aturan main dalam pergaulan siswa sman 70 jakarta

23
1 Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta Annisa Andariani Abstract Every society, institution, or community certainly, has its own culture. The culture consists of various value, norms, habit, and procedure components used as a guidance in behaving by the member. As a senior high school, SMAN 70 also has its own behave value, norms, habit, and procedure components, which stand in various forms of regulation. Just among the students, known regulation are not the only official regulation from the school, but there are also informal regulations that is organazing and influencing their daily social interaction at school This rules of the game present and embodied within social interaction among students in their daily life. Despite the often contrary to the formal school regulations that must be obeyed by the students, they can’t leave the practice of the rules of the game that has been going on for years since the previous students. This thesis research is using qualitative methods and are focusing on various rules of the game that prevail at its operationalization in students daily life. Keywords : Rules of the Game, SMAN 70, Social Interaction, Students, Generation, Tradition, Qualitative Methods. Pengantar Di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan formal dan informal adalah tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud). Pedoman aturan mengenai pendidikan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Pada jalur pendidikan ini terdapat jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan yang seringkali menyelenggarakan pendidikan anak usia dini, atau pendidikan lainnya yang sifatnya spesifik seperti Taman Pendidikan Al Quran (TPA) yang banyak terdapat diselenggarakan di masjid serta Sekolah Minggu, yang diselenggarakan hampir di semua gereja. Ada pula berbagai kursus, diantaranya kursus musik, bimbingan belajar dan sebagainya. Selain itu pendidikan di Indonesia juga dibagi ke dalam empat jenjang, yaitu pendidikan anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi. Perhatian terhadap dunia pendidikan rasanya memang tepat untuk dilakukan karena sekolah adalah sebuah institusi yang bertujuan memberikan edukasi kepada para peserta didiknya. Edukasi didefinisikan sebagai proses transmisi kebudayaan dari generasi yang Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Upload: others

Post on 27-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  1  

Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

Annisa Andariani

Abstract

Every society, institution, or community certainly, has its own culture. The culture consists of various value, norms, habit, and procedure components used as a guidance in behaving by the member. As a senior high school, SMAN 70 also has its own behave value, norms, habit, and procedure components, which stand in various forms of regulation. Just among the students, known regulation are not the only official regulation from the school, but there are also informal regulations that is organazing and influencing their daily social interaction at school This rules of the game present and embodied within social interaction among students in their daily life. Despite the often contrary to the formal school regulations that must be obeyed by the students, they can’t leave the practice of the rules of the game that has been going on for years since the previous students. This thesis research is using qualitative methods and are focusing on various rules of the game that prevail at its operationalization in students daily life. Keywords : Rules of the Game, SMAN 70, Social Interaction, Students, Generation,

Tradition, Qualitative Methods. Pengantar

Di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan formal dan informal adalah tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud). Pedoman aturan mengenai pendidikan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Pada jalur pendidikan ini terdapat jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur

pendidikan yang seringkali menyelenggarakan pendidikan anak usia dini, atau pendidikan lainnya yang sifatnya spesifik seperti Taman Pendidikan Al Quran (TPA) yang banyak terdapat diselenggarakan di masjid serta Sekolah Minggu, yang diselenggarakan hampir di semua gereja. Ada pula berbagai kursus, diantaranya kursus musik, bimbingan belajar dan sebagainya. Selain itu pendidikan di Indonesia juga dibagi ke dalam empat jenjang, yaitu pendidikan anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi. Perhatian terhadap dunia pendidikan rasanya memang tepat untuk dilakukan karena sekolah adalah sebuah institusi yang bertujuan memberikan edukasi kepada para peserta didiknya. Edukasi didefinisikan sebagai proses transmisi kebudayaan dari generasi yang

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 2: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  2  

lebih tua kepada generasi muda (Hurn, 1993: 4). Hal ini dapat terlihat dari adanya proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan siswa. Di sekolah, guru mengajarkan kepada siswa berbagai ilmu melalui mata pelajaran Matematika, Bahasa, Pengetahuan Alam, Pengetahuan Sosial, dan lain sebagainya. Sekolah tentu saja memiliki tujuan untuk mencerdaskan siswa agar dapat mencapai target-target tertentu yang diharapkan dapat berguna sebagai persiapan siswa menuju jenjang pendidikan yang berikutnya.

Sebagai pengantar dalam artikel ini, saya akan memberikan introduksi mengenai Sekolah Menengah Atas yang akan dibahas dalam penelitian ini. Sekolah Menengah Atas atau biasa disebut dengan SMA merupakan tingkatan jenjang pendidikan yang ada di Indonesia setelah pendidikan pra-sekolah, Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Terdapat tiga jenis sekolah untuk tingkatan ini yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA). Perbedaan dari tiga jenis sekolah ini adalah spesifikasi tujuan kegiatan belajat mengajar yang dilakukan oleh masing-masing sekolah. Pada SMA, kegiatan belajar mengajar yang dilakukan cenderung untuk mempersiapkan siswanya melanjutkan ke tahap Pendidikan Tinggi. Pada SMK, para siswa dipersiapkan agar dapat langsung memasuki dunia kerja meskipun tanpa melanjutkan ke tahapan pendidikan selanjutnya. Sedangkan pada MA, sebenarnya memiliki tujuan yang sama seperti SMA, namun perbedaannya terletak pada penerapan kurikulum keagamaan (dalam konteks ini Islam) yang lebih banyak dibandingkan dengan SMA pada umumnya. Pada tahun 2009,

tercatat jumlah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di DKI Jakarta sebanyak 116 buah dengan 91.886 siswa, SMA Swasta sebanyak 381 buah dengan jumlah siswa 85. 731 orang, dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Jakarta dengan jumlah siswa sebanyak 41. 830 orang dan SMK Swasta sebanyak 512 buah dengan 157. 751 siswa1.

Kenyataannya yang dipelajari para siswa di sekolah bukan terbatas hanya pada mata pelajaran yang telah ditetapkan oleh kurikulum pendidikan. Lebih dari itu, di sekolah para siswa juga belajar banyak hal lewat interaksi sosial yang mereka lakukan dengan individu-individu lain yang terdapat di lingkup sekolah, termasuk di dalamnya guru, teman sebaya, siswa yang lebih senior, siswa yang lebih junior, dan warga sekolah lainnya. Interaksi yang terjadi di antara para warga sekolah ini yang kemudian menjadi proses disosialisasikannya nilai-nilai yang terdapat di suatu sekolah, dan karena nilai-nilai yang dianut serta kondisi yang terjadi di setiap sekolah berbeda, maka dapat dikatakan bahwa setiap sekolah memiliki perangkat kebudayaan yang berbeda. Salah satu contoh adalah SMAN 8 Jakarta yang terletak di Taman Bukit Duri dikenal menjujung keunggulan akademisnya tercermin lewat keberhasilannya sebagai sekolah negeri dengan siswa terbanyak diterima di PTN selama lebih 30 tahun, menjadi sekolah peringkat atas dalam perolehan nilai ujian nasional, menempatkan lebih dari 95 persen lulusannya di perguruan

                                                                                                               1 Diambil dari http://disdikdki.net/news.php?cat=1&id=122 pada Kamis, 7 Maret 2013

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 3: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  3  

tinggi negeri dan luar negeri ternama2. Komitmen untuk menjunjung tinggi keunggulan di bidang akademis yang dimiliki oleh SMAN 8 Jakarta ini tentunya tidak sama dengan karakter yang dimiliki oleh sekolah lainnya, misalnya SMAN 1 Boedi Oetomo yang dikenal sebagai salah satu sekolah yang terbiasa melakukan aksi tawuran3. Perbedaan kebudayaan yang ada di setiap sekolah itu kemudian memotivasi saya untuk memfokuskan penelitian ini terhadap salah satu sekolah menengah atas di Jakarta, yaitu SMAN 70. Sebelumnya saya akan menjelaskan mengenai kebudayaan yang saya maksudkan. Kebudayaan merupakan sebuah konsep penting, atau bahkan dapat dikatakan konsep utama dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia sejak awal perkembangan disiplin ilmu antropologi. Stonner, dkk. (1995) memberikan arti budaya sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu. Sedangkan Krech (dalam Graves, 1986) adalah sebagai suatu pola semua susunan, baik material maupun perilaku yang sudah diadopsi masyarakat sebagai suatu cara tradisional dalam memecahkan masalah-masalah para anggotanya. Budaya di dalamnya juga termasuk semua cara yang telah terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya implisit, serta premis-premis yang mendasar dan mengandung suatu perintah.

                                                                                                               2 Diambil dari http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/109531 pada, Jumat, 5 April 2013. 3 Diambil dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/18/17421562/Mau.Tawuran.90.Siswa.Boedoet.Diamankan pada Rabu, 17 April 2013.

Seperti juga institusi, komunitas, serta berbagai bentuk kelompok masyarakat lainnya, sekolah tentu saja memiliki kebudayaan yang berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Terdapat beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa SMAN 70 Jakarta dianggap menarik untuk diteliti. SMAN 70 Jakarta merupakan salah satu sekolah yang namanya sudah dikenal di Indonesia. Sekolah ini tidak hanya dikenal karena prestasi akademis dan -non-akademis yang dimilikinya, tetapi juga tradisi senioritas dan tawuran yang dilakukan oleh para siswanya dari generasi ke generasi sehingga kerap menjadi pemberitaan di media massa. Pencapaian positif yang dilakukan siswa SMAN 70 Jakarta seperti angka kelulusan UN mencapai 100%, penerimaan siswa di Perguruan Tinggi Negeri mencapai 90% hampir di setiap tahunnya, berhasil mengadakan event olahraga siswa SMA terbesar se-Indonesia lewat acara tahunan Bulungan Cup, diberitakan beriringan dengan hal-hal negatif yang selalu lekat dengan citra sekolah ini seperti tawuran, senioritas, bullying. Hal tersebut terus berlangsung sejak dulu hingga kini.

