price setting implemented by traders in the …
Post on 27-Oct-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
73
PRICE SETTING IMPLEMENTED BY TRADERS IN THE
TRADITIONAL RETAIL STORE IN SARANGAN LAKE TOURIST AREA
By:
Darisnan Paramu Gading
Advisor Lecturer:
Dr Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.
Abstract
This study aims to determine the form of price setting applied by traders in
traditional retail stores, factors that affect the price setting, and implementation of Javanese culture that
embraced community Sarangan the price setting process. Studies using ethnometodology method for
analyzing indexicality and reflexivity in the process pricing of goods sold, mark-up decision-making, and
determining the selling price. The study found in the price-setting process, the traditional retail traders to
apply the principles of Javanese culture among tepa selira, rame ing gawe sepi ing pamrih, nerima ing
pandum, and lumintu. The selling price is formed by the merchants of the components of cost of goods
sold plus a mark-up or profit which is desired.
Keywords: qualitative, ethnometodology, cost of goods sold, mark up, the selling price
PENDAHULUAN
Membahas tentang pedagang, di
Indonesia masih dapat kita temukan
berbagai bentuk cara berdagang mulai dari
segmen tradisional seperti pasar tradisional,
toko-toko kelontong, pedagang dalam
bentuk grosiran, bahkan hingga pedagang
asongan. Dari aspek modern kita semua tahu
bahwa fenomena ini sedang terjadi di
tengah-tengah masyarakat kita yaitu
menjamurnya minimarket-minimarket
modern. Tidak dapat dipungkiri bahwa
keberadaan minimarket-minimarket modern
ini cukup membantu dinamika kehidupan
masyarakat kita yang semakin bergerak
maju dan kompleks.
Kini yang menjadi masalah dari
keberadaan minimarket-minimarket ini
adalah orientasi keuntungan yang semata-
mata menjadi prioritas pertama dan utama.
Hal ini tentu saja menyalahi aturan baik
secara materiil maupun moril. Dalam pasal 4
ayat 1 Perpres Nomor 112 tahun 2007
tentang “Penataan dan Pembinaan pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko
modern”, telah dijelaskan bahwa setiap
toko-toko modern wajib memperhitungkan
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar
serta lebih memperhatikan jarak antara toko
modern dengan pasar tradisional yang telah
ada.
Faktanya menjamurnya minimarket-
minimarket saat ini seperti tidak
mempedulikan pedagang-pedagang
tradisional disekitarnya. Akhirnya para
konsumen lebih banyak tertarik untuk
membeli dari minimarket-minimarket
dengan fasilitas yang modern dibandingkan
membeli di pasar tradisional maupun di
toko-toko ritel tradisional seperti toko
kelontong, sehingga hal ini telah banyak
membuat para pedagang tradisional akhirnya
gulung tikar karena tidak mampu bersaing
dengan kekuatan yang dimiliki oleh
minimarket-minimarket modern. Dilihat dari
sisi manapun, posisi pedagang tradisional
semakin terpojokkan bahkan tergilas dengan
persaingan bisnis yang tidak seimbang. Ironi
jika kita harus melihat posisi para pedagang
tradisional yang awalnya hanya memiliki
modal sedikit ditambah semangat
berwirausaha saja harus bersanding dengan
minimarket-minimarket modern dengan
modal yang besar, jaringan distribusi barang
yang terorganisir, juga didukung Sistem
Operasional Prosedur dan kecanggihan
teknologi yang maju.
Ternyata tidak semua pedagang
tradisional bisa tergerus oleh pembangunan
minimarket modern. Masih ada daerah-
daerah yang eksis dengan usaha-usaha
perdagangan ritelnya dan belum kalah
dengan minimarket modern salah satunya
yaitu di daerah Kecamatan Plaosan,
Kabupaten Magetan, Jawa Timur, dengan
alasan tersebut penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang membuat toko-
toko ritel atau kelontong di daerah tersebut
masih bisa bertahan di tengah gencarnya
pembangunan minimarket. Penelitian
penulis ini nantinya akan lebih berfokus
kepada strategi penentuan harga (price
setting) yang diterapkan pada toko-toko
kelontong yang ada di daerah tersebut agar
dapat bersaing dengan minimarket-
minimarket modern.
Penentuan harga (price setting)
memang menjadi salah satu persoalan
dimana setiap toko memiliki strateginya
tersendiri dalam penentuan harga, secara
otomatis hal ini juga membuat laba yang
diperoleh tiap toko akan berbeda pula.
Penentuan harga ini bertujuan untuk
menargetkan laba, menarik konsumen dan
juga untuk membandingkan dengan pesaing.
Penentuan harga juga bisa menjadi salah
cara yg efektif dalam menghitung
keuntungan dimana hal ini bisa digunakan
untuk mengetahui komponen HPP, target
laba, dan harga jual setiap barang yang
dijual di toko kelontong.
Di Kecamatan Plaosan Kabupaten
Magetan merupakan daerah kawasan wisata
yang cukup potensial, yaitu kawasan Wisata
Telaga Sarangan yang disokong dengan
keindahan alam dimana kawasan ini tidak
pernah sepi pengunjung. Selain wisata
berupa telaga masih banyak wisata-wisata
yang ditawarkan di Kawasan Wisata Telaga
Sarangan diantaranya kuliner sate kelinci,
kebun strawberry, wisata outbond, villa-villa
keluarga, dan masih banyak lagi, sehingga
kawasan ini hingga saat ini masih menjadi
andalan untuk keluarga menghabiskan
liburannya. Hal ini bisa dilihat dalam tabel 2
bahwa jumlah kunjungan wisata ke obyek
wisata di Kabupaten Magetan terus
meningkat sejak tahun 2008. Peningkatan
paling tinggi terjadi pada tahun 2009 yang
meningkat 42%. Demikian juga dengan
kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD
yang meningkat 82,35% tahun 2008 sebesar
Rp. 1.399.990.000 menjadi Rp.
2.552.850.000,- di tahun 2011. Hal ini lah
yang juga menyokong perekonomian para
penduduk sekitar yaitu dengan menyediakan
kebutuhan-kebutuhan pengunjung dengan
cara berdagang, salah satunya adalah toko
retail tradisional itu sendiri.
BUDAYA BISNIS PENGUSAHA TOKO
KELONTONG TRADISIONAL
DI KAWASAN WISATA TELAGA
SARANGAN
Kawasan Wisata Sarangan Sebagai
Penunjang Ekonomi Masyarakat
Kabupaten Magetan terkenal dengan
lokasi wisatanya yaitu Telaga Sarangan dan
beberapa spot wisata lainnya. Lokasi wisata
tersebut merupakan salah satu pusat
pergerakan perekonomian di Kabupaten
Magetan. Banyaknya wisatawan yang
datang mendorong masyarakat sekitar
menjajakan barang dagangan mulai dari
kebutuhan-kebutuhan pokok selama wisata,
cinderamata, makanan, persewaan hotel atau
villa, dan juga makanan khasnya. Tidak
dapat di pungkiri bahwa dengan adanya
kawasan wisata mampu meningkatkan
perekonomian warga sekitar obyek wisata
tersebut.
Menurut Bappeda Kabupaten Magetan
(2012) pariwisata di Kabupaten Magetan
khususnya Sarangan telah memberikan
lapangan kerja jasa wisata seperti pemandu
wisata, pedagang, tukang kuda atau perahu,
dan pengusaha hotel dan restoran. Sektor
perdagangan bersama dengan hotel dan
restoran menjadi sumber terbesar
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten
magetan. Sektor ini menyumbang 27,15%
terhadap total PDRB Kabupaten Magetan.
