga formula terlihat bahwa semakin banyak komposisi CPO maka nilai zeta potensial semakin menjauhi nilai 0. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyaknya komposisi minyak dalam sediaan mikroemulsi akan menurunkan stabilitas dari mikroemulsi. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi atau semakin rendah nilai zeta potensial, gaya tarik menarik akan meningkat dan memungkinkan terjadinya flokulasi (Wang, 2014; Silva et al. 2013).

Pengukuran pH

Pengukuran pH penting dilakukan pada evaluasi sediaan mikroemulsi untuk mengetahui kesesuaian pH sediaan dengan pH kulit. Untuk sediaan kosmetik atau yang berkontak dengan kulit, pH normal yang diharapkan sebesar 4,5-6,5 (Ali dan Yosipovitch, 2013). Jika terlalu asam atau

Optimasi Formula Mikroemulsi Berbahan ... (Erga)

Page 68: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

52Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

terlalu basa, sediaan dapat mengiritasi kulit. Fluktuasi pH ketiga sediaan mikroemulsi yang disimpan pada suhu 25ºC selama 28 hari dapat dilihat pada Gambar 3. Selama pengamatan 14 (empat belas) hari, terlihat bahwa pH ketiga formula masuk ke dalam rentang yang dipersyaratkan, sehingga tidak

mengiritasi kulit. Pada hari ke-28, ketiga formula melewati batas persyaratan, yaitu di atas 6,5. Untuk mempertahankan pH sediaan tetap stabil selama penyimpanan, formula dapat ditambahkan larutan penyangga atau buffer (Adi et al. 2019).

Gambar 3. Hasil Pengukuran pH Sediaan Mikroemulsi.

Pengujian Stabilitas Fisik pada Suhu 25ºC

Uji stabilitas terdiri dari 3 uji, yaitu uji stabilitas fisik pada suhu 25ºC, uji sentrifugasi, dan uji Freeze Thaw. Uji stabilitas fisik pada suhu 25ºC diperlukan

untuk mengetahui kestabilan mikroemulsi apabila disimpan pada suhu ruang selama 28 hari (Cinar, 2017). Hasil pengujian stabilitas fisik sediaan mikroemulsi terlihat pada Tabel3.

Tabel 3. Hasil Uji Stabilitas Fisik Sediaan Mikroemulsi pada Suhu 25ºC

Formula Pengamatan Hari ke-7 14 21 28

A1 Stabil Stabil Stabil StabilA2 Stabil Stabil Stabil StabilA3 Stabil Minyak sedikit terpisah,

namun dapat didispersikan kembali

Minyak sedikit terpisah, namun dapat didispersikan kembali

Minyak sedikit terpisah, namun dapat didispersikan kembali

Dari hasil pengamatan (Tabel 3), tidak ditemukan adanya ketidakstabilan berupa creaming ataupun pemisahan fasa pada formula A1 dan A2. Namun pada formula A3 pada minggu ke-14, ditemukan adanya sedikit keterpisahan

fasa, namun masih dapat didispersikan kembali dengan pengocokan ringan. Hal ini dapat diakibatkan karena kurang tepatnya komposisi antara minyak, air, dan surfaktan dalam formula tersebut.

Page 69: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

53Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Pengujian SentrifugasiUji sentrifugasi bertujuan untuk melihat

ketahanan mikroemulsi terhadap agitasi atau getaran. Dari hasil uji sentrifugasi yang terlihat pada Gambar 4, ketiga formula tersebut tetap stabil setelah agitasi, ditandai dengan tidak adanya creaming ataupun pemisahan fasa pada sediaan.

Tabel 4. Hasil Evaluasi Siklus Freeze Thaw Sediaan Mikroemulsi

Formula Ukuran Globul setelah Freeze thaw 3 siklus (nm)

A1 287,6A2 673A3 1080

Pengujian AntioksidanPada penelitian ini digunakan IC50

sebagai parameter untuk pengukuran kekuatan antioksidan dari sediaan mikroemulsi CPO. Nilai IC50 adalah besaran konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat 50% aktivitas radikal bebas. Semakin kecil nilai IC50, semakin baik aktivitasnya sebagai antioksidan.

Pengujian aktivitas antioksidan ini diujikan pada formula yang menunjukkan karakterisasi fisik terbaik, yaitu formula mikroemulsi A1. Pada penentuan nilai IC50 sediaan mikroemulsi A1, diperoleh nilai IC50 sebesar 10,5 µg/mL. Nilai tersebut digolongkan sebagai aktivitas yang sangat kuat, karena semakin rendah

IC50, semakin tinggi aktivitas antioksidan yang dihasilkan (Shekhar dan Anju, 2014). Selain itu, aktivitas antioksidan tersebut digolongkan memiliki aktivitas yang sangat kuat karena memiliki nilai IC50 < 50 µg/mL (Blois, 1958). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sediaan mikroemulsi CPO ini berpotensi besar untuk dijadikan sediaan obat untuk mencegah penuaan dini pada kulit yang disebabkan oleh radikal bebas.

SIMPULAN

Berdasarkan evaluasi organoleptik, ukuran globul, dan pengujian stabilitas, diperoleh bahwa formula optimum dari penelitian ini adalah formula A2 yang mengandung 5% (b/b) CPO, 20% (b/b) tween 80, 10% (b/b) PEG 400, dan 65% (b/b) air. Hasil evaluasi formula menunjukkan bahwa formula ini memiliki ukuran globul sebesar 288,87 ± 20,94 nm, zeta potensial sebesar -0,36 mV, bobot jenis 1,024 ± 6,15x10-5g/

Gambar 4. Hasil Uji Sentrifugasi Sediaan Mikroemulsi (a) A1, (b) A2, (c) A3.

Pengujian Siklus Freeze ThawUji Freeze Thaw dilakukan selama

3 (tiga) siklus untuk melihat kestabilan mikroemulsi terhadap perubahan suhu ekstrim. Hasil yang diamati adalah perubahan ukuran globul yang dihasilkan setelah siklus berakhir. Hasil dari siklus Freeze Thaw dapat dilihat pada Tabel 4.

Dari tabel 4 terlihat bahwa ukuran globul formula A1 relatif stabil, namun terjadi pembesaran globul signifikan pada A2 dan A3. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak komposisi minyak pada sediaan mikroemulsi (Tabel 1), globul yang terbentuk semakin besar. Ukuran globul yang besar ini dapat meningkatkan kemungkinan adanya flokulasi atau penggabungan dua globul. Penggabungan dua globul atau lebih ini dapat menurunkan stabilitas dari mikroemulsi. Oleh karena itu, penambahan komposisi minyak yang terlalu banyak tidak disarankan karena dapat mempengaruhi stabilitas dari sediaan mikroemulsi.

Optimasi Formula Mikroemulsi Berbahan ... (Erga)

Page 70: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

54Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

mL, dan pH berada pada rentang 4,5-6,5. Dari evaluasi stabilitas diperoleh bahwa sediaan stabil dalam penyimpanan selama 28 hari di suhu ruang (25ºC), stabil terhadap perubahan suhu ekstrim dan agitasi. Sediaan mikroemulsi CPO ini memiliki nilai IC50 sebesar 10,5 µg/mL dan menunjukkan aktivitas antioksidan yang kuat. Dari hasil evaluasi fisik dan uji aktivitas antioksidan dapat disimpulkan bahwa sediaan mikroemulsi CPO memiliki karakterisasi fisik dan kestabilan yang baik sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai sediaan antioksidan pada kulit.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Lembaga Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LP3) ITERA atas dana hibah penelitian yang telah diberikan melalui program Hibah ITERA SMART2019.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adi, I. A., Mulyani, S., & Harsojuwono,B. A. 2019. Pengaruh Penambahan pH Buffer-Ekstrak Kunyit, Ekstrak Daun Asam dan Kombinasi Ekstrak Kunyit - Daun Asam (Curcuma domestica Val. - Tamarindus indicia L.) Terhadap Karakteristik Krim. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Agroindustri, 347-357.

2. Agoes, G. 2012. Mikroemulsi, In : Sediaan farmasi likuida-semisolida. Bandung:ITB.

3. Al Abood, R. M., Talegaonkar, S., Tariq, M., & Ahmad, F. J. 2013. Microemulsion as a tool for the transdermal delivery of ondansetron for the treatment of chemotherapy induced nausea and vomiting. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces,143-151.

4. Ali, S. M., & Yosipovitch, G. 2013. Skin pH: From Basic Science to Basic Skin Care. Acta Dermato Venereologica, 261- 267.

5. Anonim. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Jakarta: DepartemenPerindustrian.

6. Anonim, 2019. pertanian.go.id. Retrieved April 1 2 , 2020, from https://www.pertanian.go.id/home/?show =news&act=view&id=3743

7. Asri, M., Daik, R., & Ramli, S. 2017. Study on the effect of oil phase and co- surfactant on microemulsion systems. Malaysian Journal of Analytical Sciences, 1409-1416.

8. Blois MS, 1958. Antioxidant determination by the use of stable radicals, Nature, 181:1199-2000.

9. Cinar, K. 2017. A Review on Nanoemulsions: Preparation Methods and Stability. Trakya University Journal of Engineering Sciences,73-83.

10. Dijaz, S. M. 2013. Preparation and study of vitamin A palmitate microemulsion drug delivery system and investigation of co-surfactant effect. Journal of Nanostructure inChemistry.

11. Fitriani, E.W., Imelda E., Kornelis C., Avanti C. 2016. Karakterisasi dan Stabilitas Fisik Mikroemulsi Tipe A/M dengan Berbagai Fase Minyak. Pharm Sci Res. 3(1):2407-2354.

12. Flanagan, J., & Singh, H. 2006. Microemulsions: A Potential Delivery System for Bioactives in Food. Critical Reviews in Food Sciences and Nutrition, 221-237.

13. Hasrawati, A., Hasyim, N., & Irsyad, N. A. 2016. Pengembangan Formulasi Mikroemulsi Minyak Sereh (Cymbopogon nardus) Menggunakan Emulgator Surfaktan Nonionik. Jurnal Fitofarmaka Indonesia,151-154.

14. Jha, S. K., Karki, R., Venkatesh, D. P., & Geethalakshami, A. 2011. Formulation Development & Characterization of Microemulsion Drug delivery systems Containing Antiulcer drug. International Journal of Drug Development and Research,336-343.

15. Kale, S. N., & Deore, S. L. 2017. Emulsion Micro Emulsion and Nano

Page 71: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

55Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Emulsion: A Review. Systematic Reviews in Pharmacy,39-47.

16. Narang, A. S., Delmarre, D., & Gao, D. 2007. Stable Drug Encapsulation in Micelles and Microemulsion. International Journal of Pharmaceutics,9-25.

17. Nasution, Z. A., & Limbong, H. P. 2019. Karakterisasi Arang Cangkang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pembantu Untuk Meningkatkan KesuburanTanah Berdasarkan Kromatografi GC-MS.Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 62-68.

18. Ng, S. H., Woi, P. m., Basri, M.,& Ismail, Z. 201. Characterization of structural stability of palm oil esters-based nanocosmeceuticals loaded with tocotrienol. Journal of Nanobiotechnology, 11(27).

19. Okyar, A., Ozsoy, Y., & Gungor, S. 2012. Rheumatoid arthritis treatment : novel formulation approaches for dermal and transdermal delivery of non-steroidal anti- inflammatory drugs. Istanbul:InTech.

20. Pamudji, J. S., Darijanto, S. T.,& Rosa, S. 2012. Formulasi dan Evaluasi Mikroemulsi Minyak dalam. Acta Pharmaceutica Indonesia, 146-152.

21. Patel, V., Kukadiya, H., Mashru, R., Surti, N., & Mandal, S. 2010. Development of Microemulsion f o r Solubility Enhancement of Clopidogrel. Iranian Journal of Pharmaceutical Research, 327-334.

22. Ramli, S., Chyi, K. T., Zainuddin, N., Mokhtar, W. N., & Abdul Rahman, I. 2019. The Influence of Surfactant/Co- Surfactant Hydrophilic-Lipophilic Balance on the Formation of Limonene-

Based Microemulsion as Vitamin C Carrier. Sains Malaysiana,1035-1042.

23. Shekhar, T. C., & Anju, G. 2014. Antioxidant Activity by DPPH Radical Scavenging Method of Ageratum conyzoides Linn. Leaves. American Journal of Ethnomedicine,244-249.

24. Silva, A. E., Barratt, G., Cheron , M., & Egito, E. S. 2013. “Development of oil-in- water microemulsions for the oral delivery of amphotericin B. International Journal of Pharmaceutics,641-648.

25. Subramanian. 2005. Formulation and Physicochemical. Characterization of Microemulsion System Using Isopropyl Miristate, Medium Chain Glyceride, Polysorbate 80 and Wate. Chemical and Pharmaceutical Bulletin,1530-1535.

26. Syafitri, E., Adliani, N., Khoirunnisa, S. M., & Frima, F. K. 2019. The Formulation and Physical Evaluation of CPO Based- Microemulsion. International Conference on Science, Infrastructure Technology and Regional Development (ICoSITeR) 2019. Lampung Selatan: Institut Teknologi Sumatera.

27. Talegaonkar, S., Azeem, A., & Ahmad,F. J. 2008. Microemulsions: A Novel Approach to Enhanced Drug Delivery. Recent Patents on Drug Delivery & Formulation, 238-257.

28. Wang, Y. 2014. Preparation of Nano- and Microemulsions using Phase Inversion and Emulsion Titration Methods. Auckland: Massey University.

29. Yuliasari, S., Fardiaz, D.,Andarwulan, N., & Yuliani, S. 2014. Karakterisasi Nanoemulsi Minyak Sawit Merah yang Diperkaya Beta Karoten. Jurnal Littri, 20(3).

Optimasi Formula Mikroemulsi Berbahan ... (Erga)

Page 72: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

56Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

PENDAHULUAN

Warna merupakan salah satu karakteristik yang membuat suatu produk menjadi lebih menarik untuk diminati. Selain itu, penambahan warna dalam suatu produk dapat meningkatkan variasi produk, menambah nilai artistik, dan dapat juga dipakai sebagai sarana identifikasi produk sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi suatu produk. Saat ini sering ditemukan penggunaan pewarna sintetik dalam berbagi macam industri seperti tekstil, makanan, kosmetik dan farmasi. Pewarna sintetik

STABILITAS DAN EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN ZAT WARNA ANTOSIANINTEPUNG KAKAO TANPA FERMENTASI (Theobroma cacao L) SECARA IN VIVO

Antioxidant Stability and Effectiveness of Antosianin Pigmen from Unfermented Cocoa Flour (Theobroma cacao L) by in vivo Method

Medan Yumas, Justus E. Loppies, dan Alfrida Lullung S.Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. Abdurahman Basalamah No. 28 Makassare-mail: [email protected]

Abstract : Unfermented cocoa flour are known to contain polyphenol compounds called flavonoid which are anthocyanin dyes which can function as antioxidants and active ingredients. The ability of anthocyanin as an antioxidant and active ingredient is a consideration to be applied to a cosmetic or food product. This research aims to determine the antioxidants stability and effectiveness of anthocyanin pigmen of non-fermented cocoa beans by invivo method. The stages of the study consisted of making non-fermented cocoa powder, extraction of anthocyanin compounds by maceration using ethanol and citric acid, and anthocyanin pigmen testing. The results showed that the best anthocyanin pigment from non-fermented cocoa beans with the at pH 2.89. This anthocyanin pigment has a maximum wave length of 565 nm with the highest anthocyanin was 0.412, has a more stable brownish red color, has an antioxidant effect, not toxicity or irritating to the skin, however, toxicity or irritating to theeye.

Key words: Unfermented cocoa flour, anthocyanin, extraction, antioxidants, in vivo

Abstrak : Tepung kakao tanpa fermentasi diketahui mengandung senyawa polifenol golongan flavonoid yaitu zat warna antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan dan bahan aktif. Kemampuan antosianin sebagai antioksidan dan bahan aktif merupakan pertimbangan untuk diaplikasikan pada suatu produk kosmetik atau pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas dan efektivitas antioksidan dari zat warna antosianin tepung kakao tanpa fermentasi secara in vivo.Tahapan penelitian terdiri dari pembuatan tepung kakao tanpa fermentasi, ekstraksi senyawa antosianin secara maserasi menggunakan etanol dan asam sitrat, serta uji zat warna antosianin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zat warna antosianin dari tepung kakao tanpa fermentasi yang terbaik adalah zat warna antosianin dengan pH 2,89. Zat warna antosianin ini memiliki panjang gelombang maksimum 565 nm dengan serapan antosianin tertinggi sebesar 0,412, memiliki warna merah kecoklatan yang lebih stabil, memiliki efek dan aktivitas antioksidan pada kulit dan mata, tidak bersifat toksik atau iritasi pada kulit, namun bersifat toksik atau iritasi pada mata.

