analisis kasus sengketa perpajakan di indonesia

22
1 ANALISIS KASUS SENGKETA PERPAJAKAN DI INDONESIA: SUATU INVESTIGASI EMPIRIS MUHAMMAD SYAM KUSUFI Fakultas Ekonomi Prodi Akuntansi Universitas Trunojoyo Madura INAYATI NURAINI DWIPUTRI Alumni Program MSi dan Doktor FEB UGM [email protected] [email protected] ABSTRACT The study was aimed to examine taxation cases in Indonesia and to identify the behavioral of its Supreme Court’s verdict. We used The Supreme Court’s verdict upon taxation dispute cases from 2004 to 2010. The first analysis was descriptive statistics and the second analysis was logistic regression. The results showed that The Supreme Court’s verdict had different treatment to the 2 of 6 variables used in this study (Judicial review and tax period). Moreover, the data analysis also revealed that the Directorate General of Taxation (DGT) is almost likely to be succeeded the cases in the Supreme Court’s level if the Judicial Review was applied by the taxpayer. Thus, unlike in the Tax Court level which the tax payers are likely win the case, while before the Supreme Court the tax payers will not always win their cases, especially when the Judicial Review was applied by the tax payer. Accordingly, based on the result of this study and some previous study, We advised the government of Indonesia to do some actions, which are: 1) Improving the human resources’ quality of the DGT including its intellectual and manners. 2) Increasing the tax payers’ compliance by enhancing the tax benefit for the tax payers, 3) Developing the level of the compliance to the Indonesian Tax Law of its taxpayers and tax officers, 4) Having a commitment to construct the DGT to become an institution with good governance in order to accomplish heir task as the only taxation agency in Indonesia, 5) Designing a better Tax Court which is able to maximize their responsibility in Indonesia. Key words: the Supreme Court’s verdict, Tax Court, Taxpayers, Judicial Review. ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi atas kasus perpajakan di Indonesia dan mengidentifikasi perilaku putusan Mahkamah Agung (MA). Data yang digunakan merupakan data putusan MA tahun 2004-2010 atas kasus sengketa pajak. Analisis yang digunakan merupakan analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan MA memiliki perlakuan berbeda atas pemohon Peninjauan Kembali (PK) dan tahun pajak. Analisis menunjukkan bahwa probabilitas Dirjen Pajak memenangkan kasus sengketa pajak di tingkatan MA lebih tinggi apabila pemohon PK adalah wajib pajak dibandingkan Dirjen Pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa putusan MA tidak selalu memenangkan atau meguntungkan wajib pajak. Hal ini justru berbeda dengan putusan Pengadilan Pajak yang lebih banyak menguntungkan wajib pajak dalam putusannya. Dari identifikasi hasil penelitian dan mengacu pada penelitan sebelumnya, maka hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia antara lain adalah: 1) meningkatkan kualitas aparat pajak baik sisi intelektual maupun moralitas

Upload: joshua-plankton

Post on 09-Feb-2016

905 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Taxation

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

1

ANALISIS KASUS SENGKETA PERPAJAKAN DI INDONESIA: SUATU INVESTIGASI EMPIRIS

MUHAMMAD SYAM KUSUFI Fakultas Ekonomi Prodi Akuntansi Universitas Trunojoyo Madura

INAYATI NURAINI DWIPUTRI Alumni Program MSi dan Doktor FEB UGM

[email protected]

[email protected]

ABSTRACT The study was aimed to examine taxation cases in Indonesia and to identify the behavioral of its Supreme Court’s verdict. We used The Supreme Court’s verdict upon taxation dispute cases from 2004 to 2010. The first analysis was descriptive statistics and the second analysis was logistic regression. The results showed that The Supreme Court’s verdict had different treatment to the 2 of 6 variables used in this study (Judicial review and tax period). Moreover, the data analysis also revealed that the Directorate General of Taxation (DGT) is almost likely to be succeeded the cases in the Supreme Court’s

level if the Judicial Review was applied by the taxpayer. Thus, unlike in the Tax Court level which the tax payers are likely win the case, while before the Supreme Court the tax payers will not always win their cases, especially when the Judicial Review was applied by the tax payer. Accordingly, based on the result of this study and some previous study, We advised the government of Indonesia to do some actions, which are: 1) Improving the human resources’ quality of the DGT including its intellectual and manners. 2) Increasing the tax payers’ compliance by enhancing the tax benefit for the tax

payers, 3) Developing the level of the compliance to the Indonesian Tax Law of its taxpayers and tax officers, 4) Having a commitment to construct the DGT to become an institution with good governance in order to accomplish heir task as the only taxation agency in Indonesia, 5) Designing a better Tax Court which is able to maximize their responsibility in Indonesia. Key words: the Supreme Court’s verdict, Tax Court, Taxpayers, Judicial Review.

ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi atas kasus perpajakan di Indonesia dan mengidentifikasi perilaku putusan Mahkamah Agung (MA). Data yang digunakan merupakan data putusan MA tahun 2004-2010 atas kasus sengketa pajak. Analisis yang digunakan merupakan analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan MA memiliki perlakuan berbeda atas pemohon Peninjauan Kembali (PK) dan tahun pajak. Analisis

menunjukkan bahwa probabilitas Dirjen Pajak memenangkan kasus sengketa pajak di tingkatan MA lebih tinggi apabila pemohon PK adalah wajib pajak dibandingkan Dirjen Pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa putusan MA tidak selalu memenangkan atau meguntungkan wajib pajak. Hal ini justru berbeda dengan putusan Pengadilan Pajak yang lebih banyak menguntungkan wajib pajak dalam putusannya. Dari identifikasi hasil penelitian dan mengacu pada penelitan sebelumnya, maka hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia antara lain adalah: 1) meningkatkan kualitas aparat pajak baik sisi intelektual maupun moralitas

Page 2: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

2

perilakunya; 2) meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan meningkatkan manfaat pembayaran pajak terutama bagi wajib pajak; 3) meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan petugas pajak terhadap undang-undang perpajakan; 4) berkomitmen untuk membangun tata kelola lembaga perpajakan yang lebih baik; 5) mendesain lembaga pengadilan pajak yang lebih baik. Kata kunci: putusan MA, wajib pajak, peninjauan kembali, Pengadilan Pajak.

