ske 2 trauma
Post on 30-Jul-2015
26 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN INDIVIDU
FIELD LAB
KEGIATAN FIELD LAB MANAJEMEN TERPADU BALITA
SAKIT DI PUSKESMAS MOJOSONGO-BOYOLALI
OLEH:
Sinta Prastiana Dewi
G0007157
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Terjatuh merupakan penyebab utama non-fatal di USA dan
merupakan penyebab kedua untuk trauma spinal maupun trauma
otak. Terjatuh menyebabkan trauma karena terjadinya
perubahan kecepatan secara tiba-tiba (deselerasi). Bila ada suatu
kekuatan eksternal dibenturkan pda tubuh manusia, maka
beratnya trauma yang terjadi merupakan interaksi antara faktor-
faktor fisik dari kekuatan tersebut dan jaringan tubuh. Beratnya
trauma yang terjadi berkaitan dengan kemampuan objek statis
untuk menahan tubuh.Pada tempat benturan akan terjadi
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan
menimbulkan disrupsi jaringan. Karakteristik dari permukaan
yang menghentikan gerak tubuh yang terjatuh juga penting
(IKABI,2000).
Seperti dijelaskan di atas, jatuh dapat mengakibatkan
berbagai trauma termasuk dapat mengakibatkan trauma thorax
maupun spinal. Trauma adalah penyebab kematian terbanyak
pada dekade 3 kehidupan diseluruh kota besar didunia dan
diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun
yang disebabkan oleh trauma toraks di Amerika. Sedangkan
insiden penderita trauma toraks di Amerika Serikat diperkirakan
12 penderita per seribu populasi per hari dan kematian yang
disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20-25% . Dan hanya 10-
15% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan
operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan
sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian.
Canadian Study dalam laporan penelitiannya selama 5 tahun
pada "Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa insiden trauma
tumpul toraks sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks,
sedangkan sisanya sebanyak 3,7% adalah trauma tajam.
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks masih
didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%). Sedangkan
mortalitas pada setiap trauma yang disertai dengan trauma
toraks lebih tinggi (15.7%) dari pada yang tidak disertai trauma
toraks (12.8%). Pengelolaan trauma toraks, apapun jenis dan
penyebabnya tetap harus menganut kaidah klasik dari
pengelolaan trauma pada umumnya yakni pengelolaan jalan
nafas, pemberian ventilasi dan kontrol hemodinamik ( IKABI,
2000).
Cedera medula spinalis (CMS) merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan
kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih
banyak dijumpai pada usia produktif ini seringkali
mengakibatkan penderita harus terus berbaring di tempat tidur
atau duduk di kursi roda karena tetraplegia atau paraplegia.
CMS terutama disebabkan oleh trauma. Selain itu, CMS dapat
pula disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra, misalnya
arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur
patologik, infeksi, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular.
CMS traumatik lebih sering terjadi di daerah servikal. Diantara
berbagai penyebab trauma spinal, yang tersering dikemukakan
adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga, tembakan senapan, serta
bencana alam, misalnya gempa bumi (Saiful, 2006).
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh jatuh sehingga pada
nantinya dapat melakukan tata laksana pada pasien secara tepat
dan cepat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah biomekanika jatuh dan sebutkan
pembagiannya?
2. Jelaskan mengenai trauma dada dan komplikasinya
3. Pada skenario, mengapa nadi turun dan tekanan darah
meningkat?
4. Keadaan apakah yang terjadi pada pasien?
5. Mengapa terjadi kenaikan JVP dan kelainan pada jantung?
6. Apakah hubungan antara nyeri di VL I dan II dengan tungkai
yang tidak dapat digerakkan?
7. Bagaimanakah patofisiologi gejala pada pasien?
8. Apakah indikasi pemberian tindakan medis pada pasien?
9. Apa sajakah pemeriksaan fisik dan laboratorium yang harus
dilakukan?
10. Apakah tujuan pemeriksaan rontgen?
11. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan pada pasien?
12. Mengapa pasien harus dirujuk dan dikonsultasikan?
13. Bagaimanakah penatalaksanaan dan prognosisnya?
C. TUJUAN DAN MANFAAT
- Mahasiswa mampu memahami mekanisme patogenesis
dan patologi trauma pada toraks dan spinal
- Mahasiswa mampu memahami prinsip penanganan
trauma
- Mahasiswa mampu memahami perencanaan dan
pengelolaan pasien dengan trauma
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Trauma Medula Spinalis
1. EPIDEMIOLOGI
Di U.S., insiden trauma medula spinalis/ trauma sumsum tulang
belakang sekitar 5 kasus per satu juta populasi per tahun atau
sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden trauma sumsum tulang
belakang tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden
trauma sumsum tulang belakang pada pria adalah 81,2 %.
