asean dan penguatan rule of law hukum hak asasi manusia di

59
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 45 ASEAN DAN PENGUATAN RULE OF LAW HUKUM HAK ASASI MANUSIA DI KAWASAN ASIA TENGGARA Heribertus Jaka Triyana Abstrak The principle of rule of law and human rights protection in the Association of Southeast Asian Nations has been accpeted as one of the fundamental principle in the ASEAN human rights norms and mechanisms. As a ruled-based organization, ASEAN commits to implement this principle in its decision making and its implementation processes for better human rights protection. Derivation of this principle, equality before the law, supremacy of law, accountability, participation, and transparancy has been used as a common vision to reach one vision and one community in Southeast Asian cooperation under auspices of the ASEAN. It then developes certain theories in international human rights law and international organization law, such as the social function of law as well as principle of complementarity as frameworks of legal analysis to test whether the principle of rule of law inspires future affective and practical human rights advocacy and adjudication in South East Asian countries. It reveals that the principle of rule of law for human rights’ protection is still evolving and has tremendous influance for better human rights advocacy at strategic level within ASEAN cooperations while at the operational and tactical levels, it has less attention to it. At the same time, human rights adjudication has far beyond its reach due to its limited mandate and function. Remarkably, its institutionalization has led to public awareness and scutiny for better improvement of its capacity in the future as requisite to establish a more powerful human rights insitutions. Keywords: ASEAN Charter, Rule of Law, Human Rights A. LATAR BELAKANG

Upload: hoangkhuong

Post on 10-Dec-2016

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

45

ASEAN DAN PENGUATAN RULE OF LAW HUKUM HAK ASASI MANUSIA DI KAWASAN ASIA TENGGARA Heribertus Jaka Triyana

Abstrak

The principle of rule of law and human rights protection in the Association of Southeast Asian Nations has been accpeted as one of the fundamental principle in the ASEAN human rights norms and mechanisms. As a ruled-based organization, ASEAN commits to implement this principle in its decision making and its implementation processes for better human rights protection. Derivation of this principle, equality before the law, supremacy of law, accountability, participation, and transparancy has been used as a common vision to reach one vision and one community in Southeast Asian cooperation under auspices of the ASEAN. It then developes certain theories in international human rights law and international organization law, such as the social function of law as well as principle of complementarity as frameworks of legal analysis to test whether the principle of rule of law inspires future affective and practical human rights advocacy and adjudication in South East Asian countries. It reveals that the principle of rule of law for human rights’ protection is still evolving and has tremendous influance for better human rights advocacy at strategic level within ASEAN cooperations while at the operational and tactical levels, it has less attention to it. At the same time, human rights adjudication has far beyond its reach due to its limited mandate and function. Remarkably, its institutionalization has led to public awareness and scutiny for better improvement of its capacity in the future as requisite to establish a more powerful human rights insitutions. Keywords: ASEAN Charter, Rule of Law, Human Rights

A. LATAR BELAKANG

Page 2: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

46

The Association of the Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah

sebuah organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara72. Ia

telah memenuhi kriteria hukum sebagai sebuah organisasi internasional

regional ketika Piagam ASEAN diratifikasi oleh semua anggota sehingga

berlaku pada tanggal 15 Desember 200873. Penandatanganan Piagam

ASEAN tersebut disandarkan pada 2 (dua) dasar pemikiran, yaitu: (1).

Adanya kepentingan bersama; dan (2). Adanya kenyataan saling

72 Organisasi Internasional dalam studi hukum internasional dan hukum organisasi internasional tidak memiliki pengertian atau definisi yang pasti. Kajian tersebut hanya dapat mendeskripsikan tentang ciri atau elemen umum sehingga diperoleh pengertian apa itu sebuah organisasi internasional. Lihat Phillipe Sand and Pierre Klein, Bowett’s Law of International Indtitutions, Fith Edition, Thompson and Sweet and Maxwell, hlm. 18; Jan Klabbers, An Introduction to International Institutions, Cambridge University Press, 2002, hlm. 6-9; Deskrpsi tersebut menghasilkan beberapa kriteria mengenai apa itu organisasi internasional, seperti dibentuk oleh negara-negara, memiliki dokumen hukum pembentukannya, memiliki struktur organisasi, markas besar, dan memiliki tujuan yang hendak dicapai dalam kerangka kerja sama internasional, lihat Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, 1997, hlm. 37-38; Burhan Tsani, Hukum Organisasi Internasional, Diklat Bahan Ajar Hukum Organisasi Internasional FH UGM, 2012, hlm. 7; N. White, The Law of International Organization, London, 1958, hlm. 7-9; C.F Amersinghe, Principles of the Institutional Law of the International Organizations, Cambridge University Press, 1996, hlm. 10. Kajian ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional adalah Haas, Basic Documents of Asian Regional Organizations, 1974, volume 1-9; ASEAN, The Asian Report, 1979, Volume 2; Garnut, ASEAN in A Changing Pacific and World Economy, 1980; Broinowski, Understanding ASEAN, 1982; ASEAN, The First Twenty Years, 1987; Tommy Koh, dan Rosario G Manalo, The Making of the ASEAN Charter, World Scientific Publishing, 2009, hlm. 117; dan ASEAN, ASEAN Masterplan 2020, ASEAN, hlm. 26 73 Ciri tersebut telah dipenuhi oleh ASEAN yaitu: ASEAN dibentuk dengan perjanjian internasional; ASEAN memiliki tujuan yang berkesinambungan; ASEAN beranggotakan negara; sifat keanggotaan ASEAN adalah terbuka dan sukarela; ASEAN memiliki organ seperti organ pleno dan organ subsidier; memiliki sekretariat tetap; dan ASEAN mehgikuti dan diatur dengan hukum internasional. Lihat Mohd Burhan Tsani, Arti Penting Piagam ASEAN, Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UGM, 7 Mei 2008; Thailand adalah Negara terakhir yang meratifikasi Piagam ASEAN pada bulan November 2008; Marie Pangestu, “The Future of ASEAN”, the Indonesian Quarterly, vol. XXV, No. 4, 1997, hlm. 362-365; dan Tomyy Koh, ibid, hlm. 119; Bennet mencirikan organisasi internasional adalah memiliki A permanent organization to carry on a contiuing set of funcions; Voluntary membership of eligible parties; A basic instrument stating goals, structure, and method of operation; A broadly representative concultative conference organ, and A permanent secretary to carry on continuous administrative reseach, and information functions dalam Bennet, International Organization, 5 th.ed., Prentice Hall Inc., 1991, New Jersey, hlm. 2

Page 3: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

47

ketergantungan diantara rakyat dan Negara-Negara anggota ASEAN

dalam kesatuan visi, identitas dan komunitas (one vision, one identity, and

one community) yang saling peduli dan berbagi bagi terciptanya

kemakmuran bersama74. Dari dua dasar pemikiran inilah, ASEAN

menjadi sebuah organisasi internasional regional yang menjadi institusi

pembentuk hukum (law making institution) pertama kali terhadap

regionalisasi hukum di kawasan Asia Tenggara, khususnya di bidang hak

asasi manusia (HAM) seturut dengan ketentuan hukum internasional75.

Penandatanganan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) dengan

sendirinya merubah ASEAN dari suatu asosiasi longgar menjadi

organisasi berdasarkan aturan hukum (rule-based organization dan

mempunyai personalitas hukum (legal personality) dan kapasitas hukum

(legal capacity)76. Sifat rule-based organization ini dijiwai oleh aplikasi

74 ASEAN, Roadmap for ASEAN Community 2009-2015, 2011, hlm. 1-5. 75 Regionalisasi atau regionalism adalah wadah terciptanya hukum yang berlaku dikawasan tertentu yang memiliki norma dan mekanisme berlaku secara khusus dan ditaati oleh anggota-anggotanya untuk mewujudkan kepentingan bersama kawasan. Regionalisasi ini harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip dan ketentuan yang diatur dalam Piagam PBB, seperti dalam ketentuan Pasal 52 (1), (2), (3) dan (4) yaitu upaya kerjasama regional (regional arrangement) yang mendukung terciptanya tujuan PBB dikawasan tertentu yang dalam hal ini adalah di Asia Tenggara, lihat D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, alih bahasa oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, 1995, hlm. 205. Lihat juga Hubungan yang makin rapat serta kehidupan bangsa-bangsa yang semakin bergantung satu sama lain, menuntut adanya kerjasama antara bangsa-bangsa dalam suatu sistem kerjasama regional. Hal tersebut diungkapkan dalam Report of the Rockefeller Brothers Fund yang mengatakan bahwa; ”Pengelolaan regional tidak lagi masalah pilihan. Hal tersebut telah dipaksakan oleh teknologi, ilmu pengetahuan dan ekonomi dalam dunia kontemporer sekarang ini”. M. Sabir, ASEAN Harapan dan Kenyataan, Jakarta, PT. Penebar Swadaya, 1992, hlm. 21-22 76 Seperti dibahas dalam Centre of International Law. CIL ASEAN Charter Series 2010: Workshop on Implementing Legal Personality and Privileges and Immunities. National University of Singapore, 2010; Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, PT Tatanusa, Jakarta, 2007, hlm. 19; Jiangyu Wang. International Legal Personality of ASEAN and the Legal Nature of the China-ASEAN Free Trade Agreement. CHINA-ASEAN RELATIONS: ECONOMIC AND LEGAL DIMENSIONS, 2010; John

Page 4: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

48

prinsip rule of law yang terdapat dalam Mukadimah dan dalam Pasal 1 (7)

Piagam ASEAN77. Semula, berlandaskan Deklarasi Bangkok 1967 atau the

ASEAN Declaration, hubungan antara negara ASEAN pada hakikatnya

merupakan suatu pernyataan politik (political statements) yang tidak

memiliki kekuatan mengikat terhadap negara anggota maupun organisasi

itu sendiri dan pada saat ini keadaan tersebut berbeda karena adanya

prinsip rule of law78. Rule of law dalam studi hukum organisasi

internasional adalah sebuah konsep yang sangat mendasar bagi eksistensi

suatu organisasi internasional dalam mecapai tujuannya dimana ia

menjadi dasar tata kelola organisasi yang baik dalam mengatur pola

hubungan antara individu, organ organisasi dan negara anggota dalam

ranah publik dan privat didasari oleh prinsip-prinsip supremasi hukum

(supremacy of law), kesamaan dihadapan hukum (equality before the law),

akuntabilitas (accountability), pemisahan kekuasaan organisasi (seperation

of power), kepastian hukum (legal certainty), partisipasi (participation)

dalam proses pengambilan keputusan organsasi dan transparansi

(transparency)79.

Wong, Zou Keyuan, Zeng Huaquan, eds., Singapore: World Scientific; Dominic McGoldrick (Ed), “The ASEAN Charter: ‘Current Developments: Public International Law”, International Comparative Law Quarterly, vol 58, Januari 2009, Cambrigde University, hlm 197. 77 Human Rights Resource Center, Rule of Law Untuk Hak Asasi Manusia di Kawasan ASEAN, Studi Data Awal, UI Press, 2011, hlm. 10-12. 78 Alexandra Retno Wulan dan Bantarto Bandoro, “ASEAN Quest for A Full-Fledged Community”, CSIS, 2007, hlm iv-ix. 79 Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan PBB, “The Rule of Law and Sekretaris Jenderal PBB, Transititional Justice in Conflict and Post-Conflcit Societies, Dewan Keamanan PBB, 2004, S/2004/616, hlm. 4; “Guidance Note of the Secretary General: United Nations Approach to Rule of Law Assisstance”, 14

Page 5: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

49

Dalam konteks ASEAN, Severino menyatakan bahwa

kontekstualisasi dan aplikasi prinsip rule of law adalah “...untuk

mewujudkan norma-norma yang mengatur perilaku anggota ASEAN

dalam forum ASEAN serta perilaku domestik negara-negara anggotanya

terhadap rakyat, demokrasi, HAM dan kebebasan-kebebasan dasar dalam

suatu tata pemerintahan yang baik, pemerintahan yang konstitusional

dan keadilan sosial dalam mewujudkan tujuan ASEAN”80.

Kontekstualisasi rule of law tersebut di atas telah bergeser dan menjadi

sebuah langkah bersama (common vision) dan pendekatan aktif (proactive

approach) untuk menghadapi tantangan eksternal dan internal ke depan

dalam mencapai tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN81.

Piagam ASEAN merumuskan 15 (lima belas) tujuan ASEAN82 dan 14

(empat belas) prinsip-prinsip dasar83 yang menjadi sebuah sumber

April 2008, hlm. 1; dan Dencho Georgiev, “Politics or Rule of Law: Deconstruction and Legitimacy in International Law”, 4 European Journal of International Law, 1993, hlm. 1-10. 80 Rodolfo Severino, “The ASEAN Charter: One Year on”, Opinion Asia, 10 Januari 2010, dapat diakses di http://opinionasia.com/ASEANCharteroneyearon. 81 Pasca penandatanganan Piagam ASEAN, terdapat lima prioritas kegiatan untuk mempersiapkan perubahan ASEAN yaitu penyusunan Term of Reference (ToR) pembentukan Permanent Representatives to ASEAN, penyusunan Rules and Procedures ASEAN Coordinating Council dan ASEAN Community Councils, penyusunan supplementary protocols mengenai dispute settlement mechanism, penyusunan perjanjian baru menggantikan perjanjian pendirian Sekretariat ASEAN tahun 1976, serta penyusunan ToR pembentukan badan HAM ASEAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu, ASEAN Selayang Pandang, 2007, hlm. 41.

82 Tentang 15 Tujuan ASEAN baca Pasal 1 Piagam ASEAN.

83 Prinsip-prinsip diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Piagam ASEAN. Dalam pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa Dalam mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan dalam Pasal 1, ASEAN dan Negara-Negara Anggotanya menegaskan kembali dan memegang teguh prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam deklarasi-deklarasi, persetujuanpersetujuan, konvensi-konvensi, concords, traktat-traktat, dan instrumen ASEAN lainnya.

Page 6: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

50

hukum (constituent instrument) ASEAN84. Dalam struktur ASEAN, prinsip

rule of law menjadi dasar strategis dan operasional pembentukan 3 (tiga)

komunitas ASEAN, yaitu: (1). komunitas Politik-Keamanan (Political-

Security Community); (2). Komunitas Ekonomi (Economic Community); dan

(3). Komunitas Sosial Budaya (Socio-Cultural Community) sebagai peretas

jalan menuju komunitas tunggal ASEAN pada tahun 201585. Selain itu,

prinsip rule of law secara substantif telah digunakan sebagai dasar filosofis

pembentukan regionalisasi hukum dibidang perlindungan HAM86,

seperti: (1). Agreement on the Privileges and Immunities (API) of the ASEAN87;

(2). the ASEAN Regional Agreement for Disaster Management and Emergency

Assistance (AADMER)88; dan (3). the ASEAN Declaration on Human Rights

84 Mohd. Burhan Tsani, op.cit, no. 2, hlm. 2 85 Dalam struktur ASEAN, untuk mewujudkan tiga komunitas tersebut dibentuk, tiga badan komunitas ASEAN yaitu badan komunitas politik-keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community Council), Badan komunitas ekonomi (ASEAN Economic Community Council) , dan Badan komunitas sosial budaya (ASEAN Socio-Cultural Community Council). Lihat ASEAN Charter Pasal 9; Dibandingkan dengan Kemlu, Pembentukan Komunitas ASEAN Pada Tahun 2015, Power Point Presentation on ASEAN Workshop, Aryaduta Hotel, Jakarta, 10 Desember 2010 dan Alexandra, op.cit, no. 6.

