pathophysiology hidrop fetalis
Post on 22-Oct-2015
376 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pathophysiology:Hydrops occurs as a result of abnormal fluid homeostasis which leads to a net efflux of water from fetal capillary plasma into interstitial tissues3,7. Because the exact regulatory mechanisms of vascular fluid exchanges in the fetus and placenta have not yet been elucidated, the pathophysiology of hydrops is still largely unknown and remains speculative3,7. Numerous complex pathways exist in the fetus to regulate fluid exchange, for instance, via the transmembrane, transcutaneous, transpulmonary, transrenal, transcolonic and transplacental routes. Thus, there are obvious differences compared to the adult, and a single or simple pathogenic mechanism, for example using Starling’s equation, is unlikely to provide a unifying explanation3. Traditionally, hydrops was thought to arise from 4 separate pathophysiologic mechanisms based on Starling’s equation (which calculates the net flow of fluid from capillary to lymphatics based on the opposing forces of colloid osmotic and hydrostatic pressures between the intravascular and interstitial compartments in the “extrauterine steady-state capillary bed)3,8:
1) Raised venous hydrostatic pressure as a result of cardiac failure. Cardiac failure may be due to obstructed or diverted outflow (eg. structural heart disease, high output states seen in sacrococcygeal teratoma), deficient cardiac return (eg. from thoracic compression due to congenital cystic adenomatous malformation (CCAM) or congenital diaphragmatic hernia (CDH)), or insufficient ionotropic force (eg. myocarditis from Parvovirus B19 infection, fetal anemia).
2) Decreased plasma osmotic (oncotic) pressure (eg. severe hypoproteinemia due to congenital (Finnish) nephrosis, hepatic fibrosis and familial cirrhosis).
3) Obstruction to lymphatic flow (eg. due to raised intrathoracic pressure from CCAM or CDH, or from malformation of lymphatics in Turner’s syndrome (45XO).
4) Increased capillary permeability (which may be an effect of ANP rather than cause—see below).
Recent studies with fetal sheep has suggested that a raised central venous pressure (CVP) may be the common final pathway leading to hydrops3,5. Ovine (sheep) research has found that lymphatic flow is very sensitive to changes in CVP; lymphatic obstruction (of the thoracic duct) occurs with slight increases in CVP which together with a raised venous filling pressure leads to increased interstitial fluid and edema3. The association between increased CVP and fetal hydrops, recognized in the human neonate via umbilical vein and inferior vena cava pressure measurements, has been confirmed in the animal model3. A raised CVP has been found to be the common link in experimentally induced ovine fetal hydrops where
fetuses were subjected to severe anemia, arrhythmias, and lymphatic and intrathoracic obstruction5. Another important observation is a 3 to 5 fold increase in atrial natriuretic peptide (ANP) seen in both human and ovine fetal hydrops3,5. These return to normal upon resolution of the hydrops. ANP increases capillary permeability to albumin and has regulatory influences on fluid retention5; hence, ANP may have an important role in the pathogenesis of hydrops. Another recent finding in hydrops is reduced fetal plasma levels of guanosine monophosphate (GMP) which may indicate nitric oxide production due to injury of fetal vascular endothelial cells5. Elevations of aldosterone, rennin, adrenaline, and angiotensin 1 were also observed in hydrops and are likely to be secondary events5. The significance of increased levels of coenzyme Q10, placental vascular endothelial growth factor, and endothelin, and decreased levels of cytokine interleukin-3 requires further study5. Cassady G. Hydrops fetalis. eMedicine pediatric topic. 2001; p.1-38. [www.emedicine.com/ped/topic1042.htm].
PENDAHULUAN
Hidrops fetalis adalah bahasa latin dari suatu edema janin. Istilah ini diperkenalkan
pertama kali oleh Ballantyne tahun 1892, meskipun sesungguhnya kondisi ini telah diketahui
sejak dua abad yang lalu. Gambaran klinis dari penyakit ini adalah abnormalitas akumulasi
cairan dalam rongga tubuh (pleural, percardial dan peritoneal) dan jaringan lunak tubuh
dengan ketebalan dinding lebih dari 5 mm. Hidrop fetalis sering berhubungan dengan
hidramnion dan penebalan plasenta (>6 mm) pada 30–75% kasus. Sejumlah kasus ditemukan
pula hepatosplenomegali. Masalah dasar pada hidrop fetalis adalah gangguan keseimbangan
cairan homeostasis dimana terjadi banyak amumulasi cairan dibandingkan dengan yang di
absorbsi.
Pada beberapa pasien, juga dapat berhubungan dengan polihidramnion dan edema
plasenta. Hidrops biasanya pertama kali dideteksi dari pemeriksaan USG selama trimester
pertama atau kedua kehamilan. Kumpulani cairan dapat mudah terdeteksi, namun akumulasi
cairan yang sedikit dan ringan dan kadang sulit dikenali dalam deteksi USG rutin.