Citra positif dan negatif yang berkembang beriringan mengenai SMAN 70 ini memotivasi saya untuk meneliti lebih lanjut mengenai kebudayaan sekolah tersebut. Lebih spesifik lagi, saya ingin membahas mengenai aturan-aturan main (rules of the game) yang merupakan bagian atau turunan dari kebudayaan sekolah tersebut. Aturan-aturan main yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah aturan main yang berkembang dalam pergaulan siswa SMAN 70 karena seperti yang telah saya baca dari berbagai pemberitaan di media massa, siswa menjadi aktor utama yang

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 4: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  4  

mewujudkan berbagai prestasi sekolah ini, namun di sisi lain juga menjadi aktor yang melakukan berbagai tindakan negatif yang mencoreng nama baik sekolah, seperti tawuran misalnya. Hal tersebut memotivasi saya untuk menguak tata cara pergaulan yang terdapat dibalik sikap kontradiktif yang ditunjukkan oleh para siswa SMAN 70 tersebut.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijabarkan di atas, saya menganggap pergaulan siswa SMAN 70 Jakarta memiliki dinamika tersendiri yang cukup kompleks dan menarik untuk diteliti lebih lanjut. Tidak sekedar mengacu kepada berbagai pemberitaan yang berkembang selama ini, tetapi melihat secara mendalam bagaimana sebenarnya perangkat-perangkat nilai dan aturan main berlaku dalam pergaulan siswa sekolah tersebut. Mulai dari karakteristik para siswa, nilai-nilai yang berkembang di dalam pergaulan mereka, aturan-aturan main (rules of the game) yang ada di antara para siswa, dan bagaimana hal-hal tersebut diimplementasikan di dalam interaksi sosial yang terdapat dalam pergaulan tersebut.

Informasi tentang aturan main dalam pergaulan siswa SMAN 70 Jakarta ini saya peroleh dari hasil pengamatan terlibat dan wawancara mendalam oleh sejumlah siswa dan guru SMAN 70 Jakarta. Seluruh informasi yang mereka miliki diperoleh dari pengalaman yang dilalui para informan selama menjadi siswa SMAN 70 Jakarta. Dalam keseharian mereka, siswa kelas X biasa disebut dengan istilah utas, kelas XI disebut dengan istilah aud, dan kelas XII disebut dengan istilah agit. Istilah tersebut mengacu pada penggunaan bahasa balik yang merupakan bahasa pergaulan yang populer di kalangan

siswa SMAN 70. Atas dasar alasan tersebut, maka saya tidak akan mengubah penggunaan istilah tersebut pada pembahasan ini. Istilah utas, aud, dan agit akan saya gunakan pada pembahasan ini sebagai kata ganti untuk menyebut siswa kelas X, XI, dan XII agar tidak mengubah cara informan saya bercerita dan menyampaikan informasi. Sejarah Singkat SMAN 70 Jakarta

SMA Negeri 70 Jakarta adalah Sekolah Menengah Atas Negeri yang terletak di Jalan Bulungan Blok C No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sejarah berdirinya SMAN 70 Jakarta sebenarnya merupakan penggabungan dari dua sekolah yang letaknya berdekatan yakni SMAN 9 Jakarta dan SMAN 11 Jakarta. Kedua sekolah tersebut terletak di Jalan Bulungan dan hanya dipisahkan oleh tembok, sedangkan lapangan olahraga berada pada satu tempat dan digunakan bersama. SMAN 9 dan SMAN 11 tersebut seringkali berselisih melalui aksi tawuran yang dilakukan oleh siswa dari masing-masing sekolah. Perselisihan yang terjadi terus-menerus tersebut dianggap mengganggu efektivitas pengelolaan sekolah dan ketenangan proses belajar mengajar sehingga akhirnya Menteri P dan K pada saat itu, Dr Daoed Joesoef, mengeluarkan SK No. 0285/0/1981 mengenai “Penutupan SMAN 9 dan SMAN 11 Jakarta dan Pembukaan SMAN 70 Jakarta”. Pada hari Sabtu, 3 Oktober 1981, dua sekolah tersebut resmi ditutup dan dilebur. Kemudian pada Senin, 5 Oktober 1981 dibuka kembali sebagai SMAN 70 Jakarta yang dipimpin oleh Drs. Darmadi. Pada awal berdirinya, SMAN 70 yang merupakan gabungan dari dua sekolah otomatis memiliki siswa lebih banyak

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 5: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  5  

dibandingkan SMA Negeri lainnya. Saat itu jumlah siswa SMAN 70 Jakarta mencapai 4708 orang dengan 42 ruang kelas4.

Saat penelitian ini dilakukan5, SMAN 70 tercatat memiliki total 985 siswa yang terdiri dari 317 siswa kelas X, 295 siswa kelas XI, dan 373 siswa kelas XII. Kelas X terdiri dari tujuh kelas program IPA, tiga kelas program IPS, satu kelas program Internasional, dan satu kelas CI/BI (Cerdas Istimewa/Berbasis Internasional)6. Kelas XI terdiri dari enam kelas program IPA, tiga kelas program IPS, dan satu kelas program Internasional. Sedangkan kelas XII terdiri dari delapan kelas IPA, dua kelas IPS, satu kelas program Internasional, dan dua kelas CI/BI. Staf pengajar di SMAN 70 terdiri dari 86 orang guru. Sejumlah 55 guru adalah PNS sementara 31 guru lainnya merupakan guru honorer.7

Program Belajar SMAN 70 memiliki beberapa variasi program kelas bagi para siswanya. Program kelas yang pertama dan paling banyak adalah program kelas reguler yaitu kelas yang kurikulum belajarnya sama dengan SMA lainnya. Siswa pada kelas reguler dapat memfokuskan peminatan mereka menjadi IPA atau IPS pada saat kelas X semester kedua. Masing-masing program belajar di SMAN 70 Jakarta memiliki perbedaannya masing-masing. Tidak

                                                                                                               4 Sumber: Kompas, Minggu, 4 Oktober 1981. 5 Desember 2012 – Mei 2013. 6 Kelas CI/BI adalah nama yang digunakan untuk menyebut kelas program akselerasi di SMAN 70. Sebuah program percepatan belajar yang memungkinkan siswa dapat lulus SMA hanya dalam waktu dua tahun. 7 Sumber: Laporan Bulanan (SMA/SMK) Jakarta Selatan Bulan Februari 2013 yang diperoleh dari Tata Usaha SMAN 70 Jakarta.

hanya dari segi kurikulum, tetapi juga citra daan karakteristik siswa dari masing-masing program tersebut. Di SMAN 70 kelas IPA cenderung lebih difavoritkan para siswa karena terdapat citra mengenai kelas IPA yang terdapat di sekolah tersebut, yaitu siswa kelas IPA dianggap lebih pintar ketimbang siswa kelas IPS. Citra tersebut muncul tidak terlepas dari mindset yang dimiliki oleh sebagian besar pengajar yang seolah-olah menganggap pelajaran IPA lebih penting dan siswa kelas IPA lebih pintar, sehingga para siswa mendapatkan kesan yang sama. Mereka berlomba-lomba untuk dapat masuk ke kelas IPA lebih karena faktor gengsi dan bukan semata-mata karena minat pribadi. Alasan lain difavoritkannya kelas IPA juga dikarenakan siswa lulusan dari kelas IPA dapat mendaftarkan diri ke fakultas mana pun saat mendaftar kuliah, termasuk juga ke fakultas-fakultas yang menjadi “lahan” siswa IPS seperti FE, FISIP, FH, dan FIB. Sedangkan siswa kelas IPS tidak dapat mendaftarkan diri di fakultas-fakultas jurusan IPA seperti FK, FT, FMIPA dan lain-lain. Oleh karena itu peluang siswa IPA diterima di perguruan tinggi, khususnya PTN favorit dianggap lebih tinggi dan semakin membuat citra kelas IPA terkesan lebih baik dari kelas IPS.

Kelas Internasional adalah program kelas lainnya yang terdapat di SMAN 70, dimana sistem pelajarannya menerapkan dua kurikulum pada proses belajar mengajarnya (kurikulum nasional dan Cambridge Curriculum) . Untuk dapat masuk ke dalam Kelas Internasional, calon siswa Kelas Internasional SMAN 70 mendaftar melalui jalur yang berbeda dengan siswa kelas reguler. Mereka sudah harus mendaftar sebelum periode pendaftaran kelas reguler dibuka dan memenuhi

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 6: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  6  

syarat masuk berupa tes tertulis Matematika dan Bahasa Inggris. Dalam pergaulan sehari-hari, siswa Kelas Internasional sedikit “terisolir” jika dibandingkan siswa kelas reguler. Hal ini terjadi karena letak Kelas Internasional yang terpisah dari kelas reguler, jam istirahat dan pulang yang berbeda, serta komposisi siswa Kelas Internasional yang tidak berubah dari kelas X hingga kelas XII. Memiliki teman sekelas yang sama selama tiga tahun secara tidak langsung membuat pergaulan siswa kelas inter menjadi lebih terbatas.