Kata kunci: Tepung kakao tanpa fermentasi, antosianin, ekstraksi, antioksidan, in vivo

sendiri dapat berdampak buruk terhadap kesehatan dan juga lingkungan.

Upaya mengurangi dampak negatif penggunaan pewarna sintetis dan bahan aktif sintetis dalam produk kosmetik, produk makanan, dan produk farmasi adalah menggunakan bahan pewarna alami dan bahan aktif alami atau herbal yang ramah lingkungan. Kembalinya perhatian ke penggunaan pewarna alami dan bahan aktif alami yang dikenal dengan istilah back to nature dianggap sebagai solusi dan sebagai hal yang bermanfaat.

Page 73: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

57Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

terutama golongan senyawa flavonoid, alkaloid, katekin, steroid/terpenoid dan tannin yang bersifat antioksidan. Kusuma, et al., (2013) juga melaporkan bahwa biji kakao mengandung senyawa polifenol 5-18%, katekin 33-42%, leukosianidin 23-25%, dan antosianin 5% yang memiliki aktivitas antioksidan dan memiliki potensi sebagai sumber warna alami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas dan efektivitas antioksidan zat warna antosianin biji kakao non fermentasi secara invivo.

BAHAN DAN METODOLOGI

Waktu dan TempatPenelitian ini dilakukan pada bulan

Februari-November 2017 di Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar.

Alat dan BahanAlat yang digunakan pada penelitian

ini antara lain: timbangan kapasitas 5 kg, neraca analitik (sartorius), lumpang alu, rotary evaporator merek buchi, blender merek madato, oven merek Venticell 404 dan 222 MMM medcenter GmbH D 82152 Germany, penangas air, pH meter, cawan penguap (pyrex), mixer, waskom stainless steel, lumpang porcelain, corong pisah (pyrex), waterbath merek HH6 RRC, tabung reaksi (pyrex), botol plastik, beaker glass, gelas ukur 1000 ml (pyrex), gelas ukur 10 ml (pyrex), sendok takar, batang pengaduk kaca, toples kaca, masker, sarung tangan, kertas saring, dan wadah pengering.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah biji kakao tanpa fermentasi yang diperoleh dari Kabupaten Bantaeng, etanol, asam sitrat, asam asetat, natrium hidroksida, aquabides, kertas pH, kertassaring.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas 3 tahapan yaitu pembuatan tepung kakao tanpa fermentasi, ekstraksi senyawa antosianin, dan uji zat warna alami antosianin.

Salah satu zat warna alami yang sering digunakan sebagai pewarna dan bahan aktif alami adalah antosianin. Antosianin merupakan zat warna alami yang berwarna merah, ungu dan biru yang biasa terdapat pada jenis tanaman yang bergantung pada pH lingkungan termasuk ke dalam komponen bioaktif golongan flavonoid (Torskangerpoll dan Andesen, 2005; Burdulis, et al, 2009; Jensen, et al, 2011). Antosianin dapat menggantikan penggunaan pewarna sintetik rhodamin B, carmoisin, dan amaranth sebagai pewarna merah pada produk pangan. Antosianin memiliki kemampuan untuk mengikat radikal bebas dan kemampuan untuk menghambat tahap inisiasi reaksi kimiawi yang menyebabkan karsinogenesis (Arivani, 2010). Antosianin bermanfaat bagi kesehatan manusia. sebagai antioksidan (Takahata et al, 2011; Jiao et al, 2012), antineoplastik, antikarsinogenik, antidiabetes (Sancho dan Pastore, 2012), antiatherogenik, antiviral, dan efek antiinflamsi, menurunkan permeabilitas dan fragilitas kapiler, menghambat agregasi platelet, meningkatkan immunitas, serta mencegah risiko kanker hati (Choi et al., 2010). Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang larut dalam air dan aman dikonsumsi sehingga umumnya digunakan sebagai pewarna alami untuk produk makanan maupun minuman serta memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Antosianin dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam minuman penyegar, Zat warna alami ini berperan terhadap timbulnya warna merah hingga biru pada beberapa bunga, buah dan daun (Wulaningrum, et.al, 2013). Salah satu sifat dari antosianin adalah mengalami perubahan warna dan aktivitas antioksidan yang dipengaruhi oleh pH dan struktur dari antosianin (Marco et al., 2011). Struktur antosianin berubah pada pH1; pH 4.5, dan pH 7 (Lee et al, 2005).

Biji kakao tanpa fermentasi merupakan bahan alam yang potensial untuk dijadikan sebagai pewarna alami dan bahan aktif pada produk kosmetik dan pangan. Biji kakao non fermentasi mengandung senyawa polifenol

Stabilitas dan Efektivitas Antioksidan ... (Medan)

Page 74: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

58Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tepung kakao tanpa fermentasiBuah kakao dibelah dengan

menggunakan balok kayu untuk memisahkan biji kakao dari kulit buahnya. Biji kakao yang telah terpisah dari kulit buahnya dicuci bersih dengan air agar terpisah dari pulpnya. Biji kakao dikeringkan di bawah sinar matahari selama 5 hari dan setiap hari dilakukan penjemuran selama 5 jam sampai mencapai kadar air 7%. Biji kakao kering yang diperoleh, diperkecil ukurannya menggunakan blender hingga membentuk tepung. Tepung kakao tanpa fermentasi digunakan sebagai bahan untuk diekstrak senyawa antosianinya. Proses pembuatan tepung kakao tanpa fermentasi dapat dilihat pada Gambar1.

Ekstraksi senyawaantosianinEkstraksi komponen aktif dari tepung

kakao tanpa fermentasi dilakukan dengan cara maserasi. Metode ekstraksi ini telah digunakan sebelumnya oleh Wang (2008) yang telah dimodifikasi yaitu perbandingan antara bahan yang diekstrak dengan pelarut etanol yang digunakan 1 : 2,5 liter dalam suasana asam (Yumas, 2017). Sebanyak 1 kg tepung kakao tanpa fermentasi direndam dengan etanol sebanyak 2,5 liter (1:2,5) dengan penambahan asam sitrat masing-masing pH 2; pH 3; dan pH 4. Ekstraksi dilakukan secara maserasi dan didiamkan selama 2 hari (48 jam) pada suhu kamar dan masing-masing tiga kali ulangan. Hasil ekstraksi dikumpulkan lalu disaring menggunakan kertas Whatman no 41 ke dalam wadah bersih sehingga diperoleh filtrat dan residu. Selanjutnya filtrate diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50oC dengan kecepatan putar 60 rpm dan tekanan 100 mBar sampai pelarut tidak menetes lagi atau pelarut habis menguap,dan diperoleh ekstrak kental senyawa antosianin. Proses pembuatan zat warna antosianin ekstrak etanol dengan penambahan asam sitrat dari tepung kakao tanpa fermentasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Biji Kakao Kering Kadar Air 7%

Tepung Kakao Tanpa Fermentasi

Penghalusan

Penjemuran (Sinar Matahari) 5 Hari

Dicuci

Biji Kakao+Pulp

Dibelah

Buah Kakao

Gambar 1. Proses Pembuatan Tepung Kakao Tanpa Fermentasi

Buah Kakao

Dibelah

Biji Kakao+Pulp

Dicuci

Penjemuran (Sinar Matahari) 5 Hari

Pengahalusan

Page 75: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

59Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

antosianin berada sekitar 550-570 nm. Selanjutnya dilakukan penentuan panjang gelombang serapan maksimum masing-masing sampel dengan konsentrasi larutan 1000 ppm. Setelah diperoleh panjang gelombang serapan maksimum, selanjutnya ditentukan stabilitas sampel pada berbagai suhu (Ivo, et al., 2017)

Uji Efek Antioksidan Antosianin

Uji efek antioksidan antosianin menggunakan metode DPPH, di mana uji dilakukan dalam plat mikro 96 sumur Pengujian diawali dengan orientasi konsen-trasi sampel uji kemudian dilakukan uji sesungguhnya. Setiap ekstrak cair sampel uji diambil 1 ml, ditambah 10 ml dengan metanol. Selanjutnya diambil 1 ml larutan

Gambar 2. Proses Pembuatan Zat Warna Antosianin

Zat Warna Antosianin

Residu Filtrat 2 dan Filtrat 3

Maserasi etanol (1 : 2,5 liter) + asam

sitrat pH 2; pH 3; pH 4 selama 48 jam

Residu Filtrat 1

Maserasi etanol (1 : 2,5 liter) + asam

sitrat pH 2; pH 3; pH 4 selama 48 jam

Evaporasi Etanol

Disaring

Penyaringan

Tepung kakao tanpa fermentasi

Analisis Sediaan Zat Warna Antosianin

Analisis terhadap sediaan zat warna antosianin dari ekstrak etanol dengan penambahan asam sitrat dari tepung kakao tanpa fermentasi meliputi uji stabilitas, uji efek antosianin, uji iritasi pada kulit dan mata, Uji iritasi pada kulit digunakan sampel uji yang memiliki nilai serapan maksimum terjadi panjang gelombang yaitu 565 nm dan memiliki nilai serapan yang tinggi sebesar 0,412 sampel AS2, serta analisis data hasil uji.

Uji Stabilitas Zat Warna Antosianin

Penentuan stabilitas zat warna antosianin diawali dengan mencari panjang gelombang maksimum serapan antosianin. Panjang gelombang serapan maksimum

Stabilitas dan Efektivitas Antioksidan ... (Medan)

Tepung kakao tanpa fermentasi

Maserasi etanol (1:2,5 liter)+ asam

Penyaringan

Maserasi etanol (1:2,5 liter) + asam

Disaring

Etanol Evaporasi

Page 76: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

60Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

tersebut kemudian ditambah 10 ml dengan metanol, dibuat 10.000 ppm Pembanding berupa vitamin C ditambahkan metanol untuk memperoleh konsentrasi 1000 ppm. DPP ditambahkan metanol untuk memperoleh konsentrasi 60 ppm. Sejumlah volume tertentu masing-masing sampel uji ditambah volume sama larutan DPPH 60 ppm, divorteks, kemudian diinkubasi pada suhu kamar di tempat gelap, selama 30 menit. Selanjutnya diukur serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum. Sebagai blanko digunakan larutan DPPH yang diperlakukan sama. Sebagai standar digunakan vitamin C. Aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus : Aktivitas (%) = (1-(A sampel/A standar) x 100, dimana A adalah nilai absorbansi (Ivo, et al.,2017)

Uji Iritasi Pada KulitUji iritasi pada kulit digunakan sampel

uji yang memiliki nilai serapan maksimum terjadi panjang gelombang yaitu 565 nm dan memiliki nilai serapan yang tinggi sebesar 0,412 sampel AS2. Kelinci diperoleh dari peternakan kelinci di daerah Lembang.Kelinci yang digunakan adalah kelinci albino, galur New Zealand (hybrid), dengan bobot >2 kg.Kelinci diaklimatisasi terlebih dahulu selama 3 hari di Laboratorium Pemeliharaan Kelinci sebelum digunakan. Satu hari sebelum percobaan, punggung kelinci dibersihkan dari bulu dengan mencukur. Hanya kelinci dengan kulit sehat dan normal yang digunakan dalam percobaan. Selanjutnya disiapkan dua daerah uji pada punggung kelinci yang telah bersih dari bulu, masing-masing pada sisi kiri dan kanan. Pada masing-masing daerah uji dioleskan sejumlah masing-masing 0,5 ml sampel uji. Selanjutnya daerah uji ditutup dengan kasa hipoalergik, kertas selofan kemudian diperban dengan perban elastis. Kelinci dibiarkan dalam kadang dalam keadaan diperban selama 24 jam. Model uji yang digunakan adalah Uji tempel tertutup (Closed patch test). Tiap sampel diuji pada 3 kelinci. Sesuai panduan pengujian (WHO dan ISO 9003.10) pengamatan dilakukan pada T: 24, 48, dan 72 jam setelah pemberian

sampel uji (AS2). Parameter yang diamati adalah eritema-eskar dan udem serta efek–efek lain jika ada, kemudian diberi skor sesuai panduan pengujian. Berdasarkan skor eritema-eskar dan udem selanjutnya dihitung Indeks Iritasi Kutan Primer (IIKP). Sifat iritasi masing- masing sampel pada kulit ditentukan berdasarkan IIKP (Ivo, et al., 2017).

Uji Iritasi Pada MataKelinci yang digunakan adalah kelinci

yang memiliki mata sehat dan normal. Selanjutnya sejumlah 0,1 g sampel uji (AS2) ditempatkan pada kantong konjunctiva salah satu mata kelinci untuk masing-masing kelinci. Mata yang lain dari kelinci yang sama digunakan sebagai kontrol. Sesuai panduan pengujian (WHO dan ISO 10993-10, 1995) pengamatan dilakukan pada T 1, 24, 48, dan 72 jam setelah pemberian sampel. Parameter yang diamati adalah efek pada kornea (opasitas dan luas opasitas), efek pada iris, dan konjunctiva yang meliputi eritema, khemosis, dan lakrimasi serta efek–efek lain jika ada kemudian diberi skor sesuai panduan pengujian (Ivo, et al., 2017)

Analisis DataPenelitian ini menggunakan analisis

data secara deskriptif. Analisis data secara deskriptif merupakan teknik analisis yang digunakan dalam menganalisis data dengan membuat gambaran data-data yang terkumpul tanpa membuat generalisasi dari hasil penelitian tersebut. Data hasil uji laboratorium pada penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Stabilitas Warna AntosianinHasil pengukuran panjang gelombang

maksimum serapan antosianin untuk penentuan stabilitas warna antosianin pada ketiga sampel hasil ekstrak etanol dengan penambahan asam sitrat pH 2, pH 3, dan pH 4 dapat dilihat pada Tabel1.

Page 77: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

61Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 1. Serapan Sampel Ekstrak Etanol Zat Warna Antosianin Tepung Kakao Tanpa Fermentasi pada Berbagai Panjang Gelombang

Panjang gelombang (nm)

Serapan Sampel

Etanol Asam Sitrat pH 2 (AS1)

Etanol Asam Sitrat pH 3 (AS2)

Etanol Asam Sitrat pH 4 (AS3)

550 0,298 0,34 0,186555 0,285 0,346 0,189560 0,258 0,318 0,183565 0,351 0,412 0,284570 0,224 0,280 0,166575 0,206 0,260 0,159580 0,280 0,330 0,242585 0,168 0,212 0,136590 0,149 0,186 0,120595 0,120 0,154 0,100600 0,107 0,132 0,106

Hasil uji derajat keasaman (pH) zat warna antosianin dari tepung kakao tanpa fermentasi untuk masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Derajat Keasaman (pH) Sampel Ekstrak Etanol Zat Warna Antosianin Tepung Kakao Tanpa Fermentasi

Sampel Serapan SampelAS1 AS2 AS3

pH 3,34 2,89 4,30

Tabel 1 menunjukkan bahwa panjang gelombang serapan antosianin berada pada kisaran 550-570 nm dan serapan maksimum terjadi pada panjang gelombang 565 nm. Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa semakin bertambah panjang gelombang, semakin berkurang nilai serapan antosianin yang dihasilkan. Nilai serapan antosianin pada sampel AS2 pH 2,89 dan pada sampel AS1 pH 3,34 (Tabel 2) pada dasarnya tidak berbeda nyata atau memiliki kecenderungan warna antosianin yang stabil. Terjadinya kestabilan warna antosianin pada sampel AS2 dan sampel AS1 dikarenakan pada pH 2,89 dan pH 3,4 (Tabel 2) tersebut antosianin berada dalam bentuk kation flavilium yang merupakan bentuk paling stabil (pH 1-3). Bila

dibandingkan dengan serapan antosianin pada sampel AS3 dengan pH 4,30 nilai serapan antosianin mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin meningkat nilai pH maka semakin menurun nilai absorbansinya dan semakin pudar warna merah yang dihasilkan. Nilai serapan antosianin tertinggi diperoleh pada sampel AS2 sebesar 0,412 dan terendah pada sampel AS3. Antosianin pada pH rendah bersifat asam, menyebabkan elektron lebih sulit untuk terdeprotonasi sehingga antosianin menjadi sangat stabil dan sulit berikatan dengan molekul lain. Selain itu, muatan yang ada pada kation flavilum dapat menghambat terjadinya perpindahan elektron. Hal ini sesuai hasil penelitian yang dialporkan oleh Moulana, et al (2012) bahwa nilai pH sangat berhubungan dengan kadar intensitas warna dan kadar antosianin dimana perubahan warna disebabkan karena perubahan pH. Nilai pH tinggi menyebabkan terjadinya perubahan warna antosianinnya yaitu biru (pH8), hijau (pH 12), dan kuning (pH 13) yang menunjukkan tingkat perubahan warna antosianin yang dihasilkan pada proses ekstraksi.

