bab iv – teritori, organisasi sosial, dan permukiman...
TRANSCRIPT
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 208
brother-sisters and grandparent-grandchild relationships often last for a lifetime,
because adult siblings and their parents’ parents often life together with their
families in one and the same group of boat-dwellers or house-dwellers. This is
often also the case with cousins, because they are preferred marriage partners”
(Lenhart 2004:748).
Selain mengenai ‘real’ kinship, dalam organsasi sosial Orang Bertam juga
mengenal ‘fictive’ kinship. Beberapa ahli antropologi mengatakan ‘fictive’ kinship
merupakan wujud replikasi, duplikasi, atau analogi dari kerabat sungguhan. Ia
kadang disebut sebagai figurative kinship (Barnard dan Spencer 2010:7). Pene-
litian Janet Carsten (1991:425) pada Orang Pulau Langkawi, Malaysia menunjuk-
kan bahwa, “kinship may begin with something you are born with, but it may not.
Kinship can be viewed as a process of becoming, and this process involves a
complex of ideas which centre on shared consumption in one ‘house’.” (cetak
tegak penekanan dari saya). Jadi, relasi keluarga tidak hanya berangkat dari
hubungan darah atau biologis (keturunan), melainkan juga memungkinkan diben-
tuk oleh pola hubungan non-keturunan. Gagasan tentang kekerabatan semacam
ini juga muncul dalam etnografi Mac Marshall tentang konstruksi “kin” dalam
masyarakat Truk di Pacific yang didasari pemikiran tentang “berbagi”, “kinship is
notion of sharing: the nature of nurture and sharing, … (hence) kinship is not
"natural" but "cultural," representing an intense experience of love and of obliga-
tion between individuals” (Terrell dan Modell 1994:157).
Jika pengertian mengenai figurative kinship di atas disepakati, setidaknya
terdapat dua jenis relasi kerabat yang termasuk dalam kategori ‘fictive’ kinship:
adoption dan fostering. Agak sulit ketika kedua konsep ini dialihbahasakan ke
dalam bahasa Indonesia, karena keduanya bisa sama-sama berarti “memungut”,
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 209
“mengambil”, atau “mengangkat” orang lain sebagai anak atau saudara. Di dalam
antropologi kedua istilah ini dibedakan menurut proses dan motifnya. Alan
Barnard dan Jonathan Spencer (2010:6-7) menjelaskan, “… fostering involves a
parent or set of parents looking after someone else’s child, often on a long-term
basis, whereas adoption involves in addition the acquisition of a ‘kin’ relationship
between such parents and their (adopted) children”.
Tentang adoption, sejak masih hidup di laut, Orang Bertam sudah mengenal
mekanisme ini seperti yang saya singgung sedikit di awal. Lenhart menerangkan,
baik di masa lalu maupun sekarang, adoption merupakan satu cara yang lazim
dan diperbolehkan Orang Laut untuk mengatasi persoalan seseorang yang tidak
mampu secara biologis melahirkan anak (problem of childlessness). Persoalan
ini bagi mereka disebabkan oleh individu yang secara biologis memang mandul
(infertile) atau dianggap sebagai konsekuensi dari kutukan arwah nenek-moyang
mereka kepada satu dari sepasang suami-isteri. Oleh karena itu, mengadopsi
anak dari kerabat dekat, yakni umumnya anak dari saudara si laki-laki atau si
perempuan, merupakan alternatif atau jalan keluar dari persoalan itu, dan dalam
urusan adopsi ini tidak ada preferensi jenis kelamin di kalangan mereka, anak
laki-laki atau perempuan dianggap sama saja (Lenhart 2004:758).
Dalam kondisi tidak memiliki anak kandung, bisa saja suatu keluarga Orang
Laut mengadopsi anak dari kerabat dekatnya, anak dari saudara suami atau
isteri. Pada umumnya, anak yang diadopsi mengetahui siapa orang tua biologis-
nya. Meski begitu, ikatan emosional antara orang tua angkatnya (social parents)
dengan si anak lebih kuat ketimbang dengan orang tua kandungnya. Manakala
orang tua angkat ini pada akhirnya memiliki anak biologis, mereka tetap memper-
lakukan si anak angkat (adopted child) dengan kasih-sayang yang setara dengan
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 210
anak kandungnya (Lenhart 2004:754). Hanya kemudian, hal ini berefek pada
berubahnya aturan tentang perkawinan ideal mereka, yaitu anjuran perkawinan
dengan sepupu-satu yang diadopsi ini menjadi terlarang. Alasannya, keluarga
yang mengadopsi sepupu-satu sebagai anak angkat membesarkannya bersama
anak kandungnya di dalam satu ‘rumah’ atau sampan (Lenhart 2004:748; Nimmo
1972:21).
Pada Orang Bertam kasus semacam itu terjadi pada beberapa keluarga.
Sebagai contoh, Rahman yang merupakan suami kedua Patimah tidak dikaruniai
anak. Sepasang suami isteri ini kemudian memutuskan untuk mengadopsi anak.
Diambillah dua anak laki-laki Orang Laut yang telah dewasa dari pulau lain, tidak
lama setelah orang tua biologis kedua anak ini meninggal dunia. Kakak-beradik
bernama Tamel dan Mustafa akhirnya dibawa ke Pulau Bertam. Hanya saja,
saya tidak mengetahui hubungan antara orang tua biologis mereka dengan
Rahman atau Patimah. Selain mengadopsi dua anak laki-laki, Rahman juga
mengadopsi satu anak perempuan Melayu dari Riau daratan, yaitu Normah. Ia
awalnya merupakan guru bantu yang kini telah menjadi PNS dan menjabat
sebagai kepala sekolah SD Bertam. Ketika saya mensurvei anggota rumah
tangga penduduk Pulau Bertam, sejumlah informan yang saya tanyai tidak
sedikitpun menyinggung dan membedakan anak kandung dan anak angkat
(adopted child). Informasi mengenai siapa anak kandung dan anak angkat baru
mengemuka di lain hari di dalam perbincangan lain. Tampaknya bagi Orang Laut
baik anak adopsi maupun anak kandung bukan menjadi isyu penting, meskipun
di masa lalu hal ini berkaitan dengan penentuan jodoh ideal mereka. Dalam
kaitan adopsi dengan konsepsi mengenai fictive kinship di atas, saya sependapat
dengan Barnard dan Good yang mengatakan bahwa, “adoption is described as a
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 211
form of fictive kin relation, but the degree of its truth or fiction is a matter of cul-
tural perception” (Barnard dan Good 1984:150–4 dalam Barnard dan Spencer
2010:7).
Selain kasus adopsi, ada pula kasus fostering di Bertam. Kategori fostering
menurut saya sedikit agak rumit dalam praktik sehari-harinya, terlebih ketika
hendak mengaitkan dengan relasi kekerabatan tertentu. Saya mencoba mengacu
pada riset Carsten (1991:425) yang sudah saya singgung di atas bahwa kekera-
batan dapat dilihat sebagai sebuah “process of becoming”. Dari etnografinya,
Barnard dan Spencer menafsirkan, “people are thought to become kin through
sharing common food, and thus common substance, and widespread fostering
can be related to other ideas about the fluidity and mutability of kinship” (Barnard
dan Spencer 2010:7, cetak tegak penekanan dari saya). Khusus dalam konteks
fostering, menjadi kerabat tidak ditentukan oleh sejumlah aturan organisasi sosial
yang ketat, melainkan ‘proses menjadi kerabat’ bisa sangat longgar, cair, karena
hal ini dapat dibangun melalui laku berbagi di antara dua pihak yang tidak ber-
talian darah dan proses ini bersifat timbal-balik atau reciprocal.