Sekitar 80 % pria dengan trauma sumsum tulang belakang
terdapat pada usia 18-25 tahun.
SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality)
terjadi primer pada anak-anak. Tingginya insiden trauma
sumsum tulang belakang komplit yang berkaitan dengan
SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9
tahun.
2. ETIOLOGI
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan
sepeda motor (44 %), tindak kekerasan (24 %), jatuh (22 %),
kecelakaan olahraga misal menyelam (8 %), dan penyebab lain
(2 %). Jatuh merupakan penyebab utama trauma sumsum tulang
belakang pada orang usia 65 tahun ke atas. Trauma sumsum
tulang belakang karena kecelakaan olahraga biasanya terjadi
pada usia 29 tahun.
3. PATOFISIOLOGI
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur
saraf yang membawa informasi motorik (desenden) dan sensorik
(asenden). Traktus kortikospinal adalah jalur motorik desenden
yang terletak di anterior sumsum tulang belakang. Kolumna
dorsal adalah traktus sensorik asenden yang membawa
informasi raba, propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik.
Traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan suhu.
Traktus spinotalamikus anterior membawa sensasi raba. Fungsi
otonom dibawa oleh traktus interomedial anterior. Trauma
traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya
paralisis ipsilateral atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi,
dan getar. Sedangkan trauma pada traktus spinotalamikus lateral
menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri kontralateral.
Trauma sumsum tulang belakang anterior menyebabkan
paralisis dan hilangnya sensasi raba inkomplit.
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior.
Saraf simpatis keluar dari sumsum tulang belakang di antara C7-
L1, sedangkan saraf parasimpatis keluar di antara S2 dan S4.
Oleh karena itu lesi atau trauma sumsum tulang belakang dapat
menyebabkan disfungsi otonom.
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom,
seperti hipotensi, bradikardi relative, vasodilatasi perifer, dan
hipotermi. Hal ini biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum
tulang belakang di bawah T6. Syok spinal didefinisikan sebagai
hilangnya seluruh fungsi neurologis komplit, termasuk refleks
dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok
neurogenik mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi
dan vasodilatasi perifer akibat disfungsi otonom dan gangguan
pada sistem kontrol saraf simpatis pada trauma sumsum tulang
belakang akut. Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas
1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis posterior. Arteri
spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior sumsum tulang
belakang. Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya
disfungsi traktus kortikospinal, spinotalamikus lateral, dan
interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis anterior meliputi
paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi
otonom. Arteri spinalis posterior mensuplai kolumna dorsalis.
Trauma vaskular dapat menyebabkan lesi sumsum tulang
belakang pada level segmen yang lebih tinggi daripada level
trauma tulang belakang. Trauma vaskular mengakibatkan
iskemik pada servikal yang tinggi. Trauma hiperekstensi
servikal dapat menyebabkan trauma iskemik sumsum tulang
belakang. Trauma sumsum tulang belakang bisa primer atau
sekunder. Trauma primer merupakan akibat dari gangguan
mekanis elemen neural. Trauma ini biasa terjadi pada fraktur
dan atau dislokasi tulang belakang. Akan tetapi, dapat juga
terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi tulang belakang.
Trauma penetrasi seperti trauma tembak juga dapat
menyebabkan trauma primer. Kelainan ekstradural juga dapat
menyebabkan trauma primer. Hematom epidural spinal atau
abses menyebabkan trauma dan kompresi sumsum tulang
belakang akut. Trauma vaskular sumsum tulang belakang yang
disebabkan gangguan arteri, trombosis arteri atau hipoperfusi
yang menyebabkan syok adalah penyebab utama trauma
sekunder.
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau
inkomplit. Sindrom sumsum tulang belakang komplit ditandai
hilangnya fungsi motorik dan sensorik di bawah level lesi.
Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi the
anterior cord syndrome, the Brown-Séquard syndrome, dan the
central cord syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus
medullaris syndrome, the cauda equina syndrome, dan spinal
cord concussion. Trauma inkomplit berarti seseorang memiliki
beberapa fungsi di bawah level trauma, meskipun fungsi
tersebut tidak normal. Sebagai contoh, seseorang dapat
mengalami kelemahan bahu tetapi masih dapat
menggerakkannya. Seseorang dapat kehilangan kemampuan
untuk menggerakkan otot di bawah kehilangan sensasi nyeri dan
suhu. The International and American Spinal Injury Association
(ASIA) mendefinisikan trauma sumsum tulang belakang
inkomplit sebagai suatu keadaan dimana seseorang masih
memiliki fungsi sumsum tulang belakang di bawah sakrum (di
bawah S5).
Trauma inkomplit meliputi : 1,3
Anterior cord syndrome, yang meliputi hilangnya fungsi
motorik dan sensasi nyeri dan/atau suhu, dengan
dipertahankannya propriosepsi.
Brown-Séquard syndrome meliputi hilangnya fungsi
propriosepsi dan motorik ipsilateral, dengan hilangnya sensasi
nyeri dan suhu kontralateral.
Central cord syndrome biasanya melibatkan lesi servikal,
dengan kelemahan otot pada ekstremitas atas yang dominant
daripada ekstremitas bawah. Hilangnya sensasi bervariasi, nyeri
dan/atau suhu lebih sering terganggu daripada propriosepsi
dan/atau vibrasi. Biasnya terjadi disestesia, khususnya pada
ekstremitas atas (misal sensasi panas di tangan atau lengan).
Conus medullaris syndrome adalah trauma vertebra sakral
dengan atau tanpa keterlibatan saraf lumbal. Sindrom ini
ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya
fungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi
Cauda equina syndrome melibatkan trauma saraf
lumbosakral dan ditandai arefleksia pada pencernaan dan /atau
kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik
ekstremitas bawah yang bervariasi. Trauma ini biasanya
disebabkan oleh herniasi diskus lumbal sentral.
Spinal cord concussion ditandai dengan defisit neurologik
sementara pada sumsum tulang belakang yang akan pulih
sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang nyata.
Trauma komplit berarti terjadi kehilangan komplit dari sensasi
dan kontrol otot di bawah level trauma. Hampir separuh dari
trauma sumsum tulang belakang adalah komplit. Sebagian besar
trauma sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit,
merupakan akibat luka dari sumsum tulang belakang atau
kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang belakang dan
bukan dari terpotongnya sumsum tulang belakang. Trauma
sumsum tulang belakang seperti stroke, merupakan proses yang
dinamis. Lesi sumsum tulang belakang inkomplit dapat menjadi
komplit. Kaskade kompleks dari patofisiologi yang terkait
dengan radikal bebas, edema vasogenik, dan penurunan aliran
darah mengakibatkan terjadinya manifestasi klinis. Oksigenasi
yang normal, perfusi dan keseimbangan asam basa dibutuhkan
untuk mencegah perburukan. 1
4. KLASIFIKASI
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut :
a. Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum
posterior, dan selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada
bagian anterior korpus vertebra dan mengakibatkan wedge
fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
b. Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada
ligamentum posterior dan kadang juga prosesus artikularis,
selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur
rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus
vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak
stabil.
c. Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis
anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi
pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi,
maka cedera ini masih tergolong stabil.
d. Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada
korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.
e. Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan
disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga
salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta
ruptur ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan
Whitesides mengkategorikan cedera spinal menjadi cedera stabil
dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup cedera kompresi
korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture
derajat ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil mencakup
cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi, dislokasi-fraktur (slice
injury), dan burst fracture hebat.
5. JENIS TRAUMA
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang
belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.
Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau
rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak banyak terjadi
karena terlindung oleh struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi,
kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada sumsum
tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan
melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah,
atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat
disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan
oleh hipotensi, udem atau kompresi
Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang
belakang merupakan kerusakan yang permanen, karena tidak
akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal
setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi
disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau
disebabkan oleh tekanan, memar atau udem.
6. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya
kerusakan yang terjadi. Kerusakan melintang memberikan
gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik
kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal
terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini
umumnya berlangsung selama satu hingga enam minggu,
kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flaksid,
anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi
rektum dan kandung kemih, priapismus, bradikardia dan
hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terjadi
hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom,
berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi
ortostatik, serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan
kelumpuhan otot lurik di bawah tempat kerusakan disertai
hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan
rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan
ini pada umumnya terjadi akibat cedera di daerah servikal dan
disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum
belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang
terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul
beban berat di atas kepala, kemudian terjadi gangguan
keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dan tulang
belakang hiperekstensi. Gambaran klinis berupa tetraparese
parsial. Ganguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada
ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh
lateral sumsum tulang belakang. Sindrom ini jarang ditemukan.