Ada dua jenis hidrops fetalis: imun dan non-imun. Hidrops fetalis imun merupakan
komplikasi inkompatibilitas Rh yang parah. Inkompatibilitas Rh ini menyebabkan kerusakan
besar sel-sel darah merah, yang mengarah ke beberapa masalah, termasuk pembengkakan
tubuh total. Pembengkakan parah dapat mengganggu kerja organ-organ tubuh. Hidrops fetalis
non-imun terjadi ketika kondisi penyakit mengganggu kemampuan tubuh untuk mengatur
cairan. Ada tiga penyebab utama untuk jenis ini: masalah jantung atau paru-paru, anemia
berat (thalasemia), dan cacat genetik.
PEMBAHASAN
Definisi
Hidrops fetalis adalah kondisi janin serius dengan menifestasi akumulasi abnormal
cairan dalam dua atau lebih kompartemen janin, termasuk ascites, efusi pleura, efusi
perikardial, dan edema kulit.1
Fisiologi Cairan Amnion
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran
tersendiri pada setiap usia kehamilan. Cairan amnion merupakan komponen penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan janin selama kehamilan. Telah diketahui bahwa cairan
amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang memberikan ruang bagi
janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma
mekanik dan trauma termal.
Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara umum
volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke 8 usia kehamilan dan meningkat
menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian akan menurun
secara bertahap sampai volume yang tetap setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume
cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada
pertengahan gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Terdapat 3 cara yang sering dipakai
untuk mengetahui jumlah cairan amnion, dengan tehnik single pocket , dengan memakai
Indeks Cairan Amnion (ICA), dan secara subjektif pemeriksa.
Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Urin janin lebih banyak terdiri dari
urea, kreatinin dan asam urat dibandingkan plasma., juga terdiri dari deskuamasi sel-sel janin,
vernix, lanuga dan bermacam sekresi. Ginjal janin mulai memproduksi urin sebelum akhir
trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan aterm. Cairan paru janin memiliki
peran yang penting dalam pembentukan cairan amnion. Pada penelitian dengan menggunakan
domba, didapatkan bahwa paru-paru janin memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari,
dimana 50% dari produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut.
Untuk mencapai keseimbangan dalam regulasi cairan amnion, janin menelan cairan amnion,
dan juga mengabsorbsinya. Sembilan puluh delapan persen cairan amnion adalah air dan
sisanya adalah elektrolit, protein, peptide, karbohidrat, lipid, dan hormon. Faktor
pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor, EGF) dan faktor pertumbuhan mirip EGF,
misalnya transforming growth factor-α, terdapat di cairan amnion.
Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 persen dari semua kehamilan. Sebagian besar
penelitian klinis mendefinisikan hidramnion sebagai cairan amnion yang lebih besar dari 25
cm. Hidramnion terjadi oleh karena berbagai sebab. Dari faktor janin sendiri misalnya karena
anomali kongenital, obstruksi gastrointestinal, hidrops non imun, aneuploidi.
Gejala klinis utama pada hidramnion adalah pembesaran uterus disertai kesulitan
dalam meraba bagian-bagian kecil janin dan mendengar denyut jantung janin. Pada kasus
berat, dinding uterus sangat tegang. Membedakan antara hidramnion, asites, atau kista
ovarium yang besar biasanya mudah dilakukan dengan evaluasi ultrasonografi. Cairan
amnion dalam jumlah besar hampir selalu mudah diketahui sebagai ruang bebas-echo yang
sangat besar di antara janin dan dinding uterus atau plasenta. Kadang mungkin ditemui
kelainan janin misalnya anensefalus atau defek tabung syaraf lain, atau anomali saluran
cerna.
Indometasin mengganggu produksi cairan paru atau meningkatkan penyerapannya,
mengurangi produksi urin janin, dan meningkatkan perpindahan cairan melalui selaput janin.
Dosis yang digunakan oleh sebagian besar peneliti berkisar dari 1,5–3 mg/kg/hari.
Cairan amnion sering digunakan untuk keperluan diagnosis, misalnya untuk
mengetahui kematangan paru janin, mendeteksi gawat nafas pada janin dan mendiagnosis
ketuban pecah sebelum waktunya.2
Epidemiologi
Insiden tepat hidrops fetalis sulit untuk dijelaskan, karena banyak kasus tidak
terdeteksi sebelum kematian janin intrauterin dan beberapa kasus mungkin berakhir
secara spontan di dalam rahim.
