asset based community developmentjournal.unair.ac.id/filerpdf/07-adri patton-2005.pdf ·...
TRANSCRIPT
Asset Based Community Development:Strategi Pembangunan Di Era Otonomi Daerah:
Oleh: Adri PattonDosen FISIP Universitas Mulawarman
Abstract
Development contains the wide meaning as a multidimensional process includingimportant changes in social struct ure, attitude of society and national institutes andalso local as well as economic growth acceleration, social -economic gap reduction,and poverty eradication. So that, it has to be characterized by the community drivenwith the goals and targets, which can really measured not only in physical, but alsosocially. Reorientation in the development approach and strategies is needed in orderto meet the purposes of the development programs in the era of autonomy. Assetbased community development is an approach to community-based development,based on the principles of: Appreciating and mobilizing individual and communitytalents, skills and assets (rather than focusing on problems and needs), Community -driven development rather than development driven by exte rnal agencies.
Key words: development strategy, asset based community, autonomy.
Bila disimak kemajuan yang telah dicapai selama masa pemerintahan orde
baru yang berbasis pada pendekatan pertumbuhan ekonomi (growth oriented),
ternyata tidak cukup kuat memberikan pondasi bagi keberhasilan pembangunan
dalam jangka panjang. Kebutuhan untuk mengejar pertumbuhan sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan negara-negara dunia ketiga atau sedang berkembang lainnya,
dan pendekatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia memang memberikan hasil
yang cukup signifikan. Hal itu terbukti dengan tingginya angka pertumbuhan
ekonomi nasional yang mencapai 7 % pada tahun 1996. Situasi terbaik terjadi
antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20 %, dan
yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai
11,3%. Namun situasi demikian cepat berbalik, Indonesia mengalami puncak krisis
ekonomi pada tahun 1998-1999 dan penduduk miskin mencapai sekitar 24% dari
jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun
menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004 (data dikutip dari Dalle
Daniel Sulekale, 2003).
Salah satu faktor penyebabnya dapat disebutkan antara lain lantaran strategi
dan kebijakan pembangunan di era orde baru semata -mata dipacu dan diarahkan
untuk mengejar pertumbuhan, khususnya di sektor industri, karena pembangunan
diidentikkan dengan industrialisa si dan kurang memperhatikan aspek pemerataan.
Hasil-hasil pembangunan yang dicapai ternyata seperti pedang bermata dua, disatu
sisi keberhasilan secara fisik dan makro tetapi di sisi lain timbul kesenjangan,
kemiskinan, dan problem-problem sosial budaya yang tidak bisa diabaikan begitu
saja. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa or ientasi pembangunan selama ini masih
pada taraf economic growth belum mencapai pada apa yang disebut dengan economic
development, sebab economic development ini hanya akan terwujud manakala hasil -
hasil pembangunan sudah meliputi aspek politik, social dan b udaya (Woro Astuti,
2000).
Tulisan ini tidak akan membahas secara detail mengenai perkembangan
strategi pembangunan, dan hasil -hasil pembangunan berikut kelebihan dan
kelemahannya dengan data-data yang rinci. Namun tulisan ini hanya salah satu dari
banyak tulisan lain yang berupaya untuk memaparkan suatu refleksi (introspeksi)
terhadap strategi pertumbuhan yang selama ini telah ditempuh dan kemudian
berupaya menegaskan kembali pentingnya reorientasi strategi pembangunan di era
reformasi dan otonomi daerah dewasa ini khususnya yang bersentuhan langsung
dengan masyarakat di Pedesaan.
Pembangunan vs Kesenjangan
Pembangunan mengandung makna yang luas sebagai suatu proses
multidimensi yang mencakup perubahan -perubahan penting dalam struktur sosial,
sikap-sikap masyarakat dan lembaga-lembaga nasional maupun lokal dan juga
akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan, dan pemberantasan
kemiskinan (lihat Todaro, 1977). Dengan demikian tujuan yang harus diperjuangkan
dari serangkaian proses pembangunan suatu negara bangsa seyogyanya bermuara
pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh yang menjangkau
baik dalam dimensi fisik maupun dimensi moral budaya. Namun sebagaimana
dipaparkan di atas, pembangunan yang berlangsung masih lebih banyak diarahkan
pada pertumbuhan ekonomi semata dan “mengorbankan” pemerataan.
