pendidikan islam pada masastaffnew.uny.ac.id/upload/132309869/penelitian/pendidikan... · web...
Post on 08-Jun-2019
213 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME
PADA MASA SUNAN PAKU BUWANA X
(Pembentukan Kepribadian Bangsa yang Memadukan Sistem Modern, Islam & Kearifan Jawa)
Oleh: Purwadi
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
ABSTRACT
Sunan Paku Buwana X was the King of Surakarta Kingdom whose become a pioner of multiculturalism education. He build somes school that tought about spirituality, personality and morality. Islamic school namely Pesantren Jamsaren and Mamba’ul Ulum. Modern school called HIS Kasatriyan, HIS Pamardi Putri and Pamardi Siwi. Traditional education can be found in ceremony of Grebeg Maulud. That system was adobted from Europe, Moslem and Javanese wisdom.
Keywords : multiculturalism, education, Javanese
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan basis utama untuk memperkokoh peradaban dan
kejayaan suatu bangsa. Kejayaan masa silam bangsa Indonesia dapat dilacak dari
rentetan kehidupan sejarah raja-raja di nusantara. Di antara sekian banyak raja-
raja nusantara yang perlu diketahui peranannya dalam bidang pendidikan adalah
Sunan Paku Buwana X yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat.
Dalam lintasan sejarah nasional, Kraton Surakarta merupakan kelanjutan
dari kraton Mataram, Pajang, Demak dan Majapahit (Denys Lombard, 2000: 173).
Dengan demikian secara genealogis, Sunan Paku Buwana X adalah pewaris sah
atas nilai-nilai kebesaran kerajaan Majapahit yang telah mampu mengukir prestasi
gemilang. Pemerintahan negara Majapahit yang menguasai dan mempersatukan
nusantara tentu menjadi inspirasi bagi Sunan Paku Buwana X dalam menjalankan
roda pemerintahannya.
Sunan Paku Buwana X lahir Kamis Legi, 21 Rejeb 1795 Jawa atau 29
November 1866 dari permaisuri Raden Ajeng Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku
Buwana IX. Nama kecilnya adalah nama Raden Mas Gusti Sayidin Malikul
Kusna (Darsiti Suratman, 1991: 26). Pada masa kejayaannya, Sunan Paku
Buwana X sangat memperhatikan kemajuan pendidikan Islam. Di samping itu
beliau juga mendirikan sekolah-sekolah modern yang mengajarkan ilmu
pengetahuan umum. Dalam mensejahterakan kehidupan bangsa, beliau memang
mengutamakan pendidikan yang menyelaraskan ilmu dengan agama.
B. Metode dan Landasan Teori
Metodologi dalam penelitian ilmiah memegang peranan penting, sebab
metode yang dipergunakan dalam suatu penelitian dapat digunakan untuk
mengukur seberapa jauh kadar kebenaran hasil penemuan. Setiap kegiatan ilmiah
harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh
kesungguhan, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup
yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual (Sunoto, 1982: 66).
Dalam kajian ini digunakan metode yang berdasarkan teori aksiologi.
Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan. Nilai-nilai juga ditunjukkan
oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine quanon yang wajib dipatuhi dalam
kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan
ilmu. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan
dan kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana
dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, dan kelestarian/keseimbangan alam. Salah satu alasan untuk
tidak mencampuri masalah kehidupan secara ontologis adalah kekhawatiran
bahwa hal ini akan mengganggu keseimbangan kehidupan (Suriasumantri, 1986 :
99). Berkaitan dengan teori aksiologis ini, Sunan Paku Buwana X menaruh
perhatian besar terhadap pendidikan agama.
Pada saat itu jumlah kyai yang mengajar di langgar-langgar dan pondok-
pondok pesantren sangat sedikit, maka pada 1905, sunan memerintahkan
membuka Sekolah Mambaul Ulum, bertempat di Masjid Ageng. Yang boleh
masuk menjadi murid adalah anak-anak pamethakan (= golongan agama), tetapi
golongan lain kemudian juga diijinkan. Pimpinan sekolah dipegang oleh pengulu
Tafsiranom.