Pada dasarnya, perubahan serapan antosianin yang berakibat pada penurunan nilai absorbansi dan perubahan warna

Stabilitas dan Efektivitas Antioksidan ... (Medan)

Page 78: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

62Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

dikarenakan nilai pH semakin meningkat. Peningkatan pH (Tabel 2) menunjukkan nilai serapan antosianin semakin menurun sehingga warna antosianin memudar akibat kation flavilium yang berwarna merah mengalami hidrasi menjadi pseudobasa hemiketal karbinol, kuinonoidal dan kalkon yang tidak berwarna. Pada pH tinggi senyawa ini cepat terhidrolisis menjadi kalkon yang terionisai sempurna. Hal inilah yang menyebabkan antosianin mudah rusak pada kondisi pH tinggi. Selain itu antosianin juga dapat terdegradasi oleh adanya oksigen dan oksidasi enzimatik, misal polifenol oksidase yang menghasilkan perubahan warna yang signifikan. Namun demikian penurunan absorbansi tersebut tidak merubah pigmen

pada hasil ekstraksi. Hal ini sejalan apa yang dikemukan oleh (Reyes dan Cisneros-Zepallos, 2007; Marco et al, 2011) bahwa perubahan warna antosianin akibat terjadinya perubahan struktur antosianin. Sedangkan menurut Suda, et al (2003) menyatakan bahwa pH 1-2, antioksidan dominan dalam bentuk kation plavilium yang berwarna merah, pada pH < 6 berubah menjadi karbinol dan sebagian menjadi kuinonoidal yang berwarna biru, pada pH 6,5-9 dominan kuinonoidal berwarna biru dan pH > 9 kalkon yang berwarna kuning. Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh pH, adapun struktur dan perubahan warna pada antosianin karena perbedaan tingkatan pH, dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 3. Struktur antosianin pada pH 1,0 dan pH 4,5 (Wrolstad et al., 2005) Stabilitas antosianin juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan.

Proses pemanasan juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan kerusakan antosianin. Hasil pengamatan stabilitas zat warna antosianin terhadap pengaruh suhu antara 40-62oC selama 10 menit dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Suhu (oC) Serapan SampelAS1 AS2 AS3

Kamar/Ruang 0,351 0,412 0,28440 0,097 0,240 0,04152 0,086 0,232 0,03662 0,074 0,215 0,027

Tabel 3. Stabilitas Zat Warna Antosianin Ekstrak Etanol Tepung Kakao Tanpa Fermentasi Setelah Disimpan pada Berbagai Suhu.

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa nilai serapan antosianin atau stabilitas zat warna antosianin mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya suhu pemanasan. Ekstrak warna merah yang diperoleh dari tepung kakao tanpa fermentasi menggunakan etanol dengan penambahan asam sitrat bersifat tidak stabil akibat pemanasan. Penurunan nilai serapan absorbansi antosianin terjadi akibat gugus kromofor zat warna atau pigmen yang menyebabkan kerusakan warna. Menurunnya stabilitas warna akibat pengaruh suhu yang tinggi diduga disebabkan terjadinya dekomposisi antosi-anin dari bentuk aglikon menjadi kalkon (tidak berwarna), bahkan pada temperatur yang tinggi antosianin mengalami degradasi menjadi produk keton. Kerusakan

Page 79: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

63Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

akibat pemanasan dapat terjadi melalui dua tahap, pertama terjadi hidrolisis ikatan glikosidik antosianin sehingga menghasilkan aglikon-aglikon yang tidak stabil, kemudian cincin aglikon terbuka membentuk gugus carbinol dan chalcone. Menurut Hidayah, et al. (2014) menyatakan bahwa suhu dan lama penyinaran menyebabkan terjadinya dekomposisi dan perubahan struktur pigmen sehingga terjadi pemucatan. Sedang kan menurut Sari dan Puspita (2005) menyatakan bahwa proses pemanasan dapat menyebabkan hilangnya warna merah dari antosianin dan meningkatnya warna coklat sebagai hasil dari degradasi dan polimerasi pigmen. Hal ini serupa dengan penelitan Laleh (2006) yang melaporkan hasil yang sama yaitu persentase penurunan antosianin pada ekstrak empat spesies buah Berberis (B. khorasanica, B. integerrima, B. orthobotrys, and B. vulgaris) semakin meningkat dengan adanya perlakuan suhu yang semakin tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hidayah, et al (2014) menyatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap stabilitas warna, dimana semakin tinggi suhu pemanasan maka absorbansi atau stabilitas warna semakin rendah sehingga warna merah akan berkurang.

Aktivitas Antioksidan Warna AntosianinAntioksidan merupakan substansi

kimia yang dapat menghambat permulaan (inisiasi) atau memperlambat kecepatan oksidasi pada bahan yang mudah teroksidasi. Aktivitas antioksidan yang tinggi menunjukan kemampuan sampel mereduksi radikal bebas yang lebih kuat. Kemampuan menangkap radikal bebas DPPH sampel didasarkan pada kemampuan mereduksi radikal bebas yang ditandai dengan penurunan intensitas warna larutan ungu, karena DPPH menangkap atom hidrogen dari senyawa fenolik sehingga terbentuk senyawa DPPH berwarna kuning yang stabil. (Marliana, 2012). Hasil pengukuran aktivitas antioksidan sampel AS1, sampel AS2, dan sampel AS3 dengan metode uji DPPH, dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Aktivitas antioksidan zat warna antosia-nin ekstrak etanol tepung kakao tanpa fermentasi pada Berbagai Konsentrasi

Konsentrasi (ppm)

% Inhibisi perendaman DPPH

AS1 AS2 AS35000 90.05 89,93 91,552500 91,39 92,21 90,941250 86,21 88,97 92,14625 71,19 76,25 85,10

312,5 54,51 56,63 71,36156,25 39,44 40,26 52,9178,125 28,50 31,72 39,06

39,0625 41,56 42,01 44,92

Tabel 4 di atas terlihat bahwa aktivititas antioksidan tertinggi untuk masing-masing sampel uji pada kosentrasi 2500 ppm dengan persentase perendaman DPPH diatas 90%. Aktivitas antioksidan untuk ketiga sampel uji berada pada kisaran 90,94%-92,21% dengan aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh pada pH 2,89 (Tabel 2) sebesar 92,91% dengan panjang gelombang 565 nm dengan serapan antosianin 0,412 (Tabel 1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa antosianin dari biji kakao non fermentasi yang diekstrak menggunakan etanol dengan penambahan asam sitrat dengan pH 2,89 (Tabel 2) memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan penambahan asam sitrat pada pH 4,30 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa semakin asam larutan antosianin semakin tinggi nilai antioksidannya dan berkorelasi positif dengan kandungan polifenol dalam ekstrak karena polifenol memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Semakin tinggi kandungan polifenol maka semakin besar aktivitas antioksidannya karena antosianin tersusun dari senyawa polifenol yang memiliki aktivitas penangkap radikal bebas. Sebaliknya semakin meningkat pertambahan nilai pH maka aktivitas antioksidan akan semakin menurun (Tabel 2). Hal ini dkarenakan pada pH rendah, densitas ion hidrogen meningkat sehingga menekan pelepasan ion hidrogen dari senyawa fenolik. Ion hidrogen ini berfungsi sebagai pendonor

Stabilitas dan Efektivitas Antioksidan ... (Medan)

Page 80: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

64Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

untuk menstabilkan radikal. Dengan meningkatnya pH maka konsentrasi ion hidrogen dalam media menurun sehingga mulai terjadi pelepasan ion hidrogen oleh senyawa antioksidan Senyawa yang bereaksi sebagai penangkap radikal akan mereduksi DPPH membentuk DPPH-H yang tereduksi. Reaksi ini diamati dengan adanya perubahan warna DPPH dari ungu menjadi kuning ketika elektron ganjil dari radikal DPPH telah berpasangan dengan hidrogen dari senyawa penangkap radikal bebas (Molyneux, 2004).

Kecenderungan pola pergerakan prosentase aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH dan kekuatan mereduksi ekstrak antosianin dari tepung kakao tanpa fermentasi (Tabel 4) menunjukkan pola pergerakan yang teratur. Dimana pola pergerakan itu terlihat dari sampel uji AS1 meningkat sampai mencapai puncak pada sampel uji AS2, lalu menurun ke sampel uji AS3. Dikaitkan dengan derajat keasaman larutan antosianin (Tabel 2) terdapat pengaruh derajat keasaman terhadap peningkatan prosentase aktivitas penangkapan radikal bebas, dimana semakin asam suatu larutan antosianin maka prosentase aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH dan kekuatan mereduksi semakin meningkat (Tabel 2 dan Tabel 4). DPPH merupakan radikal bebas yang memiliki elektron tidak berpasangan dan mempunyai absorbansi maksimum pada panjang gelombang 565 nm. Antioksidan dapat mendonorkan hidrogen atau elektron, sehingga elektron radikal pada DPPH menjadi berpasangan yang ditandai dengan berubahnya warna

DPPH. Kecepatan perubahan warna menunjukkan kekuatan penangkapan radikal bebas dari senyawa antioksidan, ditandai dengan semakin menurunnya absorbansi pada panjang gelombang 565 nm (Tabel 1).

Aktivitas antioksidan pada tepung kakao tanpa fermentasi dipengaruhi oleh nilai pH. Seiring dengan peningkatan pH maka aktivitas antioksidan akan semakin menurun (Tabel 4). Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Fathinatullabibah, et al (2014) bahwa semakin tinggi nilai pH maka aktivitas antioksidan semakin menurun. Hal ini dkarenakan pada pH rendah, densitas ion hidrogen meningkat sehingga menekan pelepasan ion hidrogen dari senyawa fenolik. Ion hidrogen ini berfungsi sebagai pendonor untuk menstabilkan radikal. Demikian juga (Tensiska, 2003) melaporkan bahwa dengan meningkatnya pH maka konsentrasi ion hidrogen dalam media menurun sehingga mulai terjadi pelepasan ion hidrogen oleh senyawa antioksidan. Biji kakao tanpa fermentasi memiliki kandungan antosianin yang berfungsi sebagai antioksidan yang relatif tinggi sehingga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sumber antioksidan alami.

Efektivitas Zat Warna Antosianin Terhadap Kulit dan Mata

Hasil uji iritasi zat warna antosianin dari tepung kakao tanpa fermentasi terhadap kulit menggunakan sampel uji AS2 karena sampel ini memiliki warna antosianin yang lebih stabil. Hasil uji zat warna antosianin ekstrak etanol tepung kakao tanpa fermentasi terhadap kulit dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Uji Iritasi Zat Warna Antosianin Ekstrak Etanol Tepung Kakao Tanpa Fermentasi Terhadap Kulit

Sampel Periodepengamatan

(jam)

Kelinci1 Kelinci2 Kelinci3 IIKP

Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0AS2 24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 072 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 81: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

65Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Hasil uji iritasi zat warna antosianin dari ekstrak etanol tepung kakao tanpa fermentasi terhadap mata menggunakan sampel uji AS2 karena sampel ini memiliki

warna yang lebih stabil. Hasil uji zat warna antosianin ekstrak etanol tepung kakao tanpa fermentasi terhadap mata dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Uji Iritasi Zat Warna Antosianin dari Tepung Kakao Tanpa Fermentasi terhadap Mata.

Sampel Periode pengamatan

Kornea Iris Konjunctiva KeteranganOpasitas Luas

opaEritema Khemosis Lakrimas i

T0 0 0 + 0 0 0 Vokalisasi, Berontak, lakrimasi, dan mata keruh

AS2 T24 2 2 - 2 3 4 Kelopak mata terbalik

T48 2 2 - 2 2 3 Kelopak mata terbalik

T72 2 2 - 2 2 2 Kelopak mata terbalik

T96 2 1 - 1 1 1 Kelopakmataterbalik

Berdasarkan hasil uji zat warna antosianin dari tepung kakao tanpa fermentasi yang diekstrak menggunakan etanol dengan penambahan asam sitrat terhadap kulit (Tabel 5) menunjukkan bahwa zat warna antosianin dengan nilai pH 2,89 (Tabel 2) tidak bersifat toksik pada kulit atau tidak bersifat mengiritasi kulit dimana indeks iritasi kutan primer adalah nol. Ini menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat pada ekstraksi senyawa antosianin tidak memberikan efek atau pengaruh nyata terhadap timbulnya iritasi pada kulit, karena asam sitrat tergolong kedalam asam-asam lemah dan nilai pH ekstrak antosianin dari biji kakao non fermentasi masih ditoleransi nilai pH kulit (Yumas,2016).

Sedangkan uji iritasi pada mata (Tabel 6) menunjukkan bahwa zat warna antosianin dari ekstrak etanol tepung kakao tanpa fermentasi dengan penambahan asam sitrat terjadi iritasi pada wilayah iris mata hewan uji (kelinci) dimana kondisi kelopak mata hewan uji tersebut mengalami iritasi berat yaitu kelopak mata hewan uji terbalik. Walaupun asam sitrat tergolong ke dalam asam-asam lemah sebagai bahan tambahan

pada proses ekstraksi zat warna antosianin, namun pH antosianin hasil ekstrak bersifat asam pH 2,89 (Tabel 1) akibatnya antosianin memberikan efek iritasi yang nyata terhadap mata pada hewan uji (kelinci) dan bersifat sangat toksik padamata.

SIMPULAN

Serapan maksimum antosianin terjadi pada panjang gelombang 565 nm dengan nilai serapan antosianin tertinggi terjadi pada sampel AS2. Kestabilan zat warna antosianin dipengaruhi oleh suhu dan pH dimana semakin tinggi suhu, warna antosianin semakin tidak stabil sedangkan semakin rendah nilai pH atau bersifat asam, zat warna antosianin semakin stabil. Zat warna antosianin pada biji kakao non fermentasi yang terbaik adalah zat warna antosianin sampel AS2. Zat warna antosianin dengan pH 2,89 memiliki panjang gelombang maksimum 565 nm dengan serapan antosianin yang tertinggi sebesar 0,412, memiliki warnah merah kecoklatan yang stabil dan memiliki efek sebagai antioksidan, tidak bersifat toksik atau iritasi pada kulit, namun bersifat toksik atau iritasi

Stabilitas dan Efektivitas Antioksidan ... (Medan)

Page 82: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

66Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

pada mata. Zat warna antosianin dari tepung kakao tanpa fermentasi berpotensi sebagai zat warna alami pada produk pangan dan kosmetik serta berfungsi sebagai antioksidan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arivani, S. 2010. Total Antosianin Ekstrak Buah Salam dan Korelasinya dengan Kapasitas Anti Peroksidasi pada Sistem Linoleat. Agrointek, 4 (2) : 121- 127

2. Burduli D, Sarkinas A, Jasutiene I, Stackevicene E, Nikolajevas L, Janulis V.2009. Comparative Study of Anthocyanin Composition, Antimicrobial and Antioxidant Activity in Bilberry (Vaccinium myrtillus L) and Blueberry (Vaccinium corymbosum L) Fruids. Acta Pol Pharm66: 399-408

3. Choi JH, Hwang YP, Choi CY, Chung YC, Jeong HG, 2010. Anti-Fibrotic Effects of The Anthocyanins Isolated From The Purple-Fleshed Sweet Potato on Hepatic Fibrosis Induced By Dimethylnitrosamine Administration in Rats. Food Chem Toxicol 48: 3137- 3143. DOI:10.1016/j.fct.2010.08.009

4. Fathinatullabibah, Kawiji,Khasanah, L.U. 2014. Stabilitas Antosianin Ekstrak Daun Jati (Tectona grandis) terhadap Perlakuan pH dan Suhu. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 3 (2) 2014 © Indonesian Food Technologists. Hal:60- 63

5. Hidayah, T., Pratjojo, W., danWidiarti, N. 2014. Uji Stabilitas Pigmen Dan Antioksidan Ekstrak Zat Warna Alami Kulit Buah Naga. Indonesian Journal of Chemical Science 3 (2) 2014.

6. Ivo, M.I, Nur, N.M, Inderiyeni. 2017. Metode Uji Stabilitas, Iritasi, Dan Efek Antioksidan. Laporan Hasil Uji. Fakultas Farmasi ITB. PT. Lapi ganeshatama Consulting.

