bab v pak nur edited_9 juli
TRANSCRIPT
BAB V
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SEKOLAH SWASTA
Introduction
In using the capability approach, we provides a useful language with which to
articulate both the learning processes and social value of education, to evaluate educational
advantages and equally to indentify disanvantaged, marginalization and exclusion, entails
another perspective on public policy in education (Unterhalter, 2010). In this analysis, we try
to look at:
a. Conditions for free public discussion of the content and form of education for
Muhammadiyah Scholl and Catholic School;
b. Conditions for forms of governance regarding education at school level that have been
freely agreed to by all adults.
c. Conditions to implement, given a diversity of social settings, the recommendations of
public discussions (adequate financial and skill resources to manage and evaluate the
implementation, adequate time,legislation for education provision of a particular form
enacted under fair conditions).
d. Processes through which student can articulate the intrinsic value of education, drawing on
a wide range of forms of expression—freedom of speech on a wide range of topics, access
to resources for self-expression.
e. Measurements of inequality, not just atthe level of income and wealth, but also of aspects
of identity—race,ethnicity, gender, and their intersections—that might be relevant toforms
of inequality. These measures are at the national and locallevel, including schools
vi) The median income of teachers and the ratio of that figure to themedian income in the
country, plus noting the extent to whichteachers’ salaries vary by gender and between
teachers of children inhigher and lower socioeconomic status.
vii) Measures of school input andoutput drawing on a primary goodsmetric.
viii) Measures of resources necessary for adequate achievement ofacceptable output.
Kondisi-kondisi Partisipasi
Kondisi-kondisi partisipasi yang akan dibahas dalam bagian berikut adalah kondisi
yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pendidikan pada isi dan bentuk sekolah, tata
kelola sekolah yang melibatkan masyarakat, kontribusi masyarakat pada sekolah dan proses
partisipasi.Studi yang dilakukan terhadap 55 sekolah dasar dan menengah Muhammadiyah
dan 37 sekolah dasar dan menengah sekolah Katholik selama 2 bulan dari November 2013
1
sampai Januari 2014. Sesuai dengan sejarahnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah didirikan
oleh jemaah atau pimpinan ranting atau pimpinan cabang Muhammadiyah setempat. SD
Muhammadiyah Noyokerten yang didirikan pada tahun 1987 oleh pengurus ranting
Muhammadiyah Sendangtirto Utara dengan memobilisasi bantuan masyarakat setempat
untuk mendirikan bangunan kelas sebanyak 4 kelas. Demikian juga sejarah pendidiran
sekolah-sekolah Katholik yang diawali oleh keinginan jemaah setempat untuk mendidik anak
agar memiliki pengetahuan agama yang baik.
Civil society participation in nation building periods. Pemahaman tentang civil
society participation memiliki konotasi yang sangat luas. Dari kacamata antropologi,
partisipasi masyarakat sipil ditandai dua ciri pokok, yaitu “advanced level of education and
sophistication of the middle classes” dan “their resources, their relative economic
independence” (Mulder, 2005, p. 5). Dengan demikian, agenda yang diusung dari civil
society participation biasanya ditandai dengan upaya untuk menciptakan human well-beings
(kemaslahatan manusia). Dilihat dari para pelakunya, agenda keterlibatan masyarakat sipil
diawali dari gerakan arus bawah, bukan semata-mata dari perintah otoritas tertentu. Tidak
terlalu berlebihan bila istilah yang mengiringi konsep seperti ini adalah voluntarism. Target
utama dari pembentukan sikap voluntarism atau voluntareering acts semacam ini diyakini
lebih karena adanya relational trust di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Oleh
karena itu, penjelasan civil society participation, dari kacamata sosiologi, tidak bisa
dilepaskan dari pemahaman tentang social capital (Fukuyama, 2001). Diyakini bahwa
masyarakat modern yang diletakkan dalam masyarakat sipil demokratis pun sangat
membutuhkan tumbuh-kembangnya civil society movement macam ini (Putnam, Leonardi, &
Nanetti, 1994).
Yang jauh lebih penting sebenarnya adalah upaya untuk melihat secara lebih
mendalam, bagaimana sejarah keterlibatan civil society telah muncul dan berkontribusi pada
perkembangan sosial kemasyarakatan di Indonesia. Teorisasi sosial sebagai ilmu yang sejauh
ini terlalu menggantungkan diri ke Dunia Barat, ternyata mengalami paradigm shift
(Cummings & William, 2008). Potensi perkembangan ekonomi yang mengarah ke Selatan-
Selatan, keunikan yang tercipta dari masyarakat Asia yang sangat pluralistik, namun pada
waktu yang sama memiliki socio-psychological resilience tertentu, menjadikan praktek-
praktek baik di negara-negara Asia menjadi wilayah yang semakin menarik. Teorisasi sosial
dari Barat telah mengalami stagnasi, dan oleh karenanya identitas Asia dengan segala
keunikannya memang mau tidak mau dilihat sebagai untapped source of knowledge.
2
Kuatnya paradigm shift yang berorientasi untuk memahami keunikan dari negara-
negara Asia ini pulalah yang menjadi pendorong utama bagi para peneliti dari Asia untuk
berperan serta dalam teorisasi civil society participation. Teorisasi partisipasi masyarakat
sipil di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pemahaman historis tentang nation-building di
Indonesia. Sebagai sebuah tanah jajahan, the Netherlands East Indies, diyakini telah memiliki
sistem tradisional di dalam proses sosialisasi dan pendidikan (tim BNSP, 2001,
Menyongsong Pendidikan Indonesia Abad XXI). Sebagai sebuah momentum, sejarah
pendidikan modern di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari National Awakening, 2
Mei 1908. Kalau ditarik ke belakang, sejarah pendidikan modern – yang dalam ini dengan
mengikuti pola Eropa (berbentuk age-grouping), ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika
politik sebagai konteks introduksi dan integrasi pendidikan Eropa ke dalam sistem Indonesia.
Pada era akhir 1800-an, sistem pendidikan yang ada (tradisional) diyakini merupakan
kelanjutan sistem yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Sistem belajar dengan cara
magang (apprentice) dilanjutkan dan dikembangkan, tidak hanya untuk pelatihan teknis
semata, tetapi juga pada tingkat agama. Pengembangan pendidikan berbasis asrama seperti
pesantren dinilai juga merupakan kelanjutan dari tradisi nyantrik/magang semacam ini.
Secara politis, introduksi model pembelajaran dari Eropa berawal dari semakin
kuatnya gerakan untuk mengadopsi gagasan Politik Etis 1971 yang diusung oleh van de
Venter (Rosariyanto, 2008). Agenda yang diusung oleh perspektif ini adalah pengakuan dari
pihak the Netherlands authority atas kontribusi ekonomis yang telah banyak diambil dari the
Netherlands East Indies ini. Kesadaran ini akhirnya bermuara pada kesediaan dari pihak
pemerintah Belanda untuk membuka sekolah-sekolah bagi anak negeri (indigenous). Pada
waktu yang sama, Pemerintah Belanda juga memberi ruang bagi agen-agen sosial-keagamaan
lain untuk membuka sekolah di Indonesia.
Dengan dibukanya kran untuk sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, maka ada
empat jenis sekolah yang mulai beroperasi pada era 1880-an, yang mencakup state-owned
schools, mission-based schools, nationalist-driven schools, and Islamic-based schools
(Budiraharjo, 2014). Dilihat dari keempat kelompok sekolah ini, hanya kelompok pertama
yang benar-benar didirikan oleh pihak pemerintah. Ketiga kelompok sekolah, yaitu mission-
based (milik Gereja Katholik), nationalist-driven (seperti Taman Siswa), dan Islamic-based
(madrasahs dan pesantren), benar-benar muncul dari partisipasi masyarakat.
Dilihat dari kacamata nation-building, kehadiran sekolah-sekolah ini mau tidak mau
menghadirkan bonus kesadaran patriotisme. Represi kolonial yang berlangsung cukup lama
telah membungkam warga pribumi semakin dirasakan sebagai realitas yang harus diubah.
3
Tidak sampai tiga dekade kemudian, generasi muda yang telah tercerahkan dengan
penguasaan ilmu dan keterampilan teknis akhirnya berani mencetuskan impian untuk menjadi
sebuah negara yang merdeka. Bisa dikatakan bahwa gerakan untuk mengusung kemerdekaan
macam ini sebenarnya lebih merupakan gerakan dari civil society. Berbagai tinjauan historis
memiliki kesamaan analisis; gerakan mengusung kemerdekaan dengan penggunaan senjata di
Jawa berakhir pada era Diponegoro (1830), dan di Aceh (1904). Perjuangan sesudah 1908
ditandai dengan gerakan sosio-kultural-politis, bukan politis-militeristik. Munculnya
perubahan pada tataran cara macam ini sungguh merupakan cikal-bakal dari tumbuhnya civil
society participation.
Bagaimana kontribusi lembaga keagamaan dalam mendukung agenda civil society
participation ini? Dari sudut pandang Catholicism, sosok penting yang mendasari
terbentuknya pendidikan di Indonesia adalah Rev. van Lith. Jesuit dari Belanda ini tiba di
Indonesia pada tahun 1896. Sementara, keberadaan sekolah Katholik sendiri sebenarnya
sudah ada jauh sebelumnya. Sekolah yang dikelola suster-suster Ursulin didirkan di Indonesia
pertama kali pada tahun 1858. Namun, kehadiran Rev. van Lith memiliki tingkat significance
yang tinggi. Pertama, beliau membawa pendekatan sosial-antropologis yang tidak semata-
mata ditargetkan untuk pertobatan masuk ke iman Katholik. Kedua, beliau mendirikan dasar-
dasar pendidikan, mengingat Kolese Fransiskus Xaverius (sekarang SMA van Lith) yang
didirikan di Muntilan, di tanah Jawa, merupakan sekolah guru, yang mempersiapkan orang-
orang Jawa untuk menjadi pendidik di kalangan bangsanya sendiri (Subanar, 2003;
Rosariyanto, 2009). Apa yang diusung oleh Rev. van Lith di dalam pendidikan sekolah guru
adalah upaya untuk membantu transformasi sosial-kultural-antropologis dari masyarakat
Jawa. Berbagai hal negatif, seperti contract-based marriage, dan kebiasaan untuk bersikap
opportunistic, menjadi contoh nyata atas perubahan-perubahan ontologis macam apa yang
mesti diubah, sesuai dengan hal yang secara universal-etis jauh bisa diterima (Rosariyanto,
2009).
Yang perlu kita jelaskan lebih lanjut adalah kontribusi khas dari sistem pendidikan
Muhammadiyah.
Capability approach untuk memahami implementasi kurikulum. Gagasan capability
approach yang diusung oleh Amartya Sen (1993) merupakan kelanjutan dari pendekatan
humanisme.
4
Kreasi Isi dan Bentuk Sekolah
Sebagai organisasi masyarakat sipil, Muhammadiyah dan Yayasan-yayasan Katholik
memiliki tradisi dan sejarah yang panjang di dalam pengelolaan sekolah-sekolah sebelum
Indonesia merdeka. In the eighteenth and nineteenth centuries a vast network of Qur'anic
schools spread across the archipelago (Hefner, 2000). The leaders of these schools were
suspicious of Europeans and their native allies, and they located their institutions at a safe
distance from state capitals (Hefner, 2000).
Pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan
dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pendidikan kepada warga pribumi.
Muhammadiyah berusaha melakukan pembaharuan untuk memurnikan keyakinan agama dari
campuran sistem-sistem tradisional dengan melaksanakan gerakan pembaharuan untuk
membawa agama berjalan harmonis dengan pemikiran rasional modern dengan kembali pada
AlQur’an dan keyakinan Islam sesungguhnya. Muhammadiyah memilihnyalewat jalan
pendidikan.Melalui bidang pendidikan Muhammadiyah menerapkan cara belajar agama yang
mudah sehingga kalangan awamyang tidak pernah belajar di pondok pesantren menjadi
tertarik untuk belajar agama Islam. Pendidikan Muhammadiyah juga memberikan pelajaran
ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga terbuka jalan bagi terciptanya manusia muslim
yang cerdas dengan berilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi masyarakat
(Ariyanti, 2011). K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah menggabungkan antara
metode pendidikan model pesantren denganpendidikan model barat. Pelajaran yang diambil
dari pendidikan pesantren adalah mata pelajaran agama Islamnya, sedangkan yang diambil
dari sistem pendidikan barat adalah mata pelajaran umumnya serta sistem kelasnya (Ariyanti,
2011).
Secara normatif rumusan isi dan bentuk sekolah muhammadiyah dalam
konsep“SekolahMuhammadiyah Unggul” mampu (1) tertib ibadah; (2) mahir baca tulis al-
Qur’an; (3)berwawasan kebangsaan; (4) pengetahuan akademis tinggi; (5) mampu berbahasa
asing; (6)memiliki ketrampilan komputer (Suara Muhammadiyah 1-15 Oktober 2004). Dalam
perkembangan kontemporer, partisipasi masyarakat dalam pendidikan dasar, Muhammadiyah
mengembangkan bentuk Sekolah Model Baru ini yang dinamakan fullday school.
Padaumumnya dikelola oleh anak-anakmuda, memakai sistemfull dayschool(waktu
pembelajaran hinggasore hari), memakai metode-metodebaru dalam pembelajaran.
Hampirsemua SD model baru ini justrumuncul atau gedungnya itu berasaldari SD
Muhammadiyah yangsudah mati, tapi dengan manajemendan sistem pendidikan baru
dapattumbuh menjadi sekolah unggul, misal; di Jakarta ada SD Muhammadiyah 8 Plus yang
5
berada diDuren Sawit, Sekolah Kreatif SDMuhammadiyah 16 Surabaya, SDMuhammadiyah
Alternatif diMagelang, SD MuhammadiyahCondong Catur di Yogyakarta, termasuk SD
Muhammadiyah Program Khusus Kotta-Barat Surakarta (Muhammad Ali dan Marpuji
Ali,2004).
Pendidikan di Indonesia pada orde Katolik mulai mengalami perkembangan yang
ditandai dengan didirikannya sekolah-sekolah formal oleh bangsa Spanyol dan Portugis.
Awalnya sekolah tersebut didirikan untuk tujuan peribadatan, yaitu mendidik calon imam
(pastor). Selajutnya, pada zaman penjajahan Hindia-Belanda pendidikan di bawah asuhan
Katolik mulai diperbolehkan membuka sekolah umum. Hingga banyak didirikan sekolah
Katolik di beberapa daerah di Indonesia.
Bangsa Spanyol dan Portugis pada abad ke 16 datang ke Indonesia untuk mencari
rempah-rempah atau kebutuhan hidup lainnya. Bangsa ini termasuk penganut agama Katolik
yang kuat imannya. Di mana mereka berada, di mana mereka bekerja dengan kesadaran iman
yang kuat itu mereka menjalankan ajaran agamanya. Hal itu dijalankan juga bagi bangsa itu
yang berada di Indonesia seperti tersebut di atas. Dengan demikian, mereka sering dikatakan
sambil berdagang bangsa Spanyol dan Portugis itu juga menyebarkan agama Katolik.
Untuk memenuhi ibadat mereka pada tahun 1536 mendirikan sekolah Seminari,
sekolah yang mendidik calon imam (pastor), di Ternate. Sekolah ini juga menerima anak-
anak pribumi. Tetapi karena sekolah ini sekolah agama dan penerimaan siswa pun terbatas
jumlahnya, maka sekolah ini tidak bisa berkembang dengan baik. Dan selain itu penduduk di
daerah Maluku belum mempunyai kesadaran dan pengertian tentang sekolah.
Kemudian tidak berapa lama datanglah bangsa Belanda yang arah pertamanya tidak
berbeda dengan bangsa Spanyol dan Portugis ini, yaitu berdagang mencari rempah-rempah
yang banyak dihasilkan di daerah Maluku. Bangsa Belanda ini berbeda keyakinan atau agama
dengan bangsa Spanyol dan Portugis. Bangsa Belanda semakin hari semakin kuat makin
besar pengaruhnya dan akhirnya dapat mendesak bangsa Spanyol dan Portugis itu.
Selanjutnya pada zaman penjajahan Hindia-Belanda pendidikan di bawah asuhan
Katolik mulai diperbolehkan membuka sekolah umum. Pada permulaan itu dibuka dua buah
sekolah putri di Jakarta, satu sekolah putra, dan satu sekolah putri di Surabaya. Sekolah-
sekolah itu didirikan oleh para Romo atau Bruder atau Suster. Sehingga kebanyakan sekolah
Katolik ini menganut sekolah nonkoedukasi, yaitu memisahkan antara murid putra atau murid
putri.Di luar Pulau Jawa sekolah Katolik terdapat di Larantuka (Pulau Flores) dan Pulau
Bangka. Yang ada di Larantuka cukup terkenal. Sekolah itu meskipun termasuk sekolah
6
umum, tetapi memberikan pelajaran ketrampilan, seperti pertukangan besi, tembaga,
pertanian, dan juga kesehatan.
Pimpinan pertama sekolah ini ialah Bruder de Ruyeter S.Y. Sekolah ini dilengkapi
dengan asrama bagi siswa-siswanya. Dalam usaha pengabdiannya ke masyarakat sekolah ini
pada tahun 1870 mengadakan praktek lapangan (semacam KKN Mahasiswa sekarang)
dengan memberikan suntikan pencegahan penyakit cacar kepada penduduk Kupang (Timor).
Dalam kegiatan ini sangat dirasakan besar manfaatnya, lebih-lebih penduduk di sekitar
sekolah itu. Sehingga ketika terjadi wabah penyakit cacar yang menyerang hampir di seluruh
Flores atau Nusa Tenggara Timur, satu-satunya daerah yang terhindar dari penyakit itu ialah
daerah Larantuka.
Lalu pada tahun 1880 oleh suster-suster Santa Ursula di Jakarta didirikan sekolah
guru (normal cursus). Sekolah ini menerima siswa khusus putri.
Kebanyakan sekolah yang didirikan di Jawa memakai bahasa pengantar bahasa
Belanda; karena guru-gurunya sebagian besar para Pastor atau Bruder atau Suster yang belum
begitu fasih dengan bahasa Jawa/Indonesia. Tetapi di daerah luar Pulau Jawa telah digunakan
bahasa Melayu. Lalu pada tahun 1892 atas prakarsa Pastor W. Hellings S.Y. didirikan
sekolah-sekolah berbahasa Jawa di Muntilan, Mungkit, Tempuran, dan Salam (Jawa Tengah).
Dan pada waktu di bawah pimpinan Pastor Van Lith sekolah di Muntilan dan Pastor
Hoevevaars sekolah di Mendut, lebih diintensifkan sekolah dengan bahasa Jawa sebagai
bahasa pengantarnya. Lalu suster-suster Fransiskan membuka sekolah guru (Kweekschool) di
Mendut, pada tahun 1899.
Sekolah sekolah Katolik banyak menerima subsidi dari pemerintah. Sebagai gambaran
sekolah sekolah-sekolah yang mendapat subsidi (1938) antara lain :
1. AMS (SMA) : 1 sekolah
2. HBS (SMP raja/pejabat) : 3 sekolah
3. MULO : 10 sekolah
4. ELS : 40 sekolah
5. HCS : 125 sekolah
6. HIS : 18 sekolah
7. Schkel school : 3 sekolah
8. Vervolg school : 71 sekolah
9. Volk school : 529 sekolah
10. HIK : 1 sekolah
11. Normal school : 1 sekolah
7
12. Kursus guru desa : 4 sekolah
13. Ambactschool : 3 sekolah
14. Sekolah Ketrampilan Putri : 2 sekolah
Jumlah sekolah yang mendapat subsidi = 698 sekolah
Melihat jumlah sekolah yang semakin banyak itu maka dapat dikatakan sekolah-
sekolah swasta Katolik ini cukup pesat perkembangannya. Demikian juga pada zaman
kemerdekaan ini. Banyak sekolah yang mempunyai nama yang baik karena mutu sekolah itu
tidak kalah dengan sekolah lain, bahkan ada juga yang lebih menonjol. Adapun faktor-faktor
yang menyebabkan sekolah itu maju ialah :
1. Sekolah telah banyak membantu daerah secara nyata dalam menangani pendidikan, dan
juga bidang lain.
2. Sekolah memperhatikan anak-anak Bumi Putra yang cukup baik.
3. Banyak pejabat di daerah atau pusat yang dulu dididik di sekolah Katolik.
4. Sekolah itu mendidik siswanya dengan penuh disiplin, tekun, ulet, dan rajin.
5. Dan yang tidak kalah pentingnya berkat ketekunan daripada pimpinan dan guru, yang
bekerja/mengajar dengan penuh dedikasi.
Tetapi di dalam perjalanannya, seiring juga mengalami hambatan kesulitan, antara
lain :
1. Banyaknya siswa dari keturunan asing termasuk juga Belanda, China, dan bangsa Eropa
lainnya; sehingga sering disebut sebagai sekolah elite.
2. Sekolah masih masih memakai bahasa pengantar bahasa Belanda.
3. Terbatasnya dana sehingga banyak terjadi satu sekolah dipakai oleh beberapa sekolah.
4. Pada zaman Jepang semua sekolah swasta termasuk termasuk sekolah Katolik ditutup. Hal
itu menyulitkan dalam merehabilitirnya.
Di sekolah-sekolah dasar Muhammadiyah di Kabupaten Klaten dan Sleman, jam
belajar berlangsung sampai pukul 15.30 sore setelah sholat asyar. Tujuan dari fullday school
ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengamalan Agama Islam dan
Kemuhammadiyaan (wawancara, dengan kepala sekolah).
Tabel 5.1. Konten dan Bentuk Sekolah Swasta
Sekolah Katholik Sekolah Muhammadiyah
Konten Mapel agama Katholik dan
Kemarsudirian
Mapel Al Islam dan
Kemuhammadiyaan
Bentuk Fullday School Fullday School
Sumber: Hasil Olah Data.