Sedangkan kelas akselerasi adalah kelas dengan program percepatan belajar yang memungkinkan siswa program ini menyelesaikan pendidikan SMA hanya dalam waktu dua tahun. Siswa kelas program akselerasi dipilih berdasarkan seleksi khusus (psikotes) yang dilakukan pada semester pertama kelas X, setelah siswa-siswa baru diterima. Siswa kelas akselerasi memiliki citra sebagai siswa-siswa paling pintar di sekolah. Hal ini dikarenakan siswa kelas aksel adalah para siswa yang dianggap mampu mengikuti pola belajar yang sangat padat dan singkat, namun memiliki hasil yang maksimal. Sama seperti siswa kelas inter, siswa dari kelas akselerasi juga agak terbatas pergaulannya dengan siswa kelas reguler.

Terbatasnya pergaulan siswa kelas akselerasi disebabkan mereka hanya melalui waktu dua tahun di sekolah, komposisi teman sekelas yang tidak berubah dari awal sampai akhir, dan juga tuntutan untuk menerima pelajaran dalam waktu yang singkat. Tuntutan tersebut membuat siswa kelas aksel lebih memilih memanfaatkan waktu mereka untuk belajar ketimbang

bersosialisasi dengan siswa dari kelas lain. Meskipun begitu, dalam kelas aksel ternyata terdapat dua kategori siswa. Kategori pernama adalah siswa yang sangat pintar, tetapi pergaulan di luar kelas yang mereka miliki sangat terbatas. Kategori yang kedua adalah siswa yang cenderung biasa saja namun masih memiliki kehidupan sosial yang cukup baik di luar kelas akselerasi. Kegiatan Belajar Mengajar dan Kategorisasi Guru Dalam Perspektif Siswa

Pemilihan atau penggolongan dilakukan berdasarkan atas sesuatu ciri yang menyolok yang digunakan sebagai pedomannya, yang berdasarkan atas ciri menyolok tersebut sesuatu gejala dibedakan dari gejala lainnya. Ciri menyolok yang digunakan untuk membedakan sesuatu gejala dari gejala lainnya tersebut dipilih dari sejumlah ciri-ciri yang ada dalam pengetahuan atau dalam kebudayaan dari para pelaku yang bersangkutan. Penggolongan dilakukan untuk sesuatu maksud tertentu atau tujuan tertentu, yaitu untuk kemudahan berkomunikasi, meniadakan kekacauan dalam berkomunikasi, dan mempertajam makna yang terkandung dalam tujuan berkomunikasi. Golongan atau kategori dengan demikian, adalah sebuah hasil dari penggolongan yang terwujud sebagai konsep yang berisikan sesuatu ciri yang menyolok dalam kaitan dengan konteksnya. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang melakukan penggolongan terhadap segala isi yang ada dalam kehidupannya. Baik dalam kehidupan yang luas dan umum maupun dalam kehidupan yang terbatas dan khusus yang mrupakan kegiatannya sehari-hari. (Suparlan, 2005: 15).

Penggolongan yang dibuat selalu menghasilkan adanya golongan-

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 7: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  7  

golongan yang berbeda atau bertentangan ciri-cirinya, dan bersamaan dengan itu juga menghasilkan adanya perbedaan atau pertentangan nilainya masing-masing berdasarkan kuantitas atau kualitas yang dimilikinya. Penilaian menganai kualitas ataupun kuantitasnya terwujud sebagai sistem penggolongan yang vertikal, yang menghasilkan golongan-golongan yang berada dalam

jenjang dan dalam lapisan. (Suparlan, 2005: 16). Konsep penggolongan atau dengan kata lain kategorisasi ini, akan saya gunakan dalam pembahasan melihat adanya kategorisasi tipe-tipe guru yang dilakukan oleh para informan siswa. Berdasarkan penuturan dari para informan, saya membuat skema kategorisasi guru di SMAN 70 sebagai berikut ini.

Bagan 1. Skema Kategorisasi Guru SMAN 70 Dalam Perspektif Siswa

Sumber: Hasil Penelitian Lapangan (Andariani, 2013)

Guru cuek adalah guru yang mengajar tanpa mempedulikan umpan balik yang diberikan para siswanya. Mereka mengajar hanya untuk siswa yang memang ingin memperhatikan pelajaran, sedangkan untuk siswa yang tidak berkonsentrasi pada pelajarannya maka ia tidak mempedulikannya. Tidak memberikan teguran berarti atau mengarahkan siswa untuk lebih memperhatikan. Guru sensitif adalah kategori guru yang mudah marah atau tersinggung (bad tempered) terhadap perilaku siswa ketika siswa dianggap kurang memperhatikan, mengobrol, atau bermain-main di dalam kelas. Kategori guru berikutnya yaitu tipe guru asyik, adalah tipe guru yang disukai para siswa. Guru asyik adalah guru yang dianggap anak-anak memiliki keluwesan dalam menyampaikan pelajaran dan juga dalam

berinteraksi dengan para siswa. Selain itu, siswa merasa guru tipe ini mampu memahami mereka dengan baik. Berikutnya adalah kategori guru pilih kasih. “Pilih kasih” yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah, guru tersebut memberikan sikap yang berbeda kepada siswa yang dianggap baik dengan siswa yang dianggap nakal. Meskipun sebenarnya kenakalan yang dilakukan siswa adalah kenakalan yang dilakukan di luar kelas dan tidak berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar. Menurut Tebir, jika kebetulan anak yang dianggap nakal oleh guru tersebut merupakan anak yang sudah pintar, maka tidak akan jadi masalah. Hanya saja, jika anak yang dianggap nakal itu termasuk anak yang kemampuan belajarnya juga kurang, maka anak tersebut akan merasa

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 8: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  8  

semakin malas menjalani kelas yang diajar oleh guru tersebut.

Guru gabut8, adalah kategori guru yang tidak memberikan pelajaran berarti bagi para siswa. Mereka beranggapan, tidak mendapat ilmu dari tipe guru seperti ini. Kategori guru yang terakhir adalah tipe guru yang dianggap oleh para siswa sebagai guru yang tidak penting. Sebenarnya anggapan bahwa guru tersebut tidak penting bukan karena pribadi guru itu sendiri, melainkan karena mata pelajaran yang mereka ajarkan hanyalah mata pelajaran yang bersifat tambahan. Sementara mata pelajaran yang diutamakan oleh siswa adalah yang mereka anggap mata pelajaran inti seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA (Biologi, Fisika, Kimia) dan IPS (Sosiologi, Ekonomi & Akuntansi, Sejarah, Geografi). Sikap siswa yang membeda-bedakan pelajaran “penting” dan “tidak penting” adalah efek dari sistem Ujian Nasional yang diterapkan oleh pemerintah sehingga siswa hanya menganggap pelajaran yang termasuk dalam UN saja yang perlu mereka perhatikan. Sementara pelajaran yang sifatnya tambahan seperti muatan lokal (Bahasa Asing non-Inggris), Kesenian, dan lain-lain dianggap tidak penting.

Aturan-aturan Main (Rules of the Game)

Aturan adalah sekumpulan instruksi yang dijadikan pedoman dalam berperilaku. Perilaku budaya dibangun dari proses belajar dan mengikuti

                                                                                                               8  Gabut  adalah  singkatan  dari  “gaji  buta”  sebuah  istilah  populer  untuk  menggambarkan  seseorang  yang  tidak  melakukan  pekerjaannya  secara  optimal  namun  tetap  memperoleh  gaji  atau  imbalan.  

instruksi. Aturan budaya budaya dapat dikatakan sebagai seperangkat instruksi untuk diletakan bersama berbagai elemen dalam berperilaku. Pengetahuan budaya juga mempengaruhi peraturan. Kita mempelajari instruksi yang memandu persepsi kita dan menentukan atribut-atribut yang digunakan dalam membentuk konsep (Spradley, 1972). Manusia adalah agen yang aktif dalam menggunakan budaya sehingga aturan-aturan yang merupakan bagian dari kebudayaan berarti banyak bagi masyarakat penganut kebudayaan tersebut (Black dalam Spradley, 1972).

Semi autonomous social field adalah fakta bahwa sebuah lapangan yang dipilih untuk diteliti para peneliti antropologi dapat menciptakan peraturan, kebiasaan, dan simbol, secara internal, tetapi fakta tersebut sangat rapuh ketika dihadapkan dengan “dunia” yang mengelilinginya.batasan dan definisi sebuah semi autonomous social field diidentifikasi dengan karakter yang prosesual bukan oleh organisasi mengingat adanya fakta bahwa peraturan dan koersi dapat muncul dari “bawah”. Konsep semi autonomous social field menekankan pada absennya otonomi dan isolasi sekaligus berfokus pada kapasitas untuk menciptakan peraturan, mempengaruhi atau memaksa konformitas.

Semi autonomous social field secara umum memiliki beberapa karakteristik yang khas. Istilah semi otonom digunakan karena aturan-aturan yang merupakan semi autonomous social field muncul dan dibuat oleh masyarakat sendiri dan mengikat masyarakat yan merupakan anggota dari bidang-bidang sosial yang terkait. Aturan-aturan tersebut bersifat koersif karena itu memiliki mekanisme pemaksa agar dapat menjamin pelaksanaan atau

50  

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 9: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  9  

penerapannya. Bidang-bidang sosial ini tidak mutlak otonom karena rentan dengan pengaruh lingkungan di luarnya. Terakhir, Bidang-bidang sosial semi otonom yang dimaksudkan di sini tak selalu berbentuk organisasi yang terstruktur rapih tetapi dapat juga berstruktur cair (Moore, 1978: 55-58).