Tidak dapat dipungkiri keberadaan
Wisata Telaga Sarangan yang telah
melegenda ini telah banyak menarik minat
para wisatawan baik wisatawan domestik
maupun mancanegara. Menurut Bappeda
Kabupaten Magetan (2012) obyek wisata
andalan Kabupaten Magetan adalah telaga
Sarangan. Namun pemerintah kabupaten
Magetan juga terus mengembangkan obyek
wisata lainnya yang juga masih berada di
sekitar Sarangan antara lain pengembangan
agrowisata perkebunan stroberi dan jeruk
pamelo, selain itu juga wisata budaya yang
mencerminkan rasa syukur terhadap Yang
Maha Kuasa atas kelimpahan rejeki yaitu
Labuh Sesaji di Telaga Sarangan dan Ledug
Suro di alun-alun Kabupaten Magetan.
Jumlah kunjungan wisata ke obyek wisata di
Kabupaten Magetan juga terus menigkat
sejak tahun 2008. Peningkatan yang paling
tinggi terjadi yaitu pada tahun 2009 yang
meningkat 42% yang turut diikuti kontribusi
sektor pariwisata terhadap PAD yang
meningkat 82,35% tahun 2008 sebesar
Rp.1.399.990.000,- menjadi
Rp.2.552.850.000,- di tahun 2011. Obyek
wisata tersebut adalah sumber dari
masyarakat sekitar untuk mendirikan
berbagai usaha termasuk usaha di sektor
perdagangan yang telah menyumbang
27,15% terhadap total PDRB Kabupaten
Magetan termasuk di dalamnya adalah usaha
Toko retail tradisional.
Budaya Bisnis Jawa Sebagai Bagian dari
Masyarakat dalam Berdagang
. Gotong-Royong merupakan ciri khas
kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat
Jawa. Budaya saling menghormati, tepa
seliro dan keramahan merupakan ciri khas
masyarakat jawa yang sudah ada dan di
turunkan dari generasi ke generasi.
Orang Jawa adalah orang yang hidup dan
berakar dalam kebudayaan Jawa yang
bersifat feodal. Masyarakat Jawa
mempunyai struktur sosial dalam hidup
bersosial, dalam berbahasa dan dalam
bertingkah laku. Hal tersebut berpengaruh
juga dalam memandang dunia bisnis. Dunia
bisnis dianggap pekerjaan yang kurang baik
menurut masyarakat Jawa kuno karena yang
dikejar adalah profit. Masyarakat Jawa lebih
cenderung mengejar pangkat yang tinggi
sehingga status mereka bisa semakin
disegani dan diakui di lingkungan
masyarakat. Dikarenakan pemahaman
tersebut bahwa berbisnis adalah pekerjaan
yang harus dihindari mengakibatkan banyak
orang Jawa yang kurang mempunyai jiwa
bisnis, karena menurut mereka akan lebih
terhormat jika mempunyai pangkat
(kedudukan) dalam birokrasi pemerintahan.
Sehingga status yang mereka kejar adalah
sebagai priyayi.
Dunia bisnis yang yang mempunyai
nilai profit oriented dianggap tidak cocok
dengan budaya Jawa yang tidak
mengharapkan pamrih (rame ing gawe sepi
ing pamrih). Bahkan banyak pedagang yang
tidak terlalu memperdulikan jumlah
keuntungan mereka, yang penting ada
lebihnya walaupun sedikit. Jadi dari latar
belakang tersebut bisa disimpulkan orang
Jawa kurang mempunyai pengalaman dalam
dunia bisnis dan hal ini membuat
masyarakat Jawa mempunyai pandangan
yang kurang baik terhadap bisnis. Bisnis
dianggap berhubungan dengan motif
mencari untung, bisnis dipenuhi oleh
perilaku kompetitif, manipulatif, dan
antisosial. Hal-hal tersebut yang membuat
masyarakat Jawa menjadi enggan untuk
masuk dalam dunia bisnis.
Melihat fenomena saat ini yang ada
pada para pedagang khususnya di Kawasan
Wisata Sarangan Kabupaten Magetan,
pandangan orang Jawa tentang berbisnis saat
ini mulai bergeser. Hal ini dapat dilihat dari
maraknya toko, warung, pedagang di pasar
sudah mulai dipandang oleh masyarakat
Jawa sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa
perkembangan yang terjadi saat ini banyak
masyarakat Jawa yang mulai berbisnis.
Banyak orang-orang Jawa melihat bahwa
pekerjaan sebagai pebisnis adalah pekerjaan
yang sangat menjanjikan untuk mencapai
kesuksesan hidup dan ketika bisnis mereka
berhasil secara otomatis tingkat status sosial
mereka juga bisa terdongkrak naik. Dapat
dilihat sekarang maraknya orang Jawa yang
berlomba-lomba mengembangkan jiwa
bisnis mereka untuk mencapai keberhasilan
dalam berbisnis dan juga profesional dalam
menjalankan bisnis termasuk para pedagang
di Kawasan Wisata Telaga Sarangan
Kabupaten Magetan yang mayoritas besar
adalah keturunan Jawa. Berbisnis dengan
profesional tentunya membutuhkan suatu
etika yang dijalankan dalam dunia bisnis
sedangkan masyarakat Jawa sendiri
merupakan masyarakat yang kaya akan nilai
etika yang berkembang dalam komunitas
masyarakatnya.
Konsep perdagangan sebenarnya
sudah ada akan tetapi masyarakat Jawa
menganggap sebagai kebutuhan yang
sekunder. Kebutuhan hidup pokok dapat
mereka penuhi dari sektor pertanian dan
peternakan, sedangkan untuk kebutuhan
lainnya atau sekunder barulah di dapatkan di
pasar tradisional. Sistem seperti ini dapat
dilihat melaui pola pasar tradisional yang
hanya buka pada hari-hari tertentu atau hari
pasaran, seperti hari pasar Legi, pasar
Wage, pasar Paing dan lain sebagainya.
Walaupun memang secara umum bisa
disimpulkan bahwa perilaku masyarakat
Jawa memang cenderung menghindari
profesi sebagai pebisnis, akan tetapi posisi
pedagang atau pebisnis sebenarnya cukup
mendapat tempat di masyarakat Jawa. Orang
jawa sudah mengenal pasar walau bersifat
tradisional.
Secara sederhana etika Jawa
mengacu kepada dua prinsip pokok atau dua
kaidah pokok bagi orang-orang Jawa yaitu,
prinsip yang pertama adalah prinsip
kerukunan dan prinsip kedua adalah hormat.
Dimana setiap orang Jawa dituntut untuk
bisa hidup dalam kerukunan dan menjaga
kerukunan dengan sesamanya. Begitu pula
juga harus bisa saling menghormati sesuai
dengan kedudukan dalam masyarakat
ataupun dalam keluarga dalam menjalankan
pekerjaan sehari-hari.
Prinsip pertama adalah tentang
kerukunan dimana hal ini bertitik tolak
bahwa masyarakat Jawa tersusun secara
hirarkis, dimana setiap orang mempunyai
kedudukan sesuai dengan derajatnya. Jadi
tiap orang mempunyai tanggung jawab
untuk duduk dengan tepat pada
kedudukannya. Oleh karena dalam berbicara
dan bertingkah laku orang Jawa harus
menyesuaikan dengan derajat dan
kedudukannya agar tercipta kerukunan.
