opac.lib.idu.ac.idopac.lib.idu.ac.id/unhan-ebook/assets/uploads/files/cd672-airmanship.pdfsanksi...
Post on 30-Dec-2019
27 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Dr
. A. A
dan
g Su
priyad
i
2460BUSINESS & ECONOMICS 16+
Harga P. Jawa Rp145.000
978-
602-
06-2
389-
4 D
IGIT
ALPenerbit
PT Gramedia Pustaka UtamaKompas Gramedia BuildingBlok I, Lt. 5Jl. Palmerah Barat 29–37 Jakarta 10270www.gpu.id
it is possible to fl y without motors, but not without
knowledge and skill.
Wright Brothers
“ “
The future of aviati on human factors lies primarily
with the discipline of individual fl yers, not high-
powered training programs, 3D simulati on, or advanced
technology aircraft .
Anthony Kern
“
“Keselamatan penerbangan merupakan tujuan utama dari semua
pemangku jabatan yang berkaitan dengan dunia penerbangan. Pengabaian terhadap keselamatan penerbangan oleh siapapun yang
terlibat dalam pengoperasian pesawat terbang merupakan kesalahan fatal yang akan berakibat pada kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa.
Untuk itulah, badan badan penerbangan internasional seperti ICAO, FAA, dan badan internasional lainnya memberlakukan persyaratan yang ekstra ketat dalam hal keselamatan penerbangan.
Sekalipun badan-badan internasional telah “memaksa” pihak-pihak yang terlibat dalam pengoperasian penerbangan dan menerapkan aturan-aturan penerbangan secara ketat, namun kecelakaan pesawat terbang masih saja terjadi.
Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan di Indonesia untuk meniadakan kecelakaan. Kecelakaan penerbangan sangan berhubungan dengan human error sebagai salah satu faktornya (airmanship pilot yang rendah).
Melalui penelitian yang mendalam, buku ini mengungkap hubungan airmanship pilot terhadap implementasi kebijakan publik dalam mengupayakan tercapainya keselamatan penerbangan, khususnya di Indonesia.
Pria kelahiran kota Pahlawan me-rupakan lulusan akademi Angkatan Udara tahun 1985 dari korps pener-bang. Beberapa pewsawat yang per-nah diterbangkan adalah F-27 Fok-ker, CN-235-100, CN-235-200, dan Boing 737-200 VVIP, serta pernah di-karyakan di Merpati Airlines dengan total jam terbang 11.303 jam.
Penulis telah menjabat beberapa posisi strategis, serperti Komandan Aquadron Udara 2 Komandan Wing 1 Lanud Halim Perdanakusuma, Ko-mandan Lanud Hudein Sastranegara, Bandung dan Komandan Lanud Ha-lim Perdanakusuma
Penulis merupakan alumnus Pro-gram Doktoral Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya, Ma-lang. Penulis juga aktif dalam meng-ajar di berbagai Universitas baik pada tingkat Strata 1(Satu). Magister, dan Doktoral, kini aktif menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Nasional Pe-nanggulangan Terorisme (BNPT)
Dr. A. Adang Supriyadi
AIRMANSHIP.indd 1 5/9/19 1:30 PM
AIRMANSHIP
Airmanship.indd 1 5/9/19 1:47 PM
Sanksi Pelanggaran Pasal 113Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014Tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Airmanship.indd 2 5/9/19 1:47 PM
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
AIRMANSHIP
Dr. A. ADAng SupriyADi
Airmanship.indd 3 5/9/19 1:47 PM
ARIMANSHIP
oleh Dr. A. Adang Supriyadi
GM 619216001
© Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Kompas Gramedia Blok 1, Lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29–37, Jakarta 10270
Perwajahan sampul: Suprianto
Perwajahan isi: Mulyono
Diterbitkan oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, 2018
www.gpu.id
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978-602-06-3044-1
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Airmanship.indd 4 5/9/19 1:47 PM
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku berju-
dul Airmanship ini. Penulis memandang perlunya mengejawan-
tahkan pandangan dan pemikirannya dalam sebuah buku guna me-
ningkatkan keselamatan penerbangan di Indonesia. Isu mengenai
keselamatan penerbangan sudah lama menjadi fokus perhatian penu-
lis sehingga perlu diulas dalam suatu karya ber bentuk buku agar dapat
dimanfaatkan bagi seluruh stakeholders di dunia penerbangan dan
juga para akademisi yang ingin melaksanakan penelitian mengenai
keselamatan penerbangan dan Airmanship.
Karya ini merupakan sumbangsih penulis untuk menjadi kan dunia
dirgantara Indonesia yang berkualitas, terutama me lalui aspek kese-
lamatan penerbangan. Hingga saat ini masih banyak masalah yang
melanda dunia penerbangan di Indonesia khususnya dalam aspek
human error. Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman, wawasan,
kajian, serta gagasan penulis yang masih banyak kekurangan ini di-
harapkan dapat membantu penyempurnaan sistem yang ideal terkait
keselamatan penerbangan di Indonesia.
Dalam uraian di buku ini, penulis memadukan aspek teori dan
regulasi yang berkembang di dunia penerbangan yang telah dipakai
oleh dunia internasional untuk menjawab permasalahan yang ada.
Airmanship.indd 5 5/9/19 1:47 PM
v i A I R M A N S H I P
Dengan demikian, penulis dapat mencari benang merah melalui teori
yang ada dengan permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan
sehingga penulis mampu mendapatkan solusi yang menjawab perma-
salahan utama dalam keselamatan penerbangan. Dalam hal ini, penu-
lis menekankan faktor pemahaman Airmanship dari para operator yang
harus dijadikan prinsip dasar dan doktrin. Pada akhirnya, prinsip ter-
sebut digunakan sebagai landasan utama dalam keselamatan pener-
bangan di Indonesia.
Dalam kesempatan ini, penulis mengajak seluruh stakeholder un-
tuk bersama-sama membangun keselamatan penerbangan di Indone-
sia. Tiada yang sempurna dari hasil yang dibuat oleh manusia, masih
diperlukan banyak penyempurnaan dalam buku ini agar menjadi lebih
bermanfaat di waktu yang akan datang. Namun setidaknya, penulis
berharap buku ini dapat menjadi ruang interaksi dan gagasan, serta
komunikasi guna mencari formulasi terbaik dalam mewujudkan cita-
cita bersama dalam dunia penerbangan di Indonesia, yakni keselamat-
an penerbangan.
Dengan demikian, penulis berkeyakinan bahwa marwah bangsa
Indonesia di kancah dunia internasional juga berkembang secara po-
sitif seiring dengan meningkatnya aspek keselamatan penerbangan di
Indonesia. Penulis akan senantiasa berupaya untuk menghasilkan
sumbangsih pemikiran dan gagasannya dalam menjadikan dunia pe-
nerbangan Indonesia semakin baik di masa mendatang dalam rangka
pengabdian kepada bangsa dan negara.
Selamat membaca, Salam Dirgantara…!!
Penulis
Dr. Asep Adang Supriyadi
Airmanship.indd 6 5/9/19 1:47 PM
DAFTAR ISI
KAtA PeNgANtAR ................................................................... v
BAB I Apa Itu Airmanship? ....................................................... 1
A. Membedah Nalar ...................................................................... 2
B. Pengertian Umum .................................................................... 11
C. Mencari Benang Merah ............................................................ 23
BAB II Hubungan Airmanship dengan Kecelakaan
Penerbangan ........................................................................... 27
A. Analisis Penyebab Kecelakaan................................................. 28
B. Analisis Terhadap Kebijakan Publik ........................................ 32
C. Antara Teori dan Praktik .......................................................... 40
D. Antara Manusia dan Birokrasi ................................................. 48
E. Antara Kecerdasan Nalar dan Jiwa .......................................... 55
BAB III Dibalik Makna Airmanship ........................................... 63
A. Mengenal Lebih Jauh Tentang Airmanship ............................ 64
B. Menemukan Filosofi ................................................................ 66
C. Bangunan Airmanship ............................................................. 73
D. Inhibitor dan Hambatan Airmanship ...................................... 93
Airmanship.indd 7 5/9/19 1:47 PM
v i i i A I R M A N S H I P
E. Pelatihan dan Evaluasi Airmanship ......................................... 95
F. Fondasi Airmanship ................................................................. 97
BAB Iv Format Keselamatan Penerbangan .............................. 103
A. Sejarah Transportasi Udara ..................................................... 104
B. Arti Sistem Transportasi Udara ............................................... 106
C. Arti Keselamatan dan Penerbangan ....................................... 107
D. Sistem Keselamatan ................................................................ 107
E. Pengertian dan Sumber Hukum Udara (Air Law) ................... 112
F. Dasar Hukum Keselamatan Penerbangan .............................. 113
G. Implementasi Keselamatan Penerbangan .............................. 126
H. Kecelakaan Pesawat ................................................................. 129
I. The Swiss Cheese Model ............................................................ 133
J. Hubungan Teoretis antara Airmanship Pilot dengan
Implementasi Kebijakan Publik .............................................. 136
K. Frame Work ............................................................................... 141
BAB v variabel dan Indikator yang Berkorelasi dengan
Keselamatan Penerbangan ...................................................... 149
BAB vI Implementasi Kebijakan Publik dalam Dunia
Penerbangan ........................................................................... 159
A. Hubungan Kebijakan Publik dengan Keselamatan
Penerbangan ............................................................................. 164
B. Memetakan Kesesuaian Teori Kebijakan Publik dalam
Dunia Penerbangan .................................................................. 165
BAB vII Pentingnya Airmanship dalam Keselamatan
Penerbangan ........................................................................... 177
A. Airmanship dalam Kacamata Kuantitatif............................... 178
B. Airmanship dalam Kacamata Kualitatif ................................. 181
C. Analisis terhadap Struktur Teori Airmanship ......................... 184
Airmanship.indd 8 5/9/19 1:47 PM
D A F TA R I S I i x
BAB vIII Pengaruh Perilaku, Kecerdasan emosi, dan
efikasi Diri terhadap Airmanship Pilot .................................... 191
A. Pengaruh Perilaku terhadap Airmanship ................................ 192
B. Pengaruh Kecerdasan Emosi terhadap Airmanship ............... 201
C. Pengaruh Efikasi Diri terhadap Airmanship ........................... 214
BAB IX Regulasi, Sistem Pengawasan, Penegakan Hukum
dan Sistem Manejemen Keselamatan Penerbangan ................ 227
A. Indikator-indikator dalam Keselamatan Penerbangan ......... 228
B. Analisis Keselamatan Penerbangan ........................................ 233
C. Fungsi Pengawasan Internal .................................................... 243
D. Fungsi Kontrol Enternal ........................................................... 243
Daftar Pustaka ........................................................................ 249
tentang Penulis ...................................................................... 259
Airmanship.indd 9 5/9/19 1:47 PM
x A I R M A N S H I P
DAFTAr TABEL:
• Tabel1.1.Penyebabkecelakaanpesawatterbang
di Dunia (persentase) .................................................................. 17
• Tabel1.2.FaktorPenyebabKecelakaanTransportasiUdaradi
Indonesia ...................................................................................... 19
• Tabel3.1.FoundationofAirmanship .......................................... 98
• Tabel4.1.8AnnexesofICAN ....................................................... 118
• Tabel4.2.12AnnexesAslidariChicagoConvention ................. 119
• Tabel4.3.AnnexesStandardariICAO ........................................ 121
• Tabel4.4.EmpatAnnexestambahanICAO ............................... 123
• Tabel5.1.JenisVariabeldanIndikatorPenelitian ...................... 150
• Tabel5.2.HubunganAntarVariabel ........................................... 156
DAFTAr gAMBAr:
• Gambar1.1.DataKecelakaanPesawatdiIndonesia .................. 20
• Gambar2.1.ProsesKebijakansebagaiInputdanOutput ........ 34
• Gambar2.2.ProsesKebijakanSecaraUmum ............................ 36
• Gambar2.3.JenisKebijakanPublik ............................................ 37
• Gambar3.1.BangunanAirmanship ............................................ 74
• Gambar3.2.TipeFollowers .......................................................... 86
• Gambar3.3.Situational Awareness ............................................. 90
• Gambar3.4.Elemen-elemenAirmanship .................................. 99
• Gambar4.1.KonsepTeoriSHELL .................................................. 112
• Gambar4.2.The Swiss Cheese Model .......................................... 134
• Gambar4.3.HubunganKebijakanPublikdengan
Airmanship .................................................................................. 140
• Gambar4.4.Frame Work Keselamatan Penerbangan ............... 143
• Gambar9.1.KonsepFungsiKontrolEksternal ........................... 244
• Gambar9.2.DiagramAirmanship:Implementasi
Kebijakan Menuju Keselamatan Penerbangan .......................... 245
Airmanship.indd 10 5/9/19 1:47 PM
D A F TA R I S I x i
• Gambar9.3.HubunganKorelasiantaraAirmanship
dengan Perilaku, Kecerdasan Emosi, Efikasi Diri,
Implementasi Kebijakan Publik, dan Keselamatan
Penerbangan ................................................................................ 246
• Gambar9.4.HubunganKorelasiantaraAirmanship
dengan Implementasi Kebijakan Publik .................................... 247
Airmanship.indd 11 5/9/19 1:47 PM
x i i A I R M A N S H I P
DAFTAr pEngErTiAn
No Singkatan Keterangan Singkatan
1. AM (Airline
Manual)
Standar manual perusahaan penerbangan
yang bergerak dalam bidang angkutan
udara yang mengangkut penumpang,
barang, pos dan kegiatan keudaraan lain
nya dengan memunguut bayaran dengan
menggunakan pesawat terbang bersayap
tetap (fixed wing) maupun bersayap putar
(rotary wing) yang melakukan kegiatan
penerbangan secara berjadwal maupun
tidak berjadwal.
2. APU(Auxiliary
Power Unit)
Sebuah perangkat pada kendaraan yang
menyediakan energi untuk fungsi lain
selain profungsi. Perangkat tersebut
biasanya ditemukan di pesawat besar
serta kendaraan darat besar.
3. ASP (Airline
Security
Programme)
Program untuk melindungi penerbangan
sipil dari tindakan gangguan melawan
hukum
4. ATC (Air Traffic
Control)
Unit pemanduan lalu lintas udara/
petugas lalu lintas udara yang akan
memandu sebuah pesawat udara
5. CASA (Civil
Aviation Safety
Authority)
otoritas penerbangan Australia nasional
(NAA), otoritas hukum pemerintah yang
bertanggung jawab untuk pengaturan
penerbangan sipil.
Airmanship.indd 12 5/9/19 1:47 PM
D A F TA R I S I x i i i
6. CASR (Civil
Aviation Safety
Regulation)
suatu keadaan terpenuhinya persyaratan
keselamatan dalam pemanfaatan wilayah
udara, pesawat udara, Bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan,
serta fasilitas penunjang dan fasilitas
umum lainnya.
7. CRM (Crew
Resource
Management)
Pelatihan wajib bagi para awak pesawat
guna memperkecil resiko kecelakaan
akibat human error dan pelatihan
mengenai sikap perilaku, cara
berkomunikasi, penyelesaian konflik
sampai pada pengambilan keputusan.
8. DKPPU
(Direktorat
Kelaikudaraan
dan
Pengoperasian
Pesawat Udara)
Badan pelaksana perumusan dan
pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria,
pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta evaluasi dan pelaporan di
bidang kelaikudaraan dan pengoperasian
pesawat udara.
9. DSKU
(Direktorat
Sertifikasi dan
Kelaikan Udara)
Badan pelaksana sertifikasi dan kelaikan
pesawat udara di Kementrian
Perhubungan.
10. ECOSOC
(Economic and
Social Council)
Suatu dewan ekonomi dan sosial
Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) yang
bertugas untuk mengadakan
penyelidikan-penyelidikan dan
memberikan anjurananjuran tentang
soal-soal ekonomi, sosial, kebudayaan,
pendidikan dan kesehatan.
Airmanship.indd 13 5/9/19 1:47 PM
x i v A I R M A N S H I P
11. FAA (Federal
Aviation
Administration)
Merupakan lembaga regulator
penerbangan sipil di Amerika Serikat.
12. IAEA
(International
Atomic Energy
Agency)
Suatu keadaan terpenuhinya persyaratan
keselamatan dalam pemanfaatan
wilayah udara, pesawat udara, Bandar
udara, angkutan udara, navigasi
penerbangan, serta fasilitas penunjang
dan fasilitas umum lainnya.
13. IATA
(International
Air Transport
Association)
Sebuah organisasi perdagangan
internasional yang terdiri dari maskapai-
maskapai penerbangan.
14. ICAN
(International
Commission for
Air Navigation)
Pendahulu dari International Civil
Aviation Organization ICAO.
15. ICAO
(International
Civil Aviation
Organization)
Sebuah perusahaan penerbangan sipil
internasional yang beranggotakan
pemerintah suatu Negara yang menjadi
PBB yang didirikan sejak tahun 1974.
16. KKPU (Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha)
Lembaga independen yang dibentuk
untuk mengawasi pelaksanaan UU no. 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
17. KNKT (Komisi
Nasional
Keselamatan
ransportasi)
Sebuah lembaga pemerintahan
nonstruktural Indonesia yang
melaksanakan tugas dan fungsi
investigasi kecelakaan transportasi.
Airmanship.indd 14 5/9/19 1:47 PM
D A F TA R I S I x v
18. LCC (Low Cost
Carrier)
Penerbangan dengan biaya rendah atau
sebuah maskapai penerbangan yang
menyediakan harga tiket pesawat
dengan harga terjangkau dengan
mengurangi beberapa layanan umum
bagi penumpang pesawat seperti
layanan catering, minimalis reservasi
sehingga menekan biaya cost
penerbangan dan harga nya dapat
dijangkau oleh masyarakat luas.
19. LPPNPI
(Lembaga
Penyelenggara
Pelayanan
Navigasi
Penerbangan
Indonesia)
BUMN Indonesia yang bergerak di bidang
usaha pelayanan navigasi udara.
20. NTSB (National
Transport
Safety Bureau)
Lembaga investigasi independen yang
bertanggung jawab untuk investigasi
kecelakaan transportasi sipil di AS.
21. PICAO
(Provisional
International
Civil Aviation
Organization)
Prinsip-prinsip dan teknik navigasi udara
internasional dan mendorong
perencanaan dan pengembangan
transportasi udara internasional untuk
memastikan pertumbuhan yang aman
dan tertib.
Airmanship.indd 15 5/9/19 1:47 PM
x v i A I R M A N S H I P
22. RAC (Rules of
Air and Air
Traffic Control)
Profesi yang memberikan layanan
pengaturan lalu lintas di udara terutama
pesawat udara untuk mencegah antar
pesawat terlalu dekat satu sama lain,
mencegah tabrakan antar pesawat udara
dan pesawat udara dengan rintangan
yang ada di sekitarnya selama beroperasi.
23. SAR
(Search and
Rescue)
Kegiatan dan usaha mencari, menolong,
dan menyelamatkan jiwa manusia yang
hilang atau dikhawatirkan hilang atau
menghadapi bahaya dalam musibah-
musibah seperti pelayaran, penerbangan,
dan bencana.
24. SARPs
(Standard and
Recommended
Practices)
Spesifikasi teknis yang diadopsi oleh
Dewan ICAOsesuai dengan Pasal 37 dari
Konvensi Penerbangan Sipil Internasional
untuk mencapai “tingkat praktis
tertinggi keseragaman dalam peraturan,
standar, prosedur dan organisasi dalam
kaitannya dengan pesawat, personil,
saluran udara dan jasa tambahan dalam
segala hal di mana keseragaman
tersebut akan memudahkan dan
meningkatkan navigasi udara “.
Airmanship.indd 16 5/9/19 1:47 PM
D A F TA R I S I x v i i
25. USOAP
(Universal
Safety
Oversight Audit
Programme)
Badan audit fokus pada kemampuan
suatu Negara dalam memberikan
pengawasan keamanan dengan menilai
apakah negara memiliki efektif dan
konsisten menerapkan unsur-unsur
penting dari sistem pengawasan
keamanan, yang memungkinkan negara
untuk memastikan pelaksanaan standar
dan direkomendasikan praktek yang
terkait dengan keselamatan ICAO
(SARPs) dan prosedur terkait dan
mendapat materi bimbingan.
Airmanship.indd 17 5/9/19 1:47 PM
Airmanship.indd 18 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 1
Bab IAPA ITU
AIRMANSHIP?
Airmanship.indd 1 5/9/19 1:47 PM
2 A I R M A N S H I P
A. MEMBEDAh nALAr
Sebelum mengenal apa itu airmanship, penulis ingin mengurai terlebih
dahulu apa itu pengertian administrasi. Dari administrasi kemudian
memiliki korelasi erat dengan kebijakan publik dan manajemen yang
menyangkut pada sebuah pelayanan hingga keselamatan. Maka seje-
nak penulis mengajak berputar sedikit terlebih dahulu guna mereflek-
sikan otak kita.
Dimulai tahun 1886 dengan ditandai perjuangan para sar jana pada
masa itu untuk menjadikan pengetahuan admi nistrasi sebagai ilmu
yang berdiri sendiri menjadi satu disiplin ilmu. Periode inilah yang
disebut awal administrasi. Dalam kehidupan nyata tanpa memandang
perbedaan zaman, aktivitas manusia secara umum tidak dapat terlepas
dari kegiatan administrasi.
Hakikatnya, administrasi dapat menjadi salah satu unsur yang
berperan penting dalam pencapaian tujuan dari berbagai kegiatan. Hal
ini diperkuat dengan teori Robbins (2003) yang memandang adminis-
trasi sebagai segenap prosedur dari hal-hal kegiatan dalam pencapai-
an tujuan secara tepat dengan dan melalui orang lain.
Penelaahan administrasi secara ilmiah juga dipelopori oleh Taylor
(1911) dan Fayol (1930) dengan mengeluarkan satu perspektif teori dan
pendekatan bagi kelanjutan ilmu administrasi yang disebut teori ma-
najemen administrasi. Penelitian manajemen ilmiah merupakan ta-
hapan dalam perkembangan administrasi dan awal dari perkembang-
an administrasi sebagai ilmu dan pengetahuan.
Dalam pengembangannya di Indonesia, pelajaran administrasi
pada dasarnya dibedakan menjadi administrasi negara/publik dan
administrasi bisnis/niaga, Admosudidjo (1990). Pada umumnya admi-
nistrasi publik merupakan perubahan makna kata negara menjadi
publik. Menurut Islamy (2012), bahwa perbedaan kata tidak perlu di-
permasalahkan karena setiap instansi boleh saja memakai istilah
negara atau publik karena artinya sama. Hal ini diperkuat oleh teori
Airmanship.indd 2 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 3
Dye (2008) yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah setiap
yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Oleh
karena itu Islamy dan Dye menganggap bahwa pengertian publik di
sini memiliki dua arti yaitu negara sekaligus warga negara.
Berdasarkan kepentingan masyarakat, maka administrasi publik
harus dilaksanakan dengan efisien dan efektif serta dapat melakukan
proses demokratisasi dangan cara memberikan kebebasan bagi setiap
anggota masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya (Wahab, 1999).
Namun dalam pelaksanaannya, administrasi publik tidak hanya ber-
kaitan dengan teknik yang efektif dan efisien dalam menyelenggara-
kan sistem demokratisasi, tetapi juga berhubungan dengan kepiawai-
an men capai tujuan sebagai proses demokratisasi itu sendiri, sebagai
wu jud dari hak-hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan publik yang baik.
Plano dan Chandler (1982) menjelaskan bahwa implementasi kebi-
jakan publik adalah penggunaan terhadap sumber daya yang ada
untuk mengatasi ihwal publik atau pemerintah. Implementasi kebi-
jakan publik dapat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masya-
rakat sebagai dampak dari situasi dan kondisi politik serta ekonomi
nasional maupun internasional. Maka implementasi kebijakan publik
harus berlaku secara adil dan sama terhadap setiap anggota masya-
rakat, tanpa membedakan kelompok atau golongan. Implementasi
kebijakan publik yang lebih mengutamakan kelompok tertentu dapat
dinilai sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan etika dalam
pemberian pelayanan publik.
Sehubungan dengan usaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelayanan publik, maka diperlukan kegiatan manajemen. Kegiatan
manajemen adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen
yang berhasil menjadikan rencana sesuai dengan harapan, berupa
rencana kerja maupun aturan dalam pelaksanaanya (Moenir, 1995).
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pelayanan publik
secara efektif menjamin hak konstitusional warga negara, yang pada
Airmanship.indd 3 5/9/19 1:47 PM
4 A I R M A N S H I P
sektor transportasi udara dapat diterjemahkan sebagai pedoman ser-
ta panduan yang berfungsi sebagai pelaksanaan penerbangan yang
selamat dan aman. Dan sesuai dengan penjelasan Moenir tersebut di
atas, maka manajemen pelayanan ter hadap pengguna jasa transpor-
tasi udara (terkait dengan tulisan ini disebut sebagai Operator) dapat
dinyatakan baik apabila telah memberikan pelayanan secara profesi-
onal yang aman, tepat, cepat dan tanggap akan apa yang diinginkan
pelanggan/ penumpang.
Dalam hal ini, pihak manajemen harus menyadari dan mampu
mempersiapkan berbagai rangkaian antisipasi secara mendesak untuk
menangani dampak yang muncul pada situasi tertentu. Kasus keter-
lambatan kedatangan atau pemberangkatan pesawat harus cepat
diantisipasi dengan memberikan informasi yang akurat kepada publik
secara langsung atau melalui media elektronik mengenai apa yang
telah menimpa perusahaan, sehingga publik tidak bertanya-tanya atau
berprasangka buruk terhadap apa yang terjadi.
Berdasarkan pasal 28 konvensi Chicago 1944 mengamanatkan
bahwa negara-negara anggota peserta konvensi ini berkewajiban un-
tuk memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan standar Interna-
sional yang ditetapkan. Demikian juga dengan pasal 44 menyatakan
bahwa setiap organisasi untuk meneliti serta menganalisis prinsip-
prinsip dan teknik-tenik navigasi udara internasional untuk memban-
tu perencanaan dan pengembangan transportasi udara internasional
dalam menjamin keselamatan penerbangan. Keselamatan penerbang-
an diatur dalam ketentuan tambahan (Annexes) pada annex 17 dan
annex18,sertadiperkuatdalamCivilAviationSafetyRegulation(CASR)
tertera pada part 121 dan 135 tentang peraturan keselamatan pener-
bangan.
Indonesia sebagai negara peserta konvensi, juga telah merumus-
kan aturan mengenai keselamatan penerbangan yang diatur dalam
ketentuan perundang-undangan nasional seperti Undang-Undang
Airmanship.indd 4 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 5
Nomor 1 Tahun 2009 pada Bab XIII tentang Penerbangan. Pada undang-
undang ini, keselamatan penerbangan terdiri dari pasal 308 sampai
dengan pasal 322. Pemerintah melalui kebijakannya menjamin pela-
yanan publik dalam keselamatan penerbangan.
Khususnya pada bagian kedua pengawasan keselamatan pener-
bangan pada pasal 312. UOSAP adalah audit yang dilakukan oleh ICAO
sebagai respons akan kebutuhan global dalam keselamatan pener-
bangan yang tertuang dalam Standart and Recommended Practices
(SARPs). Di samping itu audit berfungsi untuk mengetahui level kepa-
tuhan anggota negara ICAO dalam menerapkan ketentuan SARPs de-
ngan memberikan laporan akan hal apa saja yang dilakukan oleh ne-
gara-negara anggota yang memenuhi standard tersebut.
Kebijakan keselamatan penerbangan di Indonesia yang ditetap-
kan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sejalan dengan
perkembangan industri penerbangan dan pelayanan transportasi
udara di Indonesia. Kemenhub merupakan Kementerian yang mem-
bidangi urusan transportasi yang bertugas memformulasikan dan
menjalankan kebijakan dan standardisasi di sektor perhubungan
udara yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Uda-
ra (Ditjen Hubud).
Anderson (1979) menyatakan bahwa implementasi kebijakan me-
rupakan suatu keadaan yang mempunyai dinamika yang melibatkan
secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencapai tujuan keputusan
yang diinginkan. Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa inti dari
implementasi kebijakan adalah sejauh mana kebijakan itu dibuat
berdasarkan sumber daya yang ada. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka perlu diperhatikan bahwa perlu adanya panduan atau pedoman
yang dapat menjelaskan tata cara dari pelaksana untuk memilih tin-
dakan sendiri yang bebas di dalam batas kewenangannya apabila
berhadapan dengan kondisi khusus. Pernyataan tersebut sangat sesu-
ai dengan kondisi pilot yang berhadapan dengan kondisi khusus.
Airmanship.indd 5 5/9/19 1:47 PM
6 A I R M A N S H I P
Ditjen Hubud menjadikan proses keselamatan penerbangan seba-
gai prioritas utama pada semua kegiatan. Ditjen Hubud mempunyai
komitmen aman, selamat, pelayanan, dan dapat dikoreksi serta telah
membuat rencana aksi strategis melalui kolaborasi dengan pihak
mana pun. Hal ini dilakukan untuk mencapai standar yang paling baik
dalam kinerja keselamatan dan sesuai dengan standar ICAO. Pada
tahun 2014 skor keselamatan penerbangan Indonesia dari ICAO sebe-
sar 45 dan telah naik menjadi 60 di tahun 2015 yang bertahan sampai
dengan Februari 20161.
Hal tersebut merupakan hasil dari Implementasi Kebijakan, yang
berupaUndang-UndangNomor1Tahun2009BABXVIItentangefisi-
ensi Industri dan Pembinaan Teknologi Penerbangan dalam pasal 372.
Berbagai peraturan di sektor penerbangan telah diterbitkan pemerin-
tah sebagai upaya agar Indonesia dapat menjadi kategori satu dalam
hal keselamatan penerbangan. Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun
2012 tentang Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara
Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) sebagai suatu
bukti keseriusan pemerintah untuk meningkatkan keselamatan pe-
nerbangan di Indonesia.
Konsekuensi logisnya perusahaan akan mengelola secara baik,
akuntabel, profesional, dan transparan, serta mandiri untuk mengha-
silkan tingkat pelayanan navigasi berupa layanan lalu lintas pener-
bangan yang mengutamakan keselamatan, kenyamanan dan ramah
lingkungan demi memenuhi ekspektasi pengguna jasa.
Selain itu yang tidak kalah penting adalah kebutuhan alat trans-
portasi yang nyaman dan aman untuk mengangkut dan mendukung
program pembangunan yang cepat, pembangunan yang adil, dan
kelancaran distribusi ekonomi di berbagai sektor ke seluruh pelosok
tanah air misalnya, sektor industri, perdagangan, pariwisata dan pen-
didikan (Abdulkadir, 1998).
1http://hubud.dephub.go.id/?id/ news/detail/2845)
Airmanship.indd 6 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 7
Pemerintah telah melaksanakan kebijakan khususnya transpor-
tasi udara dan kemajuan perkembangan pelayanan navigasi pener-
bangan sehingga waktu yang ditempuh lebih singkat dan ekonomis,
kemudian seiring dengan perkembangan industri penerbangan na-
sional dalam beberapa tahun belakangan, menjadikan harga tiket
pesawat berkurang sampai 35 persen untuk semua rute penerbang-
an. Dengan tarif yang murah, maka frekuensi penerbangan akan
meningkat cepat dan sanggup memuat penumpang lebih dari 25 juta
orang pertahun2.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 terdapat 72,6 juta
penumpang yang menggunakan jasa transportasi udara di sejumlah
bandara di Indonesia. Jumlah penumpang mengalami kenaikan 5,6%
dari tahun 2013 sebanyak 68,5 juta orang. Jumlah penumpang terba-
nyak di Bandara Soekarno-Hatta sebanyak 20,3 juta orang atau 34,40%
dari seluruh penumpang yang kedua adalah Bandara Juanda Surabaya
dengan jumlah 7 juta orang atau 11,86 persen (Kemenhub, 2015).
Tarif rendah yang ditawarkan dikhawatirkan tidak diimbangi de-
ngan pelayanan publik yang mumpuni sesuai dengan standar pener-
bangan. Namun apabila tarif murah itu tidak diimbangi dengan kela-
ikan pesawat yang baik atau keselamatan penerbangan yang sesuai
standar keselamatan, maka hal ini dapat berakibat fatal.
Pertumbuhan jumlah penumpang yang demikian pesat, diikuti
dengan meningkatnya jumlah pesawat. Pada tahun 2014 tercatat se-
banyak 750 pesawat yang beroperasi melayani penumpang domestik.
Pada tahun 2017 diperkirakan mencapai 1.030 pesawat yang diopera-
sikan oleh 61 maskapai penerbangan niaga, baik yang terjadwal mau-
pun tidak terjadwal (Rizki, 2015). Konsekuensi logis dari peningkatan
frekuensi penerbangan diperkirakan salah satunya adalah kecelakaan
pesawat terbang.
2 (Yose Rizal Damuri, http://www.tempointeraktif.com, 20 September2007 pukul 17.00)
Airmanship.indd 7 5/9/19 1:47 PM
8 A I R M A N S H I P
Faktor penyebab kecelakaan dalam penerbangan biasanya tidak
hanya disebabkan faktor tunggal (single factor) namun dipengaruhi
oleh faktor lain yang saling berhubungan. Suatu sebab yang berdiri
sendiri kemungkinan masih dapat diatasi, tetapi apabila kombinasi
suatu faktor dengan faktor lain terjadi secara terus menerus maka
kemungkinan akan terjadi akibat fatal yang mengorbankan manusia.
Selanjutnya di dalam kecelakaan ada berbagai faktor penyebab kece-
lakaan seperti faktor manusia (human error), pesawat terbang itu
sendiri (machine), lingkungan (environment), penggunaan pesawat
udara (mission) dan pengelolaan (management) (Martono, 1995).
Pemerintah telah mencanangkan langkah konkrit sesuai dengan
kebijakan ICAO dengan melaksanakan sistem Keselamatan Pener-
bangan. Berdasarkan penjelasan di atas penulis mengamsumsikan
bahwa pemerintah telah mengkaji sistem manajemen keselamatan
penerbangan, maka akan dapat dilaksanakan untuk mencapai zero
accident.
Adanya kecelakaan dan kerugian-kerugian yang terjadi pada sek-
tor transportasi udara, harus dapat dipertanggungjawabkan secara
personal maupun organisasi. Maskapai tidak boleh melepas tanggung
jawab untuk memastikan keselamatan penerbangan melaui SOP yang
ada. Untuk mengatasi hal tersebut maskapai harus bekerja keras dan
bahu membahu dengan pemerintah supaya satu jalan dan satu tujuan.
Tanggung jawab operator diatur dalam beberapa pasal di Ordo-
nansi Pengangkutan Udara (Stbl.1939 No.100) yaitu pada Pasal 24 ayat
1, Pasal 25 ayat 1 serta Pasal 28 Ordonansi Pesawat Udara. Pasal 24 ayat
1 menegaskan pihak maskapai bertanggung jawab atas di dalam pe-
sawat udara atau selama proses penerbangan. Pasal 25 ayat 1 mene-
tapkan bahwa maskapai bertanggung jawab untuk kerugian jiwa raga
dan barang penumpang. Sedangkan pada pasal 28 menentukan bahwa
operator tidak bertanggung jawab dalam hal keterlambatan jika sudah
ada persetujuan izin.
Airmanship.indd 8 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 9
Dalam Hal Pengangkutan Udara, pengaturan tentang tanggung
jawab operator diatur pula dalam Pasal 43 Undang-Undang No.15 Ta-
hun1992 tentang Penerbangan sebagai pengganti sebelumnya yaitu
Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan. Pasal 74
butir a Undang-Undang Tahun 1958 menyebutkan juga bahwa Ordo-
nansi Pengangkutan Udara dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang No.15 Tahun 1992 atau belum
diganti dengan Undang-Undang yang baru.
Ketentuan mengenai tanggung jawab operator juga diatur lebih
lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang
Angkutan Udara. Selain perundang-undangan dan peraturan domestik,
perusahaan-perusahaan penerbangan juga harus memenuhi standar
dan kriteria yang ditentukan serta diberlakukan oleh badan-badan
internasional, yakni ICAO dan Federal Aviation Administration (FAA).
Salah satu yang harus dipenuhi dalam standar dan kriteria tersebut
adalah standar untuk mewujudkan keselamatan penerbangan. Berda-
sarkan beberapa penelitian, faktor dominan yang memengaruhi kese-
lamatan penerbangan adalah manusia (Wiegmann dan Shappell, 2000).
Orang yang terlibat dalam penerbangan terdiri dari dua jenis, yaitu:
personel yang terbang (flying personnel) dan personel yang berada di
darat (ground personnel). Personel darat yaitu insan penerbangan yang
mendukung penerbangan dan berada di daratan, baik untuk menyi-
apkan pesawat maupun untuk memonitor cuaca, serta pergerakan
pesawat, antara lain: mekanik pesawat, personel bandar udara, mete-
orologi, personel ATC (Air Traffic Control), Aviation Security, dan seba-
gainya.
Personel terbang terdiri dari Pilot, co-Pilot, Flight Engineer, dan
cabin crew. Sama seperti Weigmann dan Shappel, Pakan (2008) juga
menjelaskan, faktor manusia merupakan faktor dominan penyebab
keselamatan penerbangan. Artinya sampai sejauh mana manusia yang
terlibat dalam pengoperasian pesawat udara, baik crew di darat mau-
Airmanship.indd 9 5/9/19 1:47 PM
1 0 A I R M A N S H I P
pun crew di udara mampu berinteraksi dengan faktor lain yang dapat
menjadi penyebab terjadinya kecelakaan.
Namun, dalam suatu penerbangan pengambil keputusan terting-
gi berada pada Pilot sebagai captain in command. Pilot adalah orang
yang menentukan tindakan apa yang akan dibuat dalam setiap situ-
asi pada suatu penerbangan, apalagi terkait dengan keselamatan
penerbangan.
Menurut Nrangwesti (2011), Pilot mempunyai tanggung jawab yang
paling besar dibandingkan dengan kru yang lain terutama yang ber-
kaitan dengan keselamatan penerbangan. Peneliti lain, Alsowayigh
(2014), meneliti tentang pengaruh safety culture pada penerbangan di
Arab Saudi. Hasil penelitiannya menyimpulkan 80% kecelakaan pe-
nerbangan di Arab Saudi terjadi karena faktor manusia.
Sekalipun kecelakaan bukan disebabkan oleh faktor tunggal, Pilot
memiliki andil yang sangat besar sebagai penyebab terjadinya kece-
lakaan. Edward (1973) menjelaskan bahwa ada tiga penyebab utama
kecelakaan yaitu kegagalan mesin (hardware), sarana petunjuk peng-
operasian (software) dan lingkungan pekerjaan (environment). Konsep
ini kemudian disempurnakan oleh Frans Hawkin, seorang kapten pilot
dan juga psikolog. Hawkin (1993) mengenalkan konsep SHELL: S (Soft-
ware), H (Hardware), E (Environtment), L (Liveware), dan L (Liveware).
Software yaitu kebijakan, aturan-aturan dan prosedur penerbangan.
Hardware merupakan prasarana dan sarana yang berhubungan dengan
dukungan penerbangan. Environment terkait dengan lingkungan, cu-
aca dan terakhir liveware atau manusia. Liveware adalah manusia yang
terkait dengan keselamatan penerbangan yang terdiri dari Liveware
Ground Personel dan Liveware Flying Personel.
Dari kelima faktor tersebut sesuai dengan fakta dan penelitian
sebelumnya menjelaskan bahwa yang paling menentukan keselamat-
an penerbangan adalah Liveware Flying Personel.
Berdasarkan fakta, literatur, dan penelitian sebelumnya (Alsowa-
gih (2014), Nrangwesti (2011); Wignjosoebroto dan Zaini (2007), dan
Airmanship.indd 10 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 1 1
Rebok dkk. (2009)), penulis dapat mengemukakan bahwa kecende-
rungan penelitian lebih difokuskan pada Liveware Flying Personel
sebagai penyebab kecelakaan penerbangan. Sangat jarang ditemukan
penelitian hubungan antara Software dengan keselamatan pener-
bangan, padahal Hawkin (1993) sudah dengan jelas menyampaikan
konsep SHELL yang memengaruhi Keselamatan penerbangan. Penu-
lis menemukan adanya gap penelitian tentang keselamatan pener-
bangan dengan Software.
Software yaitu kebijakan, aturan-aturan, dan prosedur penerbang-
an menjadi salah satu penyebab kecelakaan. Kebijakan atau aturan
yang berhubungan dengan penerbangan dapat dilaksanakan dengan
baik jika organisasi, maupun personel yang terlibat sangat memaham-
inya. Jika implementasi atau aturan dikaitkan dengan keselamatan
penerbangan maka personel yang paling berpengaruh terhadap kese-
lamatan penerbangan adalah pilot (Nrangwesti, 2011). Pilot itu sendiri
harus memiliki jiwa keudaraan yang disebut dengan Airmanship (Craig,
1992). Oleh karena itu pada penulisan ini bahwa Airmanship yang di-
maksud adalah Airmanship Pilot.
B. pEngErTiAn uMuM
Teori Airmanship dikembangkan oleh Kern (1997) yang menjelaskan
tentang Pilars of Airmanship. Bangunan Airmanship terdiri atas 4
struktur yaitu: Cornerstone, Foundation of Airmanship, Pillars of
Knowledge dan Capstone (Outcome). Struktur Cornerstone adalah
disiplin, struktur Foundation of Airmanship mencakup keterampilan,
kemampuan dan disiplin. Pillars of Knowledge meliputi diri sendiri,
pesawat, tim, lingkungan, risiko dan misi. Sementara Capstone
(Outcome) terdiri atas kesadaran situasional dan penilaian. Dari
konsep bangunan Airmanship tersebut dapat dijelaskan hal yang
paling mendasar adalah disiplin (Kern, 1997). Salah satu disiplin
Airmanship.indd 11 5/9/19 1:47 PM
1 2 A I R M A N S H I P
pilot yang di utamakan adalah disiplin dalam pelaksanaan aturan
penerbangan yang dalam penelitian ini penulis sebut dengan im-
plementasi kebijakan publik.
Sebagai contoh yang terjadi pada Capt. Pilot Abdul Rodjak pada
saat mendarat darurat di Kali Bengawan Solo pada 16 Januari 2002,
menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan
421 jurusan Mataram-Yogyakarta. Ia dengan tenang mengendalikan
pesawatnya, sehingga berhasil meminimalkan korban meninggal du-
nia (1 pramugari tewas, 59 orang penumpang selamat). Contoh Capt.
Pilot Abdul Rodjak ini mencerminkan bahwa seorang pilot yang mem-
punyai Airmanship yang tinggi karena dia bisa menguasai segala si-
tuasi darurat dalam proses penyelesaian penyelamatan. Airmanship
yang dimiliki oleh Abdul Rozak berkaitan dengan kemampuannya
dalam melaksanakan aturan atau keputusan dalam kondisi darurat.
Rozak lebih mengutamakan keselamatan penumpang dibandingkan
dengan yang lainnya. Oleh karena itu peran Airmanship dalam proses
penerbangan khususnya seorang pilot harus betul-betul melekat dan
tidak dapat dipisahkan.
Faktor tinggi rendahnya Airmanship berhubungan dengan kecer-
dasan emosi, sehingga dalam kaitannya dengan penelitian ini juga
dibahas tentang kecerdasan emosi seorang pilot. Kecerdasan emosi
yang rendah diprediksi sebagai salah satu faktor penyebab yang dapat
mengakibatkan kecelakaan.
Dalam beberapa kasus kecelakaan di luar negeri, faktor rendahnya
kecerdasan emosi Pilot juga menjadi penyebab terjadinya kecelakaan3.
3 kasus kecelakan di luar negeri yang disebabkan oleh rendahnya kecerdasan emosi pilot:
Tahun 1982, Seiji Katagiri (35) pilot pesawat DC 8 seri 61 Japan Airlines melakukan aksi bunuh diri dengan menjatuhkan pesawat yang dikemudikannya ke laut di dekat bandar udara Haneda. Dari 147 penumpang, 24 dinyatakan tewas. Keterangan Japan Airlines menyebutkan, pilot Katagiri mengidap penyakit psikosomatis, tapi masih digolongkan layak terbang.
• Tahun 1997, pilot asal Singapura Tsu Way Ming dari maskapai penerbangan Silk Air yang menerbangkan pesawat Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan 185 secara tiba-tiba menurunkan pesawat dari ketinggian 35.000 kaki dengan kecepatan supersonik ke su-ngai Musi Palembang. 104 penumpang dan crew tewas. Berdasarkan cockpit voice recor-
Airmanship.indd 12 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 1 3
Contoh-contoh kecelakaan tersebut sangat berhubungan dengan
Airmanship, selanjutnya Airmanship dapat didefinisikan sebagaimana
dikutip di bawah ini:
“Airmanship is the consistent use of good judgment and well deve-
loped skills to accomplish flight objectives. This consistency is founded
on a cornerstone of uncompromising flight discipline and developed th-
rough systematic skill acquisition and proficiency. A high state of situ-
ational awareness completes the Airmanship picture and is obtained
through knowledge of one’s self, aircraft, team, environment, risk, and
mission”.
Airmanship adalah penggunaan penilaian yang baik secara kon-
sisten dan keterampilan yang berkembang dengan baik untuk men-
capai tujuan penerbangan. Konsistensi ini dibangun pada landasan
disiplin penerbangan tanpa kompromi dan dikembangkan melalui
keterampilan dan kemampuan akusisi yang sistematis. Tingkat kesa-
daran situasional yang tinggi melengkapi Airmanship yang diperoleh
melalui pengetahuan tentang diri sendiri, pesawat, tim, lingkungan,
der(CVR)diketahuimesindimatikansecarasengaja.Laporanlainmenyebutkan pilot Tsu sedang menghadapi masalah pribadi amat berat.
• Tahun 1999 pesawat terbang Egypt Air type Boeing 767-300 dengan nomor penerbangan 990 dengan co-pilot bernama Gameel El-Batouty jatuh ke Samudra Atlantik, menewas- kan seluruh 217 penumpangnya. Hasil penyidikan menunjukkan co-pilot sendirian di cockpit, mengunci semua pintu dan mematikan auto-pilot serta menukikkan pesawat.
• 29 November 2013 Maskapai Mozambique Airlines juga mengalami kasus Pilot bunuh diri. Pesawat Embraer 190 dengan nomor penerbangan TM 470 mengangkut 33 pen- um-pang dalam penerbangan dari Maputo di Mozambique menuju Luanda di Angola tiba-tiba jatuh di kawasan terpencil di Namibia. Pengusutan kotak hitam menunjukkan, pilot tiba-tiba mematikan mesin dan memasang auto-pilot ketika turun dari ketinggian
• 38.000 kaki ke nol. Pesawat menukik dengan kecepatan 6.000 kaki per-menit dan han-cur menghempas bumi. Penyebab bunuh diri diduga masalah pribadi pilot di dalam ru-mah tangganya serta kematian seorang anak lelakinya.
• 24 Maret 2015 Andreas Lubitz (28 tahun) co-pilot Airbus A320 Germanwings melakukan aksi bunuh diri. Berdasarkan hasil penyelidikan, tim penyidik menemukan fakta, satu hari sebelum terbang Lubitz mencari cara melakukan bunuh diri dari pesawat melalui internet. Aksi nekat Lubitz dilakukan dengan cara mengunci pintu cockpit ketika Pi-lot keluar dari cockpit dan kemudian ia menabrakan pesawat ke tebing di pegunungan Alpen sehingga merenggut 150 nyawa.
Airmanship.indd 13 5/9/19 1:47 PM
1 4 A I R M A N S H I P
resiko, dan misi (Kern, 2010). “Airmanship is effective decision making
to support a sequence of actions.”
Airmanship adalah sikap pengambilan keputusan yang efektif
dalam mendukung urutan-urutan pelaksanaan (Training Development
Support Unit, 2000).
“Airmanship is the care and attitude that you bring to the conduct
of your flying. It encompasses consideration for your passengers, care of
your aircraft, courtesy to other airspace and airfield users and the self
discipline to prepare and conduct your flights in the most professional
manner possible. It is not just flying skill that distinguishes a good pilot;
it is his or her standard of Airmanship.”
Airmanship adalah kepedulian dan sikap yang dibawa ke dalam
perilaku pada saat terbang. Hal ini meliputi pertimbangan untuk pe-
numpang, kehati-hatian terhadap pesawat, menghargai wilayah uda-
ra dan pengguna lapangan terbang lainnya serta disiplin diri untuk
mempersiapkan dan melakukan penerbangan dalam cara yang paling
professional. Hal ini tidak hanya meliputi keterampilan terbang yang
hebat, namun yang membedakan pilot yang baik adalah standard
Airmanship-nya (The Aviation Theory Centre, 2001).
“Airmanship is a personal and situational management state requ-
ired to allow a human being to enter and exit, in safety, an environment
which they were not naturally designed to inhabit.” dengan maksud
bahwa “Airmanship adalah tingkatan pengendalian pribadi dan situ-
asional yang diperlukan untuk memungkinkan manusia masuk dan
keluar, dalam kondisi aman, pada lingkungan di mana mereka secara
alami tidak diciptakan untuk hidup.” (Hayes, 2002). Lebih jelas lagi
Ebbage (2003) menyimpulkan Airmanship sebagai tingkat personal
yang memungkinkan aircrew untuk melakukan penilaian yang baik,
memperlihatkan disiplin penerbangan tanpa kompromi dan menam-
pilkan kemampuan yang mendalam dalam mengontrol pesawat dan
sebuah situasi. Hal ini dipelihara melalui perbaikan diri yang berkesi-
nambungan dan hasrat untuk mencapai performa optimal setiap
waktu.
Airmanship.indd 14 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 1 5
Dari definisi Ebbage ini, maka Airmanship dapat disimpulkan se-
bagai gabungan dari disiplin, intelligent quotient, dan kecerdasan
emosi. Oleh kerena itu, seorang Pilot harus mempunyai Airmanship
yang inheren atau melekat dalam diri mereka dan menjadi perilaku
keseharian.
Peneliti menduga bahwa ada fenomena yang terjadi dalam dunia
penerbangan di Indonesia, di mana nilai Airmanship pada Pilot belum
melekat dengan adanya perubahan perilaku Pilot. Maka berdasarkan
hal tersebut, perilaku dijadikan sebagai salah satu variabel penelitian
berdasarkan data dan fakta perilaku Pilot pada beberapa perusahaan
penerbangan di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir mengarah
kepada pengabaian terhadap keselamatan penerbangan4. Kondisi ini
4 Perilaku Pilot yang mengarah kepada pengabaian terhadap keselamatan penerbangan:
• Muhammad Nasri Pilot Lion Air, tertangkap sedang berpesta sabu bersama rekannya, copilot Husni Thamrin dan Imron di Apartemen The Colour, Modernland, Kota Tange-rang. Mereka memiliki sabu-sabu dan empat butir ekstasi. (http://nasional.kompas.com/read/2012/02/04)
• Pilot Lion air, ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) karena mengkonsumsi dan menjadi pecandu sabu selama 2 tahun. (http://forum.kompas.com/threads/65536, 7 Februari 2012).
• Hanum Adhyaksa Pilot Lion Air, kedapatan menggunakan narkoba. Hanum dibekuk BNN bersama seorang kontraktor di Makassar bernama Andi Hendra. Mereka ditangkap saat berpesta narkoba di salah satu tempat hiburan malam. Hanum beralasan menggu-nakan narkoba karena sedang bermas- alah dengan istrinya. (http://www.tribunnews.com/nasional/2012/01/12)
• Saiful Salam Pilot Lion Air, ditangkap BNN saat di hotel Garden Palace Surabaya. Ia ke-dapatan menggunakan sabu. Di kamar hotel, BNN juga menemukan sabu seberat 0,906 gram beserta alat pengisapnya. Sama seperti Hanum, Saiful juga beralasan mengguna-kan barang terlarang itu karena sedang bermasalah dengan istrinya. (http://nasional.tempo.co/read/news/2012/02/07)
• MunozLopesVictor,PilotGarudaIndonesia,yanglangsungdijatuhkansanksilarang-an terbang (grounded) karena dinyatakan positif terindikasi narkoba setelah menjalani pemeriksaan urine yang dilakukan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Selatan.(http://www.tribunnews. com/ bisnis /2013/08/06).
• Pilot AirAsia QZ7510 berinisial FI diketahui menggunakan narkoba jenis morfin. Ia di-nyatakan positif memakai obat terlarang saat dilakukan tes urine oleh tim Balai Kese-hatan Penerbangan serta Direktorat Kelaikan Pengoperasian Pesawat Udara Kemente-rian Perhubungan di Bandara Ngurah Rai, Kamis pagi, 1 Januari 2015.(http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/01/)
Airmanship.indd 15 5/9/19 1:47 PM
1 6 A I R M A N S H I P
perlu dibuktikan secara ilmiah untuk memperoleh kesimpulan yang
benar.
Pada era penerbangan global saat ini, penerbangan tidak semudah
zaman Wright bersaudara. Dalam pelaksaanan tersebut banyak faktor
yang harus diperhatikan seperti: alat terbang harus selalu dapat ber-
tahan melawan gaya tarik (gravitasi) bumi, menghadapi cuaca, angin
yang berubah-ubah, dan medan yang ditempuh harus tidak menjadi
penghalang serius. Namun yang terpenting adalah seorang pilot harus
cekatan, tepat, cermat, mempunyai technical skill, serta Airmanship
yang tinggi.
Transportasi udara terselenggara tidak terlepas dari Airmanship
pilot. Proses penerbangan merupakan pengendalian manusia terhadap
benda lain, dan penyesuaian diri terhadap alam. Demikian pula de-
ngan keselamatan penerbangan terjadi karena adanya kelalaian
manusia dan berhubungan dengan objek yang lain. Berdasarkan
penjelasan tersebut, faktor manusia merupakan faktor yang utama
atau dominan penyebab keselamatan penerbangan (Pakan, 2008).
Penelitian yang dilakukan Civil Aviation Safety Authority (CASA) Badan
di Australia yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan kese-
lamatan penerbangan menemukan bahwa faktor-faktor pengetahuan
manusia untuk mengoptimalkan kesesuaian antara orang dan sistem
di mana mereka bekerja, dapat meningkatkan keamanan dan kese-
lamatan kerja.
Laporan dari berbagai instansi penerbangan melalui penyelidikan
dijelaskan bahwa penyebab utama kecelakaan pesawat adalah manu-
sia. FAA menjabarkan ada tiga faktor yang menimbulkan kecelakaan
yaitu faktor cuaca (weather) sebesar 13,2%, faktor pesawat yang digu-
nakan sebesar 27,1% dan hampir 66% karena faktor manusia baik
• 19 Desember 2015, Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap tiga awak pesawat maskapai pen- erbangan Lion Air, masing-masing berinisial SH (34) pilot, MT (23) pra-mugara dan SR (20) pramug- ari, serta seorang ibu rumah tangga NM (33) di salah satu apartemen di Jalan Marsekal Suryadarma, Tangerang (http://metro.sindonews.com/read/1071490/170)
Airmanship.indd 16 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 1 7
berupa kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents) (Susetyadi,
2008). Bahkan data sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 2000-an
menunjukkan kesalahan Pilot sebagai penyebab utama kecelakaan.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Kondisi keselamatan penerbangan di Indonesia sampai dengan
saat ini perlu terus ditingkatkan oleh seluruh pihak yang terkait. Se-
suai dengan amanat Undang-Undang nomor 1 tahun 2009, menjelas-
kan untuk menjamin keselamatan penerbangan dan diterima secara
internasional, maka perlu ditingkatkan pengembangan secara profe-
sional. Peningkatan transportasi udara yang merupakan salah satu
wahana pelayanan publik, sebaiknya ditata sedemikian rupa dalam
satu kesatuan sistem dan prosedural dengan menggabungkan dan
mengutamakan fasilitas penerbangan, metode, prosedur, dan pera-
turan sehingga berdaya guna dan berhasil guna.
tabel 1.1. Penyebab kecelakaan
pesawat terbang di Dunia (persentase)
No Penyebab 1950-an 1960-an 1970-an 1980-an 1990-an 2000-an All
1 Pilot Error 43 33 25 29 29 34 32
2 Pilot Error(weather related)
9 18 14 16 21 18 16
2 Pilot Error(weather related)
7 4 5 2 5 5 5
3 Pilot Error(weather related)
58 63 44 57 55 57 53
4 Total Pilot Error 2 8 9 5 8 6 6
5 Weather 15 12 14 14 8 6 12
7 Mechanical Failure
19 19 20 21 18 22 20
8 Sabotage 5 4 11 12 10 9 8
9 Other Cause 0 2 2 1 1 0 1
Sumber: http://www.planecrashinfo.com/cause.htm
Airmanship.indd 17 5/9/19 1:47 PM
1 8 A I R M A N S H I P
Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang tersebut diperlukan
kerja keras, pengetahuan dan profesionalisme yang mumpuni dari
setiap unsur yang terlibat dalam penerbangan. Sehingga sudah seha-
rusnya memperhatikan faktor keselamatan penerbangan.
Berdasarkan laporan (IATA) Indonesia mempunyai indeks kesela-
matan penerbangan 1,3 dan masih rendah, jika dibandingkan dengan
negara maju lainnya. Walaupun indeks keselamatan penerbangan
Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara Amerika Latin dan
Afrika lainnya tetapi hal tersebut masih memprihatinkan. Jika diban-
dingkan dengan negara maju seperti China (0,3), Eropa (0,3), dan
Amerika (0,2) yang berada di bawah 0,35 yang merupakan angka ideal
untuk keselamatan penerbangan internasional (Wibisana, 2007). Makin
besar angka indeks keselamatan penerbangannya, menunjukkan ren-
dahnya tingkat keselamatannya. Rendahnya indeks keselamatan pe-
nerbangan di Indonesia, disebabkan karena seringnya terjadi kecela-
kaan pesawat udara di Indonesia. Sejak tahun 2000 Penerbangan
domestik Indonesia sering mengalami kecelakan yang berdampak
terhadap penerbangan internasional (Sudibyo, 2011).
Kecelakaan tersebut diduga karena Airmanship yang rendah yang
diakibatkan perubahan perilaku khususnya penyalahgunaan narkoba.
Tidak hanya Pilot yang menggunakan narkoba, cabin crew Lion Air
berinisial WR ditangkap karena menyimpan sabu. WR ditangkap saat
Polres Jakarta Pusat menggerebek tempat kosnya di Karet, Tanah
Abang. WR mengaku menggunakan sabu sejak 2007 untuk menambah
semangat kerja dan staminanya. Ini menjadi poin penting yang perlu
dikaji dan diperhatikan oleh maskapai dan pemerintah.
Dari data yang diperoleh dari pihak yang dapat dipercaya, dinya-
takan bahwa kecelakaan pesawat maskapai penerbangan Indonesia
sering terjadi untuk jalur penerbangan dalam negeri, namun untuk
jalur penerbangan luar negeri dalam periode tahun 2000-2007 mas-
kapai penerbangan Indonesia tidak pernah mengalami kecelakaan. Hal
Airmanship.indd 18 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 1 9
tersebut mungkin terjadi karena untuk jalur luar negeri mendapat
perhatian khusus dari maskapai. Walaupun penerbangan luar negeri
tidak pernah mengalami kecelakaan tetapi secara indeks keselamatan
penerbangan di Indonesia sangat mengkhawatirkan.
Berangkat dari banyaknya kecelakaan penerbangan yang terjadi
di Indonesia, peneliti melakukan penelitian terhadap implementasi
kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah tentang keselamat-
an penerbangan. Mengingat penting dan strategisnya transportasi
udara, perlu diselenggarakan tindakan pencegahan dan penanganan
kecelakaan pesawat terbang. Upaya ini dimaksudkan agar kecelakaan
atau insiden tersebut tidak terulang dengan faktor penyebab yang
sama di kemudian hari, serta dapat dibuat rekomendasi keselamatan
transportasi udara di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) beberapa penyebab kecelakaan pe-
sawat terbang di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.2.
tabel 1.2 Faktor Penyebab Kecelakaan transportasi Udara
di Indonesia
NO tahun InvestigasiPeeRKIRAAN FAKtOR PeNYeBAB
Faktor Manusia teknis Lingkungan Cuaca
1 2007 21 15 5 1 0
2 2008 21 6 12 3 0
3 2009 21 12 9 0 0
4 2010 18 9 8 1 0
5 2011 32 23 7 2 0
6 2012 29 21 4 4 0
7 2013 29 14 5 8 0
8 2014 30 3 4 3 0
9 2015 28 7 1 0 0
Jumlah 229 110 55 22 0
Sumber: Data Investigasi KNKT, 30 April 2016Keterangan: Untuk beberapa kejadian yang belum di selesaikan Laporan Finalnya,
maka FaktorPenyebabUtamabe
Airmanship.indd 19 5/9/19 1:47 PM
2 0 A I R M A N S H I P
Berdasarkan data sejak 1 Januari 2007 hingga 30 April 2016 dari
KNKT faktor kecelakaan penerbangan terbesar disebabkan kelalaian
manusia (faktor manusia), yakni 58,82%, faktor teknis sebesar 29,41%
berada di peringkat kedua dan sisanya merupakan faktor lingkungan.
Data tersebut meliputi jenis kecelakaan yang menimbulkan korban
jiwa maupun kecelakaan yang tidak menimbulkan korban. Kecelakaan
pesawat udara terjadi karena adanya pengaruh kerja manusia yang
belum optimal, berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri dan
dibantah bahwa manusia mempunyai peran penting dalam keselamat-
an penerbangan. Grafik kecelakaan pesawat terbang di Indonesia dari
tahun 2007 sampai dengan 2012 disajikan pada Gambar 1.1.
Dari data resmi tersebut dapat dijelaskan bahwa keselamatan pe-
nerbangan di Indonesia masih rendah. Terbukti dengan masih adanya
beberapa kecelakaan penerbangan akhir-akhir ini seperti AirAsia (Nomor
penerbangan QZ8501/AWQ8501) dengan rute Surabaya-Singapura pada
tanggal 28 Desember 2014 dan Trigana Air ATR 42-300 twin-turboprop,
di pegunungan Bintang Papua, pada tanggal 16 Agustus 2015.
gambar 1.1. Data Kecelakaan Pesawat di Indonesia
Sumber: KNKt
Airmanship.indd 20 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 2 1
Dengan data dan fakta yang ada maka FAA tidak segan-segan
untuk menurunkan kategori Indonesia menjadi kategori dua. Dari
rangkaian kejadian tersebut, Indonesia mendapat penilaian dan peri-
ngatan dari FAA dan dianggap penerbangan di Indonesia bermasalah,
sehingga pada tanggal 16 April 2007, FAA menurunkan peringkat ke-
selamatan penerbangan di Indonesia dari kategori satu menjadi kate-
gori dua (Does Not Comply with ICAO Standards: The Federal Aviation
Administration assessed this country’s civil aviation authority (CAA) and
determined that it does not provide safety oversight of its air carrier
operators in accordance with the minimum safety oversight standards
established by the ICAO).
Penilaian FAA menemukan banyaknya pelanggaran prosedur ke-
selamatan penerbangan yang berulang oleh maskapai penerbangan
Indonesia dan ironisnya lolos dari pengawasan otoritas penerbangan
Indonesia. Regulator dalam hal ini Kemenhub dianggap tidak mem-
beri pengawasan keselamatan kepada operator sesuai dengan standard
pengawasan keselamatan minimum yang ditetapkan oleh ICAO (Indo-
nesian Aviation Community (IAC), 2015)5.
Untuk merespons hukuman dari FAA tersebut, maka pemerintah
langsung berbenah diri dengan mengelurkan Undang-Undang yang
berkaitan dengan Penerbangan yang dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. UU tersebut sangat
jelas mengatur tentang keselamatan penerbangan dan lebih dipertegas
lagi dengan berbagai Peraturan Kementerian Perhubungan yang meng-
atur secara teknis tentang keselamatan penerbangan tersebut. Dalam
5 Penilaian FAA tentang Keselamatan Penerbangan Indonesia:
1. Regulator Indonesia tidak memiliki kompetensi yang memadai dalam menerapkan sa-fety oversight sehingga tidak berani mencabut izin operasi maskapai yang melakukan pelanggaran mendasar.
2. Regulator Indonesia juga dinilai terlalu mudah memberikan izin usaha dan operasi pe-nerbangan kepada unsafe airlines yang mengakibatkan tingginya tingkat kecelakaan penerbangan di Indonesia.
