analisis pengaruh pelaksanaan desentralisasi …eprints.undip.ac.id/28641/1/jurnal.pdf · terhadap...

35
1 ANALISIS PENGARUH PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PDRB DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2005-2008 Ahmad Dorani (C2B006008) ABSTRACT Fiscal decentralization’s role of pushing the economic growth has to become a concern of many countries, also in Indonesia. Since 2001, effectively Indonesian government has run the decentralization fiscal as a strategy to accelerate the local development. This policy has brought a big changes in region-expenditure- development of regencies / cities in central java province. During the implementation of fiscal decentralization in 2005-2008, the economic growth of regencies / cities in central java province has fluctuated. This research aims to know the correlation between the impact of fiscal decentralization and the economic growth of regencies / cities in central java province in 2005-2008. This analysis is concern to the components of fiscal decentralization, there are PAD, DAU, and DBH. This research use panel data and the estimation method is Least Square Dummy Variable (LSDV) or also known as Fixed Effect Model (FEM). The estimation result shows the implementation of fiscal decentralization can increase the local expenditure of regencies / cities in central java province, which is it obtained from PAD, DAU, and DBH, then it can be a base of economic development to increase the economic growth. PAD, DAU, and DBH have positive and significant effect to the economic growth of regencies / cities in central java province during 2005-2008. Keywords : Economic Growth, PAD, DAU, DBH, Least Square Dummy Variable (LSDV). Dosen Pembimbing : Drs. R Mulyo Hendarto, MSp.

Upload: vonhu

Post on 06-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

ANALISIS PENGARUH PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL

TERHADAP PDRB DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2005-2008

Ahmad Dorani (C2B006008)

ABSTRACT

Fiscal decentralization’s role of pushing the economic growth has to become a

concern of many countries, also in Indonesia. Since 2001, effectively Indonesian

government has run the decentralization fiscal as a strategy to accelerate the

local development. This policy has brought a big changes in region-expenditure-

development of regencies / cities in central java province. During the

implementation of fiscal decentralization in 2005-2008, the economic growth of

regencies / cities in central java province has fluctuated.

This research aims to know the correlation between the impact of fiscal

decentralization and the economic growth of regencies / cities in central java

province in 2005-2008. This analysis is concern to the components of fiscal

decentralization, there are PAD, DAU, and DBH. This research use panel data

and the estimation method is Least Square Dummy Variable (LSDV) or also

known as Fixed Effect Model (FEM).

The estimation result shows the implementation of fiscal decentralization

can increase the local expenditure of regencies / cities in central java province,

which is it obtained from PAD, DAU, and DBH, then it can be a base of economic

development to increase the economic growth. PAD, DAU, and DBH have

positive and significant effect to the economic growth of regencies / cities in

central java province during 2005-2008.

Keywords : Economic Growth, PAD, DAU, DBH, Least Square Dummy

Variable (LSDV).

Dosen Pembimbing : Drs. R Mulyo Hendarto, MSp.

2

1. PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai

daerah yang mana masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri.

Dalam perkembangan bangsa Indonesia pada masa orde baru berbagai kebijakan

seperti sentralisasi diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan sentralisasi yang

dilakukan pemerintah pada masa orde baru kenyataannya hanya mampu

mensejahterakan beberapa daerah atau beberapa golongan saja, serta

menyebabkan ketimpangan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Kebijakan sentralisasi yang bersifat top down, semua perencanaan dan

keputusan ada pada pemerintahan pusat, sehingga penerapan kebijakan

sentralisasi akan sulit diterapkan di Indonesia dengan kawasan yang luas, terpisah

oleh kepulauan serta berbeda kepentingan, dan yang pasti kondisi disetiap daerah

berbeda. Sebagian daerah akan terabaikan dan selanjutnya akan tertinggal.

Gerakan reformasi sejak tahun 1997 memunculkan tuntutan untuk mengoreksi

berbagai kebijakan pemerintah, termasuk hubungan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah. Salah satunya berupa perubahan kebijakan sentralisasi ke desentralisasi

(Hamid, 2005).

Penerapan otonomi daerah/desentralisasi yang luas diharapkan mampu

mengatasi permasalahan pada masa orde baru. Pengertian desentralisasi adalah

pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah. Desentralisasi merupakan

sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka

memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses

pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Secara umum, konsep

desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization),

Desentralisasi Administrasi (Administrattive Decentralizatio), Desentralisasi

Fiskal (Fiscal Decentralization), dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or

Market Decentralization) (Sidik, 2002).

3

Beberapa alasan mengapa desentralisasi perlu diterapkan menurut Joseph

Riwu Kaho (1991) yang dikutip Yudoyono (2003) dan didukung dengan pendapat

Cheema dan Rondinelli yang dikutip Romli (2007), yaitu :

1. Desentralisasi untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak

saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

2. Desentralisasi sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat

untuk ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri untuk

mempergunakan hak-hak demokrasi.

3. Desentralisasi untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.

4. Desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya

ditumpukan kepada kekhususan suatu daerah (seperti geografi, keadaan

penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang

sejarahnya) serta,

5. Desentralisasi juga untuk membantu pembangunan.

Beberapa keuntungan atau manfaat dari kebijakan desentralisasi menurut

Rondinelli, Roy Bahl, Cheme dan Sabir yang dikutip oleh Yudoyono (2003) yaitu

efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas pemerintah, memungkinkan melakukan

inovasi, serta meningkatkan motivasi moral, komitmen dan produktivitas. Bagi

negara-negara berkembang, jalan desentralisasi ditempuh untuk melepaskan diri

dari perangkap pengelolaan pemerintahan yang tidak efektif dan tidak efisien,

ketidakstabilan ekonomi makro, dan tidak memadainya pertumbuhan ekonomi

(Hamid, 2005).

Kebijakan desentralisasi oleh pemerintah pusat memiliki tujuan untuk

mewujudkan kemandirian daerah dalam pengelolaan rumah tangganya (Adi dan

Harianto, 2007). Dengan adanya kebijakan desentralisasi, daerah mendapat

kesempatan untuk mengelola rumah tangganya sendiri untuk mencapai

kemandirian daerah. Dengan wewenang yang dimiliki, pemerintah daerah

diharapkan akan mampu mengembangkan seluruh potensi ekonomi yang ada di

setiap daerah karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui kondisi serta

apa yang dibutuhkan daerah. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah daerah

4

dipercaya bisa mengalokasikan dana kepada masing-masing sektor dalam

ekonomi secara lebih efektif dan efisien daripada pemerintah pusat (Sumarsono

dan Utomo, 2009).

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari

desentralisasi (Sidik, 2002). Desentralisasi fiskal secara resmi berlaku mulai 1

januari 2001 berdasarkan UU RI No. 25 tahun 1999 yang disempurnakan dengan

UU RI No. 33 tahun 2004. Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan

wewenang kepada daerah dalam mengelola sumber-sumber keuangan sendiri,

sehingga daerah mempunyai kesempatan yang lebih dalam mengatur rumah

tangganya. Bohte dan Meier (2000) yang dikutip oleh Adi (2005) mengemukakan

bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata terjadi

pada pemerintahan yang terdesentralisasi.

Keputusan menerapkan Desentralisasi fiskal menuntut adanya peningkatan

pertumbuhan ekonomi di daerah. Berdasarkan teori Tiebout Model yang menjadi

landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan

wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan

barang publik dengan lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan

kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih

mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program

dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi

penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya

guna (Sumarsono dan Utomo, 2009).