Hal semacam ini saya jumpai pada beberapa Orang Bertam, seperti Seran
yang mengambil (fostering) anak Suku Laut berusia delapan tahun dari Pulau
Lingka. Kaki tauke ini memiliki tiga anak kandung, yang pertama dan terakhir
perempuan dan yang tengah adalah laki-laki. Kedua anak perempuan Seran,
sehari-hari bertugas sebagai pengelola warung kelontong sekaligus mengatur
segala aktivitas di depot penimbangan ikan yang letaknya bersebelahan dengan
warung itu, sedangkan anak kedua memiliki cacat mental sehingga ia tidak dapat
membantu kerja laut ayahnya. Selain karena alasan ini, Seran mengambil anak
dari kerabat isterinya untuk membantu ekonomi keluarga mereka yang miskin.
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 212
Hanya saja, Seran tidak mengadopsi bocah ini sebagaimana Rahman meng-
adopsi dua anak laki-laki. Meski bocah ini tidak tinggal di rumah Seran, dalam
keseharian ia tetap didaku dan dianggap sebagai anak Seran (“anak angkat”)
oleh Orang Bertam. Bocah ini tetap pulang ke rumah kedua orang tuanya di
Pulau Lingka jika malam tiba atau ketika sudah tidak ada urusan lagi dengan
Seran. Bocah ini sehari-hari, setelah bangun tidur, karena tidak sekolah, ia lekas
berada di sekitar rumah atau kelong (keramba) milik Seran dan siap sedia mem-
bantunya bekerja: mulai dari membersihkan pancung atau menyiapkan peralatan
melaut sejauh kemampuan fisik si bocah ini. Sebagai anak-anak, ia juga tampak
bermain dengan anak-anak lain di kampung Bertam. Namun, yang membedakan
dengan bocah seusianya adalah dia sudah dipercaya Seran mengemudikan
pancung bermesin, karena pada umumnya anak-anak seusianya hanya diper-
bolehkan untuk mengayuh sampan-sampan mini tanpa mesin bermotor.
Fosterage pada Orang Laut di Bertam juga dapat dilihat dari pengalaman
keluarga batih Mo dengan saya. Saya datang sebagai “orang asing”, lalu tinggal
bersama keluaga Mo, dan menjalin relasi perkawanan dengan banyak orang di
sana di luar keluarga inti Mo. Setelah beberapa hari bersama keluarga Mo, saya
mulai terlibat dalam banyak hal: bekerja, termasuk di dalamnya membantu
membersihkan rumah, mengambil air bersih, mengangkut material bangunan
rumahnya, dan sebagainya. Dua bulan berselang, saya ikut mereka mendatangi
pesta perkawinan salah satu sepupu jauh Mo di Pulau Panjang, sebelah barat
kampung Orang Laut Tiang Wang Kang di dekat jembatan Barelang I, Batam. Di
tengah acara, Mo mengenalkan saya kepada sanak-saudaranya sebagai “anak
angkat”, bukan memperkenalkan saya sebagai mahasiswa dari Jawa yang
sedang penelitian di Bertam atau semacamnya (cf. Chou 1994:116). Saya
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 213
menanyakan mengapa Mo mengenalkan saya sebagai “anak angkat”. Mo
mengatakan karena saya “telah menjadi bagian dari keluarga Orang Laut Bertam
(baca: keluarga Mo)”. Relasi serupa terjalin antara saya dengan Endi, yang
secara terbuka menganggap saya sebagai adik angkat laki-lakinya, atau Udin
yang menganggap saya sebagai kakak angkat laki-laki. Dengan demikian, alasan
yang melatari hal-hal ini saya rasa sedikit banyak berhubungan dengan yang
dijelaskan Carsten di atas. Dengan demikian, menurut saya argumen Carsten di
atas sedikit banyak ada benarnya, bahwa pengakuan kepada orang asing (non-
kerabat non-Orang Suku Laut) sebagai “anak angkat” atau “saudara” hanya
memungkinkan terjadi bila di antara mereka memiliki pengalaman “berbagi”,
“memberi”, dan “membantu” dalam banyak urusan atau kebutuhan tertentu.
C. KESIMPULAN
Dalam bab ini saya telah menunjukkan perubahan-perubahan sosial dan budaya
pada tiga bidang kehidupan Orang Laut di Bertam yang satu sama lain saling
berkaitan, yaitu teritori (lingkungan fisik) laut dan darat; budaya material (sampan
dan rumah) dan formasi permukiman kampung Bertam; organisasi sosial: yang
terdiri dari sistem kepemimpinan dan sistem kekerabatan (keluarga, perkawinan,
dan aliansi kerabat). Kesemua hal ini saya uraikan dalam model perbandingan
antara yang berlaku di masa lalu dengan kondisi setelah mereka bermukim.
Berkenaan dengan teritori, saya berpendapat bahwa kini Orang Laut memiliki
orientasi keruangan dalam tiga kategori: lingkungan laut, darat, dan ‘wilayah
antara’ atau zona transisi kata Sopher. Berangkat dari pemikiran tentang basis
ekonomi (Gudeman 2005) dan situs produksi, teritori maritim maupun darat
memiliki fungsi dan makna berlainan bagi Orang Laut walau keduanya saling
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 214
berhubungan dan melengkapi. Oleh sebabnya, relasi mereka dengan teritori laut
dan darat tidak dapat dipisahkan. Dari keterikatan pada spaces semacam itu pula
kita tidak hanya dapat menyoal tentang kondisi sumber daya alam dalam kaitan-
nya dengan aktivitas ekonomi kelautan mereka, namun juga melihat gejala peru-
bahan sosial dan kebudayaan pada berbagai aspek kehidupan Orang Laut yang
lain.
Pertama adalah pada budaya materialnya, terutama sampan dan rumah. Di
masa lalu, sampan berasosiasi dengan ruang laut, dan berfungsi sebagai alat
transportasi, tempat tinggal, sekaligus representasi dari institusi ekonomi dan unit
terkecil dalam rumah tangga mereka (satu keluarga batih). Sedangkan ‘rumah’,
hanya berlaku manakala mereka sedang berlabuh di suatu pulau dalam musim
tertentu. Saat ini, sampan tidak lagi mewakili banyak sektor kehidupan Orang
Laut, melainkan ia hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan alat produksi
ketika mereka melaut. Sedangkan fungsi sampan sebagai tempat tinggal dan
rumah tangga telah digantikan dengan rumah, baik yang disediakan pemerintah
maupun yang mereka dirikan sendiri. Ketika mereka di darat, sampan kemudian
berlaku sebagai lambang status sosial Orang Bertam. Kepemilikan jenis sampan
dan dalam jumlah tertentu menjadi indikasi pembeda secara ekonomi antara
keluarga satu dengan lainnya, di mana hal ini tidak pernah terjadi ketika di laut.
Sama halnya dengan rumah. Fungsi rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal,
melainkan ia (dengan ukuran, bentuk, letak, dan perabot tertentu) merupakan
penanda kemampuan ekonomi seseorang sekaligus status sosial tertentu.
Kedua, peralihan hal-hal di atas juga membawa perubahan organisasi sosial
mereka. Walaupun sistem kekerabatan bilateral Orang Laut masih berlaku, saat
ini prinsip-prinsip lama yang harus ditaati, seperti perkawinan antar sepupu satu
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 215
atau dua, serta preferensi pengelompokkan pada kerabat dekat mulai memudar.
Hal ini ditunjukkan, misalnya, dengan diizinkannya menerima hubungan kerabat
selain Orang Laut, baik melalui perkawinan atau hubungan persaudaraan angkat.