Airmanship.indd 21 5/9/19 1:47 PM
2 2 A I R M A N S H I P
UU tersebut secara jelas tertuang bahwa proses penerbangan sangat
ketat dan tidak boleh sembarang orang untuk melaksanakannnya atau
disebut dengan profesionalisme, karena berkaitan dengan nyawa dan
harga diri bangsa. Seperti kita ketahui bersama bahwa jika terjadi
kecelakaan pesawat, maka informasinya akan dipublikasikan secara
internasional.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengim-
plementasikan kebijakan keselamatan penerbangan yang telah dike-
luarkan tersebut. Menurut Tahir (2015) implementasi kebijakan adalah
kegiatan pelaksanaan kesepakatan di antara pembuat dan pelaksana
kebijakan. Tahir juga menjelaskan bahwa jika sebuah kebijakan diam-
bil secara tepat, belum tentu menghasilkan seperti yang diharapkan
karena implementasi kebijakan sangat dominan untuk keberhasilan
suatu kebijakan. Hal tersebut juga diperkuat oleh Supriyadi (2015) yang
menyatakan bahwa kecelakaan pesawat di Indonesia terjadi karena
perizinan yang belum terlaksana dengan baik. Berdasarkan pendekat-
an teori tersebut maka implementasi kebijakan publik yang berkaitan
dengan keselamatan penerbangan perlu dikaji dan diteliti.
Secara umum penyebab keselamatan penerbangan dapat ditinjau
dari berbagai aspek yang disimpulkan oleh Hawkin dalam Teori SHELL.
Faktor manusia menjadi penting untuk diteliti, karena berdasarkan
penelitian (O’Hare, Wiggins, Batt, & Morrison, 1994; Shappell S. & Wi-
egmann D., 2000) 80% kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia,
sedangkan FAA menyatakan penyebab keselamatan penerbangan di
dunia disebabkan oleh kelalaian manusia sebesar 66%. Pengaruh
manusia atau kelalaian manusia yang dimaksud menurut Nrangwesti
(2011) adalah pilot. Kemampuan seorang pilot dalam mengendalikan
pesawat ditentukan oleh tingkatan Airmanship yang dimilikinya, di
mana Airmanship terdiri dari 3 indikator yaitu prinsip, pengetahuan,
dan pencapaian hasil.
Airmanship.indd 22 5/9/19 1:47 PM
A P A I T U A I R M A N S H I P ? 2 3
Penelitian pada buku ini akan mengukur bagaimana hubungan
Airmanship pilot dengan implementasi kebijakan publik guna ter-
capainya keselamatan penerbangan di Indonesia. Mengingat Air-
manship merupakan jiwa dari seorang pilot (Craig, 1992) maka
perlu dikaji faktor-faktor psikologis yang memengaruhi Airmanship
tersebut.
Dalam uraian berikut akan diulas fokus psikologi dalam mema-
hami perilaku manusia di lingkungan penerbangan, dan konsekuensi
tuntutan profesi serta permasalahan psikologi bagi individu yang
bekerja di lingkungan penerbangan. Sells dan Berry (1961) berpendapat
bahwa perilaku pilot merupakan sistem dalam sistem yang artinya
pilot sebagai manusia dituntut untuk sempurna, padahal pilot juga
mempunyai sifat dasar manusia yang tidak lepas dari kelalaian. Sells
dan Berry menjelaskan bahwa pilot dapat berperan sebagai instrumen
dan juga sebagai manusia dengan berbagai keterbatasannya.
C. MEnCAri BEnAng MErAh
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam buku ini, penulis
bermaksud untuk memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan secara
ilmiah tentang implementasi kebijakan publik terhadap Airmanship
guna keselamatan penerbangan yang bertujuan untuk:
1. Menghitung dan menguji hubungan Airmanship terhadap imple-
mentasi kebijakan publik.
2. Menghitung dan menguji hubungan Implementasi Kebijakan
Publik terhadap keselamatan penerbangan.
3. Menghitung dan menguji hubungan perilaku pilot terhadap Air-
manship.
4. Menghitung dan menguji hubungan kecerdasan emosi pilot ter-
hadap Airmanship.
Airmanship.indd 23 5/9/19 1:47 PM
2 4 A I R M A N S H I P
5. Menghitung dan menguji hubungan efikasi diri pilot terhadap
Airmanship.
6. Mendeskripsikan dan menganalisis model hubungan antara Im-
plementasi kebijakan Publik dengan Airmanship pilot demi terca-
painya keselamatan Penerbangan di indonesia.
Pesawat terbang Pertama DiduniaAdalah Wright bersaudara (Wright brothers) yang lahir pada tanggal 19 Agustus 1871 dan wafat 30 January 1948 kemudian saudaranya Wilbur yang lahir pada 16 April 1867 dan wa-fat 30 May 1912 adalah dua orang Amerika yang dicatat dunia sebagai penemu pesawat
terbang. (sumber : https://www.penemu.co/penemu-pesawat-terbang/)
Airmanship.indd 24 5/9/19 1:47 PM
Pesawat Japan Airlines Flight 123 (1985)Ini adalah tragedi kecelakaan terbesar di Jepang. Pada tanggal 12 Agustus 1985, terjadi
kecelakaan pesawat yang memakan korban hingga 520 jiwa. Kecelakaan ini terjadi disebabkan oleh dekompresi. Dekompresi sendiri merusak sistem hidrolik dan ekor
pesawat sehingga pilot tidak bisa mengendalikan pesawat(sumber : https://www.brilio.net/creator/kecelakaan-pesawat-terbesar-
sepanjang-sejarah-020646.html)
Airmanship.indd 25 5/9/19 1:47 PM
2 6 A I R M A N S H I P
Airmanship.indd 26 5/9/19 1:47 PM
B a b I I 2 7
Bab IIHUBUNGAN AIRMANSHIP
DENGAN KECELAKAAN PENERBANGAN
Airmanship.indd 27 5/9/19 1:47 PM
2 8 A I R M A N S H I P
A. AnALiSiS pEnyEBAB KECELAKAAn
Sebelumnya telah banyak yang meneliti dan mengkaji tentang kese-
lamatan penerbangan berdasarkan teori SHELL yang ditemukan oleh
Hawkin (1993) yang menyampaikan bahwa faktor yang menyebabkan
kecelakaan pesawat terbang adalah Software, Hardware, Environmental,
Liveware, dan Liveware. Namun para peneliti terdahulu belum ada yang
meneliti faktor Software atau kebijakan publik yang berkaitan dengan
kecelakaan pesawat. Hasil penelitian terdahulu dan kajian tentang
keselamatan penerbangan yang berhubungan dengan kebijakan pub-
lik khususnya pada implementasi kebijakan publik belum ada ditemu-
kan. Sebagian besar peneliti mengkaji tentang hubungan keselamatan
penerbangan dengan faktor Hardware, Environmental, Liveware, dan
Liveware. Penelitian sebelumnya menyajikan ringkasan-ringkasan yang
berisi hasil temuan, sumbangan pemikiran, dan saran yang akan dije-
laskan pada paragraf selanjutnya.
Wignjosoebroto dan Zaini (2007) melakukan penelitian untuk
mengetahui beban kerja mental oleh pilot pesawat terbang dengan
objek Fokker 28 dan Boeing 737) dalam kaitannya terhadap kecende-
rungan human factor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Wignjosoebroto dan Zaini menyatakan bahwa faktor kecerdasan inte-
lektual tidak pernah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
beban kerja mental pada pilot tetapi faktor fase penerbangan, faktor
kondisi penerbangan dan faktor jam terbang pilot telah terbukti ber-
pengaruh cukup signifikan terhadap beban kerja mental pada pilot
kedua jenis pesawat tersebut, yang telah teruji secara kuantitatif. Dari
penelitian Wignjosoebroto dan Zaini dapat disimpulkan bahwa faktor
penyebab kecelakaan adalah manusia (pilot) tetapi fokus pada livewa-
re pilot, belum menyentuh faktor Software.
Senada dengan Sungkawaningtyas (2007) yang meneliti tentang
faktor-faktor yang menyebabkan kelelahan pada pilot dan bagaimana
cara mengatasinya. Sungkawaningtyas menggunakan jumlah pilot
sebagai sampel penelitian berjumlah 185 orang dari berbagai maskapai
Airmanship.indd 28 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 2 9
penerbangan di Indonesia. Dari hasil analisis penelitiannya menyatakan
bahwa faktor penyebab kelelahan diklasifikasikan menjadi tiga faktor
yaitu: lama terbang, waktu tidur, dan kurang tidur. Sungkawaningtyas
menyimpulkan bahwa faktor dominan yang membuat pilot lelah ada-
lah lama terbang dan tidak ada perbedaan berdasarkan jenis kelamin,
status/jabatan, jam terbang dan jenis pesawat. Dari penelitian Sung-
kawaningtyas senada dengan Wignjosoebroto dan Zaini dapat disim-
pulkan bahwa faktor penyebab kecelakaan adalah manusia (pilot) te-
tapi terfokus pada liveware pilot, belum menyentuh faktor Software.
Hampir sama dengan De Mello (2008) yang melakukan penelitian
tentang kecelakaan pilot berdasarkan shift terbang di Brazil. Data
menggunakan pilot yang berjumlah 515 orang kapten pilot dan 472
orang copilot. Hasil penelitian menunjukkan kecelakaan terjadi pada
35% penerbangan pagi sampai dengan siang, 32% sore, 26% malam
dan 7% pagi antara pukul 00.00-06.00 waktu setempat. Dari peneli-
tian De Mello dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab kecelakaan
adalah manusia (pilot) tetapi terfokus pada Environmental, belum
menyentuh faktor Software.
Sedangkan Rebok (2009) menganalisis pengaruh antara usia pilot
dengan pola kesalahan pilot yang menyimpulkan sebesar 28% kece-
lakaan karena mesin (mekanikal), 25% kehilangan kendali pada saat
awalatauakhir,7%kehabisanbahanbakar,7%kondisiVisual Flight
Rule (VFR) dan 28%yang lainnya. Penelitiannyamenunjukanbahwa
pada waktu siang banyak terjadi kecelakaan di mana lokasi kejadian
lebih banyak terjadi di luar kawasan bandara serta yang sering kece-
lakaan adalah yang tua. Dari penelitian Rebok dapat disimpulkan
bahwa faktor penyebab kecelakaan adalah manusia (pilot) tetapi ter-
fokus pada Hardware dan Environmental, belum menyentuh faktor
Software.
Senada dengan Li dkk. (2009) melakukan penelitian untuk meneliti
pengaruh lokasi, usia, dan cuaca terhadap terjadinya kecelakaan pesa-
wat. Hasil penelitian Li menunjukkan terbang dengan menggunakan
teknik Instrument Meteorological Conditions (IMC) meningkatkan risiko
Airmanship.indd 29 5/9/19 1:47 PM
3 0 A I R M A N S H I P
terjadinya kecelakaan karena kesalahan pilot. Kecelakaan pesawat tidak
dipengaruhi oleh usia dan jam terbang pilot. Hasil penelitian Li berbeda
dengan penelitian sebelumnya, akan tetapi Li melakukan penelitian
keselamatan penerbangan dari faktor Environmental dan Liveware.
Tvaryans dan MacPherson (2009) menganalisis pengaruh shift
kerja dengan kemungkinan terjadinya kesalahan pilot. Populasi diten-
tukan sebanyak 114 responden dari pilot. Hasil penelitiannya berbeda
dengan yang lain bahwa tidak ada penurunan yang signifikan terhadap
kelelahan pilot walaupun terdapat modifikasi jadwal atau shif pilot.
Dari penelitian Tvaryans dan MacPherson dapat disimpulkan bahwa
faktor penyebab kecelakaan adalah manusia (pilot) tetapi terfokus
pada faktor Liveware dan belum menyentuh faktor Software.
Pruchniki dkk. (2010) mengestimasi kelelahan pilot dikaitkan dengan
waktu tidur/bangun dan fase circadian. Dari hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa model matematika memprediksi dari riwayat tidur/bangun
dan fase circadian yang berguna dalam analisis kecelakaan retrospektif
diukur dari riwayat tidur/bangun pada personil yang mengalami kece-
lakaan dan berguna dalam identifikasi resiko kelelahan, mitigasi dan
pencegahan kecelakaan. Dari penelitian Pruchniki da pat disimpulkan
bahwa faktor penyebab kecelakaan adalah manusia (pilot) tetapi terfo-
kus pada faktor Liveware, belum menyentuh faktor Software.
Nrangwesti (2011) menganalisis kewenangan pilot di dalam pembe-
rantasan kejahatan-kejahatan pada penerbangan dari tinjauan aspek
yuridis normatif pada pilot. Nrangwesti menjelaskan bahwa pilot meme-
gang peranan yang sangat penting dan menjamin keselamatan dan kea-
manan penerbangan serta mempunyai kewenangan untuk menindak
tegas orang yang diduga melakukan tindak pidana di dalam pesawat
udara yang sedang terbang. Dari penelitian Nrangwesti dapat disimpulkan
bahwa faktor penyebab kecelakaan adalah manusia (pilot). Nrangwasti
hanya mengkaji peranan aspek yuridis secara kualitatif sehingga peneliti
menyimpulkan bahwa hasil penelitiannya masih belum sempurna.
Mustopo (2012) dalam kajiannya meyimpulkan bahwa performance
terbang dipengaruhi oleh kelelahan pilot (fatigue), karea timbulnya fa-
Airmanship.indd 30 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 3 1
tigue, pada aspek psikologis. Pada saat emergency pilot harus mengam-
bil keputusan yang sangat penting, karena dibutuhkan pemikiran yang
logis, realistis dan cepat, serta tepat. Hasil penelitiannya menjelaskan
bahwa tidur merupakan obat yang paling tepat untuk mengatasi kele-
lahan. Kualitas tidur sangat dibutuhkan untuk mengembalikan konsen-
trasi dari pilot. Dari penelitian Mustopo dapat disimpulkan bahwa faktor
penyebab kecelakaan adalah manusia (pilot) tetapi terfokus pada faktor
Liveware dikhususkan pada perilaku belum menyentuh faktor Software.
Sedangkan Alsowayigh (2014) meneliti pengaruh safety culture untuk
penerbangan di Arab Saudi. Dalam pandangannya keselamatan pener-
bangan diukur dengan sikap pilot yang berakibat pelanggaran dan ke-
salahan dari pilot. Studi menganalisis lebih lanjut peranan komitmen
pilot pada maskapai penerbangan di Saudi Airlines secara sukarela
berpartisipasi dalam studi kasus tersebut. Analisis faktor konfirmatori
dilakukan untuk memvalidasi setiap konstruk laten. Metode SEM digu-
nakan untuk menganalisis hubungan antara semua variabel. Hasil pe-
nelitian mengungkapkan bahwa safety culture memiliki pengaruh
langsung pada sikap pilot (pelanggaran) dan efek tidak langsung pada
perilaku pilot error. Selain itu, budaya keselamatan memiliki efek yang
kuat untuk meningkatkan komitmen pilot pada maskapai. Dari peneli-
tian Alsowayigh dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab kecelakaan
adalah manusia (pilot) tetapi terfokus pada faktor Liveware dikhususkan
pada Safety Culture belum menyentuh faktor Software.
Buku ini akan membahas mengenai hubungan implementasi ke-
bijakan publik dengan keselamatan penerbangan secara kualitatif dan
kuantitatif. Pada beberapa kajian sebelumnya, dijelaskan bahwa faktor
yang paling dominan menyebabkan kecelakaan pesawat adalah ma-
nusia (pilot). Pilot memiliki jiwa keudaraan yang disebut dengan Air-
manship (Craig, 1972). Craig juga menyatakan bahwa kecelakaan pe-
sawat terjadi karena Airmanship rendah. Berdasarkan teori tersebut,
penulis akan membahas dan mengkaji hubungan antara Airmanship
dengan implementasi kebijakan publik, dan hubungan implementasi
kebijakan publik dengan keselamatan penerbangan.
Airmanship.indd 31 5/9/19 1:47 PM
3 2 A I R M A N S H I P
B. AnALiSiS TErhADAp KEBijAKAn puBLiK
Dalam membedah antara hubungan Airmanship pilot terhadap imple-
mentasi kebijakan publik, penulis terlebih dahulu membahas teori
kebijakan publik.
Kebijakan merupakan berbagai hal yang dapat dilakukan ataupun
tidak oleh pemerintah atau negara (Dye,1987), dan dapat juga dinya-
takan bahwa kebijakan merupakan hubungan pemerintah dengan
masyarakat lingkungannya Easton (1953). Inti dari kebijakan menurut
Prof Heinz Eulau dan Prewit yang meyatakan bahwa Kebijakan itu
merupakan “A Standing Decision Characterized by behavior consistency
and repetinvenes on the part of both choose who make it and those who
abide by it”. Sedangkan Smith dan Larimer (2009) menjelaskan bahwa
kebijakan publik merupakan ilmu yang spesifik tentang hubungan
pemerintah dengan masyarakatnya. Smith dan Larimer Juga menyam-
paikan bahwa kebijakan publik berbeda dengan ilmu politik, ekonomi,
maupun administrasi publik. Dalam perspektif yang berbeda beberapa
para pakar menjelaskan ilmu kebijakan publik yang lebih besar. Mi-
salnya dari aspek metodologis, sangat diharapkan atau dicari penje-
lasannya walaupun hal tersebut sangat mustahil, setidaknya di Ame-
rika Serikat pembahasan tentang kebijakan publik tidak pernah selesai
sebelum mendapatkan pendekatan secara kuantitatif. Hal tersebut
senada dengan Tahir yang menyatakan walaupun pengertian menim-
bulkan banyak pertanyaan atau perbedaan pandangan tentang berapa
lama keputusan dapat dilaksanakan dan apakah memengaruhi peri-
laku yang dimaksud serta siapa sebenarnya yang membuat kebijakan
dan pelaksana, namun demikian pengertian tersebut telah menjelas-
kan beberapa elemen kebijakan publik.
Kebijakan publik merupakan sebuah bidang yang sulit untuk di-
rumuskan, karena kajiannya menyangkut banyak kepentingan publik.
Ada sifat interdisipliner dalam pembahasan kebijakan publik sehingga
selalu berada dalam fragmentasi. Smith dan Lamirer (2009) menjelas-
kan bahwa kebijakan publik berhubungan dengan analisis biaya,
manfaat, tugas berisiko, analisis operasi matriks penelitian, ekono-
Airmanship.indd 32 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 3 3
metrik, statistik, matematika, dan toolkit dari ilmu-ilmu sosial. Untuk
lebih memahami kebijakan publik, maka perlu terlebih dahulu dipa-
hami apa konsep “Publik” dan “Kebijakan”, sehingga lebih mudah
memahami pengertian kebijakan secara menyeluruh.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan berhubungan dengan bidang-
bidang (publik) yang berbeda dengan sektor pribadi. Ide kebijakan publik
mengandung anggapan bahwa tidak ada perbedaan antara ruang publik
dengan ruang pribadi. Maka akan timbul pertanyaan, apakah ruang
publik harus dikaji dengan bentuk analisis yang berbeda dengan analisis
terhadap ruang privat atau dunia bisnis? Apa yang semestinya dianggap
ruang publik dan apa yang semestinya dianggap sebagai ruang privat?
Menurut para ahli ekonomi politik cara mengatasi ketegangan
antara kepentingan publik dan pribadi adalah dengan gagasan pasar
(market). Pasar bebas dapat meningkatkan kepentingan publik seka-
ligus kepentingan pribadi. Karena itu peran negara menciptakan
kondisi di mana kepentingan publik dan kepentingan pribadi dapat
terjamin. Konsekuensinya adalah pemerintah lebih tepat tidak terlibat
banyak. Bukan berarti bahwa negara tidak terlibat dalam penyediaan
fasilitas “publik”. Kata mengubah maknanya, seperti halnya gagasan
“publik”, ide “kebijakan” menurut Helco dalam Parson (2005) bukanlah
sebuah istilah yang pasti (self-evident).
Dalam pelaksanaannya, istilah kebijakan dianggap berlaku untuk
sesuatu yang “lebih besar” ketimbang bukan untuk pribadi. Jadi, ke-
bijakan, dari sudut pandang tingkat analisis, adalah sebuah konsep
yang kurang lebih berada di tengah-tengah. Namun perlu ditinjau
apakah kebijakan itu merupakan kegiatan yang direncanakan tetapi
tetap dilaksanakan atau diimplementasikan.
Kombinasi pendekatan tahap rasional dengan pendekatan sistem
menghasilkan model pembuatan kebijakan yang lebih dinamis dan
membentuk basis bagi pemahaman kebijakan dari segi selain tatanan
konstitusional dan institusional. Model tersebut terdiri dari input
(artikulasi kepentingan), fungsi proses (agregasi kepentingan, pembu-
atan kebijakan, implementasi kebijakan dan keputusan kebijakan),
Airmanship.indd 33 5/9/19 1:47 PM
3 4 A I R M A N S H I P
dan fungsi kebijakan (extraction, regulasi dan distribusi). Output ke-
bijakan dikembalikan ke dalam sistem politik, yang berada di ling-
kungan domestik dan internasional.
gambar 2.1. Proses Kebijakan sebagai Input dan OutputInput
PersepsiIdentifikasiOrganisasiPermintaanDukunganApathy
Kebijakan
Regulasi Distribusi Redistribusi Kapitalisasi Kekuasaan etis
Output
AplikasiPenguatan (enforcement)InterpretasiEvaluasiLegitimasi
Sumber: Frohock (1979); Jones (1970)
Ahli kebijakan publik Anderson (1979) merumuskan bahwa kebi-
jakan itu merupakan tindakan yang dilaksanakan oleh sekelompok
orang atau individu untuk memecahkan masalah dengan tujuan yang
ditentukan. Senada dengan Parsons (2006) yang menyatakan bahwa
kebijakan adalah kegiatan yang direncanakan dengan tujuan kekua-
saan. Menurutnya bahwa kebijakan tidak terlepas dari pengawasan
oleh pemerintah yang seyogianya harus selalu dievaluasi untuk me-
rumuskan kembali kebijakan-kebijakan baru.
Sedangkan Wahab (1997) menjelaskan bahwa kebijakan adalah
suatu aksi yang dilakukan kelompok atau golongan yang diusulkan
bersama dalam lingkungan tertentu untuk mengatasi hambatan-ham-
batan dan mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan. Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) menyatakan bahwa kebijakan itu memberi makna sebagai dasar
untuk melaksanakan sesuatu. Sementara Jones (1977) mengatakan
bahwa kebijakan adalah suatu arah kegiatan yang yang dilaksanakan
demi tercapainya beberapa tujuan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, setiap rumusan arti kebi-
jakan mengandung empat unsur yaitu: (1) serangkaian tindakan; (2)
dilakukan oleh seseorang atau golongan; (3) adanya solusi; dan (4)
Airmanship.indd 34 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 3 5
adanya tujuan atau maksud tertentu. Dengan demikian dapat disim-
pulkan bahwa pengertian kebijakan sebagai suatu pedoman untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berisi keputusan-keputusan
yang diikuti dan dapat dilaksanakan oleh seseorang, kelompok, atau
golongan untuk mengatasi masalah demi mencapai tujuannya.
Walaupun istilah kebijakan dilakukan secara umum, namun kenya-
taannya sering kali penggunaannya berkaitan pemerintah, penguasan,
serta pelaku negara pada umumnya. Bila demikian konsep kebijakan
publik Dye (2008) didefinisikan “public policy is whatever goverments
choose to do or not to do” jika diterjemahkan maka kebijakan publik
merupakan apa yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan sesuai dengan
keputusan pemerintah. Konsep kebijakan publik tersebut membawa
implikasi berupa kegiatan atau program perorangan, kelompok atau
golongan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh penguasa
dalam hal ini pemerintah. Tahir (2015) menjelaskan defenisi dari Dye
yang menyatakan bahwa kebijakan merupakan upaya untuk memahami
(1) apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemerintah; (2) apa
sebab dan apa yang berkaitan; dan (3) apa konsekuensi dari kebijakan
tersebut jika dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Anderson (1979) menjelaskan bahwa setiap kebijakan yang dipro-
gramkan oleh penguasa atau pejabat pemerintah dapat dikatakan
sebagai kebijakan publik. Islamy (1998) menjelaskan teori Anderson
yang menyatakan bahwa kebijakan publik tidak hanya yang direnca-
nakan oleh lembaga tertinggi/tinggi saja, namun juga oleh badan atau
pejabat di semua lini pemerintahan di semua tingkatan.
Tercapainya tujuan pelaksanaan suatu kebijakan bukan saja kebi-
jakan itu dirumuskan dengan baik, namun juga memerlukan cara dan
teknik tertentu serta keterlibatan dari pihak perumus maupun pelak-
sana kebijakan. Dengan berbagai definisi dalam berbagai perpustaka-
an maka terdapat dua macam pandangan. Pandangan pertama adalah
kebijakan publik diidentikkan dengan kegiatan yang dilakukan oleh
penguasa atau pemerintah. Ilmuwan berpendapat bahwa semua ke-
giatan atau tindakan yang diprogramkan oleh pemerintah pada dasar-
Airmanship.indd 35 5/9/19 1:47 PM
3 6 A I R M A N S H I P
nya disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua adalah pen-
dapat ilmuwan yang berfokus pada pelaksanaan kebijakan publik. Para
ahli yang termasuk kategori ini dapat dibagi dalam dua kutub yaitu:
(1) Ilmuwan yang menganalisis kebijakan publik dari aspek keputusan-
keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan-tujuan atau sasaran-
sasaran tertentu, dan (2) Ilmuwan yang beranggapan bahwa kebijakan
publik mempunyai konsekuensi logis atau dampak terhadap pelaksa-
an kebijakan tersebut.
Sementara itu, Dunn (2003) memandang bahwa kebijakan publik
meliputi empat aspek yaitu: (1) perumusan kebijakan; (2) pelaksanaan
kebijakan; (3) monitoring kebijakan; dan (4) evaluasi kebijakan. Maka
dalam hubungan ini kebijakan publik adalah serangkaian peraturan,
perintah dari para penguasa yang ditujukan kepada pelaksana kebi-
jakan yang yang telah mempunyai tujuan atau sasaran serta cara-cara
mencapai tujuan tersebut. Gambaran proses kebijakan secara umum
dapat dilihat pada gambar 2.2.
gambar 2.2.Proses Kebijakan Secara Umum
Evaluasi Kebijakan
MonitoringKebijakan
Isu Kebijakan
Perumusan Kebijakan
ImplementasiKebijakan
Kinerja Kebijakan
Pelanjutan Kebijakan
Revisi Kebijakan
Penghentian Kebijakan
Isu Kebijakan(baru)
Lingkungan Kebijakan
Sumber: Nugroho (2014)
Airmanship.indd 36 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 3 7
Proses kebijakan berawal dari isu, baik berupa masalah bersama
maupun tujuan bersama disepakati sebagai bagian dari kebijakan.
Dengan masalah kebijakan ini, maka dirumuskan dan ditetapkan
kebijakan publik. Kebijakan ini kemudian diimplementasikan melalui
pemantauan untuk memastikan implementasi kebijakan konsisten
dengan rumusan kebijakan. Hasil dari implementasi kebijakan meru-
pakan kinerja kebijakan, untuk itulah diperlukan evaluasi kebijakan.
Evaluasi yang pertama berkaitan dengan kinerja kebijakan dan dilan-
jutkan pada tahap evaluasi secara paralel pada implementasi kebi-
jakan, rumusan kebijakan dan tempat di mana kebijakan dirumuskan,
diimplementasikan atau dilaksanakan. Hasil evaluasi akan mereko-
mendasikan apakan dibutuhkan perumusan ulang yang mengarah
pada perbaikan atau revisi kebijakan, ataukah dihentikan (Nugroho,
2014).
Lebih lanjut Nugroho (2014) menyatakan bahwa terdapat empat
jenis kebijakan publik yaitu : (i) kebijakan formal; (ii) kebijakan umum
lembaga publik yang telah diterima bersama (konvensi); (iii) pernya-
taan pejabat publik dalam forum publik; (iv) perilaku pejabat publik.
gambar 2.3.Jenis Kebijakan Publik
Formal
Konvensi
Kebijakan Publik
Undang-Undang
Hukum
Regulasi
Ucapan Pejabat Publik
Perilaku Pejabat Publik
Sumber : Nugroho (2014)
Airmanship.indd 37 5/9/19 1:47 PM
3 8 A I R M A N S H I P
Menurut Nugroho (2006) bahwa tingkat kebijakan di Indonesia
dikelompokkan menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar,
yaitu (a) UUD 1945; (b) UU/Perpu; (c) Peraturan Pemerintah (PP);
(d) Peraturan Presiden (Perpres); dan (e) Peraturan Daerah (Perda).
2. Kebijakan publik yang bersifat meso atau menengah, atau penje-
las pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Mente-
ri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati,
dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat
Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang meng-
atur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya.
Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Sesuai dengan tingkatan kebijakan di atas, Nugroho juga menje-
laskan bahwa kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau
Peraturan Daerah merupakan kebijakan publik yang bersifat strategis
tapi belum dapat dilaksanakan karena masih memerlukan turunan
kebijakan berikutnya sebagai penjelas atau tataran teknis. Kebijakan
ini lebih detail dengan bahasa teknis yang dapat dilaksanakan oleh
masyarakat maupun pemeritah.
Kebijakan publik yang berhubungan dengan keselamatan pener-
bangan berdasarkan tingkatannya adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Makro. Kebijakan publik yang mengatur tentang Kesela-
matan penerbangan tertuang dalam:
a. UU Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan pada pada Bab
XIII Keselamatan Penerbangan mencakup dari pasal 308 sam-
pai dengan pasal 322.
b. UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Keamanan dan Keselamatan
Penerbangan.
Airmanship.indd 38 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 3 9
c. Peraturan Pemerintah RI Nomor 70 tentang Kebandarudaraan,
Peraturan Pemerintah RI No 40 tentang Pembangunan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara.
d. Peraturan Pemerintah RI Nomor 77 tentang Perusahaan Umum
(Perum) Lembaga Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Pener-
bangan Indonesia.
2. Tingkat Menengah. Kebijakan publik yang mengatur tentang pe-
laksanan keselamatan penerbangan dituangkan dalam:
a. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 21 Tahun 2015 tentang
Standard Keselamatan Penerbangan.
b. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Permenhub Nomor PM 127 Tahun 2015 tentang
Program Keamanan Penerbangan Nasional.
c. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 91 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Permenhub Nomor PM 174 Tahun 2015 tentang
Pembatasan Usia Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Peswat
Udara (Ground Support Equipment/ GSE) dan Kendaraan Ope-
rasional yang beroperasi di Sisi Udara.
d. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 93 Tahun 2016 tentang
Program Keselamatan Penerbangan Nasional.
3. Tingkat Mikro. Kebijakan publik yang mengatur tentang petunjuk
pelaksanaan keselamatan penerbangan tertuang dalam:
a. Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 26
Tahun 2015 Tentang Pedoman Teknis Operasional Peraturan
Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 45-01 (Advisorycircular
Casr 45 - 01) Tentang Persetujuan Tanda Pendaftaran Pesawat
Udara (Assignment of Aircraft Registration Marks).
b. Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 22
Tahun 2015 Tentang Pedoman Teknis Operasional Peraturan
Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 139 – 14 (Advisory Circular
Casr Part 139-14), Standar Kompetensi Personel Bandar Udara.
Airmanship.indd 39 5/9/19 1:47 PM
4 0 A I R M A N S H I P
c. Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 23
Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Peraturan Keselamatan
Penerbangan Sipil Bagian 139 – 02 (Staff Instruction Casr Part
139 – 02), Penguji Personel Bandar Udara.
C. AnTArA TEori DAn prAKTiK
Implementasi kebijakan publik atau pelaksanaan kebijakan publik
merupakan ilmu tentang administrasi publik, teori organisasi, mana-
jemen publik, dan ilmu politik (Field dan Sausman, 2004). Jenkins (1978)
menyatakan bahwa Implementasi kebijakan publik merupakan pema-
haman tentang perubahan kebijakan. Studi implementasi kebijakan
publik muncul pada 1970-an di Amerika Serikat, sebagai reaksi terha-
dap keprihatinan atas efektivitas program reformasi yang luas. Pada
akhir tahun 1960-an, telah terjadi pengambilan mandat politik di mana
pelaku politik dianggap menerapkan kebijakan sesuai dengan niat
pengambil keputusan (Hill dan Hupe, 2002).
Sedangkan Barrett (2004) menyatakan bahwa proses mengimple-
mentasikan kebijakan ke dalam tindakan menarik perhatian lebih,
karena kebijakan tampaknya tinggal harapan. Generasi pertama dari
studi implementasi, yang mendominasi sebagian besar tahun 1970- an,
ditandai dengan nada pesimis. Pesimisme ini dipicu oleh sejumlah
studi kasus yang dicontohkan dari kegagalan implementasi. Studi dari
Derthick (1972), Pressman dan Wildavsky (1973), dan Bardach (1977)
adalah yang paling populer pada saat itu.
Sementara pendekatan teori pada generasi pertama tidak tepat
sasaran dari studi implementasi kebijakan publik, sehingga muncul
generasi kedua mulai mengajukan berbagai macam kerangka teoritis
dan hipotesis. Periode ini ditandai dengan perdebatan antara apa yang
kemudian dikenal dengan top-down dan bottom-up pendekatan untuk
pelaksanaan penelitian (Fisher dkk., 2007). Pendekatan top-down, di-
wakili oleh para sarjana seperti Meter dan Horn (1975), Nakamura dan
Airmanship.indd 40 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 4 1
Smallwood (1980) atau Mazmanian dan Sabatier (1983). Para peneliti
top down memahami implementasi sebagai “centrally-defined policy
intentions”.
Para peneliti yang tergabung dalam bottom-up, seperti Lipsky (1971,
1980), Ingram (1977), Elmore (1980), atau Hjern dan Hull (1982) bukan
menekankan bahwa implementasi terdiri dari strategi pemecahan
masalah sehari-hari “ street-level bureaucrats” (Lipsky, 1980).
Generasi ketiga para peneliti implementasi mencoba untuk men-
jembatani kesenjangan antara top-down dan pendekatan bottom- up
dengan memasukkan wawasan kedua kubu dalam model teoretis
mereka (Fisher dkk., 2007). Pada saat yang sama, tujuan menyatakan
diri sebagai peneliti generasi ketiga adalah untuk menjadi lebih ilmiah
dibandingkan dengan dua sebelumnya dalam pendekatan untuk mem-
pelajari implementasi kebijakan publik (Goggin dkk., 1990). Para ahli
generasi ketiga lebih menekankan dan menentukan hipotesis yang
jelas, menemukan operasionalisasi yang tepat dan menghasilkan
pengamatan empiris yang memadai untuk menguji hipotesis tersebut.
Namun, sebagai pengamat seperti DeLeon (1999) dan O’Toole (2000)
mencatat bahwa sejauh ini hanya beberapa studi yang mengikuti
pendekatan tersebut.
Pandangan para ahli mengenai implementasi kebijakan publik
memiliki benang merah yang erat satu sama lain dengan perumusan
kebijakan. Implementasi dipandang sebagai wujud penyediaan wadah
untuk melakukan suatu kebijakan yang mempunyai konsekuensi atau
dampak/akibat terhadap sesuatu. Implementasi dapat diartikan seba-
gai tindakan yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan maupun
cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan. Tanpa implemen-
tasi kebijakan tidak akan dapat mewujudkan hasil sesuai harapan dan
sering kali terjadi beragam interpretasi atas tujuannya. Untuk itu
implementasi kebijakan publik perlu untuk diawasi demi kepentingan
bersama.
Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata “implemen-
tatiom”, berasal dari kata kerja “to implement”. Menurut Webster’s
Airmanship.indd 41 5/9/19 1:47 PM
4 2 A I R M A N S H I P
Dictionary (dalam Tachan (2008), kata to implement berasal dari baha-
sa Latin “implementum” dari asal kata “impere” dan “plere”. Kata “im-
plore” dimaksudkan “to fill up”,”to fill in”, yang artinya mengisi penuh;
melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “to fill”, yaitu mengisi.
Apabila pengertian implementasi di atas dirangkaikan dengan
kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik dapat
diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu ke-
bijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan
sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan.
Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi
kebijakan dalam perspektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut
Smith (1973) implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang
harus dilalui. Model Smith ini memandang proses implementasi kebi-
jakan publik dari persfektif perubahan sosial dan politik, untuk meng-
ubah dan membentuk masyarakat ke arah yang lebih baik.
DeLeon (2001) menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan pu-
blik dapat digolongkan tiga generasi yaitu: Generasi pertama, yaitu
pada tahun 1970-an, dengan mengartikan implementasi kebijakan
sebagai kegitan yang terjadi di antara kebijakan dan eksekusinya. Pada
generasi ini pelaksanaan kebijakan berdekatan dengan pedoman pen-
gambilan keputusan di ruang publik. Generasi kedua, tahun 1980-an,
adalah generasi yang menganalisis perspektif implementasi yang
bersifat dari atas ke bawah (top-downer perspective). Perspektif ini
mengutamakan tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang
telah ditetapkan penguasa yang diiringi dengan konsep dari bawah ke
atas (bottom-upper). Generasi ketiga, 1990-an, memopulerkan pemiki-
ran bahwa variabel tindakan dari pelaksana kebijakan yang lebih
mengutamakan keberhasilan. Pada saat yang sama, muncul pendeka-
tan kontijensi atau situasional dalam implementasi kebijakan banyak
didukung oleh penyesuaian terhadap kepentingan bersama.
Meter dan Horn (1975) mendefinisikan implementasi kebijakan
publik sebagai kegiatan-kegiatan karena dampak dari kesepakatan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini merupakan usaha-usaha untuk
Airmanship.indd 42 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 4 3
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan secara
teknis yang dibatasi dengan waktu yang ditetapkan. Makna imple-
mentasi menurut Mazmanian dan Sabatier (1983) adalah memahami
dengan pasti suatu program yang telah dirumuskan dan mendapatkan
perhatian khusus untuk kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan ter-
sebut yang mencakup pengawasan dan evaluasi.
Penjelasan-penjelasan implementasi di atas secara praktis dapat
disimpulkan bahwa implementasi kebijakan tidak dapat dilaksanakan
sebelum ada tujuan dan kesepakatan. Pada dasarnya implementasi
merupakan suatu proses kegiatan atau tindakan yang dilaksanakan
oleh oknum atau golongan yang bermaksud untuk mencapai suatu
gagasan atau tujuan.
Teori implementasi kebijakan Edward III (1980) berpandangan
bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:
1. Komunikasi, yang meliputi transmisi, konsistensi dan kejelasan.
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka pe-
tunjuk-petunjuk dan perintah-perintah pelaksanaan kebijakan
harus konsisten dan jelas.
2. Sumber-sumber, yang meliputi sumber daya manusia/staf yang
memadai dan keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan
tugas-tugas, wewenang serta fasilitas-fasilitas yang dapat menun-
jang pelaksanaan pelayanan publik.
3. Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku.
Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekuensi-kon-
sekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika
para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu
yang dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar
mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan
oleh para pembuat keputusan awal.
4. Struktur Birokrasi. Birokrasi merupakan salah satu badan yang
paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebi-
jakan, baik itu struktur pemerintah dan juga organisasi swasta.
Airmanship.indd 43 5/9/19 1:47 PM
4 4 A I R M A N S H I P
Sitorus (2007) menguraikan penjelasan Edwards III tentang faktor-
faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan pub-
lik, sebagai berikut:
1. Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street
level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan.
2. Sumber daya (resources) material. Sumber daya material merupa-
kan fasilitas, yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan
suatu peraturan hukum.
3. Unsur pelaksana yaitu staf/pegawai yang mencakup, memadai,
kompeten di bidangnya yang disertai wewenang formal termasuk
mentalitas petugas dalam melaksanakan (menerapkan) suatu
peraturan perundang-undangan atau kebijakan.
4. Struktur birokrasi (bureaucratic structure) untuk memanfaatkan
sumber-sumber daya manjadi efektif.
Keberhasilan implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) di-
pengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of po-
licy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).Varia-
bel tersebut mencakup sejauh mana kepentingan kelompok sasaran
atau target grup termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang di-
terima oleh target grup, perubahan yang diinginkan dari sebuah kebi-
jakan, apakah letak sebuah program sudah tepat dan apakah sebuah
program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan
menurut Mazmanian dan Sabatier (1983) ada tiga kelompok variabel
yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu: karakteristik
dari masalah (tractability of the problems), karakteristik kebijakan/
undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan
variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).
Variabelyangmemengaruhikeberhasilanimplementasikebijakan
pada dasarnya terfokus pada lingkungan. Pandangan Meter dan Horn
(1975), menyatakan ada lima variabel yang memengaruhi kinerja im-
plementasi kebijakan yaitu: 1) standar dan sasaran kebijakan; 2) sum-
ber daya; 3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; 4)
Airmanship.indd 44 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 4 5
karakteristik agen pelaksana dan kondisi sosial; dan 5) ekonomi dan
politik.
Namun untuk mendapatkan hasil implementasi kebijakan yang
dimaksud, diperlukan sebuah proses untuk mencapai tujuan imple-
mentasi tersebut. Sebuah kamus umum mendefinisikan proses seba-
gai “sebuah rangkaian tindakan yang secara definitif berkaitan dengan
tujuan”, sehingga sebuah proses tidak dapat lagi dikaitkan dengan
segala tindak tanduk sosial. Dalam kebanyakan referensi ilmu politik,
disebutkan bahwa sebuah proses difokuskan pada: siapa mereka;
bagaimana mereka bekerja; apa yang mereka hasilkan; dan bagaima-
na mereka berhubungan.
Menurut Jones (1996) kebijakan sering menjadi persaingan politik
untuk mencapai sesuatu tujuan, program, keputusan, hukum, propo-
sal, patokan dan maksud besar tertentu, sehingga acuan yang bersifat
umum tidak dimiliki oleh studi proses kebijakan. Maka untuk menda-
pat acuan agar implementasi kebijakan dapat dilaksanakan, sebuah
definisi diperlukan untuk membantu menentukan apa yang hendak
dicari dan dicapai oleh kebijakan. Lebih lanjut akan dibahas beberapa
definisi tentang kebijakan yang telah didefinisikan oleh para ahli.
Eulau dan Prewith (1973) menyatakan bahwa Policy is defined as a
“standing decision” characterized by behavioral consistency and repeti-
tiveness on the part of those who make it and those who abide it. Kebi-
jakan adalah “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan
pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mere-
ka yang mematuhi keputusan tersebut.
Nakamura dan Smallwood (1980) sebagaimana dirangkum dalam
Philip Doty, Federal Information Policy, What is [Public] Policy, INF
390N.1,SchoolofInformationUniversityofTexas,Austin:
A policy can be thought of as a set of instructions from policy makers
to policy implementers that spell out both goals and the means for
achieving those goals and policies imply theories. Whether stated
explicitly or not policies point to a chain of causation between initi-
al conditions and future consequences. Artinya bahwa sebuah ke-
Airmanship.indd 45 5/9/19 1:47 PM
4 6 A I R M A N S H I P
bijakan dapat dianggap sebagai satu set instruksi dari para pem-
buat kebijakan untuk pelaksana kebijakan yang menguraikan baik
tujuan dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan dan kebijakan
yang menyiratkan teori. Apakah dinyatakan secara eksplisit atau
tidak kebijakan menunjuk rantai sebab-akibat antara kondisi awal
dan konsekuensi di masa depan.
Definisi ini menimbulkan masalah tentang kebijakan, apakah
kebijakan tersebut dapat dilaksanakan, dan siapa yang dapat melak-
sanakan, apa tujuan dilaksanakan, serta berapa lama kebijakan terse-
but masih berlaku.
Dunia yang penuh misteri dan permasalahan ini dapat dipecahkan
melalui kajian dan penggunaan pemikiran yang logis. Pandangan ini
membentuk latar belakang pertumbuhan pendekatan kebijakan. Ga-
gasan Newton mengenai hukum gerak planet menjadi model bagi
upaya mempelajari masyarakat. Jadi perkembangan ilmu kebijakan
dapat dipetakan dari segi keinginan untuk mendapatkan knowledge
governance, yaitu perkumpulan fakta dan “pengetahuan” mengenai
persoalan untuk merumuskan “solusi yang lebih baik”
Implementasi kebijakan publik di sektor penerbangan nasional
merupakan elemen penting dalam kehidupan berbangsa, terutama
peningkatan rasio keselamatan penerbangan. Peranan transportasi
udara sebagai suatu aktivitas pelayanan publik dewasa ini begitu
pentingnya, sehingga media pesawat udara telah menjadi sarana bagi
kegiatan di berbagai sektor kehidupan yang mementingkan aspek
kecepatan. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan industri
dan bisnis penerbangan di Indonesia hal yang sangat penting untuk
ditingkatkan adalah kemampuan sumber daya manusia di bidang
teknologi aeronautika, mulai dari keterampilan dan pengetahuan,
perencanaan, pengoperasian, perawatan dan peningkatan kemampu-
an teknologi aeronautika para pimpinan di lembaga pemerintahan,
khususnya pengawasan dalam peningkatan keselamatan penerbang-
an sesuai aturan penerbangan nasional maupun internasional.
Airmanship.indd 46 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 4 7
Proses implementasi dalam pembuatan keputusan kebijakan pub-
lik perlu dianalisis antara perumusan kebijakan dan implementasi,
akan tetapi kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Kepu-
tusan akan memengaruhi implementasi dan implementasi di tahap
awal akan memengaruhi tahap pembuatan keputusan selanjutnya,
yang pada akhirnya memengaruhi keseluruhan implementasi. Oleh
karena itu, pembuatan keputusan bukanlah suatu proses yang bersi-
fat pasif, namun merupakan suatu proses yang memiliki sinyal pe-
nunjuk arah atau dorongan awal atau percobaan awal yang akan
mengalami revisi dan diberi spesifikasi. Sebagaimana dijelaskan oleh
Parsons (2005) yang menyatakan ketika tujuan umum dari suatu or-
ganisasi telah ditentukan, itu bukan berarti bahwa proses keputusan
telah selesai. Tugas memutuskan ada di seluruh bagian administrasi
organisasi.
Pemilihan keputusan merupakan suatu siklus kebijakan, misalnya
mengenai apa yang bisa digolongkan sebagai permasalahan, informa-
si dan data apa yang digunakan untuk pemilihan strategi untuk me-
mengaruhi agenda kebijakan; pemilihan alternatif kebijakan; penen-
tuan alternatif; pemilihan tujuan; pemilihan teknik mengimplemen-
tasikan; pemilihan cara mengevaluasi kebijakan- kebijakan. Setiap
tahapan tersebut terdapat suatu proses pembuatan keputusan. Bebe-
rapa keputusan mempertimbangkan nilai dan distribusi sumber daya
melalui perumusan kebijakan, atau melalui pelaksanaan program. Akan
tetapi proses kebijakan ini bukan hanya sangat bervariasi. Kerangka
pemikiran yang digunakan dalam proses ini juga secara multidimensi
dan multidisiplin.
Keputusan juga dipengaruhi oleh perilaku organisasi. Menurut
Luthan (2006) bahwa perilaku organisasi dipengaruhi oleh tiga kom-
ponen yaitu nilai, sikap, dan kepribadian kerja. Nilai adalah sesuatu
yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat kepu-
tusan mengenai apa yang ingin dicapai atau sebagai sesuatu yang
dibutuhkan. Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan
secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai
Airmanship.indd 47 5/9/19 1:47 PM
4 8 A I R M A N S H I P
milik bersama dengan kelompoknya. Nilai ialah standar konseptual
yang relatif stabil, di mana secara eksplisit maupun implisit membim-
bing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta ak-
tivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologi. Sikap adalah
pernyataan evaluatif terhadap objek, orang, atau peristiwa.
Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Ke-
pribadian kerja adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan
berinteraksi dengan individu lain di dalam melaksanakan pekerjaannya.
Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa
diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.
Menurut Luthan (2011) bahwa perilaku organisasi sangat berperan
dalam kemajuan organisasi tersebut. Luthan menjelaskan bahwa tek-
nologi dapat dibeli dan disalin, tetapi perilaku manusia tidak demiki-
an. Meskipun dimungkinkan untuk mengkloning tubuh manusia, nilai-
nilai budaya ide, kepribadian, motivasi, dan organisasi mereka tidak
dapat disalin. Luthan juga menjelaskan bahwa sumber daya manusia
dari suatu organisasi dan bagaimana mereka berhasil mewakili keung-
gulan kompetitif dari organisasi saat ini dan masa yang akan datang.
Sebuah studi baru-baru ini lebih dari tiga ratus perusahaan selama
lebih dari 20 tahun memberikan bukti untuk pernyataan ini. Para
peneliti menemukan bahwa manajemen sumber daya manusia mela-
lui pelatihan yang ekstensif dan teknik seperti pemberdayaan meng-
hasilkan keuntungan kinerja, tetapi inisiatif operasional seperti total
kualitas manajemen atau teknologi manufaktur tidak maju.
D. AnTArA MAnuSiA DAn BiroKrASi
Weber (1864-1920) merupakan salah satu perintis utama studi menge-
nai organisasi yang berkebangsaan Jerman. Weber memodelkan sebu-
ah birokrasi sebagai tipe yang paling tepat. Model yang dikembangkan
oleh Weber itu tipe ideal karena kenyataannya tidak akan ada yang
dapat mengikutinya. Akan tetapi bagaimana birokrasi mendekati ka-
rakteristik yang tepat menjadi tolak ukur dari tingkat efisiensinya
Airmanship.indd 48 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 4 9
dapat dicapai secara maksimum? Di mana prinsip-prinsip Weber1, se-
cara garis besar dapat dipilah menjadi dua, yaitu prinsip-prinsip struk-
tural dan prinsip-prinsip prosesual. Prinsip struktural menunjukan
beberapa hal penting. Pertama, pekerjaan bukan merupakan sesuatu
yang sederhana dan sepele. Pekerjaan dimodelkan dengan pemikian
yang logis. Kedua, segala sesuatu kemudian menjadi bersifat umum
dan tegas. Para pelaksana kebijakan dapat digantikan dengan yang
lain karena fungsi dan tugas yang jelas. Prinsip ini mengutamakan
pada aspek struktural dan aspek administratif dari organisasi.
Selain aspek struktural terdapat pula aspek prosesual. Akar dan
model birokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Weber adalah pada
konsep otoritas dan kekuasaan yang sah untuk melakukan kontrol.
Posisi-posisi dalam organisasi memberikan kepada orang-orang yang
menduduki posisi tersebut hak dan tanggung jawab. Itu berarti bahwa
1 Tipe ideal birokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Weber memiliki prinsip- prinsip sebagai berikut:
1. Peraturan atau aturan yang ada di dalam birokrasi sangat jelas dan tegas sekali.
2. Hal yang demikian diperlukan dalam birokrasi terutama untuk menegakkan ketertiban dan kelangsungan dari birokrasi itu sendiri.
3. Terdapat ruang lingkup kompetensi yang jelas. Orang-orang dalam birokrasi memiliki tugas-tugas dan pekerjaan yang dirumuskan secara jelas dan tegas, serta memiliki ke-wenangan yang diperlu- kan untuk melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan yang di-berikan itu. Jadi prinsip pembagian kerja (division of labour) merupakan aspek integral dari birokrasi.
4. Sumber dari otoritas atau kewenangan adalah ketrampilan teknis, kompetensi dan ke-ahlian(expertise).Inimerupakanukuranyangobjektifdanberlakubagisiapapunyangmemenuhi kualifikasi dan persyaratan yang ada dapat dipromosikan pada suatu jabat-an atau posisi tertentu dalam birokrasi.
5. Para pelaksana atau staf administrasi secara tegas dipisahkan dari para pemilik modal atau alat pro- duksi. Pemilikan alat produksi dan modal dipisahkan dari kepemimpin-an ini dilakukan sebagai upaya untuk dapat membuat keputusan yang rasional dan objektif.
6. Prinsip hirarkhi menunjukkan bahwa tiap-tiap bagian yang lebih rendah posisinya, se-lalu berada di bawah perintah dan selalu dibawah pengawasan dari posisi yang lebih tinggi. Garis komunikasi lebih bersifat vertikal dari pada bersifat horisontal.
7. Tindakan-tindakan, keputusan-keputusan dan aturan-aturan semuanya diadministra-sikan dan diarsipkan secara tertulis. Proses pelaksanaan fungsi organisasi merupakan sesuatu yang dapat diketahui oleh siapapun dan bersifat publik.
Airmanship.indd 49 5/9/19 1:47 PM
5 0 A I R M A N S H I P
seseorang yang menerima suatu tugas atau pekerjaan, berarti kepa-
danya diberikan otoritas yang sah dan kemudian ia dapat mengguna-
kannya kepada pihak lain lagi yang berada di bawah posisinya. Dalam
pandangan Weber terdapat tiga sumber otoritas yang dimiliki seseo-
rang, yaitu otoritas tradisional, otoritas kharismatik, dan otoritas bi-
rokratis. Pimpinan dalam birokrasi memiliki sumber otoritas pada
keahlian dan keterampilan tertentu. Otoritas yang demikian merupa-
kan otoritas yang sah dan diperoleh melalui persyaratan dan kualifi-
kasi yang jelas.
Dalam pandangan Weber, jika suatu organisasi memiliki dasar-
dasar berupa prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakannya di atas,
maka organisasi itu akan dapat mengatasi ketidakefisienan dan keti-
dakpraktisan yang sangat tipikal, yang ditemukan pada banyak orga-
nisasi pada masa itu. Pada sisi yang lain, Weber melihat bahwa biro-
krasi merupakan bentuk paling efisien dari suatu organisasi dan me-
rupakan instrumen yang paling efisien dari kegiatan administrasi
berskala besar.
Taylor (1856-1915), memiliki pemikiran dan analisis tentang masalah
peningkatan produktivitas pekerja yaitu pemikiran mengenai adanya
cara terbaik untuk melaksanakan pekerjaan. Pemikiran Taylor ini meng-
gabungkan sejumlah gagasan tentang manajemen. Pertama, gagasan
bahwa pekerjaan dapat dianalisis secara ilmiah. Pemahaman tentang
waktu dan kegiatan yang detail akan dapat menghasilkan pekerjaan
yang baik. Kedua, perlunya standardisasi, proses seleksi, proses penem-
patan dan proses pelatihan agar pelaksanaan pekerjaan bisa mudah.
Sumbangan lain dari Taylor dengan manajemen ilmiahnya adalah ga-
gasan tentang pemisahan rencana dan pelaksanaan kegiatan. Ini ber-
pengaruh terhadap personel dalam konsep staf dan pimpinan.
Untuk mendapatkan hasil yang efisien, fungsi dan tugas organi-
sasi harus dibagi berdasarkan profesionalisme. Taylor menunjukkan
bahwa untuk mencapai profesionalisme maka dibutuhkan standardi-
sasi pekerjaan dan kemampuan. Untuk mencapai hal tersebut dibu-
tuhkan fungsi pengawasan. Pada saat itu, pengawasan fungsional dan
Airmanship.indd 50 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 5 1
pengawasan ganda (multiple supervision) ini telah menimbulkan kebi-
ngungan karena bertentangan dengan prinsip kesatuan dalam perin-
tah. Meskipun demikian, konsep tersebut dapat diterima di kalangan
manajemen. Gagasan pemikiran manajemen ilmiah ini berpengaruh
pada hasil kerja tingkat pekerja, pada tingkat organisasi seperti adanya
modifikasi dan penyesuaian-penyesuaian dari segi struktur organisa-
si.
Henri Fayol (1841-1925) merupakan salah satu dari beberapa perin-
tis teori organisasi yang sangat dikenal dan menghasikan karya dengan
judul General and Industrial Administration. Fayol mengembangkan
teori yang membahas dan mengkaji tentang pemecahan fungsional
kegiatan administrasi. Fayol berpendapat bahwa kegiatan administra-
si dapat dibagi dalam lima fungsi yaitu: Planning atau perencanaan,
Organizing atau pengorganisasian, Command atau perintah, Coordina-
tion atau koordinasi, dan Control atau pengawasan.
Robbins (2003) menjelaskan tentang perilaku organisasi sebagai
bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok dan
struktur pada perilaku dalam organisasi dengan tujuan mengaplika-
sikan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki efektivitas orga-
nisasi. Perilaku organisasi adalah studi yang mengambil pandangan
mikro, memberi tekanan pada individu-individu dan kelompok-kelom-
pok kecil. Perilaku organisasi memfokuskan diri kepada perilaku di
dalam organisasi dan seperangkat prestasi dan variabel mengenai
sikap yang sempit dan kepuasan kerja dari para pegawai adalah yang
banyak diperhatikan (Robbins, 2003).
Perilaku Organisasi mendorong untuk menganalisis secara siste-
matik dan meninggalkan intuisi. Studi sistematik melihat pada hu-
bungan dan berupaya menentukan sebab dan akibat, serta menarik
kesimpulan berdasarkan bukti ilmiah. Sementara intuisi adalah pera-
saan yang tidak selalu didukung penelitian.
Luthans (2006) mengemukaan bahwa secara tradisional bidang
perilaku organisasi membahas stres dan konflik secara terpisah. Seca-
ra konseptual stres dan konflik adalah sama, interaksi individu kelom-
Airmanship.indd 51 5/9/19 1:47 PM
5 2 A I R M A N S H I P
pok dan organisasi lebih berhubungan dengan konfilk. Anteseden stres
atau disebut stresor yang memengaruhi karyawan penyebabnya ber-
asal dari luar dan dalam organisasi, dari kelompok yang dipengaruhi
karyawan dan dari karyawan itu sendiri2
Dari berbagai definisi di atas, perilaku sebagai respons seseorang
yang ditunjukkan dalam tindakan maupun tanpa tindakan yang dapat
diubah sesuai dengan keinginan orang tersebut.
Perilaku manusia adalah seluruh tindakan atau aktivitas manusia,
yang diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Perilaku dapat
terjadi karena proses kematangan dan interaksi dengan lingkungan.
Dalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi
oleh beberapa faktor atau dimensi yang berasal dari dalam diri itu
sendiri, yaitu: kebiasaan, respons atau reaksi, stimulus dan sikap.
Sehingga dimensi perilaku yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah: kebiasaan, respons atau reaksi, stimulus dan sikap.
Dalam Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi
dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Pengertian yang ham-
pir sama juga ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988),
yang mengartikan perilaku sebagai tanggapan atau reaksi individu
terhadap rangsangan atau lingkungan. Pengertian ini sama dengan
definisi perilaku menurut Skinner (2013), yaitu perilaku sebagai respons
atau reaksi seseorang terhadap stimulus, atau yang sering disebut
dengan teori S-O-R (stimulus-organisme-respons).
2 Perilaku organisasi dalam beberapa definisi sebagai berikut:
1. Perilaku organisasi menjelaskan perilaku dari orang-orang yang beroperasi dilevel indi-vidu, kelompok, atau organisasi.
2. Perilaku organisasi merupakan pendekatan multi disiplin yang menggunakan prinsip dari berb- agai ilmu.
3. Berorientasi pada manusia. Perilaku, persepsi, kemampuan, perasaan adalah penting bagi organi- sasi.
4. Berorientasi kinerja. Tentang bagaimana kinerja ditingkatkan.5. Lingkungan luar organisasi berpengaruh pada organisasi.6. Metode ilmiah sangat penting untuk mengenali perilaku organisasi secara sistematis.7. Perilaku organisasi orientasi aplikasi yang berbeda. Perhatiannya adalah pada menyedi-
akan jawa- ban tentang permasalahan organisasi.
Airmanship.indd 52 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 5 3
Artinya, reaksi, tanggapan, respons yang ditunjukkan seseorang
akibat adanya rangsangan yang diterima orang tersebut itulah yang
disebut dengan perilaku. Atau dengan kata lain, seseorang tidak akan
menunjukkan perilakunya apabila tidak ada rangsangan yang ia
terima.
Skinner membagi dua jenis respons, pertama responden respons
yaitu respons yang ditimbulkan oleh stimulus tertentu dan menim-
bulkan respons yang relatif tetap, kedua operant respons yaitu respons
yang timbul dan berkembang diikuti oleh stimulus yang lain. Skinner
juga membagi dua kelompok perilaku manusia, yaitu perilaku tertutup,
yaitu perilaku yang tidak dapat diamati oleh orang lain. Contoh: pe-
rasaan, persepsi, perhatian. Perilaku terbuka, yaitu perilaku yang dapat
diamati oleh orang lain berupa tindakan atau praktik.
Secara umum perilaku dapat diartikan sebagai segala perbuatan
atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup, baik tindakan itu
bersifat aktif (konkrit dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain),
maupun yang bersifat pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit). Hal
ini dapat diartikan bahwa perilaku bukan hanya ketika seseorang
memberi respons atas stimulus yang ia terima saja, melainkan diam-
nya seseorang, sekalipun ia diberi stimulus juga merupakan perilaku
orang tersebut.
Kwick (1974) mendefinisikan perilaku sebagai tindakan atau per-
buatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari.
Definisi Kwick memberi ruang kepada setiap orang untuk dapat me-
maknai perilaku orang lain atas berbagai hal yang dilakukan oleh orang
yang ia amati. Apabila setelah dipelajari dalam rentang waktu terten-
tu, orang yang diamati menunjukkan perilaku yang sama secara ber-
ulang, maka itulah perilaku orang tersebut. Pengertian atau definisi
yang dikemukakan Kwick, sering ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari, apakah di tempat kerja, di rumah atau dalam kegiatan apa saja
yang dilakukan seseorang secara berulang. Misalnya, seseorang yang
setiap kali diskusi memprotes atau menunjukkan ketidaksenangan
apa yang sedang didiskusikan, maka orang lain akan mudah menyim-
Airmanship.indd 53 5/9/19 1:47 PM
5 4 A I R M A N S H I P
pulkan tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang sebagai peri-
laku orang tersebut.
Pada hakikatnya perilaku manusia terbentuk karena adanya kebu-
tuhan dan juga tuntutan. Menurut Maslow (1984) manusia memiliki
lima kebutuhan dasar, yakni:
1. Kebutuhan fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok
utama, yaitu H2, H2O, cairan elektrolit, makanan, dan seks. Apa-
bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi ketidakseimbang-
an fisiologis.
2. Kebutuhan rasa aman terhindar dari pencurian, penodongan, pe-
rampokan, konflik, tawuran, kerusuhan, peperangan, sakit maupun
penyakit serta rasa aman memperoleh perlindungan hukum.
3. Kebutuhan mencintai dan dicintai, seperti mendambakan kasih
sayang/cinta kasih orang lain baik dari orangtua, saudara, teman,
kekasih dan ingin diterima oleh kelompok tempat ia berada.
4. Kebutuhan harga diri, seperti ingin dihargai dan menghargai orang
lain, adanya respek atau perhatian dari orang lain, serta toleransi
atau saling menghargai dalam hidup berdampingan.
5. Kebutuhan aktualisasi diri, seperti ingin dipuja atau disanjung oleh
orang lain, ingin sukses atau berhasil dalam mencapai cita- cita
serta ingin menonjol dan lebih dari orang lain, baik dalam karier,
usaha, dan kekayaan.
Dalam dunia penerbangan, perilaku manusia khususnya penerbang
dapat dipandang sebagai suatu sistem di dalam sistem. Sebagai pe-
nerbang ia bertanggung jawab dalam proses penerbangan tetapi juga
sebagai manusia yang bebas. Dengan kata lain, seorang penerbang
merupakan bagian dari kru pesawat atau sistem pesawat, dan sebagai
manusia atau organisme dengan sistem psikofisiknya (Mustopo, 2011).
Lebih jauh dijelaskan bahwa posisi penerbang sebagai bagian
sistem sangat berkaitan dengan sistem kerja mesin, sehingga dalam
menjalankan tugasnya tidak dapat dipisahkan dari pesawat yang
identik dengan sub-sistem mesin. Sebagai sub-sistem mereka harus
Airmanship.indd 54 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 5 5
dapat bekerja layaknya mesin yang efisien, efektif, dan terpelihara
kualifikasinya. Kondisi ini mempunyai konsekuensi yang berat untuk
saling membutuhkan pada sistem kerja yang dipersyaratkan bagi
penerbang. Penerbang diharuskan memiliki ability untuk menangani
tugas-tugasnya. Sedangkan posisi penerbang sebagai organisme ma-
nusia menuntut kesediaannya (availability) untuk menjalankan tugas-
tugasnya. Availability ini tidak terlepas dari masalah motivasi serta
mekanisme psikologis maupun fisiologis.
Sebagai hasil dari motivasi dan mekanisme psikofisiologis, tentu-
nya penerbang tak terhindarkan dari problem-problem manusia pada
umumnya. Ia terbuka terhadap pengaruh dan tekanan (stress) dari
lingkungannya, baik yang langsung berhubungan dengan tugasnya
sebagai penerbang, seperti risiko bahaya, prosedur yang harus diikuti
secara ketat, beban kerja dan relasi antar rekan kerja. Terkadang juga
pengaruh dari lingkungan di luar pekerjaannya, seperti masalah keluar-
ga, ekonomi dan relasi sosial di masyarakat (Mustopo, 2011).