Perkiraan secara umum hidrops fetalis di Amerika Serikat adalah sekitar 1 dalam 600
banding 1 dalam 4000 kehamilan. Insiden hidrops kekebalan tubuh menurun secara
signifikan dengan penggunaan macam imunisasi pasif menggunakan imunoglobulin
Rh untuk Rh-negatif ibu pada usia kehamilan 28 minggu (setelah dicurigai perdarahan
fetomaternal) dan postpartum (setelah bayi Rh-positif). Efektivitas program ini telah
ditunjukkan oleh penurunan kejadian penyakit hemolitik Rh dari janin atau bayi baru
lahir, dari 65 dalam 10.000 kelahiran di Amerika Serikat pada 1960-10,6 di 10.000
kelahiran pada tahun 1990.
Hidrops fetalis jauh lebih umum di Asia Tenggara. Di Thailand, frekuensi hidrops,
dari homozigot alfa-thalassemia atau hidrops Bart sendiri, adalah 1 dalam 500
banding 1 dalam 1500 kehamilan, Sedangkan angka Akurat dari wilayah Mediterania
tidak pernah dilaporkan
Pengaruh jenis kelamin pada hidrops fetalis sebagian besar berkaitan dengan
penyebab kondisi tertentu. Bagian penting dari hidrops berhubungan dengan kelainan
kromosom. Resiko pria yang lebih besar adalah peningkatan hampir 13 kali lipat
pada hidrops janin laki-laki dengan penyakit hemolitik Rh D.
Insidens pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus (yaitu rhesus negatif) adalah
15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa Asia. Rhesus
negatif pada orang Indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang
asing yang bergolongan rhesus negatif. 1,3,4
Hidrops Fetalis Imun
Sistem Golongan Darah ABO
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-
antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D, dan
merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada ABO sistem
dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang
berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu
oleh suatu eksposure apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus
merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya.
Dengan pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara
parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat
menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama.
Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap
(sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum
juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat
melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita
penyakit hemolisis.
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang
diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah
ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat
spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin.
Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal
yang merusak eritrosit janin.
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan
diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang
ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis.
Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam
patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan bahwa
eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang diwariskan secara
paternal. Find (1961) dan Freda (1963) meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang
efektif.1
Rhesus CDE
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d.
Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan adalah
Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung substansi (antigen D)
yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi. Gen c, e, dan E
kurang berperan disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi yang dihasilkan oleh
wanita Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).
Seorang wanita Rhesus (D) positif tak akan memproduksi antibodi, karena darah yang
positif tak akan memproduksi anti-d, tak ada anti Rhesus d. Seseorang mempunyai Rhesus
(D) negatif, jika diwariskan gen d dari tiap orang tua. Mungkin saja anak Rhesus (D) negatif,
jika ibu Rhesus (D) negatif dan bapak Rhesus (D) positif. Bapak dapat mempunyai gen D
atau d, sehingga bayi dapat mewarisi gen d dari bapaknya. Sebaliknya, wanita Rhesus (D)
negatif dengan pasangan Rhesus (D) negatif, dan tak akan timbul inkompatibilitas Rhesus,
walaupun ibu telah membawa anatibodi Rhesus (D) dari kehamilan sebelumnya.1
Gejala Klinis
Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh, asites dan
efusi pleura pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi bervariasi, tergantung
intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi kedalam kavum serosa
(hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan
hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar.
Juga terjadi pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali
yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar.
Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin.
Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan
kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas
pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie dan menyebar, sesak
nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun
transfusi sudah diberikan.
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia
basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul berupa letargia, kekakuan
ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-
kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah
kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak
pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli konduktif.
Anemia yanag terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat bertahan selama berminggu–
minggu hingga berbulan- bulan.1,3,5
Patofisiologi
Pada saat ibu hamil eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam
sirkulasi darah ibu, yang dinamakan Feto maternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki
antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan
kemudian masuk kedalam peredaran darah janin, sehingga sel-sel eritrosit janin akan
diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis.
Hemolisis terjadi dalam kandungan dan akibatnya adalah pembentukan eritrosit oleh tubuh
secara berlebihan, sehingga akan didapatkan eritrosit berinti banyak, yaitu eritroblas.
Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya
sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam
tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi
tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah
Rhesus positif, atau pada kehamilan kedua dan berikutnya.1,5
Bagan 1. Patofisiologi Hidrops Fetalis Nonimum
Parvovirus B19
Parvovirus B19 manusia adalah DNA beruntai tunggal virus yang biasanya
menginfeksi dengan cepat membagi baris sel, seperti sel-sel progenitor erythroid. Parvovirus
B19 telah terbukti menyebabkan sindrom infeksi kongenital, diwujudkan dengan ruam,
anemia, hepatomegali, dan kardiomegali. Parvovirus B19 infeksi dapat menyebabkan hidrops
fetalis keguguran atau nonimmune. Karena sebagian besar ibu hamil yang terinfeksi virus ini
tidak menunjukkan gejala, menentukan risiko infeksi janin dan nonimmune hidrops fetalis
sulit.
