bab ii kajian teori -...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pendidikan Anak Usia Dini
2.1.1 Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini
Menurut Christy Merrick (2013:32), „Early
childhood is a critically important time in human
development, when biological paths are set that affect
lifelong learning and habits’. Carie Green (2013:8) Early
childhood is a significant time when children begin to
develop their place identity. As they discover their
environment, young children claim special places in
which to construct their own experiences. Menurut
Ulfiani Rahman (2009:48) Pendidikan Anak Usia Dini
adalah pendidikan yang ditujukan untuk anak usia 3
s/d 6 tahun (PP No. 27/1990 Pasal 6). Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam pasal 4 menyatakan bahwa setiap anak berhak
untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari ke-
kerasan dan diskriminasi.
Menurut Hartanti (2010:64) Konsep PAUD
pertama di Indonesia dikemukakan oleh Ki Hajar
Dewantara dengan Taman Kanak-kanaknya. Sistem
pendidikan yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara
adalah sistem Among, suatu gabungan antara nature
10
(kodrat) dan nurture (pengasuhan), maksudnya pendi-
dikan Taman Kanak-kanak harus didesain sesuai
dengan kodrat anak-anak dan perlahan membimbing
anak menuju adab. Menurut Listari Basuki (2012:712)
pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah upaya orang
dewasa untuk memberikan pendidikan kepada anak-
anak dan dilaksanakan pada saat anak masih berada
pada fase usia prasekolah (0-6 tahun).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka
peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan anak usia
dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan per-
kembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
2.1.2 Pembelajaran Anak Usia Dini
Pembelajaran untuk anak usia dini memegang
peranan yang sangat penting bagi pembentukan
kemampuan dan sikap belajar pada tahap yang lebih
lanjut. Dalam suatu pembelajaran peran guru bukan
semata-mata memberikan informasi, melainkan juga
mengarahkan dan memberi fasilitas belajar (directing
and facilitating the learning) agar proses belajar lebih
memadai. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mohammad Ali (2007) bahwa pembelajaran adalah
upaya yang dilakukan guru dalam merekayasa ling-
kungan agar terjadi belajar pada individu siswa.
11
Konsep pembelajaran menurut Corey (Sagala,
2003) adalah suatu proses dimana lingkungan sese-
orang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia
turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-
kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap
situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset
khusus dari pendidikan. Sedangkan menurut Dimyati
dan Mudjiono ”pembelajaran adalah kegiatan guru
secara terprogram dalam desain instruksional, untuk
membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan
pada penyediaan sumber belajar” (Sagala, 2003).
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 dinyata-
kan bahwa, ”pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar”. Pembelajaran menu-
rut Sudjana (2000) adalah upaya pendidik untuk
membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
Surya (2004) menyatakan bahwa, pembelajaran ialah
suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkung-
annya. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pem-
belajaran sebagai usaha memperoleh perubahan peri-
laku dalam diri individunya.
Menurut Dunkin dan Biddle (Sagala, 2003)
proses pembelajaran atau pengajaran kelas (classroom
teaching) berada pada empat variabel instruksi yaitu:
12
(1) varibel pertanda (presage variables) berupa
pendidik; (2) variabel konteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah, dan masyarakat;
(3) variabel proses (process variables) berupa
interaksi peserta didik dengan pendidik; dan
(4) variabel produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Proses pembelajaran akan berlangsung dengan
baik jika pendidik mempunyai dua kompetensi utama
yaitu kompetensi substansi materi pembelajaran dan
kompetensi metodologi pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran di Taman Kanak-kanak
didesain untuk memungkinkan anak belajar. Setiap
kegiatan harus mencerminkan jiwa bermain, yaitu
senang, merdeka, volunter, dan demokratis. Setiap
permainan yang diberikan harus diberi muatan pen-
didikan sehingga anak dapat belajar. Untuk itu guru
di Taman Kanak-kanak harus kreatif melihat potensi
lingkungan dan mendesain kegiatan pembelajaran
yang menyenangkan anak.