7. Jensen M B, Bergamo CA, Payet RM, Liu X, Konczak I, 2011. Influence of Copigment Derived from Tasmannia Pepper Leaf onDavidson,s Plum Anthocyanins. J Food Sci 76: C447- C453. DOI: 10.1111/j.1750- 3841.2011.02077

8. Jiao Y, Jiang Y, Zhai W, Yang Z. 2012. Studies on Antioxidant Capacity of Anthocyanin Extract From Purple Sweet Potato (Ipomoea batatas L). Afr J Biotechnol 11: 7046-7054. DOI: 10.5897/AJB 11.3859

9. Kusuma, Y.T.C., Suwarsono, S dan Yuwanti, S. 2013. Pemanfaatan Biji Kakao Inferior Campuran Sebagai Sum-ber Antioksidan Dan Antibakteri. Berkala Ilmiah Pertanian Vol. 1 (2): 33- 37

10. Laleh, G.H.,l. 2006. The Effect of Light, Temperature, pH and Species on Stability of Anthocyanin Pigments in Four Berberis Species. Pakistan Journal of Nutrition 5 (1): 90-92,2006

11. Lee, J., Durst, R. W., and Wrolstad,R. E. 2005, Determination of Total monomeric Anthocyanin Pigment Content of Fruit Juices, Beverages, Natural Colorants, and Wines by the pH Differential Method: Collaborative Study. Jurnal of AOAC International Vol. 88, No. 5, pp.1269-1278.

12. Marco PH, Poppi RJ, Scarminio IS, Tauler R. 2011. Investigation of The pH Effect And UV Radiation onKinetic Degradation of anthocyanin Mixtures Extracted From Hibiscus acetosella. Food Chem 125: 1020-1027. DOI: 10.1016/j.foodchem.2010.10.005

13. Marliana, E. 2012. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Andong (Cordyline fruticosa[L] A. Cheval). Mulawarman Scientifie, Volume 11, Nomor 1, April 2012

14. Moulana, R., Juanda., Rahaya, S., dan Rasika, R. 2012. Efektivitas Penggunaan Jenis Pelarut dan Asam Dalam Proses Ekstraksi Pigmen antosianin Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L). Jurnal Teknologi Pertanian Indonesia Vol (4) No. 3 2012. Hal:20-25.

15. Molyneux, P. 2004. The Use of the Stable Free Radical Diphenylpicryl- hydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal of Science and Technology. 26, 211-219.

16. Reyes LF, Cisneros-Zevallos L. 2007. Degradation Kinetics And Colour of Anthocyanin in Aqueous Extracts

Page 83: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

67Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

of Purple And Red-Flesh Potatoes (Solanum tuberosum L). Food Chem 100: 885-894. DOI: 10.1016/j.foodchem. 2005.11.002

17. Sancho RAS, Pastore GM. 2012. Evaluation of The Effects of Anthocyanins in Type 2 Diabetes. Food Res Int 46: 378-386. DOI: 10.1016/j.foodres. 2011.11.021

18. Sari dan Puspita,. 2005. Ekstraksi dan Stabilitas Antosianin dari Kulit Buah Duwet (Syzgium cumini). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol.XVI No.2 Tahun2005.

19. Suda, I., Oki, T., Masuda, M., Kobayashi,M.,Nishiba,Y.DanFuruta, S. (2003). Review: Physiological functionality of purple-fleshed seet potatoes containing anthocyanins and their utilization in foods. Japan Agricultural Research Quarterly 37: 167- 173.

20. Takahata Y, Kai Y, Tanaka M, Nakayama H, Yoshinaga M. 2011. Enlargement of The Variances in Amount and Compositionof Anthocyanin Pigments in Sweetpotato Storage Roots and Their Effect on The Differences in DPPH Radical-Scaveging Activity. Hortic-Amsterdam 127: 469- 474. DOI:10.1016/j.scienta.2010.10.010

21. Tensiska,. 2003. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Buah Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium DC) Dalam Beberapa Sistem Pangan Dan Kestabilan Aktivitasnya Terhadap Kondisi Suhu dan pH. Jurnal teknologi dan industri pangan. Vol. xiv No. 1 Tahun2003

22. Torskangerpoll K, Andersen OM. 2005. Colour Stability of Anthocyanins in Queous Solutions at Various pH Values. Food Chem 89:427-440. DOI: 10.1016/j.foodchem.2004.03.02

23. Wang, Chau-jong. 2008. Hibiscus Anthocyanins for Inhibiting Cancers. United States Paten20080113050

24. Wulaningrum, R.A., Sunarto, W., Alauhdin, M. 2013. Pengaruh Asam Organik Dalam Ekstrak Zat Warna Kulit Buah Manggis (Garcinia magostana). Indonesian Journal of Chemical Science 2 (2) ISSN No.2252-6951.

25. Wrolstad, R. E., Durst, R.W, and Lee, J. 2005. Tracking Color and Pigment Changes In Anthocyanin Products. Elsevier 16:423-428.

26. Yumas, M. 2017. Pemanfaatan Limbah Kulit Ari Biji Kakao (Theobromacacao L) Sebagai Sumber Antibakteri Streptoco-ccus mutans. Jurnal Industri Hasil Per-kebunan Vol. 12 No. 2 Desember 2017 e-ISSN 2477-0051 Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI- LIPI/04/2016. Hal: 7-20

27. Yumas, M. 2016. Formulasi Sediaan Krim Wajah Berbahan Aktif Ekstrak Metanol Biji Kakao Fermentasi (Theobroma cacao L) Kombinasi Madu Lebah. Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 11 No. 2 Desember 2016 e-ISSN 2477-0051 Akreditasi LIPI No. 725/AU3/P2MI-LIPI/04/2016. Hal:75-78.

Stabilitas dan Efektivitas Antioksidan ... (Medan)

Page 84: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

68Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

PENDAHULUAN

Cokelat didefinisikan sebagai produk homogen yang dihasilkan melalui proses pencampuran produk kakao dengan atau tanpa penambahan susu, gula dan atau bahan pemanis lainnya, dan atau bahan tambahan pangan (CAC, 2003). Produk hasil olahan kakao memiliki sifat yang spesial dari pangan lainnya, bukanlah karena rasa dan nutrisinya yang baik, tetapi karena sifatnya

KARAKTERISTIK KANDUNGAN LEMAK DAN ASAM LEMAK COKELAT BATANG YANG TERBUAT DARI OLEOGEL MINYAK NABATI DAN COCOA BUTTER SUBSTITUTE (CBS) KOMERSIL DENGAN OLEOGATOR LEMAK KAKAO

Characteristic of Fat Content and Fatty Acid Composition of Chocolate Compound Made from Vegetable Oil Oleogel and Cocoa Butter Substitute with Cocoa Butter

Oleogator

Dyah Wuri Asriati, Wahyuni, St. Ramlah, Andi Nur Amalia, Eky Yenita RistantiBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jln. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No. 28 Makassare-mail : [email protected]

Abstract: This study aims to determine the characteristics of the composition of fatty acids and the constituent ingredients of chocolate bar products made from vegetable oil oleogels and commercial Cocoa Butter Substitute with cocoa butter oleogators. Chocolate compound are made with 10 formulas namely F1-F10, where F1-F8uses oleogel from palm oil or soybean oil instead of cocoa butter, while F9-F10uses commercial Cocoa Butter Substitute (CBS). The formula for making oleogel includes 90% palm oil or soybean oil, 7% and 9% beeswax and 1% and 3% cocoa butter. Fatty acid analysis was performed using the gas chromatography method. The results showed that the highest fat content was obtained in the chocolate paste formula with palm oil oleogel with value of 43.31%, while the lowest was obtained in the cocoa powder formula from the palm oil oleogel with value of 28.80%. While the highest total fatty acid content is found in the formula for chocolate paste and soybean oil oleogel with levels of 93.12%, while the lowest values in the formula for cocoa powder and soybean oil oleogel with levels of 83.77%.

Keywords: oleogel, fatty acids, fat content, chocolate bars, gas chromatography

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik komposisi asam lemak dan bahan penyusun produk cokelat batang yang terbuat dari oleogel minyak nabati dan Cocoa Butter Substitute komersil dengan oleogator lemak kakao. Pembuatan cokelat batang dibuat dengan 10 formula yaitu F1-F10, dimana F1-F8menggunakan oleogel dari minyak sawit atau minyak kedelai sebagai pengganti lemak kakao, sedangkan F9-F10menggunakan Cocoa Butter Substitute (CBS) komersil. Formula pembuatan oleogel meliputi 90% minyak sawit atau minyak kedelai, 7% dan 9% beeswax serta 1% dan 3% lemak kakao. Analisis asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode gas kromatografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan lemak yang paling tinggi didapat pada formula pasta kakao dengan oleogel minyak sawit dengan nilai 43,31%, sedangkan yang terendah didapat pada formula bubuk kakao dari oleogel minyak sawit dengan nilai 28,80%. Kandungan asam lemak total tertinggi terdapat pada formula pasta kakao dan oleogel minyak kedelai dengan kadar 93,12%, sedangkan nilai terendah pada formula bubuk kakao dan oleogel minyak kedelai dengan kadar 83,77%.

Kata Kunci: oleogel, asam lemak, kandungan lemak, cokelat batang, kromatografigas

yang tidak dimiliki oleh pangan yang lain yaitu bersifat padat di suhu ruang, rapuh saat dipatahkan dan meleleh sempurna pada suhu tubuh. Produk olahan sekunder yang paling mudah diperoleh yaitu cokelat batang (Lipp dan Anklam, 1998).

Bahan baku pembuatan cokelat batang adalah bubuk kakao atau pasta kakao, lemak kakao, susu full cream, gula, lesitin, garam dan vanili yang kemudian diconching selama

Page 85: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

69Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

2008). Akan tetapi, ada keterbatasan dalam memproduksi lemak kakao antara lain adalah suplai biji kakao yang tidak menentu, kualitas biji kakao yang kurang memadai dalam pengolahan lemak kakao serta harga yang relatif mahal. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan spesialti fats sebagai alternatif penggunaan lemak kakao, salah satunya adalah penggunaan Cocoa Butter Substitute(CBS).

Cocoa Butter Substitute (CBS) merupakan salah satu lemak pengganti lemak kakao, walaupun memiliki karakteristik yang tidak kompatibel dengan lemak kakao akan tetapi memiliki keuntungan yakni harga yang lebih murah. Menurut Elisabeth et al., (2008), CBS lebih ditujukan pada produk lemak yang menggunakan minyak non laurat dari inti sawit. Penggunaan CBS dalam pembuatan produk cokelat dapat menghasilkan kualitas produk cokelat hampir sama dengan cokelat menggunakan lemak kakao. Menurut Heriyadi (2009) dalam Noordiansyah (2016), CBS dapat digunakan untuk pengganti lemak cokelat khususnya untuk produksi cokelat yang lebih murah. Pada dasarnya selain menekan harga, CBS juga mempunyai kelebihan antara lain mempunyai stabilitas oksidatif yang baik, sehingga memberikan masa simpan yang lebih lama, mempunyai tekstur yang sangat mirip dengan lemak kakao khususnya dalam hal kekerasan, memberikan mutu kilap (gloss quality) dan ketahanan kilap (gloss retention) yang baik, tersedia dalam harga yang jauh lebih murah daripada harga lemak kakao.

Dalam industri pangan, pembuatan cokelat dengan menggunakan Cocoa Butter Substitute (CBS) berbasis sawit telahbanyak dilakukan. Namun untuk menghasilkan produk cokelat batang berbasis lemak nabati yang lebih bernutrisi maka perlu dilakukan penambahan zat gizi seperti salah satu penelitian Ristanti, et al., (2017) mengenai oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai. Oleogel yang terbuat dari minyak sawit dan minyak kedelai mengandung asam-asam lemak yang bermanfaat bagi tubuh seperti asam palmitat, asam oleat,

4 jam. Komposisi bahan dalam pembuatan cokelat sangat beragam, setiap industri cokelat memiliki perbandingan bahan yang berbeda. Setiap perbandingan menghasilkan cita rasa, warna dan tekstur yang berbeda. Pada umumnya, ada 3 jenis cokelat yaitu cokelat pekat (dark chocolate), cokelat susu (milk chocolate), dan cokelat putih (white chocolate). Ketiga macam cokelat ini dibedakan berdasarkan komposisinya, yaitu kandungan cokelat, gula, serta bahan tambahan lain (Brown, 2010). Milk Chocolate dibuat dari pasta kakao, lemak kakao, gula dan susu full cream yang dikombinasikan dalam berbagai proporsi. Dark chocolate menggunakan proses yang sama milk chocolate akan tetapi tanpa penggunaan susu full cream sedangkan white chocolate dibuat dengan lemak kakao, susu full cream dan gula tanpa pasta atau bubuk kakao (Aini, 2011). Cokelat putih (white chocolate) memiliki komposisi yang hampir sama dengan milk chocolate namun tidak mengandung cokelat padat melainkan menggunakan lemak cokelat (cocoa butter) (Brown, 2010). Cokelat ini biasanya dijual agar bisa menghasilkan berbagai macam warna untuk permen cokelat ataupun kue (Atkinson et al., 2010). White chocolate setidaknya mengandung 20% lemak kakao, 14% susu full cream, 3,5% lemak susu (krim), sekitar maksimal 55% gula dan bahan- bahan lainnya (U.S. FDA, 2015). Secara teknis, cokelat putih tidak dapat dikategorikan sebagai cokelat karena tidak mengandung kakao padat (Brown, 2010).

Lemak kakao merupakan jenis lemak yang paling sesuai untuk makanan cokelat. Lemak kakao berupa lemak padat dengan titik leleh 32-35 °C berwarna kuning terang yang diperoleh dari biji kakao. Lemak kakao bersifat keras dan rapuh di bawah suhu ruang, tetapi ketika dimakan akan meleleh sempurna di mulut dengan tekstur yang lembut. Oleh karena itu dalam industri yang terutama produk-produk cokelat, lemak kakao merupakan bahan baku yang berkontribusi penting terhadap sifat tekstural dan sensori produk (Sokopitojo,

Kakteristik Kandungan Lemak dan Asam Lemak ... (Dyah)

Page 86: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

70Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

asam stearat, dan asam linoleat. Minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak jenuh dengan proporsi yang seimbang. Berdasarkan komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang seimbang maka secara ideal bisa menjadi produk oleogel yang dapat diaplikasikan ke dalam produk makanan sehingga dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan mutu produk cokelat batang dengan tekstur yang lebih baik (Hariyadi, 2014).

Oleogel didefinisikan sebagai lemak lipofilik dan campuran padat, dimana material lemak padat (oleogator) dengan konsentrasi yang lebih rendah (<10%) dapat menjerap dengan cara membentuk jejaring oleogator pada minyak curah. Oleogator dapat digolongkan menjadi dua, yakni sistem self-assembly dan sistem partikel kristal (Samuditha et al., 2011). Oleogelasi atau proses pembentukan oleogel, meliputi gelasi dari minyak dengan bantuan gelator tunggal atau kombinasi sinergis dari beberapa molekul gelator yang berbeda (Patel dan Dewettinek, 2015). Oleogelasi menjadi solusi untuk menjawab tantangan kebutuhan teknologi untuk mengubah struktur minyak pangan yang ada.

Minyak dan lemak jenuh, memicu masalah kesehatan seperti kolesterol tinggi yang dapat memicu penyakit stroke dan jantung. Oleh karena itu, industri makanan mulai menaruh perhatian terhadap bahan-bahan yang dapat menggantikan peranan minyak dan lemak jenuh pada makanan olahan tanpa merusak tekstur dan sifat fisik yang diharapkan. Oleogelasi merupakan proses untuk menata struktur minyak dan lemak sehingga ketika diaplikasikan pada produk makanan olahan dapat memperbaiki karakteristik fungsional seperti tekstur, kerenyahan, tampilan dan stabilitas. Selain itu, proses ini juga tidak memerlukan biaya yang mahal dan tidak berdampak negatif terhadap kesehatan (Ristanti et al., 2018). Oleogel yang terbuat dari minyak sawit dan minyak kedelai mengandung asam-asam lemak yang bermanfaat bagi tubuh seperti asam palmitat, asam oleat, asam stearat,

dan asamlinoleat.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui karakteristik komposisi asam lemak dan bahan penyusun pada produk cokelat batang yang terbuat dari oleogel minyak kedelai dan minyak sawit serta Cocoa Butter Substitute komersil dengan oleogator lemak kakao.

METODOLOGI

Bahan dan Alat PenelitianAdapun bahan-bahan yang digunakan

antara lain minyak kedelai merek Happy Soya, minyak kelapa sawit merek Tropical, beeswax, lemak kakao, CBS komersil, pasta kakao fermentasi, bubuk kakao fermentasi, gula, lesitin, vanili, garam, susu bubuk full cream.