Prinsip kedua adalah hormat
berdasarkan pendapat, bahwa semua
hubungan dalam masyarakat teratur secara
hirarkis. Dimana setiap orang mengenal
tempat dan tugasnya. Mereka yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi harus
dihormati, sedangkan yang kedudukan lebih
tinggi harus mempunyai sifat yang
membimbing yang lebih rendah derajatnya.
Maka dengan melakukan prinsip kerukunan
dan prinsip hormat, akan terjadi keselarasan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Masih melekatnya adat dan budaya
leluhur yakni budaya Jawa tentang rasa
kebersamaan, tepa seliro, dan gotong
royong mampu meredam rasa persaingan
bisnis antar pedagang di Kawasan Wisata
Telaga Sarangan. Sebenarnya apakah yang
membedakan cara bisnis masyarakat para
pedagang di Sarangan yang notabene adalah
para masyarakat yang berbudaya Jawa
dibandingkan dengan para pebisnis non-
Jawa? Penulis mengambil contoh para
pebisnis Tionghoa untuk membandingkan
dengan etnis Jawa. Setiawan (2001: 32)
mengatakan bahwa terdapat perbedaan
anggapan mengenai etos kerja diantara
kedua sistem budaya Jawa dan budaya
Tionghoa. Umumnya orang Jawa kurang
mempunyai motivasi yang kuat dalam
bekerja. Mereka sekedar untuk hidup dan
lebih suka mengosongkan hidup untuk
menanti kehidupan di akhirat. Pada orang
Tionghoa, meskipun kehidupan akhirat
pada akhirnya dikejar, mereka mempunyai
orientasi bahwa menimbun keuntungan
materi adalah demi status sosial. Hal yang
sama juga dilontarkan Alam (1998: 9)
apabila dibandingkan etnis Jawa, maka etnis
Tionghoa lebih kompetitif dalam bekerja.
Hal ini tidak lepas dari perbedaan dalam
pola mengasuh anak diantara kedua
kelompok etnis tersebut.
Sebenarnya selain pola asuh anak, hal
yang dikejar demi mendapatkan status sosial
juga berbeda. Etnis Tionghoa mengejar
materi demi mendapatkan status sosial,
sedangkan masyarakat Jawa lebih mengejar
kedudukan atau pangkat demi mendapatkan
status sosial. Hal ini sesuai dengan Seperti
yang terlihat pada praktik bisnis yang
dilakukan oleh masyarakat di Sarangan yang
notabene merupakan orang-orang Jawa,
mereka lebih mengedepankan menjaga
hubungan tetap harmonis diantara para
pedagang dengan menerapkan prinsip-
prinsip luhur Jawa yaitu tepa slira diantara
para pedagang, nerima ing pandum dalam
menjalankan bisnis, rame ing gawe sepi
pamrih dalam mengambil laba yang wajar,
dan lumintu untuk menjaga loyalitas antar
pedagang maupun dengan konsumen
Jadi kebudayaan berdagang yang ada
pada Kawasan Wisata Telaga Sarangan ini
sangat kental sekali dengan nuansa
persaudaraan bahkan kekeluargaan yang
erat. Antara satu pedagang dengan pedagang
lainnya tidak saling berkompetisi tetapi
mencoba berbagi rezeki. Hal itulah yang
menjadi prinsip orang Jawa bahwa
keharmonisan harus tetap dijaga dalam
aktivitas apapun dan tidak saling
menjatuhkan satu dengan yang lainnya
Keberadaan Usaha Minimarket
Modern bagi Pedagang Tradisional
Pasar modern atau yang lebih dikenal
dengan nama minimarket kian hari
jumlahnya semakin bertambah. Bisnis
dengan sistem melayani kini menjadi
primadona di hati masyarakat. Selain
tempatnya yang bagus dan bersih, pembeli
dapat memilih barang yang berjajar rapi dan
urut. Kemudahan-kemudahan seperti inilah
yang menarik minat pembeli untuk akhirnya
memilih pasar modern sebagai tempat
belanja. Ruangan yang tertutup menjadikan
pasar modern tidak memiliki kendala yang
berarti dalam soal cuaca. Walaupun harga
yang ditawarkan relatif lebih mahal, namun
bisa dikatakan sepadan dengan fasilitas yang
didapatkan.
Beberapa pedagang kecil tentu akan
mengeluhkan adanya minimarket modern
apabila dibangun di dekat lokasi wisata
Telaga Sarangan, namun mereka berharap
hal tersebut tidak terjadi karena pola bisnis
yang mereka jalankan memang masih
tradisional dan dilihat dari segi apapun
mereka kalah saing dengan minimarket
modern. Para pedagang tradisional berharap
ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk
tidak memberikan ijin usaha di lokasi
Wisata Sarangan agar tidak merusak tatanan
aktivitas ekonomi yang telah lama
berlangsung di kawasan tersebut dan para
pedagang tradisional masih dapat hidup dari
aktivitas berdagang salah satunya toko
kelontong tradisional yang menjadi salah
satu bisnis yang sentral bagi penduduk di
Kawasan Wisata Telaga Sarangan. Alasan
para pedagang yang berada di kawasan
Wisata Telaga Sarangan menolak
keberadaan minimarket modern di kawasan
mereka adalah lebih kepada harga yang
tidak akan mungkin menyesuaikan dengan
harga yang dibentuk oleh para pedagang
tradisional yang berada di Sarangan.
Banyaknya pedagang musiman dirasa
sebagai alasan yang kuat untuk tidak
didirikannya minimarket modern di
Sarangan karena tentu hal ini akan
mematikan perekonomian mereka. Para
pedagang kecil atau musiman tentu
memanfaatkan peluan dengan ramainya
wisatawan yang berkunjung untuk meraup
untung semaksimal mungkin, apabila
minimarket didirikan di Kawasan Telaga
Sarangan tentu hal ini membuat wisatawan
lebih tertarik untuk membeli di minimarket
modern dengan alasan kenyamanan dan
harga yang lebih murah daripada yang dijual
oleh pedagang-pedagang kecil yang
mencoba meraup keuntungan.
KONSEP HARGA POKOK
PENJUALAN DAN MARK UP
PADA USAHA TOKO RETAIL
TRADISIONAL
Konsep Harga Pokok Penjualan pada
Toko Retail Tradisional
Harga pokok penjualan adalah harga
perolehan dari barang yang dijual atau
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh barang yang dijual. Ada dua
manfaat dalam harga pokok penjualan ini,
1. Sebagai patokan untuk
menentukan harga jual.
2. Mengetahui laba yang ingin
dicapai oleh pemilik usaha.
Apabila harga jual lebih tinggi
dari harga pokok penjualan maka
akan diperoleh laba, sebaliknya
apabila harga jual lebih rendah
dari harga pokok penjualan maka
akan menyebabkan rugi.