Adanya kesenjangan hasil -hasil pembangunan di era orde baru, antara lain
sebagaimana terekam dalam data versi Bank Dunia tahun 1993 memberi gambaran
bahwa hampir 75% dari value added industri Indonesia terkumpul di Jawa sedangkan
kepulauan di luar Jawa hanya mampu memproduksi 3 % dari seluruh industrial
output. Sementara itu konsentrasi industri sekitar 77 % berada di Jawa, di Sumatra
14 %, Kalimantan 6 % dan Sulawesi serta kawasan timur lainnya masing-masing
1 %. Penumpukan industri terbesar berada di Jakarta dan sekitarnya yaitu sebesar
53 % sementara di surabaya dan sekitarnya sebesar 16,4 % (The World bank Group,
1993) . Data ini sekiranya dapat memberikan gambaran d an mengingatkan kembali
agar masalah kesenjangan ini hendaknya mendapat perhatian yang serius bagi
pemerintahan pasca orde baru demi menjaga eksistensi dan keutuhan NKRI.
Walaupun kesenjangan itu bisa diterima keberadaanya sebagai sesuatu yang
tidak dapat dihindari dalam setiap proses pembangunan, baik kesenjangan antar
negara, daerah maupun kelompok masyarakat tertentu, namun hendaknya perlu
menjadi fokus perhatian utamanya dalam menjaga keutuhan negara kesatuan RI.
Untuk meminimalisir kesenjangan perlu diketahui latar-belakang terjadinya
kesenjangan tersebut. Kesenjangan dapat saja diakibatkan karena faktor alamiah
(geographical inequalities ) yakni tidak meratanya distribusi sumber-sumber daya
alam sehingga berakibat pada ketidaksamaan tingkat kemakmuran masyarakat
yang ada disekitarnya. Di sisi lain kesenjangan juga dapat disebabkan karena
intervensi pembangunan dalam hal ini berupa kebijakan ( policy) pemerintah yang
kurang tepat. Seperti misalnya dengan mengadopsi konsep “ trickle down effect” yang
ternyata hanya semakin menambah ketergantungan masyarakat. Selanjutnya
penyebab kesenjangan yang lain adalah adanya perbedaan perlakuan antar manusia
itu sendiri yang bersumber dari perbedaan suku, kelas, jenis kelamin, kebudayaan,
agama, tingkat pendapatan dan juga akses untuk menikmati hasil - hasil
pembangunan. (sosio-economic inequalities).
Dengan demikian masalah kesenjangan sebenarnya sangat sulit untuk
dihindari sama sekali dan rupanya kecenderungan ini semakin tajam seiring dengan
pesatnya laju pembangunan. Ironis memang, tetapi itu kenyataan yang kita hadapi.
Phenomena kemiskinan ditengah-tengah lajunya pembangunan sudah bukan hal
baru lagi, khususnya di negara -negara sedang berkembang, dimana pembangunan
lebih diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan GNP dan mementingkan efisiensi
dengan mengedepankan industrialisasi. Konsekwensi logis dari pendekatan tersebut
sudah kita rasakan bersama dimana telah terjadi akumulasi kepemilikan asset pada
sebagian kecil pelaku bisnis besar, sementara pada sektor bisnis “akar rumput” justru
mengalami proses marginalisasi. Hal inilah yang kemudian ketika terjadi krisis
moneter di Indonesia mengalami kesulitan dalam proses pemulihan ekonominya.
Fenomena yang akhirnya membawa negara kita pad a arus reformasi
sebenarnya merupakan refleksi dari kurang berhasilnya kebijakan pembangunan yang
hanya mengedepankan pertumbuhan GNP melalui industrialisasi yang berbasis
impor. Sesungguhnya upaya untuk memacu proses industrialisasi sebagai bagian dari
proses pembangunan, dapat ditempuh melalui dua pendekatan (Bryan,C. and
White,G. :1987) yakni:
1. Merangsang sektor industri yang sedang tumbuh melalui peningkatanimpor teknologi barat guna meningkatkan produktivitas industri tersebut.2. Memobilisasi sektor tradisional dalam perekonomian untuk melayanitugas-tugas industrialisasi. Dengan asumsi bahwa lapisan masyarakat yanghidup di pedesaan merupakan angkatan kerja yang potensial sehingga perludikembangkan dan dimanfaatkan demi proses pertumbuhan danindustrialisasi.
