asas cabotage dalam mengadapai masyarakat ekonomi asean
TRANSCRIPT
E.A.P
L A M B U N G M A N G K U R A T – L A W S C H O O L
ASAS CABOTAGE MENGHADAPI PROGRAM
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
I. PENDAHULUAN
Pada dekelarasi The United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) III mengkukuhkan Indonesia sebagai negara kepulauan (Nusantara).
Sebagai negara kepulauan Indonesia salah satu negara yang termasuk diuntungkan
oleh keberadaan UNCLOS. Dalam hubunganya dengan yuridiksi negara atas wilayah
lautnya, Indonesia telah menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang
digunakan sebagai patokan untuk rute pelayaran internasional atau kapal asing yang
melintasi laut wilayah Indonesia.
Sebagai Negara maritim atau negara kepulauan, Indonesia terdiri dari
±17.508 pulau (besar dan kecil), tersebar di sekitar Garis Khatulistiwa, yang
membentang dari ujung Barat (Sabang) sampai ke ujung Timur (Merauke),
sepanjang sekitar 5000 kilometer, dan melintang dari ujung Utara (Pulau Miangas
dan Pulau Marore) sampai ke ujung Selatan (Pulau Rote) sepanjang sekitar 2000
kilometer. Luas wilayah Indonesia mencapai sekitar 8 juta kilometer persegi,
sedangkan wilayah perairan/lautnya adalah sekitar dua pertiga dari total wilayah
Indonesia dan sisanya merupakan wilayah daratan. Hal ini menunjukan bahwa
bagaimana Indonesia menjadi sektor market place bagi negara asing bukan hanya
untuk perdagangan tetapi juga untuk lintas pelayaraan.
Indonesia telah memasuki konsep Globalisasi ekonomi dan liberalisasi
perdagangan melalui organisasi perdagangan bebas. Inti dari kehadian konsep ini
menghendaki adanya persaingan yang sempurna antara pelaku usaha melalui
mekanisme pasar.1 Sedangkan Globalisasi ekonomi mempunyai pengertian sebuah
proses banyaknya keterlibatan negara-negara dalam proses kegiatan ekonomi global.2
Dalam ekonomi global, hal ini ditandai dengan kesadaran masyarakat akan pola
hubungan mereka berada dalam satu kesatuan utuh sebagai anggota dari masyarakat
dunia yang bersifat bordless.3 Masyaraakat Ekonomi Asean (MEA) adalah satu
bentuk kecenderungan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang dilakukan
melalui pembentukan organisasi perdagangan bersifat regional (Indonesia, Malaysia,
1 Bernard Limbong. 2014. Poros Maritim. Jakarta : Pustaka Margaretha 2 Tulus T.H. Tmabunan. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia.
hlm 1. 3 Bernard Limbong .Opzit.
Filipina, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos dan
Myanmar).
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Bali bulan Oktober tahun 2003,
pemimpin ASEAN menyatakan bahwa MEA akan menjadi tujuan dari intergrasi
ekonomi regional pada tahun 2020. Setelah itu pada Pertemuan Menteri Ekonomi
ASEAN yang diselenggarakan bulan Agustus tahun 2006 di Malaysia, terjadi
kesepakan untuk memajukan MEA dengan harus ada kejelasan target dan jadwal
untuk pelaksanaannya. Sampai pada akhirnya di KTT ASEAN yang ke 12 bulan
Januari tahun 2007, para pemimpin ASEAN menegaskan mereka akan mempercepat
komitmen pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015 secara khusus dan
untuk mengubah ASEAN menjadi daerah perdagangan bebas mencakup barang, jasa,
investasi, tenaga kerja, dan aliran penanam modal sebebas-bebasnya.
Pada faktanya memang sistem logistik di Indonesia lemah dibandingkan
negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Maka dari itu pemerintah harus
mengantisipasinya dengan memperkuat pelabuhan-pelabuhan internasional di
Indonesia untuk melayani perniagaan dari Atlantik dan Pasifik dan juga tetap
memberlakukan asas cabotage untuk distribusi kedaerah dilayani oleh kapal nasional.
Selama ini kegiatan bisnis pelayaran dalam negeri dilindungi oleh adanya
asas cabotage sehingga angkutan laut nasional pun bisa bertahan hingga sekarang.
Untuk menyempurnakan asas cabotage sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan sesuai dengan keikut sertaan
pemerinath dalam program MEA, harus lah ada penerapan beyond cabotage yang
menurut Pengamat industri maritim dari The National Maritime Institute (Namarin)
Siswanto Rusdi, penerapan beyond cabotage ini akan menjadi pemicu peningkatan
jumlah kapal nasional.4
Jelang MEA yang memasuki akhir tahun 2015 ini, Indonesia dituntut untuk
mengejar kesiapan perdagangan bebas MEA dibidang Sumber Daya Manusia
(SDM), pembangunan infrastuktur, dan pengawasan manajemen pembangunan, Di
sisi lainnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan pada abad 21 adalah
sebagai Abad Mariti yang beralasan medium utama Globalisasi ialah Maritim.5
4 Rustam Agus. 2014. Beyond Cabotage dinilai Penyempurnaan asas Caobtage. Berita Elektronik Industri
Bisnis. diakses 3 November 2015. 5 Bernard Limbomg.Opzit
Dalam kaitanya tugas ini akan saya bawa ke sektor pelayaran dan angkutan laut.