Adapun pendekatan yang dapat digunakan
dalam pembelajaran bagi anak usia dini menurut
Direktorat PADU (2002: 5) adalah sebagai berikut:
1) Berorientasi pada kebutuhan anak. Kegiatan
pembelajaran pada anak usia dini harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan
anak untuk mendapatkan layanan pendidikan,
kesehatan dan gizi yang dilaksanakan secara integratif dan holistik;
2) Belajar melalui bermain. Bermain merupakan
pendekatan dalam melaksanakan kegiatan
pendidikan anak usia dini, dengan mengguna-
13
kan strategi, metode, materi/bahan, dan media
yang menarik agar mudah diikuti oleh anak. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplo-
rasi (penjajagan), menemukan, dan meman-
faatkan benda-benda di sekitarnya;
3) Kreatif dan inovatif. Proses kreatif dan inovatif
dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
menarik, membangkitkan rasa ingin tahu
anak, memotivasi anak untuk berpikir kritis, dan menemukan hal-hal baru;
4) Lingkungan yang kondusif. Lingkungan harus
diciptakan sedemikian menarik dan menye-nangkan, dengan memperhatikan keamanan
dan kenyamanan anak dalam bermain;
5) Menggunakan pembelajaran terpadu. Model pembelajaran terpadu yang beranjak dari tema
yang menarik anak (center of interest) dimak-
sudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga
pembelajaran menjadi bermakna bagi anak;
6) Mengembangkan keterampilan hidup. Me-
ngembangkan keterampilan hidup melalui pembiasaan-pembiasaan agar mampu menlong
diri sendiri (mandiri), disiplin, mampu berso-
sialisasi, dan memperoleh bekal keterampilan dasar yang berguna untuk kelangsungan
hidupnya;
7) Menggunakan berbagai media dan sumber belajar. Media dan sumber belajar dapat ber-
asal dari lingkungan alam sekitar atau bahan-
bahan yang sengaja disiapkan;
8) Pembelajaran yang berorientasi pada prinsip-
prinsip perkembangan anak. Ciri-ciri pembela-
jaran ini adalah: (a) Anak belajar dengan
sebaik-baiknya apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan aman dan tenteram
secara psikologis; (b) Siklus belajar anak selalu
berulang, dimulai dari membangun kesadaran, melakukan penjelajahan (eksplorasi), memper-
oleh penemuan untuk selanjutnya anak dapat
menggunakannya; (c) Anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan
14
teman sebayanya; (d) Minat anak dan keingin-
tahuannya memotivasi belajarnya; (e) Perkem-bangan dan belajar anak harus memperhati-
kan perbedaan individual; (f) Anak belajar
dengan cara dari sederhana ke rumit, dari konkrit ke abstrak, dari gerakan ke verbal, dan
dari keakuan ke rasa sosial.
9) Stimulasi terpadu. Pada saat anak melakukan
suatu kegiatan, anak dapat mengembangkan beberapa aspek pengembangan sekaligus.
Contoh: ketika anak melakukan kegiatan
makan, kemampuan yang dikembangkan anta-ra lain bahasa (mengenal kosa kata tentang
jenis sayuran dan peralatan makan), motorik
halus (memegang sendok dan menyuap ma-kanan ke mulut), daya pikir (membandingkan
makan sedikit dengan banyak), sosial-emosi-
onal (duduk rapi dan menolong diri sendiri), dan moral (berdoa sebelum dan sesudah
makan).
2.1.3 Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini
Dengan diberlakukannya UU No. 20 Tahun 2003
maka sistem pendidikan di Indonesia terdiri dari
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendi-
dikan menengah, dan pendidikan tinggi yang keselu-
ruhannya merupakan kesatuan yang sistemik. PAUD
diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan/atau informal. PAUD pada
jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-
kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain
yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan nonformal
berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan
Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD
15
pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh
lingkungan.
Berdasarkan pada ketentuan yang dimuat pada
pasal 28 (2), penyelenggaraan PAUD tidak hanya
diselenggarakan pada jalur formal, tetapi melalui jalur
informal dan non formal seperti kelompok bermain.
Pertanyaan yang sering diajukan adalah bagaimana
bentuk pelayanannya. Permasalahan yang lebih kritis
adalah jika orang tua harus dilibatkan secara
langsung dalam penyelenggaraan PAUD. Permasalah-
an berkenaan dengan pemahaman orang tua terhadap
kondisi psikologis dan perkembangan fisik anak
menjadi salah satu hambatan. Di lain pihak, karena
kemampuan ekonomi yang berbeda-beda, maka
keluarga yang kurang mampu secara ekonomis, cende-
rung diikuti dengan kurangnya perhatian terhadap
penyediaan sarana dan prasarana pendukung penye-
lenggaraan PAUD di rumah (Unesco dalam Indiarto
2004:4).