Alat-alat yang digunakan antara lain penangas air, alat pengaduk Ultra Turrax merek IKA tipe T25, gelas plastik steril 150 ml, botol kaca vakum, tabung Eppendorf, alat sentrifugasi merek Hettick tipe EBA 200, conching (Universal Conching) merek United Kingdom, melter, meja getar dan cetakan cokelat.

Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian dilakukan pada bulan Maret-

Mei 2018 di Laboratorium Rekayasa Produk Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar. Cakupan penelitian ini meliputi dari pembuatan oleogel dari minyak kelapa sawit dan minyak kedelai yang dilanjutkan ke pengaplikasian pembuatan cokelat batang yang menggunakan oleogel dari minyak sawit merek Tropical, minyak kedelai merek Happy Soya dan CBS komersil.

Metode Penelitian Pembuatan OleogelPada penelitian ini dibuat terlebih

dahulu dengan menggunakan minyak sawit merek Tropical dan minyak kedelai merek Happy Soya, ditambahkan dengan beeswax dan lemak kakao. Dipersiapkan untuk volume 500 gram setiap perlakuan. Adapun formulasi untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 87: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

71Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 1. Formula Pembuatan Oleogel

Butter SubstituteNo Formula CBS Minyak Sawit Minyak Kedelai Beeswax Lemak Kakao

1 S1 0 90% 0 9% 1%2 S3 0 90% 0 7% 3%3 K1 0 0 90% 9% 1%4 K3 0 0 90% 7% 3%

Gambar 1. Alur pembuatan oleogel

beeswax

dan lemak

Pendinginan (suhu ruang T; 27 °C)

Pemanasan dan Pengadukan (T:80 °C , t : 15 menit)

Formulasi / Pencampuran (S1, S3, K1, K3)

Pemanasan (80 °C)

Oleogel

beeswaxdan lemak

Minyak sawit atau minyak kedelai

Pembuatan Cokelat Batang

Penelitian pembuatan cokelat batang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode percobaan laboratorium mengacu pada penelitian pembuatan cokelat (Ramlah, 2016). Penelitian ini dilakukan sebanyak 10 formula yaitu PS1 (Pasta kakao, oleogel dari minyak sawit dan kadar beeswax 9%), PS3 (Pasta kakao, oleogel dari minyak sawit

dan kadar beeswax 7%), PK1 (Pasta kakao, oleogel dari minyak kedelai dan kadar beeswax 9%), PK3 (Pasta kakao, oleogel dari minyak kedelai dan kadar beeswax 7%), BS1 (Bubuk kakao, oleogel dari minyak sawit dan kadar beeswax 9%), BS3 (Bubuk kakao, oleogel dari minyak sawit dan kadar beeswax 7%), BK1 (Bubuk kakao, oleogel dari minyak kedelai dan kadar beeswax 9%), BK3(Bubuk kakao, oleogel dari minyak

Kakteristik Kandungan Lemak dan Asam Lemak ... (Dyah)

Page 88: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

72Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

kedelai dan kadar beeswax 7%), PCBS (Pasta kakao, CBS), BCBS (Bubuk kakao,

Tabel 2. Formula Pembuatan Cokelat Batang

No FormulaPasta

(g)Bubuk

(g)Susu

(g)Gula(g)

Garam (g)

Lesitin (g)

Vanilli (g)

1 PS1 2000 0 2000 2000 4 30 82 PS3 2000 0 2000 2000 4 30 83 PK1 2000 0 2000 2000 4 30 84 PK3 2000 0 2000 2000 4 30 85 BS1 0 2000 2000 2000 4 30 86 BS3 0 2000 2000 2000 4 30 87 BK1 0 2000 2000 2000 4 30 88 BK3 0 2000 2000 2000 4 30 89 PCBS 2000 0 2000 2000 4 30 8

10 BCBS 2000 2000 2000 4 30 8

CBS). Formula pembuatan cokelat batang, dapat dilihat pada Tabel2.

Gambar 2. Diagram Alir pembuatan cokelat batang

Formulasi(F1, F2, F3, …. F10)

Pasta Kakao/Bubuk

Conching (t :4 jam, T : 50 °C)

Pencetakan (cokelat batang)

Pendinginan (Lemari Pendingin T : -10 °C, t: 3 jam)

Pelepasan cokelat dari cetakan

Oleogel, gula, susufull cream

Lesitin, vanili,

Cokelat batang

Page 89: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

73Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Pengujian Hasil PenelitianParameter uji yang digunakan pada

penelitian yaitu pengujian fatty acid dengan metode uji HPLC, fat content dengan metode uji soxhlet. Data hasil uji laboratorium diolah secara deskriptif. Pengertian analisis data secara deskriptif adalah teknik analisis yang digunakan dalam menganalisis data dengan membuat gambaran data-data yang terkumpul tanpa membuat generalisasi dari hasil penelitian tersebut.

HASIL AN PEMBAHASAN

Kandungan LemakKadar lemak pada cokelat batang

yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kandungan lemak dari bahan baku yang digunakan seperti pasta kakao atau bubuk kakao, lemak kakao lemak lainnya, beeswax, susu full cream, dan Iain-lain. Pada penelitian ini, kadar lemak pada cokelat batang yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan baku oleogel yang digunakan sebagai pengganti lemak kakao. Selain

itu, juga dipengaruhi oleh bahan baku pasta kakao dan bubuk kakao. Namun, jika dibandingkan antara satu formula dengan formula lainnya, maka penggunaan oleogel tidak terlalu besar mempengaruhi kadar lemak cokelat yang dihasilkan karena setiap formula menggunakan volume atau jumlah oleogel yang sama. Namun, jika dilihat dari penggunaan bahan baku bubuk kakao dan pasta kakao, maka produk cokelat yang diolah dari bahan baku bubuk kakao mempunyai kadar lemak yang lebih rendah dibanding dengan cokelat yang diolah dari pasta kakao. Bubuk kakao mempunyai kadar lemak yang lebih rendah dari pasta kakao karena bubuk kakao merupakan produk yang dihasilkan dari proses pengepresan pasta kakao sehingga lemak kakao yang terdapat dalam pasta kakao terpisah atau keluar dari pasta dan diperoleh cake yang selanjutnya dijadikan bubuk kakao.

Hasil pengujian kandungan lemak pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengujian Kandungan Lemak pada 10 Formulasi Cokelat Batang

PS1 (F1)

PS3 (F2)

PK1 (F3)

PK3 (F4)

BS1 (F5)

BS3 (F6)

BK1 (F7)

BK3 (F8)

PCBS(F9)

BCBS(F10)

KandunganLemak(%)

32,33 43,31 34,95 35,0 28,80 32,72 31,73 35,41 40,14 33,94

Penambahan beeswax juga dapat mempengaruhi jumlah kadar lemak. Hal ini dapat dilihat dari data pada Tabel 3, yang mana formula dengan penambahan beeswax 9% (PS1, PK1, BS1, BK1) mendapatkan hasil kandungan lemak lebih kecil dibandingkan dengan penambahan beeswax 7% (PS3, PK3,BS3, BK3).

Hasil analisa kandungan lemak (fat content) cokelat batang (Tabel 3) dengan penggunaan lemak oleogel (F1s/d F8) berkisar dari 28,80% hingga 43,31%. Kadar lemak tertinggi diperoleh dari cokelat dengan formula pasta kakao dengan oleogel dari minyak kelapa sawit (PS3) dan yang terendah pada formula bubuk kakao dengan

oleogel minyak sawit (BS1). Hal ini selaras dengan yang menggunakan CBS, hasil terendah kandungan lemak terdapat pada formula bubuk kakao dan yang tertinggi di formula pasta kakao.

Asam LemakHasil penelitian menunjukkan bahwa

asam lemak yang dominan adalah asam palmitat, asam oleat dan asam stearat. Lemak kakao merupakan lemak yang relatif sederhana, dimana komponen utama asam lemaknya (95%) hanya tersusun dari asam palmitat, asam stearat dan asam oleat. Hasil pengujian asam lemak pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel4.

Kakteristik Kandungan Lemak dan Asam Lemak ... (Dyah)

Page 90: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

74Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 4. Hasil Penelitian Parameter Asam Lemak pada 10 Formula Cokelat Batang

Komponen Asam Lemak (%)

F1(PS1)

F2(PS3)

F3(PK1)

F4(PK3)

F5(BS1)

F6(BS3)

F7(BK1)

F8(BK3)

F9(PCBS)

F10(BCBS)

Asam Lemak Jenuh1 Asam Caprilic (C8:0) 0,12 0,08 0,10 0,09 0,12 0.13 0,08 0,09 2,04 2,222 Asam Capric, (C10:0) 0,23 0,17 0,20 0,19 0,25 0,24 0,19 0,20 1,94 2,333 Asam Laurid, (C12:0) 0,46 0,36 0,34 0,34 0,49 0,50 0,36 0,39 28,08 35,464 Asam Myristic,

(C14:0)1,57 1,25 1,04 1,04 1,76 1,71 1,10 1,09 9,45 11,74

5 Asam Palmitic, (C16:0)

30,28 29,40 17,49 17,71 31,69 31,35 15,36 14,48 15,40 13,04

6 Asam Stearic, (C18:0) 13,62 12,41 13,02 13,00 11,08 10,96 9.84 9,47 20,02 16,96Asam Lemak Tidak Jenuh

1 Asam Oleic, (C18:1n9c)

33,07 33,52 24,10 24,34 35,03 34,51 21,58 20,44 12,17 8,67

2 Asam Linoleic (C18:2n6c)

7,63 7,51 30,96 31,79 9,45 8,72 34,76 33,21 1,24 0,99

3 Asam Linoleni,c (C18:3n3)

0,30 0,27 2,98 2,84 0,33 0,30 3,05 2,90 0,11 0,09

4 Asam cis-11,14-Eicosedieno(C20:2)

0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,03 0,02 - -

5 Asam cis- 5, 8, 11, 14, 17- Eicosapentaenoic C20:5n3

- 0,03 - - - - - - - -

6 Asam Behenic (C22:0)

0,09 0,09 0,20 0,23 0,09 0,08 0,20 0,20 0,06 0,04

7 Asam Tricosanoic (C23:0)

- - 0,02 0,03 0,02 - 0,02 0,02 -- -

8 Asam Lignoceric (C24:0)

0,08 0,07 0,11 0,11 0,08 0,08 0,10 0,10 0,05 0,04

9 Asam cis-4,7,10,13,16,19-Docosahexaenoic(C22:6n3)

- 0,04 - - 0,03 - - - - -

Asam Lemak Total 88,83 86,33 91,95 93,12 91,79 89,90 87,86 83,77 92,34 92,61

varietas dan keadaan iklim tempat tumbuh. Lemak kasar terdiri dari gliserida sebesar 90-95%. Sedangkan sisanya adalah fosfatida, asam lemak bebas, sterol dan tokoferol sekitar 15% sehingga sangat baik sebagai pengganti lemak dan minyak yang memiliki kadar asam lemak jenuh yang tinggi seperti mentega dan lemak babi. Hal ini berarti minyak kedelai sama seperti minyak nabati lainnya yang bebas kolesterol. Asam lemak dalam minyak kedelai sebagian besar terdiri dari asam lemak esensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Komposisi kimia dan sifat fisiko kimia minyak kedelai yaitu

Perbedaan kadar asam lemak dari tiap jenis asam lemak pada cokelat batang dipengaruhi oleh jenis minyak atau lemak pada oleogel yang digunakan dalam pembuatan cokelat batang. Menurut Sartika (2008), kandungan lemak dan komposisi asam lemak dalam kedelai dipengaruhi oleh varietas dan keadaan iklim tempat tumbuh. Lemak kasar terdiri dari trigliserida sebesar 90- 95%, sedangkan sisanya adalah fosfatida, asam lemak bebas, sterol, dan tokoferol. Minyak kedelai mempunyai kadar asam lemak jenuh. Lemak dan komposisi asam lemak dalam kedelai dipengaruhi oleh

Page 91: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

75Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

mengandung asam lemak tidak jenuh (85%) yang terdiri dari asam linoleat 15- 64%, asam oleat 11-60%, asam linolenat 1-12%, asam arachidonat 1,5%, sedangkan asam lemak jenuh (15%) yang terdiri dari asam palmitat 7-10%, asam stearat 2-5%, asam arschidat 0,2- 1%, asam laurat 0-0,1% (Hariyadi, 2014). Asam lemak adalah asam monokarboksilat berantai lurus yang terdapat di alam sebagai ester di dalam molekul lemak atautrigli serida. Hasil hidrolisis trigliserida akan menghasilkan asam lemak jenuh dan tak jenuh. Asam lemak tidak jenuh memilki ikatan rangkap yang terdapat pada minyak dapat berada dalam dua bentuk yakni isomer cisdantrans. Jumlah asam lemak transdancis dapat mengikut di dalam makanan berlemak terutama margarin dan selai akibat dari proses pengolahan yang diterapkan seperti hidrogenasi pada saat pemanasan dengan suhu tinggi (Jansen dan Sanggam, 2002).

Nilai gizi asam lemak esensial dalam minyak dapat mencegah timbulnya atherosderosis atau penyumbatan pembuluh darah. Kegunaan minyak kedelai yangsudah dimumikan dapat digunakan untuk pembuatan minyak salad, minyak goreng (cooking oil) serta untuk segala keperluan pangan. Lebih dari 50% pangan dibuat dari minyak kedelai, terutama margarin dan shortening. Hampir 90% dari produksi minyak kedelai digunakan di bidang pangan dan dalam bentuk telah dihidrogenasi karena minyak kedelai mengandung lebih kurang 85% asam lemak tidak jenuh (Bani,2018).

Tabel 4 juga menunjukkan adanya bentuk cis pada produk cokelat batang, hal ini disebabkan karena oleogel dari minyak sawit dan minyak kedelai tidak mengalami hidrogenasi tetapi hanya dilakukan proses pengadukan untuk menyatukan dispersi minyak dan lemak kakao dengan alat pengaduk Ultra Turrax. Menurut Murry, et al., (2005), asam lemak trans dan cis merupakan golongan asam lemak tak jenuh dengan trans isomer yang mengacu pada konfigurasi ikatan rangkap karbon yang berasal dari minyak nabati yang mengalami

proses pemadatan melalui teknik pemanasan atau teknik hidrogenasi parsial. Selain itu, minyak sayur (minyak kedelai, jagung, dan biji bunga matahari) mengandung sekitar 87-93% asam lemak tak jenuh yang sangat peka terhadap pemanasan yang dapat memicu terbentuknya asam lemak trans maupun cis dari suatu senyawa lemak dan minyak (Sartika, 2008).

Pengaruh asam lemak trans terhadap kesehatan dapat menimbulkan berbagai penyakit. Berdasarkan penelitian epidemiologis, trans fatty acid (TFA) atau asam lemak trans dapat menimbulkan resiko dan pengaruh negatif karena dapat menaikkan kadar LDL dalam darah, menimbulkan efek kolesterol yang tinggi, menyebabkan penyakit jantung, mengganggu metabolisme penglihatan pada mata, dan pembengkakan dinding jantung (Ovesen, et al.,1998).

Konsumsi asam lemak trans yang berlebihan sangat berbahaya bagi kesehatan. World Health Organization (WHO) dan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2010 memberikan batasan penggunaan asupan lemak trans pada makanan yaitu kurang dari 1% dari asupan energi secara keseluruhan. WHO dan FAO mendesak industri makanan untuk mengurangi jumlah asam lemak trans pada produk yang dapat mengganggu kesehatan.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari kesepuluh formulasi cokelat batang menghasilkan jenis-jenis asam lemak (fatty acid dan fat content) dengan masing-masing karakteristik kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fat content yang paling tinggi didapat di formula pasta kakao dengan oleogel minyak sawit dengan nilai 43,31%, sedangkan fat content yang terendah didapat di formula bubuk kakao dari oleogel minyak sawit dengan nilai 28,80%. Kandungan fatty acid total tertinggi terdapat pada formula pasta kakao dan oleogel minyak kedelai dengan kadar 93,12%, sedangkan nilai fatty acid terendah pada pada formula bubuk

Kakteristik Kandungan Lemak dan Asam Lemak ... (Dyah)

Page 92: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

76Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

kakao dan oleogel minyak kedelai dengan kadar 83,77%. Analisis fisiko kimia cokelat batang menunjukkan tidak ditemukannya adanya lemak trans pada semua cokelat batang yang mana dapat disimpulkan cokelat batang ini aman bagi kesehatan.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Justus E. Loppies dan Alfrida Lullung S.B yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan selesainya karya tulis ilmiah ini. Penelitian ini dibiayai oleh DIPA Balai Besar Industri Hasil Perkebunan melalui kegiatan DIPA Tahun2018.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aini, N. 2011. Lebih dekat dengan cokelat. Kulinologi Indonesia III (2), Diperoleh dari www.kulinologi.biz. Diakses tanggal 13 Januari2020.