Salah satu hal menarik yang saya temukan dari hasil wawancara serta observasi yang saya lakukan di SMAN 70 Jakarta adalah banyaknya aturan-aturan main yang terdapat di kalangan siswa sekolah. Aturan-aturan main tersebut telah ada sejak generasi siswa terdahulu dan dilanjutkan oleh siswa-siswa yang masih bersekolah saat ini sehingga aturan-aturan tersebut berkembang menjadi semacam tradisi yang terus direproduksi. Peraturan ini diketahui para siswa sejak hari pertama mereka masuk sebagai siswa SMAN 70 Jakarta. Ketika itu, siswa kelas X yang baru masuk disosialisasikan oleh para senior mereka, siswa kelas XII, mengenai aturan-aturan dasar tersebut. Dari sekian banyak aturan main yang terdapat di SMAN 70, terdapat peraturan yang harus mereka ketahui sejak awal sekali, yaitu mengenai masalah terirori. Teritori yang dimaksud di sini adalah adanya pembagian ruang-ruang tertentu yang merupakan “monopoli dan kekuasaan” bagi masing-masing angkatan baik itu siswa kelas X (utas), kelas XI (aud), dan XII (agit). Di SMAN 70 dan wilayah sekitaranya, ada tempat-tempat yang tidak bisa sembarangan dilewati atau digunakan fasilitasnya oleh masing-masing angkatan. Pembagian ruang tersebut mencakup area tangga, kantin, dan tempat tongkrongan.

Agar dapat mencapai ruang kelas yang terletak di lantai dua dan tiga gedung sekolah, para siswa tidak dapat sembarangan menaiki tangga yang

terdapat di sekolah, melainkan setiap angkatan harus melewati tangga mereka masing-masing; tangga utas, tangga aud, dan tangga agit. Tentu saja hal ini bukan peraturan resmi dari sekolah, tetapi peraturan tak tertulis ini dilakukan para siswa setiap harinya. Tangga utas dan tangga aud terletak bersebelahan dan dipisahkan oleh ruang guru piket, sedangkan tangga agit terletak di sisi seberangnya. Siswa utas hanya boleh naik lewat tangga utas, siswa aud boleh menggunakan tangga aud dan tangga utas untuk lewat, sedangkan siswa agit boleh menggunakan tangga manapun meski mereka biasanya lebih sering menggunakan tangga agit untuk mobilisasi naik-turun gedung sekolah.

Walaupun selintas pembagian tangga ini terdengar remeh, namun semua siswa menerapkannya dalam keseharian mereka. Jika ada siswa baru yang belum tahu atau belum terbiasa dengan pembagian tangga ini sehingga melewati tangga seniornya, maka ia akan ditegur. Bentuk tegurannya bervariasi, mulai dari cara baik-baik, ketus, ataupun langsung dimarahi. Pembagian tangga ini juga salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik antar angkatan jika sengaja dilanggar.

“Pembagian wilayah” yang lainnya adalah kantin. Seperti halnya pembagian tangga, area kantin di SMAN 70 juga dibagi menjadi tiga. Kantin utas, kantin aud, dan kantin agit. Kantin utas, adalah area kantin yang memungkinkan siswa utas untuk jajan dan makan di tempat, terletak di bagian pojok kantin yang sempit. Kantin aud, terletak di bagian tengah area kantin sekolah dan ukurannya cukup luas, sedangkan kantin agit menempati area terluas dari keseluruhan kantin. Dalam hal membeli makanan, siswa bisa saja jajan dari kios yang bukan merupakan “wilayah” kantin

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 10: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  10  

angkatan mereka masing-masing, namun biasanya mereka akan membeli dengan cara menitip. Sebagai contoh, jika ada siswa utas yang ingin membeli makanan dari kios yang terdapat di kantin agit, maka ia akan menitip ke salah satu pedagang kantin untuk dibelikan makanan dari kios di kantin agit. Sedangkan jika siswa utas ingin membeli makanan dari kios di area kantin aud, maka ia bisa saja membeli sendiri, namun untuk menikmati makanannya ia hanya bisa duduk di area kantin utas atau membungkus makanan tersebut untuk dimakan di ruang kelasnya.

Hal yang sama juga dilakukan siswa aud. Jika ia ingin jajan dari kios di kantin agit, maka ia akan menitip kepada pedagang di kantin, atau membeli sendiri, namun untuk menikmatinya, ia akan duduk di area kantin angkatannya sendiri. Sedangkan siswa agit, sebagai angkatan paling senior, dapat membeli makanan dan duduk di manapun tanpa terkecuali. Meskipun begitu biasanya siswa agit akan tetap duduk di area kantin angkatannya sendiri bersama teman-teman satu angkatannya. Mereka tidak akan duduk di kantin utas yang sempit, ataupun di kantin aud karena hubungan siswa agit dan siswa aud sendiri terbilang tidak akur.

Pembagian ruang yang terakhir adalah tempat tongkrongan. Tempat tongkrongan, adalah tempat yang dijadikan area berkumpul siswa SMAN 70 pada saat jam pulang sekolah. Biasanya, siswa berkumpul di sini untuk menunggu waktu ekskul, les, kendaraan umum, atau jemputan. Lokasi-lokasi ini ada yang berada di dalam area sekolah dan ada pula yang berada luar sekolah namun masih terdapat di sekitar lingkungan SMAN 70. Di dalam sekolah, tempat tongkrongan tersebut

adalah lapangan basket. Kedua lapangan basket yang terdapat di SMAN 70, selain ketika saat pelajaran olahraga dan kegiatan ekskul, tidak dapat digunakan begitu saja oleh siswa. Salah satu lapangan adalah lapangan yang diperuntukkan bagi siswa aud, dan yang lainnya adalah lapangan bagi siswa agit. Siswa aud dapat menggunakan lapangannya untuk bermain bola atau berkumpul saat jam istirahat dan pulang sekolah, demikian pula dengan siswa agit yang akan menggunakan lapangannya sendiri. Sedangkan siswa utas tidak memiliki lapangan untuk aktivitas angkatannya hingga nanti ia naik ke kelas XI dan menjadi siswa aud. Pembagian tempat tongkrongan tidak hanya terjadi di area dalam sekolah, tetapi juga ke area lain di sekitar sekolah. Lokasi di sekitar sekolah yang menjadi tempat tongkrongan siswa SMAN 70 adalah Jalan Mendawai, Jalan Lamandau, dan GOR Bulungan. Jalan Mendawai merupakan tempat tongkrongan bagi siswa utas. Setiap jam pulang sekolah, Jalan Mendawai selalu ramai dipenuhi oleh siswa-siswi SMAN 70 yang menunggu jemputan atau kendaraan umum. Padahal di area ini tidak ada kios penjual makanan atau bangku-bangku untuk duduk layaknya tempat nongkrong. Di sana hanya ada sebuah kios penjual minuman, akan tetapi siswa utas tetap memadati tempat ini ketika jam pulang sekolah. Hal ini bukan semata-mata karena mereka ingin kumpul-kumpul di Jalan Mendawai, tetapi juga karena adanya perintah dari senior mereka yang menyuruh siswa kelas satu untuk meramaikan tempat tongkrongan tersebut.

Perintah dari siswa agit itulah yang membuat para siswa utas meramaikan Jalan Mendawai. Selain itu, mereka juga tidak memiliki pilihan lain,

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 11: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  11  

karena tongkrongan lain di sekitar sekolah adalah milik senior-senior mereka. Mereka tidak diperkenankan memasuki area tongkrongan senior mereka. Oleh karena itu, mau tidak mau siswa utas akan berkumpul di Jalan Mendawai. Berbeda dengan siswa utas, kelas XI atau siswa aud, juga memiliki area tongkrongan di luar sekolahnya sendiri. Siswa aud kebagian jatah untuk menempati area GOR Bulungan yang terletak persis di sebelah SMAN 70 Jakarta untuk dijadikan tempat tongkrongan. Di area GOR inilah siswa aud biasanya menunggu jemputan, kendaraan umum, atau memarkir kendaraan pribadi yang mereka bawa ke sekolah. GOR Bulungan merupakan lokasi yang lebih nyaman jika dibandingkan dengan Jalan Mendawai, karena di GOR Bulungan ini terdapat beberapa kios penjual makanan, minuman, dan tempat duduk.

Terakhir adalah tongkrongan yang menjadi teritori kelas XII atau agit, yang terletak di seberang SMAN 70 tepatnya di Jalan Lamandau. Di Lamandau ini biasanya siswa agit menghabiskan waktu mereka sepulang sekolah. Terdapat kios-kios makanan dan minuman, selain itu siswa agit biasanya juga memarkir mobil pribadi mereka di sekitar Jalan Lamandau. Selain Jalan Lamandau, siswa agit, khususnya yang laki-laki, juga sering berkumpul di halte SMAN 70 yang berada persis di seberang gerbang sekolah. Tidak hanya di jam pulang sekolah, tetapi juga di pagi hari ketika menunggu bel masuk sekolah berbunyi.