Pada 1914 gedung untuk Sekolah Mambaul Ulum telah selesai dibangun,
berada di dekat masjid (Gunawan Sumodiningrat, 2001 : 4). Menurut kurikulum,
murid sekolah itu tidak hanya diberi pelajaran tentang agama Islam saja,
melainkan juga diberi pelajaran bahasa Jawa, bahasa Melayu, berhitung, ilmu
kodrat, dan lainnya. Tamatan sekolah ini dapat menjadi punggawa pengulu di
kawedanan Yogaswara atau menjadi guru agama. Untuk biaya sekolah, anak-anak
dipungut F 0,50 per bulan dan uang dan anak-anak ini dipakai untuk biaya sekolah
yang dibuka sore hari, sedang biaya sekolah pada pagi hari ditanggung oleh Kas
Negeri (Zahri Ahmad, 1976: 97).
Pengembangan kebudayaan Jawa oleh kerajaan Mataram disesuaikan dan
diperkaya dengan unsur-unsur agama Islam. Ketika pusat kerajaan pindah ke
Surakarta, pada masa pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788), Raden
Ngabehi Yasadipura berkedudukan sebagai pujangga, kesusasteraan suluk sangat
berkembang (Sri Suhanjati Sukri, 2004: 2-4).
Suluk ini walaupun sebagian besar bahannya berasal dari agama Islam,
tetapi coraknya btrsifat Jawa. Suluk ditulis dalam bahasa Jawa, dalam bentuk
tembang (nyanyian), dan berisi mistik. Hubungan dengan kesusasteraan lama
masih tetap dipertahankan dan mengenai hal ini tampak adanya bentuk tanya
jawab antara dua orang, seorang di antara-nya laki-laki dan seorang lainnya
perempuan. Contoh beberapa nama dalam kesusasteraan suluk adalah Suluk
Tambang Raras, Suluk Mbok Liyep, Suluk Ki Pana dan Suluk Mbok Brangti
((Zahri Ahmad, 1976: 97).
Selain suluk, di dalam kraton juga terdapat yang disebut primbon, naskah
Islam yang berasal dari abad XVI, ditulis dalam bahasa Jawa, dan merupakan
catatan tentang berbagai macam hal. Isinya mengenai mistik, hal-hal yang
berkaitan dengan kepercayaan, misalnya jimat, doa, keterangan mengenai masa
bahagia dan tidak bahagia, suratan nasib, pralambang, tafsir mimpi, ramalan, dan
sebagainya. Keterangan tentang suratan nasib dan ramalan itu sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak. Dari keterangan di atas dapat
diketahui, bahwa mistik terdapat di dalam suluk dan primbon. Primbon juga
memuat pandangan yang bersifat magis dan magis-mistisisme.
Pada awal abad ke-20, Adipati Sasradiningrat, Patih Dalem Kraton
Surakarta, dan adiknya, yaitu Raden Tumenggung Wreksadiningrat,
memerintahkan mengumpulkan lagu-lagu keagamaan untuk selanjutnya dijadikan
nyanyian yang disebut santiswaran, seperti yang berlaku pada nyanyian masa-
masa lampau, santiswaran ini dibawakan oleh seorang bawa (= orang yang
mengawali nyanyian) dan diikuti oleh nyanyian lainnya. Alat gamelan yang
dipakai untuk mengiringi nyanyian itu adalah terbang, kendhang, dan kemanak.
Nyanyian santiswaran ini dimainkan sekali setiap minggu, pada pukul 20.00
sampai 24.00 bertempat di kedhaton. Pemainnya terdiri atas 5 orang penyanyi
laki-laki, seorang di antaranya membawakan bawa, 1 orang penabuh terbang dari
berbagai ukuran, seorang penabuh kendhang dan seorang lagi untuk kemanak.
Permainan itu sering disela oleh senggakan (sorak lepas). Pada masa R.Ad.
Sasradiningrat, jumlah pemain gamelan dan penyanyinya ditambah.
Menurut rincian rancangan keluar masuknya uang kerajaan Surakarta
tahun 1919, biaya untuk sekolah itu adalah sebagai berikut:
1. Belanja guru (termasuk penjaga sekolah, tukang uang, carik) F 630,00
2. Biaya untuk membeli barang-barang kebu-tuhan murid dan
tambal sulam
F 900,00
3. Biaya sekolah Mamba'ul 'Ulum, di kabupa-ten-kabupaten F 1.445,00
Jumlah F 2.975,00"
Pada setiap masjid di kabupaten didirikan Sekolah Mambaul Ulum.