2. Atkinson, C., Banks, M., France,C., dan McFadden, C. 2010. The Chocolate and Coffee Bible. London: Anness Publishing Ltd.

3. Bani, T. 2018. Minyak Kedelai, slide share.net/tubachemistry//minyak kedelai. Diakses tanggal 20 Februari2020

4. Brown, A. C. 2010. Understanding Food: Principles and Preparation. Fourth edition. Belmont: CengageLearning.

5. CAC, Codex Alimentarius Commision. 2003. Codex for Chocolate and ChocolateProducts.

6. Elisabeth, Dyan, Suharyanto dan Rubiyo, 2008. Pengaruh Fermentasi Biji Kakao terhadap Mutu Produk Olahan Setengah Jadi Cokelat. Jurnal Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.Bali.

7. Food and Drug Administration (FDA). 2015. Foodborne Illnesses: What You Need to Know.

8. Hariyadi, P. 2014. Mengenal Sawit dengan Beberapa Karakter. GAPKI. Wordpress:Jakarta.

9. Jansen, S. dan Sanggam D. R. T. 2002. Asam Lemak Trans Dalam Makanan

dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan, Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol XIII, No. 2,184-188.

10. Lipp E.M., and Anklam, E. 1998. Review of Cocoa Butter and Alternative Fats for Use in Chocolate – Part A. Compositional Data Food Chemistry, 62(1).73-97.

11. Noordiansyah. 2016. Peningkatan Karakteristik Olahan Cokelat yang Dipengaruhi Penambahan Cocoa Butter Substitute dan Tepung Kacang Koro (Canavalia Ensiformi L). Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas PasundanBandung.

12. Murry, R.K., Granner, Mayer, P., dan Rodwell, V.W. 2005. Biosintesis Asam Lemak. Editors. Biokimia.Jakarta.

13. Ovesen L., Leth T and Hansen K. 1998. Fatty acid composition and contents of trans monounsaturated fatty acids in frying fats, and in margarines and shortenings marketed in Denmark. J Am Oil Chem Soc. 75(9):1079-1083.

14. Patel, A.R., & Dewettinek, K. 2015. Comparative Evaluation of Structured Oil Systems; Shellac oleogel, HPMC Oleogel, and HIPE gel. European journal of Lipid Science and Technology.

15. Ramlah, S. 2016. Karakteristik Mutu dan Citarasa Cokelat Kaya Polifenol. Jurnal Industri Hasil Perkebunan.Vol.10. BBIHP. Makassar.

16. Ristanti, E.Y. Ramlah, Daming, W. 2017. Laporan Hasil Litbang Pembuatan Oleogel. BBIHPMakassar.

17. Ristanti, E.Y. Ramlah, Asriati, D.W, Amalia, A.N. 2018. Laporan Hasil Litbang Aplikasi Oleogel pada Pembuatan Cokelat Batang. BBIHP.Makassar.

18. Samudhita, L, Dassanayake, K., Kodali, D.R., and Ueno, S. 2011. Current Opinion in Colloid and Interface Science, 16 (5), 432-439.

19. Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2008. Pengaruh Asam Lemak Jenuh Tidak Jenuh dan Asam Lemak Trans Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.2, No.4,p.154-160.

Page 93: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

77Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

20. Sokopitojo, S. 2008. Aplikasi CBE dalam Industri Snack Berbasis Cokelat. Food Review Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang.

21. WHO dan FAO. 2010. World Health Organization and Food Agriculture Organization. Fats and Fatty Acids in

Human Nutrition Report and Expert Consultation in Food and Nutrition Paper. Vol 91. Food and Agriculture Organization at the UnitedNation.

Kakteristik Kandungan Lemak dan Asam Lemak ... (Dyah)

Page 94: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

78Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

PENGARUH PENAMBAHAN POLIFENOL TERHADAP KARAKTERISTIKMILK CHOCOLATE COUVERTURE DAN ANALOG

The Effect of Polyphenol Addition to Milk Chocolate Couverture and Analog Characteristics

Dyah Wuri Asriati, Imran Thamrin, Melia Ariyanti, dan ArdiansyahBalai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jl. Prof. Dr. H. Abdurahman Basalamah No.28 Makassare-mail : [email protected]

ABSTRACT: The effect of polyphenols addition in milk chocolate couverture and analog has been carried out. This study aims to determine the effect of polyphenols addition to milk couverture chocolate and analog. The research stages consisted of fermented and unfermented cocoa beans roasting, cocoa bean shell addition, grinding, product formulation with polyphenols addition, mixed by conching, tempering for milk chocolate couverture, while it directly moulded and packaged. Parameters analyzed included water and fat content, viscosity, melting point, and ALT. While organoleptic tests included flavour, taste, texture, and product appearance. The results showed that polyphenols addition can increase the value of viscosity (918000-1280000 Cp), increase the melting point of product (30-33oC), total fat (41.88-42.89%), moisture content (1.25-1.52%), ALT (100-240 colonies/g) according to SNI 4458-1998 and preferred by panelists with a score range of 3.30-3.57 (quite like) for milk chocolate couventure with polyphenols addition to enhance the chocolate flavour, taste, texture and appearance.

Keywords: characteristics, milk chocolate, organoleptic, polyphenols

ABSTRAK: Telah dilakukan penelitian pengaruh penambahan polifenol pada pembuatan produk milk chocolate couverture dan analog. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan polifenol terhadap karakteristik milk chocolate couverture dan analog. Tahapan penelitian terdiri dari penyangraian biji kakao fermentasi dan tanpa fermentasi, pemisahan kulit ari biji kakao, pemastaan, formulasi produk dengan penambahan polifenol, pencampuran dengan conching, tempering untuk milk chocolate couverture, dan langsung pencetakan dan pengemasan untuk milk chocolate analog. Parameter yang dianalisa meliputi kadar air, kadar lemak, viskositas, titik leleh, dan ALT. Sedangkan uji organoleptik meliputi aroma, rasa, tekstur, dan penampakan produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan polifenol pada produk dapat meningkatkan nilai viskositas (918000-1280000 Cp), menaikkan titik leleh produk (30-33oC), total lemak (41,88-42,89%), kadar air (1,25-1,52%), ALT (100-240 koloni/g) sesuai SNI 4458-1998, dan disukai oleh panelis dengan rentang skor 3,30- 3,57 (cukup suka) untuk produk milk chocolate couventure dan analog dengan penambahan polifenol sebagai penambah aroma, rasa, tekstur, dan penampakan cokelat.

Kata kunci: karakteristik, milk chocolate, organoleptik, polifenol

PENDAHULUAN

Cokelat merupakan suspensi partikel-partikel seperti pasta kakao, susu bubuk, dan gula yang terdispersi dalam fase kontinyu, yaitu lemak kakao (Andrae-Nightingale et al., 2009). Kualitas produk cokelat dipengaruhi oleh struktur, teknik proses, dan komposisi bahan (Jovanovic et al., 2002). Produk cokelat memiliki potensi yang sangat besar untuk berkembang di Indonesia. Saat ini, produk cokelat merupakan kategori cemilan

terfavorit ke 4 setelah pastry, biskuit, dan permen dengan nilai pasar hingga US$ 776 juta atau setara dengan Rp. 11,2 trilliun (Richard, 2018)

Berdasarkan jenis lemak yang digunakan, produk cokelat yang beredar di pasaran ada 2 macam, yaitu cokelat couverture (kovertur) dan cokelat compound. Cokelat couverture diolah dari kakao massa dan lemak kakao, sedangkan cokelat compound dari kakao bubuk dan lemak substitusi. Salah

Page 95: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

79Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Persyaratan mutu tambahan dari produk kakao yang diinginkan oleh industri makanan dan minuman di Indonesia adalah mutu organoleptik, yaitu citarasa dan aroma khas cokelat yang menonjol serta rasa asam rendah. Citarasa dan aroma khas cokelat akan berkembang lebih sempurna pada biji kakao yang telah mengalami proses fermentasi sempurna. Prekursor citarasa yang berupa asam amino, peptida, dan gula pereduksi akan membentuk komponen citarasa di bawah reaksi Maillard (reaksi pencoklatan nonenzimatis) selama penyangraian. Fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor citarasa, menghasilkan warna biji yang cokelat kehitaman, mengurangi rasa pahit, asam, manis, dan aroma bunga, meningkatkan aroma kakao dan kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu biji sangat rendah.

Mengingat berbagai manfaat penting senyawa polifenol yang terkandung pada biji kakao maupun produk turunannya bagi kesehatan tubuh manusia, maka penggunaan bahan baku dari biji kakao tanpa fermentasi dan dengan fermentasi serta adanya penambahan polifenol kakao yang dicampurkan ke dalam adonan cokelat diujicoba dalam proses pengolahan sehingga produk akhir tetap kaya akan kandungan polifenol yang menyehatkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan polifenol terhadap karakteristik produk milk chocolate couverture dan analog.

METODOLOGI

Bahan dan AlatBahan baku yang digunakan untuk

pembuatan milk chocolate couverture adalah biji kakao kering fermentasi (fermented) dan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan milk chocolate analog adalah biji kakao kering tanpa fermentasi (unfermented) yang berasal dari Kab. Polman Provinsi Sulawesi Barat,

satu kelemahan produk cokelat couverture, khususnya untuk pemasaran dan konsumsi di daerah tropis, adalah melelehnya fraksi lemak sehingga tekstur dan kenampakan menjadi kurang menarik dan sering diikuti dengan terjadinya blooming. Fraksi lemak dalam cokelat sangat menentukan tekstur, kenampakan, penanganan proses, penyimpanan, dan distribusinya. Sulistyowati dan Misnawi (2008) menyebutkan bahwa kekerasan cokelat merupakan parameter kualitas yang penting, khususnya untuk distribusinya pada daerah tropis. Cokelat memiliki sifat leleh yang unik, yaitu bersifat padat pada suhu ruang dan meleleh pada suhu tubuh (Afoakwa, 2010).

Karakteristik produk cokelat meliputi rasa yang khas dan tekstur yang lembut. Rasa dan tekstur produk cokelat sangat ditentukan oleh formulasi dan kehalusan partikel sehingga kedua faktor ini sangat mempengaruhi sifat reologi dari cokelat yang dihasilkan (Indarti et al., 2012). Selain itu, proses dalam pembuatan cokelat mempengaruhi kualitas akhir produk cokelat dan salah satu tahapan proses pembuatan cokelat adalah conching. Afoakwa et al. (2007) menyatakan bahwa conching merupakan tahap yang penting untuk menentukan ukuran partikel dan konsistensi suspensi dan viskositas untuk menghasilkan kualitas tekstur dan sensori yang khas.

Senyawa polifenol merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat antioksidan yang sangat penting peranannya dalam menyehatkan tubuh manusia (Jalil dan Ismail, 2008; Nestle Research Centers, 2010; Crozier et al., 2011). Kandungan senyawa polifenol pada produk cokelat sangat berkontribusi untuk menyehatkan tubuh karena mempunyai peran sebagai antioksidan, antikanker, antidiabetes, antihipertensi, antiinflamansi, menghilangkan stres, mencegah karies gigi, meningkatkan kemampuan kognitif, meningkatkan resistensi terhadap hemolisis, menyehatkan jantung, dan sebagai aprodisiak (Kelishadi, 2005; Afoakwa, 2008; Watson et al., 2012; Ackar et al., 2013).

Pengaruh Penambahan Polifenol Terhadap ... (Dyah)

Page 96: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

80Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Cocoa Butter Substitute dari salah satu IKM di Jakarta, lemak kakao dari PT. Mars Symbioscience Indonesia di Makassar, flavor cokelat, susu full cream, garam, dan lesitin.

Alat pengolahan yang digunakan adalah alat roasting, alat winnowing, alat pemasta, alat conching, dan alat cetak cokelat.

Metode PenelitianProses pembuatan milk chocolate

couverture dan analog merupakan modifikasi dari proses yang sudah ada. Biji kakao kering fermentasi dan tanpa fermentasi disangrai (roasting) pada suhu 120oC selama 40 menit, kemudian masing-masing dipisahkan kulit ari dan nibnya menggunakan alat winnowing. Nib kakao tersebut dihaluskan menggunakan grindermachine.

Selanjutnya, pasta kakao dicampur dengan Cocoa Butter Substitute untuk milk chocolate analog dan lemak kakao untuk milk chocolate couverture sesuai formula yang tertera pada Tabel 1. Setelah itu ditambahkan ekstrak polifenol dari biji non fermentasi, susu full cream, garam, lesitin, dan flavor cokelat ke dalam alat conching. Proses conching dilakukan pada suhu 50oC selama 7 jam. Setelah proses conching selesai, dilakukan proses tempering untuk milk chocolate couverture sebelum proses pencetakan, sedangkan milk chocolate analog langsung dilakukan proses pencetakan. Setelah pencetakan, masing-masing produk dikemas menggunakan aluminium foil. Formula yang digunakan pada pembuatan milk chocolate adalah modifikasi formula dasar yang mengacu pada Becket (2009).

Tabel 1. Formula Milk Chocolate Couverture dan Analog

Milk Chocolate Couverture Milk Chocolate AnalogPerlakuan RCKT (%) RCAOT (%) RCAOP (%) RCKP (%)

Cocoa Liquor (fermented) 25 - - 25

Cocoa Liquor (unfermented) - 25 25 -

Lemak Kakao 25 - - 25CBS - 25 25 -Polifenol - - 0,2 0,2Sukrosa 30,4 30,4 30,4 30,4Susu full cream 19 19 19 19Lesitin 0,3 0,3 0,3 0,3Garam 0,1 0,1 0,1 0,1Perisa Cokelat 0,2 0,2 0,2 0,2

Keterangan: RCKT : Milk chocolate couverture tanpa polifenolRCKP : Milk chocolate couverture dengan penambahan polifenol RCAOT : Milk chocolate analog tanpa polifenolRCAOP : Milk chocolate analog dengan penambahan polifenol

Page 97: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

81Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Pembuatan Milk Chocolate Couventure dan Analog

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap pengaruh penambahan polifenol pada produk. Panelis uji terdiri dari 23 orang yang sebelumnya telah dikenalkan kepada citarasa dan mutu dasar cokelat. Panelis memberikan penilaian berdasarkan tingkat kesukaannya terhadap 4 sampel yang disediakan. Sampel uji meliputi milk

chocolate couverture dan analog dengan penambahan dan tanpa penambahan polifenol. Panelis mengisi kuesioner berdasarkan tingkat penerimaan dengan Hedonic Scale sebagai berikut: 5 (sangat suka), 4 (suka), 3 (cukup suka), 2 (kurang suka), dan 1 (tidak suka) (Soekarto, 1985).

Pengaruh Penambahan Polifenol Terhadap ... (Dyah)

Penyangraian (120-140°C, 40 Menit)

Penyangraian (120-140°C, 40 Menit)

Pengemasan

Penghalusan

Kakao

Ekstraksi Polifenol

Tempering Pencetakan

Formulasi milk chocolate couverture

Pemisahan kulit ari (winnowing)

Pemisahan kulit ari (winnowing)

Pemastaan Pemastaan

Page 98: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

82Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Metode AnalisisAnalisis terhadap karakteristik

milk cokelat couverture dan analog dengan penambahan polifenol dan tanpa penambahan polifenol meliputi uji viskositas menggunakan metode pengukuran viskometer, uji kadar lemak menggunakan metode Kjedhal, uji kadar air menggunakan metode oven, uji titik leleh menggunakan metode WRS200, dan uji ALT menggunakan metode Plate Count. Uji organoleptik dilakukan terhadap produk cokelat meliputi aroma, rasa, tekstur, dan penampakan menggunakan metode Hedonic Scale (tingkat kesukaan) menurut Soekarto (1985) serta analisis data hasil uji.

Penelitian ini menggunakan analisis data secara deskriptif. Analisis data secara deskriptif merupakan teknik analisis yang digunakan dalam menganalisis data dengan membuat gambaran data-data yang terkumpul tanpa membuat generalisasi dari hasil penelitian tersebut. Data hasil uji laboratorium pada penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan diagram yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produk milk chocolate analog hasil penelitian mengandung polifenol yang cukup tinggi karena menggunakan biji kakao nonfermentasi dan adanya ekstrak polifenol yang ditambahkan ke dalam produk cokelat. Menurut Harrington (2011), adanya kandungan senyawa polifenol dalam produk cokelat akan memberikan keuntungan bagi peningkatan kualitas produk tersebut

karena senyawa polifenol mempunyai kemampuan antioksidan yang dapat mencegah terjadinya kerusakan makanan akibat oksidasi terhadap lemak kakao yang dapat menyebabkan ketengikan (rancidity). Sehingga akan meningkatkan keawetan maupun waktu simpan dari produk makanan cokelat tersebut.