Oleh karena saya studi hukum, maka yang akan saya bahas kali ini adalah
perlindungan angkutan laut Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean
dengan mempertahankan Asas Cabotage dan menerapkan Beyond Cabotage.
II. PEMBAHASAN
Baru-baru ini Presiden Jokowi Dodo, ingin melakukan kebijakan relaksasi
terhadap pelayaran nasional dimana inti dari relaksasi ini adalah untuk pelayaran
yang kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan
mengangkut penumpang dan atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri
di wilayan perairan Indonesia, sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia
atau belum cukup.6 Aturan ini pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian di antara
pengusahan migas offshore, yang sebagaian berpendapat bahwa aturan ini tidak
mendukung berkembangnya industri pelayaran migas offshore di Tanah Air.7
Menghadapi era MEA harapan seluruh masyarakat, Indonesia dapat siap
secara internal dan eksternal agar kegiatan ini dapat diselenggarakan secara efesien
dan efektif, berskill, mempunyai keseimbangan kualitas kerja dengan pelaku usaha
asing dan juga instrumen-instrumen kebijakan pemerintah terhadap MEA dapat
melindungi daya saing secara nasional dan Internasional, khususnya pada
perkembangan angkutan laut sebagai salah satu komponen penting dalam pelayaran
Indonesia sebagai negara Maritim.
Untuk dapat mengukur kesiapan daya saing ekonomi Indonesia memasuki era
MEA mengacu Logistics Performance Index (LPI) yang dirilis Bank Dunia, tahun
2014 Indonesia berada di posisi ke-53.8 Posisi itu naik dibanding tahun 2012 yang
masih di peringkat ke-59. Indeks itu sebenarnya bisa menjadi acuan pemerintah
untuk mengukur kesiapan Indonesia dalam menyambut MEA. Itu berbeda dari
pandangan World Economic Forum 2014, yang menyebut kondisi infrastruktur di
Indonesia masih buruk di antara negara-negara anggota ASEAN mengingat negara
6 Zeilla Mutia Dewi. 2015. “INSA: Asas Cabotage Tidak Boleh di Tawar”. Surat kabar elektronik
Marketeers. Diakses 4 November 2015. 7 Ibid. 8 Andreas Budi Wirohardjo.2015. “Logistik dalam MEA”. Surat Kabar Elektronik suara Merdeka.
Diakses pada tanggal 4 November 2015.
kita menempati peringkat ke-6 dari 9 negara. Padahal kondisi infrastruktur
berpengaruh signifikan terhadap pengelolaan logistik.9
Dalam jural Urgensi Perlindungan Hukum Pelaut Indonesia Menghadapi
Berbagai Permasalahan Global oleh M. Syamsudin mengutip HRP Poernomo
Soedewo, di tengah kompetisi ketat perusahan pelayaran dan ekspedisi asing,
pengusaha bidang jasa pelayaran dan ekspedisi laut pada umumnya menghadapi
kendala keterbatasan sumber daya manusia (SDM), terutama menghadapi
kemungkinan maraknya usaha jasa forwader dan ekspedisi asing setelah datangnya
era perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara (AFTA).10
Romli Atmasasmita dalam bukunya Hukum Kejahantan Bisnis (Teori dan
Praktik di Era Globalisasi) Pemegang posisi kunci bagi masa depan bangsa dan
NKRI, ialah pembangunan bidang ekonomi dan pembangunan bidang hukum dengan
satu syarat bahwa pembangunan bidang hukum harus dapat mengelola dan
mengakomodasi perkembangan pembangunan di bidang ekonomi, mengarahkanya,
dan menempatkan pembangunan bidang ekonomi untuk sebesar-besarnya
kepentingan dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia.11
Pada akhirnya muncul lah pertanyaan, apakah Indonesia ingin membuka
pasar sebebas-bebasnya sebagai negara konsumen, atau negara yang ikut
berpartisipasi dalam kegiatan aktivitas bisnis pelayaran ? Dan bagaiman jika ada
kebijakan Liberalisasi sektor pelayaran di Indonesia ?
Menerapkan Asas Cabotage
Seperti yang sudah di mention sebelumnnya, lahirnya Asas Cabotage itu
sendiri karena mahasiswa Tehnik Perkapalan Universitas Indonesia untuk berbuat
sesuatu bagi kepentingan bangsa, mereka menelurkan gagasan penerapan asas
cabotage di Indonesia agar dapat diakui menjadi salah satu kekuatan maritim dunia12.
9 Ibid. 10 M. Syamsyudin. Urgensi Perlindungan Hukum Pelaut Indonesia Menghadapi Berbagai Permasalahan
Global. Di Akses pada tanggal 4 November 2015. Hlm 4. 11 Romli Atmasasmita. 2014. Hukum Kejahan Bisnis : Teori dan Praktik di Era Globalisasi. Cet. I.
Jakarta : Kencana, hlm. 35. 12 Novy Rachmat. Marine Adjuster at PT. Prima Adjusterindo Mandiri. “Meningat lagi asas Cabotage.”.
https://www.linkedin.com/pulse/mengingat-lagi-asas-cabotage-novy-rachmat?trk=prof-
post&trkSplashRedir=true&forceNoSplash=true. Diakses 5 November 2015.