C. Pendidikan Keagamaan
Pondok Pesantren Jamsaren
Sunan Paku Buwana X juga memiliki andil yang sangat besar terhadap
Pesantren Jamsaren yang masih eksis hingga saat ini. Lihatlah sebuah masjid kuno
tak seberapa luas tetap berdiri tegak di tengah-tengah bangunan arsitektur modern
di dalam kompleks pesantren. Kondisinya masih asri, kuat dan utuh. Suasana
umum pesantren yang bersahaja melingkupi kompleks seluas 3.400 meter persegi
tersebut. Tak banyak yang tahu, dari pesantren ini telah lahir sejumlah tokoh
besar.
Lokasi itu adalah Pondok Pesantren Jamsaren yang berada di Jalan
Veteran, Serengan, Solo. Pesantren ini telah mencatat berbagai gejolak dan
peristiwa yang terjadi sejak didirikan pada tahun 1750. Bisa jadi pesantren ini
merupakan pesantren tertua di tanah air yang masih ada. Pada masa Paku Buwana
IV memerintah Kraton Surakarta dia mendatangkan beberapa ulama untuk
mengajarkan Islam kepada rakyat Surakarta.1 Salah satu yang didatangkan adalah
Kiai Jamsari dari Banyumas. Kiai ini tinggal sebuah kampung, sekitar tiga
kilometer barat daya kraton. Kharisma dan pengaruh Kiai Jamsari saat itu segera
dirasakan oleh banyak orang. Kampung tempat tinggalnya kemudian diberi nama
Jamsaren, yang artinya tempat Kiai Jamsari tinggal. Demikian juga pondok
sederhana yang didirikannya, diberi nama Pondok Jamsaren.
1 Zahri Ahmad, Ibid.
Setelah Kiai Jamsari wafat, perannya sebagai ulama dan pengasuh
pesantren digantikan oleh Kiai Jamsari II, anak kandungnya. Akhir hidup kiai ini
tidak jelas, karena sebagai pendukung aktif perang Diponagoro dia beserta seluruh
santrinya memilih meninggalkan pesantren untuk menyelamatkan diri setelah
Diponagoro ditangkap. Mereka lari ke Kediri lalu Kiai Jamsari II tinggal dan
wafat disana. “Di Kecamatan Pesantren, Kediri ada desa bernama Jamsaren," ujar
Mufti Addin, lurah Ponpes Jamsaren.
Setelah kosong sekitar 50 tahun dalam kondisi terbengkalai, Sunan Paku
Buwana X memerintahkan kepada seorang ulama dari Klaten bernama Kiai Idris
yang membangun dan mengembangkan kembali pesantren tersebut. Di tangan
Kiai Idris inilah Jamsaren mencapai puncaknya. Selain mengelola Ponpes
Jamsaren, Kiai Idris juga diminta Sunan Paku Buwana X saat itu juga mengelola
Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan Kraton Surakarta. Sejumlah tokoh
pergerakan nasional dari berbagai daerah tercatat pernah belajar di madrasah
tersebut. Sedangkan di Jamsaren, ribuan santri dari berbagai penjuru Asia
Tenggara datang berguru kepada Kiai Idris yang dikenal sangat 'alim dan juga
menjadi mursyid Thariqah Naqsyabandiyah tersebut.
Di antara nama-nama besar yang pernah nyantri Kiai Idris adalah Kiai
Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kiai Dimyati (pendiri Ponpes
Termas, Pacitan), Syeich Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), Kiai
Arwani Amin (Kudus), Kiai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan).
Bahkan setelah Kiai Idris wafat pada tahun 1923, nama besar Jamsaren masih
menjadi rujukan bagi para orangtua untuk mengirim anaknya nyantri. Banyak
tokoh besar tanah air merupakan lulusan atau pernah belajar agama secara intens
di Jamsaren generasi berikutnya.
Sebut saja misalnya Munawir Sadzali (mantan Menag), Amien Rais
(mantan Ketua MPR), KH Zarkasyi (pendiri Ponpes Gontor), KH Hasan Ubaidah
(pendiri dan pimpinan LDII) serta sejumlah nama lainnya. Jamsaren, sebuah
pesantren kuno yang telah menyemai tumbuhnya banyak tokoh di negri ini. Tokoh
sentral yang terakhir memimpin pesantren ini adalah KH Ali Darokah. Setelah
KH Ali Darokah wafat tahun 1997, Jamsaren dipimpin oleh sebuah dewan
sesepuh. Sedangkan sebagai pelaksana keputusan, semua kegiatan dipimpin Mufti
Addin selaku lurah pondok.