ViskositasViskositas dapat digambarkan

seperti terasa adanya perlawanan pada saat pengadukan cairan. Cokelat dengan viskositas rendah mudah untuk dipompa. Viskositas bergantung pada suhu dan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar lemak, kuantitas lesitin, kadar air, distribusi ukuran partikel, dan waktu conching.

Dari Gambar 2 terlihat bahwa produk cokelat couverture baik dengan penambahan polifenol maupun tanpa penambahan mempunyai viskositas 9,18x105Cp dan 8,2x105cP, lebih cair dibanding produk cokelat analog dengan penambahan polifenol maupun tanpa penambahan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan polifenol dapat meningkatkan viskositas produk cokelat secara keseluruhan. Terjadinya peningkatan viskositas pada produk cokelat disebabkan oleh penggunaan ekstrak polifenol yang mengandung tambahan maltodekstrin sebanyak 10% sebagai penyalut pada saat dikeringkan menggunakan spray dryer. Maltodekstrin memiliki karakteristik viskositas yang tinggi, namun stabilitas, kelarutan, dan laju absorpsinya amat rendah (Kearsley and Ziedzic,1995).

Page 99: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

83Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Gambar 2. Nilai Viskositas Milk Chocolate Couverture dan Analog

feeling yang lembut. Grafik hasil analisis titik leleh produk milk chocolate dapat dilihat pada Gambar3.

Komponen penyusun cokelat yang paling menentukan karakteristik meleleh pada produk cokelat adalah lemak kakao. Dalam lemak kakao, asam lemak penyusun utamanya terdiri atas 33,2-37,4% asam oleat (C18:1), 32,9-37,1% asam stearat (C18:0), dan 23,7-25,5% asam palmitat (C16:0). Asam palmitat dan asam stearat merupakan asam lemak jenuh dimana keduanya tidak mengandung ikatan rangkap, sedangkan asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap. Karena sebagian besar asam lemak penyusunnya relatif tidak bervariasi, maka lemak kakao memiliki sifat fisik unik, yaitu cepat meleleh pada kisaran suhu yang tidak terlalu jauh antara suhu ruang (30oC) dengan suhu mulut (suhu tubuh) sekitar 34oC (Afoakwa, 2010).

Pangerang (2012) menyatakan bahwa semakin banyak lemak kakao yang ditambahkan, semakin rendah titik leleh dari produk yang dihasilkan. Chocolate couverture lebih mudah meleleh karena mengandung cocoa butter. Penambahan lemak kakao dalam jumlah banyak menyebabkan cokelat mudah meleleh. Meningkatnya titik leleh menyebabkan terjadinya peningkatan kestabilan produk cokelat sehingga tidak mudah meleleh pada suhu kamar.

1400000 1250000 1280000

1200000

1000000

918000 820000

800000

600000

400000

RCKT RCKP RCAOT RCAOP

Visk

osita

s (cP

)

Penambahan pengemulsi lesitin juga mempengaruhi penurunan nilai viskositas. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Akra et al. (2012) bahwa penambahan pengemulsi sangat mempengaruhi perubahan viskositas bahan (cokelat). Jenis dan jumlah pengemulsi mempengaruhi reologi. Lesitin yang ditambahkan dalam persentase 0,1-0,3% memiliki efek penurunan viskositas yang serupa dengan yang dicapai jika menambahkan 1-3% lemak kakao. Johansson dan Bergenstahl dalam Tisoncik (2010) menyatakan bahwa emulsifier berperan terhadap sifat alir cokelat dan kristalisasi lemakkakao.

Perbedaan nilai viskositas yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan putar spindle pada alat viskometer. Meningkatnya putaran menyebabkan naiknya tekanan pada produk sehingga ukuran produk milk chocolate couverture semakin kecil atau semakin bersifat cair atauencer.

Titik LelehTitik leleh lemak kakao yang baik untuk

makanan cokelat adalah mendekati suhu badan manusia dengan tingkat kekerasan minimum pada suhu kamar. Titik leleh lemak merupakan salah satu penentu utama tekstur dan kekerasan cokelat. Cokelat yang baik adalah cokelat yang tidak mencair pada suhu ruang tetapi meleleh ketika berada di dalam mulut sehingga memberikan mood

Pengaruh Penambahan Polifenol Terhadap ... (Dyah)

Page 100: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

84Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Total Lemak

Gambar 3. Titik Leleh Milk Chocolate Couverture dan Analog lemak pada SNI pasta cokelat (SNI

34

33 33

32 32

31 30

30 29

29

28

RCKT RCKP RCAOT RCAOP

Titik

lele

h (ºC

)

Hasil analisis total lemak pada milk chocolate couverture dan analog dapat dilihat pada Gambar 4. Kadar lemak milk chocolate couverture berada pada kisaran 42,89-43,04%, dan kadar lemak milk chocolate analog berada pada kisaran 40,96-41,88% (Gambar 4). Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan baku cocoa liquor (25%) dalam adonan milk chocolate couverture, dimana cocoa liquor mengandung lemak sekitar 50%, sedangkan milk chocolate analog menggunakan bahan baku campuran cocoa liquor (15%) dan kakao bubuk (10%) sehingga kadar lemak produk cokelat analog sedikit lebih rendah daripada cokelat couverture. Kandungan lemak pada milk chocolate analog tanpa penambahan polifenol sebesar 40,96% lebih rendah dibandingkan dengan penambahan polifenol sebesar 41,88%. Namun demikian, semua produk cokelat susu (milk chocolate) yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi syarat untuk parameter total

lemak. Persyaratan kandungan total 4458-1998) lebih besar dari 31%.

Kandungan total lemak pada produk juga diperoleh dari penggunaan susu bubuk full cream yang mengandung lemak sekitar 11%. Selain itu, selama pengolahan terjadi penurunan kadar air sehingga menyebabkan persentase komponen penyusun lain dari produk yang tidak larut meningkat (Ramlah dan Sampebarra, 2018). Penambahan polifenol pada proses pembuatan milk chocolate couverture dan analog tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kandungan total lemak produk. Pada milk chocolate couverture, penambahan polifenol sedikit menurunkan kandungan total lemak, sedangkan penambahan polifenol pada milk chocolate analog malah meningkatkan total lemak. Perbedaan kandungan total lemak yang terdapat pada kedua produk cokelat tersebut diakibatkan adanya penggunaan sumber lemak yang berbeda dan bahan penyusun produk yang berbeda.

Page 101: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

85Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Gambar 4. Total Lemak Milk Chocolate Couverture dan Analog

43.5 43.04

43 42.89

42.5

42 41.88

41.5 40.96

41

40.5

40

39.5 RCKT RCKP RCAOT RCAOP

Tota

l Lem

ak (%

)

Kadar AirKadar air merupakan banyaknya air

yang terkandung di dalam suatu bahan yang dinyatakan dalam persen (%). Kadar air juga merupakan salah satu karakteristik

yang sangat penting pada bahan karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan (Winarno, 1993). Hasil analisis kandungan kadar air dapat dilihat pada Gambar 5.

1.6 1.52 1.52

1.4

1.2

1

0.8

0.6

0.4

0.2

1.27 1.25

RCKT RCKP RCAOT RCAOP

Kada

r Air

(%)

Gambar 5. Kadar Air Milk Chocolate Couverture dan Analog

Gambar 5 menunjukkan bahwa secara umum kandungan kadar air milk chocolate analog lebih tinggi daripada milk chocolate couverture. Hal ini terjadi karena ada perbedaan proses pengolahan pada cokelat couverture dengan analog yaitu dilakukannya tempering terlebih dahulu sebelum pencetakan. Proses tempering menggunakan alat tempering yang otomatis menyetel suhu untuk milk chocolate couverture pada suhu 31oC sebelum siap cetak sehingga dapat mengurangi kadar air produk. Pada umumnya, kadar air produk yang dihasilkan dari penelitian ini dipengaruhi oleh kandungan air dari bahan

baku dan bahan tambahan yang digunakan serta proses pengolahan produk yang digunakan.

Penambahan polifenol tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan kadar air milk chocolate. Dalam SNI cokelat dan produk cokelat (SNI 7934-2014), tidak dipersyaratkan parameter kadar air, namun dalam SNI pasta cokelat (SNI 4458-1998) diketahui bahwa kadar air maksimumnya adalah 2,0%. Jika merujuk ke SNI pasta cokelat maka semua produk cokelat yang dibuat pada penelitian ini telah memenuhi syarat.

Pengaruh Penambahan Polifenol Terhadap ... (Dyah)

Page 102: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

86Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Angka Lempeng Total (ALT)Hasil analisis kandungan Angka

Lempeng Total (ALT) pada produk milk

chocolate couverture dan analog dapat dilihat pada Gambar 6.

300 260

250 240

200

150 150

100 100

50

RCKT RCKP RCAOT RCAOP

ALT

(kol

oni/g

)

Gambar 6. Angka Lempeng Total pada Milk Chocolate Couverture dan Analog

Persyaratan ALT dalam SNI cokelat dan produk cokelat (SNI 4458- 1998) adalah maksimum 1x104koloni/g. Hal ini mengartikan bahwa semua produk cokelat yang dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi syarat untuk parameter ALT. Tinggi rendahnya nilai ALT pada semua produk cokelat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor higienitas ruang pengolahan, peralatan, dan lain-lain. Ramlah dan Yumas (2017) mengemukakan bahwa cemaran mikroba, termasuk angka lempeng total pada suatu produk dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah bahan baku dan peralatan yang digunakan serta proses pengolahannya.

Gambar 6 menunjukkan bahwa ALT pada produk RCKT dan RCAOT mengandung mikroba lebih banyak dibandingkan dengan produk RCKP. Rendahnya jumlah mikroba yang terdapat pada produk RCKP karena adanya penambahan polifenol, dimana salah satu fungsi dari polifenol adalah sebagai antimikroba yang menghambat laju pertambahan mikroba. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ardiansyah (2007) bahwa gugus fenol dan gugus hidroksil dari golongan senyawa polifenol atau flavonoid yang terkandung di dalam buah kakao dapat

digunakan sebagai bahan pengawet alami. Senyawa ini berperan sebagai pengawet karena gugus hidroksilnya mampu mengikis radikal bebas, sedangkan gugus fenolnya dapat menonaktifkan atau menghambat aktivitas bakteri. Berbanding terbalik dengan produk RCAOP jumlah mikroba yang terdapat pada produk RCKT lebih sedikit (Gambar 6). Hal ini diakibatkan karena produk RCAOP mengandung air lebih banyak dibandingkan produk RCKT (Gambar 5) sehingga konsentrasi polifenol pada produk RCAOP mengalami pengenceran. Selain itu,air merupakan salah satu media tempat tumbuhnya mikroba. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aditya dan Ariyanti (2016) bahwa kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan. Kadar air yang tinggi dapat mengakibatkan mudahnya pertumbuhan bakteri, kapang, dan khamir sehingga berefek terhadap kerusakan bahan pangan.

Uji OrganoleptikHasil uji organoleptik (aroma, rasa,

tekstur, dan penampakan) produk milk chocolate couverture dan analog dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 103: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

87Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Tabel 3. Hasil Organoleptik Milk Chocolate Couverture dan Analog

Kode Perlakuan Nilai Organoleptik

Aroma Rasa Tekstur PenampakanRCKT 3,04 3,09 2,61 2,53RCKP 3,35 3,35 3,30 3,13RCAOT 3,17 3,04 2,96 3,30RCAOP 3,48 3,57 3,26 3,57

AromaAroma merupakan salah satu faktor

terpenting bagi konsumen dalam memilih produk makanan yang disukai. Winarno (1997)mengatakan bahwa kelezatan makanan ditentukan oleh aroma atau bau dari makanan tersebut. Aroma produk cokelat (Tabel3), baik cokelat couverture maupun cokelat analog, pada umumnya, panelis memberikan penilaian dengan skor 3,04-3,48 (cukup suka). Aroma produk cokelat walaupun menggunakan biji kakao nonfermentasi pada cokelat analog tetapi aroma khas cokelat cukup disukai panelis karena adanya penambahan flavor khas cokelat sebanyak 0,2% ke dalam adonan cokelat.

Pada kakao, terdapat beberapa golongan senyawa yang penting dalam pembentukan aroma. Menurut Maarse (1991), beberapa senyawa yang berperan dalam pembentukan aroma kakao antara lain senyawa-senyawa hidrokarbon, alkohol, aldehida, keton, asam karboksilat,

ester, furan, fenol dan eter, pirol (pyrroles), oxazoles, thiazoles, piridin (pyridine) dan quinolines, pirazin, amina, komponen- komponen bersenyawa nitrogen serta komponen bersenyawa belerang.

Rasa Paramater sensori rasa dapat

dievaluasi dengan analisis deskripsi ataupun penerimaan konsumen. Rasa adalah hal yang terpenting pada sifat organoleptik suatu produk. Salah satu bahan yang mempengaruhi rasa pada produk adalah gula. Rasa manis adalah sifat rasa yang mempengaruhi cita rasa keseluruhan cokelat (Wahyudi, 2008). Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kesukaan panelis pada produk cokelat yang ditambahkan polifenol baik untuk rasa cokelat couverture maupun analog dengan skor 3,04-3,57 (cukup suka). Secara organoleptik, fungsi polifenol yang ditambahkan pada produk cokelat adalah menambah rasa khas cokelat.

4

3.5

3

2.5

2

1.5

1

RCKT

RCKP

RCAOT

RCAOP

0.5

0 Aroma Rasa Tekstur Penampakan

Gambar 7. Hasil Organoleptik Milk Chocolate Couverture dan Analog

Pengaruh Penambahan Polifenol Terhadap ... (Dyah)

Page 104: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

88Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

TeksturSifat tekstural cokelat adalah tingkat

kekerasan di dalam mulut, yaitu tenaga yang dibutuhkan untuk mematahkan cokelat menggunakan gigi dan lidah. Daya leleh adalah cara cokelat meleleh sepenuhnya di dalam mulut. Kehalusan yaitu tingkat kekasaran dan berbutir (seperti berpasir) yang dirasakan di dalam mulut. Kelengketan cokelat merupakan tingkat dimana campuran cokelat leleh dan air liur menempel pada lidah dan langit-langit mulut.

Cokelat yang meleleh pada suhu tubuh mengindikasikan bahwa kemungkinan kristal lemak kakao berada dalam bentuk V. Bentuk V merupakan bentuk lemak kakao yang paling stabil dan diperoleh dari proses tempering dan memiliki titik leleh sekitar 34ºC (Fernandez et al., 2013). Lemak kakao yang berada dalam bentuk V memiliki titik leleh sekitar suhu oral manusia, yaitu 34ºC sehingga ketika cokelat masuk ke dalam mulut menyebabkan cokelat mulai meleleh. Afoakwa et al. (2007) menyatakan bahwa sifat organoleptik cokelat sangat bergantung pada karakteristik fase kontinyu, yaitu lemak kakao. Semakin lama proses oral cokelat berlangsung, tingkat kekerasan cokelat semakin menurun dan semakin mereduksi ukuran partikel cokelat. Ukuran partikel yang semakin kecil akan meningkatkan luas permukaan untuk transfer panas karena pecahnya formasi partikel- partikel cokelat sehingga proses pelelehan cokelat menjadi semakin signifikan.

Kekerasan cokelat tergantung pada konsentrasi fase kristalisasi lemak (lemak kakao, lemak susu), dan fase padatan terdispersi (gula, padatan susu, padatan kakao). Resep (formula), teknik produksi, tempering, polimorfisme, dan suhu pendinginan juga berpengaruh pada kekerasan cokelat padat (Abdullah dan Zamri, 2011). Terjadinya penurunan tingkat kekerasan cokelat selama dikonsumsi disebabkan oleh cokelat yang mulai meleleh di dalam mulut. Ziegler et al. (2001) menyatakan bahwa proses cokelat meleleh di dalam mulut disebabkan karakteristik

lemak sebagai fase kontinyu yang akan mulai meleleh akibat temperature atau panas tubuh. Temperatur yang berhubungan dengan proses transisi seperti pelelehan, akan mengubah struktur suatu bahan pangan selama proses pengunyahan karena selama proses ini suhu akan memulai proses modifikasi makanan yang akan mengubah persepsi tekstur selama proses oral (Pascua et al., 2013).