Aturan main mengenai pembagian ruang “monopoli dan kekuasaan” tiap angkatan ini adalah salah suatu aturan dasar yang paling awal disosialisasikan senior, dalam

konteks ini siswa agit, kepada juniornya saat menjadi siswa baru. Siswa baru atau siswa utas, diharapkan dapat memahami dan beradaptasi secepatnya menyangkut masalah teritori ini, demi kenyamanan mereka selama berada di lingkungan sekolah, karena senior, tidak hanya siswa agit tetapi juga siswa aud, dapat menegur bahkan memarahi utas yang melanggar pembagian teritori ini dengan cara halus maupun yang kasar. Sebagai contoh, siswa agit mungkin saja meneriaki utas, yang mobilnya kedapatan melewati Lamandau saat menuju sekolah. Sikap intimidatif yang ditunjukkan para senior ini yang akhirnya membuat siswa junior lebih memilih untuk mengikuti aturan-aturan informal yang ada di sekolah mereka.

Sebelumnya telah saya singgung bahwa aturan-aturan main yang terdapat di SMAN 70 telah diperkenalkan kepada siswa kelas X sejak hari pertama mereka masuk menjadi siswa baru. Pada hari pertama masuk sekolah, siswa kelas X yang baru masuk atau utas akan mengikuti kegiatan orientasi (MOS) yang meliputi perkenalan lingkungan sekolah, guru, sistem belajar, dan juga ragam ekstra kurikuler yang ada di SMAN 70. Acara ini dijalankan oleh PK dan OSIS yang merupakan siswa kelas XII atau agit. Kegiatan ini berlangsung dari pagi hingga siang hari. Kemudian ketika bel pulang sekolah berbunyi, saat itulah siswa agit mulai mengumpulkan siswa utas.

Menurut cerita Benga, salah satu infroman siswa, ketika pulang sekolah di hari pertama MOS, ia dan beberapa temannya sedang berjalan meninggalkan sekolah. Ketika itu, mereka belum terlalu jauh dari sekolah, bahkan mereka baru menyebrang. Saat sedang berjalan itulah kemudian Benga dan teman-temannya dipanggil oleh beberapa orang

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 12: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  12  

siswa agit, mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam satu mobil milik siswa agit, kemudian dibawa ke Lapangan Tenis Pati Unus yang letaknya tak jauh dari SMAN 70. Di lapangan tersebut, ternyata sudah ada beberapa utas lainnya, menurut Benga, saat itu jumlah siswa utas yang dikumpulkan sekitar 11 orang, sementara siswa agit berjumlah lebih banyak.

Pada kesempatan itu siswa agit memberitahukan kepada siswa utas mengenai daftar aturan yang diberi nama “Pasal Utas”, yaitu aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh siswa utas. Aturan-aturan tersebut berisi perintah “Hormatin agit, ganjil itu gembel, jangan takut sama aud, 70 anti STM, mane itu jajanan 70, tongkrongi tongkrongan sendiri, lindungi nama baik 70, nggak ada jagoan di angkatan…”

Perintah menghormati agit bermaksud agar junior menghormati seniornya, lebih spesifik lagi kepada siswa kelas XII. Benga dan teman-temannya yang saat masuk SMAN 70 bertepatan dengan tahun genap (2012) dan kelak akan lulus di tahun ganjil (2015), otomatis menjadi “utas angkatan ganjil” (ganjil dan genap angkatan dilihat dari tahun kelulusan mereka), karena itulah siswa agit, yang juga sesama angkatan ganjil, mengatakan bahwa “ganjil itu gembel”. Menurut Benga dan Licing, ada semacam stereotip yang mereka ketahui dari senior mereka bahwa angkatan ganjil SMAN 70 itu gembel, atau dalam hal ini berarti tidak bermewah-mewah dan tidak suka pamer. Sebagai kelanjutan dari pernyataan “ganjil itu gembel” siswa utas tidak diperkenankan pulang-pergi sekolah dengan membawa kendaraan pribadi baik itu mobil ataupun motor. Mereka harus naik kendaraan umum dan tidak boleh jalan-jalan ke mall. Siswa utas juga diperintahkan untuk datang ke

sekolah dengan setelan style utas yaitu rambut yang dicukur botak, sepatu capung9, celana ngatung, kaos kaki hitam, tas selempang, kaus dalam harus singlet

Pasal Utas yang berikutnya berbunyi “jangan takut sama aud” mengharuskan siswa kelas X untuk menghormati kelas XII namun tidak perlu menghormati apalagi takut dengan kelas XI. Peraturan supaya siswa utas hanya menghormati siswa agit tetapi tidak menghormati siswa aud ini dikarenakan adanya tradisi bahwa angkatan genap dan angkatan ganjil tidak akur bahkan cenderung bermusuhan. Pasal “70 anti STM” adalah pernyataan bahwa salah satu “musuh besar” SMAN 70 adalah anak-anak STM (sekarang disebut SMK). Sedangkan pasal “mane itu jajanan 70” mengacu terhadap hubungan SMAN 70 dan SMAN 610 yang tidak akur. Siswa SMAN 70 menganggap SMAN 6 remeh dan memiliki kualitas di bawah sekolah mereka dalam berbagai bidang sehinggga bagi siswa SMAN 70, mane—atau SMAN 6 hanya sekedar ‘jajanan’ atau hal sepele. Dalam konteks ini, lebih khususnya, siswa SMAN 70 meremehkan SMAN 6 menyangkut persoalan tawuran, SMAN 6 dianggap bukan lawan yang sebanding.

Berikutnya, pasal yang berbunyi “tongkrongi tongkrongan sendiri” diperintahkan siswa agit kepada siswa utas agar mereka meramaikan tempat tongkrongan mereka yaitu Jalan Mendawai. Siswa utas diharapkan lebih nyaman berada di teritori mereka sendiri                                                                                                                9 Salah satu model sepatu sneakers yang banyak dijual di pasar dan harganya murah. 10 SMAN 6 seringkali disebut “mane “ oleh siswa SMAN 70. kata “mane” sebenarnya adalah kata “enam” yang diaplikasikan dalam bahasa balik (lihat bab sebelumnya) sehingga dibaca terbalik yaitu “mane”

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 13: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  13  

dan menggunakan area tersebut untuk berbagai kepentingan mereka. Hal ini dilakukan dengan harapan siswa utas yang masih baru dan belum saling kenal ‘terpaksa’ berkumpul di tempat yang sama dan pada akhirnya saling mengenal serta menjadi dekat satu sana lain karena adanya kebiasaan nongkrong bareng ini. Pasal lainnya berbunyi “jaga nama baik 70” dimaksudkan agar siswa utas dapat menjaga nama baik SMAN 70 dalam berbagai bidang, baik itu bidang akademis, non-akademis, serta dengan menjadi sekolah yang ‘tangguh’ dalam hal tawuran. Pasal yang terakhir berbunyi “nggak ada jagoan di angkatan” dimaksudkan siswa agit agar siswa utas dapat melihat angkatan mereka sebagai satu kesatuan yang memiliki perasaan sama rasa. Tidak ada yang merasa dirinya lebih penting atau ingin menonjolkan diri dibanding teman-temannya yang lain. Mereka diharapkan untuk merasakan suka dan duka bersama-sama. Kepentingan bersama, dalam hal ini angkatan, harus didahulukan.

Sosialisasi mengenai aturan main yang diterima Benga bersama sepuluh orang teman satu angkatannya ini tentu saja belum diketahui oleh anak-anak lain yang tidak dikumpulkan di hari pertama MOS tersebut. Agar informasi mengenai aturan-aturan ini dapat menyebar, secara bertahap siswa agit akan mengumpulkan lagi siswa utas setiap harinya agar semakin banyak yang berkumpul dan semakin banyak siswa utas yang memahami mengenai aturan-aturan informal ini. Untuk kumpul berikutnya biasanya siswa agit menitipkan pesan kepada salah satu siswa utas untuk mengajak teman-temannya. Semakin ramai, semakin baik, dan siswa utas akan dinilai makin solid oleh siswa agit. Saat sedang dikumpulkan inilah

biasanya utas mulai mengenal tradisi rejes.

Rejes adalah sebutan untuk tradisi perploncoan di SMAN 70 yang sebenarnya berasal dari kata “jejer”. Kata jejer ini dalam bahasa balik11 akan dibaca rejes, karena kata jejer tersebut dibalik cara membacanya menjadi “rejej” dan huruf J di akhir kata dibaca sebagai hurus S sehingga menjadi rejes. Ketika siswa utas sedang direjes, berarti mereka akan dijejerkan dan siswa agit akan melakukan tindak kekerasan kepada mereka satu per satu melalui tindakan menampar, meninju, menendang, atau apapun yang siswa agit ingin lakukan terhadap siswa utas, dan siswa utas tidak diperkenankan untuk melawannya. Sementara itu, siswa utas perempuan juga mengalami proses sosialisasi aturan-aturan main melalui senior perempuan mereka. Sosialisasi aturan main di SMAN 70 memang terpisah bagi siswa utas perempuan dan siswa utas laki-laki. Siswa utas laki-laki akan mendapat sosialisasi dari siswa agit laki-laki, dan siswa utas perempuan mendapat sosialisasi dari siswa agit perempuan. Seperti halnya siswa utas laki-laki, siswa utas perempuan juga diperkenalkan aturan-aturan main sejak hari pertama MOS. Aturan spesifik mengenai penampilan siswa utas perempuan adalah keharusan memakai seragam berukuran longgar, menggunakan sepatu keds dan tas ransel, serta rambut harus dikuncir satu dengan poni yang dijepit ke belakang.