Namun pendekatan yang kedua ini rupanya sering ditinggalkan dengan
berbagai pertimbangan yang lebih memandang bahwa pendekatan pertama
memberikan prospek hasil lebih nyata dalam kurun waktu relatif lebih singkat.
Sedangkan pendekatan kedua lebih dipandang tidak efisien dan membutuhkan waktu
yang relatif lama. Dari pengalaman yang diperoleh selama orde baru, pertumbuhan
ekonomi yang dicapai tersebut ternyata tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara luas dan hanya meningkatkan sosio -ekonomi segelintir orang yang
memang sudah kaya (Abdul wahab,1999). Selain itu, pengamat ekonomi A.S.Dillon
(2001) mengatakan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak
dibarengi pemerataan merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin
negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Bagaimana dengan strategi pembangunan di era reformasi ini? Nampaknya
semangat untuk melakukan reorientasi strategi dan pendekatan pembangunan lebih
serius. Hal ini terbukti dengan dicanangkannya secara formal konsep ekonomi
kerakyatan dalam TAP MPR XVI tahun 1998 sehingga menjadi bagian dari
kebijakan ekonomi nasional. Selain itu di era reformasi ini juga memberikan peluang
bagi perubahan paradigma pemba ngunan nasional dari paradigma pertumbuhan
menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang.
Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah
dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket undang-
undang yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Orientasi Pembangunan di era Otonomi Daerah
Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999 ini
adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan
prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan
peran dan fungsi DPRD. UU ini memberikan otonomi se cara penuh kepada daerah
kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa
dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah diberi kewenangan
penuh untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan
mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi
masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas
pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi
pemerintah, dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan
kebutuhan publik. Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi
pelaksanaan peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan
entrepreneur (wirausaha) dalam proses pembangunan (Mar diasmo, 2002). Orientasi
terhadap tuntutan dan kebutuhan publik ini sudah barang tentu menjadi sarana dalam
upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini memerlukan peran serta aktif
masyarakat, sebagaimana salah satu tujuan otonomi daerah adalah untu k
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi kehidupan mereka (Mubyarto,2002).
Peningkatan partisipasi masyarakat ini sangat penting dalam mengejar
ketertinggalan dan penghapusan kemiskinan. Sebagaimana dikatakan oleh HS.Dillon
bahwa paradigma penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah saat ini
adalah bahwa kebijakan atau program anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila
“kaum miskin menjadi aktor utama dalam perang melawan kemiskinan” (HS.Dillon:
2001). Sependapat dengan pendapat tersebut, Mubyarto mengatakan bahwa untuk
membantu kaum miskin keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan kepedulian,
komitmen, kebijaksanaan, orga nisasi, dan program yang tepat. Diperlukan pula sikap
yang tidak memperlakukan orang miskin sebagai obyek, tetapi sebagai subyek.
“Orang miskin bukan orang yang tidak memiliki apa -apa, melainkan orang yang
memiliki sesuatu, walaupun serba seadanya” (Mubyarto: 2001).
Dengan pemahaman mendalam (bukan sekedar retorika) mengenai hakekat
pembangunan dan otonomi daerah, pemerintah Pusat maupun Daerah hendaknya
mampu merekonstruksi dan merealisasi program -program pengentasan kemiskinan
yang benar-benar fungsional dan bersifat result oriented (pencapaian tujuan yang
jelas). Memang hal ini tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, namun indikasi akan
tercapainya tujuan program minimal harus dapat diamati secara gradual tapi pasti.
Sayang, sekali lagi hasil yang dicapai sejauh ini masih belum mengindikasikan akan
tercapainya tujuan pembangunan khus usnya dalam pengentasan kemiskinan dan
pengangguran. Hal ini dapat disimak dari perkembangan tingkat kemiskinan di
Indonesia menurut BPS pada tahun 2002 mencapai 38,5 juta jiwa, atau bertambah
sebesar 1,4 juta jiwa dari tahun 2001. Tetapi data Bank Dunia b erdasarkan standar
internasional 2 dollar AS per hari (sekitar Rp 17.000) menunjukkan jumlah penduduk
miskin Indonesia mencapai 110 juta jiwa atau 53% dari seluruh penduduk.
