bab i pendahuluan 1.1 “while working at a japanese...

32
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang “While working at a Japanese hospital in the part of Broome, Dr. Ibaraki is arrested as an enemy alien and sent to Loveday internment camp in a remote corner of South Australia. There, he learns to live among a group of men who are divided by culture and allegiance.” (Christine Piper, After Darkness) Negara multikultural terbentuk karena adanya kultur yang beragam di sebuah negara. Di satu sisi, negara multikultural dianggap ‘kaya’ karena memiliki budaya yang bervarias namun di sisi lain keanekaragaman budaya ini juga menjadikan masyarakat di negara multikultural hidup dalam ketidaksetaraan. Parekh (2008:15) menyatakan keanekaragaman dalam negara multikultural merujuk pada perbedaan yang diperoleh secara kultural. Perbedaan kultural yang tidak bisa dihindari ini memunculkan masyarakat mayoritas dan minoritas. Hal inilah yang memicu terjadinya konflik dalam masyarakat multikultural. Dalam sebuah masyarakat multikultural, kelompok mayoritas adalah orang- orang yang berasal dari budaya dominan. Sementara itu, komunitas budaya minoritas merupakan orang-orang yang berasal dari budaya yang tidak dominan. Dalam pemahaman Parekh (2008:29), dorongan bagi dominasi budaya tertanam sangat

Upload: buidan

Post on 21-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“While working at a Japanese hospital in the part of Broome, Dr. Ibaraki is arrested as an

enemy alien and sent to Loveday internment camp in a remote corner of South Australia. There, he learns to

live among a group of men who are divided by culture and allegiance.”

(Christine Piper, After Darkness)

Negara multikultural terbentuk karena adanya kultur yang beragam di sebuah

negara. Di satu sisi, negara multikultural dianggap ‘kaya’ karena memiliki budaya

yang bervarias namun di sisi lain keanekaragaman budaya ini juga menjadikan

masyarakat di negara multikultural hidup dalam ketidaksetaraan. Parekh (2008:15)

menyatakan keanekaragaman dalam negara multikultural merujuk pada perbedaan

yang diperoleh secara kultural. Perbedaan kultural yang tidak bisa dihindari ini

memunculkan masyarakat mayoritas dan minoritas. Hal inilah yang memicu

terjadinya konflik dalam masyarakat multikultural.

Dalam sebuah masyarakat multikultural, kelompok mayoritas adalah orang-

orang yang berasal dari budaya dominan. Sementara itu, komunitas budaya minoritas

merupakan orang-orang yang berasal dari budaya yang tidak dominan. Dalam

pemahaman Parekh (2008:29), dorongan bagi dominasi budaya tertanam sangat

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

2

dalam pada struktur pemikiran yang kuat. Hal ini menjadikan bentrokan akibat

perbedaan budaya menjadi suatu yang bisa diprediksi akan terjadi.

Beberapa kasus yang menunjukkan adanya bentrokan antara masyarakat

mayoritas dan minoritas bisa dilihat dari berbagai konflik yang pernah terjadi di

negara-negara yang memiliki masyarakat multikultural. Di Asia, kasus seperti ini

pernah terjadi di Indonesia dan India. Kasus serupa juga bisa ditemukan di Kanada.

Sementara itu, Amerika dan Australia juga menjadi representasi negara multikultural

lainnya yang kerap kali menampilkan konflik antara masyarakat mayoritas dan

minoritas.

Di Indonesia yang memiliki masyarakat dari beragam etnis, konflik menjadi hal

yang seringkali terjadi. Di Kalimantan Barat setidaknya telah tercatat adanya dua

belas konflik yang melibatkan masyarakat dari berbagai etnis1. Di Sampit, konflik

antara etnis Dayak dan etnis Madura merupakan hal yang berulangkali muncul.

Namun, salah satu konflik terparah yang dilatarbelakangi adanya perbedaaan kultur

dalam masyarakat Indonesia adalah konflik Poso yang terjadi antara 1997-20012.

Konflik ini dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis dan agama. The Jakarta Post, edisi

23 Oktober 2012, mencatat sekitar 1000 nyawa melayang dan 25.000 orang lainnya

harus mengungsi sebagai dampak dari konflik antara masyarakat mayoritas dan

minoritas di Poso. Sementara itu, di India, konflik antara masyarakat mayoritas dan

minoritas ini terjadi di daerah Kashmir. Kashmir merupakan negara bagian India

1 http://uny.ac.id/berita/indonesia-negara-multikultural-potensi-konflik-tinggi.html 2 http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/23/sectarian-conflict-looms-over-poso.html

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

3

yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat Kashmir

memilibudaya yang berbeda dengan masyarakat India lainnya yang kebanyakan

beragama Hindu. Pada Agustus 1947, kaum Sikh yang merupakan kelompok

mayoritas melakukan penyerangan tehadap masyarakat Kashmir3. Hal ini memicu

pertikaian antara masyarakat Muslim dan Hindu di India.

Hal serupa juga terjadi di Kanada. Kanada merupakan negara dengan

masyarakat multikultural yang terhimpun dalam komunitas-komunitas budaya yang

beragam. Salah satu komunitas budaya di Kanada yang menjadi minoritas yaitu orang

Quebec. Komunitas ini merupakan masyarakat Kanada yang tinggal di provinsi

Quebec dan dalam kehidupan sehari-harinya berbicara dengan bahasa Perancis. Hal

ini berbeda dengan mayoritas masyarakat Kanada yang berkomunikasi dengan bahasa

Inggris. Pertikaian mulai muncul ketika masyarakat dominan menuntut adanya

homogenitas di antara masyarakat Kanada, yaitu agar semua masyarakat Kanada

berbahasa Inggris. Dalam pandangan orang Quebec, ini merupakan sebuah tekanan

karena mereka dipaksa meninggalkan budaya yang telah diwariskan nenek moyang

mereka. Akibatnya, berbagai aksi demonstrasi dan konflik antara masyarakat Quebec

dan masyarakat mayoritas Kanada berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan,

pemerintah Kanada harus melakukan dua kali referendum (tahun 1980 dan 1995)

untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat minoritas Quebec dan masyarakat

mayoritas Kanada.