Perubahan ini dapat kita bayangkan, (1) dengan mereka tinggal di darat (rumah)
yang relatif tetap, maka mereka hampir tidak mungkin menolak atau menghindar
dari datangnya orang asing ke tempat tinggal (rumah atau kampung) mereka. (2)
Oleh karena kini mereka cenderung tidak hanya hidup di lingkungan laut, maka
memungkinkan mereka melakukan aktivitas selain hal-hal yang berhubungan
dengan laut. Selain sistem kekerabatan dan perkawinan, berubahnya beberapa
prinsip lama juga tampak dalam persoalan kepemimpinan. Dalam urusan tertentu
sistem kepemimpinan Ketua RT di Bertam masih mirip dengan batin, pemimpin
tradisional Orang Laut. Akan tetapi, dalam heterogenitas Orang Bertam seperti
hari ini memungkinkan mereka untuk melakukan resistensi terhadap kepala
kampungnya.
Sebagai persoalan ketiga, hal itu membawa perubahan pada formasi per-
mukiman. Pola permukiman kampung berhubungan dengan aliansi kekerabatan
mereka, karena mereka memiliki kecenderungan rasa nyaman untuk tinggal
berdekatan dengan kelompok kerabat dekatnya. Di masa mereka mengembara
di laut, kelompok pengembara terdiri dari beberapa keluarga batih yang diikat
dalam kelompok keluarga dekat dan dipimpin oleh seorang senior. Ketika mereka
bermukim di darat, tampaknya mereka secara tidak sadar mengelompok dalam
komposisi semacam itu. Akibatnya, tatanan permukiman yang telah dirancang
sedemikian rupa oleh pemerintah menjadi “kacau-balau”, karena pemerintah
tidak menyadari realitas kultural Orang Laut itu tidak tunggal. Dari sederet contoh
kehidupan Orang Laut di atas, dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa
Bab IV – Teritori, Organisasi Sosial, dan Permukiman 216
realitas sosial dan kultural Orang Laut di Bertam sekarang semakin beragam
sehingga persoalan yang dihadapinya juga semakin kompleks.[]
BAB V KESIMPULAN
Etnografi ini berangkat dari rasa keingintahuan saya mengenai kehidupan,
yang dalam perspektif tertentu juga dapat disebut kebudayaan, Orang Suku Laut
di Kepulauan Riau—atau yang di wilayah lain disebut Orang Bajo atau Orang
Sama. Namun persoalannya, hal apa yang menarik untuk dikaji dari kehidupan
suku bangsa yang pernah memiliki tradisi sebagai pengembara lautan sekaligus
pemburu dan peramu biota laut ini, padahal pada bagian pertama tesis ini saya
menunjukkan bahwa studi mengenai Orang Suku Laut dalam berbagai topik
telah banyak dikerjakan oleh para ahli antropologi, sejarah, linguistik, maupun
ilmu sosial lainnya.
Dari seluruh studi yang saya peroleh, dan khususnya yang mengusung topik
mengenai perubahan sosial dan budaya, tampaknya belum ada peneliti yang
mencoba menerangkan fenomena Orang Suku Laut dengan kerangka teori
‘governmentality’-nya Michel Foucault (1991). Walaupun harus diakui bahwa
pada beberapa aspek dan bidang yang diperhatikan dalam perspektif govern-
mentality memiliki banyak kemiripan dengan pendekatan ekonomi-politik dan
globalisasi ekonomi (lihat Chou 1997, 2010; Chou & Wee 2002; Wee & Chou
1997), pemikiran Foucault tersebut menurut saya menawarkan pengelompokkan
masalah yang lebih jelas, terutama pada persoalan-persoalan yang mengemuka
dari hubungan antara ‘rakyat’—sebagai subyek yang diatur dan dikuasai, dengan
‘negara’—sebagai subyek yang berkuasa dan berwenang untuk mengatur.
Kejelasan pemikiran Foucault terletak pada penyebutan beberapa kata kunci
yang berguna untuk menelusuri konstruksi kekuasaan di tingkat negara yang
Bab V – Kesimpulan 218
.
dioperasikan di tingkat rakyat. Konstruksi kekuasaan seperti ini menimbulkan
dampak tertentu: bisa positif, bisa negatif, atau keduanya. Beberapa kata kunci
yang saya maksud adalah ketika Foucault (1991) menyebut (1) “… men in their
relations, their links, their imbrication with those things that are wealth, resources,
means of subsistence, the territory with its specific qualities …”. Kalimat ini ber-
makna saat kita hendak melihat sejauhmana negara mengatur aspek-aspek
yang merupakan basis ekonomi (kesejahteraan) Orang Laut dalam kaitannya
dengan wilayah kultural atau teritori maritim mereka yang mengandung sumber
daya alam tertentu. Selanjutnya, Foucault juga berbicara mengenai (2) “… men
in their relation to those other things that are customs, habits, ways of acting and
thinking …”. Di sini, negara melalui program-program tertentu secara langsung
memiliki kepentingan untuk mengatur organisasi sosial, seks dan perkawinan,
perilaku, sampai kebiasaan Orang Laut, yang tadinya memiliki pola hidup di
sampan (laut) kemudian diupayakan untuk beralih ke pola hidup darat. Terakhir
ialah, (3) “… men in their relation to those still other things that might be acci-
dents and misfortunes such as famine, epidemics, death, …”, bahwa eksistensi
pola kehidupan Orang Suku Laut di sampan dipandang negara jauh dari standar
kelayakan ketercukupan pangan dan kesehatan sehingga negara perlu menga-
tasi kedua hal ini dengan cara mereka sendiri.
Sebagaimana telah saya uraikan pada bab-bab sebelumnya, dalam kasus
Orang Suku Laut di Kepri kita dapat melihat benang-merah praktik kepengaturan
negara pada sejumlah studi yang mengkritik pembangunan. Di situ, dikatakan
bahwa kebijakan yang mereka rancang dan terapkan tanpa memertimbangkan
aspirasi dan realitas sosial-budaya Orang Laut. Hal inilah yang saya diskusikan
pada Bab II. Saya mencoba melihat alasan-alasan yang melatari hal itu sekaligus
Bab V – Kesimpulan 219
.
konteks sejarah kemunculan program pemukiman di tahun 1980an yang mem-
bawa Orang Suku Laut bermukim di Pulau Bertam.
Di dalam Bab II, kita dapat melihat bahwa sejumlah argumen di balik pem-
bangunan nasional, seperti “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya” dan
“sesuai dengan falsafah Pancasila”, membawa negara merumuskan Kebijakan
Pemukiman yang diterjemahkan dalam program PKMT. Kedua hal ini menjadi
alat pemerintah mendefinisikan, mengklasifikasi, dan melabeli suatu kelompok
masyarakat dengan ciri-ciri tertentu. Dari sini, pemerintah membayangkan akan
dapat membenahi dan mengubah kondisi ekonomi masyarakat yang dianggap
terbelakang dan serba kekurangan menuju masyarakat dengan kondisi ekonomi
yang lebih ‘modern’.
Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah lantas menerapkan program PKMT
dengan menyasar pada bidang-bidang kehidupan kelompok masyarakat terasing
dan mengenalkan nilai-nilai baru untuk mengubah hal-hal yang dinilai sebagai
“keterbelakangan”. Nilai-nilai baru diajarkan dan disebarkan melalui kegiatan-
kegiatan pembinaan masyarakat terasing dalam tujuan untuk mengganti pan-
dangan-pandangan “tradisional”, seperti berkenaan dengan aktivitas ‘ekonomi
subsistensi’ ke ‘ekonomi produksi’ (Chou 2003). Mengenai kepengaturan negara
dalam bidang ekonomi ini, salah satu pendapat Foucault menjadi relevan, “… to
govern a state will therefore mean to apply economy, to set up an economy at the
level of the entire state, which means exercising towards its inhabitants, and the
wealth and behaviour of each and all, a form of surveillance and control as attentive
as that of the head of a family over his household and his goods” (Foucault 1991:92).