86 ASEAN, op.cit, no. 10. 87 ASEAN, Agreement on the Priveleges and Immunities of ASEAN, 2nd Edition, ASEAN Secretariat, 2010. 88 Signed in July 2005, ASEAN 2006. This Agreement has been ratified by all ten Members States and it came into force on 24 December 2009. Persetujuan ini menjadi persetujuan internasional regional yang pertama kali mengatur tentang penanggulangan bencana yang berlaku mengikat di kawasan Asia Tenggara; Lihat dalam Heath, J. Benton, “Disaster, Relief, and Neglect: The Duty to Accept Humanitarian Assistance and the Work of the International Law Commission”, the International Law And Politics, Vol. 43: 419, 2011, hlm. 446; AADMR adalah interumen hukum regional pertama yang mengatur tentang penangulangan bencana dan berlaku di Asia Tenggara dimana aturan mengenai hal tersbeut dalam hukum internasional masih tersebar dalam berbagai aturan hukum seperti dalam the United Nations, such as the United Nations General Assembly Resolution A/Res/46/182 of 1991 and A/Res/57/150 of 2002; by international humanitarian agencies such as the Active Learning Network for Accountability and Performance in Humanitarian Action (ALNAP), the Development Assistance Committee of the OECD (OECD-DAC Criteria), and from the Humanitarian

Page 7: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

51

(ADHR/AHRD)89. Mudahnya, rule of law dalam Piagam ASEAN memiliki

fungsi yang kompleks dan menentukan dalam penguatan dan

perlindungan HAM, yaitu: (1). Sebagai salah satu elemen dasar

perlindungan HAM yang menjadi landasan filosofis adopsi nilai-nilai

universal HAM dan partikularisme nilai-nilai bersama Asia Tenggara

dalam norma dan mekanismenya; (2). Sebagai justifikasi pembenar atas

dasar pembentukan hukum HAM dalam konteks norma dan

prosedurnya; dan (3). Pengembangan dan penguatan kelembagaan

ASEAN dalam perlindungan HAM di Asia Tenggara dalam kaitannya

dengan Konvensi-konvensi dasar HAM internasional yang diratifikasi

oleh negara-negara anggota ASEAN90.

Ketiga produk hukum tersebut di atas merupakan contoh

mutakhir regionalisasi hukum di kawasan Asia Tenggara terkait dengan

pemajuan dan perlindungan HAM berdasarkan aplikasi prinsip rule of

Accountability (HAP); and by the International Law Applicable to Disaster (the IDRL) developed from heterogeneous collection of international instruments with regards to customs, industrial accidents, nuclear emergency, civil defense, food aids, sea or air transport, telecommunication, satellite imaging, lihat Fisher, D, “Domestic Regulation of International Humanitarian Relief in Disasters and Armed Conflict: A Comparative Analysis”, the International Review of the Red Cross, Volume 89 Number 866, June 2007, hlm. 353-354. 89 Deklarasi HAM ASEAN ini ditandatangani oleh 10 kepala negara anggota ASEAN pada tanggal 18 November 20120 oleh Haji Hassanal Bolkiah, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, Susilo Bambang Yudhoyono, Thongsing Thammavong, Dato Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak, U Thein Sein, Benigno S Aquino III, Lee Hsien Loong, Yingluck Shinawarta, Nguyen Tan Dung yang mengadopsi 9 prinsip dasar HAM, 15 hak sipil dan politik, 9 jenis hak ekonomi, sosial dan budaya, hak atas pembangunan, hak atas perdamaian dan ditutup dengan kerjasama regional dan internasional dalam hal pemajuan HAM dalam Deklarasi tersebut. Lihat Phnom Penh Statement on the Adoption of the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD), 18 November 2012. 90 Randall Peerenboom, “Varieties of Rule of Law: An Introduction and Provisional Conclusion”, in Randall Pereenboom (Editor), Asian Discourse of Rule of Law, Theories and Implementation of Rule of Law in Twelve Asian Countries, France and the US, London, New York, Routledge Curzon, 2004, hlm. 10-23.

Page 8: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

52

law91. Mereka dijiwai oleh bidang kerjasama antar negara dengan acuan

non politik atau kerjasama non pertahanan keamanan (non high political

commitment) namun pada aras kerjasama kesejahteraan dan penciptaan

keamanan yang komprehensif (soft political commitment) dalam konteks

penguatan rule of law di Asia Tenggara92.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas,

permasalahan pokok dalam paper ini dirumuskan sebagai berikut, yaitu:

“Bagaimanakah ASEAN mengimplementasikan prinsip rule of law dalam

regionalisasi hukum HAM di Asia Tenggara sehingga penguatan

kapasitas hukum perlindungan HAM dapat diperkuat dan ditingkatkan

secara efektif sebagai salah satu pencapaian tujuan dasar ASEAN?”.

Paper ini akan mengkaji secara kritis dan mendalam (in depth)

mengenai tiga aspek hukum terkait dengan permasalahan pokok

tersebut, yaitu: (1). Bagaimana eksistensi prinsip rule of law dalam Piagam

ASEAN dan dalam studi hukum organisasi internasional; (2). Bagaimana

91 Michelle Staggs Kelsall, “The New ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights: Toothless Tiger or Tentative First Step?”, East-West Center, 2009, hlm. 2-3; SAPA Task Force (FORUM-ASIA), Hiding Behind the Limits, 2009, hlm.1-5; dan Tommy Koh, dan Rosario G Manalo, The Making of the ASEAN Charter, World Scientific Publishing, 2009, hlm. 117; dan ASEAN, ASEAN Masterplan 2020, ASEAN, 2008, hlm. 26. 92 Rule of Law dalam Piagam ASEAN diartikan sebagai “sebuah organisasi yang didasarkan pada aturan hukum dalam mencapai komunitas dengan nilai-nilai dan norma-norma bersama yang berbasis pada aturan-aturan hukum yang dibuat dan disepakati bersama”, Rodolfo C. Seeverino, “ASEAN Way and the Rule of Law”, Pidato pada Konferensi Hukum Internasional tentang Sistem-Sistem Hukum ASEAN dan Integrasi Regional, Asia-Europe, University of Malaya, Kuala Lumpur 3 September 2001; dan dibandingkan dengan Wolfgang Benedek, “Human Rights and Security: Challanges and Prospects” dalam Francisco Ferrandiz and Antonius CGM Robben (eds), Multidiciplinary Perspectives on Peace and Conflicts Research A View From Europe, Humanitarian Net, University of Bilbao, Spain, 2007, hlm. 29-51.

Page 9: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

53

peran dan fungsi rule of law dalam peningkatan, pemajuan dan

perlindungan HAM dalam Piagam ASEAN dan kepatuhan (compliance)

negara anggota ASEAN terhadap penerapan prinsip tersebut didalam

urusan dalam negerinya; (3). Bagaimana mekanisme penguatan

kepatuhan hukum terhadap implementasi prinsip rule of law dalam

kerangka kegiatan ASEAN di Asia Tenggara. Untuk mengkaji secara

kritis dan mendalam, paper ini akan dimulai dengan menempatkan

landasan konsep dan teori yang relevan terhadap regionalisasi hukum

perlindungan HAM oleh organisasi internasional, konsep kedaulatan

negara dan teori-teori hukum internasional yang relevan. Dibagian akhir,

paper ini akan menyimpulkan secara deduktif mengenai peran ASEAN

terhadap penguatan dan kepatuhan negara anggota ASEAN terhadap

aplikasi rule of law sebagai salah satu elemen terpenting dan sebagai salah

satu sarana justifikasi akuntabilitas upaya perlindungan HAM di Asia

Tenggara dalam kerangka kegiatan ASEAN sebagai organisasi

internasional.

B. Landasan Konsep dan Teori

Teori adalah analisis hubungan antar fakta dan dipahami

sebagai sebuah bangunan atau sistem yang tersruktur dari sekumpulan

ide, gagasan, atau pemikiran yang berfungsi untuk menerangkan

terjadinya sesuatu atau mengapa sesuatu itu ada yang dikemukan oleh

Page 10: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

54

seorang atau beberapa ahli dibidangnya93. Dalam studi hukum organisasi

internasional, teori adalah sekumpulan ide, gagasan atau pemikiran

mengenai apa itu organisasi internasional dan mengapa organisasi

internasional itu ada dan perlu dipertahankan oleh masyarakat

internasional94. Teori didasari oleh suatu pernyataan-pernyataan umum

tentang suatu kebenaran-kebenaran tertentu (konsep) dalam hubungan

antara subyek hukum internasional yaitu organisasi internasional dan

bagaimana mereka berinteraksi dalam mencapai tujuan dasar dalam

organisasi internasional tersebut yang dapat dilihat dari berbagai sudut

pandang pemahaman baik realis, naturalis, positivis maupun sosiologis95.

Konsep dibangun dari rasio-rasio hukum mengenai kebenaran

atas suatu fenomena, fakta atau data96. Konsep dalam studi hukum

organisasi internasional adalah rasio-rasio hukum menegnai kebenaran

atas suatu fenomena, fakta atau data mengapa negara-negara bersepakat

membentuk suatu ikatan bersama dalam suatu oragnisasi internasional

dan mengapa mereka menundukkan diri serta mengikatkan diri terhadap

hak dan kewajiban hukum yang timbul. Konsep pertama dalam paper ini

adalah adanya rasio yuridis yang berupa fakta hukum dan adanya

93 A.S. Hornby, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, Sixth Edition, 2000, hlm. 1346. 94 Simon Chesterman and Clare Rhoden, Studying Law at University, Allen and Unwin, 1999, hlm. 78-79; Jan Klabbers, An Introduction to International Institutiuonal Law, Cambridge, 2002, hlm. 1-4; dan Christhoper Joyner, The United Nations and International Law, Cambridge, 1997, hlm. 9-11. 95 Anthony D’Amato, The Need of Theory of International Law, Northwestern School of Law, 2004, hlm. 9-23 dan Chesterman and Rhoden, ibid, hlm. 10 96Aulis Arnio, Essay on Doctrinal Study of Laws, Springer, 2011, hlm, 119-121; dan Spinezi, Maria, Ancilla Iuris, 2007, hlm. 66

Page 11: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

55

fenomena sosiologis pembentukan ASEAN oleh 10 negara di Asia

Tenggara97. Salah satu konsep mengenai eksistensi ASEAN adalah

adanya fakta keinginan bersama untuk hidup di kawasan yang damai,

aman dan stabil, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,

kesejahteraan bersama, kemajuan sosial, serta untuk memajukan

kepentingan, cita-cita, dan aspirasi bersama masyarakat Asia Tenggara98.

Disamping itu, Negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk

membentuk komunitas ASEAN sebagai langkah untuk menjamin

pembangunan berkelanjutan yang bermanfaat bagi generasi-generasi

sekarang dan mendatang dan menempatkan kesejahteraan dan

penghidupan yang layak serta kemakmuran rakyat sebagai pusat proses

pembentukan komunitas ASEAN99. Keinginan bersama tersebut harus

tetap menghormati kedaulatan (sovereignty) dan kesetaraan (equality)

negara-negara anggota ASEAN serta mematuhi prinsip-prinsip

demokrasi dan perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia100.

97 Burhan Tsani, op.cit, no. 2, hlm. 5-6 dan ASEAN, op.cit, no.3, hlm. 5-8. 98 ASEAN, op.cit, no. 7 dan bandingkan dengan Sjamsumar Dam dan Riswadi, Kerjasama ASEAN: Latar Belakang, Perkembangan dan Masa Depan, Ghalia Indah, 1995, hlm. 15-17 dan Marie Pangestu, op.cit, no. 2, hlm. 363. 99 Baca lebih lanjut Bagian Pendahuluan Piagam ASEAN; dan ASEAN, Annual Report, Implementing the Roadmap for An ASEAN Community 2015, 2009, hlm. 9-12.

100 Pasal 2 ayat 2 (h dan i) yang menentukan bahwa ASEAN dan Negara-negara anggotanya wajib bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip berikut, yaitu: (h). Berpegang teguh pada aturan hukum, tata pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional; dan (i). Menghormati kebebasan fundamental dan perlindungan hak asasi manusia dan pemajuan keadilan sosial.

Page 12: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

56

Konsep kedua adalah adanya kebutuhan (need) yang berbentuk

fakta empiris mengenai regionalisasi hukum di ASEAN101. Regionaliasi

hukum ini memiliki arti penting dalam studi hukum organisasi

internasional sebagai katalisator ASEAN memiliki personalitas dan

kapasitas hukum dalam mencapai tujuannya berdasarkan prinsip rule of

law102 Regionalisasi hukum ini menentukan kapasitas hukum dalam

melaksanakan kegiatan dan pencapaian tujuan ASEAN sebagai sebuah

organisasi internasional di Asia Tenggara103. Kegiatan tersebut memiliki

dua (2) dimensi hukum terkait dengan pemenuhan hak dan kewajiban

hukum yang dikenal dalam hukum organisasi internasional, yaitu: (a).

Dimensi hukum internal; dan (b). dimensi hukum eksternal104. Aspek

pertama mencakup pemenuhan 3 (tiga) aspek hukum kelembagaan

ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional, yaitu: (1). aspek

akuntabilitas; (2). Aspek legitimasi; dan (3). Aspek pelaksanaan tata

organisasi yang baik (good organization governance)105. Aspek kedua terkait

101 Ronald Bruce, Revolution, Reforms and Regionalization in South East Asia: Cambodia, Laos and Vietnam, Oxford: Routledge, 2006, hlm. 100-1002; dan Tan Sri Ahmad Fauzi bin Abdul Razak, “Facing Unfair Criticims”, dalam Tommy Koh, op.cit, no. 1, hlm. 21-22. 102 Alan R White, Grounds of Liability, Oxford University Press, 1985, hlm. 23-34; dan Jan Klabbers, The Concepts of Treaty in International Law, The Hague, 1996, hlm. 182-187. 103 Lihat argumen hukum dalam Andrew Halpin, “The Concept of Legal Power”, 16 Oxford Journal of Legal Studies, 1996, hlm. 129-152; Enzo Cannizaro (eds), The European Union as An Actor in International Relations, The Hague, 2002, hlm. 151-152 dan Jan Klabbers, “The Life and Times of the Law of International Organizations, 70 Nordic Journal of International Law, 2001, hlm. 287-317. 104 D.W. Bowett, op.cit, no. 4, hlm. 6-16. 105 Koenraad Van Brabant, Accountable Humanitarian Action: An Overview of Recent Trends, dalam ICRC, FORUM (War and Accountability), April 2002; lihat yurisprudensi dimensi hukum internal ini di PBB dalam hal pembiayaan operasi perdamaian PBB dalam the Certain Expenses of the United Nations 1962, Advisory Opinion of the International Court of Justice concerning Cetain Expenses of the United Nations

Page 13: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

57

dengan kemampuan ASEAN dalam membuat dan melaksanakan hukum

yang berlaku dan dipatuhi oleh anggota-anggotanya serta kemungkinan

terkena klaim hukum terhadap aplikasi hukum tersebut oleh pihak ketiga

(negara diluar anggota ASEAN dan/atau organisasi internasional

lainnya), khususnya bagi pemajuan dan perlindungan HAM106.