8
N
o
ALASAN
MASUK
SEKOLAH
SD
KATHOLI
K
%
SD
MUHAMMADIY
AH
%
1 Biaya 0 9 30,00%
2 Jarak 1 1,39% 6 20,00%
3 Keagamaan 10 41,67% 6 20,00%
4 Kualitas 11 45,83% 4 13,33%
5 Fasilitas 1 1,39% 4 13,33%
6Lain-
lainnya 1 1,39% 1 3,33%
Jumlah 24 100,00% 30
100,00
%
N
o
ALASAN
MASUK
SEKOLA
H
SMP
KATH
OLIK
%
SMP
MUHAM
MADIYA
H
%
1 Biaya 0 0,00% 9 30,00%
2 Jarak 0 0,00% 2 6,67%
3Keagama
an7
53,85
% 9 30,00%
4Kualitas
538,46
% 3 10,00%
5 Fasilitas 0 0,00% 1 3,33%
6Lain-
lainnya1
7,69% 1 3,33%
Jumlah 13
100,00
% 25 83,33%
Sumber: Hasil olah data
Memperhatikan data yang ada diatas, dapat dikatakan bahwa sebagain besar alasan
para orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah Muhammadiyah karena biayanya
9
terjangkau (murah), selain karena alasan keagamaan (Islam berafiliasi Muhammadiyah),
sehingga dalam pandangan orang tua siswa Muhammadiyah akan tetap berkembang setelah
para siswa nanti menyelesaikan sekolah di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ini juga
dapat dikatan sebagai alasan ideologis, yakni keyakinan keagamaan dan
Kemuhammadiyahan, selain karena asalan kualuitas sekolahanya yang dianggap baik. Hal
seperti ini sedikit berbeda dengan motiv orang tua di Kota Ende, Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang menyekolahkan anak-anak di sekolah Muhammadiyah bukan karena alasan
keagamaan, tetapi alasan kualitas sekolah Muhammadiyah yang jauh lebih baik disbanding
sekolah Kristen dan Katolik, sebab di Ende sebagian besar (mencapai 67 %) siswanya
beragama Katolik. (Abdul Mu’thi, 2010)
Perilaku Agensi Sekolah Katholik dan Sekolah Muhammadiyah
Agency is related to other approaches that stress self-determination, authentic self
direction, autonomy, self-reliance, empowerment, voice and so on (Alkire and Denaulin,
2010). In this sense, private school try to exist self-reliance and to autonomy their
management. Implikasi kebijakan wajib belajar terhadap lembaga pendidikan swasta menarik
untuk dikaji. Apakah bantuan operasional sekolah dapat mencukupi pembiayaan di sekolah-
sekolah swasta? Sebagaiman yang dijelaskan didepan bahwa masing-masing siswa di sekolah
swasta menerima bantuan keuangan setahun rata-rata untuk tingkat Sekolah Dasar sebesar
Rp. 90.000/semester, sheingga setahun siswa SD rata-rata mendapatkan dana sumbangan
pemerintah sebesar Rp. 180.000.Sedangkan untuk tingkat SMP, dari semua SMP yang diteliti
semuanya tidak ada yang dari pemerintah, baik Provinsi, kabupaten maupun nasional. Dari
tabel berikut ditehui bahwa proporsi pendapatan yang berasal dari bantuan operasional
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan wajar hanya 37% dari pendapatan sekolah secara
keseluruhan. Sumbangan siswa bagi sekolah swasta masih memberikan kontribusi sebesar
17,54%. Sumbangan pihak ketiga baik dari Pemerintah, Yayasan dan pihak ketiga mencapai
hampir sepertiga dari pendapatan sekolah. Dengan kata lain bantuan operasional sekolah
tidak mencukupi untuk membiayai biaya operasional dan pembangunan sekolah-sekolah
swasta.
10
Tabel 5.1. Pendapatan Sekolah SD Swasta di Jawa Tengah dan DIY
NURAIAN
PENDAPATAN
PERSE
NTASE
1 Uang Sekolah (SPP) 17,54%
2 Sumbangan Gedung 8,23%
3Sumbangan Gedung
Yayasan12,46%
4Sumbangan
Pemerintah13,51%
5Sumbangan Pihak
Ketiga10,36%
6 BOSNAS 31,04%
7 BOSPROV 3,04%
8 BOSKAB 3,82%
Sumber: hasil olah data
Salah satu pembiayaan yang besar adalah pembangunan sarana dan prasarana, terutama
gedung dan segala perlengkapannya. Berbeda dengan sekolah-sekolah negeri yang dibiayai
oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Belaja Pendapatan Negara
(APBN), maka sekolah-sekolah swasta mengandalkan berbagai sumbangan untuk
membangun gedung dan memenuhi perlengkapannya.
Memperhatikan data diatas juga kita dapat melihat bahwa pihak sekolah swasta, para
siswanya yang mendapatkan sumbangan BOSDA/Bosnas hanya pada tingkatan SD,
sementara untuk tingkatan SMP swasta baik Katolik maupun Muhammadiyah ternyata tidak
mendapatkan. Oleh sebab itu dapat dikatakan juga bahwa beban pembayaran sekolah untuk
siswa-siswa tingkat SMP swasta seluruhnya dibebankan pada masyarakat yang
menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah SMP Swasta. Sedangkan di tingkat SD, baik SD
Muhammadiyah maupun SD Katolik masih mendapatkan sumbangan dari BOSNAS dan
BOSDA sehingga para orang tua tetap terbantu sekalipun sebagian sekolah dasar (SD)
Swasta dikategorikan mahal pembiayaannya.
Dari Sumber Dana Pembangunan Prasarana di Sekolah (gedung dll) dapat
diperoleh gambaran bahwa persentase sumber dana pembangunan prasarana di SD Katolik
adalah berturut-turut pos Dana Alokasi Khusus (22.22%),Networking sekolah (22.22%),
Bantuan dari Pihak Lain (19.44%), Bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota (13.89%), dan
11
Bantuan Pemerintah Propinsi (12.50%). Kemampuan sekolah untuk membangun prasarana
fisik secara mandiri (Sumbangan SPP) relatif kecil, yaitu hanya sebesar 9.72%, yang dapat
diartikan bahwa SD Katolik mengandalkan terutama bantuan dana dari pemerintah berupa
DAK, dan bantuan dana dari networking dan pihak lain yang mungkin sekali dikoordinasi
oleh Yayasan atau peran serta masyarakat. Here, those schools have strong desire as agency
suggest that development should foster participation, and democratic practice (Alkire and
Denaulin, 2010).
Sementara itu untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah, baik SD maupun SMP, dana
untuk sekolah di dapatkan dari sumbangan orang tua (sebagai sumbangan tidak mengikat)
sebagai jariyah orang tua, atau sumbangan pihak ketiga, sumbangan pemerintah, dan dana
asli sekolah dari pembayaran SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) yang cangat
variatif tergantung pada kemampuan masing-masing orang tua siswa membayarnya dan
kemampuan sekolah mendapatkan dana bantuan untuk sekolah. Detail dana pendapatan
sekolah SD dan SMP Swasta Muhammadiyah dan Katolik di DIY dan Jateng adalah sebagai
berikut dibawah ini:
Sumber Dana Sekolah Swasta Muhammadiyah dan Katolik DIY dan Jateng.
No Uraian Sumber DanaSD
Katolik
SD
Muhammadiya
h
Persentas
e
1
Membangun Sendiri
(Sumbangan SPP) 7 9,72% 9 30,00%
2
Dana Alokasi Khusus
(DAK) 16 22,22% 5 16,67%
3
Bantuan dari Pemerintah
Kabupaten/Kota 10 13,89% 3 10,00%
4
Bantuan dari Pemerintah
Provinsi 9 12,50% 5 16,67%
5
Bantuan dari Pihak
Lainnya 14 19,44% 4 13,33%
6 Networking 16 22,22% 4 13,33%
Jumlah 72
100,00
% 30 100,00%
12
Sebaliknya, 30% SD Muhammadiyah memperoleh dana yang bersumber dari
Sumbangan SPP, Bantuan Pemerintah Propinsi (16.67%) dan Dana Alokasi Khusus
(16.67%), sementara hanya 13.33% SD Muhammadiyah memperoleh dana pembangunan
dari Pihak lain dan Networking (13.33%). Persentase terkecil adalah sumber dana dari
pemerintah Kabupaten/Kota yang hanya diterima oleh 10% dari total jumlah SD
Muhammadiyah dalam survei ini.Perbedaan urutan sumber dana pembangunan prasarana SD
Katolik dan SD Muhammadiyah berdasarkan persentase terutama yang berasal dari
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai makro sistem terdekat dengan sekolah dapat menjadi
temuan yang menarik karena dapat mencerminkan keharmonisan hubungan sekolah dengan
Dinas Pendidikan terdekat.
Untuk presentase Sumber Dana Pembangunan Prasarana di SMP Katolik, urutan
yang mirip dengan urutan presentase untuk SD Katolik terjadi, yaitu persentase tiga terbesar
adalah Bantuan Lain ( 26.83%), Networking (21.95%), Dana Alokasi Khusus ( 19.51%)
begitu juga Bantuan dari Propinsi ( 19.51%). Sumber dana yang berasal dari SPP hanya
4.88%. Urutan persentase ini dapat memperlihatkan adanya keterlibatan dari jejaring
sekolah (yayasan) dan pihak lain untuk meningkatkan prasarana sekolah.
Untuk SMP Muhammadiyah, presentase terbesar sumber dana adalah SPP siswa dan
Bantuan Pemerintah Kota/Kabupaten yang masing-masing besarnya adalah 20%, sementara
presentase terkecil adalah Bantuan dari Pemerintah Propinsi (12%). Bantuan provinsi yang
kecil berkaitan dengan dalam otonomi daerah pengelolaan pendidikan dasar menjadi
kewenangan kabupaten dan kota, sehingga jika APBD Kabupaten/Kota rendah maka dana
sumbangan yang diberikan kepada sekolah swasta semakin rendah, tetapi jika APBD tingga
maka kemungkinan dana BOSDSA juga dapat meningkat atau tinggi, lebih dari 100 juta
pertahun.