Salah satu jejak besar Jamsaren saat ini adalah Yayasan Pendidikan Al-
Islam yang didirikan tahun 1926 oleh para alumni dan pengasuh Jamsaren.
Lembaga pendidikan ini telah berkembang luas sebagai sekolah favoritdi Jawa
tengah dan Jawa Timur dari tingkat TK/RA hingga SMA/MA. Sedangkan santri
mukim di Jamsaren saat ini sekitar 120 santri putra dengan prioritas program
tahfidul Qur'an. "Mereka santri mukim disini. Pagi hari akan mengikuti sekolah
formal di Al-Islam lalu siang hingga malam tinggal di Jamsaren," ujar Mufti.
Untuk mengisi kegiatan pada bulan ramadhan, kata Mufti, setiap tahun Jamsaren
selalu mengadakan pesantren kilat untuk anak-anak usia kelas 3 SD hingga 2
SMP. Selain itu setiap bulan ramadhan juga akan digelar pengajian akbar dengan
menghadirkan mubaligh dari berbagai kota. Pilihan Jamsaren tidak bergabung ke
ormas keagamaan manapun justru memudahkan pesantren ini menjalin hubungan
dengan tokoh dan ormas manapun.
Mamba’ul Ulum
Pada tahun 1905, Sunan Paku Buwana X mendirikan sekolah agama di
halaman Masjid Besar bernama ‘Mamba’ul Ulum’, artinya sumber ilmu. Sunan
Paku Buwana X mendirikan sekolah tersebut karena setiap kali ada ulama yang
meninggal dunia, susah untuk mencari penggantinya. Adapun menurut catatan S.
Puspaningrat, sekolah-sekolah yang didirikan oleh Sunan Paku Buwana X adalah
sebagai berikut :
Di bidang pendidikan dan sosial. Sunan Paku Buwana X mendirikan :
1) Madrasah Mambdul ‘ulum pada 20 Jumadilawa1Alip 1835 atau 23
Juli 1905 menempati Bangsal Pawestren Masjid Agung.
2) HIS Kasatriyan pada 1 Nopember 1910 atau 27 Syawal Tahun Be
1840 dan juga HIS Pamardiputri pada tanggal 3 Januari 1929 atau
21 Rejeb Alip 1859. Juga Taman Kanak-Kanak (Frobelschool)
didirikan Pada 12 Agustus 1926 (2 Samar Wawu 1857). HIS adalah
Sekolah Dasar 6 tahun di zaman Belanda. HIS singkatan dari
Hollandsch Inlandsche School.
3) Sekolah Pertanian di Tegalgondo, Delanggu. Klaten, 1929
4) Juga sekolah Angka II (milik Gubernur Belanda) yang selanjutnya
diserahkan kepada Nagari (kepatihan), kemudian dijadikan Sekolah
Desa (Dusun)-(klas 1-klas 3) dan Sekolah Sambetan (Vervolgshool),
juga menerima subsidi (S. Puspaningrat, 1996: 12).
Lulusan sekolah itu dapat diterima menjadi siswa pada Universitas Al
Azhar di Kairo, juga ada beberapa universitas lain diluar negeri yang menerima
siswa lulusan “Mambangun Ulum” dengan melalui tambahan kursus pendidikan
umum. Seperti misalnya H. Munawir Sadzali, mantan Menteri Agama RI adalah
alumnus Mamba’ul Ulum ini. Putra Sunan Paku Buwana X, GPH Kusumobroto
mendapat tugas untuk mengurus bersekolahnya para putra raja dan beberapa
keponakan serta cucu pria yang dibiayai oleh Sinuwun.
Masjid Agung
Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 m2 yang
dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25m.
Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug
yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka. Bangunan Masjid Agung
yang direhab kembali pada masa Sunan Paku Buwana X terdiri dari :
Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag
rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.
Ruang Sholat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan
mihrab dengan kelengkapan mimbar sebagai tempat Khotib pada waktu
Sholat Jum’at.
Pawestren, atau tempat sholat untuk wanita dan Balai Musyawarah.