Konsep Kedaulatan Negara adalah konsep ketiga yang menjadi

kerangka pemahaman untuk menemukan beberapa aspek hukum terkait

dengan penundukan diri negera-negara pada ASEAN, yaitu: (1). alasan-

alasan hukum mengapa Negara adalah pihak utama yang memiliki

kewajiban perlindungan HAM dan supremasi negara terhadap pemajuan

dan perlindungan HAM terhadap masyarakatnya107; dan (2).

persinggungan kedaulatan dalam upaya perlindungan HAM telah

mengubah paradigma kedaulatan negara dari Mashab Westphalia ke

Mashab Hobessian108 yang dapat digunakan untuk menginterprestasikan

(Article 17, Paragraph 2, of the Charter), 20 July 1962, dikutip oleh Robert Siekmann, Basic Documents on United Nations and Related Peace Keeping Forces, Tim Asser Institute, 1989, hlm.111; dan The Report of the Panel for United Nations Peace Operation (the Brahimi Report), UN Doc. A/55/305-S/2000/809, 21 August 2000. 106 Dominic Goldrick, op.cit. no. 5, hlm. 16-23; dalam aspek hukum ini, praktek hukum PBB bisa dijadikan rujukan studi karena memiliki kesamaan dimensi operasionalnya, lihat dalam John Cerone, “Minding the Gap: Outlining KFOR Accountability in Post Conflict in Kosovo”, 12 European Journal of International Law, 2001, hlm. 496-88; Adam Roberts, “Humanitarian Issues and Agencies as Triggers for International Military Action”, 839 International Review of the Red Cross (Vol. 82, September 2000), hlm. 679; dan Secretary_General Bulletin: “Observance by United Nations Forces of International Humanitarian Law”, entry into force 12 August 1999, UN Doc. ST/SGB/1999/13 (6 August 1999). 107 Kristen Hessler, “State Soverignty as an Obstacle to International Criminal Law” dalam Larry May dan Zachary Hoskins, International Criminal Law And Philosophy, Cambridge University Press, 2010, hlm 39-57. 108 Mashab Westphalia memandang kedaulatan Negara sebagai sebuah cikal bakal munculnya Negara karena “Negara terbentuk di suatu wilayah atau teritori tertentu sehingga otoritas nasional memiliki kapasitas hukum untuk membuat, melaksanakan dan memaksakan berlakunya hukum

Page 14: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

58

cakupan, sifat dan area prinsip-prinsip perlindungan HAM yang ada

dalam Piagam ASEAN.

Menurut Mashab Westhalia, kedaulatan Negara adalah kekuasaan

tertinggi yang merdeka dari pengaruh dari kekuasaan lain yang dimiliki

oleh Negara untuk mengakui, memajukan, melindungi dan

melaksanakan ketentuan norma HAM di wilayah negaranya dan di

yurisdiksinya109. Yurisdiksi adalah kekuasaan suatu negara untuk

membuat hukum tentang perlindungan HAM dan berlaku terhadap

tersebut di wilayahnya itu terhadap orang, benda dan perbuatan hukum yang ada. Mashab ini menciptakan beberapa asas dasar dalam hukum internasional yaitu asas non intervensi dan asas kesamaan atau kesedarajatan dalam hubungan antar Negara yang diadopsi dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mashab Wetphalia ini muncul ketika pada tahun 1648 ditandatangani Perjanjian Perdamaian Westphalia antara Kaisar Suci Roma dengan Raja Kerajaan Perancis yang berisi 128 Pasal yang pada intinya mengakui Bahwa Kaisar memiliki kedaulatan penuh terhadap wilayahnya sebagai sebuah konsep kadaulatan negara berdasarkan adagium cujus regio ejus religio (Agama penguasa adalah agama wilayah penguasa itu). Selain itu, Mashab ini memiliki ciri bukan sebagai sebuah penjabaran atas prinsip keadilan (principles of justice), namun merupakan pengejawantahan dari definisi prerogatif suatu negara (penguasa) berdaulat dan bagaimana menjamin diplomasi diantara para penguasa berdaulat tersebut dalam melaksanakan kedaulatan dalam negerinya terkait dengan orang, perbuatan dan peristiwa hukum yang muncul dalam hubungan bilateral atau multilateral. Lihat Jhon H. Jackson, “Sovereignty-Modern: A New Approach to an Outdated Concept’, 97 American Journal of International Law, 2003, hlm. 786-787; dan Allen Buchanann, “Rawl’s Law of People: Rules for a Vanished Westphalian World, 115 Ethics, 2004, hlm. 35-66; Stehpen Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy, Princeton University Press, 1999, hlm. 20. Sedangkan Mashab Hobbessian yang dikembangkan oleh pemikiran Thomas Hobbes, Imanuel Kant dan Hans Kelsen memandang kedaulatan Negara sebagai sebuah bentuk kontrol relatif dari suatu Negara berdaulat terhadap warganegaranya dan memberikan justifikasi kekuasaan eksternal bagi terciptanya dan terpeliharanya tertib dan stabilitas sosial terhadap individu atau populasi yang ada di wilayah suatu Negara berdaulat itu sendiri. Lihat Larry May, Crimes Against Humanity: A Normative Account, Cambridge University Press, 2005, hlm. 9; Hans Kelsen, Principles of International Law, 2nd ed, 1966, hlm. 180; Lyal Sunga, Individual Responsibility in International Law for Serious Human Rights Violations, 1992, hlm.140-141; lihat juga P. Reuter, Droit International Public, 1983, hlm. 235; J Pritchard, “The International Military Tribunal for the Far East and Its Contemporary Resonances”, 149 Military Law Review 25, 1995, hlm. 33. 109 Huala Adolf, 1990, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum INternasional, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.7.

Page 15: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

59

orang, benda atau perbuatan-perbuatan (yurisdiksi legislatif); kekuasaan

negara terhadap orang, perbuatan atau benda didalam proses peradilan

HAM (yurisdiksi adjudikasi); atau kekuasaan negara untuk memaksakan

berlakunya kewajiban perlindungan HAM dan dipatuhinya ketentuan

hukum dan penghukuman bagi pelanggaran terhadap ketentuan-

ketentuan HAM tersebut (yurisdiksi penegakan hukum)110. Arti penting

Mashab ini adalah diterimanya prinsip “the exhaustion of local remedies”,

yaitu prinsip dasar perlindungan HAM oleh Negara yang mengutamakan

pengunaan norma dan mekanisme perlindungan HAM nasional (primacy)

sebelum mengunakan norma dan mekanisme yang terdapat dalam sistem

regional dan internasional dalam kerangka ASEAN111.

Piagam ASEAN secara jelas mengadopsi Mashab kedaulatan

Negara Westphalia dalam prinsip-prinsip dasar ASEAN, yaitu: (a).

menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah,

dan identitas nasional seluruh Negara-Negara Anggota ASEAN; (b). tidak

campur tangan urusan dalam negeri Negara-Negara Anggota ASEAN;

(c). penghormatan terhadap hak setiap Negara Anggota untuk menjaga

eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi, dan

paksaan; (d). menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan

110 F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, hlm. 45; Malcolm N. Shaw, International Law, 4th ed, 1997, hlm. 452-456; Cristopher L. Blakesley, “Extraterritorial Jurisdiction”, dalam MC. Bassiouni, “International Criminal Law Procedure”, 1986, hlm. 1; L. Henkin, R. Pugh, O. Schachter and H. Smith, International Law in Theory and Practice, 2nd ed, 1987, hlm. 820-825. 111 The United Nations Human Rights, Office for the High Commissioner on Human Rights, The High Commissioner on Human Rights Strategic Management Plan 2008-2009, p. 1-5.

Page 16: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

60

perlindungan hak asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial; (e).

menjunjung tinggi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum

internasional, termasuk hukum humaniter internasional, yang disetujui

oleh Negara-Negara Anggota ASEAN; (f). tidak turut serta dalam

kebijakan atau kegiatan apa pun, termasuk penggunaan wilayahnya,

yang dilakukan oleh Negara Anggota ASEAN atau Negara non-ASEAN

atau subyek non-negara mana pun, yang mengancam kedaulatan,

integritas wilayah atau stabilitas politik dan ekonomi Negara-Negara

Anggota ASEAN112.

Mashab Hobbesian berperan besar sebagai dasar munculnya

doktrin intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention)113, penerimaan

pelanggaran HAM berat sebagai sebuah bentuk ancaman terhadap

keamanan dan perdamaian internasional114, berkembangnya asas

responsibility to protect (R2P)115 dan diterimanya paham kedaulatan Negara

sebagai sebuah tanggung jawab (sovereignty as responsibility)116 dalam

upaya pemajuan dan perlindungan HAM. Kesmua pemahaman ini secara

112 ASEAN Secretariat, Piagam ASEAN, 2009. 113 J.L Holzgrefe and Robert O. Keohane, Humanitarian Intervention, Ethical, Legal and Political Dillemas, Cambridge University Press, 2003. 114 SC Res 827 (May 25,1993), UN Doc S/25704 (May 3, 1993), 3 ILM 1159 dan SC Res 955 (November 8, 1994), UN Doc S/1994/140 tentang pembentukan ICTY dan ICTR. 115 The Asia Pacific Center for R2P, The Responsibility to Protect in Southeast Asia, January 2009, hlm.6 yang dielaborasikan dengan beberapa pemikiran dari B. Cheng, “Custom: the Future of General State Practice in Divided World” dalam R. Macdonald dan D. Johnston (editor), The Structure and Process of Internatmional Law: Essay in Legal Philosophy, Doctrine and Theory, Dordrecht, Martinus Nijhoff Publisher, 1983, hlm. 513 116 J.L Holzgrefe and Robert O. Keohane, op.cit, no. 42, hlm. 45-67.

Page 17: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

61

prinsip telah diadopsi dalam AHRD, khususnya dalam Bagian dan pada

Bagian Penutupnya. Disamping itu, Mashab ini juga digunakan dan

diambil sebagai salah satu prinsip dasar ASEAN khususnya oleh the

ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR) sebagai

badan yang memiliki fungsi sebagai badan yang memiliki yurisdiksi

pelengkap dari yurisdiksi hukum nasional negara-negara anggota

ASEAN117.

Konsep keempat adalah konsep yuridis sosiologis organisasi

internasional yang menjadi latar belakang terbentuknya ASEAN oleh

masyarakat Asia Tenggara118. Organisasi internasional dalam arti luas,

adalah bentuk kerjasama antar pihak-pihak yang bersifat internasional

untuk tujuan yang bersifat internasional119. Pada hakekatnya organisasi

internasional timbul karena “ubi societas, ibi jus’ (dimana ada masyarakat

disana ada hukum), termasuk juga ASEAN dimana seiring dengan

perkembangan teknologi, telekomunikasi dan transportasi intensitas

interaksi antara negara juga semakin meningkat khususnya di kawasan

Asia Tenggara120. Dalam interaksi tersebut, timbul banyak persinggungan

117 The AICHR ToR, Chapter 1 (1.5) yang menentukan bahwa “to enhance regional cooperation with a view to complementing national and international efforts on the promotion and protection of human rights”; and Chapter 2 (2.3) yang menentukan bahwa “recognition that the primary responsibility to promote and protect human rights and fundamental freedoms rests with each Member State”. 118 Jan Klabbers, “The Life and Times of the Law of International Organization, 70 Nordic Journal of International Law, 2001, hlm. 287; Alan Dashwood, “The Limits of European Community Powers, 21 European Law Review, 1996, hlm. 125; dan Finn Seyersted, Objective International Personality of International Organizations: Do Their Capacities Really Depend Upon the Conventions Establishing Them?, Copenhagen, 1963, hlm. 28-30. 119 Klabbers, ibid, hlm. 288. 120 Tommy Koh, op.cit, no. 1, hlm. 5.

Page 18: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

62

kepentingan antara negara terkait dengan bidang kehidupan yang sangat

luas yang tentunya tidak dapat disandarkan kepada peraturan dari

masing-masing negara namun memerlukan pengaturan bersama

internasional agar kepentingan masing-masing negara lebih terjamin121.

Kebutuhan akan suatu pembuatan peraturan bersama tersebut kemudian

membuat negara-negara berfikir bagaimana mekanisme yang paling

efisien dalam realisasinya yang diwadahi oleh suatu organisasi

internasional, dalam hal ini adalah ASEAN122.

Teori pertama yang digunakan dalam paper ini adalah Teori

Efektifitas Perlindungan HAM dan Teori Fungsi Sosial Hukum

Internasional yang dikemukakan oleh Phillip Allot (the Social Function of

International Human Rights Law Theory)123. Teori ini memandang bahwa

hukum HAM internasional adalah sebuah sistem hukum yang terbentuk

dan berkembang dari, ke dan untuk masyarakat internasional, dalam

suatu masyarakat internasional yang terbentuk dari masyarakat nasional

tanpa memandang perbedaan suku, agama dan ras untuk mewujudkan

kepentingan bersama umat manusia berdasarkan prinsip-prinsip dasar

perlindungan HAM dan kebebasan dasar umat manusia124. Untuk

anggota ASEAN, Teori ini berkorelasi dan bermanfaat pada

121 Daswood, op.cit, no. 47, hlm. 126. 122 CF Amersinghe, Principles of the Institutional Law of International Organization, Cambridge University Press, 1996, hlm. 68-79. 123 Phillips Allot, The Concept of International Law’, 10 Europan Journal of International Law, 1999, hlm. 31-50. 124 Ibid.

Page 19: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

63

ditemukannya pola untuk memetakan permasalahan, tantangan sekaligus

kesempatan dalam upaya perlindungan HAM kedepan sebagai indikator

pelaksanaan rule of law menurut ketentuan Piagam ASEAN125.

Berdasarkan Teori Fungsi Sosial Hukum Hak Asasi Manusia,

hukum HAM dalam Piagam ASEAN ini memiliki tiga dimensi hukum

yang saling menentukan, yaitu: (1). Hukum tersebut membawa

perubahan dalam struktur hukum dan sistem sosial masyarakat dalam

kurun waktu tertentu; (2). Hukum tersebut memasukkan kepentingan

bersama dalam perilaku yang diharapkan dalam pembentukan dan

praktek identitas komunal yang disepakati; dan (3). Hukum tersebut

membawa pengharapan hukum (legal expectation) yang akan terjadi pada

masyarakat tersebut dimasa yang akan datang yang sesuai dengan

identitas dan nilai-nilai sosial masyarakatnya, tata nilai dan tujuan hidup

bersama dalam suatu kesepakatan yuridis untuk hidup bersama secara

damai dan sejahtera126. Dencho Georgiev menyebut ketiga dimensi

hukum ini sebagai sebuah kebenaran (correctness) yang memiliki

implikasi hukum untuk pemenuhannya (entitlement) dalam mekanisme

dan kegiatan entitas hukum yang bersangkutan127.

125 Heribertus Jaka Triyana, “Politics and Law of Human Rights in Southeast Asia: A Critical Legal Analysis”, Presented at the Short Course on Human Rights and Democracy in Southeast Asia for the ASEAN Diplomats, 24-25 August 2009, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT UGM)-Deplu RI, Yogyakarta. 126 Allot, op.cit, no. 52, hlm.31. 127 Georgiev, op.cit, no. 8, hlm. 1-6 dan Jack Donelly, Universal Human Rights In Theory and Practice, Second Edition, Ithaca Cornell University Press, London, 2000, hlm. 10

Page 20: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

64

Dari ketiga dimensi hukum tersebut, Teori ini memberikan

kerangka analisis atau justifikasi pembenar bahwa perlindungan HAM

adalah salah satu elemen terpenting dari prinsip rule of law dalam konteks

dan perspektif ASEAN disaat ini dan dimasa yang akan datang, yaitu: (1).

Hukum HAM merupakan bagian dari eksistensi bersama masyarakat

Asia Tenggara yang memiliki kesamaan identitas (self-constituting of a

society); (2). Eksistensi bersama tersebut terbentuk dari ide dasar yang

sama dan membentuk perilaku nyata berdasarkan ide dasar tersebut; (3).

Hukum HAM ini digerakkan oleh bentuk korelaksi sosial yang sama

dengan doktrin nilai-nilai Asia (a distinctive social forms); (4). Hukum

HAM ini mengeneralisasi sistem hukum perlindungan HAM yang ada

sesuai dengan kepentingan sosial bersama masyarakat Asia Tenggara; (5).