Hasil baik yang mengejutkan, resolusi spontan terjadi pada sekitar sepertiga dari
insiden tersebut, dan sekitar 85% dari mereka yang menerima transfusi janin dapat bertahan
hidup. Virus ini tidak bersifat teratogenik dan, meskipun laporan dari kegigihan virus pada
jaringan miokard dan otak, hasil perkembangan saraf pada penderita tampaknya normal.
Diagnosis awal dan akurat dengan menggunakan serologis ibu dan/atau molekul biologis
teknik PCR sangat penting. Hasil positif biasanya dikonfirmasi dengan PCR janin secara
langsung, studi tentang hemoglobin, hematokrit, dan trombosit untuk merencanakan rencana
perawatan yang tepat.
Infeksi Parvovirus B19 pada wanita hamil dapat mengakibatkan hidrops fetalis,
terutama bila infeksi terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu. Di Amerika Serikat, etiologi
yang paling umum dari hidrops fetalis adalah parvovirus B19 infeksi. Infeksi Parvovirus pada
wanita hamil dikaitkan dengan hidrops fetalis karena anemia janin yang berat, kadang-kadang
menyebabkan keguguran atau kelahiran mati. Risiko kematian janin sekitar 10% jika infeksi
terjadi sebelum 20 minggu kehamilan khususnya antara minggu 14 dan 20, tapi minimal
setelah itu. Skrining rutin dari sampel antenatal akan memungkinkan ibu hamil untuk
menentukan risiko infeksi. Resiko bagi janin akan berkurang dengan benar diagnosis anemia
dengan USG dan pengobatan oleh transfusi darah. Ada beberapa bukti klinis yang
menunjukkan bahwa infeksi Parvovirus B19 intrauterin menyebabkan kelainan
perkembangan pada anak di masa depan. Mikrograf menunjukkan perubahan virus pada janin
sel darah merah dalam kasus infeksi parvovirus.4
Faktor Resiko
Faktor maternal:
Golongan daran Rh negatif (d, d)
Antibodi golongan darah isoimmune
Risiko penggunaan narkoba
Penyakit kolagen-vaskular
Penyakit tiroid atau diabetes
Organ transplantasi (hati, ginjal)
Trauma tumpul abdomen
Koagulopati
Penggunaan indometasin, natrium diklofenak, atau obat-obatan yang berpotensi
teratogenik selama kehamilan
Usia muda (<16 tahun) atau lebih tua (> 35 tahun)
Faktor risiko untuk penyakit menular seksual
Hemoglobinopati (terutama dengan etnis Asia atau Mediterania)
Paparan perkerjaan (okupasional)
Binatang peliharaan
Epidemi penyakit virus yang terjadi di lingkungan sekitar
Riwayat keluarga:
Ikterus pada anggota keluarga lain atau pada anak sebelumnya
Riwayat keluarga kembar (khusus, monozigot)
Riwayat keluarga kelainan genetik, kelainan kromosom, atau penyakit metabolik
Kongenital malformasi pada anak sebelumnya
Kematian janin sebelumnya
Hidramnion pada kehamilan sebelumnya
RIwayat hidrops fetalis
Transfusi fetomaternal
Penyakit jantung bawaan pada anak sebelumnya
Apabila terdapat salah satu temuan berikut dari fisik ibu atau janin harus segera
evaluasi diagnostik lebih lanjut:
Twinning
Hidramnion
Exanthem atau bukti lain dari penyakit kambuhan virus
Lesi herpes atau chancre
Penurunan gerakan janin1,3,5
Etiologi
Isoimmun:
Rh (paling sering D, juga C, c, E, e)
ABO
Kidd (Jka, Jkb)
Duffy1,5
Tabel 1. Etiologi Hidrops Fetalis Nonimun
Pemeriksaan Laboratorium
Coombs test
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling
sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung.
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada
pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang
dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui
mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci.
Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran
eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs
ditambahkan, dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan
terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen
spesifik.
Gambar 1. Coombs Test
PCR
Perkiraan kualitatif dan kuantitatif dari proporsi sel darah merah mengandung
hemoglobin janin dalam sirkulasi ibu memiliki nilai tertentu.
Teknik Betke-Kleihauer tergantung pada kerentanan yang berbeda dari sel yang
mengandung hemoglobin janin dari orang-orang dengan hemoglobin dewasa ketika
mengalami asam-kromatografi.
Sebuah metode baru menggunakan flow cytometry juga berguna sebagai pemeriksaan.
Hasil yang keluar, baik menggunakan metode Betke-Kleihauer dan flow cytometry
harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena sensitivitas dan spesifisitas dari tes
diagnostik ini kurang akurat, telah dibuktikan dalam beberapa studi.
Skrining Sifilis menggunakan VDRL
Infeksi CMV, herpes simpleks (TORCH), dan spesifik enzim-linked immunosorbent
assay (ELISA) lebih sensitive untuk studiinfeksi agen individu.