Bertepatan dengan perayaan hari Sumpah Pemuda tahun 2004, mereka membentuk
wadah bernama INCAFO FT-UI (Indonesian Cabotage Advocation Forum Fakultas
Tehnik Universitas Indonesia) dan makalah berjudul Akselerasi Percepatan
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional Indonesia (Akselerindo) akhirya
dituangkan dalam amanat dari Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 tahun
2008 tentang Pelayaran tercantum pada Pasal 7 dan 8. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, Cabotage Principle diartikan sebagai asas atau prinsip yang
menyatakan bahwa kegiatan pelayaran dalam wilayah perairan suatu negara hanya
dapatdilakukan oleh kapal-kapal dari negara bersangkutan. Cabotage Principle
merupakan asas yang diakui didalam hukum dan praktek pelayaran seluruh dunia
serta merupakan penjelmaan kedaulatan suatu negara untuk mengurus dirinya
sendiri, dalam hal ini pengangkutan dalam negeri, sehingga tidak dapat begitu saja
dianggap sebagai proteksi, yaitu perlindungan atau perlakuan istimewa yang kurang
wajar bagi perusahaaan domestik sehingga menimbulkan persaingan yang tidak
sehat.13
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, memuat
jenis angkutan laut terdiri dari :
a. Angkutan laut dalam negeri
b. Angkutan laut luar neger
c. Angutan laut khusus; dan
d. Angkutan laur pelayaran rakyat
Sedangkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
memuat tentang Asas Cabotage, menyatakan bahwa Angkutan Laut Dalam Negeri :
(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut
nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh
Awak Kpala berkewarganegeraan Indonesia.
(2) Kapal asing dilarang mengangkut penumpan dan/atau berang antarpulau atau
antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia.
13 Mochtar Kusumaatmadja. 1994. Dalam makalah “Pembinaan Pelayaran Nasional dalam Rangka
Penegakan Wawasan Nusantara”. Disampaikan dalam seminar tentang pelayaran naisonal, 19-20
oktober 1994. Jakarta : Kanindo Plaza. Hlm 7.
Pasal 8 angka (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
membatasi kegiatan usaha oleh kapal asing, yang pada artinya dalam kegiatan
mengangkut (angutan laut) barang atau penumpang, tidak boleh dilakukan oleh kapal
asing, melainkan harus ada unsur Indonesianya.
Dalam instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (saat menjabat),
menekankan untuk menerapakan Asas Cabotage secara konsekuen dan merumuskan
kebijakan serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan
kewenangan masing-masing guna memberdayaan industri pelayaran nasional.14
Dijelaskan pada sosialisasi yang diselenggarakan di Balikpapan pada tahun 2013
tentang Asas Cabotage terdiri dari beberapa point, yaitu:15
a. Kegiatan angkut dalam negeri dilakukan oleh :
1) Perusahaan angkutan laut nasional
2) Mengunakan kapal berbendera Indonesia
3) Diawaki awak kapal berkewarganegeraan Indonesia
b. Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang ke setiap
pulau atau setiap pelabuhan di wilayah perairan Indonesia.
c. Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri tetapi dapat melakukan kegiatannya paling lama tiga tahun sejak
Undang-Undang ini berlaku.
d. Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut
penumpang dan/atau barang ke setiap pulau atau setiap pelabuhan di wilayah
perairan Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun
denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Sebelum tahun 2005 dimana asas Cabotage belum lahir, bisnis pelayaran dan
pengangkutan antar pulau berada dalam kondisi yang memperhatinkan. Berdasarkan
data dari Kementerian Perhubungan, jumlah armada kapal berbendera Indonesia
pada tahun 2005 hanya 6.041 kapal dengan kapasitas angkut 5,67 juta GT (gross
14 Rizky Aprilianto, Abdul Hakim, Ainul Hayat. 2014. Implementasi Asas Cabotage dalam Kebijakan
Pelayaran di Indonesia. Jurnal Administrasi Oublik (JAP) . Vol. 2, No.4 , Hal 758-764. 15 Ibid
ton)16. Pada awalnya pelaksanaan asas Cabotage ini banyak ditentang oleh pihak
perusahaan pelayaran dalam negeri sendiri. Dari hasil wawancara Rizki Aprilianto
dan teman-temannya, penentangan itu karena hampir dari seluruh perusahaan
pelayaran dalam negeri telah memiliki kontrak dengan pemilik kapal asing. Sehingga
dengan munculnya Asas Cabotage, memaksa perusahaan pelayaran dalam negeri
melakukan renegoisasi kontrak.17
Untuk usaha dibidang angkutan di perairan berdasarkan Peraturan Presiden
No. 36 tahun 2010 (revisi daripada Perpres No.77 tahun 2007 sebagaimana telah
diubah dengan Perpres No.111 tahun 2007) dapat dimiliki oleh perusahaan joint
venture antara Badan Usaha Indonesia (kepemilikan nasional 51%) dengan Badan
Usaha Asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49%.
Dalam menjamin kepemilikan nasional 51% maka harus dicari suatu
mekanisme pengawasan yang nyata dan efektif. Mekanisme pengawasan harus
dibuat apakah dengan Peraturan Menteri Keuangan atau Menteri Hukum dan HAM
atau BKPM yang sampai saat ini belum ada. Untuk itu perlu dikaji apakah
pernyataan dari Departemen Perhubungan cq Dirjen Hubla bahwa setelah Inpres No.