Hukum HAM ini pada saat bersamaan membentuk partikularisasi dalam

segmen sosial berdasarkan pembatasan yang diakui dan diatur dalam

konstitusi dan undang-undang nasional negara anggota; (6). Hukum

HAM ini menentukan kepentingan bersama dari masyarakat sesuai

dengan nilai-nilai dan tujuan bersama yang membentuk tatanan bersama

(societal order); (7). Hukum HAM ini memerlukan penjelasan-penjelasan

teoritis dalam hubungan antar komunitas sehingga terbangun kondisi

seutuhnya mengenai tatanan nilai dan tujuan yang disepakati (agreed

values and purposes); dan (8). Hukum HAM ini harus mampu digunakan

sebagai perekayasa sosial (social engineering) dalam kesadaran privat dan

publik secara bersamaan sehingga tumbuhlah kepedulian bersama untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan ketentuan dalam norma dan

Page 21: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

65

mekanisme tersebut128. Dari kedelapan ciri atau karakteristik tersebut,

tegaknya rule of law akan berdampak positif bagi upaya pemenuhan dan

perlindungan HAM dan mengharuskan negara sebagai anggota ASEAN

untuk menjalankan hukum yang fungsional sebagai sebuah cara untuk

mencapai tujuan bersama ASEAN di kawasan Asia Tenggara129.

C. Eksistensi Prinsip Rule of Law Dalam Kerangka Hukum ASEAN

Sebagai Sebuah Organisasi Internasional

Black mendefinisikan prinsip hukum sebagai “a fundamental truth

or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or

origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination” atau

suatu kaidah kebenaran pokok atau sebagai sebuah norma hukum;

keseluruhan aturan atau norma yang menjadi dasar pembenar terhadap

pembentukan norma atau kaidah yang lainnya; sebuah peraturan yang

pasti untuk melakukan perbuatan hukum, tata cara atau pencapaian

terhadap suatu tujuan-tujuan hukum130. Dengan demikian, prinsip

hukum berfungsi sebagai dasar pembenar ataupun dasar pemaaf

terhadap proses pembentukan dan pelaksanaan suatu ketentuan hukum

yang berlaku dalam masayarakat internasional dan pada masyarakat

pada suatu negara yang berdaulat131. Prinsip hukum memiliki dimensi

luas dalam artian sebagai sebuah preskripsi hukum: baik sebagai sebuah 128 Allot, loc.cit. 129 Peerenboom, op.cit, no. 19, hlm. 48. 130 Black., H.C., Black’s Law Dictionary, 6th ed., St. Paul: West Publishing Co, 1990. 131 Aulis Arnio, Essay on Doctrinal Study of Laws, Springer, 2011, hlm, 119-121.

Page 22: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

66

perintah, larangan atau perkenan, kompetensi hukum dan sebuah definisi

hukum132 sehingga prinsip hukum adalah salah satu pengertian dari asas

hukum yang dikenal dalam sistem-sistem hukum yang ada di dunia133.

Rule of law adalah sebuah prinsip hukum yang keberadaanya

diakui oleh masyarakat internasional dan diakui pula oleh sistem-sistem

hukum yang ada didunia134. Disamping itu, prinsip rule of law juga

diterima dan dipraktekkan dalam mekanisme organisasi internasional,

seperti di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)135. Kenyataannya,

prinsip ini tidak bisa berdiri sendiri karena ia memerlukan aspek lain

non yuridis seperti stabilitas politik, keamanan dan kemauan serta

kemandirian entitas pelaksananya136. Mudahnya, secara konsepsional dan

normatif, rule of law adalah hukum itu sendiri dan sudah tidak ada lagi

pertentangan pendapat mengenainya, namun kegagalan dalam

melaksanakannya dalam tataran implementasi adalah masalah hukum

dalam kerangka rule of law yang menyebabkan dinamisasi dan aktualisasi

prinsip hukum ini dalam kenyataannya137.

132 Ibid, hlm. 122. 133 Ibid; bandingkan dengan Spinezi, Maria, Ancilla Iuris, 2007, p. 66 dan Mochtar Mochtar Kusumatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm.148; dan Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968, hlm.58. 134 Thomas M Franck and Arun K. Timeringedam, “International Law and Constitutional Making, Chinese Journal of International Law 2003, hlm. 468 dan 514 135 Jeremy Mathan Farral, The United Nations Sanctions and the Rule of Law, Cambridge University Press, 2007. 136 Gerry J. Simpson, “The Situation on the International Legal Theory Front: The Power of Rules and the Rules of Power”, The European Journal of International Law, Vol. 11, No. 2, 2000, hlm. 439-464. 137 Franck and Timeringedam, op.cit, no. 63, hlm. 510.

Page 23: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

67

Definisi rule of law sangat beragam dan kompleks dari yang

mendefinisikannya secara formal dan material138, luas dan sempit139, serta

tebal dan tipis140 walaupun semua definisi tersebut menyetujui bahwa

rule of law adalah produk hukum mashab Positivist yang sangat

mengedepankan tiga (3) cita hukum, yaitu keadilan, kepastian dan

kemanfaatan hukum141. Keberagaman definisi tersebut memberikan

gambaran atau deskripsi umum mengenai apa itu rule of law dalam kajian

dan relevansinya secara yuridis, yaitu: (1). Ia adalah asas hukum,

sekaligus prinsip hukum dan dogma hukum142; (2). Eksistensinya adalah

untuk mencapai keadilan hukum, disamping kemanfaatan dan kepastian

hukum143; (3). Ketaatannya ditujukan pada kesadaran perilaku subyek

hukum untuk mencapai tujuan hukum yang telah disepakati bersama

dalam sebuah ikatan yuridis sosiologi144; dan (4). Model implementasinya

adalah sebagai sebuah proses untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan dan/atau wewenang dari pada sebagai

sebuah hasil terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan/atau wewenang

138 Georgiev, op.cit, no. 8, hlm. 10-11. 139 Qurratul Ain, Hak Asasi Manusia dan Rule of Law: Sebuah Pengantar, Paper 2008, tidak dipublikasikan, hlm 3-6. 140 Human Rights Resource Center, op.cit, no. 6, hlm. 12-15. 141 Simpson, op.cit, no. 65; Georgiev, op.cit, no. 8; Farnck and Timerindam, op.cit, no, 63. 142 Farral, op.cit, no. 64, hlm. 35. 143 Simpson, op.cit, no. 65, hlm. 460 dan bandingkan dengan Andrew Altman and Christopher Heath Wellman, A Liberal Theory of International Justice, Oxford University Press, 2009. 144 Phillipe Nonet and Phillip Selznik, Law and Society in Transition, Harper Book, New York, 1978, hlm. 1

Page 24: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

68

tersebut145. Dapat disimpulkan bahwa rule of law merupakan suatu

legalisme hukum yang mengandung gagasan bahwa keadilan dapat

diciptakan dan dilayani melalui pembuatan dan pelaksanaan sistem

peraturan dan prosedur hukum yang bersifat obyektif, tidak memihak,

otonom dan membuka peluang partisipasi dalam pembuatan dan

pelaksanaannya dengan mengedepankan asas-asas hukum yang berlaku

secara umum146.

Secara yuridis dalam kajian hukum internasional, prinsip rule of

law digunakan sebagai salah satu sumber hukum internasional seturut

dengan ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (MI) karena

ia memenuhi beberapa kriteria sebagai sumber hukum internasional

sebagai berikut, yaitu147: (1). Prinsip tersebut adalah bagian dari hukum

internasional itu sendiri yang dapat diketemukan dalam perjanjian

internasional, instrumen pokok suatu organisasi internasional ataupun

dalam praktek negara dalam melaksanakan hubungan internasional; (2).

Keberadaannya adalah mandiri terdapat dalam dokumen-dokumen

hukum internasional, kebiasaan hukum dan keputusan-keputusan

hukum organisasi internasional yang berlaku sebagai dasar berlakunya

145 B.S. Chimi, “International Institution Today: An Imperial Global State in the Making, European Journal of International Law, Vol. 15, No. 1, 2004, hlm. 2-7 dan Geuther Teupner, “Substantive and Reflexive Law, Society Law Review, vol. 17, no. 2, 1983, hlm. 247. 146 Sacipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Penerbitan Kompas, 2007, hlm. 77 dan 133. 147 Massimo La Torre, Law and Institutions, Springer, 2009, hlm. 61 dan Simpson, op.cit, no, 65, hlm. 459.

Page 25: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

69

suatu kerjasama internasional dalam hubungan internasional; (3). Prinsip

tersebut dapat membantu hakim atau lembaga penyelesaian sengketa

untuk berkreasi dalam menemukan hukum ketika terjadi sengketa antara

para pihak atau ketidakjelasan aturan hukum sehingga mereka dapat

memutuskan perkara dan memberikan fatwa hukum secara adil,

imparsial dan akuntabel; (4). Keberadaanya sangatlah penting dalam

sistem hukum yang bersangkutan karena adanya jaminan kesetaraan

hukum dalam sistem hukum tersebut (checks and balances); (5). Aspek

filosofisnya merupakan cakupan dasar dalam asas tersebut yang menjadi

dasar tujuan dari kegiatan organisasi internasional; dan (6). Prinsip ini

memiliki fungsi dasar sebagai “reservoir” atau tempat diketemukannya

rasionalitas suatu aturan hukum yang mengatur kapasitas dan

personalitas hukum terkait dengan dimensi hukum internal dan

eksternal148.

Rule of law dalam studi hukum organisasi internasional adalah

sebuah konsep yang sangat mendasar bagi eksistensi suatu organisasi

internasional dalam mecapai tujuannya dimana ia menjadi dasar tata

kelola organisasi yang baik yang mengatur pola hubungan antara

individu, organ organisasi dan negara anggota dalam kasanah publik dan

privat didasari oleh prinsip-prinsip supremasi hukum, kesamaan

dihadapan hukum, akuntabilitas, pemisahan kekuasaan organisasi,

kepastian hukum, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan

148 Spinezi, ibid, hlm 67.

Page 26: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

70

organsasi dan transparansi149. Secara konseptual, rule of law menjadi

pemersatu antara studi hukum internasional dan studi hubungan

internasional yang dilaksanakan oleh organisasi internasional sebagai

salah satu subyek hukum internasional yang mengabungkan paham

Positivis dan paham Realis sehingga tercipta paham baru, yaitu Positivis

Realis150. Menurut paham ini, rule of law menjadi dasar justifikasi legal

terhadap pencapaian tujuan bersama yang memiliki legitimasi sosiologis

yang kuat dalam masyarakat internasional dimana mereka menerimanya

sebagai sebuah kebenaran hukum dan kewajiban internasional serta

kegagalan dalam melaksanakan kewajiban tersebut menjadi dasar

terjadinya pertanggungjawaban negara151.

Dalam sistem PBB, prinsip rule of law menjadi model tata kelola

PBB yang menggantikan orientasi hasil kepada orientasi proses yang

didasarkan pada keterkaitan antara HAM dan demokrasi dalam

mencapai tujuannya152. Rule of law memberikan elemen-elemen dasar

yang memformulasikan struktur, operasi dan evaluasi berdasarkan

149 Op.cit, no. 8. 150 Shirley V. Scott, “International Law As An Ideology: Theorizing the Relationship Between International Law and International relations; 5 European Journal of International Law, 1994, hlm. 311-316; dibandingkan dengan George Schawarzerberger, Power Politics, 1951; dan H. Morgenthau, Politics Among Nations: The Strugle for Power and Peace, 1949. 151 F. Boyle, World Politics and International Law, 1985, hlm. 6-7 dan Gearoid Tuathail, Simon Dalby and Paul Routledge, The Geopolitics Reader, Second Edition, Routledge, London and New York, 2007, hlm. 263. 152 Sekretaris Jenderal PBB, Guidance Note of the Secretary General: United Nations Apparoach to Rule of Law Assistance, 14 April 2008, hlm. 1; dan Paul F. Diehl, The Politics of Global Governance, International Organizations in An Interdependent World, Lynne Rienner Publishers, 2005, hlm. 9-11

Page 27: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

71

elemen-elemen persamaan, pertanggungjawaban, dan penghindaran

kesewenang-wenangan hukum dalam struktur PBB153. Selain itu, rule of

law memperoleh justifikasi dan dukungan yang sangat luas dalam kerja

sama PBB yang mengarah pada terbentuknya rule of law sebagai salah

satu hukum kebiasaan internasional yang memenuhi elemen substansi

(opinio jurist) dan elemen formal (state practice)154. Prinsip rule of law adalah

saling menguatkan dan saling tergantung dengan HAM dan demokrasi

sehingga penggabungan diantara mereka merupakan keharusan dalam

pencapaian tujuan PBB dimasa sekarang dan dimasa yang akan datang155.

Pada akhirnya, PBB mengembangkan rule of law sebagai sebuah tolok

ukur penyelenggaraan tata pemerintahan organisasi yang baik khususnya

dalam sistem peraturan dan prosedur hukum yang bersifat obyektif,

tidak memihak, otonom dan membuka peluang partisipasi dalam

pembuatan dan dalam pelaksanaannya sehingga penundukan diri negara

anggota PBB didasari oleh kepatuhan atas rasa dan tertib hukum dan

bukan karena motif kepentingan (political interests)156.

Prinsip rule of law terdapat dalam Mukadimah dan dalam Pasal 1

(7) Piagam ASEAN157. Dalam kerangka ASEAN, prinsip rule of law

diterapkan sesuai dengan fungsinya seturut dengan Teori Fungsi Sosial

153 Farral, op.cit, no. 64. 154 Giorgiev, op.cit, no. 8, hlm. 67 dan Simpson, op.cit, no. 65, hlm. 456. 155 Sekjen PBB, op.cit, no. 79, hlm. 2 dan Human Rights Resource Center, op.cit, no. 6, hlm. 10. 156 Farral, op.cit, no. 65, hlm, 78; dan A/ 59/2005/: “In Larger Freedom: Toward Development, Security and Human Rights for All”, 21 March 2005. 157 Human Rights Resource Center, op.cit, no. 6, hlm. 10-12.

Page 28: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

72

Hukum Internasional158. Mukadimah Piagam ASEAN menyatakan bahwa

semua anggota mematuhi prinsip-prinsip demokrasi, rule of law dan tata

pemerintahan yang baik dan penghormatan dan perlindungan HAM dan

kebebasan-kebebasan manusia yang fundamental. Pasal 1 (7) menentukan

bahwa tujuan ASEAN adalah untuk memperkuat demokrasi,

meningkatkan tata pemerintahan yang baik dan rule of law, dan

memajukan serta melindungi HAM dan kebebasan-kebebasan

fundamental dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

dari negara-negara Anggota ASEAN. Piagam ASEAN tidak lagi menjadi

satu-satunya instrumen yang mengatur rule of law, namun penguatan dan

pelaksanaannya telah diikat dengan diciptakannya tiga komunitas

hukum, yaitu komunitas Politik-Keamanan (Political-Security Community);

Komunitas Ekonomi (Economic Community); dan Komunitas Sosial

Budaya (Socio-Cultural Community) sebagai peretas jalan menuju

komunitas ASEAN pada tahun 2015. Ketiga komunitas ini menjadi sarana

bersama dimana negara-negara anggota ASEAN berinteraksi dan

bekerjasama yang lebih erat untuk membentuk norma-norma bersama

dan menciptakan mekanisme bersama untuk mencapai tujuan dan

sasaran ASEAN di bidang politik dan keamanan159.