Kelas Sosial Siswa
Sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah Katholik dan sekolah Muhammadiyah
sangat tergantung kepada jumlah siswa yang masuk untuk menjaga eksistensinya. Dari
wawancara dengan kepala sekolah diketahui bahwa sekolah-sekolah negeri merupakan
kompetitor yang kuat didalam memperoleh siswa. Pada prakteknya di lapangan sekolah-
sekolah negeri menambah jumlah rombongan belajar (dengan jumlah 35 orang
siswa/rombongan belajar), sehingga mengurangi jumlah siswa yang masuk ke sekolah
swasta. Ada dua alasan pokok yang menyebabkan penambahan jumlah rombongan belajar di
13
sekolah negeri, yaitu penambahan prasarana kelas melalui APBD dan pemenuhan jumlah jam
mengajar bagi guru sekolah negeri sertifikasi (24 jam mengajar). Dengan demikian,
persaingan yang kurang fair ini menyebabkan banyak sekolah siswa yang menerima calon
siswa sisa dari sekolah-sekolah negeri. Calon-calon siswa sisa ini pada umumnya berasal dari
keluarga yang kurang mampu atau kemampuan akademiknya kurang.1Di Kabupaten Klaten,
persaingan mencari siswa di tingkat SMP semakin ketat. SMP Muhammadiyah Jogonalan
harus menghapi dua sekolah negeri, yaitu SMP 1 dan 2 negeri Jogonalan. Dua sekolah
tersebut menambah rombongan belajar. Aturan mainnya: masing2 rombel 32-36, dan pada
kenyataannya, justru malah 40, dan itu dibiarkan oleh Dinas Pendidikan setempat.2
Walaupun demikian,Rata-rata Jumlah Siswa di SD Katolik dan SMP Katolik
memperlihatkan jumlah siswa yang stabil, artinya tidak ada penambahan jumlah siswa yang
cukup signifikan di tingkat SMP. Sementara di SMP Muhammadiyah, ada kenaikan jumlah
siswa sebesar lebih dari 200% dari jumlah siswa di tingkat sekolah dasar. Data yang
ditampilkan di tabel ini menjadi menarik utnuk dicermati dengan membandingkan data
dengan alasan masuk Sekolah, yaitu siswa SD Katolik adalah secara berurutan sebagai
berikut: Kualitas (55%), alasan terkait Keagamaan (50%), dan biaya sebagai alasan paling
kecil persentasenya ( 5%). Sementara di SD Muhammadiyah persentase alasan masuk
sekolah terbesar adalah biaya (30%) dan alasan keagamaan serta jarak yang masing-masing
adalah 20%. Data seperti itu seperti juga terjadi ketika para orang tua menyekolahkan para
anaknya di sekolah Muhammadiyah di Ende, seperti telah disinggung diatas, yakni karena
alasan kualitas sekolah Muhammadiyah lebih baik ketimbang kualitas sekolah Katolik atau
pun Protestan di Ende. (Mu’thi, 2010)
Di tingkat SMP, alasan terbanyak untuk siswa memilih SMP Katolik adalah tetap
Keagamaan ( 53.85%) dan Kualitas (38.46%), sementara untuk SMP Muhamadiyah biaya
tetap menjadi pertimbangan terbesar ketika siswa memilih sekolah ( 30%) sama dengan
alasan keagamaan (30%) dan kualitas dipilih oleh hanya 10% responden. Dari perbandingan
tabel alasan tersebut, nampaknya ada konsistensi alasan memilih sekolah katolik bagi
orangtua putra-putrinya tanpa memperhitungkan alasan biaya sebagai pertimbangan utama.
Sedangkan untuk orang tua dan siswa yang memilih sekolah Muhammadiyah, biaya selalu
menjadi alasan penting, kemudian alasan keagamaan dan kualitas. Perbandingan alasan ini
dapat memperlihatkan secara umum kemampuan finasial para siswa yang memilih sekolah
Katolik ataupun sekolah Muhammdiyah. Data ini sedikit berbeda dengan yang terjadi di
1Wawancara dengan nara sumber pada tanggal 12 November 2013.2Wawancara dengan Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Jogonalan, 6 November 2013.
14
Ende, sebab di Ende alasan ideologis (keagamaan) kurang mendapatkan porsi yang dominan.
Baik level SD maupun SMP jika merujuk sekolah di Ende, maka alasan kualitas menempati
urutan teratas, tidak ada alasan keagamaan yang kuat sebab sebagian besar siswa di SD, SMP
dan SMA di Ende adalah Bergama non Islam. (Mu’thi, 2010)
Dari 95 sekolah yang diteliti, 60% sekolah memberikan beasiswa kepada siswa yang
kurang mampu, alias kaum miskin, atau kelas bawah dengan krieteria yang telah ditentukan
oleh siswa, misalnya siswanya miskin tetapi anaknya pintar dalam hal mata pelajaran, orang
tua siswa kurang mampu dalam hal kehidupan sehari-hari, siswa memiliki semangat belajar
yang kuat, sekalipun jauh dari fasilitas pendidikan yang ada, serta berakhlak (kepribadian)
yang baik, tidak nakal atau tidak suka membuat kekacauan yang dapat merusak hubungan
baik antar sesama (siswa dengan siswa) serta siswa dengan para guru dan masyarakat.
Memperhatikan kecenderungan seperti itu, dapat dikatakan bahwa sekolah-sekolah
swasta baik Sekolah Muhammadiyah maupun sekolah Katolik memberikan perhatian pada
kelangsungan pendidikan dikalangan kurang mampu. Hal ini yang tampaknya menjadi spirit
sekolah-sekolah swasta (Muhammadiyah dan Katolik) dalam menyelenggarakan pendidikan.
Sekalipun sebagian kecil sekolah Muhammadiyah dan Katolik mengalami penurunan tetapi
mereka tetap memberikan perhatian pada masyarakat miskin untuk dapat menyekolahkan
anaknya di sekolah swasta. Hal ini juga sejalan semangat “melayani”yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi social keagamaan seperti Muhammadiyah dan Katolik dalam melayani
masyarakat yang kekurangan. Seperti di Amerika sejak pemerintahan George Bush, Bill
Clinton dan Walker Bush, ketika mengintrodusir soal pelayanan kesehatan pada masyarakat
dimana agama juga menginisiasikan tentang kesalehan pada masyarakat sebagai pilihan
pelayanan. Apa yang dilakukan oleh agama untuk menyediakan makanan, lapangan
pekerjaan dan pelajaran membaca pada masyarakat menjadi persoalan ketika Negara juga
melakukan hal yang sama. Pertarungan antara institusi keagamaan dan Negara menjadi
kentara ketika keduanya berbut pada wilayah public. (Bartskowski 2003: 4-5, Ilchman, 2010)
Dalam kaitannya dengan pemberian bantuan dari pihak negara kepada sekolah swasta
Muhammadiyah dan katolik, agaknya ada dampak kebijakan pemerintah terhadap sekolah-
sekolah Katholik. Dapat dilaihat dibawah ini bagaimana sekolah Swasta Katolik dan
Muhammadiyah menghadapi kebijakan negara tersebut.
1. 61% SDK menjumpai kebijakan pemerintah baik.
2. 39% SMP menjumpai kebijakan pemerintah baik.
15
Artinya, bagi SDK bantuan dana BOS dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan apa
yang dirasakan oleh SMPK. Temuan-temuan di lapangan memang menunjukkan gejala
seperti ini. Data-data kualitatif menunjukkan bahwa pihak birokrasi cenderung lebih
menunjukkan kepedulian pada tingkat SD
Analisis konseptual dari temuan-temuan di lapangan
Mengapa sekolah-sekolah swasta cenderung memiliki tingkat keberterimaan yang cukup
tinggi dan masih bisa bertahan sejauh ini?
Tatakelola Sekolah
Tatakelola sekolah Katholik dan Muhammadiyah sangat dipengaruhi oleh sejarah dan
misi organisasi yang bersangkutan. Walaupun pemerintah memberikan pedoman tentang tata
kelola sekolah dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor
044/u/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dijelaskan bahwa Komite
Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan,
baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar
sekolah. Sedangkan Nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah masing-
masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah, Komite Pendidikan, Komite Pendidikan
Luar Sekolah, Dewan sekolah, Majelis Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama
lain yang disepakati.
Di sekolah-sekolah Muhammadiyah, secara umum susunan kepengurusan komite
sekolah terdiri dari wakil orang tua, tokoh masyarakat, wakil dari pengurus Muhammadiyah
dan alumni.
16
Pengurus Dikdasmen Pimpinan Cabang
Kepala
Sekolah
Komite
Sekolah
GuruKelas GuruKelas GuruKelasGuruKelas Guru Kelas
MASYARAKAT SEKITAR
Di sekolah-sekolah swasta Katolik, secara umum susunan kepengurusan komite
sekolah terdiri dari wakil orang tua, tokoh masyarakat, wakil dari pengurus Yayasan dan
alumni.
Pertama, tidak semata-mata karena loyalitas ideologis, tetapi sekolah yang dipercaya
karena memiliki kapasitas untuk tetap mempertahankan kapasitas dan konsistensi dalam
memperjuangkan nilai-nilai relevan dan kultur lokal. Pemahaman kurikulum dimaknai secara
luas, yaitu bukan pada apa yang diungkapkan pada tataran dokumentasi saja. Ada beberapa
indikasi lain yang menunjukkan kapasitas yang baik. Misalnya, dicarinya mekanisme untuk
memperkuat pengalaman belajar yang lebih holistic. Contohnya meliputi: (a) dilibatkannya
para siswa dengan kegiatan untuk pelayanan, baik itu dalam hal keagamaan maupun sosial
(kultum). Ini merujuk pada upaya untuk menjaga relevansi pendidikan pada tingkat
17
masyarakat. (b) dikembangkannya kegiatan ekstrakurikuler yang mencerminkan kebutuhan
nyata sesuai dengan konteks sosial ekonomi kemasyarakatan. Misalnya, di SMP PL Bayat
diajarkan pelatihan menjahit (konveksi). Mengapa harus bidang ini? Karena masyarakat
Klaten merupakan sentra konveksi sebagai industri rumah tangga. (c) pelibatan orang tua dan
masyarakat dalam agenda untuk menjaga school sustainability. Bentuknya bisa sangat
beragam. Koin 100 dikembangkan oleh Pak Klidiatmoko di SDK Wirobrajan. Pengumpulan
dana alumni dilakukan di berbagai tempat, misalnya Bayat, Kaliduren, SDK Wirobrajan.
Membangun kerja sama dengan masyarakat lokal, yaitu dengan menggerakkan atau
memobilisasi original stakeholders. Dana guru di GAnjuran menjadi contoh nyata. bagaimana
tempat ziarah di Ganjuran memungkinkan para guru di SDK Ganjuran mendapatkan
sokongan dana sampai 500 ribu/bulan.
Berbagai temuan di lapangan menunjukkan bahwa keberhasilan untuk mempertahankan
eksistensi memang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam hal, termasuk di dalamnya
adalah kuatnya pengakuan secara kultural tentang peran-peran yang telah dimainkan oleh
sejumlah sekolah swasta. Sekolah-sekolah pionir yang mendapatkan pengakuan dan
kehadirannya telah dirasakan oleh beberapa generasi, dan ditambah dengan kualitas guru,
ketersediaan fasilitas yang tetap baik, akan tetap mendapatkan peluang untuk bertahan.