5 tahun 2005 armada kapal nasional bertambah cukup signifikan dari tahun 2005-
2009 sebanyak 2.484 unit (41,12%) setara dengan 4,655,998 GT (82%). Informasi
peningkatan ini perlu dikolaborasi apakah hanya semata-mata berdasarkan bendera
kapal saja atau juga berdasarkan kepemilikan (benar-benar dimiliki oleh Badan
Hukum Indonesia/perseorangan warga negara Indonesia), karena Peraturan Presiden
No. 36 tahun 2010 menekankan bahwa kepemilikan kapal oleh asing dibatasi hanya
sebesar 49%.18
Khusus untuk modal asing yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN
Perpres No.36 tahun 2010 mengisyaratkan bahwa kepemilikannya diperbolehkan
sampai 60%, tetapi ini hanya berlaku untuk angkutan (laut) muatan penumpang &
barang luar negeri (ekspor/impor), tidak diperbolehkan untuk dipergunakan untuk
angkutan dalam negeri.19 Dan tidak mungkin kapalnya didaftarkan menjadi kapal
16 Irfan Teguh Prima. 2015. Mewujudkan Negara Maritim : Evaluasi Pelaksanaan Asas Caboatge dalam
Industri Pelayaran Nasional Menghadapi AEC 2015. Surat Kabar Elektronik Kompas. Diakses 4
November 2015. 17 Op.zit. Hal. 758-764 18 Maman Permana. 2010. Flag Of Convenince (FOC). Koran Maritim. Di akses 5 November 2015. 19 Ibid.
berbendera Indonesia, karena sesuai dengan Pasal 158 ayat (2 c) Undang-Undang
No.17/2008 tentang Pelayaran bahwa antara lain ”kapal yang dapat didaftar di
Indonesia adalah kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha
patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia”.
Dampak positif dengan diberlakukannya asas Cabotage ini juga mendorong
peningkatan jumlah kapal sekitar 130,5% menjadi 12.928 untuk kapal hingga 17
April 2014 dari periode Mei 2005 yang sebanyak 6.042 unit armada saja.20 Selain
juga memberlakuan Asas Cabotage ini dalam rangka di bidang ekonomi, untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia, dengan memberikan
kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dan
lokal serta melindungi soveregnity (kedaulatan negara) di bidang pertahanan. Hal
tersebut sesuai dengan dasar dan kepentingan utama penerapan Asas cabotage.21
Pertama, menjamin dan melindungi infrastruktur pembangunan kelautan
nasional terutama pada saat negara dalam keadaan darurat, dibandingkan jika
infrastruktur itu dimiliki negara asing yang sewaktu-waktu dapat ditarik. Kedua,
membangun armada niaga yang kuat dan memadai, mengisi kebutuhan angkutan laut
dalam negeri, dan mendukung kegiatan ekonomi kelautan lainnya. Ketiga,
mendukung kepentingan keamanan, pertahanan, dan ekonomi nasional. Keempat,
armada pelayaran niaga menjadi bagian dari sistem pertahanan negara yang siap
dimobilisasi saat negara membutuhkan.
Cakupan Asas Cabotage juga bukan hanya dalam ruang lingkup pelayaran /
logistik, melainkan juga dalam kegiatan usaha laut dalam galangan kapal,
kepelabuhan, usaha bongkar muat, perdagangan, jasa keuangan, serta ekspor impor.
Walaupun dari sisi perdagangan bebas nanti konsep pengangkutan laut akan berubah
menjadi sistem yang liberal, tetapi pelayaran merupakan tumpuan dari sistem
perdagangan, maka pemberlakuan Asas Cabotage ini juga akan menciptakan
kestabilitasan kondisi dalam sistem pelayaran Indonesia.
20 Achmad Fami. 2014. Penerapan Asas Cabotage Dorong Jumlah Kapal Naik 130%. Surat Kabar
Eliktronik Liputan 6. Diakses 4 November 2015. 21 Anon. http://indomaritimeinstitute.org/?p=1525. Di akses 4 November 2015.
Implementasi Asas Cabotage
Seiring dengan pertumbuhan industri bidang pelayaran semakin membaik,
sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
dan mengingat sudah memasuki Era Perdagangan Bebas, sudah seharusnya pemerintah
membuka seluas-luasnya peran swasta untuk membangun dan mengusahakan pelabuhan
demi meingkatkan kapasitas terwujudnya pelabuhan Indonesia. Dalam rencana strategis
renstra kementerian perhubungan pada tahun 2015-2019 mengenai Transportasi Laut
Indonesia akan memasuki roadmap Beyond Cabotage, dimana suatu kelanjutan dalam
pelaksanaan Asas Cabotage yang sudah berlaku dan juga sejalan dengan kegiatan
Kementerian Perdagangan dalam kaitannya dengan meningkatkan tradisi angkutan laut
nasional dalam perdagangan internasional.
Menurut Indonesian National Shipowners Association (INSA), dalam
pelaksanaan beyond Cabotage dalam menyelamatkan potensi devisa negara yang hilang
karena biaya angkutan kapal berbendera luar negeri yang mengangkut produk-produk
ekspor hingga mencapi Rp. 240 Trilliun pertahun.22 Bisa dilihat dalam National Summit
2009, oleh Johnson W Sutipto, Ketua Umum INSA menyampaikan :
Sebagai tindak lanjut dan amanat UU 17/2008 – membuka seluas luasnya peran swasta
22 Anon. 2012.
http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2012/10/10/354751/4/2/Bentuk_Task_Force_untuk_Pelaksa
naan_Program_Beyond_Cabotage. Di akses 5 November 2015.