158 Jhonston, “Functionalism in the Theory of International Law”, 26 Canadian Yearbook of International Law, 1988, hlm. 6-9 dan didasarkan pada argumentasi Allot, op.cit, no. 52. 159 Deklarasi Cha-am Hin Tentang Langkah-Langkah Pengembangan Sebuah Komunitas ASEAN Tahun 2009 (2009-2015), 1 Maret 2009

Page 29: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

73

Prinsip rule of law juga dikembangkan menjadi sebuah model

kegiatan ASEAN yang menggantikan orientasi hasil kepada orientasi

proses yang didasarkan pada keterkaitan antara HAM dan demokrasi

dalam mencapai tujuannya160. Rule of law memberikan elemen-elemen

dasar yang memformulasikan struktur, operasi dan evaluasi berdasarkan

elemen-elemen persamaan, pertanggungjawaban, dan penghindaran

kesewenang-wenangan hukum dalam struktur kelembagaan ASEAN161.

Selain itu, rule of law memperoleh justifikasi dan dukungan yang sangat

luas dalam kerja sama ASEAN dengan PBB dan organisasi internasional

lainnya yang mengarah pada terbentuknya rule of law sebagai salah satu

hukum kebiasaan internasional162. Prinsip rule of law adalah saling

menguatkan dan saling tergantung dengan HAM dan demokrasi

sehingga penggabungan diantara mereka merupakan keharusan dalam

pencapaian tujuan ASEAN atau sebagai sebuah “conditio sine qua non”163.

Pada akhirnya, ASEAN mengembangkan rule of law sebagai sebuah tolok

ukur penyelenggaraan tata pemerintahan organisasi yang baik khususnya

dalam sistem peraturan dan prosedur hukum yang bersifat obyektif,

160 ASEAN, ASEAN Handbook on International Cooperations in Trafficking in Persons, ASEAN Public Affairs Services, 2010. 161 ASEAN, ASEAN Masterplan 2020, ASEAN, 2008. 162 ASEAN, Agreement on Priveleges and Immunities of ASEAN, ASEAN Secretariat, 2010. 163 Camoying, Luningning G, “Establishing an ASEAN Human Rights Mechanism: Development and Prospects”, Insights, Issue No. 1, March 2005.

Page 30: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

74

tidak memihak, otonom dan membuka peluang partisipasi dalam

pembuatan dan dalam pelaksanaan kegiatan ASEAN164.

Dapat disimpulkan bahwa prinsip rule of law dalam Piagam

ASEAN secara substantif memenuhi keenam kriteria sebagai sumber

hukum yang berlaku mengikat bagi negara-negara anggota ASEAN dan

bagi organ-organ ASEAN, yaitu: (1). Prinsip tersebut adalah bagian dari

hukum internasional regional itu sendiri yang telah dipraktekkan oleh

negara-negara Asia Tenggara yang menjadi anggota ASEAN165; (2).

Keberadaanya adalah mandiri secara yuridis formal walaupun ia tetap

memerlukan faktor penentu non yuridis seperti faktor keamanan dan

stabilitas politik dalam pelaksanaan pembangunan bersama166; (3). Prinsip

ini membantu hakim atau lembaga penyelesaian sengketa yang ada

dalam mekanime ASEAN untuk berkreasi dan menemukan hukum

khususnya terhadap pencapaian tujuan ASEAN167; (4). Keberadaannya

sangatlah penting dalam sistem hukum ASEAN yang dibuktikan dengan

dicantumkannya prinsip tersebut dalam Terms of References AICHR

sebagai bagian integral struktur ASEAN dan dalam Mukadimah AHRD

164 Severino, op.cit, no. 21 dan bandingkan dengan Hiro Katsumata, ASEAN’s Cooeperative Security Enterprise, Norms and Interests in the ASEAN Regional Forum, Palgrave McMilan, 2009. 165 Mohamed El Zeidy, The Principle of Complementarity in International Criminal Law, Origins, Deleopment and Practice, Martinus Nijhoff Publisher, 2008, hlm. 5-152. 166 Human Rights Resource Center, op.cit, no. 6, hlm. 16. 167 Michael Wesley, The Regional Organization in Asia Pacific, Exploring Institutional Changes, Palgrave McMilan, 2003 dan Marie Pangestu, “The Future of ASEAN”, the Indonesian Quarterly, vol. XXV, No. 4, 199

Page 31: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

75

sebagai sebuah norma hukum168; (5). Aspek filosofisnya tercakup dalam

prinsip tersebut yaitu memberikan pengutamaan kepada pencapaian

keadilan, kepastian dan kemanfaatan bersama dan masyarakat yang

sejahtera169; dan (6). Prinsip ini menjadi reservoir atau tempat

diketemukannya aturan hukum terkait dengan pencapaian dan tata

laksana kegiatan ASEAN berdasarkan tata pemerintahan organisasi yang

baik khususnya dalam sistem peraturan dan prosedur hukum yang

bersifat obyektif, tidak memihak, otonom dan membuka peluang

partisipasi dalam pembuatan dan dalam pelaksanaannya170.

Selain itu, prinsip rule of law dalam kerangka ASEAN menjadi

pedoman utama dalam penguatan struktur kelembagaan dan

pengembangan kelembagaan ASEAN itu sendiri yang akuntabel dan

memiliki legitimasi yang kuat dalam mencapai tujuannya. Dasar

penguatan tersebut terletak pada diterimanya elemen-elemen dasar dar

prinsip rule of law dalam keragka kerja ASEAN, yaitu: (1). Diataatinya

prinsip berkuasanya hukum (supremacy of law); (2). Persamaan didepan

hukum (equality before the law); (3). Pertanggungjawaban hukum (fairness

in the application of the law); (4). Adanya pemisahan kekuasaan dalam

pengambilan dan pelaksanaan keputusan hukum (separation of power); (5).

168 Timothy LH MacCormack and Sue Robertson, “Jurisdictional Aspects of the Rome Statute for the New International Criminal Court”, 23 Melbourne University Law Review, 1999, hlm. 652-660 dan Geoffrey Watson, “The Humanitarian Law of the Yugoslavia War Crimes Tribunal: Jurisdiction in Prosecutor v Tadic”, 36 Virginia Journal of International Law, 1997, hlm. 717. 169 Lijun Yang, “On the Principle of Complementarity in the Rome Statute of the International Criminal Court”, Chinese Journal of International Law, Vol.4, No. 1, 2005, hlm. 122. 170 ASEAN, op.cit, no. 89.

Page 32: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

76

Adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan hukum di ASEAN

(participation in the decision making); (6). Adanya kepastian hukum (legal

certainty); (7). Dihindarinya kesewenang-wenangan hukum (avoidance of

arbitrariness); dan (8). Keterbukaan prosedur dan pelaksanaan hukum

(transparency)171.

Burhan Tsani dalam hal ini berargumentasi bahwa prinsip rule of

law dalam Piagam ASEAN mampu digunakan sebagai instrumen hukum

untuk meniadakan penilaian negatif bahwa ASEAN selama ini hanya

menyentuh kaum elit politik yang berkuasa di Asia Tenggara; ASEAN

hanyalah “keranjang kosong tanpa isi” bagi terciptanya kemakmuran

bersama masyarakat Asia Tenggara; dan ASEAN tidak memiliki relevasi

terhadap peningkatan kesejahteraan dan keamanan di kawasan Asia

Tenggara secara langsung khususnya terhadap penciptaan keamanan

komprehensif kepada umat manusia172. Disamping itu, prinsip rule of law

dalam Piagam ASEAN memberikan penguatan kepada ASEAN sebagai

sebuah institusi regional (regional arrangement) yang harus diberdayakan

dalam upaya-upaya penyelesaian sengketa di kawasan Asia Tenggara

berdasarkan ketentuan Pasal 52 (1) Piagam PBB dan sebagai institusi

penyelesaian sengketa secara damai menurut ketentuan Pasal 33 Piagam

171 Erman Suparman, “Kerjasama Bidang Peradilan Antar Negara Dan Upaya Penyeragaaman Pranata Hukum Antar Bangsa, Paper tidak di[ublikasikan, 2010, hlm. 2-6. 172 Burhan Tsani, op.cit, no. 1, hlm. 18-19.

Page 33: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

77

PBB173. Rule of law dalam Piagam ASEAN mempertajam peran dan fungsi

ASEAN seturut dengan Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1970 yang

menentukan bahwa “Negara-negara anggota PBB harus mencari dan

mengunakan penyelesaian sengketa internasional sedini mungkin dan

seadil-adilnya dengan cara negosiasi, jasa baik mediasi, konsiliasi,

arbitrase, penyelesaian melalui pengadilan, mengunakan upaya-upaya atau

badan-badan regional yang ada atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya

berdasarkan pilihan mereka sendiri”174 (kursif penulis).

D. Aplikasi Prinsip Rule of Law dalam Penguatan dan Perlindungan HAM dalam Kerangka ASEAN (AHRD dan AICHR)

Randall Peerenboom secara khusus meneliti dan mengkaji secara

mendalam dan kritis kaitan antara rule of law dan perlindungan HAM

serta kebebasan dasar umat manusia dan menghasilkan temuan hukum

bahwa keduanya memiliki hubungan yang kompleks dan saling

menentukan satu dengan yang lainnya175. Kompleksitas tersebut sangat

dipengaruhi oleh struktur, isi serta budaya hukum dalam sistem itu

sendiri serta faktor eksternal non sistem tersebut176. Dilain sisi, Robert

173 Bowett, op.cit, no.4, hlm. 205 dan Farral, op.cit, no. 64, hlm. 84. 174 General Assembly Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Cooperations Among States in Accordance with the Charter of the United Nations, GA Res. 2625 (XXV), 24 October 1970; dan lihat uraian selengkapnya dalam JG Merills, International Disputes Settlement, 3rd Editions, Cambridge University Press, 2000. 175 Peerenboom, op.cit, no. 19 dan Javaid Rehman, International Human Rights Law: A Practical Approach, Longeman Press, 2003; 176 Ibid, hlm. 20

Page 34: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

78

McCorquodale menguatkan asumsi yuridis bahwa organisasi

internasional memiliki kewajiban internasional terhadap perlindungan

HAM berdasarkan 3 (tiga) argumen hukum, yaitu: (1). Organisasi

internasional tidak boleh bertindak bertentangan dengan kewajiban

hukum yang dimiliki oleh anggotanya terhadap kewajiban mereka pada

instrumen perlindungan hukum HAM yang diterimanya; (2). Organisasi

internasional terikat pada hukum kebiasaan internasional mengenai

perlindungan HAM sama seperti pada negara dan individu; dan (3).

Kewajiban hukum perlindungan HAM tersebut telah berkembang ke

organisasi internasional secara langsung177. ASEAN mengambil ketiga

argumen hukum ini sebagai rasionalitas dan fakta hukum pembentukan

norma dan mekanisme perlindungan HAM dalam kerangka rule of law178.

Sejalan dengan kedua argumentasi hukum tersebut di atas,

Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan bahwa: “State

Parties should ensure that their actions as members of international

organizatioions take due account of their rights to water. Accordingly, State

parties that are members of international financial institutions, notably the

177 Robert McCorquodale, “International Organizations and International Human Rights Law: One Giant Leap for Humankind”, in Kaiyan Homi Kaikobad and Michael Bohlander, International and Power Perspective on Legal Order and Justice, Martinus Nijhoff Publishers, 2009, hlm. 154-156. 178 Tommy Koh, op.cit, no. 1, hlm. 18; Heppy Ratna, AICHR dan Penguatan Perlindungan HAM di ASEAN, http://news.antara.co.id/berita/1256362459/aichr-dan-penguatan-perlindungan-ham-di-asean, 2009; dan Human Rights Committee, General Comment 3, Article 2, para 1, Implementation at the national level (Thirteenth session, 1981), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Doc. HRI/GEN/1/Rev.1 at 14 (1994), University of Minnesota Human Rights Library, http://www1.umn.edu/humanrts-/gencomm/hrcom13.htm.

Page 35: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

79

International Monetary Fund, the World Bank, and regional development banks,

should take steps to ensure that the right to water is taken into account in their

lending policies, credit agreements and other international measures”179.

Mudahnya, organisasi internasional terikat terhadap kewajiban

pemenuhan dan perlindungan HAM dalam menjalankan fungsinya180.

Selain itu, yurisprudensi internasional juga menguatkan argumentasi

tersebut di atas bahwa organisasi internasional memiliki kewajiban

pemenuhan dan perlindungan HAM secara langsung berdasarkan

aplikasi hukum kebiasaan internasional sebagai sebuah penghormatan

atas Piagam PBB181.

Mahkamah Internasional memutuskan secara jelas bahwa:

“International organizations are subjects of international law and, as such, are

bound by any obligations incumbent upon them under general rules of

international law, under their constitutions or under international agreements to

which they are parties”182. Dengan demikian, eksistensi rule of law dan

penguatan perlindungan HAM dalam kerangka ASEAN memiliki

rasionalitas hukum yang dibangun dari keyakinan hukum yang

ditunjukan dalam aturan-aturan normatif internasional dan praktek-

179 Committe on Economic, Social and Cultural Rights, General Comments 15: The Rights To Water”, UN Doc. E/C.12/2002/II, 2002, para. 36. 180 Coomans and Kaminga (eds), Extraterritorial Application of Human Rights Treaties, Antwerp, 2004, hlm. 214 dan Reinisch, “Securing the Accountability of International Organizations”, 7 Global Governance, 2001, hlm. 131-135. 181 Blokker and Schemers, International Institutional Law, Fourth Edition, Leiden, 2003, hlm. 1002-1003. 182 Interpretation of the Agreement of March 25, 1951 between the WHO and Egypt: Advisory Opinion, ICJ Report 1980, para. 73, hlm. 89-91.

Page 36: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

80

praktek subyek hukum internasional sehingga memperoleh suatu

legitimasi yang kuat183.

Perlindungan HAM menjadi kerangka kerja dan tujuan yang

hendak dicapai oleh ASEAN184. Tujuan tersebut didasarkan pada aturan-

aturan hukum (rule of law) dalam Piagam ASEAN, dimana ASEAN telah

melahirkan isi dan wadah perlindungan HAM dalam konteks dan

perspektif ASEAN185. Pasal 14 Piagam ASEAN menjadi dasar

pembentukan Badan HAM ASEAN atau the ASEAN Intergovernmental

Commission of Human Rights (AICHR). Pada tanggal 18 November 2012,

Deklarasi HAM ASEAN disepakati oleh 10 kepala Negara anggota

ASEAN dalam Koferensi Tahunan di Phnom Penh, Kamboja sebagai

pengejawantahan bagian Mukadimah dan Pasal 1 (7) Piagam ASEAN186.

183 Lawson, “Out of Control, State Responsibility and Human Rights: Will the ILC’s Definitions of the Act of State Meet the Challanges of the 21st Century?, dalam Castermans, Van Hoof and Smith (eds), The Role of Nations State in the 21st Century, Human Rights, International Organizations and Foreign Policies, Essay in Honor of Peter Baehr, Cambridge, MA, 1999, hlm. 91. 184 Marie Pangestu, “The Future of ASEAN”, the Indonesian Quarterly, vol. XXV, No. 4, 1997, hlm. 362-365. 185 Tempo Interaktif, “Deklarasi HAM ASEAN Diteken”, http://www.tempo.co/read/news/201211/18/118442473/deklarasihamasean.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2012 186 Pasca penandatanganan Piagam ASEAN, terdapat lima prioritas kegiatan untuk mempersiapkan perubahan ASEAN yaitu penyusunan Term of Reference (ToR) pembentukan Permanent Representatives to ASEAN, penyusunan Rules and Procedures ASEAN Coordinating Council dan ASEAN Community Councils, penyusunan supplementary protocols mengenai dispute settlement mechanism, penyusunan perjanjian baru menggantikan perjanjian pendirian Sekretariat ASEAN tahun 1976, serta penyusunan ToR pembentukan badan HAM ASEAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu, ASEAN Selayang Pandang, 2007, hlm. 41; Deklarasi HAM ASEAN ini ditandatangani oleh 10 kepala negara anggota ASEAN pada tanggal 18 November 20120 oleh Haji Hassanal Bolkiah, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, Susilo Bambang Yudhoyono, Thongsing Thammavong, Dato Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak, U Thein Sein, Benigno S Aquino III, Lee Hsien Loong, Yingluck Shinawarta, Nguyen Tan Dung yang mengadopsi 9 prinsip dasar HAM, 15 hak sipil dan politik, 9 jenis hak

Page 37: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

81

Kedua aturan perlindungan HAM tersebut berlaku dalam keadaan damai

(normal), ASEAN juga telah berhasil membuat the ASEAN Regional

Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance (AADMER)

dalam situasi darurat187. AADMER adalah ketentuan regional yang

menyatukan semua ketentuan mitigasi dan pengelolaan bencana

internasional dilevel Asia Tenggara sebagai sebuah standar minimal

terhadap perlindungan HAM dan kebebasan dasar umat manusia188.