3 http://pendidikan4sejarah.blogspot.co.id/2011/07/konflik-kashmir.html

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

4

Permasalahan dalam masyarakat multikultural di Amerika juga penting untuk

dibahas. Hal ini dikarenakan Amerika merupakan negara tempat berkumpulnya

imigran dari seluruh dunia sehingga banyak kultur yang berkembang di sana4. Pada

tahun 1776, Amerika mengumandangkan janji kebebasan terhadap setiap anggota

masyarakatnya. Akan tetapi, masyarakat minoritas di Amerika hingga sekarang tetap

mengalami disikriminasi dan intimidasi dari masyarakat kulit putih yang merupakan

masyarakat dengan budaya dominan5. Salah satu kasus terbesar yang pernah terjadi

adalah bentrokan antara masyarakat kulih putih dengan masyarakat keturunan Afrika

di Los Angeles pada awal 1992. Konflik ini menyebabkan 54 orang meninggal, 2383

orang terluka, 17.00 orang diamankan, dan 5200 gedung rusak (Newsweek, May 1992

via Collins: 8).

Sementara itu, di Australia, keragaman budaya telah muncul sejak penjajahan

Inggris pada abad XVIII, terlebih ketika banyak imigran asal Jerman, Italia,

Malaysia, Cina, Jepang, dan Filipina bekerja dan menetap di Australia setelah Perang

Dunia I berakhir6. The Australian Collaboration menyatakan bahwa sejak sebelum

Perang Dunia II, sekitar 7 juta imigran yang berasal lebih dari 150 negara telah

menetap di Australia. Bahkan, sensus pada tahun 2011 mencatat bahwa 26% warga

negara Australia dilahirkan di luar negeri dan 20% lainnya berasal dari orangtua yang

dilahirkan di luar negeri. Persentase ini merupakan yang tertinggi di dunia. Fakta lain

juga menunjukkan terdapat lebih dari 260 bahasa yang dipakai di Australia. Akan

4 http://novatriutomo.blogspot.co.id/2013/02/kehidupan-multikulturalisme-amerika.html 5 idem 6 Australian Government, Department of Immigration and Citizenship (DIAC)

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

5

tetapi, sebagai negara yang telah memiliki masyarakat mutltikultural sejak lama,

ketidaksetaraan antara masyarakat mayoritas dan minoritas tetap menjadi masalah

yang muncul di Australia. Di antaranya, penyerangan yang dilakukan gerombolan

laki-laki kulit putih terhadap beberapa orang perempuan dan laki-laki keturunan

Timur Tengah pada 11 Desember 2005. Dalam kasus ini, 12 orang asal Timur

Tengah ini mengalami luka-luka. Tidak hanya itu, Collins dalam Minority Youth,

Crime, Conflict and Belonging in Australia mencatat bahwa kekerasan terhadap

komunitas minoritas Muslim oleh masyarakat kulit putih Australia sering menjadi

pemberitaan dunia, terutama ketika diskriminasi terhadap kelompok ini masih terjadi

setelah John Howard menjabat sebagai Perdana Menteri Australia. Padahal,

kesetaraan adalah isu utama yang diangkat Howard ketika masih melakukan

kampanye. Pada tahun 2000, poster yang menyatakan muslim sebagai ‘monsters’,

‘wild animals’, ‘barbarians’ banyak beredar di Sydney (Dagistanli via Collins:22).

Di negara-negara multikultural yang menjadikan kebudayaan Barat sebagai

mainstream culture, larangan terhadap praktik-praktik kebudayaan yang dilakukan

masyarakat minoritas menunjukkan adanya ketidaksetaraan yang terjadi di negara-

negara multikultural. Dalam bukunya, Rethinking Multiculturalism, Parekh mencatat

berbagai praktik kebudayaan dari kelompok minoritas ini. Beberapa di antaranya

adalah pernikahan yang terjadi lewat perjodohan. Kebiasaan ini banyak dipraktikkan

masyarakat keturunan Asia. Praktik lainnya yaitu tradisi yang dilakukan oleh

beberapa komunitas asal Afrika, seperti melukai pipi anak-anak dan bagian tubuh

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

6

lainnya sebagai bagian dari upacara inisiasi. Selanjutnya, kebiasaan gadis-gadis

Muslim yang mengenakan hijab ke sekolah, penolakan kaum Sikh untuk memakai

helm saat mengendarai motor karena hal itu membuat mereka harus melepaskan

surban tradisional mereka, penolakan komunitas Gipsy dan Amish untuk

menyekolahkan anak dengan dasar bahwa pendidikan modern tidak berguna dan

bahkan mengasingkan mereka dari komunitas mereka, serta permintaan umat Hindu

untuk diperbolehkan mengkremasi jenazah di tumpukan kayu bakar dan membuang

abunya di sungai.

Kondisi budaya dan sosial kelompok minoritas dalam masyarakat multikultural

juga seringkali direfleksikan dalam berbagai novel. Akan tetapi, gambaran-gambaran

yang disampaikan dalam novel tersebut terkadang tidak autentik. Padahal autentisitas

budaya yang ditampilkan dalam karya sastra merupakan hal yang sangat penting.

Dengan menampilkan kondisi budaya yang autentik dalam karya sastra bertema

multikultural, hal ini akan memberikan pemahaman yang benar dan jelas mengenai

sebuah komunitas budaya yang telah telanjur dimarginalkan. Oleh karena itu, karya

sastra multikultural yang autentik dianggap perlu dimasukkan ke dalam kurikulum

pembelajaran untuk anak-anak dan remaja. Hal ini ditujukan untuk memberikan

pemahaman yang sebenarnya tentang budaya yang diminoritaskan di negara-negara

multikultural (Cai, 2002:49).

Memasukkan multicultural literature sebagai bagian dari kurikulum untuk

anak-anak pada akhirnya akan memberikan pemahaman kepada mereka tentang

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

7

bagaiana komunitas minoritas yang sebenarnya. Dengan begitu, komunitas minoritas

tidak akan lagi diasingkan dalam masyarakat multikultural. Seperti yang disampaikan

Puryanto (2008:2), sastra anak merupakan sastra yang ditujukan untuk anak-anak,

bukan sastra tentang anak. Oleh karena itu, sastra anak akan memberikan pemahaman

kepada anak-anak.

Salah satu novel yang memperlihatkan gambaran tentang kondisi budaya dalam

masyarakat multikultural adalah After Darkness karya Christine Piper. Novel ini

memenangkan penghargaan bergengsi di Australia, The Australian/Vogel’s Literary

Award 2014, dan menjadi salah satu novel terbaik dalam Readings New Australian

Writing Award 2014. Novel ini menceritakan ketidakadilan yang terjadi dalam

masyarakat multikultural Australia. Piper dianggap mampu mengungkapkan

bagaimana interaksi antara sesama masyarakat minoritas dan interaksi antara

masyarakat minoritas dengan masyarakat dominan di Australia sebelum dan ketika

Perang Dunia II berlangsung7. Hal ini juga menegaskan bahwa Australia telah

memiliki masyarakat multikultural sebelum Perang Dunia II, bukan pada tahun 1970-

an seperti yang dikemukakan the White Australia Policy8.