Hemoglobin elektroforesis untuk alfa-thalassemia heterozigositas telah berguna dalam
etnis populasi beresiko.
Tes skrining serum maternal (multipel-marker, triple-screen, triple-marker), biasanya
digunakan jika anomali janin diduga, memiliki nilai pasti dengan hidrops fetalis.
Dalam satu studi, tes skrining positif (salah satu dari 3 digunakan) dengan
sensitivitas hanya 60% dalam 19 kasus sindrom Turner dibedakan beberapa janin
dengan hygroma kistik dan/atau hidrops dari mereka yang tidak. Masing-masing
komponen dari tes ini diperiksa secara terpisah dalam beberapa studi lain.
Peningkatan kadar AFP telah dilaporkan dalam hidrops berhubungan dengan
perdarahan fetomaternal, hemangioma tali pusat, polikistik ginjal, CMV, dan
parvovirus, namun, tingkat AFP serupa pada bayi dengan sindrom Turner dengan
atau tanpa hidrops. Nilai diagnostik yang tepat dari skrining AFP tidak pasti
karena studi definitif tidak tersedia.
Rendahnya tingkat estriol unconjugated (uE3) telah ditemukan pada bayi hidropik
dengan Sindrom Smith-Lemli-Opitz, tetapi tes tidak dapat menunjukkan nilai
yang membedakan antara bayi dengan atau tanpa hidrops, dan nilai normal telah
diamati pada kematian beberapa bayi hidropik.
Nilai Human chorionic gonadotropin telah dilaporkan secara signifikan
meningkat pada hidrops dengan teratoma sacrococcygeal, koriokarsinoma,
Parvovirus, sindrom Turner, dan sindrom Down, namun, nilai ini juga telah
normal dalam beberapa kematian janin hidropik terkait dengan Parvovirus.
Dalam sebuah studi tunggal, level inhibin-A meningkat nyata pada 12 janin
dengan sindrom Turner dengan hidrops dan berkurang secara signifikan pada
mereka tanpa hidrops janin.
Nilai alkali fosfatase serum maternal IgG plasenta meningkat dengan hidrops
fetalis.
Studi sampel direk invasif AF janin (cairan ketuban) atau jaringan plasenta atau cairan
telah menunjukkan nilai diagnosis definitif, pemantauan efektivitas pengobatan, dan
prognosis yang akurat di sejumlah kondisi yang berhubungan dengan hidrops.
Karyotyping selalu diindikasikan jika ada faktor herediter atau hasil USG
mengungkapkan kelainan kromosom atau factor herediter.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat mengenai status janin, janin sampel
langsung diambil dengan kordosentesis (atau sampling periumbilikalis).
Sampel janin oleh kordosentesis diikuti dengan bradikardia signifikan.
Elevasi AF alkali fosfatase telah diamati dalam hubungan dengan hidrops janin akibat
sindrom Turner, walaupun mungkin penemuan yang spesifik, studi lebih lanjut
diperlukan.1,3,5
Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasonography
2. 4D Ultrasound
3. Doppler Ultrasound
4. Biophysical Profile1,5
Gambar 2. Gambaran USG Hidrops Fetalis
Gambar 3. 4D Ultrasound
Gambar 4. Doppler Ultrasound
Tabel 2. Biophysical Profile
Penatalaksanaan
Diagnosis dan pengelolaan hidrops fetalis menjadi tantangan tersendiri bagi perinatologis
dan neonatologis. Tingkat kematian yang tinggi, dan pilihan pengobatan yang terbatas.
Faktor yang paling penting untuk memastikan pengobatan yang tepat dari janin dengan
hidrops adalah diagnosis yang tepat dan rinci. Sampai patofisiologi yang mendasari,
dipahami dan luasnya kelainan memimpin pengembangan hidrops benar-benar
didefinisikan, segala upaya pengobatan adalah sia-sia dan berpotensi membahayakan.
Jika didiagnosis sebelum lahir, ibu harus dirujuk ke pusat berisiko tinggi untuk
pengelolaan lebih lanjut dan konseling multidisiplin karena tingginya resiko kematian
janin.
Steroid prenatal harus diberikan jika terjadi pada kelahiran prematur.
Setelah masalah yang mendasari benar-benar dipahami, menjawab pertanyaan tentang
apakah kelainan ini kompatibel dengan kehidupan, apakah kelangsungan hidup janin akan
berada di biaya dengan kualitas yang dapat diterima hidup yang buruk, dan apa
konsekuensi mungkin untuk generasi mendatang. Saat ini, keterlibatan orang tua dan
bimbingan persyaratan mendasar dan memerlukan pengetahuan penuh oleh orang tua dari
semua konsekuensi potensial mungkin.