LATAR BELAKANG Pajak telah menjadi penerimaan negara terbesar, menggantikan penerimaan dari sektor minyak bumi dan gas (migas). Penerimaan dari sektor migas tidak bisa lagi diandalkan, karena penerimaan dari sumber daya alam, khususnya migas, memiliki usia ekonomis yang relatif terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Selain itu juga, Pudyatmoko (2009) mengungkapkan bahwa intensifikasi pajak agar menjadi penerimaan negara yang utama, mulai ditingkatkan sejak tahun 1980-an karena adanya gejala kemerosotan harga migas di pasaran dunia dan kondisi yang semakin tidak menentu. Oleh karena itu, sejak tahun 2000 pemerintah RI berupaya lebih menjadikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih sehat dan mandiri dengan target defisit anggaran lebih kurang 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) (Komalasari dan Nashih 2005). Penerimaan dari sektor pajak mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (lihat penelitian Widayati dan Nurlis 2010; dan Dwiputri 2011). Kurang lebih 2/3 penerimaan negara saat ini

berasal dari pos pajak (Widayati dan Nurlis 2010). Meskipun demikian, masih terdapat permasalahan dalam perpajakan Indonesia yang perlu dielaborasi. Salah satu masalah perpajakan di Indonesia adalah kasus sengketa pajak. Sengketa pajak muncul disebabkan antara lain karena adanya ketidakpatuhan pajak oleh wajib pajak (WP) (Graetz et al. 1986) sehingga terjadi perbedaan perhitungan antara WP dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP atau fiskus) atas jumlah yang harus dibayar oleh WP (Dwiputri 2011). Perbedaan perhitungan pajak antara WP dan fiskus diduga

disebabkan adanya fleksibilitas sistem akuntansi, yang oleh Omer dan Yetman (2007) dikategorikan sebagai faktor penyebab tindakan penghindaran pajak (tax avoidance). Faktor penyebab ketidakpatuhan pajak oleh wajib pajak adalah faktor moral dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (Bobek et al. 2007). Misalnya, penelitian Bergman (2003) mengungkapkan bahwa Chili memiliki tingkat kepatuhan pajak yang lebih baik daripada Argentina karena kebijakan pajak di

Chili telah terimplementasi secara permanen, stabil, dan rasional sehingga menciptakan administrasi pajak yang efektif. Ketidakpatuhan pajak dapat memicu adanya hidden action oleh wajib pajak dalam upaya untuk tidak membayar atau mengurangi utang pajaknya. Hidden action muncul ketika suatu pihak tidak dapat mengamati tindakan work-averse dari pihak lain (Arrow 1985; Baiman 1982). Hidden action merupakan suatu bentuk sikap dalam hubungan yang tersembunyi (Mukoyama dan Sahin 2005). Masalah ketidakpatuhan pajak dan hidden action juga terdapat dalam

perpajakan Indonesia. Salah seorang makelar kasus perpajakan1 mengungkap bahwa modus penyimpangan pajak di antaranya adalah negosiasi antara aparat pajak dan wajib pajak di tingkat komisaris pajak dan di tingkat penyidikan pajak2. Negosiasi antara aparat pajak dan wajib pajak merupakan indikasi hidden action dalam perpajakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Darrough dan

1 Gayus Tambunan 2 http://www.detiknews.com/read/2011/07/20/142958/1685244/10/ini-dia-6-modus-penyimpangan-pajak-versi-gayus

Page 3: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

3

Stoughton (1986) yang menyatakan bahwa hidden action muncul ketika tindakan agent tidak dapat diamati oleh principal. Dalam pemungutan pajak, agent adalah wajib pajak dan principal adalah aparat pajak. Fakta lain diungkap Parwito (2005) bahwa lebih dari 75% putusan banding dalam Pengadilan Pajak menguntungkan wajib pajak atau membuat jumlah pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Mengacu pada pernyataan Parwito (2005) maka penelitian ini ingin mengetahui apakah putusan dalam Mahkamah Agung juga cenderung

menguntungkan wajib pajak. Penelitian dilakukan terhadap kasus sengketa pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai karena kedua jenis pajak tersebut memberikan proporsi terbesar bagi penerimaan pajak dalam negeri3. Penelitian menggunakan data putusan MA tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Data penelitian diambil mulai dari putusan MA tahun 2004 karena undang-undang terbaru tentang pengadilan pajak yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 telah

diimplementasikan. Putusan MA mulai tahun 2004 telah mengacu kepada undang-undang tersebut. Putusan MA tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 terdiri atas putusan pada sengketa tahun pajak 1997 sampai dengan tahun pajak 2005. Penelitian ini terbatas hanya terhadap wajib pajak yang mengajukan sengketa sampai pada tingkatan MA. Sebagaimana penelitian Dwimulyani (2010) yang menduga bahwa konservatisma dalam akuntansi dengan pengakuan asimetriknya tersebut dapat menimbulkan konflik antara perusahaan dengan fiskus yang diakibatkan

bahwa fiskus menganggap penetapan besar pajak penghasilan menurut perusahaan terlalu rendah disebabkan konservatisma dalam akuntansi dapat menghasilkan angka-angka laba dan aset cenderung lebih rendah serta angka-angka biaya dan utang cenderung lebih tinggi. Namun, setelah fiskus melakukan pemeriksaan, hal ini dapat menimbulkan perusahaan menjadi kurang bayar dan selanjutnya dapat menjadi awal dari timbulnya sengketa pajak. Hasil penelitian Dwimulyani membuktikan bahwa konservatisma akuntansi

dapat mendorong terjadinya sengketa pajak penghasilan pada 507 perusahaan pemanufakturan yang terdaftar di BEI dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Namun, penelitian Dwimulyani (2010) menggunakan rasio-rasio keuangan yang diduga dapat memicu (atau proksi) sengketa pajak, bukan data riil sengketa pajak yang ada di KPP, Pengadilan Pajak, ataupun Mahkamah Agung. Penelitian ini diharapkan akan memberikan perspektif yang berbeda dengan menganalisis secara langsung data kasus sengketa perpajakan yang benar-benar terjadi dan

terdokumentasi dalam Putusan Mahkamah Agung. Analisis kasus sengketa pajak dalam penelitian ini menggunakan perspektif ekonomi kriminalitas dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu cost benefit analysis (Becker 1968) dan game theory analysis (Tsebelis 1989, 1990, 1993) yang telah disempurnakan oleh Pradiptyo (2007). Beberapa penelitian sebelumnya juga telah menggunakan metode tersebut untuk menganalisis berbagai kasus kriminalitas ekonomi di Indonesia antara lain adalah kasus korupsi (Pradiptyo 2009a, 2009b) dan penebangan hutan secara ilegal (Permana

2010). Dari sudut pandang beberapa literatur akuntansi forensik, analisis kasus sengketa perpajakan melalui data putusan Mahkamah Agung termasuk dalam pembuktian kasus melalui bukti dokumenter. Silverstone dan Sheetz (2007) menyatakan bahwa pembuktian kasus hukum melalui penarikan kesimpulan (inference). Artinya, bukti-bukti yang ada harus melalui sebuah proses penarikan kesimpulan (inferensial) sehingga menghasilkan kesimpulan (proof

3 Lihat Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2010

Page 4: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

4

atau conclusion). Penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian awal dalam bidang akuntansi forensik dalam kasus sengketa perpajakan di Indonesia yang menggunakan statistik inferensial untuk memperoleh pembuktian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Silverstone dan Sheetz (2007). Dalam kasus sengketa pajak pada tingkatan MA, pihak yang bersengketa tidak hanya wajib pajak yang merasa tidak puas dengan perhitungan pajak yang harus dibayarkan. Beberapa kasus, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak juga

mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) karena merasa tidak puas dengan putusan pengadilan pajak dalam menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui probabilitas pihak yang bersengketa dalam upaya memenangkan kasus sengketa pajak. Dengan menganalisis probabilitas pihak yang bersengketa dalam memenangkan kasus sengketa pajak diharapkan dapat mengidentifikasi apakah putusan MA

memiliki kecenderungan untuk memenangkan atau menguntungkan wajib pajak seperti yang terjadi pada putusan Pengadilan Pajak (Parwito 2005).