(Hidayatullah Muttaqin, 2003; HS.Dillon, 2002).
Tingkat kemiskinan ini ternyata d iperkuat dengan tingkat pengangguran yang
juga masih cukup tinggi dan cenderung naik. Meskipun pada tahun 2002
pertumbuhan ekonomi nasional telah mengalami peningkatan menjadi 3,7% dari
sebelumnya 3,3% pada tahun 2001, namun ternyata jumlah pengangguran ma sih
bertambah dari 37,1 juta orang tahun 2001 menjadi 38,5 juta orang pada tahun 2002
(BPS, 2003). Ini sekali lagi merupakan suatu bukti bahwa tidak ada jaminan
pertumbuhan ekonomi akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Demikian juga walaupun angka k emiskinan pada tahun 2003 mengalami
penurunan yakni 17,4% dari total populasi penduduk, atau turun 0,8% dibanding
2002, namun secara absolut jumlah penduduk miskin semakin bertambah (Ramesh
Subramaniam, 2004). Dikatakan pula bahwa semua kantong kemiskinan pada tahun
2003 masih belum banyak berubah dibanding tahun sebelumnya yang masih
terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Bali yang mencapai 57% dari populasi penduduk
kedua wilayah tersebut. Dari angka tersebut, sebesar 66% masyarakat miskin
terkonsentrasi di daerah pedesaan (Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI, 2004). Hal
ini dikarenakan tingkat upah di sektor pertanian, dimana sebagian besar rakyat
menggantungkan hidupnya, relatif masih rendah.
Tabel 1. perbandingan Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran danTingkat Kemiskinan di Indonesia Th. 2001 – 2002
Tahun PertumbuhanEkonomi
Tingkat Pengangguran TingkatKemiskinan
2001 3,3 % 37,1 juta 18,5 %
2002 3,7% 38,5 juta 19,3 %
Sumber: BPS, 2003.
Dengan demikian, orientasi pembangunan di era otonomi daera h ini
hendaknya jangan hanya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi (makro), namun
harus lebih pada penciptaan dan peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat
memenuhi kebutuhan pokoknya ( community empowernment). Dalam hal ini sangat
diperlukan adanya komitment dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan
tetap menjaga konsistensi kebijakan di bidang ekonomi yang berbasis ekonomi
kerakyatan. Keterlibatan masyarakat melalui pendekatan empowernment dan adanya
komitmen dari semua pihak terutama pemerintah sangat dibutuhkan dalam proses
pembangunan, oleh karenanya keduanya merupakan bagian dari proses dan definisi
pembangunan (Bryant,C. & White,L.G.,1987).
Asset Based Community Development
Sebagaimana dipaparkan di atas, tingkat kemiskinan yang tidak kunju ng
berkurang ini tidak dapat dilepaskan dari pendekatan atau strategi pembangunan yang
dalam prakteknya lebih banyak menempatkan rakyat sebagai obyek, belum benar -
benar sebagai subyek. Sektor pertanian dan kelautan yang menjadi penopang
sebagian besar rakyat Indonesia ternyata justru tidak dipacu sebagaimana halnya di
sektor industri. Mulai tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan
sektor pertanian, dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan, yang penuh
ketergantungan pada impor (Sajogyo, 20 02). Sedangkan di sektor kelautan, perhatian
terhadap kehidupan kaum nelayan yang menggantungkan hidupnya di kawaan pesisir
dirasa masih sangat rendah. Padahal kegiatan perikanan di kawasan pesisir mencapai
90 % dari kegiatan perikanan Indonesia (Nikiyullu w, 2000). Justru kebijakan
pembangunan seringkali mengakibatkan kaum miskin (petani dan nelayan)
termarjinalisasi dan harus kehilangan lahan garapannya demi sebuah proyek
pembangunan yang tidak disinergikan dengan kehidupan rakyat setempat. Sebagai
contoh proyek industri pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan bali menggusur
perkampungan nelayan tanpa ada good will untuk melibatkan rakyat berpartisipasi
dalam pengembangan pariwisata disana (Sunaryo dalam Woro Astuti, 2000).