E. AnTArA KECErDASAn nALAr DAn jiwA
Kecerdasan emosi setiap orang berbeda-beda, tergantung dari kemam-
puannya dalam proses berinteraksi dengan manusia dan lingkungan-
nya. Goleman (1998) menjelaskan “emotional intelligence refers to the
capacity for recognizing our own feelings and those of others, for moti-
vating ourselves, and for managing emotions well in ourselvesand in
ourrelationships”. Pendapat ini mengungkapkan bahwa kecerdasan
emosi mengarah pada kapasitas pengenalan perasaan diri sendiri dan
orang lain, kapasitas memotivasi diri sendiri dan kapasitas mengelola
emosi dengan baik dalam diri sendiri dan dalam hubungan dengan
orang lain. Dulewicz (2000) menyatakan “Emotional intelligence is
about knowing what you are feeling, and being able to motivate yourse-
lf to get jobs done. I tissensing what others are feeling and handling re-
lationship effectively”.
Airmanship.indd 55 5/9/19 1:47 PM
5 6 A I R M A N S H I P
Pendapat ini mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi adalah
mengenai bagaimana seseorang mengetahui apa yang dirasakan yang
mampu memotivasi diri sendiri untuk bisa melakukan tugas-tugas
dengan lebih baik sehingga akan mampu menjalin hubungan yang
lebih baik dengan pihak lain. Stein dan Book (2004) mengemukakan
bahwa salah satu terobosan pemikiran kecerdasan emosi yang paling
penting terjadi pada tahun 1980, yang diteliti oleh seorang pakar psi-
kolog Israel kelahiran Amerika Dr. Reuven Bar-On.
Pengertian kecerdasan emosi menurut Bar-On sebagai serangkai-
an kemampuan kompetensi dan kecakapan untuk mengatasi tuntut-
an dan tekanan lingkungan. Mayer dan Salovey (1990) mendefinisikan
kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan,
memahami perasaan dan maknanya, membangkitkan perasaan untuk
membantu pikiran, dan mengendalikan perasaan secara mendalam
untuk perkembangan emosi dan intelektual.
Robbins (2003) menyatakan bahwa orang-orang yang mengenal
emosinya sendiri dan bagus dalam membaca emosi orang lain mung-
kin lebih efektif dalam pekerjaannya. Kecerdasan emosi mengacu
kepada satu keanekawarnaan dari keterampilan non kognitif, kemam-
puan dan kompetensi yang memengaruhi kemampuan seseorang
untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Robbins dan Judge (2007) menyampaikan bahwa kecerdasan emosi
adalah kemampuan seseorang untuk mendeteksi dan mengelola isya-
rat-isyarat emosi dan informasi.
Kecerdasan emosi terdiri dari lima dimensi, yaitu: (i) kesadaran diri
sendiri, yaitu menyadari apa yang dirasakan; (ii) pengelolaan diri sen-
diri, yaitu kemampuan mengelola emosi dan desakan hati sendiri;
(iii) motivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk bertahan meng-
hadapi kemunduran dan kegagalan; (iv) empati, yaitu kemampuan
untuk merasa bagaimana perasaan orang lain; dan (v) kecakapan so-
sial, yaitu kemampuan untuk menangani emosi orang lain.
Davis (2006) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi adalah kemam-
puan mengenali, memahami, mengatur dan menggunakan emosi
Airmanship.indd 56 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 5 7
secara efektif. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dapat
dimungkinkan mengukur kecerdasan emosi seseorang. Davis menyam-
paikan tiga cara untuk mengukur kecerdasan emosi, yaitu (i) laporan
pengukuran diri, (ii) tes multi pengukur, dan (iii) tes penampilan.
Skala laporan pengukuran diri adalah dengan menanyakan kepada
orang yang mengikuti tes untuk melaporkan kemampuan, keteram-
pilan dan perilaku dengan menjawab beberapa pertanyaan. Dalam
pendekatan tes multi pengukur, pertanyaan tentang perilaku seseo-
rang dijawab oleh orang lain yang mengenalnya. Sedangkan tes pe-
nampilan, para penjawab tes diminta mencari tahu jawaban yang
tepat tentang masalah praktis, yang intinya untuk mendemonstrasikan
kemampuan untuk itu (Sandjojo, 2011).
Ivancevich, dkk. (2005) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
kemampuan seseorang untuk sadar diri terhadap perasaannya, me-
ngelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengekspresikan empati dan
menangani hubungan dengan orang lain. Berdasarkan hasil temuan
penelitian, menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki kecerdas-
an emosi yang tinggi lebih sukses dalam keadaan tertentu di pekerja-
an. Cooper dan Sawaf (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosi
merupakan faktor yang menentukan sukses dalam karier dan organi-
sasi, termasuk: pembuatan keputusan, kepemimpinan, terobosan
teknis dan strategis, komunikasi yang terbuka dan jujur, kerja tim dan
hubungan saling memercayai, loyalitas konsumen serta kreativitas
dan inovasi.
Hein dan Yadav (2011) juga mendefenisikan kecerdasan emosi
dengan menyatakan “Emotional intelligence is the innate potential to
feel, use, communicate, recognize, remember, describe, identify, learn
from, manage, understand, and explain emotions.” Pendapat ini men-
jelaskan bahwa kecerdasan emosi sebagai potensi dari dalam diri se-
seorang untuk dapat merasakan, menggunakan, mengomunikasikan,
mengenal, mengingatkan, mendeskripsikan emosi.
Berdasarkan pada berbagai pendapat di atas, maka bisa dipahami
bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk
Airmanship.indd 57 5/9/19 1:47 PM
5 8 A I R M A N S H I P
bisa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik dan mengenal orang
lain sehingga akan mampu menjalin sebuah hubungan yang harmonis
dengan orang lain.
Pengenalan diri sendiri maupun pengenalan pada orang lain ini
adalah pengenalan atas kemampuan dan kekurangan dalam diri yang
menyebabkan seseorang mampu beradaptasi ketika berinteraksi de-
ngan orang lain. Seseorang dengan potensi kecerdasan emosi yang
tinggi akan mampu mengenal dirinya sendiri, mampu berpikir rasional
dan berperilaku positif serta mampu menjalin hubungan sosial yang
baik karena didasari pemahaman emosi orang lain, yang berujung pada
kesuksesan pengendalian keadaan tertentu pada pekerjaannya.
Sedangkan efikasi diri merupakan bagian dari konsep diri berka-
itan dengan keyakinan tentang kemampuan diri untuk menangani
tugas secara efektif dalam mengambil tindakan tertentu (Baron dan
Byrne, 1984). Pada dasarnya efikasi diri tidak berkaitan langsung de-
ngan kemampuan, namun efikasi diri merupakan penilaian mengenai
apa yang akan diputuskan, tanpa terkait dengan kompetensi yang
dimiliki. Dalam pandangan Baron dan Byrne (1997) mengartikan efika-
si diri sebagai evaluasi kompetensi diri untuk melaksanakan pekerja-
an atau mengatasi suatu masalah.
Efikasi diri setiap orang berbeda tergantung dari pengetahuan dan
pengalaman yang dimilikinya. Efikasi diri biasanya akan muncul keti-
ka seseorang berada dalam tekanan yang berat. Bandura (1997) men-
jelaskan bahwa efikasi diri merupakan kemampuan umum yang dimi-
liki sesorang berupa kemampuan kognitif, sosial, dan emosi. Kemam-
puan tersebut harus dipertahankan melalui latihan yang direncanakan
secara efektif dan efisien. Bandura juga menyatakan bahwa setiap
orang memiliki kompetensi yang berbeda untuk mengatasi semua
masalah berdasarkan pemikiran dan analisisnya. Meningkatnya efika-
si diri didapatkan dari memotivasi individu secara kognitif untuk yang
diimplikasikan untuk sebuah tujuan yang hendak dicapai.
Penelitian yang dilakukan Schwartz dan Gottman (1976) menjelas-
kan bahwa kegagalan individu sering terjadi walaupun seseorang
Airmanship.indd 58 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 5 9
mengetahui kompetensinya. Hal tersebut menjelaskan bahwa efikasi
diri merupakan konsep yang berkaitan dengan kemampuan untuk
mengontrol keyakinan yang dimiliki seseorang.
Ada dua faktor yang memengaruhi efikasi diri, yaitu faktor inter-
nal dan eksternal. Intelegensi, kepribadian, pengetahuan tentang
dunia kerja, merupakan faktor internal. Sedangkan faktor eksternal
dalam efikasi diri meliputi: jenis pekerjaan, pendidikan orangtua, sta-
tus sosial ekonomi keluarga, harapan orangtua, pekerjaan yang di-
dambakan orangtua, stigma masyarakat terhadap pilihan jurusan,
gender dan pengaruh teman sebaya (Nawas dan Gilani, 2011).
Proses efikasi diri dipengaruhi oleh banyak faktor yang sebelumnya
berhubungan secara langsung maupun tidak. Proses efikasi diri dimu-
lai secara langsung sebelum sesorang mengambil tindakan atau ke-
putusan dalam mengawali tindakannya. Pada dasarnya seseorang
mengumpulkan informasi untuk dianalisis dan dipertimbangkan se-
belum mengambil keputusan. Hal ini tidak berhubungan dengan
kompetensi atau kemampuan individu, tetapi lebih pada bagaimana
mereka menilai atau meyakini serta menjabarkan seluruh kemampu-
annya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Selanjutnya hasil
evaluasi menjadi pertimbangan utama yang digunakan untuk meng-
ambil keputusan.
Menurut Bandura (1977) ada empat sumber penting yang diguna-
kan individu dalam membentuk efikasi diri yaitu:
1. Performance Accomplishments. Keberhasilan yang didapatkan akan
meningkatkan efikasi diri yang dimiliki seseorang, sedangkan
kegagalan akan menurunkan efikasi dirinya. Apabila keberhasilan
yang didapatkan seseorang lebih banyak karena faktor-faktor di
luar dirinya, maka tidak akan membawa pengaruh terhadap pe-
ningkatan efikasi diri. Akan tetapi, apabila keberhasilan itu didapat
melalui hasil perjuangan sendiri, maka hal itu akan membawa
pengaruh terhadap peningkatan efikasi diri.
2. Various Experience. Meniru pengalaman keberhasilan orang lain
yang memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan
Airmanship.indd 59 5/9/19 1:47 PM
6 0 A I R M A N S H I P
suatu tugas biasanya akan meningkatkan efikasi diri seseorang
dalam mengerjakan tugas yang sama. Efikasi tersebut didapat
seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya
sehingga melakukan tiruan. Namun efikasi diri yang didapat tidak
akan berpengaruh bila model atau hal yang diamati tidak memil-
ki kemiripan.
3. Verbal Persuasion. Informasi tentang kemampuan yang disampai-
kan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh dan digunakan
untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan
suatu tugas.
4. Emotional Arousal. Ketegangan dan stres yang terjadi dalam diri
seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu
kegagalan. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengha-
rapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh kete-
gangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan so-
mantik lainnya. Efikasi diri biasanya ditandai oleh rendahnya
tingkat stress dan kecemasan, sebaliknya efikasi diri yang rendah
ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula.
Bandura (1997) menjelaskan bahwa dalam membentuk efikasi diri
akan melalui empat proses, yaitu: Pertama, proses kognitif seseorang
dalam menetapkan tujuan yang hendak dicapainya dipengaruhi ke-
mampuan diri, dan fungsi kognitif akan memungkinkan seseorang
untuk memprediksi kejadian-kejadian yang dialaminya yang akan
berakibat pada masa depannya. Kedua, proses motivasional seseorang
sebagian besar dihasilkan melalui kognitif. Yang akan memotivasi dan
menjadi tindakan antisipasi melalui pemikiran ke masa depan. Ketiga,
proses afektif yaitu keyakinan seseorang akan kemampuan dalam
mengatasi masalah memegang peranan penting dalam mengatur sta-
tus emosi. Keempat, seleksi yang berlangsung sepanjang kehidupan.
Berdasarkan penjelasan di atas dari sudut pandang profesi pilot,
dapat dikatakan bahwa efikasi diri seorang pilot merupakan keyakin-
an terhadap kemampuan diri, pemahaman untuk memperoleh kesuk-
Airmanship.indd 60 5/9/19 1:47 PM
H U B U N G A N A I R M A N S H I P D E N G A N K E C E L A K A A N P E N E R B A N G A N 6 1
sesan dalam menyelesaikan tugas, pengumpulan informasi, menye-
leksi tujuan, perencanaan dan pemecahan masalah yang berkaitan
dengan pengambilan keputusan sesuai dengan jiwa Airmanship.
Apabila efikasi diri pilot rendah, maka ia akan mengalami kebimbang-
an dalam memutuskan tindakan yang harus segera dilakukan pada
keadaan tertentu dan tentunya akan dapat berdampak pada kemaju-
an karier.
Airmanship.indd 61 5/9/19 1:47 PM
6 2 A I R M A N S H I P
Airmanship.indd 62 5/9/19 1:47 PM
B a b I I I 6 3
Bab IIIDIBALIK MAKNA
AIRMANSHIP
Airmanship.indd 63 5/9/19 1:47 PM
6 4 A I R M A N S H I P
A. MEngEnAL LEBih jAuh TEnTAng AirMAnShip
Dalam penelitian hubungan Airmanship pilot terhadap implementasi
kebijakan publik guna keselamatan penerbangan di Indonesia, meng-
haruskan penulis memahami teori tentang Airmanship tersebut. Air-
manship atau jiwa keudaraan harus dimiliki oleh seorang pilot. Me-
nurut Craig (1992) kecelakaan penerbangan sangat berhubungan de-
ngan Airmanship pilot. Kern (1997) menjelaskan bahwa elemen pada
Bangunan Airmanship terdiri dari empat struktur, enam pilar1 penge-
tahuan dan 6 sifat yang terdiri dari:
1. Judgment (penilaian) – Penilaian situasional dalam kondisi abnor-
mal dan darurat untuk mengambil keputusan. Penilaian merupa-
kan suatu sifat Airmanship yang harus terus dikembangkan. Se-
luruh elemen dari Airmanship akan mendukung penilaian yang
baik dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana semua elemen
struktur bangunan mendukung atapnya. Kemampuan seorang
pilot dalam melaksanakan judgment (penilaian) secara teori dipe-
ngaruhi oleh tingkat kecerdasan emosi dan efikasi diri yang dimi-
liki pilot tersebut. Pernyatan tersebut didukung oleh teori kecer-
dasan emosi yang didefinisikan oleh Golemen (2000) yang menya-
1 6 Pilar Pengetahuan yang harus dipahami oleh pilot meliputi pengetahuan yang luas tentang pesawat, prosedur penerbangan, kemungkinan menghadapi situasi abnormal dan darurat, memahami kualitas sendiri dan kualitas anggota tim mereka, adalah:
1. Aircraft (pesawat) - Pilot harus memahami prosedur, teknik, dan limitasi dari pesawat.
2. Self (diri sendiri) – menyadari kebugaran fisik dan kemampuan terbang, meminimali-sasi kesalahan manusia, memiliki metode deteksi kesalahan dan teknik untuk mengu-rangi efek dari kesalahan
3. Team (tim) –mengetahui kemampuan dan batasan dari crew, ground staff, engineering and ATC, pengetahuan umum tentang karakteristik pesawat dan prosedur operasi.
4. Environment (lingkungan)– mengenal kondisi cuaca dan medan memahami lingkung-an organisasi, politis, regulasi, dan kondisi komersial.
5. Risks (risiko) – kemampuan mengidentifikasi dan menilai tingkat risiko memahami standarisasi organisasi yang diperuntukkan untuk menghindari/ mengurangi terjadi-nya risiko.
6. Mission (misi) - Corporate culture, philosophy and safety policies Organization’s safety management system
Airmanship.indd 64 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 6 5
takan bahwa kecerdasan emosional merupakan rangkaian kemam-
puan atau kompetensi pribadi, berdasarkan tingkat emosi yang
memengaruhi seseorang dalam hal memilih keputusannya. Per-
nyataan tersebut juga didukung oleh teori efikasi diri yang dike-
mukakan oleh Baron dan Byrne (1991) yang mendefinisikan efikasi
diri merupakan pemahaman dan keyakinan seseorang tenyang
kompetensi atau kemampuannya untuk mengatasi segala perma-
salahan yang dihadapi.
2. Knowledge of Situational Awareness (kesadaran situasional) – me-
miliki pengetahuan untuk mengendalikan kesadaran situasional,
namun sama seperti penilaian, hal ini juga merupakan sifat yang
harus dikembangkan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka Ke-
sadaran situasional pilot juga dipengaruhi oleh tingkat kecerdas-
an emosi dan efikasi dirinya.
3. In-depth Knowledge (pengetahuan) – pilot harus memiliki penge-
tahuan yang luas karena pengetahuan seorang pilot akan menja-
di sifat yang mendukung cara berpikir dalam proses Airmanship.
Sama dengan kesadaran situasional, pengetahuan pilot juga se-
cara teoretis dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosi dan efi-
kasi dirinya.
4. Airmanship is founded on skills (keahlian). Secara teoretis, peneliti
dapat mengemukakan bahwa keahlian pilot dalam menerbangkan
pesawatnya akan dipengaruhi oleh tingkat efikasi diri pilot terse-
but.
5. Airmanship is founded on proficiency (kemampuan); baik keahlian
maupun kemampuan pilot meliputi hal-hal teknis dan non-teknis.
Secara teoretis, peneliti dapat mengemukakan bahwa kemampu-
an pilot dalam menerbangkan pesawatnya akan dipengaruhi
tingkat kecerdasan emosi dari pilot tersebut.
6. Discipline (disiplin) – Disiplin adalah tindakan yang tercermin be-
rupa sikap mental dan perbuatan atau tingkah laku perorangan,
golongan atau masyarakat berupa pelaksaan kegiatan berdasarkan
aturan, hukum, etika, dan norma serta kaidah yang ada (Yuspra-
Airmanship.indd 65 5/9/19 1:47 PM
6 6 A I R M A N S H I P
tiwi, 1990). Secara teoretis sangat disiplin dipengaruhi oleh tingkah
laku atau perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat. Pernya-
taan tersebut juga diperkuat oleh teori perilaku yang telah dija-
barkan sebelumnya yang dapat diartikan sebagai segala sesuatu
yang berkaitan dengan tingkah laku manusia, baik tindakan itu
bersifat aktif (konkrit dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain),
maupun yang bersifat pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit).
Disiplin merupakan landasan utama dari Airmanship, karena di-
siplin merupakan dasar untuk kemampuan dan kemauan mener-
bangkan pesawat dengan aman.
Berdasarkan penjelasan enam sifat Airmanship dan pendekatan
teori perilaku, kecerdasan emosi, dan efikasi diri maka penulis menge-
mukakan ada hubungan perilaku, kecerdasan emosi, dan efikasi diri
yang sudah diurai di bab sebelumnya dengan Airmanship pilot.
Untuk lebih memahami tentang Airmanship, maka peneliti akan
mengupas lebih dalam tentang bangunan Airmanship sebagaimana
diuraikan tersebut di atas. Namun terlebih dahulu, perlu diketahui
tentang apa itu dasar dan inti dari Airmanship.
B. MEnEMuKAn FiLoSoFi
Ketika akan menentukan Airmanship yang baik, kebanyakan pilot akan
mengalami kesulitan untuk mendefinisikannya. Istilah yang paling
umum dikemukakan adalah, “I know when I see it” atau “Saya tahu
ketika saya melihatnya” dalam Kern (1997). Namun istilah tersebut
tidak memberikan banyak pedoman bagi para pilot baru untuk men-
cari perbaikan. Adapun beberapa pilot senior akan mengatakan bahwa
untuk menjadi penerbang andal harus memiliki tangan yang baik (good
hand), penilaian (judgment), disiplin (discipline), akal sehat (common
sense), dan kesadaran situasional (situational awareness).
Akan tetapi tak seorang pilot pun tampaknya setuju dengan kon-
sep yang mencakup suatu Airmanship yang mutlak. Mungkin ketidak-
Airmanship.indd 66 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 6 7
mampuan untuk definisi yang tepat dari Airmanship menggambarkan
masalah yang melampaui dari arti kata belaka. Sehingga perlu diper-
tanyakan, bagaimana caranya melatih untuk menjadi sesuatu yang
tidak dapat ditentukan dan mungkin tidak sepenuhnya dipahami?
Tanpa definisi yang baku tentang Airmanship, maka sangat rentan
terjadi kegagalan pemahaman atas pemahaman dasar-dasar Airman-
ship sebagai nilai yang harus dimiliki oleh seorang Pilot.
Kegagalan pemahaman dari dasar-dasar Airmanship terus berlan-
jut seiring dengan peningkatan teknologi dan pelatihan dasar pener-
bang yang dilakukan. Hal ini akan memiliki konsekuensi yang melam-
paui keselamatan pilot atau pesawat dan akan terjadi suatu kemun-
duran dalam penerapan nilai-nilai Airmanship.
Mengapa kecenderungan pilot saat ini terus melakukan kesalahan
yang berakibat mengancam keselamatan? Setidaknya bagian dari
masalah mungkin terletak pada ketidakmampuan pilot untuk berlaku
konsisten dalam mengintegrasikan keterampilan dan pengetahuan,
untuk menempatkan semuanya bersama-sama pada saat yang tepat
sehingga meningkatkan kondisi keselamatan penerbangan. Namun
ternyata ketidakmampuan tersebut bukan diakibatkan kurangnya
informasi. Melainkan karena tidak adanya definisi yang baku tentang
Airmanship sehingga pilot mengalami kesulitan untuk memahami
Airmanship dan melaksanakannya.
Saat ini banyak ditemukan jurnal internasional tentang kesela-
matan penerbangan yang menemukan adanya kecenderungan kela-
laian pilot yang berakibat kecelakaan penerbangan mulai dari skala
personil pilot sampai dengan kemampuan kesadaran situasional.
Sejak awal 1980-an, telah terjadi ledakan dalam studi aspek psi-
kologis penerbangan Provenmire (1989). Akan tetapi, pengetahuan ini
belum diterjemahkan ke dalam suatu bentuk yang signifikan dalam
aspek kesalahan dari dasar Airmanship. Sebuah studi penting oleh Dr.
Clay Foushee, seorang ahli internasional yang meneliti faktor manusia
dalam penerbangan, menemukan bahwa kegagalan dari kepandaian
penerbangan terjadi bukan karena kurangnya kemampuan atau kete-
Airmanship.indd 67 5/9/19 1:47 PM
6 8 A I R M A N S H I P
rampilan, tetapi karena ketidakmampuan untuk mengkoordinasikan
keterampilan ke dalam program tindakan yang efektif termasuk bah-
wa satu atau lebih dari aspek-aspek dasar Airmanship mungkin hilang
dalam beberapa pilot (Fourshee, 1985).
Airmanship yang baik adalah tujuan utama mencapai keselamat-
an penerbangan, tetapi metode yang terbaik untuk mencapai Airman-
ship yang baik perlu dirumuskan secara baku, seperti pelatihan “rea-
listis”, pelatihan penilaian, kesadaran situasional, manajemen risiko,
Crew Resource Management (CRM), ergonomi dan kesadaran stres.
Sementara studi ini tentang hal ini telah menyebabkan demistifikasi
umum tentang bagaimana pikiran dan tubuh seorang penerbang be-
kerja, mereka belum terbukti menjadi jawaban lengkap atau definitif
untuk Airmanship. Para pilot terus mengajukan pertanyaan dasar: “Apa
yang perlu saya ketahui? Di mana saya bisa mendapatkannya?”
Secara historis, pilot telah sangat bergantung pada investigasi
kecelakaan dan analisis kecelakaan untuk mengidentifikasi area untuk
perbaikan Airmanship. Meskipun studi tentang kegagalan pesawat dan
aircrew menghasilkan banyak pelajaran berharga, masalahnya adalah
bahwa pelajaran ini datang hampir secara eksklusif dari contoh nega-
tif. Untuk saat ini, pendekatan yang dilakukan adalah, “Pilot X mela-
kukan hal ini dan jatuh, sehingga jangan lakukan apa yang Pilot X
lakukan.” Kemajuan terbaru dalam ilmu pengetahuan dan teknik in-
vestigasi kecelakaan penerbangan telah menciptakan sebuah sistem
yang dapat menemukan dan menciptakan apa yang salah dengan
pesawat atau awak secara presisi dan detail. Ini adalah pelajaran ber-
harga dan kuat, namun ada cara dengan pendekatan yang lebih posi-
tif untuk meningkatkan Airmanship.
Studi keberhasilan Airmanship harus detail dan dikembangkan se-
bagai studi banding dari contoh negatif, namun hal ini hampir tidak
terjadi. Analisis ciri-ciri umum dari seorang airman yang berhasil dapat
membantu untuk menjawab dua pertanyaan eksklusif: “Apa itu Airman-
ship?” dan “Bagaimana cara mengembangkannya?”. Diskusi ini secara
alami harus dimulai dari akar ilmu penerbangan, asal mula Airmanship.
Airmanship.indd 68 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 6 9
Dari awal keberadaannya, manusia telah bermimpi untuk dapat
terbang. Sebelum manusia bisa meninggalkan tanah, gagasan pener-
bangan merupakan ide yang memabukkan. Terbang terlihat indah dan
terasa baik ketika dilakukan dengan benar. Akan tetapi manusia belum
cukup menguasai seni terbang. Dapat dibandingkan dengan burung yang
memiliki 30 juta tahun lebih awal memulai terbang, yang dapat menje-
laskan mengapa burung tampaknya tidak pernah membuat kesalahan.
Penerbang akan mengintegrasikan naluri dan tindakan mereka ke
tingkat seni pilot yang mungkin tidak pernah diharapkan. Namun
pengembangan integrasi yang ideal dari faktor internal dan eksternal
merupakan kunci untuk pengembangan seni bagi penerbang, yang
terus berjuang di lingkungan baru mereka (udara). Meskipun burung
memiliki naluri alami dan seumur hidup latihan untuk mengintegra-
sikan kemampuan terbang mereka, manusia datang untuk terbang
relatif terlambat dalam hidup namun dengan gaya belajar yang sama
sekali berbeda.
Manusia cenderung untuk mengkotakkan dan membagi-bagi in-
formasi yang diberikan. Gaya ini adalah sifat dari bagaimana pemikir-
an manusia untuk belajar. Manusia terbiasa dengan memecahkan
berbagai hal menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan mempelajari
bagian-bagian tersebut. Walaupun metode ilmiah dapat membantu
untuk memahami konsep yang kompleks, namun hal ini hanya sedikit
membantu bagi penerbang untuk mengintegrasikan atau menerapkan
keterampilan dan gaya terbang. Pengetahuan saja tidak akan menja-
dikan seseorang mengarah kepada Airmanship yang lebih baik. Seorang
pilot harus memahami semua bagian dari Airmanship dan bagaimana
bagian-bagian tersebut berinteraksi satu sama lain untuk dapat seca-
ra efektif mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan ke dalam
lingkungan penerbangan yang dinamis. Secara sederhana penerbang
harus memiliki “gambaran besar yang lengkap” dari apa itu Airmans-
hip untuk menjadikannya seorang pilot ahli/airman. Berikut akan di-
bahas lebih mendalam tentang asal usul Airmanship dilihat dari ber-
bagai aspek peninggalan sejarah.
Airmanship.indd 69 5/9/19 1:47 PM
7 0 A I R M A N S H I P
Mitologi Yunani kuno bercerita tentang pematung dan penemu
Daedalus, yang dipenjara bersama dengan anaknya, Icarus, di menara
di pulau Kreta (Bulfinch, 1934). Dalam upaya untuk melarikan diri dari
kemurkaan Raja Minos, Daedalus diam-diam membuat dua pasang
sayap dari bulu dan lilin. Pada saat itu Daedalus menasihati anak laki-
lakinya agar menjaga diri untuk terbang pada ketinggian medium. Hal
ini untuk menjaga keselamatan terbang, karena apabila terbang ter-
lalu rendah maka akan membuat sayap basah dan tersumbat, dan jika
terlalu tinggi maka panas matahari akan membuat sayapnya mencair.
Pada praktiknya, Icarus melambung jauh menuju kebebasan Sisilia
dengan suasana keindahan hati dan perasaan bahwa penerbangan
dapat membawanya kepada keabadian. Dia terbang lebih tinggi dan
lebih tinggi lagi, tanpa mengindahkan peringatan putus asa dari
ayahnya, yang memahami apa yang akan dilakukan oleh panas mata-
hari terhadap sayap berlilin tersebut. Icarus mengabaikan ayahnya,
dan sayapnya akhirnya meleleh sebagaimana ditakutkan oleh Daeda-
lus, dan membawa Icarus berputar downwinds menuju kematiannya.
Daedalus tidak pernah memaafkan dirinya sendiri dan mengutuk
penemuannya karena telah menyebabkan kematian anaknya. Setelah
aman di Sisilia, Daedalus menutup sayapnya sebagai persembahan
kepada dewa Appolo.
Kisah ini menggambarkan beberapa hubungan umum antara
konsep mitos paling awal umat manusia dari penerbangan dan realitas
lingkungan penerbangan hightech hari ini. Seperti dalam cerita Dae-
dalus dan Icarus, untuk dapat terbang dengan selamat masih membu-
tuhkan pemahaman yang terintegrasi dari mekanisme terbang, rekan
terbang (tim), pemahaman kondisi lingkungan yang dapat tidak ber-
sahabat, serta diri sendiri. Seperti dalam kasus Icarus, kurangnya di-
siplin diri menyebabkan kematian dan penderitaan yang tidak dapat
dihindarkan. Dan ini terdengar sangat akrab namun menakutkan bagi
setiap instruktur pilot yang telah kehilangan seorang mahasiswa atau
mantan penerbang dikarenakan kecelakaan yang disebabkan oleh
faktor pilot error.
Airmanship.indd 70 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 7 1
Secara praktis semua orang tahu tentang Orville dan Wilbur Wright
yang membuat pesawat self-propelled and heavier than air yang sukses,
dan penemuan ini mengubah dunia selamanya di Kitty Hawk, North
Carolina pada tanggal 17 Desember 1903. Walaupun terjadi beberapa
kontroversi tentang Wright Brother mambangun pesawat pertama atau
pesawat yang terbang pertama, namun teori tersebut tidak dijadikan
dasar dalam penelitian ini. Yang akan dibahas adalah bahwa penemu-
an Wright Brothers ini memberikan pelajaran berharga bagi penerbang
modern dari pendekatan perencanaan yang hati-hati dan profesional
untuk Airmanship.
Wright Brothers merupakan pasangan pertama yang mencari serta
memahami sifat penerbangan dan aerodinamika. Setelah mempelajari
European attemps at sustaining powered flight, Wilbur dan Orville mulai
bereksperimen dengan layang-layang dan glider pada tahun 1896 - tujuh
tahun penuh sebelum akhirnya mereka berhasil menyelesaikan pener-
bangan di Kitty Hawk (Hallion, 1978). Mereka dengan cekatan menduga
bahwa untuk mempertahankan penerbangan, diperlukan pengontrolan
pendakian, penurunan, dan gerak balik dari pesawat. Setelah berkon-
sultasi dengan Biro Cuaca di Amerika, Wright Brothers memilih pantai
yang terisolasi di Kill Devil Hills, North California, dan melakukan lebih
dari 700 penerbangan glider dengan sukses pada akhir 1902. Selain itu,
mereka membangun sebuah crude (dengan standar saat ini) terowong-
an angin untuk menguji berbagai desain aerodinamis dan hipotesis.
Mereka akhirnya mengembangkan “wing warping” yang canggih di mana
desain tersebut dikemudikan oleh rudder, yang memungkinkan pilot
untuk membuat gerakan-gerakan terkoordinasi dengan menggerakkan
tubuhnya dari sisi ke sisi sambil berbaring di atas sayap dalam susunan
cradle. Mendaki dan menurun dicapai dengan menggunakan satu set di
ujung sayap berupa winglet kecil atau canards.
Dilihat dari berbagai aspek, Orville dan Wilbur Wright merupakan
airman yang sangat baik sebagai penemu. Wright Brothers mewujud-
kan banyak karakteristik yang ideal dan dibutuhkan oleh pilot modern
saat ini. Kedua bersaudara jelas memahami sifat aerodinamis dari
Airmanship.indd 71 5/9/19 1:47 PM
7 2 A I R M A N S H I P
pesawat. Sebagai pembuat pesawat, mereka sangat familiar dengan
desain, kemampuan, dan kekurangan pesawatnya. Mereka memiliki
situasi kerja tim yang ideal. Meskipun mereka memiliki personalitas
yang berbeda, namun mereka saling melengkapi dalam mode sinergis
dan saling memercayai.
Mereka juga tahu bahwa lingkungan dan cuaca memainkan peran
utama dalam keberhasilan atau kegagalan mereka, sehingga pencarian
informasi kepada Biro Cuaca AS adalah untuk meningkatkan peluang
mereka. Akhirnya, melalui lebih dari 700 kali glider, mereka membentuk
kedisiplinan, keterampilan, dan kemahiran dalam menerbangkan hasil
karya mereka. Ketika bagian akhir dari teka-teki, powerful and lightweight
engine, ditempatkan pada tempatnya, hal ini menjadikan keberhasilan
mereka bukan sesuatu yang mendadak. Walaupun dengan semua faktor
kinerja yang dilakukan oleh Wright Brothers, tidak memberikan keber-
hasilan secara otomatis. Namun optimisme dan kedisiplinan kerja
mereka yang menciptakan keberhasilan, sehingga pesawat terbang tidak
hanya sekali mengudara, tapi mengudara empat kali pada hari itu.
Berbeda dengan mitos ayah dan anak tim Daedalus dan Icarus,
Wright Brothers telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mengin-
tegrasikan berbagai aspek Airmanship - pengetahuan pesawat terbang,
satu sama lain (team), lingkungan, serta diri mereka sendiri. Pende-
katan mereka yang komprehensif dan terintegrasi untuk terbang
menghasilkan standar pertama atas Airmanship.
Maksud dari pembahasan tentang para airman yang baik serta
aspek-aspek yang menghasilkan kesuksesan di masa lalu bagi dunia
kedirgantaraan memberikan petunjuk bagi dunia penerbangan modern
tentang apa dan bagaimana sifat Airmanship yang baik.
Di awal pembahasan telah dimulai dengan mengajukan pertanya-
an “Apa itu Airmanship” dan “Bagaimana cara mengembangkannya?”.
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut ternyata dapat dite-
mukan dengan melihat kembali sejarah penerbangan pesawat berawak
baik dari segi penerbang pertempuran atau non-pertempuran, serta
melihat ke depan tentang tuntutan adanya perkembangan teknologi
Airmanship.indd 72 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 7 3
masa depan dan konflik. Menariknya, dilihat dari kacamata kedua sisi
menghasilkan pandangan yang sama tentang Airmanship. Secara
historis, penerbang yang baik cenderung memiliki kualitas dan karak-
teristik tertentu, dan sekilas melihat masa depan tentang perkem-
bangan teknologi atau potensi kesulitan yang ditunjukkan melalui
adanya perubahan kecil. Namun perubahan yang terjadi dari waktu ke
waktu tersebut tampak hanya mengubah tingkat atau derajat kemam-
puan saja, bukan pergeseran yang mendasar dalam sifat apa yang
merupakan keunggulan dari Airmanship. Analisis ini mengungkapkan
tiga prinsip dasar dari Airmanship, yaitu: keterampilan (skill), kemam-
puan (proficiency), dan disiplin (discipline) untuk menerapkannya de-
ngan cara yang aman dan efisien. Di luar prinsip-prinsip dasar tersebut,
ada lima wilayah keahlian yang teridentifikasi secara umum di kalang-
an pilot. Para pilot memiliki pemahaman lengkap tentang pesawat
mereka (aircraft), tim mereka (team), lingkungan mereka (environt-
ment), risiko atau musuh (risk), dan diri mereka sendiri (self), serta misi
(mission). Ketika semua elemen ini berada pada tempatnya, pelatihan
para penerbang memberikan secara konsisten penilaian baik (judg-
ment) dan mempertahankan keadaan tinggi kesadaran situasional
(situational awareness). Masing-masing aspek tersebut di atas telah
dijelaskan secara singkat sebelumnya, namun akan dijelaskan lebih
lanjut secara rinci sebagai bangunan Airmanship.
C. BAngunAn AirMAnShip
Bangunan Airmanship sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu
terdiri atas 4 struktur yaitu: Cornerstone, Foundation of Airmanship,
Pillars of Knowledge dan Capstone (Outcome). Struktur Cornerstone
adalah disiplin, struktur Foundation of Airmanship mencakup keteram-
pilan, kemampuan dan disiplin. Pillars of Knowledge meliputi diri
sendiri, pesawat, tim, lingkungan, risiko dan misi. Sementara Capsto-
ne (Outcome) terdiri atas: kesadaran situasional dan penilaian (Kern,
1997). Lebih jelasnya disajikan pada gambar 3.1.
Airmanship.indd 73 5/9/19 1:47 PM
7 4 A I R M A N S H I P
1. Cornerstone
gambar 3.1. Bangunan AirmanshipAIRMANSHIP MODEL, TONY KERN (1997)
JUDGEMENTSITUATIONAL AWARENESS
SELF
TEAM
AIRC
RAFT
ENVI
RON
MEN
T
RISK
MIS
SIO
N
PROFICIENCYSKILL
DISCIPLINE
Foundations
Pillar of Knowledge
Outcome
Capstone
Sumber: Kern, 1997
Stuktur paling mendasar dalam memahami Airmanship adalah
Cornerstone yang merupakan disiplin dari pilot. Disiplin pilot merupa-
kan landasan utama atas keberhasilan Airmanship. Keunggulan Air-
manship hanya dapat diperoleh dengan disiplin penerbangan tanpa
kompromi. Seorang penerbang dapat memiliki tangan terbaik, memi-
liki pengetahuan yang lebih teknis dari para insinyur yang merancang
pesawat, tahu lebih banyak tentang taktik militer dari instruktur se-
kolah senjata dan memiliki pengalaman lebih dari orang yang paling
berpengalaman namun tetap akan menjadi bom waktu berjalan. Di-
siplin penerbangan tidak dapat hanya dilihat dari aspek individu atau
aspek organisasi saja. Namun disiplin penerbangan harus dilihat dari
perspektif baik secara individu maupun organisasi, sehingga fenome-
na pelanggaran disiplin penerbangan atas kedua perspektif tersebut
dapat dievaluasi dalam tiga hal esensial.
a. Pelanggaran disiplin penerbangan memiliki efek berbahaya yang
sedikit demi sedikit memengaruhi pada penilaian yang baik seo-
rang penerbang.
b. Pelanggaran disiplin penerbangan memiliki efek yang menular.
Airmanship.indd 74 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 7 5
c. Pertahanan terbaik adalah dengan memiliki standar pribadi dengan
zero tolerance untuk pelanggaran disiplin penerbangan dalam
bentuk apapun.
Disiplin penerbangan adalah kemampuan (ability) dan kemauan
(willpower) untuk mengoperasikan pesawat terbang secara aman se-
suai dengan pedoman operasional, peraturan, organisasi dan akal
sehat secara umum. Maka untuk dapat memahami apa itu disiplin
penerbangan, maka perlu dipahami terlebih dahulu tentang definisi
konsep “kemampuan” dan “kemauan”.
Maka bila terjadi pelanggaran atas disiplin penerbangan harus
terjadi karena dilaksanakan oleh tindakan yang sadar dan disengaja.
Jika seorang penerbang terbang di bawah altitude dikarenakan kurang-
nya keterampilan atau pengetahuan, hal tersebut bukan merupakan
pelanggaran atas disiplin penerbangan. Hal tersebut tentu merupakan
sebuah kepandaian penerbangan yang rendah, namun kegagalan atas
pengoperasian pesawat dalam hal seperti itu masuk ke dalam kate-
gori lain, seperti kurangnya keterampilan, kemampuan atau pengeta-
huan lingkungan. Pembedaan ini sangat penting. Karena pelanggaran
atas disiplin pesawat harus dipahami secara presisi. Sehingga kemam-
puan untuk mengidentifikasi pelanggaran atas disiplin penerbangan
akan membuat perubahan atau menghilangkan pelanggaran tersebut
pada pelaku penerbangan. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa pemaha-
man yang tepat dan berbagi pemahaman tentang apa yang dimaksud
dengan disiplin penerbangan.
Berikutnya adalah definisi tentang kepatuhan terhadap “pedoman
atas operasional, peraturan, organisasi dan akal sehat secara umum”.
Pedoman operasional berkaitan dengan keterbatasan pesawat itu
sendiri, biasanya didefinisikan dalam manual penerbangan terkait dan
perintah teknis. Satu fakta yang sering dilupakan adalah bahwa batas
operasi manual penerbangan dapat dan sering berubah. Perubahan ini
dapat menjadi hasil dari data teknik. Sehingga pilot harus patuh de-
Airmanship.indd 75 5/9/19 1:47 PM
7 6 A I R M A N S H I P
ngan perubahan teknis sehubungan dengan keterbatasan operasional
pesawatnya.
Kepatuhan terhadap peraturan berarti mengetahui dan mematu-
hi setiap atau semua regulasi serta pedoman terbang internasional
maupun nasional. Tergantung pada sifat terbang itu sendiri, regulasi
dapat mencakup sejumlah informasi yang mengacu kepada pedoman
dari ICAO, Ditjen Hubud Kemenhub dan peraturan khusus yang ada
dalam lingkungan terbang tertentu, seperti restricted area. Aturan ini
dapat dan mungkin sekali sering berubah-ubah, dan merupakan tang-
gung jawab masing-masing pilot untuk dapat mengikuti setiap peru-
bahan.
Selanjutnya aturan dan petunjuk organisasi merupakan tahap ber-
ikut dari kepatuhan disiplin penerbangan. Namun, hal ini sering dilihat
oleh banyak pilot sebagai “aturan lunak”, atau yang paling mudah
untuk dilanggar. Perusahaan penerbangan atau komando militer dapat
membuat aturan-aturan tertentu atau “instruksi operasi” untuk meng-
gambarkan rancangan pedoman lebih lanjut bagi para pilot mereka.
Orang bijak pernah mengatakan bahwa “akal sehat adalah tidak
semua yang umum”, dan hal ini sangat benar ketika “akal sehat” di
rasionalisasikan oleh pilot yang tidak disiplin ke dalam tindakan yang
ceroboh. Kebanyakan pilot memahami bahwa aturan-aturan tertulis
tidak bisa berlaku untuk setiap situasi sehingga dibutuhkan akal sehat
untuk dapat menerjemahkan hal tesebut, namun beberapa pilot meng-
anggap hal tersebut sebagai celah dalam peraturan yang ada untuk
dapat dirasionalisasikan. Salah satu contoh dapat digambarkan oleh
tindakan sekelompok pilot yang menemukan cara terhadap pemba-
tasan penerbangan baru melarang mencapai 360 derajat putaran.
Mereka merasionalisasi bahwa dua putaran 180 derajat masih legal
selama mereka berputar keluar dari manuver dalam arah yang sama
di mana mereka berputar di dalamnya. Dengan demikian mereka telah
membuat manuver secara legal dengan cara lebih sulit dan berbahaya
daripada aturan yang sudah dilarang. Terlihat jelas, bahwa pilot ter-
sebut memahami maksud dari pelarangan manuver baru tersebut,
Airmanship.indd 76 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 7 7
namun mereka merasionalisasikan jalan keluar dan hal ini adalah
contoh klasik dari pelanggaran umum terhadap disiplin penerbangan.
Disiplin penerbangan sepertinya mandat yang cukup sederhana, dan
pada kenyataannya, kebanyakan pilot mengikuti prosedur dan peratur-
an itu. Namun ada oknum-oknum yang menemukan berbagai alasan
untuk tidak mematuhi secara mutlak kedisiplinan penerbangan.
Pelanggaran kecil atas disiplin penerbangan memang tidak selalu
menimbulkan sedikit atau banyak dampak yang jelas, yang dapat
menyebabkan seorang pilot secara mudah merasionalisasikan atas
tindakan yang tidak terpuji. Lima rasionalisasi umum yang dilakukan
atas sikap kedisiplinan penerbangan yang rendah:
a. Jika tidak ada yang tahu tentang pelanggaran dan tidak ada yang
terluka, apa masalahnya?
b. Semua orang tahu bahwa masih ada batas keamanan dalam seti-
ap regulasi (sehingga batas keamanan dapat dilanggar).
c. Aturan hanya untuk melindungi pilot kompeten dari diri mereka
sendiri.
d. Bisnis ini diatur secara berlebihan. Pilot melakukan ini selama
puluhan tahun sebelum pemerintah melakukan regulasi.
e. Pilot tidak bisa meningkatkan kemampuannya lebih baik jika
terikat dengan aturan.
Pilot memiliki kewajiban moral dan profesional untuk mengikuti
pedoman peraturan yang sudah ada, dan organisasi memiliki kewa-
jiban yang sama, atau lebih besar, tanggung jawab untuk memastikan
terlaksananya dan terjadinya kepatuhan. Organisasi harus memiliki
kebijakan untuk menyatakan bahwa setiap pelanggaran peraturan
dengan alasan apapun, dan di tingkat apapun, tidak dapat ditoleran-
si. Sekali terjadi kelonggaran dalam penindakan pelanggaran, hal ini
akan memicu suatu aksi yang tidak dapat dikembalikan.
Pelanggaran terhadap disiplin penerbangan tentu tidak hanya
dilakukan oleh pilot nakal atau operasi militer. Melawan pilot nakal
adalah dengan contoh pilot yang dapat menjadi kreatif dan menen-
Airmanship.indd 77 5/9/19 1:47 PM
7 8 A I R M A N S H I P
tukan untuk memenuhi tuntutan misi namun tetap dalam pedoman
yang ditetapkan. Dengan dasar yang kuat dan disiplin penerbangan
yang tanpa kompromi, pilot ini dapat membuktikan bahwa telah me-
ngembangkan keterampilan dan kemahiran, sebagai elemen berikut-
nya dari Airmanship.
2. Keterampilan (Skill) dan Kemahiran (proficiency)
Keterampilan (Skill) dalam penguasaan teknik dan ilmu penerbangan
membutuhkan beberapa keterampilan yang dikembangkan dari dalam
dan luar pelatihan formal. Selain keterampilan terbang fisik yang ter-
lihat dengan jelas, penguasaan teknik dan ilmu terbang juga memer-
lukan keterampilan komunikasi, keterampilan pembuatan keputusan,
keterampilan tim dan tidak kalah penting adalah keterampilan meni-
lai bakat diri sendiri (self-assessment). Kemampuan pilot untuk meni-
lai bakatnya dan kemahirannya, serta untuk mencari pelatihan yang
tepat yang diperlukan, memungkinkan pilot mencapai penilaian risiko
logis. Keterampilan ini harus dibangun oleh semua pilot yang ingin
mencapai tingkat tinggi Airmanship, terlepas dari mereka pilot militer
atau pilot penerbangan komersial atau umum.
Dalam setiap karier pilot, mereka diwajibkan untuk memenuhi
standar minimum tertentu untuk lulus evaluasi dan secara legal me-
miliki izin untuk mengoperasikan pesawat terbang. Namun, setelah
standar tersebut terpenuhi, dorongan untuk terus meningkatkan ke-
terampilan sering berkurang karena berbagai alasan. Beberapa pilot
hanya puas sekadar menjadi pilot, tujuan mereka telah tercapai keti-
ka mereka lulus, dan motivasi untuk meningkatkan kemampuan diri
hilang.
Apa pun alasannya, hal tersebut merupakan fakta yang sangat
disayangkan, bahwa setelah suatu tingkat keterampilan tertentu telah
dicapai, banyak pilot berhenti meningkatkan kemampuannya. Salah
satu cara untuk menghindari lumpuhnya keinginan untuk meningkat-
Airmanship.indd 78 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 7 9
kan kemampuan Airmanship, perlu melalui pemahaman tentang
empat tingkat keterampilan Airmanship kepada para pilot.
a. Level Satu: Safety
Level pertama ini akan tercapai, sedikitnya secara sementara, oleh
semua pilot yang telah lulus menerbangkan pesawat. Mereka telah
mampu dan menguasai aspek-aspek yang diperlukan untuk ting-
kat menerbangkan pesawat yang memenuhi kriteria para instruk-
tur. Pada tingkat ini, para pilot dapat dengan bangga mengatakan
“Saya cukup cakap untuk terbang aman”. Namun tingkat ini
adalah tingkat untuk penguasaan keterampilan paling dasar, dan
banyak perbaikan serta pengembangan yang dibutuhkan ke depan
untuk menjadi pilot yang berdedikasi.
b. Level Dua: Efektivitas
Level yang kedua diperlukan setelah mencapai penguasaan dasar
dan dibutuhkan untuk melaksanakan tugas terbang dengan lebih
baik dan efektif. Ini berarti mampu menangani dan menguasai
lingkungan lokal dan lintas alam pada wilayah operasi penerban-
gan. Namun banyak pilot melihat sedikit alasan untuk mengem-
bangkan keterampilan tambahan di luar tingkat efektivitas ini,
karena penguasaan lingkungan dengan cara yang efektif tidak
dirasakan perlu, selama masih dapat menerbangkan pesawat me-
lalui lingkungan tersebut dengan cara apapun. Motivasi untuk
mengembangkan melampaui tingkat ini harus datang dari dalam.
Pilot yang berprestasi akan mencari kemampuan menuju tingkat
yang lebih tinggi.
c. Level Tiga: Efisiensi
Dalam level ketiga ini, Beberapa pilot berusaha untuk mengem-
bangkan keterampilannya agar melampaui dasar- dasar keaman-
an dan efektivitas yang diajarkan. Mereka berusaha untuk terbang
lebih efisien daripada standar yang dibutuhkan. Ini mungkin
berarti terbang profil yang memaksimalkan pelatihan sementara
menghemat bahan bakar dan waktu terbang atau meminimalkan
inflight communication yang tidak perlu. Efisiensi mengharuskan
Airmanship.indd 79 5/9/19 1:47 PM
8 0 A I R M A N S H I P
Anda mempelajari teknik-teknik serta prosedur, dan itu berarti
bereksperimen dengan metode baru dan operasi yang lebih efisi-
en. Pada level ini, kemampuan untuk melakukan keseimbangan
harus diperhatikan, karena ketika mengejar efisiensi, bisa dengan
cepat menjadi tujuan tersendiri, dan mengurangi efektivitas dan
bahkan keamanan.
d. Level Empat: Presisi dan peningkatan yang berkesinambungan
Tingkat akhir keahlian ditandai dengan beberapa pilot yang terus-
menerus mencari kemampuan meningkatkan kepresisian menuju
kesempurnaan. Pilot ini mencari kesempurnaan bukan sebagai
obsesi, tetapi sebagai motivasi terus untuk perbaikan pribadi.
Mereka telah menyempurnakan kemampuan self-assessment untuk
keunggulan yang lebih baik, menganalisis setiap kesalahan, dan
ketika hal tersebut terlaksana dengan baik dan benar, mereka akan
bertanya “Bagaimana bisa dilakukan dengan lebih baik?”. Tingkat
keterampilan membutuhkan kedewasaan dan konsistensi serta
kejujuran dalam penilaian diri. Sehingga hanya sedikit yang pernah
mencapai level ini.
Kepercayaan diri sangat penting untuk meningkatkan keterampil-
an dan kemahiran dalam menerbangkan pesawat. Seperti dalam tugas-
tugas keterampilan motorik halus lainnya yang membutuhkan kema-
hiran dan perasaan (feel). Keyakinan merupakan prasyarat untuk sukses
dalam terbang, dan mencapai situasi percaya diri sangat berbeda-beda
pada setiap pilot. Keyakinan dan kepercayaan diri bertindak sebagai
penyeimbang rasa takut. Pilot yang memiliki rasa percaya diri mampu
menghadapi momen-momen yang menantang dengan sikap belajar,
bukannya dengan ketakutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa keperca-
yaan diperlukan untuk seorang pilot. Tapi berapa banyak kepercayaan
yang dibutuhkan? Berapa banyak keyakinan dibenarkan? Terlalu perca-
ya diri terjadi ketika rasa sadar akan diri sendiri menunjukkan bahwa
pengetahuan dan keterampilan dapat dihasilkan dengan mudah, dan
kesadaran diri merupakan kunci untuk tidak terlalu percaya diri.
Airmanship.indd 80 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 8 1
Sedangkan kemampuan yang rendah merupakan faktor tinggi
yang mengakibatkan risiko sebagaimana pengalaman yang rendah.
Dalam jangka waktu 30 hari, pilot dengan jumlah jam terbang kurang
dari 10 jam ditemukan memiliki risiko yang lebih besar daripada
mereka dengan jam terbang antara 10 sampai 30 jam. Dalam sisi
yang menarik, pilot dengan jam terbang melebihi dari 30 jam ter-
nyata terbukti juga berisiko tinggi, yang menunjukkan bahwa kerja
yang berlebihan dapat berakibat pada kelelahan (fatigue). Hilangnya
kemampuan fisik terbesar terjadi pada bidang yang paling tidak
diinginkan, atau mungkin tempat yang paling mudah diprediksi;
pendaratan dan operasi pola lalu lintas (Childs dkk. 1983). Bidang lain
kehilangan kemampuan fisik yang tinggi seiring dengan waktu ada-
lah accelerated stall, crosswind landing, crosswind takeoff, minimum
controlable air speed, dan step turns. Tapi bagaimana dengan kemam-
puan dalam tugas kognitif seperti prediksi, estimasi, dan pengam-
bilan keputusan?
Penelitian menunjukkan bahwa kehilangan kemampuan mental,
atau kognitif, adalah secepat atau lebih cepat dari kehilangan kemam-
puan fisik. Kelalaian atau kesalahan dalam kemampuan mental yang
umum terjadi adalah termasuk di dalamnya estimasi waktu yang salah,
komunikasi lisan yang buruk atau tidak tepat, kegagalan dalam me-
mantau kebutuhan bahan bakar, pengaturan atau identifikasi freku-
ensi yang salah, serta posisi kontrol yang tidak tepat seperti mengenali
faktor-faktor lingkungan seperti crosswinds (Childs, 1983). Sudah ter-
bukti bahwa dengan terbang secara disiplin dan terbang secara rutin
yang berfokus pada mempertahankan kemampuan baik fisik maupun
mental adalah cara terbaik untuk menghindari kemampuan yang
rendah.
Tidak ada cara lain untuk dapat menerbangkan pesawat terbang
atau mampu melaksanakan tugas inflights tanpa memiliki kontrol
yang sesungguhnya. Tak satu pun dari pilar Airmanship lainnya atau
Capstones yang dapat mengatasi kurangnya keterampilan atau kema-
hiran seorang pilot. Jika seorang pilot menilai dirinya sendiri dan
Airmanship.indd 81 5/9/19 1:47 PM
8 2 A I R M A N S H I P
menduga bahwa kemampuan individualnya tidak sesuai dengan stan-
dar yang diharuskan, maka pilot tersebut memiliki tanggung jawab
dan kewajiban moral untuk memperbaiki masalahnya. Jika tidak
mampu, keluar dari langit! Maka untuk Airmanship yang sempurna
tidak boleh mengabaikan Keterampilan dan Kemampuan.
3. pillars of Knowledge
Struktur kedua adalah Pillars of Knowlege. Struktur kedua ini merupa-
kan pengayaan pengetahuan seorang pilot setelah mendalami, me-
mahami dan menghayati landasan utama Airmanship. Dengan memi-
liki landasan yang baik, maka pengetahuan pada tahap berikutnya
akan lebih mudah dikuasai oleh pilot.
a. Diri Sendiri
Diri sendiri merupakan komponen paling penting dalam Airmanship,
namun memahami diri sendiri merupakan syarat tersulit dalam sistem
Airmanship untuk dipelajari. Sistem fisiologis dan psikologis manusia
jauh lebih canggih daripada mesin yang pernah diciptakan. Sehingga
perlu dipahami terlebih dahulu tentang physical self dan psikologis
manusia, dari segi kelaikan udara.
i. Physical Self: Medical Airworthiness
Ketika mendiskusikan Airmanship, keselamatan penerbangan dan
kebugaran merupakan hal utama, pilot dan crew harus memper-
timbangkan kelaikan udara medis setiap anggota tim penerbang-
an. Untuk mampu mengurangi risiko dan gangguan adalah dengan
memahami dan menjaga kelaikan udara medis.
Beberapa kondisi yang paling umum yang dapat mengganggu
seorang pilot adalah: hazards at altitude, orientation, sleep, jet lag,
fatigue, vision, kondisi sakit pada umumnya dan dalam pengobat-
an dan kondisi lainnya yang menurunkan kemampuan fisik.
Airmanship.indd 82 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 8 3
ii. Psychological Airworthiness
Memiliki kelaikan udara secara fisik, tidak menjamin seorang pilot
telah laik untuk mengoperasikan pesawat terbang. Karena memi-
liki kelaikan udara secara fisik baru merupakan 50% dari kelaikan
udara secara keseluruhan dan 50% lainnya merupakan kelaikan
udara psikologis.
Selain mengetahui dan mencegah hazardouz altitude, seorang
pilot juga harus menyadari tingkat stres psikologis dirinya. Meski-
pun stres fisik sebagaimana dibahas sebelumnya berakibat fatal
bagi seorang pilot, beban stres psikologis yang biasa saja bisa
melebihi kemampuan seorang pilot untuk mengatasinya. Setiap
penyimpangan yang terjadi dapat mengganggu keseimbangan
psikologis seorang pilot dan kemampuan terbangnya. Memutuskan
untuk tidak terbang adalah keputusan yang baik bilamana seorang
pilot baru saja mengalami sebuah tragedi pribadi. Intinya adalah
bahwa setiap pilot harus menghitung batas stres psikologinya
sendiri dan membuat keputusan go/not go.
Airmanship adalah tanggung jawab individual, yang bertumpu
pada batas-batas psikologis dan fisik. Jika seorang pilot gagal
untuk memahami fakta ini, maka hal ini telah melemahkan upa-
ya apapun terhadap perbaikan individu. Memahami fisik dan
psikologis pribadi yang sehat bagi setiap pilot tidak hanya me-
ningkatkan potensi kinerja namun juga membuat lebih mudah
untuk mengenali gangguan sedini mungkin ketika dan jika akan
terjadi.
b. Mengenali pesawat
Kemampuan seorang pilot untuk mengembangkan hubungan personal
dengan pesawatnya merupakan sebuah kunci indikator dari pengua-
saan Airmanship. Hubungan ini bukan hanya sekadar mengenai ke-
mampuan mengendalikan ataupun mengoperasikan pesawat dari
berbagai tipe maupun model, namun lebih kepada keinginan yang
Airmanship.indd 83 5/9/19 1:47 PM
8 4 A I R M A N S H I P
murni untuk menjadikan pesawat ini bagian dari diri sendiri, menja-
dikan suatu gabungan antara manusia dan mesin untuk dijadikan satu
kesatuan unit fungsi. Sebagaimana pengaturan sosial lainnya, hubung-
an ini harus didasari oleh pengetahuan, pengertian dan kepercayaan.
Tak seorangpun memiliki keyakinan seratus persen mengenai
kemampuan maupun pengetahuan untuk mengendalikan setiap situ-
asi yang mungkin akan timbul dalam suatu penerbangan. Bahkan
pilot paling berpengalaman dengan pengetahuan yang sangat men-
dalam masih memiliki keraguan mengenai pengetahuannya dalam
sistem dan prosedural.
Airmanship yang sesungguhnya akan tercipta dari pembelajaran
yang sistematis dan disiplin. Untuk menguasai sistem dalam fungsi
tugas memerlukan waktu, namun juga dibutuhkan untuk menjadikan
pembelajaran sistematis dan kedisiplinan sebagai suatu kebiasaan
untuk menguasinya.
c. Know your Team: Kerja sama Tim dan Crew resource Management (CrM)
Kerja sama tim yang baik terbentuk dari individu-individu yang bagus.
Ironisnya, kerja sama tim menjadi tanggung jawab individual, seperti
halnya Airmanship. Konsep kerja sama tim lahir dari sejarah pener-
bangan yang dimulai dari hubungan yang sederhana antara pilot dan
mekaniknya sampai dengan suatu hubungan yang jauh lebih kom-
pleks. Sebagaimana pesawat terbang berkembang menjadi lebih besar
dari segi ukuran dan kepentingannya, maka anggota crew udara pun
sangat diperlukan untuk ditambahkan untuk memenuhi kebutuhan
perkembangannya. Kerja sama tim saat ini menggunakan banyak
sekali hubungan antara seorang pilot dengan berbagai sumber infor-
masi, peralatan, dan manusia.
i. Nilai suatu kerja sama tim.
Kerja sama tim memberikan perbaikan terhadap prestasi dengan
tiga cara. Pertama, kerja sama tim menambahkan pengetahuan dan
keahlian yang dibutuhkan untuk menghadapi berbagai situasi.
Airmanship.indd 84 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 8 5
Kedua, kerja sama tim dalam bentuk ide dan keterampilan akan
memberikan berbagai pilihan baru yang berharga bagi keseluruhan
grup. Dan terakhir, anggota tim yang andal mampu untuk melaku-
kan sinergi, yaitu kemampuan saling melengkapi secara individual
sehingga membuat peningkatan kinerja dari grup yang pada akhir-
nya melebihi dari jumlah anggota tim yang sesungguhnya.
ii. Meletakkan dasar sebuah kerja sama tim: Leadership
Pemimpin yang baik dan efektif akan membangun konsep tim
terlebih dahulu, seperti memperluas atau memecah batas atau
garis pemisah antara anggota tim dan bahkan antara tim itu sen-
diri dan bagian lain dari organisasi yang lebih besar. Membangun
norma dalam suatu grup merupakan suatu tahap kritikal lainnya
yang perlu diperhatikan seorang pemimpin. Ada tiga buah norma
yang perlu diperhatikan untuk menciptakan tim yang efektif,
yaitu keselamatan, komunikasi, dan kerja sama. Dan semua hal
tersebut di atas akan disampaikan oleh seorang pemimpin yang
baik pada briefing pertama dengan tim. Seorang pemimpin tidak
akan ragu untuk mengambil keputusan tegas, namun tetap di
dalam koridor yang wajar dan dengan kapasitasnya.
iii. Followership, keahlian yang sering dilupakan
Menjadi seorang follower atau anggota tim yang baik, terkadang jauh
lebih sulit dibandingkan dengan menjadi seorang pemimpin yang
baik. Karena untuk menjadi anggota tim yang baik harus mampu
untuk menyesuaikan gaya pribadi dengan gaya pemimpinnya.
Terdapat lima tipe follower (anggota tim), yaitu:
1. Sheep. Gaya ini menunjukkan antara active atau critical thinker.
Mereka memiliki andil yang sangat sedikit terhadap proses
airborne decission-making. Mereka akan mengerjakan tugasnya
sesuai dengan checklist duties, seperti robot.
2. “Yes” people, tipe ini mungkin lebih berbahaya untuk menjaga
kerja sama tim yang efektif. Mereka sangat aktif tetapi meru-
Airmanship.indd 85 5/9/19 1:47 PM
8 6 A I R M A N S H I P
pakan tipe yang sangat berpolitik dan mengambil posisi apa-
pun yang diminta oleh bos.
3. Alienated follower, tipe ini bertolak belakang dengan “yes man”.
Mereka sangat cerdas serta berpikiran sangat kritis, namun
tidak mau terlibat terlalu dalam dengan anggota tim lainnya
atau organisasi yang lebih luas.
4. Survivors (pencari selamat), tipe ini akan sangat mudah beru-
bah-ubah gaya untuk dapat masuk ke dalam setiap quadran
bukan dalam rangka membuat tim yang efektif namun lebih
kepada mencari keselamatan diri.
5. Effective followers, tipe ini digolongkan pada individu yang
dianggap antusias, cerdas, ambisius, dan mandiri.
gambar 3.2. tipe Followers
Gambar 3.2. Tipe FollowersSumber : Kern (1997)
Sumber : Kern (1997)
d. Mengenali Lingkungan (environment)
Pengetahuan yang menyeluruh terhadap lingkungan sangat penting
untuk dipahami. Pengetahuan terhadap lingkungan secara menyeluruh
ini akan memberikan masukan bagi situational awareness.
Dua jenis lingkungan yang perlu dipahami, yakni lingkungan fisik
dan lingkungan organisasi.
Airmanship.indd 86 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 8 7
i. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik merupakan media untuk bekerja, yang akan
memengaruhi hampir semua aspek yang akan dilakukan di dalam
mengoperasikan pesawat terbang. Termasuk di dalamnya faktor-
faktor yang konstan maupun yang berubah.
Lingkungan yang konstan adalah medan, kepadatan udara,
dan cahaya. Namun penerbangan tidak selalu melalui medan yang
sama pada setiap waktu, berarti akan terjadi perubahan pula ter-
hadap medan. Yang termasuk dalam lingkungan yang berubah
adalah hampir seluruh aspek lainnya. Dan cuaca sebagai salah satu
lingkungan yang berubah hampir memengaruhi segalanya dalam
mengoperasikan pesawat udara baik di udara maupun di darat.
ii. Lingkungan Organisasi
Lingkungan Organisasi atau biasa disebut sebagai Coorporate
Culture, adalah ide yang relatif baru yang berlaku beberapa konsep
dan metode dari antropologi budaya dan bisnis dalam organisasi
modern.