Oleh karena itulah mengatasi keterbelakangan sering pula diasosiasikan dengan
mengatasi kemiskinan, sebab kemiskinan dipandang sebagai hambatan pem-
Bab V – Kesimpulan 220
.
bangunan nasional (Rahardjo 1986b). Dalam perencanaan pembangunan, satu
hal yang diusahakan pemerintah ialah mengubah keterbelakangan tersebut dan
kemiskinan yang diakibatkan dari anggapan pemerintah bahwa masyarakat lokal
dengan ekonomi tradisionalnya tidak akan mampu mengimbangi kehendak pem-
bangunan ekonomi yang berorientasi pada ‘globalisme’ (Edelman dan Haugerud
2005:15-16).
Dalam konteks Orang Laut, sejumlah asumsi itulah yang mendorong negara
dan para agennya berupaya mengubah kebudayaan masyarakat terasing, walau-
pun tidak sedikit rancangan program tertentu dalam pembangunan yang gagal
(Chou dan Wee 2002:354-355). Pandangan bahwa proyek pemukiman dinilai
sebagai satu solusi atas ketersingkiran ekonomi dan teritori kultural OSL akibat
pembangunan ekonomi global, ternyata berkebalikan dengan kenyataan di
lapangan. Mengapa? Karena, walaupun suatu program disusun bersama dengan
komunitas sasaran, arah capaian, dan hasil (outcome) pembangunan tetap
berpulang pada konsepsi negara. Dengan demikian, kita dapat melihat govern-
mentality negara pada tataran kebijakan, program, dan implementasinya mau
tidak mau harus diakui tetap berpusat pada negara, dan Orang Laut mesti mene-
rima kenyataan bahwa penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupannya atas ke-
hendak negara harus dijalani sebagai komunitas dalam identitasnya yang baru,
yakni Orang Bertam.
Melanjutkan diskusi itu, pada dua bab selanjutnya saya memfokuskan pada
uraian mengenai kondisi sosial-budaya Orang Laut pasca-program pemukiman
yang tengah beralih-nama sebagai Orang Bertam. Ketika pemukiman berlang-
sung, tentu saja terdapat sejumlah perubahan pada bidang-bidang kehidupan
Orang Bertam. Dalam Bab III saya menunjukkan perubahan pada bidang eko-
Bab V – Kesimpulan 221
.
nomi Orang Laut sebagai implikasi dari program pemukiman tersebut. Saya
berpendapat bahwa keberadaan negara membawa pengaruh pada perubahan
relasi Orang Bertam dengan basis ekonominya, yaitu sumber daya maritim.
Sebelum menetap di pulau, Orang Bertam memerlakukan hasil laut untuk keper-
luan ‘produksi’ dalam makna subsistensi, dan baru ketika terjadi surplus hasil
tangkapan mereka akan menjualnya ke para tauke. Pasca-pemukiman, kendati
mereka tidak meninggalkan aktivitas ekonomi produksi-subsistennya, umumnya
mereka menjual hasil laut sebagai prasyarat mendapatkan alat tukar atau uang.
Namun demikian, aktivitas produksi mereka tidak selalu membuahkan hasil opti-
mal, karena beberapa faktor eksternal memberi efek negatif pada ekosistem
maritim di sekitar tempat tinggal Orang Bertam dan juga faktor mahalnya ongkos
produksi menggunakan mesin. Dalam konteks seperti ini, pemerintah menilai
bahwa Orang Bertam tampaknya belum memiliki ‘kemandirian’ yang cukup untuk
memenuhi beberapa kebutuhan hidup mendasarnya, misalnya memiliki tempat
tinggal layak dan ketercukupan pada makanan pokok.
Oleh sebab itu, pemerintah menganggap perlu menyediakan bantuan untuk
mengatasi ketidakberdayaan masyarakatnya. Pertama, pemerintah memberikan
bantuan perbaikan rumah atau tempat tinggal layak huni. Setiap individu atau
keluarga di Pulau Bertam saat ini perlu memiliki rumah, karena secara fungsional
rumah telah menggantikan sampan—yang saat ini hanya berguna sebagai alat
transportasi dan produksi. Kedua, pada kasus BSLM dan raskin Orang Bertam
dianggap pemerintah dalam kondisi serba kekurangan pangan dan tidak berdaya
mengatasi kenaikan harga BBM. Untuk itu, pemerintah memilih memberikan
uang tunai dengan asumsi bahwa masalah-masalah yang muncul tersebab ke-
naikan harga BBM dapat diselesaikan, walaupun yang terjadi justru sebaliknya.
Bab V – Kesimpulan 222
.
Pada penanganan masalah pangan, pemerintah menyuplai beras bersubsidi
dengan kualitas rendah, padahal dari fakta sejarah, kita tahu bekas sukubangsa
pengembara ini pernah memiliki alternatif atas bahan makanan pokoknya, seperti
sagu, umbi-umbian, dan kelapa.
Terkait dengan hal itu, mata pencaharian (kerja) Orang Bertam kini beralih
menjadi aktivitas kerja yang berorientasi hanya pada ekonomi “produksi” untuk
meraih penghasilan dan mencapai taraf kemakmuran tertentu, walaupun untuk
beberapa hal mereka masih melakukannya untuk subsistensi. Dalam tujuan
seperti ini, bekerja kemudian tidak lagi dilakukan dalam bingkai institusi kultural
dan ikatan religiositas tertentu, yang memungkinkan terciptanya hubungan per-
tukaran antara manusia dengan alam sebagai penyedia sumber daya maritim
(Chou 2010), melainkan lebih pada hubungan-hubungan kerja seperti umumnya
masyarakat modern di mana tindakan-tindakan ekonomi tiap individu didorong
oleh, “… the imperative that it exchange itself for a wage in order to live” (Parry
2005:146).
Oleh sebab itu, perubahan motif dalam aktivitas kerja menyebabkan orientasi
ekonomi Orang Bertam dewasa ini kemudian tidak hanya mengenai persoalan
pemenuhan kebutuhan dasar—asumsinya kemakmuran tercapai bila kebutuhan
dasar terpenuhi. Melainkan juga tentang bagaimana individu-individu tersebut
menciptakan kondisi kemakmuran yang lain, lebih dari sekadar pemenuhan
kebutuhan dasar. Perubahan juga terjadi pada status sumber daya manusia,
yang awalnya sebagai aktor ekonomi kelautan dalam lingkup terbatas (kerabat
atau kelompok pengembara) dan beroperasi dalam wilayah laut tertentu sebagai
basis ekonominya, lantas bertransformasi sebagai ‘tenaga kerja’ yang terjerat ke
dalam mekanisme ekonomi pasar, meskipun masih dalam skala kecil. Atas dasar
Bab V – Kesimpulan 223
.
ini, lingkungan laut dimaknai dua hal oleh Orang Bertam: as a mix of base and
capital (Gudeman 2005:101), yang bermanfaat untuk produksi-subsistensi sekali-
gus subsistensi dan produksi.