Harga pokok penjualan dalam
kaitannya dengan usaha pertokoan retail
atau toko kelontong yang bersifat tradisional
adalah cara masing-masing toko tersebut
untuk memperoleh persediaan barangnya
untuk siap dijual. Masing-masing toko
memiliki cara masing-masing untuk
mendapatkan barang-barang yang
dibutuhkan konsumen agar persediaan di
tokonya selalu ada dan tidak kehabisan saat
konsumen membutuhkannya. Masing-
masing pengusaha toko retail tersebut juga
mempertimbangkan bagaimana agar
mendapatkan barang-barang untuk
persediaan di tokonya dengan biaya
serendah mungkin agar mendapatkan laba
yang maksimal. Berkaitan dengan harga
pokok penjualan yaitu pengadaan barang
persediaan, toko-toko tersebut melakukan
pengadaan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Melalui salesman dari distributor
dan supplier resmi
2. Belanja/kulakan
3. Barang Konsinyasi/titipan.
1. Salesman dari distributor dan
supplier resmi
Pengadaan barang melalui Salesman
dari distributor merupakan cara pemenuhan
kebutuhan pengadaan persediaan barang-
barang di toko dengan cara lebih terorganisir
dengan membayar sejumlah uang kepada
salesman dari distributor atau supplier untuk
mendapatkan barang sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak. Setelah
transaksi pembelian untuk pengadaan ini
selesai maka hak milik barang tersebut
pindah dari distributor atau supplier ke
pengusaha toko retail. Meskipun pengadaan
barang melalui salesman adalah cara yang
paling umum dan paling mudah
dilaksanakan, namun tetap harus
memperhatikan prinsip-prinsip pembelian
yang baik. Hal ini bertujuan agar pengusaha
toko tidak salah membeli, barang yang
dibeli sesuai dengan apa yang dibutuhkan
dan tidak kemahalan. Prinsip-prinsip
pembelian melalui melalui salesman
mencakup harga, kuantitas, waktu, kualitas,
dan sumber yang tepat.
a. Harga
Harga merupakan nilai suatu barang
yang dinyatakan dalam mata uang yang
berlaku pada saat dalam kondisi pembelian
dilakukan. Pengusaha toko retail
melakukan studi banding atau perbandingan
terhadap harga-harga yang ditawarkan oleh
beberapa salesman dari distributor atau
supplier untuk mendapatkan harga yang
tepat.
b. Kuantitas
Kuantitas yang tepat dapat dikatakan
sebagai suatu jumlah yang benar-benar
diperlukan oleh toko pada saat tertentu.
Pengusaha tahu berapa kebutuhan barang
yang akan dibeli. Kebutuhan barang
tergantung dengan jumlah yang dibutuhkan
dan sudah diperhitungkan oleh masing-
masing pengusaha toko. Kuantitas untuk
pengadaan barang juga tergantung kas yang
ada dan barang mana yang menurut
pengusaha toko memiliki perputaran cepat.
Biasanya pengusaha akan
mempertimbangkan mengadakan barang-
barang lebih banyak jumlahnya apabila
memiliki tingkat perputaran cepat.
c. Waktu
Waktu merupakan salah satu hal yang
penting dalam proses pengadaan. Pengusaha
tahu kapan waktu yang tepat untuk membeli
barang. Pengusaha tidak ingin saat ada
konsumen yang membutuhkan suatu barang
tetapi barang yang dibutuhkan konsumen
tersebut ternyata sudah habis di tokonya.
Karena itu pengusaha juga
memperhitungkan agar tidak terjadi
keterlambatan pembelian barang yang dapat
mengganggu operasional tokonya. Dalam
memperhitungkan waktu ini, pengusaha juga
menyesuaikan kapan salesman akan datang
ke tokonya. Ada salesman yang datang
setiap beberapa hari sekali, ada yang datang
satu minggu sekali, bahkan yang menarik
ada yang datang pada hari tertentu dalam
penanggalan Jawa misalnya “dina pahing”
(salah satu hari dalam penanggalan Jawa).
d. Kualitas
Mutu barang harus menjadi perhatian
khusus bagi pengusaha retail atau toko
kelontong. Barang-barang yang dibeli dari
salesman harus barang-barang yang
berkualitas, tidak cacat, dan tidak
kadaluarsa. Pengusaha biasanya memilah-
milah mana supplier atau distributor yang
menerima barang yang cacat bahkan yang
kadaluarsa itu bisa di retur ke mereka.
Pengusaha-pengusaha retail jarang
mendapatkan barang yang kadaluarsa dari
supplier resmi atau distributor, tetapi apabila
barang cacat lebih sering.
e. Sumber yang tepat
Barang berasal dari sumber yang tepat.
Masing-masing pengusaha memiliki
langganan distributor atau supplier masing-
masing. Pengusaha telah melakukan proses
yang selektif selama bertahun-tahun mereka
melakukan perdagangan ini sehingga
mereka telah membandingkan dan memilih
mana distributor ata supplier yang layak
untuk mereka jadikan langganan tetap untuk
mengadakan barang-barang di toko mereka
berdasarkan harga, kuantitas, waktu, dan
kualitas yang tepat.
2. Belanja (Kulakan)
Belanja atau dalam istilah Jawa disebut
kulakan adalah cara pengusaha toko
kelontong ini untuk membeli persediaan
barangnya dari pedagang grosir lain untuk
dijual lagi baik secara grosir maupun eceran.
Belanja atau kulakan ini menjadi pilihan
bagi para pengusaha toko retail tradisional
untuk pengadaan persediaannya apabila
membeli barang dari salesman dirasa para
pengusaha tidak mencukupi karena
banyaknya konsumen yang membutuhkan
untuk membeli suatu barang
3. Konsinyasi (titipan)
Konsinyasi atau titipan adalah cara
penjualan dengan cara pemilik barang
menitipkan barangnya kepada pihak lain
dalam hal ini pengusaha toko retail
tradisional untuk dijualkan dengan harga
dan syarat yang telah diatur dalam perjanjian
baik lisan maupun tertulis. Pengadaan
barang dengan cara konsinyasi sebenarnya
bukanlah prioritas para pengusaha toko
retail tradisional untuk mengadakan
persediaan di tempat usahanya. Berdagang
barang konsinyasi bagi para pengusaha
sebenarnya hanyalah untuk membantu
sesama pengusaha lain dari pengusaha besar
hingga pengusaha kecil seperti pengusaha-
pengusaha kue basah, kue kering, makanan
ringan khas daerah, dan lain-lain yang ingin
memasarkan produknya tapi terkendala
keterbatasan modal maupun tempat usaha.
Dalam konsep harga pokok penjualan
pada toko retail tradisional ini, diketahui
tentang bagaimana para pengusaha tersebut
memperoleh persediaan barang yang
nantinya berpengaruh dalam keputusan para
pedagang untuk membentuk sebuah harga
(price setting) pada masing-masing barang
yang mereka jual.
Konsep Keputusan Pengambilan Mark
Up
1. Harga Maksimum
Kebijakan penetapan harga maksimum
ini bertujuan untuk melindungi konsumen
agar konsumen tidak membeli barang
dengan harga terlalu tinggi. Namun
kebijakan tentang HET ini tidak dapat
diterapkan sepenuhnya oleh para pengusaha
toko retail di Kawasan Wisata Telaga
Sarangan. Para pedagang di sini dapat
menentukan berapa besaran laba yang ingin
mereka dapatkan dari masing-masing
konsumen. Untuk wisatawan yang
berkunjung mereka akan mengambil laba
yang lebih tinggi dibanding dengan
pedagang kecil atau warga sekitar.