Wawancara dengan kepala sekolah menunjukkan bahwa pihak otoritas memiliki kepedulian
untuk menjaga keberadaan sekolah swasta di suatu lokasi tertentu. Pihak yang berwenang,
seperti Dinas Pendidikan, dan bahkan pemerintah daerah Kecamatan, dan Desa, memiliki
penghargaan terhadap kontribusi sekolah. Berbagai gesture positif, bisa berupa kunjungan
dan bantuan lain, yang ditampilkan oleh otoritas pemerintahan macam ini dirasakan sebagai
bentuk perhatian dan kepedulian. Sekolah-sekolah yang berhasil menavigasikan diri dalam
relasinya dengan pihak-pihak berwenang, mencoba tetap membuka diri, melakukan kerja
sama dengan agenda pemerintah, menunjukkan dukungan aktif terhadap program-program
yang diusung oleh pemerintah, menjadi indikasi awal bagi keberterimaan sekolah tersebut
pada tataran birokrasi. Bisa dikatakan bahwa kemampuan dan keterampilan kepemimpinan
dari pihak sekolah dalam menjalin relasi dengan berbagai pihak macam ini sangat
berpengaruh kuat dalam menjamin keberlangsungan dan eksistensi kultural di dalam
masyarakat.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Katolik yang dijadikan subjek kajian
menunjukkan bahwa mereka tetap bisa bertahan dalam peruabahn-perubahan kebijakan yang
sering dilakukan oleh negara, termasuk kebijakan pendirian sekolah-sekolah kjuruan dan
negeri yang berada di dekat sekolah swasta. Sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik
18
tetap bisa bertahan karena semangat mereka secara keagamaan sebagai bagian dari semangat
pelayanan social atau sebagai bentuk kesalehan social dalam melayani masyarakat. Hal
seperti itu terjadin seperti di negara-negara Amerika Latin dan Balkan. Sebagai sebuah
kegiatan yang bersifat social, hostility-kedermawanan yang bersumber pada etika agama,
menjadi pilihan institusi keagamaan sebagai sebuah gagasan yang semula merupakan ajaran
reformasi keagamaan, karena sebagian paham keagamaan lebih menekankan pada ibadah
yang dinamakan sebagai kebajikan formal. Kebajikan formal yang dimaksudkan adalah
kebajikan yang berupa doa-doa (praying), ritual perjalanan (haji dalam Isalam), ziarah kubur
(wisata ziarah ke Yerusalem) dan seterusnya pada agama Yahudi dan Kristen. Kemudian
reformasi keagamaan memberikan tekanan pada kebajikan social yang dinamakan dengan
sedekah, wakaf atau charity atau hostility sebagai hal yang sangat penting dikerjakan oleh
kaum agama sebab kesalehan tidak hanya kesalehan individual (ritual simbolik) tetapi yang
bersifat pelayanan umum (public services). (Bartskowski, 2003: 5)
Prinsip Akuntabilitas
Dari temuan di lapangan jelas kelihatan bahwa sejumlah sekolah memiliki daya
kelenturan tersendiri dalam persaingan yang serba kompleks, terlebih karena mereka
menjalani prinsip-prinsip akuntabilitas di dalam pola relasi mereka baik secara internal
maupun eksternal. Akuntabilitas publik merujuk pada diberlakukannya sistem terbuka,
transparan, dan terukur. Ketersediaan dana dari pihak pemerintah untuk membantu fasilitas
sarana dan prasarana di sekolah-sekolah swasta sangat sedikit dan bisa dipastikan tidak
pernah mencukupi. Sekolah-sekolah swasta dituntut untuk berusaha sendiri dan berjuang
untuk menemukan berbagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
sarana dan prasarana, seperti gedung, meja kursi, dan alat-alat teknologi informasi lain.
Kepedulian terhadap agenda dan misi yang diusung oleh sekolah melalui berbagai kegiatan
layanan pendidikan sangat ditentukan oleh seberapa lincah kepala sekolah dan timnya untuk
memformulasikan strategi komunikasi dengan pihak-pihak penyandang dana. Seperti terjadi
di sekolah Muhammadiyah seperti disampaikan Oleh wakil kepala sekolah SD
Muhammadiyah Sapen bahwa pihak sekolah memiliki hubungan yang baik dengan para
donator, komite sekolah, dan wali murid. Salah satu metode agar tetap dekat dengan para
donator, wali murid dan komite sekolah dengan cara silaturahim, seperti pengajian rutin
bulanan, datang ke rumah-rumah dan menirimkan laporan kegiatan sekolah dan pengeluaran
serta pendapatan sekolah. (wawancara dengan Sofyan, 14/maret, 2014)
19
Berbagai sekolah menggunakan relasi yang baik dengan komite sekolah, orang tua,
dan para alumni untuk menggali dana dari masyarakat macam ini. SMP PL Bayat
mengumpulkan dana dari para alumninya yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, dan
terutama Jakarta. Dana yang terkumpul dari para alumni, atau rekanan lain yang dibangun
oleh para alumni mereka, bisa digunakan untuk pembangunan gedung dan sarana-prasarana
musik dan alat-alat bantu pembelajaran. Kesediaan dari para alumni dan rekanan lain untuk
mempercayakan uang mereka kepada sekolah ditentukan oleh sejumlah faktor. Sosok kepala
sekolah memainkan peran utama. Di satu sisi, kepala sekolah sebagai negosiator utama
dituntut untuk benar-benar mampu menunjukkan komitmen tinggi untuk membantu sesama,
bukan demi kepentingannya sendiri. Di lain pihak, kepala sekolah juga dituntut untuk bisa
mengelola uang dengan cara yang terbuka, transparan, dan terukur melalui berbagai cara.
Para penyandang dana bagi sekolah-sekolah swasta tergerak untuk menginvestasikan uang
mereka dalam rupa dana sosial untuk pendidikan sejauh ada serangkaian bukti empiris yang
ditunjukkan oleh sekolah terkait dengan efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan dari
pihak sekolah. Adanya bukti-bukti nyata bahwa uang yang telah terkumpul memang telah
tepat sasaran, misalnya berupa dibangunnya suatu fasilitas tertentu, terdistribusinya dana
beasiswa untuk sejumlah siswa yang berkekurangan, menjadi sarana untuk menjamin
akuntabilitas publik.
Data lapangan memberikan petunjuk bahwa sekolah-sekolah swasta dipercaya oleh
public (masyarakat) yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta Muhammadiyah dan
Katolik disebabkan karena prinsip akuntabilitas terjaga dengan baik. Hal yang dilakukan oleh
sekolah Muhammadiyah, SD Muhammadiyah Sapen, Noyokerten dan Nitikan misalnya
selalu melaporkan kepada para orang tua dan komite sekolah pendapatan sekolah selama satu
tahun dan pengeluaran setiap kegiatan. Dari sana masyarakat mengetahuai berapa jumlah
dana yang didapatkan dan dipergunakan untuk kegiatan apa saja semuanya terpampang jelas
di hadapan para orang tua dan komite sekolah. Bahkan khusus untuk sekolah Muhammadiyah
seluruh kegiatan yang berhubungan dengan keuangan dilaporkan kepada Majlis Pendidikan
Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PDM dan PCM serta PWM setempat. (wawancara
dengan Saijan dan Sofyan, 14/maret/ 2014)
Ideologi Sekolah Islam-Katholik
Ada satu temuan terkait dengn perbedaan mendasar yang tampaknya berakar pada
keyakinan ideologis antara SD/SMP katholik dan Muhammadiyah. SD/SMP Muhamadiyah
cenderung berdiri sendiri secara independen. Pengelolaan cenderung terdesentralisasi. Lain
halnya dengan sekolah-sekolah Katholik. Dari kelompok ini, mereka cenderung lebih bersatu,
20
dengan berbagai yayasan yang menaunginya. Masing-masing Yayasan cenderung memiliki
cirri khas sendiri-sendiri. Ada yang terbuka, siap untuk bekerja sama dan berbagi. Namunada
juga yang cenderung self-protective. Most established schools cenderung merasa diri self-
sufficient. Terkesan lebih arogan, dan enggan untuk berbagi. Namun terlepas dari variasi
macam ini, sekolah-sekolah Katholik cenderung lebih unified. Terlepas dari charisma
spiritual yang diikuti.
Kasus sekolah Muhammadiyah misalnya dalam hal ideology sangat jelas
mengembangkan ideology Islam yang rahmatan lil alamin, islam yang berkemajuan, dan
islam yang moderat, sebagaimana yang diamanatkan oleh majlis pendidikan dasar dan
menengah Muhammadiyah agar menjadikan pendidikan Muhammadiyah mengembangkan
prinsip islam yang moderat, Islam berkemajuan dan menjunjung tinggi islam rahmatan lil
alamin bukan islam yang ekslusif dalam menemukan perbedaan. Hanya saja di lapangan
karena kemampuan para guru dan pengelola sekolah serta yayasan beragam seringkali
memahami visi dan misi sekolah muhammadiyah dengan sangat beragam juga. Ada sekolah
Muhammadiyah yang tampak “eksklusif” terhadap ideology lain, tetapi ada juga yang sangat
inklusif sehingga dengan mudah menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi.
(Muhammad Ali, 2012)
Berbagai friksi ideologis memang ditemukan di lapangan. Friksi dirasakan sangat
kuat untuk kantong-kantong wilayah tetentu, terutama untuk daerah yang dinilai strategis.
Misalnya, daerah Purworejo merupakan sebuah battlefield, di mana suatu lokasi wilayah
yang relative sempit, namun disitu disesaki oleh berbagai sekolah, baik itu negeri maupun
swasta katholik dan islam. SMP Bruderan Purworejo berada di antara beberapa sekolah lain
dengan jarak yang sangat pendek. Jadi, menarik untuk dikaji lebih jauh dalam kaitannya
dengan persoalan pemberian ijin pembukaan sekolah. Sepertinya, pemberian ijin pembukaan
sekolah tidak mengantisipasi potensi konflik dan friksi yang bisa muncul dalam situasi seperti
itu. Friksi bisa terjadi begitu mencekik: dan bisa jadi sangat politis. Di Temanggung,
supervise dari dinas dipakai untuk mengecek apakah sekolah-sekolah swasta tertentu telah
menerapkan ajaran agama sesuai dengan UU atau peraturan yan berlaku atau tidak.
Friksi keagamaan antar berbagai sekolah memang menjadi isu yang menarik untuk
dikaji. Kita tidak bisa meninggalkan adanya gesekan yang terjadi di berbagai tempat. Namun,
gesekan ini tidak semata-mata ideologis, atau pertikaian antar agama. Acapkali, gesekan yang
terjadi justru sebagai akibat dari kebijakan pemerintah di masa lalu. Misalnya, persoalan
terkait dengan kecilnya ruang lingkup dan cakupan yang bisa dinikmati oleh suatu sekolah
bisa jadi merupakan permainan politik yang melibatkan kebijakan tata ruang. Fakta bahwa di
21
suatu tempat tertentu dengan radius jarak yang tidak terlalu luas, namun di dalamnya terdapat
beberapa sekolah, selain melanggar prinsip aksesabilitas, juga menghadirkan dugaan
permainan politik dari sekelompok orang tertentu. SMP PL Bayat menghadapi persaingan
dengan dua sekolah negeri yang berjarak tidak sampai satu km jauhnya. Untuk daerah rural,
jarak seperti itu sudah dengan sendirinya menjadi persoalan tersendiri.
Tidak berbeda jauh dengan sekolah Katolik, yang terjadi sekolah Muhammadiyah
juga demikian adanya. Beberapa sekolah Muhammadiyah di Bantul, Banguntapan,
disebabkan beberapa sekolah negeri berdiri dengan mengratiskan biaya sekolah, maka
sebagian orang tua di sekitar sekolah Muhammadiyah kemudian menyekolahkan anak-
anaknya pada sekolah negeri yang tidak dipungut bayaran. Sekalipun sebagian orang tua
siswa tetap menyekolahkan anaknya ke sekolah Muhammadiyah dengan alasan agar anaknya
tetap mendapatkan pendidikan agama dan kemuhammaidyahan yang mencukupi. Kondisi
sekolah swasta dan sekolah negari saling berkompetisi dalam mendapatkan siswa. Agak
sedikit berbeda dengan sekolah sekolah swasta yang tergolong atau dikategorikan dengan
sekolah “favorit” selalu menolak calon siswa karena jumlahnya melebihi kapasitas ruangan.