TINJAUAN PUSTAKA Ketidakpatuhan Pajak (Tax Non-Compliance) Kiryanto (1999: 7) mendefinisikan kepatuhan WP sebagai tingkah laku WP yang memasukkan dan melaporkan pada waktunya informasi yang diperlukan, mengisi secara benar jumlah pajak yang tertuang, dan membayar pajak pada

waktunya, tanpa ada tindakan pemaksaan. Artinya, semakin patuh WP berarti WP tersebut telah sadar pajak, yaitu memahami akan hak dan kewajiban perpajakannya serta melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan benar (Abimanyu 2004). Salah satu dari definisi tersebut tidak dilakukan oleh WP maka WP dianggap tidak patuh. Komalasari dan Nashih (2005) mengelompokkan kepatuhan (compliance) dalam 2 hal, yaitu: 1. Kepatuhan administratif (administrative compliance), yaitu bentuk

kepatuhan terhadap aturan-aturan administratif seperti pengajuan pembayaran yang tepat waktu.

2. Kepatuhan teknikal (technical compliance), yaitu kepatuhan WP terhadap teknis pembayaran pajak, misalnya pajak dihitung sesuai dengan ketentuan teknis dari UU perpajakan.

Bobek et al. (2007) mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak adalah: 1) faktor moral, termasuk moral masyarakat sekitar; 2)

pandangan sosial atas perilaku yang benar. Pernyataan Bobek et al. (2007) tersebut selaras dengan hasil kajian literatur Komalasari dan Nashih (2005) yang menemukan bahwa tingkat kepatuhan WP dipengaruhi oleh tax morale. Hal ini menjelaskan bahwa fenomena ekonomi seharusnya tidak hanya dianalisis dari sudut pandang tradisional saja melainkan juga harus melibatkan studi tentang tax morale sebagai suatu sikap dalam merespon ke(tidak)patuhan WP. Ketidakpatuhan pajak dapat menciptakan hidden action oleh wajib pajak

dalam upaya untuk tidak membayar atau mengurangi utang pajak. Hidden action merupakan suatu bentuk sikap dalam hubungan yang tersembunyi (Mukoyama dan Sahin 2005). Menurut Darrough dan Stoughton (1986), hidden action muncul ketika tindakan agent tidak dapat diamati oleh principal. Hidden action muncul ketika suatu pihak tidak dapat mengamati tindakan work-averse dari pihak lain (Arrow 1985; Baiman 1982). Dalam penelitian akuntansi perpajakan, perilaku hidden action dapat dilakukan dengan menerapkan konservatisma akuntansi yang tinggi. Sebagaimana hasil penelitian Dwimulyani

(2010) bahwa konservatisma akuntansi dapat mendorong munculnya sengketa

Page 5: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

5

pajak penghasilan. Penerapan konservatisma akuntansi oleh WP akan menghasilkan perhitungan pajak berbeda jauh dengan hasil pemeriksaan fiskus yang memicu adanya konflik, dan bahkan sengketa pajak. Perilaku hidden action tidak hanya dilakukan pada saat penyajian laporan keuangan fiskal oleh WP, melainkan dapat juga terjadi pada saat konflik atau sengketa pajak antara WP dengan fiskus itu terjadi. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang makelar kasus perpajakan4 yang mengungkapkan bahwa

hidden action yang terjadi di Indonesia akibat ketidakpatuhan pajak berupa enam modus penyimpangan pajak yaitu5: 1) negosiasi di tingkat komisaris pajak yaitu antara aparat pajak dan wajib pajak; 2) negosiasi di tingkat penyidikan pajak (aparat pajak biasanya menakut-nakuti pengguna faktur pajak fiktif); 3) penyelewengan pajak fiskal di bandara, terkait penerbangan ke luar negeri; 4) penghilangan berkas-berkas keberatan wajib pajak; 5) penggunaan perusahaan di luar negeri biasanya Belanda karena adanya celah hukum; 6) penggelapan

pajak dari investasi saham yang dibukukan dalam SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan). Fakta lain diungkap oleh Parwito (2005) bahwa lebih dari 75% putusan banding dalam Pengadilan Pajak menguntungkan wajib pajak atau membuat jumlah pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Jadi, perilaku hidden action dapat terjadi selama sengketa pajak tersebut berlangsung. Dalam ekonomika kriminalitas, ketidakpatuhan pajak, sehingga menimbulkan perilaku hidden action dalam perpajakan, merupakan suatu bentuk kejahatan. Webley (2004) menyatakan bahwa para ilmuwan sosial menggunakan istilah ketidakpatuhan pajak (tax non-compliance) dengan penggelapan pajak (tax evasion) saling menggantikan (interchangeably), atau memiliki makna yang sama. Sementara itu, Manning (2005) memasukkan tax evasion sebagai salah satu bentuk kejahatan dalam keuangan (financial crime). Becker (1968) berpendapat bahwa pelaku kejahatan akan mendapatkan efek jera apabila tingkat deteksi tinggi namun sanksi relatif rendah. Penelitian Casey dan Scholz (1991) mengungkap bahwa apabila probabilitas deteksi dan tingkat hukuman tinggi maka kepatuhan wajib pajak atas hukum perpajakan akan

meningkat. Berbeda dengan penelitian Alm et al. (1990) yang mengungkapkan bahwa insentif materi akan meningkatkan kepatuhan pajak. Individu menanggapi insentif materi dalam memilih apakah membayar, melakukan penghindaran pajak, atau penggelapan pajak (Alm et al. 1990).

Alur Penyelesaian Kasus Sengketa Pajak Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana diubah dengan Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2000 serta terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, diatur bahwa apabila wajib pajak kurang puas terhadap Surat Ketetapan Pajak (SKP) atas jumlah pajak yang harus dibayar maka dapat mengajukan sengketa. Yang dimaksud sengketa pajak menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan surat paksa. Dalam penelitian ini sengketa pajak yang diteliti adalah terbatas pada kasus sengketa dalam hal banding dan gugatan yang diajukan terhadap besarnya jumlah pajak terutang.