Dengan adanya UU No. 22 tahun 199 9 sebenarnya memberikan angin segar
bagi pemupukan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Salah satu tujuan
diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam
pengambilan keputusan tentang hal -hal yang menyangkut diri merek a. Kewenangan
yang lebih besar diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten maupun desa, agar
lembaga-lembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah
sesuai potensi daerah dan aspirasi masyarakatnya masing -masing. Asumsi yang
mendasarinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan
aspirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan produk
kebijaksanaan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat
Kenyataan bahwa “daerah lebi h mengetahui potensi daerahnya masing -
masing”, mendorong untuk dilakukannya re -orientasi peran baik pemerintah pusat,
daerah, maupun desa dalam program -program penanggulangan kemiskinan. Program
penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah harus lebih mengandalkan
kreativitas dan prakarsa daerah dan masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang
sebelumnya sangat dominan, harus berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas,
pandangan dan pendampingan - pendampingan bagi program -program
penanggulangan kemiskinan (Mubyarto, 2002).
Hal ini merujuk pada esensi community based development yang
memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan, sehingga mereka akan lebih
bertanggungjawab untuk mendukung, memelihara, dan meningkatkan hasil -hasil
pembangunan secara berkesinambungan untuk kemaslahatan mereka bersama.
Dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan akan dapat meningkatkan self-reliance yang dibutuhkan demi
akselerasi program-program pembangunan (Bryant C. & White, L.G., 1987).
Masyarakat yang sudah diberdayakan ini pada akhirnya akan tumbuh menjadi lebih
kreatif dan mandiri, sehingga negara akan menjadi maju. Sebagaimana di negara -
negara maju, disana peran entrepreneur society nya (masyarakat wirausaha dan
mandiri) sangat menonjol (Tjokroamidjojo, 1990).
Di negara sedang berkembang lainnya seperti di Afrika dan India, telah
banyak menerapkan model pembangunan yang disebut dengan pengembangan
masyarakat (community development). Inti gerakan dan pendekatan ini adalah untuk
membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam memperbaiki
kondisi kehidupannya baik materiil maupun non -materiil (Norman B. Schwartz,
1978). Meskipun dalam perkembangannya gerakan ini kemudian ditinggalkan dengan
alasan hasilnya tidak sepadan, namun kontribusi gerakan ini sangat bermanfaat dalam
meletakkan landasan bagi pembangunan entrepreneur society di kalangan masyarakat
“bawah”.
Di Amerika serikat sekitar pertengan dekade 90 an mengembangkan suatu
konsep pendekatan pembangunan yang dise but dengan community building
khususnya untuk rural area. Community building ini adalah suatu pendekatan yang
menyentuh setiap individu rumah tangga agar masing -masing dapat benar-benar
mendapatkan manfaat dari program pembangunan yang dijalankan. Pendekat an ini
biasanya difokuskan mulai pada peningkatan hal -hal yang bersifat spesifik, seperti
meningkatkan kualitas sekolah di desa, perbaikan irigasi, dan lain -lain yang benar-
benar dapat melibatkan masyarakat untuk bersama -sama merancang, mengerjakan
dan mempertanggung jawabkan hasilnya. Selanjutnya berkembang hingga
membangun social capital (saling percaya, kesetiakawanan, moral, dll) diantara
warga sehingga tercipta suatu komunitas entrepreneur yang tidak meninggalkan nilai -
nilai etika dan moral dalam menge jar pendapatan ( James O. Gibson, G. Thomas
Kingsley, Joseph B. McNeely , May 01, 1997,
http://www.urban.org/url.cfm?ID=307016 )
Apa yang dilakukan di Amerika tersebut bukannya tidak pernah ada dalam
kehidupan keseharian masyarakat pedesaan Indonesia. Seperti gotong royong
memperbaiki tanggul, jalan, dan berbagai sarana umum lainnya secara sukarela.