(wawancara dengan Saijan dan Sofyan, 12 Maret 2014)
Namun, friksi akibat kebijakan pemerintah yang memecah belah itu sendiri bisa jadi
dimentahkan oleh keterampilan dan kepemimpinan dari tokoh-tokoh kunci. Agenda
radikalisasi telah menguat paska hancurnya rejim orde baru. Namun, Peraturan 3 menteri
memasuki tahun 2000 lalu sebenarnya mendapat “semacam cushioning” karena pihak-pihak
yang memiliki kelincahan dan akses terhadap birokrasi sebenarnya memainkan peran untuk
meredam impact dari peraturan yang terlalu mengikat ini. inti dari surat edaran berupa SKB
tiga menteri itu mempersyaratkan bahwa sekolah-sekolah memiliki kewajiban untuk
menyediakan guru agama sesuai dengan agama yang dianut oleh siswanya. Minimal ada 5
pemeluk agama tertentu, sekolah diwajibkan untuk menyediakan guru agama sesuai dengan
agama itu. Bagi sekolah-sekolah swasta Katholik, jelas aturan ini dirasakan terlalu
memberatkan. Agenda di balik ini adalah menguatnya radikalisasi agama yang masuk ke
ranah pendidikan formal.
Sikap dasar dari kepemimpinan dari sejumlah tokoh kunci tersebut ternyata memiliki
dampak ikutan yang sangat luas. Pihak sekolah swasta tidak memiliki cukup pendanaan
untuk rekrut guru agama tertentu. Selain itu, fondasi pokok dari sekolah swasta, yang
didalamnya para siswa sudah bersepakat untuk mengikuti pelajaran agama sebagaimana yang
ditawarkan di sekolah, digoncangkan oleh isu disharmonisasi yang dilandasi radikalisasi
agama macam ini. berbagai isu yang menyerang, seperti agenda Kristenisasi melalui
22
pendidikan formal, telah membawa disruptions terhadap tatanan sosio-kultural yang ada.
Dalam hal ini, sekolah-sekolah Katholik dan swasta minoritas lain beraliansi untuk
mengambil sikap. Data-data dari lapangan menunjukkan bahwa kepemimpinan sekolah yang
kuat oleh seorang kepala sekolah memungkinkan sekolah tersebut secara kreatif
menyesuaikan diri dengan berbagai tekanan dari masyarakat luas. Secara bersama-sama,
tokoh-tokoh kunci yang menjadi pelaku dari sekolah-sekolah swasta minoritas ini bertemu
dan mendiskusikan strategi yang baik untuk mengatasi tekanan radikalisasi macam ini. SKB
tiga menteri tersebut memang menyurut setelah sekitar 6 tahun menjadi momok yang
menakutkan bagi sekolah-sekolah swasta minoritas. Namun, koordinasi dengan berbagai
pihak bisa meredam pengaruh buruk dari agenda radikalisasi agama itu. Data tentang
radikalisasi pendidikan agama tampak juga di sekolah sekolah di tanah air, seperti dilaporkan
Lakip (2013).
Persoalan kaum muda yang radikal semakin membuat kita prihatin karena
berdasarkan laporan survey LAKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) memberikan
gaqmbaran yang memperkuat dugaan radikalisasi dikalangan kaum muda (youth) terutama
siswa SMP dan SMA di kawasan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi)
memberikan indikasi tentang aksi-aksi radikal yang mereka dukung dan berani lakukan
sebagai bagian dari jihad. Mereke tampaknya mendapatkan dukungan yang cukup luas dari
kalangan anak muda di sekolah sekolah tingkat SMP dan SMA.
Ketika ditanyakan kepada mereka kepada 100 sekolah di Jabotabek, dengan 590 guru,
tentang apakah bersedia terlibat dalam aksi kekerasan, sebanyak 48,9 % bersedia mendukung.
Ketika ditanyakan apakah yang dilakukan Nordin M Top, itu dapat dibenarka, sebanyak 14, 2
siswa menyatakan dapat membenarkan. Sementara ketika ditanyakan apakah setuju dengan
pemberlakuan syariat Islam sebanyak 84, 8 (85%) menjawab setuju. Sementara ketika
ditanyakan apakah Pancasila masih relevan sebagai dasar Negara sebanyak 25,8 atau 26%
menjawab tidak relevan. (LAKIP, 2011)
Menjaga Eksistensi di tengah Kebijakan Wajib Belajar
Sebagaimana diungkapkan sebelum bahwa kebijakan wajib belajar bagi sekolah swasta
yang dikelola oleh masyarakat sipil bertahan. Analisis berikut didasarkan pada bagaimana
kemampuan adaptasi sekolah-sekolah tersebut.Adaption was defined as stage ability to secure
needed by the organization from the outside. It is was measured by the whether or not the
program paper needed to obtain government funds. Integration was defined as teh number of
linkages developed with other government services, local group and voluntary organization.
23
Latency was defined as the degree to which local directors ware satisfied with various aspects
of their position on the assumption that the more gratifying the role, the more managed the
system’s tension. Goal attainment was defined as the extend to which the official goals are
accomplished.
Adaptasi
Kemampuan adaptasi sekolah swasta dalam merespon kebijakan tidak boleh memungut
sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP). Berdasarkan Undang-Undang tersebut
sejak Juli 2005 Pemerintah menyelenggarakan suatu Program yang dinamai Program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pendanaan BOS berdasarkan Buku Panduan
Bantuan Operasional Sekolah Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen
Pendidikan Agama berasal dari relokasi dana subsidi BBM di bidang pendidikan.
Bantuan Operasional Sekolah didasarkan pada jumlah murid yang ada.BOS juga
menghadirkan persoalan bagi sekolah swasta yang memiliki jumlahrombongan belajar kecil.
Jika mengandalkan BOS, tentu tidak mencukupikebutuhan menggaji tenaga pendidik dan
tenaga kependidikan. Belum lagidana operasional sekolah yang secara berkala harus
dikeluarkan. Faktaitu jelas menunjukkan problem riil yang dihadapi sekolah swasta
ketikaberhadapan dengan kampanye pendidikan gratis.Pertama, selama ini pemerintah telah
memberikan bantuan sarana,fasilitas, dan manajemen kepada sekolah swasta; namun
jumlahnya belumsebanding dengan sekolah negeri. Sistem pemberian bantuan tersebut
sebaiknya diperbaiki sebagaimana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yangdiberikan
berdasarkan jumlah kepala (Supriyoko, 2009). Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta
(BMPS) Jawa Barat Achlan Husen, menegaskan, larangan pungutan biaya pendidikan
sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) yang diatur Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), tidak berdasar dan harus ditangguhkan untuk
sekolah swasta. Tantangan lainnya, sekolah swasta harus bersusah payah mencari calon siswa
karena bersaing dengan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).SMP dan SD sekolah swasta
kan harus bayar guru dan operasional. Dana BOS itu kalau mau dikejar tidak cukup. Berbeda
dengan sekolah negeri. Mereka selain dapat dana BOS, dapat gaji juga walaupun ada yang
berebut, (Pikiran Rakyat, 9 Juli 2012).
Ada beberapa fakta menarik untuk dikaji setelah diberlakukan program BOS di
sekolah-sekoalh swasta.
Dana Bos Tidak Cukup
24
Grafik dibawah menunjukkan untuk Proporsi Pendapatan Sekolah bahwa SD dan SM P
Muhammadiyah lebih rendah dari SD dan SMP Kristen. Perbedaan tersebut di asumsikan
bahwa suply dana dalam bentuk pendapatan SD Kristen lebih dominan. Beberapa hal yang
dapat menjadi alasan mengapa sekolah swasta lebih dominan mendapatkan pendapatan lebih
tinggi dari pada SD Muhammadiyah. Seperti, Kualitas dan Kuantitas Sekolah.
Adanya Supply dana relative tinggi di SD Katholik karena beberapa faktor.
Pertama, sekolah-sekolah Katholik terafiliasi dengan komunitas religius dan/atau paroki
tertentu. Data-data dari lapangan menunjukkan bahwa sejumlah besar paroki menganggarkan
dana sosial sebagai bantuan untuk sekolah-sekolah Katholik di lokasi terdekat. Bantuan yang
disalurkan pun memiliki beberapa bentuk, mulai dari penyediaan dana beasiswa bagi para
siswa yang kurang mampu, tambahan honorarium guru, sampai pembangunan sarana dan
prasarana untuk sekolah.
Kedua, sekolah-sekolah Katholik ditandai dengan kuatnya sistem subsidi silang yang
berlaku secara berkelanjutan dan sistematis di antara sekolah-sekolah dalam pengelolaan
suatu yayasan tertentu. Sistem penggajian para guru yang tergabung dalam Yayasan Kanisius
dilakukan secara terpusat (berdasarkan regio masing-masing yang dikelompokkan ke dalam
Yogyakarta, Solo-Klaten, Kedu, dan Semarang). Setiap sekolah Kanisius ditugasi untuk
mengumpulkan sejumlah dana tertentu, sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-
masing sekolah ke Yayasan di regio yang bersangkutan setiap bulannya. Dana reguler berupa
gaji guru dan karyawan akan dikembalikan ke sekolah masing-masing. Dana operasional
sekolah lain, yang tidak tercover dalam BOS, akan didistribusikan oleh Yayasan. Dari data
yang diperoleh, hanya tiga SD Kanisius saja yang memiliki surplus. Sementara SD-SD
Kanisius yang lain cenderung mengalami kekurangan dana. Sistem dan mekanisme dana
yang dikelola dengan cara seperti ini sejauh ini dirasakan telah berhasil mempertahankan
kehidupan sekolah-sekolah Kanisius yang secara finansial sangat kekurangan. Sekolah-
sekolah yang terpencil biasanya sangat tergantung pada mekanisme Yayasan Kanisius seperti
ini.
Perhatikan table berikut terkait pendapat sekolah sekolah swasta di Yogyakarta dan
jawa Tengah antara sekolah Muhammadiyah dan Sekolah Katolik.