4 Gayus Tambunan 5 http://www.detiknews.com/read/2011/07/20/142958/1685244/10/ini-dia-6-modus-penyimpangan-pajak-versi-gayus

Page 6: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

6

Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Meskipun demikian penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat

sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan pajak yang digugat dilaksanakan. Dalam hal banding, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah pajak terutang dibayar sebesar 50%. Adapun alur sengketa pajak dapat dilihat pada Gambar 1 (terlampir). Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, permohonan PK hanya dapat diajukan satu kali kepada MA melalui Pengadilan Pajak. Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. Alasan permohonan PK dapat diajukan ke MA adalah sebagai berikut: 1) apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 2) apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda; 3) apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada

yang dituntut, kecuali yang diputus ‘mengabulkan sebagian atau seluruhnya’ dan ‘menambah pajak yang harus dibayar’; 4) apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; 5) apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gambar 1. Bagan Alur Penyelesaian Sengketa Pajak (terlampir)

Pengembangan Hipotesis Penelitian ini ingin meneliti apakah variabel pemohon, jenis pajak, tahun

pajak, kepemilikan kontrak karya oleh wajib pajak, perbedaan perhitungan jumlah pajak, waktu pemrosesan permohonan PK, mempengaruhi putusan MA. Diasumsikan bahwa putusan MA dipengaruhi oleh faktor criminogenic statis6 dan faktor criminogenic dinamis7. Variabel pemohon PK, jenis pajak, tahun pajak, kepemilikan kontrak karya merupakan faktor criminogenic statis, sedangkan variabel perbedaan perhitungan jumlah pajak, waktu pemrosesan permohonan PK merupakan faktor criminogenic dinamis (Dwiputri 2011;

Permana 2010). Apabila variabel pemohon berpengaruh signifikan terhadap putusan MA maka putusan MA memiliki kecenderungan atas variabel pemohon. Apabila pengaruh tersebut bersifat positif, maka hal ini mengindikasikan bahwa probabilitas putusan MA memenangkan Dirjen Pajak justru lebih tinggi apabila pemohon PK adalah wajib pajak dibandingkan apabila pemohon PK adalah Dirjen Pajak. Dengan demikian putusan MA tidak justru selalu memenangkan atau menguntungkan wajib

pajak seperti yang terjadi pada putusan Pengadilan Pajak (Parwito 2005). Dari perspektif cost benefit analysis pemohon PK mengajukan permohonan PK kepada MA dengan harapan benefit yang diterima lebih tinggi daripada cost yang dikeluarkan. Perhitungan benefit secara moneter dalam kasus sengketa

6 Faktor criminogenic statis merupakan informasi yang tidak berubah atas individu dari waktu ke waktu. 7 Faktor criminogenic dinamis merupakan informasi yang dapat berubah atas individu dari waktu ke waktu

Page 7: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

7

pajak berhubungan dengan perhitungan jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. Maka, ingin diketahui apakah variabel perbedaan perhitungan antara wajib pajak dan pemungut pajak atas jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak dapat mempengaruhi putusan MA. Penelitian ini juga ingin mengetahui adanya pengaruh variabel waktu pemrosesan permohonan PK terhadap putusan MA. Apabila waktu pemrosesan permohonan PK berpengaruh signifikan terhadap putusan MA, maka putusan

MA memiliki kecenderungan atas variabel lama. Dengan asumsi bahwa putusan MA tidak memihak dan tidak memiliki kecenderungan, maka putusan MA seharusnya tidak dipengaruhi oleh variabel pemohon, jenis pajak, tahun pajak, kepemilikan kontrak karya oleh wajib pajak, perbedaan perhitungan jumlah pajak dan waktu pemrosesan permohonan PK. Maka diajukan hipotesis penelitian yaitu diduga tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel pemohon, jenis pajak, tahun pajak, kepemilikan kontrak karya oleh wajib pajak, perbedaan perhitungan jumlah pajak dan waktu pemrosesan permohonan PK terhadap probabilitas putusan MA memenangkan pihak Dirjen Pajak.

METODE PENELITIAN Sumber Data Data penelitian adalah berkas putusan MA tahun 2004-2010 terhadap permohonan PK atas putusan Pengadilan Pajak dalam kasus sengketa pajak.

Data diperoleh dari website MA yaitu http://putusan.mahkamahagung.go.id. yang diakses pada tanggal 17 Januari 2011.

Spesifikasi Ekonometrika Model fungsi probabilitas logistik kumulatif adalah sebagai berikut:

Pi = F(Zi) = β0 + βiXi = = (1)

Pi= (2)

1-Pi= 1 - = (3)

= ( )( ) = (4)

Ln ( )= Zi = β0 + βiXi (5) Persamaan (5) kemudian disebut persamaan regresi logistik. Penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik seperti pada persamaan (5). Dalam model penelitian diasumsikan bahwa putusan MA dapat diestimasi. Adapun model penelitian adalah sebagai berikut:

Yi = Li = Ln ( ) = Zi = β0 + β1D_Pmhi + β2D_JPi + β3TPi + β4 D_KKi + β5Ln_Bdi + β6 Ln_Lmi + ei ……………………………….…….(6)

dimana: Pi : probabilitas putusan MA memenangkan Dirjen Pajak 1-Pi : probabilitas putusan MA tidak memenangkan Dirjen Pajak β0 : konstanta β1, β2, β3, β4, β5, β6: koefisien regresi D_Pmh : pemohon PK (variabel dummy; 1 untuk wajib pajak dan 0 untuk

pihak Dirjen Pajak)

D_JP : jenis pajak (variabel dummy; 0 untuk pajak penghasilan dan 1 untuk pajak pertambahan nilai)

Page 8: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

8

TP : tahun pajak (0 untuk tahun pajak 1997, 1 untuk tahun pajak 1998, 2 untuk tahun pajak 1999, 3 untuk tahun pajak 2000, 4 untuk tahun pajak 2001, 5 untuk tahun pajak 2002, 6 untuk tahun pajak 2003, 7 untuk tahun pajak 2004, 8 untuk tahun pajak 2005)

KK : kontrak karya, merupakan variabel yang menyatakan kepemilikan kontrak karya oleh wajib pajak (variabel dummy; 0

untuk wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya dan 1 untuk wajib pajak yang memiliki kontrak karya)

Ln_Bd : beda (rupiah) dalam bentuk Ln Ln_Lm : lama (hari) dalam bentuk Ln ei : error term Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah putusan MA cenderung memenangkan atau menguntungkan wajib pajak seperti halnya putusan

Pengadilan Pajak. Maka, dari model diharapkan variabel pemohon berpengaruh positif signifikan terhadap putusan MA.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Deskriptif Putusan MA tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 atas permohonan PK putusan Pengadilan Pajak pada kasus sengketa pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan terdiri atas 192 putusan. Dari 192 putusan tersebut terdapat

19 permohonan PK yang dikabulkan yaitu sebesar 9,90% dan permohonan PK yang ditolak sebanyak 173 kasus atau sebesar 90,10%. Permohonan PK oleh wajib pajak sebanyak 133 kasus atau sebesar 69,27% dan permohonan PK oleh Dirjen Pajak sebanyak 59 kasus atau sebesar 30,73%. Dari 192 putusan MA terdapat 111 permohonan PK atas sengketa pajak pertambahan nilai atau sebesar 57,81% dan 80 permohonan PK atas sengketa pajak penghasilan atau 41,67%, sedangkan 1 permohonan PK tidak dapat diidentifikasi jenis pajak yang diajukan sengketa. Dengan demikian pada

tingkatan MA, jumlah sengketa pajak pertambahan nilai lebih tinggi daripada sengketa pajak penghasilan. Dalam sengketa pajak, waktu pemrosesan permohonan PK merupakan hal penting yang menjadi pertimbangan bagi wajib pajak dalam mengajukan sengketa. Dari data diketahui bahwa waktu pemrosesan permohonan PK atas putusan Pengadilan Pajak membutuhkan waktu minimal 96 hari atau kurang lebih 3 bulan dan waktu maksimal yaitu 2.211 hari atau kurang lebih 74 bulan atau kurang lebih 6 tahun. Secara rata-rata waktu pemrosesan permohonan PK putusan Pengadilan Pajak adalah kurang lebih 601 hari atau kurang lebih 20 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu pemrosesan permohonan PK putusan Pengadilan Pajak membutuhkan waktu yang cukup lama. Frekuensi variabel beda dan variabel lama ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Frekuensi Variabel Lama dan Beda