Selain itu, After Darkness ditulis oleh pengarang insider yang bikultural. Piper

merupakan warga negara Australia yang dilahirkan di Seoul, Korea Selatan, pada

1979. Ibunya berkebangsaan Jepang dan ayahnya berkebangsaan Australia. Ketika

umur satu tahun, Piper dan keluarganya pindah ke Sydney. Di kota inilah Piper

7 http://www.smh.com.au/entertainment/books/christine-pipers-vogel-winner-after-darkness- 20140530-zrso1.html

8 https://matttodd.wordpress.com/2014/05/27/after-darkness-2014-christine-piper/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

8

dibesarkan dan mendapat pendidikan. After Darkness adalah novel pertama Piper.

Sebelumnya, Piper menulis cerita pendek yang sering diterbitkan di koran dan

majalah. Di tahun 2012, Piper menulis beberapa cerita pendek yang diterbitkan di

Seizure, SWAMP, dan dinobatkan sebagai pemenang kedua dalam Margaret River

Short Story Competition. Ia juga pernah memenangkan 2014 Calibre Essay Prize,

2014 Guy Morrison Award for Literary Journailsm, dan 2013 Alice Hayes Writing.

1.2 Rumusan Masalah

After Darkness adalah novel yang ditulis oleh seorang pengarang insider yang

bikultural (Australian-Japanese). Piper memberikan gambaran kondisi budaya dan

sosial masyarakat keturunan Jepang yang hidup bersama masyarakat multikultural di

Australia dalam novel ini. Akan tetapi, autentisitas novel ini sebagai sebuah

multicultural literature perlu diungkapkan. Oleh karena itu, permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut ini.

1. Apakah novel After Darkness karya Christine Piper merupakan

multicultural literature?

2. Bagaimana kadar autentisitas novel After Darkness sebagai multicultural

literature?

3. Mengapa novel After Darkness bisa memperlihatkan kadar autentisitas

tertentu?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

9

Bagian ini akan menguraikan tujuan dan manfaat penelitian ini. Tujuan

penelitian secara tidak langsung akan menjadi sinkronisasi dari jawaban atas rumusan

permasalahan. Sementara itu, manfaat penelitian akan menunjukkan kontribusi

penelitian ini secara teoretis dan praktis.

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik novel After Darkness

sebagai multicultural literature, membongkar autentisitas novel tersebut, serta

melihat penyebab yang menentukan kadar otentitas yang terdapat dalam novel After

Darkness. Ketika autentisitas novel ini telah bisa diukur, akan terlihat mampu atau

tidaknya Piper sebagai pengarang insider memberikan gambaran yang sebenarnya

tentang masyarakat minoritas di sebuah negara multikultural.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yakni manfaat teoretis dan praktis.

Adapun manfaat teoretis penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap

perkembangan kajian, teori, dan kritik sastra serta aplikasinya terhadap karya

sastra.

2. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk akademisi (mahasiswa, dosen, dan

institusi).

Sementara itu, manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

10

1. Penelitian ini diharapkan mampu merumuskan konsep multicultural literature

Mingshui Cai dengan tepat sehingga bisa memacu munculnya penelitian-

penelitian lain yang berfokus pada multicultural literature yang masih belum

banyak dilakukan oleh akademisi sastra di Indonesia.

2. Penelitian ini diharapkan mampu membantu pelaku sastra agar bisa

membedakan karya sastra yang termasuk multicultural literature dan yang

tidak serta menilai sejauh apa autentisitas karya tersebut dalam

merepresentasikan sebuah budaya.

3. Penelitian ini diharapkan mampu memicu pengarang multicultural literature

untuk memberikan gambaran yang autentik mengenai etnik yang ia tulis

sehingga etnik ini tidak lagi diasingkan dalam lingkungan masyarakat

multikultural.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang menggunakan novel After Darkness masih belum ditemukan

hingga saat ini. Oleh karena itu, penelitian terdahulu yang akan diuraikan dalam

subbab ini adalah penelitian lainnya yang menggunakan konsep multicultural

literature. Penelitian-penelitian tersebut memiliki kontribusi untuk menunjukkan

perbedaan tesis ini dengan penelitian-penelitian lainnya yang menggunakan konsep

multicultural lieterature. Beberapa penelitian tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut:

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

11

Penelitian pertama berjudul The Self Between Two Worlds: Cultural

Authenticity in Melina Marchetta’s “Looking for Alibrandi” and “Saving

Francesca” yang merupakan tesis Vasiliki Tassiopoulos di University of British

Columbia. Penelitian ini difokuskan untuk melihat keaslian budaya yang

direpsentasikan oleh tokoh remaja yang telah mengalami hibriditas. Dalam novel

Looking for Alibrandi dan Saving Francesca karangan Melina Marchetta, tokoh

remaja ini digambarkan sebagai masyarakat Australia yang memiliki latar belakang

budaya Italia. Dalam penelitiannya, Tassiopoulos mengaplikasikan konsep

poskolonialisme dan multikulturalisme untuk melihat hibriditas yang terjadi pada

tokoh remaja di kedua novel yang ditulis Marchetta. Selanjutnya, Tassiopoulos

mengungkap cultural identity tokoh. Setelah identitas budaya ini diketahui,

Tassiopoulos pun melakukan pengujian terhadap autentisitas budaya yang

ditampilkan oleh tokoh dalam kedua novel tersebut. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa penggambaran budaya yang sangat detail menjadikan novel ini

berhasil memberikan gambaran budaya yang autentik.

Penelitian kedua ditulis oleh F. D. Yung yang berjudul A Study of Cultural

Authenticity in East Asian English Fiction for Children. Penelitian ini membahas

keautentikan kultur Asia Timur (Cina dan Jepang) yang direpresentasikan dalam

novel Inggris anak-anak yang dikategorikan dalam multicultural literature. Yung

juga menggabungkan prinsip New Historicism, konsep Orientalism, dan konsep

reader-response criticism untuk menganalisis novel tersebut. Di dalam penelitian ini,

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

12

Yung menganalisis lima buah fiksi yang dipilih berdasarkan latar belakang kultur

pengarangnya. Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa warisan kultur yang

dimiliki pengarang akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menggambarkan

sebuah kultur secara autentik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun

latar belakang kultur yang dimiliki pengarang berpengaruh terhadap karya sastra yang

mereka tulis, hubungan ini tidak selalu positif. Beberapa faktor lainnya, seperti

pengetahuan tentang sejarah, memiliki peranan dalam menggambarkan kultur yang

autentik.