Pendapatan Sekolah Swasta di Jawa Tengah dan DIY
NURAIAN
PENDAPATAN
PERSE
NTASE
1 Uang Sekolah (SPP) 17,54%
25
2 Sumbangan Gedung 8,23%
3Sumbangan Gedung
Yayasan12,46%
4Sumbangan
Pemerintah13,51%
5Sumbangan Pihak
Ketiga10,36%
6 BOSNAS 31,04%
7 BOSPROV 3,04%
8 BOSKAB 3,82%
Uang Sekolah (SPP)
Sumbangan Gedung
Sumbangan Gedung Yayasan
Sumbangan Pemerintah
Sumbangan Pihak Ketiga
BOSNAS
BOSPROV
BOSKAB
17.54%
8.23%
12.46%
13.51%
10.36%
31.04%
3.04%
3.82%
Dari data itu tampak bahwa: Pertama, total kontribusi pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan di pendidikan dasar berkisar di angka 50%. Angka ini diperoleh
dari seluruh dana BOS (pusat, propinsi, dan kabupaten) dan dana bantuan pemerintah. Ini
artinya bahwa kontribusi masyarakat dalam pendanaan pendidikan dasar di sekolah-sekolah
swasta (ditanggung oleh orang tua, yayasan, dan penyandang dana lainnya) sebenarnya masih
sangat tinggi. Agenda untuk memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat terkait
dengan pengenalan mekanisme BOS sejak tahun 2005 ternyata sejauh ini belum secara
signifikan berdampak pada menurunnya kontribusi masyarakat. Janji pemerintah untuk
mengusung agenda semakin terbukanya akses pendidikan dasar masih jauh dari harapan.
Kedua, jumlah dana yang dikontribusikan oleh orang tua dalam penyelenggaraan
pendidikan mencapai hampir 26% dari jumlah total dana yang dibutuhkan untuk
operasionalisasi sekolah. Dengan asumsi bahwa pemerintah menanggung kurang lebih 50%
26
dari keseluruhan dana operasionalisasi sekolah, pihak pengelola sekolah (dalam hal ini
yayasan dan pelaku kepemimpinan sekolah) mau tidak mau harus menanggung sampai 24%
dana. Kekurangan dana sebesar 24% ini tentu menimbulkan persoalan yang tidak mudah bagi
para pengelola pendidikan swasta. Jumlah kekurangan sebesar itu diyakini akan berdampak
pada kurang leluasanya pihak sekolah untuk mengembangkan sekolah, mengenalkan
program-program baru yang inovatif, menyediakan sarana dan prasarana yang lebih tepat,
dan minimnya program pengembangan bagi para guru dan karyawan.
Data empiris ini menunjukkan betapa pihak pemerintah dituntut untuk mengembangkan
skema bantuan yang lebih tepat guna dan tepat sasaran, dengan jumlah yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan. Dana berlimpah sebesar 20% dari APBN yang disalurkan untuk
wilayah pendidikan mesti ditempatkan pada kerangka untuk memberi bantuan bagi
kelompok-kelompok terpinggirkan seperti anak-anak yang bersekolah di SD swasta macam
ini. Bukan untuk lubrikasi mekanisme pengembangan profesionalisme guru.
Memperhatikan data dibawah terkait dana yang didapatkan sekolah swasta
Muhammadiyah dan Katolik, dapat dikatakan bahwa pendapatan paling besar sebenarnya
datang dari sekolah dan masyrakat sendiri yakni dari uang spp dan dana sumbangan
masyarakat yang tidak mengikat sebagai sumbangan-sumbangan independen dengan berbagai
jenis penamaannya.
KONTRIBUSI MASING-MASING UNSUR PENDAPATAN PADA SD
KRISTEN
NOURAIAN
PENDAPATANPERSENTASE
1Uang Sekolah
(SPP)28,08%
2Sumbangan
Gedung3,13%
3Sumbangan
Gedung Yayasan22,93%
4Sumbangan
Pemerintah9,08%
5Sumbangan Pihak
Ketiga9,80%
6 BOSNAS 22,07%
27
7 BOSPROV 2,76%
8 BOSKAB 2,14%
Uang Sekolah (SPP)
Sumbangan Gedung
Sumbangan Gedung Yayasan
Sumbangan Pemerintah
Sumbangan Pihak Ketiga
BOSNAS
BOSPROV
BOSKAB
28.08%
3.13%
22.93%
9.08%
9.80%
22.07%
2.76%
2.14%
KONTRIBUSI MASING-MASING UNSUR PENDAPATAN PADA SD
MUHAMMADIYAH
NOURAIAN
PENDAPATAN
PERSENTAS
E
1Uang Sekolah
(SPP)5,63%
2Sumbangan
Gedung13,99%
3Sumbangan
Gedung Yayasan0,61%
4Sumbangan
Pemerintah18,51%
5Sumbangan Pihak
Ketiga10,99%
6 BOSNAS 41,18%
7 BOSPROV 3,36%
8 BOSKAB 5,73%
28
Uang Sekolah (SPP)
Sumbangan Gedung
Sumbangan Gedung Yayasan
Sumbangan Pemerintah
Sumbangan Pihak Ketiga
BOSNAS
BOSPROV
BOSKAB
5.63%
13.99%
0.61%
18.51%
10.99%
41.18%
3.36%
5.73%
PERBANDINGAN UNSUR-UNSUR PENDAPATAN ANTARA SD KRISTEN
DENGAN SD MUHAMMADIYAH
NOURAIAN
PENDAPATAN
SD
KRISTEN
SD
MUHAMMADIYAH
1 Uang Sekolah (SPP) 84,94% 15,06%
2 Sumbangan Gedung 20,19% 79,81%
3Sumbangan Gedung
Yayasan97,69% 2,31%
4 Sumbangan Pemerintah 35,67% 64,33%
5Sumbangan Pihak
Ketiga50,22% 49,78%
6 BOSNAS 37,73% 62,27%
7 BOSPROV 48,20% 51,80%
8 BOSKAB 29,67% 70,33%
29
Uang Sekolah (SPP)
Sumbangan Gedung
Sumbangan Gedung Yayasan
Sumbangan Pemerintah
Sumbangan Pihak Ketiga
BOSNAS
BOSPROV
BOSKAB
84.94%
20.19%
97.69%
35.67%
50.22%
37.73%
48.20%
29.67%
15.06%
79.81%
2.31%
64.33%
49.78%
62.27%
51.80%
70.33%
SD MUHAMMADIYAH SD KRISTEN
Data keuangan yang diterima oleh dua kelompok sekolah swasta menghadirkan
gambaran yang menarik. Pertama, sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapatkan bantuan
dari pemerintahdalam jumlah yang lebih tinggi daripada sekolah-sekolah Katholik. Rata-rata
jumlah komponen pembiayaan SD Muhammadiyah yang ditanggung oleh pemerintah
mencapai 62,18%. Jumlah ini jauh mengatasi bantuan dari pemerintah yang diterima oleh
sekolah-sekolah Katholik. Rata-rata jumlah komponen pembiayaan SD Katholik yang
ditanggung oleh pemerintah mencapai 37,82%. Dengan demikian besaran dana dari
pemerintah yang dikucurkan ke SD Muhammadiyah mencapai 24,37% lebih tinggi
dibandingkan dengan dana yang dikucurkan oleh Dinas Pendidikan ke SD Katholik.
Kedua, dilihat dari besaran jumlah biaya yang dikeluarkan oleh orang tua, yayasan dan
masyarakat umum, juga diperoleh distribusi angka dalam jumlah yang kurang lebih sama.
Rata-rata komponen biaya sekolah yang ditanggung oleh orang tua, yayasan, dan masyarakat
untuk anak-anak yang belajar di SD Katholik mencapai 63.26%. Sementara rata-rata
komponen biaya sekolah yang ditanggung oleh orang tua, yayasan dan masyarakat untuk
anak-anak yang belajar di SD Muhammadiyah mencapai 36.74%. Dengan demikian, masing-
masing anak didik yang bersekolah di SD Katholik harus membayar 26,52% lebih tinggi
dibandingkan dengan anak-anak yang bersekolah di SD Muhammadiyah.
Dapat disimpulkan bahwa jumlah dana yang harus ditanggung oleh masyarakat bagi
mereka yang mengirim anak-anak ke SD Katholik jauh lebih besar dibandingkan dengan
jumlah daya yang harus ditanggung oleh mereka yang menyekolahkan anak-anak mereka di
SD Muhammadiyah. Dalam hal ini, Dinas Pendidikan telah secara sistematis mengucurkan
dana jauh lebih besar untuk mendukung operasionalisasi SD Muhammadiyah. Di satu sisi, hal
30
ini bisa dimaknai bahwa SD Katholik memiliki kemampuan pendanaan yang lebih kuat
dibandingkan dengan SD Muhammadiyah. Untuk bisa beroperasi, SD Katholik rata-rata
mendapatkan kucuran dana yang jauh lebih rendah. Di lain pihak, kondisi seperti ini pun
sebenarnya bisa disebut sebagai sebuah bentuk ketidakadilan. Pihak Dinas Pendidikan bisa
disebut telah berbuat tidak adil, karena jumlah kucuran dana untuk sekolah-sekolah swasta
ternyata tidak sama. SD Muhammadiyah mendapat hak istimewa lebih dari SD Katholik.
Memperhatikan secara keseluruhan data terkait dana yang dimiliki, dikelola dan
pengeluaran yang ada di sekolah-sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik dapat
dikatakan bahwa selama ini sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Katolik dapat terus
bertahan hidup karena menggunakn prinsip subsidi silang, side supply atas sekolah-sekolah
yang kurang mampu. Jika terjadi system subsidi silang dapat dipastikan sebagian besar
sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik mengalami colaps sehingga sekolah masing-
masing bubar karena tidak memiliki sumber dana untuk membayar aktivitas sekolah selama
setiap sebulan. Sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik memang benar mendapatkan
sumbangan tetapi tidak sebanding dengan beban yang harus dibayarkan. Dengan demikian
dapat dikatakan hidup dan matinya sekolah swasta Muhammadiyah dan Katolik adalah
berdasarkan pada kuat dan tidaknya sekolah mendapatkan dan mengelola dana yang masuk
sekolah sehingga dapat menghidupkan aktivitas belajar mengajar.
Selain itu, hidup dan matinya sekolah-sekolah swasta dapat dengan tegas dikatakan
karena spirit pelayanan kepada public, sebagai bentuk dari adanya kesalehan social
(hospitality) yang datang dari spirit keagamaan baik yang datang dari spirit Katolik maupun
spirit Islam. Semangat “melayani” pada public tampak jelas pada sekolah sekolah yang
memberikan beasiswa pada siswa-siswa miskin dan jauh dari fasilitas pendidikan. Hal ini
yang mendorong sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Katolik terus bisa bertahan di tengah
gempuran liberalisasi pendidikan dan kebijakan negara yang sering berubah dengan cepat.