Pertumbuhan PDRB pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun

2005-2008 di Provinsi Jawa Tengah mempunyai rata-rata sebesar 5,43% berada di

bawah rata-rata pertumbuhan Nasional sebesar 5,46%. Pertumbuhan PDRB di

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

5

Tabel 1

Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2008 (Persen)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008

Kab. Cilacap 7,72 5,11 2,64 6,07

Kab. Banyumas 3,21 4,48 5,30 5,41

Kab. Banjarnegara 3,95 4,35 5,01 4,98

Kab. Purbalingga 4,18 5,06 6,19 5,30

Kab. Kebumen 3,20 4,08 4,52 5,61

Kab. Purworejo 4,85 5,23 6,08 5,62

Kab. Wonosobo 3,19 3,23 3,58 3,69

Kab, Magelang 4,62 4,91 5,21 4,99

Kab. Boyolali 4,08 4,19 4,08 4,04

Kab. Klaten 4,59 2,30 3,31 3,93

Kab. Sukoharjo 4,11 4,53 5,11 4,84

Kab. Wonogiri 4,31 4,07 5,07 4,27

Kab. Karanganyar 5,49 5,08 5,74 5,75

Kab. Sragen 5,16 5,18 5,73 5,69

Kab. Grobogan 4,74 4,00 4,37 5,33

Kab. Blora 4,32 4,15 3,77 5,80

Kab. Rembang 3,56 5,53 3,81 4,67

Kab. Pati 3,94 4,45 5,19 4,94

Kab. Kudus 4,43 2,46 3,23 3,71

Kab. Jepara 4,23 4,19 4,74 4,49

Kab. Demak 3,86 4,02 4,15 4,11

Kab. Semarang 3,11 3,81 4,72 4,26

Kab. Temanggung 3,99 3,31 4,03 3,54

Kab. Kendal 2,63 3,67 4,28 3,92

Kab. Batang 2,80 2,51 3,49 3,67

Kab. Pekalongan 3,98 4,21 4,59 4,78

Kab. Pemalang 4,05 3,72 4,47 4,99

Kab. Tegal 4,72 5,19 5,51 5,32

Kab. Brebes 4,80 4,71 4,79 4,81

Kota. Magelang 4,33 2,44 5,17 5,05

Kota. Surakarta 5,15 5,43 5,82 5,69

Kota. Salatiga 4,15 4,17 5,39 4,98

Kota. Semarang 5,14 5,71 5,98 5,59

Kota. Pekalongan 3,82 3,06 3,80 3,73

Kota. Tegal 4,87 5,15 5,21 5,15 Sumber : BPS, Jawa Tengah Dalam Angka (berbagai tahun)

Dari tabel 1 menunjukkan pertumbuhan PDRB di beberapa

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami fluktuasi selama

6

pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008. hal ini bukan sesuatu yang

diharapkan dari keputusan pelaksanaan desentralisasi fiskal. Hal ini juga

bertentangan dengan beberapa pendapat penelitian yang sudah pernah dilakukan

sebelumnya oleh Penelitian Amin Pujiati (2008), Joko Waluyo (2007), yang

berpendapat bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap PDRB.

Dari data yang diperoleh menunjukkan Pertumbuhan PDRB daerah

mengalami peningkatan tetapi tidak konsisten seperti yang dialami Kabupaten

Seragen misalnya, pertumbuhan PDRB tahun 2005-2007 mengalami peningkatan

yaitu dari 5,16% tahun 2005 menjadi 5,18% pada tahun 2006 dan menjadi 5,73%

pada tahun 2007, mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 5,69%. Namun

ada juga daerah yang mengalami pertumbuhan PDRB yang konsisten meskipun

hanya beberapa Kabupaten saja yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten

Kebumen, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Pekalongan. Pertumbuhan

PDRB tertinggi pada Kabupaten Cilacap tahun 2005 yaitu 7,72%, namun daerah

ini tidak mengalami peningkatan pertumbuhan PDRB setelah itu.

Penelitian yang dilakukan Zhang dan Zhou (1998) berpendapat bahwa

desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk

hal ini dari data menunjukkan yang dialami Kabupaten Blora. Pertumbuhan

ekonomi Kabupaten Blora dari tahun 2005-2007 mengalami penurunan dari

4,32% tahun 2005 menjadi 4,15% pada tahun 2006 dan menjadi 3,77% pada

tahun 2007. Namun hal ini tidak berlanjut sampai tahun 2008 yang mengalami

peningkatan pertumbuhan ekonomi yang drastis menjadi 5,80%. Pertumbuhan

ekonomi paling rendah di alami oleh Kabupaten Klaten tahun 2006 yaitu 2,30%.

Untuk memastikan apakah desentralisasi fiskal berpengaruh positif atau negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi perlu penelitian yang lebih lanjut pada bab

selanjutnya.

Dari pelaksanan desentralisasi selama ini, ada beberapa permasalahan

yang dihadapi oleh pemerintah daerah dan pada umumnya adalah ketidakcukupan

sumber daya keuangan. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mempunyai

7

finansial yang cukup dan lebih leluasa dalam mengelola keuangannya. Dalam

pemberian wewenang itu sendiri harus meliputi kewenangan dalam mengelola

keuangan (desentralisasi fiskal). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan

daerah, bukan pendelegasian (Saragih, 2003 dalam Adi, 2006).

Menurut Menteri Keuangan No. 224 / PMK.07 tahun 2008 komponen-

komponen desentralisasi fiskal terdiri dari : pendapatan asli daerah (PAD), dana

alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH) dan pendapatan daerah lainnya yang

sah. Komponen-komponen tersebut juga merupakan sumber penerimaan daerah

yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah menurut UU No. 33 tahun

2004 dalam pelaksanaan desentralisasi.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber penerimaan

daerah yang juga merupakan modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan

dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah. PAD merupakan usaha daerah

guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dari pemerintah

pusat (Widjaja, 1992). Keberhasilan desentralisasi fiskal jelas mensyaratkan

keberhasilan daerah dalam mengelola potensi keuangan daerahnya. Hal ini

menunjukkan PAD sebagai parameter utama keberhasilan tersebut (Juwaini,

2007). PAD bisa dijadikan indikator keberhasilan desentralisasi fiskal karena

PAD merupakan penerimaan daerah yang asli berasal dari daerah itu sendiri, dan

PAD menununjukkan adanya kemandirian dari daerah.

Semakin tinggi PAD yang diperoleh suatu daerah maka akan semakin

tinggi pertumbuhan PDRB di daerah tersebut. Brata (2004) yang dikutip oleh Adi

dan Harianto (2007) menyatakan bahwa terdapat dua komponen penerimaan

daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan PDRB

daerah yaitu PAD serta bagian sumbangan dan bantuan. Namun apabila

eksploitasi PAD dilakukan secara berlebihan justru akan semakin membebani

masyarakat, menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara

makro (Mardiasmo, 2002).

8

Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

fiskal. DAU merupakan salah satu transfer dana perimbangan dari pemerintah

pusat (Hamid, 2005).

Transfer merupakan konsekuensi dari tidak meratanya keuangan dan

ekonomi daerah. Selain itu tujuan transfer adalah mengurangi kesenjangan

keuangan horizontal yaitu antar daerah, dan mengurangi kesenjangan vertikal

antara Pusat dan Daerah. Mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar daerah,

dan untuk menciptakan stabilitas aktivitas perekonomian di daerah (Abdullah dan

Halim, 2006). Oleh karena itu penerapan otonomi daerah/desentralisasi yang telah

digariskan dalam Undang-undang No. 33 tahun 2004, mensyaratkan adanya suatu

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Transfer DAU yang

tinggi menyebabkan masih tinggi ketergantungan sebagian besar pemerintah

daerah pada dana dari pusat.

Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan

Bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari

sumber daya alam. Dana Bagi Hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya

memperhatikan potensi daerah penghasil (Nurcholis, 2005). Pengoptimalan

perolehan Dana Bagi Hasil yang dianggap sebagai modal bagi kepentingan

pembangunan daerah akan mempercepat pertumbuhan PDRB (Pujiati, 2008).

Dari penjelasan di atas melatar belakangi penulis untuk mengadakan

penelitian mengenai pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiscal terhadap PDRB di

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008.

2. TELAAH TEORI

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Berdasarkan teori pertumbuhan endogen, fungsi produksi sederhana dari

teori ini adalah (Mankiw, 2000) :

9

𝑌 = 𝐴 𝐾 …………………….. (2.1)

Dimana Y adalah output, A adalah konstanta yang mengukur jumlah

output yang diproduksi untuk setiap unit modal, sedangkan K adalah persediaan

modal. Fungsi produksi ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.

Akumulasi modal merupakan sumber utama pertu mbuhan ekonomi.

Definisi modal/kapital diperluas dengan memasukkan modal ilmu pengetahuan

dan modal sumber daya manusia. Perubahan teknologi bukan sesuatu yang berasal

dari luar modal atau eksogen, tapi teknologi merupakan bagian dari proses

pertumbuhan ekonomi. Dalam teori pertumbuhan endogen, peran investasi dalam

modal fisik dan modal manusia turut menentukan pertumbuhan ekonomi jangka

panjang (Mankiw, 2000).

2.2 Desentralisasi Fiskal

Menurut Prawirosetoto (2002), Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian

tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan

keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment)

maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal ini

dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang

dan jasa publik (public goods / public service). Dalam melaksanakan

desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should followfunction merupakan salah

satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan

atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran

yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut (Sasana,2009).

Menurut Menteri Keuangan No. 224 / PMK.07 tahun 2008 komponen-

komponen desentralisasi fiskal terdiri dari : PAD, DAU, DBH.

2.2.1 Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber penerimaan

daerah yang juga merupakan modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan

10

dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah. PAD merupakan usaha daerah

guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dari pemerintah

pusat (Widjaja, 1992).

Semakin tinggi PAD yang diperoleh suatu daerah maka akan semakin

tinggi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Brata (2004) yang dikutip oleh

Adi dan Harianto (2007) menyatakan bahwa terdapat dua komponen penerimaan

daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi

daerah yaitu PAD serta sumbangan dan bantuan. Hal ini sejalan dengan pendapat

Tambunan (2006) bahwa pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan

menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu. Namun apabila

eksploitasi PAD dilakukan secara berlebihan justru akan semakin membebani

masyarakat, menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara

makro (Mardiasmo, 2002).

2.2.2 Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

DAU merupakan salah satu transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat

(Hamid, 2005).

Transfer dana yang tinggi dari pusat berupa DAU menyebabkan masih

tinggi ketergantungan sebagian besar pemerintah daerah pada dana dari pusat

untuk belanja daerah. Dalam penelitian Susilo dan Adi (2007) yang menyatakan

bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah

sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah

pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Ketergantungan keuangan ini antara lain

dapat dilihat pada anggaran pemerintah daerah yang komponen sumbangan dan

bantuan dari pusat sangat tinggi, melampaui Pendapatan Asli Daerah (Hamid,

2005).

11

2.2.3 Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan

Bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari

sumber daya alam. Dana Bagi Hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya

memperhatikan potensi daerah penghasil (Nurcholis, 2005).

2.3 Penelitian Terdahulu

Amin Pujiati (2008) yang melakukan penelitian pada Karesidenan

Semarang dengan judul “Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan

Semarang Era Desentralisasi Fiskal”. Variabel independen yang digunakan yaitu

PAD, DAU, DBH dan tenaga kerja (TK), sedangkan variabel dependen yang

digunakan yaitu pertumbuhan ekonomi yang di proksi dengan PDRB. Alat

analisis yang digunakan yaitu regresi dengan model data panel menggunakan

metode Generalized Least Squares (GLS) dengan pendekatan fixed effect. Hasil

penelitian diperoleh bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif

dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, Dana Alokasi Umum (DAU)

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, Dana Bagi

Hasil (DBH) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,

tenaga kerja (TK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi.

Joko Waluyo (2007) yang melakukan penelitian pada antar daerah di

Indonesia dengan judul “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Indonesia”. Variabel

independen yang digunakan yaitu DAU, DBH (DBHP dan DBHSDA) dan

desentralisasi fiskal, sedangkan variabel dependen yang digunakan yaitu

pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan. Alat analisis yang digunakan

yaitu Two Stage Least Square (TSLS). Hasil penelitian yang diperoleh bahwa

Dana Alokasi Umum (DAU) berfungsi sebagai pemerataan fiskal daerah juga

merupakan faktor yang paling dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi

daerah, kebijakan DAU sangat efektif untuk mengurangi kesenjangan pendapatan

12

antar daerah. Dana Bagi Hasil (DBH) menghasilkan rata-rata pertumbuhan

ekonomi yang negatif dan memperburuk kesenjangan pendapatan antar daerah.

Hadi Sasana (2005) yang melakukan penelitian di Kabupaten/Kota

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan judul “Analisis Dampak

Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan

Kesenjangan antar wilayah, antar sektor di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta”. Variabel independen yang digunakan yaitu PAD, DAU, DBH dan

tenaga kerja (TK), sedangkan variabel dependen yang digunakan yaitu

pertumbuhan ekonomi yang di proksi dengan PDRB atas dasar harga konstan.

Alat analisis yang digunakan yaitu Pooled Least Square (PLS) memakai intersep

fixed effects. Hasil penelitian diperoleh bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD)

berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi hanya di

Kabupaten Sleman (nilai Koefisien 0,213864) dan Kota Yogyakarta (nilai

Koefisien 0,301794). Sedangkan pada Kabupaten bantul dan Kabupaten Gunung

Kidul dan Kulon Progo mempunyai hubungan yang positif dan tetapi secara

statistik tidak signifikan. Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sleman (Koefisien -

0,109540), Kota Yogyakarta (Koefisien -0,52567), Kabupaten Gunung Kidul

(Koefisien -0,039490), dan Kabupaten Bantul (Koefisien -0,08204). Hubungan

negatif tetapi tidak signifikan terjadi di Kabupaten Kulon Progo. Dana Bagi Hasil

(DBH) berpengaruh positif dan signifikan di masing-masing Kabupaten.

Kabupaten Kulon Progo (Koefisien 0,573452), Kabupaten Gunung Kidul

(Koefisien 0,288920), dan kota Yogyakarta (Koefisien 0,019030). Tenaga kerja

(TK) berpengaruh positif dan signifikan pada seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Zhang dan Zhou (1998) yang melakukan penelitian di Cina dengan judul

“Fiscal Decentralization, Public Spending and Economic Growth in China”.

Variabel independen yang digunakan yaitu tenaga kerja, inflasi, keterbukaan dan

investasi, sedangakan variabel dependennya yaitu tingkat pertumbuhan GDP riil.

Alat analisis yang digunakan yaitu Least Squares Dummy Variables (LSDV).

13

Hasil penelitian diperoleh bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar 0,05.

2.4 Hipotesis

Adapun hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Diduga realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif

terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun

2005-2008 saat pelaksanaan desentralisasi fiskal.