Selanjutnya, sebuah penelitian dari Diane Carver Sekeres yang diberi judul The

Profit Motive and the Prophet’s Message: A Multicultural Reading of the Christian

Worldview in Children’s Books for the Christian Market. Penelitian ini menggunakan

konsep multicultural literature dari Mingshui Cai, namun hanya difokuskan pada hal-

hal yang membahas tentang stereotip terhadap kelompok minoritas. Hasil penelitian

ini mengungkapkan bahwa penggambaran komunitas Kristen dalam novel anak-anak

menunjukkan adanya pengekalan stereotip. Di dalam novel tersebut, masyarakat

Kristen digambarkan berasal dari kelompok kulit putih, dari kelas menengah yang

sudah memiliki rumah sendiri, dan tidak pernah mengalami disfungsi dan disabilitas.

Kenyatannya, masyarakat Kristen lebih beragam daripada yang digambarkan di

novel. Penelitian ini juga diperluas dengan mencari motif penerbit Christian dalam

menerbitkan novel-novel tersebut.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

13

Terakhir, penelitian yang berkaitan dengan multicultural literature juga bisa

ditemukan dari penelitian Marie Stodolova, Using Multicultural Children’s

Literature in TEFL. Penelitian ini diawali dengan memperlihatkan pentingnya sebuah

multicultural literature yang autentik untuk memberikan pengertian yang benar

mengenai masyarakat multikultural. Selanjutnya, penelitian ini lebih difokuskan

kepada pemakaian multicultural literature yang autentik dalam kurikulum pendidikan

dan untuk pembelajaran TEFL.

Berdasarkan pemaparan referensi atas tinjauan pustaka di atas, diketahui bahwa

penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, baik berdasarkan objek kajian

maupun objek formal. Penelitian ini secara khusus mengkaji novel After Darkness

melalui kerangka berpikir multicultural literature Mingshui Cai yang melingkupi:

karakteristik multicultural literature, kadar otentistas, serta penyebab yang

menentukan kadar autentisitas novel After Darkness.

1.5 Landasan Teori

Sesuai dengan kebutuhan untuk membahas permasalahan yang dipaparkan

dalam latar belakang, penelitian ini secara khusus menggunakan buku Mingshui Cai

yang berjudul Multicultural Literature for Children and Young Adults: Reflections on

Critical Issues (2002). Mingshui Cai adalah seorang Profesor Pendidikan Sastra di

University of Northern Iowa. Ia juga merupakan anggota dari The Journal of

Children’s Literature. Buku ini merupakan hasil pembelajaran, pengajaran, dan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

14

penelitian Cai yang dipengaruhi beberapa konsep dan ide dari Joe Taxel, Violet

Harris, dan Rudines Sims Bishop.

Kontribusi Taxel terhadap buku ini lebih kepada peranan multicultural

literature untuk anak-anak dan remaja. Menurut Taxel, kemunculan multicultural

literature tidak hanya merupakan pergerakan di bidang sastra, namun juga

pergerakan di bidang politik. Memberikan multicultural literature kepada anak-anak

dan remaja akan memberi pengetahuan kepada mereka tentang bagaimana kehidupan

multikultural yang sebenarnya. Mereka juga akan bisa memberikan penilaian tentang

etnis yang diceritakan dalam multicultural literature tersebut. Oleh karena itu, di satu

sisi, multicultural literature dianggap menjadi ancaman terhadap western civilization

(Taxel, 1997:417).

Sementara itu, pemikiran Harris terhadap konsep multicultural literature yang

diusung Cai berkaitan dengan peranan pengarang. Harris mencatat bahwa pengarang

nonkulit putih tidak memiliki akses ke industri penerbitan hingga tahun 1960. Sampai

sekarang, mereka tetap memiliki akses yang terbatas untuk menerbitkan karya yang

menyinggung soal kebudayaan dominan dan kebudayaan yang dipinggirkan.

Pemikiran Harris ini berlanjut pada pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya paling

mampu menuliskan multicultural literature. Lalu buku dari pangarang manakah yang

lebih banyak dipublikasikan dan mengapa banyak buku dari pengarang kulit putih

yang diterbitkan padahal mereka menulis tentang kultur lain.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

15

Terakhir, Bishop memberi pengaruh terhadap konsep multicultural literature

karena ia dan Cai pernah berkolaborasi untuk melihat kontribusi multicultural

literature di bidang sastra dan pendidikan. Namun, Bishop lebih banyak

membicarakan peranan multicultural literature di bidang pendidikan. Menurutnya,

buku-buku multicultural literature yang memuat tentang people of color harus

dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran untuk anak-anak dan remaja di

negara-negara multikultural.

Melalui kontribusi ketiga orang tersebut, Cai mendasarkan teorinya pada

pertanyaan ‘Siapakah yang mampu menuliskan tentang multicultural literature

dengan benar?’, ‘Mampukah outsider menuliskan karya-karya yang autentik

mengenai sebuah kultur?’, ‘Bagaimana cara kita mengevaluasi multicultural

literature?.

Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena Cai (2002: xiii) beranggapan

bahwa kemunculan multicultural literature merupakan sebuah pergerakan untuk

memberikan ruang di sastra kepada kelompok-kelompok yang telah dimarginalkan.

Akan tetapi, ketika multicultural literature dialihkan untuk memperkokoh ekonomi

dan politik dari dominant culture, hal ini sama saja dengan mengekalkan

misrepresentasi dan supresi terhadap kultur-kultur yang ada di sekelilingnya. Oleh

karena itu, Cai menganggap multicultural literature harus autentik agar bisa

digunakan untuk memahami budaya dari kelompok minoritas di negara-negara

multikultural. Cai juga beranggapan bahwa multicultural literature yang autentik ini

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

16

harus dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran untuk anak-anak dan remaja.

Melalui autentisitas dalam multicultural literature, pengasingan terhadap budaya

minoritas bisa dihindari.

Dosenbrock (dalam Cai, 2002:4) mendefinisikan multicultural literature

sebagai karya sastra yang menggambarkan tentang realitas masyarakat multikultural.