Lapangan Realita
Asas Cabotage
Implementasi
untuk membangun dan mengusahakan pelabuhan untuk meningkatkan kapasitas
terpasang pelabuhan Indonesia.
Mendorong pengembangkan sistem Terminal Operator di pelabuhanpelabuhan
Indonesia untuk meningkatkan kompetisi INTRA PORT sehingga kualitas layanan dan
produktifitas bongkar muat barang akan meningkat. 23
Asas Cabotage sesuai Inpres 5/2005 diarahkan bahwa belanja/import pemerintah harus
menggunakan armada merah putih, tetapi terhambat dengan dilakukannya pola
pembelian/import CnF (Cost and Freight) menjadikan inpres ini tidak efektif:24
1. Disarankan menggunakan pola FoB (Free on Board) dan menggunakan armada
berbendera merah putih.
2. Segera ada rencana jelas “Beyond cabotage” selanjutnya setelah tahun 2010.
Harus dimikirkan bagaimana dapat meningkatkan daya saing armada merah
putih di pelayaran international dan menambah armada kita di luar dan menarik
devisa kembali ke negeri tercinta ini. Dengan 7% dari 530 juta Ton muatan
angkutan laut internasional perlu piloting pemberdayaan armada nasional -->
road map beyond cabotage
Kapal Indonesia yang ke luar negeri perlu standard best practice internasional
dengan kebijakan pelimpahan kewenangan statutory document/license kepada Class
International/Biro Klasifikasi Indonesia ---> kesetaraan dengan armada asing . Maka
dalam hal ini pun, jika asas Cabotage tetap dijalankan pemerintah juga harus
mengevaluasi armada-armada kegiatan lainnya, seperti kegiatan operasi lepas pantai.
Untuk kegiatan offshore (lepas pantai)25 masih dalam status unregulated.
Kegiatan offshore masih menggunakan kapal asing, karena faktor harga kapal dalam
melakukan kegiatan itu terhitung tinggi, masih banyak perusahaan yang menggunakan
kapal asing untuk mengantisipasi itu, kementerian perhubungan memberikan
fleksibelitas, sehingga pemerintah membolehkan pelayaran dalam negeri untuk
melakukan kegiatan offshore, hingga tahun depan, 2016. Selain itu juga dalam
menunjang kelancaran kegiatan hulu minyak dan gas bumi diperlukan fasilitas dermaga,
yang dipergunakan sebagai fasilitas sandar, tambat kapal dan bongkar muat kapal yang
23 Johnson W Sutjipto. National Summit 2009. 24 Ibid. 25 Bangunan atau struktur yang di bangun di atas laut dengan kedalaman tertentu sebagai penopang
kegiatan proses eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas Bumi.
dipergunakan sebagai terminal khusus. Adapun terminal khusus yang telah mendapat
izin pengoperasian dari Menteri Perhubungan antara lain adalah sesuai dengan
Keputusan Menteri Perhubungan No KP 504 tahun 2009 tentang pemberian izin operasi
kepada Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, untuk mengoperasikan
terminal khusus pertambangan minyak dan gas bumi di perairan selat malaka dan Jawa
timur.26 Untuk laporan terakhir penerapan asas Cabotage dalam kegiatan offshore kapal
asing, sudah memasuki presentage 10%, sedangkan kapal nasional menguasai 90%
kegiatan offshore.
Dukungan Program Tol Laut Presiden Jokowi untuk Asas Cabotage Jelang MEA
Jika dilihat dari sisi kepastian hukum, jelas asas Cabotage mengikatt bagi semua
pelaku kegiatan bisnis pelayaran. Gambaran konsep program tol laut yang akan
dicanangkan oleh pemerinatahan Jokowi, memberikan optimalisasi jaringan pelayaran.
Walaupun menurut Ibu Carmelita Hartoto sebagai Ketua Umum INSA, menyampaikan
bahwa rahnya pembuatan mekanisme rute atau jalur pelayaran yang teratur,
sesungguhnya hal itu sudah berjalan sejak lama. Kapal besar ataupun kapal nasional
anggota INSA sudah banyak yang melakukan kegiatan tersebut bahkan intensitasnya
kian bertumbuh tiap tahunnya. 27
Beliau melanjutkan jika arahnya seperti itu, tercatat lebih dari 200 kapal
nasional telah melayani angkutan kontainer berjadwal tetap dan teratur di Indonesia
dengan kapasitas terbesar hingga 1.500 TEUs. Lebih banyak kapal niaga nasional yang
tidak memiliki jadwal tetap mencapai 13.224. Yang dibutuhkan pemerintah cukup
memperkuat jaringan dan armada yang ada dengan jalan memberikan dukungan fiskal
dan moneter bagi pelayaran dan industri kapal. Hakikatnya pelayaran nasional sudah
menyepakati program Tol Laut pemerintah, dibuktikan dengan mengoptimalkan
jaringan pelayaran yang sudah dan berinisiatif untuk memperbanyak rute perintis
26 Pusat Data Dan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Perhubungan. 27 Ibid.
*Untuk menambah wawasan, berikut bagaiaman tol laut akan direalisasikan
Credits : Katadata.co.id
Sebenarnya menurut saya sendiri, program dari Pak Jokowi ini selain
memajukan poros maritim, tetapi meningkatkan shipment quality (kualitas pengiriman).