Gejala klinis berupa gangguan motorik dan hilangnya rasa
vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan
rasa nyeri dan suhu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2
mengakibatkan anestesia perianal, gangguan fungsi defekasi,
miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks
bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis.
5
Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks
lumbosakral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan
kelumpuhan dan anestesia di daerah lumbosakral yang mirip
dengan sindrom konus medularis.
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma
tulang belakang adalah: Nyeri mulai dari leher sampai bawah,
kehilangan fungsi (misal tidak dapat menggerakkan lengan),
kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh.
7. DIAGNOSIS
Trauma tulang belakang perlu dicurigai pada kondisi-kondisi
berikut : Pasien tidak sadar. Pasien dengan multipel trauma.
Trauma di atas klavikula
Jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki (atau dua kali tinggi
pasien). Kecelakaan dengan kecepatan tinggi.
Pada pemeriksaan jasmani dipentingkan pemeriksaan
neurologik dengan mengingat kemungkinan cedera sumsum
belakang. Pada pemeriksaan laboratorium, perlu diperiksa dan
dimonitor kadar hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi
atau memonitor kehilangan darah. Selain itu, urinalisis juga
perlu untuk mendeteksi trauma traktus genitourinarius.
Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-
posterior dan lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang
belakang dilakukan untuk melihat kerusakan vertebra (rontgen
bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak untuk jaringan
lunak seperti sumsum tulang belakang). Jika pasien memiliki
gejala atau terdapat trauma sumsum tulang belakang, dilakukan
CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail
dibanding rontgen. CT –scans lebih baik daripada MRI dalam
menunjukkan tulang, sedangkan MRI biasanya lebih baik dalam
menunjukkan jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang.
Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa
memindahkan atau mengubah posisi penderita. Mielografi
dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik, seperti
kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak
tampak fraktur.
8. PENATALAKSANAAN
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan
gejala adanya kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri
leher, nyeri punggung, kelemahan anggota gerak atau perubahan
sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien kerusakan
tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak
ada kerusakan tersebut.
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan
pemeriksaan cedera lain yang menyertai, misalnya trauma
kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan patah tulang
belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada
stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer,
dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah
tulang belakang dengan gangguan neurologik komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah
tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat
dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat
penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat
cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi
saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga
dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi
untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis,
dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis
yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling
baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk
mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak
boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena
akan menambah instabilitas tulang belakang.
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang
ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih
parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya
imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang
keras.
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa
menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Hal
ini dilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai
berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di
daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan
pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu
diperhatikan jalan napas dan sirkulasi. Bila dicurigai cedera di
daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk
dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau
gulungan kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan.
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah
dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat.
Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat dilakukan.
Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam
hari akibat hematom retroperitoneal sehingga memerlukan
pemasangan pipa lambung.
Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan mencegah
terjadi pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang
lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga
berguna untuk memantau produksi urin, serta mencegah
terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering.
Perhatian perlu diberikan untuk mencegah terjadinya pneumoni
dan memberikan nutrisi yang optimal.
Pada pasien yang tidak sadar mungkin terdapat tanda syok
spinal (nadi lambat dan tekanan darah rendah, kelemahan umum
pada seluruh anggota gerak, kehilangan kontrol buang air besar
atau buang air kecil. Penting untuk diingat bahwa trauma tulang
belakang tidak tersingkir jika pasien dapat menggerakkan dan
merasakan anggota geraknya. Jika mekanisme trauma
melibatkan kekuatan yang besar, pikirkan yang terburuk dan
dirawat seperti merawat korban trauma tulang belakang.
Pertolongan Pertama Pada Trauma Tulang Belakang meliputi
:
1) Perhatikan ABC nya (Airway, Breathing, Circulation)
2) Pertahankan posisi pasien. Jangan pindahkan atau
membiarkan korban bergerak kecuali korban dapat
meninggal atau terluka jika tetap pada posisinya (misal
menghindari batu yang jatuh). Posisi leher harus tetap
dipertahankan dengan menahan kepala pada kedua sisi.
Ketika petugas datang, korban dipasang kolar servikal
yang keras dengan sangat hati-hati, kemudian diimobilisasi
dengan sistem transportasi spinal yang bisa berupa matras,
papan keras.