2. Diduga realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif

terhadap pertumbuhan PDRB di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun

2005-2008 saat pelaksanaan desentralisasi fiskal.

3. Diduga realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan PDRB di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008

saat pelaksanaan desentralisasi fiskal.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data

yang diperoleh berdasarkan informasi yang telah disusun dan dipublikasikan oleh

instansi tertentu.

Penelitian ini menggunakan data panel yang merupakan penggabungan

data time series dan cross-section. Data time series dimulai dari tahun 2005

sampai tahun 2008 dan data cross-section yaitu 35 Kabupaten / Kota di Provinsi

Jawa Tengah. Teknik data panel dengan menggabungkan jenis data time series

dan cross-section, memberikan beberapa keunggulan dibandingkan dengan

pendekatan standar time series dan cross-section. Untuk menggambarkan data

panel secara singkat, misalkan pada data cross-section, nilai dari satu variabel atau

lebih dikumpulkan untuk beberapa unit sampel pada suatu waktu. Dalam data

14

panel, unit cross-section yang sama disurvei dalam beberapa waktu. (Gujarati dan

Porter, 2009 dalam Firmansyah, 2009).

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini di peroleh dari beberapa

sumber, antara lain :

1. Data PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut Kabupaten/Kota

Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008 bersumber dari kantor BPS Provinsi

Jawa Tengah.

2. Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah tahun 2005-2008 bersumber dari Biro Keuangan, Sekretaris Daerah

Provinsi Jawa Tengah.

3. Data Realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah tahun 2005-2008 bersumber dari Biro Keuangan, Sekretaris Daerah

Provinsi Jawa Tengah.

4. Data Realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah tahun 2005-2008 bersumber dari Biro Keuangan, Sekretaris Daerah

Provinsi Tawa Tengah.

3.2 Definisi Operasional Variabel

Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi variabel

lain (Umar, 2003). Variabel dapat di tulis dalam X. Berdasarkan uraian pada

tinjauan pustaka dan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengaruh

desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, maka penelitian ini

menspesifikasikan variabel independen dan definisi operasional sebagai berikut :

1. “X1” (Pendapatan Asli Daerah).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan asli daerah yang terdiri

dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan dari laba perusahaan daerah,

dan lain-lain pendapatan yang sah. Data yang digunakan dalam penelitian ini

15

adalah data realisasi PAD Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-

2008.

2. “X2” (Dana Alokasi Umum).

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan transfer yang bersifat umum

(block grant) untuk mengatasi ketimpangan horizontal dengan tujuan utama

pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data realisasi DAU Kabupaten/kota provinsi Jawa Tengah

tahun 2005-2008. Data diperoleh dari Biro Keuangan, Sekretaris Daerah Provinsi

Jawa Tengah

3. “X3” (Dana Bagi Hasil).

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah bagian dari dana perimbangan untuk

mengatasi ketimpangan vertikal yang dilakukan melalui pembagian hasil antara

pemerintah pusat dan daerah penghasil, dari sebagian penerimaan perpajakan

(nasional) dan penerimaan sumber daya alam. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data realisasi DBH Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah

tahun 2005-2008.

Variabel dependen merupakan variabel terikat yang mendasari penelitian,

variabel dependen dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel dependen dapat

di tulis dalam Y. Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka dan hasil penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap

pertumbuhan ekonomi, maka penelitian ini menspesifikasikan variabel dependen

dan definisi operasional sebagai “Y” (PDRB). Data yang digunakan adalah

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000

menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008.

3.3 Spesifikasi Model

Untuk mengestimasi pengaruh PAD, DAU, dan DBH terhadap PDRB

digunakan alat analisis regresi linier berganda. Adapun model persamaan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Mankiw, 2003) :

Y = A K ........................... (3.1)

Dimana:

16

Y = Tingkat output

K= Persediaan modal

A= Konstanta yang mengukur jumlah output yang diproduksi untuk setiap unit

model

Berdasarkan persamaan (3.1) dapat diketahui bahwa modal mempengaruhi

tingkat output. Asumsi yang diberikan pada persamaan (3.1) adalah constant

return to scale, maka Y diasumsikan sebagai PDRB, K diasumsikan sebagai

PAD, DAU dan DBH, sehingga persamaan (3.1) dapat diturunkan sebagai

berikut :

Y = f (PAD, DAU, DBH) .………………… (3.2)

Dari persamaan (3.1) dan (3.2), maka diperoleh,

Y = A α1 PAD α2DAU α3 DBH ………………… (3.3)

Mengacu pada penelitian terdahulu (Pujiati, 2008 dan Sasana, 2005), untuk

menggunakan persamaan (3.3) diturunkan dengan menggunakan log, sehingga

diperoleh persamaan sebagai berikut :

LY = α0 + α1 LX1 it + α2 LX2 it + α3 LX3 it + eit ......................... (3.4)

Keteranga:

LY = PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000

LX1 = Pendapatan Asli Daerah (PAD)

LX2 = Dana Alokasi Umum (DAU)

LX3 = Dana Bagi Hasil (DBH)

A/ α0 = Konstanta

i = 1, 2, 3,..., 35

t = 2005, 2006, 2007, 2008

eit = Komponen error dalam model penelitian

α1-α3 = Koefisien parameter

17

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Wilayah Provinsi Jawa Tengah

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa, secara

geografis terletak antara 5ᴼ40’ dan 8ᴼ30’ Lintang Selatan dan antara 108ᴼ30” dan

111ᴼ30’ Bujur Timur (termasuk Pulau Karimun Jawa). Provinsi Jawa Tengah

merupakan Provinsi yang terletak di tengah pulau Jawa yang berbatasan langsung

dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, dan Daerah Istimewa

Yogyakarta. Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke

Selatan adalah 226 km (tidak termasuk Pulau Karimun Jawa). Luas wilayah

Provinsi Jawa Tengah tercatat sebesar 3.254.412 hektar atau sekitar 25,04 persen

dari luas Pulau Jawa dan 1,70 persen dari luas Indonesia. Luas wilayah tersebut

terdiri dari 991.000 hektar (30,45 persen) lahan sawah dan 2,26 juta hektar (69,55

persen) bukan lahan sawah.

Secara administratif jumlah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa

Tengah yang menjadi objek dalam penelitian ini sebanyak 35 Kabupaten/Kota (29

Kabupaten dan 6 Kota) dengan 565 Kecamatan yang meliputi 7872 desa dan 622

kelurahan. Secara Administrartif, 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

bisa dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini :

Tabel 4.1

Tiga Puluh Lima Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

NO Kabupaten/Kota 18 Kab. Pati 1 Kab. Cilacap 19 Kab. Kudus 2 Kab. Banyumas 20 Kab. Jepara 3 Kab. Purbalingga 21 Kab. Demak 4 Kab. Banjarnegara 22 Kab. Semarang

5 Kab. Kebumen 23 Kab. Temanggung 6 Kab. Purworejo 24 Kab. Kendal 7 Kab. Wonosobo 25 Kab. Batang 8 Kab, Magelang 26 Kab. Pekalongan 9 Kab. Boyolali 27 Kab. Pemalang 10 Kab. Klaten 28 Kab. Tegal 11 Kab. Sukoharjo 29 Kab. Brebes 12 Kab. Wonogiri 30 Kota. Magelang 13 Kab. Karanganyar 31 Kota. Surakarta 14 Kab. Sragen 32 Kota. Salatiga 15 Kab. Grobogan 33 Kota. Semarang

16 Kab. Blora 34 Kota. Pekalongan 17 Kab. Rembang 35 Kota. Tegal

18

4.2 PDRB 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008

PDRB Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari 35 Kabupaten/Kota dalam

pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008 mengalami peningkatan yang

berfluktuasi, tiap-tiap daerah telah menghasilkan pencapaian yang berbeda –

beda. Hal ini berhubungan dengan sumber daya yang dimiliki masing – masing

daerah yang sekaligus menggambarkan karakteristik perekonomiannya.