Dalam upaya pembinaan terhadap satuan-
satuan PAUD tersebut, diperlukan adanya sebuah
kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi
anak usia dini yang berlaku secara nasional. Kerangka
dasar kurikulum dan standar kompetensi adalah
rambu-rambu yang dijadikan acuan dalam penyusun-
an kurikulum dan silabus (rencana pembelajaran)
pada tingkat satuan pendidikan. Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasi-
16
onal yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-
masing satuan pendidikan.
2.1.4 Pendidikan Anak Usia Dini Berkarakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Sistem pendidikan nasional sebagaimana diga-
riskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan
perundangan turunannya, merupakan instrumen
untuk mewujudkan pembentukan karakter bangsa
Indonesia, termasuk karakter seorang guru Indonesia.
Untuk itu, diperlukan suatu pendidikan guru berbasis
pada pembangunan karakter bangsa. Tujuan utama
pendidikan karakter adalah untuk menumbuhkan
karakter warga Negara, baik karakter privat, seperti
tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap
individu; maupun karakter publik, misalnya kepedu-
lian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan
aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan
untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi
(Winataputra dan Budimansyah,2007:192).
Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan
akan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di
negeri ini. Namun, kebijakan ini malah justru dika-
burkan oleh pandangan sempit bahwa “sertifikasi guru
merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan guru”.
Dari hal ini, muncul kelompok-kelompok pragmatisme
di kalangan para guru, dan menyisihkan kelompok
17
idealisme. Pandangan idealisme dipojokkan pada
sebuah kenyataan yang tidak sesuai dengan zaman,
padahal kelompok idealime ini merupakan agen pem-
baharu di lingkungan komunitas guru.
Gagasan character building sebagai upaya men-
ciptakan guru-guru ideal patut mendapat dukungan
semua pihak. Apabila idealisme telah melekat pada
pribadi guru, maka ia akan mampu memperbaiki
fenomena masyarakat kita yang telah mulai mening-
galkan karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang
dicita-citakan pembukaan Undang-undang Dasar
1945. Konsep Pendidikan Budi Pekerti yang menjadi
pemikiran ideal seorang guru ketika ia merasa resah
dengan fenomena masyarakat saat ini merupakan
landasan bagi pengembangan character building.
Pengembangan pendidikan budi pekerti ini seha-
rusnya dibangun terlebih dahulu melalui sebuah kesa-
daran kolegial setiap guru bahwa ia harus bertindak
sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan
kebudayaan nasional Indonesia. Seorang guru ideal ia
harus mampu mendidik dirinya (otodidak) untuk sela-
lu menjadi pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan
teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Konsep
kejujuran dan berahlak mulia yang ditanamkan kepa-
da peserta didik, seharusnya telah terlebih dahulu
tertanam dalam diri pendidik. Bagaimana jadinya, jika
pendidik mengarahkan peserta didik untuk bertindak
dan berkata jujur, sedangkan ia tidak memberi contoh
untuk bertindak jujur? Guru harus menjadi teladan
18
bagi murid dan masyarakat dalam bertindak dan
berkata jujur serta berahlak mulia.
2. Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembang-
kan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik,
dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan memba-
ngun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkat-
kan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaul-
an dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui
berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pen-
didikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, peme-
rintah, dunia usaha, dan media massa.
DIKTI (2010) menyatakan bahwa secara khusus
pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu:
1. Pembentukan dan Pengembangan Potensi
Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga
negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati
baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
2. Perbaikan dan Penguatan
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga negara Indonesia
yang bersifat negatif dan memperkuat peran
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan ber-
tanggung jawab dalam pengembangan potensi
manusia atau warga negara menuju bangsa
yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejah-tera.
19
3. Penyaring
Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menya-
ring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif
untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang
bermartabat.
Nilai-nilai pendidikan adalah suatu makna dan
ukuran yang tepat dan akurat yang mempengaruhi
adanya pendidikan itu sendiri. Di antara nilai-nilai
dalam Pendidikan Karakter Bangsa, ada 18 unsur dan
nilai yang mana di antaranya adalah: (1) Religius;
(2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6)
Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa Ingin
Tahu; (10) Semangat Kebangsaan; (11) Cinta Tanah
Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat atau
Komuniktif; (14) Cinta Damai; (15) Gemar Membaca;
(16) Peduli Lingkungan; (17) Peduli Sosial, dan
(18) Tanggung Jawab.