2. Demi Kelangsungan Usaha
a. Beban Transportasi
Para pengusaha tersebut menutup
biaya transportasi saat melakukan
pembelian persediaan saat mereka
melakukan belanja atau kulakan
melalui keuntungan yang mereka
ambil. Kulakan ini adalah langkah
yang diambil oleh para pedagang
apabila barang yang ada di toko
mereka akan habis karena persediaan
yang mereka beli dari salesman tidak
mencukupi.
b. Gaji Karyawan dan Menambah
Barang Persediaan
Masing-masing toko memiliki paling
tidak satu karyawan, akan tetapi
karyawan bisa saja bertambah saat-
saat ramai. Saat toko ramai adalah
ketika hari libur dimana banyak
wisatawan berkunjung sehingga
pembeli baik dari wisatawan maupun
dari pedagang-pedagang kecil lain di
sekitar akan bertambah. Selain gaji,
tujuan para pengusaha toko retail
untuk mengambil laba adalah untuk
menambah jumlah barang persediaan
mereka
3. Harga Minimum
Harga minimum ini dibentuk oleh para
pedagang sendiri agar para pedagang
memiliki kesepakatan harga untuk dijual ke
konsumen khususnya pelangan-pelanggan
yaitu para pedagang-pedagang kecil atau
musiman, sehingga tidak akan ada pedagang
yang akan dapat menjual barang-barangnya
dengan lebih murah yang dapat membuat
pedagang lain kehilangan pelanggan. Cara
para pedagang membentuk harga minimum
yaitu dengan saling mengkomunikasikan
dengan para pedagang. Para pedagang di
Kawasan Wisata Telaga Sarangan sangat
menjaga kerukunan antara satu dengan yang
lainnya. Cara para pedagang membentuk
harga minimum ini diharapkan dapat
membuat pemerataan diantara para
pedagang dan tidak saling bersaing dengan
tidak sehat agar keharmonisan tercipta
diantara pedagang. Para pedagang
sebenarnya juga memiliki perkumpulan
dahulu, tetapi perkumpulan antar pedagang
tersebut sudah lama tidak aktif. Walaupun
perkumpulan antar pedagang tersebut sudah
tidak aktif, mereka tetap mengusahakan
bagaimana agar kerukunan tetap terjaga
dengan salah satunya menerapkan
persaingan yang sehat yaitu membentuk
harga minimum.
PRICE SETTING TOKO RETAIL
TRADISIONAL DI KAWASAN
WISATA TELAGA SARANGAN
1. Strategi Price setting
Para pedagang retail tradisional di
Kawasan Telaga Sarangan menerapkan
harga yang rendah untuk pembeli-
pembeli utama mereka yaitu para
pedagang-pedagang kecil maupun
pedagang musiman dan juga menetapkan
harga tinggi untuk pembeli-pembeli
yang berkunjung untuk berwisata di
Telaga Sarangan. Para pedagang
menerapkan harga rendah di bawah
harga normal kepada para pedagang
kecil atau musiman dengan mengambil
keuntungan yang sedikit dan lebih
mengutamakan volume penjualan secara
kontinuitas. Para pedagang pun
menerapkan harga tinggi yaitu diatas
harga normal untuk pembeli wisatawan
dengan harapan dapat memaksimalkan
keuntungan dari pembeli-pembeli yang
hanya berkunjung secara tidak terus
menerus di Telaga Sarangan.
Metode penetapan harga yang
diterapkan oleh para pedagang ini lebih
berorientasi pada persaingan. Metode
yang mereka terapkan ini didasarkan
pada harga pesaing dimana harga yang
mereka tetapkan sama dengan pesaing
guna membangun perekonomian secara
merata, harmonis dan meminimalisir
persaingan yang dapat menimbulkan
konflik.
2. Harga Jual
a. Harga Pembelian atau Harga Pokok
Penjualan
Harga pembelian merupakan harga
saat para pedagang melakukan
persediaan dengan membeli barang
melalui salesmanship, kulakan,
maupun konsinyasi. Harga
pembelian dari salesmanship tentu
lebih murah dari kulakan karena
harga tersebut merupakan harga dari
supplier dan distributor resmi. Harga
dari kulakan lebih tinggi karena
harga barang dari kulakan
merupakan harga yang sudah
ditambah mark up dari toko dimana
para informan melakukan belanja.
Berbeda dengan salesmanship dan
kulakan, konsinyasi atau titipan tidak
membutuhkan biaya untuk
memperolehnya karena barang
diantar sendiri oleh consignor dan
para pedagang atau consigne hanya
membantu menjualkan saja.
b. Overhead
Biaya overhead pada toko retail
tradisional ini merupakan biaya yang
secara tidak langsung juga
merupakan komponen untuk
menentukan harga jual. Biaya
overhead pada toko retail tradisional
ini hanya untuk biaya beban listrik,
air, telepon, dan bensin. Toko-toko
para informan letaknya menjadi satu
dengan rumah pribadi masing-
masing sehingga tidak membutuhkan
biaya sewa. begitupun dengan biaya
listrik, air, dan telepon juga tidak
untuk hanya usaha mereka tetapi
juga untuk kehidupan sehari-hari
para informan beserta keluarganya.
Selain itu biaya bensin juga dapat
menjadi biaya overhead untuk
menentukan harga jual. Namun pada
penelitian kali ini penulis
menemukan fenomena bahwa biaya-
biaya overhead tersebut tidak
dimasukan oleh para pedagang
sebagai komponen untuk
menambahkan harga pokok
penjualan. Para pedagang menutupi
biaya-biaya tersebut dari laba yang
mereka dapatkan.
c. Tenaga Kerja
Biaya untuk tenaga kerja merupakan
biaya yang dikeluarkan untuk
memberikan gaji kepada karyawan.
Sistem yang digunakan oleh para
informan untuk menggaji para
karyawan menggunakan sistem flate
rate yaitu sistem penggajian dimana
gaji yang diberikan tetap setiap
periodenya berapapun hasil
pendapatan toko pada periode itu.
Periode gaji yang diberikan oleh para
informan kepada karyawannya
adalah harian. Kecuali saat toko
sedang ramai saat hari raya,
karyawan akan diberikan bonus.
Sama seperti biaya overhead, gaji
karyawan tersebut ternyata tidak
menjadi komponen untuk
memperoleh harga pokok penjualan,
karena gaji dibayarkan oleh para
pedagang kepada karyawannya
diambil dari laba yang didapat oleh
para pedagang sendiri.
d. Mark Up
keunikan dari mark up yang
diterapkan oleh pengusaha toko
retail tradisional ini adalah mark up
tidak dapat dilakukan sendiri sesuai
keinginan individu dari masing-
masing pengusaha. Mereka juga
mempertimbangkan kondisi pasar
yang ada di sekitar kawasan dimana
mereka melakukan usaha. Para
pedagang di kawasan tersebut sudah
menetapkan harga maksimum
maupun harga minimum. Para
pedagang sepakat menentukan harga
yang sama untuk para wisatawan
yaitu melebihi harga eceran tertinggi
tiap produk yang ditetapkan oleh
produsen produk itu sendiri.
Sedangkan harga minimum
diterapkan oleh para pedagang ini
untuk para pedagang-pedagang kecil
dan musiman dimana harga tersebut
boleh diberikan oleh para pedagang
kepada pelanggannya di bawah harga
normal tetapi masih dalam batas
wajar. Hal ini bertujuan agar
menghindari konflik antar pelanggan
karena perang harga yang membuat
para pedagang tidak akan memiliki
pelanggan tetap dan pendapatan yang
merata.