PDRB paling tinggi dialami oleh Kota Semarang tahun 2008 sebesar Rp

19.156.814 (juta) dengan perolehan PAD sebesar Rp 267.914 (juta), DAU sebesar

Rp 634.864 (juta) dan dari DBH sebesar Rp 139.096 (juta), mengalami

peningkatan PDRB dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2005, 2006, 2007

PDRB-nya sebesar Rp 16.194.265 (juta), Rp 17.118.705 (juta), Rp 18.142.640

(juta) didukung perolehan PAD yang terus mengalami peningkatan dari tahun

sebelumnya 2005, 2006, 2007 yaitu Rp 189.772 (juta), Rp 224.823 (juta), Rp

238.238 (juta), begitu juga dengan DAU mengalami peningkatan dari tahun 2005-

2007 yaitu Rp 332.098 (juta), Rp 513.812 (juta), Rp 586.736 (juta) walaupun

perolehan DBH-nya terus menurun dari tahun 2005-2007 yaitu Rp 233.695 (juta),

Rp 194.194 (juta), Rp 177.376 (juta). Perolehan Kota Semarang selama

pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008 lebih banyak diperoleh dari

DAU. DAU juga mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan

PDRB di Kota Semarang dibandingkan dengan PAD dan DBH.

PDRB paling rendah dialami oleh Kota Salatiga pada tahun 2005 sebesar

Rp 722.064 dengan perolehan PAD, DAU, DBH yang rendah dibandingkan

dengan daerah lain di Provinsi Jawa Tengah masing-masing yaitu Rp 27.785

(juta), Rp 124.117 (juta), Rp 15.413 (juta). Meskipun PDRB-nya termasuk rendah

dibandingkan dengan daerah lainnnya, tetapi PDRB-nya terus meningkat tahun

2006-2008 yaitu Rp 752.149 (juta), Rp 792.680(juta), Rp 832.155 (juta).

Didukung dengan perolehan PAD yang terus meningkat pada tahun 2006-2007

dan menurun pada tahun 2008 yaitu Rp 32.497 (juta), Rp 36.193 (juta), Rp 34.301

(juta). Walaupun jumlahnya tidak sebesar daerah-daerah lain, PAD-nya cukup

19

mempengaruhi PDRB bisa dilihat dari peningkatan PDRB yang menurun pada

tahun 2008 sebesar 0,41% seiring dengan penurunan PAD pada tahun 2008.

Perolehan DAU dan DBH terus mangalami peningkatan dari tahun 2006-2008.

Sama dengan Kota Semarang perolehan Kota Salatiga selama pelaksanaan

desentralisasi fiskal tahun 2005-2008 lebih banyak diperoleh dari DAU. DAU

juga mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan PDRB di Kota

Semarang dibandingkan dengan PAD dan DBH.

Selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008 di

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, semua daerah terus mengalami

peningkatan PDRB dari tahun 2005-5008. Namun peningkatan PDRB yang terus

naik hanya beberapa daerah saja. Dari data yang ditunjukkan tabel 4.2,

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah yang peningkatan PDRB-nya terus

meningkat adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten

Wonosobo, dan Kabupaten Pekalongan.

4.3 PAD 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008

Penerimaan daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-

2008 yang diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah berbeda-beda tiap daerah dan

berfluktuasi dari tahun ke tahun. Penerimaan daerah dari Pendapatan Asli Daerah

di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008 yang paling besar

adalah penerimaan Kota Semarang yaitu sebesar Rp 267.914 (Juta Rupiah) pada

tahun 2008. Penerimaan PAD Kota Semarang dari tahun 2005-2008 terus

meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah Kota Semarang

lebih mampu mengoptimalkan potensi daerah daripada pemerintah daerah

Kabupaten/Kota lainnya, disamping faktor lokasi yang dimiliki daerah Kota

Semarang yang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah dan berpotensi

sebagai pusat bisnis.

Bagi daerah yang bukan merupakan pusat bisnis, PAD paling banyak

diperoleh dari retribusi daerah seperti yang dialami Kota Tegal tahun 2007

perolehan dari retribusi sebesar Rp.34.517 (juta),dari pajak daerah sebesar Rp

9.131 (juta), dari lain-lain PAD yang sah sebesar Rp 18.049 (juta), dari

20

perusahaan milik daerah sebesar Rp 561 (juta). Bagi daerah yang merupakan

pusat bisnis PAD lebih banyak dari pajak daerah, misalnya Kota Semarang

tahun2007, dari pajak daerah sebesar Rp 114.570 (juta), dari retribusi daerah Rp

71.725 (juta), dari hasil perusahaan milik daerah Rp 3.556 (juta), darilain-lain

PAD yang sah sebesar Rp 34.970 (juta).

4.4 DAU 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008

Penerimaan daerah Kabupaten/Kota provinsi Jawa Tengah tahun 2005-

2008 yang diperoleh dari pusat berupa transfer Dana Alokasi Umum yang paling

besar adalah daerah Kabupaten Cilacap yaitu sebesar Rp 773.079 (Juta Rupiah)

pada tahun 2008. Penerimaan daerah Kabupaten Cilacap dari tahun 2005-2008

terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan finansial Kabupaten

Cilacap meningkat dari tahun ke tahun dan dimungkinkan kurang diimbangi oleh

kemampuan finansial yang dimiliki.

Penerimaan daerah Kabupaten/Kota provinsi Jawa Tengah tahun 2005-

2008 yang diperoleh dari pusat berupa transfer Dana Alokasi Umum yang paling

kecil adalah daerah Kota Salatiga yaitu sebesar Rp 124.117 (Juta Rupiah) pada

tahun 2005 dan terus meningkat sampai tahun 2008. Hal ini dimungkinkan bahwa

kebutuhan finansial Kota Salatiga terus meningkat dan dimungkinkan diimbangi

oleh kemampuan finansial yang dimiliki.

4.5 DBH 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008

Penerimaan Dana Bagi Hasil daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah tahun 2005-2008 yang paling besar didominasi oleh daerah yang memiliki

sumber daya alam yang berlimpah dan daerah yang memiliki potensi sebagai

daerah bisnis. Penerimaan Dana Bagi Hasil daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah tahun 2005-2008 yang paling besar adalah penerimaan Kota Semarang

yaitu sebesar Rp 233.695 (Juta rupiah), hal ini dimungkinkan karena lokasi Kota

Semarang sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah berpotensi sebagai pusat bisnis

yang banyak menghasilkan perolehan dari Pajak Bumi Bangunan, Bea perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan. Perolehan DBH pada tahun 2006 sebesar Rp

21

194.194 (juta rupiah) bersumber dari bagi hasil pajak sebesar Rp 193.236 (juta

rupiah) dan dari bagi hasil sumber daya alam sebesar Rp 958 (juta).

Daerah yang memiliki sumber daya alam yang banyak, perolehan DBHnya

lebih banyak diperoleh dari dana bagi hasil sumber daya daripada dari dana bagi

hasil pajak, Kabupaten Wonogiri misalnya pada tahun 2008 DBHnya sebesar Rp

36.282 (juta) semuanya diperoleh dari dana bagi hasil sumber daya alam.