Harris dan Bishop (dalam Cai, 2002:8) memperjelas bahwa multicultural literature

harus difokuskan pada mereka yang diasingkan atau yang dimarginalkan. Cai

menambahkan harus terdapat power struggle di dalamnya, maka multicultural

literature harus berfokus pada oppressed groups. Berdasarkan hal ini, Cai

mengemukakan tujuan dari multicultural literature:

“The goal of the multicultural literature movement is to give voice to those who have been historically silenced, to represent those who have been underrepresented, to give true faces back to those whose images have been distorted.” (Cai, 2002:49)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa multicultural literature tidak hanya

bertujuan untuk memberikan suara kepada mereka yang sepanjang sejarah telah

didiamkan, tapi juga untuk merepresentasikan mereka yang tak terwakilkan, dan

memberikan gambaran yang sebenarnya tentang mereka yang images-nya telah

didistorsi. Oleh karena itu, isu-isu seperti ketidaksetaraan, diskriminasi, opresi dan

eksploitasi akan hadir dalam multicultural literature. Akan tetapi, menurut Cai,

banyak pengarang yang tidak bisa mencapai tujuan sebenarnya dari multicultural

literature. Bahkan, melalui karya-karyanya, pengarang ini malah mengekalkan

strereotip dan menampilkan informasi kultural yang tidak akurat (Cai, 2002:70).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

17

Hal di atas juga memunculkan berbagai perdebatan tentang siapa yang lebih

mampu menuliskan multicultural literature yang autentik melalui imajinasi mereka.

Mengutip Bishop, Cai mengungkapkan beberapa orang berpendapat bahwa melalui

imajinasi mereka, hanya insiders yang mampu menuliskan multicultural literature

yang autentik, sedangkan outsiders hanya mampu memotret tentang minoritas.

Outsiders bisa didefinisikan sebagai orang yang tidak menjadi bagian dari kelompok

etnis yang ia tuliskan. Sementara itu, insiders adalah orang yang menjadi anggota dari

kelompok etnis yang ia tuliskan.

Perdebatan mengenai outsiders dan insiders ini tidak hanya berkutat pada

tulisan siapa yang lebih autentik, tapi juga perjuangan politik tentang buku siapa yang

lebih berpeluang untuk diterbitkan. Umumnya, karya-karya dari outsiders telah lebih

banyak diterbitkan dan dipertahankan dengan mempertimbangan kemampuan

bersastra dan kualitas imajinasi mereka yang dianggap lebih baik, dan mengabaikan

bagaimana karya tersebut sebenarnya telah membelokkan realitas dan

menstereotipkan orang-orang dari kultur yang mereka coba tampilkan (Sims dalam

Cai, 2002: 37). Ini merupakan sebuah ironi, menurut Cai, karena cultural imposition

telah dikekalkan di dalam buku-buku tersebut. Juga karena hal ini bertentangan

dengan cultural authenticity, karena pemalsuan realitas dan penstereotipan karakter

tidak dianggap merusak prinsip dasar penciptaan karya sastra. Menurut Cai, tulisan-

tulisan seperti ini bisa beredar luas tanpa hambatan karena adanya mentalitas yang

menganggap marginalized cultures sebagai nonentities-sesuatu yang tidak berharga

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

18

yang bisa dijadikan mainan atau bisa diinjak-injak. Harus diakui bahwa baik secara

eksplisit maupun implisit, kesastraan dan aspek politikal-sosial dari isu insiders

versus outsider saling berkaitan satu sama lain.

Gagasan di atas menggiring Cai pada sebuah pertanyaan, bisakah kita melintasi

perbedaan kultural melalui imajinasi? Selama ini, imajinasi memiliki kekuatan sendiri

sehingga bisa dijadikan sebagai ‘pelindung’ dari kesalahan atau riset buruk yang

dilakukan pengarang dalam karya sastra multikultural mereka. Bahkan, pengarang

outsiders menganggap imajinasi sebagai sumber inspirasi agar bisa berpetualang

dalam kultur yang asing dengannya. Oleh karena itu, fungsi imajinasi dalam

multicultural literature berkaitan dengan isu mengenai insiders versus outsiders. Jika

isu ini terselesaikan, tidak hanya pertanyaan-pertanyaan mengenai kesusastraan yang

terjawab, tetapi juga pertanyaan mengenai sisi sosial-politikal mengenai perdebatan

ini.

Isu mendasar yang perlu dibahas dalam perdebatan insiders versus outsiders

tidak hanya sekadar mengenai hubungan antara latar belakang etnis pengarang dan

karya sastra ciptaannya, tetapi lebih kepada hubungan antara imajinasi dan

pengalaman si pengarang (Cai, 2002:38). Realitas yang ditampilkan dalam

multicultural literature seharusnya telah dialami/dilalui oleh si pengarang. Oleh

karena itu, diperlukan sebuah ‘alat’ untuk mengevaluasi multicultural literature. Alat

tersebut adalah cultural authenticity.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

19

Cultural authenticity bisa menjadi hal paling umum untuk mengevaluasi

multicultural literature. Haward menyatakan bahwa tujuan dari multicultural

literature yang autentik adalah untuk membebaskan kita dari semua stereotip salah

yang menggantung dan memenjarakan kita dalam batas-batas yang sempit. Oleh

karena itu, multicultural literature haruslah autentik. Dalam pemamparan Cai,

multicultural literature bisa dikatakan autentik jika tidak terdapat kesalahan dalam

menyampaikan makna dari the way of living, behaving, and believing sebuah

komunitas. Oleh karena itu, ketidakkuratan dalam penyampaian bentuk masih

dianggap sebagai minor inaccuracy (2002:64).

Jika tak dilakukan cultural authenticity, imajinasi hanya menggiring pada

misrepresentasi dan pembelokan realitas dalam multicultural literature. Cai

menekankan bahwa imajinasi yang lemah mungkin bisa membuat sebuah tulisan

menjadi tidak menginspirasi, namun imajinasi yang menyebabkan terjadinya

kesalahan interpretasi merupakan hal yang lebih mengerikan karena hal ini bisa

mengekalkan kedunguan dan prasangka yang menyimpang. Tentu saja, hal ini juga

sangat bertolak belakang dengan tujuan multicultural literature. Mengingat cultural

authenticity adalah patokan paling mendasar, maka seimajinatif dan sebagus apapun

sebuah tulisan, tulisan tersebut harus tetap ditolak jika tulisan itu mengganggu

integritas sebuah kultur.