Minimum Maksimum Rata-rata Lama 96 hari 2211 hari 601 hari

Beda Rp. 1.136.305 Rp. 208.954.204.785 Rp. 4.067.400.000

Sumber: data putusan MA, diolah Salah satu faktor penyebab terjadinya sengketa pajak adalah perbedaan perhitungan antara wajib pajak dan petugas pemungut pajak atas jumlah pajak

yang harus dibayar oleh wajib pajak. Adanya perbedaan perhitungan pajak mengindikasikan bahwa terdapat hidden information oleh salah satu pihak antara wajib pajak dan aparat pajak. Hidden information telah menyebabkan adanya perbedaan perhitungan jumlah pajak antara keduanya.

Page 9: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

9

Dari data diketahui bahwa perbedaan perhitungan jumlah pajak, minimum adalah sebesar Rp.1.136.305,00 dan perbedaan perhitungan maksimum adalah sebesar Rp.208.954.204.785,00. Secara rata-rata perbedaan perhitungan adalah sebesar Rp. 4.067.400.000,00. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata perbedaan perhitungan antara wajib pajak dan petugas pemungut pajak atas jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah cukup besar. Analisis lebih lanjut dilakukan dengan membandingkan rata-rata perbedaan

perhitungan jumlah pajak antara pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Diketahui dari hasil analisis bahwa perbedaan perhitungan jumlah pajak secara rata-rata lebih tinggi pada kasus pajak pertambahan nilai dibandingkan pajak pertambahan nilai seperti ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 2. Perbedaan Perhitungan Pajak Berdasarkan Jenis Pajak

Perbedaan Perhitungan Pajak Penghasilan

Perbedaan Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai

Minimum 10.460 1.275.000 Maksimum 36.435.000.000 37.922.000.000

Rata-rata 2.244.484.357 3.277.808.023

Dari tabel tersebut diketahui bahwa secara rata-rata perbedaan perhitungan

jumlah pajak pertambahan nilai lebih tinggi daripada pajak penghasilan. Selisih rata-rata perbedaan perhitungan antara pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai adalah kurang lebih sebesar 1 milyar rupiah. Apabila dilihat dari sudut pandang akuntansi, temuan ini mengindikasikan adanya penerapan konservatisma akuntansi yang lebih tinggi untuk perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebagaimana diungkapkan oleh Dwimulyani (2010) bahwa konservatisma akuntansi dengan pengakuan asimetriknya akan mendorong manajer (atau dalam hal ini WP) untuk menunda

pengakuan penghasilan atau penjualannya (atau dalam istilah perhitungan dalam PPN adalah peredaran usaha). Penundaan pengakuan atas penjualan akan menghasilkan dasar pengenaan pajak (DPP) lebih rendah, dibandingkan dengan hasil perhitungan fiskus atau aparat pajak. Begitu juga dengan kasus pajak penghasilan, juga memiliki perbedaan perhitungan antara WP dengan fiskus yang relatif besar. Oleh karena itu, hasil temuan ini juga mengindikasikan bahwa konservatisma akuntansi, yang mendorong terjadinya sengketa pajak, tidak hanya terjadi pada pajak penghasilan saja (Dwimulyani, 2010), melainkan juga pada pajak pertambahan nilai (PPN). Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terkait dengan hasil temuan tersebut. Apabila dilakukan perbandingan perbedaan perhitungan pajak antara wajib pajak yang memiliki kontrak karya dengan wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya, didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 3. Perbedaan Perhitungan Pajak Berdasarkan Kepemilikan Kontrak Karya

Perbedaan Perhitungan Wajib Pajak Yang Memiliki

Kontrak Karya

Perbedaan Perhitungan Wajib Pajak Yang Tidak

Memiliki Kontrak Karya Minimum 10.460 22.441.168 Maksimum 37.922.000.000 35.052.000.000 Rata-rata 3.116.278.357 2.782.905.067

Dari tabel tersebut diketahui bahwa secara rata-rata perbedaan perhitungan jumlah pajak bagi wajib pajak yang memiliki kontrak karya lebih tinggi daripada wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya. Selisih rata-rata perbedaan perhitungan antara wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya dan wajib pajak yang memiliki kontrak karya adalah kurang lebih sebesar 650 juta

rupiah. Hasil temuan ini menguatkan pernyataan Menteri Keuangan Agus Martowardojo bahwa terdapat 14 perusahaan minyak dan gas (migas) asing

Page 10: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

10

yang menunggak pajak sehingga perlu mengkaji ulang kontrak karya keempat belas perusahaan tersebut (www.hukumonline.com). Selain itu juga, hasil ini mengindikasikan bahwa WP yang memiliki kontrak karya (perjanjian dengan Pemerintah RI) cenderung untuk melakukan konservatisma akuntansi, yaitu menunda pengakuan penghasilan dan mempercepat pengakuan biaya sehingga dapat menurunkan besar laba kena pajak (atau dasar pengenaan pajaknya/DPP) dan akhirnya dapat menunda

pembayaran pajak (Dwimulyani 2010). Temuan ini mengindikasikan bahwa konservatisma akuntansi yang lebih tinggi juga terjadi pada perusahaan yang memiliki kontrak karya yang menyebabkan adanya sengketa pajak dibanding perusahaan yang tidak memiliki kontrak karya. Sama halnya dengan temuan sebelumnya, bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan hasil temuan ini.

Analisis Regresi Logistik Dari 192 putusan terdapat 183 putusan yang memuat informasi tentang pemohon, jenis pajak, kontrak karya, tahun pajak, perbedaan perhitungan jumlah pajak, waktu pemrosesan permohonan PK. Maka, analisis untuk menguji hipotesis penelitian dilakukan terhadap 183 putusan MA tersebut. Adapun hasil analisis ditampilkan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 diketahui bahwa uji hosmer and lemeshow memiliki nilai signifikansi sebesar 0,776. Nilai signifikansi dari uji hosmer and lemeshow lebih dari nilai alpha= 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa model penelitian fit dengan data.