Pendekatan ini tampaknya menjadi wajar karena dua alasan.
Pertama, pilot menghabiskan lebih banyak waktu di tanah dari-
pada di udara. Kedua, pilot yang mempunyai ambisi alami akan
tertarik untuk menempati posisi di tingkat senior pada organisa-
si untuk tetap kompetitif.
iii. Intisari dari lingkungan
Pengetahuan akan lingkungan baik fisik maupun organisasi, me-
rupakan pilar pengetahuan yang tersulit untuk dikuasai dimulai
dari pengetahuan yang dalam tentang lingkungan fisik dan mela-
kukan flight planning, yakni suatu pelatihan metodologi yang
meliputi seluruh aspek lingkungan dan faktor yang kemungkinan
akan dihadapi.
Airmanship.indd 87 5/9/19 1:47 PM
8 8 A I R M A N S H I P
Regulasi yang berlapis-lapis merupakan suatu lingkungan organi-
sasi yang sangat kritikal dan penting untuk dipahami. Yakni untuk
menghindari diri dari kemungkinan pelanggaran regulasi karena ku-
rangnya pengetahuan atau kelalaian. Ciptakan pengenalan akan semua
regulasi dari lingkungan organisasi kemudian jadikan suatu pola di-
siplin untuk menguasai setiap aspek pentingnya.
Kenali lingkungan organisasi di mana pilot bekerja, dan sangat
penting untuk mencari tahu tentang nilai sesungguhnya dari organi-
sasi di mana pilot tersebut bekerja, sehingga bilamana organisasinya
tidak baik, pilot dapat menghindari dirinya untuk melakukan kesalah-
an dikarenakan oleh kesalahan organisasi. Maka, jadikan lingkungan
tersebut rumah bagi pilot atau ada pepatah yang mengatakan “swim
like a fish”. Karena pada saat pengetahuan tentang lingkungan kerja
telah dikuasai, akan meningkatkan kepercayaan diri yang akan ber-
dampak dan terlihat profesional dalam menerbangkan pesawat.
a. Kenali Risiko
Di mana tidak ada risiko, di sana tidak akan ditemukan kesempat-
an. Dalam konteks penerbangan, keputusan dibuat yang akan
memengaruhi efektivitas, efisiensi, dan keselamatan. Tiga aturan
yang harus dipahami dalam melakukan sound decission yang ber-
kaitan dengan risiko, yaitu:
b. Jangan terima risiko yang tidak diperlukan. Yaitu dengan cara
mengidentifikasi dan mengekspos risiko. Kemudian perlu dilaku-
kan pemecahan risiko ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan
mengelola bagian-bagian kecil tersebut. Mengelola risiko secara
benar sangat diperlukan.
c. Buatlah keputusan berisiko sesuai dengan tingkatnya. Siapakah
dalam organisasi yang harus menerima risiko? Apakah para risk
taker atau pemimpin? Jawabannya kemungkinan adalah semuanya,
tergantung pada situasinya.
d. Terimalah risiko jika bermanfaat lebih besar daripada biaya yang
ditimbulkan.
Airmanship.indd 88 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 8 9
Dunia penerbangan tidak akan pernah bebas sepenuhnya dari ri-
siko, maka tugas dan fungsi seorang pilot adalah mengenal, me-
mahami dan menganalisis berbagai risiko dan faktornya serta
mengambil tindakan terhadapnya dengan menggunakan kemam-
puan dan penilaian yang baik.
e. Misi
Misi merupakan pilar of knowledge yang terakhir dalam bangunan
Airmanship, karena seorang pilot dapat menjalankan misinya
dengan baik apabila telah memahami empat pilar sebelumnya
(self, team, aircraft, environment). Hal ini merupakan dasar untuk
menguasai pilar berikutnya yaitu mengenali risiko yang dihadapi
(risk). Setelah lima pilar telah dikuasai oleh pilot, maka dalam
menjalankan misi seorang pilot harus mempunyai knowledge ter-
hadap budaya organisasi, filosofi, dan kebijakan keselamatan
penerbangan serta sistem manajemen keselamatan organisasi.
Dampak negatif yang akan timbul apabila dalam menjalankan misi
tanpa memiliki knowledge terhadap budaya organisasi, filosofi,
dan kebijakan keselamatan penerbangan serta sistem manajemen
keselamatan organisasi adalah kecelakaan penerbangan.
4. Capstone (outcome) of Airmanship
Airmanship yang baik terlihat dari outcome yang baik dari seorang
pilot. Outcome yang baik yaitu situational awareness dan judgment
yang dihasilkan oleh seorang pilot, didasarkan pada kedua struktur
Airmanship sebelumnya.
a. Situational Awareness (SA)
Dr. Mica Endsley seorang ahli Situational Awareness dalam Kern (2010)
mendefinisikan bahwa SA adalah “the perception of the elements in the
environment within a volume of time and space, the comprehension of
their meaning, and the projection of their status in the near future.”
Airmanship.indd 89 5/9/19 1:47 PM
9 0 A I R M A N S H I P
gambar 3.3. Situational Awareness merupakan
fenomena empat-dimensional, meliputi waktu dan ruang.
SA
What has happend
What is happening
What might happen
Sumber: Kern (1997)
Meningkatkan pemahaman akan SA sangat berkaitan dengan
area- area lain dalam Airmanship. Practical suggestion dibutuhkan
untuk mengembangkan kemampuan SA, sehingga pengembangan
strategis akan meminimalisir risiko yang berhubungan langsung bila-
mana seorang pilot kehilangan SA.
Empat kunci utama dalam meningkatkan SA dengan cara:
1. Define roles, hindari perhatian yang terbagi-bagi dengan membe-
rikan arahan yang jelas serta menguraikan tugas dan tanggung
jawab untuk semua orang di dalam tim penerbangan. Hal ini paling
baik dilakukan sebelum penerbangan.
2. Manage distraction, ciptakan dan ikuti prosedur standar operasi.
Lakukan sebagaimana diharapkan. Reduce overload, kenali dan akui
pada diri sendiri dan pada anggota tim lain bahwa tidak mungkin
seluruh beban pekerjaan dapat dilaksanakan oleh diri sendiri.
Lakukan delegasi untuk meringankan beban pekerjaan berlebihan,
dengan melakukan safe tasking level.
Airmanship.indd 90 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 9 1
3. Hindari rasa puas, Lakukan tes praduga, take nothing for granted.
Lakukan double check terhadap data dan pertanyakan setiap firasat.
4. Intervene, pertanyaan tegas kepada setiap anggota tim diperlukan
ketika kondisi mengancam keselamatan penerbangan. Terlepas dari
posisi crew, apakah dalam posisi waspada atau dalam orientasi misi.
5. penilaian (judgment) dan pengambilan Keputusan
Penilaian yang baik berada pada puncak dari bangunan Airmanship
dan seluruh faktor lainnya termasuk disiplin, keterampilan, pengeta-
huan dan situational awareness mendukung terjadinya penilaian yang
baik. Penilaian yang baik, pada akhirnya, mendukung ketiga tujuan
utama dari Airmanship, yaitu keselamatan, misi yang efektif, dan
efisiensi. Maka penilaian yang baik sangat penting dalam Airmanship,
tidak hanya terhadap individual namun juga terhadap organisasi.
Pilot harus melihat penilaian sebagai seni maupun sebagai ilmu
pengetahuan. Sangat penting dikenal sebagai ilmu pengetahuan
mengingat terkait dengan psikologi, personality, pola berpikir, dan lain
sebagainya. Namun penilaian juga harus dilihat sebagai seni, karena:
pertama, pengambilan keputusan dalam dunia penerbangan tidak
dapat diturunkan kedalam formula “if-then” yang dapat sesuai untuk
setiap situasi; kedua, ada sisi intuitif dalam penilaian pilot, yang dapat
berperan pada berbagai situasi.
Bagaimanapun penilaian dan pengambilan keputusan dapat dan
harus dikembangkan secara sistematis. Tahap pertama adalah dengan
memiliki atau mengembangkan seluruh elemen dan struktur Airman-
ship yang diperlukan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, di-
mulai dengan disiplin yang tanpa kompromi, menambahkan keteram-
pilan serta memiliki pengetahuan yang luas. Tahap kedua adalah
memahami bagaimana pilot mengambil keputusan. Dan terakhir,
dengan mengaplikasikan perkiraan strategi untuk pengambilan kepu-
tusan, pilot dapat membangun pola kebiasaan penilaian yang baik
untuk life time flying.
Airmanship.indd 91 5/9/19 1:47 PM
9 2 A I R M A N S H I P
a. Definisi penilaian (judgment)
Webster (1990) mendefinisikan judgment sebagai sebuah proses pem-
bentukan pendapat berdasarkan perbandingan dan analisis. FAA
menggunakan definisi yang lebih mendalam untuk menjelaskan mak-
na dari judgment dan definisi ini dapat dijadikan acuan untuk model
Airmanship.
“Pilot judgment is the process of recognizing and analyzing all avai-
lable information about oneself, the aircraft, the flying environment, and
the purpose of the flight. This is followed by a rational evaluation of alter-
natives to implement a timely decission which assures safety. Pilot judg-
ment thus involves one’s attitudes towards risk-taking and one’s ability to
evaluate risk and make decission based upon one’s knowledge, skills and
experience. A judgment decission always involves a problem or choice, an
unknown element and usually a time constraint and stress” (FAA 1988)
b. Effective judgment and Decision Making
Pondasi dan pilar dalam Airmanship membentuk suatu dasar yang
baik untuk membuat penilaian yang baik dan pengambilan keputusan.
Tidak ada ruang untuk kesalahan dalam disiplin penerbangan, dan
tidak ada jalan pintas untuk mencapai keterampilan, kemampuan dan
pengetahuan ke tingkat yang mahir. Pada saat elemen dasar tersebut
sudah tertanam pada seorang pilot, maka seorang pilot dapat dengan
sukses dan sistematis mengembangkan dan mencapai tingkat peni-
laian yang baik dan pengambil keputusan.
Penilaian tidak dapat dielakkan sangat melekat pada individu pilot
itu sendiri dan setiap pengambilan keputusan dipengaruhi oleh per-
siapan, pengalaman dan personality individu. Maka daripada itu, seti-
ap pilot harus dapat melakukan self assessment untuk menentukan
posisi diri terhadap kesiapan untuk membuat keputusan yang berku-
alitas.
Pengembangan dalam penilaian memerlukan kedisiplinan, perha-
tian dan self critique yang terus-menerus.
Airmanship.indd 92 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 9 3
D. inhiBiTor DAn hAMBATAn AirMAnShip
Jika Airmanship yang sempurna dapat ditempuh dengan cara yang
mudah dan singkat, setiap orang akan memilikinya dengan mudah.
Akan tetapi banyak hambatan dan inhibitor (faktor penghambat) untuk
mencapai Airmanship, sehingga hal tersebut perlu dideteksi, diiden-
tifikasi, dipahami dan diatasi, atau dihindari.
Ada dua level faktor penghambat. Pertama, faktor yang meme-
ngaruhi keseluruhan konsep dari Airmanship seperti, motivasi, ciri-ciri
kepribadian, dan sikap. Berikutnya adalah faktor penghambat yang
memengaruhi satu atau lebih elemen dari Airmanship yang akan me-
mengaruhi keseluruhan Airmanship.
1. Faktor Penghambat terhadap Disiplin
Faktor penghambat pada setiap aspek model Airmanship adalah
faktor penghambat terhadap pondasi Airmanship yaitu disiplin.
Tidak akan tercipta sebuah Airmanship tanpa disiplin, dan
faktor penghambat terhadap kedisiplinan harus berada pada daf-
tar teratas untuk dihilangkan. Kompetisi yang berlebihan, keta-
kutan akan tampil buruk, tekanan rekan kerja, a macho attitude,
air show syndrome dalam penerbangan dapat menjadi sumber
pengaruh negatif terhadap kedisiplinan.
2. Faktor Penghambat terhadap Keterampilan dan Kemampuan
Sebuah kekurangan dalam keterampilan dan kemampuan dapat
terlihat dalam banyak kasus, dan tidak hanya terhadap kasus yang
berkaitan dengan kemampuan kontrol pilot. Padahal pilot meru-
pakan fungsi kontrol utama dalam sebuah penerbangan. Berikut
adalah beberapa alasan pilot tidak mengembangkan kemampuan
dan keterampilannya: poor self-assessment, penyampaian instruk-
si yang lemah, kekurangmampuan fokus dalam melakukan pe-
ngembangan (improvement), tidak mampu menerima kritik, dan
resources yang lemah.
3. Faktor Penghambat terhadap Pengenalan Diri Sendiri
Pengembangan diri sendiri merupakan syarat awal dari pengeta-
huan untuk memahami pengenalan diri sendiri. Banyak pilot yang
Airmanship.indd 93 5/9/19 1:47 PM
9 4 A I R M A N S H I P
tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan pengenalan diri
sendiri, namun justru pilot-pilot sukses merasa untuk selalu me-
ngenal diri sendiri, seperti: motivasi diri; ketakutan; kemampuan;
serta keterbatasan diri, yang merupakan kunci untuk membuka
seluruh potensi diri.
4. Faktor Penghambat terhadap Pengenalan Pesawat
Walaupun mempelajari tentang pesawat terbang dapat merupakan
sebuah tugas yang menakutkan di awal, namun perlu diperhatikan
bahwa ada beberapa informasi terbatas yang hanya dapat dipela-
jari dengan pendekatan disiplin dari waktu ke waktu. Ada empat
hambatan utama dalam mempelajari pesawat terbang. Pertama,
tampilan tugas yang menakutkan, hal ini banyak membuat pilot
ketakutan dan pada akhirnya berakibat hanya pada pengetahuan
yang sepintas. Kedua, teknik pembelajaran yang kurang baik yang
berakibat pada tidak terjadinya penyampaian informasi secara
sistematis. Ketiga, dalam hal untuk tetap berada pada kondisi
mutakhir, banyak sekali technical orders dan flight manual yang
mengalami perubahan terlalu banyak dan terlalu cepat. Terakhir,
banyak sekali aspek tidak tertulis dari pengetahuan pesawat ter-
bang, dan ini akan membingungkan karena jika tidak diketahui
apa dan berapa banyak informasi yang harus dicari, bagaimana
cara untuk mencapainya?
5. Faktor Penghambat terhadap Pengenalan tim
Kerja sama tim yang efektif merupakan bagian dari kitab suci dari
setiap organisasi penerbangan. Sudah dijelaskan sebelumnya ten-
tang pentingnya kerja sama tim untuk tercapai kesuksesan, namun
ada beberapa hambatan terhadap terbentuknya kerja sama tim yang
efektif, termasuk di dalamnya tradisi performer solo, ego-centris,
komunikasi yang buruk, agenda/kepentingan pribadi, akrab/tidak
akrab dengan anggota tim, serta kredibilitas yang rendah.
6. Faktor Penghambat terhadap Lingkungan
Mengenali lingkungan adalah hal yang sangat baik sebagaimana
mengenai pesawat terbang. Pengetahuan tentang lingkungan sa-
Airmanship.indd 94 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 9 5
ngat luas dan tugasnya sangat sulit. Dibutuhkan usaha dan pende-
katan langsung untuk mengenali lingkungan. Dan ternyata ditemu-
kan hambatan yang sama yaitu besarnya tantangan dan isu tentang
kemutakhiran yang terkait dengan pengetahuan lingkungan.
7. Faktor Penghalang terhadap Pengenalan Risiko
Terdapat banyak hambatan untuk dapat mengenali sumber-sum-
ber risiko yang dapat hadir dalam lingkungan penerbangan. Namun
terdapat dua tantangan utama terkait dengan sifat risiko dan
untuk menghindari keadaan berbahaya. Pertama, kurangnya pen-
dekatan sistematis atas tata cara menghindari keadaan berbaha-
ya serta manajemen risiko. Dan yang kedua adalah kepuasan.
8. Faktor Penghambat terhadap Situational Awareness dan Penilaian
Seluruh model dari Airmanship model memberikan masukan ke-
pada Capstone yaitu Situational Awareness dan Penilaian. Maka
seluruh faktor penghambat dan hambatan yang terjadi pada pon-
dasi dan pillar, akan berpengaruh langsung terhadap Situational
Awareness dan Penilaian.
E. pELATihAn DAn EvALuASi AirMAnShip
Airmanship harus diajarkan dan dievaluasi sebagai satu kesatuan
sistem yang terintegrasi. Pelatihan seorang pilot dilakukan oleh seo-
rang instruktur, yang selain bertugas sebagai instruktur juga bertugas
sebagai evaluator, serta penyedia sumber daya, motivator, serta pakar
Airmanship, sehingga seorang instruktur harus memiliki keseimbang-
an yang halus antara advokasi dan penilaian.
Beberapa arahan sebagaimana dijelaskan oleh Kern (1997), sebagai
rekomendasi dan teknik untuk menjadi instruktur yang baik adalah:
1. Change yourself, bilamana seorang instruktur belum secara penuh
mematuhi dan melaksanakan Airmanship, maka sebaiknya instruk-
tur melakukan evaluasi dan pengembangan diri bersamaan atau
sebelum melakukan pelatihan kepada yang lain.
Airmanship.indd 95 5/9/19 1:47 PM
9 6 A I R M A N S H I P
2. Keep credibility intact, seorang instruktur yang juga merupakan
seorang evaluator harus memiliki kredibilitas untuk tetap bekerja
secara efektif. Siswa penerbangan akan dengan mudah melihat
setiap kesempatan dan berupaya untuk mengabaikan kesalahan
jika seorang instruktur mengacaukan suatu demonstrasi, manuver,
atau saat briefing. Maka ada istilah jika anda membicarakan ma-
salah tetapi tidak berjalan sesuai aturan maka anda akan kehi-
langan efektivitas sebagai panutan.
3. Be prepared to fly. Persiapan memudahkan dalam mengatur dan
menyusun tahapan-tahapan untuk pelatihan Airmanship. Pelak-
sanaan yang menyimpang dari teori yang benar akan berakibat
kemunduran dalam pelatihan penerbangan menuju skill-building
yang sangat terbatas.
4. Be consistent with grades, praise, and critiques items. Melatih seo-
rang pilot harus mencapai ekspektasi instruktur. Namun hal ini
akan tercapai hanya jika seorang instruktur konsisten dalam
memberikan pujian dan menentukan tuntutan. Sikap yang tidak
konsisten hanya akan membuat kebingungan dan frustasi para
siswa, yang pada akhirnya menghasilkan Airmanship yang rendah.
5. Remember, you are the training aid. Terlalu banyak instruktur meng-
gunakan kesempatan menjadi instruktur untuk menunjukkan kepa-
da siswa bahwa dirinya merupakan seorang pilot yang hebat. Seorang
instruktur telah menyelesaikan kualifikasi dan pengembangannya,
sehingga tidak perlu membuktikan apa-apa kepada siswanya. Dengan
memberikan demonstrasi yang baik mulai sekarang dan kemudian,
merupakan sebuah sarana yang baik bagi pelatihan para siswa, na-
mun perlu diingat untuk tidak menghilangkan prinsip dasar menja-
di seorang instruktur, yaitu “Melatih Siswa dengan Benar”.
6. Bust a student when necessary. Pelatihan terbang bukan untuk
meningkatkan gengsi. Seorang instruktur harus dapat menghi-
langkan kekhawatiran tentang implikasi karier saat mendapatkan
anak didik “great boy”. Cara terbaik untuk membangun Airmans-
hip, kompetensi, dan kepercayaan adalah dengan menciptakan
Airmanship.indd 96 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 9 7
standar yang tegas. Karena seorang instruktur merupakan perta-
hanan terakhir untuk terhindar terbentuknya pilot-pilot yang tidak
bertanggung jawab.
7. Remind all students that formal training is only a starting point, and
real improvement only occurs through dedication and work on their
part. Hal ini tentang para siswa untuk dapat melakukan pening-
katan pada seluruh aspek Airmanship.
F. FonDASi AirMAnShip
Sesuai dengan penjelasan tentang Airmanship tersebut, maka Airman-
ship adalah penerapan konsisten dari pertimbangan dan keterampilan
yang baik untuk menyelesaikan tujuan sebuah penerbangan. Konsis-
tensi ini berasal dari disiplin terbang yang tak mengenal kompromi dan
bertumbuh kembang melalui kecakapan dan keterampilan yang didapat
secara sistematis. Tingkat kesadaran tinggi terhadap situasi melengkapi
gambaran suatu Airmanship yang mana didapat melalui pengetahuan
terhadap diri sendiri, pesawat, tim, lingkungan dan risiko. Airmanship
adalah sebuah tingkat keadaan diri yang memungkinkan seorang pilot
menerapkan pertimbangan yang baik/dapat dipertanggungjawabkan,
memperlihatkan disiplin terbang tak kenal kompromi dan mempertun-
jukkan pengendalian secara terampil terhadap pesawat dan situasi.
Pondasi Airmanship sebagaimana dijelaskan oleh Ebbage dan Spen-
cer (2004) dibangun pada kelompok pengetahuan, kemampuan dan
attitude yang spesifik lihat tabel 3.1. dan elemen-elemen tersebut dalam
gambar 3.4. menjadi dasar untuk pengajaran pondasi Airmanship.
Menurut Ebbage dan Spencer (2003) Airmanship dilatih melalui
perbaikan diri yang berkesinambungan dan hasrat untuk berperforma
secara optimal setiap waktu. Secara umum Airmanship terdiri atas tiga
tingkat yang merupakan dimensi Airmanship yaitu prinsip, pengeta-
huan dan hasil. Pada dimensi pengetahuan di dalam Airmanship ini
menjelaskan tentang pengetahuan penerbangan secara teknis. Kemu-
dian dalam penelitian ini akan dikaji penambahan pengetahuan di
Airmanship.indd 97 5/9/19 1:47 PM
9 8 A I R M A N S H I P
dalam Airmanship terkait dengan aturan-aturan penerbangan, baik itu
dari aturan penerbangan Internasional (ICAO) dan aturan-aturan pe-
nerbangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan.
tabel 3.1.Foundation of Airmanship
tHe FOUNDAtIONS OF AIRMANSHIP
KNOWLeDge SKILLS AttItUDeS
Knowledge of aircraft• Deep understanding of
aircraft sub-systems,
emergency procedures,
cockpit automation, aircraft
flight characteristics and
operating limits.
Physical skills• Flying skills
• Navigation skills
• Instrument flying
• Emergency handling/
recovery
• Combat survival
Hazardous attitudes• Understanding the five
main hazardous attitudes,
the antidotes and the
impact on airmanship (see
Table 2)
Knowledge of environment• Understanding the physical
environment and the
effects on aircraft control.
• Understanding the
regulatory environment.
• Understanding the
organisational environment
and the challenges posed
to airmanship.
Cockpit management skills• Avoiding the pit falls of
automation (over-reliance,
complacency, bias)
• Information management
skills
Professionalism• Understanding the values
and principles embodied in
airmanship.
Communication Skills• Vigilance in monitoring
communications
• Using appropriate
communication
(phraseology, clear, concise)
• Active listening
• Inquiry through
communications
Self-improvement• Developing the motivation
needed for life-long
learning
• Understanding the
requirement for self-
assessment in flight.
• Developing the will to
achieve performance
excellence
Knowledge of risk• Understanding the risks to
discipline, skill and
proficiency, knowledge, SA,
judgment , aircraft, self.
Cognitive skills• Understanding and
maintaining situational
awareness
• Problem solving/decision-
making skills
• Understanding and
managing workload
• Self-assessment
Discipline• Discipline in terms of:
• flight preparation
• flight discipline (e.g.
vigilance/ look-out, SA
maintenance, operational
& regulatory policy)
• knowledge & skills
maintenance post-flight
evaluation
• self-discipline
• (managing stress,
managing attitudes)
Airmanship.indd 98 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 9 9
Team skills• Performance monitoring
• Leadership/initiative
• nterpersonal skills
• Co-ordination & decision-
making
• Team communication and SA
Sumber: Ebbage dan Spencer, 2004
Menurut Kern (1997) sebuah model yang lebih sederhana disajikan
pada gambar 3.4. Judgment (penilaian) dalam arti yang luas diguna-
kan untuk menekankan kepada aircrew dalam membuat keputusan
secara sadar, diikuti dengan intuitif yang baik, tepat waktu dan
memiliki dasar yang kuat. Control (kontrol) digunakan untuk mem-
pertahankan kendali terhadap sebuah pesawat dengan mengevalu-
asi situasi dan kondisi dalam melaksanakan program yang direnca-
nakan dengan presisi dan akurat. Discipline (disiplin) diperlukan
untuk mendeteksi potensi kesalahan sedini mungkin dan untuk
merumuskan pertimbangan atau penilaian serta melakukan tindak-
an yang terkendali.
gambar 3.4.elemen-elemen Airmanship
Sumber : Kern (1997)
Airmanship.indd 99 5/9/19 1:47 PM
1 0 0 A I R M A N S H I P
Penulis juga ingin menjelaskan tentang pengetahuan yang me-
rupakan tingkatan dalam Airmanship. Menurut KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia), pengetahuan diartikan atau dimaknai sebagai
kepandaian, atau segala sesuatu yang diketahui, atau segala sesu-
atu yang berhubungan dengan beberapa hal. Banyak ahli telah
mendefinisikan pengetahuan seperti Gordon menyebutkan bahwa
pengetahuan merupakan faktor prosedur di mana bila dilakukan
akan memenuhi kinerja yang baik. Senada dengan Nadler yang me-
nyebutkan bahwa pengetahuan merupakan proses belajar tentang
kebenaran supaya mengetahui apa yang harus diketahui untuk di-
lakukan.
Demikian juga Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa penge-
tahuan merupakan ”hasil tahu” dari manusia dan ini terjadi setelah
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu melalui pan-
caindra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba. Dalam penelitian ini pengetahuan2 yang dimaksud
2 Menurut Notoatmojo (1993) pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan yaitu:
1. Tahu
Tahu dapat diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang dipelajari sebelumnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur bahwa pilot tahu tentang kebijakan publik adalah dapat menyebutkan, mendefinisikan, menguraikan, dan mengatakan suatu Un-dang-Undang atau peraturan tentang penerbangan terbaru.
2. Memahami
Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut dengan benar. Jika dikaitkan dengan pengetahuan pilot tentang kebijakan publik adalah sejauh mana pilot tersebut dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyampaikan, dan mera-malkan suatu Undang-Undang atau peraturan tentang penerbangan.
3. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur apli-kasi pengetahuan pilot tentang kebijakan publik adalah dengan menjelaskan apa saja Undang-Undang atau peraturan yang telah digunakan selama terbang.
4. Analisis
Analisis adalah suatu harapan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam kom-ponen-komponen tetapi masih ada kaitannya dengan yang lain. Indikator yang diguna-kan untuk mengukur kemampuan analisis seorang pilot tentang kebijakan publik yang
Airmanship.indd 100 5/9/19 1:47 PM
D I B A L I K M A K N A A I R M A N S H I P 1 0 1
adalah pengetahuan pilot tentang kebijakan publik yang berhubung-
an dengan keselamatan penerbangan. Indikator pengetahuan seorang
pilot terhadap keselamatan penerbangan adalah kemampuan seorang
pilot dalam memahami dan melaksanakan peraturan ataupun kebi-
jakan publik tentang penerbangan.
berhubungan dengan keselamatan penerbangan adalah dengan dapat membedakan, menggambarkan dan memisahkan suatu undang-undang atau pera- turan.
5. Sintesis
Sintesis adalah kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk yang baru. Indikator dari kemampuan sintesis seorang pilot terhadap ke- bijak-an publik adalah kemampuan pilot untuk menjelaskan keterkaitan peraturan dengan Undang-Undang.
6. Evaluasi
Evaluasi adalah kemampuan untuk melakuan identifikasi atau penilaian terhadap su-atu materi atau objek. Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan evalu-asi seorang pilot terhadap Undang-Undang atau peraturan adalah dapat menjelaskan dengan alasan yang logis bahwa suatu Undang-undang atau peraturan masih relefan atau tidak dengan kondisi saat ini.
Airmanship.indd 101 5/9/19 1:47 PM
Airmanship.indd 102 5/9/19 1:47 PM
B a b I V 1 0 3
Bab IVFORMAT KESELAMATAN
PENERBANGAN
Airmanship.indd 103 5/9/19 1:47 PM
1 0 4 A I R M A N S H I P
Keselamatan penerbangan yang terus-menerus berevolusi mem-
berikan peningkatan tentang keselamatan penerbangan ke
arah yang lebih baik dari masa ke masa. Sebelum membahas
lebih jauh tentang keselamatan penerbangan, perlu kiranya
dibahas terlebih dahulu tentang bagaimana transportasi udara
terbentuk atau sejarah penerbangan (transportasi udara), sehingga
mendapatkan konsep dan pemahaman yang lebih baik tentang apa
itu penerbangan. Juga perlu dibahas tentang apa yang dimaksud de-
ngan keselamatan sebelum dapat mendefinisikan keselamatan pener-
bangan secara keseluruhan.
Setelah memahami tentang definisi keselamatan penerbangan,
maka perlu dikupas pula tentang asal mula terjadinya ketentuan ke-
selamatan penerbangan serta dasar hukum tentang keselamatan
penerbangan itu sendiri baik secara internasional maupun nasional.
A. SEjArAh TrAnSporTASi uDArA
Sejarah transportasi udara pada era modern dimulai dengan balon
udara panas yang dirancang oleh Montgolfier bersaudara pada tanggal
16 April 1783, yang merupakan perjalanan manusia pertama ke udara
dengan konsep “lebih ringan dari udara”. Tetapi penerbangannya sa-
ngat terbatas dikarenakan balon hanya bisa melakukan perjalanan
melawan arah angin. Pada tahun 1784, balon udara yang dapat diken-
dalikan di ciptakan oleh Jean-Pierre Blanchard dan merupakan balon
bertenaga manusia pertama. Dia menyeberangi Selat Inggris pada 1785.
Konsep pesawat modern, model fixed wing dengan mesin untuk
terbang serta menggunakan sistem terpisah untuk mengangkat,
propulsi, dan kontrol baru didesain pada tahun 1799 oleh Sir George
Cayley, sesuai dengan sejarah transportasi udara. Dan pesawat udara
pertama yang berhasil take off diciptakan pada 17 Desember 1903 oleh
Wright Brothers, yang dikenal sebagai pesawat terbang pertama ber-
tenaga dan dikendalikan oleh manusia.
Airmanship.indd 104 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 0 5
Mengikuti standar baru dalam sejarah transportasi udara, maka
terjadi pengembangan yang luas pada ailerons dan wing warping yang
membuat pesawat lebih mudah untuk dikendalikan. Hanya satu de-
kade setelah awal Perang Dunia I, pesawat udara yang lebih berat dari
udara (havier-than-air) dan bertenaga mesin digunakan untuk mela-
kukan penyelidikan, spotting artileri, dan bahkan menyerang terhadap
posisi tanah.
Sejarah transportasi udara mencerminkan hal-hal seperti, desain
yang berkembang lebih besar dan lebih dapat diandalkan; pesawat
udara yang mulai digunakan untuk membawa orang secara massal
serta mengangkut kargo. Ada pula tipe giant rigid airships yang dapat
mengangkut penumpang dan kargo jarak jauh, di mana perusahaan
Jerman Zeppelin menjadi produsen paling terkenal dari jenis ini pesa-
wat dalam sejarah transportasi udara. Dan penerbangan Zeppelin yang
paling fenomenal adalah Graf Zeppelin, yang terbang lebih dari satu
juta mil.
Namun dengan kemajuan dalam desain pesawat, dominasi zep-
pelin di periode sejarah transportasi udara segera berakhir. Selama
tahun 1920 dan 1930 ada kemajuan besar di bidang penerbangan. Pe-
sawat udara komersial pertama yang membawa penumpang secara
eksklusif adalah Douglas DC-3. Dan hal ini memulai era modern dalam
layanan penerbangan penumpang sejak awal sejarah transportasi
udara. Pada Perang Dunia II, terjadi banyak pembangunan bandara
pada kota-kota di dunia. Serta banyak tersedia pilot-pilot berkualitas
dengan pesawat jet pertama dan roket berbahan bakar cair pertama
yang membawa perubahan dan perbaikan yang signifikan pada dunia
transportasi udara.
Setelah Perang Dunia II, terjadi lonjakan industri transportasi
udara umum, baik charter maupun komersial. Di mana terjadi penum-
pukan alat transportasi perang dalam jumlah besar dan murah serta
ribuan pilot dibebaskan dari dinas militer. Produsen seperti Cessna,
Piper, dan Beechcraft melakukan produksi massal untuk memasok
pesawat ringan untuk pasar transportasi udara penumpang kelas
Airmanship.indd 105 5/9/19 1:47 PM
1 0 6 A I R M A N S H I P
menengah yang baru. Boeing 707 membuat sejarah dalam transpor-
tasi udara, yang pertama kali menggunakan mesin jet untuk pesawat
penumpang yang juga paling ekonomis.
Sejak tahun 1960, airframes komposit telah menjadi lebih ringan
dan lebih mudah. Mesin menjadi lebih kompeten. Tapi perbaikan dan
perkembangan tetap terjadi dan yang paling signifikan telah terjadi
pada instrumentasi dan sistem kontrol pesawat. Masuknya elektronik
solid-state, Global Positioning System, komunikasi satelit telah secara
radikal mengubah desain cockpit dari pesawat. Komputer kecil dan
kuat dengan tampilan LED membantu pilot dalam menjelajahi dan
melihat medan jauh lebih akurat, bahkan pada malam hari atau dengan
visibilitas rendah.
Pada tahun 2004, Space Ship One menjadi pesawat yang pertama
kali didanai swasta untuk membuat space flight. Ini telah membuka
kemungkinan sebuah pasar penerbangan kompeten meninggalkan
atmosfer bumi.
B. ArTi SiSTEM TrAnSporTASi uDArA
Dengan berkembangnya teknologi pesawat terbang sebagaimana di-
jelaskan sebelumnya, maka perkembangan berikutnya adalah diper-
lukannya sebuah sistem transportasi udara (Air Transportation System).
Pada dasarnya Air Transportation System adalah sistem transportasi
untuk memindahkan penumpang atau barang melalui udara.
Pesawat komersial adalah transportasi yang paling umum digu-
nakan untuk mengangkut orang melalui udara. Layanan point to point
yang disediakan oleh layanan penerbangan komersial membantu orang
melakukan perjalanan cepat dari bandara ke bandara, karena perjalan-
an udara jauh lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan darat.
Helikopter juga mengangkut orang melalui udara. Namun helikopter,
bagaimanapun, jauh lebih terbatas ketika dilihat dari luas ruang pe-
numpang dan hanya dapat mengangkut beberapa orang pada waktu
Airmanship.indd 106 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 0 7
yang sama, sedangkan beberapa pesawat komersial bisa mengangkut
ratusan penumpang.
Setelah pembahasan tentang sejarah transportasi udara perlu pula
diulas lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan “Keselamatan”
dan “Penerbangan”, sehingga dapat disimpulkan sebuah definisi ten-
tang Keselamatan Penerbangan secara baku.
C. ArTi KESELAMATAn DAn pEnErBAngAn
Keselamatan menjadi prioritas utama dalam penerbangan, tidak ada
kompromi dan toleransi. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992
dinyatakan bahwa “Kewajiban Maskapai Penerbangan Sipil dalam Per-
aturan Perundang-undangan Indonesia Terkait dengan Upaya Pemenuh-
an Keselamatan dan Keamanan Penumpang”, dan ini menjadi komitmen
Pemerintah bahwa Keselamatan penerbangan adalah yang utama.
D. DEFiniSi KESELAMATAn
Pada prinsipnya keselamatan merupakan perihal atau keadaan yang
bebas dari bahaya, malapetaka, bencana, kerusakan dan masih dalam
keadaan seperti semula serta tidak kurang suatu apapun.
a. jenis Keselamatan
Untuk memahami tentang jenis keselamatan maka dilihat dari jenis
keadaan yaitu, pertama, keselamatan normatif merupakan penjabar-
an tentang hasil atau desain yang sesuai dengan standar; kedua, ke-
selamatan substantif merupakan penjabaran tentang pentingnya
kondisi aman, walaupun belum memenuhi standar; ketiga, keselamat-
an merupakan sebuah persepsi yang dirasakan oleh setiap manusia.
Sebagai contoh perasaan aman terhadap adanya rambu atau tanda
lalu lintas. Namun, rambu-rambu ini bisa menjadi bumerang karena
membatasi kebebasan yang menyebabkan pengemudi menjadi gugup.
Airmanship.indd 107 5/9/19 1:47 PM
1 0 8 A I R M A N S H I P
b. risiko dan respons
Keselamatan pada dasarnya sebagai evaluasi terhadap risiko kematian,
luka, atau kerusakan pada manusia atau benda. Risiko ini terjadi ka-
rena situasi atau tindakan yang tidak aman. Contohnya adalah ling-
kungan kerja yang sangat bising, dengan kondisi ekstrem (suhu yang
sangat tinggi atau rendah) atau adanya zat kimia yang berbahaya.
Sebagai respons dari risiko ini, ada banyak tindakan yang boleh diam-
bil sebagai solusinya. Respons yang dipilih biasanya respons secara
teknis sesuai dengan prosedur. Sebagai jaminan maka orang akan
memilih asuransi, yang akan memberikan kompensasi atau memban-
tu jika terjadi kecelakaan atau kerusakan.
c. Sistem Keselamatan
Sistem keselamatan adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan
perkembangan teknologi secara terus-menerus yang disusun dalam
bentuk peraturan sesuai dengan lingkungan. Keselamatan pada da-
sarnya merupakan gabungan atau sintesa dari berbagai aspek kualitas,
keandalan, ketersediaan, dan kestabilan.
2. Definisi penerbangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ayat 1 tentang Penerbangan
menyatakan bahwa penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas pemanfaatan pesawat udara, wilayah udara, bandar udara,
navigasi penerbangan, angkutan udara, lingkungan hidup, keselamat-
an dan keamanan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lain-
nya. Dalam dictionary of aviation, penerbangan diistilahkan dalam
aviation dan flight. Aviation mengandung pengertian suatu kegiatan
menerbangkan pesawat. Flight merupakan pergerakan suatu objek di
atau melalui atmosfer bumi atau ruang angkasa, dapat juga diartikan
sebagai jarak yang ditempuh oleh pesawat atau jadwal perjalanan
pesawat. Menurut kamus bahasa inggris, penerbangan diterjemahkan
Airmanship.indd 108 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 0 9
sebagai aviation, yang memiliki dua buah arti ”the operation of aircraft”
atau “pengoperasian pesawat terbang” dan “the production of aircraft”
atau “produksi pesawat terbang”.
Pembahasan tentang penerbangan, tidak akan terlepas dari pem-
bahasan jasa pelayanan transportasi udara. Di mana jasa pelayanan
transportasi udara terdiri dari beberapa unsur yaitu: (1) Moda trans-
portasi udara (pesawat terbang); (2) Ruang lalu lintas udara (rute pe-
nerbangan); (3) Terminal (bandar udara); dan (4) Muatan Udara (pe-
numpang dan cargo).
Permasalahan yang sering terjadi dari penerbangan sipil pada saat
ini adalah keselamatan dan keamanan. Banyak faktor yang berpenga-
ruh terhadap keamanan dan keselamatan seperti yang telah dijelaskan
oleh Hawkin melalui teori SHELL.
3. Dasar Teori Keselamatan penerbangan
UU Nomor 1 Tahun 2009 ayat 48 mendefinisikan keselamatan pener-
bangan sebagai suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan
dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan
fasilitas umum lainnya.
Teori pemanfaatan wilayah udara terkait dengan keselamatan
penerbangan di wilayah suatu negara dalam mengelola penerbangan
harus memenuhi standar keselamatan penerbangan. Konvensi inter-
nasional yang mengikat 190 negara tentang penerbangan adalah
Convention International Civil Aviation atau Konvensi Chicago 1944.
Dalam Pasal 37 dengan jelas dijabarkan, bahwa untuk meningkatan
keamanan dan keselamatan penerbangan, negara peserta Konvensi
Chicago 1944 harus mengikuti semua prosedur dan standar yang telah
disepekati oleh anggota ICAO.
Teori keselamatan penerbangan dalam hubungannya dengan pe-
sawat udara menyangkut faktor laik terbang. Menurut UU No. 1 Tahun
2009 yang dimaksud dengan pesawat udara ialah ”setiap mesin atau
Airmanship.indd 109 5/9/19 1:47 PM
1 1 0 A I R M A N S H I P
alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi
udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi
yang digunakan untuk penerbangan.” Sementara itu pengertian pesa-
wat udara menurut ICAO adalah ”setiap bangun mekanis yang dapat
memperoleh daya dukung (daya angkat) dalam atmosfer dari reaksi
udara selain reaksi udara terhadap permukaan bumi”.
Teori keselamatan penerbangan dalam hubungannya dengan
bandar udara menyangkut klasifikasi bandara tersebut. Secara geo-
grafis wilayah Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang terbentang luas
dari Sabang hingga Merauke, sehingga Indonesia memiliki banyak
bandar udara di setiap provinsi dan kepulauannya. Hal ini menjadi
sarana pendukung untuk peningkatan keselamatan penerbangan.
Peningkatan tersebut harus sesuai dengan standar penerbangan me-
nurut ICAO.
Teori keselamatan penerbangan dalam hubungannya dengan
angkutan udara merujuk pada UU No. 1 Tahun 2009. Dalam pasal 1
ayat 13 dinyatakan bahwa angkutan udara adalah setiap kegiatan
dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang,
kargo dan atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar
udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.
Teori keselamatan penerbangan dalam hubungannya dengan na-
vigasi penerbangan mengacu pada standar navigasi menurut ICAO.
Setiap negara sebagai peserta Konvensi Chicago 1944 setuju untuk
melakukan langkah yang praktis melalui pembuatan peraturan-pera-
turan khusus atau dengan cara lain untuk memudahkan dan melayani
penggunaan navigasi pesawat udara dalam mendukung keselamatan
penerbangan.
Teori keselamatan penerbangan dalam hubungannya dengan fa-
silitas penunjang dan fasilitas umum lainnya merupakan suatu kea-
daan terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam proses pelayanan
penerbangan untuk menuju suksesnya keselamatan penerbangan.
Fasilitas penunjang dan fasilitas umum mutlak diperlukan keberada-
annya dalam mendukung penerbangan di bandar udara.
Airmanship.indd 110 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 1 1
Berdasarkan teori SHELL yang diungkapkan oleh Reason (1990) dan
disempurnakan oleh Hawkins (1993) menjadi SHELL, yang mana aspek
keselamatan penerbangan perlu memperhatikan beberapa unsur yang
terdiri atas:
a. Kebijakan, aturan-aturan dan prosedur penerbangan yang disebut
dengan Software (S);
b. Pesawat udara yang disebut Hardware (H);
c. Infrastruktur, cuaca, kondisi wilayah dan berbagai faktor yang
berada di luar kendali manusia disebut sebagai Environment (E);
d. Manusia (Pilot) yang disebut dengan Liveware (L).
e. Manusia (Pendukung Penerbangan) yang disebut dengan Liveware (L).
Manusia secara umum diyakini merupakan faktor paling dominan
dalam terjadinya keselamatan penerbangan karena manusia banyak
memiliki keterbatasan sehingga diprediksi kemungkinan akan selalu
mendapatkan permasalahan dalam situasi apapun.
Hubungan antara Liveware-Hardware menyangkut interaksi antar
manusia dan peralatan, seperti penggunaan peralatan sistem kendali
pesawat dalam sistem manual maupun sistem digital, tempat duduk
cockpit, membaca indikator instrument flight dan engine instrument.
Kemudian dalam mengoperasikan peralatan-peralatan tersebut bagai-
mana kecakapan dan keterampilan pilot apakah ada menimbulkan
kesalahan yang bisa mengakibatkan kecelakaan.
Hubungan antara Liveware-Software berhubungan dengan interak-
si manusia dan aspek non-fisik. Misalnya pelaksanaan standar opera-
sional, aturan, manual. Hubungan tersebut sebagai interaksi yang
pertama kali ditemukan dalam dunia penerbangan. Masalah lingkung-
an berkaitan dengan tekanan udara pada kabin, kondisi cuaca, dan
waktu penerbangan. Saat ini permasalahan yang muncul adalah ma-
salah global seperti bocornya lapisan ozon, perubahan cuaca yang
ekstrem, dan perubahan iklim yang sulit untuk diprediksi.
Airmanship.indd 111 5/9/19 1:47 PM
1 1 2 A I R M A N S H I P
gambar 4.1.Konsep teori SHeLL
teori SHeLL lebih jelasnya digambarkan berikut ini.
Sumber: http://aviationknowledge.wikidot.com/aviation:shell-model
Hubungan antara Liveware-Liveware adalah interaksi antar manu-
sia. Interaksi ini merupakan hubungan kerja antara manusia yang ada
di pesawat dengan manusia pendukung penerbangan di darat. Hu-
bungan ini harus terjalin kerja sama yang saling membutuhkan untuk
mewujudkan keselamatan penerbangan.
E. pEngErTiAn DAn SuMBEr huKuM uDArA (Air LAw)
Sampai dengan hari ini, masih terjadi perbedaan tentang hukum uda-
ra internasional. Beberapa istilah yang digunakan dunia internasional
adalah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan (aviation law),
atau hukum navigasi udara (air navigation law) atau hukum transpor-
tasi udara (air transportation law), atau hukum penerbangan (aviation
law) atau hukum aeronautika yang digunakan saling bergantian tanpa
membedakan satu terhadap lainnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Martono dan Sudiro (2012) bahwa
sumber hukum udara dapat bersumber pada hukum internasional
Airmanship.indd 112 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 1 3
maupun hukum nasional, sesuai dengan Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah
Internasional (PMI) yang mengatakan bahwa hukum internasional
bersumber dari kesepakatan internasional, budaya internasional, se-
bagai tingkah laku yang universal yang dianggap sebagai hukum”.
Sumber hukum udara internasional dapat berupa:
a. Multilateral
b. Bilateral Air Transport Agreement
c. Hukum Kebiasaan Internasional
d. Prinsip-prinsip Hukum Umum
e. Ajaran Hukum (Doctrine)
f. Yurisprudensi
F. DASAr huKuM KESELAMATAn pEnErBAngAn
Sejak teknologi penerbangan terus berubah-ubah, dimulai dari balon
udara panas Montgolfier, berubah menjadi Zepplin, dan desain Santos-
Dumont yang berkembang menjadi penemuan pesawat Wright Brot-
hers. Negara-negara maju mulai berpikir untuk menyatukan prinsip
hukum kedaulatan udara mereka ke dalam rezim hukum udara inter-
nasional untuk mengatur dan menyatukan aturan teknis dari prinsip
hukum kedaulatan udara.
Kesediaan untuk bekerja sama diwujudkan dalam Konferensi In-
ternational Air Navigation diadakan di Paris pada tahun 1910. Dalam
konferensi ini prinsip hukum kedaulatan udara dan aturan teknis
umum diterapkan dalam pembahasan penerbangan internasional, dan
dalam konferensi disepakati bahwa kedaulatan udara suatu negara
ditentukan oleh kedaulatan di bawahnya. Para peserta konferensi
mencoba untuk membuat kodifikasi aturan hukum dalam pelaksana-
an kedaulatan udara, namun konferensi ini gagal menciptakan suatu
konvensi. Terlepas dari semua kegagalannya, konferensi ini telah
menjadi langkah pertama dalam pembentukan hukum internasional
kedaulatan udara. Konferensi International Air Navigation diadakan
kembali pada tahun 1919 di Paris dan menghasilkan sebuah Konvensi
Airmanship.indd 113 5/9/19 1:47 PM
1 1 4 A I R M A N S H I P
yaitu Peraturan Navigasi Udara. Kemudian pada tahun 1928 diadakan
konferensi di Havana yang menghasilkan Konvensi tentang Peraturan
Navigasi Udara khususnya Amerika Serikat.
Konferensi terakhir diadakan di Chicago pada tahun 1944, yang
menjadi Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (dikenal sebagai
Konvensi Chicago 1944). Konvensi ini merupakan hasil penyempurna-
an dari Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Havana 1928. Dalam konven-
si ini kedaulatan udara hukum yang dirumuskan dalam Pasal 1, yang
berbunyi, “The contracting States recognize that every country has
complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”
“Negara-negara yang sepakat telah mengakui bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas wilayah udara di
atas wilayahnya”. Konvensi Chicago 1944 telah menjadi titik acuan
hukum udara internasional dan masih berlaku hari ini.
1. Landasan hukum internasional - international Civil Aviation organization (iCAo)
Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (juga dikenal sebagai Kon-
vensi Chicago), ditandatangani pada tanggal 7 Desember 1944 oleh 52
Negara. Ratifikasi Konvensi tertunda oleh 26 Negara, International
Civil Aviation Organization. Sementara (PICAO) didirikan dan berfung-
si 6 Juni 1945 hingga 4 April 1947. Pada 5 Maret 1947 ratifikasi 26 Ne-
gara diterima. ICAO terbentuk pada tanggal 4 April 1947. Pada bulan
Oktober tahun yang sama, ICAO menjadi badan khusus PBB yang
terkait dengan Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC).
Hasil Konvensi Chicago sebagai Konvensi Penerbangan Sipil Inter-
nasional menetapkan tujuan ICAO sebagai berikut:
“WHEREAS the future development of international civil aviation
can greatly help to create and preserve friendship and understanding
among the nations and peoples of the world, yet its abuse can become
a threat to the general security; and “WHEREAS it is desirable to
avoid friction and to promote that cooperation between nations and
peoples upon which the peace of the world depends;
Airmanship.indd 114 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 1 5
“THEREFORE, the undersigned governments having agreed on
certain principles and arrangements in order that international civil
aviation may be developed in a safe and orderly manner and that
international air transport services may be established on the basis
of equality of opportunity and operated soundly and economically;
“Have accordingly concluded this Convention to that end.”
Pada intinya, konferensi ini dihadapkan pada dua pertanyaan: (1)
apakah diakui secara universal dapat menyepakati standardisasi
sinyal navigasi dan standar teknis lainnya dan (2) apakah aturan
internasional tentang ekonomi transportasi udara dapat dibentuk.
Salah satu kelompok negara, yang dipimpin oleh AS, menginginkan
sebuah organisasi internasional yang diberdayakan hanya untuk
membuat rekomendasi mengenai standardisasi prosedur teknis dan
standardisasi peralatan. Dalam aspek ekonomi, negara-negara ini
meyakini, transportasi udara harus bebas kompetitif. Kebijakan ini
juga harus merupakan kebijakan terbaik untuk melayani kepenting-
an “negara-negara konsumen” yang tidak memiliki penerbangan
internasional. Kelompok lain dari negara, yang dipimpin oleh Inggris,
mengharapkan memiliki banyak kesepakatan ekonomi untuk pener-
bangan sipil. Ini akan diberdayakan untuk mengalokasikan rute in-
ternasional bahwa penerbangan dari berbagai negara akan diizinkan
untuk terbang, mengatur frekuensi penerbangan, dan memperbaiki
tingkat pelayanan.
Dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional ini akhirnya
mengadopsi kompromi antara posisi Amerika dan Inggris. Konvensi
didirikan untuk pertama kalinya dalam bentuk sebuah badan indepen-
den internasional, ICAO, untuk mengawasi “order in the air,” atau
“ketertiban di udara” menghasilkan standardisasi teknis maksimum
untuk penerbangan internasional, merekomendasikan praktik-praktik
tertentu bahwa negara-negara anggota harus mengikuti dan melak-
sanakan fungsi-fungsi lainnya. Negara meratifikasi atau mengakses
konvensi sehingga disepakati untuk menyesuaikan diri dengan semak-
Airmanship.indd 115 5/9/19 1:47 PM
1 1 6 A I R M A N S H I P
simal mungkin terhadap standar penerbangan sipil dan berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan rekomendasi ICAO.
Di bidang ekonomi, ICAO tidak memiliki kekuatan regulasi, tapi
salah satu tujuan konstitusionalnya adalah untuk meningkatkan efi-
siensi supaya tidak terjadi persaingan yang tidak sehat. Selain itu, di
bawah konvensi, negara-negara anggota berjanji untuk penerbangan
internasional mereka memberikan ICAO laporan lalu lintas, statistik
biaya, dan laporan keuangan yang menunjukkan, antara lain, semua
penerimaan dari operasi dan sumber-sumber pendapatan tersebut.
Konvensi Chicago menegaskan kedaulatan lengkap dan eksklusif
atas wilayah udara di atas wilayahnya dan menyatakan bahwa pener-
bangan tidak berjadwal harus menyesuaikan terhadap izin kondisi dan
batasan, berdasarkan pesawat udara sipil dari satu negara ke dalam
atau di atas wilayah negara lainnya. Layanan udara internasional yang
dijadwalkan, akan dapat dioperasikan dari satu negara ke dalam atau
di atas wilayah negara lain hanya jika memiliki izin otorisasi terkini,
dan negara-negara anggota diizinkan untuk menentukan daerah/wi-
layah terlarang untuk pesawat asing asalkan peraturannya merupakan
faktor non-diskriminatif. Pesawat tanpa pilot maupun pesawat kon-
vensional dilindungi oleh ketentuan ini. Istilah wilayah udara masih
belum didefinisikan secara tepat, bagaimanapun juga, dan dengan
perkembangan roket dan rudal jarak jauh, masalah memutuskan di
mana wilayah udara suatu negara berakhir dan di mana luar angkasa
dimulai menjadi perhatian permasalahan tersendiri. Masalah ini telah
menjadi penelitian oleh Komite PBB tentang Penggunaan Damai An-
tariksa (Peaceful Uses of Outer Space).
Hal yang penting dipertimbangkan oleh konferensi Chicago ada-
lah pertanyaan dari pertukaran hak komersial di penerbangan sipil
internasional. Kesepakatan yang memuaskan untuk semua negara
yang menghadiri konferensi tidak mungkin tercapai, oleh karena itu,
pertanyaan tertutup tidak diajukan dalam Konvensi Penerbangan
Sipil Internasional yang berfungsi sebagai konstitusi ICAO tetapi
dalam dua perjanjian tambahan diadopsi oleh konferensi: Perjanjian
Airmanship.indd 116 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 1 7
International Transit Air Services dan Perjanjian Internasional Air Trans-
port. Kedua perjanjian tidak merupakan bagian dari konstitusi ICAO
dan mengikat hanya pada negara-negara anggota ICAO yang telah
meratifikasinya.
Perjanjian Air Services Transit Internasional jaminan (1) kebebasan
pesawat sipil untuk terbang di atas negara-negara asing dan wilayah
selama mereka tidak mendarat, dan (2) kebebasan pesawat sipil
untuk membuat pendaratan non-lalu lintas, untuk pengisian bahan
bakar atau overhaul di wilayah asing. Perjanjian tersebut untuk per-
tama kalinya menghasilkan prinsip hak otomatis transit dan penda-
ratan darurat. Perjanjian International Air Transport, yang juga dikenal
sebagai Perjanjian Lima Kebebasan, menegaskan, selain dua kebe-
basan tercakup dalam perjanjian transit, tiga kebebasan lainnya dari
udara:
(3) kebebasan untuk mengangkut penumpang dan kargo dari
negara asal ke yang lainnya, (4) kebebasan untuk mengangkut penum-
pang dan kargo dari negara lain ke negara asalnya, dan (5) kebebasan
untuk melintasi antar negara.
ICAO pada awalnya diciptakan untuk memperkenalkan pengem-
bangan penerbangan sipil yang aman dan efisien. Salah satu aspek
kerja jangka panjang dari Organisasi ini selama enam dekade terakhir
telah membantu Amerika meningkatkan penerbangan sipil di negara
mereka melalui proyek yang dilaksanakan di bawah Program Kerja
Sama Teknis ICAO. Sejak pembentukannya pada tahun 1952, Biro Ker-
ja Sama Teknis (Technical Coordination Bureau - TCB) telah bertanggung
jawab untuk pelaksanaan Program Kerja Sama Teknis ICAO dalam
segala hal yang berkaitan dengan pengembangan dan penerbangan
sipil yang aman.
a. Pembentukan ICAO Anexes sebagai Sipil Peraturan Aviation In-
ternational.
Sebagai Organisasi sebelum terbentuknya ICAO, Komisi Internasional
untuk Navigasi Udara (International Commission for Air Navigation -
ICAN) mengadakan dua puluh sembilan sesi antara Juli 1922 dan Ok-
Airmanship.indd 117 5/9/19 1:47 PM
1 1 8 A I R M A N S H I P
tober 1946, dengan interupsi selama Perang Dunia II. Di mana ICAN
telahmengembangkan8Annex(AkeH),sebagaiberikut:
BerkaitandenganAnnexI-RadioKomunikasi(Radio Communica-
tions), Lampiran ini belum diimplementasikan dalam
tabel 4.1. 8 Annexes of ICAN
EightAnnexestotheParisConventionCorresponding Annexes
to the Chicago Convention
A Classification of aircraft and definitions, the markings of aircraft; registration of aircraft; call signs
H
B Certificates of airworthiness G
C Log books F
D Rules as to lights and signals; rules for air traffic C and D
E Operating crew E
F Aeronautical maps and ground signs J
G Collection and dissemination of meteorological information
I
H Customs K
Konvensi Paris, sebagai Protokol Brussels dari 1 Juni 1935 (ditanda-
tangani pada Sidang ke-23 dari ICAN diadakan di Brussels, Belgia dari
27Mei ke 1 Juni 1935) yang berurusan dengan Annex baru ini tidak
pernahdiratifikasi.Annexinimulaidirancangdandiamandemensejak
tahun 1935 tanpa implementasi akhir dalam Konvensi Paris. Konvensi
ICAN merupakan sebuah konvensi yang terbatas dan juga pelaksana-
annya, karena sebagian besar sampai dengan tahun 1930-an pener-
bangan pesawat lebih berupa penerbangan regional dibandingkan
penerbangan keseluruh dunia transportasi.
Pada Konferensi Chicago di tahun 1944, menghasilkan dua belas
draftAnnexesteknisyangdiselesaikanuntukmelayanisebagaipan-
duan untuk praktik di seluruh dunia sambil menunggu berlakunya
Konvensi Penerbangan Sipil Internasional dan kemudian diadopsi se-
Airmanship.indd 118 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 1 9
cara resmi oleh Dewan ICAO dan kemudian diterima oleh Negara- ne-
gara anggotanya.
Perlu dicatat bahwa rancangan Annex teknis Operasi tidak bisa
disiapkan oleh Konferensi Chicago dalam waktu yang akan disertakan
denganAnnex lainnyayangditemukandalamAppendixVdari Final
Act. Ketika PICAO muncul pada tahun 1945, Divisi Operasional menja-
di bertanggung jawab atas penyusunan teks pada subjek ini.
tabel 4.2. 12 Annexes Asli dari Chicago Convention
TwelveoriginalAnnexestotheChicagoConvention
A Airways systems
B Communications procedures and systems
C Rules of the air
D Air traffic control practices
E Standards governing the licensing of operating and mechanical personnel
F Log book requirements
GAirworthiness requirements for civil aircraft engaging in international air navigation
H Aircraft registration and identification marks
I Meteorological protection of international aeronautics
J Aeronautical maps and charts
K Customs procedures and manifests
L Search and rescue, and investigation of accidents
Dalam kehadiran PICAO, banyak terlibat dalam penyusunan reko-
mendasi untuk standar, praktik dan prosedur yang harus diadopsi oleh
negara-negara sambil menunggu pembentukan International Standar-
ds and Recommended Practices (SARPS) oleh Organisasi permanen. Pada
sesi pertama, Dewan PICAO menyelenggarakan divisi teknis dengan
maksud untuk memberlakukan sesegera mungkin, sesuai dengan
Resolution II of the Final Act of the Chicago Conference, revisi rancangan
AnnexteknisyangmerupakanbagiandariAppendixVdariFinal Act.
Airmanship.indd 119 5/9/19 1:47 PM
1 2 0 A I R M A N S H I P
Berbagai divisi bertemu dan menyusun spesifikasi untuk apa yang
kemudian dikenal sebagai Rekomendasi PICAO Standar, Praktik dan
Prosedur selama periode interim. Setelah disetujui oleh Dewan PICAO,
rekomendasi tersebut dicatat ke berbagai negara anggota untuk dia-
dopsi ke dalam peraturan nasional mereka. Setelah berlakunya kon-
vensi, mereka akan membakukan judul International Standards and
Recommended Practices.
Dua komite Dewan PICAO, yaitu Komite Navigasi Udara dan Ko-
mite Transportasi Udara, didirikan dan divisi teknis terdiri dari spesi-
alis dari Negara Anggota dan pengamat dari organisasi yang tertarik
dalam penerbangan sipil internasional, dibantu oleh Sekretariat Orga-
nisasi ini, diarahkan dan dikoordinasikan oleh Komite.
Dengan terbentuknya Organisasi permanen pada bulan April 1947,
status standar mengalami perubahan besar, hasil dari divisi dipertim-
bangkan oleh Komisi Navigasi Udara, kemudian diadopsi oleh Dewan
dan akhirnya diserahkan kepada Negara Anggota. Jika mayoritas Nega-
ra tidak menyatakan keberatan atau penolakan dari standar dan praktik
yang direkomendasikan, maka rekomendasinya akan menjadi efektif;
dan masing-masing negara anggota terikat untuk menempatkan me-
reka ke dalam praktik atau untuk memberitahukan ke ICAO jika terjadi
perbedaan dalam praktik dari yang ditetapkan oleh standar internasio-
nal. Adopsi standar tersebut oleh Dewan memberi mereka status seba-
gai Convention Annexes, sebagaimana terlihat pada tabel 4.3.
Pada tahun-tahun awal penerbangan sipil, tidak ada yang meramal-
kan perlunya memiliki ketentuan yang mencakup sisi negatif dari pe-
nerbangan sipil. Organisasi baru membahas topik perlindungan ling-
kungan awalnya pada Sidang ke-16 Majelis yang diadakan di Buenos
Aires pada tahun 1968; studi kompleks yang dihasilkan dari efek kebi-
singanpesawatmenyebabkanpadatahun1971untukmengadopsiAnnex
16 - Aircraft Noise. Pengaruh emisi mesin pesawat pada polusi udara
kemudiandiperiksa. Ruang lingkupAnnex 16 demikianmelebar pada
tahun 1981 untuk memasukkan ketentuan emisi mesin pesawat dan
dokumen direorganisasi dan berjudul Environmental Protection.
Airmanship.indd 120 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 2 1
tabel 4.3. Annexes Standar dari ICAO
AnnexestotheChicago Convention as adopted by 1953
Titles changed over the years since 1953
1 Personnel Licensing
2 Rules of the Air
3 Meteorological CodesMeteorological Service for International Air Navigation
4 Aeronautical Charts
5Dimensional Units to be used in Air-Ground Communications
Units of Measurement to be Used in Air and Ground Operations
6Operation of Aircraft – ScheduledInternational Air Services
Operation of Aircraft
7Aircraft Nationality and Registration Marks
8 Airworthiness of Aircraft
9Facilitation of International Air Transport
Facilitation
10 Aeronautical Telecommunications
11 Air Traffic Services
12 Search and Rescue
13 Aircraft Accident InquiryAircraft Accident and Incident Investigation
14 Aerodromes
15 Aeronautical Information Services
Dalam keprihatinannya tentang ancaman kekerasan terhadap
penerbangan sipil internasional dan fasilitasnya, termasuk pembajak-
an pesawat udara, pertemuan luar biasa oleh majelis ICAO diseleng-
garakan untuk membahas subjek ini di Montreal, pada bulan Juni 1970.
Selanjutnya pada tahun 1974, Dewan mengadopsi SARPS di Annex 17
tentang Security: Safeguarding International Civil Aviation against Acts
of Unlawful Interference.
Airmanship.indd 121 5/9/19 1:47 PM
1 2 2 A I R M A N S H I P
Di tahun 70-an, ICAO harus mengatasi masalah munculnya pener-
bangan sebagai modus utama perdagangan, yaitu ancaman yang
berkembang di mana penumpang, crew dan masyarakat melakukan
pengangkutan barang berbahaya. Pada tahun 1976, diperkirakan bah-
wa lebih dari setengah dari bahan yang dibawa oleh semua moda
transportasi berpotensi berbahaya. Untuk memastikan bahwa kargo
berbahaya dapat dilakukan dengan aman oleh udara, ICAO mengadop-
si pada tahun 1981 Annex 18 tentang The Safe Transport of Dangerous
Goods by Air, yang berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1984. Annex
ini agak unik karena mencerminkan upaya terkoordinasi dengan PBB
dan Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy
Agency- IAEA) memastikan kompatibilitas penuh dengan petunjuk
teknis mereka.