Bagi Cai, cultural authenticity sangat diperlukan untuk bisa mencapai realistic

lieterature, dan bukannya untuk menjadikan literature sebagai bentuk propaganda.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

20

Untuk bisa memakai cultural authenticity dalam mengevaluasi multicultural

literature, hal pertama yang harus dilakukan adalah menghilangkan dikotomi antara

tulisan yang bagus dan tulisan yang autentik, karena tulisan yang bagus haruslah

autentik. Keperluan mengenai sebuah cerita yang autentik, karakter yang tidak

distereotipkan, historikal, dan kultural yang akurat, harusnya tidak bertentangan

dengan kualitas sebuah karya (Taxel dalam Cai, 2002:39). Oleh karena itu, bagi

mereka yang percaya bahwa hanya insiders yang mampu menulis karya yang

autentik, mereka akan selalu mengaitkan keetnisan seorang pengarang dengan karya

sastra yang ditulisnya. Bagi orang-orang ini, outsiders tidak akan mampu menuliskan

karya yang autentik tentang sebuah etnis, bahkan jika mereka telah memiliki

pengalaman secara langsung maupun tidak langsung dengan etnis yang akan

ditulisnya. Tetapi, hal ini dibantah oleh Gates, yang mengatakan bahwa tak ada satu

pun kultur yang tidak bisa diakses jika seseorang telah melakukan berbagai usaha

untuk memahami, mempelajari, dan menjalani hidup dengan kelompok kultur

tersebut. Salah satu contoh novel yang ditulis outsiders dan diterima oleh insiders

adalah The Education of Little Tree yang ditulis oleh Forrest Carter (Gates dalam Cai,

2002:39). Novel ini sukses diterbitkan dan mendapatkan banyak pujian dari kritikus

dan insiders (dalam hal ini native American). Akan tetapi, hal ini menjadi ironi ketika

diketahui bahwa pengarang novel sukses ini bukan hanya seorang outsiders, tapi juga

seorang rasis (pemimpin Ku Klux Klan). Hal ini menegaskan bahwa tidak hanya

insiders yang ternyata mampu menuliskan multicultural literature yang autentik.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

21

Di sisi lain, ada kelompok yang menganggap bahwa kekuatan imajinasi akan

mampu membuat outsiders melintasi perbedaan kultur. Akan tetapi, Sims

beranggapan bahwa banyak pengarang kulit putih gagal mencerminkan Black di

dalam buku mereka karena mereka tidak bersosialisasi secara langsung dengan

mereka. Kepercayaan berlebihan mengenai kekuatan imajinasi inilah yang akhirnya

banyak memunculkan buku-buku yang membelokkan realitas dan menstereotipkan

kelompok tertentu beredar dengan luas.

1.5.1 Cultural Boundaries

Penyesuaian diri yang dilakukan berkali-kali terhadap kultur lain tentu

diperlukan. Akan tetapi, permasalahan sebenarnya adalah seberapa kuat dan autentik

hubungan dengan kultur itu sehingga seorang pengarang mampu menciptakan karya

yang autentik. Cai (2002:40) juga menyetujui konsep Banks yang mengusulkan

empat level hirarki untuk cross cultural competency yang bisa menjadi tolak ukur

untuk menguji seberapa autentik koneksi seseorang terhadap kultur lain. Empat level

hirarki tersebut adalah:

a. Level I : seseorang yang mengalami interaksi sosial budaya yang dangkal.

b. Level II : seseorang yang mulai mengasimilasikan beberapa simbol dan

karakteristik yang dimiliki etnik grup lain.

c. Level III : seseorang yang memang benar-benar bikultural.

d. Level IV : seseorang yang telah benar-benar berasimilasi ke dalam sebuah

kultur yang baru.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

22

Jika seorang pengarang hanya melewati Level I, misalnya ia telah

mengunjungi Chinatown, makan beberapa makanan Cina, membaca beberapa buku

tentang Cina, maka tentunya pengarang tersebut tidak memiliki cukup kualifikasi

untuk menuliskan cerita tentang kultur Cina. Namun jika seorang pengarang telah

melewati level tertinggi, maka pemahamannya tentang etnik grup yang berbeda tentu

akan sangat bagus. Dengan begini, masalah rasial tentu bisa menurun dengan sangat

drastis dan seorang pengarang tidak akan mengalami kesulitan dalam menuliskan

etnik lain dalam sebuah multicultural literature. Cai (2002:40) menegaskan jika

cross-cultural competency seseorang diabaikan, maka hal ini sama saja dengan

melonggarkan tujuan utama dari multicultural literature.

1.5.2 Ethnic Perspective

Tugas paling sulit bagi seorang pengarang agar bisa merefleksikan realitas dari

sebuah etnik kultur (tak peduli apakah mereka berasal dari dalam atau luar kultur

tersebut) adalah untuk memahami perspektif dari kultur itu sehingga karya yang

autentik bisa tersaji. Dalam hal ini, agar bisa memahami perspektif sebuah etnis,

seorang pengarang harus berperan secara spesifik (in the way of living, believing,

behaving) ketika menggambarkan kondisi budaya sebuah kelompok masyarakat.

Sebuah novel dari Bunting, Happy Funeral, misalnya, menunjukkan kegagalan dalam

memahami ethnic perspective. Dalam novel ini, terlihatlah bagaimana pengarang

tidak melihat suatu tradisi dari perspektif orang Cina secara keseluruhan. Bunting

melakukan ketersesatan ketika kepercayaan etnis Cina untuk mencari hiburan sesaat

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

23

setelah salah seorang anggota keluarganya yang berumur panjang resmi meninggal

dinyatakan sebagai ‘happy funeral’. Sebaliknya, Cai mencontohkan Lawrence Yep

sebagai seorang pengarang yang mampu memberikan gambaran yang autentik

mengenai kelompok etnis Cina. Yep menjelaskan dengan rinci dan benar tentang the

way of living, believing, behaving komunitas masyarakat Cina. Untuk bisa mencapai

tahap ini, Yep terlebih dahulu melakukan berbagai observasi selama enam tahun

sehingga ia mampu menuliskan kultur masyarakat Cina sesuai dengan perspektif

masyarakat tersebut.

Pada dasarnya, memperkenalkan konsep dari sebuah kultur ke kultur lain

merupakan sebuah pekerjaan yang sangat menantang. Oleh karena itu, pengarang

multicultural literature harus berperan sebagai seorang cultural messenger, tapi

terkadang mereka secara tidak sadar memaksakan nilai-nilai dan kepercayaan kultural

mereka pada sebuah kultur yang sedang mereka tuliskan kembali (Cai, 2002:41).

Nodelman menyebut ini dengan istilah cultural arrogance. Oleh karena itu, seorang

pengarang memang benar-benar harus berusaha memasuki kultur tersebut, yang tentu

saja tidak akan bisa dipahami hanya dengan kekuatan imajinasi, tak peduli seberapa

pun imajinatifnya seorang pengarang. Hal ini juga berlaku pada insiders. Meskipun

menuliskan tentang etnis mereka sendiri, tetapi insiders juga harus melakukan

observasi dan pembelajaran agar terhindar dari cultural arrogance. Pada dasarnya,

perspektif tentang sebuah etnis tidak diturunkan melalui gen, tapi melalui

pengalaman. Oleh karena itu, menjadi bagian dari sebuah etnis tidak menjamin

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

24

seorang pengarang mampu menuliskan multicultural literature yang autentik.