REFLEKSI KEBUDAYAAN JAWA
PADA MASYARAKAT DALAM PRICE
SETTING
1. Budaya Jawa Sebagai Acuan
Tatanan Kegiatan Ekonomi
Masyarakat
Sepi ing pamrih rame ing gawe
merupakan salah satu prinsip luhur Jawa
yang berarti tidak mementingkan diri
sendiri. Prinsip luhur ini telah tergambar
dengan jelas diantara pa pedagang di
Sarangan. Mulder (2001) mengungkapkan
bahwa sepi ing pamrih tidak dikendalikan
oleh hasrat atau ego demi keuntungan
pribadi. Prinsip tidak mementingkan diri
sendiri ini telah diterapkan antar pedagang
saat membentuk harga. Para pedagang
bersama-sama membentuk harga agar tidak
ada yang menjual barang-barangnya terlalu
mahal atau terlalu murah. Apabila pedagang
ada yang menjual dibawah harga minimum
yang disepakati bersama, tentu sanksi sosial
menjadi hal yang lumrah diberikan kepada
pedagang tersebut. Apabila ada yang
menjual harga terlalu mahal para pedagang
juga saling mengingatkan atas dasar rasa
kepedulian.
Salah satu upaya para pedagang di
Kawasan Wisata Telaga Sarangan untuk
menjaga keharmonisan dan menghindari
konflik adalah prinsip nerima ing pandum.
Prinsip nerima ing pandum berarti tidak
jumawa, para pedagang menganggap bahwa
rejeki sudah ada yang mengatur. Hal ini
tentu dapat menghindarkan persaingan yang
tidak sehat diantara pedagang. Para
pedagang telah mengupayakan bagaimana
rejeki bisa dibagi secara merata. Price
setting merupakan sarana yang efektif
dimana para pedagang menetapkan harga
secara bersama sehingga tidak ada yang
saling merugikan hingga saling menjatuhkan
diantara persaingan para pedagang. Sikap
para pedagang ini telah sesuai dengan sikap
yang dimiki oleh orang Jawa menurut
Magnis dan Suseno (1992) bahwa sikap
orang Jawa apabila sedang berinteraksi
cenderung untuk menghindari konflik.
Dengan demikian, dalam hidup orang Jawa
cara mereka untuk menjaga keselarasan
dalam kehidupan sosial adalah dengan cara
bersikap sopan santun, menyesuaikan diri,
dan mewujudkan kerja sama serta saling
menghormati.
Jadi dapat disimpulkan, prinsip budaya
Jawa yang telah dipraktikan oleh para
pedagang yaitu sepi ing pamrih rame ing
gawe atau tidak mementingkan diri sendiri
dan juga prinsip nerima ing pandum sebagai
salah satu prinsip luhur Jawa untuk menjaga
keharmonisan dan menghindari konflik
didasarkan atas sikap masyarakat Jawa yang
memiliki tenggang rasa antar sesame atau
dalam bahasa Jawa disebut tepa selira. Tepa
selira merupakan sikap yang telah tertanam
masyarakat sejak dini yaitu sikap untuk
menjaga keharmonisan dalam hidup
bersama, saling berbagi dengan saudara,
tidak menang sendiri, tidak mengambil hak
orang lain, saling menghormati dan
menghargai demi terciptanya kerukunan
khususnya kerukunan diantara para
pedagang itu sendiri.
2. Metode Penentuan Harga Jual
Berbeda dengan kenyataan di
lapangannya, banyak faktor yang membuat
price setting ini berbeda apabila diterapkan
untuk pedagang retail tradisional. Mulai dari
faktor yang mempengaruhi harga jual, harga
jual untuk para pedagang retail tradisional
ini tidak begitu memperhitungkan
permintaan atau selera konsumen, karena
usaha retail ini tidak fokus terhadap
produksi barang, tetapi fokus terhadap
mambeli barang untuk dijual kembali.
Jumlah pesaing tidak pula diperhitungkan
bagi para pedagang karena meskipun ada
pesaing baik pedagang baru maupun yang
sudah lama bersaing, terjadi kesepakatan
yang terbentuk secara bersama-sama
khususnya masalah price setting dan hal ini
telah berlangsung lama demi pemerataan
pendapatan tanpa saling menjatuhkan
sehingga itu pula harga jual pun sangat kecil
kemungkinan ditentukan oleh pesaing.
Kenyataan yang ada di lapangan harga jual
ternyata juga sangat dipengaruhi oleh
keunggulan geografis dimana potensi alam
sehingga kawasan tersebut memiliki citra
sebagai daerah wisata bisa menjadi nilai
tambah bagi para pedagang untuk
mengambil keuntungan secara maksimal
dengan menjual barang-barang yang
dibutuhkan oleh wisatawan.
Metode penentuan harga jual yang
diterapkan oleh pedagang retail tradisional
yang ada di Sarangan adalah dengan
menghitung Harga pokok penjualan. Biaya
pembelian ditentukan darimana persediaan
tersebut didapatkan, apakah melalui
salesmanship, belanja, atau konsinyasi
dimana masing-masing memiliki harga
perolehan yang berbeda-beda bagi para
pedagang. Setelah diketahui berapa harga
penjualan, barulah para pedagang
menentukan harga jualnya dengan
menambah mark up atau laba yang
diinginkan. Biaya angkut dan gaji tidak
menjadi komponen dalam biaya tenaga kerja
dan overhead yang menjadi perhitungan
untuk menentukan harga jual karena biaya
bensin dan gaji dibayarkan oleh para
pengusaha toko retail tradisional ini diambil
dari hasil laba yang mereka dapatkan dari
mark up.
Perbedaan Penentuan Harga atau Price
Setting yang diterapkan secara konvensional
berbeda dengan yang diterapkan oleh para
pedagang retail tradisional di Sarangan..
Dalam bisnis kebanyakan, Harga Pokok
Penjualan dibentuk melalui komponen
Harga pembelian ditambah dengan biaya
overhead dan biaya tenaga kerja. Akan
tetapi para pedagang tidak menambahkan
biaya overhead dan biaya tenaga kerja
dengan tujuan hal tersebut dirasa akan
membuat harga jual menjadi lebih mahal.
Harga pembelian dari salesmanship dan
melalui kulakan tentu akan mendapatkan
harga pembelian yang berbeda dimana harga
pembelian melalui kulakan akan lebih mahal
dibandingkan dengan melalui salesmanship.
Harga pembelian melalui kulakan lebih
mahal dikarenakan barang persediaan yang
mereka beli dari grosir pasti adalah harga
yang sudah di mark up oleh pedagang grosir
tempat para pedagang melakukan kulakan.
Selain itu, kulakan tentu juga membutuhkan
biaya transport atau angkut sehingga hal
itulah yang menyebabkan harga pembelian
melalui kulakan akan menjadi lebih tinggi.
Para pedagang memilih biaya overhead atau
biaya angkut tersebut dan biaya tenaga kerja
diambil dari mark up atau keuntungan yang
mereka ingin dapatkan dalam bisnis mereka.
Para pedagang tersebut lebih memilih
mempertahankan harga dan mengambil
resiko mendapatkan keuntungan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan harus
menaikan harga. Hal tersebut bertujuan
untuk mempertahankan kesetiaan para
pelanggan khususnya para pedagang kecil
atau pedagang musiman agar terus
berbelanja atau melakukan kulakan di
tempat mereka. Apabila dikaitkan dengan
prinsip budaya Jawa, para pedagang tersebut
telah menerapkan prinsip luhur budaya Jawa
yaitu lumintu. Arti dari lumintu adalah terus
menerus, lestari, atau berkesinambungan.
Usaha para pedagang retail tradisional untuk
menjaga kesetiaan para pelanggannya adalah
agar usaha mereka berjalan secara terus
menerus atau lumintu.