Komisi Navigasi Udara ICAO, dalam pertemuan keempat dan ke-
lima dari Sesi ke-190 nya pada tanggal 8 Mei 2012, mempertimbangkan
proposal yang dikembangkan oleh Manajemen Panel Keselamatan
(Safety Management Panel - SMP) untuk mentransfer ketentuan tentang
tanggung jawab manajemen keselamatan dan proses dari Annexes
yang ada untuk dikonsolidasi dalam Annex baru 19 - Safety Management
danusulanamandemenkonsekuensialterkaitdenganAnnexyangada.
AnnexbaruICAOtersebutmendukungstrategikeamananglobal,yang
menyerukan untuk meningkatkan standardisasi, peningkatan kerja
sama antar pemangku kepentingan penerbangan, inisiatif berbagi
informasi baru, dan memprioritaskan investasi di sumber daya teknis
dan manusia yang dibutuhkan untuk memastikan operasi yang aman.
Manajemen keselamatan Standar Internasional ICAO dan Praktik Re-
komendasi memberikan persyaratan tingkat tinggi bahwa negara
harus menerapkan untuk memenuhi tanggung jawab manajemen
keselamatan mereka terkait dengan, atau didukung langsung dari,
operasi yang aman dari pesawat. Menjadi yang pertama baru Annex
ICAO di lebih dari 30 tahun, Annex 19 menjadi berlaku pada 14 Novem-
ber 2013.
Airmanship.indd 122 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 2 3
b. ICAO ANNeX 2 – Rules of the Air.
Mengacu pada regulasi Transportasi Udara Penumpang Sipil seperti
yang disebutkan sebelumnya, dirasakan perlu untuk mengeksplorasi
lebih detail tentang Annex 2 dari ICAO –Rules of the Air.
tabel 4.4. empat Annexes tambahan ICAO
Four new Annexes adopted after 1970
Title First adopted on
16 Environmental Protection 2 April 1971
17 Security - Safeguarding International Civil Aviation against Acts of Unlawful Interference
22 March 1974
18 The Safe Transport of Dangerous Goods by Air 26 June 1981
19 Safety Management 25 February 2013
Didirikan oleh Provisional International Civil Aviation Organization
(PICAO), Divisi Peraturan Udara dan Air Traffic Control (Rules of Air and
Air Traffic Control- RAC) mengadakan sesi pertama (16 pertemuan) an-
tara 15 Oktober dan 19 November 1945; sesi kedua Divisi RAC bertemu
dari tanggal 3 Desember 1946 hingga 6 Januari 1947 dan mengusulkan
dan merekomendasikan Standar Praktik untuk Peraturan Udara. Dan
diterima oleh Dewan ICAO pada tanggal 15 April 1948 dan berlaku
efektif pada tanggal 15 September 1948 sebagai Annex 2 - International
Standards and Recommended Practices - Rules of the Air. Dilanjutkan ke
sesi 4 dari Divisi RAC yang diselenggarakan dari 14 November ke 14
Desember 1950, di mana Dewan ICAO mengadopsinya pada 27 Novem-
ber 1951 dengan revisi lengkap dan penataan ulang dari Annex 2 berju-
dul International Standards - Rules of the Air. Sejak itu, tidak lagi berisi
Praktik Rekomendasi.
Airmanship.indd 123 5/9/19 1:47 PM
1 2 4 A I R M A N S H I P
b. Landasan hukum nasional tentang peraturan Transportasi udara dan implementasinya di indonesia
Sesuai dengan peraturan internasional sebagaimana diatur dalam
Annexes ICAO, pemerintah Indonesia juga merumuskan peraturan
transportasi udara nasional, dalam bentuk Undang-undang Penerbang-
an, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Keputusan Direk-
torat Jenderal Perhubungan.
Selain dasar hukum dan regulasi sebagaimana disebutkan di atas,
juga dibentuk sebuah Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Civil
Aviation Safety Regulation - CASR) oleh Direktorat Perhubungan Uda-
ra—Kementerian Perhubungan juga merupakan bagian dari peraturan
transportasi udara nasional Indonesia.
a. Undang-undang
1. UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Tujuan dan objektif dari UU Nomor 1 Tahun 2009 adalah untuk
memperkenalkan pengembangan transportasi udara Indonesia
dan untuk memastikan agar sektor transportasi udara Indo-
nesia dapat mendukung pembangunan nasional dan layak
untuk bersaing dan bertahan secara nasional, regional, dan
internasional. Undang-undang ini juga untuk mengatur se-
jumlah hal yang berkaitan dengan penerbangan, mulai dari
kedaulatan di wilayah udara, pesawat produksi, operasi dan
kelaikan pesawat untuk keamanan dan keselamatan pener-
bangan, pengadaan pesawat, asuransi penerbangan, investi-
gasi kecelakaan pesawat, dan lisensi profesional penerbangan.
UU Nomor 1 Tahun 2009 juga mengatur tentang transportasi
udara terjadwal dan non-terjadwal, kepemilikan pesawat dan
penyewaan pesawat, kewajiban maskapai penerbangan, fasi-
litas navigasi udara, otoritas bandara dan wilayah informasi
penerbangan.
2. UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Keselamatan Penerbangan.
Tujuan dari UU Nomor 15 Tahun 1992 adalah untuk mewujud-
kan penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman, cepat,
Airmanship.indd 124 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 2 5
lancar, tertib dan teratur, nyaman dan berdaya guna, dengan
biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, dengan
mengutamakan dan melindungi penerbangan nasional, me-
nunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, sebagai
pendorong, penggerak, dan penunjang pembangunan nasional
serta mempererat hubungan antar bangsa.
b. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2012, tentang Perusa-
haan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Na-
vigasi Penerbangan Indonesia.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2001 tentang Keamanan
dan Keselamatan Penerbangan.
c. Keputusan Menteri
1. Keputusan Menteri Nomor 53 Tahun 2016, tentang Kesembilan
Perubahan atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 18
Tahun 2002 tentang Sertifikasi dan Persyaratan Operasi Untuk
Angkutan Udara Niaga Perusahaan untuk Komuter dan Char-
ter Penerbangan.
2. Keputusan Menteri Nomor 131 Tahun 2015, tentang Keselamat-
an Peningkatan Pelayanan Navigasi Udara
a. Keputusan Menteri Nomor 41 Tahun 2015, tentang Peru-
bahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
KM 25 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Air Transport.
b. Keputusan Menteri Nomor 38 tahun 2015, tentang Standar
Air Transport Service Penumpang Domestik
d. Civil Aviation Safety Regulations (CASR)
i. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 1998
tentang Civil Aviation Safety Regulation (CASR).
ii. CASR part 69 air traffic services personnel licensing,
rating, training and proficiency requirements.
iii. CASR part 92 dangerous goods.
Airmanship.indd 125 5/9/19 1:47 PM
1 2 6 A I R M A N S H I P
iv. CASR part 121 certification and operating reuirements:
domestic, flag and supplemental air carriers.
v. CASR part 135 certification and operating reuirements:
domestic, commuter and charter air carrier.
vi. CASR part 143 certification and operating reuirements for
ats training provider.
vii. CASR part 170 air traffic rules.
g. iMpLEMEnTASi KESELAMATAn pEnErBAngAn
Sesuai dengan Pasal 3 UU Nomor 15 Tahun 1992 tujuan terselenggara-
nya penerbangan adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan pener-
bangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman
dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli ma-
syarakat dengan mengutamakan dan melindungi penerbangan nasi-
onal, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, sebagai
pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional serta
mempererat hubungan antar bangsa. Keselamatan merupakan priori-
tas utama dalam dunia penerbangan, tidak ada kompromi dan tole-
ransi. Pemerintah berkomitmen bahwa “Safety is Number One” sesuai
dengan UU Nomor 15 Tahun 1992.
Penyelenggaraan transportasi udara berkaitan dengan pertumbuhan
ekonomi masyarakat yang terlibat dalam dunia penerbangan yang erat
hubungannya dengan pengaruh global. Meningkatnya ekonomi nasional
merupakan peran pemerintah yang pada awalnya sebagai penyedia jasa
dan pelaku kegiatan ekonomi, menjadi pembuat atau perumus kebijak-
an atau regulator. Sebagai regulator, pemerintah bertugas untuk meru-
muskan, melaksanakan, mengawasi, serta mengevaluasi kebijakan.
Pemerintah telah mencanangkan Program Nasional Keamanan Pe-
nerbangan Sipil yang bertujuan untuk menjamin dan meningkatkan
keamanan dan keselamatan penerbangan, prospek dan perkembangan
penerbangan sipil di Indonesia melalui program atau kegiatan yang
mengutamakan perlindungan terhadap konsumen, kru pesawat, pesawat
Airmanship.indd 126 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 2 7
udara, para insan pendukung penerbangan, lingkungan dan instalasi di
kawasan bandar udara dari tindakan melawan hukum. Pemerintah me-
mandang bahwa keselamatan penerbangan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah, maskapai, dan masyarakat.
Untuk mewujudkan cita-cita dan program tersebut sesuai dengan
ketentuan ICAO yang baru, pemerintah telah memprogramkan Sistem
Manajemen Keselamatan (Safety Management System/SMS) di bidang
penerbangan. SMS merupakan prosedur yang dikeluarkan oleh peme-
rintah bekerja sama dengan para parktisi dan ilmuwan untuk meneli-
ti dan menemukan permasalahan dan mengurangi risiko pada dunia
penerbangan. SMS selalu dikaji dan dievaluasi secara berkala yang
dipimpin dan dipertanggungjawabkan oleh Presiden Direktur Perusa-
haan Penerbangan sebagai pemegang komitmen safety.
Revisi dan evaluasi telah dilaksakan oleh pemerintah melalui Per-
aturan Keselamatan Penerbangan/CASR untuk memastikan dasar
hukum bahwa Sistem Manajemen Keselamatan berupa tanggung ja-
wab keselamatan oleh Presiden Direktur, untuk mengidentifikasi ba-
haya, menganalisis risiko dan tindak lanjut mengurangi risiko, serta
berkewajiban melaksanakan evaluasi keselamatan secara berkala,
dengan menghitung indikator keselamatan, melaksanakan evaluasi
internal, merencanakan emergency response yang dituangkan dalam
buku panduan keselamatan penerbangan.
Maskapai menyiapkan panduan keselamatan sesuai dengan per-
syaratan CASR dan dilaksanakan secara konsisten dan kontinu serta
memastikan komitmen keselamatan (safety) kepada Pemerintah de-
ngan menetapkan program safety target yang terukur dan dapat di-
laksanakan (acceptable safety).
1. Kewajiban Maskapai penerbangan (Keselamatan penerbangan)
Di dalam amanat UU Nomor 15 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2001, Menteri Perhubungan telah menetapkan Program
Airmanship.indd 127 5/9/19 1:47 PM
1 2 8 A I R M A N S H I P
Pengamanan Penerbangan Sipil yang terdiri dari Program Pengamanan
Bandar Udara dan Program Pengamanan Perusahaan Angkutan Udara.
Berdasarkan Program Pengamanan Perusahaan Angkutan Udara,
dalam pengoperasiannya setiap maskapai diwajibkan membuat Airline
Security Programme (ASP) dan Airline Manual (AM) yang memuat anta-
ra lain:
a. Prosedur pengoperasian pesawat udara
b. Personel pesawat udara
c. Fasiltas peralatan pesawat udara
d. Airline Contingency Plan (untuk ASP)
e. Airline Emergency Plan (untuk Airline Manual)
2. Tanggung jawab dan pengawasan pemerintah
Ditjen Hubud Kemenhub RI bertanggung jawab terhadap keselamatan
penumpang di udara antara lain:
a. Menjamin bahwa sarana transportasi yang disediakan memenuhi
persyaratan keselamatan penerbangan secara konsisten dan terus
menerus.
b. Secara konsisten dan terus menerus melakukan pengawasan de-
ngan melakukan pengecekan terhadap pemenuhan peraturan
perundang-undangan dan peraturan keselamatan penerbangan
yang berlaku;
c. Penegakan hukum secara konsisten terhadap pelanggaran peme-
nuhan regulasi secara admnisistrsi berupa pencabutan sertifikat.
Sedangkan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
antara lain:
a. Monitoring secara terus menerus terhadap pelaksanaan kegiatan
usaha jasa angkutan udara. Hasil monitoring tersbut akan dieva-
luasi untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dalam dunia
penerbangan. Apabila terjadi pelanggaran hukum maka diberikan
peringatan awal supaya maskapai atau personel tersebut tidak
Airmanship.indd 128 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 2 9
mengulanginya. Jika masih terjadi pelanggaran secara berulang-
ulang maka akan diberikan sanksi administratif berupa pencabut-
an izin atau rute sesuai peraturan perundang-undangan.
b. Pemerintah melakukan pengawasan dengan tahapan:
Tahap I
Melaksanakan proses sertifikasi sesuai dengan persyaratan kese-
lamatan penerbangan terhadap organisasi operator, organisasi
perawatan pesawat udara, organisasi pabrikan, organisasi pendi-
dikan kecakapan, personil penerbangan (pilot, teknisi, awak kabin,
petugas pemberangkatan/dispatcher) dan produk aeronautika
(pesawat udara, mesin, baling-baling), yang dikeluarkan berupa
sertifikat.
Tahap II
Melakukan pengawasan untuk memastikan pemegang sertifikat
(certificate holder) tetap konsisten sesuai dengan persyaratan ke-
selamatan penerbangan sama dengan pada waktu sertifikasi,
melalui pelaksanaan antara lain: audit secara berkala; surveillance;
ramp check; en-route check; dan proficiency check.
h. KECELAKAAn pESAwAT
Menurut ICAO, pengertian kecelakaan pesawat udara sipil (“accident”
atau “kecelakaan”) adalah ”suatu kejadian yang berhubungan dengan
pengoperasian pesawat udara yang terjadi sejak seseorang naik pesa-
wat udara untuk maksud penerbangan sampai suatu waktu ketika
semua orang telah meninggalkan (turun dari) atau keluar dari pesawat
udara”. Menurut (ICAO Annex 13, 2001):
1. Seseorang meninggal atau mengalami luka serius sebagai akibat
dari:
i. Berada di dalam pesawat, atau
ii. Kontak langsung dengan bagian pesawat, termasuk bagian
yang terlepas dari pesawat, atau
Airmanship.indd 129 5/9/19 1:47 PM
1 3 0 A I R M A N S H I P
iii. Terkena dampak langsung/jet blast.
Kecuali jika luka-luka tersebut disebabkan oleh penyebab
alamiah (natural causes) diri sendiri atau orang lain atau ter-
jadi pada penumpang gelap yang berada di bagian pesawat
yang tidak diperuntukkan bagi penumpang/crew.
2. Pesawat mengalami kerusakan atau kegagalan struktur yang:
i. Memengaruhi kekuatan struktur, karakteristik dan performa
terbang pesawat, dan
ii. Memerlukan perbaikan besar atau penggantian komponen
yang rusak. Kecuali untuk kegagalan atau kerusakan mesin,
dengan kerusakan mesin, cowling dan accessories, kerusakan
pada propeller, wing tip, antenna, tires, brakes, fairings, lubang
kecil/dekukan pada kulit (skin) pesawat.
3. Pesawat itu hilang atau sama sekali tidak terjangkau. Pesawat
udara dianggap hilang, apabila operasi Search And Rescue (SAR)
resmi telah dinyatakan berakhir dan pesawat udara tersebut tidak
dapat diketemukan.
Untuk pemahaman yang lebih baik dalam mendefinisikan kecela-
kaan pesawat udara, beberapa klasifikasi tentang tingkat keparahan
dari kecelakaan pesawat ”aircraft accident” atau tingkat keseriusan
dari cedera ”injury” telah diidentifikasi. National Transport Safety Bu-
reau (NTSB) mengkategorikan menjadi 4 (empat) tingkatan berdasarkan
keseriusancedera(NTSB,2006).MeskipunBoeingdanICAO(Annex13)
tidak secara gamblang menjelaskan hal tersebut, mereka juga menye-
butkan beberapa definisi tingkat keparahan dalam klasifikasi yang
mereka buat, di mana:
1. Fatal and major injury.
NTSB menyatakan bahwa “aircraft accident” dianggap sesuatu yang
fatal jika ada cedera apapun yang menyebabkan kematian dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal terjadinya kecelakaan
(NTSB, 2006). Definisi ini sejalan dengan pengertian yang dipakai
olehICAO(Annex13,2001)danBoeing(Boeing,2012).Boeingjuga
Airmanship.indd 130 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 3 1
menyebutkan bahwa kecelakaan pesawat masuk dalam kategori
“fatal and major injury” jika pesawat tersebut hancur, atau banyak
menimbulkan korban jiwa, atau hanya ada satu kematian namun
pesawat mengalami kerusakan parah “substantial damage” (Boe-
ing, 2012). Kategori ini sebenarnya mirip dengan pengertian dari
fatal accident. Dalam pengertian ini hanya menambahkan kondisi
pesawat setelah terjadinya kecelakaan.
2. Serious injury.
Dalam menentukan pengertian tentang serious injury, ICAO dan
Boeing setuju menempatkan enam kategori yang termasuk dalam
pengertian serious injury sedangkan NTSB hanya menyebutkan lima
dan tidak termasuk kategori terakhir yang dipakai oleh ICAO dan
Boeing.ICAO(Annex13,2001)danBoeing(Boeing,2012)mendefi-
nisikan serious injury sebagai suatu luka yang diderita oleh sese-
orang dalam suatu “accident” antara lain:
i. Membutuhkan perawatan di rumah sakit selama lebih dari 48
jam, sampai dengan 7 hari setelah kecelakaan terjadi;
ii. Berakibat patah tulang (tidak termasuk patahnya jari-jari ta-
ngan, jari-jari kaki atau hidung);
iii. Berakibat pendarahan hebat, sakit pada saraf, otot, kerusakan
urat;
iv. Cedera pada organ dalam;
v. Mengakibatkan luka bakar tingkat 2 atau 3 atau luka bakar
yang memengaruhi lebih dari 5% permukaan tubuh;
vi. Meliputi zat-zat yang menginfeksi dengan penyembuhan yang
memakan waktu lama atau cedera akibat radiasi.
NTSB (2006) menerjemahkan serious injury seperti luka yang
(1) Membutuhkan perawatan di rumah sakit selama lebih dari 48
jam, sampai dengan 7 hari setelah kecelakaan terjadi; (2) Berakibat
patah tulang (tidak termasuk patahnya jari-jari tangan, jari-jari
kaki atau hidung); (3) Berakibat pendarahan hebat, sakit pada
saraf, otot, kerusakan urat; (4) Cedera pada organ dalam; (5) Meng-
Airmanship.indd 131 5/9/19 1:47 PM
1 3 2 A I R M A N S H I P
akibatkan luka bakar tingkat 2 atau 3 atau luka bakar yang me-
mengaruhi lebih dari 5% permukaan tubuh.
3. Minor.
Luka yang tidak termasuk dalam kategori fatal and major injury
maupun serious injury (NTSB, 2006). Tidak ada istilah minor injury
dalam pengertian yang dikeluarkan oleh ICAO dan Boeing.
4. None.
Tidak mengalami luka. Serious Incident, ICAO (Annex 13, 2001)
mengartikan serious incident sebagai suatu “incident” yang me-
nyangkut keadaan dan yang mengindikasikan bahwa suatu “acci-
dent” nyaris terjadi. Perbedaan antara suatu “accident” dengan
suatu “serious incident” hanya terletak pada akibatnya. Untuk
menjelaskan perbedaan tersebut, ICAO mengklasifikasikan bebe-
rapa kejadian yang membahayakan, antara lain disebabkan:
a. Kegagalan fungsi atau kerusakan pada Flight Control System;
b. Ketidakmampuan dari Flight Crew Member untuk menjalankan
tugas secara normal yang diakibatkan oleh adanya luka atau
sakit;
c. Kerusakan komponen struktur turbin mesin kecuali kompresor
dan daun-daun turbin dan baling-baling;;
d. Kebakaran
e. Hampir terjadinya tabrakan pesawat di udara (near- miss);
f. Barang berbahaya (dangerous good)
g. Untuk pesawat multi mesin berbadan lebar/besar (mempunyai
maksimum berat tinggal landas lebih dari 12.500 lbs).
h. Kerusakan sistem listrik dalam penerbangan yang membutuh-
kan bantuan emergency bus yang digerakkan oleh sumber daya
dukung seperti baterai, unit daya tambahan/APU (Auxiliary
Power Unit) atau generator yang digerakan oleh udara untuk
mempertahankan kemudi terbang atau instrumen-instrumen
penting.
i. Kehilangan terus menerus tenaga atau daya dorong yang di-
hasilkan oleh satu mesin atau lebih.
Airmanship.indd 132 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 3 3
j. Evakuasi dari pesawat udara yang memakai sistem pintu ke-
luar dari pesawat secara darurat (emergency exit).
Sementara itu untuk pengertian insiden pesawat (aircraft incident)
menurut ICAO, NTSB, dan Boeing adalah “suatu kejadian selain dari-
pada suatu “accident” yang terkait dengan pengoperasian suatu pe-
sawat udara yang berdampak atau dapat berdampak terhadap kese-
lamatanataspengoperasiantersebut”ICAOAnnex13(2001)danBoe-
ing (2012).
i. ThE SwiSS ChEESE MoDEL
Keselamatan penerbangan sangat erat hubungannya dengan teori-
teori yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan. Secara umum para
ahli menyampaikan bahwa terjadinya keselamatan penerbangan sama
dengan “The Swiss Cheese Model” yang diciptakan oleh Reason (1990).
Dalam teorinya digambarkan empat tingkat sumber penyebab terja-
dinya kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia yang saling
memengaruhi, seperti terlihat pada gambar 2.9.
Tingkat pertama dalam The Swiss Cheese model menggambarkan
Unsafe Acts (tindakan tidak aman) dalam operasi pelaksanaan pener-
bangan yang mengakibatkan kecelakaan. Dalam penerbangan dikenal
sebagai kesalahan aircrew/pilot, level ini adalah di mana sebagian
besar investigasi kecelakaan memfokuskan upaya tim dan di mana
sebagian besar faktor-faktor penyebab kecelakaan terungkap. Umum-
nya sikap atau tindakan aircrew yang secara langsung terkait dengan
kecelakaan yang diwakili sebagai “lubang” dalam keju. Level ini dise-
but sebagai Active Failure (kegagalan aktif).
Airmanship.indd 133 5/9/19 1:47 PM
1 3 4 A I R M A N S H I P
gambar 4.2. the Swiss Cheese Model
Sumber: http://www.rutgersscholar.rutgers.edu
Namun, yang membuat “The Swiss Cheese Model” sangat berguna
dalam penyelidikan kecelakaan, adalah bahwa hal itu memaksa inves-
tigator untuk juga mencari Latent Failure (kegagalan laten) dalam
urutan kausal kejadian. Tidak seperti kegagalan aktif, kegagalan laten,
mungkin tak terlihat/terbengkalai atau tidak terdeteksi selama berjam-
jam, hari, minggu, atau bahkan lebih lama, sampai suatu hari mereka
memengaruhi secara negatif aircrew yang tidak curiga.
Dalam konsep kegagalan laten, terlihat tiga lagi tingkatan kela-
laian manusia dalam The Swiss Cheese Model. Salah satunya adalah
kondisi aircrew karena memengaruhi kinerja, disebut sebagai Precon-
dition for Unsafe Acts (pengondisian tindakan tidak aman), dalam
tingkat kedua ini melibatkan kondisi seperti kelelahan mental serta
komunikasi dan koordinasi praktik yang buruk, sering disebut sebagai
Crew Resource Management (CRM) atau manajemen sumber daya crew.
Tidak mengherankan, jika lelah aircrew akan berkomunikasi dan meng-
koordinasikan dengan kurang baik terhadap orang lain di kokpit atau
individu eksternal ke pesawat (misalnya, terhadap lalu lintas penga-
Airmanship.indd 134 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 3 5
wasan udara, pemeliharaan dan lain-lain), sehingga keputusan yang
buruk dibuat dan kesalahan akhirnya terjadi.
Tapi mengapa kelalaian komunikasi dan koordinasi dapat terjadi?
Dalam banyak kasus, kelalaian dalam CRM yang baik dapat ditelusuri
sampai dengan Unsafe Supervision (pengawasan tidak aman), yaitu
tingkat ketiga kelalaian manusia. Sebagai contoh misalnya, dua pilot
yang kurang berpengalaman (dan bahkan mungkin di bawah rata-rata)
dipasangkan satu sama lain dan ditugaskan pada penerbangan dalam
cuaca buruk di malam hari, dalam hal ini sangat tidak mengherankan
jika berakibat tragis. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk,
jika praktik awak dipertanyakan ini ditambah dengan kurangnya pe-
latihan kualitas CRM, potensi terjadinya komunikasi buruk dan pada
akhirnya, kesalahan aircrew, diperbesar. Dalam arti bahwa, crew di-
kondisikan untuk kegagalan di mana koordinasi crew dan hasilnya
pada akhirnya akan dikompromikan. Hal ini tidak mengurangi peran
aircrew, hanya saja intervensi strategis terletak lebih tinggi dalam
sistem.
Model Reason tidak berhenti di tingkat pengawasan, organisasi itu
sendiri dapat berdampak kinerja yang di semua tingkatan. Misalnya,
pada saat penghematan fiskal, dana sering dipotong, dan sebagai ha-
silnya, pelatihan dan waktu penerbangan yang dibatasi. Akibatnya,
supervisor sering dibiarkan tanpa pilihan lain kecuali untuk tugas “non-
proficient” pilot dengan tugas-tugas kompleks. Dengan tidak adanya
CRM yang baik, dalam training, komunikasi dan kegagalan koordinasi
akan muncul dan dapat memengaruhi kinerja serta menimbulkan ke-
salahan aircrew. Oleh karena itu, masuk akal bahwa, jika tingkat kece-
lakaan ditargetkan berkurang melampaui level saat ini, investigator
dan analis yang sama harus memeriksa urutan kecelakaan secara ke-
seluruhan dan memperluasnya sampai di luar kokpit. Pada akhirnya,
faktor penyebab di semua tingkatan dalam organisasi harus diatasi jika
investigasi kecelakaan dan pencegahan sistem ingin berhasil.
Salah satu contoh penggunaan model ini dalam meneliti penyebab
terjadinya suatu kecelakaan dapat dijelaskan kejadian Adam Air yang
Airmanship.indd 135 5/9/19 1:47 PM
1 3 6 A I R M A N S H I P
mengalami kecelakan tanggal 1 bulan Januari 2007. Adam Air dengan
menggunakan pesawat Boing 737 dengan nomor penerbangan DHI 574
PK-KKW terbang dari Surabaya menuju Manado mengalami kecelakan
karena kelalaian pilot dan sistem navigasi penerbangan.
Menurut Mack1, analisis kegagalan bermanfaat bagi pemilik usaha
dalam dua cara. Pertama, menentukan mengapa masalah terjadi se-
hingga memungkinkan untuk mengambil langkah-langkah tertentu
untuk memastikan bahwa masalah tertentu tidak akan terjadi lagi.
Kedua, analisis kegagalan membantu mengidentifikasi kekurangan
struktural yang mendorong terjadinya lingkungan rawan (latent en-
vironment) menuju kecelakaan. Misalnya, pengaruh organisasi, seper-
ti mengabaikan hal umum untuk masalah keamanan, mungkin ber-
kontribusi terhadap kecelakaan kerja.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Mack bahwa, pengaruh negatif dalam
organisasi dapat dimulai dari sikap yang mendorong perilaku yang
tidak aman, prosedur pelatihan yang tidak efektif sampai dengan
perilaku yang menghambat komunikasi. Dengan kata lain, pengaruh
organisasi yang berkontribusi terhadap kegagalan adalah kondisi
umum, bukan perilaku atau pola pikir individu yang terisolasi.
j. huBungAn TEorETiS AnTArA AirMAnShip piLoT DEngAn iMpLEMEnTASi KEBijAKAn puBLiK
Implementasi Kebijakan Publik pada prinsipnya merupakan cara agar
sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart men-
jelaskan bahwa implementasi kebijakan publik dipandang dalam
pengertian luas merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai
aktor, organisasi, prosedur dan etnik yang bekerja bersama-sama
1 (http://smallbusiness.chron.com/organizational-influences-swiss-cheese-effect-37015.html) accessed on July 20th, 2016
Airmanship.indd 136 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 3 7
untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan. Jika dikaitkan dengan penerbangan maka tujuan utama
dari implementasi kebijakan publik adalah mencapai tujuan kesela-
matan penerbangan.Menurut VanMeter dan Van Horn pengertian
implementasi kebijakan publik dan faktor-faktor yang memengaruhi
keberhasilan suatu implementasi mengemukakan beberapa hal, yakni:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan. Ukuran dan Tujuan kebijakan yang
berhubungan dengan penerbangan adalah keselamatan pener-
bangan. Faktor yang paling memengaruhi keselamatan penerbang-
an adalah pilot (Ngarwesti, 2011) senada dengan Craig (2012) yang
menyatakan bahwa kecelakaan penerbangan sangat berhubungan
dengan Airmanship pilot. Maka secara teoretis dapat dijelaskan
bahwa faktor implementasi kebijakan publik dalam keselamatan
penerbangan mempunyai hubungan dengan Airmanship Pilot.
2. Sumber daya kebijakan. Sumber daya kebijakan merupakan keber-
hasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi hal-hal
seperti pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu
(Agustino, 2006). Jika dikaitkan dengan implementasi kebijakan
publik yang berhubungan dengan penerbangan maka sumber daya
manusia yang berperan dalam implementasi kebijakan publik
adalah pilot. Untuk mengetahui sumber daya seorang pilot dapat
dilihat dari teori bangunan airmanship pilot yaitu enam pillar of
knowledge yaitu diri sendiri, pesawat, tim, lingkungan, risiko, dan
misi.
3. Sifat Badan/Instansi pelaksana. Ciri-ciri Pelaksana atau badan
berpengaruh terhadap kinerja implementasi kebijakan publik ka-
rena dibutuhkan kecocokan antara sistem dengan budaya kerjanya.
Menurut Subarsono (2006) kualitas dari suatu kebijakan dipenga-
ruhi oleh kualitas atau dari pelaksana seperti tingkat pendidikan,
kompetensi dan kemampuan dalam bidangnya, pengalaman
kerja, dan integritas moralnya. Teori Bangunan Airmanship juga
menyatakan hal yang sama yaitu bahwa airmanship mempunyai
enam sifat yaitu Judgement (Penilaian), Knowledge of Situational
Airmanship.indd 137 5/9/19 1:47 PM
1 3 8 A I R M A N S H I P
Awareness (Kesadaran Situasional), In-depth Knowledge (pengeta-
huan), Airmanship is founded on skills (keahlian), Airmanship is
founded on proficiency (kemampuan), dan Discipline (disiplin).
4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan
pelaksanaan. Menurut Hogwood dan Gunn yang menyatakan
bahwa: Koordinasi tidak hanya bagaimana persoalan menyampai-
kan informasi ataupun membangun sistem administrasi yang
cocok, melainkan berhubungan dengan permasalahan yang lebih
mendasar, yaitu bagaimana praktik pelaksanaan kebijakan. Faktor
ini sudah tercermin dalam enam sifat dari Airmanship.
5. Sikap para pelaksana. Menurut Van Meter dan Van Horn yang
menyatakan bahwa karakteristik para pelaksana adalah mencakup
berbagai hal dalam birokrasi seperti struktur birokrasi, aturan dan
norma, dan budaya dan kultur hubungan kerja. Sikap para pelak-
sana dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pe-
laksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin. Jika dika-
takan dengan teori airmanship maka displin merupakan Corners-
tone atau bagian paling dasar dari bangunan Airmanship.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik. Dalam menilai kinerja
keberhasilan implementasi kebijakan yang telah dijabarkan oleh
Meter dan Horn yaitu berapa besar pengaruh lingkungan luar ikut
berpartisipasi dalam mewujudkan keberhasilan kebijakan publik
yang telah ditetapkan. Lingkungan eksternal tersebut dapat beru-
pa lingkungan ekonomi, keluarga, sosial dan politik. Lingkungan
tersebut merupakan faktor yang menentukan untuk mencapai
keberhasilan suatu implementasi. Dalam teori tentang Airmanship
maka pengetahuan tentang lingkungan tercakup dalam enam
Pillar of knowledge of Airmanship.
Untuk dapat melihat hubungan Kebijakan Publik dengan Airman-
ship, perlu diketahui terlebih dahulu definisi serta apa yang dimaksud
dengan Airmanship. Sebagaimana disebutkan sebelumnya di atas,
tentang teori Airmanship, dapat disimpulkan bahwa Airmanship me-
Airmanship.indd 138 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 3 9
rupakan nilai-nilai dan sikap yang harus dimiliki oleh seorang Pilot
guna mencapai kesempurnaan seorang Pilot dalam menjalankan tugas
dan fungsinya serta agar tercapai tujuan keselamatan penerbangan.
Sehingga hubungan Kebijakan Publik dengan Airmanship adalah agar
tercapainya keselamatan penerbangan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 4.3.
Dalam gambar terlihat ada 3 (tiga) jenis alur yang menggambarkan
hubungan antara Kebijakan Publik dengan Airmanship, yaitu (1) output
yang diharapkan, (2) penekanan proses kebijakan publik dan (3) pe-
ngetahuan pilot (knowledge in an Airmanship).
Hubungan antara Kebijakan Publik dan Airmanship sebagaimana
dijelaskan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kebijakan publik guna keselamatan penerbangan, yang dikeluarkan
baik oleh regulator maupun operator, ada yang bersifat umum
(berkaitan tidak langsung dengan Pilot) maupun yang khusus
(berkaitan langsung dengan Pilot).
b. Kebijakan publik yang bersifat umum, walaupun tidak berkaitan
langsung dengan Pilot, wajib diketahui dan dipahami oleh seorang
Pilot, dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan seorang
Pilot khususnya yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan.
c. Seorang Pilot wajib mengetahui dan memahami kebijakan- kebi-
jakan publik baik yang berhubungan langsung maupun tidak
berhubungan langsung dengan kedirgantaraan maupun kesela-
matan penerbangan namun dapat berdampak pada keselamatan
penerbangan, hal ini sesuai dengan pillar of knowledge yang ada
pada Airmanship.
Beberapa contoh keselamatan penerbangan yang berkaitan dengan
hubungan antara Airmanship dengan Kebijakan Publik adalah:
a. Penerbangan pesawat Air Asia QZ8501 yang mengalami kecelaka-
an di Selat Karimata dari Bandara Juanda Surabaya menuju Singa-
pura pada 28 Desember 2012 tidak memiliki izin dari institusinya.
Izin untuk rute penerbangan dari Surabaya ke Singapura pada hari
Airmanship.indd 139 5/9/19 1:47 PM
1 4 0 A I R M A N S H I P
Senin, Selasa, Kamis dan Sabtu dalam jadwal musim dingin. Pada
pelaksanaannya Air Asia melakukan penerbangan pada Senin,
Rabu, Jumat, dan Minggu (Kemenhub, 2015).
gambar 4.3. Hubungan Kebijakan Publik dengan Airmanship
Kebijakan Publik
Keselamatan Penerbangan
PILOT
AIRMANSHIP
Legend:
Output yang diharapkan
Penekanan kebijakan publik
Output yang diharapkanPenekanan kebijakan publikPengetahuan pilot (Knowledge of pilot in an )
b. Penerbangan pesawat Airfast MD 85 rute dari Denpasar ke Ujung
Pandang yang melakukan pemalsuan flight approval atau izin
terbang pada 26 Januari 2016, Kemenhub (2016).
c. Pendaratan pesawat Boeing 737 seri 200 dari Denpasar ke Tambo-
laka pada 11 Februari 2006 untuk membantu evakuasi 98 penum-
pang dari Tambolaka ke Ujung Pandang tidak sesuai dengan
(non-compliance) peraturan. Hal ini dikarenakan kemampuan
landasan Tambolaka hanya untuk pesawat udara ukuran Fokker-28,
Kemenhub (2006).
Airmanship.indd 140 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 4 1
K. FrAME worK
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai frame work ke-
selamatan penerbangan. Sesuai dengan teori organisasi, bahwa dalam
suatu organisasi tidak terlepas dari sebuah perilaku organisasi, di mana
perilaku organisasi tersebut merupakan nilai-nilai yang menentukan
kinerja, keberhasilan maupun kegagalan sebuah organisasi.
Teori Airmanship menjelaskan bahwa seorang pilot harus meme-
gang nilai-nilai yang mendasar dalam Airmanship, agar dapat mence-
gah terjadinya kecelakaan penerbangan. Sedangkan di dalam dunia
penerbangan, posisi seorang pilot menjadi bagian dari organisasi
penerbangan (contoh: Maskapai Penerbangan untuk Penerbangan
Sipil). Maka berdasarkan hal tersebut, seorang pilot tidak dapat dile-
paskan dari bagian Organisasinya, sehingga kesalahan seorang pilot
selain terletak pada dirinya sendiri, juga tidak terlepas dari kesalahan
organisasi bilamana perilaku organisasinya tidak baik.
Sedangkan secara perilaku individu, seorang pilot wajib memiliki
Airmanship sebagai nilai-nilai seorang pilot dalam rangka meningkat-
kan keselamatan penerbangan.
Dalam upaya untuk mencapai keselamatan penerbangan, terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi tercapainya kondisi tersebut.
Dasar pemikiran dari segi Organisasi, bahwasanya ada dua faktor
utama yang memengaruhi keselamatan penerbangan, yaitu Operator
(termasuk di dalamnya pilot) dan Regulator. Masing-masing memiliki
pengaruh besar dan langsung atas terciptanya keselamatan pener-
bangan. Ketika dilihat dari segi perilaku, maka perilaku dari masing-
masing organisasi secara tidak langsung akan menentukan terjadinya
kecelakaan penerbangan. Dan khusus bagi seorang pilot bilamana
kurang memiliki perilaku pilot yang baik dalam hal ini Airmanship,
maka hal ini juga akan memicu terjadinya kecelakaan penerbangan.
Sebuah perilaku dapat diarahkan sesuai dengan tujuan keselamat-
an penerbangan dengan suatu pedoman dalam bentuk kebijakan
publik yang jelas dan baku sehingga dengan mudah dapat dilihat bi-
lamana terjadi sebuah penyimpangan atau kesalahan.
Airmanship.indd 141 5/9/19 1:47 PM
1 4 2 A I R M A N S H I P
Sejalan dengan penjelasan sebelumnya, bahwa hubungan Kesela-
matan Penerbangan berkaitan langsung dengan Regulator dan Ope-
rator (termasuk di dalamnya Pilot). Perilaku Organisasi merupakan
perilaku dari semua personel yang terlibat dalam organisasi dalam hal
ini Operator dan Regulator, sehingga setiap personel tersebut memiliki
keterkaitan dengan keselamatan penerbangan. Sedangkan Airmanship
merupakan nilai yang harus dimiliki seorang pilot dalam melaksanakan
tugasnya agar keselamatan penerbangan tercapai. Maka dapat disim-
pulkan bahwa setiap pihak dalam frame work penerbangan memiliki
andil baik langsung maupun tidak langsung atas keselamatan pener-
bangan. Sebagai acuan bagi pihak operator (termasuk di dalamnya
pilot) dalam melaksanakan keselamatan penerbangan adalah kebijak-
an publik yang berupa Undang-Undang dan peraturan-peraturan
terkait dengan penerbangan yang diterbitkan oleh regulator, lembaga,
maupun badan nasional dan internasional. Frame work keselamatan
penerbangan dapat dilihat pada gambar 4.4.
Perhatian aspek keselamatgan penerbangan pada pilot terdiri
aspek perilaku, kecerdasan emosi, efikasi diri dan Airmanship yang
berhubungan pada keselamatan penerbangan. Selain aspek-aspek
tersebut di atas, penulis juga memberikan perhatian pada kelengkap-
an dimensi Airmanship untuk dikaji, mengingat Airmanship menjadi
jiwa yang tidak dapat dilepaskan dari seorang pilot, khususnya me-
ngenai dimensi pengetahuan apakah pengetahuan tentang aturan-
aturan penerbangan berskala nasional maupun internasional dapat
dijadikan pedoman yang harus dipatuhi. Untuk itu perlu diteliti hu-
bungan implementasi kebijakan publik dalam indikator pengetahuan
pada Airmanship.
Airmanship.indd 142 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 4 3
gambar 4.4. Frame Work Keselamatan Penerbangan.
Operator
Pilot
Regulator Perilaku
Organisasi
Airmanship
Implementasi Kebijakan
Publik
Keselamatan Penerbangan
Organisasi Perilaku
Organisasi
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan hubungan antara peri-
laku, kecerdasan emosi, efikasi diri terhadap Airmanship pilot, hu-
bungan Airmanship pilot terhadap implementasi kebijakan publik dan
hubungan implementasi kebijakan publik terhadap keselamatan pe-
nerbangan. Selain itu bagian ini juga menjelaskan peran organisasi
dan pengawasan terhadap keselamatan penerbangan.
Kemampuan mengumpulkan berbagai informasi yang merupakan
cerminan implementasi kebijakan publik seharusnya melekat pada
pilot yang memiliki Airmanship tinggi. Implementasi kebijakan publik
sebagai suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh berbagai aktor atau
organisasi pada akhirnya akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran kebijakan, dianggap memiliki pengaruh terhadap
Airmanship pilot. Oleh karena itu perlu ditanamkan pengertian- peng-
ertian terkait dengan pengetahuan tentang aturan-aturan penerbang-
an internasional maupun nasional yang berdampak kepada kebijakan
Airmanship.indd 143 5/9/19 1:47 PM
1 4 4 A I R M A N S H I P
publik. Nrangwesti (2011) dalam tinjauannya tentang aspek yuridis
normatif pada pilot, menyatakan bahwa pilot pesawat udara harus
menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, yang dapat di-
anggap suatu implementasi kebijakan publik. Seorang pilot dengan
Airmanship yang tinggi, akan disiplin dalam melaksanakan pekerja-
annya sebagaimana telah diatur dalam kebijakan publik dan selalu
akan menaati seluruh isi kebijakan sebagai acuan pengambilan kepu-
tusan pada proses penerbangan.
Airmanship tidak secara langsung dimiliki oleh seorang dengan
profesi pilot namun perlu proses pembelajaran, pemahaman dan jam
terbang untuk menjiwainya. Faktor perilaku, kecerdasan emosi dan
efikasi diri merupakan hal yang dianggap cukup dominan memenga-
ruhi Airmanship pilot. Perilaku manusia secara biologis dapat diten-
tukan melalui faktor genetikanya. Struktur biologis manusia seperti
sistem syaraf dan sistem hormonal juga memiliki hubungan terhadap
perilaku. Dalam keadaan tertentu perilaku manusia dapat memenga-
ruhi kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Sebagai contoh
perilaku manusia yang merupakan bawaan yaitu rasa lapar yang
dapat memengaruhi Airmanship dari seorang pilot. Tvaryans dan
MacPherson (2009) menjelaskan bahwa pilot error karena fatigue
tidak dapat diturunkan melalui pemberian waktu istirahat lebih lama.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebiasaan (perilaku) yang lebih
berpengaruh terhadap pilot error. Selain itu apabila seorang pilot
mendapatkan situasi yang abnormal atau emergency di dalam satu
penerbangan maka kebiasaan melaksanakan prosedur dalam meng-
antisipasi situasi tersebut menunjukkan tingkat kematangan Air-
manship pilot.
Airmanship sangat diperlukan oleh seorang pilot untuk dapat eksis
atau diakui keberadaannya dalam suatu penerbangan. Hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh kecerdasan emosi yang ditandai dengan pe-
ngendalian diri sendiri. Kecerdasan emosi yang meliputi pengendalian
diri, memahami diri sediri, memahami orang lain, kesanggupan me-
Airmanship.indd 144 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 4 5
ngendalikan dorongan hati dan emosi, tidak terlalu melebih-lebihkan
kesenangan, merasa empati dan kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri. Goleman (2000) mengatakan bahwa kecerdasan emosi me-
nyumbang 80% dari faktor penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan
emosi sangat perlu untuk menghindari jangan sampai pilot tidak ter-
kendali emosinya pada saat dia mengalami kemarahan atau ketidak-
puasan. Faktor emosi berperan penting bagi pilot dalam mengatasi
beban kerja yang tinggi. Apabila tekanan stres yang dialami seorang
pilot berada di atas kemampuan sang pilot untuk menghadapinya,
maka hal ini akan menurunkan kinerja dari pilot tersebut. Dampak
penurunan kinerja tersebut selanjutnya dapat berpotensi menimbulkan
konsekuensi negatif dalam penerbangannya, termasuk meningkatnya
potensi terjadinya kecelakaan Thom (1994). Kemampuan mengatasi
stres, mengendalikan dorongan hati, emosi dan menunda kepuasan
akan memberikan pengaruh positif terhadap Airmanship. Efikasi diri
merupakan bagian faktor kepribadian yang memengaruhi seorang pilot
untuk melihat sampai sejauh mana keyakinan pada kemampuan yang
dimiliki oleh seorang pilot. Efikasi diri diperlukan oleh seorang pilot
untuk mengelola situasi-situasi yang akan datang. Bila seorang pilot
mempunyai efikasi diri yang rendah, maka keinginan untuk memper-
tahankan aspek Airmanship akan menjadi rendah. Sebagai contoh,
dalam pelaksanaan penerbangan pilot akan membutuhkan keyakinan
diri yang tinggi untuk menghadapi cuaca yang ekstrem, sehingga akan
memiliki kemampuan mengendalikan pesawatnya untuk terhindar dari
turbulensi, pergerakan vertikal massa udara (updraft dan downdraft)
yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Kondisi stres pada pilot juga
dapat menimbulkan hilangnya rasa efikasi diri dan mengakibatkan
suatu pekerjaan yang sebelumnya dapat ditangani menjadi sulit dita-
ngani atau bahkan tidak dapat ditangani sama sekali. Hal ini yang
mengakibatkan seorang pilot atau pilot yang memiliki keahlian di atas
rata-rata, terkadang dapat membuat keputusan yang salah (bad deci-
sion) saat mereka mengalami stres (Craig, 1992).
Airmanship.indd 145 5/9/19 1:47 PM
1 4 6 A I R M A N S H I P
Kemampuan seorang pilot dalam menggabungkan pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skill) dan pengalamannya (experience) yang
menyebabkan dirinya dapat selalu membuat keputusan yang baik
dalam segala situasi merupakan perwujudan Airmanship. Seorang
pilot yang memiliki sifat Airmanship dapat diandalkan dalam meng-
hadapi berbagai situasi, memiliki kemampuan pengambilan keputus-
an yang baik, punya landasan pengetahuan yang kuat dalam meng-
ambil keputusan dan mampu mengumpulkan berbagai informasi
sebelum mengambil keputusan, sehingga dipercaya dapat menjaga
keselamatan dirinya sendiri, pesawat, beserta awak dan para penum-
pangnya (Craig, 1992).
Airmanship merupakan suatu tuntutan umum yang harus dipe-
nuhi oleh seorang pilot dan tentu masih terdapat tuntutan-tuntutan
lain yang juga harus dipenuhi oleh seorang pilot tergantung macam
profesinya secara lebih spesifik. Dalam Pedoman Awak Pesawat Ga-
ruda Indonesia tahun 2001 menyebutkan beberapa standar yang
harus dipenuhi seorang pilot pesawat sipil atau komersil di antaranya
adalah kemampuan teknikal (menerbangkan pesawat dan memahami
karakteristik pesawat), kemampuan manajerial (bekerja dalam tim,
komunikatif, koordinatif), dan kemampuan konseptual (pengambil-
an keputusan dalam berbagai situasi). Para pilot membuat keputus-
an dalam suatu penerbangan yang dapat mengakibatkan menjadi
naik dan atau turun prestisenya. Para pilot akan memperoleh pujian
atau sebaliknya disalahkan dikarenakan telah membuat keputusan
yang salah sehingga terjadilah kecelakaan dalam penerbangan ter-
sebut.
Pilot pesawat komersil dengan Airmanship tinggi akan melayani
dan bertanggung jawab penuh terhadap penumpang yang dibawanya
beserta barang bawaan mereka. Pilot turut bertanggung jawab penuh
dalam menjaga nama baik perusahaan atau maskapai penerbangan
dan juga negara, sehingga mereka menyadari bahwa misi penerbang-
an yang dilakukan selalu membawa nama baik bangsa dan negara
Airmanship.indd 146 5/9/19 1:47 PM
F O R M AT K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 4 7
menuju keselamatan penerbangan nasional. Melalui Airmanship
pilot, masyarakat pengguna jasa penerbangan akan lebih memiliki
keyakinan yang besar akan keselamatan penerbangan pada suatu
misi penerbangan yang dipilihnya di seluruh wilayah Indonesia.
Airmanship.indd 147 5/9/19 1:47 PM
Airmanship.indd 148 5/9/19 1:47 PM
B a b V 1 4 9
Bab VVARIABEL DAN INDIKATOR
YANG BERKORELASI DENGAN KESELAMATAN PENERBANGAN
Airmanship.indd 149 5/9/19 1:47 PM
1 5 0 A I R M A N S H I P
Konsep keselamatan penerbangan di Indonesia masih jauh dari
cita-cita yang diharapkan. Beberapa masalah masih ditemui
dari instrumen-instrumen di lapangan yang jauh dari konsep
ideal sebagaimana dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya.
Maka dari itu, pada bagian ini penulis ingin menjelaskan variabel-
variabel dan indikator yang ada dalam aspek keselamatan penerbang-
an.Variabelbebasterdiriatasperilaku,kecerdasanemosi,danefikasi
diri, sedangkan variabel dependennya terdiri atas variabel kebijakan
publik, Airmanship pilot, dan keselamatan penerbangan. Hubungan
variabel itu kemudian dipetakan dalam tabel berikut.
tabel 5.1. Jenis variabel dan Indikator Penelitian
Jenis variabel Nama variabel Indikator
Independen
Perilaku (X1)
Kebiasaan (X11)
Respon atau Reaksi (X12)
Stimulus (X13)
Sikap (X14)
Kecerdasan Emosi (X2)
Mengelola Emosi Diri (X21)
Memotivasi Diri (X22)
Membina Hubungan (X23)
Menyesuaikan Diri (X24)
Efikasi Diri (X3)
Pengalaman dan Jam Terbang (X31)
Usaha dan Persistensi (X32)
Level Kemampuan (X33)
Generalisasi (X34)
Kekuatan Bertahan (X35)
Dependen
Airmanship Pilot (Y1)
Kemampuan Pertimbangan dan
Pengetahuan (Y11)
Koordinasi dan Pengambilan
Keputusan (Y12)
Memahami Lingkungan (Y13)
Mengenali Risiko (Y14)
Implementasi
Kebijakan Publik (Y2)
Perumusan Kebijakan (Y21)
Implementasi Kebijakan (Y22)
Pemantauan Kebijakan (Y23)
Evaluasi Kebijakan (Y24)
Keselamatan
Penerbangan (Y3)
Peraturan (Y31)
Pengawasan (Y32)
Penegakan Hukum (Y33)
Sistem Manajemen (Y34)
Airmanship.indd 150 5/9/19 1:47 PM
VA R I A B E L D A N I N D I K AT O R YA N G B E R K O R E L A S I . . . 1 5 1
Berdasarkan pengelompokan atau klasifikasi variabel dan indika-
tornya itu, maka untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detail,
kedua variabel itu dijabarkan sebagai berikut:
a) Perilaku, yang dimaksud dengan perilaku di sini adalah perilaku
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seorang pilot dan semua
tindakanyangdilakukanselamapenerbangan.Variabelinidiukur
dengan empat indikator yaitu kebiasaan, respons atau reaksi,
stimulus dan sikap, Skinner (2013).
i. Kebiasaan, merupakan kegiatan atu tindakan pilot untuk
mengisi waktu luang ketika terbang maupun ketika bergaul
dengan masyarakat atau lingkungan sekitar.
ii. Respons, merupakan kemampuan pilot untuk menghadapi
segala kemungkinan yang terjadi karena pengaruh luar mau-
pun dari lingkungannya.
iii. Stimulus, merupakan rangsangan atau aksi pilot ketika ada
pengaruh dari eksternal lingkungan baik yang mendukung
maupun mengganggu penerbangan.
iv. Sikap, adalah kemampuan pilot untuk menjadikan status atau
gambaran mental seorang pilot ketika menghadapi suatu
gejala atau fenomena.
b) Kecerdasan emosi, adalah kapasitas individual dalam hal menga-
tur emosi diri dan memperhatikan emosi orang lain, yang dinilai
olehindividuyangbersangkutan.Variabelinidiukurdenganempat
indikator yaitu mengelola emosi diri, memotivasi diri, membina
hubungan dan menyesuaikan diri atau adaptasi
i. Mengelola emosi diri, merupakan kemampuan seorang pilot
seseorang untuk mengontrol atau mengendalikan dan menge-
lola emosi dalam dirinya.
ii. Memotivasi diri, merupakan kemampuan untuk meningkatkan
dan memberikan motivasi untuk selalu memperbaiki kinerja,
memperbaiki peluang agar bisa sukses dan berkorban demi
tercapainya tujuan organisasi,
Airmanship.indd 151 5/9/19 1:47 PM
1 5 2 A I R M A N S H I P
iii. Membina hubungan, merupakan kemampuan untuk menjalin
hubungan sosial kepada teman bekerja atau yang lain dengan
mengelola hubungan dan membangun jaringan dengan orang
lain.
iv. Membina hubungan, merupakan kemampuan untuk menjalin
hubungan sosial kepada teman bekerja atau yang lain dengan
mengelola hubungan dan membangun jaringan dengan orang
lain.
v. Menyesuaikan diri, merupakan kemampuan beradaptasi dengan
mengatasi tekanan hidup atau kebutuhan, perubahan yang
terjadi dalam kaitannya dengan tuntutan diri dan lingkungan
pekerjaan agar tercapai suatu keadaan yang diharapkan.
c) Efikasi Diri, merupakan keyakinan dan kemampuan yang dimiliki
individu dalam mencapai tujuan dengan kesulitan tugas pada
berbagai kondisi, mampu berpikir secara positif, meregulasi diri,
dankeyakinanyangpositif.Variabelinidiukurdenganlimaindi-
kator yaitu pengalaman dan jam terbang, usaha dan persistensi,
level kemampuan, generalisasi, serta kekuatan bertahan.
i. Pengalaman dan Jam terbang. Pengalaman dan jam terbang
merupakan jumlah waktu yang telah digunakan pilot untuk
menerbangkan pesawat atau lama kerja.
ii. Usaha dan persistensi. Dapat diartikan sebagi kemampuan
atau tingkat kegigihan sesorang untuk mencari cara dalam
menyelesaikan masalah. Seseorang yang mempunyai usaha
dan persistensi yang tiggi mempunyai mental yang pantang
menyerah dan menggunakan segala tenaga dan akal pemikiran
serta kemampuannya untuk memecahkan masalah.
iii. Level Kemampuan. Level kemampuan dapat diukur melalui
tingkat kesulitan seseorang dalam menyelesaikan masalah.
Hal ini sangat mudah diukur dan dilihat dari sertifikat atau
surat keterangan dari pihak yang berhak mengeluarkannya.
Airmanship.indd 152 5/9/19 1:47 PM
VA R I A B E L D A N I N D I K AT O R YA N G B E R K O R E L A S I . . . 1 5 3
iv. Generalisasi. Dapat diartikan sebagai kemampuan lebih yang
tidak berkaitan secara langsung dengan profesi, sebagi contoh
seorang pilot yang mempunyai kemampuan bernyanyi dan
mempunyai jiwa seni yang tinggi maka disebut mempunyai
generalisasi yang baik.
v. Kekuatan bertahan, dapat didefinisikan sebagai endurance
untuk mencari cara dalam mengatasi hal yang sulit. Kekuatan
bertahan berkaitan dengan mental dan jiwa yang kuat untuk
tidak menyerah.
d) Airmanship pilot, adalah suatu model atau kerangka untuk meng-
klasifikasi keterampilan dan atribut yang merupakan bagian dari
Airmanship.Variabel inidiukurdenganempat indikatoryaituke-
mampuan pertimbangan dan pengetahuan, koordinasi dan peng-
ambilan keputusan, memahami lingkungan serta mengenali risiko.
i. Kemampuan Pertimbangan dan Pengetahuan merupakan
kemampuan mengaplikasikan pertimbangan dengan baik
dengan pengetahuan di atas rata-rata. Kemampuan dan pe-
ngetahuan pilot untuk mengoperasikan pesawat sesuai de-
ngan peraturan dan prosedur, yang menghasilkan keselamat-
an dan efisiensi operasi penerbangan secara optimal.
ii. Koordinasi dan Pengambilan Keputusan, koordinasi adalah
tindakan yang dilaksanakan oleh seseorang yang sederajat
untuk saling memberikan informasi dan untuk berkoordinasi,
mengatur dan menyepakati peran setiap orang dalam pelak-
sanaan tugas. Dan keberhasilan pihak yang satu tidak meng-
ganggu proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang
lainnya. Pengambilan keputusan merupakan tindakan mental
atau sikap untuk memilih segala kemungkinan dan alternatif
pengambilan keputusan. Kedua kemampuan ini mutlak harus
dijiwai pilot agar selalu mencapai tujuan yang telah dicanang-
kan.
Airmanship.indd 153 5/9/19 1:47 PM
1 5 4 A I R M A N S H I P
iii. Memahami Lingkungan, pemahaman dan pengertian seorang
pilot terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan baik itu
cuaca, keadaan masyarakat, lingkungan, dan pendukung pe-
nerbangan lainnya.
iv. Mengenali Risiko, kemampuan mengenali risiko-risiko yang
ada dengan berorientasi pada keselamatan penerbangan. Jika
terjadi masalah pada saat penerbangan, misalnya cuaca buruk,
ada risiko yang dipertimbangkan jika memilih bandara alter-
natif atau memaksakan untuk landing dengan kondisi yang
ada.
e) Implementasi Kebijakan Publik. Kebijakan adalah segala hal yang
telah ditetapkan oleh penguasa untuk dipatuhi/dikerjakan maupun
untuktidakdikerjakan.Variabelinidiukurdenganempatindikator
yaitu perumusan, implementasi, pengawasan, dan evaluasi (Dunn,
2003). Sedangkan implementasi merupakan penerapan atau apli-
kasi dari kebijakan yang dirumuskan. Grindle menjelaskan bahwa
keberhasilan implementasi tergantung dari perumusan atau isi
kebijakan (Content) dan Pelaksanaan (Context).
Berdasarkan teori Grindle, Dunn, dan Eastone, dll, maka penu-
lis menyimpulkan bahwa indikator kebijakan publik sama dengan
indikator implementasinya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka
indikator yang digunakan untuk mengukur implementasi kebijak-
an publik adalah sebagai berikut:
i. Perumusan kebijakan, merupakan proses perancangan kebi-
jakan berdasarkan data dan permintaan masyarakat maupun
penguasa.
ii. Implementasi kebijakan, merupakan aplikasi kebijakan secara
nyata yang dapat dirasakan oleh seluruh pihak terkait.
iii. Pemantauan kebijakan, merupakan proses pengawasan atas
pihak yang melaksanakan aturan tersebut sesuai dengan pro-
sedur yang telah ditetapkan.
Airmanship.indd 154 5/9/19 1:47 PM
VA R I A B E L D A N I N D I K AT O R YA N G B E R K O R E L A S I . . . 1 5 5
iv. Evaluasi, merupakan koreksi dan penyempurnaan terhadap
pelaksanaan kebijakan berdasarkan analisis dan pendapat
para ahli maupun praktisi untuk menghindari terjadinya
ketidaksempurnaan suatu aturan untuk masa yang akan
datang.
f) Keselamatan Penerbangan, adalah suatu proses kegiatan dalam
melaksanakan operasi penerbangan dari satu tempat pemberang-
katanketempattujuandenganselamat.Variabelinidiukurdengan
lima indikator yaitu peraturan keselamatan penerbangan, sasaran
keselamatan penerbangan, pengawasan keselamatan penerbang-
an, penegakan hukum keselamatan penerbangan dan sistem
manajemen keselamatan penerbangan (UU Nomor 1 Tahun 2009).
i. Peraturan Keselamatan Penerbangan, merupakan kebijakan
penerbangan yang telah ditetapkan oleh pihak terkait untuk
mencapai keselamatan penerbangan.
ii. Pengawasan keselamatan penerbangan, merupakan kegiatan
atau tindakan untuk menjaga pelanggaran terhadap standar
operasi penerbangan yang telah ditetapkan pihak terkait.
iii. Penegakan hukum keselamatan penerbangan, adalah tindak-
an untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran aturan
yang telah diputuskan.
iv. Sistem manajemen keselamatan penerbangan, adalah sistem
yang mengatur dan mengelola penerbangan sesuai dengan
aturan yang telah ada.
Dalam variabel yang telah dijelaskan klasifikasinya di atas maka
berdasarkan pengujian penulis diperoleh persamaan struktural sebagai
berikut:
Y1 = 0,410 X1 + 0,240 X2 + 0,324 X3 ..............................(1)
Y2 = 0,548 Y1 .....................................................…………(2)
Y3 = 0,250 Y2 .....................................................…………(3)
Airmanship.indd 155 5/9/19 1:47 PM
1 5 6 A I R M A N S H I P
Di mana:
X1 = Perilaku
X2 = Kecerdasan Emosi
X3 = Efikasi Diri
Y1 = Airmanship
Y2 = Implementasi Kebijakan Publik
Y3= Keselamatan Penerbangan
Dari persamaan di atas didapatkan hasil dari hubungan antar
variabel sebagai berikut:
tabel 5.2. Hubungan Antar variabel
HubunganVariabel
Koefisien RegresiKeterangan
Unstandardized Standardized
Perilaku (X1)dengan Airmanship (Y1) 0,314 0,410 Signifikan
Kecerdasan Emosi (X2)Dengan Airmanship (Y1) 0,270 0,324
CukupSignifikan
Efikasi Diri (X3) dengan Airmanship (Y1) 0,170 0,240
CukupSignifikan
Airmanship (Y1) dengan Implementasi Kebijakan Publik (Y2) 0,741 0,548 Signifikan
Implementasi Kebijakan Publik (Y2) dengan Keselamatan Penerbangan (Y3)
1,000 0,250Cukup
Signifikan
1. Perilaku (X1) berpengaruh positif terhadap Airmanship (Y1) mem-
peroleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefisien
regresi sebesar 0,410.
2. Kecerdasan Emosi (X2) berpengaruh positif terhadap Airmanship
(Y1) memperoleh dukungan cukup signifikan. Ini ditunjukkan de-
ngan koefisien regresi sebesar 0,240.
3. Efikasi Diri (X3) berpengaruh positif terhadap Airmanship (Y1)
memperoleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefi-
sien regresi sebesar 0,324.
Airmanship.indd 156 5/9/19 1:47 PM
VA R I A B E L D A N I N D I K AT O R YA N G B E R K O R E L A S I . . . 1 5 7
4. Airmanship (Y1) berpengaruh positif terhadap Implementasi Kebi-
jakan Publik (Y2) memperoleh dukungan signifikan. Ini ditunjukkan
dengan koefisien regresi sebesar 0,548
5. Implementasi Kebijakan Publik (Y2) berpengaruh positif terhadap
Keselamatan Penerbangan (Y3) memperoleh dukungan cukup
signifikan. Ini ditunjukkan dengan koefisien regresi sebesar 0,250.
Variabel-variabeldiatasnantinyaakanberpengaruhdalampem-
bentukan Airmanship seorang pilot melalui skema kebijakan baik yang
sudah ada (penyempurnaan) maupun yang belum ada. Perhitungan di
atas didapat penulis berdasarkan pengamatan di lapangan serta me-
lalui penyebaran kuisioner kepada para pilot untuk mengetahui cara
pandang mereka terhadap variabel Airmanship.
Sehingga setiap variabel juga memiliki hubungan yang saling
memengaruhi satu sama lain hingga konvergen menjadi sebuah prin-
sip dalam Airmanship untuk pilot. Variabel-variabel ini juga yang
menjadi sebuah kerangka bangunan Airmanship melalui fondasi ke-
bijakan.
Airmanship.indd 157 5/9/19 1:47 PM
Airmanship.indd 158 5/9/19 1:47 PM
B a b V I 1 5 9
Bab VIIMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PUBLIK DALAM DUNIA PENERBANGAN
Airmanship.indd 159 5/9/19 1:47 PM
1 6 0 A I R M A N S H I P
Pada bagian ini penulis akan membahas secara mendalam me-
ngenai implementasi kebijakan publik dunia penerbangan di
Indonesia dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan
yang dibahas melalui hubungan antar variabel yang telah dibahas pada
bab sebelumnya. Dalam beberapa hal masih terdapat ketidaksesuaian
antara sistem, aturan, dan pelaksanaannya.