Jika keputusan dibuat untuk melanjutkan kehamilan, langkah selanjutnya adalah untuk
memutuskan apakah akan melakukan intervensi dengan pengobatan janin invasif dan
menentukan pada titik kelahiran prematur merupakan resiko yang kecil bagi janin dari
usia kehamilan lanjutan. Karena ketidakpastian besar tentang pertanyaan-pertanyaan ini
tidak dapat dihindari, terlepas dari penyebab yang mendasari, keterlibatan orang tua
penuh sangat penting.
Intervensi janin mungkin termasuk transfusi janin untuk anemia janin, obat antiaritmia
ibu (misalnya digoksin) untuk aritmia janin, dan dalam operasi rahim (misalnya,
thoracocentesis janin / paracentesis, reseksi bedah).
Keputusan tentang pengobatan janin sering tidak menentu karena bukti yang diperlukan
untuk diagnosis tidak tersedia. Meskipun banyak pendekatan ditemukan dalam literatur,
tidak ada uji klinis yang dirancang dengan baik berbasis bukti.
Skema pengobatan hanya didasarkan pada bukti empiris dan pengalaman masing ahli.
Dalam keadaan demikian, keputusan pengobatan yang sulit, terutama untuk dokter yang
membutuhkan bukti untuk menyeimbangkan risiko terhadap manfaat dari pengobatan
khusus.
Lebih memperumit masalah ini, remisi spontan dari proses hidropik telah dilaporkan
dalam ratusan kasus. Penyebab dalam kasus ini termasuk aritmia jantung, twin-to-twin
transfusion syndrome, penyerapan paru, malformasi adenomatoid fibrosis paru-paru,
penyakit penyimpanan lisosomal, hygroma fibrosis dengan atau tanpa sindrom Noonan,
baik parvovirus dan infeksi CMV, chorangioma plasenta, dan idiopatik asites atau efusi
pleura. Dokter dan orang tua benar-benar harus memahami bahwa keputusan pada saat ini
pada dasarnya tidak pasti dan sewenang-wenang.
Belum terbukti berisiko tinggi perawatan lebih mudah untuk menerima ketika prosedur
ditargetkan untuk memperbaiki patofisiologi yang mendasari menyebabkan hidrops
fetalis. Skema manajemen yang paling banyak diterima adalah termasuk transfusi janin
anemia benar apapun penyebabnya, obat untuk aritmia jantung, koreksi atau pengurangan
ruang lesi yang menghalangi vena jantung atau limfatik, dan prosedur yang dirancang
untuk menghentikan hilangnya janin dari darah, apapun penyebabnya.
Ketidakmatangan janin dapat mencegah pendekatan ini, penggunaan obat secara umum
telah diterima sebagai sesuai. Namun, apakah ini dibenarkan tidak didukung oleh bukti
dari uji klinis terkontrol, dan frekuensi yang berhenti spontan dari aritmia dan remisi dari
hidrops telah dilaporkan harus mempromosikan sikap skeptis dan lebih hati-hati tentang
terapi obat janin dari umumnya telah standar .
Obat telah diberikan kepada ibu (oral, intramuskular, intravena), untuk janin
(intraperitoneal, intramuskular, intravena melalui kordosentesis), untuk memperbaiki
aritmia janin.
Obat yang digunakan diantaranya digitalis, furosemid, flecainide, verapamil, amiodaron,
propanolol, prokainamid, quinidine, adenosin, sotalol, terbutaline, kortikosteroid, dan
imunoglobulin; berbagai kombinasi obat ini juga telah digunakan.
Meskipun adenosin tampaknya sangat efektif dengan aritmia supraventricular, dan terapi
kortikosteroid tampaknya efektif untuk blok jantung janin yang lengkap terkait dengan
penyakit kolagen ibu, pilihan obat tetap empiris dan sewenang-wenang, sampai saat bukti
definitif dari uji klinis telah dilakukan.
Sebaiknya dokter memilih pendekatan yang memberikan risiko rendah untuk janin dan
ibu sampai data lebih definitif yang tersedia.
Keberhasilan transfusi janin intrauterin intraperitoneal dengan sel darah merah dikemas
dalam pengobatan janin anemia kehamilan isoimmunized telah menjadi kisah sukses
untuk pengobatan modern perinatal. Sayangnya, kontrol bersejarah membentuk dasar
untuk kesimpulan ini, dan bukti definitif dari uji klinis acak mungkin bwlum pernah
dikaporkan.
Transfusi janin menggunakan rute intraperitoneal tampaknya telah menjadi diterima
sebagai standar perawatan untuk janin dengan anemia berat.
(Hct <30%) merupakan indikasi untuk transfusi vena umbilikalis pada bayi dengan
ketidakmatangan paru. Transfusi janin intravaskular difasilitasi oleh sedasi ibu dan janin
dengan diazepam dan dengan kelumpuhan janin dengan pankuronium. Sel darah merah
dikemas diberikan setelah pencocokan silang dengan serum ibu. Sel-sel harus diperoleh
dari donor CMV-negatif dan iradiasi untuk membunuh limfosit/transfusi harus mencapai
tingkat posttransfusion Hct dari 45-55% dan dapat diulang setiap 3-5 minggu.