Tempat berwudhu
Pagar Keliling, dibangun pada masa Sunan Paku Buwana VIII tahun 1858
dan disempurnakan lagi pada masa Sunan Paku Buwana X pada tahun
1903.
Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran
bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat
Gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi
Muhammad SAW.
Istal dan garasi kereta untuk Raja ketika Sholat Jum’at dan Gerebeg,
diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung
Surakarta.
Gedung PGA Negeri, didirikan atas perintah Sunan Paku Buwana X pada
tahun 1914 dan menjadi milik kraton.
Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India.
Didirikan pada tahun 1928.
Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari
untuk menentukan waktu shollat.
Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para
abdi dalem yang mengurusi masjid Agung (www.jawapalace.org).
Pada masa Sunan Paku Buwana X dilakukan perbaikan pembangunan
Gapura di Masjid Agung, Alun-Alun Lor dibuat seperti Masjid di Tanah Arab,
tahun 1912 (1842 Jawa). Di halaman Masjid Agung didirikan sebuah Menara
pada tahun 1924, memindahkan Masjid Panepen di dalam Kraton ke Patenunan,
diberi nama Masjid Pudyasana (dalam Kraton), pada tahun 1912 atau 1842 Jawa.
Membangun masjid Paramasana (semula bernama Masjid Suranatan) di
Baluwarti pada tahun 1917. Mendirikan masjid di Langenharjo Kecamatan
Grogol, Sukoharjo, bernama Masjid Ciptasidhi, pada tahun 1903 atau 1833. Juga
berdiri Masjid Ciptamulya di Pengging, Banyudono, Boyolali, tahun 1908 atau
1838 (Bratadiningrat, 1992: 22).
D. Pendidikan Modern
Sekolah Desa
Sunan Paku Buwana X memajukan pendidikan rakyat dengan mendirikan
sekolah-sekolah. Sekolah Desa lamanya 3 tahun dan Sekolah Angka II ditempuh
selama 5 tahun. Sekolah ini diterima dengan luas oleh masyarakat karena
mengajarkan pendidikan membaca, menulis dan ketrampilan teknis yang sangat
dibutuhkan saat itu.
Sekolah-sekolah dasar untuk umum yang tersebar di seluruh Kasunanan
Surakarta, dibiayai dengan uang kas Negara Kasunanan (Rijkskas) di Kantor
Kepatihan (Puspaningrat, 1996:. 29-31).
HIS Kasatriyan
Pada tahun 1910 juga didirikan sekolah yang berbasis pendidikan barat
bernama HIS (Holandsch Inlandsche School, 7 tahun), yaitu HIS Kasatriyan pada
tanggal 1 November 1910, bertempat di sebelah timur Kori Brajanala Ler.
Pengurusan sekolah HIS Kasatrian dilakukan oleh GPH Kusomobroto atas
perintah Sinuwun, dan dibiayai dengan uang dari kas kraton (Puspaningrat, 1996:.
29-31).
TK Pamardi Siwi
Sunan Paku Buwana X juga mendirikan Frobel School (TK) ‘Pamardi
Siwi’, pada tanggal 12 Agustus 1926, di dekat Gandarasan di Baluwarti.
HIS Pamardi Putri
Setelah mendirikan TK Pamardi Siwi, lalu dilanjutkan dengan pendirian
HIS Pamardi Putri pada bulan Januari 1927. Murid-murid perempuan di HIS
Kasatriyan lalu dipindahkan ke HIS Pamardi Putri, jadi HIS kasatriyan hanya
untuk murid laki-laki. Sebelum Pamardi Putri dibuka para putri raja mendapat
pendidikan dalam bahasa Belanda, masak-memasak makanan Barat dan kerajinan
tangan misalnya merajut, menyulam dan merenda pada hari-hari tertentu di kraton
untuk memberi kursus.
E. Pendidikan Tradisional
Pendidikan spiritual keagamaan dapat dijumpai dalam upacara adat
istiadat tradisional. Contohnya adalah upacara Grebeg Maulud. Di Surakarta
setiap tahun diadakan tiga kali grebeg, yang jatuh tiap tanggal 1 Syawal, tanggal
10 bulan Besar serta tanggal 12 Mulud. Sunan Paku Buwana X sangat
menghormati dan terus melestarikan upacara ini. Inti pelaksanaan upacara adat ini
adalah melaksanakan syiar agama ke seluruh dunia. Grebeg bukanlah hari raya
agama, namun momentum ini digunakan oleh para Wali Sanga untuk menarik
warga masyarakat seluas-luasnya agar datang ke istana mendengarkan penerangan
agama (Bram Setiadi, dkk. 2000: 253).