Indonesia nilai quality shipmentnya tergolong rendah, hal ini bisa dihitung berdaskan
proposi jumlah pengiriman, baik melalui lain dan udara, yang memenuhi tingkat
kualitas tertentu terhadap keseluruhan jumlah pengiriman.28
Economy % of Shipment Meeting Quality
Criteri (%of Shipment)
Indonesia 70
Malaysia 97
Philippines 71
Myanmar 40
Singapore 92
Thailand 83
Vietnam 76
The Logistics Performance Index, World Bank 2014
Kriteria kualitas yang dimaksud diukur dengan memperhatikan ketepatan waktu
pengiriman (shipment) hingga ada tidaknya kesalahan dalam komposisi dan
dokumentasi kargo.Fakta ini bisa berdampak pada investasi dan permodalan dalam
negeri. Apabila performa logistik Indonesia dibiarkan seperti ini maka investor asing
akan enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.29 Apalagi dengan dibukanya
MEA 2015 yang membebaskan aliran barang dan jasa. Para investor tetap bisa
menguasai pasar barang dan jasa Indonesia seraya menghemat biaya operasional dengan
mengoperasikan bisnisnya di negara tetangga.
28 Seal-King.2015. Are You Ready For Air And Water Attack.
https://infrastructure101.wordpress.com/2015/04/19/kesiapan-indonesia-menghadapi-mea-2015-dilihat-
dari-transportasi-laut-dan-udara/. Diakses 5 November 2015. 29 Ibid.
Pelaksanaan Asas Cabotage di beberapa Negara
Melihat Amerika Serikat merupakan negara yang sangat protektif terhadap
industri angkutan lautnya dengan memberlakukan cabotage principle secara ketat.
Melalui “Jones Act 1920”, asas Cabotage mempersyaratkan bahwa pelayaran laut
nasional Amerika Serikat harus menggunakan kapal berbendera Amerika (US
Registered), kapal yang dibuat di Amerika (US Built) dan dimiliki oleh warga negara
Amerika (US Owned), di samping itu dioperasikan oleh perusahaan yang dikendalikan
oleh warga negara Amerika (US Controlled Companies), dengan awak warga negara
Amerika (US Crew).30
Sejarah penerapan cabotage di Amerika Serikat pernah dianggap gagal dan
akhirnya tunduk kembali ke aturan pasar dengan merelaksasi prinsip cabotage yang
sudah diberlakukan relatif ketat sejak tahun 1920. Namun demikian, pemberlakuan asas
cabotage di AS sudah lebih dari 90 tahun sementara Indonesia baru berjalan 9 tahun
dan penerapan asas cabotage ini terbukti menuai sukses awal seperti dijelaskan di
atas.31 Indonesia juga bisa membuat perkembangan yang sama dengan negara-negara
yang sudah menerapkan Asas Cabotage. Dalam kurun 9 tahun perjalanannya tidak bisa
nilai Asas Cabotage itu pada akhirnya tidak berlaku lagi karena Liberalilsme
Economics. Asalkan dalam MEA, masyarakat mempunya pola pikir untuk menepatkan
pelayaran sebagai Industri Startegis. Sektor ini selain membuka lapangan kerja perintis
dari Sabang hingga Marauke dan sudah saatnya kejayaan kelauatan Indonesia kembali
lagi untuk menciptakan para ahli galangan kapal.
Berikut contoh beberapa pelaksanaa Cabotage :
30 Novy Rachmat. Marine Adjuster at PT. Prima Adjusterindo Mandiri. “Meningat lagi asas Cabotage.”.
https://www.linkedin.com/pulse/mengingat-lagi-asas-cabotage-novy-rachmat?trk=prof-
post&trkSplashRedir=true&forceNoSplash=true. Diakses 5 November 2015. 31 Ibid.
Rintangan Asas Cabotage menuju Beyond Cabotage
Kini fenomena perdagangan bebas menjadi sebuah sistem yang makin lengkap
dan ibarat bola salju, sistem ini akan merambah semua penjuru dunia. Dalam kondisi
demikian, arus barang/jasa dan investasi bergerak secara leluasa memasuki pasar yang
mnapun tanpa mengenal rintangan jerak, waktu dan batas-batas Negara.32 Selain
rendahnya kemauan untuk tunduk dan mepunya mindset atas taat pemberlakuakn asas
Cabotage menurut Jurnal Administrasi Publik, dengan penelitiannya memberikan
jabaran tentang penghambat implementasi Asas Cabotage, diantaranya :
(1) Perusahan pelayaran dalam negeri belum mampu menyediakan kapal-
kapal jenis tertentu untuk menungjang kegiatan eksploritasi dan ekploitasi
lepas panatai (offshore).
Seperti yang dibehasa sebelumnya, kendala ini merupakan ketidak
mampuan perusahaan pelayaran dalam negeri menyediakan kapal yang
berfungsi untuk mengekplorasi dan eksploitasi offshore, karena mahalnya biaya
untuk penyediaan kapal-kapal tersebut.
32 Dephub, INSA.2008.Anon.
(2) Biaya investasi pengadaan kapal tersebut sangat besar.
(3) Belum adanya kontrak jangka panjang anatara pemilik barang dan
pemilik kapal
Kontrak jangka panjangan dibutuhkan perusahaan pelayraan agak kapal-
kapal pelayaran dalam negeri dapat beroperasi. Namun hingga saat ini dari
proses kerjasama tersebut belum terwujud dalam jangka waktu lama. Sehingga
menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan itu sendiri atas kerugian.
(4) Rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.