4.6 Estimasi Fixed Effect Model (FEM)

Hasil regresi persamaan dengan estimasi fixed effect model diselesaikan

dengan Eviews 6.0 adalah sebagai berikut :

LY = 13,75434 + 0,042076 LX1 it + 0,121710 LX2 it + 0,067122LX3 it ..............

(4.1)

Persamaan regresi tersebut merupakan persamaan utama yang belum

memasukkan koefisien variabe dummy, sebagai pembeda persamaan tiap – tiap

daerah. Intersep dalam persamaan ini bervariasi sepanjang individu (dalam hal ini

adalah 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah), dan tidak bervariasi

sepanjang waktu, yang disebut time invariant. Berdasarkan model FEM,

diasumsikan bahwa koefesien slope dari regresor tidak bervariasi antar individu

maupun waktu. Bentuk model fixed effect adalah dengan memasukan variabel

dummy untuk menyatakan perbedaaan intersep yakni dengan mengurangkan

(negatif) atau menambahkan (positif) konstanta dengan parameter variabel

dummy. Akibat dari efek dummy tersebut adalah perbedaan pada setiap

persamaan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Persamaan yang

berbeda – beda tersebut menyebabkan pertumbuhan PDRB yang berbeda pula

untuk setiap daerahnya.

22

Tabel 4.13

Persamaan Regresi Tiap Kabupaten /Kota

Dummy Kabupaten / Kota Persamaan Regresi D1 Kota Semarang 13,75434 + 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D33 Cilacap 13,36455+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D2 Banyumas 12,35395+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D3 Purbalingga 11,84090+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D4 Banjarnegara 11,99583 + 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D5 Kebumen 11,98893+ 0,042076X1+0,121710 X2 + 0,067122 X3

D6 Purworejo 12,03890+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D7 Wonosobo 11,64372+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D8 Kab. Magelang 12,30938+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D9 Boyolali 12,38055+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D10 Klaten 12,52390+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D11 Sukoharjo 12,54852+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D12 Wonogiri 12,03797+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D13 Karanganyar 12,60824+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D14 Sragen 12,01058+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D15 Grobogan 12,05892+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D16 Blora 11,64543+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D17 Rembang 11,80457+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D18 Pati 12,40959+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D19 Kudus 13,48595+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D20 Jepara 12,37128 + 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D21 Demak 12,08626+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D22 Kab. Semarang 12,64783+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D23 Temanggung 11,89639+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D24 Kendal 12,60079+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D25 Batang 11,88569+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D26 Pekalongan 12,15738+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D27 Pemalang 12,14504+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D28 Kab. Tegal 12,17989+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D29 Brebes 12,56836+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D30 Kota Magelang 11,17088+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D31 Kota Surakarta 12,50927+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D32 Kota Salatiga 10,99282+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D34 Kota Pekalongan 11,8244+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

D35 Kota Tegal 11,27333+ 0,042076 X1 + 0,121710 X2 + 0,067122 X3

Sumber : Lampiran. Data diolah

23

4.7 Interpretasi Hasil dan Pembahasan

Dari data yang diperoleh dilakukan pengolahan data menggunakan model

fixed effect untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi PDRB pada 35

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 – 2008. Variabel dependen

yang digunakan adalah PDRB, sedangkan variabel independen yang digunakan

adalah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan variabel

buatan (variabel dummy wilayah).

Sebagai akibat dari penambahan variabel dummy maka dapat di lihat dari

persamaan hasil regresi pada Tabel 4.13 menunjukkan konstanta persamaan tiap –

tiap daerah yang berbeda – beda, hal ini menyebabkan hasil regresi yang berbeda –

beda pula untuk tiap daerahnya. Apabila diasumsikan semua variabel independen

sama dengan nol, maka peningkatan PDRB adalah sebesar konstanta masing –

masing daerah. Apabila asumsi tersebut dipenuhi maka daerah yang peningkatan

PDRB paling tinggi adalah Kota Semarang (13,75%), Kabupaten Kudus (13,48%),

dan Kabupaten Cilacap (13,36%), sedangkan peningkatan PDRB paling rendah

adalah Kota Salatiga (10,99%).

Dari hasil regresi dalam penelitian ini, Kabupaten Cilacap, Kabupaten

Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen,

Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten

Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten

Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten

Rembang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten

Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Pekalongan, Kabupaten

Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes,Kota Surakarta, Kota Pekalongan,

dan Kota Tegal, Kota Magelang, dan Kota Salatiga memiliki nilai yang negatif dan

signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan PDRB di wilayah tersebut

lebih kecil dibandingkan PDRB di Kota Semarang.

24

Model fixed effect dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa koefisien slope

dari regresor tidak bervariasi antar individu dan waktu, sehingga dalam 35 persamaan

pada Tabel 4.13 koefisiennya sama untuk tiap – tiap variabel independennya. Dari

hasil regresi dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa Realisasi Pendapatan Asli

Daerah bertanda positif dan signifikan yang berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah

berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB di Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Tengah selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008. Hal ini

ditunjukan dengan nilai probabilitas sebesar 0,0449 lebih kecil dari alpha 5%. Hasil

regresi sesuai dengan hipotesis pada penelitian ini yang menduga ada hubungan

positif antara Pendapatan Asli Daerah dengan PDRB di Kabupaten/Kota Provinsi

Jawa Tengah tahun 2005-2008. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Sasana

(2005), dan Pujiati (2008). Dari hasil regresi menunjukkan Pendapatan Asli Daerah

memiliki nilai koefisiensi sebesar 0,04 yang berarti apabila ada peningkatan

Pendapatan Asli Daerah sebesar 10% di setiap Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah

maka PDRB akan meningkat sebesar 0,4% di setiap Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah, hal ini berlaku sama untuk setiap Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah

karena dalam model fixed effect diasumsikan koefisiennya sama untuk tiap-tiap

variabel independennya. Pendapatan Asli Daerah yang dianggap sebagai modal,

secara akumulasi akan lebih banyak menimbulkan eksternalitas yang bersifat positif

dan akan meningkatkan PDRB (Pujiati, 2008).

Dari hasil regresi dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa Realisasi Dana

Alokasi Umum bertanda positif dan signifikan yang berarti bahwa Dana Alokasi

Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB di Kabupaten/Kota di

Provinsi Jawa Tengah selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008. Hal

ini ditunjukan dengan nilai probabilitas sebesar 0,0000 lebih kecil dari alpha 5%.

Hasil regresi tidak sesuai dengan hipotesis pada penelitian ini yang menduga ada

hubungan negatif antara Dana Alokasi Umum dengan PDRB di Kabupaten/Kota

Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008. Hasil ini juga bertentangan dengan hasil

25

penelitian Sasana (2005), dan Pujiati (2008) namun konsisten dengan hasil penelitian

Waluyo (2007). Dana Alokasi Umum memiliki nilai koefisiensi sebesar 0,12 yang

berarti apabila ada peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 10% di setiap

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah maka PDRB akan meningkat sebesar 1,2% di

setiap Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dimungkinkan pemerintah

daerah di era desentralisasi cukup mampu dalam menetapkan skala prioritas

pembangunan daerahnya secara optimal atas sektor-sektor pembangunan yang

memberikan efek multiplier luas terhadap perekonomian masyarakat. Dana Alokasi

Umum berfungsi sebagai pemerata fiskal antar daerah juga merupakan faktor yang

paling dominan dalam mendorong PDRB (Waluyo, 2007).