Sedangkan menurut Menurut UU No 20 tahun
2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional ber-
fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar
pendidikan berkarakter, di antaranya adalah:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya
2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian 3. Kejujuran/amanah dan kearifan
4. Hormat dan santun
5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerjasama
6. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
20
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi kedamaian dan kesatuan
2.2 Manajemen Pembelajaran
2.2.1 Pengertian Manajemen
Follet yang dikutip oleh Wijayanti (2008: 1)
mengartikan manajemen sebagai seni dalam menye-
lesaikan pekerjaan melalui orang lain. Menurut Stoner
yang dikutip oleh Wijayanti (2008: 1) manajemen
adalah proses perencanaan, pengorganisasian, penga-
rahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota
organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya
manusia organisasi lainnya agar mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.
Gulick dalam Wijayanti (2008: 1) mendefinisikan
manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan
(science) yang berusaha secara sistematis untuk
memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja
bersama-sama untuk mencapai tujuan dan membuat
sistem ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.
Terry (2005: 1) memberi pengertian manajemen
suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan
bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-
orang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau
maksud-maksud yang nyata. Hal tersebut meliputi
pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan,
menetapkan cara bagaimana melakukannya, mema-
hami bagaimana mereka harus melakukannya dan
21
mengukur efektivitas dari usaha-usaha yang telah
dilakukan.
Dari beberapa definisi yang tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan
usaha yang dilakukan secara bersama-sama untuk
menentukan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi
dengan pelaksanaan fungsi-fungsi perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan
(actuating), dan pengawasan (controlling). Manajemen
merupakan sebuah kegiatan; pelaksanaannya disebut
managing dan orang yang melakukannya disebut
manager.
2.2.2 Manajemen Pembelajaran
Pembelajaran menurut Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa Direktorat Jendral Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendi-
dikan Nasional Tahun 2007 adalah suatu proses
belajar mengajar dan proses interaksi komunikasi aktif
antara siswa dengan guru dalam kegiatan pendidikan.
Kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan yang dila-
kukan siswa dan ada kegiatan yang dilakukan guru
yang terjadi secara sinergis.
Manajemen pembelajaran terkait dengan pene-
rapan standar proses pembelajaran. Standar ini men-
cakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan
pengawasan, pembelajaran untuk terlaksananya
22
proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Mana-
jemen pembelajaran merupakan bagian dari strategi
pembelajaran yaitu strategi pengelolaan pembelajaran,
(Diknas, 2004:6).
Menurut Terry (2010: 9), fungsi manajemen
dapat dibagi menjadi empat bagian, yakni planning
(perencanaan), organizing (pengorganisasian),
actuating (pelaksanaan), dan controlling (pengawasan).
Secara umum, ada empat fungsi manajemen yang
sering orang menyebutnya “POAC”, yaitu Planning,
Organizing, Actuating, dan Controlling. Dua fungsi yang
pertama dikategorikan sebagai kegiatan mental
sedangkan dua berikutnya dikategorikan sebagai ke-
giatan fisik. Suatu manajemen bisa dikatakan berhasil
jika keempat fungsi di atas bisa dijalankan dengan
baik. Kelemahan pada salah satu fungsi manajemen
akan mempengaruhi manajemen secara keseluruhan
dan mengakibatkan tidak tercapainya proses yang
efektif dan efisien.
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan
untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan
Handoko (2005) mengemukakan bahwa:
Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan stra-
tegi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur,
metode, sistem, anggaran dan standar yang dibu-
23
tuhkan untuk mencapai tujuan. Pembuatan kepu-
tusan banyak terlibat dalam fungsi ini.
Arti penting perencanaan terutama adalah mem-
berikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga
setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan
seefisien dan seefektif mungkin.
Robbin (2001: 3) menyatakan bahwa fungsi
perencanaan meliputi menetapkan tujuan organisasi,
menetapkan suatu strategi keseluruhan untuk men-
capai tujuan dan mengembangkan suatu hirarki
rencana yang menyeluruh untuk memadukan dan
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan.
Secara lebih terinci, Suharsimi (2008:9) menge-
mukakan penjelasan perencanaan dari masing-masing
fungsi adalah sebagai berikut: Perencanaan adalah
proses mempersiapkan serangkaian pengambilan ke-
putusan untuk dilakukannya tindakan dalam menca-
pai tujuan-tujuan organisasi dengan atau tanpa meng-
gunakan sumber-sumber yang ada. Aspek-aspek
perencanaan meliputi: (a) apa yang akan dilakukan,
(b) siapa yang harus melakukan, (c) kapan dilakukan,
(d) dimana dilakukan, (e) bagaimana melakukan, dan
(f) apa saja yang perlu dilakukan agar tercapai tujuan-
nya secara maksimal.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian pada dasarnya merupakan
upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah
24
dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Hal
yang penting untuk diperhatikan dalam pengorgani-
sasian adalah bahwa setiap kegiatan harus jelas siapa
yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa target-
nya.