Dengan demikian, ASEAN pada prinsipnya mengadopsi secara filosofis

semua norma dan mekanisme perlindungan HAM yang telah ada189.

Deklarasi HAM ASEAN merujuk pada kesesuian dan ketepatan hukum

terhadap norma dan mekanisme HAM internasional dengan

menambahkan cakupan penekanan pengaturannya terhadap hak atas

perdamaian, hak atas pembangunan, dan mekanisme kerjasama regional

dan internasional sesuai dengan isi, tujuan dan mekanisme dalam Piagam

ASEAN 190.

Ketiga ketentuan perlindungan dan pemajuan HAM dalam

ASEAN tersebut di atas diharapkan muncul pola positif dan berkorelasi

ekonomi, sosial dan budaya, hak atas pembangunan, hak atas perdamaian dan ditutup dengan kerjasama regional dan internasional dalam hal pemajuan HAM dalam Deklarasi tersebut. Lihat Phnom Penh Statement on the Adoption of the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD), 18 November 2012. 187 Op.cit, no. 17. 188 ASEAN, The ASEAN Regional Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance (AADMER) Work Programme 2009-2015, ASEAN, 2009, hlm. 3-8; 15-17, dan 27. 189 Bagian Mukadimah Deklarasi menyatakan dengan jelas bahwa ASEAN lebih mengikatkan dirinya terhadap komitmen bersama pada Deklarasi Universal HAM 1948; Piagam PBB; Deklarasi Vina mengenai Program Aksi HAM; dan semua perjanjian dasar HAM dimana anggota ASEAN menjadinya anggotanya. 190 Mertokusumo, S., 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, hlm. 3-5.

Page 38: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

82

secara dinamis dalam meningkatnya harapan hukum (legal expectation)

oleh masyarakat di Asia Tenggara terhadap perbaikan kondisi

penghormatan dan perlindungan HAM dalam kerangka rule of law191.

Harapan hukum ini muncul dalam aspek meningkatnya budaya hukum

(legal culture); sturuktur hukum (legal structure) dan substansi hukum

(legal substance) perlindungan HAM di Asia Tenggara. Akibat hukumnya

adalah daya paksa hukum norma dan mekanisme HAM ASEAN

memperoleh justifikasi dan legitimasi legal, sosial dan politik192.

Selanjutnya, akuntabilitas dan legitimasi norma dan mekanisme ini harus

diterima di dalam sistem hukum nasional suatu negara anggota

ASEAN193. Kajian menadalam rule of law dalam Piagam ASEAN akan

dielaborasikan terhadap pembentukan dan implementasi sebagai sebuah

perubahan institusional dari AADMER dan AHRD di bawah ini194.

191 Kompas Cyber media, “Deklarasi HAM ASEAN Hormati Prinsip-Prinsip HAM Universal”, kompas.com, http://www.internasional.kompas.com/read/2012/11/18/11304138/deklarasihamasean.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2012. 192 Tommy Koh, dan Rosario G Manalo, The Making of the ASEAN Charter, World Scientific Publishing, 2009, hlm. 117; dan ASEAN, ASEAN Masterplan 2020, ASEAN, 2008, hlm. 26. 193 Lihat penundukan dan pelaksanaan kewajiban hukum internasional kedalam sistem hukum nasional dalam F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1994, hlm. 45; Malcolm N. Shaw, International Law, 4th ed, 1997, hlm. 452-456; Cristopher L. Blakesley, “Extraterritorial Jurisdiction”, dalam MC. Bassiouni, “International Criminal Law Procedure”, 1986, hlm. 1; L. Henkin, R. Pugh, O. Schachter and H. Smith, International Law in Theory and Practice, 2nd ed, 1987, hlm. 820-825. 194 MC Abad Jr, “The Association of South East Asian Nations: Challanges and Responses”, dalam Micheal Wesley, The Regional Organisazation in Asia-Pacific: Exploring Institutional Changes”, Palgrave McMilan, 2003, hlm.50.

Page 39: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

83

1. Rule of law Dan Implementasi AADMER

AADMER adalah instrumen hukum regional berlaku mengikat

bagi anggota ASEAN mulai tanggal 24 Desember 2009 yang merupakan

kerangka kerja proaktif dalam hal kerjasama regional195, koordinasi

fungsional196, bantuan teknis, dan mobilisasi sumber daya dalam hal

pengelolaan bencana197. Tujuan dasar dari instrumen hukum ini adalah

untuk perlindungan HAM dan hak-hak kebebasan dasar manusia dalam

situasi bencana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan standar

penanganan bencana seperti yang ditentukan dalam mekanisme PBB198,

norma-norma dasar internasional penanganan bencana199 dan

195 Bab VI menentukan sebagai berikut, yaitu: “the role and functions for effective cooperation between international humanitarian institutions and Government with regard to disaster management throughout Article 28 and 30; and effective coordination at mitigation, emergency and reconstruction and rehabilitation are specifically determined in Articles 33. In Article 30, consent and appeal-based cooperation have been determined to foster national and international cooperation of disaster management”. 196 Bab IX menentukan bahwa: “technical assistance in terms of supervision in the making of all policy friendly disaster management in all sustainable development process. Article 71 determines that technical assistance shall be provided in: identification of threat, potential policy making disaster, exploitation activities, usage of goods and services, land use planning, management of natural resources, reclamation and budget-based allocation to disaster management” 197 ASEAN, ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response, http://www.aseansec.org/17579.htm, 2008, diakses pada tanggal 2 Juni 2012. 198 The United Nations, The United Nations General Assembly Resolution 46/182 , UNGA, 2001 dan dibandingkan dengan Heath, J. Benton, “Disaster, Relief, and Neglect: The Duty to Accept Humanitarian Assistance and the Work of the International Law Commission”, the International Law And Politics, Vol. 43: 419, 2011, hlm. 446 199 HIVOS, Disaster Management: Planning and Paradigm in Indonesia, 11 Juni 2007 and Permana, Mengubah Paradigma Penanganan Bencana di Indonesia, Paper, West Java Disaster Reduction Studies Center, Juni 2007, hlm. 2-6;

Page 40: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

84

pendekatan-pendekatan internasional200 sebagai pengejawantahan prinsip

rule of law201.

AADMER mengadopsi asas-asas partisipasi, transparansi,

akuntabilitas, relevansi, keberlanjutan dan koherensi sehingga

pemberdayaan masyarakat yang terkena bencana menjadi kunci pokok

dalam pengelolaan bencana202. Disamping itu, persetujuan tersebut

mengadopsi pengelolaan bencana sebagai sebuah satu kesatuan langkah

berupa pencegahan, mitigasi dan rehabilitasi dengan menekankan

penguatan kapasitas masyarakat terhadap kerentanan dan faktor risiko

bencana, baik bencana alam atau bencana yang disebabkan oleh faktor

manusia203. Prinsip rule of law dalam AADMER jelas menjadi inspirasi

pengaturan community-based disaster risk reduction management

(CBDRM)204. Dalam Mukadimah, CBDRM diartikan sebagai “a process in

which at-risk communities are actively engaged in the identification, analysis,

200 Spieker, Heike, Standardization Approaches to Disaster Response, Class Presentation, tidak dipublikasikan, 2007 201 Bagian Mukadimah The ASEAN Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance, ASEAN, 2006; dan Pitsuwan, Surin, The ASEAN Agreement for Disaster Management and Emergency Assistance, diakses pada http://www.asean.org/18441.htm, pada tanggal 14 September 2011 dan Friedman, J., Empowerment: The Politics of Alternative Development, Cambridge MA, Blackwell, 1992, hlm.5-20. 202 Skjernaa, Anton,“Theorizing the Impacts of International Law in State Behavior in World Politics”, Paper, presented at the International Studies Association in San Francisco, 2008, hlm.1 203 Abarquez, Imelda and Murshed, Community-based Disaster Risk Management: Field Practitioners’ Handbook, ADPC, 2005, hlm. 14; and Maskrey, A., Module on Community-based Disaster Risk Management, CBDRM-2 Handout, Bangkok, 1998; dan Hoffman, S.H., and Oliver-Smith, A., Catastrophe & Culture, the Anthropology of Disaster, Oxford; Hunter., D., et all, International Environmental Law and Policy, Foundation Press, New York, 2002; 204 Hoffman and Smih, ibid.

Page 41: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

85

treatment, monitoring and evaluation of disaster risk in order to reduce their

vulnerabilities and enhance their capacities”205.

Langkah-langkah nyata telah diinisiasikan oleh ASEAN terhadap

implementasi AADMER, seperti pembuatan program kerja 2010-2015

dalam menuju masyarakat ASEAN yang tanggap dan cakap dalam

penanganan bencana206. ASEAN Committee on Disasster Management

(ACDM) merupakan organ teknis ASEAN dalam mengimplementasikan

kerangka kerja dan prinsip-prinsip dasar AADMER dalam perspektif rule

of law, yaitu: (1). Penilaian faktor risiko bencana dan peringatan awal

bencana; (2). Pencegahan dan mitigasi bencana; (3). Kesiapsiagaan dan

tanggap darurat; dan (4). Pengembalian kekeadaan semula207. Program

kerja ini sangat dibutuhkan karena negara-negara ASEAN sangat rentan

terhadap risiko bencana, khususnya risiko bencana banjir, tanah longsor,

gunung meletus, tsunami, kekeringan dan lain sebagainya208.

205 Preamble, ibid dibandingkan dengan with Abarquez, Imelda and Murshed, Community-based Disaster Risk Management: Field Practitioners’ Handbook, ADPC, 2005, hlm. 14; dan Hodgson., R.L.P., “Community Participation in Emergency Technical Assistance Programmes, “Technical Support for Refugees, (Proceedings of the 1991 Conference), ed, R.A. Reed, WEDC; Sakai, M., Konflik Sekitar Devolusi Kekuasaan Ekonomi dan Politik: Suatu Pengantar, Antropologi Indonesia, Volume 68, 2002; Samadhi, W.P., Desentralisasi Setengah Hati: Berpindahnya “Sentralisme” ke Daerah, Penelitian, 2005. 206 Abarquez, op.cit, no. 132. 207 Fisher, D, “Domestic Regulation of International Humanitarian Relief in Disasters and Armed Conflict: A Comparative Analysis”, the International Review of the Red Cross, Volume 89 Number 866, Juni 2007, hlm. 353-354. 208 Sphere Project, The Humanitarian Charter and Minimum Standard in Humanitarian Response, 2011 edition, Sphere Project Pub, 2011, hlm. 4; Acciaoli, G.L., “Archipelagic Culture” as An Exclusionary Government Discourse in Indonesia”, The Asia Pacific Journal of Anthropology 2 (1); dan Baiquni, M. and Rijanta, R, Konflik Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Dalam Era Otonomi dan Transisi Masyarakat, Paper (unpublished), 2007.

Page 42: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

86

Dalam implementasi terhadap anggotanya, AADMER

memberikan hak dan kewajiban hukum kepada negara anggota ASEAN

untuk merubah dan menyesuaikan peraturan nasionalnya terkait dengan

pengelolaan bencana seturut dengan isi, maksud dan tujuan AADMER209.

Dalam ASEAN Roadmap ASEAN Community 2009-2015, AADMER

dijalankan dengan menentukan 12 langkah politik, hukum dan ekonomi

dalam menguatkan rule of law penanganan bencana di Asia Tenggara

salah satunya adalah perubahan hukum, kebijakan, program, proyek,

kegiatan dan pendanaan penanganan bencana seturut dengan misi dan

visi ASEAN210. Indonesia dan Thailand menjadi contoh terhadap aplikasi

rule of law dalam kerangka implementasi AADMER seperti yang akan

diuraikan di bawah ini.

Indonesia telah mengambil langkah-langkah tersebut dan telah

menjalankan ketentuan, isi dan tujuan AADMER ketika mengundangkan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana sebelum AADMER berlaku sebagai ketentuan hukum yang

mengikat211. Sebagai sebuah ketentuan hukum normatif, pembentukan

209 Dalam Building Disaster-Resilient Nations and Safer Communities Strategis Objectives, AADMER menentukan bahwa: “AADMER strenghtens effective mechanisms and capabilities to prevent and reduce disaster lossess in lives, and in social, economic, and environmental assets of ASEAN Member States and to jointly respond to disaster through concreted national efforts and intensified regional and international cooperations”. Burgstaller, Markus, Theories of Compliance with International Law, Martinus Nijhoff Publisher, 2005, hlm.85 dan bandingkan dengan ASEAN, Roadmap for An ASEAN Community 2009-2015, 2011, hlm. 77. 210 Ibid. 211 Pada tanggal 26 April 2007, Undang-undang tersebut diundangakan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66. Undang-undang ini berisi 13 Bab dan 85 Pasal yang telah

Page 43: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

87

dasar hukum, kebijakan nasional, program, proyek, kegiatan dan

pendanaan penanggulangan bencana telah sesuai dengan ketentuan

AADMER di Indonesia setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2007 seturut dengan prinsip rule of law dalam perlindungan

HAM dan kebebasan dasar manusia saat bencana212. Namun demikian,

faktor-faktor non yuridis seperti implementasi kebijakan desentralisasi,

harmonisasi perangkat aturan hukum terkait dengan kemudahan akses

bantuan, koordinasi antara lembaga pusat dan daerah serta intervensi

kemanusiaan dari kelompok masyarakat madani dan lembaga swadaya

masyarakat mereduksi dan mengurangi efektifitas pelaksanaan ketentuan

isi, tujuan dan prinsip-prinsip AADMER yang telah diadopsi dalam

ketentuan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 di Indonesia

khususnya dalam penanggulangan bencana alam gempa bumi di Padang,

Sumatera Barat, Erupsi Gunung Merapi di DIY dan bencana banjir di

Distrik Wasior, Papua Barat213.

Infektivitas tersebut juga terjadi di Thailand ketika pada tahun

2010, Kota Bangkok mengalami bencana alam banjir yang hampir

melumpuhkan seluruh aktivitas penduduknya. Thailand memiliki tiga

mengannti dan merubah aturan penanggangan bencana di Indonesia seperti Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1979 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana; Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Pengungsi dan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 Tentang Epidemik.; Penyesuaian dengan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2008 tentang Pengaturan Pendanaan dalam Pengelolaan Bencana. 212 Heribertus Jaka Triyana dan Richo Andi Wibowo, “Implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Terhadap Penangulan Bencana Erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman dan Magelang”, Laporan Penelitian 2011, Unit Penelitian dan Pengembangan FH UGM, hlm. 12. 213 Ibid, hlm. 14-27.

Page 44: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

88

aturan hukum, yaitu: (1). Thai Martial law 1914; (2). Thai Emergency Decree

2005; dan (3). Thai Internal Security Act 2008 yang secara garis besar

mengambil isi, tujuan dan prinsip-prinsip dasar AADMER dalam

menentukan adanya faktor bencana dan upaya-upaya penanggulangan

bencana alam dalam kategori “keadaan bahaya”214. Faktor stabilitas

keamanan dan peran militer menjadi penentu pelaksanaan rule of law

dalam AADMER yang menyebabkan pemberdayaan masyarakat untuk

tanggap bencana masih belum terperdayakan seturut prinsip

AADMER215.