Gejala Pengelompokan Sosial Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70

Selain tradisi senioritas yang menyebabkan peer group dalam pergaulan siswa SMAN 70 Jakarta terbagi berdasarkan angkatan (tingkatan                                                                                                                11 Lihat lebih detail dalam bab ini pada bagian Jaket Angkatan dan Bahasa Balik Sebagai Atribut Kelompok.

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 14: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  14  

kelas) siswa, kelompok-kelompok yang lebih kecil juga terbentuk di dalam tiap-tiap angkatan tersebut. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari para informan terdapat variasi kelompok pertemanan di dalam pergaulan sehari-hari siswa SMAN 70.

Siswa populer adalah siswa yang sejak duduk di kelas sudah aktif mengikuti kegiatan-kegiatan angkatan. Sebagai contoh, ketika siswa agit

menyuruh siswa utas berkumpul atau nongkrong, kelompok siswa ini adalah yang paling “rajin” mengikuti perintah seniornya sehingga senior pun paling mengingat anak-anak kategori ini. Salah satu informan saya, Ninda, yang merupakan siswa agit, mengistilahkan tipe anak populer ini sebagai “anak angkatan”.

       

Bagan 2. Skema Kelompok Pertemanan Siswa SMAN 70

Sumber: Hasil Penelitian Lapangan (Andariani, 2013) Selain itu, siswa populer atau

“anak angkatan” ini juga biasanya tergabung dalam ekskul tertentu. Untuk siswa laki-laki, biasanya tergabung ekskul boxing sedangkan siswa perempuan biasanya tergabung dalam ekskul PKC (dance dan cheerleading). Siswa laki-laki yang mengikuti ekskul boxing biasanya adalah tipe anak “jagoan” atau paling tidak ingin terlihat seperti itu karena memang ada kesan bahwa ekskul boxing adalah ekskul yang “wah”. Sedangkan siswi yang tergabung dalam ekskul PKC biasanya dapat teridentifikasi dengan mudah karena

mereka biasanya memiliki wajah yang cantik. Walaupun demikian, ada pula siswa yang tidak tergabung dalam ekskul-ekskul tersebut namun tetap tergabung dalam tipe kelompok siswa ini karena seringnya intensitas nongkrong bareng.

Sementara itu, kategori berikutnya adalah kategori siswa fleksibel. Seperti sudah diungkapkan informan-informan sebelumnya, kelompok siswa ini biasanya mengikuti kegiatan-kegiatan angkatan, namun selalu dan tidak sesering intensitas kelompok siswa populer. Kategori

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 15: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  15  

kelompok siswa ini dalam bergaul biasanya juga fleksibel, bisa bergaul dengan kelompok siswa nerd, dapat pula bergaul dengan kelompok siswa populer. Kategori yang terakhir adalah kelompok siswa nerd. Kelompok ini dianggap sebagai kelompok anak yang “tukang belajar” hingga akhirnya bersikap ansos12 terhadap lingkungannya.

Angkatan, Sebuah Identitas dan Kebanggaan Serta Kemalangan Utas Menurut Gennep (1960), semua ritus peralihan (rites of passage) dalam kebudayaan apapun memiliki tiga tahapan ritual: pemisahan, transisi, dan inkorporasi (penyatuan kembali). Pada tahap pertama yaitu pemisahan, memiliki karakteristik pemisahan dari status lama yang dimiliki calon anggota. Pada tahap kedua, individu yang berada di tahap antara ini telah dipisahkan dari status yang lama tetapi belum terintegrasi dengan status yang baru. Masa transisi ini diasosiasikan dengan bahaya dan ambiguitas, karena individu dilepaskan dari kondisi normal, setiap hari hingga kurun waktu tertentu. Pada periode transisi atau liminal ini subjek ritual harus menerima yang sewenang-wenang tanpa komplain. Fase terakhir ialah ritual inkorporasi individu ke dalam status yang baru (Turner, 1966: 94-95). Berdasarkan konsep ritus peralihan di atas, saya melihat adanya aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh siswa-siswi SMAN 70 memiliki indikasi yang sesuai dengan konsep ritus penerimaan seperti bagaimana yang diungkapkan Van Gennep serta Turner. Ritus penerimaan yang terjadi di

                                                                                                               12 Ansos atau anti sosial adalah istilah untuk sikap menutup diri dalam pergaulan. Anak-anak yang ansos dianggap sebagai anak yang sulit bergaul.

kalangan siswa SMAN 70 tercermin dalam proses pembentukan kelompok siswa yang disebut dengan “angkatan”. Untuk melihat kesesuaian kasus yang masksud dengan konsep ritus penerimaan, saya akan menjabarkan informasi yang saya dapatkan dari wawancara mendalam dengan siswa-siswi SMAN 70 pada pembahasan ini. Transfer pengetahuan mengenai aturan main yang disampaikan oleh siswa agit kepada siswa utas serta relasi antar angkatan di SMAN 70 memiliki gap terus berulang dari tahun ke tahun dan tidak terputus. Tradisi tersebut seolah berkembang menjadi sebuah sistem yang mengatur kehidupan siswa SMAN 70 di lingkungan sekolah. Kemapanan sistem ini hingga terus menerus terjadi ternyata tidak terlepas dari adanya semacam pembentukan geng siswa yang biasa disebut oleh siswa SMAN 70 sebagai “angkatan”. Seperti kita ketahui bahwa di SMAN 70 terdapat tiga tingkatan kelas siswa, kelas X, kelas XI, dan kelas XII. Masing-masing tingkatan kelas siswa ini memiliki nama yang digunakan untuk menyebut identitas angkatan mereka. Sekalipun dianggap sebagai kelompok ilegal oleh pihak sekolah, namun adanya geng siswa yang disebut angkatan ini tidak dapat dipungkiri. Geng siswa atau angkatan ini terdiri dari keseluruhan siswa SMAN 70 pada satu angkatan tanpa terkecuali. Ketika seorang siswa masuk menjadi bagian dari SMAN 70, maka secara otomatis ia sudah dianggap menjadi anggota dari angkatan tersebut, bukan hanya sekelompok atau sebagian siswa saja. Angkatan bukanlah geng yang keanggotaannya eksklusif melainkan terbuka bagi seluruh siswa dalam satu angkatan. Bagian menarik dari geng angkatan ini justru terletak pada proses pemberian

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 16: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  16  

“nama angkatan”. Setiap angkatan, yaitu kelas X atau utas, kelas XI atau aud, dan kelas XII atau agit masing-masing memiliki nama angkatan. Ketika penelitian ini dilakukan angkatan siswa agit memiliki nama angkatan Gestavo (siswa laki-laki) dan Grazia (siswa perempuan), angkatan siswa aud memiliki nama angkatan Ballistik (siswa laki-laki) dan Balzes (siswa perempuan), sedangkan angkatan siswa utas belum memiliki nama angkatannya sendiri. Kepemilikan nama untuk setiap angkatan ini sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Dipilihnya sebuah nama menjadi nama angkatan di SMAN 70 pada awalnya dilakukan oleh anak angkatan itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, terjadi senioritas sehingga nama angkatan ini harus dibentuk oleh siswa agit dan diberikan kepada siswa utas. Agar suatu angkatan siswa yang masih baru dapat memiliki nama angkatan, siswa utas harus melewati serangkaian proses perploncoan dan memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan oleh siswa agit. Syarat-syarat tersebut adalah, angkatan yang akan diberi nama harus meramaikan tempat tongkrongan, menunjukan kekompakan, sopan terhadap siswa agit, orang-orang Bulungan13, dan guru guru juga. Namun jika kepada kelas dua, mereka justru harus bersikap kurang ajar. Syarat yang terakhir adalah melakukan tawuran dengan sekolah lain dan memenangkannya. Tawuran ada yang dilakukan di Jalan Bulungan, adapula yang dilakukan dengan cara menghampiri langsung sekolah yang ingin diajak ribut.

                                                                                                               13 Orang Bulungan adalah orang-orang yang ada di sekitar wilayah SMAN 70 Bulungan, mulai dari pedagang kantin, satpam, pedagang makanan dan minuman di sekitar tempat nongkrong dan sebagainya.