Dari hasil regresi dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa Realisasi Dana

Bagi Hasil bertanda positif dan signifikan yang berarti bahwa Dana Bagi Hasil

berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB di Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Tengah selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008. Hal ini

ditunjukan dengan nilai probabilitas sebesar 0,0010 lebih kecil dari alpha 5%. Hasil

regresi sesuai dengan hipotesis pada penelitian ini yang menduga ada hubungan

positif antara Dana Bagi Hasil dengan PDRB di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah tahun 2005-2008. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Sasana (2005),

dan Pujiati (2008). Dana Bagi Hasil memiliki nilai koefisiensi sebesar 0,07 yang

berarti apabila ada peningkatan Dana Bagi Hasil sebesar 10% di setiap

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah maka PDRB akan meningkat sebesar 0,7% di

setiap Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa

pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dapat mengoptimalkan

perolehan Dana Bagi Hasil yang dianggap sebagai modal untuk kepentingan

pembangunan daerah akan mempercepat PDRB (Pujiati, 2008).

26

5. PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab hasil dan analisis, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan desentralisasi fiskal memberikan kebebasan bagi daerah untuk

mengelola potensi daerah. Dengan adanya desentralisasi fiskal penerimaan

daerah yang bersumber dari PAD, DAU dan DBH terus meningkat. Prosentase

peningkatan PAD lebih kecil dibandingkan dengan prosentase peningkatan dana

berimbang yaitu DAU dan DBH. Hal ini mengindikasikan pemerintah daerah

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah kurang belum mampu mengoptimalkan

potensi daerah dan masih tingginya ketergantungan Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Tengah terhadap bantuan dari pusat.

2. Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara

Pendapatan Asli Daerah terhadap PDRB, hal ini berarti penerimaan Pendapatan

Asli Daerah yang diperoleh pemerintah daerah berpengaruh meningkatkan

PDRB pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah pada saat pelaksanaan

desentralisasi fiskal tahun 2005-2008.

3. Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara

Dana Alokasi Umum terhadap PDRB, hal ini berarti penerimaan Dana Alokasi

Umum yang diperoleh pemerintah daerah berpengaruh meningkatkan PDRB

pada 35 Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah pada saat pelaksanaan

desentralisasi fiskal tahun 2005-2008.

4. Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara

Dana Bagi Hasil terhadap PDRB, hal ini berarti penerimaan Dana Bagi Hasil

yang diperoleh pemerintah daerah berpengaruh meningkatkan PDRB pada 35

Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah pada saat pelaksanaan desentralisasi

fiskal tahun 2005-2008.

27

5. Variabel dummy menjelaskan perbedaan PDRB antara daerah yang dijadikan

sebagai benchmark yaitu Kota Semarang dengan 34 daerah Kabupaten/Kota

lainnya yang ada di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008 selama pelaksanaan

desentralisasi fiskal. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa PDRB di Kota

Semarang lebih tinggi daripada 34 Kabupaten/Kota lainnya yang ada di Provinsi

Jawa Tengah.

5.2 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang memerlukan perbaikan

dan pengembangan dalam studi-studi berikutnya. Keterbatasan dalam penelitian ini

adalah jumlah tahun penelitian yang relatif singkat (4 tahun) sehingga dimungkinkan

kurang untuk melakukan generalisasi untuk penelitian. Keterbatasan obyek penelitian

yang hanya dilakukan di Kabupaten/Kota provinsi Jawa Tengah (35 Kabupaten/kota),

hal ini belum tentu sama dengan kondisi yang dialami oleh daerah lain di Indonesia.

Keterbatasan lain dalam penelitian ini yaitu, model yang dikembangkan hanya

melihat pengaruh komponen-komponen desentralisasi fiskal (PAD, DAU dan DBH)

terhadap pertumbuhan ekonomi. Masih banyak faktor lain yang juga berhubungan

dengan desentralisasi fiskal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi seperti

aglomerasi, derajat desentralisasi fiskal dan lain-lain. Oleh karena itu diperlukan studi

lanjutan yang lebih mendalam dengan data dan metode yang lebih lengkap sehingga

dapat melengkapi hasil penelitian yang telah ada dan hasilnya diharapkan dapat

dipergunakan sebagai bahan pertimbangan bagi berbagai pihak yang berkaitan

dengan desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi.

5.3 Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah diberikan, maka

dapat diberikan beberapa saran, yaitu sebagai berikut :

28

1. Dari keterbatasan-keterbatasan studi ini, maka saran untuk penelitian selanjutnya

adalah menambahkan tahun penelitian dan menambahkan obyek penelitian serta

menambahkan faktor lain yang berhubungan dengan desentralisasi fiskal yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Pendapatan Asli Daerah perlu ditinggkatkan agar PDRB mengalami

pertumbuhan yang relatif tinggi. Cara yang dilakukan pemerintah daerah antara

lain dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah, retribusi daerah dan

pendapatan asli daerah lainnya yang sah.

3. Dana Alokasi Umum yang diperoleh daerah diharapkan mampu dioptimalkan

untuk pembangunan daerah seperti alokasi dana untuk sektor ekonomi yang

potensi memberikan kontribusi dalam meningkatkan PDRB sehingga perolehan

Dana Alokasi Umum yang tinggi diimbangi oleh peningkatan PDRB yang tinggi.

Ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum yang menyebabkan kurangnya

inisiatif daerah dalam meningkatkan PDRB diharapkan dapat dikurangi.

29

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim dan Syukriy Abdullah, 2006. “Hubungan dan Masalah Keagenan di

Pemerintahan Daerah: Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi”. Jurnal

Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-56

Adi, Priyo Hari, 2005. “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi (Studi Kasus Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali)”, Jurnal

Interdispliner Kritis UKSW.2005

Adi, Priyo Hari, 2006. “Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Darah, Belanja

Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi Kasus Kabupaten dan Kota

se Jawa-Bali)”, Padang : Simponsium Nasional Akuntansi 9.

Adisasmita, H. Rahardjo, 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah, Yogyakarta :

Graha Ilmu.

Amin, Pujiati, 2008. “Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era

Desentralisasi Fiskal”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi

Negara Berkembang hal. 61-70.

Arsyad, lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi

Daerah. Edisi Pertama. Yogyakarta : Penerbit BPFE.

Bappenas. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Dalam Era Otonomi

Daerah: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah.

Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah.

Bird, Richard M dan FrancoisVaillancourt, 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-

Negara Berkembang, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Biro Keuangan, Sekretaris Daerah, Ringkasan Pertanggungjawaban Pelaksanaan

APBD Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, Berbagai tahun.

Biro Pusat Statistik, 1998. International Financial Statistic, IMF, Berbagai Edisi.

Biro Pusat Statistik, 1998. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Ekspor,

Volume I, Tahun 1998.

30

Boediono, 1992, Teori Pertumbuhan Ekonomi, Edisi 1, Yogyakarta: BPFE

Universitas Gajah Mada.

Elmi, Bachrul, 2002, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Jakarta

: Penerbit Universitas Indonesia, UI-Press.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS.

Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Gujarati, Damodar N, 2009, Basic Econometric International Edition. New York:

McGraw-Hill,inc

Hamid, Edi Suandi, 2005a, Formula Alternatif Dana Alokasi Umum (DAU) :

Upaya Mengatasi ketimpangan Fiskal Dalam Era Otonomi Daerah,

Yogyakarta : UII Press.

Hamid, Edi Suandi, 2005b, Ekonomi Indonesia dari Sentralisasi ke Desentralisasi,

Yogyakarta : UII Press.