Dengan model perbandingan antara yang berlaku di masa lalu dengan kon-
disi setelah mereka bermukim, diskusi dalam bab selanjutnya saya memfokus
pada perubahan-perubahan sosial dan budaya pada tiga bidang kehidupan
Orang Bertam yang lain, yaitu teritori (lingkungan fisik) laut dan darat; budaya
material (sampan dan rumah) dan formasi permukiman kampung Bertam; serta
organisasi sosial: yang terdiri dari sistem kepemimpinan dan sistem kekerabatan
(keluarga, perkawinan, dan aliansi kerabat). Berkenaan dengan teritori, saya
berpendapat bahwa kini Orang Bertam memiliki orientasi keruangan dalam tiga
kategori: lingkungan laut, darat, dan ‘wilayah antara’ atau zona transisi. Sebagai
basis ekonomi dan situs produksi, teritori maritim dan darat memiliki fungsi dan
makna berlainan bagi mereka walau keduanya saling terkait dan melengkapi.
Oleh sebab itu, hubungan mereka dengan teritori laut dan darat tidak dapat
dipisahkan. Dari keterikatan pada spaces semacam itu pula kita tidak hanya
dapat menyoal tentang kondisi sumber daya alam dalam kaitannya dengan
aktivitas ekonomi kelautan mereka, namun juga melihat gejala perubahan sosial
dan kebudayaan pada berbagai aspek kehidupan Orang Laut yang lain.
Pertama pada budaya materialnya, terutama sampan dan rumah. Di masa
lalu, sampan berasosiasi dengan ruang laut dan berfungsi sebagai alat trans-
portasi, tempat tinggal, sekaligus representasi dari institusi ekonomi dan unit
terkecil dalam rumah tangga mereka (satu keluarga batih). Sedangkan ‘rumah’,
hanya berlaku manakala mereka sedang berlabuh di suatu pulau dalam musim
tertentu (sapao). Saat ini, sampan tidak lagi mewakili banyak sektor kehidupan
Bab V – Kesimpulan 224
.
Orang Laut, melainkan ia hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan alat
produksi ketika mereka melaut. Sedangkan fungsi sampan sebagai tempat
tinggal dan rumah tangga telah digantikan dengan rumah. Ketika mereka ‘men-
darat’, sampan lantas berlaku sebagai lambang status sosial Orang Bertam,
karena kepemilikan atas jenis sampan dalam jumlah tertentu menjadi indikasi
atau pembeda secara ekonomi antara keluarga satu dengan lainnya, di mana hal
ini tidak pernah terjadi ketika di laut. Sama halnya dengan rumah. Fungsi rumah
tidak hanya sebagai tempat tinggal, melainkan ia (dengan ukuran, bahan, ben-
tuk, letak, dan perabot tertentu) merupakan penanda kemampuan ekonomi sese-
orang sekaligus status sosial tertentu.
Kedua, peralihan hal-hal tersebut juga membawa pada perubahan organisasi
sosial mereka. Walaupun sistem kekerabatan bilateral Orang Laut masih berlaku,
saat ini prinsip-prinsip lama yang harus ditaati mulai memudar, seperti per-
kawinan antarsepupu-satu atau sepupu dua dan preferensi pengelompokkan
pada kerabat dekat. Hal ini ditunjukkan dengan mereka menerima hubungan
kerabat non-Orang Laut, baik melalui perkawinan atau hubungan persaudaraan
angkat. Perubahan ini dapat kita bayangkan, (1) dengan mereka tinggal di darat
(rumah) yang relatif tetap, mereka hampir tidak mungkin menolak atau meng-
hindar dari datangnya orang asing ke tempat tinggal (rumah atau kampung)
mereka. (2) Oleh karena kini mereka cenderung tidak hanya hidup di lingkungan
laut, maka memungkinkan Orang Bertam melakukan aktivitas selain hal-hal yang
berhubungan dengan laut. Selain sistem kekerabatan dan perkawinan, berubah-
nya beberapa prinsip lama juga tampak dalam persoalan kepemimpinan. Dalam
urusan tertentu sistem kepemimpinan Ketua RT di Bertam masih mirip dengan
batin, pemimpin tradisional Orang Laut. Akan tetapi, dalam heterogenitas dan
Bab V – Kesimpulan 225
.
situasi sosial Orang Bertam hari ini memungkinkan mereka untuk melakukan
resistensi terhadap kepala kampungnya.
Ketiga, pola permukiman kampung berhubungan dengan aliansi kekerabatan
mereka, sebab mereka cenderung memiliki rasa nyaman untuk tinggal berdekat-
an dengan kelompok kerabat dekatnya. Di masa mereka mengembara di laut,
kelompok pengembara hanya terdiri atas beberapa keluarga batih yang diikat
dalam koloni keluarga dekat dan dipimpin oleh seorang senior. Ketika mereka
bermukim di darat, tampaknya mereka secara tidak sadar mengelompok dalam
komposisi semacam itu. Akibatnya, tatanan permukiman yang telah dirancang
sedemikian rupa oleh pemerintah menjadi “kacau-balau”, karena pemerintah tak
menyadari bahwa realitas kultural Orang Laut itu tidak tunggal. Dari sederet
contoh kehidupan Orang Laut di atas, dengan demikian, kita dapat mengatakan
bahwa realitas sosial dan kultural Orang Laut di Bertam dewasa ini semakin
beragam sehingga persoalan yang dihadapinya juga semakin kompleks.
Kompleksitas persoalan yang Orang Bertam hadapi di darat dan dari penga-
laman-pengalaman yang berlawanan dengan tradisi hidup di laut agaknya tidak
membuat mereka lantas kembali berperilaku sebagai “orang sampan”. Hal ini
menarik, sebab barangkali benar apa yang dikatakan Lenhart bahwa apa yang
dipilih dan dijalani oleh Orang Bertam saat ini dapat dibaca sebagai upaya untuk
membalikkan atau menghilangkan stigma negatif yang dilekatkan oleh pemerin-
tah dan Orang Melayu di masa lalu sebagai ‘orang sampan’ yang inferior, miskin,
terbelakang, tidak beradab, dan sebagainya (Lenhart 1997, 2002). Strategi me-
lepaskan predikat-predikat tersebut untuk menyetarakan (mengangkat) status
sosial ini mereka tempuh melalui berbagai jalan, sebagaimana telah dijelaskan di
tulisan ini, yaitu dengan menerima governmentality atau ‘kepengaturan’ negara.
Bab V – Kesimpulan 226
.
Dengan demikian, pengikisan rasa inferioritas dalam diri Orang Bertam dalam
konteks ini “difasilitasi” oleh negara dengan cara bermukim. Bermukim kemudian
merupakan transformasi identitas itu sendiri. Mempertimbangkan principle dalam
konsep heterotopia (Foucault 1984), bahwa Orang Bertam mengalami peralihan
dari ‘ruang kultural’ (yaitu laut) menuju ‘ruang fantasmatik’ (yaitu ‘darat’, kampung
Bertam). Ruang fantasmatik ini dimengerti sebagai ‘ruang impian’ Orang Laut
pra-pemukiman yang mereka bayangkan akan mendapatkan suatu keuntungan
dengan jalan menerima anjuran pemerintah untuk bermukim. Inilah mengapa
saya katakan bahwa proses perubahan identitas Orang Laut menjadi Orang
Bertam tidak serta-merta merupakan bentuk ketertundukan mereka pada negara,
melainkan lebih pada perwujudan konkret dari imajinasi mereka tentang ‘kemak-
muran’ yang dicapai melalui jalinan relasi yang mereka bangun dengan negara. []
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Marie Jeanne. 1973 “Structural Aspects of a Village Art”, American Anthropologist, New
Series, Vol. 75, No. 1 (Feb., 1973), hlm. 265-279. Diakses pada 20/03/ 2012 dari: http://www.jstor.org/stable/672352
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2003 “Epilogue: Wira Usaha, Industri Kecil, dan Antropologi”, dalam Ekonomi
Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa: esai-esai antropologi ekonomi, Heddy Shri Ahimsa-Putra (ed.). Yogyakarta: Kepel Press, hlm. 389 – 343.