31
LAMPIRAN
TABULASI SEKOLAH DASAR
N
NoUraian
Pendapatan
Kristen PersentaseMuhammadiy
ahPersentase Jumlah
Persenta
se
1 Uang
Sekolah
(SPP)
136.973.50
0
28,08
%
84,94
%
24.288.938 5,63% 15,06
%
161.262.4
38
17,54%
2 Sumbangan
Gedung
15.270.000 3,13% 20,19
%
60.359.825 13,99
%
79,81
%
75.629.82
5
8,23%
3 Sumbangan
Gedung
Yayasan
111.854.44
3
22,93
%
97,69
%
2.640.000 0,61% 2,31% 114.494.4
43
12,46%
4 Sumbangan
Pemerintah
44.287.655 9,08% 35,67
%
79.875.000 18,51
%
64,33
%
124.162.6
55
13,51%
5 Sumbangan
Pihak Ketiga
47.812.083 9,80% 50,22
%
47.402.575 10,99
%
49,78
%
95.214.65
8
10,36%
6 BOSNAS 107.671.87
5
22,07
%
37,73
%
177.670.021 41,18
%
62,27
%
285.341.8
96
31,04%
7 BOSPROV 13.485.360 2,76% 48,20
%
14.490.778 3,36% 51,80
%
27.976.13
8
3,04%
8 BOSK
AB
10.426.770 2,14% 29,67
%
24.716.088 5,73% 70,33
%
35.142.85
8
3,82%
Jumlah 487.781.68
7
100,00
%
53,06
%
431.443.224 100,00
%
46,94
%
919.224.9
11
100,00%
Persentase 53,06
%
46,94%
Pengelolaan dana pendidikan di antara sekolah-sekolah swasta Katholik dan
Muhammadiyah mencerminkan trend yang berbeda. Pertama, jumlah uang SPP yang
dikontribusikan masyakarat/orang tua berbeda secara signifikan antara kedua jenis sekolah
ini. Para orang tua di sekolah-sekolah Katholik berkontribusi jauh lebih tinggi, yaitu hampir
80% lebih banyak dibandingkan dengan para orang tua yang menyekolahkan anak-anak
mereka ke SD Muhammadiyah. Besaran kontribusi orang tua dalam hal SPP dari sekolah-
32
sekolah swasta Katholik dengan sendirinya mendorong asumsi bahwa sekolah-sekolah swasta
Katholik lebih mahal dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta Muhammadiyah. Selain
itu, besaran yang sangat signifikan ini juga mendorong adanya asumsi bahwa latar belakang
ekonomi-sosial dari keluarga-keluarga yang menyekolahkan di sekolah-sekolah swasta
katholik kemungkinan lebih tinggi dibandingkan dengan their counterparts. Namun, data-data
yang kami peroleh tidak mendukung untuk sampai pada kesimpulan sejauh itu.
Kedua, kontribusi masyarakat dalam bentuk sumbangan gedung di sekolah-sekolah
Muhammadiyah jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 77.7%. Namun, data tersebut juga
menjelaskan bahwa kecilnya kontribusi sumbangan gedung yang diberikan oleh orang tua
siswa di sekolah-sekolah Katholik terkompensasi dengan peran yayasan yang jauh lebih aktif.
Besaran dana yang disalurkan oleh yayasan dalam pengelolaan sarana dan prasarana oleh
yayasan-yayasan di sekolah-sekolah Katholik mencapai 97%. Temuan ini menjelaskan
besarnya peran-peran yayasan di sekolah-sekolah swasta Katholik dalam pengelolaan.
Dengan kata lain, yayasan-yayasan yang menaungi sekolah-sekolah swasta Katholik lebih
solid dalam hal membangun dukungan bagi sekolah-sekolah yang dikelolanya. Peran yayasan
di sekolah-sekolah swasta Muhammadiyah tidak sekuat dengan peran yang yang dimainkan
oleh sekolah-sekolah swasta katholik.
Pencairan BOS Terlambat
Double-minority syndrome (miskin, tidak cukup akademis)
Data tentang subsidi silang yang diperoleh menjelaskan tentang fenomena double-minority
yang menjadi cirri khas dari mereka yang masuk ke sekolah-sekolah swasta. Dikatakan
sebagai kelompok double minority, karena di satu sisi mereka memiliki kelemahan akademis
– yang menjadi entry point seseorang untuk masuk ke sekolah negeri, dan di lain pihak
mereka juga memiliki keterbatasan untuk meningkatkan kapasitas akademis.
Fakta bahwa jumlah kontribusi masyarakat untuk sekolah-sekolah muhammadiyah
dalam bentuk benda (sumbangan untuk gedung) relative lebih tinggi dibandingkan dengan
sekolah-sekolah katholik bisa dipahami sebagai perbedaan dinamika. Namun, memang tidak
ada data yang bisa menjelaskan fenomena ini.
Partisipasi masyarakat di Nigeria cukup tinggi. Ada berbagai perwakilan dari
masyarakat. Caranya dengan menyediakan logistic support. Lingkungan diciptakan agar
terjadi kondusif. Pengelolaan dan pe
33
Mundy, K., & Menashy, F. (2012). The World Bank, the international finance corporation,
and private sector participation in basic education: Examining the Education Sector Strategy
2020. International Perspectives on Education and Society, 16, 113-131.
34
Kompleksitas tantangan sekolah-sekolah swasta
Kita tidak menutup mata bahwa dengan diberlakukannya dukungan finansial berupa
pembebasan SPP untuk para siswa yang bersekolah di sekolah-sekolah negeri memberi lebih
banyak akses terhadap anak-anak yang berkekurangan. Namun, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa kebijakan berupa pemberian bantuan dana operasional sekolah untuk
semua sekolah menghadirkan berbagai macam persoalan, bukan hanya bagi pengelola
sekolah swasta saja, tetapi juga pada tataran siswa yang dilayani. Pertama, temuan lapangan
menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan bagi para siswa yang memang benar-benar
miskin dan termarginalisasi. Mengapa ini terjadi? Sekolah-sekolah negeri memiliki lebih
banyak peluang untuk dipilih karena memang ada kesempatan untuk mendapatkan
keringanan pendidikan di sana. Namun, untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah negeri, terjadi
sistem kontrol yang lebih mencerminkan ajaran Darwinisme sosial. Mengingat bahwa rata-
rata keluarga miskin tidak memiliki akses sosio-kultural dan finansial, mereka tidak memiliki
peluang untuk secara khusus mempersiapkan anak-anak mereka untuk berkompetisi dalam
tes masuk di sekolah negeri. Anak-anak dari keluarga miskin cenderung menunjukkan
performa yang lebih rendah dibandingkan dengan rekan-rekan dari keluarga beruntung yang
lain, sehingga mereka dengan sendirinya tereliminasi oleh sistem tes masuk yang
mengharuskan mereka berkompetisi dengan anak-anak lain dari keluarga lain yang lebih
beruntung. Kedua, ini membawa dampak ketidakadilan. Anak-anak miskin dan yang
berperforma lebih rendah dalam tataran akademis, mau tidak mau akhirnya tersingkir dan
diterima oleh sekolah-sekolah swasta. Ketidakadilan secara sistematis telah terjadi di ini.
Anak-anak dari keluarga kurang beruntung tidak memiliki banyak pilihan kecuali masuk
sekolah-sekolah swasta. Mengingat bahwa sekolah-sekolah swasta mengandalkan SPP
sebagai sumber pemasukan (sekalipun sudah mendapatkan dana BOS), beban ekonomi yang
harus ditanggung oleh keluarga dari anak-anak kurang beruntung ini jelas menjadi semakin
berat. Kebijakan yang ada, yaitu berupa distribusi dana BOS, dengan sendirinya tidak
memberikan peluang pengentasan dan emansipasi bagi kelompok terpinggir-tersingkirkan.
Dengan demikian, kebijakan distribusi dana BOS sebenarnya tidak dengan sendirinya
mencapai tujuan awal sebagaimana dimaksudkan. Temuan empiris ini menambah
pemahaman yang lebih luas tentang kompleksitas atas dampak dari the provision of BOS
funds bagi sekolah-sekolah swasta (cf. Rosser & Joshi, 2013).
Salah satu gagasan yang harus diangkat berdasarkan temuan di lapangan adalah
adanya fenomena eksistensi sekolah-sekolah swasta yang tetap bertahan sekalipun berada
dalam kondisi yang seringkali tidak menguntungkan. Sekalipun sekolah-sekolah swasta
35
menghadapi berbagai tekanan dan kesulitan, mengapa tetap ada peluang dan kesempatan bagi
sekolah-sekolah macam ini untuk tetap eksis. Temuan-temuan di lapangan menunjukkan
berbagai faktor yang bisa diidentifikasi. Faktor-faktor yang ada tidak bisa dengan sendirinya
menjelaskan hubungan kausalitas-prediktif, namun lebih merupakan sarana untuk memetakan
realitas yang secara objektif ditargetkan untuk menyingkap realitas empiris di balik fenomena
keberadaan sekolah-sekolah swasta macam ini. Saya berpikir untuk mendiskusikan mengapa
sekolah-sekolah swasta memiliki kemampuan untuk bertahan, atau bahkan memiliki
kecenderungan untuk tetap bersaing dengan pihak-pihak sekolah lain. Ada sejumlah faktor
yang bisa kita analisis. Yang pertama, tentu saja, ada kekuatan ideologis yang menjadikan
mereka mempertahankan dalam kesulitan. faktor ideologis ini yang memberikan dasar nilai-
nilai moral yang mereka acu. Para guru mendapatkan gaji yang relatif rendah, namun
mengapa mereka tetap bertahan? Bisa jadi mereka bertahan hanya karena tidak mendapatkan
pekerjaan lain. Namun, berbagai literatur menunjukkan dari sekian banyak alasan yang paling
banyak diakui tentang motivasi menjadi guru adalah besarnya cita-cita moral (moral
purposes) yang memang menjadi alasan (e.g. Fullan, 1993).
Harmonisasi sosio-kultural-ideologis
Keberadaan sekolah-sekolah swasta yang berbasis keagamaan secara historis telah
menjadi bagian tak terpisahkan dalam transformasi sosio-kultural di dalam masyarakat
Indonesia. Pihak swasta dari berbagai aliran telah berkontribusi secara nyata untuk
menawarkan pendidikan dan pelatihan. Secara sosio-kultural-historis, keberadaan sekolah-
sekolah swasta yang berbasiskan latar belakang ideologi yang berbeda bukan berarti tidak
memunculkan friksi di masyarakat. Namun, di antara berbagai penulis sepertinya ada
konsensus yang menyatakan bahwa konsep dasar harmonisasi kultural di masyarakat Jawa
pada umumnya, memberi ruang dan peluang bagi sekolah-sekolah berbasis ideologis yang
bermacam-macam ini untuk berkembang. Ini berarti bahwa ajaran ideologis yang
diterjemahkan dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan swasta tetap mengedepankan
keterkaitan kultural dan relasional dengan masyarakat. Temuan empiris di lapangan merujuk
kuatnya agenda untuk mengusung harmonisasi sosio-kultural. Ditemukan di lapangan bahwa
realitas sosio-kultural-ideologis macam ini menunjukkan kompleksitas yang tarik-menarik.
Di satu sisi ditemukan adanya fakta bahwa pelajaran agama yang diajarkan di sekolah-
sekolah swasta terbatas pada jenis agama macam apa yang menaungi sekolah tersebut.
Secara lebih jelasnya, pelajaran agama di sekolah-sekolah Katholik hanya mengajarkan
pembelajaran agama Katholik. Namun, di lain pihak, tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan
sekolah-sekolah swasta dari pihak minoritas (yaitu Katholik) memberi kontribusi yang besar
36
terhadap masyarakat dari kelompok agama lain (yang dalam hal ini adalah mayoritas Islam).
Melihat akar sejarahnya, keberadaan sekolah-sekolah misi yang melayani berbagai macam
kalangan dengan beragam latar belakang keagamaan tidak membawa dampak linearitas
berupa conversion to Catholicism. Historiography tentang kontribusi van Lith yang
mengenalkan modernisasi pendidikan Eropa di tanah Jawa menjelaskan komitmen
37