Dapat disimpulkan bahwa, pembentukan aturan hukum,

kebijakan, program, kegiatan dan pendanaan rule of law dalam

peningkatan kapasitas negara dan masyarakat dalam AADMER telah

diinkorporasikan dalam aturan hukum nasional negara anggota ASEAN.

Rencana kerja, haluan kerja, pembentukan kelembagaan ASEAN yang

bersinergi dengan kelembagaan pengelolaan bencana di dalam negeri

negara-negara anggota ASEAN telah dibuat dan diinisiasikan dan telah

diterima sebagai sebuah kebenaran hukum. Namun demikian, faktor

penentu lain dalam implementasi yaitu pengetahuan masyarakat dilevel

paling bawah, faktor keamanan dan politik internal negara anggota,

peran dan fungsi masyarkat madani dan LSM masih menentukan

214 ICJ dan Libertas, “Regional Consultation on Security Laws Operating in ASEAN and Possible Advocacy Work Concerning Access to Justice Mechanisms, Regional Consultation, 4-6 Oktober 2012, Bangkok, hlm. 149. 215 Ibid, hlm. 150.

Page 45: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

89

efektivitas rule of law AADMER dalam implementasi regionalisasi aturan

hukum mengenai pengelolaan bencana yang menjadi basis kegiatan

ASEAN sampai tahun 2015216.

2. Rule of Law dan Implementasi AHRD dan Peran AICHR

Eksistensi AICHR dan khususnya AHRD banyak menuai pro dan

kotra dalam wacana rule of law ASEAN217. Banyak kalangan dan

penggerak HAM, seperti Navi Pillay menyatakan bahwa AHRD hanyalah

merupakan pernyataan pengulangan dan repetisi yang tidak perlu karena

dalam penyusunannya tidak memenuhi standar internasional

perlindungan HAM dan tidak melibatkan kelompok-kelompok

masyarkat sipil di Asia Tenggara218. Dilain sisi, hampir semua kepala

pemerintahan atau perwakilan negara-negara yang terlibat dalam

pembuatannya menyatakan hal sebaliknya karena Deklarasi tersebut

merupakan penegasan kembali komitmen ASEAN dalam perlindungan

HAM dalam konteks dan perspektif negara-negara Asia Tenggara219.

216 Naryanto, H.S., The Basis Principle of Disaster, Mitigation and Disaster Management in Disaster Handling, The Research Institution and Social Development KWI (LPPS-KWI)- Caritas and Cordaid, 2001; dan Permana, R., Mengubah Paradigma Penanganan Bencana di Indonesia, Paper, West Java Disaster Reduction Studies Center, June 2007. 217 Verena Harpe, “Harpe: Deklarasi HAM ASEAN Kontroversial”, DW, Ammnesty International, 2012; Suruhanjaya HAM Malaysia, Deklarasi HAM ASEAN Bertentangan Dari Pada Apa Yang Dijangka, Press Release, 19 November 2012. 218 ABC News, “Deklarasi HAM ASEAN Tidak Penuhi Standar Internasional PBB”, 12 December 2012. 219 Tempo.com, “Deklarasi HAM ASEAN Diteken”, http://www.tempo.co/read/news/2012/11/18/Deklarasihamasean.html, diakses pada tanggal 15 Desember 2012 dan Tempo.com, “Indonesia akan Tandatangani Deklarasi HAM ASEAN”,

Page 46: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

90

Norma perlindungan HAM dalam AHRD memang dibentuk

berdasarkan Piagam PBB, Deklarasi HAM Universal 1948, Deklarasi Wina

Tentang Program dan Aksi HAM dan Konvensi-Konvensi Pokok HAM

dimana negara-negara anggota ASEAN menjadi anggotanya, yaitu: the

Internnational Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR)220, the

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)221,

the Convention on the Ellimination of All Forms of Racial Discrimination

(CERD)222, the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment 1984 (CAT)223; the Convention on the

Ellimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)224; dan

the Convention on the Rights of the Child (CRC)225. Norma perlindungan

HAM dalam AHRD memiliki kekhususan tersendiri, yaitu: (1). Prinsip

non diskriminasi lebih dikembangkan mencakup non diskriminasi

terhadap kelompok orang dalam kategori rentan, kondisi fisik dan psikis

http://www.twmpo.co/read/news/2012/11/17/078442362/indonesia.html, diakses pada tanggal 15 Desember 2012. 220 Berlaku pada tanggal 23 Maret 1976, 993 UNTS 171, 1966 UNJYB 193; 1977 UKTS 6, anggota Komite adalah 18 orang. 221 Berlaku pada tanggal 3 January 1976; 993 UNTS 3; 1966 UNJYB 170, anggota Komite adalah 18 Orang. 222 Berlaku pada tanggal 4 Januari 1969, GA Res. 2106 A (XX) 21 December 1965, anggota Komite Adalah 18 orang. 223 Berlaku tanggal 26 Juni 1987, GA Res. 39/46, 10 December 1984, anggota Komite adalah 10 orang. 224 Berlaku tanggal 3 September 1981, GA Res 34/180, 18 Desember 1979, anggota Komite adalah 23 Orang. 225 Berlaku pada tanggal 2 September 1990, GA Res. 44/25 (Annex), UNGAOR, 44th Sess., Supp. No. 49, at 166, UN Doc. A/RES/44/49 (1990), 30 ILM 1448 (1989), anggota Komite adalah 10 orang.

Page 47: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

91

dan status yang lainnya226; (2). Penekanan kesetaraan hukum bagi

kelompok-kelompok tertentu seperti perempuan, anak, orang tua, orang

dengan kebutuhan khusus, buruh migran dan kelompok marjinal

diterima sebagai bagian integral dari perlindungan HAM dan kebebasan

dasar umat manusia227; (3). Pembatasan terhadap perlindungan HAM

dalam AHRD diperluas cakupannya seperti yang ditentukan dalam

DUHAM dan ICCPR, yaitu pembatasan yang diatur oleh hukum dan

pembatasan berdasarkan keadilan berdasarkan pada keamanan nasional,

ketertiban umum, kesehatan publik, keamanan umum dan moralitas

bersama dalam kerangka perwujudan negara kesejahteraan didalam

negara yang demokratis; dan (4). Menekankan arti penting hak atas

pembangunan dan hak atas perdamaian sebagai norma HAM partikular

bagi ASEAN yang memiliki kesamaan faktor historis sebagai negara

berkembang dan sebagai negara-negara bekas kolonilisasi negara-negara

barat228.

Jika norma-norma dalam AHRD dikaitkan dengan peran dan

fungsi AICHR sebagai badan intergral dari ASEAN maka akan terlihat

segmentasi dan dinamisasi yang sangat nyata dalam kerangka rule of law

226 Lihat dalam General Principles of the AHRD, principle 2 yang menentukan bahwa”Every person is entitled to the rights and freedoms set forth herein, without any distiction of any kind, such as race, gender, age, language religion, political or other opinion, national or social origins, economic status, birth, disability or other status”. AHRD, 2012. 227 General Prindiples 4 of the AHRD menentukan bahwa: “The Rights of women, children, the elderly, persons with disablilities, migrant workers, and vulnerable groups are an inalianable, integral and invisible part of human rights and fundamental freedoms, AHRD, ibid. 228 MC Abad Jr, op.cit, no. 123, hlm. 61.

Page 48: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

92

perlindungan HAM229. Berdasarkan the 'Cha-am Hua Hin Declaration

on the Inauguration of the ASEAN Intergovernmental Commission on

Human Rights (AICHR), High Level Meeting menyetujui Terms of

Reference of the AICHR (TOR AICHR)230. Dalam TOR tersebut

disebutkan bahwa AICHR merupakan badan antar pemerintah dan

merupakan bagian integral dari struktur organisasi ASEAN yang

bertujuan untuk menguatkan perlindungan HAM di Asia Tenggara231.

Peran dan fungsi Badan HAM ASEAN (selanhutnya disebut sebagai

AICHR) dalam perlindungan HAM menimbulkan permasalahan hukum

(legal problems), dan tantangan (legal challanges) pada saat ini dan pada

229 Pareenboom, op.cit, no. 19 dan Harpe, op.cit, no. 146. 230 ToR ini berisi sembilan (9) area dan cakupan norma dan mekanisme bagi pelaksanaan tugas dari AICHR yang terdiri dari tujuan, prinsip, badan konsultasi antar pemerintah, mandat dan fungsi, komposisi, modalitas, peran dan fungsi Sekretariat Jenderal dan Sekretariat ASEAN, rencana kerja dan pendanaan serta ketentuan umum dan ketentuan penutup. Lihat Heribertus Jaka Triyana, “Tinjauan Yuridis Tentang Badan HAM ASEAN Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum FH UGM, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, hlm. 612-623. 231 Chapter 3 of the AICHR ToR yang menyatakan bahwa AICHR is an intergovernmental body and an integral part of the ASEAN organizational structure and it is a consultative body. Ia memiliki fungsi sebagai berikut, yaitu: 1). To promote and protect human rights and fundamental freedoms of the peoples of ASEAN; (2). To uphold the right of the peoples of ASEAN to live in peace, dignity and prosperity; (3). To contribute to the realization of the purposes of ASEAN as set out in the ASEAN Charter in order to promote stability and harmony in the region, friendship and cooperation among ASEAN Member States, as well as the well-being, livelihood, welfare and participation of ASEAN peoples in the ASEAN Community building process; (4). To promote human rights within the regional context, bearing in mind national and regional particularities and mutual respect for different historical, cultural and religious backgrounds, and taking into account the balance between rights and responsibilities; (5). To enhance regional cooperation with a view to complementing national and international efforts on the promotion and protection of human rights; and (6). To uphold international human rights standards as prescribed by the Universal Declaration of Human Rights, the Vienna Declaration and Programme of Action, and international human rights instruments to which ASEAN Member States are parties.

Page 49: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

93

saat mendatang dalam implementasi AHRD232. Permasalahan dan

tantangan tersebut adalah:

Pertama, meskipun tujuan dari AICHR adalah “to promote and

protect human rights and fundamental freedoms of the peoples” tetapi

kewenangan tersebut terbatas pada promosi dan belum mencakup aspek

proteksi HAM kepada individu atau kelompok individu di wilayah

negara-negara anggota ASEAN, khususnya dalam implementasi hak sipil

dan politik dalam AHRD233. Mudahnya, kewenangan tersebut hanya

akan sampai pada tataran pemerintah dalam bentuk rekomendasi atau

saran perbaikan yang bersifat tidak mengikat dan kewenangan yang

demikian mereduksi sifat pemehuhan hak-hak tersebut yang bersifat

segera dan harus234. Kenyataan ini menjadikan AICHR hanya

menjalankan mekanisme perlindungan HAM di bawah standar

perlindungan yang diakui dan berlaku secara internasional, khususnya

dalam implementasi ICCPR (Kamboja, Indonesia, Laos, Philipina,

Tahiland dan Vietnam adalah anggota dari ICCPR)235. Padahal, ToR

232 Heribertus Jaka Triyana, “Politics and Law of Human Rights in Southeast Asia: A Critical Legal Analysis”, Presented at the Short Course on Human Rights and Democracy in Southeast Asia for the ASEAN Diplomats, 24-25 August 2009, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT UGM)-Deplu RI, Yogyakarta, hlm. 3-7. 233 Ibid. 234 Michelle Staggs Kelsall, “The New ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights: Toothless Tiger or Tentative First Step?”, East-West Center, 2009, hlm. 2-3. 235 Lihat semua ketentuan norma dan mekanisme HAM terkait dengan standar-standar internasonal yang harus dilaksnakan oleh negara dalam melindungi dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi efektivitas perlindungannya seperti dalam Human Rights Committee, General Comment 3, Pasal 2, para 1, Implementation at the national level (Thirteenth session, 1981), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Doc. HR1/GEN/1/Rev.1 at 4 (1994); General Comment, Op.Cit, No. 5; Pasal 1 of the European Convention

Page 50: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

94

AICHR menentukan bahwa mekanisme dan standar tersebut harus sesuai

dengan standar internasional seperti yang ditentukan dalam the Universal

Declaration of Human Rights 1948, dan the Vienna Declaration and Programme

of Action236.

Dalam sistem hukum Thailand, isu konsultasi dan diseminasi

perlindungan HAM oleh AICHR pasti tidak akan menyentuh isu-isu

keadaan darurat yang terjadi di wilayah Thailand Selatan terkait dengan

for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1954, 4 November 1950, berlaku 3 September 1953; 213 UNTS 221; ETS 5, 1 EYB 316; Pasal 3 dan 4 Convention Relating to the Status of Refugees 1951, 28 July 1951, berlaku 22 April 1954, 189 UNTS 150; 1954 ATS 5; 1961 NZTS 2; Preamble of the Convention on the Political Rights of Women; Prinsip 7 of the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples 1960, UNGA, 14 Desember 1960, GA Res 1514, UNGAOR, 15th Sess, Supp No. 16, UN. Docs. A/4684 (1961); Bagian I European Social Charter 1961, 18 October 1961, berlaku 26 February 1965, 529 UNTS 89, ETS 35, 9 EYB 247; Pasal 2 of the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1966; Pasal 2 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966, berlaku 3 January 1976; 993 UNTS 3; 1966 UNJYB 170; Pasal 2 of the International Covenant on Civil and Political Rights 1966, lihat the American Convention on Human Rights 1969, entered into force 18 July 1978, 1114 UNTS 123; OASTS No. 36, 9 ILM 673; Article 2 of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979, berlaku 3 September 1981, 1249 UNTS 13, 1989 UKTS 2, 19 ILM 33; lihat African Charter on Human and Peoples’ Rights 1981 (Banjul Charter), berlaku 21 October 1986, 21 ILM 59 (1982); Pasal 4 of the Declaration of the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination based on Religion and Belief 1981, UNGA, GA Res 36/55, UNGAOR 36th Sess, Supp. No. 51, UN Doc. A/36/51 (1981), 21 ILM 205 (1982); lihat the Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights 1984, UN Doc. E/CN.4/1984/4 (28 September 1984) 7 HRQ 3 (1985); Additional Protocol to the American Convention on Human Rights in the Area of Economic, Social and Cultural Rights 1988, OASTS No. 69, 28 ILM (1989); lihat Pasal seluruhnya Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1984, berlaku 26 Juni 1987, GA Res 39/46, UNGAOR, 39th Sess, Supp. No. 51, UN Doc. A/39/51 (1985), 23 ILM 1027; bandingkan dengan the Inter-American Convention to Prevent and Punish Torture 1985, berlaku 28 Februari 1987, OASTS No. 67, OAS Doc. OEA/SER. P, AG/DOC 2023/85, 25 ILM 519 (1986); International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid, 30 November 1973, GA Res. 3068 (XXVII) (1973), 1015 UNTS 246, 28 UNGAOR Supp(No. 30), UN. Doc. A/Res/3068 (1973), 13 ILM 50 (1974). 236 Chapter 1 (1.6) of the AICHR ToR.

Page 51: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

95

bentrokan masyarkat Muslim dengan Pemerintah Thailand237.

Kekosongan advokasi hukum oleh ASEAN (AICHR) dalam implementasi

hak sipil dan politik, perlindungan hak anak dan permepuan dalam

AHRD telah terjadi selama ini. AICHR belum pernah mengeluarkan

rekomendasi atau saran perbaikan kondisi pelanggaran HAM yang

ditujukan kepada Pemerintah Thailand akibat diberlakukannya 3 aturan

mengenai keamanan nasional Thailand secara ofensif, yaitu: (1). Martial

Law 1914; (2). Emergency Decree 2005; dan (3). Internal Security Act 2008238.