2006 “Analisis Struktural Dongeng Bajo,” dalam Lévi-Strauss: Mitos & Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press, Hlm. 179-249.
2008 “Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya: Sketsa Beberapa Episode”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 10 November 2008.
2009 “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”, makalah pada kuliah umum Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung 7 Desember 2009.
2011 “Tiga Mitos Tentang Orang Bajo di Sulaho, Sulawesi Tenggara,” kata pengantar dalam Orang Bajo di Tengah Perubahan, Nasruddin Suyuti, hlm. xi – xxvi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
2012 “Budaya Bangsa: Peran untuk Jatidiri dan Integrasi”, makalah dalam seminar nasional Peran Sejarah dan Budaya dalam Pembinaan Jatidiri Bangsa diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta di Yogyakarta 4 Juli 2012.
Andaya, Barbara W. 1997 “Recreating a vision; Daratan and Kepulauan in historical context,”
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153, no: 4, Leiden, hlm. 483-508.
Anderson, Benedict. 2002 “Cacah Jiwa, Peta, Museum,“ dalam Imagined Communities, Benedict
Anderson, terj. Omi Intan Naomi, hlm. 250 – 284. Yogyakarta: INSIST.
Appadurai, Arjun. 2002 “Deep Democracy: Urban Governmentality and the Horizon of Politics,”
Public Culture 14(1): 21–47.
Daftar Pustaka 228
Auyero, Javier dan Lauren Joseph. 2007 “Politics under the Ethnographic Microscope,” dalam New Perspective in
Political Ethnography, Lauren Joseph, et al. (eds.). New York: Springer Science+Business Media, hlm. 14 – 36.
Badan Pengusahaan Batam. 2012 Batam Indonesia Free Zone Authority: Development Progress of Batam,
Vol. XXII. Batam: Pusat Pengolahan Data & Sistem Informasi (PPDSI), Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.
Barnard, Alan. 2010 “Dutch anthropology”, dalam Encyclopedia of social and cultural anthro-
pology, – 2nd edition. Alan Barnard dan Jonathan Spencer (eds.). Routle-dge, hlm. 205 – 206.
Barnard, Alan dan Jonathan Spencer. 2010 “adoption and fostering”, dalam Encyclopedia of social and cultural
anthropology, – 2nd edition. Alan Barnard dan Jonathan Spencer (eds.). Routledge, hlm. 6 – 7.
Benjamin, Geoffrey. 2002 “On Being Tribal in the Malay World”, dalam Tribal Communities in the
Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives, G. Benjamin & C. Chou (eds.). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 7 – 76.
Bettarini, Yulia. 1991 Dari Hidup Mengembara Menjadi Menetap: Orang Laut di Pulau Bertam
Kotamadya Batam Provinsi Riau. Naskah tesis sarjana Antropologi tidak dipublikasikan, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bloch, Maurice. 2010 “structuralism”, dalam Encyclopedia of social and cultural anthropology, –
2nd edition. Alan Barnard dan Jonathan Spencer (eds.). Routledge, hlm. 670 – 675.
Carrier, James G. 2010 “exchange”, dalam Encyclopedia of social and cultural anthropology, –
2nd edition. Alan Barnard dan Jonathan Spencer (eds.). Routledge, hlm. 271 – 275.
Carsten, Janet. 1991 “Children in Between: Fostering and the Process of Kinship on Pulau
Langkawi, Malaysia”, Man, New Series, Vol. 26, No. 3 (Sep., 1991), hlm. 425-443, diakses pada 13/04/2010 07:33 http://www.jstor.org/stable/ 2803876
Daftar Pustaka 229
Chou, Chyntia. 1994 Money, Magic and Fear: Identity and Exchange Amongst The Orang
Suku Laut (Sea Nomads) and Other Groups of Riau And Batam, Indonesia. PhD dissertation Department of Social Anthropology, University of Cambridge.
1997 “Contesting the tenure of territoriality: The Orang Suku Laut,” dalam Riau in Transition, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendkunde, 153, no: 4, Leiden, hlm. 605-629.
2003 Indonesian Sea Nomads: Money, Magic, and Fear of the Orang Suku Laut. London: Routledge Curzon.
2006 “Research Trends on Southeast Asian Sea Nomad,” Kyoto Review of Southeast Asia, 7: 1-11.
2010 The Orang Suku Laut of Riau, Indonesia:The Inalienable Gift of Territory. London: Routledge.
Chou, Chyntia dan Vivienne Wee. 2002 “Tribality and Globalization: The Orang Suku Laut and the “Growth
Triangle” in a Contested Environment”, dalam Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives, G. Benjamin & C. Chou (eds.). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 318 – 363.
Colchester, Marcus. 1986 “Unity and Diversity: Indonesian Policy towards tribal peoples,” The
Ecologist, 16-2/3, hlm. 89-98.
Demmer, Ulrich. 2008 “Contested Modernities in the ‘Tribal Zone’: The Post-Colonial State,
Adivasi Politics and the Making of Local Modernity in the Northern Nilgiris (South India)”, Zeitschrift für Ethnologie, Bd. 133, H. 2 (2008), hlm. 257-282, diakses pada 19/09/2013 23:48 dari: http://www.jstor.org/stable/ 25843150.
Dhakidae, Daniel. 2009 “Mengolah Kekayaan, Kapital, dan Demokrasi,” Prisma, rubrik Topik Kita,
‘Senjakala Kapitalisme dan Krisis Demokrasi, No.1, Vol. 28, Juni. hlm. 2.
Direktorat Bina Masyarakat Terasing (DBMT). 1987a Data dan Informasi Pembinaan Masyarakat Terasing. Jakarta: Direktorat
Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
1987b Pola Pembinaan Kesejahteraan Sosial Suku Laut di Batam: suatu konsep. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
1987c Petunjuk Pelaksanaan Pola Pembinaan Kesejahteraan Sosial Suku Laut di Batam. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
Daftar Pustaka 230
1987d Profil Masyarakat Terasing di Indonesia: Buku Satu. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
1988a Pola Operasional Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing di Daerah Perbatasan: Riau. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
1988b Ringkasan Laporan Pendataan Masyarakat Terasing di Daerah Perbatasan: Riau. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
1990 Data dan Informasi Pembinaan Masyarakat Terasing. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
1993 Data dan Informasi Pembinaan Masyarakat Terasing. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
1994 Masyarakat Terasing Dalam Angka. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia
1995 Data dan Informasi Pembinaan Masyarakat Terasing. Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia, Proyek PKSMT
Dove, Michael R. 1985 “Pendahuluan”, dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam
Modernisasi, Michael R. Dove (ed.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. xv- Lviii.
2006 “Indigeneous People and Environmental Politics,” Annual Review of Anthropology, 35:191–208.
Edelman, Marc dan Angelique Haugerud 2005 “Introduction: The Anthropology of Development and Globalization”,
dalam The Anthropology of Development and Globalization: From Classi-cal Political Economy to Contemporary Neoliberalism, Marc Edelman dan Angelique Haugerud (eds.). Oxford: Blackwell Publishing, hlm. 1 – 74.
Escobar, Arturo. 1999 “After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology,” Current
Anthropology, Vol. 40, No. 1 (February), pp. 1-30, diakses pada 12/07/2013 01:20 dari: http://www.jstor.org/stable/10.1086/515799.
Ferguson, James 2009 The Anti-Politics Machine: “Development,” Depolitization, and Bureau-
cratic Power in Lesotho, [first printed 1994, Oxford University Press]. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Daftar Pustaka 231
Ferguson, James dan Akhil Gupta 2005 “Spatializing States: Toward an Ethnography of Neoliberal Govern-
mentality” dalam Anthropologies of Modernity: Foucault, Governmentality, and Life Politics, Jonathan Xavier Inda (ed.). Oxford, United Kingdom: Blackwell Publishing, hlm.105 – 131.