Refleksivitas Harga Jual di Sarangan
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Sumber: Data Olahan Penulis (2015)
Persediaan awal Rp.xxxxx
Pembelian Rp.xxxxx
Retur Pembelian Rp.xxxxx
Potongan Pembelian Rp.xxxxx +
Rp.xxxxx -
Pembelian Bersih Rp.xxxxx +
Barang tersedia untuk dijual Rp.xxxxx
Persediaan Akhir Rp.xxxxx -
Harga Pokok Penjualan Rp.xxxxx
Harga Jual= Harga Pokok Penjualan+ Mark Up*)
Keterangan: Biaya angkut diambil dari laba.
*): Keputusan pengambilan mark up ditentukan antar pedagang dengan
mempertimbangkan prinsip tepa selira, lumintu, sepi ing pamrih rame ing gawe, dan
nerima ing pandum.
Matriks Analisis Indeksikalitas-Refleksivitas Price Setting
Pedagang Retail Tradisional
Indeksikalitas Prinsip Luhur
Budaya Jawa Refleksivitas
Harga Pembelian:
1. Sales
(salesmanship)
2. Kulakan (belanja)
3. Titipan
(konsinyasi)
Mark Up:
1. Harga Maksimum
2. Bensin(biaya
overhead)
3. Gaji
4. Harga minimum
1. Tepa Selira
2. Nerima ing pandum
3. Rame ing gawe sepi
ing pamrih
4. Lumintu
HJ = HPP + Mark Up
Harga Pokok Penjualan:
Perbedaan harga pembelian
melalui sales dan kulakan tidak
berpengaruh terhadap harga
jual demi menjaga kesetiaan
pelanggan dan
keberlangsungan usaha
(lumintu). Titipan atau
konsinyasi bertujuan untuk
membantu antar pengusaha
lain yang juga tetangga sekitar
demi tenggang rasa untuk
membangun ekonomi bersama
(tepa selira).
Mark Up:
Laba yang diinginkan
pengusaha tidak ditentukan
sendiri, tetapi secara bersama-
sama sehingga antara satu toko
dengan toko lainnya
menimbulkan persamaan
penetapan harga untuk
meredam persaingan dan
menjaga keharmonisan dan
tidak mementingkan diri
sendiri (Rame ing gawe sepi
ing pamrih dan nerima ing
pandum ).
Sumber: Data olahan penulis (2015)
SIMPULAN
Keharmonisan sangat terlihat dengan
jelas diantara para pedagang yang berada di
Sarangan ini. Bagaimana cara mereka
bersama-sama membentuk harga, baik harga
maksimum maupun harga minimum
merupakan salah satu cara para pedagang
tetap menjaga kerukunan agar terhindar dari
kompetisi yang manipulatif, saling
menjatuhkan, dan merusak tatanan sosial
yang berada dalam masyarakat. Keadaan
ideal dalam masyarakat di Sarangan inilah
yang harus tetap dipertahankan.
Hasil studi ini menemukan bahwa
harga jual dibentuk oleh para pedagang dari
komponen harga pokok penjualan ditambah
mark up atau laba yang diinginkan.
Harga pokok penjualan atau harga
perolehan dari barang yang dijual atau
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh barang yang dijual hanya
terkait dengan cara masing-masing toko
tersebut untuk memperoleh persediaan
barangnya untuk siap dijual. Cara
memperoleh persediaan dari masing-masing
pedagang adalah dengan salesmanship,
belanja atau kulakan, dan konsinyasi atau
titipan. Salesmanship dinilai para pedagang
adalah cara memperoleh persediaan barang
yang lebih murah, tetapi apabila toko sedang
musim ramai mengandalkan stock barang
dari salesmanship dirasa tidak cukup
sehingga para pedagang tetap mengusahakan
ketersediaan barang dengan cara belanja
atau kulakan. Bagi para pedagang, kulakan
tentu akan membuat harga perolehan
menjadi lebih mahal dan membuat
keuntungan lebih sedikit, tetapi para
pedagang lebih mementingkan ketersediaan
barang tetap ada di tokonya apabila
konsumen membutuhkannya sewaktu-
waktu. Perolehan persediaan yang terakhir
adalah konsinyasi atau titipan, konsinyasi
dinilai para pedagang sifatnya untuk
membantu antar sesame pengusaha.
Pengusaha-pengusaha yang dimaksud
adalah pengusaha industri makanan-
makanan ringan yang kebanyakan adalah
usaha warga sekitar lainnya yang meminta
bantuan untuk menjualkan produknya dan
pedagang boleh mengambil untung dari
produk yang dapat dijualkan.
Mark up yang diterapkan oleh
pengusaha toko retail tradisional ini adalah
mark up tidak dapat dilakukan sendiri sesuai
keinginan individu dari masing-masing
pengusaha. Mereka juga mempertimbangkan
kondisi pasar yang ada di sekitar kawasan
dimana mereka melakukan usaha. Para
pedagang di kawasan tersebut sudah
menetapkan harga maksimum maupun harga
minimum. Para pedagang sepakat
menentukan harga yang sama untuk para
wisatawan yaitu melebihi harga eceran
tertinggi tiap produk yang ditetapkan oleh
produsen produk itu sendiri. Sedangkan
harga minimum diterapkan oleh para
pedagang ini untuk para pedagang-pedagang
kecil dan musiman dimana harga tersebut
boleh diberikan oleh para pedagang kepada
pelanggannya di bawah harga normal tetapi
masih dalam batas wajar.
Dalam studi ini ditemukan bahwa
pedagang tidak membebankan biaya bensin
sebagai biaya overhead dan tidak
membebankan biaya tenga kerja atau gaji ke
dalam harga pokok penjualan. Para
pedagang lebih memilih mempertahankan
harga sama baik barang dari salesmanship
maupun dari kulakan sendiri. Hal ini
bertujuan untuk menjaga pelanggan agar
tetap bertahan untuk terus membeli di
tokonya meskipun juga turut mengurangi
laba (lumintu).
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dirasa penulis perlu
untuk meneliti apa pengaruh price setting
yang dilakukan para pedagang ini kepada
konsumen khususnya pedagang kecil atau
musiman yang berbelanja di toko para
pedagang yang menjadi informan penulis
dengan menanyakannya langsung kepada
konsumen. Penelitian ini juga memiliki
kendala tidak dapat membahas lebih
mendalam mengenai dampak keberadaan
minimarket modern apakah berpengaruh
terhadap harga yang ditetapkan para
pedagang tradisional dikarenakan sudah
tidak adanya asosiasi yang menaungi atau
menyatukan para pedagang.
Saran
1. Bagi Pemerintah
Hendaknya pemerintah lebih peka
terhadap keberadaan para pengusaha-
pengusaha lokal dan lebih memberi
ketegasan terhadap proteksi dari keberadaan
pengusaha-pengusaha besar yang lebih
mementingkan profit tanpa melihat
keberadaan usaha kecil sekitarnya.
Pemerintah pun dirasa perlu untuk membuat
kebijakan bahwa minimarket-minimarket
modern hendaknya tidak didirikan di daerah
wisata dan pemukiman warga pedesaan
maupun perumahan agar masyarakat sekitar
dapat berkembang dengan membuka usaha
semacam toko retail ini.