B. Trauma Thorax
Definisi.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi
dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda
tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut (IKABI,
1997; Syamsu Hidayat, 1995).
Etiologi.
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding
thorax (IKABI, 1997).
Patofisiologi.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma
thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia
( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch
( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam
tekanan intrathorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax
terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya
ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari
jaringan ( syok ) (IKABI, 1997).
Pengelolaan.
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam
jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan
circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma
thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan
mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung
dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa
diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan
selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan
yang tinggi terhadap adanya trauma – trauma yang bersifat khusus
(IKABI, 1997; Syamsu Hidayat, 1995).
Kelainan akibat trauma thorax
1. Trauma dinding thorax dan paru.
a. Fraktur iga merupakan komponen dari dinding thorax yang
paling sering mngalami trauma, perlukaan pada iga sering
bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga
terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan
gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan
sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia
meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit
paru – paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum
disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung
harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum.
Bagian yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian
tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ) (IKABI, 1997).
b. Flail Chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi
mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada.
Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua
atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya
semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan
gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan
pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada
parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun
ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal
dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri
saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya
hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma
jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada
awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada.
Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan
yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan
membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas
karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi
terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan
analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan
pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi
awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat,
oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak
ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena
harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian
cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest,
maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun
kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik
harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan
berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan
analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia
merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta
ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis
dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan
secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan,
tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan
memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan
intubasi dan ventilasi (IKABI, 1997).
c. Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan
pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan
bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu,
tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana
penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan
waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan
evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan
hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara
ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan
bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi
medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit
paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk
melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa
penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif
tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring
dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah,
monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan
diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi
penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan
intubasi dan ventilasi terlebih dahulu (IKABI, 1997).
d. Pneumotoraks diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial
antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra
torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks.
Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks
akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks
dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding
dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua
permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan
menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-
perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak
mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika
pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang
terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat
ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada
pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela
iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila
pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja,
maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang
dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap,
dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan
kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan
tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan
pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai
resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga
sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks
sederhana dapat menjadi life thereatening tension
pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan
ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita
harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk
(IKABI, 1997; Syamsu Hidayat, 1995).
e. Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound ) Defek atau luka
yang besar plada dinding dada yang terbuka menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan
segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada
dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara
akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai
tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan
trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan
hipoksia dan hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka
dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja.
Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek
flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa pnutup akan
menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat
ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara
keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada
yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi
luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga
pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali
jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang
dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka (IKABI, 1997).
f. Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-
valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari
paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga
pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara
yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar
lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru
menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan
menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous
return), serta akan menekan paru kontralateral. Penyebab
tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi
tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura
viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi
dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau
tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau
setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea
jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding
dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah
cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut
(occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan
mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi
pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran
(displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension
pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi
tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi
radiologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri
dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi
trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena
leher. Sianosisi merupakan manifestasi lanjut. Karena ada
kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade
jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi
perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat
membedakan keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan
dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat
berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua
garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan.
Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi
plneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi
pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi
ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5
(garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris
(IKABI, 1997; Syamsu Hidayat, 1995).
g. Hemothorax. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi
paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri
mamaria interna yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma
tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat
menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan
berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto
toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar.
Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga
pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam
rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan
darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan
terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor
yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi
pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah
yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai
patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang
dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari
200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan
transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan (IKABI, 1997; Syamsu Hidayat, 1995).
h. Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih
dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan
oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau
pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan
trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena
leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi
kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension
pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari adarah yang
terkumpul di intratoraks lalu mendorong mesdiastinum sehingga
menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis
hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara
nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang
mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah
dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan
dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan
kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian
pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah
dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan
yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian
infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang
setinggi puting susu, anteriordari garis midaksilaris lalu
dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai
hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan
autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml,
kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi
segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang
keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap
berlangsung. Ini juga mamebutuhkan torakotomi. Keputusan
torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus
menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam,
tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi
darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi (Syamsu
Hidayat, 1995). Selama penderita dilakukan resusitasi, volume
darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube)
dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam
cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau
vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai
sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di
daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah
posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa
kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan
melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang
potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus
dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah
berpengalaman dan sudah mendapat latihan (IKABI, 1997).
i. Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi mungkin
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus, manifestasi
klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan
hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan
dan gawat nafas. Empisema mediastinal dan servical dalam atau
pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan
yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol
endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan
mencegah aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk
hemothorax atau pneumothorax (IKABI, 1997).