Foucault, Michel. 1984 “Of Other Spaces: Utopias and Heterotopias”, Architecture/ Mouvement/
Continuité, October; (Translated from the French by Jay Miskowiec, “Des Espace Autres,” March 1967)
1991 "Governmentality," dalam The Foucault Effect: Studies in Govemmen-tality, Burchell et.al. (eds.). Chicago: University of Chicago Press, hlm. 87 – 104.
Geertz, Clifford. 1973. “Thick Description,” dalam Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures.
New York: Basic Books, hlm. 3 – 30.
Gordon, Colin. 1991 "Governmental Rationality," dalam The Foucault Effect: Studies in
Govemmentality, Burchell et.al. (eds). Chicago: University of Chicago Press, hlm. 1 – 42.
Granbom, L. 2005 Urak Lawoi’: A Field Study of the Original Native People of the Andaman
Sea, Ko Lanta and The Problems They Face With Rapid Tourism Development. Naskah tesis master tidak dipublikasikan, Departemen Antropologi, Universitas Lund, Swedia.
Grossberg, Lawrence. 1996 “On postmodernism and articulation: an interview with Stuart Hall,” dalam
Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies, David Morley dan Kuang-Hsing Chen (eds.). London and New York: Routledge, hlm. 131 – 150.
Gudeman, Stephen. 2005 “Community and economy: economy’s base”, dalam A Handbook of
Economic Anthropology, James G. Carrier (ed.). Massachusetts: Edward Elgar Publishing, hlm. 94- 106.
2010 “Economic Anthropology”, dalam Encyclopedia of social and cultural anthropology, – 2nd edition. Alan Barnard dan Jonathan Spencer (eds.). Routledge, hlm. 210 – 217.
Haba, John. 2002 “State, The ‘Isolated Peoples’ and Development”, Masyarakat Indonesia,
Jilid XXVIII, No.1, hlm. 1–19.
Daftar Pustaka 232
Hansen, Edward C. 1996 “Poverty”, Encyclopedia of Cultural Anthropology, Volume 3, David
Levinson dan Melvin Ember (eds.). New York: A Henry Holt and Company, hlm. 998 – 1003.
Henley, David. 2004 “Conflict, Justice, and the Stranger-King Indigenous Roots of Colonial
Rule in Indonesia and Elsewhere”, Modern Asian Studies, Vol. 38, No. 1 (Feb., 2004), hlm. 85-144. Cambridge University Press, diakses pada 15/11/2013 03:00 dari: http://www.jstor.org/stable/3876498.
Henley, David dan Ian Caldwell 2008 “Kings and Convenants”, Indonesia and the Malay World, 36:105, 269-
291, diakses 13/11/2013, 22:17, DOI:10.1080/13639810802268031
Hermawan, Iwan. 2013 “Bantuan Langsung Sementara Masyarakat”, Info Singkat Ekonomi dan
Kebijakan Publik, Vol. V, No.13/I/P3DI/Juli/2013, hlm 13-16. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretaris Jenderal DPR RI.
Hollander, Jocelyn dan Einwohner, Rachel. 2004 “Conceptualizing Resistance,” Sociological Forum, Vol. 19, No. 4 (Dec.,
2004), hlm. 533-554, diakses pada 18/09/2013 00:58 dari: http://www. jstor.org/stable/4148828.
Inda, Jonathan Xavier. 2005 “Analytics of the Modern: An Introduction”, dalam Anthropologies of
Modernity: Foucault, Governmentality, and Life Politics, Jonathan Xavier Inda (ed.). Oxford, United Kingdom: Blackwell Publishing, hlm. 1 – 20.
Jiménez, Alberto Corsín. 2008 “Introduction: Well-Being’s Re-Proportioning of Social Thought,” dalam
Culture and Well-Being: Anthropological Approaches to Freedom and Political Ethics, Alberto Corsín Jiménez (ed.). London: Pluto Press, hlm. 1 – 34.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. 2012 Pedoman Umum Penyaluran RASKIN: Subsidi Beras untuk Masyarakat
Berpendapatan Rendah. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Kese-jahteraan Masyarakat Republik Indonesia.
Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2012a Pedoman Pelaksanaan Bedah Kampung. Jakarta: Kementerian Sosial RI. 2012b Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Kementerian Sosial RI, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Direk-torat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.
Daftar Pustaka 233
Kemkens, Lotte. 2009 Living on Boundaries: The Orang Bajo of Tinakin Laut, Indonesia. Naskah
Bachelor’s Thesis Social Anthropology, University of Utrecht, tidak dipublikasikan.
Koentjaraningrat. 1982 “Arti Antropologi Terapan Dalam Pembangunan Nasional”, dalam
Masalah-masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: LP3ES, hlm. 3-10.
1993a “Pendahuluan”, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Koentjaraning-rat (ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka, hlm. 1-18.
1993b “Membangun Masyarakat Terasing”, dalam Masyarakat Terasing di Indo-nesia, Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka, hlm 341-350.
Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Kota Batam. 2008 Proposal Pembangunan, Pengembangan, dan Peningkatan Penghidupan
Suku Laut Pulau Bertam. Batam: KKKS.
Lenhart, Lioba. 1997 “Orang Suku Laut: ethnicity and acculturation,” dalam Riau in Transition,
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendkunde, 153, no: 4, Leiden, hlm. 577—604.
2002 “Orang Suku Laut Identity: The Construction of Ethnic Realities,” dalam Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives, G. Benjamin & C. Chou (eds.). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 293 – 317.
2004 “Orang Suku Laut,” dalam Encyclopedia of Sex and Gender: Men and Women in the World’s Cultures, Volume II: Cultures L–Z, Carol R. Ember dan Melvin Ember (eds.), hlm. 750—759. Diakses pada 10/06/2009 http://www.springerlink.com.ezp02.library.qut.edu.au/content/l03vv4737780332r/
Li, Tania Murray. 2000 “Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the
Tribal Slot,” Comparative Studies in Society and History, Vol. 42, No. 1. (Jan., 2000), hlm. 149-179.
2007 “Governmentality,” Anthropologica, Vol. 49, No. 2 (2007), hlm. 275-281. Diakses pada 25/04/2013 01:17 dari http://www.jstor.org/stable/25605363
2012 “Pendahuluan: Kehendak untuk Memperbaiki,” dalam The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia, Tania Murray Li. Tangerang Selatan: Marjin Kiri, hlm. 1–56.
2013 “Jobless growth and relative surplus populations”, Anthropology Today Vol. 29 No 3, June 2013, hlm. 1–2.
Marsanto, Khidir. 2010a “Orang Suku Laut di Kepulauan Riau,” BASIS, Nomor 03–04 (April – Mei),
Yogyakarta: Kanisius, hlm. 36—40.
Daftar Pustaka 234
2010b “Orang Suku Laut dan Orang Melayu di Kepulauan Riau: Sebuah Tafsir Deskriptif-Etnografis,” Antropologi Indonesia, Vol. 31, No. 3, September – Desember, hlm. 224 – 239. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Mubyarto. 1995 “Program IDT dan Orang Suku Laut,” Kompas, Selasa 17 Oktober, hlm.
4. 1997 “Riau: Progress and Poverty”, dalam Riau in Transition, Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkendkunde, 153, no: 4, Leiden, hlm. 542 – 556.
Mulyasari, Runavia. 2013 “Tokeh Senang Anak Buah Senang”: Perubahan Pola Relasi Patron-
Klien. Naskah tesis pada jenjang master, Program Studi S2 Antropologi. Tidak dipublikasikan.