Namun aktivitas tersebut justru merupakan nilai-nilai yang kini banyak dilupakan
atau ditinggalkan seiring dengan dinamika pembangunan yang semakin mengikis
nilai-nilai kebersamaan (atau disebut sebagai social capital). Kejujuran, sukarela,
kesetiakawanan justru semakin memudar. Wakil -wakil rakyat yang sedianya
mengayomi dan memperjuangkan aspirasi rakyat justru mencari keuntungan pribadi
dengan mengatas namakan rakyat, sudah menjadi fakta di berbagai daerah.
Pemerintah otonom yang sedianya lebih berorientasi untuk kesejahteraan rakyat
justru dalam beberapa kebijakannya mengabaikan aspirasi dan cenderung membebani
rakyatnya. Beberapa contoh konkrit dapat dikemukakan seperti di Kabupaten
Pasaman, Sumbar, memiliki Perda No 14/2000 yang mengenakan retribusi kepada
pasar, grosir, dan pertokoan sebesar Rp 5.000 per hari. Adapun di Kabupaten
Pariaman melalui Perda No 2/2000 dikenakan retribusi bagi masyarakat yang menjual
ternak. Bahkan, di Kabupaten Cirebon, ada perda yang memberlakukan pungutan
kepada pengamen, di Bengkulu diberlakukan pungu tan kepada masyarakat yang
mengambil sayuran di hutan (Kompas, 26 Agustus 2003). Bahkan di era otonomi
daerah ini, beberapa proyek pembagunan daerah dan desa ternyata juga masih kurang
memperhatikan dan melibatkan masyarakat local. Sebagai contoh proyek
CERD/Community Empowerment for Rural Development (penguatan masyarakat
untuk pembangunan desa) di Kalimantan Selatan (Kalsel), yang didanai utang luar
negeri (loan) Asian Development Bank (ADB) dinilai telah gagal dari tujuan awal.
Karena itu, masyarakat desa yang menjadi lokasi proyek tersebut melakukan protes
kepada ADB dan menyerukan agar segera ada perubahan. Para petani yang
berinisiatif memonitor proyek CERD itu menemukan fakta, proyek yang tujuannya
memberdayakan warga itu ternyata hanya dijalankan pem borong, mengabaikan
partisipasi warga, tidak transparan, dan banyak diselewengkan (Kompas, 27 maret
2003).
Kemanakan arah pembangunan ini sebenarnya akan dibawa? Akankah
pengentasan kemiskinan hanya menjadi retorika abadi di tengah gempitanya situasi
politik yang selalu memanas semenjak reformasi digulirkan? Hal ini tentunya perlu
direnungkan dalam hati dan pikiran seluruh komponen bangsa yang menghendaki
perbaikan negeri ini. Pengakuan dan perlakuan terhadap masalah -masalah rakyat
(public affair) dan kepentingan rakyat (public interest) sudah waktunya terealisasi
dalam bentuk kebijakan dan program –program pembangunan yang dapat menyentuh
masyarakat di “akar rumput”. Tujuan ini dapat terealisir dengan adanya komitmen
pemerintah untuk menerapkan asset based community development yakni suatu
pendekatan yang berdasar pada community based development dengan lebih menggali
dan mengembangkan seluruh potensi sumber daya ( resources), keahlian (skills), serta
asset yang dimiliki masyarakat di daerah. Pendekatan ini (1) tidak lagi hanya
berorientasi pada problem atau kebutuhan yang dihadapi masyarakat saja, tetapi lebih
fokus kepada bagaimana mendayagunakan potensi, sumberdaya, keahlian, dan asset
yang ada untuk mengatasi problem dan memenuhi kebutuhan mereka; (2) pe ndekatan
ini lebih bersifat community driven daripada external agency driven; (3) berusaha
menggali kembali dan memelihara social capital sebagai asset terpenting dalam
pembangunan; (4) melalui pendekatan partisipatoris akan memperkuat civil society
(masyarakat madani) yang merupakan keinginan setiap warga bangsa ( disarikan dari
Gord Cunningham and Alison Mathie , 2002). Barangkali konsep Asset Based
Community Development ini sejalan dengan gagasan Profesor Mubyarto mengenai
Ekonomi Pancasila yang menawark an revitalisasi moral ekonomi Indonesia
(Mubyarto & Daniel W. Bromley, 2002). . Namun sejauh ini gagasan Ekonomi
Pancasila tersebut masih berada dalam tataran konsep yang sarat nilai -nilai etika,
moral, ide, dan ideologi. Untuk itu perlu dilakukan usaha -usaha lebih lanjut agar
konsep Ekonomi Pancasila tersebut menjadi lebih operasional dan dapat manjadi
landasan moral pengambilan kebijakan.