Suharsimi (2008: 10) menyatakan bahwa peng-
organisasian adalah usaha untuk mewujudkan kerja-
sama antar manusia yang terlibat kerjasama. Suatu
keseluruhan proses pengelompokan orang, alat-alat,
tugas, tanggung jawab atau wewenang sehingga ter-
cipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai
satu kesatuan dalam rangka mencapai tujuan. Pada
pokoknya pengorganisasian adalah proses pembagian
kerja, sistem kerja sama, sistem hubungan antar
personal yang terlibat dalam suatu organisasi.
Menurut Suharsimi (2008:11) pengorganisasian
adalah pembagian tugas atau pekerjaan, pembidang-
an, pengunitan, yaitu: macam dan jumlah pekerjaan
yang harus diselesaikan, banyaknya orang yang terli-
bat dalam organisasi, dan kemampuan, minat, bakat
yang berbeda terhadap pekerjaan.
3. Pelaksanaan (actuating)
Pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan
upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi Kenya-
taan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemo-
tivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan
kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas
dan tanggung jawabnya.
25
Menurut Terry (2011: 20), actuating adalah
usaha untuk menggerakkan anggota-anggota kelom-
pok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan
berusaha untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan. Dalam suatu lembaga, kalau hanya ada
perencanaan atau organisasi saja tidak cukup. Untuk
itu dibutuhkan tindakan atau actuating yang konkrit
yang dapat menimbulkan action.
4. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan (controlling) merupakan fungsi
manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu
organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif
tanpa disertai fungsi pengawasan. Sementara itu,
Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh
Handoko (2005: 25) mengemukakan definisi penga-
wasan yang di dalamnya memuat unsur esensial
proses pengawasan, bahwa:
“Pengawasan manajemen adalah suatu usaha
sistematik untuk menetapkan standar pelaksana-
an dengan tujuan–tujuan perencanaan, meran-
cang sistem informasi umpan balik, membanding-kan kegiatan nyata dengan standar yang telah
ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengu-
kur penyimpangan-penyimpangan, serta mengam-bil tindakan koreksi yang diperlukan untuk men-
jamin bahwa semua sumber daya perusahaan
dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusa-
haan.”
26
2.3 Penelitian yang Relevan
Nirmala, Dwiputri (2012) dengan penelitian
berjudul “Pelaksanaan Pendidikan Karakter pada Anak
Usia Dini di Lembaga PAUD Yayasan Taman Asuh
Anak Terpadu (TAAT) Qurrota A‟yun Malan)”. Berda-
sarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
(1) Tujuan dari pendidikan karakter di lembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A‟yun yaitu mena-
namkan nilai religious sejak dini sebagai fondasi
terbentuknya nilai-nilai karakter yang lain. Meng-gali bakat dan minat peserta didik, menumbuhkan
wawasan yang luas melalui eksplorasi ilmu penge-
tahuan dan teknologi, namun tetap dibarengi
dengan IMTAQ; (2) Metode yang digunakan cukup beragam namun yang paling dominan yaitu meto-
de keteladanan, mendongeng, bernyanyi, bermain
dan metode demonstrasi; (3) Media yang diguna-kan telah memenuhi kriteria media pembelajaran
untuk anak usia dini; (4) Materi pendidikan karak-
ter mengandung nilai-nilai karakter yang menjadi prioritas utama dalam pengembangan nilai karak-
ter terhadap anak; (5) Peran pendidik telah sesuai
dengan kriteia pendidikan anak usia dini dan tergolong sangat baik; (6) Lingkungan belajar yang
menjadi perhatian bukan hanya lingkungan yang
bersifat fisik namun lingkungan belajar yang bersifat non fisik; (7) Evaluasi pendidikan karakter
meliputi, indikator karakter yang dikembangkan
dan tingkat efektivitas proses pembelajaran yang
dialami oleh anak; (8) Hambatan yang dialami oleh lembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A‟yun yaitu
masalah sarana dan prasarana serta kualitas
sumber daya manusia, sehingga diperlukan solusi yang tepat dan efektif untuk mengatasi hambatan
tersebut.