2. Trauma aorta dan jantung
a. Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus.
Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan
perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar
maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri
dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit
darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat
aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung.
Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml
sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera
memperbaiki hemodinamik. Diagnosis tamponade jantung tidak
mudah. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang
terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri
dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh
sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisi,
distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan penderita
hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia
(Syamsu Hidayat, 1995). Pulsus paradoxus adalah keadaan
fisiologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik
selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10
mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade
jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan,
lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat.
Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama
sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung.
Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi
biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang
sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung.
PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension
pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung.
Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan
yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain.
Pemerikksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non
invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi
banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang lebih
tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma tumpul dengan
hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung
perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi (lihat Bab
5, Trauma abdomen, V.F, Studi diagnostik spesifik pada trauma
tumpul). Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi
bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon
pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung.
Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat
untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan (Syamsu
Hidayat, 1995). Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan
dari perikard adaah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang
tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak
memberikan respon terhadap usaha rsusitasi, merupakan indiksi
untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode
subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi
jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh
seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di
ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun
kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung,
pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan
vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil
melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui
subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated
needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara
paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas
adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring
Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard
(peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum
perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya
disritmia (Syamsu Hidayat, 1995).
b. Kontusio Miocard . Terjadi karena ada pukulan langsung pada
sternum dengan diikuti memar jantung dikenal sebagai kontusio
miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi
dari ptekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural.
Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan
Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa
yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan perubahan
gelombang T – ST yang non spesifik atau disritmia. Adapun
penatalaksanaan berupa suportif (IKABI, 1997).
c. Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot
jantung, ruptur atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup.
Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang
harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala
dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium.
Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak
nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan
kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga
(Syamsu Hidayat, 1995). Diagnosis pasti hanya dapat
ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami
trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard adalah
hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan
dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan
ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi
dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas.
Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus takikardi
yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block
(biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan
segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari
tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan
petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio
jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya
sendiri mungkin dpat disebabkan adanya serangan infak
miokard akut. Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis
karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai resiko
terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama,
karena setelah interval tersebut resiko disritmia kaan menurun
secara bermakna (IKABI, 1997) .
BAB III
PEMBAHASAN
Bila menjumpai pasien yang sulit bernapas, kemungkinan ada
gangguan airway atau breathing. Pada pemeriksaan airway ternyata
jalan napas bebas sehingga kemungkinan masalahnya ada pada
breathing. Ventilasi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh depresi
system saraf pusat dan/atau gangguan pergerakan napas.Pada pasien
skenario ini penyebab ventilasi yang tidak adekuat lebih cenderung
karena gangguan pergerakan napas akibat tension pneumothorax.
Jejas di hemithorax kiri depan (dada) menandakan terjadinya
trauma thorax berupa trauma tumpul. Hal ini dapat mengakibatkan
simple pneumothorax atau bahkan tension penumothorax.
Pneumothorax adalah adanya udara di ruang potensial antara pleura
parietal dengan pleura viseral. Adanya udara tersebut ditandai oleh
hasil perkusi thorax yang hipersonor. Pada manusia normal tekanan
dalam rongga pleura adalah negatif. Tekanan negatif disebabkan
karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic recoil) dan dinding
dada yang cenderung mengembang. Bilamana terjadi hubungan antara
alveoli atau ruang udara intrapulmoner lainnya (kavitas, bulla) dengan
rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara akan mengalir dari
alveol ke rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau
hubungan tersebut tertutup. Pada pasien trauma tumpul pada dada
yang dialaminya dapat menyebabkan laserasi paru yang membuka
hubungan antara alveoli atau ruang udara intrapulmoner dengan
rongga pleura sehingga terjadilah pneumothorax. Paru dapat kolaps
sesuai dengan keseimbangan tekanan terjadi. Retraksi suprasternal
merupakan tanda bahwa pasien berusaha bernapas menggunakan otot-
otot pernapasan sekunder karena mengalami sesak napas dan RR yang
meningkat yaitu 40x/menit menandakan bahwa terjadi gangguan
ventilasi. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru
yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi.