Keberadaan ketiga aturan tersebut merupakan cerminan kedaulatan

mutlak dari Negara Thailand untuk melaksanakan yurisdiksinya

sehingga membatasi dan membuat mekanisme perlindungan HAM

ASEAN tidak bisa menyentuh perubahan kebijakan, program dan

kegiatan militer Thailand dalam menangani pemberontakan tersebut239.

Keadaan di Thailand ini sama dengan kondisi di Philipina terkait

dengan isu pelanggaran HAM di wilayah Philipina Selatan terkait

dengan isu keamanan dan pergerakan pembebasan Bangsa Moro240.

Perbedaan versi tindakan hukum antara gerakan pembebasan dengan

237 CrCF dan MAC, Thailand Compilation of Report: Recommendation to the Judiciary Concerning the Administration of Justice in the Security Related Cases in the Southern Border Province, Cross Cultural Foundation and Muslim Attorney Commission, 2010, hlm. 5-9. 238 Martial Law Act dan Emergency Decree Law mencakup Provinsi Pattani, Yala, dan Narathivat sedangkan the Internal Security Act mencakup district Chana, Thepa, Nathwawae dan Sabayoy di Songkhla. Ketiga aturan hukum ini terkait dengan dakwaan terhadap pemberontakan yang diadili dengan mengunakan darurat militer yang ditujukan kepada penduduk sipil sehingga banyak terjadi pelanggaran HAM dalam proses peradilan bagi mereka yang disangka terlibat dalam gerakan pemberontakan. 239 CrCF dan MAC, op.cit, no. 166, hlm.139. 240 Koran Tempo, “Pembentukan Bangsa Moro”, 10 Oktober 2012, hlm. B2.

Page 52: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

96

justifikasi terorisme menjadi konflik berkepanjangan yang sarat dengan

pelanggaran HAM241. Kekosongan hukum dalam bidang advokasi

perlindungan HAM oleh AICHR dalam AHRD terbentur oleh

implementasi the Human Security Act Philipina tahun 2007 yang

memberikan legitimasi kepada Pemerintah Filipina untuk mengambil

langkah-langkah militer untuk melindungi kepentingan nasional242.

Kedua preseden ini juga memperburuk reputasi AICHR dalam

melaksanakan diseminasi AHRD dan fungsi konsultasi dengan

pemerintah Myanmar terkait dengan isu pelanggaran HAM atas etnis

Rohingya243. Sampai saat ini, langkah-langkah perbaikan atau remedies

yang bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi perlindungan HAM

belum pernah diinisiasikan oleh AICHR karena terbentur dengan aturan

hukum yang ada dan kebijakan pemerintah terkait dengan isu atau

masalah keamanan dalam negeri yang sarat dengan pelanggaran HAM,

seperti penahanan penduduk sipil oleh militer dan diadili di pengadilan

militer, masa penahanan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum

acara pidana, dan tidak adanya rehabilitasi dan kompensasi244.

Kedua, kekaburan norma dan mekanisme hukum perlindungan

HAM ASEAN telah terjadi khususnya terhadap implementasi norma dan

241 Wawancara dengan Atty. Roberto Cadiz, pada tanggal 6 Oktober di Bangkok. 242 ICJ and Libertas, Regional Consulattion on Security Laws Operating in ASEAN and Possible Advocacy Work Concerning Access to Justice Mechanisms, 4-6 October 2012, Bangkok. 243 Wawancara dengan Dith Vin Tinth, Senior Lawyer on Human Rights Protection in Myanmar, 5 Oktober di Bangkok, Thailand. 244 ICJ, op.cit, no. 171, hlm. 108.

Page 53: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

97

mekanisme HAM internasional dan nasional yang telah ada dan berlaku

dan menjadi kewajiban setiap negara anggota ASEAN untuk

melaksanakannya. Kekaburan ini terletak pada tiga aspek hukum, yaitu:

(1). Ketidakadaan jaminan kepastian hukum bahwa kewenangan

perlindungan hukum yang ada dalam AHRD memberikan kewenangan

hukum kepada AICHR sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam

implemtasinya; (2). Ketidakjelasan eksistensi dari AHRD dan AICHR

adalah sebagai pelengkap dari sistem norma dan mekanisme hukum

nasional dan internasional dan bukan sebagai duplikasi dari norma dan

mekanisme yang telah ada245; (3). Ketidakadaan suatu panduan kerja atau

rule of engagement (RoE) yang dimiliki oleh AICHR terkait dengan upaya

diseminasi HAM dalam AHRD yang menjadi domain dari lembaga HAM

nasional di negara-negara anggota ASEAN (national human rights

institutions) (NHRI)246; dan (4). Ketidakadaan mekanisme konsultasi dan

koordinasi yang dimiliki oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang

bergerak dibidang perlindungan HAM terhadap AICHR terhadap upaya

konsolidasi dan penguatan norma dalam AHRD khususnya terhadap

partisipasi masyarakat247. Keempat kekaburan norma dan mekanisme

245 Michelle Staggs Kelsall, “The New ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights: Toothless Tiger or Tentative First Step?”, East-West Center, 2009, hlm. 2- 4. 246 Lihat selengkapnya dalam Yigen, et all, National Human Rights Institutions: Articles and Working Papers, The Danish Center For Human Rights, Wilden Plada, Denmark, hlm. 44; Mortem Kjaerum, National Human Rights Institution Implementing Human Rights, Martinus Nijhoff Publisher, 2003, hlm. 2-4; dan Pacific Forum Secretariat, National Human Rights Institutions Pathways of the Pacific States, Pacific Islands Forum Secretariat, hlm. 2-10. 247 SAPA Task Force (FORUM-ASIA), Hiding Behind the Limits, 2009, hlm.1-5.

Page 54: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

98

hukum ini berimbas pada mencuatnya kekaburan atau bias hukum

perlindungan HAM oleh ASEAN pada saat ini dan pada masa yang akan

datang, khususnya antara AHRD dan AICHR248.

Ketiga, kemungkinan munculnya konflik hukum dan tumpang

tindihnya aturan hukum terkait dengan mekanisme perlindungan HAM

oleh AICHR terhadap AHRD di wilayah negara-negara anggota ASEAN.

Masalah ini disebabkan oleh dua masalah mendasar yaitu249: (1). Tingkat

kesesuaian aturan atau norma (materi atau substansi) perlindungan HAM

yang terdapat di level nasional dan yang terdapat dilevel internasional

yang harus dijadikan acuan kerja AICHR dalam melaksanakan ketentuan

AHRD; dan (2). Kesesuaian aturan mengenai mekanisme atau prosedur

perlindungan HAM yang terdapat di level nasional dan internasional

dalam mekanisme konsultasi dan diseminasi oleh AICHR terhadap

implementasi AHRD250.

Jawaban dasar dalam konteks kemungkinan munculnya konflik

hukum tentang kewenangan hukum terletak pada ketidakjelasan

mengenai dasar hukum pembentukan agenda koordinasi dan

konsultasinya oleh AICHR terhadap AHRD, yaitu: (a). apakah Badan

tersebut akan membatasi peran dan fungsi koordinasi terhadap upaya

248 Heribertus Jaka Triyana, “Tinjauan Yuridis Tentang Badan HAM ASEAN Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum FH UGM, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, hlm. 612-623. 249 Ibid, hlm. 630. 250 Sripapha Sriprasert, “The International Norms and Mechanism of Human Rights”, Peper presented at the Workshop of the Asia Pacific Curriculum, the Mahidol University, 9-12 Oktober 2009, Bangkok, hlm. 7.

Page 55: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

99

promosi dan perlindungan hukum HAM yang telah diratifikasi oleh

semua anggota ASEAN; atau (b). Tidak hanya terbatas pada peran dan

fungsi koordinasi terhadap upaya promosi dan perlindungan hukum

HAM bagi AHRD tersebut. Jawaban dari permasalahan pertama akan

terkait dengan dispersitas reservasi pada kedua instrumen itu sendiri,

dan jawaban terhadap permasalahan hukum kedua akan tertuju pada ada

tidaknya basis penentuan upaya koordinasi dan pemenuhan terhadap

kewajiban-kewajiban hukum yang timbul oleh AICHR kepada negara-

negara anggota ASEAN terhadap efektifitas perlindungan norma AHRD.

Selama hampir lima (5) tahun, AICHR masih memfokuskan kerjanya

dalam menyusun tematis kegiatan advokasi melalui tema-tema tertentu

yang menonjol di kawasan Asia Tenggara dan belum memfokuskan

garapan kerjanya seturut dengan norma dan mekanisme perlindungan

HAM dalam AHRD seperti yang telah dilakukan di kawasan Eropa dan

Latin Amerika dalam konteks regionalisasi hukum perlindungan HAM.

Dalam Roadmap for An ASEAN Community 2009-2015, aksi-aksi

penguatan perlindungan HAM telah ditentukan sebagai sebuah kegiatan

ASEAN sebagai organisasi internasional yang memiliki dimensi hukum

eksternal dan internal dalam kerangka rule of law. Aksi-aksi tersebut

adalah: (1). Pendirian Badan HAM ASEAN dan Kerangka Kerjanya; (2).

Menyempurnakan norma dan mekanisme perlindungan HAM khusus

kepada hak-hak anak dan perempuan; (3). Bekerjasama dengan badan-

badan sektoral dalam kerangka kerja ASEAN dalam perlindungan HAM;

(4). Memperkuat interaksi dan jalinan kerja sama perlindungan HAM

Page 56: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

100

khususnya dengan masyarakat madani dan organisasi kemasyarakatan

yang relevan dengan bidang kerja badan-badan ASEAN; (5).

Meningkatkan kerjasama pertukaran data dan informasi dibidang

perlindungan HAM diantara anggota ASEAN sesuai dengan ketentuan

Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM; (6). Meningkatkan

pendidikan dan kesadaran publik mengenai HAM; dan (7). Bekerjasama

secara giat dan penuh dalam usaha pembentukan komisi perlindungan

hak-hak anak dan perempuan.

Dari ketujuh bidang aksi tersebut, penguatan rule of law dalam

perlindungan HAM ASEAN sebagai sebuah kegiatan organisasi

internasional regional perlu ditindaklanjuti dengan menentukan skala

prioritas perlindungan, orientasi pemenuhan, model advokasi dan

konsultasi dan pembuatan bank data mengenai permasalahan

perlindungan HAM di semua negara anggota ASEAN. Selain itu,

reformulasikan peran dan fungsi AICHR sebagai fasilitator dan

kolaborator dan bukan sebagai subyek atau obyek perlindungan HAM

dalam kerangka rule of law perlu ditegaskan kembali supaya AICHR

memiliki kewenangan hukum dalam melaksanakan AHRD yang tidak

menduplikasi kewenangan dari lembaga perlindungan HAM

internasional dan lembaga-lembaga perlindungan HAM nasional suatu

negara dengan jalan AICHR harus diberi kewenangan hukum untuk

membentuk fatwa atau legal comment mengenai satandar perlindungan

HAM dalam AHRD.

Page 57: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

101

Aksi-aksi tersebut harus didasarkan pada orientasi pendekatan

konsultasi dan diseminasi perlindungan HAM yang memberdayakan

individu dan kelompok individu dengan diarahkan dan mulai

dikembangkan pada tataran proses yang terus menerus (transformasi)

atau transformational development dan bukan menekankan pendekatan

transkasional sebagai sebuah proyek tahunan atau lima tahunan diranah

advokasi aktif dalam sebuah kegiatan organisasi ASEAN. AICHR harus

mampu mengaplikasikan model konsultasi dan koordinasi berdasarkan

bottom up system berdasarkan partisipasi dari para pelaku perlindungan

HAM dilevel nasional berdasarkan rights-based approach sebagai amanat

konstitusional dari AHRD dan Piagam ASEAN yang mengacu pada

aplikasi prinsip kedaulatan negara sebagai sebuah tanggung jawab untuk

melindungi HAM bagi setiap individu atau kelompok individu sebagai

sebuah pendekatan proaktif yang ditujukan langsung kepada negara

untuk perbaikan sistem atau mekanisme perlindungan HAM di level

nasional. Langkah terakhir adalah AICHR harus terus mengembangkan

rasio-rasio atau indikator pelaksanaan kebijakan atau program (objectively

verified indicators) bagi pelaksanaan perlindungan HAM di Asia Tenggara,

khususnya dalam penyusunan kerangka kerja dalam tema-tema tertentu

perlindungan HAM bagi kaum marjinal, orang tua, permpuan dan anak

sebagai isu advokasi dilevel taktis, sedangkan advokasi dilevel startegis

antar pemerintah adalah dikembangkannya kesepahaman mengenai hak

atas pembangunan dan hak atas perdamaian sebagai sebuah gerakan

Page 58: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

102

perlindungan HAM kolektif terhadap ekspansi kekuatan kapital dunia di

Asia Tenggara.

V. Kesimpulan

Paper ini menyimpulkan bahwa ASEAN telah

mengimplementasikan prinsip rule of law dalam pembentukan

regionalisasi hukum (norma dan mekanisme) HAM di Asia Tenggara.

Kenyataan ini berdampak pada penguatan kapasitas hukum

perlindungan HAM oleh ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional.

Rule of law telah sesuai dengan ketentuan hukum HAM internasional

seperti ketentuan dalam Piagam PBB, Deklarasi HAM universal, dan

yang lainnya. Harapan hukum (legal expectation) perbaikan kondisi

perlindungan HAM memperoleh sandaran hukum yang kuat bagi

advokasi dan adjudikasi perlindungan HAM di Asia Tenggara yang

dapat digunakan oleh orang perorang dan kelompok orang dalam usaha

perbaikan pemenuhan HAM bagi mereka. Aspek ini adalah aspek hukum

terpenting dari elemen rule of law dalam kerangka ASEAN. Negara-

negara anggota ASEAN memiliki kewajiban hukum untuk memenuhinya

dan pengingkaran serta ketidaktaatan mereka terhadap norma dan

mekanisme tersebut merupakan suatu pelanggaran negara terhadap

kewajiban perlindungan HAM dalam AHRD dan Piagam ASEAN.

Namun demikian, rule of law tersebut masih harus ditindaklanjuti

dengan langkah-langkah nyata perbaikan struktur kelembagaan dan

koordinasi perlindungan HAM dalam kerangka ASEAN, khususnya

Page 59: ASEAN dan Penguatan Rule of Law Hukum Hak Asasi Manusia di

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

103

terhadap pelaksanaan AHRD oleh AICHR, AHRD terhadap perilaku

negara-negara anggota ASEAN, dan AICHR terhadap eksistensi lembaga-

lembaga nasional HAM, kelompok masyarakat sipil dan madani serta

pemenuhan kewajiban internasional yang muncul dari ratifikasi negara-

negara anggota terhadap instrumen hukum HAM internasional. Selain

itu, pendekatan komprehensif terhadap pemahaman bersama terhadap

faktor penentu non yuridis dari aplikasi rule of law dalam perlindungan

HAM seperti faktor keamanan, sensitifitas isu kedaulatan negara,

interprestasi atas limitasi-limitasi pemenuhan HAM dalam konteks

kepentingan nasional negara anggota ASEAN serta tekanan dari

diplomasi hegemoni ekonomi dari kelompok kapitalis dan negara-negara

barat perlu dijadikan acuan pengambilan kebijakan, program dan

kegiatan perlindungan HAM dilevel strategis oleh pemimpin-pemimpin

ASEAN. Akhirnya, ASEAN, rule of law dan perlindungan HAM di Asia

Tenggara adalah sebuah keniscayaan dalam dinamika regionalisasi

hukum di kawasan Asia Tenggara yang harus kita sikapi secara positif

sebagai sebuah harapan dan bukan sebagai sebuah permasalahan.