Variabelimplementasikebijakanpublikinidiukurdenganempat
indikator, yang terdiri dari:
a. perumusan;
b. implementasi;
c. pemantauan dan;
d. evaluasi.
Perumusan kebijakan merupakan wewenang dari regulator dalam
hal ini adalah Kementerian Perhubungan. Perumusan kebijakan ber-
hubungan dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat.
Kondisi ekonomi pada tahun 2008 yang sedang terpuruk juga meme-
ngaruhi kondisi penerbangan di Indonesia. Kondisi tersebut mengaki-
batkan rendahnya tingkat keselamatan penerbangan di Indonesia
sehingga dinilai oleh badan internasional (FAA) dengan kategori dua.
Hal tersebut berdampak terhadap larangan penerbangan dengan call
sign “PK” tidak boleh terbang ke Eropa. Untuk mengatasi permasalah-
an tersebut maka Kementerian Perhubungan merumuskan kembali
kebijakan penerbangan dengan mendapat masukan dan saran dari
ICAO sehingga dihasilkan UU No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
Dengan adanya Undang-Undang tersebut diharapkan keselamatan
penerbangan di Indonesia semakin baik. Besarnya pengaruh perumus-
an terhadap implementasi kebijakan publik sebaiknya memicu pihak
regulator untuk tetap mengkaji secara kontinyu sesuai dengan per-
kembangan zaman dan teknologi.
Implementasi merupakan aplikasi atau pelaksanaan kebijakan
publik berdasarkan hasil dari Undang-Undang yang dituangkan da-
Airmanship.indd 160 5/9/19 1:47 PM
I M P L E M E N TA S I K E B I J A K A N P U B L I K D A L A M D U N I A P E N E R B A N G A N 1 6 1
lam Peraturan Pemerintah ataupun keputusan. Indikator implemen-
tasi merupakan indikator yang paling tinggi dibandingkan dengan
indikator yang lain. Implementasi kebijakan publik merupakan pe-
laksanaan dari Undang-Undang yang dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah maupun Peraturan Menteri. Menurut Sisilia (2009), se-
bagai regulator hendaknya pemerintah tetap berada pada koridornya,
yakni sebagai pembuat regulasi. Keterlibatan pemerintah sebagai
regulator berfungsi sebagai pembina khususnya di masalah kesela-
matan, keamanan dan keteraturan (fungsi pembinaan aspek ekono-
mi) serta menjadi wasit dalam mengawasi persaingan di antara pe-
laku industri penerbangan, jangan sampai pemerintah juga menjadi
subjek. Sisilia mengkritisi bahwa pemerintah cukup sebagai regula-
tor, sebaiknya ada badan khusus yang independen sebagai pengawas.
Menurut Faianzar (2016), penerapan Safety Management System (SMS)
yang diukur oleh keselamatan penerbangan memiliki kontribusi
positif dan signifikan terhadap tinggi rendahnya keselamatan pener-
bangan. Dari kedua pernyataan di atas menjelaskan bahwa imple-
mentasi sangat berpengaruh terhadap implementasi kebijakan pe-
nerbangan.
Pemantauan merupakan bagian dari pengawasan atau kajian pe-
laksanaan kebijakan publik berdasarkan hasil dari Undang-Undang
yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah ataupun keputusan-
keputusan lainnya. Indikator pemantauan berhubungan dengan per-
ubahan zaman dan teknologi. Pemantuan implementasi kebijakan
publik harus dilakasanakan secara berkala untuk memastikan apakah
kebijakan publik masih relevan untuk diimplementasikan sesuai de-
ngan keadaan dan kebutuhan saat ini. Pemantauan dapat dilaksanakan
demi kepentingan ekonomi, sosial dan teknologi, dengan tidak me-
ngurangi keselamatan penerbangan. Sebagai contoh adalah imple-
mentasi kebijakan publik tentang penggunaan handphone atau gadget
untuk penumpang pada saat penerbangan. Regulasi tersebut perlu
dikaji dari aspek sosial budaya dan ekonomi.
Airmanship.indd 161 5/9/19 1:47 PM
1 6 2 A I R M A N S H I P
Evaluasi merupakan hal yang wajib dilaksanakan untuk segala ke-
giatan. Implementasi kebijakan publik perlu dievaluasi secara berkala
atau random untuk memastikan dampak positif maupun negatif dari
kebijakan tersebut. Indikator evaluasi berhubungan dengan indikator
pemantauan. Evaluasi implementasi kebijakan publik didapatkan dari
hasil pemantauan di lapangan. Evaluasi tentang kebijakan publik sangat
jelas dituliskan dalam Undang-Undang keselamatan penerbangan, Per-
aturan Menteri Perhubungan, serta Keputusan Menteri Perhubungan.
Data dari Kemenhub (2014) menyatakan Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT) pernah menyatakan bahwa jumlah kecelakaan pe-
nerbangan tahun 2013 mengalami penurunan dibanding dengan tahun
2012, dari data KNKT tersebut. Elly (2013) menyampaikan bahwa jumlah
kecelakaan penerbangan pada tahun 2012 terjadi sebanyak 29 kecelaka-
an yang terdiri dari 13 accident dan 16 serious incident dengan 58 korban
meninggal dunia dan 9 (sembilan) korban luka luka.
Sedangkan jumlah kecelakaan penerbangan tahun 2013 sebanyak
27 kecelakaan yang terdiri dari 5 (lima) accident dan 22 serious
incident dengan 3 (tiga) orang korban luka-luka. Data tersebut menun-
jukkan bahwa terjadi penurunan baik dari jumlah kecelakaan maupun
tingkat fatalitas, di mana pada tahun 2013 jumlah korban luka-luka
menurun dan tidak ada korban meninggal. Walupun dari data tersebut
telah menunjukkan terjadinya peningkatan keselamatan di bidang
penerbangan, Kementerian Perhubungan perlu melakukan evaluasi–
evaluasi secara berkelanjutan. Elly juga mempertanyakan apakah pe-
nurunan kecelakaan ini memang karena semua regulasi (penerbangan)
sudah baik. Menurutnya bahwa pembuatan kebijakan tidak mungkin
100%. Evaluasi yang perlu dilakukan adalah dengan merujuk pada
instruksi Menhub nomor 1 Tahun 2013 yaitu sejauh mana implemen-
tasi dari kebijakan tersebut. Instruksi Menhub tersebut difokuskan
pada pada 5 (lima) aspek yaitu manajemen keselamatan transportasi,
prasarana, sarana, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pengguna jasa
transportasi, serta penanganan pasca kecelakaan transportasi. Pihak
Airmanship.indd 162 5/9/19 1:47 PM
I M P L E M E N TA S I K E B I J A K A N P U B L I K D A L A M D U N I A P E N E R B A N G A N 1 6 3
Ditjen Perhubungan Udara, mengakui bahwa selama ini terdapat be-
berapa kendala dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Suharyadi (2014) mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi
antara lain:
1) Belum adanya mekanisme atau prosedur penegakan hukum ten-
tang tata cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang penerbangan;
2) Kurangnya respons atau tindak lanjut dari penyelenggara Bandar
udara terhadap surat teguran dan temuan audit; dan
3) Sistem pengelolaan (management) terhadap safety report yang ada
di operator penerbangan belum semuanya dikelola dengan baik.
Suharyadi juga mengatakan bahwa kendala tersebut perlu segera
di atasi mengingat berbagai tantangan yang ada di bidang transpor-
tasi udara saat ini di antaranya: 1) Pertumbuhan penumpang yang
tinggi; 2) Mayoritas Bandar Udara Komersial sudah melebihi Kapasitas;
3) Tingginya Pengadaan Pesawat oleh Airline; 4) Modernisasi Peralatan
Navigasi Penerbangan: dan 5) Banyaknya daerah rawan bencana, pulau
terluar dan terisolasi.
Sementara, Penulis Pusat Litbang Udara, Drs. Welly Pakan mene-
kankan bahwa keselamatan transportasi merupakan tanggung jawab
semua pihak baik pemerintah, produsen/industri kendaraan, operator,
maupun masyarakat (pengguna jasa). Hal ini penting untuk memba-
ngun opini masyarakat yang benar bahwa keselamatan transportasi
merupakan tanggung jawab semua pihak. Peningkatan kinerja kese-
lamatan penerbangan menjadi hal yang sangat penting untuk dapat
diwujudkan, karena mencerminkan semangat untuk senantiasa me-
ngedepankan pelayanan yang terbaik di bidang penerbangan. Berda-
sarkan pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa evaluasi sangat
berhubungan dengan implementasi kebijakan publik.
Airmanship.indd 163 5/9/19 1:47 PM
1 6 4 A I R M A N S H I P
A. huBungAn KEBijAKAn puBLiK DEngAn KESELAMATAn pEnErBAngAn
Para praktisi penerbangan menyatakan bahwa kebijakan publik sudah
mendekati baik karena telah mengacu pada hukum penerbangan yang
dikeluarkan oleh ICAO, tetapi yang menjadi masalah adalah imple-
mentasi kebijakan publik di Indonesia masih bermasalah. Banyak
faktor penyebab rendahnya implementasi kebijakan publik di Indone-
sia. Capt. R.A. Rooroh berpendapat bahwa faktor ekonomi sepert Low
Cost Carrier (LCC) dapat mengakibatkan implementasi kebijakan pub-
lik yang rendah. Pria yang saat ini menjabat sebagai President Director
di Sekolah Penerbangan Nusa Flying Internasional itu menyoroti ku-
rangnya pengawasan pada internal terutama dalam hal implementasi
kebijakan tentang penerbangan, di mana organisasi perumus regula-
tor dan pengawasan berada dalam satu atap.
Organisasi tersebut berpotensi konflik internal yang mengakibat-
kan tidak maksimalnya pengawasan keselamatan penerbangan. Untuk
mengatasi masalah internal tersebut, pilot senior ini menyarankan
supaya dibentuk badan eksternal independen yang mengawasi regu-
lator dan operator penerbangan. Selain masalah internal, Capt. R.A.
Rooroh juga berpendapat bahwa organisasi Dirjen Perhubungan ha-
rusnya setingkat Kementerian. Untuk masalah organisasi, Capt. Yud-
hianto berbeda pandangan dengan Capt. R.A. Rooroh. Menurut pen-
dapatnya, Dirjen Perhubungan Udara tetap di bawah Kementerian
Perhubungan, tetapi Badan Eksternal Pengawasan yang perlu diperku-
at. Praktisi penerbangan yang lain Capt. Rahayu Kuntardi menyatakan
hal yang senada bahwa secara umum kebijakan penerbangan sudah
baik, hanya ada beberapa kebijakan yang perlu dikaji kembali seperti
pembatasan usia pesawat. Ia tidak setuju dengan aturan yang mem-
batasi usia pesawat. Menurut pendapat beliau, keselamatan pener-
bangan bukan karena faktor usia pesawat, tetapi berhubungan dengan
perawatan pesawat.
Airmanship.indd 164 5/9/19 1:47 PM
I M P L E M E N TA S I K E B I J A K A N P U B L I K D A L A M D U N I A P E N E R B A N G A N 1 6 5
Menurut ahli Psikologi Dr. Widura, dalam proses implementasi
kebijakan publik setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda,
untuk itu perlu ada badan pengawasan khusus untuk mengawasi
implementasinya. Sedangkan Alvin Lie sebagai praktisi dan penga-
mat, kebijakan publik bukan sekadar perundang-undangan tetapi
termasuk kebijakan-kebijakan yang dibuat sendiri. Alvin menjelaskan
hal tersebut berdasarkan pengalamannya sebagai Ombudsman ke-
tika mendapat laporan tentang kondisi ATC di bandara Soekarno
Hatta. Dari hasil pengaduan masyarakat tentang ramainya penggu-
naan radio di ATC Soekarna-Hatta sehingga harus menunggu lama
untuk berkomunikasi dengan ATC. Setelah dilaksanakan investigasi,
ia menemukan bahwa operator radio pada pukul 6.00 s.d 8.00 WIB
hanya satu orang. Kondisi tersebut sangat berbahaya dan berpoten-
si terjadinya kecelakaan, karena banyaknya penerbangan pada jam
tersebut, tetapi hanya dilayani oleh satu orang ATC. Alvin menyata-
kan bahwa kondisi tersebut merupakan pelanggaran kebijakan pub-
lik. Dari hasil wawancara dengan para ahli tersebut, penulis menyim-
pulkan bahwa dibutuhkan badan eksternal khusus yang independen
untuk mengawasi regulator, operator, dan stakeholder seluruh pe-
nerbangan.
B. MEMETAKAn KESESuAiAn TEori KEBijAKAn puBLiK DALAM DuniA pEnErBAngAn
Teori Implementasi kebijakan publik tidak terlepas dari teori kebija-
kan publik. Pada bagian ini, penulis akan membedah berbagai pers-
pektif mengenai kebijakan publik untuk mendapatkan kesesuaian
antara teori dengan temuan penulis yang dituangkan pada buku ini.
Kebijakan adalah segala sesuatu yang dapat dilakukan ataupun tidak
oleh pemerintah, Dye (1987), dan dapat juga dinyatakan bahwa kebi-
jakan merupakan hubungan pemerintah dengan masyarakat ling-
Airmanship.indd 165 5/9/19 1:47 PM
1 6 6 A I R M A N S H I P
kungannya, Eysestone (1971). Pada buku ini, kebijakan dapat diukur
dengan indikator perumusan dan implementasi. Kedua indikator
tersebut mempunyai hubungan yang signifikan dengan implemen-
tasi kebijakan publik. Semakin baik perumusan dan dan implemen-
tasi yang dilaksanakan oleh pemerintah semakin baik pula imple-
mentasi kebijakan publik yang berhubungan dengan penerbangan.
Teori kebijakan yang dikemukakan oleh Dye hanya menjelaskan
tentang tugas pemerintah, berbeda dengan Eysestone yang menya-
takan bahwa kebijakan berhubungan dengan masyarakat dan ling-
kungannya. Pada buku ini, penulis lebih menggunakan teori Eyses-
tone dibandingkan dengan teori Dye.
Teori selanjutnya adalah teori kebijakan oleh Smith dan Larimer
(2009). Smith dan Larimer menjelaskan bahwa kebijakan publik me-
rupakan ilmu yang spesifik tentang hubungan pemerintah dengan
masyarakatnya. Smith dan Larimer Juga menyampaikan bahwa Kebi-
jakan publik berbeda dengan ilmu politik, ekonomi, maupun adminis-
trasi publik. Dengan melihat empat indikator yang digunakan pada
buku ini maka penulis menganalisis bahwa teori yang dikemukan oleh
Smith dan Larimer masih terlalu umum dan dapat menghasilkan taf-
siran yang berbeda. Jika dilihat dari bahasa teorinya yang menyatakan
kebijakan publik merupakan hubungan pemerintah dengan masyara-
kat maka indikator yang digunakan cukup dua saja yaitu perumusan
dan implementasi. Akan tetapi jika dianalisis lebih dalam makna yang
tersirat, keempat indikator yang digunakan oleh penulis yaitu: peru-
musan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi.
Teori selanjutnya adalah teori kebijakan publik oleh Anderson
(1979). Anderson merumuskan bahwa kebijakan itu adalah “serangkai-
an tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilak-
sanakan oleh seorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu”. Anderson tidak secara langsung menyebut-
kan apakah kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah atau non peme-
rintah, tetapi menyatakan oleh seseorang atau kelompok. Penulis
Airmanship.indd 166 5/9/19 1:47 PM
I M P L E M E N TA S I K E B I J A K A N P U B L I K D A L A M D U N I A P E N E R B A N G A N 1 6 7
menganalisis bahwa tindakan yang dimaksud adalah tindakan semua
orang baik pemerintah maupun non pemerintah. Kebijakan yang di-
maksud pada buku ini adalah kebijakan yang berhubungan dengan
penerbangan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun oleh
operator. Jika analisis dikaitkan dengan indikator yang digunakan maka
teori Anderson hanya difokuskan pada satu indikator, yaitu implemen-
tasi kebijakan. Dari hasil analisis tersebut maka teori Anderson yang
hanya mencakup satu indikator kurang tepat dengan pembahasan
buku ini.
Teori selanjutnya adalah pendekatan teori kebijakan yang dike-
mukakan oleh Frederich (1997). Frederich menyatakan kebijakan adalah
“suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya
mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan
sasaran yang diinginkan”. Teori ini lebih jelas dibandingkan dengan
teori Anderson. Frededrich dengan jelas secara harfiah menyatakan
bahwa kebijakan berhubungan dengan pemerintah dan non pemerin-
tah. Berdasarkan teori tersebut, penulis menganalisis bahwa keempat
indikator yang digunakan penulis dalam buku ini, telah tercakup dan
tersirat dalam teorinya. Hasil buku menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara keempat indikator dengan implementasi kebi-
jakan publik. Indikator yang paling tinggi hubungananya adalah im-
plementasi dan yang paling rendah adalah pemantauan. Hasil tersebut
senada dengan teori Frederich yang lebih mengutamakan tindakan
atau implementasinya.
Teori selanjutnya adalah teori kebijakan yang dirumuskan oleh
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). PBB mengartikan bahwa kebijak-
an itu memberi makna sebagai pedoman untuk bertindak baik yang
bersifat sederhana, kompleks, bersifat umum atau khusus, longgar
atau rinci, luas atau sempit, kualitatif atau kuantitatif, maupun
publik atau privat. Teori tersebut lebih menekankan pada aturan
Airmanship.indd 167 5/9/19 1:47 PM
1 6 8 A I R M A N S H I P
untuk mencapai tujuan dengan objek yang dijelaskan secara detail.
Penulis menganalisis bahwa teori yang dirumuskan oleh PBB hanya
mencakup indikator perumusan. PBB tidak secara jelas mengemu-
kakan tentang bagaimana implementasi, pemantauan, dan evalua-
sinya.
Teori selanjutnya adalah kaitan antara teori kebijakan oleh Jones
(1996). Jones mengatakan bahwa “kebijakan adalah suatu arah kegi-
atan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan”. Teori Jones
lebih sederhana dan ringkas, tetapi hanya mencakup tentang imple-
mentasinya. Jones tidak menyentuh tentang perumusan, pemantauan,
dan evaluasi kebijakan publik. Teori Jones berbeda dengan teori yang
dikeluarkan PBB, jika ditinjau dari aspek penekanannya, Jones mene-
kankan pada implementasinya, sedangkan PBB menekankan pada
perumusannya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis meng-
analisis bahwa teori Jones kurang relevan digunakan pada buku ini.
Teori selanjutnya adalah kaitan antara buku ini dengan konsep
kebijakan yang dikemukan oleh Dunn (2003). Dunn memandang bah-
wa kebijakan publik meliputi empat aspek yaitu: (1) perumusan kebi-
jakan; (2) pelaksanaan kebijakan; (3) monitoring kebijakan; dan
(4) evaluasi kebijakan. Maka dalam hubungan ini kebijakan
publik adalah serangkaian instruksi, perintah dari para pembuat
kebijakan yang ditujukan kepada pelaksana kebijakan yang menje-
laskan tujuan- tujuan serta cara-cara mencapai tujuan tersebut.
Konsep Dunn tersebut telah mencakup keeempat indikator yang
digunakan pada buku ini. Hasil menunjukan bahwa keempat indika-
tor mempunyai hubungan yang signifikan dengan implementasi
kebijakan publik. Indikator yang paling berpengaruh adalah imple-
mentasi. Berdasarkan analisis tersebut maka dapat dinyatakan bah-
wa konsep kebijakan publik yang dikemukakan oleh Dunn senada
dengan buku ini.
Teori selanjutnya adalah teori implementasi kebijakan publik me-
nurut Smith (2009). Smith menyatakan bahwa implementasi kebijakan
Airmanship.indd 168 5/9/19 1:47 PM
I M P L E M E N TA S I K E B I J A K A N P U B L I K D A L A M D U N I A P E N E R B A N G A N 1 6 9
dipandang sebagai suatu proses atau alur. Konsep Smith ini memandang
proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari perspektif
perubahan sosial dan politik, di mana kebijakan yang dibuat oleh pe-
merintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam
masyarakat sebagai kelompok sasaran. Berdasarkan teori tersebut pe-
nulis menganalisis bahwa Smith lebih menekankan kepada proses pe-
mantauan dan evaluasi kebijakan. Oleh karena indikator yang digunakan
untuk mengukur implementasi kebijakan publik menurut Smith adalah
implementasi, pemantauan, dan evaluasi. Buku ini menunjukkan bahwa
ketiga indikator tersebut mempunyai hubungan yang signifikan dengan
implementasi kebijakan publik. Berdasarkan hasil analisis di atas maka
penulis mengemukakan bahwa buku ini senada dan mendukung teori
implementasi kebijakan publik oleh Smith.
Teori selanjutnya teori implementasi kebijakan publik menurut
Meter dan Horn (1975). Meter dan Horn mendefinisikan implementasi
kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan dalam keputusan- kepu-
tusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha
untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan
operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka me-
lanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil
yang ditetapkan. Keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh
organisasi publik diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Meter dan Horn menekankan implementasi kebijakan
publik dalam dua kegiatan yaitu tindakan dan aturan. Teori tersebut
mencakup dua indikator yang digunakan penulis yaitu perumusan dan
implementasi. Hasil menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara perumusan dan implementasi dengan Kebijakan Publik. Berda-
sarkan analisis di atas maka penulis menyatakan bahwa buku ini se-
nada dengan teori implementasi kebijakan publik yang dikemukakan
oleh Meter dan Horn.
Menurut Dwidjowijoto (2002), implementasi merupakan upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Makna yang tersirat pada defi-
Airmanship.indd 169 5/9/19 1:47 PM
1 7 0 A I R M A N S H I P
nisi tersebut adalah perumusan dan pelaksanaan. Hal ini sejalan
dengan pandangan Salusu (2003) yang mengartikan implementasi
sebagai operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai su-
atu sasaran tertentu dan menyentuh seluruh jajaran manajemen
mulai dari manajemen puncak sampai pada karyawan terbawah.
Makna yang dapat dikemukan dari teori Salusu adalah implementa-
si, pemantauan, dan evaluasi. Makna dari teori Dwidjowijoto dan
Salusu senada dengan buku ini, di mana keempat indikator mempu-
nyai hubungan yang signifikan terhadap implementasi kebijakan
publik.
Teori selanjutnya adalah makna implementasi menurut Mazma-
nian dan Sabatier (1983). Mazmanian dan Sabatier menyatakan bah-
wa makna dari implementasi adalah memahami apa yang nyatanya
terjadi sesudah suatu program berlaku atau dirumuskan. Hal inilah
yang merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan. Yakni
kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah di-
sahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara yang mencakup
baik usaha untuk administrasi maupun untuk menimbulkan akibat/
dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Mazmanian
menekankan pada kegiatan perumusan, pelaksanaan, dan dampak-
nya. Pada buku ini dampak dari suatu implementasi kebijakan belum
diperhitungkan.
Penulis menganalisis bahwa dampak yang dinyatakan oleh Mazma-
nian dan Sabatier diukur dengan indikator yaitu pemantauan dan
evaluasi. Buku ini menujukkan bahwa indikator pemantauan dan
evaluasi mempunyai hubungan yang signifikan dengan implementasi
kebijakan publik. Berdasarkan analisis di atas maka penulis menyata-
kan bahwa buku ini senada dan mendukung teori implementasi kebi-
jakan publik yang didefenisikan oleh Mazmanian dan Sabatier.
Teori selanjutnya adalah konsep kebijakan publik yang dikemuka-
kan oleh Tahir (2015). Tahir menyatakan bahwa kebijakan merupakan
suatu hukum. Tahir juga menjelaskan bahwa kebijakan bukan sekadar
Airmanship.indd 170 5/9/19 1:47 PM
I M P L E M E N TA S I K E B I J A K A N P U B L I K D A L A M D U N I A P E N E R B A N G A N 1 7 1
hukum akan tetapi perlu dipahami secara utuh dan benar. Tahir me-
nyimpulkan bahwa ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan
bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu itu menja-
di kebijakan publik harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh
para pejabat yang berwenang. Jika dikaitkan dengan buku ini maka
makna yang tersirat dari pernyataan Tahir sudah tercakup dalam ke-
empat indikator pada buku ini. Berdasarkan penjelasan di atas maka
penulis menyimpulkan bahwa buku ini senada dan saling mendukung
dengan konsep implementasi kebijakan publik yang dijelaskan oleh
Tahir.
Teori selanjutnya adalah kaitan hasil penulisan buku ini dengan
teori implementasi menurut Nugroho (2014). Nugroho menyatakan
bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar
sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak
kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua
pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan
dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan
derivatif atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Teori yang
dikemukan oleh Nugroho ini tidak berbeda jauh dengan hasil penu-
lisan buku ini. Secara makna hasil penulisan buku ini senada dengan
teori yang disampaikan oleh Nugroho. Akan tetapi kekurangan
Nugroho adalah hanya menekankan pada implementasi kebijakan
publik dari segi perumusan dan pelaksanaan. Penulisan buku ini
lebih luas karena mengulas sampai tahapan pemantauan dan eva-
luasi.
Teori selanjutnya adalah kaitan dengan hasil penulisan buku ini
dengan Teori dan faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan
menurut Edward III (1980). Edward berpandangan bahwa implementa-
si kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:
a. Komunikasi, yang meliputi transmisi, konsistensi dan kejelasan.
Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka pe-
tunjuk-petunjuk dan perintah-perintah pelaksanaan kebijakan
Airmanship.indd 171 5/9/19 1:47 PM
1 7 2 A I R M A N S H I P
harus konsisten dan jelas. Dalam penulisan buku ini tidak ada
membahas hubungan komunikasi dengan kebijakan publik, se-
hingga penulis menganalisis bahwa komunikasi tercakup dalam
indikator implementasi.
b. Sumber-sumber, yang meliputi sumber daya manusia/staf yang
memadai dan keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan
tugas-tugas, wewenang serta fasilitas-fasilitas yang dapat me-
nunjang pelaksanaan pelayanan publik. Pada penulisan buku ini
juga tidak ada pembahasan hubungan antara sumber-sumber
dengan implementasi kebijakan publik. Untuk itu penulis meng-
analisis bahwa faktor tersebut merupakan bagian dari implemen-
tasi.
c. Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku. Kecenderungan
dari para pelaksana mempunyai konsekuensi- konsekuensi penting
bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana
bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang dalam hal
ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melak-
sanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pem-
buat keputusan awal. Pada penulisan buku ini tidak ada pemba-
hasan hubungan antara kecenderungan atau tingkah laku dengan
implementasi kebijakan publik. Oleh karena itu penulis mengana-
lisis bahwa kecenderungan atau tingkah laku tercakup dalam in-
dikator implementasi.
d. Struktur Birokrasi. Birokrasi merupakan salah satu badan yang
paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebi-
jakan, baik itu struktur pemerintah dan juga organisasi swasta.
Pada penulisan buku ini tidak mengupas pembahasan hubungan
struktur organisasi dengan implementasi kebijakan publik. Menu-
rut analisis penulis, struktur organisasi tercakup dalam keempat
indikator implementasi kebijakan publik.
Airmanship.indd 172 5/9/19 1:47 PM
I M P L E M E N TA S I K E B I J A K A N P U B L I K D A L A M D U N I A P E N E R B A N G A N 1 7 3
Berdasarkan hasil analisis keempat faktor yang memengaruhi
implementasi kebijakan publik di atas, maka penulis dapat menyim-
pulkan bahwa buku ini senada dengan faktor yang memengaruhi
kebijakan publik yang dikemukan oleh Edward.
Buku ini juga memiliki keterkaitan dengan teori Grindle (1980).
Grindle menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan
publik dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content
of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).
Teori keberhasilan Grindle ini berbeda dengan analisis penulis. Hasil
analisis penulis menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi ke-
bijakan publik dipengaruhi oleh perumusan, implementasi, peman-
tauan, dan evaluasi. Grindle melihat keberhasilan implementasi hanya
dari indikator perumusan dan lingkungan. Lingkungan implementasi
yang disebutkan oleh Grindle masih belum jelas apakah lingkungan
pekerjaan atau lingkungan yang lain. Berdasarkan analisis tersebut
penulis menyampaikan bahwa hasil penulisan buku ini kurang senada
dengan teori Grindle.
Teori selanjutnya adalah implementasi kebijakan publik oleh Me-
ter dan Horn (1975) tentang variabel yang memengaruhi implementa-
si kebijakan publik. Meter dan Horn menyatakan ada lima variabel
yang memengaruhi kinerja implementasi, yakni:
1) Standar dan sasaran kebijakan. Menurut analisis penulis, standar
dan sasaran kebijakan dikonsep pada perumusan kebijakan. Oleh
karena itu, pada penulisan buku ini, standar dan sasaran kebijak-
an diukur menggunakan indikator perumusan.
2) Sumber daya. Menurut analisis penulis, Sumber daya yang dise-
butkan di sini berhubungan dengan manusia untuk melaksanakan
aturan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, pada penulisan
buku ini, sumber daya diukur dengan indikator implementasi.
3) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas. Menurut
analisis penulis, komunikasi antar organisasi dan penguatan ak-
tivitas yang disebutkan pada konsep ini merupakan bagian dari
Airmanship.indd 173 5/9/19 1:47 PM
1 7 4 A I R M A N S H I P
implementasi dan evaluasi kebijakan publik. Oleh karena itu, ko-
munikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas dapat diukur
dengan indikator implementasi dan evaluasi.
4) Karekteristik agen pelaksana. Menurut analisis penulis, karakter-
istik agen pelaksana merupakan bagian dari implementasi. Oleh
karena itu, karakteristik agen pelaksana tercakup dalam indikator
implementasi.
5) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Menurut analisis penulis,
kondisi sosial, ekonomi, dan politik merupakan kegiatan peman-
tauan dan evaluasi. Oleh karena itu, kondisi sosial, ekonomi, dan
politik, tercakup dalam indikator pemantauan dan evaluasi.
Dari hasil analisis kelima variabel yang memengaruhi implemen-
tasi kebijakan publik di atas maka penulis dapat menyimpulkan bah-
wa hasil penulisan buku ini senada dengan teori implementasi kebi-
jakan publik yang dikemukakan oleh Meter dan Horn.
Keterkaitan teori selanjutnya adalah dengan hasil penulisan buku
Lewis dan Gilman (2005) yang menyatakan bahwa dibutuhkan etika
pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar
untuk mewujudkan pemerintah yang baik. Buku ini juga mendukung
tulisan buku Rohit (2000) yang melihat esensi pelayanan publik perlu
mengacu pada proporsi yang menyatakan bahwa produk pemerintah-
an dapat dipasarkan pada publik. Hal ini kiranya perlu diorientasikan
pada budaya pelayanan dengan menciptakan layanan pelanggan yang
memuaskan.
Selain seluruh teori di atas, penulis juga menganalisis kebijakan
berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik. Undang-Undang mendefinisikan bahwa implementasi kebijak-
an publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelengga-
Airmanship.indd 174 5/9/19 1:47 PM
I M P L E M E N TA S I K E B I J A K A N P U B L I K D A L A M D U N I A P E N E R B A N G A N 1 7 5
ra pelayanan publik. Dalam sudut pandang lain, pelayanan publik
adalah kepercayaan publik. Undang-Undang lebih menekankan kapa-
da aturan, pelayanan, dan jaminan hukum dalam pelayanan publik.
Kekurangan dari konsep yang tertuang dalam Undang-Undang terse-
but adalah belum menyampaikan tentang pemantauan. Penulis meng-
analisis bahwa Undang-Undang tersebut telah mencakup tiga indika-
tor dalam buku ini, sehingga hasil menunjukkan bahwa ketiga indi-
kator itu mempunyai hubungan yang signifikan dengan implementa-
si kebijakan publik.
Airmanship.indd 175 5/9/19 1:47 PM
1 7 6 A I R M A N S H I P
Airmanship.indd 176 5/9/19 1:47 PM
B a b V I I 1 7 7
Bab VIIPENTINGNYA AIRMANSHIP
DALAM KESELAMATAN PENERBANGAN
Airmanship.indd 177 5/9/19 1:47 PM
1 7 8 A I R M A N S H I P
Pada bagian buku ini, Airmanship dibahas secara kuantitatif dan
kualitatif untuk menunjukkan secara rinci dan mendalam ber-
dasarkan pendekatan teori yang telah dibahas pada bab sebe-
lumnya. Hubungan-hubungan itu nantinya akan memengaruhi imple-
mentasi Airmanship dalam keselamatan penerbangan. Memadukan
antara teori dengan praktik juga menjadi ulasan utama dalam bab ini
berdasarkan data dan pengalaman para penerbang.
A. AirMAnShip DALAM KACAMATA KuAnTiTATiF
VariabelAirmanshipdiukurdengan empat indikator yaitu kemampu-
an pertimbangan dan pengetahuan, koordinasi dan pengambilan ke-
putusan, memahami lingkungan dan mengenali risiko. Dari hasil pe-
nulisan buku telah dijelaskan bahwa semua indikator yang digunakan
untuk mengukur Airmanship mempunyai pengaruh yang signifikan di
mana yang paling besar pengaruhnya adalah indikator koordinasi dan
pengambilan keputusan (X42) yang mempunyai nilai standard size
estimate sebesar 0,79 dan pengaruh yang paling kecil adalah indikator
mengenali risiko (X44) yang mana nilai standard size estimate sebesar
0,62 dengan tingkat probabilitas sebesar 0,19. Untuk lebih jelasnya
akan dibahas pengaruh dari setiap indikator.
a. Indikator Kemampuan Pertimbangan dan Pengetahuan (Y11). Ke-
mampuan pertimbangan dan pengetahuan merupakan suatu hal
yang wajib dimiliki seorang pilot. Berdasarkan hasil penulisan buku
diperoleh pengaruh indikator kemampuan pertimbangan dan
pengetahuan yang sangat signifikan dengan nilai standard size
estimate sebesar 0,74. Artinya setiap peningkatan nilai kebiasaan
sebesar 1 akan meningkatkan nilai Airmanship sebesar 0,74. Ke-
mampuan pertimbangan dan pengetahuan merupakan syarat
umum untuk semua profesi, tetapi khusus untuk pilot kemampu-
an pertimbangan dan pengetahuan mendapatkan perhatian khu-
sus karena berhubungan dengan keselamatan penerbangan. Indi-
kator tersebut menjadi bagian dari Airmanship karena ditinjau dari
Airmanship.indd 178 5/9/19 1:47 PM
P E N T I N G N YA A I R M A N S H I P D A L A M K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 7 9
aspek teoretis Airmanship. Menurut Demaria (2006) Airmanship
merupakan kemampuan dan pengetahuan yang diterapkan dalam
navigasi udara yang mencakup keahlian dan kebiasaan dari pener-
bang. Berdasarkan hasil peneletian dan didukung oleh dasar teo-
retis maka dapat dijelaskan bahwa kemampuan pertimbangan dan
pengetahuan tidak bisa terlepas dari Airmanship.
b. Indikator Koordinasi dan Pengambilan keputusan (Y12). Koordina-
si dan pengambilan keputusan merupakan kemampuan dasar dari
setiap profesi maupun pekerjaan. Demikian juga untuk pilot,
berdasarkan hasil penulisan buku diperoleh pengaruh indikator
koordinasi dan pengambilan keputusan mempunyai pengaruh
yang sangat signifikan dengan nilai standard size estimate sebesar
0,79 artinya setiap peningkatan nilai kebiasaan sebesar 1 akan
meningkatkan nilai Airmanship sebesar 0,79. Indikator koordinasi
dan pengambilan keputusan mempunyai nilai pengaruh yang
paling signifikan dibandingkan dengan indikator yang lain. Hasil
penulisan buku ini senada dengan hasil penulisan buku sebelum-
nya. Pada umumnya koordinasi dan pengambil keputusan banyak
dibahas dalam bidang manajemen dan organisasi. Jika ditinjau
dari aspek teoretis dan dihubungkan dengan Airmanship pilot
maka indikator koordinasi dan pengambilan keputusan merupakan
kegiatan yang dilaksanakan oleh pilot beserta krunya pada saat
penerbangan. Pilot harus berkoordinasi dengan seluruh kru mau-
pun pendukung yang lainnya untuk memastikan apakah pener-
bangan layak atau tidak. Kesalahan koordinasi dan pengambilan
keputusan dapat mengakibatkan kesalahan fatal yang sangat
merugikan harta benda maupun nyawa manusia. Sebagai contoh
terjadinya kecelakaan pesawat Batik Air dan Trans Nusa di Halim
Perdanakusuma pada Bulan April 2016. Menurut Pengamat Pener-
bangan Alvin Lie (2016) mengatakan bahwa kecelakaan pesawat
Batik Air dengan Trans Nusa di Bandara Halim Perdanakusuma
disebabkan lemahnya koordinasi antara pilot dengan Air Traffic
Airmanship.indd 179 5/9/19 1:47 PM
1 8 0 A I R M A N S H I P
Controllers (ATC). Dari kejadian tersebut dapat dianalisis bahwa
pilot mempunyai Airmanship yang rendah dengan indikator ku-
rangnya koordinasi pilot dengan pihak ATC.
c. Indikator Memahami Lingkungan (Y13). Memahami lingkungan
merupakan tingkat respek seorang pilot terhadap lingkungan.
Berdasarkan hasil penulisan buku diperoleh pengaruh indikator
memahami lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat signi-
fikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,67 artinya se-
tiap peningkatan nilai kebiasaan sebesar 1 akan meningkatkan
nilai Airmanship sebesar 0,67. Secara umum memahami lingkung-
an dapat diartikan sebagai adaptasi terhadap lingkungan. Ling-
kungan yang dimaksud dalam penulisan buku ini adalah lingkung-
an secara umum seperti lingkungan keluarga, lingkungan peker-
jaan, lingkungan sosial, maupun yang lainnya. Pemahaman ling-
kungan yang baik oleh seorang pilot akan mempermudah peker-
jaannya guna mencapai keselamatan penerbangan. Penelitan se-
belumnya mengenai lingkungan kerja dihubungkan dengan ber-
bagai variabel seperti pengaruh lingkungan kerja terhadap moti-
vasi kerja (Khoiri, 2013), pengaruh lingkungan kerja terhadap se-
mangat kerja karyawan (Ginanjar, 2013), pengaruh lingkungan
kerja terhadap produktivitas (Heryanto, 2012). Semua penulis
berkesimpulan bahwa lingkungan kerja berpengaruh signifikan
posistif terhadap variabelnya. Dalam penulisan buku ini tidak
berbeda dengan penulisan buku sebelumnya bahwa memahami
lingkungan berpengaruh signifikan positif terhadap Airmanship
pilot.
d. Indikator Mengenali risiko (Y14). Mengenali risiko merupakan pe-
ngetahuan seorang pilot terhadap potensi bahaya atau kemung-
kinan terjadinya bahaya. Berdasarkan hasil penulisan buku diper-
oleh pengaruh indikator mengenali risiko mempunyai pengaruh
yang signifikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,62,
Airmanship.indd 180 5/9/19 1:47 PM
P E N T I N G N YA A I R M A N S H I P D A L A M K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 8 1
artinya setiap peningkatan nilai kebiasaan sebesar 1 akan mening-
katkan nilai Airmanship sebesar 0,67. Indikator mengenali risiko
merupakan indikator yang paling rendah jika dibandingkan dengan
yang lain. Secara umum mengenali risiko dapat diartikan sebagai
tingkat prediksi seorang pilot terhadap kemungkinan kejadian
untuk masa yang akan datang. Penulisan buku tentang mengenali
risiko yang berhubungan dengan penerbangan pernah diteliti oleh
Subando (2012) dengan judul Analisis Risiko Kecelakaan pada Ke-
giatan Pelayanan Sisi Udara Pesawat Udara di bandara Soekarna-
Hatta yang menyimpulkan bahwa risiko kecelakaan terjadi pada
semua jenis pekerjaan. Jika dihubungkan dengan penulisan buku
ini maka seorang pilot harus dapat mengenali risiko yang dapat
berpotensi untuk terjadinya kecelakaan pesawat. Penulisan buku
yang berhubungan juga diteliti oleh Abisay (2013) dengan judul
manajemen risiko pada bandara Soekarno-Hatta berbasis ISO
31000. Hasil penulisan buku menunjukkan bahwa pada bandara
Soekarno-Hatta terdapat 7 peristiwa risiko yang mempunyai po-
tensi bahaya yaitu pecahnya permukaan runway, kecelakaan pe-
sawat saat take off/landing, terganggunya pelayanan navigasi dan
komunikasi penerbangan, kecelakaan pesawat di area apron,
gangguan keamanan di bandara, jetblast pesawat dan lolosnya
barang berbahaya ke dalam pesawat. Berdasarkan penulisan buku
tersebut dapat dijelaskan bahwa seorang pilot harus mengenali
risiko tersebut guna tercapainya keselamatan penerbangan. Me-
mahami risiko tersebut diartikan sebagai kemampuan Airmanship.
B. AirMAnShip DALAM KACAMATA KuALiTATiF
Dari hasil wawancara dengan para ahli, ada beberapa perbedaan pan-
dangan tentang Aimanship. Menurut Capt. R.A. Rooroh, Airmanship
berhubungan dengan Attitude atau sikap dari seorang pilot untuk
melaksanakan keselamatan penerbangan. Capt. R.A. Rooroh menyoroti
Airmanship pilot dari aspek sikap karena dirinya bergerak dalam bidang
Airmanship.indd 181 5/9/19 1:47 PM
1 8 2 A I R M A N S H I P
sekolah penerbang. Menurutnya dasar seorang calon pilot untuk cepat
bisa terbang adalah attitude-nya. Ia juga menjelaskan supaya ada
standardisasi tentang Airmanship pilot yang harus diberikan pada saat
menjadi calon pilot. Sedangkan Capt. Rahayu Kuntardi menjelaskan
Airmanship sebagai kemampuan seseorang pilot untuk fokus dalam
melaksanakan penerbangan dengan didasari oleh keluarga yang tidak
bermasalah. Ia lebih fokus menyoroti masalah teknis pada saat pener-
bangan. Berbeda dengan Capt. Yudhianto yang menjelaskan bahwa
Airmanship adalah budaya safety flying yang harus tetap dijaga dan
dibina oleh seorang pilot. Capt. Yudhianto yang berprofesi juga seba-
gai inspektor, langsung berbicara tentang keselamatan penerbangan.
Sedang Dr. Widura hampir senada dengan Capt R.A. Rooroh yang
menyatakan bahwa Airmanship adalah attitude yang berkaitan dengan
keterampilan profesi, perasaan dan kecepatan motorik. Sedangkan
Alvin Lie menyatakan Airmanship adalah attitude yang berkaitan de-
ngan disiplin diri untuk mengukur diri dan mengendalikan diri, skill
atau kemampuan, situational awareness dan kejujuran terhadap diri
sendiri. Pernyataan Alvin tersebut merupakan pemahaman dari tiga
variabel independen (perilaku, kecerdasan emosi dan efikasi diri) yang
memengaruhi Airmanship.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para ahli, penulis dapat
menyimpulkan bahwa Airmanship dapat didefinisikan dari aspek in-
ternal dan eksternal untuk melaksanakan tugas pada saat penerbang-
an. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada para praktisi pener-
bangan, menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan definisi
tentang Airmanship, namun dengan persamaan bahwa Airmanship
tersebut adalah kemampuan/skill untuk tujuan keselamatan pener-
bangan. Sesuai dengan teori Airmanship yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, Airmanship memiliki 4 (empat) struktur, yaitu Corner
Stone, Foundation, Pillar of Knowledge dan Capstone.
Hasil wawancara bilamana ditinjau sesuai dengan teori Airmanship
maka kemampuan dan keahlian adalah Foundation dari Airmanship,
yang merupakan 1 (satu) struktur dari 4 (empat) struktur Airmanship.
Airmanship.indd 182 5/9/19 1:47 PM
P E N T I N G N YA A I R M A N S H I P D A L A M K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 8 3
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa masih diperlukannya
pemahaman dan pengetahuan tentang Airmanship agar tercipta sua-
tu standardisasi pemahaman.
Standardisasi pemahaman merupakan suatu hal yang penting agar
tercapai suatu kondisi atau tingkatan yang sama antara satu orang
dengan orang lainnya. Adapun pengertian standardisasi adalah proses
pembentukan standar teknis, standar spesifikasi, standar cara uji,
standar definisi, prosedur standar (atau praktik) dan lain-lain.
Istilah standardisasi berasal dari kata standar yang berarti satuan
ukuran yang dipergunakan sebagai dasar pembanding kuantitas, ku-
alitas, nilai dan atau hasil karya yang ada. Dalam arti yang lebih luas
maka standar meliputi spesifikasi baik produk, bahan maupun proses.
Tidak boleh tidak, standar harus atau sedapat mungkin diikuti supaya
kegiatan maupun hasilnya dapat diterima umum dengan penggunaan
standar. Ukuran ini adalah hasil kerja sama pihak-pihak yang berke-
pentingan dalam industri di mana perusahaan itu berada.
Mengingat bahwa Airmanship terdiri dari 4 (empat) struktur na-
mun umumnya hanya dipahami dan difokuskan pada struktur perta-
ma dan kedua saja (sesuai hasil wawancara mendalam), yaitu Corner
Stone dan Foundation, maka untuk standardisasi pemahaman Airman-
ship ini secara menyeluruh, penulis merasa perlu adanya suatu proses
atau prosedur yang dapat memberikan pemahaman yang sama serta
keluaran yang standar bagi setiap Pilot tentang Airmanship.
Prosedur sebagaimana dimaksud, penulis namakan sebagai Blan-
ket of Airmanship. Prosedur tersebut merupakan standardisasi tentang
nilai-nilai Airmanship serta standardisasi tentang proses pencapaian
keempat struktur Airmanship berupa kebijakan publik berbentuk SOP
baku yang berisikan guidance maupun silabus bagi para Pilot khusus-
nya, maupun insan penerbangan lain pada umumnya yang wajib di-
implementasikan demi tercapainya keselamatan penerbangan. Blanket
of Airmanship berupa learning organization yang bertanggung jawab
terhadap edukasi, sertifikasi, dan legalisasi.
Airmanship.indd 183 5/9/19 1:47 PM
1 8 4 A I R M A N S H I P
C. AnALiSiS TErhADAp STruKTur TEori AirMAnShip
Teori tentang Airmanship tidak terlepas dari bangunan Airmanship
yang ditemukan oleh Kern. Bangunan Airmanship sebagaimana telah
dijelaskan terlebih dahulu terdiri atas 4 struktur yaitu: Cornerstone,
Foundation of Airmanship, Pillars of Knowledge dan Capstone (Outcome).
Struktur Cornerstone adalah disiplin, struktur Foundation of Airmanship
mencakup keterampilan, kemampuan, dan disiplin. Pillars of Knowled-
ge meliputi diri sendiri, pesawat, tim, lingkungan, risiko dan misi.
Sementara Capstone (Outcome) terdiri atas: kesadaran situasional dan
penilaian (Kern, 1997). Analisis struktur Airmanship yang dibahas ada-
lah sebagai berikut:
1. Cornerstone. Struktur paling mendasar dalam memahami Airman-
ship adalah Cornerstone yang merupakan disiplin dari pilot.
a. Disiplin pilot merupakan landasan utama atas keberhasilan
Airmanship. Displin dapat diukur dengan indikator kemampuan
pertimbangan dan pengetahuan. Terdapat hubungan yang sig-
nifikan antara kemampuan pertimbangan dan pengetahuan
terhadap Airmanship.
b. Keterampilan (skill) dan Kemahiran (proficiency). Keterampilan
(Skill) dalam penguasaan teknik dan ilmu terbang membutuh-
kan beberapa keterampilan yang dikembangkan dari dalam
dan luar pelatihan formal. Indikator yang digunakan untuk
mengukur ketrampilan dan kemahiran adalah kemampuan
pertimbangan dan pengetahuan. Selain keterampilan terbang
fisik yang terlihat dengan jelas, penguasaan teknik dan ilmu
terbang juga memerlukan keterampilan komunikasi, keteram-
pilan pembuatan keputusan, keterampilan tim dan tidak kalah
penting adalah keterampilan menilai bakat diri sendiri (self-
assessment). Teori tersebut dapat diukur dengan indikator
koordinasi dan pengambilan keputusan. Penulis menganalisis
adanya hubungan yang signifikan antara indikator koordinasi
dan pengambilan keputusan dengan variabel Airmanship pilot.
Airmanship.indd 184 5/9/19 1:47 PM
P E N T I N G N YA A I R M A N S H I P D A L A M K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 8 5
2. Pillars of Knowledge.
Struktur kedua setelah Bedrock of Principles adalah Pillars of Know-
lege. Struktur kedua ini merupakan pengayaan pengetahuan seo-
rang pilot setelah mendalami, memahami dan menghayati lan-
dasan utama Airmanship yaitu Bedrock of Principles. Dengan me-
miliki landasan yang baik, maka pengetahuan pada tahap berikut-
nya akan lebih mudah dikuasai oleh pilot. Penulis akan mengana-
lisis struktur Pillars of Knowledge sebagai berikut:
a. Diri Sendiri. Diri sendiri merupakan komponen paling penting
dalam Airmanship, namun memahami diri sendiri merupakan
syarat tersulit dalam sistem Airmanship untuk dipelajari. Sistem
fisiologis dan psikologis manusia jauh lebih canggih daripada
mesin yang pernah diciptakan. Sehingga perlu dipahami terlebih
dahulu tentang physical self dan psikologis manusia, dari segi
kelaikan udara. Pengetahuan tentang diri sendiri dapat diukur
dengan dua indikator yaitu indikator kemampuan pertimbang-
an dan pengetahuan serta indikator koordinasi dan pengambil-
an keputusan. Kedua indikator tersebut menghasilkan hubung-
an yang signifikan terhadap variabel Airmanship.
b. Mengenali Pesawat. Kemampuan seorang penerbang untuk
mengembangkan hubungan personal dengan pesawatnya
merupakan sebuah kunci indikator dari penguasaan Airman-
ship. Hubungan ini bukan hanya sekadar mengenai kemam-
puan mengendalikan ataupun mengoperasikan pesawat dari
berbagai tipe maupun model, namun lebih kepada keinginan
yang murni untuk menjadikan pesawat ini bagian dari diri
sendiri, menjadikan suatu gabungan antara manusia dan
mesin untuk dijadikan satu kesatuan unit fungsi. Indikator
yang digunakan penulis untuk mengukur mengenali pesawat
terdiri dari indikator mengenali lingkungan dan mengenali
risiko. Kedua indikator tersebut dianggap telah tepat untuk
pillars of knowledge tentang pesawat. Kedua indikator tersebut
memiliki hubungan yang signifikan dengan Airmanship.
Airmanship.indd 185 5/9/19 1:47 PM
1 8 6 A I R M A N S H I P
c. Know your Team. Kerja sama tim dan Crew Resource Manage-
ment (CRM). Kerja sama tim yang baik terbentuk dari individu-
individu yang bagus. Ironisnya, kerja sama tim menjadi tang-
gung jawab individual, seperti halnya Airmanship. Indikator
yang tepat digunakan untuk mengukur pengetahuan tentang
tim adalah koordinasi dan pengambilan keputusan. Konsep
kerja sama tim lahir dari sejarah penerbangan yang dimulai
dari hubungan yang sederhana antara penerbang dan meka-
niknya sampai dengan suatu hubungan yang jauh lebih kom-
pleks. Hal tersebut sesuai dengan indikator yang digunakan
bahwa dibutuhkan koordinasi dengan kru yang lainnya. Seba-
gaimana pesawat terbang berkembang menjadi lebih besar
dari segi ukuran dan kepentingannya, maka anggota crew
udara pun sangat perlu ditambah untuk memenuhi kebutuh-
an perkembangannya. Kerja sama tim saat ini menggunakan
banyak sekali hubungan antara seorang penerbang dengan
berbagai sumber informasi, peralatan dan manusia. Dari pen-
jelasan tersebut maka selain koordinasi dibutuhkan juga ke-
mampuan pilot untuk mengambil keputusan, sehingga indi-
katornya sudah tepat yaitu menggabungkan antara koordina-
si dan pengambilan keputusan. Penulis menganalisis bahwa
seorang pilot harus dapat mengambil keputusan berdasarkan
hasil koordinasi dengan pihak yang lain.
d. Mengenali Lingkungan (environment). Pengetahuan yang me-
nyeluruh terhadap lingkungan sangat penting untuk dipahami.
Pengetahuan terhadap lingkungan secara menyeluruh ini akan
memberikan masukan bagi situational awareness. Ada dua
jenis lingkungan yang perlu dipahami, yaitu lingkungan fisik
dan lingkungan organisasi.
e. Kenali Risiko. Di mana tidak ada risiko, maka di sana tidak
akan ditemukan kesempatan. Dalam konteks penerbangan,
keputusan yang dibuat akan memengaruhi efektivitas,
efisiensi, dan keselamatan. Tiga aturan yang harus dipahami
Airmanship.indd 186 5/9/19 1:47 PM
P E N T I N G N YA A I R M A N S H I P D A L A M K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 8 7
dalam melakukan sound decision yang berkaitan dengan risiko,
yaitu: (i) Jangan terima risiko yang tidak diperlukan; (ii) Buat-
lah keputusan risiko sesuai dengan tingkatannya; dan (iii)
Terimalah risiko. Pada buku ini, indikator yang digunakan
untuk mengukur Airmanship pilot adalah mengenali risiko.
Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara mengenali risiko dengan Airmanship Pilot.
f. Misi, merupakan pilar of knowledge yang terakhir dalam
Bangunan Airmanship, karena seorang pilot dapat menjalan-
kan misinya dengan baik apabila telah memahami empat
pilar sebelumnya (self, team, aircraft, environment). Hal ini
merupakan dasar untuk menguasai pilar berikutnya yaitu
mengenali risiko yang dihadapi (risk). Pada buku ini misi tidak
dimasukkan dalam indikator Airmanship, Tetapi misi meru-
pakan suatu variabel utama. Hal tersebut disebabkan setelah
lima pilar telah dikuasai oleh pilot, maka dalam menjalankan
misi seorang pilot harus mempunyai knowledge terhadap
budaya organisasi, filosofi dan kebijakan keselamatan pe-
nerbangan serta sistem manajemen keselamatan organisasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis menyimpul-
kan bahwa misi merupakan tujuan akhir dari Airmanship.
Dampak negatif yang akan timbul apabila dalam menjalan-
kan misi tanpa memiliki knowledge terhadap budaya organi-
sasi, filosofi, dan kebijakan keselamatan penerbangan serta
sistem manajemen keselamatan organisasi adalah kecelaka-
an penerbangan.
3) Capstone (Outcome) of Airmanship.
Airmanship yang baik terlihat dari outcome yang baik dari seo-
rang pilot. Outcome yang baik yaitu situational awareness dan
judgement yang dihasilkan oleh seorang pilot, didasarkan pada
kedua struktur Airmanship sebelumnya. Indikator untuk meng-
ukur capstone tidak secara langsung diukur berdasarkan satu
Airmanship.indd 187 5/9/19 1:47 PM
1 8 8 A I R M A N S H I P
indikator. Untuk lebih jelasnya akan dianalisis dari aspek struk-
tur Airmanship tersebut.
a. Situational Awareness (SA). Endsley seorang ahli Situational
Awareness dalam Kern (2010) mendefinisikan bahwa SA adalah
“the perception of the elements in the environment within a
volume of time and space, the comprehension of their meaning,
and the projection of their status in the near future”. Penulis
dapat mengambil makna bahwa untuk meningkatkan pema-
haman akan SA sangat berkaitan dengan area-area lain dalam
Airmanship. Berdasarkan teori SA tersebut dapat terlihat bah-
wa indikator yang mendekati teori tersebut adalah memahami
lingkungan, akan tetapi tidak cukup dengan memahami ling-
kungan, diperlukan juga kemampuan pertimbangan dan pe-
ngetahuan. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dinyatakan
bahwa dibutuhkan dua indikator untuk mengukur SA. Penulis
melihat bahwa kedua indikator tersebut mempunyai hubung-
an yang signifikan dengan Airmanship.
b. Penilaian (Judgement) dan Pengambilan Keputusan. Penilaian
yang baik berada pada puncak dari bangunan Airmanship dan
seluruh faktor lainnya termasuk disiplin, keterampilan, penge-
tahuan, dan situational awareness mendukung terjadinya pe-
nilaian yang baik. Penilaian yang baik, pada akhirnya, mendu-
kung ketiga tujuan utama dari Airmanship, yaitu keselamatan,
misi yang efektif dan efisiensi. Maka penilaian yang baik sa-
ngat penting dalam Airmanship, tidak hanya terhadap indivi-
dual namun juga terhadap organisasi. Buku ini mengukur
Penilaian (Judgement) dan Pengambilan Keputusan dengan dua
indikator, yaitu indikator kemampuan pertimbangan dan pe-
ngetahuan, serta indikator koordinasi dan pengambilan kepu-
tusan. Hasil menunjukkan bahwa kedua indikator tesebut
mempunyai hubungan yang signifikan dengan Airmanship
pilot.
Airmanship.indd 188 5/9/19 1:47 PM
P E N T I N G N YA A I R M A N S H I P D A L A M K E S E L A M ATA N P E N E R B A N G A N 1 8 9
Indikator-indikator ini nantinya akan saling memengaruhi dalam
membentuk bangunan Airmanship yang komprehensif dan holistik
untuk peningkatan keselamatan penerbangan di Indonesia. Sehingga
seluruh stakeholder termasuk pemerintah selaku regulator mampu
bekerja sama dengan baik untuk menciptakan keselamatan pener-
bangan sebagai wujud pelayanan publik.
Airmanship.indd 189 5/9/19 1:47 PM
Airmanship.indd 190 5/9/19 1:47 PM
B a b V I I I 1 9 1
Bab VIIIPENGARUH PERILAKU,
KECERDASAN EMOSI, DAN EFIKASI DIRI TERHADAP
AIRMANSHIP PILOT
Airmanship.indd 191 5/9/19 1:47 PM
1 9 2 A I R M A N S H I P
Analisis perilaku, kecerdasan, emosi dan efikasi diri dalam dunia
penerbangan yang diulas dalam bab ini ditinjau dari beberapa
pengalaman dari pelaku lapangan yang sebelumnya sudah
diterangkan secara umum. Selain itu berdasarkan pengamatan dan
pengamalan penulis saat berkecimpung di dunia penerbangan, anali-
sis ini diulas untuk mencari format terbaik dalam membentuk Airman-
ship pilot pada tataran formulasi kebijakan.
A. pEngAruh pEriLAKu TErhADAp AirMAnShip
Berdasarkan konsep teoretis yang telah dijelaskan pada bab sebelum-
nya, variabel perilaku diukur dengan empat indikator yaitu kebiasaan,
respons atau reaksi, stimulus dan sikap. Seluruh indikator yang digu-
nakan untuk mengukur perilaku mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan di mana yang paling besar pengaruhnya adalah indikator
kebiasaan dengan nilai standard sized estimate sebesar 0,93. Sedangkan
yang terendah adalah indikator stimulus yang mempunyai nilai stan-
dard size estimate sebesar 0,79 dengan tingkat probabilitas 0,034.
Untuk lebih jelasnya akan dibahas pengaruh dari setiap indikator
tersebut sebagai berikut:
a. Indikator kebiasaan (X11). Pengaruh indikator kebiasaan yang sa-
ngat signifikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,93,
artinya setiap peningkatan nilai kebiasaan sebesar 1 akan mening-
katkan nilai perilaku sebesar 0,93. Kebiasaan dapat memengaruhi
perilaku. Diskursus sebelumnya lebih mengkhususkan hubungan
kebiasaan dengan perilaku. Sebagai contoh hubungan kebiasaan
merokok dengan perilaku konsumtif yang menyimpulkan kebias-
an merokok akan memengaruhi perilaku komsumtif. Demikian
juga dengan pilot, kebiasaan pilot yang suka merokok akan me-
mengaruhi perilaku konsumtif pilot yang dapat berdampak pada
kinerja pilot. Diskursus tentang kebiasaan dalam hubungannya
dengan perilaku banyak diteliti oleh para psikologi. Dari analisis
tersebut penulis menyimpulkan bahwa kebiasaan merupakan
Airmanship.indd 192 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 1 9 3
salah satu indikator yang tepat digunakan untuk mengukur vari-
abel perilaku.
b. Indikator respons atau reaksi (X12). Pengaruh indikator respons
atau reaksi yang sangat signifikan dengan nilai standard size esti-
mate sebesar 0,88 artinya setiap peningkatan nilai respons atau
reaksi sebesar 1 akan meningkatkan nilai perilaku sebesar 0,88.
Seorang pilot yang profesional harus mempunyai respons atau
reaksi yang cepat terhadap situasi di sekitarnya. Respons dan re-
aksi seseorang juga akan memengaruhi sikap dan perilaku untuk
mengambil keputusan. Sesuai dengan teori Behaviorisme dari Jhon
Broades Watson yang menyatakan bahwa segala perilaku manusia
sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitarnya. Dengan
kata lain, lingkunganlah yang membentuk kepribadian manusia.
Sesuai dengan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa respons
manusia terhadap lingkungan sekitar akan memengaruhi perila-
kunya. Penulis menyimpulkan bahwa indikator respons dan reak-
si merupakan salah satu indikator yang tepat digunakan untuk
mengukur variabel perilaku.
c. Indikator stimulus (X13). Pengaruh indikator stimulus yang sangat
signifikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,79 artinya
setiap peningkatan nilai stimulus sebesar 1 akan meningkatkan
nilai perilaku sebesar 0,79. Indikator stimulus hampir sama dengan
indikator respons yaitu yang berhubungan dengan reaksi terhadap
lingkungan sekitar. Watson mendefinisikan belajar sebagai proses
interaksi antara stimulus dan respons, namun stimulus dan res-
pons yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat
diukur. Indikator stimulus pada buku ini berhubungan dengan
kecepatan pilot untuk memahami kejadian atau perubahan di
sekitarnya. Dari analisis tersebut penulis menyimpulkan bahwa
stimulus merupakan salah satu indikator yang tepat digunakan
untuk mengukur variabel perilaku.
d. Indikator sikap (X14). Pengaruh indikator sikap yang sangat signi-
fikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,89 artinya se-
Airmanship.indd 193 5/9/19 1:47 PM
1 9 4 A I R M A N S H I P
tiap peningkatan nilai sikap sebesar 1 akan meningkatkan nilai
perilaku sebesar 0,89. Diskursus ini senada dengan diskursus yang
dilakukan Handayani (2008) yang menyimpulkan bahwa sikap
mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dengan perilaku.
Perbedaan dengan Handayani (2008) adalah objeknya. Dari analisis
tersebut penulis menyimpulkan bahwa sikap merupakan salah
satu indikator yang tepat digunakan untuk mengukur variabel
Perilaku. Hasil dari wawancara mendalam dengan beberapa ahli
yang berkaitan dengan variabel perilaku menyatakan bahwa peri-
laku mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Airmanship.
Ahli Psikoloi Dr. Widura melihat perilaku dengan membatasi dalam
konteks gaya hidup. Ia menyarankan supaya definisi operasional
perilaku harus jelas dalam mengukur variabel perilaku dengan
indikator yang digunakan, karena menurutnya perilaku merupakan
wacana yang luas sehingga perlu dibatasi dalam pendefinisiannya.
Sedangkan Capt. R.A. Rooroh menyatakan bahwa perilaku pilot
sangat dipengaruhi oleh manajemen dan organisasi. Ia menjelas-
kan bahwa perilaku pilot sangat dipengaruhi oleh lingkungan
kerja. Pernyataannya didasari sebagaimana sebagai pimpinan or-
ganisasi yang membawahi beberapa pilot. Berbeda dengan Capt.
Rahayu Kuntardi, yang menjelaskan bahwa perilaku pilot dipenga-
ruhi oleh tingkat kesejahteraan yang diterima oleh pilot tersebut.
Pandangan Capt. Yudhianto hampir senada dengan Capt. R. Kun-
tardi, yang menyatakan bahwa budaya atau culture memengaruhi
perilaku. Menurut Yudhianto, bahwa budaya safety dan budaya
lapor masih rendah di Indonesia. Beliau menganggap bahwa bu-
daya menutup-nutupi sebuah insiden merupakan perilaku yang
kurang baik karena budaya Indonesia yang penuh toleransi, se-
hingga mengabaikan keselamatan penerbangan. Dari beberapa
pendapat para ahli, penulis dapat menyatakan bahwa perilaku
pilot dipengaruhi oleh faktor internal berupa sikap dan kebiasaan
sehari-hari dan faktor eksternal berupa stimulus dan respons ter-
hadap lingkungan sekitar.