Setiap malam Bakda atau Grebeg, di Kepatihan serta di rumah para
pembesar Bupati semua memainkan gendhing Monggang atau Kodhok Ngorek
sampai terbitnya matahari, sekitar jam setengah enam pagi. Kedua gendhing itu
merupakan ‘lagu wajib’ di kraton yang dibunyikan tiap-tiap ada upacara
kebesaran. Setelah itu, pada jam 7 pagi para abdi dalem panewu, mantri, lurah,
bekel dan jajar, semua memakai pakaian basahan, kuluk mathak berwarna putih
atau hitam, pakaian sikepan agung. Ada juga yang memakai pakaian dengan
bordir. Setelah itu mereka berkumpul di kabupaten pada jam 8 pagi, lalu
berangkat bersama-sama membawa lalayu, rontek, umbul-umbul serta payung
agung di belakang bendera lalayu. Gamelan dipikul dan dibunyikan di sepanjang
jalan menuju alun-alun utara.
Setelah sampai semua menempati posisi masing-masing. Pada jam 9
semuanya sudah berada di Pagelaran, lalu Kanjeng Sunan diiringi para abdidalem
panewu mantri tiba di Kepatihan, beserta dengan para tamu yang lain memasuki
kraton. Di dalam kraton, para Gusti Kanjeng Pangeran Putra dalem, para saudara
serta pangeran sentana, dan lain-lain semua sudah hadir.
Setelah tiba di kraton, Residen bersalaman dengan Sunan, setelah itu
gunungan diarak ke alun-alun. Sesampainya di sebelah selatan ringin kurung lalu
masuk ke Masjid Agung diikuti para abdidalem serta gamelan sekaten alit. Setelah
gunungan masuk, Inkang Sunan memerintahkan untuk memainkan gamelan Kyai
Sekar Dlima. Setelah acara selesai, kanjeng Sunan kembali ke kraton, sedangkan
Kanjeng Raden Adipati masuk ke masjid untuk mengambil gunungan.
Sekaten mulai diadakan sejak zaman kraton Demak, pada masa
pemerintahan Raden Patah. Para wali berkumpul di masjid untuk membahas
memperingati Maulud Nabi. Sang prabu setuju bahwa peringatan akan diadakan
di masjid setahun sekali. Setelah semua setuju, para wali dan bawahannya datang
ke kraton dan bersama-sama dengan sang prabu pergi ke masjid untuk menghadiri
peringatan Maulud Nabi tersebut. Di sekitar masjid didirikan tenda-tenda, juga
diadakan khotbah untuk menyiarkan agama Islam pada seluruh masyarakat yang
hadir pada acara tersebut (Zahri Ahmad, 1976: 97).
Di masjid terdapat seperangkat gamelan dan dimainkan sebagai
penghormatan pada semua orang yang akan datang ke masjid. Gamelan
dimainkan siang dan malam selama 7 hari. Begitulah peringatan hari Maulud Nabi
pada zaman Kraton Demak. Para wali dan ulama bergantian memberikan khotbah
dan menuntun orang-orang mengucapkan kalimat syahadat bagi yang ingin masuk
Islam. Oleh karena itu juga disebut Pasamuan Sahadaten, namun karena
kesalahan pengucapan lama-kelamaan berubah menjadi Sekaten.
Sultan Demak kedua adalah Pangeran Sabrang Lor, menantu Sunan
Gunung Jati, karena Pangeran Sabrang Lor menikah dengan Sang Ratu Ayu
Cirebon. Setelah sang prabu wafat, gamelannya diambil kembali oleh Sang Ratu
Ayu dan dibawa ke Cirebon sebagai kenang-kenangan. Setelah berada di Cirebon,
gamelan sekaten tersebut dilestarikan sebagai penghormatan pada hari besar
Maulud Nabi, dimainkan setahun sekali di masjid sampai 7 hari lamanya.