Jaket Angkatan dan Bahasa Balik Sebagai Atribut Kelompok Atribut adalah segala sesuatu yang terseleksi, baik disengaja maupun tidak, yang dikaitkan dengan dan untuk kegunaannya bagi mengenali identitas atau jatidiri seseorang atau sesuatu gejala. Atribut ini bisa berupa ciri-ciri yang menyolok dari benda atau tubuh orang, sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan, atau bahasa yang digunakan. Corak jatidiri seseorang ini ditentukan oleh atribut-atribut yang digunakan, yaitu agar dilihat dan diakui ciri-cirinya oleh para pelaku yang dihadapi dalam sesuatu interaksi, agar jatidiri dan peranan seseorang tersebut diakui dan masuk akal bagi pelaku yang terlibat dalam interaksi tersebut. Ada jatidiri yang tidak dapat diubah, walaupun dapat ditutupi untuk sementara, dan ada jatidiri yang dapat dengan mudah diubah dengan cara memanipulasi atau mengaktifkan sejumlah atribut yang diperlukan untuk tujuan tersebut. (Suparlan, 2005: 29-30). Setelah sebuah angkatan siswa utas telah diberi nama oleh siswa agit, berikutnya angkatan tersebut berhak memperoleh “jaket angkatan”. Jaket angkatan adalah sebutan bagi jaket seragam yang dimiliki oleh siswa SMAN 70 dalam satu angkatan setelah mereka memiliki nama angkatan sehingga pada jaket tersebut tertera nama angkatan mereka. Untuk angkatan genap, jaket angkatan dimiliki oleh seluruh siswa dalam satu angkatan, sedangkan untuk angkatan ganjil, jaket angkatan hanya diperuntukan bagi siswa laki-laki. Setiap angkatan di SMAN 70, memiliki jaket angkatan yang berbeda dan tidak ada satu pun yang sama dengan angkatan lainnya sehingga setiap jaket memang eksklusif untuk dimiliki

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 17: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  17  

oleh satu angkatan saja. Jaket inilah yang saya identifikasikan sebagai atribut khas yang dimiliki oleh angkatan siswa SMAN 70. Mulai dari warna, jenis font, logo, serta setiap tulisan yang tertera di jaket angkatan tersebut harus disepakati oleh anak-anak yang tergabung dalam satu angkatan tersebut. Kepang, menceritakan bagaimana proses sebelum akhirnya jaket angkatan dibuat. Menurut Kepang, yang pertama kali harus disepakati oleh satu angkatan adalah warna jaket. Anak-anak satu angkatan berembuk memilih warna yang akan menjadi warna pada jaket angkatan mereka. Jika warna yang disepakati oleh angkatan sudah pernah digunakan oleh angkatan sebelumnya, maka angkatan baru yang ingin menggunakan warna tersebut harus meminta izin kepada angkatan terdahulu yang memiliki warna jaket dengan warna yang sama tersebut. Setelah meminta izin kepada angkatan terdahulu yang warna jaketnya ingin digunakan, maka alumni angkatan sebelumnya memberikan “persyaratan” tertentu. Persyaratan yang diminta biasanya terkait dengan prestasi seperti misalnya tingkat kelulusan angkatan harus mencapai 100% , penerimaan di PTN mencapai 98%, dan menyumbangkan prestasi melalui ekstrakurikuler selama menjadi siswa SMAN 70. Setelah mendapat izin menggunakan warna tertentu dari angkatan sebelumnya, maka angkatan kemudian menyepakati satu logo yang akan dibordir pada emblem di jaket tersebut. Logo tersebut disebut sebagai logo atau lambang angkatan. Secara umum jaket angkatan siswa SMAN 70 terdiri dari emblem lambang angkatan dan tulisan Bulungan di lengan kiri. Di dada kanan terdapat nama anak pemilik

jaket tersebut dan di dada kiri terdapat nama angkatan dan tahun periode angkatan tersebut bersekolah si SMAN 70.

Jaket angkatan biasanya digunakan pada saat acara ulang tahun angkatan atau sekedar kumpul-kumpul angkatan. Selain itu, jaket angkatan juga mereka gunakan saat tawura dengan sekolah lain agar dapat membedakan mana yang merupakan kawan mana yang lawan. Di dalam area sekolah, jaket ini tidak boleh digunakan, bahkan jika ketahuan membawa jaket angkatan bisa disita oleh pihak sekolah karena sekolah menganggap jaket angkatan sebagai salah satu ciri negatif siswa SMAN 70 Jakarta. Meskipun demikian siswa SMA 70 merasa bangga terhadap jaket angkatan yang mereka miliki. Jaket ini dapat diidentifikasikan sebagai atribut siswa SMAN 70 karena jaket tersebut dapat dikenali sebagai ciri-ciri dari kelompok siswa SMAN 70 Jakarta di dalam satu interaksi, baik itu interaksi dengan sesama siswa SMAN 70, guru, ataupun siswa sekolah lain, sehingga para pelaku dalam interaksi ini dapat memutuskan sikap yang mereka tunjukan ketika melihat anggota dari satu kelompok—dalam hal ini siswa SMAN 70—menggunakan atribut ini.

Selain jaket, hal lain yang menjadi atribut dari kelompok ini adalah Bahasa Balik. Pada awal bab ini telah saya sebutkan bahwa dalam kesehariannya siswa SMAN 70 menyebut siswa kelas X sebagai utas, kelas XI sebagai aud, dan kelas XII sebagai agit. Penyebutan tersebut sebenarnya berasal dari kata-kata yang dibalik; utas berarti satu, aud berarti dua, dan agit berarti tiga. Bahasa tersebut disebut bahasa balik atau ahasab kilab karena cara penggunaan bahasa tersebut adalah dengan membaca suatu kata dengan urutan huruf yang

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 18: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  18  

terbalik. Jika terdapat huruf C atau J di akhir kalimat, maka pelafalan huruf tersebut berubah menjadi huruf S. Berikut ini adalah beberapa kata dalam bahasa balik yang sering mereka gunakan dalam keseharian.

1. utas à satu (anak kelas satu / kelas X)

2. aud à dua (anak kelas dua / kelas XI)

3. agit à tiga (anak kelas tiga / kelas XII)

4. tubir à ribut (tawuran) 5. tubas à cabut (meninggalkan

pelajaran tanpa izin guru) 6. tekas à jaket 7. rotom à motor 8. kilab à balik (pulang sekolah) 9. teksab à basket 10. kitnas à cantik 11. talos à solat 12. nakitnalep à pelantikan 13. kowos à cowok 14. kewes à cewek 15. rejes à jejer 16. mane à enam 17. ngares à serang (tawuran) Bahasa balik tidak diterapkan dalam

keseluruhan kalimat dalam pembicaraan. Biasanya hanya satu atau dua kata saja dalam kalimat yang diubah menjadi bahasa balik. Kata-kata yang biasa dibalik adalah kata-kata yang telah saya contohkan di atas. Penggunaan kata-kata tersebut di dalam kalimat misalnya seperti contoh berikut ini.

1. Bahasa balik : “Nanti kita tubas aja jam pelajaran keempat. Terjemahan : “Nanti kita cabut (bolos) aja jam pelajaran keempat.”

1. Bahasa balik : “Utas yang itu kitnas tengab.” Terjemahan : “Anak kelas satu yang itu cantik banget.”

2. Bahasa balik : “Nanti pulang sekolah kita mau ngares anak mane ya.” Terjemahan : “Nanti pulang sekolah kita mau nyerang (serang / tawuran) anak enam ya,”

Bahasa balik ini juga menjadi salah satu ciri khas SMAN 70 yang diturunkan turun-temurun, hingga para guru juga mengetahui dan memahami bahasa ini, meskipun pada praktiknya para guru tidak dapat menggunakan bahasa balik sefasih para siswa. Oleh karena itu, siswa juga seringkali menggunakan bahasa balik ketika membicarakan hal-hal yang tidak ingin dipahami guru atau pihak lain. Seiring berjalannya waktu, para siswa akan fasih menggunakan bahasa balik karena memang sering digunakan sehari-hari. Maka tak jarang siswa tidak hanya menggunakan bahasa balik di dalam lingkup sekolah, tetapi juga di luar sekolah karena penggunaan bahasa tersebut telah menjadi kebiasaan para siswa. Bahasa balik yang selalu digunakan oleh siswa SMAN 70 dalam setiap kesempatan ialah utas, aud, dan agit. Bahkan, ada salam khusus yang sering digunakan dalam kegiatan-kegiatan di SMAN 70 (misal memulai pidato saat upacara, atau pemberian kata sambutan di suatu kegiatan) yang menggunakan bahasa balik. Salam tersebut berbunyi “AYAS HUJUT HULUP” (JAYA TUJUH PULUH). Jadi jika seseorang menyapa dengan mengucapkan atau meneriakan “AYAS HUJUT HULUP” Kesimpulan Observasi dan wawancara yang saya lakukan selama penelitian ini menunjukan bahwa siswa SMAN 70 memang memiliki tata cara yang unik dan spesifik di dalam pergaulannya. Bahkan tata cara dalam pergaulan atau

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 19: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  19  

dalam kata lain aturan-aturan main tersebut dilakukan berulang dan turun-temurun dari satu angkatan ke angkatan lain sehingga para siswa menganggap aturan-aturan main yang mereka jalankan tersebut sebagai sebuah tradisi. Di dalam bab terakhir ini saya menjabarkan kesimpulan yang saya peroleh mengenai ragam aturan main dan cara aturan main tersebut dioperasionalkan dalam keseharian siswa SMAN 70.

Aturan-aturan main yang terdapat dalam pergaulan siswa SMAN 70 banyak terkait dengan adanya praktik senioritas di sekolah tersebut, yang menghasilkan pembagian peran bagi siswa kelas X (utas), kelas XI (aud), dan kelas XII (agit). Setiap angkatan memiliki peranan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Siswa utas sebagai angkatan paling junior harus tunduk kepada siswa agit dan melakukan semua perintah siswa agit. Siswa aud sebagai angkatan yang lebih senior dari siswa utas namun lebih junior dari siswa agit, berada dalam posisi yang tidak ditindas oleh senior namun tidak berhak untuk menindas junior. Sedangkan siswa agit sebagai angkatan yang paling senior memiliki kendali penuh terhadap siswa utas sehingga dapat mengintimidasi junior mereka tersebut. Para siswa sendiri menganggap berbagai hal yang mereka lewati sejak masih utas, kemudian aud, hingga akhirnya menjadi agit adalah sebuah fase yang harus mereka lewati mulai dari masa sulit hingga akhirnya masa berkuasa.