Airmanship.indd 194 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 1 9 5
Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga
domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar
dengan istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004). Bentuk-
bentuk perilaku tersebut merupakan indikator yang digunakan. Do-
main pengetahuan dapat dikatatakan sebagai indikator respons dan
stimulus, Domain sikap sebagai indikator sikap, dan Domain tindakan
sebagai indikator kebiasaan. Berdasarkan teori Perilaku oleh Notoat-
mojo (2003) yang menyebutkan bahwa perilaku manusia adalah semua
kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Senada dengan Ensiklopedi
Amerika, di mana perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organis-
me terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu
yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rang-
sangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau
perilaku tertentu (Notoadmodjo, 2003). Jika kedua teori tersebut di-
hubungkan maka perilaku pilot diamati secara tidak langsung mela-
inkan melalui kuisioner dengan indikator yang telah ditentukan. Hasil
tersebut dianggap sudah tepat berdasarkan validitas dan reabilitas
yang dihasilkan.
Jika ditinjau dari teori perilaku menurut Skinner (2013), yang me-
nyatakan bahwa perilaku sebagai respons atau reaksi seseorang ter-
hadap stimulus, atau yang sering disebut dengan teori S-O-R (stimu-
lus-organisme-respons), maka dalam hal ini yang berhubungan dengan
perilaku pilot dapat dijelaskan bahwa respons pilot terhadap kesela-
matan penerbangan dapat dilihat dari kecepatan pilot untuk meng-
ambil keputusan sebelum dan pada saat operasi penerbangan. Hal ini
dapat dilihat dari indikator kedua yaitu respons dan reaksi yang
mempunyai loading factor sebesar 0.88.
Teori Skinner juga menyatakan bahwa perilaku terbagi dua jenis
respons, pertama respondent respons yaitu respons yang ditimbulkan
oleh stimulus tertentu dan menimbulkan respons yang relatif tetap,
kedua operant respons yaitu respons yang timbul dan berkembang
diikuti oleh stimulus yang lain. Dalam penulisan buku ini respons yang
Airmanship.indd 195 5/9/19 1:47 PM
1 9 6 A I R M A N S H I P
dimaksud indikator stimulus yang mempunyai loading factor sebesar
0,79. Hasil ini mendukung teori kedua Skinner tentang perilaku.
Sedangkan jika dianalisis dari perilaku berdasarkan definisi Kwick
yang menyatakan bahwa perilaku dapat diketahui dengan memberi
ruang kepada setiap orang untuk dapat memaknai perilaku orang lain
atas berbagai hal yang dilakukan oleh orang yang ia amati. Apabila
setelah dipelajari dalam rentang waktu tertentu, orang yang diamati
menunjukkan perilaku yang sama secara berulang, maka itulah peri-
laku orang tersebut. Maka berdasarkan hal tersebut perilaku dalam
buku ini tidak sama dengan apa yang telah didefinisikan oleh Kwick.
Pengukuran perilaku pada buku ini tidak dilaksanakan secara berulang-
ulang atau langsung, tetapi hanya melalui pertanyaan kuisioner yang
telah ditentukan.
Oleh karena itu teori Kwick tidak berlaku secara teknis. Akan te-
tapi jika ditinjau dari makna definisi perilaku menurut Kwick tersebut
dapat dinyatakan bahwa perilaku merupakan kebiasan yang dilakukan
oleh seseorang. Kebiasaan merupakan salah satu indikator yang mem-
punyai loading factor yang sangat tinggi sebesar 0,99. Jika dianalisis
dari perilaku organisasi yang telah didefinisikan oleh Robbins yang
menyatakan bahwa perilaku organisasi adalah studi yang mengambil
pandangan mikro–memberi tekanan pada individu-individu dan ke-
lompok-kelompok kecil. Robbins juga menyatakan bahwa perilaku
organisasi memfokuskan diri kepada perilaku di dalam organisasi dan
seperangkat prestasi dan variabel mengenai sikap yang sempit dari
para pegawai, dan kepuasan kerja adalah yang banyak diperhatikan.
Berkaitan dengan perilaku pilot maka indikator yang digunakan adalah
sikap pilot pada saat melaksanakan tugas.
Sikap pilot hampir sama dengan definisi perilaku organisasi. Hasil
menunjukkan bahwa indikator sikap mempunyai loading factor yang
paling tinggi sebesar 0,89. Hasil ini dapat menjelaskan perilaku orga-
nisasi mempunyai pengaruh yang penting untuk membentuk perilaku
seorang pilot. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya tekanan terhadap
pilot yang memengaruhi sikap pilot dalam melaksanakan tugas.
Airmanship.indd 196 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 1 9 7
Pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh John (1983)
yang menyebutkan bahwa perilaku organisasi merupakan suatu istilah
yang agak umum yang menunjukkan kepada sikap dan perilaku indi-
vidu dan kelompok dalam organisasi, yang berkenaan dengan studi
sistematis tentang sikap dan perilaku, baik yang menyangkut pribadi
maupun antar pribadi di dalam konteks organisasi. Hal senada juga
oleh Gibson, dkk. (1986) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud
perilaku organisasi adalah studi tentang perilaku manusia, sikapnya,
dan hasil karyanya dalam lingkungan keorganisasian. Berdasarkan
teori perilaku yang disampaikan oleh Jhon dan Gibson maka indikator
yang mendukung teori tersebut adalah sikap. Perbedaan antara teori
Jhon dan Gibson dengan penulis adalah penempatan posisi sikap dan
perilaku. Jhon dan Gibson menyatakan bahwa sikap dan perilaku ada-
lah setingkat, sedangkan penulis berpendapat bahwa sikap merupakan
indikator dari perilaku.
Berbeda dengan Robbin (2001) yang menyatakan bahwa perilaku
organisasi adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak pero-
rangan, kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan
maksud menerapkan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki
keefektifan organisasi. Robbin lebih menekankan bahwa perilaku
perorangan yang memengaruhi perilaku organisasi tersebut. Sedang-
kan pada buku ini, organisasilah yang memengaruhi perilaku dari pilot.
Penulis senada dengan pendapat Toha (2001) yang menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan perilaku organisasi adalah suatu studi yang
menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu organi-
sasi atau suatu kelompok tertentu.
Dari pendekatan Studi Perilaku Organisasi yang secara garis besar
ada tiga jenis pendekatan yang dilakukan oleh para ahli perilaku or-
ganisasi antara lain: (1) Pendekatan kognitif oleh Edward Tolman, ya-
itu pendekatan berdasarkan pemahaman seseorang terhadap infor-
masi; (2) Pendekatan behavioristic oleh I.P. Pavlov dan J.B. Watson,
yaitu berdasarkan respons yang muncul apabila diberi stimulus ter-
tentu; dan (3) Pendekatan social learning oleh Bandura, berdasarkan
Airmanship.indd 197 5/9/19 1:47 PM
1 9 8 A I R M A N S H I P
penggabungan pendekatan Kognitif dan behavioristic. Berdasarkan
pendekatan kognitif yaitu pemahaman pilot terhadap informasi dapat
dilihat dari indikator stimulus yang dimiliki oleh seorang pilot. Se-
dangkan pendekatan berdasarkan respons, perilaku pilot dapat diukur
dari indikator respons, dan pendekatan social learning dapat dikur dari
indikator sikap.
Penulis menganalisis berdasarkan Pembentukan perilaku yang
menurut Ircham (2005) ada beberapa cara, di antaranya: 1) Conditioning
atau kebiasaan Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh
dengan conditioning kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk
berperilaku seperti yang diharapkan akhirnya akan terbentuklah peri-
laku. 2) Pengertian (Insight) Pembentukan perilaku yang didasarkan
atas teori belajar kognitif yaitu belajar disertai dengan adanya peng-
ertian. 3) Menggunakan Model, Cara ini menjelaskan bahwa domain
pembentukan perilaku pemimpin dijadikan model atau contoh oleh
yang dipimpinnya. Cara ini didasarkan atas teori belajar sosial (social
learning theory) atau observational learning theory oleh Bandura (1977).
Indikator yang paling berpengaruh adalah kebiasaan dan yang kedua
adalah sikap. Hasil tersebut mendukung teori pembentukan perilaku
di mana dua indikator yang digunakan merupakan cara yang diguna-
kan dalam pembentukan perilaku. Pembentukan perilaku yang tidak
ada pada indikator adalah penggunaan model. Tetapi jika dilihat dari
maknanya hampir sama pemahaman antara dijadikan model atau
contoh untuk pimpinan dengan indikator respons dan stimulus.
Jika mengacu pada teori terjadinya perilaku manusia, pembahas-
an tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan
di mana individu itu berada. Sebagai seorang pilot tidak akan terlepas
dari kehidupan keluarga maupun rekan rekan satu pekerjaan. Perilaku
manusia didorong oleh motif tertentu sehingga manusia berperilaku,
Ircham dalam Hasanah (2010). Teori perilaku menurut Ircham, antara
lain: 1) Teori Insting Menurut Mc Dougal perilaku itu disebabkan kare-
na insting. Insting merupakan perilaku yang innate, perilaku yang
bawaan dan akan mengalami perubahan karena pengalaman. 2) Teori
Airmanship.indd 198 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 1 9 9
Dorongan (drive theory) Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa
organisme itu mempunyai dorongan-dorongan atau drive tertentu.
Dorongan-dorongan itu berkaitan dengan kebutuhan- kebutuhan
organisme yang mendorong organisme berperilaku. 3) Teori Insentif
(Incentive theory). Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa perila-
ku organisme itu disebabkan karena adanya insentif, dengan insentif
akan mendorong organisme berperilaku. Insentif atau reinforcement
ada yang positif dan ada yang negatif. Reinforcement yang positif
adalah berkaitan dengan hadiah dan akan mendorong organisme
berbuat atau berperilaku; 4) Teori Atribusi. Teori ini menjelaskan ten-
tang sebab-sebab perilaku seseorang. Apakah itu disebabkan oleh
disposisi internal (misal motif, sikap) atau oleh keadaan eksternal.
Hubungannya adalah bahwa teori insting berhubungan dengan indi-
kator kebiasan dan stimulus, teori dorongan berhubungan dengan
respons dan stimulus, teori insentif berhungan dengan stimulus, dan
teori atribusi berhubungan dengan sikap.
Berdasarkan faktor yang memengaruhi perilaku yang dinyatakan
oleh Green (1980), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: 1)
Faktor predisposisi (Dispostioning Factors), yaitu faktor-faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain sikap, pe-
ngetahuan, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai tradisi, persepsi berke-
naan dengan motivasi seseorang untuk bertindak. 2) Faktor pemung-
kin (Enabling factors), yaitu faktor yang mencakup berbagai keteram-
pilan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku
pilot. Sumber daya itu meliputi fasilitas pelayanan penerbangan, si-
mulator, ruang briefing, dll. Faktor pemungkin ini juga menyangkut
keterjangkauan berbagai sumber daya. Biaya, dan pendukung yang
lain; 3) Faktor Penguat (Reinforcing factors), di mana faktor penguat
adalah faktor yang menentukan apakah tindakan pilot memperoleh
dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja bergantung pada
tujuan dan jenis program.
Di dalam sekolah penerbangan, penguat berasal dari instruktur,
teman, dan keluarga. Apakah penguat itu positif atau negatif bergan-
Airmanship.indd 199 5/9/19 1:47 PM
2 0 0 A I R M A N S H I P
tung pada sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan. Misalnya pada
saat pendidikan penerbangan yang penguatnya datang dari teman
siswa, instruktur, dan orangtua. Pada bagian ini, perilaku dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Bahkan pendapat para praktisi menyatakan bah-
wa untuk saat ini perilaku pilot dapat dipengaruhi oleh jiwa konsum-
tif, masalah keluarga, tekanan pekerjaan, tuntutan organisasi, dan
pengunaan obat- obatan.
Berdasarkan proses perilaku, perilaku manusia terjadi melalui
suatu proses yang berurutan. Menurut Rogers (1974) mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di
dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
a) Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari atau men-
getahui stimulus (objek) terlebih dahulu. Stimulus merupakan
salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur perilaku
pilot.
b) Interest (tertarik), yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus.
Proses kedua dalam perilaku tidak menjadi indikator karena di-
anggap masih bagian dari indikator stimulus.
c) Evaluation (menimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya).
Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. Indikator yang
digunakan untuk menilainya adalah respons. Respons merupakan
kemampuan pilot untuk menilai dan menganalisis suatu kejadian
berdasarkan fakta dan pengalaman yang dimiliki untuk mengam-
bil suatu keputusan pada saat penerbangan.
d) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. Trial dapat disa-
makan dengan sikap, di mana sikap tersebut selalu dinamis ter-
gantung situasi dan kondisi yang dialami oleh pilot tersebut. Pada
dasarnya sikap tersebut terus dibina mulai dari sekolah pilot
sampai seterusnya. Sikap tersebut juga dipengaruhi oleh penga-
laman dan budaya kerja dari pilot tersebut.
e) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahu-
an, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Adoption dapat
disamakan dengan indikator kebiasaan. Kebiasan pilot merupakan
Airmanship.indd 200 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 0 1
kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang yang dianggap meru-
pakan tindakan yang baik untuk tercapainya keselamatan pener-
bangan.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap
yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau
bersifat langgeng, Notoatmodjo (2003).
B. pEngAruh KECErDASAn EMoSi TErhADAp AirMAnShip
Variabelkecerdasanemosidiukurdenganempatindikatoryaitumenge-
lola emosi, memotivasi diri, membina hubungan, dan menyesuaikan
diri. Hampir semua indikator yang digunakan untuk mengukur kecer-
dasan emosi mempunyai pengaruh yang signifikan di mana yang paling
besar pengaruhnya adalah indikator motivasi diri (X22) yang mempunyai
nilai standard size estimate sebesar 0,87 dan yang terendah adalah indi-
kator menyesuaikan diri (X24) dengan probabilitas sebesar 0,027. Untuk
lebih jelasnya akan dibahas pengaruh dari setiap indikator.
a) Indikator Mengelola Emosi (X21). Pengaruh indikator mengelola
emosi yang sangat signifikan dengan nilai standard size estimate
sebesar 0,78 artinya setiap peningkatan nilai mengelola emosi
sebesar 1 akan meningkatkan nilai kecerdasan emosi sebesar 0,78.
Mengelola emosi dapat memengaruhi kecerdasan emosi. Dalam
berbagai literatur telah banyak penulis yang membahas tentang
kecerdasan emosi dalam pengaruhnya terhadap berbagai hal,
seperti pekerjaan, kepemimpinan, manajamen, bisnis dan lain
sebagainya. Sebagai contoh pengaruh kecerdasan emosi terhadap
kesuksesan pemimpin perusahaan. Hampir semua penulis me-
nyimpulkan bahwa kecerdasan emosi sesorang akan memengaruhi
cara bertindak dalam pengambilan keputusan. Demikian juga
Airmanship.indd 201 5/9/19 1:47 PM
2 0 2 A I R M A N S H I P
dengan pilot pada saat melaksanakan tugas, dituntut untuk dapat
mengambil keputusan pada semua kondisi. Seorang pilot harus
dapat mengelola emosi dengan baik sehingga dapat mengambil
keputusan yang tepat dan cepat. Mengelola emosi sebagai indi-
kator kecerdasan emosi mempunyai peranan penting dalam diri
seorang pilot. Untuk dapat mengelola emosi dengan baik maka
dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang banyak.
b) Indikator Memotivasi Diri (X22). Pengaruh indikator memotivasi
diri yang sangat signifikan dengan nilai standard size estimate
sebesar 0,87 artinya setiap peningkatan nilai respons atau reaksi
sebesar 1 akan meningkatkan nilai perilaku sebesar 0,88. Indikator
memotivasi diri merupakan indikator yang paling besar pengaruh-
nya terhadap variabel kecerdasan emosi. Seorang pilot yang pro-
fesional harus mempunyai mempunyai motivasi diri yang tinggi
karena tugas seorang pilot relatif berat karena berhubungan de-
ngan teknologi dan cuaca. Seorang pilot harus tekun untuk meng-
ikuti perkembangan ilmu, teknologi maupun peraturan atau ke-
bijakan publik di setiap wilayah.
c) Indikator Membina Hubungan (X23). Pengaruh indikator membina
hubungan yang sangat signifikan dengan nilai standard size esti-
mate sebesar 0,86 artinya setiap peningkatan nilai membina hu-
bungan sebesar 1 akan meningkatkan nilai kecerdasan emosi se-
besar 0,86. Nilai membina hubungan hampir sama dengan nilai
indikator memotivasi diri. Hal ini dapat dijelaskan bahwa seorang
pilot tidak dapat bekerja sendiri dalam melaksanakan pekerjaan.
Pilot harus dapat membina hubungan dengan orang lain seperti
pramugari, teknisi, maupun pendukung lainnya. Membina hubung-
an merupakan salah satu indikator dari kecerdasan emosi yang
langsung memengaruhi kondisi dan kenyamanan pekerjaan. Se-
lain membina hubungan dengan internal, pilot juga harus mem-
bina hubungan yang baik dengan pihak eksternal seperti ATC (Air
Traffic Control), Ground Handling, dan yang lain demi tercapainya
kelancaran dalam bekerja.
Airmanship.indd 202 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 0 3
d) Indikator Menyesuaikan Diri (X24). Pengaruh indikator menyesu-
aikan diri yang sangat signifikan dengan nilai standard size esti-
mate sebesar 0,71 artinya setiap peningkatan nilai stimulus sebe-
sar 1 akan meningkatkan nilai perilaku sebesar 0,71. Indikator
menyesuaikan diri merupakan indikator yang paling rendah untuk
variabel kecerdasan emosi, tetapi bukan berarti menyesuaikan diri
tidak penting, akan tetapi tetap menjadi bagian dari kecerdasan
emosi yang tak terpisahkan. Dalam pelaksanaan tugasnya, pilot
harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Pilot
harus dapat dengan cepat beradaptasi terhadap lingkungan ter-
masuk manusia dan teknologi. Dalam dunia penerbangan banyak
hal yang cepat berubah akibat perkembangan zaman. Salah satu
hal yang perlu mendapat perhatian dari seorang pilot adalah ke-
bijakan publik. Kebijakan publik yang berhubungan dengan pe-
nerbangan dapat berubah karena pengaruh politik, ekonomi,
maupun sosial. Tingkat kecerdasan emosi seorang pilot yang diu-
kur melalui indikator menyesuaikan diri terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman. Kajian mengenai penyesuaian diri
pilot telah dilakukan oleh Setiana (2013) yang mengkaji tentang
gambaran penyesuaian diri yang dialami oleh pilot asing yang
bekerja di maskapai penerbangan lokal di Indonesia. Setiana me-
nyimpulkan bahwa penyesuaian diri pada masing-masing subjek
berbeda-beda, namun ketiganya berusaha untuk bisa beradaptasi
dengan lingkungan tempat kerja dan orang-orang di sekitar me-
reka yang secara adat tradisi dan kebudayaan berbeda dengan
negara asal dari masing-masing subjek. Hambatan utama yang
dialami oleh ketiga subjek juga sama yaitu dalam hal penggunaan
bahasa. Menurut Setiana, kemampuan penyesuaian diri pilot me-
nunjukkan kecerdasan emosi dari pilot tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa ahli, semua nara-
sumber menyatakan bahwa kecerdasan emosi berpengaruh terhadap
Airmanship pilot. Menurut Capt. R.A. Rooroh kecerdasan emosi berhu-
Airmanship.indd 203 5/9/19 1:47 PM
2 0 4 A I R M A N S H I P
bungan dengan kemampuan pilot untuk mengambil keputusan pada
saat kondisi darurat. Senada dengan Capt. R. Kuntardi yang menyata-
kan bahwa kecerdasan emosi dipengaruhi oleh tekanan hidup dan juga
oleh keyakinan pilot terhadap Tuhannya. Sedangkan Capt. Yudhianti
lebih menyoroti kecerdasan emosi pilot dari aspek sumber daya ma-
nusianya. Dr. Widura lebih detail lagi menjelaskan tentang Airmanship
pilot, dengan menyatakan bahwa kecerdasan emosi merupakan syarat
mutlak untuk menjadi pilot. Berdasarkan hasil wawancara tersebut
penulis menyimpulkan bahwa untuk variabel kecerdasan emosi, para
ahli relatif mempunyai definisi yang sama. Semua penulis setuju bah-
wa indikator yang digunakan penulis sebagai alat untuk mengukur
nilai kecerdasan emosi sudah dapat mewadahi.
Berdasarkan teori kecerdasan emosi menurut pendapat Goleman
dalam Labbaf (2011) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi meng-
arah pada kapasitas pengenalan perasaan diri sendiri dan orang lain,
kapasitas memotivasi diri sendiri dan kapasitas mengelola emosi
dengan baik dalam diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang
lain. Teori menurut Goleman tersebut telah mencakup keempat indi-
kator yang digunakan, yaitu Mengelola Emosi diri, Memotivasi Diri,
Membina Hubungan, dan Menyesuaikan Diri. Indikator yang paling
berpengaruh adalah membina hubungan. Membina hubungan meru-
pakan kegiatan kombinasi antara ketiga indikator tersebut.
Teori selanjutnya yang mendukung adalah teori Bar-on yang me-
nyatakan bahwa kemampuan menyesuaikan diri mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap kecerdasan emosi. Bar-on menyatakan bah-
wa kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan kompetensi
dan kecakapan kognitif yang memengaruhi kemampuan seseorang
untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Bar-on
lebih menekankan pada indikator membina hubungan dan menyesu-
aikan diri. Makna dari teori Bar-on tentang kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk menyesuaikan diri.
Penulis juga senada dengan teori kecerdasan emosi Efendi, di mana
jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali, merasakan,
Airmanship.indd 204 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 0 5
mengelola, dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosial. Demikian
juga dengan juga Gardner dalam Nggermanto (2008) yang mendefini-
sikan kecerdasan emosi terdiri dari dua kecakapan yaitu interpersonal
intelligence (kemampuan untuk memahami diri sendiri dan bertang-
gung jawab atas kehidupannya sendiri) dan intrapersonal intelligence
(kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan sekitarnya).
Penulis juga senada dengan teori kecerdasan emosi yang dinyatakan
oleh Gardner.
Berdasarkan teori Mayer dan Salovey (2004) yang mendefinisikan
kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan,
meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, me-
mahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan se-
cara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan inte-
lektual. Mayer dan Salovey lebih melihat kecerdasan emosi dari sisi
prosesnya, yang menekankan pada perkembangan emosi dan diri
sendiri. Indikator yang digunakan penulis yang mendukug teori Mayer
dan Salovey adalah mengelola emosi dan memotivasi diri. Pada dasar-
nya teori menurut Mayer dan Salovey senada dengan penulis.
Berdasarkan teori kecerdasan emosi yang dinyatakan Robbins
(2003) menyatakan bahwa orang-orang yang mengenal emosinya
sendiri dan bagus dalam membaca emosinya orang lain mungkin lebih
efektif dalam pekerjaannya. Kecerdasan emosi mengacu kepada satu
keanekawarnaan dari keterampilan non kognitif, kemampuan dan
kompetensi yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berha-
sil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Perbedaan
teori ini dengan perspektif penulis terletak pada kemampuan kognitif
dan non kognitif, di mana penulis tidak mengukur kemampuan non
kognitif. Selain kemampuan non kognitif, indikator yang digunakan
penulis telah mencakup teori kecerdasan emosi oleh Robbins.
Shapiro (2001) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai him-
punan suatu fungsi jiwa yang melibatkan kemampuan memantau
intensitas perasaan atau emosi, baik pada diri sendiri maupun pada
Airmanship.indd 205 5/9/19 1:47 PM
2 0 6 A I R M A N S H I P
orang lain. Shapiro juga menjelaskan bahwa Individu memiliki kecer-
dasan emosional tinggi memiliki keyakinan tentang dirinya sendiri,
penuh antusias, pandai memilah semuanya dan menggunakan infor-
masi sehingga dapat membimbing pikiran dan tindakan. Shapiro se-
nada dengan penulis yang menjelaskan bahwa kemampuan untuk
memantau intesitas diri sendiri dapat diukur dengan indikator me-
ngelola emosi dan memotivasi diri, sedangkan untuk memantau pe-
rasaan dan emosi orang lain dapat diukur dengan membina hubung-
an dan menyesuaikan diri. Teori Shapiro memandang kecerdasan
emosi dari aspek hubungan subjek yaitu diri sendiri dan orang lain,
sedangkan penulis meninjau dari aspek kemampuan subjek untuk
berinteraksi dengan objek.
Menurut Robbins dan Judge (2007), kecerdasan emosi terdiri dari
lima dimensi, yaitu: (i) kesadaran diri sendiri, yaitu menyadari apa yang
dirasakan; (ii) pengelolaan diri sendiri, yaitu kemampuan mengelola
emosi dan desakan hati sendiri; (iii) motivasi diri sendiri, yaitu kemam-
puan untuk bertahan menghadapi kemunduran dan kegagalan;
(iv) empati, yaitu kemampuan untuk merasa bagaimana perasaan
orang lain; dan (v) kecakapan sosial, yaitu kemampuan untuk mena-
ngani emosi orang lain. Pada buku ini, indikator mengelola emosi
telah mewakili dua dimensi yaitu kesaran diri dan penegelolaan diri
sendiri. Dimensi motivasi diri sendiri diukur dengan indikator memo-
tivasi diri, dimensi empati diukur dengan indikator membina hubung-
an, sedangkan dimensi kecakapan sosial diukur dengan indikator
menyesuaikan diri.
Berdasarkan teori Davis (2006), kecerdasan emosi adalah kemam-
puan mengenali, memahami, mengatur dan menggunakan emosi
secara efektif. Teori ini hampir sama dengan Mayer dan Salovey yang
berfokus pada peningkatan diri sendiri. Sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, dapat dimungkinkan untuk mengukur kecerdasan
emosi seseorang. Davis menyampaikan tiga cara untuk mengukur
kecerdasan emosi, yaitu (i) laporan pengukuran diri, (ii) tes multi
pengukur, dan (iii) tes penampilan.
Airmanship.indd 206 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 0 7
Berdasarkan teori Ivancevich, dkk. (2005), kecerdasan emosi me-
rupakan kemampuan seseorang untuk sadar diri terhadap perasaannya,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengekspresikan empati
dan menangani hubungan dengan orang lain. Teori Ivancevich senada
dengan pengertian kecerdasan emosi yang dinyatakan oleh Hein dalam
Yadav (2011) yaitu “Emotional intelligence is the innate potential to feel,
use, communicate, recognize, remember, describe, identify, learnfrom,
manage, understand, and explain emotions.” Pendapat ini menyatakan
bahwa kecerdasan emosi merupakan potensi dari dalam diri seseorang
untuk bisa merasakan, menggunakan, mengomunikasikan, mengenal,
mengingatkan, mendeskripsikan emosi. Ivanovich memisahkan kesa-
daran diri dan mengelola emosi, sedangkan menurut penulis, kesa-
daran diri dan mengelola emosi dianggap sebagai satu hal yang sama
yaitu mengelola emosi. Berbeda juga dengan Hein yang memaknai
kecerdasan emosi hanya dalam diri sendiri, tanpa menjelaskan kecer-
dasan emosi dengan lingkungan sekitar.
Berdasarkan kajian sebelumnya, ditunjukkan bahwa orang-orang
yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi lebih sukses dalam kea-
daan tertentu di pekerjaan. Jika dihubungkan dengan pilot, maka
dapat dikatakan pilot yang mempunyai kecerdasan emosi yang baik
akan lebih sukses pada saat penerbangan. Cooper dan Sawaf (2001)
menyatakan bahwa kecerdasan emosi merupakan faktor yang menen-
tukan sukses dalam karier dan organisasi, termasuk: pembuatan ke-
putusan, kepemimpinan, terobosan teknis dan strategis, komunikasi
yang terbuka dan jujur, kerja tim dan hubungan saling memercayai,
loyalitas konsumen serta kreativitas dan inovasi. Hal ini menunjukkan
bahwa kecerdasan emosi dapat memengaruhi Airmanship Pilot.
Lebih lanjut Goleman (2009) telah merinci aspek-aspek kecerdas-
an emosi secara khusus yaitu:
a) Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu yang berfungsi
untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mencermati
perasaan yang muncul. Ketidakmampuan untuk mencermati pe-
rasaan yang sesungguhnya menandakan bahwa orang berada
Airmanship.indd 207 5/9/19 1:47 PM
2 0 8 A I R M A N S H I P
dalam kekuasaan emosi. Kemampuan mengenali diri sendiri me-
liputi kesadaran diri. Pada penulisan buku ini indikator yang digu-
nakan adalah mengelola emosi yang menunjukkan hubungan yang
sangat signifikan dengan kecerdasan emosi. Hasil penulisan buku
ini mendukung teori aspek kecerdasan emosi yaitu aspek menge-
nali emosi diri.
b) Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendi-
ri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan
akibat yang timbul karena kegagalan keterampilan emosi dasar.
Orang yang buruk kemampuan dalam keterampilan ini akan terus-
menerus bergelut melawan perasaan murung, sementara mereka
yang pintar akan dapat bangkit kembali jauh lebih cepat. Kemam-
puan mengelola emosi meliputi kemampuan penguasaan diri dan
kemampuan menenangkan kembali. Jika dikaitkan dengan penu-
lisan buku ini, bagi pilot mengelola emosi sangat dibutuhkan
dalam pekerjaan, demi keselamatan penerbangan. Dalam penu-
lisan buku ini indikator yang digunakan sama dengan indikator
mengenali emosi diri. Hasil penulisan buku ini mendukung teori
aspek kecerdasan emosi dari aspek mengelola emosi. Hasil terse-
but didukung oleh indikator mengelola emosi yang mempunyai
hubungan sangat signifikan dengan kecerdasan emosi.
c) Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emo-
si merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting
untuk memotivasi dan menguasai diri. Orang yang memiliki ke-
terampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam
upaya apapun yang dikerjakannya. Kemampuan ini didasari oleh
kemampuan mengendalikan emosi, yaitu menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati. Kemampuan ini
meliputi: pengendalian dorongan hati, kekuatan berpikir positif
dan optimis. Teori Aspek kecerdasan emosi menggunakan indika-
tor yang sama yaitu memotivasi diri sendiri. Aspek kecerdasan
emosi mempunyai hubungan yang signifikan dengan kecerdasan
emosi.
Airmanship.indd 208 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 0 9
d) Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati, ya-
itu kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional,
kemampuan ini merupakan keterampilan dasar dalam bersosial.
Orang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial ter-
sembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang atau
dikehendaki orang lain. Indikator yang digunakan adalah membi-
na hubungan. Indikator dan aspek ini hanya berbeda secara har-
fiah tetapi dalam maknanya mempunyai arti yang sama. Membi-
na hubungan dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik an-
tara diri sendiri dengan orang lain, sedangkan mengenali emosi
orang lain relatif untuk mengetahui cara bertindak orang lain.
Buku ini menunjukkan hubungan indikator membina hubungan
mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dengan kecerdasan
emosi.
e) Membina hubungan. Seni membina hubungan sosial merupakan
keterampilan mengelola emosi orang lain, meliputi keterampilan
sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberha-
silan hubungan antar pribadi. Membina hubungan merupakan
indikator yang digunakan untuk mengukur kecerdasan yang sama.
Indikator ini merupakan salah satu aspek dalam kecerdasan emo-
si. Membina hubungan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kecerdasan emosi.
Aspek Kecerdasan Emosi menurut Tridhonanto (2009) adalah: (1)
Kecakapan pribadi, yakni kemampuan mengelola diri sendiri. (2) Keca-
kapan sosial, yakni kemampuan menangani suatu hubungan. (3) Kete-
rampilan sosial, yakni kemampuan menggugah tanggapan yang dike-
hendaki orang lain. Aspek aspek kecerdasan emosi yang dikemukakan
Goleman setelah penulis kaji lebih jauh merupakan penjabaran lebih
detail dari aspek teknis dari pendapat Tridhonanto. Aspek kecakapan
pribadi menurut Tridhonanto terdapat aspek-aspek kecerdasan emosi
menurut Goleman yang terdiri dari: mengenali emosi diri, mengelola
emosi diri dan memotivasi diri sendiri. Kemudian Aspek kecakapan
Airmanship.indd 209 5/9/19 1:47 PM
2 1 0 A I R M A N S H I P
sosial menurut Tridhonanto juga merupakan aspek kecerdasan emosi
menurut Goleman yaitu mengenali emosi orang lain. Sedangkan pada
aspek keterampilan sosial menurut Tridhonanto terdapat aspek kecer-
dasan emosi menurut Goleman yaitu membina hubungan. Berdasarkan
uraian di atas maka kecerdasan emosi menurut Goleman merupakan
indikator paling mendekati perspektif penulis.
Analisis selanjutnya adalah faktor-faktor yang memengaruhi ke-
cerdasan Emosi. Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi
dapat dilakukan melalui proses pembelajaran. Ada beberapa faktor
yang memengaruhi kecerdasan emosi individu menurut Goleman
(2009), yaitu:
a) Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah
pertama dalam mempelajari emosi. Peran serta orangtua sangat
dibutuhkan karena orangtua adalah subjek pertama yang perila-
kunya diidentifikasi, diinternalisasi yang pada akhirnya akan
menjadi bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosi ini dapat
diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contoh-contoh eks-
presi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat
berguna bagi anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh: mela-
tih kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan
berempati, kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan
anak menjadi lebih mudah untuk menangani dan menenangkan
diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga anak-anak dapat
berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki banyak masalah
tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif. Lingkungan
keluarga dapat memengaruhi kecerdasan emosi pilot. Hal tersebut
senada dengan yang disampaikan Kuntardi sebagai pilot senior
pada saat wawancara yang menyatakan bahwa faktor keluarga
merupakan salah satu yang memengaruhi kinerja pilot.
b) Lingkungan non keluarga. Lingkungan non Keluarga yang dimak-
sud adalah adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan pendu-
duk. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkem-
bangan fisik dan mental pilot. Pembelajaran ini biasanya ditun-
Airmanship.indd 210 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 1 1
jukkan dalam aktivitas bermain anak seperti bermain peran. Anak
berperan sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang me-
nyertainya sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan
orang lain. Pengembangan kecerdasan emosi dapat ditingkatkan
melalui berbagai macam bentuk pelatihan di antaranya adalah
pelatihan asertivitas, empati, dan masih banyak lagi bentuk pela-
tihan yang lainnya. Menurut Dove dalam Goleman (1997) bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
1. Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling
berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah
anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk
berpikir yaitu korteks (kadang kadang disebut juga neo kor-
teks). Sebagai bagian yang berada di bagian otak yang mengu-
rusi emosi yaitu sistem limbik, tetapi sesungguhnya antara
kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi se-
seorang. 1) Korteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira
kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam
otak. Korteks berperan penting dalam memahami sesuatu
secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasa-
an tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk menga-
tasinya. Korteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak
sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi
emosi sebelum berbuat sesuatu.
2. Sistem limbik. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak
yang letaknya jauh di dalam hemisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Sistem
limbik meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses
pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain
itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian
emosi pada otak.
3. Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian
individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.
Airmanship.indd 211 5/9/19 1:47 PM
2 1 2 A I R M A N S H I P
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
dua faktor yang dapat memengaruhi kecerdasan emosi seseorang
yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak ya-
itu korteks dan sistem limbik, secara psikis di antaranya meliputi
lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga. Faktor kecerdas-
an emosi yang dibahas adalah faktor psikis. Buku ini tidak memba-
has secara langsung faktor fisik tetapi lebih ke arah psikis. Indikator
yang digunakan penulis menunjukkan bahwa faktor yang diteliti
adalah psikis seorang pilot. Penulis memiliki kesimpulan bahwa
faktor psikis pilot sangat memengaruhi kecerdasan emosi seorang
pilot.
Analisis kecerdasan emosi juga akan dipengaruhi oleh beberapa
faktor penting penunjangnya. Menurut Casmini (2007) ada faktor
internal dan eksternal yang memengaruhi kecerdasan emosi antara
lain:
1) Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang. Seti-
ap manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya
terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih dikenal dengan
otak emosional. Dalam penulisan buku ini faktor internal sama
dengan indikator mengelola emosi dan memotivasi diri. Hasil
menunjukkan bahwa faktor internal mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kecerdasan emosi. Hasil penulisan buku ini
mendukung teori Casmini tentang faktor internal dapat meme-
ngaruhi kecerdasan emosi.
2) Faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang berasal dari luar diri
seseorang. Faktor eksternal kecerdasan emosi adalah faktor yang
datang dari luar dan memengaruhi perubahan sikap. Pengaruh
tersebut dapat berupa perorangan atau secara kelompok. Pero-
rangan memengaruhi kelompok atau kelompok memengaruhi
perorangan. Hal ini lebih memicu pada lingkungan. Seseorang akan
memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda. Ada yang rendah,
sedang, maupun tinggi. Dapsari dalam Casmini (2007) mengemu-
kakan ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi antara lain: (a) Optimal
Airmanship.indd 212 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 1 3
dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi
dalam hidup. Seperti menangani peristiwa dalam hidupnya dan
menangani tekanan-tekanan masalah pribadi yang dihadapi; (b)
Terampil dalam membina emosi, Terampil di dalam mengenali
kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi dan kesadaran emosi
terhadap orang lain; (c) Optimal pada kecakapan kecerdasan emo-
si meliputi: intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan
antar pribadi, dan ketidakpuasan konstruktif; (d) Optimal pada
emosi belas kasihan atau empati, intuisi, kepercayaaan, daya
pribadi, dan integritas: (e) Optimal pada kesehatan secara umum,
kualitas hidup, dan kinerja. Pada penulisan buku ini indikator yang
digunakan untuk mengukur faktor eksternal adalah membina
hubungan dan menyesuaikan diri. Hasil menunjukkan bahwa
faktor eksternal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kecerdasan emosi. Hasil menunjukkan bahwa pengaruh yang lebih
besar terhadap kecerdasan emosi adalah pengaruh internal yaitu
motivasi diri.
Kecerdasan emosi merupakan varibel independen yang dihubung-
kan dengan variabel dependen Airmanship. Hampir seluruh literatur
sebelumnya menempatkan kecerdasan emosi sebagai variabel inde-
penden (Edi (2005), Susilowati (2006), Alwani (2007)). Hal ini senada
dengan Trihandini (2005) yang menyimpulkan ada pengaruh yang
signifikan antara kecerdasan emosi terhadap kinerja karyawan. Begitu
juga dengan Indarto (2007) yang menyatakan bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara kecerdasan emosi dan komitmen berorganisa-
si. Demikian juga dengan Purnama (2010) yang menyatakan usia dan
masa kerja berkorelasi positif dengan tingkat kecerdasan emosional.
Hal ini juga senada dengan Sulistyowati (2015) yang menyimpulkan
bahwa hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan
problem focused coping pada mahasiswa.
Airmanship.indd 213 5/9/19 1:47 PM
2 1 4 A I R M A N S H I P
C. pEngAruh EFiKASi Diri TErhADAp AirMAnShip
Variabel efikasidiri diukurdengan lima indikator yaitupengalaman
jam terbang, usaha dan persistensi, kemampuan, generalisasi dan
kemampuan bertahan. Penulis menyimpulkan bahwa semua indikator
yang digunakan untuk mengukur perilaku mempunyai pengaruh yang
signifikan di mana yang paling besar pengaruhnya adalah indikator
usaha dan persistensi (X32) yang mempunyai nilai standard size esti-
mate sebesar 0,84 dan pengaruh yang paling kecil adalah indikator
pengalaman dan jam terbang (X31) yang mana nilai standard size esti-
mate sebesar 0,64 dengan tingkat probabilitas sebesar 0,095. Untuk
lebih jelasnya akan dibahas pengaruh dari setiap indikator.
a) Indikator Pengalaman Jam Terbang (X11). Pengalaman jam terbang
merupakan salah satu syarat untuk meningkatkan level seorang
pilot. Pengaruh indikator pengalaman jam terbang yang sangat
signifikan dengan nilai standardsize estimate sebesar 0,64 artinya
setiap peningkatan nilai kebiasaan sebesar 1 akan meningkatkan
nilai perilaku sebesar 0,64. Indikator ini merupakan indikator yang
mempunyai pengaruh paling rendah terhadap variabel efikasi diri,
tetapi bukan berarti pengalaman jam terbang itu tidak penting,
karena hasil juga menunjukkan bahwa pengaruhnya sangat signi-
fikan. Pengalaman jam terbang pilot pada umumnya sebagai
standar untuk menentukan tingkat kemampuan pilot. Efikasi diri
seorang pilot dipengaruhi oleh indikator pengalaman jam terbang.
Literatur lainnya juga menyatakan bahwa pengalaman jam terbang
pilot berpengaruh positif terhadap kemampuan pilot. Hampir
semua jenis profesi yang ada sekarang ini dipengaruhi oleh peng-
alaman jam terbang seperti dokter, teknisi, surveyor, dan lain
sebagainya.
b) Indikator Usaha dan Persistensi (X32). Pengaruh indikator usaha
dan persistensi yang sangat signifikan dengan nilai standard size
estimate sebesar 0,84 artinya setiap peningkatan nilai usaha dan
Airmanship.indd 214 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 1 5
persistensi sebesar 1 akan meningkatkan nilai efikasi diri sebesar
0,84. Indikator usaha dan persistensi merupakan indikator yang
menghasilkan pengaruh yang paling besar dibandingkan dengan
yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa usaha dan persistensi sa-
ngat diperlukan untuk meningkatkan efikasi diri. Jika hal tersebut
dianalisis berdasarkan teori efikasi diri yang diartikan sebagai
keyakinan terhadap kemampuan dalam mengorganisasikan dan
menampilkan tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
kecakapan tertentu Bandura (1997), maka usaha dan persistensi
diperlukan untuk mencapai keyakinan tersebut.
c) Indikator Kemampuan (X33). Pengaruh indikator stimulus yang
sangat signifikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,78
artinya setiap peningkatan nilai kemampuan sebesar 1 akan me-
ningkatkan nilai perilaku sebesar 0,78. Kemampuan yang dimaksud
untuk indikator ini sesuai dengan teori efikasi diri Bandura (1997)
yaitu kemampuan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerja-
an dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Setiap orang
mempunyai kemampuan yang berbeda tentang suatu pekerjaan.
Kemampuan tersebut adalah kemampuan seorang pilot untuk
menerbangkan pesawat. Kemampuan tersebut akan memengaruhi
tingkat percaya diri atau efikasi seorang pilot. Senada dengan
pernyataan Bandura (1997) yang menyatakan bahwa efikasi diri
mengacu pada kemampuan yang dimiliki individu untuk mem-
bentuk perilaku yang tepat, menghadapi rasa takut dan halangan
untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan. Jika pernyataan
tersebut dihubungkan dengan kemampuan pilot, dapat disimpul-
kan bahwa kemampuan merupakan kecepatan pilot dalam meng-
ambil keputusan pada saat emergency.
d) Indikator Generalisasi (X34). Pengaruh indikator generalisasi yang
sangat signifikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,80
artinya setiap peningkatan nilai generalisasi sebesar 1 akan me-
ningkatkan nilai efikasi diri sebesar 0,89. Generalisasi yang dimak-
sud adalah salah satu dimensi efikasi diri yang dikembangkan oleh
Airmanship.indd 215 5/9/19 1:47 PM
2 1 6 A I R M A N S H I P
Bandura yang digunakan sebagai salah satu indikator dari efikasi
diri. Generalisasi merupakan kemampuan seorang pilot untuk
berpikir lebih luas dalam melihat suatu permasalahan untuk peng-
ambilan keputusan. Menurut Bandura (1997) bahwa seseorang akan
menggeneralisasi keyakinan akan keberhasilan yang diperoleh
tidak hanya pada hal tersebut tetapi akan digunakan untuk hal
yang lainnya. Jika hal tersebut dihubungkan dengan generalisasi
seseorang pilot maka dapat dijelaskan bahwa pilot juga ingin
berhasil dalam berbagai hal. Keberhasilan tersebut akan meme-
ngaruhi tingkat efikasi diri seorang pilot.
e) Indikator Kemampuan Bertahan (X35). Pengaruh indikator kemam-
puan bertahan yang sangat signifikan dengan nilai standard size
estimate sebesar 0,82 artinya setiap peningkatan nilai generalisa-
si sebesar 1 akan meningkatkan nilai efikasi diri sebesar 0,82. In-
dikator kemampuan bertahan berbeda dengan indikator kemam-
puan. Kemampuan bertahan pilot difokuskan pada cara pilot
untuk menghadapi keadaan yang abnormal atau emergency. Pada
suatu keadaan abnormal setiap pilot mempunyai kemampuan
yang berbeda untuk bertahan dalam kondisi tersebut. Sebagai
contoh adalah jika terjadi kebocoran pressurized cabin maka kon-
disi tersebut akan menguji kemampuan pilot untuk bertahan pada
hipoksia, Wawan (2012). Menurut Wawan bahwa risiko akibat
terjadinya perubahan tekanan udara normal (normobarik) menja-
di tekanan udara rendah (hipobarik) bisa menyebabkan decomp-
ression sickness (gangguan tubuh akibat perbedaan tekanan
udara di luar dan di dalam tubuh) serta kekurangan oksigen yang
disebut hipoksia hipobarik. Bila situasi ini terjadi pada pilot, gang-
guan ini bisa menyebabkan berkurangnya oksigen ke otak secara
fatal dan bisa mengawali kecelakaan pesawat yang tragis. “Tapi
kalau pilotnya sudah dilatih, dia tidak mudah pingsan, buat pilot
hitungan detik sangat penting. Melalui penulisan bukunya, Wawan
(2012) yang juga seorang tentara di TNI AU berpangkat Letnal Ko-
lonel membuktikan pentingnya latihan hipoksia hipobarik melalui
Airmanship.indd 216 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 1 7
tikus putih Sprague Dawley. Hasil yang didapatkan adalah latihan
hipoksia yang terkendali dan berulang-ulang (intermitten) akan
meningkatkan ketahanan otak dari kekurangan oksigen yang
berat dan fatal. Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa
kemampuan bertahan pilot dapat dilatih dengan simulator mau-
pun pengalaman jam terbang. Selain dengan latihan, ketahanan
seseorang pada kondisi hipoksia hipobarik juga dipengaruhi seca-
ra genetis. Wawan juga membandingkan orang yang tinggal ta-
hunan di pegunungan Himalaya dan Andes. Ternyata orang yang
tinggal di Andes tetap saja suka mabuk, mengalami mountain
sickness, serta gampang pusing saat mengalami hipoksia, padahal
mereka sudah tahunan di situ. Wawan menyimpulkan bahwa
faktor genetik juga memengaruhi kemampuan bertahan.
Pendapat para ahli tentang efikasi diri menyatakan setuju bahwa
efikasi diri mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Airmanship
Pilot. Capt. R.A. Rooroh dan Capt. Rahayu Kuntardi mempunyai pan-
dangan tentang efikasi diri. Sedangkan Capt. Yudhianto dan Dr. Widu-
ra mempunyai pemahaman yang sama, menjelaskan bahwa efikasi
diri berhubungan erat dengan kecerdasan emosi. Ia juga menjelaskan
bahwa sulit untuk membedakan antara efikasi diri dengan kecerdasan
emosi. Penulis menyimpulkan bahwa semua ahli mempunyai pandan-
gan yang relatif sama tentang kecerdasan emosi.
Secara teori, efikasi diri merupakan bagian dari konsep diri yang
merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mena-
ngani tugas secara efektif dan melakukan tindakan yang diperlukan,
Baron dan Byrne (1984). Indikator yang digunakan untuk mengukur
efikasi diri adalah (1) Pengalaman dan jam terbang memiliki nilai loa-
ding factor 0,64 yang berarti secara statistik signifikan mengukur
Efikasi Diri sebesar 0,64 (2) Usaha dan Persistensi memiliki nilai loading
factor 0,84 yang berarti secara statistik signifikan mengukur Efikasi
Diri sebesar 0,84; (3) Kemampuan memiliki nilai loading factor 0,78
yang berarti secara statistik signifikan mengukur Efikasi Diri sebesar
Airmanship.indd 217 5/9/19 1:47 PM
2 1 8 A I R M A N S H I P
0,78; (4) Generalisasi memiliki nilai loading factor 0,80 yang berarti
secara statistik signifikan mengukur Efikasi Diri sebesar 0,80; dan (5)
Kemampuan Bertahan memiliki nilai loading factor 0,82 yang berarti
secara statistik signifikan mengukur Efikasi Diri sebesar 0,82. Jika di-
kaitkan dengan teori efikasi diri menurut Baron dan Byrne maka teo-
ri tersebut mencakup dua indikator yaitu Usaha dan Persistensi serta
kemampuan bertahan. Kedua indikator tersebut menghasilkan penga-
ruh yang sangat signifikan terhadap efikasi diri.
Analisis selanjutnya adalah hubungan teori efikasi diri menurut
Bandura (1997). Bandura menyatakan bahwa efikasi diri adalah kemam-
puan generatif yang dimiliki individu meliputi kognitif, sosial, dan
emosi. Kemampuan individu tersebut harus dilatih dan diatur secara
efektif untuk mencapai tujuan individu. Bandura juga menyatakan
bahwa setiap orang memiliki kemampuan berbeda dengan mampu
mengorganisasikan strategi yang sesuai dengan tujuan serta menye-
lesaikan strategi tersebut dengan baik walaupun dalam keadaan yang
sulit. Tingginya efikasi diri yang dipersepsikan akan memotivasi indi-
vidu secara kognitif untuk bertindak secara tepat dan terarah, teruta-
ma apabila tujuan yang hendak dicapai adalah tujuan yang jelas. Dari
penjelasan Bandura tersebut maka indikator yang berhubungan de-
ngan teori tersebut adalah (1) Usaha dan Persistensi; (2) Kemampuan;
(3) Generalisasi; dan (4) Kemampuan bertahan. Bandura tidak meng-
gunakan jumlah jam terbang atau pengalaman untuk mendefinisikan
efikasi diri. Pada dasarnya secara makna, teori Bandura mempunyai
hasil yang senada dan saling mendukung, perbedaannya, buku ini
menambahkan dengan indikator jam terbang atau pengalaman.
Menurut Alwisol (2006), efikasi diri sebagai persepsi diri sendiri
mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu,
efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki ke-
mampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Alwisol mendefini-
sikan efikasi diri berdasarkan indikator kemamapuan dan kemampu-
an bertahan. Teori Alwisol lebih sederhana dibandingkan dengan teo-
ri yang lain. Hal ini juga senada dengan teori Efikasi Diri yang dikemu-
Airmanship.indd 218 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 1 9
kakan oleh Feist & Feist (1998). Feist mendefinisikan efikasi diri seba-
gai keyakinan individu terhadap kemampuan yang ada pada dirinya
yang dijadikan dasar dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk
mencapai hasil tertentu. Teori tersebut sesuai dengan tugas seorang
pilot untuk menerbangkan pesawat dengan tujuan keselamatan pe-
nerbangan. Akan tetapi teori Feist ini hanya menjelaskan efikasi diri
berdasarkan indikator kemampuan saja. Demikian juga dengan Ghu-
fran dan Risnawita (2012) yang mengatakan bahwa efikasi diri pada
diri merupakan suatu aspek pengetahuan mengenai diri yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari. Efikasi diri yang
dimiliki individu dapat memengaruhi sikap dan tindakannya guna
mencapai tujuan yang diinginkan, termasuk dalam memperhitungkan
berbagai risiko yang akan terjadi. Teori Ghufran dan Risnawati tidak
terlalu berbeda dengan Feist yaitu dengan mengemukakan efikasi diri
hanya berdasarkan kemampuan. Kedua teori tersebut mendukung
hasil penulisan buku ini yang menyatakan bahwa efikasi diri seseorang
dapat diukur berdasarkan kemampuannya.
Berbeda dengan Pervin dan John (1997) yang mengatakan bahwa
efikasi diri merupakan suatu unsur yang bisa mengubah getaran pe-
mikiran biasa yang sangat terbatas menjadi suatu bentuk padanan
yang masuk ke dalam koridor spiritual, sehingga dapat memotivasi
diri sendiri, mengenali emosi diri sendiri dan orang lain serta memiliki
kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain, oleh Go-
leman (2000) disebut sebagai kecerdasan emosional. Teori Pervin dan
Jhon tidak senada dengan buku ini karena teori tersebut menjalaskan
bahwa efikasi diri sama dengan kecerdasan emosi. Pada buku ini, di-
jelaskan bahwa efikasi diri dengan kecerdasan emosi merupakan dua
hal yang berbeda. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan indikator yang
digunakan untuk efikasi diri berbeda dengan indikator untuk mengu-
kur kecerdasan emosi. Akan tetapi Kecerdasan emosi dan efikasi diri
merupakan variabel yang memengaruhi Airmanship pilot.
Faktor yang memengaruhi efikasi diri, terdiri dari faktor internal
dan eksternal. Menurut Nawas dan Gilani (2011) faktor internal terdiri
Airmanship.indd 219 5/9/19 1:47 PM
2 2 0 A I R M A N S H I P
dari: Intelegensi, kepribadian, pengetahuan tentang dunia kerja, se-
dangkan faktor eksternal meliputi: jenis pekerjaan, pendidikan orang-
tua, status sosial ekonomi keluarga, harapan orangtua, pekerjaan yang
didambakan orangtua, stigma masyarakat terhadap pilihan jurusan,
gender, dan pengaruh teman sebaya. Pada buku ini, faktor yang domi-
nan diteliti adalah faktor internal, di mana indikator yang digunakan
untuk mengukur faktor internal adalah: pengalaman, usaha dan per-
sistensi, kemampuan, generalisasi, dan kemampuan bertahan. Faktor
eksternal tidak dibahas pada buku ini karena menurut analisis penulis
bahwa untuk efikasi diri pengaruh yang paling dominan adalah faktor
internal. Hal itu menunjukkan bahwa teori efikasi diri menurut Nawas
dan Gilani senada dan saling mendukung. Proses efikasi diri memen-
garuhi fungsi manusia secara langsung dan tidak langsung. Proses
efikasi diri secara langsung mulai sebelum individu memilih pilihan
mereka dan mengawali usaha mereka. Indikator yang digunakan pada
buku ini adalah Usaha dan Persistensi. Proses selanjutnya adalah
mempertimbangkan, mengevaluasi, dan mengintegrasikan informasi
mengenai kapabilitas yang dirasakan. Proses tersebut berhubungan
dengan indikator generalisasi, yaitu kemampuan seorang pilot untuk
menganalisis suatu data dan kejadian untuk mendapatkan kesimpulan.
Proses selanjutnya adalah bagaimana mereka menilai atau meya-
kini bahwa mereka dapat menggunakan kemampuan dan sumber
mereka untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Indikator yang
digunakan untuk mengukur hal tersebut adalah kemampuan. Proses
selanjutnya adalah evaluasi yang menghasilkan harapan atas efikasi
personal yang pada gilirannya menentukan keputusan dan sejumlah
usaha yang akan dilakukan untuk menyelesaikan tugas. Proses evalu-
si secara harfiah tidak ada dalam indikator penulis, tetapi jika ditinjau
dari maknanya maka evaluasi dapat diukur dari indikator kemampuan
bertahan. Secara umum gamabaran proses efikasi diri yang dijelaskan
berkaitan dengan indikator yang digunakan penulis.
Menurut Bandura, efikasi diri akan terbentuk melalui empat proses,
yaitu:
Airmanship.indd 220 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 2 1
a. Proses kognitif. Proses Kognitif adalah kemampuan seseorang
dalam menetapkan tujuan yang hendak dicapainya dipengaruhi
kemampuan diri, dan fungsi kognitif akan memungkinkan seseo-
rang untuk memprediksi kejadian-kejadian yang dialaminya yang
akan berakibat pada masa depannya. Proses kognitif tersebut
dapat diukur dengan indikator kemampuan.
b. Proses motivasional. Proses motivasional adalah kemampuan
seseorang dihasilkan melalui kognitif. Perbedaannya dengan ke-
mampuan kognitif secara umum adalah tujuan motivasional
adalah untuk memotivasi dan menjadi tindakan antisipasi melalui
pemikiran ke masa depan. Indikator yang mendekati menurut
penulis adalah kemampuan bertahan. Penulis berkesimpulan bah-
wa kemampuan bertahan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap efikasi diri.
c. Proses afektif yaitu keyakinan seseorang akan kemampuan dalam
mengatasi masalah memegang peranan penting dalam mengatur
status emosi. Indikator yang berhubungan dengan proses afektif
adalah usaha dan persistensi. Hasil menunjukkan bahwa usaha
dan persistensi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
efikasi diri.
d. Proses seleksi merupakan indikator yang berlangsung sepanjang
kehidupan. Penulis tidak mengukur proses seleksi karena kajian
dilaksanakan pada waktu tertentu.
Berdasarkan analisis proses efikasi diri menurut Bandura dan pe-
nulis, maka dapat disimpulkan bahwa teori proses efikasi diri dengan
hasil analisis penulis saling mendukung dan berhubungan.
Analisis selanjutnya adalah berdasarkan sumber efikasi diri. Me-
nurut Bandura (1977) ada empat sumber penting yang digunakan in-
dividu dalam membentuk efikasi diri yaitu:
1) Performance Accomplishments. Keberhasilan yang didapatkan akan
meningkatkan efikasi diri yang dimilki seseorang sedangkan ke-
gagalan akan menurunkan efikasi dirinya. Apabila keberhasilan
Airmanship.indd 221 5/9/19 1:47 PM
2 2 2 A I R M A N S H I P
yang didapatkan seseorang lebih banyak karena faktor-faktor di
luar dirinya, maka tidak akan membawa pengaruh terhadap pe-
ningkatan efikasi diri. Akan tetapi, apabila keberhasilan itu didapat
melalui hasil perjuangan sendiri, maka hal itu akan membawa
pengaruh terhadap peningkatan efikasi diri. Hal tersebut senada
dengan hasil analisis penulis yang menunjukkan usaha dan per-
sistensi seseorang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan
dengan efikasi diri. Semakin tinggi usaha seorang pilot dalam
melaksanakan tugas maka semakin baik juga efikasi dirinya. Un-
tuk meningkatkan efikasi diri seorang pilot dapat melaksanakan
simulator dan kondisi emergency.
2) Various Experience. Meniru pengalaman keberhasilan orang lain
yang memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan
suatu tugas biasanya akan meningkatkan efikasi diri seseorang
dalam mengerjakan tugas yang sama. Efikasi tersebut didapat
seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya
sehingga melakukan tiruan. Namun efikasi diri yang didapat tidak
akan berpengaruh bila model atau hal yang diamati tidak memil-
ki kemiripan. Dalam perspektif penulis, indikator various experien-
ce tidak secara langsung berdiri sendiri, tetapi dapat dinyatakan
dengan pendekatan yang lain. Indikator yang paling dekat dapat
mengukur various experience adalah pengalaman dan jam terbang.
Semakin tinggi jam terbang seorang pilot maka semakin banyak
bentuk atau model hambatan yang dialaminya.
3) Verbal Persuasion. Informasi tentang kemampuan yang disampai-
kan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh dan digunakan
untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan
suatu tugas. Menurut penulis, indikator yang dapat digunakan
untuk mengukur Verbal Persuasion adalah Generalisasi. Pemaham-
an tentang generalisasi mencakup juga Verbal Persuasion. Penulis
berkesimpulan bahwa indikator generalisasi mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap efikasi diri.
Airmanship.indd 222 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 2 3
4) Emotional Arousal. Ketegangan dan stres yang terjadi dalam diri
seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu
kegagalan. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengha-
rapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh kete-
gangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan so-
matik lainnya. Efikasi diri biasanya ditandai oleh rendahnya
tingkat stress dan kecemasan, sebaliknya efikasi diri yang rendah
ditandai oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi pula. Emo-
tional Arousal dapat dihubungkan dengan indikator kemampuan
bertahan. Kemampuan bertahan seorang pilot sangat bermanfaat
pada saat penerbangan. Hasil analisis penulis menyimpulkan
bahwa indikator kemampuan bertahan mempunyai pengaruh yang
sangat signifikan terhadap efikasi diri.
Analisis selanjutnya berdasarkan dimensi dari efikasi diri yang
dikemukakan oleh Bandura. Menurut Bandura efikasi diri pada diri tiap
individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya ber-
dasarkan tiga dimensi. Berikut adalah tiga dimensi tersebut.
1) Dimensi tingkat level. Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesu-
litan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya.
Tingkat kesulitan pekerjaan dari pilot dilihat dari jabatan pilot yang
terdiri dari copilot, kapten pilot, dan instruktur. Apabila individu
dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat ke-
sulitannya, maka efikasi diri individu mungkin akan terbatas pada
tugas-tugas yang mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas-
tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang
dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan
pada masing-masing tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi ter-
hadap pemilihan tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya
dan menghindari tingkah laku yang berada di luar batas kemam-
puan yang dirasakannya. Teori dimensi efikasi sama dengan ting-
katan jabatan pada pilot, yang mana hal tersebut menjadi sebuah
indikator untuk menentukan efikasi diri. Salah satu indikator yang
Airmanship.indd 223 5/9/19 1:47 PM
2 2 4 A I R M A N S H I P
digunakan untuk mengukur efikasi diri yang berkaitan dengan
tingkat atau level adalah jam terbang atau pengalaman. Hasil
analisis penulis menunjukkan bahwa semakin tinggi jam terbang
seorang pilot maka semakin baik efikasi dirinya. Hasil tersebut
sesuai dan mendukung teori dimensi efikasi yang dikemukakan
oleh Bandura.
2) Dimensi kekuatan (strength). Dimensi ini berkaitan dengan tingkat
kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai
kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya,
pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan
dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang
kurang menunjang. Indikator yang dapat mewakili kekuatan ada-
lah indikator kemampuan dan kemampuan bertahan. Dimensi ini
biasanya berkaitan langsung dengan dimensi level, yaitu makin
tinggi level kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasa-
kan untuk menyelesaikannya. Senada dengan hasil analisis penu-
lis yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kemampuan pilot
maka semakin tinggi juga tingkat efikasi dirinya, dan begitu juga
dengan indikator kemempuan bertahan, di mana semakin tinggi
kemampuan bertahan pilot maka semakin tinggi tingkat efikasi
dirinya.
3) Dimensi generalisasi (generality). Dimensi ini berkaitan dengan
luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan
kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemam-
puan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi
tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang berva-
riasi. Dimensi generalisasi diukur dengan indikator generalisasi.
Hasil analisis penulis menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
generalisasi maka semakin baik pula tingkat efikasi dirinya. Hasil
ini mendukung teori efikasi diri berdasarkan di mana semakin baik
dimensi generalisasi maka semakin baik pula efikasi dirinya.
Airmanship.indd 224 5/9/19 1:47 PM
P E N G A R U H P E R I L A K U , K E C E R D A S A N E M O S I , . . . 2 2 5
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Teori dimen-
si efikasi diri yaitu tingkat (level), dimensi kekuatan (strength), dan
dimensi generalisasi (generality) senada dengan buku ini.
Hal ini juga senada dengan Schwartz dan Gottman yang menje-
laskan bahwa individu sering mengalami kegagalan meskipun menge-
tahui apa yang harus dilakukan dan memiliki kemampuan untuk
melakukannya, serta menjelaskan efikasi diri merupakan konsep yang
secara spesifik mengontrol keyakinan pada kemampuan yang dimiliki
individu untuk melakukan tujuan tertentu. Menurut analisis penulis,
kegagalan dalam melakukan sesuatu yang seharusnya dapat dilaksa-
nakan adalah karena kurangnya usaha dan persistensi. Senada juga
dengan Compeau dan Higgins (1995) yang menyimpulkan bahwa efi-
kasi diri dapat menentukan usaha dan ketekunan, terutama dalam
menghadapi hambatan dan pengalaman yang kurang menyenangkan.
Compeau dan Higgins menyatakan bahwa usaha dan ketekunan me-
rupakan salah satu indikator untuk meningkatkan efikasi diri.
Sehingga dari ulasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
awal yang menyebutkan keselamatan penerbangan sangat dipenga-
ruhi oleh berbagai faktor yang menjadi indikator dari variabel yang
membentuk Airmanship. Penajaman terhadap indikator-indikator itu
hingga membentuk sebuah bangunan Airmanship akan diulas di bab
selanjutnya.
Airmanship.indd 225 5/9/19 1:47 PM
2 2 6 A I R M A N S H I P
Airmanship.indd 226 5/9/19 1:47 PM
B a b I X 2 2 7
Bab IXREGULASI, SISTEM
PENGAWASAN, PENEGAKAN HUKUM, DAN SISTEM
MANAJEMEN KESELAMATAN PENERBANGAN
Airmanship.indd 227 5/9/19 1:47 PM
2 2 8 A I R M A N S H I P
Variabel keselamatan penerbangan merupakan variabel utama
pada buku ini. Semua indikator ataupun variabel yang diteliti
mengarah terhadap keselamatan penerbangan. Terdapat ba-
nyak faktor yang memengaruhi keselamatan penerbangan seperti yang
telah diteliti sebelumnya. Pada bab ini, penulis akan menjelaskan
mengenai variabel keselamatan penerbangan, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.