Tabel 4. Hasil Analisis Regresi Logistik

Variabel Tidak Bebas: variabel dummy dengan nilai 1 jika

putusan MA memenangkan Dirjen Pajak dan 0 jika tidak memenangkan Dirjen Pajak

Variabel Bebas Koefisien Nilai-P Konstanta D_Pemohon D_Jenis Pajak Tahun Pajak D_Kontrak Karya

Ln_Beda Ln_Lama

6,221 5,361***

0,342 -0,454 1,035

-0,191 -0,655**

0,145 0,000 0,523 0,009 0,269

0,182 0,050

N Cox & Snell R2

Nagelkerke R2

183

Uji Hosmer and Lemeshow Sig= 0,776

Ket: *** : signifikan pada α= 0,01 ** : signifikan pada α= 0,05 * : signifikan pada α= 0,1

Sumber: data putusan MA, diolah Dari Tabel 4 diketahui bahwa variabel kontrak karya tidak memiliki pengaruh signifikan atas putusan MA. Putusan MA tidak memiliki kecenderungan atas wajib pajak yang memiliki kontrak karya maupun wajib pajak yang tidak memiliki kontrak karya dengan pemerintah. Variabel jenis pajak tidak memiliki pengaruh signifikan atas putusan MA. Hal ini menunjukkan bahwa kasus pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai tidak memiliki perlakuan yang berbeda dalam putusan MA.

Variabel tahun pajak berpengaruh negatif signifikan terhadap putusan MA pada derajat alpha= 1%. Maka, setiap peningkatan tahun pajak, terjadi penurunan probabilitas untuk memenangkan Dirjen Pajak. Apabila diidentifikasi frekuensi permohonan PK berdasarkan tahun pajak ditampilkan dalam Tabel 5 sebagai berikut.

Page 11: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

11

Tabel 5. Frekuensi Permohonan PK Berdasarkan Tahun Pajak

Tahun Pajak Banyak Permohonan PK Persentase (%) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

2004 2005

Tidak Teridentifikasi

3 4

14 27 43 42 28

23 7 1

1,56 2,08 7,29

14,06 22,40 21,88 14,58

11,98 3,65 0,52

Total 192 100

Sumber: data putusan MA, diolah Berdasarkan tahun pajak, diketahui bahwa jumlah permohonan PK terbanyak adalah pada tahun pajak 2001. Pada tahun pajak 2001 terdapat 43 permohonan PK atau sebesar 22,40%. Jumlah permohonan PK terendah adalah pada tahun pajak 1997 yaitu sebanyak 3 permohonan PK atau sebesar 1,56%.

Variabel beda tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil putusan MA pada derajat alpha= 5%. Jadi, putusan MA tidak memiliki kecenderungan terhadap variabel beda. Tinggi atau rendah perbedaan perhitungna antara wajib pajak dan pihak Dirjen Pajak tidak mempengaruhi hasil putusan MA. Variabel lama berpengaruh negatif signifikan terhadap hasil putusan MA pada derajat alpha= 5%. Jadi, setiap 1% kenaikan lama proses sengketa pajak di tingkatan MA maka terjadi penurunan probabilitas untuk memenangkan Dirjen Pajak dalam kasus sengketa pajak. Hal ini menunjukkan bahwa

probabilitas wajib pajak memenangkan sengketa pajak akan semakin meningkat apabila lama proses sengketa semakin lama. Hal ini dapat mengindikasikan adanya hidden action. Namun, indikasi ini masih memerlukan penelitian dan analisis yang lebih mendalam karena variabel lama juga nyaris tidak signifikan. Variabel pemohon PK berpengaruh positif signifikan terhadap hasil putusan MA. Jadi, apabila yang mengajukan permohonan PK adalah wajib pajak, maka probabilitas Dirjen Pajak memenangkan sengketa lebih tinggi sebesar 180 kali (anti ln 5,195) daripada apabila pemohon PK adalah Dirjen Pajak. Hal ini tercermin dalam tabel frekuensi data sebagai berikut:

Tabel 6. Frekuensi Putusan MA Berdasarkan Pemohon PK

Pemohon PK Putusan MA Dirjen Pajak Wajib Pajak Total Dirjen Pajak Menang 2 107 109 Dirjen Pajak Kalah 57 17 74 Total 59 124 183 Pearson Chi-Square Sig= 0,000

Sumber: data putusan MA, diolah Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa nilai signifikansi Chi-Square adalah

sebesar 0,000. Nilai signifikansi ini lebih kecil dari nilai alpha=0,01. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan pada derajat alpha=0,01 antara pemohon PK dengan putusan MA. Dari Tabel 6 diketahui bahwa apabila wajib pajak mengajukan permohonan PK, putusan MA memiliki kecenderungan untuk memenangkan Dirjen Pajak. Proporsi Dirjen Pajak memenangkan sengketa pajak apabila wajib pajak mengajukan permohonan PK adalah sebesar 80,90%. Dengan demikian, putusan MA memiliki kecenderungan memenangkan Dirjen Pajak dalam hal wajib pajak sebagai

pemohon PK.

Page 12: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

12

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam putusan MA tidak cenderung untuk memenangkan atau menguntungkan wajib pajak. Hal ini berbeda dengan kasus yang diungkap Parwito (2005) bahwa lebih dari 75% putusan banding dalam Pengadilan Pajak menguntungkan wajib pajak atau membuat jumlah pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Oleh karena itu disimpulkan bahwa diduga perilaku hidden action dalam perpajakan Indonesia lebih banyak terjadi dalam Pengadilan Pajak dibandingkan dengan Mahkamah Agung.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan MA tidak memiliki kecenderungan untuk menguntungkan wajib pajak. Hal ini berbeda dengan putusan Pengadilan Pajak yang justru lebih banyak menguntungkan wajib pajak (Parwito 2005). Hal ini juga mengindikasikan bahwa diduga perilaku hidden action oleh wajib pajak dalam upaya memenangkan sengketa pajak lebih

banyak terjadi dalam Pengadilan Pajak dibandingkan dalam Mahkamah Agung. Namun demikian, adanya indikasi praktek konservatisma akuntansi yang lebih tinggi yang mendorong terjadinya sengketa pajak pada kasus pajak pertambahan nilai (PPN) dan WP yang memiliki kontrak karya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam terkait hubungan keduanya, yaitu konservatisma akuntansi dan sengketa pajak pada PPN dan perusahaan berkontrak karya. Dari identifikasi hasil penelitian dan mengacu pada penelitan sebelumnya,

maka hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia antara lain adalah: 1) meningkatkan kualitas aparat pajak baik sisi intelektual maupun moralitas perilakunya; 2) meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan meningkatkan manfaat pembayaran pajak terutama bagi wajib pajak; 3) meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan petugas pajak terhadap undang-undang perpajakan; 4) berkomitmen untuk membangun tata kelola lembaga perpajakan yang lebih baik; 5) mendesain lembaga pengadilan pajak yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, Anggito. 2004. Wajib Pajak Belum Patuh. Diperoleh dari

http:/fiscal.depkeu.go.id/pernik.html, diakses pada tanggal 21 September 2006.

Aidt, Toke S., 2003. ‘Review: Economic Analysis of Corruption: A Survey’. The

Economic Journal, 113 (491), F632-F652.

Alm, James, Bahl, Roy and Murray, Matthew N., 1990. ‘Tax Structure and Tax

Compliance’. The Review of Economics and Statistics, 72 (4), 603-613. Arrow, K. J., 1985. ‘The Economics of Agency’, in J. W. Pratt and R. J.

Zeckhauser (eds.), Principal and Agents: The Structure of Business. Harvard Business School Press, Boston.

Baiman, S., 1982. ‘Agency Research In Managerial Accounting: a survey’.