Hanafi, Mamduh M. dan Halim, Abdul, 2001, Analisis Laporan Keuangan,

Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Harianto, David dan Adi, Priyo Hari, 2007. “Hubungan Dana Alokasi Umum,

Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita”,

Simponsium Nasional Akuntansi X. Unhas Makasar.

Joko, Waluyo. 2007, “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Indonesia”, Jurnal

Penelitian, Parallel Session IA : Fiscal Decentralization, Depok : Wisma

Makara, Kampus UI.

Juwaini, H. Jazuli, 2007. Otonomi Sepenuh Hati, Jakarta : AL-I’tishom Cahaya

Umat.

Keputusan Menteri Keuangan No. 224 / PMK.07 tahun 2008.

Kuncoro, Mudrajad, 2007. Metode Kualitatif : Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis

dan Ekonomi. Edisi Ketiga, Yogyakarta : UPP STIM YKPN

31

Mankiw, N Gregory, 2000. Teori Makro Ekonomi. Jakarta :Erlangga.

Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis

PerekonomianDaerah. http : www.ekonomirakyat.org/edisi 4/artikel 3.htm

Diakses tanggal 29 november 2010, pukul 17.00 WIB

Nurcholis, Hanif, 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,

Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Prawirosetoto, Yuwonono, 2002. “Desentralisasi Fiskal di Indonesia”, Jurnal

Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 Agustus, Jakarta : Unika Atmajaya.

Romli, Lili, 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Saldhana, Joao Mariano, 1998. Analisis CSIS: Studi Kasus Pembangunan Politik,

Pertumbuhan Ekonomi dan Kerja Intelektual Pertumbuhan Ekonomi:

Survey Ekonomi Politik dan Indonesia, Tahun XXVII No. 2 April – Juni

1998.

Sarundajang, 1997. Pemerintah Daerah di Berbagai Negara Sebuah Pengantar.

Jakarta : Penerbit Pustaka Sinar Jaya.

Sasana, Hadi, 2005. “Analisis Dampak Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap

Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antar Wilayah, Antar sektor di

Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” : Jurnal Bisnis dan

Ekonomi vol. 12No. 2, september 2005.

_____________, 2006. “Analisis Dampak Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah” :

Dinamika Pembangunan vol. 3No. 2 Desember 2006.

______________, 2009. “Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi di

Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah” : Jurnal Ekonomi Pembangunan

Vol. 10, No.1, Juni 2009, hal. 103 - 124

Sidik, Machfud, 2002. Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Paper Disampaikan pada

Seminar Nasional Public sector Scorecard, Jakarta 17-18 April 2002. Jakarta.

32

Simanjuntak, 2001. Decentralization and Local Autonomy. www.worldbank.org.

Diakses tanggal 8 desember 2010, pukul 17.00 WIB

Sumarsono, Hadi dan Utomo, Sugeng Hadi, 2009. “Deliberate Inflation pada

Kebijakan Desentralisasi Fiskal Jawa Timur dan Dampaknya bagi

Pertumbuhan Daerah”: Jurnal Ekonomi Studi Pembangunan, JESP Vol. 1,

No. 3, 2009

Susilo, Gideon Tri Budi dan Priyo Hari Adi. 2007. Analisis Kinerja Keuangan

AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah Sebelum dan Sesudah

OtonomiDaerah (StudiEmpiris di Propinsi Jawa Tengah). Konferensi

Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Pertama. Surabaya.

Tambunan, Tulus, 2006, Upaya-Upaya Meningkatkan Daya Saing Daerah.

www.kardin-indonesia.or.id. Diakses tanggal 11 dsesember 2010, pukul 15.30

WIB.

Todaro, Michael, P. 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Alih Bahasa

Indonesia: Burhanudin Abdullah dan Harris Munandar, Jakarta : Erlangga.

Umar, Husein, 2003. Metode Riset Akuntansi Cetakan Kedua, Bogor : Ghalia

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah.

Widjaja, A.W. 1992, Titik Berat Otonomi ; Pada Daerah Tingkat II, Jakarta : CV

Rajawali.

Winarno, Wing Wahyu, 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistik dengan

Eviews, Edisi Kedua. Yogyakarta UPP STIM YKPN, 2009.

Yudoyono, Drs. Bambang M.Si, 2003, Otonomi Daerah: Desentralisasi dan

Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan.

33

Zulyanto, Aan, 2010, “Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan

Ekonomi di Provini Bengkulu”, Disertasi Tidak dipublikasikn, Magister Ilmu

Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Diponegoro.

Zhang Tao dan Zou Heng fu. 1998. “Fiscal Decentralization. Public Spending and

Economic Growth in China”, Journal of Public Expenditure 67, 221 240.

34

LAMPIRAN

Hasil Regresi Utama (Fixed Effect)

Dependent Variable: LOG(PDRB)

Method: Least Squares

Date: 03/13/11 Time: 19:26

Sample: 1 140

Included observations: 140 Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LOG(PAD) 0.042076 0.020722 2.030469 0.0449

LOG(DAU) 0.121710 0.020149 6.040516 0.0000

LOG(DBH) 0.067122 0.019827 3.385306 0.0010

D2 -1.400389 0.037151 -37.69449 0.0000

D3 -1.913440 0.042525 -44.99513 0.0000

D4 -1.758506 0.043794 -40.15366 0.0000

D5 -1.765410 0.044846 -39.36590 0.0000

D6 -1.715442 0.047746 -35.92855 0.0000

D7 -2.110623 0.046344 -45.54258 0.0000

D8 -1.444958 0.041162 -35.10445 0.0000

D9 -1.373795 0.044172 -31.10080 0.0000

D10 -1.230440 0.051082 -24.08747 0.0000

D11 -1.205824 0.044738 -26.95319 0.0000

D12 -1.716373 0.047776 -35.92522 0.0000

D13 -1.146101 0.042754 -26.80693 0.0000

D14 -1.743763 0.044536 -39.15375 0.0000

D15 -1.695424 0.041597 -40.75872 0.0000

D16 -2.108915 0.039627 -53.21851 0.0000

D17 -1.949767 0.040843 -47.73817 0.0000

D18 -1.344755 0.041489 -32.41200 0.0000

D19 -0.268395 0.034961 -7.676962 0.0000

D20 -1.383056 0.038476 -35.94587 0.0000

D21 -1.668078 0.047512 -35.10849 0.0000

D22 -1.106510 0.039737 -27.84576 0.0000

D23 -1.857950 0.047643 -38.99734 0.0000

D24 -1.153551 0.040412 -28.54501 0.0000

D25 -1.868647 0.047712 -39.16514 0.0000

D26 -1.596958 0.046744 -34.16405 0.0000

D27 -1.609304 0.042270 -38.07223 0.0000

D28 -1.574448 0.044247 -35.58340 0.0000

D29 -1.185977 0.043774 -27.09313 0.0000

D30 -2.583459 0.045081 -57.30658 0.0000

D31 -1.245070 0.030538 -40.77108 0.0000

35

D32 -2.761518 0.042215 -65.41536 0.0000

D33 -0.389787 0.035652 -10.93298 0.0000

D34 -1.929892 0.046266 -41.71266 0.0000

D35 -2.481013 0.036821 -67.38120 0.0000

C 13.75434 0.147057 93.53055 0.0000

R-squared 0.998792 Mean dependent var 14.92300

Adjusted R-squared 0.998353 S.D. dependent var 0.631402

S.E. of regression 0.025621 Akaike info criterion -4.264593

Sum squared resid 0.066958 Schwarz criterion -3.466147

Log likelihood 336.5215 Hannan-Quinn criter. -3.940128

F-statistic 2278.741 Durbin-Watson stat 1.772621

Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber : Data diolah