A. inDiKATor-inDiKATor DALAM KESELAMATAn pEnErBAngAn
Variabel keselamatan penerbangan diukur dengan empat indikator
yaitu peraturan keselamatan penerbangan, pengawasan keselamatan
penerbangan, penegakan hukum keselamatan penerbangan dan sistem
manajemen keselamatan penerbangan. Telah dijelaskan bahwa semua
indikator yang digunakan untuk mengukur keselamatan penerbangan
mempunyai pengaruh yang signifikan di mana yang paling besar pe-
ngaruhnya adalah indikator peraturan keselamatan penerbangan (Y31)
yang mempunyai nilai standard size estimate sebesar 0,73, dan penga-
ruh yang paling kecil adalah indikator sistem manajemen (Y34) yang
mana nilai standard size estimate sebesar 0,59 dengan tingkat proba-
bilitas sebesar 0,239. Untuk lebih jelasnya akan dibahas pengaruh dari
setiap indikator.
peraturan Keselamatan penerbangan
Peraturan keselamatan penerbangan dirumuskan oleh pemerintah
dalam hal ini adalah kementerian perhubungan. Pengaruh indikator
peraturan keselamatan penerbangan mempunyai pengaruh yang sig-
nifikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,73, artinya setiap
peningkatan nilai peraturan keselamatan penerbangan sebesar 1 akan
meningkatkan nilai keselamatan penerbangan sebesar 0,73. Indikator
Airmanship.indd 228 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 2 9
ini merupakan indikator yang paling signifikan dibandingkan dengan
indikator yang lain. Peraturan keselamatan penerbangan berhubung-
an dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial masyarakat. Pada tahun
2005 keselamatan penerbangan di Indonesia menjadi sorotan karena
status penilaian keselamatan penerbangan menjadi kategori dua.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut Indonesia sebagai anggota
dari ICAO, menyusun UU No. 1 tahun 2009 tentang penerbangan yang
disesuaikan dengan ICAO. Ratifikasi suatu konvensi internasional oleh
suatu negara membawa kewajiban bagi negara tersebut untuk mela-
kukan penyesuaian dalam hukum nasionalnya (Thahir, 2010). Dengan
adanya Undang-Undang tersebut diharapkan keselamatan penerbang-
an di Indonesia semakin baik. Tetapi undang-undang tersebut menja-
di pro dan kontra berdasarkan tafsiran para ahli.
Menurut Martono (2015) di Indonesia ada dua macam rezim hukum
yang berlaku untuk dunia penerbangan, yakni penerbangan nasional
(domestik) dan penerbangan internasional. Bagi penerbangan domes-
tik, berlaku berbagai Undang-Undang, seperti UU Penerbangan (be-
serta turunannya) dan UU No.33 Tahun 1964 tentang Dana Pertang-
gungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Asuransi Jasa Raharja). Sedang-
kan untuk penerbangan internasional, berlaku sebelas konvensi ter-
kait konvensi penerbangan yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, di
antaranya adalah Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Tokyo, Konvensi
Den Haag dan sebagainya (Martono, 2015). Senada dengan Zulfahmi
(2012) yang menyatakan masalah yang mungkin timbul karena adanya
penerbangan internasional adalah apabila terjadi kecelakaan yang
melibatkan negara- negara yang memiliki kedaulatan masing-masing
wilayah. Dalam penerbangan antar negara apabila terjadi suatu kece-
lakaan pesawat akan melibatkan berbagai pihak, di antaranya negara
asal pesawat (state of registry), negara tempat jatuhnya pesawat (sta-
te of occurrence), negara pembuat pesawat/negara pabrik (state of
design and manufacture), dan ICAO.
Airmanship.indd 229 5/9/19 1:47 PM
2 3 0 A I R M A N S H I P
1. pengawasan Keselamatan penerbangan
Pengawasan keselamatan penerbangan dilaksanakan oleh pemerintah
dalam hal ini adalah Kementerian Perhubungan. Pengaruh indikator
pengawasan keselamatan penerbangan mempunyai pengaruh yang
signifikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,60 artinya
setiap peningkatan nilai pengawasan keselamatan penerbangan sebe-
sar 1 akan meningkatkan nilai keselamatan penerbangan sebesar 0,60.
Pengawasan keselamatan penerbangan di Indonesia sampai saat ini
menjadi sorotan. Hal tersebut dapat terlihat dari pernyatan Direktur
Operasi Garuda Indonesia, Novianto Herupratomo, “sebenarnya saat
ini regulasi terkait keselamatan, keamanan dan pelayanan penerbang-
an yang tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbang
sudah sangat baik, bahkan telah ditambahkan aturan turunan sejum-
lah peraturan menteri untuk memperkuatnya. Persoalannya, penga-
wasan terhadap implementasi dari aturan itu yang masih kurang.
Kontrol dan pengawasan dari regulator ini yang berperan penting,”
katanya ketika ditemui usai acara Kampanye Keselamatan Penerbang-
an oleh Kementerian Perhubungan. Senada dengan Direktur Jenderal
Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Suprasetyo mengata-
kan, dalam pemenuhan aspek keselamatan dan keamanan penerbang-
an membutuhkan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, baik
regulator, operator, maupun penumpang untuk melakukan setiap
aktivitas penerbangan yang sesuai aturan yang berlaku.
2. penegakan hukum Keselamatan penerbangan
Penegakan Hukum keselamatan penerbangan dilaksanakan oleh pe-
merintah. Penulis menyimpulkan bahwa pengaruh indikator Penegak-
an Hukum Keselamatan Penerbangan mempunyai pengaruh yang
signifikan dengan nilai standard size estimate sebesar 0,72 artinya
setiap peningkatan nilai penegakan hukum keselamatan penerbangan
sebesar satu akan meningkatkan nilai keselamatan penerbangan se-
Airmanship.indd 230 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 3 1
besar 0,72. Penegakan hukum keselamatan penerbangan masih banyak
tafsir oleh para ahli hukum, oleh karena itu rendahnya tingkat kese-
lamatan penerbangan di Indonesia karena penegakan hukum kesela-
matan penerbangan belum optimal.
Menurut para ahli, penegakan hukum (law enforcement) dan kua-
litas SDM dalam dunia penerbangan Indonesia masih rendah. Banyak
penulis sebelumnya yang mengkaji tentang penegakan hukum kese-
lamatan penerbangan yang berhubugan dengan penumpang. Sangat
jarang ditemukan artikel yang mengkaji penegakan hukum tentang
keselamatan penerbangan yang berhubungan dengan pilot pesawat.
Zazili (2008) meneliti tentang Perlindungan Hukum Terhadap Penum-
pang pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional yang menyim-
pulkan bahwa instrumen hukum yang berkaitan dengan perlindungan
terhadap penumpang transportasi udara sudah berusia lama maka
diperlukan peninjauan kembali terhadap materi-materi atau substan-
sinya sebab sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman
(outdated) khususnya menyangkut ketentuan nilai ganti rugi. Sehu-
bungan dengan itu diharapkan kepada pembuat undang-undang untuk
segera membentuk undang-undang baru yang mengakomodasi ke-
pentingan masyarakat sebagai konsumen.
Senada dengan Muslim (2015), penerapan hukum dan perlindung-
an keselamatan dan keamanan penumpang dari barang berbahaya di
dalam pesawat udara harus lebih ditekankan dan setiap pelaku tindak
pidana harus ditindaklanjuti sesuai UU No. 1 Tahun 2009 dan Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana Buku Kedua Bab XXIX tentang Keja-
hatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Pener-
bangan, terutama program keselamatan penerbangan nasional yang
dibuat oleh Menteri mengenai peraturan keselamatan penerbangan
harus lebih dipatuhi oleh semua pihak. Sanksi terhadap petugas kea-
manan bandara yang telah memasukan barang berbahaya milik pe-
numpang ke dalam pesawat udara diatur sesuai dengan UU No. 1
Tahun 2009 tentang Keselamatan dan Keamanan Penerbangan dan
Kitab Undang Undang Hukum Pidana Buku Kedua Bab XXIX tentang
Airmanship.indd 231 5/9/19 1:47 PM
2 3 2 A I R M A N S H I P
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana
Penerbangan harus lebih ditegaskan, agar memberikan efek jera bagi
pelakunya dan tidak akan ada lagi kecelakaan-kecelakaan pesawat
udara yang diakibatkan dari barang berbahaya.
3. Sistem Manajemen Keselamatan penerbangan
Sistem manajemen keselamatan penerbangan merupakan konsep yang
sangat baik untuk meningkatkan keselamatan penerbangan. Penulis
menunjukkan bahwa pengaruh indikator sistem manajemen kesela-
matan penerbangan mempunyai pengaruh yang signifikan dengan
nilai standard size estimate sebesar 0,59 artinya setiap peningkatan
nilai Penegakan Hukum Keselamatan penerbangan sebesar 1 akan
meningkatkan nilai keselamatan penerbangan sebesar 0,59. Sistem
manajemen keselamatan penerbangan merupakan indikator yang
mempunyai pengaruh paling rendah akan tetapi pengaruhnya tetap
signifikan. Sistem manajemen keselamatan penerbangan dituangkan
dalam peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: Ske-
p/223/X/2009 tentang petunjuk dan tata cara pelaksanaan sistem
manajemen keselamatan (safety management system) operasi bandar
udara, bagian 139-01 (advisory circular 139-01, airport safety management
system).
Rai (2011) pernah membahas sistem manajemen keselamatan
bandara yang terintegrasi di apron bandara. Hal Ini dilatarbelakangi
oleh padatnya jadwal penerbangan serta belum optimalnya implemen-
tasi kebijakan penerbangan sesuai dengan Undang-Undang kesela-
matan penerbangan. Aviation Safety Management (ASM) atau Manaje-
men Keselamatan Aviasi Disadur dari Transport Canada oleh Prof Hadi
Winarto, Beeliar, Spring (2013) menjelaskan secara detail konsep dan
pemahaman tentang sistem manajamen keselamatan penerbangan.
Menurut spring (2013) bahwa penerapan sistem manajemen kesela-
matan adalah landasan dasar dari arah yang sedang berevolusi. Semua
Airmanship.indd 232 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 3 3
arah lainnya akan berevolusi di dalam lingkungan sistem manajemen
keselamatan. Sistem manajemen keselamatan itu berlandaskan fakta
bahwa potensi dan risiko bahaya itu selalu ada, jadi manajemen yang
proaktif dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan an-
caman-ancaman terhadap keselamatan sebelum hal-hal tersebut
tumbuh berkembang menjadi kenyataan terjadinya kecelakaan. Ber-
dasarkan kedua buku tersebut dapat dijelaskan bahwa sistem mana-
jemen keselamatan penerbangan berpengaruh terhadap keselamatan
penerbangan.
B. AnALiSiS KESELAMATAn pEnErBAngAn
Hasil wawancara dengan para ahli dan praktisi penerbangan sebagian
besar menyatakan bahwa keselamatan penerbangan di Indonesia
masih rendah. Capt. R.A Rooroh berpendapat bahwa kondisi pener-
bangan di Indonesia masih berisiko. Pendapat tersebut didukung oleh
Capt. R. Kuntardi yang menyatakan masalah maintenance pesawat
yang perlu diperhatikan. Menurut pengalamannya yang telah tujuh
kali mengalami accident, menyatakan bahwa maintenance pesawat
yang menjadi faktor penyebab kecelakaan. Hal ini senada dengan Capt.
Yudhianto yang lebih menyoroti masalah sistem manajemen kesela-
matan penerbangan masih rendah, sehingga berpotensi terjadinya
kecelakaan pesawat. Sedangkan Alvin Lie berpendapat bahwa regula-
tor yang berhubungan dengan keselamatan penerbangan sudah baik
walaupun dalam kondisi riil di lapangan masih belum sesuai. Alvin
lebih menyoroti sarana dan prasarana bandara yang belum layak yang
berpotensi terjadinya kecelakaan pesawat. Dari hasil wawancara ter-
sebut, penulis menganalisis bahwa selain 5 faktor utama (Man, Media,
Machine, Management, and Mission) penyebab kecelakaan, ada faktor
lain yang perlu diperhatikan yaitu implementasi kebijakan publik atau
pelaksanaan peraturan keselamatatan penerbangan. Pengamat kese-
lamatan penerbangan Dudi Sudibyo juga menyampaikan hal yang
Airmanship.indd 233 5/9/19 1:47 PM
2 3 4 A I R M A N S H I P
sama bahwa keselamatan penerbangan sudah lebih baik dibandingkan
masa lalu, tetapi masih perlu diperbaiki melihat banyak jadwal pener-
bangan sekarang ini. Dudi lebih menyoroti masalah oknum yang
masih mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan dengan
kepentingan umum.
Analisis penulis dari beberapa pernyataan para ahli dan praktisi di
atas adalah bahwa mereka mempunyai kesamaan pemikiran dan pen-
dapat tentang keselamatan penerbangan di Indonesia. Para narasum-
ber berbeda pandangan pada tataran level keselamatan penerbangan.
Sebagian narasumber memandang bahwa keselamatan penerbangan
ditinjau dari regulator pada tingkat manajemen, sedangkan yang lain
melihat pada tingkat operasional.
1. Analisis Keselamatan penerbangan berdasarkan Teori
Keselamatan Penerbangan adalah suatu keadaan terpenuhinya per-
syaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat
udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta
fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya (UU No. 1 Tahun 2009).
Berdasarkan teori tersebut maka dapat dijelaskan bahwa keselamatan
penerbangan dipengaruhi oleh empat indikator yaitu: (1) Peraturan
keselamatan Penerbangan; (2) Pengawasan Keselamatan Penerbangan;
(3) Penegakan Hukum Keselamatan Penerbangan dan (4) Sistem Ma-
najemen Keselamatan Penerbangan. Keempat indikator tersebut
mempunyai hubungan yang signifikan dengan keselamatan.
Teori yang paling sering digunakan dalam membahas keselamat-
an penerbangan adalah The Swiss Cheese Model for Human Error. Seca-
ra umum para ahli menyampaikan bahwa terjadinya keselamatan
penerbangan sama dengan “The Swiss Cheese Model” yang diciptakan
oleh Reason (1990). Dalam teorinya digambarkan empat tingkat sum-
ber penyebab terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian
Airmanship.indd 234 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 3 5
manusia yang saling memengaruhi. Penulis akan menganalisis keem-
pat sumber tersebut dengan hasil penulisan buku sebagai berikut.
1) Tingkat pertama dalam The Swiss Cheese model menggambarkan
Unsafe Acts (tindakan tidak aman) dalam operasi pelaksanaan
penerbangan yang mengakibatkan kecelakaan. Bagian ini meng-
analisis bahwa Unsafe Acts merupakan pelanggaran terhadap salah
satu indikator keselamatan penerbangan. Jika seorang pilot me-
langgar peraturan keselamatan penerbangan, masih besar ke-
mungkinan tidak terjadi kecelakaan. Tetapi jika dilanjutkan pe-
langgaran dengan beberapa indikator yang lain, kemungkinan
lebih besar terjadi kecelakaan penerbangan.
2) Tingkat kedua adalah kondisi aircrew karena memengaruhi kiner-
ja, disebut sebagai Precondition for Unsafe Acts (pengondisian
tindakan tidak aman). Dalam tingkat kedua ini melibatkan kondi-
si seperti kelelahan mental serta komunikasi dan koordinasi prak-
tik yang buruk, sering disebut sebagai Crew Resource Management
(CRM) atau manajemen sumber daya crew. Indikator yang dapat
mengukur kegagalan tingkat kedua adalah sistem manajemen
keselamatan penerbangan. Indikator sistem manajemen kesela-
matan penerbangan mempunyai hubungan yang signifikan terha-
dap keselamatan penerbangan. Artinya jika sistem manajemen
keselamatan kurang baik, risiko terjadi kecelakaan pesawat akan
besar.
3) Tingkat ketiga kelalaian manusia, yakni Unsafe Supervision (peng-
awasan tidak aman). Untuk meningkatkan keselamatan pener-
bangan maka perlu dilaksanakan pengawasan. Indikator yang
dapat digunakan untuk mengukur Unsafe Supervision adalah
pengawasan keselamatan penerbangan. Terdapat hubungan yang
signifikan antara pengawasan keselamatan penerbangan dengan
keselamatan penerbangan. Jika ada unsafe supervision maka tidak
langsung terjadi kecelakaan. Misalnya jika pilot terbang tanpa
memperhitungkan bahan bakar untuk cadangan, tidak akan lang-
sung terjadi kecelakaan. Kondisi tersebut merupakan perencanaan
Airmanship.indd 235 5/9/19 1:47 PM
2 3 6 A I R M A N S H I P
penerbangan yang kurang baik, dan kecelakaan akan mungkin
terjadi jika keadaan tersebut diikuti dengan cuaca yang buruk
sehingga pesawat tidak dapat landing pada bandara tujuan. Ke-
mudian pilot mengambil keputusan untuk mendarat pada banda-
ra alternatif. Dengan kondisi tersebut maka bahan bakar yang ada
tidak cukup untuk mencapai bandara alternatif, sehingga besar
kemungkinan terjadi kecelakaan.
4) Tingkat keempat kelalaian manusia adalah pengaruh organisasi.
Berdasarkan teori The Swiss Cheese Model, pengaruh organisasi
sangat berperan dalam mewujudkan keselamatan penerbangan,
sehingga kecelakaan dapat diantisipasi lebih awal. Apabila orga-
nisasi kurang memperhatikan fungsi manajemen, maka tujuan
organisasi tidak dapat tercapai dan kecelakaan akan selalu terjadi.
Kemudian dalam teori perilaku organisasi menurut Robbins (2003)
bahwa fungsi pengawasan meliputi kegiatan pemantauan, pem-
bandingan, serta kemungkinan mengoreksi bila terdapat penyim-
pangan. Oleh karena itu, fungsi pengawasan dalam pelaksanaan
proses penerbangan sangatlah penting dilakukan pada suatu or-
ganisasi. Pengaruh organisasi dapat tercakup dalam indikator
keempat. Organisasi dalam hal ini pemerintah akan mendukung
perumusan peraturan keselamatan penerbangan yang benar. Or-
ganisasi juga mempunyai pengaruh terhadapat pengawasan ke-
selamatan penerbangan, demikian juga dengan Penegakan Hukum
Keselamatan Penerbangan serta Sistem Manajemen Keselamatan
Penerbangan. Hasil menunjukkan bahwa keempat indikator ter-
sebut mempunyai hubungan yang signifikan dengan keselamatan.
Komisi Navigasi Udara ICAO juga memiliki korelasi dengan kese-
lamatan penerbangan. Komisi ICAO dalam pertemuan keempat dan
kelima dari Sesi ke-190-nya pada tanggal 8 Mei 2012, mempertimbang-
kan proposal yang dikembangkan oleh Manajemen Panel Keselamatan
(Safety Management Panel - SMP) untuk mentransfer ketentuan tentang
tanggung jawabmanajemen keselamatan dan proses dari Annexes
Airmanship.indd 236 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 3 7
yangadauntukdikonsolidasidalamAnnexbaru19-Safety Manage-
ment dan usulan amandemen konsekuensial terkait dengan Annex
yang ada. Pada bagian ini, indikator yang digunakan untuk mengukur
keselamatan penerbangan yang dikeluarkan oleh ICAO adalah indika-
tor Sistem Manajemen Keselamatan Penerbangan. Penulis menunjuk-
kan bahwa indikator tersebut mempunyai hubungan yang signifikan
dengan keselamatan penerbangan. Berdasarkan analisis tersebut maka
penulis menyimpulkan bahwa konsep keselamatan yang dikeluarkan
olehICAOmelaluiAnnexbaru19senadadenganhasiltemuanpenulis.
JikadianalisislebihdetaillagiisidariAnnexke19tersebutmaka
dapatdijelaskanbahwaAnnexbaruICAOtersebutmendukungstra-
tegi keamanan global, yang menyerukan untuk meningkatkan stan-
dardisasi, peningkatan kerja sama antar pemangku kepentingan pe-
nerbangan, inisiatif berbagi informasi baru, dan memprioritaskan
investasi di sumber daya teknis dan manusia yang dibutuhkan untuk
memastikan operasi yang aman. Pada buku ini, makna yang tersirat
dalamannex tersebut adalah adanya peraturan keselamatan secara
global, adanya standardisasi penerbangan, adanya pengawasan dan
adanya sistem manajemen penerbangan yang baik. Makna yang ter-
sirat tersebut telah tercakup dalam seluruh indikator yang digunakan
oleh penulis. Analisis yang tidak kalah penting adalah adanya pene-
kanan Manajemen keselamatan Standar Internasional ICAO dan Prak-
tik Rekomendasi memberikan persyaratan tingkat tinggi bahwa nega-
ra harus menerapkan untuk memenuhi tanggung jawab manajemen
keselamatan mereka terkait dengan, atau didukung langsung dari,
operasi yang aman dari pesawat.
Dalam hal implementasi keselamatan penerbangan di Indonesia,
sesuai dengan Peraturan Internasional sebagaimana diatur dalam
Annexes ICAO, pemerintah Indonesia juga merumuskan peraturan
transportasi udara nasional, dalam bentuk Undang-undang Penerbang-
an, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Keputusan Direk-
torat Jenderal Perhubungan. Kegiatan tersebut dapat dinyatakan se-
bagai perumusan peraturan keselamatan penerbangan, yang merupa-
Airmanship.indd 237 5/9/19 1:47 PM
2 3 8 A I R M A N S H I P
kan indikator pertama. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara peraturan keselamatan penerbangan dengan kese-
lamatan penerbangan. Semakin baik peraturan keselamatan pener-
bangan maka kemungkinan besar tidak terjadi kecelakaan.
Selain dasar hukum dan regulasi sebagaimana disebutkan di atas,
juga dibentuk sebuah Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Civil
Aviation Safety Regulation - CASR) oleh Direktorat Perhubungan Udara
Kementerian Perhubungan juga merupakan bagian dari peraturan
transportasi udara nasional Indonesia. Telah banyak dilahirkan pera-
turan pemerintah maupun peraturan menteri yang berkaitan dengan
keselamatan penerbangan. Indikator yang berhubungan dengan pen-
jelasan di atas adalah peraturan keselamatan dan pengawasan kese-
lamatan penerbangan. Peraturan keselamatan penerbangan dikeluar-
kan oleh pemerintah, sedangkan pegawasan dilaksanakan oleh peme-
rintah dan operator. Hasil menunjukkan adanya hubungan yang sig-
nifikan pada seluruh indikator dengan keselamatan penerbangan.
Terkait dengan UU No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan, tujuan
dan objektif dari UU No. 1 tahun 2009 adalah untuk memperkenalkan
pengembangan transportasi udara Indonesia dan untuk memastikan
agar sektor transportasi udara Indonesia dapat mendukung pemba-
ngunan nasional dan layak untuk bersaing dan bertahan secara nasi-
onal, regional, dan internasional. Seluruh indikator tercakup dalam
tujuan dari UU tersebut. Undang-undang No. 1 tahun 2009 ini juga
untuk mengatur sejumlah hal yang berkaitan dengan penerbangan,
mulai dari kedaulatan di wilayah udara, pesawat produksi, operasi dan
kelaikan pesawat untuk keamanan dan keselamatan penerbangan,
pengadaan pesawat, asuransi penerbangan, investigasi kecelakaan
pesawat, dan lisensi profesional penerbangan. UU No. 1 tahun 2009
juga mengatur tentang transportasi udara terjadwal dan non-terjadwal,
kepemilikan pesawat dan penyewaan pesawat, kewajiban maskapai
penerbangan, fasilitas navigasi udara, otoritas bandara dan wilayah
informasi penerbangan. Hal tersebut secara jelas menyampaikan per-
lunya peraturan keselamatan penerbangan, harus ada pengawasan
Airmanship.indd 238 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 3 9
dalam hal ini otoritas bandara. Hal ini menunjukkan adanya hubung-
an yang signifikan dengan seluruh indikator.
Jika dikaitkan dengan UU No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan,
UU No. 15 Tahun 1992 adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan
penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur,
nyaman dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya
beli masyarakat, dengan mengutamakan dan melindungi penerbang-
an nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas,
sebagai pendorong, penggerak, dan penunjang pembangunan nasional
serta mempererat hubungan antarbangsa. Berdasarkan tujuan tersebut
maka secara tersirat seluruh indikator telah tercakup dalam UU ter-
sebut.
Jika dikaitkan dengan keselamatan penerbangan di Indonesia,
pemerintah telah memiliki Program Nasional Keamanan Penerbangan
Sipil (National Civil Aviation Security Programme) yang bertujuan untuk
keamanan dan keselamatan penerbangan, keteraturan dan keberlan-
jutan penerbangan sipil di Indonesia dengan memberikan perlindung-
an terhadap penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara, para
petugas di darat dan masyarakat, dan instalasi di kawasan bandar
udara dari tindakan melawan hukum. Pemerintah memandang perlu-
nya paradigma baru bahwa keselamatan penerbangan merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah, perusahaan penerbang-
an, dan masyarakat pengguna jasa. Berdasarkan penjelasan di atas
dengan tegas disampaikan perlunya peraturan keselamatan pener-
bangan, harus adanya pengawasan bersama antara pemerintah dengan
pihak maskapai, perlunya penegakan hukum, dan perlindungan ter-
hadap penumpang.
Sebagai langkah konkrit ke depan sesuai dengan ketentuan ICAO
yang baru, pemerintah telah memberlakukan Sistem Manajemen
Keselamatan (Safety Management System/SMS) di bidang penerbang-
an. Hal ini senada dengan indikator keempat yang dibahas penulis.
Pemerintah juga melakukan revisi Peraturan Pemerintah dan Peratur-
an Keselamatan Penerbangan/CASR untuk memasukkan persyaratan
Airmanship.indd 239 5/9/19 1:47 PM
2 4 0 A I R M A N S H I P
Sistem Manajemen Keselamatan berupa tanggung jawab keselamat-
an oleh Presiden Direktur, sistem identifikasi bahaya, menganalisis
risiko dan tindak lanjut mengurangi risiko, kewajiban melakukan
evaluasi keselamatan secara berkala, indikator keselamatan, internal
evaluasi, emergency response plan yang dituangkan dalam safety ma-
nual airline.
Di dalam amanat UU No. 15 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah
No. 3 Tahun 2001, Menteri Perhubungan telah menetapkan Program
Pengamanan Penerbangan Sipil yang terdiri dari Program Pengamanan
Bandar Udara dan Program Pengamanan Perusahaan Angkutan Udara.
Berdasarkan Program Pengamanan Perusahaan Angkutan Udara, dalam
pengoperasiannya setiap maskapai diwajibkan membuat Airline Secu-
rity Programme (ASP) dan Airline Manual (AM) yang memuat antara lain:
(1) Prosedur pengoperasian pesawat udara; (2) Personil pesawat udara;
(3) Fasiltas peralatan; (4) Pesawat udara; (5) Airline Contingency Plan
(untuk ASP); dan (6) Airline Emergency Plan (untuk Airline Manual).
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa pihak maskapai terlibat
dalam pembuatan peraturan keselamatan penerbangan, dan ikut
serta dalam pengawasan. Selain kedua indikator tersebut, indikator
penegakan hukum, dan sistem manajemen keselamatan penerbangan
tercakup dalam program pengamanan penerbangan sipil.
Tanggung jawab pemerintah terhadap keselamatan penerbangan
diberikan kepada Ditjen Hubud Kemenhub RI yang meliputi:
1) Menjamin bahwa sarana transportasi yang disediakan memenuhi
persyaratan keselamatan penerbangan secara konsisten dan terus
menerus. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh indikator mempu-
nyai hubungan yang signifikan dengan keselamatan penerbangan.
2) Secara konsisten dan terus menerus melakukan pengawasan de-
ngan melakukan pengecekan terhadap pemenuhan peraturan
perundang-undangan dan peraturan keselamatan penerbangan
yang berlaku. Terkait dengan hal tersebut, indikator yang diguna-
kan untuk mengukur tanggung jawab pemerintah adalah penga-
wasan keselamatan penerbangan.
Airmanship.indd 240 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 4 1
3) Penegakan hukum secara konsisten terhadap pelanggaran peme-
nuhan regulasi secara administrasi berupa pencabutan sertifikat.
Terkait dengan hal tersebut, indikator yang sesuai untuk mengu-
kur tanggung jawab pemerintah adalah penegakan hukum. Ber-
dasarkan analisis di atas maka penulis menyimpulkan bahwa
tanggung jawab pemerintah sesuai dengan tujuan keselamatan
penerbangan.
Terdapat beberapa kajian yang berhubungan dengan keselamatan
penerbangan karena konsekuensi logis dari The Swiss Cheese Model
yang menyatakan bahwa kecelakaan pesawat tidak disebabkan oleh
satu kegagalan saja tetapi merupakan kombinasi dari beberapa kesa-
lahan secara beruntun. Kajian penulis senada dengan Wignjosoebroto
dan Zaini (2007) yang menyatakan beban kerja memiliki kaitan dengan
kecenderungan human factor yang bisa menyebabkan terjadinya ke-
celakaan. Penulis juga senada dengan Nrangwesti (2011) yang menyim-
pulkan tinjauan aspek yuridis normatif pada pilot pesawat udara
memegang peranan yang sangat penting dan menunjukkan pilot
pesawat udara harus menjamin keselamatan dan keamanan pener-
bangan serta mempunyai kewenangan untuk menindak tegas orang
yang diduga melakukan tindak pidana di dalam pesawat udara yang
sedang terbang. Dengan demikian, penegakan hukum mempunyai
hubungan yang signifikan dengan keselamatan penerbangan.
Pembahasan pada buku ini merupakan lanjutan dari penelitian
Alsowayigh (2014) yang meneliti pengaruh safety culture untuk pener-
bangan di Arab Saudi. Dalam pandangannya keselamatan penerbang-
an diukur dengan sikap pilot yang berakibat pelanggaran dan kesa-
lahan dari pilot. Hasil mengungkapkan bahwa safety culture memiliki
pengaruh langsung pada sikap pilot (pelanggaran) dan efek tidak
langsung pada perilaku pilot error. Selain itu, budaya keselamatan
memiliki efek yang kuat untuk meningkatkan komitmen pilot pada
maskapai. Pada buku ini, variabel yang digunakan untuk meneliti
keselamatan penerbangan adalah Airmanship dan implementasi ke-
Airmanship.indd 241 5/9/19 1:47 PM
2 4 2 A I R M A N S H I P
bijakan publik sehingga secara makna dan hasil, buku ini senada de-
ngan pendapat Alsowayigh tetapi memiliki perbedaan dalam konsep
dan pendekatan teori.
Pruchniki dkk. (2010) yang memprediksi kelelahan pilot ditinjau
dari riwayat waktu tidur/bangun dan fase circadian juga menjadi per-
hatian penulis untuk dianalisis. Senada juga dengan Mustopo (2012)
yang menganalisis “fatigue”, sebab-sebab timbulnya fatigue, indikator
fatigue, dan pengaruhnya pada aspek psikologis yang berhubungan
dengan kegagalan performance. Penulis juga mendukung De Mello dkk.
(2008) yang melakukan kajian untuk menganalisis hari (shift) di mana
sering terjadi kecelakaan bagi pilot di Brazil. Hasil menunjukkan ada-
nya hubungan waktu terbang dengan kecelakaan. Kecelakaan terjadi
pada 35% penerbangan pagi sampai dengan siang hari, 32% sore hari,
26% malam hari dan 7% pagi hari antara pukul 00.00-06.00 waktu
setempat. Analisis penulis menyatakan bahwa waktu penerbangan
berkaitan dengan implementasi kebijakan publik.
Berbeda dengan Li dkk. (2009) yang melakukan kajian untuk me-
ngetahui hubungan antara faktor lokasi, kondisi cuaca dan usia pilot
terhadap terjadinya kecelakaan pesawat. Hasil menunjukkan usia pilot
dan total jam terbang tidak memliki pengaruh yang signifikan terha-
dap terjadinya kecelakaan pesawat udara. Sedangkan pada jam terbang
mempunyai hubungan yang signifikan dengan Airmanship yang seca-
ra logis berhubungan dengan implementasi kebijakan publik dan ke-
selamatan penerbangan.
Hubungan antara perilaku pilot berpengaruh signifikan secara
kuantitatif maupun kualitatif. Analisis Hubungan antara Airmanship
pilot dengan implementasi kebijakan publik yang menyatakan ada
pengaruh yang signifikan diperkuat dengan pendapat para pakar.
Hasil ini juga merupakan penguatan dan mendukung teori-teori sebe-
lumnya yang berkaitan dengan seluruh variabel yang dibahas pada
buku ini. Dari hasil tersebut, penulis menyimpulkan bahwa hubungan
antara teori tersebut terbukti secara kuantitatif maupun kualitatif.
Airmanship.indd 242 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 4 3
C. FungSi pEngAwASAn inTErnAL
Dalam hal fungsi pengawasan, permasalahan terletak pada kurangnya
pengawasan internal dalam organisasi operator maupun regulator. Me-
nurut analisis penulis, hal tersebut terjadi karena banyak faktor. Jika
ditinjau dari pihak operator maka faktor tersebut yaitu: 1) Adanya konflik
internal sesama pilot; 2) Masalah biaya operasional maskapai yang belum
mewadahi; 3) Pihak manajemen yang orientasi bisnis; 4) Pengetahuan
dan pemahaman tentang kebijakan publik yang belum maksimal; dan 5)
Kurangnya penegakan hukum. Jika ditinjau dari pihak regulator maka
faktor penyebab kurang optimalnya fungsi internal kontrol yaitu: 1) Ada-
nya konflik internal antara oknum operator dengan regulator; 2) Kurang-
nya pemahaman tentang kebijakan publik; 3) Kurangnya pemahaman
tentang filosofi penerbangan; 4) Kesejahteraan dari oknum regulator
yang belum layak; 5) Anggaran untuk pengawasan belum optimal; 6)
Masalah politik yang dapat memengaruhi kebijakan publik. Berdasarkan
hasil dan analisis tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa dibutuh-
kan fungsi eksternal kontrol yang independen untuk mengawasi pelak-
sanaan kegiatan penerbangan. Jika dianalisis secara teori implementasi
kebijakan publik yang dikemukakan oleh Easton yang menyatakan
bahwa sistem kebijakan publik ibarat sistem biologi yang saling terkait
anatara suatu organ dengan organ yang lain. Sehingga fungsi pengawas-
an eksternal ini bertugas untuk menjaga supaya sistem tersebut berjalan
seperti yang diharapkan. Fungsi eksternal tersebut merupakan badan
atau lembaga yang independen berada di bawah Presiden.
D. FungSi KonTroL EKSTErnAL
Terkait dengan fungsi kontrol eksternal, terdapat perdebatan menge-
nai perlu atau tidak diperlukannya fungsi kontrol eksternal. Berdasar-
kan hasil tersebut maka penulis menganalisis hasil diskusi dengan
memberikan konsep fungsi kontrol eksternal seperti dijelaskan pada
Gambar 9.1.
Airmanship.indd 243 5/9/19 1:47 PM
2 4 4 A I R M A N S H I P
gambar 9.1. Konsep Fungsi Kontrol eksternal
Berdasarkan gambar 9.1. Konsep Fungsi Kontrol Eksternal dapat
dijelaskan fungsi kontrol yang dikonsepkan sebagai berikut:
a. Keselamatan penerbangan berdampak langsung terhadap publik,
operator, maupun regulator.
b. Operator memberikan jasa langsung ke publik.
c. Badan internal mengawasi operator dan regulator.
d. Badan internal memberikan saran dan revisi bilamana terjadi ke-
kurangan.
e. Regulator merevisi kebijakan publik jika ada yang masih belum
sempurna.
f. Operator melaksanakan langsung kebijakan publik.
g. Badan internal mengawasi, mengevaluasi dan merekomendasikan
implementasi kebijakan publik ke pihak operator
h. Badan kontrol eksternal mengawasi, mengevaluasi dan mereko-
mendasikan implementasi kebijakan publik ke pihak operator dan
regulator berdasarkan pengawasan di lapangan maupun mendapat
pengaduan dari publik.
i. Badan kontrol eksternal bertanggung jawab kepada Presiden.
Airmanship.indd 244 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 4 5
Secara singkat, pembahasan pada buku ini tergambar pada grafik
di bawah ini.
gambar 9.2 Diagram Airmanship: Implementasi Kebijakan
Menuju Keselamatan Penerbangan
Analisis dan pembahasan Kualitatif
• Wawancara• FGD
Airmanship Pilot
Implementasi Kebijakan
Publik
Keselamatan Penerbangan
Variabel Independen
Perilaku
Kecerdasan Emosi
Efikasi Diri
Model Struktural
Analisis dan pembahasan Kuantitatif
• Validitas• Reabilitas• Indeks Kesesuaian
Setiap Variabel dianalisis dengan indikator yang digunakan berdasarkan teori dan penulisan buku sebelumnya.
Rekomendasi
• Fungsi Pengawasan Internal• Fungsi Pengawasan
Eksternal
Implikasi
• Implikasi Teoritis • Implikasi Praktis
Hubungan Teoritis Hubungan Teoritis Hubungan Teoritis
• Implikasi Teoritis• Implikasi Praktis
Pada diagram di atas terdapat beberapa variabel yang memiliki
korelasi positif antara perilaku, kecerdasan emosi, efikasi diri, airman-
ship, implementasi kebijakan publik, dan keselamatan penerbangan.
Untuk dapat mengetahui besaran korelasi antar variabel-variabel
tersebut, penulis telah melaksanakan analisis dengan menggunakan
Airmanship.indd 245 5/9/19 1:47 PM
2 4 6 A I R M A N S H I P
model Structural Equation Model (SEM) yang telah dibahas pada bab-
bab sebelumnya secara terpisah. Pada bagian ini, penulis secara khu-
sus memetakan hubungan korelasi terhadap seluruh variabel tersebut
yang diperkuat dengan hasil analisis dari model SEM yang tergambar
pada diagram di bawah ini:
gambar 9.3 Hubungan Korelasi antara Airmanship dengan Perilaku,
Kecerdasan emosi, efikasi Diri, Implementasi Kebijakan Publik,
dan Keselamatan Penerbangan.
PERILAKU
KEC. EMOSI
EFIKASI DIRI
AIRMANSHIP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
KESELAMATAN PENERBANGAN
0,41
0,32
0,24
0,55 0,25
Sumber: Diolah oleh Penulis, 2017.
Pada grafik di atas, penulis menemukan sebuah keterkaitan anta-
ra Airmanship dengan perilaku, kecerdasan emosi, efikasi diri, imple-
mentasi kebijakan publik, dan keselamatan penerbangan. Hubungan
korelasi antara airmanship dengan perilaku yang mencakup kebiasaan,
respons, stimulus, dan sikap pilot memiliki skor sebesar 0,41 yang
memiliki arti bahwa semakin baik perilaku seorang pilot maka jiwa
airmanshipnya akan meningkat. Hubungan korelasi antara airmanship
dengan kecerdasan emosi yang indikatornya terdiri dari pengelolaan
emosi, motivasi diri, kemampuan membina hubungan, dan kemam-
puan beradaptasi memiliki skor sebesar 0,32 sehingga jika kecerdasan
emosi seorang pilot meningkat maka dapat dipastikan airmanship
pilot mereka juga akan meningkat. Dalam hal efikasi diri yang diukur
Airmanship.indd 246 5/9/19 1:47 PM
R E G U L A S I , S I S T E M P E N G AWA S A N , P E N E G A K A N H U K U M , . . . 2 4 7
dari pengalaman jam terbang, usaha dan persistensi tinggi, level ke-
mampuan, generalisasi, dan kekuatan bertahan, memiliki hubungan
korelasi dengan airmanship sebesar 0,24 sehingga efikasi diri memiliki
korelasi positif terhadap peningkatan airmanship pilot. Implementasi
kebijakan publik terhadap keselamatan penerbangan memiliki nilai
hubungan korelasi sebesar 0,25. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa
semua peraturan dari tingkatan konseptual sampai dengan teknis
apabila diimplementasikan dengan baik maka dapat meningkatkan
keselamatan penerbangan.
gambar 9.4 Hubungan Korelasi antara Airmanship
dengan Implementasi Kebijakan Publik
beradaptasi memiliki skor sebesar 0,32 sehingga jika kecerdasan emosi seorang pilot
meningkat maka dapat dipastikan airmanship pilot mereka juga akan meningkat. Dalam hal
efikasi diri yang diukur dari pengalaman jam terbang, usaha dan persistensi tinggi, level
kemampuan, generalisasi, dan kekuatan bertahan, memiliki hubungan korelasi dengan
airmanship sebesar 0,24 sehingga efikasi diri memiliki korelasi positif terhadap peningkatan
airmanship pilot. Implementasi kebijakan publik terhadap keselamatan penerbangan
memiliki nilai hubungan korelasi sebesar 0,25. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa semua
peraturan dari tingkatan konseptual sampai dengan teknis apabila diimplementasikan
dengan baik maka dapat meningkatkan keselamatan penerbangan.
ublik
Selain itu, penulis juga menemukan sebuah keterkaitan antara airmanship dengan
implementasi kebijakan publik yang dibuktikan dengan hasil analisis SEM dengan skor yang
signifikan sebesar 0,55. Skor ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
airmanship dengan implementasi kebijakan publik. Dalam hal ini, grafik diagonal di atas
menunjukkan bahwa jika skor airmanship seseorang 55 maka skor implementasi kebijakan
publik berada pada nilai 100. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai airmanship
yang dimiliki oleh seorang pilot maka pilot tersebut semakin memahami kebijakan pada
level strategis maupun aturan teknis yang harus dikuasai. Dengan demikian, jika pilot
memiliki nilai airmanship yang tinggi, maka pilot tersebut dapat dipastikan memahami
Implementasi Kebijakan Publik
Airmanship
55
100
10040
22
182
Selain itu, penulis juga menemukan sebuah keterkaitan antara
airmanship dengan implementasi kebijakan publik yang dibuktikan
dengan hasil analisis SEM dengan skor yang signifikan sebesar 0,55.
Skor ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
airmanship dengan implementasi kebijakan publik. Dalam hal ini,
grafik diagonal di atas menunjukkan bahwa jika skor airmanship se-
seorang 55 maka skor implementasi kebijakan publik berada pada
nilai 100. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai airmanship
Airmanship.indd 247 5/9/19 1:47 PM
2 4 8 A I R M A N S H I P
yang dimiliki oleh seorang pilot maka pilot tersebut semakin mema-
hami kebijakan pada level strategis maupun aturan teknis yang harus
dikuasai. Dengan demikian, jika pilot memiliki nilai airmanship yang
tinggi, maka pilot tersebut dapat dipastikan memahami semua kebi-
jakan dan aturan dalam dunia penerbangan sehingga pilot tersebut
dapat terhindar dari kecelakaan penerbangan.
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa airmanship
merupakan jiwa, pedoman, atau norma yang harus dipahami, dilak-
sanakan, dan ditaati oleh seluruh pilot dan personel penerbangan.
Dalam hal ini, penulis merekomendasikan tentang perlunya perumus-
an standar airmanship yang dituangkan dalam kebijakan publik yang
dapat diartikan sebagai Blanked of Airmanship agar setiap personel
maupun operator memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama
dalam melaksanakan operasi penerbangan. Dalam meningkatkan
efektivitas implementasi kebijakan yang terkait dengan keselamatan
penerbangan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Perusahaan penerbangan dan pihak-pihak lain yang terkait dengan
keselamatan penerbangan perlu melaksanakan pelatihan secara
terstruktur dan periodik guna meningkatkan profesionalisme
personel dalam hal manajemen keselamatan penerbangan.
b. Perlu dilakukan ‘pemaksaan’ dan pemberian sanksi tegas pada
seluruh individu yang terlibat dalam operasi penerbangan untuk
mengimplementasikan kebijakan yang terkait dengan keselamat-
an transportasi dalam rangka menghindari terjadinya kecelakaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU No. 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
c. Perlu diberikan pemberdayaan pada masyarakat yang dirumuskan
dalam kebijakan pada tingkat Keputusan Menteri untuk menga-
wasi implementasi kebijakan yang terkait dengan keselamatan
penerbangan.
Airmanship.indd 248 5/9/19 1:47 PM
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, M. 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Citra Aditya Bhakti.
Bandung.
Admosudidjo SP., 1990. Dasar-dasar Administrasi Negara. Ghalia Indo-
nesia.
Ali, Faried dan Baharuddin. 2014. Ilmu Administrasi Dalam Pendekatan
Hakikat Inti. PT Refika Aditama. Bandung.
Alsowayigh, M. 2014. Assessing Safety Culture Among Pilots in Saudi
airlines: A Quantitatif Study Approach. Florida: Department of In-
dustrial Engineering and Management System in the College of
Engineering and Computer Science at the University of Central
Florida Orlando.
Anderson, J. E. 1979. Public Policy Making. Holt, Rinehart and Winston.
New York.
Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Rine-
ke Cipta. Jakarta.
, 2006. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik).EdRevisiVI,
Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
ASBCA. 2012. Aviation Safety Boeing Commercial Airplanes: Statistical
Summary of Commercial Jet Airplane Accident. Seattle. Washington.
Bandura. 1997. Self Efficacy: The Exercise of control. W. H. Freeman. New
York.
Airmanship.indd 249 5/9/19 1:47 PM
2 5 0 A I R M A N S H I P
Baron, R.A. and Byrne, D.E. 1984. Social Psychology: Understanding Hu-
man Interaction, USA: Allyn and Bacon.
, 1997. Social Psychology, Boston: Allyn and Bacon.
Bateman, Thomas S. dan Snell, Scott A. 2004. Management: The New
Competitive Landscape. Sixth Edition. McGraw Hill. New York.
Bohlander, George., and Snell, Scott. 2010. Principles of Human Resour-
ce. Management. 15th ed. Mason. OH: South Western – Cengage
Learning
Bollen. 1989. Structural Equation with Latent Variabels. John Wiley and
Sons. New York.
Boomsma dan Hoogland. 2001. The Robustness of LISREL Modeling Re-
visited. Structural Equation Modeling: Present and Future, A festtsc-
hrift in Honor of Karl Joreskog. Chicago: Scientific Software Inter-
national.
Byars, Lloyd L., Rue, Leslie W. 2005. Human Resource Management.
Ninth Edition. McGraw Hill.New York.
Chandler, Ralph C., dan Jack, C., Plano. 1982. Public Administration
Dictionary. John Wiley and Sons. New York.
Cooper, Robert K. dan Sawaf, A. 2001. Executive EQ: Emotional Intelli-
gence in Leadership and Organizations. Terjemahan, PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Craig, P. A. 1992. Be a Better Pilot: Making The Right Decision. McGraw
Hill. Philadelphia.
, 2012. The Killing Zone, How and why Pilot Die. Second Edition. Mc
Graw Hill. Tennessee.
Danim. 2000. Ilmu-ilmu Perilaku. Bumi Aksara. Jakarta.
Daudelin et all. 2006. Focus Group Research and the Patient’s View.
Social Science and Medicine.
Davis, M. 2006. Test EQ Anda. Terjemahan. Mitra Media. Jakarta. Des-
sler, G. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi kesepuluh
Jilid 1. Indeks. Jakarta.
De Maria (2007). Understanding Airmanship, Aviation Channel.
Airmanship.indd 250 5/9/19 1:47 PM
D a f t a r P u s t a k a 2 5 1
De Mello, M.T., Esteves, A.M., Pires, M.L.N., Santos, D.C., Bittencourt,
L.R.A, Silva, R.S., & Tufik, S. 2008. Relationship Between Brazilian
Airline Pilot Errors and Time of Day. Brazilian Journal of Medical and
Biological Research. Brazil.
Dunn, William N., 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Easton D (1953). The Political System, New York: Knopf, hal.129.
Ebbage, Louise, dan Phil D. S. 2003. Airmanship Training For Modern
Aircrew. Bristol: BAE Systems.
Edward III, 1980. Implementation Public Policy. Washington DC: Cong-
resional Quarter Press.
Eulau dan Prewith, 1973. Canadian Journal of Political Science/Revue
canadienne de science politique, Volume 9, Issue 01, Heinz Eulau and
Kenneth Prewitt, “Labyrinths of Democracy: Adaptations, Linkages,
Representation, and Policies in Urban Politics”. Indianapolis: Bobbs-
Merrill Company, 1973, pg. 465)
Fayol H., 1930. Industrial and General Management.
Ferdinand A. 2002. Structural Equation Modelling Dalam Penelitian Ma-
najemen. Seri Pustaka Kunci. Semarang.
Fischer F., Miller G. J., dan Sidney M. S., 2007. Handbook of Public Poli-
cy Analysis Theory, Politics, and Methods, Rutgers University Newark,
New Jersey, U.S.A. Taylor & Francis Group, LLC, CRC Press is an
imprint of Taylor & Francis Group, an Informa business.
Fiyanzar, A. E., Nusraningrum, D., dan Arofat, O., 2016. Penerapan Safety
Management System Pada Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navi-
gasi Penerbangan Indonesia Jurnal Manajemen Transportasi Dan
Logistik, STMT Trisakti, Jakarta.
Fornell dan Lacker. 1981. Structural Equation Modelings with Unobser-
vable Variables and Measurements Error: Algeebra and Statistics.
Ghozali dan Fuad. 2005. Structural Equation Modeling: Teori, Konsep,
dan Aplikasi Dengan Program Lisrel 8.54. Semarang: Universitas
Diponegoro
Airmanship.indd 251 5/9/19 1:47 PM
2 5 2 A I R M A N S H I P
Grindle, Merilee S., (ed), 1980. Politics and Apolicy Implementation in the
Third World, New Jersey: Princetown University Press.
Goleman, D. 2000. “Emotional intelligence: Issues in paradigm building.”
D. Goleman, & C. Cherniss (eds.), The Emotionally Intelligent Wor-
kplace.
Hawkins, F.H. 1993. Human Factors in Flight (2nd Edition). Hants Gower
Technical Press: UK.
Huang, R., 2002. On the Nature of Public Policy. Chinese Public Adminis-
tration Review, Volume 1, Number 3 of 4. Peking University: Beijing.
Islamy, M. I. 1998. Agenda kebijakan Administrasi Negara. Universitas
Brawijaya: Malang.
, 2004. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi
Aksara: Jakarta
Ivancevich, John M., Konopaske, R., Matteson, Michael T., 2005, Orga-
nization Behavior and Management, Seventh Edition. McGraw Hill:
Boston.
Jarvis et all, C. M. 2003. A critical Review of Construct Indicators and
Measurement Model Misspecification in Marketing and Consumer
Research. Journal of Consumer Research, Vol. 13 . 199-218.
John,D.Cox.2011.Emotional Intelligence and its Role in Collaboration.
Proceedings of ASBBS, ASBBS Annual Conference:LasVegas.Volume
18, Number 1, pp. 435
Kaluku E. W., Kairupan, B. H., Engkeng, S., 2014. Hubungan Antara
Motivasi Kerja Dan Kecerdasan Emosi Dengan Stres Kerja Perawat Di
Poliklinik Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Kota Manado, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Kern, T. 1997. Redifining Airmanship. McGraw Hill Professional: United
States.
, 2010. Foundations of Professional Airmanship and Flight Dicipline.
Convergent Performance. Colorado Springs: Colorado.
Kwick R., 1974. Measurement Of Malows Need Hirarchy, Journal of Orga-
nizational Behavior Human Performance.
Airmanship.indd 252 5/9/19 1:47 PM
D a f t a r P u s t a k a 2 5 3
Labbaf H., Ansari E.M. dan Masaodi M. 2011. The Impact of the Emotio-
nal Intelligence on Dimensions of Learning Organization, The Case
of Isfahan university. Interdisciplinary Journal of Contemporary
ResearchinBusiness.Vol3,No5.
Lewis, W. C. dan Stuart C. G. 2005. The Ethics Challenge in Public Servi-
ce: A Problem-Solving Guide. Dalam Market Street, Jossey-Bass, San
Fransisco.
Li, G., Pressley, C.J., Qiang, Y. dan Rebok, G.W. 2009. Geographic Region,
Weather, Pilot Age, and Air Carrier Crashes: a case-control study.
Abstract Aviation Space and Environmental Medicine 80(4): 386- 90.
Loehlin, 1998. Latent Variable Models: An Introduction to Factor, Path,
and Structural Analysis. Lawrence Erlbaum Associates.
Luthans, F. 2006. Perilaku Organisasi.(AlihBahasaV.A.Yuwono,dkk).
Edisi Bahasa Indonesia. Penerbit Andi: Yogyakarta.
, 2011. Organization Behaviour, Published by McGraw-Hill/ Irwin, a
business unit of The McGraw-Hill Companies, Inc., 1221 Avenue of
the Americas, New York, NY, 10020. Twelfth Edition
Martono, K. 1995. Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa,
Hukum Laut Internasional. Mandar Maju: Bandung.
, 2015. Pakar: UU Penerbangan Tak Berlaku Bagi Kecelakaan Air Asia
QZ8501, http://www.hukumonline.com/berita/ baca/lt54d4e-
a0528ba3/pakar--uu-penerbangan-tak-berlaku-bagi- kecelakaan-
airasia-qz8501
Maslow, A. H. 1984. Motivasi dan Kepribadian, Seri Manajemen No. 104
Cetakan Pertama PT. Pustaka Binaman Pressindo, (Maslow 1984)
Jakarta.
Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier, 1983. Implementation and
Public Policy. New York: HarperCollins.
Meter,DonaldVan,danCarlVanHorn,1975,“The Policy Implementati-
on Process: A Conceptual Framework dalam Administration and
Society 6, 1975, London: Sage.
Airmanship.indd 253 5/9/19 1:47 PM
2 5 4 A I R M A N S H I P
Moenir, H. A. S. 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Bumi
Aksara: Jakarta.
Nawaz, S. dan Gilani, N. 2011. Relationship of Parental and Peer Attach-
ment bonds with career decision-making self efficacy among adoles-
cent and postadolescents. Journal of Behavioural Sciences, 21 (1),
33-47.
Nakamura, Robert. T dan Frank Smallwood, (1980). The Politics of Policy
Implementation, New York: St. Martin Press.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Edi-
si Revisi, Rineka Cipta, Jakarta,
Nugroho, R. 2014. Public Policy Teori Manajemen Dinamika Analisis
Konvergensi dan Kimia Kebijakan.PTElexMediaKomputindo.Gra-
media. Jakarta.
Nrangwesti, A. 2011. Aspek Yuridis Normatif Tentang Pilot Pesawat Uda-
ra. Jurnal Hukum FH.UNISBA XII (1): 14.
Pakan, W. 2008. Faktor Penyebab Kecelakaan Penerbangan di Indonesia
Tahun 2000-2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhubung-
an Udara, Jakarta: Kementerian Perhubungan.
Pruchnicki, S.A., Wu, L.J. dan Belenky, G. 2010. An Exploration of The
Utility of Mathematical Modeling Predicting Fatigue from Sleep/ Wake
History and Circadian Phase Applied in Accident Analysis and Preven-
tion: The Crash of Comair Flight 5191, Accident Analysis and Preven-
tion (43) 1056-1061.
Reason, J. 1990. Human Error. Cambridge University Press: UK. Rebok,
G.W., Qiang, Y., Baker, S.P., dan Li, G. 2009. Pilot Age and
Error in Air Taxi Crashes. Abstract Aviation Space and Environmental
Medicine 80 (7): 647-51.
Robbins, S. P. 2003. Perilaku Organisasi. Terjemah Tim Indeks. PT Indeks
Gramedia. Jakarta
, 2007. Organizational Behavior, Twelfth Edition. Upper Saddle River.
Pearson Education. Inc. New Jersey.
Rohit, R. 2000. Design And Management of Service Processes. Addison
Wesley Pbl. Company. Massachusetts.
Airmanship.indd 254 5/9/19 1:47 PM
D a f t a r P u s t a k a 2 5 5
Sandjojo, N. 2011. Metode Analisis Jalur (Path Analysis) dan Aplikasinya.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Santoso, S., 2007. Structural Equation Modelling: Konsep dan Aplikasi
dengan AMOS.PTElexMediaKomputindo.Jakarta.
Schwartz, R. and Gottman, J.M. 1976. Toward a Task Analysis of Asser-
tive Behavior Journal of Consulting and Clinical Psychology.Vol44
No 6.
Setiana, 2013. Dinamika Peneyesuaian Diri Pilot Asing di Maskapai Pe-
nerbangan Lokal. Universitas Pendidikan Indonesia.
Sinambela, L. P. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta. Bumi Aksa-
ra.
Sisilia Y., 2009. Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Sebagai
Standar Keselamatan Pelayanan Lalu Lintas, Bisnis & Birokrasi Jour-
nal, Vol 16, No.3. Universitas Indonesia, Jakarta.
Sitorus, M. 2007. Sosiologi. Cahaya Budi. Bandung.
Skinner, B. 2013. Ilmu Pengetahuan dan Perilaku Manusia. Pustaka Pel-
ajar. Yogyakarta.
Smith K. B., Dan Larimer C. B., 2009. The Public Policy Theory Primer.
Published by Westview Press, Central Avenue, Boulder, CO 80301.
Soenarko. 2000. Public Policy; Pengertian Pokok untuk Memahami dan
Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Airlangga University Press. Su-
rabaya.
Solimun. 2002. Structural Equation Modeling LISREL dan Amos. Fakultas
MIPA Universitas Brawijaya. Malang.
Stein, Steven J. and Book, H. E. 2004. Ledakan EQ. 15 Prinsip Dasar Ke-
cerdasan Emosi Meraih Sukses. PT Mizan Pustaka-Kaifa. Bandung.
Suartha, N., 2013. Pengaruh Kapasitas Rumah Tangga, Budaya dan Pem-
berdayaan Terhadap Sikap Serta Keberdayaan Rumah Tangga Miskin
di Kabupaten Karangasem, Bali, Universitas Udayana.
Subarsono, A.G. 2011. Analisis kebijakan Publik: Konsep. Teori dan Apli-
kasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sudibyo, Dudi, dan Handoyo S. 2011. Aviapedia Ensiklopedia Umum
Penerbangan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Airmanship.indd 255 5/9/19 1:47 PM
2 5 6 A I R M A N S H I P
Supranto, 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan. Jakarta: Ri-
neka Cipta.
Sukawaningtyas, M. 2007. Kelelahan Pilot dan Strategi Mengatasinya.
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_deta-
il&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=35379.
Downloaded at July, 12, 2016.
Suryanato. 1997. Mencermati Penyebab Rontoknya Burung Besi. Dalam
Intisari, oleh Gramedia. Gramedia. Jakarta.
Tahir, A. 2015. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pe-
merintah Daerah. Alfabeta. Bandung.
Taylor, F.W., 1911. The Principles of Scientific Management.
Tvaryanas, A.P., & MacPherson, G.D., (2009), Fatigue in Pilots of Remo-
tely Piloted Aircraft Before and After Shift Work Adjusment, Aviation,
Space, and Environmental Medicine, 80 (5).
Wahab, S. A. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implemen-
tasi Kebijakan Negara. Edisi Kedua. Bumi Aksara. Jakarta.
, 1999. Ekonomi Politik Pembangunan; Bisnis Indonesia Era Orde Baru
dan Di tengah Krisis Moneter. PT Danar Wijaya. Brawijaya University
Press.
Walpole dan Myres. 1995. Ilmu Peluang Untuk Insinyur dan Ilmuwan.
ITB. Bandung.
Wawan W., 2012. Analisis respons adaptasi jaringan otak pasca induksi
hipoksia hipobarik intermiten pada tikus: Kajian khusus pada eks-
presihypoxiinduciblefactor-1a,Disertasi,UniversitasIndonesia
Wiegmann, Douglas A., dan Scott A. S. 2000. The Human Factors Anal-
ysis and Classification System–HFACS.Technical Report, 1FAA Civil
Aeromedical Institute; University of Illinois , Washington, DC: Fe-
deral Aviation Administration, 15.
Wignjosoebroto, S. dan Zaini, P. 2007. Studi Aplikasi Ergonomi Kognitif
Untuk Beban Kerja Mental Pilot Dalam Pelaksanaan Prosedur Pengen-
dalian Pesawat Dengan Metode SWAT, [online].www.its.ac.id. Dow-
nloaded at July, 12, 2016.
Airmanship.indd 256 5/9/19 1:47 PM
D a f t a r P u s t a k a 2 5 7
Winarno, B. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo.
Yogyakarta.
Yadav, N. 2011. Emotional intelligence and its effects on job performance:
A comparative study on life insurance sales professionals. Internati-
onalJournalofMultidisciplinaryResearch,Vol.1Issue8,hal248-260.
Zazili, A., 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Trans-
portasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, Tesis, Universitas Dipone-
goro, Semarang.
Airmanship.indd 257 5/9/19 1:47 PM
Airmanship.indd 258 5/9/19 1:47 PM
TENTANG PENULIS
Dr. A. Adang Supriyadi, lahir di Surabaya,
Jawa Timur, 14 Mei 1962. Penulis merupakan
seorang perwira tinggi aktif TNI Angkatan
Udara dari Korps Penerbang. Penulis lulus
dari Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun
1985, kemudian melanjutkan pendidikan
pengembangan umum, antara lain di Sekkau
angkatan ke-55 lulus tahun 1994, Seskoau
angkatan ke-35 lulus tahun 1998, Sesko TNI
angkatan ke-35 lulus tahun 2008, dan Lemhannas angkatan ke-46
lulus tahun 2011. Sementara itu, pada jalur pendidikan formal, penulis
telah berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana, magister, dan pro-
gram doktoral di Universitas Brawijaya, Malang, dengan memfokuskan
disertasi tentang keselamatan penerbangan di Indonesia.
Penulis memiliki keahlian dalam bidang penerbangan yang meli-
puti Flight Safety, CASR (Civil Aviation Safety Regulation), Airmanship,
SIG (Sistem Informasi Geografis), Penginderaan Aktif dan Pasif, FIR
(Flight Information Region), KKOP (Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan), Foto Udara, Airport Maintenance, dan ATS (Air Traffic
Service) Annexes 11. Dengan berbagai keahlian dan pengalamannya,
penulis dipercaya sebagai Dosen Tetap Fakultas Teknologi Pertahanan
Airmanship.indd 259 5/9/19 1:47 PM
2 6 0 A I R M A N S H I P
di Universitas Pertahanan (Unhan) dan sebelumnya pernah menjadi
Dosen Instruktur Penerbang (Sekbang, SIP), di Seskoau, Universitas
Suryadarma, dan lain-lain.
Sebagai perwira tinggi TNI Angkatan Udara pada korps penerbang,
kariernya di TNI bermula sebagai Pa DP Lanud Adi (1985), Pa Pnb Skad-
ron Udara 31 (1986), Papok Instruktur Skd 2 Lanud Halim Perdanakusu-
ma (1996), Kadisops Skadud 2 Halim Perdanakusuma (1997), Kasiopslah
Disops Lanud Halim Perdanakusuma (1999), Komandan Skadud 2 Lanud
Halim Perdanakusuma (2000), Kapuskodal Koopsau I (2001), Kasubdis
Sislan Disbangopsau (2004), Kadisops Lanud Halim Perdanakusuma
(2004), Komandan Wing 1 Lanud Halim Perdana Kusuma (2005), Ko-
mandan Korsis Seskoau, Lembang (2007), Komandan Lanud Husein
Sastranegara (2010), Komandan Lanud Halim Perdanakusuma (2011),
Wakil Komandan Kodikau (2013), Kepala Dinas Survei dan Pemotretan
Udara Angkatan Udara (2015), Dosen tetap Universitas Pertahanan
(2017) kemudian sejak Maret 2018 menjabat sebagai Sekretaris Utama
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT RI).
Berbagai tanda kehormatan telah berhasil diperoleh penulis, an-
tara lain Satyalancana Kesetiaan VII Tahun, Satyalancana Kesetiaan
XVITahun,SatyalancanaKesetiaanXXIVTahun,BintangSwabhuwana
Paksa Naraya, Satyalancana GOM IX Raksaka Dharma (Papua), Satya-
lancanaSeroja,SatyalancanaDwidyasista,SatyalananaGOMVII(Aceh),
Satyalancana Rusia, Satyalancana Dharma Nusa.
Penulis juga pernah dikaryakan di PT Merpati Nusantara Airlines,
dengan mencatat jumlah jam terbang sebanyak 11.303 jam terbang
dengan pesawat AS- 202 Bravo, T-34 C, F-27ts, CN 235 100m, BJ737-200
VVIP,sertamempunyaipengalamanpenugasanantaralain,Anggota
Tim Kelaikan Kemenhan (Tes Pilot CN-235-100M/200M), Menerbangkan
pesawat AS-202-B, T-34-C, F-27 FOKKER, CN-235-100M/200M, BOING
737-200VIP.
Airmanship.indd 260 5/9/19 1:47 PM
top related