Beberapa multicultural literature dianggap gagal bukan karena pengarangnya kurang

imajinatif, tetapi karena mereka tidak menampilkan perspektif kultural dengan akurat.

1.5.3 Brute Facts

Imajinasi memang merupakan creative power, tetapi imajinasi bukanlah

master of reality. Sebaliknya, imajinasi bisa dibatasi oleh realitas. Akan tetapi,

perbedaan budaya seringkali menjadi kendala yang mempersempit imajinasi

pengarang sehingga ia tidak mampu menampilkan kondisi sosial yang akurat dalam

karya sastra ciptaannya. Cai menyebut ini sebagai brute facts. Untuk mengatasi hal

ini, pengarang perlu melakukan berbagai usaha agar bisa memberikan gambaran yang

nyata tentang kondisi sosial masyarakat etnis tertentu. Jika pengarang insider harus

melakukan beberapa usaha agar bisa memberikan gambaran kondisi sosial yang

sesuai dengan realitas, pengarang outsider harus melakukan usaha dua kali lipat

untuk mewujudkan ini.

Cai melihat bahwa seorang pengarang insider ternama, Amy Tan (Chinese-

American), juga bisa menampilkan kondisi sosial dan kultural yang tidak akurat di

dalam novelnya, The Kitchen God’s Wife. Tan menceritakan kondisi Cina ketika

Perang Dunia II sedang berlangsung dalam novel ini. Akan tetapi, Tan melakukan

minor inaccuracies ketika menceritakan seorang peramal yang mengatakan bahwa

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

25

salah satu pelanggan akan mendapatkan keberuntungan. Hal ini keliru karena

menjanjikan keberuntungan kepada pelanggan merupakan pantangan yang dipercaya

para peramal di Cina pada masa itu. Kesalahan lainnya yang ditampilkan Tan adalah

ketika ia menceritakan tokoh suami yang mencoba membebaskan istrinya yang

ditahan oleh petugas Kuomintang dengan cara mengaku sebagai bagian dari komunis.

Ini merupakan kekeliruan karena ketika Perang Dunia II berlangsung, Kuomintang

dan Komunis merupakan dua kelompok yang saling bermusuhan.

Kesalahan juga bisa ditemukan dalam novel peraih penghargaan, How My

Parents Learned to Eat. Di dalam novel ini, Allen Say menggambarkan seorang gadis

Jepang yang masih berseragam sekolah sedang menjalin kasih di ruang publik

bersama seorang pelaut Amerika, tetapi tak ada seorang pun yang memperhatikan

mereka. Padahal, pada masa cerita itu berlangsung, hubungan antara seorang gadis

Jepang dan pria Amerika harusnya menjadi suatu skandal yang besar.

Selanjutnya, brute facts tidak hanya merupakan fakta yang terlihat dalam

realitas eksternal, tetapi juga fakta-fakta yang tak terlihat dalam realitas internal.

Dalam kaitannya dengan hal ini, memang benar seorang pengarang akan bisa

menuliskan tentang kehidupan yang ia sendiri tak pernah mengalaminya, tetapi

setidaknya dia membutuhkan pengalaman tidak langsung sebagai basis imajinasinya.

Seperti yang dikatakan Coleridge, dalam penciptaan karya sastra, imajinasi

mengubah, mengembangkan, dan menghilangkan agar bisa menciptakan kembali.

Oleh karena itu, sebuah etnis tidak akan bisa diakses oleh imajinasi jika tidak ada

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

26

pengalaman. Selain itu, seorang pengarang juga harus melakukan cultural immersion.

Seorang pengarang harus membenamkan diri pada kultur yang ingin ia gambarkan.

Hal ini sekali lagi menekankan betapa pentingnya pengalaman dalam menulis

multicultural literature.

1.5.4 Reader Response Theory

Dalam multicultural literature, reader response theory diperlukan untuk

mengidentifikasi peranan pengarang. Reader response theory ini bertujuan untuk

mengungkapkan identitas kultural pengarang dan melihat sejauh apa identitas

tersebut mempengaruhi karya sastra yang diciptakan pengarang. Oleh karena itu, Cai

menawarkan reader response theory dalam menerapkan multicultural literature.

Reader response theory, pada dasarnya, menggeser fokus kritik sastra dari

pengarang dan teks ke pembaca. Tapi ini tidak berarti pengarang tidak memiliki

peran apapun. Dalam hal ini, pengarang memainkan peran melalui teks yang ia

ciptakan. Di dalam reader response theory, komunikasi dengan pengarang secara

nyata dilakukan melalui teks (Rosenblatt dalam Cai, 2002:54). Ini menjelaskan

bahwa dalam reader response theory, peranan pengarang sama pentingnya dengan

teks dan pembaca dalam proses pembuatan makna.

Di dalam beberapa reader response theory, peranan pengarang bahkan tidak

hanya diakui di dalam proses pembacaan teks, tetapi juga dikembangkan untuk

melihat kehadiran pengarang di dalam teks. Iser (Cai, 2002:56), misalnya,

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

27

menekankan bahwa setiap karya sastra memiliki dua kutub: artistic creation (teks)

oleh pengarang dan aesthetic realization (proses pembacaan) oleh pembaca. Karya

sastra terletak di antara tengah-tengah kutub ini; kehadiran pengarang hanya

disiratkan dalan artistic creation. Konsep yang berkaitan dengan peranan pengarang

juga muncul dalam berbagai terminologi. Misalnya, implied reader (Iser, 1974),

authorial audience (Rabinowits, 1978), dan implied author (Booth, 1961). Semua

terminologi tersebut mengacu pada kehadiran pengarang di dalam teks dan mengakui

peranan pengarang di dalam proses pembacaan (Cai, 2002:58).

Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan Booth (dalam Cai, 2002:58) bahwa

kehadiran pengarang tersirat di dalam teks yang mereka ciptakan. Kehadiran

pengarang yang dimaksud di sini berbeda dengan pengarang sebenarnya yang

menulis buku. Dalam hal ini, implied author, lebih dimaksudkan kepada ‘diri kedua’

si pengarang. Dalam phenomenological explication of the reading process, Iser

memfokuskan pada cara ‘diri kedua’ ini mengontrol atau memandu pembaca dalam

proses pembacaan. Panduan dari implied author muncul dalam schematized views-

konsep ini dipinjam dari Roman Ingarden. Schematized views tidak dinyatakan secara

terang-terangan di dalam teks, tetapi disembunyikan dengan beragam perspektif yang

ditawarlan oleh teks itu sendiri. Di dalam sebuah novel, misalnya, terdapat empat

persepektif: narrators, characters, plot and fictitious reader (the intended reader).