Dalam MEA nanti Sumber Daya Manusia Indonesia akan bertarung atas
aya saing bisnis pelayaraan, maka dari itu juga dibutuhkannya SDM yang
berkualitas, demi menunjang penyelenggaraan asas Cabotage ini
Asas Cabotage juga memiliki dampak terhdap perusahaan pelayaran, yang diantaranya :
(1) Besarnya pangsa pasar muatan domestik yang hanya diangkut oleh kapal
nasional.
Kapal berbendera Indonesia tidak perlu lagi bersaing dengan kapal-kapal
asing dalam mealukan bongkar muatan di pelabuhan nasional. Sehingga
seluruh muatan domestik hanya diangkut oleh kapal berbendera Indonesia.
(2) Tingginya pertumbuhan perekonomian nasional dan pertumbuhan muatan
domestik
Pertumbuhan perekonomian serta pertumbuhan muatan domestik
dirasakan langsung oleh perusahaan pelayaran dalam negeri karena yang
diangkut maka semakin banyak juga pemasukan perusahaan tersebut.
(3) Murahnya biaya ABK domestik
Permasahannya dalam pelaksanaan Asas Cabotage
Berikut permasalahan asas Cabotage di Indonesia, ini kutip dari hasil Laporan
Tahunan Ditjen Hubla, dianataranya :
1. Belum optimalnya dukungan pembiayaan dari perbankan maupun
lembaga keuangan lainnya dalam memberikan pinjaman/kredit bagi
pengembangan dan peremajaan armada niaga nasional relatif terbatas
dikarenakan belum terwujudnya secara efektif kontrak jangka panjang
antara pemilik barang dengan perusahaan pelayaran nasional yang akan
digunakan sebagai jaminan mendapatkan pendanaan dari perbankan dan
lembaga pembiayaan
2. Insentif pajak yang masih kurang bagi pemberdayaan industri pelayaran
dan industri perkapalan nasiona. Sehingga tidak bisa merangsang
minta dalam kemajuan industri ini.
3. Kurangnya industri galangan kapal naisonal untuk membangun kapal-
kapal baru yang dibutuhkan dan masih banyaknya mekanisme impor
kapal bekas.
4. Belum dimilikinya kapal-kapal offshore jenis tertentu yang umumnya
berteknologi tinggi dan membutuhkan modal yang besar untuk
pengadaan oleh perusahaan angkutan laut nasional belum tersedianya
kapal bebendera Indonesia.
III. Pemecahan / Kesimpulan
Menciptakan iklim aktivitas bisnis pelayaran yang kondusif
Disaat 10 tahun pemberlakuakn asas Cabotage ini, memang sudah terjadi
banyak perubahan di tingkat nasional mapun internaional. Dari pemamparan diatas akan
menjadi sia-sia jika asas Cabotage tanpa adanya ekpansi usaha pelayaran. Asas
Cabotage memilik domino effect terhadap ekonomi Indonesia, seperti tergeraknya
kegiatan usaha asuransi, perbankan, ekspor-impor serta yang paling bisa dilihat efeknya
adalah ketersediaan lapangan kerja perintis dari Sabang sampai Marauke. Oleh sebab
itu, jika terwujudnya fasilitas kontrak pengusahan dengan pihak perbankan dengan
melakuakn koordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk menyediakan pinjaman
dapat memberikan kontribusi yang positif, mengingat kegiatan offshore pun masih
dikuasai oleh pihak asing karena biaya kapal yang mahal dan membutuhkan teknologi
yang tinggi.
Harus siap Hadapi ASEAN Connectivity 2015
Apa itu ASEAN Connectivity ?
ASEAN Connectivity merupakan program kerjasama antara negara-negara
ASEAN dengan membangun keterhubungan transportasi dan infrastruktur antara
negara-negara Asia Tenggara guna mewujudkan ASEAN Community.33 Rencana induk
dari ASEAN Connectivity sendiri disahkan pada KTT ke-17 ASEAN di Hanoi, Oktober
2010. Sedangkan ASEAN Connectivity sendiri direncanakan akan dimulai pada tahun
2015. Memprioritaskan tiga pilar, yaitu ASEAN Political-Security Community (APSC),
ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC),
ASEAN Connectivity ada untuk pengembangan infrastruktur, kelembagaan dan
pemberdayaan masyarakat.
Indonesia sangat terbuka bagi investasi luar negeri, termasuk di sektor
pelayaran. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan asas cabotage di Indonesia yang jauh
lebih moderat dibandingkan kebijakan asas cabotage negara lainnya seperti Amerika
Serikat (AS). Indonesia tetap memerlukan investasi luar negeri untuk pengadaan kapal-
kapal tertentu, terutama kapal untuk kegiatan pengeboran dan kontruksi lepas pantai
dengan tetap tunduk kepada UU No.17/2008 dan aturan turunannya.34
Kekekhwatiranpun akan muncul jika rencana intergrasi logistik ASEAN tidak
berjalan dengan baik dan tidak disiapkan dari sekrang. Tentu saja masyarakat tidak mau
menjadi penonton dan konsumen dalam program Masyarakat Ekonomi Asean, mereka
harus ikut serta dalam partisipasi program se-ASEAN ini. Apalagi maritim berurusan
dengan pertahanan kedaulatan negara, dari sisi politik juga ekonomi. Walaupun
sebenarnya Indonesia memang belum sepenuhnya siap untuk proyek-proyek ASEAN
Connectivity ini. Bahkan Wakil Presiden, Boediono sendiri pun mengatakan bahwa
keinginan Indonesia yang cukup besar dalam pembangunan melalui ASEAN
33 Yonna.2015. Indonesia Untuk Asean Connectivity.
http://blog.ub.ac.id/yonayosua/2013/02/26/indonesia-untuk-asean-connectivity-2015/. Diakses 5
November 2015. 34 INSA.2013.Anon. http://insa.or.id/en/news/d/indonesia-harus-siap-hadapi-asean-connectivity-2015.