2. Bagi Para Pedagang Retail
Tradisional
Sebaiknya para pedagang membuat
catatan tentang rincian barang
persediaan agar diketahui barang mana
yang habis dan memiliki tingkat
perputaran yang cepat. Saat penulis
melakukan penelitian, informan lebih
sering untuk mengira-ngira saat
melakukan pembelian barang persediaan
toko.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Disarankan bagi penulis selanjutnya
untuk meneliti lebih mendalam tentang
dampak minimarket modern terhadap harga
yang dibentuk oleh para pedagang
tradisional. Selain itu juga diharapkan
penulis selanjutnya untuk menilai pengaruh
price setting yang ditetapkan pedagang
retail tradisional apakah berpengaruh
terhadap tingkat keloyalitasan dan kepuasan
pelanggan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiasih, Priskila dan Indra Wijaya Kusuma.
(2011). Manajemen Laba Pada Saat
Pergantian CEO (Dirut) Di Indonesia.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.
13 No. 2, November, 2011.
Angipora., M. P. 1999. Dasar-Dasar
Pemasaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Antlov, Hans, dan Cederroth, Sven. 2001.
Kepemimpinan Jawa. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Aryani, Dwinita. (2011). Efek Pendapatan
Pedagang Tradisional dari Ramainya
Kemunculan Minimarket di Kota
Malang. Jurnal Dinamika Manajemen
vol 2, No.2, 2011.
Buku Hasil Pembangunan Tahun 2008-2012
Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Pemerintah Kabupaten
Magetan.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia.
Berman, B dan Evans J. R. 2001. Retail
Management: A Strategic Approach.
Upper Saddle River: Prentice Hall
Int.Inc.
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis.
Yogyakarta: Kanisius.
Catharina, R.R.S. 2007. Analisis
Perhitungan Harga Pokok Produksi
dan Penentuan Harga Jual pada PT.
Coca-Cola Bottling Indonesia Unit
Medan. Medan.
Coulon, A. 2004. Etnometodologi. (Jimmy
Ph. PAAT, Penerjemah) Mataram: Yayasan
Legge
Daryono. 2006. Etos Dagang Jawa Studi
terhadap Pemikiran Sri Mangkunegara
IV. Thesis. Semarang: Program
Pascasarjana Institut Agama Islam
Negeri Walisongo.
Dr. Nur Indriantoro, M.Sc., Akuntan, Drs.
Bambang Supomo, M.Si. Akuntan,
2002. Metedologi Penelitian Bisnis.
Yogyakarta : Edisi Pertama, Penerbit
BPFE.
Soliha, E. (2008). Analisis Industri Ritel di
Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi.
Vol. 15, no. 2
Hansen, D.R dan Mowen. 2004.
Management Accounting. Edisi
Ketujuh. Jakarta: Salemba Empat.
Hansen, D.R dan Mowen. 2005. Manajemen
Biaya. (Benyamin Molan, Penerjemah).
Jakarta: Salemba Empat
Hansen, D.R. dan Mowen 2009. Manajerial
Accounting: Akuntansi Management.
Edisi Kedelapan. Jakarta: Salemba
Empat.
Hendrarso, Emy Susanti. 2005. Penelitian
Kualitatif: Sebuah Pengantar, dalam
Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed):
Metode Penelitian Sosial. Jakarta:
Kencana.
Karyono, Hari. 1997. Kepariwisataan.
Jakarta: Grasindo.
Kodiran. 1976. Kebudayaan Jawa, dalam
Prof. Dr. Koentjaraningrat. Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
Kotler, P. 1996. Marketing.Herujati
Purwoto, Penerjemah. Jilid 1. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Kotler, P. 2001. Manajemen Pemasaran:
Analisis,
Perencanaan,Implementasi,dan
Kontrol. Jakarta: PT. Prehallindo.
Kotler, P. dan Amstrong G. 2001. Prinsip-
Prinsip Pemasaran. Terjemahan. Edisi
Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kotler, P. dan Keller, K.L. 2007.
Manajemen Pemasaran, Jilid II. Edisi
Duabelas. Jakarta: PT. Indeks.
Kotler, Philip. 2002. Manajemen
Pemasaran, Jilid I, Edisi Milenium. Jakarta:
PT. Prebalindo.
Kotler, Philip. 2005. Manajemen
Pemasaran. Jakarta: PT. Indeks.
Kotler, Phillip dan Gary Amstrong. 2001.
Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jilid II.
Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Kurniawan, R. 2012. Valuasi Aset Biologis:
Kajian Kritis atas IAS 41 Mengenai
Akuntansi Pertanian. Skripsi. Malang:
Program Sarjana Universitas Brawijaya.
Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi
Komunikasi. Bandung: Widya
Pajajaran.
Lamb, H dan McDaniel. 2001. Dasar-Dasar
Pemasaran. (David Octaveria,
Penerjemah). Edisi Kesembilan.
Jakarta: PT. Indeks.
Magnis, F. dan Suseno. 1991. Etika Jawa.
Jakarta: Gramedia.
Moleong, L. 1998. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: CV. Remaja Rosdakrya
Moleong, L. 2007. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Indra Grafika.
Muhadjir, N. 1998. Metode Penelitian
Kualitatif. Edisi Kedelapan.
Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika.
Mulder,N. 2001 Misistisme Jawa. Ideologi
di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.
Mulyadi. 1993. Akuntansi Biaya. Edisi
Kelima. Yogyakarta: Salemba Empat.
Mulyadi. 2001. Sistem Akuntansi. Edisi
Ketiga. Yogyakarta: Salemba Empat.
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Neuman, W. L. 1997. Social Research
Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches in Social Works. New
York: Columbia University.
Noeng, Muhadjir. 1998. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Edisi ke III
cetakan ke 8. Yogyakarta : Penerbit
Rake Sarasin.
Payne, A. 2000. Service Marketing
Pemasaran Jasa. Yogyakarta: Andi.
Perpres no. 112 tahun 2007 tentang
“Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan
Toko Modern” pasal 4 ayat 1.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi
Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Safitri, Ahmad Reza. 2010. Dampak Retail
Modern terhadap Kesesjahteraan
Pedagang Pasar Tradisional Ciputat,
Tangerang Selatan. Skripsi. Jakarta:
Program Sarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Sarjono, Agus R. 1999. Pembebasan
Budaya-Budaya Kita. Jakarta: Gramedia.
Setiawan, J.,Zid, M., & Hardi, O.S. (2012).
Pengaruh Keberadaan Minimarket
terhadap Pendapatan Pedagang
Kelontong di Kelurahan Klender
Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur.
SPATIAL Wahana Komunikasi dan
Informasi Geografi Vol. 10 No. 1,
Maret 2012.
Sopiah, 2008, Perilaku Organisasional,
Yogyakarta : C.V Andi Offset
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Sudjana, A.S.T. 2005. Paradigma Baru
Manajemen Ritel Modern. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sunarto. 2003. Akuntansi Biaya. Edisi
Revisi. Yogyakarta: AMUS.
Suseno, Franz Magnis. 1991. Wayang dan
Panggilan Manusia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Susilo, agus, taufik. (2010). Dampak
Keberadaan Pasar Modern Terhadap
Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan
Pasar Tradisional. Tesis Program
Pascasarjana Magister Manajemen
Universitas Muria Kudus.
Suwardjono. 2008. Teori Akuntansi
Perekayasaan Pelaporan Keuangan.
Yogyakarta : BPFE
Swasta, B. 2005. Manajemen Penjualan.
Cetakan Kedua Belas. Yogyakarta: BFSE.
Utami, Christina W. 2006. Manajemen Ritel.
Jakarta: Salemba Empat.
top related