Indikasi untuk pemberian obat kematangan paru, gawat janin, komplikasi pengambilan
sampel darah tali perkutan, atau usia kehamilan 35-37 minggu.
Tingkat kelangsungan hidup untuk transfusi intrauterin adalah 89%, tingkat komplikasi
adalah 3%. Komplikasi termasuk pecahnya membran dan kelahiran prematur, infeksi,
gangguan janin membutuhkan pengiriman darurat sesar, dan kematian perinatal.
Dilaporkan rute pemberian produk darah pada janin melalui perkutan vena umbilikalis,
vena umbilikalis intrahepatik, arteri umbilikalis, dan pendekatan berbagai gabungan
ibntervensi. Transfusi intrakardiak juga telah dilaporkan. Sukses telah diklaim dengan
transfusi janin parsial dikemas-sel uang, plasmapheresis ibu, prometazin ibu atau
pengobatan kortikosteroid, janin intravena Ig-G, transfusi trombosit janin, dan
administrasi janin manusia granulosit-stimulating faktor, sekali lagi menggunakan
berbagai rute.
Penggunaan metode invasif langsung mungkin meningkatkan risiko janin.
Pendarahan berat karena kerapuhan pembuluh darah, massa tumor vaskuler, perdarahan
masif sering mengakibatkan kematian janin secara cepat. Meskipun mereka yang
bertahan hidup mungkin mendapatkan keuntungan dari transfusi janin, seperti dijelaskan
di atas, perdarahan lanjutan dapat membuat upaya tersebut sia-sia. Dengan demikian,
pendekatan yang lebih agresif dalam kondisi seperti itu dapat dibenarkan.
Photocoagulation dan frekuensi radio teknik ablasi termal juga menunjukkan banyak janji
dalam hal ini. Informasi ini awal, sebagian besar berasal dari studi hewan, dan tidak ada
pengalaman percobaan klinik yang luas pada janin manusia saat ini tersedia. Namun
demikian, penyakit yang mengancam jiwa dapat membenarkan mengancam nyawa
pengobatan dalam beberapa kasus, dan menggunakan teknologi tersebut dalam situasi
perdarahan janin aktif mungkin cukup menjanjikan. Gunakan teknik ini untuk
memperbaiki shunting arteriovenosa besar yang menyebabkan hidrops fetalis juga
menunjukkan janji yang nyata efektivitas.
Efusi pleura ditangani dengan thoracenteses janin tunggal atau serial, pleurothoraco-
ketuban shunts, dan bedah janin untuk mengoreksi penyebab yang mendasari.
Efusi perikardial dikelola dengan pericardiocenteses tunggal atau serial atau manuver
drainase berkelanjutan.
Asites dapat diobati dengan peritoneo-amniotic shunts, dan intraperitoneal albumin.
Keberhasilan dan kegagalan telah dilaporkan dengan semua metode; bukti menunjukkan
bahwa salah satu pendekatan adalah lebih baik daripada yang lain karena tepat data
percobaan komparatif tidak tersedia.
Operasi janin dengan koreksi definitif anomali yang mendasari telah dilaporkan dengan
frekuensi meningkat. Kelangsungan hidup janin ditingkatkan dengan malformasi
adenomatoid kistik dan dengan penyerapan bronkopulmonalis telah diamati dalam seri
besar beberapa di mana langkah-langkah korektif langsung telah digunakan. Meskipun
keberhasilan ini telah diukur terhadap hasil menggunakan kontrol bersejarah, tindakan
tersebut masuk akal fisiologis dan, dengan demikian, menunjukkan menjanjikan.
Resusitasi pada hidrops fetalis menimbulkan masalah yang unik untuk neonatologis.
Dokter kandungan harus bekerja sama dengan neonatologis sesegera hidrops
diidentifikasi pada janin.
Setelah hidrops telah didiagnosis antenatal, melakukan segala upaya untuk menegakkan
penyebabnya, ini sangat membantu dalam mengobati bayi saat lahir.
Selain peralatan yang sesuai dan perlengkapan, tim terampil profesional perawatan
kesehatan neonatologis, perawat, ahli terapi pernapasan, radiograf teknisi, teknisi
ultrasonografi yang berpengalaman harus hadir di ruang bersalin.
Lakukan atau ulangi pemeriksaan ultrasonografi antenatal untuk menilai keberadaan dan
tingkat efusi pleura, efusi perikardial, atau ascites sebelum pengiriman karena cairan
tersebut mungkin memerlukan aspirasi di ruang bersalin untuk membentuk ventilasi yang
cukup dan sirkulasi.