Faktor yang dapat mempengaruhi baik tidaknya produk cokelat yaitu pada penghalusan dan pencampuran bahan yang digunakan serta ada tidaknya pengemulsi (Minifie, 1999). Bahan yang tidak halus dan tidak tercampur rata akan menyebabkan tekstur yang kasar. Penambahan polifenol secara umum meningkatkan penerimaan tekstur produk milk chocolate couverture dan analog dengan skor 2,61-3,26 (cukup suka).

PenampakanHasil analisis uji organoleptik untuk

penampakan produk menunjukkan ada-nya peningkatan kesukaan dengan skor 2,53-3,57 (cukup suka) pada milk chocolate couverture dan analog dengan penambahan polifenol.

Tingginya kandungan polifenol dalam biji akan mendorong terjadinya reaksi Maillard dengan bantuan polifenol oksidase yang menghasilkan warna kakao (Puziah, 2005). Perubahan penampakan visual yang sering dijumpai pada produk cokelat adalah fat bloom, yaitu fenomena cokelat dimana sebagian fat meleleh dan muncul ke permukaan sehingga cokelat tampak berwarna putih, tekstur mengeras, dan susah meleleh yang disebabkan oleh perubahan kristalisasi lemak (Becket, 2008).

Perubahan penampakan visual cokelat menjadi lebih terang dapat disebabkan oleh reaksi Maillard antara asam amino dengan gugus gula sukrosa selama proses pemanasan. Daviez dan Labuza (1994) menyatakan bahwa reaksi Maillard awalnya dideskripsikan sebagai reaksi antara gula pereduksi dan asam-asam amino dari protein. Sumber gula pereduksi yang

Page 105: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

89Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

berpotensi untuk mengalami reaksi Maillard adalah dektrosa, fruktosa, sirup jagung tinggi fruktosa, sakarosa, pati jagung, dan maltodekstrin. Sumber gugus amin (- NH2) pada produk konfeksioneri yang dapat terlibat dalam reaksi adalah padatan susu, krim, padatan telur, kacang-kacangan, padatan kakao, butter (mengandung sedikit nitrogen), gelatin, dan lesitin.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan polifenol dapat meningkatkan viskositas produk cokelat secara keseluruhan dan menaikkan titik leleh. Sedangkan untuk parameter total lemak, kadar air, dan ALT memenuhi SNI cokelat dan produk cokelat (SNI 4458-1998), yaitu kadar lemak lebih besar dari 31%, kadar air maksimum 2,0%, dan ALT maksimum 1x104koloni/g. Hasil analisis organoleptik menunjukkan adanya peningkatan penerimaan panelis dengan range skor 3,30-3,57 (cukup suka) untuk produk milk cokelat couverture dan analog dengan penambahan polifenol sebagai penambah aroma, rasa, tekstur, dan penampakan cokelat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, M. S. dan Zamri, A. I. 2011. Cocoa Butter Substitute of Chocolate by Using Corn Starch/Xanthan Gum/Glycerin Blends and Their Effects on Melting, Rheological and Nutritional Properties. Empowering Science, Technology and Innovation Towards a Better Tomorrow, 26:339–343.

2. Ackar, D., Landic, K. V., Valek, M., Subaric, D., Milicevic, B., Babic, J., dan Nedic, H. 2013. Cocoa Polyphenols: Can We Consider Cocoa and Chocolate as Potential Functional Food. Journal of Chemistry, 13: 289- 296.

3. Aditya, M. dan Ariyanti, P. R. 2016. Manfaat Gambir (Uncaria gambir Roxb) sebagai Antioksidan. Majority, 5: 129- 133.

4. Afoakwa, E. O. 2008. Cocoa and Chocolate Consumption: Are There

Aphrodisiac and Other Benefits for Human Health?. South African Journal of Clinical Nutrition, 21(3):107-113.

5. Afoakwa, E. O. 2010. Chocolate Science and Technology. England: John Wiley & Sons.

6. Afoakwa, E. O., Paterson, A., dan Fowler, M. 2007. Factor Influencing Rheological and Textural Qualities in Chocolate–A Review. Trends in Food Science & Technology. 18(6):290-298.

7. Akra B., Salengke, dan Supratomo. 2012. Pengaruh Penambahan Lesitin dan Suhu Conching TerhadapSifat Reologi Pasta Kakao (Theobroma cacao L.). Jurnal AgriTechno,5(1).

8. Andrae-Nightingale, L. M., Lee, S. Y., dan Engeseth, N. J. 2009. Textural Changes in Chocolate Characterized by Instrumental and Sensory Techniques. Journal of Texture Studies, 40(4):427-444.

9. Ardiansyah. 2007. Antimikroba dari Tumbuhan (Bagian Pertama). Diakses dari http://www.beritaiptek.com.zberita-beritaiptek-2007-06-03-ntimikroba-dari- tumbuhan-(Bagian-pertama).shtml.htm.

10. Becket, S. T. 2008. The Science of Chocolate. Cambridge: The Royal Society ofChemistry.

11. Becket, S. T. 2009. Industrial Chocolate Manufacture and Use. 4thEdition. Wiley-BlackwellLtd.

12. Crozier, S. J., Preston, A. G., Hurst, J. W., Payne, M. J., Mann, J., Hainly, L., dan Miller, D. L. 2011. Cocoa Seeds are A “Super Fruit”: A Comparative Analysis of Various Fruit Powders and Products. Chemistry Central Journal, 5: 1-6.

13. Daviez C. G. A. dan Labuza, T. P. The Maillard Reaction Application of Confectionery Products. Departement of Food Science and Nutrition University of Minnesota. Diakses dari http://citeseerx.ist. psu.edu/viewdoc/oad?doi= 10.1.1.22.5873&rep=rep1&type= pdf.

14. Fernandez V, A., Müller, A. J., Sandoval, A. J. 2013. Thermal, Structural and Rheological of Dark Chocolate with

Pengaruh Penambahan Polifenol Terhadap ... (Dyah)

Page 106: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

90Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

Different Composition. Journal Food Engineering, 116(1): 97- 108.

15. Harrington, W. L. 2011. The Effects of Roasting Time and Temperature on The Antioxidant Capacity of Cocoa from Dominican Republic, Equador, Haiti, Indonesia and Ivory Coast. The University of Tennessee, Knoxville USA.

16. Indarti, E. A., Normalina, dan Budi S. 2012. Kajian Pembuatan Cokelat Batang dengan Metode Tempering dan Tanpa Tempering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, 5(1).

17. Jalil, A. M. M. dan Ismail A. 2008. Polyphenols in Cocoa and Cocoa Product: Is There A Link Between Antioxidant Properties and Health?. Molecules, 13:2190-2219.

18. Jovanovic, O. L. dan Pajin, B. S. 2002. Sensory and instrumental evaluation of physical characteristics of laboratory– made chocolate. Diakses d a r i h t t p : / /agris.fao.org/agris-search/search.do?recordID=YU2003000725

19. Kearsley, M. W. dan Dziedzic, S. Z. 1995. Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their Derivatives. Glasgow: Blackie Academic & Professional.

20. Kelishadi, R. M. D. 2005. Cocoa to Cocoa to Chocolate: Healthy Food?. ARYA Journal, 1:28-34.

21. Maarse. 1991. Volatile Compounds in Foods and Beverages. New York: Marcel Dekker inc.

22. Minifie, B. W. 1999. Chocolate, Cocoa, and Confectionery: Science and Technology. 3rd Edition. New York: Van NostrandReinhold.

23. Nestle Research Centers. 2010. Focus on: Polyphenols in Chocolate. Nestle ResearchCenters.

24. Pangerang, F. 2012. Pengaruh Penambahan Susu Kedelai dan Gula Berkalori Rendah Untuk Produk Coklat Truffle sebagai Pangan Fungsional. Universitas Hasanudin,Makasar.

25. Pascua, Y., Koç, H., dan Foegeding,E. A. 2013. Food Structure: Roles of Mechanical Properties and Oral

Processing in Determining Sensory Texture of Soft Materials. Current Opinion in Colloid and Interface Science, 18 (4): 324-333.

26. Puziah, H. S. 2005. Cocoa Fermentation. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan KakaoIndonesia.

27. Ramlah, S. dan Sampebarra, L. S. 2018. Karakteristik dan Citarasa Cokelat Putih dari Lemak Kakao Non Deodorisasi dan Deodorisasi. Jurnal Industri Hasil Perkebunan, 13 (2): 117-

128. Balai Besar Industri Hasil Perkebunan, Makassar.

28. Ramlah, S. dan Yumas, M. 2017. Pengaruh Formulasi dan Asal Biji Kakao Fermentasi Terhadap Mutu dan Citarasa Dark Chocolate. Jurnal Industri HasilPerkebunan.

29. Richard, M. 2018. Industri Mamin Berbasis Cokelat di Indonesia Makin Menjanjikan. Diakses dari http;//mix.co.id/marcomm/brand- insight/marke-ting-strategy/langkah- mondelez-mema-jukan-pangsa-pasar- cokelat.

30. SNI 4458-1998. SNI Pasta Cokelat. Badan StandarisasiNasional.

31. SNI 7934-2014. SNI Produk Cokelat. Badan StandarisasiNasional.

32. Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara karya Aksara.

33. Sulistyowati dan Misnawi (2008). Effects of Alkali Concentration and Conching Temperature on Antioxidant Activity and Physical Properties of Chocolate. International Food Research Journal, 15:1–8.

34. Tisoncik, M. A. 2010. Impact of Emulsifier on Physical, Sensory, and Microstructural Properties in Formulated Dark Chocolate with An Innovative Educational Approach. University of Illionis, Urbana- Champaign.

35. Wahyudi. 2008. Panduan Kakao Lengkap, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta: Penebar Swadaya.

Page 107: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

91Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

36. Watson, R. R., Preedy, V. R., and Zibadi, S. 2012. Chocolate in Health and Nutrition. New York: Humana Press brand of Springer.

37. Winarno, F. G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumsi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

38. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

39. Ziegler, G. R., Mongia, G., dan Hollender, R. 2001. The Role of Particle Size Distribution of Suspended Solids in Defining the Sensory Properties of Milk Chocolate. International Journal of Food Properties, 4(2): 353-370.

Pengaruh Penambahan Polifenol Terhadap ... (Dyah)

Page 108: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

92Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

PETUNJUK PENULISAN

KETENTUAN UMUM• Artikel adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) atau makalah ilmiah, hasil penelitian, tinjauan, kajian, atau

ulasan dan komunikasi pendek yang dikemas secara sistimatis dan kritis, dibidang ilmu/aplikasi teknik (rekayasa) dan teknologi industri hasil perkebunan.

• Artikel belum pernah dipublikasikan pada jurnal ilmiah lain atau dipresentasikan pada pertemuan ilmiah, seminar dan semacamnya.

FORMAT PENULISAN• Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku dan lugas.• Artikel diketik pada kertas A4 huruf Arial font 11 spasi tunggal (kecuali dinyatakan lain) berkisar

antara 7-12 halaman. Batas marjin kiri 3,5 cm; kanan 2,5 cm; atas 3,0 cm; dan bawah 2,5 cm.• Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia, diikuti dengan terjemahannya dalam

bahasa Inggris. Bila artikel ditulis dalam bahasa Inggris maka judul, abstrak, dan kata kunci diikuti dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

• Judul menggunakan huruf kapital bold dan terjemahannya dengan huruf biasa italik masing-masing dengan font 11 spasi tunggal berkisar antara 10 - 25 kata.

• Nama penulis dicantumkan dibawah judul diikuti dengan nama dan alamat institusi penulis beserta satu alamat pos-el korespondensi penulis dengan font 10 spasi tunggal. Nama penulis dicetak bold.

• Abstrak dibuat dalam satu paragraf menggunakan font 10 italik (paling banyak 150 kata dalam bahasa Inggris, dan 200 kata dalam bahasa Indonesia). Kata kunci dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk, paling banyak delapan kata.

• Sistimatika penulisan artikel hasil penelitian adalah Judul, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Simpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan Daftar Pustaka. Untuk tulisan bersifat teknik (rekayasa) dan tinjauan/ulasan ilmiah, selain Judul, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Simpulan dan seterusnya sistimatika penulisannya disesuaikan dengan isi artikel. Setiap paragraf ditulis dalam bentuk paragraf utuh tanpa dipenggal kedalam butir-butir (pointer). Misalnya untuk menuliskan urutan proses, komposisi bahan, perlakuan penelitian, standar, atau simpulan hasil penelitian atau kajian ilmiah.

• Sitasi pustaka dan sitasi teks mengacu pada Chicago Style (Scientific Style). Daftar Pustaka menggunakan font 10.

• Bila tahun publikasi pustaka tidak diketahui maka sebagai gantinya digunakan t.t atau n.d.• Contoh penulisan sitasi teks (Hidayat, 2001). Bila penulis pustaka lebih dari 2 (dua) orang maka

hanya nama penulis pertama yang ditulis diikuti dengan kata et al.• Contoh penulisan Daftar Pustaka:

1. Beckett, S. T. 2000. The Science of Chocolate. Cambridge UK: RSCP Paper backs.2. BSN. 1995. Mutu dan Cara Uji Gula Palma, SNI 01-3743-1995. Jakarta: Badan Standardisasi

Nasional.3. Budiarso, I. 2004. Minyak Kelapa: Minyak Goreng Paling Aman dan Paling Sehat. http://viladago.

blogsome.com/2005/12/20/minyak-kelapa (diakses 9 Maret 2008).4. Chau, K. V and Gaffney, J. J. 1990. A Finite Difference Model for Heat and Mass Transfer in

Products with Internal Heat Generation and Transpiration. J. Food Sc. 55 (2):484-487.5. Holland, F.A. 1984. Process Economics. In Perry’s Chemical Engineers Handbook. Robert

H.Perry and Don Green, eds. New York : McGraw Hill Inc.6. Republika. 2008. Harga Cengkeh Melonjak. 19 Nopember.7. Sukha, D.A. 2003. Potential Value Added Products from Trinidad and Tobago Cocoa. Proc.

of Seminar/Exhibition on The Revitalization of Trinidad and Tobago Cocoa Industry. Sept, 20. St.Agustine: APASTT-Faculty of Sci. and Agricult. UWI.

• Bila pustaka yang diacu di tulis oleh penulis yang sama dan dalam tahun yang sama, maka setiap pustaka disusun dengan membedakan tahun terbit dengan huruf abjad, misalnya ( 2012 a), (2012 b) dst.

• Tabel, gambar, dan grafik diberi nomor urut; ilustrasi tersebut harus jelas terbaca. Judul tabel ditulis disebelah atas tabel yang bersangkutan, sedangkan judul gambar dan grafik disebelah bawah ilustrasi masing-masing. Tabel dibuat hanya dengan menggunakan garis horisontal.

• Masing-masing judul bab diketik dengan huruf kapital, sedangkan judul sub-bab dan Ucapan Terima Kasih (jika ada) dengan huruf biasa, ketiganya diketik bold font 11.

Page 109: Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Besar

93Diterbitkan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan

Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. 15, No. 1, Juni 2020

• Acuan pustaka sedapat mungkin 80% merupakan terbitan 10 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer (jurnal ilmiah, prosiding, laporan hasil riset, dan paten).

• Kecuali judul, nama, dan alamat institusi penulis dan abstrak, naskah diketik dalam bentuk 2 (dua) kolom termasuk tabel, gambar, dan grafik (sepanjang memungkinkan). Ukuran font dan spasi tabel, gambar, dan grafik masing-masing font 10 spasi tunggal (atau menyesuaikan).Bila tidak memungkinkan, tabel, gambar, dan grafik menempati 2 (dua) kolom, agar ilustrasi tersebut dapat terbaca dengan jelas. Khusus untuk gambar dalam bentuk foto agar melampirkan negatifnya.

SELEKSI ARTIKEL• Proses seleksi meliputi: seleksi awal, penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Review (penelaahan) oleh

Mitra Bestari, dan persetujuan artikel. Proses penyuntingan dan review dapat berlangsung lebih dari satu kali dan bersifat anonim.

• Kriteria penilaian mencakup kesesuaian dengan persyaratan JIHP, derajat originalitas, konsep atau dasar pemikiran, alur penulisan, kedalaman ilmiah, unsur kebaruan dan inovasi, dan nilai manfaat/aplikasi hasil penelitian, kajian atau ulasan ilmiah tersebut.

• Redaksi berhak menolak, mengembalikan untuk diperbaiki atau mengedit kembali naskah tanpa merubah isi dan maksud artikel.

LAIN-LAIN• Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap setiap pernyataan dan pendapat ilmiah yang dikemukakan

penulis didalam artikelnya.• Artikel dapat disubmit melalui sistem ejurnal JIHP Makassar.