Ketika pembaca mencoba menggunakan keempat perspektif ini dan mengaitkan satu

sama lain dengan schematized views, si pambaca akan ‘menghidupkan’ teks.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

28

Pembaca yang berbeda mungkin akan ‘menghidupkan’ teks dalam bentuk yang

berbeda pula. Akan tetapi, hubungan antara keempat perspektif tadi akan

memengaruhi pembaca untuk membaca dengan cara yang khas.

Berdasarkan uraian di atas, peranan cultural boundaries, ethnic perspective,

dan brute facts dalam mengungkapkan autentisitas sebuah multicultural literature

bisa dilihat melaui skema berikut:

Keterangan: CB : Cultural Boundaries KSB : Konteks Sosial Budaya TMC : Teks Multicultural Literature T : Tinggi R : Rendah 1.6 Hipotesis dan Variabel

Suriasumantri dan Wirawan (Faruk, 2012:21) menyimpulkan bahwa hipotesis

pada dasarnya adalah kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan

CB

TMC

KSB

KADAR AUTENTISITA

S

T

R

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

29

berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian. Lebih lanjut Faruk

menyatakan, apabila sebuah masalah sudah teridentifikasi dan ditempatkan dalam

kerangka konseptual (teori), harusnya peneliti bisa menduga kemungkinan

penyelesaian dari masalah tersebut. Sebagai jawaban sementara terhadap

permasalahan, hipotesis merupakan pernyataan yang sekaligus mengandung konsep-

konsep yang terdapat dalam perumusan masalah dan relasi antarkonsep tersebut

(Faruk, 2012:22).

Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa hipotesis yang bisa diajukan.

Pertama, novel After Darkness karya Christine Piper memang merupakan sebuah

multicultural literature karena novel ini memberikan gambaran masyarakat

multikultural yang difokuskan pada ‘mereka yang diasingkan’ dan terdapat power

struggle di dalamnya. Kedua, kadar autentisitas novel ini bisa dilihat dari kesesuaian

ethnic perspective dengan budaya yang digambarkan dan kesesuaian brute facts

dengan kondisi sosial masyarakat yang digambarkan. Ketiga, novel ini bisa

memperlihatkan kadar autentisitas tertentu karena adanya variasi batas kultural yang

memisahkan pengarang dengan kultur yang dia tulis.

Selanjutnya, Wirawan (Faruk, 2012:22) menjelaskan konsep hipotesis dapat

mewujud ke dalam dua atau lebih kesatuan dari variasi hitungan atau ukuran.

Berdasarkan hipotesis di atas, dapat diasumsikan bahwa variabel untuk melihat

autentisitas adalah teks dan konteks sosial budaya, sedangkan variabel untuk melihat

penyebab autentisitas adalah konteks pengarang.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

30

1.7 Metode Penelitian

Pada bagian ini, akan dipaparkan bagaimana proses menentukan dan

mendapatkan data untuk penelitian, juga ditentukan klasifikasinya sehingga data

tersebut bisa dianalisis dan disajikan. Sebelum data dikumpulkan dan dianalisis untuk

membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis, hal pertama yang perlu

dilakukan adalah menentukan objek material dan objek formal (Poedjawijatna dalam

Faruk, 2012:23). Di dalam penelitian ini, yang menjadi objek material adalah novel

After Darkness karya Christine Piper dan objek formalnya adalah konsep

multicultural literature dari Mingshui Cai.

Dalam melakukan metode penelitian, ada dua langkah yang harus dilakukan,

yaitu pengumpulan dan penganalisisan data. Di dalam penelitian ini, data yang

dikumpulkan tidak hanya berasal dari teks After Darkness, tetapi juga berasal dari

buku, jurnal, berita, dan artikel yang relevan dengan masalah yang diteliti. Data-data

yang akan dikumpulkan tersebut dapat diurai, diklasifikasikan, dan dianalisis seperti

di bawah ini:

1. Data yang berkaitan dengan pembuktian bahwa novel After Darkness memang

merupakan multicultural literature diambil secara tekstual dari dalam novel

tersebut. Data ini dianalisis untuk mengungkapkan gambaran masyarakat

multikultural: kondisi kelompok yang diasingkan dalam masyarakat

multikultural tersebut dan berbagai power struggle yang dilakukan oleh

kelompok marginal itu.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

31

2. Data untuk melihat kadar autentisitas novel After Darkness didapatkan melalui

teks novel. Data yang dicari di dalam teks novel ini adalah data yang

menggambarkan kultur (the way of living, behaving, believing) dan kondisi

sosial masyarakat sebuah kelompok etnik. Kemudian, data dari teks novel ini

akan dianalisis kesesuaian ethnic perspective dan brute facts-nya melalui data

yang didapatkan dari artikel, buku, dan jurnal.

3. Data untuk melihat adanya variasi batas kultural yang memisahkan pengarang

dengan kultur yang dia tulis didapatkan dari teks novel dan artikel, buku, juga

berita. Pertama, data yang dicari adalah data pengalaman pengarang mengenai

kultur yang ia tulis. Kemudian, data ini dianalisis dengan menggunakan empat

level hirarki cross cultural competency untuk melihat sedekat apa pengarang

dengan kultur yang ia tulis (cultural boundaries). Terakhir, juga perlu dilihat

implied author untuk mengungkap identitas kultural pengarang.

1.8 Sistematika Penyajian

Hasil penelitian ini disajikan dalam empat bab. Pembagian pembahasan tiap-tiap

babnya adalah sebagai berikut.

Bab I merupakan pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis dan

variabel, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 “While working at a Japanese ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91409/potongan/S2-2015...3 yang dihuni oleh umat muslim. Hal ini menjadikan masyarakat

32

Bab II menjelaskan karakteristik multicultural literature yang terdapat dalam

novel After Darkness. Pada bab ini, dijelaskan tentang kehidupan masyarakat

multikultural yang terdapat dalam After Darkness.

Bab III terdiri atas empat subbab. Subbab pertama berisi analisis mengenai

kesesuaian kondisi budaya yang digambarkan dalam novel After Darkness dengan

kesesuaian ethnic perspective. Subbab kedua berisi analisis mengenai kesesuaian

kondisi sosial yang digambarkan dalam novel After Darkness dengan kesesuaian

brute facts. Subbab ketiga menjelaskan seberapa kuat hubungan pengarang dengan

kultur yang ia gambarkan di novelnya. Subbab keempat membahas sikap implied

author dalam novel After Darkness.

Bab IV adalah penutup. Bab ini terdiri dari dua subbab, yaitu kesimpulan dan

saran.