Hal tersebut menyebabkan pasien tampak sianotik karena kurangnya
perfusi jaringan. Karena paru kiri kolaps maka terjadi restriksi
pengembangan paru kiri sehingga suara dasar ventrikel kiri
menghilang dan pengembangan dada kiri tertinggal.
Pneumothorax dapat berkembang menjadi tension
penumothorax apabila udara udara yang masuk ke dalam rongga
pleura yang tidak dapat keluar lagi sehingga tekanan di intrapleural
akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke
sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke
jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.
Mediastinum yang bergeser menyebabkan trachea dan jantung
bergeser ke kanan sehingga meskipun suara jantung normal tetapi
letaknya bergeser ke kanan. Terhambatnya pengembalian darah vena
cava ke jantung akan menyebabkan JVP meningkat. Selain itu karena
pengisian jantung berkurang maka jantung akan mengkompensasinya
dengan meningkatkan denyutnya (nadi 120x/menit).
Hasil pemeriksaan vital sign : nadi 120x.menit (takikardi),
reguler, lemah, tekanan darah 80/40 mmHg (hipotensi), RR 40x/menit
(takipnea), akral dingin menunjukkan bahwa pasien mengalami syok.
Syok adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Macam-macam syok secara singkat antara lain :
1. Syok hemoragik (syok hipovolemik) : disebabkan oleh
kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh.
2. Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung,
antara lain akibat
Kontusio miokard
Tamponade jantung
Tension peneumothorax
Luka tembus jantung
Infark miokard
3. Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis
akibat cedera sumsum tulang belakang (spinal cord). Gambaran
klasik adalah hipotensi tanpa disertai takikardi atau
vasokonstriksi.
4. Syok septik/vasogenik : jarang ditemukan pada fase awal
trauma, tetapi sering manjadi penyebab kematian beberapa
minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling
sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka
bakar.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa syok yang
dialami pasien dalam skenario adalah syok kardiogenik.
Pada pemeriksaan thorax dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi tanpa pemeriksaan fremitus. Pemeriksaan fremitus
tidak perlu dilakukan pada pasien dengan trauma spinal karena
ditakutkan akan memperparah kondisi pasien.
Trauma jatuh bergantung pada ketinggian, posisi jatuh dan alas
tempat jatuh. Pada kasus pasien dalam skenario yang jatuh dari
ketinggian 3 meter dari atap diduga jatuh dalam 2 posisi. Posisi
pertama adalah jatuh dengan kondisi bagian lateroposterior tubuh
terbentur sehingga terdapat trauma thorax, trauma vertebra dan
trauma spinalis. Pasien tidak mengalami trauma kepala berat, salah
satu hal yang menjadi petunjuk adalah pasien masih bisamengeluh.
Adanya cedera pada spinal cord (trauma spinal) dengan defisit
neurologis ditandai oleh kedua tungkai bawah yang sulit digerakkan,
terdapat nyeri tekan di sekitar vertebra lumbal 1 dan 2 dan kekuatan
motorik 3. Maksud kekuatan motorik 3 adalah bahwa pada muscle
test pasien memiliki ROM (Range of Motion) penuh melawan
gravitasi tetapi tidak dapat melawan tahanan yang diberikan
pemeriksa. Trauma spinal dibagi menjadi cedera servikal dan cedera
lumbal-sakral. Pada pasien ini dicurigai adanya cedera pada lumbal-
sakral, terutama medula spinal daerah vertebra lumbal 1-4.
Kecurigaan adanya trauma pada pelvis dapat dikesampingkan
sementara waktu karena menurut hasil observasi dan pemeriksaan
head to toe tidak diketemukan cedera. Namun, trauma pelvis belum
boleh dilepaskan karena harus menunggu hasil rontgen pelvis untuk
memastikan. Trauma spinal atau cedera pada medula spinal dapat
terjadi langsung karena robekan akibat pecahan tulang pada trauma
vertebra, dapat pula karena tarikan /tekanan ke sisi berlawanan atau
dari kedua sisi oleh karena perdarahan, akumulasi cairan maupun
pembengkakan. Adanya tarikan/tekanan ini dapat merusak medula
spinalis.