Dindin Jamaluddin (2013), Character Education
in Islamic Perspective. Tujuan artikel ini adalah untuk
menjelaskan pendidikan karakter dalam perspektif
27
Islam sebagai kehidupan dasar manusia. Metode
analisis yang digunakan adalah studi literatur di-
sandingkan dengan fenomena aktual yang terjadi pada
masyarakat. Analisis dan pembahasan menunjukkan
bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk
kurikulum pendidikan nasional yang dilaksanakan.
Parker, Neuharth-Pritchett (2006), dengan judul
Developmentally Appropriate Practices in Kindergarten:
Factors Shaping Teacher Beliefs and Practice, meneliti
masalah tentang penentuan jenis pengajaran anak
usia dini yang tepat (pembelajaran berpusat guru dan
pembelajaran berpusat siswa) dan pengaruh ketentuan
DAP (Developmentally Appropriate Practices) pada
prestasi anak usia dini. Tujuan penelitian ini adalah
agar memberikan kejelasan kepada guru apakah akan
menggunakan DAP pembelajaran berpusat siswa atau
pembelajaran berpusat guru. Hasil penelitian menya-
takan bahwa ada hubungan antara DAP dengan
tingkat prestasi, motivasi dan tekanan dalam pembela-
jaran. Keterlibatan program DAP berhubungan positif
dengan prestasi siswa nantinya. Keterlibatan program
DAP memberi harapan yang lebih tinggi pada kesuk-
sesan anak di sekolah. Tekanan untuk menyiapkan
siswa untuk tingkat selanjutnya meningkat seperti
guru-guru berpindah spektrum dari pembelajaran
berpusat guru ke pembelajaran berpusat siswa.
Meningkatnya penggunaan pembelajaran berpu-
sat siswa, DAP berhubungan dengan kebebasan untuk
membuat keputusan pembelajaran. Beberapa guru,
28
bagaimana pun jenis praktik pembelajaran yang di-
gunakan di kelas, mereka merasa bahwa siswa-siswa-
nya berhasil dengan menerapkan pembelajaran berpu-
sat siswa.
Logue (2007), Early Childhood Learning Standart:
Tools for Promoting Social and Academic Succes in
Kindergarten, meneliti tentang pedoman standar pen-
didikan anak usia dini. Yang dihasilkan dalam pene-
litian ini antara lain adalah bahwa standart pendidik-
an anak usia dini dirancang untuk bersatu dan
membangun menuju standar untuk pendidikan K-12
(yang diidentifikasi sebagai pengetahuan dan keahlian
yang diperlukan untuk menyiapkan anak usia dini
sekolah dan memberi mereka sarana yang diperlukan
untuk kesuksesan sosial, emosional, fisik dan intele-
gensi) merupakan sumber-sumber yang belum diman-
faatkan untuk pekerja sekolah sosial dan personel
Taman Kanak-kanak. Standar pendidikan anak usia
dini, dengan memadukan sekolah dan cita-cita pem-
belajaran akademik, menyediakan guru-guru dan
pekerja sosial yang bertujuan mempromosikan kola-
borasi pra TK dan TK. Standar pendidikan anak usia
dini dapat meningkatkan mutu pengalaman anak-
anak pra TK untuk anak
2.4 Kerangka Pikir Peneliti
Pendidikan bagi anak usia dini tidak hanya
berfungsi untuk memberikan pengalaman belajar
29
seperti pendidikan orang dewasa, namun juga ber-
fungsi untuk mengoptimalkan perkembangan kecer-
dasannya, sikap moral, sosial dan emosionalnya.
Dalam pendidikan anak usia dini, nilai-nilai karakter
yang dipandang sangat penting dikenalkan dan di-
internalisasikan ke dalam perilaku mereka mencakup:
kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran,
disiplin, toleransi dan cinta damai, percaya diri,
mandiri, tolong menolong, kerjasama, dan gotong-
royong, hormat dan sopan santun, tanggung jawab,
kerja keras, kepemimpinan dan keadilan, kreatif,
rendah hati, peduli lingkungan, cinta bangsa dan
Tanah Air.
PAUD Nurul Wathon di Semarang merupakan
suatu lembaga pendidikan yang menerapkan pendi-
dikan anak usia dini. Manajemen pembelajaran terkait
dengan penerapan standar proses pembelajaran.
Standar ini mencakup perencanaan proses pembela-
jaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian
hasil pembelajaran dan pengawasan, pembelajaran
untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif
dan efisien.
30
Pelaksanaan
Manajemen Pembelajaran PAUD berbasis Karakter
Evaluasi Perencanaan