Journal of Accounting Literature, 1, 154–213. Becker, G.S., 1968. ‘Crime and Punishment: an Economic Approach’. Journal of

Political Economy, 70, 1-13. Bergman, Marcelo S., 2003, ‘Tax Reforms and Tax Compliance: The Divergent

Paths of Chile and Argentina’. Journal of Latin American Studies, 35 (3),

593-624.

Page 13: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

13

Bobek, Donna D., Roberts, Robin W., and Sweeney, John T., 2007, ‘The Social

Norms of Tax Compliance: Evidence from Australia’. Journal of Business Ethics, 74 (1), 49-64.

Casey, Jeff T. and Scholz, John T., 1991. ‘Beyond Deterrence: Behavioral

Decision Theory and Tax Compliance’. Law and Society Review, 25 (4),

821-844. Darrough, Masako, N. and Stoughton, Neal, M., 1986. ‘Moral Hazard and

Adverse Selection: The Question of Financial Structure’. The Journal of Finance, 41 (2), 501-513.

Dwimulyani, Susi, 2010. Konservatisma Akuntansi dan Sengketa Pajak

Penghasilan: Suatu Investigasi Empiris. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi XIII, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Dwiputri, Inayati N., 2011. Studi Putusan Mahkamah Agung Tahun 2004-2010

Atas Kasus Sengketa Pajak di Indonesia. Tidak dipublikasikan, Tesis S2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ghozali, Imam, 2006. Analisis Multivariate Lanjutan Dengan Program SPSS, Edisi 1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Graetz, Michael J., Reinganum, Jennifer F., and WildeSource, Louis L., 1986.

‘The Tax Compliance Game: Toward an Interactive Theory of Law Enforcement’. Journal of Law, Economics, & Organization, 2 (1), 1-32.

Gujarati, Damodar N. and Porter, Dawn C., 2009. Basic Econometrics, Fifth

Edition, Mc Graw Hill, Singapore. Jogiyanto, 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-

Pengalaman. Edisi Pertama, Cetakan Kedua, BPFE, Yogyakarta. Komalasari, P. T., dan Nashih, Moh., 2005. Degree of Tax Payer Compliance and

Tax Tariff the Testing on the Impact of Income Types. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi VIII, Universitas Sebelas Maret, Solo.

Kiryanto. 1999. Pengaruh Penerapan Struktur Pengendalian Intern Terhadap

Kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam Memenuhi Kewajiban Pajak Penghasilannya. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi II IAI-KAPd, Universitas Brawijaya, Malang.

Manning, George A. 2005. Financial Investigation and Forensic Accounting. 2nd

Edition. Taylor & Francis Group, Boca Raton. Mukoyama, Toshihiko and Sahin, Aysegul, 2005. ‘Repeated Moral Hazard with

Persistence’. Economic Theory, 25 (4), 831-854. Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2010

Page 14: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

14

Parwito, 2005. ‘Mengapa Lebih Banyak WP Menang di Pengadilan Pajak?’ Bisnis Indonesia dalam www.pajak2000.com. Diakses 17 Januari 2011.

Peraturan Menteri Keuangan No. 194/PMK.03/2007 Nomor 194/PMK.03/2007

Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. Permana, Yudistira Hendra, 2010. ‘Application of Rule of Law by Jurisdiction

System on Illegal Logging Case in Indonesia 2002-2008’. Journal of Indonesian Economy and Business, 25 (3), 261-277.

Pradiptyo, Rimawan, 2007. ’Does Punishment Matter? A Refinement of Public-

Police Game’, Centre for Criminal Justice Economics and Psychology, University of York, York YO10 5DD, UK.

Pradiptyo, Rimawan, 2009a. ‘Korupsi di Indonesia: Perspektif Ilmu Ekonomi’, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, hal 151-200, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Pradiptyo, Rimawan, 2009b. ‘A Certain Uncertainty; An Assessment of Court

Decisions for Tackling Corruptions in Indonesia 2001-2008’, Department of Economics, Faculty of Economics and Business Universitas Gadjah Mada, Indonesia, http://ssrn.com/abstract=1480930.

Pudyatmoko, Y. Sri, 2009. Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang

Pajak, Edisi Revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Server, O.B., 1996. ‘Corruption: A Major Problem for Urban Management: some

evidence from Indonesia’. Habitat International, 20 (1), 23-41.

Sharma, Subash, 1996. Applied Multivariate Techniques, John Wiley and Sons, Canada.

Silverstone, Howard, and Sheetz, Michael., 2007. Forensic Accounting and Fraud

Investigation for Non-Experts. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.

Siringo-ringo, Lamgiat, 2010. ‘Inilah Titik Rawan Makelar Kasus di Ditjen Pajak’, http://www.kompas.com, Diakses 19 September 2011.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ/2003 Tentang Tata

Cara Penanganan Peninjauan Kembali Atas Putusan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung.

Treisman, Daniel, 2000. ‘The Causes of Corruption: a cross-national study’.

Journal of Public Economics, 76, 399-457. Tsebelis, G., 1989. ‘The Abuse of Probability in Political Analysis: The Robinson

Crusoe Fallacy’, The American Political Science Review 83: 77-91. Tsebelis, G., 1990. ‘Penalty Has No Impact on Crime? A Game Theoretical

Analysis’, Rationality and Society 2:225-286.

Page 15: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

15

Tsebelis, G., 1993. ‘Penalty and Crime: Further Theoretical Consideration and Empirical Evidence’, Journal of Theoretical Politics 5:349-374.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-

undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan. Webley, Paul. 2004. ‘Tax Compliance by Businesses’. Edited by Hans Sjögren

and Göran Skogh in New Perspectives on Economic Crime: New Horizons in Law and Economics. Edward Elgar Publishing Limited, UK.

Widarjono, Agus, 2009. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya, Edisi Ketiga, Ekonosia, Yogyakarta.

Widayati dan Nurlis, 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemauan untuk

Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas (Studi Kasus pada KPP Pratama Gambir Tiga). Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Akuntansi XIII, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Wijayanto, 2009. ‘Memahami Korupsi’, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie,

Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, hal 3-58, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 16: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

16

Page 17: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

17

Gambar 1. Bagan Alur Penyelesaian Sengketa Pajak Sumber: Pudyatmoko (2009: 48)

Keterangan:

1. Penyampaian SKPKB, SKPKBT, SKPLB, dsb. Dari pejabat yang berwenang kepada wajib pajak 2. Keberatan dari wajib pajak (3 bulan)/sesuai ketentuan 3. Putusan atas keberatan (12 bulan)/sesuai ketentuan 4. Pengajuan banding (3 bulan). 4a. gugatan (14 hari) 5. Pemeriksaan dengan acara biasa (12 bulan: banding acara biasa, 6 bulan: gugatan acara biasa, atau 3 bulan untuk hal

khusus) atau acara cepat (30 hari) 6. Penyampaian putusan Pengadilan Pajak ke wajib pajak (30 hari) 7. Permohonan peninjauan kembali (3 bulan) 8. Pemeriksaan permohonan PK (6 bulan terhadap putusan acara biasa, 1 bulan terhadap putusan acara cepat) 9. Penyampaian putusan PK ke wajib pajak/penanggung pajak 10. dan 6.a. pelaksanaan putusan (30 hari)