Untuk melanggengkan praktik senioritas tersebut, maka dibuatlah serangkaian aturan-aturan main yang harus dipatuhi siswa. Tidak hanya itu, aturan main juga dilaksanakann untuk menghindari konflik antar siswa, baik individu ataupun angkatan. Peraturan-

peraturan tersebut terkait dengan adanya pembagian teritori tangga, yang mengharuskan setiap angkatan melewati tangga yang berbeda untuk naik-turun gedung sekolah, pembagian wilayah kantin, tempat nongkrong berupa lapangan sekolah dan area di sekitar sekolah (Jalan Mendawai, GOR Bulungan, dan Jalan Lamandau). Aturan-aturan lainnya yang meliputi masalah penampilan, perilaku, serta sikap tertentu yang harus dilakukan siswa junior selama berada di lingkungan sekolah terangkum dalam daftar aturan tak tertulis yang disebut “Pasal Utas” dan hal ini telah disampaikan siswa agit kepada siswa utas sejak pertama mereka memasuki masa orientasi sebagai siswa SMAN 70.

Aturan-aturan main tersebut juga dioperasionalisasikan melalui serangkaian ritual yang dilakukan oleh siswa utas SMAN 70 Jakarta ketika mereka ingin diakui sebagai bagian dari tradisi “angkatan” yang terdapat di SMAN 70. Siswa SMAN 70 memiliki tradisi untuk memberi nama berbeda untuk masing-masing angkatan yang dilakukan oleh angkatan siswa senior (agit) kepada angkatan siswa junior (utas). Agar angkatan junior diberikan nama angkatan tersebut oleh angkatan seniornya, maka angkatan junior harus melakukan persyaratan yang diberikan oleh angkatan senior. Persyaratan yang diminta adalah meramaikan tempat-tempat tongkrongan siswa junior (kantin utas dan Jalan Mendawai) pada jam istirahat serta pulang sekolah, semakin ramai yang siswa utas yang berkumpul, menandakan angkatan tersebut semakin solid.

Solidaritas angkatan tersebut juga diwujudkan dalam aksi tawuran dengan pelajar sekolah lain. Setelah berhasil memenangkan tawuran

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 20: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  20  

sejumlah yang ditetapkan oleh senior mereka, maka para siswa utas akan dikumpulkan untuk acara pelantikan angkatan. Pada acara pelantikan ini, angkatan siswa utas akan diberi nama angkatan oleh seniornya. Hal serupa juga terjadi di kalangan siswi, hanya saja pembuktian yang dilakukan oleh siswi bukan berupa tawuran dengan sekolah lain, melainkan dengan ribut dengan angkatan siswa aud (kelas XI). Keinginan siswa utas untuk mendapatkan nama angkatan seperti juga angkatan-angkatan sebelumnya di SMAN 70, membuat mereka melakukan berbagai ritual yang menjadi persyaratan dari siswa agit tersebut.

Aturan-aturan ini meskipun tidak tertulis, namun sifatnya mengikat siswa SMAN 70 sehingga mau tidak mau mereka harus mengikutinya karena terdapat sanksi sosial bagi siswa yang melanggar aturan-aturan ini. Sanksi sosial ini diberikan oleh siswa senior kepada siswa junior berupa teguran secara halus maupun kasar, serta intimidasi secara fisik melalui tindakan seperti tamparan, pukulan, atau tendangan yang dilakukan perorangan ataupun berkelompok. Selain itu sanksi sosial juga dapat diberikan oleh teman satu angkatan karena anak yang tidak mengikuti aturan tersebut dianggap tidak kompak atau tidak solid dengan teman-teman satu angkatannya. Pada akhirnya, ketakutan siswa junior terhadap sanksi sosial itu membuat mereka mau tak mau mengikuti aturan main yang ada, dan kembali mengulangi hal tersebut terhadap siswa baru ketika mereka telah menjadi senior.

Meskipun terdapat sebagian siswa SMAN 70 yang tidak setuju dan tidak ingin mengikuti tradisi ini, namun mereka hanyalah kelompok minoritas yang tidak dapat membuat perubahan.

Hal tersebut dikarenakan adanya nilai solidaritas yang sangat dielu-elukan dan kebanggaan siswa SMAN 70 sendiri terhadap tradisi yang mereka miliki. Sehingga, pendapat individu serta kelompok minoritas tidak dipentingkan atas nama solidaritas angkatan. Akibatnya, dari tahun ke tahun aturan main tersebut berkembang menjadi tradisi yang terus direproduksi dan sulit dihapuskan sekalipun dengan tata tertib dan sanksi yang diterapkan dari pihak sekolah.

Oleh karena itu, setelah melakukan penelitian ini, saya menyimpulkan bahwa keberadaan aturan-aturan main yang terdapat dalam pergaulan siswa SMAN 70 Jakarta menunjukan gejala-gejala yang sesuai dengan konsep semi autonomous soicial field yang dikemukakan oleh Sally Falk Moore (1978). Kesesuaian tersebut tercermin dari kondisi sosial di SMAN 70 Jakarta yang memenuhi karakteristik sebagai sebuah bidang sosial semi otonom yaitu terdapatnya aturan-aturan yang diciptakan oleh komuniti tertentu yang tidak selalu terstruktur secara ketat karena dapat pula terstruktur secara cair. Dalam konteks ini, komuniti yang dimaksud adalah siswa SMAN 70 itu sendiri. Kedua, perangkat aturan ini memiliki potensi menerapkan hak dan kewajiban diantara warga-warga tersebut. Selain itu perangkat aturan ini memiliki mekanisme pengawasan dan bersifat memaksa untuk menjamin penerapannya, dalam kasus ini mekanisme pengawasan dan pemaksa berupa adanya sanksi-sanksi sosial bagi siswa yang melanggar aturan tersebut. Keempat, keberadaan perangkat aturan ini seringkali dalam kenyataannya berdampingan dengan perangkat-perangkat aturan lainnya, khususnya yang bersifat formal. Dalam hal ini,

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 21: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  21  

aturan-aturan main yang terdapat dalam pergaulan siswa SMAN 70, hadir berdampingan dengan aturan formal seperti peraturan sekolah, bahkan lebih jauh lagi juga terkait dengan Peraturan Daerah, khususnya menyoal permasalahan tawuran. Hal tersebut

menunjukan perangkat aturan ini bersifat rentan dan tumpang tindih (tidak mutlak otonom).

DAFTAR PUSTAKA

Bell, Robert R.

1962. The Sociology of Education. USA: The Dorsey Press. Berger, Peter L.

1978. Invitation to Sociology: A humanistic Perpective. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.

Creswell, J. W.

1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. California: Sage Publications, Inc. Creswell, J. W.

2003. Reasearch Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publications, Inc.

Deal, Terrence E. dan Allan A. Kennedy.

1982. Corporate Culture: The Rites and Rituals of Corporate Life. Addison-Wesley.

Douglas. Introduction to Sociology: Situation and Structures. New York: The Free Press.

Ferraro, Gary.

2004. Cultural Athropology. Canada: Thomson Learning. Hemmersley, Martyn.

1944. Etnografi Ruang Kelas: Esai Empiris dan Metodologis. Semarang: IKIP Press.

Hurn, Christoper J.

1993. The Limits and Possibilities of Schooling. USA: Simon & Schuster. Jaeger, Gerturade.

1976. Sociology: A Text with Adapted Readings. New York: Harper and Row.

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 22: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  22  

Mead, George Herbert. 1971. Mind, Self, and Society from the Standpoint of a Social Behaviorist. Chicago: The University of Chicago Press.

Merton, Robert K.

1964. Social Theory and Social Structure. New York: The Free Press. Moore, Sally Falk.

1978. Law as Process. London: Routledge & Kegan Paul. Spradley, James.

1972. Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans. USA: Holt, Rinehart, and Winston. Sunarto, Kamanto.

1993. Pengantar Ilmu Sosiologi. Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suparlan, Parsudi.

2005. Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta: YPKIK Press. Taylor, S.J dan R. Bogdan.

1984. Introduction to Qualitative Research Methods : The Search for Meanings, Second Edition. Toronto : John Wiley and Sons.

Turner, Victor.

1966. The Ritual Process:Structure and Anti-Structure. USA: Aldine Publishing Company.

Yee, Albert H.

1971. Social Interaction of Educational Settings. New Jersey: Prentice-Hall. Internet: Nn.

1981 SMA Negeri 70 Kini Punya 4708 Murid (Koran Kompas Arsip Wikipedia) Diakses dari http://id.wikipedia.org

Nn.

2007 Sejarah SMAN 70 Bulungan. Diakses dari http://z6.invisionfree.com/Seventy_Forum/index.php?showtopic=82   19   April  2007.  

Nn.

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012

Page 23: Aturan Main Dalam Pergaulan Siswa SMAN 70 Jakarta

  23  

2009 Jumlah Sekolah di Jakarta Kini 5.005 Sekolah. Diakses dari www.  http://disdikdki.net/ Kamis, 25 Juni 2009.

Nn.

2013 Sering Terkena Banjir, Tapi Juga “Banjir” Prestasi. Diakses dari www.koran-jakarta.com Jumat, 04 Januari 2013.

Nn.

2013 Deal and Kennedy's Cultural Model: Understanding Rites and Rituals in Corporate Culture. Diakses dari http://www.mindtools.com

Rohmah, Alfiyyatur. 2012 Mau Tawuran, 90 Siswa Budut Diamankan. Diakses dari www.kompas.dom Kamis, 18 Oktober 2012.

Referensi Lain Tata Tertib Siswa SMAN 70 Jakarta Tahun Pelajaran 2012 – 2013

Aturan main..., Annisa Andariani, FISIP UI, 2012