Nimmo, A.H. Arlo. 1972 The Sea People of Sulu: A Study of Social Change in the Philippines.
London: Intertext Books.
Ong, Aihwa. 2005 “Gradueted Sovereignty in South-East Asia”, dalam Anthropologies of
Modernity: Foucault, Governmentality, and Life Politics, Jonathan Xavier Inda (ed.). Oxford, United Kingdom: Blackwell Publishing, hlm. 83 – 104.
Parry, Jonathan. 2005 “Industrial Work”, dalam A Handbook of Economic Anthropology, James
G. Carrier (ed.). Massachusetts: Edward Elgar Publishing, hlm. 141 – 159.
Prasetiantono, A. Tony. 2013 “Ekonomi-Politik Program BLSM”, Tempo 22 Juli 2013, diakses
dari http://psekp.ugm.ac.id/berita/id/68.
Rahardjo, M. Dawam. 1986a “Asumsi-asumi Ideologis dari Model-model Pembangunan Ekonomi”,
dalam Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis, Bagian I: Peranan Ideologi, M. Sastrapratedja, J Riberu, dan Frans M. Parera (penyunting). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, hlm. 33 – 58.
1986b “Menguak Mitos-mitos dalam Pembangunan”, dalam Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis, Bagian VI: Beberapa Pemikiran Tentang Etika Pembangunan, M. Sastrapratedja, J Riberu, dan Frans M. Parera (penyunting). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, hlm. 271 – 292.
Reid, Anthony. 2004a “Islamisasi Asia Tenggara”, dalam Anthony Reid, Sejarah Modern Awal
Asia Tenggara: sebuah pemetaan. Terj. Sori Siregar, Hasif Amini, dan Dahris Setiawan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, hlm. 20 – 52.
Daftar Pustaka 235
2004b “Asal-usul Kemiskinan di Asia Tenggara”, dalam Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: sebuah pemetaan. Terj. Sori Siregar, Hasif Amini, dan Dahris Setiawan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, hlm. 287 – 311.
Scott, David. 2005 “Colonial Governmentality”, dalam Anthropologies of Modernity: Foucault,
Governmentality, and Life Politics, Jonathan Xavier Inda (ed.). Oxford, United Kingdom: Blackwell Publishing, hlm. 23 – 49.
Scott, James C. 1998a “Rural Settlement and Production”, dalam Seeing like a state: how certain
shemes to improve the human condition have failed, Part 3. The Social Engineering of Rural Settlement and Production, James C. Scott. New Haven: Yale University Press, hlm. 181 – 192.
1998b “Soviet Collectivization, Capitalist Dreams”, dalam Seeing like a state: how certain shemes to improve the human condition have failed. Part 3. The Social Engineering of Rural Settlement and Production, James C. Scott. New Haven: Yale University Press, hlm. 193 – 222.
2009 The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia. New Haven: Yale University Press.
Sembiring, Sudarman. 1993 “Orang Laut di Wilayah Kepulauan Riau-Lingga”, dalam Masyarakat
Terasing di Indonesia, Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka, hlm. 323-343.
Soedarsono, Sri. 1992 “Peranan Forum Komunikasi dan Konsultasi Sosial (F.K.K.S.) Dalam
Pembinaan Suku Laut di P.Bertam-Kep.Riau”, dalam Kumpulan Makalah I, Seminar Penangan dan Pemukiman Kembali / Rehabsos Suku Terasing di Wilayah Irian Jaya, Jayapura 27 – 29 April.
Sopher, David E. 1977 The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast
Asia. (1965) Singapore: National Museum Publication.
Southon, Michael. 1995 The Navel of the Perahu: meaning and values in the maritime trading
economy of a Butonese village. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University.
Suyuti, Nasruddin. 2011 Orang Bajo di Tengah Perubahan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Terrell, John dan Judith Modell. 1994 “Anthropology and Adoption”, American Anthropologist, New Series, Vol.
96, No. 1. (Mar., 1994), hlm. 155-161. Diakses pada Feb. 9 2008
Daftar Pustaka 236
02:30 http://links.jstor.org/sici?sici=00027294%28199403%292%3A96%3A1%3C 155%3AAAA%3E2.0.CO%3B2-6
Thomas, Philip. 2010 “House”, dalam Encyclopedia of social and cultural anthropology, – 2nd
edition. Alan Barnard dan Jonathan Spencer (eds.). Routledge, hlm. 353 – 357.
Trisnadi, Wiwied. 2002 Anak-anak “Orang Laut”: Tumbuh Dewasa Dalam Budaya Yang Berubah.
Tesis master tidak dipublikasikan, Sekolah Pascasarjana Program Studi Antropologi, Jurusan Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
van Wouden, F.A.E. 1985 Klen, Mitos, dan Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur.
(terjemahan). Jakarta: Grafiti Press.
Warren, James F. 2003 “A Tale of Two Centuries: The Globalisation of Maritime Raiding and
Piracy in Southeast Asia at the end of the Eighteenth and Twentieth Centuries,” ARI Working Paper, No. 2, Juni 2003, http://www.ari.nus.edu. sg/docs/wps/wps03 _002.pdf
Wee, Vivienne dan Chyntia Chou. 1997 “Continuity and discontinuity in the multiple realities of Riau”, Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 527-541.
White, Walter Grainge. 1982 The Sea Gypsies of Malaya. London: Seeley, Service & Co. Limited.
(diterbitkan pertama kali pada 1922)
Winarno, Yunita T. 2007 “Menuju Paradigma Baru Pembangunan di Indonesia? Peranan Ilmuwan
Sosial dan Humaniora”, makalah Academy Professorship Indonesia in Social Sciences and Humanities dipresentasikan di Sekolah Pasca Sarja-na, Universitas Gadjah Mada, 21 February 2007.
2010 “Climate and Culture: Changes, Lessons, and Challenges”, makalah The First Academy Professor in Social Sciences and Humanities at Universi-tas Indonesia dipresentasikan pada Award Ceremony and Scientific Pa-per Presentation, Depok, March 4th, Universitas Indonesia.
Yayasan NEBA. 1988 Stichting Nederland-Batam, ter bevordering medische zorg Pulau Batam:
project informatie. Batam: Yayasan NEBA.
Daftar Pustaka 237
Zacot, François-Robert. 1979 “Badjo atau Bukan Badjo: Itu Soalnya”, Prisma, No.2, Februari, Tahun
VIII, hlm. 37 – 49.
2008 Orang Bajo, Suku Pengembara Laut: pengalaman seorang antropolog. Jakarta: KPG, Forum Jakarta-Paris, École Française d’Extrême-Orient.
Media Massa
“2.000 Rumah Tak Layak Huni”, Batam Pos, 2 Januari 2013, http://batampos.co. id/02-01-2013/2-000-rumah-tak-layak-huni/
“Mensos Kucurkan Bantuan Rp 1,4 Miliar untuk Suku Laut di Batam”, Republika, Jumat 23 Maret 2012, http://www.republika.co.id/berita/nasional/ nusantara-nasional/12/03/23/m1cfho-mensos-kucurkan-bantuan-rp-14-miliar-untuk-suku-laut-di-batam
“Saat Orang Laut Mengikuti Alun Ombak”, Kompas, Sabtu 23 Februari 2013, hlm. 1.
“Laut Sekarang Tidak Cukup Lagi”, Kompas, Sabtu 23 Februari 2013, hlm. 12.
“2014, Dinsos Batam Rehab 816 Rumah Tak Layak Huni”, Halauan Kepri, Senin 6 Januari 2014, http://www.haluankepri.com/batam/57203-2014-dinsos-batam-rehab-816-rumah-tak-layak-huni.html