4

Banding

Gugatan

Pengadilan

Pajak

Acara Biasa

Acara Cepat

Peninjauan

Kembali Mahkamah

Agung RI

Pemeriksaan bds UU

14/1985 jo. UU 5/2004

Bila memenuhi

syarat

Pelaksanaan Putusan

Pelaksa-naan

Putusan

6

2

3

4

Dirjen Pajak / Pejabat

Berwenang

SKPKB, SKBKPT, SKPN, SKPLB, dsb

Wajib Pajak / Penanggung Pajak

Putusan

Keberatan

1

9

5

7

8

6

PUTUSAN

PUTUSAN

1

3

2

4

4

5

6

6

7 8

9

10

Page 18: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

18

Page 19: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

19

Lampiran 2. Hasil Analisis

————— 31/10/2011 21:53:50 ———————————————————— Descriptive Statistics: beda by jp Variable jp N Mean Median TrMean StDev beda 0 77 2244484357 553518715 1231087287 5568478199 1 106 3277808023 1076327204 2061034570 6714261120 Variable jp SE Mean Minimum Maximum Q1 Q3 beda 0 634586986 10460 3,6435E+10 65232710 1812122436 1 652146690 1275000 3,7922E+10 450573474 2787537001

Descriptive Statistics: beda by kk Variable kk N Mean Median TrMean StDev beda 0 150 2782905067 703712437 1580532353 6329667808 1 33 3116278357 1717215179 2001185756 6034065794

Variable kk SE Mean Minimum Maximum Q1 Q3 beda 0 516815212 10460 3,7922E+10 165647618 2232240854 1 1050396029 22441168 3,5052E+10 846257307 2996693778

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Included in Analysis

183 100.0

Missing Cases 0 .0

Selected Cases

Total 183 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 183 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal

Value

Tidak Memenangkan Dirjen Pajak

0

Memenangkan Dirjen Pajak

1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Predicted

D_put

Observed

Tidak Memenangka

n Dirjen Pajak

Memenangkan Dirjen

Pajak

Percentage Correct

Tidak Memenangkan Dirjen Pajak

0 74 .0 D_put

Memenangkan Dirjen

Pajak 0 109 100.0

Step 0

Overall Percentage 59.6

a. Constant is included in the model.

Page 20: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

20

Classification Tablea,b

Predicted

D_put

Observed

Tidak Memenangka

n Dirjen Pajak

Memenangkan Dirjen

Pajak

Percentage Correct

Tidak Memenangkan Dirjen Pajak

0 74 .0 D_put

Memenangkan Dirjen Pajak

0 109 100.0

Step 0

Overall Percentage 59.6

b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .387 .151 6.611 1 .010 1.473

Variables not in the Equation

Score df Sig.

D_Pmh 114.072 1 .000

jns_pjk .425 1 .514

thn_pjk 1.815 1 .178

D_KK 2.051 1 .152

ln_beda 7.487 1 .006

Variables

ln_lama 28.748 1 .000

Step 0

Overall Statistics 118.663 6 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 142.671 6 .000

Block 142.671 6 .000

Step 1

Model 142.671 6 .000

Model Summary

Step -2 Log

likelihood Cox & Snell R

Square Nagelkerke R

Square

1 104.285a .541 .731

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 4.823 8 .776

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

D_put = Tidak Memenangkan Dirjen Pajak

D_put = Memenangkan Dirjen Pajak Total

Page 21: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

21

Observed Expected Observed Expected

1 18 17.820 0 .180 18

2 17 17.599 1 .401 18

3 17 17.177 1 .823 18

4 8 8.791 10 9.209 18

5 7 4.522 11 13.478 18

6 4 3.099 14 14.901 18

7 1 2.185 17 15.815 18

8 1 1.392 17 16.608 18

9 1 .879 17 17.121 18

Step 1

10 0 .535 21 20.465 21

Classification Tablea

Predicted

D_put

Observed

Tidak Memenangka

n Dirjen Pajak

Memenangkan Dirjen

Pajak

Percentage Correct

Tidak Memenangkan Dirjen Pajak

57 17 77.0 D_put

Memenangkan Dirjen Pajak

2 107 98.2

Step 1

Overall Percentage 89.6

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

D_Pmh 5.361 .896 35.779 1 .000 212.943

jns_pjk .342 .536 .409 1 .523 1.408

thn_pjk -.454 .173 6.919 1 .009 .635

D_KK 1.035 .937 1.222 1 .269 2.816

ln_beda -.191 .143 1.785 1 .182 .826

ln_lama -.655 .334 3.836 1 .050 .519

Step 1a

Constant 6.221 4.268 2.124 1 .145 503.040

a. Variable(s) entered on step 1: D_Pmh, jns_pjk, thn_pjk, D_KK, ln_beda, ln_lama.

Page 22: Analisis Kasus Sengketa Perpajakan Di Indonesia

22

CURRICULUM VITAE PENULIS I. NAMA : Muhammad Syam Kusufi, SE.

TTL : Jombang, 9 Juni 1983 Alamat : Perumahan Ngori Indah Blok D-9 Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY HP : 0818377640 Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan: a. S1 Akuntansi FE Universitas Brawijaya, Malang (2001-2005) b. S2 Akuntansi dengan konsentrasi Akuntansi Manajemen, Program MSi dan Doktor

FEB UGM (2010-sekarang)

Riwayat Pekerjaan: a. Dosen Jurusan Akuntansi FE Universitas Trunojoyo, Bangkalan (2006-sekarang) b. Wakil Direktur PPAKP FE Universitas Trunojoyo, Bangkalan (2006-sekarang) c. Auditor Yunior di KAP Made Sudharma, Thomas, dan Dewi, Malang (2006) d. Staf redaksi penerbitan jurnal ilmiah Pusat Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah

Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang (2004-2006)

Publikasi: a. Buku “Akuntansi Manajemen” edisi kedua bersama dengan Prof. DR. Abdul Halim,

MBA., Ak. dan Bambang Supomo, SE., M.Si., Ak. penerbit BPFE-UGM, DIY (2011) b. Buku “Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah” edisi keempat

bersama dengan Prof. DR. Abdul Halim, MBA., Ak. Penerbit Salemba Empat Jakarta (proses cetak dan terbit 2012)

c. Buku “Akuntansi Sektor Publik: Dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan, Dari

Pemerintah Hingga Tempat Ibadah” bersama dengan Prof. DR. Abdul Halim, MBA., Ak. Penerbit Salemba Empat Jakarta (proses cetak dan terbit 2012)

II. NAMA : Inayati Nuraini Dwiputri, SSi., MSc. TTL : Sumenep, 4 Januari 1983 Alamat : Perumahan Ngori Indah Blok D-9 Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY HP : 081703572277 Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan: c. S1 Statistika F-MIPA Universitas Brawijaya, Malang (2001-2005) d. S2 Ilmu Ekonomi dengan konsentrasi Ekonomi Kriminalitas, Program MSi dan

Doktor FEB UGM (2010-2011)