Penilaian hematokrit janin, pO2 dan pH sampling pusar perkutan, meskipun berisiko,
dapat membantu dalam kasus-kasus yang dipilih untuk manajemen awal.
Setelah menetapkan jalan napas bayi dan ventilasi, kateter umbilikalis tempat arteri dan
vena untuk memonitor tekanan arteri, gas darah, dan tekanan vena.
Packed RBCs atau whole blood crossmatched dengan darah ibu harus tersedia untuk
transfusi atau transfusi tukar parsial untuk mengoreksi anemia berat.
Mengantisipasi dan segera memperbaiki kelainan metabolik seperti asidosis dan hipoglikemia.1,3,4,5
Tabel 3. Penanganan Hidrops Fetalis
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada ibu:
Edema
Hipertensi
Proteinuria saat pengobatan konservatif hidrops fetalis yang disebut Mirror syndrome
(pseudotoxemia atau Ballantyne syndrome)6
Pencegahan
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat
isoimunisasi Rhesus, adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin
yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram
anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin. Suntikan anti Rhesus (D) yang
diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap
penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih
dari antibodi pada kehamilan berikutnya.
Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang mengalami
sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan, ternyata sangat protektif. Ibu dengan
kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, atau perdarahan pervaginam
harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi tanpa preparat imunoglobulin. Ibu
rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun fraksi darah berupa trombosit atau
plasmaferesis berisiko untuk mengalami sensitisasi.5
Prognosis
Hidrops fetalis tetap menjadi kondisi yang kompleks dengan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi. Prognosis sebagian tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tetapi dengan perawatan postnatal agresif, tingkat kelangsungan hidup meningkat pada kasus
tertentu.
Hasil hidrops fetalis terutama tergantung pada usia, penyebab yang mendasari
kehamilan saat lahir, dan tingkat albumin serum.1
KESIMPULAN
Hidrops fetalis adalah kondisi janin serius dengan menifestasi akumulasi abnormal
cairan dalam dua atau lebih kompartemen janin, termasuk ascites, efusi pleura, efusi
perikardial, dan edema kulit.
Insiden tepat hidrops fetalis sulit untuk dijelaskan, karena banyak kasus tidak
terdeteksi sebelum kematian janin intrauterin dan beberapa kasus mungkin berakhir secara
spontan di dalam rahim.
Hidrops fetalis tetap menjadi kondisi yang kompleks dengan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi. Prognosis sebagian tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tetapi dengan perawatan postnatal agresif, tingkat kelangsungan hidup meningkat pada kasus
tertentu.
Ada dua jenis hidrops fetalis: imun dan non-imun. Hidrops fetalis imun merupakan
komplikasi inkompatibilitas Rh yang parah. Inkompatibilitas Rh ini menyebabkan kerusakan
besar sel-sel darah merah, yang mengarah ke beberapa masalah, termasuk pembengkakan
tubuh total. Pembengkakan parah dapat mengganggu kerja organ-organ tubuh. Hidrops fetalis
non-imun terjadi ketika kondisi penyakit mengganggu kemampuan tubuh untuk mengatur
cairan. Ada tiga penyebab utama untuk jenis ini: masalah jantung atau paru-paru, anemia
berat (thalasemia), dan cacat genetik.
Diagnosis dan pengelolaan hidrops fetalis menjadi tantangan tersendiri bagi
perinatologis dan neonatologis. Tingkat kematian yang tinggi, dan pilihan pengobatan yang
terbatas. Faktor yang paling penting untuk memastikan pengobatan yang tepat dari janin
dengan hidrops adalah diagnosis yang tepat dan rinci. Sampai patofisiologi yang mendasari,
dipahami dan luasnya kelainan memimpin pengembangan hidrops benar-benar didefinisikan,
segala upaya pengobatan adalah sia-sia dan berpotensi membahayakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, et al. Fetus and Newborn. In: Williams Obstetrics. 22nd ed. USA:
McGraw-Hill Companies; 2005.
2. Prawirohardjo S,Wiknjosastro H. Masalah Janin dan Bayi Baru Lahir. Dalam: Ilmu
Kebidanan. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.
3. Lockwood CJ, et al. A 32-Year-Old Pregnant Woman with an Abnormal Fetal
Ultrasound Study. The New England Journal of Medicine. [cited 12 December 2012]
Available from: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcpc0809064
4. Young NS. Brown KE. Parvovirus B 19. The New England Journal of Medicine.
[cited 12 December 2012] Available from:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra030840
5. Cabot RC, et al. A Premature Newborn Infant with Congenital Ascites. The New
England Journal of Medicine. [cited 12 December 2012] Available from:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199707243370408
Medical Advisory Board. Hydrops Fetalis. [cited 12 December 2012] Available from: http://www.perinatology.com/conditions/Hydrops.htm
top related