Peringatan Maulud Nabi tersebut sampai sekarang masih dilaksanakan di Kraton
Kanoman Cirebon. Adapun nama-nama gending yang dimainkan ada 7 macam,
yaitu:
1. Gending Sekaten
2. Gending Cing-cing Dhuwur
3. Gending Kajongan
4. Gending Pare Anom
5. Gending Rabu Gedhe
6. Gending Rambu Alit
7. Gending Bango Buthak
Gamelan tersebut berada di Kraton Kanoman. Peringatan sekaten tersebut
sampai sekarang masih diadakah di Cirebon, Demak, Kudus, Surakarta dan
Yogyakarta. Di Demak dan Kudus hanya seperti pasar malam kecil saja, tanpa
gamelan sekaten.
Setelah kraton Demak runtuh, kraton dipindahkan ke Pajang. Yang
menjadi raja adalah Raden Jaka Tingkir, bergelar Kanjeng Sultan Hadiwijaya
(Marga Pranata, 1986: 67). Setelah tiga generasi, kraton Pajang kembali runtuh,
lalu pindah ke Mataram. Yang menjadi raja adalah Panembahan Senapati, ia
bertahta selama 16 tahun. Setelah Panembahan Senapati wafat ia digantikan oleh
Sunan Prabu Anyakrawati dan bertahta selama 12 tahun.
F. Penutup
Sunan Paku Buwana X bersikap terbuka terhadap peradaban Barat yang
sejak awal abad XX makin pesat perkembangannya. Prakarsanya dengan
mengirim putra-putranya ke Sekolah Rendah Eropa. Sesudah tamat, sebagian
melanjutkan pelajarannya ke HBS di Semarang atau Bandung, bahkan ada yang
dikirim ke Leiden.
Putri-putri diberi pelajaran tambahan berupa pelajaran keputrian,
bertempat di kraton. Ketika Ratu Pembayun sudah cukup usia untuk masuk
sekolah, sunan mendirikan Sekolah Pamardi Putri, disediakan khusus untuk putri-
putri sunan. Kraton juga mendirikan Sekolah Ksatria untuk mendidik anak-anak
abdi dalem panewu dan mantri (Karno, 1990 : 16). Dari golongan priyayi yang
mampu mengikuti jejak sunan dalam menyekolahkan putra-putranya adalah
pepatih dalem, karena tindakannya itu didukung oleh dana dari Sunan Paku
Buwana X yang cukup. Seorang di antaranya memasuki Sekolah Tehnik di Delft.
Seorang lagi, bernama Sasrasuwarna, sesudah lulus lalu melanjutkan pendidikan
ke Eropa.
Wilayah Surakarta disadari merupakan daerah yang dihuni oleh berbagai
macam agama, etnis dan golongan. Oleh karena itu, perlu adanya sikap toleransi
antar kelompok. Gagasan ini bisa terwujud dengan adanya sistem pendidikan
yang menghargai perbedaan. Sunan Paku Buwana X memahami arti penting
pendidikan multikulturalisme. Untuk itu didirikan fasilitas untuk menunjang cita-
cita tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bram Setiadi, dkk. 2000, Raja di Alam Republik. Jakarta : Binarena Pariwara.
Bratadiningrat, 1992. Asalsilah Warni-warni. Surakarta: Pura Kencana.
Darsiti Suratman, 1991. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta. Yogyakarta : Taman Siswa.
Denys Lombard. Nusa Jawa Silang Budaya, Jakarta: Gramedia, 2000.
Gunawan Sumodiningrat, 2001. Kraton dan Kepemimpinan Masa Depan. Jakarta : Bina Rena.
Karno, 1990. Riwayat dan Falsafah Hidup Sunan Paku Buwana X. Jakarta : Citra Bina Pustaka.
Marga Pranata, 1986. Tus Pajang : Penget lan Lelampahanipun Suwargi Yasadipura I. Jakarta : Depdikbud.
Puspaningrat, 1996. Mengenal Sri Susuhunan Paku Buwana X. Surakarta : Cendrawasih.
Sri Suhanjati Sukri, 2004. Ijtihad Progressif Yasadipura II. Yogyakarta : Gama Media.
Sunoto, 1982. Filsafat Pancasila. Yogyakarta : Liberty.
Suriasumantri, 1986. Filsafat Ilmu. Jakarta : Cahaya.
Zahri Ahmad, 1976. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bharata.
top related