Berdasarkan asset based community development ini, Pemerintah sebaiknya
tidak lagi membiayai proyek-proyek pembangunan dengan pinjaman luar negeri,
terutama yang berkaitan dengan penghapusan kemiskinan, perbaikan kapasitas
pemerintahan, termasuk perbaikan sistem hukum untuk mengurangi korupsi
sebenarnya bukanlah langkah yang tepat, kecuali untuk mengirimkan pegawai
pemerintah yang melakukan studi ke luar negeri.
Sebagaimana pendapat Ekonom Umar Juoro (Cides, 2003), Proyek -proyek tersebut
semestinya dibiayai oleh sumber dalam negeri yang sebenarnya cukup tersedia. Lebih
baik meminjam dari dalam negeri seperti melalui pener bitan Surat Utang Negara
jangka pendek (T-bills) yang dapat menyalurkan dana yang tidak produktif untuk
kegiatan pembangunan daripada meminjam dana dari luar negeri yang bukan saja
administrasinya rumit tetapi juga daya serapnya rendah dan penggunaannya ju ga
kurang efektif. Menurutnya pemerintah daerah semestinya menaruh perhatian lebih
besar pada upaya menghapuskan kemiskinan di daerahnya. Dana yang tersedia
sebaiknya dipergunakan untuk proyek -proyek yang mengatasi kemiskinan secara
langsung di daerah bersangkutan dan sebisa mungkin memfasilitasi berkembangnya
kegiatan ekonomi terutama investasi yang menciptakan kesempatan kerja.
Dengan demikian masyarakat yang dahulu hanya menjadi obyek
pembangunan, dapat sedikit demi sedikit turut memikirkan sendiri baga imana cara
terbaik untuk mengatasi masalah mereka dengan menyadari apa saja yang mereka
miliki dan dapat digunakan untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik.
Disinilah hakekat pembangunan yang sesungguhnya.
Penutup
Berdasarkan refleksi atau introspe ksi terhadap kebijakan dan strategi
pembangunan dewasa ini, sudah barang tentu pemerintah di era reformasi dan
otonomi daerah ini perlu mengkaji dengan seksama dan melakukan reorientasi secara
sungguh-sungguh dan konsekwen. Sudah waktunya rakyat mendapat p erhatian yang
benar-benar menyentuh aspek kehidupan riil mereka. Program -program
pembangunan yang berorientasi untuk pengentasan kemiskinan harus bersifat
community driven dengan target dan sasaran yang dapat benar -benar terukur tidak
hanya secara fisik tetapi juga secara sosial.
Untuk itu perlu dilakukan kebijakan pembangunan antara lain: partisipasi
aktif masyarakat khususnya di pedesaan disertai pengembangan sumberdaya
manusia, peningkatan penguasaan lahan dan aset produktif per tenaga kerja dan
pemerataan jangkauan pada asset produktif (misalnya di bidang pertanian, teknologi,
dan pembiayaan, diversifikasi pertanian dalam arti luas), pengembangan lembaga
keuangan pedesaan yang mandiri, pengembangan kelembagaan sosial pedesaan dan
pengembangan prasarana pedesaan, dan lain-lain. Kebijakan ini perlu didukung
dengan pelaksanaan secara konsekuen kebijakan -kebijakan yang memihak pada
masyarakat miskin misalnya untuk lahan pertanian hanya boleh dimiliki oleh petani
Indonesia. Untuk paket deregulasi tahun 1993 yang membolehkan penguasaan lahan
100 % oleh perusahaan swasta dan bahkan swasta asing harus ditinjau kembali.