Dokter memasang collar brace pada pasien untuk
mengantisipasi adanya cervical injury yang dapat berakibat fatal jika
terjadi perubahan posisi pada leher. Oksigenasi juga diberikan untuk
membantu ventilasi pasien. Needle thoracocentesis dilakukan oleh
dokter pada pasien yang mengalami tension pneumothorax untuk
mengeluarkan udara dan tekanan berlebihan pada dinding dada
pasien. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengubah tension
pneumothorax menjadi simple pneumothorax. Dokter juga memasang
chest tube / water seal drainage yang berfungsi mengalirkan cairan
atau darah keluar dari cavum pleura untuk menghilangkan simple
pneumothorax..
Dokter memasang infus ringer laktat sebagai maintenance
keadaan pasien, dan agar pasien mendapatkan cukup cairan dan tidak
mengalami dehidrasi. Namun perlu diingat bahwa sebelum memasang
jarum infuse perlu diambil darah untuk crossmatch. Dokter
melakukan pemasangan kateter untuk memonitor produksi urin dan
warna urin. Warna urin diperiksa untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya perdarahan saluran genetalia yang merupakan salah satu
kontaindikasi pemasangan kateter. Selain itu, jumlah urin dimonitor
tiap jam untuk evaluasi sirkulasi pasien. Keberhasilan
penanganan/sirkulasi yang baik ditunjukkan dari jumlah urin yang
normal. Tindakan-tindakan penanganan oleh dokter tersebut harus
dilakukan tanpa menunggu pemeriksaan seluruh sistem, dan tidak
selalu menunggu pemeriksaan penunjang (radiologis rontgen) karena
dalam kasus ini terdapat dua problem, yaitu problem live saving
berupa tension pneumothorax dan problem trauma spinal disertai
defisit neurologis. Dasar penentuan tension pneumothorax di sini
hanya berdasar pemeriksaan klinis. Kalau menunggu pemeriksaan
penunjang bisa terlambat.
Pemeriksaan radiologi cervical lateral cross table dilakukan
untuk memastikan apakah pasien menderita cedera cervical atau tidak.
Pemeriksaan thorax photo AP dan pelvis dilakukan untuk melihat
apakah ada kelainan atau fraktur pada thorax dan pelvis. Dengan kata
lain,pemeriksaan radiologis ini dilakukan dengan tujuan untuk
melihat adanya cedera yang tersembunyi. Rontgen harus dilakukan di
tempat/ radiology portable. Pemeriksaan tulang belakang dilakukan
dengan cara log-roll yaitu memutar/membalikkan badan pasien
sebagai satu kesatuan seperti membalik batang kayu apabila dicurigai
terjadi trauma vertebra dan/trauma spinal untuk mencegah terjadinya
cedera yang lebih parah. Long spine digunakan untuk
mengimobilisasi pasien agar tidak terjadi pergerakan pada tulang
belakang pasien saat pasien dipindahkan.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Akibat dari trauma jatuh yang dialami pasien, akan
mengakibatkan beberapa macam trauma antara lain trauma
thorax dan trauma medula spinalis. Komplikasi dari trauma
thorax dalam skenario ini ialah terjadi pneumothorax dengan
kemungkinan adanya tension pneumotorax yang menyebabkan
adanya pergeseran jantung yang mengakibatkan terjadinya syok
kardiogenik. Sedangkan untuk trauma medula spinalis
mengakibatkan tungkai menjadi sulit digerakkan.
B. SARAN
Untuk mencegah adanya kelainan yang lebih lanjut, untuk
mengatasi trauma medula spinalis, dilakukan pemindahan
dengan cara log roll dan diimobilisasi di long spine board.
Tindakan Needle thoracocentesis digunakan sebagai
penanganan pneumothorax. Setelah tindakan awal penyelamatan
telah dilakukan, sebaiknya pasien segera dirujuk untuk
memperoleh perawatan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Spinal Cord Injury.
http://www.neurosurgerytoday.org/what/patient_e/spinal.asp
Anonim, 2006. Spinal Cord Injuries. http://www.sci-
recovery.org/sci.htm
Schreiber, Donald, 2004. Spinal Cord Injuries.
http://www.emedicine.com/emerg/byname/spinal-cord-
injuries.htm
IKABI. 2000. Advanced Trauma Life Support. Jakarta: IKABI
Jong, Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Langran, Mike, 2006. Spinal Injuries. http://www.ski-
injury.com/spinal1.htm
Saiful. 2006. Terapi Sel Stem Pada Cedera Medulla Spinalis.
CDK.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/153_10SELSTEMCMS_Mo
hSaifulIslam.pdf/153_10SELSTEMCMS_MohSaifulIslam.html
(28 April 2010)
top related