Diakses 5 November 2015.
Connectivity ini, tidak akan bermanfaat jika Indonesia berorientasi pada konektivitas
luar, tetapi konektivitas di dalam negeri belum dibenah.35
Dalam program ini, Cabotagepun sangat penting karena nilai devisa negara
yang akan terselamatkan lewat program ini tidak sedikit, bahkan mungkin lebih besar
dibandingkan dengan dampak ACFTA ke sektor industri dalam negeri,yg di perlukan
sekarang adalah konsistensi dalam implementasi nya. Selain itu, sejak program itu
dimulai, sektor ini digadang-dagang oleh pemerintah untuk menjadi salah satu
“senjata” dalam menegakkan kedaulatan bangsa dan negara, tetapi instrumen-instrumen
yang lainnya seakan berjalan sendiri-sendiri justru karena kurangnya dukungan dari
lembaga-lembaga pemerintah sebagaimana yang diamanatkan.36 Akibatnya, kebijakan
nasional asas cabotage tidak mudah melenggang dalam mencapai target.
Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto, juga meyebutkan dalam sambutan yang
dibacakan Ketua Bidang Offshore Nova Mugijanto mengatakan pelayaran memiliki
tanggung jawab untuk mempertahankan cabotage agar tidak disalahpahami oleh
stakeholders-stakeholders pelayaran. Sebab memang hingga kini, masih ada
stakeholders INSA yang mengatakan cabotage itu menghambat investasi bahkan
dibilang cenderung monopoli, padahal semua itu tidak benar bahkan pelaksanaan asas
cabotage telah berhasil memperkuat kedaulatan negara. Maka dari itu juga perlunya
memahami asas Cabotage agar menjadi masyarakat yang well-educated serta mengakui
bahwa asas Cabotage ini memang menjadi takdir Indonesia sebagai negara kepulauan
dan menjadi tanggungjawab setiap pelaksanaannya untuk menjaga marbatan bangsa.
Open Regitry sebagai solusi asas Cabotage terhadap Liberalisasi Ekonomi
Seperti yang kita ketahui, Indonesia menganut sistem Close Regitery / yang
mengimplementasi asas Cabotage, tetapi perlu di ingatkan perkembangan ekonomi
lebih dinamis dibandingkan perkembangan hukum. Hukum selalu tertinggal jauh dari
pada ekonomi karena hukum bersifat kaku. Sewaktu-waktu mungkin terjadinya
35 Friederich Batari, KTT ASEAN ”Boediono: Percepat Konektivitas Antarnegara ASEAN”, Jurnas.Com,
4 April 2011. 36 Insa.2012. Anon. http://insa.or.id/en/news/d/beyond-cabotage/. Diakses 5 November 2015.
perubahan ekonomi yang terlalu cepat, maka Indonesia harus juga menyesuaikannya
dengan cepat.
Open registry (pendaftaran terbuka) adalah suatu system pendaftaran kapal di
bawah bendera suatu Negara yang terbuka untuk semua kapal tanpa memperhatikan
kebangsaan asal kapal-kapal tersebut dan kepemilikannya. Negara-negara yang
menganut sisitem open registry ini adalah Negara yang potensi maritimnya tidak terlalu
besar misalnya Panama, Liberia, St.Vincent, Bahamas. Honduras, dan bendera kapal
dari Negara-negara itu yang disebut Flag of Convenience.37
Belanda dan Norwegia adalah dua negara yang menerapkan kebijakan tersebut.
Kebijakan itu ditempuh menyusul merosotnya jumlah armada sementara jumlah orang
Belanda atau Norwegia pemilik kapal makin bertambah. Pada kasus kedua negara,
pemerintahnya hanya mensyaratkan kepemilikan saham hingga 51 persen pada
perusahaan yang kapalnya akan mengibarkan bendera Belanda atau Norwegia. Tetapi,
persyaratan ini tentu negotiable.38 Untuk mengikuti langkah yang telah diambil oleh
kedua negara tersebut, Indonesia perlu segera menata ulang aturan perpajakan dan
kepastian hukumnya agar para pemilik kapal mau mendaftarkan kebangsaan kapalnya
dengan bendera Indonesia. Sebetulnya aturan hukum yang berlaku memberikan peluang
untuk menjalankan kebijakan open registry.
Keadaan ini memang belum bisa menjadi solusi langsung untuk keadaan relita di
Indonesia, pasalnya Indonesia harus kuat terlebih dahulu agar bisa BERDIKARI dalam
Industri Pelayaran. Maka dari itu, solusi Open Regitry bukan menjadi patokan, tetapi
hanya opini sewaktu-waktu Liberalisme Economic sudah mengubah cara pandang
pertahanan maritim Indonesia.
37 Maman Permana. 2010. Flag Of Convenince (FOC). Koran Maritim. Di akses 5 November 2015. 38 Siswanto Rudsi. 2015. 10 Tahun Cabotage, Open Registry : Mengapa Tidak ?. Jurnal Maritim. Diakses
5 November 2015.