Perusahaan swasta dan asing hanya boleh menguasai pabrik pengolahan, dan petani
diberi hak untuk dapat membeli saham perusahaan pengolahan untuk membina
keterkaitan dan kerja sama. Hanya dengan penerapan kebijakan ini kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat pedesaan dapat ditingkatkan dan harus didukung oleh
program jaring pengaman social (disarikan dari tulisan Sajogyo, 2002). Dengan
demikian pembangunan tidak hanya berfokus pada terciptanya pertumbuhan ek onomi
yang tinggi, tetapi juga pada terwujudnya kualitas hidup yang lebih baik, pemerataan,
dan keadilan sosial. Pembangunan harus menempatkan kepentingan rakyat banyak
pada urutan pertama.
Pertumbuhan ekonomi yang hanya berorientasi pada industri -industri besar
yang berbasis impor tidak akan pernah mampu menghasilkan kehidupan warga
bangsa yang lebih baik sebagaimana hakekat pembangunan yang sesungguhnya.
Pembangunan yang bertumpu pada keman dirian masyarakat dengan mengoptimalkan
potensi sumberdaya, keahlian, dan asset yang dimiliki ( asset based community
development) adalah yang utama. Sekian.
Referensi:
Abdul Wahab, Solichin, Ekonomi Politik Pembangunan , (PT.danar wijaya &Brawijaya University Press, Malang , 1999).
Bryan,C. dan White,G., Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang ,(LP3ES, Jakarta,1987).
Dalle Daniel Sulekale, Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Era Otonomi daerah,Jurnal Ekonomi Rakyat , II - No. 2 - April 2003.
Gord Cunningham and Alison Mathie, Asset-Based Community Development --An Overview, (Paper presented in the ABCD Workshop, organized by Synergos in
Bangkok, Thailand, on Februay 21, 2002).
Hidayatullah Muttaqin, Pertumbuhan Ekonomi tidak Mampu Mengatasi Kemiskinan(PEI-Online : 20/10/2003)
HS. Dillon, Paradigma ekonomi yang Pro Kaum Miskin dan Pro Keadilan: Belajardari Kesalahan masa Lalu, Juni 2001.
H.S. Dillon, Tingkat Kemiskinan akan meningkat. (Kompa s, 21 januari 2002)
James O. Gibson, G. Thomas Kingsley, Joseph B. McNeely , Community BuildingComing of Age. ( http://www.urban.org/url.cfm?ID=307016 , May 01, 1997)
Juoro, Umar, Kemiskinan dan Pinjaman Luar Negeri , Cides On-line, 2003.
Mardiasmo, Otonomi Daerah sebagai Upaya memperkokoh Basis PerekonomianDaerah, Jurnal Ekonomi Rakyat, I - No. 4 - Juni 2002.
Mubyarto, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca KrisisEkonomi,. (BPFE, Yogyakarta, 2001).
-----------, Penanggulangan kemiskinan di jawa Tengah dalam Era Otonomi Daerah,Jurnal Ekonomi Rakyat , Th. I - No. 9 - November 2002.
Mubyarto & Daniel W. Bromley, A Development Alternative For Indonesia .(Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002).
Nikiyulluw, Victor PH., Pemberdayaan masyarakat Nelayan dalam PerspektifOtonomi Daerah, (Makalah diprsentasikan pada Seminar Nasional Kelautan,Surabaya, 2000).
Ramesh Subramaniam, dalam Ekonomi & Bisnis pada 2003, Media Indonesia, 29April 2004
Sajogyo, Pertanian dan kemiskinan, Jurnal Ekonomi Rakyat , I-No.1, Maret, 2002.
Schwartz, Norman B., Community Development and Cultural Change in latinAmerica, Annual Review of Anthropology , 1978.
Sunaryo, Bambang, Optimalisasi pengelolaan Potensi Kelautan . (Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Kelautan, Surabaya, 2000).
Todaro, Michael P., Economic Development in the Third World . (Longmans,London, 1977).
Tjokroamidjojo, Bintoro, Perencanaan Pembangunan . (Haji Mas Agung,Jakarta,1990)
Woro Astuti,S.J., Mencari Format Baru Pembangunan Sosial -Ekonomi MasyarakatNelayan, Neptunus, 7-No.2, 91-102, 2000.
BPS, 2003
Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI, 2004
The World Bank Group, 1993.
Kompas, 27 Maret 2003
----------, 26 Agustus 2003